KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …
Transcript of KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN …
355
Abstrak: Kearifan Lokal sebagai Simbol dalam Keputusan Kebijakan Penganggaran Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kearifan lokal perjanjian dodandian i paloko bo kinalang sebagai simbol pemerintah dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan melibatkan beberapa pemangku kepentingan terkait pemerintah Kota Kotamobagu sebagai informan. Penelitian ini menemukan bahwa perjanjian dodandian i paloko bo kinalang dipandang sebagai bentuk komitmen setiap pemangku kepentingan. Oleh karena itu, simbol pemerintahan dipandang sebagai benteng komitmen yang telah disepakati bersama oleh masyarakat dan pemerintah agar terakomodasi pada peraturan daerah. Abstract: Local Wisdom as a Symbol in Regional Budgeting Policy Decision. This study aims to describe the local wisdom of the “dodandian i paloko bo kinalang” agreement as a symbol of the government in making local budgeting policy decisions. The method used is descriptive qualitative by involving several stakeholders related to the Kotamobagu City government as informants. This study found that the “dodandian i paloko bo kinalang” agreement is seen as a form of commitment of all stakeholders. Therefore, the symbol of government is seen as a bastion of commitment that has been mutually agreed upon by the community and government to accommodate local regulations.
Sistem pemerintahan di Indonesia telah mengalami perubahan dari yang awalnya sentralisasi dalam bidang fiskal menjadi desentraliasi fiskal. Hal ini dilakukan agar terjadi perbaikan dalam segala bidang termasuk perbaikan pada proses penganggaran. Kebijakan terkait desentralisasi fiskal diharapkan dapat menjadikan Provinsi dan Kabupaten/Kota mampu mengemban peran pemerintah pusat dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang sesuai dengan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan. Desentralisasi fiskal sebagai konsep modern yang diusung oleh NPM (New Pu
blic Management) memberi perubahan yang mendasar bagi peran eksekutif dan legislatif daerah. Sebagai entitas pemerintahan kedua lembaga tersebut samasama memiliki tugas dan tanggung jawab dalam memproduksi kebijakankebijakan publik termasuk kebijakan anggaran daerah. Saat pemerintah merancang suatu kebijakan sektor publik, maka saat itu juga pemerintah sedang menanamkan nilainilai bagi masyarakat karena di dalam setiap kebijakan pasti terdapat seperangkat nilai di dalamnya (Quinn & Warren, 2017; Vivian & Maroun, 2018). Pengambilan keputusan kebijakan anggar
Volume 11Nomor 2Halaman 355372Malang, Agustus 2020ISSN 20867603 eISSN 20895879
Mengutip ini sebagai: Makalalag, S. U., Sukoharsono, E. G., & Djamhuri, A. (2020). Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam Keputusan Kebijakan Penganggaran Daerah. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(2), 355372. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.2.21
KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL DALAM KEPUTUSAN KEBIJAKAN PENGANGGARAN DAERAHSity Utami Makalalag, Eko Ganis Sukoharsono, Ali Djamhuri
Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang 65145
Tanggal Masuk: 06 Februari 2020Tanggal Revisi: 10 Juli 2020Tanggal Diterima: 31 Agustus 2020
Surel: [email protected]
Kata kunci:
anggaran,komitmen,perilaku,simbol
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2020, 11(2), 355-372
356 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372
an oleh lembaga eksekutif dan legislatif sebagaimana yang tertuang dalam Perda APBD (Anggaran, Pendapatan, dan Belanja Daerah) diharapkan dapat mengakomodisasi aspirasi masyarakat yang tentunya bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun, Sofyani (2018) berargumentasi bahwa desentralisasi fiskal yang berdampak pada pelimpahan wewenang yang begitu besar juga memberikan banyak kesempatan dan peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan kecurangankecurangan (fraud) seperti korupsi.
Briando & Purnomo (2019) dan Sofyani (2018) berargumentasi bahwa bentuk perilaku tidak etis dalam lingkup sektor pu blik atau pemerintahan adalah perilaku fraud yang terdiri dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan gratifikasi. Peluang dalam melakukan perilaku fraud berupa tindakan korupsi dalam penganggaran yang melibatkan stakeholders di kalangan pemerintah daerah tentunya perlu diminimalisasi. Hal ini menjadi menarik karena ternyata banyaknya regulasi dan tingginya pemahaman tentang ilmu agama belum sepenuhnya menghilangkan kebiasaankebiasaan korup oknumoknum tertentu. Salah satu perilaku fraud yang terjadi di Indonesia yang melibatkan legislator daerah adalah tertangkapnya 41 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka suap pada tahun 2018. Selain itu, terdapat indikasi perilaku fraud di ranah eksekutif yang dilakukan oleh tiga bupati di Jawa Barat pada tahun 2019. Kedua kasus tersebut menyiratkan bahwa hingga saat ini perilaku fraud di Indonesia masih terus terjadi. Minimnya tanggung jawab moral stakeholders selaku pengambil keputusan kebijakan anggaran terhadap masyarakat juga menimbulkan spekulasi tentang adanya kemungkinan bahwa kasus korupsi tersebut juga bisa terjadi di lingkungan pemerintah daerah di Kota Kotamobagu.
Kota Kotamobagu adalah salah satu Kota di Provinsi Sulawesi Utara yang merupakan daerah otonomi hasil pemekaran wilayah pemerintah daerah Kabupaten Bolaang Mongondow. Penduduk Kota Kotamobagu terdiri dari masyarakat adat suku Bolaang Mongondow memiliki kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai filosofis tinggi sehingga dijadikan sebagai simbol pemerintahan. Terkait dengan lingkungan kebijakan maka nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai kajian dari masyarakat adat adalah kearifan lokal (local wisdom). Kotamobagu dan
secara umum Bolaang Mongondow memiliki kearifan lokal yaitu “Dodandian i Paloko bo Kinalang”, “Dodandian” berarti perjanjian luhur, “Paloko” berarti masyarakat, dan “Kinalang” berarti raja/pemimpin (pemerintah) dengan kata lain “Dodandian i Paloko bo Kinalang” adalah perjanjian luhur antara masyarakat dan raja/pemimpinnya (pemerintah). “Dodandian” ini diikat oleh “Ituitum bo Odiodi”, “Ituitum” berarti doa/sum pah dan “Odiodi” berarti kutukan yang oleh masyarakat dianggap sakral (Damopolii, 2003; Lantong, 1996).
Simbol “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Ituitum bo Odiodi” pada pemerintah daerah Kota Kotamobagu merupakan refleksi atas warisan nenek mo yang di tanah Totabuan. Ini adalah suatu perjanjian luhur yang dibuat dan dilaksanakan atas dasar kepercayaan ma syarakat terhadap pemimpinnya (pemerintah) dan pengabdian yang tulus oleh pemimpin (pemerintah) kepada masyarakatnya. Perjanjian luhur ini mengandung dukungan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dan keyakinan yang dalam bahwa pemerintah dapat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Begitupun halnya de ngan pemerintah yang senantiasa mengabdi, mengayomi, dan menjaga amanah yang telah diberikan oleh masyarakat. Terdapat ba nyak penelitian yang membahas tentang kearifan lokal yang dikaitkan dengan keilmuan akuntansi. Namun, di dalam penelitian ini peneliti lebih menitikberatkan pada peran kearifan lokal sebagai pertimbangan solusi atas tindakan korupsi yang bukan rahasia lagi sering terjadi di lingkungan pemerintah daerah. Hal ini terungkap dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Iacovino et al. (2017) dan Kontogeorga (2017). Dalam penelitianpenelitian tersebut terungkap realitas bahwa pihak eksekutif dan legislatif dalam pengambilan keputusan kebijakan anggaran (APBD) lebih mengutamakan kepentingan nya dibandingkan dengan kepentingan ma syarakat. Namun, terdapat penelitian yang dapat disoroti, yaitu Mokoagow (2015). Dari penelitian ini terungkap bahwa masalah korupsi dalam proses penganggaran yang me libatkan pihak eksekutif dan legislatif masih menjadi perhatian utama masyarakat. De ngan demikian, penelitian saat ini yang membahas kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Ituitum bo Odiodi” sebagai simbol pemerintahan berusaha untuk melengkapi penelitian sebelumnya dengan menawarkan
Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 357
solusi yang tentunya dapat dipertimbangkan untuk meminimalisasi perilaku fraud yang dapat menjurus pada tindakan korupsi di dalam proses pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah.
Berdasarkan uraian tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Ituitum bo Odiodi” sebagai simbol pemerintah daerah Kota Kotamobagu dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah. Selain itu, menjadikan kearifan lokal bukan sekadar simbol pemerintahan saja, melainkan sebagai penguat hukum positif dan hukum aga ma sehingga stakeholders senantiasa terjaga oleh rasa tanggung jawab moral terhadap masyarakat dan terhindar dari perilaku fraud yang menjurus pada tindakan korupsi yang tentunya akan sangat merugikan masyarakat. Penelitian ini memberikan kontribusi bagi dunia akuntansi bahwa nilainilai filosofis yang terkandung dalam kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Ituitum bo Odiodi” sebagai simbol pemerintahan dapat digunakan sebagai pertimbangan solusi untuk meminimalisasi tindakan korup dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah. Dan kontribusi praktis bagi seluruh jajaran baik eksekutif maupun legislatif yaitu dengan meningkatnya kesadaran dan rasa tang gung jawab moral dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada masyarakat bahwa perjanjian antara “Paloko bo Kinalang” ini bukan hanya sekadar perjanjian politik saja melainkan perjanjian sakral yang diikat oleh “Ituitum bo Odiodi”. Dengan demikian, kearifan lokal ini bisa membentengi pe rilaku anggota DPRD selaku wakil rakyat dan Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga dapat terhindar dari perilaku fraud terutama tindakan korupsi di dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah.
METODEFokus analisis dalam penelitian ini
adalah mendeskripsikan kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Ituitum bo Odiodi” sebagai simbol pemerintahan dalam pengambilan keputusan kebijak an penganggaran daerah. Hal ini dilakukan agar diperoleh gambaran dan pemahaman secara utuh tentang simbol pemerintahan yang diadposi dan merupakan refleksi dari suatu kearifan lokal masyarakat adat suku Bolaang Mongondow yang hingga
saat ini diyakini keberadaannya. Pemahaman dan gambaran tersebut dihasilkan dari penafsiran data dan in¬formasi yang diperoleh dari observasi dan wawancara dengan informan atau narasumber penelitian. Dalam hal ini, peneliti menempatkan diri sebagai bagian yang memahami dengan baik suatu feno mena ketika menyingkap suatu keyakinan, tradisi, ritual, dan budaya yang dianut oleh komunitas masyarakat adat tersebut. De ngan demikian, struktur sosial, kekerabatan, dan hubungan sosial antaranggota masyarakat dapat dijelaskan.
Teknik wawancara dan observasi dilakukan untuk memperoleh data penelitian. Informan/penelitian yang berkontribusi adalah stakeholders yang terdiri dari pihak eksekutif diwakili oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yaitu Adnan, Gunawan, Sofyan, dan Sa’ir. Selanjutnya, dari pihak legislatif diwakili oleh BANGGARDPRD (Badan Anggaran) yaitu Ishak dan Dani. Aktoraktor ini adalah pengambil keputusan kebijakan penganggaran daerah. Selain itu, terdapat pula informan dari luar pemerintahan tetapi sangat memahami sejarah tentang kearifan lokal yang sedang dikaji yaitu Hamri, Chairun, dan Jemmy yang merupakan tokoh adat/masyarakat. Penca rian informasi dilakukan secara face to face antara peneliti dan informan/narasumber. Penelitian ini berlangsung di salah satu lingkung an pemerintah daerah di Provinsi Sulawesi Utara yaitu di pemerintah daerah Kota Kotamobagu. Alasannya agar informan merasa lebih dekat dengan objek penelitian karena Pemda Kotamobagu memiliki simbol peme rintahan yang khas sebagai refleksi atas warisan kearifan lokal leluhur yang sarat dengan nilai-nilai filosofis tinggi dan sakral. Dengan demikian, informasi atau hasil wawancara yang diperoleh lebih meyakinkan dan terpercaya. Selain itu, peneliti dapat menggali secara mendalam informasi dari stakeholders terkait kearifan lokal tersebut di dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah sehingga lahirlah Perda APBD yang benarbenar pro kesejahteraan rakyat sesuai dengan harapan leluhur sebagaimana yang tertuang di dalam isi “Dodandian” atau perjanjian luhur di tanah Totabuan. Rekaman hasil wawancara yang telah diperoleh kemudian dicatat dan selanjutnya dianalisis oleh peneliti.
Berdasarkan opini dari peneliti kualitatif akuntansi sebelumnya (Bogt & Helden, 2012; Burns, 2014; Parker, 2014), anali
358 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372
sis pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan antara lain: survei lapangan, me nerapkan sintesis, menentukan pola, mencari apa yang penting dan dipelajari, kemudian menentukan aspek apa saja yang dapat diutarakan kepada orang lain. Dalam tahap an analisis, peneliti menyaksikan prosesi adat “Podui’an bo Poponikan kon Komalig” pada tanggal 8 Oktober 2018 yang diha dir i oleh seluruh jajaran pemerintahan dan masyarakat Kota Kotamobagu. Pro ses i adat ini merupakan penobatan Walikota sebagai pemangku adat tertinggi di Kotamobagu sekaligus mengantarkan Walikota menempati rumah dinas/jabatan. Prosesi adat ini dirangkaikan dengan pembacaan isi “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Ituitum bo Odiodi” sakral. Dalam pembacaan “Dodandian” ini tampak jelas ekspresi kekaguman dan “takut” dari masingmasing individu yang memahami bahwa perjanjian luhur ini diikat oleh doa/sumpah dan kutukan sakral yang akan menimpa siapa saja yang melanggarnya. Dengan demikian, kearifan lokal sebagai simbol pemerintahan sebagai suatu data informasi kualitatif berada pada satuan olahan informasi yang dapat dikaitkan dengan pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah sesuai dengan hasil wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASANFilosofis “Dodandian i Paloko bo
Kinalang” yang diikat “Itu-itum bo Odi-odi”. Indonesia dengan keragaman suku dan budayanya memiliki berbagai macam keunikan kearifan lokal pada setiap wilayahnya. Salah satu wilayah dengan keunikan tersebut terletak di bagian utara pulau Sulawesi atau lebih tepatnya bertempat di Kota Kotamobagu. Penggalian informasi secara mendalam terkait keunikan kearifan lokal sebagai simbol pemerintahan dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah menjadi hal yang menarik untuk dilakukan. Ketertarikan itu muncul ketika peneliti membaca sejarah Bolaang Mongondow yang diabadikan Damopolii (2003) dan Lantong (1996). Kedua penulis tersebut mengisahkan asal muasal lahirnya masyarakat adat dan kisah kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Ituitum bo Odiodi”. Dituliskan pula bahwa permukimanpermukiman penduduk telah ada di wilayah Bolaang Mongondow sejak abad XV Masehi. Setiap permukiman tersebut oleh “Bogani” dinamakan
“Totabuan”. Bogani adalah gelar atau julukan bagi orangorang pilihan baik lakilaki maupun perempuan yang dianggap terkuat di dalam kelompoknya, yang kemudian dijadikan sebagai pemimpin Totabuan.
Bogani sebagai pemimpin Totabuan kemudian bersepakat untuk mengangkat pemimpin tertinggi yaitu orang dari kalangan yang dijagokan atau dituakan. Pemimpin tersebut dinamakan “Punu’” atau orang yang dipercayai dapat memimpin serta mengatur kehidupan dan kesejahteraan bagi seluruh penduduk di tanah Totabuan Bolaang Mongondow. Pada masa pemerintahan Raja/Punu’ Tadohe (16001650) untuk pertama kalinya diadakan musyawarah yaitu “Bakid Moloben” atau Musyawarah Besar yang dilaksanakan di Tudu’ in Bakid yang saat ini berlokasi di puncak bukit Desa Pontodon Kecamatan Kotamobagu Utara. Musyawa rah tersebut menghasilkan “Dodandian” yang berisi ketetapanketetapan yang disepakat i bersama oleh Raja/Punu’ dan Bogani sebagai perwakilan dari masyarakat di masingmasing Totabuan yang wajib diamalkan bersama yaitu, sebagai berikut.
“Bui’ i Kinalang in mobibit, mopolintak, bo monompia kon bui’ i Paloko. Momarenta moadil, bo moitutui, bo moposalamat kon bayongan in Intau kon lopa’ in Bolaang Mongondow” (Lantong, 1996). “Raja/pemimpin (pemerintah) berkewajiban untuk menyejahterakan, mengangkat (derajat) dan mengayomi masyarakat, disamping menjalankan pemerintahan secara adil dan jujur, dan selalu mengutamakan keselamatan seluruh masyarakat di wilayah Bolaang Mongondow” (Lantong, 1996).
“Bui’ i Paloko in mokiompu, motonoi, bo mogengkel kon bui’ i Kinalang” (Lantong, 1996: 4849).
“Masyarakat berkewajiban untuk mengabdi, menjunjung, dan menghormati Raja/pemimpin (pemerintah)” (Lantong, 1996).
Hasil konsensus tersebut menjadi “Tonggulu” atau induk/akar dari hukum adat pertama dalam masyarakat adat suku
Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 359
Bolaang Mongondow. Esensi dari “Dodandian” tersebut adalah pembagian hak dan kewajiban antara “Paloko bo Kinalang” yaitu Kinalang (pemimpin): “Obaga’ai in Akuoi, ba bibitonku in Moiko”, artinya: “Dukung pemerintahan saya, maka saya akan mensejahterakan kalian”. Paloko (masyarakat): “O’o, kuntungon Nami in Iko, yo bibitonmu in Kami”, artinya: “Baiklah, akan kami dukung engkau, maka engkau wajib mewujudkan kesejahteraan bagi kami” (Damopolii, 2003; Lantong, 1996). Perjanjian luhur tersebut diikat dengan doa/sumpah dan kutukan sakral. Pengikat ini diyakini dapat mendatangkan penderitaan bagi siapa saja yang melanggarnya. Doa/sumpah dan kutukan sakral yang dititahkan oleh Bogani Inde’ Dou’ (Bogani perempuan) tersebut adalah sebagai berikut.
“Ituitum:Ompu’ tumbolan taikan, bo ompu’ mobara’ doman, bo ompu’ mongasi’ doman, bo ompu’ molaih doman. Pokodongog in iko buta’ pitu nogaip kowalu apad balangon takin tombonunya. Bo pokodongong in iko langit pitu nogaip kowalu montoyanoi”.“Odiodi:Aka ki ine lumampat kon dodandian in tanaa yo butungon”:Rumondirondi’ na’ buing;Dumaradarag na’ kolawang;Yumoyow na’ simuton;Kimbuton in tolog bo doroton in montoyani” (Damopolii, 2003; Lantong, 1996).
“Doa:Demi sumpah yang berasal dari leluhur, dan demi sumpah yang berkah, dan demi sumpah yang mengena, dan demi sumpah yang pasti menimpa bagi yang melanggar. Dengarkanlah wahai bumi tujuh lapis kedelapan lapisan yang paling bawah beserta isinya. Dan dengarkanlah wahai langit tujuh lapisan kedelapan pelindung yang paling tinggi.Kutukan:Barang siapa yang melanggar perjanjian luhur ini maka akan terkena kutukan: Menghitam seperti arang;Menguning seperti kunyit;
Mencair seperti garam;Diserap oleh tanah (seperti air hujan yang jatuh dari tirisan atap) ditelan oleh arus air, dan dihimpit oleh bumi” (Damopolii, 2003; Lantong, 1996). Hasil temuan dari penggalian dan pe
mahaman terkait kearifan lokal sebagai simbol pemerintahan dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah merupakan hasil analisis data yang diperoleh dari observasi dan wawancara dengan informan/narasumber penelitian. Berdasarkan hasil analisis tersebut terungkap bahwa “Dodandian i Paloko bo Kinalang” dipandang sebagai bentuk komitmen bersama antara masyarakat dan pemerintah yang dihasilkan melalui forum musyawarah Musrenbang dan Reses yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah; “Ituitum bo Odiodi” dipandang sebagai benteng perilaku stakeholders agar senantiasa terhindar dari perilaku fraud yang dapat menjurus pada tindakan korupsi; dan Simbol Pemerintahan dipandang sebagai benteng atas komitmen yang telah disepakati bersama oleh masyarakat dan pemerintah agar terakomodasi ke dalam Perda APBD.
“Dodandian i Paloko bo Kinalang” sebagai bentuk komitmen bersama dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah. Berdasarkan analisis hasil penelitian terungkap bahwa “Dodandian i Paloko bo Kinalang” dipandang sebagai bentuk komitmen bersama antara masyarakat dan pemerintah yang dihasilkan melalui forum musyawarah Musrenbang dan Reses yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah. Terdapat pola yang sama antara musyawarah Besar “Bakid Moloben” yang melahirkan konsensus “Dodandian” yang merupakan bentuk komitmen bersama antara “Paloko bo Kinalang” dengan musyawarah Musrenbang sebagai domain eksekutif yang melahirkan RPJPD, RPJMD, dan RKPD, dan musyawarah pada masa Reses DPRD sebagai domain legislatif yang melahirkan Pokokpokok Pikiran (POKIR). Kedua forum musyawarah tersebut samasama melibatkan partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan preferensinya di hadapan stakeholders.
360 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372
Pandangan terkait “Dodandian i Paloko bo Kinalang” tersebut terungkap dari pernyataan Gunawan. Gunawan menjelaskan bahwa:
“Kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” adalah komitmen bersama antara “Paloko bo Kinalang”. Hal tersebut memiliki kesamaan dengan Musrenbang dan Reses sebagai forum untuk menyerap aspirasi masyarakat yang melahirkan komitmen bersama antara masyarakat dan pemerintah. Dalam hal ini, tugas dan fungsi pihak eksekutif pemerintah adalah menyusun perencanaan (RPJPD, RPJMD, dan RKPD), dan pihak legislatif adalah menyerap aspirasi masyarakat atau “asmara”. Asmara di Dewan ini lahir pada forum Reses dalam bentuk Pokokpokok Pemikiran atau Pokir. Hal tersebut diserap dari masyarakat kemudian dikombinasi dengan hasil Musrenbang di tingkat Desa, Kelurahan, Kecamatan, sampai bertemu pada musyawarah tingkat Kota. Itulah yang menjadi komitmen bersama yang sudah seharusnya diakomodasi ke dalam Perda APBD, tentunya disesuaikan dengan anggaran yang ada” (Gunawan).
Penjelasan Gunawan terkait bentuk komitmen bersama yang dilahirkan dari konsensus bersama tentu perlu direalisasikan dalam Perda APBD karena dapat berimbas pada kesejahteraan masyarakat. Hal ini se-nada dengan pernyataan Graham & Sathye (2017) dan Mokoagow (2015) bahwa kesuksesan pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat dapat ditentukan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya komitmen politik pimpinan daerah. Kedua, support dari berbagai kelompok elite masyarakat. Ketiga, terbangunnya demokrasi yang dihasilkan melalui konsensus bersama.
Dari ketiga faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa anggaran membutuhkan keseimbangan antara partisipasi rakyat dan komitmen elite agar tercipta konsensus bersama dalam pengambilan keputusan kebijak an penganggaran daerah. Partisipasi dalam penyusunan anggaran menimbulkan komitmen organisasi yang lebih besar. Selain
itu, partisipasi tersebut dapat menciptakan kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat langsung dan mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan anggaran.
Pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah sangat berkaitan dengan perencanaan pembangunan di daerah. Hal ini dikarenakan alokasi anggaran yang tertuang dalam Perda APBD harus sesuai dengan Perda tentang RPJPD/RPJMD Provinsi ataupun Kabupaten/Kota, serta Undangundang tentang RPJPN/RPJMN Pemerintah Pusat. Pendeskripsian “Dodandian i Paloko bo Kinalang” sebagai bentuk komitmen bersama dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah melalui sudut pandang TAPD juga diungkap oleh Sofyan pada kutipan berikut ini.
“Dari kaca mata perencana, pemerintah atau pemimpin itu harus mendengar apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Ketika ma syarakat butuh program ‘A’ jangan dibalas dengan program ‘B’ harus tepat sasaran tentu nya. Maka, ada yg namanya Musrenbang yang dilaksanakan di tingkat Desa dan Kelurahan yang merupakan proses perumusan usulan dari masyarakat ke Pemerintah Kota, tentunya di situ terjadi musyawarah. Otomatis arti “Dodandian i Paloko bo Kinalang” melekat di situ karena pemerintah mendengar usul dari masyarakat melalui pelaksanaan Musrenbang. Hal tersebut kemudian diakomodasi dan nantinya dijabarkan menjadi program dan kegiatan di tiaptiap SKPD menjadi APBD. Itu esensinya bahwa proses pelaksanaan pembangunan di Kotamobagu tidak sematamata merupakan kebijakan pemerintah saja namun juga merupakan jawaban atas aspirasi dari masyarakat. Aspirasi tersebut berdasarkan permasalahan mereka dan keluhan mereka yang telah disampaikan atau diusulkan dalam Musrenbang untuk selanjutnya masuk menjadi dokumen perencanaan. Itu kirakira garis besar pelaksanaan perencanaan. Jadi, ada perencanaan yang sifatnya partisipatif yaitu melibatkan masyarakat da
Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 361
lam pengambilan keputusan atau perumusan perencanaan; kemudian ada yang namanya perencanaan secara teknokratik itu yang dibuat oleh SKPD berupa Renja yang berisikan kebijakan dari masingmasing SKPD; kemudian secara politis artinya kita merencanakan sesuatu dalam rangka pencapaian visi dan misi yang telah disampaikan oleh walikota dan wakil walikota” (Sofyan).
Musrenbang sebagai domain eksekutif adalah salah satu forum komunikasi dan diskusi yang dilakukan secara berkala oleh Bappelitbangda. Kehadiran masyarakat selaku “Paloko” dalam pelaksanaan musyawarah ini, memberikan banyak masukan bagi pemerintah tentang apa saja kebutuhan mereka yang tentunya dapat menunjang peningkatan kesejahteraan. Keinginan dan kebutuhan yang paling banyak disampaikan adalah terkait infrastruktur, yaitu pemeliharaan dan pembangunan ruas jalan yang merupakan akses menuju perkebudan/persawahan; pembangunan jalan untuk akses ke lahan pemukiman; dan pembangunan drainase. Forum musyawarah ini termasuk dalam pendekatan partisipatif yang merupakan wadah penampung aspirasi masyarakat. Selanjutnya, aspirasi yang dihasilkan dalam konsensus bersama tersebut dipilah dan dipilih sesuai dengan prioritas pemerintah daerah yang disinkronkan dengan pemerintah pusat. Selain itu, dilihat juga kemanfaatannya, urgensinya, dan di sesuaikan juga dengan anggaran daerah yang ada. Tentu nya semua hasil konsensus bersama yang lolos dalam pembahasan antara pemerintah/eksekutif dan DPRD/legislatif tersebut akan diinput ke dalam program dan kegiatan yang tentunya dibiayai melalui dana APBD.
Pengambilan keputusan kebijakan peng anggaran daerah di era desentralisasi fiskal dilakukan oleh pemangku kepenting-an yang memiliki kekuasaan. Kekuasaan dimaksud adalah kewenangan yang diberi kan kepada eksekutif dan legislatif atas nama rakyat dalam menentukan arah kebijakan anggaran yang berpihak kepada me reka (ci vil society). Selain forum Musrenbang sebagai domain eksekutif dalam menyerap aspirasi masyarakat, terdapat pula forum Reses yang menghasilkan Pokir yang menjadi domainnya legislatif yang juga dipandang sebagai “Dodandian i Paloko bo Kinalang”. Forum ini
merupakan momentum bagi anggota DPRD dalam me nyapa dan berbincang langsung dengan masyarakat sekaligus mendengarkan segala aspirasinya. “Dodandian i Paloko bo Kinalang” sebagai bentuk komitmen bersama dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah melalui sudut pandang anggota BanggarDPRD diungkap oleh Dani sebagai berikut.
“Kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” adalah komitmen bersama antara masyarakat dan pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dari proses perencanaan pembangunan daerah yang tentu sangat mempengaruhi angkaangka yang tertuang dalam APBD. Sistem perencanaan ini ada 2 kamar. Pertama, diisi oleh Undangundang disebut dengan Musrenbang. Musrenbang secara berjenjang yaitu di tingkat Desa, Kelurahan, Kecamatan, dan di tingkat Kota, ini domainnya eksekutif. Kedua, diisi oleh Undangundang yang oleh pemerintah, DPRD diberikan ruang yang disebut dengan Reses. Reses DPRD ini dilaksanakan oleh anggota DPRD yaitu dengan kembali ke dapilnya masingmasing untuk bertemu, menyapa, sekaligus menyerap aspirasi. Keluaran Reses ini yang menjadi Pokir. pokokpokok pikiran ini kemudian dijadikan dokumen resmi sebagai catatancatatan hasil masukan, saran, ataupun aspirasi dari konstituen yang diwakili. Seluruh hasil Musrenbang dan seluruh hasil Reses DPRD tersebut kemudian dibahas bersama pada forum Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) yang difasilitasi oleh Badan Pe rencanaan Pembangunan dan Penelitian Daerah (Bapelitbangda) ini finalnya di sini. Tentu hasil dari kedua forum tersebut mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah karena hal itu yang telah menjadi komitmen kita bersama” (Dani).
Kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” sebagai simbol pemerintah dae rah dalam pengambilan keputusan kebijakan
362 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372
penganggaran daerah dipandang sebagai bentuk komitmen bersama dalam hal ini reses yang menghasilkan Pokokpokok Pikiran sebagai bentuk aspirasi masyarakat. Forum reses yang secara intensif dilakukan anggota Dewan yang didampingi oleh Sekretaris Dewan (Setwan) sebagai fasilitator merupakan wadah penampung bagi segala aspirasi dan kepentingan semua elemen masyarakat. Tiaptiap anggota DPRD berkunjung ke dapilnya masingmasing untuk melakukan penjaringan aspirasi. Selain itu, mereka juga terjun langsung ke lokasi perkebunan dan persawahan guna berdialog dan melihat le bih dekat kirakira apa saja yang benarbenar dibutuhkan oleh masyarakat yang tentunya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Temuantemuan ini kemudian dimasukkan ke dalam catatan Pokir yang selanjutnya oleh seluruh anggota DPRD diserahkan kepada Banggar sebagai perwakilannya dalam Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD/Forkopimda). Hasil POKIR inilah yang kemudian diperjuangkan oleh anggota BANGGAR pada saat pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah yang dilakukan bersama-sama dengan pihak eksekutif. Hal tersebut dilakukan agar apaapa yang menjadi usulan masyarakat dapat terakomodasi ke dalam Perda APBD. Tentunya usulan program dan kegiatan yang diajukan oleh pihak legislatif kepada pihak eksekutif dalam pembahasan APBD sudah seharus nya mencerminkan preferensi serta harapan masyarakat karena hal tersebut merupakan wujud tanggung jawab Dewan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Hasil Musrenbang yaitu RPJPD, RPJMD, RKPD dan hasil reses yaitu Pokir adalah bentuk komitmen bersama yang merupakan deskripsi dari kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang”. “Dodandian” atau perjanjian luhur antara masyarakat dan pemerintah bukan hanya sekadar perjanjian politik semata melainkan suatu perjanjian luhur yang secara sakral diikat oleh “Ituitum bo Odiodi”. Dengan demikian, sudah sepatutnya stakeholders berkomitmen untuk meng akomodasi aspirasi dan preferensi masyarakat ke dalam Perda APBD. Hal tersebut sebagai bentuk kesungguhan stakeholders dalam mewujudkan harapan leluhur yaitu mensejahterakan seluruh masyarakat Kota Kotamobagu.
“Itu-itum bo Odi-odi” sebagai benteng perilaku stakeholders. Dedoulis (2016) ber argumentasi bahwa kajian akun
tansi de ngan menggunakan analisis sosial (sosiologi) merupakan suatu upaya untuk mendekatkan ilmu akuntansi pada realitas budaya, religi, dan spiritualitas. Melalui sudut pandang spiritualitas, kearifan lokal yang tersi rat dalam “Ituitum bo Odiodi” tidak lepas dari kesadaran masyarakat adat suku Bolaang Mongondow atas suatu kepercayaan yang diyakini dapat membenteng i perilaku ma syarakat. Mereka meyakini bahwa “Ituitum” merupakan doa/sumpah di hadapan Tuhan yang Maha Esa dan “Odiodi” me rupakan kutukan sakral yang akan menimpa siapa saja yang melanggar doa/sumpah tersebut. Spiritualitas berasal dari kata dasar spirit yang berasal dari bahasa Latin yaitu spirare atau spiritus yang berarti breadth atau nafas (kehidupan). Lebih lanjut, kata dasar spirit menggambarkan sebuah aspek dari manusia yang paling mirip dengan Sang Ilahi (Fairholm & Gronau, 2015; Marwansyah, 2017). Bigoni & Funnell (2015) juga berpendapat bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dari unsur spiritualitas yang merupakan sisi transenden yang melekat pada dirinya (Sudana, 2016). Senada dengan pernyataanpernyataan tersebut, aspek spiritualitas yang melekat dalam “Ituitum bo Odiodi” yang merupakan bagian dari “Dodandian i Paloko bo Kinalang” juga diya kini kesakralannya. Jemmy mengungkapkan bahwa nilai spiritualitas dalam “Ituitum bo Odiodi” tidak menyalahi ajaran agama khususnya ajaran agama Islam yang merupakan agama mayoritas masyarakat adat suku Bolaang Mongondow di Kota Kotamobagu. Berikut ini adalah pernyataannya.
“Adat “Ituitum bo Odiodi” adalah kearifan lokal yang turun temurun diyakini keberadaannya oleh masyarakat dan sampai kapan pun adat akan terus relevan untuk diimplementasikan dalam kehidupan kemasyarakatan. Namun, tinggal bagaimana hal tersebut kita implementasikan di dalam proses pemerintahan. Adat dapat menyesuaikan dengan urusan keyakinan (agama) tanpa mengurangi nilai dari adat tersebut. Hal itu karena pada dasarnya arti dari kata “Ompu” yang terdapat dalam “Ituitum bo Odiodi” adalah “yaa Allah” atau “yaa Tuhan”. Jadi, adat itu bukan bid’ah karena tidak bertentangan dengan ajaran
Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 363
agama dan tentu tidak kaku karena selalu bisa menyesuaikan dengan kondisi yang ada” (Jemmy).
Berbicara tentang unsur spiritualitas yang melekat pada “Ituitum bo Odiodi” yang dikaitkan dengan pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah, Dan & Pollitt (2015) menjelaskan bahwa keberagaman paradigma di dalam penelitian ilmu akuntansi sangat dibutuhkan dan bukan hanya sekadar memperkaya pengembangan akuntansi sebagai ilmu sosial, tetapi untuk meminimalisasi miskonsepsi di kalangan masyarakat yang meyakini bahwa akuntansi hanyalah alat informasi akuntabilitas yang digunakan dalam hubungan keagenan. Tingginya dinamika sosial dalam masyarakat khususnya dalam lingkup pemerintahan membuat akuntansi disalahartikan. Ada ang gapan bahwa akuntansi hanyalah sekadar alat untuk memenuhi tuntutan akuntabilitas pemerintahan. Dengan demikian, konseptual yang beragam dalam ilmu akuntansi perlu dikembangkan agar tetap relevan dan dapat memenuhi berbagai macam kebutuhan stakeholders, tetapi tentunya dengan tidak “mematikan” unsur kearifan lokal (Efferin, 2015; Reraja & Sudaryati. 2019).
Efferin (2015) dan Graham & Grisard (2019) berargumentasi bahwa terdapat prinsip spiritualitas tentang harmoni kehidupan dalam ajaran agamaagama terkemuka di dunia, yaitu kebijaksanaan (wisdom), cinta (love), kasih sayang (compassion), pengertian (understanding), dan empati (empathy). Prinsip spiritual tersebut mengandung nilainilai emansipasi yaitu pedoman bagi manusia dalam mengembangkan kehidupan yang harmonis dalam ekosistem (Sudana, 2016). Jika dikaitkan dengan “Ituitum bo Odiodi” yang diyakini oleh masyarakat adat suku Bolaang Mongondow, maka stakeholders dianggap perlu melakukan pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah melalui sudut pandang spiritualitas dalam bingkai kearifan lokal untuk memperkuat hukum agama dan hukum positif yang berlaku di masyarakat. Hal ini perlu dilakukan agar kebijakan penganggaran daerah yang diputuskan dalam bentuk Peraturan Daerah tidak melenceng dari apaapa yang telah menjadi komitmen bersama antara masyarakat dan pemerintah. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk meminimalisasi perilaku menyimpang atau tindakan fraud di kalangan pengambil kebijakan karena bukan rahasia
lagi bahwa terkadang proses pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah dapat berujung pada negosiasi yang menjurus pada tindakan korupsi.
Perilaku eksekutif terhadap anggaran sebagaimana yang diungkapkan oleh Biswan & Widianto (2019) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa eksekutif akan memaksimalkan anggaran (budget maximization) yang diajukan kepada legislatif walaupun dana tersebut tidak digunakan sebesar yang diajukan. Hal ini karena eksekutif beranggapan bahwa legislatif tidak mengetahui dengan tepat berapa biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu pelayanan. Pe rilaku seperti ini dikenal dengan istilah maksimalisasi anggaran yang akan berdampak terhadap alokasi anggaran untuk publik menjadi tidak tepat sasaran (Mokoagow, 2015).
Maksimalisasi anggaran seakan memberi kesan bahwa pengalokasian anggaran tidak mempertimbangakan tugas dan fungsi eksekutif, serta hasil Musrenbang yang merupakan bentuk komitmen bersama antara masyarakat dan pemerintah. Kondisi yang sama juga terjadi pada perilaku legislatif pada saat menetapkan anggaran. Perilaku seperti ini sangat mudah dideteksi ketika legislatif mengambil keputusan kebijakan atas pengalokasian anggaran (APBD). Usulan kegiat an yang diajukan dalam anggaran seharusnya mencerminkan kebutuhan masyarakat yang disampaikan kepada mereka pada saat melakukan Reses atau penjaringan aspirasi. Namun, Jayasinghe et al. (2020) mengungkapkan bahwa pada kenyataannya legislatif malah memaksimalkan utilitasnya (selftinterest) ketika membuat kebijakan anggaran. Selain itu, Ashraf & Uddin (2015) di dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa ada perilaku oportunistik legislatif terhadap anggaran daerah karena discretionary power yang dimilikinya, di mana APBD digunakan sebagai instrumen untuk melakukan political corruption. Sementara itu, Kontogeorga (2017) mengungkapkan hal yang sama, yakni dengan menyoroti perilaku kuasa eksekutif dan legislatif dalam proses penyusunan APBD. Hal ini juga diperkuat dengan temuan Oppi & Vagnoni (2020) yang menyimpulkan bahwa praktik penyalahgunaan anggaran disebabkan oleh aspek perilaku yang termotivasi oleh materil atau keuangan.
Pemahaman mendalam atas doa/sumpah dan kutukan sakral “Ituitum bo odiodi” yang mengikat perjanjian luhur
364 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372
“Dodandian i Paloko bo Kinalang” dilakukan agar terungkap sebuah gambaran utuh terkait hubungan antara objek kearifan lokal dengan sudut pandang dan perilaku stakeholders. Gambaran yang utuh terkait pengikat perjanjian luhur ini dapat mengembalikan jalur pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah yang didasari atas rasa kejujuran, keadilan, kecintaan, dan keinginan melestarikan peninggalan leluhur. Selain itu, agar stakeholders dapat melahirkan kebijakankebijakan anggaran dalam bentuk Perda APBD yang setiap angka di dalamnya benar-benar merefleksikan kesejahteraan seluruh masyarakat Kota Kotamobagu. Gambaran “Ituitum bo Odiodi” diperoleh dari pemikiran pribadi informan yang bekerja di lingkungan pemerintah daerah Kotamobagu dan informan yang bekerja di luar lingkungan Pemda tetapi mengetahui sejarah tentang kearifan lokal yang sedang dikaji. Dapat dilihat bahwa informan menggambarkan “Ituitum bo Odiodi” atau “Doa/Sumpah dan Kutukan sakral” sebagai benteng perilaku pengambil keputusan kebijakan penganggaran daerah.
Doa/sumpah dan kutukan sakral atau “Ituitum bo Odiodi” yang merupakan pengikat perjanjian luhur “Dodandian i Paloko bo Kinalang” sebagai simbol pemerintah daerah Kota Kotamobagu dipandang sebagai benteng perilaku stakeholders. Hal ini bukan sekadar dijadikan sebagai pelengkap, melainkan sebagai penguat hukum positif dan hukum agama yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut karena “Ituitum bo Odiodi” yang diyakini kesakralannya dapat menjadi suatu solusi untuk meminimalisasi tindakan fraud dan membentengi perilaku stakeholders dalam mengambil keputusan kebijakan penganggaran daerah.
Dari hasil wawancara terungkap bahwa terdapat dua unsur yang mendominasi pemahaman dan gambaran “Ituitum bo Odiodi” sebagai benteng perilaku pengambil keputusan kebijakan penganggaran dae rah. Pertama, “Ituitum bo Odiodi” dipandang sebagai kontrol perilaku pengambil keputusan kebijakan penganggaran daerah. Kedua, “Ituitum bo Odiodi” dipandang sebagai bentuk tanggung jawab moral pengambil keputusan kebijakan penganggaran daerah.
“Itu-itum bo Odi-odi” sebagai kontrol perilaku stakeholders. Akbar et al. (2012) menemukan bahwa besarnya peran legislatif dan eksekutif dalam menentukan anggaran daerah mulai dari tahap perencanaan
hingga pengesahan anggaran memunculkan dugaan adanya misalokasi dalam anggaran. Hal ini kerena baik legislatif (politisi) maupun eksekutif (birokrat) samasama mempunyai kepentingan pribadi di dalam penganggaran. Selanjutnya, kondisi powerful yang dimiliki oleh eksekutif dan legislatif tersebut mengakibatkan outcome anggaran untuk pelayanan publik mengalami distorsi dan merugikan rakyat. Distorsi anggaran tersebut terjadi ketika pihak yang memiliki kewenangan (eksekutiflegislatif) melakukan korupsi. Selain itu, Harun et al. (2020) juga menyatakan bahwa korupsi dapat terjadi pada semua tahap penganggaran yakni mulai dari tahap penyusunan sampai tahap pelaksanaan. Pada tahap penyusunan anggaran korupsi yang terjadi dapat dikatakan sebagai political corruption karena keputusan politik sangat dominan di saat mengalokasikan sumber daya publik.
Terdapat beberapa penelitian yang mengungkap fakta bahwa diskresi (discretionary power) yang dimiliki pemerintah daerah sebagai amanah dari kebijakan desentralisasi fiskal ternyata menimbulkan berbagai permasalahan pada anggaran pemerintah daerah. Salah satunya adalah penelitian Alonso et al. (2015) yang menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap korupsi, artinya semakin tinggi tingkat desentralisasi fiskal daerah, akan semakin meningkat pula korupsi di daerah tersebut. Selanjutnya, Jayasinghe et al. (2020) menjelaskan bahwa kekuasaan (powerful) yang dimiliki menimbulkan kecenderungan untuk memaksimalkan anggaran, artinya eksekutif cenderung meningkatkan utilitas anggaran, sementara legislatif mengutamakan selfinterestnya.
Realitas terkait kecenderungan penyimpangan perilaku stakeholders yaitu perilaku korup menimbulkan keinginan untuk menghadirkan kearifan lokal sebagai bagian yang dapat memperkuat hukum positif dan hukum agama yang berlaku di masyarakat. Relevansi “Ituitum bo Odiodi” dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah di lingkungan pemerintah Kota Kotamobagu oleh informan dipandang sebagai kontrol perilaku bagi stakeholders. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Adnan dan Gunawan pada kutipan berikut ini.
“Doa/sumpah dan kutukan sakral “Ituitum bo Odiodi” bukan hanya relevan lagi tetapi wajib dan
Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 365
harus tetap dilaksanakan secara umum karena itu me rupakan kontrol. Jadi, “Ituitum bo Odiodi” yang merupakan hukum adat suku Bolaang Mongondow dapat digunakan sebagai penguat hukum positif dan hukum agama yang berlaku di masyarakat. Ini dapat dijadikan sebagai kontrol perilaku stakeholders agar dalam mengemban amanah pengambilan keputusan senantiasa memikirkan kesejahteraan masyarakat. Jadi pertama, sumpah itu adalah pertanggungjawaban kepada diri sendiri sebagai seorang pemimpin bahwa dirinya sudah bersumpah “Demi Allah” sehingga harus melaksanakan segala kewajiban yang telah diamanahkan kepadanya. Kedua, sumpah itu refleksi pertanggungjawaban kepada masyarakat. Ketiga, sumpah itu merupakan tanggung jawab kepada Allah SWT Tuhan yang Mahaesa karena kita berjanji atas nama Allah” (Adnan).
“Relevansi penerapan “Ituitum bo Odiodi” dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah masih ada dan ini merupakan alat yang paling ampuh untuk mengendalikan perilaku manusia, karena analoginya seperti, misalnya: apa pun yang kita berdua (peneliti dan informan) lakukan di dalam ruangan ini termasuk melakukan penyimpangan, kalau dilihat dari hukum agama, pertanggungjawabannya nanti pada saat meninggal “nanti kwa depe balasan torang dua mo dapa disana” (balasannya nanti akan kita berdua terima di sana/akhirat). Sekarang hukum positif selama tidak ada bukti pasti kita masih bisa mengelak “mana ngoni pe bukti kalu torang ada bekeng ruparupa di dalam ruangan ini?” (mana buktinya kalau kita melakukan perbuatan menyimpang di ruangan ini?). Tetapi hukuman sosial masyarakat yang melekat dalam “Ituitum bo Odiodi” itu yang ketika kita berdua masuk ke dalam ruangan ini misalnya pintu ditu
tup terus ada staf/orang lain yang melihat nah di situ “dia’ mopia indoyan mako intau” (tidak baik dilihat oleh orang lain) karena pasti akan menimbulkan persepsi negatif. Hal itu yang benar-benar dihidupkan sebagai kontrol perilaku” (Gunawan).
Kearifan lokal “Ituitum bo Odiodi” perlu diangkat kembali, dihadirkan, dan digambarkan, serta dipahami secara utuh dan mendalam oleh stakeholders karena “Ituitum bo Odiodi” dianggap sebagai alat yang paling ampuh dalam mengontrol perilaku manusia. Hal ini dapat memperkuat penerap an hukum positif dan hukum agama yang dianggap lemah karena pelanggaran atas kedua hukum tersebut masih dapat dirasionalkan, apalagi jika tidak terdapat bukti yang akurat. Rasionalisasi atau pembenaran tersebut adalah salah satu dari alasan me ngapa oknum atau aktor kebijakan melakukan perilaku fraud. Menambahkan pernyataan sebelumnya, Gunawan dan Hamri juga meng ungkapkan arti dan pemahamannya terkait isi dari kutukan atau “Odiodi”, bahwa:
“Menurut Saya pribadi isi “Odiodi” atau kutukan ini tidak lagi menyiratkan arti yang sebenar nya, namun kesakralannya masih tetap ada. Hal ini dapat dipandang sebagai “Barang siapa yang melanggar isi perjanjian luhur Dodandian i Paloko bo Kinalang”, maka: Rumondirondi’ na’ buing atau menghitam seperti arang, artinya bahwa ia akan menjadi hina di hadapan masyarakat; Dumaradarag na’ kolawang atau menguning seperti kunyit, artinya ia akan menjadi seperti penyakit yang dihindari oleh masyarakat; Yumoyow na’ simuton atau mencair seperti garam, artinya ia akan hilang dan dilupakan oleh ma syarakat; dan Kimbuton in tolog bo doroton in montoyani atau diserap oleh tanah seperti air hujan yang jatuh dari tirisan atap, ditelan oleh arus air, dan dihimpit oleh bumi, artinya nama baik dan kehormatan menjadi hilang tidak berbekas di hadapan masyarakat dan terutama di hadapan Tuhan yang Maha Esa Allah SWT yang
366 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372
merupakan hakim yang Mahaadil atas segala perbuatan keji semasa di dunia” (Gunawan).
“Hukuman sosial dari “Ituitum bo Odiodi” tersebut adalah wujud suatu peringatan bahwa “hatihati” karena jika kamu tidak melaksanakan seperti apa yang tertuang di dalam isi perjanjian yang telah diambil sumpahnya. Maka, bisa saja kamu berubah menjadi hitam atau hilang kehormatan atau tidak lagi dipandang oleh masyarakat. Begitupun dengan “yumoyang na simuton” juga bisa diartikan sebagai ketika telah habis masa jabatan maka langsung dilupakan begitu saja tak berbekas di hati masyarakat. Pesan adat ini sebenarnya lebih pada pesan psikologis sehingga hukuman adat itu datang dalam faktor jiwa atau secara psikologis kepada pelanggar adat. Inilah wujudnya karena sesungguhnya dengan mendengar bunyi sumpah itu saja kita sudah merasa takut karena isi sum pah “Ituitum bo Odiodi” ini sangat berat. Jadi, pemerintah atau si Kinalang yang dipilih itu harus menjalankan dengan benar pemerintahan ini, terutama dalam mengambil kebijakankebijakan termasuk bagaimana memutuskan APBD yang berpihak pada rakyat” (Hamri).
Gambaran “Ituitum bo Odiodi” sebagai pengikat perjanjian luhur “Dodandian i Paloko bo Kinalang” menurut kedua informan tidak lagi diartikan secara harfiah, ter utama isi dari “Odiodi” yang dianggap sebagai ungkapan metafora. Namun, hal tersebut tentu tidak mengurangi tingkat kesakralannya karena doa/sumpah dan kutuk an ini bagi masyarakat adat suku Bolaang Mongondow adalah suatu realitas yang masih diyakini secara spiritualitas. Pemaham an yang disampaikan oleh kedua informan mengingatkan peneliti tentang bagaimana suasana ketika prosesi adat “Podui’an bo Poponikan kon Komalig” yang dirangkaikan dengan pembacaan isi “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Ituitum bo Odiodi” sakral ini berlangsung. Sebagaimana yang diungkap Hamri bahwa “mendengar isi sumpah ini saja
kita sudah takut, jadi hatihati karena isi sumpah ini sangat berat”. Memang tampak jelas ekspresi kekaguman dari masyarakat adat yang hadir terutama ekspresi ibu walikota Kota Kotamobagu sebagai pemeran utama di dalam prosesi adat ini. Dari awal hingga akhir prosesi adat digelar di lapangan Bokihotinimbang tidak tampak senyuman di wajah beliau. Ibu walikota benarbenar khusyuk menjalankan seluruh rangkaian ritual adat ini. Pada akhirnya senyuman itu kembali terpancar ketika ibu walikota berjalan menaiki Buligan atau Tandu Adat kemudian diusung menuju ke rumah dinas/jabatan walikota sambil menyapa dan menebar senyum kepada seluruh masyarakat yang hadir. Namun, sangat disayangkan karena di dalam penelitian ini peneliti tidak dapat mewawancarai ibu walikota karena aktivitasnya yang sangat padat. Berkaitan dengan prosesi adat ini, peneliti kemudian mewawancarai Chairun dan Jemmy yang merupakan penyelenggara tahapan ritual adat “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Ituitum bo Odiodi”. Mereka menyatakan bahwa:
“Kurang lebih ada lima kriteria pemimpin ideal berdasarkan “Dodandian i Paloko bo Kinalang”, yaitu pertama “Mokodotoi” yang berarti patriotisme (mampu mengamankan atau menjaga wilayah totabuan), kedua “Mokorakup” berarti mengayomi, ketiga “Mokotointungkid” berarti mengetahui kondisi masyarakat, keempat “Mokodia” berarti mampu mengemban amanah, dan kelima “Mokoangai” berarti simpatik. Kelima kriteria ini insyaallah telah dimiliki oleh ibu walikota, dan semoga dengan diselenggarakannya ritual adat ini maka ibu walikota benarbenar dapat berkomitmen dan menjalankan amanah pemerintahan ini dengan baik sesuai dengan isi perjanjian luhur “Dodandian i Paloko bo Kinalang” (Chairun).
“Kearifan lokal “Dodandian” ini tidak bisa dipisahkan dengan “Ituitum bo Odiodi” karena sebenarnya inilah yang akan selalu mewarnai perilaku semangat “Dodandian”. Saya pernah buat
Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 367
dulu di Desa Tanoyan ketika pelantikan Sangadi, Saya gelar ritual adat “pinoduian ko’i” Sangadi Tanoyan Selatan dan Tanoyan Utara. Pada saat itu saya bacakan isi “Ituitum bo Odiodi” lalu sumpah itu diucapkan oleh yang bersangkutan, Dia bersumpah kepada Sang Pencipta dan kepada leluhur. Hal itu ia indahkan dan hasilnya bisa kita lihat hingga saat ini bagaimana Sangadi dalam kesehariannya baik dalam bermasyarakat maupun dalam menjalankan roda pemerintahan, Dia semacam selalu terjaga dengan sumpah karena sudah pasti ada rasa takut kepada Tuhan dan ada rasa malu kepada masyarakat kalau sumpah ini ia langgar” (Jemmy).
Keseluruhan gambaran dan pemahaman “Ituitum bo Odiodi” kemudian dikonseptualisasikan ke dalam nilainilai. Terungkap bahwa di dalam filosofis “Ituitum bo Odiodi” terkandung nilainilai moralitas, mentalitas, dan spiritualitas yang melebur menjadi satu dan kemudian bermuara pada nilai kontrol perilaku. Ketika hukum positif dan hukum agama yang berlaku di masyarakat tidak mampu lagi mengendalikan perilaku manusia dan membendung keinginan manusia untuk melakukan perbuatan menyimpang, maka pada saat itu dirasa perlu untuk mencari alternatif lain yang dianggap bisa dijadikan sebagai kontrol perilaku. Kearifan lokal “Ituitum bo Odiodi” yang merupakan pengikat perjanjian luhur “Dodandian i Paloko bo Kinalang” sebagai hukum adat/hukum sosial masyarakat dapat bersinergi dengan hukum positif dan hukum agama dalam mengontrol perilaku seluruh elemen masyarakat yaitu “Paloko bo Kinalang” terlebih kepada Kinalang atau stakeholders sebagai pengemban amanah dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah pada pemerintah daerah Kota Kotamobagu.
“Itu-itum bo Odi-odi” sebagai bentuk tanggung jawab moral stakeholders. Mi nimnya rasa tanggung jawab moral dari stakeholders tentunya dapat berimbas pada pengalokasian anggaran yang tidak tepat sasaran. Permasalahan penyimpangan anggaran tersebut hakikatnya merupakan bentuk kejahatan kerah putih (white collar crime) terhadap uang rakyat. Terlepas
dari apakah modus yang dilakukan bersifat prosedural atau tidak, yang jelas bahwa masyarakat di daerah sebagai pemilik anggaran sangatlah dirugikan. Masyarakat telah membayar pajak, masyarakat yang memberi dukung an sekaligus memilih mereka (Kinalang) untuk mengemban amanah, tetapi sangat disa yangkan masyarakat (Paloko) juga yang pada akhirnya menjadi korban keserakahan orangorang yang sebenarnya tidak pernah memikirkan kepentingan rakyat secara serius. APBD yang seharusnya dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat malah digunakan oleh wakilnya sendiri. Menanggap i realitas terkait perilaku fraud yang menjurus pada tindakan korupsi oknumoknum tertentu di dalam jajaran pemerintahan baik dari pihak eksekutif maupun legislatif daerah, Sa’ir dan Ishak memberikan pernyataannya tentang apa saja kirakira yang menjadi motivasi seseorang melakukan perbuatan menyimpang berikut.
“Motivasinya Pertama, barangkali dia tidak menyadari apa sebenarnya tugas dan tanggung jawabnya karena kalau dia tahu pasti dia akan melakukannya dengan segenap aturan, tetapi karena dia tidak memahami tentang tugas dan kewajibannya sehingga mungkin ada halhal yang membuat Dia melakukan tindak an di luar koridor dan ketentuan se hingga dibuatlah kebijakan terutama yang terkait dengan anggar an yang tidak sesuai. Kedua, tuntutan hidup atau ada persaingan taraf hidup. Misalnya ada pegawai apalagi yang punya jabatan, kalau semacam pejabat Eselon II hanya punya mobil dinas, bisa jadi dia akan berusaha untuk bisa punya mobil pribadi, sedangkan dia tidak ada pekerjaan lain selain dari PNS. Jadi dengan memahami secara mendalam tentang kearifan lokal “Ituitum bo Odiodi” diharapkan dapat meminimalisasi perilakuperilaku fraud tersebut” (Sa’ir).
“Ini terkait masalah moral dan etika. Ketika moral kita kuat insyaAllah halhal seperti apapun baik itu bujukan, rayuan, maupun “pemaksaan” insyaallah dapat kita
368 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372
hindari. Jadi, bingkai paling besar itu adalah moralitas. Jika kearifan lokal ini benarbenar kita pahami secara komprehensif maka otomatis “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Ituitum bo Odiodi” bisa diterapkan secara utuh, karena dengan sendirinya akan timbul rasa takut dan rasa malu di diri kita masingmasing” (Ishak).
Perilaku manusia yang cenderung tidak merasa cukup dapat menjadi alasan untuk melakukan tindakan fraud terutama penyelewengan anggaran guna untuk menambah pendapatan pribadi dan memperkaya diri sendiri. Sifat materialistis dapat mempengaruhi seseorang melakukan tindakan fraud. Tingginya kebutuhan hidup dan keinginan untuk memenuhi tuntutan gaya hidup menjadikan seseorang cenderung melakukan penyimpangan dan menjadikan anggaran daerah sebagai ladang untuk meningkatkan kesejahteraan pribadinya. Dengan melihat realitas yang ada di dalam pemerintahan terkait perilaku korup dan ketika mengaitkan realitas tersebut dengan kearifan lokal ini, maka “Ituitum bo Odiodi” atau doa/sumpah dan kutukan sakral sebagai pengikat perjanjian luhur “Dodandian i Paloko bo Kinalang” dipandang juga sebagai bentuk tanggung jawab moral pemerintah terhadap masyarakat. Kekuatan spiritualitas yang terkandung di dalam “Ituitum bo Odiodi” diyakini dapat menimbulkan rasa takut dan malu bagi siapa saja yang melanggarnya. Rasa takut dan malu tersebut dapat meningkatkan rasa tanggung jawab moral
dan dapat meminimalisasi perilaku korup oleh stakeholders yang hingga saat ini masih sulit untuk dihilangkan.
Simbol Pemerintah Daerah Kota Kotamobagu sebagai benteng komitmen dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah. Kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” dipandang sebagai bentuk komitmen bersama dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah dan “Ituitum bo Odiodi” dipandang sebagai benteng perilaku pengambil keputusan kebijakan penganggaran daerah. Dengan demikian, simbol pemerintah daerah Kota Kotamobagu yang terinspirasi dari kearifan lokal tersebut dapat diartikan sebagai benteng komitmen. Simbol pemerintahan ini dipahami sebagai benteng atas komitmen yang telah disepakati bersama oleh pemerintah (eksekutiflegislatif) dan masyarakat dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah; dan sebagai benteng untuk menjaga perilaku stakeholders agar senantiasa terkontrol dan terjaga oleh rasa tanggung jawab moral terhadap masyarakat sehingga dapat terhindar dari perilaku fraud yang menjurus pada tindakan korupsi yang bukan rahasia lagi cenderung terjadi di dalam organisasi pemerintah daerah. Simbol pemerintahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Simbol pemerintah daerah Kota Kotamobagu merupakan simbol yang mengandung nilai-nilai filosofis tinggi. Hal ini terungkap dari penjelasan informan/narasumber penelitian. Adnan menjelaskan bahwa:
“Dalam simbol ini Pertama, ada lingkaran merah kemudian ada
Gambar 1. Simbol Pemerintah Daerah Kota Kotamobagu
Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 369
putih di bagian dalam, ini adalah NKRI yang melambangkan bahwa Kotamobagu merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain itu juga melambangkan Bendera Indonesia. Kedua, ada segi lima ini adalah Pancasila yang melambangkan Ketuhanan yang Maha Esa dan semua sila yang terkandung di dalamnya. Ketiga, ada bintang berwarna kuning yang merupakan warna adat Bolaang Mongondow dan Kotamobagu khususnya, bintang ini juga dapat diartikan sebagai nur atau cahaya Illahi. Ini merupakan bentuk keyakinan kita bahwa cahaya atau keberkahan dari Allah SWT Tuhan yang Maha Esa akan senantiasa menaungi Kota Kotamobagu. Cahaya Illahi tersebut juga dapat diartikan sebagai penerang bagi Kinalang selaku pemimpin pemerintahan di dalam setiap pelaksanaan tugasnya. Keempat, ada payung yang mengerucut ke arah Kinalang ini adalah simbol dari tahta, jabatan, dan kekuasaan yang dimiliki oleh Kinalang selaku pemimpin pemerintahan, dan payung ini melebar di bagian bawah ke arah Paloko yang berarti bahwa Kinalang wajib melindungi dan menyejahterakan Paloko selaku rakyatnya. Kelima, ada perisai dan tombak yang berada persis di atas Paloko dan ujung tombaknya menghadap ke arah payung kekuasaan Kinalang, Perisai adalah Dodandian dan Tombak adalah Ituitum bo Odiodi, ini dapat diartikan sebagai peringatan bahwa Paloko siap untuk mengawal proses pemerintahan. Keenam, jika keduanya yaitu Paloko dan Kinalang samasama menjalankan Dodandian ini dengan baik maka akan tumbuh kesejahteraan di tanah Kota Kotamobagu. Hal itu dilambangkan dengan tumbuhnya padipadi yang merupakan lambang dari kemakmuran dan kesejahteraan. Jadi, nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalam simbol ini dimulai dari Allah SWT, Kinalang, dan Paloko. Itulah arti simbol pe
merintah daerah Kota Kotamobagu. Ketika simbol ini dikaitkan dengan pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah maka sudah seharusnya aktor kebijakan senantiasa mawas diri. Kita harus menyadari bahwa segala tindak tanduk kita diperhatikan oleh Allah SWT dan oleh masyarakat. Simbol pemerintahan ini juga merupakan refleksi ke arifan lokal yang merupakan harapan leluhur jadi sudah semestinya ini kita tunaikan bersama. Semoga dengan memahami simbol ini secara mendalam maka perilaku kita dapat lebih terkontrol untuk senantiasa melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab” (Adnan). Simbol pemerintah daerah Kota Ko
tamobagu bukan sekadar lambang daerah saja. Simbol ini dipandang sebagai benteng untuk melindungi komitmen bersama antara masyarakat dan pemerintah. Selain itu, simbol ini dipandang sebagai sebagai benteng untuk mengontrol perilaku stakeholders agar terhindar dari tindakan fraud. Tentunya makna simbol ini terwujud dalam hasil Musrenbang dan reses di dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah agar terakomodasi ke dalam Perda APBD.
Pemahaman kearifan lokal oleh informan yang terlibat di dalam penelitian ini, terkait dengan simbol pemerintahan sebagai benteng komitmen sangat dipengaruhi oleh paparan kebiasaan atau budaya yang berlaku di dalam lingkup pemerintahan. Dari sudut pandang anggota TAPD, Sofyan mengungkapkan bahwa:
“Semua lebih kepada komitmen pemerintah dalam menyejahterakan masyarakatnya. Jadi, perlu diingat bahwa di dalam RPJMD termuat visi dan misi dari kepala daerah kemudian dijabarkan de ngan tujuan, sasaran, arah kebijak an, program, kegiatan semuanya sematamata demi kesejahteraan masyarakat, dan itu akan terwujud jika kita benarbenar memahami nilainilai yang terkandung di dalam simbol “Dodandian” tersebut. Per
370 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372
lu di ingat bahwa kalimat “Berlandaskan Perjanjian Paloko bo Kinalang” terkandung di dalam RPJPD 20 tahunan. Jadi, kalau kita benarbenar memahami hal ini dengan niat yg sama yaitu untuk memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat maka tentunya kita akan terhindar dari penyimpangan, kecurangan, dan ketidakberpihakan” (Sofyan).
Aoki (2017) berargumentasi bahwa komitmen organisasi menunjukkan keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai oleh organisasi. Menambahkan pernyataan tersebut, Funck & Karlsson (2020) mengungkap bahwa komitmen organisasi yang kuat di dalam individu akan menyebabkan individu berusaha keras mencapai tujuan organisasi sesuai dengan tujuan kepentingan yang sudah direncanakan (Mbelwa et al., 2019; Nyamori & Gekara, 2016). Komitmen bersama yang dihasilkan melalui forum musyawarah Musrenbang dan Reses antara Paloko bo Kinalang dalam perencanaan pembangunan daerah menjadi salah satu acuan pemerintah dalam mengambil keputusan kebijakan anggaran. Hal ini yang kemudian dituangkan ke dalam Perda APBD sebagai tujuan dan sasaran kinerja pemerintah pada periode tahun Anggaran selanjutnya. Komitmen bersama yang dipegang teguh oleh Paloko bo Kinalang tersebut tentu dapat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh elemen masyarakat karena telah sesuai dengan aspirasi dan preferensi masyarakat, serta sesuai dengan harapan leluhur di tanah Totabuan.
Pemahaman atas simbol pemerintah daerah Kota Kotamobagu jika dikaitkan dengan pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah oleh stakeholders dapat dipandang sebagai benteng komitmen. Hal tersebut karena simbol ini merupakan refleksi atas kepercayaan seluruh elemen masyarakat baik Paloko maupun Kinalang terhadap Tuhan yang Maha Esa Allah SWT; kepatuhan terhadap hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); kesediaan mengamalkan silasila di dalam Pancasila; dan merupakan bentuk keyakinan masyarakat adat terhadap ada nya kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat oleh “Ituitum bo Odiodi” di tanah Totabuan Bolaang Mongondow. Refleksi ke
arifan lokal sebagai simbol pemerintahan tersebut yang terdiri dari hukum agama, hukum positif dan hukum adat adalah sebuah benteng yang kokoh dalam melindung i komitmen yang telah disepakati bersama oleh masyarakat dan pemerintah, dan sebuah benteng yang kokoh dalam menjaga perilaku stakeholders sehingga dapat terhindar dari tindakan korupsi. SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data terungkap bahwa: Pertama, kearifan lokal “Dodandian i Paloko bo Kinalang” dipandang sebagai bentuk komitmen bersama antara masyarakat dan pemerintah. Hal tersebut ditemukan dalam forum musyawarah Musrenbang sebagai domain eksekutif yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam menghasilkan RPJPD, RPJMD, RKPD dan forum musyawarah reses sebagai domain legislatif yang melibatkan partisipasi ma syarakat dalam menghasilkan Pokokpokok Pikiran (POKIR). Kedua, doa/sumpah dan kutukan sakral yang terkandung di dalam “ItuItum bo Odiodi” dipandang sebagai benteng perilaku stakeholders agar terhindar dari perilaku fraud yang menjurus pada tindakan korupsi. Pemahaman atas kearifan lokal ini dapat memperkuat hukum positif dan hukum agama karena walaupun isi dari “Ituitum bo Odiodi” dianggap sebagai ungkapan metafora, hal tersebut tidak mengurangi tingkat kesakralannya. Selain itu, pengimplementasian “Ituitum bo Odiodi” di dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah dapat menimbulkan efek psikologis dan mental bagi stakeholders sehingga senantiasa memperhatikan perilakunya agar terhindar dari tindakan korup karena hal itu dapat menimbulkan rasa takut kepada Tuhan dan rasa malu kepada masyarakat. Ketiga, simbol pemerintah daerah yang terinspirasi dari kearifan lokal jika dikaitkan dengan pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah oleh stakeholders dipandang sebagai benteng komitmen.
Dengan terungkapnya seluruh pemahaman dan gambaran yang utuh tentang kearifan lokal “Dodandian i Paloko Bo Kinalang” yang diikat “Ituitumbo Odiodi” sebagai simbol pemerintahan, maka hal ini dirasa tepat untuk diintegrasikan ke dalam proses pemerintahan yang berperan dalam membentengi aspirasi masyarakat. Hal ini dilakukan agar pemerintah baik eksekutif
Makalalag, Sukoharsono, Djamhuri, Kearifan Lokal Sebagai Simbol dalam... 371
maupun legislatif senantiasa terjaga dan terlindungi dari berbagai kepentingan pribadi dan politik dalam melahirkan Perda APBD. Selain itu, simbol “Dodandian i Paloko bo Kinalang” dan “Ituitum bo Odiodi” dirasa mampu memberikan gambaran bahwa begitu besar harapan leluhur terhadap kinerja Kinalang dalam menyejahterakan Paloko.
Penelitian ini sebatas dilakukan pada lingkungan pemerintah daerah Kota Kotamobagu yang telah menjadikan kearif an lokal ini sebagai simbol pemerintahan. Namun, warisan luhur “Dodandian i Paloko bo Kinalang” yang diikat “Ituitum bo Odiodi” seyogyanya adalah milik seluruh masyarakat adat suku Bolaang Mongondow yang tersebar di empat kabupaten lainnya. Dengan demikian, penelitian yang sama juga dapat dilakukan dan diterapkan di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Induk, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, dan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Selain itu, kepada peneliti berikutnya disarankan untuk mengangkat kearifan lokal ini menjadi suatu konsep dalam pengambilan keputusan kebijakan penganggaran daerah dan suatu konsep tata kelola keuangan pemerintah daerah agar dapat diimplementasikan secara komprehensif.
DAFTAR RUJUKANAkbar, R., Pilcher, R., & Perrin, B.
(2012). Performance Measurement in Indonesia: The Case of Local Go-vernment. Pacific Accounting Review, 24(3), 262291. https://doi.org/10.1108/01140581211283878
Alonso, J. M., Clifton, J., & Díaz-Fuentes, D. (2015). Did New Public Management Matter? An Empirical Analysis of the Outsourcing and Decentralization Effects on Public Sector Size. Public Management Review, 17(5), 643660. https://doi.org/10.1080/14719037.2013.822532
Aoki, N. (2015). Institutionalization of New Public Management: The Case of Singapore’s Education System. Public Management Review, 17(2), 165186. https://doi.org/10.1080/14719037.2013.792381
Ashraf, J., & Uddin, S. (2015). Military, ‘Managers’ and Hegemonies of Management Accounting Controls: A Critical Realist Interpretation. Management Account
ing Research, 29, 1326. https://doi.org/10.1016/j.mar.2015.07.002
Bigoni, M., & Funnell, W. (2015). Ancestors of Governmentality: Accounting and Pastoral Power in the 15th Century. Critical Perspectives on Accounting, 27, 160176. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2014.05.001
Biswan, A. T, & Widianto, H. T. (2019). Peran Beyond Budgeting Entry Scan untuk Mengatasi Permasalahan Penganggaran Sektor Publik. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 10(2), 308327. https://doi.org/10.18202/jamal.2019.08.10018
Briando, B., & Purnomo, A. (2019). Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Negara. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 10(2), 342364. https://doi.org/10.18202/jamal.2019.08.10020
Damopolii, H. J. A. (2003). Dodandian Kinotanoban dan Kisahku. Yayasan Ibnu Sabil Kotamobagu.
Dan, S., & Pollitt, C. (2015). NPM Can Work: An Optimistic Review of the Impact of New Public Management Reforms in Central and Eastern Europe. Public Management Review, 17(9), 13051332. https://doi.org/10.1080/14719037.2014.908662
Dedoulis, E. (2016). Institutional Formations and the Anglo-Americanization of Local Auditing Practices: The Case of Greece. Accounting Forum, 40(1), 2944. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2015.11.003
Efferin S. (2015). Akuntansi, Spiritualitas, dan Kearifan Lokal: Beberapa Agenda Penelitian Kritis. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(3), 466480. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.12.6037
Fairholm, M. R., & Gronau, T. W. (2015). Spiritual Leadership in the Work of Public Administrators. Journal of Management, Spirituality and Religion, 12(4), 354373. https://doi.org/10.1080/14766086.2015.1060516
Funck, E. K., & Karlsson, T. S. (2020). TwentyFive Years of Studying New Public Management in Public Administration: Accomplishments and Limitations. Financial Accountability and Management, 36(4), 347375. https://doi.org/10.1111/faam.12214
Graham, C., & Grisard, C. (2019). Rich Man, Poor Man, Beggar Man, Thief: Accounting and the Stigma of Pover
372 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 355-372
ty. Critical Perspectives on Accounting, 59, 3251. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2018.06.004
Harun, H., Carter, D., Mollik, A. T., & An, Y. (2020). Understanding the Forces and Critical Features of a New Reporting and Budgeting System Adoption by Indonesian Local Government. Journal of Accounting and Organizational Change, 16(1), 145167. https://doi.org/10.1108/JAOC-10-2019-0105
Iacovino, N. M., Barsanti, S., & Cinquini, L. (2017). Public Organizations between Old Public Administration, New Public Management and Public Governance: The Case of the Tuscany Region. Public Organization Review, 17(1), 6182. https://doi.org/10.1007/s111150150327x
Jayasinghe, K., Adhikari, P., Carmel, S., & Sopanah, A. (2020). Multiple Rationalities of Participatory Budgeting in Indigenous Communities: Evidence from Indonesia. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 33(8), 21392166. https://doi.org/10.1108/AAAJ0520183486
Kontogeorga, G. N. (2017). Does (Better) Regulation Really Matter? Examining Public Financial Management Legislation in Greece. European Journal of Law and Economics, 43(1), 153166. https://doi.org/10.1007/s1065701695343
Lantong, Z. A. (1996). Mengenal Bolaang Mongondow. UD. Asli Totabuan.
Marwansyah. (2017). Spiritual Leadership of an Indonesian Muslim Business Leader: A Religious Spirituality Perspective. International Journal of Business and Globalisation, 19(4), 528548. https://doi.org/10.1504/IJBG.2017.087294
Mbelwa, L. H., Adhikari, P., & Shahadat, K. (2019). Investigation of the Institutional and DecisionUsefulness Factors in the Implementation of Accrual Accounting Reforms in the Public Sector of Tanzania. Journal of Accounting in Emerging Economies, 9(3), 335365. https://doi.org/10.1108/JAEE0120180005
Mokoagow, H. (2015). Investigasi Husserlian terhadap Politik Anggaran Daerah (Stu
di Fenomenologi di Kabupaten Bolaang Mongondow (Tesis Tidak Terpublikasi)). Universitas Brawijaya.
Nyamori, R. O., & Gekara, V. O. (2016). Performance Contracting and Social Capital (Re)formation: A Case Study of Nairobi City Council in Kenya. Critical Perspectives on Accounting, 40, 4562. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2015.06.004
Oppi, C., & Vagnoni, E. (2020). Management Accountants’ Role and Coercive Regulations: Evidence from the Italian Health-Care Sector. Qualitative Research in Accounting and Management, 17(3), 405433. https://doi.org/10.1108/QRAM0220190040
Quinn, M., & Warren, L. (2017). New Public Management a RePackaging of Extant Techniques? Some Archival Evidence from an Irish Semi-State Power Company. Qualitative Research in Accounting and Management, 14(4), 407429. https://doi.org/10.1108/QRAM0420170023
Reraja, F. M., & Sudaryati, E. (2019). Karakter Akuntan dalam Filosofi Adigang Adigung Adiguna. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 10(3), 482501. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2019.10.3.28
Sofyani, H. (2018). Does Performance-Based Budgeting Have a Correlation with Performance Measurement System? Evidence from Local Government in Indonesia. Foundations of Management, 10(1), 163176. https://doi.org/10.2478/fman20180013
Sudana I. P. (2016). Sustainable Development, Kebijakan Lokal Bali, dan Emancipatory Accounting. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 7(2), 207222. https://doi.org/10.18202/jamal.2016.08.7017
Vivian, B., & Maroun, W. (2018). Progressive Public Administration and New Public Management in Public Sector Accountancy: An International Review. Meditari Accountancy Research, 26(1), 4469. https://doi.org/10.1108/MEDAR0320170131