Kampung Dukuh
-
Upload
lailapurnamasari -
Category
Documents
-
view
151 -
download
7
description
Transcript of Kampung Dukuh
Kampung Dukuh adalah kampung adat yang memiliki keunikan tersendiri. Pola kehidupan
sarat nilai-nilai luhur. Masyarakatnya hidup di rumah-rumah panggung yang sederhana.
Bangunan berwujud empat persegi panjang dari kayu atau bambu beratap daun ilalang yang
dilapis ijuk. Semua bangungan menghadap ke Barat dan Timur. Di sinilah kesahajaan hidup plus
tata nilai yang tulus dalam peradaban masih bisa disaksikan.
Memang, rumah-rumah panggung itu hanya boleh menghadap ke Barat dan Timur.
Merupakan pantang bagi mereka membuat pintu yang menghadap ke Utara. Tak jelas benar apa
alasannya. Namun ciri itu menciptakan satu keseragaman yang unik. Selain itu, Masing masing
rumah memiliki halaman memanjang seperti jalan setapak yang membujur di muka dan di
belakangnya.
A. Sejarah Kampung Adat Dukuh
Kampung Dukuh berlokasi di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Dalam
kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa yang berjasa sebagai pendiri Kampung
Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil. Menurut cerita pada abad ke-17, Rangga Gempol II yang saat
itu menjadi Bupati Sumedang yang berada di bawah kekuasaan Mataram, menghadap penguasa
Mataram dan mohon agar menunjuk seorang hakim/penghulu/kepala agama pengganti yang telah
meninggal. Sultan mengatakan bahwa penghulu pengganti tidak usah dicari jauh-jauh karena
orang tersebut ada di pedesaan Pasundan. Rangga Gempol II kemudian mencari orang yang
dimaksud dan akhirnya bertemu dengan Syekh Abdul Jalil, pemimpin sebuah pesantren yang
mempunyai murid-murid cukup banyak.
Syekh Abdul Jalil bersedia menjadi hakim/penghulu/kepala agama dengan syarat “entong
ngarempak syara” yang artinya jangan melanggar syara (hukum/ajaran Islam) seperti
membunuh, merampok, mencuri, perzinahan dan sebagianya, dan apabila syarat tersebut tidak
diindahkan, maka jabatan sebagai penghulu akan segera diletakkan. Dua belas tahun sejak
pengangkatan menjadi penghulu dan selama itu aturan-aturan agama tidak ada yang melanggar.
Akan tetapi ketika Syekh Abdul Jalil berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji,
Sumedang kedatangan utusan Banten yang meminta agar Sumedang tidak tunduk dan memberi
upeti ke Mataram, tetapi tunduk ke Banten dan bersama-sama memerangi Mataram. Rangga
Gempol II marah dan utusan Banten Jagasatru malah dibunuh atas perintahnya, mayat itu
dibuang ke hutan agar tidak diketahui oleh Banten dan Syekh Abdul Jalil.
Walau bagaimanapun kuatnya menutupi rahasia, akhirnya peristiwa pembunuhan itu
diketahui Syekh Abdul Jalil sekembali dari Mekah, dari informasi temannya Ki Suta. Kemudian
Ia langsung meletakkan jabatan sebagai penghulu Sumedang sesuai dengan perjanjian
sebelumnya. Walaupun Rangga Gempol II mohon maaf dan berjanji tidak akan pernah
melakukan pelanggaran syara lagi, Syekh Abdul Jalil tetap dengan pendiriannya untuk
meninggalkan jabatan itu. Sebelum meninggalkan Sumedang, ia sempat berkata “sebentar lagi
Sumedang akan diserang oleh Banten”. Ternyata perkataanya terbukti. Pada Hari Jum’at
bertepatan dengan Hari Raya idul Fitri, Sumedang diserang oleh Banten yang dipimpin oleh
Cilikwidara dan Sumedang mengalami kehancuran.
Syekh Abdul Jalil kemudian pergi ngalanglang buana (mengelilingi dunia atau berpindah-
pindah dari satu temapt ke tempat lainnya) mencari tempat bermukim yang dirasa cocok untuk
dijadikan tempat menyebarkan ilmu dan agamanya. Di setiap tempat yang disinggahinya Ia
selalu bertafakur, memohon petunjuk Allah untuk mendapatkan tempat yang cocok dan tenang
dalam beribadah dan menjalankan atau mengajarkan agamanya. Pada tanggal 12 Maulud Bulan
Alif (tidak ada keterangan yang pasti mengenai tahun yang tepat) ketika selesai tafakur di
Tonjong, Ia mendapat petunjuk di langit berupa sinar sagede galuguran kawung atau sebesar
pohon aren. Sinar tersebut bergerak menuju suatu arah tertentu, yang kemudian diikuti oleh
Syekh Abdul Jalil, dan berhenti di suatu daerah di antara Sungai Cimangke dan Cipasarangan.
Daerah tersebut ternyata telah dihuni oleh suami istri yang bernama Aki (kakek) dan Nini
(nenek) Candradiwangsa. Syekh Abdul Jalil bermukim di tempat tersebut dan dipercayai oleh
masyarakat setempat sebagai cikal bakal Kampung Dukuh. Diperkirakan, Syekh Abdul Jalil
mulai menempati Kampung Dukuh pada tahun 1685. Menurut buku Babad Pasundan (diterbitkan
1960), penyerangan Cilikwidara (Banten) ke Sumedang terjadi pada tahun 1678. Sedangkan
pengembaraan Syekh Abdul Jalil yang tercatat dalam buku yang disimpan kuncen memakan
waktu ± 7 tahun.
Menurut cerita nama dukuh diambil dari bahasa Sunda yang berarti tukuh (kukuh, patuh,
teguh), dalam mempertahankan apa yang yang menjadi miliknya, atau taat dan sangat patuh
menjalankan tradisi warisan nenek moyangnya. Menurut penuturan (2006) Lukmanul Hakim,
Juru Kunci (Kuncen) Kampung Dukuh istilah dukuh berasal dari padukuhan atau dukuh = calik
= duduk. Jadi padukuhan sama dengan pacalikan atau tempat bermukim. Menurut mantan Lurah
Cijambe, yaitu Uung Supriyadin, nama Dukuh dikenal kira-kira pada tahun 1901 yaitu pada
waktu berdirinya Desa Cijambe. Sebelum tahun 1901 tidak dapat keterangan apa nama kampung
tersebut.
Sejak berdiri sampai sekarang, Kampung Dukuh sudah mengalami dua kali
dibumihanguskan. Peristiwa pertama pada tahun 1949 yaitu pada masa agresi Belanda yang ke-2,
perkampungan dibakar sendiri oleh penduduk karena takut jatuh ke tangan penjajah. Kedua, pada
masa terjadinya pembrontakan DI/TII dengan dalangnya Kartosuwiryo. Pembakaran dilakukan
oleh pemerintah karena Kampung Dukuh yang tanahnya subur dikhawatirkan akan dijadikan
basisi oleh pasukan DI/TII. Kemudian baru-baru ini terjadi peristiwa kebakaran pada tahun 2006
yang menyebabkan hampir semua bangunan rumah habis terbakar. Berkat swadaya masyarakat
dan bantuan pemerintah dibangun kembali Kampung Dukuh dengan tradisi yang tetap melekat
kuat dalam proses pembangunan perkampungan tersebut.
Kampung Dukuh merupakan kesatuan pemukiman yang mengelompk, terdiri atas beberapa
puluh rumah yang berjajar pada kemiringan tanah yang bertingkat. Pada tiap tingkatan terdapat
sederetan rumah yang membujur dari arah barat ke timur. Letak antar rumah hampir
berdempetan, sehingga jalan kampung terletak di sela-sela rumah penduduk berupa jalan
setapak. Kampung Dukuh terdiri atas dua daerah pemukiman yaitu Dukuh Luar (Dukuh Landeuh
= bawah) dan Dukuh Dalam (Dukuh Tonggoh = atas). Selain Dukuh Luar dan Dukuh Dalam,
terdapat wilayah lain yang bernama Tanah Karomah (tanah keramat). Di dalam wilayah Tanah
Karomah terdapat Makam Karomah (makam keramat). Di antara ketiga wilayah ini dibatasi oleh
pagar tanaman.
Dukuh Dalam terdiri atas 42 rumah, dengan bentuk, arah membujur dan bahan bangunan
yang sama. Jumlah ini tetap, karena tidak ada lagi tanah kosong yang bisa dijadikan tempat
berdirinya sebuah rumah. Terdapat peraturan-peraturan yang mengikat penduduknya berupa
peraturan tidak tertulis atau bersifat tabu, misalnya tidak boleh menjulurkan kaki ke arah makam
keramat yang ada di sebelah utara kampung, tidak boleh makan sambil berdiri, tidak boleh
menggunakan barang-barang elektronik dan tidak boleh membuat rumah lebih bagus dari pada
tetangganya.
Dukuh Luar merupakan bagian dari kampung yang berada di luar batas taneuh karomah.
Segala peraturan tidak berlaku dengan ketat. Bahkan dalam perkembangan sekarang sudah
banyak dijumpai bangunan-bangunan yang memakai bahan-bahan yang di Dukuh Dalam tabu
untuk dipakai, misalnya genteng, kaca, papan. Walaupun demikian arah rumah-rumah masih
tetap dari timur ke barat dan pintu rumah tidak menghadap ke makam keramat.
B. Adat Istiadat yang Masih Berlaku dan Sudah Tidak Berlaku
Sesuai dengan perkembangan zaman kebudayaan di masyarakat Kampung Adat dukuh ada
yang masih berlaku dan ada juga yang sudah tidak berlaku. Begitu banyak kebudayaan masih
berlaku di masyarakat Kampung Dukuh Garut.
Mereka juga melaksanakan upacara "Moros", sebagai wujud masyarakat adat untuk
memberikan hasil pertanian kepada pemerintahan setempat.
Ciri khas lainnya hingga kini sama sekali tidak terpengaruh oleh kemajuan jaman, bahkan
nyaris tidak mengenal perkembangan IPTEK.
Kawasan Kampung Dukuh seluas 10 Ha terdiri 7 Ha Wilayah Kampung Dukuh Luar, 1 Ha
Kampung Dukuh Dalam serta sisanya merupakan lahan kosong atau lahan produksi, terdapat
pula areal yang dikenal wilayah "Karomah" sebagai lokasi makam Syekh Abdul Jalil.
Di kampung “Dukuh Dalam” hanya terdapat 42 rumah dan bangunan Mesjid, dihuni 40
Kepala Keluarga (KK) atau 172 orang, sedangkan Kampung “Dukuh Luar” dihuni 70 KK,
dengan mata pencaharian utamanya bertani, beternak ayam, bebek, kambing, domba, kerbau
serta memelihara ikan dan usaha penggilingan padi.
Pola budaya aspek non fisiknya berupa ritual budaya antara lain “ngahaturan tuang”
(menawari makan), merupakan adab masyarakat kepada pengunjung dari luar. Jika memiliki
keinginan tertentu seperti kelancaran usaha, perkawinan, jodoh, mereka memberi garam, kelapa,
telur ayam, kambing atau lainnya sesuai kemampuan.
Kemudian “nyanggakeun” (menyerahkan), kegiatan penyerahan sebagian hasil pertanian
kepada “Kuncen” (juru kunci) untuk diberkahi, dan masyarakat-pun tidak dirbolehkan memakan
hasil panennya sebelum melakukan kegiatan Nyanggakeun.
Selanjutnya “tilu waktos” (tiga waktu), sebagai ritual yang dilakukan Kuncen yakni dengan
membawa makanan ke dalam “bumi alit atau bumi lebet” (rumah kecil atau rumah dalam) untuk
“tawasul”, Kuncen membawa sebagian makanan ke Bumi Allit lalu berdoa, yang biasanya
dilakukan pada 1 Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulud, 10 Muharam.
“Manuja”, yakni penyerahan bahan makanan hasil bumi kepada Kuncen untuk diberkati
pada lebaran Idul Fitri dan Idul Adha sebagai bentuk perayaan.
“Moros”, merupakan kebiasaan untuk menyerahkan hasil-hasil bumi yang dimiliki kepada
aparat pemerintah seperti lurah dan camat.
“Cebor Opat Puluh”, adalah mandi dengan empat puluh kali siraman air dari pancuran yang
dicampur dengan air khusus namun telah diberi doa-doa pada jamban umum.
“Jaroh”, merupakan bentuk kegiatan berziarah ke makam Syekh Abdul Jalil, tapi
sebelumnya harus melakukan mandi cebor opat puluh dan mengambil air wudhu serta
menanggalkan semua perhiasan serta menggunakan pakaian yang tidak bercorak.
“Shawalatan”, dilakukan pada hari Jumat di rumah kuncen, berupa Shalawatan Karmilah
sejumlah 4.444 kali yang dihitung dengan menggunakan batu.
“Sebelasan” dilakukan setiap tanggal 11 dalam perhitungan bulan Islam dengan membaca
Marekah, Terbang Gembrung merupakan kegiatan yang dilakukan pada tanggal 12 Maulud yang
dilakukan para orang tua Kampung Dukuh.
“Terbang Sejak”, merupakan suatu pertunjukan pada saat perayaan seperti khitanan dan
pernikahan, yakni sebagai pertunjukkan pertunjukan debus.
Maka terdapat hari-hari penting dan hari besar di Kampung Dukuh antara lain, 10
Muharam, 12 Maulud, 27 Rajab, 1 Syawal Idul Fitri serta pada setiap 10 Rayagung, dengan hari
pentingnya Sabtu (Pelaksanaan Ziarah), Rebo Welasan (Hari terakhir bulan Safar).
Seluruh sumber air yang digunakan masyarakat diberi “jimat” (keampuhan) sebagai
penolak bala, dan biasanya diwajibkan untuk digunakan mandi, bahkan pada 14 Maulud
dipercaya sebagai hari paling baik untuk menguji dan mencari ilmu kepada para guru dengan
melakukan cebor opat puluh, juga terdapat tradisi 30 Bewah sebagai persiapan menjelang
melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, kata Yayan.
Di sam ping itu ada juga kebudayaan yang sudah tidak berlaku lagi di masyarakat
Kampung Adat Dukuh, yakni: Dulu tata krama ketika akan masuk ke kampung Adat Dukuh
tidak boleh memakai sandal dan ketika hujan tidak boleh memakai paying tetapi untuk sekarang
ini hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Entah apa alasannya tetapi hal ini tidak lepas dari
perkembangan zaman.
C. Sistem Organisasi Sosial Masyarakat Kampung Adat Dukuh
Masyarakat Kampung Adat Dukuh memiliki sistem kemasyarakatan yang sudah tertata
dengan baik dan berjalan sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini terbukti dengan berjalannya
sistem organisasi sosial yang ada di masyarakat Kampung Adat Dukuh dan tidak pernah berubah
dari masa ke masa dan masih berjalan sampai saat ini dan akan datang. Sistem organisasi sosial
yang mereka gunakan menganut sistem kokolotan yang berasaskan pada ajaran Islam selain
berpola budaya berlandaskan religi yang sangat kuat, juga berpandangan hidup berlandas pada
sufisme dengan berpedoman pada Mazhab Imam Syafii.
Sistem kokolotan dimaksud adalah suatu sistem organisasi sosial yang menghargai dan
menghormati para kasepuhan atau kokolot dan karuhun atau nenekmoyang mereka menitipkan
atau mengamanatkan kepada anak cucunya di Kampung Adat Dukuh agar tetap menjalankan
ajaran yang telah diwariskan kepadanya.
Untuk menjalankan roda organisasi kemasyarakatan tersebut mereka berpedoman pada
ajaran agama islam dengan madzhab Imam Syafi’i. Sehingga landasan budaya tersebut,
berpengaruh pada bentukan fisik pedesaan dan adat istiadat masyarakatnya, yang sangat
menjunjung keharmonisan serta keselarasan hidup bermasyarakat.
Paham itulah yang membawa pengaruh pada penerapan budaya hidup sederhana.
Tengoklah pada bentuk bangunan di Kampung Dukuh yang tidak menggunakan dinding dari
tembok dan atap dan genteng serta jendela kaca. Ini menjadi salah satu aturan yang
dilatarbelakangi alasan bahwa hal yang berbau kemewahan akan mengakibatkan suasana hidup
bermasyarakat menjadi tidak harmonis.
Di kampung ini tidak diperkenankan adanya listrik dan barang-barang elektronik. Sebab
barang-barang semacam itu dipercaya selain ada manfaatnya, namun mudharatnya lebih besar
lagi. Alat makan yang dianjurkan terbuat dari pepohonan dan alam sekitar. Misalnya terbuat dari
bambu, batok kelapa dan kayu. Material tersebut dipercaya lebih memberikan manfaat ekonomis
dan kesehatan, karena bahan tersebut tidak mudah hancur atau pecah dan dapat menyerap
kotoran.
Masyarakatnya homogen dan hidup terpencil dari keramaian kota dan perkampungan lain.
Menurut tradisi yang hidup sampai sekarang, masyarakat adat Kampung Dukuh sangat mematuhi
kasauran karuhun (nasehat leluhur). Nasehat ini menganjurkan hidup sederhana, sopan santun,
tidak berlebihan dan tidak mengejar kesenangan duniawi, serta tetap memegang prinsip
kebersamaan. Selain itu, ada adat tabu (larangan) yang tetap dipegang sehingga pola kampung
dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari tetap terjaga. Kemudian peranan kuncen sebagai pemimpin
non formal dianggap sebagai pelindung adat istiadat yang kewibawaannya sangat berpengaruh.
D. Lokasi dan Lingkungan
Secara administratif, Kampung Dukuh termasuk dalam kawasan RT 02 dan 03 RW 07
Desa Cijambe Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut. Jarak Kampung Dukuh dari Desa Cijambe ±
9 km, dari kota kecamatan ± 10 km, dari pusat pemerintahan Kabupaten Garut sekitar 100 km
dan dari Bandung ± 160 km ke arah selatan.
Kampung Dukuh dapat dicapai dari Garut dengan menggunakan kendaraan umum jurusan
Cimari atau Cikelet. Kendaraan umum Garut – Cimari melalui Cijambe, sedangkan bila
menggunakan trayek Garut – Cikelet, harus menggunakan kendaraan umum lagi untuk sampai di
Cijambe. Dari Cijambe perjalanan ditempuh dengan ojeg sepeda motor atau berjalan kaki karena
tidak ada kendaraan umum selain ojeg yang menuju Kampung Dukuh.
Jalan beraspal hanya sampai di Cijambe. Sedangkan jalan dari Cijambe ke Kampung
Dukuh masih berbatu-batu dan tidak rata, naik turun relatif terjal, agak sempit, serta kiri-
kanannya terdapat tebing dan jurang. Kendaraan beroda empat dengan kondisi prima bisa
melewatinya sampai pamenekan yaitu persimpangan menuju Kampung Dukuh. Kondisi jalan
dari pamenekan ke Kampung Dukuh yang berjarak ± 1 km, berupa jalan setapak yang kiri-
kanannya dipenuhi semak belukar dan pohon jati.
Ketinggian Kampung Dukuh adalah sekitar 390 m di atas permukaan laut dengan suhu
rata-rata 26° C dan letak astronomisnya 7° – 8° LS. 70 – 108° BT. Udara di Kampung Dukuh
yans luasnva sekitar 5 Ha ini tidak begitu panas (sedang) meskipun terletak hampir di pesisir
selatan. Hal ini mungkin karena pengaruh hutan lebat di sebelah utara kampung. Letak
kampungnya sendrin di tanah miring, di lereng Gunung Dukuh dan terpencil dari kampung-
kampung lainnya yang satu desa tetapi tidak membuatnya sulit untuk melakukan komunikasi
karena kondisi jalan yang cukup baik. Batas-batas administrasi Kampung Dukuh adalah
Sebelah utara berbatasan dengan Kampung Palasari Desa Karangsari.
Sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Cibalagung Desa Cijambe
Sebelah timur berbatasan dengan Kampung Nangela Desa Karangsari.
Sebelah barat berbatasan dengan Kampung Ciawi Desa Cijambe.
E. Pantangan yang Berlaku di Masyarakat Kampung Dukuh
Sesuai dengan pola pikir masyarakat Indonesia yang salah satunya adalah Relegio
Magis yang di dalamnya terdapat pantangan. Begitu juga di masyarakat Kampung Adat Dukuh
yang memiliki banyak pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakatnya, diantaranya:
1. Tidak makan dengan tangan kanan dan kiri seperti halnya orang-orang kaya pada zaman
sekarang.
2. Tidak boleh makan sambil berdiri apalgi sambil berjalan.
3. Tidak boleh diam atau duduk di pintu.
4. Kaki tidak boleh membujur ke utara karena terdapat makam keramat Syekh Abdul Jalil
yang merupakan pendiri Kampung Adat Dukuh.
5. Kencing dan buang hajat harus menghadap ke barat.
6. Rumah-rumah tidak boleh mengahadap ke utara.
7. Tidak diperkenankan pula adanya prasarana listrik dan pemasangan televisi serta radio,
yang mereka yakini selain mendatangkan manfaat yang banyak, juga bisa
mendatangkan banyak kemudaratan.
8. Ketika ziarah ke makam Syeh Abdul Jalil harus memakai baju khusus yang telah
disediakan yang berbentuk gamis dengan warna putih polos.
9. PNS tidak boleh zaiarah ke makam Syeh Abdul Jalil.
10. Terhadap wali yang meninggal tidak boleh menyebut ”maot” tetapi ”ngalih tempat”.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2011). 7 Kampung Adat Di Tatar Sunda. [Online] dapat diakses di :
http://merahmarunluck.blogspot.com/2011/12/assalamualaikum-wr.html
Anonim. (2012). Kampung Adat Di Jawa Barat. [Online] dapat diakses di :
http://www.diciamis.com/kampung-adat-di-jawa-barat.php#.Uh2pPdKTSBI
Anonim. (2012). Menelisik Arsitektur Di Kampung Adat Dukuh-Garut. [Online] dapat diakses di
: http://archiholic99danoes.blogspot.com/2012/03/kampung-dukuh-adalah-kampung-adat-
yang.html
Anonim. (2013). Kampung Adat Dukuh Cikelet. [Online] dapat diakses di :
http://www.hoteldigarut.net/2013/02/kampung-adat-dukuh-cikelet.html
Daradjatun, Adang. (2009). Sufisme Di Daerah Kampung Adat Dukuh Garut. [Online] dapat
diakses di : http://www.bangadang.com/berita/nusantara/957-sufisme-di-daerah-kampung-
adat-dukuh-garut
Efendi, Rahmat dkk. (2011). Risalah Masyarakat Adat Kampung Dukuh. Laporan Kuliah
Lapangan Jurusan Antropologi FISIP UNPAD. [Online] dapat diakses di : http://el-
noya.blogspot.com/2011/07/risalah-masyarakat-adat-kampung-dukuh.html
Giyanarestu. (2011). Kampung Dukuh Garut. [Online] dapat diakses di :
http://giyanestu1907.blogspot.com/2011/10/kampung-dukuh-garut.html
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fupload/Data%20Kampung%20Adat%20di
%20Jawa%20Barat.pdf
Risanto, Eko. (2009). Keunikan Kampung Adat Dukuh. [Online] dapat diakses di :
http://ekorisanto.blogspot.com/2009/07/keunikan-kampung-adat-dukuh.html
Risdiana, Lan Lan. (2013). Makalah Kampung Dukuh Garut. [Online] dapat diakses di :
http://lanlanrisdiana.blogspot.com/2013/03/makalah-kampung-dukuh-garut.html
Rizki, Faizal. (2012). Ada Kampung Unik Di Garut, Kampung Dukuh. [Online] dapat diakses di:
http://www.aktual.co/warisanbudaya/174749ada-kampung-unik-di-garut-kampung-dukuh