KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN (STUDI...
Transcript of KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN (STUDI...
KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN
(STUDI SEMIOTIKA MAKNA ESAI FOTO JURNALISTIK KARYA NG
SWAN TI BERJUDUL FLORES REVISITED PADA PAMERAN
JAKARTA BIENNALE 2015).
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh : Ardiansyah Pratama
NIM : 1110051100107
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Ardiansyah Pratama
1110051100107
Keberagamaan Masyarakat Flores Modern (Studi Semiotika Makna Esai
Foto Jurnalistik Karya Ng Swan Ti Berjudul Flores Revisited Pada Pameran
Jakarta Biennale 2015)
Keberagamaan merupakan proses representasi dari setiap individu
masyarakat dalam berkeyakinan terhadap agama yang dianutnya. Baik langsung
dan tidak langsung perilaku individu dalam beragama dibentuk oleh tatanan
masyarakatnya. Yakni tidak saja tatanan masyarakat yang “natural” berlangsung
dari generasi ke generasi, tetapi juga hasil percampuran dengan kebudayaan asing
yang terintergrasi dengan kultur keberagamaan lokal.
Melalui media fotografi, jurnalis foto Ng Swan Ti dari PannaFoto Institute
berhasil mendokumentasikan ritual keagamaan hari raya paskah agama Katolik
yang dilakukan masyarakat Flores tahun 2015. Karya ini berhasil masuk dalam
pameran berskala Internasional yaitu Jakarta Biennale 2015 “Maju Kena Mundur
Kena: bertindak sekarang”.
Representasi keberagamaan masyarakat Flores dalam dokumentasi esai foto
tersebut menurut hemat penulis penting dikaji. Pertama, foto secara detail dan luas
menggambarkan konteks objek yang didokumentasikan Tetapi foto tidak
selamanya objektif dalam menggambarkan realita faktual karena terbatas pada
pose-pose tertentu. Kedua, karena itu, penting mendapatkan keseluruhan objek foto
yang didokumentasikan dalam esai foto agar dapat dinarasikan gambaran
keberagamaan masyarakat Flores sehingga secara faktual merepresentasikan
realitas yang sesungguhnya.
Pada penelitian ini penulis menggunakan paradigma konstruktivis dengan
pendekatan kualitatif. Sementara metode penelitian yang digunakan adalah
semiotika Roland Barthes. Semiotika model Roland Barthes memiliki tiga tahapan
dalam memaknai sebuah foto, yaitu tahapan denotasi, konotasi serta mitos.
Setelah melakukan pengkajian melalui analisis semiotika model Roland
Barthes terhadap foto Flores Revisited karya Ng Swan Ti, Penulis menemukan ciri
keberagamaan masyarakat modern yang terintegrasi dengan budaya lokal modern
karena agama Katolik masuk ke Flores pada abad ke-16. Dalam ritual
keagamaannya agama Katolik menggunakan ornament seperti lilin, patung,
confetti, bunga dan seterusnya. Hal tersebut menjadi kebudayaan baru bagi
masyarakat Flores. Lalu penulis juga melihat adanya evolusi keberagamaan di
Flores dalam waktu yang cukup lama.
Kata Kunci: Fotografi, Semiotika, Keberagamaan, Masyarakat Modern, Flores
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru
sekalian alam yang menyeru sekalian hati hamba-Nya untuk selalu turut serta dalam
samudra makrifat hingga tenggelam dalam kecintaan kepada-Nya. Tiada kata yang
tepat untuk mendeskripsikan segalanya selain rasa syukur atas petunjuk dan
pertolongan kepada penulis, sehingga terselesaikannya skripsi ini. Shalawat serta
salam atas Al-Mustafa Sayyidina Muhammad SAW, serta keluarga dan para
sahabatnya yang telah membawa kebaikan kepada umatnya dari jalan kegelapan
menuju jalan yang terang benderang.
Setelah beberapa semester lamanya menimba ilmu di kampus tercinta,
akhirnya penulis dapat dengan sabar mengentaskan karya ini sebagai tongkat estafet
pengejawantahan ilmu. Penulis menyadari, karya ini belum mencapai
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka dengan lebar kritik dan saran
para pembaca. Penulisan karya ini juga tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.
Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Suparto, M,Ed, Ph,D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik,
Dra. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi dan
Keuangan, dan Dr. Suhaimi, M.Si selaki Wakil Dekan III Bidang
Kemahasiswaan.
vi
2. Kholis Ridho. M.Si selaku Ketua Program Studi Jurnalistik sekaligus
menjadi dosen pembimbing dalam penelitian ini yang telah banyak
meluangkan waktu serta memberikan ilmunya dalam selama proses
bimbingan. Sebagai Ketua Program Studi beliau juga telah banyak
memberikan bantuan moril kepada penulis.
3. Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A selaku sekertaris Program Studi Jurnalistik
yang telah meluangkan waktu untuk berkonsultasi dan membantu penulis
dalam hal perkuliahan
4. Terima kasih kepada seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu-
ilmunya kepada penulis selama penulis menimba ilmu di sana.
5. Terima kasih kepada segenap staf Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi.
6. Terima kasih kepada fotografer Ng Swan Ti selaku narasumber yang telah
meluangkan waktu untuk wawancara serta berbagi wawasan dan
pengalaman kepada penulis.
7. Kepada orang tua penulis, Bapak Syape’i dan Ibu Nursiah yang telah
menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih
telah bersabar dengan waktu yang lama.
8. Terima kasih kepada adik-adik penulis, Maulana Yusuf dan Mitha Aulia
yang tiada hentinya memberi dukungan baik yang bersifat moril mapun
materiil.
vii
9. Terima kasih kepada Nanda Aullia yang telah banyak memberi semangat
dan memantau perkembangan penelitian.
10. Terima kasih kepada sahabat-sahabat Jurnalistik UIN, Rizki Solehudin
(kinoy), Rezha Alfian (Ejhon), Mario (bonte), Hanggi tyo, Diyah Halim,
Aditya (bebeks), Sayid Muarif (atep), Algifari, Nissa, Doci, Denny, Khoirur
Rozi, Singgih, Bisri, Syahrijal dan seluruh sahabat Jurnalistik lainnya.
11. Terima kasih kepada sahabat-sahabat SMAN 32 Jakarta, Kiting, Matius,
Roy, Reza, Yusran, Imam, Ucup, Fadil yang tidak bosan-bosannya
menemani dalam mencari inspirasi serta referensi.
12. Terima kasih kepada keluarga besar LPM Journo Liberta yang telah
mengajarkan penulis tentang betapa pentingnya menjadi manusia yang
bermanfaat bagi manusia lainnya, terlebih dalam memberikan ilmu serta
pengalaman di bidang kejurnalistikan.
13. Terima kasih kepada keluarga besar UKM FORSA UIN, Mas Syaifullah
Nur (Coach), Mas Wahyu (Bosek), Mas Topik (Orixs), Mas Ade Shofari,
Dek Doyok, Dek Khafi, dan para senior juga seluruh anggota tim lainnya.
14. Terimakasih kepada UKM KALA CITRA, Kak Elisha, Kak Rizkikim, Kak
Muhammad Ibnu, Kak Fakhri, Dian, dan segenap teman-teman lainnya
yang telah banyak membantu.
15. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang membantu
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Jakarta, 3 Juli 2017
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR .............................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. x
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Batasan Dan Rumusan Masalah ....................................
1. Batasan Masalah .....................................................
2. Rumusan Masalah ..................................................
6
6
7
C. Tujuan Penelitian .......................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ........................................................
1. Manfaat Akademis .................................................
2. Manfaat Praktis .......................................................
8
8
9
E. Metode Penelitian .........................................................
1. Paradigma Penelitian ..............................................
2. Metode Penelitian ...................................................
3. Subjek dan Objek Penelitian ...................................
4. Waktu Penelitian ………….....................................
5. Sumber dan Jenis Data ............................................
6. Teknik Pengumpulan Data ......................................
7. Analisis Data ...........................................................
9
9
10
11
11
11
12
13
F. Tinjauan Pustaka .......................................................... 13
G. Sistematika Penulisan ................................................... 15
ix
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Keberagamaan dan
Masyarakat Modern ......................................................
1. Konsep Keberagamaan ...........................................
2. Konsep Masyarakat Modern ...................................
17
17
27
B. Konsep Evolusi Agama ................................................. 33
C. Fotografi Jurnalistik .....................................................
1. Sejarah Foto Jurnalistik ...........................................
2. Jenis Foto Jurnalistik ...............................................
38
40
42
D. Tinjauan Umum Tentang Semiotika .............................
1. Pengertian Semiotika .............................................
2. Semiotika Roland Barthes .......................................
52
52
56
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Tentang Sejarah Flores .................................................
B. Tentang Jakarta Biennale 2015 .....................................
1. Sejarah Jakarta Biennale .........................................
2. Jakarta Biennale ......................................................
C. Profile Ng Swan Ti .......................................................
64
67
67
71
72
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Data Foto 1 .....................................................
1. Makna Denotasi .......................................................
2. Makna Konotasi ......................................................
3. Makna Mitos ............................................................
77
77
78
84
B. Analisis Data Foto 2 .....................................................
1. Makna Denotasi .......................................................
2. Makna Konotasi ......................................................
3. Makna Mitos ...........................................................
86
86
87
93
C. Analisis Data Foto 3 ......................................................
1. Makna Denotasi .......................................................
2. Makna Konotasi ......................................................
3. Makna Mitos ...........................................................
94
94
95
101
x
D. Analisis Data Foto 4 .....................................................
1. Makna Denotasi .......................................................
2. Makna Konotasi ......................................................
3. Makna Mitos ............................................................
105
105
106
112
E. Pembahasan ................................................................... 113
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................
1. Tahap Denotasi .....................................................
2. Tahap Konotasi .....................................................
3. Tahap Mitos ..........................................................
118
118
118
119
B. Saran ............................................................................ 120
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 123
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................... 129
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Studi Evolusi Agama Wallace ..................................................... 37
Tabel 2 : Peta Tanda Roland Barthes .......................................................... 57
Tabel 3 : Perbandingan antara Konotatif dan Denotatif ............................. 59
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Tatanan Penandaan Barthes ..................................................... 58
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman etnis, budaya,
bahasa, dan agama. Menurut sejarah, kaum pendatang yang telah menjadi
pendorong utama keanekaragamaan agama dan kultur di Indonesia, seperti
pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda.1 Hal tersebut
menjadikan Indonesia sebagai negara yang multikultur dan multiagama.
Berdasarkan uraian di atas, Agama2 di Indonesia tampil dalam bentuk yang
berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu
berkembang. Dengan maksud, seiring melalui pemahaman kebudayaan tersebut
seseorang akan dapat mengamalkan atau menjalankan ajaran agama. Misalnya,
kebudayaan dalam berpakaian, kebudayaan dalam pengartian sebuah benda, dan
tata cara bergaul bermasyarakat. Dalam unsur kebudayaan tersebut unsur agama
ikut berintegrasi, seperti model jilbab, kebaya, songket atau tenun ikat dan hal
lainnya yang dapat dijumpai dalam pengalaman agama tertentu pada tiap
masyarakat. Oleh karena itu, agama di Indonesia berbaur harmonis dengan beragam
kebudayaan yang terbentuk dalam sebuah masyarakat.
Agama merupakan salah satu unsur yang utama dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan di Indonesia, sehingga agama mempunyai landasan secara yuridis
1 Laode Monto Bauto, Prespektif Agama dan Kebudayaan Dalam Kehidupan Masyarakat
Indonesia, (Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 23, No. 2, Desember, 2014), hal, 19. 2 Menurut Kamus Bahasa Indonesia, agama merupakan ajaran atau sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia berserta lingkungan. Dikutip dari Tim Redaksi Kamus
Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa 2008), hal. 17.
2
yang termaktum dalam Pancasila pada sila pertama yaitu pinsip dasar negara
berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga negara bebas
berkeyakinan atau memeluk agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.3
Dalam kitab Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Republik Indonesia,
agama diatur dalam Pasal 29 yang berbunyi:
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Sebagai pelaksanaan Pasal 29 (2) UUD 1945 pemerintah mengeluarkan
Ketetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan
atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5 Tahun 1969 tentang
pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-
Undang.4
Secara formal ada enam agama yang diakui di Indonesia, seperti dalam
Peraturan Presiden (Pepres) nomor 1 tahun 1965 (Setelah Keputusan Presiden No.
6 Tahun 2000) disebutkan:5
"Agama-agama yang dapat dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khongucu. lni tidak berarti bahwa
agama agama lain, rnisalnya yahudi, Zaratustrian, Shinto dan Taoisme
dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang
diberikan Pasal 29 ayat (2) UUD 45 dan mereka dibiarkan adanya, asal
tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini
atau peraturan perundangan lain".
3 Budiyono, Hubungan Negara Dan Agama Dalam Negara Pancasila, Fiat Justisia Jurnal
Ilmu Hukum Volume 8 No. 3, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Juli-September 2014, hal.
410. 4 UU No.1/PNPS/1965/ UU No. 5/PERPRES/1969,
https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/posting/read/562-postingreadimplementasi-rekomendasi-
kunci-terkait-penodaan-agama-di-indonesia-antara-tantangan-dan-peluang diakses pada tanggal 3
maret 2017. 5 Tambahan Lembaran Ncgara Nornor 2726, Penjelasan UU (Perpres) nomor 1 tahun 1965.
Dikutip dari https://kemenag.go.id/file/dokumen/UU1PNPS65.pdf diakses pada tanggal 3 maret
2017.
3
Pada zaman orde baru yang berlangsung pada Maret 1966 hingga 1998,
masyarakat Indonesia diwajibkan memilih agama yang telah sah tentukan
pemerintah saat itu untuk dicantumkan pada kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP).6
Namun masalah timbul ketika pemerintah mengeluarkan aturan pembatasan
kegiataan salah satu agama yang telah diresmikan sebelumnya. Pemerintah Orde
Baru mengeluarkan Inpres No. 14 tahun 1967 yang menghendaki agar adat, budaya
dan kepercayaan yang bercirikan Cina dibatasi atau dipersempit ruang geraknya,
sehingga agama Khonghucu hanya dianggap sebagai kepercayaan saja sehingga
tidak diizinkan mencantumkan agama tersebut dalam kolom Kartu Tanda
Penduduk. Selain itu, pemerintah menghapus mata pelajaran agama Khonghucu
dalam kurikulum pendidikan Sekolah Dasar. Sehingga mengakibatkan kaum
pelajar Khonghucu pada tahun 1977 dipaksa mengikuti pelajaran pendidikan agama
lain demi memenuhi tuntunan kurikulum yang berlaku.7
Ng Swan Ti adalah fotografer keturunan Cina Khongucu yang besar pada
era orde baru. Sebagai keturunan Cina Khongucu yang besar pada orde baru, Ng
Swan Ti hidup di luar sekat agama yang disediakan pemerintah dan diamini
masyarakat8. Fotografer kelahiran Malang 1970 ini mencoba menyajikan foto cerita
berjudul Flores Revisited mengenai kegelisahannya dalam beragama di Indonesia.
Sejak kecil, Ng Swan Ti telah dikenalkan dengan berbagai agama. Ibunya beragama
Konguchu -yang dulu masih dilarang pemerintah- di sekolah, ia sempat belajar
islam dan katolik hingga akhirnya ia dibaptis ketika kuliah. Pengalaman pribadi
6 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, (Yayasan
Jakarta Biennale, 2015) hal. 197. 7 Gunawan Saidi, Perkembangan Agama Khongchu di Indonesia (Study Kasus di
Masyarakat Cina Penganut Agama Khonghucu di Tangerang), hal. 6. 8 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 196.
4
sejak kecil menjadi bahan bakar yang menggerakan hasratnya untuk menciptakan
karya tersebut.9 Flores Revisited menjadi menarik bagi penulis, pasalnya Ng Swan
Ti mengajak pelihat foto (termasuk penulis) merasakan kegelisahan yang sama
dalam perjalanan atau proses hidupnya dalam beragama.
Flores Revisited hadir di tengah masyarakat dalam acara seni bergengsi dua
tahunan Jakarta Biennale yang bertema “Maju Kena, Mundur Kena: Bertindak
Sekarang” yang berlangsung di Gudang Sarinah pada 15 November 2015 hingga
17 Januari 2016.10 Pada umumnya 14 foto Ng Swan Ti yang tersaji dalam pameran
tersebut memperlihatkan kehidupan beragama masyarakat Larantuka, Flores saat
menyambut perayaan Hari Paskah atau Kenaikan Isa Almasih. Namun dibalik itu
semua tersirat persepsi dirinya dalam beragama.
Ng Swan Ti yang memang menyukai perjalanan seorang diri (seperti terlihat
dalam karya sebelumnya Ilusion), tetap membawa karakternya tersebut dalam
karya Flores Revisited. Terlihat secara samar-samar foto esai Flores Revisited
merupakan gambaran perjalanannya yang dapat dikatakan bukan perjalanan singkat
untuk memahami identitasnya sebagai katolik dengan mengikuti dan melihat
keberagamaan yang dilakukan masyarakat Larantuka Flores dalam menyambut hari
raya Paskah.11
Foto-foto karya Ng Swan Ti ini merupakan foto jurnalistik dalam bentuk
foto esai yang bertujuan untuk menyampaikan pendapat atau opini secara sekaligus,
fakta dan peristiwa hanyalah pelengkap saja.12 Foto esai bukan hanya melaporkan
9 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 197 10 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 6 11 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 197 12 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, ( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), hal. 70.
5
suatu gejala, peristiwa atau isu tertentu, ia juga mampu menganalisa suatu kejadian.
Foto esai adalah rangkaian argumen yang menyatakan sudut pandang tertentu dari
si fotografer.13 Dengan begitu foto esai memiliki sebuah cerita tersendiri, kerap kali
foto esai digunakan untuk bercerita, kritik, serta sarana bantu belajar.
Setelah melihat dan mengamati karya tersebut, penulis ingin masuk lebih
dalam untuk mengetahui dan menganalisis14 makna yang terkandung dalam foto-
foto yang Ng Swan Ti tampilkan. Karena foto dapat dianalisis, dapat dijabarkan dan
dapat memberikan pandangan baru yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Seperti
yang dikatakan Paul Messaris pada buku Kisah Mata karya Seno Gumira
Adjidarma, bahwa
“Gambar-gambar yang telah dihasilkan manusia termasuk hasil dari
fotogarfi dapat dipandang sebagai suatu keberaksaraan visual. Dengan
kata lain, gambar tersebut bisa dibaca karena merupakan bagian dari suatu
cara berbahasa. Jika dalam berbahasa bisa diandaikan sebagai produk
pikiran, sehingga tercipta wacana pengetahuan, maka demikian pula
halnya dengan penghadiran gambar-gambar.”15
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gambar-gambar atau foto sama
halnya dengan teks atau aksara dapat dibahas melalui makna-makna yang
terkandung dalam foto tersebut, karena semua yang ada dalam kehidupan kita
sebenarnya memiliki makna atau pesan yang ingin disampaikan.16
Untuk menganalisis karya foto yang berjudul Flores Revisited karya Ng
Swan Ti, penulis menggunakan pisau bedah analisis semiotika model Roland
13 Taufan Wijaya. Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hal. 76. 14 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, analisis merupakan penyelidikan terhadap suatu
peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Seperti sebab musabab, duduk perkara dan
sebaginya. Dikutip dari Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indoensia, Kamus Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal 59. 15 Seno Gumira Ajidarma. Kisah Mata, Fotografi Antara Dua Subjek: Perbincangan
Tentang Ada, (Yogyakarta: Galang Press, 2002) hal. 26 16 Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, Fotografi Antara Dua Subjek: Perbincangan
Tentang Ada, hal. 29.
6
Barthes melalui tiga tahap pemaknaan, yakni tahap denotasi, tahap konotasi, dan
tahap mitos.17 Dalam semiotika Roland Barthes, terdapat teori mengenai matinya
seorang pencipta, atau yang Barthes maksud Author dengan istilah The Death of the
Author. Menurut Barthes, sebuah karya -yang dalam hal ini adalah foto- telah lahir
dan hidup sendiri, menguatkan dirinya sendiri dalam pandangan para pelihat setelah
karya tersebut dilempar atau dipamerkan kepada khalayak, tanpa penjelasan apapun
dari sang pembuat.18 Oleh karena itu penulis hanya akan memfokuskan penelitian
pada karya foto yang telah dipublikasi oleh Ng Swan Ti dengan sudut pandang
pelihat foto atau penulis, sudut pandang fotografer hanya menjadi dasar dari
pemaknaan-pemaknaan yang akan ditampilkan oleh penulis.19 Meski, nantinya
penulis tetap akan melakukan wawancara dengan Ng Swanti mengenai karya
tersebut.
Dari latar belakang yang penulis paparkan di atas, maka penelitian ini diberi
judul: Keberagamaan Masyarakat Flores Modern (Studi Semiotika Makna
Esai Foto Jurnalistik Karya Ng Swan Ti Berjudul Flores Revisited Pada
Pameran Jakarta Biennale 2015).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Penelitian ini difokuskan pada foto Jurnalistik esai karya Ng Swan Ti
dalam pameran Jakarta Biennale yang berjudul Flores Revisited pada tanggal
15 November 2015 – 17 januari 2016. Foto karya Ng Swan Ti tersebut bercerita
tentang kehidupan beragama masyarakat saat menyambut dan menjalani ritual-
17 Alex sobur. Semiotika Komunikasi,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya), hal 69. 18 Roland Barthes, Imaji Musik Teks, (Yogyakarta: Jalasutra, Anggota IKAPI,2010), hal. 145. 19 Roland Barthes, Imaji Musik Teks, hal. 145.
7
ritual keagamaan pada hari raya Paskah di Larantuka, Flores, Nusa Tenggara
Timur(NTT).20 Dalam penelitian ini penulis membatasi kajian sosial dan
beragama yang tergambar dalam foto melalui teori Emile Durkheim perihal
beragama. Penulis menduga masyarakat tersebut telah mengalami evolusi
dalam proses keagaamaan dan kebudayaan sehingga terjadi asimilasi dalam
sistem norma-norma sosial dan proses kegamaan di Larantuka, Flores, NTT.
Selain itu, berdasarkan latar belakang fotografer yang ingin memahami
identitasnya sebagai katolik penulis menduga adanya emosi keagamaan yang
terlibat dalam proses dokumentasi foto Flores Revisited. Sehingga tampaknya
fotografer juga mengalami proses beragama yang evolutive.
Penulis hanya mengambil empat dari 14 foto esai ini, karena menurut
penulis keempat foto tersebut sudah mewakili apa yang ingin disampaikan oleh
fotografer.
2. Rumusan Masalah
Keberagamaan merupakan sikap yang selalu tampak dari semua orang
dalam menjalankan aturan agama. Seperti halnya masyarakat Flores. Maka,
penulis ingin mengkaji representasi keberagamaan yang tertuang dalam foto
Flores Revisited karya Ng Swan Ti tersebut. Berikut pertanyaan umum
mengenai masalah tersebut:
a. Bagaimana makna denotasi dalam foto Flores Revisited, yang dipamerkan
pada ajang Jakarta Biennale 2015?
20 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, (Yayasan
Jakarta Biennale,2015) hal 197.
8
b. Bagaimana makna konotasi pada foto Flores Revisited, yang dipamerkan
pada ajang Jakarta Biennale 2015?
c. Bagaimana makna mitos pada foto Flores Revisited, yang juga dipamerkan
pada ajang Jakarta Biennale 2015?
C. Tujuan Penelitian
1. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mendeskripsikan representasi makna foto mengenai
keberagamaan masyarakat modern atau proses perjalanan hidup dalam mencari
sebuah identitas beragama yang direpresentasikan pada keseharian warga di
Flores saat upacara keagamaan Paskah, melalui karya foto jurnalistik esai karya
Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited.
2. Untuk mengetahui dan memahami proses keberagamaan melalui representasi
makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam enam foto karya Ng Swan Ti
berjudul Flores Revisited yang juga dipamerkan dalam ajang Jakarta Biennale
2015.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah:
1. Manfaat Akademis
Memberikan sumbangsih ilmiah dalam kajian Semiotika Roland
Barthes, mengenai makna denotasi, konotasi dan mitos. Serta memberikan
pemahaman ilmiah dalam komunikasi antar agama dan budaya, juga
pemahaman ilmiah dalam kajian antropologi mengenai konsep perjalanan
keberagamaaan dalam setiap individu atau bermasyarakat. Penelitian ini
9
diharapkan dapat mempermudah dan membantu penelitian lain yang nantinya
bisa digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sebuah penelitian khusunya
bagi mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat berupa wawasan
dan pengetahuan bagi peminat fotografi, fotografer kebudayaan, antropolog,
agmawan, psikolog, Mahasiswa/I Komunikasi Jurnalistik, dan Mahasiswa/I
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Metodelogi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan salah satu metode atau cara berfikir yang
digunakan penulis untuk melakukan penelitian baik itu pra maupun pasca
penelitian. Paradigma juga diperlukan agar penulis tidak kehilangan atau keluar
dari jalur cara berpikir penelitiannya.21
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma ini
menekankan bahwa realitas merupakan konstruksi sosial. Namun, kebenaran
suatu realitas sosial tersebut bersifat tidak mutlak, sesuai dengan konteks
spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.22 Penggunaan paradigma
konstruktivis dalam penelitian ini, untuk mengetahui konstruksi realitas dalam
menjalankan ritual keagamaan. Konstruksi yang dimaksud di sini bukan dari
21 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKIS, 2009),
hal. 5. 22 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011), hal. 11.
10
peneliti, melainkan peneliti melihat konstruksi dari subjek penelitian, yakni
salah satu foto yang menggambarkan ekspresi keberagamaan sesorang dalam
foto jurnalistik esai karya Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited.
2. Metode Penelitian
Sesuai dengan paradigma dan permasalahan yang penulis ambil dalam
penelitian ini, maka penulis menggunakan kualitatif sebagai metode penelitian
yang penemuannya dideskripsikan kemudian ditinjau kembali untuk dianalisis
dari hasil pengamatan dilapangan. Observasi, wawancara, dokumen pribadi dan
resmi, foto, rekaman, gambar, dan percakapan informal semua merupakan
sumber data kualitatif.23
Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang memusatkan perhatian
pada prinsip-prinsip umum yang medasari dalam perwujudan sebuah makna
dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan
kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan
menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk
memperoleh gambaran mengenai kategori tertentu.24
Melalui pendekatan kualitatif ini peneliti bertujuan untuk menjelaskan
sebuah fenomena keberagamaan masyarakat modern atau evolusi agama terjadi
dengan pengumpulan data dan analisis yang mendalam untuk mencoba
memahami masalah berdasarkan pada keseluruhan penelitian. Yakni pada foto
jurnalistik esai karya Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited.
23 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Data. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010), hal. 37. 24 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 23.
11
3. Subjek dan Objek Penelitian
Dalam riset ilmu sosial, hal yang penting adalah menentukan sesuatu
yang berkaitan dengan apa dan siapa yang ditelaah.25 Yang menjadi subjek
dalam penelitian ini adalah fotografer yaitu Ng Swan Ti dan objek dalam
penelitian ini adalah esai foto Flores Revisited karya Ng Swan Ti yang
dipamerkan pada ajang Jakarta Biennale 2015. Dari 14 foto yang dipamerkan,
peneliti hanya melakukan penelitian pada lima foto saja yang dapat mewakili
secara keseluruhan dari foto yang ditampilkan.
4. Waktu Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu melakukan Preliminary
research atau pratinjau penelitian. Peninjauan sebelum penelitian dilakukan
pada desember 2016. Dalam kurun waktu tersebut, telah dilakukan untuk
penelusuran sosok Ng Swan Ti, serta fenomena-fenomena keberagamaan yang
dialami olehnya dalam pencarian jati diri agamanya. Memperdalam kajian ilmu
yang berhubungan dengan semiotika untuk memperkuat teori yang digunakan
dalam penelitian pada januari 2017. Sedangkan proses penelitian dengan
melakukan wawancara pada maret 2017 dan pembahasan bersama dosen
pembimbing mulai januari 2017 – april 2017 serta melakukan revisi pada mei
2017.
5. Sumber dan Jenis Data
Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, digunakan data
primer dan data sekunder.
25 Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal. 66.
12
a. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil foto yang dipilih
penulis sesuai dengan penelitian. Penulis lebih memfokuskan pada lima foto
karya Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited karena menurut penulis
foto-foto tersebut mewakili apa yang ingin disampaikan oleh fotografer
secara menyeluruh.
b. Data sekunder diperoleh dari observasi dengan mengunjungi pameran
Jakarta Biennale 2015 di gedung Sarinah, Jakarta Pusat pada tanggal 13
januari 2016 untuk mengamati foto jurnalistik esai karya Ng Swan Ti secara
konseptual Pamaren. juga wawancara mendalam dengan mengunjungi
kediaman fotografer yang karyanya akan diteliti, yaitu Ng Swan Ti.
6. Teknik Pengumpulan Data
a. Dokumentasi
Penggunaan data dokumentasi dalam penelitian ini adalah untuk
mendapatkan informasi yang berhubungan dengan data-data berupa foto,
dokumen, arsip, atau catatan-catatan tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan esai foto Flores Revisited.
b. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan
untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya.26 Wawancara yang
digunakan adalah wawancara secara mendalam, agar data yang dihasilkan
benar-benar utuh dan bisa dipertanggung jawabkan. Dalam penelitian ini
penulis melakukan wawancara secara tatap muka dengan narasumber.
26 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2012), hal 100.
13
Peneliti telah membuat atau merumuskan kerangka dan garis besar
pokok-pokok yang akan ditanyakan. Pokok-pokok wawancara berisi
landasan ekspresi keberagamaan Ng Swan Ti yang kerap silang-sengkarut
dengan tradisi lokal bahkan kepentingan politik, proses kebudayaan yang
terjadi, juga pemahaman sedikit mengenai foto secara teknis.
7. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis semiotik Roland Barthes pada
karya foto Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited dalam pameran Jakarta
Biennale mengenai proses hidupnya dalam keberagamaan.
Dalam semiotika Roland Barthes terdapat beberapa tahapan, yang
pertama adalah tahap denotasi yang mana pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda pada realitas, tahap berikutnya yaitu konotasi
yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi
makna yang tidak langsung dan tidak pasti. Dari dua tahapan tersebut Barthes
mengembangkannya pada tahapan mitos ketika suatu tanda yang memiliki
makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna
denotasi tersebut akan menjadi mitos.27
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini, sebelum peneliti memulai penelitian lebih
jauh dan kemudian menyusun menjadi skripsi. Maka langkah awal yang peneliti
tempuh adalah mengkaji terlebih dahulu skripsi yang memiliki kajian yang sama
dengan kajian yang akan peneliti teliti. Adapun maksud dari penelitian ini untuk
27 Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI Depok, 2008), h. 153.
14
mengetahui permasalahan yang peneliti teliti berbeda dengan yang di teliti
sebelumnya.
Setelah peneliti melakukan kajian terhadapat penelitian atau tinjauan
pustaka. Maka peneliti menemukan, beberapa karya ilmiah yang akan peneliti
dijadikan tinjauan pustaka:
1. “Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya
Zarqoni Maksum Pada Galeri Foto Antara.co.id),” oleh Fatimah Thamrin
tahun 2008, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Konsentrasi Jurnalistik,
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidatullah Jakarta.
2. “Analisis Semiotika Foto pada Buku Foto Jakarta Estetika Banal karya Erik
Prasetya”, oleh Marifka Wahyu Hidayat 2014, Jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam, Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
UIN Syarif Hidatullah Jakarta.
3. “Denotasi dan Konotasi dalam Karya Foto Jurnalistik Bencana Alam Tanah
Longsor di Banjarmasin pada Harian Kompas edisi 13-18 Desember 2014”
oleh Yudho Priambodo, Jurusan Fotografi, Fakultas Seni Media Rekam, Institut
Seni Indonesia, Yogyakarta.
Dalam ketiga skripsi yang di teliti tersebut, mempunyai kesamaan dari
Subjek penelitian yang akan peneliti teliti yaitu foto, akan tetapi berbeda dalam
membahas objek penelitian yang mana peneliti akan membahas tentang perjalanan
atau proses keberagamaan Ng Swan Ti dalam mencari identitas agama yang terjadi
pada perayaan Hari Paskah atau Kenaikan Isa Almasih di Larantuka, Flores Timur,
Nusa Tenggara Timur(NTT).
15
G. Sistematika Penulisan
Teknik dari penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan pedoman
penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang telah di susun oleh tim UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta press, 2007.
BAB 1 : Pendahuluan, merupakan penjelasan dari latar belakang
permasalahan penelitian skripsi ini. Didalamnya juga dijelaskan
fokus dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
metodologi penelitian (paradigma penelitian, pendekatan penelitian,
metode penelitian, tempat dan waktu penelitian, subjek dan objek
penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data),
tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan yang mendasari
penelitian :
Keberagamaan Masyarakat Flores Modern (Studi Semiotika
Makna Esai Foto Jurnalistik Karya Ng Swan Ti Berjudul Flores
Revisited Pada Pameran Jakarta Biennale 2015).
BAB 2 : Membahas tentang keberagamaan masyarakat modern, Evolusi
agama, foto jurnalistik serta teori semiotika Roland Barthes.
BAB 3 : Pemaparan mengenai gambaran umum tentang Sejarah Flores,
tentang Pameran Jakarta Biennale 2015 dan Profil Ng Swan Ti
mengenai karya-karya yang telah di buat termasuk Flores Revisited.
BAB 4 : Pemaparan data analisis tentang foto Flores Revisited karya Ng
Swan Ti yang dipamerkan di Jakarta Biennale 2015 melalui
semiotika Roland Barthes serta pembahasannya.
16
BAB 5 : Merupakan tahap akhir dari skripsi yang berisi terkait dengan
kesimpulan dan saran.
17
17
BAB 2
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Keberagamaan dan Masyarakat Modern
1. Konsep Keberagamaan
Agama merupakan suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan
dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci, sehingga sebagai umat
beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan
kita melalui rutinitas beribadah serta mencapai rohani yang menyempurnakan
kesuciannya. Dengan kata lain agama adalah usaha yang dilakukan manusia
untuk mengenal dan menyembah tuhannya yang diyakini, dapat memberikan
kesejahterahan dan keselamatan hidup manusia. Hal tersebut akan didapat
dengan cara taat kepadanya dan melakukan berbagai ritual penyembahan
sebagai bukti bakti manusia kepada tuhannya.1
Dalam bukunya The Elementary From of Religious Life, Emile
Durkheim membagi unsur-unsur yang sangat penting yang menjadi syarat
sesuatu dapat disebut sebagai agama, yaitu praktek-praktek(upacara/ritual),
sistem kepercayaan, emosi keagamaan, umat penganut religi.
a. Upacara keagamaan/ritual yaitu Fenomena religi terbagi menjadi dua
kategori meliputi kepercayaan dan ritual. Kepercayaan merupakan sebuah
opini yang terdiri dari representasi. Sementara ritual merupakan sebuah
tindakan-tindakan tertentu. Diantara dua fenomena tersebut terdapat hal
yang membedakan antara pemikiran dan aksi.2 Dengan maksud
1 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, (The Free Press,1995), hal 35. 2 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 36.
18
kepercayaan hanya merupakan sebuah bentuk pemikiran untuk percaya
terhadap sesuatu yang diyakini, sedangkan ritual merupakan bentuk dari
tindakan yang merepresentasikan kepercayaan terhadap apa yang diyakini
yaitu agama.
Sebuah ritual dapat dibedakan dari praktik-praktik kemanusiaan
lainnya, sebagai contoh: Praktik moral hanya dari sifat murni objek-
objeknya. Layaknya ritual, aturan moral menetapkan cara kita berperilaku,
namun cara kita berperilaku merupakan objek dari hal-hal yang lain. Objek
dari ritual lah yang harus dicirikan jika kita ingin mencirikan ritual itu
sendiri. Sifat-sifat khusus dari objek tersebut diperlihatkan didalam
kepercayaan.3 Oleh sebab itu, hanya jika kita telah berhasil mendefinisikan
kepercayaan barulah kita dapat mendefinisikan ritual. Dengan kata lain
sebuah ritual akan terjadi atau terlaksana ketika manusia telah meyakini
satu hal atau percaya terhadap apa yang diyakini.
b. Sistem Kepercayaan adalah hal-hal yang mempresentasikan sifat-sifat dari
hal yang sakral berhubungan dengan hal sakral lainnya yang dianggap
tidak suci. Hal-hal sakral tersebut merupakan sesuatu yang terlindungi dan
terisolasi oleh batasan-batasan tertentu. Sedangkan hal yang tidak suci
merupakan hal-hal yang dilarang dan harus dipisahkan dari segala yang
dianggap sakral. Sesuatu yang dianggap sakral atau dapat dikatakan
sebagai aturan sebuah agama dalam menjalaninya harus dipisahkan dari
sesuatu yang dianggap tidak suci.4 Dengan kata lain seseorang yang
percaya terhadap agama yang ia yakini akan mendorong untuk melakukan
3 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 36. 4 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 38.
19
hal-hal yang dianggap sakral. Sebagai contoh, pada pandangan umat
muslim, beribadah merupakan suatu hal yang dianggap sakral namun
setelah melakukan ibadah tersebut ia berbuat sesuatu hal yang dianggap
tidak suci yaitu mengumbar kepada orang lain atas ibadah yang ia lakukan.
Hal tersebut tidak bisa beriringan dilakukan. Oleh karena itu pada sistem
kepercayaan yang disebutkan Emile Durkheim, bahwa keyakinan
seseorang dalam beragama merupakan hal yang teramat penting dalam
menjalankan sistem kepercayaan tersebut. Keyakinan beragama menurut
Emile Durkheim ialah sesuatu yang diakui dan dipercaya oleh sekumpulan
orang yang menjalani ritual yang sama. Tidak hanya diakui satu sama lain
tapi mereka juga memiliki rasa memiliki dan memersatukan hal (ritual,
kepercayaan) tersebut. Dan setiap orang merasa semakin menyatu dengan
yang lain karena mereka memiliki kepercayaan (iman) yang sama.5
c. Emosi keagamaan yaitu hal yang membuat seseorang melakukan tindakan-
tindakan bersifat religi. Dengan kata lain, masyarakat pada umumnya
memiliki pengaruh dalam pikiran seseorang, yang secara tak terelakan
memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk membangkitkan rasa
ketuhanan mereka. Tuhan utamanya merupakan dzat yang manusia
hormati serta percayai memiliki kekuasaan atas diri mereka sebagai tempat
bergantung.6 Masyarakat mengharuskan kita menjadi pengikutnya,
melupakan segala kepentingan individual. Hal-hal tersebut menjadikan
kita subjek dari segala bentuk pengekangan, cobaan dan pengorbanan yang
mana tanpa hal tersebut segala kehidupan sosial akan mustahil tercipta.
5 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 38. 6 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 40.
20
Sebab itu, secara langsung kita tunduk pada aturan-aturan dalam bertindak
dan berfikir yang mana hal tersebut belum tentu merupakan hal kita buat
atau inginkan. Hal-hal ini kemudian terkadang bertolak belakang dengan
keinginan dan naluri dasar kita.7 Dalam hal ini seseorang yang memiliki
keyakinan-keyakinan dan percaya akan suatu agama dengan melakukan
praktek-praktek keagamaan seperti ritual akan memiliki perasaan-perasaan
mendalam akan dirinya sendiri yang akan membentuk sebuah pandangan
terhadap apa yang diyakininya.
d. Umat penganut religi yaitu sebuah masyarakat yang anggotanya bersatu
karena mereka melihat dunia yang sakral dan hubungannya dengan dunia
yang fana dengan cara yang sama, dan karena mereka menerjemahkan
representasi umum ini kedalam praktik yang sama (menjalankan ritual
yang sama). Dengan kata lain sekelompok atau seseorang yang menganut
sistem religi atau suatu sistem keyakinan.8
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pengetian agama dan unsur-
unsur yang dianggap penting dan menjadi syarat sesuatu dikatakan sebagai
agama oleh Emile Durkheim, dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah agama
perlu sikap atau tindakan dalam melakukannya. Dalam hal ini keberagamaan
seseorang dalam menjalankan sebuah agama perlu dipraktekan secara benar
dengan berbagai bentuk.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Keberagamaan berasal dari
kata agama, yang berartikan suatu sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
7 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 40. 8 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 43.
21
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan
lingkungannya.9 Kata “agama” berasal dari Bahasa sansekerta agama yang
berarti “tradisi”. Terdapat juga dalam Bahasa latin religio yang berakar pada
kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat erat”.10 Dengan demikian individu
yang beragama mengikat dirinya kepada yang diyakininya.
Berdasarkan pengertian di atas keberagamaan dari kata dasar Agama
yang berarti segenap kepercayaan kepada Tuhan, Beragama berarti memeluk
atau menjalankan agama. Dan keberagamaan adalah adanya kesadaran diri
individu dalam menjalankan suatu ajaran dari suatu agama yang dianut.11 Meski
berasal dari kata dasar yang sama dengan agama, namun dalam penggunaannya
istilah keberagamaan mempunyai makna yang berbeda dengan agama. Jika
agama menunjukan pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan
kewajiban –kewajiban keberagamaan menunjuk pada aspek agama yang telah
dihayati oleh individu di dalam hati dengan kata lain seberapa jauh
pengetahuan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama yang diyakininya.12
Oleh karena itu “agama”(religi) dan keberagamaan(religiousity) sedikit
berbeda.
Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam sisi kehidupan
manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
ritual(beribadah), tetapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh
9 Dewi S. Baharta. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Bintang Terang 1995)
diakses pada 3 maret 2017 10 https://id.wikipedia.org/wiki/Agama (diakses pada tanggal 3 maret 2017). 11 Abdullah, Taufiq, dan Rusli Kasim. Penelitian Agama Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1989), hal 93. 12 Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan kreativitas dalam
perspektif psikologi islam, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), hal 70-71.
22
kekuatan akhir. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat
dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati
seseorang.13
Menurut Jalaluddin Rakhmat Religiusitas (keberagamaan) adalah
perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada Nash.14 Dari
definisi keberagamaan tersebut, maksudnya adalah pola sikap seseorang yang
berusaha menuju kepada pola kehidupan yang sesuai. Keberagamaan juga
diartikan sebagai kondisi pemeluk agama dalam mencapai dan mengamalkan
ajaran agamanya dalam kehidupan atau segenap kerukunan, kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan ajaran dan kewajiban melakukan sesuatu
ibadah menurut agama.15
Dalam pandangan Abu Hamid dalam perilaku keberagamaan seseorang
terdapat beberapa sebab yakni Adapun orang yang mempunyai perilaku
keberagamaan sebgai berikut:16
a. Perilaku seseorang bukanlah pembawaan atau tidak dibawa sejak lahir
adalah perilaku seseorang memang tidak dibawa sejak dilahirkan, tetapi
harus dipelajari sejak perkembangan hidupnya. Oleh karena itu orang tua
hendaknya selalu memberikan arahan yang baik dan benar sehingga anak-
anaknya dalam mengalami pengalaman dapat berjalan baik dan lancar.
Seperti memberikan endidikan agama bagi seorang anak harus ditanamkan
13 Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan kreativitas dalam
perspektif psikologi islam, hal 71. 14 Abdullah, Taufiq, dan Rusli Kasim. Penelitian Agama Suatu Pengantar, (Yogyakarta,
Tiara Wacana, 1989), hal. 93. 15 Ahmad Syaefudin Janu Arbain, Pengaruh Intensitas Mengikuti Bimbingan Agama Islam
Jumat Pagi Terhadap Tingkat Keberagamaan Penghuni Lokalisasi Karaoke, (Universitas Islam
Negeri Walisongo, Semarang 2014), hal 30. 16 Abu Hamid, Psikologi Sosial, (Semarang: PT Bina Ilmu, 1979), hal. 53.
23
orang tuanya sejak dini, sehingga tidak ada kata terlambat untuk dipelajari
dan mengembangkan perilaku keberagamaan tetapi harus dipelajari selama
perkembangan hidupnya.
b. Perilaku keberagamaan tidak berdiri sendiri artinya ada faktor-faktor yang
mempengaruhi, oleh sebab itu faktor-faktor yang mempengaruhi
diusahakan faktor-faktor yang berakibat baik dalam pembentukan sikap
keberagamaan.
c. Perilaku pada umumnya memiliki segi-segi motivasi dan emosi, artinya
seorang dalam membentuk sikap keberagamaan selalu mempunyai perasaan
dan semangat maupun dorongan untuk mencapai tujuan yang hendak
dicapai.
Menurut Jalaluddin, ada dua faktor yang mempengaruhi religiusitas
diantaranya adalah faktor intern dan ekstern. Faktor intern meliputi hereditas
(keturunan), usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan. Sedangkan faktor ekstern
meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.17 Karena sering kali
diwarnai perubahan-perubahan yang disebabkan beberapa faktor-faktor
tertentu, maka perilaku keberagamaan seseorang dalam perjalanan hidupnya
tidak berlangsung secara baik. namun perubahan tersebut dapat dilihat dari segi
kualitas maupun kuantitas perilaku keberagamaannya.
Selain Jalaludin yang mengungkapkan beberapa faktor yang
mempengaruhi keberagamaan seesorang, ada pula faktor-faktor yang bisa
menghasilkan perilaku keberagamaan, yakni dalam buku ilmu jiwa agama
17 Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Pers. 2010), hal. 305.
24
karangan Sururin, Robert H. Thouless mengemukakan faktor-faktor yang
menghasilkan perilaku keberagamaan antara lain.18
a. Pengaruh-pengaruh sosial yaitu Faktor sosial mencakup semua pengaruh
sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: seperti pendidikan
orang tua, tradisi-tradisi dan tekanan-tekanan lingkungan sosial untuk
menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh
lingkungan.
b. Berbagai Pengalaman yakni Pada umumnya anggapan bahwa adanya suatu
keindahan, keselarasan, dan kebaikan yang dirasakan dalam dunia nyata
memainkan peranan dalam pembentukan sifat keberagamaan
c. Kebutuhan yakni Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan
agama adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara
sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan
agama. Kebutuhan tersebut dikategorikan menjadi empat bagian yaitu:
kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk
memperoleh harga diri dan kebutuhan akan adanya kehidupan dan
kematian.
d. Proses pemikiran yakni manusia adalah makhluk berfikir, salah satu akibat
dari pemikiran manusia bahwa ia membantu dirinya untuk menentukan
keyakinan-keyakinan mana yang harus diterima dan keyakinan yang harus
ditolak. Faktor tersebut merupakan faktor yang relevan untuk masa remaja,
karena bahwa pada masa remaja mulai kritis dalam menyikapi soal-soal
18 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 79.
25
keagamaan, terutama bagi remaja yang mempunyai keyakinan secara sadar
dan bersikap terbuka.19
Manusia memiliki pola sikap terhadap bermacam-macam hal,
sedangkan pola sikap yang termasuk dalam keberagamaan misalnya:
“Bagi orang muslim yang benar-benar taat ia akan mengatakan
daging babi adalah haram, tidak disukai dan kotor, Mungkin sekali
seseorang yang betul-betul bersikap demikian dikatakan bahwa ia
sedang makan daging babi maka ia akan memuntahkan keluar apa yang
sedang ia makan, inilah salah satu contoh mengenai sikap
keberagamaan seseorang terhadap makanan tersebut yang dalam
pandangan agamanya bahwa itu haram”.20
Dengan demikian bahwa keberagamaan dalam setiap individu
mempunyai sikap-sikap tersendiri yang akan menguatkan jiwa seseorang dalam
keyakinannya terhadap agama yang dianut.
Sarwono menyebutkan, bahwa sikap (attitude) adalah istilah yang
mencerminkan rasa senang, tidak senang, atau perasaan biasa-biasa saja (netral)
dalam diri seseorang terhadap sesuatu. “Sesuatu” itu bisa benda, kejadian,
situasi, orang-orang atau kelompok. Sikap tersebut dinyatakan dalam tiga
dominan yaitu, Affect adalah perasaan yang timbul (senang atau tidak senang),
Behaviour adalah perilaku yang mengikuti perasaan itu (mendekat atau
menghindar), cognition adalah penilaian terhadap objek sikap (bagus atau tidak
bagus).21
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap
keberagamaan adalah sebagai berikut:
19 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, hal. 81. 20 Ahmad Syaefudin Janu Arbain , Pengaruh Intensitas Mengikuti Bimbingan Agama Islam
Jumat Pagi Terhadap Tingkat Keberagamaan Penghuni Lokalisasi Karaoke. hal 36 21 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Rajawali Press,
2010), hal. 20.
26
a. Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang terdapat dalam diri
pribadi manusia itu yakni aktifitasnya sendiri, daya pilihnya sendiri, atau
minat perhatiannya untuk menerima atau mengolah pengaruh-pengaruh
yang datang dari luar dirinya.22
b. Faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor yang datang dari luar individu
Dimana faktor ini biasa timbul melalui interaksi sosial maupun non sosial.23
Faktor eksternal tersebut dipengaruhi oleh:
1) Interaksi sosial interaksi sosial adalah hasil kebudayaan manusia yang
sampai melalui keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Thouless
menambahkan bahwa:
“Tidak ada seorang pun yang dapat mengembangkan sikap-
sikap keagamaan kita dalam keadaan terisolasi dalam
masyarakat. Sejak masa kanak-kanak hingga masa tua kita
menerima perilaku dari apa yang mereka katakan pengaruh
terhadap sikap-sikap keagamaan kita”.24
Sedemikian penting faktor lingkungan sosial dalam pembentukan
sikap, maka selektifitas pergaulan sangat penting untuk diperhatikan,
karena kesalahan dalam pemilihan lingkungan sosial akan dapat
berakibat negatif bagi pembentukan sikap seseorang.
2) Interaksi non sosial adalah hasil kebudayaan manusia yang sampai
kepadanya melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio,
televisi, buku, risalah dan lain-lain. Dengan demikian interaksi sosial
22 Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 1991), hal. 155. 23 Gerungan, Psikologi Sosial, hal.156. 24 Robert H Thouless, , Pengantar Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Pers 1992 edisi
terjemah), hal. 37.
27
dan non sosial mempunyai peranan dalam rangka pembentukan sikap
dalam keberagamaan.25
Satu-satunya fungsi akal dalam pembentukan keyakinan-keyakinan
keagamaan tampaknya hanya rasionalisasi. Manusia adalah mahluk yang
berfikir dan salah satu akibat dari pemikiranya adalah bahwa ia membantu
dirinya untuk menentukan keyakinan-keyakinan yang mana yang harus
diterimanya dan yang mana pula yang harus ditolaknya. Dalam hal ini perilaku,
sikap, pengetahuannya terhadap agama akan sangat menentukan sikap
keberagamaan.26
Dengan demikian, beberapa konsep serta pandangan yang telah
dipaparkan, menurut penulis hakikat keberagamaan seseorang terletak pada
ikhtiar atau usahanya dalam mencari Tuhan dalam ragam keyakinan dan
peribadatannya. Dikarenakan seseorang pemeluk agama akan selalu memasuki
fase kesalehan baru dalam setiap rentang kehidupannya, sehingga dengan
berbagai fenomena yang akan terjadi setiap individu bertanggung jawab dengan
apa yang ia lakukan terhadap keyakinannya.27
2. Konsep Masyarakat Modern
Secara terminologi istilah masyarakat berasal dari kata bahasa arab yaitu
syaraka yang berarti ikut serta atau berpartisipasi. Sedangkan kata musyaraka
berarti “saling bergaul”. Adapun bahasa Arab untuk masyarakat adalah
mujtama, Sedangkan dalam bahsa Inggris istilah yang digunakan pada
25 Gerungan. 1991. Psikologi Sosial, hal. 156 26 Ahmad Syaefudin Janu Arbain, Pengaruh Intensitas Mengikuti Bimbingan Agama Islam
Jumat Pagi Terhadap Tingkat Keberagamaan Penghuni Lokalisasi Karaoke, hal 39. 27 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UINPress, 2014),
hal 32
28
masyarakat adalah society yang berasal dari kata latin yaitu socius, yang berarti
“kawan”.28
Koentjaraningrat mengartikan masyarakat sebagai istilah yang lazim
untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah
maupun dalam bahasa sehari-hari, dengan maksud secara etimologi masyarakat
adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat
istiadat tertentu yang bersifat continue yang terikat oleh suatu rasa identitas
bersama.29 Menurut definisi lain, masyarakat adalah sekumpulan manusia yang
saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan
manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling
berinteraksi.30
Sejarah kehidupan masyarakat sekarang ini telah memasuki apa yang
disebut dengan era modern. Istilah modern yang berarti “baru” dapat digunakan
sebagai istilah yang menyebut sesuatu terhadap perkembangan kehidupan
manusia yang sedang berlangsung saat ini, yaitu “zaman modern”. Secara
bahasa kata “modern” berasal dari bahasa Latin “modo” yang berarti “just
now” atau “yang kini”. Istilah ini seringkali dikaitkan dengan kehidupan yang
ditemukan dalam masyarakat Barat yang sudah mengalami industrialisasi dan
tingkat teknologi yang maju.31
28 https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat (diakses pada tanggal 20 maret 2017) 29 Koentjaraningrat, Pengantar ilmu antroplogi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) hal, 147-
148. 30 Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa
2008) 31 Arfan Gaffar, Modern dan Islam; Dua Kutub yang Bertentangan dalam Al-Qur’an dan
Tantangan Modernitas, (Yogyakarta: SIPRESS, 1993), hal. 106.
29
Konsep modernisasi dalam arti khusus yang disepakati teoritisi
modernisasi di tahun 1950-an dan tahun 1960-an, didefinisikan dalam tiga cara:
historis, relatif, dan analisis. Menurut definisi historis, modernisasi sama
dengan westernisasi atau Amerikanisasi. Modernisasi dilihat sebagai gerakan
menuju cita-cita masyarakat yang dijadikan model. Menurut pengertian relatif,
modernisasi berarti upaya yang bertujuan untuk menyamai standar yang
dianggap modern baik oleh masyarakat banyak maupun oleh penguasa. Definisi
analisis berciri lebih khusus dari pada kedua definisi sebelumnya yakni
melukiskan dimensi masyarakat modern dengan maksud untuk ditanamkan
dalam masyarakat tradisional atau masyarakat pra modern.32
Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu arah perubahan
ke arah yang lebih maju atau meningkat dalam berbagai aspek dalam kehidupan
masyarakat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah
proses perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju,
di mana dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.33 Seiring
dengan pendapat Wilbert E. Moore yang mengemukakan bahwa modernisasi
adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra
moderen dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola ekonomis dan
politis yang menjadi ciri-ciri negara barat yang stabil.34
32 Piort Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2004), hal. 152-153. 33 Abdulsyani, Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994),
hal. 176-177. 34 Wilbert E. Moore, "Social Verandering" dalam Social Change, diterjemahkan oleh A.
Basoski, Prisma Boeken, Utrech, Antwepen, 196, hal. 129.
30
Amin Rais menyatakan bahwa suatu abad dapat dikatakan modern
apabila memiliki ciri-ciri:35
a. Ledakan informasi tanpa batas – berkat teknologi komunikasi yang semakin
maju, produktif, dan efektif – sehingga dapat menjangkau seluruh penjuru
dunia.
b. Nilai moral semakin longgar, yang ditunjukkan dengan semakin kaburnya
batas antara halal dan haram maupun baik dan buruk.
c. Semakin tumpulnya peri kemanusiaan.
d. Sangat mengagungkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
e. Kehidupan masyarakat yang semakin materialistik.
Sementara itu Ali Yafie yang juga menyebutkan bahwa peradaban
modern ditandai dengan:36
a. Kemajuan di bidang teknologi.
b. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat.
c. Kehidupan lebih individualis dan materialis.
d. Kekuasaan jaringan informasi.
e. Terjadi pelecehan dan pendangkalan nilai-nilai agama.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kehidupan
modern diidentikan dengan manusia yang rasional dengan ditandai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan, semakin derasnya arus informasi. Kehidupan
modern juga mempunyai sisi negatif seperti masyarakat yang cenderung
individual, materialis dan menurunnya minat terhadap agama. Modernisasi
35 Amin Rais, Tauhid Sosial : Formula Menggempur Kesenjangan, (Bandung: Mizan,
1998), hal. 151-153. 36 Ali Yafie, Teologi Sosial Telaah Kritis Persoalan Keagamaan Kemanusiaan,
(Yogyakarta: LKPSM, 1997), hal. 65.
31
yang ada di masyarakat saat ini tentu tidak bisa dihindari oleh masing-masing
individu yang ada.
Modernisasi juga menimbulkan perubahan di berbagai bidang nilai,
sikap dan kepribadian. Sebagian besar perkara ini terhimpun dalam konsep
"manusia moderen".37 Menurut Lerner, manusia moderen adalah orang yang
gemar mencari mencari sesuatu sendiri yang mempunyai kebutuhan untuk
berprestasi dan gemar mencari sesuatu yang berbeda dari orang lain.38
Manusia modern mempunyai berbagai macam ciri. Alex Inkeles dan
David Smith menjabarkan ciri-ciri manusia modern ada 5 ciri sebagaimana
dikutip oleh Arfan Gaffar, yaitu:39
a. Opens to new experience (Keterbukaan untuk menerima hal-hal baru).
b. The realism of growth of opinion (Memiliki kemampuan untuk membentuk
dan menyatakan pendapat menyangkut permasalahan di sekitarnya).
c. The readiness for social change (Siap menerima perubahan sosial).
d. The need of information (Membutuhkan dan selalu mengikuti informasi
perkembangan).
e. Oriented to world future and punctuality (Berorientasi ke depan).
Modernisasi sebagai sebuah gejala perubahan sosial tentunya sangat
penting bagi sebuah masyarakat, terutama pada masyarakat yang mempunyai
sifat terbuka terhadap suatu perubahan. Modernisasi erat hubungannya dengan
globalisasi di mana pembaharuan yang terjadi dalam masyarakat lebih besar
37 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), hal. 384. 38 Ellya Rosana,“ Moderenisasi dan Perubahan Sosial” Jurnal Tapis Volume 7 Nomor 12,
2011, hal. 40. 39 Arfan Gaffar, Modern dan Islam; Dua Kutub yang Bertentangan dalam Al-Qur’an dan
Tantangan Modernitas, (Jakarta: SIPRESS, 1993), hal. 106.
32
terjadi karena masuknya teknologi. Melalui teknologi tersebut akan sedikit
banyak membawa dampak yang progres bagi masyarakat, misalnya saja dengan
adanya modernisasi maka secara tidak langsung teknologi akan mudah diserap
oleh masyarakat, dan lebih cepat merubah pola pikir masyarakat.40 Dengan
deimikian modernisasi dirasa penting karena menyangkut dampak yang akan
terjadi dalam suatu masyarakat, baik positif maupun negatif.
Dari beberapa pernyataan yang telah dipaparkan, konsep masyarakat
modern telah mengubah perilaku masyarakat secara luas. Mulai dari berpikir
logis dan rasional hingga lebih peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
dan tekhnologi. Di sisi lain konsep masyarakat modern juga telah mengubah
sikap masyarakat terhadap proses keagamaan.41 Masyarakat modern dipandang
sebagai masyarakat yang seakan-akan lupa terhadap nilai-nilai sakral agama.42
Manusia modern idealnya adalah manusia yang berfikir logis dan mampu
menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
Dengan kecerdasan dan bantuan teknologi, manusia modern mestinya lebih
bijak dan arif, tetapi dalam kenyataannya banyak manusia moderen yang
kualitas kemanusiaannya lebih rendah dibandingkan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dicapainya, sehingga melahirkan berbagai
macam problema dalam kehidupannya.
40 Yeni Ristiana, Pola Interaksi Masyarakat di Kampung Cyber RT. 36 RW. 09 Taman,
Kelurahan Patehan,Kecamatan Kraton, Yogyakarta, (Universitas Negeri Yogyakarta 2012), hal. 1. 41 Amin Rais, Tauhid Sosial : Formula Menggempur Kesenjangan, hal. 151-153 42 Ali Yafie, Teologi Sosial Telaah Kritis Persoalan Keagamaan Kemanusiaan, hal. 65.
33
B. Konsep Evolusi Agama
Dalam buku Sosiologi Agama yang ditulis Dadang Kahmad disebutkan
"tingkat perkembangan agama dan kepercayaan di suatu masyarakat dipengaruhi
oleh tingkat perkembangan peradaban masyarakat tersebut”.43 Pernyataan ini
secara eksplisit menunjukkan bahwa agama tumbuh dan berkembang sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan manusia yang secara langsung
mempengaruhi proses evolusi agama. Oleh karenanya, proses evolusi agama
sesungguhnya dimulai ketika manusia mengenal agama.44
Dadang mengatakan, tingkat paling dasar dari evolusi agama adalah ketika
manusia percaya bahwa makhluk-makhluk halus menempati alam sekeliling tempat
tinggal manusia. Pandangan ini dikemukakan oleh E. B Taylor sebagai tokoh yang
memperkenalkan "teori jiwa" sebagai salah satu teori asal mula manusia
beragama.45 Dalam teori ini disebutkan, agama yang paling awal datang bersamaan
dengan pertama kali manusia mengetahui bahwa dunia ini tidak hanya dihuni oleh
makhluk materi, tetapi juga makhluk immateri yang disebut jiwa (anima). E. B.
Taylor berpendapat, agama muncul dari kesadaran manusia akan adanya roh atau
jiwa, keyakinan ini disebutnya animisme.46
Masih menurut pandangan E. B. Taylor, evolusi agama pada tingkat
selanjutnya ditunjukkan dengan keyakinan bahwa gerak alam disebabkan oleh jiwa
yang ada di belakang pristiwa dan gejala alam tersebut. Tingkat kedua dari evolusi
agama ini disebut Taylor ialah polytheisme yang merupakan perkembangan dari
43 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2006), hal. 24. 44 Dadang Kahmad – mengutip Koentjoroningrat, menyebutkan enam teori asal mula
agama, yaitu: teori jiwa, teori batas akal, teori krisis dalam hidup individu, teori kekuatan luar biasa,
teori sentiment masyarakat, dan teori wahyu Tuhan. 45 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 24-25. 46 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal 24-25.
34
pemujaan terhadap roh nenek moyang (manisme). Sementara tingkat terakhir dari
evolusi agama dalam pandangan Taylor lahir bersamaan dengan timbulnya susunan
kenegaraan di dalam masyarakat manusia.47 Taylor memandang, ketika muncul
susunan kenegaraan di masyarakat, muncul pula kepercayaan bahwa di alam
dewadewa juga terdapat susunan kenegaraan yang serupa dengan susunan
kenegaraan manusia. Susunan kenegaraan dewa semacam ini lambat laun
menimbulkan kesadaran baru dari keyakinan bahwa pada hakikatnya semua dewa-
dewa tersebut merupakan penjelmaan dari satu dewa yang tertinggi.48
Stephen K. Sanderson dalam buku Macrosociology mengatakan bahwa
kajian ilmiah tentang evolusi agama telah tertinggal jauh di belakang kajian
mengenai evolusi berbagai ciri kehidupan sosial-budaya lainnya.49 Namun
demikian, pada buku tersebut Sanderson tetap menyebutkan tokoh-tokoh seperti
Robert N. Bellah dan Wallace yang dipandangnya memiliki skema evolusi agama
dan cukup berharga untuk dikemukakan mengingat penelitian tentang masalah ini
kurang menjadi perhatian dan sangat sedikit dilakukan.
Robert N. Bellah (1927-2013) mengkonsepsi tentang evolusi agama yaitu
dalam upaya menjelaskan berbagai perubahan agama manusia akibat meningkatnya
perbedaan dan kompleksitas kelembagaan, sistem sosial atau satuan apapun yang
ada dalam masyarakat yang mampu mendorong kemampuan manusia melakukan
adaptasi dengan lingkungannya.50
47 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 24. 48 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 25. 49 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 521. 50 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UINPress, 2014),
hal 41.
35
Skema evolusi agama yang diperkenalkan Bellah dibagi ke dalam lima
tahap, yaitu: primitif, purbakala, historis, modern awal, dan modern. Bellah
memandang agama primitif terisi dengan mitos dan makhluk spiritual, sementara
agama purbakala dikarakteristikan oleh munculnya dewa-dewa, padri-padri, ibadah
kurban, dan konsepsi tentang kerajaan Tuhan. Agama historis dipandang Bellah
sebagai agama-agama besar dunia yang timbul satu saat selama atau sesudah masa
seribu tahun (millenium) pertama sebelum Kristus. Agama modern awal dalam
pandangan Bellah timbul dengan adanya Reformasi Protestan yang meneruskan
pembedaan yang dilakukan agama-agama historis antara dunia sekular dan dunia
yang lain (spiritual, pen).51 Sedangkan pada tahap agama modern, Bellah meyakini
bahwa abada keduapuluh sedang mengalami timbulnya agama modern secara
gradual, ia memaknai agama modern sebagai suatu bentuk kehidupan keagamaan
di mana konsep-konsep dan ritual-ritual agama tradisional digantikan dengan
kekhawatiran etik humanistik dari berbagai hal yang sekuler. Pada tahap ini,
persoalan-persoalan tentang penderitaan akhir manusia semakin banyak dijawab
dalam arti yang nonteistik.52
Manusia modern tampaknya mulai tergoda dengan ungkapan “my mind is
my church”, atau “I am is a sect myself” atau ungkapan “ its my life” persetan
dengan kata masyarakat karena itu sistem sosial mengalami kelenturan mengikuti
kekauan doktrin (ortodoksi) dan kekakuan karaktorologi (kepribadian uritan). Dan
tentunya dikhawatrirkan kemungkinan kemungkinan lainnya konsekuensi dari
distorsi patologis dalam situasi masyarakat modern. Pertanyaan lanjutnya apakah
kepribadian dalam jati diri suatu bangsa dapat bertahan pada era masyarakat
51 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 41-47. 52 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 46.
36
modern, tetap terlembaga secara mantap dalam sistem sosial yang lebih luas.
Ataukah semua ini adalah bagian dari upaya menawarkan inovasi kreatif dari
tindakan manusia untuk menuguhkan kembali ukuran nilai nilai moral dan sistem
dalam bermasyarakat.53
Sementara itu, Wallace memandang agama suatu masyarakat sebagai
pranata pemujaan (cult institutions), yaitu seperangkat "spiritual yang semuanya
mempunyai tujuan umum yang sama, semuanya secara eksplisit dirasionalkan oleh
seperangkat kepercayaan yang serupa atau yang berkaitan, dan semuanya didukung
oleh kelompok sosial yang sama." Wallace mengidentifikasikan empat tipe agama
evolusioner yang didasarkan pada gabungan pranata-pranata pemujaan tersebut,
yaitu pertama, agama-agama shaman yang hanya terdiri dari pranata pemujaan
individual dan shamanik. Kedua, agama-agama komunal, yang mengandung
pranata pemujaan komunal, shamanik dan individualistik. Ketiga, gama-agama
Olympian, yang mengandung pranata pemujaan individual, shamanik dan komunal,
maupun pranata pemujaan eklesiastikal yang terorganisasi sekeliling rumah-rumah
pemujaan dewa-dea tinggi yang politeistik. Dan keempat, agama-agama
monoteistik, yang menganndung pranata pemujaan individualistik, shamanik, dan
komunal, sejalan dengan pranata pemujaan eklesiastikal yang terorganisasi sekitar
konsep suatu dewa tinggi tunggal.54
Studi mengenai evolusi agama (sebagaimana skema Wallace) selanjutnya
dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini:55
53 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal. 46. 54 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
hal. 524. 55 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
hal. 526.
37
Tabel 1: Studi Evolusi Agama Wallace
Tipe Agama (Skema
Wallace)
Tingkat Teknologi
Khusus Masyarakat
Contoh
Shamanik: hanya ada
pranata pemujaan
individualistik dan
shamanik
Pemburu dan peramu Eskimo, Kung, Mbuti
dari Afrika Tengah
Komunal: terdapat
pranata pemujaan
individualistik,
shamanik, dan
kommunal
Hortikultur sederhana Masyarakat kepulauan
Trobriand, banyak
suku Indian Amerika
Utara
Olympian: terdapat
pranata pemujaan
individualistik,
shamanik, komunal,
daneklesiastik
politeistik
Hortikultur intensif
dan pertanian awal
Maya, Aztek, Inca,
Yunani dan Romawi
kuno, Kerajaan-
kerajaan Afrika
Monoteistik: terdapat
pranata pemujaan
individualistik,
shamanik, komunal,
dan eklesiastik
monoteistik
Agraris yang
kompleks dan industri
kontemporer
China dan India kuno,
Erop abad
pertengahan,
Kapitalisme Barat,
Jepang Kontemporer
Sumber: Buku Sosiologi Makro, Stephen K. Sanderson, 1995, hal 526
Pada evolusi agama yang akan dibahas dalam penelitian ini, penulis
memaparkan bagaimana terjadinya evolusi agama pada masrayakat Larantuka
Flores dalam melakukan ritual-ritual peribadatan. Evolusi agama yang terjadi pada
38
Masyarakat Larantuka Flores yang direpresentasikan melalui karya foto jurnalistik
berbentuk esai berjudul Flores Revisited. Penulis merasa konsep yang dipaparkan
Robert N Bellah pada tahapan kelima, yaitu zaman modern sangat tepat dengan apa
yang terjadi dalam kehidupan beragama masyarakat Flores saat itu.56 Percampuran
budaya dan agama yang dialami masyarakat Flores saat itu menjadi landasan
penting terhadap pola kehidupan beragama dan norma-norma sosial yang terjadi
hingga saat ini.
C. Fotografi Jurnalistik
Fotografi Jurnalistik adalah salah satu aliran fotografi yang lebih
mengutamakan realita dibandingkan dengan aliran lainnya. Dalam dunia
jurnalistik, foto menjadi hal yang paling penting untuk mewakili sebuah
pemberitaan atau informasi yang tidak dapat disampaikan hanya dengan sebuah
tulisan.57 Taufan menambahkan bahwa foto jurnalstik Sebagai produk jurnalistik
memang tak setua jurnalistik tulis. Ia berakar dari fotografi dokumenter setelah
teknik perekaman gambar secara realis ditemukan.58 Foto dikategorikan sebagai
foto jurnalistik saat foto itu terdapat nilai-nilai berita yang terkandung di dalamnya,
foto jurnalistik tidak harus bersifat kekerasan dan hal-hal berat lainnya, jika sebuah
foto sudah memiliki nilai berita bagi umum sesederhana apa pun foto tersebut sudah
bisa dikategorikan sebagai foto jurnalistik.59
Menurut Wilson Hicks foto jurnalistik adalah kombinasi dari kata dan
gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara
56 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal. 46. 57 Drs. Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), hal. 100. 58 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hal. 130. 59 Ferry Darmawan, Dunia Dalam Bingkai, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal. 165.
39
latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya. Jika dilihat dari fungsi foto
jurnalistik menurut Edwin Emery, antara lain adalah untuk menginformasikan (to
inform), meyakinkan (to persuade) dan menghibur (to intertaint).60
Salah satu pendiri Magnum Photo, Henri Cartier-Bresson yang terkenal
dengan teori decesive moment menjelaskan bahwa foto jurnalistik berkisah dengan
gambar, melaporkannya dengan kamera, merekamnya dalam waktu, yang
seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersebut mengungkapkan sebuah
cerita.61 Seorang fotografer terutama fotografer jurnalistik, menginginkan foto yang
dihasilkan adalah moment puncak(decesive moment) dari sebuah peristiwa. Karena
moment tersebut sulit untuk diulang kembali.62
Fotografi jurnalistik bukan cuma sebagai pelengkap berita, penarik
pembaca ataupun hanya sekadar mengisi bagian kosong dari rubrik di kolom sebuah
media, ini alat terbaik yang saat ini dimiliki berita sebagai penyampainya karena
ringkas dan efektif, hal ini dinyatakan oleh tokoh fotografi dunia Kenneth Kobre
yang juga sebagai pengajar di salah satu universitas luar negeri.63 Di dalam negeri
sosok yang sudah tidak asing lagi dengan foto jurnalistik, Oscar Motuloh
mengatakan bahwa foto jurnalistik itu terdapat dua elemen, yaitu elemen verbal dan
elemen visual. Caption adalah keterangan pelengkap foto yang menjelaskan foto,
caption yang dibuat harus singkat dan menjelaskan secara sekilas.64 Visual yang
dimaksud Oscar Motuloh adalah penampilan mengenai foto itu sendiri.
60 Drs. Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktek, hal. 102.
61 Ferry Darmawan, Dunia Dalam Bingkai, hal. 166. 62 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 130. 63 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 17. 64 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 17.
40
Dari beberapa pengertian yang tertera, secara menyeluruh taufan dalam
bukunya Foto Jurnalistik mendefinisikan bahwa foto jurnalistik seperti
menghentikan waktu, dan memberi kita gambaran nyata bagaimana waktu
membentuk sejarah. Karena sifat dasarnya yang dokumentatif, foto jurnalistik
mampu membuat masyarakat melihat kembali rekaman imaji atas apa yang telah
mereka lakukan pada masa lalu, sekaligus memuat pertanyaan tentang apa yang
terjadi di masa datang, juga mampu membantu masyarakat memahami
lingkungannya dan diri mereka sendiri termasuk mengedentifikasi segala sesuatu
yang harus diwaspadai.65
1. Sejarah Foto Jurnalistik
Sejarah mencatat surat kabar harian Daily Graphic, pada Senin 16 April
1877 memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada
halaman satu seperti yang disebutkan Taufan Wijaya dalam bukunya Foto
Jurnalistik, merupakan embrio dari foto jurnalistik.66
Perkembangan foto jurnalistik sampai pada era foto jurnalistik modern
dikenal sebagai “golden age” (1930-1950). Saat itu terbitan seperti Sports
Illustrated, The Daily Mirror, The New York Daily News, Vu, dan LIFE
menunjukan eksistensinya dengan tampilan foto-foto yang menawan. Pada era
itu muncul nama nama jurnalis foto, seperti Robert capa, Alfred Eisenstaedt,
Margaret Bourke-White, David Seymour, dan W.Eugene Smith. Lalu ada Henri
Cartier-Bresson dengan gaya candid dan dokumenternya.67 Cartie-Bresson,
bersama Robert Capa, David Seymour, dan George Rodger kemudian
65 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal, 16.
66 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik hal, 1. 67 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal,4-5.
41
mendirikan Magnum photos pada 1947, menjadikan agensi foto berita pertama
yang menyediakan foto jurnalistik dari berbagai isu dan belahan dunia. Para
pendirinya yang alumni LIFE kemudian membagi area kerja, Afrika dan Timur
Tengah, India dan Cina, Eropa, serta Amerika.68
Terbitan National Geographic Magazine (NG) juga mendorong
kemajuan foto jurnalistik, terutama edisi yang mengangkat isu-isu kultural
dengan terbitan pertamanya pada januari 1950. NG dikenal sebagai media yang
menerapkan standart teknis tinggi untuk menjaga kualitas foto terbitannya.69
Di Indonesia sendiri awal mulanya muncul fotografi jurnalistik pada
1841, orang tersebut adalah Juriaan Munich, seorang utusan kementerian
kolonial lewat jalan laut di Batavia. Seorang anak Indonesia yang diangkat oleh
pasangan Belanda bernama Kassian Cephas dikenal dengan hasil fotonya pada
tahun 1875.70
Berbeda dengan Kassian Cephas yang cenderung mooi indie, ada nama
juru foto H.M. Neeb dengan karyanya yang fenomenal tentang perang aceh
pada kurun 1904 tanpa kehadiran Neeb, tak ada sama sekali kesaksian
terjadinya perang Aceh melawan colonial. Seperti yang dikatakan sebelumnya,
foto dokumenter sebagai akar dari foto jurnalistik telah dikenal di tanah air sejak
abad ke-19.71
Dalam buku IPPHOS karya Yudhi Soerjoatmodjo, Oscar Motuloh
mengungkapkan, pada 2 Oktober 1946 Justus Umbas bersama Frans “Nyong”
68 Ferry Darmawan, Dunia Dalam Bingkai, hal. 63. 69 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 6. 70 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 7. 71 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 7.
42
Mendur, Alex Mamusung serta Oscar Ganda, mereka mendirikan IPPHOS,
yang tercatat sebagai kantor berita foto independen pertama di Indonesia.72
Hingga pada 1992 Lembaga Kantor Berita Negara Antara mendirikan
Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), galeri pertama yang fokus pada foto
jurnalistik. Dengan kelas foto jurnalistiknya, Antara menjadi katalis lahirnya
jurnalis foto muda. Lewat jalur pendidikan mereka mengembangkan minat dan
wawasan jurnalistik.73
Oscar Motuloh dalam tulisannya tahun 2014 di situs resmi agensi foto
milik Indonesia Antara Foto memperkuat tentang kiblat atau sumber referensi,
bahwa masyarakat fotografi Indonesia tidak perlu kuatir akan perkembangan
fotografi jurnalistik kontemporer nantinya, karena World Press Photo masih
menjadian acuan yang baik bagi perkembangan fotografi dunia.74
2. Jenis Foto Jurnalistik
Foto jurnalistik dibagi dalam beberapa kategori. Menurut Rully Kesuma
dalam presentasinya tentang foto jurnalistik yang ia sampaikan pada kelas
Galeri Foto Jurnalistik Antara(GFJA) XVIII, bahwa kategori foto jurnalistik
berdasarkan standar World Press Photo(WPP) terdiri dari spot news, general
news, people in news, daily life, portrait , sport, science and technology, arts
and culture, nature and environment.75
72 Yudhi Soerjoatmodjo, IPPHOS Indonesian Press Photo Service, (Jakarta: Galeri Foto
Jurnalistik Antara, 2013), hal. 220.
73http://www.1000kata.com/2014/07/sejarah-foto-jurnalistik/ (diakses pada Februari 2017) 74http://www.antarafoto.com/artikel/v1392441035/piramidaromantismekebuasanmanusia
(Diakses pada Februari 2017) 75 Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) adalah suatu lembaga pendidikan fotografi
dokumenter dan jurnalistik yang diadakan oleh Kantor Berita Antara setiap tahun sejak 1992. Untuk
info lengkap mengenai GFJA dapat dikunjungi di situs http://www.gfja.org/ atau Facebook resmi
GFJA Museum & Galeri Foto Jurnalistik Antara.
43
a. Spot Photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal.
Misalnya foto kebakaran, kecelakaan dan sebagainya. Foto jenis ini harus
segera disiarkan karena merupakan sesuatu yang up to date.76 Sampai kini
jenis foto ini merupakan primadona dalam foto jurnalistik secara umum, ia
menjadi kekuatan penting untuk menyampaikan suatu peristiwa kepada
khalayak secara gamblang.77
b. General News Photo Adalah foto yang diabadikan dari peristiwa yang
terjadwal, rutin dan biasa. Temanya bisa bermacam-macam, yaitu : politik,
ekonomi dan humor.
c. People in The News Photo Adalah foto tentang orang atau masyarakat
dalam suatu berita, yang ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang
menjadi berita itu.
d. Daily Life Photo Adalah foto yang tentang kehidupan sehari-hari manusia
dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).
e. Portrait Adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close up
dan “mejeng”. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang
dimiliki atau kekhasan lainnya.
f. Sport Photo Adalah foto yang dibuat ketika ada peristiwa/ event olahraga.
Pada pengambilan foto ini, dibutuhkan peralatan foto yang memadai,
karena objek dengan si pemotret berada pada jarak tertentu. fotografer
yang biasa meliput di stadion, lensa yang mereka gunakan berukuran
panjang dengan spesifikasi khusus. Serta fotografer di sirkuit balap,
76 Audy MirzaAlwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa ( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), hal. 5. 77 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 69.
44
dimana kamera yang digunakan mampu mem-freeze-kan objek dengan
fokus tinggi.
g. Science and Technology Photo Adalah foto yang diambil dari peristiwa-
peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
h. Art and Culture Photo Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan
budaya.
i. Nature and Environment foto-foto tentang kehidupan sosial masyarakat
serta lingkungan sekitarnya. Contoh foto penduduk disekitar TPA Sampah
dan kegiatannya, pemburu yang fokus membidik hewan buruannya,
dll.Adalah foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan
hidupnya.
Ketegori foto jurnalistik seperti yang dikemukakan WPP dijadikan
acuan untuk berbagai pembelajaran tentang foto jurnalistik di dunia.
Menurut Taufan wijaya untuk memenuhi kebutuhan pemberitaan serta
penyajiannya dalam era jurnalistik saat ini terdapat jenis foto feature dan foto
cerita.78 Foto feature seperti membawa gambaran kehidupan di sekililing kita.
Sesuatu yang kadang berupa “adonan” dari cerita yang dekat dengan berita, atau
penggalan hidup yang teradang luput dari penglihatan banyak orang.79 Oscar
Matulloh dalam sebuah diskusi mengatakan, “foto feature pada sebuah
peristiwa ibarat mata uang yang dilihat dari sisi sebaliknya”,80 maksudnya
adalah menyampaikan sesuatu di balik kerak peristiwa agar mampu mengetahui
dan memahami cerita yang ada di balik setiap peristiwa. Kekuatan utama dalam
78 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 73. 79 Taufan wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 74. 80 Taufan wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 74.
45
foto feature ini adalah kesan yang ditimbulkannya menancap di benak karena
mempengaruhi emosi dan lebih memberi ruang kepada penikmat foto untuk
memaknai foto jurnalistik secara konotatif.
Foto cerita yakni terbagi menjadi dua, yaitu: foto tunggal (single
photo), dan foto seri (story photo).81
a. Foto Tunggal adalah foto yang memiliki informasi cukup lengkap dan
lugas secara visual sehingga dapat berdiri sendiri tanpa perlu diperkuat
oleh kehadiran foto lainnya.
b. Foto Story/cerita yakni lebih memunculkan keutuhan cerita dan detail
dalam sebuah peristiwa, idealnya terdiri antara 7-12 foto yang
merupakan kumpulan foto-foto terbaik dari suatu rangkaian cerita. Gaya
penyampaian foto cerita pertama kali muncul di jerman pada 1929 di
majalah Muncher Illustrierte Presse dengan judul ”Politische Potrats”
yang menampilkan 13 foto politikus jerman saat itu.82
Sejatinya foto cerita di level internasional lebih beragam dalam
bentuk penyajiannya, ialah Descriptive, Narrative, Photo Essay.83
a. Descriptive – Fotografer hanya menampilkan hal-hal yang menarik dari
sudut pandangnya. Sajian foto cerita dengan gaya ini adalah kompilasi
foto hasil observasinya. Ciri jenis foto cerita ini adalah susunan foto bias
diubah atau dibalik tanpa mengubah isi cerita. Bila pewarta-foto hanya
ingin merekam sesuatu yang mempesonanya atau menarik perhatiannya,
tanpa mengikuti perkembangan atau perubahan-perubahan yang terjadi,
81 Taufan wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 76. 82 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 79. 83 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 76.
46
ia bisa memilih bentuk deskriptif ini sebagai laporan akhirnya. Bentuk
ini berupa suatu paket rangkaian foto-foto hasil observasi dan liputan
yang memiliki tema atau issue tertentu sering kali bisa tanpa
permasalahan apa pun di dalamnya yang disajikan tanpa alur yang tegas.
Semacam paparan saja. Pendek kata, sebuah kompilasi deskriptif
bertumpu pada jumlah(banyak) atau sedikit foto yang membentuknya,
bukan pada alur cerita. Urutan tak terlalu penting susunan bisa
dipertukarkan tanpa merubah cerita yang hendak disampaikan.84
b. Narrative – Photo story yang memiliki tema dan penggambaran situasi
atau struktur yang spesifik. Ciri foto cerita narrative memiliki alur dan
penanda yang tidak bisa sembarangan diubah susunannya. Narrative
atau yang di dalam perbincangan atau di dalam teks-teks rujukan lebih
sering disebut sebagai Photo Story saja adalah tutur yang memiliki tema
tertentu dan sedikitnya sebuah alur kisah/cerita spesifik di dalamnya.
Strukturnya terbentuk dari komplikasi dan resolusi.
Komplikasi adalah persoalan atau isue utama yang disorot, yang
diliput dan yang dilaporkan. Di dalam jurnalisme, lazimnya komplikasi
berpusar pada masalah-masalah dasar dan cukup signifikan sehingga
orang-orang dapat mengaitkan dirinya dengan masalah
tersebut(relevan) atau bisa juga berupa karakter atau portrait seseorang
yang bisa dijadikan teladan, sumber inspirasi, atau membangkitkan
empati dan solidaritas.
84
Elearning.upnjatim.ac.id/Tentang_Photostory_Catatan_terbuka_untuk_ARBAINRAMBEY_
(diaksespada 23 maret 2017).
47
Resolusi adalah perubahan yang terjadi pada situasi/keadaan
atau pada karakter, sang tokoh yang disorot tersebut, biasanya berupa
aksi-aksi/tindakan untuk mengatasi komplikasi. Rangkaian aksi yang
menandai perubahan-perubahan dari komplikasi ke resolusi ini lah yang
membentuk alur (plot) cerita atau story. Tanpa perubahan tak akan ada
cerita, tak ada alur, tak ada kisah di dalamnya. Naratif bergantung pada
kelengkapan elemen/unsur cerita dan alur yang kukuh di dalamnya.85
c. Photo Essay – Adalah sebuah cerita dengan sudut pandang tertentu
menyangkut pertanyaan atau rangkaian argument. Bias juga berua
analisis. Ciri photo essay, yaitu menggunakan teks yang porsinya lebih
banyak dan kumpulan foto terbagi dalam blok-blok. Esai foto dibedakan
dengan tegas dari photo story karena memang berbeda fungsi dan
karakternya. Jika photo story adalah tentang fakta dan peristiwa sebagai
informasi utama yang dihantarkannya namun esai foto melampaui itu.
Esai foto bertujuan utama untuk menyampaikan pendapat atau opini
secara sekaligus, fakta dan peristiwa hanyalah pelengkapnya. Ia
menganalisa dari pada melaporkan suatu gejala, peristiwa atau isue
tertentu. Ia adalah rangkaian argumen yang menyatakan sudut pandang
tertentu dari si pewarta foto (dan/atau redaksi).86 Karena karakter dan
fungsinya itu, esai foto sangat mengandalkan keberadaan teks atau kata-
kata yang mendampinginya, tidak sekedar caption yang memang
85
Elearning.upnjatim.ac.id/Tentang_Photostory_Catatan_terbuka_untuk_ARBAINRAMBEY_
(diaksespada 23 maret 2017). 86
Elearning.upnjatim.ac.id/Tentang_Photostory_Catatan_terbuka_untuk_ARBAINRAMBEY_
(diaksespada 23 maret 2017).
48
merupakan syarat wajib di dalam jurnalisme. Kerja sama foto dan teks
menghasilkan efek-efek khusus yang sangat kuat di dalam penyampaian
opini atau pernyataan pendapat.87
Menurut Jacob Cecil dalam esai nya yang berjudul A Photographic
Essay, sebuah esai foto adalah seperangkat atau serangkaian foto-foto yang
dimaksudkan untuk menceritakan sebuah cerita atau membangkitkan
serangkaian emosi di penampil. Esai foto berkisar dari karya murni fotografi
untuk foto dengan keterangan atau catatan kecil untuk esai teks lengkap
dengan sedikit atau banyak foto-foto yang menyertainya.88 Esai foto bisa
berurutan dari peristiwa yang disoroti, dilihat dalam urutan tertentu, atau
mereka dapat terdiri dari yang tidak diurutkan, foto-foto yang dapat dilihat
sekaligus atau dalam urutan yang dipilih oleh penonton.89 Semua esai foto
adalah koleksi foto-foto, tapi tidak semua koleksi foto-foto yang esai foto.
Esai foto seringkali mengatasi masalah tertentu atau mencoba untuk
menangkap karakter tempat dan acara. Digunakan oleh jurnalis foto kelas
dunia seperti Lauren Greenfield, Bruce Davidson, Jan Sochor, Peter
Menzel, James Nachtwey, dan Joachim Ladefoged sebagai contohnya, esai
foto mengambil teknik bercerita yang sama sebagai esai normal,
diterjemahkan menjadi gambar visual.90
Sebuah esai foto, atau cerita bergambar, adalah cara fotografer
menunjukkan cerita yang lebih lengkap daripada hanya dengan satu gambar.
Ini adalah koleksi gambar yang bekerja sama untuk bercerita. Secara umum,
87 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 78. 88 Jurnal Jacob Cecil, A Photographic Essay, Bagian 1. 89 Taufan Wijaya. Foto Jurnalistik, hal.78. 90 Jurnal Jacob Cecil, A Photographic Essay, Bagian 1.
49
ada antara 5 dan 15 gambar, meskipun lebih atau kurang gambar. Kadang-
kadang gambar ini memiliki keterangan, bisa juga tidak. Meskipun tidak
ada aturan konkret bagaimana esai foto harus dibuat, ada beberapa cara
umum yang esai foto dapat dikembangkan. Antara lain:91
a. Urutan Waktu
Urutan waktu adalah awal dari esai foto. Esai foto dimulai sebagai
fotografer mulai menunjukkan urutan foto untuk mencatat suatu peristiwa.
Hal ini sering seperti melihat serangkaian gambar diam dari sebuah film.
Jenis esai foto paling baik digunakan di mana ada jalan yang jelas waktu.
Ilustrasi peristiwa linear di daerah kompak seperti menyelam tebing,
pemadam kebakaran, dan penetasan burung merupakan contoh dari jenis
esai foto. Waktu esai urutan foto juga dapat diperluas untuk mencakup
jumlah waktu di daerah yang lebih kompak lagi. Esai ini memiliki
kesenjangan yang jauh lebih besar dari waktu antara gambar daripada dasar
urutan waktu esai.
b. Tempat
Lokasi esai foto berupaya menangkap nuansa lokasi melalui sekilas
orang dan tempat dalam lokasi yang ditetapkan. Lokasi bisa seperti sekolah
atau taman, atau lebih luas lagi seperti sebuah negara. Jenis esai foto
seringkali non-linear dari sudut pandang kronologis tetapi tidak harus non-
linear. Lokasi esai sering mulai pada satu titik fisik dan perjalanan ke luar,
seperti tur ke sebuah daerah tersebut mengikuti perjalanan sang fotografer.
91 Jurnal Jacob Cecil, “A Photographic Essay.” Bagian 2
50
c. Ide
Ide esai foto sering menampilkan sangat beragam gambar yang
semua memiliki benang merah dari satu tema atau ide. Topik seperti
harapan, cinta, dan pekerjaan dapat tercakup dalam esai. Karena esai ide
yang sering menampilkan beragam mata pelajaran itu adalah ide yang baik
untuk memiliki perjalanan benang merah melalui gambar. Menggunakan
properti umum atau mengikuti skema warna dapat membantu untuk obligasi
visual gambar-gambar tersebut. Misalnya, esai foto tentang kanker
payudara mungkin menggunakan simbol pita merah muda akrab dalam
bentuk jilbab merah muda yang dikenakan oleh subjek dalam setiap gambar
untuk mengikat set bersama-sama. Atau sebuah esai tentang pekerjaan
mungkin mengikat gambar bersama-sama dengan mengalirkan kesamaan.
Setiap gambar akan menunjukkan gambar berikutnya.
d. Peristiwa
Peristiwa pada esai foto cenderung untuk menggabungkan ide-ide
dari kategori lainnya. Esai peristiwa mencakup terjadi tertentu (seperti
kebakaran bangunan atau pernikahan) tetapi tidak terikat dengan metode
tertentu urutan gambar. Banyak peristiwa esai foto mengikuti urutan waktu
garis tetapi beberapa lebih mengalir dalam presentasi mereka. Esai acara
setidaknya harus menunjukkan bagian-bagian utama penting untuk acara
tersebut. Sebagai contoh, sebuah esai pernikahan tanpa pengantin atau
pengantin pria tidak akan lengkap.
Seperti seni apapun, esai foto memiliki pedoman dasar tetapi barang
yang sangat sukses menyimpang drastis dari aturan “normal”. Sebuah esai
51
foto pada dasarnya menempatkan seorang fotografer di kursi sutradara.
Cerita yang ada, fotografer harus kreatif memutuskan cara terbaik untuk
menyampaikan cerita kepada orang lain.
Bentuk foto cerita modern dikenalkan oleh W. Eugene Smith saat
masih bekerja untuk life pada tahun 1940an. Lalu banyak fotografer di dunia
mengikuti jejaknya dengan membuat foto cerita secara mendalam dengan
waktu pengerjaan yang panjang. “minamata” foto esai W. Eugene Smith
yang dibuat dalam satu buku, memakan waktu tiga tahun.92 Seperti yang di
lakukan Ng Swan Ti, dalam karyanya yang berjudul Flores Revisited
memakan waktu yang panjang dalam pengerjaanya, sebuah cerita sebuah
kisah dalam pandangan Ng Swan Ti perihal keberagamaan yang ia jalani
untuk mencari suatu keyakinan dalam kehidupan yaitu agama. Tidak jarang
fotografi jurnalistik dalam bentuk esai ini dijadikan sebagai acuan tentang
kehidupan atau juga sebagai kajian antropologi. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Roland Barthes dalam buku “Camera Lucida” yang dikutip
Taufan Wijaya dalam buku fotonya Foto Jurnalistik:93 “Fotografi tidak
perlu memberitahukan apa yang sudah tidak ada, tapi hanya apa yang
pernah berlangsung” dengan demikian yang nantinya penulis akan
membahas dan menjabarkan pada bab selanjutnya.
92 Taufan Wijaya. Foto Jurnalistik, hal 79. 93 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 16.
52
D. Tinjauan Umum Tentang Semiotika
1. Pengertian Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion
yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu- yang atas
dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya-dapat dianggap mewakili
sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang
menunjukan hal lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene mobil yang
keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota.94
Secara terminologis, Semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu
yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda.95
Pada dasarnya semiotika merupakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang
perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/wacana
tertentu. Analisanya bersifat paradigmatik dalam arti berupaya menemukan
makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah teks.96
Pada dasarnya, semiotika mempelajari tentang kode-kode sebagai tanda
atau sesuatu yang memiliki makna. Semiotika digunakan untuk
mengkomunikasikan informasi. Semiotika juga meliputi tanda-tanda visual dan
verbal serta semua tanda yang dapat diterima oleh semua panca indera.97 Tanda-
tanda tersebut akan membentuk sebuah sistem kode yang secara sistematis
94 Indiwan Seto Wahyu Wibowo Semiotika Komunikasi (Jakarta, Mitra Wacana Media,
2011), hal. 5. 95 Indiwan Seto Wahyu Wibowo Semiotika Komunikasi, hal. 5. 96 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1996) dalam Indiwan Seto Wahyu Wibowo
“Semiotika Komunikasi” (Jakarta, Mitra Wacana Media,2011), hal. 6. 97 http://id.wikipedia.org/wiki/semiotika (diakses pada 20 februari 2017)
53
menyampaikan sebuah pesan atau informasi tertulis dari perilaku manusia yang
kemudian diterima sehingga maknanya akan lebih mudah di mengerti.
Dalam perkembangannya, semiotika mempunyai dua tokoh sentral yang
memiliki latar belakang berbeda, yaitu Charles Sanders Pierce dan Ferdinand
De Saussure. Saussure berpandangan bahwa semiotika merupakan sebuah
kajian yang memperlajari tentang tanda-tanda yang menjadi bagian dari
kehidupan sosial.98 Saussure memiliki latar belakang keilmuan linguistik. Ia
memandang tanda sebagai sesuatu yang dapat dimaknai dengan melihat
hubungan antara petanda dan penanda yang biasa disebut signifikasi. Dalam hal
ini Saussure menegaskan bahwa dalam memaknai sebuah tanda perlu adanya
kesepakatan sosial. Tanda-tanda tersebut berupa bunyi-bunyian dan gambar.99
Saussure juga menyebutkan objek yang dimaknai sebagai unsur tambahan
dalam proses penandaan. Contohnya, ketika orang menyebut kata “anjing”
dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan. Penanda
dan petanda yang dikemukakan Saussure merupakan sebuah kesatuan, tak dapat
dipisahkan, seperti dua sisi sebuah koin. Jadi Saussure lebih mengembangkan
bahasa dalam pandangan semiotikanya.
Sedangkan Pierce memandang bahwa semiotika merupakan sesuatu
yang berkaitan dengan logika.100 Logika mempelajari bagaimana manusia
bernalar yang menurut Pierce dapat dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-
tanda tersebut memungkinkan manusia dalam berpikir, berkomunikasi dengan
orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh kehidupan
98 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), hal. 4. 99 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hal. x 100 Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004), hal. 3.
54
manusia. Tanda yang dimaksud Pierce dapat berupa tanda visual yang bersifat
verbal maupun non-verbal. Selain itu dapat juga berupa lambang, contohnya
lampu merah yang mewakili sebuah larangan.101
Perbedaan kedua tokoh ini dalam mengkaji semiotika terlihat jelas
bagaimana sebuah tanda dapat dimaknai. Saussure mengkaji semiotika melalui
bahasa yang dituturkan oleh manusia. Sedangkan Pierce lebih kepada logika
atau cara berpikir manusia dalam melihat suatu tanda yang dapat dimaknai di
kehidupan sehari-hari102.
Terdapat tiga cabang penelitian (branches of inquiry) dalam semiotika,
yaitu sintatik, semantik, dan pragmatik. Pertama, sintatik merupakan suatu
cabang penyelidikan yang mengkaji tentang hubungan formal antara satu tanda
dengan tanda lain yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Kedua,
semantik yaitu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan
antara tanda dengan design objek-objek yang diacunya.103 Menurut Moris,
design yang dimaksud adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan dalam
urutan tertentu. Ketiga, pragmatik adalah cabang penyelidikan semiotika yang
mempelajari hubungan antara tanda dengan interpretasi.104 Cabang yang
dikemukakan Moris tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain yang dapat
dimaknai sebagai tingkatan atau level. Ketiga cabang tersebut juga memiliki
spesifikasi kerja dan objek kajian tersendiri, sehingga apabila dipakai untuk
metode analisa akan menghasilkan “pembacaan” yang mendalam.
101 Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi,(Jakarta ; Mitra Wacana Media, 2011), hal. 5. 102 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 35 103 Anthon Freedy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), hal. 26. 104 Anthon Freedy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna, hal. 26.
55
Selain itu terdapat beberapa elemen penting dalam semiotik, yaitu
komponen tanda, aksis tanda, tingkatan tanda, dan relasi antar tanda.105
Komponen tanda yang merupakan komponen penting pertama dalam semiotik
memandang praktik sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni selain sebagai
fenomena bahasa, juga dapat dipandang sebagai tanda. Lalu, komponen penting
selanjutnya adalah aksis tanda, analisis tanda yang mengkombinasikan
pembendaharaan tanda atau kata dengan cara pemilihan dan pengkombinasian
tanda berdasarkan aturan atau kode tertentu, sehingga menghasilkan ekpresi
yang memiliki makna. Selanjutnya adalah tingkatan tanda. Dalam tingkatan
tanda yang dikembangkan oleh Roland Barthes ini terdapat dua tingkatan
lainnya, yaitu denotasi (makna sebenarnya) dan konotasi (makna tidak
sebenarnya). Terakhir adalah relasi tanda. Relasi atau hubungan tanda ini
terdapat dua bentuk interaksi, yaitu metafora dan metomimi.106
Studi semiotik dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tanda, kode, dan
kebudayaan. Tanda adalah kode adalah suatu medan asosiatif yang memiliki
gagasan-gagasan struktural. Kode ini merupakan beberapa jenis dari hal yang
sudah pernah dilihat, dibaca, dan dilakukan yang bersifat konstitutif bagi
penulisan yang dilakukan dunia ini.107
105 Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna, hal. 27-28. 106 Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna, hal. 28 107 Roland Barthes, Petualangan Semiologi (L’aventure Semiologique), (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hal. 420.
56
2. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah
Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne. Ayahnya seorang perwira
angkatan laut, meninggal dalam sebuah pertempuran di Laut Utara sebelum usia
genap mencapai satu tahun.108 Barthes mengembangkan pemaknaan tentang
semiotik atau yang ia sebut sémiologie yang juga masuk dalam pandangan
strukturalis.109
Barthes telah banyak menulis buku, yang beberapa diantaranya telah
menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Semiotik
berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak ke luar kaidah tata
bahasa dan sintaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi, dan
bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada
makna tambahan (connotative) dan arti penunjukan (denonative). Kaitan dan
kesan yang ditimbulkan dan diungkapkan melalui penggunaan dan kombinasi
tanda. Pelaksanaan hal itu dilakukan dengan mengakui adanya mitos.110
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang
menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti.111
Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan antara penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang
tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai
108 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 63. 109 Roland Barthes, Petualangan Semiologi (terjemahan), hal. sampul belakang 110 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 65. 111 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna
(Bandung: Jalasutra, 2003), hal. 261.
57
kemungkinan). Ia menciptakan makan-makna lapis kedua, yang terbentuk
ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan,
emosi atau keyakinan.112
Model Barthes ini dikenal dengan signifikasi dua tahap (two way of
signification) seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.
Tabel 2: Peta Tanda Roland Barthes113
1. Signifier
(Penanda)
2. Signified
(Petanda)
3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGN
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Sumber: Buku Semiotika Komunikasi, Alex Sobur, 2009, hal 69
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan
unsur material. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaanya.
Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya,
yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos adalah cerita yang
112 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika, hal. 261. 113 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 69.
58
digunakan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau
alam. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan
tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu.
Tidak ada mitos yang universal pada suatu kebudayaan. Mitos ini bersifat
dinamis. Mitos berubah dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat
guna memenuhi kebutuhan perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu
sendiri menjadi bagian dari kebudayaan tersebut.
Konotasi dan mitos merupakan cara pokok tanda-tanda berfungsi
dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat berlangsungnya
interkasi antara tanda dan pengguna / budayanya yang sangat aktif.114
Teori tentang mitos tersebut kemudian diterangkannya dengan
mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi signified
(petanda) oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, ia akan
menjadi mitos, dan ketika mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi.
Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai
hasil konotasi.115 Seperti pada gambar di bawah:
Gambar 1: Tatanan Penandaan Barthes116
114 John Fiske, Cultural and Communication Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 1990), hal.
121. 115 Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta: PT Serambi Ilmu,
2008), hal. 14. 116 Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, h. 22.
59
(Sumber: Semiotika Komunikasi, Benny H. Hoed, 2008, hal 22)
Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari
tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.
Denotasi adalah penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan
apa yang terucap. Namun menurut Barthes, denotasi merupakan sistem
signifikasi tingkat pertama, yaitu apa yang digambarkan tanda terhadap
sebuah obyek.
Denotasi didapat dari pengamatan langsung dari tanda-tanda yang ada
yang menghasilkan makna nyata, makna yang sebenarnya hadir. Dalam hal
ini, digambarkan bahwa denotasi lebih menitik beratkan pada ketertutupan
makna.117 Sedangkan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua. Konotasi
merupakan penciptaan makna lapis kedua yang terbentuk ketika lambang
denotasi dikaitkan dengan aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau
keyakinan. Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai
mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran nilai-
nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Karena pada
dasarnya penanda konotasi dibangun dari tanda-tanda dari sistem denotasi.118
Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotasi dan
denotasi sebagai berikut:
Tabel 3: Perbandingan antara Konotatif dan Denotatif119
KONOTASI DENOTASI
Pemakaian figure Literatur
Petanda Penanda
117 Fiske, Cultural and communication Studies, hal. 122. 118 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 71. 119 Berger Arthur Asa, Tehnik-tehnik Analisis Media (Yogyakarta: Universitas Atmajaya,
2000), hal. 55.
60
Kesimpulan Jelas
Memberi kesan tentang makna Menjabarkan
Dunia Mitos Dunia keberadaan / eksistensi
a. Menurut Barthes, citra pesan ikonik/iconic message (yang dapat kita lihat,
baik berupa adegan/scene, lanskep, atau realitas harfiah yang terekam)
dapat dibedakan lagi dalam dua tataran, yaitu.120 Pesan harfiah/pesan
ikonik tak berkode (non-coded iconic message), sebagai sebuah analogon
yang berada pada tataran denotasi citra yang berfungsi menaturalkan
pesan simbolik.
b. Pesan simbolik/pesan ikonik berkode (coded iconic message), sebagai
analogon yang berada pada tataran konotasi yang keberadaannya
didasarkan atas kode budaya tertentu atau familiaritas terhadap stereotip
tertentu. Pada tataran ini, Barthes mengemukakan enam prosedur
konotasi citra khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan
konotasi dalam proses produksi foto menurut Roland Barthes. Prosedur-
prosedur tersebut terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang
diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita
itu sendiri (Trick Effect, Pose, dan Object) dan konotasi yang diproduksi
melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism dan Syntax),
yaitu:121
1) Trick Effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang
berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
120 Yuwono dan Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia, 2004), hal.
77-78. 121 Sunardi, Semiotika Negativa,( Yogyakarta: Kanal, 2002).hal. 173.
61
2) Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam
mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan
memilih objek yang sedang diambil.
3) Objek, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke
dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI)
pada sebuah gambar/foto.
4) Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar.
Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto),
bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek
gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek)
dan sebagainya.122
5) Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar
secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.
6) Syntax, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya
berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat
membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Terdapat dua fungsi
caption yaitu, yang pertama berfungsi sebagai penambat /
pembatasan (anchorage) agar pokok pikiran dari pesan dapat dibatasi
sesuai dengan maksud penyampaiannya. Kemudian yang kedua
adalah berfungsi sebagai pemancar / percepatan (relay) agar langsung
dipahami maksud dari pesan yang disampaikan.123
John Fiske menjelaskan masalah denotasi dan konotasi dengan
122 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 174. 123 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), hal. 128.
62
menggunakan contoh fotografi. Menurut Fiske, denotasi ialah apa yang difoto
yang memunculkan pertanyaan, “ini foto apa”, sedangkan konotasi adalah
“bagaimana ini bisa difoto?” Atau menitik beratkan pertanyaan, “mengapa
fotonya ditampilkan dengan cara seperti itu?”124 Atau dengan kata lain,
denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap objek, sedangkan
konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.
Mitos menurut Roland Barthes, mitos bukanlah seperti apa yang kita
pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masu akal, transenden,
ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita
kubur. Tetapi mitos menurut Roland Barthes adalah sebuah ilmu tentang
tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of specch (tipe wicara atau gaya
bicara) seseorang.125 Mitos digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang
tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaan
dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan
analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam
sebuah bahasa atau benda (gambar). Roland Barthes pernah mengatakan “Apa
yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah
mengatakannya”. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi bahasa
simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali kemampuan
berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa itu sendiri.
Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya terfokus pada bahasa verbal atau bahasa
nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu benda
124 Fiske, Cultural and Communication Studies, hal. 48. 125 Alex Sobur, Analisis Teks Media, hal. 127.
63
(seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu.126 Menurut Barthes, mitos
memiliki empat ciri, yaitu:127
a. Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan
deformatif. Concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem
tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta
yang sebenarnya.
b. Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan,
dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu.
c. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita
menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan
lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam.
d. Motivasional. Menurut Barthes, bentuk mitos mengandung motivasi.
Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai
kemungkinan konsep yang akan digunakan berdasarkan sistem semiotik
tingkat pertamanya.
Dalam penelitian ini, penulis merumuskan bagaimana pembacaan makna
evolusi agama dalam foto esai yang terdapat dalam pameran Jakarta Biennale
karya Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited. Selanjutnya, untuk
menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan enam prosedur konotasi citra
yang dikemukakan Barthes, yakni meliputi trick effects, pose, objects (objek),
photogenia (fotogenia), aestheticism (estetisme), dan syntax (sintaksis).
126 Alex Sobur, Analisis Teks Media, hal. 128. 127 “Bedah Buku Belajar Membelah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes),” Media
Indonesia, Minggu, 25 Maret 2007, hal. 4.
64
64
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Tentang Sejarah Flores
Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis "Cabo de Flores" yang
berarti "Tanjung Bunga". Nama ini awalnya diberikan oleh S. M. Cabot untuk
menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores.1 Nama ini kemudian dipakai
secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda Hendrik
Brouwer. Lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969)
mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya
Pulau Ular). Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena
mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores.2
Kristianitas, khususnya Katolik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak
abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup
Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen
di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor
dan sebuah lembaga pendidikan untuk calon pendeta di dekat kota Larantuka.
Tahun 1577, sudah terdapat sekitar 50.000 orang Katolik di Flores.3 Kemudian
tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka
karena Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk
Flores mulai mengenal kristianitas. Penyebaran kristianitas dimulai dari Pulau
1 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Flores: Sebuah Pengantar Ke Arah Inkulturasi
Musik Liturgi, Jurnal Sarasehan Oleh Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta, 2002. Hal, 1. 2 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Flores: Sebuah Pengantar Ke Arah Inkulturasi
Musik Liturgi. Hal, 1. 3 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Flores: Sebuah Pengantar Ke Arah Inkulturasi
Musik Liturgi. Hal 3.
65
Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores
dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di
Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik.4
Sebelum agama Katolik tiba di Flores, masyarakat di sana sudah mengenal
Tuhan yang Kuasa, yang disebut “Lera Wulan Tanah Ekan” atau Tuhan Langit dan
Bumi.5 Bukti masyarakat Flores sudah mengenal Tuhan sebelum Katolik datang
terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Flores. Misalnya, untuk landasan
masyarakat Flores bertindak benar dan jujur, mereka mempunyai semacam
wejangan seperti "Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan" yang artinya Tuhan
mempunyai mata (untuk melihat), dengan maksud Tuhan mengetahui, ia maha tahu,
ia maha adil, dan ia akan bertindak adil. Kemudian jika ada kematian, masyarakat
Flores juga biasa berkata "Lera Wulan Tanah Ekan guti na-en" yang berarti Tuhan
mengambil pulang miliknya.6
Berdasarkan paparan di atas, meskipun kristianitas sudah dikenal sejak
permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki berbagai
kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai
daerah lainnya di Nusantara- sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola
tradisi asli warisan nenek-moyang.7
Di samping itu, unsur-unsur historis, yakni tradisi-tradisi luar yang masuk
melalui para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua
4 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Flores: Sebuah Pengantar Ke Arah Inkulturasi
Musik Liturgi. Hal,3. 5 https://m.tempo.co/read/news/2015/11/21/204720937/wisata-pantai-sejarah-flores-
memeluk-Katolik diakses pada 5 juli 2017 6 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Flores: Sebuah Pengantar Ke Arah Inkulturasi
Musik Liturgi. Hal,3. 7 https://m.tempo.co/read/news/2015/11/21/204720937/wisata-pantai-sejarah-flores-
memeluk-Katolik diakses pada 5 juli 2017
66
unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter menilai di
beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran. Oleh karena itu, agama
Katolik di Flores tidak murni, tetapi bercampur dengan kebudayaan lokal.8
Tradisi Katolik yang berlangsung hingga kini adalah prosesi Pekan Suci
Semana Santa menjelang Hari Raya Paskah di Kota Larantuka, ibu kota Kabupaten
Flores Timur. Pada saat perayaan ini, akan ada arak-arakan Tuan Ana atau Patung
Yesus dan Tuan Ma alias Bunda Maria pada malam Jumat Agung, yang diiringi
cahaya lilin serta lantunan doa-doa.9 Patung Tuan Ma ditemukan pada 1510 di
pesisir Larantuka. Patung ini kemudian dibawa oleh Kepala Kampung Lewomana
ke korke atau tempat pemujaan dan ketika Ordo Dominikan datang, Patung Tuan
Ma ini disebut Bunda Maria dan dianggap keramat serta didoakan menjelang pekan
suci. Puncak perayaan Semana Santa berlangsung pada Jumat Agung. Tubuh Yesus
Kristus bakal diusung dari kapela ke katedral pada sore hari sebelum misa. Yesus
Kristus ditempatkan sebagai pusat kebaktian serta Bunda Maria menjadi pusat
perhatian sebagai ibu yang berkabung (mater dolorosa). Setelah pelaksanaan misa,
masyarakat berdoa di makam leluhur dan kemudian arak-arakan di malam hari.
Upacara ini berakhir pada Sabtu Santo (Sabtu Suci) dan Minggu Paskah.
Dari uraian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa adat istiadat,
misi keagamaan Kristen, dan budaya asing yang pernah menjajah Flores
menjadikan terbentuknya keberagamaan masyarakat Flores yang baru.
8 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Flores: Sebuah Pengantar Ke Arah Inkulturasi
Musik Liturgi. Hal, 4. 9 Tempo, Wisata Pantai Sejarah Flores Memeluk Katolik, artikel diakses pada tanggal 5
Juli 2017, dari https://m.tempo.co/read/news/2015/11/21/204720937/wisata-pantai-sejarah-flores-
memeluk-katolik.
67
B. Tentang Jakarta Biennale
1. Sejarah Jakarta Biennale
Biennale merupakan pameran karya seni yang diselenggarakan dua
tahun sekali, baik dengan skala besar maupun kecil, lokal maupun internasional.
Dalam khazanah terminologi seni rupa, kata biennale memiliki pengertian yang
cukup spesifik, bukan hanya sebagai “pameran dua tahunan” tetapi juga sebagai
tradisi pameran seni rupa yang secara khusus diselenggarakan oleh sebuah
museum seni rupa modern.10
Pada awalnya pameran biennale bernamakan Pameran Seni Lukis
Indonesia. Pameran tersebut pertama kali diadakan di Taman Ismail Marzuki
oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1974.11 Dalam pameran tersebut
diikuti oleh 81 pelukis dari berbagai wilayah dari lintas generasi, dan dilakukan
penjurian untuk memberi penghargaan pada karya-karya terbaik. Seiring
berjalannya waktu, penyelenggaraan pameran tersebut menuai protes dari
generasi muda yang tak puas dengan kriteria penjurian. Sehingga hal tersebut
membuat kita mengenal protes itu sebagai peristiwa Desember Hitam yang
memicu kemunculan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia pada tahun 1975, yang
kemudian di akomodasikan oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk mengadakan
pameran perdana mereka di Taman Ismail Marzuki.12.
10 Nur Azizah Rien. Biennale, dikutip dari https://www.academia.edu/Biennale, diakses
pada tanggal 7 mei 2017. 11 Sejarah Jakarta Biennale. Dikutip dari http://jakartabiennale.net/jakarta-biennale/.
Diakses tanggal 7 Mei 2017. 12 Sejarah Jakarta Biennale. Dikutip dari http://jakartabiennale.net/jakarta-biennale/.
Diakses tanggal 7 Mei 2017.
68
Pameran Seni Lukis Indonesia (1974) kembali di selenggarakan di tahun
1976. Saat itu pameran tersebut telah berganti nama menjadi “Pameran Besar
Seni Lukis Indonesia” dengan penyeleksian mengandalkan data yang lebih
beragam tidak seperti sebelumnya saat biennale pertama.13 Nama pameran
tersebut bertahan di 2 periode, pada tahun 1978 dan 1980. Berselang 2 tahun
setelahnya pada yaitu pada tahun 1982, biennale resmi ditulis sebagai nama
acara menggantikan “Pameran Besar Seni Lukis Indonesia”, yaitu pameran
Biennale V, hanya saja dalam seleksi karya tidak berbeda jauh seperti
sebelumnya masih dominan pada seni lukis. Setelah penggunaan istilah
biennale pada tahun 1982, ditahun 1984 diteruskan kembali dengan nama
Biennale Seni Lukis Indonesia VI.14
Mundur satu tahun dari seharusnya, Biennale VII akhirnya
terselenggara pada tahun 1987. Berbeda dengan edisi-edisi sebelumnya,
pameran kali ini membuka kompetisi untuk seniman-seniman muda. DKJ
beserta para juri merasa pameran-pameran sebelumnya kurang melahirkan
pembaruan. Kemudian muncul urgensi untuk melibatkan darah muda dalam
perhelatan akbar seni rupa ini. Model kompetisi tersebut berlanjut pada
Biennale VII pada tahun 1989, yang juga masih menggunakan pola penjurian
dan pembagian wilayah geografis.15
Sejumlah perubahan mengemuka pada Biennale Jakarta IX 1993.
Perubahan paling kentara adalah penggunaan istilah “seni rupa” menggantikan
13 Sejarah Jakarta Biennale. Dikutip dari http://jakartabiennale.net/jakarta-biennale/.
Diakses tanggal 7 Mei 2017. 14 Sejarah Jakarta Biennale. Dikutip dari http://jakartabiennale.net/jakarta-biennale/.
Diakses tanggal 7 Mei 2017. 15 Sejarah Jakarta Biennale. Dikutip dari http://jakartabiennale.net/jakarta-biennale/.
Diakses tanggal 7 Mei 2017.
69
“seni lukis” yang sudah mentradisi. Sejumlah karya non-lukisan ditampilkan,
seperti seni instalasi, seni video, dan performans. Pada perhelatan kali ini,
Jakarta Biennale pertama kalinya menggunakan “kurator” sebagai perumus
perspektif pemilihan dan penyajian karya dalam pameran. Tanggapan publik
positif, meski tidak tanpa polemik. Biennale ini kerap dianggap sebagai proyek
pribadi kurator dalam menerjemahkan ide-ide pascamodernisme, dan wacana
yang sedang hangat-hangatnya kala itu.16
Seni lukis kembali mendominasi Biennale X pada 1996 dan Biennale
XI pada 1998. Penyelenggara turut mengadakan program tambahan untuk
menampilkan kembali karya-karya maestro pelukis Indonesia. Pasca 1998,
Biennale “vakum” untuk waktu yang cukup lama, terkait pergantian rezim dan
gejolak sosial-politik yang melanda Indonesia tahun-tahun itu. Pada periode ini
seni rupa Indonesia kehilangan barometer yang sudah berlangsung selama tiga
dekade, tapi pada periode ini juga DKJ mulai mengevaluasi biennale agar ke
depannya dapat menjawab tantangan zaman yang lebih luas dan kompleks.17
Biennale kembali diadakan delapan tahun kemudian, dengan tajuk
Biennale Jakarta 2006. Pada edisi ke-12 (dua belas) ini, pameran
diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, Museum Seni Rupa & Keramik, dan
sejumlah galeri lainya. Tiga tahun sesudahnya pameran kembali diadakan,
dengan tajuk Jakarta Biennale XIII pada tahun 2009. Namun pada kali ini
terdapat sejumlah terobosan baru, yaitu biennale memulai menggunakan tema
besar untuk lebih mengarahkan para seniman terhadap isu-isu yang terkait
16 Nur Azizah Rien. Biennale, dikutip dari https://www.academia.edu/Biennale, diakses
pada tanggal 7 mei 2017. 17 Sejarah Jakarta Biennale. Dikutip dari http://jakartabiennale.net/jakarta-biennale/.
Diakses tanggal 7 Mei 2017.
70
dengan tema yang akan dibuat. Tema ARENA dipilih untuk mendampingi nama
biennale di tahun 2009 ini menjadi Jakarta Biennale XIII ARENA. Pada
pameran kali ini, untuk pertama kalinya perhelatan tersebut didesain berkala
internasional, dengan mengundang seniman-seniman mancanegara,
menjadikan Jakarta sebagai tuan rumah bagi perkembangan seni rupa dunia.
Terobosan lainnya adalah menyelenggarakan karya-karya seni rupa di berbagai
ruang publik Jakarta.18
Seiring berkembangnya zaman dan tren mode pada tahun 2011, Jakarta
Biennale hadir dengan aksen baru, tidak lagi menggunakan angka romawi
sebagai penunjuk jumlah rentetan acara yang telah diselenggarakan, yaitu
Jakarta Biennale #14. Pada kali ini bertemakan Maximum City, untuk
menanggapi kota Jakarta yang semakin penuh dan juga sesak. Skala acara
menjadi semakin besar, melibatkan lebih dari 150 seniman dan puluhan lokasi
di ruang publik.19 Pada tahun berikutnya, yaitu 2013, Jakarta Biennale diadakan
dengan tema SIASAT. Pameran berfokus pada siasat-siasat warga yang lahir
organik di tengah perkembangan kota yang seringkali tak melibatkan mereka.
Tradisi pemanfaatan ruang publik dipertahankan, bahkan diperluas
cakupannya. Ruang-ruang publik tidak sekadar menjadi ruang singgah dan
menetap karya, tapi turut melibatkan warga melalui kegiatan komunitas-
komunitas setempat di berbagai wilayah Jakarta.20 Karya dan kegiatan ruang
publik ini mendampingi karya-karya yang dipamerkan di galeri.
18 Sejarah Jakarta Biennale. Dikutip dari http://jakartabiennale.net/jakarta-biennale/.
Diakses tanggal 7 Mei 2017. 19 Sejarah Jakarta Biennale. Dikutip dari http://jakartabiennale.net/jakarta-biennale/.
Diakses tanggal 7 Mei 2017. 20 Sejarah Jakarta Biennale. Dikutip dari http://jakartabiennale.net/jakarta-biennale/.
Diakses tanggal 7 Mei 2017.
71
Beberapa pergelaran pameran Jakarta Biennale terus berkembang dari
skala nasional hingga internasional. Pada tahun 2015 penyelanggara Jakarta
Biennale membuat ide untuk mendirikan sebuah yayasan atau lembaga
independen yang dapat menjalankan biennale secara mandiri agar dapat lebih
baik dalam menyoroti persoalan-persoalan aktual sosial, budaya, dan politik.
Baik lokal maupun secara global.21
2. Jakarta Biennale 2015, “Maju Kena, Mundur Kena : Bertindak Sekarang”
Jakarta Biennale memasuki gelaran ke-16 dengan segala perbaikan
kualitas dan kemajuan di dalamnya. Pada pameran kali ini membawa misi untuk
lebih mendekatkan seni ke masyarakat dengan isu-isu yang sangat dekat dengan
masyarakat. Maka untuk menyambutnya, dilakukan Roadshow Art on the Spot
(RAOS) yaitu program untuk merangkul khalayak ramai dengan mengusung
tema “Hidup itu Seni”. RAOS menyambangi sepuluh universitas dan sepuluh
ruang publik di Jakarta. Setiap lokasi memiliki perbedaan yang signifikan dan
mewakili salah satu segmen di masyarakat.22
Jakarta Biennale ke-16 ini berlangsung dari tanggal 15 November 2015
hingga 17 Januari 2016 di Gudang Sarinah, dengan tema besar “Maju Kena,
Mundur Kena: Bertindak Sekarang”. Pameran tersebut diikuti lebih dari 70
seniman besar dan tujuh kurator, di antaranya Charles Esche, Irma Chantily,
21 Nur Azizah Rien. Biennale, dikutip dari https://www.academia.edu/Biennale, diakses
pada tanggal 7 mei 2017. 22 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”,(Yayasan
Jakarta Biennale,2015) hal 260
72
Anwar ‘Jimpe’ Rachman, Putra Hidayatullah, Asep Topan, Riska Afiaty, dan
Benny Wicaksono.23
Berbagai karya yang ditampilkan pada pameran ini mengangkat isu-isu
yang sedang hangat. Para seniman membahas mengenai kondisi ekonomi,
sosial, dan emosional masyarakat di Indonesia. Tidak hanya itu, pameran ini
juga berfokus pada tiga isu besar yaitu air, sejarah dan gender. Khusus air,
pameran ini menceritakan tentang fenomena banjir di Ciliwung dan sekitarnya.
Jakarta Biennale 2015 berharap, berbagai karya yang dihadirkan dapat
membanggakan dan akan berpengaruh besar bagi Indonesia.24
Selain itu, Jakarta Biennale 2015 menghadirkan berbagai macam
program publik seperti, Simposium, Akademik Maju Kena Mundur Kena, Duta
Seni & Seni Rupa Kita, Tur Biennale, Program Anak dan Keluarga, Live Music,
Workshop dan Creative Weekend Market.25
C. Profil Ng Swan Ti
Ng Swan Ti adalah seorang fotografer jurnalistik yang telah melahirkan
banyak karya dari tahun 2002. Wanita kelahiran tahun 1970 ini mulai menggeluti
dunia fotografi jurnalistik setelah sepuluh tahun bekerja sebagai pegawai di sebuah
perusahaan manufaktur makanan di Jakarta.
Pada awal karirnya sebagai fotografer lepas di tahun 2002, ia berpartisipasi
di workshop dan pameran fotografi yang diadakan oleh World Press Photo dan “I
23 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, (Yayasan
Jakarta Biennale,2015) hal 12. 24 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, (Yayasan
Jakarta Biennale,2015), hal 12. 25 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, (Yayasan
Jakarta Biennale,2015) hal 12.
73
See” Imaging Center, Jakarta. Pada tahun tersebut ia menancapkan tiang karirnya
di harian Tempo sebagai fotografer magang yang meliputi berita harian dan fitur
harian di Jakarta. Di tahun selanjutnya, wanita yang mempunyai garis keturunan
Vietnam ini turut serta berpartisipasi dalam workshop dan pameran fotografi yang
kembali diadakan oleh World Press Photo dan Asia Europe Foundation di
Amsterdam, Belanda tahun 2003. Tiga tahun berselang, di tahun 2006 ia diberikan
kepercayaan oleh Save the Children UK yang menugaskannya dirinya untuk
menjadi fasilitator utama pada workshop fotografi untuk remaja Aceh dan ikut serta
pada latihan pengajaran untuk aktivitas anak-anak yang diberikan oleh David Glass
Ensemble, hingga Juli tahun 2007. Di tahun yang sama karya Ng Swan Ti di
pamerkan di Pameran Fotografi Noorderlicht Photo Festival dengan judul
“Chatoloicism in Indonesia”. Pada tahun berikutnya ia turut serta dalam
pembahasan perubahan iklim di Saumlaki, untuk Oxfam Inggris di Indonesia tahun
2007.
Tidak hanya sampai disitu wanita yang telah menjadi fotografer di berbagai
media, baik media nasional maupun media internasional ini pun telah mendirikan
Malang Meeting Point yang lebih dikenal dengan Mamipo di Malang, Indonesia,
sebagai tempat alternatif bagi anak muda dari berbagai macam latar belakang untuk
berinteraksi dan berkomunikasi dengan fotografi di tahun 2008 hingga 2011. Di
tahun yang sama ia juga turut berpartisipasi pada Program REDD untuk UNDP.
Mundur 1 tahun, di tahun 2010 ia di berikan tugas untuk membuat arsip foto pada
Proyek Cita Citarum dengan mendokumentasikan kehidupan sosial di sepanjang
tepi sungai Citarum hingga 2011. Tahun 2011 merupakan tahun pertamanya
bergabung dengan Panna Foto Institut di Jakarta sebagai Program Manajer. Di
74
yayasan yang bergerak di bidang edukasi fotografi ini, ia juga telah mengajar pada
workshop untuk fotografer muda, foto jurnalis, komunitas dan umum juga
mengatur berbagai proyek latihan fotografi bersama Panna sampai sekarang.
Wanita yang pernah terlibat pada acara Festival Erau dan subjek terkait
program pengelolaan hutan, Forclime program bersama GIZ di Malinau,
Kalimantan dan UNFCC untuk Oxfam Internasional di Bali ini telah menerbitkan
buku perdananya “Illusion” pada tahun 2014. Setahun kemudian, di tahun 2015 ia
ditugaskan untuk mendokumentasikan Program Mampu. Program Mampu
ditujukan untuk memberdayakan wanita untuk mengurangi kemiskinan di
Indonesia. Pada penghujung tahun 2015 ia turut meramaikan pameran Jakarta
Biennale (2015) dengan karyanya yang berjudul Flores Revisited yang merupakan
sebuah foto yang mendokumentasikan kehidupan beragama pada masyarakat
Flores. Pengambaran tersebut sebetulnya mewakili persepsi dirinya perihal
beragama. Di tahun berikutnya salah satu karyanya yang berjudul “Chatolocism in
Indonesia” juga turut mengikuti pameran DongGang International Photo Festival.
Kini wanita yang pernah menjadi salah satu panitia seleksi dari World Press Photo
(WPP) Joop Master Class tersebut tinggal di Jakarta dan ia percaya bahwa fotografi
memberinya alasan untuk membuka pintu menuju hal yang tidak pernah diketahui
dan menjadi bagian dari hal tersebut.
75
75
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Fotografi sebagai sebuah seni semakin diminati oleh khalayak dari waktu
ke waktu. Hasil karya foto dapat dijadikan khalayak dalam merepresentasikan
realitas. Khalayak dapat memainkan imajinya sehingga dapat menimbulkan makna
yang luas. Sebagai medium komunikasi, foto mampu menyampaikan pesan kepada
para penikmat foto. 1 Seperti yang dilakukan Ng Swan Ti, seorang fotografer
freelance. Ia menggunakan fotografi sebagai alat untuk menyampaikan pesan
tentang perjalanan identitas spiritualnya yaitu mengenai agama katolik yang selama
ini melekat pada dirinya. Berawal pada tahun 2000, Ng Swan Ti mulai memortret
ritus keagamaan katolik di Gua maria, Jawa tengah. Lalu pada tahun 2003 ia pergi
ke Flores karena mayoritas masyarakatnya memeluk agama katolik. belum
menemukan apa yang ia cari, pada tahun 2009 ia kembali ke Flores. kemudian pada
tahun 2014 untuk yang ketiga kalinya ia mengunjungi Flores memotret acara
keagamaan paskah di Larantuka. Dari ketiga perjalanannya tersebut lahirlah sebuah
karya fotografi berjudul Flores Revisited.2
Melalui karya foto jurnalistik dalam bentuk esai foto yang di Pameran kan
pada ajang Jakarta Biennale tersebut penulis akan menggali representasi pencarian
atau perjalanan keberagamaan yang terdapat pada karya foto Flores Revisited
dengan menggunakan semiotika barthes.
1 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa ( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h.3. 2 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan Panna
Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan.
76
Seperti apa yang telah peneliti jabarkan pada bab II, terdapat tiga tahap
dalam konsep semiotika Roland Barthes. Pertama, tahap denotasi, peneliti akan
menjabarkan elemen yang terdapat dalam foto. Kedua tahap Konotasi, terdapat
enam komponen yang akan menjelaskan secara rinci makna dalam suatu elemen
pada foto, yakni Trick Effect (efek tiruan), Pose atau gesture tubuh, objek,
photogenia (Teknik foto), Aestheticism(komposisi), dan sintaksis. Ketiga yaitu
tahapan menentukan Mitos.3
3 Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta, kanal, 2002), hal. 174
77
A. Analisis Data Foto 1
Secara umum foto ini menggambarkan Masyarakat lokal atau Umat
beragama yang pada saat itu sedang menunggu untuk melakukan salah satu tradisi
keagamaan paskah4 di Larantuka, Flores. Untuk menguji dugaan awal tersebut,
penulis akan memberikan analisa sebagai berikut:
Gambar 1. Foto Pertama
Sumber: File data Original Flores Revisited
1. Makna Denotasi
Dalam foto ini terlihat sejumlah masyarakat paruh baya dengan pakaian
sederhana berbalut corak dan motif khas daerah sedang berbaris. Dalam
4 Paskah merupakan perayaan terpenting dalam tahun liturgi gerejawi Kristen. Bagi umat
Kirsten, Paskah merayakan hari kebangkitan yang memperingati peristiwa yang paling sakral dalam
hidup Yesus yaitu Yesus di salibkan, mati dan dikuburkan, lalu pada hari berikutnya bangkit diantara
orang mati. Dikutip dari Https://id.m.wikipedia.org/wiki/Paskah diakses pada 20 juni 2017
78
barisnya, para wanita yang terdapat dalam foto sedang khidmat menunggu
Kapela Tuan Ma dibuka untuk melaksanakan cium patung Tuan Ma (Bunda
maria) yang dibuka setahun sekali dihari kamis putih, bagian dari prosesi tradisi
Paskah Samana santa di Larantuka.5 Terlihat keringat pada dahi wanita yang
berada paling depan. Ia juga mengenakan kalung Rosario6 berwarna putih dan
tenun berwana dominan ungu yang diikatkan di kepala.
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Trick Effect adalah memanipulasi gambar secara artifisial, dengan
maksud membuat foto menjadi lebih baik dengan menambahkan atau
mengurangi bagian dalam foto menggunakan perangkat editing sehingga
mengubah isi foto yang sebenarnya.7
Foto pertama tidak mengandung trick effect atau mengubah
keaslian foto saat “dijepret” dari kamera, tidak ada elemen yang
dihilangkan apalagi diganti atau digabungkan menjadi satu dalam foto
tersebut. Hal tersebut sangat jelas, karena foto ini adalah rangkaian dalam
foto esai yang merupakan bagian dari foto jurnalistik dengan sifat dasarnya
yaitu dokumentatif, sehingga menempatkan keaslian foto pada tahap utama
pengambilan sebuah gambar yang dapat membuat masyarakat melihat
5 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
PannaFoto Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 6 Kalung Rosario merupakan sebuah kalung yang banyak dikenal bagi para umat Katolik.
kalung tersebut digunakan dalam doa yang dipanjatkan sebagai devosi kepada Bunda Maria. kalung
yang tidak lain hanyalah alat dalam tradisi agama Katolik yaitu Doa rosario ini pada umumnya
terdiri dari 59 manik-manik yang saling tersambung sehingga menyerupai sebuah kalung. Manik-
manik yang tersusun terebut bukan tanpa maksud melainkan 53 biji manik-manik dimaksudkan
untuk memanjatkan doa”Salam Maria” enam lainnya dimaksudkan untuk memanjatkan doa kepada
sosok Yesus. (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Doa_Rosario diakses pada 20 juni 2017) 7 Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta, kanal, 2002), hal. 162.
79
kembali rekaman imaji atas apa yang telah terjadi.8 Oleh karena itu dalam
retouching atau pengeditan gambar, fotografer hanya boleh merapihkan
cahaya jika ada yang terlalu gelap ataupun terang, meyelaraskan warna dan
melakukan crooping jika diperlukan untuk menyederhanakan pesan dalam
foto, cropping sah saja dilakukan selama tidak mengubah persepsi
pembaca pada sebuah imaji.9
b. Pose
Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto.10 Pada foto
pertama ini, terlihat gesture atau sikap tubuh beberapa wanita yang sedang
berbaris untuk mengikuti salah satu ritual keagamaan paskah di Larantuka,
Flores. Sikap tersebut menunjukan kesabaran dalam menjalankan ritual
juga ketaatan mereka dalam menjalankan ajaran agama. Dalam antrian
para peserta ritual keagamaan tidak sedikit pun mengurungkan niat mereka
untuk berteduh atau meninggalkan acara keagamaan. Hal tersebut dapat
terlihat dari wanita paling depan yang mengeluarkan keringat di dahinya
akibat teriknya matahari. Antusiasme nampak terlihat dari mimik muka
wanita-wanita yang sedang berbaris, menunjukan betapa kuatnya
keinginan mereka untuk mengikuti kegiatan keagamaan tersebut. Meski
sudah paruh baya, wanita-wanita ini tetap menjalankan prosesi ibadah saat
itu. Hal itu merepresentasikan diri mereka sebagai kaum atau umat
beragama yang taat.11
8 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014),
Jurnalistik Foto, hal 16. 9 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal 41 10 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 165. 11 Menurut Emil Durkheim dalam bukunya The Elementary From Of Religious Life
mengatakan ketaatan adalah dimana seseorang yang secara batiniah mempunyai ketetapan untuk
80
c. Objek
Keseluruhan elemen yang ada dalam satu bingkai foto sebetulnya
dapat dikatakan sebagai objek foto. Namun terkait dengan objek dalam
membaca foto di sini, sebagaimana yang penulis jabarkan pada bab 2,
objek dapat dipahami sebagai benda-benda atau yang dikomposisikan
sedemekian rupa sehingga dapat diasosiasikan dengan ide-ide tertentu juga
merupakan point of interest(poi) atau pusat perhatian dalam foto.12
Di dalam foto pertama ini terdapat objek beberapa wanita paruh
baya. Namun fokus atau point of interest dalam foto tersebut terlihat pada
tampilan foreground atau tampak depan pada gambar, yaitu seorang wanita
yang mengenakan tenun ikat di kepala, pakaian modern berbalut corak
tradisional, serta memakai kalung keagamaan katolik yang ditandakan
dengan adanya Corpus Christi (tubuh kristus) pada lambang salib. Kalung
Rosario yang dikenakan pada objek wanita yang menjadi POI, menunjukan
makna konotasi bahwa dengan mengenakan kalung tersebut dapat
dikatakan sebagai katolik yang taat. Ketaatan yang tergambar dari
keseriusannya menjalankan ritual keagamaan. Selain itu, hal tersebut
dikarenakan dalam kalung rosario terdapat simbol bunda maria yang
diasumsikan sebagai simbol perempuan yang dihormati oleh umat katolik
lebih dari pada kudus lainnya. Jika dalam protestan tidak mempunyai
tradisi seperti itu, Maria hanyalah manusia biasa bukan orang suci sehingga
selalu menjalankan aturan yang telah ditentukan dalam ajaran agama dengan cara meningkatkan
frekuensi dan intensitas dalam beribadah. Khusuk ketika megerjakan kegiatan keagamaan adalah
salah satu dari indikator seorang dapat dikatakan taat kepada agamanya. Dikutip dari Karen E.
Fields, The Elementary From Of Religious Life, (The Free Pass,1995), hal 35. 12 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 167.
81
tidak ada penghormatan kepadanya seperti yang dilakukan oleh umat
katolik.13 Objek lainya penggunaan tenun yang diikatkan di kepala dan
pakaian bercorak atau bermotif menunjukan bahwa adanya unsur budaya
yang melekat pada masyarakat agama di Flores. Seperti yang dikatakan
Koentjaraningrat bahwa kebudayaan merupakan salah satu unsur yang
dimiliki oleh suatu masyarakat.14 Dengan demikian unsur budaya
merupakan ciri khas dari bangsa tertentu untuk mencirikan identitasnya,
dalam hal ini masyarakat Flores yang mengenakan kain tenun ikat juga
baju bercorak daerah saat acara keagamaan paskah di Larantuka, Flores.
d. Photoghenia
Dalam Photogenia, kita akan melihat foto dari segi teknik
pengambilannya. Pada pengambilan foto pertama ini menggunakan lensa
dengan diameter lebar pada focal length 10mm.15 biasanya pemilihan lensa
dengan diameter lebar dapat menimbulkan jarak antara fotografer dan
subyek yang difoto, namun dalam foto pertama terlihat fotogafer
memposisikan jarak yang dekat dengan subjek untuk mengambil foto
dalam ukuran medium shot. Dapat diketahui teknik ini mengambil gambar
dimana objek diambil secara lebih dekat untuk melihat gerakan
partisipannya, dan hubungannya dengan objek lain, serta lingkungannya.
medium shot menghasilkan kesan dramatis saat fotografer menangkap aksi
13 Linda Evirianti. Rosario Sana Perawan Maria:Pandangan Terhadap Simbol Doa
Rosario di Komunitas Seminarium Anging Mammiri Yogyakarta.( Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta 2014). Hal 5. 14 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta,Djambatan,1979) hal.
30. 15 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan.
82
atau gerakan objeknya16. Terlihat suasana dengan ekspresi yang natural
walaupun objek sangat dekat kepada fotografer dan kameranya. Dengan
begitu terlihat makna konotasi bahwa fotografer telah melakukan
pendekatan yang baik dengan subjek. Foto tersebut diambil dengan angle
atau sudut pandang eye level, di mana lensa kamera sejajar dengan objek
utama. Hal tersebut menunjukan bahwa fotografer ingin mensejajarkan
objek utama dengan pelihat foto. Berdasarkan pencahayaan yang terlihat
pada foto, penulis meyakini bahwa fotografer tidak menggunakan cahaya
tambahan seperti flash internal maupun eksternal pada kamera. Sebab
pencahayaan yang bersumber dari matahari dirasa sudah cukup menerangi
beberapa objek tersebut.17 Keadaan tersebut membuat fotografer dapat
menggunakan iso rendah, dengan kecepatan rana yang tinggi dan
diagfragma yang menyempit atau kecil menjadikan foto dengan detail yang
amat baik.
e. Aestheticism (estetika)
Komposisi merupakan susunan dari berbagai elemen atau objek
yang mempunyai dua sifat saling bertentangan, bisa “membangun” gambar
namun juga bisa mengacaukan gambar.18 Dalam foto pertama ini penulis
melihat adanya komposisi garis diagonal.19 Wanita paling belakang
(sebelah kiri dalam gambar) akan membentuk garis diagonal, jika ditarik
16 Kenneth Kobre, Photo Journalism: The Professionals Approach (Boston: Focal
Press,2004). Hal.13-16 17 Natural light atau pencahayaan matahari ialah pencahayaan yang menggunakan sinar
matahari sebagai sumber cahaya dalam pemotretan, fotografer harus benar benar memahami arah
datangnya sinar, teruntuk jika memotret objek manusia. Dilihat dari Ferry Darmawan, Dunia dalam
Bingkai,(Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009), hal.56. 18 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 168 19 Komposisi diagonal adalah komposisi fotografi yang objeknya terletak dari sudut gambar
sehingga terlihat membentuk silang pada gambar. Lihat Audy Mirza Alwi, hal. 50.
83
menggunakan garis imajiner sampai ke foto wanita paling depan (sebelah
kanan gambar). Sehingga menjelaskan bahwa wanita-wanita dalam foto
tersebut akan melangsungkan prosesi ritual keagamaan. Jika tergambar
dengan arah sebaliknya berarti wanita-wanita tersebut telah usai
melaksanakan prosesi keagamaan. Oleh karena itu komposisi diagonal ini
menggambarkan sebuah antrian untuk memasuki salah satu ritual
keagamaan.20 menunjukan makna konotasi bahwa beberapa wanita ini
bersabar dalam antrian dengan perlahan-perlahan melaju kedepan hanya
untuk menjalakan ajaran agama guna mencapai sebuah keinginan ataupun
mempertebal keyakinan yang mereka anut sejak kecil.
f. Sintaksis
Syntax merupakan pengamatan keseluruhan elemen dalam
penyajian suatu karya yang biasanya terdapat pada foto dan teks.21 Namun
dalam foto ini penulis tidak menemukan teks atau caption foto. Hanya saja
terdapat sebuah narasi yang secara garis besar meng gambarkan apa yang
telah ditangkap dan dimaksud oleh fotografer. Walaupun narasi tersebut
bukanlah ditujukan untuk menjelaskan secara literal apa yang ia maksud,
melainkan sisi lain sebab akibat atau latar belakang kenapa foto ini
dihasilkan. Oleh karena itu penulis lebih melihat susunan elemen yang
terdapat dalam foto pertama ini yang juga diperkuat dari hasil wawancara
fotografer yaitu sosok yang terlihat seperti pemimpin atau tokoh agama
sedang bersama umat beragama lainnya berbaris menunggu kapela tuan ma
20 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 21 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 168
84
dibuka untuk melaksanakan cium patung Tuan Ma (Bunda maria) yang
dibuka setahun sekali dihari kamis putih, bagian dari prosesi tradisi Paskah
Samana santa di Larantuka, Flores.22
3. Makna Mitos
Mitos yang tergambar dalam foto pertama ini ialah bagaimana budaya
hidup berdampingan dengan agama. tergambar dari objek foto wanita yang
menggunakan pakaian adat ketika melakukan prosesi keagamaan. Seringkali
budaya juga dibenturkan dengan agama. Namun nyatanya budaya dapat
berdampingan, bahkan mendukung dan dapat memperkaya prosesi keagamaan.
Budaya dalam pandangan antropologi sosial bisa diumpakan seperti sebuah
pakaian yang dipakai oleh sebuah masyarakat. Dalam kehidupan manusia,
agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri, keduanya memiliki hubungan
yang sangat erat dalam dialektikanya, selaras menciptakan dan kemudian saling
menegasikan.23
Tidak hanya itu, dalam foto ini juga terdapat kalung Rosario. Kalung
sering digunakan oleh masyarakat sebagai sebuah identitas. Dalam foto ini
identitas sebagai seorang Katolik ditunjukan dengan menggunakan kalung
Rosario, yang mana dalam kalung tersebut terdapat gambar bunda Maria di
dalam satu lingkaran dan Yesus yang tersalib. Mitos kalung Rosario juga
digunakan sebagai pembeda Katolik dengan Protestan. Jika pada Protestan,
22 Kapela Tuan Ma merupakan gereja yang terletak di kota Larantuka, Flores Timur, NTT.
Istilah kata Tuan Ma yang berartikan Bunda Maria merupakan sebuah patung yang berwujud Bunda
Maria atau Mater Dolorosa. Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di
Perpustakaan Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 23 Loade Montobauto, Persfektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan Masyarakat
Indonesia, Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Haluwoleo Kendari, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial,
Volume 23, No. 2, Edisi Desember 2014, Hal,24.
85
kalung salib ditunjukan tanpa adanya gambar bunda Maria dan Yesus yang
tersalib.24 Selain itu, mitos yang berkembang di masyarakat beranggapan bahwa
kalung rosario atau kalung berlambang salib tersebut juga dapat mengusir atau
menjauhkan pribadi seseorang dari roh-roh jahat atau alam gaib.
Mitos lainnya yang terkandung dalam foto pertama ini adalah
bagaimana orangtua atau sesepuh berperan besar dalam prosesi keagamaan.
Mitos yang berkembang di masyarakat adalah orangtua atau sesepuh menjadi
pintu gerbang seseorang dan masyarakat dalam menjalani prosesi keagamaan.
Agama, sering kali menjadi pelajaran pertama yang diberikan orangtua kepada
anaknya, atau seperti sesepuh kepada orang yang lebih muda. Sehingga prosesi
keagamaan seorang anak sangat lekat dengan pengetahuan agama orangtuanya.
Jika orangtua sudah mempunyai pengetahuan agama yang baik, otomatis
anaknya akan mendapat pelajaran-pelajaran agama dari orangtuanya. Peran
orangtua sangat penting dalam membentuk perilaku dan kepribadian generasi
di bawahnya. Memberikan sosialiasi tentang ketaatan beragama, sehingga
generasi di bawahnya dapat mengetahui adanya norma dan nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat, kemudian dengan menanamkan nilai dan norma
tersebut, generasi di bawahnya dapat menerapkan nilai dan norma-norma
tersebut dalam bermasyarakat, itulah salah satu fungsi orangtua.25
Dengan demikian kesimpulan yang ditarik dari beberapa mitos yang
tergambar pada foto pertama ini ialah agama tidak mungkin masuk dalam ruang
24 Markus Hildebrandt Rambe, Penuntun Simbol-Simbol Ibadah Kristen,(Jurnal STT Intim
Makassar Edisi Khusus 2004) hal 26. 25 Nur Tiara Sinta, Peranan Orang Tua dalam Mensosialisasikan Nilai Agama Remaja
Muslim, Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau Pekanbaru. JOM
FISIP Vol.3 No.1-Februari 2016. Hal, 11.
86
hampa, agama hadir bersama dengan kebudayaan yang melatari tumbuhnya
agama.
B. Analisis Data Foto 2
Secara umum foto ini menggambarkan seseorang yang sedang melakukan
ritual/peribadatan yang terepresentasikan melalui simbol-simbol yang tergambar.
Untuk menguji dugaan awal tersebut, penulis akan memberikan analisa sebagai
berikut:
Gambar 2 . Foto Kedua
Sumber: File data Original Flores Revisited
1. Makna Denotasi
Dalam foto ini terlihat seorang perempuan mengenakan kerudung
berwarna biru sedang menunduk dengan tangan kanan di dada. Di depannya
87
terdapat tiga buah patung.26 Patung pertama nampak terlihat lelaki, sedangkan
yang kedua seorang perempuan dengan tudung dikepala, dan yang ketiga anak
kecil. Dalam foto ini terlihat pencahayaan yang amat minim.
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Pada foto kedua ini juga tidak mengandung trick effect atau
mengubah keaslian foto saat dijepret dari kamera. Penulis meyakini tidak
ada elemen yang dihilangkan apalagi diganti atau digabungkan menjadi satu
dalam foto tersebut. Hal itu sangat jelas karena foto esai merupakan sebuah
karya fotografi sebagai suatu cerita dalam bentuk teks bahasa gambar yang
menampilkan suatu masalah lebih dari satu foto dengan bahasa visual yang
berkesinambungan antara foto yang satu dengan lainnya, sehingga lebih
memunculkan keutuhan cerita dan detail pada setiap gambarnya.27 Namun
penulis merasa sentuhan editing dalam batas yang normal dengan tujuan
mengatur kontras warna yang lebih baik juga dapat dilakukan pada foto 2
ini, dengan tujuan keindahan visual semata tanpa mengubah foto atau
gambar yang sebenarnya.
b. Pose
Pada foto kedua ini terlihat gesture seorang wanita yang sedang
menundukan kepala dengan sebelah tangan kanan di dada. Di depannya
26 Patung tersebut merupakan attribute keagamaan yang dikeluarkan saat berlangsungnya
tradisi arak-arakan patung Bunda Maria di sepanjang jalan kota Larantuka, Flores. Pada saat
berlangsungnya tradisi tersebut, rumah yang dilalui arak-arakan tersebut dianjurkan mengeluarkan
attribute keagamaan mereka dalam bentuk apapun. Hal tersebut dikatakan oleh fotografer dalam
Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan Panna Institute,
Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 27 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, hal. 9.
88
terdapat sebuah patung yang merupakan simbol agama katolik.28 Sikap
tubuh yang menunduk tersebut menunjukan rasa berserah diri dan patuh.
Sementara tangan yang diletakkan di dada dapat berarti sebuah
penghormatan. Dengan maksud dalam foto kedua ini seseorang wanita yang
sudah berserah diri sekaligus memberikan penghormatan kepada sesuatu
yang dirasa lebih tinggi nilainya. Di sini, sesuatu yang dirasa lebih tinggi
nilainya yakni Tuhan Yesus, dimana Tuhan Yesus sendiri di wujudkan
dengan patung anak kecil yang terdapat di depan wanita tersebut.
Penulis melihat pose atau gesture tubuh pada foto kedua ini terdapat
keunikan. Terlihat adanya kesamaan pose yang ditampilkan oleh wanita
berkerudung dengan patung Bunda Maria yang juga mengenakan tudung
kepala. Mereka terlihat seolah olah melakukan hal yang sama dengan kepala
menunduk dan tangan yang seakan akan berada di dada. Tidak hanya itu,
secara keseluruhan visual, patung lainnya juga mengarahkan pandangannya
ke arah bawah. Hal tersebut dalam persepsi visual gestalt dikategorikan
sebagai Similarity (kesamaan bentuk) karena objek manusia dengan patung
tersebut terlihat seragam atau melakukan kegiatan yang sama.29
28 Patung tersebut ialah Bunda Maria, Yesus (saat masih kecil), dan Yossef. Bunda maria
sebagai "Bunda Allah," atau lebih harafiah lagi "Yang Melahirkan Allah." Makna Teologis yang
terkandung dalam gelar ini adalah bahwa putera Maria, Yesus, adalah sepenuhnya Allah dan
sepenuhnya manusia, dan bahwa dua sifat Yesus (Illahi dan insani) dipersatukan dalam satu Pribadi
tunggal. Yossef atau lebih tepatnya santo yussuf adalah suami maria yang akhirnya turut
mebesarkan putra roh kudus yang dilahirkan oleh maria. https://id.wikipedia.org/wiki/Maria,
diakses pada 29 mei 2017. 29 Teori gestalt merupakan sebuah istilah psikologi yang dikembangkan pada tahun 1920an.
Pada dasarnya Gestalt memandang atau memahami sebuah objek sebagai satu kesatuan. Otak
manusia secara otomatis dan tanpa sadar akan menyusun dan mengurutkan objek objek yang terlihat
oleh mata. Dalam fotografi, teori ini dipakai untuk menyusun beberapa elemen visual yang
tergambar menjadi satu kesatuan yang saling berhubungan.
http://psycnet.apa.org/journals/bul/138/6/1172/ diakses pada 29 mei 2017.
89
c. Objek
Terdapat beberapa objek dalam foto kedua ini yaitu patung Bunda
maria bersama anak kecil yang diyakini bahwa itu Yesus, juga Joseef suami
Bunda Maria. Lalu yang terakhir seorang wanita mengenakan kerudung
berwarna biru sedang menundukan kepala dengan tangan kanan di dada.
Figure atau point of interest pada foto kedua ini terdapat pada sosok wanita
berkerudung yang menundukan kepalanya. Penulis melihat pada foto kedua
ini sosok wanita berkerudung tersebut ialah umat yang sedang khidmat
melakukan ritual peribadatan atau menyembah Tuhannya. Terlihat pada
objek tiga buah patung tepat didepannya yang menjadi simbol ketuhanan
umat Kristen. Tidak hanya itu, pada objek manusia yang ada pada foto
kedua terlihat mengenakan kerudung berwana biru dengan corak atau motif
pada bagian lehernya menunjukan sebuah penyampaian pesan sosial dan
budaya dalam tingkat religus seseorang bahwa mengenakan kerudung
sebagai penutup kepala mengartikan sisi keperempuanan dan kesalehan
seseorang dalam melakukan peribadatan.30
d. Photoghenia
Teknis pada pengambilan foto ke 2 ini menggunakan lensa dengan
diameter lebar namun digunakan pada focal length 10mm, untuk mengambil
foto pada ukuran Close-Up. Teknik ini lebih menekankan pada ekspresi
objek atau bagian-bagian kecil dari objek tersebut untuk menarik empati
dari penikmat foto.31 Hal lainnya foto tersebut diambil dengan angle atau
30 Fadwa El Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan,
(Jakarta:serambi,2006),hal.167. 31 Kenneth kobre. Photo Journalism: The Professionals Approach (Boston: Focal
Press,2004). Hal 13-16
90
sudut pandang high angle, dimana lensa kamera berada sedikit di atas dari
beberapa elemen yang ada. Jika foto dengan low angle dipakai untuk
meninggikan sesuatu seperti sosok, foto high angle akan mengungkapkan
sebaliknya.32 Di sini penulis meyakini bahwa maksud fotografer mengambil
high angle bermaksudkan untuk menaruh objek simbol Tuhan sedikit di atas
wanita berkerudung, dengan maksud mengungkapkan tentang kecilnya
manusia dimata Tuhannya, tentang apa yang diperbuat sebagaimana
manusia yaitu dengan kebesaran Tuhannya. Fotografer tidak menggunakan
cahaya tambahan seperti flash internal maupun eksternal, satu satunya
sumber pencahayaan bersumber dari lilin.33 Hal tersebut mengakibatkan
hanya sedikit cahaya yang menerangi objek, sehingga menimbukan kesan
gelap. Kesan gelap tersebut memang sengaja ingin ditunjukan oleh
fotografer dengan maksud adanya sebuah ketenangan dan kesunyian pada
saat seseorang melakukan ritual peribadatan.34
e. Aestheticism (estetika)
Dari segi estetika, foto kedua menggunakan metode framing.
Framing merupakan suatu tahapan dimana fotografer membingkai suatu
detil peristiwa.35 Seperti yang terlihat pada foto kedua, fotografer
memframing objek utama dengan patung. Menunjukan makna konotasi
bahwa wanita tersebut ialah umat beragama yang melakukan sebuah
32 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa hal. 46. 33 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 34 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 35 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa), hal. 46.
91
komunikasi atau berdoa kepada simbol patung yang menjadi simbol
kepercayaan umat Katolik. Dalam persepsi visual gestalt juga dikatakan
sebagai figure and ground yang berarti fotografer memandang setiap bidang
pengamatan dapat dibagi menjadi dua yaitu figure (bentuk) dan ground
(latar belakang).36 Prinsip figure and ground ini menggambarkan bahwa
fotografer secara sengaja maupun tidak, akan memilih serangkaian stimulus
untuk menentukan mana yang dianggap sebagai figure dan mana yang
dianggap sebagai ground. Dalam hal ini penulis melihat figure tersebut ialah
patung yang menjadi simbol umat katolik dan groundnya ialah wanita
berkerudung yaitu umat beragama. Menunjukan makna konotasi bahwa
patung tersebut merupakan landasan wanita tersebut melakukan sebuah
ritual beribadah.
Tidak hanya itu, dalam foto 2 estetika yang ditangkap ialah warna
orange/warm yang menjadi visual yang sangat tampak bagi penulis.37
Warna tersebut sangat menggambarkan visual penulis akan khidmadnya
suasana dalam foto 2 ini dengan adanya umat beragama yang sedang
melakukan ritual beribadah.
f. Sintaksis
Sama halnya dengan data foto satu, dalam foto kedua ini tidak
terdapat caption yang menjelaskan atau mengubungkan sebuah gambar
kepada teks atau caption. Hanya saja terdapat sebuah narasi yang secara
36 Gestalt Theory http://psycnet.apa.org/journals/bul/138/6/1172/ diakses pada 29 mei
2017. 37 Arum Akminanti Simbolisasi Filosofi Perusahaan Melalui Logo Pada PT. Pertamina
Persero, Ejournal Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman,
Volume 1, Nomor 1, 2013, hal. 5.
92
garis besar menggambarkan apa yang telah ditangkap dan dimaksud oleh
fotografer. Walaupun narasi tersebut bukanlah ditujukan untuk menjelaskan
secara literal apa yang ia maksud, melainkan sisi lain sebab akibat atau latar
belakang kenapa foto ini dihasilkan. Oleh karena itu penulis lebih melihat
beberapa elemen yang terdapat dalam foto kedua ini yang juga diperkuat
dari hasil wawancara fotografer yaitu seorang perempuan berkerudung
melakukan komunikasi atau berdoa pada salah satu rentetan acara paskah
yang dilakukan di larantuka, Flores.38 Penulis menduga ada maksud lain
dalam penggambaran di foto kedua ini dari fotografer jika dilihat dari narasi
yang tertulis. Penulis berpendapat bahwa makna perempuan berkerudung
yang sedang beribadah ini merupakan penggambaran dari teks yang
diungkapkan pada narasi
“Sejak kecil dia sudah biasa menghadapi perbedaan dan alienasi.
Di rumah ibunya beragama khonghucu-yang dulu masih dilarang
oleh pemerintah. Di sekolah, ia sempat belajar islam dan katolik
dan akhirnya dibaptis ketika kuliah”.39
Dalam teks yang tertulis menjelaskan bahwa pengalaman-
pengalaman fotografer terhadap agama yang telah dipelajari membuat
penggambaran kerudung yang dikenakan wanita dalam foto 2 bukan hanya
sebagai agama katolik saja, namun terdapat pemahaman tentang agama lain
seperti agama islam yang juga menggunakan kerudung sebagai penutup
kepala untuk melakukan ibadah.
38 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan 39 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”,(Yayasan
Jakarta Biennale,2015), hal. 196.
93
3. Makna Mitos
Mitos yang terkandung dalam foto ke dua ini adalah gambaran tentang
Tuhan dalam agama Kristen. Tuhan dalam agama Kristen digambarkan pada
sosok Yesus Kristus. Umat kristiani mengenal penggambaran sosok Yesus
sebagai satu Allah dengan tiga pribadi yaitu Allah bapa yang menciptakan,
yang menjelma dalam Allah putera, dan hadir dalam spirit Allah roh kudus.40
Namun, dalam agama Katolik, tidak hanya sosok Yesus yang diagungkan,
sosok Bunda Maria yang merupakan ibu dari Yesus juga sangat diagungkan
dalam agama Katolik. Bagi umat katolik perawan Maria mendapatkan status
yang jauh lebih mulia, bukan hanya sekadar ibu yesus, karena ia mengandung
yesus secara adikodrati dengan perantara roh kudus, dan tetap perawan sampai
akhir hidupnya, yang diangkat ke surga dengan jiwa dan raganya tanpa
mengalami kematian badan, dan yang sekarang sangat dekat dengan allah
sehingga ia mampu menyampaikan kebutuhan semua umat manusia yang
masih hidup di dunia.41 Dalam agama Katolik pengkultusan Bunda Maria juga
sering disebut dengan Devosi Maria. Devosi Maria merupakan sikap bakti yang
berupa penyerahan seluruh pribadi kepada allah dan kehendaknya sebagai
perwujudan cinta kasih atau kebaktian khusus kepada berbagai misteri iman
yang dikaitkan dengan pribadi tertentu.42
40 Dwi Retno Palupi, Analisis Tanda Visual Kesucian Melalui Pendekatan Semiotik: Studi
Kasus Kartu Imlek, Natal Dan Idul Fitri, Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol.3
No.1 Tahun 2011. Hal.27 41 Dwi Retno Palupi, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol.3 No.1 Tahun 2011.
Hal.29 42 Nirma Riyanti, Pengaruh Perarakan Lilin Dalam Ekaristi Bunda Maria Terhadap Umat
Islam Desa Panjang Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang, (Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo, Semarang 2012). Hal, 22
94
C. Analisis Data Foto 3
Secara umum foto ini menggambarkan budaya dan tradisi yang dilakukan
masyarakat Flores, tepatnya ziarah makam. dapat dilihat dari apa yang terdapat
pada gambar yaitu ornament/alat sebagai medium yang memang sering digunakan
pada upacara maupun ritual keagamaan. Untuk menguji dugaan awal tersebut,
penulis akan memberikan analisa sebagai berikut:
Gambar 3 . Foto Ketiga
Sumber: File data Original Flores Revisited
1. Makna Denotasi
Foto ketiga ini diambil dengan nuansa yang gelap. Terlihat beberapa
lilin yang menyala di atas bangunan makam. Di sekitar lilin tersebut juga
95
terdapat taburan bunga, kembang dan “conffeti”43. Selain itu terlihat pula
beberapa lilin yang telah mati dan mencair.
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Pada foto ketiga ini juga tidak terdapat trick effect atau manipulasi
gambar. Sudah jelas seperti yang dikatakan pada foto-foto sebelumnya
dalam trick effect ini bahwa pada foto jurnalistik tidak diperbolehkan
merubah atau menambahkan elemen ke dalam foto (olah digital) hingga
merubah keaslian informasi pada foto tersebut.44
Namun dalam wawancara dengan Ng Swan Ti, beliau menjelaskan
bahwa foto ketiga ini telah melewati proses editing, seperti penyesuaian
gelap dan terang, perbaikan kontras gambar dan keselarasan warna. Editing
tersebut dimaksudkan untuk kebutuhan visual atau estetika pada foto,
sehingga pelihat foto akan menemukan kenyamanan hingga merasakan
emosi atau ekspresi pada gambar ketika sedang melihat sebuah foto.45
Karya foto sebagai komunikasi visual merujuk pada rekonstruksi atas
realitas, yang berarti penggambaran kembali realitas yang terjadi.46 Dengan
demikian fotografer perlu menyajikan suatu cerita dengan estetika yang
43 Confetti adalah beragam potongan kertas, milar atau bahan logam. Confetti dibuat dalam
bentuk imajinatif. Terdapat perbedaan antara confetti dan glitter, glitter lebih kecil dari confetti
dengan potongan dibawah 1mm. confetti pada umumnya digunakan pada pertemuan social seperti
pesta, pernikahan, namun dianggap tabu pada saat pemakaman walaupun ada dari banyaknya
pemakaian confetti pada umumnya.(https://id.m.Wikipedia.org/wiki/Conffeti) diakses pada 20 juni
2017. 44 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa. hal. 9. 45 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 46 Seno Gumira Ajidarma Kisah Mata, Fotografi antara Dua subjek:Perbincangan tentang
Ada, (Yogyakarta:Galang Press, 2002), hal.13.
96
baik pada gambar sehingga akan membuat rasa foto tersampaikan dengan
baik.
b. Pose
Pose dapat dipahami sebagai gesture (sikap tubuh) ataupun gaya.
Pose seringkali mudah ditemukan dalam foto yang berisi objek manusia
atau hewan. Sedangkan dalam foto dengan objek pemandangan atau benda
akan sulit menemukan pose di dalamnya.47 Sebab, pemandangan alam atau
benda yang menjadi objek foto tidak terdapat unsur gaya dan ekspresi.
Namun penulis meyakini bahwa dalam sebuah benda juga memiliki pose
yang mesti dijabarkan. Seperti yang dinyatakan dalam Kisah Mata
Senogumira Ajidarma
“Seorang fotografer melihat dan memotret pohon, pada saat ia
memandang hasil fotonya, ia bukan seorang fotografer lagi. Bila
sebagai fotografer ia adalah subjek-yang-memotret, ketika
memandang fotonya sendiri ia menjadi subjek-yang-memandang.
Pohon dan foto tentang pohon adalah dua hal yang sangat berbeda,
yang menentukan posisi Da-sein di hadapannya. Subyek-yang-
Memotret akan berkemungkinan menghadapi sesama Da-sein,
benda-benda, bahkan mungkin juga foto-foto tentang Da-sein
maupun benda-benda, yang semua itu akan segera dan kemudian
telah dipotretnya. Sesama Da-sein, benda-benda, bahkan foto-foto,
dalam posisinya sebagai fotografer adalah obyek yang dipotretnya.
Perbedaan obyek-obyek foto itu, bahwa Da-sein berkesadaran dan
benda-benda tidak, menjadikan posisinya lebih kompleks.
Sedangkan Subyek-yang-Memandang sudah pasti hanya
memandang satu jenis obyek saja, yakni foto, yang harus dibaca
sebagai karya manusia".48
Dengan kata lain, foto-foto bagi pemandangnya diandaikan sebagai
subyek, yang selalu diterima sebagai mengatakan sesuatu. Tetapi foto-foto
adalah benda mati, subyek yang memandang atau penulis dalam hal ini
47 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 163. 48 Seno Gumira Ajidarma Kisah Mata, Fotografi antara Dua subjek:Perbincangan tentang
Ada. hal.55.
97
harus membahasakannya, jika subyek yang memotret harus membendakan
makna-makna ke dalam wujud foto tersebut. Maka subyek yang
memandang harus mengurai makna-makna dari benda foto tersebut. Seperti
dalam foto ketiga ini terlihat beberapa lilin yang menyala berdiri dan
diletakan sejajar di tepi makam. Dari berdirinya lilin tersebut menunjukan
adanya sebuah sikap ataupun ungkapan penghormatan secara nonverbal
yang ditujukan kepada yang telah mati(meninggal). Jika lilin dalam keadaan
tidak berdiri atau terjatuh maka makna penghormatan tersebut akan hilang.
Dalam hal ini Spencer dalam karyanya yang berjudul Principle of Sociology
menyebutnya sebagai praktik penghormatan yang berasumsikan bahwa
“Di dalam orang-orang ini, kita menemukan hampir semua
masyarakat manusia percaya akan “aku” yang lain dari seseorang
yang telah mati dan yakin bahwa ia -”aku” yang lain itu- hidup
terus untuk sebuah jangka waktu yang lama sesudah kematian”.49
Dengan demikian dapat dipahami lilin yang berdiri menyala di atas
makam menjadi mediasi untuk sebuah ungkapan kepedulian atau rasa
hormat yang menggambarkan walaupun “mereka” ada dalam suasana dan
tempat yang terpisah namun tetap dalam hubungan yang saling
memperhatikan.
c. Objek
Terdapat beberapa objek dalam foto ketiga ini yaitu jajaran lilin
yang menyala, taburan bunga, potongan-potongan kecil kertas berwarna
perak (confetti) dan beberapa lilin yang telah meleleh. Figure atau point of
interest pada foto kedua ini terdapat pada jajaran lilin yang menyala di atas
49 Norman Mesker Nenohai. “Bakar Lilin” di Makam;Studi Tentang Pandangan Suku
“Atoni” di Kefamananu Mengenai Ritus “Bakar Lilin” di Makam dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya, (Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2014). Hal. 13.
98
tepi pembatas kuburan. Karena lilin tersebut mewakili gambaran dari
keseluruhan objek yang ada pada gambar, dengan adanya objek tambahan
seperti taburan bunga dan conffety tersebut tergambar adanya praktik atau
ritual keagamaan yang telah dilakukan. Jajaran lilin yang menyala tersebut
menunjukan sedang berlangsungnya prosesi keagamaan, bahkan
menunjukan waktu prosesi yang tidak sebentar, terlihat dari beberapa lilin
yang padam. Tidak hanya itu, gerakan lilin seperti tertiup angin memberikan
kesan bahwa adanya gangguan atau goncangan-goncangan dalam
kehidupan. Gerakan lilin yang dinamis memberikan arti bahwa hidup
memiliki siklus kehidupan yang tidak statis atau begitu saja. Api lilin yang
menyala ketika membakar sumbu dan badannya menunjukan bahwa sifat
lilin ini lalu memberikan makna pengorbanan akan diri sendiri untuk dapat
menciptakan terang.
Dalam agama Kristen simbol lilin memang sering dipakai dalam
ritual atau peribadatan hingga saat ini, yang memaknai sebagai cahaya
kebangkitan Yesus dan keyakinan bahwa Yesus telah mengalahkan
kegelapan dari dosa dan kematian50.
Objek lainnya seperti taburan bunga merupakan perlambang kasih
atau duka terhadap yang ditinggalkan. Confetti yang terdapat di kuburan
sebetulnya dianggap tabu jika dipakai dalam prosesi pemakaman, karena
fungsi dari confetti sendiri untuk sebuah perayaan atas kesuksesan atau
kemenangan51. Namun dalam hal ini penulis meyakini kehadiran Confetti
50 Markus Hildebrandt Rambe, Penuntun Simbol-Simbol Ibadah Kristen,(Jurnal STT Intim
Makassar Edisi Khusus 2004) hal 26. 51 https://id.wikipedia.org/wiki/Confetti diakses pada 28 maret 2017
99
tersebut sebagai wujud ucapan selamat karena yang meninggal sudah
berada dalam kasih sayang yesus.
d. Photogenia
Pada foto ketiga, foto diambil pada focal length 13mm digital zoom
sehingga foto diambil dalam ukuran Close-Up. teknik ini lebih menekankan
pada ekspresi objek atau bagian-bagian kecil dari objek tersebut untuk
menarik empati dari penikmat foto.52 Pengambilan gambar menggunakan
angle atau sudut pandang high angle dengan sudut pengambilan gambar di
atas objek. Foto ketiga ini diambil dengan ruang tajam luas sehingga
detailnya amat jelas, penulis meyakini bahwa sang fotografer memilih untuk
memakai ruang tajam yang luas karena ingin menampilkan objek-objek
kecil yang ada pada sekitar gambar seperti confetti dan taburan bunga pada
sekeliling POI. Dengan penggunaan ruang tajam luas, fotografer ingin
menunjukan secara detail bahwasanya benda-benda tersebut merupakan
bagian dari budaya dalam setiap tradisi keagamaan terutama pada agama
Katolik.53
Untuk pencahayaan, fotografer tidak menggunakan cahaya
tambahan seperti flash internal maupun eksternal sehingga membuat foto
terlihat sedikit gelap. Satu satunya sumber cahaya yang ada di foto ketiga
ini berasal dari lilin. Hal tersebut sengaja dilakukan fotografer untuk
menunjukan kesan dramatis dalam melakukan ziarah kubur.54
52 Kenneth kobre. Photo Journalism: The Professionals Approach (Boston: Focal
Press,2004). Hal 13-16 53 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 54 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan.
100
e. Aestheticism (estetika)
Dalam foto ketiga, terdapat dimensi ruang pandang yang seimbang
dan proporsi. Hal tersebut dapat dilihat dari barisan lilin yang berada tepat
di tengah frame, sehingga menimbulkan kesan visual yang tenang dan
damai.55 Selain itu, pada foto ketiga ini terdapat elemen pola yang tidak
beraturan dan garis imajiner. terlihat dari lilin yang dikelilingi oleh bunga
dan “confetti” yang ditaburkan secara acak. Pola tersebut secara tidak
langsung mengarahkan pandangan pelihat foto untuk langsung
memperhatikan objek utama yaitu lilin. lilin yang berbaris menarik mata
penulis untuk melihat lilin yang paling atas ke yang paling bawah. Lilin
yang menyala di sini seolah-olah menunjukan waktu kehidupan manusia di
dunia yang akan habis, seiring dengan matinya cahaya pada lilin tersebut.
f. Sintaksis
Syntax merupakan pengamatan keseluruhan elemen dalam
penyajian suatu karya yang biasanya terdapat pada foto dan teks.56 Namun
dalam foto ini penulis tidak menemukan teks atau caption foto, hanya saja
terdapat sebuah narasi yang secara garis besar menggambarkan apa yang
telah ditangkap dan dimaksud oleh fotografer. Oleh karena itu penulis lebih
melihat pada beberapa elemen yang terdapat dalam foto ini yang juga
diperkuat dari hasil wawancara fotografer. Dalam foto ketiga ini ditarik
kesimpulan bahwa foto ini menggambarkan sebuah tradisi ziarah makam
yang dilakukan pada saat penyambutan hari Paskah oleh masyarakat
55 Ferry Darmawan, Dunia dalam Bingkai,(Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009), hal.74. 56 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 165.
101
Larantuka, Flores.57 Dimana gambar tersebut menampilkan beberapa lilin
dan taburan bunga-bunga yang memang dalam sebuah upacara keagamaan
diperlukan untuk menyimbolkan rasa hormat, kasih, duka dan harapan
dalam sasuatu yang dipercayai dan dijalani dalam kehidupan yaitu agama.
3. Makna Mitos
Mitos yang terkandung dalam foto ketiga ini ialah penggambaran
sebuah budaya dan tradisi dalam melaksanakan ritual ritual keagamaan.
Penggambaran yang menunjukan adanya tradisi ziarah makam yang
didalamnya terdapat ritual menabur bunga dan ritual menaruh lilin di atas
kuburan sangat identik dengan sebuah tradisi yang ada di Indonesia. Dapat kita
ketahui bersama bahwa dalam budaya Indonesia ketika masyarakat datang
berbondong-bondong untuk melakukan ziarah makam, maka ada sesuatu yang
dibawa sebagai sesuatu medium untuk penyampaian rasa peduli atau
penghormatan seperti bunga bunga untuk ditaburkan di atas makam, dan ada
pula pada masyarakat agama Kristen membawa lilin yang juga merupakan
medium sebagai penyampai pesan, seperti yang penulis sebutkan dalam
konotasi. Berangkat dari hal-hal tersebut, jika ada penggambaran tentang ziarah
makam yang didalamnya terdapat ritual- ritual seperti menabur bunga atau
menaruh lilin adalah penggambaran budaya dan tradisi yang dimiliki suatu
entitas kelompok dan masyarakat agama. tidak sampai disitu, alat alat dalam
tradisi tersebut yang merupakan sosok mitos yang paling kuat dan penulis
maksud, karena merupakan medium yang memang sering digunakan untuk
57 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan.
102
penyampaian secara nonverbal dalam sebuah kejadian, tradisi, dan upacara
upacara/ritual keagamaan.
Sejarah mencatat penggunaan lilin dalam tradisi upacara atau ritual
peribadatan.58 Pada Romawi Kuno sebuah festival bernama Saturnalia. Festival
itu biasanya dilakukan setiap tanggal 17 desember menurut penanggalan Julian.
Hari itu seluruh masyarakat libur dari rutinitas biasanya. Perayaan diawali
dengan pengorbanan di kuil Saturnus. Ada pula perjamuan publik dan diakhiri
tukar kado. Namun tukar kado dalam hal ini lebih dimaknai dengan lilin yang
di gunakan sebagai simbol perubahan sikap dari masyarakat yang saling
memberi hadiah. Ada dua lilin dalam Saturnalia, pertama lilin putih yang
bernama Cerei dan topeng lilin yang bernama Sigillarie. Kedua lilin tersebut
secara keseluruhan dimaknai sebagai penghormatan. Festival tersebut
berlangsung hingga 23 desember dengan keseluruhan rangkaian acara yang
menggunakan lilin sebagai mediumnya. Menurut anggapan mereka festival ini
juga dimaknakan sebagai festival cahaya karena mengantarkan masyarakat
romawi dari musim matahari atau panas ke musim dingin. Matahari
direpresentasikan dengan cahaya lilin tersebut. Hal lainnya lilin dijadikan
simbol untuk pengetahuan dan kejujuran. Ritual tersebut dilakukan bertahun-
tahun dan terbawa sampai masa Kristen tiba.
Ritual serupa juga terjadi di Persia. Konon, masyarakat disana
percaya bahwa 25 Desember adalah hari pengorbanan dimana dewa matahari
mereka dilahirkan. Mereka memperingatinya sebagai kebruntungan di masa-
58 Mustafa, Freddy Yusanto, dan Nugroho Catur. Membongkar Makna Lilin Dalam Iklan
“Greeting AirAsia Bela Sungkawa” Oleh Kompas Gramedia, Prodi SI Ilmu Komunikasi, Fakultas
Komunikasi dan Bisnis, Universitas Telkom. Hal, 317
103
masa yang dipenuhi kegelapan. Lilin merah dan putih dinyalakan sebagai
penghormatan untuk dewa mereka. Lilin merah merepresentasikan matahari
dan lilin putih untuk bulan. Sebanyak 14(empat belas) lilin, 7(tujuh) merah dan
7(tujuh) putih, ditata rapih di altar.
Tradisi lainnya lilin juga digunakan pada upacara Natal kaum Pagan.
Mereka merayakan kelahiran kembali cahaya ditengah musim dingin.
Dipercaya, hari itu penguasa bumi akan memberi harapan baru, berupa cahaya
yang diwujudkan lewat lilin. Kemudian saat agama Kristen menyebar, beberapa
simbolisasi dari ritual-ritual yang disebut di atas diserap. Salah satunya
penggunaan lilin pada abad pertengahan, dimana sebuah lilin besar dinyalakan
sebagai representasi bintang Betlehem. Mereka juga meletakan lilin pada pohon
natal, sebagai petunjuk jalan bagi 3(tiga) orang bijaksana untuk menemukan
tujuannya. Lilin besar juga dijadikan simbol Kristus, diletakan di tengah
rangkaian bunga dan tetap dinyalakan sepanjang malam yang suci.
Tidak cukup sampai disitu, simbolisasinya masih digunakan hingga saat
ini dan berfungsi berbagai macam. Lilin yang diletakan di tepi jendela,
mengindikasikan tempat yang aman bagi pendeta untuk berceramah pada
jamaah di irlandia. Hingga saat ini tradisi itu dibawa sampai ke Amerika.
Pada tradisi Candlelight Vigil lilin menunjukkan dukungan. Sebuah
upacara atau ritual yang dilakukan di luar tidak didalam ruangan dengan masa
yang banyak setelah matahari terbenam. Kegiatan tersebut untuk menunjukan
dukungan seperti penderitaan, mengenang seseorang, sebuah tragedi sebagai
bentuk belasungkawa atau penghormatan.
104
Di Inggris lilin biasanya dibawa oleh penyanyi gereja sebagai simbol
atas kristus tradisi itu juga menyebar keseluruh dunia. Kini, ada banyak upacara
ataupun ritual peribadatan yang masih menggunakan lilin sebagai attribute
pentingnya.
Seperti halnya di Indonesia saat ini, pada masyarakat agama Kristen lilin
digunakan sebagai pembawa cahaya yang paling mulia karena selain menerangi
lilin juga mengorbankan diri dengan meleleh dan bahkan lilin didefinisikan
sebagai lambang kristus karena kristus memberikan terang kepada dunia
dengan cara mengorbankan dirinya.59 Pada agama Tao, lilin digunakan sebagai
persembahan untuk penghormatan pada leluhur yang telah meninggal. Lilin
juga digunakan untuk hal yang sama yaitu sebagai penghormatan kepada
leluhur di agama Budha juga Hindu.60
Dari penjelasan di atas secara keseluruhan mitos lilin yang merupakan
sebuah benda yang sering digunakan dalam berbagai kegiatan upacara dan
tradisi dari berbagai belahan di dunia.
59 Dwi Retno Palupi, Analisis Tanda Visual Kesucian Melalui Pendekatan Semiotik: Studi
Kasus Kartu Imlek, Natal Dan Idul Fitri, Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol.3
No.1 Tahun 2011. Hal.39 60 https://id.wikipedia.org/wiki/Penghormatan_leluhur_dalam_budaya_Tionghoa diakses
pada 10 mei 2017.
105
D. Analisis Data Foto 4
Secara umum foto ini menggambarkan simbol atau perlambangan yang
merupakan sosok ketuhanan agama kristiani. Untuk menguji dugaan awal tersebut,
penulis akan memberikan analisa sebagai berikut:
Gambar 4 . Foto Keempat
Sumber: File data Original Flores Revisited
1. Makna Denotasi
Pada foto ke empat terlihat sebuah kayu salib dengan patung yang pecah
pada bagian kepala, namun terlihat utuh pada bagian tangan kanannya. Terlihat
adanya goresan berwarna merah di telapak tangan patung tersebut. Selain itu,
di dalam foto juga terlihat bunga kamboja yang berada di sisi kanan patung
tersebut.
106
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Pada foto keempat ini juga tidak terlihat adanya manipulasi gambar
atau trick effect. Penulis melihat tidak ada yang janggal dalam foto tersebut,
dengan maksud perpaduan warna yang normal dan elemen yang ada juga
tidak terlalu banyak, sehingga membuat penulis meyakini bahwa perbuatan
seperti olah digital sangat tidak mungkin. Namun berdasarkan wawancara
yang telah dilakukan, dalam foto ini sudah melalui beberapa tahap Editing,
yaitu: Pertama, foto diambil menggunakan format 1:1 dengan menggunakan
file berbentuk Raw File61. Dalam hal ini untuk mengubah kembali format
menjadi jpeg dan me-resize file keperluan cetak atau publikasi lainnya,
fotografer menggunakan aplikasi editing yang ada pada sebuah perangkat.
Kedua, untuk kebutuhan estetika visual maka dilakukan editing. Dalam hal
ini fotografer hanya melakukan perbaikan kontras dan keselarasan warna
tanpa mengubah informasi yang ada.62
Tahap-tahap tersebut dapat dikatakan sebagai editing bukan
merupakan olah digital yang dalam perbuatannya yaitu mengubah posisi
foto, menambahkan elemen pada foto atau mengganti elemen yang
sebelumnya tergambarkan. Menurut penulis editing tersebut merupakan hal
61 RAW FILE merupakan gambar yang belum diproses, atau belum berkembang, apa
adanya, seperti foto negatif. Biasanya, gambar diproses oleh konverter mentah dalam ruang warna
internal yang luas, dimana penyesuaian yang tepat dapat dilakukan sebelum beralih ke format file
"positif" seperti TIFF atau JPEG untuk penyimpanan, pencetakan, atau manipulasi lebih lanjut. Ini
sering mengkodekan gambar di ruang warna yang bergantung pada perangkat. Ada puluhan, bahkan
ratusan format mentah yang digunakan oleh berbagai model peralatan digital seperti kamera atau
pemindai film. (Dilihat dari https://helpx.adobe.com/photoshop/using/file-formats.html diakses
pada 29 mei 2017) 62 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan.
107
yang diperlukan fotografer untuk menekankan makna dan keindahan visual.
Sehingga informasi yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik
oleh pembaca foto.
b. Pose
Serupa dengan foto sebelumnya, foto ini hanya menampilkan benda
tanpa adanya unsur manusia. Sehingga penulis harus tetap mejabarkan pose
yang terdapat pada foto keempat ini sebagai subjek yang memandang63.
Dalam foto keempat ini terlihat patung salib Yesus yang tergeletak di atas
permukaan tanah atau bebatuan kecil dalam keadaan pecah di bagian dada
sampai sebagian kepalanya dan dengan tangan yang merentang tersalib.
Menurut penulis posisi patung tersebut sangat menunjukan pengahayatan
yang dalam atas meninggalnya Yesus di tiang salib. Adanya pengorbanan,
kesedihan, kemuliaan tergambar dari pose tersebut, yang pada masa itu
prosesi penyaliban merupakan bentuk hukuman dari kekaisaran Romawi.
Penyaliban yesus hingga saat ini diperingati sebagai hari paskah. Paskah
merupakan perayaan yang terpenting karena memperingati peristiwa yang
paling sakral dalam hidup Yesus, meliputi Yesus disalibkan, meninggal dan
dikuburkan, lalu dibangkitkan kembali. 64
c. Objek
Pada foto keempat ini objek yang menjadi point of interestnya ialah
patung salib Yesus yang pecah sebagian dengan kelopak bunga berwarna
putih dan bagian dalam berwarna kuning. Dapat dilihat latar belakang pada
63 Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata. hal.55. 64 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Penyaliban_dan_kematian_Yesus diakses pada 2 juni
2017
108
foto hanya menjadi elemen tambahan yang menjelaskan keberadaan patung
salib tersebut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis, patung salib
yang pecah sebagian bukan bagian dari prosesi keagamaan, fotografer
menemukan patung tersebut di salah satu kuburan yang tepatnya tidak jauh
dari prosesi keagamaan tersebut.65
Objek POI yang tergambar pada foto keempat ini merupakan simbol
ketuhanan agama Kristen terlihat pada salibnya, namun pada salib tersebut
terlihat pula sosok Yesus, yang jika terdapat sosok Yesus pada Salib lebih
tepatnya merupakan perlambangan dari agama Katolik. hal tersebut
dikarenakan masyarakat agama katolik mengganggap hal yang paling sakral
dan terpenting terjadi saat sosok Yesus di salibkan, lalu dibangkitkan
kembali. Bukan hanya saat ia dilahirkan saja.66 Oleh karena itu masyarakat
agama katolik terlihat ada sosok Yesus pada salibnya.
Pada foto keempat ini elemen-elemen yang tersaji dengan detail
sangatlah menarik, seperti kelopak bunga kamboja yang berwarna putih
bercampur kuning sebagian, menunjukan makna konotasi bahwa warna
putih dalam bunga tersebut melambangkan kesucian dan warna kuning yang
pada dasarnya mengartikan sebuah harapan namun dalam konteks ini
penulis memaknainya sebagai duka.67 Kelopak bunga kamboja berwarna
putih dengan bagian dalam kuning merupakan ciri kamboja asli yang
65 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 66 Markus Hildebrandt Rambe, Penuntun Simbol-Simbol Ibadah Kristen, hal 26. 67 Agnes Paulina Gunawan, Peranan Warna Dalam Karya Fotografi: Humaniora Vol.3
No.2,(Jurusan Desain Komunikasi Visual dan Multimedia, Universitas Bina Nusantara,2012),hal
547
109
terdapat di indonesia yang memiliki arti keabadaian ataupun kesetiaan.68
Elemen lainnya ialah detail paku dan sedikit goresan berwarna merah yang
seolah olah menyerupai darah terdapat pada telapak tangan patung salib
yesus menunjukan makna pengorbanan Yesus saat ia di salib dengan
merasakan sakitnya telapak tangan yang terpaku.
d. Photogenia
Pada foto ke empat fotografer mengambil sudut pandang high angle
dengan posisi kamera berada di atas objek. Diambil dengan lensa wide pada
focal length 19mm digital zoom sehingga foto diambil dalam ukuran Close-
Up. teknik ini lebih menekankan pada ekspresi objek atau bagian-bagian
kecil dari objek tersebut untuk menarik empati dari penikmat foto69. Foto
keempat ini diambil dengan ruang tajam luas sehingga detailnya sangat
jelas, seperti yang dikatakan sebelumnya pengambilan dengan ruang tajam
luas bertujuan agar objek-objek yang kecil dapat terlihat juga dengan jelas.
Terlihat pada sebuah paku kecil dan goresan darah yang menancap di salib
pada tangan kanan patung tersebut. Secara pencahayaan terlihat normal,
tidak under maupun over. Fotografer tidak menggunakan cahaya tambahan
seperti flash internal atau eksternal. Satu-satunya sumber cahaya yang ada
di foto keempat berasal dari cahaya matahari.70
68 Kamboja Indonesia di akses pada tanggal 2 Juni 2017 dilihat dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/kemboja. 69 Kenneth kobre. Photo Journalism: The Professionals Approach(Boston: Focal
Press,2004). Hal 13-16 70 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan.
110
e. Aestheticism (estetika)
Pada foto keempat ini subjek berada pada sebelah kanan foto, dalam
komposisi visual dikenal sebagai Rule of third dengan menempatkan objek
pada sudut foto.71 Fotografer mengambil langkah tersebut bertujuan untuk
memperlihatkan elemen penting lainnya seperti tangan Yesus yang terpaku
pada salib, jika objek berada tepat ditengah, tangan tersebut tidak akan
terlihat. Hal lainnya juga terdapat elemen visual yaitu garis imajiner,
terdapat pada salib yang membentang juga tangan Yesus yang terpaku
menuju kepala patung yang pecah tersebut. Dapat dikatakan secara
sederhana, foto dengan visual yang baik dapat didapatkan ketika menata
elemen elemen yang ada pada foto.72 Hal-hal yang dilakukan fotografer
dengan menata elemen-elemen yang ada selain untuk kebutuhan visual dan
estetika foto juga terdapat hal lain. Hal lain tersebut ialah pemaknaan dalam
foto. Dalam foto keempat ini penulis dihantaarkan untuk melihat sebuah
salib dengan patung yang pecah sebagian di kepala tersebut menandakan
sebagai bentuk penghayatan akan sebuah pengorbanan.
f. Syntax (sintaksis)
Syntax merupakan pengamatan keseluruhan elemen dalam
penyajian suatu karya yang biasanya terdapat pada foto dan teks.73 Namun
sama seperti foto-foto sebelumnya dalam foto ini penulis tidak menemukan
teks atau caption foto, hanya saja terdapat sebuah narasi yang secara garis
71 Komposisi foto dengan teknik Rule of Third, yaitu membagi foto menjadi 3 zona, melalui
3 garis vertikal dan 3 garis horizontal, sehingga menghasilkan 9 zona kotak imaginer. Dilihat dari
Ferry Darmawan, Dunia dalam Bingkai,(Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009), hal.76. 72 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 73 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 165.
111
besar menggambarkan apa yang telah ditangkap dan dimaksud oleh
fotografer. Oleh karena itu penulis lebih melihat pada beberapa elemen yang
terdapat dalam foto ini yang juga diperkuat dari hasil wawancara fotografer.
Dalam foto keempat ini fotografer ingin menampilkan sebuah emosi dalam
keberagamaan, hal tersebut dikarenakan adanya sebuah pertanyaan-
pertanyaan yang datang terhadap dirinya tentang agama yang ia yakini.
“Sejauh mana agama katolik? Saya ingin tahu lebih jauh tentang agama
itu”74 dan juga narasi yang tertulis menjelaskan bahwa adanya pergulatan
dalam sikap beragama, atau emosi dalam keberagamaan yang dilalui
fotografer. Sehingga sosok tuhan Yesus tersalib tersebut yang pada
dasarnya sebuah foto dengan penghayatan yang baik dengan sisi historikal
yang tinggi sedikit berubah dalam pemaknaannya. Pandangan fotografer
yang subjektif membuat foto termaknakan atau mencerminkan
pandangannya akan sebuah simbol agama. Hal tersebut terjadi pada
umumnya memiliki segi-segi motivasi dan emosi, artinya seorang dalam
membentuk sikap keberagamaan selalu mempunyai perasaan dan semangat
maupun dorongan untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai.75 Dan
seketika tujuan atau pengharapan yang tinggi tidak terjadi maka perasaan
perasaan keewa juga dapat hadir dalam benak seseorang hingga
menimbulkan ekspresi seperti pecahnya patung tersebut pada bagian muka
Yesus.
74 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 75 Abu Hamid, Psikologi Sosial, (Semarang: PT Bina Ilmu, 1979), hal. 53.
112
3. Makna Mitos
Mitos yang terbangun dalam foto keempat ini adalah Tuhan dalam
agama Kristen digambarkan pada sosok Yesus Kristus. Umat kristiani
mengenal penggambaran sosok Yesus sebagai satu Allah dengan tiga pribadi
yaitu Allah bapa yang menciptakan, yang menjelma dalam Allah putera, dan
hadir dalam spirit Allah roh kudus.76
Hal lainnya yang membangun mitos pada foto keempat adalah peristiwa
penyaliban Yesus. Agama Kristen sangat mengistimewakan peristiwa
penyaliban Yesus, karena dasar dari keimanan mereka dibangun di atas
peristiwa (mitos) tersebut. Masyarakat Kristen percaya peristiwa tersebut
adalah simbol pengorbanan Yesus untuk umatnya. Pengorbanan dalam hal ini
adalah ketika Yesus disalib, umat Kristiani akan diampuni dosanya.77
Masyarakat agama kristiani mengenangnya dengan hari Paskah. Hal-hal
tersebut sangat diyakini khususnya pada masyarakat agama katolik. Seperti
yang diakatakan penulis sebelumnya bahwa simbol yang merupakan identitas
dari agama katolik ialah salib dengan corpusnya atau terdapat sosok Tuhan
Yesus. Berbeda dengan protestan yang hanya menggunakan simbol salibnya
saja.78 Di Indonesia sendiri, khusunya masyarakat Flores yang mayoritas
memeluk agama katolik, dalam penyambutan hari Paskah merupakan
penyambutan yang sangat istimewa karena berisikan penghayatan, kemuliaan,
76 Dwi Retno Palupi, Analisis Tanda Visual Kesucian Melalui Pendekatan Semiotik: Studi
Kasus Kartu Imlek, Natal Dan Idul Fitri, Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol.3
No.1 Tahun 2011. Hal.27 77 Nirma Riyanti, Pengaruh Perarakan Lilin Dalam Ekaristi Bunda Maria Terhadap Umat
Islam Desa Panjang Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang, (Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo, Semarang 2012). Hal, 22 78 Markus Hildebrandt Rambe, Penuntun Simbol-Simbol Ibadah Kristen (Jurnal STT Intim
Makassar Edisi Khusus 2004) hal 26.
113
ketaatan ketika bisa menjalankan atau mengikuti hari Paskah dengan banyaknya
ritual keagamaan selama 5 hari berturut-turut.79
E. Pembahasan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan penulis melalui analisis
semiotika Roland Barthes dengan tahap denotasi, konotasi, mitos. Penulis akan
melakukan pembahasan berdasarkan pada rujukan berbagai teori yang digunakan,
dimana di dalamnya ditentukan suatu kepastian mengenai aspek teori dan
kesesuaian/ ketidaksesuaian dengan fakta hasil penelitian di lapangan dimana
peneliti juga membuat suatu analisis serta interpretasi/membuat tafsiran atas
tampilan data secara deskriptif sesuai dengan permasalahan penelitian yang penulis
paparkan.
Pembahasan mengacu kepada keberagamaan yang dilakukan masyarakat
Larantuka, Flores dalam menyambut dan menjalani sebuah prosesi keagamaan
yang dilakukan setiap setahun sekali yaitu Hari Raya Paskah. Dari ke 4 (empat) foto
yang telah dianalisis penulis, secara umum foto-foto tersebut telah menggambarkan
adanya keberagamaan yang dilakukan masyarakat Flores. Seperti ritual,
peribadatan, dan simbol-simbol ketuhanan agama Katolik. Masyarakat Flores
melakukan berdasarkan adanya sebuah keyakinan atau system yang terbentuk oleh
agama. Hal ini diperkuat oleh Emile Durkheim dalam bukunya The Elementary
From of Religious Life yang mengatakan bahwa agama merupakan suatu sistem
terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal
yang suci, sehingga sebagai umat beragama akan semaksimal mungkin berusaha
79 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan.
114
untuk terus meningkatkan keimanannya melalui rutinitas beribadah serta mencapai
rohani yang menyempurnakan kesuciannya.80 Dengan kata lain, melalui praktik-
praktik atau ritual keagamaan tersebut, seseorang akan dapat lebih meyakini bahwa
adanya sebuah hal suci yang perlu dilakukan dalam keberagamaan seseorang untuk
mencapai fase kesalehan dan keimanan seseorang terhadap Tuhannya.81
Seperti yang terlihat pada foto pertama, yaitu sekelompok masyarakat yang
sedang menunggu prosesi keagamaan untuk mencium patung Tuan Ma (Bunda
Maria) dalam teori Durkheim dapat dikatakan sebagai Umat penganut religi yaitu
sebuah masyarakat yang anggotanya bersatu secara komunal. Sekelompok orang
melihat dunia yang sakral dan hubungannya dengan dunia yang fana dengan cara
yang sama. Mereka menerjemahkan representasi umum ini kedalam praktik ritual
yang sama.82
Pada foto kedua terdapat seseorang yang melakukan penghormatan kepada
simbol-simbol yang diyakini sebagai suatu hal yang suci. Dalam hal ini Durkheim
menyebutkannya sebagai sistem kepercayaan, yaitu suatu keyakinan yang
dipercaya dan membuat sekelompok atau seseorang menjalankan apa yang
diyakininya.83
Pada foto ketiga terlihat adanya sebuah ritual ziarah makam yang pada foto
tersebut ditampilkan beberapa lilin juga attribute lainnya berada di atas sebuah
makam. Dalam hal ini Durkheim menyebutnya sebagai Ritual/upacara keagamaan,
yaitu bentuk dari tindakan yang merepresentasikan kepercayaan terhadap apa yang
80 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, (The Free Press,1995), hal 35. 81 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UINPress, 2014),
hal 32 82 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 35. 83 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 35.
115
diyakininya. Dengan kata lain sebuah ritual akan terjadi atau terlaksana ketika
manusia telah meyakini satu hal atau percaya terhadap apa yang diyakini.84
Pada foto keempat terlihat simbol ketuhanan agama katolik, namun dalam
keadaan yang pecah sebagian, berdasarkan analisis penulis melihat adanya
kesedihan, dimana patung yesus tersebut menggambarkan saat yesus disalib. Dalam
hal ini Durkheim menyebutnya sebagai emosi keagamaan yaitu hal-hal yang
membuat sekelompok atau seseorang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat
religi.85
Selain hal itu, dari keempat foto yang telah dianalisis penulis melihat adanya
keberagamaan masyarakat modern yang terintegrasi dengan budaya lokal atau
dengan kata lain budaya lokal dan budaya barat yang bercampur akan membentuk
sebuah tatanan masyarakat yang baru menjadikan agama Katolik bercirikan budaya
Flores. Seperti pada ritual keagamaannya menggunakan ornament seperti lilin,
patung, confetti, bunga, tenun ikat, dan pakaian yang mencirikan budaya lokal
Flores. Dalam hal ini penulis melihat adanya konsep agama yang evolutive terjadi
pada keberagamaan masyarakat Flores dari tradisional menjadi masyarakat modern
menuju percampuran. Berdasarkan hal tersebut Robert N Bellah merumuskan
skema tahapan perkembangan keagamaan yang terjadi pada masyarakat beragama
larantuka, Flores yaitu dimulai pada tahap primitive. Pada tahap ini dicirikan
dengan adanya mistis dan struktur organisasi keagamaan yang cair.86 Dalam hal ini
masyarakat agama di Flores menggunakan simbol-simbol lokal seperti tenun ikat,
baju daerah, dan bunga.
84 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 35. 85 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 35. 86 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 42
116
Pada tahap kedua yaitu Historis, tahapan historis ini manusia sudah
menemukan realitas kehidupan secara universal atau dengan kata lain pada tahapan
historis ini manusia telah mengenal nilai religiusitas tertinggi. Pada tahapan ini
dicirikan munculnya persaudaran atas nama agama, peralihan sisitem
kemasyarakatan yang signifikan, adanya elit religious-kultural.87 Dalam hal ini
ditujukan saat munculnya agama nasrani di Flores yang dibawa bangsa portugis
pada abad ke-16. Pada proses ini agama nasrani mengirim empat misionaris
Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana yaitu menyebarkan agama
nasrani dan merubah kepercayaan-kepercayaan lokal yang ada sehingga saat ini
menjadikan masyarakat Larantuka, Flores dengan pemeluk agama Nasrani terbesar
di Indonesia.
Pada tahap ketiga ialah tahapan modern, yaitu terjadinya proses
rasionalisasi secara massif dengan kata lain adanya pemikiran-pemikiran bahwa
pada akhirnya manusia sendirilah yang pada akhirnya bertanggung jawab atas
simbolisme keyakinannya. Dengan kata lain melemahnya doktrin agama dalam
mengikat individu dan sistem sosial, sistem simbol sebagai sesuatu yang profan,
serta adanya rasionalisasi ajaran dan sistem kepercayaan.88 Dalam hal ini
ditunjukan adanya percampuran yang terjadi antara kepercayaan dan budaya lokal
terhadap agama nasrani. Seperti yang terlihat adanya lilin, confetti bersamaan
dengan bunga-bunga saat ziarah makam, dan umat beragama yang memakai
attribute daerah dalam menjalankan prosesi keagamaan.
Dengan demikian, dari keseluruhan pembahasan yang telah dipaparkan di
atas, penulis menarik kesimpulan bahwa keempat teori yang dipaparkan oleh Emile
87 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 42-43 88 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 46
117
Durkheim membuktikan bahwasanya dalam foto jurnalistik esai karya Ng Swan Ti
menggambarkan adanya keberagamaan yang dilakukan masyarakat Flores dalam
menjalankan ajaran atau aturan-aturan dalam sebuah keyakinan yaitu agama. Selain
itu juga tergambarkan adanya konse p evolusi dalam keberagamaan yang dilalui
masyarakat Larantuka, Flores tersebut meliputi tahapan Primitif (agama dan
simbol-simbol lokal), historis (masuknya Nasrani), dan Modern yakni,
percampuran antara agama dan budaya (Nasrani dan kepercayaan atau kebudayaan
lokal).
118
118
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis berdasarkan analisi data dan pembahsan
terhadap foto Flores Revisited dalam pameran Jakarta Biennale karya Ng Swan Ti
pada bab IV. Selanjutnya penulis akan memberikan kesimpulan dari analisis
tersebut pada bab lima ini. Berikut kesimpulan dari penulis:
1. Tahap Denotasi
Denotasi pada dasarnya adalah cara memahami suatu objek dalam foto
hanya berdasarkan apa yang terlihat oleh pandangan mata saja, dengan kata lain
makna sebenarnya dapat diasumsikan serupa oleh orang banyak ketika melihat
foto tersebut. Maka berdasarkan pengertian di atas makna denotasi yang
terdapat di dalam empat foto Flores Revisited karya Ng Swan Ti adalah ciri
keberagamaan masyarakat agama Larantuka, Flores dalam menyambut dan
menjalani ritual Paskah yaitu menggunakan baju adat, tenun ikat kepala,
kerudung, kalung rosario, lilin, confetti, bunga-bunga dan patung-patung agama
yang diyakini sebagai simbol agama Katolik.
2. Tahap Konotasi
Konotasi adalah cara memandang suatu objek dalam foto dengan arti
yang tidak sebenarnya, dengan maksud pelihat foto dapat mengartikan gambar
tersebut sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman dirinya sendiri, sehingga
ketika pelihat memahami sebuah objek dalam tahap konotasi ini isi pesan yang
119
berusaha disampaikan oleh fotografer belum tentu sama dengan yang diartikan
oleh orang lain.
Makna konotasi dari empat foto yang telah diteliti memiliki pengertian
yang tidak sama. Pada foto pertama makna konotasi yang terkandung adalah
ketaatan dalam beragama, hal tersebut dapat dilihat dari barisan wanita yang
enggan berteduh meskipun cuaca sedang terik demi mengikuti prosesi
keagamaan. Pada foto kedua makna konotasi yang terkandung adalah
khidmadnya atau kekhusyukan umat beragama dalam beribadah hal ini dapat
diperhatikan dari pose seorang wanita yang membungkuk disebelah patung
yang menjadi simbol agama katolik. Dalam foto ketiga makna konotasi yang
terdapat di dalamnya adalah penghormatan terhadap yang telah tiada dapat
dilihat melalui tradisi ziarah makam yang didalamnya berisi taburan
bunga/kembang dan lilin yang menyala merupakan sosok Yesus yang
mengartikan bahwa sosok Yesus merupakan penerang untuk umat manusia.
Pada foto keempat makna konotasi yang dapat diartikan adalah rasa duka dan
pengorbanan terlihat dari patung Yesus yang disalib telah pecah dari bagian
dada hingga kepala, dengan adanya bunga kamboja terdapat disisi patung
tersebut.
3. Tahap Mitos
Tahap Mitos merupakan tahapan lanjutan dari tahapan sebelumnya,
yaitu tahap denotasi dan tahap konotasi. Mitos merupakan gambaran yang telah
disepakati oleh sebagian atau sekelompok masyarakat yang mempercayainya,
dengan kata lain mitos lahir karena adanya pesan konotasi yang lalu dipercaya
oleh banyak orang dalam suatu wilayah atau budaya tertentu.
120
Foto pertama menjelaskan bahwa agama dan budaya dapat dipraktekkan
secara berdampingan, dengan kata lain agama tidak mungkin masuk dalam
ruang hampa, agama hadir bersama dengan kebudayaan yang melatari
tumbuhnya agama, dalam hal ini kebudayaan masyarakat Flores. Foto kedua
merupakan penggambaran tentang Tuhan pada agama Katolik. Foto ketiga
menggambarkan sebuah tradisi yang terus berangsur dilakukan turun temurun
saat adanya sebuah upacara keagamaan dan ritual peribadatan. Pada foto
keempat menjelaskan tentang penggambaran kisah atau keajadian yang dialami
Yesus yang merupakan kejadian yang selalu dikenang dan dimuliakan oleh
agama Kristen dan Katolik. Keempat indikator tersebut mencerminkan bahwa
Flores Revisited menggambarkan keberagamaan masyarakat modern Flores
dalam menjalani tradisi agama yang telah dilakukan dalam kurun waktu yang
panjang. Selain itu merupakan gambaran tentang proses evolusi masyarakat
Flores, khususnya desa Larantuka dari tradisional ke modern lalu menuju
percampuran. Modern yang dimaksudkan ialah percampuran dari budaya lokal
dan budaya barat sehingga masrayakat Larantuka, Flores saat ini terlihat sebagai
masyarakat Katolik atau Nasrani yang bercirikan budaya lokal Flores.
B. Saran
Fotografi sebagai salah satu bentuk komunikasi yang disampaikan
melalui visual juga mempunyai visi yang sama dengan bentuk komunikasi yang
lainnya, yakni memengaruhi persepsi orang lain yang kita sebut sebagai
audiens, penglihat ataupun penikmat foto. Hal ini jelas terlihat bahwa fotografi
tidak hanya hadir sebagai suatu pesan yang hanya dilihat sebagai apa yang
tampak saja, melainkan mempunyai punyai pesan yang terkandung di
121
dalamnya, tergantung dari pengetahuan dan pengalaman pelihat foto, dan lalu
hal tersebut akan menjadi suatu mitos jika telah dipercayai oleh banyak orang
atau sekumpulan masyarakat, seperti yang ungkapkan oleh Roland Barthes
dalam teori analisis Semiotika.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ada beberapa hal yang
dapat menjadi saran baik kepada khususnya Program Studi Konsentrasi
Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, segenap akademisi Fakultas Ilmu
Dakwah dan Komunikasi, serta bagi para peminat fotografi khususnya yang
menekuni foto jurnalistik, yaitu:
1. Bagi Program studi Konsentrasi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Sejauh ini, fotografi mempunyai peran penting dalam dunia
jurnalistik. Selain dikarenakan pada umumnya manusia lebih tertarik dan
mudah mengingat saat mereka melihat visual/gambar ketimbang tulisan, hal
lainnya ialah Karena fotografi disebut sebagai alat perekam dan penghadir
ulang kenyataan yang paling ampuh seperti layaknya memberhentikan
waktu ketika shutter pada kamera ditekan. Seiring berkembangnya zaman,
saat ini fotografi tampil semakin baik untuk berkomunikasi dan semakin
diminati keberadaanya oleh masyarakat dengan berbagai tujuan. Oleh
karena itu penulis menyarankan agar Program Studi Jurnalistik, Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta benar-benar
memperhatikan mata kuliah fotografi yang ada. Seperti menambahkan hal-
hal yang mendukung mata kuliah fotografi tersebut yaitu adanya mata
kuliah pendukung seperti pemahaman visual agar, literasi atau bahan bacaan
yang ditambahkan di perpustakaan, dan sarana yang meliputi output
122
pameran dan katalog atau produk jurnalistik lainnya. Dengan adanya hal-
hal tersebut dimaksudkan agar Jurnalistik UIN Jakarta dapat membuat
produk-produk jurnalistik yang baik dan terampil.
2. Bagi akademisi Fakultas komunikasi, khususnya Program Studi Jurnalistik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengingat banyaknya penelitian yang
menggunakan analisis semiotika atau semiologi di Fakultas Ilmu Dakwah
dan Komunikasi, agar metodologi tersebut mendapat perhatian yang lebih
besar, sehingga mampu menghadirkan hipotesa dan teori baru yang lebih
berkembang dan kajian yang lebih mendalam guna memperkaya khasanah
keilmuan khususnya ilmu komunikasi. Dengan memahami secara baik
kajian tentang semiotika ini akan membuat hasil penelitian yang baik secara
kontekstual.
3. Bagi peminat fotografi khususnya mahasiswa komunikasi, metode
semiotika dapat berperan sebagai kamus bahasa visual yang merupakan
diluar bahasa yang dikenal secara konvensional baik secara verbal maupun
nonverbal, untuk itu metode tersebut patut didalami agar seorang fotografer
dapat mengerti bagaimana suatu kesan dapat terbentuk, hingga dapat
memanfaatkannya secara fungsional ketika ingin mengungkapkan suatu
pesan, khususnya dalam medium visual.
123
123
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara,
1994.
Abdullah, Taufiq dan Rusli Kaslim. Penelitian Agama Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata, Fotografi Antara Dua Subjek : Perbincangan
Tentang Ada. Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Baharta, Dewi S. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Bintang Terang, 1995.
Barthes, Roland. Imaji Musik Teks. Yogyakarta: Jalasutra, Anggota IKAPI, 2010.
- - - - - - - - - - -. Petualangan Semiologi (L’aventure Semiologique). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
Berger, Arthur Asa. Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010.
- - - - - - - - - - -. Tehnik-tehnik Analisis Media Second Edition. Yogyakarta:
Universtas Atma Jaya, 2000.
Budiman, Kris. Semiotika Visual. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004.
Bungin, Burhan. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011.
- - - - - - - - - - -. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
- - - - - - - - - - -. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2009.
Darmawan, Ferry. Dunia dalam Bingkai. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Data. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010.
Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS,
2009.
Fields, Karen E. The Elementary From Of Religious Life. The Free Press,1995.
Fiske, John. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra, 1990.
124
Gaffar, Arfan. Modern dan Islam; Dua Kutub yang Bertentangan dalam Al-Qur’an
dan Tantangan Modernitas. Yogyakarta: SIPRESS, 1993.
Gerungan. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama, 1991.
Guindi, Fadwa El. Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. Jakarta:
serambi, 2006.
Hamid, Abu. Psikologi Sosial, Semarang: PT Bina Ilmu, 1979.
Hoed, Benny H. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI Depok, 2008.
- - - - - - - - - -. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: PT Serambi Ilmu,
2008.
Jalaludin. Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remadja Rosdakarya, 2006.
Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2012.
Kobre, Kenneth. Photo Journalism: The Professionals Approach. Boston: Focal
Press,2004.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antroplogi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
- - - - - - - - - - -. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1979.
Muhtadi, Asep Saeful. Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktek. Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1999.
Nashori Fuad, dan Rahmy Diana Mucharam. Mengembangkan kreativitas dalam
perspektif psikologi islam. Yogyakarta: Menara Kudus, 2002.
Piliang, Yasraf Amir. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya
Makna. Bandung: Jalasutra, 2003.
Rais, Amin. Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan. Bandung: Mizan,
1998.
Sanderson, Stephen K. Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas
Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Press,
2010.
125
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012.
- - - - - - - - -. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
Soerjoatmodjo, Yudhi. IPPHOS Indonesian Press Photo Service. Jakarta: Galeri
Foto Jurnalistik Antara, 2013.
Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001.
Sunardi. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal, 2002.
Sururin. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Susanto, Anthon Freedy. Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna. Bandung: PT. Refika Aditama, 2005.
Sztompka, Piort. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada, 2004.
Thouless, Robert H. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Pers, Edisi
Terjemah, 1992.
Tim Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”.
Yayasan Jakarta Biennale, 2015.
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008.
Tumanggor, Rusmin dan Kholis Ridho. Antropologi Agama. Ciputat: UIN Press,
2014.
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2011.
Wijaya, Taufan. Foto Jurnalistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014.
Yafie, Ali. Teologi Sosial Telaah Kritis Persoalan Keagamaan Kemanusiaan.
Yogyakarta: LKPSM, 1997.
Yuwono dan Christomy. “Semiotika Budaya”. Depok: Universitas Indonesia,
2004.
126
Karya Ilmiah
Akminanti, Arum. “Simbolisasi Filosofi Perusahaan Melalui Logo Pada PT.
Pertamina Persero”. Ejournal Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Volume 1, Nomor 1, 2013.
Arbain, Ahmad Syaefudin Janu. “Pengaruh Intensitas Mengikuti Bimbingan
Agama Islam Jumat Pagi Terhadap Tingkat Keberagamaan Penghuni
Lokalisasi Karaoke”. Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang,
2014.
Cecil, Jacob. Journal “A Photographic Essay”. Bagian 1.
Evirianti, Linda. “Rosario Sana Perawan Maria: Pandangan Terhadap Simbol
Doa Rosario di Komunitas Seminarium Anging Mammiri Yogyakarta”.
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2014.
Gunawan, Agnes Paulina. “Peranan Warna Dalam Karya Fotografi: Humaniora
Vol.3 No.2”. Jurusan Desain Komunikasi Visual dan Multimedia
Universitas Bina Nusantara,2012.
Montobauto, Loade. “Persfektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan
Masyarakat Indonesia”. Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Haluwoleo
Kendari, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 23, No. 2, Edisi Desember
2014.
Moore, Wilbert E."Social Verandering" Dalam Social Change, diterjemahkan oleh
A. Basoski, Prisma Boeken, Utrech, Antwepen.
Nenohai, Norman Mesker. “Bakar Lilin” di Makam ;Studi Tentang Pandangan
Suku “Atoni” di Kefamananu Mengenai Ritus “Bakar Lilin” di Makam dan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya”. Fakultas Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2014.
Palupi, Dwi Retno. “ Analisis Tanda Visual Kesucian Melalui Pendekatan
Semiotik: Studi Kasus Kartu Imlek, Natal Dan Idul Fitri”. Wimba, Jurnal
Komunikasi Visual & Multimedia Vol.3 No.1 Tahun 2011.
Rambe, Markus Hildebrandt. “Penuntun Simbol-Simbol Ibadah Kristen”. Jurnal
STT Intim Makassar Edisi Khusus 2004.
Ristiana, Yeni. Pola Interaksi Masyarakat di Kampung Cyber RT. 36 RW. 09
Taman, Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton, Yogyakarta. Universitas
Negeri Yogyakarta, 2012.
127
Riyanti, Nirma. “Pengaruh Perarakan Lilin Dalam Ekaristi Bunda Maria
Terhadap Umat Islam Desa Panjang Kecamatan Ambarawa Kabupaten
Semarang”. Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang 2012.
Rosana, Ellya. “Moderenisasi dan Perubahan Sosial” Jurnal Tapis Volume 7
Nomor 12, 2011.
Saidi, Gunawan. “Perkembangan Agama Khongchu di Indonesia (Study Kasus di
Masyarakat Cina Penganut Agama Khonghucu di Tangerang)”.
Sinta, Nur Tiara. “Peranan Orang Tua dalam Mensosialisasikan Nilai Agama
Remaja Muslim”. Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Riau Pekanbaru. JOM FISIP Vol.3 No.1-Februari 2016.
Taum, Yoseph Yapi. “Rasa Religiositas Flores: Sebuah Pengantar Ke Arah
Inkulturasi Musik Liturgi”, Jurnal Sarasehan Oleh Pusat Musik Liturgi,
Yogyakarta, 2002.
Yusanto, Mustafa Freddy dan Nugroho Catur. “Membongkar Makna Lilin Dalam
Iklan “Greeting AirAsia Bela Sungkawa, Oleh Kompas Gramedia” Prodi
SI Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Universitas Telkom.
Website
Adobe.com. Raw File. Artikel diakses pada tanggal 29 Mei 2017 dari
https://helpx.adobe.com/photoshop/using/file-formats.html.
Antarafoto.com. Fotografi Indonesia. Artikel diakses pada tanggal 5 Maret 2017
dari
http://www.antarafoto.com/artikel/v1392441035/piramidaromantismekebu
asanmanusia.
Elearning.upnjatim.ac.id. Catatan Terbuka Untuk Arbain Rambey. Artikel diakses
pada tanggal 23 Maret 2017 dari
Elearning.upnjatim.ac.id/Tentang_Photostory_Catatan_terbuka_untuk_AR
BAINRAMBEY_.
Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) adalah suatu lembaga pendidikan fotografi
dokumenter dan jurnalistik yang diadakan oleh Kantor Berita Antara setiap
tahun sejak 1992. Untuk info lengkap mengenai GFJA dapat dikunjungi di
situs http://www.gfja.org/ atau Facebook resmi GFJA Museum & Galeri
Foto Jurnalistik Antara.
Psycnet.apa.org. “Gestalt Theory”. Artikel diakses pada tanggal 29 Mei 2017 dari
http://psycnet.apa.org/journals/bul/138/6/1172/.
128
Jakarta Biennale.net. Sejarah Jakarta Bienalle. Artikel diakses pada tanggal 7 Mei
2017 dari http://jakartabiennale.net/jakarta-biennale/.
Kemenag.go.id. Tambahan Lembaran Ncgara Nornor 2726, Penjelasan UU
(Perpres) nomor 1 tahun 1965. Artikel diakses pada tanggal 3 Maret 2017.
Dikutip dari https://kemenag.go.id/file/dokumen/UU1PNPS65.
- - - - - - - - - . UU No.1/PNPS/1965/ UU No. 5/PERPRES/1969. Artikel diakses
pada tanggal 3 Maret 2017 dari
https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/posting/read/562-
postingreadimplementasi-rekomendasi-kunci-terkait-penodaan-agama-di-
indonesia-antara-tantangan-dan-peluang.
Rien, Nur Azizah. Biennale. Artikel diakses pada tanggal 7 Mei 2017 dari
https://www.academia.edu/Biennale.
Tempo. Wisata Pantai Sejarah Flores Memeluk Katolik. Artikel diakses pada
tanggal 5 Juli 2017, dari
https://m.tempo.co/read/news/2015/11/21/204720937/wisata-pantai-
sejarah-Flores-memeluk-katolik.
Wikipedia. Confetti. Artikel diakses pada 28 Maret 2017 dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Confetti.
- - - - -. Doa Rosario. Artikel diakses pada tanggal 20 Juni 2017 dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Doa_Rosario.
- - - - - - - . Etimologi Masyarakat. Artikel diakses pada tanggal 20 Maret 2017,
dilihat dari https://id.wikipedia.org/wiki/masyarakat.
- - - - - - - -. Pengertian Agama. Artikel diakses pada tanggal 3 Maret 2017 dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama.
1000Kata.com. Sejarah Foto Jurnalistik. Artikel diakses pada tanggal 20 Maret
2017, dari http://www.1000kata.com/2014/07/sejarah-foto-jurnalistik/.
Sumber lain
“Bedah Buku Belajar Membelah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes)”. Media
Indonesia, Minggu, 25 Maret 2007.
Wawancara
Daftar riwayat hidup Ng Swan Ti.
Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti, Jakarta, 5 Mei 2017.
129
LAMPIRAN
Hasil Wawancara :
Narasumber : Ng. Swan Ti
Jabatan : Fotografer dan Manager Program PannaFoto Institute
Hari / Tanggal : 5 Mei 2017
Waktu : 15.00 WIB
Tempat : Perpustakaan Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M,
Jakarta Selatan.
1. Sejak kapan anda menggeluti dunia fotografi?
Saya mulai dari tahun 2002.
2. Dalam pameran Jakarta Bienale 2015, Anda menampilkan karya foto
berjudul Flores Revisited, apa yang meletarbelakangi Anda membuat
karya tersebut?
Kalau latar belakang karya, sebetulnya itu bukan karya baru, tetapi aku
sudah lama bikin project memang tentang Katolik. Kebetulan aku
menggunakan fotografi sebagai alat untuk mengeksplorasi salah satunya
tentang agama Katolik, itu terkait dengan elemen identitas, jadi aku
menjadi katolik tanpa banyak tau, sebenarnya Katolik tentang apasih? Jadi
ketika aku belajar foto kemudian aku ingin menggunakan fotografi untuk
mempelajari lebih jauh tentang agama Katolik itu sendiri. Itu awalnya
dengan menggunakan hitam putih, dibeberapa tempat di Goa Maria, di
Pulau Jawa. Kemudian karena mendengar dan membaca ada satu ritual
paskah di Larantuka, di mana di Flores itu mayoritas itu Bergama Katolik
jadi aku ingin kesana dan mrmbuat project disana. Flores Revisited sendiri
sebetulnya bukan pertama kali aku kesana tapi ke dua atau katiga kalinya,
sebelumnya aku kesana menggunakan film hitam-putih juga, sampa dua
atau tiga kali. nah Kemudian agak lama aku tidak meneruskan projek itu.
Lalu ditahun 2014, aku mau ke sana lagi untuk memotret ritual Flores di
Larantuka dengan menggunakan medium warna.
130
3. Kenapa di Flores?
Awalnya saya memulainya dari Pulau Jawa, namun di Pulau Jawa umat
jumlah Katolik lebih sedikit di banding umat muslim. Tapi kalau di Pulau
Flores umat Katolik menjadi Mayoritas, terlebih lagi di larangtuka saat
memperingati paskah terdapat ritual khusus. Nah saya juga
mempertanyakan mayoritas dengan minoritas. Dengan pengalaman saya
yang dari keluarga minoritas.
4. Bagaimana pendekatan yang Anda lakukan?
Pendekatan yang saya lakukan tentunya memotret sebagaimana umumnya,
mengumpulkan bahan-bahan tentang prosesi agama disana dari riset
majalah, dari cerita-cerita di sana dan dating juga ke orang-orang yang
sekiranya dapat membantu saya memotret, seperti ke gereja ataupun ke
penduduk-penduduk di sana.
5. Dalam pembuatannya apakah Flores revisited sudah terkonsep
sebelumnya? Atau kondisional terhadap pemikiran Anda soal agama?
Pertama tentunya aku ingin melihat perspektif agama seperti apa, aku
kepingin lebih tahu agama Katolik melalui ritual-ritual agama tersebut,
mungkin orang bias belajar atau tahu melalui membaca buku, dengar
cerita, nah kemudian aku lebih kepengen mengalami Jadi intinya aku mau
belajar dulu sebetulnya agama Katolik itu bagaimana dan seperti apa,
tertumama di ritual tersebut, Kemudian aku ingin sampaikan dari hasil
fotoku itu perjalanan panjang. Jadi yang awalnya haanya ingin
memperlihatkan atau oh aku khusus mengambil tentang Paskah tentang
momentnya, ada momen bessar seperti Natal dan paskah, tapi aku
cenderung dengan Paskah. Di mana aku lebih merasa terkoneksi dengan
peristiwa itu, Karena itu bercerita tentang kebangkitan dan tapi secara
visual juga lebih menarik buat aku karena memberlihatkan kemuliaan,
Lebih suasana duka, walaupun secara agama dapat dipahami tidak duka
yang duka dtetapi duka yang akhirnya menjadi kemuliaan. Daripada
dengan suasana natal yang lebih membuat orang gembira. Pada intinya
aku ingin menyampaikan sendiri bahwa dari hasil hasil gambar itu
131
tentunya, orang bisa lebih menangkap sisi-sisi yang lebih universal dari
sebuah agama, dari ekspresi, misalnya orang ketika mengalami ritual,
suasanya itu bisa dialami baik di agama Katolik maaupun di agama lain.
Suasana teduh, suasanya khidmat dan hubungan umat dengan tuhan yang
dipercayai itu terdapat di banyak agama, dan akhirnya saya juga ingin
mengatakan bahwa agama tidak semata-mata, sesuatu yang seperti kita
pahami selama ini terkait ddengan hubungan horizontal dan vertical, tetapi
agama akhirnya juga menjadi banyak fungsinya seperti menjadi komoditas
politik yang digunakan untuk kepentingan-kepentingan duniawi. Jadi
istilahnya agama tidak hanya untuk non duniawi, tapi banyak kita
menggunakan/memperalat agama untuk hal hal yang terkait dengan
kepentingan, seperti bisnis dan politik. Terlepas dari konteks agama yang
seharusnya kita pahami, mendekatkan manusia, umatnya dengan
Tuhannya.
6. Berapa lama proses pembuatannya?
Prosesnya cukup lama, yang Flores Revisited itu 2014. Sebelumnya kalau
gak salah bisa jadi 5 tahun lebih kayaknya. Aku mulai itu tahun 2000-an
pertama kali mulai project katolik. Tapi aku kembali kesana 2009-an. Lebih
dari 5 tahun dah aku ke sana lagi. 2003 yang pertama kali ke Flores.
7. Dalam naskah foto tersebut, Anda menceritakan sedikit tentang
perjalanan keagamaan yang telah mbak lalui, bagaimana pandangan
Anda terhadap agama yang telah mbak pelajari?
saya lahir tidak dari keluagra beragama taat, dalam arti keluaarga saya
mempercayai kongucu ada dewa dewa tteapi tidak ada pendidikan bahwa
anak harus taat beragama, harus melakukan praktek ini itu, orang tua saya
konservatif tidak seperti orang tua saat ini yang mendidik anaknya
beragama dari lahir. Jadi saya tumbuh dengan memahami agama tanpa
bimbingan yang pasti. Lalu saya tumbuh di masyarkat yang melihat agama
sebagai sesuatu yang harus dipegang, menjadi pegangan manusia untuk
kehidupan selanjutnya, yang kemudian kita harus menerima apa adanya
tanpa mempertanyakan. Nah seiring ketika dewasa saya mulai
132
mempertanyakan agama itu sendiri. Dan mulai mengetahui Banyak juga
terjadi korupsi di vatikan misalnya, banyak kasus dalam gereja. Lalu saya
belajar bahwa kitab suci ditulis oleh nabi-nabi yang diterangi roh kudus.
Jadi mulai melihat agama dari sudut pandang yang berbeda dan saya
membaca satu buku yang sangat mengesankan dari Romo Mangun yang
berjudul Raga Widya di mana Romo Mangun membedakan istilah agama
dan iman, di situ saya mulai merasa lebih teguh melihat keimanan daripada
keagamaan. Bahwa agama adalah suatu sistem yang dibuat manusia, teapi
saya melihat keimanan hubungan yang lebih vertikal manusia dengan tuhan
dalam arti yang dipercayai, walaupun kita tahu mungkin bahwa Tuhan
1(satu) tapi setiap agama selalu melihat dari sisi yang berbeda. Kalau
masalah percaya, seberapa pecaya atau seberapa kuat saat ini saya justru
melihat berbeda lagi. Dengan pengetaahuan dan pengalaman yang banyak
saya melihat itu berbalik kepada individu masing-masing. Saat usia usia
tertentu orang mulai merindukan sesuatu yang berbentuk spiritualitas ada
orang yang menemukan spritualistas itu dari hal-hal lain selain agama
semisalnya dari orang yang dri negara sekuler, mereka tidak melihat
agama sebagai salah satu jalan mencari spiritualitasnya. Saya melihat hal
lain kalau mereka melihat atau mencapai titik spiritual nya dari non-agama
buat saya baik baik aja ga masalah, tidak harus dicapai melalui agama.
Walaupun buat saya sendiri akhirnya telah mlihat kesana kemari saya tetap
kepada keimanan Katolik, tetapi saya tetap selalu berkeraguan dan
mempertanyakan. Sekarang saya justru kembali lagi melihat foto-foto
project Katolik yang saya buat dengan pemahaman yang berbeda setelah
saya misalnya melukan meditasi Buddha dan melihat hal-hal lain. Kembali
ke individu masing-masing tentunya. bagaimana melihat agama iman dan
kepentinganya. bagaimana Kebetulan kita lahir di Indonesia melihat atau
yg kita sbut manusia beragama, kalau kita lahir di negara sekuler mungkin
beda lagi. Saya melihat agama bukan sesuatu yang lahir seperti ras atau
jenis kelamin, yang kita tidak bisa mengubah, memang sekarang orang bisa
operasi mengganti jenis kelamin. Tapi kita tidak bisa merubah warna kulit
tersebut. Terlahir sebagai Cina di Indonesia ya itu, saya tidak bisa
133
mengubah menjadi suku lain atau etnik lain, tetapi agama saya bisa
memilih.
8. Profil mbak Ng Swan Ti
Pencapaian dalam bidang fotografi:
- World Press Photo South East Asian Workshop Fotografi dan
Pameran foto; Jakarta, Indonesia May 2002
- World Press Photo dalam kerja sama dengan Asia Europe
Foundation, Workshop and Photo Exhibition; Amsterdam, the
Netherlands, 2003
- Staff Export-Import di PT. INDO FERMEX, perusahaan Australia,
1992 -2002.
- Fotografer magang di harian Tempo, 2002
- Malang Meeting Point (mamipo) di Malang, Jawa Timur, Indonesia,
2008 – 2011
- Ford Motor Company International Fellowship of the 92 Street Y,
New York, USA, 2011
- Karya fotografinya dalam eksplorasi diri dipamerkan di
Noorderlicht Photo Festival (2006)
- Festival Erau dan subjek terkait program pengelolaan hutan,
Forclime program bersama GIZ di Malinau, Kalimantan.
- UNFCC untuk Oxfam Intrernasional di Bali.
- Pembahasan perubahan iklim di Saumlaki, untuk Oxfam Inggris di
Indonesia tahun 2007
- Save the Children UK, menugaskannya untuk menjadi fasilitator
utama pada workshop fotografi untuk remaja di Aceh Mulai
November 2006 sampai Juli 2007, termasuk mengikuti latihan untuk
pengajar untuk aktivitas bersama anak-anak, yang diberikan oleh
David Glass Ensemble, staff dari Inggris.
- Launching Buku Foto berjudul Illusion di tahun 2014
- Jakarta Biennale (2015)
- DongGang International Photo Festival (2016).
134
- Panitia seleksi dari World Press Photo Joop Swart Masterclass
tahun 2016.
- Mendokumentasikan program MAMPU - memberdayakan wanita
Indonesia untuk mengurangi kemiskinan, tahun 2015
- Mendokumentasikan proyek yang dilaksanakan, dampak dan
manfaat dari proyek Peradilan Ekonomi untuk lembaga swadaya
Inggris, Oxfam GB, pada tahun 2014
- Proyek Cita Citarum, mendokumentasikan kehidupan sosial di
sepanjang tepi sungai Citarum pada tahun 2010-2011
- Program REDD untuk UNDP pada tahun 2011.
- Menjadi 10 fotografer berpengaruh se- Asia versi IPA (Invisible
Photographer Asia) pada tahun 2017.
Sekolah
- Sarjana Ekonomi di Universitas Malangkucecwara Malang, Jawa
Timur, Indonesia, 1992.
9. Mengapa melalui foto? Selain tentunya fotografer adalah hobi atau
profesi?
Pada saat di sana tentunya saya bekerja sebagai fotografer dan juga
sebagai orang yang ingin tau tentang katolik, berusaha menangkap
bagaimana suasana dari peristiwa ritual di Flores di Larantuka sana. Pada
akhirnya saya juga menemukan umat yang ke sana tidak semuanya datang
dengan niat beribadah. Banya juga yang ingin misalnya karena nazar atau
ingin mencapai sesuatu, dan atau ingin bersyukuratas atas sesuatu yang
sudah dia niatkan.
10. Bisa diceritakan mengapa esai foto yang di pilih?
Bahwa istilah dokumentasi sering kita pahami dan membuat salah kaprah
menjadi seperti dokumentasi kawinan. Dalam arti foto documentary, ya itu
merupakan foto documentary, itu foto dokementer karena saya melakukan
rekaman seakurat mungkin mendekati realitanya tanpa melalui olah digital,
tanpa rekonstruksi gitu. Nah apakah ini foto esai? Dalam pengertian foto
135
esai dan foto stori ada teori-teori lagi, kamu harus lihat lagi apa itu
pengertia foto esai, foto stori dll. Lalu ya kalau ini disebut foto esai karena
foto-foto ini menyampaikan statement-statement aku secara visual. Jadi
masuk ke dokementar dan esai.
11. Bisa dijelaskan beberapa foto yang telah mbak buat dan di
Pamerankan?
Foto pertama dan terakhir saya perlu jelaskan bahwa susunan foto yang
ada itu hasil kerja dengan curator Jakarta biennale yang kuratornya itu
dipimpin oleh Charles sj dan anggota koratornya imas cantini. Jadi para
arstis ini mengajukan satu susunan foto yang nantinya akan dipilih
bersama. Dari rangkaian foto, sebetulnya ada beberapa foto yang tidak
menunjukan ritual atau simbol katolik secara jelas secara visual. Tapi
dalam arti menurut saya cukup mencerminkan pandangan saya tentang
agama secara tidak langsung. Ada emosi, ada alam, ada kaya misalnya di
sini seperti manusia dengan alam. Di luar itu lah keimanan sebetulnya, dan
hubungan kalau kita memahami iman yang lain tidak hanya saya, katolik,
Tuhan dan lilin. Tetapi saya dan alam di mana saya hidup. Dalam arti
ekspresi beragama tidak hanya ditentukan secara ritual dan rajin kegereja
Dan melakukan doa doa tapi juga dengan menghormati alam dan
sesamanya. Ada emosi tentunya ya ada. Elemen2 simbol agama, ada umat
yang melakukan ritual tentu ya. Kalau foto ini seperti kerinduan umat
terhadap yang diekpesikan dengan ritual agama, itu lagi mau masuk gereja
untuk mengikuti salah satu prosesinya, mereka berpanas panasan, artinya
dari mana mana saja mereka ingin merayakan Bersama, ini orang orang
NTT jika diliat dari tenun ikat dikepala, pasti bukan orang luar NTT. Kalau
foto ini saya melihat kaya simbolik umat dia kan, jadi ini jadi prosesi arak-
arakan keliling jalan di kota Larantuka, dimana warga atau umat di sana
itu kebanyakan akan menanti arak-arakan itu di depan rumahnya kemudian
mengeluarkan dan menunjuukkan simbol-simbol agama Katolik, contohnya
seperti memasang lilin, dan ketika arak-arakan lewat, ibu ini memegang
dada dan menunduk, saya terkesan dengan Bahasa tubuhnya dengan
sikapnya yang dalam arti merasakan bagaimana hubungan dengan sangat
136
hormat, khidmat, atau rasa spiritual yang dia rasakan dengan simbol-
simbol ketika arak-arakan lewat, memang dia melihat arak arakan lewat
tapi itu menurut saya seperti tanda kita menyerah kepada kekuatan Ilahi.
Seperti foto ini hubungan manusia menikmati alam. Bahwa kita
mendapatkan kebahagiaan tidak hanya hal-hal abstrak yang selama ini
seperti mungkin orang pahami tapi bagaimana kebahagiaan itu didapatkan
dengan manusia berinteraksi dengan alam. Tentu hal lain sebagai manusia
juga ada emosi. Lalu lilni juga ada di agama lain khususnya konghucu
misalnya. Membakar lilin ini muslim ini tidak, Kalau bunga mungkin. Di
NU iya. Kalu di konghucu kita membakar lilin di kuburan juga, ketika
sembayang juga. Kita juga berziarah juga ke kubur kaya yang di muslim
menganut ziarah kubur.
12. Secara keseluruhan apa yang ingin anda sampaikan melalui foto esai
Flores Revisited?
Pengalaman-pengalaman ini berujung pada pertanyaan-pertanyaan kritis
soal agama, keyakinan, dam identitas. Saya mencoba menjawabnya dengan
fotografi, yang saya tekuni secara profesional sejak 2002. Saya telusuri
ritual katolik di beberapa tempat di Jawa dan Flores. Salah satu hasilnya
adalah Flores revisited, Rekaman atas ritual paskah di Flores. Secara
keseluruhan 14 (empat belas) foto dalam seri ini terinspirasi dari empat
belas ritus pemberhentian jalan salib dalam agama katolik. Beberapa foto
awal menangkap simbol –simbol awal dalam Katolik, patung salib Yesus
yang pecah sebagian, tetesan lilin, serta rosario dalam genggaman tangan
berkuku merah. Beberapa foto lainnya mewakili persepsi saya perihal
agama, yang kerap silang sengkarut dengan tradisi lokal bahkan
kepentingan poitik. Fokusnya ada pada detail keseharian warga di Flores,
seperti cara masyarakat berpakaian untuk menyambut paskah, atau tabiat
anak muda memainkan ponsel pintarnya, sambil sesekali mengintip umat
disekitarnya berdoa.
137
Foto Bersama Ng Swan Ti :