Katalog - Rerancang Tunggal - Dewa Ardana
-
Upload
forum-ceblang-ceblung -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
description
Transcript of Katalog - Rerancang Tunggal - Dewa Ardana
Selamat datang ke Rerancang Tunggal Ardana!
Kami sangat senang dan bangga mengundang Anda ke Rerancang Tunggal Ardana yang sekaligus menjadi perhelatan pertama salah satu pelantar kami Rerancang Tunggal! Rerancang Tunggal kami rancang sebagai serangkaian perhelatan yang terbuka jenis kegiatannya dan juga perihal yang dihadirkan. Ardana memilih untuk mengadakan pameran tunggal yang menghadirkan dua lukisan, meminta rekan seniman/peneliti untuk menulis esai tentang proses kerjanya, mengundang estetikawan untuk memberi kuliah dalam masa pamerannya, dan mengadakan sesi dialog sebagaimana yang diwajibkan dalam rangkaian Rerancang Tunggal FCC. Lahir dan besar di Bali, Ardana belajar melukis di Institut Seni Indonesia – Denpasar dan memulai perjalanan artistiknya di sana. Pada 2009, ia pindah ke Yogyakarta dan menjadi bagian dari ranah setempat. Walaupun ranah seni rupa kontemporer nasional kita sesungguhnya sangat kecil, terhubung erat, dan bahkan bisa dikatakan picik; kota tempat kami bernaung ini bisa dikatakan cukup istimewa. Seseorang harus bisa bahasa Jawa, atau paling tidak menunjukan upaya bercakap dalam logat Jawa, baru ia bisa dianggap ‘bukan orang asing’—itupun tidak serta-merta berarti ia dianggap sebagai seseorang yang lokal. Dalam kisah Ardana, pindah setelah memulai perjalanan artistiknya membuatnya punya semacam ruang untuk melihat dirinya sendiri, melihat dari mana ia berasal, dan apakah ada hubungan antara kehidupan sehari-harinya dan, pada akhirnya, kebutuhan artistiknya.
Ardana memulai pencariannya dari Anonymous Project (2008-2009) di mana ia melukis potret yang didistorsi dengan tekning morphing. Pada mulanya adalah sekumpulan potret orang—yang sungguh ada. Perubahan yang ia lakukan terhadap sekumpulan citraan ini membuat gambar yang tadinya potret ini menjadi tidak mewakili orang-orang secara khusus; dan menciptakan ruang bagi impresi—akan kemungkinan-kemungkinan siapa mereka. Ia lalu lanjut ke sebuah tahap di mana ia mencoba melihat “rumah”. Sejauh ini, pencariannya akan rumah dilakukan dengan beberapa cara dan juga dimanifestasikan ke dalam beberapa jenis gambar dalam lukisannya. Dalam Peristiwa Sebuah Kelas, di Sangkring Art Space (Desember 2013-Januari 2014), ia membawa lukisan sebuah mesin jahit—yang adalah milik almarhum kakaknya. “[Melukis] itu seperti perjalanan.” […] “Ilmu berjalan, bagaimana pengetahuan berjalan, bergerak, dicari, dan ya semacam orang berkelana.” Ardana ingin menggambarkan citraan kakaknya melalui percakapan yang ia bangun dengan kakak iparnya. Sekarang, ia menghadirkan dua lukisan baru dengan pendekatan dan cara kerja yang sangat berbeda, baik dalam tatanan pemikiran maupun pengerjaan. Tentang apakah lukisan-lukisan ini dan bagaimana ia bekerja? Datang dan ikutilah sesi dialog kami nanti! Tabik,Forum Ceblang Ceblung
Rerancang Tunggal
Rerancang Tunggal adalah kegiatan umum berkala FCC yang setiap bulannya akan menampilkan proyek dari setiap anggota forum. Mulai dari Oktober 2014 sampai dengan 2016 nanti, proyek-proyek ini akan dihadirkan dalam bentuk sebuah peristiwa—baik pameran, presentasi, diskusi, percobaan, atau apapun. Rerancang Tunggal akan jadi ajang pamer beragam kemungkinan, baik itu karya seni, artefak, benda, penelitian, dokumentasi, atau apapun. Setiap proyek akan disertai dengan sesi diskusi yang terbuka untuk umum.
Obrolan bercangkir-cangkir kopi
antara dua orang seniman:
Timoteus Anggawan Kusno dan Dewa Ardana
MembicarakanKala
Pertemuan saya dengan Dewa Ardana awalnya terjadi di suatu
sore di studio milik Jompet Kuswidananto di daerah Timoho.
Berangkat dari obrolan santai kami bertiga, berlanjutlah kemudian
pertemuan-pertemuan saya dengan Ardana di studio miliknya.
Kami bercakap-cakap tentang kekaryaannya, baik dari kelahiran
gagasan hingga mewujudnya karya di atas kanvas. Tulisan ini
merupakan rangkuman hasil obrolan santai kami di studionya.
Berikut adalah hasil perbincangan bercangkir- cangkir kopi antara
saya, Timoteus Anggawan Kusno, dan Dewa Ardana.
Apa yang mau kamu bicarakan melalui karya-karya ini?
Hampir dua tahun belakangan aku banyak memikirkan tentang "rumah"
dan "keluarga".
Wah, menarik sekali. ‘Rumah’ dan ‘keluarga’ ini pengalaman yang dekat
sekaligus ideologis. Semua orang punya ceritanya sendiri. Bisa kamu
berbagi sedikit? Kenapa ‘rumah’ dan keluarga ini menarik untuk ditelusuri?
Ya, betul...Aku melihat sebuah situasi yang tidak hanya kualami sendiri. Ada
benturan tradisi dengan modernitas. Dan kita semua berupaya untuk
menegosiasikannya. Dan ini adalah caraku, gambaranku akan
perasaan-perasaan tentang "rumah", keluarga, dalam konteks kehidupanku
bermasyarakat, hidup bersama orang lain.
Untukmu sendiri bagaimana?
Ya, jelas... aku merasakan benturan yang sama. Masa kecilku dulu sering
berpindah ‘rumah’ . Kemudian aku bersekolah, dididik dalam pendidikan
dengan akar pemikiran barat. Tapi aku hidup di sini, di mana tidak semua
perangkat pendidikan tafsiran dari barat itu bisa menjawab pertanyaanku
tentang realitas dan praktek-praktek kebudayaan yang ada di sekitarku.
Aku memandang ini soal yang kompleks.
Apalagi ketika bicara ‘rumah’, dan keluarga, aku kok segera terbayang negara
juga. Kita punya pengalaman panjang hidup dalam pembayangan ‘negara’
sebagai sebuah keluarga, dikepalai oleh sang ‘bapak’ (pembangunan). Dalam
bermasyarakat pun, imajinasi tentang keluarga juga yang membentuk
pola-pola interaksi , termasuk penghayatan kita atas hirarki di dalamnya.
Kamu ada pandangan apa tentang ini?
Ya, ini yang terbayang... Sebuah potret keluarga, ada ilusi dalam ilusi dalam
ilusi.
Itulah percakapan yang kutangkap dari lukisanmu yang berjudul ‘I Know
How You Must Feel’.
Oke, dalam konteks ini, apakah kamu merasa terasing? Atau kamu merasa
menjadi bagian bersama yang lain?
Harapanku pada karya ini, adalah menjadi bagian bersama yang lain.
Kurasakan itu ketika berada di belakang figur-figur dalam lukisan
‘I Know How You Must Feel’ . Aku merasa seperti menjadi bagian dari sana,
tapi aku bertanya-tanya... Ini aku dilibatkan atau tidak? Aku cuma menjadi
pengintip di belakang panggung. Aku seperti penonton wayang yang
didongengi sang dalang dari balik punggungnya.
Ha ha ha.....
Apa yang mau kamu ungkapkan di sini?
Ya, sebenarnya itu yang ingin kubangun. Penonton terlibat dan menjadi bagian
dalam lapisan-lapisan di lukisan ini. Pertanyaan seperti yang kamu utarakan
ketika membaca lukisanku, "Apakah aku dilibatkan atau tidak dilibatkan?"
Tegangan-tegangan itu kusadari kemunculannya. Itulah pertanyaannya. Semua
dalam kondisi yang sama, perasaan-perasaan itulah yang mau kuekspresikan.
Sejauh mana perasaan ini mengganggumu sampai-sampai kamu ingin
membicarakannya lewat lukisan ini? Sejak kapan?
Sebenarnya relatif baru. Makin terasa sejak aku pindah ke Jogja. Sebelumnya
ketika melukis, aku memandang lukisan sebagai lukisan semata. Aku melihat
dari apa yang nampak dalam lukisan.
Jadi lingkungan di Jogja cukup mempengaruhimu, sehingga timbulah
perasaan dan pertanyaan itu? Perubahan apa yang kamu sadari -- yang
kiranya berpengaruh dalam praktek kekaryaanmu?
Banyak pertemuan dengan kawan-kawan baru, terutama kawan-kawan
seniman, dari sana tentunya ada berbagai perspektif dalam melihat persoalan,
terutama dalam ranah seni rupa. Dari banyak pertemuan itu, aku merasa lebih
ringan dalam menanggapi situasi dan pertanyaan-pertanyaan yang
berkembang pada praktik kesenian saat ini. Namun justru pada saat yang
sama aku kian bisa melihat bahwa lukisan tidak hanya apa yang nampak di
atas kanvas.
Dalam pandanganku, narasi-narasi kecil seperti apa yang kamu alami dan
ekspresikan sejauh percakapan kita berlangsung ini, sebenarnya
merupakan bagian dari pergumulan narasi yang lebih besar. Narasimu bisa
menjadi sebuah pintu masuk ke dalam pembicaraan yang lebih luas. Aku
jadi terbayang untuk menghadirkan tulisan tentang pameranmu ini
selayaknya peristiwa obrolan sekarang. Kedekatan dan kesederhanaan
dialog seperti ini bisa lebih hangat membawa gagasanmu kepada penikmat
atau pembaca lukisanmu.
Jadi menurutmu seperti itu, mas? Sederhana?
Bukankah apa yang tampak sederhana sebenarnya punya dimensi
kompleksnya sendiri?
Ya, mungkin saja orang lain punya problem yang sama, beruntung
sebagai seorang seniman kamu punya bahasa lewat karya ini untuk
membicarakannya. Terkadang kan akhirnya orang lain bisa
menemukan, melihat dirinya, melalui karya, dalam konteks ini karya
yang kamu buat. Ya itu salah satu yang kupercayai dari kesenian juga,
secara personal. Dia membahasakan apa yang tidak bisa dibicarakan.
Demikianlah pengimananku, kenapa seni selalu punya tempat di
masyarakat. Jika seni, dalam konteks ini karyamu, kemudian terlalu
berjarak, terlalu terasing dengan masyarakatnya, apa itu yang kamu
mau? Atau jangan-jangan kamu punya pandangan lain?
Okay, aku juga sepakat dengan perspektif itu. Memang kemudian tidak jauh
dari karya. Sederhana dalam artian itu.
Ya, demikianlah.. Kalau aku kemudian menarik pembacaan karyamu ke
pergulatan teoritis yang terlalu jauh dan mengambang, di samping itu
cuma tampak seperti sirkus kata-kata, itu akan mengasingkan aku,
sebagai pembaca dan orang yang menuliskan tentang karyamu, serta
kamu sendiri, sebagai senimannya dari karyamu. Saat ini aku kok berfikir
ingin menghantarkan karyamu melalui tulisan selayaknya karyamu
adanya. Karyamu sendiri sudah punya kekuatan. Sesederhana itu.
Karyamu ini punya aspek biografis. Dia melekat dengan kesejarahanmu
sebagai seorang seniman. Bukankah kamu membuat ini dengan
kesadaran bahwa kamu merupakan bagian dari jamanmu? generasimu?
Ya, seperti yang kita bicarakan panjang lebar sebelumnya. Lalu bagaimana
kemudian?
Nah, sekarang aku mau membicarakan lukisan nih. Buatmu yang melukis,
bagaimana pandanganmu tentang lukisan? Masihkah mempercayainya?
Apa ya lukisan ditengah-tengah hadirnya ratusan bahkan ribuan gambar saat
ini? Pada dasarnya tidak seratus persen percaya ya, mas Angga.
Mungkin ya, pertanyaan seperti itu akan mengantarkan kita pada pertanyaan
dan perdebatan. Apa juga artinya sebuah karya seni dalam konteks saat ini
yang tak lebih dan tak kurang sebuah ‘objek’.
Ngopi sik…
Dikopeni... soyo paet soyo kuat imane .
(Diminumi kopi.. Semakin pahit, semakin kuat keimanannya )
Gini aja, ga usah terjebak pada pertanyaan diatas dan ga usah bicara nilai dulu
ya.. hehehe.
Hahaha....
Oke deh, kalau buatmu secara pribadi, apa yang membuatmu tetap melukis?
Buatku medium ini tidak hanya merupakan bentuk ekspresiku ke luar, tapi dia
juga bersifat ke dalam. Ini adalah caraku mengolah rasa. Ini adalah upayaku
untuk mencari kedalamanku, ini yang kupercayai, dan dalam konteks inilah
kemudian akhirnya aku berpikir tentang rumah (home), dan keluarga. Ada
situasi-situasi yang mengkondisikan aku untuk harus menyampaikan pikiranku
dan perasaanku melalui ini.
Ini sempat aku renungkan, apa relasinya, apa juga relasinya dengan persoalan
topik ‘rumah’, ‘keluarga’ juga bernegara. Menurutmu, sebagai sesama
seniman, ada relasinya ga sih?
Bisa kamu ceritakan relasi dari lukisan yang pertama (I’ Know How You
Must Feel‘), dan lukisan yang kedua (’Sangkan- Paran’) ini?
Dalam pandanganku, tentu saja ada. Ini dilukis oleh orang yang sama... aku
percaya ini ada relasinya, dan aku juga percaya ekspresimu ini, tidak
mungkin berangkat dari ruang hampa.
Dan aku melihat ‘senja’ hadir dalam porsi yang dominan seperti dalam
lukisanmu sebelumnya. Bisa kamu ceritakan ada apa?
Ha ha ha.... nanti dulu. Aku juga mau tahu bagaimana kamu membacanya?
Kupikir aku mengalaminya...Senja itu sepotong waktu dalam sehari, yang
secara pribadi, buatku punya impresi yang dalam dan sangat reflektif.
Tanpa menafikan potongan waktu yang lain, tapi di sanalah perubahan /
transformasi itu begitu terasa.
Sangat singkat, sementara. Dan peristiwa ini, kamu abadikan dalam
lukisanmu. Ya, kamu mengabadikan kesementaraan itu, proses perubahan
itu dalam ruang kanvasmu, sekali lagi, dalam porsi yang besar, lho. Jelas ini
mencuri perhatianku.
Tentang perubahan, pergerakan, ini adalah hakikat dari kehidupan.
Kehidupan dalam konteks apapun. Termasuk ketika kita menariknya ke
dalam konteks ‘rumah’, keluarga, bernegara, bahkan kehidupan itu sendiri.
Ya ini sangat mendasar dan bisa ditarik ke mana saja.
Sebentar Mas Angga....
(hening)
Nah, baru saja di sini aku kepikiran untuk merubah judul. Aku tertarik untuk
menukar posisi berdasarkan paparanmu barusan.
Aku berpikir untuk merubah judul lukisan potret keluarga itu, dari ‘I Know How You
Must Feel’ menjadi ‘I Know How You Feel’. Kemudian ini harus diikuti juga oleh
karya setelahnya. Ideku ini terkait dengan posisi ‘subjek’ di dalam dua karya.
Terutama antara ‘aku’, dan ‘penonton’, atau liyan.
Judul yang sebelumnya ‘Sangkan-Paran’ diganti menjadi ‘I Know How You Feel’
sebagai jembatan antara subyek ‘I’ pada karya dengan penonton lukisan ini
nantinya.
Artinya juga, judul pada karya pertama kupikir sebaiknya ikut disesuaikan menjadi
‘You Know What I feel’. Judul-judul tersebut akan lebih tepat, dan bisa
menjembatani posisi penonton dengan subyek-subyek didalam lukisan.
Ide yang bagus. Kamu membagi peran dan membuka pintu masuk buat
penonton bisa menemukan kehadirannya di sana,. Jadi seperti membaca
sebuah novel dengan sudut pandang orang pertama ya...
Kamu membuka pengalamanmu ini untuk bisa dirasakan orang lain sebagai
bagian dari ingatan mereka.
Seperti itu, mas Angga... Ada pengaruhnya gak menurutmu?
Nah, ini jadi bisa menjahit untuk kita kembali ke obrolan tentang keluarga tadi
ya.. Dengan begini, jadi makin terasa, termasuk juga tentang perubahan, dan
perputaran waktu yang makin terasa sirkular, sebuah siklus. Perubahan sudut
pandang dari diri sendiri, kemudian kamu juga berfikir ketika kamu sebagai
orang lain yang melihat dirimu. Ini seperti spiral yang menarikmu ke dalam.
Sekarang, sebagai bagian dari keluarga, apa yang kamu alami, atau rasakan?
Keluarga dalam konteks ini, adalah keluarga dalam artian yang terkecil sampai
pada tradisi kita tentang pembayangan sebuah keluarga besar tadi: negara?
Dalam konteks Bali, ketika berbicara tentang keluarga, itu seperti
sebuah sejarah yang mendarah daging. Keluarga sudah seperti sesuatu
yang menubuh. Tampak sekali misal ketika orang Bali jauh dari
rumahnya, dia akan merasa kering. Pertama, karena dia jauh dari tanah
dalam pengertian adat, lalu jauh dari darah dalam pengertian ruh.
Penghayatan-penghayatan itu yang tertanam dalam sirkulasi tubuh
orang Bali.
Dalam konteks pengalaman, keluarga Bali harus berada di kampungnya,
karena berhadapan dengan adat, dan sirukulasi Roh. Di satu sisi dia
berhadapan dengan negara, dalam konteks basis, yaitu ekonomi. Tubuh
orang Bali mendapat tarikan-tarikan ini, di mana dia harus bekerja,
sekolah, melakukan aktivitas-aktivitas praktis. Dan bisa dibilang berada
di posisi "antara". Jika dalam lingkungan rumah itu berada dalam
tataran mikro, maka di ruang macam ini apa yang kusebut dengan
meso.
Sejarah tubuh orang Bali merupakan dimensi mikro, dan ketika dia
harus keluar dan bernegosiasi dengan ‘negara’, dengan realitas yang
lebih materiil, maka dia akan berada dalam dimensi yang bisa kita
sebut meso, ruang antara. Pertanyaanya, sejauh mana aspek roh, adat
dan negara saling bernegosiasi? apakah dia membuatmu tercerabut,
atau justru membawamu pada penafsiran baru?
Negara, kehadiranya seolah olah bisa disentuh, juga seperti suara-suara
yang bisa diraih. Nah, kehadiran negara semacam ini dan menjadi
seorang Bali dalam konteks bernegara adalah menjadi seorang Bali
yang dihadapakan atas ilusi dalam ilusi dalam ilusi (halusinasi akut).
Ya, apa yang tampak sederhana sebenarnya punya dimensi
kompleksnya sendiri.
Aku merasa, sedikit ‘ingkar’ atas apa yang kupikirkan tentang topik besar,
artinya, aku melihat proses melukis tak selalu sejalan pada topik sebenarnya.
Nah , kalau gitu boleh ini digali lebih dalam?
Bisa kamu ceritakan lebih jauh kenapa dalam ‘I Know How You Feel’, sang
nenek kamu pilih menjadi figur yang menghantarkan narasimu?
Lebih tepatnya lagi, Sang Nenek dalam setting dan peristiwa seperti yang
kamu hadirkan di lukisanmu lebih detailnya, ya…bersama dua ekor anjing
yang tampak bersahabat dan saling menjaga. Sang nenek yang berjalan
dengan tenang di tengah padang rumput kala senja, ketika burung-burung
mulai terbang kembali ke sarangnya. Lukisan ini buatku terasa sangat
puitis, dan reflektif…
Aku sangat dekat dengan nenekku. Dia adalah sosok yang paling dekat
denganku, ada warna-warna kain, ada wangi minyak rambut yang bisa
kuingat, suasana yang sangat akrab dan hangat.
Idenya berangkat dari salah satu kakawin di Bali yang berjudul
Sangkan-Paran, lagu tentang perjalanan kematian, dimana ‘ruh’ seseorang
yang meninggal akan kembali menjadi bagian dari alam semesta dan kembali
ke alam [Swah-Loka], Siwa sebagai sang pencipta.
‘Kala’ adalah percakapan yang tak berujung.
Ngopi neh sik...
(Hening sejenak)
(Menyeruput kopi)
(Kembali hening.)
(Saya menyalakan sebatang rokok.)
Sekarang, apa ekspektasimu atas karyamu ini?
Buatku ini lebih seperti proses ke dalam. Aku ingin bisa lebih mengolah
rasa lewat karya-karyaku. Sekarang aku melihat proses berkarya adalah
bagian dari caraku untuk berfikir reflektif.
Terkait dengan itu, bisa kamu ceritakan tentang bahasa visual yang
kamu gunakan?
Awalnya aku cukup mengikuti idiom rupa yang realis, namun aku
kemudian jadi terlampau realistik. Terjebak pada cara menggambar
yang seperti itu. Nah sekarang aku coba lebih membebaskan diri, dan
menyederhanakannya. Misalnya anatomi sendiri tidak menjadi
volumetris. Pencahayaan tidak muncul seperti dalam cara berfikir realis
yang dulu sangat aku sukai. Aku menyusun elemen-elemen dalam
lukisanku seperti menyusun gambar wayang, cenderung flat dan
deskriptif. Tapi di sini aku tidak ingin terlalu hirarkis seperti dalam
wayang yang kupahami dari wayang klasik di Bali. Apa yang kulakukan
sekarang berlawanan dengan apa yang kumaknai dari rupa realis yang
dulu kupegang.
Nah, lalu apa yang dalam proses penciptaan karya kali ini berusaha
kamu hadirkan?
Aku ingin mengajak orang untuk bisa ikut merasakan dan mengalami.
Dengan pilihan dimensi dan komposisi yang kupakai ini. Satu sisi aku
merombak cara berfikirku yang dulu sangat realis, yang cenderung
meniru keaslian, nah kali ini aku lebih ingin menghadirkan pengalaman
keterlibatan melalui pendekatan macam ini. Aku ingin mengajak orang
untuk seolah-olah bisa merasakan kehadirannya di sana (dalam
lukisanku). Jadi yang kupirkan tidak melulu apa yang terucap. Proses
itulah yang kurasakan ketika ketemu orang.
Buatmu saat ini, adakah pertanyaan yang mengganjal?
Ya, terlepas dari konteks keluarga…
Masih relevankah kita bicara estetika?
Bagaimana menurutmu?
Menurutku estetika, seperti halnya kebudayaan, dia pasti
berkembang. Alih-alih beku, kaku dan statis, justru dia dinamis,
berkembang seturut manusia dan jamannya, seturut wacana dalam
konteks sekarang. Estetika juga ada di wilayah sana. Itu yang
kupercayai ya. Kontes wacana jaman sekarang banyak sekali, lalu
estetika juga ikut ambil bagian dalam pergulatan itu. Estetika yang
kumaknai sekarang, bahwa dia sudah merasuk juga di wilayah
gagasan, bangunan konsep dan ide, termasuk juga bahkan
metodologi, jadi tidak lagi melulu materiil, apa yang nampak.
Demikianlah keimananku akan estetika. Karena misal masih terpaku
pada prinsip estetika yang kaku dan lama, bagaimana kita bisa
membaca karya-karya yang sekarang jauh lebih eksperimental,
kompleks dan mungkin secara bentuk makin sulit didefinisikan, tapi
di sisi lain, karya itu rupanya bisa berbicara dan membicarakan
problem banyak orang. Dalam kepercayaanku, kalau estetika sendiri
berhenti dan tidak berkembang, bukannya kesenian ikut berhenti?
Kalau buatmu bagaimana?
Timoteus Anggawan Kusno adalah seniman visual sekaligus peneliti yang bekerja dengan pendekatan lintas disiplin. Ia menyelesaikan studi di Ilmu Komunikasi UGM, saat ini melanjutkan studi di Ilmu Religi dan Budaya USD.
surat elektronik: [email protected] website: www.takusno.com
Dewa Ngakan Made ArdanaLahir di Bali 1980, tinggal dan bekerja di Jogjakarta.
Dia menyelesaikan kuliah terakhirnya di Institut Seni Indonesia, di Denpasar Bali. Pada tahun 2001 dia bergabung dengan kelompok seni Taxu , sebuah grup alternatif yang berdiri pada tahun 2001 yang banyak mempertanyakan persoalan ke-Balian pada pendekatan-pendekatan berkesenian pada praktik seni rupa di Bali. Kecenderungan karyanya ardana pada awal-awal tahun 2003 ditandai dengan komposisi gambar-gambar bawang, yang mana, pada saat itu, dia memakai pendekatan idiom rupa realistik untuk menyampaikan pandangan-pandangan dia tentang lukisan abstrak. Setelah mengerjakan lukisan-lukisan bercorak bawang, perpindahanya dari Bali ke Jogjakarta adalah keputusan yang sulit baginya, ada masa-masa transisi yang dialaminya yang pada saat itu dia banyak mengisi kekosongan gagasannya dengan melukis obyek-obyek yang terdapat di dalam Museum Kraton Yogyakarta. Antara tahun 2013 2014 dia banyak mengeksplorasi tema-tema keluarga pada karyanya, yang terinspirasi pada pertanyaan sederhananya tentang apa ’’rumah’’ sebenarnya, terutama dalam pandangannya dia selama ini ketika dia menetap di Yogyakarta. Dari rangkaian prosesnya ini, saat ini dia sedang mencari dan mencoba mengeksplorasi gagasan-gagasan tentang ’waktu’.
Tentang kami
Forum Ceblang Ceblung adalah sebuah pelantar untuk pertukaran antara 21 pekerja seni dari beragam latar belakang dan praktik artistik. Dibentuk pada Januari 2013, hakikat bentuk forum ini adalah menjadi sebuah gelanggang di mana suara-suara didengarkan, beragam khasanah diperdebatkan, pengalaman artistik dikisahkan, dan gagasan-gagasan baru dikedepankan, dengan kebutuhan bertukar pengetahuan dan merawat percakapan jangka panjang antar setiap anggota.
Ceblang Ceblung adalah sebuah onomatope suara benda atau apapun yang dilempar ke air berikut dengan pengaruhnya. Ungkapan Jawa ini digunakan untuk menunjuk pada percakapan yang tidak terarah dan perihal apapun bisa diajukan. Forum ini percaya bahwa semangat dari ungkapan ini sekarang diperlukan untuk menjaga dinamika perkembangan ranah seni rupa kontemporer. Aksi “kberceblang-ceblung” berarti terus-menerus melempar gagasan pada satu sama lain di dalam forum ini sebagai upaya melihat kemungkinan-kemungkinan lahirnya pelantar baru dalam penciptaan karya seni dan, pada waktu yang bersamaan, bentuk-bentuk kerja sama dengan yang lain.
Abdi Setiawan // Ade Darmawan // Budi Kustarto // Dodo Hartoko // Dwi Setianto // Eddie Prabandono // Grace Samboh // Handiwirman Saputra // Jim Allen Abel // Jumaldi Alfi // Kokok P. Sancoko // M.Irfan // Nasirun // Ngakan Ardana // Pius Sigit Kuncoro // Rudi Hendriatno // S.Teddy D. // Setu Legi // Wimo Ambala Bayang // Yuli Prayitno // Yusra Martunus
Tuhan yang Maha Esa
Lita Ambarwati dan Padma Pradhanika
Biyang Ian Aji
Ibu Hj. Supriyati
Keluarga semua
BKdP dan Bpk. Handiwirman sekeluarga
Kawan-Kawan FCC: Abdi Setiawan, Ade Darmawan, Budi Kustarto, Dodo Hartoko, Dwi Setianto, Eddie Prabandono, Grace Samboh, Handiwirman Saputra, Jim Allen Abel, Jumaldi Alfi, Kokok P. Sancoko, M.Irfan, Nasirun, Pius Sigit Kuncoro, Rudi Hendriatno, S.Teddy D., Setu Legi, Wimo Ambala Bayang, Yuli Prayitno, Yusra Martunus
Timoteus Anggawan Kusno
Jompet
Mba Yani, Mba Titik, Mas Dodo sekeluarga
Adelina Luft
Ucapan Terima Kasih kepada: