KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

18
355 Abstrak: Kearifan Lokal sebagai Simbol dalam Keputusan Kebijakan Penganggaran Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kearifan lokal perjanjian dodandian i paloko bo kinalang sebagai sim- bol pemerintah dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan me- libatkan beberapa pemangku kepentingan terkait pemerintah Kota Kota- mobagu sebagai informan. Penelitian ini menemukan bahwa perjanjian dodandian i paloko bo kinalang dipandang sebagai bentuk komitmen se- tiap pemangku kepentingan. Oleh karena itu, simbol pemerintahan di- pandang sebagai benteng komitmen yang telah disepakati bersama oleh masyarakat dan pemerintah agar terakomodasi pada peraturan daerah. Abstract: Local Wisdom as a Symbol in Regional Budgeting Policy Decision. This study aims to describe the local wisdom of the “dodandian i paloko bo kinalang” agreement as a symbol of the government in making local budgeting policy decisions. The method used is descriptive qualitative by involving several stakeholders related to the Kotamobagu City govern- ment as informants. This study found that the “dodandian i paloko bo kinalang” agreement is seen as a form of commitment of all stakeholders. Therefore, the symbol of government is seen as a bastion of commitment that has been mutually agreed upon by the community and government to accommodate local regulations. Sistem pemerintahan di Indonesia te- lah mengalami perubahan dari yang awal- nya sentralisasi dalam bidang fiskal menjadi desentraliasi fiskal. Hal ini dilakukan agar terjadi perbaikan dalam segala bidang ter- masuk perbaikan pada proses penganggar- an. Kebijakan terkait desentralisasi fiskal diharapkan dapat menjadikan Provinsi dan Kabupaten/Kota mampu mengemban peran pemerintah pusat dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang sesuai dengan asas otonomi daerah dan tugas pemban- tuan. Desentralisasi fiskal sebagai konsep modern yang diusung oleh NPM (New Pu- blic Management) memberi perubahan yang mendasar bagi peran eksekutif dan legislatif daerah. Sebagai entitas pemerintahan kedua lembaga tersebut sama-sama memiliki tu- gas dan tanggung jawab dalam mempro- duksi kebijakan-kebijakan publik termasuk kebijakan anggaran daerah. Saat pemerin- tah merancang suatu kebijakan sektor pu- blik, maka saat itu juga pemerintah sedang menanamkan nilai-nilai bagi masyarakat karena di dalam setiap kebijakan pasti ter- dapat seperangkat nilai di dalamnya (Quinn & Warren, 2017; Vivian & Maroun, 2018). Pengambilan keputusan kebijakan anggar- Volume 11 Nomor 2 Halaman 355-372 Malang, Agustus 2020 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879 Mengutip ini sebagai: Makalalag, S. U., Sukoharsono, E. G., & Djamhuri, A. (2020). Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam Keputusan Kebijakan Penganggaran Daerah. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(2), 355-372. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.2.21 KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN KEBIJAKAN PENGANGGARAN DAERAH Sity Utami Makalalag, Eko Ganis Sukoharsono, Ali Djamhuri Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang 65145 Tanggal Masuk: 06 Februari 2020 Tanggal Revisi: 10 Juli 2020 Tanggal Diterima: 31 Agustus 2020 Surel: [email protected] Kata kunci: anggaran, komitmen, perilaku, simbol Jurnal Akuntansi Mulparadigma, 2020, 11(2), 355-372

Transcript of KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

Page 1: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

355

Abstrak: Kearifan Lokal sebagai Simbol dalam Keputusan Kebijakan Penganggaran Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kearifan lokal perjanjian dodandian i paloko bo kinalang sebagai sim­bol pemerintah dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan me­libatkan beberapa pemangku kepentingan terkait pemerintah Kota Kota­mobagu sebagai informan. Penelitian ini menemukan bahwa perjanjian dodandian i paloko bo kinalang dipandang sebagai bentuk komitmen se­tiap pemangku kepentingan. Oleh karena itu, simbol pemerintahan di­pandang sebagai benteng komitmen yang telah disepakati bersama oleh masyarakat dan pemerintah agar terakomodasi pada peraturan daerah. Abstract: Local Wisdom as a Symbol in Regional Budgeting Policy Decision. This study aims to describe the local wisdom of the “dodandian i paloko bo kinalang” agreement as a symbol of the government in making local budgeting policy decisions. The method used is descriptive qualitative by involving several stakeholders related to the Kotamobagu City govern­ment as informants. This study found that the “dodandian i paloko bo kinalang” agreement is seen as a form of commitment of all stakeholders. Therefore, the symbol of government is seen as a bastion of commitment that has been mutually agreed upon by the community and government to accommodate local regulations.

Sistem pemerintahan di Indonesia te­lah mengalami perubahan dari yang awal­nya sentralisasi dalam bidang fiskal menjadi desentraliasi fiskal. Hal ini dilakukan agar terjadi perbaikan dalam segala bidang ter­masuk perbaikan pada proses penganggar­an. Kebijakan terkait desentralisasi fiskal diharapkan dapat menjadikan Provinsi dan Kabupaten/Kota mampu mengemban peran pemerintah pusat dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang sesuai dengan asas otonomi daerah dan tugas pemban­tuan. Desentralisasi fiskal sebagai konsep modern yang diusung oleh NPM (New Pu­

blic Management) memberi perubahan yang mendasar bagi peran eksekutif dan legislatif daerah. Sebagai entitas pemerintahan kedua lembaga tersebut sama­sama memiliki tu­gas dan tanggung jawab dalam mempro­duksi kebijakan­kebijakan publik termasuk kebijakan anggaran daerah. Saat pemerin­tah merancang suatu kebijakan sektor pu­blik, maka saat itu juga pemerintah sedang menanamkan nilai­nilai bagi masyarakat karena di dalam setiap kebijakan pasti ter­dapat seperangkat nilai di dalamnya (Quinn & Warren, 2017; Vivian & Maroun, 2018). Pengambilan keputusan kebijakan anggar­

Volume 11Nomor 2Halaman 355­372Malang, Agustus 2020ISSN 2086­7603 e­ISSN 2089­5879

Mengutip ini sebagai: Makalalag, S. U., Sukoharsono, E. G., & Djamhuri, A. (2020). Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam Keputusan Kebijakan Penganggaran Daerah. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(2), 355­372. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.2.21

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN KEBIJAKAN PENGANGGARAN DAERAHSity Utami Makalalag, Eko Ganis Sukoharsono, Ali Djamhuri

Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang 65145

Tanggal Masuk: 06 Februari 2020Tanggal Revisi: 10 Juli 2020Tanggal Diterima: 31 Agustus 2020

Surel: [email protected]

Kata kunci:

anggaran,komitmen,perilaku,simbol

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2020, 11(2), 355-372

Page 2: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

356 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372

an oleh lembaga eksekutif dan legislatif se­bagaimana yang tertuang dalam Perda APBD (Anggaran, Pendapatan, dan Belanja Dae­rah) diharapkan dapat mengakomodisasi aspirasi masyarakat yang tentunya berman­faat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun, Sofyani (2018) berargumentasi bah­wa desentralisasi fiskal yang berdampak pada pelimpahan wewenang yang begitu besar juga memberikan banyak kesempatan dan peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan kecurangan­kecurangan (fraud) seperti korupsi.

Briando & Purnomo (2019) dan Sofyani (2018) berargumentasi bahwa bentuk pe­rilaku tidak etis dalam lingkup sektor pu blik atau pemerintahan adalah perilaku fraud yang terdiri dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan gratifikasi. Peluang dalam melakukan perilaku fraud berupa tindakan korupsi dalam penganggaran yang melibat­kan stakeholders di kalangan pemerintah daerah tentunya perlu diminimalisasi. Hal ini menjadi menarik karena ternyata ba­nyaknya regulasi dan tingginya pemaham­an tentang ilmu agama belum sepenuhnya menghilangkan kebiasaan­kebiasaan korup oknum­oknum tertentu. Salah satu perilaku fraud yang terjadi di Indonesia yang melibat­kan legislator daerah adalah tertangkapnya 41 anggota DPRD Kota Malang sebagai ter­sangka suap pada tahun 2018. Selain itu, terdapat indikasi perilaku fraud di ranah eksekutif yang dilakukan oleh tiga bupati di Jawa Barat pada tahun 2019. Kedua kasus tersebut menyiratkan bahwa hingga saat ini perilaku fraud di Indonesia masih terus ter­jadi. Minimnya tanggung jawab moral stake­holders selaku pengambil keputusan kebi­jakan anggaran terhadap masyarakat juga menimbulkan spekulasi tentang adanya ke­mungkinan bahwa kasus korupsi tersebut juga bisa terjadi di lingkungan pemerintah daerah di Kota Kotamobagu.

Kota Kotamobagu adalah salah satu Kota di Provinsi Sulawesi Utara yang me­rupakan daerah otonomi hasil pemekaran wilayah pemerintah daerah Kabupaten Bo­laang Mongondow. Penduduk Kota Kota­mobagu terdiri dari masyarakat adat suku Bolaang Mongondow memiliki kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai filosofis tinggi sehingga dijadikan sebagai simbol pemerin­tahan. Terkait dengan lingkungan kebijakan maka nilai luhur yang dapat dijadikan se­bagai kajian dari masyarakat adat adalah ke­arifan lokal (local wisdom). Kotamobagu dan

secara umum Bolaang Mongondow memili­ki kearifan lokal yaitu “Dodandian i Paloko bo Kinalang”, “Dodandian” berarti perjanji­an luhur, “Paloko” berarti masyarakat, dan “Kinalang” berarti raja/pemimpin (pemerin­tah) dengan kata lain “Dodandian i Paloko bo Kinalang” adalah perjanjian luhur antara masyarakat dan raja/pemimpinnya (peme­rintah). “Dodandian” ini diikat oleh “Itu­itum bo Odi­odi”, “Itu­itum” berarti doa/sum pah dan “Odi­odi” berarti kutukan yang oleh masyarakat dianggap sakral (Damopolii, 2003; Lantong, 1996).

Simbol “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Itu­itum bo Odi­odi” pada pemer­intah daerah Kota Kotamobagu merupa­kan refleksi atas warisan nenek mo yang di tanah Totabuan. Ini adalah suatu perjanjian luhur yang dibuat dan dilaksanakan atas dasar kepercayaan ma syarakat terhadap pemimpinnya (pemerintah) dan pengabdian yang tulus oleh pemimpin (pemerintah) ke­pada masyarakatnya. Perjanjian luhur ini mengandung dukungan masyarakat terha­dap kinerja pemerintah dan keyakinan yang dalam bahwa pemerintah dapat mewujud­kan kesejahteraan bagi seluruh rakyatn­ya. Begitupun halnya de ngan pemerintah yang senantiasa mengabdi, mengayomi, dan menjaga amanah yang telah diberikan oleh masyarakat. Terdapat ba nyak penelitian yang membahas tentang kearifan lokal yang dikaitkan dengan keilmuan akuntansi. Na­mun, di dalam penelitian ini peneliti lebih menitikberatkan pada peran kearifan lokal sebagai pertimbangan solusi atas tindakan korupsi yang bukan rahasia lagi sering ter­jadi di lingkungan pemerintah daerah. Hal ini terungkap dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Iacovino et al. (2017) dan Kon­togeorga (2017). Dalam penelitian­penelitian tersebut terungkap realitas bahwa pihak eksekutif dan legislatif dalam pengambilan keputusan kebijakan anggaran (APBD) lebih mengutamakan kepentingan nya dibanding­kan dengan kepentingan ma syarakat. Na­mun, terdapat penelitian yang dapat diso­roti, yaitu Mokoagow (2015). Dari penelitian ini terungkap bahwa masalah korupsi dalam proses penganggaran yang me libatkan pihak eksekutif dan legislatif masih menjadi perha­tian utama masyarakat. De ngan demikian, penelitian saat ini yang membahas kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Itu­itum bo Odi­odi” sebagai simbol pemerintahan berusaha untuk melengkapi penelitian sebelumnya dengan menawarkan

Page 3: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 357

solusi yang tentunya dapat dipertimbangkan untuk meminimalisasi perilaku fraud yang dapat menjurus pada tindakan korupsi di dalam proses pengambilan keputusan kebi­jakan penganggaran daerah.

Berdasarkan uraian tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Itu­itum bo Odi­odi” sebagai simbol pemerintah daerah Kota Ko­tamobagu dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah. Selain itu, menjadikan kearifan lokal bukan sekadar simbol pemerintahan saja, melainkan se­bagai penguat hukum positif dan hukum aga ma sehingga stakeholders senantiasa ter­jaga oleh rasa tanggung jawab moral terha­dap masyarakat dan terhindar dari perilaku fraud yang menjurus pada tindakan korupsi yang tentunya akan sangat merugikan ma­syarakat. Penelitian ini memberikan kontri­busi bagi dunia akuntansi bahwa nilai­nilai filosofis yang terkandung dalam kearifan lo­kal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Itu­itum bo Odi­odi” sebagai simbol pemerintahan dapat digunakan sebagai pertimbangan solusi untuk meminimalisasi tindakan korup dalam pengambilan kepu­tusan kebijakan penganggaran daerah. Dan kontribusi praktis bagi seluruh jajaran baik eksekutif maupun legislatif yaitu dengan meningkatnya kesadaran dan rasa tang gung jawab moral dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada masyarakat bahwa perjanjian antara “Paloko bo Kinalang” ini bukan hanya sekadar perjanjian politik saja melainkan perjanjian sakral yang diikat oleh “Itu­itum bo Odi­odi”. Dengan demikian, ke­arifan lokal ini bisa membentengi pe rilaku anggota DPRD selaku wakil rakyat dan Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga dapat terhindar dari perilaku fraud terutama tin­dakan korupsi di dalam pengambilan kepu­tusan kebijakan penganggaran daerah.

METODEFokus analisis dalam penelitian ini

adalah mendeskripsikan kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Itu­itum bo Odi­odi” sebagai simbol pemerintahan dalam pengambilan keputus­an kebijak an penganggaran daerah. Hal ini dilakukan agar diperoleh gambaran dan pe­mahaman secara utuh tentang simbol pe­merintahan yang diadposi dan merupakan refleksi dari suatu kearifan lokal masyarakat adat suku Bolaang Mongondow yang hingga

saat ini diyakini keberadaannya. Pemaha­man dan gambaran tersebut dihasilkan dari penafsiran data dan in¬formasi yang diper­oleh dari observasi dan wawancara dengan informan atau narasumber penelitian. Da­lam hal ini, peneliti menempatkan diri se­bagai bagian yang memahami dengan baik suatu feno mena ketika menyingkap suatu keyakinan, tradisi, ritual, dan budaya yang dianut oleh komunitas masyarakat adat tersebut. De ngan demikian, struktur sosial, kekerabatan, dan hubungan sosial antar­anggota masyarakat dapat dijelaskan.

Teknik wawancara dan observasi dilakukan untuk memperoleh data peneli­tian. Informan/penelitian yang berkontri­busi adalah stakeholders yang terdiri dari pihak eksekutif diwakili oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yaitu Adnan, Gunawan, Sofyan, dan Sa’ir. Selanjutnya, dari pihak legislatif diwakili oleh BANG­GAR­DPRD (Badan Anggaran) yaitu Ishak dan Dani. Aktor­aktor ini adalah pengambil keputusan kebijakan penganggaran dae­rah. Selain itu, terdapat pula informan dari luar pemerintahan tetapi sangat memahami sejarah tentang kearifan lokal yang sedang dikaji yaitu Hamri, Chairun, dan Jemmy yang merupakan tokoh adat/masyarakat. Penca rian informasi dilakukan secara face to face antara peneliti dan informan/narasum­ber. Penelitian ini berlangsung di salah satu lingkung an pemerintah daerah di Provinsi Sulawesi Utara yaitu di pemerintah daerah Kota Kotamobagu. Alasannya agar informan merasa lebih dekat dengan objek penelitian karena Pemda Kotamobagu memiliki sim­bol peme rintahan yang khas sebagai reflek­si atas warisan kearifan lokal leluhur yang sarat dengan nilai-nilai filosofis tinggi dan sakral. Dengan demikian, informasi atau hasil wawancara yang diperoleh lebih me­yakinkan dan terpercaya. Selain itu, peneliti dapat menggali secara mendalam informa­si dari stakeholders terkait kearifan lokal tersebut di dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah sehingga lahirlah Perda APBD yang benar­benar pro kesejahteraan rakyat sesuai dengan hara­pan leluhur sebagaimana yang tertuang di dalam isi “Dodandian” atau perjanjian luhur di tanah Totabuan. Rekaman hasil wawan­cara yang telah diperoleh kemudian dicatat dan selanjutnya dianalisis oleh peneliti.

Berdasarkan opini dari peneliti kuali­tatif akuntansi sebelumnya (Bogt & Helden, 2012; Burns, 2014; Parker, 2014), anali­

Page 4: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

358 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372

sis pada penelitian ini terdiri dari bebera­pa tahapan antara lain: survei lapangan, me nerapkan sintesis, menentukan pola, mencari apa yang penting dan dipelajari, kemudian menentukan aspek apa saja yang dapat diutarakan kepada orang lain. Da­lam tahap an analisis, peneliti menyaksikan prosesi adat “Podui’an bo Poponikan kon Komalig” pada tanggal 8 Oktober 2018 yang diha dir i oleh seluruh jajaran pemerintahan dan masyarakat Kota Kotamobagu. Pro ses i adat ini merupakan penobatan Walikota sebagai pemangku adat tertinggi di Kota­mobagu sekaligus mengantarkan Walikota menempati rumah dinas/jabatan. Prosesi adat ini dirangkaikan dengan pembacaan isi “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Itu­itum bo Odi­odi” sakral. Dalam pemba­caan “Dodandian” ini tampak jelas ekspresi kekaguman dan “takut” dari masing­masing individu yang memahami bahwa perjanjian luhur ini diikat oleh doa/sumpah dan ku­tukan sakral yang akan menimpa siapa saja yang melanggarnya. Dengan demikian, ke­arifan lokal sebagai simbol pemerintahan se­bagai suatu data informasi kualitatif berada pada satuan olahan informasi yang dapat dikaitkan dengan pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah sesuai de­ngan hasil wawancara.

HASIL DAN PEMBAHASANFilosofis “Dodandian i Paloko bo

Kinalang” yang diikat “Itu-itum bo Odi-odi”. Indonesia dengan keragaman suku dan budayanya memiliki berbagai ma­cam keunikan kearifan lokal pada seti­ap wilayahnya. Salah satu wilayah dengan keunikan tersebut terletak di bagian utara pulau Sulawesi atau lebih tepatnya ber­tempat di Kota Kotamobagu. Penggalian in­formasi secara mendalam terkait keunikan kearifan lokal sebagai simbol pemerintah­an dalam pengambilan keputusan kebija­kan penganggaran daerah menjadi hal yang menarik untuk dilakukan. Ketertarikan itu muncul ketika peneliti membaca sejarah Bolaang Mongondow yang diabadikan Da­mopolii (2003) dan Lantong (1996). Kedua penulis tersebut mengisahkan asal muasal lahirnya masyarakat adat dan kisah keari­fan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Itu­itum bo Odi­odi”. Dituliskan pula bahwa permukiman­permukiman pen­duduk telah ada di wilayah Bolaang Mon­gondow sejak abad XV Masehi. Setiap per­mukiman tersebut oleh “Bogani” dinamakan

“Totabuan”. Bogani adalah gelar atau julu­kan bagi orang­orang pilihan baik laki­laki maupun perempuan yang dianggap terkuat di dalam kelompoknya, yang kemudian dija­dikan sebagai pemimpin Totabuan.

Bogani sebagai pemimpin Totabuan kemudian bersepakat untuk mengangkat pemimpin tertinggi yaitu orang dari kalang­an yang dijagokan atau dituakan. Pemimpin tersebut dinamakan “Punu’” atau orang yang dipercayai dapat memimpin serta mengatur kehidupan dan kesejahteraan bagi seluruh penduduk di tanah Totabuan Bolaang Mon­gondow. Pada masa pemerintahan Raja/Punu’ Tadohe (1600­1650) untuk pertama kalinya diadakan musyawarah yaitu “Bakid Moloben” atau Musyawarah Besar yang dilaksanakan di Tudu’ in Bakid yang saat ini berlokasi di puncak bukit Desa Pontodon Kecamatan Kotamobagu Utara. Musyawa rah tersebut menghasilkan “Dodandian” yang berisi ketetapan­ketetapan yang disepakat i bersama oleh Raja/Punu’ dan Bogani se­bagai perwakilan dari masyarakat di ma­sing­masing Totabuan yang wajib diamal­kan bersama yaitu, sebagai berikut.

“Bui’ i Kinalang in mobibit, mopolin­tak, bo monompia kon bui’ i Paloko. Momarenta moadil, bo moitutui, bo moposalamat kon bayongan in In­tau kon lopa’ in Bolaang Mongon­dow” (Lantong, 1996). “Raja/pemimpin (pemerintah) berkewajiban untuk menyejahte­rakan, mengangkat (derajat) dan mengayomi masyarakat, disam­ping menjalankan pemerintahan secara adil dan jujur, dan sela­lu mengutamakan keselamatan seluruh masyarakat di wilayah Bolaang Mongondow” (Lantong, 1996).

“Bui’ i Paloko in mokiompu, mo­tonoi, bo mogengkel kon bui’ i Kinalang” (Lantong, 1996: 48­49).

“Masyarakat berkewajiban un­tuk mengabdi, menjunjung, dan menghormati Raja/pemimpin (pe­merintah)” (Lantong, 1996).

Hasil konsensus tersebut menjadi “Tonggulu” atau induk/akar dari hukum adat pertama dalam masyarakat adat suku

Page 5: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 359

Bolaang Mongondow. Esensi dari “Dodan­dian” tersebut adalah pembagian hak dan kewajiban antara “Paloko bo Kinalang” yaitu Kinalang (pemimpin): “Obaga’ai in Akuoi, ba bibitonku in Moiko”, artinya: “Dukung peme­rintahan saya, maka saya akan mensejahte­rakan kalian”. Paloko (masyarakat): “O’o, kuntungon Nami in Iko, yo bibitonmu in Kami”, artinya: “Baiklah, akan kami dukung eng­kau, maka engkau wajib mewujudkan kese­jahteraan bagi kami” (Damopolii, 2003; Lan­tong, 1996). Perjanjian luhur tersebut diikat dengan doa/sumpah dan kutukan sakral. Pengikat ini diyakini dapat mendatangkan penderitaan bagi siapa saja yang melanggar­nya. Doa/sumpah dan kutukan sakral yang dititahkan oleh Bogani Inde’ Dou’ (Bogani perempuan) tersebut adalah sebagai berikut.

“Itu­itum:Ompu’ tumbolan taikan, bo ompu’ mobara’ doman, bo ompu’ mongasi’ doman, bo ompu’ molaih doman. Pokodongog in iko buta’ pitu nogaip kowalu apad balangon takin tom­bonunya. Bo pokodongong in iko langit pitu nogaip kowalu montoy­anoi”.“Odi­odi:Aka ki ine lumampat kon dodandi­an in tanaa yo butungon”:Rumondi­rondi’ na’ buing;Dumara­darag na’ kolawang;Yumoyow na’ simuton;Kimbuton in tolog bo doroton in montoyani” (Damopolii, 2003; Lantong, 1996).

“Doa:Demi sumpah yang berasal dari leluhur, dan demi sumpah yang berkah, dan demi sumpah yang mengena, dan demi sumpah yang pasti menimpa bagi yang melang­gar. Dengarkanlah wahai bumi tu­juh lapis kedelapan lapisan yang paling bawah beserta isinya. Dan dengarkanlah wahai langit tujuh lapisan kedelapan pelindung yang paling tinggi.Kutukan:Barang siapa yang melanggar per­janjian luhur ini maka akan terke­na kutukan: Menghitam seperti arang;Menguning seperti kunyit;

Mencair seperti garam;Diserap oleh tanah (seperti air hu­jan yang jatuh dari tirisan atap) ditelan oleh arus air, dan dihimpit oleh bumi” (Damopolii, 2003; Lan­tong, 1996). Hasil temuan dari penggalian dan pe­

mahaman terkait kearifan lokal sebagai simbol pemerintahan dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah merupakan hasil analisis data yang diper­oleh dari observasi dan wawancara dengan informan/narasumber penelitian. Berdasar­kan hasil analisis tersebut terungkap bahwa “Dodandian i Paloko bo Kinalang” dipandang sebagai bentuk komitmen bersama antara masyarakat dan pemerintah yang dihasilkan melalui forum musyawarah Musrenbang dan Reses yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan ke­bijakan penganggaran daerah; “Itu­itum bo Odi­odi” dipandang sebagai benteng perilaku stakeholders agar senantiasa terhindar dari perilaku fraud yang dapat menjurus pada tindakan korupsi; dan Simbol Pemerintah­an dipandang sebagai benteng atas komit­men yang telah disepakati bersama oleh ma­syarakat dan pemerintah agar terakomodasi ke dalam Perda APBD.

“Dodandian i Paloko bo Kinalang” sebagai bentuk komitmen bersama dalam pengambilan keputusan kebijakan peng­anggaran daerah. Berdasarkan analisis ha­sil penelitian terungkap bahwa “Dodandian i Paloko bo Kinalang” dipandang sebagai ben­tuk komitmen bersama antara masyarakat dan pemerintah yang dihasilkan melalui fo­rum musyawarah Musrenbang dan Reses yang kemudian dijadikan sebagai acuan da­lam pengambilan keputusan kebijakan peng­anggaran daerah. Terdapat pola yang sama antara musyawarah Besar “Bakid Moloben” yang melahirkan konsensus “Dodandian” yang merupakan bentuk komitmen bersa­ma antara “Paloko bo Kinalang” dengan mu­syawarah Musrenbang sebagai domain ekse­kutif yang melahirkan RPJPD, RPJMD, dan RKPD, dan musyawarah pada masa Reses DPRD sebagai domain legislatif yang mela­hirkan Pokok­pokok Pikiran (POKIR). Kedua forum musyawarah tersebut sama­sama melibatkan partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan preferensinya di hadapan stakeholders.

Page 6: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

360 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372

Pandangan terkait “Dodandian i Paloko bo Kinalang” tersebut terungkap dari per­nyataan Gunawan. Gunawan menjelaskan bahwa:

“Kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” adalah komit­men bersama antara “Paloko bo Kinalang”. Hal tersebut memiliki kesamaan dengan Musrenbang dan Reses sebagai forum untuk menyerap aspirasi masyarakat yang melahirkan komitmen ber­sama antara masyarakat dan pe­merintah. Dalam hal ini, tugas dan fungsi pihak eksekutif pe­merintah adalah menyusun per­encanaan (RPJPD, RPJMD, dan RKPD), dan pihak legislatif adalah menyerap aspirasi masyarakat atau “asmara”. Asmara di Dewan ini lahir pada forum Reses dalam bentuk Pokok­pokok Pemikiran atau Pokir. Hal tersebut diserap dari masyarakat kemudian di­kombinasi dengan hasil Musren­bang di tingkat Desa, Kelurahan, Kecamatan, sampai bertemu pada musyawarah tingkat Kota. Itulah yang menjadi komitmen bersama yang sudah seharusnya diakomo­dasi ke dalam Perda APBD, ten­tunya disesuaikan dengan angga­ran yang ada” (Gunawan).

Penjelasan Gunawan terkait bentuk komitmen bersama yang dilahirkan dari kon­sensus bersama tentu perlu direalisasikan dalam Perda APBD karena dapat berimbas pada kesejahteraan masyarakat. Hal ini se-nada dengan pernyataan Graham & Sathye (2017) dan Mokoagow (2015) bahwa kesuk­sesan pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat dapat ditentukan oleh bebera­pa faktor. Pertama, adanya komitmen poli­tik pimpinan daerah. Kedua, support dari berbagai kelompok elite masyarakat. Ketiga, terbangunnya demokrasi yang dihasilkan melalui konsensus bersama.

Dari ketiga faktor tersebut dapat disim­pulkan bahwa anggaran membutuhkan ke­seimbangan antara partisipasi rakyat dan komitmen elite agar tercipta konsensus bersama dalam pengambilan keputusan kebijak an penganggaran daerah. Partisipasi dalam penyusunan anggaran menimbulkan komitmen organisasi yang lebih besar. Selain

itu, partisipasi tersebut dapat menciptakan kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat langsung dan mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan anggaran.

Pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah sangat berkaitan de­ngan perencanaan pembangunan di dae­rah. Hal ini dikarenakan alokasi anggaran yang tertuang dalam Perda APBD harus se­suai dengan Perda tentang RPJPD/RPJMD Provinsi ataupun Kabupaten/Kota, serta Undang­undang tentang RPJPN/RPJMN Pe­merintah Pusat. Pendeskripsian “Dodandian i Paloko bo Kinalang” sebagai bentuk komit­men bersama dalam pengambilan keputus­an kebijakan penganggaran daerah melalui sudut pandang TAPD juga diungkap oleh Sofyan pada kutipan berikut ini.

“Dari kaca mata perencana, pe­merintah atau pemimpin itu ha­rus mendengar apa yang dibu­tuhkan oleh masyarakat. Ketika ma syarakat butuh program ‘A’ jangan dibalas dengan program ‘B’ harus tepat sasaran tentu nya. Maka, ada yg namanya Musren­bang yang dilaksanakan di ting­kat Desa dan Kelurahan yang merupakan proses perumusan usulan dari masyarakat ke Pe­merintah Kota, tentunya di situ terjadi musyawarah. Otomatis arti “Dodandian i Paloko bo Kinalang” melekat di situ karena pemerintah mendengar usul dari masyarakat melalui pelaksanaan Musrenbang. Hal tersebut kemudian diako­modasi dan nantinya dijabarkan menjadi program dan kegiatan di tiap­tiap SKPD menjadi APBD. Itu esensinya bahwa proses pelaksa­naan pembangunan di Kotamoba­gu tidak semata­mata merupakan kebijakan pemerintah saja namun juga merupakan jawaban atas as­pirasi dari masyarakat. Aspirasi tersebut berdasarkan permasalah­an mereka dan keluhan mere­ka yang telah disampaikan atau diusulkan dalam Musrenbang untuk selanjutnya masuk men­jadi dokumen perencanaan. Itu kira­kira garis besar pelaksanaan perencanaan. Jadi, ada peren­canaan yang sifatnya partisipatif yaitu melibatkan masyarakat da­

Page 7: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 361

lam pengambilan keputusan atau perumusan perencanaan; kemu­dian ada yang namanya perenca­naan secara teknokratik itu yang dibuat oleh SKPD berupa Ren­ja yang berisikan kebijakan dari masing­masing SKPD; kemudi­an secara politis artinya kita me­rencanakan sesuatu dalam rang­ka pencapaian visi dan misi yang telah disampaikan oleh walikota dan wakil walikota” (Sofyan).

Musrenbang sebagai domain ekse­kutif adalah salah satu forum komunikasi dan diskusi yang dilakukan secara berkala oleh Bappelitbangda. Kehadiran masyarakat selaku “Paloko” dalam pelaksanaan mu­syawarah ini, memberikan banyak masukan bagi pemerintah tentang apa saja kebutuh­an mereka yang tentunya dapat menunjang peningkatan kesejahteraan. Keinginan dan kebutuhan yang paling banyak disampaikan adalah terkait infrastruktur, yaitu pemeli­haraan dan pembangunan ruas jalan yang merupakan akses menuju perkebudan/per­sawahan; pembangunan jalan untuk akses ke lahan pemukiman; dan pembangunan drainase. Forum musyawarah ini termasuk dalam pendekatan partisipatif yang merupa­kan wadah penampung aspirasi masyarakat. Selanjutnya, aspirasi yang dihasilkan dalam konsensus bersama tersebut dipilah dan dipilih sesuai dengan prioritas pemerintah daerah yang disinkronkan dengan peme­rintah pusat. Selain itu, dilihat juga keman­faatannya, urgensinya, dan di sesuaikan juga dengan anggaran daerah yang ada. Tentu nya semua hasil konsensus bersama yang lolos dalam pembahasan antara pemerintah/ek­sekutif dan DPRD/legislatif tersebut akan di­input ke dalam program dan kegiatan yang tentunya dibiayai melalui dana APBD.

Pengambilan keputusan kebijakan peng anggaran daerah di era desentralisasi fiskal dilakukan oleh pemangku kepenting-an yang memiliki kekuasaan. Kekuasaan di­maksud adalah kewenangan yang diberi kan kepada eksekutif dan legislatif atas nama rakyat dalam menentukan arah kebijakan anggaran yang berpihak kepada me reka (ci vil society). Selain forum Musrenbang sebagai domain eksekutif dalam menyerap aspirasi masyarakat, terdapat pula forum Reses yang menghasilkan Pokir yang menjadi domain­nya legislatif yang juga dipandang sebagai “Dodandian i Paloko bo Kinalang”. Forum ini

merupakan momentum bagi anggota DPRD dalam me nyapa dan berbincang langsung dengan masyarakat sekaligus mendengar­kan segala aspirasinya. “Dodandian i Paloko bo Kinalang” sebagai bentuk komitmen ber­sama dalam pengambilan keputusan kebi­jakan penganggaran daerah melalui sudut pandang anggota Banggar­DPRD diungkap oleh Dani sebagai berikut.

“Kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” adalah komit­men bersama antara masyarakat dan pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dari proses perenca­naan pembangunan daerah yang tentu sangat mempengaruhi ang­ka­angka yang tertuang dalam APBD. Sistem perencanaan ini ada 2 kamar. Pertama, diisi oleh Undang­undang disebut dengan Musrenbang. Musrenbang se­cara berjenjang yaitu di tingkat Desa, Kelurahan, Kecamatan, dan di tingkat Kota, ini domain­nya eksekutif. Kedua, diisi oleh Undang­undang yang oleh pe­merintah, DPRD diberikan ruang yang disebut dengan Reses. Reses DPRD ini dilaksanakan oleh ang­gota DPRD yaitu dengan kembali ke dapilnya masing­masing un­tuk bertemu, menyapa, sekaligus menyerap aspirasi. Keluaran Re­ses ini yang menjadi Pokir. pokok­pokok pikiran ini kemudian di­jadikan dokumen resmi sebagai catatan­catatan hasil masukan, saran, ataupun aspirasi dari kon­stituen yang diwakili. Seluruh ha­sil Musrenbang dan seluruh hasil Reses DPRD tersebut kemudian dibahas bersama pada forum Fo­rum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) yang difasilitasi oleh Badan Pe rencanaan Pembangunan dan Penelitian Daerah (Bapelitbang­da) ini finalnya di sini. Tentu hasil dari kedua forum tersebut mempe­ngaruhi pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah karena hal itu yang telah menjadi komitmen kita bersama” (Dani).

Kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” sebagai simbol pemerintah dae rah dalam pengambilan keputusan kebijakan

Page 8: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

362 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372

penganggaran daerah dipandang sebagai bentuk komitmen bersama dalam hal ini re­ses yang menghasilkan Pokok­pokok Pikiran sebagai bentuk aspirasi masyarakat. Forum reses yang secara intensif dilakukan anggota Dewan yang didampingi oleh Sekretaris De­wan (Setwan) sebagai fasilitator merupakan wadah penampung bagi segala aspirasi dan kepentingan semua elemen masyarakat. Ti­ap­tiap anggota DPRD berkunjung ke dapil­nya masing­masing untuk melakukan pen­jaringan aspirasi. Selain itu, mereka juga terjun langsung ke lokasi perkebunan dan persawahan guna berdialog dan melihat le bih dekat kira­kira apa saja yang benar­benar dibutuhkan oleh masyarakat yang tentunya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Temuan­temuan ini kemudian dimasukkan ke dalam catatan Pokir yang selanjutnya oleh seluruh anggota DPRD diserahkan ke­pada Banggar sebagai perwakilannya dalam Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD/Forkopimda). Hasil POKIR inilah yang kemu­dian diperjuangkan oleh anggota BANGGAR pada saat pengambilan keputusan kebijak­an penganggaran daerah yang dilakukan bersama-sama dengan pihak eksekutif. Hal tersebut dilakukan agar apa­apa yang men­jadi usulan masyarakat dapat terakomoda­si ke dalam Perda APBD. Tentunya usulan program dan kegiatan yang diajukan oleh pihak legislatif kepada pihak eksekutif da­lam pembahasan APBD sudah seharus nya mencerminkan preferensi serta harapan masyarakat karena hal tersebut merupakan wujud tanggung jawab Dewan dalam mem­perjuangkan kepentingan rakyat.

Hasil Musrenbang yaitu RPJPD, RP­JMD, RKPD dan hasil reses yaitu Pokir ada­lah bentuk komitmen bersama yang merupa­kan deskripsi dari kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang”. “Dodandian” atau per­janjian luhur antara masyarakat dan pe­merintah bukan hanya sekadar perjanjian politik semata melainkan suatu perjanjian luhur yang secara sakral diikat oleh “Itu­itum bo Odi­odi”. Dengan demikian, sudah sepa­tutnya stakeholders berkomitmen untuk meng akomodasi aspirasi dan preferensi ma­syarakat ke dalam Perda APBD. Hal tersebut sebagai bentuk kesungguhan stakeholders dalam mewujudkan harapan leluhur yaitu mensejahterakan seluruh masyarakat Kota Kotamobagu.

“Itu-itum bo Odi-odi” sebagai ben­teng perilaku stakeholders. Dedoulis (2016) ber argumentasi bahwa kajian akun­

tansi de ngan menggunakan analisis sosial (sosiologi) merupakan suatu upaya untuk mendekatkan ilmu akuntansi pada reali­tas budaya, religi, dan spiritualitas. Melalui sudut pandang spiritualitas, kearifan lokal yang tersi rat dalam “Itu­itum bo Odi­odi” ti­dak lepas dari kesadaran masyarakat adat suku Bolaang Mongondow atas suatu ke­percayaan yang diyakini dapat memben­teng i perilaku ma syarakat. Mereka meyakini bahwa “Itu­itum” merupakan doa/sumpah di hadapan Tuhan yang Maha Esa dan “Odi­odi” me rupakan kutukan sakral yang akan menimpa siapa saja yang melanggar doa/sumpah tersebut. Spiritualitas berasal dari kata dasar spirit yang berasal dari bahasa Latin yaitu spirare atau spiritus yang berarti breadth atau nafas (kehidupan). Lebih lan­jut, kata dasar spirit menggambarkan se­buah aspek dari manusia yang paling mirip dengan Sang Ilahi (Fairholm & Gronau, 2015; Marwansyah, 2017). Bigoni & Funnell (2015) juga berpendapat bahwa manusia ti­dak dapat dipisahkan dari unsur spiritual­itas yang merupakan sisi transenden yang melekat pada dirinya (Sudana, 2016). Se­nada dengan pernyataan­pernyataan terse­but, aspek spiritualitas yang melekat dalam “Itu­itum bo Odi­odi” yang merupakan ba­gian dari “Dodandian i Paloko bo Kinalang” juga diya kini kesakralannya. Jemmy meng­ungkapkan bahwa nilai spiritualitas dalam “Itu­itum bo Odi­odi” tidak menyalahi ajaran agama khususnya ajaran agama Islam yang merupakan agama mayoritas masyarakat adat suku Bolaang Mongondow di Kota Kota­mobagu. Berikut ini adalah pernyataannya.

“Adat “Itu­itum bo Odi­odi” adalah kearifan lokal yang turun tem­urun diyakini keberadaannya oleh masyarakat dan sampai ka­pan pun adat akan terus relevan untuk diimplementasikan dalam kehidupan kemasyarakatan. Na­mun, tinggal bagaimana hal terse­but kita implementasikan di dalam proses pemerintahan. Adat dapat menyesuaikan dengan urusan keyakinan (agama) tanpa mengu­rangi nilai dari adat tersebut. Hal itu karena pada dasarnya arti dari kata “Ompu” yang terdapat dalam “Itu­itum bo Odi­odi” adalah “yaa Allah” atau “yaa Tuhan”. Jadi, adat itu bukan bid’ah karena ti­dak bertentangan dengan ajaran

Page 9: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 363

agama dan tentu tidak kaku kare­na selalu bisa menyesuaikan den­gan kondisi yang ada” (Jemmy).

Berbicara tentang unsur spiritualitas yang melekat pada “Itu­itum bo Odi­odi” yang dikaitkan dengan pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah, Dan & Pollitt (2015) menjelaskan bahwa keberaga­man paradigma di dalam penelitian ilmu akuntansi sangat dibutuhkan dan bukan hanya sekadar memperkaya pengembangan akuntansi sebagai ilmu sosial, tetapi untuk meminimalisasi miskonsepsi di kalangan masyarakat yang meyakini bahwa akun­tansi hanyalah alat informasi akuntabilitas yang digunakan dalam hubungan keagenan. Tingginya dinamika sosial dalam masyarakat khususnya dalam lingkup pemerintahan membuat akuntansi disalahartikan. Ada ang gapan bahwa akuntansi hanyalah seka­dar alat untuk memenuhi tuntutan akun­tabilitas pemerintahan. Dengan demikian, konseptual yang beragam dalam ilmu akun­tansi perlu dikembangkan agar tetap relevan dan dapat memenuhi berbagai macam kebu­tuhan stakeholders, tetapi tentunya dengan tidak “mematikan” unsur kearifan lokal (Ef­ferin, 2015; Reraja & Sudaryati. 2019).

Efferin (2015) dan Graham & Grisard (2019) berargumentasi bahwa terdapat prin­sip spiritualitas tentang harmoni kehidupan dalam ajaran agama­agama terkemuka di dunia, yaitu kebijaksanaan (wisdom), cinta (love), kasih sayang (compassion), pengertian (understanding), dan empati (empathy). Prin­sip spiritual tersebut mengandung nilai­nilai emansipasi yaitu pedoman bagi manusia da­lam mengembangkan kehidupan yang har­monis dalam ekosistem (Sudana, 2016). Jika dikaitkan dengan “Itu­itum bo Odi­odi” yang diyakini oleh masyarakat adat suku Bolaang Mongondow, maka stakeholders dianggap perlu melakukan pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah melalui sudut pandang spiritualitas dalam bingkai kearifan lokal untuk memperkuat hukum agama dan hukum positif yang berlaku di masyarakat. Hal ini perlu dilakukan agar ke­bijakan penganggaran daerah yang diputus­kan dalam bentuk Peraturan Daerah tidak melenceng dari apa­apa yang telah menjadi komitmen bersama antara masyarakat dan pemerintah. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk meminimalisasi perilaku me­nyimpang atau tindakan fraud di kalangan pengambil kebijakan karena bukan rahasia

lagi bahwa terkadang proses pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah dapat berujung pada negosiasi yang menju­rus pada tindakan korupsi.

Perilaku eksekutif terhadap anggar­an sebagaimana yang diungkapkan oleh Biswan & Widianto (2019) dalam hasil pe­nelitiannya menyimpulkan bahwa ekseku­tif akan memaksimalkan anggaran (budget maximization) yang diajukan kepada legisla­tif walaupun dana tersebut tidak digunakan sebesar yang diajukan. Hal ini karena ek­sekutif beranggapan bahwa legislatif tidak mengetahui dengan tepat berapa biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu pelayanan. Pe rilaku seperti ini dikenal de­ngan istilah maksimalisasi anggaran yang akan berdampak terhadap alokasi anggaran untuk publik menjadi tidak tepat sasaran (Mokoagow, 2015).

Maksimalisasi anggaran seakan mem­beri kesan bahwa pengalokasian anggaran tidak mempertimbangakan tugas dan fungsi eksekutif, serta hasil Musrenbang yang me­rupakan bentuk komitmen bersama antara masyarakat dan pemerintah. Kondisi yang sama juga terjadi pada perilaku legislatif pada saat menetapkan anggaran. Perilaku seperti ini sangat mudah dideteksi ketika legislatif mengambil keputusan kebijakan atas pengalokasian anggaran (APBD). Usul­an kegiat an yang diajukan dalam anggaran seharusnya mencerminkan kebutuhan ma­syarakat yang disampaikan kepada mereka pada saat melakukan Reses atau penjarin­gan aspirasi. Namun, Jayasinghe et al. (2020) mengungkapkan bahwa pada kenyataannya legislatif malah memaksimalkan utilitasnya (selft­interest) ketika membuat kebijakan an­ggaran. Selain itu, Ashraf & Uddin (2015) di dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa ada perilaku oportunistik legislatif terhadap anggaran daerah karena discretionary power yang dimilikinya, di mana APBD digunakan sebagai instrumen untuk melakukan politi­cal corruption. Sementara itu, Kontogeorga (2017) mengungkapkan hal yang sama, yak­ni dengan menyoroti perilaku kuasa ekseku­tif dan legislatif dalam proses penyusunan APBD. Hal ini juga diperkuat dengan temuan Oppi & Vagnoni (2020) yang menyimpulkan bahwa praktik penyalahgunaan anggaran disebabkan oleh aspek perilaku yang termo­tivasi oleh materil atau keuangan.

Pemahaman mendalam atas doa/sumpah dan kutukan sakral “Itu­itum bo odi­odi” yang mengikat perjanjian luhur

Page 10: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

364 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372

“Dodandian i Paloko bo Kinalang” dilaku­kan agar terungkap sebuah gambaran utuh terkait hubungan antara objek kearifan lo­kal dengan sudut pandang dan perilaku stakeholders. Gambaran yang utuh terkait pengikat perjanjian luhur ini dapat mengem­balikan jalur pengambilan keputusan kebi­jakan penganggaran daerah yang didasari atas rasa kejujuran, keadilan, kecintaan, dan keinginan melestarikan peninggalan le­luhur. Selain itu, agar stakeholders dapat melahirkan kebijakan­kebijakan anggaran dalam bentuk Perda APBD yang setiap ang­ka di dalamnya benar-benar merefleksikan kesejahteraan seluruh masyarakat Kota Ko­tamobagu. Gambaran “Itu­itum bo Odi­odi” diperoleh dari pemikiran pribadi informan yang bekerja di lingkungan pemerintah dae­rah Kotamobagu dan informan yang bekerja di luar lingkungan Pemda tetapi mengetahui sejarah tentang kearifan lokal yang sedang dikaji. Dapat dilihat bahwa informan meng­gambarkan “Itu­itum bo Odi­odi” atau “Doa/Sumpah dan Kutukan sakral” sebagai ben­teng perilaku pengambil keputusan kebijak­an penganggaran daerah.

Doa/sumpah dan kutukan sakral atau “Itu­itum bo Odi­odi” yang merupa­kan pengikat perjanjian luhur “Dodandian i Paloko bo Kinalang” sebagai simbol peme­rintah daerah Kota Kotamobagu dipandang sebagai benteng perilaku stakeholders. Hal ini bukan sekadar dijadikan sebagai peleng­kap, melainkan sebagai penguat hukum positif dan hukum agama yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut karena “Itu­itum bo Odi­odi” yang diyakini kesakralannya dapat menjadi suatu solusi untuk meminimalisasi tindakan fraud dan membentengi perilaku stakeholders dalam mengambil keputusan kebijakan penganggaran daerah.

Dari hasil wawancara terungkap bah­wa terdapat dua unsur yang mendomina­si pemahaman dan gambaran “Itu­itum bo Odi­odi” sebagai benteng perilaku pengambil keputusan kebijakan penganggaran dae rah. Pertama, “Itu­itum bo Odi­odi” dipandang se­bagai kontrol perilaku pengambil keputus­an kebijakan penganggaran daerah. Kedua, “Itu­itum bo Odi­odi” dipandang sebagai ben­tuk tanggung jawab moral pengambil kepu­tusan kebijakan penganggaran daerah.

“Itu-itum bo Odi-odi” sebagai kontrol perilaku stakeholders. Akbar et al. (2012) menemukan bahwa besarnya peran legislatif dan eksekutif dalam menentukan anggar­an daerah mulai dari tahap perencanaan

hingga pengesahan anggaran memuncul­kan dugaan adanya misalokasi dalam ang­garan. Hal ini kerena baik legislatif (politi­si) maupun eksekutif (birokrat) sama­sama mempunyai kepentingan pribadi di dalam penganggaran. Selanjutnya, kondisi power­ful yang dimiliki oleh eksekutif dan legislatif tersebut mengakibatkan outcome anggaran untuk pelayanan publik mengalami distor­si dan merugikan rakyat. Distorsi anggaran tersebut terjadi ketika pihak yang memiliki kewenangan (eksekutif­legislatif) melaku­kan korupsi. Selain itu, Harun et al. (2020) juga menyatakan bahwa korupsi dapat ter­jadi pada semua tahap penganggaran yakni mulai dari tahap penyusunan sampai tahap pelaksanaan. Pada tahap penyusunan ang­garan korupsi yang terjadi dapat dikatakan sebagai political corruption karena keputus­an politik sangat dominan di saat mengalo­kasikan sumber daya publik.

Terdapat beberapa penelitian yang me­ngungkap fakta bahwa diskresi (discretion­ary power) yang dimiliki pemerintah daerah sebagai amanah dari kebijakan desentralisa­si fiskal ternyata menimbulkan berbagai per­masalahan pada anggaran pemerintah dae­rah. Salah satunya adalah penelitian Alonso et al. (2015) yang menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap korupsi, artinya semakin tinggi tingkat desentralisasi fiskal daerah, akan semakin meningkat pula korupsi di dae­rah tersebut. Selanjutnya, Jayasinghe et al. (2020) menjelaskan bahwa kekuasaan (po­werful) yang dimiliki menimbulkan kecen­derungan untuk memaksimalkan anggaran, artinya eksekutif cenderung meningkatkan utilitas anggaran, sementara legislatif meng­utamakan self­interest­nya.

Realitas terkait kecenderungan pe­nyimpangan perilaku stakeholders yaitu pe­rilaku korup menimbulkan keinginan untuk menghadirkan kearifan lokal sebagai bagian yang dapat memperkuat hukum positif dan hukum agama yang berlaku di masyarakat. Relevansi “Itu­itum bo Odi­odi” dalam peng­ambilan keputusan kebijakan penganggar­an daerah di lingkungan pemerintah Kota Kotamobagu oleh informan dipandang se­bagai kontrol perilaku bagi stakeholders. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Ad­nan dan Gunawan pada kutipan berikut ini.

“Doa/sumpah dan kutukan sakral “Itu­itum bo Odi­odi” bukan ha­nya relevan lagi tetapi wajib dan

Page 11: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 365

harus tetap dilaksanakan secara umum karena itu me rupakan kontrol. Jadi, “Itu­itum bo Odi­odi” yang merupakan hukum adat suku Bolaang Mongondow dapat digunakan sebagai penguat hu­kum positif dan hukum agama yang berlaku di masyarakat. Ini dapat dijadikan sebagai kontrol perilaku stakeholders agar dalam mengemban amanah pengambilan keputusan senantiasa memikir­kan kesejahteraan masyarakat. Jadi pertama, sumpah itu adalah pertanggungjawaban kepada diri sendiri sebagai seorang pemim­pin bahwa dirinya sudah ber­sumpah “Demi Allah” sehingga harus melaksanakan segala ke­wajiban yang telah diamanahkan kepadanya. Kedua, sumpah itu refleksi pertanggungjawaban ke­pada masyarakat. Ketiga, sumpah itu merupakan tanggung jawab kepada Allah SWT Tuhan yang Mahaesa karena kita berjanji atas nama Allah” (Adnan).

“Relevansi penerapan “Itu­itum bo Odi­odi” dalam pengambilan kepu­tusan kebijakan penganggaran daerah masih ada dan ini merupa­kan alat yang paling ampuh untuk mengendalikan perilaku manusia, karena analoginya seperti, mi­salnya: apa pun yang kita berdua (peneliti dan informan) lakukan di dalam ruangan ini termasuk melakukan penyimpangan, kalau dilihat dari hukum agama, per­tanggungjawabannya nanti pada saat meninggal “nanti kwa depe balasan torang dua mo dapa di­sana” (balasannya nanti akan kita berdua terima di sana/akhirat). Sekarang hukum positif selama tidak ada bukti pasti kita masih bisa mengelak “mana ngoni pe buk­ti kalu torang ada bekeng rupa­ru­pa di dalam ruangan ini?” (mana buktinya kalau kita melakukan perbuatan menyimpang di ruan­gan ini?). Tetapi hukuman sosial masyarakat yang melekat dalam “Itu­itum bo Odi­odi” itu yang ke­tika kita berdua masuk ke dalam ruangan ini misalnya pintu ditu­

tup terus ada staf/orang lain yang melihat nah di situ “dia’ mopia indoyan mako intau” (tidak baik dilihat oleh orang lain) karena pasti akan menimbulkan persepsi negatif. Hal itu yang benar-benar dihidupkan sebagai kontrol pe­rilaku” (Gunawan).

Kearifan lokal “Itu­itum bo Odi­odi” per­lu diangkat kembali, dihadirkan, dan digam­barkan, serta dipahami secara utuh dan mendalam oleh stakeholders karena “Itu­itum bo Odi­odi” dianggap sebagai alat yang paling ampuh dalam mengontrol perilaku manusia. Hal ini dapat memperkuat penerap an hu­kum positif dan hukum agama yang diang­gap lemah karena pelanggaran atas kedua hukum tersebut masih dapat dirasionalkan, apalagi jika tidak terdapat bukti yang aku­rat. Rasionalisasi atau pembenaran terse­but adalah salah satu dari alasan me ngapa oknum atau aktor kebijakan melakukan perilaku fraud. Menambahkan pernyata­an sebelumnya, Gunawan dan Hamri juga meng ungkapkan arti dan pemahamannya terkait isi dari kutukan atau “Odi­odi”, bah­wa:

“Menurut Saya pribadi isi “Odi­odi” atau kutukan ini tidak lagi menyi­ratkan arti yang sebenar nya, na­mun kesakralannya masih tetap ada. Hal ini dapat dipandang se­bagai “Barang siapa yang melang­gar isi perjanjian luhur Dodandian i Paloko bo Kinalang”, maka: Ru­mondi­rondi’ na’ buing atau meng­hitam seperti arang, artinya bahwa ia akan menjadi hina di hadapan masyarakat; Dumara­darag na’ kolawang atau menguning seper­ti kunyit, artinya ia akan menja­di seperti penyakit yang dihindari oleh masyarakat; Yumoyow na’ si­muton atau mencair seperti garam, artinya ia akan hilang dan dilupa­kan oleh ma syarakat; dan Kimbu­ton in tolog bo doroton in montoyani atau diserap oleh tanah seperti air hujan yang jatuh dari tirisan atap, ditelan oleh arus air, dan dihimpit oleh bumi, artinya nama baik dan kehormatan menjadi hilang tidak berbekas di hadapan masyarakat dan terutama di hadapan Tuhan yang Maha Esa Allah SWT yang

Page 12: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

366 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372

merupakan hakim yang Mahaadil atas segala perbuatan keji semasa di dunia” (Gunawan).

“Hukuman sosial dari “Itu­itum bo Odi­odi” tersebut adalah wujud suatu peringatan bahwa “hati­ha­ti” karena jika kamu tidak melak­sanakan seperti apa yang tertu­ang di dalam isi perjanjian yang telah diambil sumpahnya. Maka, bisa saja kamu berubah menja­di hitam atau hilang kehormatan atau tidak lagi dipandang oleh masyarakat. Begitupun dengan “yumoyang na simuton” juga bisa diartikan sebagai ketika telah ha­bis masa jabatan maka langsung dilupakan begitu saja tak ber­bekas di hati masyarakat. Pesan adat ini sebenarnya lebih pada pe­san psikologis sehingga hukum­an adat itu datang dalam faktor jiwa atau secara psikologis kepa­da pelanggar adat. Inilah wujudn­ya karena sesungguhnya dengan mendengar bunyi sumpah itu saja kita sudah merasa takut karena isi sum pah “Itu­itum bo Odi­odi” ini sangat berat. Jadi, pemerintah atau si Kinalang yang dipilih itu harus menjalankan dengan benar pemerintahan ini, terutama dalam mengambil kebijakan­kebijakan termasuk bagaimana memutus­kan APBD yang berpihak pada rakyat” (Hamri).

Gambaran “Itu­itum bo Odi­odi” sebagai pengikat perjanjian luhur “Dodandian i Paloko bo Kinalang” menurut kedua informan tidak lagi diartikan secara harfiah, ter utama isi dari “Odi­odi” yang dianggap sebagai ung­kapan metafora. Namun, hal tersebut ten­tu tidak mengurangi tingkat kesakralannya karena doa/sumpah dan kutuk an ini bagi masyarakat adat suku Bolaang Mongondow adalah suatu realitas yang masih diyakini secara spiritualitas. Pemaham an yang di­sampaikan oleh kedua informan mengingat­kan peneliti tentang bagaimana suasana ke­tika prosesi adat “Podui’an bo Poponikan kon Komalig” yang dirangkaikan dengan pem­bacaan isi “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Itu­itum bo Odi­odi” sakral ini berlangsung. Sebagaimana yang diungkap Hamri bahwa “mendengar isi sumpah ini saja

kita sudah takut, jadi hati­hati karena isi sumpah ini sangat berat”. Memang tampak jelas ekspresi kekaguman dari masyarakat adat yang hadir terutama ekspresi ibu wa­likota Kota Kotamobagu sebagai pemeran utama di dalam prosesi adat ini. Dari awal hingga akhir prosesi adat digelar di lapangan Bokihotinimbang tidak tampak senyuman di wajah beliau. Ibu walikota benar­benar khusyuk menjalankan seluruh rangkaian ritual adat ini. Pada akhirnya senyuman itu kembali terpancar ketika ibu walikota berjalan menaiki Buligan atau Tandu Adat kemudian diusung menuju ke rumah dinas/jabatan walikota sambil menyapa dan me­nebar senyum kepada seluruh masyarakat yang hadir. Namun, sangat disayangkan karena di dalam penelitian ini peneliti tidak dapat mewawancarai ibu walikota karena aktivitasnya yang sangat padat. Berkaitan dengan prosesi adat ini, peneliti kemudian mewawancarai Chairun dan Jemmy yang merupakan penyelenggara tahapan ritual adat “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Itu­itum bo Odi­odi”. Mereka menya­takan bahwa:

“Kurang lebih ada lima krite­ria pemimpin ideal berdasarkan “Dodandian i Paloko bo Kinalang”, yaitu pertama “Mokodotoi” yang berarti patriotisme (mampu meng­amankan atau menjaga wilayah totabuan), kedua “Mokorakup” berarti mengayomi, ketiga “Moko­tointungkid” berarti mengeta­hui kondisi masyarakat, keem­pat “Mokodia” berarti mampu mengemban amanah, dan kelima “Mokoangai” berarti simpatik. Ke­lima kriteria ini insyaallah telah dimiliki oleh ibu walikota, dan se­moga dengan diselenggarakannya ritual adat ini maka ibu walikota benar­benar dapat berkomitmen dan menjalankan amanah pe­merintahan ini dengan baik se­suai dengan isi perjanjian luhur “Dodandian i Paloko bo Kinalang” (Chairun).

“Kearifan lokal “Dodandian” ini tidak bisa dipisahkan dengan “Itu­itum bo Odi­odi” karena se­benarnya inilah yang akan sela­lu mewarnai perilaku semangat “Dodandian”. Saya pernah buat

Page 13: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 367

dulu di Desa Tanoyan ketika pe­lantikan Sangadi, Saya gelar ritual adat “pinoduian ko’i” Sangadi Ta­noyan Selatan dan Tanoyan Utara. Pada saat itu saya bacakan isi “Itu­itum bo Odi­odi” lalu sumpah itu diucapkan oleh yang bersangkut­an, Dia bersumpah kepada Sang Pencipta dan kepada leluhur. Hal itu ia indahkan dan hasilnya bisa kita lihat hingga saat ini bagaima­na Sangadi dalam kesehariannya baik dalam bermasyarakat mau­pun dalam menjalankan roda pe­merintahan, Dia semacam selalu terjaga dengan sumpah karena sudah pasti ada rasa takut kepada Tuhan dan ada rasa malu kepada masyarakat kalau sumpah ini ia langgar” (Jemmy).

Keseluruhan gambaran dan pemaham­an “Itu­itum bo Odi­odi” kemudian dikonsep­tualisasikan ke dalam nilai­nilai. Terungkap bahwa di dalam filosofis “Itu­itum bo Odi­odi” terkandung nilai­nilai moralitas, mentali­tas, dan spiritualitas yang melebur menja­di satu dan kemudian bermuara pada nilai kontrol perilaku. Ketika hukum positif dan hukum agama yang berlaku di masyarakat tidak mampu lagi mengendalikan perilaku manusia dan membendung keinginan ma­nusia untuk melakukan perbuatan menyim­pang, maka pada saat itu dirasa perlu untuk mencari alternatif lain yang dianggap bisa dijadikan sebagai kontrol perilaku. Kearif­an lokal “Itu­itum bo Odi­odi” yang merupa­kan pengikat perjanjian luhur “Dodandian i Paloko bo Kinalang” sebagai hukum adat/hukum sosial masyarakat dapat bersinergi dengan hukum positif dan hukum agama dalam mengontrol perilaku seluruh elemen masyarakat yaitu “Paloko bo Kinalang” ter­lebih kepada Kinalang atau stakeholders sebagai pengemban amanah dalam pengam­bilan keputusan kebijakan penganggaran daerah pada pemerintah daerah Kota Kota­mobagu.

“Itu-itum bo Odi-odi” sebagai ben­tuk tanggung jawab moral stakeholders. Mi nimnya rasa tanggung jawab moral dari stakeholders tentunya dapat berimbas pada pengalokasian anggaran yang tidak tepat sasaran. Permasalahan penyimpangan an­ggaran tersebut hakikatnya merupakan bentuk kejahatan kerah putih (white col­lar crime) terhadap uang rakyat. Terlepas

dari apakah modus yang dilakukan bersi­fat prosedural atau tidak, yang jelas bahwa masyarakat di daerah sebagai pemilik ang­garan sangatlah dirugikan. Masyarakat tel­ah membayar pajak, masyarakat yang mem­beri dukung an sekaligus memilih mereka (Kinalang) untuk mengemban amanah, teta­pi sangat disa yangkan masyarakat (Paloko) juga yang pada akhirnya menjadi korban keserakahan orang­orang yang sebenar­nya tidak pernah memikirkan kepentingan rakyat secara serius. APBD yang seharusnya dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahte­raan rakyat malah digunakan oleh wakilnya sendiri. Menanggap i realitas terkait perilaku fraud yang menjurus pada tindakan korupsi oknum­oknum tertentu di dalam jajaran pe­merintahan baik dari pihak eksekutif mau­pun legislatif daerah, Sa’ir dan Ishak mem­berikan pernyataannya tentang apa saja kira­kira yang menjadi motivasi seseorang melakukan perbuatan menyimpang berikut.

“Motivasinya Pertama, barangkali dia tidak menyadari apa sebenar­nya tugas dan tanggung jawabnya karena kalau dia tahu pasti dia akan melakukannya dengan se­genap aturan, tetapi karena dia ti­dak memahami tentang tugas dan kewajibannya sehingga mung­kin ada hal­hal yang membuat Dia melakukan tindak an di luar koridor dan ketentuan se hingga dibuatlah kebijakan terutama yang terkait dengan anggar an yang tidak sesuai. Kedua, tun­tutan hidup atau ada persaingan taraf hidup. Misalnya ada pegawai apalagi yang punya jabatan, kalau semacam pejabat Eselon II hanya punya mobil dinas, bisa jadi dia akan berusaha untuk bisa pun­ya mobil pribadi, sedangkan dia tidak ada pekerjaan lain selain dari PNS. Jadi dengan memahami secara mendalam tentang kearif­an lokal “Itu­itum bo Odi­odi” di­harapkan dapat meminimalisasi perilaku­perilaku fraud tersebut” (Sa’ir).

“Ini terkait masalah moral dan eti­ka. Ketika moral kita kuat insya­Allah hal­hal seperti apapun baik itu bujukan, rayuan, maupun “pe­maksaan” insyaallah dapat kita

Page 14: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

368 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372

hindari. Jadi, bingkai paling besar itu adalah moralitas. Jika kearif­an lokal ini benar­benar kita pa­hami secara komprehensif maka otomatis “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Itu­itum bo Odi­odi” bisa diterapkan secara utuh, karena dengan sendirinya akan timbul rasa takut dan rasa malu di diri kita masing­masing” (Ishak).

Perilaku manusia yang cenderung tidak merasa cukup dapat menjadi alasan untuk melakukan tindakan fraud terutama penye­lewengan anggaran guna untuk menam­bah pendapatan pribadi dan memperkaya diri sendiri. Sifat materialistis dapat mem­pengaruhi seseorang melakukan tindak­an fraud. Tingginya kebutuhan hidup dan keinginan untuk memenuhi tuntutan gaya hidup menjadikan seseorang cenderung melakukan penyimpangan dan menjadi­kan anggaran daerah sebagai ladang untuk meningkatkan kesejahteraan pribadinya. Dengan melihat realitas yang ada di dalam pemerintahan terkait perilaku korup dan ketika mengaitkan realitas tersebut dengan kearifan lokal ini, maka “Itu­itum bo Odi­odi” atau doa/sumpah dan kutukan sakral se­bagai pengikat perjanjian luhur “Dodandian i Paloko bo Kinalang” dipandang juga sebagai bentuk tanggung jawab moral pemerintah terhadap masyarakat. Kekuatan spiritual­itas yang terkandung di dalam “Itu­itum bo Odi­odi” diyakini dapat menimbulkan rasa takut dan malu bagi siapa saja yang melang­garnya. Rasa takut dan malu tersebut dapat meningkatkan rasa tanggung jawab moral

dan dapat meminimalisasi perilaku korup oleh stakeholders yang hingga saat ini masih sulit untuk dihilangkan.

Simbol Pemerintah Daerah Kota Ko­tamobagu sebagai benteng komitmen dalam pengambilan keputusan kebija­kan penganggaran daerah. Kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” dipandang sebagai bentuk komitmen bersama dalam pengambilan keputusan kebijakan pengang­garan daerah dan “Itu­itum bo Odi­odi” dipan­dang sebagai benteng perilaku pengambil keputusan kebijakan penganggaran daerah. Dengan demikian, simbol pemerintah daerah Kota Kotamobagu yang terinspirasi dari ke­arifan lokal tersebut dapat diartikan sebagai benteng komitmen. Simbol pemerintahan ini dipahami sebagai benteng atas komitmen yang telah disepakati bersama oleh peme­rintah (eksekutif­legislatif) dan masyarakat dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah; dan sebagai benteng untuk menjaga perilaku stakeholders agar senantiasa terkontrol dan terjaga oleh rasa tanggung jawab moral terhadap masyarakat sehingga dapat terhindar dari perilaku fraud yang menjurus pada tindakan korupsi yang bukan rahasia lagi cenderung terjadi di da­lam organisasi pemerintah daerah. Simbol pemerintahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Simbol pemerintah daerah Kota Kota­mobagu merupakan simbol yang mengan­dung nilai-nilai filosofis tinggi. Hal ini terung­kap dari penjelasan informan/narasumber penelitian. Adnan menjelaskan bahwa:

“Dalam simbol ini Pertama, ada lingkaran merah kemudian ada

Gambar 1. Simbol Pemerintah Daerah Kota Kotamobagu

Page 15: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 369

putih di bagian dalam, ini ada­lah NKRI yang melambangkan bahwa Kotamobagu merupakan bagian dari Negara Kesatuan Re­publik Indonesia, selain itu juga melambangkan Bendera Indone­sia. Kedua, ada segi lima ini ada­lah Pancasila yang melambang­kan Ketuhanan yang Maha Esa dan semua sila yang terkandung di dalamnya. Ketiga, ada bintang berwarna kuning yang merupa­kan warna adat Bolaang Mongon­dow dan Kotamobagu khususnya, bintang ini juga dapat diartikan sebagai nur atau cahaya Illahi. Ini merupakan bentuk keyakinan kita bahwa cahaya atau keberkahan dari Allah SWT Tuhan yang Maha Esa akan senantiasa menaungi Kota Kotamobagu. Cahaya Illahi tersebut juga dapat diartikan se­bagai penerang bagi Kinalang se­laku pemimpin pemerintahan di dalam setiap pelaksanaan tugas­nya. Keempat, ada payung yang mengerucut ke arah Kinalang ini adalah simbol dari tahta, jabatan, dan kekuasaan yang dimiliki oleh Kinalang selaku pemimpin peme­rintahan, dan payung ini melebar di bagian bawah ke arah Paloko yang berarti bahwa Kinalang wa­jib melindungi dan menyejahter­akan Paloko selaku rakyatnya. Kelima, ada perisai dan tombak yang berada persis di atas Paloko dan ujung tombaknya mengha­dap ke arah payung kekuasaan Kinalang, Perisai adalah Dodan­dian dan Tombak adalah Itu­itum bo Odi­odi, ini dapat diartikan se­bagai peringatan bahwa Paloko siap untuk mengawal proses pe­merintahan. Keenam, jika kedua­nya yaitu Paloko dan Kinalang sa­ma­sama menjalankan Dodandian ini dengan baik maka akan tum­buh kesejahteraan di tanah Kota Kotamobagu. Hal itu dilambang­kan dengan tumbuhnya padi­pa­di yang merupakan lambang dari kemakmuran dan kesejahteraan. Jadi, nilai-nilai filosofis yang ter­kandung di dalam simbol ini di­mulai dari Allah SWT, Kinalang, dan Paloko. Itulah arti simbol pe­

merintah daerah Kota Kotamoba­gu. Ketika simbol ini dikaitkan dengan pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah maka sudah seharusnya aktor kebijakan senantiasa mawas diri. Kita harus menyadari bahwa se­gala tindak tanduk kita diperhati­kan oleh Allah SWT dan oleh ma­syarakat. Simbol pemerintahan ini juga merupakan refleksi ke arifan lokal yang merupakan harapan leluhur jadi sudah semestinya ini kita tunaikan bersama. Semoga dengan memahami simbol ini se­cara mendalam maka perilaku kita dapat lebih terkontrol untuk senantiasa melaksanakan tu­gas dengan penuh rasa tanggung jawab” (Adnan). Simbol pemerintah daerah Kota Ko­

tamobagu bukan sekadar lambang daerah saja. Simbol ini dipandang sebagai benteng untuk melindungi komitmen bersama an­tara masyarakat dan pemerintah. Selain itu, simbol ini dipandang sebagai sebagai benteng untuk mengontrol perilaku stake­holders agar terhindar dari tindakan fraud. Tentunya makna simbol ini terwujud dalam hasil Musrenbang dan reses di dalam peng­ambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah agar terakomodasi ke dalam Perda APBD.

Pemahaman kearifan lokal oleh infor­man yang terlibat di dalam penelitian ini, terkait dengan simbol pemerintahan sebagai benteng komitmen sangat dipengaruhi oleh paparan kebiasaan atau budaya yang ber­laku di dalam lingkup pemerintahan. Dari sudut pandang anggota TAPD, Sofyan meng­ungkapkan bahwa:

“Semua lebih kepada komitmen pemerintah dalam menyejahte­rakan masyarakatnya. Jadi, per­lu diingat bahwa di dalam RP­JMD termuat visi dan misi dari kepala daerah kemudian dija­barkan de ngan tujuan, sasaran, arah kebijak an, program, kegiat­an semuanya semata­mata demi kesejahteraan masyarakat, dan itu akan terwujud jika kita be­nar­benar memahami nilai­nilai yang terkandung di dalam sim­bol “Dodandian” tersebut. Per­

Page 16: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

370 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372

lu di ingat bahwa kalimat “Ber­landaskan Perjanjian Paloko bo Kinalang” terkandung di dalam RPJPD 20 tahunan. Jadi, kalau kita benar­benar memahami hal ini dengan niat yg sama yaitu un­tuk memakmurkan dan menye­jahterakan masyarakat maka tentunya kita akan terhindar dari penyimpangan, kecurangan, dan ketidakberpihakan” (Sofyan).

Aoki (2017) berargumentasi bahwa komitmen organisasi menunjukkan keyakin­an dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai oleh organisasi. Menambahkan pernyataan terse­but, Funck & Karlsson (2020) mengungkap bahwa komitmen organisasi yang kuat di dalam individu akan menyebabkan individu berusaha keras mencapai tujuan organisasi sesuai dengan tujuan kepentingan yang su­dah direncanakan (Mbelwa et al., 2019; Ny­amori & Gekara, 2016). Komitmen bersama yang dihasilkan melalui forum musyawarah Musrenbang dan Reses antara Paloko bo Kinalang dalam perencanaan pembangunan daerah menjadi salah satu acuan pemerin­tah dalam mengambil keputusan kebijakan anggaran. Hal ini yang kemudian dituang­kan ke dalam Perda APBD sebagai tujuan dan sasaran kinerja pemerintah pada peri­ode tahun Anggaran selanjutnya. Komitmen bersama yang dipegang teguh oleh Paloko bo Kinalang tersebut tentu dapat mewujud­kan kesejahteraan bagi seluruh elemen ma­syarakat karena telah sesuai dengan aspira­si dan preferensi masyarakat, serta sesuai dengan harapan leluhur di tanah Totabuan.

Pemahaman atas simbol pemerintah daerah Kota Kotamobagu jika dikaitkan de­ngan pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah oleh stakeholders dapat dipandang sebagai benteng komitmen. Hal tersebut karena simbol ini merupakan refleksi atas kepercayaan seluruh elemen masyarakat baik Paloko maupun Kinalang terhadap Tuhan yang Maha Esa Allah SWT; kepatuhan terhadap hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); kesediaan mengamalkan sila­sila di dalam Pancasila; dan merupakan bentuk keyakin­an masyarakat adat terhadap ada nya ke­arifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat oleh “Itu­itum bo Odi­odi” di tanah Totabuan Bolaang Mongondow. Refleksi ke­

arifan lokal sebagai simbol pemerintahan tersebut yang terdiri dari hukum agama, hukum positif dan hukum adat adalah se­buah benteng yang kokoh dalam melindung i komitmen yang telah disepakati bersama oleh masyarakat dan pemerintah, dan se­buah benteng yang kokoh dalam menjaga perilaku stakeholders sehingga dapat terhin­dar dari tindakan korupsi. SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data ter­ungkap bahwa: Pertama, kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” dipandang sebagai bentuk komitmen bersama antara masyarakat dan pemerintah. Hal tersebut ditemukan dalam forum musyawarah Mus­renbang sebagai domain eksekutif yang me­libatkan partisipasi masyarakat dalam meng­hasilkan RPJPD, RPJMD, RKPD dan forum musyawarah reses sebagai domain legisla­tif yang melibatkan partisipasi ma syarakat dalam menghasilkan Pokok­pokok Pikiran (POKIR). Kedua, doa/sumpah dan kutukan sakral yang terkandung di dalam “Itu­Itum bo Odi­odi” dipandang sebagai benteng perilaku stakeholders agar terhindar dari perilaku fraud yang menjurus pada tindakan korup­si. Pemahaman atas kearifan lokal ini dapat memperkuat hukum positif dan hukum ag­ama karena walaupun isi dari “Itu­itum bo Odi­odi” dianggap sebagai ungkapan meta­fora, hal tersebut tidak mengurangi tingkat kesakralannya. Selain itu, pengimplementa­sian “Itu­itum bo Odi­odi” di dalam pengam­bilan keputusan kebijakan penganggaran daerah dapat menimbulkan efek psikologis dan mental bagi stakeholders sehingga se­nantiasa memperhatikan perilakunya agar terhindar dari tindakan korup karena hal itu dapat menimbulkan rasa takut kepada Tuhan dan rasa malu kepada masyarakat. Ketiga, simbol pemerintah daerah yang ter­inspirasi dari kearifan lokal jika dikaitkan dengan pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah oleh stakeholders di­pandang sebagai benteng komitmen.

Dengan terungkapnya seluruh pe­mahaman dan gambaran yang utuh ten­tang kearifan lokal “Dodandian i Paloko Bo Kinalang” yang diikat “Itu­itum­bo Odi­odi” sebagai simbol pemerintahan, maka hal ini dirasa tepat untuk diintegrasikan ke dalam proses pemerintahan yang berperan dalam membentengi aspirasi masyarakat. Hal ini dilakukan agar pemerintah baik eksekutif

Page 17: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 371

maupun legislatif senantiasa terjaga dan ter­lindungi dari berbagai kepentingan pribadi dan politik dalam melahirkan Perda APBD. Selain itu, simbol “Dodandian i Paloko bo Kinalang” dan “Itu­itum bo Odi­odi” dirasa mampu memberikan gambaran bahwa be­gitu besar harapan leluhur terhadap kinerja Kinalang dalam menyejahterakan Paloko.

Penelitian ini sebatas dilakukan pada lingkungan pemerintah daerah Kota Ko­tamobagu yang telah menjadikan kearif an lokal ini sebagai simbol pemerintahan. Na­mun, warisan luhur “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Itu­itum bo Odi­odi” seyogyanya adalah milik seluruh masyarakat adat suku Bolaang Mongondow yang terse­bar di empat kabupaten lainnya. Dengan demikian, penelitian yang sama juga dapat dilakukan dan diterapkan di lingkungan pe­merintah daerah Kabupaten Bolaang Mon­gondow Induk, Kabupaten Bolaang Mongon­dow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, dan Kabupaten Bolaang Mongon­dow Utara. Selain itu, kepada peneliti beri­kutnya disarankan untuk mengangkat kear­ifan lokal ini menjadi suatu konsep dalam pengambilan keputusan kebijakan pengang­garan daerah dan suatu konsep tata kelola keuangan pemerintah daerah agar dapat diimplementasikan secara komprehensif.

DAFTAR RUJUKANAkbar, R., Pilcher, R., & Perrin, B.

(2012). Performance Measurement in Indonesia: The Case of Local Go-vernment. Pacific Accounting Re­view, 24(3), 262­291. https://doi.org/10.1108/01140581211283878

Alonso, J. M., Clifton, J., & Díaz-Fuentes, D. (2015). Did New Public Manage­ment Matter? An Empirical Analysis of the Outsourcing and Decentralization Effects on Public Sector Size. Public Management Review, 17(5), 643­660. https://doi.org/10.1080/14719037.2013.822532

Aoki, N. (2015). Institutionalization of New Public Management: The Case of Sin­gapore’s Education System. Public Management Review, 17(2), 165­186. https://doi.org/10.1080/14719037.2013.792381

Ashraf, J., & Uddin, S. (2015). Military, ‘Man­agers’ and Hegemonies of Management Accounting Controls: A Critical Realist Interpretation. Management Account­

ing Research, 29, 13­26. https://doi.org/10.1016/j.mar.2015.07.002

Bigoni, M., & Funnell, W. (2015). Ancestors of Governmentality: Accounting and Pastoral Power in the 15th Century. Critical Perspectives on Accounting, 27, 160­176. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2014.05.001

Biswan, A. T, & Widianto, H. T. (2019). Per­an Beyond Budgeting Entry Scan untuk Mengatasi Permasalahan Penganggaran Sektor Publik. Jurnal Akuntansi Multi­paradigma, 10(2), 308­327. https://doi.org/10.18202/jamal.2019.08.10018

Briando, B., & Purnomo, A. (2019). Eti­ka Profetik bagi Pengelola Keuangan Negara. Jurnal Akuntansi Multipara­digma, 10(2), 342­364. https://doi.org/10.18202/jamal.2019.08.10020

Damopolii, H. J. A. (2003). Dodandian ­ Kino­tanoban dan Kisahku. Yayasan Ibnu Sabil Kotamobagu.

Dan, S., & Pollitt, C. (2015). NPM Can Work: An Optimistic Review of the Impact of New Public Management Reforms in Central and Eastern Europe. Public Management Review, 17(9), 1305­1332. https://doi.org/10.1080/14719037.2014.908662

Dedoulis, E. (2016). Institutional Forma­tions and the Anglo-Americanization of Local Auditing Practices: The Case of Greece. Accounting Forum, 40(1), 29­44. https://doi.org/10.1016/j.ac­cfor.2015.11.003

Efferin S. (2015). Akuntansi, Spiritualitas, dan Kearifan Lokal: Beberapa Agenda Penelitian Kritis. Jurnal Akuntansi Mul­tiparadigma, 6(3), 466­480. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.12.6037

Fairholm, M. R., & Gronau, T. W. (2015). Spiritual Leadership in the Work of Public Administrators. Journal of Man­agement, Spirituality and Religion, 12(4), 354­373. https://doi.org/10.1080/14766086.2015.1060516

Funck, E. K., & Karlsson, T. S. (2020). Twen­ty­Five Years of Studying New Public Management in Public Administration: Accomplishments and Limitations. Fi­nancial Accountability and Manage­ment, 36(4), 347­375. https://doi.org/10.1111/faam.12214

Graham, C., & Grisard, C. (2019). Rich Man, Poor Man, Beggar Man, Thief: Accounting and the Stigma of Pover­

Page 18: KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …

372 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372

ty. Critical Perspectives on Accounting, 59, 32­51. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2018.06.004

Harun, H., Carter, D., Mollik, A. T., & An, Y. (2020). Understanding the Forces and Critical Features of a New Report­ing and Budgeting System Adoption by Indonesian Local Government. Jour­nal of Accounting and Organizational Change, 16(1), 145­167. https://doi.org/10.1108/JAOC-10-2019-0105

Iacovino, N. M., Barsanti, S., & Cinquini, L. (2017). Public Organizations between Old Public Administration, New Public Management and Public Governance: The Case of the Tuscany Region. Pub­lic Organization Review, 17(1), 61­82. https://doi.org/10.1007/s11115­015­0327­x

Jayasinghe, K., Adhikari, P., Carmel, S., & Sopanah, A. (2020). Multiple Rational­ities of Participatory Budgeting in In­digenous Communities: Evidence from Indonesia. Accounting, Auditing and Ac­countability Journal, 33(8), 2139­2166. https://doi.org/10.1108/AAAJ­05­2018­3486

Kontogeorga, G. N. (2017). Does (Better) Reg­ulation Really Matter? Examining Pub­lic Financial Management Legislation in Greece. European Journal of Law and Economics, 43(1), 153­166. https://doi.org/10.1007/s10657­016­9534­3

Lantong, Z. A. (1996). Mengenal Bolaang Mongondow. UD. Asli Totabuan.

Marwansyah. (2017). Spiritual Leadership of an Indonesian Muslim Business Lead­er: A Religious Spirituality Perspective. International Journal of Business and Globalisation, 19(4), 528­548. https://doi.org/10.1504/IJBG.2017.087294

Mbelwa, L. H., Adhikari, P., & Shahadat, K. (2019). Investigation of the Institutional and Decision­Usefulness Factors in the Implementation of Accrual Accounting Reforms in the Public Sector of Tanza­nia. Journal of Accounting in Emerging Economies, 9(3), 335­365. https://doi.org/10.1108/JAEE­01­2018­0005

Mokoagow, H. (2015). Investigasi Husserlian terhadap Politik Anggaran Daerah (Stu­

di Fenomenologi di Kabupaten Bolaang Mongondow (Tesis Tidak Terpublikasi)). Universitas Brawijaya.

Nyamori, R. O., & Gekara, V. O. (2016). Per­formance Contracting and Social Capital (Re)formation: A Case Study of Nairobi City Council in Kenya. Critical Perspec­tives on Accounting, 40, 45­62. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2015.06.004

Oppi, C., & Vagnoni, E. (2020). Management Accountants’ Role and Coercive Regula­tions: Evidence from the Italian Health-Care Sector. Qualitative Research in Accounting and Management, 17(3), 405­433. https://doi.org/10.1108/QRAM­02­2019­0040

Quinn, M., & Warren, L. (2017). New Public Management a Re­Packaging of Extant Techniques? Some Archival Evidence from an Irish Semi-State Power Com­pany. Qualitative Research in Account­ing and Management, 14(4), 407­429. https://doi.org/10.1108/QRAM­04­2017­0023

Reraja, F. M., & Sudaryati, E. (2019). Karak­ter Akuntan dalam Filosofi Adigang Adi­gung Adiguna. Jurnal Akuntansi Multi­paradigma, 10(3), 482­501. https://doi.org/10.21776/ub.ja­mal.2019.10.3.28

Sofyani, H. (2018). Does Performance-Based Budgeting Have a Correlation with Per­formance Measurement System? Evi­dence from Local Government in Indone­sia. Foundations of Management, 10(1), 163­176. https://doi.org/10.2478/fman­2018­0013

Sudana I. P. (2016). Sustainable Develop­ment, Kebijakan Lokal Bali, dan Eman­cipatory Accounting. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 7(2), 207­222. https://doi.org/10.18202/jamal.2016.08.7017

Vivian, B., & Maroun, W. (2018). Progres­sive Public Administration and New Public Management in Public Sector Accountancy: An International Review. Meditari Accountancy Research, 26(1), 44­69. https://doi.org/10.1108/ME­DAR­03­2017­0131