KELUARGA & PENDERITA KUSTA
Transcript of KELUARGA & PENDERITA KUSTA
KELUARGA &
PENDERITA KUSTA
Oleh:
Safri Sholehuddin Soni A. Nulhaqim
Santoso T. Raharjo
KELUARGA &
PENDERITA KUSTA
Oleh:
Safri Sholehuddin Soni A. Nulhaqim
Santoso T. Raharjo
Hak cipta © pada penulis dan dilindungi Undang-undang
Hak penerbitan pada ITB Press
Dilarang mengutip sebagian ataupun seluruh buku ini dalam bentuk
apa pun tanpa izin dari penulis dan penerbit.
Keluarga & Penderita Kusta
Penulis : Safri Sholehuddin
Soni A. Nulhaqim
Santoso T. Raharjo
Editor : Nurliana Cipta Apsari
Editor Bahasa : Feri Anugrah
Desainer Isi : Yuda A. Setiadi
Desainer Sampul : Yuda A. Setiadi
Cetakan I : 2020
ISBN : 978-623-297-002-1
Diterbitkan atas dukungan dari:
Pusat Studi CSR, Kewirausahaan Sosial, & Pemberdayaan Masyarakat, FISIP UNPAD
9 7 8 - 6 2 3 - 2 9 7 0
978-623-297-002-1
PENGANTAR
Penyakit kusta merupakan penyakit yang memiliki
dampak pada penderitanya. Baik dampak fisi, psikologis
maupun sosial. Seperti halnya kasus penderita kusta di
Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota
Cirebon seringkali mendapatkan stigma negatif dari
masyarakat yang ada di sekitarnya. Dukungan dari
lingkungan sosial terdekat amat penting bagi penderita
kusta. Pada umumnya keluarga terdapat ayah, ibu dan
anak, namun dukungan dari kepala keluarga terhadap
penderita kusta amatlah penting dan menentukan
keseimbangan hidup penderita kusta. Kajian ini
menggunakan teori yang dijelaskan oleh Bart Smet, mulai
dari dukungan emosional yang berupa pemberian rasa
nyaman, pemberian perasaan dicintai dan pemberian
perasaan dipedulikan. Dukungan penghargaan yang
berupa pemberian motivasi, pemberian penghargaan
positif berupa “reward” dan perbandingan positif dengan
individu lain. Dukungan instrumental berupa pemberian
uang, pemberian barang, pemberian makan dan
pemberian pelayanan. Dukungan informatif berupa
pemberian informasi bantuan medis dan pemberian saran
yang diberikan oleh kepala keluarga kepada penderita
kusta.
Buku ini merupakan hasil riset mengenai dukungan
keluarga terhadap penderita kusta di Kelurahan
Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Dengan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian
deskriptif dengan teknik indepth interview, pengamatan
observasi non partisipatif dan studi dokumentasi.
Terdapat 6 yang terlibat dalam penelitian ini. Pemberian
dukungan keluarga bagi penderita kusta masih terdapat
kendala.
Penulisan buku hasil kajian-kajian lapangan sungguh
amat penting dalam konteks menyebarluarkan hasil riset
untuk menjadi publik, baik untuk kepeentingan akademik
atau pun bacaan untuk menambah wawasan dan
membuka perspektif. Peningkatan pemahaman
masyarakat, serta pihak-pihak pemangku kepentingan
diperlukan agar upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan penderita kusta dan keluarga dapat
dilakukan secara tepat dan bermanfaat. Semoga
penerbitan buku ini dapat memberi manfaat… in Syaa
…Aamiin…!
Jatinangor, Juli 2020
Kepala Pusat Studi CSR, Kewirausahaan Sosial
& Pemberdayaan Masyarakat, FISIP – UNPAD
DAFTAR ISI
PENGANTAR ................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... x
PENDAHULUAN .............................................................................. 1
DUKUNGAN SOSIAL .................................................................... 11
Batasan ........................................................................................ 11
Dimensi Dukungan Sosial ........................................................ 13
Faktor-Faktor Dukungan Sosial............................................... 15
Sumber-Sumber Dukungan Sosial .......................................... 18
Manfaat Dukungan Sosial ........................................................ 20
KELUARGA & pENDERITA KUSTA ........................................... 24
Batasan Keluarga ....................................................................... 24
Fungsi Keluarga ......................................................................... 25
Usia Produktif: Masa Dewasa Muda ...................................... 29
1) Definisi ............................................................................ 29
2) Tugas Pada Perkembangan Dewasa Muda ............... 30
Penyakit Kusta ........................................................................... 31
1) Definisi Kusta ..................................................................... 31
2) Penyebab Penyakit Kusta ................................................. 33
3) Dampak Penyakit Kusta .................................................. 34
Pekerjaan Sosial dengan Keluarga .......................................... 36
METODE KAJIAN .......................................................................... 47
Pendekatan dan Teknik ............................................................ 47
Sumber Data ............................................................................... 48
Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 48
Instrumen Pengumpulan Data ................................................ 49
Pengolahan dan Analisis Data ................................................. 49
Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 51
KEHIDUPAN PENDERITA KUSTA: Kasus Keluarga di Kota
Cirebon ............................................................................................. 52
Gambaran Lokasi ....................................................................... 52
Profil Penderita Kusta ............................................................... 59
Dukungan Keluarga terhadap Penderita Kusta .................... 60
a. Dukungan Emosional ....................................................... 60
b. Dukungan Penghargaan ................................................... 72
c. Dukungan Instrumental ................................................... 79
d. Dukungan Informasional ................................................. 90
PENUTUP ........................................................................................ 99
Kesimpulan ................................................................................. 99
Rekomendasi ............................................................................ 106
Alternatif Rencana Kegiatan bagi Keluarga Penderita
Kusta .......................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 114
ix
DAFTAR TABEL
Tabel Jumlah Penderita Kusta Baru dan Penderita Kusta Sembuh di Kota Cirebon .................................................. 53
Tabel Jumlah Penderita Kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon 54
Tabel Kategorisasi Respon Dukungan Emosional 77
Tabel Kategorisasi Respon Dukungan Penghargaan 87
Tabel Kategorisasi Respon Dukungan Instrumental 96
Tabel Kategorisasi Respon Dukungan Informatif 105
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Penyakit Kusta Pada Bagian Tangan 3
Gambar 1.2 Penyakit Kusta Pada Bagian Kaki 3
1
PENDAHULUAN
Manusia sangat ingin memiliki tubuh yang sempurna
namun adapula manusia yang memiliki tubuh kurang
sempurna dari sejak lahir. Akan tetapi walaupun memiliki
kekurangan fisik dari lahir tidak mengurangi
semangatnya dalam menjalankan kehidupannya. Namun
ada pula individu yang memiliki fisik yang sempurna
sejak lahir akan tetapi pada saat dewasa mengalami
kecacatan fisik, contohnya bagi penderita penyakit kusta.
Penyakit kusta merupakan penyakit kulit yang membawa
dampak buruk bagi penderitanya.
Dampak buruk yang diakibatkan oleh penyakit kusta
adalah perubahan yang terjadi pada bentuk tubuh,
dimana para penderita kusta akan mengalami kecacatan
fisik yang dapat membuat para penderitanya merasa
malu, dan akan merasakan tekanan batin, menurut
Rahariyani 2007 (dalam Lestari, 2012). Tidak hanya
memiliki dampak buruk pada kecacatan fisik saja,
penyakit kusta memiliki dampak sosial yang cukup besar
tidak hanya pada penderitanya saja akan tetapi keluarga
penderita kusta juga terkena dampaknya. Dalam hal ini
maka akan mempengaruhi penerimaan penderita kusta
pada lingkungannya, sehingga masih banyak penderita
2
kusta yang putus asa karena beranggapan bahwa saat
terkena penyakit kusta segalanya sudah berakhir (Zulkifli,
2003).
Menurut Sari (2013) penyakit kusta merupakan
penyakit kronis yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya. Tanda-tanda utamapada penyakit
kusta yaitu terdapat penebalan saraf tepi yang disertai
dengan gangguan fungsi saraf serta ditemukannya
Bakteri Tahan Asam (BTA). Penyakit kusta terbagi dalam
dua tipe yaitu: Pausy Bacillary (PB), Kusta PB sering
disebut sebagai kusta kering, kusta PB tidak begitu parah
dan memiliki ciri yaitu bercak keputihan seperti panu dan
mati rasa, bercak tersebut kurang dari 5 tempat pada
tubuh. Tipe kusta lainnya yaitu Multi Bacillary (MB)
dimana kusta MB disebut sebagai kusta basah, kusta tipe
MB termasuk yang sangat parah, memiliki ciri ciri bercak
putih kemerahan, pembengkakan pada bercak, mati rasa
dan lebih dari 5 tempat pada tubuh. Penyakit kusta
merupakan penyakit menular yang menyebabkan
permasalahan yang kompleks, masalah yang akan
ditimbulkan dari penyakit kusta tidak hanya pada fisik
dimana terjadi perubahan terhadap kondisi fisik pada
penderita kusta tersebut dan juga menimbulkan
permasalahan psikis dimana adanya rasa malu, kecewa
dan tidak percaya diri karena walaupun sudah dapat
dikatakan sembuh dalam masa pengobatannya akan
tetapi penderita kusta tetap mendapatkan status sebagai
penderita kusta oleh masyarakat. Kondisi fisik yang akan
3
dialami oleh penderita kusta seperti contoh pada gambar
berikut ini:
Gambar 1.1 Penyakit Kusta Pada Bagian Tangan
Sumber: Google Image Penderita Kusta, 2019
4
Gambar 1.2 Penyakit Kusta Pada Bagian Kaki
Sumber: Google Image Penderita Kusta, 2019
Di Indonesia masih banyak orang yang beranggapan
bahwa penyakit kusta merupakan penyakit kutukan
secara turun-temurun, akan tetapi anggapan tersebut
tidaklah benar. Penyakit kusta pertama kali ditemukan
pada tahun 1873, selama beberapa tahun jumlah penderita
penyakit kusta semakin bertambah, pada tahun 2010 hasil
riset WHO Indonesia menduduki peringkat ketiga
pendertita kusta terbanyak dengan angka 21.026 kasus.
Jumlah penderita kusta saat ini terus menurun. Pada
tahun 2015 di Indonesia terdapat 17.202 kasus, sehingga
sampai saat ini jumlah penderita kusta terus menurun,
namun walaupun adanya penurunan jumlah penderita
kusta dari setiap tahunnya, akan tetapi stigma negatif
pada penderita kusta masih tetap ada sampai saat ini.
Dengan adanya stigma tersebut membuat masyarakat
enggan untuk berdekatan dengan penderita kusta, seperti
yang dikemukakan oleh Kaur & Van Brakel 2007 (dalam
Rahyu, 2011) yang menjelaskan bahwa stigma yang
berkembang di masyarakat terkait penyakit kusta
menimbulkan beberapa masalah bagi penderita kusta itu
sendiri, seperti dikucilkan oleh masyarakat, diabaikan
dan kesulitan dalam memperoleh lapangan pekerjaan.
Stigma tersebut juga akan berdampak bagi keluarga
penderita kusta karena akan mengakibatkan diskriminasi
atau dikucilkannya keluarga penderita kusta oleh
masyarakat.
5
Dengan banyaknya kasus diskriminasi bagi penderita
kusta pada akhirnya Dewan Hak Asasi Manusia (Dewan
HAM) dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membuat
prinsip dan pedoman tentang penghapusan diskriminasi
terhadap orang-orang yang terkena kusta dan anggota
keluarga mereka sejak tahun 2010. Federasi Internasional
Asosiasi Anti Kusta (The International Federations of Anti
Leprosy Associations/ILEP) pada tahun 2010 telah
memerintahkan negara-negara di dunia untuk
menghormati hak-hak penyandang kusta serta
mendorong pemerintah untuk menghapus diskriminasi
terhadap penderita kusta dan keluarganya. Dengan
adanya hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
masih banyak diskriminasi yang dilakukan oleh
masyarakat, tidak hanya di Indonesia bahkan dinegara
lainpun masih terdapat diskriminasi pada penderita
kusta. Oleh karena itu keluarga sebagai tempat utama
bagi penderita kusta dan keluarga menjadi tempat yang
aman bagi penderita kusta yang seringkali terasingkan
oleh masyarakat, dikarenakan adanya perubahan fisik
yang terjadi sehingga menimbulkan stigma negatif dari
masyarakat. Bahkan dengan adanya perubahan fisik yang
terjadi pada penderita kusta dapat membuat keluarganya
sendiri memperlakukan penderita kusta sebagai orang
asing atau dalam kata lain seperti tidak di akui dalam
keluarganya sendiri karena keluarga penderita kusta
merasa malu jika ada salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit kusta.
6
Keluarga memiliki peran yang sangat penting bagi
penderita kusta karena keluarga merupakan lingkungan
pertama yang dapat memberikan pengaruh besar bagi
penderita kusta. Penderita kusta dalam masa dewasa
muda seharusnya dapat hidup dengan mandiri, namun
karena terkena penyakit kusta, maka sangat
membutuhkan adanya dukungan sosial keluarga
terutama yang diberikan melalui kepala keluarga.
Dukungan sosial yang diberikan keluarga akan memiliki
dampak yang besar bagi penderita kusta untuk lebih
semangat dan percaya diri dalam menjalankan
kehidupannya. Seperti yang dijelaskan oleh House &
Khan (dalam Iradati, 2018) bahwa dukungan sosial
merupakan tindakan yang bersifat membantu yang
melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan
instrumen dan penilaian positif pada individu dalam
menghadapi permasalahannya. Oleh karena itu dengan
adanya dukungan sosial oleh keluarga dapat sangat
membantu para penderita kusta untuk lebih bersemangat
dalam menjalankan kehidupannya walaupun dengan
adanya keterbatasan fisik dan adanya stigma negatif dari
masyarakat yang disebabkan oleh penyakit tersebut.
Penelitian mengenai dukungan keluarga terhadap
orang dengan penyakit tertentu dan disabilitas memang
sudah cukup banyak dilakukan. Salah satunya penelitian
yang dilakukan oleh Iradati (2018) dengan judul
penelitian “Dukungan keluarga Terhadap Anak Dengan
Dyslexia” dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui
7
bahwa dukungan sosial emosional yang diberikan oleh
orang tua khususnya ibu pada anak penderita dyslexia
sudah efektif. Dukungan sosial penghargaan dari orang
tua sudah sangat memaksimalkan pemberian motivasi
untuk memperoleh kekuatan yang optimal. Dukungan
sosial instrumental didapat bahwa orang tua sudah
mengikuti komunitas bersama dengan orangtua yang
anaknya terkena dyslexia, tujuannya untuk membantu
anak dyslexia bersosialisasi dengan anak dyslexia lainnya.
Dukungan informasional dalam penelitian ini didapat
bahwa media sosial sangat mendukung mereka dalam
bertukar informasi, sehingga para orang tua mudah
menerima bahwa kondisi anaknya perlu dibantu. Silalahi
(2018) dengan judul penelitian “Dukungan Keluarga
Terhadap Resiliensi Individu Penyandang Tuna Daksa”
dari hasil penelitian ini dukungan emosional yang
diberikan adalah perasaan nyaman dan rasa dicintai oleh
keluarga. Dukungan penghargaan tidak terdapat sebuah
permasalahan terkait dengan pemberian dukungan
penghargaan pada anak tunadaksa. Dukungan
instrumental masih belum memiliki masalah apapun.
Dari dukungan informasional yaitu memberikan sebuah
alternatif penyelesaian masalah serta memberikan
wawasan dan keterampilan bagi anak tuna daksa. Sulastri
(2017) dengan judul penelitian “Dukungan keluarga
Terhadap Penderita Stroke di Dusun Nanggeleng Desa
Payungagung Kecamatan Panumbangan Kabupaten
Ciamis”. Dari hasil penelitian ini dukungan sosial
instrumental sudah dilakukan melalui pembelian kursi
8
roda, tongkat, dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Dukungan informasional, keluarga hanya memberikan
informasi yang standar kepada penderita stroke.
Dukungan emosional, keluarga memberikan dukungan
emosional melalui pembuatan tempat tidur yang pendek
sehingga penderita stroke tidak mengalami kesulitan
untuk bangun. Dukungan penghargaan, keluarga
memberikan semangat kepada penderita stroke agar tidak
menyerah dengan keadaannya saat ini.
Fadilah (2013) dengan judul penelitian “Hubungan
Dukungan Keluarga Dengan Depresi Penderita Kusta di
Dua Wilayah Tertinggi Kusta di Kabupaten Jember”. Dari
penelitian ini tidak dijelaskan mengenai dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental namun yang dijelaskan dari penelitian ini
adalah dukungan Informatif yang diberikan oleh
keluarga, dimana keluarga memberikan informasi
mengenai jadwal berobat atau mengantar penderita kusta
ke pelayanan kesehatan.
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis berbeda
dengan penelitian-penelitian tersebut, dimana dalam
penelitian ini akan melihat bagaimana dukungan sosial
yang diberikan oleh kepala keluarga kepada penderita
kusta yang erat kaitannya dengan stigma negatif bagi para
penderita kusta. Melihat pentingnya dukungan keluarga
bagi keberfungsian sosial penderita kusta yang masih
sering disudutkan oleh masyarakat, akhirnya penulis
tertarik untuk mengetahui bagaimana keluarga
9
memberikan dukungan sosial kepada anggota keluarga
yang menderita penyakit kusta di Kecamatan Harjamukti,
Kelurahan Argasunya, Kota Cirebon yang sudah
menjalani masa pengobatan dan dikatakan sembuh.
Penulis memilih lokasi tersebut dikarenakan masih
banyak keluarga yang belum memahami mengenai
penyakit kusta dan masih belum memahami mengenai
cara pemberian dukungan sosial keluarga kepada
penderita kusta khususnya yang masuk dalam masa
dewasa muda, ditambah pada lokasi tersebut masih
banyaknya stigma negatif dari masyarakat terhadap
penderita kusta.
Kajian dalam buku ini akan fokus pada bagaimana
kehidupan penderita kusta, khususnya dukungan
keluarga terhadap anggota keluarganya yang penderita
kusta. Secara khusus dukungan keluarga tersebut terbagi
pada dukungan emosional, penghargaan, instrumental,
serta dukungan informatif dari keluarga kepada penderita
kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti,
Kota Cirebon?
Semoga kajian dalam buku ini dapat memberi
manfaat secara teoritis, khususnya pengembangan ilmu
kesejahteraan sosial yang fokus pada family based service
atau pelayanan sosial berbasis keluarga bagi penderita
kusta dalam upaya mengembalikan keberfungsian sosial
penderita kusta tersebut. Kehadiran dukungan keluarga
sebagai lingkungan terdekat dari penderita kusta sangat
10
penting dalam meningkat kepecayaan diri, sebagai bagian
dari keberfungsian penderita kusta.
Secara praktis, kajian ini dapat meningkatkan
wawasan dan perspektif dalam memahami dan berempati
pada penderita kusta. Sehingga peningkatan dan
perbaikan keberfungsian keluarga juga akan mendukung
anggota keluarga yang menderita kusta. Keluarga
merupakan target system dalam layanan sosial penderita
kusta.
Lembaga dan organisasi terkait baik swasta maupun
pemerintah diharapkan dapat memahami situasi
sesugguhnya, sehinga diharapkan dapat mengambil
peran penting dalam upaya pencegahan, dan pelayanan
dukungan bagi keluarga dan penderita kusta. Bagi
masyarakat luas diharapkan muncul kesadaran bahawa
kelompok disabilitas ini tidak dapat hidup berjuang
sendiri. Mereka memerlukan dukungan konstruktif yang
memandirikan. Hal tersebut dapat dimulai dengan tidak
mengucilkan mereka, tidak memandang sebelah mata
mereka, dan mulai bersikap inclusive dengan mengajak
dan menerima mereka sebagaimana layaknya manusia.
11
DUKUNGAN SOSIAL
Batasan
Pada hakekatnya sebagai makhluk sosial manusia
pasti memerlukan bantuan serta dukungan dari manusia
lain terutama pada lingkungan terdekatnya saat
menghadapi berbagai macam masalah. Sehingga akan
timbul perasaan saling membutuhkan satu sama lain dan
tetntunya termasuk dalam kebutuhan akan adanya
dukungan sosial bagi setiap orang.
Dukungan sosial menurut Indriani (2016) bahwa
dukungan sosial adalah suatu tanggapan atau informasi
dari pihak lainnya yang dicintai, dihormati, disayangi dan
saling menghargai serta adanya hubungan yang saling
bergantung satu sama lain. Dengan melihat definisi ini
dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial yang
diberikan oleh keluarga merupakan sebuah dukungan
yang diperlukan bagi setiap orang agar merasa nyaman,
aman dan diberikannya rasa kasih sayang dan di cintai.
Oleh karena itu setiap keluarga perlu memberikan
dukungan sosial kepada anggota keluarganya.
Menurut R. A. Baron & Byrne 2005 (dalam Indriani,
2016) Dukungan sosial didefinisikan sebagai suatu bentuk
kenyamanan baik fisik maupun psikologis yang diberikan
anggota keluarga ataupun sahabat dekat.
12
Sedangkan menurut Sarafino (2006) bahwa dukungan
sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada
orang lain, merawatnya atau menghargainya. Definisi
tersebut memiliki kesamaan dengan definisi dukungan
sosial yang dikemukakan oleh Smet (1994) yang
mendefinisikan dukungan sosial adalah adanya
hubungan timbal-balik interpersonal yang ditunjukkan
dengan memberikan bantuan pada individu lain, dimana
bantuan itu umumnya diperoleh dari orang yang berarti
bagi individu yang bersangkutan.
Dengan melihat definisi-definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan
dukungan yang diberikan dari orang-orang terdekat yaitu
diberikan oleh keluarga yang memberikan rasa perhatian,
empati, penilaian postif, pemberian bantuan materi dan
pemberian informasi sehingga seseorang yang mendapat
bantuan akan merasa disayangi, dicintai dan dihargai
yang pada akhirnya dapat menambah rasa percaya diri
kepada orang tersebut.
Jika dikaitkan dengan penderita kusta maka dapat
dikatakan bahwa dukungan sosial memiliki pengaruh
yang sangat besar bagi kehidupan penderita kusta karena
hal tersebut berkaitan berkurangnya rasa percaya diri
penderita kusta untuk bersosialisasi dengan
lingkungnannya. Sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan diri bagi penderita kusta.
13
Dimensi Dukungan Sosial
Selanjutnya pada bagian berikut akan dijelaskan
mengenai dimensi dukungan sosial. Smet (1994)
menjelaskan bahwa ada empat jenis dukungan sosial
yaitu:
a. Dukungan Emosional (Emotional Support), dalam hal
ini mencakup ungkapan empati, perhatian pada
individu. Meliputi pemberian rasa nyaman,
pemberian rasa dicintai dan pemberian rasa
dipedulikan. Dukungan emosional dapat dikatakan
sebagai bentuk dukungan yang membuat individu
agar lebih menerima kondisi dan dapat mengontrol
emosi diri. Dukungan emosional dari kepala
keluarga bagi penderita kusta sangat dibutuhkan
karena dengan adanya dukungan emosional dari
kepala keluarga contohnya pemberian perhatian dan
dicintai akan dapat membuat penderita kusta lebih
bersemangat dalam menjalani hidup dan tentunya
penderita kusta akan dapat mengontrol emosi diri,
sehingga penderita kusta dapat lebih menerima
kondisi fisiknya saat ini.
b. Dukungan Penghargaan (Exteem Support), dalam hal
ini individu akan mendapatkan penghargaan
maupun penilaian positif yang terjadi lewat
ungkapan hormat (penghargaan). Dukungan
penghargaan berbentuk pemberian motivasi,
pemberian penghargaan positif berupa “Reward”
14
dan perbandingan positif dengan individu lain.
Dalam hal dukungan penghargaan pada penderita
kusta, kepala keluarga dapat memberikan motivasi
serta penghargaan kepada penderita kusta. Dengan
kata lain dukungan penghargaan merupakan
dukungan yang sangat diperlukan oleh setiap orang
karena hal tersebut dapat membantu memberikan
dorongan pada perasaan seseorang. Bagi penderita
kusta dukungan penghargaan juga sangat
dibutuhkan, dimana nantinya para penderita kusta
akan menjadikan motivasi untuk membangun
kembali kepercayaan diri dan tentunya penderita
kusta akan merasa lebih dihargai.
c. Dukungan Instrumental (Instrumental Support),
mencakup bantuan langsung dan nyata yang berupa
materi atau jasa contohnya memberikan pinjaman
uang kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari atau menolong dengan pekerjaan pada
waktu mengalami stress. Dalam dukungan
instrumental yaitu mencakup pemberian uang,
pemberian barang, pemberian makan, dan
pemberian pelayanan. Dengan kata lain dukungan
instrumental merupakan dukungan langsung yang
dapat diberikan oleh keluarga, pada kasus penderita
kusta dukungan instrumental yang dapat diberikan
oleh kepala keluarga contohnya pemberian
pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti tempat
tinggal, pemberian makan dan pemberian pelayanan
15
yang dapat dipenuhi oleh kepala keluarga untuk
penderita kusta.
d. Dukungan Informatif (Informational Support), yaitu
mencakup pemberian informasi (bantuan medis)
dan pemberian saran mengenai kondisi individu
serta apa yang dapat dilakukannya. Dapat dikatakan
bahwa dukungan ini memberikan informasi yang
dibutuhkan pada individu tersebut, seperti misalnya
informasi dalam bantuan medis yang dapat
membantu penderita kusta dalam penyembuhan
penyakitnya. Dengan kata lain dukungan informatif
merupakan dukungan yang berbentuk informasi,
jika dalam kasus penderita kusta dukungan
informatif dapat dilakukan oleh keluarga yang
memiliki tugas untuk memberikan solusi pada
penderita kusta mengenai pengobatannya serta
mendapatkan saran yang terbaik dari keluarganya.
Faktor-Faktor Dukungan Sosial
Menurut Cohen & Syme 1985 (dalam Iradati, 2018)
menjelaskan bahwa dukungan sosial yang diterima oleh
seseorang dapat berbeda-beda, yang dapat dibedakan
berdasarkan kuantitas dan kualitas dukungan, sumber
dukungan serta jenis dukungan. Dan beberapa faktor
yang mempengaruhi dukungan sosial antara lain:
a. Pemberi dukungan sosial
16
Dukungan yang diberikan oleh orang-orang
terdekat yang memahami permasalahan individu
tersebut akan lebih efektif dibandingkan dukungan
yang diberikan oleh orang asing.
b. Jenis dukungan sosial
Dukungan sosial akan bermanfaat apabila sesuai
dengan situasi yang terjadi dan yang sedang
dibutuhkan oleh individu.
c. Penerima dukungan sosial
Karakteristik penerima dukungan sosial yang
berkaitan dengan kepribadian, budaya dan peran
sosial akan menentukan kefektifan dari dukungan
sosial yang diberikan.
d. Permasalahan yang dihadapi
Pemberian dukungan sosial harus sesuai dengan
permasalahan yang sedang dihadapi oleh individu.
e. Waktu pemberian dukungan sosial
Waktu pemberian dukungan sosial akan
berpengaruh pada keberhasilan pemberian
dukungan sosial tersebut, sehingga pemberian
dukungan sosial yang paling tepat adalah saat
individu membutuhkan dukungan sosial tersebut.
Sedangkan menurut Sarafino (2006) ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi dukungan sosial, yaitu
sebagai berikut:
17
1. Kebutuhan fisik
Kebutuhan fisik memiliki pengaruh terhadap
dukungan sosial, kebutuhan fisik yang dimaksud
antara lain sandang, pangan, dan papan. Jika
seseorang tidak terpenuhi kebutuhan fisiknya
maka orang tersebut dapat dikatakan kurang
mendapat dukungan sosial.
2. Kebutuhan sosial
Dalam hal ini memiliki keterkaitan dengan
interaksi antara individu dengan individu lainnya,
seseorang akan lebih dikenal oleh masyarakat jika
orang tersebut melakukan sosialisasi, dengan
adanya hal tersebut maka seseorang akan
mendapatkan pengakuan didalam kehidupan
masyarakat.
3. Kebutuhan psikis
Dalam kebutuhan psikis memiliki keterkaitan
dengan adanya rasa ingin tahu, dan rasa aman
yang akan terpenuhi jika dibantu dengan
dukungan dari orang lain. Pada saat seseorang
menghadapi masalah maka orang tersebut sedang
membutuhkan adanya dukungan sosial dari orang-
orang yang ada disekitarnya agar merasa
diperhatikan, sekaligus dicintai.
Dari faktor dukungan sosial memiliki perbedaan
antara Cohen & Syme 1985 (dalam Iradati, 2018) dan
18
Sarafino (2006). Dimana menurut Cohen & Syme 1985
(dalam Iradati, 2018) faktor yang mempengaruhi
pemberian dukungan sosial tersebut lebih dijelaskan
secara lebih rinci dimana terbagi dalam lima bagian, mulai
dari pemberi dukungan sosial, jenis dukungan sosial,
penerima dukungan sosial, permasalahan yang dihadapi
oleh individu tersebut dan waktu pemberian dukungan
sosial. Berbeda dengan Sarafino (2006) yang hanya
menjelaskan faktor yang dapat mempengaruhi dukungan
sosial, yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan sosial dan
kebutuhan psikis. Dari dua faktor dukungan sosial
tersebut pendapat dari Sarafino lebih dijelaskan
berdasarkan kebutuhan individu, sedangkan menurut
Cohen & Syme 1985 (dalam Iradati, 2018) dijelaskan
dalam lima bagian.
Sumber-Sumber Dukungan Sosial
Goetlib 1983 (dalam Sari, 2014) menyatakan bahwa
terdapat dua macam hubungan dukungan sosial, yaitu
pertama hubungan profesional yang bersumber dari
orang-orang yang ahli dibidangnya seperti konselor,
psikiater, psikolog dan dokter. Kedua, hubungan non
profesional yang bersumber dari orang-orang terdekat
seperti keluarga, dan teman.
Melihat definisi tersebut sumber dukungan yang
diberikan pada penderita kusta, bersumber pada
hubungan non profesional, dimana keluarga merupakan
19
sumber utama dalam pemberian dukungan karena
terdapat faktor dukungan sosial yaitu faktor pemberi
dukungan sosial, dimana dalam faktor tersebut dukungan
sosial yang diberikan oleh orang terdekat contohnya
keluarga yang memahami permasalahan individu
tersebut akan lebih efektif dibandingkan dukungan yang
diberikan oleh orang asing. Namun dalam kasus
penderita kusta hubungan profesional juga didapatkan
contohnya dari dokter, petugas Puskesmas dan juga Dinas
Kesehatan terkait.
Menurut Wentzel (dalam Apollo & Cahyadi, 2012)
menyatakan bahwa sumber-sumber dukungan sosial
adalah orang-orang yang memiliki hubungan yang berarti
bagi individu, seperti keluarga, saudara, teman dekat,
rekan kerja, pasangan hidup dan tetangga.
Dengan melihat penjelasan tersebut maka dukungan
sosial tidak hanya sebatas pemberian bantuan kepada
penerima, akan tetapi yang paling penting adalah
bagaimana persepsi penerima dalam makna dari
pemberian bantuan tersebut. Hal ini memiliki hubungan
pada ketepatan pemberian dukungan sosial, dengan kata
lain penerima sangat merasakan bantuan yang telah
diberikan pada dirinya. Oleh karena itu dukungan sosial
dapat sangat efektif dalam mengatasi tekanan psikologis
dimana seseorang sangat membutuhkannya terutama
dalam masa-masa sulit.
20
Manfaat Dukungan Sosial
Apollo & Cahyadi (2012) menyatakan bahwa
dukungan sosial dapat meengurangi kecemasan, depresi,
dan gangguan tubuh bagi orang-orang yang mengalami
stress.
Menurut Iradati (2018) dukungan sosial memiki peran
dalam memberikan kenyamanan fisik maupun psikologis
kepada individu, yang dilihat dari bagaimana dukungan
sosial mempengaruhi kejadian dan efek dari stress.
Sedangkan menurut Johnson dan Johnson, 1991
(dalam Sari, 2014) mengungkapkan bahwa manfaat
dukungan sosial dapat meningkatkan:
1. Produktivitas melalui peningkatan motivasi,
kualitas penalaran, kepuasan kerja, prestasi dan
mengurangi dampak stress kerja.
2. Kesejahteraan psikologi (Psychological Well-Being)
dan kemampuan penyesuaian diri melalui perasaan
memiliki, kejelasana identitas diri peningkatan
harga diri; pencegahan neurotisme dan
psikopatologi; pengurangan distress dan
penyediaan sumber yang dibutuhkan.
3. Kesehatan fisik, individu yang mempunyai
hubungan dekat dengan orang lain jarang terkena
penyakit dibandingkan individu yang terisolasi.
21
4. Managemen stress yang produktif melalui
perhatian, informasi dan umpan balik yang
diperlukan.
Dengan diberikannya dukungan sosial dari keluarga
maka penerima dukungan sosial tersebut akan
mendapatkan manfaat-manfaat yang dapat membuat
dirinya lebih percaya diri dan akan merasa lebih nyaman
berada dalam lingkungan keluarganya. Dalam penelitian
ini manfaat dari dukungan sosial keluarga dapat
mengembalikan keberfungsian sosial penderita kusta.
Dengan adanya manfaat dukungan sosial maka akan
berkaitan pada keberfungsian sosial seseorang yang akan
meningkatkan rasa percaya diri untuk kembali
berinteraksi dalam lingkungan sekitarnya sehingga dapat
mengembalikan keberfungsian sosial penderita kusta.
Keberfungsian sosial merupakan suatu konsep kunci
untuk memahami kesejahteraan sosial, dan merupakan
konsep penting dalam pekerjaan sosial menurut
(Fahrudin A. , 2012).
Menurut Siporin, 1979 (dalam Fahrudin A. , 2012)
mengemukakan bahwa keberfungsian sosial menunjuk
pada cara-cara individu-individu maupun kolektivitas
dalam rangka melaksanakan tugas-tugas kehidupannya
dan memenuhi kebutuhannya.
Menurut Achilis (dalam Widiasih, 2015)
keberfungsian sosial seseorang dapat dilihat dari
indikator-indikator berikut ini:
22
1. Keberfungsian sosial dipandang sebagai
kemampuan dalam melaksanakan peranan sosial.
a. Individu mampu melaksanakan tugas, peran
dan fungsinya.
b. Individu dapat bertanggung jawab terhadap
tugas dan kewajiban.
2. Keberfungsian sosial dipandang sebagai
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan.
a. Individu menyayangi diri sendiri, orang lain
dan lingkungan.
b. Individu dapat menekuni hobi serta minatnya.
c. Individu mempunyai daya kasih sayang yang
besar.
d. Individu menghargai dan menjaga
persahabatan.
3. Keberfungsian sosial dipandang sebagai
kemampuan dalam memecahkan permasalahan
sosial yang dihadapi.
a. Individu memperjuangkan tujuan, harapan,
dan cita-cita dihidupnya.
Menurut Karls & Wandrei, 1998 (dalam Norhalim,
2019) Keberfungsian sosial adalah kemampuan orang
untuk menangani tugas-tugas dan aktivitasnya yang
penting dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan
melaksanakan peranan sosial utamanya sebagaimana
23
yang diharapkan dari suatu komunitas. Peranan sosial
yang utama yaitu menjadi anggota keluarga.
Dari pendapat tersebut jika dikaitkan dengan
penderita kusta maka penderita kusta akan dapat
mengembalikan keberfungsian sosialnya jika penderita
kusta sudah dapat menangani tugas-tugas dan
aktivitasnya sendiri. Penderita kusta pada awal terkena
penyakit kusta biasanya sulit untuk melakukan
aktivitasnya sehingga membutuhkan pertolongan dari
keluarganya, namun seiring berjalannya waktu dan juga
pengobatan maka penderita kusta mampu menjalankan
aktivitasnya sehingga penderita kusta dapat
mengembalikan keberfungsian sosialnya dan dapat
menjalankan peranan sosialnya baik itu sebagai ayah yang
menjadi kepala keluarga maupun menjadi anak sebagai
anggota keluarga.
24
KELUARGA &
PENDERITA KUSTA
Batasan Keluarga
Menurut Ahmadi 2004 (dalam Yunita, 2016) keluarga
merupakan wadah yang sangat penting diantara individu
dan group. Keluarga termasuk dalam kelompok sosial
yang paling utama dimana anak-anak menjadi anggota
keluarga dan keluarga adalah tempat dimana orang tua
memberi pengetahuan mengenai sosialisasi kepada anak-
anaknya sehingga anak-anaknya dapat mengetahui
bagaimana hidup dengan orang lain.
Sugeng, 2010 (dalam Nugraha, 2016) menjelaskan
bahwa keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat
yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang
yang berkumpul dalam suatu tempat dibawah satu atap
dengan keadaan saling ketergantungan dan dalam ikatan
yang sah. Kepala keluarga memiliki pengertian sebagai
seseorang pemimpin baik itu ayah ataupun ibu yang
suaminya sudah meninggal dan memiliki tanggung jawab
atas kebutuhan sehari-hari untuk anggota keluarganya
(Kurniawati, 2015).
Melihat definisi-definisi mengenai keluarga tersebut
maka dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan
25
tempat yang sangat penting bagi setiap individu karena
dengan adanya keluarga dapat memberikan gambaran
dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Praktikno, 2015 (dalam Nugraha, 2016)
menjelaskan bahwa ada beberapa jenis keluarga, yaitu:
kepala keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak.
Keluarga konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu
dan ayah) dan anak-anak mereka dan terdapat interaksi
dengan kerabat dari salah satu maupun dua pihak
orangtua. Dan yang terakhir adalah keluarga luas yang
ditarik dari dasar garis keturunan diatas keluarga aslinya,
contohnya adalah hubungan antara paman, bibi, keluarga
kakek, dan keluarga nenek.
Dengan adanya definisi-definisi tersebut maka dapat
kita ketahui bagaimana pentingnya keluarga dalam
kehidupan seseorang, yang dapat menjadi wadah dan
juga pembelajaran untuk anak-anak agar dapat
bersosialisasi kepada masyarakat luas dengan belajar
berkomunikasi dan berinteraksi melalui anggota keluarga
terlebih dahulu sebelum berinteraksi dengan orang lain
diluar keluarganya.
Fungsi Keluarga
Nugraha (2016) menjelaskan bahwa keluarga tidak
hanya memiliki tugas-tugas utama dalam menjalankan
sebuah rumah tangga, namun keluarga juga memiliki
26
fungsi agar dapat mempertahankan dan menciptakan
keluarga yang baik. Fungsi-fungsi keluarga antara lain:
1. Fungsi Pendidikan. Tugas keluarga dalam fungsi
pendidikan adalah memberikan pendidikan serta
menyekolahkan anak untuk masa depannya.
2. Fungsi Sosialisasi Anak. Dalam hal ini keluarga
memiliki tugas untuk mempersiapkan anak agar
dapat menjadi anggota masyarakat yang baik.
3. Fungsi Perlindungan. Dalam hal ini tugas keluarga
adalah melindungi anak dari tindakan yang tidak
baik sehingga anggota keluarga akan merasa aman
dan terlindungi.
4. Fungsi Perasaan. Dalam hal ini tugas keluarga
adalah saling berkomunikasi dan saling menjaga
perasaan sesama anggota keluarga sehingga dapat
menimbulkan keharmonisan.
5. Fungsi Religius. Dalam hal ini tugas keluarga adalah
mengenalkan kepada anak mengenai kehidupan
beragama dan memberikan pengetahuan mengenai
keyakinan serta memberi pemahaman bahwa akan
ada kehidupan lain setelah kehidupan di dunia.
6. Fungsi Ekonomis. Dalam hal ini tugas kepala
keluarga adalah mencari penghasilan sehingga
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga.
7. Fungsi Rekreatif. Dalam hal ini keluarga tidak hanya
dapat berkunjung ke tempat-tempat rekreasi,
27
melainkan keluarga harus menciptakan suasana-
suasana yang dapat menyenangkan, contohnya
saling menceritakan pengalaman masing-masing.
8. Fungsi Biologis. Tugas yang paling utama dalam
keluarga adalah meneruskan keturunan sebagai
generasi penerus.
9. Memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman dan
membentuk pendewasaan serta kepribadian
anggota keluarga.
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional) memberikan pengertian mengenai fungsi
keluarga, yaitu:
1. Fungsi sosial budaya, dalam fungsi sosial budaya
keluarga memiliki fungsi untuk membentuk norma-
norma tingkah laku, memberikan pembinaan pada
anak serta meneruskan nilai-nilai budaya yang ada
pada keluarga
2. Fungsi cinta kasih, dalam hal ini keluarga
diharuskan untuk memberikan kasih sayang, rasa
aman dan memberikan perhatian kepada setiap
anggota keluarga.
3. Fungsi melindungi, yaitu keluarga diharuskan
untuk melindungi anak dari tindakan-tindakan yang
tidak baik, sehingga anggota keluarga dapat merasa
aman dan terlindungi.
28
4. Fungsi reproduksi, yaitu meneruskan keturunan,
memelihara, merawat serta membesarkan anak dan
anggota keluarga.
5. Fungsi sosialisasi dan pendidikan, yaitu mendidik
anak sesuai dengan tinggkat perkembangannya
serta menyekolahkannya.
6. Fungsi ekonomi, yaitu mencari sumber-sumber
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga
dan pengaturan penggunaan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan dimasa yang akan datang.
7. Fungsi keagamaan, yaitu keluarga memiliki fungsi
untuk mengenalkan anaknya dalam kehidupan
beragama.
8. Fungsi pembinaan lingkungan, yaitu menciptakan
kehidupan yang harmonis dengan masyarakat
sekitar
Keluarga memiliki fungsi yang dapat berpengaruh
kepada anggota keluarga terutama anak-anaknya. Setiap
keluarga seharusnya dapat menjalankan fungsi-fungsi
keluarganya, sehingga dengan berjalannya fungsi-fungsi
keluarga maka akan dapat mempertahankan serta tercipta
keluarga yang baik.
29
Usia Produktif: Masa Dewasa Muda
1) Definisi
Penderita kusta dalam kajian ini masuk kelompok
usia produktif. Dalam masa perkembangan, mereka
berada masa dewasa muda yang dimulai dari usia 18
sampai 22 tahun dan berakhir pada usia 35 sampai 40
tahun. Lemme, 1995 (dalam Andranita, 2008) menjelaskan
bahwa masa dewasa adalah masa yang ditandai dengan
ketidak ketergantungan pada orangtua serta terdapat rasa
tanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.
Seseorang yang sudah dalam masa dewasa berarti telah
menyelesaikan pertumbuhannya dan siap untuk
menerima kedudukan dalam masyarakat bersama orang-
orang dewasa lainnya.
Listyandini (2016) menjelaskan bahwa masa dewasa
merupakaan masa dimana seorang individu sudah
dianggap mampu untuk mendapatkan tanggung jawab
sepenuhnya sebagai orang dewasa dan tidak dapat lagi
diperlakukan layaknya anak-anak dan diharuskan untuk
berperilaku seperti orang dewasa pada umumnya.
Menurut Mappiare, 1983 (dalam Listyandini, 2016)
menjelaskan bahwa seseorang yang memasuki usia
dewasa, maka orang tersebut diharuskan untuk
mengikuti tatanan sosial yang ada pada lingkungan
masyarakat, sebagai contohnya seseorang dituntut untuk
bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan
30
mengurus dirinya secara mandiri sekaligus membentuk
keluarga (berumah tangga).
Papalia (2008) mengelompokkan periode
perkembangan dewasa yang terbagi dalam tiga tahapan,
yang pertama masa dewasa muda (dari usia 20 tahun
hingga 40 tahun), kedua masa dewasa madya (dari usia 40
tahun hingga 60 tahun), dan masa dewasa lanjut (dimulai
dari usia 60 tahun hingga akhir hayat). Dari ketiga
tahapan tersebut, masa dewasa muda adalah periode
perkembangan yang dianggap kritis, karena dalam waktu
tersebut individu mengalami transisi dari masa remaja
menuju kehidupan dewasa sesungguhnya.
2) Tugas Pada Perkembangan Dewasa Muda
Lemme, 1995 (dalam Andranita, 2008) menyebutkan
tugas-tugas bagi individu yang sudah masuk dalam masa
dewasa muda, yaitu:
1. Menentukan pasangan hidup
2. Belajar untuk menyesuaikan diri dan hidup
bersama pasangan
3. Membentuk keluarga
4. Belajar mangasuh anak
5. Mengelola rumah tangga
6. Meniti karir atau melanjutkan pendidikan
31
7. Mulai bertanggung jawab sebagai warga negara
secara baik
8. Memperoleh kelompok sosial yang sejalan dengan
nilai yang dianutnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa masa dewasa
muda merupakan masa transisi, dan individu sudah
dianggap mandiri serta memiliki pekerjaan yang dapat
memenuhi kehidupannya sendiri, namun dalam kasus
penderita kusta yang masuk dalam masa dewasa muda
masih membutuhkan bantuan dari kepala keluarga.
Dukungan keluarga terutama dari kepala keluarga sangat
dibutuhkan oleh para penderita kusta yang masuk dalam
periode masa dewasa muda, dimana mereka seharusnya
dapat hidup mandiri dan mulai berkeluarga namun
karena terkena penyakit kusta akhirnya mereka sulit
untuk melakukan aktivitasnya sendiri dan membutuhkan
bantuan dari orangtuanya.
Penyakit Kusta
1) Definisi Kusta
Kusta merupakan penyakit menular dan menahun
yang disebabkan oleh kuman mycobacterium leprae yang
menyerang kulit, saraf tepi dan jaringan tubuh yang dapat
menyebabkan kecacatan yang menetap apabila tidak
ditangani (dalam Siregar, 2005).
32
Penyakit kusta adalah perubahan yang terjadi pada
bentuk tubuh, dimana para penderita kusta akan
mengalami kecacatan fisik yang dapat membuat para
penderitanya merasa malu, dan akan merasakan tekanan
batin, menurut Rahariyani 2007 (dalam Lestari, 2012).
Penyakit kusta pertama kali ditemukan pada tahun
1873, istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni
kustha yang memiliki arti kumpulan gejala-gejala kulit
secara umum. Sebutan lain dari penyakit kusta adalah
Morbus Hansen, yang diambil dari nama penemu kuman
tersebut. Bila penyakit kusta tidak ditangani maka kusta
dapat berkembang secara cepat dan dapat menyebabkan
kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak bahkan
dapat menyebabkan pada kerusakan indera penglihatan.
Pada tahun 2000 penyakit kusta di Indonesia mulai
banyak ditemukan. Pada tahun 2010 berdasarkan riset
yang telah dilakukan oleh WHO, Indonesia menduduki
peringkat ketiga penderita kusta terbanyak dengan angka
sebesar 21.026 kasus yang telah terdaftar. Pada tahun 2017
Jawa Timur menduduki peringkat pertama nasional
jumlah penderita kusta terbanyak dan Sulawesi Selatam
menjadi peringkat kedua nasional jumlah penderita kusta
terbanyak.
Dengan adanya pemaparan tersebut dapat
disimpulkan bahwa penyakit kusta merupakan penyakit
yang sudah cukup lama di Indonesia namun masih
banyak masyarakat yang belum mengetahui mengenai
33
penyakit kusta sehingga saat bertemu dengan penderita
kusta masyarakat yang masih belum memahami akan
memiliki persepsi atau stigma negatif kepada penderita
kusta.
2) Penyebab Penyakit Kusta
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri yang bernama
Mycrobacterium leprae. Kuman ini menular kepada
manusia melalui kontak langsung dengan penderita
(yaitu dengan adanya kontak yang lama dan berulang-
ulang) dan melalui pernapasan, bakteri kusta ini dapat
berkembang yaitu dalam waktu 2-3 minggu, bakteri
tersebut dapat bertahan selama 9 hari dalam tubuh
manusia, pada saat diluar tubuh kuman tersebut akan
membelah dalam jangka waktu 14-21 hari dengan masa
inkubasi rata-rata dua sampai lima tahun bahkan dapat
lebih dari lima tahun, walaupun begitu keluarga
penderita kusta yang sering melakukan kontak dapat
mencegah penularan penyakit kusta yaitu dengan cara
perilaku hidup bersih dan sehat, saat terdapat penderita
kusta baru maka satu keluarga akan diperiksa oleh
petugas dari Puskesmas jika anggota keluarganya ada
yang dicurigai tertular penyakit kusta maka akan
dipantau selama 2 bulan dan langsung diberikan obat oleh
petugas Puskesmas untuk mencegah penularan yang
semakin memburuk. Setelah itu akan muncul tanda-tanda
seseorang akan terkena penyakit kusta antara lain, kulit
34
mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian
anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagai mana
mestinya. Pelaksanaan kasus kusta yang buruk dapat
menyebabkan kusta menjadi berkembang secara cepat
dan akan menyebabkan kerusakan permanen pada kulit
penderitanya.
3) Dampak Penyakit Kusta
Penyakit kusta akan memiliki dampak yang
berpengaruh pada penderitanya antara lain:
1. Dampak Fisik
Penyakit kusta merupakan penyakit yang
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf,
anggota gerak bahkan dapat menyebabkan pada
kerusakan indera penglihatan.
2. Dampak Psikis
(Kemenkes RI, 2015) Menjelaskan bahwa dampak
psikis yang dialami penderita kusta yang telah
menyelesaikan masa pengobatannya dan
dinyatakan sembuh tidak menular akan tetap
mendapatkan status predikat penyandang kusta
yang melekat pada dirinya seumur hidup, dengan
adanya hal itu seringkali menjadi dasar
permasalahan psikologis para penderita kusta, rasa
kecewa, malu, tidak percaya diri dan merasa tidak
berguna akan melekat pada diri penderita kusta.
35
3. Dampak Sosial
Kusta tidak hanya berdampak pada fisik dan psikis
penderitanya namun berdampak pula pada
kehidupan sosial penderita kusta. Menurut
(Kemenkes RI, 2015) dampak sosial yang dialami
oleh penderita kusta dan seringkali menjadi sumber
permasalahan dalam kehidupan penderitanya yaitu
kecacatan pada tubuh yang diakibatkan oleh
penyakit kusta, pada akhirnya banyak masyarakat
yang merasa jijik dan banyak masyarakat yang
menjauhi, serta mengucilkan penderita kusta dari
lingkungannya dan dengan adanya hal tersebut
penderita kusta memiliki masalah lain yaitu sulitnya
mendapatkan pekerjaan. Stigma mengenai penyakit
kusta masih menjadi salah satu faktor penghambat
bagi penderita kusta untuk kembali diterima oleh
masyarakat, mendapatkan pekerjaan bahkan
diterima oleh keluarganya sendriri. Seringkali
penderita kusta menjadi terasing, tidak
mendapatkan keberfungsian sosialnya, bahkan
karena menyebabkan kecacatan fisik, akhirnya
penderita kusta dijadikan orang terbuang. Dengan
adanya dampak sosial tersebut berpengaruh pada
keberfungsian sosial penderita kusta, karena
banyaknya stigma negatif mengenai penyakit kusta
menyebabkan penderita kusta tidak dapat
menjalankan tugas, peran dan fungsinya dalam
kehidupan di masyarakat.
36
Pekerjaan Sosial dengan Keluarga
Pekerja sosial tidak hanya melakukan intervensi
kepada individu, pekerja sosial juga melakukan intervensi
pada level keluarga. Menurut Zastrow (2004: 79) dalam
Adi (2013) menjelaskan bahwa intervensi pada level
keluarga dilakukan dengan melihat keluarga sebagai
suatu sistem yang anggotanya saling berinteraksi dan
saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Karena
itu masalah yang ada pada individu biasanya dipengaruhi
oleh dinamika keluarga dan perubahan pada satu anggota
keluarga akan mempengaruhi anggota keluarga yang
lain.
Dalam intervensi keluarga terdapat salah satu metode
yaitu family based service atau layanan berbasis keluarga.
Dalam Nelson (1990) menjelaskan bahwa pendekatan
berbasis keluarga menganggap bahwa keluarga
merupakan sistem sosial dimana tindakan dan interaksi
anggota keluarga tidak terpisah satu dengan yang lain.
Menurut Hartman (1983) menjelaskan bahwa layanan
berbasis keluarga melihat keterkaitan antar anggota
keluarga dan juga melihat lingkungan sosial tempat
keluarga tersebut, karena lingkungan sosial memliki
pengaruh pada layanan berbasis keluarga.
Menurut Pecora (1996) menjelaskan bahwa layanan
berbasis keluarga memiliki komponen penting yaitu:
37
1. Unit keluarga menjadi fokus perhatian. Dalam
melakukan pelayanan berbasis keluarga, maka
keluarga menjadi fokus perhatian sehingga
nantinya berpengaruh pada kesejahteraan anggota
keluarga.
2. Memperkuat kapasitas keluarga agar berfungsi
secara efektif. Tujuan utama dari layanan berbasis
keluarga adalah memperkuat potensi dan
melaksanakan tanggung jawab dalam keluarga.
3. Keluarga memiliki keterlibatan dalam merancang
dan mengambil sebuah keputusan. Pekerja sosial
yang berbasis pada keluarga dapat menggunakan
pengetahuan mereka dalam membantu keluarga
untuk mengambil sebuah keputusan.
4. Keluarga terhubung dengan lebih banyak jaringan
dukungan dan komunitas yang beragam.
Intervensi yang berpusat pada keluarga
membantu untuk memaksimalkan komunikasi,
perencanaan bersama dan keterlibatan keluarga
dengan lingkungan sekitarnya.
Penderita kusta sangat membutuhkan adanya
dukungan dari keluarga agar dapat memberikan
semangat dan membuat penderita merasa nyaman serta
terlindungi dari orang-orang yang selalu memberikan
stigma negatif terhadap penderita kusta. Pekerja sosial
dapat menjalankan peran-perannya dalam layanan
berbasis keluarga, yaitu:
38
1. Motivator
Dalam hal ini pekerja sosial memiliki peran untuk
memberikan motivasi kepada keluarga agar dapat
menerima kondisi anggota keluarga yang terkena
penyakit kusta agar tetap semangat dalam
menjalankan kehidupannya.
2. Konselor
Dalam hal ini pekerja sosial berperan untuk
memberikan nasihat dan saran kepada keluarga
mengenai cara pemberian pelayanan keluarga
sebagai wujud penerimaan terhadap anggota
keluarga penderita kusta.
3. Advokator
Pekerja sosial dalam hal ini akan bertugas untuk
memberikan perlindungan dan pembelaan,
terutama terhadap keluarga dan hak-hak penderita
kusta yang tidak didapatkan sehingga mereka
berada pada posisi yang dirugikan
4. Broker
Dalam hal ini pekerja sosial bertugas sebagai
penghubung dengan memberikan informasi-
informasi yang diperlukan oleh kepala keluarga,
agar dapat menghubungkan kepala keluarga
dengan sistem sumber yang diperlukan.
39
5. Pendampingan (Fasilitator)
Dalam hal ini pekerja sosial bertugas untuk
memberikan pendampingan kepada keluarga agar
penderita kusta dapat menjalankan peran sosial
serta memberikan kesempatan untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Dengan melihat pemaparan tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa pekerja sosial merupakan praktisi
yang dapat meningkatkan keberfungsian sosial
khususnya bagi penderita kusta.
Penyakit kusta merupakan penyakit yang
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota
gerak bahkan dapat menyebabkan pada kerusakan indera
penglihatan. Orang-orang yang terkena penyakit kusta
sebagian besar akan mengalami kecacatan fisik, dimana
paling banyak penderita kusta adalah berubahnya kondisi
fisik terutama pada tangan maupun kaki yang pada
akhirnya menjadi cacat. Penyakit kusta memiliki dampak
yang buruk bagi penderitanya mulai dari dampak pada
fisik, dampak psikis yang membuat penderita kusta tidak
percaya diri dan dampak sosial yang menyebabkan
penderita kusta selalu mendapat stigma negaif. Masih
banyak masyarakat yang memberikan stigma negatif
kepada para penderita kusta, karena adanya perubahan
fisik pada penderitanya yang membuat masyarakat
merasa takut untuk berdekatan dengan penderita kusta.
40
Seoseorang yang masuk dalam masa dewasa muda
seharusnya dapat hidup mandiri dan sudah mulai
memiliki pasangan hidup, namun dalam hal ini penderita
kusta yang masuk dalam masa dewasa muda masih
belum memiliki pasangan hidup dan mendapatkan
pekerjaan sehingga para penderita kusta masih tinggal
bersama keluarga dan masih harus dibantu oleh kepala
keluarga dalam melakukan aktivitas. Keluarga
merupakan unit terkecil dari masyarakat yang memiliki
tanggung jawab menjalankan fungsi-fungsinya, keluarga
diharapkan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi
penderita kusta dan dapat memberikan rasa semangat
dalam menjalani kehidupan, dengan adanya kasus ini
penulis ingin mengetahui bagaimana dukungan keluarga
terhadap anggota keluarga yang menderita kusta, karena
bagaimanapun seseorang akan membutuhkan orang lain
dalam menjalankan kehidupannya.
Dukungan sosial yang diberikan oleh kepala keluarga
bagi penderita kusta sangat dibutuhkan terutama untuk
menumbuhkan rasa percaya diri serta mengembalikan
rasa semangat dalam menjalani kehidupannya.
Dukungan sosial dibagi menjadi empat dimensi yaitu:
1. Dukungan Emosional
Dukungan emosional meliputi pemberian rasa
nyaman, pemberian rasa dicintai dan pemberian
rasa dipedulikan. Dukungan emosional dapat
dikatakan sebagai bentuk dukungan yang membuat
41
individu agar lebih menerima kondisi dan dapat
mengontrol emosi diri. Faktor yang melatar
belakangi keluarga dalam memberikan dukungan
emosional yaitu karena adanya faktor kebutuhan
sosial yang dibutuhkan oleh penderita kusta.
Dengan diberikannya dukungan emosional maka
akan bermanfaat pada managemen stress penderita
kusta dan merasa nyaman serta dicintai. Dengan
kata lain dukungan emosional merupakan salah satu
dukungan untuk membantu individu agar dapat
menerima sekaligus mengontrol emosi diri individu
tersebut.
2. Dukungan Penghargaan
Dukungan penghargaan yang diberikan oleh
keluarga yaitu penilaian positif yang terjadi lewat
ungkapan hormat (penghargaan). Dukungan
penghargaan berbentuk pemberian motivasi,
pemberian penghargaan positif berupa “Reward”
dan perbandingan positif dengan individu lain.
Faktor yang melatar belakangi keluarga dalam
memberikan dukungan penghargaan yaitu karena
adanya faktor kebutuhan sosial yang dibutuhkan
oleh penderita kusta. Dukungan penghargaan
membuat penderita kusta merasa lebih dihargai.
3. Dukungan Instrumental
Bentuk dukungan ini mencakup bantuan langsung
dan nyata yang berupa materi atau jasa contohnya
42
memberikan pinjaman uang kepada orang lain
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau
menolong seseorang saat mengalami stress. Dalam
dukungan instrumental yaitu mencakup bantuan
materi yaitu pemberian uang, pemberian barang,
pemberian makan, dan pemberian pelayanan. Faktor
yang melatar belakangi keluarga memberikan
dukungan yaitu faktor kebutuhan fisik yang
dibutuhkan oleh penderita kusta. Dukungan
instrumental akan bermanfaat pada kesehatan fisik
penderita kusta.
4. Dukungan Informatif
Bentuk dukungan ini yaitu mencakup pemberian
informasi (bantuan medis) dan pemberian saran
mengenai kondisi individu serta apa yang dapat
dilakukannya. Faktor yang melatar belakangi
keluarga memberikan dukungan informatif pada
penderita kusta agar penderita kusta mendapatkan
solusi mengenai pengobatannya serta mendapatkan
saran yang terbaik dari keluarganya.
Dalam pemberian dukungan sosial yang diberikan
oleh kepala keluarga terhadap penderita kusta, dimana
pengobatan penderita kusta membutuhkan waktu kurang
lebih satu sampai dua tahun, maka kepala keluarga harus
dapat memahami mengenai penyakit kusta dan
memahami kondisi anggota keluarga yang menderita
penyakit kusta, mulai dari cara pengobatan, kondisi psikis
43
maupun kondisi sosialnya, hal itu akan berpengaruh pada
cara kepala keluarga memberikan dukungan sosial
kepada penderita kusta. Para penderita kusta memiliki
berbagai macam dampak, mulai dari dampak fisik,
dampak psikis, dan dampak sosial. Sehingga peran dari
kepala keluarga dalam memberikan dukungan sosial
sangat dibutuhkan agar penderita kusta mampu
mengembalikan keberfungsian sosialnya.
Kegiatan pekerjaan sosial layaknya profesional lain,
dimana pekerjaan sosial merupakan kegiatan pertolongan
(helping action). Namun konsep dari pekerjaan sosial
sendiri berbeda dengan profesi-profesi lain, konsep
pertolongan pekerjaan sosial yaitu menolong orang agar
orang tersebut mampu menolong dirinya sendiri (help
people to help themselves). Pekerjaan sosial membantu
seseorang maupun kelompok untuk memahami kondisi
yang dihadapi dengan cara meningkatkan
kemampuannya dan mengaitkan pada sistem sumber
yang ada, sehingga pekerjaan sosial tidak hanya
menangani seseorang akan tetapi yang berkaitan dengan
sistem sumber yang ada.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan salah satu
konsep dalam pekerjaan sosial yaitu family based service
atau pelayanan sosial berbasis keluarga, dimana dalam
pelayanan ini keluarga dijadikan sebagai sasaran atau
media utama pelayanan. Melalui kerangka pemikiran
atau alur pemikiran ini, dapat ditarik sebuah proposisi
bahwa penelitian ini akan menggambarkan bagaimana
44
keluarga memberikan dukungan sosial bagi penderita
kusta. Dukungan sosial yang dimaksud dalam penelitian
ini yaitu bagaimana keluarga memberikan dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental dan dukungan informatif bagi penderita
kusta agar dapat membantu penderita kusta dalam
menghadapi permasalahannya sehingga keberfungsian
sosial penderita kusta akan berjalan kembali. Untuk dapat
dirinci lebih jelas, berikut penulis gambarkan dalam
sebuah diagram:
Gambar 2.1 Alur Kerangka Pemikiran
Permasalahan bagi
penderita Kusta:
1. Fisik
2. Psikis
3. Sosial
Dukungan keluarga bagi
penderita kusta
a. Dukungan Emosional
b. Dukungan Penghargaan c. Dukungan Instrumental
d. Dukungan Informatif
Meningkatkan Keberfungsian
Sosial Penderita Kusta
45
Kajian dalam buku ini dilaksanakan dengan bersandar
pada batasa berikut, bahwa:
1. Penderita kusta yang dimaksud dalam kajian ini
adalah mereka yang tinggal di Kelurahan
Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Mereka adalah yang terkena penyakit kusta telah
memiliki dampak yang buruk bagi penderitanya
mulai dari dampak pada fisik, dampak psikis yang
membuat penderita kusta tidak percaya diri dan
dampak sosial yang menyebabkan penderita kusta
selalu mendapat stigma negatif dari masyarakat.
2. Keluarga penderita kusta merupakan suatu keluarga
dimana salah satu anggota keluarga didalamnya
menderita penyakit kusta dan membutuhkan
dukungan dari kepala keluarga dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari di Kelurahan Argasunya,
Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Dukungan
keluarga adalah dukungan yang diberikan meliputi:
dukungan emosional, dukungan penghargaan,
dukungan instrumental dan dukungan informatif
yang diberikan pada penderita kusta.
Selanjutnya fokus kajian lebih diarahkan pada
dukungan keluarga yaitu ukungan emosional, dukungan
penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan
informatif dengan rincian pada aspek berikut:
46
Dimensi
Dukungan
Sosial
Aspek
1. Dukungan
Emosional
a. Pemberian rasa nyaman
b. Pemberian perasaan dicintai
c. Pemberian perasaan dipedulikan
2. Dukungan
Penghargaan
a. Pemberian motivasi
b. Pemberian penghargaan positif
berupa “Reward”
c. perbandingan positif dengan
individu lain
3. Dukungan
Instrumental
a. Pemberian uang
b. Pemberian barang
c. Pemberian makan
d. pemberian pelayanan
4. Dukungan
Informatif
a. Pemberian informasi mengenai
bantuan medis
b. Pemberian saran
47
METODE KAJIAN
Pendekatan dan Teknik
Penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan
Dukungan keluarga bagi penderita kusta. Dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif dipilih karena pendekatan ini dapat
menggambarkan dan menjelaskan secara detail mengenai
dukungan keluarga bagi penderita kusta. Dengan
menggunakan pendekatan kualitatif maka peneliti dapat
berkomunikasi secara langsung dengan sehingga dapat
mengetahui lebih mendalam bagaimana Dukungan
keluarga seperti dukungan emosional, dukungan
penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan
informatif. Menurut Patilima, 2005 (dalam Rustanto, 2015)
metode kualitatif merupakan proses investigasi, secara
bertahap peneliti berusaha memahami fenomena sosial
dengan membedakan, membandingkan, meniru,
mengatalogkan, dan mengelompokkan objek studi.
Peneliti dunia infoeman dan melakukan interaksi terus-
menerus dan mencari sudut pandang. Teknik studi kasus,
merupakan teknik yang digunakan dalam penelitian agar
memperoleh gambaran utuh penderita kusta dan
keluarga penderita kusta itu sendiri.
48
Sumber Data
Keluarga penderita kusta untuk dan pada penelitian ini
yang dipilih adalah keluarga, dan keluarga merupakan
sumber utama bagi penderita kusta untuk mendapatkan
dukungan sosial. Selain itu juga tetangga lingkungan
terdekat menjadi sumber data. Selanjutnya adalah pihak
Puskesmas yang menangani penyakit kusta sebagai,
karena lebih mengetahui mengenai penyakit kusta dan
pasien-pasien kusta yang ada di Kelurahan Argasunya,
Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk data primer, teknik pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara dan observasi kepada
sumber informasi. Sedangkan untuk data sekunder,
dengan studi dokumentasi dan pustaka yang relevan
dengan kajian ini. Studi kepustakaan yakni berkaitan
dengan pencarian data melalui artikel, jurnal, buku, yang
berkaitan dengan Dukungan keluarga bagi penderita
kusta. Studi dokumentasi dapat berguna sebagai
pelengkap informasi yang didapat dari hasil wawancara
dan pada observasi di lapangan dan sturdi dokumentasi
dapat dilakukan untuk mengetahui peristiwa-peristiwa
maupun kegiatan yang telah terjadi terkait dukungan
sosial bagi penderita kusta baik berupa foto, laporan
maupun catatan yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
49
Instrumen Pengumpulan Data
Adapun instrumen pengumpulan data yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman
wawancara, dan pedoman observasi. Kemudian alat
bantu dipakai juga dimanfaatkan untuk mendukung riset
ini. Pedoman wawancara digunakan untuk membantu
peneliti dalam memperoleh data yang sistematis dan
terstruktur dalam proses penggalian informasi terkait
Dukungan keluarga bagi penderita kusta di Kelurahan
Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Sedangkan pedoman observasi digunakan dengan tujuan
agar dapat menghasilkan sebuah catatan lapangan yang
tepat mengenai kejadian dan situasi lapangan terkait
dukungan keluarga.
Alat bantu. Alat bantu yang digunakan dalam proses
penelitian ini yakni berupa perekam suara dan kamera
untuk mendokumentasikan hal yang dianggap penting
dan dibutuhkan untuk menunjang data riset. Selain itu,
alat bantu perekam suara digunakan sebagai alat bantu
pengingat bagi peneliti dalam proses penggalian
informasi melalui wawancara.
Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data dan
penyajian data dengan mengelompokkannya dalam
bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan, oleh
Miles dan Huberman (1992). Sebelum melakukan analisis
50
data ini diperlukan teknik pengolahan data. Pengolahan
data akan menentukan bagaimana hasil analisis dari data
yang bersangkutan. Dalam pengolahan dan analisis data
ini menurut Moleong (2007) terdapat tiga langkah
pengolahan data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Ketiga
langkah tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Reduksi data
Dalam proses pengumpulan data, reduksi data dalam
hal ini digunakan dengan membuat catatan
penelitian, ringkasan data, hingga kategorisasi data
yang dianggap sesuai dengan data yang dibutuhkan
terkait dengan Dukungan keluarga bagi penderita
kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan
Harjamukti, Kota Cirebon.
2. Penyajian data, mengorganisisasi dan menyusun
informasi
Setelah melakukan proses pereduksian data,
selanjutnya disajikan data yang komprehensif terkait
Dukungan keluarga bagi penderita kusta di
Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota
Cirebon.
3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Dalam proses ini peneliti melakukan pembandingan,
pencatatan, serta pengelompokan data sesuai dengan
pola dan tema yang telah ditentukan untuk menarik
51
kesimpulan terkait Dukungan keluarga bagi
penderita kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan
Harjamukti, Kota Cirebon.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kelurahan Argasunya,
Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon karena masih
banyak masyarakat yang tidak mengetahui betul
menganai penyakit kusta dan mantan penderita kusta
masih sering mendapatkan diskriminasi dari masyarakat.
Waktu penelitian dilakukan selama enam bulan, dari awal
September 2019 – hingga Februari 2020.
52
KEHIDUPAN
PENDERITA KUSTA: KASUS KELUARGA DI KOTA CIREBON
Gambaran Lokasi
Dalam bagian ini akan digambarkan bagaimana
kehidupan penderita kusta dalam kesehariannya.
Termasuk juga bagaimana dukungan yang diberikan oleh
keluarga bagi penderita kusta, dengan lokasi di Kelurahan
Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Penderita kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan
Harjamukti, Kota Cirebon memiliki mata pencaharian
yang bekerja sebagai buruh bangunan, dan ada yang
masih belum bekerja. Kelurahan Argasunya menjadi salah
satu tempat yang dijadikan sebagai tambang pasir dan
batu yang digunakan untuk bangunan, terkadang
penderita kusta yang menjadi buruh bangunan ikut
menjadi penambang pasir dan batu untuk menambah
pemasukan ekonomi keluarganya. Keadaan lokasi di
sekitar rumah penderita kusta layaknya berada di
perdesaan, padahal secara administratif Kelurahan
Argasunya sendiri masuk dalam wilayah pemerintahan
Kota Cirebon.
53
Tabel Jumlah Penderita Kusta Baru dan Penderita
Kusta Sembuh di Kota Cirebon
Tahun Jumlah Kusta
Penderita Baru
Jumlah Dinyatak
an
Penderita Sembuh
Keterangan
MB PB MB PB MB PB
2013 10 4 9 4 Sembuh pada tahun 2015.
1 orang tidak
melanjutkan pengobatan
Sembuh pada
tahun 2014
2014 8 - 6 Sembuh pada tahun 2016.
1 orang pindah.
1 orang tidak
melanjutakan
pengobatan
-
2015 14 3 11 1 Sembuh pada tahun 2017.
2 orang meninggal. 1
orang tidak melanjutkan
pengobatan
Sembuh pada
tahun 2016. 1 orang
meninggal. 1 orang
tidak melanjutkan
pengobatan
2016 18 1 17 1 Sembuh pada tahun 2018.
1 orang tidak
melanjutkan pengobatan
Sembuh pada
tahun 2017
2017 16 1 14 1 Sembuh pada tahun 2019.
1 orang meninggal. 1
orang tidak melanjutkan
pengobatan
Sembuh pada
tahun 2018
2018 14 1 14 1 Sembuh pada tahun 2019 Sembuh pada
tahun 2019
2019 11 1 - - Masih dalam proses
pengobatan
Masih dalam
proses pengobatan
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Cirebon, 2019
Di Kota Cirebon dan di Kelurahan Argasunya jumlah
penderita kusta setiap tahunnya mengalami fluktuatif,
54
jumlah tersebut dapat dilihat dari tabel yang berisi jumlah
penderita di Kota Cirebon dari tahun ke tahun, yaitu
sebagai berikut:
Tabel Jumlah Penderita Kusta Di Kelurahan Argasunya,
Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon
Tahun Jumlah Penderita
Kusta
Usia
2015 1 orang 44 tahun
2016 1 orang 51 tahun
2017 2 orang 47 dan 60 tahun
2018 5 orang 52, 46, 20, 30,dan 21
tahun
2019 1 orang 60 tahun
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Cirebon, 2019
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa terjadi
fluktuatif pada jumlah penderita kusta di Kota Cirebon
dan di Kelurahan Argasunya. Pada tahun 2018
pengobatan bagi penderita kusta MB menjadi satu tahun.
Hal ini sesuai dengan peraturan yang telah di tetapkan
oleh WHO. Walaupun mengalami fluktuatif dan sudah
dikatakan sembuh dalam masa pengobatan tetap saja
penderita kusta memiliki cukup banyak masalah yang
harus dihadapi, seperti masalah fisik, masalah psikis dan
masalah sosial yang sulit dihilangkan dari masayarakat
yaitu adanya stigma negatif mengenai penderita kusta,
55
dikucilkannya penderita kusta oleh masyarakat sekitar,
dan sulitnya penderita kusta untuk mendapatkan
lapangan pekerjaan, bahkan adapula penderita kusta
yang dikucilkan oleh keluarganya sendiri karena anggota
keluarga merasa takut adanya penularan penyakit kusta
kepada anggota keluarga lainnya sehingga penderita
kusta harus merawat dirinya sendiri, dengan adanya
permasalahan tersebut maka banyak penderita kusta yang
pada akhirnya muncul keputusasaan untuk melanjutkan
hidupnya. Dalam penelitian Soenoe (2017) terdapat
beberapa kasus diskriminasi atau adanya pemberian
kesempatan yang berbeda dengan masyarakat pada
umumnya pada penderita kusta, contohnya saat menjalin
hubungan dengan masyarakat, sempat merasakan takut
dan sedih karena sikap masyarakat yang menjauhinya.
Namun dengan adanya hal itu penderita kusta menjalani
penyesuaian diri dengan mengubah lingkungan sesuai
dengan keadaan individu yaitu dengan mengubah diri
dengan keadaan lingkungannya. Pada kasus yang kedua
masyarakat yang ada disekitarnya memberikan stigma
dan diskriminasi terhadap penderita kusta yang pada
akhirnya penderita kusta tersebut tidak percaya lagi
dengan masyarakat yang ingin membantunya karena
penderita kusta tersebut beranggapan bahwa masyarakat
yang ingin membantunya tidak ikhlas, dengan adanya
penolakan dari masyarakat menjadi hambatan tersendiri
bagi penderita kusta tersebut dan juga keluarganya dalam
proses penyesuaian. Jika melihat contoh kasus tersebut
maka dukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam
56
menjalani kehidupan bagi penderita kusta, dimana
keluarga akan memberikan rasa aman dan juga
memberikan motivasi untuk kehidupan penderita kusta.
Penyakit kusta disebabkan karena adanya
mycrobacterium leprae yang menyerang kulit, saraf tepi dan
jaringan tubuh. Bakteri tersebut dapat muncul karena
kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Setiap
rumah penderita kusta terdapat kandang pembesaran
hewan yang jaraknya sangat dekat, kandang pembesaran
tersebut biasanya yaitu kandang kambing dan sapi.
Dengan adanya kandang pembesaran hewan yang sangat
dekat dengan rumah penderita kusta dapat
mempengaruhi pola hidup bersih dan sehat, karena
kotoran yang dihasilkan oleh hewan tersebut dapat
menjadi tempat tinggal bagi bakteri yang dapat
berpengaruh pada kesehatan manusia.
Kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
lainnya yaitu banyaknya masyarakat yang membuang
sampah sembarangan, saat mereka malas untuk
membuang sampah ke tempat pembuangan sampah yang
letaknya tidak jauh dari rumah-rumah warga mereka
akan membuang sampah disungai. Masyarakat di
Kelurahan Argasunya lebih mengandalkan air sumur
untuk dijadikan kebutuhan sehari-hari seperti mandi,
mencuci maupun menjadi air minum, hal itu dikarenakan
sulitnya masyarakat Argasunya untuk mendapat air dari
PDAM. Masyarakat Kelurahan Argasunya termasuk
penderita kusta setiap harinya minum dari air sumur, air
57
sumur tersebut hampir sebagian besar mengambil dari air
sungai yang sudah tercemar oleh sampah, sehingga
perilaku hidup sehat dan bersih di Kelurahan Argasunya
sangat kurang baik. Adanya perilaku hidup yang tidak
sehat maka menjadi sumber segala penyakit yang
didalamnya adalah penyakit kusta.
Penderita kusta pada awalnya hidup seperti orang
pada umumnya mereka tidak merasakan perubahan-
perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Pada awalnya
para penderita kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan
Harjamukti, Kota Cirebon masih menjalankan aktivitas
seperti biasa, mereka saling berinteraksi dengan keluarga,
teman, tetangga dan saudara-saudaranya.
Saat gejala penyakit kusta mulai muncul pada
tubuhnya mereka hanya menganggap penyakit tersebut
tidak begitu parah. Gejala yang timbul sangat mirip
seperti penyakit kulit lain yaitu panu. Timbulnya pola
berwarna putih pada bagian punggung dan wajah tidak
membuat mereka waspada akan penyakit yang
dideritanya. Mereka hanya menggunakan obat-obatan
untuk penyakit gatal biasa. Semakin lama penyakit
tersebut semakin parah, sehingga membuat para
penderita mulai merasa cemas dengan penyakitnya.
Mereka berobat ke berbagai macam pengobatan mulai
dari terapi, sampai menggunakan obat herbal, namun
tidak semakin membaik penyakitnya akan tetapi semakin
bertambah parah. Pada akhirnya mereka berobat ke
Puskesmas dan dinyatakan terkena penyakit kusta.
58
Untuk saat ini para penderita kusta sudah selesai
dalam proses pengobatan, namun masih terdapat
perubahan pada kulit dan bagian tubuh lainnya. Para
penderita kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan
Harjamukti, Kota Cirebon dapat beraktivitas seperti biasa,
namun mereka harus mencari mata pencaharian baru,
karena saat mereka terkena penyakit kusta dan
menjalankan proses pengobatan berakibat pada mata
pencaharian mereka. Mereka tidak dapat melanjutkan
mata pencaharian mereka saat belum terkena penyakit
kusta.
Para penderita kusta di Kelurahan Argasunya,
Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon masih mengalami
stigma negatif dari masyarakat, mulai dari orang-orang
yang tidak mau untuk berjabat tangan sampai kehilangan
teman-temannya. Walaupun mereka mendapatkan
stigma negatif dari masyarakat, tetapi keluarga mereka
masih menerima mereka dengan baik dan memberikan
kasih sayang. Penderita kusta memiliki perubahan fisik
yang diakibatkan oleh penyakit kusta itu sendiri, sehingga
mereka yang menderita kusta masih sering dipandang
sebelah mata oleh orang lain, dan sulit untuk
mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak bagi
dirinya. Pekerja sosial dengan “strengths perspective”-nya
semestinya mampu lebih memfokuskan diri pada sisi
kekuatan dari penyandang masalah ini. Masih banyak
orang yang beranggapan bahwa penderita kusta tidak
dapat berbuat apa-apa dan memiliki keterbatasan fisik,
59
namun dengan strengths perspective maka penderita kusta
adalah orang yang memiliki semangat dalam
menjalankan kehidupannya walaupun pada awalnya
mereka merasa tidak percaya diri atas apa yang telah
terjadi pada kondisi fisiknya, mereka mau bekerja apa saja
yang dapat membantu ekonomi keluarganya, sehingga
walaupun penderita kusta memiliki kekurangan fisik
yang dapat membatasinya akan tetapi mereka mampu
untuk melakukan aktivitas, dan penderita kusta juga
sangat menerima jika ada orang yang membantunya
untuk mencari lapangan pekerjaan yang layak bagi
dirinya. Oleh karena itu stigma negatif mengenai
penderita kusta seharusnya sudah dihilangkan karena jika
dilihat dari perspektif kekuatan, penderita kusta adalah
orang yang mampu beraktivitas dan bekerja layaknya
orang-orang yang tidak memiliki keterbatasan.
Profil Penderita Kusta
Penderita kusta kusta yang dijakikan pertama
berinisial MK yang masih berumur 21 tahun dan masih
belum bekerja. MK memiliki ibu yang dijadikan bersedia
memberikan informasi mengensi MK yaitu SH yang
berumur 45 tahun. SH (ibu MK) tidak bekerja, setiap
harinya menjadi ibu rumah tangga. MK terkena penyakit
kusta pada tahun 2018 dan dinyatakan sembuh karena
telah menjalani pengobatan pada tahun 2019.
60
Penderita kusta kedua yaitu SN yang berusia 30
tahun. SN bekerja sebagai buruh bangunan, dan SN
terkena penyakit kusta pada tahun 2016. Setelah menjalani
pengobatan akhirnya SN dinyatakan sembuh pada tahun
2018. SN tinggal bersama ibunya yaitu AA. AA berusia 52
tahun dan memiliki pekerjaan sebagai buruh tani.
Seluruh penderita kusta yang dijadikan adalah
penderita kusta yang masuk dalam masa dewasa muda,
berada dalam usia produktif, dimana seharusnya sudah
hidup mandiri dan sudah berkeluarga namun karena
terkena penyakit kusta akhirnya mereka masih tinggal
bersama keluarganya dan sangat memerlukan adanya
dukungan keluarga dalam melakukan aktivitasnya.
Dukungan Keluarga terhadap Penderita Kusta
Dalam menjalani kehidupannya, para penderita
memperoleh dukungan dari lingkungan terdekatnya
yaitu keluarga, khususnya ibu mereka. Dukungan
tersebut berupa dukungan emosional, penghargaan,
instrumental, dan dukungan yang bersifat informatif.
a. Dukungan Emosional
Pemberian dukungan emosional selalu diberikan oleh
kepala keluarga kepada penderita kusta. Dukungan
emosional meliputi pemberian rasa nyaman, pemberian
61
rasa dicintai dan pemberian dipedulikan. Dukungan
emosional yang diberikan oleh kepala keluarga kepada
penderita kusta memiliki manfaat agar penderita kusta
dapat menerima kondisi sekaligus mengontrol emosi diri.
Penderita kusta mendapatkan dukungan emosional tidak
hanya dari kepala keluarga akan tetapi ada tetangga dan
saudara yang memberikan dukungan emosional kepada
penderita kusta. Pemberian dukungan emosional tersebut
akan dijabarkan sebagai berikut:
1) Pemberian Rasa Nyaman
MK merasa nyaman untuk tinggal dirumahnya. Pada
sekitar rumah MK terdapat beberapa tetangga yang dapat
dikatakan menjaga jarak antara mereka dengan MK
karena adanya rasa takut akan tertular penyakit kusta.
Namun walaupun tetangga merasa takut untuk tertular
penyakit yang diderita oleh MK akan tetapi kepala
keluarga MK saling menguatkan anggota keluarganya
dan saling mempererat hubungan keluarganya sehingga
MK merasa nyaman berada dirumahnya. SH juga
memperbolehkan siapa saja baik itu tetangga maupun
orang lain untuk menjenguk MK, para tetangga terkadang
menanyakan kondisi MK serta memberikan semangat
kepada MK. Sehingga MK tetap merasa nyaman berada
dilingkungannya. Walaupun hidup dengan
kesederhanaan MK tetap merasa nyaman tinggal
dirumahnya karena suasana dirumahnya yang begitu
tenang dan sejuk karena masih dikelilingi pepohonan. MK
merasa tidak nyaman ketika mengambil obat di
62
Puskesmas, karena banyak orang yang melihat ke dirinya
dan seperti memandang negatif mengenai kondisi fisik
dari MK, sehingga MK seringkali merasa emosi dan sedih
karena merasa jadi tontonan semua orang dan orang-
orang tersebut seperti merendahkan MK.
AA selalu berusaha untuk memberikan kenyamanan
kepada SN. Saat awal terkena penyakit kusta, SN merasa
tidak nyaman untuk tinggal dilingkungannya, karena
teman-teman SN yang seringkali berkumpul bersema
dengan SN dirumahnya jarang berkumpul kembali. SN
merasa tidak nyaman karena merasa dijauhi oleh orang-
orang yang ada disekelilingnya. Namun walaupun begitu,
AA tetap berusaha agar SN merasa nyaman, yaitu dengan
cara mengajak teman-teman SN untuk mampir ke
rumahnya untuk menjenguk SN, walaupun teman-teman
SN menjauh karena merasa takut untuk tertular oleh
penyakit kusta namun kepala keluarga SN lebih erat
hubungannya, karena merasa kasihan dengan SN yang
dijauhi oleh teman-temannya, sehingga perlakuan
tersebut membuat SN merasa nyaman untuk tinggal
bersama keluarganya. Namun setelah mengetahui bahwa
SN sudah dinyatakan sembuh dari penyakit kusta, teman-
teman dari SN sering berkumpul kembali dirumah SN.
Walaupun hidup dengan kesederhanaan, infroman SN
tetap merasa nyaman untuk tinggal dirumahnya karena
suasana rumahnya yang tenang dan masih asri karena
dekat dengan persawahan ditambah dengan kembalinya
teman-teman SN yang sering berkumpul dirumahnya. SN
63
merasa tidak nyaman jika ada orang yang melihat dirinya
terlalu lama, karena SN beranggapan orang tersebut pasti
memiliki pemikiran negatif dan seperti merendahkan
kondisi fisik SN.
2) Pemberian Perasaan Dicintai
SH selalu memberikan perasaan dicintai dengan cara
memberikan perhatian dan menerima MK apa adanya.
SH memberikan kasih sayang yang tulus kepada MK,
pada saat awal MK terkena penyakit kusta dan mulai
meminum obat maka timbul reaksi pada tubuh MK yaitu
bengkak-bengkak sehingga MK sulit untuk mandi, dan
SH lah yang membantu MK untuk mandi. SH juga
membantu MK dalam mengenakan pakaian, selama
kurang lebih satu bulan SH selalu membantu MK saat
mandi, mengenakan pakaian dan menyuapi MK saat
makan. Untuk saat ini MK sudah selesai masa pengobatan
dan MK sudah dapat mandi sendiri, menggunakan
pakaian sendiri dan makan sendiri. MK sangat
berterimakasih kepada SH yang sudah memberikan
perhatian dan mencintai MK sehingga dapat pulih
kembali. SH selalu memberikan perhatian dan
mengingatkan MK untuk terus bersabar untuk
menghadapi penyakit dan orang-orang yang memberikan
stigma negatif kepada dirinya. SH selalu mengatakan
kepada MK bahwa semua penyakit selalu ada obatnya
dan akan sembuh, sehingga dapat kembali melakukan
aktifitasnya.
64
AA selalu memberikan perasaan dicintai dengan cara
memberikan perhatian dan selalu menyayangi SN. AA
memberikan kasih sayang yang tulus kepada anaknya,
pada saat awal terkena penyakit kusta AA selalu
membantu menyuapi SN untuk makan, hal tersebut
dilakukan oleh AA karena merasa kasihan kepada SN
yang tidak dapat makan sendiri. Selama satu bulan SN
tidak dapat makan sendiri sehingga AA harus membantu
menyuapi SN, walaupun SN terkena penyakit kusta dan
menyebabkan perubahan fisik pada tubuh SN, namun
AA tetap menerima SN apa adanya dan selalu
menyayangi SN. SN saat siang hari lebih banyak
menghabiskan waktu sendiri dirumahnya. Karena kakak
dan ibunya yaitu AA dari pagi sampai sore terkadang
masih berada disawah dan kakaknya bekerja. Saat awal
masa pengobatan AA tidak mengizinkan SN untuk
berpergian jauh dari rumah, karena AA merasa tidak
tenang jika SN berpergian jauh. Setelah kondisinya
membaik SN diperbolehkan untuk berpergian keluar
rumah untuk mengambil obat di Puskesmas
menggunakan motornya sendiri. SN merasa sangat
dicintai dan sangat berterimakasih kepada keluarganya
yang masih menerima SN walaupun dalam kondisi sakit,
terutama pada ibunya yaitu AA yang telah membantunya
saat pertama kali sakit hingga selesai masa pengobatan
hingga akhirnya dapat sembuh kembali walaupun
terdapat perubahan pada fisik SN.
65
3) Penyapaian Rasa Perduli
MK mendapatkan rasa dipedulikan oleh SH dan
keluarganya dengan selalu mengajak untuk makan
bersama-sama setiap makan malam. Pada saat siang hari
keluarga dari MK tidak makan bersama-sama karena
memiliki kesibukan masing-masing. Pada siang hari SH
hanya menyuruh MK untuk makan saja, berbeda saat
malam hari ketika semua anggota keluarga berada
dirumah maka SH akan mengajak MK dan adiknya untuk
makan bersama. Makan bersama biasanya pada pukul
18.30 atau setelah sholat maghrib. SH dan anggota
keluarga lainnya lebih sering sholat maghrib dirumah
secara berjamaah. Setelah melakukan sholat maghrib dan
makan malam, biasanya SH mengajak anggota keluarga
untuk menonton tv bersama, serta saling bertukar cerita
dan memberikan nasehat. Kebutuhan MK menjadi
prioritas utama dalam keluarganya. SH sering
menanyakan kondisi yang dirasakan oleh MK. Namun
MK seringkali tidak terbuka mengenai apa yang sedang
dirasakannya, seperti sedang merasa sakit atau sedih.
Sehingga SH harus bisa membaca perilaku dari MK. SH
menanyakan kondisi yang dirasakan oleh MK saat ia
berada di dalam kamarnya. SH lebih sering memberikan
dukungan emosional dibandingkan ayah dari MK, karena
ayah dari MK selalu sibuk untuk mencari nafkah.
SN merasa dipedulikan oleh AA karena AA selalu
menanyakan kondisi mengenai penyakitnya. AA selalu
menanyakan kepada SN apakah obat sudah diminum
66
atau belum. Setiap pagi AA pergi ke sawah, dan kakak
dari SN pun bekerja, ayah dari SN sudah meninggal
dunia. Sehingga SN lebih banyak sendiri dirumahnya.
Setiap malam AA mengajak anak-anaknya untuk makan
bersama-sama. AA selalu memprioritaskan kebutuhan
SN. AA selalu berusaha untuk membuat anak-anaknya
bahagia, saat menonton tv seringkali AA memberikan
candaan yang dapat menghibur SN. Walaupun SN lebih
sering sendiri dirumah, namun SN lebih terbuka kepada
AA mengenai apa yang sedang dirasakannya. Seperti saat
SN merasa sedih karena teman-temannya menjauh karena
takut tertular penyakit kusta, AA selalu mendengarkan
apa yang sedang diceritakan oleh SN, dan setelah SN
selesai bercerita maka AA akan memberikan saran dan
nasehat kepada SN. Dengan selalu ditanya dan mengajak
ngobrol antara AA dengan SN, membuat SN sangat
dipedulikan oleh keluarganya terutama oleh AA.
Dukungan emosional yang diberikan oleh kepala
keluarga terutama orang tua kepada para penderita kusta
akan membuat para penderita kusta merasa nyaman,
dicintai dan merasa dipedulikan. Penderita kusta yang
masuk dalam masa dewasa muda masih membutuhkan
adanya pemberian dukungan emosional dari kepala
keluarga. Penderita kusta membutuhkan adanya
dukungan emosional karena penderita kusta merupakan
orang yang rentan sehingga sangat membutuhkan adanya
rasa dicintai dan dipedulikan oleh orang-orang
terdekatnya yaitu kepala keluarga, karena penderita yang
67
masuk dalam masa deasa muda masih belum memiliki
pasangan hidup sehingga penderita kusta mendapatkan
perasaan dicintai dari orangtuanya, sehingga dengan
diberikannya dukungan emosional kepada penderita
kusta maka penderita kusta akan merasa dipedulikan
serta dapat mengontrol emosi pada dirinya. Smet (1994)
menjelaskan bahwa dukungan emosional merupakan
salah satu bentuk dukungan untuk membantu individu
agar dapat menerima kondisinya dan mengontrol emosi
dari individu tersebut. Setiap kepala keluarga yang
memberikan dukungan emosional kepada penderita
kusta memiliki perbedaan satu sama lain. Penjelasan
tersebut memiliki kesamaan dengan penjelasan Cohen &
Syme 1985 (dalam Iradati, 2018) yang menjelaskan bahwa
dukungan sosial yang diterima oleh seseorang memiliki
perbedaan, yang dapat dibedakan berdasarkan kuantitas
dan kualitas dukungan, sumber dukungan serta jenis
dukungan. Berikut penulis paparkan tabel pemberian
dukungan emosional bagi penderita kusta di Kelurahan
Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Tabel 4.4.1
Tabel Kategorisasi Respon Dukungan Emosional
Dukungan
Emosional MK SN
Pemberian
Rasa
Nyaman
Suasana rumah yang
tenang sehingga
membuat nyaman
Banyak orang yang
menjauh dari penderita
Suasana rumah yang tenang
sehingga membuat nyaman
Banyak orang yang menjauh
dari penderita kusta namun
kepala keluarga semakin erat
68
kusta namun kepala
keluarga semakin erat
hubungannya dengan
penderita kusta
hubungannya dengan
penderita kusta
Perasaan
Dicintai
Kepala keluarga selalu
memberikan perhatian
Kepala keluarga
menerima penderita
kusta apa adanya
Kepala keluarga
membantu
memandikan, meyuapi
dan mengenakan
pakaian pada penderita
kusta saat terjadi reaksi
karena meminum obat
Kepala keluarga selalu
memberikan perhatian
Kepala keluarga menerima
penderita kusta apa adanya
Kepala keluarga membantu
meyuapi penderita kusta saat
terjadi reaksi karena
meminum obat
Perasaan
Dipedulikan
Kepala keluarga
mengajak penderita
kusta untuk sholat
berjamaah dirumah
Kepala keluarga
mengajak penderita
kusta untuk makan
bersama-sama dengan
keluarga
Kepala keluarga
mengajak penderita
kusta untuk menonton
tv bersama keluarga
Kepala keluarga selalu
menanyakan pada
penderita kusta
mengenai apa yang
dirasakannya
Kebutuhan penderita
kusta menjadi prioritas
utama dalam keluarga
Kepala keluarga mengajak
penderita kusta untuk makan
bersama-sama dengan
keluarga
Kepala keluarga mengajak
penderita kusta untuk
menonton tv bersama
keluarga
Kepala keluarga selalu
menanyakan pada penderita
kusta mengenai apa yang
dirasakannya
Kebutuhan penderita kusta
menjadi prioritas utama
dalam keluarga
69
Menurut Mappiare, 1983 (dalam Listyandini, 2016)
menjelaskan bahwa seseorang yang memasuki usia
dewasa, maka orang tersebut diharuskan untuk
mengikuti tatanan sosial yang ada pada lingkungan
masyarakat, sebagai contohnya seseorang dituntut untuk
bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan
mengurus dirinya secara mandiri sekaligus membentuk
keluarga (berumah tangga). Namun penderita kusta
dalam penelitian ini masih belum memiliki pekerjaan dan
belum memiliki pasangan hidup, sehingga penderita
kusta selalu dibantu oleh kepala keluarga yang selalu
memberikan dukungan emosional kepada penderita
kusta dan membantu dalam memandikan, menyiapkan
pakaian hingga membantu menyuapi penderita kusta.
Kepala keluarga selalu mengajak penderita kusta untuk
ikut berkumpul bersama keluarga, seperti makan
bersama, sholat bersama dan menonton tv bersama,
sehingga penderita kusta merasa sangat dipedulikan oleh
keluarganya. Kepala keluarga selalu melindungi anggota
keluarganya yang terkena penyakit kusta dari orang-
orang yang selalu memberikan pandangan yang negatif
mengenai penyakitnya. Pemberian perhatian kepada
penderita kusta dari kepala keluarga membuat para
penderita kusta merasa nyaman serta merasa dicintai oleh
keluarganya. Kepala keluarga memberikan rasa kasih
sayang yang tulus bagi penderita kusta dengan selalu
membantu para penderita kusta saat mengalami
kesulitan. Dengan adanya kasih sayang yang diberikan
oleh kepala keluarga maka akan membuat para penderita
70
kusta untuk lebih percaya diri dan meningkatkan
semangat hidupnya.
Pemberian dukungan emosional kepada penderita
kusta bersumber dari kepala keluarga, namun temuan
dilapangan menujukkan petugas Puskesmas setiap satu
bulan sekali selalu memberikan perhatian, sehingga
dampaknya sangat besar bagi meningkatkan kepercayaan
diri penderita kusta. Hal itu sependapat dengan Goetlib
1983 (dalam Sari, 2014) yang menyatakan bahwa terdapat
dua macam hubungan dukungan sosial, yaitu pertama
hubungan profesional yang bersumber dari orang-orang
ahli dibidangnya seperti konselor, psikolog dan dokter.
Kedua hubungan non profesional yang bersumber dari
orang-orang terdekat seperti keluarga, dan teman.
Kebutuhan penderita kusta selalu dipenuhi oleh
keluarganya, menururt Sarafino (2006) menjelaskan
bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
dukungan sosial, yaitu: Kebutuhan fisik, kebutuhan sosial
dan kebutuhan psikis. Dalam dukungan emosional
berkaitan dengan kebutuhan psikis. Kebutuhan psikis
berpengaruh kepada pemberian dukungan sosial oleh
kepala keluarga kepada penderita kusta, seorang
penderita kusta memiliki berbagai macam masalah,
sehingga penderita kusta memerlukan dukungan sosial
dari keluarganya agar penderita kusta merasa
diperhatikan dan dicintai oleh keluarganya.
Penderita kusta memiliki tingkat emosi yang tidak
stabil karena penyakitnya. Mereka terkadang masih
71
memikirkan kembali kenapa penyakit kusta terjadi pada
dirinya. Adanya perubahan fisik yang terjadi pada
penderita kusta membuat mereka sangat sedih dan tidak
percaya diri, ditambah dengan lingkungan yang
terkadang memberikan pandangan negatif pada dirinya
yang menambah tekanan psikologis bagi penderita kusta.
Ditambah lagi penderita kusta masuk dalam periode
dewasa muda dimana menurut Papalia (2008) masa
dewasa muda adalah periode perkembangan yang
dianggap kritis, karena dalam waktu tersebut individu
mengalami transisi dari masa remaja menuju kehidupan
dewasa sesungguhnya. Sehingga penderita kusta yang
berada dalam masa dewasa muda sangat membutuhkan
adanya dukungan sosial dari kepala keluarga. Apollo &
Cahyadi (2012) menjelaskan bahwa dukungan sosial
dapat mengurangi kecemasan dan depresi bagi orang-
orang yang mengalami stress. Oleh karena itu pemberian
dukungan emosional dari kepala keluarga sangatlah
penting bagi penderita kusta, sehingga penderita kusta
akan merasa nyaman, dicintai dan dipedulikan oleh
keluarganya, serta dapat menambah kepercayaan diri
bagi penderita kusta itu sendiri. Setiap individu yang
sedang rentan akan menganggap bahwa perhatian sekecil
apapun yang diberikan oleh seseorang dianggap suatu hal
yang sangat luar biasa. Sehingga sekecil apapun perhatian
yang diberikan oleh kepala keluarga akan sangat besar
manfaatnya bagi penderita kusta dibandingkan saat
mereka sedang ada dalam kondisi sehat. Meskipun
temuan dilapangan menujukkan bahwa kepala keluarga
72
yang memberikan dukungan emosional kepada para
penderita kusta, karena sering melakukan interaksi tetapi
sesekali orang yang ada disekitar rumah yaitu tetangga
maupun petugas Puskesmas setiap satu bulan sekali
selalu memberikan perhatian, sehingga dampaknya
sangat besar bagi meningkatkan kepercayaan diri
penderita kusta.
b. Dukungan Penghargaan
Dukungan penghargaan selalu diberikan oleh
keluarga inti kepada anggota keluarga yang menderita
kusta. Dukungan penghargaan yang diberikan oleh
keluarga yaitu penilaian positif yang terjadi lewat
ungkapan hormat (penghargaan). Dukungan
penghargaan berbentuk pemberian motivasi, pemberian
penghargaan positif berupa “Reward” dan perbandingan
positif dengan individu lain. Pemberian dukungan
penghargaan dari kepala keluarga kepada penderita kusta
akan membuat penderita kusta lebih dihargai dan
termotivasi untuk semangat dalam menjalani
kehidupannya.
1) Pemberian Motivasi
SH selalu memberikan motivasi agar MK terus
semangat dalam menjalani pengobatan dan semangat
untuk menjalankan kehidupannya, karena pada awal
pertama didiagnosis terkena penyakit kusta MK selalu
73
mengurung diri dikamarnya. MK merasa malu dengan
kondisi fisik yang dideritanya. MK sangat tidak percaya
diri terhadap kondisinya karena takut akan mendapatkan
ejekan dari orang-orang disekitarnya. SH selalu
memberikan motivasi kepada MK dengan cara
menjelaskan bahwa semua penyakit tetap akan ada
obatnya dan dapat disembuhkan. SH memiliki hambatan
untuk memberikan motivasi kepada MK, karena kerap
kali MK lebih banyak menyendiri. Namun pada akhirnya
rasa percaya diri MK dapat kembali. SH dan keluarga
memberikan motivasi kepada MK saat sedang kumpul
keluarga maupun saat MK sedang sendiri dikamar.
Keluarga dari MK tidak pernah merasa malu dengan
kondisi salah satu anggota keluarganya yaitu MK yang
terkena penyakit kusta. Namun tetap saja ada
tetangganya masih ada yang beranggapan negatif
mengenai kondisi MK walaupun sudah dikatakan
sembuh dalam menjalani pengobatan.
AA selalu memberikan motivasi kepada SN untuk
tetap semangat dalam menjalani kehidupan. SN merasa
kurang percaya diri pada awal gejala terkena penyakit
kusta, karena terjadi perubahan fisik seperti bagian-
bagian tubuh yang memerah, akhirnya SN ikut terapi
untuk penderita kusta. Namun tidak ada hasil yang baik,
melainkan terjadi perubahan yang semakin parah pada
bagian tubuh SN. AA selalu memotivasi SN dengan terus
berusaha untuk meningkatkan rasa percaya diri SN dan
menjelaskan bahwa inilah yang namanya kehidupan,
74
mungkin ini memang takdirnya yang diberikan oleh
ALLAH SWT. SN selalu diberikan motivasi oleh AA dan
juga Kakaknya. AA memberikan motivasi pada SN pada
saat sedang berdua. Motivasi yang diberikan oleh AA
pada SN yaitu untuk memacu semangat dan
meningkatkan percaya diri, walaupun sudah terkena
penyakit kusta nantinya SN akan tetap dapat bekerja
kembali dan dapat melakukan aktivitas seperti biasanya.
2) Pemberian penghargaan positif berupa “Reward”
SH selalu memberikan penghargaan positif melalui
ucapan terimakasih kepada MK. Pemberian ucapan
terimakasih tersebut diberikan oleh SH karena MK sudah
dapat membantu keluarganya dalam hal-hal kecil, seperti
mencuci piring sendiri saat sudah selesai makan, maupun
membersihkan seta merapikan kamarnya sendiri. MK
terkadang diberikan makanan ringan atau minuman
setelah MK membantu SH dalam membersihkan rumah,
seperti menyapu dan membantu untuk melipat pakaian
yang telah dijemur. Pemberian penghargaan tersebut
membuat MK selalu ingin membantu SH. MK
mengatakan bahwa ia membantu SH karena sebagai balas
budi MK kepada SH yang telah membantunya untuk
melakukan apapun saat MK tidak dapat melakukan apa-
apa karena penyakit yang dideritanya.
AA memberikan penghargaan positif kepada SN yang
telah membantunya. Pemberian penghargaan positif
75
tersebut berupa uang maupun ucapan. Saat AA ingin
pergi ke pasar maka AA meminta bantuan kepada SN
untuk mengantarnya menggunakan motor. AA
memperbolehkan SN untuk mengambil obat sendiri
tanpa ditemani oleh AA, dan ketika sudah mengambil
obat sendiri AA akan memberikan uang kepada SN, uang
tersebut diberikan ketika SN sudah mengantarkan AA,
maupun setelah mengambil obat sendri ke Puskesmas,
uang yang diberikan kepada SN sebesar Rp.15.000 yang
dapat digunakan untuk mengisi bensin ataupun untuk
membeli rokok. Saat siang hari, SN lebih sering dirumah
sendirian karena AA sibuk ke sawah, pada saat itu juga
SN berinisiatif untuk membersihkan rumah seperti
menyapu dan mencuci piring. Saat AA datang, rumah
dalam kondisi bersih dan AA akan memberikan ucapan
terimakasih kepada SN atas apa yang telah diperbuatnya.
AA terkadang membuatkan kopi untuk SN sebagai
penghargaan karena telah membantu membersihkan
rumah, sehingga AA tidak perlu membersihkannya
kembali.
3) Perbandingan Positif Dengan Individu Lain
SH selalu menganggap MK sebagai orang yang sakit.
SH tidak memperbolehkan MK untuk pergi keluar rumah
pada saat masih dalam masa pengobatan, saat MK sudah
menyelesaikan masa pengobatan, SH memperbolehkan
MK untuk keluar rumah namun tidak diperbolehkan
76
untuk pergi jauh, hanya sebatas masih disekitar rumah
saja. SH tidak mengizinkan MK untuk berpergian jauh
karena SH masih merasa takut terjadi sesuatu kepada MK.
Jika memang ingin berpergian jauh maka MK akan
ditemani oleh SH.
AA memandang SN sebagai orang yang sehat. Hal ini
dapat dilihat dari seringnya SN untuk berada dirumah
dan tidak ada yang menemaninya. AA tidak menemani
SN karena pergi kesawah sedangkan kakak SN sibuk
bekerja, sehingga SN hanya sendiri dirumah pada siang
hari. AA hanya menyiapkan makanan dan obat yang
diperlukan oleh SN, sehingga AA tidak khawatir untuk
meninggalkan SN sendiri dirumahnya. AA memberikan
kepercayaan kepada SN untuk menjaga rumah. Sehingga
SN berinisiatif untuk membantu keluarganya dalam
membersihkan rumah, sehingga saat keluarga datang
dirumah, rumah sudah dalam kondisi bersih.
Dukungan penghargaan yang diberikan oleh kepala
keluarga kepada para penderita kusta yaitu dalam bentuk
pemberian motivasi, pemberian penghargaan positif
berupa “Reward” dan perbandingan positif dengan
individu lain. Penderita kusta membutuhkan adanya
dukungan penghargaan dari kepala keluarga terutama
orangtua karena penderita kusta memiliki kepercayaan
diri yang rendah, mereka merasa malu atas penyakit yang
dideritanya, ditambah adanya perubahan fisik yang
terjadi sehingga penderita kusta tidak percaya diri untuk
keluar rumah. Sehingga bagi penderita kusta dukungan
77
penghargaan sangat dibutuhkan untuk mengembalikan
rasa percaya dirinya. Smet (1994) menjelaskan bahwa
dukungan penghargaan dapat membantu dalam
memberikan dorongan pada perasaan seseorang. Berikut
penulis paparkan tabel pemberian dukungan
penghargaan bagi penderita kusta di Kelurahan
Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Tabel Kategorisasi Respon Dukungan Penghargaan
Dukungan
Penghargaan MK SN
Pemberian
Motivasi
Kepala keluarga
memberikan semangat
untuk menjalani hidup
kepada penderita kusta
Kepala keluarga
mengingatkan untuk
lebih bersabar dalam
menghadapi ujian
Kepala keluarga
memberikan semangat
untuk menjalani hidup
kepada penderita kusta
Kepala keluarga
mengingatkan untuk lebih
bersabar dalam
menghadapi ujian
Pemberian
penghargaan
positif
berupa
“Reward”
Kepala keluarga
memberikan makanan
ringan kepada penderita
kusta yang telah
membantu pekerjaan
rumah
Kepala keluarga
memberikan ucapan
terimakasih kepada
penderita kusta yang
telah membantu
keluarga
Kepala keluarga
memberikan uang kepada
penderita kusta yang telah
membantu
Diberikan rokok sebagai
tanda terimakasih dari
kepala keluarga untuk
penderita kusta
Kepala keluarga
memberikan ucapan
terimakasih kepada
penderita kusta yang telah
membantu keluarga
78
Perbandingan
positif
dengan
individu lain
Penderita kusta
dianggap orang yang
sakit walaupun sudah
selesai pengobatan
Penderita kusta dianggap
orang yang sehat oleh
keluarganya
Setiap keluarga selalu menyemangati bahwa setiap
penyakit yang diderita oleh seseorang pasti ada obatnya
dan akan sembuh kembali. Pemberian motivasi oleh
kepala keluarga pada penderita kusta seringkali saat
sedang kumpul keluarga, sehingga anggota keluarga lain
dapat memberikan semangat kepada penderita kusta
untuk menjalani kehidupannya. Kepala keluarga tidak
hanya memberikan motivasi untuk menjalankan
kehidupan bagi penderita kusta, kepala keluarga juga
seringkali memberikan penghargaan bagi penderita kusta
baik itu melalui ucapan ataupun materi. Penghargaan ini
diberikan sebagai salah satu bentuk motivasi bagi
penderita kusta yang dapat membantu keluarga ataupun
menjalankan tugas bagi dirinya sendiri, seperti mencuci
piring sendiri atau mengambil obat sendiri ke Puskesmas.
Penderita kusta mendapatkan dukungan
penghargaan yang bersumber dari kepala keluarga
terutama orang tuanya. Seperti yang dijelaskan oleh
Wentzel (dalam Apollo & Cahyadi, 2012) yang
menjelaskan bahwa sumber-sumber dukungan sosial
adalah orang-orang yang memiliki hubungan yang berarti
bagi individu, seperti keluarga, saudara, teman dekat
maupun pasangan hidup. Manfaat diberikannya
79
dukungan penghargaan bagi penderita kusta yaitu dapat
mengembalikan keberfungsian sosialnya. Menurut
Achilis (dalam Widiasih, 2015) menjelaskan bahwa
keberfungsian sosial seseorang dapat dilihat dari
beberapa indikator diantaranya yaitu: keberfungsian
sosial yang dipandang sebagai kemampuan dalam
melaksanakan peranan sosial: individu mampu
melaksanakan tugas, peran dan fungsinya, individu dapat
bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban.
Penderita kusta mendapatkan penghargaan positif berupa
“reward” setelah penderita kusta mampu melaksanakan
tugas dan perannya, seperti salah satu yaitu MK yang
mampu membantu orangtuanya dalam membersihkan
rumah, hal itu berkaitan dengan teori tersebut dimana
penderita kusta dapat melaksanakan tugas dan perannya
karena adanya penghargaan positif dari kepala keluarga
sehingga penderita kusta akan mampu melaksanakan
tugas dan perannya.
c. Dukungan Instrumental
Dukungan instrumental diberikan oleh kepala
keluarga kepada penderita kusta. Bentuk dukungan ini
mencakup bantuan langsung dan nyata yang berupa
materi yaitu pemberian uang, pemberian barang,
pemberian makan, dan pemberian pelayanan. Faktor
yang melatar belakangi keluarga memberikan dukungan
80
yaitu faktor kebutuhan fisik yang dibutuhkan oleh
penderita kusta.
1) Pemberian Uang
SH memenuhi kebutuhan keuangan anaknya yaitu
MK, pemenuhan keuangan akan diberikan sesuai dengan
kebutuhan MK seperti paket internet dan makanan ringan
atau jajanan yang keliling dirumahnya. Pemberian
bantuan keuangan seringkali digunakan untuk berobat ke
Puskesmas saat MK belum memiliki BPJS Kesehatan,
namun untuk saat ini MK sudah memiliki BPJS Kesehatan
yang dapat digunakan saat berobat. Terkadang MK
mendapatkan bantuan keuangan dari saudara-
saudaranya yang menjenguknya. Walaupun pemberian
bantuan keuangan tidak menentu, akan tetapi MK selalu
menyisihkan uangnya untuk ditabung, sehingga jika MK
menginginkan sesuatu, MK tidak perlu meminta uang
kepada SH dan ayahnya karena MK sudah memiliki
tabungan sendiri.
AA memberikan bantuan keuangan kepada SN jika
SN membutuhkan keuangan. Saat ingin membeli sesuatu
seperti paket internet ataupun rokok maka SN akan
meminta kepada AA. Namun seringkali SN mendapatkan
keuangan dari kakaknya. Bantuan keuangan yang
diberikan oleh kakak SN yaitu Rp.100.000 per bulan. Saat
berobat ke Puskesmas SN menggunakan BPJS Kesehatan
sehingga SN tidak perlu membayar, namun pada awal
terkena penyakit kusta SN berobat ke tempat terapi
81
dimana tempat terapi tersebut tidak dapat menggunakan
BPJS Kesehatan, sehingga AA yang membantu untuk
membayar terapi tersebut. AA terkadang memberikan
bantuan keuangan kepada SN sebagai tanda terimakasih
jika SN sudah mengantarkan AA pergi ke pasar,
pemberian uang tersebut seringkali digunakan untuk
membeli bensin, uang yang diberikan oleh AA sebesar Rp.
15.000. Pemberian uang dari kakaknya selalu disisihkan
oleh SN untuk ditabung, jika memang SN ingi membeli
rokok maka SN akan menggunakan uang tersebut.
2) Pemberian Barang
SH memberikan barang berupa kasur kepada MK,
pemberian kasur tersebut karena MK memintanya kepada
SH, karena sebelum MK menderita kusta, MK selalu tidur
bersama adik-adiknya. Namun ketika MK menderita
kusta maka SH memberikan kasur dan memberikan
kamar yang pada awalnya kamar tersebut adalah kamar
SH dan suaminya. SH juga memberikan barang yaitu satu
buah smartphone kepada MK. SH merasa kasihan jika
melihat MK hanya menonton tv saja, sehingga MK
memberikan smartphone yang sangat berguna bagi MK
agar MK tidak terlalu jenuh berada dirumah. Pemberian
barang lainnya yaitu SH memberikan sandal kepada MK
yang digunakan saat didalam rumah, pemberian sandal
tersebut karena SH merasa kasihan jika MK berjalan di
dalam rumah, walaupun permukaannya datar tetap saja
MK merasa sakit pada telapak kakinya saat berjalan,
sehingga MK harus menggunakan alas kaki, dan SH
82
akhirnya membelikan sandal untuk digunakan oleh MK
didalam rumah.
AA memberikan barang berupa kasur kepada SN,
sebelumnya SN tidur hanya menggunakan kasur
palembang, namun saat kasur palembang tersebut sudah
tidak layak, dan kondisi SN baru saja terkena penyakit
kusta akhirnya AA berinisiatif untuk membelikan kasur
baru untuk SN, sehingga SN merasa nyaman saat
beristirahat. AA memberikan barang berupa motor dari
sepeninggalan almarhum suaminya yang diberikan
kepada SN, motor tersebut digunakan saat AA ingin
pergi ke pasar, sehingga meminta bantuan kepada SN
untuk mengantarkannya. SN baru diizinkan kembali
menggunkanan motor setelah menjalani pengobatan
selama kurang lebih enam bulan, karena AA merasa
tidak tenang jika SN pergi menggunakan motornya pada
awal menderita kusta. AA juga memberikan rokok
kepada SN, terkadang SN dapat membelinya sendiri
menggunakan uang tabungannya, namun seringkali saat
AA pergi kepasar, AA akan menanyakan terlebih dahulu
apakah SN ingin dibelikan rokok atau tidak, ketika
memang rokok tersebut masih ada maka AA tidak akan
membelikannya. AA juga memberikan barang yaitu
sepasang sandal yang dapat digunakan oleh SN didalam
rumahnya, karena jika SN berjalan maka telapak kakinya
merasa sakit dan nyeri sehingga harus menggunakan
sandal saat didalam rumah.
3) Pemberian Makan
83
SH selalu menyiapkan makan untuk MK dengan
cara ditaruh dimeja makan, sehingga nantinya MK akan
mengambil makannya sendiri. SH selama satu bulan
menyuapi MK dikarenakan MK tidak dapat makan
sendiri karena hampir seluruh tubuhnya bengkak dan
merasa nyeri pada tangannya sehingga untuk memegang
sendok saja MK tidak bisa dan harus disuapi oleh SH. SH
selalu memberikan makan sebanyak tiga kali dalam
sehari, dan terdapat buah serta sayur didalamnya. SH
selalu menanyakan kepada MK sedang ingin masakan
apa, agar nantinya SH dapat memasaknya. MK sering
meminta adanya tempe goreng dan telur dadar, namun
untuk sayuran MK tidak meminta sayur apa yang
diinginkannya. SH selalu memenuhi kebutuhan dari MK
seperti membelikan paket internet selama satu bulan
sekali. MK merasa tercukupi untuk pemenuhan
kebutuhan dirinya.
AA setiap hari menyiapkan makanan untuk SN. SN
dapat makan sendiri tidak perlu dibantu oleh AA. AA
memberikan makan sebanyak dua sampai tiga kali sehari,
terkadang dipagi hari tidak disiapkan makanan untuk SN.
AA akan menaruh makanan untuk SN di meja makan
ataupun didapur. Setiap memasak, AA selalu terdapat
sayur, dimana sayur sop adalah salah satu yang sering
dimasak oleh AA dan buah-buahan yaitu pisang ataupun
pepaya, agar kondisi fisik SN selalu sehat. AA selalu
menanyakan kepada SN untuk dimasakkan apa, sehingga
AA berharap ketika makanan yang dinginkan oleh SN
84
terpenuhi maka SN akan lahap makan, namun SN tidak
menginginkan suatu masakan, sehingga apa yang
dimasak oleh AA maka tetap saja akan dimakannya. SN
juga tidak banyak meminta untuk dimasakkan sesuatu.
4) Pemberian Pelayanan
SH selalu memberikan pelayanan kepada anaknya
yaitu MK. Tidak hanya SH yang memberikan pelayanan
kepada MK, seluruh anggota keluarga yaitu ayah, kakak
dan adik MK juga memberikan pelayanan kepada MK. SH
selalu menemani MK, saat MK ingin berpergian keluar
rumah, hal itu dilakukan oleh SH agar MK tetap merasa
aman. Saat SH ingin membeli kebutuhan bahan masakan
di pasar, ayah dari MK yang menjaga MK dirumah, dapat
dikatakan MK selalu tidak ditinggal sendiri dirumahnya,
jika memang SH dan suaminya ingin pergi maka ada
saudaranya yang akan menemani MK di rumahnya. SH
selalu membantu MK dalam mencuci pakaian dan
merapikan pakaian, sampai saat ini walaupun MK sudah
selesai masa pengobatan dan dapat dikatakan sembuh
namun SH tetap membantu MK untuk mencuci
pakaiannya.
AA selalu memberikan pelayanan kepada anaknya
yaitu SN. Pada awal terkena penyakit kusta AA selalu
menemani SN baik itu saat dirumah maupun saat ingin
berpergian keluar rumah seperti contohnya untuk datang
ke Puskesmas untuk mengambil obat, hal itu dilakukan
karena AA merasa takut akan adanya omongan negatif
85
kepada SN mengenai kondisi fisiknya sehingga AA selalu
ingin menemani SN untuk berpergian agar SN tetap
terlindungi, namun seiring berjalannya waktu SN
meminta agar AA tidak lagi menemani SN jika SN ingin
mengambil obat ke Puskesmas maupun saat berpergian
keluar rumah. Karena memang itu yang diminta oleh SN,
akhirnya AA mengikuti kemauannya dan sampai saat ini
jika memang AA ingin berkebun maka SN tidak ada yang
menemani dirumahnya dan saat SN ingin keluar rumah,
SN akan pergi sendiri tidak ditemani oleh AA. AA selalu
membantu SN untuk mencuci pakaiannya, namun
informa AA hanya membantu dalam mencucinya saja
sehingga yang akan menjemur pakaian-pakaian tersebut
adalah SN.
Dukungan instrumental yang diberikan oleh kepala
keluarga kepada para penderita kusta berupa pemenuhan
kebutuhan sehari-hari yaitu pemberian uang, pemberian
barang, pemberian makan, dan pemberian pelayanan.
Para penderita kusta sangat membutuhkan adanya
dukungan instrumental dari kepala keluarga terutama
orangtua, karena penderita kusta yang masuk dalam masa
dewasa muda harus kehilangan pekerjaannya karena
penyakit kusta, sehingga penderita kusta tidak memiliki
pengahsilan yang dapat digunakan bagi dirinya sehigga
memerlukan adanya dukungan instrumental yang
diberikan oleh kepala keluarga untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari. Smet (1994) menjelaskan
86
bahwa dukungan instrumental mencakup bantuan materi
untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Berikut penulis
paparkan tabel pemberian dukungan instrumental bagi
penderita kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan
Harjamukti, Kota Cirebon.
Tabel 4.4.3
Tabel Kategorisasi Respon Dukungan Instrumental
Dukungan
Instrumental MK SN
Pemberian
Uang
Diberikan dari orang
tua
Diberikan dari
saudaranya
Diberikan dari orang tua
Diberikan dari saudaranya
Pemberian
Barang
Kasur
Sandal
Smartphone
Rokok
Kasur
Sandal
Smartphone
Motor
Pemberian
Makan
3 kali sehari
Kepala keluarga
memberikan makanan
yang diminta oleh
penderita kusta (tempe,
telur dadar, ayam
goreng dan sayuran)
2 kali sehari
Kepala keluarga
memberikan makanan
yang diminta oleh
penderita kusta (tempe,
telur dadar, ayam goreng
dan sayuran)
87
Pemberian
Pelayanan
Kepala keluarga selalu
menemani penderita
kusta saat dirumah
maupun saat keluar
rumah
Kepala keluarga selalu
menemani penderita
kusta dalam menjalani
pengobatan
Kepala keluarga selalu
menemani penderita kusta
dalam menjalani
pengobatan
Kepala keluarga memiliki peran utama dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi penderita kusta.
Kebutuhan dalam bentuk uang, pemberian barang,
pemberian makan, dan pemberian pelayanan menjadi
kebutuhan primer bagi setiap orang tidak terkecuali para
penderita kusta. Para penderita kusta yang dapat
dikatakan sebagai orang yang rentan sangat memerlukan
kebutuhan primer untuk melanjutkan kehidupannya.
Menurut Friedman 1998 (dalam Sulastri, 2017)
menjelaskan bahwa dukungan sosial keluarga dapat
dipengaruhi oleh adanya kelas sosial ekonomi keluarga.
Kelas sosial dalam hal ini meliputi tingkat pendapatan,
pekerjaan dan pendidikan. Penjelasan tersebut penulis
jumpai saat berada di lapangan. Keluarga yang status
ekonominya rendah terkadang tidak memenuhi
kebutuhan yang diperlukan oleh penderita kusta,
berbeda dengan keluarga yang status ekonomi menengah,
mereka selalu memenuhi kebutuhan penderita kusta.
Pemenuhan kebutuhan penderita kusta berupa
pemberian uang, pemberian barang, pemberian makan,
88
dan pemberian pelayanan selalu dipenuhi oleh kepala
keluarga. Hasil temuan dilapangan tersebut sesuai
dengan penjelasan menurut Sarafino (2006) yang
menjelaskan bahwa, kebutuhan fisik memiliki pengaruh
terhadap dukungan sosial, kebutuhan yang dimaksud
antara lain pemberian uang, pemberian barang,
pemberian makan, dan pemberian pelayanan. Jika
seseorang terpenuhi kebutuhan fisiknya maka orang
tersebut dapat dikatakan mendapatkan dukungan sosial.
Pemberian uang dari kepala keluarga kepada penderita
kusta pada saat penderita kusta membutuhkannya, tidak
setiap hari diberikan uang oleh kepala keluarga, dan
penderita kusta juga selalu menabung sendiri uang-uang
yang diberikan dari saudaranya, sehingga jika
menginginkan sesuatu penderita kusta tidak perlu
meminta banyak uang dari kepala keluarga terutama
orangtuanya. Namun dalam pemberian makan terdapat
keluarga yang hanya memberikan kebutuhan makan
yaitu dua kali dalam sehari. Kepala keluarga tidak
menyiapkan sarapan bagi penderita kusta. Penderita
kusta merasa tercukupi dalam pemenuhan kebutuhan
materi yang diberikan oleh kepala keluarga. Kepala
keluarga selalu menyiapkan buah dan sayur dalam
pemenuhan kebutuhan makan bagi penderita kusta.
Kepala keluarga selalu menanyakan terlebih dahulu
kepada penderita kusta ingin dimasakkan makanan apa.
Namun ada pula kepala keluarga yang tidak menanyakan
kepada penderita kusta ingin dimasakkan makanan apa,
89
sehingga penderita kusta makan makanan yang sudah
disajikan oleh kepala keluarga. Dalam pemberian uang,
kepala keluarga memberikan uang kepada penderita
kusta ketika penderita kusta sedang membutuhkan uang
seperti untuk membeli paket internet maupun rokok
dengan kata lain pemberian uang dari kepala keluarga
kepada penderita kusta adalah sesuai kebutuhan
penderita kusta. Pemberian uang kebanyakan dari
orangtuanya namun ada pula penderita kusta yang
diberikan uang dari saudara maupun anak-anaknya.
Pemberian barang kepada penderita kusta dari kepala
keluarga yaitu rokok, motor, sandal, kasur, smartphone,
pemberian barang kepada penderita kusta dari kepala
keluarga dimaksudkan agar penderita kusta tidak merasa
jenuh jika terus menerus berada dirumahnya. Pemberian
dukungan instrumental kepada penderita kusta tidak
hanya dari orang tua saja melainkan ada juga dari
saudaranya, hal ini berkaitan dengan teori menurut
Wentzel (dalam Apollo & Cahyadi, 2012) yang
menjelaskan bahwa sumber-sumber dukungan sosial
adalah orang-orang yang memiliki hubungan yang berarti
bagi individu, seperti keluarga, saudara, teman maupun
pasangan hidup. Dalam pemberian dukungan
instrumental berupa uang, penderita kusta mendapatkan
bantuan keuangan dari keluarga dan saudaranya.
90
d. Dukungan Informasional
Bentuk dukungan ini yaitu mencakup pemberian
informasi (bantuan medis) dan pemberian saran
mengenai kondisi individu serta apa yang dapat
dilakukannya. Kepala keluarga memberikan dukungan
informatif kepada penderita kusta agar penderita kusta
dapat disembuhkan dan diberikan solusi mengenai
pengobatannya serta mendapatkan saran yang terbaik
dari keluarganya.
1) Pemberian Informasi Bantuan Medis
Pada awal gejala penyakit kusta MK hanya bersikap
biasa saja. MK hanya menanyakan kepada SH mengenai
penyakitnya. Pada awal gejala yaitu adanya perubahan
kulit seperti timbulnya panu akan tetapi saat diraba oleh
SH ternyata mati rasa, tidak merasakan sentuhan. SH
menanyakan kondisi MK kepada tetangganya.
Tetangganya menyuruh MK untuk berobat ke Puskesmas
agar dapat mengetahui penyakit apa yang diderita oleh
MK. SH akhirnya membawa MK untuk berobat ke
Puskesmas, setelah dilakukan pengecekan dan uji
laboratorium ternyata MK terkena penyakit kusta. Pihak
Puskesmas memberikan obat dan informasi mengenai
penyakit kusta. Obat yang harus diminum yaitu selama
satu tahun. Pada awal meminum obat terjadi reaksi
dimana tubuh dari MK membengkak. MK didiagnosis
terkena penyakit kusta pada tahun 2018. Walaupun sudah
mendapatkan informasi dari pihak Puskesmas mengenai
91
penyakit kusta, akan tetapi SH masih ingin mencari
informasi lebih mendalam mengenai penyakit yang
diderita oleh MK. SH mencari informasi mengenai
penyakit kusta dari internet. MK dan SH masih sulit
mendapatkan informasi mengenai penyakit kusta karena
masih banyak orang yang belum paham mengenai
penyakit kusta, dan jarak dari rumah MK ke Puskesmas
yang jaraknya cukup jauh. Namun setiap melakukan
Posyandu, dari pihak Puskesmas juga selalu mampir
untuk melihat perkembangan pengobatan MK. MK selalu
diantarkan oleh SH untuk berobat ke Puskesmas. SH
selalu mengingatkan kepada MK untuk terus minum obat
agar MK cepat sehat kembali. Terkadang SH mengambil
obat untuk MK sendirian ke Puskesmas. MK dan SH
merasa sangat terbantu oleh pihak Puskesmas yang sudah
memberikan pengobatan kepada MK sehingga untuk saat
ini MK sudah selesai dalam proses pengobatan dan sudah
dinyatakan sehat.
SN pada gejala awal terkena penyakit kusta yaitu
timbulnya pola-pola seperti panu namun tidak merasakan
gatal, sehingga SN belum memberi tahu kepada AA
mengenai penyakit yang dideritanya. SN terkena gejala
awal penyakit kusta pada tahun 2016. SN hanya membeli
obat panu yang dijual di apotek. Setelah hampir dua
minggu setelah menggunakan obat tersebut ternyata pola-
pola yang seperti panu tidak hilang, akan tetapi
bertambah lebar dan muncul pola-pola baru dibagian
tubuh lainnya. Setelah muncul pola baru pada bagian
92
tubuh lainnya, SN merasakan mati rasa dan kaku pada
bagian tubuh tertentu. SN akhirnya memberitahu
mengenai penyakit yang dirasakannya kepada AA. AA
hanya menanyakan kepada tetangganya untuk
mendapatkan informasi dan meminta saran untuk
penyembuhan SN. SN juga menanyakan keluhan yang
dirasakannya kepada teman-temannya. Namun teman-
teman dari SN hanya menyuruhnya berobat ke
Puskesmas. AA mendapatkan saran dari tetangganya
untuk membawa SN ke salah satu tempat terapi. SN
kurang lebih menjalankan terapi selama empat bulan,
yang dilakukan sebanyak satu minggu sekali. SN
diberikan ramuan dari tempat terapi tersebut yang harus
diminum setiap hari. SN tidak melanjutkan terapi tersebut
karena keterbatasan biaya. Selama menjalani terapi tidak
membawa hasil yang baik bagi kesembuhannya. SN
akhirnya berobat ke dokter kulit dan dokter kulit sudah
mendiagnosis bahwa SN terkena penyakit kusta dan
obatnya dapat diambil di Puskesmas yang dekat dengan
rumahnya. Namun SN masih belum puas atas diagnosisa
yang diberikan oleh dokter, akhirnya SN memutuskan
untuk datang ke Puskesmas ditemani oleh AA. Setelah
menanyakan mengenai kondisi fisiknya SN didiagnosis
terkena penyakit kusta oleh pihak Puskesmas dan harus
menjalani pengobatan yaitu minum obat selama dua
tahun. AA selalu mendampingi SN untuk mengambil
obat di Puskesmas, akan tetapi jika AA tidak bisa
mengambil obat maka SN sendiri yang mengambil obat di
Puskesmas menggunakan motor. AA selalu
93
mengingatkan SN untuk minum obat agar SN lekas pulih
dari penyakitnya. AA dan SN merasa sangat terbantu oleh
pihak Puskesmas yang sudah memberi pelayanan
pengobatan kepada SN. Sehingga untuk saat ini SN
sudah selesai dalam proses pengobatan dan sudah
dinyatakan sembuh. Namun terdapat perubahan pada
bagian hidung yang disebabkan karena kurang cepatnya
penanganan SN saat merasakan gejala awal, sehingga
pada akhirnya terjadi perubahan pada hidung SN yang
tidak bisa disembuhkan.
2) Pemberian Saran
SH selalu memberikan saran kepada MK jika MK
sedang kebingungan dalam melakukan atau memilih
sesuatu. Akan tetapi MK terkadang tidak meminta saran
kepada SH. MK tidak mau terbuka untuk menceritakan
apa yang MK rasakan sehingga SH tidak dapat
memberikan saran. SH selalu mengajak MK untuk
berbincang berdua agar SH dapat mengetahui apa yang
sedang MK rasakan, sehingga SH dapat memberikan
saran kepada MK. MK merasa sangat senang dan juga ada
perasaan terharu jika SH memberikan saran ataupun
arahan untuk kelanjutan hidup MK. SH memberikan
arahan kepada MK untuk tetap dirumah dahulu, tidak
berpergian jauh. Saat MK sudah pulih dan sudah sembuh
dari masa pengobatan SH memperbolehkan MK untuk
kemana pergi kemana saja.
94
SN mendapatkan saran dari AA dalam segala hal,
seperti saat menjalani pengobatan maupun memberikan
saran untuk berhenti bekerja dahulu. AA menyarankan
untuk menjalani pengobatan di dokter kulit, dan di
Puskesmas. SN jika sedang meminta saran hanya
meminta kepada AA yaitu ibunya, SN jarang sekali
meminta saran kepada kakaknya. SN sangat senang jika
AA memberikan saran atau arahan kepada SN. SN merasa
sangat senang jika mendapatkan saran dari AA karena
saran tersebut sangat berguna demi kesembuhan SN.
Sehingga tidak patah semangat dalam melanjutkan
hidupnya.
Bentuk dukungan informatif yaitu berupa informasi
bantuan medis dan pemberian saran. Penderita kusta
membutuhkan adanya dukungan informatif dari kepala
keluarga karena penderita kusta sangat memerlukan
informasi mengenai bantuan medis mengenai penyakit
yang dideritanya, dan penderita kusta sangat
membutuhkan dukungan informatif dari kepala keluarga
terutama orangtua dalam pemberian saran kepada
penderita kusta, terutama pemberian saran untuk
pengobatan, agar penderita kusta lekas sembuh dan
pemberian saran bagi penderita kusta untuk mencari
pekerjaan baru, karena penderita kusta tidak melanjutkan
pekerjaannya pada saat didiagnosis terkena penyakit
kusta sekaligus terjadi perubahan pada kondisi fisiknya.
Smet (1994) menjelaskan bahwa dukungan informatif
yaitu mencakup pemberian informasi dan pemberian
95
saran yang dibutuhkan oleh individu tersebut. Berikut
penulis paparkan tabel pemberian dukungan informatif
bagi penderita kusta di Kelurahan Argasunya, Kecamatan
Harjamukti, Kota Cirebon.
Tabel Kategorisasi Respon Dukungan Informatif
Dukungan
Informatif MK SN
Pemberian
Informasi
Bantuan
Medis
Keluarga masih belum
memahami mengenai
penyakit kusta
Membawa penderita kusta
untuk berobat ke
Puskesmas
Keluarga masih belum
memahami mengenai
penyakit kusta
Membawa penderita kusta
ke terapi
Membawa penderita kusta
untuk berobat ke Puskesmas
Pemberian
saran
Memberikan saran
untuk pengobatan
penderita kusta
Memberikan saran untuk
pengobatan penderita kusta
Memberikan saran agar
mencari pekerjaan baru
Di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti,
Kota Cirebon masih banyak yang belum mengetahui
bagaimana gejala awal penyakit kusta. Gejala awal seperti
timbulnya pola seperti panu pada tubuh penderita kusta
dianggap hanya gatal-gatal biasa, sehingga mereka hanya
menyarankan untuk diobati menggunakan salep untuk
gatal-gatal biasa. Dengan menggunakan salep, para
96
pendertita kusta dan kepala keluarga beranggapan
nantinya akan sembuh, namun hal itu akan bertambah
parah ketika penderita kusta tidak ditangani oleh tim
medis dari Puskesmas, sehingga makin lama tidak diobati
ke Puskesmas akan berdampak pada perubahan fisik
penderita kusta tersebut. Kasus tersebut ditemui oleh
penulis dilapangan, dimana terdapat yang tidak
langsung berobat ke Puskesmas untuk menanyakan
penyakitnya, tersebut akhirnya datang ketempat terapi
namun tidak ada perubahan positif pada fisiknya. Para
penderita kusta dan kepala keluarga ketika sudah tidak
sanggup untuk menjalani pengobatan tradisional, terapi
atau meminum obat herbal baru akan ke Puskesmas.
Sehingga saat ke Puskesmas akhirnya sudah terjadi
perubahan-perubahan pada fisik yang mengalami
kecacatan. Goetlib 1983 (dalam Sari, 2014) menyatakan
bahwa terdapat dua macam dukungan sosial, yaitu
pertama hubungan profesional yang bersumber dari
orang-orang yang ahli pada bidangnya seperti konselor,
psikiater, psikolog dan dokter. Kedua hubungan non
profesional yag bersumber dari orang-orang terdekat
seperti keluarga dan teman. Keluarga menjadi sumber
utama dalam pemberian dukungan sosial, namun dalam
kasus penderita kusta hubungan profesional juga sangat
diperlukan seperti berobat ke dokter atau ke petugas
Puskesmas yang menangani penyakit kusta. Oleh karena
itu saat terjadi gejala awal, keluarga dapat membantu
penderita kusta untuk berobat ke Puskesmas agar tidak
terjadi kecacatan pada fisik penderita kusta, karena
97
semakin lama pengobatan maka akan semakin parah
penyakit kusta tersebut pada tubuh penderita.
Kepala keluarga selalu memberikan saran untuk
penderita kusta ketika sedang merasa kebingunan dalam
menentukan pilihan. Pemberian saran tersebut sering
diberikan dalam proses pengobatan penderita kusta.
Berobat ke Puskesmas merupakan saran yang diberikan
dari kepala keluarga kepada penderita kusta. Kepala
keluarga juga memberikan saran kepada penderita kusta
mengenai apa yang dapat dilakukan untuk melanjutkan
hidupnya, baik itu dalam mencari mata pencaharian baru,
maupun menyarankan untuk tidak berpergian jauh ketika
dalam proses pengobatan. Menurut Mappiare, 1983
(dalam Listyandini, 2016) menjelaskan bahwa seseorang
yang memasuki usia dewasa, maka orang tersebut
diharuskan untuk mengikuti tatanan sosial yang ada pada
lingkungan masyarakat, sebagai contohnya seseorang
dituntut untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan
hidup dan mengurus dirinya secara mandiri sekaligus
membentuk keluarga (berumah tangga). Hasil temuan
dilapangan sejalan dengan pendapat tersebut, dimana
penderita kusta diberikan saran oleh keluarganya
terutama orangtua untuk mencari pekerjaan baru agar
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan membantu
ekonomi keluarganya.
Dengan diberikannya dukungan informatif dari
keluarga maupun dari petugas Puskesmas kepada
penderita kusta akan memiliki manfaat yaitu dapat
98
menyembuhkan penyakit kusta karena sudah ditangani
oleh petugas Puskesmas dan manfaat lainnya yaitu
penderita kusta yang sudah sembuh akan dapat
melaksanakan tugas, peran dan fungsinya seperti yang
dijelaskan oleh Achilis (dalam Widiasih, 2015) yang
menjelaskan bahwa kebersungsian sosial dipandang
sebagai kemampuan dalam melaksanakan peranan sosial.
Berkaitan dengan itu maka penderita kusta yang sudah
mendapatkan bantuan medis dan sudah dinyatakan
sembuh maka dapat melaksanakan tugas, peran dan
fungsinya sehingga penderita kusta tersebut dapat
mengembalikan keberfungsian sosialnya
99
PENUTUP
Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan gambaran mengenai pemberian dukungan
sosial keluarga yang diberikan dari kepala keluarga
terutama orang tua kepada para penderita kusta yang
masuk dalam usia dewasa muda di Kelurahan
Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Dari
hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dijelaskan
pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan mengenai
pemberian dukungan sosial keluarga kepadapara
penderita kusta adalah sebagai berikut:
Dukungan Emosional
Dalam pemberian dukungan emosional kepala
keluarga terutama orangtua selalu memberikan
dukungan emosional kepada anaknya yang menderita
kusta, karena penderita kusta merupakan orang yang
rentan sehingga sangat membutuhkan adanya rasa
nyaman, rasa dicintai dan rasa dipedulikan oleh orang-
orang terdekatnya yaitu kepala keluarga terutama
orangtuanya, hal ini dikarenakan penderita yang masuk
dalam masa dewasa muda masih belum memiliki
pasangan hidup sehingga penderita kusta mendapatkan
100
perasaan dicintai dari orangtuanya, sehingga dengan
diberikannya dukungan emosional kepada penderita
kusta maka penderita kusta akan merasa dipedulikan
serta dapat mengontrol emosi pada dirinya. Penderita
kusta merasa nyaman berada dirumahnya karena saat
orang lain menjauh dari penderita kusta namun keluarga
penderita kusta semakin dekat ditambah suasana rumah
yang tenang sehingga penderita kusta merasa nyaman
saat dirumahnya.
Terdapat hambatan saat kepala keluarga memberikan
dukungan emosional kepada penderita kusta. Hambatan
yang terjadi yaitu emosi penderita kusta yang tidak stabil,
hal ini dikarenakan adanya perubahan fisik pada
penderita kusta yang tidak dapat disembuhkan serta
adanya stigma negatif dari masyarakat yang membuat
emosi penderita kusta tidak stabil. Hambatan lain yaitu
penderita kusta yang tidak terbuka kepada keluarga saat
terdapat suatu masalah, sehingga keluarga harus
memahami betul bagaimana kondisi penderita kusta itu
sendiri.
Dukungan Penghargaan
Dalam proses pemberian dukungan penghargaan dari
kepala keluarga pada penderita kusta dalam bentuk
pemberian motivasi, pemberian penghargaan positif
berupa “Reward” dan perbandingan positif dengan
individu lain. Penderita kusta membutuhkan adanya
dukungan penghargaan dari kepala keluarga karena
101
penderita kusta memiliki kepercayaan diri yang rendah,
mereka merasa malu atas penyakit yang dideritanya,
ditambah adanya perubahan fisik yang terjadi sehingga
penderita kusta tidak percaya diri untuk keluar rumah.
Sehingga bagi penderita kusta dukungan penghargaan
sangat dibutuhkan untuk mengembalikan rasa percaya
dirinya. Penderita kusta memiliki tingkat kepercayaan
diri yang rendah sehingga mereka sangat membutuhkan
adanya motivasi dan semangat dari kepala keluarga agar
rasa kepercayaan diri penderita kusta dapat kembali.
Pemberian motivasi biasanya diberikan oleh kepala
keluarga pada penderita kusta biasanya saat kumpul
bersama keluarga, keluarga memberikan semangat
kepada penderita kusta dalam menjalani kehidupannya.
Kepala keluarga memberikan penghargaan positif berupa
“Reward” dengan memberikan makanan ringan, rokok,
maupun uang saat penderita kusta dapat membantu
keluarganya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah
seperti menyapu, mencuci piring maupun mengantarkan
ibunya ke pasar.
Dalam hal ini terdapat hambatan dimana masih ada
keluarga yang menganggap penderita kusta merupakan
orang yang masih sakit walaupun penderita kusta itu
sendiri sudah dinyatakan sembuh dan selesai dalam masa
pengobatan, hal ini menjadi salah satu hambatan karena
pada akhirnya keluarga selalu membatasi aktivitas
penderita kusta.
102
Dukungan Instrumental
Dalam proses pemberian dukungan instrumental,
kepala keluarga selalu memenuhi kebutuhan sehari-hari
penderita kusta. Pemenuhan kebutuhan tersebut berupa
pemberian uang, pemberian barang, pemberian makan,
dan pemberian pelayanan. Penderita kusta sangat
membutuhkan adanya dukungan instrumental dari
kepala keluarga, karena penderita kusta yang masuk
dalam masa dewasa muda harus kehilangan
pekerjaannya karena penyakit kusta, sehingga penderita
kusta tidak memiliki pengahsilan yang dapat digunakan
bagi dirinya sehigga memerlukan adanya dukungan
instrumental yang diberikan oleh kepala keluarga untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Penderita
kusta mendapatkan bantuan keuangan dari orang tua dan
saudaranya, kepala keluarga akan memberikan bantuan
keuangan ketika penderita kusta ingin membeli sesuatu.
Pemberian barang kepada penderita kusta dari kepala
keluarga berupa rokok, kasur, smartphone, motor, dan
lain sebagainya, pemberian barang tersebut agar
penderita kusta merasa tidak jenuh saat berada dirumah.
Pemberian makan kepada penderita kusta dari kepala
keluarga yaitu diberikan makan sebanyak dua sampai tiga
kali dalam sehari. Kepala keluarga selalu menanyakan
terlebih dahulu kepada penderita kusta ingin dimasakkan
makanan apa, sehingga kepala keluarga mengharapkan
agar penderita kusta akan lahap pada saat makan.
103
Pemberian pelayanan kepada penderita kusta dari
kepala keluarga yaitu kepala keluarga selalu menemani
penderita kusta saat keluar rumah, walaupun orangtua
memiliki maksud yang baik untuk terus menemani saat
penderita kusta pergi keluar rumah, namun
bagaimanapun penderita kusta sudah masuk dalam masa
dewasa muda yang seharusnya hidup mandiri, sehingga
orangtua tidak perlu menemani secara terus menerus saat
penderita kusta pergi, hal ini menjadi salah satu hambatan
yang terdapat pada pemberian dukungan instrumental.
Dukungan informatif
Dalam proses pemberian dukungan informatif dari
kepala keluarga pada penderita kusta yaitu kepala
keluarga memberikan informasi mengenai bantuan medis
dan memberikan saran. Penderita kusta membutuhkan
adanya dukungan informatif dari kepala keluarga karena
penderita kusta sangat memerlukan informasi mengenai
bantuan medis mengenai penyakit yang dideritanya, dan
penderita kusta sangat membutuhkan dukungan
informatif dari kepala keluarga dalam pemberian saran
kepada penderita kusta, yaitu pemberian saran untuk
pengobatan, agar penderita kusta lekas sembuh dan
pemberian saran bagi penderita kusta untuk mencari
pekerjaan baru, karena penderita kusta tidak melanjutkan
pekerjaannya pada saat didiagnosis terkena penyakit
kusta sekaligus terjadi perubahan pada kondisi fisiknya.
104
Kepala keluarga selalu membantu penderita kusta dalam
mencari informasi mengenai bantuan medis demi
penyembuhan penyakitnya. Minimnya pengetahuan
mengenai penyakit kusta membuat keluarga menjadi
kebingungan dalam mengobati penderita kusta. Keluarga
tidak langsung membawa penderita kusta untuk berobat
ke Puskesmas, melainkan membawa penderita kusta
untuk melakukan terapi. Saat keluarga sudah merasa
lelah dan kehabisan biaya untuk mengobati penderita
kusta yang tak kunjung sembuh akhirnya kepala keluarga
membawa penderita kusta untuk berobat ke Puskesmas.
Sehingga saat datang ke Puskesmas sudah terjadi
perubahan fisik akibat penyakit kusta yang
penanganannya tidak langsung dibawa oleh kepala
keluarga ke Puskesmas. Kepala keluarga selalu
memberikan saran kepada penderita kusta kepada
penderita kusta agar penderita kusta dapat mencari
pekerjaan baru.
Hambatan yang terdapat pada pemberian dukungan
informatif yaitu masih minimnya pengetahuan mengenai
penyakit kusta sehingga penderita kusta tidak langsung
dibawa ke Puskesmas melainkan dibawa ke tempat terapi.
Hambatan lain dari pemberian dukungan informatif yaitu
penderita kusta yang seringkali menolak untuk berobat ke
Puskesmas, hal ini dikarenakan penderita kusta yang
beranggapan bahwa saat gejala awal penyakit kusta
terjadi, gejala awal tersebut adalah penyakit yang biasa-
biasa saja tidak perlu berobat ke Puskesmas.
105
Temuan lain dilapangan yaitu tidak hanya kepala
keluarga yang memberikan dukungan sosial kepada
penderita kusta akan tetapi penderita kusta juga
mendapatkan dukungan sosial dari pihak Puskesmas
yang berperan penting terhadap kesembuhan para
penderita kusta. Pihak Puskesmas memberikan motivasi
dan semangat pada penderita kusta yang sedang dalam
masa pengobatan, pihak Puskesmas selama satu bulan
sekali akan memantau setiap penderita kusta yang ada,
hal ini bertujuan agar pihak Puskesmas dapat mengetahui
sejauh mana kesembuhan penderita kusta. Temuan lain
dilapangan yaitu tidak adanya komunitas khusus bagi
penderita kusta sehingga belum adanya wadah bagi
penderita kusta untuk saling berkumpul dan berinteraksi
dengan penderita kusta lain yang dapat bertukar
informasi satu sama lain. Di Kota Cirebon sendiri hanya
terdapat kelompok bagi penderita ODHA saja, sehingga
untuk kelompok penderita kusta masih belum ada dan
penderita kusta tidak memiliki wadah untuk berkumpul
dengan penderita kusta lainnya.
Hal-hal yang dapat ditidaklanjuti, sehubungan
dengan keterbatasan dan kelemahan selamat
pengumpulan data dan informasi berkenaan dengan
penulisan buku ini:
Kajian ini lebih banyak membahas mengenai
dukungan keluarga yang diberikan oleh kepala
keluarga. Akan lebih baik lagi jika ditindaklanjuti
dengan informasi dengan anggota lain seutuhnya.
106
Sehingga akan diperoleh gambaran komprehensif
mengenai dukungan keluarga.
Kajian mengenai penderita kusta ini hanya
menggambarkan salah satu kelompok dewasa
muda. Sehingga di masa mendatang dapat
diperluas pada penderita kusta kelompok usai
lainnya.
Selain itu perlu pula diketahui bagaimana
sebenarnya standar minimal pelayanan yang
seharusnya diperoleh oleh pemerlu pelayanan
kesejahteran sosial dalam hal ini penderita kusta.
Rekomendasi
1. Saran pada kepala keluarga yang anaknya terkena
penyakit kusta:
Kepala keluarga tidak perlu memberikan
dukungan keluarga secara berlebihan kepada
penderita kusta, seperti selalu menemani penderita
saat keluar rumah, karena penderita kusta sudah
menjalani masa pengobatan dan sudah dinyatakan
sembuh, disisilain penderita kusta sudah masuk
dalam masa dewasa muda yang seharusnya dapat
hidup mandiri.
Kepala keluarga dapat membawa penderita kusta
langsung berobat ke Puskesmas, karena obat untuk
penderita kusta sudah disediakan oleh pihak
107
Puskesmas sehingga tidak perlu berobat ke terapi
yang tidak membuat penderita kusta semakin
membaik akan tetapi semakin parah sehingga
terdapat perubahan fisik.
Kepala keluarga seharusnya menganggap
penderita kusta adalah orang yang sehat, karena
penderita kusta yang sudah selesai menjalani
pengobatan sudah dapat dikatakan sehat kembali,
sehingga orangtua tidak perlu menganggap bahwa
penderita kusta adalah orang yang masih sakit,
karena pada akhirnya penderita kusta akan
mengaggap dirinya adalah orang yang masih sakit
dan masih sangat memerlukan bantuan dari
orangtua dalam melakukan aktivitasnya.
2. Saran pada penderita kusta yang masuk dalam masa
dewasa muda:
Bagi penderita kusta dapat lebih mempercayai
bantuan medis dari pihak Puskesmas, karena
penyakit kusta akan sembuh jika berobat ke
Puskesmas dan meminum obat yang sudah
disiapkan karena obat tersebut sesuai dengan
anjuran WHO, karena pada saat datang ke tempat
terapi, penyakit kusta tidak akan sembuh akan
tetapi semakin parah sehingga membuat
perubahan fisik pada penderitanya.
108
Penderita kusta dapat memandang dirinya adalah
orang yang sehat, yang sudah dapat kembali
melakukan aktivitasnya, karena saat penderita
kusta memandang dirinya sakit maka penderita
kusta akan terus membutuhkan bantuan dari
kepala keluarga dalam melakukan aktivitasnya.
3. Saran kepada masyarakat:
Tokoh masyarakat dapat terlibat dalam
mengurangi maupun menghapus stigma negatif
kepada penderita kusta dengan cara memberikan
edukasi kepada masyarakat lain mengenai
penyakit kusta agar tidak memberikan stigama
negatif kepada penderita kusta saat berada
ditempat umum contohnya di Puskesmas, karena
hal tersebut membuat penderita kusta merasa tidak
nyaman sehingga memunculkan emosi kepada
penderita kusta, dan dapat membuat penderita
kusta tidak percaya diri
Alternatif Rencana Kegiatan bagi Keluarga
Penderita Kusta
Rancangan kegiatan merupakan alternatif yang
diharapkan dapat dijadikan bahan pemikiran dalam
upaya meningkatkan keberfungsian sosial penderita
kusta. Plan of Treatment yang dibuat dalam sebuah
rencana kegiatan, yang berjudul Program Penguatan
109
Kapasitas Keluarga Terhadap Anggota Keluarga yang
Menderita Kusta.
A. Nama Kegiatan
“Penguatan Kapasitas Keluarga Terhadap
Anggota Keluarga yang Menderita Kusta”
B. Latar Belakang
Kepala keluarga yang anaknya menderita penyakit
kusta seharusnya memiliki informasi yang mendalam
mengenai penyakit kusta , namun keadaan dilapangan
masih banyak kepala keluarga yang belum mengetahui
apa penyebab dan cara penanganan penyakit kusta
sehingga pada akhirnya hanya dibawa ketempat terapi
sehingga penyakit tersebut semakin parah. Hasil temuan
dilapangan memperlihatkan bagaimana kepala keluarga
memberikan dukungan keluarga kepada anaknya yang
menderita kusta, namun dalam memberikan dukungan
keluarga masih terdapat kepala keluarga yang dapat
dikatakan berlebihan dalam memberikan dukungan
keluarga sehingga berpengaruh pada kemandirian
penderita kusta, dimana penderita kusta yang sudah
sembuh seharusnya dapat mandiri dalam menjalankan
aktivitasnya, namun terdapat keluarga yang memberikan
dukungan keluarga secara berlebihan sehingga membuat
penderita kusta dimanjakan. Dengan menggunakan
pendekatan family based service atau layanan berbasis
keluarga yang menjelaskan bahwa pendekatan berbasis
110
keluarga menganggap bahwa keluarga merupakan sistem
sosial dimana tindakan dan interaksi anggota keluarga
tidak terpisah satu dengan yang lain, maka keluarga harus
memiliki kepasitas dalam menangani anggota keluarga
yang menderita kusta sehingga dapat memberikan
dukungan keluarga sesuai dengan apa yang dibutuhkan
oleh penderita kusta. Dengan adanya penguatan
kapasitas keluarga ini diharapkan kepala keluarga dapat
lebih memahami bagaimana pemberian dukungan
keluarga yang baik kepada penderita kusta yang sudah
masuk dalam masa dewasa muda dan kepala keluarga
diharapkan mendapatkan informasi mengenai penyakit
kusta seperti penyebab, cara penularan dan cara
pengobatan penyakit kusta.
C. Tujuan Kegiatan
1. Memberikan informasi kepada kepala keluarga
terutama orangtua mengenai gejala awal penyakit
kusta, penyebab penyakit kusta, penularan
penyakit kusta dan proses pengobatan penyakit
kusta.
2. Meningkatkan pemahaman dalam memberikan
dukungan keluarga bagi penderita kusta yang
sudah masuk dalam masa dewasa muda sehingga
tidak memberikan dukungan keluarga secara
berlebihan agar penderita kusta lebih mandiri.
111
3. Meningkatkan kesadaran untuk menjalankan
PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat) disekitar
rumah, sehingga terhindar dari penyakit.
D. Sasaran Kegiatan
Sasaran dari kegiatan ini adalah keluarga yang
terdapat anggota keluarganya menderita kusta di
Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota
Cirebon.
E. Bentuk dan Materi Kegiatan
Bentuk kegiatan yang dirancang dalam kegiatan ini
adalah sebagai berikut:
1. Pada tahap pertama yaitu penyampaian materi
mengenai penyakit kusta, seperti gejala awal
penyakit kusta, penyebab penyakit kusta,
penularan penyakit kusta dan proses pengobatan
penyakit kusta, sehingga keluarga dapat
memahami penyakit kusta itu sendiri.
2. Pada tahap kedua yaitu memberikan informasi
mengenai pentingnya pemberian dukungan
keluarga mulai dari pemberian dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan
intrumental dan dukungan informatif, serta
menjelaskan bagaimana cara pemberian dukungan
keluarga agar tidak berlebihan kepada penderita
112
kusta yang sudah masuk dalam masa dewasa
muda sehingga penderita kusta dapat lebih
mandiri. Materi tentang hubungan dukungan
keluarga terhadap penyembuhan penderita kusta.
3. Materi mengenai cara pandang masyarakat
terhadap penderita kusta sehingga tidak
memberikan stigma negatif pada penderita kusta.
F. Pelaksana Kegiatan
Adapun pihak-pihak yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan kegiatan adalah:
1. Sistem Klien : Keluarga yang memiliki anak
penderita kusta
2. Sistem Sasaran : Penderita kusta
3. Sistem Kegiatan : Tokoh masyarakat
4. Sistem Pelaksana Perubahan : Pekerja Sosial
dan tenaga medis dari pihak Puskesmas
G. Model Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan cara
memberikan pertanyaan kepada keluarga yang
terdapat anggota keluarganya menderita kusta,
sehingga dapat dilihat sejauh mana keluarga tersebut
sudah memahami mengenai penyakit kusta seperti
penyebab penyakit kusta dan cara pengobatan
113
penyakit kusta, serta melihat sejauh mana
pemahaman keluarga mengenai pemberian
dukungan keluarga kepada penderita kusta mulai
dari pemberian dukungan emosional, pemberian
dukungan penghargaan, pemberian dukungan
instrumental dan pemberian dukungan informatif,
hal itu dimaksud agar pemberian dukungan keluarga
yang diberikan oleh kepala keluarga terutama
orangtua tidak berlebihan sehingga membuat
penderita kusta menjadi mandiri.
H. Hasil yang Diharapkan (Output)
1. Kepala keluarga terutama orang tua dapat
memahami secara luas mengenai penyakit kusta.
2. Kepala keluarga dapat memahami bagaimana cara
pemberian dukungan keluarga bagi penderita
kusta yang baik dan tidak berlebihan.
3. Keluarga dapat lebih sadar mengenai pentingnya
pola hidup sehat sehingga dapat terhindar dari
penyakit.
114
DAFTAR PUSTAKA
Adi, I. R. (2013). Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial,
Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan).
Jakarta: Rajawali Pers.
Agus Yunita, S. U. (2016). PERAN KELUARGA DALAM
PEMBINAAN BUDI PEKERTI ANAK USIA
SEKOLAH DASAR. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Pendidikan Kewarganegaraan , 1-12.
Agusti Nala Sari, R. G. (2013). Hubungan Pengetahuan
dan Sikap Keluarga dengan Tingkat Kecacatan
pada Penderita Kusta di Kabupaten Padang
Pariaman. Jurnal FK, 1-8.
Andranita, M. (2008). PERBEDAAN FOKUS KARIR
ANTARA PEKERJA DEWASA MUDA YANG
PINDAH KERJA DAN TIDAK PINDAH KERJA
DI JAKARTA.
Apollo, A. C. (2012). Konflik Peran Ganda Perempuan
Menikah yang Bekerja Ditinjau dari Dukungan
keluarga. Widya Warta.
ARIYANTA, F. (2013). HUBUNGAN ANTARA
DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KONSEP
DIRI PENDERITA KUSTA DI DESA BANGKLEAN
KABUPATEN DIRI PENDERITA KUSTA DI DESA
BANGKLEAN KABUPATEN. Surakarta:
Universitas Muhamadiyah Surakarta.
115
Defi Indriani, I. S. (2016). DUKUNGAN SOSIAL DAN
KONFLIK PERAN GANDA TERHADAP
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS KARYAWATI.
Jurnal Psikologis, 1-9.
Defi Indriani, I. S. (2016). DUKUNGAN SOSIAL DAN
KONFLIK PERAN GANDA TERHADAP
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS KARYAWATI
PT. SC ENTERPRISES SEMARANG. 1-9.
Fadilah, S. Z. (2013). HUBUNGAN DUKUNGAN
KELUARGA DENGAN DEPRESI PENDERITA
KUSTA DI DUA WILAYAH TERTINGGI KUSTA
DI KABUPATEN JEMBER. Jember: Universitas
Jember.
Fahrudin, A. (2012). PENGANTAR KESEJAHTERAAN
SOSIAL. Bandung: refika ADITAMA.
Fahrudin, A. (2014). REALITAS KEHIDUPAN SEHARI-
HARI PENDERITA KUSTA. Jurnal Kesehatan, 1-15.
Ganesha Efka Putri Wibriani Soenoe, I. F. ( 2017). BERI
AKU KESEMPATAN Studi Fenomenologis
Pengalaman Penyesuaian Diri pada Penderita
Kusta setelah Kembali ke Lingkungan
Masyarakat. Jurnal Empati,, 1-5.
Hendra Nugraha, S. T. (2016). HAK ANAK PADA
KELUARGA TENAGA KERJA WANITA (TKW).
Jatinangor: UNPAD Press.
116
Ignatia Widyanita Vania, K. S. (t.thn.). HUBUNGAN
ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING CAREGIVER
PENDERITA GANGGUAN SKIZOFRENIA. Jurnal
Psikologi, 1-13.
INFODATIN. (2018). Hapuskan Stigma dan Diskriminasi
Penyakit Kusta.
Iradati, A. A. (2018). DUKUNGAN KELUARGA
TERHADAP ANAK DENGAN DYSLEXIA .
Jatinangor: UNPAD.
J.Pecora, P. (1996). Evaluating Family - Based Service.
ResearchGate, 1-57.
Kristianto, K. D. (2014). REPRESENTASI FUNGSI
KELUARGA. Jurnal E-Komunikasi, 1-5.
KURNIAWATI, L. D. (2015). FAKTOR - FAKTOR YANG
BERPENGARUH TERHADAP PERILAKU
KEPALA KELUARGA DALAM
PEMANFAATAN JAMBAN DI PEMUKIMAN
KAMPUNG NELAYAN TAMBAK LOROK
SEMARANG.
Listyandini, R. A. (2016). Gambaran Tingkat
Kesejahteraan Psikologis Penyandang Tunanetra
Dewasa Muda. Jurnal Mediapsi, 1 -10.
MAHARANI, P. J. (2010). KONSEP DIRI MANTAN
PENDERITA KUSTA DI WISMA REHABILITASI
SOSIAL KATOLIK (WIRESKAT) BLORA.
117
Semarang : Universitas Katolik Soegijapranata
Semarang.
Muta’afi, F. (2013). KONSTRUKSI SOSIAL
MASYARAKAT TERHADAP PENDERITA
KUSTA. 1-7.
Nelson, K. E. (1990). Family-Based Services for Juvenile
Offenders. Children and Youth Services Riview, 1-20.
Norhalim, M. (2019). KEBERFUNGSIAN SOSIAL
PENYANDANG DISABILITAS TUNADAKSA
PASCA PEMANFAATAN MODIFIKASI MOTOR
RODA TIGA DI KOMUNITAS DIFABEL MOTOR
COMMUNITY CIPUTAT TIMUR. Jakarta:
SKRIPSI.
Raharjo, I. d. (2016). Perspektif Kekuatan dalam
Pekerjaan Sosial. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, 1-
10.
Rahayu, D. A. (2011). DUKUNGAN PSIKOSOSIAL
KELUARGA PENDERITA KUSTA DI
KABUPATEN PEKALONGAN. 1-9.
Risdayani, H. B. (2016). ANALISIS KUALITATIF PERAN
KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA
KELUARGA YANG MENDERITA PENYAKIT
TUBERKULOSIS. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat, 1-16.
118
Rustanto, B. (2015). PENELITIAN KUALITATIF
PEKERJAAN SOSIAL. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sari, S. Z. (2014). HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL
ORANGTUA, TEMAN DAN DOSEN
PEMBIMBING SKRIPSI DENGAN
PROKRASTINASI AKADEMIK DALAM
MENGERJAKAN SKRIPSI PADA MAHASISWA.
Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang.
Sarafino. (1994). Health Psychology. USA: John
Wiley&Sons.
Sartika Dewi Lestari, A. ,. (2012). Hubungan Dukungan
Keluarga Dengan Harga Diri Penderita Kusta
Rawat Jalan di Rumah Sakit Rehatta Donorojo
Jepara. 1-7.
Silalahi, R. A. (2018). DUKUNGAN KELUARGA
TERHADAP RESILIENSI INDIVIDU
PENYANDANG TUNA DAKSA. Jatinangor:
UNPAD.
Siregar, R. (2005). Atlat Berwarna Saripati Penyakit Kulit.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: Gramedia
Widiasarana.
Sugiyono. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Kualitatif dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
119
Sulastri, A. (2017). Dukungan keluarga Terhadap Penderita
Stroke. Jatinangor: UNPAD.
Sulastri, A. (2017). DUKUNGAN KELUARGA
TERHADAP PENDERITA STROKE . Jatinangor:
UNPAD.
Widiasih, R. (2016). KEBERFUNGSIAN SOSIAL ALUMNI
BALAI PERLINDUNGAN DAN REHABILITASI
SOSIAL WANITA YOGYAKARTA (BPRSW)
PENERIMA PROGRAM SERTIFIKAT TAHUN
2013-2015. Yogyakarta: UIN Yogyakarta.
Widyastuti, R. J. (2015). PENGARUH SELF EFFICACY
DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP
KEMANTAPAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
KARIR SISWA. 1-8.
Yadi Putra, M. T. (2017). Pengalaman Keluarga Dalam
Memberikan Dukungan Keluarga Pada Penderita
Kusta. Jurnal Ilmu Keperawatan, 1-14.
Zulkifli. (2003). Penyakit Kusta dan Masalah yang
Ditimbulkannya. Jurnal Kesehatan, 1-8.
120
LAMPIRAN DOKUMENTASI
121
122
Perubahan fisik yang terjadi pada penderita kusta di
Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota
Cirebon pada bagian kaki dan tangan
123
Terdapat bercak merah pada bagian wajah penderita
kusta
124
125
126
127
Tempat tinggal keluarga penderita kusta di Kelurahan
Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon
128
129
Puskesmas Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota
Cirebon
130
BIODATA PENULIS
Safri Sholehuddin, S.Kesos lahir di Kota Cirebon, Jawa Barat
pada 28 Mei 1998. Penulis lahir dari orang tua Hery Fajari dan Siti Rukayah sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Penulis
menempuh pendidikan dimulai dari TK Pertiwi 2 (lulus tahun 2004). Melanjutkan pendidikan di SDN Pangrango (lulus tahun 2010). Melanjutkan pendidikan di SMPN 4 Kota Cirebon (lulus tahun 2013), dan SMAN 1 Kota Cirebon (lulus tahun 2016). Tahun
2016 diterima di Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran. Penulis
juga aktif di dunia organisasi, penulis terlibat secara aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Kesejahteraan Sosial dan kepanitiaan yang ada di Fakultas. Dengan ketekunan,
motivasi tinggi untuk terus belajar dan berusaha, penulis telah berhasil menyelesaikan
studi di Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial dalam waktu 3,5 tahun,
Soni A. Nulhaqim, adalah Dosen Departemen Kesejahteraan
Sosial FISIP Unpad. Beliau Lahir di Garut, 04 Februari 1968, Agama : Islam, Pekerjaan : Dosen Jurusan Kesejahteraan Sosial
FISIP Unpad. Alamat Kantor : FISIP Unpad, Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor, Tlp. (022) 7796416 / Fax. (022)
7796974. Alamat Rumah : Komplek Borromeus - ST Yusup Blok C No 40 Cinunuk Bandung 30373, (022) 7830162 / HP.
O81322312268 Email: [email protected] dan [email protected]. Pendidikan SD, SMP, SLTA diselesaikan
di Bandung. Pendidikan Sarjana (S-1) Kesejahteraan Sosial Fisip Unpad, Lulus tahun 1993; Magister Sosiologi Kekhususan Kesejahteraan Sosial Pascasarjana
Universitas Indonesia, lulus tahun 2000; Doktor dalam Program Studi Ilmu Sosial Bidang
Kajian Utama Sosiologi-Antropologi Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Lulus tahun 2007, dengan judul Disertasi tentang Manajeman kolaborasi Konflik. Kepakaran beliau :
Kesejahteraan sosial/Pekerjaan Sosial dengan kajian Resolusi Konflik; Lanjut Usia serta Pemberdayaan Masyarakat, & Manajemen Pelayanan Manusia. Pengalaman pekerjaan
organisasi beliau sangat banyak, diantaranya Dosen Non Organik SESKOAD, tahun 2001 –
131
2006; Dosen pascasarjana Universitas Padjadjaran tahun 2007 – sekarang; Dosen Luar
Biasa Program Pascasarjana Untag, tahun 2003 – sekarang; Pembantu Dekan III Fisip Unpad sejak tanggal 12 Januari 2006 sampai dengan 17 maret 2010; Staf Peneliti bidang
keahlian community development pada Pusat Penelitian Perencanaan Wilayah Kota ITB, tahun 1993 – 1995; Ketua II Konsorsium Pekerjaan Sosial Indonesia (KPSI) sejak 15
Desember 2016 sd saat ini; Pengarah Asosiasi Program Studi Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial di Indonesia,tahun 2016 s.d sekarang.
Pembantu Dekan I Fisip Unpad sejak tanggal 17 Maret 2010- 2015. Beliau pernah menjabat
sebagai Ketua Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia (IPPSI, melalui kongres VI di UIN Sunan Kalijaga, 11 april 2012) periode 2012 sd 2014; Wakil Ketua Ikatan Pendidikan
Pekerjaan Sosial Indonesia (IPPSI) Januari 2010–2012; Anggota Internasional Association of School Social Work (IASSW); Anggota Asia Pacific of Social Work Education (APASWE)
sejak tahun 2010 – sekarang; Ketua Tim Perumus AD/ART Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia pada Tanggal 16 -17 Maret 2011 di Universitas Airlangga Surabaya
Jatim; Ketua Tim Penyusun GBPP Mata kuliah Manajemen Organisasi Pelayanan Sosial untuk pendidikan Kesejahteraan Sosial di Indonesia 2011; Tim Perumus Mata Kuliah Inti
Pendidikan Kesejahteraan Sosial pada tahun 2010. Penelitian beliau Ketua Peneliti Penelitian Lanjutan tentang Model Resolusi Konflik Agraria Berbasis Komunitas Pada
Masyarakat Petani Tahun 2019. Hibah Simlitabmas. Kajian Efektivitas Anggaran Bantuan Sosial di dinas Sosial Kabupaten Bandung tahun 2019. Ketua Peneliti Model Resolusi Konflik
Agraria Berbasis Komunitas Pada Masyarakat Petani Tahun 2019. Ketua Peneliti
Monitoring dan Evaluasi Penerima Manfaat Bantuan Sosial di Dinas Sosial Kabupaten Bandung tahun 2019. Beberapa karya beliau Penulis pertama artikel tentang
Contemporary Social Problem: Agrarian Conflict pada jurnal Humanities & Social Sciences Reviews, tahun 2020 dengan penulis : Soni Akhmad Nulhaqim, Muhammad
Fedryansyah, Eva Nuriyah Hidayat, Dwi Astuti Wahyu Nurhayati. Scopus, Q1. Penulis Keempat artikel tentang Social Conflict in the Revitalisation Agenda for the Citarum Flood
Area, Tarumajaya Village, Kertasari SubDistrict, Bandung Regency di jurnal International Journal of Innovation, Creativity and Change, tahun 2020 dengan penulis : Neneng Widya
Amellia, Arry Bainus, Wawan Budi Darmawan, Soni A. Nulhaqim. Scopus Q1. Penulis kedua artikel tentang Indigenous Peoples, Empowerment and Self-Determination in Planning: A
Case Suku Anak Dalam in Indonesia, pada jurnal International Journal of Advanced Science
and Technology tahun 2020, dengan penulis : Suradi, Soni Akhmad Nulhaqim, Nandang Mulyana and Edi Suharto.Scopus Q3. Penulis kedua yang mewakili Indonesia dalam
Publikasi dalam bentuk buku yang ditulis oleh penulis dari 18 negara, dengan judul "SOCIAL WORK IN XXI CENTURY ST. Challenges for academic and professional training" yang
132
diterbitkan oleh Dykinson e-Book, Madrid, Spanyol Tahun 2018 dengan penulis Fentiny
Nugroho, Soni Akhmad Nulhaqim, Fitriyah. Penulis pertama dalam Prosiding International Seminar on Research for Social Justice (Challange and Possibilities) Tahun 2018 dengan
judul artikel "Social Interaction In Housing For The Community With Low-Income (Comparative Study On Residents of Residence of Rancaekek Kencana, Residence of Santo
Borromeus and Residence of Permata Hijau of Bandung Regency)" dengan penulis Soni Akhmad Nulhaqim, Maulana Irfan, Muhammad Fedryansyah, Wandi Adiansah.
SANTOSO TRI RAHARJO, lahir di Bandung Jumat 5 Februari 1971. Penulis beralamat di Puri Cipageran Indah I Blok A-277,
RT.01/RW.26 Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi. Alamat email: [email protected],
[email protected]. Riwayat pendidikan penulis
dimulai dari SDN Angkasa V Lanud Sulaiman Bandung lulus tahun 1984, SMPN 8 (SMPN 1) Margahayu Bandung lulus tahun tahun 1987,
SMAN 4 Bandung lulus tahun 1990. Pada tahun 1996 penulis menyelesaikan S-1 Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-Univeristas Padjadjaran, kemudian
melanjutkan studi S-2 Sosiologi Kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia lulus tahun 2003, dan pada tahun 2013 menyelesaikan studi S-3 Sosiologi
Universitas Padjadjaran. Riwayat pekerjaan penulis dimulai sejak tahun 1998 diterima menjadi staf pengajar Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Tahun 2007-2011 pernah
menjabat Kepala Laboratorium Kesejahteraan Sosial, dan sejak tahun 2011-2014 dipercaya sebagai sekretaris Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD. Kemudian di tahun
2014-2015 mengembah amanah menjadi Koordinator Program Studi Sarjana Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD. Tahun 2016-2017 menjabat Wakil Dekan I Bidang
Akademik Kemahasiswaan Kerjasama dan Inovasi. Selain itu penulis juga aktif sebagai
anggota Dewan Pembina di LSM Bahana Karya Insani. Saat ini Penulis menjabat Kepala Pusat Studi (Pusdi) CSR, Kewirausahaan Sosial & Pengembangan Masyarakat FISIP Unpad.
Pernah memperoleh penghargaan ‘Satyalencana Kesetiaan 10 tahun’ dari Presiden RI tahun 2012. Beberapa karya penulis lainnya antara lain ‘No Nganggur No Cry’, tahun 2009
(menulis bersama), Penerbit Oase Bandung; ‘Dasar-dasar Pekerjaan Sosial’, tahun 2010 (menulis bersama), Penerbit: Mitra Padjadjaran Bandung; ‘Social Enterprise, Social Entrepreneurship, and Corporate Social Responsibility’, tahun 2011 (menulis bersama), Penerbit Mitra Padjadjaran; ‘Relasi Dinamis Antara Perusahaan dengan Masyarakat Lokal’,
tahun 2013 Penerbit Unpad Press; ‘Pengantar Pekerjaan Sosial’(menulis bersama), tahun
133
2015, Unpad Press. ‘Dasar Pengetahuan Pekerjaan Sosial”, tahun 2015 Penerbit Unpad
Press. “Pekerjaan Sosial Generalis, Suatu Pengantar Bekerja Bersama Organisasi dan Komunitas”, tahun 2015 Penerbit Unpad Press. ‘Self Driving Learning System’: Model
Pembelajaran Terpadu, Mandiri dan Memandirikan, 2015 Penerbit Unpad Press
---------------------
9 7 8 - 6 2 3 - 2 9 7 0
978-623-297-002-1