KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM...
Transcript of KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM...
KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HAM
Oleh :
Abdul Qodir
NIM : 103043227980
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Abdul Qodir
NIM : 103043227980
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag
NIP: 150 275 509
Dedy Nursyamsi, SH M.Hum
NIP: 150 264 001
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HAM telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
29 Mei 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum
(PMH).
Jakarta, 29 Mei 2008
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. Drs.H. Muhammad Amin Suma, SH,
MA, MM
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag
(………….)
NIP. 150 275 509
2. Sekretaris : H. Muhammad Taufiqi, M.Ag.
(………….)
NIP. 150 290 159
3. Pembimbing I : Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag
(………….)
NIP. 150 275 509
4. Pembimbing II : Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum
(………….)
NIP. 150 264 001
5. Penguji I : Dr. JM. Muslimin, MA, Ph.D (………..)
NIP. 150 295 489
6. Penguji II : Drs. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc.MA
(………….)
NIP. 150 238 774
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
HIdayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah
Jakarta.
Jakarta: 7 Maret 2008
29 Shafar 1429 H
Abdul Qodir
KATA PENGANTAR
Ungkapan rasa syukur tak terukur, tertutur dalam kata pengantar kepada Allah
swt. Dia telah menuturkan ayat-ayat-Nya untuk dijadikan alat tafakur dan tadabur.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sesuai yang diharapkan.
Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah
menuturkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk dijadikan bahan berfikir.
Selesainya penulisan skripsi ini, bagi penulis merupakan suatu kebanggaan dan
kesenangan yang luar biasa, untuk mengungkapkan rasa tersebut, penulis merasa
susah untuk menterjemahkannya dalam bahasa tulisan. Oleh karena itu, dalam skripsi
ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Yaitu Bapak Prof. Dr. Drs. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM.
2. Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH/PH) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Yaitu Bapak DR. H. Ahmad Mukri Aji, MA.
3. Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum(PMH/PH)Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Yaitu Bapak H. Muhammad Taufiqi, M.Ag.
4. Pembimbing Skripsi, Bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag dan Dedy Nursyamsi,
SH., M.Hum yang telah membimbing penulis dalam penyusunan Skripsi ini.
5. Terkhusus Kepada Bapak Dosen Penasihat Akademik Prodi PMH/PH periode
2003-2008 yaitu Bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag yang telah mengarahkan
dan membimbing kami sehingga telah menyelesaikan program studi sampai
selesai.
6. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum serta seluruh civitas akademika, yang
telah memberikan sumbangsih wawasan keilmuan dan bimbingan selama penulis
berada dalam perkuliahan.
7. Pimpinan Perpustakaan UIN “ Syarif Hidayatullah “Jakarta beserta para staff dan
seluruh karyawannya yang telah melayani penulis selama studi dan khususnya
dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Kedua orang tuaku Ayahanda H.MA. Firdaus dan Ibunda Tercinta Hj. Siti
Fatimah yang telah melahirkan, membesarkan, dan mendidik penulis untuk
menggapai cita-cita.
9. Saudaraku yang tercinta, (Kakanda Hayatun Nufus, Suhlia, Agung Wahyudi, dan
M. Rosyid) yang selalu memberikan motivasi bagi penulis.
10. Teman-teman yang berada di LKB-HMI, (Kanda Jalal, Isnur, Ainul Yaqin) dan
semua yang berada di Komfaksya yang tidak saya sebutkan satu persatu terima
kasih atas motivasi dan pinjaman buku-bukunya.
11. Teman-teman yang tergabung dalam IKBAS (Ikatan Keluarga Besar Alumni
Sunanul Huda).
12. Secara Khusus penulis haturkan salam ta’zhim kepada guru-guruku, di pesantren
Sunanul Huda Cikaroya Sukabumi. Terkhusus Al-mukarram al-ustadz Aa Buya
KH. Dadun Sanusi beserta keluarga. Serta guru-guru yang ada dalam lingkungan
IKBAS korwil Cilebut, ( KH. Jaenudin, KH. Dimyati, KH. Firdaus ) yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis.
13. Sdr. Ali, STh.i, dan Sdr. Wildan Hasan Syadzily, STh.i, yang telah memberikan
kontribusinya sebagai tempat konsultasi sekaligus minta pinjaman buku-buku.
Atas nama pribadi penulis memohon, semoga segala partisipasi, dan motivasi,
dari semua pihak, senantiasa mendapatkan ridho Allah swt. Terakhir, penulis
mengharapkan semoga skripsi ini dapat berguna bagi agama, bangsa, dan khususnya
bagi segenap pembaca.
Jakarta: 28 Maret 2008 M
20 Rabiul Awal 1429 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………...iv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1
B. Identifikasi Masalah……………………………………..………. 7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………. 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………... 9
E. Metode Penelitian……………………………………….……….10
F. Sistematika Penulisan…………………………………………....12
BAB II : HAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT
A. Pengertian Hak Asasi Manusia…………………………………. 14
B. Sejarah dan lahirnya Konsep Hak Asasi Manusia…………….... 19
C. Realitas HAM di dalam Masyarakat Barat dan Islam…………...22
BAB III : BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
HAM
A. Konsep Beragama Menurut Islam dan HAM…………………... 29
B. Sumber dan dalil Hukum Islam………………………………….34
C. Nilai Utama HAM dan Sumber-sumber Hukum HAM……….... 45
BAB IV : PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKRIF HUKUM ISLAM
DAN HAM
A. Kebebasan beragama menurut hukum Islam dan HAM…………60
B. Historitas pindah agama dalam Islam dan HAM………………...84
C. Hukum Pindah Agama dalam Islam dan HAM …………………86
D. Analisis Perbandingan Kebebasan Pindah Agama……………....94
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………97
B. Saran-saran………………………………………………………98
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………......100
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Makna keberadaan agama dalam kehidupan manusia sering kali penuh
dilema. Disatu sisi ia adalah sumber penting dari terbentuknya sebuah peradaban.
Tapi disisi lain, agama pun akan menjadi titik api dari konflik sosial yang
berkepanjangan.1 Agama tidak hanya menjadi inspirasi bagi persaudaraan sejati
(sentripetal ), tapi ia pun dapat menjadi penyulut api permusuhan abadi (
Sentrifugal ).2
Wacana di sekitar HAM di Negara kita akhir-akhir ini termasuk tema
yang paling banyak diperbincangkan berbagai kalangan. Seperti disoroti media
massa, baik dalam maupun luar negeri, Indonesia termasuk negara yang banyak
melakukan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Aspirasi dari berbagai
pihak ditegagkan hukum yang setimpal bagi para pelanggar HAM kian menguat
dan menampakkan dirinya dalam berbagai aksi dan tekanan. Tekanan tersebut
terlihat semakin kental sejak runtuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998. Unjuk
rasa atau demonstrasi baik yang dimotori oleh mahasiswa maupun masyarakat
dari berbagai kalangan digelar dimana-mana sejak dari pusat sampai daerah.3
1 Zainudin Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa: Konstruksi Tentang Realitas
Agama dan Demokratisas, ( Yogyakarta: Yayasan Galang, 2000 ), h. xxi. 2 Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian Hermeneutik, (
Jakarta: Paramadina, 1996 ), Cet. Pertama, h.15. 3Ahmad Kosasih. HAM Dalam Perspektif Islam Menyingkap Persamaan dan
Perbedaan Antara Islam dan Barat, (Jakarta, Salemba Diniyah, 2003), Cet. I. h. xv.
Dikalangan akademisi (Lembaga Pendidikan) tegasnya, Perguruan
Tinggi masalah HAM sudah menjadi bahan perbincangan dan perdebatan sehari-
hari, dengan diadakannya seminar atau Studium general. Pada tanggal 25 Maret
2007 Studium General dilaksanakan di gedung Auditurium UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan Tema “Prospek Pembangunan Hukum, HAM dan
Demokrasi di Indonesia”4 dengan nara sumber (Pemateri) H. Wiranto. S.ip, itu
merupakan sebagian diantara Perguruan Tinggi yang haus akan wacana HAM
demi terciptanya supremasi HAM.
Hingga kini, diskursus HAM dilaksanakan secara seragam dan
menyeluruh diberbagai penjuru dunia (Universal approaches). Sementara yang
lain menghendaki penegakan HAM dari sudut pandang yang lebih spesipik dan
sesuai dengan kondisi budaya dan keyakinan masyarakat setempat (Local
approaches).
Hanya saja, sampai sekarang belum ada solusi yang lebih memadai bagi
kedua kutub tersebut. Bahkan yang terjadi sebaliknya, setiap upaya dari pihak
terakhir di atas selalu dicurigai sebagai pembangkangan atas sesuatu yang
universal. Padahal, demokrasi wacana kembar HAM mengabsahkan perbedaan
pendapat dan meniscayakan penghargaan atas pendapat orang lain.5
4 fakultas Syariah dan Hukum, Studium General, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 25
Maret 2007. 5 Egi Sudjana. HAM dalam Perspektif Islam Mencari Universalitas HAM Bagi
Tatanan Modernitas yang HAkiki, (Jakarta, Nuansa Madani, 2005), Cet. II, h. iii.
HAM dalam Perspektif Islam lebih cenderung bersumber kepada Al-
Qur’an dan As-Sunnah, serta dokumen-dokumen HAM, seperti Piagam Madinah,
Khutbah Wada’ pernyataan kairo tentang HAM Islam hingga Deklarasi HAM
Universal PBB tahun 1948. maka sangat jelas bahwa hak asasi tersebut bukan
berasal dari siapapun, termasuk raja atau Presiden sekalipun, tetapi berasal dari
Causa Prima alam semesta ini, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, atau yang lebih
dikenal dengan istilah Theosentris.
Sedangkan HAM sendiri lebih bersumber kepada HAM barat seperti
HAM yang dideklarasikan oleh badan tertinggi dunia (PBB) pada 10 Desember
1948 yang dikenal dengan piagam PBB tentang hak-hak asasi Manusia atau “The
Universal Deklaration Of Human Right” yang terdiri dari 30 pasal. Magna Charta
yang lahir pada tahun 1215 di Inggris, yang menyatakan bahwa raja yang tadinya
berkekuasaan Absolute (Menciptakan Hukum) menjadi terbatas, dapat dimintai
pertanggung jawabannya dimuka umum. Dari sinilah terlihat raja tidak kebal
hukum lagi.
Lahirnya Magna Charta kemudian diikuti oleh peraturan sejenis yang
lebih dikenal dengan Bill Of Right tahun 1689. Saat itu, timbul adigium Equality
before the law (persamaan kedudukan dimuka hukum). Kemudian, di tahun 1789
lahir he French deklaration. Adapun inti deklarasi itu adalah hak-hak asasi
diperinci lagi sehingga melahirkan dasar the rule of law.
Sedangkan di Indonesia sendiri sebagai Negara demokrasi telah
menjamin HAM, baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini secara formil
dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang terdapat pada
batang tubuh yang mencantumkan 7 pasal di dalamnya: Sebelum amandemen
ketentuan HAM di dalam UUD 1945 relatif sedikit, hanya 7 (tujuh pasal saja
masing-masing pasal 27, 28, 29, 30, 31, 31 dan 34). Namun Sekalipun demikian,
telah diusulkan juga untuk membuka kesempatan memasukkan pasal-pasal HAM
ke dalam UUD 1945 melalui amandemen. Upaya amandemen terhadap UUD
1945 ini telah melalui 2 tahapan usulan. Usulan draft amandemen Undang-
undang Dasar 1945 yang kedua tanggal 18 Agustus 2000 telah menambahkan
satu bab khusus yaitu Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia mulai pasal 28 A
sampai dengan 28 J. Sebagian besar isi perubahan tersebut mengatur mengenai
hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pencantuman hak-hak asasi tersebut dalam UUD 1945 merupakan bukti
adanya jaminan yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya, bukan dalam
kaitannya dengan hukum positif. Serta Undang-undang HAM tahun 1999 No.39
tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 “Tentang Pengadilan HAM”,
serta undang-undang Dasar pasal 27 dan 29 tentang kehidupan yang layak dan
Kebebasan Beragama. Maka sangat jelas bahwa hak asasi tersebut seolah-olah
merupakan hak pemberian manusia atau ciptaan manusia itu sendiri.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa manusia
dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan
kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan
membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani
kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu maka manusia memiliki
kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu,
untuk mengimbangi kebebasan tesebut manusia memiliki kemampuan untuk
bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.6
Sejalan dengan pandangan di atas, maka kita dapat menemukan adanya
nilai kebebasan yang tertuang dalam undang-undang No. 39 Th. 1999. salah satu
Nilai Kebebasan yang terkandung dalam undang-undang tersebut adalah
Kebebasan beragama, yang mana termuat juga dalam deklarasi PBB pada 10
Desember 1948 yang terdiri dari 30 pasal. Yaitu pasal 18 yang berbunyi :
“Setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertobat dan beragama, hak ini
meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk
menyatakan agama dan kepercayaan dalam bentuk beribadat dan menepatinya,
baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat
umum maupun sendiri”.
Begitupun di dalam undang-undang dasar tahun 1945 pasal 29 ayat 1
dan 2 menyatakan adanya kebebasan beragama bahwa Negara menjamin tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
kepercayaannya itu.
Di dalam Islam, kebebasan dan kemerdekaan merupakan hak asasi
manusia, termasuk di dalamnya kebebasan menganut agama sesuai dengan
keyakinannya. Oleh karena itu Islam melarang keras adanya pemaksaan
6 Redaksi Sinar Grafika, UU RI No. 30 Th. 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,
(Jakarta, Sinar Grafika, 2000), Cet. I. h. 1.
keyakinan agama kepada orang yang telah menganut agama lain. Hal Ini senada
dengan ayat suci al-qur’an:
�� ������� � � ������� � ��� � ������ ������ �� !"�#
%&⌧(� �� ) "*☺�, (�-.0�1 �2346�7 ��8 9:�#�1=>
?���8 �����, *@AB�☺�CD�� �=>FG� ��8
)��H�IJ3� �� K� �L�AM�.N�� ��OPQ 0 R���=> SST�.⌧U
V XSY�Z )ة���٢٥٦ :٢/ا( Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut7 dan beriman kepada Allah,
Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat
Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui”. (Q.S.Al-Baqarah/2:256).
Kemudian dijelaskan juga di dalam al-qur’an tentang kerukunan antar
umat beragama melalui toleransi, sebagai berikut:
[\� ]����, 4_���, � (2`��aD��=> ��*☺Kb A2(��#cd
� K�=> �S@ef�� (2Gg=4��=3g>d � (hG�=>
-ij�#�=4 ��*☺8 �k�lN>d R��� "�# mY6�Cnb � �2(��#cd=>
�k���Xo 240=jF�8 � R��� �=j[8=p (240[8=p=> � ��=j�
��qGY6*☺�>d (240� => (2-�GY6*☺�>d � K� �rstP
�=j�qF�8 240=jF�8=> � R��� �S*☺�u�v �=j�qF� �
�P�T� �=> x�nM*☺� �� )١٥ :٤٢/ا��رى(
Artinya: ”Maka Karena itu Serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah8
sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa
nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang
diturunkan Allah dan Aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara
kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. bagi kami amal-amal
kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara
7 Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT. 8 Maksudnya:tetaplah dalam agama dan lanjutkanlah berda’wah
kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah
kembali (kita)". (Q.S. Assûra/42: 15).
Berdasarkan uraian di atas, Islam telah memberikan respon positif
terhadap kebebasan beragama yang tercermin dalam bentuk kerukunan dan
toleransi antar pemeluk agama dibatasi pada hal-hal yang bersifat mu’amalah
(Hubungan antar sesama untuk beragama) atau kemasyarakatan.
Sehingga dalam hal ini, (pasal 18 UDHR) sangat tidak sesuai dengan
apa yang telah dilandasi oleh Islam. Karena pasal ini akan berbenturan dengan
prinsip-prinsip akidah Islam. Adanya pertentangan tersebutlah yang melatar
belakangi penulis membuat skripsi ini berjudul “Kebebasan Pindah Agama
Dalam Perspektif Hukum Islam dan HAM”.
B. Identifikasi Masalah
Agar pembahasan masalah ini tidak rancu, maka perlu adanya
identifikasi masalah. Pada dasarnya kebebasan pindah agama itu terletak pada
kebebasan menjalankan agamanya masing-masing, kenyamanan, dan
ketenteraman, karena kebebasan beragama dan menjalankan semua perintah dan
ajarannya adalah bagian dari Hak Asasi Individu.
Setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertaubat, dan beragama, hal ini
meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk
menyatakan agama dan kepercayaan dalam bentuk beribadat dan menepatinya,
baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik ditempat
umum maupun sendiri.
Adapun yang dimaksud dengan perspektif Hukum Islam dan HAM
dalam skripsi ini adalah Pertama tentang ma’na atau pengertian HAM dalam
Islam dan Barat, latar belakang serta sejarah HAM yang nantinya akan mengarah
kepada realitas HAM dalam masyarakat Islam dan Barat.kedua, penulis akan
memfokuskan pada kerangka hukum yang nantinya akan mengarah kepada
konsep beragama menurut Islam dan HAM.
Ketiga, pembahasan skripsi ini mengarah pada pandangan Islam dan
HAM dalam kaitannya dengan kebebasan pindah agama dengan terlebih dahulu
mengkaji konsep kebebasan, historis pindah agama, hukum pindah agama dalam
perspektif Islam dan HAM serta berakhir dengan uraian analisis perbandingan
kebebasan pindah agama.
Agar permasalahan skripsi ini lebih terarah dan terfokus, maka penulis
akan mengidentifikasikan ruang lingkup penulisan skripsi ini hanya pada
persoalan Islam dan HAM Barat. Namun apabila ada pembahasan HAM menurut
konvensional, Nasional, Internasional itu hanya sebagai penguat saja.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Sebelum menguraikan batasan dan rumusan masalah dalam skripsi ini
secara makro, penulis akan mengulas kata kunci dalam skripsi ini, yaitu Pindah
Agama. Dalam Islam pindah agama lebih dikenal dengan sebutan murtad, yang
mana orang yang murtad harus dibunuh, merupakan sebuah antitesis
(Pertentangan yang menyolok) dikalangan pemikir Islam sendiri.
Agar pembatasan dan permasalahan ini lebih terarah dan terfokus
berdasarkan latar belakang dari uraian di atas, maka penulis akan memberikan
pembatasan ruang lingkup penulisan skripsi ini hanya pada persoalan pindah
agama perspektif hukum Islam dan HAM, yang berhubungan dengan sanksi atau
hukuman bagi pelaku pindah agama.
Untuk lebih memudahkan dalam skripsi ini penulis mencoba untuk
merumuskan masalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana hukumnya pindah agama dalam Islam dan HAM ?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan tentang pindah agama menurut Islam
dan HAM ?
Dengan pembatasan dan perumusan masalah seperti ini, diharapkan
skripsi ini dapat mengupas konsep kebebasan pindah agama dalam perspektif
Islam dan HAM.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang dimaksudkan penulis adalah:
1. Mengetahui hukum pindah agama dalam Islam dan HAM.
2. Mengetahui persamaan dan perbedaan tentang pindah agama menurut hukum
Islam dan HAM.
Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan diharapkan bermanfaat
bagi pihak yang mempunyai kepentingan dengan penelitian hukum ini sebagai
berikut:
1. Manfaat Praktis
Sebagai bahan informasi pengetahuan dan keilmuan bagi para pembaca
dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat yang hegemonis sehingga dapat
meningkatkan hubungan beragama yang harmonis.
2. Manfaat Akademis
Sebagai kesempatan kepada peneliti untuk mengkaji dan membahas
tentang persoalan agama yang terjadi dalam kehidupan beragama khususnya
mengenai kebebasan pindah agama menurut hukum Islam dan HAM.
E. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan data dalam penulisan penelitian skripsi ini,
penulis menggunakan metode:
1. Jenis dan Sifat Data
Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitan ini adalah
jenis kualitatif yakni berupa uraian kata-kata, yang sesuai dengan kebutuhan
penelitian ini. Sedangkan sifat data dalam penelitian ini termasuk penelitian yang
bersifat deskriptif analisis yakni penelitian yang menggambarkan data dan
informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam.
Dengan kata lain penelitian ini untuk menjelaskan tentang kebebasan pindah
agama di Indonesia.
Dan metode yang penulis pergunakan adalah metode deskriftif. Metode
deskriftif bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi
tertentu secara factual dan cermat. Cara ini bertujuan mendeskripsikan keadaan
kongkrit agama yang ada di Indonesia.
Sedangkan sifat data dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian
yang bersifat deskriptif analisis yakni penelitian yang menggambarkan data dan
informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam.
Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis
secara mendalam tentang kebebasan pindah agama yang terkandung dalam
hukum Islam dan HAM Barat serta perkembangannya dalam kehidupan sehari-
hari.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber Data Primer
Pengambilan sumber data primer ini berpijak pada doktrin-doktrin
pemikiran Islam dan Barat. Alur pembahasan dalam skripsi ini akan diawali
dengan konsep agama yang ada dalam hukum Islam dan undang-undang
b. Sumber data skunder
Bahan data skunder ini diambil dari literature Islam (buku-buku Islam),
maupun buku-buku yang bersifat umum, serta seluruh pustaka maupun media
yang berkaitan dengan objek penelitian ini.
3. Tehnik Pengumpulan data
Adapun tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini: Dengan
menggunakan referensi Primer, tentunya cara ini dengan mencari dan mengkaji
buku-buku, serta literature yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas
seperti pemikiran tokoh Islam al-maududi yang berbicara masalah hukum orang
murtad, zakiyuddin baidhawi tentang kredo kebebasan beragama dan studi
perpustakaan lainnya yang berkaitan dengan HAM dalam hal Kebebasan
Beragama.
4. Tehnik Analisis Data
Adapun tehnik analisis data yang penulis gunakan adalah tehnik analisis
semantic relationship analysis (analisis domain) tehnik analisis domain adalah
mencoba menggambarkan objek penelitian pada tingkat permukaan, namun
relative utuh tentang objek penelitian di tingkat permukaan. Jadi dalam penelitian
ini penulis hanya bersifat eksploratif. Artinya, analisis hasil penelitian ini hanya
ditergetkan untuk memperoleh deskripsi objek penelitian secara general.
Alasan penulis menggunakan metode analisis ini adalah karena metode
ini sangat relevan dengan objek yang akan diteliti, yaitu penulis mencoba
menggambarkan secara umum mengenai keberagamaan dalam Hukum Islam
maupun hukum positif yakni undang-undang yang berlaku di Indonesia.
5. Tehnik Penulisan
Adapun metode penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman
penulisan skripsi tesis dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Agar pemahaman dalam naskah skripsi nanti teratur dan berurutan
dengan baik, maka pembahasan proposal ini dibangun secara sistematis, sehingga
diharapkan dapat diperoleh kejelasan yang semaksimal mungkin dari informasi
yang termuat dalam skripsi nanti.
Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I : Merupakan Bab Pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang
Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan
Masalah,Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian serta
Sistematika Penulisan.
BAB II : Membahas tentang HAM dalam perspektif hukum Islam dan Barat
yang meliputi: pengertian Hak Asasi Manusia, sejarah dan lahirnya
Konsep Hak Asasi Manusia yang berhubungan dengan kebebasan
pindah agama, serta penjelasan tentang Realitas HAM dalam
Masyarakat Barat dan Islam.
BAB III : Membahas Beragama dalam Perspektif Hukum Islam dan HAM, yang
meliputi: Konsep Beragama Menurut Islam dan HAM, sumber dan
dalil hukum Islam, serta Nilai Utama HAM dan sumber-sumber
hukum HAM.
BAB IV : Membahas kebebasan pindah agama Perspektif Hukum Islam dan
HAM. Yang dimulai dengan pembahasan mengenai kebebasan
beragama menurut hukum Islam dan HAM, Historis pindah agama
dalam Islam dan HAM, Hukum Pindah Agama dalam Islam dan HAM
dan berakhir dengan uraian analisis perbandingan kebebasan pindah
agama.
BAB V : Merupakan Penutup Yang Berisi Kesimpulan dan Saran-Saran, serta
dilengkapi dengan Daftar Pustaka.
BAB II
HAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT
A. Pengertian Hak Asasi Manusia
Pengertian segala sesuatu itu menjadi sangat penting. Begitu juga
dengan pendefinisian Hak Asasi Manusia. Karena jika definisinya telah diketahui
dengan jelas, maka akan memudahkan pembaca untuk mengetahui lebih jauh
permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan kajian penulis tentang
hak-hak asasi manusia.
Hak-hak asasi manusia terdiri dari tiga suku kata, yaitu Hak, Asasi dan
Manusia. Untuk mendapatkan pengertian yang memadai tentang hak asasi
manusia, akan diuraikan terlebih dahulu kata demi kata dibawah ini.Kata hak
merupakan kata tunggal, mufrad atau singular, sedangkan hak-hak adalah jamak
atau plural. Dengan kata lain hak-hak adalah kata jamak dari hak.
Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas
sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Hak Asasi menunjukan bahwa kekuasaan atau
wewenang yang dimiliki seseorang tersebut bersifat mendasar, pemenuhannya
bersifat imperatif (perintah yang harus dilakukan). Artinya hak-hak itu wajib
dipenuhi karena hak-hak ini menunjukkan nilai subjek hak.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan
tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia.
Haka Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah
diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya, atau kehadirannya di
dalam kehidupan masyarakat.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak
lahir yang melekat pada esensinya sebagai anugerah Allah SWT (Mustafa Kemal
Pasha).
Hak Asasi Manusia adalah seperangakat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara
hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia ( Undang-undnag Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia).
Kata hak dalam bahasa Indonesia dapat diduga berasal dari atau
merupakan pengaruh dari bahasa Arab, قح. Menurut Ensiklopedi Islam, hak
secara semantik berarti milik, harta atau sesuatu yang ada secara pasti.9
Miriam Budiardjo mengatakan Hak asasi adalah hak yang dimiliki
manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau
kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu
dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, dan
karena itu bersifat azasi serta universal. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa
9 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 2, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994), h. 67.
manusia memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan
cita-citanya.10
Menurut Mr. L.J. Van Apeldoorn yang dikutip oleh C.S.T Kancil, hak
ialah hukum yang dihubungkan dengan seorang manusia atau subjek hukum
tertentu dan dengan demikian menjelma suatu kekuasaan dan suatu hak timbul
apabila hukum mulai bergerak. Kata hak dalam bahasa latin digunakan istilah ius,
dalam bahasa Belanda reight ataupun droit dalam bahasa Perancis, adalah izin
atau kekuasaan yang diberikan oleh Hukum.11
Hak adalah keterkaitan yang tidak mungkin dipahami oleh hak individu
tanpa individu lain yang terkait dengannya. Tatkala individu menjadi seorang
yang berdiri sendiri ( mandiri), maka ia memiliki hak yang tidak boleh dilanggar.
Pada umumnya hak adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi
tindak-tanduk atau perilaku orang lain, tidak dengan cara mempergunakan
kekuatannya sendiri, tetapi berdasarkan pendapat umum atau kekuatan umum.
Dengan pengertian lain hak adalah suatu tuntutan ( Claim ) yang berkat adanya
suatu kaedah hukum dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain, supaya orang
lain itu berbuat atau bertindak menurut suatu kaedah tertentu.12
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Hak berarti: a). benar, b). milik
kepunyaan, c). kewenangan, d). kekuasaan untuk berbuat sesuatu, e). kekuasaan
10 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2003), Cet. Ke-24, h.120. 11 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,( Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), Cet. Ke-8, h.120. 12 Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum. ( Bandung Citra Aditya
Bakti, 1993), h.36-37.
yang benar atas sesuatu atau menuntut sesuatu, f). derajat atau martabat, g).
hukum wewenang menurut hukum.13
Asasi, asas berarti dasar ( sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau
berpendapat). Asasi berarti bersifat dasar, pokok.14
Manusia, makhluk yang
berakal budi (mampu menguasai makhluk lain: insan, orang).15
Dalam kamus politik, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki
manusia karena kelahirannya, bukan karena diberikan oleh masyarakat atau
negara. Hak Asasi Manusia tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku
oleh negara. Hak Asasi ini antara lain : hak atas hidup, kemerdekaan, hak atas
milik pribadi, hak atas keamanan, hak melakukan perlawanan terhadap
penindasan dan hak untuk mencapai kebahagiaan.16
Menurut Frans Cauvin, hak dan padanannya dalam beberapa bahasa
yang penting memiliki dua pengertian moral dan politik yang penting, yakni
kejujuran dan keberkahan.17
Dalam arti kejujuran, kita berbicara mengenai hal
melakukan sesuatu dengan benar, mengenai sesuatu yang berada dalam keadaan
benar (atau salah). Menyangkut keberkahan dalam arti lebih sempit, kita secara
khusus berbicara tentang seseorang yang memiliki hak.
13 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.292. 14 ibid, h. 52 15 ibid, h. 558 16 BN. Masbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), Cet.1, h.193. 17 Frans Cauvin, Hak Asasi Manusia:Pendasaran Dalam Filsafat Hukum dan Filsafat
Politik, (Flores: Ledorero,2004), Cet.1. h. 5.
Hak Asasi Manusia dengan demikian merupakan hak yang mesti dan
harus diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Sebagai hak,
HAM termasuk kedalam kelompok hak mutlak dan HAM ini merupakan hak
alami setiap individu. Hak asasi ini dianggap mutlak dan alami bagi setiap
individu karena hak dapat dipertahankan terhadap siapapun orangnya, sebaliknya
siapapun harus menghormati hak asasi tersebut. Hak asasi yang disebut juga hak
dasar manusia adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dipisahkan dari badannya
dan tidak dapat diganggu gugat.18
HAM merupakan hak mutlak yang ada pada diri manusia semenjak ia
dilahirkan dan merupakan anugerah terbesar yag Allah SWT berikan kepada
hambanya. Dengan demikian maka, HAM merupakan hak yang kuat dan yang
harus dilindungi dan dipertahankan dengan perlindungan dari sebuah negara. Hal
tersebut dijelaskan dalam UU No. 39 tahun 1999 Tentang hak Asasi Manusia
yang terdapat dalam pasal 2 dan pasal 8 yang berbunyi:
Pasal 2
Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari
manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia
yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena
itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara
hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan
memajukan serta mengambil langkah-langkah konkrit demi tegagnya hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia.
18 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), Cet. I.
h.56
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi
manusia.
B. Sejarah dan Lahirnya Konsep Hak Asasi Manusia
Dalam sejarah umat manusia telah tercatat banyak kejadian, seseorang
atau segolongan manusia mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau
golongan orang lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap sebagai haknya.
Sering perjuangan ini menuntut pengorbanan jiwa dan raga. Juga didunia barat
telah berulang kali ada usaha untuk merumuskan serta memperjuangkan beberapa
hak yang dianggap suci dan harus dijamin. Keinginan ini timbul setiap kali terjadi
hal-hal yang dianggap menyinggung perasaan dan merendahkan martabat
seseorang sebagai manusia.
Menurut penyelidikan ilmu pengetahuan, sejarah Hak-Hak Asasi
Manusia itu barulah tumbuh dan berkembang pada waktu HAM tersebut oleh
manusia mulai diperhatikan dan diperjuangkan terhadap serangan-serangan atau
bahaya yang timbul dari kekuasaan suatu masyarakat atau negara, pada
hakikatnya persoalan mengenai HAM itu berkisar pada hubungan antara manusia
sebagai individu dan masyarakat.
Ide HAM timbul pada abad ke tujuh belas dan abad ke delapan belas
masehi, hak-hak ini timbul sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan
kaum feodal di zaman itu terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia
yang dipekerjakan sebagai budak. Masyarakat manusia zaman silam terdiri dari
dua lapisan besar. Lapisan atas, minoritas yang mempunyai hak-hak dan lapisan
bawah, mayoritas yang memiliki kewajiban-kewajiban.
Sebenarnya, HAM merupakan sebuah gagasan lama yang telah ada
sebelumnya yaitu ketika Islam datang. Konsep ini berawal dari filsafat stoika di
zaman kuno yang termaktub dalam yurisprudensi hukum kodrati (natural law)
Grotius dan Ius Naturale dari undang-undang Romawi. Kendati gagasan lama,
istilah “hak asasi manusia” menjadi relative baru dan menjadi bahasa sehari-hari
di sela-sela perang dunia II, dan dalam proses pembentukan PBB (perserikatan
bangsa-bangsa) tahun 1945. Hak asasi manusia menggantikan istilah Natural
right yang menjadi suatu kontroversi.19
Ide tentang HAM bersumber dari ide hak alamiah. Para pakar
jurisprudensi Barat menegaskan bahwa ide tentang HAM pada asalnya
merupakan campuran-campuran, dimana abad ke-18, sekolah-sekolah filsafat
menjadi tempat rujukan dan merupakan ibu dari sekolah hak alami, seperti yang
disodorkan dan dipelopori oleh filosuf Jhon Lock pada tahun 1690 M, yang
menjabarkan ide-idenya sebagai ungkapan-ungkapan mengenai HAM dikemudian
hari, yang dijabarkan oleh seorang ahli hukum inggris Philaxton, pada
pertengahan abad ke delapan belas.20
19 Heru Susetyo, Hak Asasi Manusia : Sejarah Doktrin dan Kendala Implementasinya,
dalam Majalah Sabili, edisi. IV, 13 November 2001, h. 1. 20 Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Salih al-Wakil, HAM Menurut Barat, HAM
Menurut Islam,Ter. Yahya Abdurrahman, dari Huquq al-Insan Fi al Fikr as-siyasi al-gharbi wa
asy-syar’I al-Islami, (Dirasah Muqaranah), (Bogor, Pustaka Thariqul Izah, 2005), Cet.1, h. 6.
Karenanya, para pemikir politik Barat kontemporer berpendapat
menurut pandangan kaedah-kaedah serta pemahaman semata mengenai Hak Asasi
Manusia. Pandangan hak asasi ini terfokus pada pembatasan kekuasaan penguasa,
dan pengakuan atas hak-hak individu. Pemikiran tersebut bersandar pada apa
yang disebut dengan hak alami yang dimiliki individu dan juga bersandar pada
pemikiran-pemikiran undang-undang alami buatan manusia, yang merupakan
rujukan tertinggi bagi hak-hak dan kewajiban yang digali dari alam.
Manusia pada tingkat pengetahuan itu dengan akalnya, dan akal
merupakan anugerah yang paling besar yang diberikan Allah SWT kepada
manusia. Dengan akal, manusia melakukan penggalian hukum yang memadai
untuk melindungi hak-hak individu yaitu berupa undang-undang alami yang
bersifat tetap, kekal dan yang tidak berubah. Pemikiran undang-undang alami
telah menghantarkan kepada dibangunnya substansi dan perspektif yang
membatasi pokok-pokok fitriyah bagi sebagian pilar-pilar perundang-undangan,
semisal perspektif tentang kontrak sosial yang menjadi visi bagi pengakuan hak-
hak dasar individu yang lebih diprioritaskan atas pelaksanaan kekuasaan
pemerintah, pandangan itu adalah berbagai perspektif yang berujung pada (ide)
HAM.21
Konsep HAM dalam Islam telah lahir jauh sebelum semua bentuk
deklarasi Barat disahkan, yaitu pada tahun pertama bulan hijriyah atau abad ke-7
21
Ibid h. 7.
masehi, sebagaimana yang telah terjadi pada masa Rasulullah SAW dengan
dibentuknya sebuah deklarasi Piagam Madinah yang merupakan deklarasi yang
pertama kali memuat akan HAM.
Konsep HAM dalam Islam lahir pada tahun pertama bulan hijriyah atau
abad ke-7 masehi, jauh sebelum semua bentuk deklarasi Barat disahkan.
Sebenarnya, agama-agama yang dibawa para Nabi dan Rasul tidak kurang
perhatiannya dan upayanya dalam menegakkan HAM.
Dalam ajaran agama, HAM merupakan karunia Allah SWT yang
diberikan kepada umat manusia begitu manusia itu dilahirkan, dengan kata lain
sudah menjadi kodrat dan bawaan manusia. Sebagaimana yang terjadi pada masa
Rasulullah SAW dengan dibentuknya sebuah deklarasi pertama Piagam Madinah
yang pertama kali memuat segala hak-hak manusia.
C. Realitas HAM di Dalam Masyarakat Barat dan Islam
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sosiologis perlindungan hak
asasi manusia disetiap negara atau masyarakat tidak dapat dinilai dari pernyataan-
pernyataan politis atau diplomatis suatu negara. Dengan demikian kita akan
melihat bahwa negara yang paling vokal sekali pun bisa jadi tidak menerapkan
sepenuhnya perlindungan hak asasi manusia atau tidak bebas sama sekali dari
diskriminasi. Oleh karena itu melihat fakta bahwa pelanggaran hak asasi manusia
tidak hanya terjadi di negara-negara Dunia Ketiga, akan tetapi bisa juga
ditemukan di negara Barat yang paling liberal. Kita mengetahui insiden Los
Angeles di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu atau diskriminasi terhadap
penduduk pribumi (Aborigin) di Australia, atau berbagai kasus pelanggaran hak
asasi manusia lainnya di negara-negara Barat. Dengan adanya politik luar negeri
beberapa negara Barat, seperti Amerika Serikat, yang menerapkan standar ganda
dan jelas-jelas melakukan pelanggaran HAM di Dunia Ketiga.
Namun, kita harus mengakui bahwa berbagai pelanggaran tersebut lebih
sering terjadi di negara-nagara Dunia Ketiga, termasuk di negara-negar Islam,
baik dilakukan oleh negara maupun masyarakat. Cukup disesali bahwa masih
banyak negara Islam dan negara yang berpenduduk mayoritas Muslim yang
belum mengakui dan meratifikasi berbagai konvensi, seperti Universal
Deklaration of Human Right, Konvensi atas hak-hak sipil dan politik atau atas
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.22
Sehingga dapat diketahui bahwa HAM yang dijunjung tinggi oleh Barat
ternyata bertolak belakang dengan apa yang selama ini diorasikan, pandangan
Barat mengenai HAM yang ingin berusaha menjunjung tinggi nilai-nilai HAM
ternyata dilanggar sendiri oleh Barat dengan melihat adanya Diskriminasi ras,
Ekonomi dengan standar gandanya, dan dengan adanya terorisme yang mengatas
namakan agama. dengan demikian negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Islam,
22 Elza Peldi Taher. Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996,
Cet. I h. 113.
berusaha untuk menolak gagasan HAM yang berakarkan Barat salah satunya
yaitu dengan belum mengakui dan meratifikasi berbagai konvensi.
Gambaran realitas ini menjadi sesuatu yang menakutkan ketika
tindakan-tindakan terorisme mulai muncul, khususnya selama dekade 70-an dan
80-an yang mengklaim bertindak atas nama atau sekurang-kurangnya berkaitan
dengan gerakan Islam tertentu di Timur Tengah, terlepas dari latar belakang atau
sebab apa yang mendasarinya. Sehingga hal itu menciptakan gambaran di mata
Barat bahwa masyarakat Islam bersifat eksklusif dan menakutkan, dan dipandang
sebagai “anti HAM”.
Ini disebabkan karena Sarjana-sarjana politik, seperti Hunington dan
sebagian pengamat lainnya dengan pengetahuan yang dangkal mengenai Islam
dan keaneka-ragaman masyarakat Islam, melihat Islam sebagai “sebuah realitas
yang eksklusif dan menakutkan” dan pada saat bersamaan memandangnya
sebagai suatu potensi “ancaman” bagi Barat.
Dengan demikian perlu kiranya kita melihat realitas HAM yang ada di
Indonesia, ada tiga perbedaan tajam dan kontroversial di dalam Majelis
Konstituante pada tahun 1950-an. Pertama, tentang pemisahan antara negara dan
agama. Kedua, tentang larangan propaganda anti-agama. dan ketiga, Tentang
kebebasan seseorang untuk berganti agama. Harus diakui bahwa pemikiran
tentang hak asasi manusia di Indonesia dalam empat puluh lima tahun terakhir
mengalami kemunduran.23
Di Negara-Negara berkembang, usaha untuk meluaskan penerimaan
akan ide-ide tentang hak asasi manusia sering mengalami hambatan. Salah satu
hambatan itu datang dari argumen bahwa konsep hak asai manusia itu adalah
buatan Barat, dengan konotasi sebagai sumber kejahatan kolonialisme dan
imperialisme. Dalam retorika yang menyangkut masalah pandangan hidup, hak
asai manusia yang merupakan konsep Barat itu adalah sama dengan sekulerisme,
jika bukan ateisme sekalian. Maksudnya ialah adanya usaha untuk menegakkan
hak asasi manusia dalam wacana budaya dan agama. dimana pandangan Barat
mengenai HAM lebih berorientasi kepada Nilai-nilai kemanusian
(Antroposentris), bukan Nilai-nilai Ketuhanan (teosentris).
Mendengar tanggapan semacam itu, biasanya kita langsung menolaknya,
dan mencapnya sebagai keterbelakangan, konservatisme, atau bahkan mungkin
kebiadaban. Kita mungkin akan segera mengasosiasikannya dengan kelompok
tertentu, baik dalam kategori kedaerahan, kebangsaan, atau kesukuan, maupun
dalam kategori keagamaan. Pengasosiasian itu disertai dengan penilaian langsung,
bahwa kelompok tertentu memang pada dasarnya tidak dapat menerima ide
23 Ibid,h.116
tentang hak asasi, karena pandangan hidup mereka yang secara inherent tidak
mendukung.24
Jika kita ingat bahwa kenangan pahit dari kolonialisme dan imperialisme
belum terlewatkan lebih dari dua generasi (sekitar 50 tahun), maka prasangka
yang keras kepada Barat, yang ikut mengaburkan kepada hal-hal yang sebenarnya
tidak murni Barat semata, seperti ide tentang hak asasi manusia, dapat sedikit
banyak kita pahami. Persoalannya mungkin bukanlah bagaimana menghilangkan
kenangan pahit atau negatif kepada Barat akibat pengalaman kolonialisme dan
imperialisme, (yang memang masih banyak tersisa dan belum seluruhnya
terhapus).25
Karena yang menjadi sasaran penjajahan dan imperialisme Barat ialah
negara-negara Islam, maka kenangan yang pahit dan kekalahan oleh Barat itu
menjadi sebab banyaknya kecenderungan pada kaum muslim untuk
mendefinisikan dirinya berhadapan dengan Barat. Serta menegaskan keunikan
mereka dalam sejarah, bahwa orang-orang Islam banyak mempunyai kompleks
membedakan diri dari Barat, dan menolak sesuatu yang datang dari Barat.
Bagaimanapun juga, kedamaian yang ditawarkan oleh Islam adalah pesan yang
24Nurcholish Madjid. Hak Asasi Manusia “dalam perspektif Budaya Indonesia”.
Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1997 Cet. Ke-1. 25 Ibid.h. 43.
paling berkedamaian di antara semua agama. diluar itu Islam datang menentang
kita, kitalah yang lebih dahulu mengundangnya ke Iran.26
Secara lebih khusus lagi berkenaan dengan usaha-usaha pengakuan hak
asasi manusia Chandra Muzaffar menunjuk kepada beberapa ironi dan sikap-sikap
tidak konsisten dari para sponsor hak asasi itu di Barat. Sehingga perlu kiranya
kita mengutif apa yang dikatakannya tentang hal ini ia katakan demikian:
“Sementara kebanyakan kelompok hak asasi manusia menaruh perhatian
kepada otoritarianisme pada peringkat nasional, mereka jarang bereaksi terhadap
penguasaan dan dominasi politik oleh suatu klik dari utara. Padahal
otoritarianisme pada peringkat internasional, sebagaimana telah kita tunjukkan,
memperlihatkan kesamaan yang mencolok dengan otoritarianisme pada peringkat
nasional. Pada kedua peringkat itu misalnya, terdapat manipulasi media dan
penyalahgunaan lembaga-lembaga politik dan proses-proses hukum untuk
melayani kepentingan mereka yang memegang kekuasaan. Pada politik peringkat
nasional dan internasional, penguasaan dan dominasi kaum elite telah
mengakibatkan kemerosotan dan pengingkaran hak-hak asasi manusia. Karena itu
orang pun bertanya-tanya, mengapa otoritarianisme pada peringkat internasional
dapat luput dari sensor kelompok-kelompok hak-hak asasi konvensional di Utara
maupun Selatan”?27
26 Ibid.44. 27 Ibid. h. 45.
dari kutifan diatas dapat kita ketahui bahwa adanya pertentangan yang
terjadi dalam hal Realitas HAM di Barat, salah satunya ialah tidak konsistennya
para Sponsor hak asasi di Barat mengenai sistem yang ada pada tingkat
Internasional dan sistem yang ada pada tingkat Nasional sehingga terjadi
manipulasi dan penyalahgunaan lembaga politik dan proses hukum, yang
merupakan sumber hukum HAM itu sendiri.
BAB III
BERAGAMA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM
A. Konsep beragama Menurut Islam dan HAM.
1. Definisi Agama
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut agama. selain kata
agama, dikenal juga istilah Religi dan Din. Menurut Sidi Gazalba, agama
bukanlah istilah yang berasal dari Islam. Ia dipinjam dari bahasa Sansekerta untuk
menunjuk sistem kepercayaan dalam Hinduisme/Budhisme.
Istilah lain bagi agama ialah Religi yang berasal dari bahasa latin.
Menurut satu pendapat asalnya ialah Relegere yang mengandung arti
mengumpulkan dan membaca. Sedangkan kata Din dalam bahasa semit
mempunyai arti Undang-undang atau Hukum. Sedangkan dalam bahasa Arab,
kata din mengandung arti Menguasai, menundukan, patuh utang, balasan, dan
kebiasaan.
Sedangkan istilah agama dapat didefinisikan sebagai berikut:
وا���ح ا�0ل ا/.ح -(ا( و,+ ا*( )�'& %وى ا#��ل ب� ���ره� ا���
ا�ل �
Artinya: “Suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang
mempunyai akal untuk mencapai kebaikan hidup dan kebahagiaan kelak
di Akhirat.”1
1 Taib Thahir abd. Muin. Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1986), Cet. VIII, h.121.
Menurut Harun Nasution, Guru Besar Filsafat dan Teologi Islam
berdasarkan analisisnya terhadap berbagai kata yang berkaitan dengan agama
yaitu al-din dan religi dan kata agama itu sendiri sampai pada kesimpulan bahwa
intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas ialah ikatan. Agama
mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan
ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-
hari, ikatan ini berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia.2
2. Konsep Beragama Menurut Islam
Konsep bergama menurut Islam terdiri dari 4 bidang, diantaranya:
a. Bidang Aqidah.
Aqidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga
bertemu dan bersambung secara kokoh. Aqidah dalam Islam meliputi keyakinan
dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah, ucapan dengan
lisan dalam bentuk dua kalimah syahadat, yaitu menyatakan bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan Allah.
b. Bidang Ibadah.
Secara harfiah Ibadah berarti bakti manusia kepada Allah. Karena
didorong dan dibangkitkan oleh aqidah tauhid. Majlis Tarjih Muhammadiyah
mendefinisikan ibadah sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan
2 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Pres, 1979), Cet. I
h.10.
mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan mengamalkan
segala yang diizinkan-Nya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Yang
umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah. Sedangkan yang khusus ialah
apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-Nya, tingkat dan cara-caranya
yang tertentu.3
c. Bidang Munakahat (Perkawinan).
Perkawinan dalam literatur Fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua
kata, yaitu Nikah dan Zawaj. Kedua kata ini merupakan kata yang terpakai dalam
kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-qur’an dan hadist
Nabi. Kata na-ka-ha terdapat dalam al-qur’an dengan arti kawin, seperti terdapat
dalam surat An-Nisậ ayat 3:
y�=> X4z�.n! {�>d ��347nB��G� �
)p=f6�C=T� �� ��3��n0N���, ��# !|�� 240� !"�~#
�4��AB�~q �� )&����# *�6�YGI=> *S6�8Jp=> � y��, Ia�.n! {�>d ��34 ��G��
��*���]=3�, >>d ��# �i�0�Y�# (240q6*☺1>d ) *@� ]��
����_>d {�>d ��34 3G�� )�34ءا/ ٤:٣(
Artinya;”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil4, Maka
3 Nasruddin Razak, Dỉnul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1977), Cet. II, h. 44 & 47. 4 Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
(kawinilah) seorang saja5, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S.
An-Nisậ / 4 : 3).
Demikian pula dengan kata zawaj terdapat dalam al-qur’an dalam arti
kawin, seperti pada surat al-Ahzậb ayat 37:
���=> k3-��� �l����� !2*GN>d R��� �P�T�Y�
Ai�☺*GN>d=> �P�T�Y� �@nB�#>d *@�T�Y� *@*�>*�
������=> ���� �n��1c#=> � [\nB�.�N ��# R��� �P1��(@# &*��1>#=> ����j �� R���=> p�*P>d y>d P ���1>#� ��☺�Y�, )&A&�� &�1*� �r���~#
����=> �*u�06�q���>*� (��m� K� �y340�1 ����
� ��j�#��☺� �� O��*P � :O]=>��>d (2u���=T�_>d
���� ��(3K��� �"���# ����=> ) [%�⌧=> ��#>d ?��� j�3G�.�# )٣٣:٣٧/ا9ح7اب(
Artinya; “Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia
6 supaya tidak ada keberatan bagi
orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya
7. dan adalah ketetapan Allah itu
pasti terjadi”. (Q.S. Al-ahzậb / 33:37).
5 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat
ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad saw.
Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. 6 Maksudnya setelah habis idahnya. 7 Yang dimaksud orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid
bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam.
Nabi Muhammad pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan
mengangkatnya menjadi anak. Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh megawini
bekas istri anak angkatnya.
Secara garis besar kata nikah atau zawaj dapat diartikan sebagai
berikut:
ا�طء بBCD ا�A4ح اوا�7وج?�% ��<=> اب�ح;
Artinya “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan
hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz Na-ka-ha atau Za-wa-
ja”.
d. Bidang Mua’amalat
Kata mu’ậmalật (تالماعملا) yang kata tunggalnya mu’ậmalah (ةلماعملا)
yang berakar pada kata لماع mengandung arti saling berbuat atau berbuat secara
timbal balik. Lebih sederhana lagi berarti hubungan antara orang dengan orang.
Bila kata ini dihubungkan kepada lafaz fiqih, maka mengandung arti aturan yang
mengatur hugungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup
didunia. Ini merupakan imbangan dari fiqih ibadah yang mengatur hubungan lahir
antara seseorang dengan Allah. Jadi secara khusus muamalat adalah hubungan
antara sesama manusia yang berkaitan dengan harta.
3. Konsep Beragama Menurut HAM.
Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar
yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak
beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak
dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip
persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apapun dan juga tidak
boleh ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar
manusia, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama, termasuk hak untuk
pindah agama.
Konsep beragama yang ditawarkan HAM di atas, dapat kita ketahui
dengan jelas karena tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM), ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM,
seperti dokumen Right Of Man France (1789), Bill Of Right Of USA (1791), dan
Internasional Bill Of Right (1966). Selanjutnya dapat kita ketahui beberapa pasal
yang berkaitan dengan kebebasan beragama yang termuat dalam HAM:
Pasal 2
“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum
di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula
kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan
lain.”
Pasal 18
“Setiap orang mempunyai hak kebebasan untuk berpendapat dan beragama,
termasuk hak untuk pindah agama.”
B. Sumber dan dalil Hukum Islam
Struktur yuridis Islam dalam menentukan ibadah ritual maupun pola
hubungan antara manusia dengan Allah, antar manusia dengan manusia maupun
dengan makhluk lainnya, tidak lepas dari dua sumber hukum, yaitu al-Qur’an, al-
hadist, dan dua dalil hukum ijmak dan qiyas. Pada prinsipnya struktur hukum
tersebut mendasari pemikiran tentang ijtihad di masa sekarang.
Hal ini penting dikemukakan untuk menghindari salah faham terhadap
ideologi Islam. Sementara ini, parameter tentang hak-hak manusia masih berkiblat
ke ideologi Barat, sehingga nilai-nilai Islam yang banyak berbeda dengan ideologi
Barat dipandang tidak berlaku universal.
Untuk memahami sistem nilai yang berlaku dalam Islam perlu kiranya
kita lihat salah satu Firman Allah:
�r�[�>��6�1 � ������� ���3q�#�=4 ��3GT�>d
���� ��3GT�>d=> �k3�D�� �� ���>cd=> �(�ao�� I40j�# y��,
X4z��l6=j�� � d4&⌧? �>_��, ���� ?���
`k3�D�� ��=> y� X4zq4 �y3j�#�G� ?���8
��n!a*���(3=T� ��=>� ) *@� ]�� �x(�*!�"AB�P>d=> �⌧1>,���) �34ء٥٩: ٤/ا(
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Taatillah Allah dan Rasul-Nya dan ulil
amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”. (Q.S. An-
Nisa/4:59).
Ayat ini menjelaskan tentang beberapa hal yang menurut Maududi
bersangkutan dengan konstitusi dasar28
. Sehingga undang-undang tertinggi bagi
orang-orang mukmin, menurut al-qur’an adalah patuh dan taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, bersumber dari syari’ah bukan hasil ijtihad manusia, bersifat tetap
tidak berubah, berbeda dengan hasil ijtihad Fiqih. Dalam persepsi Maududi, tidak
28 Shalahuddin Hamid. HAM dalm Perspektif Islam, Jakarta, Amisco, 1994, Cet.I h. 73
seorang muslim pun berhak mengeluarkan suatu hukum dalam suatu perkara yang
hukumnya telah dikeluarkan Allah dan Rasul-Nya. Menyimpang dari hukum
Allah dan Rasul-Nya adalah kebalikan dari iman dan lawan baginya.9
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab samawi yang diturunkan paling terakhir oleh
Allah swt, kepada Nabi Muhammad saw (571-632), sebagai penyempurnaan dan
pelengkap dari kitab-kitab yang diturunkan Allah swt. Dengan jumlah ayat-Nya
sebanyak 6236 ayat, ayat-ayat tentang hukum hanya sedikit. Soal-soal kehidupan
kemasyarakatan hanya berjumlah 228 ayat atau 3 ½ persen. Abdul Wahab
Khallaf10
merangkumnya sebagai berikut:
a. ayat-ayat mengenai soal sosial-kemasyarakatan: pembentukan
keluarga,perkawinan, perceraian, hak waris dan sebagainya sebanyak 70
ayat.
b. ayat-ayat menegenai sosial-ekonomi: perdagangan/perekonomian, jual
beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak dan
sebagainya sebanyak 70 ayat.
c. ayat-ayat mengenai masalah yuridis, soal kriminal sebanyak 30 ayat.
9 Ibid. h. 74 10 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (al-Qahirah: Dar al-Qolam, 1978), Cet.
VIII. h. 73.
d. ayat-ayat mengenai masalah yuridis: soal pengadilan, sumpah,
perjanjian, persaksian dalam upaya menegakkan keadilan dan
penegakkan hak-hak asasi manusia sebanyak 13 ayat.
e. ayat-ayat mengenai soal politik dalam negeri, perundang-undangan,
konstitusi, soal kenegaraan sebanyak 10 ayat.
f. ayat-ayat mengenai soal politik luar negeri: mengenai hubungan
kedaulatan Islam dan bukan Islam sebanyak 25 ayat.
g. ayat-ayat mengenai soal ekonomi: hubungan kaya dan miskin sebanyak
10 ayat.
Fazlurrahman menjelaskan : Semangat dari dasar al-qur’an adalah
semangat moral, dari mana ia menekankan monotheisme serta keadilan sosial.
Hukum moral adalah abadi. Manusia tidak dapat membuat atau memusnahkan
hukum moral, tetapi ia harus menyerahkan diri kepadanya. Penyerahan ini
dinamakan Islam dan Implementasinya (pengabdian kepada Allah) atau yang
biasa disebut ibadah. Karena penekanan morallah hingga Al-qur’an tampak bagi
banyak orang terutama sebagai Tuhan Keadilan. Tetapi hukum moral dan nilai-
nilai spritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui.11
Al-qur’an merupakan sumber hukum yang melahirkan hukum-hukum
kemanusiaan, bagi umat Islam fundamental mereka tidak perlu mengambil
ideologi lain untuk mengambil hukum. Tetapi kaum demokrat menurut mereka
11 Fazlurrahman, Islam, alih bahasa ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Bandung,
1984), Cet. I, h. 34.
Islam membolehkan mereka untuk mengambil jalan ijtihad terhadap persoalan-
pesoalan yang tidak menyangkut ibadah mahdah.
Al-Banna dengan teori Syumuliyahnya menyatakan bahwa Islam telah
sempurna tanpa harus mengambil konsep Barat sebagai sandaran. Al-maududi
sependapat dengan Al-Banna bahwa Islam telah lengkap, sebagai agam terakhir
yang melengkapi ajaran Yahudi-Kristen. Rasyid Ridla meskipun dalam beberapa
hal berbeda dengan Al-Banna tetapi ia setuju bahwa Islam mencakup seluruh
aspek kehidupan masyarakat.
Mu’tazilah memandang bahwa Tuhan memberikan daya kepada
manusia untuk berbuat dan mengatur persoalan. Manusia bebas untuk
menentukan masalahnya, dan bukan berarti lari dari wahyu Tuhan. Tuhan
memberikan akal sebagai kekuatan yang harus dipakai untuk digunakan
sepenuhnya bagi kepentingan manusia.
2. As-Sunnah
As-Sunnah adalah sumber kedua konstitusi Islam. “Kata sunnah” secara
literatur (harfiah) bermakna cara dan kebiasaan hidup. Secara teknis sunnah dapat
didefinisikan dengan segala perkataan Nabi Muhammad saw, dan tindakan-
tindakan atau perbuatan pribadi beliau, dan tindakan orang lain yang dengan
bijaksana beliau setujui.
Sunnah merupakan cara Rasulullah saw, menerjemahkan ideologi Islam
yang terdapat dalam cahaya tuntunan Al-Qur’an ke dalam bentuk praktik,
mengembangkan kedalam suatu susunan sosial yang positif dan akhirnya
meningkat menjadi sebuah negara Islam penuh.12
Beberapa hadis mengenai berbagai masalah konstitusi:
a. Ketaatan kepada Allah adalah yang tertinggi dan tidak ada ketaatan kepada
yang lain yang dapat melanggar ketaatan kepada Allah ini.
J�D? Kا )Dص M�4ا <? MD? <? M=D3ح=> ا�ا %�? Mب> ?�%� ?> اب %#( <?
NO7 و? Kا ;�� �Sل ;?�R 9�DQ=ق -( م#/D١٣)روا� اح=%(و)
Artinya; “Dari Sa’ad binUbaidah dari Abi Abdul Rahman as-Sulami dari Ali dari
Nabi saw, bersabda Tidaklah ada ketaatan kepada makhluk, jika di
dalamnya melibatkan ketidaktaatan kepada Allah Ajja Wajala.” (HR.
Ahmad).
b. ketaatan kepada Allah hanya dapat dilakukan melalui ketaatan kepada
Rasulullah saw.
� �Sل م> D(و J�D? Kا )Dص Kل ا�(ان ر J4? Kا ),اب( ه���ة ر <?
١٤)روا� ا��Qرى( KاM4?�R -�% ا�Rع
Artinya; “Barang siapa mengikuti aku maka telah mengikuti Allah dan
Rasulullah saw”. (HR. al-Bukhori,).
c. Orang yang memegang kekuasaan harus ditaati.
J�D? Kا )Dص Kل ر)�ل ا�S �=? <ن�-+ ?> اب <? �C#O Mب> اب Kا%�? <?
� ?D( ا=D(اذا و ;��=� احY وآ�� ا9 ان �Wم� ب=#/- ;?�Z3=+ واا �D3=ء ا�
;�١٥)روا� ا�34ئ(ام� ب=#/�; -. )=+ و�R9?; ب=#/
12 Shalahuddin Hamid. HAM dalm Perspektif Islam, Jakarta, Amisco, 1994, Cet.I h. 80. ١٣ Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (al-Maktabah al-
Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. III. H. 47. ١٤ Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, (al-Maktabah Al-Syamilah:
Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. x. h. 114.
Artinya; “seorang muslim harus mendengarkan dan mematuhi penguasa baik dia
menyetujui maupun membenci apa yang telah diperintahkan, asal dia
tidak diperintah untuk melakukan dosa. Jika diperintahkan melakukan
dosa, maka dia harus tidak mendengarkan atau mentaatinya”. HR. an-
Nasaî).
d. Urusan-urusan pemerintahan tidak boleh diserahkan kepada mereka yang
menginginkannya.
�J ان� واK 9: ?> ابM م�)( �SلD? اواح%ا ح�ص J اح%ا )� N=#( ه[ان�
)�D3١٦)روا� م Artinya; “Dari Abi Musa berkata: Demi Allah kami tidak menugaskan urusan-
urusan pemerintahan kepada siapapun yang mendambakannya atau
yang serakah terhadapnya”. (HR.Muslimi).
e. Dewan permusyawaratan
�> وا)���روه� ون7�ا?4% ا/�اب أ�Oءه� ام�O=#�ا اهN ا�اذا=D3=ي م> ا
��4%ب�ن* ��J إم> ارا'*� بN ان*D? ��(( ذb و��a0ن*D3١٧)روا� م
Artinya; “jika datang kepada mereka suatu masalah, mereka mengumpulkan para
ahli dari kaum muslim. Kemudian mereka saling bermusyawarah dan
mengambil yang benar dari rangkaian pendapat mereka. Bahkan, para
ahli tadi mengajak dan menganjurkan kaum muslimin untuk berpegang
kepada pendapat yang benar tadi”. (HR. Muslim).
f. Tanggung jawab kolektif.
� ?> ?�% اK ب> ?=� ر,( اJ4? K ان ر)ADل آ�S �D(و J�D? Kا )Dص Kل ا�
J��� مW3ول ?> ر?ADرى(راع وآ�Q�١٨)روا� ا
١٥ Ahmad bin Suaib bin Ali bin Baher bin Sinan, Sunan an-Nasaî, (al-Maktabah al-
Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. xiii. h. 115. ١٦ Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an Naisaburi, Shoheh Muslim, (al-
Maktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. IX. h. 344. ١٧ ibid, h. 345. ١٨ Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, (al-Maktabah al-Syamilah:
Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. xvi. h. 187.
Artinya;“Dari Sayidina Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah telah
bersabda, Tiap-tiap dari kalian adalah pemimpin dan semuanya
bertanggung jawab terhadap yang dipimpin”. (HR. al-Bukhori).
g. Pengadilan yang independen dan tidak memihak
Berikan hukuman yang adil baik kepada keluarga yang jauh maupun
yang dekat, dan janganlah takut akan cemooh orang demi pelaksanaan batas-
batas yang telah digariskan oleh Allah.
� �Sل �� ?MD اذا dDO ا�b و?> ?D( ان ر)�لD(و J�D? Kا )Dص Kا
bم> ا9ول -�ن e#=( �=ت3=+ م> ا9 � آ )�4*=� ح�اQ/=�ن -. ت�g ب
١٩)روا� اح=% واب�داود وا��م[ى(اذا-#eD ذb ت��> b ا�<�ء
Artinya; “Dari Ali, Rasulullah saw bersabda,” Jika ada dua orang membawa
perselisihan mereka kehadapanmu untuk kamu putuskan, janganlah
dulu kamu mengadakan pengadilan itu kecuali telah kamu adakan
pemeriksaan secara seksama terhadap keduanya”. ( HR. Ahmad, Abu
Dauwud, dan Tirmidzi).
h. Tidak ada kewarganegaraan ekstra-teritorial.
� ب�> اi*� ا=��آ�> و?��� �D3م Nان� ب�ئ م> آ Kل ر)�ل ا�S Kب> ?�%ا�O <
٢٠)روا� اب� داود وا��م[ى(
Artinya; “Dari Zarib bin Abdillah telah bersabda Rasulullah Aku (Nabi sebagai
kepala negara) tidak bertanggung jawab terhadap seorang muslim yang
hidup diantara orang-orang musyrik.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
١٩ Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal, Musnad Ahmad, (al-
Maktabah al-Syamilah; Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. II. h. 436. ٢٠ Muhammad bin Ali bin Muhammad ash-Syaukan, Nailul athor, (Mesir: Syirkah
Iqomah al-Dîn, 2000), Juz. V. h. 265.
Masih banyak hadits lain yang berhubungan dengan berbagai masalah
konstitusi, dimana lebih lanjut Rasulullah sendiri telah mendirikan sebuah negara
Islam. Aparat negara dan berbagai organnya yang berada di bawah
kepemimpinan Rasulullah saw, merupakan As-Sunnah.
3. Ijma’
Ijmak adalah kesepakatan para mujtahid disetiap masa setelah wafatnya
Rasulullah, mengambil istimbath (Kesimpulan) terhadap hukum syar’i (al-qur’an
dan al-hadist). Hal ini terjadi karena al-qur’an dan hadist interpretable. Islam
memberikan ruang bagi manusia untuk mempergunakan kebebasannya
melakukan interpretasi. Ijma merupakan kumpulan legislasi yang mengambil
sumber dari al-qur’an dan hadist. Karena ada ruang bagi kebebasan berinterpretasi
maka kedudukannya merupakan dalil hukum, ia boleh disanggah, dikritik atau
dirubah.
Ijmak merupakan sumber hukum dan konstitusi Islam yang ketiga.
Menurut kata-kata Iqbal, ijmak adalah “merupakan gagasan hukum yang paling
penting dalam Islam” secara literal, makna ijmak adalah “Konsensus”.
Menurut Imam Syafi’i, ada beberapa perbedaan mengenai definisi yang
tepat bagi ijmak sebagai sebuah konsensus yang komplet dari ulama mengenai
suatu poin hukum tertentu. Menurut beliau, haruslah terdapat sesuatu pendapat
yang tunggal dalam konsensus. Sedangkan menurut Ibnu jabir dan Abu Bakar ar-
Razi menganggap bahkan keputusan kesepakatan mayoritas itu adalah sebagai
ijmak. Sementara menurut Ahmad Ibnu Hambal “Kami mengetahui bahwa tidak
ada posisi terhadap pandangan itu,’” dalam hal ini berarti bahwa beliau
menganggap keputusan konsensus itu adalah ijmak.
Fazlurrahman menyatakan “Sesungguhnyalah, praktek-praktek yang
bersesuain dan para sahabat juga dinamakan ijma’ para sahabat, dan istilah ijma’
bermula pada mereka juga. Tetapi tidak ada lagi generasi baru an sich yang
dianggap mampu menghasilkan sunnah yang baru, namun titik hubungan antara
para sahabat dan generasi selanjutnya, yakni generasi Tabi’in, menghasilkan
timbunan materi yang aktual, dengan cara dedukasi langsung dan penerapan oleh
pemikir-pemikir perseorangan, yang terkena aplikasi istilah Sunnah dan Ijma’.
Pada sisi lain, terdapat beberapa aturan tertentu yang disetujui oleh para
ulama dari daerah tertentu, tetapi mereka tidak melaksanakan kekuatan konsensus
masyarakat yang dikenal dengan ijmak para ulama. Ijmak ulama pada masa-masa
awal keberadaan Islam merupakan sebuah mekanisme untuk membuat suatu
bentuk integrasi ijtihad yang berlainan dari para ahli hukum.
Keputusan Khulafa ar-Rasyidin mengenai berbagai permasalahan
konstitusi yang diambil melalui konsensus para sahabat bersifat mengikat bagi
kaum muslim untuk segala zaman. Hal ini dikenal secara teknis dengan ijmak
para sahabat.
Dalam perkembangannya ijmak berperan penting dalam penetapan-
penetapan hukum sosial kemasyarakatan, ketatanegaraan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Banyak sekali persoalan-persoalan sosial budaya
yang menuntut ijtihad para ulama untuk memberikan hukum atas soal-soal
tersebut. Maka ijmak menjadi alternatif bagi soal-soal yang belum dikemukakan.
Fazlurrahman menyebutnya sebagai bagaian yang tak terpisahkan dari fiqih
moderen. Kedudukannya dalam konstitusi Islam berada dibawah al-qur’an dan
hadist.
4. Qiyas (Analogi)
Secara etimologis berarti analogi. Qiyas dan Ra’yu dapat disebut
sinonim karena kedudukannya yang sama. Namun secara tradisionil qiyas dipakai
dengan arti penalaran analogy29
atau Mitsal dalam bahasa arab. Secara
terminologis qiyas berarti suatu pengambilan kesimpulan analogis dimana hukum
sebuah teks diterapkan pada kasus-kasus yang meskipun tidak tercakup oleh
bahasa yang dipakai, namun tetap diatur oleh alasan dalam teks (Al-Qur’an dan
Sunnah). Hanafi mendefinisikannya sebagai “sebuah perluasan hukum dari teks
asli kedalam prosesnya yang diterapkan di dalam kasus tertentu dengan perantara
sebuah sebab efektif (Ilahi) umum bahasa teks”.
Semakin meluas negara Islam pada era sahabat Nabi, masalah baru
yang tidak termasuk dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah pun semakin bermunculan,
sehingga terdorong oleh para ahli hukum untuk mencari pemecahan masalah
hukum dengan bantuan sikap para sahabat ini berdasarkan sabda Rasulullah saw,
“Berilah keputusan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah jika terdapat hal itu di
29 Shalahudin Hamid. HAM dalam Perspektif Islam, Jakarta, Amisco, 1994, Cet. I h.
94.
dalamnya. Jika kamu tidak menemukan ketentuannya, maka carilah jalan lain
dengan pendapat dan penafsiranmu”.
Fazlurrahman menjelaskan ketika menggunakan skema analisa
Aristoteles tentang sumber hukum ini, “Menurut analogi ini, al-qur’an dan sunnah
adalah prinsip-prinsip materil (sumber-sumber), kegiatan penalaran analogis
(Qiyas) adalah prinsip yang dihasilkan dari prinsip yang pertama (efficient cause),
dan ijma adalah prinsip formalnya (kekuatan Fungsional). Sehingga manusia
dapat hidup dibawah kedaulatan Tuhan dan sesuai dengan kehendaknya.
C. Nilai utama HAM dan Sumber-sumber Hukum HAM
Dengan lahirnya Deklarasi HAM Sedunia pada 10 Desember 1948
diharapkan keadilan di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di dunia
ini dapat ditegakkan. Deklarasi tersebut mempunyai arti penting yang besar
karena menjadi dasar untuk mengubah dan membebaskan peradaban manusia
yang telah berabad-abad didominasi ketidak-adilan, di mana hak asasi manusia
tidak mendapat perlindungan.30
Sebagai bahan diskusi, berikut ini disajikan Nilai-
nilai kemanusiaan yang ada dalam HAM.
1. Nilai Utama HAM
a. Kebebasan /Kemerdekaan
30 Siti Musdah Mulia. Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama.Artikel diakses
pada 10 April 2008, dari http://www.Geogle. Kebebasan beragama. Com/
Manusia dilahirkan dalam keadaan Merdeka. Karena itu menjadi
harapan setiap manusia menjalani kehidupannya dalam keadaan merdeka.
Misalnya merdeka memilih Negara, Tempat Tinggal, Berkeluarga, Bergerak,
Memilih Pekerjaan, Berserikat Berkumpul, Berekspresi, Mengemukakan
pendapat, Memperoleh dan mendayagunakan informasi dan lain-lain.
b. Kemanusiaan/Perdamaian
Manusia dalam menjalani kehidupannya sangat mendambakan
ketenteraman, bebas dari rasa takut, terjamin keamanannya dan senantiasa dalam
suasana yang damai.
c. Keadilan/kesederajatan/persamaan
Diperlakukan secara wajar dan adil, mendapatkan kesempatan yang sama
dalam memperoleh hak, tidak dibeda-bedakan antara manusia yang satu dengan
yang lain dengan alasan apapun merupakan keinginan setiap manusia.
Sesungguhnya masih banyak nilai dasar HAM yang lain, tapi jika dicermati nilai-
nilai yang lain merupakan pengembangan dari ketiga nilai dasar tersebut.
Misalnya, tanpa diskriminasi dalah merupakan pengembangan dari nilai
keadilan/kesederajatan/persamaan. Demokrasi oleh beberapa kalangan dianggap
sebagai nilai HAM yang mendasar tapi bila ditelusuri demokrasi merupakan
pengembangan dari nilai kebebasan atau kemerdekaan.31
31 Nieke Masruchiyah. Prosiding Seminar KMKG: Peranan Pemuda
Dalam Penegakan HAM, 17 Juli 2007. Cisarua.
2. Sumber-sumber Hukum HAM
Dalam bahasa Indonesia, kata sumber berarti asal, asal-usul, asal
mula32
. Kalau direnungkan dengan lebih mendalam, kata atau istilah asal, asal-
usul, dan asal mula tersebut mengandung pengertian yang luas dam umum.
Pertama, dapat berarti sebagai materi atau bahan yang akan menjadikannya
sebagai hukum. Kedua, dapat pula diartikan sebagai suatu proses yang
berkesinambungan berupa rangkaian peristiwa ataupun fakta. Ketiga, sumber
dapat pula berarti sebagai bentuk atau wujud yang tampak.
Jadi sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-
aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu apabila dilanggar
akan mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas.33
Kalau kata atau istilah
sumber itu dipasangkan dengan kata atau istilah hukum HAM , maka akan
menjadi istilah Sumber Hukum HAM. Sumber hukum HAM terdiri dari dua
bagian:34
a. Internasional
Hukum HAM Internasional merupakan sumber hukum bagi lahirnya
Hukum HAM Nasional, Hukum HAM Internasional mengikat bila memuat
32 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia,(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1998),
Cet. I, h. 867. 33 Yulie Tiena Mariani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004),
Cet. I h. 13. 34Yayan Sopian. “Peran Masyarakat Dalam Penegakan HAM”. Prosiding Seminar:
Sosialisasi HAM Bagi Masyarakat di Propinsi Jakarta, 17 Juli 2007. Cisarua. Hotel Ever Green,
Puncak Jawa Barat
kewajiban-kewajiban Internasional bagi para pihak yang meratifikasi dan telah
memenuhi jumlah peserta yang ditetapkan dalam perjanjian. Yang mana
perjanjian tersebut dapat kita ketahui baik berupa deklarasi, kovenan dan
konvensi sebagai berikut;
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB (1948).
DUHAM telah disepakati oleh negara-negara anggota PBB pada tanggal
10 Desember 1948 dengan sebuah resolusi nomor 217A (III). Sebagai sebuah
“deklarasi” maka sifat dan daya ikatnya juga berbeda dengan konvensi. Sebagai
deklarasi ia bersifat “deklaratur”: artinya bahwa deklarasi ini hanya merupakan
seruan moral kepada negara-negara peserta untuk memajukan dan menghormati
secara universal dan mentaati hak-hak asasi kebebasan manusia. Dengan
demikian maka daya ikat dari deklarasi ini bersifat “morality binding” artinya
hanya mengikat secara moral kepada negara-negara peserta.
Namun demikian sekalipun merupakan “morality binding”, maksudnya
ialah suatu bentuk penghormatan secara moral dari negara-negara peserta
DUHAM dengan cara meratifikasi Deklarasi tersebut. Jadi apa yang dinyatakan
dalam dokumen DUHAM ini benar-benar dimaksudkan sebagai standar umum,
tolok ukur, atau fundamental norm yang dimaksudkan agar dapat dipergunakan
sebagai pedoman yang diakui dunia internasional guna menentukan lebih lanjut
berbagai hak dan berbagai bentuk kebebasan yang harus diakui oleh rezim-rezim
kekuasaan manapun di dunia yang beradap. Sebab perwujudan dari “fundamental
human rights – hak-hak asasi manusia” dan “fundamental freedom- kebebasan
asasi manusia” menyaratkan adanya “rule of law” yaitu jaminan perlindungan
yang diatur oleh hukum dalam negeri negara-negara serta “supreme of law’ yaitu
kehidupan bernegara yang harus berdasarkan atas hukum.
Muktie Fadjar, dalam bukunya “tipe-Tipe negara Hukum, disebutkan
bahwa salah satu ciri negara hukum adalah “adanya penghormatan dan
perlindungan Hak Asasi Manusia bagi warga negaranya”. Tentunya menjadi
syarat mutlak bagi Indonesia untuk membuat regeulasi dibidang tersebut yang
secara eksplisit menganut “kedaulatan hukum” dalam konstitusinya. Oleh karena
itu sebagai sebuah pedoman umum tentang HAM tentunya DUHAM
membutuhkan konvensi khusus yang dibuat oleh negara-negara yang bersifat
mengikat sebagai aturan-aturan yang menindak lanjuti dan melaksanakan
kententuan dari DUHAM tersebut yaitu berupa The International Covenant on
Civil and Political Rights (CCPR) dan The Internastional on Social, Economical
and Cultural Rights (ICSECR) serta protocol tambahannya.
2. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966).
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang kita kenal
sekarang, sebagai salah satu kovenan mengenai hak asasi manusia (HAM)
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), memiliki sejarah yang panjang. Konflik
kepentingan antara negara-negara Blok Timur melawan Blok Barat sangat terasa
dalam proses perdebatan di sidang-sidang PBB.
Proses legislasi kovenan ini dimulai pada 1947 dan baru disahkan pada
1966. Dibutuhkan waktu hampir 20 tahun untuk menjadikannya sebagai
instrumen hukum internasional. “Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights merupakan
produk Perang Dingin: ia merupakan hasil kompromi Politik yang keras antara
kekuatan blok Sosialis melawan kekuatan blok Kapitalis,”.
Perdebatan yang terjadi sangat sengit dan masing-masing blok
membawa kepentingannya masing-masing. Perdebatan yang paling peting adalah
apakah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya disatukan dengan hak-hak sipil dan
politik atau tidak. Blok Timur, yang didukung negara-negara berkembang
menghendaki hak-hak ekonomi, sosial dan politik disatukan dalam kovenan ini.
Alasannya, hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak yang tidak bisa
dipisahkan dari hak asasi manusia dan merupakan kondisi yang esensial bagi
kebebasan. Namun, blok Barat menolaknya. Inilah hal yang menyebabkan
kovenan hak asasi manusia ini terpisah menjadi dua, yakni kovenan tentanag hak
sipil dan politik dan Kovenan Internasional hak-hak Ekonomi, politik dan Budaya
atau International Convenan on Economic, Social and Cultural.
Dua kovenan ini, kendati tidak sempurna betul, karena merupakan hasil
tarik-menarik antara dua kepentingan besar ketika itu, bagaimanapun merupakan
produk yang baik untuk memajukan kondisi hak asasi manusia di muka bumi.
Namun, para anggota PBB tidak serta-merta menerima kovenan hak-hak sipil dan
politik ini.
Selama tiga tahun (1971-1973), PBB melakukan imbauan dan
kunjungan ke berbagai negara mendesak untuk segera meratifikasi. Namun,
hasilnya tidak menggembirakan. Negara-negara anggota PBB rupanya khawatir
kebebasan mereka untuk bertindak akan dibatasi jika meratifikasi kovenan ini. Ini
karena Pasal 2 ayat 2 kovenan itu mengharuskan setiap negara harus segera
menyesuaikan perundang-undangannya dengan isi kovenan. Namun, kini sudah
141 dari 159 negara anggota PBB yang meratifikasi. Sebanyak 18 negara belum
meratifikasi, termasuk Indonesia.
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik merupakan dokumen
yang amat penting bagi penyelenggaraan dan penegakan hukum dan hak asasi
manusia di muka bumi. Kovenan ini antara lain menyepakati hak sebuah bangsa
untuk menentukan nasibnya sendiri, bebas menentukan status politik dan bebas
melaksanakan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka. Di sisi lain,
penyelenggara negara penandatangan kovenan harus menghormati dan menjamin
semua individu yang berada dalam wilayahnya tanpa membedakan suku, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan lain-lainnya.
Kovenan ini juga melarang adanya penyiksaan, atau perlakuan atas
hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau penghinaan. Kovenan ini juga
menghapus semua jenis perbudakan, penghambaan dan menjamin hak-hak orang-
orang yang karena perbuatan pidana harus dibatasi kebebasannya. Jadi kovenan
ini tidak ubahnya seperti “kitab suci” penyelenggaraan HAM di muka bumi.
Sayang, Indonesia belum mengakuinya sebagai “kitab suci”, kendati rezim militer
pimpinan Jendral Soeharto, yang anti kovenan ini, sudah jatuh.
3. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966).
Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16
Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi
mukadimah Negara-Negara Pihak dalam Kovenan ini, Menimbang bahwa sesuai
dengan asas-asas yang diproklamasikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa, pengakuan terhadap martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan
tidak terpisahkan dari semua anggota keluarga manusia merupakan landasan dari
kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia, Mengakui bahwa hak-hak ini
berasal dari martabat yang melekat pada manusia, Mengakui bahwa sesuai dengan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Keadaan ideal dari manusia yang bebas
dari penikmatan kebebasan dari ketakutan dan kemelaratan, hanya dapatdicapai
apabila diciptakan kondisi di mana semua orang dapat menikmati hak-hak
ekonomi, sosial dan budayanya, juga hak-hak sipil dan politiknya. Menimbang
kewajiban Negara-Negara dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
memajukanpenghormatan dan pentaatan secara universal pada hak-hak asasi
manusia dan kebebasan. Menyadari bahwa individu, yang mempunyai kewajiban
terhadap individu lainnya dan pada masyarakat di mana ia berada, berkewajiban
untuk mengupayakan kemajuan dan pentaatan dari hak-hak yang diakui dalam
Kovenan ini, Menyetujui pasal-pasal berikut :
Pasal 1
Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak
tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka dan secara
bebas mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
Pasal 2
Semua bangsa, uuntuk tujuan-tujuan mereka sendiri, dapat secara bebas
mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi
kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional
berdasarkan asas saling menguntungkan dan hukum internasional. Dalam hal
apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumber-
sumber penghidupannya sendiri.
Pasal 3
Negara Pihak dalam Kovenan ini, termasuk mereka yang bertanggung jawab
atas penyelenggaraan Wilayah Tanpa Pemerintahan dan Wilayah Perwalian,
harus memajukan perwujudan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan harus
menghormati hak tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
4. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1965).
Dalam konvensi ini, pengertian "diskriminasi rasial" berarti suatu pembedaan,
pengucilan, pembatasan atau pilihan berdasarkan ras, warna kulit, keurunan atau asal usul
etnik atau kebangsaan, yang bertujuan atau berakibat mencabut atau mengurangi
pengakuan, perolehan tau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar,
dalam suatu kesederajatan, di bidak pilitik, ekonomi, sosial, budaya tau bidang-bidang
kehidupan kemasyarakatan lainnya.
Konvensi ini tidak berlaku terhadap pembedaan-pembedaan, pengucilan-
pengucilan, pembatasan-pembatasan atau pilihan-pilihan yang dilakukan oleh suatu Negara
Pihak Konvensi dalam hubungannya dengan masalah warga negara dan bukan warga.
Tidak ada ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini yang dapat ditafsirkan sebagai
mempengaruhi, dengan cara apapun juga, ketentuan-ketentuan hukum Negara Negara
Pihak tentang kebangsaan, kewarganegaraan atau naturalisasi sepanjang ketentuan-
ketentuan tersebut tidak mendiskriminasi kebangsaan tertentu.
Langkah-langkah khusus yang semata-mata diambil untuk menjamin pemajuan
kelompok ras atau etnik atau perorangan atau kelompok perorangan yang memerlukan
perlindungan agar mereka dapat menikmati atau melaksanakan hak-hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan mendasar secara sederajat tidak dapat dianggap suatu diskriminasi
rasial, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak mempunyai konsukuensi yang mengarah
kepada berlanjutnya hak-hak terpisah bagi kelompok rasial yang berbeda dan bahwa
langkah-langkah tersebut tidak dilanjutkan setelah tujuannya tercapai.
Pasal 2
1. Negara-negara pihak mengutuk diskriminasi rasial dan mengambil semua langkah-
langkah yang sesuai guna menyusun segera mungkin kebijakan penghapusan segala
bentuk diskriminasi rasial dan memajukan pengertian antar ras untuk mencapai tujuan
tersebut akan melaksanakan :
a. Setiap negara pihak tidak akan melakukan kegiatan-kegiatan atau praktek-praktek
diskriminasi rasial terhadap perorangan atau kelompok perorangan atau lembaga-
lembaga dan menjamin bahwa semua kekuasaan umum dan lembaga-lembaga baik
pada tingkat lokal maupun nasional bertindak sesuai dengan kewajiban ini;
b. Setiap Negara Pihak tidak akan menyokong, mempertahankan atau membantu
diskriminasi rasial yang dilakukan perorangan atau organisasi-organisasi.
c. Setiap Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah efektif guna mengkaji ulang
berbagai kebijakan pemerintah, nasional dan lokal, serta mengubah, mencabut atau
membatalkan perundang-undangan dan peraturan yang berakibat menciptakan atau
meneruskan diskriminasi rasial dimanapun berada;
d. Setiap Negara Pihak akan melarang dan menghentikan, melalui berbagai langkah-
langkah yang sesuai termasuk penciptaan peraturan-peraturan apabila diharuskan,
diskriminasi rasial yang dilakukan perorangan, kelompok atau organisasi;
e. Setiap Negara Pihak, apabila dirasakan perlu, berupaya untuk mendorong gerakan-
gerakan dan organisasi-organisasi integrasionis multirasial serta berbagai cara
penghapusan hambatan-hambatan antar ras, dan tidak mendorong segala sesuatunya
yang menjurus kepada penguatan suatu pembedaan rasial.
2. Negara-negara Pihak, apabila situasi mengharuskan akan mengambil langkah-langkah
nyata dan khusus di bidang sosial, ekonomi, budaya dan bidang-bidang lain guna
menjamin pengembangan dan perlindungan yang memadai terhadap kelompok-
kelompok rasial tertentu atau perorangan dari kelompok tersebut guna menjamin
perolehan secara penuh dan sederajat hak-hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan mendasar. Langkah-langkah ini tidak boleh membawa konsukuensi
berlanjutnya adanya suatu hak-hak yang terpisah dan tidak sederajat bagi kelompok-
kelompok rasial lainnya apabila tujuan-tujuan langkah tersebut telah tercapai.
e). Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita
(1979)
Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan
Deklarasi mengenai Penghapusan terhadap diskriminasi wanita. Deklarasi
tersebut memuat hak dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan
pria dan menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin
pelaksanaan Deklarasi tersebut.
Oleh karena Deklarasi itu sifatnya tidak mengikat maka Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan wanita berdasarkan Deklarasi
tersebut menyusun rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita. Pada tanggal 18 Desember Tahun 1979 Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyetujui Konvensi tersebut. Karena
ketentuan Konvensi pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, maka Pemerintah Republik Indonesia dalam
Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di
Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah menandatangani Konvensi tersebut.
Penandatanganan itu merupakan penegasan sikap Indonesia yang dinyatakan pada
tanggal 18 Desember 1979 pada waktu Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa melakukan pemungutan suara atas resolusi yang kemudian menyetujui
Konvensi tersebut.
5. Konvensi tentang Hak Anak (1989).
Negara-negara Peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang
ditetapkan dalam Konvensi ini dan setiap anak dalam wilayah hukum mereka
tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal-usul bangsa,
asal-usul etnik atau sosial, kekayaan, ketidakmampuan, kelahiran atau status lain
dan anak atau dan orangtua anak atau walinya yang sah menurut hukum hak
Setiap Anak adalah:
• Untuk dilahirkan, untuk memiliki nama dan kewarganegaraan;
• Untuk memilik keluarga yang menyayangi dan mengasihi ;
• Untuk hidup dalam komunitas yang aman, damai dan lingkungan yang sehat;
• Untuk mendapatkan makanan yang cukup dan tubuh yang sehat dan aktif;
• Untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan mengembangkan potensinya;
• Untuk diberikan kesempatan bermain waktu santai;
• Untuk dilindungi dari penyiksaan, eksplotasi, penyia-siaan, kekerasan dan
dari mara bahaya;
• Untuk dipertahankan dan diberikan bantuan oleh pemerintah;
• Agar bisa mengekspresikan pendapat sendiri
b. Nasional
1. UUD 1945
Undang-undang Dasar 1945 merupakan perwujudan dari tujuan
Proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 agustus 1945 yang terdiri atas pembukaan
dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945.
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 mengandung pokok-
pokok pikiran sebagai berikut; Negara melindungi segenap bangsa Indonesia
dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, Negara berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan perwakilan, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
menurut dasar kemansiaan yang adil dan beradab.
Dalam batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 berisi materi yang
pada dasarnya dapat dibedakan sebagai berikut; pertama berisi materi tentang
kedudukan, tugas wewenang dan hubungan antar lembaga-lembaga Negara.
Kedua berisi materi yang berkaitan dengan konsepsi negara dibidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, agama, sesuai dengan arah atau
tujuan negara Indonesia yang di cita-citakan.35
2. UU. No. 39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan
nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik
dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku
dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu maka
manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau
perbuatannya.
3. UU. No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus
35 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2004), Cet.I, h.
9.
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau
dirampas oleh siapa pun. Dan untuk ikut serta memelihara perdamain dunia dan
menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian,
keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, maka perlu
segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan pasal 104 ayat
(1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.yang
mana bunyi pasal tersebut adalah :
Pasal 104
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah
pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan,
penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang
dilakukan secara sistematis.
BAB IV
PINDAH AGAMA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM
A. Kebebasan Beragama Menurut Hukum Islam dan HAM
Arti kebebasan sebagaimana yang tercantum dalam item nomor 4 dari
advertensi hak-hak asasi manusia di Prancis yang terbit tahun 1879 M, adalah
kemampuan manusia dalam melakukan setiap kegiatan maupun aktivitasnya
yang tidak merugikan pihak lain. Maksudnya bahwa kebebasan itu tidak bersifat
mutlak dari segi waktu dan tempat. Kebebasan sebagaimana memiliki sifat
relatif dalam undang-undang sipil dan demokrasi modern negara Barat, juga
relatif dalam demokrasi Islam.36
Menurut istilah hukum, kebebasan berarti sesuatu hal yang dapat
membedakan manusia dengan lainnya, sehingga dengan kebebasan yang
dimilikinya, manusia dapat berbuat, berkata, dan bertindak dengan kehendak
sendiri serta bebas tanpa ada paksaan, tetapi dalam batasan-batasan tertentu.
Untuk mengetahui batasan-batasan kebebasan tersebut maka dapat dilihat
melalui dua konsep, yaitu konsep kebebasan menurut Islam dan Konsep
Kebebasan menurut HAM.
36 Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan dalam Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005,
Cet. Pertama. h. 31.
1. Konsep Kebebasan dalam Islam
Setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan.
Konsekwensinya tidak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan
mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau
kepercayaan pilihannya sendiri.
Hak untuk beragama dan berkepercayaan merupakan persoalan krusial
dalam agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan. Masalah ini terus
mengundang perdebatan dikalangan kaum agamawan, tak terkecuali di
kalangan ulama muslim bahkan kaum awam. Sehingga hubungan antara Islam
dan kultur Islam dengan pandangan Barat mengenai organisasi masyarakat dan
hak-hak asasi manusia telah banyak ditulis. Salah satunya dapat kita ketahui
bahwa Islam dan Barat merupakan dua prinsip yang bertentangan dalam soal-
soal penting seperti kebebasan beragama.
Dari uraian di atas ada baiknya kita mengutif pendapat yang diajukan
oleh Adda Bozeman sebagai berikut “bahwa kultur Islam tidak dibimbing oleh
ide-ide kebenaran atau prinsip, namun sebaliknya Barat memahami kultur Islam
ditandai dengan penguasaan personalisme dan pragmatisme, di mana otoritas
keputusan “keharaman dan pemaksaan merupakan sesuatu hampir pasti”.37
Maksudnya ialah mengenai kebebasan beragama Islam dan Barat keduanya
37 David Litle, dkk, Kebebasan Agama dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), Cet. I h. 37.
mempunyai masing-masing prinsip yang bertentangan, baik dalam hal
kebebasan beragama maupun kebudayaannya masing-masing.
Selain Adda Bozemen ada baiknya kita mengutif pendapat James
Piscatory walaupun pendapatnya bertentangan, beliau mengatakan, “bahwa
penghormatan terhadap kehidupan dan harta benda dan praktik toleransi serta
persaudaraan yang diajarkan oleh Islam, menunjukkan bahwa Islam “tidak
dapat disangsikan banyak titik temu dengan gerakan hak-hak asasi manusia
belakangan ini”, dapat juga dikatakan bahwa Islam “ tidak mengajukan gagasan
dasar tentang hak-hak yang tidak dapat dicabut, Islam juga tidak menghindari
pembedaan menurut jenis kelamin dan agama”. Singkatnya, “teori Islam tidak
menawarkan gagasan tentang hak-hak individu, hak-hak yang tidak melekat
manusia, Islam lebih banyak menunjuk keistimewaan-keistimewaan manusia”.38
Dari kutifan diatas dapat kita arahkan bahwa gagasan yang dikeluarkan
oleh James Piscatory Mengenai kehidupan, harta benda, toleransi, persaudaraan,
dan pembedaan jenis kelamin dan agama tidak dapat melahirkan gerakan hak-
hak asasi manusia terutama dalam hal kebebasan bergama, karena Islam lebih
mengajarkan ketaqwaan kepada Tuhan yang mengarah kepada keistimewaan
dan kemuliaan manusia.
Islam merupakan ajaran yang menempatkan manusia pada posisi yang
tinggi bahkan al-qur’an menjamin adanya hak pemuliaan dan pengutamaan
manusia. Sebagaimana dalam al-qur’an disebutkan:
38 Ibid. h. 38.
����� => ��q�#��⌧ &��8 �L*_�=4 (2�u6�q,Y=�⌧3=> �
�x* � �� ����@� ��=> 2�u6�q��*�=p=> [:�~# �i6�@�_�7 �� I�u6=j,Y{��,=> )���� x���Kb
�"�☺�~# ��q���Y*! �⌧_n��.�� )١٧:٧٠/ا9)�اء(
Artinya:“Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami
angkut mereka di daratan dan di lautan39
, kami beri mereka rezki dari
yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”. (Q.S.
Al-Isrậ/17:70).
Dengan demikian manusia memiliki hak al-karamah dan hak al-fadhilah.
Apalagi misi Rasulullah adalah Rahmatan lil-‘alamin. Dimana
kemaslahatan/kesejahteraan merupakan tawaran untuk seluruh manusia dan
alam semesta.
Persoalan krusial ini bukan semata monopoli para teolog atau
mutakallimin, namun juga menjadi perhatian para fuqaha, utamanya Imam al-
Syatibi. Ia dalam karya besarnya al-Muwậfaqật fỉ Ushûl al-Ahkam merumuskan
lima tujuan pokok syariah diturunkan kepada umat manusia. Melalui
pendekatan induksi-tematik (al-istiqra’ al-ma’nawi), al-Syatibi menyimpulkan
maksud-maksud penetapan syariah itu ke dalam lima macam, yakni menjaga
agama (hifzh al-dîn), menjaga jiwa (hifz al-nafs),40
menjaga akal (hifzh al-
39 Maksudnya, Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan
didaratan dan dilautan untuk memperoleh penghidupan. 40 Hifzh al-nafs adalah hak asasi manusia untuk hidup dan bertumbuh kembang dalam
kehidupan ini. Ini merupakan hak paling dasar bagi setiap manusia yang terlahir ke alam dunia.
Jaminan atas hak hidup menjadi taken for granted dan tanpa syarat. Sebagaimana Allah
menjamin dalam sebuah ayat: “Barang siapa membunuh jiwa melalui jalan yang batil atau
‘aql),41
menjaga keturunan (hifzh al-nasl),42
dan menjaga harta (hifzh al-mậl),43
lima maksud syariah ini kemudian dikenal dengan sebutan maqậshid al-
sharî’ah.
Teori maqậshid dari al-Syatibi ini tentu saja dikembangkan menurut
tuntutan zamannya, perubahan sosial yang terjadi pada saat itu. Lebih dari itu,
nampaknya al-Syatibi pada masanya belum menghadapi problem lingkungan
sehingga dapat diterima jika dalam teori maqậshid-nya belum memasukkan
unsur pelestarian lingkungan (hifzh al-bî’ah),44
Imam al-Syatibi memasukan kelima tujuan pokok syariah itu dalam
kategori “kepentingan yang mendesak atau urgen” atau lebih dikenal dengan
istilah lima hal dharûriyat. Sedangkan istilah hifzh (menjaga) dalam ungkapan
maqậshid itu lebih menggambarkan pada suatu tindakan “memelihara” sesuatu
membuat kerusakan dimuka bumi, maka ia seperti membunh semua jiwa manusia. Dan barang
siapa memberi hidup bagi jiwa maka ia seperti memberi kehidupan bagi semua jiwa manusia”
(QS) Al-Ma’idah 5;32). 41 Hifzh al-‘aql adalah hak dan kebebasan untuk berfikir, mengeluarkan pendapat
secara lisan maupun tertulis. 42 Hifzh al-nasl adalah hak-hak reproduksi. Setiap orang memiliki hak untuk
bereproduksi secara sehat yang dengannya jaminan atas kelangsunagan keturunannya
dikemudian hari memperoleh kepastian. 43 Hifzh al-mậl adalah hak seseorang untuk memiliki, membelanjakan, dan
memprgunakan kekayaan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, serta
menginvestasikannya demi jaminan hidup kelak, mentransfer dan mewariskannya kepada anak-anak keturunannya.
44 Hifzh al-bî’ah adalah salah satu maksud syariah yang selama ini belum disentuh
dalam khasanah pemikiran fiqih Islam, meskipun alusi-alusi al-qur’an tentang pentingnya
memakmurkan kehidupan bumi (isti’mậrfi al-ardh) termaktub dengan tegas dan lugas,
bersamaan dengan larangan-larangan atas tindak kejahatan atau perusakan atas kehidupan alam
beserta ekosistem di dalamnya. Biasanya dalam hal terakhir, al-qur’an mengemukakan dengan
ungkapan larangan fasậd fi al-ardh dan ‘ayth fi al-ardh. Prinsip yang satu ini eksklusif menjadi
hak alam dan lingkungan, dan karenanya menjadi kewajiban bagi manusia untuk memenuhi hak
tersebut.
yang sudah dipilih atau diambil. Dengan demikian, “menjaga” lebih melukiskan
suatu tindakan lanjutan atau akibat yang harus diterima oleh manusia karena
pilihan-pilihannya. Pada saat yang sama, kata “menjaga” belum mewakili
tindakan yang menunjukkan “sebab”, “asal-usul” sesuatu mengapa mesti dijaga
dan dipelihara. Oleh karena itu, perluasan makna “menjaga” merupakan
kebutuhan. Kata “hifzh” lebih tepat jika dipahami mencakup tindakan
“menjamin”, “melindungi” hak dan kebebasan. Jadi, hifzh al-dîn berbicara
tentang jaminan atas hak asasi dan kebebasan manusia dalam hal beragama atau
berkepercayaan sekaligus perlindungan terhadap hak dan kebebasan tersebut.
Dalam hal ini, Islam mengakui kebebasan menjalankan agama45
dan
melarang keras setiap orang merusak aqidahnya secara bebas, meskipun
berlandaskan akalogika dan teori yang benar. Hal itu karena Islam menjadikan
dasar teologi dan keimanan untuk dibahas dan dikaji, tidak ada unsur paksaan
dan taqlid. Dan banyak sekali ayat al-qur’an yang mendorong manusia untuk
melihat ruang angkasa dan isi bumi serta semua ciptaan Allah swt, agar supaya
dengan begitu bisa mendapat petunjuk yang benar bagi iman, serta agama yang
benar
Sebagaimana Firman Allah.
45Arti ini perlu penjelasan dan batasan bahwa maksud penulis adalah tidak boleh
memaksa seseorang masuk agama islam, tetapi itu di nisbatkan kepada mereka yang beragama
Islam. Hukum Islam (Syara’) mengatakan bahwa hukum orang yang pindah agama (Riddah)
adalah dibunuh, bila ia masih terus melakukan setelah disuruh bertaubat, karena pindah agama (
Riddah ) menghianati agama dan menghina masyarakat Islam. Pandangan Empat Mazhab,
(Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Mazhab Hanbali).
I� =>>d ��>� -j�1 � �2340�Y�# �2]=36*☺BB ��
¡¢(pao��=> ��#=> ���Y*o R��� "�# d4&⌧? y>d=> �&As� y>d �y340�1 ����
!|=x������ (2�uGY*�>d � gl>�@�, s�1���� £�*�G�8
�y3j�#�1 )٧:١٨٥/ا9?�اف( Artinya:“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi
dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan Telah
dekatnya kebinasaan mereka, Maka kepada berita manakah lagi mereka
akan beriman sesudah Al Quran itu”. ( Q.S. Al-A’Rậf/7:185).
�2GI IC�_� =3�� 9:�~# ��G�8 *@� ]�� � K�(3�Y�, h���, ?���
(240�T�Y� Pa*☺�P=p=> ICq40� !"�~# � �xn�6�1�¤��
)٢:٦٤/ا���ة(Artinya:“Kemudian kamu berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, Maka
kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu
tergolong orang yang rugi”.(Q.S. Al-Baqarah/2: 64).
Diantara ayat al-qur’an yang mencela orang yang taqlid, tidak mengikuti jalan
pemikiran dan teori, sebagaimana firman Allah:
(h�8 ���34 ��� ��N� ���N��*"=> ��N=4���8�=4
����� @r�#cd ��N�=> ����� 2�g��6>I�=4 �y>���C�u¥#
)٣٣:٢٢/ا7 �ف(Artinya:“Bahkan mereka berkata: Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak
kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya kami orang-orang
yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak merek”.(Q.S.
Azkhruf/33:22).
Dan banyak ayat yang menerangkan dan meniadakan iman dengan jalan
paksaan, sebagaimana firman Allah swt:
�� ������� � � ������� � ��� � ������ ������ �� !"�#
%&⌧(� �� ) "*☺�, (�-.0�1 �2346�7 ��8 9:�#�1=>
?���8 �����, *@AB�☺�CD�� �=>FG� ��8
)��H�IJ3� �� K� �L�AM�.N�� ��OPQ 0 R���=> SST�.⌧U
VXSY�Z )ة���٢:٢٥٦/ا( Artinya:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat
Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqorah/2:256).
Fiman Allah dalam surat Yunus:
(3� => =4��⌧� *@¥8=p !"�#¦* "�# � ¡¢(pao�� (2�u§Y-b
�G_���g ) AiN>��,>d ���0G� ����j �� )&eX*P ��3N340�1 [©��j�#�# )d١٠:٩٩/��ن(
Artinya:“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang
yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuany”.
(Q.S.Yunus/10:99).
(840� (840q1�_ =��=> � ��_ )١٠٩:٦/ا�A-�ون(
Artinya: "Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (Q.S. Al-
Kafirûn/109; 6).
Apabila dasar keyakinan dalam Islam berdasarkan akalogika, dan
membahas ayat-ayat al-qur’an dengan jalan taqlid dan paksaan, maka kebebasan
pindah agama tidak akan terjamin. Hal itu dikuatkan oleh keterangan di dalam
al-qur’an bahwasannya tidak ada kekuasaan bagi da’i selain orang yang
memberi nasihat baik sebagimana firman Allah swt:
(��ª⌧T�, ��*☺�N� AiN>d ⌦�n�b⌧T# AiB� Iu�T�Y�Z
h��7�_AM�☺8 )�lا;� )٢٢-٨٨:٢١/شArtinya:“Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah
orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa
atas mereka”. (Q.S. Al-Ghosyiyah/88:21-22).
Ayat di atas termasuk dalil yang menguatkan kebebasan tegaknya syiar
Islam karena Islam menjadikan dan menghormati non muslim dalam
menegakakn syiar agama mereka di tempat ibadah dan menjadikan mereka
mengikuti hukum agama, perdata dan sifat kepribadian. Hal itu berdasarkan
hadist Rasulullah ketika bersabda kepada kafir zimmi, “Bagi mereka sama
dengan kita, dan mereka itu seperti kita” sedangkan perdamaian yang
diberlakukan untuk orang-orang yang mengadakan perjanjian yaitu harus ada
perlindungan jiwa, harta, agidah dan menegakkan syiar agama.
Dalam masa pemerintahan umar beliau pernah berpesan kepada
penduduk “Berikan keamanan bagi mereka, jangan kamu tempati gereja-gereja
mereka dan jangan kamu kurangi kebaikannya serta salibnya, jangan membenci
agama mereka serta tidak boleh menyakiti mereka.
Di dalam Islam, kebebasan dan kemerdekaan merupakan hak asasi
manusia, termasuk di dalmnya kebebasan menganut agama sesuai dengan
keyakinannya. Kita temukan bahwa Islam adalah syariat produk Allah, Dzat
yang pertama kali mengumandangkan adanya dasar-dasar kebebasan dan hak-
hak asasi manusia secara teori maupun praktis sebelum dunia modern
mengetahui hak-hak tersebut kecuali setelah akhir abad XVII M.46
Secara alami bahwa hasil dari adanya pengakuan terhadap hak-hak asasi
manusia adalah saling tolong menolong di antara semua individu manusia,
kelompok-kelompok individu, lembaga-lembaga individu untuk tetap menjaga
hak tersebut. Inilah kebebasan pengalihan dan pengakuan dasar persatuan
manusiawi yang dalam Al-Qur’an disebutkan:
�r�[�>��6�1 J���j �� ��3-�e��� 240¬8=p l������
840���Y�o "�~# ���.�N Q�*���]=> ) )٤:١/أ�34ء
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menc ip takan kamu dari yang satu” . (Q. S. A n- Ni sậ / 4: 1) .
Orang-orang Islam dalam realitanya, mereka bercermin dan
mempraktikan dasar ini, serta mengakui kebebasan rakyat, umat, dan individu
pada tataran pemerintahan (pada masa kenabian, khulafaurrasyidin, dan orang-
orang setelahnya). Pada tataran berinteraksi dalam hubungan luar dan dalam
dengan non muslim. Yang hal itu tidak dapat terpenuhi kecuali setelah
mengakui dasar kebebasan dan persamaan pada semua manusia di bumi. Hal ini
senada dengan ayat al-qur’an :
�h40� => Vr*u��> =3Gg �r�x�ª =3# �
��3-�@�aD���,
46 Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan dalam Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005,
Cet. Pertama, h. 12.
�2]=x(�*� �� ) � ��>d ��# ��3N340�� �2,��1 2408 R��� �G_�☺*� ) �y� ���� )����
��h4 d4&⌧? ⌦�1���� )����٢:١٤٨/ا(
Artinya:“untuk tiap-tiapnya ada arah tujuan yang dia hadapi, karena itu
berlomba-lombalah dalam kebajikan. Di mana pun kamu berada, Allah
himpunkan kamu kesemuanya. Allah maha kuasa atas segala”.(Q.S. Al-
Baqarah/2:148).
Ayat di atas mengundangkan ajaran kebebasan beragama. Untuk
Indonesia, berdasarkan perundangan yang diberlakukan, itu berarti kebebasan
bagi pemeluk agama-agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan
Konghucu.47
Agama Islam memberikan hak kebebasan suara hati nurani dan
keyakinan kepada seluruh umat manusia. Kaum muslim diperbolehkan
mengajak orang-orang non muslim untuk menuju jalan Islam, tetapi mereka
tidak dapat memaksakan kehendak. Umat Islam tidak boleh mempengaruhi
siapapun untuk menerima agama Islam dengan cara melakukan tekanan-
tekanan sosial dan politik.
Islam tidak hanya melarang penggunaan paksaan dan kekerasan dalam
masalah keyakinan beragama, tetapi juga melarang penggunaan bahasa yang
kasar terhadap agama-agama yang berlainan, “Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah”.
47 Syu’bah Asa, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama,
2000, Cet. Pertama, h. 9.
K�=> ��3D@ B�h [©������� �y3���1 "�# �y>�_ ?���
��3D@ B=_�, ���� �☺>��� x(��8 mI,Y�Z 0 *@� ]⌧T⌧ ��q¬1*� ��h40� |r�#cd
I�u�Y=�⌧ �2GI )���� 2��m=p I�uGn����
I�u®P@�¯T�, �*☺8 ��3N�⌧ �y3GY*☺G�1 )٦/ا9ن#�م
:١٠٨( Artinya:“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami
jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (Q.S. Al-
an’am/6:108).
Astiq adalah seorang budak Nasrani milik Sayidina Umar. Umar sering
mempengaruhinya untuk menerima ajaran Islam. Ketika astiq menolak,
Sayidina Umar hanya dapat berucap, “Tidak ada paksaan dalam beragama.”48
Dari uraian ayat-ayat di atas maka dapat kita tafsirkan sebagai berikut:
perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut
agama adalah menganut aqidahnya. Ini berarti apabila seseorang telah memilih
satu aqidahnya, katakan saja aqidah Islmiyah, maka dia terikat dengan
tuntunan-tuntunannya dan berkewajiban melaksanakan perintah-perintahnya.
Dia terancam sanksi bila melanggar ketetapannya. Dia tidak boleh berkata
“Allah telah memberi saya kebebasan untuk shalat atau tidak, berzina atau
48 Syech Syaukat, Hussain. Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta, Gema Insani
Press, 1996), Cet. I. h. 73.
nikah”. Karena bila dia telah menerima aqidahnya, maka dia harus melaksankan
tuntutannya.49
Kembali kepada penegasan ayat ini, tidak ada paksaan dalam menganut
keyakinan agama, Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian.
Agamanya dinamai Islam, yakni damai. Kedamaian tidak dapat diraih kalau
jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada
paksaaan dalam menganut keyakinan agama Islam. Mengapa ada paksaan,
padahal telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Jika demikian,
sangatlah wajar setiap pejalan memilih jalan yang benar, dan tidak terbawa
kejalan yang sesat. Sangatlah wajar semua masuk agama ini. Pasti ada sesuatu
yang keliru dalam jiwa seseorang yang enggan menelusuri jalan yang lurus
setelah jelas jalan itu terbentang dihadapannya.
Ayat ini menggunakan kata (%رش) rusyd yang mengandung makna “jalan
lurus”. Kata ini pada akhirnya bermakna “ketepatan mengelola sesuatu serta
kemantapan dan kesinambungan dalam ketepatan itu”.
Ini bertolak belakang dengan (Mlا) al –gayy, yang terjemahannya
adalah jalan sesat. Jika demikian, yang menelusuri jalan lurus itu pada akhirnya
melakukan segala sesuatu dengan tepat, mantap, dan berkesinambungan.
Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah jelas jalan yang
lurus. Itu sebabnya, orang gila dan yang belum dewasa, atau yang tidak
49 Shihab Quraish, Tafsir Al-Misbah “Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an” surat
Ali-Imran. Jakarta:Lentera Hati Ct. Ke-I.
mengetahui tuntunan agama, tidak berdosa jika melanggar atau tidak
menganutnya, karena bagi dia jalan jelas itu belum diketahuinya. Tetapi anda
jangan berkata bahwa anda tidak tahu jika anda mempunyai potensi untuk
mengetahui, tetapi potensi itu tidak anda gunakan.disini anda pun dituntut
karena menyia-nyiakan potensi yang anda miliki.
Ada juga yang memahami ayat di atas dalam arti: jalan yang benar, jelas
juga perbedaanya dengan jalan yang sesat, telah jelas bahwa yang ini membawa
manfaat dan itu mengakibatkan mudarat. Jika demikian tidak perlu ada paksaan,
karena yang dipaksa adalah enggan tunduk akibat ketidak tahuan. Disini telah
jelas jalan itu, sehingga tidak perlu paksaan. Anda memaksa anak untuk minum
obat yang pahit, karena anda tahu bahwa obat itu adalah mutlak untuk
kesembuhan penyakit yang dideritanya.
Yang enggan memeluk agama ini pada hakekatnya terbawa oleh rayuan
thagut, sedangkan yang memeluknya adalah yang ingkar dan menolak ajakan
thagut, dan mereka itulah orang-orang yang memiliki pegangan yang kukuh,
karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat
yang tidak akan putus.
)�n�Rت( Thagut, terambil dari akar kata yang berarti “melampaui batas”
biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam keburukan. Setan,
dajjal, penyihir, yang menetapkan hukum bertentangan dengan ketentuan ilahi,
semuanya digelar dengan thagut. Yang memeluk agama Islam harus menolak
ajakan mereka semua.
Berpegang teguh pada buhul tali yang amat kuat adalah berpegang
teguh, disertai dengan upaya sungguh-sungguh, bukan sekedar berpegang,
sebagaimana dipahami dari kata (b3=�(ا) istamsaka, yang menggunakan huruf
sin dan ta bukan (b3م) masaka. Tali yang dipegangnya pun amat kuat,
dilanjutkan dengan pernyataan tidak akan putus, sehingga pegangan yang
berpegang itu amat kuat, materi tali yang dipegangnya kuat, dan hasil jalinan
materi tali itu disebabkan karena ayunan thagut cukup kuat, sehingga diperlukan
kesungguhan dan kekuatan.
Kata ( وة�?) urwah yang di atas diterjemahkan dengan gantungan tali
adalah tempat tangan memegang tali, seperti yang digunakan pada timba guna
mengambil air dari sumur. Ini memberi kesan bahwa yang berpegang dengan
gantungan itu bagaikan menurunkan timba untuk mendapatkan air kehidupan.
Manusia membutuhkan air( H2O , yang merupakan gabungan dua
molekul hidrogen dan satu molekul oksigen) untuk kelangsungan hidup
jasmaninya. Manusia juga membutuhkan air kehidupan yang merupakan
syahadatain, yakni gabungan dari kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa
dan kepada kerasulan Nabi Muhammad saw.
Ayat ini merupakan perumpamaan keadaan seseorang yang beriman
betapapun sulitnya keadaan, walau ibarat menghadap ke suatu jurang yang amat
curam, dia tidak akan jatuh binasa, karena dia berpegang dengan kukuh pada
seutas tali yang juga amat kukuh. Bahkan seandainya ia terjerumus masuk
kedalam jurang itu, ia masih dapat naik atau ditolong. Karena ia tetap berpegang
pada tali yang menghubungkannya dengan sesuatu yang di atas, bagaikan
timba yang dipegang ujungnya. Timba yang diturunkan mendapatkan air dan
ditarik ke atas. Demikian juga seorang mukmin yang terjerumus kedalam
kesulitan. Memang dia turun atau terjatuh, tetapi sebentar lagi dia akan ke atas
membawa air kehidupan yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.
Dalam tafsir ibnu katsir dijelaskan Allah ta’ala berfirman, “TIdak ada
paksaan dalam agama.” maksudnya, janganlah kamu memaksa seseorang pun
untuk memasuki agama Islam, karena agama Islam itu sudah jelas dan terang.
Dalil-dalil dan argumentasinya sudah nyata sehingga seseorang tidak perlu
dipaksa supaya masuk agama Islam, dilapangkan hatinya, dan disinari mata
hatinya oleh Allah, maka ia akan masuk ke dalamnya secara terang benderang.
Adapun orang yang hatinya dibutakan Allah, pendengaran, dan penglihatannya
dikunci mati oleh Allah, maka tidaklah berguna memaksanya untuk memasuki
Islam.50
Diceritakan bahwa ayat ini turun karena ada seorang wanita anshar
berjanji kepada dirinya bahwa apabila putranya hidup, maka dia akan
menjadikannya Yahudi. Tatkala Bani Nadhir diusir dan diantar mereka ada
anak-anak kaum Anshar, maka kaum Anshar berkata, “Kami tidak akan
50 Arrifa’I, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani
Press, 1999, Cet. Ke-1.
membiarkan anak kami menjadi Yahudi.” Maka Allah menurunkan ayat, Tidak
ada paksaan dalam agama.” Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu
Abbas.
Dalam tafsir qur’an karim, Mahmud Yunus, dijelaskan bahwa dalam
ayat 256 terang benar, bahwa dalam agama Islam tidak boleh memaksa orang
supaya memeluk agama Islam. Melainkan orang itu diberi kemerdekaan tentang
agama apa yang akan dianutnya, karena sudah terang mana yang baik dan mana
yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, yaitu jika kita mau
memikirkannya dengan pikiran yang waras. Kewajiban kita orang Islam, ialah
memeberi keterangan yang cukup kepada umum atas kebenaran agama Islam.
Kemudian itu mereka diberi kesempatan untuk memikirkannya, karena agama
itu ialah kepercayaan hati, sedang kepercayaan itu tidak bisa dimasukkan
kedalam hati seseorang dengan jalan paksaan.51
Dalam tafsir Fizhilalil Qur’an, masalah aqidah adalah masalah kerelaan
hati setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan, bukan pemaksaan dan
tekanan. Agama Islam datang dan berbicara kepada daya pemahaman manusia
dengan segala kekuatan dan kemampuannya. Ia berbicara kepada akal yang
berpikir, intuisi yang dapat berbicara, dan perasaan yang sensitif, sebagaimana
ia berbicara kepada fitrah yang tenang. Ia berbicara kepada wujud manusia
secara keseluruhan serta kepada pikiran dan daya pemahaman manusia dengan
51 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim.Jakarta: Sa’adijah Putra. 1971, Cet.Ke-I
segala seginya. Ia tidak memaksanya dengan hal-hal luar biasa yang bersifat
kebendaan yang kadang-kadang dengan menyaksikannya seseorang menjadi
tunduk. Akan tetapi, akalnya tak dapat merenungkannya dan pikirannya tak
dapat memikirkannya, karena memang hal itu diluar jangkauan akal pikiran52
.
Dalam prinsip ini tampaklah dengan jelas betapa Allah memuliakan
manusia, menghormati kehendak, pikiran, dan perasaannya. Juga menyerahkan
urusan mereka kepada dirinya sendiri mengenai masalah yang khusus berkaitan
dengan petunjuk dan kesesatan dalam itikad, dan memikulkan tanggung jawab
atas dirinya sebagai konsekwensi amal perbuatannya. Ini merupakan kebebasan
manusia yang amat khusus.
Kebebasan yang ditentang untuk diberlakukan kepada manusia dalam
abad kedua puluh ini oleh ideologi-ideologi penindas dan peraturan-peraturan
atau sistem yang merendahkan manusia, yang tidak menolerir makhluk yang
dimuliakan Allah. Untuk memilih aqidahnya ini agar mengkonsentrasikan
pikirannya untuk memikirkan kehidupan dan tata aturannya yang tidak
dikehendaki oleh pemerintah dengan segenap perangkat dan perundang-
undangannya. Maka kemungkinan yang dialami oleh yang bersangkutan adalah
mengikuti mazhab pemerintah yang melarangnya beriman kepada Tuhan yang
mengatur alam semesta ini dan kemungkinan lain adalah menghadiri hukuman
mati (kalau tidak mengikutinya) dengan berbagai macam cara dan alasan.
52Sayyid, Quthb. Tafsir fizhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Cet. Ke-1
Kebebasan beritikad (beragama) adalah hak asasi manusia yang karena
itikadnya itulah dia layak disebut manusia. Maka, orang yang melucuti manusia
dari kebebasan kemerdekaan beraqidah berarti dia telah melucuti
kemanusiaannya. Disamping kebebasan beritikad, dijamin pula kebebasan
menda’wahkan aqidah ini dan dijamin keamanannya dari gangguan dan fitnah.
Kalau tidak demikian, kebebasan atau kemerdekaan itu hanyalah slogan kosong
yang tidak ada realisasinya dalam kehidupan.
Hamka berpendapat bahwa keyakinan suatu agama tidak boleh
dipaksa53
, sebab telah nyata kebenaran dan kesesatan. Orang boleh
menggunakan akalnya buat menimbang dan memilih kebenaran itu, dan orang
pun mempunyai pikiran waras untuk menjauhi kesesatan. “maka barang siapa
yang menolak segala pelanggaran batas dan beriman kepada Allah, maka
sesunguhnya telah berpeganglah dia dengan tali yang amat teguh, yang tidak
akan putus selama-lamanya”. Agama Islam memberi orang kesempatan untuk
mempergunakan fikirannya yang murni, guna mencari kebenaran. Asal orang
sudi membebaskan diri dari pada hanya turut-turutan dan pengaruh dari hawa
nafsunya, niscaya dia akan bertemu dengan kebenaran itu. Apabila inti
kebenaran sudah didapat, niscaya iman kepada Tuhan Allah mesti timbul, dan
kalau iman kepada Tuhan Allah telah tumbuh, segala pengaruh dari yang lain,
dari sekalian pelanggaran batas mesti hilang. Tetapi suasana yang seperti ini
53 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ III. Jakarta: Pustaka Panjinar, 1983.
tidak bisa dengan paksa, meski timbul dari keinsafan sendiri. Dan Allah adala
maha mendengar dan mengetahui (ujung ayat 256 ). Didengarnya permohonan
hambanya minta petunjuk. Diketahuinya hambanya kesusahan mencari
kebenaran.
Kemudian di dalam al-quran pula, terdapat ayat yang menjadi landasan
atas kebenaran agama Islam. Sehingga menjadi dalil atas larangan tentang
kebebasan pindah agama di dalam Islam itu sendiri, sebagaimana disebutkan di
dalam surat Ali- Imran ayat 19:
�y� [©������� *�q� ?��� °I6�YDi��� 0 ��#=> *��Y�a!�� [©������� ��3G�>cd AY6�Cn0� �� {��
"�# ��G�8 ��# 2Gg=4��*" °I,Y�G� �� �☺T��8 I�u�qF�8 0 "�#=> (�-.0�1 �i6�1��?8 ?��� ±%��,
���� �S1xA± `|�AB���¤�� )٣:١٩/ا#=�ان(
Artinya:“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab54
kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian
(yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-
ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (Q.S.
Ali-Imran/3:19).
Kata (نيد) dîn mempunyai banyak arti, antara lain “ketundukan”,
ketaatan, perhitungan, balasan”. Kata ini juga berarti “agama”, karena dengan
agama seseorang bersikap tunduk dan taat, serta akan diperhitungkan seluruh
amalnya yang atas dasar itu ia memperoleh balasan dan ganjaran.
54 maksudnya ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum al-qur’an.
Sesungguhnya agama yang disyariatkan di sisi Allah adalah Islam.
Demikian terjemahan populer. Terjemahan atau makna itu, walau tidak keliru,
belum sepenuhnya jelas, bahkan dapat menimbulkan kerancuan. Untuk
memahaminya dengan lebih jelas, maka kita lihat hubungan ayat ini dengan
ayat sebelumnya.
Ayat yang lalu menegaskan bahwa tiada Tuhan, yakni tiada Penguasa
yang memiliki dan mengatur seluruh alam, kecuali Dia, Yang Maha Perkasa
lagi Bijaksana. Jika demikian, ketundukan dan ketaatan kepada-Nya adalah
keniscayaan yang tidak terbantah, sehingga jika demikian, hanya keislaman,
yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah yang diakui dan diterima di
sisi-Nya.
Agama atau ketaatan kepada-Nya, ditandai oleh penyerahan diri secara
mutlak kepada Allah swt. Islam dalam arti “Penyerahan diri” adalah hakikat
yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak Nabi Adam as. Hingga
Nabi Muhammad saw.
Banyak yang berselisih tentang agama dan ajaran yang benar, bahkan
yang berselisih adalah pengikut para nabi yang diutus Allah membawa ajaran
itu. Benar, mereka berselisih karena kedengkian yang ada di antara mereka.
Kedengkian yang merupakan terjemahan dari kata (��lب ) bagyan yang digunakan
ayat di atas, adalah ucapan atau perbuatan yang dilakukan untuk tujuan
mencabut nikmat yang dianugerahkan Allah kepada pihak lain disebabkan rasa
iri hati terhadap pemilik nikmat itu.
Ayat di atas menegaskan bahwa mereka telah mengetahui
kebenaran, namun demikian mereka tetap dikecam bahkan diancam. Ini karena
keberagamaan bukan sekedar pengetahuan, tetapi ketundukan dan ketaatan, atau
dengan kata lain, pengetahuan yang membuahkan ketaatan.
Kemudian di dalam ayat 85 surat Ali-Imran disebutkan:
"�#=> :�C(Q�1 =x(�⌧V 26�YDi��� �qq1�_ "�Y�,
Kh����1 Pq�# =3Gg=> � ���n!a*�� !"�#
!"1��nB6*� �� )#=�ان٣:٨٥/ا( Artinya:”Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi”. (Q.S. Ali Imran/3:85).
Inilah hakikat yang diperingatkan kepada semua pihak yang enggan
patuh seperti kepatuhan yang dijelaskan ayat di atas. Barang siapa mencari
agama selain agama Islam, yakni ketaatan kepada Allah mencakup ketaatan
kepada syariat yang ditetapkan-Nya, yang intinya adalah keimanan akan
keesaan-Nya, mempercayai para rasul, mengikuti dan mendukung mereka,
tunduk serta patuh pula akan ketentuan-ketentuan-Nya yang berkaitan dengan
alam raya, yang intinya adalah penyerasian diri dengan seluruh makhluk dalam
sistem yang ditetapkan-Nya
Pada ayat di atas pakar-pakar bahasa menyatakan bahwa patron (pola)
kata yang dibubuhi penambahan huruf ta’ , mengandung makna keterpaksaan
dan rasa berat (hati, pikiran, atau tenaga) untuk melakukanya. Di sini kata (Ml���)
yabtagi dibubuhi huruf ta’, karena asalnya adalah (غبي) yabgi. Jika demikian,
mencari agama selain agama Islam merupakan sesuatu yang bertentangan
dengan fitrah atau naluri normal manusia.
Ayat di atas juga menegaskan bahwa adanya dua macam sanksi, yaitu
sanksi duniawi dan ukhrawi yang penyebutannya dipisahkan dengan sanksi
duniawi yaitu, sekali-kali tidak akan diterima, yang merupakan akibat pencarian
agama selain Islam serta kepatuhan kepada selain Allah, sedang dari sanksi
ukhrawi adalah dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi,akibat patuh
kepada selain Allah.
Pemisahan ini memberi isyarat bahwa penyebab sanksi duniawi itu
masih mungkin dapat dielakkan bila yang bersangkutan mau berpikir dengan
tenang dan sungguh-sungguh. Itu mengisyaratkan juga bahwa kerugian ukhrawi
lebih besar dan tidak dapat dielakkan. Memang seseorang yang murtad
kemudian mati dalam kemurtadannya, maka semua amalnya terhapus.
Sedangkan mereka yang murtad kemudian menginsafi kesalahannya dan
kembali memeluk Islam, maka amal-amalnya yang lalu tidak terhapus.
2. Konsep Kebebasan dalam HAM
HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia
sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap
manusia dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan
pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk di dalamnya
hak kebebasan pindah agama. Secara normatif dalam perspektif Hak Asasi
Manusia (HAM), hak kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat disarikan
ke dalam 8 (delapan) komponen55
yaitu; kebebasan internal, kebebasan
eksternal, tidak ada paksaan, tidak diskriminatif, hak dari orang tua dan wali,
kebebasan lembaga dan status legal, pembatasan yang diijinkan pada kebebasan
eksternal, non-derogability. Yang akan diuraikan sebagai berikut:
1. Kebebasan Internal
Setiap orang mempunyai kebebasan berfikir, berkeyakinan dan
beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan
agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah
agama dan keyakinannya.
2. Kebebasan Eksternal
Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam
masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau
keyakinan di dalam pengajaran dan peribadahannya.
3. Tidak ada paksaan
Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan
mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau
keyakinan yang menjadi pilihannya.
4. Tidak diskriminatif
55Chandra Setiawan. “Kebebasan Beragama dan Melaksanakan Agama /Kepercayaan
Perspektif HAM”. Artikel diakses pada 2 Februari 2008 dari http://www. Geogle. Kebebasan
beragama. Com/
Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan
beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya
tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan
keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: asli atau pendatang, serta asal
usulnya.
5. Hak dari orang tua dan wali
Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali
yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi
anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.
6. Kebebasan lembaga dan status legal
Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi
komunitas keagamaan adalah untuk berorganisasi atau berserikat sebagai
komunitas. Oleh karena itu komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam
beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam
pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang diijinkan pada kebebasan eksternal
Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya
dapat dibatasi oleh undang-undang dan demi kepentingan melindungi
keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-
hak asasi dan kebebasan orang lain.
8. Non-Derogability
Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan
dalam keadaan apapun.
B. Historitas Pindah Agama dalam Islam dan HAM
Kutipan sejarah keberagamaan manusia dalam al-qur’an banyak
menunjukan sesuatu yang diwarnai dengan penggunaan kekuatan fisik dan
kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh golongan orang yang tidak
sedikit pun memiliki pengetahuan tentang Allah. Nabi Nuh a.s. yang mengajak
umatnya ke jalan taqwa dan wara’ tidak pernah melakukan penindasan atau
memaksa kaumnya. Meski demikian, kaumnya telah berbuat tidak fair karena
mereka menyembunyikan suara Nuh a.s ketika mendengar kerasulan Nuh a.s.
Sejarah kekerasan dan kezaliman atas nama agama sebagaimana yang
disinyalir al-qur’an dengan jelas menyatakan bahwa para pengikut agama
sendirilah yang justru menjadi korban. Al-qur’an menyebutkan Nabi ibrahim
a.s. sebagai contoh diantara nabi-nabi yang mengajak kaum kejalan Allah
dengan penuh kecintaan, kasih sayang, dan kerendahan hati. Beliau tidak pernah
menggunakan pedang, bahkan satupun alat perang. Namun, para pemuka
kaumnya melakukan hal yang serupa sebagaimana yang dilakukan para musuh
agama Nabi Nuh a.s. Azar, bapak nabi ibrahim, berkata kepada Ibrahim:
�k��� Y�V�=p>d AiN>d �"� &`X*u� �=4
XS�g]��(8��6�1 � �� I� �P�C¯�� *@�j=�4g(p�o
��(�-tg��=> �ATY�# )� �)١٩:٤٦/م��
Artinya:“Berkata bapaknya:Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, Hai
Ibrahim? jika kamu tidak berhenti, Maka niscaya kamu akan
kurajam, dan tinggalkanlah Aku buat waktu yang lama". (Q.S.
Mariam/19: 46).
Di Eropa, pada abad-abad pertengahan dapat kita jumpai bahwa orang-
orang yang menamakan dirinya para pengikut Yesus-Paus, para Uskup, para
penentu undang-undang gereja, serta tokoh-tokoh gereja, telah menulis satu
pasal yang amat mengerikan dalam sejarah penulisan kitab-kitab. Paus Agustin
menganggap pasal yang mengerikan tersebut sebagai “Penindasan Saleh” gereja
terhadap orang-orang fasik, dan pada hari ini, para sejarawan Kristen telah
mengakui bahwa “penindasan saleh” yang dilakukan dengan mengatas namakan
Yesus tersebut, merupakan aib bagi gereja.
Dalam Musium Lilin di Londen, para pengunjung dapat melihat
kerudung-kerudung kematian para biarawan dan penggalan-penggalan kepala
koleksi Antonit dan lois XIV. Juga dapat disaksikan alat tiang gantung yang
sebenarnya. Di samping alat-alat penyiksa lain, seperti yang digunakan untuk
menyiksa dan membunuh orang-orang kristen yang mengatas namakan
Penindasan Saleh.
Alat-alat penyiksaan yang berada di Musium Lilin itu memberikan
gambaran mengenai peristiwa-peristiwa tragis yang pernah terjadi dalam
lembaga-lembaga peradilan di Spanyol dan Perancis. Telah banyak orang-orang
kristen yang tak berdosa mengalami penindasan dan penyiksaan karena tuduhan
Pindah agama dari agamanya.
C. Hukum Pindah Agama dalam Islam dan HAM
1. Hukum Pindah Agama dalam Islam
Di era sekarang ini, kita tidak bisa mentolerir muslim manapun untuk
keluar dari Islam. Demikian halnya terhadap pemeluk agama lain, apapun
agamanya, untuk menyebarkan ajaran dan keyakinannya (Abu al-A’la al-
Maududi).56
Kaum muslimin adalah umat yang terbentuk dari berbagai
ketidakeksisan. Seluruh kepribadian yang ada dalam orang-orang kafir juga ada
dalam umat ini. Mereka dalam tubuh kaum Muslimin merupakan muka kedua
dari orang-orang kafir. (Abu al-A’la al-Maududi).57
Maksud dari kutipan ini
adalah karakter orang-orang kafir yang menyekutukan Allah ada dalam setiap
orang Islam yang keluar dari ajaran dan keyakinannya dalam arti lain orang
yang keluar dari Islam adalah sama dengan orang kafir.
Abu al-A’la al-Maududi adalah seorang ulama yang sangat terkenal dan
memiliki reputasi besar didunia Islam. Sebagaimana beliau adalah penerima
56 Muhammad Munir Adlabi, Membunuh Orang Murtad,(Jakarta: Niqos 2002), Cet. I
h. 49. 57 Ibid,h.50.
nobel raja Faisal di bidang riset dan pengetahuan Islam, dan beliau dianggap
sebagai ulama yang paling besar dan penting di masanya. Karena berbagai
karya tulis dan pemikiran beliau tersebar dengan luas di dunia Islam, maka
pendapat dan Fatwa beliau juga tersebar luas di kalangan generasi Islam. Oleh
karena itu, mengetahui pemahaman-pemahaman beliau dapat membantu dalam
menjelaskan gambaran yang tercermin tentang ajaran dan arah pemikiran Abu
al-A’la al-Maududi dan sesamanya, serta pengaruhnya yang berbahaya bagi
anak-anak dan remaja kita.
Mengenai Tafsir ayat yang menjelaskan tentang kebebasan pindah
agama ( kebebasan beragama)maka dapat diketahui sebagai berikut:
�� ������� � � ������� � ��� � ������ ������ �� !"�#
%&⌧(� �� ) "*☺�, (�-.0�1 �2346�7 ��8 9:�#�1=>
?���8 �����, *@AB�☺�CD�� �=>FG� ��8
)��H�IJ3� �� K� �L�AM�.N�� ��OPQ 0 R���=> SST�.⌧U
VXSY�Z) ة���٢:٢٥٦/ا(
Artinya:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat
Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Q.S.. Al-Baqarah/2;256).
Menurut keterangan sebab turunnya (asbậb al-nuzûl), ayat ini
diturunkan kepada penduduk Anshar di Madinah. Pada saat itu, banyak
dijumpai di kalangan penduduk Anshar yang memiliki anak-anak, baik laki-laki
maupun perempuan, dan mereka telah menjadikan anak-anak mereka penganut
agama Yahudi atau Nasrani, dua agama yang telah mendahului Islam. Ketika
Allah menyampaikan risalah Islam kepada Nabi Muhammad saw. Umatnya,
penduduk Anshar ini mempunyai keinginan untuk memaksa anak-anak mereka
yang sudah beragama Yahudi dan Nasrani itu agar masuk dan memeluk agama
baru, Islam. Sebagai jawaban dan penjelasan atas keinginan mereka untuk
mengonversi putra-putri kepada Islam, maka turunlah ayat ini. Yang initinya,
Allah melarang mereka melakukan pemurtadan secara paksa terhadap anak-
anak tersebut agar pindah ke agama Islam. Siapa berkehendak ia akan
menegakkan tauhid Islam, dan siapa berkehendak ia dapat meninggalkan
Islam.58
Al-Maududi mengemukakan : “Memang benar, ayat ini memberi
pengertian, bahwa kita tidak boleh memaksa siapapun untuk untuk mengikuti
agama kita. Namun, kita berkewajiban untuk mengingatkan kepada siapa pun
yang hendak keluar dari Islam, bahwa orang yang telah memilih masuk Islam,
maka ia sudah tidak lagi memiliki keleluasaan untuk keluar. Oleh karenanya,
jika anda ingin masuk Islam, silahkan masuk, sementara anda menyadari bahwa
jika anda keluar, berarti anda akan binasa.
Seorang ahli Tafsir, Ghulam Ahmad Barfiz mengomentari penafsiran al-
Maududi ini. Menurutnya, “Islam al-Maududi tak ubahnya sebagai perangkap
58 Zakiyuddin Baidhawi Kredo Kebebasan Beragama, (Jakarta, Pusat Studi Agama dan
Peradaban, 2005), Cet. I. h. 27.
tikus. Ketika seekor tikus telah terjerat dalam perangkap itu, maka ia tidak akan
dapat lepas darinya.” Begitupun dengan Calvin seorang pemikir Barat,
menghendaki ajaran Kristen disebarluasakan dengan cara kekerasan dan
menjadikan hukuman mati sebagai sanksi bagi orang murtad.59
Dalam sejarah klasik dan pertengahan, Islam memandang mereka yang
konversi (perubahan/penukaran keyakinan) dari kesetiaan terhadap Islam adalah
perbuatan dosa tak terampunkan. Mereka ini patut dihukum, dipaksa untuk
kembali ke Islam dan bertobat. Jika diperlukan proses kembali ke Islam
dilakukan dengan kekerasan dan siksaan. Merka yang tidak memeluk Islam lagi
diakhiri hidupnya dengan hukuman mati. Hal ini sesuai dengan hadits nabi:
��D�S �- J4ل م> ب% ل د��S �D(و J�D? Kا )Dص Kاب> ?��س ان ر)�ل ا <?
)�D3ري وم�Q�٢٠)روا� ا
Artinya:“Barang siapa yang mengganti agamanya hendaklah dia
dibunuh”.(HR. al-.Bukharî dan Muslim).
Selain hadits diatas ada juga hadits yang menghalalkan untuk membunuh orang
yang keluar dari Islam, hadits tersebut ialah:
�D3دم ام�ئ م N0� 9 ل�S �D(و J�D? Kا )Dص Kاب> م3#�د ان ر)�ل ا <?
�� نdCا9 بlب dCن N�Sب#% ا�=�ن وزن� ب#% اح/�ن و �C�٢١ح%ى ث.ث آ
59 Muhammad Munir Adlabi, Membunuh Orang Murtad,(Jakarta: Niqos 2002), Cet. I
h. 53 ٢٠ Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT Alma’arif, 1984), Cet. I h. 175. ٢١ Ibid, h.175-176.
Artinya : diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tidaklah halal darah seorang Islam kecuali ia menjalankan salah satu
dari tiga perkara, yaitu:Kafir setelah beriman, Berbuat Zina setelah
menjadi orang muhsahan, dan Membunuh orang yang dijaga darahnya.
Dari kutipan hadits di atas empat imam mazhab sepakat bahwa orang
yang pindah dari Islam secara meyakinkan harus dibunuh dan darahnya harus
ditumpahkan tanpa syarat. Namun demikian, sebelum hukuman mati
dijatuhkan, para imam mazhab memberikan kesempatan kepada Muslim yang
pindah agama untuk bertobat.
Abu Hanifah berpendapat agar kali pertama ia diminta untuk kembali ke
Islam. Jika ia ragu, ia dipersilahkan untuk mengungkapkan keraguannya
sehingga jelas apa keraguannya dan mungkin dapat dijelaskan mengenai
keraguan tersebut. Melalui cara ini dia diberi dua kemungkinan; kematian atau
menerima kembali Islam. Dengan mempertimbangkannya selama tiga hari.
Namun bagi wanita yang murtad tidak boleh dibunuh, tetapi dipenjara saja
sampai ia mau bertaubat atau mati. Sedangkan menurut Jumhur ulama fiqih
mengatakan bahwa hukuman bagi seorang wanita yang keluar dari Islam sama
dengan hukuman bagi laki-laki yang keluar dari Islam (Murtad).
Imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat perlunya memberikan
waktu tiga hari bagi orang yang pindah agama. kesempatan ini diberikan dengan
alasan agar ia punya waktu untuk meluruskan kebingungannya, dan menemukan
kebenaran kembali. Bila batas waktu itu terlampaui, maka ia harus dibunuh.
Syafiiyah menetapkan perlunya memberi peluang tiga hari, baik dipinta ataupun
tidak oleh orang yang pindah agama.
Imam Malik memegangi pendapat agar orang yang pindah agama diberi
kesempatan selama tiga hari dan tiga malam, mulai dari hari ketika ia
menyatakan keluar dari Islam, bukan hari ketika ia tidak beriman, atau hari
ketika ia dituduh sebagai orang yang pindah agama.
Dalam mazhab Hanbali, ada dua pendapat dalam masalah ini, sebagian
percaya bahwa orang yang pindah agama harus diberi masa tenggang untuk
menyesali diri selamatiga hari, sementara sebagain lainnya berpendapat tidak
perlu memberi kesempatan untuk bertobat, bahkan hanya diberi kesempatan
untuk memeluk Islam. Jika ia menerima tawaran memeluk Islam kembali, ia
bebas, jika tidak , ia dihukum mati.
Dengan pengenalan yang berkembang menjadi pengetahuan dan ilmu
pengetahuan, manusia dapat memanfaatkan semua yang ada di semesta ini
untuk kesejahteraan dan kemakmuran.
Akal pikiran juga memosisikan anak Adam ini sebagai makhluk
otonom. Otonom dari segi kedudukan, fungsi, dan perannya adalah khalifah di
muka bumi. Berkaitan dengan masalah agama dan beragama, setiap individu
mencerminkan diri sebagai makhluk otonom. Beragama sebagai masalah
pilihan jalan hidup, baik menentukan berada di atas rel kebaikan maupun
keburukan, bukan secara otomatis dan taken for granted terjadi. Hal ini
merupkan dimensi etika rasional, untuk apa sebuah keputusan dipilih.
Mempertimbangkan otonomi dan kebebasan manusia dalam membawa
arah kehidupannya secara individual, Allah menyatakan jaminan atas kebebasan
memilih beragama. Dalam sebuah ayat dinyatakan:
��N� P6=j1*�*g KhT�BB �� ��#� �☯���⌧� ��#�=>
�p3-.⌧ ) 9/٧٦:٣ن�3نا( Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada
yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Q.S. Al-Insân/76:3).
.
Tafsiran ayatnya sebagai berikut: ungkapan inna hadaynậ al-sabîl
menunjukan bahwa Allah telah memberikan kepada manusia dua instrumen
yang disebut indra dan akal. Dua instrumen ini menjadi pelengkap bagi hidayah
lain yang disebut insting atau gharizah, yang salah satunya adalah fitrah
bertuhan. Namun fitrah itu setelah kelahiran manusia sama sekali dalam
keadaan kosong, tidak mengetahui apapun. Maka indra baik yang zahir maupun
batin, mengawali untuk mengamati (observasi), kemudian akal manusia yang
menyusunnya menjadi ilmu pengetahuan. Jadi akallah yang kemudian memiliki
wewenang untuk memilih apa yang wajib, boleh, dilarang, dan seterusnya.
Sementara ungkapan al-sabîl dalam ayat ini meliputi jalan kebaikan, keburukan,
kebahagiaan, dan kehancuran. Jadi, al-sabîl adalah ism li al-jinsi, meski mufrad
bentuknya namun mencakup semua jalan, yang macamnya ada dua
sebagaimana ditunjukkan oleh ungkapan shậkiran au kafûran. Majas dari
ungkapan ayat di atas dapat dipahami bahwa Tuhan telah memberi nasihat
kepada manusia, dan jika tidak berkehendak ia dapat menolaknya.60
2. Hukum Pindah Agama dalam HAM
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pembahasan sekitar
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa
memberikan titik pangkal yang unik terhadap penelitian mengenai Islam dan
Kebebasan Pindah Agama. Hal ini terjadi karena pasal-pasal tertentu dari
Deklarasi itu mengarah pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
kebebasan pindah agama secara langsung, khususnya pasal 18, yang
memberikan hak terhadap kebebasan nurani dalam memilih dan mempraktikan
keyakinan agama, termasuk hak untuk berpindah agama. hal tersebut termuat
dalam UUD 1945 pasal 28E, pasal 28I, dan pasal 29 ayat 2 yang mana bunyi
pasal tersebut adalah:
UUD 1945
Pasal 28 E
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan,memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
UUD 1945
Pasal 28I
60 Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-kabỉr, (Beirut:Dâr al-kutub al-‘ilmiyah, 1990),
vol.30, hal.210-211.
1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun.
UUD 1945
Pasal 29 ayat (2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa HAM mengabsahkan dan menyatakan
bahwa Kebebasan pindah agam itu boleh-boleh saja.
D. Analisis Perbandingan Kebebasan Pindah Agama
1. Persaman dari kedua perspektif (Hukum Islam dan HAM)
- Isalam Mengakui adanya Hak asasi manusia tentang kehidupan beragama
dalam hal ini kebebasan untuk melaksanakan agamanya dan keyakinannya
dan Islam tidak memaksakan suatu agama kepada orang lain. Dan Islam
secara terbuka dan jujur mengakui adanya kebebasan pindah agama dan siap
untuk menerima kehadiran agama-agama lain untuk hidup berdampingan
secara layak
- Dalam HAM Kebebasan Pindah agama merupakan hak yang paling
Fundamental, sehingga pembahasan mengenai kebebasan pindah agama
menjadi titik yang unik terhadap penelitian menegani Islam dan Kebebasan
agama.
- Adanya penghargaan atas kebebasan pindah agama diantara hukum Islam
dan HAM
2. Perbedaan dari kedua perspektif (Hukum Islam dan HAM)
- Perbedaan dari keduanya dilihat dari segi sumber hukum yang dijadikan
sebagai dalil. HAM lebih cenderung Mengangkat Nilai-nilai kemanusian
daripada Nilai Ilahiyah, yang mengarah kepada konsep kebebasan dengan
mengunakan akal logika manusia, begitupun sebaliknya Islam
memperhatikan Nilai-nilai kemanusian tanpa mengesampingkan nilai
Ilahiyah.
- Produk pemikiran HAM tentang kebebasan Pindah agama tidak sama
dengan produk pemikiran Islam.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian data dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebgai berikut:
1. Menurut Islam dan HAM dapat dipandang sebagai berikut: Dalam sejarah
Klasik dan pertengahan, Islam memandang bahwa pindah agama atau
keyakinan merupakan suatu perbuatan yang sangat dilarang bahkan bagi
mereka yang melakukan perbuatan ini patut dihukum, dipaksa untuk kembali
ke Islam dan bertobat. Jika diperlukan proses kembali ke Islam dilakukan
dengan kekerasan dan siksaan. Hal ini senada dengan pandangan Empat Imam
mazhab bahwa orang yang pindah agama dari Islam harus diberi sanksi
hukuman mati atau dibunuh. Sedangkan untuk konteks sekarang, berdasarkan
referensi kontemporer, Islam memandang bahwa sanksi hukuman mati bagi
mereka yang pindah agama sudah tidak relevan lagi. Karena Islam
memandang Negara mana pun di dunia Islam, kini memiliki keragaman dari
sisi keyakinan keagamaan dan kepercayaan.
Pandangan menurut HAM atas dasar hak asasi manusia paling fundamental
untuk beragama/berkepercayaan dan memilih, atau merevisi pilihannya dan
pindah kelain agama, hukuman mati atas orang yang pindah agama
bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM itu sendiri, salah satunya prinsip
tentang hak kebebasan pindah agama dan hak hidup.
2. Persamaan dan perbedaan tentang Kebebasan Pindah Agama dapat dilihat
sebagai berikut; adanya pengakuan atas perbedaan dan keragaman dalam
agama dan kepercayaan menjadi titik awal atas perlindungan hak kebebasan
pindah agama dalam hukum Islam dan HAM. Perbedaan kebebasan pindah
agama yang terjadi antara satu individu dengan individu lain terjadi bukan
karena haknya sebagai manusia, melainkan didasarkan keimanan dan
ketakwaannya. Sedangkan kebebasan pindah agama yang ditawarkan HAM
terjadi karena adanya hak dalam diri manusia yang dibawa sejak lahir yang
bukan berdasarkan keimanan dan ketakwaan melainkan berdasarkan hak dan
kebebasan. kebebasan pindah agama yang ditawarkan Islam merupakan
kebebasan yang berasal dari Tuhan (teosenrtis), sedangkan kebebasan yang
ada dalam HAM merupakan kebebasan yang datang dari diri manusia
(antroposentris).
B. Saran-saran
Dari kesimpulan di atas, peneliti dapat memberikan saran yang mungkin
dapat menjadi sumber inspirasi bagi para pencari kebenaran tentang kebebasan
pindah agama, baik bagi Para Tokoh atau pemikir Islam maupun Orientalis,
terkhusus bagi para pembaca skripsi ini:
1. Masalah kebebasan pindah agama bukanlah masalah persaingan antaridiologi
pemikiran melainkan keberadaan manusia itu sendiri, dan tidak ada jalan
untuk mengetahui Tuhan kecuali dengan Tuhan. Bertanyalah pada
Muhammad saw, darinya akan anda peroleh jawaban tentang ini.
2. Kebebasan pindah agama adalah perwujudan nyata dari suatu kehendak yang
luhur dari suatu yang maha semesta.
3. Kebenaran tentang kebebasan pindah agama adalah hakikat yang muncul dari
kesadaran dan bahwa alam indrawi muncul secara hakiki dari kekuatan luar
biasa yang maha tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an- al-Karim.
Ali bin Muhammad bin Muhammad ash-Syaukan, Nailul athor, (Mesir: Syirkah
Iqomah al-Dîn, 2000), Juz. V. h. 265.
Ahmad Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (al-Maktabah al-
Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. III. H. 47.
Ahmad bin Suaib bin Ali bin Baher bin Sinan, Sunan an-Nasaî, (al-Maktabah al-
Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. xiii. h. 115.
Al-Din, Fakhr al-Razi, al-Tafsîr al-kabỉr, (Beirut:Dâr al-kutub al-‘ilmiyah, 1990),
vol.30, hal.210-211.
Ahmad, Muhammad Mufti dan Sami Salih al-Wakil, HAM Menurut Barat, HAM
Menurut Islam,Ter. Yahya Abdurrahman, dari Huquq al-Insan Fi al Fikr as-siyasi al-
gharbi wa asy-syar’I al-Islami, (Dirasah Muqaranah), (Bogor, Pustaka Thariqul Izah,
2005), Cet.1, h. 6.
Adlabi,Muhammad Munir. Membunuh Orang Murtad. Jakarta: Niqos, 2002, Cet. Ke-
1.
Asa, Syub’ah. Dalam Cahaya Al-qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Az-Zuhaili, Wahbah, Kebebasan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Al-Katsar, 2005, Cet. Ke-
I.
Arrifa’I, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani
Press, 1999, Cet. Ke-1.
Baidhawi, Zakiyuddin. Kredo Kebebasan Beragama. Jakarta: Pusat Studi Agama dan
Peradaban (PSAP), 2005, Cet. Ke-1.
Bisri, Ilhami. Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2004), Cet.I, h.
9.
Budiardjo, Mariam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2003, Cet. Ke-24, h.120.
BN. Masbun, Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. Cet. Ke-I.
CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
Culla, Adi Suryadi. Masyarakat Madani. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Cet. Ke-III.
Cauvin, Frans Hak Asasi Manusia:Pendasaran Dalam Filsafat Hukum dan Filsafat
Politik, (Flores: Ledorero,2004), Cet.1. h. 5.
Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra,
1995, Cet. Ke-II.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 2, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994), h. 67.
Fazlurrahman, Islam, alih bahasa ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Bandung,
1984), Cet. I, h. 34.
Hamid, Shalahuddin. HAM Dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Amisco.
Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermanitik. Jakarta:
Paramadina, 1996 Cet. Ke-I.
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ III. Jakarta: Pustaka Panjinar, 1983.
Hartono, Sunaryati, Kapita selekta Perbandingan Hukum.Bandung:Citra Aditya
Bakti, 1993.
Kosasih, Ahmad. HAM dalam Perspektif Islam “Menyikap Persamaan dan
Perbedaan Antara Islam dan Barat. Jakarta: Salemba Diniyah, 2003, Cet. Ke-I.
K. Lubis, Suhrawardi. Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), Cet. Ke-I.
Litle, David. Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 1997, Cet. Ke-I.
Madjid, Nurcholish. Hak Asasi Manusia “dalam perspektif Budaya Indonesia”.
Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1997 Cet. Ke-1.
Masbun,BN. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. Cet. Ke-I.
Muladi, Hak Asasi Manusia “Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat”. Bandung: PT. Refika Aditama, 2005, Cet. Ke-1.
Mahfudh, Sahal. Solusi Problematika Aktual. Surabaya: Lagnah Ta’lif Wan Nasyr
cet. Ke-III. 2007.
Maliki, Zaenudin. Agama Rakyat Agama Penguasa “Kontruksi Tentang Realitas
Agama dan Demokratis”. Yogyakarta: Yayasan Galang, 2000.
Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, (al-Maktabah Al-Syamilah:
Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. x. h. 114.
Muhammad bin Ali bin Muhammad ash-Syaukan, Nailul athor, (Mesir: Syirkah
Iqomah al-Dîn, 2000), Juz. V. h. 265.
Muslim Abu al-Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairi an Naisaburi, Shoheh Muslim, (al-
Maktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. IX. h. 344.
Muzaffar, Chandra. Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru. Bandung: Mizan,
Cet. Ke-1.
Masruchiyah, Nieke. Prosiding Seminar KMKG: Peranan Pemuda Dalam
Penegakan HAM, 17 Juli 2007. Cisarua.
Musdah Mulia, Siti. Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama.Artikel diakses
pada 10 April 2008, dari http://www.Geogle. Kebebasan beragama. Com/
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Pres, 1979), Cet.
I h.10.
Putra Dalizar, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra,
1995, Cet. Ke-II.
Peldi Taher, Elza. Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996,
Cet. I h. 113.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an” surat
Ali-Imran. Jakarta:Lentera Hati Ct. Ke-I.
Quthb, Sayyid. Tafsir fizhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Cet. Ke-1.
Razak, Nasrudin. Dỉnul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1977), Cet. II, h. 44 & 47.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Bandung: PT Alma’arif, 1984, Cet. I h. 175.
Sopyan Yayan. “Peran Masyarakat Dalam Penegakan HAM”. Prosiding Seminar:
Sosialisasi HAM Bagi Masyarakat di Propinsi Jakarta, 17 Juli 2007. Cisarua.
Hotel Ever Green, Puncak Jawa Barat
Sudjana, Eggi. HAM dalam Perspektif Islam “Mencari Universalitas HAM bagi
Tatanan Modernitas yang Hakiki”, Jakarta: Nuansa Madani, 2005, Cet. Ke-II.
Susetyo, Heru. Hak Asasi Manusia : Sejarah Doktrin dan Kendala Implementasinya,
dalam Majalah Sabili, edisi. IV, 13 November 2001, h. 1.
Syaukat Hussain, Syekh. Hak Asasi Manusia dalam Islam.Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Sihab, Qurais. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, Cet. Ke-1.
Setiawan, Chandra. “Kebebasan Beragama dan Melaksanakan Agama /Kepercayaan
Perspektif HAM”. Artikel diakses pada 2 Februari 2008 dari http://www. Geogle.
Kebebasan beragama. Com/
Thahir, Taib abd. Muin. Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1986), Cet. VIII, h.121.
Teungku Hasbi al-Shidd, Islam dan HAM. Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,1999,
Cet. Ke-1.
Taher, Elza Peldi. Agama dan Dialog Antar Peradaban. Jakarta: Paramadina, Cet.
Ke-1 1996.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.292.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, 1988), Cet. I, h. 867.
Tiena, Yulies Mariani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004),
Cet. I h. 13.
Undang-undang HAM 1999, “Tentang Hak Asasi Manusia”, Jakarta: Sinar
Grafika,2000, Cet. Ke-I.
Wahab, Abdul Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (al-Qahirah: Dar al-Qolam, 1978), Cet.
VIII. h. 73.
Yunus Mahfud, Tafsir Qur’an Karim.Jakarta: Sa’adijah Putra. 1971, Cet.Ke-I
Zainudin, A.Rahman. “Hak Asasi Manusia” Sebuah Bunga Rampai” . Jakarta:
Yayasan obor Indonesia, 1994.