Wasiat Mengikut Undang-Undang Islam &; Undang-Undang Brunei Darussalam
KEKUATAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS...
Transcript of KEKUATAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS...
KEKUATAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS MEREK
PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG
MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 658 K/ PDT. SUS/ 2012)
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
SKRIPSI
Oleh :
FARHAN FEBRIAJI
NIM : 11140480000062
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019M
i
KEKUATAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS MEREK
PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG
MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 658 K/ PDT. SUS/ 2012)
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
SKRIPSI
Oleh :
FARHAN FEBRIAJI
NIM : 11140480000062
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019M
v
ABSTRAK
FARHAN FEBRIAJI, NIM 11140480000062, “KEKUATAN HUKUM
TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS MEREK DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN
INDIKASI GEOGRAFIS (Analisis Putusan No. 658 K/ PDT. SUS/ 2012)”.
Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1440 H/2018 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kekuatan hukum
terhadap pemegang hak atas merek ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016, dalam kaitan sengketa merek “HOKOTEX” dan “NIKITEX”
Metode yang digunakan peneliti adalah metode penelitian yuridis normatif
dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach),
pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case
approach). Selanjutnya, ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan putusan Mahkamah Agung No. 658
K/ PDT. SUS/ 2012 yaitu sengketa antara Limong Latief sebagai pemilik merek
“HOKOTEX” (Termohon Kasasi/Penggugat) melawan Layndro Santoso sebagai
pemilik merek “NIKITEX” (Pemohon Kasasi/Tergugat).
Hasil penelitian menunjukan bahwa kekuatan hukum hak merek pendaftar
pertama dalam bentuk perlindungan hak eksklusif mereknya masih belum
ditegakkan dengan baik. Hal tersebut disimpulkan dari pertimbangan serta
putusan hakim pada putusan Mahkamah Agung No. 658 K/ PDT. SUS/ 2012 yang
dinilai tidak tepat
Kata Kunci : Kekuatan Hukum, Persamaan pada pokoknya, dan first to file.
Pembimbing : M. Yasir, SH., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1986 sampai 2017.
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم هللا الر
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, atas berkat rahmat,
hidayat dan juga anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Kekuatan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Merek Ditinjau dari
Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
(Analisis Putusan No. 658 K/ PDT. SUS/ 2012”. Sholawat serta salam tidak lupa
tercurah oleh penulis kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa umat manusia dari zaman jahiliah, kepada zaman islamiyah pada saat
ini
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini
tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak selama penyusunan skripsi ini.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para
pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas
pencampaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang
terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. M. Yasir, SH., M.H. pembimbing Skripsi peneliti, saya ucapkan banyak
terimakasih atas kesempatan waktu, arahan dan kritik serta saran yang
diberikan demi penelitian yang saya lakukan.
4. Kedua Orang Tua yang sangat dicintai dan disayangi penulis, Bapak Tri
Darminto dan Ibu Sihatun Afiyah yang selalu memberikan do’a, motivasi
serta dukungan baik moril maupun materil dalam kehidupan penulis. Dan tak
vii
lupa terimakasih kepada Aisyah atas semangat, dukungan, do’a, dan yang tak
pernah lelah mendengar keluh kesah penulis sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi kepustakaan, sehingga saya dapat memperoleh bahan referensi untuk
melengkapi hasil penelitian saya.
6. Pihak-pihak lain yang telah memberikan kontribusi kepada penulis dalam
menyelesaikan karya tulis ini.
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan balasan
atas bantuan yang telah diberikan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini, dan juga menjadi berkah dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi kita
semua. Amin.
Jakarta, 14 November 2018
Penulis,
Farhan Febriaji
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................................................v
KATA PENGANTAR .................................................................................................................. vi
DAFTAR ISI............................................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ...........................................1
C. Tujuan Penelitian ...............................................................................................5
D. Manfaat Penelitian .............................................................................................5
E. Metode Penelitian ..............................................................................................6
F. Sistematika Penulisan ........................................................................................9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual .......................................................................................11
B. Kerangka Teori ................................................................................................12
C. Tinjauan Umum Tentang Merek ......................................................................14
1. Pengertian Hak Merek ................................................................................14
2. Pengertian Hak Atas Merek ........................................................................19
3. Fungsi Merek ..............................................................................................22
4. Jenis Merek .................................................................................................22
5. Sistem Pendaftaran Merek ..........................................................................23
ix
6. Masa Berlaku Hak Merek ...........................................................................27
7. Komisi Banding Merek ..............................................................................28
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...............................................................29
BAB III PROFIL MAHKAMAH AGUNG, WEWENANG DAN PELAKSANAAN
PERADILAN DALAM MENANGANI KASASI
A. Sejarah Terbentuknya Mahkamah Agung (MA) ..............................................32
B. Profil Mahkamah Agung ..................................................................................38
C. Jumlah Hakim Agung & Struktur Organisasi Mahkamah Agung (MA) .........39
D. Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung ......................................................40
E. Pelaksanaan Peradilan dalam Menangani Kasasi .............................................44
BAB IV KEKUATAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK MEREK
A. Posisi Kasus .....................................................................................................47
B. Pertimbangan dan Putusan Hakim Mahkamah Agung ....................................48
C. Implementasi UU No. 20 Tahun 2016 Terhadap Sengketa No. 658 K/ PDT.
SUS/ 2012 ........................................................................................................50
D. Analisis Penulis ................................................................................................54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................................................59
B. Rekomendasi ....................................................................................................60
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses globalisasi membawa akibat tolak ukur utama hubungan antar bangsa
atau negara tidak lagi ideologi, melainkan ekonomi yakni keuntungan atau hasil
nyata apa yang dapat diperoleh dari adanya hubungan tersebut. Pengaruh luar
dapat cepat sekali masuk ke Indonesia sebagai implikasi terciptanya sistem
ekonomi yang terbuka. Aspek dari sistem ekonomi adalah masalah produk yang
pemasarannya tidak lagi terbatas pada satu negara melainkan juga mengglobal.
Hal ini menuntut standar kualitas dan persaingan yang fair, serta terhindarnya
produk industri palsu, berdasarkan pada kesepakatan-kesepakatan dunia
internasional.
Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar manusia
dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. HKI juga
merupakan sesuatu yang given dan inhern dalam sebuah masyarakat industri atau
yang sedang mengarah kesana1. Keberadaannya senantiasa mengikuti dinamika
perkembangan masyarakat itu sendiri. Begitu pula halnya dengan masyarakat dan
bangsa Indonesia yang mau tidak mau bersinggungan dan terlibat langsung dengan
masalah HKI.
Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam dua katageri
yaitu : Hak Cipta dan Hak kekayaan Industri2. Menurut Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2002 Tentang Hak Kekayaan Intelektual Pasal 1 Ayat (1) Hak Cipta
adalah hak ekslusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
1 Tim Lindsey, dkk, Hak Kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar) , (Bandung : PT. Alumni,
2006), h., 7.
2 Moerdiono, Hak Milik Intelektual dan Alih Teknologi, (Jakarta : Prisma, LP3ES, 1987), h.,
68.
2
memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sedangkan Hak Kekayaan Industri meliputi Paten, Merek, Desain
Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas
Tanaman. HKI telah diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan sesuai
dengan tuntutan TRIPs (Trade Related aspects of Intellectual Property Rights),
yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 (Perlidungan Varietas Tanaman) ,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 (Rahasia Dagang), Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2000 (Desain Industri), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000
(Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016
(Paten), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 (Merk dan Indikasi Geografis),
dan Undang-Undang Nomor 28 2014 (Hak Cipta). Undang-Undang Tentang
Merek ini lahir karena adanya kebutuhan untuk mengakui atau memberi
perlindungan terhadap para pelaku usaha atau pemegang hak merek demi
kepentingan manusia yang mulai dirasakan di Indonesia.
HKI terkait dengan kreativitas manusia, dan daya cipta manusia dalam
memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah hidupnya, baik dalam seni, ilmu
pengetahuan dan teknologi maupun produk unggulan suatu masyarakat. Oleh
karena itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi disertai dengan
eksistensi HKI sangat penting. Karena kegiatan penelitian ini tidak dapat
menghindar dari masalah HKI apabila menginginkan suatu penghormatan hak
maupun inovasi baru, dan orisinalitasnya.
Permasalahan mengenai Hak Kekayaan Intelektual akan menyentuh berbagai
aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya , dan berbagai aspek
lainnya. Aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya
intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai
permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual tersebut.
Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga
3
mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada
tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.
Di Indonesia, permasalahan merek merupakan permasalahan yang banyak
dijumpai dan menjadi sorotan masyarakat. Seperti pada perkara Nomor 80/ Merek/
2010/ PN. NIAGA.JKT.PST. dimana Toyota Jidoshi Kabushiki Kaisha sebagai
penggugat sedangkan Nio Teddy Siswanto berkedudukan sebagai Tergugat, bahwa
penggugat memiliki merk dagang yang bernama “LEXUS & Logo L” yang telah
terdaftar pula di Indonesia pada Direktorat Merek, Departemen Kehakiman R.I
pada tanggal 25 Mei 1992 dan diperbaharui dibawah no. 496.408 tanggal 25 mei
2002 telah digunakan oleh Tergugat dengan niat untuk membonceng pada
ketenaran Merek dagang Penggugat pada produk cat kaleng. Lalu pada perkara
Nomor 162 K/ Pdt. Sus-HKI/ 2014 antara H. Ali Khosin, SE sebagai penggugat
melawan PT. Gudang Garam, Tbk, dimana dalam sengketa tersebut tergugat
memiliki produk yang bernama Gudang baru dimana menurut pengadilan terbukti
telah mendaftarkan merek tersebut dengan itikad tidak baik karena ingin
membonceng ketenaran merek Gudang Garam milik penggugat yang sudah
terkenal.
Sengketa merk antara Layndro Santoso melawan seorang yang menyamarkan
kotak kemasan produk penjualan celana dalam pria yang bernama “Artex”. Dalam
sengketa tersebut, gugatan dilakukan oleh Layndro Santoso yang menganggap
bahwa Artex menyamarkan kotak kemasan produk penjualan celana dalam pria
yang khas yang menjadi ciri yang sama dasar warna hijau sebagaimana milik
Layndro Santoso. Dalam kasus tersebut berakhir di Peradilan Kasasi Mahkamah
Agung Nomor 658 K/ PDT.SUS/2012 dalam putusan MA dimenangkan oleh
Layndro Santoso sebagai pemilik hak cipta, itu bermakna “HOKOTEX”
melanggar hak cipta.
Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 658 K/PDT.SUS/2012 terdapat
permasalahan yang muncul meliputi : pertama, Putusan Mahkamah Agung yang
4
memenangkan Layndro Santoso kurang memberikan perlindungan hukum bagi
pemilik merk “Hokotex”. Padahal secara umum melanggar tentang merk dagang
dimana mempermasalahkan merk dagang pada pakaian dalam pria. Kedua,
terdapat dualisme atau kerancuan didalam putusan tersebut dimana hakim tidak
memperhatikan dari segi hak merek, karena pemegang atas nama Limong Latief
yang lebih dulu memiliki izin hak merek pada tahun 1996. Berdasarkan uraian
latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti masalah tentang kekuatan
hukum bagi pemegang dan pemilik merk dan menuangkan dalam bentuk skripsi
yang berjudul :
“KEKUATAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS MEREK
PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG
MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS (Analisis Putusan MA Nomor 658
K/ PDT. SUS/ 2012)”
Peneliti memberi judul tersebut, karena menurut peneliti judul tersebut telah
sesuai pada permasalahan yang telah diuraikan, yaitu tentang permasalahan merk
pakaian dalam pria dalam hal ini berkaitan dengan perlindungan hukum bagi
pemilik hak merk pada putusan Mahkamah Agung Nomor 658 K/ PDT.SUS/
2012.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang disampaikan, terdapat beberapa
persoalan yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pemegang hak
merek yang berpedoman kepada Undang-Undang Merek Nomor 20 Tahun
2016 yaitu :
a. Konsep kekuatan hukum di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
b. Pengaturan kekuatan hukum merek didalam putusan MA. 658 K/ PDT.
SUS/ 2012
5
c. Urgensi kekuatan hukum merek dalam putusan MA. 658 K/ PDT. SUS/
2012
d. Relevansi kekuatan hukum dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dalam putusan MA. 658 K/
PDT. SUS/ 2012
e. Perlindungan hukum terhadap pemegang merek sesuai putusan MA 658
K/ PDT. SUS/ 2012
2. Pembatasan masalah
Untuk mempermudah pembahasan agar tidak terlalu luas dan terarah,
penulis membatasi penilitian yang dilakukan dengan hanya membahas
bagaimana kekuatan hukum hak atas merek dalam kaitannya dengan kasus
sengketa merek antara merek “NIKITEX” dan “HOKOTEX” yang telah
diputus oleh Mahkamah Agung dalam putusan Nomor : 658 K/ PDT. SUS/
2012.
3. Perumusan Masalah
Adanya pelanggaran dalam sengketa Nomor 658 K/ PDT. SUS/ 2012,
yang dimenangkan oleh Layndro Santoso, dan dirasa peran Ditjen HKI
kurang memberikan perlindungan terhadap pemilik merek “Artex”. Yang
pada hakikatnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis, Yakni izin hak atas merek
dikesampingkan dan tidak dipertimbangkan oleh hakim pada sengketa Nomor
658 K/ PDT. SUS/ 2012. Dengan dimenangkan sengketa tersebut oleh
Layndro Santoso dan dikesampingkannya izin hak atas merek tersebut pada
sengketa Nomor 658 K/ PDT. SUS/ 2012. Maka dari itu dapat dijabarkan lagi
beberapa pertayaan penelitian yang ingin dikaji lebih lanjut dan mendalam,
yakni sebagai berikut :
6
1. Bagaimana kekuatan hukum hak atas merek pasca Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2016 Tentang merek dan indikasi geografis dalam
putusan Mahkamah Agung Nomor 658 K/ PDT. SUS/ 2012?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung
Nomor 658 K/ PDT. SUS/ 2012?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang perlindungan
hukum atas merek menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek, Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
a. Untuk mengetahui kekuatan hukum atas pemegang hak atas merek dalam
analisis putusan Mahkamah Agung Nomor 658 K/ PDT.SUS/ 2012
b. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah
Agung Nomor 658 K/ PDT. SUS/ 2012
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran penulis, dan
pengaplikasian teori-teori ilmu hukum yang telah dipelajari selama ini.
Disamping itu, sebagai acuan untuk pembelajaran dan pembuatan karya
ilmiah khususnya yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual terutama
tentang Merek.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai sumber
kajian bagi yang berkepentingan, terutama bagi praktisi hukum, dan juga
diharapkan dapat berguna sebagai jawaban dari berbagai persoalan yang
terjadi dalam lingkup merek.
7
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.
Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah
berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.3
1. Tipe Penelitian
Pada penelitian ini, metode yang digunakan penulis dalam adalah
penelitian normatif. Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
dengan pendekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah
penelitian yang dilakukan dengan mengacu pada norma hukum yang terdapat
pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-
norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang
berlaku di masyarakat.4
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (Statue Approach)5, dengan analisis kasus hukum dalam
skripsi ini tentang analisis putusan Mahkamah Agung Nomor 658 K/
PDT.SUS/2012 yang sudah pasti mengacu pada pendekatan tentang
perundang-undangan. Dalam penelitian ini juga menggunakan Pendekatan
Kasus (case approach), dipergunakan untuk menggambarkan dan menunjang
suatu pendapat atau dalil. Pendekatan ini digunakan untuk memecahkan suatu
3 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), h., 30.
4 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam
Penelitian Hukum. (Jakarta: Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979), h., 18.
5 Ronny Hanito Soemitro, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimentri, (Jakarta ; Ghalia
Indonesia, 1994), h., 11.
8
problematika melalui pengumpulan data dalam bentuk beberapa case yang
kongkret dan terperinci. Pendekatan Konsep (conceptual approach), yang
dimana untuk memahami konsep dalam skripsi ini dalam konsep-konsep hak
cipta terutama hak merek, sehingga tidak terjadi pelanggaran hak merek.
3. Sumber Hukum
Sumber pada penelitian ini antara lain mencakup bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, bahan non hukum/tersier.
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritati
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.6 Dalam penelitian ini
yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah:
1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak cipta
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis
Dan peraturan pemerintah yang terkait dengan hak merek
b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
dalam bidang perbankan dan perlindungan konsumen jasa keuangan
meliputi buku-buku teks, kamus hukum,jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas norma hukum
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan
bahanhukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat
berupa buku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi, Filsafat atau
laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi
6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, cet-IV 2010), h., 35.
9
dengmantopik penelitian. Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan
untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan ini, maka
penulis menggunakan prosedur pengumpulan bahan hukum dengan cara
studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisa
secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan
perundang- undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan
materi yang dibahas dalam skripsi ini.
5. Analisis Data
Adapun analisis data dalam penilitian diawali dengan penelitian studi
kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis
uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam
penulisan lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara
deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya bahan
hukum yang ada dianalisis untuk melihat pokok-pokok penting dalam
perlindungan hak merek selaku pemegang hak eksklusif terutama dalam
putusan Mahkamah Agung Nomor 658 K/ PDT.SUS/ 2012.
6. Teknis Penulisan
Teknik penulisan serta pedoman yang digunakan oleh penulis dalam
menyusun skripsi ini berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya
ilmiah dan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.
F. Sistematika Penulisan
Untuk menjelaskan skripsi ini secara menyeluruh ke dalam penulisan yang
sistematis dan terstruktur maka skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan
yang terdiri dari 5 (lima) bab sebagai berikut :
10
BAB I : Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, identifikasi,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Bab ini membahas uraian materi hasil penelitian kepustakaan yang
meliputi : kerangka konseptual, tinjauan review terdahulu, kerangka
teoritis dan teori-teori yang berhubungan dengan masalah
perlindungan hukum atas merek, materi ini merupakan landasan
untuk menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor 658 K/
PDT.SUS/ 2012
BAB III : Bab ini berisi uraian profil Mahkamah Agung, serta wewenang
dan pelaksanaan peradilan dalam menangani kasasi
BAB IV : Hasil Putusan Mahkamah Agung Nomor 658 K/ PDT.SUS/ 2012
yang pada bab ini membahas tentang kekuatan hukum bagi hak
merek, posisi kasus, pertimbangan hakim, dan analisis peneliti.
BAB V : Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan
rekomendasi.
11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEKUATAN HUKUM
ATAS HAK MEREK
A. Kerangka Konseptual
Untuk lebih memahami isi penulisan ini, maka akan diuraikan beberapa
istilah yang akan digunakan dalam penulisan ini agar tidak terjadinya interpretasi,
sebagai berikut:
1. Hak Atas Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan Intelektual adalah hak yang berasal atau bersumber dari
hasil pemikiran sesorang atau seseorang yang memiliki ide1, baik dalam
bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, industri atau kesemuanya, yang
hasilnya berupa sebuah karya yang didapat dikategorikan karya intelektual
dan memiliki nilai komersial.
2. Hak Cipta
Hak cipta adalah hak ekslusif yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang
hak cipta dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya sesuai dengan Undang-
Undang yang berlaku.
3. Pencipta
Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang memiliki
kemampuan pikiran, keterampilan, kecekatan atau keahlian untuk
menghasilkan suatu karya yang baru dan dalam bentuk yang khas.2
1. Brian Martin, Against Intellectual Property, Department of Science And Technology,
University of Wallongong, Australia, h., 1.
2 Rooseno Harjowidigdo, S.H, Mengenal Hak Cipta di Indonesia, (Jakarta; Pustaka Sinar
Harapan, 1992), h., 30.
12
4. Merek
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis, Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis
berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk
2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi
dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa
yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan
barang dan/atau jasa.
5. Lisensi Merek
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Pasal 1 Ayat (18)
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak
lain berdasarkan perjanjian secara tertulis sesuai perundang-undangan untuk
menggunakan Merek terdaftar.
B. Kerangka Teori
1. Teori Keadilan
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.3 Hal yang paling
fundamental ketika membicarakan hukum tidak terlepas dengan keadilan dewi
keadilan dari yunani. Dari zaman yunani hingga zaman modern para pakar
memiliki disparitas konsep keadilan, hal ini disebabkan pada kondisi saat itu.
Pada konteks ini sebagaimana telah dijelaskan pada pendahuluan, bahwa tidak
secara holistik memberikan definisi keadilan dari setiap pakar di zamannya
akan tetapi akan disampaikan parsial sesuai penulisan yang dilakukan. Dalam
bukunya Nichomacen Ethics, Aristoteles sebagaimana dikutip Shidarta telah
menulis secara panjang lebar tentang keadilan. Ia menyatakan, keadilan adalah
3 Dardji Darmohardjo, Shidarta., Pokok-pokok filsafat hukum: apa dan bagaimana
filsafat hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h., 155.
13
kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Kata adil
mengandung lebih dari satuarti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa
yang sebanding, yaitu yang semestinya. Di sini ditunjukan, bahwa seseorang
dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang
semestinya.
2. Teori Kepastian Hukum
Menurut Fance M. Wantu, kepastian hukum dirumuskan sebagai berikut:
a. Melakukan solusi autotorif yaitu memberikan jalan keluar untuk
menciptakan stabilitas yakni memberikan ketertiban dan ketentraman bagi
para pihak dan masyarakat.
b. Efisiensi prosesnya cepat, sederhana, dan biaya ringan.
c. Sesuai dengan tujuan hukum yaitu Undang-Undang yang dijadikan dasar
dari putusan untuk memberikan kepastian dalam hukum itu sendiri dan
kepastian karena hukum.4
3. Teori Kemanfaatan
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan
hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan
hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai
justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul
keresahan di dalam masyarakat itu sendiri
Putusan hakim akan mencerminkan kemanfaatan, manakalah hakim
tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan hanya mengejar
keadilan semata, akan tetapi juga mengarahkan pada kemanfaatan bagi
kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan kepentingan masyarakat pada
4 Lihat Syafruddin Kalo, “Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan
Rasa keadilan Masyarakat” dikutip dari http://www.academia.edu.com (diakses 31 Agustus
2018), h., 4.
14
umumnya. Artinya, hakim dalam menerapkan hukum, hendaklah
mempertimbangkan hasil akhirnya nanti, apakah putusan hakim tersebut
membawa manfaat atau kegunaan bagi semua pihak.5
C. Tinjauan Umum Tentang Merek
1. Pengertian Hak Merek
Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang Undang Tentang Merek dan Indikasi
Geografis Nomor 20 Tahun 2016 menyatakan bahwa Merek adalah tanda
yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf,
angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga)
dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur
tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang
atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
Hukum merek dan hak atas merek adalah dua bidang hukum yang sulit
untuk dipisahkan. Pada dasarnya, baik hukum merek dan hak atas merek
membicarakan hal yang sama yakni hak-hak (hukum) pemegang hak merek.
Bagaimana hak-hak pemegang merek itu diakui dan diatur didalam hukum,
serta bagaimana di implementasikan dalam kehidupan masyarakat.
Perkembangan hukum merek bermula pada abad pertengahan di Eropa
pada saat perdagangan dengan dunia luar mulai berkembang. Semula
fungsinya hanya untuk menunjukkan asal produk yang bersangkutan berasal.6
Secara etimologis istilah “merek” barasal dari bahasa Belanda sedangkan
dalam bahasa daerah Jawa disebut ciri atau tengger.7 Dalam bahasa Belanda
5 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005),
h., 161.
6 Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Bandung, 2003, h., 305.
7 Pipin Syarifin, Dedah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia,
Bandung, 2004, h., 166.
15
dikenal juga dengan Mark, atau Brand dalam bahasa Inggris, diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 yang merupakan perbaikan dan
penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992.
Sejak Indonesia meratifikasikan perjanjian WTO (World Trade Organization)
dan TRIPs yang merupakan lampirannya, Indonesia harus tunduk kepada
aturan yang bersifat global tersebut.8 Selain menggunakan Konvensi Paris,
bidang merek juga membentuk bermacam – macam perjanjian Internasional,
yaitu:
1. Perjanjian Madrid 1891: Madrid Agreement Concerning Repression of
False Indications of Origin. Perjanjian ini berkenaan dengan upaya
penindakan terhadap pemalsuan indikasi atau sebutan asli suatu barang.
2. Perjanjian Madrid 1891: Madrid Arrangement Concerning the
International Registration of Trademark. Perjanjian ini berkenaan dengan
pendaftaran internasional tentang Merek.
3. Perjanjian Den Haag 1925: The Hague Arrangement Concerning the
International Deposit of Industrial Pattern and Design. Perjanjian ini
berkenaan dengn penyimpanan internasional tentang gambar – gambar
atau model kerajinan.
4. Perjanjian Lisabon 1938: Lisabon Agreement Concerning the Protection
and the International Registration of Declaration of origin. Perjanjian ini
berkenaan dengan perlindungan dan pendaftaran internasional mengenai
keterangan asal barang.
5. Perjanjian Nice 1957: Nice Agreement Concerning the International
Classification of Goods and Service to Which Trademarks Apply.
8 Abdul R. Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori &
Contoh Kasus, Jakarta, 2005, h, 147.
16
Perjanjian ini berkenaan dengan klasifikasi internasional mengenai merek
barang atau jasa.9
Selain menurut batasan yuridis beberapa ahli ada juga yang
memberikan pendapatnya mengenai pengertian merek, yaitu:
1. Sudargo Gautama (1997), mengatakan bahwa perumusan pada Paris
Convention, suatu Trademark atau merek pada umumnya didefinisikan
sebagai suatu tanda yang berperan untuk membedakan barang- barang dari
suatu perusahaan dengan barang- barang dari perusahaan lain.
2. R. M. Suryodiningrat (1980), mengatakan bahwa barang – barang yang
dihasilkan oleh pabrik dengan dibungkus dan pada bungkusnya itu
dibubuhi tanda tulisan atau perkataan untuk membedakan dari barang
sejenis hasil perusahaan lain, tanda inilah yang disebut merek perusahaan.
3. M. N. Purwosutjipto (1991), mengatakan bahwa Merek itu ada dua macam,
yaitu merek perusahaan atau merek pabrik dan merek perniagaan. Merek
perusahaan atau merek pabrik (fabrieks merk, factor mark) adalah merek
yang dilekatkan pada barang oleh si pembuatnya (pabrik). Sedangkan
merek perniagaan (handelsmerk, trade mark) adalah merek yang dilekatkan
pada barang oleh pengusaha perniagaan yang mengedarkan barang itu.10
4. R Soekardono, mengatakan bahwa merek adalah sebuah tanda (Jawa: ciri
atau tengger) dengan nama dipribadikan sebuah barang tertentu, di mana
perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitetnya barang
dalam perbandingan dengan barang – barang sejenis yang dibuat atau
barang dalam perbandingan dengan barang – barang sejenis yang dibuat
9 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,
Bandung, 2001 h., 34.
10
Pipin Syarifin, Dedah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di
Indonesia, Bandung, 2004 h., 167.
17
atau diperdagangkan oleh orang – orang atau badan – badan perusahaan
lain.11
5. Mr. Tirtaamidjaya yang mensitir pendapat Prof. Vollmar, mengatakan
bahwa “suatu merek pabrik atau merek perniagaan adalah suatu tanda yang
dibubuhkan di atas barang atau di atas bungkusannnya, guna membedakan
barang itu dengan barang – barang yang sejenis lainnya.”12
6. Drs. Iur Soeryatin, mengemukakan rumusannya dengan meninjau merek
dari segi aspek fungsinya dengan mengatakan bahwa “suatu merek
dipergunakan untuk membedakan barang yang bersangkutan dari barang
sejanis lainnya oleh karena itu, barang yang bersangkutan dengan diberi
merek tadi mempunyai: tanda asal, nama, jaminan terhadap mutunya.”13
7. Essel R. Dillavou, mengatakan bahwa “No complete definition can be give
for a trade mark generally it is any sign, symbol mark, work or
arrangement of word in the form of a label adopted and used by a
manufacturer of distributor to designate his particular goods, and which
no other person has the legal right to use it.Originally, the sign or trade
mark, indicated origin, but to day it is used more as an advertising
mechanism.”14
8. Harsono Adisumarto, S. H., MPA, menyatakan bahwa merek adalah tanda
pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang lain,
seperti pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada punggung
sapi yang kemudian dilepaskan di tempat penggembalaan bersama yang
luas. Cap seperti itu memang merupakan tanda pengenal untuk
menunjukkan bahwa hewan yang bersangkutan adalah milik orang tertentu.
11
H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Right), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004 h., 343.
12
H. OK. Saidin Aspek Hukum …., h., 344..
13 H. OK. Saidin Aspek Hukum…, h., 344.
14
H. OK. Saidin, Aspek Hukum.., h., 344.
18
Biasanya, untuk membedakan tanda atau merek digunakan inisial dari
nama pemilik sendiri sebagai tanda pembedaan.15
9. Philip S. James MA, sarjana Inggris mengatakan “ A trade mark is a mark
used in conextion with goods which a trader uses in order to tignity that a
certain type of good are his trade need not be the actual manufacture of
goods, in order to give him the right to use a trade mark, it will suffice if
they marely pass through his hand is the course of trade”.16
Secara yuridis pengertian merek terdapat pada Pasal 1 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis dijelaskan bahwa Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan
secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna,
dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau jasa yang di produksi oleh orang atau
badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan dari pendapat – pendapat para ahli
yang ada maupun dari segi yuridis yang ada bahwa merek itu dapat diartikan
suatu tanda (sign) untuk membedakan barang – barang atau jasa yang sejenis
yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau kelompok orang atau
badan hukum dengan barang – barang atau jasa sejenis yang dihasilkan oleh
orang lain, memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya
dan digunakan dalam kegiatan perdagangkan barang atau jasa.
2. Pengertian Hak Atas Merek
Hak atas merek terdaftar diatur dalam Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 sebagai berikut : “Hak atas merek adalah hak eksklusif
yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka
waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan
izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.”
15
H. OK. Saidin Aspek Hukum…, h., 345.
16
H. OK. Saidin Aspek Hukum…, h., 345.
19
Berdasarkan definisi dari hak atas merek tersebut menegaskan bahwa
pemilik merek dagang terdaftar memiliki hak eksklusif untuk mencegah semua
pihak ketiga yang tidak memiliki izin pemilik, untuk menggunakan dalam
kegiatan perdagangan, tanda-tanda yang sama persis atau memiliki kemiripan,
untuk barang atau jasa yang sama atau mirip dengan brang atau jasa atas nama
merek telah didaftarkan17
. Hak eklusif (ekclusive right) diartikan sebagai: “one
wich only the grantee there of can exercise and from which all others are
prohibited or shut out.” Manakala suatu merek telah disetujui untuk didaftar,
maka pemilik merek terdaftar tersebut, termasuk:18
a. Hak untuk menggunakan merek terkait dengan produk barang dan/atau jasa
dan menggunakan untuk bisnis yang relevan;
b. Hak eksklusif tersebut membuat pemilik merek terdaftar yang menikmati
hak eksklusif, tidak ada satu pihak pun yang lain yang berhak untuk
menggunakan merek yang dimiliki persamaan secara keseluruhan (identic)
atau persamaan pada pokoknya (similar) untuk barang dan/atau jasa;
c. Hak untuk mengizinkan atau memberikan kewenangan bagi pihak lain
untuk menggunakan merek terdaftarnya dengan cara menandatangani
kontrak lisensi yang sesuai dengan hukum;
d. Kekuatan untuk menahan dan melarang pihak manapun dari penggunaan
merek yang memiliki persamaan secara keseluruhan (identic) atau
persamaan pada pokoknya (similar) tanpa izin;
e. Hak untuk menjaminkan merek terdaftar dalam bisnis;
f. Hak untuk investasi mengingat merek terdaftar merupakan aset tidak
berwujud (intangible asset) dan membuat investasi sesuai hukum yang
berlaku;
17
Rahmi Jened, Hukum Merek Trademark Law dalam Era Globalisasi & Integrasi
Ekonomi, Prenamedia Group, Jakarta; 2015, h., 193.
18
Henry Black Campbell, Black’s Law Dictionary. 1996 Dikutip dari Rahmi Jened,
Hukum Merek Trademark Law dalam Era Globalisasi & Integrasi Ekonomi, Prenamedia
Group, Jakarta; 2015, h., 196.
20
g. Hak untuk mengalihkan para ahli warisnya.
Hak eksklusif ini berfungsi seperti suatu monopoli hanya berlaku untuk
barang dan/atau jasa tertentu. Oleh karena itu, suatu merek memberi hak
khusus atau hak mutlak kepada pemilik merek, maka hak atas merek itu dapat
dipertahankan kepada siapapun19
. Hak atas merek diberikan kepada pemilik
merek dagang atau jasa yang beritikad baik.
Sesuai dengan ketentuan bahwa hak merek itu diberikan pengakuannya
oleh negara, maka pendaftaran atas merek miliknya, merupakan suatu
keharusan apabila pemilik merek ingin menghendaki agar menurut hukum
dipandang sebagai orang yang berhak atas suatu merek. Bagi orang yang
mendaftarkan mereknya terdapat suatu kepastian hukum bahwa dialah yang
berhak atas merek tersebut. Dan bagi pihak lain harus menghormati hak
tersebut, apabila mencoba akan mempergunakan merek yang sama atas
barang dan/atau jasa lain yang sejenis oleh Direktorat Jendral akan ditolak
pendaftarannya.
Memperhatikan ketentuan Pasal 1 Ayat (18) Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2016, pengertian hak eksklusif yang diberikan negara kepada
pemilik merek meliputi jangkauan:
a. Menciptakan hak tunggal (sole or single right)
Hukum atau Undang-Undang memberi hak tersendiri kepada pemilik
merek. Hak itu terpisah dan berdiri sendiri secara utuh tanpa campur
tangan pihak lain.
b. Mewujudkan hak monopoli (monopoly right)
Siapapun dilarang meniru, memakai, dan mempergunakan dalam
perdagangan barang dan jasa tanpa izin pemilik merek.
19
Muhammad Djumhana, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung; 1999, h., 163.
21
c. Memberi hak paling unggul kepada pemilik merek (superior right)
Hak superior merupakan hak yang diberikan doktrin hak paling
unggul bagi pendaftar pertama. Oleh karena itu, pemegang hak kasus
atas suatu merek mengungguli merek orang lain untuk dilindungi.
3. Fungsi Merek
Merek memiliki beberapa fungsi yang melekat padanya dengan melihat
pada obyek yang dilindunginya, merek memiliki fungsi sebagai pembeda
untuk barang atau jasa yang sejenis diproduksi oleh suatu perusahaan. Jadi
merek digunakan sebagai tanda pengenal asal barang dan jasa yang sekaligus
berfungsi untuk menghubungkan barang dan jasa yang bersangkutan dengan
produsennya.
Merek juga memberikan jaminan kulitas dari barang dan jasa yang
bersangkutan, dimana hal itu sangat bermanfaat bagi perlindungan pemilik
merek dan konsumen. Dengan adanya jaminan kualitas dari produsen, upaya
untuk mempromosikan dan memasarkan barang dan jasa kepada konsumen
akan berjalan dengan baik. Di pasaran luar negeri, merek merupakan satu-
satunya cara untuk menciptakan dan memperhatikan “goodwill” dimata
konsumen20
. Goodwill atas merek yang telah diperoleh produsen akan
memberikan keuntungan yang besar bagi produsen terutama dalam
memperluas pasaran.
Fungsi merek yang paling penting dalam perkembangan perekonomian
Indonesia dalam menghadapi globalisasi pasar Internasional adalah bahwa
merek dapat berfungsi untuk merangsang pertumbuhan industri dan
perdagangan yang sehat.
4. Jenis Merek
20
Muhammad Djumhana, Hak Milik Intelektual Sejarah…, h., 160.
22
Ada 2 (dua) jenis merek yang disebutkan dalam Undang-Undang Merek, yaitu
:
a. Merek Dagang
b. Merek Jasa
Pengertian mengenai Merek Dagang (Trademark) disebutkan dalam Pasal
1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 adalah Merek yang
digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa
orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan
barang sejenis lainnya.
Pengertian mengenai Merk Jasa (Servicemark) disebutkan dalam Pasal
1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 adalah Merek yang
digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang
sejenis lainnya.
Selain itu, disebutkan juga pengertian mengenai Merek Kolektif
(Collectivemark) yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau
jasa dengan karakteristik yang sama mengenai sifat, ciri umum, dan mutu
barang atau jasa serta pengawasannya yang akan diperdagangkan oleh
beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan
dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
5. Sistem Pendaftaran Merek
a. Sistem Pendaftaran Merek
Merek hanya dapat diadaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan
oleh pemilik atau kuasanya. Dalam pendaftaran merek dikenal ada dua
macam sistem pendaftaran, yaitu:
23
1. Sistem Deklaratif (First To Use System)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 memakai sistem
deklaratif. Sistem ini berdasarkan pada pemakai pertama yang
menimbulkan adanya hak atas merek. Pendaftaran atas suatu merek
dalam sistem ini tidak menunjukkan adanya hak, tetapi hanya
anggapan adanya hak.
2. Sistem Konstitutif (First To File System)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 memakai sistem
konstitutif. Dalam sistem ini dianut prinsip bahwa perlindungan
hukum atas merek hanya akan berlangsung apabila hak tersebut
dimintakan pendaftaran21
. Pemilik atau kuasanya yang memperoleh
Sertifikat Merek akan mempunyai “hak khusus” atau “hak eksklusif”
atas mereknya sehingga ia akan dilindungi dan orang lain tidak dapat
memakai merek yang sama.
Pada dasarnya pemohon dapat mengajukan permohonan pendaftaran
untuk lebih dari satu permohonan. Permohonan pendaftaran merek juga dapat
diajukan untuk lebih dari satu kelas barang dan/atau jasa dengan menyebutkan
jenis barang dan/atau jasanya. Saat ini satu permohonan dengan biaya pokok
pendaftaran merek hanya untuk satu kelas dengan maksimal untuk tiga produk
dalam kelas barang dan/atau jasa yang sama dikelas tersebut, sedangkan untuk
tambahan produknya dikenakan tambahan biaya Rp. 50.000,00 untuk setiap
produk22
.
Untuk keperluan pendaftaran merek selain harus dipenuhi persyaratan
materil, juga harus dipenuhi pesyaratan formal. Persyaratan materil atau
substantif bahwa merek yang didaftarkan tidak bertentangan dengan alasan
21
Sudargo Gautama, Komentar Atas Undang- Undang Merek Baru dan Peraturan-
Peraturan Pelaksanaannya,Alumni, Bandung; 1996 h., 5.
22
Rahmi Jened, Hukum Merek Trademark Law dalam Era Globalisasi & Integrasi
Ekonomi, Prenamedia Group, Jakarta; 2015, h., 144.
24
absolut atau absolute grounds (Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016) serta alasan relatif atau relative grounds (Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016). Adapun persyaratan formal yang lazimnya terkait
dengan dokumen administrasi sebagaimana diatur didalam BAB III Bagian
kesatu hingga bagian ketujuh, mulai dari Pasal 4 hingga Pasal 19 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016.
Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 menentukan
bahwa permohonan pendaftaran merek diajukan oleh pemohon atau kuasanya
kepada menteri secara elektronik atau non-elektronik dalam Bahasa Indonesia
mencantumkan :
a. Tanggal, bulan, dan tahun permohonan;
b. Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon;
c. Nama lengkap dan alamat kuasa jika permohonan diajukan melalui kuasa;
d. Warna jika merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur
warna;
e. Nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali dalam hal
permohonan diajukan dengan hak prioritas; dan
f. Kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau jasa.
Surat permohonan tersebut harus ditandatangani oleh pemilik merek
atau kuasanya. Surat pernyataan dalam permohonan pendaftaran merek harus
dengan jelas dan tegas menyebutkan bahwa merek yang dimohonkan
pendaftaran itu adalah miliknya dan tidak meniru merek orang lain secara
keseluruhan atau pada pokoknya.
Permohonan pendaftaran merek dapat diajukan oleh:
1. Perorangan
2. Beberapa orang
3. Badan Hukum
25
4. Kuasa
Jika permohonan diajukan oleh beberapa orang, maka:
1. Formulir Pendaftaran diisi dengan nama semua orang tersebut.
2. Memilih satu dari alamat mereka.
3. Formulir pendaftaran ditandatangani oleh seorang yang mendapat
persetujuan tertulis dari mereka semua.
Jika permohonan diajukan oleh badan hukum, maka:
1. Formulir pendaftaran ditandatangani oleh orang yang berhak mewakili
badan hukum yang bersangkutan.
2. Memilih alamat badan hukum yang bersangkutan.
Jika permohonan diajukan oleh kuasa, maka:
1. Formulir pendaftaran ditandatangani oleh kuasa.
2. Memilih alamat kuasa yang bersangkutan.23
Selanjutnya Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
menentukan bahwa Ditjen melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan
persyaratan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5,
Pasal 6, dan/atau Pasal 7, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
semenjak tanggal penerimaan. Dalam hal terdapat kekurangan dalam
kelengkapan persyaratan tersebut, maka Ditjen meminta agar kelengkapan
persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama dua bulan terhitung
sejak tanggal pengiriman surat permintaan untuk memenuhi kelengkapan
persyaratan tersebut.
6. Masa Berlaku Hak Merek
23
Rahmi Jened, Hukum Merek Trademark Law dalam Era Globalisasi & Integrasi
Ekonomi, Prenamedia Group, Jakarta; 2015, h., 147.
26
Ketentuan mengenai perpanjangan waktu perlindungan merek
terdaftar diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016. Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 menjelaskan bahwa merek terdaftar mendapat perlindungan hukum
untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal Penerimaan.
Hak atas merek terdaftar dan monopoli yang diberikan oleh hukum
bagi pemilik merek terdaftar pada dasarnya bersifat “abadi”. Karena merek
selamanya dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama (Pasal 35 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016). Permohonan perpanjangan
merek terdaftar diajukan secara elektronik atau non elektronik dalam bahasa
Indonesia oleh pemilik merek atau kuasanya kepada Ditjen HKI dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi
merek terdaftar tersebut dengan dikenai biaya. (Pasal 35 Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016.
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 menetapkan bahwa
permohonan perpanjangan disetujui jika pemohon melampirkan surat
pernyatan tentang:
a. Merek yang bersangkutan masih digunakan pada barang atau jasa
sebagaimana dicantumkan dalam sertifikat Merek tersebut; dan
b. Barang atau jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a masih diproduksi
dan/atau diperdagangkan.
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 menetapkan bahwa
permohonan perpanjangan ditolak oleh Dirjen jika tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016.
Penolakan permohonan perpanjangan diberitahukan secara tertulis
kepada pemilik merek atau kuasanya dengan menyebutkan alasannya.
27
Keberatan terhadap penolakan permohonan perpanjangan dapat diajukan
kepada pengadilan niaga dan terhadap putusan pengadilan niaga hanya dapat
diajukan kasasi. Perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar
dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi
Merek. Perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar
diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya.
Merek dilindungi dalam aktivitas bisnis, sehingga penggunaan merek
harus sesuai dengan pendaftarannya sebagaimana tercantum dalam sertifikat.
Merek hanya eksis untuk perdagangan barang dan/atau jasa, sehingga barang
dan/atau jasa sudah tidak diproduksi lagi, maka eksistensi merek pun tidak
lagi ada artinya. Merek yang tidak lagi eksis menjadi domain penguasaan
negara dan hak atas merek bersifat terbuka kembali untuk dimohonkan oleh
pihak lain. 24
7. Komisi Banding Merek
Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan Permohonan
yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang
bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 21
(alasan absolut dan alasan relatif).
Sesuai dengan Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2016
Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya
kepada Komisi Banding Merek dengan tembusan yang disampaikan kepada
Menteri dengan dikenai biaya. Permohonan banding diajukan paling lama
dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal surat
pemberitahuan penolakan permohonan. Apabila jangka waktu telah lewat
tanpa adanya permohonan banding, penolakan permohonan dianggap diterima
oleh Pemohon. Dalam hal penolakan permohonan telah dianggap diterima,
24
Rahmi Jened Hukum Merek Trademark Law dalam Era Globalisasi & Integrasi
Ekonomi, Prenamedia Group, Jakarta; 2015, h., 188.
28
maka Ditjen HKI mencatat dan mengumumkan penolakan itu (Pasal 29 Ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016).
Selanjutnya Pasal 33 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
menetapkan bahwa Komisi Banding Merek adalah badan khusus yang
independen dan berada di lingkungan departemen yang membidangi hak
kekayaan intelektual. Sesuai dengan Pasal 33 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016, Komisi Banding Merek terdiri atas :
a. Seorang ketua merangkap anggota;
b. Seorang wakil ketua merangkap anggota;
c. Ahli di bidang Merek sebagai anggota; dan
d. Pemeriksa senior sebagai anggota.
Selanjutnya anggota Komisi Banding Merek sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1) berjumlah paling banyak 30 (tiga puluh) orang terdiri atas 15
(lima belas) orang Pemeriksa senior, 15 (lima belas) orang ahli di bidang
Merek yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3
(tiga) tahun. (Pasal 33 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016).
Untuk memeriksa permohonan banding, maka Komisi Banding Merek
membentuk majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang, satu diantaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak
melakukan pemeriksaan substantif terhadap permohonan, susunan organisasi,
tugas dan fungsi Komisi Banding Merek diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan pada penulisan skripsi ini dengan
penelitian tentang Hukum Merek yang lainnya, maka penulis melakukan
penelusuran terhadap beberapa penelitian terlebih dahulu, diantaranya
penelitian-penelitian tersebut yakni:
29
1. Skripsi yang disusun oleh Alinda Yani, dari Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun
2013, dengan judul “Perlindungan Hukum Atas Karya Cipta Seni
Lukis (Analisis Putusan Nomor 596 K/ PDT. SUS/ 2011” yang
membahas mengenai perlindungan hukum atas hak cipta seni lukis
yang terdapat pada putusan Nomor 596 K/ PDT. SUS/ 2011 yang
membedakan dengan skripsi penulis ialah skripsi penulis
memfokuskan membahas tentang sengekta hak merek sedangkan
pada skripsi pada Alinda Yani S. H tersebut memfokuskan kepada
sengketa hak cipta dan persamaan dengan skripsi peniliti ialah
terdapat beberapa materi yang menyinggung tentang hak cipta.
2. Skripsi yang disusun oleh Fahmi Rusdi, dari Fakultas Hukum
Universitas Mataram, dengan judul “Analisis Hukum Terhadap
Sengketa Hak Cipta Atas Persamaan Logo Kemasan Dalam
Perdagangan Produk Celana Dalam Pria (Studi Putusan Mahkamah
Agung Nomor 658 K/ PDT. SUS/ 2012), skripsi ini membahas
tentang analisis terhadap sengketa hak cipta antara produk celana
dalam pria. Yang membedakan dengan skripsi yang penulis teliti
ialah skripsi penulis memfokuskan membahas tentang bagaimana
kekuatan hukum terhadap pemegang hak atas merek yang terdapat
didalam putusan Mahkamah Agung Nomor 658 K/ PDT. SUS/ 2012
sedangkan persamaan dengan skripsi peneliti ialah menyinggung
tentang bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan sengketa
merek.
3. Buku yang disusun oleh Rahmi Janed dengan judul “Trademark Law
= Hukum Merek Dalam Era Globalisasi & Integrasi Ekonomi” yang
diterbitkan oleh Prenada Media Group pada tahun 2013 yang
membahas mengenai teori-teori yang terdapat pada hak merek seperti
alasan absolut (absolute grounds) dan alasan relatif (relative grounds)
dan membahas beberapa kasus-kasus dalam perlindungan merek di
30
Indonesia. Yang membedakan dengan skripsi penulis ialah penulis
memfokuskan terhadap bagaimana kekuatan hukum pasca
berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek
dan Indikasi Geografis dalam putusan MA Nomor 658 K/ PDT. SUS/
2012 dan persamaan dengan skripsi peneliti ialah menyinggung
perihal hak merek.
4. Jurnal yang disusun oleh Fajar Nurcahya Dwi Putra, dari Fakultas
Hukum Untag Surabaya, dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi
Pemegang Hak Atas Merek Terhadap Perbuatan Pelanggaran
Merek”. Jurnal ini membahas Tentang bagaimana perlindungan
hukum bagi pemegang hak atas merek dari pelanggaran-pelanggaran
yang seperti plagiasi dan lain-lain.yang membedakan dengan skripsi
penulis ialah jurnal tersebut lebih membahas bagaimana regulasi
yang mengatur Tentang pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada
merek seperti plagiasi dan lain-lain. Sedangkan skripsi penulis hanya
memfokuskan terhadap bagaimana perlindungan hukum atas
pemegang hak merek dan persamaan dengan skripsi peneliti ialah
menyiunggung bagaimana perlindungan hukum terhadap pemegang
hak atas merek.
31
BAB III
PROFIL MAHKAMAH AGUNG, WEWENANG DAN
PELAKSANAAN PERADILAN DALAM MENANGANI KASASI
A. Sejarah Terbentuknya Mahkamah Agung (MA)
Sejarah berdirinya Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari masa penjajahan atau masa penjajahan di bumi Indonesia1. Hal
mana terbukti dengan adanya kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian
waktunya dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan
terkahir oleh Pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di
Indonesia pun tidak luput dari pengaruh kurun waktu tersebut.
1. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda
Pada tahun 1807 Mr. Herman Willem Deandels diangkat menjadi
Gubernur Jenderal oleh Lodewijk Napoleon untuk mempertahankan jajahan-
jajahan Belanda di Indonesia terhadap serangan-serangan pihak Inggris.
Daendels banyak sekali mengadakan perubahan-perubahan di lapangan
peradilan terhadap apa yang diciptakan oleh Kompeni, diantaranya pada tahun
1798 telah merubah Raad van Justitie menjadi Hooge Raad. Kemudian tahun
1804 Betaafse Republiek telah menetapkan suatu Charter atau
Regeringsreglement untuk daerah-daerah jajahan di Asia. Dalam Pasal 86
Charter tersebut, yang merupakan perubahan-perubahan nyata dari jaman
Pemerintahan Daendels terhadap peradilan di bumi Indonesia, ditentukan
sebagai berikut : “Susunan Pengadilan untuk bangsa Bumiputra akan tetap
tinggal menurut hukum serta adat mereka. Pemerintah Hindia Belanda akan
menjaga dengan alat-alat yang seharusnya, supaya dalam daerah-daerah
yang langsung ada dibawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda sedapat-
dapatnya dibersihkan segala kecurangan-kecurangan, yang masuk dengan
tidak diketahui, yang bertentangan dengan tidak diketahui, yang bertentangan
1 Zamroni, 2009. Sejarah Mahkamah Agung: (Online), (http//:www.zamroni.com/40-sejarah-
mahkamah-agung.html., diakses pada tanggal 31 Agustus 2018).
32
dengan hukum serta adat anak negeri, lagi pula supaya diusahakan agar
terdapat keadilan dengan jalan yang cepat dan baik, dengan menambah
jumlah pengadilan-pengadilan pembantu, begitu pula mengadakan
pembersihan dan pengenyahan segala pengaruh-pengaruh buruk dari
kekuasaan politik apapun juga”.
Charter tersebut tidak pernah berlaku, oleh karena Betaafse Republiek
segera diganti oleh Pemerintah Kerajaan, akan tetapi ketentuan didalam
“Charter” tidak sedikit mempengaruhi Daendels di dalam menjalankan
tugasnya.
2. Masa Pemerintahan Inggris
Sir Thomas Raffles, yang pada tahun 1811 diangkat menjadi Letnan
Gubernur untuk pulau Jawa dan wilayah di bawahnya, mengadakan
perubahan-perubahan antara lain :
Di kota-kota Batavia, Semarang dan Surabaya dimana dulu ada Raad
van Justitie, didirikan Court Of Justice, yang mengadili perkara sipil maupun
kriminil. Court of Justice yang ada di Batavia merupakan juga Supreme Court
of Justice, Pengadilan appel terhadap putusan-putusan Court Onvoeldoende
Gemotivereed Justitice yang ada di Semarang dan Surabaya.
3. Masa Kembalinya Pemerintah Hindia Belanda (1816-1942)
Peperangan di Eropa berakhir dengan jatuhnya kaisar Napoleon, maka
menurut Conventie London 1814, semua daerah-daerah jajahan Belanda yang
diduduki oleh Inggris, dikembalikan kepada Belanda. Penyerahan kembali
Pemerintahan Belanda tersebut diatur dalam St. 1816 Nomor 5, yang berisi
ketetapan bahwa akan dibuat Reglement yang mengatur acara pidana dan
acara perdata yang berlaku bagi seluruh Jawa dan Madura, kecuali Semarang
dan Surabaya dengan daerah sekitarnya untuk perkara pidana dan perdata
tetap menjadi kekuasaan Raad van Justitie. Dengan demikian ada perbedaan
33
dalam susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia yang bertempat di kota-
kota dan sekitarnya dan bangsa Indonesia yang bertempat di “desa-desa”
(pedalaman).
Untuk bangsa Eropa, berlaku susunan Pengadilan sebagai berikut:
Hooggerechtshof di Jakarta dengan Raad van Justitie yaitu masing-masing di
Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Dengan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847
Nomor 2a (St. 1847 No. 23 yo No. 57) yang diperlakukan tanggal 1 Mei 1848
(R.O) ditetapkan bahwa Susunan Peradilan di Jawa dan Madura sebagai
berikut:
1) Districtgerecht
2) Regentschapsgerecht
3) Landraad
4) Rechtbank van omgang
5) Raad van Justitie
6) Hoogerechtshof
Dalam fungsi judisialnya, Hoogerechtshof memutus perkara-perkara
banding mengenai putusan-putusan pengadilan wasit tingkat pertama di
seluruh Indonesia, jikalau nilai harganya lebih dari £. 500 dan mengenai
putusan-putusan residentiegerechten – diluar Jawa dan Madura.
4. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Setelah pulau Jawa diduduki dan dikuasai sepenuhnya oleh Jepang,
maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 1 tanggal 8 Maret 1942, yang
menentukan bahwa untuk sementara segala Undang-Undang dan Peraturan-
peraturan dari Pemerintahan Hindia Belanda dahulu terus berlaku, asal tidak
bertentangan dengan peraturan-peraturan balatentara Jepang.
34
Mengenai peradilan sipil, maka dengan Undang-Undang 1942
Nomor 14 ditetapkan “Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai
Nippon”. Atas dasar peraturan ini didirikan pengadilan-pengadilan sipil yang
akan menadili perkara-perkara pidana dan perdata. Disamping itu dibentuk
juga Kejaksaan. Pengadilan-pengadilan bentukan Dai Nippon adalah sebagai
berikut :
1) Gun Hooin (Pengadilan Kewedanaan) lanjutan districtgerecht dahulu.
2) Ken Hooi (Pengadilan Kabupaten) lanjutan regentschaprecht dahulu.
3) Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian) lanjutan landgerecht dahulu
4) Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) lanjutan Landraad dahulu
Dalam praktik pelaksanaan putusan, hanya dengan seorang Hakim
saja (tidak lagi majelis), kecuali terhadap perkara tertentu apabila Pengadilan
Tinggi harus diadili dengan 3 orang majlis.
Dengan dicabutnya Undang-Undang 1942 Nomor 14 dan diganti
dengan Undang-Undang 1942 Nomor. 34, maka ada penambahan badan
pengadilan diantaranya Kotoo Hooin (Pengadilan Tinggi), lanjutan dari Raad
van Justitie dahulu dan Saikoo Hooin (Mahkamah Agung), Lanjutan dari
Hoogerechtshof dahulu.
5. Masa setelah Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia Merdeka, pada saat berlakunya Undang-Undang
Dasar 1945 belum ada badan Kehakiman yang tertinggi. Satu satunya
ketentuan yang menunjuk ke arah badan Kehakiman yang tertinggi adalah
Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Maka dengan keluarnya
Penetapan Pemerintah Nomor 9, sampai dengan tahun 1946 ditunjuk kota
Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Peraturan tersebut hanya penunjukan tempatnya saja. Penetapan Pemerintah
35
tersebut pada alinea II berbunyi “Menundjukkan sebagai tempat kedudukan
Mahkamah Agung tersebut ibu-kota DJAKARTA-RAJA.”
Eksistensi Mahkamah Agung ditetapkan setelah diundangkannya
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1947 Tentang susunan kekuasaan Mahkamah
Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret1947.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1947 kemudian diganti dengan
Undang-Undang Nomor 19 tahun 1948 yang dalam Pasal 50 Ayat (1)
menyebutkan :
1) Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan federal tertinggi.
2) Pengadilan-pengadilan federal yang lain dapat diadakan dengan Undang-
Undang federal, dengan pengertian, bahwa dalam Distrik Federal Jakarta
akan dibentuk sekurang-kurangnya satu pengadilan federal yang
mengadili dalam tingkat pertama, dan sekurankurangnya satu pengadilan
federal yang mengadili dalam tingkat apel.
Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar Jakarta yaitu pada
bulan Juli 1946 di Jogyakarta dan kembali ke Jakarta pada tanggal 1 Januari
1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Dengan demikian
Mahkamah Agung berada dalam pengungsian selama tiga setengah tahun2.
Susunan Mahkamah Agung sewaktu di Yogyakarta :
Ketua : Mr. Dr. Kusumah Atmaja
Wakil Ketua : Mr. R. Satochid Kartanegara.
Anggota – Anggota :
1) Mr. Husen Tirtasmidjaja
2 Moh. Kusnadi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara,
Fak. Hukum UI, h. 145.
36
2) Mr. Wono Prodjodikoro
3) Sutan Kali Malikul Add
Panitera : Mr. Soebekti
Kepala Tata Usaha : Ranuatmadja.
Sedangkan susunan Mahkamah Agung pada tahun 2018 ialah :
Ketua : H. M. Hatta Ali
Wakil Ketua : Dr. Muhammad Saleh
Wakil Ketua Non Yudisial : Suwardi
Sekretaris Mahkamah Agung : Nurhadi
Panitera Mahkamah Agung : Soeroso Ono3
B. Profil Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung adalah Lembaga tertinggi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Konstitusi4. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara.
Saat ini lembaga Mahkamah Agung berdasarkan pada Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman telah mencabut dan
membatalkan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Undang-Undang
ini disusun karena Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 secara substansi dinilai
kurang mengakomodir masalah kekuasaan kehakiman yang cakupannya cukup
3 https://www.mahkamahagung.go.id/id/struktur-organisasi (diakses pada tanggal 13
September 2018).
4 http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/beranda.html, (diakses pada tanggal 31
Agustus 2018).
37
luas, selain itu juga karena adanya judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, karena Undang-Undang yang di-
review tersebut diputus bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, sehingga
untuk mengisi kekosongan hukum, maka perlu segera melakukan perubahan pada
Undang-Undang yang dimaksud.
Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 maupun jo. Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009, tetap mengikuti pola dan sistem MA beserta badan
lingkungan peradilan yang ada dibawahnya. Pola dan sistem MA dengan
lingkungan peradilan yang sudah ada sebelumnya tidak mengalami perubahan.
Keberadaan MA bukan satu-satunya penyelenggara kekuasaan kehakiman,
ditegaskan pula pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 yang berbunyi :
“Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”
Jadi, menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 ialah :
1) MA bukan lagi satu-satunya pelaku dan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman,
2) Akan tetapi, MA hanya salah satu dari pelaku dan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar 1945
C. Jumlah Hakim Agung & Struktur Organisasi Mahkamah Agung (MA)
Pasal 4 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 berbunyi :
“Jumlah Hakim Agung paling banyak 60 (enam puluh) orang”.
38
Baru sekarang Undang-Undang sendiri menentukan jumlah maksimal Hakim
Agung (selanjutnya ditulis HA)5, yakni paling banyak 60 orang. Berarti kurang
dari 60 orang, diperbolehkan. Sebaliknya, lebih dari 60 orang tidak diperbolehkan
oleh Undang-Undang.
Pengaturan yang demikian mengandung untung dan rugi. Keuntungannya,
sudah ada batas tertentu yang tidak boleh dilampaui. Kapan saja dibutuhkan dapat
diangkat HA, selama belum melampaui 60 orang. Kerugiannya, apabila keadaan
membutuhkan jumlah HA harus melebihi 60 orang, tuntutan ini tidak terlaksana
segera sebelum ketentuan Pasal 4 Ayat (3) diamandemen melalui DPR melakukan
perubahan atas ketentuan tersebut. Berikut struktur organisasi Mahkamah Agung
Indonesia :
D. Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung (MA)
5 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan
Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta; Sinar Grafika, 2008), h., 62.
39
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, wewenang Mahkamah Agung adalah:
1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah
2) Mahkamah Agung, kecuali Undang-Undang menentukan lain;
a) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang; dan
b) Kewenangan lainnya yang diberikan Undang-Undang.
Sedangkan Fungsi Mahkamah Agung menurut Undang-Undang Dasar 1945
ada 5, yaitu:
1) Fungsi Peradilan6
a) Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan
pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan
hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar
semua hukum dan Undang-Undang diseluruh wilayah negara RI
diterapkan secara adil, tepat dan benar.
b) Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung
berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan
terakhir
c) Semua sengketa tentang kewenangan mengadili. permohonan peninjauan
kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-Undang Mahkamah Agung
Nomor 14 Tahun 1985)
d) semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
muatannya oleh kapal perang
e) Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33
dan Pasal 78 Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun
1985)
6 M. Yahya Harahap. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa. (Bandung: Citra Aditya Bakti), h., 35.
40
f) Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu
wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan
dibawah Undang-Undang tentang hal apakah suatu peraturan
ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari
tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-Undang Mahkamah
Agung Nomor 14 Tahun 1985).
2) Fungsi Pengawasan
a) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan
agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan
diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman
pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan
perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-Undang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
b) Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :
I. Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim
dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas
yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan
Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikan perkara.
II. Terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan
meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan
dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran
dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan
Hakim (Pasal 32 Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor
14 Tahun 1985).
41
III. Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang
menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-Undang Mahkamah
Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3) Fungsi Mengatur7
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat
hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang Tentang
Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau
kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan
peradilan (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 79
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985).
Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri
bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah
diatur Undang-Undang.
4) Fungsi Nasehat
Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau
pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga
Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-Undang Mahkamah Agung
Nomor 14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat
kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau
penolakan grasi (Pasal 35 Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor
14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung
diberikan kewenangan untuk memberika pertimbangan kepada
Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun
demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai
7 HP Pangabean, Fungsi MA Bersifat Pengaturan, Liberty, 2005;Yogyakarta, h., 3.
42
rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur pelaksanaannya.
Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan
memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan
dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. (Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung).
5) Fungsi Administratif
Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana
dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih
berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut
Pasal Ayat 11 (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah
dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung
jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan
(Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman).
E. Pelaksanaan Peradilan dalam Menangani Kasasi
Kasasi artinya pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung. Pengadilan kasasi
ialah Pengadilaan yang memeriksa apakah judec factie tidak salah dalam
melaksanakan peradilan. Upaya hkum kasasi adalah upaya agar putusan judec
43
factie dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena salah dalam melaksanakan
peradilan8.
Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain
yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan
Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum,
kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung
pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung9.
Pemohon kasasi lawannya terlawan kasasi. Dalam hal ini kedua belah pihak
sama-sama memohon kasasi, berarti hanya ada pemohon kasasi, tidak ada
termohon kasasi. Upaya hukum kasasi baru bisa digunakan kalau sudah
mempergunakan upaya hukum banding10
. Terhadap putusan-putusan yang
diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan lain daripada Mahkamah
Agung, kasasi dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung (Pasal 10 Ayat 3
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999).
Syarat-syarat untuk mengajukan kasasi ialah:
1. Diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi.
2. Diajukan masih dalam tengggang waktu kasasi.
8 H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), h., 292- 293.
9 Wahyu Kuncoro, Kasasi, Pengertian dan Prosedurnya,
http://advokatku.blogspot.com/2010/06/kasasi-pengertian-dan-prosedurnya.html, (diakses
pada tangggal 5 September 2018).
10
H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), h., 232.
44
3. Putusan atau penetapan judec factie, menurut hukum dapat dimintakan
kasasi.
4. Membuat memori kasasi.
5. Membayar panjar biaya kasasi.
6. Menghadap ke Kepaniteraan PA/PN yang bersangkutan.
Permohonan kasasi hanya dapat diajukan oleh pihak yang berperkara atau
wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 44 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 14/1985). Apabila dalam surat kuasa telah disebutkan bahwa
wakil tersebut telah pula diberikan kuasa untuk mengajukan kasasi, maka tidak
diperlukan lagi surat kuasa baru.
Permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tengggang waktu
kasasi, yaitu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan
diberitahukan kepada yang bersangkutan. Apabila melewati waktu tanpa ada
permohonan kasasi yang diajukan pihak berperkara, maka dianggap telah
menerima putusan (Pasal 46 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 14/1985).
Permohonan kasasi wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-
alasannya (Pasal 47 Ayat (1). Berbeda dengan banding dimana permohonan
banding tidak wajib membuat memori banding. Memori kasasi merupakan syarat
mutlak untuk diterimanya permohonan kasasi. Yang berwenang menilai apakah
syarat-syarat kasasi telah dipenuhi atau tidak adalah Mahkamah Agung dalam
putusan kasasi.11
Dalam hal pembahasan kasasi sudah menjadi hal mutlak menjadi kewenangan
dari Mahkamah Agung (MA) termasuk sengketa merek antara penggugat Layndro
Santoso pemilik merek NIKITEX melawan tergugat Limong Latief pemilik merek
HOKOTEX dan dimenangkan oleh pemilik merek NIKITEX. Majlis hakim
11
Mukti Arto,....... h., 296-298.
45
memutuskan bahwasannya pemilik merek NIKITEX ialah pendaftar pertama yang
dirasa oleh penulis kurang memperhatikan dengan teliti sertifikat merek yang
dimiliki oleh kedua belah pihak dan kurang memberikan perlindungan terhadap
pemegang merek HOKOTEX. Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan
posisi kasus serta bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah
Agung Nomor 658 K/ PDT. SUS/ 2012 pada bab berikutnya.
46
BAB IV
KEKUATAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK MEREK
A. Posisi Kasus
Dalam putusan ini merupakan kasus antara Layndro Santoso yang bertempat
tinggal di Jalan Simokerto 106 Surabaya, melawan Limong Latief yang bertempa
tinggal di Simolawang Baru V/22 Kota Surabaya. Dalam hal ini Layndro Santoso
sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat dan Limong Latief sebagai Termohon
Kasasi dahulu Penggugat.
Limong Latief sebagai pemilik merek Hokotex telah mendaftarkan mereknya
pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementrian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia sejak tanggal 30 Agustus 1996, yakni antara
lain:
1. Merek dagang ARTEX daftar no. 366659 tanggal 30 Agustus 1996, dan
diperpanjang lagi dibawah daftar no. 000027655 pada 18 Januari 2005.
2. Logo dan bentuk huruf indah, H HOKOTEX daftar no. 050503 pada tanggal
15 April 2011, uraian warna hijau
Keduanya didaftarkan untuk perlindungan jenis barang kelas 25. Jenis barang
kelas 25. Jenis barang kelas 25 adalah konpeksi/pakaian jadi, celana
panjang/pendek, baju lengan panjang/pendek, piyama, daster, rok-rok wanita,
blus-blus wanita, gaun wanita, ban pinggang, rok dalam wanita, kaos tangan, kaos
baju, T- Shirt, kaos kutang, celana dalam, jaket, baju pengantin, sepatu, sandal,
kaos kaki, kutang wanita, jas-jas, baju safari, topi dan baju olahraga1.
Layndro Santoso sebagai pemilik merek Nikitex telah mendaftarkan
mereknya pada Ditektorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementrian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan data sebagai berikut :
1 http://startuphki.com/kelas-barang-untuk-merek/. (Diakses pada tanggal 31 Agustus 2018).
47
1. Merek dagang Nikitex dengan Nomor Pendaftaran : ID.0000369698 pada
tanggal 13 Juni 2005 untuk melindungi jenis barang yang termasuk kelas
25. Uraian warna kuning, hitam merah, dan putih
Atas data tersebut menjadi alasan bagi penggugat merasa bahwa dirinya
adalah pendaftar pertama (first to file) hak merek dengan kata ARTEX. Dan
dengan terdaftarnya merek Nikitex milik tergugat pada Dirjen HKI membuat
penggugat merasa dirugikan karena menurutnya izin hak atas merek yang dimiliki
penggugat dikesampingkan dan ada kesamaan baik secara keseluruhan atau pada
pokoknya antara merek yang dimiliki penggugat dan tergugat. Hal ini selanjutnya
menjadi dugaan penggugat atas adanya itikad buruk atas pendaftaran merek milik
tergugat, yaitu mendompleng ketenaran dari merek penggugat dimana penggugat
telah melakukan berbagai kegiatan promosi dalam berbagai skala dalam aktivitas
usahanya.
Atas alasan tersebut penggugat memohon Majelis Hakim Pengadilan Niaga
Surabaya untuk mengadili dengan menyatakan untuk menghentikan produksi
celana dalam merek NIKITEX dan menarik produknya yang sudah beredar
dipasaran.
B. Pertimbangan dan Putusan Hakim Mahkamah Agung
Pertimbangan Hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, disamping itu juga
mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan
hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat2. Pada kasus ini Majelis
Hakim Mahkamah Agung telah memberikan pertimbangan sebagai berikut :
2 Mukti, Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta;
Pustaka Pelajar, 2004), h., 140.
48
1 Bahwa alasan-alasan kasasi yang diajukan Layndro Santoso dapat dibenarkan,
Judex Facti (Pengadilan Niaga) telah salah menerapkan hukum, terutama
tentang hak cipta;
2 Bahwa “persamaan pada pokoknya” dikenal dalam penyelesaian perkara
Merek
3 Bahwa dalam sengketa Hak Cipta, harus diteliti siapa “pencipta terdahulu
atau pertama kali” sesuai dengan sistem deklaratif yang dianut dalam hak
cipta
4 Bahwa dalam perkara ini antara merek milik Tergugat (dilindungi dengan
Sertifikat Merek dan hak cipta milik Penggugat dilindungi dengan Sertifikat
Hak cipta), keduanya sama-sama memiliki perlindungan hukum. Masalahnya
siapa “pemakai terdahulu/pertama?”
5 Bahwa Hak Cipta Penggugat baru terdaftar pada tanggal 15 April 2011
sedangkan Merek Tergugat sudah terdaftar sejak tanggal 5 Juni 2000
6 Bahwa dari fakta di atas memperlihatkan pihak tergugat terlebih dahulu
menggunakan logo N untuk merek dagang NIKITEX
7 Bahwa fakta dan pengakuan tergugat sendiri diuraikan dalam gugatan bahwa
Penggugat pada tahun 2011 mulai menggunakan Logo H untuk ciptaan
HOKOTEX
8 Bahwa hal ini membuktikan bahwa tergugatlah lebih dahulu yang
membuat/sekaligus menciptakan dan menggunakan Logo N untuk merek
NIKITEX
9 Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut pendapat Mahkamah
Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari
pemohon kasasi : LAYNDRO SANTOSO.
Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim Mahkamah Agung
memberikan keputusan sebagai berikut :
1. Mengadili :
49
a. Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi : LAYNDRO
SANTOSO
b. Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Surabaya No. 10/HKI. Cipta/2011/PN.Niaga.Sby, Tanggal 17 Januari
2012
2. Mengadili sendiri :
a. Dalam eksepsi :
1) Menolak eksepsi tergugat
b. Dalam pokok perkara :
1) Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2) Menghukum Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar
biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat
kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah)
C. Implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Terhadap Sengketa
Nomor 658 K/ PDT. SUS/ 2012
Berdasarkan posisi kasus yang peneliti tampilkan pada bab sebelumnya,
penulis menyimpulkan ada dua pokok permasalahan yang dapat diidentifikasi,
yaitu :
1. Mengapa izin hak merek tergugat diabaikan didalam kasus Nomor 658 K/
PDT. SUS/ 2012?
2. Siapakah pihak yang merupakan pendaftar pertama (first to file) hak merek
dalam putusan Nomor 658 K/ PDT. SUS/ 2012?
Perlu diketahui bahwasannya prinsip perlindungan merek di Indonesia adalah
memberikan perlindungan atas merek terdaftar atas itikad baik (good faith)3.
Untuk memastikan hal tersebut maka telah diatur dalam Undang-Undang Merek
prihal persyaratan substantif dalam pendaftaran merek yang diatur dalam Pasal 20
dan 21 Undang-Undang Merek, yang merupakan alasan absolut dan alasan relatif
3 Rahmi Jened, Hukum Merek, (Jakarta: Prenamedia Group, 2015), h., 94.
50
tidak dapat diterimanya pendaftaran suatu merek. Alasan absolut terdapat pada
Pasal 20 sedangkan alasan relatif diatur pada Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Alasan relatif ditolaknya pendaftaran suatu merek yang tercantum pada Pasal
21 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Merek mengatur bahwasannya merek yang
hendak didaftarkan tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu
untuk barang dan/atau jasa sejenis. Selanjutnya dijelaskan dalam penjelasan
Undang-Undang Merek bahwasannya yang dimaksud dengan persamaan pada
pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan
antara Merek yang satu dengan Merek yang lain sehingga menimbulkan kesan
adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau
kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan, yang terdapat dalam
Merek tersebut.
Berdasarkan aturan tersebut, penulis membandingkan merek kedua belah
pihak dengan memperhatikan tampilan merek masing-masing pihak dan
mendapatkan bahwasannya:
1. Merek kedua belah pihak memiliki perbedaan bentuk dalam tampilan huruf
mereknya
2. Izin Merek Pemohon Kasasi (Layndro Santoso) IDM000369698, tanggal 13
Juni 2005 uraian warna hitam dan putih
3. Izin Merek Termohon Kasasi (Limong Latief) tanggal 15 April 2011, Nomor
Pendaftaran : 050503, dengan uraian warna hijau
Hasil perbandingan tersebut menunjukan banyak kesamaan antara merek
kedua belah pihak diantaranya: adanya persamaan pada kotak kemasan celana
dalam pria yang berwarna hijau serta logo dan huruf indah. Sama- sama
mengandung kata “tex” sebagai main brand-nya dan memiliki bunyi yang sama
pada penyebutan kata “tex” Sedangkan yang membedakan hanya bunyi dalam
51
merek tersebut merek tergugat bernama NIKITEX sedangkan penggugat
HOKOTEX. Berdasarkan hal tersebut penulis menyimpulkan seharusnya
sengketa tersebut ialah sengketa merek bukanlah sengketa hak cipta dikarenakan
terdapat persamaan pada pokoknya didalam merek kedua belah pihak yang
dimana persamaan pada pokoknya hanya dikenal oleh hak merek bukan hak cipta.
Oleh karena itu, sudah seharusnya izin hak merek dari tergugat tidak bisa
diabaikan.
Ironisnya, Majelis Hakim kurang teliti dalam meihat sertifikat Merek kedua
belah pihak, pemohon kasasi (Layndro Santoso) dengan mereknya yang bernama
NIKITEX memiliki izin IDM000024088 pada tanggal 13 Juni 2005 dengan uraian
warna hitam dan putih sedangkan termohon kasasi (Limong Latief) dengan
mereknya bernama HOKOTEX memiliki izin Nomor Pendaftaran : 050503 pada
tanggal 15 April 2011 dengan uraian warna hijau. Sudah jelas sekali terdapat
perbedaan dari uraian warna yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Oleh karena
itu, sudah sepatutnya gugatan kasasi ini ditolak.
Dan lebih ironisnya lagi, objek yang disengketakan merupakan merek
dagang NIKITEX berwarna hijau dengan HOKOTEX yang berwarna hijau,
pemilik merek dagang NIKITEX belum mendaftarkan merek dengan uraian
warna hijau sedangkan pemiliki dagang HOKOTEX sudah mendaftarkan terlebih
dahulu dengan Nomor Pendaftaran: 050503 pada tanggal 15 April 2011 dengan
uraian warna hijau, sudah semakin jelaslah bahwasannya termohon kasasi sebagai
pemegang sertifikat merek dagang HOKOTEX lebih dahulu mendaftarkan
mereknya yang berwarna hijau.
Masalah selanjutnya adalah “siapakah pihak yang merupakan pendaftar
pertama (first to file) pada putusan Nomor 658 K/ PDT. SUS/ 2012?”. Menurut
Rahmi Jened pendaftaran merek junior yang memiliki kesamaan pada pokoknya
atau persamaan secara keseluruhan dengan merek senior harus ditolak oleh Ditjen
52
HKI4. Jadi dapat disimpulkan bahwa merek yang harus dihapuskan adalah merek
yang paling akhir didaftarkan (merek junior). Berdasarkan data yang penulis
tampilkan pada bab sebelumnya dapat dipastikan bahwa merek tergugat kasasilah
yang terlebih dahulu sehingga menjadikan tergugat kasasi sebagai pendaftar
pertama (first to file) hak merek yang menggunakan kata “tex” pada kasus ini.
Tergugat kasasi telah mendaftarkan mereknya pada:
1. Merek dagang Hokotex daftar No. 366659 dibawah daftar No. 000027655
pada 15 April 2011
Penggugat kasasi belum mendaftarkan mereknya yang memiliki uraian
warna hijau, penggugat kasasi hanyalah mendaftarkan mereknya dengan uraian
warna hitam dan putih dengan sertifikat Nomor Pendaftaran : 0000369698 pada
tanggal 13 Juni 2005
Adanya persamaan pada pokoknya antara merek kedua belah pihak serta
lebih dahulunya tergugat kasasi dalam mendaftarkan mereknya sehingga
menjadikannya sebagai pendaftar pertama (first to file) hak merek yang
menggunakan kata dasar “tex” menjadi dasar alasan pembatalan merek Penggugat
kasasi. Sudah seharusnya tergugat kasasi mendapatkan perlindungan dari Ditjen
HKI sesuai dengan Undang-Undang Merek Nomor 20 Tahun 2016 sesuai dengan
Pasal 3 menyebutkan bahwa Hak atas Merek diperoleh setelah merek tersebut
terdaftar.
D. Analisis Peneliti
Majelis Hakim pada Putusan Nomor: 658 K/ PDT. SUS/ 2012 memiliki dua
pertimbangan utama dalam menjatuhkan putusannya, yaitu:
1. Bahwa dalam perkara ini antara hak merek milik penggugat kasasi (dilindungi
dengan sertifikat merek dan hak cipta milik serta tergugat kasasi dilindungi
4Rahmi Jened, Hukum Merek....., h., 236.
53
dengan sertifikat hak cipta dan hak merek), keduanya sama-sama memiliki
perlindungan hukum, Masalahnya siapa “pemakai terdahulu/pertama?
2. Bahwa hak cipta tergugat kasasi baru terdaftar pada tanggal 15 April 2011
sedangkan merek penggugat kasasi sudah terdaftar sejak tanggal 5 Juni 2000
3. Bahwa dari fakta diatas memperlihatkan pihak penggugat kasasi lebih dahulu
menggunakan logo N untuk merek dagang NIKITEX
Pada pertimbangan pertama hakim menyatakan “Bahwa dalam perkara ini
antara hak merek milik penggugat kasasi (dilindungi dengan sertifikat merek dan
hak cipta milik serta tergugat kasasi dilindungi dengan sertifikat hak cipta dan hak
merek), keduanya sama-sama memiliki perlindungan hukum, Masalahnya siapa
“pemakai terdahulu/pertama?”.
Sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya, bahwa pada pertimbangan ini
hakim hanya memperhatikan sertifikat hak cipta dari kedua belah pihak saja, serta
penggugat kasasi adalah pemegang hak ekslusif atas kotak celana dalam pria yang
bergambar seni rupa dan warna hijau, berupa logo dan bentuk huruf indah, “H.
HKOTEX”. Sehingga pemakaian logo/ seni rupa yang dimana penggugat kasasi
selalu menyampaikan rumusan-rumusan yang justru lazim dipergunakan dalam
hukum merek dan paten. Yaitu tentang “kotak celana dalam pria”. Serta kata
“tex” pada kemasan celana dalam pria tersebut.
Padahal, antara hukum hak cipta, terdapat perbedaan yang mendasar dengan
hukum merek maupun paten. Sertifikat hak merek milik tergugat kasasi telah
lebih dahulu didaftarkan pada tanggal 30 Agustus 1996. Oleh karena itu, sudah
seharusnya tergugat kasasi mendapatkan perlindungan hukum dari hak atas merek
yang dikeluarkan oleh Ditjen HKI sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Ironisnya, Pemohon Kasasi mengajukan gugatan pidana terhadap termohon
kasasi di Pengadilan Surabaya No. 765 K/ Pid. Sus/ 2015 gugatan yang diajukan
didalam persidangan menggunakan Undang-Undang merek Pasal 91 yaitu
54
melakukan dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada
pokoknya dengan merek terdaftar. Dan tidak ada gugatan yang mengenai hak
cipta sama sekali. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kasus No. 658 K/ PDT. SUS/
2012 masuk kedalam kasus merek. Pendapat ini diperkuat dengan berdasarkan
keterangan ahli Ignatius Ht Silalahi, SH, MH yang menerangkan pada pokoknya
terhadap barang bukti yang diperlihatkan merek HOKOTEX + logo terdapat
persamaan pada pokoknya pada logo, sedangkan apabila menggunakan merek
HIKITEX + logo maka mempunyai persamaan pada pokoknya pada bunyi
pengucapan dan logonya dengan merek NIKITEX yang terdaftar di Ditjen HKI.
Keterangan ahli pun tidak memperhatikan izin merek diantara kedua belah pihak
yang memiliki perbedaan warna yang amat sangat me dasar, sudah semakin jelas
bahwa seharusnya sengketa tersebut masuk kedalam sengketa merek bukan
sengketa hak cipta
Ketiga, sudah seharusnya hakim bersifat progresif, tidak boleh memihak
kepada salah satu pihak serta harus melihat dari faktor-faktor lain yaitu faktor dari
Undang-Undang lain yang berlaku di Indonesia seperti dalam permasalahan diatas
yaitu Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis. Menurut penulis dalam
kasus ini seharusnya masuk kedalam kasus HAKI juga tapi dalam pelanggaran
merek dagang yaitu dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis Pasal (1) yaitu Merek adalah tanda yang berupa
gambar, nama, kata, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang dan atau jasa. Dan juga berlanjut pada Ayat
(2) Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa dengan barang-barang sejenis
lainnya. oleh karena itu, sudah jelas bahwa dalam kasus putusan MA No. 658 K/
PDT.SUS/ 2012 itu masuk dalam pelanggaran merek dagang yang selalu
membahas susunan warna hijau pada kemasan celana dalam pria.
55
Dan dari fakta yang terjadi di dalam kasus MA No. 658 K/ PDT. SUS/ 2012
yang berlanjut ke putusan MA No. 765 K/ Pid. SUS/ 2015 bahwasannya
pemegang merek NIKITEX (Pemohon Kasasi) hanya memiliki sertifikat izin
merek dengan uraian warna hitam dan putih, bukan lah uraian warna hijau seperti
objek yang disengketakan. Sementara itu, pemegang merek HOKOTEX
(Termohon Kasasi) memiliki sertifikat merek dengan uraian warna hijau
semenjak tahun 2011 yang dimana dijadikan alat bukti didalam putusan MA No.
765 K/ Pid. SUS/ 2015 sedangkan pemilik merek NIKITEX baru mendaftarkan
merek berupa uraian warna hijau pada tanggal 21 Januari 2013 No. IDM
000381856.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dari perbedaan yang telah
disebutkan oleh penulis merek NIKITEX yang asal mulanya hanya dengan uraian
warna kuning, hitam, merah dan putih diubah menjadi uraian warna hijau setelah
pada tanggal 21 Januari 2013 dengan sertifikat baru, hal ini menunjukan itikad
tidak baik dari pemilik merek NIKITEX yang sengaja ingin meniru dan ingin
menjera pidana pemilik merek HOKOTEX dalam sengketa kasus persamaan pada
pokoknya, padahal jika dicermati pemilik merek HOKOTEX lah yang memiliki
sertifikat merek dengan uraian warna hijau terlebih dahulu dibanding dengan
pemilik merek NIKITEX yang baru diubah pada tanggal 21 Januari 2013.
Kasus yang terjadi dalam Putusan MA No. 658 K/ PDT. SUS/ 2012 sudah
sesuai dengan firman Allah SWT, Surat Al- Baqarah Ayat : 194
“Bulan Haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati,
berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kamu,
56
maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu, bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang
bertakwa (QS. Al- Baqarah : 194).
Tafsir Ayat ini mengungkapkan bahwa jika orang lain melakukan aniaya
kepada kita hendaklah dibalas dengan perlakuan yang sama, dan tidak
melampaui batas dari padanya5. Dengan kata lain, jika orang lain melakukan
kerugian maka mintalah kerugian itu sesuai dengan kadarnya dan janganlah
berlebihan, karena akan berakibat riba. Dalam hal ini Allah mengungkapkan
bahwa orang-orang yang bertakwa kepada-Nya hendaknya dapat berperilaku adil
dan menghindari dari hal-hal yang menimbulkan ketidak halalan seperti riba.
Sesuai dengan Firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang
beriman”. Pada putusan 658 K/ PDT.SUS/ 2012 menghukum termohon kasasi
meniru kemasan kotak celana dalam pria Hokotex yang harus membayar perkara
dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).
Berdasarkan penjabaran diatas penulis menyimpulkan bahwa Majlis Hakim
pada putusan Nomor : 658 K/ PDT. SUS/ 2012 telah melakukan pertimbangan
yang tidak tepat. Hal tersebut berdampak pada putusan hakim yang penulis nilai
juga tidak tepat, karena dalam putusannya hakim memutuskan bahwa penggugat
kasasi lebih dahulu yang membuat sekaligus menciptakan dan menggunakan logo
N untuk merek NIKITEX dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Penghapusan merek pemohon kasasi pada kasus ini menjadi sangat penting,
demi mewujudkan perlindungan hukum terhadap termohon kasasi sebagai
pendaftar pertama. Dimana suatu merek menimbulkan hak ekslusif bagi pemilik
merek. Hak ekslusif penggunaan merek tersebut berfungsi seperti suatu merek
memberi hak ekslusif pada yang bersangkutan, maka hak itu dapat dipertahankan
5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishab : Pesan, Kesan dan Keseharian Al-Qur’an,
h., 433.
57
terhadap siapa pun6. Termasuk terhadap merek yang memiliki kesamaan pada
pokoknya atau persamaan secara keseluruhan milik orang lain.
6 Muhammad Jumhana dan R. Jubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan
Prakteknya di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h., 232.
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1 Pada sengketa merek antara “Hokotex” dengan merek “ Nikitex”. Merupakan
sengketa merek bukan sengketa hak cipta. Dikarenakan sesuai dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis terletak pada Pasal 6 Ayat (1) huruf a. Dimana berdasarkan
ketentuan tersebut merek junior yang memiliki persamaan dengan merek
senior tidak layak didaftarkan. Sehingga apabila ada dua merek yang memiliki
persamaan, maka merek yang terakhir didaftarkan (merek junior) dapat
dibatalkan demi menjaga hak ekslusif dari pendaftar pertama atas merek yang
bersangkutan.
2 Majlis Hakim Mahkamah Agung telah tidak tepat dalam pertimbangannya,
dimana hakim hanya melihat dari segi hak cipta dari kedua belah pihak tanpa
memperhatikan sertifikat hak merek tergugat kasasi. Ironisnya, ketika
pemohon kasasi mengajukan gugatan pidana ke Pengadilan Surabaya gugatan
seluruhnya menggunakan Undang-undang Merek sehingga terdapat dualisme
antara hak cipta dan hak merek, menurut penulis kata persamaan pada
pokoknya terdapat pada hak merek bukan terdapat pada hak cipta, sehingga
menurut penulis sengketa tersebut masuk kedalam sengketa hak merek.
Berdasarkan penjabaran penulis seharusnya merek “NIKITEX” dihapuskan
demi menjaga hak ekslusif termohon kasasi sebagai pendaftar pertama (first to
file) hak merek dengan merek “HOKOTEX”.
59
B. Rekomendasi
1. Penulis menyarankan agar diadakan sosialisasi perihal merek dan hak cipta
kepada masyarakat umum melalui seminar-seminar umum agar masyarakat
tahu merek apa saja yang dapat didaftarkan dan tidak dapat didaftarkan
sebagai merek.
2. Dengan dilakukannya gelar perkara di pengadilan dalam kasus putusan No.
658 K/ PDT. SUS/ 2012, maka hendaknya para pihak lebih berhati-hati dalam
membuat suatu karya cipta maupun sebuah merek. Dan hendaknya para pihak
lebih mematuhi dan mentaati setiap ketentuan peraturan yang ada.
3. Dalam menjatuhkan suatu sanksi diharapkan pengadilan lebih memperhatikan
terhadap suatu hal yang lebih spesifik seperti hak cipta yang dijumpai
kemiripan dengan hak merek, hakim lebih bisa menimbang setiap pembelaan
dari masing-masing pihak.
4. Penulis menyarankan agar diadakan amandemen terhadap Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dengan
memberikan ketentuan yang lebih rinci lagi perihal merek yang sudah menjadi
milik umum dan standar penilaian yang terukur serta mengikat setiap pihak
dalam menentukan persamaan suatu merek, sehingga peraturan tersebut
dapat dengan mudah mengidentifikasi apakah merek yang bersangkutan layak
atau tidak untuk didaftarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta;
Pustaka Pelajar, 2004).
Black Henry Campbell, Black’s Law Dictionary. 1996.
Darmohardjo Dardji, Shidarta., Pokok-pokok filsafat hukum: apa dan
bagaimana filsafat hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006)
Djumhana Muhammad, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya
di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung; 1999.
Gautama Sudargo, Komentar Atas Undang- Undang Merek Baru dan
Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung; 1996.
Hanito Ronny Soemitro, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimentri, (Jakarta ;
Ghalia Indonesia), 1994.
Harahap M. Yahya, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan
Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta; Sinar Grafika) 2008.
Harjowidigdo Rooseno, Mengenal Hak Cipta di Indonesia, (Jakarta; Pustaka
Sinar Harapan, 1992).
HP Pangabean, Fungsi MA Bersifat Pengaturan, Liberty, 2005;Yogyakarta.
Jened Rahmi, Hukum Merek Trademark Law dalam Era Globalisasi &
Integrasi Ekonomi, Prenamedia Group, Jakarta; 2015.
Kalo Syafruddin, “Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan
Rasa keadilan Masyarakat” dikutip dari http://www.academia.edu.com diakses 5
September 2018
Kusnadi Moh., Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum
Tata Negara, Fak. Hukum UI.
Lindsey, dkk, Hak Kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar) , (Bandung : PT.
Alumni, 2006).
Mahmud Peter Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, cet-IV 2010).
Martin Brian, Against Intellectual Property, Department of Science And
Technology, University of Wallongong, Australia.
Mertokusumo Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty, 2005).
Moerdiono, Hak Milik Intelektual dan Alih Teknologi, Jakarta : Prisma,
LP3ES, 1987.
Muhammad Abdulkadir, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,
Bandung, 2001.
OK. H. Saidin Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Right), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Pasek I Made Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam
Justifikasi Teori Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016).
Quraish M. Shihab, Tafsir Al- Mishab : Pesan, Kesan dan Keseharian Al-
Qur’an,
Rachmad Abdul Saliman, Hermansyah, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan
Teori & Contoh Kasus, Jakarta, 2005.
Soekanto Soerjono. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam
Penelitian Hukum. (Jakarta: Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979).
Syarifin Pipin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Bandung,
2004.
Usman Rachmadi, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Bandung 2003.
Zamroni, 2009. Sejarah Mahkamah Agung: (Online),
(http//:www.zamroni.com/40-sejarah-mahkamah-agung.html., diakses pada
tanggal 31 Agustus 2018).
https://www.mahkamahagung.go.id/id/struktur-organisasi (diakses pada
tanggal 13 September 2018
http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/beranda.html, diakses pada tanggal
31 Agustus 2018
http://startuphki.com/kelas-barang-untuk-merek/. Diakses pada tanggal 31
Agustus 2018.
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A N
Nomor : 658 K/PDT.SUS/2012
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara perdata khusus Hak atas Kekayaan Intelektual ( Hak Cipta )
dalam tingkat kasasi telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara :
LAYNDRO SANTOSO, bertempat tinggal di Jalan Kapasan
122 Surabaya, saat ini bertempat tinggal di Jalan Simokerto
106, Surabaya, dalam hal ini memberi kuasa kepada DONA A.
TIMISELA, SH., Dkk. Para Advokat, berkantor di Jalan Raya
Arjuna No. 12-C, Surabaya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus,
tanggal 24 Januari 2012 ;
Pemohon Kasasi dahulu Tergugat ;
M E L A W A N :
LIMONG LATIEF, bertempat tinggal di Simolawang Baru V/22
Kota Surabaya ;
Termohon Kasasi dahulu Penggugat ;
Mahkamah Agung tersebut ;
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
Termohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah menggugat sekarang Pemohon
Kasasi dahulu sebagai Tergugat di muka persidangan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Surabaya pada pokoknya atas dalil-dalil :
1. Bahwa Penggugat adalah pedagang legal dengan nama UD. Podo Subur
sebagaimana :
• Surat Izin Usaha Perdagangan (kecil) No. 503/6286A/436.11/2011
bidang usaha pakaian jadi, seprei, yang dikeluarkan oleh Dinas
Perdagangan dan Perindustrian tanggal 22 Juni 2011 ;
• Tanda Daftar Perusahaan (Persekutuan Perorangan (PO) Nomor
TDP : 130155148090 berlaku sampai dengan tanggal 27 Juni 2016 ;
2. Bahwa Penggugat memproduksi celana dalam pria dengan merek ARTEX
milik orang tua Penggugat berdasarkan Sertifikat merek No. Pendaftaran :
366659 sejak 30 Agustus Tahun 1996 (vide surat bukti P.3) dan
diperpanjang lagi pada 18 Januari 2005 (vide surat Bukti P.4) TDM :
000027655 oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, produksi
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
celana dalam pria tersebut dilanjutkan oleh Penggugat selaku generasi
penerus dari usaha orang tuanya yang saat sudah berusia lanjut. Bahwa
celana dalam pria yang diproduksi Penggugat laku keras dipasaran dengan
harga murah, dan kwalitas bagus serta jahitannya halus ;
3. Bahwa Penggugat yang memproduksi celana dalam pria merek ARTEX,
yang menciptakan type baru dengan kotak kemasan bergambar : berupa
logo dan bentuk huruf indah, H HOKOTEX dengan khas yang menjadi ciri
ciptaan tersebut huruf H dasar warna hijau yang telah mendapat
perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2002
tentang Hak Cipta dengan dikeluarkannya Surat Pendaftaran Ciptaan
dengan Nomor Pendaftaran : 050503 atas nama Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI, tanggal 15 Aprii 2011 ;
4. Bahwa Tergugat memproduksi :
• Celana dalam pria dalam merek NIKITEX dengan Nomor
Pendaftaran : ID.0000369698 13 Juni 2005. Dengan khas yang
menjadi ciri, ukuran, warna hitam dan putih ;
• Celana dalam pria merek NIKITEX dengan IDM : 000175688 dengan
khas yang menjadi khas yang menjadi ciri uraian warna tulisan
kuning emas, tulisan merah kombinasi kuning Kotak kemasan celana
dalam hitam putih ;
5. Bahwa namun pada kenyataannya untuk penjualan di pasar, Tergugat
menyamarkan kotak kemasan produk penjualan celana dalam pria yang
khas yang menjadi ciri yang sama dasar warna hijau sebagaimana milik
Penggugat. Bahwa logo dan bentuk huruf indah dasar warna hijau pada
kotak kemasan celana dalam pria milik Tergugat yang menyerupai milik
Penggugat ;
6. Bahwa kotak kemasan celana dalam pria yang diperdagangkan Tergugat
menyamai logo dan bentuk huruf indah dengan khas yang menjadi ciri
dasar warna hijau milik Penggugat yang telah mempunyai perlindungan
hukum Hak Cipta. Yaitu Surat Pendaftaran Ciptaan dengan Nomor
Pendaftaran : 050503 yang dikeluarkan atas nama Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI. tanggal 15 April 2011 ;
7. Bahwa adapun celana dalam pria produksi Tergugat yang beredar di pasar
antara lain sebagai berikut :
• Toko Lily, Pasar Kapasan LT. I Blok IV No. 14 Surabaya, menjual
celana dalam pria dengan kotak kemasan NIKITEX yang khas
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
menjadi ciri warna hijau dan NIKITEX khas yang menjadi ciri warna
hitam kombinasi putih ;
• UD. Perdana Pasar Kapasan Baru LT. I Blok II No. 34 Surabaya,
menjual celana dalam pria dengan kotak kemasan NIKITEX yang
khas menjadi ciri warna hijau dan NIKITEX khas yang menjadi ciri
warna hitam kombinasi putih ;
• Toko Pangestu, Pasar Kapasan Baru LT. I, Blok II No. 10 Surabaya,
menjual celana dalam pria dengan kotak kemasan NIKITEX yang
khas menjadi ciri warna hijau dan NIKITEX khas yang menjadi ciri
warna hitam kombinasi putih ;
• Dan lain-lainnya ;
8. Bahwa kegiatan Tergugat secara komersial yaitu berdagang yang tidak
termasuk ke dalam atau selain yang diatur oleh Pasal 15 Undang-Undang
No. 12 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, maka hal itu merupakan
pelanggaran hak cipta. Yang dapat dibuktikan dengan melihat langsung
secara fisik pada kotak kemasan celana dalam pria milik Penggugat dan
Tergugat berupa : Kotak celana dalam pria merek NIKITEX warna hijau
Reg-0000369698 yang beredar di pasar (vide alat bukti P-7). Yang
dibandingkan logo dan huruf indah, khas yang menjadi ciri warna hijau hak
cipta milik Penggugat. Kotak celana dalam pria hak cipta yang bergambar
seni rupa dan warna hijau, berupa logo dan bentuk huruf indah, H
HOKOTEX dengan khas yang menjadi ciri ciptaan tersebut warna hijau ;
9. Bahwa untuk itu mohon Majelis Hakim menyatakan bahwa Tergugat
Layndro Santoso telah melakukan pelanggaran hak cipta milik Penggugat
Limong Latief, khususnya khas yang menjadi ciri kotak kemasan celana
dalam pria merek NIKITEX dasar warna hijau dan menghentikan produksi
celana dalam merek NIKITEX dengan kotak kemasan dasar khas ciri
dengan dasar warna hijau. Dan menghentikan produksinya serta menarik
produknya yang sudah beredar dipasaran ;
10.Bahwa apabila Hakim berpendapat lain, mohon keputusan seadil-adilnya
pada perkara ini ;
Dari alasan-alasan tersebut di atas mohon Majelis Hakim yang memeriksa perkara
ini sudi memberikan amar putusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan semua gugatan Penggugat seluruhnya ;
2. Menyatakan Tergugat Layndro Santoso telah melakukan pelanggaran hak
cipta, khas yang menjadi ciri ciptaan huruf H dasar warna hijau milik
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Penggugat Limong Latief, khususnya kotak kemasan celana dalam pria
merek NIKITEX khas dengan ciri dasar warna hijau ;
3. Memerintahkan Tergugat Layndro Santoso menghentikan produksi celana
dalam pria merek NIKITEX dengan khas yang menjadi ciri kotak kemasan
dasar warna hijau ;
4. Memerintah Tergugat Layndro Santoso menarik semua produksi celana
dalam pria di pasaran dengan merek NIKITEX dengan kotak kemasan khas
yang menjadi ciri dasar warna hijau ;
5. Menghukum Tergugat membayar biaya perkara ini ;
Menimbang, bahwa atas gugatan tersebut Tergugat telah mengajukan
Eksepsi yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
A. Premature :
1. Bahwa menyimak saksama gugatan yang diajukan Penggugat,
secara jelas Penggugat memasalahkan adanya “pelanggaran hak
cipta” dengan dalil adanya persamaan antara Hak Cipta milik
Penggugat yang termasuk dalam kategori seni lukis judul ciptaan “H”
dengan merek “NIKITEX” milik Tergugat dengan logo merek berupa
huruf “N” ;
2. Bahwa secara yuridis materiil dalil tentang adanya “pelanggaran hak
cipta” tersebut haruslah dibuktikan terlebih dahulu dengan putusan
pidana yang mempuyai kekuatan hukum tetap ;
3. Bahwa untuk itu, gugatan Penggugat haruslah dinyatakan
Premature ;
B. Obscuur Libel :
1. Bahwa gugatan Penggugat telah diformulasikan dan dikongkritisir
secara kabur dan tidak jelas (obscuur libel) ;
2. Bahwa gugatan Penggugat menjadi tidak jelas dan kabur karena
banyaknya fakta hukum yang tidak dikongkritisir dengan benar dan
teratur (missing link), sebagai contoh kongkritnya Penggugat sengaja
menghilangkan dan menyembunyikan secara unfair fakta-fakta
hukum antara lain sebagai berikut :
A. Bahwa fakta hukum yang sengaja disembunyikan oleh
Penggugat adalah bahwa Tergugat adalah pemilik merek
“NIKITEX” berikut dengan perlindungan Logo “N” sebagai
merek “NIKITEX” untuk kelas barang 25, yang telah terdaftar
dalam Daftar Umum Merek Dirjen HAKI, sejak tahun 2000
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
(jauh sebelum pendaftaran hak cipta Seni Lukis “H” milik
Penggugat yang baru terdaftar pada tahun 2011), adapun
Sertifikat Merek “NIKITEX” yang dimiliki Tergugat :
1. Sertifikat Merek “NIKITEX” No. 447452 tanggal 5 Juni
2000, yang telah diperpanjang dengan Sertifikat
Merek No. IDM000175688 tanggal 13 Juli 2009,
dengan etiket merek “NIKITEX + Logo N” ;
2. Sertifikat Merek “NIKITEX” No. 447506 tanggal 5 Juni
2000, yang telah diperpanjang dengan Sertifikat
Merek No. 1DM000024088 tanggal 21 Desember
2004, dengan etiket merek “NIKITEX + Logo N” ;
B. Bahwa lebih ironis, fakta hukum lain yang sengaja
disembunyikan oleh Penggugat dalam perkara a quo adalah
saat ini Penggugat telah ditetapkan sebagai Tersangka, atas
Laporan Polisi yang diajukan oleh Tergugat di Polda Jatim,
sebagai Laporan Polisi No. TBL/310/VI/2011/Jatim tanggal 24
Juni 2011, dengan tuduhan Penggugat telah melakukan tindak
pidana pemalsuan merek menggunakan merek yang
mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek
terdaftar “NIKITEX” milik Tergugat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 91 dan atau Pasal 94 Undang-Undang No. 15
Tahun 2001 tentang Merek, Bahwa penggunaan merek
“HOKOTEX + Logo H” oleh Penggugat jelas mempunyai
persamaan pada pokoknya dengan merek “NIKITEX” milik
Tergugat yang telah terdaftar ;
C. Bahwa berkas penyidikan perkara pidana atas nama
Tersangka Limong Latief (Penggugat) dalam proses
pemberkasan dan pengiriman berkas perkara ke Kejaksaan
Tinggi Jawa Timur, sesuai dengan SP2HP (Surat
Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) dari Polda
Jatim No. B/314/SP2HP-3/X/2011/Ditreskrimsus tanggal 10
Oktober 2011 ;
D. Bahwa telah terungkap itikad buruk Penggugat, dimana
Penggugat menggunakan merek “HOKOTEX + Logo H” dalam
produk celana dalam yang dipasarkan oleh Penggugat,
padahal Penggugat tidak memiliki merek “HOKOTEX + Logo
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
H” sebagai merek terdaftar, yang dimiliki Penggugat hanyalah
hak cipta Seni Lukis “H”, bahwa jelas penerapan/penggunaan
suatu hak cipta sebagai merek dalam suatu produk
merupakan pelanggaran dan bertentangan maksud dan tujuan
perlindungan suatu hak cipta ;
E. Bahwa untuk itu, sangatlah jelas tercermin itikad buruk dari
Penggugat yang berusaha merekayasa hukum dengan
mengajukan gugatan a quo untuk menghambat proses pidana
Penggugat serta berusaha mencari pembenaran atas
penggunaan hak cipta Seni Lukis “H” sebagai suatu merek
dalam produk yang diproduksi dan dipasarkan oleh
Penggugat ;
3. Bahwa jelas terurai dalam Sertifikat Hak Cipta No. 050503 tanggal 15
April 2011 yang dimiliki oleh Penggugat adalah hak cipta Seni Lukis
“H” bukan terhadap perlindungan terhadap “warna hijau” yang
menjadi warna dasar kemasan produk Penggugat. Bahwa secara
yuridis warna dasar hijau dalam kemasan bukan merupakan
perlindungan hak cipta ;
4. Bahwa mohon dicatat, sebagaimana dalil gugatan Penggugat point 1
dan 3, dimana perijinan-perijinan yang dimiliki oleh Penggugat baru
terbit tahun 2011 termasuk pula Sertifikat Hak Cipta milik Penggugat
yang dijadikan dasar dalam gugatan a quo juga baru terbit tanggal 15
April 2011. Hal berbeda dengan Tergugat yang sejak tahun 1995
telah mendirikan usaha memproduksi dan memasarkan produk
celana dalam dengan merek “NIKITEX + Logo N” yang telah terdaftar
dalam Daftar Umum Merek Dirjen HKI sejak tahun 2000 ;
5. Bahwa mohon dicatat, Pendaftaran Hak Cipta yang diajukan oleh
Penggugat (Sertifikat Hak Cipta No. 050503 tanggal 15 April 2011)
jelas didasarkan itikad buruk dari Penggugat, yang berusaha untuk
mendompleng/meniru merek terdaftar “NIKITEX + Logo N” yang
dimiliki Tergugat sejak tahun 2000, hal mana dapat dilihat secara
jelas dan nyata dengan membandingkan Seni Lukis “H” milik
Penggugat dengan etiket merek “NIKITEX + Logo N” milik Tergugat,
oleh karenanya secara hukum Penggugat tidak berhak mendapatkan
perlindungan hukum ;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
6. Bahwa gugatan Penggugat semakin kabur dan tidak jelas, karena
Penggugat mengajukan gugatan a quo mengenai pelanggaran hak
cipta, padahal jelas secara yuridis Tergugat adalah pemilik merek
terdaftar atas merek “NIKITEX + Logo N” sejak tahun 2000, bahwa
jelas secara yuridis klasifikasi merek jelas berbeda dengan klasifikasi
Hak Cipta, terlebih perlindungan merek terdaftar “NIKITEX + Logo N”
dalam merek NIKITEX yang dimiliki oleh Tergugat jauh lebih lama
(terbit sertifikat sejak tahun 2000) sedangkan perlindungan hak cipta
milik Penggugat baru tahun 2011 ;
7. Bahwa pencampur adukan term hukum dan klasifikasi hukum yang
terdapat dalam gugatan Penggugat membuktikan adanya kerancuan
hukum dan kekaburan hukum di dalam gugatan Penggugat,
Penggugat tidak mampu membedakan penggunaan produk dengan
merek “NIKITEX + Logo N” oleh Tergugat berdasarkan Hak Eksklusif
Merek Terdaftar dengan hak cipta Penggugat yang hanya bersifat
deklaratif bukan konstitutif ;
8. Bahwa berdasarkan fakta-fakta yuridis di atas, jelas terbukti gugatan
Penggugat telah disusun secara kabur, rancu dan tidak jelas
(obscuur libel) serta tidak berdasar hukum, untuk itu demi kepastian
hukum dan wawasan hukum yang benar, sudah sepatutnya dan
seharusnya gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard) ;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Surabaya telah menjatuhkan putusan, yaitu putusan No. 10/
HKI.Cipta/2011/ PN.Niaga.Sby., tanggal 17 Januari 2012 yang amarnya sebagai
berikut :
Dalam Eksepsi :
• Menolak Eksepsi Tergugat ;
Dalam Pokok Perkara :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian ;
2. Menyatakan Tergugat Layndro Santoso telah melakukan
pelanggaran hak cipta, khas yang menjadi ciri ciptaan Huruf
H - dasar warna hijau, milik Penggugat Limong Latief,
khususnya kotak kemasan celana dalam pria merek
NIKITEX khas dengan ciri dasar warna hijau ;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
3. Memerintahkan Tergugat Layndro Santoso menghentikan
produksi celana dalam pria merek NIKITEX dengan khas
yang menjadi ciri kotak kemasan dasar warna hijau ;
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya ;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp616.000,00 (enam ratus enam belas ribu
Rupiah) ;
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini yang diucapkan dengan
dihadiri Tergugat pada tanggal 17 Januari 2012, kemudian terhadapnya oleh
Tergugat (dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 24 Januari 2012), diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal
30 Januari 2012 sebagaimana ternyata dari Akte Permohonan Kasasi No. 10/
HKI.HAK CIPTA/2011/PN.Niaga.Surabaya yang dibuat oleh Panitera Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya, permohonan tersebut diikuti oleh
memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 9 Februari 2012 ;
Bahwa setelah itu oleh Tergugat/Pemohon Kasasi yang pada tanggal 13
Februari 2012 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Tergugat, diajukan
jawaban atas memori kasasi tersebut yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya pada tanggal 22 Februari 2012 ;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam Undang-undang, maka
oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/
Tergugat dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
I. Judex Facti Telah Menggunakan Hukum
Merek (Undang-Undang No. 15 Tahun
2001 tentang Merek) Terhadap Sengketa
Hak Cipta Dalam Kasus A Quo :
1. Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya halaman 14
mempertimbangkan bahwa :
“Menimbang, bahwa dengan demikian menurut Majelis Penggugat telah
berhasil membuktikan dalilnya bahwa antara hak cipta Logo H milik
Penggugat dengan merek Logo N milik Tergugat telah terdapat
persamaan pada pokoknya” ;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Padahal terminology hukum maupun pengertian hukum tentang “persamaan
pada pokoknya” hanya dikenal dalam Undang-Undang merek No. 15 Tahun
2001, sedangkan Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 tidak
mengenal pengertian hukum tentang “persamaan pada pokoknya”. Lagi
pula, perlindungan hak cipta adalah peniruan yang sama atau perbanyakan
hak cipta yang sama. Tidak ada aturan hukum hak cipta yang mengatur
persamaan pada pokoknya antara ciptaan yang satu dengan ciptaan yang
lain ;
Dengan demikian, jelas Judex Facti secara nyata-nyata salah dalam
menerapkan hukum, yaitu menyamakan sengketa hak cipta dengan
sengketa merek ;
II. Judex Facti Telah Membuat Kekacauan
Hukum Dengan Mencampur-Aduk Dan
Mempertentangkan Perlindungan Hukum
Hak Atas Merek Dengan Perlindungan
Hukum Hak Atas Ciptaan :
1. Judex Facti tidak dapat membedakan hak hukum Pemohon Kasasi
berupa hak atas Merek yang telah terdaftar dalam Daftar Umum
Merek Dirjen HKI sejak tahun 2000. Sehingga berhak mendapatkan
perlindungan hukum dalam penggunaan Logo N sebagai merek
NIKITEX. Ironisnya, Judex Facti dalam pertimbangannya halaman 14
alinea 6 mempertimbangkan bahwa :
“Menimbang, bahwa dengan demikian menurut Majelis Penggugat
(Termohon Kasasi) telah berhasil membuktikan dalilnya bahwa antara Hak
Cipta Logo H milik Penggugat dengan merek Logo N milik Tergugat telah
terdapat persamaan pada pokoknya” ;
Dari pertimbangan hukum tersebut, Judex Facti telah mengalahkan hak
atas Merek milik Pemohon Kasasi yang telah mendapatkan perlindungan
hukum sejak tahun 2000 berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001
tentang Merek dengan memenangkan hak atas cipta yang baru terdaftar
pada tanggal 15 April 2011 dengan memakai parameter Undang-Undang
Merek No. 15 Tahun 2001 tentang Persamaan pada pokoknya antara
merek yang satu dengan merek yang lain. Pertimbangan Judex Facti seperti
demikian akan mengacaukan tertib hukum dan asas hukum dalam Undang-
undang Merek, maupun Undang-undang Hak Cipta ;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2. Bahwa dari pertimbangan di atas, Judex Facti tidak dapat
membedakan sistem konstitutif dari Merek berdasarkan Undang-
Undang No. 15 Tahun 2001 dengan sistem deklaratif dari hak cipta
berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 ;
Karena Judex Facti telah mengingkari hak atas merek Pemohon Kasasi
berupa logo huruf N merek NIKITEX yang telah dipasarkan dan dilindungi
sejak tahun 2000, sedangkan hak cipta Termohon Kasasi baru Terdaftar
pada tahun 2011. Adalah sangat bertentangan dengan hukum, Judex Facti
telah melindungi “ciptaan” Termohon Kasasi yang dengan sengaja meniru
merek Pemohon Kasasi. Dalam kasus ini, seharusnya Judex Facti
mengetahui dengan jelas itikad buruk Termohon Kasasi membuat “ciptaan”
yang mirip dengan merek Pemohon Kasasi, yang telah ada sebelum
“ciptaan” Termohon Kasasi terdaftar, bukan sebaliknya ;
3. Bahwa hak cipta menganut sistem deklaratif, sehingga pendaftaran
ciptaannya masih dapat diganggu gugat, kecuali Termohon Kasasi
dapat membuktikan dialah pencipta pertama huruf H yang mirip
dengan Logo N merek Pemohon Kasasi, sebelum Pemohon Kasasi
mendaftarkan hak atas mereknya pada tahun 2000, sedangkan
Pemohon Kasasi cukup membuktikan bahwa mereknya berupa Logo
N NIKITEX telah terdaftar sejak tahun 2000 sesuai dengan sistem
konstitutif. Karena sejak didaftarkan, Pemohon Kasasi telah
memperoleh perlindungan hukum. Jelas Judex Facti seharusnya
tahu bahwa Termohon Kasasi membuat hak ciptanya huruf H tahun
2011, sehingga tidak patut memperoleh perlindungan hukum karena
meniru produk merek Pemohon Kasasi yang sudah terdaftar sejak
tahun 2000 ;
III.Judex Facti Telah Salah Memahami
Hukum Hak Cipta Dalam Kasus A Quo :
1. Judex Facti telah memperlakukan hak cipta Termohon Kasasi
sebagai merek sehingga memperbandingkan dengan merek
Pemohon Kasasi dalam pemahaman hukum tentang “persamaan
pada pokoknya” antara merek yang satu dengan merek yang lain,
padahal hak cipta tidak boleh dijadikan merek dalam sebuah produk.
Apabila pemikiran hukum Judex Facti ditolerir, maka orang tidak
harus mendaftar merek untuk melindungi produknya melainkan
cukup mendaftar ciptaan yang meniru merek orang lain, maka
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
ciptaannya dilindungi dan hak atas merek orang lain dilarang untuk
digunakan. Bukankah ini sebuah ironis hukum ? ;
Judex Facti pura-pura tidak tahu padahal sesuai fakta notoir, untuk proses
mendaftarkan Hak Cipta sangat mudah dan dalam praktek cukup ± 6 bulan
sudah terdaftar, sedangkan untuk proses mendaftarkan merek
membutuhkan waktu ± 2 tahun, baru bisa terdaftar. Ini konsekwensi yuridis
dari sistem konstitutif dari Merek dan sistem deklaratif dari hak cipta ;
IV. Judex Facti Telah Lalai Dalam
Menerapkan Hukum Pembuktian
Mengenai Pembagian Beban Pembuktian
(Burden of Proof) :
1. Judex Facti sama sekali tidak menilai dan mempertimbangkan bukti-
bukti Pemohon Kasasi, baik bukti-bukti surat maupun saksi-saksi. Di
dalam pertimbangan hukumnya tidak dijumpai penilaian atas bukti-
bukti Pemohon Kasasi. Hanya ditemukan kalimat dalam
pertimbangan hukum sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa terhadap alat bukti yang diajukan para pihak, Majelis
hanya akan mempertimbangkan alat bukti yang ada relevansinya
sedangkan alat bukti yang tidak ada relevansinya dengan perkara ini tidak
perlu dipertimbangkan” ;
Dari pertimbangan hukum tersebut, Judex Facti tidak membuktikan bukti
mana yang relevan dan yang mana tidak relevan serta bagaimana dan
mengapa tidak relevan, tidak dipertimbangkan sama sekali dalam
pertimbangan hukumnya. Pertimbangan hukum Judex Facti yang demikian
merupakan pertimbangan hukum yang tidak sempurna (onvoldoende
gemotiveerd) ;
2. Bahwa Judex Facti lupa untuk membuktikan kapan Termohon Kasasi
memasarkan “ciptaannya” dan apakah benar ciptaannya adalah
orisinil, bukan peniruan dari merek orang lain ? ;
Padahal dalam persidangan telah terungkap dengan jelas dan akurat
bahwa :
a. Alat bukti saksi :
Saksi-saksi telah jelas membuktikan bahwa Termohon Kasasi meniru
merek Pemohon Kasasi yang telah diproduksi pada tahun 2000 sesuai
pendaftaran mereknya ;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
b. Alat bukti surat :
Termohon Kasasi telah menjadi Tersangka memasarkan mereknya (Hak
Ciptanya) sama dengan merek Pemohon Kasasi ;
c. Berdasarkan ijin produksinya, telah terbukti Termohon
Kasasi baru memproduksi “Hak Ciptanya” pada tahun 2011
dan baru terdaftar hak ciptanya pada tahun 2011 ;
V. Judex Facti Telah Melindungi Termohon
Kasasi Selaku Tersangka Yang Telah
Menggunakan Mereknya (“Hak Ciptanya”)
Pada Produknya Yang Sama Pada
Pokoknya Dengan Merek Produk
Pemohon Kasasi :
1. Bahwa Judex Facti telah menggunakan logika hukum terbalik dalam
menerapkan Undang-undang Hak Cipta yaitu :
a. Mengingat hak cipta menganut sistem hukum deklaratif,
maka Termohon Kasasi haruslah membuktikan bahwa dia
telah menciptakan “ciptaannya” sebelum tahun 2000. Karena
Pemohon Kasasi telah terdaftar mereknya Logo N NIKITEX
pada tahun 2000 dan berhak mendapatkan perlindungan
hukum dalam memasarkan produk celana dalam dengan
mereknya tersebut sesuai hak eksklusif yang dijamin dalam
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek ;
b. Mengingat hak atas merek menganut sistem konstitutif,
maka Pemohon Kasasi sudah dapat membuktikan
produknya telah memakai huruf N NIKITEX sejak tahun
2000 ;
c. Ironisnya, justru tanpa melihat tahun pendaftaran dan siapa
yang lebih dahulu memproduksi produk dengan merek “N”
Pemohon Kasasi atau huruf “H” Termohon Kasasi, Judex
Facti langsung menyimpulkan Pemohon Kasasi yang meniru
hak cipta Termohon Kasasi. Logika berpikir ini jelas terbalik
karena Termohon Kasasi lah yang meniru merek Pemohon
Kasasi mengingat Termohon Kasasi tidak mampu
membuktikan ciptaannya dibuat sebelum tahun 2000,
sedangkan yang terbukti Termohon Kasasi baru
mendaftarkan “ciptaan” yang mirip dengan merek Pemohon
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Kasasi pada tahun 2011. Artinya Judex Facti telah
melanggar sistem hukum dalam Undang-Undang No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta maupun Undang-Undang No.
15 Tahun 2001 tentang merek ;
d. Bahwa Judex Facti tidak cermat memperhatikan agenda
terselubung dalam kasus a quo, Termohon Kasasi sengaja
menggugat Pemohon Kasasi dengan alasan melanggar hak
cipta untuk menghindari tanggung jawab pidananya tentang
pelanggaran hak atas merek NIKITEX Pemohon Kasasi
yang sama pada pokoknya dengan produk H Termohon
Kasasi ;
Termohon Kasasi dengan sengaja meniru merek “N” NIKITEX dengan
jalan mendaftarkan hak cipta huruf “H” yang mirip dengan merek
Pemohon Kasasi. Dengan kata yuridis, Judex Facti turut membantu
Termohon Kasasi agar menghambat proses pidana yang sedang
berlangsung tentang penggunaan hak cipta sebagai merek oleh
Termohon Kasasi pada produk celana dalam yang sama pada pokoknya
dengan merek Pemohon Kasasi dengan logo huruf N, NIKITEX ;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah
Agung berpendapat :
Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut dapat dibenarkan, Judex Facti
(Pengadilan Niaga) telah salah menerapkan hukum, terutama tentang Hak Cipta ;
Bahwa “persamaan pada pokoknya” dikenal dalam penyelesaian perkara
Merek ;
Bahwa dalam sengketa Hak Cipta, harus diteliti siapa “pencipta terdahulu
atau pertama kali” sesuai dengan sistem deklaratif yang dianut dalam hak cipta ;
Bahwa dalam perkara ini antara hak merek milik Tergugat (dilindungi
dengan Sertifikat Merek dan hak cipta milik Penggugat dilindungi dengan Sertifikat
Hak Cipta), keduanya sama-sama memiliki perlindungan hukum. Masalahnya
siapa “pemakai terdahulu/pertama” ? ;
Bahwa Hak Cipta Penggugat baru terdaftar pada tanggal 15 April 2011
sedangkan Merek Tergugat sudah terdaftar sejak tanggal 5 Juni 2000 ;
Bahwa dari fakta di atas memperlihatkan pihak Tergugat lebih dahulu
menggunakan Logo N untuk merek dagang NIKITEX ;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa fakta dan pengakuan Tergugat sendiri diuraikan dalam gugatan
bahwa Penggugat pada tahun 2011 mulai menggunakan Logo H untuk ciptaan
HOKOTEX ;
Bahwa hal ini membuktikan bahwa Tergugatlah lebih dahulu yang
membuat/sekaligus menciptakan dan menggunakan Logo N untuk merek
NIKITEX ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut pendapat
Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi : LAYNDRO SANTOSO tersebut dan membatalkan putusan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya No.10/HKI.Cipta/2011/
PN.Niaga.Sby., tanggal 17 Januari 2012 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri
perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah
ini ;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dikabulkan dan
Termohon Kasasi sebagai pihak yang kalah, maka Termohon Kasasi harus
dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan ;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 48 Tahun 2009,
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jo. Undang-
Undang No. 3 Tahun 2009, serta peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan ;
M E N G A D I L I :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : LAYNDRO
SANTOSO tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Surabaya No. 10/HKI.Cipta/2011/PN.Niaga.Sby, tanggal 17 Januari 2012 ;
M E N G A D I L I S E N D I R I :
Dalam Eksepsi :
• Menolak Eksepsi Tergugat ;
Dalam Pokok Perkara :
• Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
Menghukum Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara
dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini yang ditetapkan
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah) ;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung
pada hari Selasa, tanggal 26 Februari 2013 , oleh Prof. Dr. Valerine J.L.
Kriekhoff, SH. MA., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung
sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH. LLM., dan Soltoni
Mohdally, SH. MH., Hakim Agung masing-masing sebagai Hakim Anggota dan
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis
dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota tersebut dan Reza Fauzi, SH. CN.,
Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak ;
Hakim-Hakim Anggota, K e t u a,
ttd./ Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH. LLM. ttd./ Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoff,
SH. MA.
ttd./ Soltoni Mohdally, SH. MH.
Biaya-Biaya : Panitera Pengganti,1. M e t e r a i. Rp 6.000,00 2. R e d a k s i. Rp 5.000,00 ttd./ Reza Fauzi, SH. CN.3. Administrasi Kasasi. Rp4.989.000,00 Jumlah Rp5.000.000,00
UNTUK SALINAN
MAHKAMAH AGUNG RI
a/n. PANITERA
PANITERA MUDA PERDATA KHUSUS
(RAHMI MULYATI, SH., MH)
Nip. 195912071985122002
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15