Kedudukan Komoditi Jagung Dalam Perekonomian...
Transcript of Kedudukan Komoditi Jagung Dalam Perekonomian...
Kedudukan Komoditi Jagung Dalam Perekonomian Indonesia
Tahlim Sudaryanto, Khairina Noekman, dan Faisal Kasryno
Pusat Penelitian Agro-Ekonomi
PENDAHULUAN
Dalam tahun 1980-81 jagung menyumbang sebesar 10,4%
terhadap Produk Domestik Bruto tanaman pangan. Akan tetapi dalam
periode 1982-85 kontribusi jagung menurun menjadi hanya 2,8%.
Sebagai bahan pangan, jagung adalah sumber karbohidrat kedua setelah
beras. Di samping itu jagung digunakan pula sebagai bahan makanan
ternak (pakan) dan bahan baku industri.
Penggunaan jagung untuk pakan meningkat terus dengan laju
kenaikan lebih dari 10% per tahun. Kalau pada tahun 1975 jagung yang
digunakan sebagai pakan hanya 15%, maka pada tahun 1985 proporsinya
telah mencapai' 38%. Sebaliknya jagung yang digunakan untuk bahan
pangan menurun dari 78% pada tahun 1975 menjadi 48% pada tahun
1985.
Dalam periode tahun 1977-85 produksi jagung meningkat dengan laju
kenaikan 4,7% per tahun. Hasil per hek tar meningkat pula dari 0,9 ton
pada tahun 1969 menjadi 1,8 ton tahun 1985. Namun tingkat
produktivitas tersebut masih jauh lebih rendah dari tingkat produksi
potensial yang dapat dicapai petani. Di tingkat lembaga penelitian, hasil
jagung bersari bebas dapat mencapai 4-5 t/ha sedangkan .jagung hibrida
5-7 t/ha (7).
Sebagian kecil dari jagung Indonesia diekspor ke pasar internasional.
Sejak diizinkannya ekspor jagung tahun 1965, volume ekspor terus me-
ningkat, bahkan pada tahun 1970 mencapai 287 ribu ton atau sekitar
10% dari total produksi. Namun sejak tahun 1975 ekspor komoditi ini
terus menurun, mungkin karena terus meningkatnya permintaan jagung
di dalam negeri. Sementara itu Indonesia juga mengimpor jagung .sejak
tahun 1973 sampai sekarang.
Dari uraian di atas tampak bahwa permintaan jagung akan terus
meningkat terutama untuk pakan dan bahan baku industri. Sementara
itu produktivitas yang dicapai oleh petani masih rendah. Dengan .demi-
kian pengembangan usahatani tanaman jagung merupakan tantangan
yang mendesak. Selain itu, pengembangan produksi jagung dan palawija
pada umumnya adalah bagian dari usaha diversifikasi untuk menuju
struktur pertanian Indonesia yang lebih berimbang.
PRODUKSI DAN PENGGUNAAN JAGUNG
Luas areal panen jagung berfluktuasi dari tahun ke tahun dan dalam periode tahun 1969-85, luas areal panen jagung meningkat dengan laju kenaikan hanya 0,3%/tahun (Tabel 1). Walaupun laju kenaikan areal panen tampak lamban, kenaikan produksi total menunjukkan laju 4,6% /tahun dalam periode 1969-87. Kenaikan produksi ini terutama disebabkan oleh kenaikan produktivitas yang mencapai 4,2% /tahun dalam periode yang sama. Pada tahun 1987, basil jagung mencapai 1,95 t/ha. Namun tingkat basil ini masih jauh lebih rendah dari tingkat hasil potensial yang bisa dicapai yaitu 4-5 t/ha untuk varietas bersari bebas dan 5,0-7,6 t/ha untuk jagung hibrida. Mengingat senjang basil tersebut masih cukup lebar maka peluang untuk meningkatkan produksi jagung masih terbuka. Tabel 1. Luas panen, produktivitas, dan produksi jagung Indonesia,
1969-87.
Tahun Luas Panen Hasil Produksi
Jawa Luar Jawa
Indonesia Jawa
Luar Jawa
Indonesia Jawa
Luar Jawa
Indonesia
------ '000 ha------ ------ 't/ha------ ------ '000 t------ 1969 1596 839 2435 1,00 0,83 0,94 1598 694 2293 1970 2102 838 2939 1,00 0,87 0,96 2100 725 2825 f971 1857 769 2627 1,01 0,94 0,99 1883 724 2606 1972 1508 652 2160 1,09 0;93 1,04 1649 606 2254 1973 2367 1066 3433 1,14 0,94 1,07 2691 999 3690 1974 1934 733 2667 1,10 1,20 1,13 2128 883 3011 1975 1774 671 2445 1,23 1,02 1,19 2177 725 2903 1976 1434 661 2095 1,27 1,13 1,23 1827 745 2572 1977 1710 857 2567 1,30 1,07 1,22 2227 916 3143 1978 2163 862 3025 1,40 1,17 1,33 3025 1004 4029 1979 1793 801 2594 1,49 1,18 1,39 2663 943 3606 1980 1814 921 2735 1,55 1,27 1,46 2819 1172 3991 1981 2008 947 2955 1,65 1,26 1,53 3313 1196 4509 1982 1265 796 2061 1,70 1,36 1,57 2153 1082 3235 1983 2020 982 3002' 1,81 1,46 1,69 3656 1431 5087 1984 2153 933 3086 1,82 1,46 1,71 3922 1366 5288 1985 1494 946 2440 1,92 1,54 1,77 2872 1457 4329 1986 1999 1143 3142 2,04 1,61 1,88 4075 1845 5920 1987 1560 1058 2618 2,15 1,64 1,95 3556 1737 5093
Sumber: Biro Pusat Statistik.
Berdasarkan penyebaran daerah produksi, Propinsi Jawa Timur
menempati urutan yang pertama diikuti oleh Jawa Tengah (Tabel 2).
Kedua propinsi tersebut secara gabungan menyumbangkan hampir 70 %
dari seluruh produksi jagung nasional. Di luar Jawa, daerah produsen
jagung yang dominan adalah Sulawesi Selatan yang menyumbang sekitar
8% dari total produksi nasional.
Struktur biaya dan pendapatan usahatani jagung di beberapa
sentra produksi disajikan pada Tabel 3. Hasil per hektar antar daerah
tidak menunjukkan variasi yang menyolok, kecuali perbandingan antara
Jawa dan luar Jawa. Perbedaan hasil antara Jawa dan luar Jawa dapat
dihubungkan antara lain dari perbedaan pemakaian pupuk. Di Jawa
Timur dan Jawa Tengah, pemakaian pupuk masing-masing mencapai 174
dan 163 kg/ha. Untuk Sumatera keseluruhan pemakaian pupuk h-anya
mencapai 133 kg/ha.
Dalam struktur biaya produksi, biaya tenaga kerja menempati
proporsi yang paling besar (50% untuk Indonesia). Urutan berikutnya
adalah biaya untuk pupuk yang mencapai 23 % dari seluruh biaya.
Keuntungan yang diperoleh dari usahatani jagung juga tidak
menunjukkan variasi yang menyolok. Nisbah antara penerimaan dan
biaya (R/C) mencapai angka sekitar tiga, kecuali untuk Sulawesi yang
mencapai nilai sekitar tujuh. Tingginya R/C untuk Sulawesi disebabkan
oleh rendahnya pemakaian 'pupuk yang hanya mencapai 18 kg/ha.
Kriteria kelayakan pengusahaan jagung seperti di atas belum
menunjukkan keunggulan komparatif secara ekonomi. Ukuran yang biasa
dipakai untuk ini adalah koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (BSD).
. Tabel 2. Persentase areal panen dan produksi jagung menurut daerah,
1969-85.
Wilayah Luas panen (%) Produksi (%)
1969-74 1975-80 1981-85 1969-74 1975-80 1981-85
Sumber: Diolah dari data Biro Pusat Statistik.
Jawa Timur 42,92 41;73 40,05 40,54 43,20 42,84 Jawa Tengah 23,02 24,42 22,11 27,05 26,40 24,65
Jawa Barat 3,95 2,98 3,01 4,64 3,20 3,40
Sumatera Utara 0,87 1,48 1,48 1,39 1,48 1,63
Sumatera lainnya 3,66 2,65 4,62 3,94 2,36 4,33
Sulawesi Selatan 9,34 9,28 10,26 7,24 8,61 8,76
Sulawesi lainnya 5,69 6,12 5,90 5,73 5,75 5,29
Indonesia lainnya 10,56 11,34 12,56 9,47 9,00 9,47
Tabel 3. Rata-rata produksi dan pengeluaran untuk usahatani jagung, 1985.
Produksi /biaya Indone- sia
Jawa Jawa Sulawesi Sumatera
Timur Tengah
1 a. Hasil fisik (ton) 1,8 1,9 2,0 1,5 1,8
b. Nilai (Rp) 232.704 245.077 274.092 202.824 202.824
2 Biaya produksi
Pupuk 15.21 20.529 21.766 2.022 18.703
Pestisida 598 630 351 131 1.655
Tenaga kerja 33.762 41.296 45.591 14.497 24.284
Sewa alat 390 558 223 393 222
Pengairan 805 1.798 345 93 480
Pemeliharaan 1.476 924 945 1.059 2.743
Pengangkutan 2.583 2.413 2.647 1.851 3.693
Lain-lain 7.814 6.004 11.039 5.695 7.312
Jumlah 67.114 79.632 87.561 28.106 64.018
3 Keuntungan
(1) - (2) 165.59 165.445 186.531 174.78 148.042
4 RIC 3,5 3,1 3,1 7,2 3,3 Sumber: BPS, Struktur Ongkos dan Pendapatan Usahatani Padi dan Palawija, 1985.
Analisis yang dilakukan Rosegrant et al. (8) menunjukkan bahwa
usahatani jagung di Indonesia mempunyai keunggulan komparatif .untuk
keperluan substitusi impor dan untuk diperdagangkan antar daerah
(Tabel 4).
Namun untuk mengekspornya, pengusahaan jagung dalam negeri
tidak menguntungkan. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien BSD yang lebih
besar dari satu. Ekspor akan layak bila dilakukan setelah devaluasi
rupiah.
Dihubungkan dengan penggunaannya, terlihat bahwa sebagian
besar jagung yang dihasilkan digunakan untuk bahan makanan (Tabel 5).
Dalam kurun waktu 1975-85, persentase jagung yang digunakan sebagai
bahan pangan semakin menurun. Sebaliknya persentase jagung yang
dipakai sebagai pakan menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari
15$ tahun 1975 menjadi 38% pada tahun 1985. Hal ini menunjukkan
semakin pentingnya usaha peternakan (terutama ayam ras dan sapi
perah) yang memakai jagung sebagai salah satu bahan pakan. Selain
untuk pakan, jagung digunakan juga sebagai bahan baku industri seperti
minyak jagung, tepung jagung, dan bahan pemanis.
Tabel 4. Koefisien biaya sumberdaya domestik (BSD) usahatani jagung pada berbagai rezim perdagangan
Daerah Sebelum devaluasi Setelah devaluasi
IR IS EP IR IS EP
Varietas bersari bebas
Jawa Barat - 0,74 1,61 - 0,74 1,02
Jawa Tengah 0,71 0,63 1,35 0,71 0,63 0,84
Jawa Timur 0,75 0,65 1,36 0,75 0,65 0,85
Bali & NT 0,59 0,52 1,17 0,57 0,49 0,76
Sumatera 0,65 0,58 1,24 0,65 0,58 0,80
Sulawesi 0,64 0,60 1,14 0,62 0,60 0,75
Kalimantan 0,62 1,36 - 0,60 0,88
Rata-rata 0,67 0,62 1,32 0,66 0,61 0,84
Varietas Hibrida
Jawa Tengah 0,65 0,57 1,23 0,66 0,58 0,78
Jawa Timur 0,69 0,59 1,26 0,69 0,59 0,79
Sulawesi 0,58 0,63 1,13 0,56 0,53 0,69
Rata-rata 0,64 0,56 1,21 0,64 0,57 0,75
Sumber: Rosegrant, et al. 1987: Price and Investment Policies in the Indonesian Food Crops Sector, IFPRI-CAER 1 Koefisien BSD adalah ukuran kelayakan ekonomi suatu kegiatan. Bila BSD <1, lebih menguntungkan untuk
mengusahakannya di dalam negeri. Bila BSD >1 lebih menguntungkan untuk mengimpor dibanding mengusa-hakannya di dalam negeri.
2 IR = Interregional Trade; IS = Import Substitution; EP = Export Promotion.
Tabel 5. Penggunaan jagung Indonesia, 1975-85
Tahun
Total jagung tersedia ('000 t
Penggupaan jagung
Bahan makanan Pakan Bibit Industri olahan Terbuang
'000 t % '000 t % '000 t % '000 t % '000 t %
1975 2852 2221 77,9 431 15,1 46 1,6 97 3,4 57 2,0
1976 2623 1873 71,4 514 19,6 66 2,5 118 4,5 52 2,0 1977 3142 2271 72,3 591 18,8 73 2,3 144 4,6 63 2,0 1978 4034 3035 75,2 679 16,8 64 1,6 175 4,3 81 2,0 1979 3787 2539 67,1 781 20,6 65 1,7 213 5,6 189 5,0 1980 3942 2522 64,0 899 22,8 65 1,7 259 6,6 197 5,0 1981 4520 2876 63,6 1033 22,9 69 1,5 316 7,0 226 5,0 1982 3284 1639 49,9 1188 36,2 63 1,9 230 7,0 164 5,0 1983 5068 3047 60,1 1331 26,3 81 1,6 355 7,0 254 5,0 1984 5289 3140 59,4 1491 28,2 76 1,4 378 7,2 204 3,9 1985 4363 2111 48,4 1670 38,3 53 1,2 272 6,2 25 5,9
Sumber: Biro Pusat Statistik, Neraca Bahan Makanan, 1975-85
Sebagai bahan baku pakan, jagung digunakan untuk membuat
bahan pakan konsentrat. Setelah dedak padi dan gaplek, jagung adalah
komponen ketiga terpenting dalam komposisi bahan pakan (Tabel 6).
Pemakaian jagung sebagai bahan pakan mulai tampak melonjak sejak
tahun 1980. Dalam kurun waktu 1978-82, pemakaiannya meningkat
dengan laju 27% /tahun. Penggunaan tersebut sebagian besar untuk
ternak unggas, terutama ayam ras.
Mengenai jagung sebagai bahan makanan, konsumsi per kapita
meningkat dari 14 kg tahun 1976, 17 kg tahun 1980 menjadi 20 kg tahun
1984 (Tabel 7). Konsumsi per kapita di pedesaan mencapai sekitar
tujuh kali lebih besar dari tingkat konsumsi di kota. Selanjutnya pada
tahun 1980 konsumsi jagung di Jawa mencapai 40% lebih besar dari
tingkat konsumsi di luar Jawa (9). Hal ini tidak mengherankan mengingat
p-usat produksi jagung terkonsentrasi di Jawa.
Tabel 6. Jumlah bahan makanan ternak untuk ransum konsentrat,
1978-82. ( dalam ‘000 t)
Komoditi
1978 1979 1980 1981 1982
Kenaikan
makanan
ternak (%/tahun
) Jagung 122,1 141,0 270,6 289,8 315,4 26,8
Bungkil kelapa 175,8 200,5 213,1 222,0 243,7 8,5
Dedak padi 863,1 977,9
1095,
6
1137,
2
1201,
6 8,6
Bungkil kedelai 152,5 173,4 183,7 189,9 199,9 7,0
Tepung ikan 22,3 26,2 55,9 60,1 65,5 30,9
Gaplek
328,0 370,3
397,7
410,4
425,4 6,7
Sagu 63,0 67,7 80,9 84,6 91,6 9,8
Lain-lain 174,1 197,8 225,1 234,0 247,9 9,2
Total
1957,4
2221,
4
2665,
6
2781,
8
1958,
5 10,9
Sumber: Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Peternakan.
7. Konsumsi jagung per kapita di Indonesia, 1976, 1980, 1984.
Daerah 1976 1980 1984
'---------------------- kg --------------------
Pedesaan 16,7 21,3 24,9
Kota 2,2 2,7 3,1
Pedesaan + kota 14,1 17,1 19,8 Sumber: Rosegrant, et al., op. cit.
Peningkatan konsumsi per kapita dari tahun 1976-84 terutama
disebabkan oleh peningkatan konsumsi penduduk pedesaan.
Selanjutnya, konsumsi per kapita juga hanya meningkat untuk golongan
berpengeluaran rendah, sedangkan untuk golongan berpengeluaran lebih
tinggi tingkat konsumsi menurun sejak tahun 1976.
Tabel 8 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi per kapita lebih
tinggi untuk penduduk dengan golongan berpengeluaran rendah (barang
inferior). Hal ini terlihat pula dari tingkat partisipasi konsumsi rumah
tangga (Tabel 9). Untuk golongan berpendapatan rendah di pedesaan,
sekitar 31 % rumah tangga mengkonsumsi jagung, sedangkan golongan
berpendapatan tinggi hanya 16% yang mengkonsumsi jagung. Hal yang
sebaliknya terjadi untuk penduduk kota. Golongan berpendapatan tinggi
mengkonsumsi jagung lebih banyak. Demikian juga dengan tingkat
konsumsi per kapita. Namun bentuk jagung yang dikonsumsi golongan
penduduk tersebut diduga berupa jagung olahan seperti pop corn dan
jagung rebus.
Tabel 8. Konsumsi jagung per kapita menurut kelas pengeluaran,
Indonesia, 1981
Kelas pengeluaran Konsumsi jagun
per kapita (kg)
Rendah : Pedesaan 25,81
Kota 3,31
Pedesaan & kota 22,55 Medium : Pedesaan 11,68
Kota 2,47
Pedesaan & kota 8,70 Tinggi : Pedesaan 9,49
Kota 2,75
Pedesaan & kota 5,53 Total : Pedesaan 17,43
Kota 2,73 Pedesaan & kota 12,53
Sumber: Rosegrant et a l . , op . c it
Tabel 9. Tingkat partisipasi konsumsi jagung menurut kelas pengeluaran ($), 1981
Wilayah Kelas
pengeluaran Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Sumut Sulsel Indo-nesia
Pedesaan Rendah 43,87 25,33 4,90 6,06 33,08 30,99 Menengah 30,31 13,50 7,43 5,20 20,11 18,62 Tinggi 21,67 10,47 7,22 3,85 14,60 15,52 Rata-rata 37,71 20,34 6,44 5,24 27,43 23,46 Perkotaan Rendah 22,25 3,59 4,72 2,27 2,21 13,58 Menengah 23,13 3,34 7,94 4,84 9,87 12,83 Tinggi 29,29 5,43 11,20 5,18 9,94 14,76 Rata-rata 25,11 4,14 8,74 4,79 8,29 13,85 Desa dan Rendah 41,54 22,30 4,86 5,53 28,48 28,47 Kota Menengah 28,40 10,22 7,57 5,08 15,99 16,75 Tinggi 25,74 7,52 9,38 4,70 11,36 15,07 Rata-rata 34,90 15,93 7,15 5,07 21,03 20,26 Sumber: Rosegrant et al., op. cit
PERDAGANGAN DAN TATANIAGA JAGUNG
Ekspor dan Impor
Selain untuk penggunaan dalam negeri, jagung juga diekspor -
walaupun hanya sebagian kecil saja (Tabel 10). Mulai tahun 1973,
Indonesia juga mengimpor jagung. Terjadinya ekspor dan impor pada
tahun yang sama antara lain disebabkan oleh tidak meratanya musim
panen jagung sepanjang tahun (7). Segera setelah musim panen, surplus
jagung harus diekspor karena belum tersedianya fasilitas penyimpanan
yang memadai. Sebaliknya pada musim paceklik, kekurangan kebutuhan
jagung harus diimpor karena terbatasnya persediaan.
Bila diperhitungkan nilai ekspor bersihnya, sampai tahun 1975
ekspor bersih jagung menunjukkan angka yang positif, namun mulai
tahun 1976 volume impor lebih besar dari ekspor kecuali tahun 1981 dan
1984. Hal ini menunjukkan semakin tingginya kebutuhan jagung dalam
negeri. Tahun 1984 ekspor jagung tampak melonjak, mungkin sebagai
reaksi jangka pendek terhadap dilakukannya devaluasi rupiah tahun
1983.
Tabel 10. Perbandingan antara produksi, ekspor, dan impor jagung Indonesia (t), 1969-85.
Tahun Produksi Ekspor Impor Net Net ekspor/
produksi (%) ekspor
1986 5,931.16 5 60.59 -55.59 -0,9
1969 2.825.220 156.26 0 156.26 6,8
1970 2.825.220 285.83 0 285.83 10,1
1971 2.606.490 218.9 0 218.9 8,4
1972 2.254.360 79.647 0 79.647 3,5
1973 3.629.800 181.28 142.35 38.929 1,1
1974 3.010.780 196.86 30 166.86 5,5
1975 2.902.890 50.723 24 50.699 1,7
1976 2.572.140 3.522 54.38 -50.858 -2,0
1977 3.142.650 10.45 9.505 945 0,0
1978 4.029.200 21.076 26.198 -5.122 -0,1
1979 3.605.540 6.83 70.025 -63.195 -1,8
1980 3.993.770 14.89 33.772 -18.882 -0,5
1981 4.509.300 4.786 1.857 2.929 0,1
1982 3.234.830 541 76.466 -75.925 -2,3
1983 5.132.450 17.936 27.636 -9.7 -0,2
1984 5.287.830 159.85 59.251 100.6 1,9
1985 4.099.040 3.541 50.037 -46.496 -1,1
Sumber: Rosegrant et al., op. cit.
Volume ekspor maupun impor dari tahun ke tahun tampak berfluk-
tuasi. Mengenai ekspor, fluktuasi tersebut antara lain disebabkan oleh
naik turunnya volume exportable surplus. Berfluktuasinya volume ekspor
tersebut merupakan salah satu faktor yang mengurangi kepercayaan
importir terhadap Indonesia.
Tataniaga Jagung dalam Negeri
Jagung yang dihasilkan petani selain untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi juga untuk dijual. Penelitian Mink dan Irianto (6) menunjukkan
bahwa persentase jagung yang dijual mencapai 35 % di Jawa Tengah dan
40% di Sulawesi Selatan. Sedangkan penelitian Waluyo et al. (10)
mendapatkan bahwa petani jagung di Jawa Timur menjual sekitar 75-80%
dari basil jagungnya.
Rantai tataniaga jagung bervariasi menurut daerah. Mengingat
dominannya volume jagung .yang dihasilkan di Jawa Timur, di sini akan
dikemukakan rantai tataniaga yang umumnya ditemui di Jawa Timur
(Gambar 1). Pengaruh pabrik pakan di Surabaya atau Jakarta cukup
dominan walaupun volume jagung yang dijual ke kelompok tersebut tidak
mencapai 25% dari seluruh total produksi. Perubahan harga yang terjadi
di pabrik pakan Jakarta akan disalurkan ke tingkat harga yang terjadi di
pasar Jawa Timur.
Gambar 1. Saluran tataniaga jagung di Jawa Timur.
Sumber: Monteverde, R.T. and C.P. Timmer, 1985. The Corn Economy of Indonesia, Food Research Institute, Standford University, California.
Dengan dimasukkan peranan BULOG, variasi lain dari rantai tata-
niaga di Indonesia adalah seperti terlihat pada Gambar 2. Peranan BULOG
dalam hal ini adalah menampung jagung dari pedagang atau KUD dan
kemudian mengeluarkannya ke perusahaan pakan, perusahaan
pengolahan, dan eksportir. Mekanisme pembelian dan penjualan jagung
oleh BULOG diharapkan dapat mengendalikan fluktuasi harga jagung.
Cara penjualan jagung dari petani sebagian besar dijual setelah
dipanen dan hanya 10% yang dijual secara tebasan (Tabel 11). Namun
walaupun panen dilakukan oleh petani penjualan biasanya dilakukan
dalam bentuk jagung glondongan kering panen. Jagung yang dijual dalam
bentuk pipilan hanya 20% di Desa Kapung dan bahkan tidak ada sama
sekali di Desa Ngembol dan Sukaanyar. Hal ini diduga sebagai cerminan
dari belum tersedianya fasilitas pengeringan dan penyimpanan yang
memadai, serta kebutuhan uang kontan yang mendesak.
Struktur biaya dan margin keuntungan pemasaran jagung disajikan
pada Tabel 12. Harga yang diterima petani mencapai 50% dari harga yang
dibayar oleh konsumen. Margin keuntungan yang diterima oleh pedagang
pada setiap tingkat hampir sama yaitu sekitar 7-8% dari harga di tingkat
konsumen.
Perkembangan Harga
Sejak tahun 1978, pemerintah telah menetapkan harga dasar
jagung, namun harga yang diterima produsen tampak selalu lebih tinggi
sekitar 5-30% (Tabel 13). Dengan demikian penetapan harga dasar
tersebut tidak efektif.
Tingkat "kewajaran" harga suatu komoditi mesti dilihat paling tidak
dari dua nisi, yaitu (i) bagaimana imbangannya dengan biaya produksi
dan (ii) bagaimana imbangannya dengan harga komoditi lain yang menjadi
substitusi atau komplemennya.
Pada Tabel 13 terlihat bahwa rasio harga produsen terhadap biaya
produksi (RIC) berkisar antara 2,7-6,2. ini menunjukkan bahwa tingkat
harga jagung telah menjamin keuntungan bagi produsennya.
Dalam konteks tingkat keseimbangan umum (general equilibrium)
pola alokasi sumberdaya tidak ditentukan oleh harga absolut suatu
barang tetapi oleh harga relatifnya. Dengan demikian harga jagung relatif
terhadap harga komoditi lainnya akan menentukan alokasi sumberdaya
misalnya luas areal tanam.
Tabel 11. Cara dan bentuk penjualan jagung oleh petani di beberapa desa penelitian di Jawa Timur.
Cara dan bentuk penjual Desa
Kepung Ngembal Sukaanyar (%) (%) (%)
1 Cara menjual a. Tebasan 10 10 10
b. Non tebasan 90 90 90 2 Bentuk penjualan a. Jual muda 30 0 0
b. Glondongan kering panen 40 90 90
c. Pipilan setengah kering 10 0 0
d. Pipilan kering 10 0 0
e. Disimpan/konsumsi 10 10 10
Sumber: Waluyo, dkk., 1986 (10).
Pada Tabel 14 disajikan rasio indeks harga jagung terhadap harga
padi dan palawija terpenting. Walaupun harga jagung terus meningkat
namun tingkat kenaikannya lebih rendah dibanding harga padi, ubikayu,
dan kedelai. Rasio harga jagung terhadap ketiga komoditi di atas sedikit
menurut terutama mulai tahun 1981. Walaupun harga padi dikendalikan
pemerintah, namun harga padi dari tahun ke tahun meningkat lebih cepat
dibandingkan harga jagung. Bersamaan dengan berbagai kebijaksanaan
yang lain, insentif harga padi menyebabkan luas areal panennya
meningkat lebih tinggi dibanding luas areal jagung, ubikayu, dan kedelai.
Perkembangan harga jagung berfluktuasi menurut musim. (Gambar
3). Harga terendah dicapai pada bulan Maret, sedangkan yang tertinggi
adalah pada bulan November. Fluktuasi harga ini berhubungan dengan
musim panen jagung. Sekitar 60% dari jagung dipanen antara bulan
Desember-Maret. Sedangkan bulan Oktober-November adalah termasuk
puncak musim paceklik jagung. Karena belum tersedianya fasilitas
penyimpanan yang memadai, tidak mengherankan bila fluktuasi harga
tersebut masih cukup besar. Perbedaan harga tersebut juga memungkin-
kan dilakukannya ekspor dan impor jagung pada satu tahun yang sama.
Pada saat harga jagung rendah, ekspor dimungkinkan. Sebaliknya pada
saat harga tinggi impor lebih menguntungkan.
Tabel12. Biaya pemasaran jagung pipilan dari petani produsen
di Desa Pare, Kecamatan Pare sampai dengan konsumen (industri makanan ternak) di Kediri, Propinsi Jawa Timur, 1986.
Uraian Biaya Harga % dari harga (Rp/kg) (Rp/kg) konsumen
1. Harga dari petani - 70 50 Biaya penelitian 7 5 Angkut 1,5 1 Bongkar muat 0,9 0,6 Keuntungan pedagang kecil 10,6 7,5
14,1 2. Harga di pedagang kecil 90 64,1
Biaya prosesing 5,5 3,9 Ongkos transport 5 3,5 Bongkar muat 2,3 1,6 Karung 2,5 1,7 Komisi/makelar 1,0 0,7 Susut 3% 2,7 1,9 Keuntungan pedagang
pengumpul
11
7,8
besar tingkat kabupaten
21,6
3. Harga pedagang pengumpul besar
120
85,7
Biaya bongkar muat 3 2,1 Biaya susut 2% 2,4 1,7 Biaya karung 5 3,5 Keuntungan pedagang
besarlgrosir 9,6
6,8
14,7 Harga pedagang besar/grosir 140
4. Harga konsumen 140 100
Tabel 13. Perkembangan biaya produksi, harga dasar dan
harga di tingkat produsen jagung di Indonesia, 1981-85.
Tahun
Biaya Harga Harga di tingkat
R / C* produksi dasar Produsen
(Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) % Terhadap harga pasar
1981 28,3 105 109,8 104,6 3,9 1982 38,9 105 130,6 124,4 3,4 1983 49,1 105 134,9 128,5 2,7 1984 22,1 110 136,1 123,7 6,2 1985 37,7 110 147,4 134,0 3,9
Sumber: 1. BPS Struktur Ongkos Usahatani Padi dan Palawija.
2. Biro Analisa Harga dan Pasar, BULOG.
3. BULOG Pedoman Monitoring Harga Padi dan Palawija. *R/C adalah rasio antara harga produsen (penerimaan) terhadap biaya
produksi
Tabel 14. Perkembangan rasio indeks harga jagung terhadap indeks harga beberapa komoditi lain di Jawa Timur, 1975-86.
Tahun Rasio indeks harga
Jagung/ Jagung/ Jagung/ padi ubikayu kedelai
1975 1,0 1,0 1,0 1976 0,9 0,8 1,2 1977 0,7 0,7 1,0 1978 0,8 0,8 0,9 1979 0,9 0,9 0,9 1980 0,9 0,9 0,9 1981 0,7 0,8 0,8 1982 0,7 0,7 0,9 1983 0,7 0,6 0,9 1984 0,7 0,6 0,7 1985 0,7 0,7 0,6 1986 0,7 0,8 0,7
Sumber:BPS Stat ist ik Harga Perdagangan Besar d i Beberapa Propins i d i Indones ia , Apr i l 1987
Satu aspek lain mengenai harga adalah bagaimana kecenderungan
harga jagung dalam negeri dibanding dengan harga di pasar dunia. Tabel
15 membandingkan harga di tingkat perdagangan besar di Jakarta
dengan harga di Bangkok (FOB). Harga di Jakarta merupakan faktor yang
dominan dalam penentuan harga jagung di Indonesia. Bangkok adalah
salah satu pelabuhan ekspor penting di dunia.
Perkembangan dari tahun 1975-85 memperlihatkan sec tra
konsisten bahwa harga jagung dalam negeri lebih tinggi dari haro di
pasaran dunia. Perbedaan yang menonjol tampak untuk tahun 1982 di
mana harga di Jakarta 91 % lebih tinggi dari harga di Bangkok. Dalam
kaitan ini, usahatani jagung dalam negeri sudah cukup mendapat
proteksi dengan tingkat harga yang lebih tinggi dari internasional
opportunity costnya.
Tabel 15. Perbandingan antara harga jagung tingkat perdagangan besar di Jakarta dan Bangkok (FOB), 1975-86.
Tahun Harga di Jakarta Harga di Bangkok Rasio harga di
Jakarta/Bangkok (%)
------------------------ Rp/kg ------------------------- 1975 74,8 58,4 128 1976 90,4 52,1 174 1977 76,7 49,3 156 1978 75,8 73,0 104 1979 126,4 92,5 137 1980 116,9 105,2 111 1981 131,9 99,8 132 1982 177,3 92,6 191 1983 183,1 142,2 129 1984 191,9 146,3 131 1985 208,3 124,0 168
Sumber.: 1. BPS Stat ist ik Harga Perdagangan Besar di beberapa Propinsi
di Indonesia, April 1987. 2. Biro Analisa Harga dart Pasar, BULOG.
PERSPEKTIF PENGEMBANGAN DAN MASALAHNYA
Kebutuhan jagung di dalam negeri meningkat pesat sejak tahun
1970 an. Kebutuhan ini terutama untuk bahan pakan sebagai akibat
berkembangnya peternakan unggas. Lonjakan permintaan tersebut telah
menempatkan Indonesia dalam posisi pengimpor jagung dalam beberapa
tahun terakhir.
Melihat kenyataan di atas, pengembangan usahatani jagung
merupakan bidang yang masih memberikan kemungkinan cukup terbuka
bagi peningkatan produksi yang ditujukan minimal untuk memenuhi
kebutuhan jagung dalam negeri.
Mengenai imbangan antara produksi dan kebutuhan jagung
tampaknya ada beberapa pendapat yang berbeda. Hasil penelitian
Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan (4) memperkirakan
bahwa Indonesia akan menghadapi kekurangan jagung sebanyak 200.000
t/tahun sampai tahun 1994. Defisit ini terutama diperkirakan akibat
melonjaknya kebutuhan untuk pakan. Sementara itu Monteverde dan
Timmer berpendapat bahwa kecenderungan melonjaknya penggunaan
jagung untuk pakan di masa lampau tidak akan terulang lagi.
Dikontraskan dengan kecenderungan produksi yang terus meningkat, hal
ini akan menempatkan Indonesia dalam posisi eksportir jagung. Hal ini
diperkuat oleh penelitian Rosegrant et al. (8) yang menunjukkan bahwa
pada tingkat harga FOB jangka panjang, ekspor jagung Indonesia
menunjukkan kriteria kelayakan secara ekonomi.
18 3.1gung
Peningkatan produksi jagung merupakan bagian dari usaha
diversifikasi usahatani berikut tanaman-tanaman palawija lainnya seperti
ubikayu dan kedelai. Dalam usaha diversifikasi ini, salah satu faktor yang
menentukan adalah imbangan harga jagung dengan padi dan palawija
lainnya. Data menunjukkan bahwa rasio harga jagung terhadap padi dan
palawija lainnya menunjukkan perkembangan yang menurun. Hal ini
tentu tidak menguntungkan terhadap usaha-usaha diversifikasi terutama
pengembangan tanaman jagung.
Aspek lain mengenai harga adalah bahwa fluktuasi harga antar
musim ternyata masih cukup besar. Hal ini menunjukkan belum
tersedianya fasilitas pengeringan dan penyimpanan yang memadai.
Investasi fasilitas-fasilitas tersebut selain akan mengurangi fluktuasi
harga, juga akan meningkatkan kualitas jagung. Peningkatan kualitas
terutama penting sekali untuk jagung yang akan diekspor.
Diversifikasi pengolahan jagung dalam jangka panjang akan
meningkatkan permintaan jagung' dalam negeri walaupun dalam jangka
pendek hal ini harus bersaing dengan kebutuhan untuk pakan.
Diversifikasi pengolahan untuk bahan pangan mempunyai pengaruh yang
positif terhadap diversifikasi menu. Hal ini terutama penting untuk
masyarakat kota yang menunjukkan kecenderungan bahwa konsumsi
jagung (olahan) meningkat dengan naiknya pendapatan. Sedangkan
kecenderungan masyarakat pedesaan adalah sebaliknya yaitu bahwa
konsumsi jagung akan berkurang dengan naiknya pendapatan. Hal ini
merupakan masalah dalam usaha diversifikasi bahan pangan pokok yang
sudah terlanjur terlalu tergantung pada beras.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Urusan Logistik. 1985. Tim monitoring harga gabah dan pala-wija tingkat pusat. Pedoman Monitoring Harga Gabah dan Palawija di Tingkat Produsen.
2. Biro Pusat Statistik. 1985. Struktur ongkos dan pendapatan usaha-tani padi dan palawija Indonesia. di beberapa propinsi di Indonesia. Desember 1987.
3. _____________________________.1987. Statistik harga perdagangan besar
4. Directorate General of Food Crops. 1988. Supply and demand for food crops in Indonesia.
5. Hutabarat, B. 1988. Description of food crops policies in Indonesia. Working Paper No. 6, University of New England Australia, and Center for Agro Economic Research, Bogor.
6. Mink, S. and Lrianto. 1984. The rural corn economy in Grobogan Kabupaten, Central Java in Dorosh, P., S. Mink, and D. Perry. Corn Cropping System in Indonesia. Stanford University/Bulog Corn Project.
7. Monteverde, R.T. and C.P. Timmer. 1985. The corn economy of Indonesia, Food Research Institute, Standford University, Standford, California.
8. Rosegrant, M.W., F. Kasryno, L.A. Gonzales, C. Rasahan, Y. Saefuddin. 1987. Price and investment policies in the Indonesia food crops sector. International Food Policy Research Institute, Washington, D.C. and Center for Agro Economic Research, Bogor.
9. Suryana, A. and Y. Marisa. 1987. Patterns of food consumption and expenditure in Jakarta, other urbans and rural Indonesia. Center for Agro Economic Research, Bogor.
10. Waluyo, Sugiarto, T. Pranadji, dan Y. Yusdja. 1986. Laporan penelitian prospek pengembangan industri pertanian tanaman palawija. Pusat Penelitian Agro Ekonomi.