KAJIAN KEMUNCULAN (AGREGASI) HIU PAUS (Rhincodon...
Transcript of KAJIAN KEMUNCULAN (AGREGASI) HIU PAUS (Rhincodon...
KAJIAN KEMUNCULAN (AGREGASI) HIU PAUS (Rhincodon typus) BERDASARKAN FAKTOR LINGKUNGAN (SPL, KLOROFIL–a, DAN ARUS PERMUKAAN) DI
PERAIRAN KABUPATEN PROBOLINGGO, JAWA TIMUR
ARTIKEL SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERAIRAN DAN KELAUTAN
Oleh :
AMBROSIA PUTERI SAKUNTALA NIM. 125080600111059
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2016
KAJIAN KEMUNCULAN (AGREGASI) HIU PAUS (Rhincodon typus) BERDASARKAN FAKTOR LINGKUNGAN (SPL, KLOROFIL–a, DAN ARUS PERMUKAAN) DI
PERAIRAN KABUPATEN PROBOLINGGO, JAWA TIMUR
ARTIKEL SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Kelautan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh:
AMBROSIA PUTERI SAKUNTALA NIM. 125080600111059
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2016
1
KAJIAN KEMUNCULAN (AGREGASI) HIU PAUS (Rhincodon typus) BERDASARKAN FAKTOR LINGKUNGAN (SPL, KLOROFIL–a, DAN ARUS PERMUKAAN) DI
PERAIRAN KABUPATEN PROBOLINGGO, JAWA TIMUR
Ambrosia Puteri Sakuntala(1), Oktiyas Muzaky Luthfi(2), dan Andik Isdianto(2)
ABSTRAK
Hiu paus (Rhincodon typus Smith, 1828) merupakan spesies ikan epipelagis terbesar di dunia dengan pola tutul putih di hampir seluruh tubuhnya. Hiu ini melakukan kemunculan yang diyakini bertepatan dengan waktu subur perairan di beberapa lokasi di dunia, salah satunya di Kabupaten Probolinggo. Penelitian ini terkait lokasi kemunculan dan perilaku hiu paus berdasarkan data faktor lingkungan (SPL, Klorofil–a dan Arus Permukaan) di perairan Kabupaten Probolinggo. Kemunculan hiu paus terjadi pada Minggu 1, Minggu 5 hingga Minggu 9, mulai dari perairan Kecamatan Dringu hingga Paiton dan sebagian besar melakukan surface feeding. Kondisi perairan Kabupaten Probolinggo pada Minggu Kemunculan Hiu Paus berada pada 29,2–32,8°C (SPL) dan 0,4–2,4 mg/l (Klorofil–a) dengan kecepatan sekitar 0–0,17 m/s menuju arah Timur (Arus Permukaan). Kemunculan ini disesuaikan dengan kondisi SPL sebagai pemicu migrasi (perilaku termoregulasi), Klorofil–a sebagai proxy dari organisme planktonik (pakan hiu paus) dan Arus Permukaan sebagai pendorong persebaran SPL dan Klorofil–a. Berdasarkan kondisi tersebut, pada bulan Desember 2015, diperkirakan hiu paus berada di perairan pesisir sekitar Kabupaten Pasuruan hingga Kabupaten Probolinggo dan pada bulan April–Mei 2016, berada pada perairan pesisir sekitar Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Situbondo. Penentuan lokasi “duga” ini disesuaikan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan dan diperkuat dengan beberapa literatur terkait lainnya.
Kata Kunci: Kemunculan hiu paus, parameter oseanografi, lokasi duga
(1)Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya (2)Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya
OCCURRENCE (AGGREGATION) STUDY OF WHALE SHARK (Rhincodon typus) BASED ON ENVIRONMENTAL FACTORS (SST, CHLOROPHYLL–a, AND SURFACE
CURRENTS) IN SEAWATERS OF PROBOLINGGO DISTRICT, EAST JAVA
Ambrosia Puteri Sakuntala(1), Oktiyas Muzaky Luthfi(2), dan Andik Isdianto(2)
ABSTRACT
Whale shark (Rhincodon typus Smith, 1828) is the largest epipelagic fish species in the world with white spots pattern almost on its entire body. This shark do aggregate which is believed to coincide with productivity events in several sites around the world, include in Probolinggo District. This study is described whale shark aggregation site and its behaviour based on environmental factors (SST, chlorophyll–a and surface currents) data in seawaters. Whale shark occured on Week 1, Week 5 until Week 9, from Dringu to Paiton and mostly of it did surface feeding. Oceanographic parameters in Probolinggo during Whale Shark Occurrence Weeks showed in range of 29.2–32.8°C (SST), 0.4–2.4 mg/l (chlorophyll–a) and 0–0.17 m/s for currents direct to Eastward. SST was suggested as a trigger to whale shark migration (thermoregulation behaviour) and chlorophyll–a was suggested as a proxy of planktonic organism which was a main prey for whale shark. Both of their distribution was influenced by currents. So, the whale shark could be predicted as well. For example, on December 2015 the whale shark would be around in the coastal waters of Pasuruan and Probolinggo, then on April–May 2016, it is estimated to be around in the coastal waters of Probolinggo and Situbondo.
Keywords: Whale shark occurrence, oceanographic parameters, predicted sites (1)Student Faculty of Fisheries and Marine Science, University of Brawijaya (2)Lecturer Faculty of Fisheries and Marine Science, University of Brawijaya
2
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Hiu paus (whale shark/Rhincodon typus Smith,
1828) merupakan spesies ikan epipelagis
terbesar di dunia dengan panjang sekitar 4-12 m
dan pola tutul putih pada hampir seluruh
tubuhnya sebagai pola identifikasi (Cruz et al.,
2013). Hiu ini dapat ditemukan di lingkungan
laut dan pesisir (Gunn et al., 1999), baik di
perairan tropis maupuan subtropis (Fox et al.,
2013). Pola distribusi hiu ini termasuk
kosmopolitan (Compagno, 1984), antara lain di
India, Maladewa, Taiwan, Honduras, Afrika
Selatan, Kenya, Kepulauan Galapagos, Chile,
Thailand, Malaysia, Mauritius, Filipina,
Seychelles, Belize, Meksiko (Norman, 2002),
Australia, Pulau Comores, Madagaskar,
Mozambik, Pakistan, Sri Lanka (Colman, 1997),
Maladewa (Sadili et al., 2015), termasuk di
Indonesia (Norman, 2002).
Hiu paus terdaftar sebagai organisme rentan
dalam Red List IUCN (Redlist.org, 2003) dan
Appendix II CITES (Fahmi dan Dharmadi,
2013) dan CMS (Convention for Migratory Species)
(Australian Government, 2004). Indonesia juga
telah menetapkan hiu ini sebagai jenis ikan yang
dilindungi melalui Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 18/MENKP/2013
(Fahmi dan Dharmadi, 2013).
Hiu paus diduga melakukan kemunculan
(agregrasi) yang berkaitan dengan produktivitas
tinggi (Fox et al., 2013) dan diyakini bertepatan
dengan waktu subur perairan, yaitu ketika
terdapat banyak mangsa berupa zooplankton/
larva (Sleeman et al., 2009). Salah satu lokasi
kemunculan hiu paus di Indonesia ialah di
Kabupaten Probolinggo pada bulan Januari–
Mei (Toha et al., 2015). Kemunculan hiu paus di
lokasi ini sudah terjadi sejak tahun 1970-an,
namun mulai terekspos tahun 2010 setelah
pemberitaan media cetak dan media elektronik
(KKP, 2014b). Hiu paus diketahui akan menjadi
”pelanggan” tahunan untuk menyantap
plankton di perairan Probolinggo (Kristanti,
2010). Penelitian ini perlu dilakukan mengingat
belum adanya pendataan kemunculan hiu paus
di perairan ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
dan mengetahui kemunculan hiu paus serta
kondisi dan persebaran faktor lingkungan terkait
kemunculan hiu paus di perairain Kabupaten
Probolinggo. Selain itu, penelitian ini juga
bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antara
kemunculan hiu paus dengan faktor lingkungan
tersebut pada lokasi yang sama. .
II. Metode Penelitian
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 21
Januari–23 Maret 2016 di Perairan Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur.
2.2 Pengambilan Data
2.2.1 Lokasi Kemunculan dan Perilaku Hiu
Paus
Pengambilan data lokasi kemunculan dan
perilaku hiu paus berdasarkan Sadili et al. (2015).
Kemunculan hiu paus diperoleh melalui
pemantauan menggunakan teropong binokuler
dan dari informasi nelayan sekitar. Pengambilan
data lokasi kemunculan dilakukan dengan
metode marking menggunakan GPS, saat hiu
paus terlihat jelas di permukaan perairan dan
berada dekat dengan kapal.
2.2.2 Faktor Lingkungan
2.2.2.1 SPL dan Klorofil–a
Pengambilan data citra berdasarkan Azani et
al. (2010) (SPL) dan Prihartato (2009) (Klorofil–
a) dengan menggunakan data citra satelit
Aqua/MODIS level 3 resolusi spasial 4 km
dengan format SMI, dari situs resmi Ocean Color
(http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/l3).
3
Setiap parameter menggunakan data mingguan
periode 17 Januari–28 Maret 2016 untuk
mengetahui kondisi dan persebarannya di lokasi
kemunculan dan data bulanan periode
Desember 2015–Mei 2016 untuk prakiraan
lokasi “duga” kemunculan hiu paus sebelum/
setelah dari Kabupaten Probolinggo.
2.2.2.2. Arus Permukaan
Pengambilan data citra arus permukaan
berdasarkan Sleeman et al. (2010) menggunakan
data arus periode tahun 2015 dan 2016 dari
website OSCAR (http://podaac.jpl.nasa.gov/
dataset/OSCAR_L4_OC_third-deg). Data
diekstrak menggunakan WinRAR agar diperoleh
format *.nc.
2.3 Analisis Data
2.3.1. Lokasi Kemunculan Hiu Paus
Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan Ms. Excel 2013 untuk membagi
koordinat kemunculan secara mingguan (Tabel
1), kemudian data diubah menjadi format
shapefile (*.shp) dan dibuat peta menggunakan
ArcGIS 10.
2.3.2 Faktor Lingkungan
2.3.2.1 SPL dan Klorofil–a
Pengolahan data citra satelit Aqua/MODIS
mingguan dan bulanan berdasarkan Ningsih
(2016). Data citra di-reprojected menggunakan
SeaDAS 7.3.1 agar menjadi format GeoTIFF
(*.tiff). Data di-cropping sesuai wilayah kajian
serta ditentukan data nilai dan koordinat
menggunakan ArcGIS 10 kemudian dikoreksi
(Data Error) menggunakan Ms. Excel 2013.
Gridding Data dilakukan menggunakan Surfer 10
untuk visualisasi data kontur dan overlay data
kemunculan. Pada Minggu Tanpa Kemunculan
Hiu Paus hanya dilakukan pengolahan data citra
(Tabel 1).
2.3.2.2 Arus Permukaan
Pengolahan data OSCAR mingguan dan
bulanan berdasarkan Hutabarat (2015) dengan
menggunakan ODV 4 untuk cropping wilayah
kajian. Data dikoreksi dan ditentukan arah dan
kecepatan arus menggunakan Ms. Excel 2013.
Data arus mingguan menyesuaikan data citra
satelit Aqua/MODIS Mingguan (Tabel 1). Data
arus bulanan menyesuaikan jadwal musiman,
yaitu Musim Barat (Desember–Februari) dan
Musim Peralihan I (Maret–Mei). Data kemudian
diolah kembali dengan Surfer 10 untuk
membentuk kontur kecepatan dan vektor arus
serta overlay data kemunculan. Pada Minggu
Tanpa Kemunculan Hiu Paus hanya dilakukan
pengolahan data OSCAR (Tabel 1).
Tabel 1. Penentuan Tanggal Pengambilan Data Lapang dan Data Satelit (Mingguan)
Minggu Aqua/MODIS OSCAR Pengambilan Data Kemunculan Hiu Paus
1 17–24 Januari 21 Januari 22 Januari Ada
2 25 Januari–1
Februari 26 Januari 31 Januari
– Tidak
3 2–9 Februari 5 Februari – Tidak
4 10–17 Februari 10 Februari 15 Februari
– Tidak
5 18–25 Februari 20 Februari 25 Februari
21 Februari 22 Februari 24 Februari
Ada
6 26 Februari–
4 Maret 2 Maret
28 Februari 1 Maret 3 Maret
Ada
7 5–12 Maret 7 Maret 12 Maret
7 Maret 9 Maret
Ada
8 13–20 Maret 17 Maret 17 Maret Ada
9 21–28 Maret 22 Maret 27 Maret
22 Maret Ada
4
III. Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil
3.1.1 Lokasi Kemunculan Hiu Paus
Kemunculan Hiu Paus di perairan
Kabupaten Probolinggo terjadi pada tanggal 22
Januari–22 Maret 2016 (Gambar 1) yang terbagi
dalam Minggu 1, Minggu 5 hingga Minggu 9
(Minggu Kemunculan Hiu Paus; Tabel 1).
Kemunculan Minggu 1 terjadi pada tanggal 22
Januari 2016 di perairan Kecamatan Dringu (4
kali; Grafik 1). Kemunculan Minggu 5 terjadi
pada tanggal 21 Februari di perairan Kecamatan
Dringu (3 kali), 22 Februari di perairan
Kecamatan Pajarakan (11 kali) dan 24 Februari
2016 di perairan Kecamatan Kraksaan (17 kali)
(Grafik 1; Gambar 1). Kemunculan Minggu 6
terjadi di perairan Kecamatan Kraksaan pada
tanggal 28 Februari (9 kali), 1 Maret (2 kali) dan
3 Maret (21 kali) 2016 (Grafik 1; Gambar 1).
Pada tanggal 28 Februari 2016, ditemukan 1
kemunculan di sekitar perairan Kecamatan
Gending dan perairan Kecamatan Pajarakan
(Gambar 1). Kemunculan Minggu 7 terjadi pada
Grafik 1. Frekuensi Kemunculan Hiu Paus (Januari–Maret 2016)
Gambar 1. Peta Lokasi Kemunculan Hiu Paus di Kabupaten Probolinggo
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
Fre
kuen
si K
emucu
lan
Tanggal Kemunculan
22-Jan
21-Feb
22-Feb
24-Feb
28-Feb
01-Mar
03-Mar
07-Mar
09-Mar
17-Mar
22-Mar
5
tanggal 7 Maret 2016 di sekitar perairan
Kecamatan Gending dan Pajarakan (2 kali) serta
di perairan Kecamatan Paiton (5 kali) dan 9
Maret 2016 di Kecamatan Paiton (11 kali) serta
di perairan Kecamatan Kraksaan (1 kali) (Grafik
1; Gambar 1). Kemunculan Minggu 8 terjadi
kembali di perairan Kecamatan Dringu pada
tanggal 17 Maret 2016 (5 kali) dan pada Minggu
9, di perairan Kecamatan Paiton pada tanggal 22
Maret 2016 (5 kali) (Grafik 1; Gambar 1).
Pada Minggu Tanpa Kemunculan Hiu Paus
(Minggu 2–4; Tabel 1) tidak dilakukan
pengambilan data karena tidak adanya informasi
mengenai kemunculan hiu paus di sekitar
perairan Kabupaten Probolinggo.
3.1. 2 Struktur Populasi dan Perilaku Hiu
Paus
Tabel 2. Struktur Populasi Hiu Paus di perairan Kabupaten Probolinggo
Kemunculan Jumlah (Sex)
Rata-rata Ukuran (meter)
22 Januari – 22 Maret
22 (M) 3–7
4 (F)
Total 26
Sumber: Himawan (2016), pers.comm.
Selama kemunculan hiu paus di perairan
Kabupaten Probolinggo (22 Januari–22 Maret
2016), diperoleh 26 individu hiu paus dengan 4
ekor betina dan 22 ekor jantan. Dari 26 individu
tersebut, diketahui estimasi panjang berkisar
antara 3–7 meter (Tabel 2). Sebagaian besar hiu
paus yang dijumpai melakukan surface feeding
(Gambar 2).
Gambar 2. Hiu Paus melakukan surface feeding
3.1.3 Faktor Lingkungan
3.1.3.1 SPL
Data kemunculan hiu paus di-overlay dengan
kondisi dan persebaran SPL mingguan sesuai
minggu kemunculan (Tabel 1). Kondisi SPL
perairan lokasi kemunculan hiu paus Kabupaten
Probolinggo pada Minggu Kemunculan Hiu
Paus (Minggu 1, Minggu 5–9; Tabel 1) berkisar
29,2–32,8°C (Gambar 3). Kondisi SPL lokasi
tersebut pada Minggu Kemunculan berkisar
31,8–32,2°C (Minggu 1), 31–31,6°C (Minggu 5),
29,2–30°C (Minggu 6), 31,2–31,8°C (Minggu 7),
31–31,6°C (Minggu 8), dan 32–32,8°C (Minggu
9) (Gambar 3).
Pada Minggu Tanpa Kemunculan Hiu Paus
(Minggu 2–4), kondisi SPL perairan pesisir
(lokasi umum kemunculan hiu paus) berkisar
28,4–31,4°C. Kondisi SPL lokasi tersebut pada
Minggu Tanpa Kemunculan berkisar 28,4–
29,2°C (Minggu 2), 29,4–30,2°C (Minggu 3) dan
30,4–31,4°C (Minggu 4) (Gambar 4).
3.1.3.2 Klorofil–a
Data kemunculan hiu paus di-overlay dengan
kondisi dan persebaran Klorofil–a mingguan
sesuai minggu kemunculan (Tabel 1). Kondisi
Klorofil–a perairan lokasi kemunculan hiu paus
Kabupaten Probolinggo pada Minggu
Kemunculan Hiu Paus (Minggu 1, Minggu 5–9;
Tabel 1) berkisar 0,4–2,4 mg/l (Gambar 3).
Kondisi Klorofil–a lokasi tersebut pada Minggu
Kemunculan berkisar 0,4–1 mg/l (Minggu 1),
0,4–1,2 mg/l (Minggu 5), 1,2–1,8 mg/l (Minggu
6), 0,8–2,4 mg/l (Minggu 7), 1–1,5 mg/l
(Minggu 8) dan 0,4–0,8 mg/l (Minggu 9)
(Gambar 3).
Pada Minggu Tanpa Kemunculan Hiu Paus
(Minggu 2–4), kondisi Klorofil–a perairan
pesisir (lokasi umum kemunculan hiu paus)
berkisar 0,3–2,4 mg/l. Kondisi SPL lokasi
tersebut pada Minggu Tanpa Kemunculan
6
Gambar 3. Kondisi dan Persebaran Faktor Lingkungan (Minggu Kemunculan Hiu Paus). SPL (atas), Klorofil –a (tengah), Arus Permukaan (bawah)
7
Gambar 4. Kondisi dan Persebaran Faktor Lingkungan (Minggu Tanpa Kemunculan Hiu Paus).
SPL (atas), Klorofil –a (tengah), Arus Permukaan (bawah)
berkisar 0,6–2,4 mg/l (Minggu 2), 0,4 mg/l
(Minggu 3), 0,3–1,2 mg/l (Minggu 4) (Gambar
4).
3.1.3.3 Arus Permukaan
Arus Permukaan perairan pesisir Kabupaten
Probolinggo pada Minggu Kemunculan dan
Tanpa Kemunculan Hiu Paus (Minggu 1–9)
memiliki rentang kecepatan antara 0–0,17 m/s
(Gambar 3, 4). Persebaran arus pada masing-
masing Minggu memiliki pola yang sama, yaitu
pola awal menuju arah Barat kemudian berbelok
menuju arah Utara dan bersinggungan dengan
sisi Selatan Pulau Madura sehingga menuju arah
Timur. Namun terdapat beberapa lokasi
pembelokan arah arus yang berbeda, seperti
yang terjadi di perairan Kabupaten Probolinggo
(Minggu 1), di sisi Timur perairan Pulau Madura
(Minggu 5–8) dan di perairan Situbondo hingga
sisi Selatan dan Timur perairan Pulau Madura
(Minggu 9) (Gambar 3).
3.1.4 Prakiraan Kemunculan Hiu Paus
Penentuan lokasi/jalur “duga” agregasi hiu
paus dibagi berdasarkan jadwal musiman, yaitu
pada Musim Barat (Desember–Februari) dan
8
Musim Peralihan I (Maret–Mei) yang
disesuaikan dengan konsentrasi klorofil, SPL
dan arah serta kecepatan arus permukaan
berdasarkan data sebelumnya dan literatur
lainnya.
3.1.4.1 Musim Barat
Hiu paus diperkirakan berada di wilayah
perairan Kabupaten Pasuruan, Probolinggo dan
sekitarnya pada bulan Desember 2015 dengan
kondisi dan persebaran faktor lingkungan
berkisar 29,8–31,4°C (SPL), 0,5 hingga > 4 mg/l
(Klorofil–a) dan 0,05–0,35 m/s (Arus
Permukaan) (Gambar 5–atas). Hiu paus berada
di perairan Kabupaten Probolinggo pada bulan
Januari dan Februari 2016, dengan kondisi dan
persebaran faktor lingkungan berkisar 31–32°C
(SPL), 0–1,4 mg/l (Klorofil– a) dan 0–0,35 m/s
(Arus Permukaan). Pada Musim ini arus menuju
arah Timur (Gambar 5–atas).
3.1.4.2 Musim Peralihan I
Pada bulan Maret 2016, hiu paus berada di
perairan Kabupaten Probolinggo dengan
kondisi dan persebaran faktor lingkungan
berkisar ±31°C (SPL), 0,6–2 mg/l (Klorofil–a)
dan 0–0,3 m/s (Arus Permukaan) yang
mengalami perubahan arah arus menuju Timur/
Gambar 5. Prakiraan Kemunculan (Agregasi) Hiu Paus Berdasarkan Kondisi dan Persebaran Faktor
Lingkungan. Musim Barat (kolom atas), Musim Peralihan I (kolom bawah) (A) SPL, (B) Klorofil–a, (C) Arus Permukaan
9
Barat di wilayah perairan Situbondo (Gambar 5–
bawah). Hiu paus diperkirakan masih berada di
wilayah perairan Kabupaten Probolinggo dan
sekitarnya pada bulan April dan Mei 2016
dengan kondisi dan persebaran faktor
lingkungan di wilayah perairan Surabaya,
Pasuruan hingga perairan dekat Kabupaten
Situbondo berkisar 31,4–33,4°C (SPL), 1,2
hingga >4 mg/l (Klorofil–a), 0–0,35 m/s (Arus
Permukaan) dan perubahan arah arus seperti
pada bulan Maret 2016 (Gambar 5–bawah).
3.2 Pembahasan
3.2.1 Lokasi Kemunculan Hiu Paus
Kemunculan hiu paus di perairan
Kabupaten Probolinggo terjadi pada Minggu 1,
Minggu 5 hingga Minggu 9 (Tabel 1) mulai dari
perairan Kecamatan Dringu hingga perairan
Kecamatan Paiton (Gambar 1). Hiu paus rutin
hadir di wilayah Probolinggo mulai dari
Kecamatan Tongas hingga Paiton. Kemunculan
ini dipengaruhi oleh kelimpahan/ketersediaan
makanan, suhu perairan yang sesuai, rapatnya
kawasan mangrove dan area tambak ikan, karena
perairan tersebut termasuk kawasan nelayan
(KKP, 2014b). Mangrove secara tidak langsung
berperan dalam menyediakan suplai pakan hiu
paus. Mangrove menjadi daerah pasca larva dan
yuwana jenis tertentu dari ikan, udang dan
crustecea lainnya serta menjadi habitat alami
berbagai jenis biota sehingga dapat dinyatakan
bahwa ekosistem mangrove memiliki
produktivitas tinggi (Pariyono, 2006). Kawasan
ekosistem mangrove Kabupaten Probolinggo
masih terjaga dengan luas 267,65 ha di 6
kecamatan. Kawasan ekosistem mangrove paling
luas terdapat di Desa Curahsawo, Kecamatan
Gending sebesar 140 ha dengan spesies yang
paling banyak ditemukan adalah Acanthus
ilicitolius dan Terminalia catapa, serta spesies
dengan kerapatan tertinggi adalah Rhizopora
mucronata dan Rhizopora apiculata. Sementara itu,
Desa Dringu, Kecamatan Dringu memiliki
luasan ekosistem mangrove paling rendah, 8 ha
(KKP, 2014b).
3.1. 2 Struktur Populasi dan Perilaku Hiu
Paus
Selama kemunculan hiu paus di perairan
Kabupaten Probolinggo, diperoleh 26 individu
dengan 4 betina dan 22 jantan (Tabel 2).
Individu jantan dan betina dibedakan melalui
ada/tidaknya clasper, panggul modifikasi tulang
rawan pada sirip pelvis untuk pengiriman
sperma (KKP, 2014a). Minimnya jumlah betina
di perairan ini, juga terjadi di Teluk Cendrawasih
dengan 36 jantan dan 1 betina (Himawan et al.,
2015), di Cebu dengan 129 jantan dan 19 betina
(Araujo et al., 2014) dan di Meksiko dengan 9
jantan dan 3 betina (Nelson dan Eckert, 2007).
Hal ini disebabkan karena hiu paus termasuk
tipe poliandri dimana betina spesies ini dapat
dibuahi oleh 1/lebih jantan. Tahap
perkembangan embrio hiu paus yang bervariasi
menunjukkan adanya kemungkinan indukan
berbeda. Betina yang dibuahi oleh 1 jantan,
menunjukkan bahwa semua embrio merupakan
saudara kandung penuh dengan probabilitas
tinggi semua calon anakan dari jantan yang
sama. Sedangkan, jika betina hiu paus dibuahi
oleh 2/lebih jantan, keturunan kedua (dari
jantan ke-2 atau setelahnya) memiliki sekitar
10%/lebih calon anakan. Kondisi ini ditemukan
pada 7 dari 8 spesies hiu yang teridentifikasi
(Schmidt et al., 2010). Hiu jantan sendiri
mendominasi semua area agregasi yang
diketahui di perairan Hindia dan Pasifik bagian
barat (Rowat dan Brook, 2012).
Rata-rata panjang hiu paus yang terdata
berkisar antara 3–7 meter (Tabel 2). Berdasarkan
pertumbuhan cincin tulang belakang, hiu paus
berukuran ∼5 m (panjang pre–caudal) berumur
10
±20 tahun (Wintner, 2000). Seperti sebagian
besar hiu lainnya, pertumbuhan kemungkinan
terjadi cepat pada beberapa tahun pertama yang
memungkinkan untuk tumbuh cepat melalui
kacamata predasi, setelah itu pertumbuhannya
berjalan lambat (Norman dan Stevens, 2007).
Hampir semua hiu paus yang dijumpai pada
perairan tersebut, aktif melakukan surface feeding
(Gambar 2). Ketika makan dengan cara seperti
itu, hiu paus berenang di permukaan perairan
dengan menunjukkan punggung kepala, sirip
punggung dan lobus atas siripnya. Mulutnya
setengah terbuka lebar– ±50% dari kapasitas
maksimum dengan mulut bagian atas berada
diatas permukaan perairan, berenang pelan (0,3–
1,5 m/s) dan makanannya melalui filtering
apparatus (bagian penyaringan) (Motta et al.,
2010) dengan menelan 7–28 kali/menit (Taylor,
2007).
3.2.3 Faktor Lingkungan
3.2.3.1 SPL
Kondisi SPL tinggi terjadi pada Minggu 1
dan Minggu 9, sekitar 31,8–32,8°C dimana
diperkirakan terbentuk karena tingginya lalu
lintas perkapalan. Persebaran suhu hangat dan
melimpahnya klorofil menyebabkan
terbentuknya area tertentu dengan kelimpahan
mangsa. Suhu berpengaruh meningkatkan reaksi
kimia fitoplankton (Klorofil–a) sehingga laju
fotosintesis meningkat seiring dengan kenaikan
suhu (Hidayah et al., 2016). Air hangat kapal
secara tidak langsung mempengaruhi SPL.
Kondisi ini dapat terjadi mengingat kawasan
perairan sekitar Selat Madura (Madura,
Probolinggo, dan sekitarnya) merupakan
kawasan nelayan yang diperkirakan banyak
melakukan penangkapan. Selain itu, kondisi SPL
Minggu 1 dan 9 juga diperkirakan terbentuk
karena efek daratan yang lebih panas karena
membawa masukan air tawar menuju laut
dimana temperatur massa air pantai yang lebih
tinggi dapat diindikasikan sebagai hasil
percampuran dengan air tawar sehingga air
tawar dari run–off dipastikan lebih hangat
dibanding air laut (Karif, 2011).
SPL berperan terhadap keberadaan hiu paus.
Suhu dapat mensinkronisasikan dan memicu
aktivitas migrasi ikan dengan bertindak sebagai
pemicu migrasi dari perilaku termoregulasi. Hal
ini dapat terjadi dalam 2 kondisi. Pertama, pada
lingkungan dengan panas heterogen, suhu
berfluktuasi di luar rentang tolerasi panas
(thermal) untuk populasi tertentu sehingga ikan
dipaksa untuk mencari habitat dengan kondisi
panas yang baru. Kedua, ketentuan panas suatu
populasi dapat berubah. Sebagai contoh, suhu
optimal pertumbuhan kemungkinan tidak sama
dengan suhu untuk reproduksi (Binder et al.,
2011).
Kondisi dan persebaran SPL perairan pesisir
Kabupaten Probolinggo pada Minggu
Kemunculan Hiu Paus berkisar 29,2–32,8°C
(Gambar 3) dan pada Minggu Tanpa
Kemunculan Hiu Paus berkisar 28,4–31,4°C
(Gambar 4). Hiu paus secara global ditemukan
di area dengan SPL 18–30°C, maupun 28–32°C
(Rowat, 2007). Berdasarkan literatur tersebut,
dipastikan pada Minggu Tanpa Kemunculan
Hiu Paus terjadi kemunculan hiu paus yang
diperkirakan terjadi di Kabupaten Pasuruan
maupun Situbondo yang merupakan satu
wilayah perairan Kabupaten Probolinggo
dan/atau saat malam hari.
3.2.3.2 Klorofil–a
Persebaran Klorofil–a perairan Kabupaten
Probolinggo ditentukan oleh arus aliran
musiman Musim Barat (Januari–Februari) dan
Musim Peralihan I (Maret) dimana
pergerakannya mengarah ke Timur sehingga
dipastikan klorofil tersebar hingga perairan
11
sekitar Probolinggo, Situbondo dan sekitarnya.
Pada Minggu 1 hingga Minggu 9, sebagian besar
konsentrasi klorofil tinggi terdapat di perairan
sekitar Selat Madura dan perairan sekitar
Surabaya (Gambar 3, 4), sekitar 2,8 hingga >4
mg/l. Suplai nutrien tinggi dari daratan
dimanfaatkan fitoplankton untuk fotosintesis
(Wenno, 2007) sehingga meningkatkan
produktivitas primer dan menghasilkan klorofil
yang tinggi.
Klorofil sebagai produsen primer dalam
fitoplankton memiliki konsumen, zooplankton,
yang berperan penting terhadap transfer energi
dalam jaring makanan laut, sehingga bertindak
sebagai penghubung antara produsen dan
konsumen yang lebih tinggi (Conway et al.,
2003). Penginderaan jauh Klorofil–a dilakukan
sebagai proxy untuk model zooplankton karena
kelimpahan fito– dan zooplankton sering
dikaitkan dan Klorofil–a telah digunakan untuk
menjelaskan kemunculan dan pergerakan hewan
laut, termasuk elasmobranchii planktivorus
(Rohner et al., 2013). Konsentrasi klorofil–a
dapat mempengaruhi pergerakan hiu paus,
karena sebagian besar terlihat berada pada
daerah dengan konsentrasi klorofil–a tinggi
(Sleeman et al., 2007). Konsentrasi klorofil–a
perairan pesisir Kabupaten Probolinggo pada
Minggu Kemunculan Hiu Paus sekitar 0,4–2,4
mg/l (Gambar 3) dan pada Minggu Tanpa
Kemunculan Hiu Paus sekitar 0,3–2,4 mg/l
(Gambar 4). Pada Minggu Tanpa Kemunculan
Hiu Paus, pergerakan hiu paus kemungkinan
berlawanan/searah dengan arus aliran musiman
yang mendorong persebaran klorofil sehingga
tidak ditemukan di Kabupaten Probolinggo.
3.2.3.3 Arus Permukaan
Angin monsun menghasilkan pola aliran
musiman di sekitar Pulau Jawa dan Madura
(Hoekstra et al., 1989). Selama masa kemunculan
hiu paus di perairan Kabupaten Probolinggo
yang termasuk dalam cakupan perairan Selat
Madura, kondisi musiman perairan berada pada
Musim Barat (Januari–Februari) dan Musim
Peralihan I (Maret). Hal tersebut dapat dilihat
pada pola pergerakan dan persebaran arus sesuai
perubahan musiman (Gambar 3, 4). Arus
permukaan Minggu 1 (Gambar 3) hingga 4
(Gambar 4) memasuki Musim Barat (Tabel 1)
sehingga seluruh pola arus terlihat jelas menuju
arah Timur. Pada Musim Barat (musim
penghujan), angin dominan mengarah dari Barat
Laut dan mendorong aliran menuju Timur
(Nugrahadi dan Yanagi, 2003). Sedangkan, pada
Minggu 5 hingga 9, terjadi pergeseran lokasi
pembelokan arus menuju arah Timur (Gambar
3) karena memasuki Musim Peralihan I (Tabel
1). Pada bulan Maret–April serta bulan
September–Oktober berlangsung musim
pancaroba. Pada musim ini arus permukaan
bergerak secara tidak beratur (Wyrtki, 1961).
Rentang kecepatan semua Minggu sekitar 0–
0,17 m/s.
Arus berperan aktif terhadap persebaran
SPL dan Klorofil–a serta menjadi faktor penting
yang mempengaruhi sirkulasi perairan,
persebaran nutrien dan organisme laut lainnya
(Richmond, 2011), termasuk organisme
planktonik yang menjadi pakan hiu paus. Pola
pergerakan hiu paus kemungkinan berhubungan
dengan batas arus yang membawa mangsa
melimpah bagi hiu paus (Hsu et al., 2007). Maka,
dapat disimpulkan bahwa keberadaan hiu paus
pada lokasi perairan Kabupaten Probolinggo
dipastikan disebabkan oleh banyaknya
organisme planktonik sebagai pakan hiu paus
yang pergerakan dan persebarannya dipengaruhi
oleh arus permukaan.
12
3.2.4 Prakiraan Kemunculan Hiu Paus
Berdasarkan hasil pengolahan data (Januari–
Maret 2016) dan literatur terkait SPL, Klorofil–
a dan Arus Permukaan terhadap hiu paus, dapat
diketahui prakiraan kemunculan dan jalur
“duga” hiu paus di Perairan Jawa Timur pada
Musim Barat (Desember 2015–Februari 2016)
dan Musim Peralihan I (Maret–Mei 2016). Hiu
paus sendiri muncul secara musiman di sebagian
besar area agregasi pesisir mereka di dunia yang
bertepatan dengan meningkatnya ketersediaan
mangsa (Rohner et al., 2013). SPL lokasi “duga”
sekitar 29,8–32°C yang diketahui cukup disukai
hiu paus karena lebih dari 91% waktu mereka
dihabiskan di perairan bersuhu 25–35°C (Rowat
dan Gore, 2007). Pada Musim Barat, kondisi
SPL tertinggi dan merata terjadi pada bulan
Januari 2016 di sekitar perairan pesisir Selat
Madura hingga sekitar perairan lepas pantai
Selatan Pulau Madura, berkisar >33°C (Gambar
5A–atas). Kondisi ini juga terjadi pada Musim
Peralihan I di lokasi yang sama (Gambar 5A–
bawah) yang diperkirakan disebabkan oleh
tingginya lalu lintas perkapalan pada perairan
sekitar Madura, Surabaya hingga Pasuruan,
mengingat bahwa Surabaya memiliki Pelabuhan
Tanjung Perak yang berperan sebagai pelabuhan
utama dan sangat strategis bagi kegiatan lalu-
lintas transportasi angkutan laut dan
perkembangan perekonomian Jawa Timur dan
Indonesia Bagian Timur lainnya (Carmencita,
1998).
Rentang Klorofil–a lokasi “duga” berkisar
0,2– >4 mg/l. Konsentrasi klorofil-a mempeng-
aruhi pergerakan hiu paus, karena sebagian
besar spesies ini terlihat berada pada daerah
dengan kandungan klorofil–a tinggi (Anderson
et al., 2014). Kondisi Klorofil–a tertinggi terjadi
pada bulan Januari (Gambar 5B–atas), Maret
hingga Mei (Gambar 5B–bawah) di sekitar
perairan Selat Madura hingga Surabaya, sekitar
>4 mg/l. Pada kondisi ini diperkirakan
Klorofil–a memperoleh nutrien lebih dari
daratan. Pola persebaran Klorofil–a menunjuk-
kan adanya gradasi nilai konsentrasi klorofil–a
tinggi di daerah pantai, terutama muara sungai
dan semakin rendah menuju ke arah laut lepas.
Konsentrasi tinggi terlihat di area perhimpitan
selat diduga karena pada area tersebut menjadi
tempat akumulasi nutrien dari sungai-sungai
yang bermuara ke perairan tersebut (Wirasatriya,
2011). Sedangkan, konsentrasi rendah pada
wilayah perairan Kabupaten Probolinggo hingga
wilayah perairan utara Kabupaten Banyuwangi,
dapat berubah karena pergerakan arus
membantu persebarannya menuju arah tersebut.
Rentang kecepatan Arus Permukaan lokasi
“duga” pada Musim Barat dan Musim Peralihan
I sekitar 0,05–0,35 m/s dengan seluruh
persebaran menuju arah Timur. Pada Musim
Barat (Desember–Februari), posisi matahari
berada di belahan bumi selatan sehingga Benua
Asia memiliki tekanan lebih tinggi daripada
Benua Australia. Hal ini menyebabkan angin
berhembus dari Benua Asia menuju Benua
Australia. Kondisi ini disebut dengan Musim
Barat dan angin yang berasal dari arah barat laut
(Angin Muson Barat Laut, di Belahan Bumi
Selatan) bertiup (Wyrtki, 1961). Pada Musim
Peralihan I, pergerakan arus di perairan sekitar
Selat Madura hingga perairan utara Banyuwangi
mengalami pembelokan menuju arah Timur,
berawal dari arus dari barat Pulau Bali yang
memasuki perairan Selat Madura hingga
Surabaya dan sekitarnya kemudian berbelok ke
Utara akibat bertabrakan dengan wilayah
Surabaya dan Sidoardjo. Arah arus tersebut
dibelokkan kembali menuju arah Timur akibat
bertabrakan dengan Pulau Madura bagian
selatan.
13
Berdasarkan informasi tersebut, pada bulan
Desember 2015, diperkirakan hiu paus berada di
perairan pesisir sekitar Kabupaten Pasuruan
hingga Kabupaten Probolinggo (Gambar 5–
atas), seperti pada bulan Januari–Maret 2016.
Pada bulan April–Mei 2016, hiu paus
diperkirakan berada di perairan pesisir sekitar
Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten
Situbondo (Gambar 5–bawah).
IV. Kesimpulan
1. Kemunculan hiu paus terjadi pada Minggu 1,
Minggu 5 hingga Minggu 9 mulai dari
perairan Kecamatan Dringu hingga Paiton
yang sebagian besar melakukan surface feeding.
2. Kemunculan hiu paus dipengaruhi oleh
kondisi SPL 29,2–32,8°C, Klorofil–a 0,4–2,4
mg/l dan persebaran arus permukaan yang
menuju arah Timur dengan kecepatan
sebesar 0–0,17 m/s.
3. Kemunculan hiu paus disesuaikan dengan
kondisi SPL sebagai pemicu migrasi
(perilaku termoregulasi), Klorofil–a sebagai
proxy dari organisme planktonik yang
menjadi pakan hiu paus dan arus permukaan
sebagai pendorong persebaran SPL dan
Klorofil–a.
Ucapan Terima Kasih
WWF–Indonesia dan Whale Shark Indonesia
Project (WSID) telah menjadi funder dari
penelitian ini dengan menyediakan sarana dan
prasarana serta ilmu yang penulis butuhkan
terkait pengambilan dan pengolahan data
penelitian. Terima kasih juga penulis ucapkan
kepada Tim WSID–Probolinggo dan Kru
Pantai Bentar atas kerja samanya selama
penelitian.
Daftar Pustaka
Araujo, Gonzalo, Anna Lucey, Jessica Labaja, Catherine Lee So, Sally Snow1 and
Alessandro Ponzo. 2014. Population structure and residency patterns of whale sharks, Rhincodon typus, at a provisioning site in Cebu, Philippines. PeerJ 2:e543; DOI: 10.7717/peerj.543
Australian Government. 2004. Draft Whale Shark (Rhincodon typus) Recovery Plan 2004-2009. Migratory and Marine Species Section. Wildlife Conservation Branch. Department of the Environment and Heritage. Australia, Canberra.
Azani, Rahmaidi, T. Ersti Yulika Sari dan Usman. 2010. Variabilitas Spasial dan Temporal Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a di Perairan Selat Malaka melalui Citra Satelit Aqua Modis.
Binder, T.R., S.J. Cooke and S.G. Hinch. 2011. The Biology of Fish Migration. In: Farrell A.P., (ed.). Encyclopedia of Fish Physiology: From Genome to Environment. 3: 1921–1927. San Diego: Academic Press.et al., 2011
Carmencita, Anita. 1998. Terminal Penumpang Terpadu Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Laporan Perancangan Tugas Akhir. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Kristen Petra. Surabaya.
Colman, J. G. 1997. A Review of The Biology and Ecology of The Whale Shark. Journal of Fish Biology. 51: 1219–1234. DOI: 10.1111/j.1095-8649.1997.tb01138.x
Compagno, L.J.V. 1984. Sharks of the World: An Annotated and Illustrated Catalogue of Shark Species Known to Date, Part 2–Carcharhiniformes. FAO Fisheries Synopsis No. 125, Vol 4, Part 2. FAO Species Catalogue. FAO, Rome
Conway, D.V.P., R.G. White, J. Hugues-Dit-Ciles, C.P. Gallienne and D.B. Robins. 2003. Guide to the coastal and surface zooplankton of the south-western Indian Ocean. Occasional Publication of the Marine Biological Association of the United Kingdom. No 15. Plymouth, UK
Cruz, Felicia A., Shoou-Jeng Joung, Kwang-Ming Liu, Hua-Hsun Hsu, Tzu-Chi Hsieh. 2013. A Preliminary Study on The Feasibility of Whale Shark (Rhincodon typus) ecotourism in Taiwan. Ocean & Coastal Management. 80: 100–106.
Fahmi dan Dharmadi. 2013. Tinjauan Status Perikanan Hiu dan Upaya Konservasinya di Indonesia. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. ISBN: 978-602-7913-09-7.
14
Fox, S., I. Foisy, R. De La Parra Venegas, B.E. Galvan Pastoriza, R.T. Graham, E.R. Hoffmayer, J. Holmberg and S.J. Pierce. 2013. Population structure and residency of whale sharks Rhincodon typus at Utila, Bay Islands, Honduras. The Fisheries Society of the British Isles Journal of Fish Biology. DOI: 10.1111/jfb.12195
Gunn, J.S, J. D Stevens, T.L.O. Davis, B.M Norman. 1999. Observations on The Shortterm Movements and Behaviour of Whale Sharks (Rhincodon typus) at Ningaloo Reef, Western Australia. Marine Biology. 135: 553–559
Hidayah, Greenaty, Sri Yulina Wulandari dan Muhammad Zainuri. 2016. Studi Sebaran Klorofil-a Secara Horizontal di Perairan Muara Sungai Silugonggo Kecamatan Batangan, Pati. Buletin Oseanografi Marina. 5 (1): 52–59. ISSN: 2089-3507
Himawan, Mahardika R., Casandra Tania, Beny A. Noor, Anton Wijonarno, Beginer Subhan, Hawis Madduppa. 2015. Sex and size range composition of whale shark (Rhincodon typus) and their sighting behaviour in relation with fishermen lift-net within Cenderawasih Bay National Park, Indonesia. Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation. International Journal of the Bioflux Society. Volume 8, Issue 2.
Hoekstra, P., R.F. Nolting, H. Hutagalung and H. A. Van Der Sloot. 1989. Supply and Dispersion of Water and Suspended Matter of the Rivers Solo and Brantas into the Coastal Waters of East Java, Indonesia. Sea Research, 23 (4): 501–515.
Hsu, H., Joung S, Liao Y and K. Liu. 2007. Satellite tracking of juvenile whale sharks, Rhincodon typus, in the Northwestern Pacific. Fisheries Research 84: 25–31
Hutabarat, Ahlan Saprul. 2015. Pemanfaatan Data Satelit Altimetri untuk Penentuan Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) pada Musim Hujan dan Musim Kemarau di Wilayah Indonesia Tahun 2014.
Karif, Indra Verdian. 2011. Variabilitas Suhu Permukaan Laut di Laut Jawa dari Citra Satelit Aqua Modis dan Terra Modis. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. (a) Panduan & Logbook Survei Monitoring Hiu. Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Denpasar
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. (b) Perancangan Model Pemanfaatan Hiu Paus Untuk Kegiatan Wisata Bahari. Laporan Akhir Pekerjaan. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan: PT. Tulada Konsula
Kristanti, Elin Yunita. 2010. Hiu Putih Muncul Lagi di Pantai Probolinggo. Online. http://nasional.news.viva.co.id/news/read/193717-hiu-putih-muncul-lagi-di-pantai-probolinggo Diakses pada tanggal 5 Januari 2016 pukul 18.21 WIB
Motta, P. J., M. Maslanka, R. E. Heuter, R. L. Davis, R. de la Parra, S. L. Mulvany, M. L. Habegger, J. A. Strother, K. R. Mara, J. M. Gardiner, J. P. Tyminski and L. D. Zeigler. 2010. Feeding Anatomy, Filter-Feeding Rate, and Diet of Whale Sharks Rhincodon typus During Surface Ram Filter Feeding Off The Yucatan Peninsula, Mexico. Zoology 113: 199–212. DOI: 10.1016/j.zool.2009.12.001.
Nelson, J. D., Scott A. Eckert. 2007. Foraging ecology of whale sharks (Rhincodon typus) within Bahía de Los Angeles, Baja California Norte, México. Fisheries Research. 84: 47–64
Ningsih, Ratna. 2016. Kajian Komunitas dan Distribusi Cetacea Subordo Odontoceti Di Taman Pesisir Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur. Skripsi. Departemen Ilmu Dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Norman, Brad. 2002. CITES Identification Manual Whale Shark (Rhincodon typus Smith 1829). ECOCEAN. Marine Species Section. Environment Australia
Norman, Bradley M., John D. Stevens. 2007. Size and Maturity Status of The Whale Shark (Rhincodon Typus) at Ningaloo Reef in Western Australia. Fisheries Research 84: 81–86. DOI:10.1016/j.fishres.2006.11.015
Nugrahadi, M. Saleh, Tetsuo Yanagi. 2003. Water Quality in Madura Strait, Indonesia. Jurnal Alami, Vol. 8 Nomor 2.
Pariyono 2006. Kajian Potensi Kawasan Mangrove Dalam Kaitannya Dengan Pengelolaan Wilayah Pantai Di Desa Panggung, Bulakbaru, Tanggultlare , Kabupaten Jepara. TESIS. Program Pascasarjana Magister Manajemen Sumber Daya Pantai. Universitas Diponegoro. Semarang.
Prihartato, Perdana Karim. 2009. Studi Variabilitas Konsentrasi Klorofil-A dengan
15
Menggunakan Data Satelit AQUA-MODIS dan SeaWIFS Serta Data In Situ di Teluk Jakarta. Skripsi. Program Studi Ilmu Dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Redlist. 2003. IUCN Red List of Threatened Species. Online. http://www.redlist.org/search/details.php?species=19488 Diakses pada tanggal 4 Januari 2016 pukul 12.05 WIB
Richmond, M.D. (ed.). 2011. A Field Guide To The Seashores Of Eastern Africa And Western Indian Ocean Islands. Sida/WIOMSA
Rohner, C. A., S. J. Pierce, A. D. Marshall, S. J. Weeks, M. B. Bennett & A. J. Richardson. 2013. Trends in Sightings and Environmental Influences on a Coastal Aggregation of Manta Rays and Whale Sharks. Marine Ecology Progress Series. 482: 153–168.
Rowat, David. 2007. Occurrence of Whale Shark (Rhincodon Typus) in The Indian Ocean: A Case For Regional Conservation. Fisheries Research. 84: 96–101. DOI:10.1016/j.fishres.2006.11.016
Rowat, D., M. Gore. 2007. Regional Scale Horizontal and Local Scale Vertical Movements of Whale Sharks in The Indian Ocean Off Seychelles. Fisheries Research 84: 32–40. DOI:10.1016/j.fishres.2006.11.009
Rowat D, Brooks KS. 2012. A Review of The Biology, Fisheries and Conservation of The Whale Shark Rhincodon Typus. Journal of Fisheries Biology 80: 1019–1056. DOI:10.1111/j.1095-8649.2012.03252.x.
Sadili, D., Dharmadi, Fahmi, Sarmintohadi, Ihsan Ramli, Casandra Tania, Beny Ahadian Noor, Prabowo, Heri Rasdiana, Yudha Miasto, Rian Puspitasari, Nina Terry, Marina Monintja, Syifa Annisa. 2015. Pedoman Umum Monitoring Hiu Paus di Indonesia. Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan. Ditjen Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan Dan Perikanan. ISBN: 978-602-7913-18-9
Schmidt, Jennifer V., Chien-Chi Chen, Saad I. Sheikh, Mark G. Meekan, Bradley M. Norman, Shoou-Jeng Joung. 2010. Paternity Analysis In A Litter Of Whale Shark Embryos. Endangered Species Research. 12: 117–124. DOI: 10.3354/esr00300
Sleeman, J.C., M.G. Meekan, C.K.S. Jenner, M.N. Jenner, G.S. Boggs, C.J.A.
Bradshaw. 2007. Biophysical Correlates of Marine Megafauna Distributions at Ningaloo Reef, Western Australia. Marine and Freshwater Research. 58: 608–623. DOI: 10.1071/MF06213
Sleeman, J.C., M.G. Meekan, B.J. Fitzpatrick, C.R. Steinberg, R. Ancel, C.J.A. Bradshaw. 2009. Oceanographic and Atmospheric Phenomena Influence the Abundance of Whale Sharks at Ningaloo Reef, Western Australia. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. 382: 77-81
Sleeman, Jai C., Mark G. Meekan, Steven G. Wilson, Jeffrey J. Polovina, John D. Stevens, Guy S. Boggs, Corey J.A. Bradshaw. 2010. To go or not to go with the flow: Environmental influences on whale shark movement patterns. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. 390: 84–98
Taylor, J. Geoff. 2007. Ram filter-feeding and nocturnal feeding of whale sharks (Rhincodon typus) at Ningaloo Reef, Western Australia. Fisheries Research 84: 65–70. DOI:10.1016/j.fishres.2006.11.014
Toha, Abdul Hamid A., Hawis H. Maddupa, Casandra Tania, Beny A. Noor, Nashi Widodo, Beginer Subhan. 2015. Hiu Paus di Taman Nasional Teluk Cendrawasih. WWF Indonesia – Papua Program. ISBN: 978-602-73148-1-8
Wenno, L. F. 2007. Biodiversitas Organisme Planktonik dalam Kaitannya dengan Kualitas Perairan dan Sirkulasi Massa Air di Selat Makassar. Pusat Penelitian Oseanografi (LIPI). Jakarta., 28 hlm.
Wintner, S.P., 2000. Preliminary Study of Vertebral Growth Rings in The Whale Shark, Rhincodon Typus, From The East Coast of South Africa. Environment Biology Fisheries 59: 441–451. DOI: 10.1023/A:1026564707027
Wirasatriya, A. 2011. Pola Distribusi Klorofil-a dan Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Toli-Toli, Sulawesi. Buletin Oseanografi Marina, 1:137–149.
Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. Scientific Result of Marine investigations of the South China Sea and the Gulf of Thailand 1959-1961. The Univesity of California, Scripps Institution of Oceanography La Jolla, California:195pp.