KATA PENGANTAR - … file · Web viewIlmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain...
Transcript of KATA PENGANTAR - … file · Web viewIlmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain...
MAKALAH ALIRAN DALAM ILMU KALAM
KLASIK (MU’TAZILAH)
Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Cecep Hilman, S.Pd.I, M.Pd
Oleh kelompok 5 (Lima) :
Eneng Sofa Prameswara
Hanipa Muzdalipah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUKABUMI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Jl. Lio Balandongan Simagalih (Beugeg) No. 74 Kel. Cikondang Kec. Citamiang
Kota Sukabumi 2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
serta hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “ALIRAN
DALAM ILMU KALAM KLASIK MU’TAZILAH”.
Dalam penyusunannya penulis memperoleh banyak bantuan serta
dukungan dari berbagai pihak oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih
kepada Dosen Pengampu Bapak Cecep Hilman, kepada orang tua, dan segenap
keluarga besar yang telah memberikan dorongan agar tetap maju, serta teman
mahasiswa yang telah memberikan semangat. Dari sanalah kesuksesan berawal,
semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada
langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis
berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Sukabumi, 04 Oktober 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................
A. Latar Belakang Masalah..............................................................................
B. Rumusan Masalah.........................................................................................
C. Tujuan Penulisan Makalah..........................................................................
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................
A. Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah...................................................
B. Ajaran aliran Mu’tazilah.............................................................................
1. At-Tauhid...................................................................................................
2. Al-adl..........................................................................................................
3. Al-Wa’d wa al-wa’id.................................................................................
4. Al-Manzilah bain al-manzilatain.............................................................
5. Al-Amr bin Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar...................................
C. Tokoh-tokoh Mu’tazilah...............................................................................
a. Wasil bin’ Ata al-Ghazzal (80-131 H atau 699 M)................................
b. Abu Al-Huzail Al-Allaf (135- 226 H atau 753- 840 M)........................
c. Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam (wafat 231 H atau 845 M)................
d. Mu’ammar bin Abbad as-Sulmay (wafat 220 H/ 835 M)....................
e. Bisyr bin al-Mu’tamir (wafat 226 H/ 840 M)........................................
f. Jahiz Amr bin Bahr (wafat 255 H/ 808M).............................................
BAB III PENUTUP...................................................................................................
A. Kesimpulan....................................................................................................
B. Saran..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain ilmu
ushuludin, ilmu tauhid, fiqh al-akbar, dan teologi islam. Disebut ilmu
ushuluddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama (ushuludin),
disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah SWT.
Secara historis ilmu kalam bersumber pada al-qur’an, hadits,
pemikiran manusia, dan instink. Ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang
mempunyai obyek tersendiri, tersistematiskan, dan mempunyai
metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Musthafa Abd Ar-Raziq bahwa
ilmu ini bermula ditangan pemikir Mu’tazilah, Abu Hasyim, dan
kawannya Imam Al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.
Menurut Harum Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu
oleh persoalan politik. Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam
yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa
yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari islam dan siapa
yang masih tetap dalam islam.
Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam
yaitu: Aliran khawarij, aliran murji’ah,dan aliran mu’tazilah. Dan dengan
itu makalah kami akan menjelaskan mengenai aliran mu’tazilah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang munculnya Mu’tazilah?
2. Apa saja ajaran-ajaran Mu’tazilah?
3. Siapa saja tokoh pendiri Mu’tazilah?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Mengetahui latar belakang munculnya Mu’tazilah.
2. Mengetahui ajaran-ajaran Mu’tazilah.
3. Mengetahui tokoh-tokoh pendiri Mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti
“berpisah” atau “memisahkan diri”. Secara teknis, istilah Mu’tazilah dapat
menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik
murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khusunya dalam
arti sikap yang lunak dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi
Thalib dan lawan-lawanya, terutama Mu’awiyah, Aisyah dan Abdullah bin
Zubair. Menurut penulis, golongan yang netral politik masa inilah yang
sesungguhnya disebut kaum mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri
dari pertikaian masalah khilafah.
Golongan kedua (mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan
teologis yang berkembang dikalangan khawarij dan murji’ah karena
peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat
dengan golongan khawarij dan murji’ah tentang pemberian status kafir
kepada orang yang berbuat dosa besar.
Nama “Mu’tazilah” bukan ciptaan orang-orang Mu’tazilah sendiri,
tetapi diberikan oleh orang-orang lain. Orang-orang Mu’tazilah
menamakan dirinya “ahli keadilan dan keesaan” (ahlul adli wat tauhid).
Nama Mu’tazilah diberikan karena:
a. Orang-orang Mu’tazilah menyalahi pendapat sebagian besar
ummat karena mereka (orang-orang Mu’tazilah) mengatakan bahwa
orang fasik, yaitu orang yang melakukan dosa besar, tidak mu’min
tidak pula kafir.
b. Wasilbin Ata’, pendiri aliran Mu’tazilah berbeda pendapat
dengan gurunya yaitu Hasan Basri, dalam soal tersebut diatas,
karenanya ia memisahkan diri dari pelajaran yang diadakan gurunya
dan berdiri sendiri kemudian mendapat pengikut banyak. Kemudian
Hasan Basri berkata “Wasil telah memisahkan diri dari kami”, sejak
saat itu maka wasil dan teman-temanya disebut “golongan yang
memisahkan diri” (Mu’tazilah)
c. Ahmad Amin dalam bukunya (Fajar Islam 1/344) berpendapat
bahwa mula-mula memberikan nama “Mu’tazilah” adalah orang-orang
Yahudi, pada abad ke empat atau ketiga sebelum lahir Isa timbulah
golongan Yahudi “PHARISSE”yang artinya “memisahkan diri” (dari
bahasa Ibrani, parash; to separate). Sebutan ini dipakai untuk orang
Mu’tazilah, bahwa pharisse mirip dengan golongan mu’tazilah,
yaitu bahwa semua perbuatan bukan Tuhan yang mengadakanya.
Akan tetapi pendapat ini kurang tepat,karena motif berdirinya
golongan pharisse berlainan dengan motif berdirinya golongan
mu’tazilah.
Golongan-golongan yang mempengaruhi aliran Mu’tazilah :
a. John of Damascus (676-749)
Teori ini mengatakan bahwa Tuhan zat yang baik, menjadi sumber
segala kebaikan dan tidak dapat mengerjakan keburukan. Tuhan tidak
mempunyai sifat-sifat yang bias menimbulkan pengertian bilangan,
gambaran-gambaran yang dilakukan oleh kitab suci ketika
membicarakan Tuhan hanyalah sebagai lambang semata,agar manusia
dapat mudah memahaminya, manusia bebas berbuat dan memilih
yang karenanya ia diminta pertanggungan jawab.
b. Tsabit Bin Qurroh
Diambil dari teori pemujaan kekuatan akal, dengan akal pikiran
semata-mata manusia mengetahui adanya Tuhan, dengan akal pikiran
pula ia dapat mengetahui baik dan buruk, dan dari Tsabit pula diambil
pula cara-cara pembenaran agama dengan alasan-alasan fikiran.
B. Ajaran aliran Mu’tazilah
Kelima ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khomsah
yaitu:
1. At-Tauhid
At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dalam
intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam
islam memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah tauhid memiliki
arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang
dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Oleh karena itu, hanya
dialah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah
terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).
Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), mu’tazilah menolak
konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat
bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satupun yang menyerupai-Nya. Dia
Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui, dan sebagainya.
Namun mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat
melainkan dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang
melekat. Bila sifat tuhan yang qadim, berarti ada dua yang qadim,
yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin ata, seperti dikutip oleh Asy-
Syahrastani mengatakan, “siapa yang mengatakan sifat yang qadim
berarti telah menduakan Tuhan.” Ini tidak dapat diterima karna
merupakan perbuatan syirik.
Doktrin tauhid mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak
ada satupun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya,
tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tuhan adalah immater. Oleh
karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang
mengesakan adanya kejisiman Tuhan, bagi mu’tazilah, tidak dapat
diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Mahasuci Tuhan dari
penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Tegasnya, mu’tazilah
menolak antropomorfisme.
2. Al-adl
Ajaran dasat mu’tazilah adalah al-adl yang berarti Tuhan Maha
Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk
menunjukan kesempurnaan. Karena Tuhan Maha Sempurna, Dia sudah
pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar
adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini
sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan
dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (Ash-shalah) dan
terbaik (Al-ashlah) dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu
adil bila tidak melanggar janji-Nya. Dengan demikian, Tuhan terikat
dengan janji-Nya.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal
antara lain:
a). Perbuatan Manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan
perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaaan
Tuhan, baik secara langsung maupun tidak. Manusia benar-
benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya baik atau
buruk, akan tetapi perlu diketahui tuhan hanya menyuruh dan
menghendaki yang baik bukan yang buruk.
b). Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah arab berbuat baik dan terbaik disebut Ash-
Shalah wa Al-Ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan
untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Menurut An-
Nazzam salah satu tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat
berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan ,
kemurahan, dan kepengasihan Tuhan yaitu sifat-sifat yang
layak baginya.
c). Mengutus Rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban
Tuhan karena alasan-alasan berikut ini.
(1). Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia an hal itu
tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada
mereka.
(2). Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan
untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S. Asy-
Syu’ara [26]:29). Cara yang terbaik untukmaksud tersebut
adalah dengan pengutusan rasul.
(3). Tujuan diciptakan manusia untuk beribadah kepada-
Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain
mengutus rasul.
3. Al-Wa’d wa al-wa’id
Al-Wa’d wa Al-wa’di berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha
Adil dan Maha Bijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan
Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala
surga bagi yang berbuat baik (Al-muthi) dan mengancam dengan siksa
neraka atas orang yang durhaka (Al-Ashi). Begitu pula janji Tuhan
untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti
benar adanya.
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik
akan dibalas dengan kebaikan, siapapun akan berbuat jahat akan
dibalasnya dengan siksa yang sangat pedih.
Ajaran ke tiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain
menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan
menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang sudah bertobat
nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia tobat.
Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk
neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar sedangkan terhadap
dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya. Ajaran ini tampaknya
bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan
perbuatan dosa.
4. Al-Manzilah bain al-manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab
mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin)
yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, khawarij
menganggap orang tersebut sebagai orang kafir bahkan musyik,
sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan
dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Boleh jadi dosa
tersebut diampuni Tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Ata (pendiri
mazhab mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut berada
diantara dua posisi (Al-Manzilah bain al-manzilatain). Karna ajaran
inilah, Wasil bin Ata dan sahabatnya Amir bin Ubaid harus
memisahkan diri (i’tizal) dari majelis gurunya, Hasan Al Basri.
Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhab nya.
Menurut pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat
dikatakan sebagai mukmin mutlak. Hal ini karena keimanan menurut
adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan
pembenaaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan
kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak
karna ia masih percaya kepada Tuhan , rasu-Nya, dan mengerjakan
pekerjaan yang baik. Hanya saja kalau meninggal sebelum bertaubat ,
ia dimasukkan ke neraka dan kekal didalamnya. Orang mukmin masuk
surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasik pun dimasukkan ke
neraka, hanya saja siksaanya lebih ringan dari pada orang kafir.
Mengapa ia tidak dimasukkan ke surga dengan “kelas” yang lebih
rendah dari mukmin sejati? Tampaknya disini mu’tazilah ingin
mendorong agar manusia tidak menyepelekan perbuatan dosa,
terutama dosa besar.
5. Al-Amr bin Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan
melarang kemunkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakkan kepada
kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari
keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan
perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan
mencegahnya dari kejahatan.
Beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam ber-
amar ma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah
seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu:
(1) Ia mengetahui perbuatan yang harus itu ma’ruf dan yang
dilarang itu munkar.
(2) Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan
orang.
(3) Ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf atau nahi
munkar tidak akan membawa madharat yang lebih besar.
(4) Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakanya
tidak akan membahayakan diri dan hartanya.
Perbedaan madzhab mu’tazilah dengan madzhab lain mengenai
ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaanya. Menurut
mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk
mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan
yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran ajarannya.
C. Tokoh-tokoh Mu’tazilah
a. Wasil bin’ Ata al-Ghazzal (80-131 H atau 699 M)
Ia adalah pendiri aliran mu’tazilah dan yang meletakkan ajaran-
ajaran yang lima yang menjadi dasar semua golongan mu’tazilah.
Kebanyakan pendapat-pendapatnya belum matang.
b. Abu Al-Huzail Al-Allaf (135- 226 H atau 753- 840 M)
Ia menjadi pemimpin aliran mu’tazilah basrah. Ia mempelajari
buku-buku Yunani dan banyak terpengaruh dengan buku-buku itu. Karena
dialah aliran mu’tazilah mengalami kepesatan. Pendapat-pendapanya
antara lain:
1). Tentang aradl, dinamakan ardl bukan karena mendatang pada
benda-benda, karena banayak aradl yang terdapat bukan pada
benda, seperti waktu, abadi dan hancur. Ada aradl yang abadi dan
ada yang tidak abadi.
2). Menetapkan adanya bagian-bagian yang tidak dapat dibagi-bagi
lagi.
3). Gerak dan diam, benda yang banyak bagian-bagianya bisa
bergerak dengan satu bagian yang bergerak. Menurut
mutakallimin. Hanya itu sendiri yang bergerak.
4). Hakekat manusia, hakekatnya adalah badanya, bukan
jiwanya (nafs atau rukh)
5). Gerak penghuni surga dan neraka, gerak- gerik mereka akan
menjadi ketenangan (diam). Didalam ketenangan ini terkumpul
semua kesenangan dan siksaan.
6). Qadr, manusia biasa mengadakan perbuatan-perbuatannya di
dunia, akan tetapi kalau sudah berada di akhirat tidak berkuasa
lagi.
7). Khabar tentang sesuatu yang dapat dicapai panca indra hanya
bisa diterima apabila diberitakan oleh 20 orang sekurang-
kurangnya, seorang diantara nya dari ahli surga ( golongan
Mu’tazilah).
c. Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam (wafat 231 H atau 845 M)
Ia adalah murid Abu Huzail al-Allaf, orang terkemuka, lancar
bicara, banyak mendalami filsafat dan banyak karanganya. Beberapa
pendapatnya berlainan dengan orang-orang Mu’tazilah lainya. Pendapat-
pendapatnya antara lain:
1). Tentang benda (jisim); selain gerak, semua yang ada disebut
jisim, termasuk warna dan bau.
2). Tidak mengakui adanya bagian yang tidak dapat dibagi. Ia
mengatakan bahwa sesuatu bagian bagaimanapun kecilnya dapat di
bagi-bagi.
3). Tidak ada “diam” diam hanyalah istilah bahasa, pada
hakekatnya semua yang ada bergerak.
4). Hakekat manusia, hakekat manusia adalah jiwanya, bukan
badanya, badan adalah penjara jiwa, kalua lepas dari badan akan
kembali ke alamnya.
5). Berkumpulnya contradictie dalam suatu tempat, menunjukkan
adanya Tuhan.
6). Teori sembunyi (kumun)
Semua makhluk dijadikan Tuhan sekaligus dalam waktu yang
sama.
7). Berita yang benar adalah yang diriwayatkan oleh imam
ma’sum.
8). I’jaz Qur’an (daya pelemah) terletak pada pemberitaan hal-hal
yang gaib.
d. Mu’ammar bin Abbad as-Sulmay (wafat 220 H/ 835 M)
Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad.
pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama
dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan
benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang
pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika
sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan
oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil
ciptaan Tuhan.
e. Bisyr bin al-Mu’tamir (wafat 226 H/ 840 M)
Pendapatnya antara lain, siapa yang taubat dari sesuatu dosa besar
kemudian mengerjakan dosa besar lagi, ia akan menerima siksa yang
pertama juga, sebab taubatnya dapat diterima dengan syarat tidak
mengulangi lagi. Dengan perkataan lain, siksanya akan berlipat ganda.
f. Jahiz Amr bin Bahr (wafat 255 H/ 808M)
Ia terkenal tajam penanya,banyak karanganya dan gemar membaca
buku-buku filsafat, terutama filsafat alam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kemunculan aliran mu’tazilah dalam pemikiran teologi islam
diawali oleh masalah yaitu mengenai status pelaku dosa besar, apakah
masih beriman atau telah menjadi kafir. Kelima ajaran dasar mu’tazilah
dalam al ushul al khamsah adalah at-tauhid (pengesaan tuhan), al-adl
(keadilan tuhan), al-wa’ad wa al-wa’id (janji dan ancaman tuhan), al
manzilah bain al manzilatain (posisi diantara dua posisi), al amr bi al
ma’ruf wa al nahy an al munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran).
Tokoh tokoh Mu’tazilah antara lain, Wasil bin’ Ata al-Ghazzal,
Abu Al-Huzail Al-Allaf, Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam, Mu’ammar bin
Abbad as-Sulmay, Bisyr bin al-Mu’tamir, Jahiz Amr bin Bahr.
B. Saran
Dengan demikian sebagai penulis makalah ini kami meminta saran
dan kritik karena masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki agar
teman-teman mahasiswa yang membaca ataupun Dosen yang
membimbing agar memberikan masukan demi kesempurnaan penulisan
Makalah yang berjudul ”Aliran Mu’tazilah”.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak Abdul dan Anwar Rosihon. 2012. Ilmu Kalam. Bandung. Pustaka Setia
Hanafi Ahmad. 1995.Theologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta. Pustaka Setia.
[1] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, CV Pustaka
Setia, 2012, hlm. 77.
[2] Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), Pustaka Setia, hlm. 39
[3] Ibid., 46