KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN PADA PERIODE KE-IV DINASTI …
Transcript of KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN PADA PERIODE KE-IV DINASTI …
1
KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN PADA PERIODEKE-IV DINASTI ABBASIYAH
Skripsi ini Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untukMemenuhi Syarat Memperolah Gelar Sarjana Humaniora
Oleh:
SITI RAUDHOHNIM: 103022027524
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA2009
2
ABSTRAKSI
SITI RAUDHOH: Kemajuan Ilmu Pengetahuan pada Periode ke-IV DinastiAbbasiyah. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Didin Saefuddin. Jurusan Sejarah danPeradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri SyarifHidyatullah Jakarta 2009.
Dalam skripsi ini, penulis meneliti tentang perkembangan Ilmu pengetahuan padaperiode ke-IV Dinasti Abbasiyah (447-656 H/ 1055-1258 M) atau tepatnya ketikadinasti itu dikuasai oleh Kaum Saljuk. Pembahasan penelitian ini mencakupkemajuan dalam bidang ilmu-ilmu Islam seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih,dan ilmu kalam dan juga kemajuan sains meliputi astronomi, kedokteran,matematika, fisika dan kimia.
Penulis menfokuskan penelitian ini pada kemajuan-kemajuan yang mencakuptokoh-tokoh yang lahir pada masa itu atau tokoh-tokoh yang pernah menghabiskansebagian (besar) kehidupannya di daerah kekuasaan Dinasti Saljuk, meskipunberasal dari daerah lain misalnya Andalusia. Penelitian ini juga mengeksplorasikarya-karya, temuan-temuan ilmiah, teori-teori orisinal, kegiatan-kegiatan ilmiah,dan lain sebagainya yang ada pada rentang periode kekuasaan Dinasti Abbasiyahperiod ke-IV.
Dikarenakan hasil laporan penelitian (skripsi) ini dikategorikan sebagai karyahistoris, maka penelitian ini menggunakan pendekatan historis. Metode yangdigunakan adalah deskriptif-analitis. Jenis penelitian yang akan digunakan dalampenelitian ini adalah kepustakaan (library research) yang pengumpulan data-datanya terfokus pada rekaman-rekaman sejarah yang tersedia di perpustakaanberupa buku, jurnal, artikel dan lain semacamnya.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan baik ilmu-ilmu Islam maupun sains terus berlangsung hingga selesainya periode ke-IV DinastiAbbasiyah. Ini otomatis menepis asumsi dan pandangan bahwa masa keemasanDinasti Abbasiyah hanya sampai ketika al-Mutawakkil (847 M) naik tahta dansetelah kekuasaannya berakhir, hanya meninggalkan masa kemunduran Islam.Bahkan sebagaimana dituturkan dan dibuktikan oleh sebagian sejarawan bahwaabad ke-X dan ke-XI adalah masa perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islammenemukan kematangannya dan keorisinilan hasil-hasil pemikirannya danpenelitiannya meskipun dari segi kepesatan dan kecepatan perkembangan tidakseperti masa-masa sebelumnya.
Kata Kunci: Dinasti Abbasiyah Periode ke-IV, Saljuk, Ilmu Pengetahuan, Ilmu-ilmu Islam, Sains.
3
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah SWT yang menciptakan dan membuat semua adaSalawat dan salam bagi Rasulluah SAW yang membawa Islam dan kedamaian
Skripsi ini ditulis dan diajukan kepada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum). Dalam
proses penyelesaian karya ini, banyak orang yang terlibat dan berkontribusi besar.
Dan dalam proses penyelesaian studi penulis, juga terdapat banyak orang yang ikut
mewarnai dan merasakan haru-biru kehidupan kampus, seperti berorganisasi,
berinteraksi, nongkrong, belajar di kelas, dan lain sebagainya. Sebagian dari
mereka adalah:
Dr. H. Abdul Chair selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. Dra. Hj.
Tati Hartimah, MA selaku Pembantu Dekan I. Nawawi M.Ag. selaku Pembantu
Dekan II. Dr. Abdullah, M.Ag selaku Pembantu Dekan III. Terima kasih tidak
terhingga kepada mereka yang telah memimpin fakultas dan menjamin kelancaran
aktivitas akademik.
Drs H.M. Ma’ruf Misbah, M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam. Usep Abdul Matin, S.Ag., M.A., M.A. selaku Sekretaris Jurusan
Sejarah dan Peradaban Islam. Penulis haturkan terima kasih karena telah memimpin
jurusan tercinta ke arah yang lebih gemerlap.
Penulis merasa berhutang budi dan mengucapakan banyak terima kasih
kepada Prof. Dr. Didin Saefuddin, M.A. yang telah mebimbing penulis selama
4
proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. Beliaulah yang dengan sabar dan
tidak henti-hentinya mengoreksi baik kesalahan mendasar maupun kesalahan yang
remeh karya penulis hingga layak untuk diujikan.
Penulis merasa berterima kasih sekali kepada Dra. Hj. Tati Hartimah, M.A.
yang telah menguji dan mengkritisi skripsi ini, sehingga penulis mendapat
pengetahuan baru dan sadar akan kesalahan yang penulis buat dalam penulisan
karya ini. Terima kasih sekali lagi kepada Ibu Tati karena juga meminjamkan buku-
buku yang merupakan referensi utama penelitian ini, sehingga penelitian ini
menjadi patut disebut sebagai tiket memperoleh gelar akademis penulis.
Kepada keluarga tercinta, Bapakku Hamidi Mursan, Ibuku Rojanah, tetehku
Mariatul Qibtiyah, Abangku Salman al-Farisi, Adik-adikku Nurdin Ar-Raniri,
Hamzah Fansuri, Rihlatul Hayati, Ahmad Filaluddin, Encinggku Faridah, Syahril,
Muhammad Abduh, Samlawi, Nyai Hj. Fatimah, Nyai Halimah, Engkong Murtab,
dan sepupu-sepupuku yang lucu-lucu, Nur Amazidah Farhah, Fitriani Sabrina, Zilfa
Ibadiyah Hanifah, Bassam Abdul Wasik. Terima Kasih sedalam lautan, sebesar
jagat, setinggi angkasa, tanpa kalian aku tidak mungkin ada dan bahagia.
Kepada yang tersayang, AA Abdurrosyid, S.S., M.Hum. yang telah
membantu ADE menyelesaikan tugas akhir ini. AA makasih ya, telah membacakan
buku-buku berbahasa Inggris dan Arab, menolong mengarahkan penelitian ini, dan
mencarikan referensi-referensinya. Akan tetapi dari semua itu hal yang terpenting
adalah AA adalah ADE dan ADE adalah AA!
Terimakasih tidak berbilang kepada teman-teman sekelas dan sejurusan,
Dena Nurjanah, Yastri Rustinah, Sulistiana, Robiatul Adawiyah, Babay F., Nuril
5
M.F., Willy Ahmadi, Nurhairi P., Awal, Agus, Dodi, Riyanto, Roby, Imam, dan
mereka yang tidak sempat penulis sebutkan.
Terma Kasih kepada mereka yang telah sama-sama nimbrung di HMI dan
Kohati, Elly, Dea, Sella, Dini, Eza, Udin, Chido, Indah, Cut, Syifa Arab, Erik,
Agung dan mereka-mereka yang belum keingetan saat ngetik. Dan temen-temen
kosanku yang selalu menghiburku saat gundah-gulana, tankyu ya Farhanah, Evi,
Alfi, Murni, Indri, Teh Atik,Nuri, Neli, Mbak Mur, Ida, Linda, Rini, Icha dan lain-
lain yang telah mau nemenin aku, ngajak masak aku, ngibur aku, dan shopping
bareng aku.
Kepada mereka yang belum dan luput penulis sebutkan, penulis haturkan
rasa terima kasih sedalam-dalamnya. Last but not least, penulis merasa perlu
meminta dan menyambut baik semua kritik konstruktif terhadap karya ini, karena
penulis sadar bahwa kesalahan adalah hal yang pasti baginya dan kebenaran adalah
satu dan selalu milikNya.
Ciputat, 25 Juni 2009
S.R.
6
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Perumusan dan Ruang Lingkup Masalah .............................. 8
C. Tujuan Penelitian dan Penulisan .......................................... 11
D. Metode Penelitian dan Penulisan........................................... 13
E. Tinjauan Pustaka .................................................................. 14
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 18
BAB II DINASTI ABBASIYAH PERIODE KE-IV
A. Kondisi Dinasti Abbasiyah Periode Ke-IV............................. 20
1. Masa Kekuasaan Kesultanan Saljuk ................................ 20
2. Masa Sesudah Kekuasaan Kesultanan Saljuk .................. 31
B. Khalifah-Khalifah Dinasti Abbasiyah ................................... 36
C. Sultan-Sultan Saljuk ............................................................ 34
D. Relasi Kekuasaan Khalifah Abbasiyah dan Sultan Saljuk....... 39
BAB III KEMAJUAN ILMU-ILMU ISLAM
A. Ilmu Qur’an ......................................................................... 43
B. Ilmu Hadits........................................................................... 51
C. Ilmu Fiqih ............................................................................ 56
D. Ilmu Kalam .......................................................................... 61
E. Tasawuf ............................................................................... 66
BAB IV KEMAJUAN SAINS ISLAM
A. Astronomi ............................................................................ 83
7
B. Kedokteran ........................................................................... 89
C. Matematika .......................................................................... 99
D. Fisika.................................................................................... 109
E. Kimia ................................................................................... 113
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .......................................................................... 120
B. Saran-Saran .......................................................................... 124
DAFTAR PUSTAKA
8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang mendorong kemajuan semua aspek kehidupan
manusia. Tesis tersebut benar-benar menemukan pembuktiannya ketika kita
merujuk pada suatu masa peradaban Islam yang begitu mendominasi dunia. Para
ahli menyebutnya sebagai zaman keemasan Islam, the golden age of Islam, the
most brilliant period,1 dan masa dimana Islam dan kaum muslim merupakan pusat
dari segala-galanya. Kalau boleh menyebut masa itu dalam terminologi politis
dimana Islam sebagai negara adidaya.
Bagaimana tidak, Islam pada saat itu hampir menguasai semua aspek
kehidupan manusia dan hebatnya lagi menjadi pusat dan unggulan dalam setiap
bidangnya. Dari segi rentang waktu, hampir sembilan abad Islam mendominasi
dunia dengan peradabannya, tepatnya dari abad ke-8 hingga abad ke-16 Masehi.
Baru setelah itu abad ke-18 hingga abad ke-19 menjadi masa peralihan dari
kejayaan Timur (Islam) menuju kejayaan Barat. Jadi apabila dibandingkan dengan
apa yang diraih Barat, maka sangatlah jelas perbedaan yang mencolok antara
Peradaban Islam dan Peradaban Barat yang dalam hal ini direpresentasikan oleh
Eropa dan Amerika, yang baru mulai mendominasi dunia sejak abad ke-19 hingga
1 Istilah pertama digunakan Maurice Lombard sebagai judul bukunya the Golden Age ofIslam (Amsterdam: North Holland Publ. Co., 1975). Sedangkan istilah the Most Brilliant Period atauzaman paling brillian digunakan oleh Phillip K. Hitti dalam bukunya Historry of The Arabs, terj.(Jakarta: Serambi, 2006) h. 369
9
abad ke-21 saat ini. Maka dengan ungkapan lain kita boleh memberi nilai sembilan
untuk kejayaan Islam dan nilai tiga untuk kejayaan Barat saat ini.
Dalam teori rentang waktu kejayaan suatu bangsa, itu dapat di ibaratkan
seperti simbol piramida. Simbol ini merepresentasikan bahwa kebudayaan suatu
bangsa mempunyai eksposisi yang berupa pergerakan naik yang linear yang pada
akhirnya menemukan klimaks, yang kita sebut sebagai masa yang paling terang-
benderang, atau masa paling puncak dari suatu kebudayaan atau peradaban.
Tentunya hal yang puncak akan turun juga akhirnya mengikuti hukum alam
(resolusi).2 Gerakan menurun inilah yang kemudian perlahan-lahan tapi pasti
mengarah kepada kemunduran suatu kebudayaan dan peradaban yang pernah
merajai dunia.
Islam menjadi contoh menarik terhadap teori di atas, Islam mengalami masa
eksposisi kebudayaan atau peradaban ketika dinasti Abbasiyah melakukan gerakan-
gerakan terjemahan terhadap karya-karya berharga peradaban sebelumnya seperti
Yunani, Persia, India, dan lain-lain, dan menggalakkan kegiatan keilmuan yang
pada akhirnya mengantarkan peradaban Islam mencapai klimaks atau puncaknya.
Menurut para ahli sejarah Islam, kejayaan peradaban Islam berkisar pada abad ke-9
hingga ke-13 yang ditandai dengan lahirnya penemuan-penemuan ilmu baru,
pengembangan-pengembangan ilmu sebelummya sehingga menemukan bentuk
yang lebih sempurna, dan lahirnya para ahli yang merupakan aktor utama dalam
masa kejayaan tersebut.
2 Teori ini merupakan adaptasi dari sebuah plot dalam drama yang terdiri dari eksposisi,klimaks dan resolusi. Lihat lebih lanjut dalam Taufik Abdullah, Literature and History, (Yogyakarta:Gadjah Mada Universitas Press, 1986) h. 87
10
Bukti kejayaan Islam pada saat itu tidak dapat disaingi oleh negara ataupun
dinasti dimanapun di seantero jagad. Saking besarnya para ahli percaya zaman itu
adalah zaman peralihan kejayaan yang secara bergilir dimiliki oleh peradaban Cina,
Mesir Kuno, Yunani dan Romawi. Dan akhirnya tiba gilirannya Islam yang
mengemban kejayaan itu, tentunya diperoleh dengan kerja keras dalam segala aspek
kehidupan yang menjadikannya nyata.
Kita dengan mudah menyebutkan tokoh-tokoh raksasa dan sangat
berpengaruh dalam perkembangan peradaban dunia. Seperti Ibn Sina yang
merupakan tokoh dalam banyak bidang, seperti dalam kedokteran Ibnu Sina
menulis buku yang sangat masyhur al-Qanun fi al-Tibb yang merupakan ikhtisar
pengobatan Islam dan di ajarkan hingga kini di Timur. Buku ini diterjemahkan ke
dalam Bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di universitas Barat yang
ternyata adalah naskah ilmiah paling sering dicetak di masa renaisans.3 Dalam
bidang filsafat Ia menulis Al-Isyarat wa Al-Tanbihat sebuah karya tentang hikmah
dan logika.4
Dalam bidang astronomi Nashir al-Din Thusi yang merupakan penemu
pertama teori bahwa matahari adalah pusat tata surya (helliosentrisme). Ibn Musa
al-Khawarizmi (880-850 M) adalah nama yang paling termasyur dalam bidang
matematika. Ibn al-Haitsam (965-1039 M), atau di Barat dikenal sebagai Alhazen,
merupakan ahli fisika terbesar pada abad pertengahan.5 Dan dalam bidang filsafat
3 Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2002) h. 1844 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999) h. 695 E. Tobi Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, Cina, and the West (Canbridge:
Canbridge University Press, 1993) h. 48
11
tersebutlah al-Farabi, filsuf Muslim yang dikenal sebagai Guru Kedua, maksudnya
Dia adalah guru kedua setelah guru pertama, Aristoteles.6
Dalam bidang tafsir ada Ibn Jarir al-Tabari (l. 839 M) yang menulis karya
besar berjudul Jam’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Mahmud al-Zamakhsyari (1143
M) menulis kitab berjudul Kasysyaf’an Haqaiq al-Ta’wil, Abdullah al-Badhawi
(1191 M) dengan karyanya Anwar al-Tanzil, dan Abdullah al-Nasafi (1301 M)
dengan karyanya Madarik al-Tanzil.7
Dalam bidang hadits, tersebut nama al- Bukhari (w. 870 M) menyusun
karyanya yang berjudul al-Jami’al-Sahih al-Musnad al-Mukhtashar min al-Hadits
Rasulillah saw wa Sunanih wa Ayyamih yang disingkat al-Sahih. Kitab ini
disepakati merupakan kitab hadits yang paling baik memuat hadits-hadits sahih
sehingga derajat kitab ini berada di bawah al-Qur’an dalam syariat islam. Kemudian
Muslim (w. 261 H) menyusun buku berjudul Shahih Muslim. Nama-nama muhadits
lain adalah Abu Dawud (w. 276 H) yang menyusun buku berjudul Sunan Abu
Dawud, al-Nasa’i yang menyusun buku Sunan al-Nasa’i, Ibn Majah (w. 273 H)
yang menyusun Sunan Ibn Majah, dan al-Tarmidzi (w.279 H) yang menyusun buku
berjudul Sunan Tirmidzy, keenam buku hadits tersebut di dunia Islam dikenal
dengan nama Kutub al-Sittah.8
Tokoh-tokoh dalam bidang fiqh adalah Abu Hanifah (w. 768 M) yang
mendirikan Madzhab Hanafi, Anas Ibn Malik (w. 795 M) yang mendirikan
Madzhab Maliki, muhammad Ibn Idris al-Syafi’i (w. 820 M) yang mendirikan
Madzhab Syafi’i, dan Ahmad Ibn Hambal (w. 855 M) yang mendirikan Madzhab
6 Hasyimsyah, Op Cit. h. 32-337 Didin, Op Cit. h. 1588 Ibid. h. 158-161
12
Hambali. Empat madzhab tersebut hanya dianut oleh kaum Sunni yang merupakan
mayoritas kaum Muslim dunia, sedangkan kaum Syi’ah menganut madzhab Imam
Ja’far.9
Dalam bidang ilmu kalam, zaman kejayaan Islam telah melahirkan beberapa
aliran dan tokoh yang merupakan mercusuar sampai saat ini dalam bidang ilmu
kalam. Sebutlah Washil Bin Atha’ yang mendirikan madzhab resionalis al-
Mu’tazilah, Abu Musa al-‘Asyari yang mendirikan aliran al-Asy’ariyah dan Abu
Mansur al-Maturidiyah yang mendirikan aliran al-Maturidiyah yang kemudian hari
kedua aliran ini dikenal sebagai kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.10
Zaman keemasan Islam adalah zaman dimana para sufi-sufi besar lahir.
Terdapat banyak sekali tokoh-tokoh besar dalam bidang tasawuf, seperti Abu Yazid
al-Bustami (w. 874 M) yang terkenal dengan ajaran al-Ittihad, yaitu ajaran tentang
konsep yang menjelaskan tentang sebuah posisi (maqam) dimana seorang hamba
dapat bersatu dengan Allah setelah melalui proses fana’ dan baqa’.11 Kemudian ada
al-Hallaj yang terkenal sebagai martir para sufi karena wafat dipancung oleh pihak
berwenang pada saat itu. Al-Hallaj mengajarkan konsep hulul; yaitu ajaran bahwa
Allah Swt. Memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di
dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaannya lenyap dari si empunya tubuh, maka
yang tertinggal hanyalah sifat ketuhanannya saja.12
9 Ibid. h. 16210 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI Press, 2002) h. 40, 62-7811 Ajaran fana’ adalah ajaran tentang posisi seorang hamba dimana sifat-sifat kemanusiaan
rusak dan lenyap dan hanya tinggal sifat-sifat ketuhanan yang tinggal dan kekal (baqa’) lihat.Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) h. 176-177
12 Didin Op. Cit. h. 179
13
Akan tetapi setelah kejayaan yang telah dicapai umat Islam selama berabad-
abad itu pada akhirnya akan luntur dan terjun bebas ke dalam jurang kemunduran.
Zaman kemunduran ini tentunya ketika suatu imperium dimulai dengan hilangnya
kekuatan politisnya dan pelan-pelan lenyap dari permukaan sejarah. Daulat
Abbasiyah adalah tamtsil sempurna tentang tesis ini. Dinasti Abbasiyah adalah
dinasti kedigjayaan Islam dalam konteks segala bidang seperti politik, sosial,
ekonomi, dan yang paling mencengangkan adalah kemajuan-kemajuan dalam ilmu
pengetahuan.
Akan tetapi memasuki zaman kekuasaan yang ke-4, Dinasti Abbasiyah
dengan jelas sekali telah menenggelamkan dirinya ke dalam lumpur gelap
kemunduran.13 Dimulai dari hilangnya kakuasaan politis para khalifah period ke-4
ini dan diambil alih oleh bangsa Turki Saljuk. Kekuasaan itu telah benar-benar
hilang dengan khalifah hanya berperan sebagai simbol kekuasaan dan persatuan
umat Islam pada saat itu, sedangkan dalam menjalankan segala kebijakan dan
pemerintahan Turki Saljuklah penguasa sebenarnya.
Di samping itu juga, karena alasan para khalifah Dinasti Abbasiyah pada
periode ini adalah para khalifah yang kurang cakap dan kurang representatif untuk
mencerminkan karakter seorang khalifah. Oleh karena itu kemunduran dalam
13 Dalam memperiodesasi masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, terdapat perbedaanmencolok dikalangan sejarawan. Misalnya, W. Montgomery Watt mengklasifikasi DinastiAbbasiyah menjadi 4 periode kekuasaan, abad pertama Dinasti Abbasiyah (750-850 M),kemunduran Dinasti Abbasiyah (850-945), periode Dinasti Buwaihi (945-2055) dan periode DinastiSaljuk (1055-1100) lihat W. Montgomery Watt, the Majesty That was Islam, (London: Sidgwick &Jackson 1984). Sedangkan Ahmad Syalabi mengklasifikasikan periode kekuasaan Dinasti Abbasiyahmenjadi dua bagian, pertama, Periode Dinasti Abbasiyah ke-I dan Periode Abbasiyah ke-II termasukdidalamnya pemerintahan Dinasti Buwaihi dan Dinasti Saljuk. Lihat Ahmad Syalabi, Sejarah danKebudayaan Islam III, (Jakarta: Pustaka al-Husnam 1993)
14
bidang politik telah menjadi suatu hal yang tak terbantahkan lagi yang menyeret
bidang-bidang lain ke dalam kondisi yang menyedihkan juga.
Misalnya dengan kondisi politik yang seperti itu, tentunya kesejahteraan
rakyat dalam kondisi goyah, dan keamanan hidup pun akan selalu menjadi taruhan
setiap individu umat Islam pada saat itu. Tersebutlah sebuah kelompok Hasysyasyin
adalah kelompok-kelompok terpenting yang menimbulkan ketakutan di banyak
negeri-negeri islam di period ke-IV. Kelompok Hasysyasyin terkenal dengan
perbuatan-perbuatan yang kejam, menipu, dan membunuh.
Kelompok ini di pimpin oleh Hasan Bin Sabah yang berdarah Persia dari
wilayah Tus. Sabahlah yang memimpin penyerangan-penyerangan penting terhadap
daerah-daerah strategis pada masa itu. Di antaranya adalah kelompok ini
menaklukkan kota Almut dan menundukkan benteng-benteng lain di Persia dan
Syria dalam tempo yang singkat, serta melumpuhkan semua percobaan kerajaan
Saljuk untuk menumpas mereka. Malahan pada tahun 1092 M, mereka telah
menjatuhkan hukuman mati ke atas Nizamul Mulk.14
Pada saat itu juga terjadi dualisme ibukota. Sultan Saljuk bersepakat dengan
khalifah Abbasiyah bahwa ibukota spiritual (agama) tetap berada di Bagdad dan
ibukota politik dan kenegaraan berada di Nisabur kemudian di Raiyi.15 Ini tentunya
memperlihatkan bahwa khalifah hanya sebagai simbol pemersatu dan pemimpin
agama. Sedangkan kekuasaan politik dan administrasi negara berada di tangan
sultan-sultan Saljuk secara mutlak.
14 Ibid. h. 34915 Ibid. h. 340
15
Ironisnya para khalifah Abbasiyah merasa senang dengan status Bagdad
cukup sebagai ibukota agama yang sebelumnya pada masa Dinasti Buwaihi telah
pupus pengaruhnya baik dalam politik dan juga agama yang berpusat ke Syiraz.
Sehingga saking senangnya mereka alpha untuk mengembalikan kejayaan hakiki
Dinasti Abbasiyah sebagaimana yang telah didirikan dan dijaga dengan susah payah
oleh para pendahulunya.
Hal yang menarik untuk dipertanyakan adalah bagaimana kondisi kemajuan
dan perkembangan ilmu pengetahuan ditengah carut-marutnya kondisi Dinasti
Abbasiyah yang sedang melaju ke arah kemunduran. Apakah ilmu pengetahuan
yang menurut para sejarawan mencapai puncaknya pada masa kekuasaan Khalifah
Harun al-Rashid dan putranya al-Makmun (786-813 M.) telah mengalami
kemunduran sejalan dengan bidang-bidang lainnya. Dengan berdasarkah hal
tersebut penulis berusaha untuk mengungkapkan tentang kondisi kemajuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ke-IV kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
B. Perumusan dan Ruang Lingkup Masalah
Permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini dapat dibaca dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana kemajuan ilmu-ilmu Islam pada period ke-IV pemerintahan
Dinasti Abbasiyah?
2. Bagaimana kemajuan ilmu-ilmu sains pada period ke-IV pemerintahan
Dinasti Abbasiyah?
3. Kegiatan-kegiatan ilmiah apasajakah yang dilaksanakan pada saat itu
untuk memajukan ilmu pengetahuan?
16
Pertanyan-pertanyan di atas, akan penulis jawab dalam uraian-uraian dan
analisis yang didasarkan pada sumber-sumber yang penulis pergunakan.
Penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini dengan hanya memfokuskan
pada penelitian jenis-jenis ilmu Islam, jenis-jenis sains, kegiatan-kegiatan ilmiah
yang dilaksanakan dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan selama masa
kekuasaan Dinasti Abbasiyah ke-IV yaitu dari tahun 447-656 H./ 1055-1258 M.
Penelitian ini akan juga berpusar pada tokoh-tokoh, ulama-ulama, dan ilmuan-
ilmuan yang pernah hidup di daerah kekuasaan Dinasti Saljuk. Orang-orang
tersebut baik yang lahir di daerah itu atau pendatang dari daerah kekuasaan dinasti
lain misalnya Dinasti Islam di Andalusia, dengan catatan mereka menghabiskan
sebagian (besar) hidupnya di daerah kekuasaan Dinasti Saljuk. Penelitian ini akan
memprioritaskan kondisi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan pada
zaman pemerintahan Abbasiyah, dikarenakan dinasti inilah yang dianggap dan
diyakini oleh para ahli sebagai dinasti terbesar tidak hanya didunia Islam tetapi di
seluruh dunia pada umumnya.
Penulis akan mendasarkan penelitiannya pada pendapat bahwa masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah di bagi menjadi empat periode pemerintahan; a.
masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah I, masa ini dimulai dari berdirinya Dinasti
Abbasiyah hingga wafatnya Khalifah al-Watsiq tahun 232 H./847 M. b. Masa
kekuasaan Dinasti Abbasiyah II 232-334 H./847-946 M., di mulai dari kekuasaan
Khalifah al-Mutawakkil sampai berdirinya Daulah Buwaihi di Bagdad. c. Masa
kekuasaan Dinasti Abbasiyah ke-III tahun 334-447 H./946-1055 M, dimulai dari
berdirinya Dinasti Buwaihi sampai masuknya kaum Saljuk ke Bagdad. d. Masa
kekuasaan Dinasti Abbasiyah ke-IV tahun 447-656 H./1055-1258 M., dimulai dari
17
masuknya orang-orang Saljuk ke Bagdad sampai jatuhnya Bagdad ke tangan bangsa
Tartar di bawah pimpinan Hulagu Khan.16
Masa ke-IV kekuasaan Dinasti Abbasiyah adalah masa dimana kekuasaan
khalifah benar-benar mandul dan hanya berperan sebagai simbol pemersatu.
Sedangkan kekuasaan sebenarnya dipegang oleh raja-raja kecil yang memimpin
dinasti-dinasti kecil. Pada masa ke-IV ini, Dinasti Abbasiyah secara de facto
dikuasai oleh bangsa Saljuk yang berasal dari keturunan orang-orang Saljuk di
Turki. Sebenarnya masa kemunduran Dinasti Abbasiyah dapat sudah terlihat pada
abad ke-X, yaitu pada akhir masa ke-III Dinasti Abbasiyah yang penguasa
sesungguhnya adalah dari Dinasti Buwaihi.17
Khalifah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada periode ke-IV adalah al-
Qaim, al-Muqtadir dan al-Mustazhir yang merupakan deretan khalifah-khalifah
yang lemah. Sedangkan penguasa-penguasa dari Dinasti Saljuk adalah Tughrul Beg,
Alp-Arslan, Malik Shah I, Mahmud, dan Barkiyaruk.18
Kondisi Dinasti Abbasiyah benar-benar kacau balau yang merepresentasikan
ketidakteraturan kondisi politik dan kekuasaan. Akan tetapi yang menjadi menarik
adalah bahwa dalam proses Dinasti Abbasiyah menuju kemunduran dan
kehancuran, para sejarawan berpendapat justru pada masa inilah ilmu pengetahuan
didunia Islam mencapai puncaknya. Pendapat ini menjadi benar ketika kita merujuk
banyaknya para tokoh-tokoh, ulama-ulama, dan saintis-saintis serta lahirnya
16 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana, 2004) h. 5017 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rosdakarya, 2004) h. 61-7918 W. Montgomery Watt, the Majesty That was Islam, (London: Sidgwick & Jackson, 1984)
h. 235
18
penemuan-penemuan baru ilmu pengetahuan yang lahir pada masa akhir dari
Dinasti Abbasiyah.
Segala usaha yang dirintis Dinasti Abbasiyah dalam konteks pengembangan
ilmu pengetahuan dimulai dari masa berkuasanya Harun al-Rashid, al-Makmun dan
seterusnya tentunya akan mencapai puncak pengembangan-pengembangan pada
masa selanjutnya. Maka tidak heran apabila masa terakhir masa Dinasti Abbasiyah
menjadi masa puncak kejayaan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu penelitian ini menjadi menarik dikarenakan disaat kondisi
politik yang kacau-balau dan menunjukkan pada masa kehancuran suatu kekuasaan,
yaitu kekuasaan Dinasti Abbasiyah, justru perkembangan ilmu pengetahuan
terkesan lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Bahkan para ahli berpendapat
inilah masa dimana puncak kejayaan ilmu pengetahuan Islam benar-benar terlihat
nyata.
C. Tujuan Penelitian dan Penulisan
Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan sesuatu hal yang sangat menarik
untuk diteliti. Generasi Islam selanjutnya kebanyakan hanya memperhatikan hasil-
hasil yang dicapai oleh zaman keemasan itu, seperti pencapaian-pencapaian brillian
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, seni, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya
terutama kita hanya terfokus pada periode awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah
terutama masa pemerintahan Harun al-Rashid dan al-Makmun.
Akan tetapi, kita sering kali menggeneralisasi pandangan bahwa keadaan
kemajuan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan pada periode terakhir (baca: ke-IV)
telah juga mundur sejalan dengan bidang-bidang lain seperti politik, ekonomi dan
19
keamanan yang menjadi ciri dan karakter sebuah kekuasaan yang akan mengalami
kehancuran. Kita juga menjadi alpha untuk mengetahui proses seperti apa dan
bagaimana yang ditempuh oleh para pelaku peradaban tersebut untuk mencapai
kejayaan ilmu pengetahuan yang sebenarnya mencapai kemajuan pada akhir
kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Penelitian ini mencoba mengungkap ilmu-ilmu apasajakah yang lahir dan
berhasil dikembangkan oleh para Tokoh-Tokohnya seperti ilmu tafsir yang
sebelumnya hanya mengenal tafsir bi al-ma’tsur menjadi ilmu tafsir yang lebih luas
lagi cakupannya menjadi tafsir bi al-ra’yi.19 Selain itu, seperti bidang fiqh juga
dikembangkan sehingga kita mengenal cabang lain yang disebut ushul fiqh yang
pada hakikatnya didasarkan pada logika Aristoteles. Periode ini kita akan juga
mengeksplorasi perkembangan ilmu-ilmu Islam yang sudah ada pada masa
sebelumnya akan tetapi menjadi intens perkembangannya, seperti ilmu kalam, ilmu
hadits, ilmu tasawuf, dan lain sebagainya.
Penulis juga akan menggambarkan tentang kemajuan-kemajuan dalam ilmu
sains, seperti fisika, matematika, kimia, kedokteran, astronomi. Dan tak lupa juga
menggambarkan kegiatan-kegiatan ilmiah apasajakah yang dilaksanakan guna
mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan di atas. Maka poin-poin penting yang akan
menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. mencoba menggambarkan kemajuan Islam dalam bidang ilmu-ilmu
Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah period ke-IV.
19 Tafsir bi al-Ma’tsur merupakan metode tafsir yang menggunakan ayat-ayat al-Quran lainuntuk menjelaskan ayat tertentu. Tafsir ini juga merupakan metode menjelaskan ayat dengan haditsataupun sebaliknya. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir yang menggunakan ijtihad sipenafsir untuk memahami dan memaknai ayat yang dimaksud, dengan kata lain tafsir ini merupakantafsir menggunakan akal fikir sebagai alat tafsir, lihat Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. (Jakarta: Rosdakarya, 2005) h. 42
20
2. mencoba menggambarkan kemajuan Islam dalam bidang ilmu-ilmu
sains pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah period ke-IV.
3. mencoba menggambarkan kegiatan-kegiatan ilmiah yang dilaksanakan
pada periode itu.
D. Metode Penelitian dan Penulisan
Laporan penelitian ini merupakan karya sejarah, sehingga pendekatannya
pun menggunakan pendekatan sejarah (historis) dan metode yang digunakan adalah
deskriptif-analitis. Maksudnya poin-poin penting yang akan ditulis dipaparkan
sesuai dengan bentuk, kejadian, suasana dan masanya. Adapun analisa pada faktor-
faktor politis dan sosiologis akan menjadi faktor pendukung.
Adapun jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang berdasarkan pada sumber
tulisan sebagai sumber utama, seperti buku, dokumen, jurnal, dan makalah yang
merekam dan memberi informasi tentang objek yang diteliti.
Pengumpulan data atau sumber informasi primer dan sekunder yang
berkaitan dengan objek penelitian, sebagai langkah awal, dilakukan dengan mencari
data-data dibeberapa perpustakaan di daerah Jakarta dan sekitarnya, misalnya;
Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia,
Perpustakaan Iman Jama, Perpustakaan Islamic College for Advanced Studies
(ICAS) Jakarta, Perpustakaan CIPSI Jakarta, Perpustakaan Nasional dan lain lain.
Setelah berbagai data dan sumber primer maupun sekunder diperoleh dan
dihimpun rapih, selanjutnya penulis melakukan klasifikasi data berdasarkan topik
dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian dan penulisan ini.
21
Sebelumnya, penulis juga harus menguji terlebih dahulu kevalidan dan keotentikan
data dan sumber informasi yang diperoleh dengan melakukan kritik, serta memilih
dan memilah data yang sesuai dengan objek penelitian.20
Akumulasi data-data tersebut kemudian dianalisa. Setelah pengujian dan
analisa dilakukan, maka selanjutnya penulis mengsintesiskan fakta-fakta yang ada.
Setelah itu, baru di lakukan penulisan sejarah (historiografi) secara kronologis,
yaitu penulisan sejarah yang dipaparkan sesuai dengan periodisasi peristiwa sejarah
yang sesuai dengan kaedah penulisan karya ilmiah. Adapun sumber pedoman yang
digunakan dalam penulisan hasil penelitian ini adalah buku pedoman Penulisan
Skripsi,Tesis, dan Disertasi21 yang diterbitkan oleh UIN press, dengan harapan
bahwa penulisan ini tidak hanya baik dalam segi isi, tetapi juga baik dalam segi
metode penulisan.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian, pengkajian, dan penulisan tentang kondisi pendidikan Islam
pernah dilakukan oleh beberapa tokoh. Karya-karya tersebut oleh tokoh-tokoh
dalam negeri maupun luar negeri. Setelah melakukan tinjauan kepustakaan yang
intensif, penulis memilih buku-buku berikut sebagai referensi yang cukup
representatif membahas tentang kondisi pendidikan pada zaman keemasan Islam,
terutama masa ke-IV kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
20 Mengenai metode penelitian sejarah, lihat Nugroho Notosusanto, Masalah PenelitianSejarah Kontemporer, (Jakarta: Idayu Press, 1984), dan Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1985), h. 27
21 Azyumardi Azra dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Desertasi, (Jakarta: UIN JakrtaPress, 2001)
22
Scince in Mediaval Islam adalah ditulis Howard R. Turner,22 merupakan
buku yang menurut penulis sangat otoritatif dalam membahas perkembangan ilmu
pengetahuan dan kemajuannya pada rentang waktu Islam berkuasa. Buku ini
dengan detail sekali membahas tiap-tiap cabang ilmu yang ada pada masa
kekuasaan Islam, seperti kosmologi, matematik,astronomi, astrologi, geografi,
kedokteran, ilmu-ilmu alam, alkemis, optic, dan lain-lain sebagainya.
Tidak hanya membahas tentang kemajuan ilmu pengetahuannya yang di
capai kaum muslim buku ini juga menjelaskan dan merekam dengan baik tentang
tokoh-tokoh atau pelaku ilmu pengetahuan yang berjasa besar dalam perkembangan
ilmu pengetahuan. Di antara nama-nama tokoh ilmu pengetahuan yang disebut
dalam buku ini adalah Ibn Haitsam, seorang tokoh dalam astronomi, Nashir al-Din
Thusi, seorang tokoh matematik, Ibn Hawqal, seorang tokoh dalam ilmu geografi
dan masih banyak yang lainnya.
Buku yang ditulis oleh Phillip K. Hitti berjudul History of the Arabs,23
merupakan salah satu karya yang paling otoritatif dalam sejarah perdaban Islam.
Buku ini sangat baik tentang gambaran kegiatan dan semua pencapaian ilmiah yang
dialami oleh orang-orang Islam. terdapat dua bab yang secara khusus membahas
kemajuan-kemajuan apasajakah yang dicapai oleh kaum Muslim baik dalam Ilmu
agama maupun Sains pada umumnya. Dalam bidang ilmu agama, Hitti
menggambarkan secara gamblang tentang teologi yang juga memuat studi tentang
hadits, historiografi yang juga memuat tentang kajian tafsir, hukum dan etika Islam
yang juga memuat kajian tentang ilmu fiqih dan ushul fiqih.
22 Howard R. Turner, Science in Medieval Islam, (Austin: Universitas of Texas Press 1995)23 Phillip K. Hitti, History of the Arabs, terj. (Jakarta: Serambi, 2006)
23
Kemudian deskripsi tentang kemajuan kaum muslim dalam bidang sains
disampaikan dengan begitu detail dan akurat. Misalnya tentang prestasi-prestasi
dalam bidang kedoteran, astronomi, matematika, fisika, kimia, geografi, arsitektur,
filsafat, sastra, musik, media tulis, pendidikan dan institusi pendidikan dan lain
sebagainya.
Mulyadhi Kartanegara menulis buku berjudul Reaktualisasi Tradisi Ilmiah
Islam,24 merupakan buku yang merekam kegiatan-kegiatan ilmiah Islam terutama
pada zaman keemasan Islam. Buku ini menjelaskan dengan baik tentang cabang-
cabang ilmu apasajakah yang telah berhasil dikembangkan oleh orang Islam, yang
dicatat oleh buku ini mencapai 360 cabang ilmu pengetahuan. Buku ini juga
merekam pemikiran-pemikiran dan penemuan-penemuan orisinil yang dihasilkan
oleh para ilmuan muslim.
Buku ini juga mengungkapkan dengan jelas faktor-faktor pendorong
kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan pada saat itu, di antaranya adalah: I. Dorongan
agama; pada saat itu agama menjadi faktor utama dalam kemajuan ilmu
pengetahuan sebagaimana terdapat dalam berbagai ayat al-Qur’an yang
menjelaskan tentang ilmu pengetahuan. Juga dapat dengan mudah ditemukan
banyaknya hadits yang menyerukan kewajiban menuntut ilmu, dan manfaat-
manfaat bagi umat manusia. II. Apresiasi masyarakat; merupakan faktor penting
dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Sejarah merekam bahwa begitu tingginya
orang-orang berilmu pada saat itu di kalangan masyarakat umum, seperti kehadiran
para ilmuan-ilmuan itu selalu membangkitkan rasa keingintahuan masyarakat untuk
selalu mendengarkan pidato-pidato mereka. III. Patronase penguasa; maksudnya
24 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006)
24
adalah dorongan para penguasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan seperti
memberi penghargaan dan posisi yang tinggi bagi para pelaku ilmu, seperti dicatat
sejarah bahwa para khalifah pada saat itu menghadiahi emas kepada para ulama
seberat buku-buku yang mereka tulis.
Didin Saefuddin menyusun buku berjudul Zaman Keemasan Islam:
Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah25 yang merupakan disertasi S3-
nya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku ini merupakan karya yang
memaparkan sejarah kejayaan Islam yang terfokus pada zaman pemerintahan
Dinasti Abbasiyah. Pada salah satu babnya, buku ini membahas secara baik tentang
ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, Didin berusaha menggambarkan secara
singkat namun padat apa-apa yang telah dicapai oleh para pelaku ilmu pada saat itu.
Pencapaian-pencapaian tersebut meliputi hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan
seperti matematika, fisika, metafisika, kedokteran, astronomi, filsafat, logika, kimia,
dan ilmu-ilmu agama seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, fiqih, ushul fiqih, tasawuf,
ilmu kalam dan lain sebagainya.
Didin juga mrnggambarkan sebab-sebab berkembangnya sains dan
peradaban Islam, seperti kontak peradaban Islam dengan peradaban sebelumnya
seperti peradaban Persia, Yunani, dan India, dukungan penguasa dengan kebijakan-
kebijakan yang memihak perkembangan ilmu pengetahuan, kosmopolitanisme,
kebudayaan di pusat ibu kota-Bagdad, tidak terlalu ditekannya kepentingan
penaklukan daerah-daeran kekuasaan baru dan lain-lain. Didin juga tidak lupa
menyinggung tentang peranan perpustakaan dan lermbaga pendidikan Islam lainnya
dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
25 Didin Saefudin, Op Cit.
25
F. Sistematika Penulisan
Untuk menyajikan laporan dan penulisan penelitian, sekaligus memberi
gambaran yang jelas dan sistematis tentang materi yang terkandung dalam skripsi
ini penulis menyusun sistematika penulisan skripsi ini ke dalam empat bab beserta
bibliografi dengan urutan sebagai berikut:
BAB PERTAMA: pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah yang
merupakan dasar-dasar pemikiran terhadap permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini. Identifikasi, pembatasan dan ruang lingkup masalah, tujuan
penelitian, metode dan pendekatan penelitian dan penulisan, tinjauan pustaka, dan
diakhiri oleh sistematika penulisan.
BAB KEDUA: penulis menggambarkan kerangka teoritis yang berkait
dengan permasalahan yang diteliti. Penulis memaparkan kondisi Dinasti Abbasiyah
pada peroide ke-IV; khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa hingga
masa kehancuran, sultan-sultan dinasti Turki Saljuk yang berkuasa pada periode ini
dan relasi kekuasaan antara khalifah Abbasiyah dan sultan Saljuk dalam
pemerintaha dan kepemimpinan agama.
BAB KETIGA: bab ini merupakan bab inti pertama yang membahas tentang
kemajuan ilmu-ilmu Islam yang dicapai kaum muslim pada masa periode ke-IV
kekuasaan Dinasti Abbasiyah seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu
tasawuf, ilmu fiqh. Penulis juga akan membahas tentang tokoh-tokoh yang berjasa
besar dalam pekembangan dan kemajuan ilmu-ilmu islam diatas.
26
BAB KEEMPAT: bab ini merupakan bab inti kedua yang akan mengekplorasi
perkembangan dan kemajuan ilmu-ilmu sains yang telah berhasil dicapai oleh
ilmuan muslim pada rentang periode ke-IV kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Ilmu-
ilmu tersebut seperti fisika, kimia, matematika, astronomi, kedokteran dan lain-lain.
Bab ini juga akan membahas tentang tokoh-tokoh yang berjasa dalam
pengembangan dan kemajuan ilmu-ilmu sains di atas.
BAB KELIMA: bab ini mengandung dua sub-bab yaitu kesimpulam yang
merupakan saran atau pandangan penulis tentang hasil penelitian yang telah
ditempuh. Kesimpulan merupakan hasil akhir yang dapat penulis berikan sebagai
puncak dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan, dan merupakan inti dalam
penulisan laporan penelitian ini. Sub-bab yang kedua adalah saran-saran yang
merupaka anjuran-anjuran penulis kepada para akademisi yang memiliki perhatian
terhadap penelitian sejarah dan peradaban Islam terutama yang berkenaan dengan
Dinasti Abbasiyah. Dan juga tema-tema dan bidang-bidang apasajakah yang perlu
dilakukannya penelitian lanjutan guna menyempurnakan penelitian-penelitian
sebelumnya yang pernah dilakukan oleh sarjanah muslim lain.
27
BAB II
DINASTI ABBASIYAH PERIODE KE-IV
A. Kondisi Dinasti Abbasiyah Periode ke-IV
Kekuasaan Dinasti Abbasiyah periode ke-IV tahun 447-656 H/1055-1258 M.,
dimulai dari masuk nya orang-orang saljuk ke Bagdad sampai jatuhnya Bagdad ke
tangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Dengan kata lain masa ini
dibagi menjadi dua bagian yaitu periode kekuasaan Kesultanan Saljuk (448-552 H./
1055-1157 M) dan periode sesudah kekuasaan Kesultanan Saljuk ( 552-656 H./
1157-1258 M.).
I. Masa Kekuasan Kesultanan Saljuk (448-552 H/ 1055-1157 M)
Abad ke-II dan ke-III Hijriyah kelompok dan suku-suku kaum keturunan
Turki menguasai dari pedalaman Turkistan karena tekanan politik dan ekonomi
menuju ke arah Barat, dan mencoba menetap dikawasan seberang sungai di
kawasan Khurasan. Pada mulanya suku-suku kaum ini tidak mempunyai satu
kepemimpinan, dan tidak juga dikenali berasal dari suatu garis keturunan. Ketika
Saljuk muncul pada pertengahan kedua abad keempat hijriah, suku-suku kaum ini
telah bersatu di bawah pimpinannya dan digelarkan dengan namanya serta terus
tunduk di bawah perintah anak-cucunya.26
Kaum saljuk itu bermukim berdekatan dengan kaum Samaniyah dan
Ghaznah, dan mereka telah memeluk agama Islam serta sangat fanatik dengan
26 A. Syalaby, al-Tarih wa al-Hadarah al-islamiyah al-Qahirah: Darul Ilmi al-Alamiyah,1965. diterjemah oleh Muhammad Labib Ahmad Sejarah Kebudayaan Islam III. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993 h. 335
28
Madzhab Ahlus Sunnah yang tersebar luas dikawasan itu dan yang lebih sesuai
dengan mentalitas mereka. Peperangan-peperangan telah meletus di antara Kaum
Samaniyah dan Kaum Ghaznah. Dan Kaum Saljuk telah berpihak kepada Kaum
Samaniyah serta mendukungnya. Kaum Samaniyah juga telah membalasnya dengan
mengizinkan Kaum Saljuk menetap berdekatan dengan tebing Sungai Sihun.
Kerajaan Samaniyah telah lumpuh pada penghujung abad keempat (tahun 389 H)
berhadapan dengan kekuatan Ghaznah yang kian meningkat. Ini telah memberikan
kesempatan kepada Kaum Saljuk untuk memerdekakan diri bersama-sama dengan
sisa-sisa milik kerajaan yang runtuh itu.27
Saljuk telah meninggal dunia sejak berusia kurang lebih seratus tahun.
Anaknya bernama Israel telah menggantikannya sebagai pimpinan baru bagi suku-
suku kaum itu. Pemimpin Kaum Ghaznah, Sultan Mahmud, mulai merasa curiga
terhadap kekuatan yang baru muncul ini, namun ia berpura-pura cinta akan damai
dan mengundang Israel untuk berunding. Tetapi Israel yang menyambut
undangannya itu telah ditangkap dan dipenjarakan. Kaum Saljuk melantik pula
saudara Israel yang bernama Mikael untuk memimpin mereka. Mikael juga tertarik
dengan sikap damai Sultan Mahmud, pemimpin Kaum Ghaznah itu, lebih-lebih lagi
merasa kekuatan Kaum Saljuk tidak dapat menentang kekuatan Kaum Ghaznah.
Tetapi sikap berdamai ini tidak berkepanjangan, karena Sultan Mahmud telah
menyerang Kaum Saljuk dan memporak-porandakan mereka pada tahun 418 H, dan
Mikael telah meninggal dunia setelah itu.28
27 Ibid. h. 33528 Ibid. h. 336
29
Semua yang berkaitan dengan Saljuk selanjutnya tergantung kepada dua
orang anak lelaki Mikael, yaitu Jughri Bek dan Tughril Bek. Kemudian Sultan
Mahmud meninggal dunia, dan kematiannya telah merintis kearah kejayaan Kaum
Saljuk, karena anaknya yang bernama Mas’ud gagal memenuhi kekosongan besar
yang ditinggalkan olehnya, dan telah tewas di tangan Kaum Saljuk di medan
pertempuran Sarakhs pada tahun 429 H, serta mundur ke India dengan
meninggalkan Khurasan dan kawasan seberang sungai untuk dikuasai oleh kekuatan
yang baru itu. Pada tahun itu juga, Tughril Bek mengumumkan pendirian Kerajaan
Saljuk. Setelah kedudukan Kerajaan Saljuk itu mantap, barulah di akui oleh
Khalifah Abbasiyah pada tahun 432 H.29
Setelah itu kekuasaan Kaum Saljuk telah meluas, khususnya dizaman Malik
Syah yang menaklukan wilayah Bukhara pada tahun 482 H, kemudian Sarkand,
setelah melakukan pengepungan dimana penduduk setempat sendiri memberikan
bantuan kearah kejayaannya dengan menyumbangkan bekal makanan dan senjata
kepada tentara Saljuk, sebagai tanda mengelu-elukan kedatangannya untuk
menyelamatkan mereka dari kekejaman dan keganasan Kaum Ghaznah yang
memerintah mereka pada masa tersebut.30
Di negeri-negeri Islam, Kaum Saljuk juga terkenal dengan gelaran Turkuman.
Sesudah itu terjadi pula perselisihan Kaum Ghaznah. Kaum Saljuk telah mengambil
kesempatan dari keadaan ini, lantas menduduki Khawarizm dan Tabarestan, serta
melancarkan beberapa serangan lagi dan berhasil menaklukkan Azarbaijan.
Akhirnya mereka bergerak dengan penuh keberanian dengan menumpas sisa-sisa
29 Ibid. 33630 Rafi Ahamdi Fidai, Concise History of Muslim World, vol. III, (New Delhi:
Kitabbhagavan, 1997) h. 126
30
Kaum Ghaznah di Persia. Dengan itu mereka sudah berada di pintu masuk negeri
Iraq-negeri kekuasaan Dinasti Abbasiyah.31
Ketika Kaum Saljuk hadir di Bagdad sebagai kekuatan politis, Dinasti
Abbasiyah dalam keadaan yang benar-benar lemah. Kekuasaan khalifah pada saat
itu benar-benar diturunkan kelevel paling rendah. Kehadiran Kaum Saljuk
menemukan momentumnya ketika Dinasti Buwaihiyah, dinasti yang menguasai
Dinasti Abbasiyah sedang dalam kondisi meredup, sedangkan pada saat yang sama
mereka dalam kondisi yang gilang- gemilang setelah rentetan kemenangan dan
penaklukkan yang dilakukan berjalan sukses.32
Keadaan-keadaan yang timbul mempercepat Kaum Saljuk tiba di Bagdad.
Sultan Bani Buwaihi, yaitu Malik al-Rahim adalah seorang yang kurang
berpengaruh dan cakap, seorang yang benar-benar berpengaruh di Bagdad pada saat
itu ialah salah seorang panglimanya dari keturunan Turki bernama Basasiri. Ia
adalah seorang panglima Turki yang memberontak melawan rajanya dan Dinasti
Abbasiyah saat itu, serta mencoba berkuasa penuh dan berikrar taat setia kepada
Khalifah al-Fatimiyah–al-Mustansir. Khalifah Abbasiyah saat itu meminta
pertolongan dari Tughril Bek pemimpin Kaum Saljuk, dan Tughril Bek telah
mengambil kesempatan yang baik ini untuk memimpin bala tentaranya masuk ke
Bagdad pada tahun 447 H.33
Setelah menumpas tindakan makar Basasiri, Khalifah mengelu-elukan dan
memberikan gelar Yamin Amirul Mukminin serta meletakan Malik al-Rahim di
31 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam bagian I dan II, terj. Jakarta: Rosdakarya,1999, h. 220. dan lihat juga Fidai, Ibid. 127
32 Lapidus, Ibid. 22133 Syalaby, Op Cit. h.337
31
bawah kekuasaannya. Namanya telah disebut-sebut dalam khotbah-khotbah sesudah
sebutan Khalifah. Tetapi Tughril Bek dengan segera menangkap Malik al-Rahim
dan mengirimnya ke Raiyi sebagai tawanan untuk dimasukan ke dalam penjara.
Dengan begitu berakhirlah masa kekuasaan Dinasti Buwaihi dan muncullah
kekuasaan baru yaitu kekuasaan Dinasti Saljuk.34
Setelah pemberontakannya ditumpas oleh Tughril Bek, Basasiri melarikan
diri menuju ke Utara dimana Dia berkomplot dengan Quraisy bin Badran, seorang
amir kerajaan ‘Uqailiyah, kemudian menyerang Mausil dan mengumumkan ikrar
setia kepada Khalifah Fatimiyah. Tughril Bek berhasil melacaknya dan menyerang
kota Mausil serta berhasil menumpas penghianat Basasiri. Disamping itu Tughril
Bek juga telah mengembangkan pengaruhnya di Diar Bakr dan melantik Ibrahim
Yanal saudara seibunya sebagai pemerintah Mausil dan Jazirah. Kemudian Tughril
Bek pulang ke Baghdad, dan disambut oleh Khalifah dengan pesta yang begitu
meriah dan dianugerahi gelar “the Commander of the Faithful” dan Rais al-
Ruasa.35 Ia kemudian dipercaya untuk melaksanakan dan menjalankan urusan-
urusan kenegaraan. Diantara elu-eluan yang terkenal kepada Tughril Bek adalah:
”Terimakasih terhadap usaha-usahamu dan kami sangat menghargaipelayananmu, Dia (al-Qaim) memberikan otoritas diatas semua negeri-negeri yang pemerintahannya telah dianugerahkan Tuhan kepadanya danmentransfer kepadamu kepedulian masyarakat Tuhan. Ini wajib bagimuuntuk menjadi ketakutan Tuhan terhadap apa yang Ia percayakan kepadamu.Mengakui nikmat Tuhan. Berusaha menguji keadilan negeri-negeri luar,menghindari tindakan yang salah dan bermanfaat bagi semua.”36
34 Amir Hasan Sadiqi, Caliphate and Sultanate in Medieval Persia, (Karachi: The Jamiyatal-Falah Publication, 1969) h. 152
35 Ibid h. 15336 Ibid h. 155
32
Kemudian khalifah menganugerahkan jubah kehormatan, yang berkerah dan
bercincin dan juga emas yang harum dan sorban sulaman yang menyimbolkan
kombinasi Arab dan non Arab. Tughril Bek juga dianugerahi dua pedang khalifah
yang diberi julukan ”Raja Timur dan Barat.” Tughril kemudian mencium tangan
khalifah dan meletakkannya diatas matanya. Peristiwa yang penuh memori seperti
ini merupakan yang pertama terjadi dalam sejarah yang kita mempunyai
informasinya secara detail.37
Tughril telah diberi hak hukum (yuridiksi) atas ”semua negeri yang
pemerintahannya di anugerahkan Tuhan kepada khalifah” dan akhirnya kesultanan
menerima dukungan legal dari kekhalifahan. Prestige kesultanan naik lebih tinggi
lagi ketika Tughril mengunjungi Bagdad untuk ketiga kalinya. Saat khalifah ditahan
oleh Basasiri yang memproklamirkan kekuasaan kekhalifahan di Mesir (Bani
Fatimiyah). Khalifah pada saat itu menyerahkan satu-satunya pedang yang
dipunyainya dan mengganti julukan Rukn al-Din (tonggak agama) ke Rukn al-
Daulah (tonggak negara)38 Setelah kekuasaan sepenuhnya berada ditangan Tughril,
Ia tidak pernah berfikir untuk menduduki Bagdad, karena ia memandang eksistensi
Bagdad sebagai ibukota yang dipimpin khalifah suci yang pada gilirannya
melahirkan dualisme ibukota; pemerintahan yang berada di Nisyapur kemudian di
Raiyi.39
Dengan berdirinya kesultanan Sunni di Bagdad, era baru telah ditasbihkan di
dalam sejarah institusi kekhalifahan. Kaum Saljuk, dengan menaklukkan Persia,
Mesopotamia, Syria, dan Asia Kecil, sekali lagi telah mempersatukan daerah-daerah
37 Ibid h. 15638 Ibid h. 15639 Syalaby, Op Cit. h. 340
33
Islam yang sebelumnya tercerai berai. Tentang kekuasaan suatu dinasti ini Hasan
Sadiqi mengutip sejarawan Lane-Poole menyatakan: ”mereka (Kaum Saljuk)
meletakkan kehidupan baru kepada keluasan semangat Muslim, mengembalikan
orang-orang Byzantium yang melanggar batas dan melipatgandakan pasukan
Muhammad yang gagah berani yang keberaniannya melebihi lainnya sehingga
menyebabkan pasukan Perang Salib selalu memperoleh kegagalan yang berulang-
ulang.”40
Tughril meninggal tanpa meninggalkan keturunan pada tahun 455/1602 M.
dan digantikan kemenakannya, Alp Arselan yang berkuasa selama 10 tahun. Ia
digantikan putranya Malik Syah (464-485/1072-1092) yang merupakan penguasa
terbesar dari Dinasti Saljuk. Sesudah itu, Bani Saljuk mengalami kemunduran
sebelum kekuasaan mereka di Bagdad pudar sama sekali pada tahun 552/1157.
kekuasaan mereka di Asia Kecil dan beberapa tempat lain masih ada yang
berlangsung sampai abad ke-14 (di Asia Kecil dan Kirman), bahkan pada abad ke-5
(Luristan dan Mardin). Para Atabek41 yang berasal dari Kaum Saljuk ini dapat
dikatakan mempersatukan dunia Islam dalam faham Sunni, tetapi perang-perang
yang sering terjadi di antara mereka sendiri dan fanatisme mereka yang kadang-
kadang berlebihan terhadap faham keagamaan mereka membuat kekuatan Islam
semakin memudar.42
40 Hasan Sadiqi, Op Cit., h. 15841 Atabek ialah suatu gelar yang diberikan oleh Bani Saljuk kepada para pembesar istana,
menteri dan panglima perang. Sebagian Atabek ini berhasil mengambil alih kekuasaan, sehinggapada abad ke-12 M lahirlah beberapa kerajaan kecil didaratan Persia dan Syam yang berkuasa cukuplama. Atabek yang paling terkenal adalah Atabek Azerbaijan dan Persia. Lihat www.Wikipedia.com
42 Machasin, “Peradaban Islam Masa Daulah Abbasiyah: Masa Kemunduran” dalam SitiMaryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta:LESFI,2004) h. 114
34
Berkey menjelaskan keadaan masyarakat pada masa itu sebagai masyarakat
yang mempunyai beberapa karakteristik: pertama, masyarakat Muslim pada saat itu
mempunyai kecenderungan untuk berbagi dengan kebudayaan-kebudayan asing,
seperti didalam institusi-institusi sosial, pendidikan dan tentunya politik. Kedua,
masyarakat Islam pada saat itu mempunyai kecenderungan kreatif –kadang-kadang
simbiotis, kadang-kadang kompetitif diantara otoritas agama dan politik, kedua
otoritas ini saling menjalin tetapi tidak pernah identik. Dan karakteristik terakhir
masyarakat Islam pada saat itu adalah cenderung memisahkan urusan politik dan
urusan sosial, artinya ketika Bagdad beralih kekuasaan dari satu dinasti ke dinasti
lain kosmopolitanisme kota tersebut tetap terjaga.43
Marshal G. Hudson memasukkan masa ini kedalam periode tengah awal
(945-1258 M) yang di tandai dengan internasionalisasi dunia Islam, dalam
pengertian bahwa pada saat itu, dan sampai sekarang, persatuan dunia Islam tidak
lagi merupakan sesuatu yang mewujud dalam kehidupan politik dan kebudayaan.44
Tidak ada lagi kekuasaan politik yang dapat mengklaim sebagai penguasa politik
dan peradaban, dengan bahasa sebagai wahana ekspresinya, tidak lagi satu. Bagdad
tidak lagi menjadi peradaban tunggal yang disebut peradaban Islam, melainkan
menjadi semacam provinsi saja dari dunia Islam yang dikelola sendiri-sendiri oleh
pemimpin-pemimpin daerah. Diantara itu bahkan ada yang menguasai Bagdad dan
menjadikannya, secara de facto, politik, dan peradaban, sebagai bagian dari
wilayahnya.
43 Jonathan P. Berkey, The Formation of Islam: Religion and Society in the Near East,600-1800, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003) p. 184-185
44 Periode Tengah yang membentang dari pertengahan abad ke-9 sampai abad ke-16 dibagimenjadi Periode Tengah Awal (Earlier Middle Period, 950-1250) dan Periode Tengah Akhir (LaterMiddle Period, 1250-1500) lihat Marshall G. Hudson, The Venture of Islam II, (Chicago & London:The University of Chicago Press, 1974) h. vi
35
Dalam bidang keagamaan, masa ini ditandai dengan kemenangan Kaum
Sunni, terutama dengan kebijakan Nizhamu al-Mulk45 mendirikan sekolah-sekolah
yang disebut dengan namanya, Madarasah Nizhamiyah yang termasyhur itu. Al-
Ghazali merupakan salah seorang pengajar di sekolah-sekolah ini dan jasanya
sangat besar dalam memformulasikan faham Sunni. Madrasah-madarasah ini selain
mendidik anak-anak dalm bidang ilmu keagamaan Islam pada umumnya, juga
berperan besar dalam menyebarkan dan memperkokoh Mazhab Sunni. Dalam fiqh,
madrasah-madrasah yang didirikan di Bagdad, Nisyapur dan ibukota-ibukota
provinsi Timur ini mengajarkan Mazhab Syafi’i, sedangkan dalam Teologi,
mengajarkan Mazhab Asy’ari. Imam al-Haramain al-Juwaini, guru al-Ghazali,
adalah kepala madrasah Nizhamiyah di Nisyapur.46
Secara intelektual, terdapat dua aliran besar yang memandang dunia dengan
cara yang berbeda, yang oleh Watt disebut dengan mentalitas Arab dan mentalitas
Persia. Yang pertama dengan representasi Kaum Hambali berusaha untuk
mendasarkan semua segi kehidupan., baik individual, sosial maupun politik atas
Qur’an dan Sunnah. Secara umum ini berarti bahwa kehidupan mesti didasarkan
pada intuisi, pada ide-ide yang tidak dihasilkan melalui penalaran. Dalam bidang
sastra Arab, pandangan dunia seperti ini melahirkan karya-karya sastra Arab yang
sulit dimengerti oleh orang-orang non Arab. Karya monumental dalam hal ini
adalah Maqamat al-Hariri.47
45 Nizhamul Mulk merupakan seorang wazir pada dua kesultanan Bani Saljuk; periode AlpArselan dan Malik Shah. Penguasa yang kedua merupakan masa dimana kejayaan kesultanan Saljukmencapai puncaknya. Nizhamul Mulk bukan hanya soerang ahli politik, tetapi juga seorangpanglima, filsuf, seorang alim yang luas pengetahuannya dan suka pada alim-ulama. Lihat Syalaby,op cit. H. 341-342
46 Mulyadi, Reaktualisasi….Op Cit. h. 27-2947 Watt, The Majesty…Op Cit. h. 254
36
Di pihak lain, terdapat orang-orang yang mendukung penggunaan nalar
dalam model Yunani. Representasi mereka paling ekstrim adalah kaum filsuf, tetapi
mereka tidak masuk dalam main stream pemikiran Islam. Kaum Mu’tazilah yang
sebelumnya memainkan peran dominan dalam bidang politik juga tidak mendapat
jalan masuk kedalam arus utama kaum Muslimin. Penggunaan akal yang banyak
mempertahankan “otoritas” menyebabkan orang menganggap mereka tidak
menghargai firman Allah sebagaimana mestinya. Asy’ari sendiri pun, setelah
meninggalkan kelompok ini, masih mendapat kecaman dari Kaum Hambali ekstrim
karena Ia menggunakan penalaran dalam berbagai penjelasan teologisnya.48
Hal lain yang perlu di catat dari masa ini dan masa sebelumnya adalah
munculnya berbagai dinasti di dunia Islam yang menggambarkan mulai hilangnya
persatuan dunia Islam di bidang politik. Tercatat Dinasti Fatimiyah lahir di Mesir
(969 M) dan bertahan sampai tahun 1171 M. sebelum itu, Dinasti Ikhsyid berdiri
disana pada tahun 935 M dan masa kekuasaannya berakhir pada tahun 969 M. di
Mosul (929-991 M) dan Aleppo (944-967 M) Kaum Hamadan berkuasa untuk
beberapa lama. Di Iran Dinasti Saman berkuasa pada tahun 874-999 disamping
Bani Buwaihi sendiri. Lebih ke Timur lagi, Kaum Ghaznawi berkuasa untuk waktu
yang cukup lama.49
Dari segi budaya dan pemikiran keagamaan, terdapat berbagai wilayah
dengan pusatnya sendiri yang masing-masing mempunyai peran sendiri dalam
mengekspresikan Islam, sesuai dengan kondisi masing-masing. Andalusia dan
Afrika Utara mengembangkan seni yang mencapai puncaknya pada al-Hambra dan
48 Ibid. h. 254-25549 Lihat Machasin Op Cit. h. 115
37
pemikiran filsafat dengan tokoh Ibnu Tufail dan Ibn Rusyd. Mesir dan Syria
disatukan di bawah kekuasaan Kairo dan akhirnya menjadi pusat sastra Arab setelah
jatuhnya Bagdad di bawah tentara Mongol. Negeri-negeri Iran mengembangkan
bahasa Parsi sebagai medium budaya yang utama, sementara kaum Muslimin di
India mengembangkan tradisi pemerintahan mereka sendiri di samping stratifikasi
keagamaan dan sosial. Di belahan Utara, sekitar daratan Eurasia, kaum Muslimin
membentuk dunia mereka sendiri, sebagaimana saudara-saudara mereka di lautan
India.50
II. Masa Sesudah Kekuasan Kesultanan Saljuk (552-656 H./ 1157-1258 M.)
Sesudah masa kekuasaan kesultanan Saljuk, para khalifah tidak lagi dikuasai
oleh kaum tertentu. Akan tetapi, negara sudah terbagi-bagi kedalam berbagai
kerajaan kecil yang merdeka. Adalah khalifah al-Nashir (1180-1255 M) yang
berusaha untuk mengangkat kewibawaan kekhalifahan Abbasiyah. Untuk itu Ia
mencari dukungan atas kedudukannya dengan bekerjasama dengan suatu gerakan
dari orang-orang yang memuja Ali. Orang-orang dari kalangan pengrajin dan
pedagangn ini meyakini Ali sebagai pelindung kelompok usaha mereka. Anggota
kelompok ini bertemu secara teratur, dan tidak jarang melakukan latihan-latuihan
spritual, di bawah pimpinan seorang pir.51 Secara sepintas, Ia memang menyerupai
gerakan tarekat, namun dasar mereka bukan agama, melainkan futuwwah
(mengingat kata fata berarti pemuda, kata ini barangkali dapat diterjemahkan
dengan gairah dan semangat hidup yang menjadi ciri utama kepemudaan), yang
50 Hodgson, The Venture of Islam II, h. 951 Pir adalah istilah bahasa Persia sebagai padanan kata “mursyid” atau guru dalam gerakan
tarekat. Lihat www.Wikipedia.com
38
bersifat humanitarian dan sekular, walaupun warna keislaman masih kelihatan
dalam gerakan ini, seperti terlihat adanya pir sebagai pembimbing. Khalifah al-
Nashir menempatkan dirinya sebagai pelindung dari gerakan ini dan menekankan
aspek-aspek olahraga seperti panahan. Dengan itu Ia mengajak pangeran-pangeran
dari luar kekuasaannya bergabung. Usaha ini memperoleh keberhasilan yang cukup
nyata, walaupun tidak kuasa untuk membangun kembali kekhalifahannya. 52
Akan tetapi, kekuatan-kekuatan pesaing dari dunia Islam sendiri terlalu
besar untuk Sang Khalifah. Sementara itu, kekuatan Mongol Tartar mulai merayap
dari arah Timur Laut dan menjarah negeri-negeri yang dilaluinya. Akhirnya, pada
tahun 656/1258 Hulagu dengan pasukannya memasuki Bagdad dan membunuh
khalifah al-Musta’shim dan membumihanguskan kota Bagdad juga. Mereka
menjarah harta, membakar kitab-kitab dan menghancurkan banyak bangunan.
Dengan dimikian berakhirlah kekhalifahan Bani Abbas di Bagdad.53
B. Khalifah-Khalifah Dinasti Abbasiyah
Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah pada masa ke-IV terbagi menjadi
kekhalifahan yang berada dibawah kontrol kesultanan Saljuk dan kekhalifahan pada
masa di mana Dinasti Abbasiyah berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh dinasti-
dinasti lain. Selama periode kekuasaan kesultanan Saljuk, ada enam khalifah yang
memerintah Dinasti Abbasiyah;
52 Machasin, Op Cit. h. 11753 Ada sebuah informasi yang mengatakan bahwa keluarga khalifah melarikan diri ke Kairo
dan kemudian di tasbihkan kembali sebagai khalifah disana oleh Mamluk Sultan Baybar, akan tetapiposisi kekhalifahan tersebut tidak diakui diluar daerah Mamluk. Jadi sebenarnya kekahlifahanDinasti Abbasiyah belum benar-benar berakhir karena al-Mustashir kemudian menjadi khalifahDinasti Abbasiyah yang dilindungi oleh Dinasti Mamluk kemudian berturut-turut 18 khalifahselanjutnya sebelum kekhalifahan benar-benar berakhir setelah diangkat Raja Salim I dari DinastiUsmaniyah pada tahun 918 H/1517 M. lihat Berkey, Op Cit. h. 182-183
39
1. Al-Qaim 1031 – 1077 M
2. Al-Muqtadi 1077 – 1094 M
3. Al-Mustahzar 1094 – 1118 M
4. Al-Mustarshad 1118 – 1134 M
5. Al-Rasyid 1134 – 1135 M
6. Al-Muktafi 1135 – 1160 M54
Al-Qaim dicopot oleh penguasa Dinasti Buwaihi, akan tetapi kemudian
Sultan Saljuk mengembalikan kedudukannya. Restorasi tersebut pada hakikatnya
tidak membawa kekuatan politik apapun, kecuali hanya simbol persatuan dan
pemimpin agama/spiritual. Al-Qaim sadar bahwa ini hanya pergantian penguasa
sesungguhnya dari Bani Buwaihi ke Sultan Saljuk, dan tentunya Dia berfikir bahwa
Ia sama saja sebagai tawanan di tangan Sultan Saljuk sebagaimana Ia menjadi
seperti itu di masa kekuasaan Dinasti Buwaihi.55
Al-Muqtadi yang menggantikan al-Qaim berkuasa sekitar I7 tahun.
Meskipun Ia mempunyai kualitas yang mumpuni sebagai seorang khalifah, Ia tidak
memberi pengaruh terhadap administrasi negara dan tetap menjadi boneka
(figurehead). Selama masa kekuasaannya, kaum muslimin kehilangan Sisilia,
kehilangan tanah kekuasaan di Spanyol dan bahkan daerah kekuasaan Dinasti
Abbasiyah di rongrong oleh para Pasukan Salib (crusaders). Khalifah terlalu lemah
untuk melakukan sebuah tindakan dan tidak mempunyai pilihan lain selain melihat
ketidakberuntungan kaum Muslimin.56
54 Masudul Hasan, History of Islam Vol. I, (New Delhi: Adam Publishers & Distributor,1995) h. 307
55 Ibid. h. 30856 Sir William Muir, The Caliphate: its Rise, Decline, and Fall, (London: Darf Publisher
Ltd, 1985) p. 557
40
Al-Mustahzar adalah khalifah selanjutnya yang memerintah selam 24 tahun.
Pada masa kekhalifahannya, Kaum Saljuk saling berperang diantara mereka sendiri,
akan tetapi tetap khalifah tidak mampu mengembalikan kejayaan Dinasti
Abbasiyah. Al-Mustarshid adalah khalifah selanjutnya yang merasa marah karena
kelemahan kekhalifahan pada saat itu sehingga Ia berusaha keras untuk
mengembalikan kekuatan Bani Abbasiyah, akan tetapi semua usahanya sia-sia
belaka. Sebagai akibat dari tindakannya tersebut, al-Mustarshid harus menerima
penghinaan sebagai tahanan Sultan Saljuk saat itu, yaitu Sultan Mas’ud.57
Pengganti al-Mustarshid adalah khalifah al-Rasyid yang mengembangkan
perbedaan dengan Kesultanan Saljuk, sehingga Ia dicopot dari posisinya yang baru
berjalan satu tahun. Al-Muktafi menggantikan al-Rasyid sebagai khalifah, saat
Sultan Saljuk Mas’ud meninggal pada tahun 1152 yang memberikan kesempatan
besar bagi Khalifah Abbasiyah yang berkuasa untuk melepaskan pengaruh dan
kekuasaan Dinasti Saljuk.58
Kemudian periode kekhalifahan Dinasti Abbasiyah selanjutnya adalah
periode dimana Dinasti Abbasiyah tidak berada dalam pengaruh dan kekuasaan
dinasti lain hingga dinasti ini hancur lebur ditangan Pasukan Mongol yang dipimpin
oleh Hulagu Khan. Selama periode ini, ada tujuh khalifah yang memerintah:
1. Al-Muktafi 1135 – 1160 M
2. Al-Mustanjid 1160 – 1170 M
3. Al-Mustnazii 1170 – 1179 M
4. Al-Nashir 1179 – 1225 M
57 Ibid. h. 57858 Ibid. h. 579
41
5. Al-Zahir 1225 – 1226 M
6. Al-Mustansir 1226 – 1242 M
7. Al-Musta’sim 1242 – 1258 M59
Ketika kematian Sultan Saljuk, Mas’ud, Khalifah Abbasiyah saat itu, al-
Muktafi kemudian membuang pengaruh dan kekuasaan Kaum Saljuk. Ia adalah
khalifah yang kuat, dan di bawah kekuasaannya kekhalifahannya yang telah lama
menjadi pemimpin boneka selama kurang lebih dua abad, kembali mendapatkan
ujian untuk menegakkan puing-puing yang hampir runtuh itu, Dia mengembalikan
kemasyhuran yang telah lama hilang, akan tetapi itu semua hanya ilusi yang tidak
mengarah ke hasil yang nyata.60
Al-Mustanjid yang menggantikan al-Muktafi memerintah selama 10 tahun.
Meskipun Dinasti Abbasiyah berhasil melenyapkan pengaruh dan kekuasaan
Saljuk, kekuasaan khalifah tidak mencukupi untuk menegakkan kemasyhuran
dikarenakan dominasi Dinasti Abbasiyah telah terbatas hanya di beberapa bagian
negeri Irak, dan kekhalifahan Dinasti Abbasiyah telah turun hanya menjadi
kekuasaan daerah provinsi saja.61
Al-Mustanzii, khalifah yang selanjutnya berkuasa selama 9 tahun. Selama
kekuasaannya, rivalnya kekhalifahan Fatimiyah di Kairo telah menjadi lemah, dan
Mesir, Syria, serta Afrika Utara telah kembali kepangkuan Kekhalifahan
Abbasiyah. Itu merupakan sebuah prestasi yang besar selama proses pemulihan,
59 Mas’udul Hasan, Op Cit. h. 30860 William Muir, Op Cit. h. 379-38061 Mas’udul Hasan, Op Cit. h. 308
42
akan tetapi prestasi tersebut tidak mencukupi untuk mengembalikan kekuatan
Dinasti Abbasiyah ditengah momen kemunduran yang tidak bisa dihentikan.62
Al-Nashir adalah khalifah selanjutnya yang ,menikmati kekuasaannya
selama 46 tahun. Itu merupakan waktu pemerintahan yang paling lama sepanjang
kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Dikala Kaum Saljuk berusaha mengembaliklan
kekuasaannya, Khalifah Abbasiyah menjalin kekuatan dengan kekuatan yang lagi
menanjak yaitu Khawarzam Shah. Hubungan ini dijalin untuk membuat usaha
Dinasti Saljuk menjadi gagal dan hancur dengan sendirinya yang pada akhirnya
mereka lenyap pada tahun 1194 M.63
Daerah kekuasaan Saljuk kemudian diambil alih oleh Khawarzam Shah dan
Ia meminta khalifah memberi gelar sultan kepadanya. Khalifah menolak permintaan
tersebut. Dalam kondisi kekecewaan, khalifah melihat kemungkinan meminta
bantuan Mongol untuk melawan Khawarzam Shah. Pasukan Mongol mengalahkan
Khawarzam Shah dan melenyapkan bahayanya terhadap kekhalifahan, akan tetapi
hubungan tersebut mengundang pasukan Mongol untuk mencampuri urusan-urusan
kaum Muslimin dan kekhalifahan yang pada gilirannya memenjarakan khalifah
dirumahnya sendiri.64
Al-Zahir adalah khalifah selanjutnya yang berkuasa tidak sampai setahun. Dia
mengenalkan beberapa gerakan reformasi, tetapi dilihat dari pendeknya Ia berkuasa,
gerakan reformasi tersebut tidak memberi dampak yang besar terhadap sistem
administrasi negara.65
62 Ibid.63 William Muir, Op Cit. h. 58164 Ibid. h. 58265 Ibid. h. 583
43
Al-Mustansir adalah khalifah selanjutnya yang berkuasa selama 16 tahun.
Pada masa pemerintahannya, pasukan Mongol meningkat jumlahnya di Timur
sambil membawa api dan pedang, dan kaum Muslimin tidak bisa berbuat apapun
untuk membendung gelombang besar berupa meningkatnya jumlah pasukan
Mongol.66
Al-Musta’sim merupakan khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiyah. Pada
tahun 1258 M, kota Bagdad telah ditaklukkan oleh pasukan Mongol. Khalifah di
injak-injak oleh kuda-kuda Mongol yang menunjukan akhir dari kekuasaan selama
508 tahun dari tahun 750 M sampai 1258 M. menurut Masudul Hasan, kekuasaan
ini merupakan yang terlama didalam sejarah, setelah lama berkuasa, itu sebuah
fenomena alami bahwa Dinasti besar seperti Abbasiyah harus lenyap juga.67
C. Sultan-Sultan Saljuk
Tahun 1055 M, Tughril Bek pergi ke Bagdad atas undangan khalifah al-Qaim
yang memberikannya julukan ”sultan”. Sebagai sultan, semua otoritas khalifah
kemudian di ambil alih oleh Kaum Saljuk. Kesultanan Saljuk melaksanakan otoritas
ini selama 97 tahun 1055 – 1152 M, selama periode ini sultan-sultan Saljuk adalah:
1. Tughril Bek 1055 – 1063 M
2. Alp Arselan 1063 – 1073 M
3. Malik Shah I 1073 – 1092 M
4. Mahmud I 1092 – 1094 M
5. Barkiyaruk 1094 – 1094 M
66 Ibid.67 Masudul Hasan, Op Cit., h. 309
44
6. Malik Shah II
7. Muhammad 1104 – 1118 M
8. Mahmud II 1118 – 1130 M
9. Daud 1130 M
10. Tughril Bek II 1130 – 1134 M
11. Mas’ud 1134 – 1152 M68
Selama periode ini, Dinasti Saljuk mempunyai sebelas penguasa atau sultan.
Dari semua itu hanya terdapat lima penguasa besar. Meskipun Kaum Saljuk
memegang tampuk kekuasaan kesultanan selama 97 tahun, kejayaan
pemerintahannya tidak lebih dari 37 tahun. Setelah Tughril Bek, Alp Arselan
melanjutkan penaklukan-penklukan. Ia menaklukan Syria, Hijaz, Armenia, Yaman,
dan Hald. Kejayaan yang gilang-gemilang dalam karir kekuasaan Saljuk adalah
kemenangan di perang Manzikert tahun 1071 M, melawan pasukan Byzantium. Di
bawah kekuasaan Malik Shah I, pengganti Alp Arselan, Saljuk mencapai puncak
kejayaannya. Daerah kekuasaan Saljuk pada masa itu menyebar ke perbatasan Cina,
Mediterania, dan dari Giorgia hingga Yaman.69
Setelah Malik Shah, kejayaan Bani Saljuk telah selesai, dimana dominasi
Dinasti ini di hancurkan sendiri oleh penerus-penerusnya. Mahmud anak Malik
Shah, hanya memerintah selama 2 tahun saja. Kemudian kekuasaannya dilanjutkan
oleh saudaranya Barkiyaruk yang memerintah selama 10 tahun, rentang kekuasaan
ini hanya di penuhi oleh perang sipil dan akhirnya Ia di copot oleh pamannya
sendiri Muhammad. Muhammad kemudian memerintah selama 14 tahun.
68 Ibid. h 36369 Fidai, Concise History…Op Cit. h. 127-135
45
Muhammad merupakan sultan yang bijaksana dan gagah berani, dan dia bnayak
melakukan usaha-usaha untuk membangkitkan kembali kejayaan Dinasti Saljuk
pada masa awal.70
Proses perpecahan mulai terlihat ketika kematian Malik Shah II, terlalu kuat
untuk dihentikan, dan usaha yang di buat oleh Muhammad telah menjadi sia-sia.
Muhammad digantikan oleh anaknya Mahmud II. Ia memerintah selama 12 tahun,
akan tetapi sebagian besar dari kekuasaannya hanya dipenuhi oleh kekacauan.
Setelah Mahmud II, kembali muncul perselisihan perebutan kekuasaan. Daud
kemudian berkuasa selama beberapa bulan, kemudian dilanjutkan oleh Tughril Bek
II. Kekuasaannya berlangsung selama 4 tahun dan sebagian besar dari itu adalah
perselisihan, Ia telah kehilangan kekuatannya, dan harus melarikan diri untuk
mencari perlindungan. Penguasa selajutnya adalah Mas’ud yang memerintah sekitar
18 tahun dari tahun 1134 hingga 1152 M. Periode kekuasaannya dipenuhi oleh
kekacauan, perang sipil dan permusuhan dengan khalifah.71
Setelah kematian Mas’ud, Khalifah Abbasiyah telah menghilangkan pengaruh
dan kekuasaan Sultan Saljuk, dan Saljuk tidak diakui sebagai sultan lagi. Kekuasaan
Mas’ud kemudian diganti oleh Malik Shah III, yang kemudian dicopot dari
kedudukannya pada tahun itu juga. Penguasa selajutnya adalah Muhammad II,
kekuasaannya berakhir pada tahun 1159 M. selama periode disintegrasi, kekuatan
Dinasti Saljuk mengalami fluktuasi/naik-turun. Para Pangeran Saljuk terus
melanjutkan peperangan sipil dan beberapa amir melepaskan diri dari kekuasaan
Dinasti Saljuk.
70 Mas’udul Hasan. Op Cit. h. 36471 Ibid. 364
46
Setelah kematian Muhammad II. Dominasi Saljuk benar-benar semu.
Kemudian Ia digantikan oleh Sulaiman, akan tetapi kemudian dicopot kembali di
tahun yang sama. Penguasa selanjutnya adalah Arselan Shah yang mencoba
mengembalikan kesultanan, tetapi gagal. Dia berkuasa sekitar 15 tahun, dengan
kekuasaan yang tidak berarti apa-apa. Arselan Shah kemudian digantikan oleh
Tughril Bek III yang merupakan penguasa terkhir Dinasti Saljuk. Saljuk benar-
benar berakhir tahun 1194 M ketika Khawarzam Shah mengambil alih kekuasaan
Kaum Saljuk setelah Perang Ray.72
D. Relasi Kekuasaan Khalifah Abbasiyah dan Sultan Saljuk
Khalifah adalah istilah yang secara etimologis bermakna pengganti. Makna
pengganti ini dialamatkan bagi mereka, pada awal kemunculannya, yang
menggantikan posisi Rasulullah yang bertindak sebagai pemimpin negara dan
agama sekaligus.73 Pada abad pertama dan kedua Hijriyah, persoalan keagamaan
dan politik yang muncul adalah persoalan pemilihan dan penggantian khalifah,
karena khalifah mempunyai posisi sentral dalam struktur masyarakat Islam, dengan
kata lain khalifah dapat dibilang sebagai pelanjut fungsi dan kedudukan Rasul.
Khalifah sendiri mengalami perluasan pemahaman, yakni kekuasaan khalifah
dipercayai diturunkan dari Tuhan, seperti apa yang dipercayai oleh kaum Syiah.74
Kemudian ditemukan istilah Amir yang merupakan pemimpin agama dan
politik yang digunakan oleh Dinasti Buwaihi yang menguasai Dinasti Abbasiyah
72 Amir Hasan Sadiqi, Caliphate and Sultanate in Medieval Persia. h. 36473 Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah, Kairo: Musthafa al-Halaby wa
Awladuh, 1960, diterjemahkan oleh Nur Mufid al-Ahkam al-Sultaniyah, Jakarta: Pustaka Progresif,2000. h. 43 -44
74 Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Tarikhu al-Thabari: Tarikhul Umam wa al-Muluk,Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, h. 191
47
pada sekitar tahun 334-447 H/847-946 M. Selanjutnya terdapat istilah Sultan yang
digunakan pertama kali oleh kaum Turki Saljuk yang menguasai Dinasti Abbasiyah
setelah Dinasti Buwaihi runtuh. Sultan pada awal munculnya bermakan menarik,
karena ia digunakan sebagi nama bagi penguasa politik dan bukan agama yang
masih dipimpin oleh seorang khalifah (Abbasiyah).75
Ketika Tughril telah diberi hak hukum (yuridiksi) atas ”semua negeri yang
pemerintahannya dianugerahkan Tuhan kepada khalifah” dan akhirnya kesultanan
menerima dukungan legal dari kekhalifahan. Derajat kesultanan naik lebih tinggi
lagi ketika Tughril mengunjungi Bagdad untuk ketiga kalinya dan menyelamatkan
khalifah yang ditahan oleh Basasiri yang memproklamirkan kekuasaan kekhalifahan
di Mesir (Bani Fatimiyah). Khalifah pada saat itu menyerahkan satu-satunya pedang
yang dipunyainya dan mengganti julukan Rukn al-Din (tonggak agama) ke Rukn al-
Daulah (tonggak negara)76 Setelah kekuasaan sepenuhnya berada ditangan Tughril,
Ia tidak pernah berfikir untuk menduduki Bagdad, karena ia memandang eksistensi
Bagdad sebagai ibukota yang dipimpin khalifah suci yang pada gilirannya
melahirkan dualisme ibukota; pemerintahan yang berada di Nisyapur kemudian di
Raiyi.77
Dualisme yang terjadi pada masa dinasti abbsiyah periode ke IV mempunyai
kekhasan tersendiri. Dibanding dengan masa dinasti Abbasiyah ketika dikooptasi
oleh dinasti Buwaihi yang menjadikan fungsi dan kekuasaan khalifah benar-benar
mandul baik secara agama maupun politik. Sedangkan pada masa Dinasti Saljuk
menguasai Dinasti Abbasiyah, mereka tetap meyakini dan menetapkan bahwa
75 Al-Mawardi, Op Cit, . h. 4276 Ibid h. 15677 Syalaby, Op Cit. h. 340
48
Khalifah Abbasiyah yang merupakan keturunan kaum Quraisy harus dan paling
layak menjadi pemimpin kaum Muslim secara agama. Dan secara politis dikuasai
penuh oleh Kaum Sajuk.
Keadaan ini didorong bahwa mereka adalah penganut Sunni atau Ahl al-
Sunnah wa al-Jamaah yang memandang hadits Rasulullah Saw yang berbunyi al-
aimmata mi qurasyin (para imam/pemimpin hendaknya berasal dari kaum atau
keturunan Quraisy) sah adanya dan harus dilakasanakan. Mereka melihat bahwa
keberadaan dan ajaran pemimpin agama harus berasal dari Kaum Quraisy tidak bisa
diganggu gugat. Meskipun pada yang saat yang sama mereka merengkuh secara
total kekuasaan politik.
Kekuasaan politik Kaum Saljuk menurut Ira M. Lapidus telah menyatukan
kembali sebagian besar peninggalan imperium Abbasiyah, mengobarkan kembali
impian kesatuan muslim dan imperium universal.78 Mereka telah mengembalikan
minimal salah satu fungsi khalifah yang dari awal kemunculannya dianggap yang
paling penting yaitu fungsi pemimpin agama. Dan sekaligus mengambil fungsi yang
lain (politik) secara total dengan memperkuat posisi dan kekuatan militer yang
memang menjadi ciri khas bangsa Turki.
78 Lapidus, Op Cit, h. 221
49
BAB III
KEMAJUAN ILMU-ILMU ISLAM
Pada zaman kejayaan Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada dua periode masa
kekuasaan Abbasiyah, perkembangan ilmu pengetahuan Islam begitu pesat. Pada
dua periode tersebut, dasar-dasar metodologi seluruh disiplin ilmu Islam
dirumuskan. Teori tentang penelitian hadist Nabi muncul dan berkembang sejalan
dengan pelacakan-pelacakan sabda-sabda Nabi yang berserakan diberbagai tempat
oleh peneliti yang tekun menghimpun dan menganalisisnya. Penetapan hukum
Islam yang menuntut ijtihad maksimal juga mendorong munculnya metodologi
istimbath atau penetapan hukum untuk kemaslahatan kaum muslimin. Metodologi
penafsiran al-Qur’an menjadi sesuatu yang harus dan wajib dikuasai setiap orang
yang akan menafsirkan al-Qur’an. Dari pembahasan aspek metodologi inilah
muncul kemudian ilmu-ilmu Bantu yang menjadi pedoman bagi peneliti ilmu-ilmu
keislaman seperti ulumul hadits, ulumul Qur’an, ushul fiqh, dan lain sebagainya.
Dari metodologi ini muncul ilmu-ilmu yang menjadi produk penelitian dimaksud.79
Tentang ilmu Islam apa sajakah yang muncul secara periodik, A. Hasymy
menyatakan:
Pada awal sejarahnya, ilmu-ilmu islam berkembang dalam qira’ah, tafsir,dan hadis; kemudian menyusul ilmu fiqh. Ilmu-ilmu ini bertambah suburberkembang, sesuai dengan evolusi kemajuan masyarakat. Telah diketahui,bahwa ilmu fiqh telah matang dan kokoh kaidah-kaidahnya pada masaDaulah Abbasiyah I dan Hadist pada zaman daulah Abbasiyah II. Di tengah-tengah itu, lahir cabang-cabang ilmu Islam yang mengiringi berkembangnyafilsafat dan ilmu-ilmu lama lainya, sementara dalam zaman-zamanberikutnya tumbuh pula berbagai cabang ilmu lainnya.80
79 Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam. h. 15780 A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) h. 191
50
Fenomena menarik pada masa ini adalah bahwa para pengembang dan
tokoh-tokoh ilmu-ilmu Islam bukan berasal dari kaum Arab akan tetapi mereka
yang berasal dari kaum ‘ajam (orang bukan Arab). Fenomena ini muncul menurut
Ibn Khaldun dan Nicholson, sebagaimana dikutip oleh A. Hasymy, disebabkan oleh
luasnya kekuasaan Daulah Abbasiyah yang mayoritas adalah daerah-daerah yang
ditinggali oleh orang-orang ‘ájam.81
Adapun kemajuan-kemajuan ilmu-ilmu Islam pada masa keempat Dinasti
Abbasiyah merupakan pelestarian dan pengembangan masa-masa sebelumnya. Pada
masa ini banyak sekali muncul ahli-ahli yang merupakan raksasa pemikir di
zamannya. Pada masa ini juga madrasah terkenal dan pertama dalam dunia Islam
dibangun dan telah banyak melahirkan ilmuwan-ilmuwan terkemuka semisal al-
Ghazali yang pernah mengepalai institusi tersebut. Diantara ilmu-ilmu Islam yang
dikembangkan pada masa ini adalah:
A. Ilmu Qur’an
Posisi Qur’an dalam syariat Islam adalah utama. Maksud dari posisi ini
adalah bahwa Qur’an merupakan rujukan utama dan menempati posisi nomor satu
dibandingkan dengan sumber-sumber syariat lainnya. Qur’an merupakan petunjuk
dan jalan yang harus diikuti oleh semua kaum Muslim tanpa melihat batasan ruang
dan waktu. Qur’an merupakan pembeda antara yang benar dan salah, Qur’an adalah
cara Tuhan menunjukkan garis-garis besar haluan hidup yang semua manusia diberi
pilihan untuk memilih yang terbaik.
81 Ibid. h. 225
51
Yang menjadi masalah adalah tidak semua pesan-pesan Qur’an jelas dan
mudah ditangkap (muhkamat), akan tetapi juga banyak dari sekian pesan-pesan itu
yang berarti berbeda-beda (mutasyabihat). Kata “berarti atau bermakna berbeda-
beda” adalah bahwa ayat-ayat mutasyabihat mempunyai maksud dan makna yang
lebih dari satu, sehingga memerlukan pemahaman mendalam apa maksud atau
makna yang dituju oleh ayat-ayat tersebut. Untuk memperoleh pemahaman tentang
ayat-ayat tersebut muncullah ilmu Qur’an.
Ilmu Qur’an disini berarti ilmu yang mempelajari tentang Qur’an dilihat dari
asbabun nuzul,82 muhkamat-mustyabihat,83 makkiyah-madaniyah, rasm,84 dan
qiraahnya85 al-Quran sebagai kitab suci terakhir dimaksudkan untuk menjadi
petunjuk, bukan saja bagi anggota masyarakat tempat kitab ini diturunkan, tetapi
juga bagi seluruh masyarakat manusia hingga akhir zaman. Kitab ini memuat tema-
tema yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Seperti pola hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan antar sesama manusia, dan hubungan manusia
dengan lingkungan alam sekitar.
Untuk memenuhi kebutuhan umat Islam, ilmu Qur’an selalu berkembang
dan melahirkan tokoh-tokoh penting pada setiap zaman. Pada masa keempat Dinasti
Abbasiyah yang mayoritas zamannya dikuasai Kesultanan Saljuk, perkembangan
82 Asbab al- nuzul berarti pengetahuan tentang sebab-sebab diturunnya suatu ayat al-Quranatau kejadian/peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hokum berkenaan turunnya al-Quran. LihatQuraish Shihab dkk., Sejarah dan Ulumul Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) h. 78-79
83 Makkiyah-Madaniyah adalah klasifikasi turunnya suatu ayat berdasarkan tempatditurunkannya, apakah di Mekkah (makkiyah) atau di Madinah (madaniyiah). Lihat Ibid. h. 64
84 Rasm adalah pola penulisan al-Quran yang digunakan Utsman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Quran. Lihat Ibid. h. 91
85 Qiraah adalah ilmu untuk mengetahui tatacara pengucapan lafal al-Quran, baik yangdisepakati maupun yang diperdebatkan oleh para ahli qira’at, seperti pengguguran huruf (hadf),penetapan huruf (itsbat), pemberian harakat (tahrik), pemberian tanda sukun (taskin), pemisahanhuruf (fasl), penyambungan huruf (washl) penggantian lafal-lafal tertentu (ibdal) dan lain sebagainyayang diperoleh dari indera pendengaran. Lihat Ibid. h. 99
52
ilmu Tafsir atau ilmu Qur’an telah menciptakan berbagai metode Tafsir, meskipun
beberapa metode merupakan metode Tafsir yang telah ditemukan oleh tokoh-tokoh
masa sebelumnya, metode-metode tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, tafsir bi al-ma’tsur adalah metode penafsiran secara harfiah
menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya, oleh karena itu tafsir ini juga
dinamakan tafsir bi al-riwayah (tafsir dengan riwayat) atau tafsir bi al-manqul
(tafsir dengan menggunakan pengutipan/naql). Penafsiran ini dapat ditempuh
dengan penafsiran ayat al-Quran dengan ayat-ayat al-Quran lainya, penafsiran al-
Quran dengan Hadits Nabi, penafsiran al-Quran dengan menggunakan pendapat
sahabat, dan penafsiran ayat al-Quran dengan menggunakan pendapat tabi’in.86
Diantara kitab-kitab Tafsir dan tokoh-tokoh yang menulisnya menggunakan
metode ini pada masa dinasti Abbasiyah Keempat adalah Ma’alaim al-Tanzil karya
al-Baghawi (w. 516 H/1122 M) dan Tafsir fi al-Qur’an al-Karim karya Abu al-
Fida’ Isma’il Ibn Katsir (w. 774H/1373 M).87
Kedua, al-Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan
menetapkan rasio sebagai titik tolak. Tafsir ini juga dinamakan tafsir bi al-ijtihad
(tafsir ijtihad). Karena penafsiran dengan corak ini didasarkan atas hasil pemikiran
seorang mufasir, perbedaan-perbedaan pandangan dalam penafsiran antar mufasir
lebih sering terjadi daripada metode tafsir bi al-ma’tsur.88
Adapun karya-karya dan tokoh-tokoh metode penafsiran ini yang lahir pada
masa keempat Dinasti Abbasiyah adalah Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an ditulis
86 Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, Op. Cit. h. 12087 Quraish Shihab dkk., Op Cit. h. 17688 Ibid. h. 179
53
oleh al-Alusi, Mafatih al-Ghaib ditulis oleh Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209 M) dan
Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil ditulis oleh al-Baidlawi.89
Ketiga, al-tafsir al-shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang dibagi
menurut jenis tasawuf, yaitu al-tafsir al-shufi al-nazhari (tafsir sufi teoritis) dan al-
tafsir al-shufi al-‘amali (tafsir sufi praktis). Metode penafsiran ini digagas oleh sufi
yang terkenal yang lahir pada masa keempat Dinasti Abbasiyah, akan tetapi berada
di luar kekuasaannya, maksudnya yang bersangkutan lahir di Spanyol yang
merupakan kekuasaan Dinasti Umayah Andalusia. Tokoh tersebut adalah
Muhyiddin Ibn ‘Arabi (560 – 620 H) yang menulis tafsir sufi yang berserakan dan
tidak fokus dalam bentuk sebuah buku, akan tetapi tulisan-tulisan tersebut sering
disandarkan kepada dua karya terbesarnya berjudul al-Futuhat al-Makkiyah dan
Fushush al-Hikam. Tokoh-tokoh lain yang menulis tafsir dengan metode ini adalah
Musa al-Uzdi al-Sami (w. 412/1021 M) dengan karyanya berjudul Haqa’iq al-
Tafsir dan Ibn Abi Nasr al-Baqli al-Syirazi (w. 666 H/1268 M) dengan kitab
berjudul al-Bayan fi Haqa’iq al-Qur’an..90
Keempat, al-tafsir al-falsafi adalah tafsir yang membahas persoalan-
persoalan filsafat. Dengan kata lain tafsir ini adalah metode penafsiran al-Quran
dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tokoh dan karya metode penafsiaran
ini adalah Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209 M) dengan kitabnya Mafatih al-Ghaib dan
al-Ghazali (w. 505/ 1111 M) dengan karyanya Tahafut al-Falasifah.91
Kelima, al-tafsir al-fiqhi adalah tafsir berorientasi atau memusatkan
perhatian kepada aspek hukum Islam (fiqh). Karena itu, mufasir pada metode ini
89 Ibid. 17890 Quraish Shihab, Op Cit., h. 182-18391 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Op Cit h. 77
54
merupakan seorang ahli hukum Islam yang berupaya memberikan penafsiran ayat-
ayat al-Quran dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan hukum Islam.
Adapun karya-karya dan tokoh-tokoh metode penafsiran ini yang lahir pada
masa keempat Dinasti Abbasiyah adalah Al-Kasysyaf karya al-Zamakhsari (w. 1133
M), al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Abu bakr Ibn Farh al-Qurthubi (w. 671
H/1273 M), Tafsir al-Kabir dan Mafatih al-Ghaib karya Fahkr al-Din al-Razi (w.
1209 M) yang merupakan jawaban terhadap tafsir al-Zamakhsari yang beraliran
Mu’tazilah, sedangkan al-Razi sendiri beraliran Asy’ariyah bermadzhab Syafi’i.92
Keenam, al-tafsir al-‘ilmi adalah penafsiran al-Quran dalam hubungannya
dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat yang ditafsirkan menggunakan metode ini
kebanyakannya adalah ayat-ayat kauniyah (alam semesta). Adapun karya-karya
dan tokoh-tokoh metode penafsiran ini yang lahir pada masa keempat Dinasti
Abbasiyah adalah Mafatih al-Ghaib ditulis oleh Fahkr al-Din al-Razi (w. 1209 M)
dan Ihya’ ‘Ulumuddin dan Jawahir al-Qur’an karya al-Ghazali (w. 505/ 1111 M)93
Karya-karya dan tokoh-tokoh ilmu Qur’an yang lahir pada masa keempat
Dinasti Abbasiyah bisa dikatakan telah menacapai kejayaan yang mengesankan
dalam bidang ini sehingga generasi Islam selanjutnya hanya kemudian
mengembangkan tidak sesignifikan pada masa ini. Dikatakan tidak terlalu
signifikan karena semua yang berkaitan dengan penafsiran al-Quran telah hampir
disempurnakan pada masa ini.
Ada dua penafsir terbesar yang lahir pada masa ini. Para ahli sejarah
menyebut mereka sebagai mufasir yang harus kita apresiasi secara khusus
92 Mas’udul Hasan, History of Islam, Op Cit., h. 60993 Quraish Shihab, Op Cit., h. 183-184
55
dikarenakan kontribusinya yang sangat besar terhadap disiplin Ilmu Tafsir/Qur’an.
Mereka adalah:
1. Abul Qasim Muhammad Bin Umar Al-Zamakhsyari (465-528 H/ 1074-1133M)
Meskipun Dinasti Abbasiyah keempat adalah dinasti dimana madzhab sunni
menjadi madzhab resmi negara, para ulama Mu’tazilah tetap memainkan peranan
aktif dalam ilmu tafsir. Mereka memiliki semangat yang besar untuk membebaskan
akal manusia dari belenggu tradisi dan kebiasaan-kebiasaan lama ke arah cara-cara
yang lebih baik. Banyak diantara ahli tafsir mereka telah tiada, namun salah satu
yang paling baik di antara mereka terus diabadikan dan telah mendapatkan
pengakuan oleh hampir semua bagian dan kelompok masyarakat Muslim, sebagai
puncak prestasi golongan Mu’tazilah dalam bidang tafsir adalah munculnya Al-
Zamakhsyari. Dia lahir di Zamakhsyar sebuah kota di Harzem yang kemudian
menjadi namanya. Kitab tafsirnya yang berjudul al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil
(penyingkap hakikat wahyu).94 Sang pengarang memberikan pengantar karyanya itu
dengan beberapa puisi yang dapat diterjemahkan sebagai berikut:
Banyak tafsir di dunia iniNamun saya jamin tidak satupun tafsir yang menandingi “penyingkap”Karenanya bila anda mencari bimbinganPegangilah bacaannyaDan “penyingkap” adalah penyembuh95
Salah satu keistimewaan tafsir ini adalah kebesaran pengarang, yang hampir
menguasai semua keterampilan dan ilmu Bahasa Arab yang sulit dicari
tandingannya. Kelebihan al-Zamakhsyari dibandingkan penafsir-penafsir lain
94 Kamil Y. Avdich, Meneropong Doktrin Islam, (Jakarta: Penerbit al-Ma’arif, 1982) h. 8795 Ibid
56
adalah pembuktian bahwa al-Quran adalah unik dengan susunan bahasa yang
berkait-kaitan. Al-Zamakhsyari mendapat ilmu kebahasaaraban yang dalam dengan
menetap di Hijaz dalam waktu yang lama dan bergaul dengan orang-orang Arab
padang pasir, yang memiliki bahasa yang terus dipelihara kemurnian dan keindahan
bahasa asli.96
Al-Zamakhsyari tidak hanya mahir dalam bahasa, akan tetapi diakui juga
sebagai salah satu ulama besar aliran Mu’tazilah. Dalam metode tafsirnya ia selalu
berpegangan kepada ayat-ayat yang mempunyai makna jelas (muhkamat), metode
tersebut diambil dari kutipan ayat al-Quran berikut ini “… di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Quran dan yang lain (ayat-
ayat) mutsyabihat….”. ayat-ayat mutasyabihat, menurut al-Zamakhsyari harus
disesuaikan maknanya dengan apa yang diungkapkan oleh ayat-ayat muhkamat.
Melalui kitabnya, secara bersamaan dia menunjuk beberapa ayat yang memiliki
makna jelas (muhkamat) yang mengandung ide-ide pokok dan kemudian
merangkum kandungan-kandungan lainnya, sehingga kesemuanya mengalir dalam
satu arus yang harmonis.97
Al-Zamakhsyari tidak percaya pada sihir dan menerangkan semua ayat yang
mengandung kata itu dengan rasional. Demikian juga dia tidak memegangi
kepercayaan umum bahwa jin itu dapat dilihat. Meskipun ia selalu dikritik oleh
lawan-lawannya, ia tetap menunjukkan keteguhan dan kembali menunjukkan bukti-
bukti yang memperkuat pilihan pendapat-pendapatnya.98
96 Ibid. h. 8897 Ibid. h. 8998 Ibid. h. 90
57
2. Fakhruddin Al-Razi (544-601 H/1149-1209 M)
Apabila Al-Tabari (w.310 H/ 922 M) mewakili para ahli tafsir terkemuka
dengan riwayat (al-tafsir bi al-riwayat) dan Az-Zarkasyi sebagai ahli tafsir bi al-
ra’yi, maka Al-Razi memperkenalkan konsep filosofis murni dalam tafsir (al-tafsir
al-falsafi). Al-Razi hadir ketika ilmu logika mendapat pengakuan sebagai suatu
disiplin tersendiri dan independen yang dia pergunakan sebagai tolak ukur bagi
semua disiplin pengetahuan. Pada masa itu filsafat dan teologi hampir bergabung
dalam satu disiplin, karena filsafat merupakan dasar bagi teologi.99
Al-Razi lahir, dekat kota Teheran, Iran yang sekarang ini. Dia adalah anak
seorang hakim dan ulama, dan kemudian dia dimasukkan ke sekolah hukum
Madzhab Syafi’i. Dia benar-benar ahli dalam semua cabang ilmu, karena itu ia
digelari ensiklopedi berjalan. Sesungguhnyapun sangat berorientasi filsafat, namun
dia tidak menyukai ide-ide Mu’tazilah dan bergabung untuk mengoreksi mereka.100
Kitab tafsirnya berjudul Mafatih al-Ghaib, karya besar ini ia penuhi dengan
berbagai hal yang tidak berhubungan dengan ayat-ayat, karena itulah banyak kritik
yang dilontarkan terhadap tafsirnya. Metode ini ia tempuh untuk menjelaskan dan
membuktikan al-Quran mengandung banyak arti dan ide, baik yang terang, maupun
yang tersembunyi, dan karena itu tidak ada penafsiran dan tidak ada bahan seluas
mungkin yang dapat mencukupinya. Oleh karena itu, ia menulis panjang lebar
tentang surat al-Fatihah yang hanya tujuh ayat itu.101
99 Ibid. h. 91100 Ibid. h. 92101 Ibid. h. 93
58
B. Ilmu Hadits
Hadits atau sunnah adalah perilaku, ucapan dan persetujuan/ketetapan Nabi,
yang kemudian menjadi sumber ajaran paling penting setelah al-Quran.102
Sedangkan ilmu hadits adalah ilmu yang mengkaji pengutipan secara cermat dan
akurat segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa sabda,
perbuatan, ketetapan (taqrir), sifat-sifat fisik dan non-fisik (ilmu hadits Riwayat)
dan ilmu yang membahas tentang para periwayat, syarat-syarat mereka, kelompok-
kelompok riwayat dan hal-hal yang berkaitan (ilmu hadits dirayat).103
Urgensi Ilmu hadits adalah untuk dapat membedakan hadits yang cacat dan
yang utuh, yang lemah (dlaif) dan yang (sahih)104, yang mauquf dan yang marfu’105
dan yang diterima (Makbul) dan yang ditolak (mardud).106 Pengklasifikasian dan
pengidentifikasian ini harus dilakukan untuk memperoleh hadits-hadits yang layak
digunakan sebagai dasar hukum, panduan hidup dan manfaat lainya dalam realisasi
sebagai Muslim yang baik.
Meskipun tidak setara dengan al-Quran, Haidts Nabi memiliki pengaruh
yang sama terhadap perkembangan pemikiran Islam. Dalam hadits, Muhammad
yang berbicara; dalam al-Quran Allah berbicara. Dalam hadits, hanya maknanya
102 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, terj. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998)h. 2
103 Ibid. h. xi-xii104 Hadits sahih adalah hadits yang muttashil sanadnya melalui periwayatan orang-orang
adil dan dhabit tanpa syadz dan illat (cacat), sedangkan hadits dla’if adalah hadits yang tidak dapatditerima dan tidak memenuhi syarat-syarat hadits dan hasan. Lihat Ibid hal 276 dan 304
105 Hadits marfu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, secara perkataanperbuatan, ketetapan, dan sifat, artinya sanadnya sampai ke Nabi. Sedangkan hadits mauquf adalahsesuatu yang disandarkan dan disanadkan kepada seorang atau sekelompok sahabat secara perkataan,perbuatan, ketetapan, maksudnya hadits tersebut sanadnya tidak sampai ke Nabi hanya sampai keSahabanya. Lihat Mahmud Taha, Taysir Musthalahul Hadits, (Beirut: Daarul Lilmalayin, 1977) h.104-107
106 Hadits makbul adalah hadits yang memenuhi syarat untuk diterima keabsahannya, baikhadits sahih ataupun hadits hasan. Sedangkan Hadits mardud adalah hadits yang tidak memenuhisyarat keabsahannya seperti mu’allal, mursal, mu’dlal dan lain sebagainya. Lihat Ibid. h. 29-102
59
yang diwahyukan; dalam al-Quran ungkapan dan maknanya merupakan wahyu
Allah. Landasan utama dalam kajian fiqih dan teologi adalah al-Quran, kemudian
diikuti oleh hadits. Di tengah masyarakat beragama. Orang Islam memiliki
keunikan tersendiri karena mengembangkan satu cabang ilmu yang berangkat dari
sekumpulan tradisi (hadits) keagamaan mereka.107
Setiap hadits yang sempurna terdiri dari dua bagian: rangkaian perawi
(isnad) dan naskah hadits (matn).108 Naskah muncul setelah rangkaian perawi, dan
harus dikatakan secara langsung: A meriwayatkan (haddatsa) kepadaku, bahwa B
meriwayatkan kepadanya dengan otoritas dari C, dengan otoritas dari D, dengan
otoritas dari E, yang berkata bahwa……formula serupa juga digunakan dalan kajian
historiografi dan nasehat-nasehat orang bijak. Dalam semua bidang itu, kritik yang
terlontar biasanya bersifat eksternal, menilai reputasi perawi yang menjadi jaminan
kemurnian hadits dan meneliti kesinambungan jalur riwayat itu sehingga sampai ke
Nabi sebagai pengujar pertama.109
Para ahli sepakat bahwa masa keemasan kajian hadits berada pada abad ke-3
Hijriyah, karena pada abad inilah lahir yang kita kenal sebagai al-kutub al-sittah
(enam kitab hadits) yang paling otoritatif di dunia Islam. Dari enam kitab tersebut,
urutan paling utama dan paling otoritatif ditempati oleh Jami’ al-Sahih yang
disusun oleh Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari (810 – 870 M). al-Bukhari seorang
keturunan Persia memilih 7.397 dari 600. 000 hadits yang ia peroleh dari 1.000 guru
107 Phillip K. Hitti, History of the Arabs, h. 493108 Matn adalah redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung pengertiannya. Sedangkan
isnad adalah rangkaian para perawi yang memindahkan matn dari sumber primernya. Lihat Al-Khatib, Op Cit. h. 11
109 Hitti, Op Cit. 494
60
dalam waktu rentang waktu 16 tahun perjalanan, dan kerja kerasnya di Basra,
Kufah, Madinah, Persia, Irak, Suriah, Hijaz, dan Mesir.110
Setelah kitab hadits al-Bukhari, posisi kedua ditempati oleh kitab al-Sahih
yang disusun oleh Muslim al-Hajjaj (w. 875 M) dari Naisyabur. Posisi berikutnya
ditempati oleh empat koleksi/buku hadits lain yang dianggap cukup otoritatif oleh
orang Islam. Keempat buku tersebut adalah Sunan Abu Dawud dari Basrah (w. 888
M), Jami’ al-Tirmidzi (w. 892 M), Sunan Ibn Majah dari Qazwin (w. 886 M) dan
Sunan al-Nasa’i yang meninggal di Mekkah pada 915 M.111
Adapun perkembangan studi hadits pada abad-abad selanjutnya merupakan
masa-masa pengembangan dari apa-apa yang telah dirintis oleh pendahulunya,
terutama tokoh-tokoh pada abad ke-3 Hijriyah. Setelah penulisan enam kitab hadits
yang paling otoritatif itu, studi-studi dan karya-karya selanjutnya hanya berkisar
pada kritik (tahqiq) dan pengembangan saja.
Trend tersebut juga berlaku pada perkembangan hadits pada abad keempat.
Pada masa ini muncul beberapa tokoh hadits dan karya-karyanya yang cukup
berpengaruh untuk studi dan perkembangan ilmu hadits pada masa itu dan untuk
masa-masa sesudahnya. Sesuatu yang paling menonjol dari sekian perkembangan
itu, adalah ditulisnya Tahdhib wa Istibsar oleh Muhammad Ibn Hasan Tussi – yang
dikenal sebagai Syeikh Tussi – merupakan salah satu buku dari empat buku utama
Hadits Madzhab Syiah.112 Syeikh Tussi yang hidup pada abad ke-5 Hijriyah
110 M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim Yang Mengubah Dunia, (Yokyakarta::Diglossia, 2007) h. 23-25. lihat juga Hitti, Ibid. h. 495
111 Hitti, Ibid. h. 495112 Kutub al-Sittah merupkan buku-buku hadits utama madzhab Sunni dan diakui juga oleh
mayoritas kaum muslimin, akan tetapi Madzhab Syiah memiliki sendiri empat buku utama (kutub al-arba’ah) yang mereka yakini sebagai rujukan setelah al-Quran. Buku-buku tersebut adalah Kafi,Man La Yahduruhu al-Faqih, Tahdhib wa Istibsar (terdiri dari dua buku). Lihat Majid Ma’arif, “An
61
memperkenalkan metode yang ia gunakan dalam menulis bukunya itu; yaitu metode
pengumpulan dan penafsiran (interpretasi) dari hadits-hadits yang cacat. Dia telah
menyempurnakan usaha-usaha muhaddits sebelumnya dengan memenuhi perhatian
terhadap area pembahasan ilmiah untuk koleksi hadits sebagai sumber ijtihad dan
fatwa.113
Pada masa ini juga muncul ilmuan hadits yang bernama Abu al-Fadhl
Muhammad Ibn Thahir al-Maqdisy (448 – 507 H). Al-Maqdisi inilah tokoh yang
mula-mula memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam deretan al-Kutub al-Sittah,
dalam karyanya Athraf al-Kutub al-Sittah. Dengan demikian, kitab yang dijadikan
sebagai tumpuan dalam studi hadits berjumlah enam buah. Usaha ini kemudian
diikuti oleh ulama-ulama selanjutnya, yang menyebabkan mayoritas kaum Muslim
mengenal kitab hadits utama yang berjumlah enam itu.114 Al-Maqdisi juga
menyusun Tadzkirah al-Maudlu’at, merupakan buku rujukan terawal tentang
hadits-hadits maudlu’. Buku ini ia tulis secara alfabetis berisikan perawi dan imam
yang menjarh115 perawinya.116
Adapun tokoh-tokoh hadits lain pada periode keempat Dinasti Abbasiyah
adalah Syamsuddin Muhammad Yusuf al-Kirmani (w. 1348 M). Ia merupakan
tokoh pertama yang menulis komentar terhadap Sahih al-Bukhari melalui buku
yang disusunya berjudul al-Kawakib al-Darari.117 Kemudian al-Hafidz al-Nassabah
Abu Bakar Muhammad Ibn Hafs Umar al-Hazimy al-Hamdzani (548 – 584 H) yang
Introduction to the History of Shia Hadits”, dalam Al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam, Vol. III,Nomor, 12, 2006, h. 131
113 Ibid. 132114 Al-Khatib, Op Cit., h. 291115Jarh adalah munculnya sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau cacat
hafalanya yang mengakibatkan gugur atau lemah periwayatan haditsnya. Lihat Ibid. h. 233116 Ibid. h. 372117 M. Atiqul Haque, Op Cit., h. 25.
62
menulis karya terlengkap tentang nasikh dan mansukh hadits, yaitu karya yang
berjudul al-Itbar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar.118 Taqiyuddin Abu Amr
Utsman Ibn Abdirrahaman al-Syahrazury (577 - 643 H) yang lebih dikenal sebagai
Ibn al-Salah, salah seorang pakar Hadits dan tafsir abad ke-7 Hijriyah. Ia mengajar
Hadits di Dar al-Hadits di Damaskus dan menulis beberapa karya penting, tetapi
yang paling populer adalah Ma’arif Anwa’ ‘Ulum al-Hadits, buku ini merupakan
rujukan yang baik tentang pembahasan hadits dla’if.119
Ilmu gharib al-hadits merupakan cabang penting dalam kajian hadits,
karena dengan ilmu ini kata-kata yang tidak jelas dan asing (gharib) yang terdapat
dalam hadits dapat ditemukan solusinya. Dengan ilmu ini juga, dapat memperoleh
pengalaman – pengetahuan yang lebih jauh tentang kata-kata yang asing dan kabur
itu.120 Adapun tokoh-tokoh dan karya- karya yang ditulis dalam bidang ini yang
muncul pada periode keempat Dinasti Abbasiyah adalah Abu al-Qasim Jarullah
Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari (467 – 538 H) yang menulis karya berjudul al-
Fa’iq fi Gharib al-Hadits. Kitab ini merupakan karya unggulan dalam ilmu gharib
al-Hadits yang dicetak berkali-kali di Haederabad dan Mesir.121 Kemudian karya
selanjutnya dalam bidang ini adalah al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar
yang disusun oleh Majduddin Abu al-Sa’dat al-Mubarak Ibn Muhmmad al-Jazary
(544 – 606 H). karya yang terdiri dari emapat jilid ini merupakan karya terbaik
dalam bidangnya. Al-Jazary – atau lebih dikenal sebagai Ibn al-Atsir – menulis
118 Al-Khatib, Op Cit. h. 260119 Ibid. h. 293 dan h. 304120 Ibid. h. 252121 Ibid., h. 253
63
karyanya secara alfabetis, lalu kemudian menyebutkan hadits yang kata-katanya
sulit dan tidak jelas, kemudian menjelaskan maknanya.122
C. Ilmu Fiqih
Setelah orang Romawi, orang Arab adalah satu-satunya bangsa pada abad
pertengahan yang melahirkan ilmu yurisprudensi/hukum, dan dengan dirinya
berkembang sistem yang independen. Sistem tersebut, yang mereka sebut fiqih,
pada prinsipnya berdasarkan atas al-Quran dan sunnah/hadits, yang disebut ushul
(akar, prinsip), dan dipengaruhi oleh sistem Yunani-Romawi. Fiqih adalah ilmu
yang memuat berbagai hukum Islam (syariah), meliputi seluruh perintah Allah
sebagaimana tertuang dalam al-Quran, dan diuraikan dalam hadits yang diwariskan
kepada generasi berikutnya. Perintah-perintah itu meliputi aturan-aturan yang
terkait dengan praktik ibadah, kewajiban sipil, dan hukum (mu’amalat) dan
hukuman (uqubat).123
Dari sekitar 6.000 ayat al-Quran, hanya sekitar 200 ayat yang bisa disebut
ayat-ayat hukum – kebanyakan turun di Madinah – terutama surat ke-2 dan ke-4.
Terlihat jelas bahwa berbagai ketentuan hukum didalamnya tidak cukup memadai124
untuk menangani semua kasus yang dihadapi umat – sipil, kriminal, politik,
keuangan – dalam kondisi, dan situasi baru di Suriah, Irak, dan wilayah lain yang
baru ditaklukkan. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah pemikiran spekulatif, yang
122 Ibid., h. 254123 Hitti, Op Cit., h. 496124 Al-Quran disebut “tidak memadai” disini dikarenakan pesan-pesan, hukum-hukum, dan
teori-teori yang dikandung al-Quran masih berbentuk informasi global, jadi untuk menyentuh hal-halyang detail dan menjadi relevan untuk setiap zaman dan tempat, diperlukannlah sebuah penjelasan-penjelasan yang baru dan kontekstual. Penjelasan-penjelasan inilah yang menjadi pemicu munculnyamadzhab-madzhab yang berbeda dalam fiqih Islam.
64
melahirkan dua prinsip baru: qiyas, yaitu deduksi analogis, dan ijma’, atau
kesepakatan bersama. Jadi, yurisprudensi Islam memiliki sumber baru disamping
al-Quran dan hadits: analogi dan konsensus. Adapun tentang ra’y, yaitu penalaran
rasional, meskipun sering dijadikan sandaran, ia hampir tidak pernah dipandang
sebagai sumber hukum kelima.125
Karena perbedaan kondisi sosial dan latar belakang budaya dan pemikiran
setiap wilayah, pemikiran hukum Islam, pada gilirannya, berkembang ke dalam
sejumlah madzhab pemikiran yang berbeda-beda.126 Oleh karena itu zaman
kejayaan hukum Islam adalah masa dimana muncul empat tokoh yang merupakan
pendiri madzhab terkenal dan masih dianut oleh mayoritas kaum Muslim hingga
saat ini. Mereka adalah Abu Hanifah (w. 768 M) yang mendirikan Madzhab Hanafi,
Anas Ibn Malik (w. 795 M) yang mendirikan Madzhab Maliki, Muhammad Ibn
Idris al-Syafi’i (w. 820 M) yang mendirikan Madzhab Syafi’i, dan Ahmad Ibn
Hambal (w. 855 M) yang mendirikan Madzhab Hambali. Empat madzhab tersebut
dianut oleh kaum Sunni yang merupakan mayoritas kaum Muslim dunia, sedangkan
kaum Syi’ah menganut Madzhab Imam Ja’far (w. 765 M).127
Perkembangan ilmu hukum Islam (fiqih) pada masa keempat Dinasti
Abbasiyah merupakan perkembangan yang berorientasi penegasan terhadap
eksistensi madzhab-madzhab yang lahir pada abad sebelumnya. Apabila kita tilik
secara seksama bahwa perkembangan pada periode ini lebih kentara dengan hanya
pada madzhab-madzhab fiqih aliran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang lebih dikenal
125 Ibid. h. 497126 Ibid.127 Didin Saefuddin. Zaman Keemasan Islam. h. 162
65
dengan nama Sunni. Ini disebabkan karena aliran ini merupakan aliran yang legal
dan sah yang didukung oleh Kesultanan Saljuk.
Adapun tokoh-tokoh dan karya-karya yang muncul pada periode ini adalah
tokoh-tokoh yang dominan dalam kajian yang lebih khusus lagi yaitu Ushul Fiqh.128
Kajian ini merupakan sebuah pengembangan dari apa yang telah di rintis oleh Imam
Syafi’i melalui karya monumentalnya al-Risalah. Keutamaan imam Syafi’I dalam
bidang ini telah dijelaskan oleh seorang tokoh bernama al-Zarkasyi (w. 794 H)
dalam kitabnya al-Bahr al-Muht. Ia berkata bahwa Imam Syafi’i adalah figur
pertama yang menulis tentang ushul fiqh. Dia menulis al-Risalah, Ahkam al-Quran,
Ikhtilaf al-Hadits, Ibtal al-Istihsan, Jima’ al-Ilm, dan al-Qiyas buku yang
mendiskusikan tentang kesalahan-kesalahan kelompok Mu’tazilah dan mengubah
fikiran Syafi’i untuk tidak menerima kesaksiannya (testimony). Kemudian tokoh-
tokoh selanjutnya mengikutinya dalam menulis buku-buku tentang ushul fiqih.129
Dalam merespon hal tersebut, kaum Mu’tazilah melalui dua tokohnya juga
menyusun ilmu ushul fiqihnya sendiri. Mereka adalah al-Baqillani (w. 402 H) yang
menulis al-Taqrib wa al-Irsyad adalah buku rujukan utama ushul fiqih hingga abad
kesembilan hijriyah dan ‘Abd al-Jabbar (w. 415 H) yang menulis al-Ahd dan al-
‘Imad. Buku-buku tersebut kemudian di ringkas oleh Imam Haramayn (w. 478 H)
dalam sebuah karya berjudul al-Takhlish (ringkasan). Imam Haramayn juga menulis
karya orisinil sendiri dalam bidang ini yang berjudul al-Burhan.
128 Ushul Fiqih adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahsan yangdijadikan sebagai acuan dan penetapan hukum syariat mengenai perbuatan manusia berdasarkandalil-dalil yang terinci atau kumpulan kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikanacuan di dalam pengambilan hukum syariat tentang perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yangterinci. Lihat Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, terj. (Bandung: Gema Risalah Press, 1997) h.22
129 Waelk B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, terj. (Jakarta: Rosdakarya, 2001) h. 49
66
Dari madzhab Maliki, tersebutlah dua tokoh yang mempersembahkan
hidupnya untuk bidang ilmu ushul fiqh; mereka adalah Abu Abd Allah al-Mazari
(w. 536 H) dan Abu al-Hasan al-Abyri (w. 616 H) yang menulis komentar terhadap
al-Burhan. Dan dari Madzhab Hambali, perkembangan ushul fiqih dimulai dengan
ditulisnya kitab Taqwim al-Adillah yang ditulis oleh Abu Zayd al-Dabbusi (w. 340
H) yang kemudian diikuti oleh Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 482 H) yang menulis
kitab Kanz al-Wusul ila Ma’rifat al-Ushul. Buku yang dituli oleh al-Bazdawi ini
kemudian sangat mempengaruhi tokoh-tokoh ushul fiqih madzhab Hambali
selanjutnya, dikarenkan banyaknya buku-buku komentar yang ditulis berdasarkan
kitab al-Bazdawi tersebut.130
Imam al-Ghazali (w. 555 H) merupakan murid dari Imam Haramayn yang
dengannya dapat dipastikan bahwa ia dipengaruhi oleh gurunya dalam bidang ini.
Al-Ghazali yang merupakan tokoh sentral periode ini juga tidak mau ketinggalan
dengan menyusun empat karya sekaligus dalam ilmu fiqih; al-Mankhul adalah buku
pertama yang ditulis untuk kalangan pemula, kemudian Tadhib al-Ushul adalah
buku kedua yang direferensikan kepada karyanya yang lain al-Mustasfa. Buku
ketiganya adalah Syifa’ al-Ghalil fi Bayan al-Sibh wa al-Mukhayyal wa al-Masalik
al-Ta’lil. Buku keempat adalah buku ensiklopedia al-Ghazali tentang hukum
sumber metodologi syariat Islam, buku tersebut adalah al-Mustasfa, adalah karya
yang ditulis al-Ghazali setelah ia berkhalwat dan menyendiri.131
Karya-karya yang muncul pada periode ini dalam bidang fiqih dan ushul
fiqih adalah íhya’ ‘Ulumuddin buku yang terdiri dari empat jilid dan merupakan
130 Ibid. h. 65131 Ibid. h. 66-67
67
karya terbesar al-Ghazali tentang fiqih dan tasawuf. Fakhr al-Din al-Razi (w. 606
H) menulis al-Makhsul yang terdiri dari enam jilid dan merupakan referensi utama
dalam ushul fiqih. Kemudian Sayf al-Din al-‘Amidi yang menulis buku berjudul al-
Ihkam fi al-Ushul, sebuah karya ringkasan dai empat buku utama ushul fiqih; al-
Mustasfa, al-Burhan, al-‘Ahd, dan al-Mu’tamad.132
Kemudian muncul tokoh bernama Tajuddin al-Armawi (w. 631 H) yang
menulis al-Hasil, karya ringkasan dari al-Mahsul. Qadli al-Baqdlawi menulis
Minhaj al-Wusul ila ‘Ilm al-Ushul yang merupakan ringkasan dari al-Hasil. Akan
tetapi buku ringkasan yang terahir terlalu banyak penyingkatan-penyingkatan yang
mengakibatkan terlalu banyak pesan-pesan yang tidak jelas dan seperti teka-teki,
dan tentunya susah untuk dipahami.133 Ibn Qudamah (w. 620 H.) seorang ulama
madzhab Hambali menulis karya radat al-Nazir wa jannat al-Manzir yang
merupakan ringkasan dari kitab al-Mustasfa al-Ghazali. Dari Madzhab Maliki, al-
Qarafi (w. 684 H.) menulis Tanqih al-Fusul fi Ikhtisar al-Mahsul, merupakan buku
ringkasan al-Mahsul. Muzaffar al-Din al-Sa’ati (w. 694 H) tokoh madzhab Hanafi
menulis kitab Badi’ al-Nizam al-Jami’ Bayna Kitab al-Bazdawi wa al-Ihkam,
merupakan karya perbandingan dua pendahulunya yaitu al-Bazdawi dan Al-
‘Amidi.134
132 Ibid. h. 73133 Ibid. h. 74134 Ibid. h. 75 -78
68
D. Ilmu Kalam135
Kemunculan Ilmu kalam, menurut Harun Nasution, karena dipicu oleh
persoalan-persoalan politik pada awalnya.136 Hiruk-pikuk peristiwa politik yang
mendorong ke arah persoalan-persoalan politik dimulai pada masa terbunuhnya
Usman Ibn Affan yang kemudian digantikan oleh Ali Ibn Abi Thalib yang
merupakan khalifah terakhir dari empat khulafa al-rasyidin. Pada awal
pemerintahan Ali, keluarga Umayah yang merupakan kerabat Usman menuntut
penuntasan masalah pembunuhan Ali, sedangkan dipihak lain para pembunuh
tersebut merupakan pendukung Ali dan pemrotes kebijakan-kebijakan Usman yang
nepotis. Ini menjadi dilema bagi Ali untuk meredam kekacauan Negara. Ternyata
tindakan yang dipilih Ali adalah memecat semua gubernur yang diangkat oleh
Usman yang merupakan keluarga Umayah dan mengembalikan tanah-tanah yang
dikuasai keluarga umayah kepada Negara.137
Muawiyah yang berkuasa pada saat itu di Syam, tidak mau turun dari
jabatannya meskipun telah dibekukan oleh Khalifah Ali. Muawiyah terus melawan
dan akhirnya mengobarkan perang yang berpuncak pada terjadinya perang Siffin
yang tragis dan terkenal ini. Perang inilah yang mencolok membagi-bagi umat
Islam ke dalam kelompok-kelompok politis dan sebentar saja menjadi aliran-aliran
teologis.
135 Ilmu kalam adalah ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan, kenabian, hal-hal yangbersifat keimanan, dan ajaran-ajaran sam’iyat. Ajaran sam’iyat ini merupakan ajaran yang hanyadikhabarkan oleh al-Quran dan Nabi Muhammad, seperti adanya surga dan neraka, sirath, harikebangkitan dan lain sebagainya. Lihat Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang,1997) h. 5-7
136 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisan Perbandingan, (Jakarta:UI Press 2002) h. 3
137 Ibid. h. 4. Lihat juga Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah: Sebuah KritikHistoris, (Jakarta: Pustaka Cendikia, 2008) h. 23-28
69
Tersebutlah Khawarij sebagai kelompok pertama yang mencolok pada saat
itu. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang keluar dari pasukan Ali pada proses
terjadinya al-tahkim138 diantara pasukan Ali dan Muawiyah. Kelompok ini
mengkafirkan semuanya kecuali orang-orang mereka sendiri, dari sinilah proses
transformasi persoalan politis ke persoalan teologis tadi. Kemudian muncul
kelompok Murji’ah yang merupakan kelompok pendukung keluarga Umayah.
Kelompok ini menangguhkan penghukuman apakah seseorang baik atau buruk
hingga hari kiamat nanti. Kelompok selanjutnya adalah kelompok Syi’ah yang
merupakan loyalis Ali dan garis keturunan Nabi Muhammad Saw. ketiga kelompok
tersebut merupakan kelompok yang muncul pada awal-awal sejarah Islam dan
hanya kelompok Syi’ah yang masih dianut dan terejawentahkan dalam Negara
Republik Islam Iran di masa modern ini.
Pada masa selanjutnya, muncul kelompok Mu’tazilah yang didirikan oleh
Washil Bin Atha’ (w. 131 H), kelompok ini adalah kelompok teologi Islam yang
beraliran rasionalis. Disebut rasionalis, karena mereka benar-benar menggunakan
akal sebagai alat pencari kebenaran. Bagi mereka akal menempati posisi lebih
penting daripada wahyu. Mereka meyakini adanya lima prinsip utama yang
kemudian menjadi trademark aliran ini.139 Aliran ini menemukan kejayaannya
pada masa Khalifah al-Makmun (w. 833 M) yang menjadikan Mu’tazilah sebagai
madzhab teologis yang legal bagi Negara Islam pada saat itu. Akan tetapi kelompok
138 Al-tahkim atau arbitrase adalah sebuah proses politis berbentuk tindakan memindahkanperang ke meja perundingan dengan mengutus seorang utusan dari masing-masing pihak bertikai.Lihat Masudul Hasan, History of Islam, h. 133
139 Lima prinsip tersebut adalah tauhid, adil, balasan baik bagi yang melakukan kebajikandan siksaan bagi yang berbuat kejelekan, tempat diantara dua tempat, dan yang terakhir perintahuntuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat buruk. Lihat Harun, Op Cit. h. 52
70
ini menemui kemunduran pada masa Dinasti Buwaihi yang syiah itu dan
Kesultanan Saljuk yang melegalkan Asy’ariyah sebagai madzhab Negara.
Aliran al-Asy’ariyah didirikan oleh Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il al-Asy’ari
(w. 935 M) yang sebelumnya merupakan pengikut Mu’tazilah, kemudian keluar
setelah tidak menemukan jawaban yang memuaskan tentang jawaban masalah
mukmin, kafir, dan anak kecil di hari penghisaban dari gurunya al-Juba’i.140
Pada awal kemunculannya aliran ini merupakan respon terhadap ajaran-
ajaran aliran Mu’tazilah. Sebagai penentang Mu’tazilah, aliran ini berpendapat
bahwa Allah mempunyai sifat, mustahil bagi mengetahui dengan zat-Nya, karena
dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan Allah dan Allah sendiri adalah
pengetahuan. Allah bukan pengetahuan tetapi yang Maha Mengetahui. Allah
mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukan zat-Nya. Demikian
pula dengan sifat-sifat-Nya yang lain, seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar, dan
melihat.141
Pada periode keempat Dinasti Abbasiyah, yang pada saat itu kekuasaan
sebenarnya adalah kesultanan Saljuk, paham Asy’ariyah menjadi madzhab teologi
yang legal bagi Negara. Ini diperkuat dengan lahirnya seorang teolog muslim
terbesar dan pendukung Asy’ariyah lahir pada masa ini. Dia adalah Abu Hamid al-
Ghazali (1058 – 1111 M). al-Ghazali menegaskan keberadaan dan peran kelompok
ini dengan menulis sebuah karya monumental; Ihya’ ‘Ulum al-Din, buku yang
terdiri dari 4 jilid ini adalah buku yang sangat berpengaruh dan menjadi buku
pegangan dunia Islam sampai sekarang.
140 Harun, Ibid. h. 68141 Ibid. h. 69-70
71
Dalam Íhya’ Ulum al-Dlin dan karya-karya lain semisal Fatihat al-Ulum,
Tahafut al-Falasifah, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, spekulasi madzhab ortodoksi Islam,
meminjam bahasa Phillip K. Hitti, mencapai titik puncakny. Karya-karya tersebut
menurunkan fiqih dari tingkatan tertinggi yang pernah dicapai, menggunakan
dialektika Yunani untuk membangun sistem pragmatis dan memanfaatkan filsafat
untuk mengembangkan teologi ortodoks,142 yang kemudian dikenal sebagai
golongan Sunni Islam.
Pada awal mula kekuasaan kesultanan Saljuk tepatnya pemerintahan Tughril
Bek, Asy’ariyah merupakan aliran yang dilarang dan pemuka-pemukanya
ditangkap. Diantara pemuka aliran ini yang ditangkap adalah Abu al-Qasim al-
Qusyairi (w. 1074 M). sedangkan Imam Haramayn, guru al-Ghazali, melarikan diri
ke Hijaz. Perburuan itu berhenti setalah Alp Arslan (1063-1092 M) mengangkat
Nizham al-Muluk (w. 1092 M) sebagai perdana menteri menggantikan al-Kunduri,
perdana menteri masa Tughril Bek yang Mu’tazilah itu.143 Nizham al-Muluk inilah
yang mengokohkan keberadaan Asy’ariyah melalui institusi sekolah yang
didirikannya dengan nama Madrasah Nizham al-Mulk, tempat al-Ghazali belajar
dan menjadi pengajar di situ.
Pada masa ini juga tumbuh suatu aliran, yang merupakan bagian dari
golongan Sunni disamping Asy’ariyah, yaitu al-Maturidyah. Aliran ini didirikan
oleh Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi (w. 944
M). Tokoh al-Maturidyah pada periode ini adalah Abu al-Yusr Muhammad al-
Bazdlawi (421 – 493 H). Nenek al-Bazdlawi adalah murid dari al-Maturidi,
142 Hitti, Op Cit., h. 545-546143 Harun, Op Cit, h. 75
72
sehingga ia belajar aliran al-Maturidyah dari keluarganya. Al-Bazdawi mempunyai
murid-murid dan salah satu dari mereka adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi
(460-537 H) yang menulis kitab berjudul al-‘Aqaid al-Nasafiyah.144
Tokoh-tokoh aliran Sunni yang lain pada periode ini adalah al-Juwaini (w.
478 H), Al-Razi (w. 606 H) dan al-Syahrastani (w. 548 H.). Tokoh yang terakhir
merupakan penulis buku terkenal berjudul al-Milal wa al-Nihal tentang patologi
aliran-aliran Islam yang menjadi rujukan utama dalam disiplin ini.145 Al-
Syahrastani lah yang menegaskan bahwa Syi’ah adalah mereka yang mengikuti Ali
secara khusus dengan menempatkan kepemimpinan (imamah) dan kekhalifahan
(khilafah) secara tekstual dan wasiat tidak terlepas dari keturunan Ali.146 Tokoh-
tokoh Mu’tazilah pada periode ini adalah al-Zamakhsyari (w. 1144 M). pemikiran-
pemikiran Mu’tazilah dapat ditemukan dalam beberapa karyanya, seperti kitab
tafsir ál-kassaf, dan kitab-kitan lainnya: al-Faiq, Asasaul al-Balaghah, dan al-
Mufassal. Dan dalam tulisan-tulisannya ia sendiri menegaskan kemu’tazilahan
dirinya dan ia kemukakan pada forum-forum ilmiah.147
Aliran selanjutnya yang baru muncul pada periode ini adalah aliran Salaf.
Aliran ini secara konkrit muncul pada abad keempat Hijriyah oleh para pengikut
Imam Ahmad Ibn Hambal yang berupaya menghidupkan kembali dan membela
metode serta akidah salaf. Istilah salaf disini menunjuk kepada arti generasi
terdahulu, yaitu generasi para sahabat Nabi dan tabi’in.148 jadi yang dimaksud
144 Ibid. h. 78145 Siradj, Op Cit, h. 7146 Ibid. h. 29147 A. Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta: al-Husna Zikra, 2001) h.68-69148 Tabi’in adalah pemuka-pemuka Islam yang sempat bertemu dengan para sahabat
Rasulullah, dan disyratkan bertemunya secara real tidak lewat mimpi, Lihat al-Khatib, Ushul al-Hadits, h. 72
73
dengan aliran salaf adalah aliran yang berupaya menghidupkan kembali dan
membela metode serta pemikiran kalam yang ditampilkan oleh generasi para
sahabat dan tabi’in.149 Tokoh- tokoh aliran Salaf adalah Abu Isma’il al-Anshari al-
Huwairi (w. 481 H.) yang menginisiasi penolakan terhadap aliran Madzhab
Asy’ariyah. Perjuangan al-Huwairi diteruskan oleh Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.
620 H.).150 Akan tetapi aliran ini baru menemukan momentumnya pada saat
munculnya tokoh utama mereka, Ibn Taimiyah (1263-1328 M), yaitu setelah
keruntuhan Bani Abbasiyah.
Dominasi kualitas dan kuantitas Madzhab Asy’ariyah pada periode ini tidak
lepas dari dukungan politik Kesultanan Saljuk yang melegalkan madzhab ini
sebagai madzhab Negara. Tidak hanya itu, keberadaan Asy’ariyah semakin
dipertegas lagi dengan didirikannya Madrasah Nizhamul Mulk yang berfungsi
sebagai produsen para ahli dan tokoh yang akan membesarkan Asy’ariyah di masa
selanjutnya, seperti al-Ghazali.
E. Tasawuf
Secara etimologis, Kata tasawuf berasal dari kata suff yang berarti wol atau
bulu domba, dikatakan juga berasal dari shafa’ yang berarti suci dan bersih, dan ada
yang mengatakan berasal dari bahasa Yunani Sophia yang berarti kebijaksanaan.151
Sedangkan menurut istilah, sebagaimana disimpulkan oleh al-Junaedi
mengutip dari pendapat-pendapat para ahli, tasawuf adalah membersihkan hati dari
149 Surya A. Jamrah, “Aliran Salaf dan Pemikiran Kalamnya” dalam Amin Nurdin dan AfifiFauzi Abbas ed., Sejarah Pemikiran dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996) h. 37
150 Daudi, Kuliah Ilmu Kalam., h. 116151 Rosihan Anwar & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) h. 9-
10
74
apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan
pengaruh budi uang asal (insting) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita
sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci
kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai yang penting dan
terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh
janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal
syariat.152
Tentang asal-mula munculnya tasawuf dalam Islam terkemuka beberapa
teori-teori, yang dikumpulkan Harun Nasution sebagai berikut:
Pertama, pengaruh Kristen dengan paham menjauhi dunia dan hidup
mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat
tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia.
Lampu yang mereka pasang malam hari menjadi petunjuk kafilah yang lalu, kemah
mereka yang sederhana menjadi berlindung bagi orang yang kemalaman dan
kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yang
kelaparan. Dikatakan bahwa zahid dan sufi Islam meninggalkan dunia, memilih
hidup sederhana dan mengasingkan diri, adalah atas pengaruh cara rahib-rahib
Kristen ini.153
Kedua, filsafat mistik Phytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia
bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan dan jasmani
merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam
samawi. Untuk memperoleh hidup senang di alam samawi, manusia harus
152 Ibid. h. 13-14153 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999) h.
55
75
membersihkan roh dengan menanggalkan hidup materi, yaitu zuhud, dan
selanjutnya berkontemplasi. Inilah menurut pendapat sebagian orang yang
mempengaruhi timbulnya gerakan zuhud dan sufisme dalam Islam.154
Ketiga, falsafah Emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini
memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan
kembali ke Tuhan. Tetapi dengan masuknya roh ke alam materi, Ia menjadi kotor;
dan untuk dapat kembali ke tempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan.
Penyucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan.155
Keempat, ajaran Budha dengan paham nirwananya. Untuk mencapai
nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Paham
fana’ yang terdapat dalam sufisme Islam hampir serupa dengan paham nirwana
Budha.
Kelima, ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk
meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan dengan
Brahma (Dewa tertinggi agama Hindu).156
Disamping pendapat tentang pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi
kelahiran tasawuf, kita dapat menemukan banyak sekali pesan-pesan yang
merupakan inti dari ajaran sufisme Islam tersebut, seperti di al-Baqarah 2: 186157 &
115,158 Qaaf 50: 16,159 al-Anfal 8: 17,160 dan juga beberapa hadits Nabi yang
154 Ibid. h. 55-56155 Ibid. h. 56156 Ibid.157 “Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka Aku dekat dan mengabul-kan
seruan yang memanggil jika Aku dipanggil” (al-Baqarah, 2:186)158 “Timur dan Barat adalah kepunyaan Allah, ke mana saja kamu berpaling di situ ada
wajah Allah” (al-Baqarah, 2:115159 “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya.
Kami lebih dekat kepada manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya : (Qaaf, 50:16)
76
menyatakan bahwa “orang yang mengetahui dirinya, itulah orang yang mengetahui
Tuhannya” dan “Aku (Allah) adalah seperti harta yang tersembunyi, kemudian Aku
suka untuk dikenal, maka Aku ciptakan makhluk dan melalui Aku merekapun kenal
padaKu”161
Para ahli berpendapat pemakaian kata “tasawuf” untuk kelompok dan
ajaran-ajaran ini tidak dapat dipastikan, akan tetapi beberapa ahli seperti Abu al-
A’la ‘Afifi menyebut gerakan ini sebagai zuhd atau asketisme.162 Jadi Abu al-A’la
‘Afifi mengindentifikasi mereka pada masa-masa awal yaitu para sahabat sebagai
asketis Islam (zahid).163 Mereka yang dari gologan sahabat yang berada pada abad
pertama hijriyah adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar Ibn al-Khattab, Ali Ibn Abi
Thalib, dan Salman al-Farisi. Sedangkan golongan asketis Islam pada abad kedua
hijriyah adalah Ibrahim Ibn Adham (w. 161 H), Daud al-Tha’i (w. 165 h), al-
Fudhail Ibn ‘Iyadh dan Syaqiq al-Balakhi (w. 104 H), serta Rabi’ah al-Adawiyah
(185 H) sufi wanita yang terkenal dengan paham mahabbahnya (cinta).164
Tetapi setelah memasuki abad ketiga Hijriyah, mulai ditemukan para tokoh
yang menggunakan kata “tasawuf.” Penggunaan kata ini tidak terlepas dari karya-
karya yang ditulis dalam bidang ini. Adapun para penulis pertama dalam bidang ini
adalah al-Harits Ibn Asad al-Muhasibi (w. 243 H) yang menulis al-Ri’ayah li
Huquq al-Insan, al-Kharraz (w. 277 H) yang menulis al-Thariq ila aw Kitab al-
Shidiq, dan Dzun Nun al-Mishri (w. 245 H) yang menulis kitab al-Qalam ‘ala al-
160 “Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh mereka, danbukanlah engkau melontar , tetapi Allahlah yang melontar” (al-Anfal, 8:17)
161 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 57-58162 Zuhd atau asketisme adalah ajaran upaya untuk membersihkan diri dari hal-hal yang
bersifat duniawi. Lihat Ibid. h. 56163 Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. (Bandung:
Penerbit Pustaka) h. 57164 Ibid. h. 56-57. Lihat juga Harun Nasution, Filsafat dan Mistisime…, h. 62-64
77
Basmalah.165 Maka dengan fenomena tersebut, banyak para ahli mengatakan bahwa
tasawuf lahir pada aba ketiga hijriyah.166 Ditambah lagi, pada abad inilah peralihan
nyata pada asketisme Islam; dan para asketis masa itu tidak dikenal dengan gelaran
tersebut, tapi mereka lebih dikenal dengan sebutan sufi.
Selain yang tersebut di atas banyak sekali tokoh-tokoh tasawuf yang lahir
pada masa abad ketiga hijriyah, mereka adalah Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H)
merupakan orang pertama yang mendefinisikan tasawuf,167 Abu Sulaiman al-darani
(w. 215 H), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H), dan al-Junaid (297 H), Abu Hamzah
al-Bagdadi (289 H), abu al-Husein al-Nuri (w. 295 H), al-Siri al-Saqathi (w. 253 H),
dan Abu Yazid al-Bustami (w. 261 H).168
Pada abad keempat muncul sufi yang sangat terkenal dan menjadi pahlawan
golongan ini sampai sekarang, ia adalah al-Husain Ibn Manshur al-Hallaj (w. 309
H). Sufi ini terkenal dengan ucapannya “ana al-Haqq” yang berarti aku adalah
kebenaran atau Tuhan, meskipun ia harus menukar keyakinan dan keasyikannya
dirasuki tuhan (hulul) harus dibayar dengan hukum pancung. Tokoh lain yang juga
terkenal karena karyanya Risalah al-Qusyairiyah yang begitu berpengaruh adalah
‘Abdul Karim Ibn al-Hawazin yang kemudian dikenal sebagai al-Qusyairi (376).
Tokoh -tokoh lain pada abad ini adalah Yahya Ibn Mu’adz al-Razi (w. 358 H),
Samnu (w. 928 M), Ibn Khafi (w. 982 M), Abu Nasr al-Sarraj (w.988 M), Abu Bakr
165 Ibid. h. 91, 98, 101, & 102166 Ibid. h. 91167 Menurut al-Karkhi, tasawuf didefinisikan sebagai menimba hakikat realitas-realitas dan
berputus asa terhadap apapun yang di tangan makhluk.168 Ibid. h. 91-118
78
al-Kalabadi (w. 995 M) yang menulis al-Ta’rif li Madzhab Ahl Tasawwuf, dan Abu
Thalib al-Makki (w. 996 M).169
Dalam pembagiannya, tasawuf dibagi menjadi dua jenis; pertama tasawuf
akhlaqi, yaitu para penjalannya memagari tasawuf dengan al-qur’an dan al-sunnah,
dan mengaitkan keadaan (hal) dan tingkatkan (maqam) rohaniah mereka. Kedua,
tasawuf falsafi adalah penjalannya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil
(syatahat) dan bertolak dari keadaan fana’ menuju pernyataan terjadinya penyatuan
(ittihad) dan hulul (inkarnasi).170
Tasawuf falsafi berkembang dengan pesat pada abad ketiga hijriyah, dengan
munculnya Abu Yazid al-Bustami yang terkenal dengan ajaran ittihadnya171 dan
abad keempat hijriyah dengan lahirnya al-Hallaj dengan ajarannya hulul.172 Akan
tetapi pada abad kelima hijriah tasawuf jenis ini meredup dan tasawuf jenis pertama
berkembang pesat alasan para ahli dengan fenomena ini adalah faktor asy’ariyah
dengan tokohnya Abu Hasan al-Asy’ari yang mengecam aliran-aliran tasawuf abad
sebelumnya (ketiga dan keempat hijriah). Asy’ari secara khusus mengecam
tasawufnya Abu Yazid al-Bustami sebagai tasawauf ekstrim dengan ucapan-ucapan
yang ganjil seperti “inna Allah fi al-Jubbati”173 dan bentuk-bentuk penyimpangan
169 Mas’udul Hasan, History of Islam I, h. 616170 Anwar dan Solihin, Op Cit. h. 97 & 143171 Al-ittihad adalah suatu tingkatan (maqam) dalam tasawuf dimana seorang sufi merasa
dirinya bersatu dengan Allah; suatu tingkatan dimana makhluk dan khalik, pecinta dan yang dicintaibersatu. Lihat Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme..., h. 81
172 Hulul menurut Abu Nasr al-Thusi adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhanmemilih tubuh-tubuh manusia untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaanyang ada dalam tubuh itu dilenyapkan (fana’). Lihat Ibid. h. 88
173 “sesungguhnya Allah berada dalam Jubahku”
79
aliran-aliran lainnya.174 Ini dipertegas dan diperkokoh lagi dengan dijadikannya
faham Asy’ariah sebagai mazdhab legal Negara.
Karena itu, tasawuf abad kelima hijriyah cenderung mengadakan
pembaharuan yakni dengan mengembalikannya kelandasan al-Qur’an dan al-
Sunnah. ‘Abdul Karim ibn al-Hawzin (w. 465 H), menulis karya terkenal dan
berpengaruh risalah al-Qusyairiyah, yang kemudian dikenal sebagai al-Qusyairi
yang merupakan tokoh menonjol pada abad ini.175 Tokoh inilah yang sering
mengkritik aliran-aliran tasawuf yang menyimpang, diantara kritik-kritiknya yang
terkenal adalah tentang para sufi yang gemar mengenakan pakaian orang miskin, ia
berkata:
“Duhai saudaraku! Janganlah kau terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutanyang kau lihat (para sufi sezamannya). Sebab ketika hakikat realitas-realitas itutersingkaplah, niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada-ada dalamberpakaian….setiap tasawuf yang tidak dibarengi kebersihan maupun penjauhandiri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yangbatin itu bertentangan dengan yang lahir adalah keliru…..dan setiap tauhid yangtidak dibenarkan al-Qur’an dan al-Sunnah adalah pengingkaran Tuhan sertabukannya tauhid; dan setiap pengenalan terhadap Allah (ma’rifat) yang tidakdibarengi kerendahan hati maupun kelurusan jiwa adalah palsu dan bukanpengenalan terhadap Allah”.176
Tokoh-tokoh lain pada abad ini adalah Ali al-Hujwiri (w. 1092 M), penulis
buku berjudul kasaf al-mahjub, merupakan karya berisikan petunjuk-petunjuk
kesufian kemudian tersebut juga Abu al-Qasim al-Burghani (w. 1076 M), Abu Ali
al-farmadhi al- Thusi (w. 1083 M) yang menulis al-Luma’, Abdullah al-Anshari (w.
1088 M)., yang dikenal sebagai al-Harawi penilis Manzil al-Sairin ila Rabb al-
174 Al-Taftazani, Op Cit., 140-141175 Ibid. h. 142176 Ibid. h. 143
80
Alamin, buku yang menjelaskan tingkatan-tingkatan para sufi (maqamat), dan Abu
Bakr al-Nassaj (w. 1094M).177
Pandangan para sufi abad kelima, sebelum lahir nya al-Ghazali tentang ilmu
tasawuf dapat digeneralisasi bahwa mereka menjelaskan tasawuf bukan merupakan
sebuah aliran/sekte dalam islam dan bukan gerekan separatis (pembangkang), itu
hanya gerakan reformis yang bertujuan mereformasi dan menghidupkan ajaran-
ajaran murni islam (revivalis).178
Sufi yang paling besar dan paling berpengaruh yang lahir pada abad ini
adalah Abu Hamid al-Ghazali (451-505 H). ia adalah tokoh terbesar yang pernah
dilahirkan oleh islam, tokoh yang hampir semua ilmu, ketika ia hidup, selalu ia
pengaruhi dan berkontribusi sangat besar. Dalam tasawuf, kontribusi besarnya
adalah mensintesiskan antara syariat dan tasawuf, yang pada mulanya selalu terlihat
bertentangan. Melalui karyanya Ihya’ Ulum al-Din, al-Ghazali menjelaskan dengan
gamblang antara syariat dengan tasawuf, bahwa keduannya selaras dan sesuai
dengan ajaran-ajaran islam (al-Qur’an dan Hadist), sehingga buku tersebut dikenal
sebagai karya fiqh/sufi pertama dalam literatur islam. Selain itu, al-Ghazali juga
menulis karya sufi lainnya seperti al-Munqidz min al-Dlalal buku autobiografisnya,
yang merupakan petunjuk untuk meraih cahaya kebenaran dan juga Kimiya’ al-
Sa’adat buku yang memberikan kunci kesenangan hidup dengan mengikuti ajaran
islam.179
177 Mas’udul Hasan, Op Cit. h. 617178 Ibid. h. 618
179 Ibid. h. 619
81
Al-Ghazali berpendapat bahwa tasawuf dicanangkan untuk membersihkan
jiwa seorang menempuh jalan Sufi (al-mutasawif), membeningkannya,
mencerahkannya dan menyiapkan diri untuk mencapai ma’rifat (pengetahuan
ketuhanan). Al-Ghazali juga menyusun aturan-aturan dan etika jalan Sufi terinci,
misalnya mengenai tata tertib perhubungan murid dan sang guru (mursyid/syaikh),
pengisolasian diri, penahanan lapar, tidak tidur malam hari, tafakkur, selalu ingat
Allah dan sebagainya. 180
Pandangan al-Ghazali tersebut mempengaruhi generasi sufi sesudahnya,
yaitu generasi sufi abad keenam dan ketujuh hijriyah pada kedua abad tersebut,
tasawuf telah menjadi falsafah hidup bagi sebagian masyarakat islam. Tasawuf
menjadi memiliki aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan sistem-sistem khusus; dimana
sebelumnya ia hanya dipraktekan sebagai kegiatan-kegiatan pribadi disana-sini
tanpa ada ikatan satu sama lainnya.181
Dalam periode inilah kata tarikat (thariqah) pada para sufi mutakhir
dinisbatkan bagi sejumlah sufi yang tergabung dengan seorang guru dan tunduk
terhadap aturan-aturan terinci dalam jalan rohaniah, yang hidup secara kolektif di
berbagai zawiyah, rabath, dan kahanaqah.182 Atau berkumpul secara periodik
dalam acara-acara tertentu serta mengadakahn pertemuan sistematis baik yang
ilmiah dan rohaniah. Di antara tarikat-tarikat yang terkenal pada periode ini adalah
1.Tarikat al-Qadirriyah
180 Al-Taftazani, Op Cit., 234181 Ibid. h. 235
182 Rabath, Zawiyah, dan Khanaqah merupakan tempat-tempat tertentu dimana para anggotadan syaikh suatu tarikat berkumpul pada perode tersebut. Lihat Ibid. 236
82
Tarikat ini didirikan oleh Abdul Qadir Jailani (470-561 H). dalam fiqh, yang
menempati posisi yang sama pentinganya dengan al-Ghazali, seperti al-Ghazali, al-
Jailani mengaitkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Diantara ucapan-ucapan terkenalnya
adalah “…selama anda masih memelihara diri anda sendiri, maka anda masih
terhalang dari Tuhan anda”.183 Dan “tanda cinta kepada akhirat adalah sikap asketis
(zuhd) terhadap hal-hal duniawi. Dan tanda cinta kepada Allah adalah ketidak
butuhan terhadap hal-hal selainnya.184
Mengenai tarikat ini, Ali Ibn al-Hitti berkomentar ‘tarikatnya adalah tauhid
semata, disertai kehadiran dalam sikap sebagai hamba Allah;” sedangkan Ibnu
Musyafir mengomentari tarikatnya al-Jailani; “tarikatnya adalah kepasrahan pada
alur-alur ketentuan Tuhan dengan persepakatan kalbu maupun ruh, penyatuan batin
dan lahir, dan penyucian diri dari tabiat-tabiat jiwa. Tarikat al-Qadirriyah, menurut
Trimingham, tarikat al-Qadirriyah dianut berjuta-juta orang diseluruh dunia sampai
sekarang, seperti di Yaman,Syiria,Mesir, Sudan dan banyak dari kawasan Asia dan
Afrika.185
2. Tarikat al-Rifa’iyah
Pada masa Abdul Qadir Jailani, terdapat pula seorang tokoh sufi dari Irak,
Ahmad Rifa’i (w.578 H), pendiri tarikat al-Rifa’iyah. Seperti tarikat al-Qadirriyah,
tarikat al-Rifaiyah tersebar luas keberbagai kawasan islam dan sampai sekarang
berkembang di Mesir maupun dunia islam lainnya di Mesir tarikat ini
183 Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996) h. 4184 Ibid. h. 5185 Ibid. h. 10
83
dikembangkan oleh murid Ahmad al-Rifa’i yaitu Abu al-Fath al-Wasithi (w. 580
H).186
Ajaran-ajaran tasawuf Rifa’i banyak diriwayatkan al-Sya’rani antara lain
tentang asketisme/zuhd yangt bermakna bahwa landasan keadaan-keadaan yang
diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunnahkan. Hal ini adalah langkah pertama
orang-orang yang menuju Allah, mengarahkan diri sepenuhnya kepada Allah,
mendapat ridha dari Allah dan bertawakkal kepada Allah, barang siapa menguasai
landasan kezuhudan, maka langkahnya selajutnya belum lagi benar.187
3. Tarikat al-Suhrawardiyah
Tarikat uni didirikan oleh Abu al-Najib al-Suhrawardi (490-563 H), yang
menulis karya Adab al-Muridun, bersama saudaranya, Syihabuddin Abu Hash
Umar al-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H) juga menulis buku tasawuf lainnya
berjudul Awarif al-Ma’arif, ia juga dijuluki sebagai syaikh al-syuyukh (guru dari
para guru). Keduanya sering tumpah tindih dengan tokoh islam yang bernama
Suhrawardi lainnya yaitu Syihabuddin al-Futuh Yahya ibn Habasy ibnu Amirak al-
Suhrawardi( w. 548-587 H), yaitu seorang filsuf pendiri aliran filsafat emanasi atau
isyraqiyah.188
Suhrawardi al-Baghdadi dianggap sebagai pendiri sebenarnya tarikat ini, dia
hanya tidak berpengaruh pada murid-muridnya tapi para sufi sezamannya. Dalam
186 Al-Taftazani, Op Cit., 236187 Ibid. h. 237
188 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 143. lihat juga al-Taftazani Op Cit., h. 238.Filsafat emanasi adalah filsafat yang memiliki ajaran bahwa Allah adalah cahaya dan menciptakansegala sesuatu menurut tingkatan melalui pancaran cahayanya, tingkatan-tingkatan cahaya (gradasi)tersebut membentuk herarki yang sekaligus juga berdiri sejajar denga barzakh (aspek kegelapan)dari cahaya tersebut; semakin jauh cipratan cahaya dari cahaya asal (Tuhan) maka semakin kuatunsur barzakhnya, dunia materi adalah gradasi terendah dalam herarki tersebut dikarenakan diduniainilah barzakh sangat kuat mendominasi. Lihat Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta:Lentera Hati, 2006) h.40
84
bukunya, ia membahas tentang latihan-latihan rohaniah praktis, seperti kehidupan
sufi, hidup menyendiri, dan getaran hati. Dia juga menaruh perhatian terhadap
masalah-masalah tingkatan dan keadaan ma’rifat dan sebagainya.189
Pada abad keenam dan ketujuh hijriyah banyak juga lahir tarikat-tarikat yang
terkenal akan tetapi berada di luar kekuasaan Dinasti Abbasiyah saat itu. Mereka
adalah tarikat al-Syadziliyah, didrikan oleh Abu Hasan al-Syadzili (w. 686 H),
tarikat Ahmadiyah, didirikan oleh Ahmad al-Bazdawi (596-675 H), dan tarikat al-
Birhamiyah, didirikan oleh Ibrahim al-Dasuqi al-Qursyi (676 H). ketiga tarikat
tersebut lahir di Mesir.190 Tarikat-tarikat lain yang muncul pada abad-abad ini
adalah, tarikat al-Kubrawiyah, yang dinisbatkan kepada Najmuddin Kubra (w. 540-
618 H) yang lahir di Persia dan tarikat al-Syisytiyah yang didirikan oleh
Mu’inuddin Hasan al-Syisyti (517-623 H) merupakan tarikat yang lahir di Sijistan
dan berpengaruh hingga India.191
Selain fenomena tarikat-tarikat yang menjamur pada periods keempat Dinasti
Abbasiyah, tepatnya pada abad keenam dan ketujuh hijriyah, kita juga mendapati
beberapa tokoh-tokoh besar sufi yang lahir pada masa ini mereka adalah , Ibn
A’rabi, Jalaluddin Rumi, dan Ibn al-Farid.
Muhyiddin ibn A’rabi atau yang lebih dikenal dengan nama Ibn A’rabi adalah
sufi kelahiran Spanyol di Murcia tahun 1165. Di masukkan dalam studi ini karean ia
menghabiskan sebagian besar hidupnya didaerah kekuasan Dinasti Abbasiyah pada
saat itu setelah ia belajar di Sevilla ia pindah ke Tunis tahun 1194 dan disana ia
189 Al-Taftazani, Op Cit., 238
190 Al-Taftazani, Op Cit., 238-240
191 Ibid. h. 242-243
85
mempelajari tasawuf.192 Ditahun 1202 M ia pergi ke Mekkah dan meninggalkan
Damaskus setelah ia merampungkan dua karya tebesarnya Futuhat al-Makkiyah dan
Fushus al-Hikam, karya terakhir, ia klaim diterima dari nabi Muhammad Saw
melalui mimpi di antara ajaran-ajaran yang berpengaruh.
Diantara ajaran-ajaran yang berpengaruh dan terkenal adalah paham Wahdhat
al-Wujud atau kesatuan wujud. paham mengajarkan tidak ada wujud lain yang
sebenar-benarnya kecuali wujud Allah (khaliq) dan wujud alam (makhluq) adalah
wujud yang sama, tidak ada perbedaan diantara keduanya dari segi hakikat,
perbedaan itu hanyalah pandangan indera dan akal saja karena hakekat wujud itu
adalah wujud Allah sendiri.193 Menurut Harun Nasution, ajaran ini muncul dari
paham bahwa Allah ingin melihat diri-Nya diluar diri-Nya dan oleh karena itu
dijadikan-Nya alam ini, maka alam ini dan hal-hal diluar diri-Nya adalah cermin
bagi Allah.194
Selanjutnya, adalah Jalaluddin Rumi (1207-1273 M) adalah penyair dan sufi
dari Persia. Dialah penyair terbesar, sufi terbesar di dunia Timur dan Barat. Ia
termasuk dalam salah seorang penyair sufi humanis. Tarikat Mawlawiyyah, tarikat
yang dinisbatkan kepadanya adalah tarikat yang menjadikan musik dan tarian
sebagai sesuatu yang istimewa dalam ritual mereka. Rumi juga dikenal dengan
nama Mawlana.195
Rumi meninggalkan dua karya yang tak tenilai dan kenang-kenangan abadi:
Diwan (yang terdiri dari empat puluh ribu bait) dan Matsnawi (yang terdiri dari dua
192 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. h. 92. Lihat juga Husayn AhmadAmin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2001) h. 208
193 Anwar & Solihin, h. 146194 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. H. 92
195 Husayn Ahmad Amin, Op Cit., h. 211
86
puluh lima ribu tujuh ratus bait). Diwan merupakan kumpulan kasidah yang
terpisah-pisah satu sama lain. Setiap kasidah mempunyai wazn (prinsip dalam syair)
dan topik sendiri. Semuanya bersumber dari imajinasi spontan, begitu pula
pembuatan lafalnya. Sedangkan Matsnawi merupakan karya yang didiktekan yang
tidak teratur serta sulit ditertibkan dan diluruskan.196
Penulisan Matsnawi menghabiskan waktu tiga belas tahun, didalamnya
terhimpun campuran kisah-kisah kepahlawanan, kebijaksanaan, dan lain-lain, serta
perenungan filosofis yang dimaksudkan sebagai usaha menggambarkan sosok
sufisme dan penafsirannya.Abdurrahman al- Jami, mengatakan bahwa Matsnawi
merupakan al-Qur’an berbahasa Persia.197 salah satu pemikirannya yang cukup
berpengaruh adalah tentang cinta dan evolusi. Cinta menurut Rumi adalah daya
dimana evolusi alam ini terjadi, Rumi menjelaskan ketika batu, sebagai makhluk
yang mencintai Allah yang hidup didunia material maka ia menambah kualitas-
kualitas dirinya sehingga ia mencapai dunia tumbuhan. Sebagai tumbuhan ia merasa
jauh dari yang dicintai, maka ia kembali menambah kualitas-kualitas dirinya,
sehingga ia mencapai dunia hewan. Sebagai hewan ia merasa masih jauh dari yang
dicintai, maka ia kembali menambah kualitas-kualitas dirinya, sehingga ia mencapai
dunia manusia. Manusia sebagai dalam ajaran Rumi merupakan mikrokosmos,198
196 Ibid.197 Ibid. h. 212
198 Manusia sebagai mikrokosmos (alam kecil) adalah manusia merupakan representasi darialam semesta (makrokosmos), bahkan menurut Mulyadi, ia juga merepresentasikan keberadaanTuhan, karena disamping manusia mengandung unsur-unsur alam seperti, material, tumbuhan,hewan dan lain sebagainya ia juga mengandung unsur ketuhanan, yaitu sisi spiritualnya. LihatMulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu, (Bandung: Mizan, 2002) h. 22
87
akan tetapi saja ia tidak menutup kemungkinan mencapai dunia yang lebih tinggi,
dunia yang lebih dekat yang dicintai (Allah).199
Teori tentang manusia sebagai miniatur realitas (Tuhan) atau dikenal sebagai
konsep manusia sempurna (insan kamil)200 dan mikrokosmis juga disampaikan oleh
sufi pada periode ini, yaitu Ibn al-Farid (w. 1235 M). Manusia menurut ilmu Ibn al-
Farid adalah alam kecil (mikrokosmos) yang merepresentasikan kebaikan-kebaikan
sifat-sifat seluruh alam semesta. Muhammad Saw merupakan contoh sempurna
dalam ajaran Ibn al-Farid menulis puisi-puisi sufi yang berjudul Nazm al-Suluk,
ditulis sebagai pujian kepada nabi Muhammad Saw dan merupakan salah satu puisi
terpanjang dalam literatur Arab.201
199 Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat Mulyadi Kartanegara, The Jalaluddin Rumi’s Theory ofEvolution, artikel tidak diterbitkan, 2007. lihat juga Mulyadi Kartanegara, Menembus…., h. 53
200 Ajaran “manusia sempurna” juga disampaikan oleh Ibn A’rabi dan Al-Jailani, kedua tokohini lebih terkenal lagi dalam mejelaskan detail ajaran insan kamil ini.
201 Mas’udul Hasan, Op Cit. h. 621
88
BAB IV
KEMAJUAN SAINS ISLAM
Sebagai dinasti adidaya di bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan
bidang-bidang lainnya, maka tidak heran kaum Muslim telah mencapai prestasi
peradaban yang mengesankan. Howard R. Turner menjelaskan bahwa kemunculan,
penyebaran, dan kebangkitan kembali peradaban Islam merupakan salah satu
bentuk cerita hebat dalam sejarah dunia. Di akhir abad ke empat belas Masehi, para
filsuf, sastrawan, ilmuwan, seniman, pangeran dan pekerja Muslim secara
bersamaan menciptakan kebudayaan yang unik yang secara langsung dan tidak
langsung mempengaruhi masyarakat dalam setiap benua di bumi ini.202
Bernard Lewis juga menyatakan:
Zaman gilang-gemilang ilmu pengetahuan Islam didahului olehpenterjemahan dan adaptasi dari karya-karya Persia, India dan yang palingpenting dari karya-karya ilmiah Yunani. Meskipun gerakan penterjemahanberhenti pada abad kesebelas masehi, perkembangan sains Islamberkembang ke level yang melebihi masa sebelumnya. Para ilmuan muslimmenambahkan secara besar-besaran terhadap sesuatu yang telah merekaterima dari para pendahulu, melalui riset mereka sendiri, praktekeksperimen, observasi lapangan seperti dalam bidang kedokteran, pertanian,geografi, dan lainya…..”203
Kutipan-kutipan tersebut memberi kita pandangan bahwa Islam telah
berkembang ke dalam suatu bentuk yang sedemikian rupa, yaitu bentuk peradaban
yang independen dan paling menjulang dibandingkan peradaban-peradaban lain
yang sezaman. Orang Islam tidak hanya pintar mengutip dan mengulang apa yang
202 Howard R. Turner, Sains Islam Yang Mangagumkan, terj. (Bandung: Penerbit Nuansa,2004), h. 11
203 Bernard Lewis, the Muslim Discovery of Europe, (London: W.W. Norton & Company,1982), h. 221
89
telah disampaikan pendahulunya, akan tetapi mereka telah mencapai prestasi
dimana mereka – mau tidak mau – harus diakui sebagai pemegang tongkat estafet
penguasa dunia dari segi peradaban, kebudayaan, politik, ilmu pengetahuan dan lain
sebagainya, seperti yang telah dicapai oleh peradaban-peradaban sebelumnya.
Sebagaimana diketahui bahwa gerakan pengembangan ilmu pengetahuan
dirintis oleh dua khalifah terbesar Dinasti Abbasiyah, Harun al-Rasyid dan al-
Makmun, yang kemudian masa pemerintahan kedua khalifah tersebut dikenal
sebagai masa keemasan dinasti ini. Akan tetapi sebagai masa inisiasi, tentunya
perkembangan tersebut masih dalam proses mencapai puncaknya, yang baru
kemudian sejarah mencatat bahwa pada periode selanjutnya perkembangan ilmu
pengetahuan mencapai klimaks ketika kondisi politik dan pemerintahan Dinasti
Abbasiyah mengalami kemunduran bahkan hingga kehancurannya.
Pada masa kemunduran Dinasti Abbasiyah inilah, tepatnya pada masa
pemerintahan periode ke empat, kemajuan ilmu pengetahuan benar-benar terlihat
mentereng dan berpengaruh. Kemajuan-kemajuan, karya-karya, dan tokoh-tokoh
yang dilahirkan oleh masa ini begitu berpengaruh dan selalu menjadi rujukan
aktivitas ilmiah hingga sekarang.
Meskipun keadaan tersebut berbanding terbalik dengan kondisi politik,
kemajuan ilmu pengetahuan seakan-akan telah digariskan dan harus terjadi di
tengah kesimpang siuran kondisi politik seperti pendomplengan kekuasaan khalifah
oleh dinasti-dinasti kecil, tumbuh suburnya gerakan-gerakan makar semisal
kelompok Assasin. Dan lebih parahnya, kekuasaan politik yang begitu rapuh dan
mudah berganti-ganti, tetap saja tidak berpengaruh terhadap gerak maju aktivitas
pengembangan ilmu pengetahuan. Fenomena tersebut tidak lepas dari selalu adanya
90
petinggi-petinggi dari masing-masing dinasti yang berkuasa yang sangat mencintai
ilmu pengetahuan, seperti Nizham al-Muluk dari Kesultanan Saljuk.
Bab ini akan mengelaborasi secara detail prestasi-prestasi ilmu pengetahuan
yang dicapai pada periode ke empat kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pembahasan
kemajuan ilmu pengetahuan tersebut meliputi perkembangan yang dicapai, tokoh-
tokoh, dan karya-karya dalam disiplin ilmu tertentu.
A. Astronomi
Thasy Kubra mendefinisikan Astronomi sebagai ilmu untuk mengetahui
ihwal benda-benda angkasa yang tinggi dan yang rendah, lengkap dengan bentuk,
letak dan ukuran jaraknya.204 Sedangkan menurut Ibn Khaldun, astronomi adalah
ilmu yang mempelajari tentang gerakan-gerakan bintang-bintang yang tetap, yang
bergerak dan berputar. Dari gerakan-gerakan bintang-bintang dapat diketahui
bentuk dan letaknya melalui perhitungan.205
Astronomi adalah sains yang sangat penting dalam perjalanan sejarah ilmu
pengetahuan Islam. Ia menjadi penting bukan hanya ia berkaitan dengan tujuan
mengungkap kebenaran dan kenyataan tertentu, akan tetapi berkaitan dengan hal
yang lebih dari itu. Astronomi adalah bagian dari sejarah Islam berkaitan dengan
berislam itu sendiri, karena berislam tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali ia
melakukan ibadah-ibadah yang telah digariskan.
Pelaksanaan ibadah dalam Islam berkaitan dengan waktu-waktu kapan
ibadah itu dilaksanakan. Misalnya salat yang sangat bergantung dengan klasifikasi
204 Ahmadie Thaha, Astronomi dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), h. 15205 Ibid. h. 16
91
waktu itu, demikian haji, puasa Ramadlan dan ibadah lainnya. Dalam al-Quran
sendiri telah digariskan dan menjadi motivasi kaum muslim sendiri untuk
mendalami dan mengembangkan disiplin ini. Allah Swt berfirman “dan matahari
berjalan di tempat peredarannya….dan Kami tetapkan bagi bulan manzilah-
manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah-manzilah yang terakhir)
kembalilah dia sebagai bentuk tanda yang tua.”206 Dan dalam surat yang lain Allah
Swt berfirman “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)….”207
Setelah ilmuan Arab dan ilmuan muslim mengetahui bahwa ilmu
perbintangan (nujum) tidak lebih hanya merupakan kumpulan mitologi dan
persangkaan yang tidak ilmiah, mereka sedikit demi sedikit melupakan dan
berusaha membuktikannya melalui eksperimen ilmiah yang kemudian ilmu ini
dikenal sebagai ilmu falak. Sebagaimana diungkapkan oleh Izzuddin Faraj dan
dikutip oleh Thaha bahwa kaum muslimin telah memproklamirkan kebatilan ilmu
perbintangan yang hanya berdasar pada perkiraan belaka. Dan mungkin merekalah
orang pertama yang melakukan pembatilan ini. Namun mereka tidak sama sekali
membuangnya, akan tetapi membuktikannya melalui penelitian ilmiah, observasi
dan berdasarkan ilmu, seperti telah dilakukan terhadap ilmu kimia. Mereka
mengambil dan memilah fakta-fakta perbintangan yang telah mereka buktikan
kebenarannya.208
206 Surat Yaasin: 40207 Surat Yunus: 5208 Ahmadie Thaha, Op Cit. h. 17
92
Rintisan dan perkembangan ilmu falak atau astronomi telah dilakukan dari
zaman dinasti Umayyah dan kemudian menemukan puncak perkembangannya pada
zaman dinasti Abbasiyah. Dalam penelitian ini, perkembangan astronomi hanya
akan dipotret pada periode ke empat Dinasti Abbasiyah.
Pada abad ke-5 Hijriyah atu abad ke-11 Masehi, tersebut Abu Rayhan Ibnu
Ahmad al-Biruni merupakan seorang dokter, ahli ilmu bumi, ahli sejarah dan
seorang astronom. Bukunya mengenai sejarah India ditulisnya berdasar pengalaman
pengembaraannya ke seluruh pelosok negeri itu untuk mencari ilmu pengetahuan.
Buku aslinya sudah tidak kita ketemukan, tinggal terjemahannya dalam Bahasa
Inggris Chronology of Ancient Nations. Dalam buku ini dapat kita baca bahwa al-
Biruni telah menyumbangkan gagasan-gagasan ilmuwan-ilmuwan Baghdad yang
menggantikan pengetahuan orang-orang Hindu primitif. Ia melihat pengaruh
astronomi Yunani pada mereka. Ini berarti orang-orang Hindu tidak mempunyai
ahli-ahli astronomi sendiri. Ia berpendapat bahwa pengetahuan perbintangan India
masih terikat dengan dogma agama, berbeda dengan pengetahuan astronomi orang-
orang Islam.209
Karya al-Biruni dalam ilmu astronomi adalah al-Qanon al-Mas’udi atau
Canon Masudicus. Ia memberi nama begitu sebagai penghormatan bagi
pelindungnya Sultan Mas’ud. Ia adalah penemu metode penulusuran posisi matahari
dengan memperhitungkan tenggelamnya (sunset) dari puncak gunung. Al-Biruni
juga adalah penulis dan perancang buku pegangan untuk tabel-tabel astronomi yang
209 Mazhar M. Qureshi, Introduction to Islamic Contributions to Science and Technology,(New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2007), h. 43-45
93
dikenal sebagai Zij Habash.210 Pada akhir hayatnya, ia menulis 60 lembar folio
sebuah risalah tentang metode penelusuran posisi matahari yang disempurnakan
berjudul Maqala fi Istikhraj Qadr al-Ard bi Rasad inhital al-Ufaq un Qulal al-
Jibal.211
Astronomi Muslim pertama yang membangun Observatium Giralda yang
terletak di Sevilla adalah Jabir bin Aflah, wafat tahun 1150 M. karyanya adalah al-
Hailah dan Ishlaahul Majesti, berisikan kritikan terhadap buku Ptolemeus dan
mengatakan bahwa Venus dan Mars lebih dekat jarak kepadanya dari bumi ke
matahari. Buku-bukunya ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Sesudah
kaum muslim terusir dari Spanyol, Jabir pindah ke Kufah, dan keluarganya al-
Barmaki lahir. Inilah alasannya mengapa tulisan ini mencantumkan Jabir ke dalam
tokoh-tokoh astronom Islam pada Zaman Bani Seljuk berkuasa atau Zaman Dinasti
Abbasiyah periode keempat.
Pada masa pemerintahan Nizamul-Mulk terjadi suatu peristiwa yang
menghiasi sejarah ilmu pengetahuan Islam. Yakni, al-Mulk berhasil mengundang
delapan orang astronom di bawah pimpinan Umar al-Khayyan (1038-1123 M)
dengan wakilnya al-Khazani ditunjuk oleh sultan untuk mengadakan penelitian-
penelitian astronomi di perguruan tinggi Nizamiyah di Baghdad. Konfrensi para
astronom ini telah menghasilkan suatu kerja besar mengubah perhitungan
penanggalan. pembaharuan perhitungan penanggalan itu disambut oleh suatu
kenyataan bahwa dalam kehidupan sepanjang tahun semua orang mengenali tahun
masehi (Syamsiyah/Miladiyah) yang terdiri dari 365 hari dan tahun Islam
210 Ibid. h. 45211 Ibid. h. 46
94
(Qamariyah/Hijriyah) yang terdiri dari 354 hari. Kalender yang diperbaharui ini
mendahului pembaruan oleh Gregorianus-astronom tersohor dari Barat.
Astronom Muslim selanjutnya yang patut dicatat pada abad ke-tujuh
Hijriyah adalah al-Khazini yang telah berhasil menulis sebuah karya berjudul
Sanjara Zij yang merupakan hasil penelitian di observatorium Maragha. Dan pada
saat bersamaan tersebut seorang astronom terbesar yang lahir pada abad tersebut
adalah Nashiruddin al-Thusi (1201-1274 M) merupakan kepala observatorium
tersebut.
Al-Thusi merupakan orang yang berhasil mengubah observatorium tersebut
yang pada awalnya sebagai konsen individual menjadi lembaga ilmiah dimana
sekelompok sarjana yang berprestasi berkerjasama dan menjadi tidak tergantung
pelestariannya kepada seorang individu.212 Untuk mengetahui gambaran dari
observatorium Maraghah serta kegiatan-kegiatan apa saja yang ada di dalamnya,
Mulyadi mengutip Toby Huff dalam The Rise of Early Modern Sciences sebagai
berikut:
“…terletak di sebelah selatan Tibriz, Observatorium Maragha mewakilipuncak-puncak pencapaian baru dalam sains astronomi dalam Islam danDunia. Mungkin karena didirikan di bawah pengarahan sarjana danastronom relegius Nashiruddin al-Thusi, Maraghah nampak telah dibangundi bawah payung hukum waqf. Observatorium ini dibangun denganketepatan yang besar selama beberapa tahun dengan tujuan untuk membuatobservasi-observasi astronomi yang ada, tidak bisa diselesaikan dalamwaktu kurang dari 30 tahun. Tidak saja observatorium dibangun dalam skalalebih besar dibanding yang sebelumnya, tetapi ia juga dilengkapi oleh paraastronom, yang bekerja sebagai stafnya, pembuat alat-alat, matematika, dandilengkapi sebuah perpustakaan yang luas sekali yang dilaporkan memilikibuku berjumlah 400.000 jilid. Ia juga memiliki beberapa isntrumen yangunik termasuk bola-bola terestrial (bumi) dan celestial (langit), bola armilariyang besar, dan peta-peta iklim bumi.213
212 Mulyadi Kartanegara, Reaktualisasi. h. 42213 Ibid. h. 43
95
Ahmadie Thaha juga menyatakan bahwa Maragha, ibukota Azarbaijan, Iran
dahulu, merupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya astronomi
pada zamannya. Dengan observatorium dan perpustakaanya yang kedua-duanya
dibangun oleh Thusi, astronomi berkembang pesat. Di sini ditemukan perkakas
istimewa berupa cincin-cincin dan gelang-gelang untuk mengukur gerhana bulan
dan gerhana matahari serta pengukur katulistiwa.214
Pernah suatu saat, Raja Alfonso Kastilla mengundang astronom muslim
untuk membuat sebuah allimacy, alat yang kini kita kenal sebagai mille. Pengukur
gerhana bulan yang pernah ditemukan di Maragha berbentuk lingkaran yang terdiri
dari lima cincin, tinggi dua belas kaki, lengkap dengan petunjuk detik dan menit,
semacam jam.215
Thusi berhasil memadukan astronomi dan geometri. Misalnya dalam
menghitung waktu ia menggunakan ilmu ukur sehingga ketepatannya tidak
diragukan lagi. Ia menerjemahkan Almagestnya Ptolemeus yang mengungguli
terjemahan-terjemahan sebelum. Ia telah menulis lebih dari 14 karya dan 4 dalam
matematika. Bukunya yang membahas tentang trigonometri merupakan karya yang
membuka jalan bagi penemuan-penemuan plenometri dan spherical yang pada abad
ini menjadi dasar dari pembuatan-pembuatan alat-alat astronomi modern.216
Peneropongan untuk membuat kalender perbintangan telah dia mulai sejak
usia enampuluh tahun, dan selesai dua belas tahun kemudian, atau setahun sebelum
kewafatannya. Para ahli astronomi lain juga ikut serta dalam pembuatan kalender
214 Ahmadie Thaha, Op Cit. h. 33215 Ibid.216 Ibid. h. 35
96
ini. Perhitungannya didasarkan pada posisi matahari di tengah hari di kota Maragha.
Kalender ini kemudian dinamakan al-Zayj al-Ilkhani, merupakan karya terbesar al-
Thusi yang namanya dinisbatkan kepada gelar kehormatan pasukan berkuda
Moghul.217
Kalender atau karya ini dibagi menjadi empat bagian. Pertama, bermacam
cara perhitungan tahun. Kedua, gerakan-gerakan bintang. Ketiga, pembatasan
waktu. Dan keempat, berbagai perhitungan perjalanan bintang. Karya ini mendapat
sambutan luar biasa pada zamannya dari Timur Dekat hingga Cina serta menjadi
karya primadona dalam ilmu astronomi bertahun-tahun kemudian.218
Dalam karya itu, Al-Thusi juga mengkritik Ptolemeus dengan hebat. Ia
menyatakan secara jelas ketidakpuasannya terhadap teori planet Ptolemeus.
Nyatanya al-Thusi menyarankan model baru planet baru yang dikerjakan hingga
selesai oleh muridnya, Quthbuddin al-Syirazi. Model baru ini berusaha lebih setia
kepada konsepsi sifat bola dari langit ketimbang model Ptolemeus dengan
menempatkan bumi pada pusat geometris bola-bola langit, tidak pada jarak tertentu
dari pusat seperti yang kita temui dalam teori Ptolemeus. Al-Thusi menggambarkan
dua bola, yang satu berputar di dalam yang lainnya untuk menerangkan apa yang
tampak sebagai gerak planet. Itulah sebabnya sejarawan Amerika mengenai
matematika Islam, E.S. Kennedy, yang menemukan model planet ini,
menamakannya pasangan Thusi (Thusi couple), karena ia merupakan jumlah dua
vector yang bergerak.219
217 Ahmad Amin Husayn, 100 Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1992),h. 216
218 Ibid. 217219 Sayyed Hossein Nasr, Sains dan Perdaban dalam Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka,
1986), h. 154
97
Terdapat banyak astronom muslim lainnya yang bergabung di komplek
observatorium Maragha. Merekapun merupakan kolega dan murid-murid al-Thusi
sendiri. Diantara mereka adalah Najm al-Din Katibi Qazwani (w. 1276 M) yang
dikenal sebagai Dabiran, seorang astronom, matematikawan dan sekaligus filosof
terkenal, dan Mu’ayyayad al-Din Urdi (w. 1265 M) dari Damaskus, dikenal sebagai
teoritikus astronomi yang paling orisinil pada masanya. Itu adalah dua diantara staf
senior al-Thusi.220 Sedangakan diantara staf juniornya dan merupakan murid al-
Thusi adalah Ibn al-Fuwathi (w.1323 M), yang karya historisnya merupakan sumber
informasi bagi pengetahuan kita tentang observatorium Maragha, stafnya dan
mahasiswa-mahasiswanya. Dan di antara mahasiswa cemerlang yang tertarik ke
sana adalah Quthbuddin al-Syirazi (w. 1311 M) yang pada gilirannya menjadi
astronom terkenal dan menulis 11 karya astronomi, dengan Nihayat al-Idrak
sebagai karya utamanya.221
B. KedokteranMinat orang Arab terhadap ilmu kedokteran diilhami oleh hadis Nabi yang
membagi pengetahuan kedalam dua kelompok teologi dan kedokteran. Dengan
demikian, seorang dokter sekaligus merupakan seorang ahli metafisika, filosof, dan
sufi. Dengan seluruh kemampuannya itu Ia juga memperoleh gelar hakim (orang
bijak). Kisah tentang Jibril Ibn Bakhtisyu’ (w. 830), dokter Khalifah al-Rasyid, al-
Ma’mun, juga keluarga Barmak, dan diriwayatkan telah mengumpulkan kekayaan
sebanyak 88.800.000 dirham, memperlihatkan bahwa profesi dokter itu bisa
menghasilkan banyak uang. Sebagai dokter pribadi al-Rasyid, Jibril menerima 100
220 Karthanegara, Reaktualisasi. h. 43221 Ibid. h. 44
98
ribu dirham dari khalifah yang mesti berbekam dua kali setahun, dan Ia juga
menerima jumlah yang sama karena jasanya memberikan obat penghancur makanan
di usus. Keluarga Bakhtisyu’ melahirkan enam atau tujuh generasi dokter-dokter
ternama hingga paruh pertama abad ke-11.222
Dalam hal penggunaan obat-obatan untuk penyembuhan, banyak kemajuan
berarti yang dilakukan orang Arab pada masa itu. Merekalah yang membangun
apotek pertama, mendirikan sekolah farmasi pertama, dan menghasilkan buku
daftar obat-obatan. Mereka telah menulis beberapa risalah tentang obat-obatan,
dimulai dengan risalah karya Jabir Ibn Hayyan, bapak kimia Arab, yang hidup
sekitar 776. pada masa awal pemerintahan al-Ma’mun dan al-Mu’tashim, para ahli
obat-obatan harus menjalani semacam ujian. Seperti halnya ahli obat-obatan, para
dokter juga harus mengikuti tes. Setelah terjadinya kasus malpraktik kedokteran,
Sinan Ibn Tsabit Ibn Qurrah diperintahkan oleh al-Muqtadir pada 913 untuk
memeriksa semua dokter praktik, dan memberikan sertifikat (tunggal ijazah)
kepada setiap dokter yang dipandang telah memberikan pelayanan yang
memuaskan. Sekitar 860 dokter di Baghdad dinyatakan lulus tes, dan seluruh
kerajaan kemudian bebas dari dokter-dokter yang tidak berijazah. Atas perintah
wazir al-Muqtadir, ‘Ali Ibn ‘Isa, Sinan menyusun staf dokter yang akan dikirim ke
berbagai tempat sambil membawa obat-obatan, dan memberikan pengobatan
kepada orang sakit. Dokter-dokter lainnya melakukan kunjungan harian ke berbagai
penjara. Fakta-fakta semacam itu memperlihatkan perhatian yang besar terhadap
kesehatan publik, yang saat itu belum dikenal di tempat lain. Karena upayanya
meningkatkan standar ilmuan profesi dokter dan mengembangkan sistem
222 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 445
99
administrasi rumah sakit Baghdad yang efisien, Sinan menjadi tokoh yang terkenal.
Rumah sakit ini, yang merupakan rumah sakit Islam yang pertama, di bangun oleh
Harun al-Rasyid pada awal abad ke-9, mengikuti model Persia, seperti yang
ditunjukan oleh kosakata bahasa arab untuk rumah sakit, bimaristan. Tidak lama
setelah itu, jumlah rumah sakit diseluruh dunia Islam bertambah menjadi 34 buah.
Kairo membangun rumah sakit pertama pada masa Ibn Thulun sekitar 872, yang
bertahan hingga abad ke- 15. klinik keliling muncul pada abad ke-11. rumah-rumah
sakit islam memiliki ruang khusus untuk perempuan, dan dilengkapi dengan gudang
obat-obatan. Beberapa di antaranya dilengkapi perpustakaan kedokteran dan
menawarkan kursus pengobatan.223
Para penulis utama dibidang kedokteran setelah babak penterjemahan besar
itu adalah orang Persia yang menulis dalam bahasa Arab: Ali al-Thabari, al-Razi,
Ali al-Abbas al-Majusi, dan Ibnu Sina. Gambar dua orang diantara mereka, al-Razi
dan Ibn Sina, menghiasi ruang besar fakultas kedokteran di Universitas Paris. 224
Nama paling terkenal dan terpenting dalam catatan kedokteran Arab setelah
al-Razi adalah Ibn Sina (Avicenna, yang masuk ke bahasa Latin melalui bahasa
Ibrani, Aven Sina, 980-1037 M), yang disebut oleh orang Arab sebagai al-Syaikh
al-Rais “sang pemimpin orang-orang terpelajar dan pangeran para pejabat” Ibnu
Sina lebih menguasai filsafat daripada al-Razi. Dalam diri seorang dokter, filosof,
dan penyair inilah ilmu pengetahuan Arab mencapai titik puncaknya dan
berinkarnasi.225
223 Ibid. h. 456-457224 Ibid. h. 457225 Ibid. h. 459
100
Diantara buku-buku tentang kedokteran, salah satu buku yang juga populer
adalah karya ‘Ali Ibn ‘Isa (Jesu Haly), seorang ahli mata (kahhal) terkenal bangsa
Arab. ‘Ali, seorang Kristen, hidup di Baghdad pada paruh pertama abad ke-11, satu
setengah abad setelah masa hidup dokter pribadi khalifah al-Mu’tamid, Isa Ibn ‘Ali.
Uniknya, nama keduanya sering tertukar. Di antara 32 buku berbahasa Arab abad
pertengahan tentang kedokteran mata, karyanya yang berjudul Tadzkirah al-
Kahhalin (Catatan untuk para Ahli Mata), yang kini bisa dijumpai dalam bentuknya
yang utuh dan orisinal, merupakan salah satu buku tertua dan paling berharga.
Hanya dua risalah, karya Ibn Masawayh dan Hunayn Ibn Ishaq, yang usianya lebih
tua dari buku itu. Tadzkirah menjelaskan dengan cermat 130 macam penyakit mata.
Buku itu diterjemahkan sekali ke bahasa Ibrani dan dua kali ke bahasa Latin, dan
terus digunakan di dunia Timur untuk jangka waktu yang cukup lama.226
Dokter-dokter lainnya adalah Ibn Jazlah (Bangeslah, Byngezla, w. 1100),
yang awalnya beragama Kristen. Ia menulis sebuah sinopsis medis yang berjudul
Taqwim al-Abdan fi Tadbir al-Insan (Tabel Tubuh yang Terkait dengan Pengaturan
Fisik Manusia) yang pola penyusunannya meniru pola buku Taqwim al-Shihhah
karya dokter Kristen lainnya, Ibn Buthlan, yang meninggal di Antiokia sekitar 1063.
dalam buku Taqwim, nama penyakit disusun seperti susunan nama-nama bintang
dalam tabel astronomi. Karya Ibn Jazlah diterjemahkan ke bahasa Latin di
Strassburg pada 1532. dokter terakhir yang perlu di sebutkan di sini adalah Ya’kub
Ibn Al-Hizam, ahli-kuda al-Mu’tadhid (892-902), yang menulis sebuah risalah
226 Ibid. h. 461
101
tentang perawatan kuda. Buku itu memuat cikal bakal seni perawatan kuda, dan kini
menuskripnya disimpan di museum Inggris.227
Adapun dokter-dokter muslim yang lahir pada masa pemerintahan Bani
Saljuk mereka adalah seperti Ali Ibn Ridwan, Ia seorang dokter di Kairo, tahun
kelahirannya kurang diketahui, ia meninggal pada tahun 453 H. Ia pengkaji
kedokteran Galen. Ia pernah berkali-kali berdebat surat dengan Ibnu Buthlan
penulis Almanak Kesehatan dokter Baghdad dan menetap di Mesir.228 Kitab-kitab
tulisannya antara lain: Maqala fi Anna Jalinus Lam Yakhlut fi Aqawilihi fi al-Laban
(Makalah Tentang Kebenaran Pendapat Galen Tentang Air Susu). Ia juga menulis
tentang penyakit dan pengobatan bayi secara terperinci. Tulisannya banyak
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin misalnya kitab Ars Parva. 229
Ibnu Buthlan, Ia seorang dokter Arab di Baghdad, Ia wafat pada tahun 450
H. Ia seorang ilmuan yang banyak mengkaji kedokteran Arab. Ia seorang ahli
bedah. Ia banyak mengkritik Galen sehingga akhirnya Ia berhadapan dengan Ali
Ibnu Ridwan yang menjadi pengagum dan pengkaji Galen. Kitab-kitab Ibnu
Buthlan telah banyak diterjemahkan. Sedangkan yang paling terkenal adalah Kitab
Synopsis Tables of Medicine. Ibnu Buthlan termasuk di antara dokter-dokter besar
pada zamannya.230
Abu ‘Umaran Musa Ibnu Maimun al-Qurthubi, Ia lahir pada tahun 529 H
dan meninggal pada tahun 601 H. Ia orang Cordoba, Andalusia yang mengkaji ilmu
227 Ibid. h. 462228 Sayyed Hossein Nasr, Op Cit. h. 193229 Ja’far Khadem Yamani, Kedokteran Islam: Sejarah dan Perkembangannya. terj.
(Bandung: Dzikra, 2005), h. 65230 Ibid, h. 66
102
kedokteran di Mesir lalu menjadi dokter Salahudin al-Ayyubi231 dan menjadi dokter
khusus sultan al-Afdhal. Al-Qurthubi dimasukkan dalam kategori dokter yang ada
pada masa periode Saljuk, dikarenakan ia menghabiskan hidupnya di daerah
kekuasaan Bani Saljuk. Diantara buah tulisannya yang terkenal adalah Kitab Fushul
al-Qurthubi, al-Sumum wa al-Taharuz min al-Adawiyah al-Qattalah, dan al-
Risalah al-Afdhaliyah yang berupa pembahasan tentang an-Nafs.232
Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Dliya al-Din al-Andalusi al-Maliki
al-Usysyab, Ibnu al-Baithar, Ia dilahirkan tahun 575 H dan meninggal pada tahun
646 H. keahlian Ibnu al-Bithar adalah dalam peramuan herba. Ia menghimpun
aneka macam rumput-rumputan obat dari Sisilia, Ruz, Azain, Maghribi, al-Jazair,
Tunisia, dan Mesir. Di Mesir, ia menjadi dokter raja al-Kamil al-Ayyubi sampai
masa raja Najmu al-Din (Najmudin) al-Ayyubi. Ia pernah bepergian ke Damsyik
(Damaskus) dan Figria untuk mencari rumput-rumputan obat. Ia banyak sekali
menulis kitab, di antaranya adalah kamus: al-Jami’ li Mufradati al-Adwiah wa al-
Aghdiyah, berisikan berbagai macam obat-obatan. Kitab lain yang terkenal adalah
al-Mughani fi al-Adwiah al-Mufradah, berisikan cara pengobatan bagian-bagian
tubuh yang sakit secara ringkas dan jelas.233
Ibnu Habal al-Baghdadi, nama lengkapnya Ibnu Habal Muhadzdzabu al-Din
Ali Ibnu Ahmad Abu al-Hazn al-Baghdadi. Ia di lahirkan di Baghdad pada tahun
231 Al-Qurthubi merupakan orang Andalusia, akan tetapi ia banyak menghabiskan hidupnyadi daerah kekuasaan Bani Saljuk sehingga penulis memasukkannya dalam daftar dokter yang hiduppada masa kekuasaan tersebut. Prihal dia menjadi dokter Salahuddin al-Ayyubi ((1138-1193 M), iniberlaku juga bagi tokoh-tokoh yang pernah hidup di zaman al-Ayyubi yang kami masukkan dalamdaftar ini, dikarenakan sebagaimana dinyatakan oleh Hitti bahwa ketika pengangkatan dirinyamenjadi sultan, al-Ayyubi mengundang Khalifah Abbasiyah secara khusus untuk melantikanyasebagai Sultan atas wilayah Mesir, Maroko, Nubia, Arab Barat, Palestina dan Suriah Tengah.Dengan kata lain, Salahuddin al-Ayyubi masih mengakui kekuasaan Khalifah Abbasiyah yangberkuasa pada saat itu meskipun khalifah dalam posisi yang sangat lemah. Lihat Hitti Op Cit. h. 825
232 Ja’far Khadem Yamani, Op Cit.. h. 70233 Ibid. h. 71
103
519 H dan meninggal di Maushil pada tahun 610 H. ia berpraktik di Mardin dan
Maushil sebagai dokter anak-anak dan sebagai dokter ahli kandungan. Ibnu Habal
banyak menulis ilmu kedokteran. Kitab tulisannya yang terkenal, antara lain: (1)
Mukhtarat fi Thibb, berisi perkara kebidanan, cara-cara merawat bayi, memberi
makan yang sehat baginya, dan penyakit-penyakit yang biasa menyerang bayi dan
anak-anak. (2) Kitab asy-Syifa’ wa ad-Dawa’ berisikan obat-obat yang terbuat dari
peramuan herba dan obat-obatan yang dibuat secara kimia.234
Abdul Latif al-Bagdadi (1162-1231 M) berhasil membuat deskripsi lengkap
tentang tengkorak manusia dan memberi catatan penting tentang fakta-fakta yang
berkaitan. Sebagai penganalisa anatomi, dia memberi kontribusi besar terhadap
studi tengkorak manusia. Dia adalah dokter pertama yang berhasil menggambarkan
tengkorak manusia dan detail tulang wajah manusia khususnya tulang bawah dagu.
Dia juga banyak mengkoreksi pendapat-pendapat yang salah yang berasal dari
pemikirannya sebelumnya khususnya tokoh-tokoh Yunani. Untuk memuaskan dan
membuktikan pendapatnya dia tidak segan-segan mempelajari anatomi dengan
langsung membedah manusia.235
Ibnu al-Quff Abu Faraj, Ia seorang tabib dan seorang ilmuan yang
menguasai beberapa bidang ilmu. Ia dilahirkan pada tahun 619 H dan meninggal
pada tahun 685 H. kitab tulisannya yang terkenal antara lain: as-Asyafi fi Thibb,
Kitab-ul-‘Umdah fi Shinat-il-Jarrah, dan Kitab-ul-Jami’ il-Faradl fi Hifdz-is-
Shihhah wal- Maradl.
234 Ibid, h. 72235 Ziauddin Ahmad, Influence of Islam on World Civilization, (New Delhi: Adam
Publishers & Distributors, 1996), h. 145
104
Ali al-Fairuzi, ia seorang dokter Persia, Ia menulis Tarikh al-Thibb dan
Kitab al--Nas. Ahmad Ibnu Billam al-Junaidi, Ia seorang dokter yang semula
menjadi pengikut metode kedokteran Ibnu Sina, tetapi akhirnya setelah Ia
mengetahui kerusakan akidahnya seperti pendapatnya Ibnu Sina bahwa alam kekal
(qadim) atau abadi dalam artian tidak berawal,236 maka Kitab as-Syifa’ tulisan Ibnu
Sina itu pun di bakarnya habis, lalu Ia mengkaji ilmu kedokteran lain.237
Pada periode kekuasaan Bani Saljuk terdapat tokoh raksasa yang pernah
lahir dalam ilmu kedokteran ia adalah Ibn al-Nafis. Ibn Nafis Ali Ibn Abi Hazm al-
Damsyiqi lahir di Damsakus 1210 M dan wafat kira-kira pada tahun 1288 M. dia
menulis banyak karya dalam bidang kedokteran dan bidang-bidang lainnya. Dalam
menulis karya-karyanya, ia menggunakan hafalan, pengalaman, observasi, dan
metode deduksi sebagai landasannya. Ia menolak tasyrih (ilmu anatomi) Galen, ia
pun menolak faham Ibnu Sina. Ibn al-Nafis juga merupakan penulis komentar-
komentar terhadap banyak karya hadits dan juga tulisan-tulisan kedokteran
pendahulunya semisal Hippokrates, Hunayn Ibn Ishaq dan Ibnu Sina. Dia juga
banyak menghasilkan karya orisinil sendiri. Salah satunya adalah risalah tentang
penyakit-penyakit yang disebabkan makanan seperti Kitab al-Mukhtar min al-
Aghdiyyah. Dari seluruh karya-karyanya, yang terbaik adalah komentarnya terhadap
kitab Qanun nya Ibn Sina berjudul Kitab Mu’jiz al-Qanun.238 Karya ini terbagi
menjadi; 1. teori dan praktek kedokteran secara umum; 2. makanan dan obat-obatan
236 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 84237 Ja’far Khadame Yamani, Op Cit. h. 73238 Karya ini pada periode selanjutnya mempengaruhi karya besar dalam bidang yang sama
yang ditulis oleh William Harvey berjudul Exeecitatio Anatomica de Motu Cordis et Sanguinisadalah sebuah monograf yang terbit tahun 1628 dan sangat terkenal di Barat yang membahas tentangsirkulasi darah. Harvey sendiri mengakui bahwa ia sangat dipengaruhi oleh Ibn Nafis dalam menuliskarya ini. Lihat Ziauddin Ahmad, Op Cit. h. 147
105
secara sederhana dan kompleks; 3. penyakit-penyakit organ manusia; 4. penyakit-
penyakit lain, penyebab, gejala, dan pengobatannya. Buku ini sangat terkenal dan
banyak komentar ditulis berdasarkan itu serta telah diterjemahkan berbagai bahasa
termasuk bahasa Turki dan Yahudi. 239
Ibnu al-Nafis juga menulis karya berkaitan dengan bagian anatomi yang
tercantum dalam Qanun. Karya itu menarik sekali apabila dilihat dari pandangan
fisiologis. Ibn al-Nafis menjelaskan tentang pandangan Ibnu Sina tentang hati dan
paru-paru, dan mengulang fragmen Galen sebagaimana digambarkan oleh Ibn Sina.
ia banyak membantah tesis-tesis medis Ibn Sina dan mengkoreksinya seperti
pendapat mengenai aliran darah paru-paru (aliran darah kecil). Dialah orang
pertama yang menemukan jaringan aliran darah paru-paru.240
Dalam bukunya, Syarh al-Tasyrih, ia menjelaskan bahwa dalam tulisannya
tentang anatomi tubuh tidak akan bersandar kepada siapapun, kecuali kepada
metode pembahasan ilmiah yang benar “yang disepakati oleh orang-orang yang
mendahului kami dan menentangnya.” Yang jelas, dalam tulisan itu, ia menempuh
cara baru. Hal itu menjadikannya sebagai penemu ilmu bedah secara mandiri. Ia
membatasi pembicaraannya pada penjelasan mengenai bentuk anggota tubuh dan
cara kerjanya, tanpa memaparkan jenis-jenis penyakit yang menyerangnya,
sebagaimana dilakukan oleh para pendahulunya, terutama Ibnu Sina. Dia tidak
menyebut klasifikasi kecuali ketika dia berbicara tentang penyakit dan
239 Muhammad Saud, Islam and Evolution of Science, (New Delhi: Adam Publisher &Distributors, 1994), h. 91., lihat juga Nasr, Op Cit., h. 193
240 Ibid. h. 92
106
penyembuhannya. Oleh karena itu, dia membuat bagian-bagian yang sangat banyak
dalam bukunya.241
Keaslian pendapat Ibn al-Nafis tampak ketika dia menolak sebagian
pendapat Galen, khususnya tentang jantung; berbagai pendapat yang tidak berubah
selama sebelas abad di dunia kedokteran. Salah satu pendapat Ibn al-Nafis dapat
diringkas sebagai berikut: Setelah darah mengalir dari tempat munculnya, yaitu hati,
ke bilik kanan, maka dia menyebrang melalui dua penyekat antara dua bilik, melalui
pembuluh darah ke bilik kiri, kemudian bercampur dengan oksigen yang berasal
dari paru-paru. Ibn al-Nafis tidak mengakui adanya pembuluh darah ke bilik kiri itu.
Ia berkata, “pembedahan telah membuktikan bahwa hal itu bohong!” dia
menetapkan bahwa darah mengalir di antara dua bilik ini melalui sebuah lubang
yang langsung bersambung ke pembuluh darah parau-paru. Dan sesungguhnya
darah mengalir dari paru-paru ke bilik kiri, bukan sebaliknya. Dengan demikian,
dialah orang pertama yang mengenalkan pembuluh darah paru-paru.242
Ibn al-Nafis menjadi mulia dan termasyhur karena ilmunya. Dia selalu
berkumpul dengan orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan kedokteran.
Mereka diajak berdiskusi tentang berbagai ilmu pengetahuan hingga pagi hari.
Diriwayatkan bahwa dia menulis walaupun sedang berada di kamar mandi, tanpa
perlu merujuk kepada sumbernya kerena ingatannya sangat kuat. Dia juga sangat
yakin akan penemuan-penemuannya. Dia berkata “kalau aku tahu bahwa apa yang
241 Ahmad Amin Husayn, Op Cit, h. 222242 Ibid. h. 232
107
kutulis tidak akan bertahan sepuluh ribu tahun, maka aku tidak akan menulisnya.”
Ia adalah ahli fisiologi terbesar pada masanya.243
Kemudian tersebut juga seorang dokter pada periode ini Ibnu Abbin al-
Nandiri, Ia seorang dokter dan seorang da’i, tahun kelahiranya tidak diketahui
namun ditengarai hidup pada abad 11. Ibnu Abbin mengkaji kedokteran Persia,
Hindi, Tabiti, Arab, dan Yunani. Kitab tulisannya, antara lain: Kitab-usy-Syifa,
Akhlaq-uth-Tabib, Maqalah ‘anil-Khamr-i was-Summ-i, dan lain-lain. Keahlian Ibn
Abbin adalah sebagai tabib umum, ahli obat-obatan herba, ahli sejarah kedokteran,
dan juga penulis cerita.244
Secara khusus, Ja’far Khadem Yamani mencatat kemajuan di bidang
kedokteran pada masa kekuasaan Bani Saljuk terutama pada zaman pemerintahan
sultan Jalaluddin Abul-Fathi al-Malik Syah (465-485 H) yang termashur
keadilannnya, hiduplah wazir Nizham al-Muluk, seorang pencinta ilmu
pengetahuan. Ia mendirikan sekolah Nizhamiyah di Naisapur dan Baghdad mulai
dari tingkat awal sampai tingkat tinggi. Pada zamannya didirikan pula sebuah
rumah sakit yang tebesar, terlengkap, bersih lagi indah. Disamping rumah sakit
tersebut berdiri sebuah sekolah pengkajian kedokteran menengah, dan sebuah
sekolah pengkajian kedokteran tinggi. Rumah sakit dan sekolah kedokteran ini
berada dibawah pengurus Diwan-i-Thibb. 245
Dokter-dokter yang termaktub dalam Qishah-i-Tabib yang hidup pada masa
Bani Saljuk antara lain: 1. Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Ia lahir di Ghazal
Alakan (daerah) Thus di kawasan Khurasan pada tahun 450 H. sesugguhnya di
243 Ibid. h. 224244 Ja’far Khadem Yamani, Op Cit. h. 73245 Ahmad Amin Husayn, Op Cit, h. 172
108
Persia terdapat pengobatan jiwa dengan bertukar pikiran dan nasihat (konsultasi)
antara seorang dengan seorang ahli, yaitu al-Ghazali. Imam al-Ghazali biasa
mengobati seorang yang terguncang hatinya dengan cara tanya jawab, nasihat, dan
terkadang melayangkan sepucuk surat nasihat. Diantara surat nasihat yang terkenal
adalah risalah “Wahai Anakku”. Kitab al-Ghazali terdiri atas berpuluh-puluh jilid, di
antaranya Kitab Ihya ‘Ulum-id-Din, isinya banyak mengandung ilmu kejiwaan.246
2. Ahmad Syarif Shabran, seorang dokter ahli bedah, ia ahli dalam
kedokteran kandungan dan peracikan obat. 3. Salim Saif al-Din, seorang dokter ahli
lasah, penyakit dalam, bedah, bekam, dan ahli tanaman obat. 4. Sarah binti Abd al-
Ghani, seorang dokter ahli ilmu bedah, ahli kebidanan, ahli penyakit dalam, dan
seorang guru al-Qur’an. 5. Salamah binti Ali Bakhtiar, seorang ahli kebidanan dan
penyakit kandungan. Dalam kisahnya diceritakan ia meninggal dalam usia muda
setelah dibunuh oleh tentara Hulaghu di dalam rumah sakit. 6. Abd al-Malik,
seorang dokter ahli penyakit dalam dan merangkap sebagai dokter hewan. 7. Ibnu
Qibti, seorang dokter umum, Ia mengamalkan ilmu kedokteran hingga masa
pendudukan Mongol. 8. Hilal Barbaus, seorang dokter kawan Ibnu Qibti.247
C. Matematika
Keberhasilan Islam secara historis dalam menjelaskan warisan intelektual
masa lalu, menatanya agar berguna, dan kemudian memperkayanya dengan inovasi
penting sangat terbukti dalam matematika yang dikembangkan kaum Muslim.
Bermacam prestasi telah dicapai oleh kaum Muslim dalam bidang ini, sebagian
246 Ja’far Khadem Yamani, Op Cit. h. 76247 Ibid. h. 77
109
diantaranya memiliki ciri amat maju yang telah berkembang selama 4000 tahun. 248
Bangsa Mesir Kuno telah mengenal angka-angka desimal, memecahkan masalah-
masalah rumit dengan menggunakan persamaan yang memuat bilangan kuadrat,
menghitung luas lingkaran dan segi empat dengan cukup akurat, dan secara umum
mampu menerapkan keahlian matematis yang dibutuhkan untuk mahakarya seperti
merencanakan dan membangun piramida di Giza. Pengukuran bentuk-bentuk
geometris, baik dibidang datar maupun berbentuk padat, susah dikenal oleh bangsa
Mesir Kuno dan Mesopotamia. Bangsa Sumeria, semenjak millenium ke empat
sebelum Masehi, kelihatan sudah menggunakan sistem perhitungan yang rumit.
Bangsa Babilon sudah terbiasa menggunakan bilangan berurutan, yaitu dengan
angka-angka yang nilainya berubah secara otomatis dan secara konsisten
berdasarkan posisinya dalam sebuah gambar—pertama, kedua, atau lainnya. Nilai
berurutan akhirnya dugunakan dalam sistem bilangan seperti sepuluh (sistem
desimal) atau enampuluh (sistem seksagesimal). Konsep nilai berurutan, seperti
terlihat peran mendasarnya saat ini, merupakan salah satu keberhasilan yang amat
penting dalam sejarah sains dunia. 249
Ribuan tahun sebelum masa Kristen, aritmatika cina dapat memecahkan
masalah yang kompleks pada penelitian dan pengukuran bidang geometris. Di
India, semenjak abad ke empat sebelum Masehi, perhitungan dilakukan
menggunakan metode seperti aljabar yang diwarisi dari Babilon, dan satu sistem
bilangan yang menjadi cikal bakal bilangan Hindu dan Arab modern. Bilangan
berurutan desimal menjadi dikenal di India sekitar abad pertama masehi, dan angka-
248 Muhammad Saud, Op Cit. h. 19249 Howard R. Turner, Op Cit. h. 55
110
angka mulai memasukan bentuk nol, yang telah berkembang dari simbol Babilon
yang menyatakan ruang kosong.250
Jika matematika telah menjadi alat perhitungan internasional jauh sebelum
kemunculan Islam. Bangsa Yunani memerlukan beberapa abad menjelang masa
Masehi untuk menjadikan instrument ini menjadi bahasa yang amat berguna dan
tertata baik—seperangkat hukum-hukum dan istilah yang digunakan untuk
mengukur dan menjelaskan, dengan ketepatan dan kecermatan yang sebelumnya
tidak mungkin, tatanan inheren pada segala sesuatu yang ada di alam, dunia fisik.251
Sejak masa Pythagoras, angka-angka dan keterkaitannya telah memukau
bangsa Yunani dan beserta bentuk-bentuk geometris, memungkinkan mereka
merekayasa seluruh alam semesta dan memahami struktur dan fungsinya. Bukanlah
tanpa alasan disiplin matematika dimasukan sebagai bagian filsafat Yunani:
matematika, sebenarnya bentuk dari pelatihan filsafat, dengan menggunakan
prosedur baku dari argumen, penunjukan dan pembuktian untuk mencapai jawaban
yang dapat diterapkan secara universal. pada abad ketiga sebelum masehi, Euclid,
ahli matematika Yunani yang terkenal pada masa Alexandria, menuliskan karyanya,
Elements (unsur-unsur), yang mengumpulkan kedalam tiga belas buku seluruh
geometris yang diperoleh hingga saat itu. Karyanya ini juga memuat teori bilangan,
angka irasional, dan hal-hal lainnya yang di ungkapkan dalam definisi dan aksioma.
Keberhasilan Euclid merupakan bagian penting dari warisan yang diterima oleh
kaum muslimin, dan masih tidak terbandingi hingga abad ke-19.252
250 Ibid. h. 56251 Ibid. h. 56252 Ibid. h. 57
111
Geometri Yunani serta aritmatika dan aljabar Hindu masuk ke wilayah Islam
sejak masa awal-awal, matematika Yunani merupakan bagian dari harta karun
naskah ilmiah yang diterjemahkan di pusat-pusat seperti Jondeshapur dan Baghdad,
matematika Hindu mungkin datang melalui jalur perdagangan dengan India.253
Dengan demikian dua pendekatan yang berbeda secara fundamental pada
pengkajian matematika muncul bersamaan selama abad-abad pertama budaya
Islam: kecenderungan Yunani pada penggambaran konsep-konsep secara geometris,
dan penekanan Babilon pada perhitungan sexagesimal (atau basis enampuluh)
menggunakan bilangan berurutan, bersama-sama dengan penggunaan urutan
bilangan desimal dari India.254
Berawal dari pusat-pusat intelektual seperti bait al-hikmah yang didirikan
oleh khalifah Abasiyah di Baghdad dan Fatimiyah di Kairo, filosof-matematikus
Islam yang pertama menggeluti harta rampasan intelektual mereka dengan penuh
gairah. Mereka segera dengan terbiasa dan mulai melakukan kritikan terhadap ide-
ide, rumusan-rumusan, dan rincian-rincian yang mereka temukan tidak akurat, tidak
konsisten, atau kesalahan-kesalahan lainnya. Mereka melakukan penerjemahan baru
dan revisi-revisi terhadap yang sudah ada, sembari melakukan koreksi dan sampai
pada kesimpulan baru.
Inilah salah satu pengembangan dan penemuan terhadap sejarah budaya
pada akhirnya, ahli matematika Muslim mengubah sifat bilangan, mengefisienkan
beberapa bidang matematika, dan mengembangkan cabang-cabang baru
matematika. Sebelum mengkaji lebih dekat pada bagian paling penting dari
253 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1982), h. 57254 Howard R. Turner, Op Cit, h. 57
112
pencapaian ini, perlu dicatat bahwa pada periode sejarah yang sama ahli matematika
Eropa Barat menghabiskan waktu mrereka dengan pertengkaran mengenai kalender,
instruksi-instruksi baru dalam menggunakan sipoa (alat astronomi), dan masih
menggunakan angka Romawi.255
Ali Velayati menggeneralisasi kontribusi kaum Muslim dalam matematika
yang merupakan karya orisinil mereka. Hal itu meliputi 1. perbaikan terhadap alat
penulis angka India dengan menyempurnakan kalkulasi bagian seperpuluhnya; 2.
penciptaan pengurangan seperpuluhan; 3. menciptakan konsep-konsep baru dalam
teori angka; 4. menemukan ilmu aljabar; 5. pencapaian penting dan baru dalam
masalah segitiga; 6. pencapaian dalam teori sphere (ruang); 6. penemuan berbagai
metode untuk menemukan jawaban terhadap masalah angka dan formula tingkat
dua dan tiga.256
Berbeda dengan Velayati, J.L. Berggren menulis artikel tentang sejarah
matematika dunia Islam dari perspektif bibliografis menjelaskan bahwa kemajuan-
kemajuan yang dicapai dalam bidang ini sanga luas. Itu meliputi teori bilangan,
aritmatika, aljabar, persamaan-persamaan tak tentu, kombinatoris, matematika
rekreasional, geometri, trigonometri, matematika numerik, optik, geografi
matematis, dan mekanika.257 Berggren memberi kesimpulan dalam artikelnya
bahwa otonomi dan keorisinilan matematika dalam peradaban Islam, dimana
inovasi dalam aritmatika dan aljabar yang dulu tampak semata disebabkan oleh
255 Ibid. h. 57256 Ali Velayati, “Pasang Surut Perdaban Islam”, dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu
Islam, Vol. III, Nomor, 12, 2006, h. 61256 J.L. Berggren, “Sejarah matematika di Dunia Islam: Sebuah Penulusuran Bibliografis”
dalam A.I. Sabra et.al., Sumbangan Islam Kepada Sains & Peradaban Dunia, (Bandung: PenerbitNuansa, 2001), h. 36-59
113
pengaruh dari luar ternyata merupakan bagian integral dalam tubuh matematika
Islam. Ia juga menekankan sejak pertengahan abad ke 10 dan 11 merupakan periode
yang sangat kreatif bagi banyak disiplin matematika Islam, periode yang
menampakkan kemajuan penting di bidang aritmatika dan aljabar, pengembangan
trigonometri sferis, dan kontribusi brilian dalam mekanika dan kartografi.258
Penggunaan angka kosong (zero)259 merupakan hal yang paling mencolok
kontribusi kaum Muslim terhadap bidang ini. Aktivitas pengukuran dan
penghitungan yang sebelumnya begitu rumit dan kompleks kemudian ternyata dapat
dilakukan lebih mudah dan aplikatif. Penggunaan angka kosong sangat penting
dalam aritmatika. Tanpa angka kosong, sangat sulit menghitung jumlah puluhan,
ratusan, ribuan dan seterusnya. Orang terdahulu sebelum penggunaan angka itu
menggunakan tabel yang dikenal sebagai abacus. Orang Barat balajar penggunaan
angka dari Arab sehingga angka yang biasa kita gunakan sehari disebut sebagai
angka Arab (Arabic numerals).260
Tokoh matematika utama dunia Islam adalah al-Khawarizmi. Ia telah
mempengaruhi pemikiran di bidang ini hingga batas tertentu lebih besar daripada
penulis abad pertengahan. Di samping menyusun tabel astronomi tertua, al-
Khawarizmi juga menulis karya tertua tentang aritmatika, yang hanya diketahui
lewat terjemahannya, dan tentang aljabar. Karyanya yang berjudul Hisab al-Jahr
258 Ibid. h. 60259 Penemu angka kosong ini masih simpang siur, beberapa sejarawan mengatakan bahwa
kosong atau zero (shifr) berasal dari India karena orang Arab menamai angka-angkanya termasukangka kosong dengan nama al-A’dad al-Hindi atau angka-angka India. Sebagian lainnyamengatakan kata hindi merujuk kepada kata bahasa Arab lainnya yaitu handasi yaitu cabang ilmuyang berkaitan dengan konstruksi bagunan (engeneering) dan geometri. Jadi kata hindi bisa diartikansebagai huruf matematika karena kata tersebut juga digunakan dalam istilah astronomi da’ira al-hindi yang bermakna lingkaran (geometris) matematis. Lihat Muhammad Saud, Op Cit, h. 20
260 Muhammad Saud, Ibid. h. 21
114
wa al-Muqabalah, yang dilengkapi lebih dari 800 contoh merupakan karya
utamanya, yang masih ditemukan dalam bahasa aslinya. Setelah diterjemahkan ke
bahasa Latin oleh Gerard dari Ceremona pada abad ke -12.261 al-Khawarizmilah
yang melahirkan istilah aljabar dan algoritma berikut konsep-konsep yang
menyertainya. Aljabar dalam bahasa Inggris algerbra menunjukkan perubahan
(transposisi)-pengatur keseimbangan (muqabalah) atau ekuilibrium-melalui
penambahan dan pengurangan dengan jumlah yang sama pada kedua sisi
persamaan.262
Al-Khawarizmi juga turut berperan memperkenalkan ke benua Eropa angka-
angka Arab yang disebut algoritma, sesuai namanya. Diantara matematikawan
belakangan yang dipengaruhinya adalah Umar al-Khayyam, Leonardo Fibonacci
(dari Pisa Italia) dan Master Jacob dari Florence.263
Pada periode ke empat kekuasaan Bani Abbasiyah atau periode Bani Saljuk,
perkembangan matematika sangat pesat tidak kalah dengan perkembangan bidang
ini pada awal kemunculannya. Pada periode ini mucul raksasa matematikawan yang
bernama Umar al-Khayyam (w. 1123 M). Disamping sebagai matematikawan ia
juga dikenal sebagai sastrawan yang melahirkan karya yang begitu mempesona dan
terkenal berjudul Ruba’iyat (syair empat baris) yang ia tulis dalam waktu
senggangnya yang merupakan bagian kecil dari ketokohannya. Orang Persia lebih
memperhatikan karya-karyanya dalam matematika daripada syair-syairnya itu yang
mereka sebut sebagai “permainan ilmuan.” Berlainan dengan dunia Barat yang
begitu mengagungkan kepiawaiannya dalam bidang sastra yang sekaligus
261 Hitti, Op Cit. h. 474262 Turner, Op Cit. h. 59263 Hitti, Op Cit. h. 475
115
menganugerahi Umar al-Khayyam sebagai sastrawan agung abad ke sembilan belas
setelah Edward Fitzgerald menerjemahkan Ruba’iyatnya ke dalam bahasa
Inggris.264
Dalam bidang matematika yang oleh orang sezamannya ia paling diakui, al-
Khayyam mengembangkan lebih jauh aljabar al-Khawarizmi, membahas pecahan
tingkat dua dengan menggunakan geometri dan aljabar (geometric and algebraic
solutions of equations of the second degree)265
Sebagaimana diuraikan oleh Muhammad Saud, bahwa jika al-Khawarizmi
hanya membahas tentang kuadrat, maka Umar al-Khayyam membahas tentang
pecahan kubis. Dia membuat klasifikasi pecahan yang menakjubkan berdasarkan
kompleksitas pecahan itu sendiri, yaitu dalam sejumlah istilah-istilah yang berbeda
yang dikandungnya. Sejak abad ke-17 klasifikasi modern dibuat berdasarkan
temuan al-Khayyam ini. Perlu diperhatikan bahwa semakin tinggi tingkatan
pecahannya, semakin banyak pula istilah-istilah yang dikandungnya. Ia
mengklasifikasi pecahan kubus menjadi 27 bagian yang dibagi lagi menjadi 4
kategori. Dia memberi solusi geometris parsial terhadap beberapa bagian
tersebut.266
Al-Khayyam merupakan tokoh berbagai bidang dan unik, sejalan dengan
pernyataan Nasr yang menyatakan bahwa dalam diri al-Khayyam terdapat berbagai
perspektif Islam bersatu. Ia seorang penyair,267 sufi, filsuf, astronom dan
264 Ahmad Amin Husayn, Op Cit. h. 182265 Hitti, Op Cit. h. 475266 Muhammad Saud, Op Cit. h. 28267 Sebagai penyair al-Khayyam sering dianggap gnostis (zindik) oleh para sufi yang
berkecenderungan lebih eksoteris, yang belakangan sifat al-Khayyam yang skeptis tersembunyikepastian dari intuisi intelektual. Lihat Nasr Op Cit.h. 141., bagaimana tidak dianggap gnostis, syair-syair al-Khayyam dalam Ruba’iyyatnya mengandung pesan orang yang identik dengan orang yang
116
matematikawan. Sayang ia sedikit menulis dan dari yang sedikit itu pun banyak
karyanya yang hilang. Meskipun demikian, karyanya yang masih ada – yang
meliputi, selain syairnya, naskah tentang eksistensi, metafisika, juga karya
matematika yang terdiri dari riset prihal aksioma Euclidius, aritmatika dan aljabar –
adalah bukti cukup mengenai universalitasnya dan kemumpunannya. Aljabar oleh
al-Khayyam adalah satu dari teks matematika terpenting abad pertengahan. Buku
tersebut membahas pecahan melalui urutan kubis dengan mengklasifikasinya dan
menyelesaikannya (biasanya secara geometris) dan selalu menjaga hubungan antara
faktor-faktor yang tidak diketahui, bilangan-bilangan dan bentuk-bentuk geometris,
dengan demikian menjaga hubungan antara matematika dan makna metafisika yang
inheren dalam geometri Euclidius.268
Untuk membuktikan ketokohan al-Khayyam, Nasr menyempatkan untuk
mengutip empat bagian awal dari Aljabarnya al-Khayyam. Nasr menyatakan
pengutipan keseluruhan tidak dilakukan karena bagian berurutan yang paling
penting, yang membahas persamaan pangkat tiga dan empat dilewatkan karena
sukar dipahami oleh pembaca pemula. Di tulisan ini mengutip bagian kecil dari apa
yang ditampilkan Nasr dalam bukunya Sains dan Peradaban dalam Islam sebagai
berikut:
Persamaan sederhana ada enam macam: a. bilangan sama dengan akar; b.bilangan sama dengan kudrat; bilangan sama dengan kubik; c. (banyak) akarsama dengan kuadrat; d. (banyak) kuadrat sama dengan kubik; e. (banyak)Kuadrat sama dengan kubik; d. (banyak) akar sama dengan kubik.269
Tiga dari enam macam ini telah dibahas dalam buku-buku ahli aljabar.Mereka katakan bahwa rasio dan yang dipersoalkan terhadap kuadrat adalah
tenggelam dalam kenikmatan ruhani tanpa memperdulikan berbagai persoalan yang menyibukkanpara pemikir dan filsuf, atau apa-apa yang akan terjadi esok hari. Lihat Ahmad Amin Husayn, OpCit. h. 183
268 Sayyed Hossein Nasr, Ibid. 141269 Ibid. h. 145
117
bagaikan kuadrat dan kubik, dari sini, jika dibandingkan kuadrat dengankubik maka sama seperti membandingkan yang dipersoalkan dengankuadrat; dan juga rasio bilangan dengan kuadrat seperti rasio akar dengankubik, tapi mereka tidak membuktikannya secara geometris. Pada kasusbilangan sama dengan kubik, tidak ada cara untuk mendapatkan sisinnyakecuali dengan kalkulasi; sedangkan pada kasus metode geometri, ini tidakdapat diselesaikan kecuali dengan potongan kerucut.270
Manuskrip-manuskrip al-Khayyam tentang prinsip-prinsip kerja aljabar
berada di perpustakaan Leiden, Paris, dan London. Pengantarnya tentang
penelitiannya dalam aksioma Euklide (musadarat) diterjemahkan oleh Jacob dan
Wiedemann. George Sarton penulis Introduction to the History of Science
menjuluki al-Khayyam sebagai salah satu Matematikawan terbesar abad
pertengahan.271 Bertrand Russell mengatakan “Umar Khayyam merupakan satu-
satunya manusia yang saya tau yang sangat mumpuni dalam sastra (puisi) dan
matematika yang mereformasi penyusunan kalender pada tahun 1079 M”272
Kemudian para matematikawan yang lahir pada periode ini adalah al-Zarqali
(Arzachel) yang menjelaskan tabel-tabel trigonometris. Jabir Ibn Aflah yang
menulis buku berjudul Kitab al_Hai’ah atau Islah al-Majisti memberi pengantar
yang penting dalam trigonometri. Dia memberi persamaan rumus : cos B = cos a.
sin B untuk segitiga ruang dan persegi panjang pada C. Ibn Yasmini menulis puisi
pendek dalam bidang aljabar, dan Muhammad al-Hassar yang begitu terkenal pada
abad ke 12 dan ke 13 Masehi menulis risalah tentang Aritmatika dan Aljabar yang
diterjemahkan dalam bahasa Yahudi.273
270 Ibid. h. 146271 Ziauddin Ahmad, Op Cit. h. 104272 Ibid. h. 105273 Muhammad Saud, Op Cit. h. 29
118
Abdul Malik al-Shirazi mengomentari risalah Apollonios dan Fakhruddin al-
Razi, seorang ilmuan dan filsuf menulis postulat Euclid. Muhammad Abdullah al-
Hassar menyusun, dengan bantuan Ibn Yunus, sebuah risalah tentang kompas yang
sempurna berjudul Risalah al-Bakar al-Tamam. Kompas ini merupakan alat dimana
kerucut dapat digambar.274
Seorang ensiklopedis Muslim bernama Kamal al-Din Ibn Yunus (w. 1242)
menyusun risalah tentang aritmatika, aljabar, angka-angka segi empat dan segi
tujuh, dan tema-tema serupa. Dia menjawab salah satu dari pertanyaan-pertanyaan
Raja Frederick yang diajukan kepadanya oleh koleganya Ayyubi al-Kamil
(penguasa Mesir tahun 1218 – 1238 dan Damaskus tahun 1234 – 1235). Pertanyaan
yang Ibn Yunus jawab adalah bagaimana membangun sebuah segi empat yang sama
dengan segmen sekelilingnya. Bukti keabasahan jawaban tersebut diberikan oleh
salah satu muridnya, al-Mufaddal Ibn Umar al-Abhari yang menulis artikel tentang
hal itu.275
Seorang tokoh matematika, geografi, dan astronomi, al-Hasan al-Markashi
begitu terkenal hingga tahun 1262 M. Ia menulis berbagai karya di bidang-bidang di
atas. Karya utamanya berjudul Jami’ al-Mabadi wa al-Ghayat merupakan
kompilasi apik tentang pengetahuan praktis peralatan astronomi dan metodenya,
trigonometri dan gnomonis. Dalam karyanya, ia membahas tidak hanya sinus dan
cosinus tetapi juga apa yang ia sebut sinus sempurna (jaib tamam) ; sin (90o – a) =
274 Ibid. h. 29275 Ibid. h. 29
119
cos a dan melampaui sin besar (jaib fadl), sin (a – 90o) = cos a. dia menyusun tabel
sinus untuk setiap setengah tingkat dan tabel sin terpotong dan sin besar.276
Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad seorang matematikawan dan ahli
astronomi terkenal pada abad ke 13. ia seorang penulis tekenal yang menghasikan
70 karya yang kebanyakan tentang matematika dan astronomi. Karyanya yang
paling terkenal berjudul al-Talkhis ‘an al-Hisab. Buku ini setidak-tidaknya
dipelajari selama dua abad dan banyak karya komentar ditulis atasnya. Ibnu
Khaldun sangat mengagumi buku ini yang terjemahan bahasa Perancisnya baru
muncul tahun 1864. Buku ini merupakan ringkasan aritmatika yang mengandung
topik-topik menarik berupa pengembangan bilangan pecahan (fraction),
penggunaan yang konstan angka-angka India dan juga membahas tentang bentuk-
bentuk tambahan persegiempat dan kubus. Disamping menulis buku ini, Ibn
Muhammad menulis empat risalah tentang bilangan bulat (integer), pecahan, akar
dan proporsi.277
Nashiruddin al-Thusi adalah tokoh yang begitu terkenal dalam bidang
astronomi yang juga mengepalai observatorium terbesar masa itu – observatorium
Maragha. Selain dikenal sebagai astronom, ia juga adalah ahli matematika, filsafat
dan fisika. Disamping menulis banyak karya astronomi, ia juga menulis beberapa
karya tentang matematika. Dia begitu terkenal dalam bidang trigonometri. Dialah
yang menerjemahkan karya Menelao tentang ilmu ruang (spherics) dan juga ia
menulis karya orisinilnya dalam bidang ini berjudul Shakl al-Qatta’278 (dalam
276 Ibid. h. 28277 Ibid. h. 28278 Ada karya matematika yang berjudul sama yang juga ditulis oleh tokoh muslim yaitu
Shakl al-Qatta’ nya Muhyiddin al-Maghribi yang merupakan matematikawan dan filsuf Muslim
120
bahasa Latin Figure Catta) yang berarti bentuk-bentuk sektor. Judul itu terinspirasi
oleh teori Menelao tentang segitiga yang dipotong oleh garis lintang
(transversal).279 Buku ini terdiri dari 5 jilid yang buku ke 3 dan ke 4 membahas
tentang trigonometri ruang dan sferis secara berturut-turut. Inilah karya yang
menempatkan trigonometri sebagai ilmu yang independen terlepas dari astronomi
dan merupakan karya terbesar dalam jenisnya pada abad pertengahan.280 Karya
tersebut juga berisi tentang rumus ekplisit tentang hukum sinus tentang segitiga
ruang dengan dua bukti yang absah. Ia juga membahas tentang enam rumus
mendasar tentang solusi anggel segitiga ruang yang benar sekaligus menjelaskan
metode penggantiannya.281 Ia juga menulis karya dalam aritmatika berjudul
Mukhtasar bi Jami al-Hisab.282
D. Fisika
Fisika dalam sains abad pertengahan, seperti juga di kalangan bangsa
Yunani, mencakup pengkajian-pengkajian ‘semua yang berubah,” atau dunia
penciptaan dan kerusakannya. Dalam dunia Islam, studi fisika (thabi’iyat) melebihi
sains manapun, mengikuti ajaran Aristoteles dalam garis besar fondasinya.
Kebanyakan masalah yang dikemukakan oleh ilmuan muslim saat itu adalah dalam
kerangka doktrin bentuk dan materi, kemungkinan dan kenyataan dan lain
sebagainya. Akan tetapi ada beberapa ilmuan muslim lainnya yang sangat kritis dan
merumuskan berbagai konsepsi baru dalam perubahan seperti konsepsi tenaga
keturunan Spanyol. Karya al-Maghribi ditulis berdasarkan teori-teori yang diajukan al-Thusi dandilengkapi pengembangan-pengembangan orisinil dari dirinya sendiri. Lihat Saud, Ibid. 31.
279 Ziauddin Ahmad, Op Cit. h. 106280 Howard R. Turner, Op Cit. h. 81-82 dan Saud, Op Cit. h. 30281 Saud, Ibid. h. 31282 Ziuddin Ahmad, Op Cit. 106
121
kosong, yang memainkan peran penting dalam perubahan yang akan timbul
kemudian dalam struktur keseluruhan fisika di Barat. 283
Metode yang ditempuh untuk memperdalam disiplin ini, fisikawan Muslim
melakukan pengamatan dan eksperimen, dan dengan cara itu berusaha menganalisis
informasi dari aspek nyata alam. Terdapat ilmuan-ilmuan besar muslim dalam
bidang ini yang paling terkenal adalah Ibn al-Haitsam (Alhazen) (965-1039 M). Ia
adalah seorang matematikawan, filsuf, astronom, dan ia dianggap sebagai fisikawan
terbesar abad pertengahan. Ia memberi kontribusi besar kepada penelitian gerak,
dimana ia menemukan prinsip kekekalan (inersia), fisika langit, ilmu statistika dan
sekaligus membuat ilmu optika sebagai ilmu yang baru.284
Ibn al-Haitsam adalah tokoh pertama dalam bidang fisika eksperimental
yang mendahului Roger Bacon. Ia adalah tokoh pertama yang begitu mendetail
meneliti tentang gejala cahaya; penglihatan, pelangi, pemantulan, pembiasan.285 Dia
banyak menghasilkan karya dan diantara yang terkenal adalah Kitab al-Manadzir.
Dalam buku ini ia menentang teori Eucklid dan Ptolemeus bahwa matalah yang
memberi cahaya ke benda dan oleh karena iu dapat melihat. Sebaliknya dia
berpendapat bahwa bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan dari proses
pengiriman itu timbullah gambaran dari benda tersebut dalam mata. Kemudian
karya selanjutnya adalah al-Muntakhab fi ‘Ilajil ‘Ain yang mengandung
pembahasan penting tentang pengobatan mata.286
283 Sayyed Hossein Nasr, Op Cit. h. 108284 Ibid. h. 110-111285 Abdel Halim Montaser, “Ilmu Pengetahuan Alam” dalam Komisi Nasional Mesir Untuk
UNESCO, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan, terj. (Bandung: Penerbit Pustaka,1986), h. 194
286 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 63
122
Tokoh selanjutnya adalah Ibnu Sina (980-1037 M) membahas tentang
kecepatan suara dan cahaya dalam bukunya al-Syifa. Menurut pendapatnya,
penglihatan mendahului pendengaran, jadi bila ada seseorang yang memukulkan
dua benda dari jarak yang jauh, maka anda akan melihat pukulan itu lebih dahulu
sebelum mendengar bunyinya. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa melihat
membutuhkan waktu lebih panjang daripada mendengar, karena suara bergerak
dalam gelombang melalui udara. Tentang awan Ibn Sina menyatakan bahwa ia
dibentuk dari uap air yang timbul karena pemanasan dan naik ke atas sampai ia tiba
pada lapisan udara yang dingin. Uap itu adalah bahan terjadinya awan, hujan,
embun, kelembaban, salju, es dan hujan es, dan pada uap tersebut tampak lingkaran
cahaya, pelangi dan meteor.287
Pada periode kekuasaan Dinasti Saljuk, muncul seorang tokoh bernama
Kamal al-Din al-Farisi. Ia adalah tokoh pertama yang begitu serius mempelajari
karya al-Haytsam Kitab al-Manadzir yang dari awal ditulis, buku tersebut tidak
mendapat perhatian yang baik dari ilmuan muslim hingga kemunculan al-Farisi.
Rumusan tentang prinsip-prinsip yang berperan dalam efek kamera obscura
merupakan objek komentar penting al-Farisi. Lebih penting lagi, ia memberikan
penjelasan yang memuaskan untuk pertama kalinya tentang pelangi, sebuah
fenomena yang sudah mempesona ilmuan muslim, seperti Ikhwan al-Shafa. Dengan
mempelajari jalan cahaya di dalam sfera gelas, ia mengungkapkan bagaimana
cahaya matahari direfraksi melalu air hujan dan bagaimana pelangi primer dan
sekunder dibentuk.288
287 Montaser, Op Cit. h. 193288 Howard R. Turner, Op Cit. h. 209
123
Karya dan komentar al-Farisi amat memajukan perkembangan metode
eksperimen, khusus korelasi penting antara eksperimen dan teori. Secara perlahan
tapi pasti, sains eksperimental mendapatkan bentuknya, dengan memanfaatkan
sejenis proses investigatif yang akhirnya mendominasi seluruh pencarian ilmiah.289
Diantara fisikawan Muslim angkatan terakhir, seorang yang paling penting
adalah Abu al-Fath Abdurrahaman al-Khazani. Ia aslinya seorang budak Yunani
yang diberi kesempatan belajar sains dan filsafat oleh tuannya ‘Ali al-Khazani al-
Marwazi di Merv. Ia begitu terkenal pada sekitar tahun 1115-1121 M dan yang
meneruskan pengkajian mekanika dan hidrostika dalam tradisi al-Biruni (973-1048
M) dan saintis terdahulu.290
Ia banyak menulis karya tentang astronomi dan fisika dan yang paling
penting adalah Kitab Mizan al-Hikmah atau neraca kebijaksanaan yang mungkin
adalah karya yang paling menonjol dalam bidang mekanika dan Hidrostatika dan
terutama studi tentang gravitasi.291 Dalam teori gravitasi al-Khazani, ia menjelaskan
bahwa kekuatan gravitasi bumi ini didasarkan pada kemana kekuatan itu terarahkan
maka itu akan menjadi pusat dari kekuatan gravitasi bumi. Ia juga menjelaskan
tentang tabel-tabel terinci tentang gravitasi benda cair dan padat (berdasarkan
pemikiran al-Biruni), sejarah subjek, gravitasi udara, observasi kapilaritas,
penggunaan aerometer untuk mengukur kepadatan dan kajian tentang tempratur
benda cair, aplikasi keseimbangan untuk mensejajarkan ukuran waktu.292
289 Ibid. h. 209290 Muhammad Saud, Op Cit. h. 36. lihat juga Nasr, Sains dan Peradaban, h. 120291 Nasr, Ibid. h. 121292 Saud, Ibid. h. 35
124
Dalam karya yang lain tentang keseimbangan, Keseimbangan Bidang, al-
Khazani menekankan kebutuhan untuk menghilangkan sebisa mungkin pengaruh-
pengaruh variasi temperatur ketika penimbangan. Al-Khazani dan karya-karyanya,
oleh beberapa ahli, dianggap sangat mempengaruhi Galileo.293
A. Mieli, sejarawan sains dari Italia, membandingkan penentuan berat jenis
oleh al-Biruni dan al-Khazani dengan hasil sains modern sebagaimana berikut:294
Menurut al-Biruniberdasarkan nilai tetapuntuk295
Menurutal-Khazini
NilaiModern
Zat Emas Air raksa
emas (19.26) 19.05 19.05 19.26tembaga 13.74 (13.59) 13.56 13.5loyang 8.92 8.83 8.66 8.85besi 7.82 7.74 7.74 7.79timah 7.22 7.15 7.32 7.29timahhitam
11.40 11.29 11.32 11.35
Kemudian tokoh selanjutnya dalam fisika adalah Nashiruddin al-Thusi
(1201-1274 M) yang dalam pembahasan sebelumnya disebut sebagai astronom
terkemuka abad pertengahan menulis karya dalam bidang optik berjudul al-
Mabahits fi In’ikas al-Shu’a’at wa In ‘itafiha (penelitian tentang refleksi dan
refraksi cahaya). Karya ini membahas kualitas sudut pandang benda dan
refleksinya. Karya lainnya berjudul Tahrir Kitab al-Manazir. Dalam kata
293 Ibid. h. 35-36294 Nasr, Op Cit. h. 122295 Metode al-Biruni berdasarkan pengukuran nilai berbagai zat dengan mengambil satu zat
tertentu yang bernilai tetap. Nilai untuk emas, air raksa yang tetap pada kolom dituliskan dalamkurung, dan nilai lainnya utnuk tiap kasus dinyatakan bedasarkan nilai-nilai tetap ini. Lihat Nasr,Ibid. h. 333
125
pengatarnya, al-Thusi menjelaskan bahwa seseorang mempersepsi/melihat benda
dikarenakan cahaya yang terpancar dari benda tersebut, akan tetapi proses
penglihatan terjadi seakan-akan mata kita yang memancarkan cahaya ke benda
itu.296
E. Kimia
Setelah ilmu kedokteran, astronomi, dan matematika, orang Arab
memberikan konstribusi ilmiah yang besar dalam bidang kimia. Dalam bidang ilmu
kimia dan ilmu fisika lainnya, orang Arab telah memperkenalkan tradisi penelitian
objektif, sebuah perbaikan penting terhadap tradisi pemikiran Yunani yang
spekulatif.297
Kimia adalah ilmu yang membahas komposisi, unsur-unsur dan perubahan
komposisinya yang terjadi pada zat. Zat dibagi menjadi zat organik dan non
organik. Ide pemisahan ini adalah hasil klasifikasi al-Razi yang membagi zat
kimiawi ke dalam mineral, sayur-sayuran, dan hewan. Kimia non organik
membahas tentang unsur-unsur dan elemen-elemen senyawa yang berasal dari studi
tentang mineral dan logam Sedangkan kimia organik membahas tentang senyawa
karbon yang dikembangkan melalui investigasi hewan dan tumbuhan.298
Seorang filsuf Yunani, Empedoklas mengenalkan empat elemen; udara, air,
tanah, dan api yang merupakan elemen utama (primal element) zat dan keberadaan
adalah buatan dari campuran empat elemen tersebut. Ia berpendapat bahwa empat
elemen tersebut berbeda dan dapat berubah. Aristoteles berpendapat juga bahwa
296 Saud, Op Cit. h. 41297 Hitti, Op Cit. h. 475298 Saud, Op Cit. h. 60
126
empat elemen itu dapat berubah dan satu jenis elemen dapat berubah ke jenis
elemen lain.299
Jabir Ibn al-Khayyan sering disebut sebagai bapak kimia kaum muslim
yang hidup pada abad ke 8 M. Para ahli bahkan berpendapat bahwa sebelum Jabir
tidak ada ilmu kimia dalam pengertian yang sesungguhnya tetapi hanya sekedar
keterampilan yang dikuasai melalui pengalaman dan yang memerlukan latihan serta
praktek, dan digunakan dalam pertambangan, membuat mumi, menenun,
pencelupan, pembuatan kaca, minyak dan parfum. Ia adalah peletak ilmu kimia
dalam pengertian modern, karena ia menunjukkan pentingnya eksperimen,
menganjurkan observasi yang teliti, berhati-hati, dan sabar di zaman yang
didominasi oleh teori empat elemen dan diobsesi oleh perubahan elemen-elemen,
khususnya perubahan logam-logam lain menjadi emas.300
Jabir berpendapat bahwa logam tidaklah terbentuk dari dua macam elemen
yang ada di dalam bumi, tapi dua elemen inilah yang berubah menjadi dua elemen
baru, yaitu air raksa dan belerang yang bergabung di dalam tanah dan menjadi
logam. Ia berpendapat bahwa perbedaan antara satu logam dan lainnya ditentukan
oleh proporsi air raksa dan belerang sebagai elemen pembangunnya.301 Kemudian
teori ini dikenal sebagai teori air raksa belerang logam (theory of sulfur-mercury of
metal). Dengan teori ini Jabir dianggap telah mampu memodifikasi teori empat
elemennya Aristoteles dan mengajukan elemen lain selain itu.302 Hebatnya, teori ini
mampu bertahan sampai beberapa abad, yakni akhir abad ke 18 dan menjadi dasar
299 Ibid. h. 61300 Abdel Halim Montaser, Op Cit. h. 197301 Ibid. h. 197302 Saud, Op Cit. h. 61 lihat juga Abdel Halim Montaser Ibid. h. 197
127
teori Pholgiston yang mengatakan bahwa semua benda yang mudah terbakar
mengandung zat elusif dan tidak bisa didefinisikan, yang menyerupai api yang
disebut phlogiston yang diperkirakan melepaskan diri dari zat yang terbakar pada
waktu pembakaran.303
Ia banyak menulis karya dalam bidang ini diantaranya Kitab al-Rahmah,
Kitab al-Tajmi’ dan al-Zi’baq al-Syraqi. Seperti orang Mesir dan Yunani, ia
percaya pada pendapat bahwa logam biasa seperti seng, besi, dan tembaga dapat
diubah menjadi emas atau perak dengan formula misterius yang untuk
mengetahuinya ia banyak menghabiskan tenaga dan waktu. Ia telah mencanangkan
pentingnya eksperimen secara lebih seksama daripada ahli kimia sebelumnya dan
melangkah lebih maju dalam perumusan teori maupun dalam praktik kimia. Ia juga
telah berhasil menggambarkan secara ilmiah operasi utama ilmu kimia; kalnikasi
dan reduksi kimiawi. Ia memperbaiki metode penguapan, sublimasi, peleburan, dan
kristalisasi.304
Kemudian tokoh kimia Muslim yang berpengaruh adalah al-Razi (w. 925
M). Ia adalah tokoh kimia yang dipengaruhi Jabir dan kebanyakan karyanya
berjudul mirip dengan seniornya itu. Diantara karya-karya kimianya, Rahasia dari
Segala Rahasia atau Liber Secretorium Bubacaris merupakan karyanya yang paling
terkenal dalam kimia. Karya ini membahas proses dan percobaan kimia yang
dilakukan sendiri oleh al-Razi dan yang dapat disamakan dengan bentuk ekuivalen
modernnya, seperti penyulingan, pengapuran, kristalisasi, dan sebagainya.305 Dalam
karya ini dan juga yang lain, al-Razi juga menguraikan tentang banyak peralatan
303 Abdel Halim Montaser, Ibid. h. 197304 Hitti, Op Cit. h. 477305 Nasr, Sains dan Peradaban…, h. 248
128
kimia, seperti gelas bermulut lebar (beaker), botol (flask), botol kecil (phial), panci
(casserol), lampu nafta, tungku pelebur, gunting, tanga, labi distalasi, alu, lumping,
dan banyak lagi yang lain, yang sebagian masih digunakan orang hingga kini. Ia
adalah ilmuan yang mengenalkan kimia ke bidang kedokteran.306
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, studi tentang mineral (mineralogy)
berkaitan erat dengan kimia. Hampir 50 jenis bebatuan dinamakan dalam bahasa
Arab. Nama-nama itu banyak tercantum dalam buku berjudul Flowers of Stones
yang ditulis oleh Shihab al-Din al-Tifasi (w. 1154 M). Karya ini membahasa secara
mendalam dalam 25 bab tentang nama-nama jenis bebatuan dan bebatuan mulya;
asal muasal, geografi, pengujian, kemurnian, penggunaannya untuk tujuan medis
dan magis dan lain sebagainya.307
Pada abad ke 13 M, industri pembuatan keramik yang memunculkan proses
dan teknis kimiawi yang rumit sekali dikembangkan oleh kamu Muslim. Buku yang
paling terkenal dalam bidang ini dan merupakan yang pertama adalah Jawahir al-
‘Ara’is Wa ‘Aja’ib al-Nafa’is. Buku ini merupakan karya ‘Abd Allah Ibn ‘Ali
Kashani dan sangat berpengaruh dan bertahan hingga abad ke 16 M. buku ini
membahas tentang bahan-bahan pembuatan keramik seperti tanah liat, boraks,
timah, kobal (sejenis logam), lapis lazuli, mangaan, dan feldspar. Buku ini juga
membahas tentang bebatuan berharga, dan pembuatan parfum. Pada bab akhir buku
ini membahas tentang seni menghiasi keramik. Penjalasan-penjelasan itu sangat
berharga karena berdasarkan praktek tradisional dan aktual.308
306 Ziauddin Ahmad, Op Cit. h. 188-189. Lihat juga Ibid. h. 248307 Muhammad Saud, Op Cit. h. 65308 Ibid. h. 69
129
Berkaitan dengan pembuatan kertas, terdapat sebuah karya berjudul al-
Kuttab wa ‘Uddatu Dhawail al-Bab yang dinisbatkan kepada seorang amir Tunisia
bernama al-Mu’iz Ibn Badis (1015-1061 M). Bab ke 11 buku ini membahas tentang
kertas dan sangat mempengaruhi tokoh yang mempelajari kertas Arab, Josef
Karabacek. Karya ini cukup detail menjelaskan bagaimana menyiapkan bubuk
kertas, membuat, mencuci dan membersihkan lembaran-lembaran, melicinkan dan
merekatkannya dan menghiasinya dengan tampilan yang indah. Dan tidak dapat
ditemukan teks dalam bahasa lain yang sebanding pada masanya.309
Penyiapan bubuk kertas merupakan proses kimia yang sangat rumit yang
menunjukkan kemajuan dalam pengetahuan kimia kaum Muslim pada saat itu.
Pengembangan manufaktur pembuatan kertas lebih dikembangan pada masa dinasti
Andalusia di Spanyol yang memberi kontribusi besar terhadap industri tulis-menulis
dan percetakan Eropa.310
Sedangkan tokoh kimia terbesar pada zaman periode ke empat kekuasaan
Dinasti Abbasiyah tepatnya abad ke 7 H/13 M adalah Abu al-Qasim al-‘Iraqi. Ia
adalah pengarang satu dari naskah kimia Islam yang paling terkenal, Pembuatan
Emas, adalah juga pengikut Jabir. Tidak seperti al-Razi, yang boleh dikatakan
membatasi diri pada sifat-sifat kimia dari benda, al-‘Iraqi tetap setia kepada ajaran
Jabir, menyelidiki sifat luar dan fisik benda dalam kaitannya dengan makna
simbolisnya dan dengan alam psikologis dan spiritual. Bukunya sebagian besar
adalah ikhtisar beberapa ajaran Jabir; serupa dengan ahli kimia lainnya, ia bertujuan
309 Ibid. h. 67310 Ibid. h. 68
130
bukan untuk menemukan tapi untuk meneruskan dengan setia doktrin tokoh-tokoh
seni kimia.311
Ahli kimia seperti al-‘Iraqi menganggap kimia bersumber dari Tuhan;
karena itu mereka berupaya mempertahankan prinsip-prinsip aslinya. Ketiadaan
perkembangan ini bukan berarti hanya mengulang-ulang saja ataupun meninggalkan
kegiatan intelektual. Bagi mereka kegiatan akal bukan seperti penciptaan ide-ide
baru, tapi pembauran organis dari prinsip-prinsip seni tersebut. Keindahan dan
kesegaran yang masih ditemukan dalam tulisan beberapa ahli kimia, mereka dapat
menyatakan pandangan yang sama dalam bahasa yang segar yang tidak tergantung
hanya pada penggunaan naskah lainnya, tapi juga berkaitan dengan pengalaman
mereka yang langsung dan dalam. Kesegaran bahasa dan keindahan simbolisme
inilah yang benar-benar membedakan tokoh besar kimia dari mereka yang hanya
menyusun bagian-bagian dari naskah tua. Jadi kegiatan intelektual dari sarjanah-
sarjanah kimia ini adalah pendalaman mereka menembus selubung simbolisme
yang demikian banyak untuk mencapai prinsip abadi seni kimia, bukannya
pemikiran tentang alam mineral dengan harapan menjelaskannya menurut teori-
teori baru.312
Misalnya, al-‘Iraqi mengikuti Jabir tentang hal logam sebagai satu spesies –
berbeda hanya tentang sifat-sifatnya – spesies yang ia bandingkan dengan spesies
tumbuhan dan hewan, tapi ia menyatakan pandangan ini dengan cara yang
menunjukan keahliannya dalam kimia, bukannya dengan mengulang saja pendapat
311 Nasr, Sains dan Peradaban…, h. 256312 Ibid. 257
131
Jabir. Begitu pula ia punya konsepsi yang serupa dengan bahan pertama (prime
matter) yang mencakup segala benda, tetapi yang dijelaskannya secara khas.313
Al-‘Iraqi juga menjelaskan cara menulis naskah kimia berkaitan simbolisme
dan beberapa istilah yang terdapat didalamnya. Jadi dalam naskahnya sendiri ia
memberikan contoh cara menafsirkan naskah kimia supaya bisa dimengerti. Tapi
walaupun begitu, ia berhenti pada tahap tertentu, tanpa memberikan makna akhir
metafisika dari istilah-istilah yang digunakannya dan meminta agar jangan
diteruskan lebih dari yang diuraikannya.314 Ia juga memberi penjelasan tentang
makna Judul karya Jabir al-Zi’baq al-Syiraqi atau Air Raksa dari Timur sebagai
berikut:
Tentang deskripsi dengan “asosiasi yang perlu”, contohnya adalah ungkapan“air raksa dari Timur”. Mereka maksud dengan ungkapan ini ialah air raksayang diekstrak dari batu-batunya, dan ini adalah ungkapan “asosiasi yangperlu”, karena air raksa dari Timur diekstrak dari batu, berlainan dari airraksa dari Barat, yang diekstrak dari tanah lunak. Jika sesuatu ciri air raksaTimur ditemukan dalam air raksa itu mereka berikan nama tersebut. Sebabitu, haraplah mengerti.315
Dan mereka sering menyebut dengan ungakapan “dari Timur” suatu bahanyang panas dan kering seperti wilayah Timur dan pula serupa sifat matahariyang terbit dari Timur. Demikianpun dengan “Barat” dan “Mesir” merekamaksud ialah kelembaban yang ditarik dari batunya, seperti halnya Baratdikaitkan dengan lembab. “sungai nil” maksudnya sama.316
Tradisi kimia yang diwakili oleh Jabir, al-’Iraqi dan yang lainnya adalah
tradisi yang berkesinambungan dalam dunia Islam, berlangsung berabad-abad
hingga zaman modern.317 bahasa simbolisme mengintegrasikan pandangan sufisme
dan sekaligus pandangan keduniawian. Jadi kreativitas seniman dan ilmuan kimiawi
313 Hitti, Op Cit. h. 477314 Nasr, Sains dan Peradaban…, h. 257315 Ibid. h. 258316 Ibid. h. 258317 Ibid. h. 259
132
disamping berunsur hal yang duniawi akan tetapi juga – dan mungkin yang paling
inti dari tujuan ilmu ini – dilumuri oleh pemahaman ilahiah dan dunia spiritualitas
133
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Definisi zaman kemajuan ilmu pengetahuan Islam selalu dialamatkan pada
periode pertama kekuasaan dinasti Abbasiyah dalam sebagian besar pendapat
sejarawan seperti klasifikasi Watt (1984) sekitar tahun 750-850 M atau menurut
Hitti (2006) bermula dari kekuasaan al-Saffah (750 M) hingga berakhirnya
kekuasaan al-Mutawakkil (847 M). Lebih spesifik lagi, istilah zaman kemajuan
ilmu pengetahuan Islam benar-benar mencapai puncakanya pada kekuasaan dua
khalifah besar yaitu Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Makmun (813-
833 M). Apabila ditilik dari seluruh aspek kehidupan; misalnya kesejahteraan
rakyat, kestabilan keamanan, politik ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan lain
sebagainya, masa kekuasaan dua khalifah ini memang tiada duanya.
Periode keempat kekuasaan Dinasti Abbasiyah bersamaan dengan efektifnya
kekuasaan politis kaum Turki Saljuk. Meskipun setelah keruntuhan Dinasti Saljuk,
secara tidak otomatis Dinasti Abbasiyah lenyap dari permukaan bumi. Dikarenakan
sebenarnya periode ini dibagi menjadi dua bagian yaitu periode kekuasaan Dinasti
Turki Saljuk dan periode paska kekuasaan Dinasti Turki Saljuk yang terentang dari
tahun 447-656 H/1055 – 1258 M. Periode ini sering disebut-sebut sebagai periode
kemunduran kejayaan Dinasti Abbasiyah yang beberapa periode sebelumnya begitu
gemilang dan solid dalam berbagai bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial
maupun ilmu pengetahuan.
134
Tesis dan asumsi bahwa periode keempat kekuasaan Dinasti Abbasiyah
adalah periode kemunduran dalam segala aspek perlu dikaji ulang. Oleh karena itu
penelitian ini, meskipun sifatnya penelitian kelas S1, cukup memberi pandangan
bahwa kemunduran dalam ilmu pengetahuan pada periode keempat Dinasti
Abbasiyah tidak benar adanya. Justru pada periode ini, kemajuan dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan menemukan kematangannya, meskipun dari segi
kepesatan dan kecepatan perkembangan masih kalah dari periode-periode
kekuasaan Dinasti Abbasiyah sebelumnya. Sebagaimana ditegaskan oleh J.L.
Berggren (2001) bahwa abad ke 10 dan ke 11 merupakan periode kreatif dan
matang bagi pengembangan sains Islam. Dengan kata lain bahwa abad-abad
sebelumnya merupakan masa peletakan fondasi untuk mencapai kematangan
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Dan itu tentunya tidak berlaku bagi
bidang-bidang lain terutama misalnya politik dan keamanan.
Serupa juga apa yang disampaikan oleh Howard R. Turner (2004) bahwa
sebenarnya awal abad ke-11 lah yang merupakan the peak of its first golden age
atau puncak pertama zaman keemasan Islam. Mungkin pendapat ini melihat bahwa
sebelumnya peradaban Islam yang begitu indah dan megahnya hanya dapat
dinikmati oleh kalangan Islam dan negara-negara tetangga terdekatnya. Namun
mulai abad ini, selain kematangan pengembangan ilmu pengetahuan Islam yang
diperoleh, kemegahannya telah begitu berpengaruh ke seluruh penjuru dunia dan
memberi manfaat ke seluruh ras manusia di jagad raya ini.
Kesimpulan dari penelitian ini menggambarkan bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan tidak hanya berada pada periode Dinasti Abbasiyah pertama, akan
tetapi terus berlanjut hingga periode keempat selesai. Hal ini ditandai jatuhnya
135
Bagdad ke tangan bangsa Tartar di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656
H/1258 M.
Hasil penelitian ini difokuskan untuk menggambarkan secara kritis dan
analitis kemajuan-kemajuan yang dicapai pada periode Dinasti Abbasiyah keempat.
Kemajuan-kemajuan itu meliputi:
1. Kemajuan-kemajuan yang dicapai di bidang ilmu-ilmu Islam pada
masa ini merupakan pelestarian dan pengembangan masa-masa
sebelumnya. Dalam beberapa bidang ilmu-ilmu Islam sebagian karya
yang ditulis berupa komentar-komentar karya-karya yang ditulis
sebelumnya. Akan tetapi periode ini juga banyak melahirkan karya-
karya dan tokoh-tokoh besar dengan pemikiran-pemikiran orisinil
dan memukau, seperti al-Ghazali yang pengaruhnya dapat kita
rasakan hingga sekarang.
2. Dalam bidang sains, periode ini bisa dibilang sebagai periode
keemasan sebenarnya sejalan dengan pernyataan J.L. Berggren
(2001) dan Turner (2004). Tesis ini ditandai dengan banyaknya
ilmuan-ilmuan yang lahir dengan pemikiran-pemikiran yang hebat
juga. Mereka juga banyak menghasilkan karya-karya besar yang
sangat berpengaruh hingga berabad-berabad sesudahnya. Periode ini
juga disebut sebagai periode kematangan perkembangan sains,
karena pada periode inilah sains Islam mencapai puncaknya. Dengan
kata lain, periode-periode sebelumnya merupakan fondasi untuk
mencapai puncak pada masa periode keempat Dinasti Abbasiyah ini.
136
Periode ini melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Nashiruddin al-
Thusi, Umar al-Khayyam, Ibn al-Nafis, al-Khazani dan seterusnya.
3. Untuk mendukung kemajuan baik dalam bidang ilmu-ilmu Islam dan
sains tentunya menjadi syarat mutlak adanya kegiatan-kegiatan
ilmiah. Pada periode ini terdapat salah satu institusi terbesar yang
pernah ada dalam dunia Islam yaitu Madarasah Nizham al-Mulk
yang didirikan oleh Nizham al-Muluk (w. 1092) seorang perdana
mentri dari Sultan Alp Arslan (1063-1092 M). Di madrasah inilah,
selain kegiatan belajar dan mengajar, terdapat kegiatan-kegiatan
ilmiah lainnya seperti pengumpulan karya-karya sebelumnya,
penerjemahan, penulisan karya-karya baru, diskusi-diskusi yang
dilakukan oleh ilmuan-ilmuan yang sengaja datang dan diundang
oleh Nizham al-Muluk seperti al-Ghazali dan Umar Khayam, dimana
yang pertama pernah menjadi direktur institusi ini. Pada periode ini
juga mulai ditekankan pentingnya observasi dan penelitian
eksperimental untuk membuktikan kebenaran yang pada masa
Yunani didasarkan pada spekulasi semata. Di periode ini juga,
terdapat Observatorium terbesar dalam sejarah islam yakni
observatorium Maraghah yang pernah dikepalai oleh astronom
Muslim terbesar Nashiruddin al-Thusi. Di observatorium ini
dilakukanlah kegiatan-kegiatan ilmiah seperti penoropongan bintang,
penyusunan kalender, dan diskusi-diskusi. Observatorioum ini juga
mempunyai perpustakaan yang megah.
137
B. Saran-Saran
Dikarenakan penelitian ini masih terlalu sempit cakupannya, untuk
mendukung kebenaran dan bukti-bukti yang diajukan oleh penelitian ini perlu
kiranya penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1. Demi tercepainya sebuah hasil penelitian yang komprehensif, maka tentunya
dibutuhkan penelitian-penelitian lanjutan yang lebih fokus pada sejarah dan
perkembangan masing-masing bidang yang dibahas dalam skripsi ini.
Misalnya sejarah dan perkembangan kimia selama periode keempat Dinasti
Abbasiyah. Atau ditarik rentang waktu yang lebih luas yakni kajian atau
penelitian yang mencakup seluruh periode-periode kekuasaan Dinasti
Abbasiyah.
2. Karena terbatasnya waktu dan tenaga penulis, tentunya banyak bidang-
bidang ilmu pengetahuan yang masih tercecer dan butuh diteliti, misalnya
bidang geografi, biologi, dan lain sebagainya.
3. Untuk mengetahui kondisi sebenarnya dan mendetail, penulis menyarankan
diadakannya penelitian-penelitian yang membahas secara satu-persatu
aspek-aspek besar Dinasti Abbasiyah secara keseluruhan atau periodik.
Maksud aspek-aspek besar ini adalah misalnya aspek politk, ekonomi,
sosial, keamanan dan lain sebagainya.
4. Terdapat banyak gerakan-gerakan anarkis dan berdiri sendiri pada zaman
kekuasaan Dinasti Saljuk seperti gerakan Hasysyasyin. Penulis memandang
perlu untuk diadakannya penelitian-penelitian yang khusus membahas tema
itu
138
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Literature and History, (Yogyakarta: Gadjah Mada UniversitasPress, 1986)
Al-Mawardi, Abu al-Hasan al-Ahkam al-Sultaniyah, (Kairo: Musthafa al-Halaby waAwladuh, 1960), diterjemahkan oleh Nur Mufid al-Ahkam al-Sultaniyah, ,(Jakarta: Pustaka Progresif, 2000)
Al-Thabari, Muhammad Ibn Jarir, Tarikhu al-Thabari: Tarikhul Umam wa al-Muluk, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah)
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Ushul al-Hadits, terj. (Jakarta: Gaya Media Pratama,1998)
Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. (Jakarta: Rosdakarya,2005)
Al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. (Bandung:Penerbit Pustaka)
Afifi Fauzi Abbas ed., Sejarah Pemikiran dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Antara,1996)
Ahmad, Ziauddin, Influence of Islam on World Civilization, (New Delhi: AdamPublishers & Distributors, 1996),
Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung:Rosdakarya, 2001)
Anwar, Rosihan & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Avdich, Kamil Y., Meneropong Doktrin Islam, (Jakarta: Penerbit al-Ma’arif, 1982)
Azra, Azyumardi, et. al., Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Desertasi, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2001)
Berkey, Jonathan P., the Formation of Islam: Religion and Society in the Near East,600-1800, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003)
Berggren, J.L., “Sejarah matematika di Dunia Islam: Sebuah PenulusuranBibliografis” dalam A.I. Sabra et.al., Sumbangan Islam Kepada Sains &Peradaban Dunia, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2001)
Daudi, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
139
Fidai, Rafi Ahamdi, Concise History of Muslim World, vol. III, (New Delhi:Kitabbhagavan, 1997)
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, terj. (Jakarta: UI Press, 1985),
Hallaq, Waelk B., Sejarah Teori Hukum Islam, terj. (Jakarta: Rosdakarya, 2001)
Hanafi, A., Teologi Islam, (Jakarta: al-Husna Zikra, 2001)
Hasymy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
Haque, M. Atiqul, 100 Pahlawan Muslim Yang Mengubah Dunia, (Yokyakarta::Diglossia, 2007)
Hasan, Masudul, History of Islam Vol. I, (New Delhi: Adam Publishers &Distributor, 1995)
Hitti, Phillip K., History of the Arabs, terj. (Jakarta: Serambi, 2006)
Hudson, Marshall G., the Venture of Islam II, (Chicago & London: The Universityof Chicago Press, 1974)
Huff, E. Tobi, The Rise of Early Modern Science: Islam, Cina, and the West(Cambridge: Cambridge University Press, 1993)
Jamrah, Surya A., “Aliran Salaf dan Pemikiran Kalamnya” dalam Amin Nurdin danAfifi Fauzi Abbas ed., Sejarah Pemikiran dalam Islam, (Jakarta: PustakaAntara, 1996)
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, terj. (Bandung: Gema Risalah Press,1997)
Kartanegara, Mulyadhi, Reaktualisasi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006)
__________________, Gerbang Kearifan, (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
__________________, The Jalaluddin Rumi’s Theory of Evolution, artikel tidakditerbitkan, 2007.
__________________, Menembus Batas Waktu, (Bandung: Mizan, 2002)
.Lapidus, M. Ira, Sejarah Sosial Ummat Islam bagian I dan II, terj. ( Jakarta:Rosdakarya, 1999,)
Lombard, Maurice, the Golden Age of Islam (Amsterdam: North Holland Publ. Co.,1975)
Lewis, Bernard, the Muslim Discovery of Europe, (London: W.W. Norton &Company, 1982)
140
Ma’arif, Majid, “An Introduction to the History of Shia Hadits”, dalam Al-Huda:Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam, Vol. III, Nomor, 12, 2006.
Machasin, “Peradaban Islam Masa Daulah Abbasiyah: Masa Kemunduran” dalamSiti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik HinggaModern, (Yogyakarta: LESFI, 2004)
Montaser, Abdel Halim, “Ilmu Pengetahuan Alam” dalam Komisi Nasional MesirUntuk UNESCO, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan, terj.(Bandung: Penerbit Pustaka, 1986)
Muir, Sir William The Caliphate: its Rise, Decline, and Fall, (London: DarfPublisher Ltd, 1985)
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1999)
_____________, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisan Perbandingan,(Jakarta: UI Press, 2002)
_____________, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1982),
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999)
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1994)
Nasr, Sayyed Hossein, Sains dan Perdaban dalam Islam, (Bandung: PenerbitPustaka, 1986)
Notosusanto, Nugroho, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, (Jakarta: IdayuPress, 1984)
Qureshi, Mazhar M., Introduction to Islamic Contributions to Science andTechnology, (New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2007),
Shihab, Quraish et al., Sejarah dan Ulumul Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001)
Said, Fuad, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996)
Saefudin, Didin, Zaman Keemasan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2002)
Siradj, Said Aqil, Ahlussunnah wal Jama’ah: Sebuah Kritik Historis, (Jakarta:Pustaka Cendikia, 2008)
Sadiqi, Amir Hasan, Caliphate and Sultanate in Medieval Persia, (Karachi: The
141
Jamiyat al-Falah Publication, 1969)
Saud, Muhammad, Islam and Evolution of Science, (New Delhi: Adam Publisher &Distributors, 1994)
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana, 2004)
Syalaby, A., al-Tarih wa al-Hadarah al-islamiyah (al-Qahirah: Darul Ilmi al-Alamiyah, 1965) diterjemah oleh Muhammad Labib Ahmad SejarahKebudayaan Islam III. (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993)
Thaha, Ahmadie, Astronomi dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982)
Turner, Howard R., Sains Islam Yang Mangagumkan, terj. (Bandung: PenerbitNuansa, 2004)
_______________, Science in Medieval Islam, (Austin: Universitas of Texas Press1995)
Velayati, Ali, ”Pasang Surut Peradaban Islam”, dalam al-Huda: Jurnal KajianIlmu-Ilmu Islam, Vol. III, Nomor, 12, 2006
Watt, W. Montgomery, the Majesty That was Islam, (London: Sidgwick & Jackson1984)
Yamani, Ja’far Khadem, Kedokteran Islam: Sejarah dan Perkembangnnya. terj.(Bandung: Dzikra, 2005)
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rosdakarya, 2004)
142
DAFTAR TOKOH DAN ILMUAN PERIODE KE-IV DINASTI ABBASIYAH
I. Ilmu-Ilmu Islam
a. Ilmu Qur’an
No Nama Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Ibn Umar al-Zamakhsari
Ibn Farh al-Qurthubi
Fahkr al-Din al-Razi
Abu Hamid Al-Ghazali
Al-Baghawi
Ibn Katsir
Muhyiddin Ibn ‘Arabi
Musa al-Uzdi al-Sami
Al-Syirazi
w. 538 H/1144 M
w. 671 H/1273 M
w. 1209 M
w. 505M /1111 M
w. 516 H/1122 M
w. 774 H/1373
w. 620 H
w. 412 H/1021M
w. 666 H/1268 M
b. Ilmu Hadits
No Nama Tahun
1
2
3
4
5
6
7
Ibn Thahir al-Maqdisy
Yusuf al-Kirmani
Ibn Hafs Umar al-Hamdzani
Abdurrahman al-Syahrazuri
Ibn Umar al-Zamakhsari
Ibn Muhammad al-Jazari
Ibn Hasan Thusi
w. 507 H
w. 1348 M
w. 584 H
w. 643 H
w. 538 H/1144 M
w. 606 H
abad ke- V H
Lampiran
143
c. Ilmu Fiqih
No Nama Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
Imam Haramayn
Abu Abdullah al-Mazari
Fakhr al-Islam al-Bazdawi
Abu Hamid Al-Ghazali
Fahkr al-Din al-Razi
Tajuddin al-Armawi
Al-Qarafi
Al-Sa’ti
w. 478 H
w. 616 H
w. 482 H
w. 505M /1111 M
w. 1209 M
w. 631 H
w. 684 H
w. 694 H
d. Ilmu Kalam
No Nama Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Abu al-Qasim al-Qusyairi
Muhammad Al-Bazdlawi
Al-Nasafi
Abu Hamid Al-Ghazali
Al-Juwaini
Al-Razi
Al-Syahrastani
Ibn Umar al-Zamakhsari
Ibnu Qudamah al-Maqdisi
Abu Isma’il al-Huwiri
w. 1074 M
w. 493 H
w. 537 H
w. 505M /1111 M
w. 1209 M
w. 606 H
w. 548 H
w. 538 H/1144 M
w. 629 H
w. 481 H
144
e. Tasawuf
No Nama Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Ibn al-Hawzin
Ali al-Hujwiri
Al-Burghani
Abu Hamid Al-Ghazali
Ali al-Farmadhi al-Thusi
Abdullah al-Anshari
Abdul Qadir Jailani
Ahmad Rifa’i
Abu al-Fath al-Wasithi
Abu al-Najib al-Suhrawardi
Suhrawardi al-Bagdadi
Abu Hasan al-Syadzili
Ahmad al-Bazdawi
Ibrahim al-Dasuqi al-Qursyi
Najmuddin Kubra
Hasan al-Syisyti
Muhyiddin Ibn ‘Arabi
Jalaluddin Rumi
Ibn Al-Farid
w. 465 H
w. 1092 M
w. 1076 M
w. 505M /1111 M
w. 1083 M
w. 1088 M
w. 561 H
w. 578 H
w. 580 H
w. 563 H
w. 632 H
w. 686 H
w. 675 H
w. 676 H
w. 618 H
w. 623 H
w. 620 H
1207-1273 M
w. 1235 M
145
II. Sains
a. Astronomi
No Nama Tahun
1
2
3
4
5
6
Umar al-Khayyam
Jabir bin Aflah
Nashiruddin al-Thusi
Mu’ayyayad al-Din Urdi
Ibn al-Fuwathi
Quthbuddin al-Syirazi
1038-1123 M
w. 1150 H
1201-1274 M
w. 1265 M
w. 1323 M
w. 1311 M
b. Kedokteran
No Nama Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Ali Ibn Ridwan
Ibn Buthlan
Ibn Al-Baythar
Ibn Habal Al-Bagdadi
Abdul Latif Al-Bagdadi
Ibn Al-Quff Abu Faraj
Ali Al-Fairuzi
Ibn Nafis
Ibn Abbin Al-Nadliri
Abu Hamid Al-Ghazali
Ahmad Ali Shabran
Salim Saif Al-Din
Sarah Bint Abd al-Ghani
Salamah Bint Ali Bakhtiar
Abdul Malik
Ibn Qibti
Hilal Barbaus
w. 453 H
w. 450 H
575 - 646 H
519 – 610 H
1162 – 1231 M
619 – 685 H
abad ke-VI H
1210 – 1288 M
Abad ke-XI M
w. 505M /1111 M
Abad ke-XI-XIII
Abad ke-XI-XIII
Abad ke-XI-XIII
Abad ke-XI-XIII
Abad ke-XI-XIII
Abad ke-XI-XIII
Abad ke-XI-XIII
146
c. Matematika
No Nama Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Umar al-Khayyam
Al-Zarqali
Jabir Ibn Aflah
Ibn Yasmin
Abdul Malik al-Syirazi
Muhammad Abdullah al-Hassar
Kamaluddin Ibn Yunus
Ayyubi al-Kamil
Al-Hasan al-Markashi
Ibn Muhammad
Nashiruddin al-Thusi
1038-1123 M
Abad ke-XII-XIII
Abad ke-XII-XIII
Abad ke-XII-XIII
Abad ke-XII-XIII
Abad ke-XII-XIII
w. 1242 M
w.1235 M
w. 1262 M
abad ke-XIII
1201-1274 M
d. Fisika
No Nama Tahun
1
2
3
4
Umar al-Khayyam
Kamal al-Din al-Farisi
Al-Khazani
Nashiruddin al-Thusi
1038-1123 M
Abad ke-XI
t. 1115-1121 M
1201-1274 M
e. Kimia
No Nama Tahun
1
2
3
4
Shihabuddin al-Tifasi
Ibn ‘Ali al-Khasani
Al-Mu’iz Ibn Badis
Abu al-Qasim al-‘Iraqi
w. 1154 M
abad ke-XIII
1015 – 1061 M
Abad ke-XIII
147