Kajian Monolog

download Kajian Monolog

of 23

Transcript of Kajian Monolog

A. PENDAHULUANLATAR BELAKANG

Monolog adalah istilah keilmuanyang diambil dari kata mono yang artinya satu dan log dari kata logi yang artinyailmu.Secaraharfiahmonolog adalah suatu ilmu terapan yang mengajarkan tentangseni perandimana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukanadegan/sketsanya . Kata monolog lebih banyak ditujukan untukkegiatan seniterutamaseni perandanteater.Berbagai cerita dan fenomena dapat kita temukan dalam sebuah monolog. Sebagai pembaca kita tidak boleh hanya sekedar membaca alakadarnya saja, alangkah lebih baiknya kita kritis dalam membaca sebuah karya sastra, yaitu memahaminya lebih dalam. Dengan pemahaman yang lebih dalam tentunya kita akan lebih mampu memaknai karya tersebut.

Dalam makalah ini akan di kaji salah satu monolog yang berjudul Kalau Boleh Memilih Lagi Karya Putu WIjaya dengan menggunakan pendekatan Struktural, Psikologi Sastra , serta pendekatan pragmatik.RUMUSAN MASALAH

Bagaimana watak tokoh Oki dalam monolog Kalau Boleh Memilih Lagi ?

Bagaimana kepribadian tokoh Oki?

Apa manfaat terhadap pembaca dari monolog Kalau Boleh Memilih Lagi ?

TUJUAN PENULISAN

Makalah ini dibuat sebagai Ujian Akhir Semester mata kuliah Kajian Drama

MANFAAAT PENULISAN

Makalah ini dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca monolog mengenai watak, kepribadian serta manfaat dari monolog Kalau Boleh Memlih Lagi Karya Putu Wijaya

B. PEMBAHASAN

a. Landasan Teori

1. Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra(Satoto, 1993: 32) Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh(Teeuw, 1984: 135). Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.Mengenai struktur, Wellek dan Warren (1992: 56) memberi batasan bahwa struktur pengertiannya dimasukkan kedalam isi dan bentuk, sejauh keduanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan estetik. Jadi struktur karya sastra (fiksi) itu terdiri dari bentuk dan isi. Bentuk adalah cara pengarang menulis, sedangkan isi adalah gagasan yang diekspresiakan pengarang dalam tulisannya (Zeltom, 1984: 99). Menurut Jan Van Luxemburg (1986: 38) struktur yang dimaksudkan, mengandung pengertian relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara keseluruhannya.Struktur karya sastra (fiksi) terdiri atas unsur unsur alur, penokohan, tema, latar dan amanat sebagai unsur yang paling menunjang dan paling dominan dalam membangun karya sastra (fiksi) (Sumardjo, 1991:54).

2. Pendekatan Psikologi Sastra

Menurut Harjana (1991 : 60), pendekatan psikologi sastra dapat diartikan sebagai suatu cara analisis berdasarkan sudut pandang psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang merupakan pancaran dalam mengkhayati dan mensikapi kehidupan. Disini fungsi psikologi itu sendiri adalah melakukan penjelajahan ke dalam batin jiwa yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang terdapat dalam karya sastra dan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk beluk tindakan manusia dan responnya.

Penelitian psikologi sastra memfokuskan pada aspek-aspek kejiwaan. Artinya, dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh penelitian dapat mengungkap gejala-gejala psikologis tokoh baik yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan pengarang (Ratna, 2004 : 350).3. Pendekatan Pragmatik

pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada audience (pembaca atau pendengar), baik berupa efek kesenangan estetik ataupun ajaran/pendidikan maupun efek-efek yang lain. Pendekatan ini cenderung menilai karya sastra berdasarkan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan tersebut. Selain itu, pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggaan-tanggapan pembacanya kepada masalah yang dikemukakan dalam karya sastra.

b. Kajian1. Watak tokoh Oki (Pendekatan Struktural) Menyangka itu sisa-sisa dari mimpi, aku acuh-tak-acuh saja

Selain acuh tak acuh, sosok Oki juga terlalu berimajinasi tinggi dan hiperbola. Oki menggambarkan bayinya seperti sebuah bom yang akan menghancurkan kehidupannya dan keluarganya.

Bom adalah sesuatu yang keras, dingin, penuh dengan seluk-beluk dan menimbulkan keruwetan tentang: apa yang harus diperbuat dengan sebuah bom

Bom itu seperti bayi yang minta dimanjakan

Tapi aku bukan seorang lelaki yang jantan. Aku tidak berniat menjadi pahlawan atau penjahat secara spektakuler. Aku merasa lebih gampang untuk memandangi bom itu terus-menerus.

Selama waktu itu rasa cemasku makin menjadi-jadi. Jantungku tidak kuat lagi untuk menghitung

Monolog diatas memperlihatkan bahwa Oki bukan tipe orang yang pemberani dan terbilang seseorang yang pengecut. Selain itu Oki terbilang plinplan karena tidak mampu mengambil keputusan dengan matang. Oki juga tipikal orang yang penuh dengan rasa cemas atas apa yang menimpa dirinya.Tapi aku khawatir kalau yang akan terjadi bukannya kebaikan, tetapi keonaran. Dan kalau ternyata apa yang kukatakan bohong, aku bisa menjadi bulan-bulanan ejekan.Watak lain yang terdapat pada tokoh Oki adalah penuh prasangka, terlihat dalam monolog diatas Oki terlalu berprasangka buruk terhadap sesuatu yang akan menimpanya dan sama sekali tidak berprasangka baik atas apa yang akan dialaminya.

Tiba-tiba saja aku lari kencang sekencangkencangnya. Aku melihat sebuah tiang bendera yang tinggi. Tiang bendera yang paling tinggi dalam daerah itu. Di puncaknya berkibar dengan anggun merah-putih. Aku langsung memanjatnya.

Tindakan yang diambil oleh Oki, memperlihatkan bahwa tokoh Oki berwatak Nekat dan tidak pernah berpikir panjang dalam bertindak. Oki terlalu tergesa gesa dalam mengambil keputusan dan tidak memikirkan dampak yang berkelanjutan.

Jangan bunuh anak itu Oki, itu anak kamu sendiri!

Anak-anakku ikut membantu ibunya. Mereka membuka mulut lebar-lebar.

Bapaaaaak! Jangan bunuh adik kamiiii!

Orang banyak tak ada yang berani mengatakan apa-apa. Ini adalah masalah pribadi. Mereka hanya memandang sambil membagi simpati mereka, kepada pihak mana saja yang nanti ternyata benar. Sedangkan akudi puncak bendera itu semakin ketakutan. Aku tidak mendengar apa-apa lagi. Ketukan dari dalam bom itu makin keras menusuk-nusuk jantungku. Aku berteriak supaya orang-orang menghindar.

Pergii! Pergiii semua!!

dari penggalan monolog diatas sangat terlihat Oki adalah tipe orang yang keras kepala, sekalipun tindakan yang ia ambil itu salah. Selain keras kepala, Oki juga terhitung orang yang ceroboh karena setiap tindakannya tidak dipikirkan dengan matang.

2. Sikap Penakut, Gangguan kejiwaan serta Ketidakpercayadirian tokoh Oki dalam monolog Kalau Boleh Memilih Lagi (Pendekatan Psikologi Sastra)Dari tindakan tindakan Oki dalam monolog Kalau Boleh Memilih Lagi dapat ditarik kesimpulan mengenai kepribadian Oki yang penakut, dan mengalami gangguan jiwa serta syndrome ketidakpercayadirian.

Aku hanya berani memandangnya. Meninggalkan pun tidak bisa, karena aku khawatir bom itu akan bertingkah. Berkembang di luar pengamatanku.

Aku seperti mendengar bunyi ketukan sehingga aku jadi curiga kalau-kalau itu bom waktu.

Tapi aku bukan seorang lelaki yang jantan. Aku tidak berniat menjadi pahlawan atau penjahat secara spektakuler. Aku merasa lebih gampang untuk memandangi bom itu terus-menerus.

Untuk tidak menarik perhatian orang, aku kekep makin kuat bom itu.

Penggalan penggalan monolog diatas memperlihatkan kepribadian Oki yang penakut. Oki terlalu banyak menakutkan hal hal yang akan terjadi dalam kehidupannya di masa yang akan datang. Oki cenderung terlalu merasa serba salah setiap akan melakukan suatu tindakan. Pada kutipan pertama, Oki sangat memperlihatkan sikap penakutnya, karena ia tidak berani mengambil tindakan dan hanya berani memandangnya walaupun sebenarnya ia mempunyai kesempatan untuk melakukan hal hal yang diinginkannya. Pada kutipan kedua, kecurigaan Oki terhadap bom waktu, memperlihatkan ketakutannya pada akibat yang akan terjadi oleh bom waktu tersebut. Pada kutipan ketiga, kepribadian Oki yang penakut begitu tergambar dengan ucapannya bahwa ia bukanlah lelaki yang jantan dan pada kutipan keempat kepribadian penakut Oki tergambar dari gerak gerik yang ditunjukan bahwa ia tidak mau apa yang dilakukannya menarik perhatian orang lain. Jadi, Oki mempunyai rasa takut yang besar, dari mulai rasa takut akan masa depan, rasa takut untuk bertindak dan rasa takut bahwa apa yang dilakukanya akan menjadi sorotan orang banyak.Tadi telah disebutkan, selain sikap penakut, tokoh Oki dalam monolog Kalau Boleh Memilih Lagi mengalami gangguan kejiwaan.Karena kekacauan pikiranku, jantungku lebih keras menghitung. Saraf-sarafku tegang. Aku tidak bisa lagi berpikir dengan baik. Tiba-tiba saja aku lari kencang sekencangkencangnya. Aku melihat sebuah tiang bendera yang tinggi. Tiang bendera yang paling tinggi dalam daerah itu. Di puncaknya berkibar dengan anggun merah-putih. Aku langsung memanjatnya.Dari kutipan diatas , terlihat jelas bahwa tokoh Oki sendiri mengakui bahwa keadaan mentalnya tidak baik, ia bertindak diluar batas kewajaran. Seperti, berlari tanpa berpikir tujuan untuk apa dan tanpa berpikir itu akan membahayakan bayi yang dibawanya. Selain itu, hal yang paling tidak wajar adalah Oki mengambil tindakan untuk memanjat tiang bendera. Dari tindakan tindakan yang dilakukannya sudah dapat dipastikan bahwa Oki mengalami gangguan kejiwaan, karena bertindak diluar batas kewajaran.Mungkin sekali aku akan keluar rumah dan mengumumkan kepada para tetangga untuk menjauhi rumahnya. Tapi aku khawatir kalau yang akan terjadi bukannya kebaikan, tetapi keonaran. Dan kalau ternyata apa yang kukatakan bohong, aku bisa menjadi bulan-bulanan ejekan.Selama satu jam aku tak dapat memutuskan apa-apa. Selama waktu itu rasa cemasku makin menjadi-jadi. Jantungku tidak kuat lagi untuk menghitung.Aku memandang ke bawah dengan cemas. Aku lihat begitu banyak orang. Tidak penting lagi bahwa di antara mereka itu ada tetangga, istri dan anak-anakku. Aku melihat begitu banyak orang. Rasa cemasku bertambah besar.

Dalam kutipan pertama, ketidakpercayadirian Oki tergambar dengan sikapnya yang tergesa gesa untuk melakukan tindakan berdasarkan keinginannya. Oki ingin mengumumkan pada para tetangga. Namun, pemikirannya berubah kembali menjadi rasa khawatir dengan apa yang akan terjadi, dan sikapnya yang seperti ini menunjukan bahwa Oki merupakan pribadi yang tidak percaya diri. Lalu pada kutipan kedua Oki menjelaskan kecemasan atas apa yang dilakukannya, dan ini menyebabkan rasa ketidakpercayadiriannya semakin bertambah, karena ia tidak percaya diri untuk menentukan tindakan yang benar maupun tindakan yang salah.3. Kajian berdasarkan pendekatan pragmatik

Jika sebagai pembaca kita melihat monolog ini berdasarkan pelajaran atau pendidikannya, maka monolog Kalau Boleh Memilih Lagi karya Putu Wijaya ini merupakan karya sastra yang mendidik. Monolog ini menyampaikan pesan agar kita tidak mengambil tindakan atau keputusan tergesa gesa, terlebih dalam keadaan mental yang tidak sehat.Berdasarkan kisah Oki yang akhirnya harus tertembak mati karena salah mengambil keputusan, monolog ini memberikan pesan agar pembaca lebih realistis dan lebih tegar serta penuh kesabaran dalam menghadapi persoalan hidup.Tetapi disisi lain, sebagai pembaca kita juga dapat mengintrepretasi lain terhadap karya ini. Dapat pula kita mengambil simpulan bahwa monolog ini terlalu ekstrim dalam mengambil contoh mengenai suatu kehidupan. Tragedi yang dipaparkan terlalu dramatis dan sangat tidak baik untuk moral, karena jika orang yang membaca memiliki masalah yang sama, akan ditakutkan ini akan menguatkan pembaca untuk melakukan hal yang lebih ekstrim lagi.Selain segi pendidikan, jika ditinjau dari struktur penulisan dan gaya bahasa, sebagian pembaca akan sulit memahami makna dari setiap kalimat atau pun paragraph yang dipaparkan. Karena penggunaan bahasa yang benar benar memikirkan estetika untuk tujuan memancing imajinasi yang lebih dalam. Namun tidak semua pembaca bisa menafsirkan sesuai dengan keinginan penulis, karena gaya bahasa dan kosakata yang menggunakan pola absurd tentunya pembaca akan sulit menyimpulkan keterkaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya karena kesenjangan pemahaman oleh pembaca.C. PENUTUP

Dari kajian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tokoh Oki dalam monolog Kalau Boleh Memilih Lagi Karya Putu Wijaya ini berwatak acuh tak acuh, nekat, keras kepala,dan terlalu berimajinasi tinggi akan hal hal yang belum tentu dialaminya. Selain itu Oki menderita gangguan kejiwaan yang berakibat pada kepribadiannya yang terlalu penakut bahkan paranoid serta tidak percaya diri dalam melakukan tindakan.

Adapun manfaat monolog ini kepada pembaca berdasarkan pelajarannya adalah sebagai manusia pembaca diajarkan untuk lebih realistis serta tegar dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup. Namun, dengan cerita dan peristiwa yang terlalu ekstrim sebagaian pembaca akan menganggap bahwa monolog ini memberikan contoh yang tidak baik terhadap pembaca terutama jika pembaca masih dibawah umur.DAFTAR PUSTAKA

http://umanrejoss.blogspot.com/2010/12/penggunaaan-pendekatan-pragmatik-pada.htmlhttp://leebirkin.blogspot.com/LAMPIRAN

Monolog

KALAU BOLEH MEMILIH LAGI

Karya Putu Wijaya

Waktu aku bangun, di sampingku ada bom. Menyangka itu sisa-sisa dari mimpi, aku acuh-tak-acuh saja. Aku tangkap saja dan memeluknya seperti guling. Tidurku berkelanjutan lagi untuk beberapa jam. Tatkala aku bangun terlambat esoknya, bom itu hampir saja menindih kepalaku.

Sekarang aku tercengang. Aku belum pernah meraba sebuah bom. Di dalam bisokop bom tidak pernah menjadi terlalu penting. Yang penting adalah akibat-akibatnya. Sekarang aku terpaksa mengerti bahwa bom tidak sesederhana yang disampaikan oleh seorang juru kamera atau seorang sutradara film. Bom adalah sesuatu yang keras, dingin, penuh dengan seluk-beluk dan menimbulkan keruwetan tentang: apa yang harus diperbuat dengan sebuah bom.

Aku hanya tidur seorang diri. Istriku telah berangkat ke pasar. Sedangkan anak-anak pada jam sembilan seperti ini, sudah pasti semuanya berada dalam kelas. Aku terpaksa menghadapi bom itu sendirian. Pembantu dalam rumah tentu tidak bisa diajak berunding. Iyem hanya bisa mencuci dan memasak, sambil memecahkan secara berkala gelas-gelas, pelayan itu tentu tidak bisa diajak menghadapi bom.

Bom itu seperti bayi yang minta dimanjakan. Aku tahu itu taktik yang sangat berbahaya. Begitu disentuh, maka tenaganya akan merasuk ke dalam badan, melumpuhkan otak, membakar emosi, sehingga setiap orang bisa menjadi opembunuh yang keji. Aku hanya berani memandangnya. Meninggalkan pun tidak bisa, karena aku khawatir bom itu akan bertingkah. Berkembang di luar pengamatanku.

Bahkan waktu pintu diketok, aku cepat-cepat membentak Iyem, supaya enyah jauh-jauh. Pintu itu aku kunci. Kini aku yakin bahwa bom itu sedang bekerja. Aku seperti mendengar bunyi ketukan sehingga aku jadi curiga kalau-kalau itu bom waktu. Kalau ya, tanpa dibantu lagi ia akan meledak. Bagiku sekarang tinggal pilihan di mana aku dapat membiarkan bom itu meledak, tapa membahayakan banyak orang.

Dalam keadaan seperti itu, aku teringat kepada musuh-musuhku. Tetangga-tetangga yang aku benci. Majikan yang pernah menyakiti hatiku. Bekas-bekas pacar dan beberapa pejabat yang culas, akan tetapi tetap menjadi wakil yang terhormat. Aku juga teringat kepada gubuk-gubuk liar gelandangan yang seharusnya lebih pantas mati daripada hidup lebih lata dari binatang. Dengan mudah aku dapat membawa bom itu ke sana. Meledakkannya, lalu memikul resikonya. Dianggap penjahat atau pahlawan.

Tapi aku bukan seorang lelaki yang jantan. Aku tidak berniat menjadi pahlawan atau penjahat secara spektakuler. Aku merasa lebih gampang untuk memandangi bom itu terus-menerus. Mungkin sekali aku akan keluar rumah dan mengumumkan kepada para tetangga untuk menjauhi rumahnya. Tapi aku khawatir kalau yang akan terjadi bukannya kebaikan, tetapi keonaran. Dan kalau ternyata apa yang kukatakan bohong, aku bisa menjadi bulan-bulanan ejekan.

Selama satu jam aku tak dapat memutuskan apa-apa. Selama waktu itu rasa cemasku makin menjadi-jadi. Jantungku tidak kuat lagi untuk menghitung. Lalu bom itu aku raih. Aku dalam baju, aku bawa keluar, untuk diungsikan ke suatu tempat yang tidak mengganggu orang. Tetapi di mana, di mana ada tempat yang tidak mengganggu orang? Rumah tetangganya amat dempet-dempetan. Di mana-mana banyak orang. Apalagi di sekitar rumahku pasar dan jalan raya yang rame.

Sambil memeluk bom, dengan memakai sarung yang kusut dan sandal jepit, aku kebingungan di depan rumah. Aku pikir aku harus memilih dengan cepat, apa yang harus dikorbankannya. Bom itu tampaknya tidak banyak punya waktu lagi. Mungkin masih ada seperempat jam yang sangat mendesak. Sesudah itu setiap saat bisa terjadi ledakan.

Untuk tidak menarik perhatian orang, aku kekep makin kuat bom itu. Sekarang aku mulai menghitung sekali lagi, apa yang harus aku korbankan. Rumah tanggaku sendiri? Rumah salah seorang tetangga yang dibenci oleh seluruh kampung karena selalu bijkin onar? Sebuah mobil sedan kepunyaan orang asing yang kebetulan lewat. Kantor polisi. Atau sebuah tanah lapang.

Karena kekacauan pikiranku, jantungku lebih keras menghitung. Saraf-sarafku tegang. Aku tidak bisa lagi berpikir dengan baik. Tiba-tiba saja aku lari kencang sekencangkencangnya. Aku melihat sebuah tiang bendera yang tinggi. Tiang bendera yang paling tinggi dalam daerah itu. Di puncaknya berkibar dengan anggun merah-putih. Aku langsung memanjatnya.

Mula-mula aku tidak menarik perhatian orang banyak, sebagaimana yang aku harapkan. Tetapi setelah aku mulai menaiki tiang bendera itu, orang-orang gempar. Mula-mula yang berdekatan saja. Kemudian dari jalanan mengalir banyak orang melihat aku hampir mencapai puncak bendera. Tetangga-tetangga mula-mula tertawa, tetapi serentak mereka tahu bahwa itu aku, mereka heran. Di kalangan pergaulan biasa, aku adalah seorang manusia yang wajar, sabar serta baik. aku dikenal sebagai orang yang lurus yang tak akan melakukan apa-apa tanpa alasan yang kuat. Dan kalau sekarang aku memanjat tiang bendera setinggi itu hanya dengan kain sarung, pasti ada yang istimewa. Mereka pun berhenti ketawa, lalu lari menghampiri.

Seorang anak lari ke sekolah, memberitahukan anak-anakku apa yang terjadi dengan bapaknya. Anakku melapor kepada gurunya. Lalu guru itu sendiri menganjurkan agar anak-anakku berlarian ke bawah tiang bendera. Salah seorang pergi ke rumah. Ia tidak menjumpai siapa-siapa lagi. Iyem telah pergi bersama orang lain menuju tiang bendera. Sementara istriku yang sedang berbelanja sudah mengalir juga bersama orang banyak.

Okiiii, turun kamu! kata semua orang sambil melihat ke puncak bendera.

Aku memberi isyarat agar orang-orang itu menjauh. Aku menunjuk ke bom yang berada di balik bajuku. Tapi orang-orang itu tidak mengerti. Mereka berkumpul tambah banyak.

Okiii, turun! jerit istriku yang baru sampai.

Anak-anak ikut menjerit di samping ibunya.

Bapaaak! Turunnnnn!

Aku bertambah kukuh berpegang. Ujung bendera itu mengibas-ngibas. Aku mengeluarkan bom itu lalu membungkusnya dengan bendera. Aku memandang ke bawah dengan cemas. Aku lihat begitu banyak orang. Tidak penting lagi bahwa di antara mereka itu ada tetangga, istri dan anak-anakku. Aku melihat begitu banyak orang. Rasa cemasku bertambah besar.

Jangan bunuh anak itu!teriak istriku

Orang banyak terkesima.

Kamu bilang anak, anak apa?

Istriku meraung, mengacungkan tangan dan menunjuk ke buntalan yang aku kekep. Orang banyak segera sadar. Kini perhatian mereka tidak lagi kepadaku, tetapi kepada buntalan itu. Semuanya terdiam, memandang ke atas dengan cemas. Mereka tidak berani lagi beteriak, khawatir kalau aku jadi gugup dan menjatuhkan anakku.

Jangan bunuh anak itu Oki, itu anak kamu sendiri!

Anak-anakku ikut membantu ibunya. Mereka membuka mulut lebar-lebar.

Bapaaaaak! Jangan bunuh adik kamiiii!

Orang banyak tak ada yang berani mengatakan apa-apa. Ini adalah masalah pribadi. Mereka hanya memandang sambil membagi simpati mereka, kepada pihak mana saja yang nanti ternyata benar. Sedangkan akudi puncak bendera itu semakin ketakutan. Aku tidak mendengar apa-apa lagi. Ketukan dari dalam bom itu makin keras menusuk-nusuk jantungku. Aku berteriak supaya orang-orang menghindar.

Pergii! Pergiii semua!!

Tetapi orang banyak makin mengalir ke bawah tiang bendera. Aku jadi tambah takut. Tubuhku gemetar. Tiang bendera itu ikut bergetar melanjutkan ketakutanku. Ini menyebabkan masyarakat di bawah tiang bendera itu cemas. Apalagi karena tanggungjawab dan ketakutan, aku memeluk erat-erat bom itu. kalau ini meledak, biar akulah yang hancur sendiri, kataku putus-asa.

Aku dekap bom itu ketat-ketat.

Jangaaaan Paak!teriak istriku.

Orang banyak ikut berseru.

Jangaaaaan Okiiii!! Sayang anakmu!!

Aku tidak mendengar, aku terus mendekap. Istriku terus menjerit. Anak-anak berhenti membuka mulut, sekarang mereka menangis. Pada saat itu orang banyak mulai bingung. Keadaan menjadi tegang dan kacau. Hanya ada seorang petugas yang tenang. Ia melihat keadaan bertambah kritis. Ini memerlukan tindakan cepat. Harus diputuskan cepat dan dilaksanakan dengan segera.

Petugas itu menarik lengan istriku.

Jadi suamimu ingin membunuh anakmu?

Benar Pak.

Mana di antara keduanya yang paling kau cintai?

Kedua-duanya.

Tidak bisa, pilih satu saja,

Tidak bisa Pak, saya pilih kedua-duanya.

Petugas itu menggeleng dengan dingin.

Keadaan sudah gawat, kamu harus memilih satu, suamimu atau anakmu?

Istriku tidak dapat memutuskan. Ia tetap ingin keduanya. Ia tidak mau memilih. Ia lebih suka menangis dan memandang ke puncak bendera sambil menadahkan tangan.

Okiiii!

Tiba-tiba anak-anakku jatuh pinsan karena terlalu keras berkoar. Ini menyebabkan petugas itu cepat bertindak. Ia menengok ke atas. Dilihatnya aku memeluk bom itu dengan keras sekali. Lalu ia mengacungkan bedilnya. Istriku menjerit. Ia memeluk kaki petugas itu dan mencakar-cakarnya.

Jangan Pak! Jangannnnn!

Petugas itu tidak tergoda. Ia memerintahkan orang banyak agar ikut membantu. Lalu puluhan, barangkali ratusan kalau tidak bisa dikatakan ribuan tangan merentang, mengembangkan jari-jari, siap menerima apa yang akan jatuh. Tangan-tangan itu bagai dataran putih yang empuk. Aku di atas tiang bendera sama sekali tidak mengerti, kenapa begitu banyak tangan tertadah. Tapi waktu aku melihat pucuk senjata itu mengarah ke atas kepalaku, aku semakin keras memeluk.

Dor!

Peluru itu menembus salah satu bagian tubuhku. Tapi aku tidak jatuh. Aku masih terus menempel, melilit tiang bendera.

Dor!

Tanganku lemah memeluk.

Dor!

Aku terus melilit tiang. Tapi bom itu lepas dari peganganku. Dengan diselimuti oleh bendera, bom itu melayang ke bawah. Sepuluh, atau seribu, kalau tidak berjuta-juta tangan yang menadah berebutan hendak menjemput barang yang jatuh itu.

Aku masih sempat mendengar ledakan yang dahsyat. Aku masih dapat membayangkan tangan-tangan itu lepas dari tubuh pemiliknya, terlempar ke udara sambil menyerakkan daerah. Aku masih bisa melihat seratus, seribu atau berjuta-juta orang kehilangan tangan. Tangan anakku, tangan isteriku, tetanggaku, tangan begitu banyak orang terlempar tepat mengemai mukaku. Aku mengeram.

Kalau boleh memilih lagi, aku tidak akan menjamah bom itu. Akan ia biarkan saja tergolek di tempat tidurku sebagai bencana atau mimpi buruk. Aku tidak tahu darimana asalnya, siapa yang telah mengaturnya. Dan yang lebih penting lagi, aku tidak usah merasa mempunyai kewajiban apa-apa. Apalagi secara diam-diam menaruh harapan untuk menyelamatkan orang banyak.

Sambil tersiksa oleh akibat perbuatanku, aku mati perlahan-lahan. Tubuhku bagai sekerat dendeng, tetap tergantung di tiang bendera itu, sampai sekarang.

Jakarta 1978