KAJIAN SITUASI PASAR KOMODITAS BROILER: AKAR...
Transcript of KAJIAN SITUASI PASAR KOMODITAS BROILER: AKAR...
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN TA. 2016
KAJIAN SITUASI PASAR KOMODITAS BROILER:
AKAR PERMASALAHAN DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA
Oleh:
Saptana
Chairul Muslim Mohamad Maulana
Amar Kadar Zakaria Djoko Trijono
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
2016
1
RINGKASAN
Industri perunggasan khususnya ayam ras pedaging (broiler) merupakan basis
ekonomi yang berpotensi tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kesempatan kerja secara luas. Pada saat ini, paling tidak terdapat tiga pola usaha
ternak broiler yakni model usaha ternak sistem terintegrasi, pola kemitraan usaha,
dan pola peternak rakyat mandiri. Pola kemitraan terdiri dari pola kemitraan internal
dan pola kemitraan eksternal.
Situasi pasar broiler dihadapkan pada permasalahan-permasalahan berikut: (1)
Meningkatnya harga sarana produksi peternakan terutama day old chick (DOC) dan
pakan ternak; (2) Fenomena lonjak harga jagung karena ada pembatasan impor
yang menyebabkan melambungnya harga pakan; (3) Fluktuasi harga broiler baik di
tingkat produsen maupun di tingkat pedagang eceran; dan (4) Ketidakmampuan
pelaku usaha industri perunggasan nasional menembus pasar ekspor, seperti ke
Jepang dan Timur Tengah.
Hasil review terhadap regulasi terkait sektor perunggasan dari satu
pemerintahan ke pemerintahan dan dari waktu ke waktu kurang berpihak pada
peternak rakyat (peternak mandiri). Kondisi ini berpengaruh sangat nyata terhadap
situasi pasar unggas domestik, dimana pasar unggas baik pasar input (DOC, pakan
dan obat-obatan), sektor budidaya, dan sektor hilir (pengolahan hasil dan
pemasaran broiler hidup dan daging ayam) dikuasai oleh perusahaan peternakan
skala besar. Kondisi peternakan rakyat (peternak mandiri) tergeser dan tinggal
peternak mandiri yang cukup punya modal yang mampu bertahan. Diperkirakan
peternak rakyat mandiri secara nasional tinggal 15 persen, sedangkan 85 persen
dikuasai perusahaan peternakan besar dan pemodal.
Secara historis terdapat beberapa tahapan perkembangan bisnis perunggasan,
paling tidak dapat dibagi ke dalam enam fase : (a) fase tahun 1990-1996 atau fase
sebelum krisis moneter; (b) fase tahun 1997-1999, fase menghadapi krisis moneter
dan ekonomi; (c) Fase tahun 2000-2009, sebagai fase terjadiya outbreak Avian
Influenza yang terjadi pada tahun 2003-2004 dan zoonosis yang terjadi pada tahun
2005; dan (d) Fase 2010-masa mendatang, sebagai perubahan iklim (climate
change) dan kebijakan penataan pasar unggas perkotaan dengan adanya kebijakan
2
yang mensyaratkan bahwa unggas yang masuk ke wilayah DKI harus dalam bentuk
karkas dan tidak boleh dalam ayam hidup.
Situasi pasar komoditas broiler memiliki prospek yang baik untuk
dikembangkan, hal ini antara lain didukung oleh: (a) karakteristik komoditas broiler
yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, (b) meskipun riskan terhadap
gejolak eksternal, namun memiliki daya lentur yang tinggi dalam penyesuaian dan
recovery, (c) potensi pasar domestik yang besar, hampir 50% pangsa pasar ASEAN,
(d) memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) dalam komponen biaya
input untuk lahan (kandang) dan tenaga kerja yang relatif lebih murah dan (e)
berpotensi menciptakan nilai tambah pada industri pengolahannya.
Beberapa permasalahan pokok dalam pengembangan industri broiler domestik
adalah: (a) Masalah penyediaan bahan baku pakan industri perunggasan (broiler)
yang sangat tergantung pada impor; (b) Belum seimbangnya antara pertumbuhan
produksi dengan pertumbuhan konsumsi, secara temporal masih ada over demand
atau over supply, namun dalam jangka panjang akan ada over supply; (c)
Pertumbuhan konsumsi atau permintaan daging ayam (broiler) dipasar domestik
lebih cepat dibandingkan dipasar global, jika tidak diantisipasi dengan baik oleh
pelaku agribisnis broiler maka akan diserbu komoditas broiler dari luar negeri
terutama dari Thailand dan Brazil; (d) Adanya indikasi terjadinya ketimpangan
struktur pasar baik pada pasar input maupun pasar output yang menempatkan
peternak kecil dalam posisi lemah; (e) Sistem distribusi dan pemasaran daging ayam
(broiler) yang belum sepenuhnya efisien; (f) Kemitraan usaha (contract farming)
pada broiler belum berjalan secara optimal, sehingga koordinasi produk maupun
koordinasi antar pelaku belum berjalan harmoni; (g) Industri peternakan komersial
sangat rentan terhadap gejolak eksternal, seperti krisis ekonomi, wabah penyakit
ternak seperti flu burung (Avian Influenza/AI), dan krisis finansial global dewasa ini,
dan (h) Belum berkembangnya secara meluas sistem rantai dingin (cold chain)
produk broiler dalam distribusi dan pemasaran dari daerah sentra produksi ke pusat-
pusat konsumsi.
Peluang yang cukup menjanjikan ditunjukkan oleh tingkat konsumsi protein hewani
asal unggas (daging broiler) masyarakat Indonesia masih dibawah rekomendasi Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi, dibawah tingkat konsumsi perkapita beberapa negara ASEAN
(Singapura, Malaysia, Thailand) dan negara berkembang lainnya (Brasil, Argentina, dan
3
India), serta jauh dibawah tingkat konsumsi negara-negara maju, seperti AS, UE, Jepang,
Korea Selatan. Peluang produk hasil ternak unggas baik berupa daging ayam ras maupun
telur menunjukkan trend yang terus meningkat baik di pasar domestik maupun level global.
Pertumbuhan konsumsi daging di negara-negara berpendapatan menengah adalah yang
paling tinggi (China, India, Brazil, Mexico, Argentina, Iran, Rusia, Mesir, Malaysia dan
Polandia), disusul negara-negara berpendapatan tinggi (AS, UE, Jepang, Canada), dan
stagnan untuk neagara-negara berpendapatan rendah.
Adanya studi review mendalam terhadap regulasi-regulasi terkait sektor
perunggasan yang terutama ditujukan untuk memperbaiki struktur pasar input (DOC,
pakan dan obat-obatan) dan struktur pasar output (broiler hidup dan daging ayam).
Pemerintah memberi fasilitas agar peternak rakyat (peternak mandiri) mampu
memelihara ayam ras pedaging (broiler) lebih dari 5000 ekor yang tergabung dalam
kelompok peternak mandiri, sehingga mampu memenuhi skala angkut input
produksi, penjualan hasil, dan mampu kebutuhan hidup rumah tangga secara layak.
Bagi kelompok peternak rakyat (peternak mandiri) yang telah dilakukan
pembinaan perlu tergabung dalam koperasi agribisnis perunggasan terintegrasi,
dengan didukung pengembangan breeding, feedmill, RPA, dan meat shop skala
kecil dan menengah. Bagi peternak yang tidak mampu, diarahkan menjadi plasma
dalam sistim kemitraan, baik kemitraan internal maupun eksternal, dengan skala
usaha minimal 5.000 ekor dengan keuntungan Rp. 2.000 per ekor maka untuk setiap
keluarga mampu memiliki tingkat pendapatan Rp. 10 juta/siklus produksi. Jika ingin
pendapatan lebih tinggi maka skala usaha broiler terus ditingkatkan.
Pemerintah perlu membuat kebijakan tentang kemitraan agribisnis
perunggasan yang adil dan dinamis. Adil baik bagi petani mitra maupun bagi
perusahaan inti melalui pembagian risiko dan keuntungan yang adil dan dinamis.
Dinamis dalam arti bahwa kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak bersifat dinamis mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi, terutama
perubahan biaya produksi dan perkembangan harga produk unggas.
Strategi peningkatan efisiensi dan daya saing usaha perunggasan melalui
manajemen usaha modern, efidiensi dalam penggunaan input, dan pengembangan
skala usaha. Peningkatan efisiensi distribusi dan pemasaran produk daging ayam
baik untuk tujuan pasar konvensional dan pasar modern melalui pendekatan Supply
Chain Management (SCM).
4
Hingga saat ini situasi pasar broiler di Indonesia dapat dikatakan masih
immature market dan harus menuju mature market. Terlalu banyak bermain politik
tetapi kurang dalam upaya meningkatkan efisiensi dan dayasaing produk broiler.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah : (a) transformasi dari immature
market dan harus menuju mature market; (b) perluasan pasar baik untuk pasar lokal,
regional, maupun ekspor; serta (c) melalui pendalaman industri pengolahan
berbasis daging ayam melalui pengembangan produk dan promosi produk.
Dukungan infrastruktur yang mendukung pengembangan industri broiler di daerah-
daerah sentra produksi, terutama infrastruktur jalan, energi/listrik, dan air bersih,
serta RPA/TPA dan pasar produk-produk daging ayam (broiler).
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri perunggasan khususnya ayam ras pedaging (broiler) merupakan basis
ekonomi yang berpotensi tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kesempatan kerja secara luas. Industri perunggasan di Indonesia berkembang mulai
tahun 1970-an ketika ayam ras modern dikenalkan oleh perusahaan swasta
sehingga pada tahun 2013 Indonesia sudah menghasilkan lebih dari 2 milliar ekor
broiler dan mempunyai populasi ayam peterlur lebih dari 130 juta ekor (Ditjen PKH,
2013). Hasil produk ayam ras ini memberikan kontrubusi kurang lebih 65% terhadap
kebutuhan daging nasional yang pada awal mulanya dipenuhi oleh daging sapi
(Ditjen PKH, 2013).
Hasil penelitian Aho (1998) yang juga diacu oleh Tangenjaya (2014)
menunjukkan bahwa kemampuan industri peunggasan dalam berdaya saing akan
ditentukan oleh empat faktor utama yaitu kemampuan untuk menghasilkan produk
dengan biaya produksi yang rendah, iklim usaha yang kondusif, integrasi usaha
secara vertikal dalam skala ekonomi yang memadai dan penerapan teknologi maju.
Pada saat ini paling tidak terdapat tiga pola usaha ternak broiler yakni model usaha
ternak sistem terintegrasi, pola kemitraan usaha, dan pola peternak rakyat mandiri.
Pada pola terintegrasi dari hulu-hilir, pasokan sapronak berupa bibit (DOC), pakan,
serta obat-obatan dan vaksin dipenuhi dari pasokan internal. Pada pola kemitraan
usaha, peternak mitra atau peternak plasma mendapatkan pasokan input berupa
bibit (DOC), pakan, serta obat-obatan dan vaksin dari perusahaan inti yang menjadi
mitranya. Pada pola ini peternak tidak memerlukan modal sendiri karena seluruh
kebutuhan sapronak dipasok oleh perusahaan inti dengan harga jual output
ditentukan melalui kontrak. Sementara itu pada model peternakan mandiri, peternak
harus memiliki modal srndiri untuk membeli sapronak baik dari perusahaan
peternakan, Poultry Shop (PS) maupun pemasok lainnya.
Beberapa permasalahan utama dalam industri perunggasan adalah: (1)
Masalah penyediaan bahan baku pakan industri perunggasan, dimana sebagian
besar bahan baku pakan ternak penting harus diimpor, impor jagung mencapai (40-
50%); bungkil kedelai (95%); tepung ikan (90-92%); serta tepung tulang dan
vitamin/feed additive hampir (100%) impor; (2) Adanya indikasi terjadinya
2
ketimpangan struktur pasar baik pada pasar input maupun pasar output yang
menempatkan peternak kecil dalam posisi lemah; (3) Kemitraan usaha (contract
farming) perunggasan belum berjalan secara optimal, sehingga koordinasi produk
maupun koordinasi antar pelaku belum berjalan secara terpadu; dan (4) Industri
perunggasan komersial sangat rentan terhadap gejolak eksternal, seperti krisis
ekonomi, wabah penyakit ternak seperti flu burung (Avian Influenza/AI), dan krisis
finansial global.
Situasi pasar broiler dihadapkan pada permasalahan-permasalahan berikut: (1)
Meningkatnya harga sarana produksi peternakan terutama day old chick (DOC) dan
pakan ternak; (2) Fenomena lonjak harga jagung karena ada pembatasan impor
yang menyebabkan melambungnya harga pakan; (3) Fluktuasi harga broiler baik di
tingkat produsen maupun di tingkat pedagang eceran; dan (4) Ketidakmampuan
pelaku usaha industri perunggasan nasional menembus pasar ekspor, seperti ke
Jepang dan Timur Tengah.
Pasokan daging ayam domestik sudah mencapai self sufficient dimana
kebutuhan domestik sepenuhnya dapat dipenuhi produksi dalam negeri. Bahkan
pada tahun 2014, jumlah produksi daging ayam mencapai 2,5 juta ton, sementara
kebutuhan diperkirakan sebesar 2,3 juta ton (GPPU, 2014). Berlebihnya pasokan
menyebabkan harga ayam hidup (live birds) di tingkat peternak turun bahkan hingga
dibawah biaya pokok produksinya. Namun penurunan harga ditingkat peternak tidak
tertransmisikan ke harga daging ayam ditingkat pedagang eceran (ritel) atau harga
yang dibayar konsumen. Harga ditingkat konsumen justru cenderung naik dari waktu
ke waktu.
Jika permasalahan-permasalahan tersebut terus berlangsung lama maka
dikhawatirkan akan menciptakan ketidakpastian dalam usaha industri perunggasan
khususnya broiler, menurunnya kapasitas produksi broiler, tidak efisiennya sistem
distribusi dan pemasaran broiler, dan semakin tergesernya eksistensi peternak
rakyat. Fakta tersebut menunjukkan perlunya dilakukan kajian situasi pasar broiler
secara holistik dan komprehensif, apa yang menjadi akar permasalahan dan
prospek pengembangan industri broiler yang berdaya saing dan berkelanjutan.
3
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian dalam
kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dampak dari regulasi-regulasi yang ada terkait sektor perunggasan
pengaruhnya terhadap situasi pasar broiler?
2. Bagaimana kinerja produksi dan usaha ternak broiler pola terintegrasi dan pola
peternak mandiri?
3. Bagaimana situasi pasar komoditas daging ayam (broiler) di pasar global dan di
pasar domestik?
4. Mengidentifikasi permasalahan-permasalahan pokok yang dihadapi dan
strategi pengembangan industri broiler?
1.3. Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah:
1. Melakukan review terhadap regulasi terkait sektor perunggasan dan
pengaruhnya terhadap situasi pasar broiler.
2. Mengkaji dinamika bisnis komoditas broiler.
3. Menganalisis situasi pasar komoditas broiler di pasar global.
4. Menganalisis situasi pasar komoditas broiler di pasar domestik.
5. Merumuskan kebijakan yang mampu mendorong pengembangan industri
broiler secara berdayasaing dan berkelanjutan.
1.4. Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah :
1. Hasil review atas regulasi-regulasi terkait sektor perunggasan dan pengaruhnya
terhadap situasi pasar broiler.
2. Hasil review atas dinamika bisnis komoditas broiler di Indonesia
3. Hasil analisis situasi pasar komoditas broiler di pasar global.
4. Hasil analisis situasi pasar komoditas broiler di pasar domestik.
4
5. Hasil rumusan kebijakan yang mampu mendorong pengembangan industri
broiler yang berdayasaing dan berkelanjutan.
1.5. Manfaat
1. Kajian diharapkan menjadi rujukan bagi Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan dan unit kerja lain Kementerian Pertanian terkait industri
perunggasan.
2. Kajian diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi akademisi dan peneliti
terkait situasi pasar komoditas broiler di pasar global dan domestik.
3. Kajian diharapkan dapat dijadikan bahan informasi dan masukan bagi pelaku
usaha komoditas broiler.
II. METODOLOGI
2.1. Kerangka Pemikiran
Sumber-sumber pertumbuhan ayam ras pedaging (broiler) ke depan dari sisi
permintaan ditentukan oleh faktor jumlah penduduk dan pertumbuhannya, tingkat
pendapatan, fenomena urbanisasi dan segmentasi pasar, serta preferensi
konsumen (Daryanto, 2009; Saptana dan Daryanto, 2013). Produk perunggasan
tergolong produk bernilai ekonomi tinggi (high economics value products), maka
semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi pula permintaan terhadap produk-produk
perunggasan. Semakin besar jumlah penduduk dan pertumbuhan yang masih
positif akan meningkatkan permintaan produk-produk perunggasan. Fenomena
urbanisasi dan makin besarnya pangsa penduduk yang tinggal di perkotaan akan
meningkatkan permintaan produk-produk perunggasan. Fenomena segmentasi
pasar dan meningkatnya jumlah penduduk kelas pendapatan menengah-atas akan
meningkatkan permintaan produk-produk perunggasan. Perubahan preferensi
konsumen dari daging merah (red meat) ke arah daging putih (white meat)
meningkatkan permintaan terhadap produk daging ayam.
Pada sisi penawaran faktor-faktor yang berpengaruh adalah produksi,
produktivitas dan daya saing produk broiler. Hal ini sangat terkait erat dengan
ketersediaan dan harga DOC, ketersediaan dan harga pakan, perubahan tekonologi
5
(genetika, pakan dan logistik), ketersediaan air bersih, ketersediaan dan harga
energi, dan lingkungan kebijakan yang kondusif (kerangka insentif, regulasi pasar,
kebijakan kredit, sanitary standards, kebijakan pertanahan, ketenagakerjaaan dan
lingkungan).
Kondisi industri broiler di Indonesia belum mencapai tahapan keunggulan
kompetitif. Indonesia termasuk negara yang tergolong net importer, dimana nilai
impor masih lebih besar dari pada nilai ekspornya. Indonesia termasuk negara yang
tergolong net importer untuk produk ternak secara keseluruhan, dimana nilai impor
masih lebih besar dari pada nilai ekspornya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diramalkan akan tetap tumbuh positip
sebesar 5-6 %/tahun dan tetap meningkat pada masa lima tahun mendatang.
Pertumbuhan ini akan memacu peningkatan konsumsi produk broiler yang bersifat
elastis terhadap perubahan pendapatan. Bidang bisnis broiler harus melakukan
antisipasi terhadap peningkatan konsumsi tersebut, terutama untuk membuka
kesempatan berusaha dan kesempatan kerja melalui pengembangan usahaternak,
pengembangan manajemen rantai pasok (supply chain management) dan
pengelolaan rantai nilai (governance value chain) untuk memenangkan persaingan
baik di pasar domestik maupun pasar global. Kerangka pemikiran untuk melihat
situasi pasar komoditas broiler global dan domestik dan global disampaikan pada
Gambar 1 berikut.
2.2. Metode Analisis
Metode analisis yang akan digunakan dalam kajian ini adalah terdiri dari tiga
metode yaitu : (1) analisis kebijakan terkait review regulasi-regulasi terkait industri
perunggasan; (2) analisis historik tentang dinamika perkembangan bisnis
perunggasan khususnya broiler; (3) analisis situsai pasar komoditas broiler di pasar
dunia; dan (4) analisis situasi pasar komoditas broiler di pasar domestik.
Analisis kebijakan ialah proses atau kegiatan mensintesa informasi, termasuk
hasil-hasil penelitian, untuk menghasilkan rekomendasi opsi desain kebijakan publik
(William, 1971; Simatupang, 2003). Kebijakan publik ialah keputusan atau tindakan
pemerintah yang berpengaruh atau mengarah pada tindakan individu dalam
kelompok masyarakat. Analisis kebijakan akan dilakukan terhadap regulasi yang
terkait dan berpengaruh terhadap pelaku usaha industri perunggasan.
6
Analisis situasi pasar komoditas broiler di pasar dunia dilakukan dengan
melihat perkembangan produksi, konsumsi, ekspor, impor, stok dan harga
komoditas broiler di pasar global. Kajian difokuskan pada beberapa negara
produsen dan eksportir utama komoditas broiler.
Analisis situasi pasar komoditas broiler di pasar domestik dilakukan dengan
melihat perkembangan produksi, konsumsi, ekspor, impor, stok dan harga
komoditas broiler di pasar domestik. Selain itu juga dikaji analisis usaha ternak
digunakan untuk melihat perbedaan struktur biaya usaha ternak broiler antara
perusahaan terintegrasi dan peternak rakyat mandiri dalam menghasilkan produk
Struktur Industri
Broiler
Peternak Pola
Kemitraan/Terintegrasi
Dinamika Bisnis Broiler
Struktur Usaha ternak
Broiler
Peternak Rakyat Mandiri
Struktur Usaha ternak
Situasi Pasar
Komoditas Broiler
Domestik
Harga komoditas broiler
Gambar 1. Kerangka pemikiran kajian situasi pasar broiler
Regulasi terkait perunggasan/Broi
ler
Situasi Pasar
Komoditas Broiler
Dunia
7
ayam broiler. Selanjutnya, juga dilakukan analisis margin pemasaran untuk
komoditas broiler dari petani produsen hingga pengecer.
2.3. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data
2.3.1 Data dan Sumber Data
Mengacu pada metode analisis yang akan dilakukan, data yang dibutuhkan
adalah:
1. Kebijakan/regulasi pemerintah yang terkait dengan industri perunggasan
2. Perkembangan populasi broiler domestik
3. Perkembangan produksi broiler domestik dan global
4. Perkembangan konsumsi daging ayam domestik dan global
5. Perkembangan ekspor komoditas broiler domestik dan global
6. Perkembangan impor komoditas broiler domestik dan global
7. Perkembangan stok komoditas broiler domestik dan global
8. Usaha ternak broiler pola integrasi dan pola mandiri
9. Perkembangan harga broiler domestik dan gobal
10. Perkembangan harga daging ayam (karkas)
11. Usahaternak integrasi dan peternak mandiri
12. Data dan informasi lain terkait topik penelitian
2.3.2 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu pengumpulan data
sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber instansi
meliputi Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan dan BPS di Jakarta, FAO, Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Barat. Dalam melakukan review terhadap regulasi dan
dinamika bisnis komoditas broiler akan dilakukan analisis kebijakan terhadap
regulasi dan dinamika bisnis broiler.
Diskusi terbatas dengan beberapa informan kunci akan dilakukan dengan
Ditjen PKH dan Dinas Peternakan, Assosiasi Peternak, dan pelaku usaha agribisnis
broiler dalam jumlah terbatas di wilayah Jakarta dan Jawa Barat (Bandung dan
Bogor). Diskusi dengan informan kunci terbatas dilaksanakan untuk mendapatkan
8
informasi terkait informasi situasi pasar komoditas broiler, baik aspek produksi,
pemasaran, perdagangan dan prospek pengembangan ke depan.
III. DINAMIKA REGULASI DAN BISNIS INDUSTRI PERUNGGASAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP SITUASI PASAR BROILER
3.1. Regulasi-Regulasi Sektor Perunggasan dan Pengaruhnya Terhadap Situasi Pasar Broiler
Perkembangan industri perunggasan Indonesia khususnya broiler tidak
terlepas kebijakan pemerintah yang tertuang dalam peraturan atau regulasi. Oleh
karena itu sangat penting untuk melakukan review terhadap regulasi-regulasi terkait
sektor perunggasan serta pengaruhnya terhadap situasi pasar broiler.
1. UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
Regulasi yang berpengaruh terhadap bisnis perunggasan terutama komoditas
broiler pada masa awalnya adalah UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (PMA) dan UU No. 6 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Pada periode sebelum diberlakukannya regulasi tersebut, usaha ternak ayam ras
bersifat sebagai usaha sampingan atau sekedar hobi, dan belum bersifat komersial
yang berorientasi produksi untuk memasok pasar. Secara umum, struktur usaha
belum terpisah berdasarkan spesialisasi, karena semua kegiatan agribisnis broiler
masih bersatu dalam usaha peternakan itu sendiri mulai dari pembuatan pakan dan
pengadaan bibit, budidaya, pasca panen dan pemasaran.
Dalam UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA pemerintah menerapkan kebijakan
menyetujui penanaman modal asing (PMA) untuk sektor pertanian tercakup
peternakan ayam ras. Kebijakan ini ditujukan untuk mempercepat pertumbuhan
industri unggas melalui PMA dan transfer teknologi dari negara maju ke Indonesia.
Dengan mempercepat laju pertumbuhan industri peternakan diharapkan dapat
menjadi lokomotif bagi berkembangnya usaha ekonomi rakyat. Perusahaan asing
yang pertama didirikan adalah perusahaan kerjasama antara Jepang-Indonesia
dalam bidang pembibitan dengan rencana produksi 100 ribu ekor per bulan (Yusdja,
1984). Sedangkan UU No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN menegaskan bahwa
swasta diberikan kebebasan untuk berusaha/berinvestasi di semua sektor
9
perekonomian kecuali di bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak
dan strategis. Hal ini pada prinsipnya adalah untuk merangsang dan mengarahkan
daya inovasi dan kreatifitas dalam pengembangan usaha ekonomi produktif yang
dapat mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia.
2. Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam
Selanjutnya seiring dengan perkembangan industri perunggasan skala besar
yang mulai menggeser peternak rakyat pemerintah mengeluarkan Keputusan
Presiden No. 50 Tahun 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam. Keppres
ini melarang beroperasinya usaha-usaha ternak ayam ras petelur lebih dari 5.000
ekor dan ayam ras pedaging lebih dari 750 ekor per siklus. Hal ini mengandung arti
bahwa perusahaan-perusahaan yang sudah terlanjur memiliki usaha berskala besar
harus menutup usahanya dan mengalihkannya pada usaha lain seperti industri
pembibitan ayam, industri pakan ternak, industri Rumah Potong Ayam, atau
mengganti dengan usaha lain. Kebijakan ini telah menimbulkan kerisauan para
pemilik modal dan menganggap pemerintah sangat terlambat dalam melakukan
intervensi. Sulit untuk menghentikan kegiatan operasional usaha skala besar
mengingat dampak kerugian yang ditimbulkannya.
Pemerintah menyadari pula perlu dibina usaha perkoperasian dikalangan
peternak rakyat ditambah suntikan dana kredit untuk mempercepat perkembangan
usaha rakyat sebagai upaya untuk segera menggantikan kedudukan skala besar
yang harus menciutkan usahanya sesuai dengan tuntutan Kepres tersebut. Untuk
mensukseskan kemauan politik ini presiden memerintahkan melaksanakan Bimas
ayam, memerintahkan Bulog untuk mengawasi stabilisasi harga telur, mengadakan
usaha-usaha peningkatan pemasaran, pembinaan koperasi, melakukan operasi
pasar bagi pengawasan harga telur dan daging bagi konsumen dan suntikan dana
sekitar Rp. 50 milyar sebagai kredit Program Bimas Ternak Ayam.
Namun ternyata kemudian kebijakan ini tidak berjalan sesuai dengan yang
diharapkan, bahkan peternak kecil semakin kehilangan kesempatan untuk
mengembangkan usaha. Beberapa faktor penyebabnya adalah sebagai berikut:
Pertama, pembatasan skala usaha sesuai Kepres pada tingkat ukuran usaha yang
tidak menguntungkan sehingga tidak menjamin pengembangan peternak rakyat
10
(Yusdja et al., 2004). Peternak rakyat yang pada umumnya tidak memiliki modal
yang cukup justru harus memelihara jauh dibawah skala usaha, yakni < 1.000 ekor.
Sekalipun tidak menguntungkan, mereka masih mampu membayar tenaga kerja
keluarga. Kedua, kredit Bimas ayam berukuran sangat kecil, satu paket untuk
seorang peternak, dengan jumlah ayam 500 ekor. Dengan ukuran skala usaha
sebesar itu peternak tidak akan mampu mengembalikan kredit. Ketiga, pemerintah
tidak mampu melakukan kontrol terhadap pasar komoditas hasil ternak unggas
secara efektif.
3. Program PIR Perunggasan (1984) Melalui Kerjasama Tertutup.
Atas dasar kegagalan kebijakan Keppres No 50 Tahun 1981 pemerintah
mencoba membuat kebijakan baru pembenahan struktur industri perunggasan
melalui kebijakan pembentukan PIR (Perusahaan Inti Rakyat) perunggasan atau
yang dikenal dengan PIR-Gas. Tujuan kebijakan ini ditujukan untuk melindungi
usaha ternak rakyat, namun secara tidak langsung menerima kehadiran usaha skala
besar. Pola PIR merupakan bentuk struktur kerjasama antara perusahaan inti
(perusahaan peternakan) dan peternak plasma (peternak rakyat). Perusahaan inti
berfungsi sebagai lembaga pemasaran yang bertugas memasok sarana produksi
peternakan (sapronak) terutama bibit (DOC) dan pakan ternak kepada peternak
secara kredit, dan membeli keluaran telur dan daging ayam (broiler) dari peternak
tersebut. Dengan kata lain, perusahaan inti memiliki tanggung jawab dalam
membantu penyediaan permodalan dan pemasaran hasil ternak. Sementara itu,
peternak plasma harus membayar masukan yang dibelinya dari hasil penjualan
keluaran yang diperolehnya. Berapa harga keluaran itu per unit akan ditentukan
bersama, tetapi kesepakatan itu harus selalu memberikan keuntungan yang layak
bagi peternak. Secara konseptual, peternak rakyat mendapat jaminan dalam
pemasaran dan mendapat perlindungan perusahaan inti dengan harga yang layak.
Namun, kenyataannya tidak memperlihatkan kinerja seperti yang diharapkan.
Pola PIR perunggasan ternyata tidak bisa berjalan secara optimal. Sebagian besar
peternak kecil dalam periode ini malah gulung tikar (Rusastra et al., 1988). Maka
yang terjadi adalah mekanisme pasar yang sudah terlanjur bekerja terlalu kuat untuk
dikoreksi. Pemerintah sendiri kehilangan arah kebijakan dalam menghadapi
11
kenyataan ini. Selain itu, tahun 1987 dikenal sebagai tahun keprihatinan, karena
secara keseluruhan industri unggas menghadapi berbagai masalah yang tidak
kunjung selesai. Antara lain, tingginya fluktuasi harga telur dan daging broiler,
fluktusasi harga bibit, dan kenaikan harga pakan yang terus menerus sehingga
menyulitkan peternak rakyat.
4. Kepres No. 22/1990 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras
Selama masa dua tahun 1989-1990 usaha industri unggas khususnya industri
broiler bergerak tumbuh tanpa kendali dari pemerintah. Pertengahan tahun 1990,
pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang tertuang dalam Kepres 22 Mei 1990
tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras yang menyatakan bahwa (Yusdja
et al., 1996): (1) Usaha ternak ayam ras rakyat yang tidak lebih dari 15.000 ekor,
tidak memerlukan izin kecuali melapor kepada dinas peternakan setempat; dan (2)
usaha skala besar diperkenankan dengan syarat harus bermitra dengan usaha
rakyat, dimana dalam masa tiga tahun porsi usaha rakyat lebih besar, dan sekurang-
kurangnya 65 persen produksi untuk ekspor terutama untuk PMA. Khusus untuk
skala besar harus meminta izin kepada Menteri Pertanian.
Keppres 22 Mei 1990 masih dinilai merupakan kebijakan yang tetap
membingungkan, karena seperti telah dibahas bahwa peternakan rakyat hanya
mampu pada ukuran kurang dari 1000 ekor, maka pembatasan 15000 ekor untuk
usaha rakyat tidak memecahkan masalah, karena tidak ada usaha rakyat yang akan
berkembang mencapai skala usaha itu karena kesulitan modal. Pada sisi lain tidak
ada pemilik modal yang bersedia menanam investasi untuk skala 15.000 ekor
tersebut karena terlalu kecil dibandingkan pasar yang sangat luas. Namun demikian,
Keppres ini telah dimanfaatkan oleh skala besar untuk mengelabui pemerintah
dengan membagi-bagi usahanya dalam berbagai nama kepemilikan, sehingga tidak
menyimpang dari Keppres No. 22 Tahun 1990 tersebut. Pada kenyataannya dalam
periode 1992-1996 tercapai kemajuan industri ayam ras dengan prestasi yang
tertinggi karena dominasi perusahaan besar yang sangat tinggi.
5. SK Menteri Pertanian No.472 Tahun 1996.
Keputusan Menteri Pertanian No. 472 Tahun 1996 merupakan petunjuk teknis
Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras. Kebijakan ini sebagai upaya pemerintah
12
untuk mendorong usaha peternakan rakyat dan perusahaan peternakan
berkembang bersama-sama melalui kemitraan. Melalui kemitraan diharapkan dapat
terjadi suatu simbiosis yang saling menguntungkan antara perusahaan peternakan
dengan peternakan rakyat. Kemitraan tidak terbatas pada bentuk Peternakan Inti
Rakyat (PIR) tapi juga dapat dalam bentuk pengelola maupun penghela.
Perusahaan Penghela adalah perusahaan bidang peternakan yang mengadakan
kemitraan dengan pola penghela yang berkewajiban melakukan bimbingan teknis,
menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi peternakan rakyat ayam
ras, tidak mengusahakan permodalan dan tidak melaksanakan budidaya ayam ras
sendiri. Perusahaan Pengelola adalah perusahaan dibidang peternakan yang
mengadakan kemitraan dengan pola pengelola yang berkewajiban menyediakan
sarana produksi, bimbingan teknis dan manajemen, menampung, mengolah dan
memasarkan hasil produksi peternakan rakyat ayam ras, mengusahakan
permodalan tetapi tidak melaksanakan budidaya ayam ras sendiri.
3.2. Dinamika Perkembangan Bisnis Broiler.
Secara historis terdapat beberapa tahapan perkembangan bisnis broiler,
paling tidak dapat dibagi ke dalam enam fase perkembangan (Saptana dan
Sumaryanto, 2009) : (a) fase tahun 1990-1996 atau fase sebelum krisis moneter dan
ekonomi; (b) fase tahun 1997-1999, fase menghadapi krisis moneter dan ekonomi;
(c) Fase tahun 2000-2009, sebagai fase terjadinya outbreak Avian Influenza (AI)
yang terjadi pada tahun 2003-2004 dan zoonosis yang terjadi pada tahun 2005; dan
(d) Fase 2010-masa mendatang, sebagai perubahan iklim (climate change) dan
kebijakan penataan pasar unggas perkotaan dengan adanya kebijakan Pemerintah
DKI Jakarta yang mensyaratkan bahwa unggas yang masuk ke wilayah DKI harus
dalam bentuk karkas dan tidak boleh dalam bentuk ayam hidup.
1. Fase Tahun 1990-1996.
Pada fase 1990-1996 bisnis ayam ras pedaging (broiler) dipandang berjalan
sangat bagus, yang antara lain ditunjukkan oleh pertumbuhan populasi dan produksi
yang cukup tinggi, peternak mendapatkan keuntungan yang cukup layak dan
pendapatan yang diperoleh relatif stabil, pemasaran komoditas broiler berjalan
lancar. Pada tahun 1996, karena pertumbuhan populasi dan produksi yang tinggi
13
sementara disisi lain volume pasar tumbuh lebih lambat sebagai akibat daya beli
masyarakat yang menurun, sehingga ditengarai terjadinya kelebihan pasokan (over
supply) dan bisnis peternak broiler mendekati harga pokok produk. Pada tahun 1996
dapat dikatakan peternak dalam kondisi titik impas atau profit margin minimal,
karena mulai tidak stabilnya kondisi makro ekonomi.
2. Fase Tahun 1997-1998: Krisis Moneter dan Ekonomi serta Penyesuaiannya.
Pada fase tahun 1997-1998, peternak ayam ras pedaging (broiler) mengalami
kerugian besar. Berdasarkan informasi kualitatif dari Ditjen Peternakan yang dikutip
oleh Saptana (1999) diperoleh informasi bahwa akibat krisis moneter dan ekonomi
yang melanda Indonesia (1997-1998), populasi ayam ras pedaging (broiler) pada
tahun yang sama diperkirakan secara nasional tinggal 30 persen. Hasil penelusuran
data dan informasi di Jawa Barat diperoleh informasi bahwa populasi ayam ras
pedaging di Jawa Barat masih mencapai 58 persen dari total populasi Jawa Barat
pada tahun 1996 yang mencapai 35,88 juta ekor. Hasil penelitian Saptana (1999)
menunjukkan bahwa bagi peternak yang mengalami kerugian besar sebagian besar
gulung tikar, namun sebagian peternak yang cukup efisien masih mampu bertahan
dan masih menguntungkan dengan margin yang tipis, meskipun keuntungannya
merosot tajam. Sebagai ilustrasi, dalam kondisi krisis moneter dan ekonomi, usaha
ternak Pola Kawasan Industri Peternakan Rakyat Agribisnis (KINAK PRA) masih
mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 1,13 juta/4000 ekor/siklus, yang biasanya
keuntungannya diatas Rp. 4 juta. Pada kondisi yang sama untuk peternak Pola
Kawasan Industri Peternakan Perusahaan Inti Rakyat (KINAK PIR) masih
memberikan keuntungan Rp. 1,84 juta/6000 ekor/siklus. Untuk Pola Peternak
Mandiri yang efisien dan masih tetap bertahan masih memberikan keuntungan Rp.
2,12 juta/8000/siklus.
Karakteristik perubahan pada fase tersebut adalah (saptana, 1999): (a) harga
pakan naik, pakan stater naik dari Rp. 929/kg (1996) meningkat menjadi Rp.
3.300/kg (1998) dan untuk pakan finisher naik dari Rp 912/kg meningkat menjadi Rp.
3.300/kg atau meningkat lebih dari tiga kali lipat; (b) harga DOC broiler naik dari Rp.
1,026/ekor meningkat Rp. 2.500, namun kondisi DOC sulit menjualnya (kurang laku);
(c) disisi lain, harga jual hasil ternak broiler hidup naik dari Rp. 3.586/kg menjadi Rp.
14
6.980 (1998) dan harga karkas broiler naik dari Rp. 4.699/kg menjadi Rp. 10.500/kg,
keduanya naik kurang dari dua kali lipat.
Beberapa tindakan penyesuaian yang dilakukan oleh peternak dalam
menghadapi berbagai dampak krisis moneter dan ekonomi untuk dapat bangkit
kembali sebagai berikut: (a) prinsip “jika usaha diteruskan maka bisa hidup atau
mati, tapi jika usaha dihentikan sudah pasti usaha mati”; (b) tetap menjaga
hubungan baik dengan pemasok (supplier) sarana produksi peternakan (sapronak)
untuk menjaga hubungan baik dengan pemasok agro-input; (c) semua hutang
piutang diselesaikan melalui perencanaan waktu pembayaran atau penjadwalan
ulang; dan (d) harus punya keyakinan bahwa ada siklus bisnis ekonomi dan dalam
bisnis broiler. Ternyata apa yang dipikirkan sebagian tokok peternak adalah benar,
peternak mengalami keuntungan yang cukup besar pasca krisis moneter dan
ekonomi setelah ada penyesuaian harga-harga baik input maupun output.
3. Fase Tahun 2000-2007 : Krisis Terberat Peternak Unggas
Krisis terberat yang dirasakan peternak broiler justru pada tahun 2003-2004
ketika adanya wabah AI (Avian Influenza : Penyakit Strategis) dan tahun 2005 ketika
pengumuman zoonosis (Hardiyanto, 2009). Hal ini antara lain disebabkan : (a) krisis
berlangsung dalam periode waktu yang cukup lama (2003-2005); (b) krisis
berlangsung hanya pada dunia perunggasan saja, bukan pada usaha lainnya; (c)
dampak yang ditimbulkannya sangat dalam dan menyentuh seluruh sub sistem
dalam keseluruhan jaringan agribisnis broiler.
Hasil kajian Saptana et al., (2005) tentang dampak ekonomi flu burung
terhadap kinerja industri perunggasan di Provinsi Jawa Tengah memberikan temuan
sebagai berikut : (a) dampak ekonomi AI terhadap perusahaan pembibitan (breeding
farm) adalah terjadinya penurunan volume produksi DOC hingga 40 persen dan
menurunnya harga penjualan DOC hingga jauh dibawah titik impas (break even
point) atau mengalami penurunan hingga 70 persen; (b) dampak ekonomi AI
terhadap perusahaan pakan ternak menyebabkan terjadi penurunan volume
produksi sebesar 14,58 persen, tetapi tidak berdampak terhadap menurunnya harga
jual pakan, bahkan harga pakan selalu bergerak naik dari waktu ke waktu, karena
pabrik pakan punya usaha budidaya dan melakukan kemitraan usaha; (c) dampak
ekonomi AI terhadap usaha distribusi sapronak oleh Poultry Shop (PS) adalah telah
15
terjadi penurunan volume penjualan pakan, di mana untuk PS sebagai agen
mengalami penurunan sekitar 40 persen dan PS sebagai penyalur sebesar 75
persen; (d) dampak ekonomi AI terhadap usaha budidaya adalah banyaknya
peternak yang gulung tikar (30-40 %); (e) dampak ekonomi AI terhadap usaha jasa
pemotongan adalah penurunan jumlah ayam yang dipotong sebesar 40 persen; dan
(f) dampak ekonomi AI terhadap pedagang pengumpul broiler adalah terjadinya
penurunan volume penjualan hingga 60-80 persen.
Perubahan terbesar dalam industri broiler terjadi pada tahun 2005 karena
seluruh kebijakan pemerintah dan pola pikir masyarakat terhadap unggas mulai
berubah baik dari sudut pandang teknik budidaya secara lebih baik, lokasi kandang
yang makin memperhatikan kondisi lingkungan, penanganan biosecurity yang lebih
ketat, pengelolaan Rumah Potong Ayam (RPA) secara bersih dan hygienes, adanya
rencana perubahan dalam pengelolaan pasar unggas hidup ke pasar daging ayam,
serta pendidikan dan promosi pentingnya konsumsi daging ayam. Krisis berat
lainnya terjadi pada akhir tahun 2007 ketika kenaikan harga minyak dunia yang
memicu kenaikan BBM dalam negeri dan sangat membebani industri broiler.
4. Fase 2007-2009 : Krisis Finansial Global
Pada periode 2007-2009, terjadi krisis keuangan global yang mulai terasa
pada akhir tahun 2008, juga terjadi krisis pangan (food) dan energi (fuel) yang terjadi
pada waktu yang hampir bersamaan, yang sering disebut sebagai krisis kembar.
Pada semester pertama tahun 2008, Indonesia seperti juga negara-negara lain di
dunia mengalami kenaikan harga bahan pangan yang sangat tinggi. Harga
komoditas pangan meningkat sebesar 2-3 kali dibandingkan dengan harga pangan
pada tahun 2005. Faktor-faktor utama penyebab kenaikan harga pangan dunia
tersebut adalah (Daryanto, 2008) : (a) fenomena perubahan iklim global yang
berakibat pada rendahnya persediaan bahan pangan global, (b) peningkatan
permintaan konversi komoditas pangan untuk bahan bakar nabati, (c) peningkatan
permintaaan komoditas pangan di negara-negara berkembang terkait dengan
pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, misalnya di negara-negara BRICs (Brazil,
Rusia, India dan China,) (d) aksi spekulasi yang dilakukan oleh investor di pasar
komoditas global karena kondisi pasar keuangan global yang tidak menentu, dan (e)
peningkatan biaya produksi terkait dengan naiknya harga minyak bumi.
16
Pada semester ke dua tahun 2008, harga beberapa komoditas pangan
strategis mengalami penurunan yang sangat tajam. Krisis keuangan global
mengakibatkan melemahnya daya beli (purchasing power) masyarakat sehingga
volume transaksi perdagangan pangan global menurun secara tajam. Faktor lain
yang turut berkontribusi terhadap menurunnya harga komoditas pangan antara lain
adalah menurunnya harga minyak bumi dunia. Selain rendahnya tingkat daya beli
konsumen, sektor perunggasan di Indonesia juga menghadapi tantangan antara lain
belum tuntasnya penanganan wabah penyakit khususnya flu burung (AI), besarnya
ketergantungan impor bahan baku pakan ternak, meningkatnya harga-harga jagung
dan kedelai yang menjadi bahan baku pakan di pasar internasional, serta kebijakan
antara daerah pemasok dan tujuan pasar yang belum sinkron. Hal ini setidaknya
akan mengganggu kinerja sektor industri perunggasan terutama di sektor hulu yang
juga akan berdampak pada sektor hilir.
Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi yang dialami oleh Amerika
Serikat (AS) secara tidak langsung akan mempengaruhi ekonomi negara-negara lain
yang ekonominya terkait dengan AS, termasuk Indonesia. Memang fenomena saat
ini mengingatkan kita pada situasi krisis moneter dan ekonomi pada tahun 1997-
1998. Namun krisis moneter dan ekonomi 1997-1998 lebih besar dampaknya bagi
Indonesia jika dibandingkan dengan krisis finansial global yang sekarang. Karena
krisis 1997-1998 lalu kerusakannya disebabkan oleh faktor dari dalam dan kita
dalam kondisi tidak siap menghadapinya, sedangkan krisis finansial global
kerusakan datang dari luar dan pemerintah dan dunia swasta lebih siap
menghadapinya. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 akan lebih sulit dengan
pertumbuhan tidak akan sebesar tahun-tahun sebelumnya. Namun tidak akan
mengalami pertumbuhan negatif yang besar seperti yang terjadi pada tahun 1998.
Dampak krisis keuangan global diperkirakan akan berdampak negatif
terhadap kinerja industri perunggasan (broiler) Indonesia. Harga ayam broiler di
Jabodetabek akhir tahun 2008 mengalami stagnasi dengan kisaran harga antara Rp.
9.500-10.100,-/kg broiler (Trobos, Januari 2009). Hingga maret 2009 harga broiler
masih rendah yaitu sebesar Rp. 11.600,-/kg, namun pernah menyentuh Rp.
14.600/kg broiler (Trobos, 15 April 2009). Dikemukakan bahwa pada periode tahun
2008, peternak masih menerima keuntungan, namun diperkirakan keuntungan
17
mengalami penurunan kurang lebih 40 persen dibandingkan keuntungan yang
diterima pada tahun 2007.
Bahan baku pakan ternak seperti jagung dan ubikayu berpotensi bersaing
dalam penggunaannya untuk bahan bakar etanol (biodisel) sebagai bahan bakar
pengganti bahan bakar minyak (BBM) yang sedang digalakkan oleh beberapa
negara besar seperti Amerika Serikat yang dapat mempengaruhi harga jagung dan
ubikayu di pasar internasional. Jagung merupakan bahan utama pakan unggas baik
petelur maupun broiler. Jagung yang berasal dari Argentina, AS dan China sampai
saat ini masih merupakan andalan industri perunggasan Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan pakan ternak unggas di negeri ini.
5. Fase 2010: Climate Change dan Kebijakan Penataan Pasar Unggas
Perkotaan.
Kinerja dan keberhasilan usahaternak ditentukan oleh resultante bekerjanya
demikian banyak faktor, baik yang dapat dikendalikannya (internal) maupun yang
tidak dapat dikendalikannya (eksternal). Faktor-faktor internal berkaitan erat dengan
kapabilitas manajerial peternak dalam mengelola usahaternak. Tercakup dalam
gugus faktor internal adalah tingkat penguasaan teknologi pembibitan, budidaya,
dan pasca panen serta kemampuan dalam mengendalikan risiko.
Faktor eksternal yang mempengaruhi usahaternak mencakup perubahan iklim
(climate change), serangan OPT, bencana alam, serta harga input dan output. Pola
iklim sangat berpengaruh terhadap tingkat produksi komoditi pertanian termasuk
usahaternak broiler yang dihasilkan, sehingga kejadian El Nino dan La Nina yang
cenderung meningkat dikhawatirkan dapat menyebabkan penurunan produksi
pertanian pangan baik nabati maupun hewani dan mengancam ketahanan pangan
nasional. Kondisi perubahan iklim yang semakin intens harus diantisipasi dengan
cermat oleh pelaku ekonomi khususnya para peternak unggas yang merupakan
bisnis bernilai ekonomi tinggi yang sangat rentan terhadap faktor eksternal.
Pada fase 2010 hingga masa mendatang diperkirakan tantangan peternak,
khususnya peternak rakyat akan semakin besar, terutama peternak yang memasok
ke wilayah DKI jakarta. Pemda DKI Jakarta telah mengeluarkan Perda DKI No.
4/2007 tentang Pengendalian, Pemeliharaan dan Peredaran Unggas yang
implementasinya diberlakukan tahun 2010. Kebijakan atau peraturan tersebut
18
mensyaratkan bahwa unggas yang boleh memasuki pasar DKI adalah unggas
(broiler) yang sudah dalam bentuk daging ayam (karkas). Kebijakan ini ditujukan
untuk pengendalian pemeliharaan dan peredaran unggas di wilayah DKI. Kebijakan
ini diperkirakan akan memiliki dampak terhadap industri perunggasan terutama
peternak rakyat dan bagi masyarakat konsumen di wilayah DKI Jakarta. Salah satu
tantangan bagi peternak broiler adalah Perda DKI Jakarta tentang unggas hidup
dilarang masuk pasar Jakarta dan di sisi lain belum ada kepastian pasar untuk
produk yang menggunakan rantai dingin (cold storage). Pelaksanaan Perda DKI No.
4/2007 tersebut perlu mempertimbangkan aspek kebijakan/peraturan, aspek
pengendalian penyakit, aspek bisnis perunggasan, kesiapan pelaku baik di daerah
pemasok maupun di daerah tujuan pasar, serta kesiapan masyarakat konsumen.
6. Fase 2013-2015: Fenomena Kelebihan Pasokan (Over Supply) dan Peternak
Mandiri Merugi.
Dilihat dari perspektif persaingan usaha pada bisnis broiler pada periode
tahun 2013-2015 kondisi industri sangat baik yang antara lain diindikasikan oleh: (1)
pasokan broiler di pasar terus meningkat, (2) Harga yang terjadi dipasar cukup
kompetitif, bahkan dalam jumlah terbatas dapat melakukan ekspor daging ayam
(KPPU, 2016). Akan tetapi kondisi ini dianggap sangat merugikan pelaku usaha
kecil, terutama Peternak Mandiri karena harga yang tercipta sangat merugikan. Atas
nama perlindungan peternak mandiri, kemudian pelaku usaha besar melalui
berbagai dialog antar stakeholders perunggasan dan pemerintah melakukan
pembatasan pasokan, yang di tahun 2015 dilakukan dengan pemusnahan Parents
Stock (PS) yang diperkirakan mencapai 6 juta ekor. Efeknya hanya dua hari sejak
pemusnahan PS dilakukan maka harga DOC mengalami peningkatan yang sangat
tinggi dan peternak mandiri kesulitas mendapatkan DOC berkualitas.
Perlindungan peternak mandiri harus memperhatikan kondisi dan posisinya
saat ini, yang secara garis besar adalah sebagai berikut: (1) Menggantungkan
pasokan DOC dan pakan kepada pelaku usaha besar (PT Charoen Phokpand
Indonesia, PT Japfa Comfeed, PT Anwar Sierad); (2) Pembatasan PS menyebabkan
DOC produksi perusahaan besar digunakan untuk budidaya integrasi perusahaan
dan kemitraan usaha, peternak mandiri tidak mendapatkan jatah DOC yang
berkualitas sehingga kinerja usahaternak rendah dan terancam merugi; (2) Pada sisi
19
pasar output, harga jual produk sangat ditentukan oleh pedagang besar ayam hidup
antar wilayah di daerah sentra produksi dan pedagang grosir dipusat konsumsi yang
memiliki fasilitas Cold Storage. Nampak kebijakan pembatasan atau pemusnahan
PS dipandang tidak tepat dan menyulitkan posisi peternak mandiri.
IV. SITUASI BISNIS KOMODITAS BROILER DUNIA
4.1. Perkembangan Produksi Daging Unggas (Broiler) Dunia
Total produksi daging unggas dunia sebesar 85 juta ton pada tahun 2013
dengan tiga produsen utama AS, China dan Brazil dengan produksi masing-masing
sebesar 17,5 juta ton; 13,7 juta ton dan 13,0 juta ton. Indonesia ternyata termasuk
kedalam 10 besar produksi daging dunia dengan produksi daging sebanyak 1,55
juta ton, sedikit lebih tinggi dari Thailand, tetapi diperkirakan pada tahun 2014,
Thailand mengungguli Indonesia dalam menghasilkan daging broiler. Konsumsi
broiler penduduk Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan masih 8 kg, jauh lebih
kecil jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi penduduk Malaysia sebanyak 35
kg per tahun. Konsumsi Indonesia masih lebih tinggi dibanding Vietnam yang
penduduknya mengkonsumsi daging ayam 6.2 kg saja, tetapi penduduk Vietnam
mengkonsumsi daging babi sebanyak 39 kg (USGC, 2013 dalam Tangenjaya, 2014)
sehingga kalau dihitung total konsumsi protein hewani, Indonesia merupakan
Negara terendah diantara Negara ASEAN utama (Singapura, Malaysia, Thailand,
Filipina, Vietnam dan Indonesia). Informasi secara lebih terperinci tentang negara
penghasil daging unggas di dunia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Produsen daging (setara siap masak) broiler didunia (x1.000 ton)
Negara 2009 2010 2011 2012 2013 2014*
United States 15,935 16,563 16,694 16,621 16,958 17,456
China 12,100 12,550 13,200 13,700 13,500 13,700
Brazil 11,023 12,312 12,863 12,645 12,770 13,020
European Union 8,756 9,202 9,320 9,550 9,750 9,900
India 2,550 2,650 2,900 3,160 3,420 3,625
Russia 2,060 2,310 2,575 2,830 3,050 3,300
Mexico 2,781 2,822 2,906 2,958 3,002 3,045
Argentina 1,500 1,680 1,770 2,014 2,022 2,100
Turkey 1,180 1,420 1,619 1,707 1,760 1,820
Thailand 1,200 1,280 1,350 1,550 1,500 1,625
Indonesia 1,409 1,465 1,515 1,540 1,550 1,565
Others 13,222 14,081 14,567 14,929 15,358 15,826
Total 73,716 78,335 81,279 83,204 84,640 86,982
Source: USDA/FAS Livestock and Poultry: World Markets and Trade , Nov 2013. * prakiraan
20
4.2. Perkembangan Konsumsi Daging Ayam (Broiler) Dunia
Tren konsumsi daging ayam secara global mengalami pertumbuhan dari
waktu ke waktu. Konsumsi terbesar secara berturut-turut adalah Amerika Serikat,
Brazil, Argentina, Mauritus, Rusia, Uni Eropa, Jepang, China, dan Rwanda.
Konsumsi perkapita di Amerika Serikat sudah diatas 45 kg, Brazil 38 kg, Argentina
30 kg, Mauritius 23 kg, Rusia 18 kg, Jepang 15 kg, China 7.5 kg, Indonesia 5.9 kg,
dan India 2 kg/kapita/tahun (FAO, 2008). Sektor peternakan menyediakan pangan
paling tidak untuk 830 juta masyarakat yang rentan terhadap ketahanan pangan.
Terdapat perbedaan konsumsi kilokalori yang signifikan antara negara-negara maju
dan negara-negara berkembang, tetapi laju pertumbuhan konsumsi tertinggi terjadi
di negara-negara berkembang. Informasi secara lebih terperinci tentang tingkat
konsumsi daging unggas dunia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Konsumsi daging unggas dunia menurut benua, 2014.
Benua Volume (ribu ton) Proporsi (%)
Africa 1,092.00 2.39
Asia 6,667.00 14.56
Europe 9,465.00 20.67
USSR 1,755.00 3.83
North and Central America 15,137.00 33.06
South America 2,199.00 4.80
Oceanea 9,465.01 20.67
World 45,780.01 100.00
Sumber: Index Mundi (2014).
Sepuluh negara dengan tingkat konsumsi daging ayam terbesar menurut
negara adalah Amerika Serikat, China, Uni Eropa-27, Brazil, Federasi Rusia,
Mexico, India, Jepang, Afrika secara keseluruhan, dan Argentina. Indonesia berada
pada peringkat ke sebelas dalam jumlah total konsumsi daging ayam. Secara
terperinci konsumsi daging ayam dunia menurut negara dapat dilihat pada Tabel 3.
Tingkat konsumsi daging di Amerika Serikat tergolong yang tertinggi didunia
baik untuk broiler, daging babi, dan daging sapi. Pada tahun 2000 tingkat konsumsi
daging broiler di AS baru 42 kg/kapita/tahun, pada tahun 2006 mencapai 46
kg/kapita/tahun, dan pada tahun 2012 sedikit mengalami penurunan menjadi 43
kg/kapita/tahun. Pada awalnya konsumsi daging didominasi oleh daging sapi, tingkat
21
konsumsi daging sapi pada tahun 2000 mencapai 45 kg/kapita/tahun, secara
bertahap mengalami penurunan sehingga pada tahun 2012 hanya sebesar 37
kg/kapita/tahun. Sementara itu, tingkat konsumsi daging babi menempati urutan
terakhir, pada tahun 2000 tingkat konsumsi daging babi sebesar 29 kg/kapita/tahun.
Jumlah konsumsi daging babi dan sapi sedikit mengalami penurunan, sedangkan
jumlah konsumsi daging broiler mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Tabel 3. Dua puluh negara terbesar dalam konsumsi daging unggas dunia, 2014.
Rangking Negara Jumlah konsumsi (kg/kap/thn) Pangsa (%)
1 USA 14,087 30.77
2 China 13,555 29.61
3 EU-27 9,465 20.67
4 Brazil 9,396 20.52
5 USSR 3,765 8.22
6 Mexico 3,730 8.15
7 India 3,621 7.91
8 Japan 2,155 4.71
9 Africa 1,755 3.83
10 Argentina 1,747 3.82
11 Indonesia 1,565 3.42
12 Saudi Arabia 1,465 3.20
13 Malaysia 1,396 3.05
14 Turkey 1,380 3.01
15 Colombia 1,219 2.66
16 Canada 1,050 2.29
17 Thailand 1,045 2.28
18 Australia 1,014 2.21
19 Phillippine 989 2.16
20 Venezuela 975 2.13
Dunia 45,780 100.00 Sumber: Index Mundi (2014).
Tren konsumsi daging ayam di Amerika Serikat yang terus meningkat
menunjukkan prospek yang baik di pasar global. Informasi secara keseluruhan
tentang konsumsi daging menurut jenis di Amerika Serikat dapat dilihat pada
Gambar 2 berikut.
22
Sumber: Gorgon Butland, 2012
Tingkat konsumsi daging ayam di Brasil tergolong menempati urutan ke dua
tertinggi setelah Amerika Serikat. Pada tahun 1991 tingkat konsumsi daging unggas
di Barasil baru sebesar 15 kg/kapita/tahun, pada tahun 1996 meningkat menjadi 22
kg/kapita/tahun, selanjutnya pada tahun 2001 meningkat menjadi 31.5
kg/kapita/tahun, selanjutnya pada tahun 2006 terus mengalami peningkatan menjadi
36 kg/kapita/tahun, terakhir pada tahun 2011 tingkat konsumsi daging unggas di
Brasil telah mencapai 47 kg/kapita/tahun. Berdasarkan tren konsumsi daging
unggas, tingkat konsumsi daging unggas di Brasil masih tetap tumbuh sejalan
dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi di kawasan tersebut. Informasi
secara keseluruhan tentang konsumsi perkapita di Brazil dapat dilihat pada Gambar
3 berikut.
Gambar 2. Konsumsi daging per kapita di USA menurut jenis
Ternak
23
Sumber: Gorgon Butland, 2012
4.3. Perkembangan Ekspor Daging Ayam (Broiler) Dunia
Meskipun Indonesia termasuk ke dalam Negara 10 besar penghasil dagaing
ayam (broiler), tetapi Indonesia tidak termasuk kedalam Negara-negara pengekspor
broiler di dunia. Tabel 4 menunjukkan bahwa negara pengekspor daging ayam
(broiler) utama masih dikuasai oleh Brazil dan AS, dengan jumlah ekspor masing-
masing sebesar 3,6 dan 3,4 juta ton dalam setara daging siap masak pada tahun
2013. Negara Uni Eropa juga mengekspor daging ayam sebesar 1,1 juta ton tetapi
Uni Eropa juga mengimpor daging broiler sebesar 670 ribu ton (USDA, 2014).
Menurut perkiraan USDA, ekspor broiler Uni Eropa pada tahun 2014 akan tetap
sebesar 1,1 juta ton karena ditangguhkannya insentif pengembalian ekspor.
Gambar 3. Konsumsi daging unggas per kapita di Brasil.
24
Table 4. Pengekspor daging (setara siap masak) broiler di dunia (x1.000 ton)
Negara Pengekspor 2009 2010 2011 2012 2013 2014*
Brazil 3,222 3,272 3,443 3,508 3,580 3,625
United States 3,093 3,067 3,161 3,300 3,354 3,425
European Union 765 934 1,044 1,094 1,095 1,105
Thailand 379 432 467 538 540 580
Turkey 86 110 206 285 365 440
China 291 379 423 411 415 415
Argentina 178 214 224 291 323 355
Ukraine 18 32 43 76 120 170
Canada 147 147 143 140 150 155
Belarus 21 38 74 105 100 115
Chile 87 79 90 93 91 91
Others 146 173 219 242 260 289
Total 8,433 8,877 9,537 10,083 10,393 10,765
Catatan: Ceker ayam tidak termasuk
Source: USDA/FAS Livestock and Poultry: World Markets and Trade , Nov 2013. * prakiraan
Apabila kemampuan ekspor broiler digunakan sebagai indikator suatu negara
dalam dayasaing di dunia, maka Indonesia boleh dikatakan tidak mempunyai
dayasaing dalam menghasilkan daging ayam (broiler) dibanding Thailand. Dalam
ASEAN, Thailand adalah negara yang paling memiliki daya saing dalam
mengekspor broiler dengan kenyataan bahwa 35% dari produk broilernya diekspor
ke berbagai Negara di dunia terutama Uni Eropa dan Timur Tengah (Gambar 4).
Dalam kerangka MEA bukan tidak mungkin Indonesia akan kemasukan produk
broiler dari Thailand karena negara tersebut lebih efisien dan murah.
25
Sumber: http://www.efeedlink.com/publication/
Gambar 4. Ekspor produk unggas Thailand berdasar hasil olahan dan persentasenya terhadap total produksi unggas.
Malaysia mampu mengekspor daging ayam (broiler) tetapi terbatas ke Negara
Singapura, sedangkan Filipina baru menjajaki untuk mengekspor broiler ke Jepang
dengan keunggulan komparatif bahwa Filipina terbebas dari flu burung (Highly
Pathogenic Avian Influenza/ HPIA). Apabila dibandingkan dengan Negara lain di
ASEAN maka perusahaan perunggasan Indonesia masih tertinggal dalam dayasaing
apabila diukur dari kemampuan untuk mengekspor produk daging ayam (broiler) ke
negara lain. Thailand merupakan Negara yang paling mampu bersaing dan berbagai
perusahaan unggas mampu mengekspor produk olahan berbahan baku daging
ayam ke berbagai Negara di dunia. Demikian juga dengan Malaysia yang mampu
menembus pasar Singapura dan hampir semua perusahaan unggas di Malaysia
sudah melakukan sistim usaha ternak broiler terintegrasi secara vertikal, padahal
Malaysia mengimpor hampir semua bahan baku pakan untuk industri unggasnya.
4.4. Perkembangan Impor Daging Ayam (Broiler) Dunia
Situasi pasar daging global menghadapi tantang yang berat karena
dihadapkan pada harga pakan ternak yang tinggi, tingkat konsumsi yang mengalami
pelandaian atau stagnan, dan keuntungan yang turun tajam (FAO, 2012). Dengan
pertumbuhan total output melambat menjadi hanya 2%, dengan harga internasional
mendekati rekor tertinggi, pertumbuhan perdagangan dunia juga melambat.
26
Menghadapi harga pakan ternak yang terus meningkat dan konsumsi daging
ayam yang melambat, produksi daging global pada tahun 2012 diperkirakan akan
tumbuh kurang dari 2% menjadi hanya sebesar 302 juta ton. Akibat margin
keuntungan industri perunggasan yang mengalami penurunan tajam, banyak
diterjemahkan kedalam keuntungan yang dinikmati oleh negara maju, sebagian
besar pertumbuhan dunia kemungkinan akan terjadi bergeser ke negara-negara
berkembang, yang kini mencapai 60 persen dari total output dunia. Hampir sebagian
besar pertumbuhan industri peternakan pada 2012 secara berturut-turut berasal dari
daging unggas, daging babi, daging sapi, dan daging domba. Informasi secara
terperinci tentang neraca daging dunia menurut jenis daging dapat dilihat pada Tabel
5.
Sumber: Gorgon Butland, 2012
Tabel 5. Neraca daging dunia menurut jenis daging, 2010-2012.
27
Situasi pasar yang cukup mengkawatirkan tentang profitabilitas sektor daging
unggas telah diperparah oleh melemahnya pertumbuhan pasar ekspor, dengan
ekspansi perdagangan diperkirakan melambat dari 8% (2011) menjadi hanya 2%
(2012). Ekspor daging global diperkirakan akan naik tipis hanya sekitar 600 ribu ton
menjadi 29,4 juta ton pada tahun 2012, terutama ditopang oleh peningkatan daging
unggas dan daging babi. Pertumbuhan pasar daging unggas kemungkinan terbesar
akan ditangkap oleh negara-negara berkembang, khususnya Brazil, Argentina, India,
dan Thailand.
Kenaikan harga pakan dan melambatnya pertumbuhan produksi daging telah
mendorong kenaikan harga daging di pasar internasional pada akhir 2012, ke tingkat
mendekati tertinggi dicapai pada tahun 2011. Dengan demikian, indeks harga daging
ayam telah melonjak 5% sejak Juli 2012, rata-rata 174 poin antara Januari dan
Oktober 2012, jika dibandingkan dengan 176 poin untuk periode yang sama pada
tahun 2011. Sebagian besar dari kenaikan indeks harga daging baru-baru ini
mencerminkan kenaikan harga untuk daging unggas dan daging babi, yang masing-
masing meningkat sebesar 9% dan 12%, sejak Juli 2011. Informasi tentang
pergerakan harga daging menurut jenis daging di pasar global dapat disimak pasa
Gambar 5.
FAO International Meat Price Indices (2002-2004 = 100)
Sumber: Gorgon Butland, 2012
Gambar 5. Indikator harga daging di pasar global
28
Pertumbuhan produksi unggas melemah dalam menghadapi harga pakan
ternak yang tinggi dan mengakibatkan beberapa pelaku usaha industri perunggasan
mengalami penurunan keuntungan. Harga pakan ternak yang tinggi dan
pertumbuhan konsumsi yang stagnan menyebabkan penurunan pertumbuhan
produksi daging unggas dunia dari 3,4% (2011) menjadi 2,0% (2012). Hal ini
mencerminkan hilangnya momentum pertumbuhan industri peternakan baik di
negara berkembang maupun negara maju. Produksi daging global sekarang
diperkirakan akan naik 2,2 juta ton menjadi 104.500.000 metrik ton, dengan dua-
pertiga dari pertumbuhan berasal dari Kawasan Asia.
Sementara harga daging ayam tetap kompetitif dan disukai oleh pelanggan
sensitif terhadap harga, kesulitan dalam menghadapi kenaikan harga pakan yang
lebih tinggi telah mengakibatkan margin keuntungan turun tajam dan sebagian
pelaku usaha mengalami keuntungan negatif bagi pelaku usaha industri
perunggasan dan lebih rendah dari tahun ke tahun sebelumnya, situasi ini dapat
menyebabkan penurunan produksi di negara-neragar produsen dan eksportir utama
daging ayam, seperti Amerika Serikat dan Brazil. Prospek yang lebih positif terjadi di
Uni Eropa dan Federasi Rusia dengan memperluas output daging ayam untuk
memenuhi permintaan domestik yang kuat. Peningkatan investasi dan pergeseran
konsumen dari babi ke unggas mendasari ekspansi output daging ayam di Cina.
Keuntungan produksi juga diramalkan terjadi dewasa ini di India, Indonesia,
Jepang, Malaysia dan Thailand, dengan terjadinya pasokan berlebih (oversupply)
dilaporkan akan menekan harga dan profitabilitas menurun. Sementara 12 negara
telah terdaftar wabah flu burung pada tahun 2012, kejadian yang terus-menerus
telah menahan laju peningkatan output di Viet Nam. Hal ini berbeda dengan Meksiko
di mana wabah flu burung (avian influenza) H7N1 mempengaruhi produksi telur dan
pedaging ayam (broiler). Tidak seperti di Brazil, sektor ini diperkirakan akan tumbuh
tinggi di Argentina, yang telah pindah ke posisi sebagai produsen unggas terbesar
kelima di dunia, mencerminkan tahun terakhir pemerintah didukung investasi dan
harga pakan yang kompetitif. Beberapa negara di Timur Tengah khususnya di Arab
Saudi, subsidi pakan ternak diimpor mendukung ekspansi output unggas, yang akan
mengangkatkan tingkat swasembada negara dari 38% (2011) menjadi 46% (2012).
Dengan ketersediaan daging ayam yang memadai di banyak pasar Asia
menyebabkan permintaan impor daging ayam di Kawasan Asia menjadi yang lebih
29
rendah, perdagangan unggas global diperkirakan naik hanya 2,4% menjadi 13 juta
ton pada tahun 2012. Hal ini berarti sektor perunggasan kehilangan momentum
berharga dibandingkan dengan 2010 dan 2011, ketika perdagangan produk unggas
naik masing-masing sebesar 6,7% dan 8,8%.
Ekspansi produksi pada awal tahun 2012 terjadi di Jepang, Republik Korea
dan Filipina sehingga membatasi pasokan broiler impor ke wilayah ini, meskipun
pengiriman yang lebih besar terjadi ke Singapura dan Viet Nam. Pengiriman ke
Federasi Rusia pada tahun 2012 diperkirakan akan kembali meningkat setelah
empat tahun mengalami kontraksi, lebih sebagai hasil dari perjanjian khusus dengan
Ukraina dan Belarus dibandingkan sebagai kenggotaan baru dalam WTO.
Berbeda dengan wilayah lain, pertumbuhan impor untuk Afrika secara
keseluruhan diperkirakan akan tetap bertahan pada sekitar 12% pada 2012.
Kecenderungan ini mencerminkan efek positif dari pertumbuhan pendapatan di
beberapa negara Afrika, seperti Angola, Benin, Ghana dan Republik Kongo, yang
menyebabkan meningkatnya permintaan dua digit impor domestik terhadap daging
unggas. Bahkan pengiriman ke Afrika Selatan terus mengalami peningkatan,
meskipun negara ini memberlakukan kebijakan anti-dumping pada pengiriman
daging unggas asal Brasil. Impor Mesir juga mengalami lonjakan pada tingkat
tertinggi, menyusul wabah flu burung. Sebaliknya, impor daging oleh Republik Islam
Iran, termasuk unggas, yang pasokannya semakin didominasi oleh negara tetangga
Turki mengalami penurunan karena dampak dari sanksi ekonomi.
Margin rendah dan output menurun diharapkan dapat menghasilkan hanya
dalam ekspansi moderat ekspor daging unggas oleh Amerika Serikat dan Brazil,
yang bersama-sama memasok dua pertiga dari perdagangan global. Sementara itu,
pengiriman dari Thailand ke Uni Eropa diperkirakan terus meningkat dengan pesat,
karena harga yang kompetitif dan dapat dipenuhinya standar yang dipersyaratkan
bahwa pasokan daging unggas harus dilakukan melalui sistem rantai dingin.
Demikian juga, ekspor dari Turki, yang telah diuntungkan selama beberapa tahun
terakhir dari permintaan regional yang terus meningkat, terutama dari Irak,
diperkirakan akan tumbuh lebih dari 20%. Investasi pemerintah untuk mendukung
ekspor daging ayam dilakukan oleh Argentina, terutama untuk memasok ke pasar
regional, termasuk Venezuela dan Chile. Informasi tentang keuntungan produsen
30
daging ayam di bawah tekanan ketidak stabilan harga output dan tingginya biaya
pakan ternak dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.
Profitability for pork and poultry producers hit by inability to raise prices to factor in high feed costs Sumber: Gorgon Butland, 2012
Negara pengimpor daging ayam (broiler) 10 negara terbesar secara berturut-
turut adalah Jepang sebesar 855 ribu ton (9,65%), Saudi Arabia sebesar 825 ribu
ton (9,31%), Iraq sebesar 700 ribu ton (7,90%), Meksiko sebesar 690 ribu ton
(7,79%), Uni Eropa-27 sebesar 670 ribu ton (7,56%), Federasi Rusia sebesar 530
ribu ton (5,98%), Angola sebesar 375 ribu ton (4,23%), Afrika Selatan sebesar 340
ribu ton (3,84%), Venezuela sebesar 300 ribu ton (3,39%), China sebesar 270 ribu
ton (3,05%) (Tabel 6). Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa impor daging
ayam relatif menyebar di banyak negara. Dalam hal ini, meskipun secara agregat
Indonesia adalah juga net importir, namun volume impor dan pangsa impornya relatif
sangat kecil. Indonesia dapat dikatakan swasembada (self sufficient) dalam daging
unggas.
Gambar 6. Keuntungan produsen daging di bawah tekanan ketidakstabilan harga
output dan tingginya biaya pakan
31
Tabel 6. Dua puluh negara importir daging broiler terbesar, 2014.
Rangking Negara Volume impor (ribu ton) Pangsa (%)
1 Japan 855 9.65
2 Saudi Arabia 825 9.31
3 Iraq 700 7.90
4 Mexico 690 7.79
5 EU-27 670 7.56
6 Russian Federation 530 5.98
7 Angola 375 4.23
8 South Africa 340 3.84
9 Venezuela 300 3.39
10 China 270 3.05
11 Hong Kong 255 2.88
12 United Arab Emirates 251 2.83
13 Kazakhstan 245 2.77
14 Cuba 210 2.37
15 Ghana 200 2.26
16 Canada 145 1.64
17 Philippines 130 1.47
18 Korea, Republic Of 125 1.41
19 Benin 115 1.30
20 Oman 115 1.30
Dunia 8.857 100.00
Sumber: Index Mundi (2014).
4.5. Perkembangan Stok Daging Ayam (Broiler) Dunia
Gambaran stok daging unggas dipasar global relatif terbatas, hanya beberapa
negara yang telah mengembangkan sistem rantai dingin dengan baik yang dapat
melakukan stok daging ayam. Hanya terdapat lima negara pemegang stok daging
ayam (broiler) awal di pasar global, yaitu Amerika Serikat sebesar 295 ribu ton
(54,13%), Jepang sebesar 119 ribu ton (21,83%), Thailand sebesar 84 ribu ton
(15,41%), Canada sebesar 35 ribu ton (6,42%), dan Korea Selatan sebesar 12 ribu
ton (2,20%) dari total stok awal dunia. Stok ternyata dilakukan oleh negara
pengekspor utama dan importir utama broiler. Informasi secara terperinci tentang
stok daging unggas awal menurut negara dapat dilihat pada Tabel 7.
32
Tabel 7. Stok awal daging unggas menurut negara, 2014 (estimasi).
Rangking Negara Stok Awal (ribu ton) Pangsa (%)
1 United States 295 54.13
2 Japan 119 21.83
3 Thailand 84 15.41
4 Canada 35 6.42
5 Republic Of Korea 12 2.20
6 Kuwait 0 0.00
7 Kazakhstan 0 0.00
8 Republic Of Moldova 0 0.00
9 Macedonia 0 0.00
10 Mexico 0 0.00
11 Malaysia 0 0.00
12 Oman 0 0.00
13 Philippines 0 0.00
14 Qatar 0 0.00
15 Russian Federation 0 0.00
16 Saudi Arabia 0 0.00
17 Singapore 0 0.00
18 United Arab Emirates 0 0.00
19 Angola 0 0.00
20 Argentina 0 0.00
Dunia 545 100.00
Sumber: Index Mundi (2014).
Gambaran pemegang stok daging ayam akhir relatif sama dengan stok awal.
Hanya terdapat lima negara pemegang stok ayam awal di pasar global, yaitu
Amerika Serikat sebesar 290 ribu ton (53,10%), Jepang sebesar 114 ribu ton
(20,96%), Thailand sebesar 85 ribu ton (15,63%), Canada sebesar 45 ribu ton
(8,27%), dan Korea Selatan sebesar 10 ribu ton (1,84%) dari total stok awal dunia.
Berdasarkan data stok awal dan akhir menunjukkan bahwa hanya negara-negara
yang telah mengembangkan sistem rantai dingin yang melakukan stok dalam jumlah
yang cukup banyak. Informasi secara terperinci tentang stok daging unggas akhir
menurut negara dapat dilihat pada Tabel 8.
Manajemen rantai pasok (Supply Chain Management/SCM) yang mulai
meluas penggunaannya di kalangan pelaku bisnis di Amerika Serikat, Jepang,
Thailand, Canada, dan Korea Selatan hingga kini pencapaian tingkat efisiensi global
terus meningkat. Bahkan di Kawasan Asia pencapaian efisiensi dengan menerapkan
SCM telah mencapai sekitar 50% dibandingkan tingkat efisiensi secara global.
Terdapat 4 indikator utama efisiensi rantai pasok di Kawasan Asia sudah mencapai
33
separuh dari pencapaian perusahaan skala dunia: (1) Inventori produk jadi (Asia
senilai 33 hari penjualan, angka global 18-21 hari), (2) Inventori bahan baku (Asia 45
hari, global 20-30 hari), (3) stock out (Asia 10%, global < 5%), dan (4) penerimaan
pembayaran (Asia 55 hari, global 25-30 hari). Melalui perbaikan manajemen logistik
melalui SCM diperkirakan perdagangan global produk-produk perunggasan akan
mengalami peningkatan.
Tabel 8. Stok akhir daging unggas menurut negara, 2014 (estimasi).
Rangking Negara Volume Stok Akhir (ribu ton) Pangsa (%)
1 United States 290 53,31
2 Japan 114 20,96
3 Thailand 85 15,63
4 Canada 45 8,27
5 Korea, Republic Of 10 1,84
6 Kuwait 0 0.00
7 Kazakhstan 0 0.00
8 Moldova, Republic Of 0 0.00
9 Macedonia 0 0.00
10 Mexico 0 0.00
11 Malaysia 0 0.00
12 Oman 0 0.00
13 Philippines 0 0.00
14 Qatar 0 0.00
15 Russian Federation 0 0.00
16 Saudi Arabia 0 0.00
17 Singapore 0 0.00
18 United Arab Emirates 0 0.00
19 Angola 0 0.00
20 Argentina 0 0.00
Dunia 544 100.00
Sumber: Index Mundi (2014).
4.6. Perkembangan Harga Broiler Dunia
Perilaku harga tahunan produk daging ayam dunia menunjukkan adanya
fluktuasi harga tahunan yang cukup tinggi (Tabel 9). Harga rata-rata pada tahun
1994 sebesar $55,70 ribu/ton dan pada tahun 2013/2014 mencapai rata-rata
sebesar $103,84 – 104,45 ribu/ton. Harga produk daging ayam terendah terjadi pada
tahun 1995, yaitu sebesar $55,48 ribu/ton, sedangkan harga tertinggi terjadi pada
tahun 2014 yang mencapai $104,45/ton. Fluktuasi harga produk daging ayang dunia
34
yang tergolong moderat hingga tinggi juga dapat ditunjukkan dengan cukup
tingginya nilai standar deviasi dan koefisien variari harga produk daging ayam dunia,
secara rata-rata masing-masing mencapai 14,73% dan 19,88%.
Tabel 9. Perkembangan harga daging ayam dunia, 1994-2014.
Tahun Harga (ribu US$/ton) Perubahan Trend (%/th)
1994 55.70 - -
1995 55,48 -0.216 -0.39
1996 62.31 6.828 12.31
1997 60.99 -1.323 -2.12
1998 63.16 2.167 3.55
1999 63.16 0.000 0.00
2000 59.45 -3.706 -5.87
2001 63.63 4.178 7.03
2002 63.08 -0.546 -0.86
2003 66.21 3.128 4.96
2004 75.73 9.518 14.38
2005 73.90 -1.826 -2.41
2006 69.23 -4.677 -6.33
2007 78.18 8.957 12.94
2008 84.62 6.433 8.23
2009 85.63 1.011 1.19
2010 85.85 0.219 0.26
2011 87.38 1.531 1.78
2012 94.30 6.927 7.93
2013 103.84 9.534 10.11
2014 104.45 0.612 0.59
Rata-rata 74.11 2.438 3.36
Stdev 14.73 - -
CV 19.88 - -
Sumber: Index Mundi, 2014
Secara periodik rata-rata harga produk daging ayam pada masing-masing
periode memberikan gambaran yang berbeda. Pada periode 1994-2000, harga rata-
rata pada periode tersebut sebesar $60.03 ribu /ton. Harga produk daging ayam
terendah terjadi pada tahun 1995, yaitu sebesar $55,48 ribu/ton, sedangkan harga
tertinggi terjadi pada tahun 1998 dan 1999 yaitu pada periode krisis moneter dan
ekonomi di kawasan Asia yang mencapai $63,16/ton. Fluktuasi harga produk daging
ayang dunia pada periode tersebut tergolong rendah dengan nilai standar deviasi
dan koefisien variari masing-masing mencapai 3,06% dan 5,09%.
35
Pada periode 2001-2005, harga rata-rata pada periode tersebut sebesar
$80,70 ribu/ton. Harga produk daging ayam terendah terjadi pada tahun 2001, yaitu
sebesar $69,23 ribu/ton, sedangkan harga tertinggi terjadi pada tahun 2005 yang
mencapai $80,70/ton. Fluktuasi harga produk daging ayam dunia pada periode
tersebut tergolong moderat dengan nilai standar deviasi dan koefisien variari
masing-masing mencapai 7,14% dan 8,85%.
Pada periode 2006-2010, harga rata-rata pada periode tersebut sebesar
$80,70. Harga produk daging ayam terendah pada periode tersebut terjadi pada
tahun 2006, yaitu sebesar $69,23 ribu/ton, sedangkan harga tertinggi terjadi pada
tahun 2010 yang mencapai $85,85/ton. Fluktuasi harga produk daging ayam dunia
tergolong moderat yang ditunjukkan dengan nilai standar deviasi dan koefisien
variari masing-masing mencapai 7,14% dan 8,85%.
Pada periode 2011-2014, harga rata-rata sebesar $97,49 ribu /ton. Harga
produk daging ayam terendah terjadi pada tahun 2011, yaitu sebesar $87,38
ribu/ton, sedangkan harga tertinggi terjadi pada tahun 2014 yang mencapai
$104,45/ton. Fluktuasi harga produk daging ayam dunia pada periode terakhir
tergolong moderat yang ditunjukkan dengan nilai standar deviasi dan koefisien
variari masing-masing mencapai 8,19% dan 8,40%. Informasi secara keseluruhan
tentang perkembangan harga daging ayam dunia dapat disimak pada Tabel 10.
Perilaku harga bulanan produk daging ayam dunia menunjukkan adanya
fluktuasi harga bulanan yang tergolong rendah (Tabel 11). Harga rata-rata bulanan
pada tahun 2009 sebesar $85,65 ribu/ton. Harga rata-rata bulanan produk daging
ayam terendah terjadi pada tahun 2009 terjadi pada bulan November, yaitu sebesar
$82,13 ribu/ton, sedangkan harga tertinggi terjadi pada bulan Juli yang mencapai
$88,56/ton. Fluktuasi harga rata-rata bulanan produk daging ayam dunia yang
tergolong rendah juga dapat ditunjukkan dengan rendahnya nilai standar deviasi dan
koefisien variari harga rata-rata bulanan produk daging ayam dunia, secara rata-rata
masing-masing mencapai 2,23% dan 2,60%.
36
Tabel 10. Perkembangan harga daging ayam dunia, 1994-2014.
Tahun Harga Perubahan Trend (%/th)
1994 55.70 - -
1995 55.48 -0.216 -0.39
1996 62.31 6.828 12.31
1997 60.99 -1.323 -2.12
1998 63.16 2.167 3.55
1999 63.16 0.000 0.00
2000 59.45 -3.706 -5.87
Rata-rata 60.03 0.625 1.25
Stdev 3.06 - -
CV 5.09 - -
2001 63.63 4.178 7.03
2002 63.08 -0.546 -0.86
2003 66.21 3.128 4.96
2004 75.73 9.518 14.38
2005 73.90 -1.826 -2.41
Rata-rata 68.51 2.891 4.62
Stdev 5.91 - -
CV 8.63 - -
2006 69.23 -4.677 -6.33
2007 78.18 8.957 12.94
2008 84.62 6.433 8.23
2009 85.63 1.011 1.19
2010 85.85 0.219 0.26
Rata-rata 80.70 2.389 3.26
Stdev 7.14 - -
CV 8.85 - -
2011 87.38 1.531 1.78
2012 94.30 6.927 7.93
2013 103.84 9.534 10.11
2014 104.45 0.612 0.59
Rata-rata 97.49 4.651 5.10
Stdev 8.19 - -
CV 8.40 - -
Sumber: Index Mundi, 2014.
Harga rata-rata bulanan pada tahun 2013 sebesar $103,84 ribu /ton. Harga
rata-rata bulanan produk daging ayam terendah pada tahun 2013 terjadi pada bulan
Januari, yaitu sebesar $99,12 ribu/ton, sedangkan harga tertinggi terjadi pada bulan
Agustus yang mencapai $106,50 ribu/ton. Fluktuasi harga rata-rata bulanan produk
daging ayam dunia yang tergolong rendah juga dapat ditunjukkan dengan
37
rendahnya nilai standar deviasi dan koefisien variari harga rata-rata bulanan produk
daging ayam dunia pada tahun 2013, secara rata-rata masing-masing mencapai
2,48 dan 2,39 persen. Sementara itu, harga rata-rata bulanan produk daging ayam
pada bulan Januari – Februari 2014 berkisar antara $104,4-104,5 ribu/ton.
Tabel 11. Perkembangan harga rata-rata bulanan daging ayam dunia, 2009-2014.
Bulan
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Harga Peruba-han
Harga Peruba-han
Harga Peruba-han
Harga Peruba-
han Harga
Peruba-han
Harga Peruba-han
Januari 87.25 0.003 83.04 0.011 85.00 -0.004 90.35 0.006 99.12 0.015 104.40 0.001
Februari 86.70 -0.006 83.30 0.003 85.07 0.001 91.17 0.009 100.17 0.011 104.50 0.001
Maret 85.73 -0.011 84.00 0.008 86.08 0.012 92.79 0.018 101.46 0.013 Na Na
April 85.38 -0.004 85.28 0.015 86.40 0.004 93.25 0.005 102.56 0.011 Na Na
Mei 86.96 0.019 86.45 0.014 86.54 0.002 94.06 0.009 104.10 0.015 Na Na
Juni 88.17 0.014 87.17 0.008 86.94 0.005 94.50 0.005 105.54 0.014 Na Na
Juli 88.56 0.004 87.84 0.008 87.34 0.005 94.73 0.002 106.41 0.008 Na Na
Agustus 86.77 -0.020 87.79 -0.001 88.13 0.009 95.02 0.003 106.50 0.001 Na Na
Sept 84.88 -0.022 87.75 -0.001 88.98 0.010 95.65 0.007 106.19 -0.003 Na Na
Oktober 82.85 -0.024 86.73 -0.012 89.00 0.000 95.84 0.002 105.07 -0.011 Na Na
Novem 82.13 -0.009 85.46 -0.015 89.23 0.003 96.64 0.008 104.69 -0.004 Na Na
Desem 82.15 0.000 85.35 -0.001 89.82 0.007 97.65 0.011 104.25 -0.004 Na Na
Rata-rata 85.63 -0.005 85.85 0.003 87.38 0.004 94.30 0.007 103.84 0.006 Na Na
Stdev 2.23 - 1.73 - 1.64 - 2.14 - 2.48 - Na Na
CV 2.60 - 2.01 - 1.88 - 2.27 - 2.39 - 0.07 -
Sumber : Index Mundi, 2014.
Berdasarkan analisis perkembangan harga tahunan dalam jangka panjang,
harga tahunan per periode dan harga bulanan menunjukkan bahwa perkembangan
harga daging ayam dunia mengalami peningkatan secara wajar dan dapat dikatakan
dalam kondisi pasar daging ayam (broiler) yang relatif stabil. Kondisi ini sangat
berbeda dengan perkembangan dan stabilitas harga daging ayam (broiler) di pasar
domestik yang mengalami fluktuasi harga yang tinggi, baik harga tahunan maupun
bulanan.
38
V. SITUASI BISNIS BROILER INDONESIA
5.1. Perkembangan Populasi
Secara nasional populasi ternak menurut jenis ternak dapat dilihat pada
Tabel 12. Secara umum, ternak-ternak yang diusahakan secara komersial adalah
ayam ras pedaging (broiler), ayam ras petelur (layer), burung puyuh, babi, dan sapi
potong tumbuh secara positip. Sementara itu, jenis-jenis ternak yang diusahakan
secara tradisional seperti kerbau, kuda, dan ayam kampung perkembangan populasi
mengalami penurunan. Terdapat beberapa jenis ternak tradisional yang mengalami
pertumbuhan positif, yaitu ternak kambing, domba, dan itik, karena memiliki segmen
pasar tersendiri untuk konsumen masyarakat Indonesia.
Tabel 12. Populasi komoditi peternakan di Indonesia, 2005-2012 (ekor).
No. Jenis Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
I Ruminansia
1 Sapi potong 10569000 10875000 11514871 12256604 12759838 13581570 14824373 16034336
2 Sapi perah 361000 369000 374067 457577 474701 488448 597213 621980
3 Kerbau 2128000 2167000 2085779 1930716 1932927 1999604 1305078 1378153
4 Kambing 13409000 13790000 14470217 15147432 15815317 16619599 16946186 17862203
5 Domba 8327000 9514000 9514184 9605339 10198766 10725488 11790612 12768241
II Non Ruminansia
6 Babi 6801000 6801000 6710757 6837528 6974732 7476665 7524787 7830915
7 Kuda 387000 398000 401081 392864 389758 418618 408665 421645
8 Kelinci - - 856588 833666 760106 794016
III Unggas
9 Ayam Buras 278954000 291085000 272251141 243423389 249963499 257544104 264339634 285227453
10
Ayam Ras
Petelur
84790000 100202000 111488877 107955170 111417637 105210062 124635794 130539437
11
Ayam Ras
Pedaging
811189000 797527000 891659345 902052418 1026378580 986871712 1177990869 1266902718
12 Itik 32405000 32481000 35866833 39839520 40675995 44301805 43487520 46989522
13 Burung
puyuh
- - 6640100 7542757 7053576 7356648 7840880
14 Merpati - - 162500 1865077 490052 1208814 1333588
Sumber : Statistik Peternakan, 2009 dan 2012.
Ternak ayam ras pedaging (broiler) merupakan jenis unggas penghasil
daging yang telah dibudidayakan secara meluas dan intensif, karena permintaan
pasarnya yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Daerah dengan populasi padat
39
ditemukan di daerah-daerah yang dekat dengan pusat-pusat pasar, Jawa Barat
(Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bekasi, Tasik Malaya, dan Ciamis), Banten yang dekat
dengan pusat pasar Jakarta dan daerah-daerah sentra produksi jagung
(Tasikmalaya dan Ciamis). Provinsi Jawa Timur yang merupakan sentra produksi
kedua, ternak broiler banyak diusahakan di daerah yang dekat pusat pasar (Gresik,
Mojokerto) dan daerah yang dekat sentra produksi bahan baku pakan (Blitar, Kediri,
Tulungagung, Malang). Populasi dengan kepadatan tinggi, juga ditemukan di
daerah-daerah yang merupakan daerah sentra produksi jagung, yaitu Jawa Timur,
Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.
Secara nasional jumlah populasi broiler cenderung mengalami peningkatan
meskipun relatif lambat, yaitu (1,79% per tahun) pada periode (2005-2012).
Lambatnya pertumbuhan populasi ayam ras pedaging di Indonesia sangat terkait
dengan beberapa faktor eksternal, seperti serangan wabah flu burung (Avian
Influenza/AI) tahun 2003-2005, dampak krisis finansial global, tingginya harga
pakan, dan melambatnya pertumbuhan permintaan. Meskipun dampak wabah AI
terhadap mortalitas ayam broiler relatif kecil, namun dampak terhadap permintaan
pasar sangat besar, yang menyebabkan permintaan terhadap produk broiler turun
tajam. Jumlah total populasi pada tahun 2004 mencapai 778,97 juta ekor dan terus
meningkat hingga mencapai 1.266,90 juta ekor pada tahun 2012 atau mengalami
perkembangan sebesar (1,79 %/tahun). Dari total populasi sebesar 1.266,90 juta
ekor, terutama disumbang oleh 10 provinsi daerah sentra produksi, secara berturut-
turut adalah Provinsi Jawa Barat menyumbang 664.21 juta ekor (52,43%), Jawa
Timur 148.52 juta ekor (11,72%), Banten 57,81 juta ekor (4,56%), Jawa Tengah
55,62 juta ekor (4,39%), Kalimantan Selatan 44.19 juta ekor (3,49%), Sumatera
Utara 40.77 juta ekor (3,21%), Riau 39.76 juta ekor (3,14%), Kalimantan Timur 38,45
juta ekor (3,03%), Lampung 28,35 juta ekor (2,24%), dan Kalimantan Barat 12,22
juta ekor (0,96 %). Secara terperinci pertumbuhan ayam ras pedaging menurut
provinsi dapat dilihat pada Tabel 13.
40
Tabel 13. Perkembangan populasi ayam ras pedaging menurut provinsi di Indonesia, 2005-2012 (ekor).
No Provinsi Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1 NAD 1,057,443 1,538,306 1,692,137 1,346,308 1,480,940 2,028,221 3,085,271 3,301,240
2 Sumut 35,568,236 42,763,530 78,152,052 42,891,621 44,178,369 45,154,980 40,167,721 40,770,237
3 Sumbar 11,357,781 12,748,991 13,308,143 14,202,592 15,622,851 14,946,984 15,117,321 15,247,418
4 Riau 27,440,958 20,965,808 27,491,937 30,679,920 32,397,338 41,501,411 38,043,692 39,761,110
5 Jambi 9,694,426 11,539,188 6,804,140 6,910,116 7,350,988 11,226,605 11,237,263 12,090,000
6 Sumsel 14,920,000 15,842,000 15,914,000 13,747,390 14,191,400 20,397,910 20,160,062 27,653,715
7 Bengkulu 1,591,304 1,833,002 1,904,548 5,423,379 5,068,690 6,449,002 6,189,874 6,790,292
8 Lampung 21,747,209 21,094,571 15,033,671 15,879,617 15,879,617 24,203,461 25,788,858 28,348,571
9 Jakarta 182,000 124,300 115,000 68,000 34,000 132200 136,200 139,827
10 Jabar 352,434,300 343,954,090 377,549,055 417,373,596 429,894,804 497,814,154 583,263,441 664,210,459
11 Jateng 62,043,412 61,258,115 64,552,829 54,643,212 56,282,509 64,332,799 66,239,700 55,621,113
12 DIY 20,971,720 25,360,260 4,834,537 5,128,488 5,224,296 5,435,521 5,770,832 5,898,485
13 Jatim 142,602,400 119,525,124 148,854,817 140,005,968 144,206,177 56,993,631 149,552,720 148,520,806
14 Bali 5,363,066 5,317,163 4,846,644 4,975,477 5,312,294 5,404,657 6,206,641 6,252,569
15 NTB 8,848,482 9,804,858 1,727,773 1,339,495 1,440,479 3,044,243 3,279,246 3,538,158
16 NTT 625,000 45,825 9,397 244,101 396,013 105,913 578,818 582,688
17 Kalbar 15,139,364 14,889,746 13,939,332 18,917,875 19,475,770 17,634,089 21,262,386 12,215,350
18 Kalteng 2,436,329 3,200,400 3,860,420 3,976,233 4,095,520 4,669,198 4,921,209 5,160,336
19 Kalsel 19,964, 639 20,624,128 21,534,508 19,860,813 20,115,034 39,947,496 43,647,767 44,191,064
20 Kaltim 25,828,600 26,292,200 23,832,200 26,941,660 27,620,590 38,993,063 36,510,54 38,446,552
21 Sulut 1,459,443 1,406,880 1,550,396 1,623,420 1,647,771 1,218,390 1,556,974 1,634,823
22 Sulteng 2,238,366 2,358,000 6,132,829 4,213,929 3,543,029 5,172,902 5,136,202 5,906,633
23 Susel 12,765,509 12,325,960 13,826,056 14,575,840 15,031,116 17,928,549 18,497,399 22,476,920
24 Sultra 820,100 896,048 924,457 957,715 1,037,260 1,185,021 1,045,428 1,208,804
25 Maluku 80,945 111,202 114,169 119,887 123,484 136,208 145,684 130,490
26 Papua 733,022 981,161 1,395,964 1,465,732 1,578,984 2,761,502 2,247,811 2,360,708
27 Babel 4,639,664 5,287,409 6,097,054 5,213,835 5,370,250 7,145,828 7,418,210 7,789,117
28 Banten 6,475,796 7,684,690 26,405,564 40,011,606 42,012,187 41,146,851 52,272,333 57,813,200
29 Gorontalo 379,497 384,219 1,930,641 1,347,640 1,482,404 1,226,142 240,600 526,135
30 Malut 84,325 269,920 147,400 129,352 135,819 952,878 79,458 251,186
31 Kepri 469,592 6,284,676 6,206,862 6,878,886 7,085,253 6,600,275 6,675,518 6,720,644
32 Papua Barat 774,755 342,125 868,829 891,610 932,490 557,884 648,876 441,971
33 Sulbar 451,001 473,551 101,985 67,105 79,121 423,743 867,008 902,097
Jumlah Total 811,188,684 797,527,446 891,659,345 902,052,418 930,317,847 986,871,712
1,177,990,869
1,266,902,718
Sumber : Statistik Peternakan, 2013.
Dari 10 Provinsi daerah sentra produksi secara keseluruhan mengalami
pertumbuhan positip, secara berturut-turut Provinsi Banten yang tumbuh sebesar
41
(42,17%/tahun), Riau tumbuh (7,06%/tahun), Jawa Timur tumbuh (1,7%/tahun),
Kalimantan Timur tumbuh sebesar (0,02%/tahun), dan Jawa Barat mengalami
pertumbuhan yang stagnan (0%/tahun). Sementara itu, enam daerah sentra
produksi lainnya mengalami pertumbuhan negatip, secara berturut-turut adalah
Provinsi Lapmpung (-9,46%/tahun), Jawa Tengah (-3,04%/tahun), Sumatera Utara
(-2,30%/tahun), Kalimantan Selatan (-0,23%/tahun), dan Kalimantan Barat (-
0,19%/tahun).
Pertumbuhan populasi ayam ras pedaging selama lima tahun terakhir (2005-
2012) tergolong rendah (1,79%). Peningkatan populasi broiler di Indonesia antara
lain disebabkan oleh: (1) Masih adanya peningkatan permintaan pasar domestik
meskipun dengan laju yang melambat, terutama untuk tujuan pusat-pusat pasar
seperti Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi serta kota-kota provinsi dan kabupaten,
serta tumbuhnya pasar modern di samping pasar tradisional; (2) Industri pembibitan
dan pakan ternak telah berkembang secara mantap; (3) Berkembangnya
usahaternak ayam ras pedaging baik skala kecil, menengah maupun skala besar
yang semuanya diusahakan secara intensif; (4) Pengusahaan ternak ayam ras
pedaging yang makin intensif dengan skala usaha yang makin besar; dan (5)
Adanya pertumbuhan populasi di daerah-daerah pertumbuhan baru, seperti
Sumatera Barat, Bengkulu, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Papua
dengan pertumbuhan yang cukup tinggi.
Pertumbuhan populasi yang relatif rendah dan kurang stabil baik di daerah
sentra produksi lama maupun di daerah pengembangan baru antara lain disebabkan
oleh beberapa faktor: (1) Adanya serangan penyakit, seperti Gumboro, ND, dan AI;
(2) Krisis finansial global dan krisis pangan 2008; (3) Meningkatnya harga pakan
sebagai akibat meningkatnya harga bahan baku di pasar global, sebagai akibat
persaingan penggunaan produksi pertanian untuk food, feed dan bio-fuel; (4)
Meningkatnya harga DOC dan obat-obatan; dan (5) Kurangnya dukungan
infrastruktur di daerah-daerah sentra produksi.
Pada sisi lain permintaan terhadap produk unggas masih terus meningkat,
akan memiliki konsekuensi terhadap masuknya impor daging broiler dari luar negeri,
terutama dari Thailand dan Brazil. Kondisi ini perlu diantisipasi dengan baik oleh
pelaku industri broiler, melalui upaya sebagai berikut: (1) pengembangan industri
pembibitan unggas khususnya broiler; (2) pengembangan usaha ternak broiler
42
dengan struktur yang makin berimbang; (3) pengembangan pola-pola kemitraan
yang bersifat saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan
perlu terus ditumbuh kembangkan; (4) mulai mengembangkan usahaternak sistem
kandang tertutup (close hause) terutama untuk perusahaan peternak skala
menengah dan besar; dan (5) pengembangan sistem logistik daging ayam dengan
sistem rantai dingin.
5.2. Perkembangan Produksi Broiler
Sebelum tahun 1970-an produksi daging di Indonesia masih didominasi
(70%) oleh daging sapi (Gambar 2) sedangkan daging ayam (broiler) pada waktu itu
kurang dari 16% dari total konsumsi daging. Daging unggas disumbangkan dari
ayam kampung (lokal) dan juga sedikit daging itik. Konsumsi daging unggas dari
broiler mulai naik sekitar tahun 1975-an ketika perusahaan swasta mengembangkan
peternakan ayam ras dengan mengimpor bibit ayam modern dari luar negeri.
Bersamaan waktunya, industri pakan dari perusahaan multinasional seperti Cargill,
Charoen Pokphand dan Gold Coin juga mendirikan pabrik pakan untuk memenuhi
pakan ternak ayam ras tersebut.
Total produksi daging pada tahun 2004 sebesar 2.020,4 ribu ton, kemudian
meningkat menjadi 2.169,7 ribu ton pada tahun 2008, dan pada tahun 2012
mencapai 2691 ribu ton atau mengalami pertumbuhan sebesar 3,85%/tahun pada
periode tersebut. Indonesia mempunyai 10 jenis komoditas yang memberikan
banyak peran dalam menyumbangkan produksi daging, yakni sapi, kerbau, kuda,
kambing, domba, babi, ayam petelur, broiler, ayam buras dan itik.
Tabel 14 memperlihatkan produksi daging menurut sumber ternak. Tahun
2004, dari total produksi daging Indonesia sumbangan dari ayam ras pedaging
(41,88%), sumbangan ternak sapi potong (22,15%), ayam buras (14,67%), babi
(9,64%), serta kambing (3,27%) dan domba (2,83%). Pada tahun 2008, keenam
komoditas utama penghasil daging tetap merupakan penyumbang besar tetapi
mengalami pergeseran, yakni broiler (45,75%), sapi potong (16,24%), ayam buras
(14,17%), dan babi (10,86%), serta kambing (2,87%) dan domba (3,20%).
Selanjutnya pada tahun 2012, broiler (53,10%), sapi potong (18.79%), ayam buras
(10,90 %), dan babi (8,72%), serta kambing (2,55%) dan domba (1,73%).
43
Tabel 14. Perkembangan produksi daging dan telur di Indonesia, 2004-2012 (000 ton).
No. Jenis
Daging
Tahun Rata-rata
Trend (%/th) 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1 Sapi potong
447.6 358.7 395.8 339.5 392.5 409.3 436.5 485.3 505.5 419.0 2.27
2 Kerbau 40.2 38.1 43.9 41.8 39.0 34.6 35.9 35.3 35.3 38.2 -1.33
3 Kambing 57.1 50.6 65.0 63.6 66.0 73.8 68.8 66.3 68.6 64.4 2.95
4 Domba 66.1 47.3 75.2 56.9 47.0 54.3 44.9 46.8 46.5 53.9 -1.17
5 Babi 194.7 173.7 196.0 225.9 209.8 200.1 212.0 224.8 234.7 208.0 2.74
6 Kuda 1.6 1.6 2.3 2.0 1.8 1.8 2.0 2.2 2.2 1.9 5.23
7 Ayam Buras 296.4 301.4 341.3 294.9 273.5 247.7 267.6 264.8 274.2 284.6 -0.60
8 Ayam Ras Petelur
48.4 45.2 57.6 58.2 57.3 55.1 57.7 62.1 63.7 56.1 3.92
9 Ayam Ras Pedaging
846.1 779.1 861.3 942.8 1018.7 1101.8 1214.3 1337.9 1428.8 1059.0 6.94
10 Itik 22.2 21.4 24.5 44.1 31.0 25.8 26.0 28.2 30.8 28.2 7.86
11 Kelinci - - - - - 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 -
12 Burung puyuh - - - - - 0.2 - 0.1 0.2 0.2 -
13 Merpati - - - - - 0.3 0.4 0.1 0.3 0.3 -
Total 2020.4 1817.0 2062.9 2069.5 2136.6 2204.9 2366.2 2554.2 2690.9 2213.6 3.85
Keterangan : *) Angka sementara Sumber : Statistik Peternakan, Tahun 2008 dan 2012
Dari ke 13 komoditas tersebut selama 2004-2012, terdapat, delapan
komoditas di antaranya mengalami penurunan kontribusi. Hanya dua komoditas
yang memberikan peningkatan kontribusi yakni broiler dan ayam ras petelur.
Penerapan manajemen usahaternak, teknologi bibit, penggunaan pakan jadi telah
mengangkat kedua komoditas tersebut. Sementara 8 komoditas lain merupakan
usahaternak yang dilakukan secara tradisonal, teknologi seadanya, serta pemberian
pakan dengan mutu asalan. Produksi total daging mengalami pertumbuhan 3,85%,
namun jika dicermati memperlihatkan adanya ketimpangan dalam pertumbuhan dan
bersifat fluktuatif terutama untuk jenis ternak tradisional.
Dampak penerapan teknologi dan manajemen usahaternak yang rendah telah
menyebabkan tingkat pengurasan yang relatif tinggi pada komoditas ternak
tradisional. Berdasarkan penelitian Badan Litbang Pertanian (2005) telah terjadi
pengurasan untuk ternak sapi, kerbau, kambing, dan ayam buras. Dikhawatirkan
beberapa komoditas sampai pada titik ambang keseimbangan, dimana angka
kelahiran tidak mungkin lagi menjamin konsumsi, maka dalam situasi semacam ini,
akan mendorong kepunahan produksi jenis produk ternak tradisional.
44
Pertumbuhan produksi daging broiler tumbuh sejalan dengan pertumbuhan
populasinya. Hal ini disebabkan adanya perdagangan broiler hidup antar wilayah.
Jumlah total daging broiler pada tahun 2005 mencapai 779.108 ton dan terus
meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 1.02 juta ton pada tahun 2009,
terus meningkat menjadi 1,09 juta ton pada tahun 2012, atau mengalami
perkembangan sebesar 9,06% pertahun. Pertumbuhan tersebut tergolong tinggi
dan jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan populasinya, yang menunjukkan
makin dikuasainya teknologi budidaya dan manajemen usahaternak broiler oleh
peternak dan perusahaan peternakan.
Dari total produksi daging broiler yang mencapai 1,09 juta ton pada tahun 2012,
terutama disumbang oleh 10 provinsi daerah sentra produksi utama, yaitu Provinsi
Jawa Barat menyumbang sebesar 565.973 ton (39,61%), Provinsi Jawa Timur
163.093 ton (11,41%), Banten 117.204 ton (8,20%), DI Jakarta 109.728 ton (7,68%),
Jawa Tengah 101.939 ton (7,13%), Sumatera Utara 48.227 ton (3,38%), Riau
36.486 ton (2,55%), Kalimantan Selatan 36.328 ton (2,54%), Lampung sebesar 27
571 ton (2,27%), dan DI Yogyakarta 31.721 ton (2,22%) (Ditjennak dan Keswan,
2013). Informasi secara terperinci dapat disimak pada Tabel 15.
Dari 10 provinsi daerah sentra produksi secara keseluruhan mengalami
pertumbuhan produksi daging broiler positip, secara berturut-turut Provinsi Jawa
Barat mengalami pertumbuhan sebesar 12,76 %/tahun, Jawa Timur tumbuh sebesar
4,38 %/tahun, Banten tumbuh sebesar 68,02 %/tahun, Di Jakarta tumbuh sebesar
9,29 %/tahun, Jawa Tengah tumbuh sebesar 8,66 %/tahun, Sumatera Utara tumbuh
sebesar 3,38%, Riau tumbuh sebesar 9,30%/tahun, Kalimantan Selatan tumbuh
sebesar 10,03 %/tahun, Lampung sebesar tumbuh sebesar 11,96 %/tahun, dan DI
Yogyakarta tumbuh sebesar 12,96 %/tahun.
Pertumbuhan produksi daging broiler selama tujuh tahun terakhir (2005-2012)
tergolong tinggi (9,06 %/tahun). Peningkatan produksi daging broiler di Indonesia
disebabkan oleh: (1) Adanya pertumbuhan populasi broiler yang cukup tinggi; (2)
Adanya peningkatan produktivitas usahaternak broiler. Namun jika dicermati,
ternyata pertumbuhan produksi lebih cepat dibandingkan pertumbuhan populasi,
yang merefleksikan beberapa hal pokok: (a) teknologi budidaya broiler makin
dikuasai dengan baik oleh peternak dan perusahaan peternakan;
45
Tabel 15. Produksi daging ayam ras pedaging menurut provinsi di Indonesia, 2005-2009 (ton).
No Provinsi Tahun
Rerata Trend (%/th) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1 NAD 1533 1395 1581 3629 4746 4982 6439 6890 3899 29.41
2 Sumut 41778 39055 35098 35283 50632 53979 47051 48227 43888 3.38
3 Sumbar 12119 11602 12439 13275 16145 16012 16441 16583 14327 4.86
4 Riau 21004 19015 23059 28082 28326 38083 34910 36486 28621 9.30
5 Jambi 9909 9290 14536 12459 14129 14802 13360 16600 13136 9.80
6 Sumsel 11708 13532 21176 22185 22116 27 31 36 11351 1.08
7 Bengkulu 2268 1642 1577 2132 3839 1838 2358 3022 2335 12.58
8 Lampung 19170 19724 12937 10542 22107 26768 27149 27571 20746 11.96
9 Jakarta 67054 83768 128480 128480 102399 106260 108642 109728 104351 9.29
10 Jabar 259749 276195 279851 335151 365573 339745 492413 565973 364331 12.76
11 Jateng 61683 81203 65026 73191 90740 100904 104774 101939 84933 8.66
12 DIY 14997 23000 22203 23117 20798 25274 31295 31721 24051 12.96
13 Jatim 128342 143643 148855 115193 140110 159671 159822 163093 144841 4.38
14 Bali 20530 20354 18553 19046 20140 20679 23750 24275 20916 2.63
15 NTB 236 15303 20037 2001 12228 14539 15176 16721 12030 981.40
16 NTT 6 30 6 139 224 228 525 528 211 390.06
17 Kalbar 21286 21541 22138 26121 24062 26700 19284 11079 21526 -6.47
18 Kalteng 3000 4357 5125 5330 7388 5436 4463 4680 4972 9.43
19 Kalsel 20349 18705 26690 34562 34230 34670 39319 36328 30607 10.03
20 Kaltim 19294 20945 18337 20620 30220 32169 27943 29425 24869 7.68
21 Sulut 5606 1324 5714 6775 2549 5090 5164 5422 4706 45.36
22 Sulteng 2005 2820 7109 5553 6477 6685 5952 6742 5418 27.57
23 Sulsel 10215 10538 5445 9768 10710 10692 11594 12870 10229 9.02
24 Sultra 579 887 968 1101 882 978 948 1096 930 11.37
25 Maluku 67 73 107 102 111 117 125 112 102 8.79
26 Papua 416 765 1375 1370 2656 2663 2227 2453 1741 35.88
27 Babel 5052 4795 6007 5292 6492 10898 13368 13502 8176 17.50
28 Banten 16542 6970 29751 69333 53089 86089 114568 117204 61693 68.02
29 Gorontalo 405 348 1805 1221 1221 1419 218 477 889 60.38
30 Malut 540 1723 122 828 334 343 1021 3228 1017 151.67
31 Kepri 376 5700 5858 5875 5752 5917 6155 7579 5402 206.71
32 Papua Barat 614 310 758 809 415 436 588 401 541 8.74
33 Sulbar 677 710 61 69 987 245 786 818 544 200.96
Total 779108 861263 942786 1018734 1101765 1214339 1337911 1428809 1085589 9.06
Sumber : Statistik Peternakan, Tahun 2008 dan 2012
(b) sistem pengusahaan yang sudah cukup intensif dan sepenuhnya berorientasi
pasar (komersial), sehingga menyebabkan efisiensi produksi makin meningkat, yang
direfleksikan makin membaiknya Feed Convertion Ratio (FCR) dan makin
46
rendahnya tingkat mortalitas (3,2-6,0%/siklus); dan (c) skala pengusahaan yang
sudah cukup besar, rata-rata di atas 6.000 ekor dan makin mendekati skala usaha
optimal.
Produksi broiler di Indonesia terus meningkat dengan berkembangnya genetik
ayam yang mampu meningkatkan produktivitas dan makin meningkatnya
pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Produksi daging sapi juga meningkat
tetapi kalah cepat dibandingkan dengan produksi daging unggas terutama ayam,
sehingga pada tahun 1983 produksi ayam sudah lebih tinggi dibandingkan produksi
daging sapi/kerbau (Tangendjaja, 2014).
Peternakan unggas terutama broiler di Indonesia umumnya berlokasi di
dareah-dareah dimana konsumen broiler cukup besar terutama di kota-kota besar
seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan. Gambar 4. menunjukkan lokasi dimana
peternakan broiler cukup dominan. Peternakan ayam petelur juga hampir sama
dengan peternakan broiler karena konsumsi petelur terbesar adalah daerah
perkotaan. Akan tetapi lokasi peternakan ayam petelur tidak hanya ditentukan oleh
konsumen tetapi juga dipengaruhi oleh lokasi sumber bahan baku pakan terutama
jagung. Peternakan ayam petelur besar ditemukan di Jawa Timur (Blitar, Kediri,
Jember, Malang), Jawa tengah (Solo, Jogjakarta, Semarang), Sumatra Utara
(Medan) dan Lampung dimana banyak ditemukan jagung tetapi di Banten, peternak
petelur berkembang karena lokasi yang dekat dengan konsumen di Jakarta dan juga
untuk jagung impor atau jagung yang didatangkan dari Lampung.
Gambar 7. Peta lokasi peternakan broiler di Indonesia.
47
Berlainan dengan peternakan unggas, lokasi pabrik pakan yang menyediakan
pakan unggas umumnya berlokasi di dekat sumber bahan baku terutama untuk
akses ke bahan baku impor (Banten, Surabaya, Medan) maupun bahan baku
produksi domestik. Sebagian lokasi pabrik pakan juga dekat dengan lokasi
peternakan untuk mengurangi biaya transportasi, seperti daerah sentra produksi di
Jawa barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
5.3. Penampilan Produksi Dibanding “Standard Dunia”.
Keragaan atau performa peternakan ayam ras pedaging (broiler) dapat diukur
dengan beberapa parameter teknis yaitu berat badan ayam, umur pencapaian berat
badan tersebut, tingkat kematian (mortality) ayam dan juga efisiensi penggunaan
pakan yang dinyatakan dalam FCR (Feed Conversion Ratio). Tabel 5 menunjukkan
bahwa performa produksi broiler meningkat terus-menerus dalam kurun waktu 40
tahun terahir. Pada tahun 1975, dibutuhkan waktu 56 hari untuk mencapai berat
badan 1,7 kg tetapi pada tahun 2013 untuk mencapai berat badan 2,7 kg hanya
membutuhkan waktu 42 hari. Usaha ternak broiler merupakan transfer energi dari
pakan menjadi daging ayam. Dengan makin cepatnya pertumbuhan ayam karena
faktor genetik DOC dan nutrisi pakan, maka porsi gizi yang digunakan untuk
mempertahankan tubuh ayam (maintenance) juga makin kecil sehingga
metabolisma tubuh ayam makin efisien dalam mengkonversikan gizi dalam pakan
untuk diubah menjadi daging ayam. Perbaikan genetis ayam masih terus berlanjut
sehingga ayam di masa mendatang makin tumbuh cepat dan makin efisien
menghasilkan daging.
Standar performa produksi broiler biasanya diberikan oleh perusahaan
pembibitan ayam yang digunakan sebagai patokan ketika memelihara ayam dengan
baik. Akan tetapi beberapa negara juga melaporkan performa produksi setiap tahun
yang mungkin sedikit berbeda dibandingkan patokan dari perusahaan pembibitan.
Data dari Negara AS dan Brazil seringkali digunakan sebagai indikator kemampuan
produksi broiler di dunia dikarenakan kedua negara tersebut mampu bersaing dalam
memproduksi daging ayam di pasar global. Tabel 16 menunjukkan perkembangan
performa produksi yang dilaporkan oleh Asosiasi Unggas AS dan negara AS
merupakan penghasil bibit ayam (DOC) terkemuka di dunia. Hingga saat ini di dunia
hanya terdapat tiga perusahaan besar yang menguasai bibit ayam dan merupakan
48
perusahaan multi nasional dengan produksi bibit dilakukan di beberapa Negara
strategis di dunia (Rutz, et al., 2004 dan Butland, 2004).
Tabel 16. Perkembangan penampilan produksi broiler, 1975-2013.
Tahun 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2008 2013
Umur panen (day) 56 53 49 48 47 46 44 42 42
Pakan:Pertambahan bobot badan
2.1 2.05 2 2 1.95 1.95 1.9 1.76 1.71
Berat panen (kg) 1.71 1.78 1.90 1.98 2.12 2.28 2.38 2.63 2.71
Sumber: US Poultry hingga tahun 2008, sedangkan data tahun 2013 dari perusahaan Cobb 500.
5.4. Penerapan Teknologi dan Pencapaian Indek Prestasi.
Kemampuan pertumbuhan ayam ras pedaging (broiler) yang sangat cepat
dan efisien dalam menghasilkan daging ayam saat ini, ditentukan oleh
perkembangan teknologi baik teknologi genetika, nutrisi, serta teknik budidaya dan
manajemen usahaternak. Salah satu jenis teknologi sangat menentukan
produktivitas broiler adalah teknologi pembibitan, dengan diciptakannya bibit ayam
ras unggul yang telah diseleksi selama lebih dari 100 tahun dari seluruh ayam lokal
yang ada di dunia. Ayam ras pedaging (broiler) modern dewasa ini mampu
menghasilkan 1,2-1,5 kg ayam dalam waktu kurang dari 1 bulan saja. Ayam ras
pedaging (broiler) juga mampu mengkonversikan pakan sebanyak 1,5-1,6 kg
menjadi 1 kg ayam hidup, tidak ada jenis ternak lain yang mampu mengkonversikan
pakan seefisien dibandingkan broiler. Sementara itu ayam lokal membutuhkan
pakan sebanyak lebih 3,5 kg untuk menghasilkan 1 kg ayam hidup dan dibutuhkan
waktu selama 50-60 hari.
Teknologi pembibitan ayam ras modern ini dilakukan oleh perusahaan
multinasional (hanya ada 2 kelompok perusahaan) yang mampu memenuhi
kebutuhan seluruh daging ayam di dunia. Teknologi pembibitan ayam ini akan sulit
disaingi lagi dengan penelitian ayam lokal karena teknologi mereka sudah
dikembangkan dalam kurun waktu lebih dari 100 tahun lalu. Disamping itu, teknologi
pembibitan yang berkembang saat ini berasal dari semua potensi genetik yang ada
di dunia, kalau Indonesia hanya mengandalkan potensi genetik lokal maka potensi
yang dapat dikembangkan sangat terbatas. Potensi genetik ayam lokal Indonesia
adalah ayam Kedu hitam yang telah dibawa ke Negara lain sebagai salah satu
49
sumber genetik untuk menghasilkan galur tertentu dan ayam Kedu hitam ini telah
dibawa kenegara lain lebih dari 100 tahun lalu.
Teknologi dalam bidang pakan ternak saat ini telah berkembang sangat maju
dalam kurun waktu lebih dari 60 tahun. Kebutuhan nutrisi ayam sudah sedemikian
lengkap tidak hanya dalam jumlah tetapi juga dalam kemampuan ayam untuk
memanfaatkan zat gizi untuk dikonvesikan menjadi produk daging ayam. Perubahan
genetik ayam juga mempengaruhi akan kebutuhan gizi yang optimal untuk
menghasilkan produk daging ayam secara efisien. Berbagai zat gizi yang
diperhatikan tidak hanya protein atau energi tetapi lebih dari 50 zat gizi telah
dipertimbangkan dalam menyusun ransum pakan unggas khususnya broiler. Bahkan
dewasa ini zat gizi yang berpengaruh terhadap lingkungan telah diperhatikan secara
seksama. Perkembangan suplemen pakan sudah maju sedemikian rupa sehingga
berbagai produk diciptakan untuk mengurangi biaya pakan dan memperbaiki
kesehatan ternak, disamping itu pemberian pakan juga memperhatikan keamanan
produk daging ayam untuk konsumsi pangan manusia dan mengurangi pencemaran
terhadap lingkungan.
Dengan berkembangnya industri pembibitan (breeding farm) ayam ras
pedaging (broiler) dan petelur (layer) memungkinkan berbagai penyakit juga dapat
menyerang ayam, baik dari jenis baik penyakit viral (Newcasle Disease/ND, Avian
Influenza/AI, dan Gumboro/IBD), penyakit bakterial (Snot, Chronic respiratory
disease/CRD, Kolibasilosis, Penyakit Protozoa, dan Coccidiosis), penyakit cacing
(Ascariasis, Cacing pita, dan Tetrameres) (Wibawan et al., 2012). Perubahan iklim
juga berdampak terhadap kondisi lingkungan hidup ayam yang berpengaruh
terhadap kemampuan berproduksi produksi ayam. Berbgai teknologi juga
dikembangkan untuk menangkal ayam menjadi sakit baik dari segi pencegahan
dengan vaksin, pengobatan, dan biosecurity. Berbagi jenis vaksin telah diproduksi
dengan efisien baik melalui teknologi klasik maupun teknologi modern (bioteknologi)
dalam memproduksi vaksin. Obat-obtan untuk ayam juga telah maju sedemikian
rupa sehingga berbagai jenis obat tersedia untuk mengendalikan penyakit.
Untuk dapat menerapkan teknologi yang sudah dikembangkan diatas maka
pemeliharan ayam juga memerlukan manajemen usahaternak broiler yang baik agar
ayam bisa berproduksi sesuai potensi genetiknya. Kandang ayam, tempat pakan
dan minum, serta infrastruktur lain telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga
50
memudahkan peternak dalam memelihara ayam maupun meningkatkan skala
usahanya. Dewasa ini dengan menggunakan teknologi modern, setiap peternak
mampu memelihara 20.000 ekor ayam dalam 1 kandang, bahkan di negara maju
setiap keluarga peternak broiler mampu memelihara ayam lebih dari 100.000 ekor
dan ayam dipelihara secara “all-in, all-out” artinya secara bersamaan ayam
dimasukkan dalam kandang dan secara bersamaan juga dipanen (Tangenjaya,
2015).
Untuk menilai apakah suatu sistem usaha peternakan broiler telah dilakukan
dengan baik atau tidak maka dapat diukur dengan menggunakan suatu index yang
dikenal dengan IP (Indeks Prestasi). Indeks ini pada mulanya dikembangkan di
Eropa dengan istilah European Economic Factor (EEF) untuk menilai secara
ekonomis suatu peternakan broiler. Indeks ini menggabungkan antara perolehan
berat badan dalam suatu umur, efisiensi penggunaan pakan yang diukur dalam FCR
(feed conversion ratio) dan jumlah kematian ayam selama pemeliharaan. Rumus
yang dipakai adalah sebagai berikut (Tangenjaya, 2015):
IP atau EEF
Dimana: BB = Berat badan broiler pada umur tertentu,
Daya Hidup = persen ayam yang masih hidup (100%)-kematian dalam %,
FCR = konvesi pakan dibagi berat badan, dan
umur panen = umur saat ayam dipanen dinyatakan dalam hari.
Diperkirakan IP peternakan broiler di AS saat ini adalah 338 berdasarkan BB
2,06 kg (4,6 lb) yang dicapai pada umur 38 hari dengan FCR 1,556 dan kematian
ayam 4,4% (Tangenjaya, 2015). Indeks Prestasi untuk peternakan broiler di
Indonesia sangat bervariasi dari 220 - > 360 (GOPAN, tidak dipublikasi). Variasi IP
yang sangat besar di Indonesia ditentukan oleh teknik pemeliharaan, perkandangan,
sanitasi, keadaan penyakit, kualitas pakan, dan kualitas bibit ayam (DOC). Banyak
faktor yang mempengaruhi performa atau indeks prestasi sehingga apabila
peternakan broiler tidak dikelola dengan baik akan menghasilkan nilai IP yang
rendah. Indeks prestasi peternakan broiler tertinggi didunia dicapai oleh peternak
asal Negara Selandia Baru yang mampu mencapai IP >400. Hal ini berkaitan
dengan kenyataan bahwa Selandia Baru tidak mempunyai penyakit ayam yang
51
penting sehingga tidak perlu vaksinasi, kondisi alam yang bersih, iklim yang sesuai,
serta teknik budidaya dan manajemen usahaternak yang baik.
5.5. Perbandingan Biaya Produksi Broiler Antar Negara
Melalui sistem usahaternak terintegrasi (bibit, pakan, obat-obatan, budi daya
dan olahan), industri broiler seharusnya mencapai tingkat efisiensi yang tinggi
sehingga mampu menciptakan harga yang lebih rendah di tingkat konsumen.
Namun hal ini tidak sepenuhnya terjadi pada industri broiler mengingat
perkembangan harga daging ayam yang justru meningkat dari waktu ke waktu
seiring peningkatan produksi ayam broiler (Fitriani, dkk, 2014).
Laporan Tangendjaja (2013) menunjukkan bahwa Malaysia mempunyai biaya
produksi ayam hidup yang lebih rendah dibanding Indonesia, baik ditinjau dari biaya
DOC maupun biaya pakan (Tabel 17). Berdasarkan Tabel 17 memberikan beberapa
informasi pokok sebagai berikut: (1) dalam biaya DOC secara berturut-turut Thiland,
Malaysia, Philipine memiliki biaya yang lebih murah masing-masing 0,16 US$, 0,21
US$, dan 0,27 US$/ekor dibandingkan Indonesia dan Vietnam masing-masing
sebesar 0,38 US$ dan 0,46 US$/ekor; (2) dalam biaya per kg pakan secara berturut-
turut Malaysia, Thailand, dan Vietnam memiliki biaya yang lebih murah masing-
masing 0,20-0,21 US$, 0,21 – 0,22 US$, dan 0,22-0,23 US$/Kg dibandingkan
Indonesia dan Philipine masing-masing sebesar 0,23-0,24 US$ dan 0,25-0,28
US$/Kg; (3) dalam biaya untuk menghasilkan broiler per kg berat hidup secara
berturut-turut Thailand, Philipine, dan Malaysia memiliki biaya yang lebih murah
masing-masing 0,50 US$, 0,62 US$, dan 0,63 US$/Kg dibandingkan Indonesia dan
Vietnam masing-masing sebesar 0,80 US$ dan 0,90 US$/Kg; dan (4) tingkat harga
daging ayam (broiler) di pasar secara berturut-turut Thailand, Malaysia, dan Philipina
memiliki tingkat harga pasar yang lebih murah masing-masing 0,70 US$, 0,71 US$,
dan 0,75 US$/Kg dibandingkan Indonesia dan Vietnam masing-masing sebesar 0,91
US$ dan 1,00 US$/Kg.
Hasil kajian di lapangan menunjukkan bahwa pekerja yang memelihara broiler
di Malaysia juga banyak berasal dari Indonesia dengan upah mencapai hingga 3 kali
lebih tinggi, Malaysia masih mampu menghasilkan ayam hidup dengan biaya lebih
rendah. Perusahaan broiler di Malaysia hampir semuanya melakukan pengolahan
52
ayam lanjutan sehingga dihasilkan produk broiler siap makan dengan berbagai
merek (branded product) dan pelaku usaha sudah siap untuk mengekspor
produknya ke Indonesia manakala pasarnya sudah terbuka.
Table 17. Biaya produksi, harga pakan dan harga DOC dinegara ASEAN (US$)*
Item Indonesia Malaysia Thailand Philippines Vietnam
Cost of day old chick 0.38 0.21 0.16 0.27 0.46
Feed price/kg
1. Broiler starter 0.24 0.21 0.22 0.28 0.23
2. Broiler grower 0.23 0.20 0.21 0.25 0.22
3. Broiler finisher - - 0.20 0.20 0.21
Cost to produce 1 kg live weight broiler 0.80 0.63 0.50 0.62 0.9
Market price of 1 kg live weight broiler 0.91 0.71 0.70 0.75 1.0
*Tangendjaja (2013)
Berdasarkan analisis perbandingan tersebut menunjukkan bahwa saat ini
maka Indonesia kalah bersaing dengan Negara lain di ASEAN terutama dengan
Thailand dan Malaysia dengan diberlakukannya Asean Free Trade Agreement
(AFTA) dan Masyarakat Ekonomi Asean pada bulan Desember 2015. Oleh karena
itu Indonesia harus memperbaiki diri dan meningkatkan daya saing produk broiler,
jika tidak maka produk broiler dari dua negara tetangga khususnya Thailand dan
Malaysia akan membanjiri pasar unggas domestik mengingat jumlah penduduk
Indonesia yang sangat besar, tingkat konsumsi daging ayam yang masih rendah dan
pendapatan masyarakat yang terus meningkat.
5.6. Perkembangan Konsumsi
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan atau konsumsi produk daging
ayam (broiler) adalah (Daryanto, 2010): (1) jumlah penduduk dan pertumbuhannya,
(2) tingkat pendapatan, (3) selera atau preferensi konsumen, (4) tingkat urbanisasi
penduduk, (5) fenomena segmentasi pasar, dan (6) revolusi pasar modern,
berkembangnya super market/hyper market.
Krisis moneter dan ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 memberikan
dampak terhadap penurunan daya beli masyarakat sehingga terjadi penurunan trend
konsumsi daging ayam (broiler). Pada tahun 1998 saat krisis ekonomi terjadi
penurunan konsumsi daging ayam (broiler), dan pada tahun 1999 merupakan saat
53
konsumsi daging ayam (broiler) mencapai titik terendah, namun kemudian
meningkat kembali pada tahun 2000-2005.
Pada periode setelah krisis ekonomi laju pertumbuhan konsumsi daging ayam
meningkat kembali bahkan melampaui kondisi sebelum krisis ekonomi. Secara
umum pemulihan produksi dan konsumsi produk broiler akibat krisis ekonomi relatif
cepat, karena didukung oleh industri perunggasan nasional yang responsif terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi. Dampak negatif krisis ekonomi dan krisis
finansial global terhadap sektor industri perunggasan terutama disebabkan karena
sebagian besar bahan baku pakan adalah impor. Secara umum dampak krisis
finansial global terhadap konsumsi produk broiler relatif kecil, karena kondisi makro
ekonomi yang cukup stabil dan pelaku usaha industri perunggasan lebih siap
menghadapi, serta cukup besarnya volume permintaan pasar domestik.
Jika dirinci menurut jenis daging, penduduk Indonesia lebih banyak
mengkonsumsi daging ayam (broiler) dan sapi potong. Kebutuhan konsumsi daging
sapi sekitar 65% dipenuhi dari produk impor dan 25% di antaranya berasal dari
impor sapi bakalan (Badan Litbang Pertanian, 2005). Dalam kondisi nilai tukar rupiah
yang stabil, kecenderungan impor semakin meningkat. Peningkatan impor tersebut
dapat disebabkan oleh permintaan daging berkualitas (prime cut) yang meningkat
dan harga daging kelas standar yang relatif murah dibanding produk domestik.
Fenomena konsumsi pasca krisis baik krisis moneter maupun krisis finansial global
mengindikasikan bahwa trend permintaan terhadap produk daging ayam (broiler) ke
depan masih terus meningkat.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Bappenas (2006) diperkirakan
bahwa selama 2005-2010 Indonesia mengalami surplus produksi daging unggas,
daging non unggas dan daging non sapi, sedangkan untuk daging sapi masih
mengalami defisit. Namun kenyataannya hingga tahun 2012, secara umum
Indonesia masih mengalami defisit produk-produk peternakan, termasuk produk
daging broiler dan dagi sapi. Hasil kajian Bappenas (2006) menunjukkan bahwa
tantangan utama yang dihadapi adalah masalah pencapaian swasembada daging
sapi, sedangkan untuk daging ayam tetap mampu swasembada. Untuk
mengantisispasi adanya surplus daging unggas maka perlu dilakukan perluasan
tujuan pasar baik domestik maupun ekspor. Untuk memacu permintaan domestik
54
perlu dilakukan pendalaman industri pengolahan daging berbasis daging ayam
melalui pengembangan produk dan promosi produk secara aktif.
Hasil estimasi yang dilakukan oleh Indonesian Commercial Newsletter-August
2009 tentang konsumsi daging ayam diperoleh temuan sebagai berikut: (a)
Terjadinya peningkatan konsumsi dari tahun ke tahun secara signifikan; (b)
Diperkirakan pada tahun 2009 total konsumsi ayam mencapai 1,575 juta ekor dan
pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 2,064 juta ekor atau meningkat sebesar
31% pada periode tersebut; dan (c) Permintaan yang tinggi tersebut didukung oleh
meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat, pendidikan dan
kesadaran masyarakat akan gizi.
Perkembangan konsumsi daging unggas pada periode (2005-2011)
memberikan beberapa gambaran pokok sebagai berikut: (1) Rata-rata konsumsi
dalam bentuk daging ayam ras segar sebesar 3,22 Kg/kapita/tahun, daging ayam
kampung sebesar 0,59 Kg/kapita/tahun, dan daging unggas lainnya sebesar 0,05
Kg/kapita/tahun; (2) Rata-rata konsumsi ayam goreng sebesar 4,64 Kg/kapita/tahun;
(3) Pertumbuhan konsumsi dalam bentuk daging ayam ras segar sebesar
99,27%/tahun, daging ayam kampung sebesar 10,58%/tahun, dan daging unggas
lainnya mengalami stagnasi; dan (4) Perumbuhan konsumsi dalam bentuk ayam
goreng tergolong sangat tinggi mencapai 11,25%/tahun (Tabel 18).
5.7. Perkembangan Ekspor
Peran ekspor dalam perekonomian Indonesia cukup signifikan, namun
menunjukkan kecenderungan menurun (Hasanah dan Siregar, 2013). Pada kuartal
pertama tahun 2013, pangsa ekspor terhadap total PDB Indonesia sebesar 23,3%
dengan nilai ekspor sebesar Rp. 500.977 milyar. Meskipun secara nominal nilai
ekspor tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan kuartal yang sama pada tahun
sebelumnya yaitu sebesar Rp 491.165 miliar, namun pangsa ekspor terhadap PDB
mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 25,81%.
Apalagi jika dibandingkan antara peran ekspor tahun 2000 dengan tahun 2013,
terjadi penurunan pangsa yang cukup besar dengan nilai pangsa pada tahun 2000
sebesar 44,4% dan pada tahun 2013 hanya dengan pangsa 23,3%.
55
Tabel 18. Perkembangan Konsumsi Produk Unggas Perkapita Per Tahun, 2005-2012.
No. Komoditi Tahun
Rerata
Trend (%/th) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
A. Daging Unggas Segar (Kg)
1. Ayam Ras 3.81 0.52 4.11 3.8 3.08 3.55 3.65 3.22 99.27
2. Ayam Kampung Na Na Na Na 0.52 0.63 0.63 0.59 10.58
3. Unggas Lainnya 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.00
B. Ayam Goreng (potong) Na Na Na Na 4.17 4.59 5.16 4.64 11.25
C Telur Unggas (Kg)
1. Telur ayam ras (kg) 5.16 5.06 6.08 5.77 5.84 6.73 6.62 5.89 4.66
2. Telur ayam kampung (butir)
0.31 0.25 5.1 4.16 3.65 3.7 3.75 2.99 315.45
3. Telur itik (butir) 0.24 0.19 3.02 3.12 2.87 2.5 2.83 2.11 244.04
4. Telur puyuh (butir) 0.03 0.03 4.58 2.81 2.09 2.24 2.71 2.07 2521.76
5. Telur lainnya (butir) 0.03 0.01 0.05 0.1 0.1 0.16 0.16 0.09 -136.11
6. Telur asin (butir) 0.18 0.12 1.82 1.46 1.41 1.51 1.36 1.12 226.21
Sumber : Statistik Peternakan, Tahun 2008 dan 2012
Berdasarkan data dari Ditjennak dan Keswan (2013), data ekspor produk
peternakan dapat dikelompokkan ke dalam ternak, hasil ternak, produk hewani non
pangan, obat hewan dan lain-lain. Ditjennak dan Keswan terrbaru (2013)
mencantumkan data ekspor yang terjadi dalam tahun 2010-2012 dengan sumber
data yang diperoleh dari BPS yang dikelompokkan berdasarkan nomor Harmonized
System (HS) yang sejenis. Ekspor produk peternakan didominasi oleh hasil ternak
dan produk hewani non pangan. Perkembangan ekspor produk peternakan selama
kurun waktu 2005 sampai 2012 dikemukakan dalam Tabel 19.
56
Tabel 19. Perkembangan ekspor produk peternakan menurut kelompok produknya, 2005-2012 (000 US$).
Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
A TERNAK 26,239 15,760 36,204 43,577 40,434 50,554 61,819 62,345
B HASIL TERNAK NA NA NA NA NA 585,118 1,161,288 174,251
C PRODUK HEWANI NON
PANGAN 99,125 136,423 60,713 359,324 125,779 129,496 143,709 122,935
D OBAT HEWAN 128,817 56,480 202,653 719,815 506,422 5,347 22,447 22,337
E LAIN - LAIN NA NA NA NA NA 181,147 209,809 174,658
Total Ekspor 354,645 288,785 377,672 1,155,151 772,318 951,662 1,599,071 556,527
Sumber : Statistik Peternakan, 2013
Hasil ternak umumnya dibagi ke dalam tiga bagian besar yaitu daging, susu
dan telur. Tabel 20 menunjukkan volume dan nilai ekspor berbagai jenis hasil ternak
dan hasil olahannya. Volume ekspor daging pada tahun 2012 hanya sebesar 78,44
ribu kg atau dengan nilai US$ 1,13 juta. Volume ekspor susu pada tahun 2012
hanya sebesar 52,17 juta kg atau dengan nilai US$ 92,77 juta. Sementara itu,
volume ekspor telur pada tahun 2012 hanya sebesar 5.597 kg atau dengan nilai US$
10,315.
Tabel 20. Volume dan nilai ekspor hasil ternak, 2012.
Uraian Volume (kg) Nilai (US$)
Volume Ekspor (kg)
1 Daging 78,443 1,127,275
a Sapi 1,857 11,866
b Babi 21,125 11,703
c Kambing/domba 281 458
d Kuda 0 0
e Unggas 900 2,433
f Jeroan sapi 30 44
g Jeroan Non sapi 0 0
h Daging lainnya 760,237 1,078,874
2 Susu 52,173,929 92,766,308
a Susu dan kepala susu 38413250 72035,528
b Yogurt 713561 689825
c Mentega 12298051 17278800
d Keju 749067 2762155
3 Telur 5597 10315
4 Madu 765413 3316086
5 Lemak 74035363 72028157
6 Makanan-olahan 7029917 5003171
Total hasil ternak 134794649 174251312
Sumber : Statistik Peternakan, 2013
57
Volume ekspor daging unggas pada tahun 2005 sebesar 20.100 Kg dengan
nilai US$ 92,10 ribu, pada tahun 2010 mencapai 236,88 ribu Kg dengan nilai US$
110,44 ribu, dan pada tahun 2012 volume ekspor hanya sebesar 108 Kg dengan
nilai US$ 21.250. Sementara itu, volume ekspor telur pada tahun 2005 sebesar
827,10 ribu Kg dengan nilai sebesar US$ 84.300, sedangkan pada tahun 2010
volume ekspor telur konsumsi unggas sebesar 27.584 Kg dengan nilai US$ 162,04
ribu. Sementara itu, volume ekspor pada tahun 2012 hanya sebesar 265 Kg dengan
nilai hanya sebesar US$ 848. Informasi tentang perkembangan volume dan nilai
ekspor produk unggas menurut jenis dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Perkembangan volume dan nilai ekspor produk unggas menurut kelompok
produknya, 2005-2012 (Kg)
Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
A. Volume (Kg)
1. Unggas - - - - 12800 - - -
2. Daging Unggas 20100 25000 - - - 236880 26021 108
3. Telur Unggas 827100 3000 - 38900 9976 27584 1744 265
B. Nilai (US$)
1. Unggas - - - - 6900 - - -
2. Daging Unggas 92100 43200 16400 - - 110440 13372 21250
3. Telur Unggas 84300 90500 700 - 52343 162042 5913 848
Total Unggas 176400 133700 17100 0 59243 272482 19285 22098
Sumber : Statistik Peternakan, 2013
5.8. Perkembangan Impor
Berdasarkan data dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, data impor
produk peternakan dikelompokkan ke dalam ternak, hasil ternak, produk hewani non
pangan, obat hewan dan lain-lain. Statistik PKH (2013) mencantumkan data impor
yang terjadi dalam tahun 2010-2012 dengan sumber data yang diperoleh dari BPS
yang dikelompokkan berdasarkan nomor Harmonized System (HS) yang sejenis.
Perkembangan impor produk peternakan selama kurun waktu 2005 sampai 2012
dikemukakan dalam Tabel 22.
Apabila data impor diperinci lebih lanjut berdasarkan kelompok produk
peternakan maka terlihat bahwa impor di semua kelompok produk peternakan
mengalami peningkatan. Impor produk peternakan didominasi baik kelompok hasil
58
ternak, ternak dan produk hewani non pangan. Impor produk ternak terutama
berasal dari AS, Australia, New Zeland, Brazil, Thailand, dan Asia lainnya.
Tabel 22. Perkembangan voilume dan nilai impor produk peternakan menurut
kelompok produknya, 2005-2012 (000 US$).
Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1. Ternak
117,889
117,032
227,074
380,776
464,322
450,479
328,509
309,748
2. Hasil Ternak
699,779
769,723
1,159,409
1,485,869
1,573,643
1,723,326
1,909,966
1,846,600
3. Produk hewani
non Pangan NA NA NA NA NA
436,459
593,927
481,712
4. Obat hewan NA NA NA NA NA
46,465
47,745
51,451
5. Lain-lain NA NA NA NA NA
111,610
164,654
8,589
Total Impor
817,668
886,754
1,386,483
1,866,645
2,037,965
2,768,339
3,044,801
2,698,100
Neraca (463,023) (597,970) (1,008,811) (711,494) (1,265,647) (1,816,677) (1,445,730) (2,141,573)
Keterangan: NA = data tidak tersedia. Sumber : Statistik Peternakan, 2013
Hasil ternak umumnya dibagi ke dalam 3 bagian besar yaitu daging, susu dan
telur. Tabel 22 menunjukkan volume impor daging mencapai 50.22 juta kg atau
dengan nilai mencapai US$ 199,05 juta. Volume impor susu mencapai 386,12 juta
kg atau dengan nilai mencapai US$ 1,23 Milyar. Sementara itu, volume impor telur
mencapai 1,41 juta kg atau dengan nilai mencapai US$ 7,53 juta. Kalau didasarkan
data perkembangan impor maka Indonesia kurang memiliki daya saing untuk produk
hasil ternak, karena kebutuhan dalam negeri yang sangat besar dan sebagian besar
dipenuhi oleh impor dari negara lain.
Perdagangan hasil unggas umumnya dibagi ke dalam tiga bagian besar yaitu
unggas hidup, daging unggas, dan telur unggas. Tabel 23 menunjukkan neraca
perdagangan berbagai jenis hasil unggas. Volume impor unggas hidup pada tahun
2005 sebesar 300 Kg dengan nilai sebesar US$ 600, sedangkan impor pada tahun
2009 sebesar 203,50 ribu Kg dengan nilai US$ 458,31 ribu. Sementara itu, volume
impor unggas hidup pada tahun 2012 hanya sebesar 42 Kg dengan nilai hanya
sebesar US$ 1.217.
59
Tabel 23. Nilai and volume ekspor dan impor hasil ternak, 2012.
Uraian Volume (Kg) Nilai (US $)
1 Daging 50,223,428 199,054,896
a Sapi 39,419,157 164,887,147
b Babi 1,049,793 4,511,440
c Kambing/domba 1,270,086 8,753,690
d Kuda 0 0
e Unggas 586,219 1,641,275
f Jeroan sapi 7,898,173 19,261,344
g Jeroan Non sapi 0 0
h Daging lainnya 0 0
2 Susu 386,116,371 1,228,330,179
a Susu dan kepala susu 233,566,083 813,744,787
b Yogurt 265621 77678
c Mentega 128389465 310448037
d Keju 23895202 103360575
3 Telur 1416964 7533407
4 Madu 2510172 9851783
5 Lemak 4493844 9862451
6 Makanan-olahan 577578597 391966874
Total hasil ternak 1022339376 1846599590
Sumber : Statistik Peternakan, 2013
Volume impor daging unggas pada tahun 2005 sebesar 3,98 juta Kg dengan
nilai sebesar US$ 3,80 juta, pada tahun 2010 volume impor sebesar 704,49 Kg
dengan nilai US$ 1,06 juta, sedangkan pada tahun 2012 volume impor daging
unggas sebesar 2,34 juta Kg dengan nilai US$ 732,92 ribu. Sementara itu, volume
impor telur unggas pada tahun 2005 sebesar 707 ribu Kg dengan nilai mencapai
US$ 1,87 juta, volume impor pada tahun 2010 sebesar 1,32 juta Kg dengan nilai
US$ 7,02 juta. Sementara itu, volume impor pada tahun 2012 mencapai sebesar
569,46 ribu Kg dengan nilai US$ 3,04 juta. Kalau didasarkan atas data tersebut
maka sebagian besar kebutuhan hasil ternak unggas masyarakat Indonesia dapat
dipenuhi dari produksi domestik dan hanya sebagian kecil yang harus diimpor dari
negara lain. Indonesia dapat dikatakan swasembada dalam hasil ternak unggas.
Informasi secara lengkap dan rinci tentang perkembangan volume ekspor dan impor
produk unggas dapat dilihat pada Tabel 24.
60
Tabel 24. Perkembangan volume ekspor dan impor produk unggas menurut kelompok produknya, 2005-2012 (kg).
Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
I. Ekspor
A. Volume (Kg)
1. Unggas - - - - 12800 - - -
2. Daging Unggas 20100 25000 - - - 236880 26021 108
3. Telur Unggas 827100 3000 - 38900 9976 27584 1744 265
B. Nilai (US$)
1. Unggas - - - - 6900 - - -
2. Daging Unggas 92100 43200 16400 - - 110440 13372 21250
3. Telur Unggas 84300 90500 700 - 52343 162042 5913 848
Total Unggas 176400 133700 17100 0 59243 272482 19285 22098
II. Impor
A. Volume (Kg)
1. Unggas 300 26300 31500 - 203495 5913 2276 42
2. Daging Unggas 3978400 3468400 4675200 7459010 867382 704489 704169 234317
3. Telur Unggas 707000 943900 1156900 1299000 1184159 1323360 1229515 569455
B. Nilai (US$)
1. Unggas 600 65700 8000 - 458309 254171 198016 1217
2. Daging Unggas 3803800 4661700 7062100 11768300 1018229 1058335 1459289 732915
3. Telur Unggas 1865500 2363300 3853000 711700 6596067 7016890 6189788 3036331
Total unggas 5669900 7090700 10923100 12480000 8072605 8329396 7847093 3770463
III. Neraca 5493500 6957000 10906000 12480000 8013362 8056914 7827808 3748365
Sumber : Statistik Peternakan, 2013
5.9. Ketersediaan, Stok dan Neraca Bahan Pangan Daging Ayam
Secara ringkas ketersediaan pangan adalah pangan yang siap untuk
dikonsumsi penduduk. Dengan demikian pangan yang tersedia untuk konsumsi
terdiri atas jumlah produksi pangan domestik ditambah stok dan impor dari luar
negeri kemudian dikurangi ekspor, penggunaan lain (bibit, pakan, diolah untuk
industri) serta yang hilang atau tercecer. Secara umum, ketersediaan daging dan
telur mengalami peningkan dari waktu ke waktu. Ketersediaan daging pada tahun
2005 sebesar 1.268 ribu ton dan meningkat menjadi 1.727 ribu ton, atau mengalami
pertumbuhan sebesar 18,77%/tahun. Pertumbuhan tersebut terutama disumbang
oleh pertumbuhan daging ayam (broiler) dan daging sapi potong. Secara terperinci
perkembangan ketersediaan produk peternakan dapat dilihat Tabel 25.
61
Tabel 25. Ketersediaan daging dan telur, 2005-2012.
I. Penyediaan per th (000 ton)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Rerata Trend (%/th)
1. Daging 1268 1399 1414 1469.2 1500.1 1654.6 2530.78 2581.53 1727.16 18.77
2. Telur 952.2 1098 1261 1222.3 1297.1 1251.5 1438.1 1517.81 1254.76 17.76
II.
Penyediaan perkapita/th (kg)
1. Daging 5.8 6.3 6.3 6.4 6.5 6.97 10.49 10.55 7.41 9.94
2. Telur 4.3 5 5.6 5.4 5.6 5.27 5.96 6.20 5.42 5.13
Sumber : Statistik Peternakan, 2005-2013
Total ketersediaan hasil ternak berupa daging ayam pada tahun 2007
sebesar 536,80 ribu ton meningkat menjadi 771,89 ribu ton pada tahun 2012
(Ditjennak dan Keswan, 2009). Dari jumlah daging broiler yang tersedia, maka
jumlah yang dapat dikonsumsi pada tahun 2007 sebesar 510 ribu ton dan meningkat
menjadi 733,33 ribu ton pada tahun 2012. Berdasarkan data Statistik PKH tidak ada
data stok daging ayam, karena komoditas ini tidak tahan simpan dalam waktu lama.
Namun demikian dalam kerangka perdagangan global pengembangan stok daging
broiler perlu mendapatkan perhatian, karena negara-negara penghasil daging broiler
utama seperti Thailand dan brazil telah mengembangkan sistem stok dengan sangat
baik. Tabel 29 menunjukkan neraca bahan makanan untuk daging ayam ras
pedaging (broiler) tahun 2007-2012.
Berdasarkan Tabel 26 menunjukkan beberapa hal pokok: (a) Ketersediaan
daging broiler mengalami peningkatan dari waktu ke waktu; (b) Terdapat defisit
terhadap penyediaan daging ayam ras (broiler) dalam negeri, sehingga
kekurangannya harus diimpor, meskipun dalam jumlah terbatas; (c) Kehilangan
akibat tercecer dan atau rusak masih sangat tinggi (26,80-38,80 ribu ton atau sekitar
5%); (d) Ke depan peningkatan produksi daging broiler masih perlu terus
ditingkatkan baik melalui peningkatan populasi (skala usaha), peningkatan efisiensi
teknis dan produktivitas, maupun menekan kehilangan hasil akibat tercecer dan
rusak.
62
Tabel 26. Neraca bahan makanan untuk produk daging broiler (dalam 000 ton), Tahun 2007, 2008 dan 2009.
Tahun
Produksi Daging Broiler
Perubahan
Ekspor Penyedia-an DN &
impor
Pemakaian Dalam Negeri
Masu-kan
Keluar-an
Stok Impor Pakan
Bibit Diolah untuk Terce-
cer Dimakan
ternak makanan industri
2007 910 527.8 0 9 0 536.8 - - - - 26.8 510.0
2008 978.2 567.3 0 6.5 0.1 573.8 - - - - 28.7 545.1
2009 978.1 567.3 0 6.5 0.1 573.7 - - - - 28.7 545.0
2010 1 156.5 670.7 0 0.1 0.1 670.8 - - - - 33.5 637.3
2011 977.9 774.4 0 1.23 0 775.64 - - - 38.8 736.8
2012 1096.9 771.32 0 0.57 0 771.89 - - - - 38.6 733.3
Sumber : Statistik Peternakan, 2009 dan 2011 (diolah), 2012 (diolah)
5.10. Perkembangan Harga Broiler Domestik
Produk unggas tergolong produk bernilai ekonomi tinggi (high value product)
mempunyai harga yang relatif tinggi dibanding komoditas pangan lainnya, sehingga
menyumbang bagian cukup besar bagi pendapatan peternak. Fluktuasi harga
produk broiler domestik terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah penawaran
dan permintaan yang diantaranya disebabkan oleh ketidakmampuan produsen
dalam mengatur volume pasokan.
Rata-rata harga tahunan produk daging broiler domestik menunjukkan
peningkatan dari tahu ke tahun, tingkat harga pada tahun 2010 sebesar Rp. 14 400,-
/Kg, kemudian pada tahun 2011-2012 meningkat menjadi Rp. 14.366 – 16.580,-/Kg,
tetapi mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi hanya sebesar Rp. 15.256,-
/Kg. Sementara itu, perkembangan harga bulanan menunjukkan keterkaitan yang
tinggi dengan hari-hari besar keagamaan, terutama hari raya lebaran. Pada
umumnya, satu bulan sebelum Bulan Puasa, harga merambat naik hingga mencapai
10-20%, kemudian pada bulan puasa sedikit mengalami penurunan, dan kemudian
melonjak lagi pada seminggu sebelum lebaran hingga mencapai 20-30%, dan
selanjutnya mengalami penurunan harga pasca Hari Raya Lebaran. Sementara itu,
pada hari-hari raya keagamaan lainnya, seperti Natal dan Tahun Baru serta Imlek,
biasanya harga produk unggas mengalami peningkatan secara terbatas dan bersifat
sangat temporal, kurang lebih 5-10%. Informasi secara terperinci tentang
perkembangan harga bulanan produk daging broiler dapat dilihat Tabel 27.
63
Harga komoditas broiler berfluktuatif (harga daging dan telur unggas), hal ini
sangat berkaitan erat dengan dinamika fluktuasi harga DOC dan pakan ternak.
Artinya bahwa fluktuasi harga komoditas broiler unggas sangat dipengaruhi faktor-
faktor yang mempengaruhi sisi penawarannya. Menurut Irawan et al., (2001), kondisi
harga yang fluktuatif pada dasarnya terjadi akibat kelebihan atau kekurangan
penawaran dibandingkan dengan permintaan. Fluktuasi harga tersebut umumnya
disebabkan oleh dis-sinkronisasi perencanaan produksi antar daerah produksi.
Beberapa faktor lain berpengaruh adalah terbatasnya RPA/TPA dan TPnA yang
memenuhi standar kebersihan dan kesehatan, gudang/peralatan penyimpanan
berpendingin (cold storage) dan moda transportasi berpendingin yang mampu
mengendalikan volume penawaran. Fluktuasi harga tersebut seringkali lebih
merugikan peternak kecil daripada pelaku usaha besar (terutama dengan industri
pakan ternak dan pedagang besar ayam, karena peternak memiliki posisi tawar
yang lemah dibandingkan pelaku usaha lain.
Tabel 27. Perkembangan harga bulanan daging broiler, 2010-2013.
Bulan Harga (Rp/Kg)
Rata-Rata 2010 2011 2012 2013
Januari 12.275 15.060 15.854 16.556 14.936
Februari 12.202 13.487 15.442 15.384 14.129
Maret 13.205 13.467 14.442 15.012 14.032
April 12.316 12.333 14.753 14.934 13.584
Mei 12.350 13.574 15.187 14.921 14.008
Juni 14.627 14.180 16.193 16.898 15.475
Juli 15.765 15.020 17.186 18.250 16.555
Agustus 16.905 15.862 18.179 19.604 17.638
September 16.498 15.745 16.063 16.867 16.293
Oktober 16.852 14.395 14.772 18.622 16.160
November 15.613 14.938 16.043 17.033 15.907
Desember 14.197 14.329 14.029 14.874 14.357
Rerata 14.400 14.366 15.679 16.580 15.256 Sumber : Direktorat Pemasaran Domestik Ditjen PPHP, 2010-2013 (data diolah)
Pembentukan harga produk unggas di pasar domestik menunjukkan: (1)
Harga komoditas broiler ditentukan oleh sisi pasokan dan sisi permintaan; (2) Pada
saat pasokan kurang dari permintaan maka harga komoditas broiler meningkat
pesat, sebaliknya pada saat pasokan berlebih dari permintaan maka terjadi
64
fenomena anjlok harga; (3) Kebutuhan komoditas broiler cenderung konstan
sepanjang waktu, hanya pada hari raya atau hari-hari besar keagamaan terutama
menjelang puasa dan hari raya Idul Fitri atau lebaran permintaan daging ayam
meningkat sekitar (10-30%); (4) Sementara pasokan berubah-rubah sepanjang
waktu, karena sangat dipengaruhi oleh gejolak faktor eksternal, seperti wabah
penyakit dan gejolak pasar global; (5) Sangat mendesak mengembangkan kebijakan
manajemen rantai pasok (supply chains management/SCM), sehingga ada
keterpaduan antara perencanaan, koordinasi dan pengendalian aktivitas bisnis
dalam rantai pasok komoditas broiler untuk menghantarkan nilai superior produk
dengan biaya termurah untuk memenuhi variabel-variabel kepuasan pelanggan
(Vorst and Van Der, 2006).
Selama ini bisnis industri broiler diserahkan pada mekanisme pasar dan
belum ada kebijakan yang bersifat melindungi peternak. Mengatasi gejolak harga
komoditas broiler dapat dilakukan dengan: (1) Perencanaan produksi antar wilayah
sentra produksi yang didasarkan dinamika permintaan pasar, bukan semata-mata
tergantung pada hari-hari besar keagamaan; (2) Memperbaiki kelancaran sistem
distribusi komoditas broiler dari daerah-daerah sentra produksi ke pusat konsumsi
dengan dukungan infrastruktur dan moda transportasi berpendingin; (3)
Memperbaiki struktur pasar komoditas broiler sehingga tercipta mekanisme pasar
yang adil; (4) Mempengaruhi perilaku industri pembibitan, industri pakan ternak dan
pedagang besar sehingga harga input dan output yang terbentuk kompetitif di pasar;
dan (5) Membangun kemitraan rantai pasok pada industri broiler terpadu yang
bersifat saling membutuhkan, memperkuat, dan menguntungkan.
Beberapa model kebijakan stabilisasi harga untuk melindungi peternak dapat
dilakukan dengan: (1) Harga Pembelian Pemerintah (HPP), sudah diterapkan pada
komoditas gabah dan atau beras; (2) Harga Minimum Regional (HMR), sudah
diterapkan pada komoditas jagung; (3) Stabilisasi Harga Komoditas (SHK), sudah
diterapkan pada komoditas kedelai; dan (4) Harga referensi.
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) adalah harga pembelian pemerintah
untuk komoditi gabah dan beras. Berdasarkan pada Inpres No. 3 tahun 2012
tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Gabah/Beras oleh
pemerintah. Pemerintah wajib untuk memebeli komoditi tersebut dari petani
seandainya terjadi penurunan harga di tingkat petani dibawah Break Event Point
65
(BEP). Kondisi ini biasanya terjadi pada saat terjadi panen raya sehingga terjadi
fenomena anjlok harga jual produsen/petani/peternak.
Harga Minimum Regional (HMR) dapat dijadikan harga indikasi bagi petani,
pedagang, industri pengolahan dalam penentuan harga saat melakukan transaksi.
Bagi petani adanya harga indikasi dapat memperkuat posisi tawar dan transparansi
harga produk. Mendorong terjadinya perbaikan kualitas komoditas pertanian
tercakup peternakan, karena perbedaan mutu akan memberikan perbedaan harga.
Dasar penetapan HMR adalah: (1) Biaya produksi dan pendapatan usahatani, (2)
Harga komoditas pertanian/peternakan domestik dan internasional, (3) Nilai tukar
rupiah terhadap dollar dan tarif bea masuk, dan (4) Upah Minimum Regional (UMR)
Wilayah. Komoditas yang sudah menetapkan HMR adalah komoditas jagung di
Provinsi Lampung dan Sumatera Utara. Peluang menerapkan kebijakan ini pada
produk unggas dipandang relefan, karena didukung adanya asosiasi-asosiasi
perunggasan di daerah-daerah sentra produksi perunggasan dan telah terbentuknya
Federasi Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI).
Kebijakan stabilisasi harga komoditas, telah diterapkan untuk komoditas
kedelai yang lebih dikenal dengan Stabilisasi Harga Kedelai (SHK). Dasar
pelaksanaan: (1) PERPRES (No:32-Tahun-2013), 8 Mei 2013. Perihal penugasan
Perum Bulog untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai; (2) PER-MENDAG
49/M-DAG/PER/9/2013, 9 Sept 2013, perihal Penetapan Harga Penjualan Kedelai di
tingkat Pengrajin Tahu/Tempe dalam rangka mensatabilkan harga. Tujuan Program
Stabilisasi Harga Kedelai (SHK) adalah memberikan jaminan harga kepada petani
kedelai maupun pengrajin Tahu/Tempe untuk mendapatkan harga yang layak &
wajar. Kebijakan SHK meliputi HBP (Harga Beli di Petani) dan HJP (Harga Jual di
Pengrajin).
Harga referensi adalah merupakan mekanisme penetapan harga berdasarkan
pada harga ditingkat konsumen dan berkaitan dengan penawaran dan permintaan.
Jika harga ditingkat konsumen tinggi berarti dianggap pasokan dipasar kurang
sehingga untuk memenuhi permintaan dan menormalkan harga pasar, bisa
dilakukan impor. Diberlakukan untuk komoditi cabe merah, bawang merah dan
daging sapi.
Usulan kebijakan terkait harga referensi : (1) Keran Impor hanya bisa dibuka
pada saat harga pasar (eceran) melampaui/diatas harga referensi; (2) Harga beli
66
petani (HBP) terkait langsung dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani
dan tidak berhubungan dengan jumlah produksi yang beredar di pasar, HBP
digunakan sebagai patokan impor jika dan hanya jika ada jaminan pembelian produk
oleh pemerintah (Bulog); dan (3) Penetapan HBP bawang merah harus juga
didasarkan dengan daya serap industri bawang merah dalam negeri. Pemberlakuan
harga referensi untuk produk unggas masih terkendala adanya wabah penyakit flu
burung yang terjadi lintas negara.
VI. SITUASI PASAR BROILER: STUDI KASUS DI JAWA BARAT
6.1. Parameter Teknis dan Ekonomi Usahaternak Broiler
Beberapa parameter teknis untuk usahaternak ayam ras pedaging (broiler)
yang dikaji berdasarkan pola usaha di Jawa barat meliputi rata-rata FCR (feed
convertion ratio), tingkat kematian (mortality), rata-rata umur panen, dan rata-rata
bobot badan saat panen. Rata-rata pencapaian FCR yang menggambarkan efisiensi
konversi pakan menjadi bobot ayam hidup adalah 1,75 untuk usahaternak pola
mandiri, 1,70 untuk pola kemitraan internal antara perusahaan pakan dengan
peternak plasma, dan 1,70 untuk pola kemitraan eksternal antara pemodal dan
peternak plasma. Tingkat pencapaian FCR pada pola kemitraan usaha internal dan
eksternal sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian FCR pada pola
mandiri, karena adanya dukungan tenaga teknisi yang terjunkan kelapang yang
memiliki peranan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan oleh peternak plasma.
Rata-rata tingkat kematian (mortality) usahaternak ayam ras pedaging
(broiler) untuk pola usahaternak mandiri 4,00-5,00% per siklus produksi, untuk pola
usahaternak kemitraan internal 3,00-4,00% persiklus produksi, dan untuk kemitraan
usaha eksternal 3,50-4,00%. Nampak bahwa besaran tingkat mortalitas pada pola
mandiri lebih tinggi dibandingkan pola kemitraan internal dan pola kemitraan
eksternal, karena dukungan kepastian pasokan input terutama pakan dan teknisi
yang diterjunkan ke lapang.
Rata-rata umur panen mengalami percepatan, yang pada awal pembangunan
peternakan (1970-1990) umur panen 42-45 hari. Saat ini, sejalan dengan preferensi
konsumen yang menghendaki ukuran ayam lebih kecil, maka rata-rata umur panen
broiler berkisar antara 28-42 hari atau rata-rata 35 hari dengan bobot badan 1,3-1,80
67
Kg/ekor atau rata-rata 1,50 Kg/ekor. Penentuan umur panen ayam sangat ditentukan
dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen. Pada pola usahaternak
mandiri peternak memiliki kebebasan kapan ayam mau dipanen dan dijual ke pasar,
sedangkan pada pola kemitraan baik internal maupun eksternal sangat ditentukan
oleh perusahaan inti yang menjadi mitra usahanya.
Parameter teknis indeks prestasi (IP) merupakan parameter teknis gabungan
dari berbagai parameter teknis. Pada sebagian besar kemitraan usaha melalui
sistem kontrak bagi hasil dan risiko, hal terpenting bagi peternak untuk mencapai
pendapatan yang tinggi adalah melalui pencapaian indek prestasi (IP) yang tinggi,
yaitu dengan FCR efisien, mortalitas rendah, pencapaian bobot badan sesuai umur
panen. Indek Prestasi Peternak (IP) dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
Skala nilai IP adalah sebagai berikut : IP < 235 Kurang/Poor (loss/break-even) IP > 275 Baik (Good) IP > 300 Sangat baik (Very Good) IP > 350 Luar Biasa (Excellent)
Hasil kajian empiris di lapang pada berbagai pola usahaternak broiler secara
kualitatif diperoleh informasi besaran indeks prestasi (IP) yang dicapai. Pada
berbagai pola usahaternak diperoleh nilai IP sebesar 235-300. Secara ringkas dapat
disimpulkan bahwa pada ketiga pola yang diteliti peternak telah mencapai IP sedang
hingga baik yang merefleksikan secara teknis peternak menguasai teknologi dan
manajemen usahaternak pada level moderat. Informasi secara lengkap dan rinci
tentang parameter teknis usaha ternak broiler dilokasi penelitian pada berbagai pola
usahaternak dapat dilihat pada Tabel 28.
Beberapa parameter ekonomi yang dikaji adalah skala usaha dan tingkat
harga yang diterima peternak. Pada pola usahaternak mandiri rata-rata skala usaha
20.000 ekor, kemitraan internal 7.000 ekor, dan pada kemitraan eksternal 5.000
ekor. Nampak bahwa rata-rata skala usaha peternak mandiri adalah yang paling
besar, karena hanya peternak mandiri dalam skala sedang hingga skala besarlah
68
yang mampu bertahan. Sementara itu pada pola kemitraan internal mensyaratkan
skala minimal saat ini sebesar 4.000 ekor, sehingga masih ditemukan skala usaha
4.000 ekor. Perusahaan peternakan multinasional saat ini mensyaratkan skala
usaha minimal 6.000 ekor per peternak. Pada pola kemitraan eksternal antara
pemodal dan peternak plasma tidak ada syarat minimal, sehingga masih dijumpai
skala 2.000 – 20.000 ekor atau rata-rata 5.000 ekor per peternak.
Tabel 28. Kinerja usahaternak broiler berdasarkan pola usaha, 2016.
Deskripsi Mandiri Kemitraan Internal Kemitraan Eksternal
Skala Usaha (ekor) 20,000 7,000 5,000
FCR 1,75 1,70 1,70
Mortalitas (%) 4,50 3,75 4,00
Umur panen (hari) 36 35 35
Rataan Bobot (Kg/ekor) 1,52 1,50 1,.50
Indeks Prestasi (IP) 267,50 300,00 300,00
Harga Broiler (Rp/Kg) 21.800 21.800 21.800
Sumber: primer, diolah.
Pada berbagai pola usahaternak tingkat harga jual yang diterima peternak
relatif sama yaitu Rp. 21.800/Kg bobot hidup karena harga ditentukan oleh POSKO,
yang merupakan harga acuan yang ditetapkan PINSAR. Nampak bahwa rata-rata
tingkat harga jual antar pola usahaternak relatif sama, kecuali pada kemitraan
dengan sistem bagi hasil dengan menggunakan harga kontrak dimuka. Hal ini
terutama disebabkan sebagian besar harga jual peternak kemitraan ditentukan
melalui kontrak dengan perusahaan inti dan harga penjualan oleh perusahaan inti ke
pedagang pengumpul atau broker ditentukan melalui harga patokan melalui
PINSAR.
6.2. Analisis Usaha Ternak Broiler
Secara empiris di Jawa barat menunjukkan bahwa usaha peternakan ayam
ras pedaging (broiler) sebagian besar diusahakan dalam bentuk pola-pola kemitraan
usaha, meskipun dalam jumlah terbatas masih ditemukan pola usahaternak mandiri.
Beberapa pola kemitraan yang berlangsung secara garis besar dapat dibedakan
kemitraan usaha internal, yaitu kemitraan usaha antara perusahaan pakan ternak
sebagai inti dan peternak sebagai plasma dan kemitraan usaha eksternal, yaitu
kemitraan antara pemodal besar sebagai inti dan peternak sebagai plasma. Pada
69
bagian ini akan dilakukan analisis kelayakan usahaternak baik untuk pola mandiri,
kemitraan usaha internal dan kemitraan usaha eksternal.
Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola mandiri
dilakukan pada skala usaha 20.000 ekor. Struktur biaya dan penerimaan finansial
usahaternak ayam ras pedaging pada pola mandiri kondisi tahun 2016 dapat dilihat
pada Tabel 2 berikut. Berdasarkan Tabel 2 tersebut memberikan beberapa informasi
pokok sebagai berikut: (1) Besarnya total biaya produksi usahaternak ayam ras
pedaging (broiler) pola mandiri sebesar Rp. 500.048.625,-/siklus produksi; (2)
Komponen biaya terbesar adalah biaya pakan yang mencapai Rp. 341.250.000,-
/siklus (68,24%) dari total biaya produksi. Kemudian menyusul biaya untuk
pembelian D.O.C yang mencapai Rp. 110.000.000,-/siklus (22,00%). Biaya-biaya
variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan, biaya pemanas, penyusutan
kandang atau pemeliharaan kandang sebesar Rp. 41.798.625,-/siklus (8,36%).
Selanjutnya biaya untuk membayar tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun
upahan sebesar Rp. 7.000.000,-/siklus (1,40%).
Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola mandiri
dengan tingkat produksi 29,032 Kg/siklus dan tingkat harga jual sebesar Rp.
21.800,-/siklus sehingga diperoleh penerimaan atas penjualan broiler hidup Rp.
643.317.000,-/siklus, penjualan ayam afkir sebesar Rp 7.848.000,-/siklus, dan
penjualan kotoran ayam Rp.. 2.571.400,-/siklus produksi, sehingga total penerimaan
sebesar Rp 643.317.000,-per siklus produksi. Besarnya tingkat pendapatan atau
keuntungan atas biaya produksi total sebesar Rp. 143.268.375,- per siklus produksi.
Dengan tingkat produksi dan harga tersebut diperoleh biaya pokok produksi ayam
broiler pola mandiri sebesar Rp 17.224,-/Kg bobot hidup. Berdasarkan tingkat
penerimaan dan biaya produksi yang dikeluarkan diperoleh besaran nilai R/C ratio
sebesar 1,29. Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa usahaternak broiler pola
mandiri layak diusahakan dengan tingkat efektivitas pengembalian modal tergolong
cukup tinggi. Besarnya keuntungan sebesar Rp 4.576,-/Kg. Secara keseluruhan
analisis usahaternak broiler pola mandiri dapat disimak pada Tabel 29.
70
Tabel 29. Analisis usahaternak broiler pola mandiri, 2016.
No Deskripsi
Mandiri
Fisik (Unit)
Harga (Rp/Unit)
Nilai (Rp)
I Biaya produksi
1 DOC (ekor) 20,000 5,500 110,000,000
2 Pakan (Kg) 52,500 6,500 341,250,000
3 Vaksinasi (Rp) 2,300,000
4 Obat-obatan (Rp) 4,000,000
5 Mineral/Vitamin (Rp) 1,700,000
6 Jamu (Rp) 500,000
7 Molase (Rp) 1,000,000
8 Sekam (karung) 1,500 5,000 7,500,000
9 Sanitasi (Liter) 7.5 5000 37,500
10 Tirai (m) 640 2,344 1,500,000
11 Biaya pemanas (Rp) 9,600,000
12 Biaya variabel lain (air, listrik) (Rp) 5,000,000
13 Penyusutan (Rp) 4,843,750
14 transportasi (Rp) 469,375
15 PBB (Rp) 78,000
16 Biaya lainnya (Rp) 3,270,000
17 TK Dalam keluarga (Orang) 2 1,166,667 2,333,333
18 TK Luar keluarga (Orang) 4 1,166,667 4,666,667
Total biaya (Rp) 500,048,625
II Penerimaan
1 Broiler hidup (Kg) 29,032 21,800 632,897,600
2 Ayam Afkir (Kg) 360 21,800 7,848,000
3 Pupuk kotoran (Kg) 12,857 200 2,571,400
Penerimaan (Rp) 643,317,000
III Pendapatan (Rp) 143,268,375
IV R/C 1,29
V Biaya pokok produksi (Rp/Kg) 17,224
VI Harga jual (Rp/Kg) 21,800
VII Keuntungan (Rp/Kg) 4,576
Sumber: data primer diolah.
Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan
internal dilakukan pada skala usaha 7.000 ekor. Struktur biaya dan penerimaan
finansial usahaternak ayam ras pedaging pada pola kemitraan internal kondisi tahun
2016 dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Berdasarkan Tabel 3 tersebut memberikan
beberapa gambaran pokok sebagai berikut: (1) Besarnya total biaya produksi
usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan internal sebesar Rp.
71
185.681.044,-/siklus produksi; (2) Komponen biaya terbesar adalah biaya pakan
yang mencapai Rp. 133.427.698,-/siklus (67,87%) dari total biaya produksi.
Kemudian menyusul biaya untuk pembelian DOC yang mencapai Rp. 42.000.000,-
/siklus (22,62%). Biaya-biaya variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan,
biaya pemanas, penyusutan kandang atau pemeliharaan kandang sebesar Rp.
14.167.243,-/siklus (7,63%). Selanjutnya biaya untuk membayar tenaga kerja baik
tenaga kerja keluarga maupun upahan sebesar Rp. 3,500.001,-/siklus (1,88%).
Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola kemitraan
internal dengan tingkat produksi 10.106 Kg/siklus dan tingkat harga jual sebesar Rp.
21.800,-/Kg sehingga diperoleh penerimaan atas penjualan broiler hidup Rp.
220.310.800,-/siklus, penjualan ayam afkir sebesar Rp 750.000,-/siklus, dan
penjualan kotoran ayam Rp. 900.000,-/siklus produksi, sehingga total penerimaan
sebesar Rp 221.960.800,-per siklus produksi. Besarnya tingkat pendapatan atau
keuntungan atas biaya produksi total sebesar Rp. 36.279.756,- per siklus produksi.
Dengan tingkat produksi dan harga tersebut diperoleh biaya pokok produksi ayam
broiler pola kemitraan internal sebesar Rp 18.373,-/Kg bobot hidup. Berdasarkan
tingkat penerimaan dan biaya produksi yang dikeluarkan diperoleh besaran nilai R/C
ratio sebesar 1,19. Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa usahaternak broiler pola
kemitraan internal layak diusahakan, namun dengan tingkat efektivitas
pengembalian modal tergolong cukup memadai. Secara keseluruhan analisis
usahaternak broiler pola mandiri dapat disimak pada Tabel 30.
Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan
eksternal dilakukan pada skala usaha 5.000 ekor. Struktur biaya dan penerimaan
finansial usahaternak ayam ras pedaging pada pola kemitraan eksternal kondisi
tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31 tersebut merefleksikan beberapa
gambaran pokok sebagai berikut: (1) Besarnya total biaya produksi usahaternak
ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan eksternal sebesar Rp 132.447.501,-
/siklus produksi; (2) Komponen biaya terbesar adalah biaya pakan yang mencapai
Rp 86.062.500,-/siklus (64,98%) dari total biaya produksi. Kemudian menyusul biaya
untuk pembelian D.O.C yang mencapai Rp. 31.500.000,-/siklus (23,78%). Biaya-
biaya variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan, biaya pemanas,
penyusutan kandang atau pemeliharaan kandang sebesar Rp 11.375.000,-/siklus
72
(8,59%). Selanjutnya biaya untuk membayar tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga
maupun upahan sebesar Rp. 3.500.001,-/siklus (2,64%).
Tabel 30. Analisis usahaternak broiler pola mandiri, 2016.
No Deskripsi
Mitra Internal
Fisik (Unit) Harga
(Rp/Unit) Nilai (Rp)
I Biaya produksi
1 DOC (ekor) 7,000 6,000 42,000,000
2 Pakan (Kg) 19,093 6,600 126,013,800
3 Vaksinasi (Rp) 1,147,500
4 Obat-obatan (Rp) 1,579,510
5 Mineral/Vitamin (Rp) 633,333
6 Jamu (Rp) 500,000
7 Molase (Rp) 350,000
8 Sekam (karung) 525 5,000 2,625,000
9 Tirai (m) 225 2,344 527,400
10 Sanitasi (Liter) 15,000
11 Biaya pemanas (Rp) 3,360,000
12 Biaya variabel lain (air, listrik) (Rp) 1.750,000
13 Penyusutan (Rp) 2,000,000
14 transportasi (Rp) 250,000
15 PBB (Rp) 35,000
16 Biaya lainnya (Rp) 1,144,500
17 TK Dalam keluarga (Orang) 1.00 1,166,667 1,166,667
18 TK Luar keluarga (Orang) 2.00 1,166,667 2,333,334
Total biaya (Rp) 185,681,044
II Penerimaan
1 Broiler hidup (Kg) 10,106 21.800 220,310,800
2 Ayam Afkir (Kg) 75 10,000 750,000
3 Pupuk kotoran (Kg) 4,500 200 900,000
Penerimaan (Rp) 221,960,800
III Pendapatan (Rp) 36,279,756
IV R/C 1,19
V Biaya pokok produksi (Rp/Kg) 18,373
VI Harga jual (Rp/Kg) 21,800
VII Keuntungan (Rp/Kg) 3,427
Sumber: data primer diolah
Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola kemitraan
eksternal dengan tingkat produksi 7.152 Kg/siklus dan tingkat harga jual sebesar Rp.
21.800,-/siklus sehingga diperoleh penerimaan atas penjualan broiler hidup Rp.
155.913.000,-/siklus, penjualan ayam afkir sebesar Rp. 350.000,-/siklus produksi,
73
dan penjualan kotoran ayam sebesar Rp. 642.000,- per siklus produksi, sehingga
total penerimaan sebesar Rp.156.905.000,-/siklus produksi. Besarnya tingkat
pendapatan atau keuntungan atas biaya produksi total sebesar Rp. 24.657.499,- per
siklus produksi. Dengan tingkat produksi dan harga tersebut diperoleh biaya pokok
produksi ayam broiler pola kemitraan internal sebesar Rp. 18.519,-/Kg bobot hidup.
Berdasarkan tingkat penerimaan dan biaya produksi yang dikeluarkan diperoleh
besaran nilai R/C ratio sebesar 1,19. Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa
usahaternak broiler pola kemitraan eksternal layak diusahakan, namun dengan
tingkat efektivitas pengembalian modal tergolong moderat. Secara keseluruhan
analisis usahaternak broiler pola mandiri dapat disimak pada Tabel 31.
6.3. Saluran Distribusi dan Pemasaran Broiler
Pada bagian ini, dilihat saluran pemasaran lengkap dari peternak broiler
hingga ke konsumen. Sumber ayam hidup dari peternak mandiri, peternak kemitraan
internal, dan peternak kemitraan eksternal. Produksi dari peternak mandiri dijual
secara bebas kepada siapapun, sedangkan peternak mitra secara keseluruhan
ditampung oleh perusahaan inti. Sumber perolehan ayam hidup terbesar berasal
dari perusahaan inti, karena 90-95% peternak di Jawa Barat adalah peternak yang
bermitra dan hanya 5-10% merupakan peternak mandiri. Penjualan ayam oleh
perusahaan inti dilakukan dengan sistem menjual DO dengan harga yang ditentukan
melalui kesepakatan bersama melalui PINSAR yang selanjutnya disebut harga
POSKO. Selanjutnya pedagang pengepul mengambil ayam hidup ke kandang-
kandang peternak yang telah ditunjuk oleh oleh perusahaan inti. Pedagang pengepul
(broker) selanjutnya menjual ayam hidup dan atau karkas ke beberapa pedagang,
yaitu pedagang besar (groris) di pasar yang biasanya juga pengecer, pedagang
pengecer dan meat shop. Selanjutnya pedagang besar (grosir) menjual ayam
kepada pedagang pengecer, meat shop, dan HORECA (Hotel Restaurant, dan
Catering). Secara umum pola distribusi ayam/daging ayam dari peternak hingga
konsumen di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 8.
74
Tabel 31. Analisis usahaternak broiler pola kemitraan eksternal, 2016.
No Deskripsi
Kemitraan eksternal
Fisik (Unit) Harga
(Rp/Unit) Nilai (Rp)
I Biaya produksi
1 DOC (ekor) 5,000 6,300 31,500,000
3 Pakan (Kg) 12,750 6,750 86,062,500
4 Vaksinasi (Rp) 850,000
5 Obat-obatan (Rp) 1,030,000
6 Mineral/Vitamin (Rp) 650,000
7 Jamu (Rp) 200,000
8 Molase 250,000
9 Sekam (karung) 375 5,000 1,875,000
10 Sanitasi (Liter) 12,500
11 Biaya pemanas (Rp) 2,500,000
12 Biaya variabel lain (air, listrik) (Rp) 1,350,000
13 Penyusutan (Rp) 1,632,500
14 transportasi (Rp) 100,000
15 PBB (Rp) 25,000
16 Biaya lainnya (Rp) 900,000
17 TK Dalam keluarga (Orang) 1 1,166,667 1,166,667
18 TK Luar keluarga (Orang) 2 1,166,667 2,333,334
Total biaya (Rp) 132,447,501
II Penerimaan
1 Broiler hidup (Kg) 7,152 21,800 155,913,000
2 Ayam Afkir (Kg) 35 10,000 350,000
3 Pupuk kotoran (Kg) 3,210 200 642,000
Penerimaan (Rp) 156,905,000
III Pendapatan (Rp) 24,657,499
IV R/C 1,19
V Biaya pokok produksi (Rp/Kg) 18,519
VI Harga jual (Rp/Kg) 21,800
VII Keuntungan (Rp/Kg) 3,281
Sumber: data primer, diolah.
75
Keterangan : = pasokan ayam hidup dan/atau karkas, dan DO.
= permintaan atau upaya memperoleh DO
Gambar 8. Alur pemasaran ayam hidup dan karkasnya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Maret 2016.
6.4. Margin Tataniaga Broiler
Tomeck dan Robinson (1990) mendefinisikan margin pemasaran sebagai: (1)
perbedaan harga yang dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen, atau
(2) sebagai harga yang dibayar untuk balas jasa pelaku tataniaga yang dipengaruhi
oleh permintaan dan penawaran jasa tersebut. Termasuk dalam margin tataniaga
adalah seluruh biaya pemasaran (marketing cost) yang dikeluarkan oleh lembaga
tataniaga mulai dari gerbang petani sampai konsumen akhir dan keuntungan
70% 30%
65%
100%
30%
50%
15%
15% 65% 20%
35%
Perusahaan Inti
Peternak Plasma
Eksternal
Peternak Plasma
Internal
Pedagang
Pengepul/Broker
Rumah Potong Ayam
(RPA)
Meat Shop Pedagang Pengecer Hotel/Restauran-
Rumah
Makan/Katering
Konsumen
Pedagang Besar/Grosir
Pasar
Peternak Mandiri
85% 80% 15%
20%
76
pemasaran (marketing profit) yang merupakan imbalan jasa-jasa lembaga tataniaga
dalam menjalankan fungsinya.
Marjin tataniaga atau marjin pemasaran produk ayam ras pedaging (broiler) di
Jawa Barat dibedakan menurut tiga saluran pemasaran berdasarkan pola
usahaternak yang dilakukan, yaitu saluran pemasaran pola usahaternak mandiri,
kemitraan usaha internal, dan kemitraan usahaternak eksternal. Margin pemasaran
dilakukan pada saluran pemasaran dominan. Untuk pola usaha ternak mandiri
margin pemasaran dihitung dari tingkat peternak, pedagang pengumpul/broker,
RPA, pedagang besar (grosir), sampai dengan pedagang pengecer pasar. Untuk
pola usahaternak kemitraan usaha internal akan dihitung dari tingkat peternak,
perusahaan inti (perusahaan peternakan), agen/broker, RPA, pedagang besar
(grosir) dan pedagang pengecer pasar. Untuk pola usahaternak kemitraan usaha
eksternal akan dihitung dari tingkat peternak, perusahaan inti (pemodal),
agen/broker, pedagang besar (grosir) sampai ke pedagang pengecer.
Pada Tabel 32 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-
masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga
ayam ras pedaging (broiler) pada berbagai pola usahaternak. Dapat dikatakan tidak
ada perbedaan yang nyata antar ke tiga pola usaha ternak yang diteliti, karena
saluran dan tujuan pasar yang dominan relatif sama. Berdasarkan struktur biaya,
serta harga beli dan harga jual diperoleh beberapa informasi pokok: (a) pangsa
harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 85,49%, yang menunjukkan
cukup tingginya pangsa harga yang diterima peternak; (b) Besarnya total margin
tataniaga setara daging ayam sebesar Rp. 4.475,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas
biaya margin tataniaga Rp. 2.625,-/Kg daging ayam dan keuntungan yang diterima
pelaku tataniaga sebesar Rp. 1.850,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut
keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 975,-/Kg,
pedagang pengepul/agen/broker sebesar Rp. 800,-/Kg, dan pedagang besar/grosir
di pasar sebesar Rp. 850,-/kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan
total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengepul/agen/broker dan
pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar
dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer.
77
Tabel 32. Analisis margin tata niaga produk ayam ras pedaging pedaging melalui pedagang pengecer pada pola usahaternak mandiri di Jawa Barat, 2016.
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg)
I Peternak 21,800
II Pedagang Pengepul/agen/broker
1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 21,800
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Transportasi 300
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 100
d. Biaya Penampungan/penyimpanan 150
e. Biaya Lainnya (retribusi) 25
Sub Total Biaya 675
3. Harga jual 23,275
4. Keuntungan 800
III Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 23.275
2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 31.000
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Pemotongan 750
b. Biaya Transportasi 150
c. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 50
d. Biaya Lainnya (retribusi) 25
Sub Total Biaya 975
3. Harga jual 32,825
4. Keuntungan 850
IV Pedagang Pengecer
1. Harga Beli 32,825
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Transportasi 100
b. Bongkar-muat 50
d. Biaya Sewa Tempat 25
e. Biaya Lainnya (retribusi) 25
Sub Total Biaya 200
3. Harga jual (Kg) 34,000
4. Keuntungan 975 Sumber: data primer, diolah.
78
6.5. Struktur Pasar
Pertumbuhan yang pesat dalam industri broiler sejauh ini lebih banyak
dinikmati oleh perusahaan multinasional (MNCs) berskala besar yang digerakkan
oleh adanya keuntungan skala usaha dan globalisasi sistem rantai nilai dari hulu
hingga hilir (Daryanto, 2009). Untuk industri broiler struktur produksi pada kondisi
tahun 1990-2000-an menunjukkan struktur produksi yang timpang, di mana pangsa
produksi dikuasai oleh perusahaan peternakan skala besar (60%), skala menengah
(20%) dan skala kecil tinggal (20%) (Yusdja et al., 1999).
Secara empiris di lapang gambaran tersebut merefleksikan beberapa hal
pokok sebagai berikut: (1) Penguasaan oleh perusahaan besar melalui budidaya
sendiri, kemitraan usaha internal, dan terakhir melalui pengembangan kandang
ayam tertutup (close hause) skala besar-besaran; (2) Penguasaan pemodal besar
yang berperan sebagai inti dalam kemitraan iksternal; dan (3) Penguasaan peternak
mandiri skala kecil, meskipun secara individu memiliki skala dari kecil hingga cukup
besar.
Sebagian besar perusahaan peternakan skala besar (PT. Charoen Phokphan
Indonesia, PT. Japfa Comfeed, PT. Anwar Sierad Produce, dan lain-lain) melakukan
integrasi vertikal dalam usahanya. Integrasi adalah penguasaan atas seluruh atau
sebagian besar jaringan agribisnis dari industri dari hulu hingga industri hilir
(breeding farm, feed mill, budidaya, RPU/RPA, pengolahan), dimana keseluruhan
unit usaha berada dalam satu managemen pengambilan keputusan. Meskipun
secara empiris terjadi integrasi vertikal yang semu, dimana masing-masing unit
usaha dikelola oleh anak perusahaan secara terpisah, sehingga menimbulkan
masalah margin ganda pada setiap rantai pasoknya.
Dari berbagai kajian yang ada (Saptana, dkk., 2002) dan hasil kajian dilapang
menunjukkan adanya indikasi terjadinya integrasi vertikal dalam industri
perunggasan, baik integrasi secara penuh maupun secara semu. Pertanyaannya
adalah apakah argumen dasar perusahaan peternakan melakukan integrasi vertikal,
di antaranya adalah (Saragih, 1998): (1) Bisnis perunggasan (broiler) tergolong jenis
bisnis berintensitas tinggi yang tingkat keberhasilannya bersandar pada ketepatan
pengelolaan pada fase-fase pertumbuhan ayam ras; (2) Produktivitas broiler sangat
tergantung pada pakan baik jumlah maupun mutunya, hal ini mengisyaratkan
kebutuhan sinkronisasi pengelolaan penyediaan pakan dengan fase-fase
79
pertumbuhan ayam ras; dan (3) produk akhir (final product) dari industri broiler
merupakan produk yang dihasilkan melalui tahapan-tahapan produksi mulai dari
hulu hingga ke hilir, di mana produk antara adalah makluk biologis bernilai ekonomi
tinggi.
Dengan karakteristik dasar yang demikian menuntut pengelolaan bisnis
broiler dilakukan terintegrasi secara vertikal. Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa
peternak rakyat (peternak mandiri) banyak yang berteriak dengan adanya integrasi
vertikal ini. Dalam hal ini peternak rakyat (peternak mandiri) akan menghadapi
masalah ganda yaitu masalah pada pasar input dan sekaligus masalah pada pasar
output. Peternak akan sebagai price taker pada pasar input (DOC, pakan, vitamin
dan obat-obatan) dan terpaksa harus membayar harga input khususnya pakan yang
terkadang tidak rasional. Harga pakan ternak lebih ditentukan oleh volatilitas harga
bahan baku pakan penyusunya, karena struktur pasar pakan ternak yang cenderung
oligopolistik. Sementara pada sisi output, peternak rakyat (peternak mandiri)
menghadapi struktur pasar yang oligopsonistik. Karena produksi broiler hidup
dikuasai perusahaan besar melalui kemitraan internal (63%), sebagian lain dikuasai
oleh pemodal melalui kemitraan eksternal (27%), dan peternak mandiri hanya
menguasai pangsa pasar sangat kecil (10%).
Hal ini antara lain disebabkan oleh (Saptana et al, 2002): (1) Integrasi vertikal
yang dijalankan perusahaan skala besar adalah integrasi vertikal yang semu, tujuan
utama mencapai efisiensi tertinggi tidak tercapai, tersekat dalam anak perusahaan-
anak perusahaan, peternak rakyat (peternak mandiri) menghadapi masalah margin
ganda; (2) Struktur perusahaan peternakan yang melakukan integrasi vertikal adalah
perusahaan yang oligopolistik, yang bagi perusahaan akan lebih menguntungkan
melakukan kesepakatan-kesepakatan bisnis dari pada melakukan persaingan
dengan perang harga.
Kedepan paling tidak ada tiga bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras,
seperti yang dikemukan (Saragih, 1998) yang juga diacu oleh Saptana et al., 2002):
(1) Integrasi vertikal dengan pemilikan tunggal/grup; (2) Bentuk integrasi vertikal
agribisnis ayam ras dengan pemilikan saham bersama/usaha patungan; dan (3)
Bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras dengan koperasi agribisnis ayam ras.
Dengan ketiga bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras tersebut, berarti akan
ada banyak perusahaan agribisnis ayam ras yang terintegrasi secara vertikal.
80
Masing-masing perusahaan vertikal tersebut saling bersaing sehingga saling
berlomba untuk mencapai daya saing yang tinggi, sehingga pada gilirannya juga
bersaing untuk memasuki pasar internasional. Secara empiris pola integrasi pertama
dan kedua yang banyak ditemukan dilapangan dan tidak ditemukan pola integrasi
yang ketiga.
Perusahaan-perusahaan peternakan skala besar selain melakukan integrasi
vertikal juga melakukan integrasi horizontal, yaitu penggabungan penguasaan
perusahaan yang menghasilkan barang atau produk sejenis yang saling bersaing di
pasar. Dalam batas-batas tertentu integrasi horizontal dapat dilakukan tanpa
penggabungan penguasaan perusahaan yang sejenis, namun secara empiris
dilapang hanya dalam bentuk asosiasi-asosiasi dalam mencapai kesepakatan-
kesepakatan bisnis. Namun, bisa saja terjadi asosiasi-asosiasi tersebut sebatas
pertukaran informasi.
Asosiasi-asosiasi perusahaan pembibitan tergabung dalam wadah Gabungan
Perusahaan Pmbibitan Unggas (GPPU), Gabungan Perusahaan Makanan Ternak
(GPMT), assosiasi dalam budidaya unggas dalam wadah Persatuan/perkumpulan
Peternak Unggas Indonesia (PPUI) yang sekarang menjadi Persatuan Insan
Perunggasan Rakyat Indonesia (PINSAR). Dalam kerangka sistematika struktur
pasar, kartel masuk dalam struktur pasar oligopoli yang kolusif (Koutsoyiannis,
1979). Pasar Oligopoli dapat didefinisikan sebagai suatu pasar di mana terdapat
beberapa produsen yang menghasilkan barang dan atau jasa yang saling
bersaingan (Sukirno, 1985). Selanjutnya dikemukakan bahwa ciri-ciri pasar oligopoli
adalah :(1) jumlah perusahaan sangat sedikit; (2) barang yang dihasilkan, saling
bersaing di pasar; (3) kemampuannya mempengaruhi harga ada; (4) ada barrier to
entry; dan (5) pada umumnya perusahaan oligopoli perlu melakukan promosi melalui
iklan, secara gencar. Sebagai akibat dari perkaitan dan hubungan yang saling
mempengaruhi, perusahaan oligopoli harus membuat perhitungan yang cermat
mengenahi reaksi dari perusahaan pesaing, apabila ia mengambil kebijakan
menurunkan atau menaikkan harga.
Secara umum reaksi dari perusahaan oligopoli saingan adalah sebagai
berikut (Purcell, 1979) :
1. Oligopoli A menaikkan harga, oligopoli saingan akan tetap mempertahankan
harga, sehingga dapat merebut langganan.
81
2. Oligopoli A menurunkan harga, oligopoli saingan akan mengikuti menurunkan
harga, kondisi ini dapat menimbulkan perang harga dan dapat mengancam
usahanya.
Sebagai ilustrasi struktur pasar oligopoli yang ada di Indonesia adalah Industri
pembibitan DOC dan industri pakan ternak adalah contoh perusahaan oligopoli.
Oleh karena reaksi perusahaan lain adalah seperti dijelaskan di atas, maka kurva
permintaan yang dihadapi oleh perusahaan oligopolistik adalah kurva permintaan
yang patah (kinked demand curve) dan kuva penerimaan marginal (marginal
revenue MR) adalah terputus (MR1 dan MR2) , seperti pada Gambar 1 dan 2
berikut. Dalam kondisi demikian, maka keuntungan maksimal dicapai pada saat
MC=MR. Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa pada perusahaan yang mempunyai
struktur biaya antara MC1 hingga MC2 (titik B1 hingga titik B2 ) maka tingkat
keuntungan maksimum yang dicapai perusahaan akan tetap sama, dengan tingkat
harga Po dan jumlah Qo. Atau dengan kata lain selama kurva biaya marginal (MC)
memotong MR antara titik B1 dan B2, harga dan jumlah produksi yang dihasilkan
perusahaan oligopolis tidak mengalami perubahan.
Gambar 9. Kurva permintaan dan kurva biaya perusahaan oligopoli.
Berdasarkan pada analisis di atas dapatlah disimpulkan bahwa dalam pasar
oligopoli di mana perusahaan-perusahaan tidak melakukan kesepakatan diantara
0 0
E D1
D2
P0
Q0
P
Q
MR2
MR1
B2
B1
E D1
D2
P0
Q0
P
Q
MC2
MC1
Gambar 1 Gambar 2
82
mereka, tingkat harga bersifat rigit (sukar berubah). Dalam pasar oligopolistik, akan
sangat menguntungkan bagi semua perusahaan jika mereka bekerja sama
melakukan kesepakatan-kesepakatan inilah yang disebut kartel. Hasil kajian data
sekunder dan hasil kajian dilapang dalam industri pakan ternak adalah struktur pasar
oligopolistik terpimpin. Jika perusahaan pakan ternak besar melakukan perubahan
harga, maka otomatis diikuti perusahaan-perusahaan pakan ternak skala usaha
dibawahnya, meskipun dengan tingkat kenaikan harga yang berbeda-beda antar
pabrikan yang satu dengan yang lainnya.
Sementara itu, untuk komoditas atau broiler hidup peternak mandiri
menghadapi struktur pasar yang oligopsonistik, karena harga ditentukan oleh
perusahaan inti baik kemitraan internal maupun kemitraan eksternal. Harga
ditentukan melalui harga patokan oleh PINSAR dengan apa yang dinamakan harga
POSKO. Harga jual peternak mandiri, kemitraan internal dan kemitraan eksternal
mengikuti harga patokan dari PINSAR atau harga POSKO. Perusahaan peternakan
skala besar yang menjadi inti bersifat oligopolistik terhadap pedagang pengepul
(broker). Sementara itu, pedagang grosir dan pedagang pengecer mengacu dengan
harga broiler hidup yang telah ditentukan melalui harga patokan atau harga POSKO.
6.6. Perkembangan Harga
Harga ayam hidup relatif lebih berflutuasi dibandingkan dengan harga
karkasnya (Gambar 2). Hal ini menjadi bukti kuat bagaimana para pedagang dipasar
yang menjual daging ayam ke konsumen lebih mengatur harga jual karkas broiler
ketika harga ayam hidup sedang turun atau sedang aktif bervolatilisasi. Dengan
demikian, bagian keuntungan yang diperoleh para pedagang pengecer cenderung
lebih stabil dibandingkan mata rantai sebelumnya seperti RPA, bandar ayam dan
peternakan.
Patut diduga, bahwa dalam peristiwa jatuhnya harga ayam hidup pada awal
tahun 2016 akibat pemusnahan sekitar 2 juta PS oleh perusahaan peternakan besar
justru menjadi hal yang dapat dimanfaatkan oleh para pedagang pengecer untuk
memperbesar marjin keuntungannya. Sementara perusahaan besar, seperti
dijelaskan sebelumnya, tidak terlalu signifikan mempengaruhi pendapatannya
mengingat bagian pendapatan dari penjualan ayam hidup tidaklah besar
dibandingkan dengan pendapatan dari penjualan pakan dan input lainnya.
83
Lain halnya dengan pasar Supermarket yang jumlah pasokan dan kualitas
daging ayamnya relatif stabil, dalam menyikapi volatilitas harga ayam hidup, dan
menghindari perbedaan harga yang cukup besar dengan harga di pasar tradisional,
supermarket menyesuaikan harga dengan cara memberikan diskon harga karkas
broiler yang besarnya mencapai 10-25 persen.
Gambar 10. Perkembangan harga ayam hidup dan karkasnya di Kabupaten Bogor, Mei 2014 – Desember 2015 (Rp/kg).
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
7.1. Kesimpulan
1. Hasil review terhadap regulasi terkait sektor perunggasan dari satu
pemerintahan ke pemerintahan dan dari waktu ke waktu kurang berpihak pada
peternak rakyat (peternak mandiri). Kondisi ini berpengaruh sangat nyata
terhadap situasi pasar unggas domestik, di mana pasar unggas baik pasa pasar
input (DOC, pakan dan obat-obatan), sektor budidaya, dan sektor hilir
(pengolahan hasil dan pemasaran broiler hidup dan daging ayam) dikuasai oleh
perusahaan peternakan sekala besar. Kondisi peternakan rakyat (peternak
84
mandiri) tergesar dan tinggal peternak mandiri yang cukup punya modal yang
mampu bertahan.
2. Secara historis terdapat beberapa tahapan perkembangan bisnis perunggasan,
paling tidak dapat dibagi ke dalam enam fase : (a) fase tahun 1990-1996 atau
fase sebelum krisis moneter; (b) fase tahun 1997-1999, fase menghadapi krisis
moneter dan ekonomi; (c) Fase tahun 2000-2009, sebagai fase terjadiya
outbreak Avian Influenza yang terjadi pada tahun 2003-2004 dan zoonosis yang
terjadi pada tahun 2005; dan (d) Fase 2010-masa mendatang, sebagai
perubahan iklim (climate change) dan kebijakan penataan pasar unggas
perkotaan dengan adanya kebijakan yang mensyaratkan bahwa unggas yang
masuk ke wilayah DKI harus dalam bentuk karkas dan tidak boleh dalam ayam
hidup. Secara empiris industri perunggasan memiliki daya adaptasi yang tinggi
terhadap gejolak faktor-faktor baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Krisis terberat yang dirasakan peternak unggas justru pada tahun 2003-2004
ketika adanya AI (Avian Influenza : Penyakit Strategis) dan Tahun 2005 ketika
pengumuman zoonosis. Hal ini antara lain disebabkan : (a) krisis berlangsung
cukup lama (2003-2005); (b) krisis berlangsung hanya pada dunia perunggasan
saja, bukan pada usaha lainnya; (c) dampak yang ditimbulkannya sangat dalam
dan menyentuh seluruh sub sistem dalam keseluruhan jaringan agribisnis
perunggasan.
3. Situasi pasar komoditas broiler memiliki prospek yang baik untuk
dikembangkan, hal ini antara lain didukung oleh: (a) karakteristik komoditas
broiler yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, (b) meskipun riskan
terhadap gejolak eksternal, namun memiliki daya lentur yang tinggi dalam
penyesuaian dan recovery, (c) potensi pasar domestik yang besar, hampir 50 %
pangsa pasar ASEAN, (d) memiliki keunggulan kompetitif (competitive
advantage) dalam komponen biaya input untuk lahan (kandang) dan tenaga
kerja yang relatif lebih murah dan (e) berpotensi menciptakan nilai tambah pada
industri pengolahannya.
4. Beberapa permasalahan pokok dalam pengembangan industri broiler domestik
adalah: (a) Masalah penyediaan bahan baku pakan industri perunggasan
(broiler) yang sangat tergantung pada impor; (b) Belum seimbangnya antara
pertumbuhan produksi dengan pertumbuhan konsumsi, secara temporal masih
85
ada over demand atau over supply, namun dalam jangka panjang akan ada over
supply; (c) Pertumbuhan konsumsi atau permintaan daging ayam (broiler)
dipasar domestik lebih cepat dibandingkan dipasar global, jika tidak diantisipasi
dengan baik oleh pelaku agribisnis broiler maka akan diserbu komoditas broiler
dari luar negeri terutama dari Thailand dan Brazil; (d) Adanya indikasi terjadinya
ketimpangan struktur pasar baik pada pasar input maupun pasar output yang
menempatkan peternak kecil dalam posisi lemah; (e) Sistem distribusi dan
pemasaran daging ayam (broiler) yang belum sepenuhnya efisien; (f) Kemitraan
usaha (contract farming) pada broiler belum berjalan secara optimal, sehingga
koordinasi produk maupun koordinasi antar pelaku belum berjalan harmoni; (g)
Industri peternakan komersial sangat rentan terhadap gejolak eksternal, seperti
krisis ekonomi, wabah penyakit ternak seperti flu burung (Avian Influenza/AI),
dan krisis finansial global dewasa ini, serta (h) Belum berkembangnya secara
meluas sistem rantai dingin (cold chain) produk broiler dalam distribusi dan
pemasaran dari daerah sentra produksi ke pusat-pusat konsumsi.
5. Peluang yang cukup menjanjikan ditunjukkan oleh tingkat konsumsi protein hewani asal
unggas (daging broiler) masyarakat Indonesia masih di bawah rekomendasi Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi, dibawah tingkat konsumsi perkapita beberapa negara
ASEAN (Singapura, Malaysia, Thailand) dan negara berkembang lainnya (Brasil,
Argentina, dan India), serta jauh dibawah tingkat konsumsi negara-negara maju, seperti
AS, UE, Jepang, Korea Selatan. Peluang produk hasil ternak unggas baik berupa
daging ayam ras maupun telur menunjukkan trend yang terus meningkat baik di pasar
domestik maupun level global. Pertumbuhan konsumsi daging di negara-negara
berpendapatan menengah adalah yang paling tinggi (China, India, Brazil, Mexico,
Argentina, Iran, Rusia, Mesir, Malaysia dan Polandia), disusul negara-negara
berpendapatan tinggi (AS, UE, Jepang, Canada), dan stagnan untuk neagara-negara
berpendapatan rendah.
7.2. Implikasi Kebijakan
1. Adanya studi review mendalam terhadap regulasi-regulasi terkait sektor
perunggasan yang terutama ditujukan untuk memperbaiki struktur pasar input
(DOC, pakan dan obat-obatan) dan struktur pasar output (broiler hidup dan
daging ayam). Pemerintah memberi fasilitas agar peternak rakyat (peternak
86
mandiri) mampu memelihara ayam ras pedaging (broiler) lebih dari 5000 ekor
yang tergabung dalam kelompok peternak mandiri, sehingga mampu memenuhi
skala angkut input produksi, penjualan hasil, dan mampu kebutuhan hidup
rumah tangga secara layak.
2. Bagi kelompok peternak rakyat (peternak mandiri) yang telah dilakukan
pembinaan perlu tergabung dalam koperasi agribisnis perunggasan terintegrasi,
dengan didukung pengembangan breeding, feedmill, RPA, dan meat shop skala
kecil dan menengah. Bagi peternak yang tidak mampu, diarahkan menjadi
plasma dalam sistim kemitraan, baik kemitraan internal maupun eksternal,
dengan skala usaha minimal 5.000 ekor dengan keuntungan Rp. 2.000,- per
ekor maka untuk setiap keluarga mampu memiliki tingkat pendapatan Rp. 10
juta/siklus produksi. Kalau ingin pendapatan lebih tinggi maka skala usaha
broiler terus ditingkatkan.
3. Pemerintah perlu membuat kebijakan tentang kemitraan agribisnis perunggasan
yang adil dan dinamis. Adil baik bagi petani mitra maupun bagi perusahaan inti
melalui pembagian risiko dan keuntungan yang adil dan dinamis bahwa.
Dinamis dalam arti bahwa kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak bersifat dinamis mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi, terutama
perubahan biaya produksi dan perkembangan harga produk unggas.
4. Strategi peningkatan efisiensi dan daya saing usaha perunggasan melalui
manajemen usaha modern, efidiensi dalam penggunaan input, dan
pengembangan skala usaha. Peningkatan efisiensi distribusi dan pemasaran
produk daging ayam baik untuk tujuan pasar konvensional dan pasar modern
melalui pendekatan Supply Chain Management (SCM).
5. Hingga saat ini situasi pasar broiler di Indonesia dapat dikatakan masih
immature market dan harus menuju mature market. Terlalu banyak bermain
politik tetapi kurang dalam upaya meningkatkan efisiensi dan dayasaing produk
broiler. Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah : (a) transformasi dari
immature market dan harus menuju mature market; (b) perluasan pasar baik
untuk pasar lokal, regional, maupun ekspor; serta (c) melalui pendalaman
industri pengolahan berbasis daging ayam melalui pengembangan produk dan
promosi produk.
87
6. Dukungan infrastruktur yang mendukung pengembangan industri broiler di
daerah-daerah sentra produksi, terutama infrastruktur jalan, energi/listrik, dan air
bersih, serta RPA/TPA dan pasar produk-produk daging ayam (broiler).
DAFTAR PUSTAKA
Aho, P. 1998. How globalization of agriculture will affect the poultry and livestock industries of Southeast Asia. ASA Technical bulletin. PO 39. American Soybean Association, Liat Tower, Singapore.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Bappenas. 2006. Strategi Peningkatan Pertumbuhan Subsektor Peternakan Mendukung Peningkatan Pendapatan dan Diversifikasi (Draft). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Daryanto, Arief. 2008. Tantangan dan Peluang Peternakan di Tengah Krisis Global. Trobos, Januari 2009.
Daryanto, Arief. 2009. Dinamika Dayasaing Industri Peternakan. IPB Press. Bogor.
Ditjen Peternakan. 2004. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2005. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2008. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2009. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2010. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2011. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2012. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2013. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Butland, G., 2004. World Poultry and Pork 2004 – Where are we?. Proceeding of Alltech’s 18th Asia Pacific Lecture Tour. Alltech Co. KY.
Butland, G., 2012. Feed and Livestock Sector in South East Asia. PUKHET August 2012.
Daryanto, A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press. Bogor.
88
FAO. 2008. http://www.fao.org/corp/statistics/en/
FAO. 2012. http://www.fao.org/corp/statistics/en/ http://www.efeedlink.com/publication/
Hardiayanto, Tri. 2009. Menghadapi Krisis dan Seluk Beluk Usaha Perunggasan.
Di sampaikan pada Seminar Strategi Usaha Perunggasan dalam Menghadapi Krisis Global, MIPI-FAPET IPB, Gedung MB-IPB Bogor, 26 Oktober 2009.
ICN. August 2009. Market Intelligence Report on Livestock and Poultry Industry In Indonesia. PT. Data Consult. Business Survey and Report.
Index Mundi. 2014. Commodity Price. http://www.indexmundi.com/commodities/ diunduh pada pukul 15.23.
Index Mundi. 2014. Export Commodity. http://www.indexmundi.com/commodities/ diunduh pada pukul 15.24.
Index Mundi. 2014. Import Commodity. http://www.indexmundi.com/commodities/ diunduh pada pukul 15.25.
Index Mundi. 2014. Stock Commodity. http://www.indexmundi.com/commodities/ diunduh pada pukul 15.26.
Irawan et al. 2001. Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Peneltian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Rutz, F., J. L. Rech, E. G. Xavier and M. A. Anciuti, 2004. Pig and Poultry Production in Brazil - Key factors which have led Brazil to becoming the most efficient livestock producer and how this position will be maintained for the future. Proceeding of Alltech’s 18th Asia Pacific Lecture Tour. Alltech Co. KY.
Rusastra, I W., Y. Yusdja, Sumaryanto, D. H. Darmawan dan A. Djatiharti. 1988. Analisa Finansial dan Ekonomi Kelembagaan Inti Rakyat Perunggasan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Saptana. 1999. Dampak Krisis Moneter dan Kebijaksanaan Pemerintah Terhadap Profitabilitas dan Daya Saing Sistem Komoditas Ayam Ras di Jawa Barat. Tesis S2. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian. Bogor.
Saptana, E. Basuno, dan Y. Yusdja. 2005. Dampak Ekonomi Flu Burung Terhadap Kinerja Industri Perunggasan di Provinsi Jawa Tengah (Suatu Kajian Atas Kasus Flu Burung di Kabupaten Semarang dan Klaten). Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (SOCA) Vol. 5 No. 3 :283-294.
Saptana dan Sumaryanto. 2009. Kebijakan Antisipatif terhadap Peraturan dan Kebijakan Perunggasan Pemerintah DKI 2010. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 7 No. 4, Desember 2009 : 319-335.
Saptana dan A. Daryanto. 2013. Dinamika Kemitraan Usaha Agribisnis Berdayasaing dan Berkelanjutan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor.
89
Simatupang, P. 2003. Analisis Kebijakan: Konsep Dasar dan Prosedur Pelaksanaan. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 1, No. 1, Maret 2003 : 1-21.
Trobos, 2009. Tutup Tahun Tak Menggembirakan. No. 112 Januari 2009 Tahun IX. Trobos Media Agribisnis Peternakan dan Perikanan.
Trobos, 2009. Broiler Melemah, Telur Menguat. No. 115 April 2009 Tahun IX. Trobos Media Agribisnis Peternakan dan Perikanan.
Tangenjaya, B. 2014. Usaha Meningkatkan Daya Saing Perunggasan Indonesia. Memperkuat Dayasaing Produk Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Tangenjaya, B. 2015. Pemberdayaan Peternak “Mandiri”: Akar permasalahan dan pandangan kedepan. Makalah disampaikan pada Seminar : “Perlindungan Peternak Mandiri” yang diselenggarakan oleh KPPU. Bogor.
Usaha Meningkatkan Daya Saing Perunggasan Indonesia. Memperkuat Dayasaing Produk Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
USDA. 2013. USDA/FAS Livestock and Poultry: World Markets and Trade , November 2013. United State Department of Agricultural.
Van, G. A. Dan J. Van Der. 2006. Performance Measurement in Agri-Food Supply-Chain Network-An overview, Springer, Netherlands.
Williams, W. 1971. Social Policy Research and Analysis. American Elswier Publishing Company, New York, USA, and Weimer, D.L. and A.R. Vining. 1989. Policy Analysis: Concept and Practice. Prentice Hall Inc. Englewoods, J.J., USA.
Wibawan, I. W. T., R.Susanti, R. D. Soejoedono, G. N. K. Mahardika, S.Setyaningsih, E. Handayani, dan Sri Murtini. Penyakit Utama pada Ayam Lokal dan Strategi Penanggulangannya. Makalah Disampaikan pada acara seminar Indolive Stock tanggal 4-6 Juli 2012, JCC Jakarta.
Yusdja Y. 1984. Analisis Fungsi Keuntungan Usaha Ternak Ayam Petelur. Thesis Magister Saint. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yusdja, Y., P.U. Hadi, R. Sayuti, A. Syam, H. Malian, Wirawan, Andriati, B. Rahmanto dan H. Tarigan. 1996. Dampak Deregulasi dan Pospek Pengembangan Komoditas Peternakan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.
Yusdja, Y. dan N. Ilham. 2006. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.