Kebijakan+Fiskal+Dan++Upah++Dalam+Islam
-
Upload
ayeshabhiels -
Category
Documents
-
view
21 -
download
1
description
Transcript of Kebijakan+Fiskal+Dan++Upah++Dalam+Islam
KEBIJAKAN FISKAL DAN UPAH DALAM ISLAM
A. PENDAHULUAN
Kebijakan fiskal adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan umum melalui kebijakan penerimaan dan pengeluaran
pemerintah, mobilisasi sumberdaya, dan penentuan harga barang dan jasa dari
perusahaan. Menurut Samuelson dan Nordhaus, kebijakan fiskal dinyatakan sebagai
suatu proses pembentukan perpajakan dan pengeluaran masyarakat dalam upaya
menekan fluktuasi siklus bisnis, dan ikut berperan dalam menjaga pertumbuhan
ekonomi, penggunaan tenaga kerja yang tinggi, bebas dari laju inflasi yang tinggi
dan berubah-ubah.
Dalam konteks ekonomi kapitalis, kebijakan fiskal sangat erat kaitannya
dengan target keuangan negara yang ingin dicapai. Dengan kata lain, target
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ingin dicapai oleh
pemerintah, karena instrumen yang digunakan dalam kebijakan fiskal adalah
penerimaan dan pengeluaran negara
Kebijakan fiskal yang dilakukan oleh negara-negara Eropa dan Amerika
Serikat baru muncul pada tahun 1930-an. Sebelum tahun tersebut, pemerintah
negara-negara Kapitalis, hanya menjadikan pajak sebagai sumber pembiayaan
negara sedangkan pengeluaran pemerintah hanya dijadikan sebagai alat untuk
membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah tanpa melihat dampaknya terhadap
perekonomian nasional baik secara mikro maupun makro.
Sejak terjadinya depresi ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1930,
negara-negara Kapitalis menghadapi permasalahan yang besar dengan turunnya
pendapatan pemerintah, perekonomian yang lesu, pengangguran yang meluas, dan
inflasi. Kebijakan moneter yang selama ini digunakan pemerintah untuk
menstabilkan ekonomi tidak dapat mengatasi depresi ekonomi. Sampai akhirnya John
M. Keynes pada tahun 1936 menerbitkan bukunya yang terkenal “The General
Theory of Employment Interest and Money”. Buku Keynes ini merupakan peletak
dasar diberlakukannya kebijakan fiskal oleh negara yang pada saat itu digunakan
untuk mengatasi depresi ekonomi terutama di Amerika Serikat. Jadi kebijakan fiskal
dalam perekonomian Kapitalis baru muncul sejak abad 20. Jika dalam Sistem
Ekonomi Kapitalis, kebijakan fiskal baru diberlakukan pada abad 20, maka
bagaimanakah kebijakan fiskal dalam Sistem Ekonomi Islam?
B. SYARA MEWAJIBKAN NEGARA MELAYANI UMAT
1
Kewajiban negara atas rakyatnya adalah melayani dan mengurusi urusan
umat. Hal ini ditegaskan Nabi SAW dalam sabdanya:
”Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia
akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari dan
Muslim).
Salah satu urusan umat yang wajib dilaksanakan oleh negara (Daulah
Islamiyah) adalah mengatur ekonomi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
rakyat sehingga pada akhirnya negara menjadi kuat. Bentuk kewajiban negara atas
masalah ini diatur melalui institusi Baitul Mal, disamping penegakkan syari’at lainnya
oleh negara seperti syari’at yang mengatur mekanisme dan transaksi ekonomi (cara-
cara memperoleh harta dan mengembangkannya atau investasi, membelanjakan
harta atau konsumsi), penerapan sanksi (uqubat) atas pelanggaran hukum, dan
penegakkan keamanan yang akan mengayomi aktivitas ekonomi masyarakat
sehingga kegiatan ekonomi menjadi lancar.
Baitul Mal merupakan suatu institusi khusus di bawah Khalifah yang mengatur
sumber-sumber pemasukan harta (pendapatan) negara baik dari sumber-sumber
pemasukan tetap (rutin) maupun yang bersifat temporal. Kemudian
mengalokasikannya sebagai pengeluaran yang bersifat rutin maupun temporal.
Harta yang dikumpulkan Khalifah dan para walinya di dalam Baitul Mal menjadi hak
kaum Muslimin dan syara’ mewajibkan negara membelanjakannya secara syar’i
untuk membayar jasa yang diberikan individu kepada negara, mengatasi kemiskinan
dan kelaparan, tunjangan dan penyediaan lapangan kerja, modal usaha bagi
masyarakat, pembangunan infrastruktur dan pelayan publik, dan lain-lainnya.
Kebijakan Khalifah atas Baitul Mal baik dari sisi pemasukan maupun belanja
negara yang ditentukan secara syar’i, merupakan bagian dari penerapan syari’at
Islam sehingga tujuan-tujuan Baitul Mal adalah juga tujuan-tujuan syari’at Islam.
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat
bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiyaa: 107)
2
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Katsir menerangkan bahwa, Allah Ta'ala
mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan Muhammad sebagai rahmat bagi semesta
alam- Yaitu, Dia mengutusnya sebagai rahmat untuk kalian semua. Barangsiapa
yang menerima rahmat dan mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan berbahagia
didunia dan di akhirat, sedangkan barangsiapa yang menolak dan menentangnya
niscaya dia akan merugi di dunia dan di akhirat.
Ini menunjukkan bahwa tujuan kebijakan Baitul Mal terhadap pemasukan dan
pengeluaran negara harus selaras dengan menyelamatkan rakyat (Muslim maupun
non-Muslim) dari yang menyebabkan kesengsaraan seperti kemiskinan, hutang yang
tidak dapat dibayar, kelaparan, pengangguran, bencana alam, kebodohan, gejolak
harga (inflasi maupun deflasi) karena ketidakseimbangan pasar, yang secara umum
dapat dikatakan sebagai kebijakan untuk mengeluarkan negara dan masyarakat dari
resesi ataupun depresi ekonomi. Juga kebijakan atas Baitul Mal bertujuan untuk
menciptakan kebahagian bagi setiap rakyatnya dengan melakukan suatu kebijakan
untuk meningkatkan kesejahteraan baik dari sisi kesadaran ruhiyah antara lain
melalui pendidikan, maupun dari sisi kemampuan dan kekayaan materi dengan
mengupayakan suatu perekonomian yang tumbuh, bahkan tumbuh pesat (booming),
tanpa mengabaikan mekanisme distribusi ekonomi yang adil.
Tujuan-tujuan dari kebijakan pengelolaan harta negara tersebut, sudah
dilakukan oleh Daulah Islamiyah yakni sejak Rasulullah bersama para sahabat
mendirikan negara Islam (Islamic State) di Madinah, dan dilanjutkan oleh Khulafaur
Rasyidin, para Khalifah di masa Khilafah Umayyah, Khilafah Abasiyyah, hingga
Khilafah Utsmaniyyah. Jadi kebijakan-kebijakan atas pemasukan dan pengeluaran
harta negara yang disertai dengan tujuan (dampak) yang diinginkan terhadap
perekonomian bukanlah sesuatu hal yang baru di dalam Islam dan ia merupakan
bagian dari Sistem Ekonomi Islam sebagai suatu kewajiban negara. Dengan kata lain
kebijakan fiskal sebagai suatu istilah yang baru, sebenarnya sudah dilakukan sejak
tegaknya negara Islam di Madinah.
C. KEBIJAKAN FISKAL DAN DISTRIBUSI EKONOMI
Secara umum fungsi kebijakan fiskal adalah fungsi alokasi, distribusi dan
stabilisasi perekonomian. Dalam hal alokasi, maka digunakan untuk apa sajakah
sumber-sumber keuangan negara, sedangkan distribusi menyangkut bagaimana
kebijakan negara mengelola pengeluarannya untuk menciptakan mekanisme
3
distribusi ekonomi yang adil di masyarakat, dan stabilisasi adalah bagaimana negara
menciptakan perekonomian yang stabil.
Kebijakan fiskal dalam Sistem Ekonomi Kapitalis, hanyalah merupakan suatu
kebutuhan untuk pemulihan ekonomi (economy recovery) akibat krisis dan untuk
menggenjot perekonomian agar dapat mencapai pertumbuhan yang positif sehingga
tumpuan utama kebijakan fiskal Negara Kapitalis adalah pertumbuhan ekonomi
(economic growth). Dalam Sistem Ekonomi Islam, kebijakan fiskal merupakan suatu
kewajiban negara dan menjadi hak rakyat, sehingga kebijakan fiskal bukanlah
semata-mata sebagai suatu kebutuhan untuk perbaikan ekonomi maupun untuk
peningkatan kesejahteraan rakyat. Juga kebijakan fiskal dalam Sistem Ekonomi Islam
tidak bertumpu pada pertumbuhan ekonomi seperti dalam Sistem Ekonomi Kapitalis
tetapi mengacu pada penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil, karena
hakikat permasalahan ekonomi yang melanda umat manusia adalah berasal dari
bagaimana distribusi harta di tengah-tengah masyarakat terjadi.
1. Pos pemasukan dan pengeluaran negara Islam (daulah Islamiyah)
Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, membagi
sumber-sumber pendapatan negara dalam 3 kelompok yaitu :
1. Bagian Fai dan Kharaj; meliputi harta yang tergolong fai bagi seluruh kaum
Musliminin dan pajak (dlaribah) terhadap kaum Musliminin sebagai kewajiban
mereka ketika negara mengalami krisis keuangan sehingga tidak mampu
membiayai belanja negara terutama yang berifat wajib. Kelompok ini terdiri atas:
a. ghanimah, mencakup ghanimah, anfal, fai, dan khumus.
b. kharaj.
c. status tanah, mencakup tanah-tanah yang ditaklukkan secara paksa (uswah),
tanah ‘usyriyah, as shawafi, dan tanah-tanah yang dimiliki oleh negara,
tanah-tanah milik umum dan tanah-tanah yang dipagar dan dikuasai negara.
d. jizyah.
e. fai, yang meliputi data-data pemasukan dari (harta) as shawafi, ‘usyur, 1/5
harta rikaz dan barang tambang, tanah yang dijual atau disewakan, harta as
shawafi dan harta waris yang tidak ada pewarisnya.
f. pajak (dlaribah)
2. Bagian Pemilikan Umum; harta dari kepemilikan umum ini adalah milik seluruh
kaum Musliminin, sedangkan negara berfungsi mewakili ummat dalam mengelola
harta jenis kepemilikan umum ini, untuk kemudian digunakan bagi kemaslahatan
kaum Musliminin dan seluruh warga negara (termasuk non muslim). An-Nabhani
4
dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan
kepemilikan umum itu adalah:
a. Fasilitas/ Sarana umum yang jika tidak ada pada suatu negeri/ komunitas
akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air,
padang rumput, jalan-jalan umum.
b. Barang tambang yang jumlahnya tak terbatas (sangat besar), seperti
tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi,
uranium, batu bara, dan lain-lainnya.
c. Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki
individu, seperti laut, sungai, danau.
3. Bagian Shadaqah; bagian ini menyimpan harta-harta zakat yang wajib beserta
catatannya. Kelompok ini berdasarkan jenis harta zakat, yaitu:
a. zakat (harta) uang dan perdagangan.
b. zakat pertanian dan buah-buahan.
c. zakat (ternak) unta, sapi, dan kambing.
Kemudian untuk pengeluaran (belanja) negara, Abdul Qadim Zallum
mengelompokkannya menjadi 8 bagian yang meliputi pembiayaan bagian-bagian
Baitul Mal itu sendiri, seksi-seksinya, dan biro-biro.
1. Seksi dar al Khilafah, yang terdiri dari:
a. Kantor Khilafah.
b. Kantor Penasihat (Mustasyaarin)
c. Kantor Mu’awin Tafwidl.
d. Kantor Mu’awin Tanfidz.
2. Seksi Mashalih ad Daulah, yang terdiri dari:
a. Biro Amir Jihad.
b. Biro para Wali (gubernur)
c. Biro para Qadli.
d. Biro Mashalih ad Daulah, seksi-seksi dan biro-biro lain, serta fasilitas umum.
3. Seksi Santunan; seksi ini bertugas memberikan santunan kepada yang berhak
menerimanya, seperti orang-orang fakir, miskin, yang dalam keadaan
membutuhkan, yang berhutang, yang sedang dalam perjalanan, para petani, para
pemilik industri, dan lain-lain yang menurut Khalifah mendatangkan
kemaslahatan bagi kaum Muslimin serta layak diberi subsidi.
4. Seksi Jihad, meliputi:
5
a. Biro pasukan, yang mengurus pengadaan, pembentukan, penyiapan dan
pelatihan pasukan.
b. Biro persenjataan (amunisi).
c. Biro industri militer.
5. Seksi Penyimpanan Harta Zakat; bagian ini menyalurkan zakat kepada hanya 8
golongan yang berhak menerima zakat, selama masih ada harta zakat yang di
dalam Baitul Mal, dan jika tidak terdapat lagi harta zakat di dalam Baitul Mal
maka seksi ini tidak dibiayai.
6. Seksi Penyimpanan Harta Pemilikan Umum.
7. Seksi Urusan Darurat/ Bencana Alam (ath Thawaari).
8. Seksi Anggaran Belanja Negara (al Muwazanah al Ammah), Pengendali Umum (al
Muhasabah al Ammah), dan Badan Pengawas (al Muraqabah).
2. Kebijakan fiskal dari sisi penerimaan negara
Dalam perekonomian Kapitalis, sumber utama penerimaan negara berupa
pajak dan hutang. Di luar kedua sumber utama penerimaan negara tersebut, negara
juga memperoleh pendapatannya dari restribusi (pungutan/ semacam pajak yang
berlaku di tingkat daerah), keuntungan BUMN, denda-denda dan perampasan yang
dijalankan pemerintah, pencetakan uang, dan hadiah (hibah).
Hal tersebut berbeda dengan kebijakan fiskal dari sisi penerimaan Baitul Mal.
Pertama dilihat dari pos Bagian Fai dan Kharaj. Dalam bagian ini, sebagian seksi-
seksi penerimaan Baitul Mal berhubungan langsung dengan dakwah dan jihad.
Daulah Khilafah yang menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dan jika berhasil
melakukan penaklukan (futuhat) baik di negeri-negeri Islam yang sebelumnya berada
dalam kekuasaan bangsa-bangsa kafir, maupun di negeri-negeri bangsa kafir itu
sendiri, maka akan banyak pemasukan Baitul Mal dari anfal atau ghanimah, fa’i, dan
khumus. Jadi semakin Islam disebarkan ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan
jihad semakin banyak harta pemasukan bagi Baitul Mal dari harta rampasan perang.
Pemasukan lainnya adalah kharaj (the land tax). Kharaj merupakan hak kaum
Muslimin atas tanah yang diperoleh (dan menjadi bagian dari ghanimah) dari orang-
orang kafir, baik melalui peperangan maupun melalui perjanjian damai. Setiap
penduduk (Muslim dan non Muslim) yang memanfaatkan tanah kharaj diwajibkan
membayar kharaj kepada negara. Nilai kharaj yang diambil oleh negara atas tanah
tersebut dihitung berdasarkan kandungan tanahnya dengan memperhatikan kondisi
lingkungan tanah tersebut. Sedangkan terhadap negeri yang penduduknya masuk
Islam seperti Indonesia, atau tanah yang statusnya bukan tanah kharaj, maka kharaj
6
tidak berlaku, karena tanah tersebut merupakan tanah ’usyuriyah yang wajib
dikeluarkan zakatnya.
Pemasukan lainnya adalah jizyah (the head tax). Jizyah merupakan hak Allah
yang diberikan kepada kaum Muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda
tunduknya mereka kepada Islam. Jizyah masih terkait dengan hasil dakwah dan jihad
kaum Muslimin dalam Daulah Khilafah. Pihak yang wajib membayar jizyah adalah
para ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani dan yang bukan ahli kitab
seperti orang-orang Majusi, Hindu, Budha dan Komunis yang telah menjadi warga
negara Islam. Jizyah diambil dari orang-orang kafir laki-laki, telah baligh dan berakal
sehat. Jizyah tidak wajib atas wanita, anak-anak dan orang gila. Jizyah akan berhenti
dipungut oleh negara jika orang kafir tersebut telah masuk Islam. Juga jizyah tidak
wajib jika orang kafir yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan
membayarnya karena kefakiran atau kemiskinannya.
Sumber penerimaan lainnya dalam bagian ini adalah ’Usyur. ’Usyur dipungut
terhadap pedagang penduduk kafir harby atas barang dagangan mereka yang
melewati perbatasan negara. Tindakan ini dilakukan sebagai perlakuan setara karena
negara mereka telah melakukan pungutan (cukai) atas pedagang Muslim yang
melewati perbatasan negara mereka. ’Usyur juga dipungut terhadap pedagang kafir
dzimmi yang melewati perbatasan, disebabkan adanya perjanjian damai antara
kaum Muslimin dengan mereka yang salah satu poinnya menyebutkan tentang
’usyur ini, tetapi jika ’usyur tidak disebutkan dalam perjanjian damai maka tidak
boleh mengambil ’usyur dari pedagang kafir dzimmi. Jadi ’Usyur dipungut karena
adanya sebab-sebab syara’. Sedangkan jika tidak ada sebab-sebab seperti di atas,
maka pungutan terhadap perdagangan lintas negara (cukai) hukumnya haram,
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Uqbah bin ’Amir, Nabi
SAW bersabda:
”Tidak akan masuk surga orang yang memungut bea cukai (pajak)”
Selain itu, jika negara mengalami suatu kondisi sehingga Baitul Mal tidak
mampu membiayai kewajiban-kewajibannya, maka kewajiban ini beralih kepada
kaum Muslimin. Dengan kondisi seperti ini, negara berhak memungut pajak
(dlaribah/ taxes) terhadap kaum Muslimin.
7
”Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian” (QS. Adz-Dzariyaat: 19)
Pajak ini hanya dikenakan terhadap kaum Muslimin, dan tidak boleh terhadap
warga negara non Muslim. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah
dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya yaitu dari sisa pemenuhan
kebutuhan primer dan sekundernya yang ma’ruf. Jumlah pajak yang dipungut secara
makro harus ekuivalen dengan jumlah kebutuhan Baitul Mal yang dipergunakan
untuk memenuhi kewajiban-kewajiban Baitul Mal, sehingga pajak tidak boleh
dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Kemudian jika kebutuhan
Baitul Mal telah terpenuhi dan Baitul Mal sudah mampu memenuhi kewajiban-
kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, maka pungutan pajak harus
dihentikan.
Negara juga mendapatkan penerimaan dari 1/5 harta rikaz, harta warisan
yang tidak ada lagi ahli warisnya, harta tidak sah yang dimiliki pejabat negara dan
harta orang murtad.
Sistem Ekonomi Kapitalis tidak memiliki sumber penerimaan dari pemilikan
umum karena sistem ini hanya mengakui dua macam kepemilikan, yaitu pemilikan
individu (private proverty) dan pemilikan negara (state proverty). Sistem ini juga
menempatkan kebebasan individu dalam hal kepemilikan selama diperoleh dengan
cara-cara yang sah menurut hukum Kapitalisme.
Pengakuan Islam akan kepemilikan umum (Al Milkiyyah al Ammah/ collective
proverty) selain kepemilikan individu dan kepemilikan negara, didasarkan pada dalil
syara’ berikut:
Dari Abu Khurasyi dari sebagian sahabat Nabi SAW, Rasulullah bersabda:
”Kaum Muslimin itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api”
“Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasulnya.”
Sumber penerimaan Baitul Mal dari Bagian Pemilikan Umum yang mempunyai
potensi sangat besar dalam membiayai pengeluaran Baitul Mal adalah dari barang
tambang dan sumber daya alam. Negeri-negeri Islam yang sebagian besar terletak di
bagian Selatan bumi ini telah dianugerahi Allah SWT dengan kekayaan alam yang
8
sangat melimpah. Anugerah ini merupakan suatu potensi yang sangat besar untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kekuatan negara.
Sumber pemasukan Baitul Mal berikutnya adalah Bagian Shadaqah. Bagian ini
meliputi, pertama; zakat ternak unta, sapi dan kambing. Kedua; zakat tanaman (hasil
pertanian) dan buah-buahan. Ketiga; zakat nuqud/mata uang (emas dan perak), dan
keempat; zakat atas keuntungan dari perdagangan.
Zakat merupakan suatu kewajiban kaum Muslimin dan salah satu pilar dari
rukun Islam. Seorang Muslim yang membayar zakat merupakan implimentasi (ibadah
ritual) hubungannya dengan Allah SWT seperti halnya seorang Muslim yang
melaksanakan kewajiban shalat, puasa dan ibadah haji.
”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’ lah beserta orang-orang yang
ruku.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Tugas negara adalah memungut zakat dari kaum Muslimin dan
mengumpulkannya di Baitul Mal pada pos Bagian Shadaqah, kemudian
menyalurkannya sesuai ketentuan syara’. Jika wajib zakat menolak membayar zakat,
maka negara berhak memaksanya agar memenuhi kewajibannya.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya do’a kamu
itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui” (QS. At-Taubah: 103)
Zakat tetap dipungut oleh negara selama masih ada orang yang wajib zakat,
dan tidak akan dihentikan kewajiban ini meskipun harta zakat yang terkumpul di
Baitul Mal melimpah sedangkan orang yang berhak menerimanya tidak terdapat lagi
di dalam negeri. Jadi fungsi negara dalam mengelola zakat semata-mata karena
9
implimentasi ibadah ritual kaum Muslimin terhadap Allah SWT, bukan karena alasan
ekonomi.
3. Kebijakan fiskal dan distribusi ekonomi dari sisi pengeluaran negara
Setiap pos pemasukan di dalam Baitul Mal mempunyai mekanisme masing-
masing untuk dikeluarkan atau dibelanjakan oleh negara, sehingga akan mempunyai
variasi dampak positif terhadap perekonomian negara dan masyarakat.
Pos penerimaan Baitul Mal dari Bagian Fai dan Kharaj harus dikeluarkan
negara untuk pos pengeluaran dar al Khilafah, Mashalih ad Daulah, Santunan, Jihad,
Urusan Darurat/ Bencana Alam (ath Thawaari), dan Anggaran Belanja Negara (al
Muwazanah al Ammah), Pengendali Umum (al Muhasabah al Ammah), dan Badan
Pengawas (al Muraqabah). Kemudian pos penerimaan dari Bagian Pemilikan Umum
harus dikeluarkan untuk Jihad, Penyimpanan Pemilikan Umum dani Urusan Darurat/
Bencana Alam. Sedangkan pos penerimaan dari Bagian Shadaqah harus dikeluarkan
hanya untuk Penyimpanan Harta Zakat dan Jihad.
Di dalam Sistem Ekonomi Kapitalis tidak mengenal mekanisme pemasukan
dan pengeluaran keuangan dan harta negara seperti yang ada pada Baitul Mal.
Setiap sumber pemasukan APBN (budget of state) tidak ada pengaturan harus
dikeluarkan untuk anggaran apa saja, sebaliknya setiap sumber pemasukan
penggunaannya terserah kepada pemerintah dalam membiayai belanja negara dari
besaran anggaran yang sudah disetujui parlemen (DPR). Dilihat dari sisi ini saja
sudah muncul kerancuan penggunaan keuangan negara dalam hal alokasi anggaran.
Aspek politik dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah adalah dalam
rangka mengurusi dan melayani umat. Kemudian dilihat dari bagaimana Islam
memecahkan problematika ekonomi, maka berdasarkan kajian fakta permasalahan
ekonomi secara mendalam terungkap bahwa hakikat permasalahan ekonomi terletak
pada bagaimana distribusi harta dan jasa di tengah-tengah masyarakat sehingga titik
berat pemecahan permasalahan ekonomi adalah bagaimana menciptakan suatu
mekanisme distribusi ekonomi yang adil. Allah SWT mengingatkan kita tentang
betapa sangat urgennya masalah distribusi harta ini dalam firman-Nya:
10
”Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Asbabun Nuzul(Fai’ ialah harta rampasan perang yang diperoleh dari musuh tanpa melalui pertempuran.
Pembagiannya berlainan dengan pembagian ghanimah. Sedangkan ghanimah harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi pertempuran. Pembagian fai’ sebagai yang tersebut pada ayat ke-7 di surat al-Hasyr. Sedang pembagian ghanimah tersebut pada ayat ke-41 surat al-Anfaal.)
Dalam firman-Nya, Allah menjelaskan makna al-fai’ (harta rampasan),
bagaimana sifatnya dan apa hukum ketetapannya. Al-Fai’ adalah semua harta yang
diambil dari orang kafir tanpa pertempuran seperti harta benda milik Bani Nadhir ini.
Oleh karena itulah Allah SWT memberikan harta yang mereka tinggalkan itu
untuk Rasul-Nya saw. Dan oleh karenanya Rasulullah saw membagi-bagikannya
sesuka hati beliau. Beliau pun menyalurkannya kepada kaum muslimin untuk
berbagai jalan kebaikan dan kemaslahatan yang Allah sebutkan pada ayat-ayat
berikutnya. Itulah cara pengalokasian dan pendistribusian harta fai’.
(Shahih Tafsir Ibnu Katsir, JIlid 9, Hal. 16, Pustaka Ibnu Katsir:2006)
Imam Ahamd telah meriwayatkan dari ‘Umar r.a., ia berkata, “Harta benda Bani
Nadhir termasuk harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya tanpa
sebuah penyerbuan dengan mengerahkan kuda ataupun unta, maka harta itu khusus
untuk Rasulullah. Beliau gunakan sebagai nafkah untuk satu tahun-dalam satu
kesempatan ia berkata: untuk makanan pokok keluarganya selama setahun- dan
11
sisanya beliau gunakan untuk kuda dan peralatan jihad dijalan Allah. [Ahmad (I/25)]
(Shahih Tafsir Ibnu Katsir, JIlid 9, Hal. 16, Pustaka Ibnu Katsir:2006)
Mengenai ayat:
“Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja
diantara kamu.”
Yakni, Kami jadikan pengaturan distribusi harta fai’ tersebut sedemikian rupa,
agar harta itu tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang kaya, lalu mereka
mempergunakannya untuk melampiaskan hawa nafsu dan keinginan mereka saja
tanpa memperhatikan orang-orang fakir.
(Shahih Tafsir Ibnu Katsir, JIlid 9, Hal. 19, Pustaka Ibnu Katsir:2006)
Mengenai ayat:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu tinggalkanlah.”
Yakni, walau bagaimanapun perintah beliau maka laksanakanlah dan walau
bagaimanapun larangan beliau maka jauhkanlah, karena beiau pasti memerintahkan
yang baik dan melarang yang buruk.
Juga tercantum dalam ash-Shahiihain, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah
saw telah bersabda:
“Apabila saya telah memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah
semampu kalian, dan apa yang saya larang maka hindarilah.”
(Shahih Tafsir Ibnu Katsir, JIlid 9, Hal. 20-21, Pustaka Ibnu Katsir:2006)
Mengenai ayat:
“Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-
Nya.”
Yakni, bertakwalah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan dalam
menghindari larangan-larangan-Nya karena hukuman-Nya sangat keras bagi orang
yang melanggar larangan-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang
alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan
batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang
12
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,”
(QS. At-Taubah: 34)
Juga dalam hadits Nabi SAW:
”Jika pada suatu pagi di suatu kampung terdapat seseorang yang kelaparan, maka
Allah berlepas diri dari mereka.”
”Tidak beriman pada-Ku, tidak beriman pada-Ku, orang yang tidur dalam keadaan
kenyang, sementara ia tahu tetangganya kelaparan.” (Hadits Qudsi)
Karena itu, kebijakan fiskal di dalam Islam didasari oleh suatu politik ekonomi
(as siyasatu al iqtishadi) yang bertujuan mencapai distribusi ekonomi yang adil,
sebagaimana yang dikemukakan Abdurrahman Al Maliki, yaitu menjamin pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah/ basic needs) perindividu secara
menyeluruh, dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar
kemampuannya.
Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer ini meliputi; pertama,
jaminan kebutuhan-kebutuhan primer bagi tiap-tiap individu dan kedua, jaminan
kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan.
Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer katagori pertama adalah
jaminan akan sandang, pangan dan papan dan merupakan jaminan secara langsung
terhadap setiap individu yang mempunyai penghasilan tetapi tidak mencukupi untuk
memberikan nafkah kebutuhan-kebutuhan pokok terhadap diri dan keluarganya,
atau terhadap setiap individu yang tidak memiliki kemampuan untuk memberikan
nafkah kebutuhan pokok terhadap diri dan keluarganya. Kebijakan ini termasuk
kebijakan transfer payment karena negara memberikan secara cuma-cuma harta
berupa uang atau barang kepada seseorang. Sedangkan pembiayaan pemenuhan
kebutuhan primer katagori pertama ini oleh negara dianggarkan pada Seksi
Santunan.
Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer katagori kedua meliputi
keamanan, pendidikan dan kesehatan. Tiga perkara ini, merupakan unsur penting
bagi perekonomian. Keamanan berfungsi melindungi dan mengayomi aktivitas
perekonomian masyarakat sehingga kegiatan ekonomi menjadi lancar. Pendidikan
merupakan pilar yang melahirkan sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan
13
untuk melakukan pembangunan fasilitas-fasilitas negara dan fasilitas-fasilitas umum
yang dibutuhkan rakyat termasuk yang dibutuhkan bagi aktifitas perekonomian,
untuk membangun sistem pertanian, industri (termasuk industri senjata),
perdagangan dan jasa yang tangguh, berkualitas dan efisien. Kesehatan merupakan
unsur yang sangat mempengaruhi kinerja seseorang bagi ekonomi dirinya dan
keluarganya, bagi syirkah tempat dia bekerja, bagi perekonomian masyarakat dan
negara.
Dalam menjamin keamanan di dalam negeri, dilakukan dengan cara
menegakkan syariat yang berkaitan dengan sanksi terhadap orang yang melanggar
dan memperkosa hak-hak asasi manusia. Sedangkan jaminan keamanan dari
ancaman musuh di luar negeri dilakukan dengan menegakkan jihad. Pembiayaan
terhadap jaminan keamanan ini terletak pada anggaran belanja negara Mashalih ad-
Daulah dan Jihad.
Negara menjamin pendidikan dari tenaga pengajar (guru/dosen), tempat
pendidikan dan berbagai fasilitas yang dibutuhkan untuk penyelenggaraannya.
Jaminan akan pendidikan ini juga termasuk jaminan hidup yang layak bagi para guru.
Pembiayaan anggaran pendidikan ini terdapat pada Seksi Mashalih ad-Daulah.
Dari aspek kesehatan, negara berkewajiban menyediakan dokter, obat-
obatan, rumah sakit dan tempat pelayanan kesehatan lainnya, serta berbagai sarana
kesehatan, termasuk riset di bidang kesehatan. Pelayanan kesehatan ini diberikan
secara cuma-cuma (gratis) kepada seluruh masyarakat sehingga negaralah (Baitul
Mal) yang menanggung seluruh biaya kesehatan ini bukan masyarakat. Anggaran
yang menangani pembiayaan kesehatan terdapat pada Seksi Mashalih ad-Daulah.
Pemenuhan atas tiga kebutuhan primer katagori kedua ini bersifat
menyeluruh, artinya seluruh rakyat apakah orang miskin atau kaya, dari keluarga
pengusaha atau bukan, pria atau wanita, tua atau muda, kulit hitam atau putih,
Muslim atau non Muslim, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan jaminan
keamanan, pendidikan dan pelayanan kesehatan secara gratis.
Karena perkara pemenuhan kebutuhan primer ini menjadi sasaran utama
kebijakan fiskal dibandingkan anggaran yang lainnya, maka khalifah tidak boleh
melalaikan anggarannya di dalam Baitul Mal, sebab ia merupakan suatu kewajiban
yang harus dilaksanakan negara dan merupakan hak setiap individu yang tidak
mampu memenuhi kebutuhannya akan pangan, sandang dan papan. Juga hak
seluruh rakyat untuk mendapatkan jaminan keamanan, pendidikan dan pelayan
kesehatan secara gratis. Bahkan jika Baitul Mal tidak mampu lagi membiayai
anggaran ini, sedangkan perkara ini merupakan kewajiban negara terlepas apakah
ada harta di dalam Baitul Mal ataukah tidak, maka kewajiban untuk membiayai
14
anggaran perkara tersebut beralih kepada kaum Muslimin, yakni dengan berhaknya
negara memungut pajak (dlaribah) terhadap kaum Muslimin yang mempunyai
kelebihan harta.
Dengan satu langkah kebijakan fiskal dalam penjaminan kebutuhan primer di
atas, maka negara telah membangun suatu infrastruktur ekonomi dan dengan itu
terbentuklah suatu karakteristik struktur perekonomian sehingga negara telah
membuka satu pintu distribusi ekonomi yang adil, karena orang-orang yang kurang
memiliki kemampuan dari sisi ekonomi disantuni oleh negara dengan penjaminan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Juga setiap orang mendapatkan hak
yang sama dalam keamanan akan hartanya, akan usahanya (pertanian, industri dan
perdagangan, jasa, dan lain-lain), jiwanya dan keluarganya. Hak yang sama akan
pendidikan, sehingga semua orang pada hakikatnya memiliki kesempatan yang sama
untuk memperoleh ilmu dan keahlian (skill). Dengan ilmu dan keahlian inilah modal
dasar bagi seseorang mencari nafkah bagi diri dan keluarganya, serta untuk
meningkatkan kekayaannya.
Baitul Mal masih memiliki dua instrumen dari dua sumber pemasukan negara
untuk semakin mempertajam distribusi harta di tengah-tengah masyarakat. Yaitu
instrumen Penyimpanan Harta Kepemilikan Umum dan instrumen Penyimpanan
Harta Zakat.
Harta yang termasuk kepemilikan umum merupakan harta milik umat
sehingga umat berhak mendapatkan manfaat dari harta milik umum dan tidak
seorangpun yang berhak menguasai harta milik umum tersebut. Dalam
memanfaatkan harta milik umum ada yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh
umat seperti air, padang rumput, api, jalan-jalan umum, laut, sungai, danau dan
terusan yang besar, dan ada juga yang tidak mudah memanfaatkannya secara
langsung seperti minyak bumi, gas, dan barang-barang tambang. Untuk dapat
memanfaatkannya, aset milik umum tersebut harus dieksplorasi dan diolah dengan
usaha yang keras dan biaya yang besar. Maka pihak yang wajib untuk mengelola
kepemilikan seperti ini adalah negara selaku wakil umat.
Pendapatan yang diperoleh dari eksplorasi dan produksi (pengolahan) atas
harta milik umum tersebut digunakan untuk menutupi seluruh biaya operasional
pengelolaannya serta dibelanjakan untuk kepentingan umat sebagai bagian dari
kebijakan ekonomi negara. Pembelanjaan dari harta milik umum ini dianggarkan
dalam pos pengeluaran Penyimpanan Harta Pemilikan Umum.
Pada sisi kebijakan negara atas pemanfaatan hasil pengelolaan harta milik
umum untuk kepentingan umat inilah diatur mengenai mekanisme distribusi
ekonomi. Kebijakan ekonomi negara ini dilakukan berdasarkan aspek strategis dari
15
sisi sosial ekonomi masyarakat dan keuangan negara. Bisa saja khalifah melakukan
kebijakan membagikan harta milik umum seperti air ledeng, listrik, BBM, gas elpiji
secara gratis (transfer payment) ke tempat-tempat tinggal ataupun tempat usaha
masyarakat, atau menjualnya dengan harga yang murah (subsidi) atau dengan harga
pasar. Dengan harta milik umum ini pula negara melakukan transfer payment
terhadap penduduk yang mengalami musibah atau bencana alam dan dialokasikan
dalam anggaran Urusan Darurat/ Bencana Alam.
Perkembangan zaman dari sisi sains dan teknologi, luasnya wilayah dan
besarnya jumlah penduduk serta ancaman dari luar negeri berpotensi besar
menambah beban keuangan negara sehingga bisa jadi sumber-sumber penerimaan
negara dari pos penerimaan Bagian Fai dan Kharaj tidak mencukupi untuk menutupi
seluruh kewajiban-kewajiban Baitul Mal. Untuk menutupi kekurangan anggaran ini,
sebelum khalifah melakukan kebijakan penarikan pajak atas kaum Muslimin, maka
negara boleh menutupinya dari penerimaan harta milik umum sehingga jika
mencukupi belanja negara, penarikan pajak tidak boleh dilakukan.
Dengan mengambil kebijakan ini, pos penerimaan dari Bagian Pemilikan
Umum sebagian digunakan untuk membiayai pos pengeluaran lainnya seperti pos
Dar al-Khilafah, Mashalih ad-Daulah, Santunan, dan Jihad. Dari penerimaan harta
pemilikan umum, negara dapat membelanjakannya untuk membangun fasilitas-
fasilitas umum yang dianggarkan dalam Seksi Mashalih ad-Daulah dan membantu
perekonomian masyarakat dalam bentuk subsidi ataupun pinjaman modal di sektor
pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, industri, perdagangan dan jasa yang
dianggarkan dalam Seksi Santunan.
Instrumen terakhir Baitul Mal yang berfungsi pula dalam menciptakan
mekanisme distribusi ekonomi adalah zakat. Akan tetapi zakat tidak murni sebagai
kebijakan ekonomi. Zakat semata-mata merupakan implimentasi ibadah ritual
seorang Muslim kepada Tuhannya yang mempunyai dampak sosial ekonomi di
masyarakat.
Penyaluran harta zakat dari anggaran Penyimpanan Harta Zakat harus
dilakukan hanya terhadap 8 golongan yang disebutkan dalam firman Allah SWT:
16
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Asbabun Nuzul
Setelah sebelumnya Allah SWT mengungkapkan bantahan-bantahan kaum
munafik kepada Nabi saw dan celaan mereka terhadap Beliau dalam pendistribusian
zakat, kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa sesungguhnya Dia-lah yang
membagikannya, menjelaskan hukumnya dan menyelesaikan masalahnya. Dia tidak
menyerahkan urusan pembagiannya kepada siapapun selain-Nya. Allah SWT
membagikannya kepada mereka yang telah ditentukan. Kaum fakir didahulukan dari
golongan lain dalam ayat ini, sebab merekalah yang paling membutuhkan dibanding
yang lain, menurut pendapat yang cukup terkenal. Selain itu karena kebutuhan
mereka yang sangat. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., Mujahid, al-Hasan al-
Bashri dan Ibnu Zaid. (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, JIlid 4, Hal. 237, Pustaka Ibnu
Katsir:2006)
Karena itu, menurut Abdul Qadim Zallum, zakat tidak boleh dikeluarkan di luar
delapan golongan tersebut sehingga tidak boleh harta zakat digunakan misalnya
untuk membangun sarana-sarana umum, digunakan untuk kebijakan ekonomi.
D. UPAH DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi
ganti menurut syarat-syarat tertentu (Idris Ahmad : 1986). Kebijakan fiskal dalam
Sistem Ekonomi Islam tidak bertumpu pada pertumbuhan ekonomi seperti dalam
Sistem Ekonomi Kapitalis tetapi mengacu pada penciptaan mekanisme distribusi
ekonomi yang adil.
17
”Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada
mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan
baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan
(anak itu) untuknya.” (QS At-Thalaq : 6).
Selanjutntya dalam surat Al-Anfal ayat 27 Allah menegaskan
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal : 27).
Asbabun NuzulDalam Shahiih al-Bukhari dan Muslim disebutkan kisah Hathib bin Abi Balta’ah, ketika ia
menulis surat kepada orang-orang Quraisy, menginformasikan kepada mereka rencana yang akan dilakukan Rasulullah saw terhadap mereka di tahun Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah). Allah memberitahukan hal ini kepada Rasul-Nya. Maka Beliau pun mengutus utusan untuk menyusul orang yang membawa surat itu, sekaligus untuk membawanya kembali ke Madinah. Hathib pun diminta untuk dihadirkan, dan ia mengakui apa yang diperbuatnya. ‘Umar bin Khaththab bangkit seraya berkata: “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya memenggal lehernya, sebab ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman! Rasulullah saw bersabda:“Biarkanlah ia. Sesungguhnya ia telah ikut menghadiri perang Badar, dan engkau tidak tahu. Semoga Allah telah melihat dan mengetahui keadaan orang-orang yang ikut perang Badar.”
Ali bin Abi Thalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Amanat adalah amal-amal perbuatan yang diamanatkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, berupa amal-amal yang wajib.Abdurrahman bin Zaid berkata: “Allah melarang mereka berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang munafik.(Shahih Tafsir Ibnu Katsir, JIlid 4, Hal. 52-53, Pustaka Ibnu Katsir:2006)
18
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah yang mengatakan Nabi Saw bersabda
:
“Allah SWT berfirman: ‘Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti, adalah
orang yang telah memberikan karena Aku, lalu berkhianat; dan orang yang membeli
barang pilihan, lalu ia makan kelebihan harganya; serta orang yang mengontrak
pekerja kemudian pekerja tersebut menunaikan transaksinya sedangkan upahnya
tidak diberikan.”
Dari Ibnu Mas’ud, Nabi Saw bersabda :
“Apabila salah seorang diantara kalian, mengontrak (tenaga) seorang ajir (“pekerja”),
maka hendaklah diberitahu tentang upahnya.
19