Kalamsiasi v3n2 Sept 2010

download Kalamsiasi v3n2 Sept 2010

of 102

Transcript of Kalamsiasi v3n2 Sept 2010

KALAMSIASIJurnal Ilmu Komunikasi dan Ilmu Administrasi NegaraVol. 3, No. 2, September 2010

Daftar IsiPOLA KOMUNIKASI PENYANDANG DISLEKSIA Dana Kusumaningtyas dan Agoeng Noegroho ....................................... 105 - 114 KONSTRUKSI SURAT KABAR HARIAN KOMPAS MENGENAI LINGKUNGAN HIDUP (Analisis Framing dalam Penyajian Berita Banjir Citarum) Arief Fajar ............................................................................................. 115 - 128 URGENITAS LAYANAN INFORMASI PUBLIK BERBASIS E-GOVERNMENT Totok Wahyu Abadi ............................................................................... 129 - 140 HAMBATAN SOSIAL BUDAYA DALAM PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA (Socio-Cultural Constraints on Gender Mainstreaming in Indonesia) Luluk Fauziah ....................................................................................... 141 - 152 PROFIL KEMISKINAN BERBASIS KOMUNITAS DI DESA BENGKULU REGIONAL DEVELOPMENT PROJECT (BRDP): Studi Kasus di Desa Muara Payang, Kecamatan Kota Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan Achmad Aminudin ................................................................................ 153 - 164 PERAN PERS DALAM POLITIK DI INDONESIA DAN TANGGUNG JAWAB HUKUM ETIKA KOMUNIKASI PADA KARYA JURNALISTIK Sri Ayu Astutik ..................................................................................... 165 - 174 PEMBERDAYAAN DATA POTENSI WILAYAH BERBASIS INVESTASI MELALUI INTERNET TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH DI KANTOR BAPPEDA DAN PENANAMAN MODAL KABUPATEN KOLAKA Dewi Anggraini ..................................................................................... 175 - 183 KESENJANGAN GENDER DALAM PROGRAM PIDRA DI KABUPATEN PONOROGO Hapsari Sri Susanti .............................................................................. 185 - 201

KATA PENGANTARAssalamualaikum Wr.Wb. Pembaca yang budiman, Alhamdulillah, Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya redaksi dapat menghadirkan Jurnal Kalamsiasi Vol. 3 No. 2 September 2010 ini ke tangan Anda semua, meskipun dengan banyak keterbatasan dan kekurangan di sana-sini. Edisi September 2010 kali ini Jurnal KALAMSIASI menyajikan berbagai macam isu yang cukup beragam. Ada Achmad Aminudin, yang membahas Profil Kemiskinan Berbasis Komunitas di Desa Bengkulu Regional Development Project (BRDP): Studi Kasus di Desa Muara Payang, Kecamatan Kota Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan. Ada Dewi Anggraini, yang mencoba menelisik upaya Pemberdayaan Data Potensi Wilayah Berbasis Investasi melalui Internet terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah di Kantor BAPPEDA dan Penanaman Modal Kabupaten Kolaka Dalam kaitannya dengan dunia Pers dan Komunikasi Jurnalistik, Sri Ayu Astutik, memaparkan Peran Pers dalam Politik di Indonesia dan Tanggung Jawab Hukum Etika Komunikasi pada Karya Jurnalistik. Sementara itu Arief Fajar, mencoba mendedah Konstruksi Surat Kabar Harian Kompas mengenai Lingkungan Hidup (Analisis Framing dalam Penyajian Berita Banjir Citarum) Dalam bidang Gender dan kajian Kewanitaan, Luluk Fauziah, mencoba memaparkan Hambatan-hambatan Sosial Budaya dalam Pengarusutamaan Gender di Indonesia, Sementara Hapsari Sri Susanti, mempermasalahkan Kesenjangan Gender dalam Program PIDRA di Kabupaten Ponorogo. Sementara dalam bidang Komunikasi Organisasi, Totok Wahyu Abadi, mencoba menelisik Urgenitas Layanan Informasi Publik Berbasis E-Government. Ada lagi bahasan Komunikasi Interpersonal tentang Pola Komunikasi Penyandang Disleksia hasil tulisan dari Dana Kusumaningtyas, dan Agoeng Noegroho Akhir kata, saran dan kritik selalu kami nantikan untuk kebaikan Jurnal yang kita cintai ini dimasa-masa yang akan datang. Selamat Membaca Wassalamualaikum wr.wb.

Penyunting

POLA KOMUNIKASI PENYANDANG DISLEKSIADana Kusumaningtyas Agoeng Noegroho(Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto, email: [email protected])

ABSTRACTThis study aims to identify people with dyslexia communication patterns in each phase, from the kids, early teens, and early adult. This is a qualitative research method with a phenomenological approach to uncover human behavior, what they say, and what they do, is as a product of how people make their own interpretations of the world. The object is individual children disleksik phase, then the individual early adolescence. For this object, researchers took this category with a purposive sampling technique at Pantara elementary students (special for learning disability) who have dyslexia. For individuals disleksik the early adulthood of an individual researcher choose magister degree disleksik that graduate at The London School of Jakarta. The results showed that there are different communication patterns of people with dyslexia in every phase of its development. In the phase of child communication patterns much more done with objects or visual images, in the early adolescent phase of the communication pattern is mostly done with the form of verbal or oral, whereas in the early phase of the communication patterns dewasaa much done with the form of writing activities Keywords: communication patterns, disleksia, learning disability,

PENDAHULUANSetiap orang tua wajar bila mengharapkan anak-anaknya dapat tumbuh cerdas, sempurna, baik fisik, intelektual, mental, maupun emosinya, sekaligus mengharapkan sang anak kelak menjadi anak yang penuh prestasi di dalam kehidupannya kelak. Setiap orang tua akan melakukan apa saja yang terbaik untuk anaknya, paling tidak yang105

dianggapnya baik, pendidikan yang terbaik apapun keadaanya. Setiap orang tua mempunyai kemampuan yang berbeda-beda karena itu selalu ada pilihan-pilihan yang tersedia. Semua memiliki satu tujuan yang sama yaitu demi kebaikan dan masa depan anaknya. Namun sering kali harapan mereka tidak sesuai dengan yang dihadapi. Ada

106

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 105 - 114

beberapa anak yang memiliki hambatan dalam perkembangan akademiknya. Mungkin orangtua sangat berambisi anaknya pintar matematika namun untuk mengurutkan angka saja masih kesulitan. Orang tua menginginkan anaknya lancar membaca dan menulis sedari kecil, namun mengingat huruf pun sangat kesulitan bahkan sering kali terbalik-balik. Secara khusus mereka bisa disebut sebagai anak disleksia yang masuk dalam learning disability atau berkesulitan belajar. Kesulitan atau gangguan belajar merupakan keterbelakangan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menafsirkan apa yang mereka lihat dan dengar. Hal ini juga termasuk ketidakmampuan dalam menghubungkan berbagai informasi yang berasal dari berbagai bagian otak mereka. Kelemahan ini akan tampak kesulitan dalam berbicara, menuliskan sesuatu, koordinasi, dan pengendalian diri. Kesulitan-kesulitan ini tampak ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan sekolah dan menghambat proses belajar membaca, menulis, atau berhitung yang seharusnya mereka lakukan (Wood, Derek, 2007: 19). Pada tahun 1997, dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dikatakan bahwa 1,8 persen dari anak usia sekolah mengalami kesulitan belajar, dengan kesulitan membaca sebagai kesulitan belajar yang utama. Duapuluh persen dari anak yang didiagnosis kesulitan belajar tersebut dinyatakan mengalami defisit neurologist (syaraf pusat otak) yang bervariasi dari ringan hingga berat sehingga membuat mereka merasa kesulitan dalam membaca dan menulis

(Wiguna, 2000 dalam simposium awam kesulitan belajar pada anak dan permasalahannya). Pada awalnya istilah learning disability merupakan sebuah istilah yang semena-mena dan berkonotasi negatif. Seolah-olah mereka adalah anak-anak yang tidak mampu belajar dengan baik dan tidak memiliki masa depan. Dalam perkembangannya di Amerika penggunaan learning disability menjadi tidak popular dan tidak pernah dipergunakan lagi. Penggunaan learning difference dinilai lebih manusiawi, jauh dari stigma negatif. Lalu berkembang dengan istilah children with special needs, anak dengan kebutuhan khusus (Suara Pantara, edisi seminar, 24-25 Mei 2008). Disleksia yang juga masuk dalam kategori Anak Berkebutuhan Khusus masih jarang didengar oleh sebagian orang. Selama ini mungkin autislah yang biasa dikenal dan dibahas di berbagai media, sedangkan disleksia sendiri banyak orang masih belum mengerti secara detail apa itu disleksia, kenapa bisa ada, dan datangnya dari mana, bahkan pertanyaan ekstrem yang pernah terlontar, bisa membuat orang matikah penyakit itu. Di Indonesia sendiri pada tahun 1996 Pusbang Kurrandik (Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan) Balitbang Dikbud melakukan penelitian terhadap 4994 siswa sekolah dasar kelas I-VI di Provinsi Jawa Barat, Lampung, Kalimantan Barat, dan Jawa Timur, mendapatkan hasil bahwa 696 dari siswa SD (13,94 persen) tersebut mengalami kesulitan belajar umum dan 497 diantaranya mengalami kesulitan

Dana Kusumaningtyas & Agoeng Neogroho, Pola Komunikasi Penyandang Disleksia

107

membaca atau disleksia (Wiguna, 2000 dalam simposium awam kesulitan belajar pada anak dan permasalahannya). Ferliana seorang psikolog anak dan volunter di komisi nasional perlindungan anak, mengatakan bahwa disleksia sering dikenal dengan ketidakmampuan mengenal huruf dan suku kata dalam bentuk tertulis atau dengan kata lain ketidakmampuan dalam membaca (Weinstein, 2004: 1). Penyandang disleksia yang biasa disebut dengan disleksik sebenarnya mengalami kesulitan membedakan bunyi fonetik yang menyusun sebuah kata. Mereka bisa menangkap kata-kata tersebut dengan indera pendengarnya namun mereka kesulitan untuk menuliskannya dengan huruf-huruf yang mana saja. Dengan demikian mereka juga kesulitan menuliskan yang diinginkan ke dalam kalimat-kalimat yang panjang secara akurat. Individu disleksia mempunyai tingkat intelegensi rata-rata bahkan bisa di atas ratarata. Mereka akan kesulitan dalam memahami, mengingat, dan mengelompokan dalam menggunakan simbol verbal. Karena hal inilah maka kemampuan dasar dapat berefek khususnya membaca, menulis, mengeja dan berhitung (Bryan, James and Tanis, 2000: 45). Banyak dijumpai juga individu disleksik mempunyai kecerdasan superior, sebut saja Albert Einstein, T.A. Edison, Isaac Newton, Leonardo da Vinci, adalah sebagian contoh para penyandang disleksia (Nakita, No 526/TH.X/27 April-3 Mei 2009). Tak hanya itu, limapuluh persen pegawai NASA didiagnosis disleksia dan umumnya direkrut karena kemampuan problem-solving dan

kepekaan keruangan maupun tiga dimensi yang sangat baik, Davis dan Burn (dalam Lenggono, 2006: 45). Secara fisik atau berdasarkan penampilan anak disleksik terlihat normal seperti anak-anak pada umumnya tanpa cacat fisik sedikitpun namun akan kelihatan kekurangannya pada kemampuan dasarnya dalam membaca atau menulis. Gangguan ini kerap dijumpai di usia anak masuk ke Sekolah Dasar (SD), di mana dia susah mengikuti pelajaran dalam hal membaca dan menulis. Di sini perlu adanya pantauan yang cukup tajam dari orang tua akan keadaan sang anak disetiap perkembanganya. Kebanyakan dari orang tua tidak menyadari kenapa anaknya mengalami masalah (disleksia). Ironisnya lagi, ketidakpahaman inilah yang justru mendorong orang tua secara berlebihan menuntut anaknya untuk terus berprestasi dan tidak tertinggal jauh dari temannya (Nakita 488/th X/9 Agustus 2008). Upaya yang tepat dalam menyikapi sesuai karakteristik dari penyandang disleksia diperlukan pemahaman bagi orang tua dan guru sejak dini mengenai pola komunikasi disleksik. Oleh karena itu permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: bagaimana pola komunikasi seorang disleksik dari setiap fase perkembangan anak? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi yang dilakukan seorang penyandang disleksia dari setiap fase perkembangan anak, yakni fase anak, fase remaja, dan fase dewasa awal.

108

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 105 - 114

KERANGKA TEORI1. Psikologi KomunikasiPsikologi juga mencoba menganalisis seluruh komponen yang terlibat dalam proses komunikasi. Dalam aspek psikologi di sini memberikan karakteristik manusia komunikan serta faktor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi komunikasinya. Psikologi, meneliti kesadaran dan pengalaman manusia. Psikologi terutama mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia dan mencoba menyimpulkan proses kesadaran yang menyebabkan terjadinya perilaku itu. Fisher, (dalam Rakhmat, 1999: 8) menyebutkan empat ciri pendekatan psikologi pada komunikasi: penerimaan stimuli secara indrawi (sensory reception of stimuli), proses yang mengantarai stimuli dan respons (internal mediation of stimuli), prediksi respons (prediction of response), dan peneguhan respons (reinforcment of responses). Psikologi melihat komunikasi dimulai dengan masuknya kepada organ-organ pengindraan seseorang yang berupa data. Stimuli berbentuk orang, pesan, suara, warna, segala hal yang mempengaruhi seseorang. Stimuli ini kemudian diolah dalam jiwa inidividu dalam kotak hitam yang tidak pernah diketahui. Psikologi komunikasi juga melihat bagaimana respons yang terjadi pada masa lalu dapat meramalkan respons yang akan datang. Seseorang harus mengetahui sejarah respons sebelum meramalkan respons individu masa ini. Dari sini akan timbul perhatian pada gudang memori (memori storage) dan set (penghubung masa lalu dan masa sekarang).

Miller (dalam Rakhmat, 1999: 9) mendefinisikan psikologi komunikasi sebagai ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi. Peristiwa mental adalah apa yang disebut Fisher internal mediation of stimuli, sebagai akibat berlangsungnya komunikasi.

2. Learning DisabilitiesIstilah kesulitan belajar (learning disabilities) baru dimunculkan pada tahun 1962 oleh Samuel Kirk pada salah satu konferensi orang tua di New York. Adapun kesulitan belajar yang diungkapkan oleh Kirk (dalam Hallahan dan Kauffman, 1994: 85) adalah guna menjawab kebingungan mengenai berbagai label yang digunakan untuk menggambarkan anak-anak dengan intelegensi normal dan memiliki permasalahan belajar. Konsep Kirk ini secara luas telah diadopsi oleh para ahli guna pengetahuan dan penanganan bagi anak-anak yang mengalami kesulitan belajar di berbagi negara. Adapun definisi dan batasan mengenai kesulitan belajar menurut beberapa ahli sebagai berikut: a. Dalam Mangunsong Pada umumnya, kesulitan belajar sering banyak dikaitkan dengan kesukaran yang ditemui siswa di dalam kelas. Dalam hal ini, terjadinya masalah dalam proses belajar mengajar individual. Kesulitan belajar pun mempunyai dimensi yang lebih luas yang bisa terjadi pada anak pra sekolah ataupun anak secara umum. b. Dalam Hallahan dan Kauffman (1994: 45), definisi kesulitan belajar dibagi

Dana Kusumaningtyas & Agoeng Neogroho, Pola Komunikasi Penyandang Disleksia

109

berdasarkan atas definisi pemerintah federal 1. The Federal Definition, first signed into law 1977 Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau proses psikologi dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, membaca, menulis, dan mengeja ataupun berhitung. Batasanbatasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, motorik, hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan budaya atau ekonomi. 2. The National Joint Commtee for Learning Disabilities Definition (NJCLD) Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dalam penggunaan kemampuan mendengar, bercakap-cakap, membaca, menulis, manalar atau kemampuan bidang study matematika. Gangguan tersebut ins-

trisik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu atau berbagai pengaruh lingkungan, berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung.

3. DisleksiaDisleksia merupakan bagian dari kesulitan belajar, di mana dalam pengklasifikasian digolongkan dalam Academic Learning Disabilities. Kesulitan belajar akademik menunjuk pada adanya prestasi akademik yang berada jauh di bawah ratarata kemampuan yang diharapkan. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penguasaan ketrampilan dalam membaca (Disleksia), menulis (Dysgraphia), matematika (Dyscalculia). Di sini akan di bahas lebih mendalam mengenai disleksia. Selama ini mungkin orang masih dibingungkan akan apa itu disleksia karena seperti yang kita ketahui kata autis ataupun down sindrom lebih membahama dan lebih dibahas di media-media baik cetak maupun elektronik. Bahkan bila ada teman yang berbeda sedikit perangainya dengan teman-teman yang lainya sering dibilang sebagai anak autis, padahal seperti autis yang sebenarnya juga tidak banyak orang yang tahu. Hal itu karena autis lebih banyak dikenal orang meski terkadang mereka juga tidak mengerti apa dan seperti apa itu autis. Secara sederhana disleksia dapat diartikan sebagai suatu kesulitan dalam membaca, di mana bila dihadapkan dalam

110

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 105 - 114

tulisan akan terbalik-balik. Disleksia sendiri dianggap suatu kelainan karena mainstrem masyarakat kita cenderung membaca huruf-huruf angka dan simbol. Pennington dan Smith dalam jurnal Child Development (1983: 272) disleksia dapat didefinisikan sebagai kesulitan dalam perkembangan membaca dan mengeja, bahwa kesulitan dalam daerah ini terjadi bukan karena rendahnya intelegensi, masalah sosial ekonomi yang rendah, gangguan emosi, kerusakan dokumen neurological (saraf pusat otak) ataupun kecacatan sekeliling sensori. Pertama kalinya Kerr and Morgan dalam jurnal Child Development (1983: 272) memberi sebutan disleksia sebagai congenintal word blindness atau buta kata sejak lahir. Secara lengkap yang diadopsi oleh organisasi disleksia yang bernama The International Disleksia Association 1994 bahwa disleksia adalah kelainan neurologist yang sering terjadi karena hubungan dengan keluarga, hal ini berhubungan dengan kemahiran dan proses bahasa, selain itu juga berhubungan dengan kesulitan dalam menerima dan mengekspresikan bahasa termasuk proses fonologi dalam membaca, menulis, mengeja, dan berhitung (Stowe, 2000:10). Stereoptype yang menyebar luas dan melekat pada penyandang disleksia adalah penyandang sering terbalik-balik dalam angka dan huruf, dan ada masalah pada visual yang merupakan dasar pada kesulitan belajar (Bryan, 2000: 23). Disleksia disebutkan bahwa suatu kesulitan tak terduga pada saat anak-anak belajar membaca atau mengeja, yang bukan disebabkan oleh pendidikan

sekolah yang buruk, cacat pada indra fisik, cedera otak bawaan, atau kecerdasan yang secara keseluruhan rendah atau status ekonomi yang buruk (Weinstein, 2008: 63). Penyebab disleksia bisa terjadi karena, pertama, pusat bahasa di otak penyandang ini termasuk dalam kategori asimetris. Kedua, terdapat gangguan syaraf otak yang berhubungan dengan kemampuan membaca, misalnya di daerah temporal dan parietal. Gangguan syaraf ini dapat terjadi sejak si kecil masih dalam kandungan (Adityaputri, 2007: 73). Lyons (dalam Weinstein, 2008: 64) yang mengungkapkan bahwa disleksia adalah suatu gangguan spesifik berbasis bahasa, yang bersifat bawaan dan ditandai dengan kesulitan mengartikan satu kata tunggal yang biasanya mencerminkan kemampuan pemrosesan fonologi yang tidak memadai. Kesulitan mengartikan satu kata tunggal ini sering kali tidak terduga jika dikaitkan dengan usia serta kemampuan kognitif dan akademis lainnya. Disleksia ditunjukan dengan kesulitan berbeda-beda dalam berbagai bentuk bahasa yang sering kali mencakup juga, selain masalah dalam membaca, suatu masalah mencolok dalam menguasai keterampilan menulis dan mengeja.

METODE PENELITIANMetode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi memandang perilaku manusia, apa yang mereka katakan, dan apa yang mereka lakukan, adalah sebagai satu produk dari bagaimana orang melakukan tafsir terhadap dunia mereka

Dana Kusumaningtyas & Agoeng Neogroho, Pola Komunikasi Penyandang Disleksia

111

sendiri. Dengan kata lain, untuk menangkap makna perilaku seseorang, peneliti harus berusaha untuk melihat segalanya dari pandangan orang yang terlibat dalam situasi yang menjadi sasaran studinya tersebut (Sutopo, 2006: 27). Subjek penelitian adalah individu disleksik anak-anak SD, kemudian individu disleksia memasuki remaja awal dengan kisaran usia 10-14 tahun. Untuk kategori ini peneliti mengambil dengan teknik purposive sampling anak didik SD Pantara (SD berkebutuhan khusus) yang menyandang disleksia. Subjek penelitian lainnya adalah individu disleksik yang memasuki usia dewasa awal dengan kisaran usia 20-30 tahun, yaitu seorang disleksik lulusan S2 The London School Jakarta yang sekarang bekerja sebagai dosen pembimbing di almamaternya. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam kepada informan. Hasil wawancara tersebut kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis interaksi. Yaitu analisis yang mampu memberikan gambaran tentang tulisan, ucapan, dan perilaku objek yang diamati. Model analisis ini melibatkan tiga komponen pokok yaitu: reduksi data (reduction), penyajian data (data display), penarikan simpulan (Verification).

Pada fase anak-anakDari informan (Indra) menunjukan imajinasi dan hayalan yang tinggi tentang berbagai hal khususnya tentang hal yang disukai. Hal ini merupakan inspirasi Indra dalam melakukan kreativitas yang diwujudkan dalam menggambar dan juga bercerita, ketika Indra malas bercerita maka Indra membuat gambar bercerita atau komik. Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti menunjukan bahwa pengalamanpengalaman masa lalu juga sering digambarkan dan ditunjukan ke orang lain sebagai ceritanya. Gambar pesawat yang ditunjukan ke peneliti menceritakan bahwa Indra pernah naik pesawat ke Padang tapi ketakutan dan sekarang tak takut lagi bila naik pesawat. Gambar berupa coretan seperti benang yang ruwet ternyata Indra mengartkan sebagi jalur rail coster, dan Indra pernah menaikinya. Ketika pelajaran komputer di mana setiap anak diinstruksikan untuk menggambar gunung. Teman-teman yang lainnya masih sibuk menghidupkan komputer dan juga mencari programnya tapi Indra sudah selesai menggambar tugasnya. Peneliti melihat bukan gambaran gunung yang biasa digambar anak pada umumnya, gunung yang biasa digambar anak-anak berupa dua segitiga tapi Indra memodivikasi dengan hanay satu gunung. Gambaran Indrapun juga detail, di pinggir-pinggir gunung ada deretan rumah yang lengkap dengan antenna TV, di pucuk gunung ada bunganya, sawah yang berwarna campuran hijau dan kuning, burung dan juga langit yang

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANData hasil penelitian menujukan beragam pola komunikasi antara setiap fase dari perkembangan anak mulai dari fase ana-anak, remaja awal dan dewasa awal.

112

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 105 - 114

juga lengkap dengan matahari dan pelangi. Sementara teman yang lainnya menggambar dengan melihat contoh yang diberikan oleh guru komputer. Imajinasi dan daya khayal Indra memang tinggi, dalam Rakhmat (1999: 69) diungkapkan cara berpikir seseorang ada dua cara yaitu secara autistic dan juga secara realistic. Di sini Indra memadukan kedua cara ini secara autistic yang lebih tepatnya disebut melamun, fantasi, menghayal, ataupun wishful thingking sebagai contohnya. Dengan berpikir autistik orang akan lari dari kenyataan dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantastis. Seperti halnya Indra memodelkan dirinya seperti pak pos. Namun berpikir autistik ini diimbanginya dengan berpikir secara realistis yang disebut juga nalar (reasoning). Ialah yang berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata.

ceritanya itu ditambahi pengetahuannya yang didapat dari tempat lain misalnya internet ataupun TV. Pengalaman atau komentar Wisnu tentang perjalannannya ke Ragunan diceritakan kepada peneliti:aku sedih kemarin ke Ragunan, kasihan gorilanya gorilanya juga sedih, liat gak kemarin gorilanya mukanya kayak apa yah? Kayak cemberut gitu mana di pejara (dalam jeruji) lagi, sendirian lagi gak ada keluarganya. Kan seharunya rumahnya bukan di situ seharunya gorila itu di hutan kan enak tu bebas ke mana-mana gak dipenjara. Orang jahat sih pake pemburuan-pemburuan aja.

Fase Remaja AwalDari informan (Wisnu) menunjukan pola komunikasi lewat aktivitas yang tak membutuhkan baca tulis seperti permainan, olah raga, berbicara atau diskusi adalah lebih disukai, Wisnu benar-benar menunjukan kemampuannya dan menutupi kekurangannya akan kesulitna baca dan tulisnya. Berbicara atau diskusi yang menjadi salah satu hal yang menonjol dari Wisnu menuntut Wisnu untuk berpikir lebih dan menarik serta berpikir kritis dari teman-temannya, hal itu untuk mendapatkan ketertarikan dari temannya dan memperhatikan Wisnu. Hal tersebut terlihat dari aktifnya Wisnu maju di depan kelas untuk bercerita tentang pengalamannya yang sering ke luar negeri dan dari

Hal senada dikemukakan menurut Pollock and Waller, (1996: 1), dalam bercerita secara lisan lancar sekali disleksik melakukannya, tapi bila cerita lisannya itu diinstruksikan untuk ditulis di buku, akan merasa kesulitan dan susah sekali menuangkannya, kebutuhannya sering tidak terorganisir dan disleksik berpikir sedikit aneh, beberapa disleksik dianggap malas jika mereka dengan nyata cerdas secara oral, tetapi mereka biasa-biasa saja di atas kertas

Fase Dewasa AwalDari informan (Inaka) menunjukan bahwa pola komunikasi dengan menulis perasanya dalam sebuah buku harian dengan tak ada ketakutan akan salah tulis atau kurang huruf, ide-ide dan perasaan itu terus mengalir mengikuti emosinya yang ditambahi juga dengan cerita-cerita. Inna mengembangkan hayalan dan juga imajinasinya, tak hanya itu tulisan-tulisan

Dana Kusumaningtyas & Agoeng Neogroho, Pola Komunikasi Penyandang Disleksia

113

Subjek Fase anak-anak

Pola Komunikasi Dengan memahami akan kekurangan dan kelebihannya maka di fase anak-anak berusaha menutupi kekurangannya baca tulis dengan menggambar atau gambar bercerita bisa juga disebut komik. Di mana keterangannya bukan berupa tulisan tapi dijelaskan lewat lisan yang juga masih harus dibantu orang lain mengenai maksudnya karena komunikasinya masih loncat-loncat. Di fase remaja ini juga memahami akan kekurangan dan kelebihannya. Kekurangannaya dalam baca tulis ditutupi dengan menonjolakn oral atau lisannya. Akademik yang ditunjukan dengan tulisan tak begitu menonjol karena Ia aktif di kelas dengan menjawab secara lisan dan juga diskusi, hal ini juga ditunjang di fase ini kritis dalam berkomentar (pada suatu masalah). Di fase dewasa awal lebih matang dalam memahami dirinya berusaha menutupi kekurangannya (sulit beradaptasi atau komunikasi interpersonanya di lingkungan baru) serta kesulitan dalam mengungkapkan apa yang di otak secara oral di tutupinya dengan menulis. Dengan menulis di buku hariannya bisa lebih mengenal akan siapa dirinya dan lebih terbuka akan dirinya. Ketika menulis merasa tak ada beban jadi mengalir apa adanya tapi beda halnya bila tulisan itu untuk orang lain (perintah dari sesorang) maka kembali merasa kesulitan karena ketakutan-ketakuan akan kesalahan dan trauma masa kecilnya. Jalan cerita sudah tersusun dengan lengkap di otak siap di tuangkan tapi untuk memulai menulis dan menuangkan susah sekali, bila saat seperti ini yang dibutuhkan dorongan dalam diri untuk mengembalikan PD nya serta support positif dari orang terdekat.

Fase remaja awal

Fase dewasa awal

berupa atikel atau yang ilmiah sering dibuat Inna, tapi hanya untuk konsumsi pribadi atau teman dekatnya saja. Bila trauma masa kecil yang menyakitkan itu tiba-tiba muncul akan mempengaruhi percaya dirinya, dan Innapun akan kesulitan menuangkannya dan kesulitan sekali dalam menulis. Inna mengungkapkan :Otakku penuh, penuh dengan katakata, penuh dengan kalimatkalimat..penutup, isi, dan pembuka, dan aku yakin bakal menarik untuk dibaca tapi aku bingung gimana ngawalinya aku nulis kalimat yang apa dulu. Aku suka nulis tapi aku bingung kalau disuruh kayak gini

Untuk lebih memudahkan, penulis membuat matrik hasil penelitian pola komunikasi berdasarkan setiap fase (seperti tertera pada tabel di atas).

SIMPULAN DAN SARANDari hasil penelitian yang dilakukan menunjukan pola komunikasi yang berbeda pada penyandang disleksia disetiap fase perkembangan. Mulai dari fase anak-anak anak-anak pola komunikasi lebih dominan menggunakan gambar visual atau menceritakan obyek. Pada fase remaja awal pola komunikasi yang paling dominan adalah lisan atau berbicara dengan lancar. Kemudian pada fase

114

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 105 - 114

dewasa awal pola komunikasi didominasi dengan kesukaannya akan menulis sebagai bentuk pengungkapan ideidenya. Hal ini menjadi sangat penting agar para orang tua dan guru mengetahui pola komunikasi pada anak disleksia sejak dini. Hasil penelitian ini menunjukan pola komunikasi para penyandang disleksia dapat terjadi pada setiap fase. Oleh karena itu kepada orang tua dan guru di sekolah dasar umum, hendaknya mengetahui lebih dini apabila terdapat siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar atau terlihat berbeda dengan teman-temannya, maka disarankan untuk memberikan perhatian khusus dengan cara dipilihkan sekolah khusus, atau diberi metode pengajaran yang lebih banyak menggunakan media gambar dan mendorong anak untuk bercerita tentang suatu obyek dalam belajar.

Poewandari, E. Kristi. 1997. Pendekatan Kualitatif dan Penelitian Psikologi. Salemba: Falkultas Psikologi UI Pollack and Waller. 1996. Day-To-Day Dyslexia In The Classroom. New York Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Stowe, Cynthia. 2000. How To Teach children and Teens With Dyslexia. Sanfrancisco: a wiiley imprint Sugiyono. 1995. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Sutopo. 2006. Penelitian Kualitatif. 2006. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Weinstein, Lissa. 2003. Living With Dyslexia. Bandung: Mizan Wood, Derek, dkk. 2007. Kiat Mengatasi Gangguan Belajar. Jogjakarta: Katahati. Wood, Julia T. 2004. Communication Theories In Action An Introduction. Wadsworth

DAFTAR PUSTAKAAdityaputri, Aesthetica. Empat Gangguan Perkembangan Anak. Parenting Indonesia, Agustus 2007. Jakarta Alsa, Asmadi. 2003. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Serta Kombinasinya Dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bryan, James and Tanis. 2000. Under Standing Learning Disabilities. America: Alfred Hallahan dan Kauffman. 1994. Exceptional Learners: Introduction to Special Education. Boston: Allyn dan Bacon Pennington and Smith. 1983. Genetic Influences On Learning Disabilities and Speech and Language Disorder. The University of Chicago Journal of Child Development

Sumber lainLenggono, Geni Putri. Skripsi 2006. Gambaran Potensi Sosial pada Siswa penyandang Disleksia yang Menempuh Pendidikan Di Sekolah Inklusif. Fakultas Psikologi UI Depok: tidak diterbitkan Wiguna. 2000. Makalah simposium awam Kesulitan Belajar Pada Anak dan Permasalahannya. Jakarta Selatan: Tidak diterbitkan Suara Pantara edisi seminar, 24-25 Mei 2008

KONSTRUKSI SURAT KABAR HARIAN KOMPAS MENGENAI LINGKUNGAN HIDUP (Analisis Framing dalam Penyajian Berita Banjir Citarum)Arief Fajar( Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi & Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta, email: [email protected].)

ABSTRACTStudies on research trying to explain how Kompas framing the text news environmental themes that are represented Citarum Flood event. The main consideration is the selection of the newspaper Kompas bravery featured news about the floods during the third edition of this Citarum; March 26,27, and 29, 2010 on the first page. As we all know, the preaching of the main themes in a newspaper located on the first page. From the construction of the newspaper Kompas in environmental reporting through the framing the presentation of the Citarum Flood News on the first page two conclusions can be drawn as follows: (1) Construction of Compass on environmental issues in the text of the Citarum Flood coverage is government policy in the management of related environmental management Watershed Citarum is right; (2) In framing the report text, the third report text that is on the first page shows the Citarum watershed area which is under threat of floods hit by food shortages but there is no discussion of space tucked into the development effort for the public to critically on the causes of environmental damage that occurs primarily related to the Citarum river basin management policies. Whereas the concept of journalism emphasis on a holistic assessment, including management or government policies in environmental management. Keywords: framing analysis and environmental news

PENDAHULUANPeran surat kabar sebagai katalis dalam pembangunan sudah lama berlangsung. Namun, penentuan informasi maupun besaran tema tertentu dalam surat kabar, tentu berpedoman pada kebijakan redaksi. Dalam hal ini menyangkut materi yang ditampilkan maupun komposisi isi115

yang harus mewakili tujuan dari surat kabar tersebut. Lebih dari itu, penyampaian berita ternyata menyimpan misi tersembuyi (hidden mission). Bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah berita akan dinilai apa adanya. Berita dipandang sebagai teks

116

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 115 - 128

suci yang penuh dengan objektivitas. Namun, berbeda dengan kalangan tertentu yang memahami betul gerak industri pers terutama surat kabar. Mereka akan menilai lebih dalam terhadap pemberitaan, yaitu setiap penulisan berita menyimpan ideologis atau latar belakang dari surat kabar. Seorang jurnalis dan redaktur pasti akan memasukkan ide-ide mereka dalam analisis terhadap data-data yang diperoleh di lapangan serta jumlah dan letak posisinya dalam setiap edisi terbitannya. Untuk mengetahui isi berita diperlukan sebuah analisis tersendiri. Lewat analisis berita tersebut akan diketahui kecenderungan posisi berita berdasarkan urgenitas isunya, khususnya hal ini berita pembangunan. Hal ini akan memberikan dampak positif terhadap pembaca itu sendiri. Pembaca lebih memahami mengapa seorang jurnalis atau institusi surat kabar seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, dan lain-lain menulis berita dengan bingkai tertentu. Sehingga, seminimal mungkin menghindari terjadinya respon yang reaksional. Pembaca tidak akan fanatik terhadap salah satu institusi surat kabar dengan alasan ideologi. Artinya, masyarakat akan lebih dewasa terhadap surat kabar. Penelitian ini melihat pandangan Surat Kabar nasional, yaitu Kompas dalam membingkai sebuah tema pembangunan berkelanjutan. Salah satunya dalah tema lingkungan hidup. Mengapa hal ini menjadi penting? Sebab dalam 3 edisi terbitan Kompas berani memasang isuisu lingkungan hidup sebagai headline di halaman depan (26, 27, dan 29 Maret 2010) pada halaman pertama. Padahal dalam survei kecil (analisis isi kuantitaif) yang dilakukan peneliti pada dua surat

kabar mainstream nasional yang lainnya yaitu Jawa Pos dan Republika pada periode terbit yang sama, kedua surat kabar ini menunjukan tema politik dan hukum dengan presentasi 75 % dari total headline di halaman pertama. Bandingkan dengan Kompas yang menghadirkan pemberitaan tentang Banjir Citarum sebanyak 33.34 % (4 headline dan badan berita) pada halaman pertama selama 3 edisi. Namun kembali pada pertanyaan di atas, mengapa isu lingkungan hidup yang diwakili oleh Banjir Citarum yang dikemas? Pasti, ada hal yang bernilai berita (news value) dalam pandangan redaksional Kompas. Mengingat status Kompas sebagai Surat Kabar mainstream di tanah air, tentu ada bingkai (framing) tertentu untuk menjadikan tema tersebut sebagai tema pemberitaan utama. Kajian ini berupaya memaparkan bagaimana Kompas membingkai (framing) teks berita tema lingkungan hidup yang diwakili peristiwa Banjir Citarum. Pertimbangan utama pemilihan surat kabar Kompas adalah keberanian Surat Kabar ini menampilkan berita mengenai Banjir Citarum ini selama 3 edisi; 26, 27 dan 29 Maret 2010 pada halaman pertama. Seperti telah diketahui bersama, tema pemberitaan yang utama dalam sebuah surat kabar berada pada halaman pertama. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana surat kabar Kompas mengkonstruksi pemberitaan lingkungan hidup melalui pembingkaian (framing) penyajian Berita Banjir Citarum pada halaman pertama? Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui konstruksi surat kabar Kompas dalam pemberitaan

Arief Fajar, Konstruksi Surat Kabar Harian Kompas Mengenai Lingkungan Hidup

117

lingkungan hidup melalui pembingkaian (framing) penyajian Berita Banjir Citarum pada halaman pertama.

KERANGKA TEORI1. Berita sebagai Konstruksi Realitas oleh Surat Kabar.Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Sehingga, konstruksi atas realitas dapat dipahami sebagai proses yang didalamnya ada penceritaan kembali sebuah fakta mengenai sesuatu keadaan atau peristiwa dengan mengaitkannya terhadap sesuatu yang jauh berbeda dengan subtansi peristiwa tersebut. Lalu bagaimana teori konstruksi atas realitas ini memetakan penyajian berita oleh media massa (termasuk surat kabar) ? Prinsipnya fungsi media massa adalah menceritakan kembali fakta (to inform) kepada masyarakat. Hal ini akan sangat berkaitan dengan bangunan konstruksi atas realitas. Media massa berdasarkan kebijakan redaksionalnya tentu menyusun realitas berbagai peristiwa menjadi sebuah teks berita yang bermakna. Konstruksi media atas realitas ini sangat sesuai dengan istilah media adalah agen konstruksi, bukan-dalam istilahnya Shoemaker and Reese-sebagai penyalur pesan yang netral. Sehingga, teks berita merupakan bentuk konstruksi realitas yang disajikan oleh media massa. Meneruskan pandangan konstruk-

sionis dan terlebih paradigma kritis, khalayak membutuhkan upaya untuk memahami teks berita. Hal ini diharapkan khalayak mampu melakukan critical review terhadap sesuatu isu yang dihembuskan, terutama misi rahasia (hidden mission) dari teks berita tersebut . Langkah awal untuk memahami teks berita termasuk surat kabar-, sangat ditentukan pemahaman bagaimana proses produksi sebuah teks berita. Dari hasil produksi teks berita inilah, media massa terkadang terlalu berlebihan dalam mengapresiasi tuntutan khalayak sebagai sumber informasi. Sehingga, seperti media massa lainnya, surat kabar sering kali menampilkan isuisu yang sebenarnya dangkal menjadi fakta yang menyangkut hajat hidup orang banyak atau dalam istilahnya sering disebut orientasi media massa (dalam hal penelitian ini surat kabar). Orientasi dari sebuah media massatermasuk surat kabar-dapat kita petakan dengan menilai news value (nilai berita) dari sebuah teks. Sebab, nilai berita merupakan ukuran (measurement) dari media massa sebagai lembaga dan wartawan sebagai penyaji berita dalam peliputan dan produksi teks berita. Sebuah fakta akan dinilai layak menjadi teks berita apabila memiliki paling tinggi. Untuk itu akan sangat memudahkan memulai sebuah penilaian terhadap teks berita ketika berupaya memahami ukuran serta elemen yang digunakan oleh media massa dalam menilai sebuah peristiwa. Dimana muaranya adalah sebuah konstruksi atas realitas tadi. Elemen ini berhubungan dengan orientasi media dengan khalayaknya. Menurut Shoemaker dan Reese, nilai berita

118

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 115 - 128

adalah elemen yang ditujukan kepada khalayak yang merupakan prosedur standar peristiwa apa yang bisa disebarkan kepada khalayak. Selain itu, nilai berita adalah produk dari konstruksi wartawan yang dianggap ideologi profesional wartawan dimana memberi prosedur bagaimana peristiwa yang begitu banyak disaring dan ditampilkan. Secara umum, nilai berita dapat dipecah sebagai berikut: 1. Prominance, nilai berita diukur dari kebesaran peristiwanya atau arti pentingnya. Sebagai contoh; kecelakaan pesawat lebih dipandang berita dibandingkan dengan kecelakaan pengendara sepeda motor. 2. Human Interest, peristiwa lebih memungkinkan disebut berita kalau peristiwa itu lebih banyak mengandung unsur haru, sedih, dan menguras emosi khalayak. Contoh; Peristiwa abang becak yang mengayuh becak-nya dari Surabaya ke Jakarta lebih memungkin dipandang berita dibandingkan peristiwa abang becak yang mengayuh becaknya di Surabaya saja. 3. Conflict/Controversy, peristiwa yang mengandung konflik lebih potensial disebut berita dibandingkan dengan peristiwa biasa-biasa saja. Misalnya; kerusuhan antara penduduk pribumi dengan etnis Tionghoa lebih layak dibandingkan peristiwa sehari-hari. 4. Unusual, berita mengandung peristiwa yang tidak biasa, peristiwa yang jarang terjadi. Semisal; seorang ibu yang melahirkan 6 bayi dengan selamat lebih disebut berita dibandingkan dengan peristiwa kelahiran seorang bayi. 5. Proximity, peristiwa yang dekat lebih layak diberitakan dibandingkan dengan peristiwa yang jauh, baik dari fisik

maupun emosional dengan khalayak. Contoh; Peristiwa Pilkada Kota Surabaya akan lebih layak menjadi berita bagi surat kabar di Surabaya dibandingkan Pilkada Kota Banjarmasin. Dalam penelitian ini, nilai berita tersebut merupakan ukuran dari konstruksi atas realitas dari surat kabar Kompas dalam menyajikan pemberitaan bertema lingkungan hidup. Batasan dari nilai berita yang menjadikan peristiwa Banjir Citarum dan ornamen-ornamen didalamnya layak disajikan sebagai teks berita.

2. Framing: Bingkai Media Massa dalam Konstruksi RealitasPendekatan framing (bingkai) dan pendekatan wacana (discourse) merupakan untuk menganalisis teks media secara lebih komprehensif sebagai pengembangan dari pendekatan isi (content). Pendekatan dan analisis framing menggali sebuah bangunan (konstruksi) baik ideologi, politik, dan kepentingan yang kompleks dalam teks berita, agar teks berita tidak dipandang entitas yang bebas nilai. Sehingga, pada prinsipnya analisis framing melakukan pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif yang berkembang dalam produksi teks berita. Faktanya, sering menemukan dua atau tiga media massa semisal surat kabar, meliput peristiwa yang sama tetapi menghasilkan teks beita yang gaya dan sudut pandang berbeda. Sebagai contoh berita mengenai peledakan bom di Bali, media massa yang tertentu melihat sebagai kejahatan atau bagian gerakan terorisme. Namun, adapula media massa yang lain mengganggapnya sebagai bagian gerakan pembelaan terhadap agama tertentu.

Arief Fajar, Konstruksi Surat Kabar Harian Kompas Mengenai Lingkungan Hidup

119

Sehingga, proses produksi teks berita pada media massa yang sangat menentukan frame dari teks berita yang diproduksinya. Hal ini tidak lepas dari latar belakang pengetahuan, dan ideologi wartawan sebagai peliput hingga ideologi, kepemilikan, politik, dan kepentingan institusi media massa. Disinilah kekuatan pendekatan dan analisis framing untuk menangkap cara-cara media massa mengkostruksi sebuah realitas dari sebuah peristiwa ke dalam teks berita. Hal ini dapat didukung dari pendapat beberapa pakar framing diantaranya; Robert N. Entman mendefinisikan framing sebagai proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Sedangkan menurut Pan dan Kosicki, framing merupakan strategi konstruksi dan memproses berita. Perang kata kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita. Mengutip dari Redi Panuju, proses analisis framing dibagi dalam empat bagian (Panuju, 2003)

dap kreasi atau perubahan analisa dan penulisan yang diterapkan wartawan. Frame Building meliputi pertanyaan kunci; faktor struktur dan organisasi media seperti apa yang mempengaruhi sistem media atau karakteristik individu wartawan seperti apa yang mampu mempengaruhi penulisan sebuah berita terhadap peristiwa.

b. Frame Setting (Pengkondisian Bingkai)Proses kedua dalam framing adalah frame setting. Frame setting didasarkan pada proses identifikasi yang sangat penting, dimana salah satu aspeknya yaitu pengkondisian agenda (agenda setting). Agenda setting lebih menitikberatkan membungkus isu-isu yang menonjol dalam hal ini dengan membingkai (framing). Sehingga, pada muaranya framing setting memilah isu-isu dalam dua level yaitu (1) pengkondisian bingkai dari objek yang penting (2) pengkondisian atribut yang penting.

c. Individual Level Effect of Framing (Tingkat Efek Bingkai Bagi Individu)Tingkat pengaruh indvidual terhadap seseorang akan membentuk beberapa variabel perilaku, kebiasaan, dan variabel kognitif lainnya dengan menggunakan model kotak hitam (black box model). Sehingga, studi ini berfokus pada input dan output sebagai proses yang menghubungkan variabel kunci tersebut. Keluaran framing, sekalipun telah memberi kontribusi yang penting dalam menjelaskan efek penulisan berita. Namun, studi ini bukan dimaksudkan menjelaskan bagaimana dan mengapa dua variabel yang dihubungkan tadi.

a. Frame Building (Bangunan Bingkai)Studi-studi ini mencakup tentang dampak faktor seperti pengendalian diri terhadap organisasi, nilai-nilai profesional wartawan atau harapan kepada audiens terhadap bentuk dan isi teks berita. Meskipun demikian, studi tersebut belum mampu menjawab bagaimana media dibentuk atau tipe pandangan/ analisis yang dibentuk dari proses ini. Oleh karena itu, diperlukan sebuah proses yang mampu memberikan pengaruhnya terha-

120

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 115 - 128

d. Journalist as Audience (Wartawan Sebagai Pendengar)Pengaruh tata mengulas berita pada isi yang sama dalam media lain adalah fungsi organisasi media massa dengan beragam faktor dimana wartawan lebih cenderung untuk melakukan pemilihan konteks. Disini, diharapkan wartawan dapat berperan sebagai orang yang mendengarkan analisa pembaca sehingga ada timbal balik ide. Jadi, analisa wartawan tidak serta merta dianggap paling benar dan tidak terdapat kelemahan. Model Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki Model framing yang diperkenalkan Pan dan Kosicki ini mengatakan bahwa teks berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide. Frame ini adalah suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita (seperti kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu) ke dalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna, bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks. Dalam pendekatan ini, perangkat framing dapat dibagi kedalam empat struktur besar yaitu; sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Keempat struktur tersebut merupakan suatu rangkaian yang dapat menunjukkan framing dari suatu media, sebagai berikut;

peristiwa (pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa) ke dalam bentuk susunan umum teks berita. Bentuk susunan teks berita ini dapat dilihat biasanya dari headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan dan penutup yang umumnya berbentuk piramida terbalik.

b. SkripSkrip berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa ke dalam bentuk teks berita. Struktur ini melihat bagaimana strategi cara bercerita atau bertutur yang dipakai oleh wartawan dalam mengemas peristiwa. Bentuk umum dari struktur skrip adalah pola 5W + 1H (who, what, where, why, dan how). Meskipun pola ini tidak selalu dapat dijumpai dalam setiap berita yang ditampilkan, kategori informasi ini yang diharapkan diambil oleh wartawan untuk dilaporkan. Unsur kelengkapan berita ini dapat menjadi penanda framing yang penting.

c. TematikTematik berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks berita secara keseluruhan. Struktur ini akan melihat bagaimana pemahaman itu diwujudkan dalam bentuk yang lebih kecil. Bagi Pan dan Kosicki, berita mirip sebuah pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis ini kita gunakan untuk menyebut struktur tematik dari berita. Struktur tematik dapat diamati dari bagaimana peristiwa itu diungkapkan atau dibuat oleh wartawan.

a. SintaksisSintaksis berhubungan dengan bagaimana seorang wartawan menyusun

Arief Fajar, Konstruksi Surat Kabar Harian Kompas Mengenai Lingkungan Hidup

121

Perangkat dari struktur tematik diantaranya; detail, koherensi, bentuk kalimat, penggunaan kata ganti.

d. RetorisRetoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam teks berita. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memakai pilihan kata, idiom, grafik dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu kepada pembaca. Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra, meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu berita. Struktur retoris dari wacana berita juga menunjukkan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu kebenaran. Ada beberapa elemen dari struktur retoris, diantaranya: (1) Leksikon, pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa; (2) Grafis, biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain; dan (3) Metafora. Dalam penelitian ini, model framing Pan dan Kosicki memang dipilih sebagai pisau analisis. Menurut peneliti model ini mampu memotret bangunan bingkai (frame) teks berita surat kabar Kompas dalam menyajikan pemberitaan lingkungan hidup secara komprehensif. Pewacanaan isu lingkungan hidup oleh surat kabar Kompas melalui penyajian berita Banjir Citarum mengindikasikan upaya pembentukan sebuah agenda diskusi dalam ruang publik dan menjadikan concern kebijakan serta politik pemerintah terkait pengelolaan lingkungan hidup.

Hal ini sejalan dengan tuntutan dari penggunaan model framing Pan dan Kosicki. Analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang suatu isu atau kebijakan dikonstruksikan. Seperti diakui oleh Pan dan Kosicki, framing adalah bagian dari proses besar bagaimana publik menafsirkan isu-isu atau kebijakan politik tertentu.

3. Jurnalisme Lingkungan Hidup.Pada prinsipnya jurnalisme lingkungan hidup sama format jurnalisme yang lain. Namun, yang menjadi perbedaan adalah isu sentral dalam pemberitaan, jurnalisme lingkungan hidup menitiberatkan peliputan dan produksi teks berita pada realitas lingkungan hidup seperti; kerusakan lingkungan akibat olah tangan manusia (pencemaran, banjir, tanah longsor, penggundulan hutan), kearifan lokal, konservasi, limbah, penggunaaan sumber daya alam. Berkaca dari kategorisasi pemberitaan menurut Flournoy, batasan pemberitaan lingkungan hidup yaitu peristiwa yang ditampilkan dalam teks berita yang terkait dengan Bencana Alam, Perubahan Iklim, Global Warming, Penipisan Lapisan Ozon, dan lain-lainya seperti pengembangan teknologi serta kebijakan pemerintah terkait lingkungan. Sebagian besar masyarakat mengetahui kerusakan lingkungan hidup seperti penggundulan hutan, pencemaran sampah dan industri serta efek rumah kaca melalui surat kabar dan televisi. Tetapi sebagian besar ahli lingkungan hidup tidak puas dengan pemberitaan lingkungan hidup di surat kabar maupun di televisi. Mereka menyebutkan tiga kesalahan yang sering muncul dalam pemberitaan ling-

122

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 115 - 128

Tabel 1: Objek Amatan Penelitian Pemberitaan Surat Kabar Kompas Mengenai Banjir Citarum Pada Halaman Pertama

Judul Berita Ketahanan Pangan Terancam, Alih Fungsi Hutan Jadi Penyebab Banjir Citarum, Puso Sudah Terjadi tapi Pemerintah Optimis Banjir Citarum Sulit Diatasi, Perlu Ketegasan untuk Pulihkan DAS Citarum Banjir Citarum, Dari Nadi Kehidupan Jadi Bencana Kehidupan

Tanggal Terbit Jumat, 26 Maret 2010 Sabtu, 27 Maret 2010 Senin, 29 Maret 2010 Senin, 29 Maret 2010

kungan hidup; seperti: tiadanya informasi yang relevan dengan latar belakang pemberitaan, judul berita yang sering menyesatkan dan tiadanya keinginan memikirkan dalam risiko pemberitaan. Hal ini yang menjadi bahasan utama dalam penelitian ini, terutama terkait proses produksi teks berita oleh surat kabar Kompas memotret peristiwa lingkungan hidup. Seperti diutarakan sebelumnya, bahwa media massa-termasuk surat kabarmempunyai kemampuan dalam merekonstruksi realitas, maka berita Banjir Citarum dalam pandangan peniliti merupakan bentuk konstruksi realitas atas jurnalisme lingkungan hidup melalui bingkai (frame) Kompas sebagai institusi media massa. Sehingga, secara berturut-turut penelitian ini menyandarkan pada tahapan kerangka berpikir sebagai berikut: (1) media massa merupakan agen konstruksi atas realitas; (2) frame teks berita merupakan bentuk bangunan konstruksi media massa atas realitas; (3) produksi teks berita jurnalisme lingkungan hidup yang dilaksanakan oleh media massa merupakan hasil konstruksi atas peristiwa atau isu lingkungan hidup; (4) Kompas sebagai

institusi media massa dalam bentuk surat kabar, menjalankan praktek jurnalisme lingkungan hidup; (5) Sehingga, penelitian ini menjabarkan konstruksi surat kabar Kompas dalam pemberitaan lingkungan hidup melalui pembingkaian (framing) penyajian Berita Banjir Citarum pada halaman pertama, dimana terdapat dua isu sentral yaitu; lemahnya kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan terkait pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) dan isu Eksploitasi secara ekonomi oleh masyarakat di DAS Citarum.

METODE PENELITIANPenelitian ini menggunakan pendekatan dan analisis framing Pan dan Konsicki. Pendekatan dan analisis Framing merupa-kan metode analisis teks media yang dalam paradigma konstruktivis. Sedangkan tipe dari penelitian ini adalah kualitatif interpretatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi berupa kliping teks berita utama pada halaman pertama tentang Banjir Citarum dalam surat kabar Kompas. Teks berita yang dimaksud dalam peride terbit 26, 27, dan

Arief Fajar, Konstruksi Surat Kabar Harian Kompas Mengenai Lingkungan Hidup

123

Tabel 2: Kerangka Model Framing Pan dan Kosicki Struktur Sintaksis Cara media massa menyusun fakta Skrip Cara media massa mengisahkan fakta Tematik Cara media massa menulis fakta Retoris Cara media massa menekankan fakta Perangkat Framing Skema Berita Unit Amatan Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup 5W + 1H

Kelengkapan Berita

Detail Koherensi Bentuk Kalimat Kata Ganti Leksikon Grafis Metafora

Paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat

Kata, idiom, gambar atau foto, grafik

29 Maret 2010, berikut berita utama mengenai Banjir Citarum yang menjadi objek amatan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 1. Analisis data penelitian ini menggunakan teknik analisis framing dengan model framing dari Pan dan Kosicki. Penelitian menggunakan teks berita sebagai unit analisis. Kerangka Model framing dari Pan dan Kosicki (bisa dilihat dalam Tabel 2); Unit analisis yang diamati adalah judul headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup, kelengkapan berita (5W + 1H), paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat, kata, idiom, gambar atau foto dan grafik dari teks berita Banjir Citarum dalam surat kabar Kompas peridoe terbit 26, 27, dan 29 Maret 2010. Berdasarkan kerangka model framing dari Pan dan Kosicki tersebut peneliti menentukan instrumen penelitian sebagai sebagaimana terlihat di Tabel 3.

HASIL PENELITIAN1. Framing Teks Berita Banjir Citarum Surat Kabar KompasDalam memberikan deskripsi dari framing Kompas dalam penyajian berita bertema lingkungan dengan teks berita Banjir Citarum selama tiga hari terbit (26, 27, dan 29 Maret 2010) mengangkat sebagai isu-isu kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan terkait pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum sudah tepat sebanyak tiga teks berita. Perhatikan Tabel 4 di atas.

2. Framing Surat Kabar Kompas terhadap Isu Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Lingkungan Terkait Pengelolaan DAS Citarum Sudah Tepat.Surat kabar Kompas menyajikan tiga teks berita mengenai Banjir Citarum terkait isu-isu lemahnya kebijakan pemerintah

124

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 115 - 128

Tabel 3: Instrumen Penelitian Pemberitaan Surat Kabar Kompas Mengenai Banjir Citarum Pada Halaman Pertama STRUKTUR Sintaksis Bagaimana cara surat kabar Kompas menyusun fakta dalam teks berita? Skrip Bagaimana cara surat kabar Kompas mengisahkan fakta dalam teks berita? Tematik Bagaimana cara surat kabar Kompas menulis fakta dalam teks berita? PERANGKAT FRAMING Bagaimana skema teks berita surat kabar Kompas? Bagaimana kelengkapan teks berita surat kabar Kompas? 1. 2. 3. 4. Retoris Bagaimana cara surat kabar Kompas menekankan fakta dalam teks berita? 1. 2. 3. Bagaimana detail teks berita surat kabar Kompas? Bagaimana koherensi teks berita surat kabar Kompas? Bagaimana bentuk kalimat teks berita surat kabar Kompas? Bagaimana pemakaian kata teks berita surat kabar Kompas? Bagaimana penggunaan leksikon teks berita surat kabar Kompas? Bagaimana penggunaan grafis teks berita surat kabar Kompas? Bagaimana penggunaan metafora teks berita surat kabar Kompas?

dalam pengelolaan lingkungan terkait pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum yaitu: (1) Ketahanan Pangan Terancam, Alih Fungsi Hutan Jadi Penyebab, terbit pada Jumat, 26 Maret 2010; (2) Banjir Citarum, Puso Sudah Terjadi tapi Pemerintah Optimis, terbit pada Sabtu, 27 Maret 2010; dan (3) Banjir Citarum Sulit Diatasi, Perlu Ketegasan untuk Pulihkan DAS Citarum, terbit pada Senin, 29 Maret 2010. Pada sisi penempatan teks berita, ketiga teks berita tersebut berada pada halaman pertama. Bahkan, dua teks berita diletakkan sebagai berita utama yaitu Ketahanan Pangan Terancam, Alih Fungsi Hutan Jadi Penyebab, terbit pada Jumat,

26 Maret 2010 dan Banjir Citarum Sulit Diatasi, Perlu Ketegasan untuk Pulihkan DAS Citarum, terbit pada Senin, 29 Maret 2010. Selain itu, dua teks berita yang dipasang sebagai berita utama diperkuat dengan grafis berupa data mengenai kondisi DAS Citarum, kerawanan serta kerugian akibat meluapnya sungai Citarum. Untuk teks berita Ketahanan Pangan Terancam, Alih Fungsi Hutan Jadi Penyebab, terbit pada Jumat, 26 Maret 2010 dilengkapi dengan foto beserta caption yang menampilkan pantauan dari udara Banjir dari Sungai Citarum di Kabupaten Karawang. Pada terbitan edisi 26 Maret 2010 Kompas memang menampilkan berita

Arief Fajar, Konstruksi Surat Kabar Harian Kompas Mengenai Lingkungan Hidup

125

Tabel 4 : Framing Isu dari Surat Kabar Kompas Dalam Penyajian Teks Berita Banjir Citarum Framing Isu Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Lingkungan terkait Pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum sudah tepat. Judul Berita Ketahanan Pangan Terancam, Alih Fungsi Hutan Jadi Penyebab Banjir Citarum, Puso Sudah Terjadi tapi Pemerintah Optimis Banjir Citarum Sulit Diatasi, Perlu Ketegasan untuk Pulihkan DAS Citarum Tanggal Terbit Jumat, 26 Maret 2010 Sabtu, 27 Maret 2010 Senin, 29 Maret 2010

lingkungan dengan judul memberikan pentingnya atau ancaman dari kerusakan lingkungan tetapi juga memberikan sebuah tudingan penyebab kerusakan tersebut yaitu Ketahanan Pangan Terancam, Alih Fungsi Hutan Jadi Penyebab. Kompas dengan judul seperti ini, mengkonstruksi bahwa di wilayah DAS Citarum yang diterjang banjir sedang dalam ancaman kekurangan pangan tetapi tidak ada terselip upaya pembangunan ruang diskusi bagi masyarakat untuk kritis pada penyebab kerusakan lingkungan yang terjadi. Judul di atas memang bagus untuk mengajak masyarakat dan pemerintah untuk tetapi bagi peneliti ada upaya penyudutan sepihak bahwa kerusakan DAS Citarum akibat alih fungsi hutan, baik sebagai lahan permukiman, pertanian, maupun bisnis . Padahal dalam konsep jurnalisme menekankan pada kajian secara holistik terutama manajemen atau kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan, hal ini yang tidak di-cover secara berimbang oleh Kompas. Sehingga, seakan Kompas menunjukan pemerintah tidak salah (bebas dari tanggung jawab) dalam kasus banjir ini. Seperti pada Judul teks berita Banjir Citarum, Puso Sudah

Terjadi tapi Pemerintah Optimis dan Banjir Citarum Sulit Diatasi, Perlu Ketegasan untuk Pulihkan DAS Citarum, penyajian beritanya hanya mengkhawatirkan masalah ketahanan pangan, belum membahas subtansi dari kerusakan DAS Sungai Citarum serta membangun kerangka diskusi bahwa DAS menjadi akibat ulah masyarakat semata.

SIMPULANDari konstruksi surat kabar Kompas dalam pemberitaan lingkungan hidup melalui pembingkaian (framing) penyajian Berita Banjir Citarum pada halaman pertamadapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Konstruksi Kompas mengenai isu lingkungan hidup dalam teks pemberitaan Banjir Citarum adalah kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan terkait pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum sudah tepat. 2. Pada framing teks berita, ketiga teks berita yang berada pada halaman pertama menunjukan di wilayah DAS Citarum yang diterjang banjir sedang

126

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 115 - 128

Tabel 5: Struktur Framing Pemberitaan Surat Kabar Kompas Mengenai Banjir Citarum

Struktur Framing

Judul BeritaKetahanan Pangan Terancam, Alih Fungsi Hutan Jadi Penyebab Penyajian berita berusaha memberikan signal bahaya mengenai ketahanan pangan, bukan pada kerusakan lingkungan hal terlihat pada judul dan lead teks berita Banjir Citarum, Puso Sudah Terjadi tapi Pemerintah Optimis Penyajian berita masih mengupayakan mengarahkan signal bahaya ketahanan pangan, dengan mengangkat fakta adanya Puso. Namun, tetap memberikan posisi pemerintah yang sudah tepat dalam kebijakannya dimana ada komentar optimisme dari dua pejabat Departemen Pertanian. Menjadi agak rancu, masalah lingkungan hidup justru tidak tersentu sama sekali, padahal tema sentral teks ini adalah banjir Citarum Sebagai surat kabar besar Kompas memang sangat memperhatikan unsur 5 W+1H, tetapi pemilihan unsur-unsur kelengkapan teks berita di sini mendukung tema atau konstruksi dari Kompas sendiri. Dalam kasus banjir Citarum dengan mengaitkan masalah ketahanan pangan seolah-olah melupakan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. Sehingga tidak ada kelengkapan berita mengenai masalah lingkungan hidup, misalkan dimana posisi kementrian Lingkungan Hidup tidak di-cover dalam teks ini Tematis yang dibangun dalam teks ini masih dalam 2 kerangka pikir yaitu; (1) Urgenitas ketahanan pangan ketimbang kerusakan lingkungan, Banjir Citarum Sulit Diatasi, Perlu Ketegasan untuk Pulihkan DAS Citarum Sedikit berbeda dari teks berita sebelumnya. Pada bagian penutup berita Kompas menghadirkan komnetar yang ingin mengatakan ada lemahnya kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup terkait penegakan aturan alih fungi hutan. Tetapi secara keseluruhan, teks ini mencoba mengalihkan tanggungjawab dari pemerintah menjadi tanggung jawab masyarakat semata

Sintaksis

Skrip

Unsur 5 W+1 H secara manifes telah terpenuhi, tetapi sebagai isu kerusakan lingkungan serta keterkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan masih belum terjawab.

Kelengkapa berita dari Kompas semua sudah tercover secara baik, tetapi pemilihan dan penggunaan dari kelengkapan ini belum berimbang dalam kasus banjir Citarum terutama dari segi kebijakan pemerintah dalam menangani DAS Citarum

Tematik

Secara tematis, ada 2 kerangka pikir yang disuguhkan oleh Kompas: 1 Urgenitas keta-hanan pangan ketimbang kerusakan lingkungan,

Bingkai dari Kompas dalam struktur tematis teks berita ini dibagi dalam 2 kerangka; (1) Kebijakan pemerintah sudah tepat hanya perlu

Arief Fajar, Konstruksi Surat Kabar Harian Kompas Mengenai Lingkungan Hidup

127

Struktur Framing

Judul BeritaKetahanan Pangan Terancam, Alih Fungsi Hutan Jadi Penyebab (2) kebijakan pengelolaan lingkungan sudah tepat dalam kasus banjir Citrarum, tetapi perlu memperhatikan masalah ketahanan pangan. Sedikit berbeda penggunaan grafis dan foto dalam teks berita ini memberikan gambaran mengenai kondisi banjir dan potensi meluapnya DAS Citarum Banjir Citarum, Puso Sudah Terjadi tapi Pemerintah Optimis (2) kebijakan pengelolaan lingkungan sudah tepat dalam kasus banjir Citrarum, tetapi perlu memperhatikan masalah ketahanan pangan. Dalam teks berita ini, Kompas tidak menyajikan ornamen-ornamen seperti grafis ataupun foto Banjir Citarum Sulit Diatasi, Perlu Ketegasan untuk Pulihkan DAS Citarum lebih intensif tetapi letak kesalahan ada pada masyarakat yang tdak korperatif, (2) kerugian sektor ekonomi warga akibat meluapnya DAS. Grafis hadir dalam teks ini untuk memperkuat bangunan struktur framing dari struktur yang lain.

Tematik

Retoris

dalam ancaman kekurangan pangan tetapi tidak ada terselip upaya pembangunan ruang diskusi bagi masyarakat untuk kritis pada penyebab kerusakan lingkungan yang terjadi terutama terkait kebijakan pengelolaan DAS Citarum. Padahal dalam konsep jurnalisme menekankan pada kajian secara holistik termasuk manajemen atau kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKAAbrar, Ana Nadhya. 1993. Mengenal Jurnalisme Lingkungan Hidup. Yogyakarta: UGM Press. Blake, Reed H. dan Edwin O. Haroldsen. 1979. A Taxonomy of Concepts in Communication. Penerjemah Hasan Bahanan. 2005. Taksonomi Konsep Komunikasi. Surabaya: Papyrus. Denzin Norman dan Yvona S Lincon. 2005. Handbook of Qualitative Researsch. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS. . 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. Flournoy, Don Michael. 1989. Analisis Isi Surat Kabar-Surat Kabar Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fowler, Roger. 1992. Language in the News (Discourse and Ideology in the Press). London; Routledge.

128

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 115 - 128

Griffin, Emory. 2008. A First Look at Communication Theory, Seventh Edition. Boston: McGraw-Hill. Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik di Media Massa; Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik. Jakarta: Granit. Hamidi. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang: UMM Press. Ife, Jim dan Frank Tesiero. 2008. Community Development. Penerjemah Sastrawan Manulang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kriyantono, Rahmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. Littlejohn, Stephen W dan Karen A. Foss. 2008. Theories of Human Communication. Penerjemah Mohammad Yusuf Hamdan. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Malang: Cespur. Panuju, Redi. 2003. Framing Analysis. Surabaya: UNITOMO. Pareno, Sam Abade. 2005. Manajemen Berita Antara Idealisame dan Realita. Surabaya: Papyrus.

Shoemaker, Pamela dan Stephen D.Reese. 1996. Mediating The Message: Theories of Influence on Mass Media Content. New York: Long Man Publishing Group. Silverman, David, 1993. Interpreting Qualitative Data (Methods for Analyzing Talk, Text, and Interaction. London: Sage Publications. Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. West, Turner dan Lynn H. Turner. 2007. Introduction Communication Theory: Analysis and Application, Third Edition. Penerjemah Maria Natalia Damayanti Maer. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi, Edisi 3, Buku 2. Jakarta: Salemba Humanika. Wijaya, Toni. 2008. Analisis Framing Pemberitaan Surat Kabar Lampung Post dan Radar Lampung dalam Pemilihan Gubernur Lampung Periode 2009-2014. Tesis S2 Program Studi Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM. Yogyakarta: Tidak Dipublikasikan.

URGENITAS LAYANAN INFORMASI PUBLIK BERBASIS E-GOVERNMENTTotok Wahyu Abadi(Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jalan Majapahit 666 B Sidoarjo, e-mail: [email protected])

ABSTRACTIn modern democracy, every citizen has the right to know and obtain information about the activities of public agencies. The obligations of public agencies are to provide the society with good, fast, accurate, and transparent information. Rights and obligations between citizens and public agencies are set and guaranteed in legislative regulation. This paper attempts to explain the importance of public information service based e-government as one alternative to obtain the effective and efficient public information service than through street level bureaucratic service. Key words: public information, e-government, and street-level bureaucratic

PENDAHULUANSalah satu ciri era demokratisasi yang sudah maju adalah keterbukaan informasi. Keterbukaan tersebut telah menjadi tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat seiring dengan proses demokratisasi itu sendiri, transparansi, dan hak asasi manusia. Keterbukaan informasi ini pulalah yang menjadi penciri dari penyelenggaraan good governance yang diimpikan masyarakat Indonesia. Keterbukaan informasi memiliki sejarah yang cukup panjang dan berliku. Tahun 1946 PBB menyatakan bahwa kebebebasan informasi merupakan hak dasar, seperti yang tercantum dalam Resolusi PBB 59 (1): freedom of information is a fundamental human right129

and the touchstone of all freedom which the UN is consecrated. Resolusi ini kemudian diadopsi oleh UN General Assembly pada 14 Desember 1946 dan dideklarasikan pada tahun 1948. Bagian dari deklarasi UDHR (Universal Declaration of Human Right) tersebut dikenal dengan Article 19. Isi dari artikel 19 tersebut kemudian menjadi azas bagi prinsip kebebasan informasi.Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and import information and ideas through any media and regardless of frontiers

(setiap

orang

berhak

untuk

130

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 129 - 140

mengeluarkan pendapat dan mengekspesikannya; hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa interfensi serta hak untuk mencari, menerima, dan mengirim informasi dan ide melalui beberapa media dan tidak boleh dihalangi) Dalam hal keterbukaan informasi publik, negara pertama yang memberlakukannya adalah Swedia (Alamsyah Saragih:2009). Bahkan untuk mendukungnya, sejak tahun 2000, Swedia adalah negara pertama di dunia yang mengadopsi tata kelola pemerintahan secara elektronik atau yang dikenal dengan e-government. Kebijakan mengadopsi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi tersebut digunakan untuk memperkuat demokrasi serta membantu Swedia ke arah masyarakat yang berbagi informasi secara elektronik (Scott M. Cutlip,2007). Melalui ICT terkini tersebut, masyarakat dapat saling berbagi informasi dan berkomunikasi dengan sesama warga dan dengan pemerintah. Hingga tahun 2006 negara-negara di dunia yang memiliki Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik hampir 70 negara. Sementara beberapa negara lainnya, keberadaannya masih dalam pembahasan dan perdebatan. Penyebabnya adalah persaingan antarnegara, peperangan, dan rezim administrasi di masing-masing pemerintahan. Perkembangan keterbukaan informasi publik di Indonesia diawali sejak tahun 2000 dalam bentuk RUU KMIP (Kebebasan Memperoleh Informasi Publik).Perumusan dan penyusunan rancangannya melibatkan empat puluh organisasi masyarakat sipil. Hingga sembilan tahun pembahasan yang cukup panjang dan sempat mengalami stagnasi,

akhirnya 30 April 2008 rancangan tersebut disahkan oleh presiden menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam rentang waktu yang sekian lama tersebut, di beberapa daerah telah mensahkan perda transparansi serta membentuk komisi transparansi sebagai upaya untuk mensupport kehadirannya. Dan setidaknya terdapat sebelas kabupaten / kota yang telah memiliki perda transparansi. Diantaranya adalah Kabupaten Lebak, 2006; Sragen, 2002; Kebumen; Solok-Sumatera Barat, 2004; Surabaya, 2003. Kehadiran dan disahkannya UU No.14/2008 banyak menimbulkan kehawatiran dan kepanikan sejumlah birokrasi di badan publik.Kekhawatiran itu cukup beralasan karena beberapa hal.Pertama, informasi yang apabila diberikan kepada publik dapat membahayakan negara, menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat, berkaitan dengan privasi seseorang, rahasia jabatan, serta belum dikuasainya atau didokumentasikannya informasi yang dibutuhkan masyarakat.Kedua, membludaknya masyarakat yang akan meminta informasi kepada instansi sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Informasi apa saja. Mulai dari informasi yang remehtemeh seperti persyaratan pengurusan KTP hingga yang paling berat seperti penghilangan nyawa oleh aparat atau bahkan masalah korupsi.Karena itu perlu adanya pengembangan sistem layanan informasi publik yang baik, akurat, cepat, dan tepat. Untuk mewujudkan layanan informasi publik tersebut, perlu adanya sinergi di antara badan publik yang memiliki kewenangan serta standardisasi pelayanan. Tentu saja, prinsip penyeleng-

Totok Wahyu Abadi, Urgenitas Layanan Informasi Publik Berbasis E-Government

131

garaanya yang berkualitas harus tetap menjadi frame of referen dan framework.Kualitas tersebut tidak hanya berkaitan dengan masalah-masalah teknis tetapi juga berkaitan dengan kualitas informasi itu sendiri. Hal ini menjadi penting karena akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas kinerja layanan informasi yang diberikan setiap badan publik sebagai penyedia jasa informasi.

APA ITU INFORMASI PUBLIK?Dalam ranah publik, informasi memiliki arti penting dan peran strategis terutama untuk menghadapi perubahan masyarakat yang serba cepat, situasi yang uncertainty (tidak pasti), serta mengurangi anxiety (kecemasan).Bagi seseorang atau organisasi, informasi dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan diri, memberikan added value, sertamembantu untuk mengambil keputusan dalam mengembangkan masyarakat dan lingkungan. Tanpa dukungan informasi, seseorang ataupun organisasi tidak akan mungkin mampu mencapai tujuan yang telah direncanakan. Informasi bukanlah sekedar keterangan yang diberikan seseorang ataupun badan publik. Informasi adalah data, fakta, berita-berita, atau keterangan-keterangan yang telah diolah sebaik-baiknya agar memiliki arti dan nilai penting bagi seseorang atau organisasi. Bruch dan Starter (Makhdum Priyatno,2001:18) menyatakan bahwa information is agregation or processing of data to provide knowladge or intelegence (informasi adalah pengumpulan atau pengolahan

data untuk memberikan pengetahuan dan kepandaian). George R. Terry menyatakan bahwa information is meaningful data that conveys usable knowladge (informasi adalah data yang mengandung arti dalam memberikan pengetahuan yang bermanfaat). Informasi berbeda dengan data. Umumnya kita sering menyamakan dan merancukan kedua istilah tersebut. Zulkifli Amsyah (2002:2) membedakan antara informasi dan data. informasi adalah data yang sudah diolah, dibentuk, atau dimanipulasi sesuai dengan keperluan tertentu. Data adalah fakta yang sudah ditulis dalam bentuk catatan atau direkam kedalam berbagai bentuk media (komputer). Sedangkan Indrajit (2002) mengungkapkan bahwa informasi adalah hasil dari pengolahan data yang secara prinsip memiliki nilai atau value yang lebih bila dibandingkan dengan data mentah. Data dapat dikatakan memiliki nilai informasi bila ia dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Artinya, seseorang akan bergerak untuk berperilaku sesuai dengan maksud dan tujuan. Berguna tidaknya informasi bergantung pada beberapa hal. Yakni tujuan penerima; ketelitian penyampaian dan pengolahan data; waktu; ruang dan tempat; bentuk (efektivitas, hubungan yang diperlukan, kecenderungan) dan bidangbidang yang memerlukan perhatian manajemen); semantik (hubungan antara kata dan makna yang diinginkan); serta kejelasan, kesesuaian dengan tujuan, dan ketepatan sasaran (Makhdum, 2001: 19). Nilai manfaat informasi pun dapat diperhatikan kualitasnya.Salah satu kriterianya adalah ketersediaan informasi itu sendiri.Bila informasi yang dibutuhkan

132

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 129 - 140

oleh masyarakat tersedia dengan lengkap dan mudah untuk diperoleh, informasi tersebut dapat terkategorikan sebagai available. Informasi pun harus mudah dipahami oleh siapapun, relevan dengan permasalahan yang hendak dipecahkan, dan bermanfaat bagi yang mengaksesnya.Informasi juga harus tersedia tepat waktu, terutama apabila yang membutuhkan ingin segera memecahkan permasalahan yang dihadapi. Sumber-sumber informasi harus dapat diandalkan (reliabilitas) kebenarannya serta akurat. Maksudnya bahwa informasi seyogyanya bersih dari kesalahan, harus jelas, dan secara tepat memiliki makna lugas dari data pendukungnya.Terakhir, informasi tidak boleh mengandung kontradiksi dalam penyajiannya atau konsisten. Ciri-ciri informasi sebagai sumber yang baik dan berkualitas tersebut dapat memberikan manfaat tidak hanya bagi seseorang, masyarakat, tetapi juga organisasi profit ataupun non-porift. Karenanya informasi tersebut harus dikelola dan disimpan dengan baik sehingga mudah ditelusuri jika diperlukan. Kualitas informasi tersebut tentu akan sangat membantu bagi pengakses dalam mengambil sebuah keputusan yang cepat, tepat, rasional, dan bijak. Pula, tidak lagi mendasarkan diri pada hal-hal yang bersifat intuitif ataupun berdasarkan pengalaman belaka.Meskipun yang kedua ini terkadang diperlukan sebagai dasar pijakan sebagai bahan pertimbangan. Begitu pentingnya informasi publik, setiap orang berhak untuk mengaksesnya. Terlebih lagi bahwa hak seseorang untuk memperoleh informasi publik tersebut telah dijamin dan diatur dalam UndangUndang Dasar 1945 hasil Amandemen II

pasal 28F serta Undang-Undang keterbukaan Informasi Publik No.14/2008. Bahwa hak memperoleh informasi publik merupakan hak asasi manusia. Informasi publik merupakan informasi yang dihimpun, dikelola, dihasilkan, dimiliki dan atau dikuasai oleh lembaga publik yang berkaitan dengan tugas, fungsi, dan wewenang yang melekat pada lembaga tersebut. Terlepas dari apakah informasi tersebut memiliki pengaruh secara langsung ataukah tidak kepada masyarakat luas. Informasi publik mengandung dua pengertian. Pertama, informasi publik mengacu pada kebijakan pemerintah yang mempunyai dampak luas dan pengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat. Karenanya, informasi semacam ini perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat luas. Kedua, informasi yang dibutuhkan masyarakat sebagai penjelasan atas isu yang sedang berkembang dalam masyarakat. Namun demikian, tantangan sekaligus tuntutan yang harus dihadapi masyarakat adalah kemampuan mengolah serta memilahmilah informasi yang tepat dan benar sehingga menjadi informasi yang berkualitas dan memiliki nilai tambah. Masyarakat juga harus mampu membedakan antara informasi yang kadaluwarsa dengan yang mutakhir, antara yang benar dan sesat. UU KIP No. 14/2008 memberikan legalitas bagi masyarakat untuk memantau kinerja badan publik yang selama ini terkesan sulit untuk disentuh.Masyarakat berhak untuk mengontrol kinerja serta meminta informasi dan pertanggungjawaban badan publik dan pejabat publik.Bahkan masyarakat berhak untuk mendapatkan salinan tersebut dan menyebarluaskannya lewat media

Totok Wahyu Abadi, Urgenitas Layanan Informasi Publik Berbasis E-Government

133

apapun.Dengan legalitas tersebut masyarakat dapat mengontrol serta mengawasi badan dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik, yaitu transparan, efektif dan efisien, akuntabel, dan dapat dipetanggungjawabkan. Secara otomatis pula, masyarakat dapat berperan aktif dan berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan. Prinsip utama informasi publik adalah terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat sebagai pengguna. Konteks ini tampak sekali mengedepankan dibukanya seluruh kran informasi yang berkaitan dengan badan publik seluas-luasnya. Kewajiban badan publik adalah memberikan informasi yang akurat, cepat, tepat waktu, dan up to date.Kecuali informasi yang dirahasiakan. Jenis informasi ini tidak berarti tertutup sama sekali oleh publik atau atas permintaan publik. Tidak seperti itu.Publik bisa mengakses informasi tersebut selama pihak yang terkait bersedia memberikannya dan atau seseuai dengan ketentuan yang berlaku dalam perundangan. Sistem buka-tutup dalam penyampaian informasi ini dapat digunakan badan publik. Namun demikian bila badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan atau tidak menerbitkan informasi yang wajib di disediakan dan diumumkan; badan publik yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana kurungan sekurang-kurangnya satu tahun atau denda sebesar lima juta. Menurut ketentuan UU 14/2008, setidaknya terdapat lima kategori informasi publik yang wajib disediakan dan harus diumumkan oleh badan publik. Yaitu, 1) informasi berkala, 2) serta merta, 3) setiap saat, 4) yang dikecualikan, 5) dan terakhir informasi yang didasarkan pada permin-

taan. Informasi berakala yaitu informasi yang disampaikan secara rutin, teratur, dan dalam jangka waktu ter tentu.Yang termasuk dalam kategori ini adalah informasi yang berkaitan dengan keberadaan badan publik, kepengurusan, maksud dan tujuan, ruang lingkup kegiatan, dan informasi lainnya yang relevan dengan kinerja serta prestasi kerja yang dicapai selama itu. Informasi serta merta adalah informasi yang disampaikan secara spontan, pada saat itu juga.Yang termasuk jenis informasi ini adalah informasi yang dapat mengacam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Informasi setiap saat adalah infor-masi yang disampaikan setiap saat oleh badan publik. Jenis informasi ini adalah daftar seluruh informasi publik yang berada di bawah penguasaan institusi yang bersangkutan, tidak termasuk informasi yang dikecualikan; hasil keputusan badan publik dan pertimbangannya; seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya; rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan penge-luran tahunan badan publik; perjanjian badan publik dengan pihak ketiga; informasi dan kebijakan yang disampaikan pejabat publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum; prosedur kerja pegawai badan publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat; dan laporan mengenai pelayanan akses informasi publik. Informasi yang dikecualikan adalah informasi yang apabila diberikan dapat menghambat proses penegakan hukum, mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan persaingan tidak sehat. Selain itu, yang juga termasuk dalam kriteria perkecualian adalah informasi yang dapat membahaya-

134

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 129 - 140

kan pertahanan dan keamanan negara, mengungkap kekayaan alam Indonesia, merugikan ketahanan ekonomi nasional, mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi/wasiat seseorang, mengungkap rahasia pribadi seseorang, serta informasi lainnya yang didasarkan pada undang-undang. Sedangkan informasi yang didasarkan pada permintaan adalah informasi yang tidak tercantum dalam empat kategori informasi yang telah disampaikan.Keempat informasi yang dimaksudkan tersebut seperi informasi berkala, serta merta, setiap saat, dan informasi yang dikecualikan.

BADAN PUBLIK: PERAN DAN KOORDINASIPembicaraan masalah kualitas dalam konteks ini tidak hanya mengacu pada informasi itu sendiri tetapi juga hal pelayanan.Kemudian, siapakah sebenarnya yang berkepentingan dalam memberikan layanan informasi yang berkualitas kepada publik? Tentu, jawabnya adalah badan publik. Badan publik yang dimaksudkan adalah semua lembaga publik yang penyelenggaraannya mendapatkan dana yang bersumber dari sebagian atau seluruh APBN dan atau APBD, sumbangan masyarakat, dan atau luar negeri. Partai politik pun termasuk bagian dari badan publik. Ia juga berkewajiban untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan kewenangannya. Mekanisme untuk mendapatkan layanan informasi, setiap badan publik haruslah tetap memprioritaskan kualitas informasi dan pelayanan. Dan secara teknik, kualitas pelayanan juga mengedepankan prinsip cepat, tepat waktu,

sederhana, dan biaya ringan. Untuk mewujudkan layanan yang berkualitas, ketentuan dalam pasal 13 UU KIP mengisyaratkan bahwa setiap badan publik menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dengan tugas mengembangkan sistem penyediaan layanan yang terstandarisasikan secara nasional. Setiap badan publik dalam memberikan layanan informasi publik harus memiliki delapan prinsip. Kedelapan prinsip tersebut adalah 1) fokus kepada kepuasan pelanggan, 2) kepemimpinan untuk menyatukan pemahaman tentang peran dan arah pengembangan pelayanan informasi, 3) pendekatan proses dengan memperhatikan keterkaitan dengan pemasok informasi, 4) keterlibatan SDM di semua tingkatan organisasi, 5) penggunaan pendekatan sistem dalam manajemen, 6) penerapan perbaikan berkelanjutan, 7) pengambilan keputusan berbasis fakta, 8) hubungan saling menguntungkan dengan pemasok informasi (Imam Sudarwo, 2006). Selain memiliki prinsip tersebut, Lembaga Layanan Informasi juga harus mampu memenuhi persyaratan umum, yaitu 1) mengidentifikasikan proses sistem manajemen mutu yang diperlukan serta menerapkannya ke seluruh organisasi, 2) menentukan interaksi dan urutan dari proses tersebut, 3) menetapkan kriteria dan metode untuk menjamin efektivitas operasi dan pengendalian proses tersebut, 4) menjamin ketersediaan sumber daya dan informasi untuk mendukung operasi dan monitoring proses tersebut, 5) melaksanakan pemantauan, penilaian, dan analisis kinerja proses tersebut, dan 6) melaksanakan tindakan untuk menjamin pencapaian

Totok Wahyu Abadi, Urgenitas Layanan Informasi Publik Berbasis E-Government

135

rencana dan perbaikan berkelanjutan (ibid). Tolak ukur puas tidaknya warga terhadap layanan informasi bergantung kualitas layanan yang diberikan badan publik. Kualitas pelayanan tersebut dapat dilihat dari empat belas unsur yang relevan, valid, dan reliabel. Keempat belas unsur tersebut merupakan unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran kualitas dan kepuasan masyarakat, yakni pertama, kemudahan prosedur serta kesederhanaan alur pelayanan; kedua, kesesuaian persyaratan pelayanan dengan jenis layanan; ketiga, kejelasan petugas pelayanan baik nama, jabatan, maupun kewenangan dan tanggung jawabnya; keempat, kedisiplinan dan kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan. Kesungguhan ini bisa dilihat dari konsistensi waktu kerja dalam pelayanan. Unsur berikutnya adalah kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan. Keenam adalah kemampuan yang meliputi keahlian dan keterampilan petugas dalam memberikan pelayanan. Kecepatan pelayanan sebagai unsur ketujuh merupakan target waktu yang telah ditentukan untuk dapat memberikan dan menyelesaikan pelayanan. Kedelapan adalah memberikan rasa keadilan kepada masyarakat yang memiliki golongan dan status yang berbeda. Kesembilan, yakni kesopanan dan keramahan petugas dalam memberikan layanan. Kesopanan dan keramahan tersebut dapat dipantau dari sikap dan perilaku saling menghormati dengan sesama customer (baca: masyarakat). Yang tidak kalah pentingnya dalam pelayanan adalah masalah kewajaran dan

kepastian. Kewajaran yang dimaksudkan adalah keterjangkauan biaya pelayanan yang telah ditetapkan oleh unit pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan kepastian dalam hal ini bisa berwujud biaya dan jadwal pelayanan. Kepastian biaya pelayanan adalah keseluruhan keseluruhan antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan. Dan yang dimaksudkan dengan kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Kenyamanan lingkungan dalam memberikan layanan juga harus mendapatkan perhatian. Kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih rapi, dan teratur dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan. Begitu halnya dengan keamanan pelayanan. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap risiko-risiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan. Tantangan terbesar dalam mewujudkan pelayanan informasi yang berkualitas adalah bagaimana pengemasan, pengolahan, dan penyampaian (diseminasi) informasi yang menarik, aktual, dan up to date. Dan secara kelembagaan, siapakah atau lembaga manakah sebenarnya yang memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam meng-agregasikan dan mengelola informasi di masing-masing dinas terkait? Dalam UU No.14/2008 disebutkan bahwa untuk pengumpulan dan pengelolaan informasi diperlukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di masing-masing dinas yang ada di wilayah

136

KALAMSIASI, Vol. 3, No. 2, September 2010, 129 - 140

tersebut. Bila di masing-masing dinas membentuk PPID dengan cara memfungsikan, mengaktifkan, dan mengefektifkan SKPD yang ada, denga