KAJIAN YURIDIS PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK PIDANA …/Kajian... · halaman pengesahan penulisan...
Transcript of KAJIAN YURIDIS PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK PIDANA …/Kajian... · halaman pengesahan penulisan...
KAJIAN YURIDIS PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK
PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN ANAK DIBAWAH
UMUR DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA
Penulisan Hukum
(skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih
Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun Oleh:
DIAN PUSPITANINGRUM
E 0 0 0 5 137
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
HALAMAN PERSETUJUAN
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN YURIDIS PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK PIDANA
PENCURIAN YANG DILAKUKAN ANAK DIBAWAH UMUR
DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA
Disusun oleh:
Dian Puspitaningrum
NIM E0005137
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
R. Ginting, S.H.,M.H. Siti Warsini, S.H., M.H.
NIP. 131 411 015 NIP. 130 814 587
HALAMAN PENGESAHAN
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN YURIDIS PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK PIDANA
PENCURIAN YANG DILAKUKAN ANAK DIBAWAH UMUR
DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA
Disusun oleh:
Dian Puspitaningrum
NIM E0005137
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Senin
Tanggal : 13 Juli 209
TIM PENGUJI
(1) Budi Setiyanto, S.H.MH : (Ketua)
(2) Siti Warsini, S.H., M.H. : (Sekretaris)
(3) R.Ginting, S.H.,M.H. : (Anggota)
Mengetahui :
Dekan
(Moh. Jamin, S.H., M.Hum.) N I P. 1 3 1 5 7 0 1 5 4
MOTTO
Pemimpin besar tidak lahir dari orang-orang yang besar, mereka terlahir karena
memiliki jiwa-jiwa yang besar
(Penulis)
Seorang pemimpin tidak pernah berhenti belajar, sebab berhenti belajar hanya
menghasilkan orang yang merasa sempurna.
(Penulis)
sesungguhnya Allah tidak merubah suatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka diri sendiri.
(QS: Ar-Ra’d: 11)
Jika engkau telah melakukan kesalahan maka cobalah belajar dari kesalahan itu,
kemudian tinggalkanlah kesalahan itu setelah mengambil pelajarannya.
Jangan melakukan kesalahan yang sama!!!
Percayalah bahwa kebahagiaan adalah seperti mawar yang ditanam, tidak
langsung berbunga (begitu ditanam), tapi ia pasti akan tumbuh.
(Penulis)
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini Penulis persembahkan kepada :
1. Allah S.W.T
2. Bapak dan Ibu tersayang
3. Adik kembar (Anggoro & Nugroho)
4. Sahabat-sahabat
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT,yang telah melimpahkan rahmat, taufiq
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum
(Skripsi) dengan lancar. Shalawat serta salam tercurah kepada uswatun khasanah
kita, Nabi Muhammad SAW. Tidak lepas dari rahmat-Nyalah, penulis mampu
menyelesaiakan Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul " KAJIAN YURIDIS
PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG
DILAKUKAN ANAK DIBAWAH UMUR DI PENGADILAN NEGERI
SURAKARTA".
Selama Penulis mengerjakan Penulisan Hukum ini, Penulis menerima
banyak sekali bantuan dan dukungan dari banyak pihak, oleh karena itu Penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberi ijin dan
kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan Skripsi ini.
2. Bapak R. Ginting S.H., M.H., dan Ibu Siti Warsini S.H., M.H.,. selaku
pembimbing skripsi yang telah dengan kesabaran membimbing penulis dan
memberi banyak masukan pada Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
3. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H.,. selaku pembimbing akademik yang telah
dengan kesabaran memberi bimbingan dan motivasi selama menempuh
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Seluruh pihak di Pengadilan Negeri Surakarta yang telah memberikan
bantuan kepada penulis dalam memperoleh data guna penyusunan penulisan
hukum ini.
5. Bapak dan Ibu tersayang, yang selalu memberikan kasih sayang dan doa-doa
tulus bagi putera dan puterinya. Terima kasih atas perhatian, kepercayaan,
dan pelajaran akan arti kehidupan.
6. Adik-adik kembar (Anggoro & Nugroho). Yang selalu memberikan
dukungan dan masukan dalam memandang suatu masalah. Terima kasih
untuk keceriannya selama ini
7. Teman-teman seperjuangan di FOSMI FH 2005: Wiwiek, Farin, Aisyah,
Nunik, Mita, dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu-satu. Terima
kasih untuk ukhuwahnya selama ini.
8. Sahabatku Andhyn, Tanty, Anas, Fitri, Nana, Dina, Recca, Asrini. Terima
kasih atas pertemanan selama ini.
9. Mustika Sari Crew: linggar, Adel, Via, Titis, Rani, Revi, Tisa. Dan mbak-
mbak kos MS old Crew: Mb Ida, Mb Galuh, Mb Riska, Mb. Setyo, Mb
Andini. Terima kasih untuk kenangan yang tak bisa dilupakan.
10. Teman-teman di Fakultas Hukum kakak tingkat, adek tingkat dan teman-
teman seangkatan. Terimakasih semuanya.
11. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat Penulis sebutkan
satu-persatu.
Akhirnya penulis berharap semoga karya yang sederhana ini bisa
bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Surakarta, Juni 2009
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………....
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………….
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………..
HALAMAN MOTTO……………………………………………………..
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………..
KATA PENGANTAR…………………………………………………….
DAFTAR ISI………………………………………………………………
ABSTRAK………………………………………………………………...
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………….....................
B. Perumusan Masalah…………………………………...
C. Tujuan Penelitian……………………………………...
D. Manfaat Penelitian…………………………………….
E. Metode Penelitian……………………………..............
F. Sistematika Penulisan Hukum………………………...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori………………………………………..
a. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
Pencurian……………...…………………………
b. Tinjauan Umum Tentang Anak Dibawah Umur…..
c. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan ....................
B. Kerangka Pemikiran…………………………………...
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan…………………………………………........
B. Saran…………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAK
DIAN PUSPITANINGRUM, E0005137, KAJIAN YURIDIS PEMIDANAAN
TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN ANAK
DI BAWAH UMUR DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA. Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan tindak
pidana pencurian yang dilakukan anak dibawah umur dalam KUHP dan mengenai
kajian yuridis pemidanaan terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan anak
dibawah umur di Pengadilan Negeri Surakarta.
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif sosiologis. Lokasi
penelitian berada di Pengadilan Negeri Surakarta dan Perpustakaan Fakultas
Hukum UNS. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan studi lapangan.
Studi kepustakaan yang digunakan berupa buku-buku, peraturan perundang-
undangan, karangan ilmiah, dokumen-dokumen, makalah. Sedangkan studi
lapangannya menggunakan putusan hakim yang diperoleh dari Pengadilan Negeri
Surakarta. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif, yaitu dengan
mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang
berhubungan dengan masalah dan menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa pengaturan tindak pidana
pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur dalam KUHP yaitu terhadap
anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum sebelum umur 16 (enam belas )
tahun, sanksi yang dikenakan adalah dikembalikan kepada orang tua atau dapat
diserahkan kepada pemerintah. Akan tetapi apabila perbuatan yang dilakukan
merupakan bentuk kejahatan atau pelanggaran maka putusannya menjadi tetap
atau menjatuhkan pidana. Peraturan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena
terdapat peraturan baru mengenai pengaturan terhadap anak yang melakukan
tindak pidana, disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.3
tahun 1997 yaitu batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah
sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dan belum pernah kawin dan saat diajukan ke sidang pengadilan
anakyang bersangkutan melampaui batas umur tersebut tetapi belum mencapai 21
(dua puluh satu) tahun akan tetap diajukan ke sidang pengadilan anak.
Pemidanaan terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan anak di
bawah umur di Pengadilan Negeri Surakarta sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yaitu KUHP dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. Terutama dalam hal penjatuhan pidana pencurian masih
jauh dari maksimal pidana yang dapat dijatuhkan, hal ini sesuai dengan Pasal 26
ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dalam
menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, undang-undang
memberikan kebebasan bagi hakim untuk menentukan berat ringanya pidana yang
akan dijatuhkan antara minimal dan maksimal pidana yang terdapat dalam pasal
yang bersangkutan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Penegakan hukum merupakan
salah satu usaha penting dalam menciptakan tata tertib ketentraman dalam
masyarakat, baik yang bersifat preventif maupun represif setelah terjadinya
pelanggaran hukum. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya Undang-
Undang yang menjadi dasar hukum yang sesuai dengan falsafah negara dan
pandangan hidup bangsa kita. Dengan demikian diharapkan adanya kesatuan
gerak, langkah dan pandangan dalam rangka penegakan hukum, sehingga
dicapai sasaran semaksimal mungkin.
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan
penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sebagai sumber daya manusia bagi
pembangunan nasional, dalam mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas dan mampu memimpin serta melihat kesatuan dan persatuan
bangsa dalam wadah kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Dasar 1945.
Kenakalan anak tetap merupakan persoalan yang aktual, hampir disemua
negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Perhatian terhadap masalah
tersebut telah banyak dicurahkan pemikiran, baik dalam bentuk diskusi-diskusi
maupun dalam seminar-seminar yang telah diadakan oleh organisasi-organisasi
atau instansi-instansi pemerintah yang erat hubungannya dengan masalah ini.
Proses pembinaan anak dapat dimulai dalam suatu kehidupan keluarga yang
damai dan sejahtera lahir dan batin. Pada dasarnya kesejahteraan anak tidak
sama, tergantung dari tingkat kesejahteraan orang tua mereka. Di Indonesia
masih banyak dijumpai anak yang tinggal di daerah kumuh dan diantaranya
harus berjuang mencari nafkah untuk membantu keluarga. Kemiskinan,
pendidikan yang rendah, keluarga yang berantakan dan lingkungan pergaulan
akan mempengaruhi kehidupan atau pertumbuhan seorang anak
(http://www.bawean.net/2008/10/pengadilan-anak.html, 15 April 2009, pukul
13.45 WIB).
Dan hal tersebut diatas merupakan dasar yang melatar belakangi seorang
anak untuk melakukan tindak pidana atau kejahatan. Salah satu contohnya
adalah tindak pidana pencurian yang akhir-akhir ini banyak terjadi, dan yang
menjadi pelaku pencurian tersebut adalah anak. Untuk menghadapi dan
menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu
dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dalam kaitannya dengan anak yang melakukan tindak pidana, bahwa
anak sebagai pelaku adalah anak yang disangka, didakwa, atau dinyatakan
terbukti bersalah melanggar hukum, dan memerlukan perlindungan (Apong
Herlina, 2004:17).
Menurut Undang-Undang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak
nakal dalam Pasal 1 angka 2 mempunyai dua pengertian, yaitu:
1. Anak yang melakukan tindak pidana;
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak.
Terhadap anak yang melakukan tindak pidana ini juga dikenai sanksi pidana.
Berbicara mengenai pemidanaan terhadap anak sering menimbulkan
perdebatan yang ramai dan panjang, karena masalah tersebut mempunyai
konsekuensi yang sangat luas baik menyangkut diri pelaku maupun
masyarakat. Pemidanaan itu mempunyai akibat negatif bagi yang dikenai
pidana. Sehingga dalam penjatuhan pidana terhadap anak hakim harus
menggunakan dasar pertimbangan yang rasional sehingga dapat dipertanggung
jawabkan.
Menjatuhkan pidana terhadap anak dianggap tidak bijak. Akan tetapi juga
ada yang beranggapan bahwa pemidanaan terhadap anak tetap penting
dilakukan, agar sikap buruk anak tidak terus menjadi permanen sampai ia
dewasa. Dan dalam praktek peradilan anak-anak di lapangan hukum pidana,
anak-anak diperlakukan sebagai “orang dewasa kecil”, sehingga seluruh proses
perkaranya kecuali di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan sama dengan
perkara orang dewasa. Perlakuan yang berbeda hanya pada waktu pemeriksaan
di sidang pengadilan, yaitu sesuai dengan Pasal 153 ayat (3) KUHAP bahwa
sidang untuk perkara anak dilakukan secara tertutup dan petugasnya (hakim
dan jaksa) tidak memakai toga. Hal itu terkait dengan kepentingan fisik, mental
dan sosial anak yang bersangkutan.
Selain Pasal 153 ayat (3) KUHAP, pemeriksaan perkara anak juga diatur
dalam Pasal 42 ayat (3) Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
anak, yang menyatakan proses penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib
dirahasiakan. Sehingga semua tindakan penyidik dalam rangka penyidikan
anak wajib dirahasiakan, dan tanpa ada kecualinya.
Di dalam praktek, hukuman yang dijatuhkan kepada anak yang
melakukan tindak pidana pencurian, lebih ringan dibandingkan dengan
hukuman pencurian untuk orang dewasa. Hal ini sudah sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang hanya menentukan pidana bagi anak
adalah ½ (satu per dua) atau setengah dari hukuman orang dewasa. Hukuman
ini dianggap sudah cukup sebagai bentuk pendidikan bagi anak agar tidak
mengulang lagi perbuatan yang sama dikemudian hari, dan tetap dapat
berkembang sebagaimana anak-anak lain seusianya. Karena bagaimanapun
anak-anak adalah masa depan suatu bangsa, sehingga dalam pengambilan
keputusan hakim harus yakin benar bahwa keputusan yang diambil akan dapat
menjadi satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengatur anak
menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga
masyarakat yang bertanggung jawab bagi kehidupan bangsa
(http://bengkuluutara.wordpress.com/2008/05/30/pidana-anak-uu-no-3-tahun-
1997/pengadilan-anak.html, 15 April 2009, pukul 14.00 WIB).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam dan menyajikannya dalam bentuk skripsi dengan judul:
“KAJIAN YURIDIS PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK PIDANA
PENCURIAN YANG DILAKUKAN ANAK DIBAWAH UMUR DI
PENGADILAN NEGERI SURAKARTA”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana yang dilakukan oleh anak
dibawah umur dalam KUHP dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997?
2. Bagaimanakah kajian yuridis pemidanaan yang dilakukan oleh hakim
terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan anak dibawah umur di
Pengadilan Negeri Surakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya,
sehingga untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan dari
suatu penelitian. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif dan
merupakan pernyataan-pernyataan yang hendak dicapai dalam penelitian
tersebut (Soerjono Soekanto, 2006: 118-119).
Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu: tujuan
objektif dan tujuan subjektif. Dalam penelitian ini, tujuan objektif dan subjektif
adalah:
1. Tujuan Objektif
a. Mengetahui pengaturan tindak pidana yang dilakukan oleh anak
dibawah umur dalam KUHP dan Undang-Undang No.3 Tahun
1997.
b. Mengetahui kajian yuridis pemidanaan yang dilakukan oleh hakim
terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan anak dibawah
umur di Pengadilan Negeri Surakarta berdasarkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
2. Tujuan Subjektif
a. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dalam mengkaji
masalah dibidang hukum pidana khususnya mengenai pemidanaan
terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan anak dibawah
umur.
b. Melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di
bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
c. Menerapkan ilmu dan teori-teori ilmu hukum yang telah penulis
peroleh.
D. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi
penulis sendiri maupun bagi masyarakat umum. Adapun manfaat yang
diharapkan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum pidana
pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam kepustakaan tentang pemidanaan terhadap tindak pidana
pencurian yang dilakukan anak dibawah umur.
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan bagi penelitian-
penelitian sejenis.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi dan masukan pada
penelitian berikutnya.
b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai
bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
E. Metode Penelitian
Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Istilah “metodologi” berasal
dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”. Terhadap pengertian metodologi,
biasanya diberikan arti-arti sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 2006: 5-6):
1. Logika dari penelitian ilmiah;
2. Studi terhadap prosedur dan teknik penelitian;
3. Suatu sisitem dari prosedur dan teknik penelitian.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah
penelitian hukum normatif sosiologis, yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier, yang juga menggunakan data-data yang diperoleh dari lapangan
yaitu berupa putusan hakim. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun
secara sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya
dengan masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
Penelitian hukum ini jika dilihat dari sifatnya merupakan penelitian
deskriptif, yang diartikan sebagai suatu prosedur pemecahan masalah yang
diteliti pada saat sekarang berdasakan fakta yang tampak atau sebagaimana
adanya (Soerjono Soekanto, 2006: 43).
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, ada beberapa pendekatan dalam
penelitian hukum. Pendekatan-pendekatan itu antara lain pendekatan
undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif
(comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach)
(Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93).
Dalam penulisan ini, penulis cenderung menggunakan pendekatan
undang-undang (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Dimana pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang sedang ditangani. Sedangkan pendekatan kasus dilakukan
dengan menelaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang
dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini adalah data
sekunder, yaitu data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku hasil penelitian yang berwujud laporan, putusan hakim dan
sebagainya yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji oleh penulis.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ialah sumber data
sekunder, dimana data sekunder tersebut mencakup (Soerjono Soekanto,
2006: 52):
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan terdiri
dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, peraturan perundang-
undangan seperti Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak, dan putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum
tetap.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-
dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku yang
terkait dengan masalah yang dikaji, hasil-hasil penelitian, hasil karya
dari kalangan hukum, jurnal-jurnal hukum dan hasil wawancara
dengan hakim.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen dan studi
lapangan. Teknik ini merupakan teknik pengumpulan data dengan
mempelajari, membaca, dan mencatat buku-buku, literatur, catatan-catatan,
peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel penting dari media
internet dan erat kaitannya dengan pokok-pokok masalah yang digunakan
untuk menyusun penulisan hukum ini dan juga menggunakan data yang
diperoleh dari lapangan yaitu berupa putusan hakim yang kemudian
dikategorikan menurut pengelompokan yang tepat.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penulisan
hukum ini adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan
mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori
yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan
untuk menentukan hasil. Analisis data merupakan langkah selanjutnya
untuk mengolah hasil penelitian.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika dalam penulisan hukum ini merupakan suatau uraian
mengenai susunan dari penulisan itu sendiri yang secara teratur dan terperinci
disusun dalam pembabpan, sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang
jelas tentang apa yang ditulis. Tiap-tiap bab mempunyai hubungan satu sama
lain yang tidak dapat terpisahkan.
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi
penulisan hukum ini, penulis menyajikan sistematika penulisan hukum ini
yang terdiri dari 4 (empat) Bab. Adapun sistematika penulisan hukum ini
adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini Penulis menguraikan dua hal yaitu yang pertama
adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung
didalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan
hukum ini, antara lain: Pertama, Tinjauan Umum Tentang Tindak
Pidana Pencurian diantaranya meliputi: pengertian tindak pidana,
jenis-jenis tindak pidana, pengertian tindak pidana pencurian.
Kedua, Tinjauan Umum Tentang Anak Dibawah Umur
diantaranya meliputi: pengertian anak dibawah umur, hak-hak
anak. Ketiga, Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan diantaranya
meliputi: teori-teori pemidanaan, jenis-jenis kenakalan anak, jenis
pidana terhadap anak. Pembahasan yang kedua mengenai
kerangka pemikiran yang berisikan alur pemikiran yang hendak
ditempuh Penulis, yang dituang kan dalam bentuk skema /bagan.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis menjelaskan mengenai hasil penelitian
yang diperoleh berupa pembahasan tentang pengaturan tindak
pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur dalam KUHP dan
Undang-Undang No. 3 tahun 1997 juga kajian yuridis
pemidanaan yang dilakukan oleh hakim terhadap tindak pidana
pencurian yang dilakukan anak dibawah umur di Pengadilan
Negeri Surakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak.
BAB IV : PENUTUP
Merupakan bagian akhir dari penulisan hukum yang berisi
beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan pembahasan yang
telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
a. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencurian
1) Pengertian Tindak pidana
Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda sering digunakan
dengan istilah strafbaar feit dan istilah delict yang memiliki makna
sama. Dalam bahasa Indonesia, delict diterjemahkan dengan delik saja,
sedangkan terjemahan dari strafbaar feit memiliki beberapa arti dimana
antara satu pendapat dan pendapat yang lain berbeda-beda dan belum
diperoleh kata sepakat antar para sarjana Indonesia.
Menurut Simons dalam bukunya Moeljatno, “Strafbaar feit”
adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang
bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan
yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”.
Sedangkan Van Hamel berpendapat dalam bukunya Moeljatno, bahwa
“Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang
dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan” (Moeljatno,
1993:56).
Menurut Profesor Pompe, strafbaar feit secara teoritis dapat
dirumuskan sebagai:
Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum (P.A.F. Lamintang, 1997:182).
Dari beberapa pengertian tindak pidana diatas, dapat dijabarkan
kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua,
yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Untuk lebih
jelasnya, Lamintang menjabarkan unsur-unsur tersebut sebagai berikut
(Lamintang, 1997: 193-194):
Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada
diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan
termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam
hatinya. Yang termasuk unsur-unsur subjektif antara lain:
a) Kesengajaan atau kelalaian;
b) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti
yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan
menurut Pasal 340 KUHP;
e) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di
dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah
unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan- keadaan, yaitu di
dalam keadaan dimana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan. Yang termasuk unsur-unsur objektif antara lain:
a) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
b) Kualitas dari si pelaku;
c) Kausalitas, yakni hubungan antara pelaku dengan tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
2) Jenis-Jenis Tindak Pidana
Tindak pidana dapat di bedakan atas dasar-dasar tertentu, antara
lain (Adami Chazawi, 2002: 117-133):
a) Menurut sitem KUHP, di bedakan antara kejahatan dan
pelanggaraan. Dasar pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran
adalah bahwa jenis pelanggaran itu lebih ringan dari pada
kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada
pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi
berupa pidana kurungan dan denda. Sedangkan kejahatan lebih di
dominasi dengan ancaman pidana penjara.
b) Menurut cara merumuskannya, di bedakan antara tindak pidana
formil dan tindak pidana materil.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dianggap telah
selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh undang-undang, dan KUHP.
Sedangkan tindak pidana materil adalah tindak pidana yang
dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang
dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang dan KUHP.
c) Menurut bentuk kesalahannya, di bedakan antara tindak pidana
sengaja (doleus delcten) dan tindak pidana kealpaan (culpose
delicten).
Tindak pidana sengaja yaitu tindak pidana yang dalam rumusannya
dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur
kesengajaan. Sedangkan tindak pidana kealpaan adalah tindak
pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur culpa.
d) Menurut macam perbuatannya, di bedakan antara delicta
comissionis dan delicta omissionis.
Delicta comissionis adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa
perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif adalah perbuatan yang
untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota
tubuh orang yang berbuat, dengan berbuat aktif orang melanggar
larangan.
Delicta omissionis adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa
perbuatan pasif (negatif), dimana ada suatu kondisi dan atau
keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban
hukum untuk berbuat tertentu, maka ia telah melakukan tindak
pidana pasif.
e) Menurut sumbernya, dibedakan antara tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat
dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II
dan Buku III KUHP).
Tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat
diluar kodifikasi tersebut.
f) Menurut perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, di
bedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan.
Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya
penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya
pengaduan dari yang berhak.
Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk dapat
dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu
adanya pengaduan dari yang berhak mengajukan pengaduan, yakni
korban atau wakilnya dalam perkara perdata (Pasal 72 KUHP) atau
keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu (Pasal 73 KUHP) atau
orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang
berhak.
g) Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, di
bedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.
Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumuskan
sedemikian rupa, sehingga untuk dipandang selesainya tindak
pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali
perbuatan saja.
Tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan
sedemikan rupa, sehingga dipandang selesainya dan dapat
dipidananya pembuat disyaratkan dilakukan secara berulang-ulang.
Misalnya: Pasal 481 ayat (1) KUHP,dimana perbuatan membeli,
menukar, menerima gadai, menyimpan atau menyembunyikan
barang yang diperoleh dari kejahatan itu dilakukan sebagai
kebiasaan, dimana kebiasaan disini dilakukan secara berulang,
setidaknya dua kali perbuatan.
h) Menurut berat ringannya pidana yang diancamkan, di bedakan
antara tindak pidana ringan dan tindak pidana berat.
Tindak Pidana ringan merupakan tindak pidana yang dampak
kerugiannya tidak besar sehingga ancaman pidananya juga ringan.
Tindak Pidana berat merupakan tindak pidana yang dampak
kerugian yang ditimbulkannya sangat besar sehingga ancaman
pidananya berat.
3) Pengertian Tindak Pidana Pencurian
Dalam Pasal 362 KUHP menerangkan bahwa perbuatan
pencurian adalah ”segala perbuatan mengambil barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum”.
Dari pengertian pencurian menurut Pasal 362 tersebut dapat
diketahui bahwa, kejahatan pencurian merupakan delik yang
dirumuskan secara formal dimana yang dilarang dan diancam dengan
hukuman, dalam hal ini adalah perbuatan yang diartikan ”mengambil”.
Berdasarkan hal tersebut, juga dapat dilihat unsur-unsur yang terdapat
dalam Pasal 362 KUHP. Dalam pasal tersebut terdapat 4 (empat) unsur
yaitu:
a) Barang siapa, yang dimaksud dengan barang siapa ialah ”orang”
subjek hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum;
b) Mengambil barang sesuatu, dengan sengaja mengambil untuk
memiliki atau diperjual belikan;
c) Barang kepunyaan orang lain, mengambil barang yang telah
menjadi hak orang lain;
d) Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
mengambil dengan paksa atau tanpa izin dari pemilik hak barang
tersebut.
Selain dalam Pasal 362, pencurian juga diatur dalam Pasal 363
yang dinamakan dengan pencurian dengan kualifikasi atau pemberatan,
sedangkan dalam Pasal 364 dinamakan dengan pencurian ringan, dan
pasal 365 dinamakan dengan kekerasan.
Pasal 363 yang berbunyi:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: Ke-1. Pencurian ternak; Ke-2. Pencurian pada waktu ada kebakaran , letusan banjir, gempa
bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan atau banyak perang;
Ke-3. Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak.
Ke-4. Pencurian yang dilkukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
Ke-5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melkukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
(2) Jika pencuri yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan ke-5, maka dikenakan pidana paling lama sembilan tahun.
Pasal 364 yang berbunyi:
Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 ke-4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, dikenai, karena pencurian ringan, pidana penjara palinglama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah.
Pasal 365 yang berbunyi:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau ancaman kekerasan,terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun: Ke-1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah
rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan
umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
Ke-2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
Ke-3. jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan.
Ke-4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat. (3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara
paling lama lima belas tahun. (4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebihengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no.1 dan 3.
b. Tinjauan Umum Tentang Anak Dibawah Umur
1) Pengertian Anak Dibawah Umur
Batasan seseorang masih digolongkan dalam usia sebagai anak
di Indonesia sangat beraneka ragam sehingga kadang menimbulkan
kebingungan untuk menentukan seseorang sebagai anak atau bukan.
Hal ini dikarenakan sistem perundang-undangan di Indonesia bersifat
pluralisme sehingga pengertian mengenai anak dibawah umur
mempunyai pengertian dan batasan yang berbeda-beda antar satu
perundang-undangan dengan perundang-undangan yang lain. Berikut
ini uraian mengenai pengertian anak menurut beberapa peraturan
perundang-undangan:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan S. 1931
No.54 (bagi orang dewasa).
Pengertian anak menurut KUHPerdata dicantumkan dalam
Pasal 330 ayat (1) yang menyatakan bahwa ”Orang yang belum
dewasa adalah mereka yang belum mampu mencapai usia 21 tahun
dan tidak lebih dahulu kawin”.
Pengertian dalam Pasal 330 ayat (1) KUHPerdata tersebut
diletakkan sama dengan mereka yang belum dewasa dari seseorang
yang belum mencapai batas usia legitimasi hukum sebagai subyek
hukum seperti yang ditentukan oleh perundang-undangan perdata.
Kedudukan seorang anak akibat belum dewasa menimbulkan hak-
hak yang perlu direalisasikan dengan ketentuan hukum khusus yang
menyangkut hak-hak keperdataan tersebut.
Anak dalam hukum perdata mempunyai kedudukan hukum
yang luas dan majemuk karena tergantung pada peristiwa hukum
yang meletakkan hak-hak anak dalam hubungan dengan lingkungan
hukum, sosial, agama, adat-istiadat dan lain-lain. Kedudukan dan
pengertian anak dalam hukum perdata ini menunjuk pada hak-hak
dan kewajiban anak yang memiliki kekuatan hukum secara formil
maupun materil.
Jadi, yang menjadi inti dari S. 1931 No.54 dan Pasal 330 KUHPer
adalah:
1. Apabila Peraturan Perundang-undangan memakai istilah “belum
dewasa”, maka sekedar mengenai bangsa Indonesia adalah
dimaksudkan segala orang yang belum mencapai umur 21 tahun
atau belum pernah kawin;
2. Apabila perkawinan itu di bubarkan sebelum mulai umur 21
tahun, maka mereka tidak dapat kembali dalam status belum
dewasa;
3. Dalam arti perkawinan adalah tidak termasuk perkawinan
anak-anak.
b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pengertian anak dalam hukum pidana menimbulkan aspek
hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku
menyimpang untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab
yang pada akhirnya anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang
layak. Dimana, pengertian anak dalam KUHP dapat kita ambil
contoh dalam Pasal 45 KUHP, dalam pasal disebutkan bahwa anak
dibawah umur adalah apabila anak tersebut belum mencapai usia 16
(enam belas) tahun.
c) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997
tentang pengadilan anak, terdapat dalam Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1 angka 1 yang menyebutkan “Anak adalah orang yang dalam
perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin”. Anak yang belum dewasa diberi batasan antara 8 tahun
sampai 18 tahun dan juga anak tersebut belum pernah kawin,
apabila seorang anak pernah mengalami perceraian walaupun
belum genap 18 tahun, maka ia tetap dianggap telah dewasa.
d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak disebutkan dalam Bab I Ketentuan
Umum Pasal I angka I bahwa “Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas ) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”.
2) Hak-hak Anak
Hak merupakan sesuatu yang kita miliki sejak lahir untuk
berbuat sesuatu. Sedangkan pengertian hak anak adalah sesuatu
kehendak yang dimiliki anak yang dilengkapi dengan kekuatan dan
yang diberikan oleh sistem hukum atau tertib hukum kepada anak yang
bersangkutan.
Peraturan mengenai hak anak terdapat dalam Bab III Pasal 4
sampai Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak, sebagai berikut:
a) Pasal 4 menyebutkan bahwa:
Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
b) Pasal 5 menyebutkan bahwa:
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
c) Pasal 6 menyebutkan bahwa:
Setiap anak berhak beribadah dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua.
d) Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa:
Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
e) Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa:
Dalam hal karena sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
f) Pasal 8 menyebutkan bahwa:
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.
g) Pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa:
Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka perkembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
h) Pasal 9 ayat (2) menyebutkan bahwa:
Selain hak anak sebagaimana dimasud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
i) Pasal 12 menyebutkan bahwa:
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
j) Pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa:
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,wali, atau
pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi; eksploitasi baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasandan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya.
k) Pasal 16 ayat (3) menyatakan bahwa:
Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dapat dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku danhanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
l) Pasal 17 ayat (1) menyebutkan bahwa:
Setiap anak yang dirampas kekuasaannya berhak untuk: (1) Mendapat perlakuan secara manusiawi dan penempatanya
dipisahkan dari orang dewasa; (2) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara
efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; (3) Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan
anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
m) Pasal 17 ayat (2) menyatakan bahwa:
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
n) Pasal 18 menyebutkan:
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Ruang lingkup yang cukup luas dari masalah perlindungan anak
terlihat dari cukup luas dari masalah perlindungan anak terlihat dari
cukup banyaknya dokumen instrumen internasional yang berkaitan
dengan masalah anak, antara lain:
1. Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak anak tahun 19 24 yang
kemudian dikukuhkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.
1386 (XIV) tanggal 20 November 1959 mengenai ”Declaration of
the Right of the Chil”.
2. Resolusi MU-PBB 40/33 tanggal 29 November 1985 mengenai
“United Nations Standard Minimum Rules for the Administration
of Juvenile Justice”(The Beijing Rules) / SMRJJ;
3. Resolusi MU-PBB 45/12 tanggal 14 Desember 1990 mengenai
“United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile
Delinquency”(The Riyadh Guidelines);
4. Resolusi MU-PBB 45/113 tanggal 14 Desember 1990 mengenai
“United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of
their Liberty”.
Pada tanggal 25 Januari 1990 di New York Amerika Serikat.
Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Konvensi Hak-
hak Anak 1989 (Resolusi MU-PBB 44/25). Selanjutnya pada tanggal
25 Agustus 1990 telah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 36 tahun
1990 tentang ”Pengesahan Convention on the Right of the Child”.
Dengan demikian, dalam upaya melakukan perlindungan anak melalui
hokum pidana seharusnya memperhatikan prinsip-prinsip yang tertuang
dalam Konvensi Hak-hak Anak tersebut, khususnya yang dinyatakan
dalam Artikel 37 dan 40.
Artikel 37 memuat prinsip-prinsip yang dapat dirinci sebagai
berikut:
a. Seorang anak tidak akan dikenai penyiksaan atau pidana dan
tindakan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merencanakan
martabat.
b. Pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup tanpa
kemungkinan memperoleh pelepasan / pembebasan(without
possibility of releas) tidak akan dikenakan kepada anak yang
berusia dibawah 18 tahun.
c. Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara
melawan hukum atau sewenang-wenang.
d. Penangkapan, penahanan dan pidana penjara hanya akan digunakan
sebagai tindakan dalam upaya terakhir dan untuk jangka waktu
yang sangat pendek.
e. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan
secara manusiawi dan dengan menghormati martabatnya sebagai
manusia.
f. Anak yang dirampas kemerdekaannya akan dipisah dari orang
dewasa dan berhak melakukan hubungan atau kontak dengan
keluarganya.
g. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan berhak
memperoleh bantuan hukum, berhak melawan atau menntang dasar
hukum perampasan kemerdekaan atas dirinya di muka pengadilan
atua pejabat lain yang berwenang dan tidak memihak serta berhak
untuk mendapat keputusan yang cepat atau tepat atas tindakan
terhadap dirinya itu.
Artikel 40 memuat prinsip-prinsip yang dapat dirinci sebagai
berikut:
a. Tiap anak yang dituduh, dituntut atau dinyatakan telah melanggar
hukum pidana berhak diperlakukan dengan cara-cara:
1. Yang sesuai dengan kemajuan pemahaman anak tentang
harkat dan martabatnya;
2. Yang memperkuat penghargaan atau penghormatan anak pada
hak-hak asasi dan kebebasan orang lain;
3. Mempertimbangkan usia anak dan keinginan untuk
memajukan / mengembangkan pengintegrasian kembali anak
serta mengembangkan harapan anak akan perannya yang
konstruktif di masyarakat.
b. Tidak seorang anakpun dapat dituduh, dituntut atau dinyatakan
melanggar hukum pidana berdasarkan perbuatan / tidak berbuat
sesuatu yang tidak dilarang oleh hukum nasional maupun
internasional pada saat perbuatan itu dilakukan.
c. Tiap anak yang dituduh atau dituntut telah melanggar hukum pidana,
sekurang-kurangnya memperoleh jaminan-jaminan (hak-hak):
1. Untuk dianggap tidak bersalah sampai terbuka kesalahanya
menurut hukum;
2. Untuk diberitahukan tuduhan-tuduhan atas secara cepat dan
langsung atau melalui orang tua, wali atau kuasa hukumnya;
3. Untuk perkaranya diputus, diadili tanpa penundaan (tidak
berlarut-larut) oleh badan kekuasaan yang berwenang mandiri
dan tidak memihak;
4. Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau pengakuan
bersalah;
5. Apabila dinyatakan telah melanggar hukum pidana keputusan
dan tindakan yang dikenakan kepadanya berhak ditinjau
kembali oleh badan kekuasaan yang lebih tinggi menurut
hukum yang berlaku;
6. Apabila anak tidak memahami bahasa yang digunakan ia
berhak memperoleh bantuan penerjemah secara Cuma-Cuma
(gratis);
7. Kerahasian pribadi privacy nya dihormati atau dihargai secara
penuh pada semua tingkatan pemeriksaan.
d. Negara harus berusaha membentuk hukum prosedur, pejabat yang
berwenang dan lembaga-lembaga yang secara khusus diperuntukan
atau diterapkan kepada anak yang dituduh, dituntut atau dinyatakan
telah melanggar hukum pidana, khususnya:
1. Menetapkan batas usia minimal anak yang dipandang tidak
mampu melakukan pelanggaran hukum pidana;
2. Apabila perlu diambil atau ditempuh tindakan-tindakan
terhadap anak tanpa melalui proses peradilan harus ditetapkan
bahwa hak-hak asasi dan jaminan-jaminan hukum bagi anak
harus sepenuhnya dihormati.
e. Bermacam-macam putusan terhadap anak (antara lain perintah /
tindakan untuk melakukan perawatan / permohonan, bimbingan,
pengawasan, program-program pendidikan dan latihan serta
pembinaan institusional lainnya) harus dapat menjamin bahwa anak
diperlakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan kesejahteraanya
dan seimbang dengan keadaan lingkungan mereka serta
pelanggaran yang dilakukan.
c. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan
1) Teori Pemidanaan
Teori pemidanaan dikelompokkan kedalam tiga golongan besar,
antara lain (Adami Chazawi, 153-162):
a) Teori Absolut
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah
melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Dasar pijakan teori
ini ialah pembalasan, merupakan dasar pembenar dari penjatuhan
penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak
menjatuhkan pidana ialah karena penjahat tersebut telah melakukan
penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum
(pribadi, masyarakat atau negara) yang telah dilindungi. Oleh
karenanya ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan
perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Tindakan
pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah,
yaitu: ditujukan pada penjahatnya (sudut subyektif dari
pembalasan); ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan
dendam di kalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).
b) Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori ini berpangkal pada dasar bahwa pidana ialah alat untuk
menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Pidana adalah
alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar
tata tertib masyarakat dapat terpelihara. Untuk mencapai tujuan
ketertiban masyarakat, maka pidana itu mempunyai tiga macam
sifat, yaitu:
(1) Bersifat menakut-nakuti (afschikking);
(2) Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering);
(3) Bersifat membinasakan onschadelijk maken)’
Sedangkan sifat pencegahannya ada dua macam, yaitu:
(1) Pencegahan umum (general preventie)
(2) Pencegahan khusus (special preventie)
c) Teori Gabungan
Teori ini mendasarkan pidana pada teori pembalasan dan teori
pertahanan tata tertib masyarakat. Teori gabungan ini dapat
dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:
(1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan,tetapi
pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang
perlu dan cukup untukdapat dipertahankannya tata tertib
masyarakat.
(2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak
boleh lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan
terpidana.
2) Jenis-Jenis Kenakalan Anak
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan anak, pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 yang dimaksud
anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur
8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah kawin.
Sedangkan jenis kenakalan anak itu sendiri menurut Undang-
Undang nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak dibagi menjadi
dua, yaitu:
a) Anak yang melakukan tindak pidana, dalam hal ini dapat dipahami
bahwa perbuatan yang dilakukan anak tidak terbatas pada
perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan KUHP saja
melainkan juga melangar peraturan-peraturan di luar KUHP;
b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi
anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
3) Jenis Pidana terhadap anak
Terhadap anak yang menjadi pelaku dari tindak pidana,
pemerintah juga tetap harus memperhatikan hak-haknya mengingat usia
dan status mereka sebagai anak-anak. Dalam Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, seorang anak dapat
dijatuhi hukuman pidana sebagaimana yang berlaku pada orang dewasa
sesuai Pasal 10 KUHP, akan tetapi juga dapat dijatuhi hukuman
tindakan.
Jenis hukuman pidana bagi anak menurut Pasal 23 Undang-
Undang Nomor 3 tahun 1997, yang berbunyi:
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah pidana pokok dan pidana tambahan;
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah: a) pidana penjara; b) Pidana kurungan; c) Pidana denda; dan d) pidana pengawasan. (3) Selain pidana pokok sebagaimana dimasud dengan dalam ayat (2)
terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi;
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Sedangkan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal
menurut Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997, yang
berbunyi:
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah: a) Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; b) Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau c) Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim.
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang
melakukan tindak pidana menurut Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang
No.3 Tahun 1997 adalah paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Apabila anak melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, menurut Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang No. 3 tahun
1997 pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling
lama 10 (sepuluh) tahun.
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal
menurut Pasal 27 Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yaitu paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman
pidana kurungan bagi orang dewasa.
B. Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana Pencurian
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Tindak pidana pencurian dewasa ini tidak hanya dilakukan oleh orang
Pemidanaan
Pidana Pokok dan
Pidana Tambahan
Dewasa Anak
UU No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak
Tindakan yang ditentukan
dalam UU
dewasa saja, melainkan juga dilakukan oleh anak dibawah umur. Terhadap
anak yang melakukan tindak pidana pencurian ini, pemidanaan nya diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam
Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa pemberian pemidanaan terhadap
anak berbeda dengan pemidanaan terhadap orang dewasa, yaitu penjatuhan
pidananya adalah ½ (satu per dua) dari penjatuhan pidana dari orang dewasa.
Terkait dengan pemidanaan yang diberikan terhadap anak yang
melakukan perbuatan pidana, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 telah
mengaturnya dalam Pasal 23 yaitu mengenai pidana yang dapat dijatuhkan
kepada anak nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. Selain Pasal 23,
juga terdapat dalam Pasal 24 mengenai tindakan yang dapat dijatuhkan
terhadap anak nakal.
Berdasarkan hal tersebut penulis mencoba untuk mengetahui
bagaimanakah pengaturan tindak pidana pencurian yang dilakukan anak
dibawah umur dalam KUHP, dan bagaimanakah kajian yuridis pemidanaan
yang dilakukan oleh hakim terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan
anak dibawah umur di Pengadilan Negeri Surakarta sudah sesuai dengan
aturan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang No.3
Tahun 1997.
Pada bab ini penulis akan menyajikan data yang diperoleh selama
melakukan penelitian, data tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan yang
berupa kajian terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai
pengaturan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Mengenai
pengaturan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, penulis secara rinci dan mendalam akan
menguraikan hasil penelitian yang diperoleh.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dijelaskan mengenai
penuntutan terhadap anak yang belum cukup umur, yang terdapat dalam Pasal
45 yang berbunyi:
Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana apapun, yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan salah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana terhadap anak yang melakukan perbuatan yang
melanggar hukum sebelum umur enam belas tahun (16), sanksi yang
dikenakan adalah dikembalikan kepada orang tuanya atau walinya atau
pemeliharanya tanpa pidana apapun. Selain dikembalikan kepada orang tua
dapat pula anak yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana
apapun, apabila perbuatan yang dilakukan merupakan kejahatan atau salah satu
pelanggaran. Serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan salah karena
melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran maka putusannya menjadi
tetap atau menjatuhkan pidana.
Berdasarkan hal tersebut maka tindak pidana yang dilakukan anak
dibawah umur merupakan salah satu bentuk kejahatan sehingga terhadap anak
yang melakukan tindak pidana dapat dikenai sanksi sesuai dengan yang
disebutkan dalam Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Akan tetapi
Pasal 45 KUHP tersebut sudah tidak berlaku lagi karena terdapat peraturan
baru yang mengatur mengenai anak nakal, yaitu terdapat dalam Pasal 4 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 yaitu mengenai batas umur anak
nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8
(delapan ) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas ) tahun dan
belum pernah kawin dan dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas
umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan
setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu ) tahun tetap diajukan kesidang anak..
Dalam penjatuhan pidana di dalam Pasal 47 KUHP mengatur maksimum
pidana pokok terhadap perbuatan pidananya dikurangi sepertiga dan apabila
perbuatan merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas
tahun. Ketentuan tersebut juga sudah tidak berlaku lagi karena dalam Undang-
Undang No. 3 tahun 1997 sudah diatur mengenai pemidanaan bagi anak nakal
yaitu terdapat dalam Pasal 26 Undang-Undang No.3 tahun 1997 yang
menyebutkan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal
paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa, dan apabila anak melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara
yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh ) tahun.
Berlakunya Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak antara
lain telah menetapkan apa yang dimaksud anak, dan Undang-Undang ini
berlaku lexpecialis terhadap KUHP, khususnya berkaitan dengan tindak pidana
yang dilakukan oleh anak. Lahirnya Undang-undang Pengadilan Anak,
nantinya harus menjadi acuan pula dalam perumusan pasal-pasal KUHP baru
berhubungan dengan pidana dan tindakan bagi anak. Dengan demikian tidak
akan terjadi tumpang tindih ataupun saling bertentangan. Pengaturan
mengenai tindak pidana pencurian sendiri diatur dalam Pasal 362 , 363, 364
dan Pasal 365 KUHP, dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang
tersebut sehingga menggunakan KUHP karena dalam hal ini Undang-Undang
No. 3 tahun 1997 tidak mengatur tentang pencurian sehingga menggunakan
KUHP.
B. Kajian Yuridis Pemidanaan Yang Dilakukan Oleh Hakim Terhadap
Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Anak Dibawah Umur Di
Pengadilan Negeri Surakarta Berdasarkan Undang-Udang Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
Untuk menjawab rumusan masalah yang kedua penulis dalam hal ini
menggunakan data-data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu
berupa dua putusan hakim dalam perkara pidana, yaitu:
1. Kasus Pidana Angga Taufik Qurrahman (Putusan Nomor:
213/Pid.B/2008/PN.Ska).
a. Identitas Terdakwa
Nama : Angga Taufik Qurrahman
Umur / tanggal lahir : 15 tahun / 5 Nopember 1993.
Jenis Kelamin : Laki-laki.
Kebangsaan : Indonesia.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Pelajar
Tempat Tinggal : Daratan RT 01 RW 06 Kel. Tohudan Kec.
Colomadu Karanganyar.
b. Pokok Perkara
Bahwa ia terdakwa Angga Taufik Qurrahman, pada hari Sabtu
tanggal 3 Mei 2008 sekitar pukul 00.30 WIB atau setidak-tidaknya
pada suatu waktu lain sekitar bulan Mei tahun 2008 bertempat di
Jl.Ahmad Yani No. 354 RT 01 RW 09 Kerten Kec. Laweyan Kota
Surakarta atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih
termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, telah
melakukan percobaanmengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau
sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya dilakukanoleh orang
yang ada disitu tiada dengan setahunya atau bertentangan dengan
kemauannya orang yang berhak, dan perbuatan terdakwa tidak jadi
sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergabung dari
kemauannya sendiri. Perbuatan tersebut terdakwa lakukan dengan cara
dan keadaan sebagai berikut:
Sebelumnya pada hari Kamis tanggal 1 Mei 2008 Terdakwa bertemu
dengan Eko Saputro ditempat bermain PS di Kleco, terdakwa bersama
Eko Saputro merencanakan untuk mengambil rokok di rumah Saksi
Sishadi dengan tujuan akan digunakan sendiri dan akan dijual, pada
hari berikutnya terdakwa dan Eko Saputro bertemu kembali di tempat
tersebut dan memastikan jam 24.00 WIB bertemu ditempat sampah di
SLB, pada hari jumat sehabis jumatan terdakwa bermain di tempat
Saksi Sishadi sampai pukul 24.00 WIB kemudian terdakwa menemui
Eko Saputro di tempat sampah SLB, Eko Saputro memberikan obeng
kepada terdakwa, selanjutnya terdakwa berangkat menuju rumah Saksi
Sishadi untuk melaksanakan rencananya, sedangkan Eko Saputro
menunggu di tempat tersebut, kemudian mendekati jendela nako dan
mencari kunci roling door yang biasanya diletakkan di tempat tersebut,
terdakwa melihat kunci berada ditempat tersebut, selanjutnya terdakwa
membuka kaca nako dengan tangan kanan dan tangan kiri, terdakwa
masuk mengambil kunci tersebut, kemudian setelah kunci berhasil
diambil, terdakwa membuka pintu rooling door, setelah terbuka
terdakwa kemudian masuk kedalam toko Saksi Sishadi tanpa seijin dan
sepengetahuan pemilik hendak mengambil rokok ditempatnya, tetapi
belum sempat rokok diambil Saksi Sishadi berteriak-teriak memanggil
adiknya yaitu Andi sebanyak tiga kali, karena ketakutan terdakwa
kemudian keluar lewat pintu rooling door kembali dan menutup serta
mengunci kembali pintu rooling door tersebut dan memasukkan kunci
roolong door ke dalam dompet milik terdakwa, Saksi Sishadi mengejar
terdakwa, terdakwa berlari menuju ke Masjid Al-fatah (selatan rumah
Saksi Sishadi) dan berpura-pura tiduran ditempat tersebut, Saksi
Sishadi yang mengejar terdakwa bertemu dengan Saksi Budi Santoso
yang melihat terdakwa berlari menuju Masjid Al-fatah memberi tahu
larinya terdakwa ke masjid tersebut, Saksi Sishadi kemudian menyusul
dan menemukan terdakwa sedang tidur-tiduran di masjid tersebut, dan
Saksi Sishadi kemudian karena mencurigai terdakwa menggeledah
terdakwa dan menemukan kunci rooling door miliknya berada di dalam
dompet milik terdakwa, setelah tertangkap terdakwa diserahkan ke
Polsektabes Banjarsari. Perbuatan terdakwa tersebut diatur dan
diancam pidana dalam Pasa 363 ayat (1) ke-3 jo Pasal 53 KUHP.
c. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
(1) Menyatakan terdakwa Angga Taufik Qurrahman terbukti bersalah
melakukan tindak pidana “percobaan pencurian dalam keadaan
memberatkan”.
(2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.
(3) Menetapkan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah
dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan.
(4) Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.
(5) Menetapkan barang bukti berupa: 1 (satu) buah kunci rooling door
dikembalikan kepada saksi Sishadi.
(6) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1000,-
(seribu rupiah).
d. Amar Putusan
(1) Menyatakan terdakwa Angga Taufik Qurrahman terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “percobaan
pencurian dalam keadaan memberatkan”.
(2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.
(3) Menetapkan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah
dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan.
(4) Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.
(5) Menetapkan barang bukti berupa: 1 (satu) buah kunci rooling door
dikembalikan kepada saksi Sishadi.
(6) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1000,-
(seribu rupiah).
e. Analisis
Dalam Putusan Nomor: 213/Pid.B/2008/PN.Ska., Hakim dalam
mengambil keputusan mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya
adalah:
1) Bahwa atas tuntutan Penutuntut Umum, terdakwa dalam pembelaan
secara lisan mohon keringanan hukuman.
2) Bahwa atas dakwaan Penuntut Umum, terdakwa menyatakan tidak
mengajukan bantahan atau eksepsi.
3) Bahwa di persidangan Penuntut Umum mengajukan barang bukti
berupa: 1 (satu) buah kunci rooling door.
4) Bahwa di persidangan, Penuntut Umum telah mengajukan 3 (tiga)
orang saksi yaitu Sishadi, Sendy Ardiatma dan Budi Santoso. Dari
keterangan para saksi tersebut, terdakwa tidak keberatan dan
membenarkan keterangan tersebut.
5) Bahwa di persidangan terdakwa mengaku telah melakukan
percobaan pencurian di toko milik saksi Sishadi.
6) Bahwa semua unsur-unsur yang didakwakan oleh Penuntut Umum,
yaitu Pasal 363 ayat (1) ke-3 jo Pasal 53 KUHP, telah terbukti,
maka terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah nelakukan
tindak pidana percobaan pencurian dalam keadaan memberatkan.
7) Bahwa karena pada diri terdakwa tidak ditemukan adanya alasan
pemaaf maupun alasan pembenar sebagai penghapus pidana,
sehingga terdakwa haruslah dinyatakan sebagai orang yang dapat
dipertanggung jawabkan atas segala perbuatannya.
8) Bahwa terhadap pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa
tersebut, Hakim perlu mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan hal-hal yang meringankan bagi terdakwa yaitu:
Hal-hal yang memberatkan terdakwa:
a) Perbuatan terdakwa merugikan orang lain, khususnya Saksi
Sishadi;
b) Terdakwa sudah pernah mengambil barang tanpa seijin Saksi
Sishadi;
c) Terdakwa sudah pernah menikmatihasil perbuatannya.
Hal-hal yang meringankan terdakwa:
a) Terdakwa menyesali perbuatannya;
b) Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
c) Terdakwa masih anak-anak atau belum dewasa, yaitu berumur
15 tahun.
Dalam kasus di atas terdakwa didakwa melakukan tindakan
yang melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-3 jo Pasal 53 KUHP. Untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, dalam
pemeriksaan persidangan telah diajukan alat bukti. Alat bukti yang
diajukan adalah berupa keterangan saksi yang terdiri dari 3 (tiga) orang
yaitu saksi korban, Sishadi, saksi Sendy Ardiatma dan Budi Santoso.
Selain itu, terdapat alat bukti yang berupa keterangan terdakwa, dimana
terdakwa mengakui bahwa telah melakukan tindak pidana percobaan
pencurian di toko saksi Sishadi.
Dengan dua macam alat bukti tersebut maka sudah memenuhi
ketentuan UU No. 3 tahun 1997, dimana hakim untuk dapat
menjatuhkan pidana kepada seseorang maka dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang
bersalah melakukan.
Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut baik
dariketerangan saksi maupun keterangan terdakwa, didapati fakta
bahwa tindakan yang dilakukan terdakwa memenuhi unsur-unsur yang
terdapat dalam pasal yang didakwakan yaitu Pasal 363 ayat (1) ke-3 jo
Pasal 53 KUHP. Unsur-unsur tersebut adalah:
1) Unsur “barangsiapa”
Yang dimaksud “barangsiapa” oleh Undang-Undang ialah subyek
hukum baik orang maupun badan hukum tanpa kecuali dan dalam
hubungannya dengan perkara ini yang dimaksud dengan siapa
adalah orang yang bernama Angga Taufik Qurrahman yang
dihadapkan sebagai pelaku atau subyek hukum dari tindak pidana
yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, yang kebenaran
identitasnya telah diakui oleh terdakwa sendiri dan dibenarkan pula
oleh para saksi, sehingga dengan demikan unsur “barangsiapa”
telah terpenuhi.
2) Unsur “mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian
milik orang lain”
Yang dimaksud “mengambil “ dalam ketentuan ini adalah barang
tersebut harus sudah berpindah dari tempatnya semula. Dalam
hubungannya dengan perkara ini telah diperoleh fakta hukum
berdasarkan keterangan para saksi dibawah sumpah dan keterangan
terdakwa serta barang bukti yang diajukan dipersidangan bahwa
terdakwa terbukti melakukan pencurian ditoko milik saksi Sishadi
dan menemukan kunci rooling door miliknya berada di dalam
dompet milik terdakwa. Selain itu sebelumnya terdakwa pernah
mengambil anak timbangan di rumahnya sakasi Sishadi, yang
kemudian terdakwa jual dengan harga Rp. 55. 000,- (lima puluh
lima ribu rupiah) dan uangnya oleh terdakwa dipakai untuk main
play station.
3) Unsur “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”
Berdasarkan fakta yang terungkap di pengadilan, terdakwa hendak
mengambil barang di dalam toko milik saksi Sishadi tanpa seijin
dan sepengetahuan pemiliknya, terdakwa hendak mengambil rokok
milik saksi Sishadi untuk dimiliki. Dengan demikian perbuatan
terdakwa membuktikan unsur dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, telah terpenuhi secara sah menurut hukum.
Unsur yang terdapat dalam Pasal 53 KUHP, yaitu berupa unsur
“percobaan”, yang dimaksud “percobaan” disini adalah mencoba untuk
melakukan kejahatan pidana akan tetapi tidak selesai pelaksanaannya.
Dalam hubungannya dengan perkara ini telah diperoleh fakta hukum
berdasarkan keterangan para saksi di bawah sumpah dan keterangan
terdakwa terbukti melakukan percobaan pencurian di toko milik Saksi
Sishadi.
Dengan terpenuhinya semua unsur-unsur dalam Pasal 363 ayat
(1) ke-3 jo Pasal 53 KUHP tersebut maka terdakwa terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana percobaan
pencurian dalam keadaan memberatkan, sesuai dengan Pasal 363. Dan
dengan tidak adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar bagi tindakan
terdakwa maka terdakwa dapat dijatuhi hukuman akibat tindakannya
tersebut. Yang dimaksud alasan pembenar adalah alasan yang
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang
dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar,
sedanglan alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan
terdakawa.
Dengan terbuktinya terdakwa melakukan tindak pidana yang
memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3 jo Pasal 53
KUHP, maka maksimal pidana yang dapat dijatuhkan pada terdakwa
adalah ½ dari ancaman pidana yang ada dalam ketentuan pasal tersebut
yaitu 7 (tujuh) tahun, sehingga maksimal pidananya adalah 3 ½ (tiga
setengah) tahun. Namun dalam amar putusannya, hakim hanya
menjatuhkan pidana penjara 3 (tiga) bulan.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut diatas, dapat dilihat
bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan sudah sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku bagi tindak pidana anak yaitu
Undang-Undang Pengadilan Anak. Dimana terlihat dari penjatuhan
pidana penjara yang sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Selain itu
sebelum menjatuhkan putusan, hakim juga telah mendengarkan
Laporan Penelitian dari Pembimbing Pemasyarakatan. Hal ini sesuai
dengan Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. Dalam menjatuhkan putusan terhadap anak
di bawah umur, hakim wajib mempertimbangkan Laporan Penelitian
dari Pembimbing Kemasyarakatan, jika tidak maka putusan tersebut
akan batal demi hukum.
Kasus pencurian oleh anak di bawah umur ini diperiksa dan
diputus oleh hakim tunggal. Hal tersebut sudah sesuai dengan Pasal 11
ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, yang berbunyi bahwa hakim memeriksa dan memutus perkara
anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal.
2. Kasus Pidana Dimas Eko Prabowo bin Warsito (Putusan Nomor:
226/Pid.B/2008/PN.Ska).
a. Identitas Terdakwa
Nama : Dimas Eko Prabowo bin Warsito
Umur / tanggal lahir : 15 tahun / 10 Juni 1993.
Jenis Kelamin : Laki-laki.
Kebangsaan : Indonesia.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Swasta
Tempat Tinggal : Ngepung RT 005 RW 011 Kelurahan
Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Kota
Surakarta.
b. Pokok Perkara
Bahwa ia terdakwa Dimas Eko Prabowo bin Warsito bersama
dengan saksi Eko Setio Budi bin Sutrimo(diajukan dalam berkas
tersendiri) pada hari Minggu tanggal 11 Mei 2008 sekitar jam 12.00
WIB atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain masih dalam bulan
Mei tahun 2008 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain masih
dalam tahun dua ribu delapan, bertempat dijalan Kampung
Norowangsan, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan Kota Surakarta
atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih di dalam daerah
hukum Pengadilan Negeri Surakarta, secara bersama-sama dengan
bersekutu telah mengambil barang sesuatu berupa sebuah dompet HP
terbuat kain warna coklat berisi HP Nokia seri 6600 warna hitam dan
uang tunai sebesar Rp. 40.000,- (empat puluh ribu rupiah), yang
seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang lain yakni saksi korban
Diah Suryandari Hardianto, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa dengan cara sebagai
berikut:
Awalnya pada hari Minggu tanggal 11 Mei 2008 sekitar jam
09.30 WIB terdakwa bersama dengan saksi Eko SetiA Budi bin
Sutrimo pergi dengan berboncengan sepeda onthel merk Poligon warna
biru milik Saksi Sri Mulyani yang dipinjam oleh saksi Eko Setio Budi
bin Sutrimo untuk menjualkan HP Siemens milik ayah terdakwa,
setelah beberapa saat berputar-putar dan HP belum juga laku terjual,
maka saksi Eko Setia Budi bin Sutrimo mengajak terdakwake rumah
ibunya di Gonilan Kartasura untuk minta uang akan tetapi tidak diberi
oleh ibunya, kemudian terdakwa dan saksi Eko Setia Budi bin Sutrismo
berencana pulang ke Sangkrah, sesampai dijalan Kampung
Norowangsan, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan kota Surakarta
atau arah selatan Tugu Kleco, Terdakwa dan Saksi Eko Setio Budi bin
Sutrismo melihat ada (dua) orang perempuan yakni Saksi korban Diah
Suryandari Hardianto dan Saksi Ristin Ariati berjalan kaki menuju arah
selatan, dimana salah satu diantara mereka membawa dompet HP
warna coklat di tangan kirinya, melihat hal itu Saksi Eko Setia Budi bin
Sutrimo memberitahu terdakwa yang memboncengkan saksi dengan
mengatakan “opo kowe wani nyaut dompete wong wedok kae?” lalu
terdakwa jawab “wani !i” sesaat kemudian terdakwa mengayuh
sepedanya kearah Saksi korban, sesampainya disamping kiri saksi
korban, Saksi Eko Setia Budi bin sutrimo menarik paksa dompet HP
yang dibawa saksi korban Diah Suryandari Hardianto dengan keras
sehingga sempat terjadi tarik-menarik karena saksi korban berusaha
mempertahankan dompetnya, akan tetapi karena kalah kuat maka
dompet yang ada ditangan Saksi Diah Suryandari Hardianto terlepas
dari tangannya dan berhasil dibawa pergi oleh terdakwa dan saksi Eko
Setia Budi bin Sutrimo kearah selatan, denagan mengayuh sepedanya
lebih kencang lagi, melihat keadaan itu saksi Diah Suryandari
Hardianto dan saksi Ristin Ariati berteriak keras-keras
“jambret..jambret” lalu masa yang mendengar teriakan itu mengejar
terdakwa kemudian menangkap terdakwa dan Saksi Eko Setia Budi bin
Sutrimo selanjutnya menyerahkan pada pihak yang berwajib untuk
diproses lebih lanjut. Bahwa akibat perbuatan Terdakwa dan Saksi Eko
Setia Budi bin Sutrimo tersebut, saksi korban Diah Suryandari
Hardianto mengalami kerugian kurang lebih sebesar Rp. 890.000,-
(delapan ratus sembilan puluh ribu rupiah) atau setidak-tidaknya lebih
dari Rp. 250,- (dua ratus lima puluh rupiah). Perbuatan Terdakawa
tersebut sebagamiana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat
(1) ke-4 KUHP.
c. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
(1) Menyatakan terdakwa Dimas Eko Prabowo bin Warsito bersalah
telah melakukan tindak pidana “pencurian dengan pemberatan”
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat (1)
ke-4 KUHP sebagaimana dalam surat dakwaan;
(2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Dimas Eko Prabowo bin
Warsito berupa pidana penjara selama 5 (lima) bulan dengan
dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara,
dengan perintah terdakwa tetap ditahan;
(3) Menyatakan barang bukti berupa:
a. 1 (satu) unit sepeda ontel mini keranjang merk Polygon warna
biru;
b. 1 (satu) unit dompet kain warna coklat;
c. 1 (satu) buah HP merk Nokia 6600 warna hitam;
d. Uang tunai Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah);
Digunakan untuk pembuktian dalam perkara lain;
(4) Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
1.000,- (seribu rupiah).
d. Amar Putusan
(1) Menyatakan terdakwa Dimas Eko Prabowo bin Warsito bersalah
telah melakukan tindak pidana “pencurian dengan pemberatan”;
(2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Dimas Eko Prabowo bin
Warsito tersebut diatas oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 2 (dua ) bulan dan 15 (lima belas) hari;
(3) Menyatakan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh
terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
(4) Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan;
(5) Memerintahkan barang bukti berupa:
a. 1 (satu) unit sepeda ontel mini keranjang merk Polygon warna
biru;
b. 1 (satu) unit dompet kain warna coklat;
c. 1 (satu) buah HP merk Nokia 6600 warna hitam;
d. Uang tunai Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah);
Digunakan untuk pembuktian dalam perkara lain;
(5) Membebani kepada Terdakwa tersebut diatas untuk membayar
biaya perkara sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah).
e. Analisis
Dalam Putusan Nomor: 226/Pid.B/2008/PN.Ska., Majelis
Hakim dalam mengambil keputusan mempertimbangkan beberapa hal,
diantaranya adalah:
1) Bahwa atas tuntutan Penutuntut Umum, terdakwa dalam pembelaan
secara lisan mohon keringanan hukuman.
2) Bahwa atas dakwaan Penuntut Umum, terdakwa menyatakan tidak
mengajukan bantahan atau eksepsi.
3) Bahwa di persidangan Penuntut Umum mengajukan barang bukti
sebagai berikut:
a. 1 (satu) unit sepeda ontel mini keranjang merk Polygon warna
biru;
b. 1 (satu) unit dompet kain warna coklat;
c. 1 (satu) buah HP merk Nokia 6600 warna hitam;
d. Uang tunai Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah);
4) Bahwa di persidangan, Penuntut Umum telah mengajukan 4
(empat) orang saksi yaitu Diah Suryandari, Eko Setia budi bin
Sumtrimo, Aan Winarno dan Surono Yoso Raharjo. Dari
keterangan para saksi tersebut, terdakwa tidak keberatan dan
keterangan para saksi tersebut benar adanya.
5) Bahwa semua unsur-unsur yang didakwakan oleh Penuntut Umum,
yaitu Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP, telah terbukti, maka terdakwa
secara sah danmenyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
pencurian dengan pemberatan.
6) Bahwa karena pada diri terdakwa tidak ditemukan adanya alasan
pemaaf maupun alasan pembenar, maka sepantasnya terdakwa
harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatanya.
7) Bahwa terhadappidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa
tersebut, Majelis Hakim perlu mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan hal-hal yang meringankan bagi terdakwa yaitu:
Hal-hal yang memberatkan Terdakwa:
a. Perbuatan terdakawa mengakibatkan kerugian bagi saksi
korban.
Hal-hal yang meringankan bagi Terdakwa:
a. Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya;
b. Terdakwa belum menikmati hasil kejahatan.
Dalam kasus diatas Terdakwa didakwa melakukan tindakan
yang melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP. Untuk membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa, dalam pemeriksaan
telah diajukan alat bukti. Alat bukti yang diajukan berupa keterangan
saksi-saksi dan keterangan terdakwa sendiri, didapati fakta bahwa
perbuatan terdakwa memenuhi semua unsur yang terdapat dalam Pasal
363 ayat (1) ke-4 KUHP, yaitu:
a. Unsur “barang siapa”
Yang dimaksud dengan barang siapa dalam pasal ini adalah
ditujukan kepada siapa saja orang atau subyek hukum yang
terhadapnya diduga telah melakukan tindak pidana. Dalam kasus ini
yang diduga melakukan tindak pidana adalah terdakwa Dimas Eko
Prabowo bin Warsito;
b. Unsur “mengambil sesuatu barang”
Yang dimaksud dengan “mengambil sesuatu barang” dalam
ketentuan Pasal ini adalah waktu seseorang mengambil barang
tersebut, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan barang adalah segala sesuatu
yang berwujud dan mempunyai nilai ekonomi bagi korban. Dalam
kasus ini terdakwa mengambil dompet kain warna coklat yang
berisi HP merk Nokia seri 6600 warna hitam dan uang tunai sebesar
Rp. 4.00.000,- (empat ratus ribu rupiah), dan dari perbuatan
terdakwa tersebut Saksi Diah Suryandari pemilik barang tersebut
mengalami kerugian sebesar Rp. 890.000,- (delapan ratus sembilan
puluh ribu rupiah);
c. Unsur “yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain”
Dalam kasus ini terdakwa telah terbukti mengambil dompet kain
warna coklat yang berisi HP merk Nokia seri 6600 warna hitam dan
uang tunai sebesar Rp. 4.00.000,- (empat ratus ribu rupiah) milik
Saksi Diah Suryandari;
d. Unsur “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”
Yang dimaksud “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum” adalah tanpa seijin pemiliknya, seolah-olah barang itu
adalah miliknya sendiri;
e. Unsur “dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu”
Dalam ksus ini Terdakwa tidak melakukan perbuatan pidana
sendiri melainkan secara bersama-sama dengan Saksi Eko Setia
Budi bin Sutrimo.
Dengan terpenuhinya semua unsur-unsur dalam Pasal 363 ayat
(1) ke-4 KUHP tersebut maka terdakwa Dimas Eko Prabowo terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
pencurian seperti yang dimaksud dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP.
Dan berdasarkan hal-hal diatas Majelis berpendapat bahwa pidana yang
dijatuhkan kepada terdakwa dianggap cukup setimpal dengan perbuatan
terdakwa, selain itu karena terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan
Negara maka lamanya terdakwa dalam tahanan sebelum adanya
putusan Pengadilan yang mepunyai kekuatan hukum tetap haruslah
dikurangkan dengan pidana yang dijatuhkan.
3. Pembahasan
Berdasarkan kedua analisis putusan tersebut diatas dapat dilihat
bahwa dalam pemidanaan yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri
Surakarta dalam kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak
di bawah umur sudah mencoba sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang berkaitan dengan kasus tersebut, yaitu KUHP
khususnya Pasal 363 tentang pencurian, Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak. Meskipun dalam penjatuhan putusan hakim
tidak mencantumkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 kedalam putusan
Dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan tersebut,
akhirnya hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, apabila dilihat dari
pidana yang dijatuhkan pada kedua kasus diatas maka terlihat pidana yang
dijatuhkan kepada terdakwa anak tersebut masih lebih ringan dari tuntutan
Jaksa Penuntut Umum. Dalam menentukan berat ringannya hukuman
pidana yang akan dikenakan kepada terdakawa, undang-undang
memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara
hukuman minimum dan maksimum yang diancamkan dalam pasal pidana
yang bersangkutan. Namun putusan tersebut harus dibuat dengan
mempertimbangkan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan.
Selain itu hakim juga harus memperhatikan unsur kepastian
hukum, kemanfaatan hukum dan juga keadilan. Unsur kepastian hukum
dalam penegakan hukum merupakan perlindungan yustisiabel atas tindakan
seseorang terhadap orang lain, karena hukum telah dianggap sebagai
rujukan terakhir untuk mengatasi konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Unsur kemanfaatan hukum dalam penegakan hukum mempunyai makna
filosofis yang amat mendalam, yaitu karena hukum ditujukan untuk
manusia, maka harus memberi kemanfaatan sebesar-besarnya bagi
manusia. Kemanfaatan ini terutama berbentuk terlindunginya kepentingan
satu pihak dan perampasan yang dilakukan pihak lain. Sedangkan unsur
keadilan dalam penegakan hukum merupakan sesuatu yang seharusnya
paling hakiki dari hukum itu sendiri.
Dalam mengkaji mengenai pemidanaan terhadap anak dibawah
umur yang melakukan tindak pidana khususnya pencurian berdasarkan
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997,penulis juga telah melakukan
wawancara dengan salah satu hakim di Pengadilan Negeri Surakarta yang
menangani perkara tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak
dibawah umur, yaitu Bapak I Wayan Sosiawan S.H. yang menangani kasus
pidananya terdakwa Angga Taufik Qurrahman. Berdasarkan hasil
wawancara pada hari Senin, 25 Mei 2009, menurrut beliau bahwa dalam
pelaksanaan pemidanaan Majelis Hakim sudah berusaha sesuai dengan
aturan yang berlaku dalam perundang-undangan, seperti dalam memeriksa
dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama adalah Hakim Tunggal,
ini sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
selain hal tersebut juga dalam penjatuhan pidana penjara yangterhadap
anak yang melakukan tindak pidana pencurian sesuai dengan Pasal 26 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yaitu paling lama ½ (satu per
dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Selain itu
menurut Bapak I Wayan Sosiawan dalam pemeriksaan di sidang
Pengadilan dilakukan secara tertutup ini dikarenakan demi melindungi
psikologis pada terdakwa anak tersebut, dan hal ini sudah sesuai dengan
peraturan dalam Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
dalam menangani kasus pidana terhadap anak ini yang menjadi kendala
dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak di bawah umur yang
melakukan tindak pidana pencurian adalah tentang bantuan hukum.
Dimana dalam Undang-Undang Pengadilan Anak disebutkan bahwa di
persidangan terdakwa didampingi oleh penasihat hukum.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan perumusan masalah yang telah penulis kemukakan dalam
Penulisan Hukum (skripsi) diatas, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Dalam pengaturan tindak pidana pencurian, yang dilakukan oleh anak di
bawah umur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap anak yang melakukan
perbuatan yang melanggar hukum sebelum umur enam belas tahun (16),
sanksi yang dikenakan adalah dikembalikan kepada orang tuanya atau
walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun. Selain dikembalikan
kepada orang tua dapat pula anak yang bersalah diserahkan kepada
pemerintah tanpa pidana apapun, apabila perbuatan yang dilakukan
merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran. Serta belum lewat dua
tahun sejak dinyatakan salah karena melakukan kejahatan atau salah satu
pelanggaran maka putusannya menjadi tetap atau menjatuhkan pidana.
Berdasarkan hal tersebut maka tindak pidana pencurian yang dilakukan
anak dibawah umur merupakan salah satu bentuk kejahatan sehingga
terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian dapat dikenai
sanksi sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 45 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana. Akan tetapi Pasal 45 KUHP tersebut sudah tidak
berlaku lagi karena terdapat peraturan baru yang mengatur mengenai anak
nakal, yaitu terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 3
tahun 1997 yaitu mengenai batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke
sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan ) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas ) tahun dan belum pernah kawin dan
dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak
yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu ) tahun tetap diajukan kesidang anak.. Berlakunya
Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak antara lain
telah menetapkan apa yang dimaksud anak, dan Undang-Undang ini
berlaku lexpecialis terhadap KUHP, khususnya berkaitan dengan tindak
pidana yang dilakukan oleh anak. Lahirnya Undang-undang Pengadilan
Anak, nantinya harus menjadi acuan pula dalam perumusan pasal-pasal
KUHP baru berhubungan dengan pidana dan tindakan bagi anak. Dengan
demikian tidak akan terjadi tumpang tindih ataupun saling bertentangan.
Pengaturan mengenai tindak pidana pencurian sendiri diatur dalam Pasal
362 , 363, 364 dan Pasal 365 KUHP, dan sepanjang tidak diatur dalam
Undang-Undang tersebut sehingga menggunakan KUHP karena dalam hal
ini Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tidak mengatur tentang pencurian
sehingga menggunakan KUHP.
2. Kajian Yuridis Pemidanaan Yang Dilakukan Oleh Hakim Terhadap Tindak
Pidana Pencurian Yang Dilakukan Anak Dibawah Umur Di Pengadilan
Negeri Surakarta Berdasarkan Undang-Udang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak. Bahwa Hakim Pengadilan Negeri Surakarta
telah bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yaitu KUHP, dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Dalam menjatuhkan putusan hakim akan mempertimbangkan
beberapa hal yaitu: alat bukti, terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana, hal-
hal yang memberatkan dan meringankan, dan ada tidaknya alasan pemaaf
dan pembenar. Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, hakim
menjatuhkan putusan terhadap anak nakal. Pemidanaan yang dilakukan
oleh hakim Pengadilan Negeri Surakarta terhadap anak dibawah umur yang
melakukan tindak pidana pencurian masih jauh dari maksimal pidana yang
dapat dijatuhkan, dimana hal ini sudah sesuai dengan Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Dalam menentukan berat
ringannya pidana yang akan dijatuhkan, undang-undang memberikan
kebebasan bagi hakim untuk menentukan berat ringanya pidana yang akan
dijatuhkan antara minimal dan maksimal pidana yang terdapat dalam pasal
yang bersangkutan.
B. Saran
Berdasarkan pada kesimpulan yang dikemukakan diatas, maka penulis
akan mencoba memberikan saran sebagai berikut:
1. Hendaknya Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam menjatuhkan pidana
terhadap anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana pencurian juga
mempertimbangkan laporan Penelitian dari Pembimbing Kemasyarakatan,
agar dalam penjatuhan putusan lebih memiliki data-data yang lebih akurat.
2. Dalam menjatuhkan putusan hendaknya hakim harus mengacu pada Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, tidak hanya mengacu pada salah satu
peraturan saja.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Apong Herlina. 2004. Buku Saku Untuk Polisi Perlundungan Terhadap Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum. Jakarta: Polisi RI dan UNICEF.
Moeljatno. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Bina Aksara.
Muladi dan Barda Nawawi. 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana Edisi Revisi.
Bandung: PT Alumni.
P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-DasarHukum Pidana Indonesia. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti.
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Internet
Darmanto Hadi. Pengangkatan Anak Sebagai Usaha Perlindungan anak.
<http://bengkuluutara.wordpress.com/2008/05/30/pidana-anak-uu-no-3-
tahun-1997/pengadilan-anak.html> (15 April 2009, pukul 14.00 WIB).
<http://www.bawean.net/2008/10/pengadilan-anak.html> (15 April 2009, pukul
13.45 WIB).
Putusan
Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 213/Pid.B/2008/PN.Ska.
Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 226/Pid.B/2008/PN.Ska