Kasus perkawinan adat berdasarkan uu no. 1 thn 1974
-
Upload
rizqy-putra -
Category
Documents
-
view
2.842 -
download
9
Transcript of Kasus perkawinan adat berdasarkan uu no. 1 thn 1974
“ Kasus Hukum Perkawinan Adat Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 “
KELOMPOK 7
Disusun Oleh :
1. Readitya Aji
2. Reynald Belfast A
3. Rezha Nugroho
4. Rhesita Bunga P S H
5. Riezdiani Restu W
6. Rismawan Yuda P
7. Riswanda H
8. Rizqi Nurul Awaliyah
9. Rizqy Pratama Putra
DAFTAR ISI :
Latar Belakang Masalah
Tujuan Pembahasan
Rumusan Masalah
EXIT
Latar Belakang MasalahPerkawinan dalam hukum tertulis diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Sedangkan dalam hukum adat (hukum tidak tertulis) ,
aturan mengenai perkawinan tidak berubah dari dulu sampai sekarang.
Dalam aturan yang tercantum dalam hukum tertulis dan tidak tertulis
terdapat perbedaan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku di
Indonesia. Pada umumnya aturan yang berlaku adalah aturan yang terdapat
dalam hukum yang tertulis yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 , akan
tetapi pada masyarakat tertentu masih berlaku hukum tidak tertulis yaitu
hukum adat masing-masing, dan ada pula yang mencampurkan hukum adat
dengan perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974.
Perbedaan yang ada dalam hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis contohnya seperti syarat-syarat seseorang untuk bisa
melangsungkan pernikahan . Pada UU No.1 Tahun 1974 memiliki
beberapa syarat yang tidak tercantum dalam hukum adat , seperti
batas usia melangsungkan perkawinan. Dalam hukum tertulis yang
bisa melangsungkan perkawinan ialah laki-laki yang telah berumur
19 tahun dan wanita yang telah berumur 16 tahun. Sedangkan
dalam hukum adat tidak dapat ketentuan yang mengikat terhadap
batas usia untuk melangsungkan perkawinan. Berdasarkan masalah
yang dikemukakan diatas, penulis tertarik untuk membahasnya lebih
lanjut.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas,
dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
• Bagaimana perbandingan antara aturan perkawinan dibawah
umur menurut UU No. 1 Tahun 1974 dengan aturan menurut
hukum adat?
• Bagaimana analisa teori kasus perkawinan dibawah umur
ditinjau dari perspektif hukum nasional dan hukum adat ?
• Apa tujuan penerapan aturan larangan perkawinan dibawah
umur menurut UU No. 1 Tahun 1974 ?
Tujuan Penelitian 1. Untuk memahami bagaimana konsep dasar perkawinan
dibawah umur dalam hukum adat
2. Untuk mendeskripsikan perbedaan aturan perkawinan
dibawah umur menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan hukum
adat
3. Untuk memahami penerapan hukum nasional dan hukum
adat mengenai kasus perkawinan dibawah umur
4. Untuk mengetahui tujuan larangan perkawinan dibawah
umur menurut UU No. 1 Tahun 1974
Pada kebanyakan daerah adat di Indonesia
memang tidak melarang perkawinan di bawah
umur, seperti pada daerah Kerinci , di Roti dan
pada suku Toraja . Walaupun ada juga yang
melarang seprti Pulau Bali, yang mana jika gadis
yang belum dewasa itu merupakan suatu
perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman.
Perbandingan perkawinan dibawah umur menurut UUP dan hukum
adat
Namun , walaupun dalam hukum adat diperbolehkan, pada
kenyataanya bisa saja tidak terjadi , dikarenakan terhambat oleh ijin
orang tua atau wali dari yang bersangkutan. Biasanya mereka tidak
akan memberi ijin sebelum mereka masing masing mencapai umur
yang pantas , contohnya 16 tahun bagi perempuan dan 18/19 tahun
bagi laki-laki . Apabila terjadi seorang anak perempuan yang berumur
dibawah 16 ataupun laki-laki yang berumur dibawah 18/19 tahun ,
maka setelah menikah akan hidup dirumah mertua dahulu , baru
setelah mencapai umur dewasa akan memisahkan diri dan hidup
berdua secara mandiri terpisah dari orang tua. Perkawinan semacam ini
disebut “kawin-gantung”, di Jawa disebut “gantung-nikah”.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki
pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Namun, meski demikian, undang-
undang ini tidak mencantumkan kriteria kedewasaan bagi seseorang agar
layak melakukan perkawinan. Pasal ini hanya mengatur tentang: izin orang
tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum
mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat (2)), umur minimal untuk diizinkan
melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun
(pasal 7 ayat (1)), anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
pernah kawin, berada didalam kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat (1)).
Analisa Kasus Perkawinan Dibawah Umur Menurut Hukum Adat dan Sistem Hukum
Nasional
Di lain pihak, hukum adat tidak mengatur batasan umur bagi orang untuk
melaksanakan perkawinan. Hukum adat membolehkan perkawinan anak-anak yang
dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak.Hal ini dapat terjadi karena di
dalam hukum adat perkawinan tidak hanya merupakan persatuan kedua belah
mempelai, tetapi juga merupakan persatuan dua buah keluarga kerabat. ( Prof. Dr
Soekanto,SH. Mengatakan bahwa perkawinan bukan hanya suatu peristiwa yang
mengenai mereka yang bersangkutan ( perempuan dan laki-laki yang menikah )
saja, akan tetapi juga bagi orang tuanya, saudara-saudaranya dan keluarganya
(Darmiwati, 2008) ). Perkawinan merupakan perisriwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita
dan pria bakal mempelai saja tetapi juga kedua bekah pihak dari orang tua,
saudara-saudaranya bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Menurut Hilman Hadikusuma, S.H., asas-asas perkawinan menurut hukum adat (Darmiwati, 2008) adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga, rumah-tangga dan
hubungan kerabat yang rukun, damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut agama atau
kepercayaan, tetapi juga harus mendapat persetujuan dari para anggota
kerabat.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita
sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum
adat setempat.
4. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan orang tua dan anggota
kerabat, masyarakat adat dapat menolak kedudukan istri atau suami yang
tidak diakui oleh masyarakat adat setempat.
• Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974, asas-asas perkawinan (Abdulkadir,
2010: 69) antara lain asas sukarela, asas partisipasi keluarga, asas perceraian
dipersulit, asas poligami dibatasi dengan ketat, asas kematangan calon mempelai,
asas perbaikan drajat kaum wanita, dan asas keharusan pencatatan perkawinan
dan perceraian dengan ancaman hukuman bagi pelanggarnya, baik calon
mempelai maupun pejabat pencatat perkawinan dan perceraian.
• Dikalangan masyarakat adat yang masih kuat memepertahankan prinsip
kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan, bahwa fungsi dari suatu perkawinan
merupakan suatu sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah
jauh atau retak, perkawinan merupakan sarana pendekatan dan perdamaian
antar kerabat dan begitu pula dengan perkawinan itu bersangkut paut dengan
masalah kedudukan, harta kekayaan dan masalah pewarisan.
Setiap UU yang dibuat pasti ada maksud
didalamnya, yang ditujukan untuk keadilan masyarakat
umum seperti dalam UU perkawinan yang
mencantumkan adanya batas usia minimum untuk
melangsungkan perkawinan dan secara tidak langsung
melarang adanya perkawinan dibawah umur.
Larangan tersebut dibuat karena adanya beberapa
faktor, antara lain:
Tujuan penerapan larangan perkawinan dibawah umur
menurut UUP
I. Dilihat dari segi Biologis
Seorang perempuan yang menikah dibawah umur kurang dari 15
tahun memiliki banyak resiko, sekalipun ia sudah mengalami
menstruasi atau haid. Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh
perkawinan dibawah umur ini, yakni dampak pada kandungan dan
kebidanannya. Penyakit kandungan yang banyak diderita wanita yang
menikah usia dini antara lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut
rahim. Hal ini terjadi karena terjadinya masa peralihan sel anak-anak ke
sel dewasa yang terlalu cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan
sel yang tumbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19
tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh para ahli,
rata-rata penderita infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah wanita
yang menikah dibawah umur atau dibawah usia 19 tahun. Untuk resiko
kebidanan, wanita yang hamil di bawah usia 19 tahun dapat beresiko pada
kematian. Resiko lain selanjutnya, hamil di usia muda juga rentan terjadinya
pendarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa kehamilan.
Dengan demikian dilihat dari segi kesehatan atau medis, pernikahan
dini akan membawa banyak kerugian. Oleh karena itu, orang tua wajib berpikir
matang jika ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Bahkan
pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan psikis dan seks
bagi anak yang kemudian dapat mengalami trauma.
II. Dilihat dari segi Psikologis
Ditinjau dari segi psikologi perkawinan dibawah
umur dapat membuat kehidupan rumah tangga tidak
harmonis. Hal ini dikarenakan pada usia muda emosi
seseorang masih labil atau tidak terkendali, gejolak darah
muda dan cara berpikir yang cenderung belum
memikirkan satu langkah kedepan. Selain itu juga dalam
mengatasi masalah atau problema rumah tangga tidak
bijaksana sehingga lebih mementingkan ego masing-
masing.
III. Dilihat dari segi Kependudukan
Dari segi kependudukan perkawinan dibawah umur menimbulkan
dampak dalam pertumbuhan penduduk di Indonesia. Dengan terjadinya
perkawinan dibawah umur maka angka kelahiran akan meningkat dengan
cepat. Sehingga membuat peningkatan penduduk secara nasional akan lebih
cepat. Hal ini membuat pemerintah dalam menyiapkan kebutuhan untuk
penduduk akan terganggu dan akan terjadi ketidakseimbangan antara faktor-
faktor pendukungnya, antara lain yaitu kebutuhan akan sembako, listrik,
sarana umum, transportasi, dan lain-lain. Selain itu beban bagi pemerintah
dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk akan semakin bertambah,
misalnya dengan peningkatan pertumbuhan penduduk maka anggaran
pemerintah dalam menjamin kesehatan (BPJS) semakin bertambah.
Sekian presentasi dari kami
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.