KELOMPOK 3 EKOLOGI DAN POTENSI BENCANA PANTURA.pdf

11
EKOLOGI DAN POTENSI BENCANA DI WILAYAH PANTAI UTARA JAWA Disusun oleh: Ajeng Swariyanatar Putri (19310853) Nova Dwi Gandini (19310902) Nurina Yasin (19310903) 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah Pantai Utara Pulau Jawa dikenal melalui Jalur Pantura (Pantai Utara) yang merupakan jalan nasional sepanjang 1.316 km antara Merak hingga Ketapang, Banyuwangi di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, khususnya antara Jakarta dan Surabaya. Pada Oktober 2013, Dahlan Iskan yang merupakan menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) mencetuskan ide pembangunan jalan tol di atas laut Jakarta Surabaya. Salah satu alasannya adalah untuk mengimbangi pertumbuhan laju jumlah kendaraan. Untuk mengetahui kelayakan pembangunan tersebut maka akan dilakukan Feasibility Study yang ditargetkan memakan waktu enam bulan. Jalan tol tersebut diprediksi memiliki panjang 775 kilometer dengan investasi sebesar 150 triliun rupiah dan tol atas laut tersebut diproyeksikan akan dibangun di atas laut dan darat sepanjang Pantai Utara Jawa (http://dahlaniskan.net, 2013). Rencana pembangunan ini bertolak belakang dengan ekosistem di wilayah Pantura yang memiliki kondisi memprihatinkan, tidak hanya laut yang terdiri dari terumbu karang dan biota laut lainnya namun hutan mangrove pun tidak lagi tertanam rapi. Potensi bencana di sekitar Pantura pun begitu mengkhawatirkan, mulai dari banjir rob, abrasi pesisir pantai hingga pencemaran air sungai dan laut yang dilakukan oleh pabrik di sekitar Pantura. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PANTURA (PANTAI UTARA) Jalur Pantura (Jalur Pantai Utara) adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jalan nasional sepanjang 1.316 km antara Merak hingga Ketapang, Banyuwangi di

description

pantai utara, ekologi, potensi, jembatan, jalan tol, laut, bencana

Transcript of KELOMPOK 3 EKOLOGI DAN POTENSI BENCANA PANTURA.pdf

EKOLOGI DAN POTENSI BENCANA

DI WILAYAH PANTAI UTARA JAWA

Disusun oleh:

Ajeng Swariyanatar Putri (19310853)

Nova Dwi Gandini (19310902)

Nurina Yasin (19310903)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah Pantai Utara Pulau Jawa dikenal melalui Jalur Pantura (Pantai Utara) yang

merupakan jalan nasional sepanjang 1.316 km antara Merak hingga Ketapang,

Banyuwangi di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, khususnya antara Jakarta dan

Surabaya. Pada Oktober 2013, Dahlan Iskan yang merupakan menteri BUMN (Badan

Usaha Milik Negara) mencetuskan ide pembangunan jalan tol di atas laut Jakarta –

Surabaya. Salah satu alasannya adalah untuk mengimbangi pertumbuhan laju jumlah

kendaraan. Untuk mengetahui kelayakan pembangunan tersebut maka akan dilakukan

Feasibility Study yang ditargetkan memakan waktu enam bulan. Jalan tol tersebut

diprediksi memiliki panjang 775 kilometer dengan investasi sebesar 150 triliun rupiah

dan tol atas laut tersebut diproyeksikan akan dibangun di atas laut dan darat sepanjang

Pantai Utara Jawa (http://dahlaniskan.net, 2013).

Rencana pembangunan ini bertolak belakang dengan ekosistem di wilayah Pantura

yang memiliki kondisi memprihatinkan, tidak hanya laut yang terdiri dari terumbu

karang dan biota laut lainnya namun hutan mangrove pun tidak lagi tertanam rapi.

Potensi bencana di sekitar Pantura pun begitu mengkhawatirkan, mulai dari banjir rob,

abrasi pesisir pantai hingga pencemaran air sungai dan laut yang dilakukan oleh

pabrik di sekitar Pantura.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PANTURA (PANTAI UTARA)

Jalur Pantura (Jalur Pantai Utara) adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jalan

nasional sepanjang 1.316 km antara Merak hingga Ketapang, Banyuwangi di

sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, khususnya antara Jakarta dan Surabaya. Jalur ini

sebagian besar pertama kali dibuat oleh Daendels yang membangun Jalan Raya Pos

(De Grote Postweg) dari Anyer ke Panarukan pada tahun 1808-an. Tujuan

pembangunan Jalan Raya Pos adalah untuk mempertahankan pulau Jawa dari serbuan

Inggris. Pada era perang Napoleon, Belanda ditaklukkan oleh Perancis dan dalam

keadaan perang dengan Inggris.

Sumber: http://humaspdg.wordpress.com

Jalur Pantura melintasi 5 provinsi: Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,

dan Jawa Timur. Ujung paling barat terdapat Pelabuhan Merak, yang

menghubungkannya dengan Pelabuhan Bakauheni di Pulau Sumatra, ujung paling

selatan dari Jalan Trans Sumatera. Ujung paling timur terdapat Pelabuhan Ketapang

yang menghubungkannya dengan Pelabuhan Gilimanuk di Pulau Bali. Jalur Pantura

merupakan jalan yang menghubungkan bagian barat Pulau Jawa dan bagian timurnya.

Jalur Pantura melintasi sejumlah kota-kota besar dan sedang di Jawa, selain Jakarta,

antara lain Cilegon, Tangerang, Bekasi, Karawang, Cikampek, Subang, Indramayu,

Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Demak,

Kudus, Pati, Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo,

Situbondo, dan Banyuwangi.

2.2 EKOLOGI

Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan

sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi

antara makhluk hidup dan lingkungannya. Pembahasan ekologi tidak lepas dari

pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik

dan biotik.

Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan

faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan

mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi

makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling memengaruhi

dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.

3. PEMBAHASAN

3.1 Krisis Ekologi Kelautan

Dewasa ini, kondisi lingkungan laut dan pesisir semakin tambah mengkhawatir-kan.

Hampir di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) ekosistem terumbu karang dan

pohon-pohon bakau/mangrove atau tanaman pantai lainya yang dapat berfungsi

sebagai penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah. Dapat di pastikan,

setiap kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan ombak menerjang

rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi tanaman pantai

yang dapat menahan laju gelombang pasang. (http://lakspedamtuban.com, 2009).

Berikut merupakan beberapa krisis ekologi-kelautan Pantura:

a) Rusaknya Hutan Mangrove

Sumber: http://www.rimanews.com/sites

Hutan bakau merupakan ekosistem ideal yang berfungsi sebagai habitat dari

berbagai jenis fauna yang khas hidup di daerah pesisir. Pohon-pohon

bakau/mangrove atau tanaman pantai lainya yang dapat berfungsi sebagai

penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah. Dapat di pastikan, setiap

kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan ombak menerjang

rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi tanaman pantai

yang dapat menahan laju gelombang pasang. Runyamnya lagi, banyak kawasan

hutan bakau yang jadi gundul karena ulah para pemodal yang melakukan konversi

lahan, apakah untuk kepentingan industri, property ataupun bisnis pariwisata yang

sebenarnya menyalahi peraturan tata ruang kelautan daerah. Yang lebih aneh,

perbuatan tersebut justru malah dibiarkan oleh penguasa setempat karena dianggap

bisa menambah pemasukan bagi pihak-pihak yang memegang otoritas atau

menaikan angka pendapatan asli daerah (PAD).

b) Biota Laut

Kehidupan biota laut terancam punah dan ikan-ikan menjauh ke lepas pantai

sehingga tidak terjangkau oleh nelayan kecil. Ikan-ikan di laut Jawa ini sudah

menjauh ke lepas pantai yang susah dijangkau oleh para nelayan dengan perahu

kecil di samping itu juga seringnya gelombang tinggi terjadi di pantai sehingga

para nelayan ini takut melaut.

Untuk di daerah Pekalongan permasalahan terberat adalah pencemaran industri

batik yang zat pewarnanya langsung dialirkan sungai yang akhirnya masuk ke laut

sehingga biota laut di daerah Pekalongan secara perlahan-lahan tidak bisa

berkembang dan mati. Sedangkan untuk industri garam yang kebanyakan digarap

oleh masyarakat Jawa Tengah di sebelah timur di daerah Rembang tidak mungkin

ditutup, karena daerah tersebut adalah penyuplai garam yang tergolong besar di

Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian, kerang di sejumlah kawasan Pantai Utara (Pantura),

Jawa Tengah, terindikasi banyak mengadung logam berat. Kondisi itu disebabkan

pencemaran dari limbah industri dan rumah tangga. Seperti diketahui, seluruh

aktivitas masyarakat mengalirkan limbah tanpa melakukan pengolahan. Ita

Sulistyawati dari Lecturer Food Safety and Environment mengemukakan, kerang

yang hidup di muara sungai kawasan Pantura Jawa Tengah, rata-rata melebihi

ambang batas dari kandungan timbal dan cadmium. Beberapa lebih dari empat

sampai lima kali batas ambang yang diperbolehkan. Jadi, bisa dipastikan sebagian

besar kerang melebihi batas ambang. Jika dibandingkan dengan manusia, kerang

lebih resisten bisa melindungi dirinya dengan mengakumulasi logam berat. Kerang

mampu bertahan hidup meskipun kandungan logam beratnya lebih tinggi dari berat

tubuh atau dagingnya. Kerang tinggal di muara sungai, dan cara hidup kerang

memakan sedimen tanah dengan menyaring air di bagian dasar. Kerang menjadi

indikator biologis lingkungan jika terjadi pencemaran di muara sungai. Indikator

itu dapat dilihat dari kerang yang mampu menyimpan logam berat dalam jumlah

tinggi. Namun, kerang yang mengandung logam berat, dan tidak mengandung

logam berat, pada umumnya tidak bisa dilihat kasat mata

(http://indonesiamaritimeinstitute.com, 2012).

Tak hanya kerang, sebagian besar terumbu karang di pesisir pantai utara Jawa

Tengah dari Kabupaten Brebes hingga Kabupaten Pemalang telah musnah. “Kalau

pun ada itu masih sedikit hanya terumbu karang buatan yang baru dibuat belum

lama ini,” ujar Arif Hermawan, Kepala Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya

Kelautan dan Perikanan Tegalsari.

Sumber: http://www.tempo.co

Kondisi ini menimbulkan persoalan bagi nelayan yang makin kesulitan untuk

menangkap ikan. Musnahnya terumbu karang yang terjadi sejak sekitar tahun 1990

lalu ini akibat penggunaan alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan sehingga

merusak karang di dasar pantai (http://www.tempo.co/read/news/2010/

10/19/177285739/Sebagian-Besar-Terumbu-Karang-di-Pantai-Utara-Musnah).

c) Abrasi Pesisir Pantai

Menurut survei Kementerian Kelautan dan Perikanan, abrasi pesisir pantai terparah

terjadi di Pulau Jawa. Abrasi telah mengikis 10 meter dari bibir pantai dan hutan

mangrove yang berfungsi sebagai pelindung biota laut dan tempat peminjahan ikan

sudah hampir punah. Kerusakan Mangove di Pantura telah mencapai sekitar 67

persen.

Di Jawa Tengah yang wilayah pantainya sepanjang 325 km atau lebih 50 persen

panjang pantai Pantai Jawa sungguh mengkhawatirkan jika dibiarkan terus terjadi.

Sebelah barat Kabupaten Brebes dan Timur hingga Kabupaten Rembang pesisir

pantainya rusak berat akibat sampah dan limbah pabrik. Begitu juga pantai selatan

Jawa Tengah, hutan mangrove hanya terdapat di daerah Segara Anakan di

Kabupaten Cilacap. Selain di daerah Segara Anakan pohon mangrove tidak bisa

tumbuh karena selain tanahnya mengandung pasir juga ombaknya yang besar

sehingga mangrove susah tumbuh.

Kota Jepara merupakan daerah pesisir pantai yang berada di sebelah utara Jawa.

Keberadaan pesisir pantai Jepara terhampar dari kecamatan Kedung di ujung

selatan sampai kecamatan Keling di ujung utara Jepara. Sebagian daerah di dekat

pantai setiap tahun mengalami abrasi maksimal sampai 10 - 50 meter. Hal ini

terjadi di sepanjang pantai di kecamatan Kedung, yaitu desa Kedung Malang,

Surodadi, Panggung, Tanggul Telare, Semat, Teluk Awur. Desa diatas, batas

dengan pantai hanya beberapa puluh meter saja.

Jika hal ini terjadi selama kurun sepuluh tahun abrasi akan meningkat menjadi 100

- 500 meter, sehingga beberapa desa yang letaknya hanya beberapa puluh meter

dari bibir pantai akan hilang.

Menurut data yang didapat penulis dari berbagai sumber, Kerusakan pantai utara

(pantura) akibat abrasi di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, kian parah dan hingga

kini mencapai 610.527 meter persegi daratan hilang. Bahkan, kini air laut Jawa

telah menggerus Pulau Panjang, Jepara. Jika tak segera ditangani dalam beberapa

tahun lagi, pulau ini akan hilang.

Pemantauan kerusakan pantai akibat abrasi di Jepara tersebar pada lima kecamatan

yakni Kedung 97.179 meter persegi, Jepara Kota 73.742 meter persegi, Mlonggo

55.175 meter persegi, Kembang 5.589 meter persegi, dan Keling 378.842 meter

persegi. Ini merusakkan garis pantai sepanjang 15,3 kilometer (Media Indonesia,

2011).

d) Padat Tangkap

Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menilai ekosistem dan pantai di Kota

Cirebon khususnya dan pantura umumnya, sudah sangat kritis. Kondisinya sudah

padat tangkap dan mengkhawatirkan. Rumponisasi ( tempat tinggal atau tempat

berkumpulnya ikan yangg sengaja dibuat orang untuk memudahkan penangkapan

ikan) dan aturan tentang zonasi dianggap menjadi solusi persoalan tersebut.

Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap KKP, DR Lilik Supriadi APi MM

mengatakan, ekosistem di Kota Cirebon sudah mulai kritis dan padat tangkap.

“Sudah membahayakan ikan dan kehidupan laut. Perlu ada solusi aktif,” ujarnya

kepada Radar, kemarin.

Kondisi seperti itu, ujar Lilik, dapat dilihat dari hasil tangkapan ikan yang

menurun. Selain itu, ikan ukuran kecil dengan berat di bawah 1 ons, banyak yang

tertangkap. Termasuk pula, ikan hamil muda menunjukan masa reproduksi dan

regenerasi semakin cepat (http://radarcirebon.com).

3.2 POTENSI BENCANA WILAYAH PANTURA

Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada

pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia,

lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Kondisi tersebut sangat berpotensi

sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir

dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara

yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat

kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986).

Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan

hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup

ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan

dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan

kondisi tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat

buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah

longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Berikut ini merupakan beberapa potensi

bencana di wilayah Pantura:

a) Banjir Rob

Umumnya di seluruh Pantai Utara Jawa mempunyai curah hujan tinggi, sedangkan

di Pantai Selatan relatif bervariasi, dengan curah hujan tinggi di Jawa Barat dan

semakin ke timur semakin rendah.

Di Pantura, kondisi hidrologi dikontrol oleh aliran sungai-sungai dengan debit

aliran dan beban sedimen yang tinggi, khususnya pada musim penghujan, dan

kondisi airtanah pada umumnya berasa payau hingga asin, yang hampir merata di

seluruh satuan dataran pantai yang berlumpur (endapan aluvium). Kondisi

hidrologi seperti ini merupakan faktor penyebab bahaya banjir fluvial (saat musim

hujan) dan banjir rob (saat musim kemarau). Pantai Utara Jawa memililki

kerawanan lingkungan relatif rentan terhadap pencemaran perairan sungai akibat

limbah domestik (perkotaan) dan industri. Curah hujan yang tinggi pada daerah

hulu (hinterland), sedangkan daerah hilir (low land) berupa dataran dengan

material lempung dan sedimentasi yang intensif, dapat menyebabkan banjir

musiman dan genangan (http://ppejawa.com/ekoregion/dataran/).

Sumber: http://www.tempo.co

Banjir air laut pasang (rob) pernah merendam beberapa daerah pantura seperti

Pekalongan, Batang, Semarang, Demak, dan Jepara dengan ketinggian air 20 - 80

cm (http://www.sigapbencana-bansos.info/pantauan-media/10837-rob-setinggi-80-

cm-landa-pantai-utara-jawa-tengah.html, 2010).

b) Pembuangan Limbah Berbahaya

Perkembangan industri-manufaktur memang diakui telah mampu menjawab

persoalan kesejahteraan dan kesenjangan sosial, tetapi buah akibatnya ternyata

harus dibayar amat mahal karena berdampak negatif terhadap kelestarian

lingkungan.

Akselerasi pertumbuhan industi di kawasan daratan dan pesisir Pantai Utara telah

mengakibatkan gundulnya hutan mangrove disekitarnya. Ditambah pula

pembangunan pelabuhan industri terpadu, dan tempat-tempat wisata tepi pantai di

Kabupaten Gresik, Lamongan dan Tuban banyak mengahasilkan limbah buangan

yang mengakibatkan, pendangkalan sungai, sedimen laut dan semakin rusaknya

ekosistem terumbu karang (http://lakspedamtuban.com, 2009).

Pantura semakin parah kondisinya dengan melimpahnya limbah industri di

perairan tersebut. Sebelah barat Kabupaten Brebes dan Timur hingga Kabupaten

Rembang pesisir pantainya rusak berat akibat sampah dan limbah pabrik.

(http://www.antaranews.com/print/179854/).

Sementara itu, di wilayah DKI Jakarta rusaknya ekosistem laut di Pantai Utara

selain akibat aktivitas pelabuhan, industri dan limbah rumah tangga, juga karena

reklamasi pantai (http://indonesiamaritimeinstitute.com, 2012).

c) Gempa Bumi

Gempa bumi tektonik berskala 7,0 pada Skala Richter yang terjadi pada 9 Agustus

2012 dini hari di Laut Jawa (100 km timur Jakarta) tidak memberikan pengaruh

terhadap aktifitas gunung api sehingga saat ini status gunung api tetap 12 gunung

api berstatus Waspada dan 1 gunung api berstatus Siaga.

Demikian dijelaskan Kepala Badan Geologi, Bambang Dwiyanto, menyusul

terjadinya gempa bumi tektonik Kamis, dini hari tadi di pantai utara Laut Jawa.

Meskipun demikian, untuk mengantisipasi kemungkinan adanya peningkatan

aktifitas gunung api berkaitan dengan gempa bumi, Badan Geologi telah

menyiagakan Pengamat Gunung Api dalam radius 200 km dari sumber gempa

yaitu G. Papandayan, G. Guntur, G. Galunggung, G. Ciremai, G. Tangkuban

Perahu, G. Gede, G. Salak, G. Anak Krakatau (Lampung) dan G. Slamet (jawa

Tengah).

Gempa ini sendiri terjadi karena bergeraknya lempeng Australia yang menunjam di

bawah Lempeng Eurasia di bawah Pulau Jawa. Lempeng Australia bergerak ke

utara dengan kecepatan sekitar 58 mm/tahun. Pergerakan ini menyebabkan

terjadinya patahan naik di Palung Jawa.

Gempa dirasakan di wilayah Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Lampung dan Jawa

Tengah. Menurut hasil perhitungan USGS Amerika Serikat, gempa bumi di Jawa

Barat memiliki intensitas IV-V MMI, di Jawa Timur dan Bali sekitar III-IV MMI.

Menurut data dari BMG, kedalaman gempa mencapai 286 km sedangkan menurut

USGS, kedalaman gempa adalah 289,2 km. Gempa ini tidak menimbulkan tsunami

karena meskipun terjadi di laut namun pusat gempa sangat dalam sehingga kecil

kemungkinan menyebabkan dislokasi dasar laut (http://www.esdm.go.id/berita/42-

geologi/724-gempa-bumi-di-utara-laut-jawa-tidak-berpengaruh-terhadap-aktifitas-

gunung-api.html, 2012).

d) Penurunan Permukaan Tanah

Guru Besar Oseanografi Institut Teknologi Bandung (ITB) Profesor Safwan Hadi

menjelaskan Berdasarkan hasil penelitian, pada saat ini terjadi penurunan

permukaan tanah di Jakarta sebesar 12 centimeter per tahun karena beban

bangunan dan pengambilan air tanah. Dengan demikian, kata dia, diharapkan

kekhawatiran terhadap akan tenggelamnya ibukota Jakarta bisa diminimalisir atau

dihilangkan sama sekali. Dia mengatakan, berdasarkan hasil penelitian yang

dihimpun oleh ISOI pada 2100 seluruh wilayah di Jakarta terancam terendam air

dengan ketinggian antara 40 hingga 50 cm

(http://www.menkokesra.go.id/content/tahun-2050-jakarta-tenggelam, 2013).

Pantai Utara Jawa pada daerah hulu dan daerah hilir berupa dataran dengan

material lempung yang bersifat plastis dengan daya dukung rendah, sehingga

apabila terlalu besar mendapatkan beban di atasnya, dapat menyebabkan amblesan

(subsidence), yang dapat memicu kejadian banjir pasang (banjir rob).

Ahli Kelautan dan Pesisir Institut Pertanian Bogor (IPB), Alan Koropitan

menuturkan mulai dari Jakarta hingga Surabaya kawasan Pantura rentan terjadi

penurunan tanah. Selain karena kondisi alam yang rapuh juga pembangunannya

sudah melebihi daya dukung. Menurut Alan, di sepanjang pantai utara rata-rata

terjadi penurunan tanah 5-10 cm setiap tahunnya. Namun, yang terparah terjadi di

Jakarta yang mencapai 25 cm setiap tahun. Pembangunan yang terus dipacu, serta

penyedotan air tanah yang terus-menerus menjadikan tanah semakin rapuh

(http://indonesiamaritimeinstitute.com, 2012).

4. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

a) Kondisi ekologi di wilayah Pantura perlu direvitalisasi.

b) Pantura tidak memerlukan reklamasi karena hanya akan menambah bencana ekologis.

c) Di daerah pesisir pantai dan sekitarnya sebaiknya tidak terdapat bangunan besar karena

akan membuat penurunan muka tanah akibat beban bangunan dan pengambilan air dari

dalam tanah.

d) Pabrik-pabrik di sepanjang Pantura beresiko menjadi penyumbang terbesar limbah.

e) Pembangunan tol atas laut Jakarta – Surabaya sebaiknya tidak dilaksanakan karena

hanya akan semakin merusak ekosistem laut Pantura dan sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arnold, 1986 (http://dahlaniskan.net, 2013

(http://lakspedamtuban.com, 2009 http://humaspdg.wordpress.com

http://indonesiamaritimeinstitute.com, 2012 http://ppejawa.com/ekoregion/dataran/

http://radarcirebon.com

http://www.antaranews.com/print/179854/

http://www.esdm.go.id/berita/42-geologi/724-gempa-bumi-di-utara-laut-jawa-tidak-

berpengaruh-terhadap-aktifitas-gunung-api.html, 2012

http://www.menkokesra.go.id/content/tahun-2050-jakarta-tenggelam, 2013 http://www.rimanews.com/sites

http://www.sigapbencana-bansos.info/pantauan-media/10837-rob-setinggi-80-cm-landa-

pantai-utara-jawa-tengah.html, 2010

http://www.tempo.co/read/news/2010/ 10/19/177285739/Sebagian-Besar-Terumbu-Karang-

di-Pantai-Utara-Musnah Media Indonesia, 2011