KEMATIAN SOMATIK
-
Upload
muthia-zhafira -
Category
Documents
-
view
196 -
download
3
Transcript of KEMATIAN SOMATIK
KEMATIAN SOMATIK
Karbamoil fosfat, ribose mononukleotida asam nukleat
Asam α keton asam amino protein inti sel,
Enzim kompleks, mitokondria,
CO2 Ribosom, kloroplas
H2O sistem kontraktil organel
N2
Piruvat, malat monosakarida polisakarida
supermolekul
Asetat, malonat asam lemak, gliserol lipid
Molekul lingkungan unit pembangunan (BM 100-250) makromolekul
Gambar Organisasi Sel
(Toha, 2005)
Walaupun di dalam tubuh terdapat berbagai jenis sel dengan fungsi-fungsi yang
sangat khusus, semua sel sampai satu taraf tertentu, mempunyai gaya hidup dan
unsure structural yang serupa. Mereka mempunyai keperluan yang sejajar akan zat-
zat seperti oksigen dan suplai zat makanan, bagi suhu, suplai air dan sarana
pembuangan sampah yang konstan. Sel secara harfiah adalah unit kehidupan,
kesatuan lahiriah yang terkecil yang menunjukkan bermacam-macam fenomena yang
berhubungan dengan hidup. Karena itu, sel juga merupakan unit dasar penyakit (Price
& Wilson, 1995).
Perlu ditekankan bahwa setiap sel saling berhubungan satu sama lain melalui
berbagai cara waktu mereka bersatu membentuk jaringan dan organ. Beberapa
jaringan, seperti epitel pembatas atau epitel penutup terdiri dari kelompok sel yang
rapat yang saling melekat erta secara langsung dengan sedikit sekali ruang antara.
Kelompok sel jenis ini adalah lunak dan lentur dan tidak dapat mempertahankan
bentuk organ atau kekuatan seluruh tubuh. Sebenarnya jaringan penyambunglah yang
mempersatukan sel-sel tersebut menjadi tubuh karena jaringan ini memiliki substansi
interselular, secara harfiah jaringan penyambung merupakan zat antar sel. Zat ini
merupakan kolagen yang merupakan suatu protein yang dihasilkan dalam bentuk
serabut yang amat kuat (seperti tendo dan ligamentum) dan elastin yang juga protein
yang dibentuk menjadii serabut, tetapi dengan sifat-sifat kenyal. Di antara serabut-
serabut elastik ini terdapat matriks atau zat dasar seperti agr-agar. Kombinasi serabut
kuat dan serat elastik serta matriks memberikan kekuatan, bentuk dan gaya pegas
pada tubuh. Pada rangaka, zat antar sel ini diisi dengna garam-garam kalsium,
menghasilkan tulang penyokong yang kuat (Price & Wilson, 1995).
Modalitas Cedera Sel
Terdapat banyak cara di mana sel mengalami cedera atau mati, bentuk-bentuk
luka yang penting hanya dibagi dalam beberapa kategori. Dalam keadaan normal, sel-
sel berada dalam keadaan tetap stabil (hemeostatik). Sel-sel bereaksi terhadap
pengaruh yang berlawanan dengan (1) beradaptasi, (2) mengalami jejas reversible
atau (3) menderita jejas yang ireversibel dan mati.
Cara cedera sel (penyebab jejas sel) yakni
1. Hipoksia (penurunan oksigen) timbul sebagai hasil dari
a. Iskemia (kehilangan suplai darah)
b. Oksigenasi inadekuat (misalnya kegagalan kardiorespiratorik)
c. Hilangnya kemampuan darah untuk mengangkut oksigen (misalnya
anemia, keracunan karbon monoksida).
2. Fisika termasuk trauma, panas, dingin, radiasi dan syok elektrik
3. Kimia dan obat-obatan
a. Obat-obat terapeutik (misalnya acetaminophen (Tylenol))
b. Agen non-terapeutik (misalnay timah, alkohol)
4. Infeksi yaitu virus, ricketsia, bakteria, jamur dan parasit
5. Reaksi imunologik
6. Kelainana genetik
7. Ketidakseimbangan gizi
(Robins, 1994).
Empat sistem intraseluler yang mudah terganggu pada jejas sel :
Pemeliharaan keutuhan membrane sel
Respirasi aerobik dan produksi ATP
Sintesis enzim dan protein struktural
Mempertahankan keutuhan apparatus genetik
Sistem-sistem ini saling berkaitan erat, sehingga jejas pada salah satu
mengakibatkan kerusakan sistem lain (Robins, 1994).
Sel yang Diserang
Jika stimulus yang menimbulkan cedera menyerang sebuah sel, maka efek
pertama yang penting adalah apa yang dinamakan lesi biokimiawi. Ini menyangkut
perubahan kimia dari salah satu atau lebih reaksi metabolisme di dalam sel. Bila
kerusakan biokimiawi sudah terjadi, maka sel dapat atau tidak dapat menunjukkan
kelainan fungsi. Sering kali sel memiliki cukup cadangan untuk dapat bekerja tanpa
gangguan fungsi yang berarti; dalam hal lain dapat terjadi kegagalan kontraksi,
sekresi atau kegiatan sel yang lain (Price & Wilson, 1995). Jadi lesi/jejas/trauma
adalah kelainan struktur petologik. Ini dapat makroskopik (yaitu melihat dengan
pemeriksaan mata telanjang) atau mikroskopik (yaitu hanya dapat diketahui dengan
cara mikroskopik yang sesuai) (Lawler, 1992).
Suatu serangan terhadap sel tidak selalu mengakibatkan gangguan fungsi.
Ternyata, terdapat mekanisme adaptasi sel terhadap berbagai gangguan. Misalnya,
suatu reaksi umum yang terjadi pada sel otot yang berada di bawah kerja abnormal
adalah meningkatnya kekuatan dengan pembesaran, proses ini disebut hipertrofi. Jadi
sel-sel otot jantung dari seorang dengan tekanan darah tinggi akan membesar untuk
menanggulangi tekanan memompa melawan tahanan yang meningkat. Jenis adaptasi
serupa terjadi juga pada tantangan kimiawi tertentu. Barbiturat dan zat-zat tertentu
lain biasanya dimetabolisme dalam sel-sel hati, di bawah pengaruh system enzim
yang terdapat dalam sel-sel ini dibantu oleh reticulum endoplasma (Price & Wilson,
1995).
Perubahan Morfologis pada Sel yang Cedera Subletal
Bila sel mengalami cedera tetapi tidak mati, maka sering sel-sel tersebut
menunjukkan perubahan-perubahan morfologis yang sudah dapat dikenali. Secara
potensial perubahan-perubahan subletal ini reversibel. Sebaliknya, perubahan-
perubahan ini mungkin meruapakan suatu langkah kea rah kematian sel. Perubahan
subletal terhadap sel secara tradisional disebut degenerasi atau perubahan
degeneratif. Walaupun tiap sel dalam tubuh dapat menunjukkan perubahan-
perubahan semacam itu, tetapi pada umumnya sel yang terlibat adalah sel-sel yang
aktif secara metabolik, seperti sel hati, ginjal dan jantung. Perubahan-perubahan
degeneratif cenderung melibatkan sitoplasma sel, sedangkan nukleus
mempertahankan integritas mereka selama sel tidak mengalami cedera letal.
Walaupun agen-agen yang menimbulkan luka atau yang menyerang sel sangat
banyak jumlahnya, kelainan morfologis yang diperlihatkan oleh sel agak terbatas
(Price & Wilson, 1995).
Secara mikroskopik perubahan pembengkakan sel tidak nyata dan hanya
menyebabkan sedikit pembesaran sel dan sedikit perubahan susunan. Secara
makroskopik terlihat pembesaran sel dan sedikit perubahan susunan. Secara
makroskopik terlihat pembesaran jaringan atau organ yang bersangkutan, yang
biasanya dapat diketahui oleh karena beratnya sedikit meningkat. JIka bahaya
pembengkakan sel dapat dihilangkan maka setelah beberapa lama sel-sel biasanya
mulai mengeluarkan natrium, dan bersama-sama dengan air, dan volumenya kembali
menjadi normal. Perubahan ini hanya merupakan gangguan ringan dari keadaan
normal (Price & Wilson, 1995).
Perubahan yang lebih penting dari pembengkakan sel sederhana adalah
penimbunan lipid intrasel. Jenis perubahan ini sering dijumpai pada ginjal, otot
jantung, dan khususnya hati. Secara mikroskopik, sitoplasma dari sel-sel yang
terserang tampak bervakuola dengan cara yang sangat mirip dengan yang terlihat
pada perubahan hidropik, tetapi isi vakuola itu adalah lipid bukan air. Pada hati,
banyaknya lipid yang tertimbun di dalam sel sering hebat, sehingga inti sel terdesak
ke suatu sisi dan sitoplasma sel diduduki oleh satu vakoula besar yang berisi lipid.
Secara makroskopik jaringan yang terserang terlihat membengkak, berat bertambah
dan sering terlihat warna kekuningan yang nyata, oleh karena mengandung lipid. Hati
yang terserang dengan hebat seringkali berwarna kuning cerah dan jika disentuh
berlemak. Jenis perubahan ini disebut perubahan berlemak atau degenerasi lemak
atau infiltrasi lemak (Price & Wilson, 1995).
Respon lain dari sel-sel yang terserang adalah pengurangan massa, secara
harfiah merupakan suatu penyusustan. Pengurangan ukuran ssel, jaringan atau organ
yang didapatkan semacam itu, disebut atrofi. Kelihatannya sel atau jaringan yang
atrofi mampu mencapai keseimbangan di bawah keadaan berlawanan yang
dipaksakan padanay karena berkurangnya tuntutan total yang harus dipenuhi. Tentu
saja, jaringan atao organ yang atrofi lebih kecil dari normal (Price & Wilson, 1995).
Kematian Sel
Kerusakan sel dapat terjadi karena bermacam penyebab dan secara struktural
dapat dalam beberapa cara. Kecelakaan awal atau ringan menghasilkan akumulasi
berlebihan metabolit normal (degenerasi) atau akumulasi produk abnormal
(inflitrasi); perubahan ini menunjukkan gangguan fungsional, tetapi reversible jika
faktor penyebabnya dihilangkan. Bila parah atau berlanjut akan terjadi kematian sel.
Penyebab kerusakan sel termasuk hipoksia (biasanya akibat kurangnya suplai darah),
infeksi viral dan bacterial, luka imunologis, toksin, defisiensi enzim, racun kimia dan
agen fisik (dingin, panas, radiasi dan trauma mekanis) (Lawler, 1992).
Jika pengaruh berbahaya pada sebuah sel cukup hebat akan berlangsung cukup
lama, maka sel akan mencapai tititk dimana sel tidak lagi dapat mengkompensasi dan
tidak dapat melangsungkan metabolisme. Proses-proses ini menjadi ireversibel dan
sel sebutulnya mati. Pada saat kematian hipotetik ini, sewaktu sel tepat mencapai titik
di mana sel tidak dapat kembali lagi, secara morfologis tidaka mungkin untuk
mengenali bahwa sel itu sudah mati secara ireversibel. Namun, jika sekelompok sel
yang sudah mencapai keadaan ini masih tetap berada dalam hospes yang hidup
selama beberapa jam saja, amak terjadi ha-hal tambahan yang memungkinkan untuk
mengenali apakah sel-sel atau jaringan tersebut sudah mati. Selain itu, pada saat sel
mati berubah secara kimawi, jaringan hidup yang bersebelahan memberikan respon
terhadap perubahan-perubahan itu dan menimbulkan reaksi peradangan akut (Price &
Wilson, 1995).
Jejas irreversibel adalah perubahan patologik yang menetap (permanen) dan
menyebabkan kematian sel, jejas timbul jika dialami berat atau lama. Sedangkan jejas
reversible adalah perubahan patologik yang dapat kembali jika rangsangan
dihilangkan atau jika penyebebnya ringan. Jejas irreversible ditandai oleh
vakuolisasi berat pada mitokondria, kerusakan membrane plasma yang luas,
pembengkakkan lisosom dan tampak kepadatan yang besar, amorf dalam
mitokondria. Jejas pada membran lisosom menyebabkan kebocoran enzim ke dalam
sitoplasma dan oleh enzim yang telah diaktifkan terjadi digesti enzimatik sel dan
komponen inti, yang mengakibatkan perubahan inti karakteristik untuk kematian sel
(Robins, 1994).
Bila sebuah sel atau sekelompok sel atau jaringan dalam hospes yang hidup
diketahui mati, mereka disebut nekrotik, dimana nekrosis merupakan kematian sel
lokal (Price & Wilson, 1995). Jadi nekrosis (jejas ireversibel) adalah perubahan
morfologik yang mengikuti kematian sel pada jaringan pada jaringan atau organ
hidup. Dua proses penyebab perubahan morfologik dasar nekrosis yakni a) denaturasi
protein dan b) digesti enzimatik organel dan sitosol. Penampilan morfologis jaringan
nekrotik berbeda-beda tergantung pada akbiat kegaiatan litik dalam jaringan mati.
Adapun jenis-jenis nekrosis yakni :
a. Nekrosis koagulatif: jaringan nekrotik akibat hilang suplai darah pada jantung,
ginjal, limpa dan organ lain. Jika kegiatan enzim-enzim litik dihambat oleh
keadaan lokal, maka sel-sel nekrotik itu akan mempertahankan bentuk mereka,
dan jaringannya akan memepertahankan cirri-ciri arsitekturnya selama beberapa
waktu.
b. Nekrosis liquefaktif: sel nekrosik mengalami pencairan akibat kerja enzim,
pada otak dan medulla spinalis
c. Nekrosis kaseosa: sel nekrotik hancur menjadi pecahan yg tidak dapat dicerna
membentuk perkejuan, pada paru.
d. Nekrosis lemak: nekrosis akibat kerja lipase yang mengkatalisa dekomposisi
trigliserida menjadi asam lemak yang berikatan membentuk sabun kalsium.
(Robins, 1994).
Keadaan lokal khusus tertentu dapat menimbulkan jenis nekrosis lain. Jenis-
jenis nekrosis selain diatas ada yang disebut dengan gangrene. Gangren didefinisikan
sebagai nekrosis koagulativa, biasanya disebabkan oleh tidak ada suplai darah disertai
pertumbuhan bakteri saprofit. Gangren timbul pada jaringan nekrotik yang terbuka
terhadap bakteri yang hidup. Ini khususnya sering dijumpai pada ekstremitas atau
pada segmen usus yang nekrotik. Kadang-kadang jaringan berwarna hitam yang
mengkerut dari daerah gangrene pada ekstremitasi dimasukkan golongan gangren
kering sedangkan daerah bagian dalam yang tidak dapat kering disebut gangrene
basah. Kedua keadaan ini melibatkan pertumbuhan bakteri saprofit di atas jaringan
nekrotik (Price & Wilson, 1995).
Nekrosis menunjukkan kematian sel yang tidak reversibel. Perubahan
sitoplasma sering berupa degenerasi, tetapi selain itu terlihat perubahan khas nucleus.
Mula-mula nucleus mengkerut dan menunjukkan penggunpalan dan densitas
kromatinnya meningkat (pyknosis). Membran nulleus kemudian robek, sehingga
terjadi pemisahan kromatin (karyorrhexis). Akhirnya bahan nukleus tercerna dan
hilang. Bila terjadi kematian sel, tampak kekacauan truktur yang parah, dan akhirnya
organel sitoplasma hilang karena dicerna oleh enzim litik intraseluler (autolysis).
Akibat Nekrosis
Tentu saja akibat nekrosis yang paling nyata adalah hilangnya fungsi daerah
yang mati itu. Jika jaringan yang nekrotik itu merupakan sebagian kecil dari organ
dengan cadangan yang besar (umpamanya, ginjal), mungkin tidak ada pengaruh
fungsional pada tubuh. Sebaliknya, jika daerah nekrosis merupakan bagian otak,
maka akibatnya adalah deficit neurologis yang hebat atau bahkan mungkin kematian.
Selain itu, daerah nekrotik dalam beberapa keadaan dapat seperti demam,
leukositosis, dan berbagai gejala subjektif (Price & Wilson, 1995).
Kematian Somatik
Kemaatian seluruh individu disebut kematian somatik, bandingkan dengan
kematian lokal atau nekrosis. Dahulu definisi kematian somatic adalah sederhana.
Seseorang dinyatakan meninggal jika ‘fungsi vital’ berhenti tanpa ada kemungkinan
untuk berfungsi kembali. Jadi, jika seseorang berhenti bernafas dan tidak dapat
diresusitasi, maka jantung dengan cepat berhenti berdenyut sebagai akibat dari
anoksia, dan orang itu tidak dapat disangkal lagi telah mati (Price & Wilson, 1995).
Pengertian tentang kematian mengalami perkembangan dari waktu ke waktu
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kematian dapat dibagi menjadi 2
fase, yaitu: somatic death (kematian somatik) dan biological death (kematian
biologik). Kematian somatik merupakan fase kematian dimana tidak didapati tanda
tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang
menurun dan tidak adanya aktifititas listrik otak pada rekaman EEG. Kematian
somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel
seperti kematian batang otak saja, henti nafas saja atau henti detak jantung saja sudah
dapat dipakai sebagai patokan penentuan kematian manusia. Permasalahan penentuan
saat kematian ini sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter
maupun keluarganya dalam kelanjutan pengobatan (Olif, 2011).
Kematian secara klinis merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi dan
tekanan darah serta hilangnya respons terhadap stimulus eksternal, ditandai dengan
aktivitas listrik otak terhenti. Dengan perkataan lain, kematian merupakan kondisi
terhentinya fungsi jantung, paru-paru, dan kerja otak secara menetap. Sekarat dan
kematian memiliki proses atau tahapan yang sama seperti pada kehilangan dan
berduka (Hidayati, 2008).
Dengan kemajuan teknlogi, maka jika seorang penderita pernafasannya berhenti
dapat dipasang respirator terputus-putus, maka dapat dipasang alat pacu jantung
elektris. Dengan adanya peralatan untuk “mempertahankan hidup” semacam ini,
maka definisi kematian menjadi sangat sulit. Sebenarnya, sebaiknya dijelaskan bahwa
tidak semua sel tubuh mati secara serentak. Sudah dibuat jaringan hidup dari
jaringan-jaringan yang diambil dari mayat. Dalam rumah sakit sekarang ini, definisi
umum tentang kematian somatic menyangkut kegiatan system saraf pusat, khususnya
otak. Jika otak mati, maka kegiatan listrik berhenti dan elektroensefalogramnya
menjadi isoelektris atau mendatar. Jika hilangnya kegiatan listrik terjadi selama
jangka waktu yang sudah ditentukan secara ketat, maka para dokter berwenang
menganggap penderita meninggal walaupun paru dan jantung masih dpat dijalankan
terus secara buatan untuk beberapa lama (Price & Wilson, 1995).
Kematian tubuh terjadi bila fungsi respirasi dan jantung berhenti. Setelah
kematian tubuh aktual terjadi, sel-sel individual tetap hidup selama waktu yang
berbeda-beda. Perubahan yang tidak dapat pulih kemudian terjadi pada sel dan organ,
kadang-kadang sulit untuk membedakan masalah patologis premortem yang pasti.
Perubahan posmormortis (tubuh menjadi dingin), bekuan intravaskular, autolysis
(oleh enzim-enzim pencernaan) dan putrefaksi (pembukusan) (Tambayong, 1999).
Setelah kematian terjadilah perubahan-perubahan yang dinamakan perubahan
postmortem. Karena reaksi kimia dalam otot orang mati, timbul suatu kekakuan yang
dinamakan rigor mortis. Kata algor mortis menunjukkan pada dinginnya mayat,
karena suhu tubuhnya mendekati suhu lingkungan. Perubahan lain disebut livor
mortis atau perubahan warna postmortem. Umumnya perubahan warna semacam itu
disebabkan oleh kenyataan bahawa sirkulasi berhenti, darah di dalam pembuluh
mengambil tempat yang terletak paling bawah dalam tubuh menjadi merah keunguan,
disebabkan oleh bertambahnya kandungan darah. Karena jaringan-jaringan di dalam
mayat itu mati, maka secara mikroskopik enzim-enzim dikeluarkan secara lokal, dan
mulai terjadi reaksi lisis. Reaksi-reaksi ini, disebut otolisis postmortem (secara
harfiah berarti melarutkan diri), yang snagat mirip dengan perubahan-perubahan yang
terlihat pada jaringan nekrotik, tetapi tentu saja, tidak disertai dengan reaksi
peradangan. Akhirnya bila tidak dicegah dengan tindakan tertentu-tertentu (misalnya
pembalseman) bakteri-bakteri kan tumbuh dengan subur dan akan terjadi
pembusukan. Kecepatan mulai timbulnya perubahan postmortem sangat berbeda-
beda, tergantung pada individu maupun pada sifat-sifat lingkunga sekitarnya. Jadi,
penentuan waktu kematian yang tepat, oleh para dikter dalam cerita detektif khayalan
memang hanya merupakan khayalan (Price & Wilson, 1995).
Seseorang dinyatakan mati jika fungsi spontan pernapasan dan jantung telah
berhenti secara pasti/irreversible yaitu misalnya pada kematian normal yang biasa
terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat. Pada keadaan ini, denyut jantung
dan nadi berhenti pada suatu saat ketika jantung ataupun organism lain secara
keseluruhan begitu terpengaruhi oleh penyakit tersebut, sehingga orang yang
bersangkutan tidak mungkin untuk tetap hidup lebih lama lagi. Upaya reusitasi pada
keadaan ini tidak berarti lagi. Upaya resusitasi dilakukan pada keadaan mati klinis
yaitu bila denyut nadi besar (sirkulasi) dan napas berhenti dan diragukan apakah
kedua fungsi spontan jantung dan pernapasan telah berhenti secara pasti/irreversible
misalnya pada kematian mendadak.
Upaya resusitasi darurat ini dapat diakhiri bila:
a. Diketahui kemudian bahwa sesudah dimulai resusitasi, pasien ternyata berda
dalam stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi atau
hampir dapat dipastikan bahwa pasien tidak akan memperoleh kembali fungsi
cerebralnya yaitu sesudah 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normoternia tanpa
resusitasi jantung baru.
b. Terdapat tanda-tanda klinis mati otak yaitu sesudah resusitasi, pasien tetap tidak
sadar, tidak timbul napas spontan dan gag reflex, pupil tetap dilatasi selama
paling sedikit 15-30 menit. Kecuali untuk itu ialah hipotermia atau di bawah
pengaruh barbiturate atau anestesi umum.
c. Terdapat tanda mati jantung yaitu asistole listrik membandel (garis datar pada
EKG) selama paling sedikit 30 menit, meskipun telah dilakukan resusitasi dan
pengobatan optimal.
d. Penolong terlalu lelah sehingga tidak dapat melanjutkan upaya resusitasi.
(Hanafiah & Amir, 2007).
Diagnosis mati batang otak (MBO)
Ada 3 langkah untuk menegakkan diagnosis MBO ;
a. Menyakini bahwa telah terdapat pra kondisi tertentu,
b. Menyingkirkan penyebab koma dengan henti napas yang irreversible,
c. Memastikan refleksia batang otak dan henti napas yang menetap. Bila setiap
kasus didekati secara sistematis, tak akan terjadi keselahan. Bila setiap kasus
didekati secara sistematis, tak akan terjadi kesalahan.
Terdapat dua pra kondisi yang diperlukan ;
a. Bahwa pasien dalam keadaan koma dan henti napas yaitu tidak responsive dan
dibantu ventilator;
b. Bahwa penyebabnya adalah kerusakan otak structural yang tidak dapat
diperbaiki lagi yang disebabkan oleh ganguan yang dapat menuju MBO.
(Hanafiah & Amir, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah, J & Amir, A. 2007. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta.
Hidayat, A. 2008. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik Untuk Kebidanan Edisi 2. Salemba Medika. Jakarta.
Lawler, W dkk. 1992. Buku Pintar Patologi untuk Kedokteran Gigi. EGC. Jakarta.
Olif. 2012. Eusthanasia.http://olifdwi.blogspot.comDiakses tanggal 13 Maret 2013.
Price, S.A & Wilson, L.M. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta.
Robins, S.L dkk. Dasar Patologik Penyakit Jilid Satu. Binarupa Aksara. Jakarta.
Tambayong, Jay. 1999. Patofisiologi utk keperawatan. EGC. Jakarta.
Toha, A.H. Biokimia Metabolisme Biomolekul. Alfabet. Bandung.
MAKALAH PATOLOGI KLINIK
CEDERA DAN KEMATIAN SEL
“KEMATIAN SOMATIK”
Disusun oleh :
OKTA MUTHIA SARI
J1E111007
PROGRAM STUDI S-1 FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2013