KEPEMIMPINAN KIAI DALAM TRANSFORMASI PENDIDIKAN ISLAM ...
Transcript of KEPEMIMPINAN KIAI DALAM TRANSFORMASI PENDIDIKAN ISLAM ...
386
KEPEMIMPINAN KIAI DALAM TRANSFORMASI PENDIDIKAN ISLAM
(Studi Atas Perilaku Kepemimpinan Kiai dalam Mengelola Pondok Pesantren di Situbondo)
Sulaiman.1
STAI Al-Falah As-Sunniyyah Kencong Jember
Abstract
Teacher of Islam represent religious leader taken as peer by society around. Peer in many matter it is of course, like spiritual tuition, including also as place to consult, to asking for message, asking for religion discourse and others. But in many matter, frequent teacher of Islam of times; rill made by focus, included in solution about Muslim boarding school, education of Islam. This Condition later; then express that Muslim boarding school as subculture in society not merely rendering intellectual human being, more than anything else teacher of Islam as founder, custodian and preserver of Muslim boarding school also represent one who at the same time grad (output) of world education of Muslim boarding school.
Kata Kunci: Perilaku Kepemimpinan Kiai, Transformasi Pendidikan Islam, Mengelola Pondok Pesantren
PENDAHULUAN
Kepemimpinan Kiai merupakan tokoh sentral yang berada di
pondok pesantren dan mempunyai ciri khas yang tersendiri dibandingkan
dengan tokoh pendidikan yang lainnya. Dalam mengembangka podok
pesantren, tentunya kiai mempunyai strategi yang disesuaikan dengan
kapasitas dirinya. Seperti halnya pengembangan, strategi pengkatan SDM
dan strategi kemandirian santri.
Kiai sebagai tokoh sentral dalam tatah kehidupan pesantren,
sekaligus sebagai pemimpin. Kepemimpinan pesantren biasanya berpusat
pada seorang Kiai, hal ini biasanya kiai dalah pemilik, pengelola dan sekagus
1 Dosen Tetap STAI Al-Falah As-Sunniyyah Kencong Jember
387
pengajar di pesantren yang dia pimpin. Namun begitu dalam hal
kepemimpinan ini, setidaknya ada tiga model tipe kepemimpinanpesantren.
Sebagai berikut adalah pertama kemimipinan Kiai kharismatik ke rasional,
kedua otoriter-paternalistik ke diplomatik, dan ketiga dari laissez fairIe
kebirokratik.2
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia
yang memiliki ciri khas tidak ditemukan di lembaga-lembaga yang alain,
telah melahirkan banyak pemimpin, bukan hanya pemimpin agama, tetapi
juga pemimpin-pemimpin masyarakat baik dalam skala lokal samapai skala
nasional. Bahkan pemimpin-pemimpin di negeri ini yang dulunya pernah
mengenyam pendidikan di pesantren. Sehingga tidak benar jika ada
anggapan bahwa pesantren hanya melahirkan seorang kiai atau seorang
ulama.
Berbicara pendidikan tidak akan lepas dari lembaga pendidikan asli
Indonesia memiliki akar tradisi sangat kuat dilingkungan masyarakat
Indonesia yaitu pesantren. Pesantren merupakan produk budaya Indonesia
yang indigenous yang berkembang sejalan dengan proses Islamisasi di
Nusantara. Sebagai lembaga pendidikan Islam. Oleh karena itu tingkat
pendidikan dalam pesantren menjadi salah satu indikator untuk mengukur
kemajuan dan derajat kemakmuran suatu negara serta mengukur besarnya
peranan setiap warganegara dalam kegiatan-kegiatan yang membangun.3
Eksistensi pesantren mempunyai arti dan peran penting dalam
pembagunan bangsa Indonesia. Secara historis, tidak hanya menampilkan
makna keislaman Indonesia. Pesantren di Indonesia dipandang sebagai
lembaga pendidikan Islam yang memiliki watak indigenous (pribumi) lembaga
seperti ini sudah terdapat di Indonesia sebelum datangnya penjajah Belanda,
di samping pusat penyiaran Islam, sejumlah pondok pesantren juga menjadi
2 Zuly Qodir, Ada Apa dengan Pesantren Ngeruki, (Bantul: Pondok Edukasi, 2003), 16.
3 Mastuki HS, Pendidikan Pesantren Antara Normativitas dan Objektivitas, Majalah
Pesantren, Lakpesdam NU. Edisi I/ Th. 1/ 2002, 20.
388
pusat pergerakan nasional untuk melawan penjajah. Sampai sekarang
pondok pesantren merupakan bagian dari sub sistem pendidikan nasional.4
Pondok pesantren adalah yang merupakan bagian dari proses sistem
pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan
makna ke-islam-an, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia.
Lembaga pendidikan Islam, misalnya pondok pesantren merupakan institusi
pendidikan Islam yang mengajarkan dan memperdalam ilmu-ilmu
pendidikan agama Islam.
Sedangankan menurut Abd. Halim Soebahar, pendidikan Islam
merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang wajib dipelihara dan
dipertahannkan keberadaannya karena lembaga ini telah terbukti mampu
mencetak para toko, kiai/ulama, dan sebagainya. Diundangkannya UU No.
20 tahun 2003, PP No. 19 tahun 2005, dan secara khusus adalah
diundangkannya PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan keagamaan
diniyah jelas merupakan peluang dan sekaligus tantangan. Peluang, karena
PP No. 55 tahun 2007 khususnya telah mengakomurdir keberadaan
pendidikan diniyah, madrasah diniyah, pendidikan pesantren dan selainnya,
sedangkan tantangan yang akan dihadapi adalah bagaimana para pengelola
pesantren, pendidikan diniyah dan madrasah diniyah merespon secara
kreatif pemberlakuan PP 55 tahun 2007 tersebut.5
Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut
serta mencerdakan kehidupan bangsa. Terutama di zaman kolonia,
pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat berjasa bagi umat
Islam. Tidak sedikit pemimpin bangsa terutama dari angkatan 1945 adalah
alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesaantren.6
4 Mu’awanah, Manajemen Pesantren Mahasiswa Studi Ma’had UIN Malang, (Yogyakarta:
STAIN Kediri Press, 2009), 2 5 Abd. Halim Soebahar, Matriks Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2009),
164-165. Dah lihat pula UU No. 20 tahun 2003, PP No. 19 tahun 2005, dan PP No. 55 tahun
2007menjelaskan tentang peluang pendidikan agama dan keagamaan/pendidikaan diniyah. 6 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai
Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), 3
389
Eksistensi pesantren tidak terlepas dari peran kiai sebagai pengasuh.
Tingginya status dan besarnya peran kiai dalam pembinaan dan
pengembangan pesantren sebagai pusat pendidikan dan dakwah Isalam,
menjadikan sebagai sosok kiai yang sangat berpengaruh dan disegani di
komonitas pesantren, bahkan terhadap masyarat di luar pesantren. Lebih
dari itu, galibnya kiai dari keturunan ulama besar dan berilmu pengetahuan
yang luas khususnya agama, menjadikan kiai sebagai sosok publik figur dan
tokoh agama yang kharismatik.7
Sentralitas kiai dalam pesantren tidak terbentuk dengan sendirinya.
Tradisi pesantren yang meletakkan kiai sebagai sentral dikarenakan sejak
awal masyarakat, utamanya santri sudah terbangun kesepakatan atau
pertujuan informal bahwa Kiai dianggap representasi keilmuan dan
ketokohan dalam hal moralitas.8
Kiai merupakan pemimpin keagamaan yang dijadikan panutan oleh
masyarakat sekitar. Panutan dalam banyak hal tentunya, seperti bimbingan
rohani, termasuk juga sebagai tempat untuk berkonsultasi, meminta petuah,
meminta siraman rohani dan lain sebagainya. Tapi dalam banyak hal, Kiai
kerapkali dijadikan sorotan, termasuk dalam pembahasan tentang pesantren,
pendidikan Islam. Kondisi ini kemudian mencerminkan bahwa pesantren
sebagai subkultur dalam masyarakat bukan hanya menyumbangkan manusia
intelektual, apalagi Kiai sebagai pendiri, penjaga dan pemelihara pesantren
juga merupakan orang yang sekaligus lulusan (out put) dari dunia pendidikan
pesantren.
Dengan demikian kemampuan kiai di dalam memimpin sebuah
pondok pesantren, mempengaruhi santri dan juga masyarakat sekitar
seringkali diidentikan karena kemampuan pola kepemimpinan kiai yang
7 In’am Sulaiman, Masa Depan Pesantren; Eksistensi Pesantren di Tengah Gelombang
Modernisasi, (Malang: Madani, 2010), 101 8 H. M. Sholehuddin S, Kiai dan Politik Kekuasaan, (Surabaya: FKPI Jawa Timur, 2007),
52-53.
390
bergaya karismatik. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa pola
kepemimpinan karismatik kiai ini adalah merupakan bawaan atau bakat dari
kiai tersebut, namun ada juga yang mengatakan bahwa gaya kepemimpinan
karismatik tersebut adalah hasil didikan dari kiai-kiai sebelumnya.
Kepemimpinan, terdapat tolak ukur tertentu dalam kepemimpinan
pesantren, yaitu kharisma, personaal, relegio-feodalisme, dan kurang
mementingakan kecakapan teknis. Beberapa pesantren besar, sebagaimana
ditunjukkan oleh hasil penelitian Mastuhu, masih cenderung menganut pola
kepemimpinan kharismatik dengan gaya “otoriter-paternalistik”.9
Walaupun gaya kepemimpinan karismatik cenderung otoriter, namun
masih banyak digunakan terutama pada pesantren salaf. Sifat karismatik dan
otoritas yang dimiliki kiai terhadap pengikutnya terutama para santri sering
dipandang negative oleh masyarakat. pengaruh kepemimpinan karismatik
yang dimiliki oleh kiai juga karena adanya karomah yang melekat pada
pribadi kiai. Dimana karomah tersebut bisa berupa ke‟aliman ilmunya,
ketinggian akhlaknya dan juga tentunya keimanannya.10
Bagi umat Islam, kiai tidak saja dinilai sebagai pemimpin informal
yang mempunyai otoritas sentral, tetapi juga sebagai personifikasi penerus
Nabi Muhammad SAW. Predikat kekiaian diberikan oleh masyarakat atas
dasar keunggulan yang dimilikinya, misalnya kedalaman ilmu, keturunan,
dan kekayaan ekonomi. Keunggulan tersebut dipergunakan mereka untuk
untuk mengabdi kepada masyarakat luas.11
Pimpinan pesantren yang memiliki kepemimpinan yang merelakan
dengan kebutuhan sekarang dan masa depan harus pula mampu memahami
kebutuhan akan integrasi pesantren kedalam pendidikan nasional.
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa saat ini pesantren sebagai suatu
9 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKiS, 2008), 170
10 http://creativecommos.org/liseeses/by, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, diakses
2012 11
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Kontruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta:
LKiS Pelagi Aksara, 2007,) 2
391
sistem masih berada diluar pendidikan nasional yang ada. Ia diakui sebagai
satu pendidikan yang hidup di tengah-tengah dan menjadi bagian dari
masyarakat bangsa. Secara potensial, ia merupakan salah satu dari lembaga
pendidikan yang ideal dari bangsa kita, karena kemampuannya
mengembangkan watak mandiri dalam diri para lulusannya selama ini.12
Dari pernyataan diatas jelas bahwa pondok pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang mempunyai kontribusi besar terhadap bangsa dan
negara ini. Karena tidak hanya mengkader syari‟ah Islam, akan tetapi juga
mandiri dalam pola hidup berpikir lebih sederhana. Dan memberikan
kontribus dalam upaya transformasi pendidikan Islam untuk mencapai
sebuh pendidikan yang sempurnah dan mampu memberikan hal yang
sangat signifikan dalam transformasi perubahan.
Kiai memiliki peranan penting dalam perkembangan pesantren.
Peranan (role) adalah tingkah laku individu yang mementaskan suatu
kedudukan tertentu dalam hubungannya dengan individu-individu dalam
kedudukan lain. Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status)
Peranan kiai diartikan sebagai peranan yang dimiliki oleh kiai atas
pesantrennya. Kecuali sebagai pemilik, kiai juga sebagai pemimpin dan
penentu dalam pesantren. Ada beberapa persyaratan yang menjadikan
seorang kiai memiliki pengaruh. Kemudian dengan pengaruh dan
kekuasannya, kiai dapat menentukan setiap langkah dan kebijaksanaan.
A. Kajian Teori Tentang Kepemimpinan Kiai
1. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin yang memiliki arti
mengetuai atau mengepalai rapat, perserikatan, pengarahan. Kata
pemimpin memiliki arti yang sama dengan kata bimbing dan tuntun yang
sama-sama memiliki arti mengarahkan atau memberi petunjuk.
Kepemimpinan erat kaitannya dengan keterampilan atau seni
12 Abdurrahaman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LkiS,
2010,) 191
392
mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu atau seni
mempengaruhi dan menggerakkan orang untuk bekerja secara
terkoordinasi, dimana setiap orang tergerak mengerjakan pekerjaannya
serta menyelesaikan tugasnya dengan baik berdasarkan program yang
telah dicanangkan dalam kinerja keorganisasian secara menyeluruh.13
Menurut R. Kreitner dalam Zaini Muctarom, memberikan
devinisi kepemimpinan (leadership) ialah proses mempengaruhi orang,
dimana pemimpin pengusahakan keikutsertaan bawahan yang dengan
hastrat dan kemauan sendiri berusaha untuk mencapai tujuan
organisasi.14
Keberadaan seorang merupakan hal subtansial dalam suatu
organisasi, baik organisasi pemerintah maupun swasta. Sukses suatu
organisasi ataupun lembaga akan sangat ditentukan pada peranan
pemimpin dalam mengelola sumberdaya organisasi dan menjalankan
segala aktivitas organisasi secara optimal.15
Senada dengan Nur Syam pemimpin adalah “seseorang atau
induvidu yang diberi status bersandarkan pemilihan, keturunan atau cara-
cara lain, sehingga memiliki otoritas kewenangan untuk melakukan
serangkaian tindakan dalam mengatur, mengelola, dan mengarahkan
sekumpulan orang melalui institusi atau organisasi untuk mencapai
tujuan tertentu”. Dalam konteks ini, berarti bahwa pemimpin itu
dilahirkan karena kebutuhan dalam suatu institusi atau organisasi
tertentu. Sedangkan kepemimpinan merupakan aspek dinamis dari
pemimpin, yaitu mengacu pada tindakan-tindakan atau prilaku yang
13
M. Walid, Napak Tilas Kepemimpinan KH.Ach. Muzakky Syah, (Yogyakarta: Absolute
Media, 2010), 11. 14
Zaini Muchtarom, Dasar Dasar Manajemen Dakwa,.. 74. 15
Babun Suharto, Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan Studi Pengaruh
Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional Terhadap Kepuasan Kinerja Bawahan,
(Surabaya: Aprinta Offset, 2006), 33
393
ditampilkan dalam melakukan serangkaian pengelolaan, dan pengarahan
untuk mencapai tujuan.16
Bahwa pemimpin adalah kemampuan memperoleh konsensus
kaitan pada sasaran bersama, melalui syarat-syarat organisasi, yang
dicapai dengan pengalaman, sumbangan, dan keputusan dipihak
kelompok kerja. Istilah dalam memperoleh dalam definisi tersebut
dimaksudkan Cribin sebagai proses pengaruh yang memungkinkan
pemimpin membuat orang-orang (bawahannya) bersedia mengerjakan
apa yang harus dikerjakan, serta mengerjakannya dengan baik. Namun
demikian proses mempengaruhi tersebut jarang berlangsung sepihak.
Sesungguhnya dalam prosesnya akan terjadi saling pengaruh
mempengaruhi dalam rangka berubahan perilaku antara pemimpin dan
yang dipimpinnya.
2. Syarat-Syarat Pemimpin
Syarat-syarat seorang pemimpin dari beberapa sifat yang harus
dimiliki kemampuan sifat, dari sisi lain Sheil Murray Bthel dalam Kustadi
melihat adanya beberapa karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin,
yaitu:
Pertama, Mempunyai misi penting. Seperti halnya Nabi
Muhammad SAW memiliki misi besar dan penting, yaitu menyebarkan
agama Islam agar menjadi Rahmatan lil alamin (rahamat bagi bagi semua
umat semesta alam ini). Kedua, Pemikir besar. Pemimpin adalah publik
pemikiran. Dari dialah muncul ide-ide untuk mewujudkan tujuan yang
besar pula. Ketiga, Mempunyai etika tinggi. Di dalamnya termasuk moral,
intgritas, kejujuran, nilai-nilai, kepercayaan, tugas, kebijaksanaan, loyalitas,
kehormatan, kebaikan, kesetiaan, dan hati nurani.
Keempat, Menguasai perubahan. Pemimpin menciptakan keadaan
yang lebih baik. Kelima, Peka terhadap situasi di sekitarnya. Pengambilan
16 H. Nur Syam sebagaimana dikutip oleh A. Halim, Rr. Suhartini, dkk, edt, Manajemen
Pesantren, (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2005), 77.
394
keputusan selalu dilandaskan pada keadaan disekitar wilayah kerjanya.
Keenam, Berani mengambil risiko. Dalam setiap pengambilan keputusan
selalu ada risiko yang harus dihadapi. Seorang pemimpin harus mampu
dan mengambil dan menerima risiko yang akan timbul atas setiap
pengambilan keputusan. Ketuju, Tegas dalam mengambil keputusan.
Seorang pemimpin mampu mengambil keputusan yang tegas atas
pertimbangannya yang matang. Kedelapan, Menggunakan kekuasaan
secara bijaksana. Kekuasaan seorang pemimpin bukan digunakan hanya
untuk kepuasan kebutuhan pribadi.
Kesembilan, Berkomonikasi secara efektif. Komonikasi adalah
kunci terjalinnya kerja sama yang baik. Kesepulah, Pembangun suatu tim.
Pemimpin yang baik mampu membangun tim yang solid. Di dalam tim
terdapat beragam pemikiran dan karakter, maka pemimpin dituntut
untuk mampu memadukan dan menyatukan pemikiran-pemikiran serta
karakter-karakter tersebut. Kesebelas, Pemberani, pemimpin yang baik
adalah berani menghadapi segala tantangan. Keduabelas, Memiliki
kometmen, bebagai rencana dan keputusan tidak akan berarti jika
pemegang kekuasaan (pemimpin) tidak memiliki kometmen (tanggung
jawab).17
3. Pengertian Kiai
Kata kiai merupakan kata yang sudah cukup akrab di dalam
masyarakat Indonesia. Kiai adalah sebutan bagi alim ulama‘ Islam. Kata
ini merujuk kepada figur tertentu yang memiliki kapasitas dan kapabilitas
yang memadai dalam ilmu-ilmu agama Islam karena kemampuannya yang
tidak diragukan lagi, dalam struktur masyarakat Indonesia, khususnya di
Jawa, figur kiai memperoleh pengakuan akan posisi pentingnya di
masyarakat.
17
Kustadi, Manajemen Pers, 82-83.
395
Sedangkan menurut Hasbullah, dalam bukunya yang berjudul
kapita selekta selekta pendidikan Islam, yang dikutip Jupri Dolong,
“Kiai” adanya kiai dalam pondok pesantren merupakan hal mutlak bagi
sebuah pesantren, sebab dia adalah tokoh sentral (top leader) yang
memberikan pengajaran, karena kiai menjadi salah satu unsur yang paling
dominan dalam kehidupan suatu pesantren, disebabkan karena
kemasyhuran, keahlian dan kedalaman ilmu yang dimilikinya.18
Menurut Dhofier Perkataan „kiai” dalam bahasa jawa dipakai
untuk tiga gelar yang berbeda, diantaranya:
a) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, umpapamanya, “kiai garuda kencana‟‟ dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di Yogyakarta;
b) Gelar kehormatan bagi orang-oarang tua pada umumnya. c) Gelar yang di berikan oleh masyarakat kepada seorang ahli
agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab islam klasik pada santrinya.19
Gelar kiai juga diberikan oleh masyarakat kepada orang-orang
yang mempunyai ilmu pengetahuan dibidang agama serta memimpin
pondok pesantren yang mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada
santrinya. Namun dalam perkembangannya sebutan kiai juga diberikan
kepada orang-orang yang mempunyai kelebihan atau keahlian dibidang
ilmu Agama Islam, ataupun tokoh masyarakat walaupun tidak meminpin
atau memiliki serta memberikan pelajaran di pondok pesantren.
Menurut Mastuhu yang dimaksud dengan kiai adalah kiai
pengasuh pondok pesantren yang menjaga nilai-nilai agama sebagaimana
unsur-unsur sebelumnya (pondok pesantren). Sedangkan Ustadz adalah
18
M. Jufri Dolong, Manajemen Pesantren dan Peningkatan Kualitas Luaran, (Uneversum
Jurnal Ke-Islaman dan Kebudayaan, LP3M STAIN Kediri: Volume 5 No. 1 Januari, 2011 ), 54 19
. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES,
1994), 55
396
santri kiai yang dipercaya untuk mengajar agama kepada para santri dan
disupervisi oleh kiai.20
Bahwa kiai merupakan sebagai pewaris penerus ulama dan
penerus Nabi untuk menjalankan ajaran Islam dan mengajarkan ilmu-
ilmu agama dan syariat Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad saw.
Menurut Endang Turmudi karena kiai adalah yang
berpengetahuan luas yang kepadanya penduduk Desa belajar
pengetahuan, kepandaian dan pengetahuannya yang luas tentang Islam
menyebanbkan kiai selalu mempunyai pengikut bai para pendengar
informal yang senantiasa menghadiri pengajian atau ceramahnya maupun
santri yang tinggal di pondok sekitar rumahnya.21
Juga disebutkan keberhasilan kiai pesantren dalam melakukan
trnsformasi pendidikan dan sosial masyarakat secara total menjadikan
kedudukan kultural pesantren cendrung lebih kuat dari pada
masyarakatnya, Nama besar sebuah pesantren seperti Tebuireng,
Situbondo dan Tegalrejo, Ploso, Jampes, Lirboyo, untuk menyebut
beberapa nama, bukan sekedar menunjukkan kebesaran dan karisma kiai-
kiai pendiri pesantren itu, tetapi juga menujukkan keberhasilan kiai
pesantren bersangkutan dalam melakukan transaformasi masyarakat di
sekitarnya.22
Sedangkan menurut Abdurrahman Wahid dalam Hamdan
Farchan berpendapat, peran kiai sebagai agen budaya (cultur broker) bukan
berarti kiai sebagai makelar budaya. Peranan kiai sebagai agen budaya
karena kiai memiliki peran ganda, satu sisi sebagai pengasuh, pemilik
20
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesatren; Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai
Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Seri Inis xx, 1994), 126. 21
Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dalam Kekuasaan, (Yogyakarta: LKIS, 2004), 95 22
Muhaimin Iskandar, Kiprah Kiai Pondok Pesantren dalam Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: LKIS, 2008), 35
397
pesantren, pembimbing santri, pengayom umat dan peliti, di sisi lain kiai
sebagai asimilator kebudayaan luar yang masuk ke pesantren.23
4. Teori Pendekatan Perilaku Kepemimpinan Kiai
Perilaku adalah sama dengan tingkah laku, tindak tanduk, atau
aktivitas personal manusia. Perilaku kepemimpinan adalah perilaku
khusus/pribadi para pemimpin terkait dengan tugas dan perannya
sebagai seorang pemimpin. Perilaku kepemimpinan dipahami sebagai
suatu kepribadian (personality) seorang pemimpin yang diwujudkan dalam
aktivitas kepemimpinannya dalam kaitannya dengan pengelolaan tugas
dan hubungan dengan bawahan/pengawai untuk mencapai tujuan
organisasi.24
Pada hal tertentu perilaku yang dimaksud dengan teori
kepemimpinan. Dua uneversitas terkemuka, yaitu Uneversitas Ohio dan
Michigan telah melakukan penelitian pada tahun 40 dan 50-an dan
berhasil menyimpulkan dua kelompok perilaku kepemimpinan yang
disaring dari 1.800 tingkah laku kepemimpinan.
Pertama, memberikan perhatian pada manusia. Dalam kelolmpok
perilaku ini, seorang pemimpin memfokuskan pada perhatiannya kepada
hubungan-hubungan sosial yang terwujud dalam beberapa sifat yang
mendasar. (1) benar-benar memberikan perhatian pada kebutuhan–
kebtuhan pengikut. (2) kemauan yang keras untuk memperbaiki keadaan
mereka. (3) mendengar usulan dan koreksi-koreksi mereka. (4) memberi
bantuan pribaddi kepada mereka. (5) memberikan kedukungan terhadap
cita-cita dan ambisi mereka. (6) menjadikan dirinya sebagai baigian dari
mereka. (7) berinteraksi dengan baik dan adil. (8) memperhatikan kondisi
keluarga mereka. (9) memberikan ketenangan dan menjelaskan ketika
23
Hamdan Farchan & Syaifuddin, Titik Tengkar Pesantren; Resolusi Konflik Masyarakat
Pesantren, (Yogyakarta: Pilar Relegia, 2005), 7. 24
Mohammad Karim, Pemimpin Transformasional di Lembanga Pendidikan Islam,
(Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 28.
398
terjadi problem dan musibah.(10) mengikut sertakan mereka
dalammengambil keputusan.
Kedua, Memberikan perhatian kepada pekerjaan. Di sini pemimpin
lebih memfokuskan kepada hasil dan pelaksanaan kerja dengan teliti dan
sempurna dalam batas waktu yang telah ditentukan. Hal itu terwujud
dalam beberapa sifat. (1) menentukan tugas dengan cermat. (2)
membagikan peran kepada orang yang melaksanakannya dengan jelas. (3)
menentukan hal-hal yang diwajibkan, dibolehkan dan yang dilarang
(prosedur dan kebijakan-kebijakan). (4) tugas dalam penetapan perintaah.
(5) mengoptimalkan kerja pegawai.25
Sebagian orang menggunakan perilaku ini secara terus-menerus,
sementaara sebagaian yang lain menggunakannya pada waktu-waktu
tertentu seperti ketikaa terjadi ksrisis.
Perilaku kepemimpinan sering disebut gaya kepemimpinan
(leadership style). penulis ingin lebih spesifik menyinggung perilaku atau
gaya kepemimpinan yang dipergunakan oleh para pimpinan (kiai) di
pesantren antara lain:
Pertama, Kepemimpinan kiai di pondok pesantren menganut
sistem kepemimpinan yang variatif, namun yang seringkali digunakan kiai
didalam pondok pesantren dan memberikan aufklarung (pencerahan) adalah
kepemimpinan strategik.
Kedua, Kepemimpinan strategik adalah strategi-strategi tindakan
pengasuh (kiai) pesantren yang berkaitan erat dengan kurukulum pondok
pesantren, pendekatan belajan dan mengajar, struktur dan proses
perencanaan, pemecahan masalah, pembuatan keputusan dan evaluasi
serta pendayagunaan berbagai layanan baik secara individual maupun
institusional. Kepemimpinan strategik kiai (pengasuh pesantren) juga
ditunjukan oleh kemampuannya menetapkan perioritas isu-isu strategis.
25 Thariq M. As-Suwaidan dan Faisal Umar Basyarahil, Melahirkan Pemimpin Masa
Depan, (Jakarta: Gema Insani, 2005), 105-106
399
Pengasuh pesantren diharapkan aktif menyimak perkembangan global
sehingga mampu mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman yang mungkin muncul setiap saat.26
Selanjutnya, di dalam pesantren. Santri, ustadz dan masyarakat
sekitar merupakan individu-individu yang langsung ataupun tidak
langsung dipengaruhi oleh perilaku pemimpin (kiai) tersebut.
Kepemimpinan di Pesantren lebih menekankan kapada proses
bimbingan, pengarahan dan kasih sayang. Gaya kepemimpinan (leadership
style) yang ditampilkan oleh kiai (pengasuh pesantren) bersifat kolektif
atau kepemimpinan institusional.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kiai sebagai pimpinan
pesantren dalam membimbing para santri atau masyarakat sekitarnya
memakai pendekatan situasional. Hal ini nampak dalam interaksi antara
kiai dan santrinya dalam mendidik, mengajarkan kitab, dan memberikan
nasihat, juga sebagai tempat konsultasi masalah, sehingga seorang kiai
kadang berfungsi pula sebagai orang tua sekaligus guru yang bisa ditemui
tanpa batas waktu.
Secara pokok, kiai sekurang-kurangnya memiliki tiga jenis
kemampuan kepemimpinan sekaligus, yaitu pertama kemampuan tekhnis,
kedua kemampuan konseptuan, dan ketiga kemampuna manajerial.27
Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa kepemimpinan kiai
penuh tanggung jawab, penuh perhatian, penuh daya tarik dan sangat
berpengaruh. Perilaku kiai dapat diamati, dicontoh, dan dimaknai oleh
para pengikutnya (secara langsung) dalam interaksi keseharian. Dengan
kata lain, kiai (pengasuh pondok pesantren) selalu berada dalam
kesadaran yang tinggi bahwa segala perilakunya akan menjadi model
tauladan bagi warga pesantren.
26
Sulthon, Manajemen Pesanren,.. 49 27
Imam Tolkhah Imam dan Ahmad Baziri, Membuka Jendela Pendidikan;Mengurai Akar
Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan. (Yogjakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 71
400
Berkenaan dengan hal ini Allah SWT Mengajarkan kepada
Rasulullah SAW. Agar menjalankan kepemimpinan dengan hikmah
(perkataan yang tegas dan benar) dan memberikan pelajaran yang baik
serta memberikan pengarahan dengan argumentasi yang dapat diterima,
sebagaimana firman-Nya dalam al-Quran surah an-Nahl ayat 125 artinya
sebagai berikut:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan batil) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik"28
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin
dalam berperilaku dipengaruhi paling tidak oleh empat faktor yang
melatarbelakanginya. Pertama, faktor keluarga yang langsung maupun
tidak langsung telah melekat pada dirinya. Kedua, latar belakang
pendidikannya yang sangat berpengaruh dalam pola pikir, pola sikap, dan
tingkah lakunya. Ketiga, pengalaman yang mempengaruhi kebijaksanaan
dan tindakannya. Keempat lingkungan masyarakat sekitar yang akan
menentukan arah yang harus diperankannya.
5. Sifat Kepemimpinan Kiai
Dalam kaitannya dengan perilaku yang tampak pada diri
pemimpin, maka tidak terlepas dari sifat-sifat yang dimiliki oleh
pemimpin tersebut. Sebab antara perilaku dan sifat yang melekat pada
seorang pemimpin tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian mempelajari
perilaku pemimpin sama artinya dengan mempelajari sifat-sifat yang
harus dimiliki oleh para psikologi dan pakar organisasi dalam mengkaji
kepemimpinan dengan cara mengenali karakteristik sifat atau ciri-ciri
pemimpin yang berhasil.
Seorang pemimpin dalam proses kepemimpinannya tidak terlepas
dari pandangan Allah dan Umat (yang dipimpinnya). Pemimpin harus
28 Depag, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Gema Risalah, 1993), (QS An Nahl ayat
125).
401
memiliki tanggungjawab yang tinggi, baik dihadapan Allah maupun
dihadapan manusia. Agar tanggungjawab kepemimpinannya dapat
berjalan dengan baik, maka ia harus memiliki sifat-sifat yang terpuji.
Sifat kepemimpinan yang terpuji. Tentunya mengacu pada sifat-
sifat Rasulullah yang sangat terkenal. Adapun sifat-sifat kepemimpinan
Rasulullah SAW adalah (1) Shidiq (benar), (2) Tabligh (menyampaikan), (3)
Amanah (dapat dipercaya atau jujur), (4) Fathonah (cerdas). Lebih dari itu
keberhasilan kepemimpinan Rasulullah adalah karena ia memiliki akhlaq
yang terpuji (akhlaqul karimah). Empat sifat kepemimpinan Rasulullah
dapat dipahami dengan konteks pemahaman yang lebih luas. Maka secara
umum keempat sifat tersebut akan mengantarkan siapa saja kepada
keberhasilan dalam menjalankan roda kepemimpinannya.
Kaitannya dengan kemajuan dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat sekarang ini, maka sifat-sifat kepemimpinan kiai di persantren
atau pimpinan formil lainnya memiliki beban yang berat. Dengan
demikian seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dalam ilmu
pengetahuan (intelektualitas) karena kecerdasan ini dapat mengangkat
fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan
kepekaan dalam melihat makna yang ada dibalik kenyataan29 daya tahan
mental dan daya tahan fisik.
Sifat-sifat yang disebutkan di atas, memang tidaklah mungkin
dimiliki secara sempurna oleh setiap pemimpin, kecuali pemimpin yang
diangkat dan ditetapkan secara langsung oleh Allah SWT. Seperti para
Rasul dan para Nabi. Kenyataannya tidak sedikit pemimpin yang
memiliki kelemahan dan kekurangan. Namun demikian, semakin kita
mengerti dan memahami siafat-sifat kepemimpinan yang terpuji, maka
dapatlah pemimpin mawas diri dengan berusaha keras meningkatkan
29
Rofiq A, dkk, Pemberdayaan Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), 60
402
kemampuan dan mengikis habis kekurangan dan kelemahan yang ada
pada dirinya.
Keinginan yang jujur untuk memperbaiki diri sendiri bagi seorang
pemimpin sangatlah penting agar tidak lalai dalam menjalankan amanat
yang dipikuilnya. Sebagai pemimpin ia hidup di bawah Pengawasan Allah
dan Manusia. Segala yang dikatakan atau dilakukan pemimpin tidak
terlepas dari pengamatan yang diteliti cermat Allah dan manusia di
sekelilingnya. Tindakan dan perilaku serta ucapannya mengandung pesan,
mengungkapkan makna, atau mengajarkan dan mewariskan sifat-sifat
untuk melakukan sesuatu.
6. Ragam Model Kepemimipinan Kiai
Kepemimpinan adalah proses dimana seseorang atau sekelompok
orang (tim) memainkan pengaruh atas orang lain (tim) lain,
menginspirasi, memotivasi, dan mengarahkan akativitas mereka untuk
mencapai sasaran.30
Ragam dan model Kepemimpinan kiai dapat di artikan sebagai
arah kebutuhan individu yang mendorong beberapa prilaku dalam situasi
kepemimpinan. Ada beberapa tipe atau gaya kepemimpinan yang dikenal
luas dewasa ini,31 antara lain:
a) Kepemimpinan Otoriter
Pemimpin otoriter tidak jarang memberi ruang lingkup sempit
terhadapa kebebasan, kreativitas dan inisiatif bawahan. Bawahan rata-rata
menerima kebijakan fatwa dari kiai dalam melaksakan tanggung jawabnya
sebagai seorang pengabdi. Pengaruh kiai sangat kuat sehingga usul-usul
dan inisiatif pihak bawah hampir tidak ada dan kalau ada hanya sekedar
merupakan suatu usul yang akhirnya masih menunggu kearifan
30
Vincen Gaspersz, Organizational Excelence, (Jakarta: Gramedia, 2007), hal. 35-36 31
M. Walid, Napak Tilas Kepemimpinan KH.Ach. Muzakky Syah, (Yogyakarta: Absolute
Media, 2010), 18.
403
kiai.dengan kata lain, apa yang dilakukan pihak bawahan tidak berani
melampaui kewenangan kiai apa lagi melanggarnya.32
Menurut Walid, kepemimpinan otokratik dalam praktiknya
menggunagakan kepemimpinan yang menuntut ketaatan patuh dari
bawahannya. Dalam menegakkan disiplin, kepemimpinan otokratik
terlihat kaku, bernada keras dalam pemberianperintah atau intruktif dan
menggunakan posotivistik jika terjadi penyimpangan oleh bawahan.33
Sedangkan menurut Sukamto, tipe otoriter yang berlaku dalam
organisasi menimbulkan ketergantungan serius terhadap pemimpin,
suasana lingkungan menjadi kaku, keberhasilan organisasi hanya
ditentukan oleh satu orang saja.34 Gaya kepemimpinan otoriter ini dapat
diterapkan dengan tepat pada organisasi-organisasi yang membutuhkan
disiplin anggotanya secara ketat. Kelebihan tipe ini adalah keputusan
penting dapat dengan cepat dilakukan, sehingga dapat segera
dilaksanakan oleh anggota organisasinya.
b) Kepemimpinan Paternalistik
Pemimpimpin paternalistik yaitu gaya kepemimpinan yang bersifat
kebapakan. Tipe kepemimpinan paternalistik menurut Kartini Kartono
dalam M. walid, memiliki sifat-sifat sebagai berikut. Pertama, menganggap
.bawahannya sebagai manusia yang tidak atau belum dewasa. Kedua,
bersikap terlalu melindungi. Ketiga, jarang memberikan pada bawahannya
untuk mengambil keputusannya sendiri. Keempat, hampir-hampir tidak
pernah memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk berinisiatif.
Kelima, tidak pernah memberikan pada pengikutnya untuk
mengembangkan fantasi dan daya kreatifitas. Keenam, selalu bersikap
lebih tau dari bawahannya. Gaya kepemimpinan seorang yang
paternalistik lebih bercorak pelindung, bapak dan guru. Artinya
32
Sukamto, Kepemimpina Kiai dalam Pesantren, (Jakarta: Pustaka, LP3ES, 1999), 207. 33
Walid, Napak tilas..., 18. 34
Sukamto, Kepemimpinan Kiai.., 34.
404
kebersamaan hanya bagi para anggota organisasi dibawah, sedangkan
pemimpin berada di atas para anggotanya tersebut.35
c) Kepemimpinan Kharismatik
Kepemimpinan kharismatik ialah diartikan sebagai kemampuan
menggerakkan orang lain dengan mendayagunakan keistimewaan atau
kelebihan dalam sifat atau aspek kepribadian yang dimiliki pemimpin,
sehingga menimbulkan rasa menghormati, segan dan kepatuhan.36
Oleh sebab itu kepemimpinan kharismatik yang dimiliki sorang
kiai merupakan bawaan dari perilaku yang dimiliki individu kiai.
Kepemimipinan kharismatik ini diwarnai oleh indikator sangat besarnya
pengaruh sang pemimpin terhadap para pengikutnya. Kepemimimpinan
seperti ini lahir karena pemimpin tersebut mempunyai kelebihan yang
bersifat psikis dan mental serta kemampuan tertentu, sehingga apa yang
diperintahkannya akan dituruti oleh pengikutnya, dan kadangkala tanpa
memerhatikan rasiionalitas dari perintah tersebut. jika dilihat lebih jauh
seakan-akan antara pemimipin dengan pengikutnya seperti ada daya tarik
yang bersifat kebatinan.
Bahkan Khatib Pahlawan Kayo mengatakan, kepemimpinan
kharismatik biasanya menggunakan gaya persuasif dan edukatif. Apabila
dilihat dari kacamata administrasi dan manajemen, sebenarnya
kepemimpinan seperti ini akan jauh lebih behasil apabilah kebetulan
pemimpinnya mendapat kepercayaan pula sebagai pemimpin formal, baik
dalam pemerintahan maupun dalam persatuan dan organisasi
kemasyarakatan.37
d) Kepemimpinan Laissez Faire
35
Sukamto, Kepemimpinan Kiai..., 19. 36
Sukamto, Kepemimpinan Kiai.., 20. 37
RB. Khatib Pahlawan Kayo, Kepemimpinan Islam & Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2005),
58.
405
Kepemimpinan laissez faire lebih besifat praktis. Pemimpin
membiarkan kelompoknya berbuat semua sendiri untuk memajukan dan
mengembangkan organisasi, pemimpin tidak berpartisipasi banyak dalam
kegiatan organisasi. Pengikut atau bawahannya diberikebebasan memiliki
inesiatif sendiri. Pemimpin seperti ini beranggapan, para anggota sudah
mengetahui dan cukup dewasa untuk taat pada peraturan yang berlaku.
Seorang pemimpin seperti ini cendenderung memilih peranan yang pasif
dan membiarkan organisasinya berjalan sendiri dan tanpa banyak
mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan digerakka.38
e) Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan demokratis yaitu menempatkan manusia sebagai
faktor utama dan yang terpenting dalam setiap kelompok. Tipe ini
diwarnai dengan usaha mewujudkan dan mengembangkan hubungan
manusiawi yang efektif berdasarkan prinsip saling menghormati dan
menghargai satu sama yang lainnya.
Menurut Ralph White dan Ronald Lippi yang dikutip M. Walid
mengatakan, tipe kepemimipinan demokratis ini mempunyai karakter
sebagai berikut. Pertama, semua kebijakan menjadi pembahasan
kelompok dan keputusan kelompok dirangsang dan dibantu oleh
pemimpin. Kedua, perspektif aktifitas dicapai selama diskusi berlangsung.
Dilukiskan langkah-langkah umum kearah tujuan kelompok dan apa bila
diperlukan nasehat teknis, maka pemimpin menyarankan dua atau lebih
prosedur-prosedur alternatif yang dapat dipilih. Ketiga, para anggota
bebas bekerja dengan siapa yang mereka kehendaki dan pembagian tugas
terserah kepada kelompok. Keempat, pemimpin bersifat obyektif. Seorang
pemimpin hanya bertidak sebagai mediator atau anggota kelompok tanpa
terlampau banyak melakukan intervensi.39
38
M. Walid, Napak Tilas..., 20. 39
Walid, Napak Tilas, 21-22.
406
Kepemimpinan demokratis pada hakikatnya menjurus pada nilai
kepemimpinan positif yang menggiatkan orang-orang dengan
meningkatkan kepuasan hatinya. Hal yang diperhatikan tidak hanya
semata-mata memberikan perintah, tetapi perintah yang diberikan itu
dijelaskan sesuai dengan kecakapan yang ada pada orang-orang yang akan
mengerjakannya.40
f) Kepemimpinan Responsif
Kepemimpinan responsif sebelumnya, dapat di idealisasikan
sosok pemimpin pesantren resposif sebagai berikut:41
Pertama, pemimpin pesantern yang responsif akan selalu
berpegang kepada prinsip bahwa pesantren merupakan lembaga untuk
memberikan pelayanan kepada komonitas pesantren (satri, wali santri,
dan ustadz) dan masyarakat luas. Kedua, Pemimpin yang responsif akan
senantiasa terbuka dan ikhlas untuk menampung aspirasi dan harapan
masyarakat untuk kemajuan lembaganya. Ketiga, Sebagai pemimpin
kultur, pemimpin pesatren responsif mampu bekerja sama dengan pihak
lain dalam rangka memelihara dan mengayomi budaya pesantren yang
berbasis pada nilai-nilai moral, etika dan spiritual yang Islami. Keempat,
Seperti pemimpin edukatif, pemimpin pesantren yang responsif akan
proaktif dalam menggali informasi tentang teknologi pendidikan
pesantren yang inovatif dan berusaha keras melengkapi sarana dan
prasarana yang diperlukan. Kelima, Pemimpin pesatren responsif juga
kreatif optimal dalam mendayagunakan sarana pendidikan dan
pengajaran pesantren yang terbatas. Keenam, Dengan mengilhami sifat-
sifat kepemimpinan stategik, pemimpin yang responsif berusaha manpu
mengalisis informasi yang sumber dari hasil evaluasi para ustadz atau staf
lain dan selanjutnya meningkatkan kerjasama dengan pihak lain untuk
40
Kayo, Kepemimpinan Islam, 64. 41
M. Sulthon, dan Moh. Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren dalm Perspektif
Global,(Yogyakarta: Laks Bang, PRESSindo, 2006), 59-60.
407
memperbaiki strategi manajemen dengan melakukan proses pembuatan
keputusan yang demokratis. Ketujuh, Pemimpin yang responsif berusaha
waspada terhadap informasi baru yang potensial menimbulkan keresahan
di pesantren setelah mendapatkan pertimbangan dari pihak-pihak terkait
yang kompeten. Kedelapan, Akhirnya, pemimpin yang responsif harus
terbuka terhadap gagasan-gagasan inovatif dan reformatif.
g) Kepemimpinan Kolektif
Tipelogi kepemimpinan yang kolektif bermakna bahwa
kepemimpinan tidak dijalankan oleh orang seorang dalam kapasitas
jabatan apa saja. Tetapi yang adalah kebersamaan, baik dalam
merencanakan program, melaksanakan, melaksanakan kegiatan, maupun
dalam memberikan penilaian terhadap hasil usaha dan pengawasan.42
Kepemimpinan kolektif lebih diwarnai oleh nilai-nilai kolektivitas
yang berbasis keikhlasan dalam bertanggungjawab untuk melaksanakan
amanah. Disini sifat musyawarahsangant mendapat tempat dan dihargai.
Masing-masing yang telah ditunjuk sebagai pelaksana jabatan dalam
organisasi atau persatuan merasa bertanggung jawab untuk melaksanakan
tugas sesuai dengan fungsinya.
Dengan demikian, kepemimpinan kolektif yang biasa juga disebut
dengan istilah kolegial. Tidak hanya tercermin dalam tatanan organisasi
secara formal, tetapi juga tampak dalam dinamika dan interaksi pergaulan
yang penuh dengan nilai ukhuwah islamiyah, sehingga dalam mengambil
kebijakan senantiasa terpadu antara syarah dan ukhuwah yang bermuatan
etika dan moral.
Demikian idealnya kepemimpinan kolektif namun kita berharap
tentu tidak hanya sebtas konsep melainkan benar-benar dapat
diwujudkan dlam operasionalnya. Kita yakin apabila kepemimpinan
kolektif da[at diterapkan dengan baik memang sangat terbuka
42
Pahlawan Kayo, Kepemimpinan Islam,.. 67
408
kemungkinan program-progam besar akan dapat diangkat melalui
berbagai kegiatan dan terobosan, karena apabila kebersamaan telah ada
yang berat mejadi ringan yang jauh menjadi dekat yang berat sama
dipikul yang ringan sama dijinjing.43
h) Kepemimpinan Spiritual
Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang fokus pada
potensi yang terberi (potensi Ilahiyah dan Insaniyah) dalam setiap anggota
organisasi sebagai manusia, senmua itu dilakukan untuk mewujudkan
kesejahteraan kehidupan bersama yang lebih luas tidak terbatas pada
sekat-sekat organisasi yang prosedural.44
Kepemimpinan spritual fungsinya untuk memberdayakan dan
mencerahkan iman dan hati nurani anggota organisasi misalnya melalui
jihad dan hijrah, etos kerjanya untuk mendedikasikan ushanya kepada
Allah dan sesama mausia (ibada), pendekatannya dengan hati norani,
keteladanan, serta mengilhami, membangkitkan, memberdayakan,
memanusiakan, cara memengaruhinya adalah dengan memenangkan jiwa
dan membangkitkan iman, targetnya adalah membangun kasih, menebar
kebijakan dan menyalur rahmat Tuhan, sasarannya adalah spiritualitas
dan hati nurani.
B. Kajian Teori Tentang Transformasi Pendidikan Islam
1. Konsep Transformasi Pendidikan
Transformasi pendidikan Islam memasuki Mellemium ketiga,
banyak masyarakata pada umumnya maupun masyarakat disemua negara
berubah dengan sangat pesat mungkin sekali berubah lebih pesat lagi.ciri
utama perubahan yang sedng terjadi ialah pesatnya perubahan budaya,
sehingga perguruan tinggi atau Universitas-universitas mulai diragukan
kegunaannya.
43
Kayo, Kepemimpinan Islam, 69 44
Karim, Kepemimpinan Transformasional, 21.
409
Perubahan yang sangat pesat ini didorong oleh tiga faktor utama,
yaitu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, faktor
kependudukan, dan faktor ekologi atau lingkungan hidup. Akibat
perubahan yang sanngat pesat yang disebabkan terutama oleh tiga faktorr
tersebut, adanya yang beranggapan bahwa lulusan universitas terlalu
sempit dalam spealisasinya, atau sebaliknya terlalu luas pengetahuannya
tanpa fokus, sehingga dua-duanya tidak siap masuk kedalam bidang-
bidang baru yang menentukan kemampuan nasional untuk bersaing.45
Perubahan yang sangat mendalam dan pesat, mengharuskan
manusia belajar dengan perubahan terus-menerus, dengan ketidaak
pastian, dan dengan unpredictability (kemampuan untuk memperhitungkan
apa yang akan terjadi). Personal yang dihadapi oleh manusia dan kemanusia
tersebut tak pelak juga meliibatkan persoalan pendidikan didalamnya, aitu
sejauh mana pendidikan mampu beperan mengantisipasi dan mengatasii
persoalan itu. Persoalan-persoalan yang dihadapi dunia pendiidikan
tersebut diganmbarkan oleh John Vaizey dengan menyatakan bahwa
setiap orang yang pernah menghadiri konfrensi Internasional di tahun-
tahun terkir ini pasti akan terkejut akan maraknya persoalan pendidikan
yang memenuhi agenda. Makin lama makin jelas bahwa organisasi-
organisasi internasional itu mencerminkan apa yangg terjadi di semua
negara dunia.
Diantara tanggung jawab lembaga pendidikan tinggi membina
mahasiswa supaya berani berdiri sendiri dan berusaha sendiri. Maka
kemampuan berfikir secara mandiri dan kritis (independen critical thingking)
yang menjadi landasan mutlakuntuk semuanya ini tidak hanya
memerlukan kebebasan akademis, tapi juga suatu kebudayaan akademis
yang merangsang berpikir mandiri dan kritis.46
45
Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yoyakarta: Safiria Insania Press, 2004,) 1 46
Sad Iman, Pendidikan Partisipatif,... 2.
410
Tarnsfomasi pendidikan Islam dalam gambaran bagaimana
prospek pendidikan Islam khususnya, lembaga pendidikan Islam di
Indonesia, maka hal pertama yang harus dipahami bahwa, sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnu Khaldum, pendidikan adalah fenomena sosial dan
pelaksanaannya sangat ditentukan oleh kekuatan spitual, intelektual dan
material peradaban masyarakat dimana sisem pendiddikan itu berjaalan.
Oleh sebab itu lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepas dari proses
sosial yang berkembang di negeri ini.47
Transfomasi pendidikan yang perlu disampaikan terhadap
masyarakat luas, karena adanya gejala-gejala sosial yang terjadi di
masyarakat kita. untuk itu maka perlu adanya ketegasan pemerintah
bekerja sama dengan pemerhati pendidikan dan melibatkan langsung
terhadap masyarakat untuk berkecimpung dalam dunia pendidikan untuk
mencerdaskan bangsa.
Menurut kiai Moh. Kholil As‟ad dalam majalah Sidogiri, Bangsa
Indonesia saat ini tengah mengalami penurunan kualitas moral, mulai
dari pelajar yang tidak punya sopan santun, suka tawuran, hobi begadang
kebut-kebutan dijalan. Jenis knakalan remaja yang lain adalah senang
berbohong, bolos sekolah, mencuri, berjudi, pergaulan bebas bahkan
aborsi. Masalah pun semakin banyak. Mulai dari mmasalah kurangnya
kerja sama, lebih suka mementingkan diri sendiri, golongan atau partai,
sampai pada bangsa yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Hal ini tejadi karena pendidikan di Indonesia mengabaikan ahlak dan
belum menyentuh jiwa dan norani pesrta didik. Pendidikan di indonesia
dianggap gagal dalam mencetak generasi yang berkualitas. pada hal Nabi
sudah memberikan contoh bagaiman mendidik yang benar . yang ditata
47
Soebahar, Pendidikan Islam,.... 215
411
pertama kali oleh beliau adalah iman, tauhid dan ibadah. Yang ditata
lebih dahulu adalah rohani48
Tugas transformasi ini memang berat, ibarat kita berenang
melawan arus. Namun pemikiran alternatif akan menjadi kenyataan
apabila kita menjadikannya sebagai ideologi besar yang kemudian mampu
melawan edeologi dominan yang selama ini mendominasi dunia
pendidikn kita. Pendidikan transformatif yang meniscayakan emansipasi
tentu akan menggeser kekuatan ideologi pendidikan yang hanya sekadar
mengalihkan ilmu pengetahuan saja. Transformasi pendidikan disini
menjadi penting karena melihat adanya tantangan yang kuat dalam era
globalisasi saat ini.49
Menurut Abd. Halim Soebahar dalam perspektif sistem
pendidikan nasional (Sisdiknas), wacana pendidikan Islam selalu aktual
dalam mengalami proses transformasi dalam waktu kewaktu. Bayak
argumen yang dapat dikemukakan, salah satunya adalah, karena wacana
pendidikan Islam selalu bersentuhan dengan persoalan umat beragama
yang jumlahnya lebih dua ratus juta, sementara umat Islam bagian
terbesar dari jumlah sebanyak itu. Berbagai pemikiran menyangkut
upaya-upaya pengembangan dalam proses transformasi itu telah
dikembangkan oleh para ahli, yang sudah barang pasti bahwa warna-
warni pemikirannya akan dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai-
nilai yang mereka anut.50
2. Pengertian Pendidikan
Dari segi bahasa pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal, cara
dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang
48
KHR. Moh. Kholil As’ad, Tim Buletin Sidogiri, Kegagalan Sistem Pendidikan,
(Pasuruan: Sidogiri, Edisi 57-1432 h), 23. 49
Musthofa Rembagy, Pendidikan Transformatif Pergulatan Kritis Merumuskan
Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yogyakarta: Teras, 2008), 99. 50
Abd. Halim Soebahar, Transformasi Pendidikan Islam dalam Perspektif Sistem
Pendidikan Nasional; (Jurnal al-Adalah Kajian Keisalman dan Kemasyarakatan, Vol.6. No.3
Desember 2003), 1
412
mendidik, atau pemeliharaan (latihan – latihan dan sebagainya) badan,
batin dan sebagainya.51
Sedangkan dalam bahasa Arab, para pakar pendidikan pada
umumnya menggunakan kata tarbiyah untuk arti pendidikan. Seperti
Ahmad Fuad al-Ahwani dan Muhamamd Munir Mursyi misalnya
menggunakan kata tarbiyah untuk arti pendidikan.52
Penggunaan kata tarbiyah untuk arti pendidikan secara panjang
lebar ditentang oleh Muhamad al-Naquib al-Attas dalam bukunya
berjudul Konsep Pendidikan dalam Islam. Dalam hubungan ini, ia
mengatakan bahwa tarbiyah dalam konotasinya yang sekarang, merupakan
istilah yang relatif baru, yang bisa dikatakan telah dibuat oleh orang-
orang yang mengaitkan dirinya dengan pemikiran modernis. Istilah
tersebut untuk mengungkapkan makna penddikan tanpa memperhatikan
sifatnya yang sebenarnya.
Adapaun pengertian pendidikan dari segi istilah kita dapat
merujuk kepada berbagai sumber yang diberikan para ahli pendidikan.
Dalam Undang-undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI
No. 2 Th.1989) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.53
Selanjutnya bapak pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara
dalam Abuddin Nata, Mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya
untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (keutamaan batin, karakter)
pikiran (intelect) tubuh anak antara satu dengan yang lainnya saling
berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni
51
W. J. S. Pusrwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), 250. 52
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Grapindo Persada, 2000), 286. 53
Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan pelaksanaannya (UU
RI No. 2 Th. 1989)
413
kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didikselaras dengaan
dunianya.54
Dari definisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa pendidikan
adalah merupakan usaha atau proses yang bertujuan untuk membina
kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar ia dapat melakukan
perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Dengan
demikian pendidikan pada intinya menolong manusia agar dapat
menunjukkan eksistensinya secara fungsional ditengah-tengah kehidupan
manusia. Pendidikan demikian akan dapat dirasakan manfaatnya bagi
manusia.
Sedangkan menurut Musthofa Alghuyani dalam Uhbiyati
menyatakan bahwa pendidikan Islam menanamkan ahlak yang mulia di
dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan
air petunjuk dan nasihat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu
kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berujud
keutamaan, kebaikan dan cinta bekrja untuk kemanfaatan tanah air.55
3. Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan dalam arti mikro (sempit) ialah membantu
(secara sadar) perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Fungsi
pendidikan secara makro (luas) ilah sebagai alat: pertama,
pengembangan pribadi. Kedua, pengembangan warga negara. Ketiga,
pengembangan kebudayaan. Keempat, pengembangan bangsa.56
Pada prinsipnya mendidik ialah memberi tuntunan, bantuan,
pertolongan kepada peserta didik. Di dalam pengertian memberi
tuntunan telah tersimpul suatu dasar pengakuan bahwa anak (pihak yang
diberi tuntunan) memiliki daya-daya (potensi) untuk berkembang.
54
Nata, Metodologi Studi Islam, 90. 55
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2005,) 10 56
H. Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), 11.
414
Potensi ini secara berangsur-angsur tumbuh dan berkembang dari dalam
diri anak. Untuk menjamin berkembangnya potensi-potensi agar menjadi
lancar dan terarah, diperlukan pertolongan, tuntunan dari luar.
Bahkan menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Uhbiyati
ialah pendidikan yang memiliki 3 macam fungsi, yaitu:
1) Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan
tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini
terkait erat dengan kelanjutan hidup (suvival) masyarakat sendiri.
2) Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-
peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda.
3) Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan memelihara keutuhan dan
kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup
(survival) suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain, tanpa
nilai-nilai keutuhan (integrity) dan kesatuan (integration) suatu
masyarakat, maka kelanjutan hidup tersebut tidak akan dapat
terpelihara dengan baik yang akhirnya akan berkesudahan dengan
kehancuran masyarakat itu sendiri.57
4. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan dan sasaran pendidikan berbeda-beda menurut pandangan
hidup masing-masing pendidk atau lembanga pendidikan. Oleh
karenanya perlu dirumuskan pandangan hidup Islam yang mengarahkan
tujuan dan sasaran pendidikan Islam.
Untuk itulah, manusia harus didik melalui proses pendidikan
Islam. Berdasarkan pandangan diatas, pendidikan Islam berarti sistem
pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk
memimpin kehidupan sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang
telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiaannya.58
57
Uhbiyati, Ilmu Pendidikan,... 10-11 58
HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 7.
415
Tujuan insidental merupakan peristiwa tertentu yang tidak
direncanakan, akan tetapi dapat dijadikan sasaran dari proses pendidikan
pada tingkat tertentu. Misalnya, peristiwa meletusnya gunung berapi
dapat di jadikan sasaran pendidikan yang mengandung tujuan tertentu,
yaitu memotivasi kemampuan anak didik untuk memahami arti
kekuasaan Tuhan yang harus di yakini kebenarannya. Tahap kemampuan
ini menjadi bagian dari tujuan antara untuk mencapai tujuan akhir
pendidikan.59
Senada dengan Uhbiyati, tujuan yaitu sasaran yang akan dicapai
oleh seseorang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan. Karena
itu tujuan pendidikan Islam, yaitu sasaran yang akan dicapai oleh
seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan pendidikan
Islam.60
Pengertian tujuan pendidikan sebenarnya terlingkup dalam
pengertian pendidikan sebagai secara sadar. Ada usaha yang terhenti
karena mengalami kegalan sebelum mencapai tujuan, namun usaha itu
belum disebut berakhir. Pada umumnya suatu usaha-usaha baru berakhir
kalau tujuan akhir tercapai.61
Namun pendidikan adalah merupakan usaha yang tak henti-
hentinya untuk di dikaji dan di capai sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki. Oleh sebab itu pendidikan Islam merupakan usaha murni dan
ketulusan hati untuk ditekuni dan diniati secara mendalam demi
mewujudkan cita-cita masa depan bangsa. Tujuan pendidikan Islam
membentuk pribadi muslim yang beriman dan bertakwa, beramal dan
berbudi luhur berilmu cakap mempunyai tujuan yang mulia.
Tujuan pendidikan ialah perubahan yang diharapkan pada subyek
didik setelah mengalami proses pendidikan baik tingkah laku individu
59
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, 27. 60
Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, 29 61
Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan,( Bandung: Pustaka Setia, 2007), 61
416
dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dari alam
sekitarnya dimana individu itu hidup. Adapun tujuan atau cita-cita
pendidikan antara satu negara dengan negara lain itu tentu berbeda. Hak
ini disebabkan karena sumber-sumber yang dianut sebagai dasar
penentuan cita-cita itu berbeda.62
Sedangkan menurut Muhammad Athyah al-Abrasyi, dalam Dr.
Ahmad Arifi bahwa mencapai suatu akhlak yang sempurna tujuan
sebenarnya dari tujuan pendidikan Islam. Pendidikan Islam yang
dimaksudkan untuk membenntuk kepribadian-kepribadian muslim yang
memiliki karakter islami (berahlak mulia atau berahlak al-karimah),
bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat yang diwujudkan dalam prilaku
kesehariannya. Hal ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad
SAW, yaitu untuk menyempurnakan ahlak yang mulia (li utammima
makarima al-ahlaq).63
Menurut Abd. Halim Soebahar, bahwa tujuan pendidikan Islam
tersebut diterjemahkan kedalam bahasa pendidikan mutakhir, maka
tujuan-tujuan tersebut maka dapat disebut sebagai tujuan akhir atau “al-
ahdaaf al-ulyaa” yang dapat dijabarkan menjadi tujuan-tujuan yang lebih
spesifik. Dengan kata lain untuk mencapai “kepribadian muslim”.64
Dari beberapa rumusan yang dikemukakan oleh penulis tersebut
diatas, dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam memiliki ciri
sebagai berikut:
1) Mengarahkan manusia agar menjadi kholifah Tuhan di muka bumi
dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas memakmurkan dan
mengola bumi sesuai dengan aturan-aturan dan kehendak Tuhan.
62
Binti Mauanah, Ilmu Pendidikan, (Yogyakatra: Teras, 2009,) 29 63
Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan
Islam di Tengah Arus Globalisasi, (Yogyakarta: Teras, 2009,) 35 64
Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002),
19. Dan lihat juda dalam beberapa bukunya yang berjudul matriks pendidikan Islam, Pendidikan
Islam dan Trand Masa Depan Pemetaan Wacana dan Reorientasi, Jember: Pena Salsabila.
417
2) Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksaan tugas kekhalifahannya
di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Tuhan
Allah SWT., sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
3) Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga iatidak
menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
4) Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya,
sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan ketrampilan yang semua ini
dapat digunakan untuk mendukung tus kepribadian dan
kekhalifahannya.
5) Mengarahkan manusia agar dapat kebahagian hidup dunia dan akhirat.
Tujuan tersebut diatas oleh para ahli dijadikan sebagai tujuan
umum pendidikan Islam. Namun sungguh pun sifatnya umum ia tetap
penting dan menjadi arah pendidikan Isalam. Tujuan umum ini akan
tampak sulit dilaksanakan jika tidak dirinci secara jauh kepada tujuan
yang lebih khusus.65
5. Lembaga Pendidikan Islam
Secara global pendidikan Islam di Indonesia adalah pondok
pesantren dan madrarsah, walaupun seebenarnya selain kedua lembaga
tersebut masih ada lagi yaitu pendidikan tinggi Islam/PTAIN dan
sebagainya. Namun dalam pembahasan ini dibicarakan tentang lembagan
pendidikan Islam yang bernama pondok pesantren sebagai upaya
transformasi pendikan islam pada periode modenr saja, penulis tidak lagi
membahas periode sebelumnya.
Pengertian pondok pesantren terdapat berbagai variatif. Pondok
pesantren adalah lembaga keagamaan, yang memberikan pendidikan dan
pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam.66
Pondok pesantren adalah gabungan dari pondok dan pesantren. Istilah
65
Arifi, Polotik Pendidikan Islam,.. 37 66
M. Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di
Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 80
418
pondok mungkin berasal dari kata funduk, bahasa arabnya berarti rumah
penginapan atau hotel. Akan tetapi dal pesantren di Indonesia, khususnya
di pulau Jawa, lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan
pedepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipeta-petakan bentuk
kamarnya yang berupa asrama bagi santri. Sedangkan istilah pesantren
secara etimologis asalnya pe-santri-an yang berarti tempat santri. Santri
atau murid yang mempelajari ilmu agama dari seorang kiai atau Syaikh di
pondok pesantren. Pondok adalah lembaga keagamaan, yang
memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan
menyebarkan ilmu agama dan Islam.67
Pondok pesantren adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan
dan keagamaan yang ada di Indonesia. Secara lahiriyah, pesantren pada
umumnya merupakan suatu komprlek bangunan yang terdiri rumah Kiai,
Masjid, pondok tempat tinggalpara santri dan ruangan belajar. disinilah
para santrin selama beberapa tahun belajar langsung dari Kiai dalam hal
ilmu agama. Meskipun dewasa ini pondok pesantren telah tumbuh dan
berkembang secara bervariasi.
Pondok pesantren juga berarti suatu lembaga pendidikan dan
pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran
tersebut diberikan dengan cara non klasikal, tetapi dengan sistem
bandongan dan sorogan. Di mana seorang Kiai mengajar santri-santrinya
berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa arab oleh ulama-
ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal
dalam pondok atau asrama pesantren.68
67
Lihat sujoko Prakoso dkk h.11 dan Timur Djalaini HA peningkatan Mutu Pendidikan
Pembangunan Perguruan Agama (Jakarta: Dermaga, 1982), 51, dan Manfred Ziemiek, h.16, dan
Zamakhsyari Dhofier, Treadisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES,
1982), 82. Dan Mulyono Sumardi, Sejarah singkat pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Dharma Bhakti, 1977), 38 68
Ridwan Nasir, Mencari Format Tipologi Pendidikan Ideal,... 81
419
Dunia pesantren ternya tidak seragam. Masing-masing pesantren
memiliki kunikan tersendiri, sehingga sulit dibuat satu perumusan yang
dapat menampung semua pesantren. Akan tetapi pesantren adalah
merupakan lembaga institusi pendidikan Islam yang mempunyai
keanikaragaman tersendiri.
Lebih jelasnya pondok pesantren di Indonesia sangat bervariatif.
Baik dalam sistem pendidikan yang ada dilamnya, sehingga pesantren
mempunyai banyak tepologi dalam sistem pengajaran dan
pembelajarannya. Sehingga menjadi kebanggaan tersendiri bagi pondok
pesantren yang ada di Indonesia, karena pondok pesantren memiliki
kekayaan khas budanya ke-Indonesiaan.
PENUTUP
Ada beberapa perilaku kepemimpinan Kiai dalam mengelola pondok
pesantren sengai upaya trsansformsi pendidikan Islam di Situbondo. Di
atranya ketiga kiai tersebut merupakan adanya perilaku yang bervaiatif.
Selanjutnya, di dalam pesantren. Santri, ustadz dan masyarakat
sekitar merupakan individu-individu yang langsung ataupun tidak langsung
dipengaruhi oleh perilaku pemimpin (kiai) tersebut. Kepemimpinan di
Pesantren lebih menekankan kapada proses bimbingan, pengarahan dan
kasih sayang. Gaya kepemimpinan (leadership style) yang ditampilkan oleh kiai
(pengasuh pesantren) bersifat kolektif atau kepemimpinan institusional.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Kiai sebagai pimpinan
pesantren dalam membimbing para santri atau masyarakat sekitarnya
memakai pendekatan situasional. Hal ini nampak dalam interaksi antara kiai
dan santrinya dalam mendidik, mengajarkan kitab, dan memberikan nasihat,
juga sebagai tempat konsultasi masalah, sehingga seorang kiai kadang
berfungsi pula sebagai orang tua sekaligus guru yang bisa ditemui tanpa
batas waktu.
420
Perilaku kepemimpinan kiai dalam mengelola pondok pesantren di
kabupaten situbondo Kharismatik, domukratis, sebagai berikut: (1) Waro‟
Sederhana (2) Tawadlu‟teringka Laku Santun (3) Menata Hati,
Bershalahwat, Burda, barzanji (3) Alim (4) Kepribadian Unggul (5)
Memegang Prinsip-Prinsip Agama (6) Bermasyarakat, Dekat Dengan Umat
(Masyarakat Bawa),
Pondok pesantren dalam upaya transformasi tiga jalur pendidikan
yang berjalan secara terpadu, ketiga jalur tersebut:
a) Pengembangan Pendidikan Nonformal, ialah melalui (1) Pengajian kitab
Kuning, (2) Majelis Ta‟lim, (3) Pelajaran al-Qur‟an
b) Pengembangan pendidikan Informal, ialah melalui (1) Pengembanga
diklat (pendidikan dan pelatihan), (2) Program khusus Tahfidul Qur‟an,
(3) Pertukangan, (4) Pertanian, (5) Peternakan, (6) Perekonomian, (7)
Komputer, (8) Dakwah dan kepemimpinan, dan (9) Tilawatil Qur‟an
c) Pengembangan Pendidikan Formal
Pendidikan formal yang ada di pondok pesantren Wali Songo,
pondok pesantren Mamba‟ul Hikam dan pondok pesanten Burhanul
Abrar dengan adanya Madrasyah Ibtidaiyah, Madrasyah Tsanawiyah,
Madrasyah dan Madrasyah Aliyah, dan akan direncakan didirikan lembaga
pendidikan perguruan tinggi Islam yang rencananya pada tahun 2012 ini.
Rencana transformasi pendidikan tersebut disesuaikan dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat serta tuntutan zaman. Hal ini
juga didorong oleh keinginan agar pondok pensantren tetap eksis ditengah-
tengah zaman yang selalu berubah. Sedangakan pendidikan keagamaan
seperti Madrasah Diniyah Ula, Madrasah Diniyah Ustho, dan Madrasah
Diniyah Ulya yang dimiliki oleh pondok pesantren.
421
DAFTAR RUJUKAN A‟lah, abd, 2006, Pembaharuan Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren Arifin HM, 2003, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara Arif, Mahmud, 2008, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LkiS Arifi, Muhammad, Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi
Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi, Yogyakarta: Teras Arikunto, Suharsimi, 1996, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
PT Rineka Cipta. _________________, 1987, Prosedur Penelitian, Jakarta: Rosda Karya. As-Suwaidan, Thariq M.dkk, 2005, Melahirrkan Pemimpin Masa Depan, Jakarta:
Gema Insani, A. Halim, Rr. Suhartini, dkk, (edt), 2005, Manajemen Pesantren, Yogyakarta: PT.
LKIS Pelangi Aksara. Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif,
Yogyakarta: Danim, Sudarman, 2005, Menjadi Komunitas Pembelajar (Kepemimpinan
Transformasional Dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran), Jakarta: Bumi Aksara
Depag, Alqur’an dan Terjemahan, 1993, Bandung: Gema Risalah Press. Dhofir, Zamakhsyari, 1994, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai,
Jakarta: LP3S. Djaelani, H. A. Timur, 1983, Peningkatan Mutu Pendidikan Dan Pembangunan
Perguruan Agama Jakarta: Gramedia. Farchan, Hamdan & Syaifuddin, 2005, Titik Tengkar Pesantren; Resolusi Konflik
Masyarakat Pesantren, Yogyakarta: Pilar Relegia. Fatta, fattah, 2008, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT Rosdakarya Gaspersz, Vincen, 2007, Organizational Excelence, Jakarta: Gramedia. Gary Yukl, 1994, Kepemimpinan Dalam Organisasi (Leadership in Organization),
Edisi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Universitas Katolik Indonesia HB Mills dan Huberman, 1980, An Expanded Source Book: Qualitative Data
Analysis, Terjemahan, California: Sage Publication. HS, Mastuki, 2002, Pendidikan Pesantren Antara Normativitas dan Objektivitas,
Majalah Pesantren, Lakpesdam NU. Edisi I/ Th. 1 http://creativecommos.org/liseeses/by, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren,
diakses 2011 Iman, Muis Sad, 2004, Pendidikan Partisipatif, Yoyakarta: Safiria Insania Press. Iskandar, Muhaimin, 2008, Kiprah Kiai Pondok Pesantren Dalam Transformasi
Sosial, Yogyakarta: LKIS. Ihsan, H. Fuad, 1996, Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta. Ihsan, Hamdani, 2007, Filsafat Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia. Iman, Muis Sad, 2004, Pendidikan Partisipatif, Yoyakarta: Safiria Insania Press
422
J. Vredenbregt, 1978, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia.
Karim, Mohammad, 2010, Pemimpin Transformasional di Lembaga Pendidikan Islam, Malang: UIN-Maliki Press.
Kasiram, M, 2004, Steps Of Scientific Research, Refressing Slides, disampaikan dalam Mata Kuliah Penelitian Pendidikan, Malang: Pascasarjana UIN Malang.
Kayo, RB. Khatib Pahlawan,2005, Kepemimpinan Islam & Dakwah, Jakarta: Amzah.
Khalil As‟ad, Moh. KHR. Buletin Sidogiri, Kegagalan Sistem Pendidikan, Pasuruan: Sidogiri, Edisi 57-1432 h
Kustadi, Suhandang, 2007, Manajemen Pers Dakwa Dari Perencanaan Hingga Pengawasan, Bandung: Pemerbit Marja
Locke, E.A., 1997, Esensi Kepemimpinan (Terjemahan), Jakarta: Mitra Utama. M. Sholehuddin S, 2007, Kiai dan Politik Kekasaan, Surabaya: FKPI Waja
Timur. Mastuhu, 1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesatren; Suatu Kajian Tentang Unsur
dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Seri Inis xx. Muchtarom, H. Zaini, 1996, Dasar Dasar Manajemen Dakwa, Yogyakarta: al-
Amin Press. Mu‟awanah, 2009, Manajemen Pesantren Mahasiswa Studi Ma’had UIN Malang,
Yogyakarta: STAIN Kediri Press Munif, Moh. Hasyim, 1992, Pondok Pesantren Berjuang dalam Kancah Kemerdekaan
dan Pembangunan Pedesaan, Surabaya: Sinar Wijaya. Moesa, Ali Maschan, 2007, Nasionalisme Kiai Kontruksi Sosial Berbasis Agama,
Yogyakarta: LKiS Pelagi Aksara Mulyana, Deddy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya, cet. II, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Margono, 2000, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta. Moleong, Lecsy J, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda
Karya. Nata, Abuddin, 2000, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Grapindo Persada Nasution, 1988, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito. Nasir, M. Ridwan, 2005, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok
Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Tim PPS STAIN, 2011, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Jember: Program Pasca
Sarjana STAIN Jember Tim Penyusun Pondok Salafiyah Syafi‟iyah Sukorejo Situbondo, 1994, KHR.
As’ad Samsul Arifin Riwayat Hidup dan Perjuangan, Turmudi, Endang, 2004, Perselingkuhan Kiai dalam Kekuasaan, Yogyakarta:
LKIS.
423
Tolkhah, Imam dan Ahmad Baziri, 2004, Membuka Jendela Pendidikan;Mengurai Akar Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan. Yogjakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Partanto, Puis A dkk, 2001, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola. Patoni, Achmat, 2007, Peran Kiai Pesantren Dalam Partai politik, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan pelaksanaannya
(UU RI No. 2 Th. 1989) Uhbiyati, Nur, 2005, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia Rofiq, A, dkk, 2005, Pemberdayaan Pesantren, Yogjakarta: Pustaka Pesantren. Rembagy, Musthofa, 2008, Pendidikan Transformatif Pergulatan Kritis Merumuskan
Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, Yogyakarta: Teras. Suharto, Babun, 2011, Dari Pesantren Untuk Umat; Reinventing Eksistensi Pesantren
di Era Globalisasi, Surabaya: Imtiaz. Suharto,Babun, 2006, Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan Studi
Pengaruh Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional Terhadap Kepuasan Kinerja Bawahan, Surabaya: Aprinta Offset.
Suhandang, kusnadi, 2007, Manajemen Pers Dakwa Dari Perencanaan Hingga Pengawasan, Bandung: Pemerbit Marja.
Sulaiman, In‟am, 2010, Masa Depan Pesantren; Eksistensi Pesantren di Tengah Gelombang Modernisasi, Malang: Madani.
Soebahar, Abd. Halim, 2003, Transformasi Pendidikan Islam dalam Perspektif Sistem Pendidikan Nasional; (Jurnal al-Adalah Kajian Keisalman dan Kemasyarakatan, Vol.6. No.3 Desember.
Soebahar, Abd. Halim, 2009, Pendidikan Islam dan Trand Masa Depan Pemetaan Wacana dan Reorientasi, Jember: Pena Salsabila.
Soebahar, Abd. Halim, 2002, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Soebahar, Abd. Halim, 1993, Bagaimana Memahami Kurikulum SLTP dan SLTA, Surabaya, Bina Ilmu,
Sudarsono, 1992, Beberapa Pendekatan Dalam Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Gajah Mada Press.
Sukamto, 1999, Kepemimpina Kiai dalam Pesantren, Jakarta: Pustaka, LP3ES. Sulthon, & Khusnuridlo, 2006, Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif
Global,Yogyakarta: Laks Bang, PRESSindo. Sulaiman, Rusdi, dkk, 204, Pondok Pesantren Nurul Jadid Antara Idealisme dan
Pragmatisme, Jember: Madania Suryanto, Dwi, 2007, Transformational Leadership-Terobosan Baru Menjadi Pemimpin
Unggul, (Bandung:Total Data Steembrink, Karel A., 1994, Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Dalam Kurun
Moderen, Jakarta: LP3ES, Robert Bogdan dan J. Steven Taylor dalam Moleong, 2001, Metodologi Penelitian
Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya.
424
Robert C. Bogdan dan Biklen, 1982, Qualitative Researc for Education: An Intriduction to Theory and Methods, Boston.
Walid, M, 2010, Napak Tilas Kepemimpinan KH.Ach. Muzakky Syah, Yogyakarta: Absolute Media.
Wahab, Abdul Aziz, 2008, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan, Bandung: Alfabeta.