KAJIAN YURIDIS PENGUASAAN ATAS TANAH BEKAS file/Data... · Web viewBahwa urusan perkebunan...
Transcript of KAJIAN YURIDIS PENGUASAAN ATAS TANAH BEKAS file/Data... · Web viewBahwa urusan perkebunan...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada tanggal 24 September 1960 telah disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia Soekarno dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 104 Tahun 1960 yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Dasar kebijakan pemerintah dalam bidang Pertanahan yakni Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Adapun tujuan pokok lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria adalah:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil
dan makmur;
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan;
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-
hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) maka terjadi
perubahan fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia terutama hukum di
bidang pertanahan yakni dengan terwujudnya suatu keseragaman Hukum Tanah
Nasional.
1
2
Yang menjadi objek dari hukum tanah itu sendiri adalah hak-hak
penguasaan atas tanah. Dalam arti umum penguasaan atas tanah adalah dapat
berbuat sesuatu terhadap tanah yang dihakinya, sedangkan dalam arti khusus
penguasaan atas tanah adalah yang terkandung dalam pengertian hak menguasai
dari negara seperti yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2), yaitu: kewenangan
Hak Menguasai dari Negara berupa:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Hak-hak penguasaan atas tanah menurut Hukum Tanah Nasioanal dibagi
menjadi dua antara lain: Hak-hak atas tanah sebagai lembaga hukum dan Hak-hak
atas tanah sebagai hubungan hukum konkret.
Kebijakan mengenai hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum
konkret diatur dalam Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok
Agraria. Adapun ketentuan secara garis besarnya adalah sebagai berikut:
1. Hak Eigendom menjadi Hak Milik apabila pemiliknya pada tanggal 24
September 1960 berkewarganegaraan tunggal. Apabila syarat tersebut tidak
dipenuhi maka konversinya menjadi Hak Guna Bangunan dengan jangka
waktu 20 tahun [Pasal I ayat (1) dan (3)];
Hak Eigendom kepunyaan pemerintah asing yang dipergunakan untuk
rumah kediaman kepala perwakilan dan gedung kedutaan dikonversi menjadi
Hak Pakai yang berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan
tersebut (ayat 2);
3
Hak Eigendom kepunyaan pemerintah asing yang dipergunakan untuk
keperluan lain misalnya untuk tempat peristirahatan maka konversinya
menjadi Hak Guna Bangunan.
2. Hak Milik Adat, Hak Agrarisch Eigendom, Hak Grant Sultan dan yang
sejenis menjadi Hak Milik apabila pemiliknya pada tanggal 24 September
1960 berkewarganegaraan Indonesia Tunggal. Apabila syarat tersebut tidak
dipenuhi maka konversinya menjadi Hak Guna Usaha jika tanahnya
merupakan tanah pertanian dan menjadi Hak Guna Bangunan jika tanahnya
bukan tanah pertanian. Keduanya dengan jangka waktu 20 tahun (Pasal II);
3. Hak Erfpacht untuk perkebunan besar dikonversi menjadi Hak Guna Usaha
yang berlangsung selama sisa waktunya tetapi selama-lamanya 20 tahun
[Pasal III ayat (1)];
4. Hak Erfpacht dan Hak Opstal untuk perumahan dikonversi menjadi Hak Guna
Bangunan yang berlangsung selama sisa waktunya tetapi selama-lamanya 20
tahun (Pasal V);
5. Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang mirip dengan Hak Pakai seperti
dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA dikonversi menjadi Hak Pakai yang memberi
wewenang dan kewajiban pada pemegang haknya pada tanggal 24 September
1960 selama tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA
(Pasal VI);
6. Hak Gogolan yang bersifat tetap dikonversi menjadi Hak Milik sedangkan
yang tidak tetap menjadi Hak Pakai (Pasal VII).
Konversi tersebut terjadi sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) pada tanggal 24 September 1960 dengan bersamaan maka sejak tanggal
tersebut tidak ada lagi hak-hak atas tanah yang lama.
4
Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal
konversi hak barat yang menurut ketentuan Undang-undang No.5 Tahun 1960
yang berakhir masa berlakunya selambat-lambatnya pada tanggal 24 September
1980 pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dan dapat diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan dalam
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan
Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-hak Barat
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-
ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak-hak Barat.
Tanah beserta rumahnya yang merupakan salah satu kebutuhan mendasar
bagi manusia memerlukan jaminan hukum. Sehingga perlu dilakukan pendaftaran
tanah oleh yang bersangkutan. Dalam kenyataannya hak atas tanah masih
berstatus tanah Hak Guna Bangunan asal konversi Hak Barat. Dengan hak
tersebut oleh masyarakat dirasa kurang memadai karena jangka waktunya terbatas
dan perlu ada biaya lagi untuk memperpanjang haknya dan kedudukan hukum
Hak Guna Bangunan kurang kuat apabila dibandingkan dengan Hak Milik.
Apalagi bagi tanah-tanah bekas Hak Guna Bangunan asal konversi Hak
Barat yang telah diduduki oleh masyarakat dan menjadi
perumahan/perkampungan, masyarakat menganggap penguasaan secara fisik
kekuatan hukumnya kurang kuat apabila tidak disertai dengan penguasaan secara
yuridis. Oleh karena itu masyarakat yang secara fisik telah menguasai tanah-tanah
bekas Hak Guna Bangunan asal konversi Hak Barat yang telah menjadi
perumahan/perkampungan dapat mengajukan permohonan hak untuk pemberian
hak. Hal ini dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yaitu Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok
Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi
Hak Barat dalam Pasal 5.
5
Tanah bekas Hak Guna Bangunan asal konversi hak barat dapat diberikan
suatu hak kepada pihak lain selama pihak lain tersebut secara nyata menguasai
dan menggunakan secara sah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan mengenai
bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah dapat diselesaikan sendiri antara
bekas pemegang hak dengan pemohon baru. Hal ini dapat dilihat dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai
Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-hak Barat
dalam Pasal 13 ayat (1).
Dari apa yang penulis uraikan diatas, penulis bermaksud untuk mengkaji
dan meneliti lebih dalam berkaitan dengan penguasaan atas tanah asal konversi
hak barat khususnya Hak Opstal (RVO 222), dengan judul “KAJIAN YURIDIS
PENGUASAAN ATAS TANAH BEKAS HAK OPSTAL (RVO 222) DI
KELURAHAN BUMI KECAMATAN LAWEYAN KOTA SURAKARTA”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan untuk
mempermudah penulis dalam melaksanakan penelitian agar maksud, tujuan dan
sasaran dari penelitian ini terarah, maka penulis merumuskan permasalahan yang
akan dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana status penguasaan atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) di
Kelurahan Bumi Kota Surakarta berdasarkan Hukum Tanah Nasional?
2. Apakah warga Kelurahan Bumi Laweyan Kota Surakarta dapat dijadikan
subjek hak atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222)?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas, hal ini
diharapkan agar dalam pelaksanaan kegiatan memiliki pegangan yang kuat dan
memperoleh hasil yang terarah demi tercapainya tujuan yang telah ditentukan.
6
Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah diatas, penelitian ini
mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui bagaimana status penguasaan atas tanah bekas Hak
Opstal (RVO 222) di Kelurahan Bumi Laweyan.
b. Untuk mengetahui apa warga Kelurahan Bumi Laweyan dapat menjadi
subjek hak atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222).
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperluas wawasan penulis dalam bidang hukum, khususnya
hukum agraria terutama yang berkaitan dengan masalah penguasaan atas
tanah bekas tanah-tanah hak barat khususnya Hak Opstal (RVO 222).
b. Mengembangkan daya berpikir dan daya penalaran penulis agar dapat
berkembang sesuai dengan bidang penulis.
c. Untuk memperoleh data-data yang akan penulis pergunakan dalam
menyusun skripsi ini sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar
kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian pasti memiliki manfaat tertentu bagi penulis. Manfaat
penelitian dapat dibedakan menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat
praktis. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini dapat menjadi sarana bagi penulis untuk turut
menyumbangkan gagasan pemikiran dalam mengembangkan pengetahuan
7
di bidang ilmu hukum khususnya hukum agraria yang berkaitan dengan
penguasaan atas tanah bekas tanah hak-hak barat khususnya Hak Opstal
(RVO 222).
b. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam
perkuliahan hukum agraria khususnya yang berkaitan dengan penguasaan
atas tanah bekas tanah hak-hak barat khususnya Hak Opstal (RVO 222).
2. Manfaat Praktis
a. Dalam penelitian ini dapat meningkatkan dan mengembangkan pemikiran,
membentuk pola pikir dinamis serta penulis dapat menerapkan ilmu yang
diperoleh.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan pemikiran, literatur
maupun pengetahuan bagi para pihak yang ingin mengkaji dalam
permasalahan yang sama.
E. Metode Penelitian
Hukum lazimnya diartikan sebagai kaedah atau norma. Kaedah atau
norma merupakan patokan atau pedoman mengenai perilaku manusia yang
dianggap pantas.
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi (Peter Mahmud, 2007:35).
Adapun dalam penulisan penelitian hukum ini penulis menggunakan
metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian doktrinal atau lebih dikenal
dengan penelitian normatif. Penelitian normatif adalah suatu penelitian yang
8
mempelajari ilmu hukum mengenai tujuan hukum, nilai-nilai keadilan,
validasi aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum.
Dengan kata lain penelitian guna memecahkan suatu masalah dengan
menggunakan data sekunder seperti penggunaan studi dokumen atau bahan
pustaka.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian suatu penelitian hukum normatif adalah bersifat
preskriptif, yaitu suatu penelitian yang yang dimaksudkan untuk mendapatkan
saran-saran mengenai apa status penguasaan atas tanah bekas Hak Opstal
(RVO 222) di Kelurahan Bumi, Laweyan (Soerjono Soekanto, 2006: 10).
3. Pendekatan Penelitian
Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal
issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach) yang
digunakan.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-
undangan (Statute Aprroach). Pendekatan perundang-undangan merupakan
salah satu cara yang digunakan dalam penelitian normatif dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
yang sedang ditangani. Dari pendekatan perundang-undangan tersebut dapat
menemukan adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang
dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang-
Undang Dasar atau antara regulasi dengan undang-undang. Dalam hal ini
ialah antara Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan undang-undang
lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Jenis Data
9
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,
yaitu data yang tidak diperoleh langsung dari sumbernya, tetapi penulis
memperoleh dari bahan pustaka, antara lain buku-buku, literatur, peraturan
perundang-undangan, hasil penelitian terdahulu, artikel, dan sumber lain yang
berkaitan dengan penelitian ini.
5. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian normatif ini adalah
sumber data sekunder, yaitu sumber data yang bersumber dari bahan-bahan
kepustakaan seperti peraturan perundangan, hasil-hasil penelitian dari
kalangan hukum yang berhubungan dengan obyek yang diteliti. Sumber data
sekunder yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini antara lain:
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau (Burgerlijk Wetboek),
Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Di Indonesia, Peraturan Menteri
Agraria Nomor 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan Beberapa Ketentuan
Undang-Undang Pokok Agraria, Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan Dalam
Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-hak Barat,
Peraturan Menteri Dalam Negri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-
ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah
Asal Konversi Hak-hak Barat serta peraturan-peraturan lainnya yang
berhubungan dengan penulisan penelitian ini.
b. Bahan Hukum Sekunder
10
Bahan hukum sekunder merupakan pendukung dari data sekunder
dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain: hasil-hasil penelitian yang merupakan
karya ilmiah dari kalangan hukum, buku-buku teks yang dibuat oleh para
ahli hukum dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan obyek yang
diteliti.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia maupun bahan-bahan dari
internet yang berhubungan dengan penelitian ini.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara untuk mengumpulkan data
dari salah satu atau beberapa sumber yang ditemukan. Teknik pengumpulan
data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah: studi dokumen (studi
kepustakaan), yaitu pengumpulan data sekunder dari peraturan perundang-
undangan, buku-buku literatur, dokumen, artikel dan hasil penelitian terdahulu
serta cyber media, yaitu pengumpulan data yang diambili melalui internet,
kemudian dikategorisasikan dan dipergunakan sebagai data yang menunjang
dalam penulisan penelitian hukum.
7. Teknik Analisa Data
Untuk memperoleh jawaban terhadap penelitian hukum ini digunakan
silogisme deduksi dengan metode :
a. Interpretasi bahasa (gramatikal), yaitu memberikan arti kepada suatu
istilah atau perkataan sesuai dengan bahasa sehari-hari. Jadi, untuk
mengetahui makna ketentuan undang-undang, maka ketentuan undang-
11
undang itu ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut
bahasa umum sehari-hari (Sudikno Mertokusumo, 2004 : 57).
b. Interpretasi sistematis, yaitu menafsirkan peraturan perundang-undangan
dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang
lain atau dengan keseluruhan sistem hukum (Sudikno Mertokusumo, 2004
: 59). Jadi undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satupun
ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri
(Peter Mahmud, 2005 : 112).
Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-
Undang Pokok Agraria, Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960
tentang Pelaksanaan Beberapa Ketentuan UUPA, Peraturan Menteri Agraria
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Penambahan Ketentuan Peraturan Menteri
Agraria Nomor 2 Tahun 1960, Peraturan Menteri Agraria Nomor 7 Tahun
1965 tentang Pedoman Pelaksanaan Konversi Hak Eigendom Tersebut Dalam
Ayat 3 yo Ayat 5 Pasal I Ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria
yang Dibebani Dengan Hak Opstal dan Hak Erfpacht untuk Perumahan,
Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-
Perusahaan Milik Belanda Di Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 32
Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian
Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-hak Barat, dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-ketentuan
Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-hak
Barat sebagai premis mayor, sedangkan sebagai premis minor adalah
penguasaan atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) di Kelurahan Bumi
Laweyan.
Melalui proses silogisme akan diperoleh simpulan (conclusion) berupa
hukum positif in concreto yang dicari mengenai peristiwa hukum yang dapat
12
dihubungkan antara peristiwa konkrit dengan peraturan perundangan-
undangan yang terkait. Dalam hal ini, peristiwa hukumnya mengenai
penguasaan atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) oleh warga Bumi maupun
PT. Perkebunan Nusantara IX Surakarta.
B. Sistematika
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh yang sesuai dengan
aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu
sistematika dalam penyusunan penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan
hukum terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, hasil
penelitian dan pembahasan, serta simpulan dan saran ditambah dengan daftar
pustaka dan lampiran-lampiran yang disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Dalam bab I, diuraikan mengenai gambaran awal penelitian ini, yang
meliputi latar belakang penguasaan atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) di
Kelurahan Bumi Kecamatan Laweyan Kota Surakarta, kemudian mengenai
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian
yang dipergunakan dalam melakukan penelitian.
Dalam bab II, diuraikan mengenai landasan teori berdasarkan literatur-
literatur yang penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti. Hal tersebut meliputi : tinjauan umum mengenai
konsepsi dan dasar Hukum Tanah Nasional, tinjauan umum mengenai penguasaan
atas tanah, tinjauan umum mengenai Hak Opstal (RVO 222), serta tinjauan
mengenai pemberian hak baru atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222). Hal
tersebut ditujukan agar pembaca dapat memahami tentang permasalahan yang
penulis teliti.
Dalam bab III, diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan.
Dalam Pembahasan dapat dianalisa bahwa status penguasaan atas tanah bekas hak
13
barat khususnya tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) yang terjadi di Kelurahan
Bumi, Laweyan dapat diketahui melalui riwayat atas tanah tersebut dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 3 dan 4 Tahun 1946 sampai nasionalisasi Undang-
Undang Nomor 86 Tahun 1958 dan sampai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
14 Tahun 1996 dan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979, mengenai warga Kelurahan Bumi
berhak menjadi subjek hak atas tanah tersebut dapat dilihat prosedurnya dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan ketentuan pelaksananya dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997.
Dalam bab IV, diuraikan mengenai simpulan dan saran. Adapun
kesimpulannya, yaitu bahwa tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) yang ada di
Kelurahan Bumi, Laweyan yang berdasarkan akta RVO 222 atas nama N.V
Solosche Landbouw Mij gev de Surakarta dengan Nomor 8 tertanggal 19 Februari
1936 setelah berlakunya UUPA tidak pernah didaftarkan kembali yang paling
lambat tanggal 24 September 1980 untuk dikonversi sesuai dengan ketentuan
konversi dalam UUPA maka tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Mengenai Konsepsi dan Dasar Hukum Tanah Nasional
a. Konsepsi Hukum Tanah Nasional
Pembangunan Hukum Tanah Nasional dilandasi konsepsinya
Hukum Adat yang dirumuskan dengan kata-kata: “komunalistik religius
yang memungkinkan penguasaan atas tanah secara individual dengan hak-
hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan”
(Boedi Harsono, 2005: 228).
14
Sifat komunalistik religious dalam konsepsi Hukum Tanah
Nasional dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyatakan
bahwa “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
yang ada didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.
Sifat komunalistik konsepsi Hukum Tanah Nasional dapat dilihat
pada pernyataan, semua tanah dalam wilayah Negara Indonesia adalah
tanah bersama seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi
Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA).
Hak Bangsa Indonesia/ pernyataan Hak Bangsa dalam konsepsi
Hukum Tanah Nasional Pasal 1 ayat (1) dan (2) dinyatakan dalam
Penjelasan Umum UUPA: Bumi, Air dan Ruang Angkasa dalam wilayah
Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa
sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari Bangsa Indonesia jadi tidaklah
semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang
bersangkutan. Dengan pengertian demikian maka hubungan Bangsa
Indonesia dengan Bumi, Air dan Ruang Angkasa Indonesia merupakan
semacam hubungan Hak Ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling
atas yaitu tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara merupakan
hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, hal ini berarti bahwa hak-hak
penguasaan atas tanah yang lain termasuk hak ulayat dan hak-hak
individual atas tanah yang dimaksudkan oleh Penjelasan Umum langsung
maupun tidak langsung semuanya bersumber pada Hak Bangsa.
Hak Bangsa itu bersifat abadi dan meliputi seluruh tanah. Bersifat
abadi dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa: “Hubungan
antara Bangsa Indonesia dan Bumi, Air dan Ruang Angkasa termaksud
dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan myang bersifat abadi.”
15
Hubungan bersifat abadi berarti berlangsung tiada terputus untuk
selamanya. Selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia masih ada dan selama Bumi, Air dan Ruang Angkasa Indonesia
masih ada pula dalam keadaan yang bagaimana pun, tidak ada sesuatu
kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan ini.
Meliputi semua tanah dapat dilihat dalam kalimat: Seluruh Bumi,
Air dan Ruang Angkasa termasuk Kekayaan Alam yang terkandung di
dalam wilayah Republik Indonesia adalah Bumi, Air dan Ruang Angkasa
Bangsa Indonesia dalam Pasal 1 ayat (2). Hal ini menunjukkan bahwa
tidak ada sejengkal tanah pun di Negara kita yang merupakan apa yang
disebut Res Nullius (tanah tak bertuan).
Sifat religi ditunjukkan oleh pernyataan bahwa Bumi, Air dan
Ruang Angkasa Indonesia termasuk Kekayaan Alam yang terkandung di
dalamnya merupakan Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa
Indonesia. Selain itu sifat religius juga dapat dilihat pada Pasal 5 dan
konsiderans/berpendapat. Dalam Pasal 5 UUPA dinyatakan bahwa segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum
Agama, sedangkan dalam konsiderans/berpendapat dinyatakan bahwa
perlu ada Hukum Agaria Nasional yang didasarkan atas Hukum Adat
tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi
seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang
bersandar pada Hukum Agama.
Penguasaan atas tanah secara individual dapat dilihat pada Pasal 4
ayat (1) UUPA yang dinyatakan bahwa: “Atas dasar hak menguasai dari
Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan adanya macam-
macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
16
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.”
Dalam konsepsi ini menunjukkan bahwa tanah-tanah tersebut
dapat dikuasai secara individual dan tidak ada keharusan untuk menguasai
dan menggunakannya secara kolektif. Hal ini dapat dilihat pada kata-kata
“baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-
badan hukum.”
Persyaratan bagi pemegang hak atas tanah yang menunjuk kepada
perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun orang-orang asing dan
badan-badan hukum, juga menunjukkan prinsip penguasaan dan
penggunaan tanah secara individual dapat dilihat pada Pasal 21, 29, 36, 42
dan 45.
Bersifat pribadi dapat dilihat pada Pasal 9 ayat (2) UUPA yang
dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki
maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik
bagi diri sendiri maupun keluarganya.”
Dengan adanya kalimat “untuk mendapat manfaat dan hasilnya
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya” menunjukkan sifat pribadi dari
hak-hak atas tanah dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional.
Kebersamaan juga merupakan konsepsi Hukum Tanah Nasional
dapat dilihat pada Pasal 6 UUPA yang dinyatakan bahwa: “Semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial.”
Kebersamaan atau unsur kemasyarakatan ada pada setiap hak atas
tanah karena semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak
langsung bersumber pada Hak Bangsa yang merupakan hak bersama.
17
Lagipula tanah yang dihaki secara individual adalah sebagian dari tanah
bersama.
Hak-hak atas tanah yang langsung bersumber pada Hak Bangsa
adalah Hak-hak Primer, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan negara sebagai petugas bangsa.
Hak-hak yang tidak bersumber langsung pada Hak Bangsa adalah Hak-
Hak Sekunder, yaitu Hak-hak yang diberikan oleh pemegang hak primer
seperti hak sewa, hak bagi hasil, gadai dan lain-lainnya.
b. Dasar-dasar Hukum Tanah Nasional
Dasar-dasar pertanahan di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan menurut 10 dasar yang
dipakai dalam pembentukan Hukum Tanah/Agraria Nasional, sebagai
berikut:
1) Dasar Kenasionalan
Dasar ini diletakkan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) UUPA.
Pasal 1 ayat (1), ditentukan bahwa: “Seluruh wilayah Indonesia
adalah kesatuan tanah air dan seluruh Rakyat Indonesia yang bersatu
sebagai bangsa Indonesia.” Selanjutnya dalam ayat (2), ditentukan
bahwa: “Seluruh Bumi, Air dan Ruang Angkasa, termasuk Kekayaan
Alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah Bumi, Air
dan Ruang Angkasa bangsa Indonesia dan merupakan Kekayaan
Nasional.”
Yang dimaksud dengan “Asas Kenasionalan” adalah Bumi, Air
dan Ruang Angkasa dalam wilayah Republik Indonesia secara
keseluruhan menjadi hak pula Bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional. Tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau tidak
18
semata-mata menjadi Hak Rakyat Asli/ setempat dari pulau yang
bersangkutan sehingga hubungan bangsa Indonesia dengan Bumi, Air
dan Ruang Angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan Hak
Ulayat, yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada
tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara. Dalam hubungan
antara bangsa Indonesia dengan Bumi, Air dan Ruang Angkasa
Indonesia, adalah hubungan yang bersifat abadi artinya dalam keadaan
bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat
memutuskan dan meniadakan.
2) Hak Menguasai dari Negara
Dasar ini diletakkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUPA.
Pasal 2 ayat (1), ditentukan bahwa: “Atas dasar ketentuan
dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, dan hal-hal
sebagai dimaksud dalam Pasal 1, Bumi, Air dan Ruang Angkasa,
termasuk Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.”
Pasal 2 Ayat (2), ditentukan bahwa:
“Hak menguasai dari negara termasuk dalam ayat 1 Pasal ini, memberi wewenang untuk:a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasab) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasac) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa
Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa asas yang dipakai
dalam Hukum Tanah Nasional adalah asas Penguasaan pada tingkatan
tertinggi atas Bumi, Air dan Ruang Angkasa serta Kekayaan Alam
19
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
Dalam konkritnya bahwa negara selaku Badan Penguasa
adalah Presiden dengan dibantu oleh para pembantunya. Dengan
berlandaskan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 1988, tertanggal 19 Juli 1988 khususnya Pasal 2, maka yang
mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan baik
berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria, maupun Peraturan
lainnya adalah Presiden dengan dibantu Badan Pertanahan Nasional.
Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur. Dengan berpedoman pada tujuan ini Negara dapat
memberikan tanah kepada seseorang atau Badan Hukum dengan
sesuatu Hak menurut peruntukan dan penggunaannya.
3) Mendudukan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam Bernegara
Dasar ini diletakkan dalam Pasal 3 UUPA.
Pasal 3, menentukan bahwa:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2, pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-hak serupa itu dari masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan Kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan lain yang sama tinggi.”
Penyebutan Hak Ulayat di dalam Undang-Undang Pokok
Agraria pada hakekatnya merupakan pengakuan adanya Hak Ulayat di
dalam Hukum Agraria yang baru dengan syarat:
a) Sepanjang Hak Ulayat memuat kenyataan masih ada pada
masyarakat hukum
20
b) Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus sesuai dan/ atau
tunduk dengan Kepentingan Nasional dan Negara yang lebih tinggi
dan luas
c) Tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan Pertauran
lain yang lebih tinggi
4) Penyelarasan Kepentingan Masyarakat dan Kepentingan Perseorangan
yang Menyangkut Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah
Dasar ini diletakkan dalam Pasal 6 UUPA.
Pasal 6, menentukan bahwa: “Semua Hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial.”
Hak atas tanah punya fungsi sosial, semua penggunaan atas
tanah harus disesuaikan dengan keadaan, sifat dan haknya sehingga
bermanfaat bagi pemiliknya maupun bagi masyarakat dan negara.
Dengan demikian hak atas tanah apa pun yang ada pada
seseorang tidak dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Namun semuanya tidak berarti bahwa kepentingan
perseorangan akan terdesak oleh kepentingan umum/ masyarakat.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling
berimbang, sehingga pada akhirnya akan tercapai kemakmuran,
keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat. Sebaiknya tanah itu
dipelihara sebaik-baiknya agar bertambah kesuburan serta mencegah
kerusakannya, kewajiban memelihara tanah bukan hanya dibebankan
kepada pemilik tanah/ pemegang haknya, tetapi juga kepada semua
pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah-tanah itu.
21
5) Hanya Warga Negara Indonesia saja Dapat Mempunyai Hak Milik
atas Tanah
Dasar ini diletakkan dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 21 ayat (1)
dan (2) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
Pasal 9 ayat (1), menentukan bahwa: “Hanya warga Negara
Indonesia dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan Bumi, Air
dan Ruang Angkasa dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 ayat (2).”
Pasal 21, menentukan bahwa:
Ayat (1): “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai
hak milik.”
Ayat (2): “Oleh pemerintah ditetapkan Badan-Badan Hukum
yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syarat.”
Pasal 26 ayat (2), menentukan bahwa: “Hak Milik kepada
orang asing dilarang.”
Dalam dasar ini dijelaskan bahwa hanya warga negara
Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah, terhadap orang asing
dilarang mempunyai hak milik karena hanya dapat mempunyai tanah
dengan hak pakai.
Demikian juga pada dasarnya Badan-Badan Hukum tidak dapat
mempunyai hak milik dengan pertimbangan bahwa Badan-Badan
Hukum tidak perlu mempunyai hak milik cukup dengan hak-hak lain
seperti Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha atau Hak Pakai. Namun
Badan-Badan Hukum yang erat kaitannya dengan keagamaan, sosial
dan hubungan perekonomian maka dapat mempunyai hak milik.
Pemerintah dapat memberikan dispensasi dengan menunjukkan
Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah
sebagai yang diatur dalam pasal 21 ayat 2 UUPA.
22
Badan-Badan Hukum yang ditunjuk yang dapat memiliki Hak
Milik sebagai diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
1963, adalah:
a) Bank-Bank Negara, yaitu:
(1) Bank Indonesia
(2) Bank Dagang Negara
(3) Bank Negara Indonesia
b) Koperasi Pertanian
c) Badan-Badan Sosial
d) Badan-Badan Keagamaan
6) Dasar Kebangsaan
Dasar ini diletakkan dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 11 ayat (2)
dan Pasal 26 ayat (1) UUPA.
Pasal 9 ayat (2), menentukan bahwa: “Tiap warga negara
Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang
sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat
manfaat dan hasilnya baik bagi diri maupun keluarganya.”
Pasal 11 ayat (2), menentukan bahwa: “Perbedaan dalam
keadaan masyarakat dan keperluan Hukum Golongan Rakyat dimana
perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan
golongan ekonomi lemah.”
Pasal 26 ayat (1), menentukan bahwa: “Jual Beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat pemberi menurut adat dan
perbuatan-perbuatan lain, yang dimaksud untuk memindahkan hak
milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
23
Maksud dari dasar ini bahwa sehubungan dengan Pasal 11 ayat
(2) yang dimaksud dengan perbedaaan yang didasarkan atas golongan
rakyat, misalnya perbedaan dalam keperluan hukum rakyat kota dan
rakyat pedesaan juga rakyat yang lemah ekonominya. Dasar
Kebangsaan ini bertujuan untuk melindungi pihak-pihak ekonomi
lemah. Dengan demikian Undang-Undang Pokok Agraria
membedakan bukan antara warga negara asli dan tidak asli melainkan
pihak yang kuat maupun lemah baik itu warga negara asli maupun
tidak asli.
7) Dasar Landreform
Dasar ini diletakkan dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UUPA.
Pasal 10 ditentukan bahwa:
Ayat (1): “Setiap orang dan Badan Hukum yang mempunyai
sesuatu hak atas tanah pasa asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakan secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
Ayat (2): “Pelaksanaan dari pada ketentuan ayai 1 akan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Dasar Landreform ini pada hakekatnya dijadikan dasar
Perubahan Struktur Hukum Pertanahan yaitu yang disebut Agraria
Reform/ Landreform. Agar dapat terwujud apa yang dikehendaki oleh
dasar ini maka perlu ditambahkan ketentuan-ketentuan lain seperti:
Pasal 7, menentukan: “Untuk tidak merugikan kepentingan
umum maka pemilikan dan penguasaan yang melampaui batas tidak
diperkenankan.”
Pasal 13 ayat (2), menentukan: “Pemerintah berusaha agar
usaha-usaha dalam bidang agraria diatur sedemikian rupa, sehingga
24
meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai dimaksud
Pasal 2 ayat 3 serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia,
derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya.”
Pasal 17, menentukan: “Dengan mengingat ketentuan dalam
Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2
ayat 3 diatur luas maksimum dan/ atau minimum tanah yang boleh
dipunyai dengan sesuatu hak dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau
Badan Hukum.”
8) Dasar Bagi Perencanaan Mengenai Peruntukan, Penggunaan dan
Persedian Bumi, Air dan Ruang Angkasa Untuk Berbagai
Kepentingan Hidup Rakyat dan Negara
Dasar ini diletakkan dalam Pasal 14 ayat (1).
Pasal 14 ayat (1), menentukan bahwa:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat
(2) dan (3), Pasal 9 serta Pasal 10 Disebutkan Pemerintah dalam
rangka Sosialisme Indonesia membawa suatu Rencana Umum
mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan Bumi, Air dan
Ruang Angkasa serta Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya,
yaitu:
a) Untuk keperluan negara
b) Untuk keperluaan peribadatan dan keperluan-keperluan suci
lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
c) Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat sosial,
kebudayaan dan kesejahteraan
d) Untuk keperluan perkembangan produksi pertanian, peternakan
dan perikanan
25
e) Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan
Agar cepat dapat mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa
dan negara khususnya bidang agraria perlu adanya suatu rencana
(planning) mengenai peruntukan dan persediaan Bumi, Air dan Ruang
Angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara.
Rencana Umum (National Planning) yang meliputi seluruh
wilayah Indonesia yang kemudian dirinci menjadi Rencana Khusus
(Regional Planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning
tersebut maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan
teratur sehingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi
negara dan rakyat.
9) Dasar Menjadikan Kesatuan Hukum dan Keseluruhan Hukum Agraria
Dasar ini diletakkan dalam Pasal 5 UUPA.
Pasal 5, menentukan bahwa:
“Hukum Agraria yang berlaku atas Bumi, Air dan Ruang Angkasa ialah Hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia, serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini, dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala semata dengan mengindahkan unsur yang bersandar agama.”
Dasar ini menyatakan Hukum Agraria yang baru akan
didasarkan pada ketentuan Hukum Adat sebagai hukum yang asli yang
disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan negara dan
masyarakat. Tujuan dari Undang-Undang Pokok Agraria itu sendiri
untuk menghilangkan/ mengakhiri dualisme Hukum Tanah Indonesia
dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum dari rakyat
banyak karena rakyat Indonesia sebagian besar terikat pada Hukum
Adat, Hukum Asli rakyat Indonesia.
26
Pasal 5 UUPA ini menentukn bahwa Hukum Agraria yang
berlaku atas Bumi, Air dan Ruang Angkasa adalah Hukum sepanjang
memenuhi syarat:
a) Tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa
b) Tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia
c) Tidak bertentangan dengan peraturan yang tercantum dalam
Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan lainnya
d) Segala sesuatu harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
Hukum Agama
Dengan terhapusnya perbedan antara Hukum Adat dan Hukum
Barat di dalam Hukum Tanah Indonesia maka tercapainya
kesederhanaan hukum.
10) Dasar Kepastian Hukum.
Dasar ini diletakkan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA.
Pasal 19 ayat (1), ditentukan bahwa: “Untuk menjamin
kepastian hukum oleh pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah, di
seluruh wilayah Republik Indonesia, menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Dasar ini merupakan suatu instruksi kepada Pemerintah agar
seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat
Recht Kadaster artinya yang bertujuan untuk menjamin kepastian
hukum. Pendaftaran tanah yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
UUPA adalah sebagai berikut:
a) Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah
b) Pendaftaran Hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
27
c) Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat
Pendaftaran tanah akan diselenggarakan dengan mengingat
pada kepentingan serat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu
lintas ekonomi dan kemungkinan-kemungkinan dalam bidang personil
dan peralatannya. Karenanya yang akan didahulukan dalam
penyelenggaraan Pendaftaran tanah di kota-kota yang kemudian
lambat laun meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Pendaftaran Tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tertanggal 8 Juli 1997 tentang Pendaftaran Tanah
sebagai dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1997-59 dan Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Kantor Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.24 Tahun 1997
(Ali Achmad Chomzah, 2004: 26-40).
2. Tinjauan Umum Mengenai Penguasaan Atas Tanah
a. Pengertian Hak Penguasaan Atas Tanah
Hak penguasaan atas tanah berisikan serangkai wewenang,
kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu
mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang
untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi
kriteria atau titik tolak pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah
yang diatur dalam Hukum Tanah (Boedi Harsono, 2003:24).
Hak penguasaan atas tanah ada yang berlandaskan atas adanya
suatu hak, dan ada yang tidak berlandaskan suatu hak. Penguasaan tanpa
hak (titel) disebut penguasaan secara liar, penguasaan tersebut secara fisik
“menduduki” tanah dengan tidak sah (Illegal), sedangkan penguasaan
dengan hak (legal) dapat berupa penguasaan secara fisik oleh diri sendiri
28
maupun penguasaan secara yuridis dan fisik yang dilakukan oleh orang
lain.
Hak penguasaan atas tanah dalam arti umum yaitu dapat berbuat
sesuatu dengan tanah, sedangkan hak penguasaan dalam arti khusus
terkandung dalam pengertian hak menguasai dari negara. Hak menguasai
dari negara ialah untuk:
a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
b. Macam-macam Hak Penguasaan Atas Tanah
Dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria diatur dan
ditetapkan tata jenjang hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum
Tanah Nasional Negara Indonesia, yaitu:
1) Hak Milik
2) Hak Guna Usaha
3) Hak Guna Bngunan
4) Hak Pakai
5) Hak Sewa
6) Hak Membuka Tanah
7) Hak Memungut Hasil Hutan
8) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas akan
ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara yang disebut dalam Pasal 53
29
Menurut Effendi Perangin hak penguasaan atas tanah
dikelompokkan menjadi:
1) Hak atas tanah bersifat tetap
a) Hak Milik
Menurut Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria, Hak Milik
adalah hak turun-temurun, terkuat, terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria.
b) Hak Guna Usaha
Menurut Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, Hak
Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu guna
perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan
c) Hak Guna Bangunan
Menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, Hak
Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri dengan, jangka waktu yang telah
ditentukan paling lama 30 tahun.
Baik perorangan maupun badan-badan hukum, berdasarkan Pasal
36 ayat (1) dan (2) yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan
ialah:
(1) Warga negara Indonesia;
(2) Badan hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
(3) Pihak ketiga. Memperoleh Hak Guna Bangunan karena orang
atau badan hukum dalam ayat (1) melepaskan atau
mengalihkan hak tersebut dalam jangka waktu 1 tahun.
Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan tidak
30
dilaksanakan maka hak tersebut hapus karena hukum dengan
ketentuan bahwa hak-hak pihak ketiga akan diindahkan
menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah.
Menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, Hak
Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,
dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Sedangkan ayat (2)
menyatakan bahwa atas permintaan pemegang hak dan dengan
mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya,
jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan
waktu paling lama 20 tahun.
Jadi, Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang haknya dan
dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunannya, jangka
waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20
tahun.
Terjadinya Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 37 Undang-
Undang Pokok Agraria, pada pasal ini terdapat dua macam tanah
yang dapat dijadikan objek Hak Guna Bangunan, yaitu:
(1) Tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
Dalam hal ini berarti tidak ada pihak lain yang menguasai
tanah tersebut selain Negara seperti apa yang tercantum dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
(2) Mengenai Hak Milik
Mengenai Hak Guna Bangunan dijadikan Hak Milik bisa
terjadi karena:
31
(a) Perjanjian, dalam hal ini Hak Guna Bangunan berubah
menjadi Hak Milik disebabkan waktu berakhir;
(b) Pemilik melepaskan Hak Miliknya dengan mengajukan
Hak Guna Bangunan kepada instansi yang berwenang
yaitu pemerintah pusat kepada Gubernur Kepala Daerah
atau Bupati/ Walikota atas wewenang Kepala Kantor
Pertanahan Daerah.
Sedangkan terjadinya Hak Guna Bangunan menurut Pasal 22
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yaitu:
(1) Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan
keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk;
(2) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan
dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan;
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan
pemberian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Hal ini berarti pemberian atau terjadinya Hak Guna Bangunan
harus dengan penetapan pemerintah.
d) Hak Pakai
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil
dari hasil tanah yang langsung dikuasai oleh Negara atau milik
orang lain yang member wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan
perjanjian penggolongan tanah.
Menurut Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, Hak
Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/ atau memungut hasil
32
dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik
orang lain, yang member wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undnag ini.
e) Hak Sewa untuk Bangunan
Dalam hal ini diatur dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang
Pokok Agraria bahwa seseorang atau suatu badan hukum yang
mempunyai Hak Sewa atas tanah, apabila ia berhak
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan,
dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sewa.
f) Hak Pengelolaan
Hak Pengelolan berisi wewenang untuk merencanakan peruntukan
dan penggunaan tanah yang bersangkutan, menggunakan tanah
tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya, menyerahkan
bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut
persyaratan yang sudah ditentukan oleh perusahaan pemegang hak.
2) Hak atas tanah bersifat sementara
Seperti yang tercantum dalam Pasal 53 UUPA:
a) Hak Gadai
Hak Gadai merupakan hubungan antara seseorang dengan tanah milik
orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang
gadai itu belum dikembalikan maka tanah yang bersangkutan dikuasai
oleh pihak yang memberi uang (pihak yang disebut “pemegang
gadai”). Selama itu pemegang gadai berwenag untuk mempergunakan
atau mengambil manfaat dari tanah tersebut.
33
b) Hak Usaha Bagi Hasil
Di seluruh Indonesia sering terjadi bahwa seorang pemilik tanah
menyuruh orang lain mengerjakan tanahnya itu dengan perjanjian
bahwa hasil kotor dari penghasilan tanah itu akan di bagi antara
pemilik dan pekerja atau penggarap tanah. Perjanjian membagi
hasil semacam ini lazim kita jumpai di tanah-tanah dengan hak
milik perseorangan, Hak Milik Komunal.
c) Hak Menumpang
Sejenis Hak Pakai atau mempunyai bangunan di atas tanah milik
orang lain.
d) Hak Sewa Tanah Pertanian
Sewa menyewa tanah ini yang disebut ngedol tahunan terjadi baik
dengan pembayaran uang maupun dengan hasil bumi. Untuk
terjadinya sewa menyewa tanah ini diperlukan penyedian tanah.
Disini penggarap atau pekerja menikmati hasil dari tanah orang
lain yang digarapnya, setelah itu ia lalu membayar sejumlah uang
tertentu kepada pemilik tanah yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Tinjauan Umum Mengenai Konversi Hak Opstal
Hak Opstal menurut Pasal 711 B.W (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata), hak numpang karang (recht van opstal) adalah suatu hak kebendaan
untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman di atas
perkarangan orang lain.
Hak Opstal adalah suatu hak kebendaan (zakelijk recht) untuk
mempunyai rumah-rumah, bangunan-bangunan dan tanaman diatas tanah milik
orang lain (Eddy Rukhiyat. 1999:30).
Hak Opstal untuk perumahan yang sejak berlakunya UUPA sejak saat
itu menjadi Hak Guna Bangunan yang tersebut dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA
34
yang berlangsung selama sisa waktu Hak Opstal tersebut tetapi selama-
lamanya 20 tahun. Untuk mengkonversi Hak Opstal tersebut Opstaller pada
tanggal 24 September 1960 harus memenuhi persyaratan yang ditentukan pada
Pasal 36 ayat (1) dan (2) yaitu:
1. Warganegara tunggal;
2. Apabila dimiliki Badan Hukum, maka Badan Hukum didirikan
berdasarkan hukum Indonesia dan berada di Indonesia;
3. Pihak ketiga. Memperoleh hak karena orang atau badan hukum dalam ayat
1 melepaskan atau mengalihkan hak tersebut dalam jangka waktu 1 tahun.
Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan tidak dilaksanakan
maka hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan bahwa hak-hak
pihak ketiga akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan Pemerintah.
Apabila Hak Opstal tersebut tidak didaftarkan pada tanggal 24
September 1960 dan tidak memenuhi persyaratan untuk dijadikan Hak Guna
Bangunan berdasarkan Ketentuan Konversi UUPA Pasal V maka Hak Opstal
tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Mengenai
penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah akan diatur dengan peraturan
sendiri yaitu Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang tentang
Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah
Asal Konversi Hak-Hak Barat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3
Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Permohonan Dan Pemberian Hak
Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Adapun hak dan kewajiban
dari pemegang Hak Opstal antara lain:
1. membayar canon (uang yang wajib dibayar pemegang hak opstal setiap
tahunnya kepada negara);
2. memelihara tanah opstal itu sebaik-baiknya;
3. opstaller dapat membebani haknya kepada hipotik;
35
4. opstaller dapat membebani tanah itu dengan pembebanan perkarangan
selama opstal itu berjalan;
5. opstaller dapat mengasingkan Hak Opstal itu kepada orang lain (Eddy
Rukhiyat. 1999:29).
Tanah dengan Hak Opstal merupakan salah satu hak atas tanah Hak
Barat disamping Hak Eigendom dan Hak Erfpacht yang mulai berlakunya
UUPA dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan.
Yang dimaksud Konversi adalah perubahan hak lama atas tanah
menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Hak-hak baru
menurut UUPA adalah hak-hak atas tanah dalam Pasal 16 UUPA yaitu Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Konversi hak
atas tanah dibedakan dalam tiga jenis, yaitu:
1. Konversi hak atas tanah berasal dari tanah Hak Barat;
2. Konversi hak atas tanah berasal dari tanah Hak Indonesia;
3. Konversi hak atas tanah berasal dari tanah bekas Swapraja.
Peraturan mengenai konversi tanah Hak Barat selain diatur dalam
Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria juga diatur
dalam:
1. Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan
Beberapa Ketentuan UUPA;
2. Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Penambahan
Ketentuan Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960;
3. Peraturan Menteri Agraria No. 13 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Konversi Hak-hak Eigendom dan Hak-hak lain-lainnya yang aktanya
belum diganti;
4. Peraturan Menteri Agraria No. 7 Tahun 1965 tentang Pedoman
Pelaksanaan Konversi Hak Eigendom Tersebut Dalam Ayat 3 yo Ayat 5
36
Pasal I Ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria yang
Dibebani Dengan Hak Opstal dan Hak Erfpacht untuk Perumahan;
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1970 tentang Penyelesaian
Konversi Hak-hak Barat Menjadi Hak Guna Bangunan dan Hak Guna
Usaha;
6. SK Menteri Dalam Negeri no. Sk. 53/DDA/1970 tentang Perpanjangan
Jangka Waktu Penyelesaian Konversi Hak-hak Barat Menjadi Hak Guna
Bangunan dan Hak Guna Usaha pada PDMN 2 Tahun 1970.
7. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok
Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak-hak Barat;
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-
ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah
Asal Konversi Hak-hak Barat.
Didalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), penguasaan atas
tanah bekas tanah hak opstal diatur dalam Ketentuan-ketentuan Konversi
Pasal V. Penguasaan tanah bekas tanah hak opstal dalam Pasal V
dipergunakan untuk perumahan yang pada mulai berlakunya Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) telah dikonversi haknya menjadi Hak Guna Bangunan
yang berlangsung selama sisa waktu Hak Opstal tersebut tetapi selama-
lamanya 20 tahun.
Hak Opstal untuk perumahan apabila sudah habis waktunya maka
tidak dikonversi karena menurut hukum hak tersebut sudah tidak ada lagi
walaupun belum atau tidak dicatat dalam aktanya. Tetapi dalam praktek
agraria dahulu dapat dijumpai Hak Opstal yang jangka waktunya tidak
ditentukan lazimnya disebut opstal voor onbepaaldetijd atau eeuwigdurende
opstal. Hak-hak tersebut dapat dijumpai pada kota-kota bekas garnizone
Belanda seperti kota Salatiga. Tanah-tanah yang diberikan pada pihak lain
37
tersebut tidak diberikan dengan Hak Eigendom karena sewaktu-waktu apabila
diperlukan maka dapat diperoleh kembali dengan mudah biasanya disertai
syarat bahwa sewaktu-waktu dapat dihentikan dengan tenggang waktu
penghentian 1 tahun. Kalaupun tidak terdapat syarat tersebut Hak Opstal tetap
dapat dihentikan sewaktu-waktu dengan tenggang waktu penghentian 1 tahun
kalau sudah berlangsung selama 30 tahun (Pasal 719 KUHPerdata).
Apabila dijumpai Hak Eigendom tidak dikonversi menjadi Hak Milik
tetapi Hak Guna Bangunan maka menurut Peraturan Menteri Agraria No. 7
Tahun 1965 menyatakan bahwa Hak Eigendom yang dibebani Hak Opstal dan
Hak Erfpacht untuk perumahan jika tidak dapat dikonversi menjadi Hak Milik
maka tidak juga dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan dan akan dinyatakan
hapus. Karena suatu hak atas tanah tidak dapat dibebani suatu hak atas tanah
lainnya yang sama.
Hak Opstal yang membebani Hak Eigendom dikonversi menjadi Hak
Guna Bangunan yang jangka waktunya kurang dari 20 tahun, maka kepada
bekas pemegang hak diberikan Hak Guna Bangunan sejak Hak Guna
Bangunan bekas Hak Opstal tersebut berakhir dan akan berlangsung sampai
tanggal 24 September 1980 sesudah itu dapat diperbaharui kalau syarat-syarat
dipenuhi. Untuk memperoleh Hak Guna Bangunan tersebut bekas pemegang
hak dapat datang ke Kantor Pendaftaran Tanah dengan menunjukkan surat
tanda bukti bekas pemegang hak tanah yang bersangkutan.
Kalau Hak Guna Bangunan bekas Hak Opstal/ Hak Erfpacht jangka
waktunya 20 tahun maka Hak Guna Bangunan yang baru hanya akan
diberikan kepada bekas pemegang hak melalui perpanjangan hak, itupun
setelah hubungannya dengan bekas pemegang Hak Opstal/ Hak Erfpacht
diselesaikan.
Status penguasaan atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) di Kelurahan Bumi Laweyan SurakartaTindak lanjut berhakkah warga Bumi menjadi subjek hak atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) di Kelurahan Bumi Laweyan Surakarta
Peraturan PerUU-an :UUD 1945UUPAUU No. 86 Tahun 1958PP No. 3 Tahun 1946 PP No. 4 Tahun 1946PP No. 14 Tahun 1996PP No. 24 Tahun 1997 Keppres No. 32 Tahun 1979Keppres No. 34 Tahun 2003Perpres No. 10 Tahun 2006Permendagri No. 3 Tahun 1979PMNA No. 3 Tahun 1997PMAN/KBPN No. 3 Tahun 1999PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999
INTERPRETASI
PENERAPAN HUKUM
38
B. Kerangka Pemikiran
39
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Dari kerangka pemikiran ini, penulis ingin memberikan gambaran guna
menjawab perumusan masalah yang telah disebutkan pada awal penulisan hukum
ini. Penguasaan atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) di Bumi, Laweyan oleh
para warga Kampung Baron Cilik dengan PT Perkebunan Nusantara IX
(PERSERO) beserta tindak lanjutnya diinterpretasikan terhadap Peraturan
Perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang
Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Di Indonesia, Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1946 tentang Perusahaan Gula, Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 1946 tentang Perusahaan Perkebunan, Peraturan Pemerintah
Nomor 14 Tahun 1996 tentang Peleburan Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT
Perkebunan XV- XVI dan Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Perkebunan
XVIII menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Perkebunan Nusantara IX,
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah,
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan
Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat,
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979
tentang Ketentuan-Ketentuan Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah
Asal Konversi Hak-Hak Barat, Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
No.24 Tahun 1997, Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan
40
Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah Negara, Peraturan Menteri
Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan, Dari Peraturan Perundang-undangan itu lalu diterapkan ke dalam
penetapan warga Bumi sebagai subjek hak atas tanah bekas Hak Opstal (RVO
222) berdasarkan kriteria dan syarat-syarat pemenuhan asas pendaftaran tanah
dalam permohonan hak baru terhadap tanah dengan status tanah bekas Hak Opstal
(RVO 222), kemudian dibuat kesimpulan mengenai pemberian hak baru dan
pensertifikatan dengan hak milik di Bumi, Laweyan oleh Kantor Pertanahan
Surakarta
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Status Penguasaan Atas Tanah Bekas Hak Opstal Di Kelurahan Bumi,
Laweyan Kota Surakarta
Setelah Hindia Belanda pergi dari Indonesia atau Indonesia merdeka
khusus mengenai perusahaan-perusahaan perkebunan/pertanian milik Belanda
yang ada di Indonesia dalam hal penguasaannya jatuh pada Pemerintah Republik
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1958 tentang Penempatan Perusahaan-Perusahaan Perkebunan/Pertanian Milik
Belanda Dibawah Penguasaan Pemerintah Republik Indonesia yaitu: Semua
perusahaan-perusahaan perkebunan/pertanian milik Belanda seluruhnya dikuasai
oleh Pemerintah Republik Indonesia. Penyelenggaraan penguasaan perusahaan-
perusahaan, pabrik-pabriknya, lembaga penyelidikan di lapangan pertanian serta
organisasi dan perkumpulan dari perusahaan perkebunan/pertanian milik Belanda
itu diserahkan kepada Menteri Pertanian yang bertujuan untuk menjamin
41
kelangsungan produksi perusahaan-perusahaan perkebunan/pertanian tersebut.
Untuk kelancaran pelaksanaan penguasaan perusahaan perkebunan/pertanian
Menteri Pertanian dapat membentuk badan-badan yang dianggap perlu sedangkan
dalam pelaksanaannya biayanya dibebankan kepada penerimaan yang diperoleh
dari penjualan hasil dan dari iuran yang dahulu sudah dibayar oleh perusahaan
perkebunan/ pertanian untuk lembaga penyelidikannya serta untuk kepentingan
perkumpulannya.
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai hasil penelitian dan
pembahasan ini, penulis sajikan alur pemikirannya sebagai berikut:
TANAH RVO 222
UU Nasionalisasi No.86/1958
PMNA/KBPN No.9/1999
Ketentuan konversi:Didaftarkan: Hak baru
Tidak didaftarkan: Tanah Negara
Didaftarkan: Hak BaruTidak didaftarkan: Tanah Negara
Kepres No.32/1979 jo PMDN No.3/1979
UUPA No.5/1960
42
Gambar 2 : Alur Pemikiran
Tanah bekas Hak Barat di Surakarta bermula merupakan tanah milik
Pemerintah Hindia Belanda dengan Nomor 58 tertanggal 22 Desember 1885 atas
nama Firma Dorrepaal And Compagnie de Amsterdam dan pada tanggal 19
Januari 1886 dengan Nomor 2 beralih atas nama Dorrepaalsehe Bank Der
Vorstenlanden de Amsterdam yang kemudian pada tanggal 19 Februari 1936
dengan Nomor 8 beralih atas nama N.V Solosehe Landbouw Mij gev de Surakarta
Setelah Indonesia merdeka tanah-tanah khususnya yang terdapat di
Surakarta merupakan tanah yang langsung dikuasai oleh Mangkunegaran. Khusus
mengenai tanah-tanah perkebunan yang terdapat di Surakarta merupakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Perusahaan-Perusahaan Negeri Mangkunegaran.
Pada tahun 1946 semua Perusahaan-Perusahaan Negeri Mangkunegaran yang
terbentuk dalam Benda-Benda Milik Negeri Mangkunegaran dengan kekayaannya
diserahkan kekuasaannya pada Negara khususnya pada Kepala Jawatan
Perkebunan pada jaman itu. Hal ini dapat dibuktikan melalui Surat Kuasa
Istimewa yang dikeluarkan pada tanggal 15 Juli 1946 oleh Mangkunegaran ke
VIII yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Daerah Negeri
Mangkunegaran dan selaku Ketua Badan Pengawasan Benda Milik-Milik
Mangkunegaran. Hal ini juga dapat dilihat pada Pertelaan Penyerahan Kekuasaan
Atas Perusahaan Dalam Benda Milik-Milik Mangkunegaran Kepada Pemerintah
Republik Indonesia berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 3 dan Nomor 4 Tahun
1946 yang menyebutkan antara lain:
WARGA Subjek hak atas tanah RVO 222 Permohonan hak milik kepada
Kantor Pertanahan
43
1. Bahwa Kg. Rn. Ma. Tg. Har. Ir Sarsito Mangoenkoesoemo, Pemimpin Umum
dari Perusahaan-Perusahaan Negeri Mangkunegaran yang diberi kuasa oleh
Seri Paduka Mangkoenagero ke VIII dan Badan Pengawasan Benda Milik-
Milik Mangkunegaran menurut Surat Kuasa Istimewa tertanggal 15 Juli 1946
untuk melakukan penyerahan yang akan disebutkan sebagai berikut;
Penguasaan atas Perusahaan Perkebunan Milik Negeri Mangkunegaran dan
Perusahaan-Perusahaan Pekebunan dibawah pengawasan Negeri
Mangkunegaran semuanya lengkap dengan pabrik-pabrik dan mesinnya,
tanah-tanah, alat-alat, bahan-bahan dan tanaman-tanaman yang tersebut dalam
daftar invertaris dari tiap-tiap perusahaan;
2. Bahwa Rn. Ad. Ar. Mohamad Sediono, Kepala Jawatan Perkebunan dari
Menteri Kemakmuran dalam kewajibannya sebagai pengganti Dewan
Pimpinan Pusat Perkebunan Negara;
3. Bahwa Rn. K. Notosoedirdjo, Ketua dari Pimpinan Badan Penyelenggara
Perusahaan Gula Negara (BPPGN) menurut Ketetapan Menteri Pertanian dan
Persediaan tertanggal Jakarta 25 Mei 1946 No.6/ Pk.G serta persetujuan Rn.
Ad. Ar. Mohamad Sediono.
Setelah Mangkunegaran ke VIII menyerahkan seluruh kekuasaan
mengenai Perusahaan Perkebunan Milik Negeri Mangkunegaran dan Perusahaan-
Perusahaan Pekebunan dibawah pengawasan Negeri Mangkunegaran kepada
Negara kemudian Negara melakukan pengesahan mengenai perusahaan
perkebunan Negara. Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 1946 tentang Perusahaan Perkebunan Pasal 2, yaitu:
“Untuk menjalankan perusahaan perkebunan di Jawa dan Madura dan dilain-lain daerah yang ditentukan oleh Menteri Pertanian dan Persediaan masing-masing didirikan satu Badan Pemerintah yang bekerja sebagai Badan Hukum dengan modal yang terpisah dari keuntungan biasa dan menurut peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan Persedian. Badan itu dinamakan “Pusat Perkebunan Negara …..” dengan disebut nama daerah yang berkedudukan
44
dibelakangnya. Tempat kedudukannya ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan Persediaan.”
Pusat Perkebunan Negara (PPN) dari tiap-tiap daerah dipimpin oleh suatu
dewan pimpinan yang terdiri dari satu (1) ketua dan dua (2) anggota. Pimpinan
perusahan tersebut ditunjuk oleh Menteri Pertanian dan Persedian pada jaman itu.
Dewan pimpinan yang diajukkan oleh buruh dari perusahaan perkebunan tersebut
harus dari kalangan buruh yang ahli dalam perusahan perkebunan baik itu dalam
perekonomian, keuanggan maupun kesosialan.
Dewan Pimpinan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian dan Persedian
tersebut bekerja dibawah pengawasan Jawatan Perkebunan dari Menteri Pertanian
dan Persediaan di Jawa dan Madura dengan pembatasan Inspektur Perkebunan
menurut Peraturan dalam Ketetapan Menteri Kemakmuran tanggal 15 Maret 1946
Nomor 295 dengan mengingat tambahan-tambahan yang dianggap perlu oleh
Menteri Pertanian dan Persediaan yang menetapkan antara lain:
Bahwa urusan perkebunan dipusatkan dikantor-kantor Inspeksi
perkebunan yang dikepalai oleh seorang Inspektur Perkebunan dan bekerja
langsung dibawah Jawatan Perkebunan dan masing-masing dibantu oleh Dewan
Pengawasan yang anggotanya sebagian ditunjuk oleh Badan Pekerja dan Badan
Perwakilan Rakyat dan sebagai wakil dari wakil buruh dengan diketuai oleh
Kepala Daerah atau pegawai negeri sebagai wakilnya. Berhubungan dengan ini
Jawa dan Madura berdasarkan pada banyaknya kebun-kebun dalam tiap-tiap
daerah dibagi menjadi lima (5) daerah inspeksi, yaitu:
1. Daerah I Karesidenan Jakarta dan Banten;
2. Daerah II Karesidenan Bogor;
3. Daerah III Karesidenan Priangan dan Cirebon;
4. Daerah IV Karesidenan Jawa Tengah;
5. Daerah V Karesidenan Jawa Timur.
45
Adapun kewajiban dari Inspektur Perkebunan yaitu menjalankan segala
kewajiban Dewan Pimpinan Pusat Perkebunan Negara (PPN) dalam daerah
inspeksinya. Susunan dari kantor dan pegawai dari Inspektur Perkebunan itu
sendiri yaitu:
1. Untuk kantor inspeksi Inspektur Perkebunan dapat menggunakan kantor
cabang Gunsaikanba Saibai Kigyoo Rengoekai dan kantor-kantor Kaisha;
2. Untuk pegawainya sendiri inspeksi Inspektur Perkebunan dapat merubah
susunannya sesuai dengan kebutuhan yang ada ditempat kedudukannya.
Susunan pegawai harus sesuai dengan batas-batas keuangan yang ditetapkan
oleh Kementerian.
3. Dalam kantor inspeksi akan dijadikan pusat semua urusan perkebunan yang
pengawasannya dipimpin oleh Inspektur Perkebunan. Dan untuk setiap
perkebunan harus melakukan pembukuan sendiri.
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1946 tentang
Perusahaan Gula yaitu:
“Untuk menjalankan perusahaan-perusahaan gula didirikan satu badan pemerintah yang bekerja sebagai Badan Hukum dengan modal yang terpisah dari keuangan biasa dengan anggaran dasar yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan Persediaan. Badan itu dinamakan Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN) dan berkedudukan di Solo.”
Sama halnya dengan Pusat Perusahaan Perkebunan (PPN) dalam hal
kepemimpinannya Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN)
dipimpin oleh satu (1) Dewan Pimpinan yang terdiri dari satu (1) ketua dan dua
(2) anggota yang diangkat oleh Menteri Pertaniaan dan Persediaan dan oleh
kalangan yang ahli. Dewan Pimpinan tersebut bekerja dibawah pengawasan dan
dibantu oleh satu (1) Badan Pengawas yang terdiri dari tujuh (7) orang anggota
yang diangkat oleh Menteri Pertanian dan Persediaan. Dari ketujuh (7) orang yang
46
diangkat tersebut merupakan orang-orang ynag ahli dalam bidangnya terutama
mengenai lapangan perusahaan gula.
Antara perusahaan-perusahaan perkebunan yang dikuasai oleh Pusat
Perkebunan Negara (PPN) dan Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara
(BPPGN) maka masuklah:
1. Perusahaan-perusahaan perkebunan milik negara tergabung dalam Kantor
Perusahaan Perkebunan Pemerintah (KPPP) dalam jaman Belanda bernama
“N.V Solosehe Landbouw Mij gev de Surakarta” yaitu tiga (3) perusahaan
perkebunan di Jawa, empat (4) perusahaan perkebunan di Sumatera dan satu
(1) perusahaan perkebunan di Maluku;
2. Perusahaan-perusahaan perkebunan tergabung dalam Kantor Perusahaan
Nasional Surakarta (PNS), yaitu:
a. Tiga (3) pabrik gula ( dua (2) perusahaan Mangkunegaran dan satu (1)
perusahaan Kasunanan);
b. Enam (6) perusahaan perkebunan selain gula ( tiga (3) perusahaan
Mangkunegaran dan tiga (3) perusahaan Kasunanan);
c. Perusahaan-perusahaan yang didirikan dari reserve (uang cadangan)
perusahaan Mankunegaran yang tersebut dalam huruf a dan b.
Perusahaan-perusahaan perkebunan milik Negara yang tergabung dalam
Kantor Perusahaan Perkebunan Pemerintah (KPP) dengan sendirinya menjadi
milik Republik Indonesia sedangkan perusahaan-perusahaan perkebunan yang
tergabung dalam Kantor Perusahaan Nasional Surakarta (PNS) secara de facto
dikuasai oleh Republik Indonesia. Oleh karena itu untuk mencapai efficiency yang lebih baik dan
mencurahkan lebih besar tenaga untuk menyelenggarakan pembangunan pada
perusahaan-perusahaan perkebunan tersebut maka dianggap perlu
47
menggabungkan perusahaan-perusahaan tersebut dalam satu (1) organisasi di
bawah satu (1) kantor yang dinamakan Kantor Urusan Perusahaan sedangkan
Kantor Perusahaan Perkebunan Pemerintah (KPP) dan Kantor Perusahaan
Nasional Surakarta (PNS) dihapuskan. Perusahaan Perkebunan Republik
Indonesia (PPRI) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1947
tentang Kantor Urusan Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia Pasal 1, yaitu:
Ayat 1: “Perusahaan-perusahaan perkebunan milik Negara dan perusahaan-perusahaan perkebunan bukan milik bangsa asing yang dikuasai oleh Negara terhitung perusahaan-perusahaan bukan perkebunan yang didirikan dari kekayaan atau uang reservenya perusahaan-perusahaan itu yang tersebut dalam daftar terlampir pada peraturan ini diurus dan diselenggarakan oleh satu (1) kantor yang dinamakan “Kantor Urusan Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia”, selanjutnya disingkat PPRI.”
Ayat 2: “Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI) menguasai kekayaan dan hasil dari perusahaan-perusahaaan tersebut diatas.”
Ayat 3: “Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI) berkedudukan di Surakarta.”
Pegawai Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia terdiri dari Pegawai
Negeri yang dipekerjakan pada Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia
(PPRI) dan pegawai lainnya yang digaji menurut Peraturan Gaji Pegawai
Perkebunan atau dengan perjanjian. Dalam urusannya Perusahaan Perkebunan
Republik Indonesia dikepalai oleh seorang Direktur yang dibantu oleh dua (2)
orang ahli, yaitu:
1. Kepala perusahaan-perusahaan gula PPRI (Perusahaan Perkebunan Republik
Indonesia) yang menjabat sebagai Wakil Direktur;
2. Kepala urusan perkebunan selain gula (ahli cultuur bechniek).
Direktur dan Dewan Pimpinan akan diawasi dan dibantu oleh Badan
Pengawas yang terdiri dari:
48
1. Kepala Jawatan Perkebunan sebagai Ketua;
2. Ketua Dewan Pimpinan Badan Penyelengraan Perusahaan Gula Negara
(BPPGN);
3. Ketua Dewan pimpinan Pusat Perusahaan Perkebunan (PPN);
4. Kepala Bank Rakyat Surakarta;
5. Seorang Wakil Buruh Gula;
6. Seorang Wakil Buruh Perkebunan selain Gula;
7. Seorang Wakil Tani;
8. Lain-lain orang yang dipandang perlu oleh Menteri Kemakmuran.
Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI) bekerja sebagai
perusahaan yang mandiri berdiri sendiri. Keuangannya dimasukkan kedalam kas
Negara sebagai pendapatan Negara.
Keberadaan kantor urusan Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia
(PPRI) tidak berlangsung lama karena pada tahun 1960 Pemerintah RI
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1960 tentang Pembubaran
Kantor Urusan Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia Termaksud Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1947. Hal ini dimaksudkan untuk
melaksanakan usaha pemerintah dalam mencapai keseragaman dan sinkronisasi
dalam penyelenggaraan perusahaan-perusahaan Negara dalam rangka ekonomi
terpimpin di Indonesia. Sebagaimana diketahui maka di bidang perusahaan
perkebunan Negara terdapat tiga (3) organisasi yang menyelenggarakan
perusahaan perkebunan yang dikuasai oleh Negara, yaitu: PPN (Pusat Perkebunan
Negara), PPN Baru (Perusahaan Perkebunan Negara Baru) serta Kantor Urusan
Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI).
49
Sebelum dibentuk perusahaan perkebunan Negara menurut Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960, perlu terlebih
dahulu menggabungkan perusahaan-perusahaan PPRI kedalam penguasaan PPN
Baru untuk mencapai kesatuan penyelenggaraan perusahaan dalam rangka
reorganisasi alat-alat produksi yang dikuasai oleh Pemerintah. Ketentuan ini dapat
dilihat dalamPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1960 Pasal 28, yaitu:
Ayat (1): “Dengan Peraturan Pemerintah dibentuk gabungan perusahaan yang sejenis yang dapat terdiri dari:
a) Perusahaan Negara;b) Perusahaan Swatantra;c) Perusahaan Swasta.
Ayat (2): “Perusahaan yang digabungkan kedalam satu (1) jenis ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 15 November
1960 No. 10189/Sk/M terhitung mulai tanggal 1 Desember 1960 Direksi PPRI
diserahkan pada PPN Baru dengan catatan:
1. Bahwa timbang terima antara Direktur lama dari PPRI dan Direksi baru
dilakukan pada tanggal 30 November 1960;
2. Bahwa PPN Baru harus menerima PPRI sebagaimana keadaannya pada
tanggal 1 Desember 1960;
3. Bahwa Direktur lama tetap bertanggung jawab atas jalannya pengurusan
(management) sampai tanggal 30 November 1960 dan supaya menyelesaikan
hal-hal yang diperlukan untuk penyerahan penyelenggaraan Direksi secara
materiil dalam waktu satu (1) bulan terhitung dari tanggal 30 November 1960. Setelah dibentuknya perusahan perkebunan Negara menurut Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960 maka mengenai
pendiriannya dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1968
50
tentang Pendirian Perusahaan Negara Perkebunan (Aneka Tanaman Negara),
yaitu: untuk perkebunan-perkebunan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah
ini didirikan oleh suatu Perusahaan Negara termaksud pada Pasal 3 ayat (1) yaitu:
“Bahwa Perusahaan Negara yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah atas
kuasa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Menurut Undang-
Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 Perusahaan Negara dimaksud merupakan
badan hukum yang kedudukannya diperoleh dari Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 1968 yang kemudian bernama Perusahaan Negara Perkebunan.
Perkebunan-perkebunan yang tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini
beserta hak dan kewajiban kekayaannya dan perlengkapan termasuk pegawai,
pekerja serta bagian dari perusahaan tersebut diserahkan/beralih kepada
Perusahaan Negara Perkebunan yang tercantum dalam lampiran Peraturan
Pemerintah ini (Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1968 dapat
dilihat dalam bagian lampiran dari Penelitian Hukum ini). Yang kemudian disebut
sebagai Perusahaan Negara Perkebunan XV.
Perusahaaan Negara Perkebunan XV yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1968 setelah melalui penelitian dan penilaian
sehingga dapat memenuhi ketentuan-ketentuan untuk dialihkan bentuknya
menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1973 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara
Perkebunan XV Menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) Pasal 1, yaitu:
Ayat (1) : “Perusahaan Negara Perkebunan XV yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1968 dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969.”
Ayat (2) : “Dengan Dialihkannya bentuk Perusahaan Negara Perkebunan XV menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, Perusahaan Negara Perkebunan XV dinyatakan bubar pada saat pendirian Perusahaan Perseroan (PERSERO) tersebut.”
51
Ayat (3) : “Sebagai likuidatur dalam pelaksanaan pembubaran Perusahaan Negara Perkebunan XV sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) Pasal ini ditunjuk suatu tim/ panitia yang susunan anggotanya terdiri dari dua (2) orang wakil dari Departemen Pertanian, seorang selaku Ketua dan seoang selaku anggota; seorang wakil dari Departemen Keuangan selaku Wakil Ketua; seorang wakil dari Perusahaan Negara Perkebunan XV selaku Sekretaris dan seorang wakil dari Departemen Kehakiman selaku anggota.”
Dalam pelaksanaan pendirian Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang
dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah ini dilakukan menurut ketentuan-
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan menurut Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1971 serta Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 Jo
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1972. Masalah penyelesaian pendirian
Perusahaan Perseroan (PERSERO) ini oleh Pemerintah diserahkan kepada
Menteri Keuangan dan Menteri Keuangan dengan hak subsitusinya dapat
menyerahkan kekuasannya kepada Menteri Pertanian dengan ketentuan bahwa
Rancangan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (PERSERO) tersebut harus
mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. Setelah mengalami pergantiann nama, peralihan kedudukan,
penggabungan nama sampai akhirnya pemerintah memutuskan untuk melakukan
peleburan perusahaan perkebunan negara. Hal ini dapat dilihat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1996 tentang Peleburan Perusahaan Perseroan
(PERSERO) PT Perkebunan XV- XVI dan Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT
Perkebunan XVIII menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Perkebunan
Nusantara IX.
Pemerintah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas Badan-
badan Usaha Milik Negara di lingkungan Departemen Pertanian maka melakukan
peleburan antara Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Perkebunan XV- XVI dan
Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Perkebunan XVIII kedalam satu (1)
Perusahaan Perseroan (PERSERO) baru dengan nama Perusahaan Perseroan
(PERSERO) PT Perkebunan Nusantara IX yang kemudian menganggap
52
Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Perkebunan XV- XVI dan Perusahaan
Perseroan (PERSERO) PT Perkebunan XVIII bubar dengan menyatakan seluruh
hak dan kewajiban dan kekayaan serta karyawan beralih kepada PT Perkebunan
Nusantara IX (PERSERO) tetapi tidak termasuk seluruh hak dan kewajiban,
kekayaan serta karyawan Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Perkebunan
XVIII dalam proyek pengembangan di Propinsi Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah. Pelaksanan peleburan dari Perusahaan Perseroan
(PERSERO) PT Perkebunan XV- XVI dan Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT
Perkebunan XVIII menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Perkebunan
Nusantara IX dilakukan oleh Menteri Keuangan dan dapat menyerahkan
kekuasaan kepada Menteri Pertanian karena Menteri Keuangan memiliki Hak
Substitusi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
mengenai Rancangan Anggaran Dasar PT Perkebunan Nusantara IX (PERSERO)
harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan sedangkan pelaksanaan
pendiriannya dari PT Perkebunan Nusantara IX (PERSERO) itu sendiri
didasarkan menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 1969 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1972 dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Kekayaan (modal) yang dimiliki PT Perkebunan Nusantara IX
(PERSERO) berasal dari seluruh kekayaan Negara Republik Indonesia yang
tertanam dalam Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Perkebunan XV- XVI
termasuk bekas pabrik karung Delanggu dan Perusahaan Perseroan (PERSERO)
PT Perkebunan XVIII setelah dikurang dengan jumlah dana yang akan
dipergunakan dalam rangka pendirian Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT
Perkebunan Nusantara XIII dan dikurangi dengan kekayaan Negara yang tertanam
dalam Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Perkebunan XVIII yang digunakan
untuk proyek pengembangan di Propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan
53
Tengah. Besarnya modal PT Perkebunan Nusantara IX (PERSERO) dan dana
ynag akan dipergunakan untuk pendirian Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT
Perkebunan Nusantara XIII ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan
perhitungan bersama dengan Departemen Keuangan dan Departemen Pertanian
dan dalam penyusunan neraca pembukuan PT Perkebunan Nusantara IX
(PERSERO) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Adapun maksud dan tujuan dari didirikannya PT Perkebunan Nusantara IX
(PERSERO) antara lain:
1. Melakukan berbagai usaha di bidang perkebunan;
2. Melakukan usaha-usaha lainnya yang dapat menunjang penyelenggaraan
usaha di bidang perkebunan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku.
Jika menurut Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang
Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Di Indonesia mengenai
perusahaan-perusahaan milik Belanda ynag berada di wilayah Republik Indonesia
yang kemudian akan ditetapkan menurut Peraturan Pemerintah akan mengalami
nasionalisasi yang kemudian perusahaan-perusahaan tersebut akan menjadi aset
Negara Republik Indonesia. Menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik
Belanda yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dimaksudkan dalam rangka
pembangunan ekonomi nasional dan bertanggung jawab memberi manfaat
sebesar-besarnya pada masyarakat Indonesia pada waktu itu. Pemerintah
Indonesia berpendapat bahwa adanya tindakan-tindakan pengambilalihan terhadap
perusahaan-perusahaan milik Belanda merupakan suatu kebijaksanaan
pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan sesuai dengan kebijaksanaan
pokok dalam lapangan perekonomian sebagai yang dirumuskan dalam
Musyawarah Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda (Munap) serta
menuju perekonomian nasional yang sesuai dengan kepribadian dan jiwa bangsa
54
Indonesia. Tindakan nasionalisasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia ini juga
dimaksudkan agar Indonesia ikut mensukseskan politik bebas dilapangan
perekonomian yang nondiskriminasi terhadap negara-negara sahabat dan tidak
memberikan tempat untuk kedudukan yang menentukan kepada salah satu negara.
Di samping itu untuk lebih memperkokoh potensi nasioanl bangsa Indonesia
maupun untuk melikuidasi kekuasaan ekonomi kolonial Belanda. Jadi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-
Perusahaan Milik Belanda Di Indonesia Bahwa dengan Nasionalisasi Perusahaan-
perusahaan milik Belanda/asing maka harta-harta kekayaannya termasuk hak-hak
atas tanah kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu merupakan aset Negara,
hak-hak atas tanah kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu menjadi hapus
karena hukum dan tanahnya menjadi aset Negara.
Mengenai tanah-tanah bekas Hak Barat yang terdapat di Surakarta
khususnya tanah-tanah yang dipergunakan untuk perkebunan merupakan tanah
aset Negara yang dikuasai penuh dan bebas oleh PT Perkebunan Nusantara.
Karena setelah Indonesia merdeka dan sesuai dengan Surat Kuasa Istimewa
tertanggal 15 Juli 1946 penguasaan atas benda-benda milik Mangkunegaran
diserahkan kepada Negara khususnya kepada Kepala Jawatan Perkebunan pada
waktu itu. Berdasarkan riwayat berdirinya PT Perkebunan Nusantara IX
(PERSERO) sejak jaman Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara
(BPPGN) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 dan 4 Tahun 1946
sampai dengan adanya Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang
berada di wilayah Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958
serta sampai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1996
tentang Peleburan Perusahaan Perseroan (PERSERO) Perkebunan XV- XVI dan
Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Perkebunan XVIII menjadi Perusahaan
Perseroan (PERSERO) PT Perkebunan Nusantara IX, tanah-tanah bekas Hak
Barat yang terdapat di Surakarta merupakan tanah yang dikuasai oleh PT
55
Perkebunan Nusantara IX (PERSERO). Khusus mengenai tanah bekas Hak Opstal
(RVO 222) yang berada di Kampung Baron Cilik Kelurahan Bumi Kecamatan
Laweyan Surakarta merupakan tanah aset negara yang oleh Negara kekuasaannya
diserahkan kepada PT Perkebunan Nusantara IX (PERSERO) dan itu merupakan
harta kekayaan yang masuk aset kepunyaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dalam hal ini status penguasaan atas tanah tersebut merupakan tanah ynag
dikuasai secara penuh oleh PT Perkebunan Nusantara IX (PERSERO).
Warga Kampung Baron Cilik Kelurahan Bumi yang sudah menempati
(menguasai secara fisik) tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) sudah puluhan tahun
dan ingin mengajukan permohonan hak atas tanah yang mereka kuasai untuk
mendapatkan kepastian hukumnya kepada Kantor Pertanahan Surakarta sebelum
mendaftarkan tanah tersebut pihak warga harus mendapatkan persetujuan terlebih
dahulu dari pihak PT Perkebunan Nusantara IX (PERSERO) yang merupakan
pemegang hak atas tanah RVO 222 tersebut. Apabila permohonan hak yang
diajukan oleh warga mendapatkan persetujuan dari pihak PT Perkebunan
Nusantara IX (PERSERO) dihadapan Kepala Kantor Pertanahan Surakarta/
notaris maka akan dikeluarkan Surat Pelepasan Hak yang kemudian dengan
adanya permohonan Hak Milik dari pihak warga Baron Cilik maka Surat
Pelepasan Hak Atas Tanah tersebut dapat diajukan ke Kantor Pertanahan sebagai
kelengkapan permohonan haknya, dan selanjutnya oleh Panitia Pemeriksaan
Tanah “A” dilakukan pemeriksaan dan penelitian terhadap berkas-berkas
permohonan baik data fisik maupun data yuridis untuk diterbitkan Surat
Keputusan Pemberian Hak Milik Atas Tanah.
Jika menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-
Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak-Hak Barat dan sebagai tindak lanjut atas Keputusan Presiden
tersebut telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979
tentang Ketentuan-Ketentuan Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah
56
Asal Konversi Hak-Hak Barat. Peraturan ini dikeluarkan dengan tujuan untuk
mengatur akibat-akibat hukum dari ketentuan mengenai tanah bekas Hak Barat
yang akan berakhir masa berlakunya selambat-lambatnya tanggal 24 September
1980 dan setelah itu tanah-tanah tersebut akan dikonversi sesuai peraturan-
peraturan yang mengaturnya dan menentukan hubungan hukum serta penggunaan
peruntukannya lebih lanjut dari tanah-tanah tersebut. Selain itu maksud dari pada
kedua peraturan dimaksud kecuali menegaskan status tanah sebagai tanah yang
langsung dikuasai oleh negara, pada saat berakhirnya hak atas tanah asal konversi
Hak Barat, juga dimaksudkan untuk mengatur kebijaksanaan menyeluruh dalam
rangka penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Bahwa
yang menjadi pokok kebijaksanaan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun
1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru
Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat adalah penegasan kembali tentang
berakhirnya hak atas tanah asal Konversi Hak-hak Barat (yang dikonversi menjadi
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai) pada tanggal 24
September 1980, yang juga merupakan prinsip yang telah digariskan di dalam
UUPA, dengan maksud untuk dapat benar-benar mengakhiri berlakunya sisa hak-
hak Barat atas tanah di Indonesia dengan segala sifat-sifatnya yang tidak sesuai
dengan Pancasila dan UUD 1945, oleh karena itu hak atas tanah asal Konversi
Hak Barat itu tidak akan diperpanjang lagi. Bahwa selanjutnya tanah-tanah asal
Konversi Hak-hak Barat dimaksud sejak 24 September 1980 statusnya menjadi
tanah yang dikuasai negara, dan selanjutnya oleh negara akan diatur kembali
penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah melalui pemberian hak baru.
Dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa “Tanah Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi Hak Barat yang jangka waktunya
akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 pada saat
berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara”. Tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) yang terdapat di Kampung Baron
57
Cilik Kelurahan Bumi menurut peraturan ini merupakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara.
Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa “Tanah-tanah Hak Guna Usaha asal
konversi Hak Barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata
guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukknan untuk
pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat
yang mendudukinya”. Dan dalam Pasal 5 disebutkan bahwa “Tanah-tanah
perkampungan bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Pakai asal konversi Hak
Barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki rakyat akan diberikan
priorotas kepada rakyat yang mendudukinya setelah dipenuhinya persyratan-
persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah”. Tanah
RVO 222 yang berada di Kampung Baron Cilik sebelum penguasaannya oleh
warga merupakan tanah yang dipakai oleh Perusahaan Perkebunan pada jaman
Hindia Belanda sebagai tempat penyimpanan rel-rel kereta yang di pakai untuk
mengangkut hasil panen tebu, akan tetapi setelah Hindia Belanda pergi dari
Indonesia dan pada tahun 1952 tanah tersebut sudah tidak digunakan lagi
(terlantar) dan akhirnya datanglah warga yang menempati tanah tersebut dengan
menjadikan tanah tersebut sebagai tempat pemukiman dan akhirnya menjadi
sebuah perkampungan rakyat hingga sekarang yang menempati tanah tersebut
mencapai + 110 Kepala Keluarga di samping itu di atas tanah tersebut juga telah
berdiri satu tempat ibadah berupa Mushola Nurul Huda.
Ketentuan Keputusan Presiden tersebut juga di pertegas lagi dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan
Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat
mengatur mengenai pelaksanaan dari berakhirnya ketentuan konversi tersebut dan
kebijaksanaan yang perlu diambil.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas, tanah RVO 222 menurut
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 3 Tahun 1979 merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
58
Warga Baron Cilik dapat mengajukan permohonan hak kepada Kantor Pertanahan
Surakarta dengan pertimbangan-pertimbangan di dalam perundangan agraria ynag
berlaku antara lain:
1. keadaan tanah
a. Bahwa status tanah di Kampung Baron Cilik Kelurahan Bumi Kecamatan
Laweyan Kota Surakarta merupakan tanah negara asalnya pernah melekat
suatu hak dan jangka waktunya telah berakhir untuk dimintakan
pembaharuannya;
b. Bahwa di atas tanah itu telah berdiri sebuah bangunan perkampungan.
2. Kepentingan Orang Lain dan Kepentingan Umum
a. Bahwa dalam mengajukan permohonan ini pada saat Panitia Pemeriksaan
Tanah “A” melaksanakan peninjauan di lapangan tidak diterima
keberatan-keberatan dari pihak lain;
b. Bahwa di atas tanah itu tidak terdapat tugu triangulasi;
c. Bahwa mengenai tanah itu tidak terdapat Riool.
3. Peninjauan dari Aspek Pengaturan
a. Bahwa tanah yang dimohon bukan merupakan obyek landreform;
b. Bahwa tanah yang dimohon di atasnya terdapat bangunan rumah tempat
tinggal;
c. Bahwa tanah yang dimohon sampai saat ini dikuasai/digarap oleh
pemohon.
4. Peninjauan dari Aspek Tata Guna Tanah
a. Peruntukan tanah yang dimohonkan berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah merupakan kawasan pemukiman berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor 8 Tahun 1993;
b. Tanah tersebut disarankan dapat dipertimbangkan untuk perumahan.
59
Jika menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960
tentang Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria
mengenai tanah bekas hak Barat dikonversi menjadi hak baru sesuai dengan yang
diatur dalam UUPA. Khusus mengenai tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) dalam
ketentuan konversi Pasal V mengenai hak opstal dan hak erfpacht untuk
perumahan yang mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi Hak Guna
Bangunan yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal tersebut tetapi selama-
lamanya 20 tahun. Tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) di Bumi setelah
berlakunya UUPA tidak pernah didaftarkan kembali oleh bekas pemegang haknya
hal ini dapat dibuktikan dengan adanya akta RVO 222 yang ada dikantor
Pertanahan Surakarta. Oleh karena tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) di Bumi
tidak pernah didaftarkan kembali dan sesuai dengan ketentuan dalam UUPA yang
menyatakan bahwa tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
asal konversi Hak Barat yang akan berakhir jangka waktunya selambat-lambatnya
tanggal 24 September 1980 maka saat berakhirnya hak yang bersangkutan tanah
bekas Hak Opstal (RVO 222) yang berada di Bumi menjadi tanah yang dikuasai
oleh Negara. Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas, tanah bekas Hak Opstal
(RVO 222) berdasarkan UUPA merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara karena setelah berlakunya UUPA tanah bekas RVO 222 tersebut tidak
didaftarkan kepada Kantor Pertanahan untuk dikonversi sesuai yang diatur
didalam UUPA dan warga Baron Cilik dapat dengan langsung mengajukan
permohonan hak milik kepada Kantor Pertanahan Surakarta disertai syarat-syarat
pengajuan permohonan hak sesuai dengan peraturan agraria yang berlaku.
B. Warga Kelurahan Bumi Dapat Dijadikan Sebagai Subjek Hak Atas Tanah
Di Atas Tanah Bekas Hak Opstal (RVO 222)
60
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria menetapkan bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang
dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan Bumi, Air dan Ruang
Angkasa. Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menetapkan bahwa hanya warga negara
Indonesia dan Badan-badan Hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah dapat
mempunyai Hak Milik berdasarkan syarat-syaratnya.
Badan-badan hukum Indonesia juga mempunyai hak-hak tanah di
Indonesia tetapi untuk mempunyai Hak Milik hanya badan-badan hukum yang
ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan
Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, yaitu:
1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara;
2. Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1963;
3. Badan-badan Keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria
setelah mendengar Menteri Agama;
4. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah
mendengar Menteri Sosial.
Dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 9 / 1999 ini, dinyatakan bahwa Hak Milik dapat
diberikan kepada :
1. Warga Negara Indonesia
2. Badan-badan Hukum yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
a. Bank Pemerintah;
b. Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah.
61
Warga Kampung Baron Cilik Kalurahan Bumi Kecamatan Laweyan Kota
Surakarta dapat menjadi subjek hak atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222)
setelah tanah tersebut dilepas oleh pemegang hak sebelumnya dalam hal ini PT
Perkebunan Nusantara IX (PERSERO) melalui Pelepasan Hak. Yang kemudian
diikuti oleh warga Kampung Baron Cilik dengan tidak lupa memperhatikan
kepentingan bekas pemegang hak dalam hal ini pihak Perusahan Perkebunan IX
(PERSERO) maka dapat dibuatkan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah itu (Akta
Pelepasan Hak), dengan mempertimbangkan permohonan hak milik yang
diajukan oleh pihak warga Bumi kemudian surat pelepasan tersebut diajukan ke
Kantor Pertanahan untuk didaftarkan permohonan haknya. Selanjutnya, terhadap
berkas-berkas permohonan yang telah diajukan, dilakukan pemeriksaan dan
penelitian oleh Panitia Pemeriksaan Tanah “A” meliputi data fisik maupun data
yuridis baik di lapangan maupun di kantor dalam rangka penyelesaian
permohonan pemberian hak milik. Pemeriksaan dan penelitian oleh Panitia
Pemeriksaan Tanah “A” dilaksanakan untuk memperoleh kebenaran formal atas
data yuridis dalam rangka pemberian Hak Milik. Mengenai kebenaran materiil
dari warkah / berkas yang diajukan dalam rangka permohonan sepenuhnya
merupakan tanggung jawab pemohon.
Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah,
susunan Panitia Pemeriksaan Tanah “A” terdiri dari :
1. Kepala Seksi Hak-Hak Atas Tanah atau Staf Seksi Hak-Hak Atas Tanah yang
senior dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, sebagai Ketua
merangkap anggota;
2. Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah atau Staf Seksi Pengukuran
dan Pendaftaran yang senior dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya,
sebagai Wakil Ketua merangkap anggota;
62
3. Kepala Seksi atau Staf Seksi Pengaturan Penguasaan Tanah, Kepala Seksi
atau Staf Seksi Penatagunaan Tanah dari Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya dan Kepala Desa/Lurah yang bersangkutan atau aparat
desa/kelurahan yang ditunjuk untuk mewakili, sebagai anggota;
4. Kepala Sub Seksi Pengurusan Hak-Hak Atas Tanah atau Staf Sub Seksi
Pengurusan Hak-Hak Atas Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya,
sebagai Sekretaris merangkap anggota.
Berdasarkan Pasal 4 Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah
ini, Panitia Pemeriksaan Tanah “A” mempunyai tugas sebagai berikut :
1.Mengadakan penelitian terhadap kelengkapan berkas permohonan pemberian
Hak Milik, Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah
Negara dan permohonan pengakuan hak atas tanah;
2.Mengadakan penelitian dan peninjauan fisik atas tanah yang dimohon mengenai
status, riwayat, keadaan tanah, luas, batas tanahnya dan hubungan hukum
antara tanah yang dimohon dengan pemohon serta kepentingan-kepentingan
lainnya;
3.Mengumpulkan data, keterangan/penjelasan dari para pemegang hak atas tanah
yang berbatasan;
4.Menentukan sesuai tidaknya penggunaan tanah tersebut dengan rencana
pembangunan daerah;
5.Memberikan pendapat dan pertimbangan atas permohonan tersebut yang
dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah.
Dari hasil pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data
yuridis baik yang dilakukan oleh Panitia Pemeriksaan Tanah “A” guna
mempertimbangkan pemberian hak atas tanah atas permohonan hak milik yang
diajukan warga Kelurahan Bumi terhadap bidang tanah yang terletak di Kampung
63
Baron Cilik Kalurahan Bumi Kecamatan Laweyan Kota Surakarta, maka Panitia
Pemeriksaan Tanah “A” memberikan kesimpulan, antara lain :
1. Bahwa status tanah di Kampung Baron Cilik, Kalurahan Bumi, Kecamatan
Laweyan Kota Surakarta merupakan tanah negara;
2. Bahwa terhadap permohonan ini pada saat Panitia “A” melaksanakan
peninjauan di lapangan, tidak diterima keberatan-keberatan dari pihak lain;
3. Bahwa tanah yang dimohon bukan merupakan obyek landreform;
4. Bahwa tanah yang dimohon di atasnya terdapat bangunan rumah tempat
tinggal;
5. Bahwa tanah yang dimohon sampai saat ini dikuasai/digarap oleh pemohon;
6. Bahwa terhadap permohonan yang diajukan tersebut dapat diluluskan dengan
Hak Milik, dengan pertimbangan :
a. Status tanah tersebut adalah tanah negara;
b. Bahwa tanah yang dimohon di atasnya terdapat bangunan tempat tinggal;
c. Bahwa tanah yang dimohon bukan merupakan objek landreform;
d. Bahwa tanah yang dimohon sampai saat ini dikuasai / digarap oleh
pemohon;
e. Bahwa terhadap permohonan tersebut dapat diluluskan dengan hak milik
dengan alasan :
1) syarat-syarat teknis administratif pemberian Hak Milik kepada
pemohon telah dipenuhi;
2) Pemohon memenuhi persyaratan yang berlaku sebagaimana dimaksud
dalam UUPA jo. PMDN/KBPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan. Adapun syarat-syarat pemberian hak milik atas tanah
tersebut antara lain:
64
(a) Permohonan diajukan secara tertulis secara massal kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kota Surakarta;
(b) Permohonan tersebut memuat :
(1) Keterangan mengenai identitas Pemohon yaitu
apabila perorangan : nama, umur, kewarganegaraan, tempat
tinggal dan pekerjaannya serta keterangan mengenai
istri/suami dan anaknya yang masih menjadi tanggungannya;
(2) Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi: data fisik dan
data yuridis
data yuridis yaitu : sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat
bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau
tanah yang dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta
PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan
tanah lainnya karena di Kampung Baron Cilik belum pernah
dilakukan pendaftaran tanah maka data yuridisnya diganti
dengan Surat Keterangan Tanah berupa Nomor Tanda Bukti
Kepemilikkan (SPPT PBB)yang dikeluarkan oleh Kelurahan
Bumi, antara lain: warga pemohon hak atas tanah Rt. 01 Rw.
VII berjumlah 32 orang, warga pemohon hak atas tanah Rt. 02
Rw. VII berjumlah 30 orang, warga pemohon hak atas tanah
Rt. 03 Rw. VII berjumlah 23 orang.
data fisik yaitu : luas tanah, letak dan bangunannya.
(c) Surat pernyataan pemohon bermaterai pada tanggal 14 November
2007;
(d) Setelah berkas permohonan tersebut diterima, maka Kepala Kantor
Pertanahan :
(1) memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data
fisik;
65
(2) mencatat dalam formulir isian sesuai ketentuan, memberikan
tanda terima berkas permohonan formulir isian yang
ditentukan;
(3) memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang
diperlukan untuk menyelesaikan permohonan tersebut dengan
rinciannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku.
(e) Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada
Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk
memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum terdaftar
dalam berita acara. Panitia pemeriksaan tanah ”A” memeriksa
permohonan hak selain yang diperiksa sebagaimana dimaksud di
atas dan dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah;
(f) Dalam hal keputusan pemberian hak milik telah dilimpahkan
kepada Kepala Kantor pertanahan, maka setelah
mempertimbangkan pendapat dari Kepala Seksi Hak Atas Tanah
atau pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian Tanah atau Panitia
Pemeriksa Tanah ”A”, Kepala Kantor Pertanahan akan
menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah yang dimohon
atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan
penolakannya;
(g) Dalam hal keputusan pemberian hak tidak dilimpahkan kepada
Kepala Kantor Pertanahan, maka Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada
Kepala Kantor Wilayah disertai dengan pertimbangnnya;
(h) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan
pertimbangan dari Kepala Kantor Pertanahan, Kepala kantor
Wilayah memerintahkan kepada Kepala Bidang Hak Atas Tanah
untuk memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data
66
fisik, dan apabila belum lengkap segera meminta Kepala Kantor
Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya. Kemudian
Kepala Kantor Wilayah menerbitkan Keputusan pemberian hak hak
atas tanah yang dimohon atau penolakan yang disertai dengan
alasan penolakannya;
(i) Dalam hal keputusan pemberian hak tidak dilimpahkan kepada
Kepala Kantor Wilayah, maka Kepala Kantor Wilayah
menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Menteri
disertai pendapat dan pertimbangnnya;
(j) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pertimbangan
tersebut Menteri memerintahkan kepada pejabat yang ditunjuk
untuk memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data
fisik atas tanah yang dimohon dengan memeperhatikan pendapat
dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah, kemudian Menteri
menerbitkan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah yang dimohon
atau penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya;
(k) Keputusan Pemberian Hak atau Keputusan Penolakan disampaikan
kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang
menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.
Dengan diterimanya permohonan Hak Milik, Kantor Pertanahan Kota
Surakarta dapat mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota
Surakarta tentang Pemberian Hak Milik Kepada warga Kampung Baron Cilik
Rt.01, 02, 03 Rw.VII, atas sebidang tanah yang diajukan warga Bumi yang
terletak di Kalurahan Bumi Kecamatan Laweyan Kota Surakarta. Dalam Surat
Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta dapat menyatakan:
1. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta menetapkan pemberian Hak Milik
terhadap tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) kepada warga Bumi:
67
2. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta menghapus daftar umum lainnya
mengenai tanah bekas Hak Opstal (RVO 222):
3. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta memberikan Hak Milik kepada
wagra Bumi Rt.01, 02, 03 Rw VII Kampung Baron Cilik, untuk digunakan
sebagai rumah tempat tinggal dengan ketentuan serta syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Segala akibat, biaya, untung dan rugi yang timbul karena pemberian Hak
Milik ini, maupun tindakan penguasaan atas tanah yang bersangkutan
menjadi tanggung jawab sepenuhnya penerima hak, sesuai ketentuan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
b. Bidang tanah tersebut harus diberi tanda batas sesuai dengan ketentuan
peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta harus dipelihara
keberadaannya.
c. Penerima Hak Milik diwajibkan membayar lunas uang pemasukan kepada
negara melalui bendaharawan khusus / penerimaan Kantor Pertanahan
Kota Surakarta sebesar sesuai yang diatur dalam peraturan Perundang-
undangan yang berlaku.
d. Tanah tersebut harus digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan
peruntukkannya dan sifat serta tujuan dari hak yang diberikan.
e. Mendaftarkan hak atas tanahnya kepada Kantor Pertanahan Kota
Surakarta dengan menyerahkan surat bukti pembayaran Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan bangunan dan surat setoran pajak.
f. Bila ternyata terdapat kekurangan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan bangunan, maka hal tersebut merupakan kewajiban penerima
hak untuk melunasinya.
Dengan didaftarkannya tanah hak milik tersebut, maka sebagai bentuk
penguatan hak oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dibuatkan sertipikat Hak
68
Atas Tanah yang kemudian diberikan pada warga Kampung Baron Cilik Rt.01,
02, 03 Rw.VII Kelurahan Bumi Kecamatan Laweyan Kota Surakarta.
Berdasarkan keterangan-keterangan / uraian-uraian tersebut di atas, dapat
penulis analisa bahwa setelah diketahui status hukum penguasaan hak atas tanah
bekas Hak Opstal (RVO 222) itu merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara karena tanah tersebut setelah berlakunya UUPA tidak pernah didaftarkan
kembali oleh bekas pemegang haknya. Didalam ketentuan konversi UUPA diatur
mengenai hak-hak atas tanah asal konversi yang tidak didaftarkan hingga tanggal
24 September 1980 maka hak atas tanah tersebut langsung dikuasai Negara.
Surat pernyataan tanah yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan
Surakarta yang menyatakan bahwa tanah RVO 222 yang terletak di Bumi
merupakan Tanah Negara tersebut menjadi kelengkapan berkas permohonan yang
merupakan syarat permohonan hak atas Tanah Negara sebagaimana diatur dalam
Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999, antara lain keterangan mengenai tanahnya yang
meliputi data yuridis dan data fisik, yaitu surat-surat pernyataan atas tanah.
Selanjutnya, oleh Panitia Pemeriksaan Tanah “A” dilakukan pemeriksaan dan
penelitian terhadap berkas-berkas permohonan baik data fisik maupun data yuridis
untuk diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Milik Atas Tanah. Setelah
diterbitkan Surat Keputusan, kemudian didaftarkan guna memperoleh Sertipikat
Hak Atas Tanah sebagai bentuk penguatan hak atas tanah agar pemegang hak
dapat dengan mudah membuktikan haknya.
Dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
dinyatakan bahwa “sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan
data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.
69
Dengan adanya pendaftaran tanah yang dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum (rechts cadaster) dan perlindungan hukum bagi pemegang hak
atas tanah atau hak-hak lain yang telah terdaftar, untuk memberi informasi kepada
pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum
mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar, dan untuk terselenggaranya tertib
administrasi pertanahan (Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah) sehingga pemegang hak yang bersangkutan dapat
dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang sempurna
dengan pemberian sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak kepadanya.
Kendati pun demikian, pendaftaran tanah di dalam hukum tanah nasional
kita adalah menganut sistem pendaftaran hak (titles registrations) dengan sistem
publikasi yang bersifat negatif dengan mengandung unsur-unsur positif, hal ini
dibuktikan dengan ciri adanya akta tanah sebagai dasar pendaftaran dan sertifikat
sebagai tanda bukti hak yang merupakan salinan atas buku tanah yang merupakan
buku induk di dalamnya memuat data fisik dan data yuridis bidang tanah
bersangkutan, bukan sistem pendaftaran akta (deeds registrations). Sebagai
konsekuensi terhadap sistem yang dianut UUPA ini maka jaminan kekuatan
hukum atas sertifikat sesuatu hak atas tanah yang diterbitkan adalah mempunyai
kekuatan hukum yang kuat karena merupakan alat pembuktian yang kuat
sepanjang dapat dibuktikan sebaliknya.
Di dalam sistem publikasi negatif ini, Negara tidak menjamin kebenaran
data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk
menggunakan sistem publikasi negatif secara murni. Hal tersebut tampak dari
pernyataan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak
yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat. Selain itu dari ketentuan-
ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan
70
penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertipikat tampak jelas usaha
untuk sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar, karena
pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Sehubungan dengan
itu diadakanlah ketentuan dalam ayat (2) ini. Ketentuan ini bertujuan, pada satu
pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak
untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan
itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam
buku tanah, dengan sertipikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kelemahan sistem publikasi negatif
adalah, bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku
tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang
merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan
menggunakan lembaga acquistieve verjaring atau adverse possession. Hukum
tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga
tersebut, karena hukum adat yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan
sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga
rechtsverwerking. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu
membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain
yang memperolehnya dengan itikat baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut
kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya
hak atas tanah karena diterlantarkan (Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 UUPA)
adalah sesuai dengan lembaga ini. Dengan pengertian demikian, maka apa yang
ditentukan dalam ayat ini bukanlah menciptakan ketentuan hukum baru,
melainkan merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum
adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah
Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkrit dalam penerapan
ketentuan dalam UUPA mengenai penelantaran tanah.
BAB IV
71
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan tentang permasalahan yang penulis
kaji pada bab sebelumnya, bahwa dalam penguasaan suatu tanah bekas Hak
Opstal (RVO 222) yang terjadi di Kelurahan Bumi Surakarta, penulis dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Tanah RVO 222 yang terdapat di Bumi merupakan tanah yang menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Di Indonesia merupakan tanah aset
Negara yang penguasannya diberikan kepada PT Perkebunan Nusantara IX
(PERSERO). Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang
Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah
Asal Konversi Hak-Hak Barat dan sebagai tindak lanjut atas Keputusan
Presiden tersebut telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3
Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Permohonan Dan Pemberian Hak
Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, tanah RVO 222 yang terdapat
di Bumi merupakan tanah yang dikuasai secara penuh dan bebas oleh Negara
dan akan diatur kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah
melalui pemberian hak baru. Selain itu tanah RVO 222 oleh PT Perkebunan
Nusantara IX (PERSERO) setelah berlakunya UUPA tidak pernah didaftarkan
kembali. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dalam Ketentuan-Ketentuan Konversi
Pasal V mengenai tanah bekas hak Opstal untuk perumahan yang sejak
berlakunya UUPA dikonversi menjadi hak guna bangunan yang berlangsung
selama sisa waktu Hak Opstal (RVO 222) tersebut dan tetapi selama-lamanya
20 (dua puluh) tahun. Karena tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) di Bumi
oleh PT Perkebunan Nusantara IX (PERSERO) setelah berlakunya UUPA
tidak didaftarkan kembali selain itu menurut ketentuan konversi UUPA
72
setelah tanggal 24 September 1980 tanah-tanah asal konversi hak-hak barat
status tanahnya menjadi tanah yang dikuasai penuh oleh Negara. Jadi
mengenai tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) di Bumi menurut UUPA
merupakan tanah yang langsung dikuasai oleh Negara.
2. Berdsarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok
Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak-Hak Barat jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun
1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Permohonan Dan Pemberian Hak Baru
Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat maka warga Kampung Baron Cilik
Kalurahan Bumi Kecamatan Laweyan Kota Surakarta dapat menjadi subyek
hak atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) setelah tanah tersebut dilepas
oleh pemegang hak sebelumnya dalam hal ini PT Perkebunan Nusantara IX
(PERSERO) melalui Pelepasan aset.
B. Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, ada beberapa saran-saran
yang ingin penulis sampaikan terkait dengan permasalahan yang penulis kaji.
Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah atau Badan Pertanahan Nasional segera menerbitkan peraturan
mengenai mekanisme pemberian hak terkait dengan kewenangan Kantor
Pertanahan dalam penyelesaian sengketa tanah bekas Hak Barat.
2. Pemerintah Kota Surakarta dan Badan Pertanahan Kota Surakarta segera
memfasilitasi pelepasan aset tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) PT
Perkebunan Nusantara IX (PERSERO) sebagai syarat pemberian Hak Milik
kepada warga Kampung Baron Cilik, Bumi.
DAFTAR PUSTAKA
73
Dari Buku:
Ali Achmad Chomzah. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid 1.
Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
AP. Parlindungan .1986. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria.
Bandung : Alumni.
. 1990. Konversi Hak-Hak Atas Tanah. Bandung: Mandar
Maju.
. 1990. Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah. Bandung:
Mandar Maju.
.1999. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung : Mandar
Maju.
Boedi Harsono. 2002. Hukum Agraria Indonesia,Himpunan Peraturan-
Peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan.
. 2003. Hukum Agraria Indonesia,Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta:
Djambatan.
Eddy Ruchiyat. 1999. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi.
Bandung : Alumni.
Effendy Perangin. 1994 . Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari
Sudut Pandang Praktisi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Peter Mahmud Marzuki. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Soerjono Soekanto. 2006 . Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
74
Sudikno Mertokusumo. 2004. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty.
Dari Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke IV.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-
Perusahaan Milik Belanda Di Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1946 tentang Perusahaan Gula.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1946 tentang Perusahaan Perkebunan.
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1996 tentang Peleburan Perusahaan Perseroan
(PERSERO) PT Perkebunan XV- XVI dan Perusahaan Perseroan
(PERSERO) PT Perkebunan XVIII menjadi Perusahaan Perseroan
(PERSERO) PT Perkebunan Nusantara IX.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok
Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak-Hak Barat.
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-
ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak-hak Barat.
Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.24 Tahun 1997.
75
Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah Negara.
Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan
KAJIAN YURIDIS PENGUASAAN ATAS TANAH BEKAS HAK OPSTAL (RVO 222) DI KELURAHAN BUMI KECAMATAN LAWEYAN KOTA SURAKARTA
Penulisan Hukum(Skripsi)
Disusun dan diajukan untukMelengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
76
OlehRINI SULISTYOWATI
NIM : E.0004263
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN YURIDIS PENGUASAAN ATAS TANAH BEKAS HAK OPSTAL (RVO 222) DI KELURAHAN BUMIKECAMATAN LAWEYAN KOTA SURAKARTA
Disusun oleh :RINI SULISTYOWATI
NIM : E.0004263
77
Disetujui untuk DipertahankanDosen Pembimbing
LEGO KARJOKO, S.H., M.H.NIP. 131 792 948
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)KAJIAN YURIDIS PENGUASAAN ATAS TANAH BEKAS
HAK OPSTAL (RVO 222) DI KELURAHAN BUMIKECAMATAN LAWEYAN KOTA SURAKARTA
Disusun oleh :RINI SULISTYOWATI
NIM : E.0004263
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada :Hari : Kamis Tanggal : 18 September 2008
78
TIM PENGUJI
1. PIUS TRI WAHYUDI, S.H., M.Si :……………………………………Ketua
2. PURWONO SUNGKOWO R, S.H. : ……………………………………Sekretaris
3. LEGO KARJOKO,S.H., M.H : ……………………………………Anggota
MENGETAHUIDekan,
Moh. Jamin, S.H., M.Hum.NIP. 131 570 154
ABSTRAK
Rini Sulistyowati, 2008. KAJIAN YURIDIS PENGUASAAN ATAS TANAH BEKAS HAK OPSTAL (RVO 222) DI KELURAHAN BUMI KECAMATAN LAWEYAN KOTA SURAKARTA, Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai bagaimanakah penguasaan atas tanah bekas hak Opstal (RVO 222) di Kelurahan Bumi Kecamatan Laweyan Kota Surakarta berdasarkan Hukum Tanah Nasional dan apakah warga Kelurahan Bumi Kecamatan Laweyan Kota Surakarta dapat menjadi subyek hak atas tanah bekas hak Opstal (RVO 222).
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif. Data penelitian ini menggunakan bahan hukum. Bahan hukum dikumpulkan dengan dengan teknik studi kepustakaan. Teknik analisis yang digunakan adalah silogisme deduksi dengan metode interpretasi bahasa (gramatikal) dan Interpretasi sistematis, dengan aturan-aturan hukum mengenai pertanahan dipandang sebagai premis mayor, dan premis minornya berupa fakta yuridis, yaitu status penguasaan atas tanah bekas hak Opstal (RVO 222) di Bumi dan warga Bumi
79
dapat menjadi subyek hak atas tanah bekas hak Opstal (RVO 222). Melalui silogisme dapat menarik kesimpulan.
Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa dalam status hukum penguasaan atas tanah bekas hak Opstal (RVO 222) di Baron Cilik, Bumi dapat diketahui dari riwayat singkat berdirinya PT Perkebunan Nusantara IX Surakarta dan dapat diketahui melalui Undang-Undang Nasionalisasi Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Di Indonesia dan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat Jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat yang dapat diterapkan oleh warga Bumi, Laweyan dalam mengajukan permohonan hak milik atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) di Bumi, Laweyan sesuai dengan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan yaitu mengenai syarat mengajukan permohonan hak atas tanah negara, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Jo Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.24 Tahun 1997 .
Implikasi penelitian yaitu berupa rekomendasi bahwa Pemerintah Daerah atau Badan Pertanahan Nasional segera mendata dan mendaftarkan hak-hak atas tanah asal konversi Hak Barat yang belum pernah didaftarkan kembali oleh bekas pemegang hak agar tidak ada saling mengakui hak atas suatu tanah.
MOTTO
Allah SWT memerintahkan kita untuk mau berpikir tentang penciptaan-Nya yang begitu menakjubkan, rumit, dan kompleks. Namun semua itu telah Allah SWT
tundukan untuk kita. Ini sebagai tanda bahwa manusia memiliki kemampuan (dari Allah) untuk menundukan apa yang ada di langit dan di bumi.
Tidak ada waktu yang lebih baik selain sekarang untuk memulai hidup yang baik. Anda tidak perlu untuk menciptakan ulang kehidupan anda di waktu yang sudah
lewat. Mulailah meskipun hanya dengan satu langkah, yang penting anda memulai, jangan ditunda untuk besok.
Kita tidak bisa menjadi bijaksana dengan kebijaksanaan orang lain, tapi kita bisa berpengetahuan dengan pengetahuan orang lain.
80
Michel De Montaigne
Kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil. Berusaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki.
Mahatma Gandhi
Dan barangsiapa yang tidak melaksanakan hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim
(Q.S Al- Maaidah: 47)
Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadamu kebahagiaan di akhirat dan janganlah kamu lupakan nasib kamu di dunia. Dan berbuat baiklah
kepada orang lain sebagaimana Allah SWT telah berbuat baik kepada kamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi karena sesungguhnya Allah SWT tidak
menyukai orang-orang yang melakukan kerusakan. (Q.S Al- Qashash: 77)
Ketahuilah bahwa sesungguhnya wali-wali Allah SWT itu mereka tidak merasai takut dan tidak pula merasai susah. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan
senantiasa bertakwa kepada Allah SWT. (Q.S Yunus: 62-63)
Apa pun tugas hidup anda, lakukan dengan baik. Seseorang semestinya melakukan pekerjaannya sedemikian baik sehingga mereka yang masih hidup, yang sudah mati,
dan yang belum lahir tidak mampu melakukannya lebih baik lagi. –
Orang-orang yang gagal dibagi menjadi dua; yaitu mereka yang berpikir gagal padahal tidak pernah melakukannya, dan mereka yang melakukan kegagalan dan tak
pernah memikirkannya
PERSEMBAHAN
Hasil penulisan ini penulis persembahkan kepada :
Dzat yang Maha Besar, Allah SWTAllah SWT, tempat kumempercayakan segalanyaSubhaanallaah Wal Hamdulillaah Wa Laa Ilaa Ha Illallaah Wallahu Akbar
Pemimpin dunia akhiratku, Rasulullah SAWRasulullah SAW,
81
yang telah menunjukkan jalan terang yang sebenarnyaAsyhadu An Laa Ilaaha Illaallaah Wa Asyhadu Anna Muhammadar
Rasuulullaah
Ayahanda Dwi Sukadi dan Ibunda Muyarni yang selalu mencurahkan kasih sayang dan cintanya serta mendidik penulis untuk selalu tetap di jalan yang benar
Kakakku tersayang, Apung Setyo Margono, yang selalu menjadi orang yang bersedia siap mengantar penulis kemana saja mencari buku-buku yang diperlukan
dalam penulisan hukum ini
Adikku tersayang, Dessy Diah Pratiwi, yang selalu menjadi orang terdekat penulis baik senang, bahagia, sedih maupun duka
Seseorang terkasih, Tono Yulianto, yang selalu bersedia mendengarkan keluh kesah penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini, bersedia memberikan masukan
apabila penulis mengalami kebuntuan, dan yang selalu mensuport penulis agar segera menyelesaikan dengan segara penulisan hukum ini
Semua Sahabatku, Ratih ”Chubby”, Ratri ”Ndol”, Reni ”Mpok Isee”, Dian ”Yance” dan Mas Imam ”Roi”, Yanuar, di SD 05 Kramatjati, SLTP 150 Batu
Tumbuh dan SMAN 48 Pinang Ranti yang telah berbagi kebahagiaan dengan penulis, mengajarkan makna hidup kepada penulis, membagi suka dan duka serta
pengalaman selama di Solo kepada penulis
Teman-temanku, kost Panendran dan Kost Luftansa kalian yang selalu ihklas berteman, makasih ya!
Segenap Civitas Akademika FH UNSCivitas Akademika FH UNS TercintaViva Justisia!!!
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, dzat yang
maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan kesempatan kepada penulis
untuk dapat menyelesaikan penulisan hukum ini, dengan judul ”Kajian Yuridis
82
Penguasaan Atas Tanah Bekas Hak Opstal Di Kelurahan Bumi, Laweyan Kota
Surakarta”.
Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa penulisan hukum ini,
alhamdulilah dapat terselesaikan berkat dukungan dan kerjasama dari banyak pihak.
Oleh karena itu perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih penulis
lewat rangkaian kata-kata ini kepada:
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Sutedjo, S.H., M.M., selaku pembimbing akademik penulis selama
menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing penulis yang penuh
kesabaran membimbing penulis sehingga terwujudnya penulisan hukum ini.
4. Bapak Ir. Suyono, S.H., selaku Kepala Kantor di Kantor Pertanahan Kota
Surakarta, yang memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan
penelitian di Kantor Pertanahan Kota Surakarta.
5. Bapak Radiyanto, S.H., selaku Sub Seksi Sengketa dan Konflik Pertanahan di
Kantor Pertanahan Kota Surakarta, yang dengan penuh kesabaran mengarahkan
dan membantu penulis selama melakukan penelitian di Kantor Pertanahan Kota
Surakarta.
6. Bapak Ari Machkota, S.H., M.Hum., Bapak Moko, S.H., dan Ibu Ir. Sri Kursini
Maruti, selaku Pegawai di Kantor Pertanahan Kota Surakarta yang membantu
penulis selama melakukan penelitian di Kantor Pertanahan Kota Surakarta.
7. Bapak Edi Hartono, S.H. selaku Pegawai di PT. Perkebunan Nusantara IX
Surakarta yang membantu penulis selama melakukan penelitian di PT
Perkebunan Nusantara IX Surakarta.
8. Pihak-pihak di PT. Perkebunan Nusantara IX Surakarta yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, yang telah membantu dan memperlancar proses
penelitian.
83
9. Ayahanda Dwi Sukadi, Ibunda Muyarni, Kakakku Apung Setyo Margono,
Adikku Dessy Diah Pratiwi, Seseorang terkasih Tono Yulianto serta keluarga
besarku terima kasih atas dukungan moril maupun materiil, baik cinta maupun
kasih sayang kepada penulis, yang selalu mengingatkan penulis untuk segera
menyelesaikan penulisan hukum ini sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan hukum ini dengan lancar.
10. Para sahabatku di Fakultas Hukum terutama Ratih, Ratri, Reni, Dian dan Mas
Ro’i yang selalu memberikan pengalaman hidup di Solo pada penulis dan
dukungannya dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.
11. Seluruh dosen dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang selalu mempermudahkan penulis dalam menimba ilmu baik di
kelas maupun di luar kelas di Fakultas Hukum.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
membantu menyelesaikan penulisan hukum ini.
Penulis sadar bahwa dalam penulisan hukum ini, isi substansi masih jauh dari
sempurna. Hal ini karena keterbatasan penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan masukan dan saran yang menunjang kesempurnaan penulisan hukum
ini. Doa penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, agar penulisan
hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi pihak
yang membutuhkan, dengan rendah hati penulis ucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI
Surakarta, Oktober 2008
Penulis
84
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
HALAMAN MOTTO............................................................................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 6
E. Metode Penelitian ........................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan Hukum ........................................................ 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 14
A. Kerangka Teori ............................................................................... 14
1. Tinjauan Umum Mengenai Konsepsi dan Dasar Hukum
Tanah Nasional ......................................................................... 15
a.Konsepsi Hukum Tanah Nasional ......................................... 15
b.Dasar-dasar Hukum Tanah Nasional...................................... 17
2. Tinjauan Umum Mengenai Penguasaan Atas Tanah ................ 28
a.Pengertian Hak Penguasaan Atas Tanah ............................... 28
b.Macam-macam Hak Penguasaan Atas Tanah........................ 29
85
3. Tinjauan Umum Mengenai Konversi Hak Opstal (RVO
222)............................................................................................ 34
B. Kerangka Pemikiran........................................................................ 40
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..................................... 43
A. Status penguasaan atas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) di
Kelurahan Bumi Kecamatan Laweyan Kota Surakarta................... 43
B. Warga Kelurahan Bumi dapat dijadikan sebagai subjek hak atas
tanah diatas tanah bekas Hak Opstal (RVO 222) ........................... 62
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 74
A. Simpulan ....................................................................................... 74
B. Saran ............................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
86
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 40
Gambar 2. Alur Pemikiran ................................................................................... 44
87
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Surat Permohonan Ijin Penelitian Kepada Kantor Pertanahan Kota
Surakarta
Lampiran II Surat Permohonan Ijin Penelitian Kepada PT Perkebunan Nusantara
IX (PERSERO) Kota Surakarta
Lampiran III Surat Keterangan Penelitian dari Kantor Pertanahan Kota Surakarta
Lampiran IV Surat Keterangan Penelitian dari PT Perkebunan Nusantara IX
(PERSERO) Kota Surakarta
Lampiran V Akta RVO 222
Lampiran VI Surat Kuasa Istimewa tertanggal 15 Juli 1946
Lampiran VII Peraturan Pemerintah Nomor 3 dan 4 Tahun 1946
Lampiran VIII Surat Pernyataan PT Perkebunan Nusantara IX (PERSERO)
Lampiran IX Surat Permohonan Hak Atas Tanah Warga Kampung Baron Cilik,
Bumi
Lampiran X Contoh Surat Permohonan Atas Tanah
Lampiran XI Contoh Surat Keterangan Tanah
Lampiran XII Contoh Surat Pernyataan Penguasaan / Penggarapan Tanah
Lampiran XIII Daftar pemohon Hak Milik atas tanah
88