KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN
-
Upload
annisaa-ira-wahdini -
Category
Documents
-
view
408 -
download
25
description
Transcript of KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN
SKRIPSI
KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN
Oleh HAMIGIA ZULKHAIR
F24050962
2009
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
SKRIPSI
KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh HAMIGIA ZULKHAIR
F24050962
2009
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH
JAGUNG YANG DIHASILKAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh HAMIGIA ZULKHAIR
F24050962
Dilahirkan pada tanggal 28 Oktober 1986
Di Solok
Tanggal lulus : 31 Juli 2009
Menyetujui,
Bogor, 31 Juli 2009
Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc Tjahja Muhandri, S.TP, MT
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Dahrul Syah
Ketua Departemen
Hamigia Zulkhair. F24050962. Karakterisasi Tepung Jagung Lokal dan Mie Basah Jagung yang Dihasilkan. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc dan Tjahja Muhandri, STP, MT.
RINGKASAN
Jagung merupakan salah satu komoditi lokal Indonesia yang sangat berpotensi untuk dikembangkan terutama dalam upaya diversifikasi pangan. Salah satunya dengan diolah menjadi mie jagung. Varietas jagung yang digunakan merupakan varietas jagung unggulan nasional yang diharapkan mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie basah jagung. Penelitian ini berguna untuk meningkatkan nilai tambah jagung unggul nasional dan untuk menyediakan database varietas jagung lokal yang cocok untuk dijadikan mie jagung.
Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu penepungan, karakterisasi tepung jagung, pembuatan mie basah jagung, analisa mie secara fisik, penambahan guar gum dan pembandingan hasil analisa mie dengan dan tanpa guar gum, serta penentuan varietas jagung lokal yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung. Penepungan jagung menggunakan metode penggilingan kering. Mie basah jagung dibuat dengan menggunakan ekstruder model MS9, Multifunctional noodle modality machine. Mie dibuat dengan menggunakan tekanan secara manual. Pengukuran besarnya tekanan yang diberikan sulit dilakukan, sehingga yang diukur adalah waktu (laju) pengisian (filing rate).
Karakterisasi tepung jagung berdasarkan sifat fisiko-kimia memiliki pH 5.83 - 6.67, warna kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan (L) 87.07 - 88.81, kadar air 9.95 - 15.04% bk, kadar abu 0.55 - 0.83% bk, kadar lemak 1.62 - 1.85 % bk, kadar protein 8.96 - 9.20% bk, kadar karbohidrat 88.11 - 88.87% bk, kadar pati 71.69 - 75.70% bk, kadar amilosa 23.06 - 27.68% bk, dan kadar amilopektin 44.10 - 52.64% bk. Tepung jagung memiliki suhu awal gelatinisasi 72.0 - 73.5˚C, viskositas maksimum 222.50 - 462.50 BU, viskositas akhir 280 - 580 BU, breakdown viscosity 5.0 - 92.5 BU, dan setback viscosity 45.00 - 102.50 BU; water absorption capacity 1.34 - 1.69 (g/g) bk, kelarutan 5.00 - 7.92% dan swelling volume 7.53 - 9.30 (ml/g) bk.
Filling rate diukur berdasarkan waktu sejak mie keluar pertama kali dari die sampai habis. Persen elongasi mie dan KPAP mie basah jagung tanpa tekanan adalah sebesar 108.46% dan 7.15%. Sedangkan dengan pemberian tekanan secara manual, persen elongasi dan KPAP sebesar 126.29% dan 5.56%. Hasil analisa ini juga didukung oleh hasil analisa mikrostruktur menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). Hasil SEM menyatakan mie basah jagung dengan pemberian tekanan memiliki matriks pati yang lebih seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula lebih tinggi dibandingkan mie basah jagung tanpa tekanan. Ikatan antar granula yang kuat dapat meningkatkan nilai persen elongasi dan menurunkan KPAP. Selanjutnya pada penelitian utama, pembuatan mie basah jagung dilakukan dengan pemberian tekanan secara manual.
Pada penelitian utama selain dilakukan pembuatan mie basah jagung dilakukan dengan pemberian tekanan secara manual juga diberikan perlakuan penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) jenis guar gum sebanyak 1%. Kemudian hasil analisa mie basah jagung tanpa penambahan guar gum dibandingkan dengan mie basah jagung dengan penambahan guar gum. Analisa sifat fisik yang dilakukan tidak hanya pada parameter mutu inti mie basah, yaitu persen elongasi dan KPAP, tetapi juga analisa tambahan yang dapat memberikan nilai tambah pada mie basah jagung, yaitu warna dan tensile strength. Analisa persen elongasi dan tensile strength juga dilakukan dalam dua metode, yaitu metode celup dan rebus. Hal ini dilakukan sesuai dengan aplikasi mie basah sebagai mie bakso (metode celup) dan mie ayam (metode rebus).
Persen elongasi mie basah jagung tanpa penambahan guar gum metode celup 58.70 - 95.43% dan metode rebus 26,17 - 40.23; KPAP 5.06 - 6.92%; tensile strength metode celup 42.50 - 202.50 kgf dan metode rebus 25.50 -112.50 kgf; dan warna mie basah jagung kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan cukup tinggi. Nilai persen elongasi dengan penambahan guar gum metode celup 81.80 - 106.245 dan metode rebus 35.28 - 61.49%; KPAP 4.23 - 4.61%; tensile strength metode celup 71.00 - 252.13 kgf dan metode rebus 27.50 - 131.50 kgf; dan warna mie basah jagung kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan cukup tinggi. Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa dengan penambahan guar gum dapat memperbaiki karakteristik mie basah jagung yang dihasilkan khususnya meningkatkan hasil parameter inti dari mie basah jagung yang dihasilkan dan tensile strength. Warna mie basah jagung tidak terlalu berpengaruh terhadap penambahan guar gum. Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa dengan penambahan guar gum dapat memperbaiki karakteristik mie basah jagung yang dihasilkan khususnya pada parameter mutu persen elongasi dan KPAP.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa varietas tepung jagung terbaik yang cocok untuk dibuat menjadi mie jagung adalah varietas Lamuru. Tepung jagung varietas Lamuru menghasilkan nilai terbaik pada analisa sifat fisik yang menjadi parameter mutu inti mie basah, yaitu persen elongasi paling tinggi dan KPAP rendah. Tepung jagung varietas Lamuru akan menghasilkan mie basah jagung yang lebih baik jika dilakukan penambahan bahan tambahan pangan jenis guar gum sebanyak 1%.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii
I. PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Tujuan.................................................................................................. 3
C. Manfaat................................................................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 4
A. Jagung ................................................................................................. 4
1. Deskripsi dan Jenis-Jenis Tanaman Jagung .................................... 4
2. Morfologi dan Anatomi Tanaman jagung ....................................... 5
3. Komposisi Kimi Jagung .................................................................. 6
4. Jagung Varietas Unggul Nasional ................................................... 7
B. Tepung Jagung .................................................................................... 8
C. Pati Jagung .......................................................................................... 9
1. Karakteristik Pati............................................................................. 9
2. Hubungan Amilosa dan Amilopektin dengan Reologi Mie ............ 9
D. Gelatinisasi.......................................................................................... 10
1. Konsep Gelatinisasi......................................................................... 11
2. Mekanisme Gelatinisasi................................................................... 12
3. Suhu Gelatinisasi ............................................................................. 25
E. Mie Basah ........................................................................................... 13
F. Mie Basah Jagung ............................................................................... 16
G. Reologi Mie Basah.............................................................................. 18
H. Ekstrusi................................................................................................ 19
1. Ekstruder ......................................................................................... 19
2. Proses Ekstrusi................................................................................. 21
I. Scanning Electron Microscope (SEM) ............................................... 21
III. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 24
A. Bahan dan Alat.................................................................................... 24
B. Metode Penelitian ............................................................................... 24
1. Penelitian Pendahuluan ................................................................... 25
2. Penelitian Utama ............................................................................. 31
C. Metode Analisa ................................................................................... 32
1. Analisa Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung Jagung.............. 32
a. Analisa pH (Derajat Keasaman)............................................... 32
b. Analisa Warna Metode Hunter.................................................. 32
c. Analisa Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992) ............. 33
d. Analisa Kadar Abu Metode Pengabuan Kering ........................ 33
e. Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl................................... 34
f. Analisa Kadar Lemak, Metode Soxhlet..................................... 34
g. Analisis Kadar Karbohidrat by Difference................................ 35
h. Analisis Kadar Pati Metode Luff Schoorl ................................. 36
i. Analisis Kadar Amilosa Metode IRRI ....................................... 37
2. Analisa Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Jagung .................. 38
a. Sifat Amilografi......................................................................... 39
b. Water Absorption Capasity (WAC).......................................... 39
c. Kelarutan ................................................................................... 40
d. Swelling Volume........................................................................ 40
3. Analisa Karakterisasi Fisik Mie Basah Jagung ............................... 40
a. Analisa Persen Elongasi Menggunakan Texture Anlyzer.......... 41
b. Pengukuran KPAP .................................................................... 41
c. Analisa Persen Elongasi dan Tensile Strength Menggunakan
Rheoner ..................................................................................... 41
d. Analisa Mikrostruktur Menggunakan SEM .............................. 42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 43
A. Kajian Pembuatan Tepung Jagung ...................................................... 43
B. Karakterisasi Tepung Jagung............................................................... 45
1. Analisa Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung Jagung.............. 46
a. Analisa Sifat Fisik Tepung Jagung
1). Analisa pH (Derajat Keasaman) ......................................... 46
2). Analisa Warna Metode Hunter ............................................ 47
B Analisa Sifat Kimia Tepung Jagung.......................................... 48
1). Analisa Kadar Air ................................................................ 48
2). Analisa Kadar Abu .............................................................. 50
3). Analisis Kadar Protein......................................................... 51
4). Analisa Kadar Lemak .......................................................... 52
5). Analisis Kadar Karbohidrat ................................................. 53
6). Analisis Kadar Pati .............................................................. 54
7). Analisis Kadar Amilosa....................................................... 55
8). Analisa Kadar Amilopektin ................................................. 56
2. Analisa Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Jagung .................. 57
a. Sifat Amilografi......................................................................... 57
b. Water Absorption Capacity (WAC).......................................... 60
c. Kelarutan dan Swelling Volume ................................................ 61
C. Penelitian Pendahuluan ....................................................................... 63
1. Pembuatan Mie Basah Jagung......................................................... 63
2. Justifikasi Pembuatan Mie Basah Jagung........................................ 69
D. Pembuatan Mie Basah Jagung Berdasarkan Hasil Justifikasi dan
Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Penambahan Guar Gum .... 75
1. Persen Elongasi ............................................................................. 76
a. Metode Celup............................................................................. 77
b. Metode Rebus ............................................................................ 78
2. KPAP ............................................................................................ 79
3. Tensile Strength ............................................................................ 81
4. Warna ............................................................................................ 83
E. Penentuan Varietas Jagung yang Paling Cocok Untuk Dibuat Mie
Basah Jagung ...................................................................................... 86
F. Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Mie Basah Terigu .............. 89
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 94
A. Kesimpulan ......................................................................................... 94
B. Saran.................................................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 96
LAMPIRAN....................................................................................................... 103
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jenis-jenis jagung dan sifatnya ........................................................... 5
Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya ............ 6
Tabel 3. Ciri-ciri jagung varietas unggul nasiona; ............................................ 7
Tabel 4. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati .................................................. 12
Tabel 5. Klasifikasi mie berdasarkan kriteria dan karakteristik........................ 14
Tabel 6. Syarat mutu mie kering menurut SII 2046-90 ................................... 16
Tabel 7. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal........................................................ 20
Tabel 8. Spesifikasi JEOL 5200 SEMs……………………………………….. 22
Tabel 9. Kegunaan SEM berdasarkan signal-signal yang digunakan ...... ......... 23
Tabel 10. Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam suatu bahan pangan
dengan metode Luff Schoorl ................................................................ 37
Tabel 11. Hasil analisa warna lima varietas tepung jagung................................ 47
Tabel 12. Sifat Amilografi lima varietas tepung jagung ..................................... 58
Tabel 13. Spesifikasi ekstruder pencetak Model MS9........................................ 64
Tabel 14. Hasil analisa persen elongasi dan KPAP penelitian pendahuluan .... 69
Tabel 15. Hasil filling rate ................................................................................ 69
Tabel 16. Waktu pematangan mie....................................................................... 80
Tabel 17. Nilai a dan b lima varietas tepung jagung........................................... 85
Tabel 18 Karakterisasi sifat fisik mie basah terigu ............................................ 86
Tabel 19. Hasil karakterisasi sifat fisik mie basah jagung.................................. 86
Tabel 20. Perbandingan mie basah jagung dengan mie basah terigu.................. 91
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambar jagung di ladang ................................................................ 4
Gambar 2. Mekanisme gelatinisasi pati ............................................................ 12
Gambar 3. Proses pembuatan mie jagung metode ekstrusi piston.................... 17
Gambar 4. Bermacam-macam informasi pancaran elektron SEM.................... 22
Gambar 5. Prinsip perbesaran gambar sampel SEM......................................... 23
Gambar 6. Garis besar pelaksanaan penelitian ................................................. 26
Gambar 7. Diagram alir pembuatan tepung jagung .......................................... 28
Gambar 8. Diagram alir pembuatan mie basah jagung..................................... 30
Gambar 9. Nilai pH lima varietas tepung jagung.............................................. 46
Gambar 10. Gambar lima varietas tepung jagung ukuran 100 mesh .................. 47
Gambar 11. Kadar air lima varietas tepung jagung............................................. 49
Gambar 12. Kadar abu lima varietas tepung jagung ........................................... 50
Gambar 13. Kadar protein lima varietas tepung jagung ..................................... 51
Gambar 14. Kadar lemak lima varietas tepung jagung ....................................... 53
Gambar 15 Kadar karbohidrat lima varietas tepung jagung .............................. 54
Gambar 16. Kadar air pati varietas tepung jagung............................................ 55
Gambar 17 Kadar amilosa lima varietas tepung jagung .................................. 56
Gambar 18. Kadar amilopektin lima varietas tepung jagung............................ 57
Gambar 19. Sifat amilografi lima varietas tepung jagung .................................. 59
Gambar 20. WAC lima varietas tepung jagung .................................................. 60
Gambar 21. Kelarutan lima varietas tepung jagung............................................ 62
Gambar 22. Swelling volume lima varietas tepung jagung ................................ 62
Gambar 23. Gambar ekstruder pencetak Model MS9......................................... 64
Gambar 24. Gambar tepung jagung dan adonan hasil sebelum pengukusan 1... 65
Gambar 25. Gambar adonan diekstruder, untaian mie keluar dari die dan mie basah
hasil pengukusan 2........................................................................... 67
Gambar 26. Persen elongasi dan KPAP justifikasi mie basah jagung ................ 70
Gambar 27. Gambar SEM mie basah jagung tanpa dan dengan pemberian tekanan
secara manual .................................................................................. 73
Gambar 28. Persen elongasi metode celup lima varietas tepung jagung ............ 77
Gambar 29. Persen elongasi metode rebus lima varietas tepung jagung ............ 78
Gambar 30. KPAP lima varietas tepung jagung ................................................. 80
Gambar 31. Tensile strength metode celup lima varietas tepung jagung ........... 82
Gambar 32. Tensile strength metode rebus lima varietas tepung jagung ........... 82
Gambar 33. Tingkat kecerahan lima varietas tepung jagung.............................. 84
Gambar 34. Gambar SEM mie basah terigu ....................................................... 92
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar alat-alat yang digunakan selama penelitian..................103
Lampiran 2. Gambar mie basah jagung..........................................................107
Lampiran 3. Gambar hasil analisis SEM ..................................................... 109
Lampiran 4. Rekapitulasi hasil karakterisasi lima varietas mie basah jagung110
Lampiran 5. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan ...................................112
A.Karakterisasi tepung...............................................................112
B.Mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual
dan penambahan BTP............................................................122
Lampiran 6. Hasil Uji T-test........................................................................ 111
A.Penggunaan alat analisa persen elongasi................................133
B.Mie basah jagung tanpa pembaerian tekanan dan dengan
pemberian tekanan secara manual .........................................133
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur dan terima kasih yang tiada henti kepada Allah SWT
atas rahmat, karunia, serta berkah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Karakterisasi Tepung Jagung Lokal dan Mie
Basah Jagung yang Dihasilkan” dan menyelesaikan ujian skripsi dengan sangat baik. Shalawat
dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad, SAW.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung
maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada :
1. Keluargaku tersayang, Papa H.Chairan, Mama Hj. Zurni Zaini, Da Andi Z dan ni Dewi,
Da Oki Y Z dan ni Anggi, Da Ijes dan ni Nita, ponakan-ponakanku (Rizky, Chelline, dan
Aira), Kakekku H. Zaini (Alm) dan Nenekku, keluarga besar-ku, terima kasih atas doa,
kasih sayang, nasihat, dorongan, motivasi serta dukungan moril dan materil plus spirituil
yang diberikan selama ini. Semua perjalan hidup yang telah kita lalui memberikan
pelajaran hidup dan hikmah yang sangat berharga bagi penulis.
2. Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar dan
bijaksana serta kasih sayangnya dalam membimbing dan mendukung penulis.
3. Tjahja Muhandri, STP, MT selaku Dosen Pembimbing II yang selalu sabar dan
memberikan masukan-masukan yang berguna hingga terselesaikannya skripsi ini.
4. Dr. Ir. Fahim M. Taqi, DEA atas kesediaannya sebagai Dosen Penguji dan
pengarahannya selama ujian yang sangat membuka dan merubah pola pikir penulis.
5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan
ilmu yang sangat berharga dan mendukung kemajuan penulis.
6. Terimakasih buat my special editor, Jummi Waldi, atas editan ‘all about my finally
exam’, dukungan agar bisa mencapai kesukses-an yang penulis inginkan, semangat untuk
terus berjuang, ‘never give up jen and stay cool’, kesabaran, wejangan-wejangan yang
sangat bermanfaat dalam menghadapi hambatan yang ada dan dukungan spirituil yang
tak pernah habis diberikan kepada penulis. Plus buat keluarga besar Tem, mama, bapak,
Da Andi dan keluarga, Ni Emma, dan Eka. Terima kasih atas doa dan support-nya.
7. Teman-teman sebimbingan sekaligus partner penelitian : Ririn, Shita dan Tami atas
bantuan ilmu, tenaga, waktu, motivasi, dan kesabaran menghadapi penulis. Terima kasih
atas kebersaman dan kekompakannya selama ini. Semoga kebersamaan dan persahabatan
ini tidak lekang oleh waktu.
8. Teman sebimbingan-ku : Glenn, kakak-kakak sebimbingan Kak Santo , Kak Yunita, Kak
Mariance, serta adik sebimbingan-ku Saiha. Terima kasih atas kebersamaan, nasehat dan
motivasinya.
9. Terima kasih kepada seluruh laboran, staf laboran dan staf ITP dan Seafast Centre. Pak
Junaedi, Pak Deni, Mas Marto, Pak Udin, Bu Rubiyah, Pak Gatot, Pak Wahid, Pak
Sobirin, Pak Yahya, Pak Rozak, Bu Antin, Mas Samsu dan staf-staf lainnya yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya dengan
penulis selama penulis kuliah dan penelitian.
10. RegineR’s tercinta dari masa ke masa (2005-2009). Mb’Neni, K’Wina, K’ Lu’lu, K’Tari,
K’Dewi, K’Wati, K’Ratih, KCepe, K’Nea, K’Desma, Teh Febri, K’Ruri, K’Astri, Hesti
dan Uyung (walaupun cm beberapa bulan), K’Ririn, Ratih, V2n, K’Nono, K’Icha, K’Ina,
K’Tin2, K’Juli, K’Mei2, K’Nining, Mb’Novi, Mb’Lina, Micha, Rahma, Sekar, Lia,
K’Ina (Medan), Mb’Rahma, Teh Emil, Irma, dan K’Rida .Terima kasih atas kebersamaan
yang tak ternilai, pelajaran-pelajaran hidup yang sangat berharga, support dan motivasi
yang tiada henti serta dukungan spirituil dan persahabatan yang telah diberikan kepada
penulis. Disini kita menjalin cerita, canda, tawa, sedih, duka dan ceria. Terkhusus buat
tim penyemangat sidang-ku yang saat-saat terakhir berdiam di Regina (Ratih, Rahma, Lia
dan Irma), terima kasih sudah mau jadi satpam belajar-ku; penyemangat disaat aq down,
lelah dan jenuh; begadang yang tiada henti di detik-detik ‘pembantaian’-ku; tim cheers
saat aq di’bantai’…semua tak akan terlupakan…thank you (unlimited) so much
girl’s……
11. Teh Mila, A’Boink, Resti, Lisna dan Linda yang telah menjadi penghuni sejati Regina.
Terima kasih atas bantuan-nya selama penulis di Regina.
12. Terima kasih buat teman-teman-ku “The Golden Generation of ITP”….Abie, Adi Woko,
Achid, Acuy, Aji, Anggun, Arya, Atus, Belinda, Bombay, Cath, Ceu2 (Sina), Dewi,
Difa, Dilla, Dion, Didot, Dita Adi, Si-Anak Kembar (Dina dan Esther), Epink, Fahmi,
Fera, Fitri, Fuad, Galih N, Galih E, Galih I, Glenn, Haris, Harist, Hesti, Icha, Ike, Ikhwan,
Isna, Indri, Irene, Isna, Kenchi, Marcel, Marina, Melisa, Midun, Nanda, Nina N, Nina
SR, Ola, Olo, Panji, Peye, Rika, Rino, Ririn, Riska, Riza, Septi, Shita, Suhe, Susan,
Tami, Tiwi, Tiyu, Tuti, Zaqau, Veni, Venty, Wiwi, Wahyu, Yuni, Yusi dan teman2
ITP42 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas semua
dukungan serta kebersamaan dan persahabatan-nya. Semoga semua ini tidak berhenti
hanya sampai kita semua lulus dari ITP.
13. Terima kasih untuk seluruh anak ITP, ITP40 (Kak Santo, Kak Angga), ITP43, ITP44
(dede dkk), include praktikan-praktikan-ku (Evse P2 dan P3). Terima kasih atas
kerjasama dan kebersamaannya.
14. Terima kasih yang tak ternilai kepada “my lepi” yang setia menemani penulis dari awal
memasuki IPB, selama menjadi mahasiswi Ilmu dan Teknologi Pangan dan menemani
serta mengantarkan penulis menjadi seorang Sarjana Teknologi Pertanian.
15. Terakhir kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak mendukung penulis selama ini. Terima kasih banyak.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh sebab itu masukan
dan kritik yang membangun selalu penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-
pihak yang membutuhkan.
Bogor, 31 Juli 2009
Penulis
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat dan tidak
diimbangi dengan peningkatan produksi pangan menyebabkan ketahanan
pangan nasional menjadi rapuh. Padahal pangan merupakan kebutuhan dasar
yang sangat penting bagi tubuh. Pangan dibutuhkan untuk menyediakan
energi bagi tubuh agar manusia dapat menjalankan aktivitas dengan baik dan
menyediakan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Salah satu
permasalahan pangan yang ada di Indonesia adalah ketergantungan
masyarakat Indonesia akan komoditi bahan pangan tertentu misalnya beras
dan gandum. Hal inilah yang mendorong pencarian sumber pangan baru.
Pencarian sumber pangan baru difokuskan pada sumber daya lokal.
Hal ini diharapkan dapat menurunkan ketergantungan masyarakat Indonesia
terhadap sumber pangan luar negeri. Selain itu, Indonesia juga memiliki
banyak sumber pangan lokal yang belum dikembangkan dengan baik. Salah
satu sumberdaya lokal yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan
adalah jagung.
Jagung merupakan salah satu bahan pangan yang berpotensi sebagai
pengganti beras di Indonesia. Jagung telah digunakan sebagai makanan
pokok di beberapa daerah seperti di Madura dan Nusa Tenggara Barat.
Walaupun demikian, produk-produk pangan berbasis jagung umumnya
dikembangkan sebagai kudapan ringan (snack food) sehingga belum mampu
dikategorikan sebagai bahan pangan alternatif. Di sisi lain, dalam upaya
diversifikasi pangan perlu ada pengembangan produk asal jagung sebagai
makanan pokok. Salah satu upaya tersebut adalah pengembangan produk asal
jagung menjadi mie.
Selain itu, tingkat produksi jagung yang cukup tinggi di Indonesia
sangat mendukung program pengembangan produk asal jagung. Menurut
Anonim [a] (2009), berdasarkan BPS (2008), terjadinya peningkatan
produksi jagung pada tahun 2008 karena terdapatnya perluasan lahan untuk
penanaman jagung serta terdapatnya program-program pemerintah yang
mendukung peningkatan produksi jagung di daerah-daerah Indonesia. Salah
satu contohnya adalah pencanangan Gerakan Tambahan 2 Juta Ton Jagung
(Gentaton) Produksi Indonesia yang dipelopori oleh Gorontalo
(www.gorontalo-agropolitan.com) [Januari 2009]. Hal ini juga dapat
dijadikan menjadi suatu alasan bahwa jagung dapat dijadikan sebagai bahan
pangan alternatif selain beras dan tepung terigu.
Mie merupakan produk pasta atau ekstrusi. Menurut Astawan (2002),
mie merupakan produk pangan yang dibuat dari adonan tepung terigu atau
tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan
tambahan lainnya. Dalam upaya diversifikasi pangan, mie dapat
dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan substitusi karena adapat
berfungsi sebagai pangan pokok. Mie merupakan produk pangan yang sering
dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen baik sebagai sarapan maupun
sebagai makanan selingan (Juniawati, 2003).
Beberapa keunggulan mie jagung instan adalah kandungan lemaknya
yang lebih rendah dibandingkan mie terigu instan serta tidak perlunya
digunakan pewarna buatan (tartrazine) seperti halnya dalam pengolahan mie
jagung instan.
Beberapa waktu belakangan ini telah banyak dikembangkan produk
mie berbahan dasar tepung ataupun pati jagung. Teknologi pembuatan mie
jagung pun telah banyak dilakukan dengan berbagai macam modifikasi
untuk menghasilkan mie jagung dengan kualitas yang lebih baik. Data
mengenai varietas jagung hibrida yang cocok untuk dibuat mie basah jagung
telah didapatkan dari penelitian sebelumnya, yaitu penelitian Muhandri
(2006) yang melakukan pembuatan mie basah jagung pada varietas P11,
P21, BISI 2, C7, NK3 dan DK3 dan Ekafitri (2009) yang melakukan
karakterisasi pada tepung jagung varietas NT10, Bisi 16, Jaya, Prima dan
Nusantara. Namun, belum ada data yang menunjukkan varietas jagung lokal
terbaik yang cocok dijadikan mie jagung. Padahal jagung lokal juga
memiliki potensi yang sama seperti halnya jagung hibrida. Oleh karena itu
perlu dilakukan karakterisasi tepung jagung berbagai varietas jagung lokal
untuk mendapatkan varietas yang cocok untuk dibuat mie jagung serta
2
mengungkap sifat-sifat dari varietas jagung lokal yang cocok tersebut.
Dengan penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah jagung
lokal sebagai salah satu bahan pangan alternatif pengganti beras.
B. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menemukan varietas
jagung lokal terbaik yang cocok untuk dibuat mie jagung. Secara khusus
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui karakteristik tepung berdasarkan sifat fisikokimia dan sifat
fungsional tepung jagung lokal.
2. Memperbaiki kualitas mie yang dihasilkan dengan menggunakan Bahan
Tambahan Pangan.
3. Mengetahui varietas jagung lokal yang paling cocok untuk dibuat mie
serta mengetahui pengaruh kadar amilosa-amilopektin dan proksimat dari
tepung terhadap sifat reologi mie jagung.
C. Manfaat
Diharapkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat
memberikan informasi kepada masyarakat mengenai varietas jagung lokal
yang berpotensi untuk dibuat mie sehingga dapat meningkatkan nilai tambah
jagung.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG
1. Deskripasi dan Jenis - Jenis Tanaman Jagung
Tanaman jagung (Zea mays. L.) merupakan salah satu tanaman
sumber karbohidrat. Jagung masuk dalam divisi Angiospermae, kelas
Monocotyledae, Orde Poales, Famili Poaceae, dan Genus Zea. Jagung
merupakan tanaman semusim (annual). Umumnya tanaman jagung
memiliki ketinggian antara satu sampai tiga meter. Akar jagung tergolong
akar serabut yang dapat mencapai kedalaman delapan meter meskipun
sebagian besar berada pada kisaran dua meter. (Wikipedia Indonesia,
2008).
Gambar 1. Jagung di ladang (Wikipedia, 2008)
Jagung dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria, antara lain
: tinggi tempat penanamannya, umur varietas, perbenihan, serta warna dan
tipe biji. Akan tetapi, secara umum jagung dapat diklasifikasikan
berdasarkan bentuk kernelnya.
Ada enam tipe jenis jagung jika dibedakan berdasarkan bentuk
kernel, yaitu : dent, flint, flour, sweet, pop, dan pop corns. Jagung jenis
dent, dapat dicirikan dengan adanya selaput corneous, horny endosperm,
pada bagian sisi dan belakang kernel, pada bagian tengah inti jagung
lunak dan bertepung. Endosperm yang lunak akan menjulur hingga
mahkota membentuk tipe tertentu yang merupakan ciri khas jagung jenis
dent (Johnson, 1991).
Menurut Johnson (1991), jagung jenis flint memiliki bentuk agak
tebal, keras dan lapisan endospermnya seperti kaca, kecil, lunak, dengan
granula tengah. Jagung jenis pop memiliki selaput endosperm yang sangat
keras dan memiliki kernel kecil dan termasuk jenis jagung yang primitif.
Jagung jenis flour memiliki endosperm yang lunak dan menembus kernel,
sangat mudah dihancurkan dan mudah ditumbuhi kapang jika ditanam di
lahan basah. Jagung flour termasuk jenis jagung yang sudah tua.
Jagung sweet merupakan jagung hasil mutasi. Jagung ini biasanya
dicampur dalam sayuran dan memiliki kadar sakarida terlarut sebesar
12% berat kering yang nilainya lebih besar dari jagung jenis lainnya yang
hanya 2-3 %. Sedangkan jagung pop corn merupakan jagung yang
memiliki kernel yang tertutup.
Tabel 1. Jenis jagung dan sifat-sifatnya Jenis jagung Sifat-sifat
Jagung gigi kuda (Zea mays identata)
Biji berbentuk gigi, pati yang keras menyelubungi pati yang lunak sepanjang tepi biji tetapi tidak sampai ujung
Jagung mutiara (Zea mays indurata)
Biji sangat keras, pati yang lunak sepenuhnya diselubungi pati yang keras, tahan terhadap serangan hama gudang.
Jagung bertepung (Zea mays amylacea)
Biji mudah dibuat tepung karena semua endosperm berisi pati yang lunak, biji mudah kering tetapi permukaannya berkerut.
Jagung berondong (Zea mays evertia)
Butir biji kecil, keras seperti jagung mutiara, pati lunak lebih sedikit
Jagung manis (Zea mays saccharata)
Kandungan pati sedikit, kulit biji tipis, endosperm bening dan dimasak biji berkerut.
Sumber : Suprapto (1998)
2. Morfologi dan Anatomi Tanaman Jagung
Menurut Effendi dan Sulistiati (1991), jagung tongkol terdiri atas
kelobot, tongkol jagung, biji jagung dan rambut. Kelobot merupakan daun
buah yang berfungsi sebagai pembungkus biji jagung. Dalam satu
tanaman jagung umumnya terdapat 12-15 lembar kelobot dan jika
tanaman jagung semakin tua maka kelobotnya akan semakin kering.
Tongkol jagung merupakan simpanan makanan untuk
pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Umumnya tongkol
jagung memiliki panjang antara 8-12 cm dengan 300-1000 biji jagung.
Biji jagung merupakan biji-bijian serelia terbesar dengan berat antara 250-
300 mg. Biji-biji tumbuh pada tongkol jagung dan membentuk flat. Biji
jagung berbentuk bulat dan tersusun membentuk spiral pada tongkol
jagung dengan jumlah yang selalu genap baik dari jumlah baris ataupun
5
6
deret. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu
sampai hitam. Rambut merupakan tangkai putik yang panjang yang keluar
ke ujung kelobot (Suprapto, 1998).
3. Komposisi Kimia Jagung
Komposisi kimia jagung sangat bervariasi tergantung dari varietas,
cara menanam, iklim dan tingkat kematangan sehingga perlu dilakukan
seleksi untuk mendapatkan varietas jagung yang memiliki komposisi
kimia yang tepat untuk dibuat mie (Jugengheimer, 1976). Menurut
Warisno (1998) komponen terbesar dalam jagung adalah pati terutama
terletak pada bagian endosperm. Pati jagung terdiri dari amilosa dan
amilopektin, dengan jenis gula berupa sukrosa.
Lemak jagung terutama terdapat pada lembaga yaitu sekitar 85%
dari total lemak jagung (Belitz, 1999). Asam lemak penyusunnya terdiri
atas lemak jenuh palmitat dan stearat serta asam lemak tidak jenuh berupa
oleat dan linoleat. Dalam pembuatan mie jagung, bagian lembaga
dipisahkan karena lemak dapat menyebabkan ketengikan sehingga
memperpendek umur simpan mie.
Menurut Lorenz dan Karel (1991), protein utama dalam jagung
adalah glutelin atau glutenin. Protein lain dalam jagung adalah zein. Zein
merupakan protein yang tidak larut dalam air. Zein diekstrak dari gluten
jagung. Ketidaklarutan zein dalam air disebabkan karena adanya asam
amino hidrofobik seperti leusin, prolin, dan alanin, dan juga karena kadar
rantai hidrokarbon dan gugus amida yang tinggi dibandingkan kadar
gugus asam karboksilat bebas (Johnson, 1991).
Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya Jumlah (%) Komponen
Pati Protein Lemak Serat Lain-lain Endosperm 86.4 8.0 0.8 3.2 0.4 Lembaga 8.0 18.4 33.2 14.0 26.4 Kulit 7.3 3.7 1.0 83.6 4.4 Tip cap 5.3 9.1 3.8 77.7 4.1
Sumber : Johnson (1991)
4. Jagung Varietas Unggul Nasional
Menurut Syuryawati et al. (2005), Indonesia memiliki enam varietas jagung unggul, yaitu Arjuna, Bisma, Lamuru,
Sukmaraga, Srikandi Kuning dan Srikandi Putih. Penelitian ini menggunakan lima varietas jagung unggul Indonesia tersebut,
kecuali Srikandi Putih. Ciri-ciri jagung varietas unggul nasional tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Ciri-ciri jagung varietas unggul nasional
7
Varietas Ciri-Ciri Arjuna Bisma Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning
Tahun dilepas 1980 4 September 1995 25 Februari 2000 14 Februari 2003 4 Juni 2004 Asal TC1 Early DMR (S)
C2, introduksi dari Thailand
Persilangan Pool 4 dengan bahan introduks disertai seleksi massa selama 5 tahun
Dibentuk dari 3 galur GK, 5 galur SW1, GM4, GM12, GM15, GM11, dan galur SW3.
Bahan introduksi AMATL (Asian Mildew Acid Tolerance Late), asal CIMMYT Thailand
Materi introduksi asal CIMMYT Meksiko
Biji Umumnya mutiara (flint)
Setengah mutiara (semi flint)
Mutiara (flint) Semi mutiara (semiflint) Semi mutiara, modified hard endosperm
Warna Biji Kuning, kadang-kadang terdapat 2-3 biji berwarna putih pada satu tongkol
Kuning Kuning Kuning tua Kuning
Barus Biji Lurus dan rapat Lurus dan rapat Lurus Lurus dan rapat Lurus dan rapat Bobot 1000 biji ± 272 g ± 307 g ± 275 g ± 270 g ± 275 g Rata-rata hasil 4.3 t/ha pipilan
kering 5.7 t/ha pipilan kering
5.6 t/ha pipilan kering 6.0 t/ha pipilan kering 5.4 t/ha pipilan kering
Sumber : Syuryawati et al. (2005)
B. TEPUNG JAGUNG
Tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara
menggiling tepung jagung (Zea mays LINN) yang bersih dan baik (SNI 01-
3727-1995). Penggilingan jagung adalah proses penggecilan ukuran dari
endosperm dan memisahkan endosperm dari bagian kulit, lembaga dan tip
cap. Endosperma merupakan bagian keras biji jagung yang digiling
menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit
merupakan bagian biji yang harus dibuang karena memiliki kandungan
serat yang tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar.
Lembaga memiliki kandungan lemak yang tinggi sehingga harus
dipisahkan karena lemak yang terkandung di dalam lembaga dapat
membuat tepung tengik. Tip cap harus dihilangkan karena dapat membuat
tepung menjadi kasar.
Penepungan jagung dapat dilakukan melalui dua proses yaitu proses
penggilingan basah dan proses penggilingan kering. Pati merupakan produk
yang dihasilkan dari penggilingan biji jagung secara basah. Sedangkan
grits, meal dan flour (tepung) merupakan produk yang dihasilkan dari
penggilinggan kering biji jagung (Inglett, 1970). Penelitian yang dilakukan
oleh Juniawati (2003), pembuatan tepung jagung menggunakan metode
penggilingan kering. Penggilingan dilakukan sebanyak dua kali.
Proses penggilingan pertama merupakan penggilingan kasar dengan
menggunakan multi mill. Hasil penggilingan kasar berupa grits, kulit,
lembaga dan tip cap. Kemudian kulit, lembaga dan tip cap dipisahkan
melalui pengayakan dan perendaman. Selanjutnya, grits jagung yang
diperoleh dari penggilingan kasar dicuci dan direndam dalam air selama 3
jam. Tujuan dilakukannya perendaman adalah untuk membuat grits jagung
tidak terlalu keras sehingga memudahkan proses penggilingan grits jagung.
Penggilingan kedua yang merupakan penggilingan grits jagung
menggunakan disc mill (penggiling halus) menghasilkan tepung jagung.
Tepung jagung tersebut kemudian diayak dengan menggunakan pengayak
berukuran 100 mesh.
8
Penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan proses penepungan
jagung dengan metode penggilingan kering menggunakan disc mill sebagai
penggiling halus dan kasar dengan ukuran mesh yang berbeda. Tepung
jagung yang akan digunakan adalah tepung jagung hasil ayakan 100 mesh.
Hal ini didukung oleh Merdiyanti (2008) yang menyatakan bahwa ukuran
partikel dengan ukuran kecil lebih bagus dibandingkan dengan ukuran yang
lebih besar. Dengan ukuran tepung jagung yang makin halus tekstur mie
jagung yang akan dihasilkan juga akan semakin halus (Pratama, 2008).
C. PATI JAGUNG
1. Karakteristik Pati
Pati merupakan suatu polisakarida yang berfungsi sebagai
cadangan energi. Pati tersusun dari unit-unit glukosa dan dihasilkan
sebagai granula di dalam sebagian besar sel tanaman. Granula pati
memiliki struktur dan komposisi yang berbeda dengan dua komponen
utama yaitu amilosa (20-30%) dan amilopektin (70-80%) (Cheng,
2006).
Menurut Hoseney (1998), amilosa adalah polimer linear dari
alpha-D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan alpha(1,4)-D-
glukosa, sedangkan amilopektin terdiri dari alpha-D-glukosa yang
dihubungkan dengan ikatan alpha(1,4)-D-glukosa dengan cabang ikatan
alpha(1,6)-D-glukosa pada setiap 20-25 unit amilosa.
Menurut Winarno dan Rahayu (1984), pati mempunyai sifat
dapat merefleksikan cahaya terpolaisasi sehingga dibawah mikroskop
akan terlihat hitam putih (birefringence). Pada saat granula pati pecah
sifat ini akan hilang.
2. Hubungan Amilosa dan Amilopektin Dengan Reologi Mie
Pati jagung normal memiliki kandungan amilosa sekitar 28%
merupakan pati yang baik untuk digunakan dalam produksi bihun
(Astawan, 2005). Menurut Mita (1992), pasta pati dibentuk dengan cara
pemanasan dispersi aquous di atas suhu gelatinisasi. Pasta dianggap
9
bahan komposit yang terdiri dari granula yang mengembang yang
terdispersi dalam matriks polimer (Morris, 1990; Noel, Ring, dan
Whatman, 1993 dalam Chang, et al., 2003). Oleh karena itu
karakteristik dari fase terdispersi, fase kontinu dan interaksi antara
komponen sangat penting untuk mengetahui karakteristik pasta pati
(Rao,1999 dalam Chang, et al., 2003). Gelasi pasta pati selama
pendinginan dan penuaan (aging) melibatkan perubahan dalam amilosa
dan amilopektinnya (Miles, Morris, Orford dan Ring, 1987).
Selama penyimpanan dalam jangka waktu yang cukup panjang,
proses pembentukan struktur (rekristaliasi) amilopektin berperan dalam
perubahan tekstural yang diinginkan pada pangan berbasis pati (Kulp
dan Ponte, 1981 dalam Chang, et al., 2003). Laju rekristalisasi
(retrogradasi) tergantung dari beberapa variabel yaitu rasio amilosa dan
amilopektin, suhu, konsentrasi pati, dan keberadaan dan konsentrasi
dari bahan organik dan inorganik (Whistler dan Daniel, 1996 dalam
Fennema, 1996). Menurut Lie dan Kokini (1990), mempelajari sifat-
sifat reologi pati jagung amilosa tinggi (70%) dan amilopektin tinggi
(98%) dan menunjukkan pengaruh yang kuat dari pengolahan terhadap
hasil pengukuran viskositas produk.
D. GELATINISASI
1. Konsep Gelatinisasi
Molekul pati mempunyai gugus hidrofilik yang dapat menyerap
air. Bagian yang amorf dapat menyerap air dingin sampai dengan 30%,
dan dengan pemanasan daya serap air pada pati meningkat menjadi
60% (Winarno, 1980). Penyerapan air yang besar disebabkan karena
pecahnya ikatan hidrogen pada bagian yang amorf. Pada awalnya
perubahan volume dan penyerapan air masih bersifat reversible. Namun
pada suhu tertentu, pecahnya bagian amorf akan diikuti oleh pecahnya
granula. Suhu pada saat granula pecah disebut suhu gelatinisasi. Pada
saat suhu gelatinisasi tercapai maka perubahan-perubahan yang terjadi
sudah bersifat irreversible (Hoseney, 1998).
10
Menurut Greenwood dan Munro (1979), granula pati tidak larut
dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas atau air
hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat reversible jika
tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi irreversible jika
telah mencapai suhu gelatinisasi.
Beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisai dapat diamati.
Mula-mula suspensi pati yang keruh mulai menjadi jernih pada suhu
tertentu. Terjadinya translusi larutan pati biasanya diikuti dengan
pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air
menjadi lebih kuat daripada daya tarik menarik antar molekul pati di
dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah
yang menyebabkan bengkaknya granula pati. Indeks refraksi butir-butir
pati yang membengkak itu mendekati indeks reflaksi air dan hal inilah
yang menyebabkan sifat transluen. Karena jumlah gugus hidroksil
dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air
sangat besar. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang
awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi
dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat
bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1997).
Menurut Collison (1968), perubahan-perubahan yang terjadi
selama proses gelatinisasi yaitu granula pati akan kehilangan sifat
birefringence, granula pati akan mengalami hidrasi dan mengambang,
molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan
berkurang yang di ikuti dengan semakin kuatnya ikatan antar granula,
kekentalan semakin meningkat dan kejernihan pasta juga akan
meningkat. Sifat birefringence dari granula pati adalah sifat
merefleksikan cahaya terpolarisasi, apabila granula pati dilihat dibawah
mikroskop sehingga terlihat kristal gelap terang.
2. Mekanisme Gelatinisasi
Pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi dalam tiga tahap,
yaitu : (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan
11
mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan
bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan
ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan
granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai
kehilangan sifat birefringence dan (3) granula pecah jika cukup air dan
suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula
(Swinkels, 1985).
Mekanisme gelatinisasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981)
Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)
Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak
Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula
Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel
3. Suhu Gelatinisasi
Suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefringence
pati mulai menghilang (BeMiller dan Whistler, 1999 dalam Fennema,
1996). Suhu gelatinisasi tidak sama pada berbagai jenis pati (Tabel 4).
Tabel 4. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (°C)
Beras 65-73 Ubi jalar 82-83 Tapioka 59-70 Jagung 61-72 Gandum 53-64
Sumber : BeMiller dan Whistler (1999) dalam Fennema (1996)
12
Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan irreversible
granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah
kehilangan sifat kristalnya. Menurut Wirakartakusumah (1981),
keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi
adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen
lain dalam media pemanasnya.
E. MIE BASAH
Mie basah merupakan produk makanan yang terbuat dari terigu
dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan
makan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (Badan
Standarisasi Nasional, 1992). Mie basah memiliki kadar air maksimal 35%
(b/b). Dalam upaya diversifikasi pangan, mie dapat dikategorikan sebagai
salah satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan
pangan pokok.
Menurut Piyachomkwan et. al. (2001), mie dapat dibedakan
berdasarkan berbagai kriteria dan karakteristiknya. Kriteria dan karakteristik
mie tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
Dalam pembuatan mie, tepung terigu berfungsi sebagai bahan
pembentuk struktur dan sumber karbohidrat serta protein. Air berfungsi
sebagai media reaksi antara karbohidrat dengan gluten, melarutkan garam,
dan membentuk sifat kekenyalan gluten. Hal tersebut dikarenakan gluten
menyerap air sebagai sehingga serat-serat gluten mengembang. Garam
dapur berguna untuk memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air,
meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie dengan membantu reaksi
gluten dengan karbohidrat. Garam dapur juga berfungsi untuk mengikat air,
menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak
bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan.
Air abu biasa digunakan dalam pembuatan mie. Air abu berfungsi
untuk memberi warna, rasa, memperkuat struktur mie, mempercepat
pembentukan gluten, meningkatkan elastisitas dan ekstensibilitas serta
menghaluskan tekstur.
13
Tabel 5. Klasifikasi mie berdasarkan kriteria dan karakteristik Kriteria Tipe Karakteristik
Bahan baku 1. Tepung gandum rendah - Mi Jepang (udon)
2. Tepung gandum tinggi - Mi Cina (ra-men)
3. Buckwheat (campuran) - Mi buckwheat (soba)
4. Tepung beras - Bihun
5. Pati kacang hijau - Mi transparan
6. Pati Ubi jalar
Berwarna putih dan putih krem, tekstur lunak. Kuning mengkilap, tekstur sedikit keras. Berwarna caklat atau abu-abu, cita rasa unik. Putih hingga kuning dan tidak transparan. Transparan, tekstur kompak dan solid
7. Pati lain (Kentang, Canna) Elastis dan transparan
Ukuran Mi 1. Sangat tipis (So-men) 2. Tipis (Hiya-mugi) 3. Standar (Udon)
1.0-1.2 mm 1.3-1.7 mm 2.0-3.8 mm
4. Pipih (Hira-men) 5.0-7.5 mm Pemprosesan 1. Tipe pengikat
- Protein : mi gandum - Pati pregelatinisasi : mi pati
2. Pembuatan untaian - Sheeting : So-men - Ekstrusi : Mi beras
3. Peralatan - Tangan : Tenobe so-men - Mesin : Udon
Produk 1. Mi segar tanpa dimasak 2. Mi matang (Kukus, rebus) 3. Mi rebus yang dibekukan 4. Mi kering
Sumber : Piyachomkwan et al. (2001). 5. Mi instan
Bahan pengembang digunakan untuk mempercepat pengembangan
adonan dan mencegah penyerapan minyak selama penggorengan mie.
Fungsi dari zat warna adalah memberi warna khas mie sedangkan bumbu-
bumbu digunakan untuk memberi flavor tertentu.
Pembuatan mie basah terigu terdiri atas beberapa tahapan proses,
yaitu pencampuran bahan, pengadukan, pembentukan lembaran,
pemotongan, pematangan, dan pelumuran dengan minyak sawit. Proses
pencampuran bahan bertujuan untuk menghasilkan campuran yang
homogen, mencampurkan tepung dengan air dan membentuk adonan dari
jaringan gluten sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Setelah
pencampuran, dilakukan pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang
perlu diperhatikan dalam proses pengadukan adalah jumlah air yang
14
ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Tahap selanjutnya
dalah pembentukan lembaran dengan tujuan menghaluskan serat gluten dan
membuat adonan menjadi lembaran (Badrudin, 1994).
Kemudian dilakukan proses pembentukan lembaran terhadap adonan
mie. Lembaran mie yang dihasilkan kemudian dipotong dengan ukuran 1-3
mm. Untaian mie yang dihasilkan kemudian dikukus agar diperoleh mie
basah matang. Proses pematangan ini bertujuan agar terjadi gelatinisasi dan
koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal (Badrudin, 1994).
Gelatinisasi menyebabkan pecahnya pati dan melepaskan amilosa. Amilosa
membentuk lapisan tipis pada permukaan mie sehingga memberikan
kelembutan pada mie, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi
daya rehidrasi mie.
Terakhir, untaian mie basah matang diberi minyak sawit. Proses ini
bertujuan mencegah lengketnya untaian mie dan memperbaiki penampakan
mie agar mengkilap (Mugiarti, 2001). Beberapa syarat mutu mie basah
dapat dilihat pada Tabel 6.
Menurut Hou dan Krouk (1998), warna dan tekstur merupakan
karakteristik fisik penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mie
basah dan menyatakan persyaratan warna untuk mie basah matang adalah
warna kuning cerah dan tidak pudar dalam 24 jam. Sedangkan untuk
persyaratan tekstur, Hou dan Krouk (1998), mie basah matang harus
memiliki tekstur yang kenyal, elastis, tidak lengket, mudah digigit dan
memiliki tekstur yang stabil dalam air panas. Sedangkan menurut Astawan
(2005) secara fisik, diameter mie basah berkisar antara 1.5–2 mm.
15
Tabel 6. Syarat mutu mie basah menurut SII 2046-90 No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan :
1.1. Bau 1.2. Rasa 1.3. Warna
- - -
Normal Normal Normal
2. Kadar air % b/b 20-35 3. Kadar abu (bk) % b/b Maksimal 3 4. Kadar protein (bk) % b/b Minimal 3
5. Bahan tambahan pangan : 5.1. Boraks dan asam borat 5.2. Pewarna 5.3. Formalin
- - -
Tidak boleh ada sesuai SNI-02220 M dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/88
6. Cemaran logam : 6.1. Timbal (Pb) 6.2. Tembaga (Cu) 6.3. Seng (Zn) 6.4. Raksa (Hg)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maksimal 1.0
Maksimal. 10.0 Maksimal 40.0 Maksimal 0.05
7. Arsen mg/kg Maksimal 0.05 8. Cemaran mikroba
8.1. Angka Lempeng Total 8.2. E. coli 8.3. Kapang
Koloni/gram APM/gram
Koloni/gram
Maksimal 1.0 x 106
Maksimal 10 Maksimal 1.0 x 104
Sumber : Departemen Perindustrian (1990)
F. MIE BASAH JAGUNG
Mie basah jagung merupakan mie basah yang dibuat dengan
menggunakan bahan baku utama tepung jagung. Pembuatan mie basah
jagung (mie non terigu) memanfaatkan prinsip gelatinisasi pati
menggantikan fungsi protein pada mie terigu yang berguna untuk
membentuk struktur mie
Pembuatan mie basah jagung secara umum menurut Subarna et al
(1999) dalam Fahmi (2007) dapat dilihat pada Gambar 3.
Pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi
berbahan baku tepung jagung pertama kali dilakukan oleh Fahmi (2007).
Proses pembuatan mie basah jagung ini terdiri dari tahap pencampuran
bahan dan pemasakan yang terjadi selama di dalam ekstruder, pencetakan
menjadi untaian mie dan perendaman untaian mie dalam air dingin. Proses
pembuatan mie basah jagung metode ekstrusi yang dilakukan oleh Fahmi
(2007) berbeda dengan proses pembuatan mie terigu, terutama pada proses
pencampuran, pemasakan dan pencetakan adonan menjadi untaian mie.
Penelitian Fahmi (2007) menggunakan alat ekstruder pemasak (forming
16
extruder model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-
30/C dari Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand), sedangkan pada
penelitian ini digunakan jenis ekstruder pencetak mie yang berbeda yaitu
pencetak mie model MS9, Multifunctional noodle modality machine,
Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China.
Jagung kuning dipipil, direndam air biasa selama 12 jam
Disaring 60 mesh dan pati kasarnya diendapkan dan ditiriskan 10 menit
Digiling dengan Buhr Mill (gilingan batu)
Cake (pasta) pati digiling dan dibentuk pelet
Digiling dan dicetak menggunakan ekstruder piston
Mie basah
Dikukus 15 menit
Mie dikukus 15 menit
Gambar 3. Proses pembuatan mie jagung metode ekstrusi piston (Subarna et al, 1999 dalam Fahmi, 2007)
Metode calendering dilakukan pada proses pembuatan mie basah
jagung sebelum Fahmi (2007). Metode ini membutuhkan pembuatan
lembaran dengan cara melewatkan bahan baku (adonan) secara berulang-
ulang diantara dua rol logam. Setelah lembaran terbentuk, adonan dipotong
menjadi untaian mie menggunakan slitter.
Menurut Budiyah (2004) proses pembuatan mie menggunakan
metode calendering memiliki beberapa kelemahan, yaitu perlunya proses
pengendalian suhu dan kelembaban selama proses, waktu pengolahan yang
cukup lama karena tahapan proses yang panjang, yaitu proses pencampuran
bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran,
pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran mie
dengan minyak.
17
Untuk itu perlu dilakukan modifikasi teknik dalam pembuatan mie
basah non terigu, salah satunya menggunakan ekstruder. Teknik
pembuatan mie jagung dengan ekstrusi piston memiliki kelebihan yaitu
proses yang lebih sederhana karena tidak memerlukan tahapan proses
sheeting dan slitting, pengulian, dan pembentukan lembaran sehingga
membutuhkan waktu produksi yang lebih singkat (Subarna et al, 1999
dalam Fahmi 2007).
G. REOLOGI MIE BASAH
Menurut Szczesniak dalam Peleg dan Bagley, 1983 Reologi adalah
ilmu tentang deformasi dan aliran bahan. Reologi pada bahan padat
merupakan hubungan antara gaya dengan perubahan bentuk, sedangkan
reologi pada bahan cair merupakan hubungan antara gaya dengan aliran.
Menurut Fahmi (2007), pada produk mie beberapa sifat reologi yang
penting di antaranya adalah kekerasan, kekenyalan dan kekuatan tarik
(tensile strength).
Kekerasan merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya
tekan yang diberikan. Sifat keras untuk menyatakan sifat benda atau produk
pangan padat yang tidak bersifat deformasi. Kekenyalan merupakan sifat
bahan elastis yang bersifat deformasi (perubahan bentuk). Kekenyalan
(elasticity) merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat
penting pada produk mie. Kekenyalan diukur menggunakan Texture
Analyzer. Alat ini akan mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai
bahan padat (mie) mengalami deformasi (Fahmi, 2007).
Tensile strength merupakan gaya yang diperlukan untuk menarik
bahan (untaian mie) hingga putus. Tensile strength menunjukkan kekuatan
elastisitas suatu bahan. Rheoner merupakan alat yang digunakan untuk
mengukur tensile strength dengan cara mengukur gaya yang diperlukan
sampai bahan (mie) putus (Szczesniak dalam Peleg dan Bagley, 1983)
18
H. EKSTRUSI
1. Ekstruder
Menurut Harper (1981), ekstruder adalah alat untuk mencetak
bahan melalui proses ekstrusi. Ekstruder terdiri atas berbagai bentuk.
Bentuk yang paling sederhana adalah ekstruder tipe ram atau piston.
Ekstrusi pemasakan merupakan proses dimana bahan pangan yang
mengandung pati dan protein dimasak dan diadon menjadi adonan yang
viskos dan plastis. Panas yang digunakan dalam proses pemasakan
dapat berasal dari injeksi uap (secara langsung), dari jaket pemanas
(secara tidak langsung), dan berasal dari energi mekanik yang timbul
dari gesekan adonan selama proses ekstrusi (Harper, 1981).
Menurut Muchtadi et al. (1987), ekstruder dapat
diklasifikasikan berdasarkan sifat termodinamika, kadar air, sifat
fungsional, dan jumlah ulir. Berdasarkan sifat fungsional, ekstruder
terdiri atas pasta extruder, high-pressure forming extruder, low–shear
cooking extruder, coolet extruder, dan high–shear cooking extruder.
Secara termodinamika, ekstruder terbagi atas tiga jenis yaitu :
autogenous yaitu ekstruder yang menghasilkan panas dengan
mengkonversi energi mekanik pada aliran proses; isotermal ekstruder;
dan polythropic yaitu ekstruder yang prinsip kerjanya menggabungkan
antara autogenous ekstruder dan isotermal ekstruder dimana panas
diperoleh dari konversi energi mekanik dan dari transfer panas (Harper,
1981 dan Muchtadi et al., 1987).
Berdasarkan kadar air, ekstruder terbagi atas low moisture
extruder dengan kadar air bahan sampai 20%, intermediate moisture
extruder dengan kadar air bahan 20-28%, dan high moisture extruder
dengan kadar air bahan lebih dari 28%. Berdasarkan jumlah ulirnya,
ekstruder terbagi atas ekstruder berulir ganda dan ekstruder berulir
tunggal (Harper, 1981 dan Muchtadi et al., 1987).
Ekstruder ulir ganda dapat diklasifikasikan berdasarkan arah
perputaran ulirnya, terdiri dari co-rotating screw extruder (ekstruder
dengan arah perputaran ulir yang searah) dan counter rotating screw
19
extruder (ekstruder dengan arah perputaran ulir yang berlawanan).
Ekstruder dengan ulir yang co-rotating banyak diaplikasikan dalam
proses pengolahan pangan. Beberapa kelebihan ekstruder ulir ganda
yaitu : memiliki kontrol yang lebih baik terhadap tranfer panas
dibandingkan ekstruder ulir tunggal, dapat menangani bahan pangan
yang sangat basah, lengket, dan berminyak, serta dapat menggunakan
bahan pangan dengan ukuran partikel yang bervariasi (Fellows, 1990).
Ekstruder berulir tunggal terdiri atas ulir yang berputar pada
barel silinder. Ekstruder ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi :
high shear ekxtruder (untuk produk–produk sereal sarapan pagi dan
makanan ringan), medium shear extruder (untuk produk–produk semi
basah), dan low shear extruder (untuk pasta dan produk–produk
daging). Biaya investasi dan biaya operasi ekstruder berulir tunggal
lebih rendah daripada biaya ekstruder berulir ganda, selain itu tidak
dibutuhkan tenaga ahli untuk pengoperasian dan perawatan ekstruder
berulir tungggal (Fellows, 1990).
Menurut Smith (1981) ekstruder berulir tunggal dibagi atas tiga
kelompok yaitu Low Shear, Medium Shear, dan High Shear. Jenis-jenis
ekstruder tersebut dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal Kategori Low Shear Medium
Shear High Shear
Kadar Air Produk (%) 25 – 75 15 – 30 5 – 8 Densitas produk (g/ 100ml) 32 – 80 16 – 51 3.2 – 20 Suhu barrel maksimum (°C) 20 – 65 55 – 145 110 – 180 Tekanan barrel maksimum (kg /cm2) 6 – 63 21 – 42 42 – 84 Kecepatan ulir (rpm) 100 200 200
Snack, breakfast
cereal Produk khas
Produk pasta
daging
Roti, makanan
ternak Sumber : Smith, 1981
Ekstruder ulir tunggal paling cocok digunakan untuk
mengektrusi produk pasta. Hal dikarenakan ekstruder memiliki silinder
yang licin dan tidak mempunyai bagian yang dapat membawa padatan,
serta biasanya mempunyai bentuk geometris ulir yang konstan. Alat ini
mendekati paling mendekati ekstruder jenis isotermal karena hanya
20
mengakibatkan kenaikan suhu yang paling rendah. Pemotongan cepat,
continue, alat tidak lansung (proses) cocok diaplikasikan untuk produk
pasta dan produk sosis (Muchtadi et al., 1987)
2. Proses Ekstrusi
Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang
mengkombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara
lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing, dan pembentukan
(Fellows, 1990). Menurut Harper (1981), dalam proses ekstrusi, adanya
aliran adonan disebabkan oleh pengaruh tekanan shear (σ), dimana
tekanan shear tergantung pada kecepatan ’shear’ dan viskositas bahan.
Pada aliran newtonian terjadi hubungan linear antara tekanan shear dan
kecepatan shear. Aliran seperti ini biasanya terdapat pada aliran gas.
Pada bahan pangan, karena mengandung senyawa-senyawa biopolimer
seperti pati dan protein, sifat alirannya mengikuti kaedah non-newtonian
Keuntungan proses pemasakan dengan metoda ekstrusi antara
lain produktivitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas,
produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama,
pemakaian energi rendah serta mutu produk lebih tinggi karena
menggunakan suhu tinggi dengan waktu yang singkat sehingga
kerusakan nutrisi dapat dikurangi (Fellows, 1990). Selain itu, produk
yang dihasilkan seragam, peralatannya mudah diotomatisasi, dan tidak
banyak limbah.
I. SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM)
SEM (Scanning Electron Microscope) merupakan alat untuk melihat
benda yang sangat kecil dalm bentuk stereo dengan skala perbesaran tinggi
(Noor, 2001). Prinsip dasar SEM ditemukan pada tahun 1930 di Jerman.
Sesudah perang dunia II, penelitian ini berlanjut di London. Kemajuan
teknologi SEM berhasil dilakukan oleh Jepang karena negara ini mampu
memproduksi SEM dengan melakukan banyak penelitian dan
perkembangan teknologi SEM. Penelitian ini menggunakan SEM keluaran
21
Jepang, JEOL (Jepang Electron Optical Laboratory) JSM 5200 Scanning
Microscope Multi Purpose SEMs. Untuk spesifikasi dari JEOL JSM 5200
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Spesifikasi JEOL 5200 SEMs Resolution HV Mode
LV Mode 5.0 nm 8.0 nm
Magnification HV Mode LV Mode
x 15 to 200.000 x 15 to 50.000
Accelerating 1.2 kV Voltage 5 to 25 kV
(5 kV steps)
SEM memiliki perbesaran yang bervariasi (sekitar 10x –
1.000.000x). Menurut Noor (2001), prinsip kerja SEM terbagi dua, yaitu (1)
informasi yang didapatkan dari irradiasi pancaran elektron dan (2) prinsip
perbesaran. Apabila suatu pancaran elektron diiradiasi pada permukaan
sampel, interaksi antara pancaran elektron dan atom-atom yang dikandung
oleh sampel akan memberikan bermacam-macam informasi (Gambar 4).
Gambar 4. Bermacam-macam informasi pancaran elektron (Noor, 2001)
Apabila dilakukan scanning pada permukaan suatu sampel dengan
fokus pancaran elektron yang tepat informasi akan diperoleh dari setiap titik
scanning. Informasi ini akan dirubah kedalam bentuk signal elektrik,
dikuatkan dan disalurkan ke Cathode Ray Tube (CRT). Pada CRT,
informasi digunakan untuk mengontrol tingkatan cahaya pada titik-titik
yang bersangkutan. Informasi yang didapatkan dari permukaan sampel
ditayangkan di CRT dalam bentuk gambar. Perbesaran sampel didefinisikan
sebagai ratio dari ukuran gambar di CRT dengan ukuran pancaran elektron
yang menscanning permukaan sampel (Gambar 5).
22
Gambar 5. Prinsip perbesaran gambar sampel (Noor, 2001)
SEM secara umum berfungsi untuk melihat bagian permukaan dari
sampel. Signal-signal SEM bisa membawa berbagai macam informasi dan
digunakan untuk tujuan yang berbeda. Kegunaan SEM berdasarkan signal-
signal dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Kegunaan SEM berdasarkan signal-signal yang digunakan Signal Mode Operasi Tujuan SEM Secondary Electron SEI Pengamatan topografi suatu permukaan Backscattered Electron BEI Komposisi permukaan X-Ray X-Ray Analisa elemen spedimen Transmitted Electron TEI Pengamatan struktur internal Cathodoluminescence CL Pengamatan karakteristik internal Electromotive Force EBIC Pengamatan karakteristik internal Secondary Electron ECP Struktur cristaline Backscattered Electron MDI Pengamatan magnetic domain
Sumber : (Noor, 2001)
Pada penelitian ini dilakukan analisis topografi sampel sehingga
signal yang digunakan adalah Secondary Electron Immage (SEI). Jumlah
secondary electron yang dihasilkan dari suatu permukaan sampel
tergantung pada sudut pantulan pancaran elektron yang mengenai
permukaan sampel.
23
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan
baku utama dan bahan tambahan serta bahan-bahan kimia. Bahan baku
utama yang digunakan adalah lima varietas jagung kuning lokal unggulan
nasional, yaitu varietas Srikandi kuning, Sukmaraga, Bisma, Lamuru, dan
Arjuna. Bahan-bahan tambahan yang digunakan adalah air, garam, dan guar
gum. Sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan adalah bahan kimia
untuk analisa proksimat (CuSO4, K2SO4, H2SO4, H3PO3, HCl, NaOH, dan
Na2S2O3) dan analisa kadar pati (NaOH, HCl, indikator PP, KI, H2SO4, Na-
thiosulfat, dan larutan Luff-Schoorl), kadar amilosa dan amilopektin (asam
asetat, I2, NaOH, etanol, dan larutan iod).
Alat yang digunakan adalah penggiling tepung disc mill, vibrating
screen, ekstruder pencetak mie (model MS9, Multifunctional noodle
modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China),
oven, sealer, freezer, panci pengukus. Alat-alat yang digunakan dalam
analisis fisik dan kimia mi basah jagung adalah Chromameter CR 200
Minolta, Texture Analyzer (TATX-2); Brabender Amylograph, Rheoner RE-
3305, Freeze dry Yamato di Lab Bioteknologi Perikanan Fakultas Perikanan
dan Kelautan IPB, Scanning Electron Microscope JSM 5200 di Lab
Genetika Fakultas Peternakan IPB, Sealer, Freezer, spektrofotometer, gelas
piala, pipet mohr, tabung reaksi, tabung sentrifuse, labu lemak, labu kjeldahl,
oven, cawan aluminium, cawan porselen, timbangan, alat ekstraksi soxhlet,
pemanas listrik, tanur, erlenmeyer, dan alat destilasi.
B. METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu penelitian
pendahuluan dan penelitian utama.
Secara umum garis besar pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada
Gambar 6.
1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan ini secara umum terdiri atas beberapa
tahap, yaitu pembuatan tepung jagung, analisis karakterisasi tepung
jagung, pembuatan mie basah jagung, dan justifikasi pembuatan mie
basah jagung. Penepungan lima varietas jagung merupakan tahap
pertama yang dilakukan pada penelitian ini. Proses penepungan jagung
menggunakan teknik penepungan kering (dry milling) yang terdiri atas
beberapa proses yaitu proses pengilingan kasar, pencucian dan
pengambangan, perendaman, pengeringan grits, penggilingan halus,
pengeringan tepung, pengayakan tepung ukuran 100 mesh, dan
pengeringan tepung setelah tepung diayak.
Proses penggilingan kasar dilakukan pada jagung pipil menjadi
grits menggunakan dics mill dengan saringan 10 mesh. Proses ini
bertujuan untuk memisahkan bagian endosperma jagung dengan
lembaga, kulit dan tip cap. Setelah jagung pipil menjadi grits, grits
dicuci dengan air bersih untuk mengambangkan lembaga dan kulit ari
dari grits jagung agar bagian-bagian tersebut mudah untuk dipisahkan
dan dibuang. Hal ini dilakukan karena bagian lembaga dapat
menyebabkan tepung jagung yang dihasilkan tengik dan kulit ari
membuat tepung jagung bertekstur kasar. Setelah dicuci grits tersebut
direndam dalam air selama 3 jam. Proses perendaman ini bertujuan
memperlunak endosperma yang nantinya dapat mempermudah tahap
proses penepungan halus.
25
Pembuatan tepung jagung dengan metode dry milling
Lima varietas jagung lokal pipil
Pembuatan mie jagung dengan teknik ekstrusi
Karakterisasi sifat fungsional : ▪ Sifat amilografi ▪ Water Absorption capacity ▪ Kelarutan dan Swelling volume
Karakterisasi sifat fisiko kimia : ▪ Proksimat ▪ Kadar amilosa ▪ Kadar pati ▪ pH ▪ Warna
Analisa : * Elongasi * KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan)
Uji hipotesis pengaruh tekanan pada tahap pengekstrusian bahan terhadap karakterisasi mie yang dihasilkan
Pembuatan mie jagung dengan teknik ekstrusi dengan memberikan tekanan saat pengekstrusian bahan
Penentuan tepung jagung lokal yang paling berpotensi untuk dibuat mie jagung
Analisa : * Elongasi dan KPAP * Tensile Strength * Warna
Dibandingkan hasil analisa mie basah jagung dengan BTP dan tanpa BTP
Peningkatan mutu mie jagung dengan penambahan Guar Gum 1%
Analisa : * Elongasi dan KPAP * Tensile Strength * Warna
Analisa : * Filling rate * Elongasi * KPAP * Scanning Electron Microscope (SEM)
Gambar 6. Garis besar pelaksanaan penelitian
26
Kemudian, grits jagung dikeringkan menggunakan sinar matahari
hingga kadar airnya mencapai ± 35% dan saat dirasa grits tidak terlalu
basah dan tidak terlalu kering. Pengukuran kadar air dilakukan dengan
cara memegang grits dan grits tersebut tidak begitu lengket dengan
tangan. Hal ini dilakukan agar proses penggilingan menjadi lebih
efisien sehingga rendemen yang dihasilkan pun lebih tinggi. Jika kadar
air grits terlalu tinggi, grits jagung mudah lengket dalam mesin
penggiling, akibatnya rendemen tepung menjadi lebih rendah dan
mudah tengik jika dilakukan penyimpanan. Dan jika kadar airnya
terlalu rendah, rendemen hasil penggilingannya pun juga rendah.
Selanjutnya dilakukan proses penepungan halus menggunakan disc mill
dengan saringan berukuran 48 mesh. Tahapan ini bertujuan untuk
memperhalus ukuran jagung menjadi tepung.
Tepung jagung yang dihasilkan kemudian dikeringkan
menggunakan oven suhu 50oC selama 2 jam hingga kadar air tepung ±
35%. Kemudian tepung diayak menggunakan vibrating screen dengan
ukuran ayakan 100 mesh. Menurut Pratama (2008) ukuran tepung
jagung yang dianjurkan untuk membuat mie basah jagung yaitu ukuran
100 mesh karena akan menghasilkan mie dengan tekstur yang lebih
halus dibandingkan ukuran 80 mesh. Terakhir tepung jagung
dikeringkan menggunakan oven suhu 50oC selama 2 jam untuk
mengurangi jumlah air bebas pada tepung jagung sehingga dapat
memperpanjang umur simpan tepung. Kemudian tepung jagung
dikemas plastik PP ukuran 200 gram dan disimpan dalam freezer.
Kemudian dilakukan tahap kedua dari penelitian pendahuluan,
yaitu analisa pada tepung jagung yang dihasilkan. Analisa yang
dilakukan mencakup analisa sifat fisiko-kimia dan sifat fungsional dari
tepung jagung. Analisa ini dilakukan untuk mengkarakterisasi tepung
jagung yang dihasilkan.
Analisa sifat fisiko-kimia meliputi analisa pH, warna, analisa
proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar
karbohidrat), kadar pati, kadar amilosa, dan kadar amilopektin.
27
Sedangkan analisa sifat fungsional tepung jagung meliputi analisa sifat
amilografi, water absorption capacity, kelarutan dan swelling volume.
Tahapan proses penepungan jagung pipil dapat dilihat pada
Gambar 7.
Pengeringan dengan oven pada suhu 50oC selama 2 jam
Pengayakan menggunakan vibrating screen dengan saringan 100 mesh
Pembuangan cairan dan penjemuran grits jagung sampai grits tidak terlalu basah
Penggilingan dengan disc mill dengan saringan berukuran 48 mesh
Jagung dibersihkan dari biji cacat dan kontaminan lainnya
Pengeringan dengan oven pada suhu 50oC selama 2 jam
Pengambangan jagung menggunakan air suhu normal untuk membuang kulit ari dan lembaga
Penggilingan I menggunakan disc mill dengan saringan 10 mesh
Tepung jagung kasar
Perendaman grits selama 3 jam
Grits jagung
Pengemasan dengan plastik PP tiap 200 g, diberi silika gel dan disimpan di freezer
Gambar 7. Diagram alir pembuatan tepung jagung (Fahmi, 2007 dengan modifikasi)
Tahap ketiga dari penelitian pendahuluan adalah pembuatan mie
basah menggunakan metode ekstrusi. Proses pembuatan mie basah
jagung dengan metode ekstrusi terdiri atas beberapa proses, yaitu
proses penimbangan bahan, pencampuran, pengadonan, pembentukan
lembaran secara manual, pengukusan pertama (pengukusan adonan),
pencetakan mie dengan ekstruder, dan pengukusan kedua (pengukusan
mie).
28
Pertama-tama dilakukan proses penimbangan bahan-bahan
pembuatan mie basah jagung yang meliputi basis tepung jagung 100 g,
NaCl 2% (2 g), dan penambahan air hingga mencapai 70% basis kadar
air tepung. Selanjutnya dilakukan pencampuran dan pengadonan bahan
yang bertujuan mendapatkan adonan yang homogen dan meratakan
distribusi air ke dalam tepung sehingga tidak membentuk gumpalan.
Pencampuran air dan garam dilakukan dengan cara melarutkan garam
terlebih dahulu dalam air yang akan ditambahkan. Serta pengadonan
dilakukan dengan cara penambahan larutan garam sedikit demi sedikit
ke dalam tepung jagung. Hal ini agar tidak terbentuk gumpalan tepung.
Jika air yang ditambahkan lansung sekaligus dibutuhkan waktu
pengadonan yang lebih lama agar gumpalan tepung tidak terbentuk,
sehingga distribusi air di dalam adonan lebih merata.
Adonan kemudian dibentuk lembaran dengan menggunakan roll
kayu sampai ketebalan adonan sekitar ± 0.5 cm. Hal ini bertujuan untuk
meratakan distribusi panas yang diterima adonan saat proses
pengukusan pertama. Proses pengukusan akan membuat adonan
mengalami proses gelatinisasi sebagian sehingga adonan mudah dicetak
menjadi untaian mie. Proses gelatinisasi pati sebagian dapat membuat
tekstur adonan menjadi lebih lunak, kohesif, dan elastis. Pati yang
tergelatinasi pada proses ini akan berperan membentuk matriks
pengikat berupa massa elastic-cohesive sehingga adonan dapat dicetak
menjadi mie.
Setelah pengukusan pertama, adonan dimasukkan kedalam
ekstruder tipe MS9 Multy-Function Noodle Machine Operation.
Adonan akan keluar melalui die ekstruder khusus untuk mie. Mie yang
dihasilkan kemudian dikukus (pengukusan kedua) untuk
menyempurnakan proses gelatinasi sehingga diperoleh mie basah
jagung dengan tekstur yang lebih baik. Tahapan pembuatan mie basah
jagung dapat dilihat pada Gambar 8.
29
Mie basah jagung
Air sampai kadar air tepung basis kering 70%
NaCl (2%)
Pencampuran dan pengadukan hingga NaCl larut
Pembuatan lembaran secara manual dengan ketebalan ± 0,5 cm
Pengukusan adonan selama15
Pencetakan menggunakan
Pengukusan mie selama 15 menit
Mixing
Tepung
Gambar 8. Diagram alir pembuatan mie basah jagung
Mie basah yang dihasilkan kemudian dianalisa secara fisik, yaitu
meliputi analisa elongasi dan KPAP (Kehilangan Padatan Akibat
Pemasakan).
Tahap terakhir pada penelitian pendahuluan ini yaitu
dilakukannya justifikasi pembuatan mie basah jagung. Justifikasi yang
dilakukan yaitu dengan meningkatkan jumlah bahan baku menjadi dua
kali lipat menjadi 200g tepung jagung dan memberikan tekanan secara
manual pada saat pembuatan mie. Kemudian diukur filling rate dari
mie. Filling rate yaitu menghitung waktu keluar mie sejak pertama kali
keluar dari die hingga adonan tepung habis dari dalam ekstruder.
Selanjutnya mie yang dihasilkan di analisa secara fisik (analisa
elongasi dan KPAP) dan SEM (Scanning Electron Microscope).
30
2. Penelitian Utama
Penelitian utama mencakup tahap perbaikan teknis mie jagung
mentah hasil dari penelitian pendahuluan, yaitu pembuatan mie basah
jagung berdasarkan hasil justifikasi. Hal ini dilakukan untuk
memperbaiki kualitas mie jagung mentah yang dihasilkan sebelumnya.
Tindakan teknis yang dilakukan mencakup pemberian tekanan secara
manual pada saat pembuatan mie dengan menghitung waktu keluarnya
mie dari die ekstruder sampai semua adonan dalam ekstruder habis
(filling rate) dan penggunaan BTP (Bahan Tambahan Pangan) untuk
memperbaiki kualitas mie basah jagung yang dihasilkan. Kemudian mie
basah jagung yang dihasilkan dianalisa kembali elongasi, tensile
strength, KPAP,dan warna untuk mengkarakterisasi mie basah jagung
yang dihasilkan.
Hal yang sama juga dilakukan pada mie basah jagung yang
ditambahkan BTP. BTP yang ditambahkan berfungsi untuk
meningkatkan kualitas mie yang dihasilkan. BTP yang digunakan
adalah jenis guar gum. Pemilihan guar gum sebagai BTP berdasarkan
pada penelitian Fadlillah (2005) yang menyatakan bahwa pemakaian
konsentrasi guar gum yang semakin tinggi akan menghasilkan persen
elongasi yang juga semakin tinggi.
Penambahan guar gum pada penelitian ini akan dilakukan pada
taraf 1% sesuai dengan konsentrasi guar gum yang paling berpengaruh
terhadap parameter mutu inti mie basah jagung. Selanjutnya mie basah
jagung dengan BTP akan dilakukan analisa sifat reologi mie (elongasi
dan tensile strength), KPAP dan warna. Terakhir dilakukan
pembandingan hasil analisa mie basah jagung tanpa BTP dan dengan
BTP serta membandingkan hasil analisis dengan hasil analisis mie
basah terigu komersial. Dari hasil analisa terakhir inilah nantinya
ditentukan varietas tepung jagung lokal yang paling baik untuk dibuat
mie jagung. Hasil analisa yang terbaik merupakan hasil analisa yang
memiliki nilai sama atau lebih bagus dibandingkan mie basah terigu
komersial.
31
C. METODE ANALISA
1. Analisa Karakterisasi Fisiko-kimia Tepung Jagung
Analisa karakterisasi fisik yang dilakukan meliputi analisa pH dan
warna. Sedangkan analisa karakterisasi kimia yang dilakukan meliputi
analisa proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat
(penentuan kadar karbohidrat menggunakan perhitungan by difference),
kadar pati, kadar amilosa dan kadar amilopektin. Penentuan kadar
amilopektin menggunakan perhitungan selisih kadar pati dan kadar
amilosa.
a. pH (Derajat keasaman)
pH diukur dengan membuat suspensi tepung sebesar 10%,
kemudian pH diukur dengan menggunakan alat pH meter yang telah
dikalibrasi.
b. Analisa Warna Menggunakan Metode Hunter (Hutching, 1994)
Sampel ditempatkan pada wadah yang transparan. Pengukuran
menggunakan Chromameter CR 200 Minolta. Pengukuran
menghasilkan nilai Y, x dan y. Nilai ini kemudian dikonversi ke
dalam skala Hunter L a b. Untuk mendapatkan derajat Hunter
dilakukan dua kali proses konversi. L menyatakan parameter
kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). a
menggambarkan warna kromatik merah hijau dan b warna kromatik
kuning biru.
Cara Perhitungan :
• Konversi pertama :
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
yxYX
Y = Lightness
( )⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ +−=
yyx
YZ1
32
• Konversi kedua :
21
10 YL =
( )2
1
02.1 5.17
Y
YXa −= ( )
21
847.0 0.7
Y
ZYb −=
c. Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam
desikator, kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 2 gram dimasukkan
ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya
dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100oC selama kurang lebih 16-24
jam atau sampai beratnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isi
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar air
ditentukan dengan rumus :
( ) ( ) %100.% ×−−
=c
bacbbAirKadar
( ) ( ) %100.% ×−−−
=ba
backbAirKadar
Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir(g) b = berat cawan (g)
c = berat sampel awal (g)
d. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600oC,
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g
sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen.
Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai
tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur
listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu
berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, dan
ditimbang.
( ) ( ) %100.% ×−−
=c
bacbbAbuKadar
( ) ( )( )( ) %100
. 100. .% ×
−=
bbAirKadarbbAbuKadarbbAbuKadar
33
Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)
e. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995)
Sejumlah kecil sampel (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCL
0.01 N atau 0.02 N) yaitu sekitar 0.1 g ditimbang dan diletakkan ke
dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian tambahkan 0.9 g K2SO4, 40 mg
HgO dan 2 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg.
Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih.
Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, dibilas
dengan akuades, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Gas
NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh 5
ml H3BO3 dalam erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator
(campuran 2 bagian merah metil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian
methylene blue 0.2% dalam alkohol). Kondensat tersebut kemudian
dititrasi dengan HCL 0.02 N yang sudah distandarisasi hingga terjadi
perubahan warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko
dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti pada
penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan
rumus :
( )samplemg
HCLNblancoHCLmlsampleHCLmlKadarN
100007.14 % ×××−=
( ) ( )25.6%.% Konversi FaktorNbb oteinrP Kadar ×=
( ) ( )( )( ) %100
.ir 100. r .% r ×
−=
bbAKadarbboteinPKadarkboteinPKadar
f. Kadar lemak metode Soxhlet (AOAC, 1995)
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven
bersuhu 100-110oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 g, dibungkus
dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet)
yang telah berisi pelarut heksana.
34
Refluks dilakukan 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada dalam
labu lemak didestilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil
ekstrusi dipanaskan dalam suhu 100oC hingga beratnya konstan,
didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
( ) %100.% ×−
=c
babbLemakKadar
( ) ( )( )( ) %100
.ir 100. .% ×
−=
bbaKadarbbLemakKadarbbLemakKadar
Keterangan : a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g) c = berat sampel awal (g)
g. Kadar Karbohidrat by Difference (AOAC, 1995)
( ) ( )LAPkb arbohidratK Kadar ++×= %100.%
Keterangan : P = kadar protein (% b.k) A = abu (% b.k) L = kadar lemak (% b.k)
h. Kadar Pati Metode Luff Schoorl (Sudarmadji et.al., 1997)
Pembuatan larutan Luff Schoorl
Sebanyak 25 g CuSO4.5H2O sejauh mungkin bebas besi,
dilarutkan dalam 100 ml air, 50 g asam sitrat dilarutkan dalam 50
ml air dan 388 g soda murni (Na2CO3.10H2O) dilarutkan dalam
300-400 ml air mendidih. Larutan asam sitrat dituangkan dalam
larutan soda sambil digojog hati-hati. Selanjutnya, ditambahkan
larutan CuSO4. Sesudah dingin ditambahkan air sampai 1 L. Bila
terjadi kekeruhan, didiamkan kemudian disaring.
Penentuan sakarosa
Sebanyak 50 ml filtrat bebas Pb dari larutan, masukkan ke
dalam erlenmeyer, kemudian ditambah dengan 25 ml akuades dan
10 ml HCl 30% (berat jenis 1.15). Panaskan di atas penagas air
pada suhu 67-70oC selama 10 menit. Kemudian didinginkan cepat-
sepat sampai suhu 20oC. Netralkan dengan NaOH 45%, kemudian
35
diencerkan sampai volume tertentu sehingga 25 ml larutan
mengandung 15-60 mg gula reduksi.
Diambil 25 ml larutan dan dimasukkan dalam erlenmeyer,
ditambah 25 ml larutan Luff Schoorl dan dibuat pula percobaan
blanko yaitu 25 ml larutan Luff Schoorl ditambah dengan akuades
25 ml.
Setelah ditambah beberapa butir batu didih, Erlenmeyer
dihubungkan dengan pendingin balik, kemudian dididihkan.
Diusahakan 2 menit sudah mendidih. Pendidihan larutan
dipertahankan selama 10 menit. Setelah dingin, tambahkan KI
20% dan dengan hati-hati tambahkan 25 ml H2SO4 26.5%.
Yodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan Na-
thiosulfat 0.1 N memeakai indikator pati sebanyak 2-3 ml. Untuk
memperjelas perubahan warna pada akhir titrasi, pati ditambahkan
pada saat titrasi hampir berakhir.
Perhitungan kadar pati
Dengan mengetahui selisih antara titrasi blanko dan titrasi
contoh, kadar gula reduksi setelah inversi (setelah dihidrolisa
dengan HCl 30%) dalam bahan dapat dicari dengan menggunakan
Tabel 7. Selisih kadar gula reduksi sesudah inversi dengan
sebelum inversi dikalikan 0.9 merupakan kadar pati dalam bahan.
36
Tabel 10. Penentuan Glukosa, Fruktosa, dan gula invert dalam suatu bahan pangan dengan metode Luff Schoorl
Glukosa, fruktosa, dan gula invert Mg C6H12O6
ml 0.1 N Na-thiosulfat
∆ 1 2.4 2.4 2 4.8 2.4 3 7.2 2.5 4 9.7 2.5 5 12.2 2.5 6 14.7 2.5 7 17.2 2.6 8 19.8 2.6 9 22.4 2.6
10 25.0 2.6 11 27.6 2.7 12 30.3 2.7 13 33.0 2.7 14 35.7 2.8 15 38.5 2.8 16 41.3 2.9 17 44.2 2.9 18 47.1 2.9 19 50.0 3.0 20 53.0 3.0 21 56.0 3.1 22 59.1 3.1 23 62.2 - 24 - -
i. Kadar Amilosa, metode IRRI (AOAC, 1995)
Pembuatan kurva standar
Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan dengan 1 ml
etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tahap selanjutnya adalah
pemanasan dalam air mendidih selama 10 menit sampai terbentuk
gel. Gel yang terbentuk akan dipindahkan ke dalam labu takar 100
ml dan ditepatkan sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan
ke dalam labu takar 100 ml. Kedalam masing-masing labu takar
tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing
0.2; 0.4;.0.6; 0.8 dan 1.0 ml, lalu ditambahkan larutan iod
sebanyak 2 ml. Tahap selanjutnya adalah pegukuran intensitas
warna biri yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 625 nm.
37
Penetapan sampel
Ditimbang sampel sebanyak 100 mg dalam bentuk tepung
kemudian ditambahkan dengan 1 ml etanol 96% dan 95 ml NaOH
1 N. Selanjutnya dipanaskan dalam air mendidih selma 10 menit
sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk dipindahkan ke dalam
labu takar 100 ml, kemudian dikocok dan ditepatkan sampai tanda
tera dengan akuades. Tahap selanjutnya adalah larutan tersebut
dipipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100
ml, ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod.
Kemudian ditepatkan sampai tanda tera dengan air, dikocok dan
didiamkan selamam 20 menit. Tahap selanjutnya adalah
pengukuran intensitas warna yang terbentuk dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.
( ) %100100
100.% ×−
×××
=kab
vFpakb Amilosa Kadar
Keterangan : a = konsentrasi amilosa dari kurva standar Fp = faktor pengenceran ka = kadar air b = berat sampel v = volume mula-mula
2. Analisa Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Jagung
Analisa karakterisasi sifat fungsional tepung jagung terdiri atas
analisa sifat amilografi tepung jagung menggunakan Brabender
Amilograf untuk mengetahui sifat gelatinisasi tepung jagung, analisa
Water Absorption Capacity metode Sathe dan Salunke (1981), analisa
Kelarutan dan Swelling volume (Collado, L.S dan H. Corke, 1998).
38
a. Sifat Amilografi
Buret diberi 450 ml air akuades. Sampel sebanyak 45 gram
dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer kemudian dilarutkan dengan
sebagian air akuades hingga terbentuk suspensi. Suspensi dimasukkan
ke dalam bowl amilograph dan sisa akuades digunakan untuk
membilas buret kemudian dimasukkan ke dalam bowl amilograph.
Suhu awal diatur dengan termoregulator pada suhu 30 oC kemudian
di-switch pengatur suhu berada di bawah posisi 97oC dan mesin
amilograph dinyalakan sehingga bowl amilograph berputar serta
dipanaskan dengan menggunakan air. Kemudian pasang pena pencatat
pada skala kertas amilogram. Mesin amilograph dimatikan ketika
pasta mencapai suhu 95oC. Perhitungan analisis amilograph dilakukan
dengan rumus :
Suhu awal gelatinisasi = suhu pada saat kurva mulai naik
Suhu pada puncak gelatinisasi = suhu pada saat viskositas
maksimum dicapai
(kurva mencapai puncak)
Suhu ditentukan berdasarkan perhitungan berikut =
Suhu awal + (waktu dalam menit x 1.5 menit)
Viskositas maksimum = pada puncak gelatinisasi
dinyatakan dalam Amilograph
atau Brabender Unit
b. Water Absorption Capacity (Metode Sathe dan Salunke, 1981)
Absorbsi air ditentukan dengan cara sentrifugasi. Satu g contoh
dicampur dengan 10 ml akuades, diaduk 30 detik. Kemudian
campuran didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar. Selanjutnya
campuran tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama
30 menit. Absorbsi air dinyatakan dalam g/g (bk) dan dihitung dengan
rumus :
39
cbaairAbsorbsi −
=
Keterangan : a = bobot air mula- mula b = bobot supernatan c = bobot sampel
c. Kelarutan (Modifikasi Perez et. al., 1999)
Suspensi pati disiapkan yaitu 0.5 g sampel dicampur dengan 50
ml akuades dalam labu erlenmeyer 100 ml. Tempatkan sampel pada
penangas air pada suhu 90oC selama 2 jam dengan pengadukan
kontinyu. Dari suspensi tersebut diambil 30 ml larutan yang jernih
kemudian diletakkan pada cawan petri yang telah diketahui bobotnya.
Cawan petri dikeringkan pada oven bersuhu 100oC hingga bobotnya
tetap, kemudian dihitung kenaikan bobotnya.
( )mlg
ml
30 5.0
100 50Awal PetriCawan Bobot Akhir PetriCawan Bobot %Kelarutan
×
××−=
d. Swelling volume (Collado, L.S dan H. Corke, 1998)
Penghitungan swelling volume dimulai dengan menimbang
sampel sebanyak 0.35 g di dalam tabung reaksi bertutup. Kemudian
ditambahkan 12.5 ml akuades. Diamkan campuran selama 5 menit di
suhu ruang. Selanjutnya campuran bahan dimasukkan ke dalam
waterbath bersuhu 92.5oC selama 30 menit sambil sesekali di aduk.
Kemudian sampel didinginkan dalam air es selama 1 menit. Diamkan
campuran selama 5 menit pada suhu ruang. Selanjutnya sampel
disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 15 menit. Timbang
berat gel yang dihasilkan dan kemudian gel dikeringkan untuk
mendapatkan volume gel per berat kering.
3. Analisa Fisik Mie Basah Jagung
Analisa fisik mie jagung meliputi analisa persen elongasi
menggunakan Texture Analyzer TAXT-2 pada penelitian pendahuluan
dan menggunakan Rheoner RE-3305 pada justifikasi dan penelitian
utama, analisa tensile strength menggunakan Rheoner RE-3305, analisa
40
warna metode Hunter (Hutching, 1994), dan analisa cooking loss atau
Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) menggunakan metode
Oh et al. (1985).
a. Analisis Persen Elongasi menggunakan Texture Analyzer
Sampel dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm
dan kecepatan probe 0,3 cm/s. Persen elongasi dihitung dengan
rumus :
( ) %1002
3.0×
×=
cmscm s Sample Putus WaktuElongasi Persen
b. Pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan)
(Oh et al., 1985)
Penentuan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)
dilakukan dengan cara merebus 5 gram mie dalam 150 ml air. Setelah
mencapai waktu optimum perebusan, mie ditiriskan dan disiram air,
kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mie kemudian
ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100oC sampai beratnya
konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus
berikut:
( ) %1001
1×
−−
=Contoh Air Kadar Awal Berat
nDikeringka Setelah SampleBeratKPAP
c. Analisis Persen Elongasi dan Tensile Strength menggunakan
Rheoner
Pada pengukuran elastisitas dan tensile strength digunakan
probe yang dapat menjepit kedua ujung mie. Beban yang digunakan
0.2 volt, test speed 1 mm/s, dan chart speed 40 mm/menit. Sampel
mie basah yang telah diberi perlakuan pencelupan sebanyak tiga kali
dan perendaman diletakkan di probe dan dijepit pada kedua
ujungnya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan
antara kekuatan (kgf) dan waktu (s).
41
Cara perhitungan :
• Persen Elongasi
a = setengah jarak antar kedua ujung
penjepit (mm),
dimana a = 1.05 mm
b = lebar kurva (mm) x 1.5
c = (a2 + b2)1/2 mm
ΔL = (2 x c) – 21 mm
% elongasi = (ΔL/21) x 100%
a
bc
• Tensile Strength
Menghitung jumlah kotak yang dilewati oleh chart pada saat
chart mencapai puncak tertinggi sebelum chart turun (puncak
chart saat mie putus ketika mie diberikan gaya). Kemudian jumlah
kotak dikalikan dengan kekuatan saat beban 0.2 volt.
Kekuatan 1 kotak chart saat 0.2 volt = 4 kgf.
d. Analisa mikrostruktur menggunakan Scanning Electon
Microscope (SEM) (Noor, 2001)
Sebelum dilakukan analisis menggunakan SEM, sampel harus
dipersiapkan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan SEM tidak bisa
digunakan pada sampel dengan kadar air > 5%. Untuk itu, mie basah
jagung yang akan dianalisis didehidrasi dengan metode freeze drying.
Sampel difreeze drying menggunakan Freeze Dry Yamato dengan
suhu (-76) oC. Sampel yang sudah kering di potong ± 1-3 mm.
Sampel di letakkan di atas di atas stap yang sudah ditempeli dengan
carbon double tape. Kemudian sampel dicoating dengan emas
menggunakan JEOL JFC 110E Ion Sputtering Device Fine Coat.
Setelah sampel dicoating, sampel diletakkan di dalam kolom
tempat sampel pada alat SEM JEOL JSM 5200. Kemudian dilakukan
pengamatan mikrostruktur dari mie dengan perbesaran 2000x dan
3500x.
42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kajian Pembuatan Tepung Jagung
Pembuatan tepung jagung dilakukan pada jagung pipil lima varietas
jagung unggulan nasional, yaitu varietas jagung Srikandi Kuning, Bisma,
Sukmaraga, Lamuru dan Arjuna. Jagung pipil ini didapatkan dari Balai Pusat
Penelitian Serelia, Maros, Sulawesi Selatan. Proses penepungan yang
dilakukukan merupakan modifikasi proses penepungan yang telah dilakukan
pada penelitian Fahmi (2007). Teknik penepungan yang digunakan adalah
teknik penepungan kering (dry process). Teknik penepungan kering ini
terdiri atas beberapa tahap proses, yaitu proses pengilingan kasar, pencucian
dan pengambangan, perendaman, pengeringan grits, penggilingan halus,
pengeringan tepung, pengayakan tepung ukuran 100 mesh, dan pengeringan
tepung setelah tepung diayak.
Proses pembuatan tepung jagung diawali dengan melakukan proses
penggilingan kasar pada jagung pipil. Proses penggilingan kasar ini
menggunakan dics mill dengan saringan 10 mesh sehingga menghasilkan
grits jagung. Grits jagung yang dihasilkan dari proses penggilingan kasar ini
masih bercampur dengan kotoran, lembaga, kulit dan tip cap. Komponen-
komponen yang masih bercampur dengan grits ini merupakan komponen
yang tidak diinginkan terdapat pada grits jagung.
Untuk memisahkan komponen yang tidak diinginkan ini dilakukan
proses pencucian. Grits dicuci dengan air bersih sehingga komponen-
komponen yang tidak diinginkan tersebut mengambang sehingga
memudahkan proses pemisahan. Selama proses pencucian juga dilakukan
proses pengadukan agar komponen-komponen yang tidak diinginkan
tersebut tidak mengendap dalam tumpukan grits. Proses pencucian ini
bertujuan untuk memisahkan grits (bagian endosperm jagung) dengan bagian
lembaga, kulit, tip cap serta kotoran yang dapat menjadi sumber
kontaminasi.
Bagian lembaga jagung harus dibuang karena bagian ini dapat
menyebabkan tepung jagung yang dihasilkan menjadi cepat tengik akibat
reaksi oksidasi lemak karena kandungan lemaknya yang tinggi (Hoseney,
1998). Bagian kulit ari dan tip cap harus dibuang karena dapat menyebabkan
tepung jagung memiliki tekstur yang kasar. Setelah proses pencucian, grits
jagung kemudian direndam selama 3 jam. Proses perendaman ini berfungsi
untuk memperlunak jaringan endosperm jagung sehingga memudahkan
proses penggilingan selanjutnya.
Kemudian, grits jagung dikeringkan menggunakan sinar matahari
hingga kadar airnya mencapai ± 35% dan saat dirasa grits tidak terlalu basah
dan tidak terlalu kering. Pengukuran kadar air dilakukan dengan cara
memegang grits dan grits tersebut tidak begitu lengket dengan tangan. Hal
ini dilakukan agar proses penggilingan menjadi lebih efisien sehingga
rendemen yang dihasilkan pun lebih tinggi. Selanjutnya dilakukan proses
penepungan halus menggunakan disc mill dengan saringan berukuran 48
mesh. Tahapan ini bertujuan untuk memperhalus ukuran jagung menjadi
tepung. Tepung jagung yang dihasilkan ini masih merupakan tepung jagung
kasar.
Tepung jagung yang dihasilkan kemudian dikeringkan
menggunakan oven suhu 50oC selama 2 jam. Kemudian tepung diayak
menggunakan vibrating screen dengan ukuran ayakan 100 mesh. Ukuran
100 mesh ini dipilih berdasarkan penelitian Pratama (2008) yang meyatakan
bahwa ukuran tepung jagung yang dianjurkan untuk membuat mie basah
jagung adalah ukuran 100 mesh karena akan menghasilkan mie dengan
tekstur yang lebih halus dibandingkan ukuran 80 mesh. Terakhir tepung
jagung dikeringkan menggunakan oven suhu 50oC selama 2 jam untuk
mengurangi jumlah air bebas pada tepung jagung sehingga dapat
memperpanjang umur simpan tepung. Kemudian tepung jagung dikemas
plastik PP ukuran 200 gram dan disimpan dalam freezer.
Pembuatan tepung jagung menggunakan teknik penggilingan kering
pertama kali dilakukan oleh Juniawati (2003). Pada teknik ini dilakukan
penggilingan sebanyak dua kali. Penggilingan pertama menggunakan
44
hammer mill. Kemudian dilakukan perendaman dan pencucian pada hasil
penggilingan untuk memisahkan bagian endosperma jagung (grits) dengan
kulit, lembaga dan tip cap. Perendaman bertujuan untuk melunakkan
endosperm jagung agar mudah dihancurkan pada penggilingan kedua.
Penggilingan kedua menggunakan disc mill yang bertujuan untuk
menghaluskan grits jagung menjadi tepung jagung. Grits jagung terlebih
dahulu dikeringkan sehingga diperoleh kadar air ± 35%. Jika kadar air terlalu
tinggi maka bahan akan menempel pada disc mill sehingga dapat
menimbulkan kemcetan pada alat. Sedangkan jika kadar air terlalu rendah,
endosperma akan kembali menjadi keras sehingga sulit untuk ditepungkan.
Kedua hal tersebut mengakibatkan rendemen tepung jagung menjadi rendah.
Agar ukuran tepung jagung seragam dilakukan proses pengayakan
menggunakan saringan berukuran 100 mesh. Menurut Suprapto (1998),
penggilingan kering (dry process) umumnya banyak dilakukan dalam skala
besar.
Menurut Hoseney (1998), pada prinsipnya penggilingan biji jagung
menjadi tepung merupakan proses untuk memisahkan endosperma dari
bagian biji yang lain, seperti lembaga, kulit (perikarp), dan tip cap. Bagian
endosperma merupakan bagian yang akan dibuat menjadi tepung jagung. Hal
ini dikarenakan bagian ini memiliki kandungan pati yang paling tinggi.
B. Karakterisasi Tepung Jagung
Analisa karakterisasi tepung jagung yang dilakukan mencakup analisa
sifat fisiko-kimia dan dan sifat fungsional dari tepung jagung. Analisa sifat
fisiko-kimia meliputi analisa pH, warna, analisa proksimat (kadar air, abu,
protein, lemak dan karbohidrat), kadar pati, amilosa, dan amilopektin.
Sedangkan analisa sifat fungsional tepung jagung meliputi analisa sifat
amilografi, water absorption capacity, kelarutan dan swelling volume.
45
1. Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung Jagung
Analisa yang dilakukan yaitu analisa sifat fisik dan sifat kimia
tepung jagung. Analisa sifat fisik meliputi analisa pH dan warna. Analisa
sifat kimia meliputi analisa proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, dan
karbohidrat), kadar pati, amilosa dan amilopektin.
a. Analisa Sifat Fisik Tepung Jagung
1). pH
Hasil analisa pH dapat dilihat pada Gambar 9. Dari gambar
tersebut dapat dilihat bahwa pH tepung jagung Srikandi Kuning
5.83, Bisma 5.85, Sukmaraga 5.90, Lamuru 6.67 dan Arjuna 5.80.
dari hasil analisa pH tersebut dapat diketahui bahwa nilai pH
tepung jagung yang didapatkan ini masuk ke dalam range pH
optimum pembentukan gel, karena menurut Manullang (1993) pH
pembentukan gel optimum pada pH 4 - 7. Jika pH terlalu tinggi,
pembentukan gel akan cepat tercapai, tapi akan cepat turun lagi.
Jika pH terlalu rendah terbentuknya gel akan lambat dan bila
pemanasan dilanjutkan, viskositasnya tidak berubah. Pada pH
optimum ini pembetukan gel cenderung lambat, tetapi bila
pemanasan diteruskan viskositas tidak berubah.
Gambar 9. Nilai pH lima varietas tepung jagung Kemudian dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil
analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan
46
uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf
signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap pH yang
dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai pH
yang berbeda (Lampiran 5A.1).
2). Warna
Analisis warna yang dilakukan menggunakan metode Hunter
dimana pengukurannya dilakukan dengan menggunakan alat
Chromameter CR 200 Minolta. Hasil pengukuran yang dihasilkan
berupa nilai Y, x dan y. Nilai ini kemudian dikonversi ke dalam
skala Hunter L a b. Untuk mendapatkan derajat Hunter dilakukan
dua kali proses konversi (Hutching, 1994). Nilai L menyatakan
parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih).
Nilai a menggambarkan warna kromatik merah hijau dan b warna
kromatik kuning biru. Hasil analisa warna tepung jagung dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil analisa warna lima varietas tepung jagung Varietas
Sifat Fisik Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna
L 88.81 87.86 87.07 88.14 88.74
a 0.40 1.18 0.68 1.15 0.73 Warna
b 26.18 26.96 25.43 26.07 25.88
Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa varietas tepung jagung
memiliki nilai L yang cenderung sama. Nilai L yang cenderung
sama menyebabkan tidak terlihatnya signifikansi perbedaan tingkat
kecerahan tepung jagung. Hal ini dapat dibuktikan dengan gambar
tepung jagung pada Gambar 10.
Gambar 10. Lima varietas tepung jagung ukuran 100 mesh
47
Tepung jagung Bisma memiliki nilai a dan b paling tinggi
dibandingkan varietas tepung jagung lainnya. Tepung jagung
Bisma memiliki nilai a sebesar +1.81 dan nilai b +26.96. Ini berarti
tepung jagung Bisma memiliki warna kromatik kuning kemerahan.
Warna kuning tepung jagung ini berasal dari pigmen xantofil yang
terdapat pada biji jagung.
Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.
Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut
Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi
5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kecerahan
[Lampiran 5A.2(a)], berpengaruh nyata terhadap nilai a dan b
[Lampiran 5A.2(b dan c)] yang dihasilkan. Artinya, perbedaan
varietas akan menghasilkan tingkat kecerahan yang cenderung
sama dengan tingkat warna kuning kemerahan yang berbeda.
b. Analisa Sifat Kimia Tepung Jagung
Analisa sifat kimia tepung jagung meliputi analisa proksimat
(kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat), kadar pati, amilosa
dan amilopektin.
1) Kadar Air
Penentuan kadar air dalam suatu bahan pangan sangat
diperlukan karena akan mempengaruhi daya simpan bahan pangan
tersebut. Proses penyimpanan ataupun lama dari waktu pemanenan
sampai bahan diolah menjadi suatu produk sangat mempengaruhi
kadar air dari tepung. Makin tinggi kadar air dari suatu bahan maka
makin tinggi kemungkinan bahan tersebut untuk mengalami
kerusakan. Kerusakan bahan seperti tepung lebih terutama
disebabkan oleh kapang dan berbagai jenis kutu (Syarief dan Halid,
1993).
Daya simpan suatu bahan pangan dapat diperpanjang dengan
cara menghilangkan sebagian air yang terdapat pada bahan pangan
48
tersebut sampai mencapai kadar air tertentu. Salah satu cara
memperpanjang daya simpan tepung adalah dengan pengeringan.
Menurut Fardiaz (1989), pengeringan pada tepung dapat
mengurangi kadar air tepung sampai batas tertentu sehingga
pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan
pada tepung dapat dihambat. Batas kadar air minimum dimana
mikroba masih dapat tumbuh adalah 14 - 15% (bb).
Gambar 11. Kadar air lima varietas tepung jagung
Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa kadar air tepung jagung
kelima varietas jagung yang diujikan memiliki nilai berkisar antara
9.95 - 15.04% (bk). Hal ini menunjukkan bahwa kadar air yang
terdapat pada beberapa varietas tepung jagung belum memenuhi
syarat SNI tepung jagung (SNI 01-3727-1995) yaitu maksimum
10%. Namun, kadar air ini masih masuk dalam batas kadar air
minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14 - 15%
b/b (Fardiaz, 1989). Untuk menjaga agar tepung jagung tidak
mengalami kerusakan, tepung jagung disimpan di dalam freezer
suhu -20°C dan diberi silika gel sampai digunakan dalam
penelitian.
Kemudian dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil
analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan
uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf
signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kadar air yang
49
dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan kadar
air yang berbeda (Lampiran 5A.3).
2) Kadar Abu
Kadar abu secara kasar menggambarkan kandungan mineral
dalam suatu bahan pangan. Kadar abu merupakan sisa-sisa setelah
bahan dibakar sehingga bebas karbon. Mineral merupakan zat
organik dalam bahan yang tidak terbakar selama proses
pembakaran. Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan, umur
bahan dan lain-lain. Secara kuantitatif , kadar abu yang terdapat
pada suatu bahan berasal dari mineral-mineral dalam bahan yang
masih segar, pemakaian pupuk dan dapat juga berasal dari
kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan. Umumnya,
semakin tinggi nilai kadar abu maka semakin besar kandungan
mineral dari suatu bahan pangan.
Gambar 12. Kadar abu lima varietas tepung jagung
Dari Gambar 12 dapat diketahui bahwa tepung jagung yang
dianalisa memiliki kadar abu berkisar antara 0.59 - 0.83% (bk). Hal
ini sesuai dengan persyaratan tepung jagung menurut SNI tepung
jagung (SNI 01-3727-1995) yaitu maksimum 1.5%.
Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.
Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut
Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi
5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu yang
50
dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai
kadar abu yang cenderung sama (Lampiran 5A.4).
3) Kadar Protein
Kadar protein dalam tepung jagung bukan merupakan syarat
mutu tepung dalam SNI tepung jagung. Namun, keberadaannya
dalam tepung dapat melengkapi nilai gizinya. Protein utama dari
tepung jagung adalah protein jenis zein. Kadar protein dihitung
dengan cara menghitung kadar nitrogen (N) dalam bahan pangan
menggunakan metode Kjeldahl.
Gambar 13. Kadar protein lima varietas tepung jagung
Dari Gambar 13 diketahui bahwa kadar protein tepung
jagung berkisar antara 8.96 - 9.22 % (bk). Kandungan protein
dalam tepung sangat penting untuk melengkapi nilai gizinya. Oleh
karena itu kandungan protein tepung diharapkan setinggi mungkin.
Akan tetapi kadar protein juga tidak boleh terlalu tinggi karena
protein dapat membentuk lapisan yang melingkupi pati sehingga
membutuhkan lebih banyak energi untuk gelatinisasi pati.
(BeMiller dan Whistler, 1996 dalam Fennema, 1996). Hal ini akan
berdampak pada peningkatan suhu gelatinisasi dan mempengaruhi
proses pembuatan mie basah jagung yang sangat bergantung pada
proses gelatinisasi pati.
51
Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.
Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut
Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi
5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein yang
dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai
kadar protein yang cenderung sama (Lampiran 5A.5).
4) Kadar Lemak
Analisa kadar lemak yang dilakukan menggunakan metode
ekstraksi soxhlet. Kadar lemak yang dianalisa merupakan kadar
lemak kasar karena tidak hanya lemak yang terhidrolisa tetapi juga
lilin, fosfolipid, sterol, hormon, minyak atsiri dan pigmen.
Menurut BeMiller dan Whistler (1996) dalam Fennema
(1996), kadar lemak yang tinggi dapat menganggu proses
gelatinisasi, sebab lemak mampu membuat kompleks dengan
amilosa sehingga amilosa tidak dapat keluar dari granula pati.
Lemak dapat menganggu proses gelatinisasi dengan cara sebagian
besar lemak akan diserap oleh permukaan granula sehingga
terbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik di sekeliling
granula. Lapisan lemak tersebut akan menghambat pengikatan air
oleh granula. Hal ini akan menyebabkan kekentalan dan kelekatan
pati berkurang akibat jumlah air berkurang untuk terjadinya
pengembangan granula dan menyebabkan terjadi peningkatan suhu
gelatinisasi. Dengan mengetahui kadar lemak pada tepung maka
akan memudahkan dalam penentuan tujuan dan pembuatan produk,
khususnya mie basah jagung yang proses pembuatannya sangat
tergantung pada proses gelatinisasi pati.
52
Gambar 14. Kadar lemak lima varietas tepung jagung
Dari hasil analisa pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa kadar
lemak kelima varietas tepung jagung cukup rendah yaitu berkisar
antara 1.62 - 1.85 % (bk). Varietas jagung Lamuru memiliki kadar
lemak paling rendah dibandingkan varietas jagung lainnya.
Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.
Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut
Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi
5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak yang
dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai
kadar lemak yang cenderung sama (Lampiran 5A.4).
5) Kadar Karbohidrat
Kadar karbohidrat dihitung dengan metode by difference.
Kadar karbohidrat yang didapatkan dari hasil perhitungan ini
merupakan kadar karbohidrat kasar. Dari hasil analisa diketahui
bahwa kadar karbohidrat kelima varietas tepung jagung berkisar
antara 88.11 - 88.87% (bk). Tepung jagung varietas Lamuru
memiliki kadar karbohidrat paling tinggi yaitu 88.87% (bk). Hasil
analisa karbohidrat dapat dilihat pada Gambar 15.
53
Gambar 15. Kadar karbohidrat lima varietas tepung jagung
Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap
hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate
dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada
taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap
kadar karbohidrat yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas
akan menghasilkan nilai kadar karbohidrat yang cenderung sama
(Lampiran 5A.7).
6) Kadar Pati
Kadar pati merupakan kriteria mutu terpenting tepung baik
sebagai bahan pangan maupun non pangan. Menurut Thomas dan
Atwell (1999) dalam Soh et al., (2006), komposisi pati merupakan
faktor penting yang menetukan tekstur dan karakteristik dari
produk. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa kadar pati kelima
varietas tepung jagung berkisar antara 71.69 - 75.70% (bk). Kadar
pati yang dihasilkan ini cukup tinggi sehingga sangat membantu
dalam proses gelatinisasi saat pembuatan mie basah jagung.
Tepung jagung varietas Bisma memiliki kadar pati paling tinggi
dibandingkan keempat varietas tepung jagung lainnya, yaitu
sebesar 75.50 % (bk). Hasil analisa pati dapat dilihat pada Gambar
16.
54
Gambar 16. Kadar pati lima varietas tepung jagung
Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.
Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut
Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi
5% varietas berpengaruh nyata terhadap kadar pati yang dihasilkan.
Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar pati
yang berbeda (Lampiran 5A.8).
7) Kadar Amilosa
Analisa kadar amilosa yaitu menghitung banyaknya amilosa
yang terdapat dalam granula pati. Amilosa sangat berperan dalam
proses gelatinisasi dan jumlah amilosa yang cukup tinggi dalam
granula pati dapat meningkatkan karakteristik dari pasta pati (Soh
et al., 2006). Pati yang memiliki amilosa yang tinggi yang tinggi
mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar karena
jumlah rantai lurus yang besar dalam granula, sehingga
membutuhkan energi yang tidak terlalu besar untuk gelatinisasi.
55
Gambar 17. Kadar amilosa lima varietas tepung jagung
Dari Gambar 17. dapat dilihat bahwa kadar amilosa kelima
varietas tepung jagung berkisar antara 23.06 - 27.68% (bk).
Menurut Soh et al. (2006) kandungan amilosa dalam pati dapat
meningkatkan elastisitas dan kekuatan tarik dari pasta pati dan
meningkatkan daya serap air (WAC), menurunkan tingkat
kelarutan dan swelling volume tepung. Dalam pembuatan pasta
pati, tepung diharapkan memiliki kadar amilosa minimum sebesar
25% untuk menghasilkan mie dengan karakteristik fisik yang baik
(Galvez et al., 1994 dalam Collado dan Corke, 1998).
Selanjutnya dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil
analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan
uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf
signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kadar amilosa
yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan
kadar amilosa yang berbeda (Lampiran 5A.9).
8) Kadar Amilopektin
Kadar amilopektin didaptkan dari selisih kadar pati dan
amilosa. Dari Gambar 18 dapat diketahui bahwa kadar amilopektin
kelima varietas tepung jagung berkisar antara 44.10 - 52.64% (bk).
Kadar amilopektin pada tepung yang akan digunakan sebagai
bahan baku pembuatan mie diharapkan memiliki nilai yang
cenderung rendah. Hal ini dikarenakan amilopektin menyebabkan
56
terjadinya kristalisasi pati sehingga dapat meningkatkan suhu
gelatinisasi (Grant et al., 2000 dalam Soh et al., 2006).
Gambar 18. Kadar amilopektin lima varietas tepung jagung
Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.
Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut
Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi
5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar amilopektin
yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan
nilai kadar amilopektin yang sama (Lampiran 5A.10).
2. Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Jagung
Analisa sifat fungsional tepung jagung meliputi analisa sifat
amilografi, water absorption capacity (WAC), kelarutan dan swelling
volume.
a. Sifat Amilografi
Sifat gelatinisasi tepung diperoleh dengan analisa menggunakan
Visco Amylograph Brabender. Prinsip kerjanya yaitu menaikkan suhu
suspensi tepung 1.5°C tiap menit dan mencatat perubahan viskositas
yang terjadi pada suspensi tepung tersebut. Sifat amilografi yang
penting untuk diamati adalah suhu gelatinisasi awal, viskositas
maksimum, breakdown viscosity, setback viscosity dan viskositas
akhir. Suhu gelatinisasi awal adalah suhu dimana viskositas mulai
57
naik. Nilainya didapat dengan cara mengalikan kecepatan suhu
(1.5°C/menit) dengan waktu gelatinisasi (menit) ditambah dengan
suhu awal proses pemanasan (30°C).
Pemanasan yang diberikan secara terus menerus menyebabkan
peningkatan viskositas suspensi. Hal ini ditunjukkan dengan kurva
yang menaik. Peningkatan viskositas terjadi karena granula pati
mengembang akibat menyerap air (pasting). Pemanasan terus
berlanjut sampai pada suhu 95° dan pada suatu titik tertentu akan
terjadi penurunan viskositas secara drastis yang disebabkan oleh
lepasnya molekul amilosa dari pati. Fenomena ini disebut shear
thinning (Hoseney, 1998).
Viskositas maksimum adalah viskositas tertinggi dimana granula
sudah mulai pecah. Break down viscosity adalah selisih antara
viskositas balik dan viskositas maksimum. Setback viscocity adalah
selisih antara viskositas akhir dengan viskositas balik dimana telah
terjadi retrogradasi. Suhu gelatinisasi akhir adalah suhu dimana
viskositas mencapai titik tertinggi. Suhu gelatinisasi akhir berguna
untuk melihat viskositas akhir (viskositas tertinggi).
Tabel 12. Sifat amilografi lima varietas tepung jagung
Sifat Amilografi Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna
Suhu Awal Gelatinisasi (°C) 73.5 72.0 72.0 73.5 73.5
Viskositas Maksimum (BU) 462.5 222.5 285.0 250.0 200.0
Viskositas Akhir (BU) 580.0 350.0 422.5 340.0 280.0
Breakdown Viscocity (BU) 92.5 5.0 25.0 15.0 20.0
Setback Viscocity (BU) 47.5 97.5 102.5 65.0 45.0
Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa kelima varietas tepung jagung
memiliki suhu gelatinisasi awal sebesar 72 - 73.5°C. Ini berarti pada
range suhu inilah tepung jagung akan mulai tergelatinisasi dan
terbentuk adonan yang elastis dan kohesif yang dapat dicetak menjadi
untaian mie ketika keluar dari die ekstruder. Jika digunakan suhu
58
dibawah suhu awal gelatinisasi maka akan terbentuk adonan yang
kurang elastis dan menghasilkan untaian mie yang permukaan
teksturnya kasar dan mudah patah ketika melalui pencetakan pada
ekstruder karena belum mengalami gelatinisasi (Hatorangan, 2007).
F E
DCB
A
Keterangan :
A : Suhu awal gelatinisasi D : Viskositas setelah holding suhu 95°C
B : Viskositas maksimum E : Viskositas saat suhu 50°C
C : Viskositas saat holding suhu 95°C F : Viskositas setelah suhu 50°C (V.akhir)
Gambar 19. Sifat amilografi lima varietas tepung jagung
Viskositas maksimum lima tepung jagung berkisar antara 200.0 -
462.5 BU dan Viskositas akhir berkisar antara 280.0 – 580.0 BU.
Viskositas maksimum terjadi pada saat range suhu 80 – 90°C (dilihat
dari Gambar 19). Hal ini berarti saat suhu adonan berkisar antara 80 –
90°C terjadi proses peleburan granula pati, amilosa keluar, sehingga
terbentuk matriks yang seragam yang dapat meningkatkan kekuatan
ikatan antar granula. Viskositas akhir berarti viskositas pati saat
proses gelatinisasi sudah sempurna.
Breakdown viscosity lima varietas jagung berkisar antara 5.0 -
92.5 BU dan setback viscosity sebesar 45.0 - 102.5 BU. Breakdown
59
viscosity menggambarkan tingkat kestabilan pasta pati terhadap proses
pemanasan dan setback viscosity menggambarkan tingkat
kecenderungan proses retrogradasi pasta pati. Semakin besar nilai
breakdown viscosity dan setback viscosity maka pasta pati tersebut
akan semakin stabil terhadap pemanasan dan semakin tinggi tingkat
kecenderungan mengalami retrogradasi. Retrogradasi yang terlalu
tinggi tidak diharapkan karena menyebabkan produk yang dihasilkan
cepat mengalami kekerasan dan kering.
b. Water Absorption Capasity (WAC)
Water absorption capacity digunakan untuk mengukur besanya
kemampuan tepung untuk menyerap air. Kemampuan ini sangat
dipengaruhi oleh komposisi granula. Struktur granula pada masing-
masing tepung juga sangat menentukan nilai yang terukur. Hasil
analisa WAC dapat dilihat pada Gambar 20.
WAC dari tepung perlu diperhatikan sebab banyaknya air yang
ditambahkan pada tepung akan mempengaruhi sifat-sifat fisik dari
tepung. Menurut Kulp (1975), air yang terserap dalam molekul
disebabkan oleh granula secara fisik maupun terikat secara
intramolekular.
Gambar 20. Water absorption capacity lima varietas tepung jagung
60
Dari hasil analisa dapat diketahui bahwa WAC berkisar antara
1.34-1.69 g/g (bk). Varietas Bisma memiliki nilai WAC paling tinggi
yaitu 1.69 g/g (bk) dan varietas Srikandi Kuning memiliki nilai WAC
paling rendah yaitu 1.34 g/g (bk). Hal ini disebabkan lebih tingginya
kandungan amilosa pada varietas Bisma dibandingkan Srikandi
Kuning. Menurut Soh, et al. (2006), kandungan amilosa yang tinggi
dapat membantu penyerapan air pada granula.
Kemudian dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa.
Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut
Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi
5% varietas berpengaruh nyata terhadap nilai WAC yang dihasilkan.
Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai WAC yang
berbeda (Lampiran 5A.11).
c. Kelarutan dan Swelling Volume
Kelarutan merupakan bobot tepung yang terlarut dan dapat diukur
dengan cara mengeringkan dan menimbang sejumlah larutan
supernatan. Swelling volume merupakan kenaikan volume tepung
selama mengalami pengembangan di dalam air.
Setiap jenis tepung memiliki pola karakteristik kelarutan dan
swelling volume yang berbeda. Menurut Leach (1965) di dalam
Wurzburg (1965), sifat pengembangan sangat bergantung pada
kekuatan dan sifat alami antar molekul dalam granula, yang juga
sangat bergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat dalam
granula. Berbagai faktor yang menentukan daya ikat tersebut adalah
(1) perbandingan amilosa dengan amilopektin, (2) bobot molekul dari
fraksi-fraksi tersebut, (3) distribusi bobot molekul, (4) derajat
percabangan, dan (5) panjang dari cabang molekula amilopektin
terluar yang dapat berperan dalam kumpulan ikatan.
Komponen non-karbohidrat yang secara alami terdapat dalam
pati juga mempengaruhi daya ikat. Keberadaan zat lain dalam pati
juga mempengaruhi swelling volume. Tingginya kandungan lemak
61
dalam tepung dapat menurunkan nilai swelling volume. Menurut
Moorthy (1985) dalam Balagopalan et al (1988) perbedaan varietas,
faktor lingkungan dan usia tanaman itu sendiri juga dapat
mempengaruhi swelling volume dan kelarutan dari tepung jagung.
Gambar 21. Kelarutan lima varietas tepung jagung
Gambar 22. Swelling volume lima varietas tepung jagung
Suhu juga merupakan salah satu faktor yang turut menetukan
besarnya nilai kelarutan. Semakin tinggi suhu maka kelarutan akan
semakin meningkat. Analisa kelarutan dilakukan pada suhu 90°C dan
swelling volume pada suhu 92.5°C. Dari hasil analisa pada Gambar
21 dan Gambar 22 dapat dilihat bahwa nilai kelarutan kelima varietas
tepung jagung berkisar antara 5.00 - 7.92 % dan swelling volume
sebesar 7.53 - 9.30 ml/g (bk).
62
Nilai kelarutan dan swelling volume paling tinggi dimiliki oleh
tepung jagung varietas Srikandi Kuning dan paling rendah dimiliki
oleh tepung jagung varietas Bisma. Nilai kelarutan dan swelling
volume juga dipengaruhi oleh kandungan amilosa didalam bahan
pangan. Semakin tinggi kandungan amilosa menyebabkan rendahnya
tingkat swelling dan kelarutan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
molekul-molekulnya yang linear sehingga memperkuat jaringan
internalnya (Leach, 1965 dalam Wurzburg, 1965).
Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil
analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji
lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf
signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kelarutan
(Lampiran 5A.13) dan tidak berpengaruh nyata tehadap swelling
volume (Lampiran 5A.12) yang dihasilkan. Artinya, perbedaan
varietas akan menghasilkan nilai kelarutan yang berbeda dan swelling
volume yang cenderung sama.
C. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan ini secara umum terdiri atas beberapa tahap,
yaitu pembuatan tepung jagung, analisis karakterisasi tepung jagung,
pembuatan mie basah jagung, dan justifikasi pembuatan mie basah jagung.
1. Pembuatan Mie Basah Jagung
Pada penelitian ini dilakukan pembuatan mie basah jagung
menggunakan ekstruder pencetak mie model MS9, Multifunctional noodle
modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China.
Spesifikasi dari ekstruder pencetak ini dapat dilihat pada Tabel 13.
63
Tabel 13. Spesifikasi ekstruder pencetak mie model MS9, Multifunctional Noodle Modality Machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China.
Model MS9 Production capacity 9 kg/h Rating input Power 1.5 Kw Power 1.1 Kw Dimension 600x330x430 mm Net Weight 60 kg Voltage 220 V Frequensi 50 Hz Series no VA 5000 Date 2005
Gambar 23. Ekstruder pencetak mie Model MS9 Pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi
sudah pernah dilakukan sebelumnya, seperti pada penelitian Subarna et al.
(1999) melakukan teknik pembuatatn mie jagung dengan ekstrusi piston
atau ram dan teknik pembuatan mie dengan sistem ektrusi ulir oleh
Waniska et al. (2000). Menurut Waniska et al. (2000) keuntungan dari
proses pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi ini
adalah proses lebih sederhana, tidak perlu tahapan sheeting dan slitting,
pengulian, dan pembentukan lembaran sehingga waktu proses yang
dibutuhkan lebih singkat. Hal ini dikarenakan pembuatan mie basah
jagung menggunakan teknik calendaring memerlukan waktu pengolahan
yang cukup lama, karena tahapan prosesnya panjang yaitu pencampuran
bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran,
pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran
mie dg minyak (Budiyah,2004).
64
Proses pembuatan mie basah jagung ini terdiri atas beberapa
tahap, yaitu penimbangan bahan, pengadukan, pembuatan lembaran,
pengukusan pertama, pencetakan adonan menggunakan ekstruder, dan
pengukusan kedua. Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pembuatan
mie basah jagung basis 100 gram tepung jagung. Tahap penimbangan
bahan dilakukan penimbangan 100 gram tepung jagung, 2% garam dapur
basis tepung jagung (2 gram) dan air sampai kadar air adonan 70% basis
tepung jagung. Penambahan air sampai kadar air adonan 70% basis
tepung jagung ini didapatkan dari hasil optimasi pembuatan mie basah
jagung yang dilakukan oleh Pratama (2008). Garam dilarutkan ke dalam
air dan dicampur sedikit demi sedikit ke dalam tepung. Hal ini dilakukan
agar distribusi larutan merata ke dalam adonan dan mencegah
terbentuknya gumpalan-gumpalan tepung yang akan menyebabkan tidak
meratanya proses gelatinisasi pati nantinya. Selanjutnya adonan dibentuk
lembaran menggunakan plastik jenis HDPE dengan ketebalan ± 0.5 cm
menggunakan roll pengepres. (a) (b)
Gambar 24. (a) tepung jagung sebelum ditambahkan larutan garam, dan (b) lembaran adonan sebelum dikukus
Kemudian dilakukan proses pengukusan terhadap adonan.
Kukusan yang digunakan merupakan kukusan rumah tangga karena
penelitian yang dilakukan masih skala laboratorium. Pengukusan
dilakukan pada suhu uap air 90 – 100°C. Proses pengukusan adonan
bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi. Pati tergelatinisasi
berfungsi sebagai bahan pengikat dalam proses pembentukan untaian mie.
Hal ini dikarenakan tepung jagung tidak memiliki protein gluten seperti
65
halnya tepung terigu. Tepung jagung memiliki protein zein dan glutelin
(zeanin) yang tidak bisa membentuk massa yang lunak, elastis dan kohesif
jika diadon dengan air. Hal berbeda terjadi saat tepung terigu yang
memiliki protein gluten saat diadon dengan air, maka akan membentuk
massa yang lunak, elastis dan kohesif namun tidak lengket dan mudah
dicetak ke dalam bentuk lembaran.
Pengukusan pertama (pengukusan adonan) bertujuan agar tepung
mengalami gelatinisasi sebagian. Jika gelatinisasi pati sempurna maka
adonan akan lengket dan sulit dicetak. Pada proses ini diharapkan adonan
berada dalam kisaran suhu gelatinisasinya. Jika adonan berada dibawah
kisaran suhu gelatinisasinya, mutu untaian mie kurang bagus, sehingga
untaian mie mudah putus. Menurut Pratama (2008) pengukusan selama 15
menit sudah cukup untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif
dan cukup elastis namun tidak lengket sehingga mudah dicetak ke dalam
bentuk untaian mie.
Adonan yang telah mengalami gelatinisasi sebagian ini kemudian
lansung dimasukkan ke dalam ekstruder untuk dicetak menjadi untaian
mie. Pembentukan untaian mie harus dilakukan selagi panas karena
proses gelatinisasi sebagian (tidak mencapai suhu puncak gelatinisasi)
pada adonan menyebabkan pengembangan granula pati bersifat reversible
(bolak-balik) sehingga pati yang sebelumnya telah tergelatinisasi
mengalami rekristalisasi. Fenomena ini disebut retrogradasi.
Kemudian lansung dilakukan proses pengukusan kedua pada
untaian mie yang dihasilkan. Hal ini mencegah terjadinya retrogradasi
yang menyebabkan untaian mie menjadi keras dan kering. Pengukusan
kedua ini juga dilakukan selama 15 menit. Pada pengukusan kedua ini
terjadi proses gelatinisasi secara sempurna. Menurut Harper (1981), pada
proses gelatinisasi, ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur
granula pati akan melemah. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan
menyerap molekul air sehingga terjadi pembengkakan granula pati.
Ketika granula mengembang, amilosa akan keluar dari granula. Granula
hanya mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks
66
amilopektin yang membentuk gel. Setelah dingin, amilosa akan
membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula
meningkat. Menurut Kim et al. (1996) kandungan amilosa yang cukup
tinggi merupakan salah satu hal yang diharapkan dalam pembuatan mie
non terigu karena dapat memiliki daya ikat antar granula yang lebih kuat.
(a) (b) (c)
Gambar 25. (a) adonan dalam ekstruder dengan pemberian tekanan secara manual (normal)
(b) untaian mie keluar dari ekstruder, dan (c) mie basah jagung matang (setelah pengukusan kedua).
Hasil dari pengukusan kedua berupa untaian mie basah jagung
yang siap untuk dianalisis. Proses pembuatan mie basah jagung ini
memerlukan dua kali tahap pengukusan. Hal ini didukung oleh penelitian
Subarna et al. (1999) dan Waniska et al. (2000) yang menyatakan bahwa
dalam pembuatan mie basah jagung diperlukan tahap pemasakan.
Ditegaskan juga oleh Pagani (1985), untuk membuat produk
pasta dari bahan non konvensional seperti dari tepung jagung atau dari
campuran tepung terigu dan tepung non terigu diperlukan beberapa
bentuk penyesuaian, antara lain dapat dilakukan dengan:
1. Meningkatkan sifat fungsional komponen selain protein dan tepung
pensubstitusi, dalam hal ini pati dari tepung yang bersangkutan.
2. Menambahkan protein dari sumber lain yang dapat membentuk gluten;
dan
3. Menambahkan zat tambahan yang dapat bereaksi dengan pati dan dapat
mencegah pembengkakan pati tersebut selama pemasakan, misalnya
67
dengan menggunakan mono- dan digliserida dari asam-asam lemak yang
membentuk kompleks dengan amilosa dan mencegah keluarnya pati dari
produk ke dalam air yang digunakan untuk memasak.
Pembuatan produk pasta dari tepung campuran diperlukan
penyesuaian terhadap proses pengolahannya, seperti meningkatkan
temperatur adonan (Ruiter, 1978). Penyesuaian tersebut bisa dilakukan
dengan menambahkan air yang suhunya tinggi untuk melakukan
pregelatinisasi terhadap tepung atau dengan menambahkan pati yang telah
terpregelatinisasi. Untuk bahan baku yang mengandung sedikit protein
seperti jagung, atau yang sama sekali tidak mengandung protein,
pembuatan produk pasta harus dilakukan dengan merangsang
pembentukan struktur yang khusus dari patinya. Hal ini dapat dilakukan
dengan perlakuan pemanasan pada suhu tinggi terhadap adonan yang
dimaksudkan untuk menggelatinisasi pati yang terkandung di dalam
tepung.
Analisis mie basah jagung dilakukan pada dua parameter mutu
penting mie basah yaitu persen elongasi dan KPAP (Kehilangan Padatan
Akibat Pemasakan). Sebenarnya pengukuran karakteristik mie basah
belum memiliki standar yang digunakan secara universal karena produk
mie yang tersebar luas dan punya ciri khas yang berbeda-beda tiap negara
(Kruger, 1996). Namun, analisis yang dilakukan ini didukung oleh Hou
dan Krouk (1998) yang menyatakan bahwa karakteristik fisik yang
terpenting dari mie basah adalah elongasi dan KPAP. Mie basah jagung
yang dinyatakan sebagai mie basah jagung yang bermutu baik memiliki
persen elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah.
Analisa persen elongasi pada penelitian pendahuluan ini
menggunakan Texture Analyzer TATX-2. Hasil analisa persen elongasi
dan KPAP kelima varietas mie basah jagung dapat dilihat pada Tabel 14.
68
Tabel 14. Hasil analisa persen elongasi dan KPAP lima varietas mie basah jagung
No. Varietas Jagung Rata-rata % Elongasi ± SD Rata-rata KPAP ± SD (%)
1 Srikandi Kuning 83.46 ± 5.86 7.88 ± 1.64
2 Bisma 88.82 ± 5.12 6.28 ± 0.35 3 Sukmaraga 111.17 ± 7.98 2.89 ± 1.76 4 Lamuru 105.32 ± 22.57 5.69 ± 0.71 5 Arjuna 104.85 ± 8.70 4.61 ± 0.14
Berdasarkan data tersebut di atas dapat dilihat bahwa nilai standar
deviasi untuk kedua parameter mutu cukup tinggi. Variasi ini
diperkirakan terjadi akibat basis bahan baku yang digunakan terlalu
sedikit (100 g) dan adanya parameter proses yang tidak terkontrol, yaitu
tekanan. Oleh sebab itulah dilakukannya justifikasi proses pembuatan mie
basah jagung dengan menggunakan bahan baku yang lebih banyak dan
memberikan tekanan secara manual.
2. Justifikasi Pembuatan Mie Basah Jagung
Justifikasi proses pembuatan mie basah jagung dilakukan dengan
menaikkan basis bahan baku menjadi dua kali lipat lebih banyak dari
penelitian pendahuluan, yaitu 200 gram tepung jagung, 2% garam dapur
(4 gram) dan jumlah air yang ditambah hingga kadar air tepung mencapai
70%. Selain itu juga dilakukan pemberian tekanan secara manual
menggunakan sebuah balok kayu selama adonan berada dalam ekstruder.
Pengukuran besarnya tekanan yang diberikan sulit dilakukan, sehingga
yang diukur adalah waktu (laju) pengisian (fiiling rate).
Filling rate diukur dengan cara menghitung waktu keluar mie
yang pertama dari die hingga adonan tepung habis di dalam ekstruder.
Perlakuan tekanan dilakukan pada tepung jagung varietas NT10. Hasil
pengukuran filling rate dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Hasil filling rate
Ulangan Dengan Tekanan Tanpa Tekanan (Normal) 1 2 menit 30 detik 2 menit 50 detik 2 2 menit 35 detik 2 menit 53 detik 3 2 menit 35 detik 2 menit 52 detik
Rata-Rata 2 menit 33 detik 2 menit 51 detik
69
Berdasarkan Tabel 15. dapat kita ketahui bahwa pemberian
tekanan secara manual dapat mempersingkat waktu filling rate. Kecepatan
berbanding terbalik dengan waktu. Semakin cepat mie keluar dari die
maka semakin singkat waktu filling rate yang dihasilkan. Hal ini
didukung oleh penelitian Fahmi (2007) yang menyatakan bahwa kualitas
mie basah jagung dengan teknologi ekstrusi yang paling baik adalah mie
yang dihasilkan dengan kecepatan ulir 130 rpm dibandingkan dengan
kecepatan ulir 110 dan 120 rpm. Mie basah jagung yang dihasilkan
dengan kecepatan ulir 130 rpm memiliki persen elongasi yang tinggi dan
KPAP yang rendah.
Nilai persen elongasi pada justifikasi dan penelitian selanjutnya
tidak menggunakan Texture Analyzer TATX-2 tetapi menggunakan
Rheoner. Hal ini dikarenakan Texture Analyzer yang ada tidak bisa
digunakan. Akan tetapi, agar hasil yang didapatkan tidak rancu, dilakukan
beberapa kali analisis sampel yang sama dengan penelitian pendahuluan
menggunakan Rheoner. Dari hasil yang didapatkan dilakukan uji t-test
menggunakan data analysis pada Microsoft Excel. Dari hasil uji ini
didapatkan hasil bahwa nilai persen elongasi hasil TATX-2 tidak berbeda
nyata dengan nilai persen elongasi menggunakan Rheoner pada taraf
signifikansi 5% (Lampiran 6A). Sehingga pergantian alat analisis tidak
berpengaruh nyata pada hasil analisis yang didapatkan.
Hasil analisa persen elongasi dan KPAP dapat dilihat pada
Gambar 26.
Gambar 26. Persen elongasi dan KPAP justifikasi mie basah jagung
70
Dari Gambar 25. dapat kita ketahui bahwa mie basah jagung yang
dihasilkan dengan perlakuan tekanan memberikan nilai persen elongasi
yang lebih tinggi dan KPAP yang lebih rendah dibandingkan mie basah
jagung tanpa perlakuan tekanan.
Kemudian dilakukan juga uji pengaruh tekanan terhadap hasil
analisa KPAP dan persen elongasi. Uji yang dilakukan menggunakan data
analysis dengan Microsoft Excel. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa
pada taraf signifikansi 5% tekanan berpengaruh nyata terhadap kelarutan
nilai KPAP dan persen elongasi yang dihasilkan. Artinya, perbedaan
tekanan akan menghasilkan KPAP dan persen elongasi yang berbeda
(Lampiran 6B).
Justifikasi dilanjutkan dengan melakukan analisa mikrostruktur
menggunakan SEM (Scanning Elektron Microscope). Analisa
mikrostruktur ini berguna untuk melihat kekuatan ikatan antar granula
dan keseragaman matriks amilosa setelah terjadinya proses gelatinisasi
pati secara sempurna. Analisa ini dilakukan pada sampel mie basah
jagung salah satu varietas terpilih dengan dan tanpa tekanan. Sebelum
dilakukan analisis menggunakan SEM sampel didehidrasi terlebih dahulu.
Hal ini mencegah kerusakan alat SEM yang disebabkan oleh uap air yang
dihasilkan sampel saat dianalisis dengan tekanan tinggi. Proses dehidrasi
yang dipilih adalah proses dehidrasi yang tidak merusak struktur dari
sampel, salah satu metode yang disarankan adalah metode freeze drying
(Kalab, 1983 dalam Peleg dan Bagley, 1983).
Proses freeze drying dilakukan di Laboratorium Bioteknologi
Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB.
Sampel mie basah dimasukkan ke dalam tabung khusus freeze drying.
Kemudian atur suhu (-76) oC. Mesin freeze dry di running dan alat vakum
dinyalakan. Sampel di freeze dry ± 15 jam agar sampel mencapai kadar
air maksimum 5%. Sampel yang sudah di freeze dry kemudian di simpan
dalam cawan petri yang dimasukkan ke dalam desikator. Hal ini berfungsi
untuk menjaga sampel dari kontaminasi. Menurut Noor (2001),
71
kontaminasi yang terjadi pada sampel dapat mengganggu hasil analisa,
karena analisa SEM merupakan pengamatan permukaan sampel, jadi
sampel benar-benar harus dipersiapkan sebersih mungkin.
Kemudian sampel yang sudah kering di potong ± 1-3 mm. Sampel
di letakkan di atas di atas stap yang sudah ditempeli dengan carbon
double tape. Carbon double tape berfungsi untuk merekatkan sampel
pada stap dan memudahkan alat membedakan pantulan sampel dan
karbon saat stap ditembak elektron. Kemudian sampel dicoating dengan
emas menggunakan JEOL JFC 110E Ion Sputtering Device Fine Coat.
Selain berfungsi agar sampel memiliki sifat konduktif terhadap elektrik
(bagus mengantarkan elektron, karena sampel biologis tidak bagus dalam
mengantarkan elektron), coating juga berguna untuk mengurangi sampel
menerima elektrostatik dan meningkatkan jumlah secondary electron
(Noor, 2001). Hal yang terpenting dalam coating adalah membuat coating
setipis mungkin. Coating juga bisa menggunakan platinum dan karbon.
Coating dilakukan selama 4 menit. Menurut Noor (2001) dengan waktu 4
menit didapatkan ketebalan coating sebesar 300 °A.
Setelah sampel dicoating, sampel diletakkan di dalam kolom
tempat sampel pada alat SEM JEOL JSM 5200. Analisa SEM dilakukan
pada dua perbesaran, yaitu X2000 dan X3500. Hal ini dilakukan untuk
melihat topografi pada permukaan mie basah jagung (X2000) dan melihat
struktur granula pati setelah gelatinisasi (X3500). Hasil analisa
menggunakan SEM dapat dilihat pada Gambar 27.
Nilai X11000 dan X9000 merupakan nilai magnification
(perbesaran) sebenarnya. Nilai ini didapatkan dari pembagian panjang
garis yang terdapat pada gambar dengan direct magnification (panjang
garis yang terdapat pada gambar, yaitu 10µm dan 5µm). Nilai 20kV
merupakan tekanan yang digunakan saat penembakan elektron pada SEM.
72
(a) (b)
(b) (d)
20 kV X3500 20 kV X2000
DS
PDS
DS
SS
20 kV X2000 20 kV X3500
20 kV X2000 20 kV X3500
DS
(e) (f) Keterangan : (a) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan secara manual 20kV X11000 (X2000) (b) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan secara manual 20kV X9000 (X3500) (c) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual 20kV X11000
(X2000) (d) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual 20kV X9000 (X3500) (e) Mie basah jagung terigu 20kV X11000 (X2000) (f) Mie basah jagung terigu 20kV X9000 (X3500)
Gambar 27. (a) dan (b) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan manual
(c) dan (d) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan manual (e) dan (f) Mie basah terigu SS = swollen starch (pati yang mengembang); PDS = partially disintegrated starch (bagian-bagian pati yang meleleh) ; DS= disintegrated starch (pati yang meleleh).
73
Dari Gambar 27 dapat dilihat bahwa (a) dan (b) mie basah jagung
tanpa pemberian tekanan secara manual menghasilkan gambar
mikrostruktur yang tidak beraturan. Tidak terlihat jelas ikatan amilosa
yang terbentuk akibat melelehnya pati (Gambar 27a.). Pada Gambar 27b.
terlihat jelas bahwa antar granula amilosa yang keluar tidak membentuk
matriks yang kompak dan masih banyak pati yang belum mengalami
gelatinisasi sempurna, dimana PDS (bagian-bagian pati yang meleleh)
tidak membentuk matriks yang kompak.
Menurut Astawan (2005) proses gelatinisasi dapat menyebabkan
pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang akan memberikan
kelembutan pada pati dan pengaruhi elastisitas mie. Hal ini akan
berpengaruh pada nilai persen elongasi dan KPAP. Nilai persen elongasi
akan menjadi lebih rendah karena tidak kuatnya amilosa yang keluar
dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi, sehingga saat dilakukan
penarikan terhadap untaian mie, mie cenderung mudah putus. Nilai KPAP
akan cenderung lebih besar karena ikatan amilosa yang tidak kuat dan
kurang kompak akan cenderung mudah lepas saat dilakukan pemasakan.
Berbeda halnya dengan Gambar 27 c dan d. Pada gambar tersebut
terlihat jelas ikatan yang terbentuk akibat keluarnya amilosa saat pati
meleleh saat proses gelatinisasi terjadi. Matriks yang terbentuk cukup
kompak dan ikatannya cukup kuat. Pati yang meleleh (DS) membentuk
matriks yang cukup kompak. Hal ini akan berpengaruh pada nilai persen
elongasi dan KPAP. Nilai persen elongasi akan menjadi lebih tinggi
karena amilosa yang keluar cukup sempurna dalam mengikat pati yang
tidak tergelatinisasi sehingga saat dilakukan penarikan terhadap untaian
mie, mie tidak mudah putus. Nilai KPAP akan cenderung lebih rendah
karena ikatan amilosa yang cukup kuat dan matriks yang seragam
menyebabkan tidak begitu banyak partikel-partikel pati yang lepas saat
dilakukan pemasakan.
Hasil SEM pada Gambar 27 e dan f (mie terigu) memperlihatkan
hasil yang cenderung sama dengan Gambar 27 c dan d (mie basah jagung
dengan pemberian tekanan secara manual). Analisa SEM menggunakan
74
sampel mie basah terigu memperlihatkan bentuk matriks yang kuat dan
kompak. Hal inilah yang membuat mie basah terigu memiliki nilai persen
elongasi tinggi dan nilai KPAP yang rendah.
Menurut Stanley (1987) pemberian tekanan saat membuat produk
ekstruder sangat diperlukan karena sifat penyerapan air saat proses
gelatinisasi sangat dipengaruhi oleh tekanan. Tekanan menyebabkan
tekstur produk lebih porous, sehingga saat proses gelatinisasi dapat
menyerap air lebih banyak. Banyak sedikitnya air yang terserap saat
proses gelatinisasi akan mempengaruhi sempurna atau tidaknya proses
gelatinisasi. Jika air yang terserap sedikit, maka yang terjadi hanya proses
gelatinisasi sebagian (Muchtadi et al., 1987).
Hal ini mendukung data hasil karakterisasi parameter mutu inti
mie basah jagung yang dilakukan pada tahap awal justifikasi, dimana nilai
persen elongasi mie basah jagung tanpa tekanan lebih rendah dibandingan
mie basah jagung dengan tekanan, yaitu sebesar 108.46% dan 126.29%
serta nilai KPAP mie basah jagung tanpa tekanan lebih tinggi dibandingan
mie basah jagung dengan tekanan, yaitu sebesar 7.15% dan 5.56%.
Oleh karena tekanan sangat berpengaruh terhadap kualitas mie
basah jagung yang dihasilkan, maka pada penelitian utama akan
dilakukan pembuatan mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara
manual.
D. Pembuatan Mie Basah Jagung Berdasarkan Hasil Justifikasi dan
Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Penambahan Guar Gum
Pada penelitian utama ini dilakukan pembuatan mie basah jagung
dengan menerapkan hasil justifikasi yang telah dilakukan. Pembuatan mie
basah jagung dilakukan pada kelima varietas tepung jagung dengan
pemberian tekanan secara manual saat adonan berada dalam ekstruder. Pada
penelitian utama ini selain dilakukan pembuatan mie basah jagung dengan
pemberian tekanan secara manual pada semua varietas tepung jagung juga
dilakukan penambahan BTP (Bahan Tambahan Pangan) jenis guar gum
untuk memperbaiki karakteristik mie basah jagung yang dihasilkan.
75
Karakteristik fisik yang perlu diperbaiki adalah KPAP dari mie
basah jagung. Kesimpulan ini dilihat dari hasil analisa karakteristik fisik
pada penelitian pendahuluan bahwa nilai KPAP mie basah jagung cukup
tinggi. Guar gum dipilih berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Fadlillah (2005). Fadlillah (2005) menyatakan bahwa diantara guar gum,
carboxyl metil cellulose (CMC), alginat, tawas, dan campuran K2CO3 dan
Na2CO3, penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh
yang paling besar dalam mengurangi cooking loss (KPAP) mie jagung. Oleh
karena itu pada penelitian ini juga digunakan guar gum untuk mengurangi
cooking loss (KPAP).
Karakteristik fisik yang menjadi parameter mutu mie basah jagung
sama dengan parameter mutu mie basah pada penelitian pendahuluan, yaitu
persen elongasi dan KPAP. Hal ini dikarenakan menurut Hou dan Krouk
(1998), persen elongasi dan KPAP merupakan paremeter mutu inti mie
basah. Pada penelitian utama ini ditambahkan analisis tensile strength dan
warna. Analisis yang ditambahkan ini diharapkan dapat menjadi nilai tambah
dari mie basah jagung yang dihasilkan.
1. Persen Elongasi
Persen elongasi merupakan persen pertambahan panjang untaian
mie saat diberikan gaya tarik. Pada penelitian ini dilakukan dua metode
analisa pengukuran persen elongasi, yaitu dengan proses pencelupan
dalam air panas dan proses perendaman. Hal ini dilakukan berdasarkan
aplikasi mie basah, yaitu untuk mie bakso (mie basah dicelup ke dalam air
panas) dan mie ayam (mie basah direbus di dalam air panas). Proses
pencelupan dilakukan sebanyak 3 kali celupan dan proses perebusan
dilakukan sampai mie basah matang. Penentuan mie basah matang atau
tidak dilakukan dengan cara memotong untaian dan dilihat masih ada atau
tidaknya warna putih pada diameter mie. Jika masih ada warna putih pada
diameter mie, berarti mie belum matang karena masih ada pati yang
berwarna putih.
76
a. Persen elongasi metode celup
Pengukuran persen elongasi metode celup dilakukan berdasarkan
pada aplikasi mie basah sebagai mie bakso. Aplikasi mie bakso, mie
basah dicelup sebanyak 2-3 kali ke dalam air panas. Untuk
keseragaman hasil, dilakukan 3 kali pencelupan mie basah ke dalam
air panas. Hasil analisa persen elongasi metode celup dapat dilihat
pada Gambar 28.
Gambar 28. Persen elongasi metode celup lima varietas tepung jagung
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa dengan penambahan guar
gum sebanyak 1%, menghasilkan persen elongasi yang lebih tinggi
dibandingkan tanpa penambahan guar gum. Hal ini dikarenakan guar
gum berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan
sehingga ikatan produk menjadi lebih kuat dan saat diberikan gaya
tarik pada untaian mie, mie tidak mudah putus.
Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil
analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji
lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf
signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap persen elongasi
yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai
persen elongasi yang berbeda (Lampiran 5B.1).
Mie basah jagung varietas Lamuru memiliki nilai persen elongasi
metode celup yang paling tinggi dibandingkan keempat varietas
77
tepung jagung lainnya. Mie basah varietas Lamuru ini memiliki nilai
persen elongasi paling tinggi baik pada pembuatan mie basah tanpa
penambahan ataupun dengan penambahan guar gum. Nilai persen
elongasi varietas Lamuru tanpa penambahan guar gum sebesar
95.43% dan dengan penambahan guar gum sebesar 106.24%.
b. Persen elongasi metode rebus
Pengukuran persen elongasi metode rebus dilakukan berdasarkan
pada aplikasi mie basah sebagai mie ayam. Aplikasi mie ayam, mie
basah direndam sampai matang di dalam air panas. Perendaman
dilakukan umumnya berkisar antara 3 – 5 menit. Untuk keseragaman
hasil, dilakukan perendaman selama waktu pematangan yang
didapatkan pada analisa KPAP. Waktu pematangan mie adalah waktu
dimana untaian mie saat dipotong tidak memiliki bintik putih lagi.
Hasil pengukuran waktu pematang mie dapat dilihat pada Tabel 15.
Hasil analisa persen elongasi metode rebus dapat dilihat pada Gambar
29.
Gambar 29. Persen elongasi metode rebus lima varietas tepung jagung
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa dengan penambahan guar
gum sebanyak 1%, menghasilkan persen elongasi yang lebih tinggi
dibandingkan tanpa penambahan guar gum. Hal ini dikarenakan guar
gum berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan
78
sehingga ikatan produk menjadi lebih kuat dan saat diberikan gaya
tarik pada untaian mie, mie tidak mudah putus.
Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil
analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji
lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf
signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap persen elongasi
yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai
persen elongasi yang berbeda (Lampiran 5B.2).
Mie basah jagung varietas Lamuru memiliki nilai persen elongasi
metode celup yang paling tinggi dibandingkan keempat varietas
tepung jagung lainnya. Mie basah varietas Lamuru ini memiliki nilai
persen elongasi paling tinggi baik pada pembuatan mie basah tanpa
penambahan ataupun dengan penambahan guar gum. Nilai persen
elongasi varietas Lamuru tanpa penambahan guar gum sebesar
25.09% dan dengan penambahan guar gum sebesar 61.49%.
Secara umum tingginya persen elongasi disebabkan oleh
pemberian tekanan yang lebih besar. Hal ini menyebabkan sifat
kohesif partikel-partikel pati yang bersifat sebagai pengikat saat
tergelatiniasi semakin meningkat. Gelatinisasi pati terjadi saat proses
pengukusan dan proses ini bertindak sebagai matriks pengikat pada
mie jagung menggantikan fungsi protein gluten (gliadin dan glitinin)
yang tidak terdapat pada tepung jagung, sehingga mie basah jagung
bisa dengan mudah dicetak, kohesif dan bersifat elastik(Rianto, 2006;
Soraya, 2005; dan Budiyah, 2004). Menurut Kim et al. (1996), pati
mampu menjaga struktur mie yang elastis karena amilosa yang
terdapat dalam pati mampu berikatan satu sama lain membentuk
matriks yang kuat dan seragam.
2. KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan)
Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) atau cooking loss
merupakan lepasnya partikel-partikel pati dari untaian mie yang
dibuktikan dengan keruhnya air bekas masak. KPAP berpengaruh
79
terhadap kehilangan energi dan kualitas mie setelah mie dimasak.
Tingginya KPAP mengakibatkan kuah mie menjadi keruh dan kental
akibat pati yang terlepas.
Penambahan guar gum sampai dengan konsentrasi tertentu dapat
menurunkan nilai KPAP karena guar gum dapat berfungsi sebagai
pengikat komponen-komponen adonan sehingga ketika mie dimasak
komponen-komponen tersebut tidak lepas. Pengukuran KPAP diawali
dengan pemasakan mie sampai mie matang (tidak memiliki bintik putih
lagi) atau yang sering disebut sebagai waktu pematangan mie. Kemudian
dilakukan pengeringan menggunakan oven pengering suhu 110°C selama
10 jam (Purwani et al., 2006).
Hasil pengukuran waktu pematangan mie dapat dilihat pada
Tabel 16. dan KPAP pada Gambar 30.
Tabel 16. Waktu pemasakan sampai mie cukup matang
Jenis Jagung Waktu
Srikandi Kuning 3 menit 10 detik Bisma 3 menit 39 detik Sukmaraga 3 menit 30 detik Lamuru 3 menit 25 detik Arjuna 3 menit 35 detik
Gambar 30. Persen KPAP lima varietas tepung jagung
Pemberian tekanan dapat meningkatkan kekompakkan antar
partikel dalam untaian mie yang dihasilkan, sehingga dapat menurunkan
80
nilai KPAP. Hal inilah yang menyebabkan nilai KPAP mie basah jagung
dengan perlakuan tekanan lebih rendah dibandingkan mie basah jagung
tanpa perlakuan tekanan. Penambahan guar gum pada proses pembuatan
mie basah jagung juga dapat menurunkan nilai KPAP mie basah jagung
yang dihasilkan.
Dari Gambar 29 dapat diketahui bahwa dengan penambahan guar
gum, mie basah jagung lima varietas memiliki nilai KPAP yang cukup
kecil, berkisar antara 4.23-4.61%. Nilai ini dianggap kecil karena dari
penelitian sebelumnya, KPAP mie basah jagung >10% (Rianto, 2006).
Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil
analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji
lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi
5% varietas berpengaruh nyata terhadap KPAP yang dihasilkan. Artinya,
perbedaan varietas akan menghasilkan nilai KPAP yang berbeda
(Lampiran 5B.3).
3. Tensile Strength
Tensile strength menunjukkan kekuatan elastisitas suatu bahan.
Nilai tensile strength ditunjukkan dengan tingginya kurva elastisitas yang
dihasilkan kemudian nilainya dikonversi menjadi satuan kilo gram force
(kgf). Semakin tinggi nilai tensile strength mie menunjukkan semakin
tinggi elastisitas mie tersebut. Artinya, diperlukan kekuatan yang cukup
besar untuk membuat untaian mie putus saat dilakukan penarikkan.
Nilai tensile strength menggambarkan kemampuan maksimal mie
untuk menahan gaya tarikan dengan besaran tertentu. Nilai tensile
strength diukur dengan menghitung jumlah kotak yang dilewati oleh chart
saat pengukuran elongasi pada saat chart mencapai puncak tertinggi
sebelum chart turun (puncak chart saat mie putus ketika mie diberikan
gaya). Kemudian jumlah kotak dikalikan dengan kekuatan saat beban 0.2
volt. Kekuatan 1 kotak chart saat 0.2 volt = 4 kgf. Hal ini berarti semakin
tinggi nilai persen elongasi maka semakin tinggi pula nilai tensile strength
yang dihasilkan.
81
Hasil analisa tensile strength metode celup dan rebus dapat
dilihat pada Gambar 31 dan Gambar 32.
Gambar 31. Persen tensile strength metode celup lima varietas tepung
jagung
Gambar 32. Persen tensile strength metode rebus lima varietas tepung
jagung
Dari Gambar 30 dan 31 di atas diketahui bahwa mie basah jagung
pada kedua metode pengukuran persen elongasi dengan penambahan guar
gum memiliki nilai tensile strength yang lebih tinggi dibandingkan nilai
tensile strength tanpa penambahan guar gum. Hal ini sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa guar gum dapat meningkatkan nilai persen
elongasi dan tensile strength (Goldstein et al., 1973). Teori ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Soraya (2006) yang menyatakan
bahwa penambahan guar gum dapat meningkatkan persen elongasi dan
82
tensile strength karena guar gum dapat berfungsi sebagai pengikat
komponen-komponen lain dalam adonan sehingga terbentuk massa yang
lebih kompak. Mie basah jagung varietas Lamuru memiliki nilai tensile
strength yang paling tinggi baik pada mie basah dengan penambahan guar
gum ataupun tanpa penambahan guar gum.
Semakin besar nilai persen elongasi maka semakin besar tensile
strength yang dihasilkan karena dibutuhkan kekuatan yang cukup besar
untuk menarik untaian mie untuk putus,artinya semakin tinggi nilai persen
elongasi mie. Daya tahan mie akibat gaya tarik yang diberikan (kekuatan
mie saat ditarik) juga akan semakin besar, inilah yang disebut dengan
tensile strength.
Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil
analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji
lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi
5% varietas berpengaruh nyata terhadap tensile strength yang dihasilkan.
Hal ini berarti nilai tensile strength yang berbeda dikarenakan adanya
perbedaan varietas tepung jagung [Lampiran 5B(4 dan 5)].
4. Warna
Analisis warna dan tensile strength berperan sebagai nilai tambah
mie basah jagung yang dihasilkan. Analisis warna yang dilakukan
menggunakan metode Hunter dengan menggunakan alat Chromameter
CR 200 Minolta. Hasil pengukuran yang dihasilkan berupa nilai Y, x dan
y. Nilai ini kemudian dikonversi ke dalam skala Hunter L a b. Untuk
mendapatkan derajat Hunter dilakukan dua kali proses konversi
(Hutching, 1994). Nilai L menyatakan parameter kecerahan (warna
kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Nilai a menggambarkan warna
kromatik merah hijau dan b warna kromatik kuning biru. Hasil analisa
warna mie basah jagung dapat dilihat pada Gambar 32 untuk nilai L dan
Tabel 16 untuk nilai a dan b.
83
Gambar 33. Tingkat kecerahan lima varietas tepung jagung
Dari Gambar 32 dapat diketahui bahwa kelima mie basah jagung
menghasilkan tingkat kecerahan yang berbeda-beda. Mie basah jagung
tanpa penambahan guar gum memiliki tingkat kecerahan yang sedikit
lebih tinggi dibandingkan mie basah jagung dengan penambahan guar
gum. Dengan penambahan guar gum, tingkat kecerahan mie basah
cenderung mengalami penurunan. Akan tetapi penurunan tingkat
kecerahan mie basah jagung yang dihasilkan ini tidak begitu signifikan.
Dilihat dari hasil analisa pada Gambar 32 selisih nilai L antara mie basah
tanpa dan dengan penambahan guar gum tidak begitu besar. Tingkat
kecerahan mie basah tanpa dan dengan penambahan guar gum dimiliki
oleh mie basah jagung varietas Bisma, yaitu sebesar 56.00 dan 55.79.
Hal berbeda terjadi pada mie basah varietas Srikandi kuning dan
Arjuna. Pada kedua varietas ini, mie basah jagung dengan penambahan
guar gum mengalami kenaikan tingkat kecerahan. Akan tetapi kenaikan
yang terjadi ini juga tidak begitu signifikan.
Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil
analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji
lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi
5% varietas berpengaruh nyata terhadap tingkat kecerahan yang
dihasilkan. Hal ini berarti nilai tingkat kecerahan yang berbeda
dikarenakan adanya perbedaan varietas tepung jagung (Lampiran 5B.6).
84
Tabel 17. Nilai a dan b lima varietas mie basah jagung Nilai
a b Varietas Tanpa
Guar Gum Dengan
Guar Gum Tanpa
Guar Gum Dengan
Guar Gum Srikandi Kuning -0.20 0.41 26.91 19.22 Bisma 0.32 0.53 29.84 29.54 Sukmaraga -0.47 -0.34 26.96 25.99 Lamuru 0.58 0.56 23.38 26.53 Arjuna -0.04 0.32 25.20 26.69
Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa secara umum mie basah
jagung yang dihasilkan memiliki warna kromatik kuning kemerahan.
Dengan penambahan guar gum, tingkat kuning kemerahan dari warna
kromatik mie basah jagung ada yang mengalami penurunan warna kuning
dan ada yang mengalami peningkatan warna kuning. Warna kuning ini
berasal dari pigmen xantofil yang terdapat pada tepung jagung. Pigmen
xantofil yang paling utama adalah lutein dan zeaxanthin, yaitu mencapai
90% dari total pigmen karotenoid di dalam jagung (Watson, 2003). Warna
kuning pada tepung jagung-lah yang memberikan warna kuning alami
pada produk mie basah jagung ini. Mie jagung yang berwarna kuning
merupakan keunggulan mie jagung dibandingkan mie terigu karena tidak
diperlukan lagi penambahan bahan tambahan pangan (pewarna) untuk
menghasilkan mie matang yang berwarna kuning (Fadlillah, 2005).
Menurut Kidmose et al. (2002) perlakuan panas dapat
menyebabkan kandungan karotenoid dalam bahan pangan menurun,
stabil, bahkan meningkat. Penurunan kecerahan dapat terjadi karena
degradasi pigmen oleh panas sehingga menurunkan jumlah pigmen dalam
bahan. Peningkatan kecerahan terjadi karena pemanasan dapat
menyebabkan kerusakan dinding sel, kehilangan air, dan inaktivasi enzim
sehingga meningkatkan kemapuan ekstraksi pigmen. Waktu pemanasan
yang semakin lama menyebabkan semakin banyak pigmen yang dapat
diekstrak sehingga warna menjadi lebih cerah.
85
E. Penentuan Varietas Jagung yang Paling Cocok Untuk Dibuat Mie
Basah Jagung
Penentuan varietas jagung yang cocok untuk dibuat mie basah
jagung didapatkan dengan cara memilih varietas jagung yang memiliki
karakteristik terbaik. Karakteristik terbaik dicari berdasarkan standar
karakteristik terbaik mie terigu. Menurut Eastern Pearl Flours Mills (2009),
mie yang baik adalah mie yang tidak mudah putus (elastisitas tinggi). Hal ini
juga didukung oleh Anonim [b] (2009) yang menyatakan bahwa
karakteristik penting dari mie basah terigu adalah mie yang kenyal (tidak
mudah putus) dan tidak mudah lembek bila mie direbus. Mie yang tidak
mudah lembek bila direbus berarti mie memiliki tekstur yang cukup kompak
sehingga untaian mie tidak mudah melepaskan patikel-partikel amilosa saat
proses perebusan. Artinya, KPAP produk mie yang dihasilkan rendah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Soraya (2006), Rianto
(2006) dan Kurniawati (2006), karakteristik mie basah terigu yang paling
utama adalah persen elongasi dan KPAP. Oleh karena itu dalam penelitian
ini penentuan varietas jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah
jagung berdasarkan pada nilai persen elongasi dan KPAP.
Tabel 18. Karakterisasi sifat fisik mie basah terigu Mie basah terigu
KPAP (%) 10.84 Persen Elongasi (%) 98.40
Sumber : Soraya (2006), Rianto (2006), dan Kurniawati (2006)
Tabel 19. Hasil karakterisasi sifat fisik mie basah jagung
Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna
Tanpa Guar Gum
Dengan Guar Gum
Tanpa Guar Gum
Dengan Guar Gum
Tanpa Guar Gum
Dengan Guar Gum
Tanpa Guar Gum
Dengan Guar Gum
Tanpa Guar Gum
Dengan Guar Gum
KPAP (%) 6.92 4.49 5.06 4.23 6.14 4.61 5.41 4.57 6.66 4.49
Persen Elongasi
(%) 58.70 81.80 80.32 93.88 64.31 103.13 95.43 106.25 72.93 95.41
Dari Tabel 19 dapat dilihat hasil karakterisasi sifat fisik lima
varietas mie basah jagung. Hasil karakterisasi yang di-shading merupakan
hasil karakterisasi terbaik berdasarkan perbandingan nilai persen elongasi
86
dan KPAP dari kelima varietas mie basah jagung dengan nilai persen
elongasi dan KPAP mie terigu yang tercantum pada Tabel 18. Dari hasil
shading dapat diketahui bahwa varietas Lamuru dan Sukmaraga merupakan
varietas jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung. Varietas
Lamuru dan Sukmaraga yang ditambahkan guar gum saat proses pembuatan
memiliki nilai persen elongasi yang lebih tinggi dan KPAP yang lebih
rendah dibandingkan mie terigu. Nilai persen elongasi tertinggi dimiliki oleh
varietas Lamuru dengan penambahan guar gum, yaitu sebesar 106.25%. Hal
ini berarti varietas Lamuru merupakan varietas jagung yang paling cocok
untuk dibuat mie basah jagung, diikuti oleh varietas Sukmaraga. Tiga
varietas jagung lainnya, Srikandi Kuning, Bisma dan Arjuna belum cocok
dijadikan mie basah jagung karena memiliki nilai persen elongasi yang lebih
rendah dibandingkan mie terigu.
Penambahan guar gum sangat berpengaruh terhadap nilai persen
elongasi dan KPAP mie basah jagung yang dihasilkan. Dengan penambahan
guar gum sebanyak 1% dapat meningkatkan nilai persen elongasi dan
menurunkan persen KPAP mie basah.
Tingginya nilai persen elongasi dan rendahnya KPAP mie basah
jagung varietas Lamuru selain karena pengaruh penambahan guar gum saat
proses pembuatan mie basah jagung, juga disebabkan karena karakteristik
tepung jagung varietas Lamuru itu sendiri. Varietas ini memiliki pH tepung
yang berada dalam range PH optimum pembentukan gel saat terjadinya
proses gelatinisasi yaitu 6.67; memiliki kadar amilosa yang cukup tinggi
(>25%) yaitu 27.68%, karena Menurut Galvez et al. (1994) dalam
pembuatan pasta pati non-konvensional, tepung diharapkan memiliki kadar
amilosa minimum sebesar 25% untuk menghasilkan mie dengan
karakteristik fisik yang baik. Amilosa sangat berperan dalam proses
gelatinisasi pati, karena proses gelatinisasi menyebabkan amilosa keluar dari
granula pati dan amilosa memiliki kemampuan untuk berdisosiasi dengan
sesamanya membentuk matriks yang seragam dengan ikatan antar granula
yang cukup kuat. Kadar amilosa yang cukup tinggi juga menyebabkan
terjadinya peningkatan elastisitas dan kekuatan tarik (tensile strength) dari
87
pasta pati dan meningkatkan daya serap air (WAC), serta menurunkan
tingkat kelarutan dan swelling volume tepung. Hal ini dikarenakan fraksi
amilosa yang keluar dari granula akan membentuk matriks yang seragam
sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat (Budiyah, 2004). Ikatan
antar granula yang meningkat menyebabkan elastisitas dan tensile strength
meningkat.
Jika dilihat dari suhu awal gelatinisasi, kelima varietas jagung
memiliki suhu awal gelatinisasi yang cukup rendah, sehingga tidak
membutuhkan waktu steaming yang cukup lama agar proses gelatinisasi bisa
berlansung. Tepung jagung memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi
dibandingkan pati jagung. Tepung jagung memiliki suhu awal gelatinisasi 60
- 80°C dan pati jagung 63 – 72°C. Hal ini dikarenakan tepung jagung
memiliki komposisi lebih lengkap dibandingkan tepung jagung (BeMiller
dan Whistler, 1996). Nilai WAC paling tinggi, kelarutan dan swelling
volume paling rendah dimiliki oleh jagung varietas Sukmaraga.
Berdasarkan analisa tambahan yang dilakukan dapat dilihat bahwa
kelima varietas jagung yang diujikan memiliki warna yang cenderung sama,
yaitu kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan (L) yang hampir sama dna
memiliki warna kuning kemerahan. Nilai tensile strength paling tinggi
dimiliki oleh varietas Lamuru. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai
persen elongasi maka akan semakin tinggi nilai tensile strength yang
dihasilkan.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dinyatakan bahwa varietas
jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung adalah Lamuru,
diikuti oleh varietas Sukmaraga. Varietas Srikandi Kuning kurang cocok
dijadikan mie basah jagung karena memiliki nilai persen elongasi yang
paling rendah dan KPAP yang cukup besar. Padahal kedua parameter
tersebut merupakan parameter mutu inti mie basah. Varietas jagung tersebut
paling cocok dibuat mie basah dengan melakukan penambahan guar gum
sebanyak 1% basis tepung jagung dalam proses pembuatan mie basah
jagung. Penambahan guar gum sebanyak 1% ini untuk menghasilkan nilai
persen elongasi yang lebih tinggi dan nilai KPAP yang lebih rendah.
88
F. Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Mie Basah Terigu
Mie basah jagung memiliki ciri khas (karakteristik) tersendiri yang
berbeda dengan mie terigu. Akan tetapi, karakteristik yang dimiliki ini mesti
disesuaikan dengan mie basah terigu. Hal ini dilakukan karena kebiasaan
masyarakat yang mengkonsumsi mie basah terigu sebagai makanan sehari-
hari. Untuk itulah dilakukan perbandingan mie basah jagung dengan mie
basah terigu, baik dari segi proses maupun karakteristik fisik yang dianggap
sebagai parameter mutu mie basah (persen elongasi dan KPAP).
Perbedaan utama antara mie basah jagung dengan mie basah terigu
terletak pada proses pembuatan mie. Tepung terigu memiliki protein gluten
(gliadin dan glutenin) yang punya sifat dapat membentuk massa yang
elastic-cohesive bila ditambahkan air dan diuleni. Gliadin memiliki berat
molekul yang rendah sehingga berguna untuk meningkatkan kekentalan
larutan dan glutenin bertanggung jawab terhadap sifat elastis adonan dnegan
bentuk ikatan thiol-disulfida (Slade, et al., 1989). Kemudian terbentuklah
matriks gluten yang berfungsi sebagi pengikat bagi komponen-komponen
lainnya yang berada di dalam adonan.
Berbeda halnya dengan tepung jagung. Tepung jagung tidak
memiliki protein gluten. Tepung jagung memerlukan proses gelatinisasi
yang berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen lain yang berada
dalam adonan. Oleh karena itu, dalam pembuatan mie basah jagung
diperlukan proses pengukusan agar pati dalam tepung jagung mengalami
proses gelatinisasi. Proses gelatinisasi merupakan proses kritis dalam
pembuatan mie basah jagung. Proses gelatinisasi berkaitan dengan suhu dan
waktu proses, karena suhu dan waktu proses mempengaruhi jumlah pati
yang tergelatinisasi dalam adonan. Suhu adonan diharapkan berada dalam
kisaran suhu gelatinisasinya. Jika suhu adonan berada dibawah kisaran suhu
gelatinisasinya, untaian mie akan memiliki tekstur yang kasar dan mudah
patah. Waktu proses berpengaruh karena lamanya waktu pengukusan
berguna untuk melihat pencapaian tingkat gelatinisasi yang diinginkan dari
89
adonan. Tingkat gelatinisasi yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi dapat
menyebabkan karakteristik mi basah tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Warna kuning alami yang terdapat pada mie basah jagung
merupakan karakteristik khas yang dapat meningkatkan nilai tambah mie
basah jagung. Selain bukan karena penambahan bahan tambahan pangan,
warna kuning pada mie basah jagung menunjukkan bahwa masih terdapat
kandungan pigmen beta karoten pada mie. Pigmen beta karoten merupakan
senyawa provitamin A yang dapat membantu meningkatkan ketahanan tubuh
(Rianto, 2006).
Varietas mie basah jagung yang dibandingkan dengan mie basah
terigu adalah varietas Lamuru. Hal ini dikarenakan varietas ini memiliki
karakteristik terbaik berdasarkan hasil perbandingan yang terdapat pada
Tabel 19. Khususnya parameter mutu inti mie basah, nilai terbaik dimiliki
oleh varietas ini.
Persen elongasi dan KPAP dijadikan parameter mutu inti mie basah
karena kebiasaan masyarakat mengkonsumsi mie menggunakan sumpit
sehingga diharapkan mie basah tidak mudah putus, dalam arti nilai elongasi
mie basah cukup tinggi dan diharapkan kuah dari hasil perebusan mie tidak
kental akibat banyaknya partikel-partikel pati yang lepas saat dilakukan
pemasakan. Banyaknya partikel pati yang lepas saat pemasakan tidak hanya
membuat kuah mie hasil pemasakan menjadi kental akibat adanya pati, tetapi
juga menyebabkan rapuhnya untaian mie yang mengakibatkan mie basah
mudah putus. Hal ini berarti nilai KPAP mie basah diharapkan serendah
mungkin.
90
Tabel 20. Perbandingan mie basah jagung varietas Lamuru dengan mie basah terigu
Faktor Pembeda Mi Basah jagung Mi basah Terigu
Proses Pembuatan
Pencampuran bahan, Pengukusan 1, Pencetakan mie Pengukusan 2, Perebusan
Pencampuran bahan, Pengulian, Pencetakan mie, Perebusan
Warna Kuning Putih Celup tanpa guar gum 95.43 % 107.35%
Rebus tanpa guar gum 25.09 % 118.47%
Celup dengan guar gum 106.24 % Tidak dilakukan
Nilai Elongasi
Rebus dengan guar gum 61.49 % Tidak dilakukan
Nilai KPAP 5.41% 5.59%
Dari Tabel 20 dapat diketahui bahwa perbedaan proses pembuatan
kedua mie ini adalah mie basah jagung membutuhkan dua kali proses
pengukusan dan satu kali proses perebusan untuk menghasilkan mie basah
jagung matang, sedangkan mie basah terigu hanya membutuhkan proses
perebusan saja untuk menghasilkan mie basah terigu matang. Mie basah
jagung memiliki warna kuning alami yang merupakan nilai plus dari mie
basah jagung karena tidak membutuhkan bahan tambahan pangan seperti
mie basah terigu agar mie basah matang berwarna kuning.
Nilai persen elongasi mie basah jagung dengan metode celup
ataupun dengan metode rebus tanpa penambahan guar gum dan dengan
penambahan guar gum masih lebih rendah dibandingkan mie basah terigu
tanpa penambahan guar gum. Akan tetapi nilai KPAP mie basah jagung
lebih rendah dibandingkan mie basah terigu.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa elongasi dan KPAP merupakan
faktor terpenting dalam menentukan karakteristik mie. Walaupun demikian,
mie basah jagung memiliki nilai KPAP yang lebih rendah dibandingkan mie
basah terigu. Karakteristik ini tentu berpengaruh terhadap eating quality
produk mi pada saat dikonsumsi.
Analisa kemudian dilanjutkan dengan analisa mikrostruktur
menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) pada mie basah terigu.
Hasil SEM dapat dilihat pada Gambar 34.
91
20 kV X3500 10µm 5µm
X2000 20 kV
(a) (b) Keterangan : (a) Mie basah terigu 20kV X11000 (X2000) (b) Mie basah terigu 20kV X9000 (X3500)
Gambar 34. (a) dan (b) Foto SEM mie basah terigu
Nilai X11000 dan X9000 merupakan nilai magnification
(perbesaran) sebenarnya. Nilai ini didapatkan dari pembagian panjang
garis yang terdapat pada gambar dengan direct magnification (panjang
garis yang terdapat pada gambar, yaitu 10µm dan 5µm). Nilai 20kV
merupakan tekanan yang digunakan saat penembakan elektron pada SEM.
Dari Gambar 34 di atas dapat dilihat bahwa (a) dan (b) mie basah
terigu menghasilkan gambar mikrostruktur yang beraturan. Ikatan gluten
yang dihasilkan terlihat jelas (Gambar 34a.). Hal ini dikarenakan protein
gluten yang terdiri atas gliadin dan glutenin. Gliadin berfungsi sebagai
plasticizer dan pemerekat yang dapat menginduksi sifat rheology yang
dimiliki oleh glutenin, sedangkan glutenin berfungsi untuk membentuk
visko-elastisitas tepung terigu. Glutenin bisa membentuk visko-elastisitas
karena kaya akan asam amino prolin dnegan struktur sedikit terlipat
dimana lipatan terbuka selama proses pencampuran dan pengulian
(kneading) sehingga strukur menjadi renggang dan adonan menjadi
elastis. Ini juga didukung oleh sifat protein gandum yang unik, ikatan-
ikatan serta interaksi yang terdapat di dalamnya ( Damodaran, 1996 dalam
Fennema 1996).
92
Inilah yang menjadi pembeda utama antara mie basah jagung
dengan mie basah terigu. Mie basah terigu memiliki mikrostruktur yang
homogen karena terbentuknya ikatan protein (gluten), sedangkan pada
mie basah jagung (Gambar 27 c dan d) memiliki mikrostruktur yang
cenderung tidak seragam dan ikatan yang terbentuk berupa ikatan antar
granula pati yang membentuk matriks yang cukup kuat. Ikatan antar
granula pati ini memiliki fungsi sama dengan gluten pada proses
pembuatan mie, yaitu sebagai pengikat komponen-komponen lain dalam
adonan mie. Hal ini didukung oleh Khoo et al. (1975) yang menyatakan
bahwa hasil SEM dapat memperlihatkan kehalusan matriks protein
dibandingkan jaringan dari granula pati.
93
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Varietas jagung yang digunakan merupakan varietas jagung unggulan
nasional yang mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan baku
pembuatan mie basah jagung. Karakterisasi tepung jagung dilakukan pada
tepung jagung hasil penggilingan kering. Karakterisasi sifat fisiko-kimia
tepung jagung terutama pada kadar protein dan lemak tepung jagung yang
cukup rendah, dan kadar amilosa yang tinggi. Tepung jagung memiliki kadar
protein 8.92 – 9.20% (bk) dan kadar lemak 1.62 – 1.85% (bk). Hal ini berarti
protein dan lemak yang terdapat dalam tepung jagung tidak terlalu
berpengaruh dalam proses gelatinisasi pati. Jika kadar protein dan lemak
tinggi di dalam tepung, maka protein dan lemak akan membentuk lapisan
yang melingkupi pati sehingga berdampak pada peningkatan suhu
gelatinisasi.
Karakterisasi sifat fungsional terutama pada sifat amilografi untuk
mengetahui suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum, kestabilan bahan
terhadap panas dan kecenderungan bahan mengalami retrogradasi.
Proses pembuatan mie basah jagung metode ekstrusi terdiri atas
beberapa tahap, yaitu penimbangan, pencampuran, pembentukan lembaran,
pengukusan pertama, pencetakan untaian mie, dan pengukusan kedua.
Pembuatan mie basah jagung pada penelitian utama dilakukan dengan
pemberian tekanan secara manual. Pada penelitian utama ini diberi perlakuan
penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP), yaitu jenis guar gum sebanyak
1%. Analisa sifat fisik yang dilakukan tidak hanya pada parameter mutu inti
mie basah, yaitu persen elongasi dan KPAP, tetapi juga analisa tambahan
yang dapat memberikan nilai tambah pada mie basah jagung, yaitu warna
dan tensile strength. Analisa persen elongasi dan tensile strength juga
dilakukan dalam dua metode, yaitu metode celup dan rebus. Hal ini
dilakukan sesuai dengan aplikasi mie basah sebagai mie bakso (metode
celup) dan mie ayam (metode rebus).
94
Persen elongasi mie basah jagung tanpa penambahan guar gum
metode celup 58.70 - 95.43% dan metode rebus 26,17 - 40.23; KPAP 5.06 -
6.92%; tensile strength metode celup 42.50 - 202.50 kgf dan metode rebus
25.50 -112.50 kgf; dan warna mie basah jagung kuning kemerahan dengan
tingkat kecerahan cukup tinggi. Nilai persen elongasi dengan penambahan
guar gum metode celup 81.80 - 106.245 dan metode rebus 35.28 - 61.49%;
KPAP 4.23 - 4.61%; tensile strength metode celup 71.00 - 252.13 kgf dan
metode rebus 27.50 - 131.50 kgf; dan warna mie basah jagung kuning
kemerahan dengan tingkat kecerahan cukup tinggi. Dari hasil analisis
tersebut diketahui bahwa dengan penambahan guar gum dapat memperbaiki
karakteristik mie basah jagung yang dihasilkan khususnya meningkatkan
hasil parameter inti dari mie basah jagung yang dihasilkan (persen elongasi
dan KPAP) dan tensile strength. Warna mie basah jagung tidak terlalu
berpengaruh terhadap penambahan guar gum.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa varietas
tepung jagung terbaik yang cocok untuk dibuat menjadi mie jagung adalah
varietas Lamuru. Tepung jagung varietas Lamuru menghasilkan nilai terbaik
pada analisa sifat fisik yang menjadi parameter mutu inti mie basah, yaitu
persen elongasi paling tinggi dan KPAP rendah. Tepung jagung varietas
Lamuru akan menghasilkan mie basah jagung yang lebih baik jika dilakukan
penambahan bahan tambahan pangan jenis guar gum sebanyak 1%.
B. Saran
Mie basah jagung memiliki prospek yang cukup cerah untuk
dikembangkan dalam skala industri. Namun, proses pembuatan mie basah
jagung masih menghadapi beberapa kendala, diantaranya pada saat proses
pembentukan untaian mie dilakukan pemberian tekanan secara manual.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan modifikasi ekstruder.
Modifikasi yang dilakukan yaitu ekstruder memiliki pengaturan tekanan
sehingga tekanan dapat dikontrol, dan mie basah yang dihasilkan lebih
terstandar dan juga diperlukan optimasi lebih lanjut untuk proses scale-up.
95
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Gorontalo Pelopor Gentaton Jagung di Indonesia. www.gorontalo-
agropolitan.com [24 Januari 2009]. Anonim [a]. 2009. Jagung. http//: bps.go.id. [30 Januari 2009]. Anonim [b]. 2009. Peluang Usaha Mie Basah - Bisnis&Waralaba Usaha Mie
Surabaya. www.88DB.com. [11 Juli 2009]. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis, 16th Edition. AOAC International,
Gaithersburg, Maryland. Astawan, M. 2005. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2987-1992.
Mi Basah. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2891-1992.
Analisis Kadar Air. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-3727-1995.
Tepung Jagung. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi kayu (Manihot esculanta Crantz) sebagai
Bahan Pembuat Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Belitz, H.D. dan Grosch, W. 1999. Food Chemistry. Spinger, Berlin. BeMiller, J.N dan Whistler, R.L. 1996. Carbohydrates. Di dalam : Fennema, O.R (ed).
Food Chemistry. 3th Edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel. Budiyah. 2005. Pemanfaatan Pati dan Protein Jagung (Corn Gluten Meal) dalam
Pembuatan Mi Jagung Instan. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Chang, Y.H, S.T, Lim, dan Yoo, B. 2003. Dynamic rheology corn starch-sugar
composites. Journal of Food Engineering, 64 : 521-527. Cheng. 2006. Starch Structure : Composition and Structure.
http://www.cheng.cam.ac.uk [28 Juni 2008] Collado, L.S dam Corke, H. 1998. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato
starches differing in amylose content. Elsevier : Food Chemistry 65 (1999) 339-346.
Collison. 1968. Swelling gelation of starch. Di dalam : Radley, J.A (ed). 1968. Starch and Its Derivatives. Chapmen and Hall Ltd. London.
Damodaran, S. 1996. Amino Acids, Peptides, and Proteins. Di dalam : Fennema, O.R.
Food Chemistry. 3th Edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel. Departemen Perindustrian Indonesia. 1990. Standar Industri Indonesia. SII 2046-90.
Mie Basah. Departemen Perindustrian Indonesia. Jakarta. Eastern Pearl Flours Mills. 2009. Kategori tepung.
http://g6.plasa.com/~admin345/main.php?tl=ProdukEPFM&fl=produk&ctgy=produk [11 Juli 2009].
Efendi, S dan Sulistiati. 1991. Bercocok tanam Jagung. CV Yasaguna, Jakarta. Fadlillah, H.N. 2005. Verifikasi Formulasi Mie Jagung Instan Dalam Rangka
Penggandaan Skala. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fahmi, A. 2007. Optimasi Produksi Mie Basah Berbasis Tepung Jagung Dengan
Teknologi Ekstrusi. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan I. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fellows, P.J. 1990. Food Processing Technology. Ellis Horwood. Great Britain. Galvez, F.C.F., Resurreccion, A.V.A., and Ware, G.O. 1994. Process variable
gelatinized starch moisture effect on physical properties of mungbean noodles. Journal of Food Science, 59 (386), 378-381. Di dalam : Collado, L.S dam Corke, H. 1998. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato starches differing in amylose content. Elsevier : Food Chemistry 65 (1999) 339-346.
Goldstein, A.M, Alter, E.N., and Seaman, J.K.1973. Guar Gum. Di dalam : Whistler,
R.L (ed). Industrial Gum. Academic Press. New York. Grant, L.A., Sissons, M.J, Morre, M. K., and Batey, I. L. 2000. Effect of starches
differing in amylase content on pasta quality. Pages 629-633 in : 11th Cereal and Bread Congress and 59th Australian Cerial Chemistry Conference. M. Wootton, I.L, Batey, and C. W. Wrigley, eds. RACI : Melbourne. Di dalam : Soh, H.N, M.J. Sissons, dan Turner, M.A. 2006. Effect of starch granule size distribution and elevated amylase content on durum dough rheology and spaghetti cooking quality. AACC International, Inc. St Paul. MN.
Greenwood, C.T and DN Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam : Muchtadi T.R.,
P.Haryadi, dan Azra A.B. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
97
Harper, J.M. 1981. Extrusion of Foods Vol I. CRC Press. Boca Roton, Florida. Hatorangan, E.F. 2007. Pengaruh Perlakuan Konsentrasi NaCl, Kadar Air, dan
Passing terhadap Mutu Fisik Mi Basah Jagung yang Diproduksi dengan Menggunakan Ekstruder Ulir Pemasak dan Pencetak. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Honesey, R.C. 1998. Principle of Cereal Science and Technology. 2nd edition.
American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Hou, G. dan Krouk, M. 1998. Asian Noodle Technology.
http://secure.aibonline.org/catalog/example/V201ss12.pdf [25 Juni 2008]. Hutching, J.B. 1994. Food Color and Appearance. 1st edition. Aspen publisher, Inc.
Gaithersburg, Maryland. Inglet, G.E (ed). 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The Avi Publishing
Company Inc. Westport, Connecticut. Johnson, L.A. 1991. Corn: Production, Processing, and Utilization. Di dalam :
Handbook of Cereal Science and Technology. Lorenz, KJ and K Karel (eds.). Marcell Dekker, Inc. New York. Basel.
Jugenheimer, R.W. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. John
Willey and Sons. New York. Juniawati. 2003. Optimasi Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan Kajian
Preferensi Konsumen. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lie, L.S dan Kokini, J.L. 1990. The effects operating conditions on the on-line
McCready, R.M. 1970. Starch and dextrin. Di dalam :. Muchtadi, T.R., P. Hariyadi, dan Azra, A.B.. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. 1987. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kalab, M. 1983. Electron Microscopy of Foods. Di dalam Peleg, M dan Bagley, E.B.
1983. AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Khoo, C., Christianson, D.D., and Inglett, G.E. 1975. Scanning and transmission
microscopy of dough and bread. The Bakers Digest 49, 24-26. Di dalam : Prabhansankar, P., D. Indrani, J. Rajiv., and Rao, G.V. 2003. Scanning electron microscopic and electrophoretic studies of the baking process of south Indian parotta-an unleavened flat bread. Elsevier: Food Chemistry 82 (2003) 603-609.
Kidmose, U. Edelenbos, M., Norbaek, R. dan Chistensen, L. P. 2002. Colour Stability
in Vegetables. Di dalam : MacDougall, D.B (ed). Colour in Food Improving Quality. CRC Press. Boston
98
Kim, Y.S., Dennis P.W., James H.L., dan Patricia B. 1996. Suitability of Edible Bean
and Potato Starches for Starch Noodles. http://www.aaccnet.org/cerealchemistry/backissues/1996/73_302.pdf. [22 Mei 2009].
Kulp, K. 1975. Carbohydrates. Di dalam : G. Reed (ed). 1975. Enzyme in Food
Processing. Academic Press. New York. Kurniawati, R.D. 2006. Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan
Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kruger, J.E. 1996. Noodle quality - what can we learn from the chemistry of bread
making? Di dalam : Kruger, J.E., R.B. Matsuo dan Dick, J.W. (eds.). Pasta and Noodle Technology. American Association of Cereal Chemists, Inc. St. Paul. Minnesota.
Leach, M.W. 1965. Gelatinization of Starch and Miscellaneous Organic Esters. Di
dalam : Wurzburg, O.B. 1986. Modified Starches : Properties and Uses. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.
Lorenz, K.J. dan Karel, K. 1991. Handbook of Cereal Science and Technology.
Marcell Dekker, Inc. New York. Basel. Manullang, M. 1997. Karbohidrat Pangan. Jurusan Teknologi Pangan. Fakultas
Teknologi Industri. Universitas Pelita Harapan. Jakarta. Merdiyanti, A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mie Kering dengan Memanfaatkan
Bahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Miles, M.J., V. Moris, P.D. Orford, dan Ring, S.G. 1985. The Role of Amylose and
Amylopectin in the Gelation and Retrogradation of Starch. Carbohydrate Research, 135:271-281.
Mita, T. 1992. Structure of potato starch pastes in the ageing process by the
measurement of their dynamics moduli. Carbohydrate Polymers, 17:269-276. Moorthy, S.N. 1985. Effect of Surfacttants on Cassava Starch Viscosity. Journal
Agricultural Food Chemistry. Di dalam : Balagopalan, C., G. Padmaja, S.K., Nanda, dan Moorthy, S.N. 1988. Cassava in Food, Feed and Industry. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.
Muchtadi, T.R., P. Hariyadi, dan Ahza, A.B. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi.
Pusat Antara Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
99
Muhandri, T. 2006. Karakteristik Reologi Mie Jagung dengan Ekstrusi Pencetak. Penelitian Dosen Muda. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Mugiarti. 2001. Pengaruh Penambahan Tepung Kedele terhadap Sifat Fisiko Kimia
dan Daya Terima Mie Basah (Boiled Noodles). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Noor, R.R.N. 2001. Scanning Electron Microscope. Laboratorium Pemuliaan dan
Genetika Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Oh, N. H., P. A. Seib, C.W. Deyou, dan Ward, A.B.. 1985. Noodles. Measuring the
textural caharacteristic of dry noodles. Cereal Chemistry. 60:433-437. Pagani, M.A. 1985. Pasta Product From Non-conventional Raw Material. Di dalam:
Mercier, C.H. and Centrallis, C. (eds.). Pasta and Extrution Cooked Foods. Proceeding of an international symposium. Milan, Italy.
Piyachomkwan, K et al. 2001. Development of a Standart Protokol for the Processing
of High Quality Sweet Potato Starch for Noodle Making. In Sweet Potato Post Harvest Research and Development in China. Proceedings of an International Workshop, Chengdu, 7-8 November. Bogor : International Potato Center, East, Southeast Asia Pasific Region, hlm. 140-165.
Pratama, G.G.F.S. 2008. Paket Teknologi untuk Memproduksi Mi Jagung dengan
Bahan Baku Tepung Jagung. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Purwani, E.Y, Widaningrum, R. Thahir, and Muslich. 2006. Effect of heat moisturure
treatment of sago starch on its noodle quality. Indonesian Journal of Agricultural Science 7 (1), 2006 : 8 – 14.
Rianto, B.F. 2006 Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mie Basah Berbahan Baku
Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Riyanti, E. 2009. Karakterisasi Tepung Lima Varietas Jagung Kuning Hibrida dan
Potensinya Untuk Dibuat Mie Jagung Berdasarkan Sifat Fisik dan Organoleptik. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ruiter, D. D. 1978. Composite Flours. Di dalam: Pomeranz, Y. (ed.). Advanced in
Cereal Science and Technology II. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul. Minnesota.
100
Sathe, S.K. & Salunke, D.K. (1981). Functional properties of the great northern bean (Phaseolus vulgaris L.) proteins: Emulsion, foaming, viscosity and gelation properties. J. Food Sc., 46, 71-81. Di dalam : Chatziantoniou, S., D. Triantafillou, and Thomareis, A.S. Functional properties of enzymatically hydrolysed soy proteins, using actinidin. International Symposium on “Functional Foods in Europe – International Developments in Science and Health Claims”.9-11 May 2007. Malta.
Slade, L., Harry, L., and Finley, J. W. 1989. Protein-Water Interaction : Water as A
Plasticizer of Gluten and Other Protein Polymers. Di dalam Phillips, R.D and Finley, J.W (eds). Protein Quality and The Effects of Processing. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel
Smith, O. B. 1981. Extrusion Cooking of Cereal and Fortified Food. Makalah pada
Proceeding Extruder Technology. Eight ASEAN Workshop, 14-25 Januari 1980, Bangkok.
Soh, H.N, M.J. Sissons, dan Turner, M.A. 2006. Effect of starch granule size
distribution and elevated amylase content on durum dough rheology and spaghetti cooking quality. AACC International, Inc. St Paul. Minnesota.
Soraya, A. 2005. Perancangan Proses dan Formulasi Mi Basah Jagung Berbahan
Dasar High Quality Protein Maize Varietas Srikandi Kuning Kering Panen. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Stanley. 1987. Food Texture and Microstructure. Di dalam : Moskowitz, H.R. Food
Texture, Instrumental and Sensory Measurement. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel
Subarna et al. 1999. Pengembangan Bahan Baku Campuran Tepung-Tepungan
sebagai Alternatif Makanan Pokok agar Mudah Memasuki Pasar Regional/ Global. Pusar Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sudaradji, S, Bambang H, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan
dan Pertanian. Edisi Keempat. Alberti, Yogakarta. Suprapto. 1998. Bertanam Jagung. Cetakan ke-18. Penebar Swadaya. Jakarta. Swinkles, J.J.M.1985.Source of Starch In Chemistry and Physics. Di dalam : V
Beyum dan JA Roels (eds). Pasta and Noodle Technology. Marcell Dekker, Inc. New York. Basel.
Syarief, R dan Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpan Pangan. Argan. Jakarta. Syuryawati, C., Rapar dan Zubachtirodin. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Jagung.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Serelia. Bogor.
101
Szczesniak, A.S. 1983. Physical Properties of Foods : What They Are and Their Relation to Other Food Properties. Di dalam Peleg, M dan Bagley, E.B. 1983. Physical Properties of Foods. AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.
Thomas, D.J. dan Atwell, W.A. 1999. Starches. AACC International, Inc. St Paul.
MN. Di dalam : Soh, H.N, M.J. Sissons, dan Turner, M.A. 2006. Effect of starch granule size distribution and elevated amylase content on durum dough rheology and spaghetti cooking quality. AACC International, Inc. St Paul. Minnesota.
Waniska, RD, T Yi, J Lu, L Xue Ping, W Xu dan H.Lin. 1999. Effect of Preheating
Temperature, Moisture, and Sodium Metabisulfite Content on Quality of Noodles Prepared from Maize Flour and Meal. Journal Food Science and Technology International, 5 : 339-346.
Warisno.1998. Budidaya Jagung Hibrida.Gramedia, Jakarta Whistler dan Daniel. 1996. Carbohydrates. Di dalam Food Chemistry, Fennema, OR
(ed). Marcell Dekker Inc. New York. Basel. Wikipedia Indonesia. 2008. Jagung. http://id.wikipedia.org/wiki/jagung [5 Mei 2008]. Winarno, F.G. 1980. Kimia Pangan. PUSBANGTEPA, Institut Pertanian Bogor.
Bogor. Winarno, F.G. dan Rahayu, T.S. 1994. Bahan Tambahan Pangan dan Kontaminan.
Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Garamedia. Jakarta. Wirakartakusumah, M.A. 1981. Kinetics of Stach Gelatinization and Water
Absorption in Rice. PhD Disertation. University of Wisconsin. Madison.
102
Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian No. Peralatan Spesifikasi Gambar
1. Disc mill
PILOT PLANT PAU TECO 3 Phase Induction Code AEE AO 4 Pole, INS 1 1425 RPM BS 4999 & 5000 Cont. Rating 198 BRG No. 62066303 SER No. IF 3074 50 Hz, 220 Volt, 8077 A TECO ELEC & MACH PTE, LTD Made in Singapore Kapasitas : 6.25 kg/jam
2. Pengayak (Siever)
PILOT PLANT Seafast Centre Manufactured by DALAL ENGINEERING PVT. LTD THANA Under License From WILLIAM BOULTON LTD, ENGLAND Model 66 CMS Serial No : 107 Type : Dry Motor HP : 1 Material : SS 604 Kapasitas : 5 kg/sekali pengayakan
103
Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian (Lanjutan) No. Peralatan Spesifikasi Gambar
3. Tray dryer
PILOT PLANT Seafast Centre Engineering and Equipment GmbH 6072 Dreieich – West Germany H. ORTH GmbH Masch. Bau u. Verfahrenstechnik, D-6700 Ludwigshafen Baujahr : 1981 Fabr. Nr. : 2193 / 1 Type : ITHU Nenntemperatur : 1200C Frischluftwechsel/min : 4.94 m3
Nutzraum : 2.64 m3
Gesamtdampfraum : 2.88 m3 Stromart : 3 PH ~ Spannung : 220/380 V
4 Brabender Amylograph
4 Ekstruder Pencetak Model MS9
Pilot Plant Seafast Centre Model MS9 Production capacity 9 kg/h Rating input Power 1.5 Kw Power 1.1 Kw Dimension 600x330x430 mm Net Weight 60 kg Voltage 220 V Frequensi 50 Hz Series no VA 5000 Date 2005
104
Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian (Lanjutan) No. Peralatan Spesifikasi Gambar
5 Rheoner
Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan Rheoner RE-3305
1. JEOL JFC 1100E Ino Sputtering device fine coat (untuk coating)
2. EYELA Cool Ace CA-1100 (Untuk cooling)
Volt 100 ± 10V Current max 20 A Power max 2 kVA Frequency 1 ± 50/60 Hz Ground resistance max 100Q Cooling water 2 L/min
6 Scanning Electron Microscope
3. STAVOL Matsunaga Manufacturing Co., Ltd Yakohama 233 Serial number 40701k Date of MFG 1904.7 (untuk menaikkan teganggan)
Model SVC-5KSS-K Input Votage 1φ 220 V± 15% Output Votage φ 100 V± 1% Capacity 5 kVA/ 50 A Frequency 50 / 60 Hz
105
Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian (Lanjutan)
No. Peralatan Spesifikasi Gambar
4. JEOL JSM 5200 Scanning Microscope Multi Purpose SEMs
• Resolution HV Mode 5.0nm LV Mode 8.0nm
• Magnification HV Mode x15 to 200.000 LV Mode x15 to 50.000
• Accelerating 1.2 kV Voltage 5 to 25 kV (5 kV steps)
106
Lampiran 2. Mie Basah Jagung
No. Varietas Tepung Jagung
Mie Basah Jagung Tanpa Guar Gum
Mie Basah Jagung dengan Guar Gum
1. Srikandi Kuning
2. Bisma
3. Sukmaraga
4. Lamuru
107
Lampiran 2. Mie Basah Jagung ( Lanjutan )
No. Varietas Tepung Jagung
Mie Basah Jagung Tanpa Guar Gum
Mie Basah Jagung dengan Guar Gum
5. Arjuna
108
Lampiran 3. Hasil analisa SEM No. Jenis Mie Basah Perbesaran 2500 (X2500) Perbesaran 3500 (X3500)
1.
Mie basah jagung tanpa
tekanan manual (Varietas Lamuru)
2.
Mie basah jagung dengan
tekanan manual (Varietas Lamuru)
3. Mie terigu
Keterangan • 20 Kv = Tegangan yang digunakan alat SEM • X2500 dan X3500 = Perbesaran yang digunakan • = magnification (perbesaran) sebenarnya.
20 kV X2000
20 kV X2000
20 kV X2000
20 kV X3500
20 kV X3500
20 kV X3500
X9000 X11000
5µm X9000
5µm X9000
5µm
10µmX11000
10µmX11000
10µm
109
Lampiran 4. Rekapitulasi hasil karakterisasi lima varietas mie basah jagung Varietas Produk yang
dianalisis Sifat yang
diKarakterisasi Faktor-faktor yang
diamati Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna
pH 5.83 5.85 5.90 6.67 5.80 L 88.81 87.86 87.07 88.41 88.74 a 0.41 1.18 0.68 1.15 0.73 b 26.18 26.96 25.43 26.07 25.88
Fisik Warna
°Hue 89.11 87.49 88.47 87.47 88.37 Kadar air (% bk) 15.04 15.04 12.00 9.95 12.55 Kadar abu (% bk) 0.59 0.59 0.73 0.83 0.55 Kadar protein (% bk) 9.12 9.12 9.22 9.20 8.96 Kadar lemak (% bk) 1.69 1.69 1.82 1.85 1.62 Kadar karbohidrat (% bk) 88.60 88.60 88.23 88.11 88.87
Kadar pati (% bk) 71.69 71.69 75.70 74.96 74.92 Kadar amilosa (% bk) 23.06 27.59 23.67 27.68 27.14
Kimia
Kadar amilopektin (% bk) 44.10 44.10 52.64 51.29 47.24
Suhu Awal Gelatinisasi (°C)
73.50 72.00 72.00 73.50 73.50
Viskositas Maksimum (BU)
462.50 222.50 285.00 250.00 200.00
Viskositas Akhir (BU) 580.00 350.00 422.50 340.00 280.00
Breakdown Viscocity (BU)
92.50 5.00 25.00 15.00 20.00
Amilografi
Setback Viscocity (BU)
47.50 97.50 102.50 65.00 45.00
Water Absorption Capacity (g/g)(bk) 1.34 1.34 1.69 1.45 1.43
Kelarutan (%) 7.92 7.92 5.00 6.61 5.67
Tepung Jagung
Fungsional
Swelling volume (ml/g) (bk) 9.30 9.30 7.53 8.26 7.66
Celup 58.70 80.32 64.31 95.43 72.93 Persen Elongasi (%) Rebus 26.17 32.95 40.23 25.09 29.44
KPAP (%) 6.92 5.06 6.14 5.41 6.66 Celup 42.50 46.50 195.00 202.50 45.00 Tensile
Strength (kgf) Rebus 25.50 21.50 88.13 112.50 18.50
L 51.86 56.00 51.81 51.71 49.40
Mie Basah Jagung tanpa Penambahan
Guar Gum
Fisik
Warna a -0.20 0.32 -0.47 0.58 -0.04
110
b 26.91 29.84 26.96 23.38 25.20 °Hue 89.57 89.39
Lampiran 4. Rekapitulasi hasil karakterisasi lima varietas mie basah jagung (Lanjutan)
89.01 88.58 89.90 Celup 81.80 93.88 103.13 106.24 85.41 Persen
Elongasi (%) Rebus 35.28 38.94 42.71 61.49 46.64
KPAP (%) 4.49 4.23 4.61 4.57 4.49 Celup 71.00 60.50 232.50 252.13 81.00 Tensile
Strength (kgf) Rebus 34.00 27.50 103.13 131.25 31.50
L 53.59 55.79 51.14 51.10 50.58 a 0.41 0.53 -0.34 0.56 0.32 b 19.22 29.54 25.99 26.53 26.69
Mie Basah Jagung denganPenambahan
Guar Gum Fisik
Warna
°Hue 88.77 88.98 89.26 88.80 89.31 Keterangan :
= Karakterisasi terbaik = Analisis tambahan yang menjadi nilai tambah dari mie basah jagung
111
Lampiran 5. Hasil Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan A. Karakterisasi Tepung Jagung
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors
Value Label N 1 Srikandi Kuning 2
Bisma 2 2 Sukmaraga 2 3
4 Lamuru 2 Varietas
Arjuna 2 5 1 Ulangan 1 5
Ulangan 2 Ulangan 2 5
1. pH
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 361.959(a) 6 60.326 61636.192 .000Varietas 1.118 4 .279 285.488 .000Ulangan .000 1 .000 .368 .577Error .004 4 .001 Total 361.962 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N 1 2 3
Arjuna 2 5.795000 Srikandi Kuning 2 5.827500 5.827500 Bisma 2 5.845000 5.845000 Sukmaraga 2 5.895000 Lamuru 2 6.672500Sig. .191 .102 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .001. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
112
2. Warna a. Tingkat Kecerahan (Lightness)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon
Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 77761.646(a) 6 12960.274 52082.278 .000Varietas 4.217 4 1.054 4.237 .095Ulangan 1.116 1 1.116 4.486 .102Error .995 4 .249 Total 77762.642 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 Sukmaraga 2 87.068650 Bisma 2 87.860550 87.860550Lamuru 2 88.412700 88.412700Arjuna 2 88.743500Srikandi Kuning 2 88.812300Sig. .058 .134
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .249. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
b. Nilai a Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon
Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 7.797(a) 6 1.300 50.951 .001Varietas .885 4 .221 8.673 .030Ulangan .002 1 .002 .059 .820Error .102 4 .026 Total 7.899 10
a R Squared = .987 (Adjusted R Squared = .968)
113
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1 2
Srikandi Kuning 2 .404950 Sukmaraga 2 .679650 Arjuna 2 .734350 .734350Lamuru 2 1.154100Bisma 2 1.183500Sig. .113 .051
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .026. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
c. Nilai b Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 6817.592(a) 6 1136.265 119955.973 .000Varietas 2.491 4 .623 65.740 .001Ulangan .021 1 .021 2.165 .215Error .038 4 .009 Total 6817.630 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 3 4 Sukmaraga 2 25.432950 Arjuna 2 25.879650 Lamuru 2 26.073600 26.073600 Srikandi Kuning 2 26.179150 Bisma 2 26.963200Sig. 1.000 .117 .339 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .009. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
114
3. Kadar Air Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 1616.124(a) 6 269.354 3441.482 .000Varietas 28.130 4 7.033 89.854 .000Ulangan .064 1 .064 .815 .418Error .313 4 .078 Total 1616.437 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 3 4 Sukmaraga 2 9.953800 Bisma 2 12.004900 Lamuru 2 12.548700 Arjuna 2 13.454650 Srikandi Kuning 2 15.044500 Sig. 1.000 .124 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .078. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
4. Kadar Abu
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 4.436(a) 6 .739 248.114 .000Varietas .063 4 .016 5.259 .068Ulangan .004 1 .004 1.352 .310Error .012 4 .003 Total 4.447 10
a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .993)
115
Post Hoc Tests Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 3 Lamuru 2 .551450 Srikandi Kuning 2 .593350 .593350 Arjuna 2 .668050 .668050 .668050Bisma 2 .734600 .734600Sukmaraga 2 .757400Sig. .104 .064 .183
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .003. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
5. Kadar Protein
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 833.374(a) 6 138.896 650.368 .000Varietas .082 4 .021 .096 .978Ulangan .872 1 .872 4.085 .113Error .854 4 .214 Total 834.228 10
a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997)
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1
Lamuru 2 8.964450Arjuna 2 9.113150Srikandi Kuning 2 9.117200Sukmaraga 2 9.203000Bisma 2 9.220700Sig. .604
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .214. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
116
6. Kadar Lemak Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square
Model 30.673(a) 6 5.112 431.327 .000Varietas .071 4 .018 1.502 .351Ulangan .016 1 .016 1.384 .305Error .047 4 .012 Total 30.721 10
a R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996)
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1
Lamuru 2 1.617550Srikandi Kuning 2 1.694150Arjuna 2 1.763550Bisma 2 1.819350Sukmaraga 2 1.849800Sig. .104
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .012. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
7. Kadar Karbohidrat
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 78264.713(a) 6 13044.119 129233.394 .000Varietas .623 4 .156 1.543 .342Ulangan .997 1 .997 9.881 .035Error .404 4 .101 Total 78265.116 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
117
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1
Sukmaraga 2 88.189750Bisma 2 88.225400Arjuna 2 88.455150Srikandi Kuning 2 88.595350Lamuru 2 88.866500Sig. .104
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .101. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
8. Kadar Pati
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 54719.124(a) 6 9119.854 28253.022 .000Varietas 24.429 4 6.107 18.920 .007Ulangan .017 1 .017 .053 .829Error 1.291 4 .323 Total 54720.415 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 Srikandi Kuning 2 71.687500 Arjuna 2 72.511050 Lamuru 2 74.921700Sukmaraga 2 74.958750Bisma 2 75.700250Sig. .221 .249
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .323. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
118
9. Kadar Amilosa Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 6713.517(a) 6 1118.919 712.702 .000Varietas 41.176 4 10.294 6.557 .048Ulangan 1.959 1 1.959 1.248 .326Error 6.280 4 1.570 Total 6719.796 10
a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998) Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 3 Srikandi Kuning 2 23.059000 Sukmaraga 2 23.666950 23.666950 Arjuna 2 27.143500 27.143500Bisma 2 27.586450Lamuru 2 27.679500Sig. .653 .050 .694
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.570. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
10. Kadar Amilopektin
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 23203.468(a) 6 3867.245 1519.922 .000Varietas 37.329 4 9.332 3.668 .118Ulangan 2.344 1 2.344 .921 .392Error 10.177 4 2.544 Total 23213.645 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)
119
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1 2
Arjuna 2 45.367600 Lamuru 2 47.242250 47.242250Bisma 2 48.113750 48.113750Srikandi Kuning 2 48.628500 48.628500Sukmaraga 2 51.291800Sig. .116 .068
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 2.544. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
11. WAC
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 21.897(a) 6 3.649 21026.012 .000Varietas .146 4 .036 210.048 .000Ulangan .000 1 .000 .067 .808Error .001 4 .000 Total 21.897 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset Varietas N
1 2 3 4 Srikandi Kuning 2 1.325250 Lamuru 2 1.429150 Sukmaraga 2 1.452350 1.452350 Arjuna 2 1.473550 Bisma 2 1.693800 Sig. 1.000 .153 .183 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
120
12. Swelling volume Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 695.838(a) 6 115.973 261.313 .000Varietas 4.571 4 1.143 2.575 .191Ulangan .001 1 .001 .002 .964Error 1.775 4 .444 Total 697.613 10
a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .994) Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N
1 Lamuru 2 7.528200Bisma 2 7.656100Sukmaraga 2 8.263800Arjuna 2 8.821700Srikandi Kuning 2 9.301400Sig. .060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .444. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
13. Kelarutan
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 409.478(a) 6 68.246 25442.730 .000Varietas 9.656 4 2.414 899.948 .000Ulangan .005 1 .005 1.849 .246Error .011 4 .003 Total 409.489 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
121
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1 2 3 4 5
Srikandi Kuning 2 4.995950 Bisma 2 5.665400 Arjuna 2 6.427200 Sukmaraga 2 6.609850 Lamuru 2 7.917150Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .003. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
B. Mie Basah Jagung dengan Pemberian Tekanan secara Manual dan
Penambahan BTP 1. Persen Elongasi Celup
a. Tanpa Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 56916.285(a) 6 9486.047 241.127 .000Varietas 1655.696 4 413.924 10.522 .021Ulangan .663 1 .663 .017 .903Error 157.362 4 39.340 Total 57073.646 10
a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .993)
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1 2 3
Srikandi Kuning 2 58.699400 Sukmaraga 2 64.306000 64.306000 Arjuna 2 72.928900 72.928900 Bisma 2 80.321150 80.321150 Lamuru 2 95.429650 Sig. .090 .067 .074
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 39.340. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
122
b. Dengan Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 93066.740(a) 6 15511.123 566.542 .000Varietas 724.708 4 181.177 6.617 .047Ulangan 4.193 1 4.193 .153 .716Error 109.514 4 27.379 Total 93176.255 10
a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997) Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 Srikandi Kuning 2 81.795650 Bisma 2 93.879300 93.879300Arjuna 2 95.413350 95.413350Sukmaraga 2 103.129500Lamuru 2 106.245100Sig. .063 .082
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 27.379. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
2. Persen Elongasi Rebus a. Tanpa Guar Gum
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 9774.090(a) 6 1629.015 98.839 .000Varietas 298.747 4 74.687 4.532 .086Ulangan 3.482 1 3.482 .211 .670Error 65.926 4 16.481 Total 9840.016 10
a R Squared = .993 (Adjusted R Squared = .983)
123
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1 2
Lamuru 2 25.094750 Srikandi Kuning 2 26.165900 Arjuna 2 29.441400 29.441400Bisma 2 32.952750 32.952750Sukmaraga 2 40.227150Sig. .130 .060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 16.481. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
b. Dengan Guar Gum
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 21082.308(a) 6 3513.718 185.065 .000Varietas 822.143 4 205.536 10.825 .020Ulangan .831 1 .831 .044 .845Error 75.946 4 18.986 Total 21158.254 10
a R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .991)
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1 2
Srikandi Kuning 2 35.275000 Bisma 2 38.942750 Sukmaraga 2 42.705850 Arjuna 2 46.640300 Lamuru 2 61.487950Sig. .064 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 18.986. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
124
3. KPAP a. Tanpa Guar Gum
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon
Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 369.800(a) 6 61.633 12692.236 .000Varietas 5.047 4 1.262 259.820 .000Ulangan .006 1 .006 1.205 .334Error .019 4 .005 Total 369.819 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1 2 3 4 5
Bisma 2 5.064300 Lamuru 2 5.408650 Sukmaraga 2 6.143200 Arjuna 2 6.657050 Srikandi Kuning 2 6.923950 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .005. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
b. Dengan Guar Gum
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 200.594(a) 6 33.432 5342.484 .000Varietas .175 4 .044 6.984 .043Ulangan .014 1 .014 2.213 .211Error .025 4 .006 Total 200.619 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
125
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1 2
Bisma 2 4.228950 Srikandi Kuning 2 4.486450Arjuna 2 4.490700Lamuru 2 4.570150Sukmaraga 2 4.607100Sig. 1.000 .207
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .006. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
4. Tensile Strength Celup
a. Tanpa Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 170053.725(a) 6 28342.288 741.459 .000Varietas 57052.600 4 14263.150 373.137 .000Ulangan 4.225 1 4.225 .111 .756Error 152.900 4 38.225 Total 170206.625 10
a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998) Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 Srikandi Kuning 2 42.500000 Arjuna 2 45.000000 Bisma 2 46.500000 Sukmaraga 2 195.000000Lamuru 2 202.500000Sig. .557 .292
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 38.225. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
126
b. Dengan Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square
Model 266814.838(a) 6 44469.140 6750.534 .000Varietas 71830.125 4 17957.531 2726.001 .000Ulangan 33.306 1 33.306 5.056 .088Error 26.350 4 6.587 Total 266841.188 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1 2 3 4 5
Bisma 2 60.500000 Srikandi Kuning 2 71.000000 Arjuna 2 81.000000 Sukmaraga 2 232.500000 Lamuru 2 253.125000Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 6.587. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
5. Tensile Strength Rebus
a. Tanpa Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 43756.288(a) 6 7292.715 847.990 .000Varietas 15425.025 4 3856.256 448.402 .000Ulangan 2.256 1 2.256 .262 .635Error 34.400 4 8.600 Total 43790.688 10
a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
127
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1 2 3
Arjuna 2 18.500000 Bisma 2 21.500000 Srikandi Kuning 2 25.500000 Sukmaraga 2 88.125000 Lamuru 2 112.500000 Sig. .079 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 8.600. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
b. Dengan Guar Gum
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 60777.350(a) 6 10129.558 351.111 .000Varietas 18385.150 4 4596.288 159.317 .000Ulangan 12.100 1 12.100 .419 .553Error 115.400 4 28.850 Total 60892.750 10
a R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .995) Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 3 Bisma 2 27.500000 Arjuna 2 31.500000 Srikandi Kuning 2 34.000000 Sukmaraga 2 101.250000 Lamuru 2 131.250000 Sig. .299 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 28.850. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
128
6. Warna a. Tanpa Guar Gum
1). Nilai L (Tingkat Kecerahan) Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square
Model 27246.909(a) 6 4541.152 169757.302 .000Varietas 45.609 4 11.402 426.234 .000Ulangan .038 1 .038 1.413 .300Error .107 4 .027 Total 27247.016 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 3 Arjuna 2 49.395750 Lamuru 2 51.712700 Sukmaraga 2 51.809350 Srikandi Kuning 2 51.856050 Bisma 2 56.000300 Sig. 1.000 .436 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .027. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
2). Nilai a
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 1.465(a) 6 .244 1.510 .359Varietas 1.388 4 .347 2.145 .239Ulangan .063 1 .063 .392 .565Error .647 4 .162 Total 2.113 10 a R Squared = .694 (Adjusted R Squared = .234)
129
Post Hoc Tests Respon
Duncan Subset
Varietas N 1
Sukmaraga 2 -.467850Srikandi Kuning 2 -.202700Arjuna 2 -.044350Bisma 2 .318500Lamuru 2 .581050Sig. .063
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .162. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
3). Nilai b
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 7049.891(a) 6 1174.982 673.461 .000Varietas 45.932 4 11.483 6.582 .048Ulangan 4.023 1 4.023 2.306 .203Error 6.979 4 1.745 Total 7056.870 10
a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998) Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 Lamuru 2 23.379150 Arjuna 2 25.195850 Srikandi Kuning 2 26.910250 26.910250Sukmaraga 2 26.962100 26.962100Bisma 2 29.839600Sig. .057 .095
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.745. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
130
b. Dengan Guar Gum 1). Nilai L (Tingkat Kecerahan)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon
Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 27539.870(a) 6 4589.978 26137.127 .000Varietas 39.046 4 9.762 55.586 .001Ulangan .155 1 .155 .882 .401Error .702 4 .176 Total 27540.572 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 3 Arjuna 2 50.580900 Lamuru 2 51.101450 Sukmaraga 2 51.136950 Srikandi Kuning 2 53.591950 Bisma 2 55.794150 Sig. .261 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .176. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
2). Nilai a
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon
Source Type III Sum of Squares df F Sig. Mean Square Model 1.950(a) 6 .325 6.209 .049Varietas 1.071 4 .268 5.117 .071Ulangan .000 1 .000 .000 .984Error .209 4 .052 Total 2.159 10
a R Squared = .903 (Adjusted R Squared = .758)
131
Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 Sukmaraga 2 -.336800 Arjuna 2 .322500Srikandi Kuning 2 .413600Bisma 2 .526800Lamuru 2 .555800Sig. 1.000 .369
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .052. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
3). Nilai b
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 6666.444(a) 6 1111.074 3876.004 .000Varietas 116.918 4 29.230 101.968 .000Ulangan .001 1 .001 .003 .956Error 1.147 4 .287 Total 6667.591 10
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests
Respon Duncan
Subset Varietas N
1 2 3 Srikandi Kuning 2 19.215800 Sukmaraga 2 25.992900 Lamuru 2 26.521700 Arjuna 2 26.692200 Bisma 2 29.537600 Sig. 1.000 .268 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .287. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
132
Lampiran 6. Hasil Uji t-test A. Penggunaan Alat Analisa Persen Elongasi (Texture Analyzer Dan Rheoner)
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2 Mean 86.140 85.105 Variance 14.365 1.140 Observations 2.000 2.000 Pooled Variance 7.752 Hypothesized Mean Difference 0.000 df 1 t Stat 0.372 P(T<=t) one-tail 0.373
2.920 t Critical one-tail P(T<=t) two-tail 0.746 t Critical two-tail 4.303
B. Mie Basah Jagung Tanpa Pemberian Tekanan dan Dengan Pemberian
Tekanan secara Manual
1. KPAP
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2 Mean 7.150 5.555 Variance 0.002 0.008 Observations 2.000 2.000 Pooled Variance 0.005 Hypothesized Mean Difference 0.000 df 1 t Stat 22.280 P(T<=t) one-tail 0.001
2.920 t Critical one-tail P(T<=t) two-tail 0.002 t Critical two-tail 4.303
133
2. Persen Elongasi t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2 Mean 108.460 126.290 Variance 0.065 0.024 Observations 2.000 2.000 Pooled Variance 0.044 Hypothesized Mean Difference 0.000 df 1 t Stat -84.522 P(T<=t) one-tail 0.000
2.920 t Critical one-tail P(T<=t) two-tail 0.000 t Critical two-tail 4.303
134
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Hamigia Zulkhair dilahirkan pada tanggal
28 Oktober 1986 di Solok, Sumatera Barat dan merupakan anak
keempat dari pasangan H. Chairan dan Hj. Zurni Zaini. Penulis
menempuh pendidikan dasar di SDN 02 PPA Kota Solok, Sumatera
Barat (1993-1999), pendidikan menengah pertama di MTsN Koto
Baru Kab. Solok, Sumatera Barat (1999-2002), dan pendidikan
lanjutan di SMUN 1 Gn. Talang Kab. Solok, Sumatera Barat (2002-
2005).
Penulis diterima di Program Mayor Minor Insitut Pertanian Bogor pada tahun 2005
melalui jalur USMI. Pada Tahun 2006 penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif sebagai anggota HIMITEPA periode
2006-2008, anggota Food Processing Club divisi Fermented Food periode (2007), anggota Food
Processing Club divisi Bakery (2008), anggota Penyuluhan Keamanan Pangan untuk anak SD
(2008) dan anggota Penyuluhan Keamanan Pangan untuk pedagang dalam dan sekitar kampus
IPB darmaga (2008). Penulis pernah mengikuti Pelatihan Sistem Manajemen Pangan Halal
(2008), Quality Management System ISO 9001:2000 (2008) dan Quality Safety Management
System ISO 22000: 2005 (2008). Penulis juga pernah menjadi asisten pratikum pada mata kuliah
Evaluasi Sensori Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (2008).
Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Karakterisasi Tepung
Jagung Lokal dan Mie Basah Jagung yang Dihasilkan”, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dedi
Fardiaz, M.Sc dan Tjahja Muhandri, STP, MT.