KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …
Transcript of KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …
1
WP/1/2017
WORKING PAPER
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN: MEKANISME TRANSMISI PROSES BERPIKIR
Dr. Solikin M. Juhro dan Dr. A. Farid Aulia
2017
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
0
Kepemimpinan Transformasional Melalui Neuroscience Terapan:
Mekanisme Transmisi Proses Berpikir
Dr. Solikin M. Juhro1 dan Dr. A. Farid Aulia2
Abstrak
Dunia saat ini memasuki lingkungan yang diliputi oleh volatilitas,
ketidakpastian, kompleksitas, dan kerancuan yang tinggi. Kondisi tersebut
membuat organisasi harus mampu menerjemahkan tantangan yang dihadapi
menjadi suatu visi dan aksi yang jelas. Hal ini menuntut karakter
kepemimpinan yang tidak statis, namun agile untuk menyesuaikan diri
dengan magnitude dan sifat dari permasalahan. Transformational leadership
merupakan suatu kepemimpinan partisipatif yang tidak hanya mampu
memotivasi dan menggerakkan organisasi baik secara vertikal maupun
horizontal, namun juga senantiasa agile di setiap keadaan, sehingga
mendorong kapasitas organisasi dalam pencapaian visi dan misi bersama.
Neuroscience terapan memberikan pemahaman mengenai aktivitas dan cara
kerja otak manusia, serta meningkatkan kompetensi yang harus dimiliki oleh
seorang leader, sehingga membantu leader memimpin transformasi
organsisasi. Hasil kajian menunjukkan bahwa neuroscience terapan dapat
membantu kepemimpinan transformasional untuk mencapai keadaan yang
‘physically, emotionally, and mentally safe’ serta mendorong organisasi
bertransformasi secara efektif. Penelitian ini selain menggali perspektif baru
dalam isu kepemimpinan, juga memberikan kontribusi yang sangat penting
dalam pengaplikasian ilmu terapan dalam konteks kepemimpinan,
khususnya mengenai pemetaan mekanisme kerja transmisi, dalam hal ini
cara kerja otak dalam memengaruhi reaksi tubuh, baik secara internal (emosi
1 Dr. Solikin M. Juhro adalah Kepala Bank Indonesia Institute, Bank Indonesia. 2 Dr. A. Farid Aulia adalah Dekan Akademi Leadership dan General Management Bank Indonesia Institute, Bank Indonesia. Penulis menyampaikan terima kasih kepada para faculty BI Institute, yaitu Fretdy Purba, Donni Hadiwaluyo, Edo Lavika, Roy Amboro, Dessy Aliandrina, Novianta Hutagalung, Lyra Puspa, Rizki Edmi Edison, dan Lucy Kusman, pada rangkaian FGD mengenai Applied Neuroscience / Neuroleadership di Jakarta pada tanggal 6-8 April, 15-17 Juni, dan 27 Juli 2017, atas sumbangan pemikiran dalam mematangkan draf kertas kerja ini. Ucapan terima kasih yang tinggi juga disampaikan kepada Dita Herdiana dan Monica Kishi S.K. atas asistensi yang tidak kenal lelah dalam penyelesaian penelitian ini. Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
2
dan hormon) maupun secara eksternal (reaksi atau tindakan), yang pada
gilirannya memengaruhi perilaku kepemimpinan.
Keywords: applied neuroscience, leadership style, transformational leadership, human resources management
JEL Classification: O15, M12, M19, M5
1
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sudah hampir satu dekade sejak terjadinya krisis keuangan global tahun
2008/09 kondisi ekonomi dan keuangan dunia masih belum sepenuhnya beranjak
menuju kondisi normalnya. Hal ini selain tercermin pada pertumbuhan ekonomi
dunia dalam lima tahun terakhir yang masih di bawah angka rata-rata jangka
panjangnya, juga kondisi pasar keuangan dunia yang masih diliputi oleh
ketidakpastian yang sangat tinggi. Banyak pihak menyebut bahwa dunia saat ini
telah berubah dengan cepat dan telah memasuki lingkungan baru dengan Volatility
(volatilitas), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kompleksitas), dan Ambiguity
(kerancuan) yang terus meningkat; dikenal dengan terminologi VUCA. Karakteristik
permasalahan dan tantangan akan terus berbeda dan berevolusi sepanjang sejarah
peradaban dunia. Masa depan akan lebih sulit diprediksi bergerak ke arah mana
(unpredictable). Penyebab atau akar masalah dari kebijakan yang akan diambil
menjadi tidak jelas (unknown). Konsekuensinya, arah kebijakan yang dibuat oleh
otoritas maupun pelaku pasar menjadi tidak pasti (uncertain) dan masa depan tidak
dapat diprediksi. Perubahan terjadi dengan cepat, era baru timbul menggantikan
era lama. Apabila tidak disiasati dengan cepat dan cermat, perubahan tersebut akan
bersifat disruptive (unthinkable). Di samping itu, rangkaian krisis yang terjadi dalam
tiga dasawarsa belakangan menunjukkan bahwa kerentanan yang terjadi pada
suatu negara akan menjalar menjadi krisis regional atau bahkan global dengan
faktor yang tidak diprediksi sebelumnya.
Dalam perspektif kepemimpinan, dunia yang bercirikan VUCA dan adanya
megatren global yang masif sebagaimana diindikasikan di atas membuat organisasi
harus mampu menerjemahkan tantangan tersebut menjadi suatu visi dan aksi yang
jelas (KPMG International, 2014). Dunia saat ini membutuhkan kepemimpinan yang
agile dan transformatif untuk menyesuaikan diri dengan magnitude, orientasi, dan
sifat dari permasalahan yang terjadi. Sayangnya, dalam World Economy Forum,
krisis kepemimpinan disebut sebagai krisis terbesar yang saat ini sedang terjadi
(Shahid, 2015). Kepemimpinan dapat menjadi akar dari solusi atau akar dari
masalah. Survei Deloitte dalam Leading the New World of Work Human Capital Trend
tahun 2014-2015 kepada prominent CEO di dunia memperlihatkan bahwa
kepemimpinan semakin penting kedudukannya, namun pada saat bersamaan gap
2
kesiapan pemimpin semakin melebar (Deloitte, 2015). Terkait hal ini, permasalahan
yang dihadapi oleh kebanyakan organisasi adalah cara mengelola leadership pipeline
di tengah perkembangan organisasi yang pesat serta kecenderungan rendahnya
engagement.
Oleh karenanya, fokus pada pengembangan kepemimpinan strategis secara
terintegrasi diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengembangkan kepemimpinan
di masa kini dan ke depan yang mampu berselancar dalam dinamika arus
perubahan. Karakteristik kepemimpinan tersebut secara umum sejalan dengan ciri-
ciri transformational leadership, yaitu suatu kepemimpinan partisipatif ketika leader
dan followers bersinergi mencapai visi dan misi bersama. Dengan transformational
leadership, kepemimpinan tidak hanya mampu memotivasi dan menggerakkan,
namun juga mewujudkan kapasitas untuk senantiasa agile di setiap keadaan.
Kepemimpinan yang dapat menjadi ujung tombak transformasi dalam sebuah
organisasi bahkan negara, karena suatu organisasi tidak akan mampu
bertransformasi sebelum leader bertransformasi.
Terkait dengan isu kepemimpinan tersebut adalah adanya tren pergeseran
orientasi dari sumber daya manusia menjadi sumber daya otak yang sudah banyak
diinisiasi oleh lembaga pemerintahan/non-pemerintahan seperti Obama’s Brain
Initiative (US). Otak yang memiliki lebih dari seratus miliar saraf dan seratus trililun
koneksi ini mendorong penemuan neuroscience terapan untuk meneliti cara
kerja/aktivitas sel otak yang terkoneksi secara struktural dan fungsional yang
berdampak pada perilaku seseorang. Neuroscience didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sistem saraf, dengan pendekatan multidisiplin, untuk melihat proses
biologis (termasuk sistem listrik dan kimiawi) yang terjadi di otak saat individu
berpikir atau bertindak. Penelitian neuroscience saat ini tidak lagi terbatas pada otak
orang-orang yang mengalami gangguan (disorder), namun otak orang-orang sukses.
Penelitian neuroscience terapan ini akan meningkatkan pemahaman terhadap diri
sendiri, orang lain dan sistem/lingkungan. Sebagai sebuah ilmu yang mutakhir,
neuroscience terapan diyakini dapat menjadi salah satu solusi untuk menjalankan
misi mengubah orang lain dan lingkungan menjadi lebih baik.
Pada akhirnya dunia akan selalu berubah dan masalah yang muncul akan
semakin kompleks dan semakin sulit diurai. Untuk menjawab permasalahan ini
dibutuhkan kepemimpinan yang tepat dan proaktif dalam menjawab tantangan
masa depan yang serba VUCA dan memiliki kemampuan substansial, visioner,
mampu mendiagnosis permasalahan, serta mampu melahirkan ide-ide inovatif
3
untuk menjawab tantangan. Dalam praktiknya, untuk menjadi seorang pemimpin
yang transformatif tidaklah mudah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
neuroscience terapan diharapkan menjadi solusi untuk menjalankan misi
mengubah orang lain dan lingkungan menjadi lebih baik karena otak adalah master
kontrol untuk mengintegrasikan seluruh sistem tubuh termasuk komponen utama
dari perasaan dan insting. Pemimpin juga merupakan master kontrol dalam
organisasi. Pemimpin dapat mengendalikan otak orang lain dengan cara mengelola
otak sendiri sehingga otak bawahan dapat selaras dengan otak pemimpin. Ketika
otak pemimpin dan bawahan telah selaras, maka pemimpin dan bawahan akan
bersinergi dengan efektif untuk mencapai tujuan bersama (Swart, 2015).
Bank Indonesia menyadari bahwa kompleksitas masalah dan potensi
Indonesia tidak dapat hanya dijawab dengan struktur kelembagaan dan kebijakan
yang lama atau konvensional, namun harus beyond conventional wisdom. Bank
Indonesia pun dituntut untuk menjadi organisasi yang agile dalam menghadapi
kompleksitas (organizational agility) dan adaptif dari satu permasalahan ke
permasalahan yang lain. Selain memperkuat strategi kebijakan di berbagai domain
kebijakan bank sentral (moneter, sistem keuangan, dan sistem pembayaran), Bank
Indonesia menyadari peran sumber daya manusia yang kompeten dan mumpuni
sangat diperlukan. Untuk itu, Bank Indonesia mendorong perlunya menciptakan
sumber daya manusia yang berkualitas. Pembelajaran mengenai kepemimpinan
ekonomi (economic leadership) perlu ditanamkan ke dalam setiap domain
pembelajaran sehingga dapat menciptakan kesadaran mengenai pentingnya
kepemimpinan inovatif dan dapat memberikan kontribusi strategis dalam rangka
menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.3
Penelitian ini ditujukan untuk menggali isu-isu terkait dengan kepemimpinan
transformasional (transformational leadership) serta keberadaan neuroscience
terapan sebagai salah satu pendekatan yang efektif dalam mendorong
transformational leadership. Secara khusus, pertanyaan penelitian yang akan
dijawab adalah: (i) Mengapa diperlukan transformational leadership? (Why); (ii)
Apakah keunggulan relatif neuroscience terapan dibandingkan dengan pendekatan
lain? (What); dan (iii) Bagaimana mekanisme transmisi neuroscience terapan dalam
3 Bank Indonesia di 2014 mulai melaksanakan Program Transformasi menyeluruh untuk memastikan fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dilaksanakan secara berkelanjutan, dengan dukungan penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki (trust and integrity; professionalism; excellence; public interest; coordination and teamwork). Sejalan dengan itu, program transformasi Bank Indonesia juga dilaksanakan untuk mewujudkan visi Bank Indonesia sebagai bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional.
4
mendorong transformational leadership? (How). Dalam kaitan ini, akan disampaikan
juga beberapa contoh aplikasi neuroscience terapan dalam lingkungan organisasi.
Pendalaman kajian ini dilakukan dengan pendekatan studi literatur dan focus group
discussion (FGD) dengan para pakar dan pelaku kepemimpinan. Adapun lingkup
transformational leadership dalam konteks aplikasi neuroscience terapan
digeneralisasi pada kepemimpinan publik dan swasta.
Dari hasil kajian awal dapat disimpulkan bahwa transformational leadership
sangat dibutuhkan karena merupakan suatu kepemimpinan yang tidak hanya
mampu memotivasi dan menggerakkan organisasi secara vertikal dan horizontal,
namun juga mewujudkan kapasitas organisasi untuk senantiasa agile di setiap
keadaan. Dalam kaitan ini, sebagai suatu pendekatan, neuroscience terapan dapat
memberikan pemahaman aktivitas dan cara kerja otak manusia yang membantu
pemimpin untuk memimpin transformasi organisasi. Dalam hal ini, neuroscience
terapan, melalui beberapa jalur dalam mekanisme transmisinya, mampu secara
efektif membantu transformational leader dan anggota mencapai keadaan physically,
emotionally, and mentally safe, serta mendorong organisasi untuk bertransformasi
secara efektif. Selain berusaha memberikan perspektif baru dalam kajian
kepemimpinan, penelitian ini memberikan kontribusi yang sangat penting dalam
pengaplikasian ilmu/sains terapan dalam konteks kepemimpinan, khususnya
mengenai pemetaan mekanisme kerja transmisi, dalam hal ini cara kerja otak dalam
memengaruhi reaksi tubuh, baik secara internal (emosi dan hormon) maupun
secara eksternal (reaksi atau tindakan), yang pada gilirannya memengaruhi perilaku
kepemimpinan.
Paparan dalam penelitian ini terdiri dari empat bagian. Menyambung bagian
pendahuluan ini, bagian kedua akan menguraikan landasan teori sekaligus
kerangka pemikiran mengenai transformational leadership dan beberapa
pendekatan terkait, khususnya neuroscience terapan. Bab ini juga akan
menyinggung cara kerja otak dalam memengaruhi pola kepemimpinan. Bagian
ketiga akan berisi analisis yang ditujukan untuk menjawab ketiga pertanyaan
utama dalam penelitian, yaitu menyangkut urgensi transformational leadership,
keunggulan relatif, mekanisme transmisi neuroscience terapan dalam mendorong
kepemimpinan, dan beberapa contoh aplikasi neuroscience terapan dalam
lingkungan organisasi. Bagian terakhir berupa kesimpulan dan rekomendasi untuk
pengembangan kegiatan penelitian selanjutnya.
5
2. Perspektif Teoritis
2.1. Transformational Leadership: Definisi, Kompetensi, dan Tools
Definisi Transformational Leadership
Kepemimpinan/leadership merupakan sebuah proses ketika seseorang
memengaruhi sekelompok individu untuk mencapai sebuah tujuan bersama
(Northouse, 2007). Berdasarkan tipenya, leadership dapat dikategorikan ke dalam
dua kelompok yaitu kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yang
menggunakan hadiah/reward dan hukuman/punishment sebagai sarana untuk
memotivasi followers dan kepemimpinan transformasional (transformational
leadership) yang menginsipirasi followers untuk bertransformasi dengan motivasi
internal (Bass, 1990).
Transformational leadership merupakan sebuah proses ketika leader dan
followers saling membantu untuk meningkatkan moral dan motivasi kedua belah
pihak (Burns, 1978). Sementara itu, Yammarino dan Bass (1990) menyatakan
bahwa transformational leadership merupakan sebuah gaya kepemimpinan ketika
leader mengartikulasikan visi masa depan dari organisasi yang realistis,
menstimulasi followers dengan cara yang intelektual, dan menaruh perhatian pada
perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh followers. Pada tahun 2012, Simola
mendefinisikan transformational leadership sebagai terjadinya interaksi antara dua
belah pihak dalam suatu organisasi dengan adanya tujuan kolektif ketika leader
mentransformasi, memotivasi, dan mengembangkan perilaku dan aspirasi etis
followers. Dari definisi yang dikemukakan para ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa transformational leadership merupakan sebuah gaya kepemimpinan
partisipatif yang meningkatkan moral, motivasi internal, dan performa followers
sehingga menghasilkan perubahan mindset dan perilaku followers serta efektivitas
organisasi.
Menurut Bass (1990), terdapat empat komponen yang membentuk sebuah
gaya transformational leadership, yang dapat diuraikan sebagai berikut: (i)
idealized/charismatic influence, yaitu leader memiliki visi dan misi yang sejalan
dengan organisasi, pendirian kokoh, serta berkomitmen dan konsisten pada setiap
keputusan sehingga followers dengan sukarela mengikuti leader; (ii) inspirational
motivation, yaitu menetapkan standar yang tinggi sekaligus mendorong
pencapaiannya; (iii) intellectual stimulation, yaitu mendorong followers untuk
6
memiliki budaya belajar dan selalu mengembangkan ide; serta (iv) individualized
consideration, yaitu kemampuan leader untuk memahami perbedaan setiap
followers dan memfasilitasi pengembangannya.
Kompetensi Transformational Leader
Untuk dapat melakukan transformasi dalam sebuah organisasi, seorang
leader tentunya harus memiliki beberapa kompetensi dasar yang kemudian dapat
dikelompokkan ke dalam klaster inner, others, dan outer atau dikenal dengan The
Triple Focus (Goleman dan Senge, 2014). Pembagian ke dalam tiga klaster ini
menunjukkan bahwa sebuah transformasi harus diawali dari dalam diri leader
terlebih dahulu (inner/leading self); kemudian ke orang lain di dalam organisasi,
yaitu dalam hal ini followers (others/leading people); dan yang terakhir adalah
transformasi organisasi itu sendiri (outer/leading organization).
Inner focus diperlukan agar leader sadar nilai, perasaan, dan intuisi diri
sendiri (intrapersonal) serta memahami cara mengelolanya dengan baik. Others
focus menuntut leader untuk mampu membaca, memahami, dan mengelola
hubungan interpersonal dengan baik. Hubungan dengan orang lain memiliki seni
tersendiri yang harus dimiliki oleh setiap leader. Sedangkan, outer focus menuntut
leader untuk memahami kekuatan dan sistem yang lebih luas. Leader dituntut
untuk mampu menavigasi dan menentukan strategi terbaik yang dituju.
Berdasarkan rujukan dari penelitian terdahulu mengenai kompetensi yang
harus dimiliki seorang leader dan penelitian mengenai skill yang harus dimiliki
leader masa depan, terdapat sembilan kompetensi transformational leadership.
Kompetensi tersebut dibagi dalam tiga klaster (i) inner/leading self yaitu kompetensi
breakthrough, agility, kecerdasan emosional (emotional intelligence); (ii)
others/leading people yaitu kompetensi kecerdasan sosial (social intelligence),
kemampuan berkomunikasi (communication skill), kemampuan memengaruhi orang
lain (influence others); dan (iii) outer/leading organization yaitu kompetensi memiliki
visi (visionary), pemecahan masalah (problem solving), dan pengambilan keputusan
(decision making).
Transformational Leadership Tools
Transformasi dalam sebuah organisasi dapat dilakukan dengan berbagai alat
bantu/pendekatan (tools) yang berfungsi untuk membantu leader dalam
menciptakan maupun melakukan percepatan transformasi. Beberapa pendekatan
7
transformational leadership tersebut, beserta karakteristiknya, dapat dilihat dalam
tabel 1.
2.2. Neuroscience Terapan: Teori dan Aplikasi
Neuroscience Terapan dan Perspektif Teori mengenai Otak
Dari sudut pandang keilmuan, neuroscience merupakan sebuah ilmu
mengenai sistem saraf. Neuroscience mempelajari struktur saraf-saraf manusia dan
cara terbentuknya, cara saraf-saraf tersebut bekerja, malfungsi-malfungsi yang
mungkin terjadi pada otak, serta cara saraf-saraf tersebut dapat berubah. Secara
umum, pandangan mengenai otak dapat dibedakan menjadi brain-based dan
thinking-based. Brain-based memahami struktur anatomi otak, sedangkan thinking-
based memahami fungsi dan proses berpikir yang terjadi pada otak. Sesuai dengan
relevansinya, paparan pada bagian ini akan berfokus pada thinking-based theory.
Salah satu teori yang terkemuka yang tergolong dalam kelompok thinking-
based theory adalah split brain theory. Teori ini mulai dikenal ketika Roger W. Sperry
mendapatkan hadiah Nobel di tahun 1981 atas eksperimen “split brain” yang
dilakukan terhadap pasien epilepsi. Sperry mengungkapkan bahwa otak manusia
terdiri dari dua bagian (hemisfer), yaitu hemisfer kanan dan hemisfer kiri, yang
dihubungkan oleh sebuah jembatan bernama corpus callosum. Sperry
mengungkapkan bahwa hemisfer kanan dan hemisfer kiri manusia memiliki fungsi
yang berbeda. Hemisfer kiri berkaitan dengan kemampuan menulis, berbahasa,
berbicara, serta berhitung, sedangkan hemisfer kanan memiliki fungsi yang
berkaitan dengan kemampuan spasial, konstruksi, ideasi, kreativitas, kemampuan
bahasa sederhana, kemampuan nonverbal, serta kemampuan komprehensi.
8
*Keterangan: DRA (Driving, Resisting, and Attracting Forces)
Tabel 1. Ringkasan Pendekatan Transformational Leadership
No. Aspek
Metode
DRA* Kubler-Ross' Jack Welch's Kotter's Neuroscience
terapan
1 Fokus
Pemicu/trigger yang
mendorong transformasi.
Fase-fase yang
dilewati organisasi untuk menuju
transformasi.
Keterlibatan followers.
Adanya rasa
keterdesakan untuk transformasi.
Pemahaman otak leader dan followers
dalam implementasi
TL.
2 Peran Leader
Memunculkan trigger,
mengelola resistensi,
dan mengelola reaksi
dari transformasi
organisasi.
Mengelola setiap fase
menuju transformasi.
Mengajak followers
ikut berpartisipasi
dalam mencapai
visi.
Menciptakan rasa
keterdesakan untuk
bertransformasi.
Menggerakkan followers melalui
pemahaman
mengenai otak followers dan leader.
3 Pendekatan
Mengelola risiko yang
muncul terhadap
pemicu perubahan.
Melalui kompetensi
kepemimpinan
Menghilangkan
birokrasi yang
rumit dan
menyederhanakan
visi.
Memaparkan akibat-
akibat yang bisa
ditimbulkan apabila
transformasi tidak
dilakukan.
Pemahaman reward
& threat agar
followers termotivasi.
4 Kompetensi leader
Tidak ditingkatkan
secara spesifik.
Tidak ditingkatkan
secara spesifik.
Tidak ditingkatkan
secara spesifik.
Tidak ditingkatkan
secara spesifik.
Ditingkatkan dengan neuroscience terapan.
5 Langkah-
langkah
1. Transformasi terjadi
apabila diawali
dengan trigger (driving force).
2. Akan selalu ada gaya
resisten organisasi dalam menjalani
transformasi, baik itu
kebijakan-kebijakan
atau posisi status quo (resisting force).
3. Akan selalu muncul reaksi akibat dari
transformasi yang berjalan (attracting
force).
Menekankan pada
tahapan yang terjadi
ketika perubahan
eksternal terjadi dan
menuntut adanya
transformasi 1. Rasa terkejut
2. Penolakan
3. Frustasi dan kem arahan
4. Depresi
5. Eksperimen dan keputusan
6. Penerimaan dan
integrasi
7. Siap
bertransformasi
Jack Welch
menerapkan 25 hal
yang dapat
membawa
organisasi pada
transformasi, di antaranya
mengartikulasikan
visi dengan
sederhana,
memberi
kebebasan dalam bekerja,
menciptakan
budaya belajar,
berfokus pada
inovasi, dll.
1. Rasa
keterdesakan.
2. Menciptakan guiding coalition.
3. Menciptakan visi
dan strategi. 4. Mengomunikasika
n perubahan visi.
5. Aksi meluas.
6. Kemenangan
jangka pendek.
7. Konsolidasi kemajuan dan
menciptakan
perubahan.
8. Pendekatan baru
budaya organisasi.
Neuroscience terapan
memberikan
pemahaman
mengenai cara
menggerakkan followers tanpa
paksaan dan meningkatkan
kompetensi transformational leadership.
9
Teori Sperry banyak dikembangkan menjadi teori mengenai proses berpikir
manusia. Beberapa ahli neuroscience terapan seperti Ned Herrmann, Steve Peters,
serta Waytz dan Mason, telah mengembangkan model berpikir (thinking-based brain
modelling) seperti tabel 2 berikut.
Tabel 2. Brain Modelling
Model Pembagian Keterangan
Ned Herrmann The Whole Brain Thinking System
Area biru (goal driven)
Logis, analitis, kuantitatif,
berdasarkan fakta
Area kuning (vision driven)
Holistik, intuitif, integrasi,
sintesis
Area hijau (task driven)
Organisasi, sekuensial, terencana, detil
Area merah (people driven)
Interpersonal, berdasarkan perasaan, kinestetik,
emosional
Steve Peters Mind Management Model
Human Brain Fungsi kognitif otak
Chimp Brain Fungsi afektif otak
Computer Brain Fungsi nilai dan
kepercayaan
Physical Brain Kemampuan otak secara
keseluruhan
Waytz dan
Mason4
Brain network at work
Default network Introspeksi dan imajinasi
dalam waktu, tempat dan realitas
Reward network Respon terhadap kesenangan (pleasure)
Affect network Peran sentral dalam emosi
Control network Memahami konsekuensi,
merangsang kontrol dan
perhatian selektif
Berdasarkan model tersebut, fungsi otak secara umum dapat dibagi menjadi
fungsi rasional dan fungsi emosional. Fungsi rasional diatur pada human brain
(disebut juga prefrontal cortex) sedangkan fungsi emosional diatur oleh chimp brain
(sistem limbik). Human brain dan chimp brain ini memiliki kepribadian, cara
berpikir, dan cara kerja yang berbeda. Bukan berarti human brain bekerja murni
tanpa adanya pengaruh dari chimp brain, dan sebaliknya. Namun, ketika otak
bertindak rasional, emosi akan ditekan, dan sebaliknya. Leader yang baik harus
mengetahui saat yang tepat untuk mengaktivasi human brain dan/atau chimp brain.
Walaupun pada dasarnya setiap keputusan yang rasional sekalipun tidak bisa lepas
dari emosi, leader harus mampu menekan otak emosional dan mengedepankan otak
rasional sehingga keputusan yang diambil lebih tepat sasaran dan dapat
dipertanggungjawabkan.
4 Dalam Swart (2015)
10
Secara aplikatif, neuroscience terapan merupakan sebuah pendekatan untuk
mengetahui aktivitas otak seorang individu pada saat individu tersebut membuat
sebuah keputusan untuk melakukan sebuah perilaku. Dengan mengetahui fungsi
dan aktivitas dari otak, leader diharapkan mampu mengambil keputusan, menjalin
relasi dengan efektif, sekaligus mengakomodasi perubahan dalam suatu lingkungan
organisasi.5 Secara umum, pembahasan mengenai fungsi dan aktivitas otak pada
paparan ini akan mengacu pada Mind Management Model yang dipaparkan oleh
Steve Peters (2012) yang akan dijelaskan dalam tabel 3 berikut.
Tabel 3. Mind Management Model
No Fungsi Otak Bagian Otak Tantangan Mitigasi
1 Human Brain (eksekutif) Prefrontal Cortex/PFC
Bias tak sadar SEEDS Model of Bias
Amygdala Hijack Affect Labelling
2 Chimp Brain (emosi) Sistem Limbik Stimulus threat &
reward SCARF Model
Emotional Driver
Model
3 Computer Brain
(nila dan kepercayaan)
Lobus Parietal Fixed mindset Growth mindset
4 Physical Brain
(plastisitas otak,
hormon, dan fungsi
secara fisik lainnya)
Seluruh bagian
otak beserta saraf-
saraf dan
kandungan
kimiawi
Stres Asupan otak dan
Olahraga
Keterangan: SEEDS (Similarity, Experience, Expedience, Distance, dan Safety).
SCARF (Status, Certainty, Autonomy, Relatedness, dan Fairness).
Sumber : Steve Peters (2012)
Beberapa studi menunjukkan bahwa peningkatan kompetensi leaders dapat
dilakukan melalui intervensi neuroscience terapan (Swart, 2015; Sinek, 2015).
Beberapa contoh intervensi neuroscience terapan yang telah banyak dikenal, seperti
relaksasi, olah raga dan olah otak, affect labelling, mindfulness, interaksi,
pemahaman preferensi komunikasi, regulasi SCARF, chunking strategies,
pencapaian momen AHA, dan mitigasi bias dapat digunakan untuk mengelola emosi
yang dikeluarkan terhadap suatu hal. Emosi yang terkelola dengan baik sehingga
memicu keluarnya hormon yang berdampak positif terhadap reaksi atau perilaku
kepemimpinan seseorang.
5 Sejalan dengan perkembangan teori dan praktik di lapangan, penerapan neuroscience sudah meluas ke berbagai bidang keilmuan, diantaranya bidang ekonomi (neuroeconomics), keuangan (neurofinance), hukum (neurolaw), komunikasi (neurocommunication), kewirausahaan (neuropreneurship), psikologi (neuropsychology), pemasaran (neuromarketing), digital (neurodigital), medis (neurohealing), dan kepemimpinan (neuroleadership).
11
3. Kepemimpinan Transformasional Berbasis Neuroscience
Terapan
3.1. Urgensi Kepemimpinan Transformasional (Transformational
Leadership)
Dalam teori dan praktik manajemen konvensional, telah banyak istilah yang
merepresentasikan gaya-gaya kepemimpinan yang telah dipelajari dan dipraktikkan,
seperti otokratis, demokratis, delegatif, birokratis, laissez faire, otoriter, spititual,
situasional, dan lain-lain. Walaupun secara umum terdapat beberapa karakteristik
dasar yang sama-sama dimiliki oleh setiap gaya, gaya kepemimpinan akan terus
berkembang sesuai dengan tantangan zaman. Bass (1990) menyatakan bahwa
terdapat dua gaya kepemimpinan, yaitu gaya transactional leadership dan gaya
transformational leadership. Transformational leadership sampai saat ini dinilai
paling tepat dan efektif untuk diterapkan di era VUCA. Urgensi transformational
leadership sekaligus keunggulannya dibandingkan dengan gaya kepemimpinan lain
dapat dilihat dalam tabel 4 berikut.
Tabel 4. Ringkasan Gaya Kepemimpinan Transaksional dan Transformation
No Gaya transactional leadership Gaya transformational leadership
1 Memotivasi dengan memenuhi keinginan pribadi followers.
Memotivasi dengan mendorong followers
untuk meletakkan kepentingan
organisasi di atas kepentingan kelompok.
2 Followers mencapai tujuan dengan
adanya reward dan hukuman.
Followers mengalami transformasi diri
melalui idealisme dan nilai-nilai yang
dikembangkan dalam mencapai tujuan
sehingga kinerja baik.
3 Langkah responsif dan cenderung
kaku.
Langkah proaktif dan adaptif terhadap
perubahan.
4 Fokus pada hal yang terjadi saat ini. Memiliki tujuan (goal) jangka panjang.
5 Tepat digunakan pada organisasi yang
stabil.
Tepat digunakan pada organisasi yang
sedang mengalami turbulensi.
6 Bekerja dalam budaya organisasi yang
sudah terbentuk.
Bekerja untuk mengubah budaya organisasi dengan mengajukan ide-ide
baru.
7 Tidak mengakomodasi kreativitas dan
inovasi.
Tepat digunakan pada organisasi yang
membutuhkan kreativitas dan inovasi.
8 Pengambilan keputusan bersifat
birokratis.
Pengambilan keputusan cenderung lebih
praktis karena mengandalkan agilitas
dan pengaruh pemimpin.
9
Sudut pandang neuroscience terapan: followers tidak akan pernah puas
dengan reward yang diberikan
sehingga reward harus selalu
ditambahkan.
Sudut pandang neuroscience terapan: followers memahami alasan harus
bertransformasi sehingga transformasi
tersebut bersifat berkelanjutan
12
Berdasarkan tabel rangkuman tersebut, dapat ditarik suatu pemahaman
bahwa transactional leadership kurang efektif untuk diimplementasikan di era
VUCA. Organisasi membutuhkan leader yang fleksibel serta adaptif. Fleksibilitas
dan adaptabilitas hanya dimiliki oleh transformational leader. Birokrasi dan
peraturan pada transactional leadership cenderung kaku sehingga tidak dapat
mengakomodasi kreativitas, inovasi, serta kebutuhan organisasi untuk memiliki visi
yang baru. Transformational leadership muncul dengan gaya kepemimpinan yang
mampu mengakomodasi aspek-aspek yang menjadi kekurangan dalam transactional
leadership. Dari uraian sebelumnya juga dapat dilihat bahwa kompetensi
transformational leadership sangat (atau cukup) lengkap, mencakup juga beberapa
kompetensi gaya-gaya kepemimpinan konvensional. Sebagai gaya kepemimpinan
masa depan, transformational leadership pada akhirnya diyakini dapat
mentransformasi paradigma dan nilai-nilai dalam organisasi untuk mencapai visi
dan misi secara optimal.
3.2. Analisis Matriks Kompetensi dan Transformational Leadership Tools
Berdasarkan beberapa referensi sebelumnya, terdapat setidaknya lima
pendekatan (tools) yang dapat digunakan dalam mengimplementasikan
transformational leadership, yaitu Driving Force - Resisting Force - Attracting Force
(DRA), Kubler-Ross’ Change Curve, transformasi Jack Welch, transformasi Kotter,
dan transformasi berbasis neuroscience terapan. Masing-masing pendekatan
transformational leadership akan menyasar beberapa kompetensi transformational
leadership. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel 5.
Tabel 5. Keunggulan Neuroscience Terapan
No. Tools
Kompetensi Transformational Leader dan Kemampuan Leadership Lain
Bre
akth
rou
gh
Agilit
y
Em
oti
on
al
Inte
llig
en
ce
Socia
l
Inte
llig
en
ce
Infl
uen
ce
Oth
ers
Com
mu
nic
ati
on
Vis
ion
ary
Pro
ble
m
Solv
ing
Decis
ion
Ma
kin
g
Em
pa
thy
Spir
itu
ality
Coa
ch
ing,
Cou
nselin
g,
dan
Men
tori
ng
Vib
ran
t
1 DRA ✓ ✓ ✓ ✓
2 Kubler-Ross'
✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
3 Jack Welch's
✓ ✓ ✓ ✓ ✓
4 Kotter's ✓ ✓ ✓
5 Neuroscience Terapan
✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
13
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa, dibandingkan dengan pendekatan
lainnya, pendekatan neuroscience terapan menyasar lebih banyak aspek kompetensi
dalam transformational leadership, yaitu breakthrough, agility, kecerdasan emosi,
kecerdasan sosial, kemampuan memengaruhi, komunikasi, visioner, problem
solving, dan pengambilan keputusan, serta beberapa aspek lain yaitu empati,
spiritualitas, coaching, counselling, dan mentoring, serta vibrant. Sementara itu,
pendekatan yang dikemukakan oleh Kubler-Ross dan Jack Welch masing-masing
berada pada urutan kedua dan ketiga dalam menyasar kompetensi transformational
leadership. Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa pendekatan
neuroscience terapan lebih unggul (superior) dibandingkan dengan pendekatan-
pendekatan lain dalam mendorong transformational leadership.
3.3. Mekanisme Transmisi Proses Berpikir
Seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya mengenai sembilan
kompetensi transformational leadership, pada sub-bab ini akan dibahas manfaat
dan cara/mekanisme kerja neuroscience terapan dalam meningkatkan kompetensi
tersebut. Diasumsikan bahwa apabila neuroscience terapan dapat menyasar
kompetensi transformational leadership dengan baik maka tujuan akhir organisasi
yang efektif dapat diupayakan dengan lebih maksimal. Isu utama yang muncul di
tataran operasional adalah banyaknya cara atau jalur transmisi dari intervensi
neuroscience terapan dapat menyasar kompetensi tersebut. Hal ini terkait dengan
cara kerja otak dapat memengaruhi reaksi tubuh, baik secara internal (emosi dan
hormon) maupun secara eksternal (reaksi atau tindakan), yang pada gilirannya
memengaruhi perilaku kepemimpinan.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pemenuhan kompetensi
transformational leadership, sebagai tujuan antara, dapat dicapai dengan adanya
intervensi neuroscience terapan, seperti relaksasi, aktivitas fisik dan otak, affect
labelling, mindfulness, mengelola interaksi, pemahaman preferensi komunikasi,
regulasi SCARF, chunking strategies, pencapaian momen AHA, serta mitigasi bias,
yang dilakukan terhadap pengendalian emosi yang dikeluarkan. Emosi yang
terkelola baik akan memicu keluarnya hormon yang berdampak positif terhadap
reaksi atau perilaku kepemimpinan seseorang.
14
Gambar 1. Mekanisme Pengaruh Neuroscience Terapan dalam
Transformational Leadership
Di mana:
x: Spektrum dasar emosi (Swart, 2015)
y: Hormon (Sinek, 2015)
z: Impact terhadap leadership
Bagian berikutnya akan menguraikan masing-masing mekanisme
neuroscience terapan menyasar kompetensi-kompetensi transformational leadership.
(i). Breakthrough
Dunia yang sarat dengan perubahan menuntut leader untuk selalu
melakukan inovasi agar organisasi dapat bertahan. Inovasi hanya dapat dibuat oleh
seorang leader apabila memiliki kompetensi breakthrough dan mampu memfasilitasi
anggotanya untuk melahirkan breakthrough. Dengan intervensi neuroscience
terapan, leader akan lebih mudah untuk membuat breakthrough.
Gambar 2. Intervensi Neuroscience Terapann untuk Meningkatkan Kompetensi
Breakthrough
Teknik relaksasi seperti berada pada area bernuansa berwarna biru dan
melamun dapat membuat emosi positif, yaitu joy/excitement (kebahagiaan),
terbentuk dan menurunkan emosi fear (ketakutan). Emosi bahagia akan membuat
otak memproduksi hormon dopamin serta menurunkan hormon kortisol pada tubuh
yang berdampak pada munculnya kreativitas serta kemampuan untuk memfasilitasi
perubahan.6 Kedua kemampuan tersebut merupakan indikasi bahwa seorang leader
telah mampu menghasilkan breakthrough.
6 Hormon dopamin pada otak berfungsi sebagai zat kimia pembawa pesan antara sel saraf. Hormon ini dapat meningkat ketika terjadi aktivitas tertentu yang berkaitan dengan hal bahagia atau dipicu beberapa jenis obat-obatan. Dopamin berpengaruh pada rasa menyenangkan dari jatuh cinta, gembira,
Intervensi
Neuroscience
Terapan
Emosi (x) Hormon (y)Impact
terhadap Leadership (z)
Kompetensi TL
Organisasi Efektif
Tujuan Antara Tujuan Akhir Pendekatan Jalur Transmisi
15
(ii). Agility
Seorang leader seringkali dihadapkan pada situasi-situasi baru yang
mengharuskan dirinya untuk selalu dapat menyesuaikan diri. Kemampuan untuk
menyesuaikan diri ini sulit dimiliki oleh leader yang tidak memiliki agility
(kelenturan) baik dalam bersikap maupun dalam belajar dan mengembangkan diri.
Neuroscience terapan memberikan pemahaman mengenai langkah-langkah efektif
untuk mengembangkan agility yang harus dimiliki seorang leader.
Gambar 3. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi
Agility
Aktivitas fisik, seperti olahraga ataupun menari dapat membuat seseorang
merasakan emosi bahagia yang berdampak pada produksi hormon endorfin serta
menurunnya kadar hormon kortisol pada tubuh.7 Perubahan kedua hormon
tersebut menyebabkan leader memiliki kesanggupan untuk memfasilitasi
perubahan, yaitu sebuah kemampuan yang dapat membuat seseorang memiliki
agility. Selain aktivitas fisik, aktivitas otak, seperti permainan melatih otak, juga
dapat membuat otak merasakan emosi bahagia sehingga memicu produksi hormon
dopamin serta menurunkan produksi hormon kortisol. Hal tersebut berdampak pada
kemampuan dan kemauan leader untuk memfasilitasi perubahan yang membuat
leader memiliki agility.
(iii). Emotional Intelligence
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk memahami emosi,
meregulasi emosi untuk tujuan tertentu, dan memiliki empati kepada orang lain.
motivasi, dan rasa percaya diri. Sementara itu, Hormon kortisol atau juga dikenal secara luas sebagai hormon stres, karena hormon ini akan diproduksi lebih banyak saat tubuh mengalami stres, baik fisik maupun emosional. Saat merasa terancam, maka bagian dari otak akan menyalakan alarm tubuh. Hal itu kemudian akan memicu kelenjar adrenal mengeluarkan hormon adrenalin, hal ini bersamaan dengan hormon kortisol.
7 Hormon endorfin adalah pembunuh rasa sakit alami yang dihasilkan oleh otak, hormon ini juga dapat menimbulkan rasa senang atau euforia. Meningkatnya jumlah hormon endorfin akan mengurangi efek buruk dari stres dan rasa sakit, menambah nafsu makan, dan meningkatkan respons kekebalan tubuh.
16
Leader yang tidak memahami cara kerja emosi cenderung bersikap reaktif dalam
menghadapi suatu pemasalahan, spontan terhadap situasi yang dihadapi, dan
emosional dalam mengambil keputusan. Dengan mengetahui cara kerja otak, leader
akan sadar ketika chimp brain (fungsi emosional otak) sedang bekerja, sehingga
leader dapat menekan emosi yang terjadi saat itu dan memiliki pikiran lebih jernih
dan rasional.
Gambar 4. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi
Emotional Intelligence
Affect labelling, yaitu kegiatan mengidentifikasi emosi yang dirasakan, serta
mindfulness meditation merupakan intervensi neuroscience terapan yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan emosi seorang leader. Kedua kegiatan
tersebut dapat menetralkan emosi dengan meningkatnya emosi bahagia dan
menurunnya emosi-emosi negatif yaitu fear, anger, shame, disgust, dan sad.
Perubahan emosi akan memengaruhi produksi hormon yaitu terproduksinya
hormon dopamin serta turunnya kortisol, sehingga leader memiliki kemampuan
untuk meregulasi emosi serta memiliki kontrol diri. Kedua hal tersebut merupakan
indikator bahwa seorang leader memiliki kecerdasan emosi yang baik.
(iv). Social Intelligence
Kecerdasan sosial memiliki peran yang esensial terhadap proses
kepemimpinan. Dengan memahami situasi kemudian mengaktivasi bagian otak
yang tepat untuk digunakan dalam menghadapi setiap situasi, leader akan mampu
berkolaborasi secara efektif dan mencapai tujuan organisasi secara bersama-sama.
Gambar 5. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi
Social Intelligence
17
Kecerdasan sosial dapat ditingkatkan dengan melakukan interaksi dengan
orang lain, misalnya dengan melakukan gathering atau sekadar bercengkrama
dengan rekan kerja. Interaksi positif dengan orang lain menyebabkan otak
merasakan emosi bahagia serta cinta dan kepercayaan. Emosi-emosi positif tersebut
memicu produksi hormon oksitosin yang berfungsi dalam mendorong seseorang
untuk berkolaborasi dengan orang lain serta meregulasi emosi, sekaligus
menyebabkan turunnya kadar hormon kortisol.8 Adanya kemampuan untuk
berkolaborasi dan meregulasi emosi merupakan indikator bahwa seseorang memiliki
kecerdasan emosi yang baik. Selain interaksi positif, pemimipin harus tahu cara
menempatkan diri terhadap posisi SCARF yang dihadapi oleh followers dan rekanan.
Dengan mengetahui suatu stimulus yang diberikan dipandang threat atau reward
oleh followers dan rekanan maka leader akan dapat mengelolanya sehingga hasil
dari situasi tersebut efektif dan dapat diterima.
(v). Communication Skill
Komunikasi adalah suatu proses yang dilakukan dua atau lebih individu
untuk menangkap pesan berupa informasi, pengetahuan, dan lain-lain. Komunikasi
berperan penting dalam hubungan leader dan followers. Komunikasi yang baik
adalah ketika individu yang berinteraksi menangkap informasi yang disampaikan
secara utuh dan berpikiran terbuka tanpa adanya mental block. Mental block yang
terjadi ketika berkomunikasi akan menyebabkan informasi yang didapat menjadi
tidak utuh karena otak secara tidak sadar melakukan deletion (penghapusan)
terhadap informasi yang akan diterima.
Gambar 6. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi
Communication Skill
Leader harus mampu memahami karakter dan mengetahui preferensi
komunikasi followers dan rekanan. Terdapat lima tipe komunikator. Masing-masing
tipe komunikator ini memiliki cara masing-masing dalam menyampaikan maupun
8 Hormon oksitosin berpengaruh pada tingkah laku dan respons emosi juga terlihat dalam membangun ketenangan, kepercayaan, dan stabilitas psikologi.
18
menerima pesan. Melakukan komunikasi yang sesuai dengan preferensi followers
dan rekanan akan mendorong terciptanya emosi positif joy (kebahagiaan) dan
love/trust (cinta/kepercayaan) yang memicu produksi hormon oksitosin dan
menurunkan kadar hormon stres kortisol seseorang. Hal ini membuat leader
memiliki kontrol diri yang baik dan mendorong untuk berkolaborasi. Sehingga,
leader akan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik.
(vi). Influencing Skill
Kemampuan untuk memengaruhi orang lain merupakan salah satu
komponen esensial dalam proses kepemimpinan. Leader harus mampu membuat
followers mau melaksanakan tujuan bersama dengan sepenuh hati dan usaha
penuh. Dengan memahami neuroscience terapan, leader akan paham cara mendapat
simpati dari followers sehingga mereka mau melakukan tujuan bersama dengan
antusias.
Gambar 7. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi
Influencing Skill
Agar mampu memengaruhi orang lain, leader harus mampu mengelola posisi
SCARF orang lain dengan cara mendekatkan posisi tersebut ke arah reward. Hal
tersebut akan berdampak pada emosi leader yang merasakan love dan trust serta
hilangnya emosi negatif yaitu fear dan anger. Perubahan emosi tersebut akan
memicu otak untuk memproduksi hormon oksitosin yang membantu leader dalam
memfasilitasi perubahan serta berkolaborasi serta menurunkan kadar hormon
kortisol. Leader yang mampu melakukan kedua hal tersebut akan mampu
memengaruhi orang lain dengan efektif.
(vii). Vision
Leader harus mampu menerjemahkan visi jangka panjang ke dalam strategi
jangka pendek dan menengah secara eksplisit. Otak akan menjadi fokus dan
tertantang (excitement) terhadap visi tersebut secara sadar maupun tidak sadar.
Fokus untuk mencapai suatu hal ini akan mendorong produksi hormon endorfin
tubuh. Membagi visi ke dalam strategi jangka pendek dan menengah akan membuat
19
fear (ketakutan) terhadap ketidakpastian masa depan akan menurun. Kadar kortisol
pun akan menurun. Capaian jangka pendek dengan beban yang lebih rendah
dipandang sebagai reward yang meningkatkan kadar hormon dopamin. Hal tersebut
akan membantu leader dalam pengambilan keputusan, memfasilitasi perubahan,
dan berkolaborasi sehingga akan mendorong kompetensi transformational
leadership memiliki visi.
Gambar 8. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi
Visionary
Visi yang hanya dimiliki oleh seorang leader tanpa ditularkan kepada
followers akan membuat followers menjadi setengah hati dalam melakukan
pekerjaan yang diamanatkan. Followers akan berpendapat bahwa kepentingan
menjalankan tugas, dan keberhasilan yang didapat hanya menjadi milik leader.
Mereka hanya sebagai pekerja yang harus memenuhi target yang ditetapkan oleh
leader. Transformational leadership menuntut leader untuk mampu menggerakkan
followers dengan membuat suatu visi bersama yang menuntun setiap entitas
organisasi untuk beriringan, dengan ritme yang sama, mencapai tujuan bersama.
(viii). Problem Solving
Problem solving adalah kemampuan untuk menemukan solusi-solusi yang
sebelumnya tidak terpikirkan. Problem solving dapat dicapai apabila otak berada
dalam kondisi rileks. Hal ini dapat pula menjelaskan alasan logis di balik momen
AHA/eureka yang sudah ditemukan sejak dahulu kala. Momen AHA dapat terjadi
ketika seseorang sedang mandi, memasak, maupun melakukan hal-hal lainnya yang
tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Ketika melakukan hal-
hal seperti tersebut di atas tadi, otak sebenarnya merasa rileks.
Gambar 9. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi
Problem Solving
20
Langkah pertama dalam mencapai pemecahan masalah (problem solving)
adalah mengumpulkan data dan informasi mengenai masalah tersebut sebanyak-
banyaknya. Kemudian leader harus berusaha mencapai gelombang alfa dengan cara
melupakan masalah tersebut sejenak dan merasa rileks. Ketika otak sudah merasa
rileks, maka pada saat itulah PFC akan bekerja dengan membuat koneksi-koneksi
dari informasi yang telah dikumpulkan tanpa disadari. Pencapaian momen AHA ini
akan mendorong emosi positif dan menurunkan segala emosi negatif sehingga kadar
hormon dopamin akan meningkat dan kadar hormon kortisol menurun. Hal ini
membuat kreativitas dan kemampuan pengambilan keputusan meningkat dan
mendorong kemampuan problem solving.
(ix). Decision Making Skill
Dalam menentukan suatu pilihan dari berbagai alternatif, dibutuhkan
kemampuan untuk mengidentifikasi nilai-nilai dan preferensi. Keputusan yang baik
merupakan hasil dari kalkulasi, probabilitas kesuksesan, efektivitas, dan
kesesuaian pilihan dengan tujuan dan nilai yang dianut. Dalam membuat
keputusan leader terkadang melakukan bias yang berdampak pada organisasi. Bias
dalam pengambilan keputusan ini dapat dimitigasi dengan melakukan
pertimbangan rasional melalui the SEEDS Model of Bias yang dikembangkan oleh
David Rock. Pengambilan keputusan yang tepat dan minim bias akan memberikan
hasil efektif. Selain dengan mengurangi bias, kemampuan untuk membuat
keputusan dapat ditingkatkan dengan meditasi mindfulness. Meditasi ini hanya
membutuhkan waktu sekitar lima menit. Meditasi mindfulness didasari oleh
pemahaman neuroscience terapan mengenai aktivasi PFC dan nonaktivasi sistem
limbik.
Gambar 10. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan
Kompetensi Decision Making
Mitigasi bias dan mindfulness ini meningkatkan emosi positif joy/excitement
yang mendorong produksi dopamin dan serotonin dan meminimalisasi emosi negatif
21
fear yang mendorong turunnya kadar hormon kortisol.9 Keadaan tersebut akan
berdampak pada pengambilan keputusan seorang leader.
Secara ringkas, mekanisme transmisi pendekatan neuroscience terapan
dalam menyasar setiap kompetensi transformational leadership dapat dipaparkan
melalui gambar 11.
9 Keseimbangan kadar hormon serotonin akan memengaruhi suasana hati yang selanjutnya berperan memicu atau meredakan depresi.
22
Gambar 11. Ringkasan Jalur Transmisi dalam Intervensi Neuroscience Terapan
23
3.4. Aplikasi Neuroscience Terapan dalam Organisasi
Bagian ini menyampaikan beberapa contoh aplikasi neuroscience terapan
dalam lingkungan organisasi, antara lain sebagai berikut:
(i). Rekrutmen dan Seleksi
Agar performa individu dan organisasi menjadi efektif, suatu pekerjaan harus
diberikan sesuai dengan passion dan interest individu tersebut. Hal ini akan
mendorong neurotransmitter mengeluarkan hormon kebahagiaan dan energi
sehingga individu akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengerjakan
pekerjaan yang diberikan. Motivasi yang berasal dari diri sendiri, karena kepedulian
terhadap pekerjaan tersebut (freewill), akan mendorong individu untuk
mengeluarkan usaha maksimal sehingga performanya pun akan maksimal. Apabila
hal ini terjadi maka selain performa organisasi akan terangkat, aktualisasi diri
individu pun akan tercapai.
(ii). Penilaian Kinerja (performance review)
Sifat dasar manusia adalah takut akan ketidakpastian dan perubahan.
Ketidakpastian dan perubahan dipandang manusia sebagai threat (ancaman). Hal
tersebut yang dihadapi followers ketika penilaian kinerja dilakukan. Dalam
melakukan penilaian kinerja, leader harus mampu menurunkan fairness dan status
threat pada followers. Leader harus mampu menurunkan tensi dan mengelola emosi
followers ketika penilaian kinerja berlangsung. Hal ini akan membuat followers
terhindar dari mental block dan defense mechanism sehingga komunikasi menjadi
lebih efektif. Interaksi dua arah yang terjadi akan meminimalisasi peluang
demotivasi followers karena followers merasa didengarkan dan muncul motivasi
untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik.
(iii). Pendidikan dan Pelatihan
Pengembangan pendidikan dan pelatihan dapat dipahami dengan cara otak
merespon aktivitas tertentu. Menurut ilmu neuroscience terapan, olahraga aerobik
merupakan suatu cara efektif untuk meningkatkan keterikatan dan kelengketan
pembelajaran yang diberikan, meningkatkan motivasi, serta menghilangkan stres.
Olahraga secara alami meningkatkan hormon seperti serotonin, dopamin, dan
endorfin, yang merupakan hormon energetik dan bahagia yang dapat mengurangi
depresi dan kecemasan. Selain melalui olahraga, pembelajaran dapat dilakukan
dengan sistem gamification. Gamification membantu menciptakan perasaan bahagia
dan menurunkan kecemasan, sehingga hormon dopamin dan oksitosin terproduksi
24
dan hormon kortisol turun. Hal ini berpengaruh pada ingatan dari hal yang
dipelajari, kemampuan interaksi, serta penurunan stres.
(iv). Remunerasi
Remunerasi dapat diberikan melalui reward finansial dan non-finansial.
Namun, penelitian neuroscience terapan menjelaskan faktor finansial bukanlah
faktor utama yang membuat followers tetap loyal dan performs. Faktor non-finansial
memegang peranan lebih penting dalam motivasi kerja followers. Reward non-
finansial dapat diberikan dengan mendekatkan posisi SCARF ke arah reward.
Reward finansial maupun non-finansial akan membuat otak memproduksi hormon
serotonin dan oksitosin sehingga followers dapat bekerja dengan rileks dan bahagia.
Followers yang menikmati pekerjaan dan bekerja dengan bahagia akan meningkat
performa dan produktivitasnya.
(v). Perumusan Kebijakan
Dalam merumuskan kebijakan yang berkualitas, para leader dapat
menerapkan prinsip neuroscience terapan dan juga kompetensi-kompetensi
transformational leadership yang dapat mendukung kebijakan tersebut. Dalam
kaitan ini, neuroscience terapan dapat membantu leader dengan memberikan
pemahaman mengenai pentingnya perasaan rileks dalam usaha untuk
mendapatkan insight. Neuroscience terapan juga memberikan pemahaman bahwa
seorang leader harus memiliki kesiapan yang baik dan selalu terbuka terhadap
berbagai kemungkinan. Dalam kondisi yang rileks dan penuh persiapan, leader
dapat mengelola potensi ancaman maupun dukungan (reward) dengan baik,
sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan kompetensi
transformational leadership. Dalam kaitan ini, perumusan kebijakan berkaitan
dengan tiga kompetensi outer/leading organization, yaitu visionary, problem solving,
dan decision making.
Kemampuan untuk menciptakan visi dibutuhkan dalam merumuskan
sebuah kebijakan yang berkualitas. Neuroscience terapan memberikan pemahaman
bahwa kebijakan yang menyasar pada sebuah visi yang besar harus dipecah menjadi
rencana-rencana strategis yang lebih kecil. Hal ini akan menyebabkan adanya
capaian-capaian jangka pendek yang akan dipersepsikan capaian sebagai reward
sehingga otak memproduksi hormon dopamin yang terasosiasi dengan memori dan
juga motivasi. Leader juga harus mampu menghindari bias-bias yang dapat terjadi
ketika merumuskan kebijakan. Bias-bias tersebut dapat dimitigasi dengan model
25
SEEDS seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Ketika merumuskan sebuah
kebijakan, seorang leader juga harus menghindari amygdala hijack10 yang dapat
dimitigasi dengan melakukan affect labelling.
(vi). Pembentukan Budaya Kerja
Neuroscience terapan memberikan pemahaman bahwa perubahan tidak bisa
dilakukan dengan rangsangan awal yang berupa threat. Rangsangan awal yang
berupa threat akan mengaktifkan sistem fight or flight pada sistem limbik yang justru
akan membuat followers semakin resisten terhadap pembentukan perilaku yang
baru. Jurnal yang ditulis oleh Steven Tompson (2015) menunjukkan bahwa
rangsangan awal yang berupa pesan pribadi (tailored message) lebih efektif dalam
mengaktifkan ventral medial prefrontal cortex (vmPFC) yaitu bagian yang berfungsi
untuk menentukan seseorang mau melakukan perubahan perilaku atau sebaliknya.
Perilaku yang sudah terbentuk harus dilakukan terus menerus secara konsisten.
Hal ini bertujuan untuk memperkuat sinapsis (sambungan antar saraf) yang
berkaitan dengan pembiasaan perilaku tersebut. Setelah perilaku dapat menjadi
kebiasaan, hal tersebut harus dirayakan dengan reward agar hormon dopamin
terproduksi dan followers termotivasi untuk melakukan perilaku tersebut secara
terus-menerus. Hal yang perlu diperhatikan adalah reward yang diberikan tidak
boleh berupa reward moneter. Reward yang diberikan misalnya dapat berupa
apresiasi.
(vii). Antisipasi Tantangan Masa Depan
Dalam mengantisipasi suatu permasalahan dalam dunia yang VUCA dan
berada di lingkup unknown-unknown ini, diperlukan kesadaran untuk bersifat agile
dan adaptif. Leader harus mampu melihat potensi permasalahan masa depan.
Leader yang bijaksana akan sadar untuk tidak menggunakan cara pikir yang sama
ketika permasalahan berada dalam lingkup known-known. Kunci dalam
menghadapi perubahan adalah learning dan menggunakan growth mindset. Leader
harus mau belajar dan mencari tahu dari berbagai perspektif permasalahan yang
akan dihadapi dan mampu merumuskan visi dan berbagai skenario strategi dalam
menghadapi permasalahan tersebut. Leader dituntut untuk mampu menggerakan
motivasi internal followers sehingga strategi tersebut dapat diterima dan dijalankan.
Strategi yang dijalankan oleh seluruh entitas organisasi akan bersifat inklusif dan
berkelanjutan.
10 Reaksi emosional terhadap suatu stimulus tanpa melalui pertimbangan rasional.
26
4. Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut. Pertama, transformational leadership sangat dibutuhkan karena
merupakan suatu kepemimpinan yang tidak hanya mampu memotivasi dan
menggerakkan organisasi secara vertikal dan horizontal, namun juga mewujudkan
kapasitas organisasi untuk senantiasa agile terhadap dinamika perubahan sesuai
kebutuhan. Dalam kaitan ini, untuk menghadapi tantangan di era VUCA, organisasi
membutuhkan leader yang fleksibel serta adaptif mengingat dunia berubah begitu
cepat. Leader harus senantiasa belajar serta memperbarui visi dan strategi
organisasi apabila tidak ingin tertinggal dari kemajuan zaman. Fleksibilitas dan
adaptabilitas hanya dimiliki oleh transformational leader. Dengan demikian, sebagai
gaya kepemimpinan masa depan, transformational leadership pada akhirnya
diyakini dapat mentransformasi paradigma dan nilai-nilai dalam organisasi dalam
mencapai visi dan misinya secara optimal.
Kedua, secara umum dapat disimpulkan bahwa pendekatan neuroscience
terapan relatif lebih unggul (superior) dibandingkan dengan pendekatan-
pendekatan lain dalam mendorong transformational leadership. Sebagai suatu
pendekatan, neuroscience terapan dapat memberikan pemahaman aktivitas dan
cara kerja otak manusia yang membantu leader untuk memimpin transformasi
organsisasi. Dibandingkan dengan pendekatan lainnya, pendekatan neuroscience
terapan menyasar lebih banyak aspek kompetensi dalam transformational
leadership, yaitu breakthrough, agility, kecerdasan emosi, kecerdasan sosial,
kemampuan memengaruhi, komunikasi, visioner, problem solving, pengambilan
keputusan, serta beberapa aspek lain kepemimpinan yaitu empati, spiritualitas,
coaching, counselling, dan mentoring, serta vibrant.
Ketiga, neuroscience terapan, melalui beberapa jalur dalam mekanisme
transmisinya, mampu secara efektif membantu transformational leader dan anggota
mencapai keadaan physically, emotionally, and mentally safe, serta mendorong
organisasi untuk bertransformasi secara efektif. Dalam hal ini, pemenuhan
kompetensi transformational leadership, sebagai tujuan antara, dapat dicapai
dengan adanya intervensi neuroscience terapan, seperti relaksasi, aktivitas fisik dan
otak, affect labelling, mindfulness, interaksi, pemahaman preferensi komunikasi,
27
regulasi SCARF, chunking strategies, pencapaian momen AHA, serta mitigasi bias,
yang dilakukan terhadap pengendalian emosi yang dikeluarkan. Emosi yang
terkelola baik akan memicu keluarnya hormon yang berdampak positif terhadap
reaksi atau perilaku leadership seseorang.
Terakhir, dari beberapa contoh aplikasi neuroscience terapan dalam
lingkungan organisasi, antara lain rekrutmen, pelatihan, penilaian kinerja,
remunerasi, perumusan kebijakan, pembentukan budaya kerja, dan antisipasi
tantangan masa depan dapat ditunjukkan kelayakan neuroscience terapan sebagai
pendekatan yang handal, tidak hanya dari perspektif keilmuan, namun juga praktik
leadership dalam suatu organisasi.
4.2. Rekomendasi
Untuk mewujudkan visi dan misi organisasi secara efektif di tengah-tengah
tantangan zaman yang semakin berat di masa depan, transformational leadership
perlu diterapkan atau diamalkan oleh semua lapisan pemimpin organisasi, baik
dalam lingkup kecil (pemimpin perusahaan), maupun lingkup luas (pemimpin
masyarakat di tingkat daerah dan nasional). Sebuah organisasi akan siap
bertransformasi apabila dipimpin oleh para leader yang sudah bertransformasi dan
terdapat anggota-anggota yang juga sudah bertransformasi di dalamnya. Terkait
dengan hal tersebut, pemahaman mengenai neuroscience terapan dapat membantu
seorang leader dalam menciptakan sebuah transformasi pada dirinya sendiri, pada
para followers, serta pada organisasi. Pemahaman mengenai neuroscience terapan
dapat dilakukan dengan memanfaatkan cara kerja alamiah keempat bagian otak,
yaitu human brain, chimp brain, computer brain, dan physical brain. Oleh karena itu,
melalui berbagai pelatihan secara terstruktur dan bertahap, para pemimpin di setiap
lapisan organisasi direkomendasikan untuk dapat memaksimalkan kinerja keempat
bagian otak tersebut.
Terlepas adanya klaim bahwa kajian ini secara analitis memberikan
kontribusi yang sangat penting dalam pengaplikasian ilmu/sains dalam konteks
kepemimpinan, khususnya pemetaan mengenai mekanisme kerja transmisi
neuroscience terapan dalam memengaruhi perilaku kepemimpinan, penulis
memandang perlu dilakukan validasi lebih lanjut atas klaim tersebut. Hal ini
sekaligus untuk memastikan kesesuaian, tidak hanya antara aspek teoretis dan
praktik di organisasi, namun juga dengan potret cara otak manusia secara fisik
bekerja. Oleh karena itu, untuk memperkuat hasil kajian mengenai peran penting
28
neuroscience terapan dalam transformational leadership ini, langkah selanjutnya
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, khususnya dengan memperhitungkan hasil
validasi yang dapat dilakukan melalui pengujian di lapangan, antara lain melalui
medical brain-based test dan executive brain assessment. Dalam kaitan ini, penulis
sedang memperdalam kajian ini melalui tes-tes pendukung, yang diharapkan
mampu meyempurnakan berbagai penelitian terkait bidang neuroscience terapan
ini.
29
Referensi
Bass, B. M. (1990). From Transactional to Transformational Leadership: Learning to
Share the Vision. Organizational Dynamics. Vol. 18 (3), 19-31.
Burns, J. M. (1978). Leadership. New York: Harper & Row.
Deloitte. (2015). Leading in the New World of Work Human Capital Trends 2015.
Goleman, D. dan Senge, P. (2014). The Triple Focus: A New Approach to Education.
Florence: More Than Sound Productions.
Koteinkkov, V. (2007). 25 Lessons from Jack Welch Creating the World’s Most
Competitive Enterprise [powerpoint slides]. Diunduh dari
https://www.google.com/search?q=25+lessons+from+jack+welch+ppt&rlz=
1C1CHBD_enID734ID734&oq=25+jack+wel&aqs=chrome.2.69i57j0l3.8351
j0j4&sourceid=chrome&ie=UTF-8.
Kourdi, J. (2015), The Big 100: The 100 Business Tools You Need to Success. UK:
Hachette.
KPMG (2014). Future State 2030: The Megatrend globals Shaping Governments.
Northouse, G. (2007). Leadership Theory and Practice (3rd Edition). Thousand Oak:
London, New Delhe. Sage Publications, Inc.
Peters, S. (2012). The Chimp Paradox: The Science of Minds Management for Success
in Business and in Life. London: Vermilion.
Shahid, S. (2015). Lack of Leadership. Diunduh 23 Maret 2017 dari
http://reports.weforum.org/outlook-global-agenda-2015/top-10-trends-of-
2015/3-lack-of-
leadership/?doing_wp_cron=1500980728.5477719306945800781250.
Simola, S., Barling, J., Turner, N. (2012). Transformational Leadership and Leaders’
Mode of Care Reasoning. Journal of Business Ethics. Vol. 108, 229-237.
Sinek. S. (2015). Leaders Eat Last. Portfolio Penguin.
Susanto, I. (2016). Strategy-Led Transformation Kombinasi Pengetahuan Praktis dan
Praktik Terbaik untuk Keberhasilan Transformasi. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Swart, T., Chisholm, K., dan Brown, P. (2015). Neuroscience for Leadership:
Harnessing the Brain Gain Advantage. New York: Palgrave Macmillan.
Yammarino, F. J., & Bass, B. M. (1990). Transformational Leadership and Multiple
Levels of Analysis. Human Relations. Vol. 43, 975-995.
30
Glosarium
Agile: bergerak dengan cepat dan lincah.
Disruptive: mengacaukan.
Magnitude: kekuatan.
Leadership Pipeline: proses kerja yang kritikal untuk menyediakan leader
berkualitas dan berkelanjutan guna menjawab tantangan masa kini dan masa
depan bagi organisasi.
Engagement: keterikatan, janji/kontrak.
Beyond conventional wisdom: di luar kearifan/cara berpikir konvensional.
Inner: dalam diri.
Others: diri orang lain.
Outer: sistem/lingkungan.
Leading Self: memimpin diri sendiri.
Leading People: memimpin orang lain.
Leading Organization: memimpin sistem/organisasi.
Mind-set: pola pikir.
Brain-based: berdasarkan otak.
Thinking-based: berdasarkan proses berpikir.
Goal-driven: dorongan tujuan.
Vision-driven: dorongan visi.
Task-driven: dorongan orientasi
People-driven: dorongan dari individu.
Default network: jaringan yang bertugas berpikir kreatif di luar kebiasaan.
Reward network: jaringan yang mengaktivasi respon terhadap kesenangan.
Affect network: jaringan yang memiliki peran utama pada emosi.
Control network: jaringan yang terlibat dalam memahami konsekuensi.
Fixed mind-set: pola pikir bahwa kompetensi manusia merupakan bawaan dari
lahir.
Growth mind-set: pola pikir bahwa kompetensi manusia dapat ditingkatkan dengan
dedikasi dan kerja keras.
Laissez faire: jenis kepemimpinan yang memberikan kebebasan bawahan
mengerjakan tugas.
Mindfulness: kondisi kesadaran penuh pada hal yang terjadi saat ini.
31
Chunking strategies: memenggal visi yang besar menjadi strategi/capaian yang
lebih kecil.
Mental block: keadaan ketika seseorang menghadapi hambatan mental dan
psikologis sehingga tidak mampu menghasilkan yang terbaik.
Defense mechanism: strategi yang dipakai individu untuk melawan rangsangan
dari luar yang dianggap sebagai ancaman.
Neurotransmitter: senyawa organik yang membawa sinyal antar saraf.
Gamification: menggunakan permainan dalam suatu aktivitas atau area untuk
meningkatkan motivasi partisipan.
Medical brain-based test: tes yang digunakan untuk melihat aktivitas otak dengan
alat medis/kedokteran.
Executive brain assessment: tes berbasis psikometri yang digunakan untuk
melihat aktivitas otak yang tercermin dari perilaku.