Kajian Karakteristik Habitat dan Pola Sebaran Spasial ... · ketersediaan air di TNGHS yang...
Transcript of Kajian Karakteristik Habitat dan Pola Sebaran Spasial ... · ketersediaan air di TNGHS yang...
KAJIAN KARAKTERISTIK HABITAT DAN POLA SEBARAN
SPASIAL MACAN TUTUL JAWA
(Panthera pardus melas Cuvier, 1809) DI TAMAN NASIONAL
GUNUNG HALIMUN-SALAK
ERLINA YANTI
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ERLINA YANTI. Kajian Karakteristik Habitat dan Pola Sebaran Spasial
Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak. Di bawah bimbingan Jarwadi Budi Hernowo dan
Hendra Gunawan.
RINGKASAN
Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) adalah salah satu
satwa vertebrata endemik di pulau Jawa. Di Indonesia, satwa ini dilindungi oleh
Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 1999
tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Macan tutul jawa mendapat
tekanan yang cukup besar baik populasi maupun habitatnya, sementara data dan
informasi mengenai ekologi satwa tersebut masih sangat terbatas. Penelitian
mengenai habitat macan tutul jawa tergolong sedikit terutama karakteristik habitat
dan pola sebaran spasial yang digunakan macan tutul jawa untuk melakukan
aktivitas hariannya.
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2010 sampai dengan Januari
2011 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengkaji karakteristik habitat macan tutul jawa serta menduga kelimpahan
dan pola penyebaran macan tutul jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik habitat yang meliputi
ketersediaan satwa mangsa, sumber air, dan tempat berlindung (cover) serta
aktivitas perjumpaan dengan macan tutul jawa dan satwa mangsanya. Metode
pengambilan data untuk mencatat perjumpaan dengan macan tutul dan satwa
mangsanya adalah menggunakan tracking survey. Jenis data yang diambil adalah
jumlah jejak (tapak kaki, suara, cakaran, kotoran, sisa mangsa) dan jumlah
individu, kemudian ditandai pada GPS. Data struktur dan komposisi vegetasi
diperoleh menggunakan metode garis berpetak pada berbagai tipe habitat.
Karakteristik cover yang digunakan macan tutul jawa di TNGHS memiliki
daerah lebih tinggi dari daerah sekitarnya, tajuk yang rapat, batang pohon yang
tinggi dan besar, terdapat semak atau semai yang tinggi dan rapat, adanya goa,
dan rerumpunan bambu yang jauh dari aktivitas manusia. Karakteristik
ketersediaan air di TNGHS yang digunakan macan tutul untuk mencari
mangsanya adalah sumber air utama yang ada di tempat itu, memiliki tumbuhan
bawah yang melimpah di sekitarnya, dan tidak terlalu jauh dari sarang/tempat
beristirahat macan tutul jawa tersebut. Karakteristik satwa mangsa yang
dibutuhkan oleh macan tutul jawa adalah satwa yang melimpah dan mudah
dijumpai di sekitar wilayah jelajahnya. Jarak dari sungai dan gangguan
merupakan faktor yang mempunyai korelasi yang kuat dan erat dengan
keberadaan macan tutul, tetapi kedua faktor ini tidak cukup berpengaruh. Faktor
utama yang mempengaruhi keberadaan macan tutul jawa adalah satwa mangsa, air,
dan cover. Macan tutul jawa di TNGHS memiliki kepadatan relatif tertinggi 0,31
individu/km2 di hutan pegunungan bawah primer. Macan tutul jawa di Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak memiliki pola sebaran homogen mengikuti
pergerakan satwa mangsanya.
Kata kunci: macan tutul jawa, karakteristik habitat, sebaran spasial, satwa mangsa,
habitat.
ERLINA YANTI. Study of Habitat Characteristic and Spatial Distribution
Pattern of Javan leopard (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) in Gunung
Halimun-Salak National Park. Supervised by Jarwadi Budi Hernowo and
Hendra Gunawan
SUMMARY
Javan leopard (Panthera pardus melas Cuvier 1809) is one of the endemic
animal in Java Island. In Indonesia, this species is protected by Undang-undang
No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,
and Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1999 tentang perlindungan tumbuhan
dan satwaliar. Few of research on habitat characteristic and spatial distribution of
javan leopard in order to daily activities and other habitat factors for determine a
habitat.
This research was conducted in three months, from November 2010 to
January 2011 in Gunung Halimun-Salak National Park (GHSNP). The goal of the
research is to analyze of habitat characteristic of Javan leopard, and to estimate
density and distribution of javan leopard in GHSNP. The data is consist
availability of prey, water, and cover and an encountered activity oof javan
leopard and its prey. Accurred of javan leopard and their prey are collected by
tracking survey method. Vegetation structure and composition are collected by
square line method in sample plot.
Cover characteristic habitat of javan leopard in GHSNP is have a higher
portion than surroundings, dense of crown, high and big trees, high and dense
shrub, content of cave and bamboos and far away from human activities. Water
availability helping on javan leopard hunting their preys because the prey
abundant of near of the water location, have a plant surrounding, and near from
the shelter. A Characteristic of preys which needed by javan leopard are abundant
and easy found at their homeranges. Distance from river and disturbance are the
factors which have strong correlation with javan leopard existence, but both
factors not enough influencely. Main factor which have influence to javan leopard
existence is prey, water, and cover. Javan leopard in GHSNP have a highest
relative density approximately 0,31 individual/km2 at primary sub-montain forest.
Javan leopard in GHSNP have homogenous distribution pattern follows accurred
their prey’s movements.
Keywords: javan leopard, habitat characteristic, spasial distribution, prey, habitat.
tt07UOCOg NtYINVJUtrd IOIIISNI
NYNYJ.f}HST SYIAO)[V.{YIYSIIAOXtr NVO NYJNH YAYCUtrflIAINS ISYAUf,SNOX
Nf,I [flIUYdf,C
"to8og uDtuotiad rultsuJ unuDrrulay sDrp)tolDlDs'tfilm{fr rtDp uotng oioptaqumg ts,ouasuoy uama6mdag
opod uoouo ko s as1 ula7 q alotadwau 1o,to,ts nru s t lD lD s ruBn qag
1sdr.o1g
IINYA YNTtUff
XYTYS.NI}trTIITYTI SNf INf TSTYNOISYN NVruvI IO (60SI .reprn3 soput snp"tad Dartruod)
Yil\Yf TI}Tff. NY}YIA[ TYISYdSNYUVflf,S YAO{ NYO IYIItrYH XITSTUUIXYtrY)I TI\rIfYX
t00 t t0z66r $n0v96r 'drN
II Eurq{urquod
t00 r t0r86r sr608s6rsIN
6runs3g s"ques 'rl '
'rn[n1e,(ue141
,t[02 /10ff -Z?, :ueqeseEuo6pEEuul
EOO I EOI86I IIIISS6I 'dIN
.f'cshtr'om.oule11 ryng rpB \ref 'rI'{I
%l Eugqurqrued
ususfnqex:BIBSIlrAO{f, u8p uulnH Ur(up.requrns Isu^Jesuox :
t9l090ttg I
IluEA uullrf, :
{Bles-untugeg Eunung IBUoIsBN uuruul Ip(OOSI .lepn3 soput snptod otaqraod)
Brauf Inlnl uurutr{ 1u;sud5uuruqos ulod usp lBllqBH {rfsrrepluruy uelfu;q :
sElIn)Ictrueuregedeg
dut{Brilsrs8qBtr{tr Brtrclil
uBlllleued Inpnf
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kajian
Karakteristik Habitat dan Pola Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa
(Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen
pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan
tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2011
Erlina Yanti
E34060764
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahir Robbal Alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini.
Penghargaan dan terima kasih yang tiada tara penulis haturkan kepada
kedua orang tua dan adikku atas doa dan dukungan yang telah diberikan selama
ini. Tak lupa, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc.F dan Dr. Ir. Hendra Gunawan,
M.Si selaku dosen pembimbing atas nasehat dan bimbingannya.
2. Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc sebagai dosen penguji dan Bapak Ir. Edhi
Sandra, M.Si
3. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak beserta seluruh staf
kantor (Mbak Sri Mulyati, Mbak Ati, Pak Wardi) yang telah memberikan
bantuan dan memberikan ijin serta rekomendasi lokasi penelitian.
4. Keluarga besar Citalahab-Cikaniki (Pak Momo, Pak Paul, Pak Odi, Pak
Amir, Bang Aris, Sahri, Nui, Yani, Bu Ami, Pak Jaya, Pak Edi, Teh Nung),
Keluarga besar Cidahu (Pak Tatang, Pak Hendi & Ibu, Umi Titin &
keluarga, Sri, Aa, Eneng, Kang Acil, Kang Aris), dan Keluarga besar
Cisoka (Pak Ahmad, Teteh, Ibu) yang telah bersedia memberikan
kehangatan keluarga selama penulis jauh dari rumah.
5. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, MSc dan Kuswandono, S.Hut, MSi, yang
telah bersedia menjadi teman baru yang menyenangkan.
6. Sahabat perjalanan terbaikku (Pak Ade, Pak Noh, Pak Madsury, Kak Yanti,
Kak Sahab), adik-adik tercintaku (Soni & Alya) dan sahabat baruku
(Sanha Oppa, Eunha Unnie & Soojung Unnie).
7. Keluarga besar Jojoba Green, Nymph House, Wisma Asri, dan Nusa
Kambangan (Amink, Icha, Lulu, Rina, Risma), yang membuat semakin
hangat keluargaku.
8. Echa, Angga, Nanang, Evine, Hanna, dan Alm. Vicky, terima kasih untuk
hatinya yang selalu sabar dan tangannya yang selalu hangat.
iv
9. Kak Aaf, Kak Ghufron, Oewa Kun, Kak Dede, Kak Erry, Kak Adi, Kak
Andriana, AJ, Adit, Kak Alex, Bang Jul, Aidell, Ika, Yudia, Koko Gugum,
Age, Kak Bob, Kak Ichan, Kak Gugum, Kliwon, Aisyah, Cepi, Kak Aji,
Fiona, Kak Sasi, Mastika, Pak Anhar, Toa Unnie, Irsyad, Innes, Kak Devis
dan Putri, yang telah menjadi tempat sharing dan membantu
menyelesaikan kendala-kendala yang terjadi selama penulisan skripsi ini.
10. Keluarga besar Fahutan 45 yang telah menjadi adik-adik menyenangkan
buat saya, khusus buat Rhimbut, Picem, Kondom, Endra, Mithong, Ignas,
Erik, yang selalu menjadi teman setia berbagi suka duka. Untuk seluruh
asisten-asisten PPH 2011 yang paling saya sayangi sejagad raya yang telah
membuat belajar terasa sangat menyenangkan.
11. Keluarga besar KSHE 43 atas kebersamaan, kekeluargaan, dan
pengalaman yang berharga. “KSH…E…yaaaa.”
12. Keluarga besar Uni Konservasi Fauna IPB khususnya angkatan 4 dan DK
Insekta atas semangat dan kekompakan yang kekal. Dimanapun dan jadi
apapun kita nanti, tetap pegang “Selamatkan Fauna Indonesia!”
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu hingga penulisan karya ilmiah ini dapat terwujud.
Bogor, Desember 2011
Erlina Yanti
E34060764
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 30
September 1987. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara dari pasangan Bapak Sukaeji dan Ibu Nuraeni.
Penulis menyelesaikan taman kanak-kanak (TK) Permata
pada tahun 1994, pendidikan sekolah dasar (SD) pada tahun
2000 di SD Negeri Bogor Baru, kemudian melanjutkan
pendidikan di SMP Negeri 2 Bogor pada tahun 2000 sampai dengan 2003. Penulis
menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 3 Bogor pada
tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis pernah melakukan kegiatan
Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di BKPH Gunung Slamet KPH Banyumas
Timur dan Nusa Kambangan Cilacap, Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan
Pendidikan Gunung Walat dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, serta
Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Alas Purwo, Propinsi
Jawa Timur. Penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna
Institut Pertanian Bogor (UKM UKF-IPB) sejak tahun 2006 sampai sekarang.
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Departemen
Konservasi Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, maka penulis
menyusun skripsi dengan judul “Kajian Karakteristik Habitat dan Pola
Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak” di bawah bimbingan Dr. Ir. Jarwadi
Budi Hernowo, MSc.F dan Dr. Ir. Hendra Gunawan, MSi.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini
merupakan karya ilmiah dari hasil penelitian yang dilaksanakan selama tiga bulan
(November 2010-Januari 2011) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang
ditulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kahutanan Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini berjudul “Kajian Karakteristik Habitat dan Pola Sebaran Spasial
Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak”. Macan tutul jawa merupakan salah satu sub-spesies
macan tutul di dunia yang penyebarannya hanya terbatas di Pulau Jawa.
Keberadaan dan penyebaran macan tutul jawa di kawasan hutan terbatasi oleh
ketersediaan satwa mangsa, sumber air, dan cover. Keadaan inilah yang
menjadikan macan tutul jawa seharusnya mempunyai prioritas yang sama dalam
penelitian maupun pengambilan kebijakan pelestarian satwaliar seperti yang telah
dilakukan kepada harimau sumatera. Skripsi ini membahas tentang karakteristik
habitat dan pola penyebaran spasial macan tutul jawa di Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak. Dengan mengetahui karakteristik habitat dan pola penyebarannya,
diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan bagi pihak pengelola dalam
merumuskan kebijakan untuk pelestarian macan tutul jawa.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki berbagai kekurangan dan
ketidaksempurnaan. Maka dari itu, diharapkan adanya saran dan kritik yang
bersifat membangun dalam penulisan skripsi ini.
Bogor, Desember 2011
Erlina Yanti
E34060764
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ v
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... ix
I.PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar belakang penelitian ........................................................... 1
1.2 Tujuan penelitian ........................................................................ 2
1.3 Manfaat penelitian ...................................................................... 2
II.TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
2.1 Klasifikasi dan morfologi ........................................................... 3
2.1.1 Klasifikasi ........................................................................ 3
2.1.2 Morfologi ......................................................................... 3
2.2 Penyebaran .......................................................................... 4
2.3 Habitat ........................................................................................ 5
2.3.1 Vegetasi/Cover ................................................................. 5
2.3.2 Satwa Mangsa .................................................................. 5
2.3.3 Ketersediaan Air............................................................... 5
2.4 Perilaku ...................................................................................... 5
2.4.1 Berburu Mangsa ............................................................... 5
2.4.2 Reproduksi dan Mengasuh Anak ..................................... 6
2.4.3 Homerange dan Teritori .......................................................... 6
2.5 Pola sebaran spasial .................................................................... 7
2.6 Gangguan habitat ....................................................................... 7
III.KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .......................................... 8
3.1 Sejarah dan letak kawasan ......................................................... 8
3.2 Fisik kawasan ............................................................................. 8
3.2.1 Topografi......................................................................... 8
3.2.2 Iklim ................................................................................ 9
3.2.3 Hidrologi ......................................................................... 9
vi
3.3 Biotik kawasan ........................................................................... 9
3.3.1 Flora ................................................................................ 9
3.3.2 Fauna ............................................................................... 10
IV.METODE PENELITIAN ....................................................................... 11
4.1 Lokasi dan waktu ....................................................................... 11
4.2 Alat dan bahan ............................................................................ 13
4.3 Metode pengumpulan data ......................................................... 13
4.4 Analisis data ............................................................................... 15
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 22
5.1 Hasil
5.1.1 Karakteristik Habitat Macan Tutul Jawa ................................. 22
5.1.1.1 Struktur dan Komposisi Vegetasi.................................. 22
5.1.1.2 Ketersediaan Cover ....................................................... 29
5.1.1.3 Ketersediaan Mangsa .................................................... 31
5.1.1.4 Ketersediaan Air............................................................ 36
5.1.1.5 Gangguan Habitat ......................................................... 37
5.1.2 Tingkat Perjumpaan dan Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa 39
5.1.2.1 Tingkat Perjumpaan Macan Tutul Jawa ........................ 39
5.1.2.2 Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa ............................... 43
VI. Kesimpulan dan Saran ........................................................................... 62
6.1 Kesimpulan ................................................................................ 62
6.2 Saran ........................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 63
DAFTAR TABEL
No Halaman
III-1. Klasifikasi dan Luas Penutupan Lahan di TNGHS ............................ 9
IV-1. Jalur Penelitian Macan Tutul Jawa di TNGHS .................................. 12
IV-2. Lokasi Penelitian dan Kriteria Pemilihannya ..................................... 12
IV-3. Fitur Habitat Macan Tutul Jawa ......................................................... 16
IV-4. Sumber Air di TNGHS ....................................................................... 18
IV-5. Gangguan Habitat di TNGHS ............................................................ 18
IV-6. Tabel Isian Tanda Aktivitas Macan Tutul Jawa ................................. 20
V-1. Deskripsi Tipe Habitat Macan Tutul Jawa .......................................... 22
V-2. Hasil Analisa Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah di Hutan
Pegunungan Bawah Sekunder .............................................................. 24
V-3. Hasil Analisa Vegetasi Tingkat Pancang di Hutan Pegunungan Bawah
Sekunder .............................................................................................. 24
V-4. Hasil Analisa Vegetasi Tingkat Tiang di Hutan Pegunungan Bawah
Sekunder .............................................................................................. 25
V-5. Hasil Analisa Vegetasi Pohon di Hutan Pegunungan Bawah
Sekunder .............................................................................................. 25
V-6. Hasil Analisa Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah di Hutan
Pegunungan Bawah Primer .................................................................. 26
V-7. Hasil Analisa Vegetasi Tingkat Pancang di Hutan Pegunungan Bawah
Primer ................................................................................................... 26
V-8. Hasil Analisa Vegetasi Tingkat Tiang di Hutan Pegunungan Bawah
Primer ................................................................................................... 26
V-9. Hasil Analisa Vegetasi Tingkat Pohon di Hutan Pegunungan Bawah
Primer ................................................................................................... 27
V-10. Hasil Analisa Vegetasi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah di Hutan
Pegunungan Tengah ........................................................................... 28
V-11. Hasil Analisa Vegetasi Tingkat Pancang di Hutan Pegunungan
Tengah ................................................................................................ 28
viii
V-12. Hasil Analisa Vegetasi Tingkat Tiang di Hutan Pegunungan
Tengah ................................................................................................ 28
V-13. Hasil Analisa Vegetasi Tingkat Pohon di Hutan Pegunungan
Tengah ................................................................................................ 29
V-14. Fitur Habitat Macan Tutul Jawa ........................................................ 29
V-15. Tingkat Perjumpaan Satwa Mangsa di Berbagai Tipe Habitat .......... 31
V-16. Pengelompokan Perjumpaan Satwa Mangsa di Berbagai Tipe
Habitat ................................................................................................ 32
V-17. Hubungan antara H’ Satwa Mangsa dengan KR Macan Tutul
Jawa .................................................................................................... 34
V-18. Perbandingan KR, FR, dan A Satwa Mangsa di Masing-masing Tipe
Habitat ................................................................................................ 35
V-19. Rekapitulasi Uji t Perbandingan H’ Satwa Mangsa Macan Tutul
Jawa .................................................................................................... 35
V-20. Rekapitulasi IS Satwa Mangsa Macan Tutul Jawa ............................ 36
V-21. Sumber Air di TNGHS ...................................................................... 36
V-22. Gangguan Habitat di TNGHS ............................................................ 38
V-23. Jumlah Individu Macan Tutul Jawa di Masing-masing Tipe
Habitat ................................................................................................ 40
V-24. Tingkat Perjumpaan dan Kelimpahan Relatif Macan Tutul Jawa ..... 41
V-25. Frekuensi Harapan Tanda Aktivitas Macan Tutul Jawa di Berbagai
Tipe Habitat ....................................................................................... 42
V-26. Aktivitas Teritorial Macan Tutul Jawa .............................................. 42
V-27. Frekuensi Penemuan Jejak Macan Tutul Jawa .................................. 42
V-28. Analisis Bentuk Sebaran Macan Tutul Jawa di TNGHS ................... 43
V-29. Jumlah Jejak Macan Tutul Jawa dan Satwa Mangsa pada Jalur
Pengamatan yang Ditemukan berdasarkan Jarak dari Sungai ........... 44
V-30. Jumlah Jejak Macan Tutul Jawa dan Satwa Mangsa pada Jalur
Pengamatan yang Ditemukan berdasarkan Jarak dari Pemukiman ... 48
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
II-1. Penampakan Utuh Macan Tutul Jawa di TNGHS ............................... 3
IV-1. Lokasi Penelitian di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak .......... 11
IV-2. Bentuk Jalur Pengamatan Vegetasi .................................................... 14
V-1. Hutan Pegunungan Bawah Sekunder yang Ditata Masyarakat Setelah
Terjadi Perambahan ................................................................................. 23
V-2. Hutan Alam yang Mengelilingi Kebun Teh di Hutan Pegunungan
Bawah Primer ........................................................................................... 27
V-3. (a) Tajuk Pohon merupakan Cover Thermal yang Sangat Penting untuk
Satwa, (b) Batang Pohon Kiriung Anak (Castanopsis acuminatisima)
yang Berlubang pada Bagian Bawahnya, (c) Semak Tempat
Ditemukannya Jejak Macan Tutul Jawa dan Babi Hutan, dan (d) Aliran
Sungai Menuju Goa Macan di Hutan Pegunungan Bawah Primer .......... 30
V-4. Kelas Tingkat Perjumpaan Satwa di Berbagai Tipe Habitat ............... 32
V-5. Tanda-tanda Keberadaan Satwa Mangsa Macan Tutul Jawa: a) Jejak
Kaki Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis); b) Kotoran Musang
Luwak (Paradoxurus hermaphroditus); c) Sisa Makanan Surili
(Presbytis commata); dan d) Sarang Beranak Babi Hutan (Sus scrofa).. 33
V-6. Sumber Air TNGHS di Lokasi Penelitian: a) Curug Macan; b) Aliran
menuju Rawa Cibeunteur; c) Sungai Pameungpeuk; dan d) Sungai
Cibogo ...................................................................................................... 37
V-7. Gangguan hutan di TNGHS: a) Wisata Alam yang Tidak Terorganisir
dengan Baik; b) Penebangan Liar; c) Perambahan Hutan; dan d)
Penggembalaan Liar ................................................................................. 39
V-8. Jejak Kaki Macan Tutul Jawa di Jalur Koridor Cisoka ....................... 40
V-9. Tanda Aktivitas Macan Tutul Jawa: a) Scrape (Cakaran di Tanah); b)
Kotoran; dan c) Scratch (Cakaran di Batang Pohon) ............................... 41
V-10. Peta Distribusi Macan Tutul Jawa dan Satwa Mangsanya pada
Jalur Pengamatan berdasarkan Jarak dari Sungai di Hutan Pegunungan
Bawah Sekunder .................................................................................... 44
x
V-11. Peta Distribusi Macan Tutul Jawa dan Satwa Mangsanya pada
Jalur Pengamatan berdasarkan Jarak dari Sungai di Hutan Pegunungan
Bawah Primer ......................................................................................... 45
V-12. Peta Distribusi Macan Tutul Jawa dan Satwa Mangsanya pada
Jalur Pengamatan berdasarkan Jarak dari Sungai di Hutan Pegunungan
Tengah .................................................................................................... 46
V-13. Peta Distribusi Macan Tutul Jawa dan Satwa Mangsanya pada
Jalur Pengamatan berdasarkan Jarak dari Pemukiman di Hutan
Pegunungan Bawah Sekunder ................................................................ 47
V-14. Peta Distribusi Macan Tutul Jawa dan Satwa Mangsanya pada
Jalur Pengamatan berdasarkan Jarak dari Pemukiman di Hutan
Pegunungan Bawah Primer .................................................................... 47
V-15. Peta Distribusi Macan Tutul Jawa dan Satwa Mangsanya pada
Jalur Pengamatan berdasarkan Jarak dari Pemukiman di Hutan
Pegunungan Tengah ............................................................................... 48
I. PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Penelitian
Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) adalah salah satu
satwa karnivora endemik di pulau Jawa. Populasi macan tutul jawa di seluruh
pulau Jawa belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 350-700 ekor
(Santiapillai dan Ramono 1992). Macan tutul jawa merupakan satwa yang
termasuk ke dalam kategori Critically Endangered dalam IUCN RedList tahun
2008 (Ario et al 2008) dan Appendix I CITES (Convention on International Trade
in Endangered Species of Flora and Fauna). Di Indonesia, satwa ini dilindungi
berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
Macan tutul jawa memiliki daerah teritori sekitar 5-15 km2 dan termasuk
satwa soliter, maka dari itu, satwa ini rentan sekali terhadap perubahan luasan
habitat yang tersedia akibat deforestasi (McDougal 1997). Disamping itu, macan
tutul jawa memiliki ketergantungan terhadap keberadaan hutan dan satwa
mangsanya (Prater 1965 dalam Hoogerwerf 1970).
Salah satu habitat alami macan tutul jawa adalah Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak. Harahap dan Sakaguchi (2004) menduga populasi macan tutul
jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sekitar 42 – 58 individu. Macan
tutul jawa juga memiliki ketergantungan terhadap keberadaan hutan dan satwa
mangsanya. Macan tutul jawa akan membunuh dan makan apa saja yang mudah
ditangkapnya (Prater 1965 dalam Hoogerwerf 1970).
Di sisi lain, satwa mangsa pun mengalami penurunan populasi akibat
kerusakan dan penurunan luas hutan serta perburuan. Dengan kenyataan seperti
ini, maka macan tutul jawa pun ikut terkena dampaknya. Penelitian mengenai
macan tutul jawa masih tergolong sedikit, di IPB sampai saat ini baru terdapat
tujuh skripsi S-1, satu tesis S-2, dan satu disertasi S-3 (Gunawan 2010). Penelitian
tersebut umumnya mengenai ekologi, habitat, pergerakan dari satwa mangsa
macan tutul jawa. Penelitian macan tutul jawa sangat penting dilakukan karena
setelah harimau jawa (Panthera tigris sondaica Temminck, 1844) punah, macan
2
tutul jawa menduduki puncak rantai makanan (trophic level) dalam ekosistem
hutan di pulau Jawa (Gunawan 2010). Salah satu aspek yang penting untuk diteliti
adalah mengenai karakteristik habitat dan pola sebaran spasial aktivitas hariannya.
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak merupakan bentangan alam hutan
primer terluas di Jawa Barat dan merupakan salah satu habitat utama macan tutul
jawa (Rabinowitz 1989). Populasi macan tutul jawa di taman nasionalini telah
diketahui 42 – 58 individu (Harahap dan Sakaguchi 2004), namun informasi
mengenai hubungan antara karakteristik habitat dan pola sebaran spasial macan
tutul jawa belum pernah diteliti. Informasi ini penting sebagai bahan
pertimbangan dalam pengelolaan habitat dan populasi macan tutul jawa.
1. 2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji karakteristik habitat macan tutul jawa meliputi tipe-tipe cover,
jenis dan kelimpahan satwa mangsa, ketersediaan air, serta gangguan dan
ancaman terhadap habitat dan populasi macan tutul jawa.
2. Memperkirakan kepadatan relatif, tingkat perjumpaan, dan pola
penyebaran macan tutul jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
1. 3 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan
pertimbangan dalam pengelolaan habitat dan populasi macan tutul jawa di Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak khususnya, dan di Pulau Jawa pada umumnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Klasifikasi dan Morfologi
2. 1. 1 Klasifikasi
Macan tutul adalah satwa bertulang belakang yang termasuk ke dalam kelas
Mammalia, ordo Carnivora dan famili Felidae (bangsa kucing). Macan tutul
(Panthera pardus Linnaeus, 1758) memiliki sub-spesies Panthera pardus melas
Cuvier, 1809 yang hanya terdapat di Pulau Jawa. Macan tutul jawa ini memiliki
nama lokal diantaranya sima (Jawa), macan totol (Madura), meong hideung (Sunda),
dan harimau tutul (Melayu). Jenis ini merupakan satu-satunya macan tutul yang
endemik di Indonesia, yaitu hanya terdapat di pulau Jawa (Direktorat PPA 1978).
2. 1. 2 Morfologi
Pada kondisi normal dan usia yang sama, macan tutul jantan memiliki tubuh
yang lebih besar dibandingkan macan tutul betina. Berat badan macan tutul jantan
sekitar 38,3 kg dengan panjang tubuh 112,7, sedangkan macan tutul betina
mempunyai berat badan 20 kg dengan panjang tubuh 97,1 cm. Macan tutul memiliki
bentuk badan yang memanjang silindris, dengan kaki agak pendek dan telapak
melebar (Harahap dan Sakaguchi 2004).
Gambar II-1 Macan tutul jawa yang tertangkap
camera trap di TNGHS (Sumber:
TNGHS 2004).
Macan tutul jawa memiliki taring yang tajam sebagai senjata bertarung
maupun untuk membunuh mangsanya. Mata macan tutul jawa berwarna kuning
dengan kemampuan penyesuaian ukuran mata pupil yang tinggi pada berbagai
intensitas cahaya. Macan tutul jawa memiliki ekor yang panjang dengan ujung
membengkok ke atas dan pada ujung sisi bawahnya berwarna putih. Cakar macan
4
tutul jawa dapat dikeluarkan dan disimpan sesuai kebutuhan sehingga efektif dalam
kegiatan berjalan biasa ataupun mengintai mangsa.
Warna rambut macan tutul jawa umumnya adalah coklat kekuningan dengan
tutul-tutul hitam berbentuk kembang (rossete), sedangkan warna dasar hitam
disebabkan oleh proses melanisme, yaitu pendominasian oleh pigmen hitam pada
struktur rambut. Corak kembangan tetap dimiliki oleh macan kumbang, namun
hanya terlihat pada intensitas cahaya yang cukup tinggi.
2. 2 Penyebaran
Macan tutul tersebar di pantai hingga pegunungan. Mereka juga sering terlihat
di hutan-hutan jati dan perkebunan dekat perkampungan (Veevers dan Carter 1978
dalam Wahyudi 1989). Luas daerah jelajah macan tutul adalah 10 km2 (Ewewr 1974
dalam Wahyudi 1989). Diantara jenis kucing besar yang ada, macan tutul memiliki
daerah penyebaran yang paling luas (Lekagul dan McNeely 1977). Di seluruh dunia
terdapat sembilan sub spesies macan tutul (Nowak 1997) yaitu;
a. Panthera pardus pardus, tersebar di Afrika
b. Panthera pardus nimr, tersebar di Arab
c. Panthera pardus saxicolor, tersebar di Persia
d. Panthera pardus kotiya, tersebar di Sri Lanka
e. Panthera pardus fusca, tersebar di India
f. Panthera pardus delacourii, tersebar di Asia Selatan dan China bagian
selatan
g. Panthera pardus japonensis, tersebar di China bagian utara
h. Panthera pardus orientalis, tersebar di Rusia, Korea dan China bagian
tenggara
i. Panthera pardus melas, tersebar di Jawa, Indonesia.
Di Pulau Jawa, populasi macan tutul jawa antara lain tersebar di TN. Gunung
Halimun Salak , Hutan Lindung Petungkriyono Pekalongan, dan TN. Meru Betiri
Jawa Timur, Cirebon, Cianjur Selatan, TN Gunung Gede Pangrango, dan TN Ujung
Kulon (Hoogerwerf 1970). Gunawan (1988;2010) menemukan tanda keberadaan
macan tutul jawa di CA Pringombo, hutan jati BKPH Subah, Serang, CA Nusa
Kambangan, dan Gunung Kidul.
5
2. 3 Habitat
2. 3. 1 Vegetasi/Cover
Elton (1966) mengemukakan bahwa vegetasi mempunyai peranan utama dalam
habitat, yaitu sebagai bagian dari makanan dan tempat berlindung (cover) satwaliar.
Vegetasi sebagai cover mempunyai peranan penting untuk hidup dan berkembang
biak, sebagai tempat berlindung dari predator atau bahaya lainnya. Macan tutul
merupakan satwa arboreal dan menyukai tempat yang ada pohonnya (Bailey 1993).
Vegetasi bagi satwaliar mungkin lebih penting strukturnya daripada
keanekaragamannya (Bailey 1984 dalam Gunawan 1988). Cover bagi macan tutul
biasanya digunakan untuk mengintai mangsanya saat berburu dan melindunginya
dari panas langsung matahari.
2. 3. 2 Satwa Mangsa
Jenis satwa yang dimangsa oleh macan tutul jawa antara lain sigung (Mydaus
javanensis), kelelawar (Pteropus sp), lutung (Tracypithecus sp), dan satwa mangsa
lain (Anonim 1978 dalam Ahmad 2007). Satwa mangsa lain yang dimakan macan
tutul jawa adalah surili (Presbytis comata), kijang (Muntiacus muntjak), ayam hutan
(Gallus gallus), merak (Pavo sp), dan pelanduk (Tragulus javanicus) (Prater 1965
dalam Hoogerwerf 1970). Menurut Seidensticker (1976) dalam Gunawan (1988),
berdasarkan ukuran tubuh mangsa, macan tutul jawa lebih sering memangsa satwa
dengan ukuran berat badan antara 25-50 kg, yaitu satwa yang memiliki ukuran badan
setengah hingga sama dengan ukuran badan macan tutul jawa. Menurut Karanth dan
Melvin (1995), mangsa macan tutul yang paling sering dimakan adalah ungulata dan
primata dengan proporsi berimbang antara 89-98%.
2. 3. 3 Ketersediaan Air
Ketersediaan air di alam dapat diperoleh dalam berbagai jenis yaitu air bebas
yang berbentuk danau, sungai, kolam, selokan, air yang terkandung dalam sumber
pakan, vegetasi, dan air embun (Sudiana 1991). Lokasi pohon yang berada di dekat
sungai sangat menguntungkan sebagai tempat mengintai, karena biasanya satwa
mangsa utama macan tutul jawa seperti babi hutan, kijang, dan rusa sering
berkumpul di sungai untuk minum (Grzimek 1975 dalam Gunawan 2010).
6
2. 4 Perilaku
2. 4. 1 Berburu Mangsa
Macan tutul jawa mulai berburu mangsanya dengan cara mengintai, kemudian
menyergapnya dari belakang. Apabila satwa yang dimangsanya bersisa, macan tutul
jawa akan meyimpannya untuk didatanginya lagi. Untuk melindungi hasil buruannya
dari pemangsa lain, macan tutul jawa menyembunyikan sisa makanannya di atas
pohon, atau menutupinya dengan daun, ranting, rumput, atau serasah Van Dooren
1949 dalam Hoogerwerf 1970).
Hoogerwerf (1970) menyatakan dalam beberapa kasus di Jawa, macan tutul
jawa berburu pada siang hari. Macan tutul jawa mengintai mangsanya dari balik
pohon tumbang dari arah belakang mangsanya (Ahmad 2007, Afnan 2009).
2. 4. 2 Reproduksi dan Mengasuh Anak
Macan tutul jawa betina mengalami polyestrus, yaitu mengalami beberapa kali
birahi dalam satu tahun. Masa bunting macan tutul jawa kurang lebih 110 hari
(Laveiren 1983 dalam Gunawan 1988). Anakan akan mencapai kedewasaan pada
umur 2,5-4 tahun (Laveiren 1983 dalam Gunawan 1988). Anak macan tutul akan
tetap bersama induknya hingga berumur 18-24 bulan. Dalam pola pengasuhan anak,
kadang-kadang macan tutul jantan membantu dalam hal pengasuhan anak
(Guggisberg 1975 dalam Gunawan 2010).
2. 4. 3 Homerange dan Teritori
Macan tutul jawa hidup dalam teritorial (ruang gerak) berkisar 30-78 km2.
Macan tutul jawa bersifat soliter, tetapi pada saat tertentu seperti berpasangan dan
pengasuhan anak, macan tutul dapat hidup berkelompok (Grzimek 1975 dalam
Gunawan 2010). Eisenberg dan Lockhart (1972) mengatakan bahwa macan tutul
jantan dan macan tutul betina dapat mendiami daerah perburuan yang sama, tetapi
hal ini tidak berlaku bagi individu-individu yang berjenis kelamin sama. Cara
mempertahankan daerah teritori dilakukan dengan pengiriman tanda-tanda berupa
suara, cakaran, maupun urin dan kotoran. Macan tutul jawa membuang kotoran tanpa
disembunyikan, melainkan diletakkan di tempat-tempat yang terbuka (Medwey 1975
dalam Gunawan 1988).
7
Macan tutul jantan akan berkelana mencari pasangan dalam teritorinya masing-
masing, di mana tiap daerah tersebut ditandai dengan cakaran di batang kayu, urine
maupun kotorannya.
2. 5 Pola Sebaran Spasial
Sebaran spasial merupakan salah satu parameter demografi satwaliar.
Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa pola sebaran spasial suatu komunitas
ekologi dapat ditentukan dengan berbagai macam indeks penyebaran atau indeks
dispersi (ID).
Pola sebaran satwa dapat merata (homogen), berkelompok, maupun acak.
Macan tutul menggunakan ruang habitat yang ada baik secara horizontal maupun
vertikal. Secara horizontal, macan tutul jawa menggunakan bentang alam mendatar
sebagai tempat untuk melakukan aktivitas kesehariannya seperti makan, minum,
berburu, bermain, istirahat, dan bereproduksi (Tarumingkeng 1994), sedangkan
secara vertikal macan tutul jawa menggunakan pohon sebagai tempat untuk
menyimpan sisa makanannya. Untuk menganalisis pola sebaran spasial macan tutul
jawa, indeks yang digunakan adalah indeks dispersi (ID).
2. 6 Gangguan Habitat
Menurut Ahmad (2007), perburuan, pengambilan sumber daya alam,
kebakaran hutan, dan kegiatan lain di dalam hutan, jika tidak dikendalikan dapat
mengancam macan tutul jawa. Ketika musim kemarau tiba, beberapa bagian wilayah
rawan terhadap bahaya kebakaran. Kerusakan hutan menyebabkan degradasi habitat
macan tutul jawa dan akan memaksa satwa ini untuk pergi serta mencari daerah baru,
kegiatan lain seperti pariwisata dapat meningkatkan jumlah sampah dan kebisingan
yang dapat mengganggu satwa. Hal ini menyebabkan menyempitnya wilayah jelalah
macan tutul jawa dan terganggunya aktivitas hariannya.
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
3. 1 Sejarah dan Letak Kawasan
Kawasan Gunung Halimun ditetapkan menjadi taman nasional pada tanggal
26 Februari 1992 berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI nomor 282/Kpts-II/1992.
Pada tahun 2003, kawasan Gunung Halimun dan Gunung Salak digabung menjadi
satu unit pengelolaan yang ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan RI
no.175/Kpts-II/2003 pada tanggal 10 Juni 2003. Hal ini menjadikan seluruh areal
koridor dan kawasan yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani menjadi
bagian dari pengelolaan UPT Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Rinaldi et
al 2008). Adapun batas-batas wilayah TNGHS adalah:
Sebelah Utara : Desa Cipanas dan Rumpin
Sebelah Timur : Desa Cijeruk
Sebelah Selatan : Desa Cisolok dan Pelabuhan Ratu
Sebelah Barat : Desa Cijaku dan Pangarangan
Secara administratif TNGHS terletak di tiga wilayah kabupaten, yaitu
Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan
pengelolaan, kawasan tersebut berada di bawah pengelolaan Balai Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak.
3. 2 Fisik Kawasan
3. 2. 1 Topografi dan Tutupan Lahan
Kawasan TNGHS mempunyai ketinggian 500 – 2.211 mdpl. Di kawasan
TNGHS terdapat bukit memanjang mulai dari Gunung Endut (sebelah Barat)
melintasi Gunung Kendeng (di kawasan Baduy) kemudian menurun sampai ke
Gunung Honje dan Semenanjung Ujung Kulon.
Berdasarkan interpretasi raster map Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak (TNGHS), wilayah TNGHS 58 % masih berupa hutan alam. Klasifikasi
tutupan lahan di TNGHS disajikan pada tabel III-1.
9
Tabel III-1. Klasifikasi dan luas penutupan lahan di TNGHS No Jenis tutupan lahan Luas (km
2)
1 Badan air 282
2 Hutan 694225
3 Hutan tanaman 44292
4 Kebun campuran 52318
5 Kebun karet 61460
6 Kebun the 29433
7 Ladang 70732
8 Lahan kosong 6520
9 Lahan terbangun 9720
10 Rumput 9164
11 Sawah 32876
12 Semak 182067
13 Tidak terdata 24
Total area 1193113
Sumber: BTNGHS 2011
3. 2. 2 Iklim
Curah hujan rata-rata di wilayah TNGHS bervariasi antara 4.000 mm
sampai 6.000 mm/tahun. Bulan Oktober – April merupakan musim hujan dengan
curah hujan antara 400 mm – 600 mm/bulan, sedangkan musim kemarau
berlangsung dari bulan Mei – September dengan curah hujan rata-rata sekitar 200
mm/bulan. Suhu udara rata-rata bulanan 31,5 0C dengan suhu terendah 19,7
0C
dan suhu tertinggi 31,8 0C. Kelembaban udara rata-rata 88%.
3. 2. 3 Hidrologi
Di bagian utara dari kawasan ini terdapat tiga Daerah Aliran Sungai (DAS)
penting, yaitu sungai Ciberang, Cidurian, dan Cikaniki (Hartono 2007). Di bagian
sebelah selatan terdapat sembilan DAS yaitu, Cimandur, Cihara, Cisiih, Cibareno,
Cisolok, Cimaja, Cikasomayang, Citepus, dan Cimandiri. Aliran air sungai-sungai
tersebut banyak dimanfaatkan untuk irigasi lahan pertanian, air rumah tangga,
pembangkit listrik mikrohidro, industri dan wisata arung jeram.
3. 3 Biotik Kawasan
3. 3. 1 Flora
Kawasan TNGHS pada ketinggian 500 - 1.500 mdpl terdapat jenis-jenis
rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima walichii), saninten (Castanopsis
javanica), kiriung anak (Castanopsis acuminatissima), pasang (Quercus
gemelliflora), ganitri (Elaeocarpus ganitrus), kileho (Saurauia pendula), dan
kimerak (Weinmannia blumei). Pada ketinggian di atas 1.500 mdpl didominasi
jenis jamuju (Dacrycarpus imbricatus), kibima (Podocarpus blumei), dan kiputri
10
(Podocarpus neriifolius). Jenis yang menarik adalah hamirung (Vernonia
arborea) yang merupakan satu-satunya anggota suku Asteraceae yang berbentuk
pohon, jenis ini ditandai dengan perbungaan yang majemuk.
3. 3. 2 Fauna
Di kawasan TNGHS ditemukan 61 jenis mamalia, diantaranya terdapat
jenis-jenis endemik pulau Jawa dan jenis-jenis terancam punah. Jenis-jenis
terancam punah dapat dijumpai saat ini, antara lain: macan tutul jawa (Panthera
pardus melas), kucing hutan (Prionailurus bengalensis), owa jawa (Hylobates
moloch), surili (Presbytis comata), lutung (Tracypithecus auratus), ajag (Cuon
alpinus javanicus) dan sigung (Mydaus javanensis). Selain jenis-jenis mamalia
juga tercatat 244 jenis burung, dimana 32 jenis diantaranya adalah endemik Pulau
Jawa dengan penyebaran terbatas bahkan beberapa jenis terancam punah, yaitu
elang jawa (Nisaetus bartelsi), ciung-mungkal jawa (Cochoa azurea), celepuk
jawa (Otus angelinae), dan luntur gunung (Harpactes reinwardtii).
IV. METODE PENELITIAN
4. 1 Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2010 sampai dengan bulan
Januari 2011 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peta lokasi pengamatan
dapat dilihat pada Gambar IV-1.
Gambar IV-1 Lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Jalur pengamatan yang digunakan untuk memperoleh data mengenai
karakteristik habitat dan pola sebaran spasial macan tutul jawa di Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak dideskripsikan pada Tabel IV-1.
Cisoka
Cikaniki Cidahu
12
Tabel IV-1. Jalur penelitian macan tutul jawa di TNGHS Wilayah (Tipe Habitat) Areal Pengamatan Keterangan
Cisoka
(Hutan pegunungan bawah
sekunder)
Koridor
(panjang 3,1 km)
Gunung Endut
(panjang 4,3 km)
Kerapatan vegetasi tinggi, sebagian lahan
merupakan bekas tanaman Perhutani,
berbatasan langsung dengan pemukiman
warga.
Kerapatan vegetasi sedang, sebagian
wilayah merupakan punggungan tebing,
merupakan jalur perlintasan masyarakat
dan kerbau gembalaan
Citalahab-Cikaniki
(Hutan pegunungan bawah
primer)
Gunung Kendeng
(panjang 3,1 km)
Wates
(panjang 1,2 km)
Kelerengan 30-45 derajat, bagian bawah
dan tengah lereng didominasi oleh
rasamala (Altingia excelsa), sedangkan di
bagian atas lereng didominasi oleh paku
andam (Gleichenia linearis), dan terdapat
kantung semar (Nepenthes sp)
Kerapatan vegetasi rapat, terdapat Sungai
Wates atau yang dikenal dengan Sungai
Cikaniki, terdapat gua kecil di salah satu
sisi sungai yang dikenal dengan nama Goa
Macan
Cidahu
(Hutan pegunungan tengah)
Cibogo
Kawah Ratu
Kerapatan vegetasi tinggi, merupakan jalur
yang dikeramatkan sehingga jarang
dilewati oleh masyarakat, merupakan jalur
alternatif menuju puncak Perbakti.
Kerapatan vegetasi sedang, merupakan
jalur paling banyak dikunjungi di Resort
Cidahu karena merupakan jalur pendakian
dan jalur wisata kawah.
Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada keterwakilan tipe habitat dan
gangguan yang ada pada tipe habitat dan gangguan yang pertimbangannya
sebagaimana disajikan pada tabel IV-2.
Tabel IV-2. Lokasi penelitian dan pertimbangannya Lokasi Tipe habitat Pertimbangan
Cisoka Hutan pegunungan bawah
sekunder, lokasi ini merupakan
daerah hutan bekas Perhutani
yang berbatasan langsung dengan
pemukiman masyarakat desa
Wilayah ini merupakan lahan bekas
Perhutani yang kini dikelola oleh
masyarakat. Sebagian wilayah penelitian
berada di jalur lintas masyarakat dan
gembalaannya sehari-hari. Pada tanggal 5
Januari 2010, dua ekor macan tutul jawa
tertangkap camera trap tim monitoring
TNGHS.
Cikaniki-Citalahab Hutan pegunungan bawah primer,
merupakan daerah yang
berbatasan dengan kebun teh
nirmala, merupakan daerah
konsentrasi penelitian macan tutul
jawa di TNGHS
Daerah ini merupakan lokasi konsentrasi
penelitian bagi para peneliti macan tutul.
Lokasi ini terdiri dari beberapa bukit
yang tinggi yang memiliki punggungan-
punggungan menyerupai gunung kecil.
Lokasi ini sering menjadi tempat
ditemukannya jejak kaki macan tutul
jawa.
Cidahu Hutan pegunungan tengah Daerah ini merupakan daerah wisata
alam namun mulai tahun 2009 dijadikan
lokasi monitoring macan tutul jawa
TNGHS.
13
4. 2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning System
(GPS) Garmin eTrex, kompas, lampu senter, meteran, tali, alat pengukur waktu,
kamera digital, program software ArcGIS versi 9.3, minitab 4.1, dan buku
panduan lapang (field guide) mamalia Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Bahan yang digunakan adalah peta digital kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak, baterei alkaline, dan gipsum (untuk mencetak jejak kaki satwa).
4. 3 Metode Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Kegiatan Pendahuluan
Kegiatan pendahuluan yang dilakukan sebelum penelitian dilaksanakan
meliputi:
a. Orientasi (pengenalan) lapang, untuk penentuan sample plot pengamatan.
b. Studi pustaka, kegiatan untuk mendapatkan informasi – informasi
mengenai macan tutul jawa beserta habitatnya.
2. Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan adalah sebagai berikut:
a. Struktur dan komposisi vegetasi, sumber air, dan satwa mangsa.
b. Penyebaran macan tutul jawa di TNGHS.
3. Cara Pengumpulan Data
a. Populasi dan Penyebaran Macan Tutul Jawa beserta Satwa Mangsanya
Pengamatan terhadap tanda-tanda keberadaan macan tutul dan satwa
mangsanya dilakukan di sepanjang jalur (track) yang sudah tersedia dan
mencatat posisi GPS tanda-tanda keberadaan satwa yang ditemukan.
Keberadaan satwa diketahui melalui jejak, kotoran, dan tanda lain. Seluruh titik
posisi GPS satwa tersebut dimasukkan ke dalam software ArcGIS versi 9.3.
Jejak kaki yang ditemukan juga diukur untuk identifikasi individu. Pengamatan
di setiap jalur dilakukan tiga kali pengulangan dengan jeda satu hari per jalur.
b. Vegetasi Habitat
Analisa vegetasi dilakukan dengan cara metode garis berpetak (Gambar
IV-2). Petak 20 m x 20 m untuk pengamatan vegetasi tingkat pertumbuhan
pohon, petak berukuran 2 m x 2 m untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah, 5
14
m x 5 m untuk tingkat pancang dan 10 m x 10 m untuk tingkat tiang. Data yang
dikumpulkan untuk tingkat pohon dan tiang adalah jenis, diameter setinggi
dada, tinggi bebas cabang dan tinggi total. Untuk tingkat pancang, semai, dan
tumbuhan bawah yang dicatat adalah jenis tumbuhan dan jumlah individu
setiap jenis (Soerianegara dan Indrawan 1980).
Gambar IV-2 Bentuk plot pengamatan vegetasi menggunakan metode garis berpetak.
Keterangan:
a = petak pengamatan tingkat semai dan tumbuhan bawah
b = petak pengamatan tingkat pancang
c = petak pengamatan tingkat tiang
d = petak pengamatan tingkat pohon
c. Fungsi Habitat
Data mengenai fungsi habitat didapatkan melalui observasi lapangan
yang dilakukan bersamaan dengan pengamatan tanda-tanda macan tutul jawa
dan satwa mangsanya di sepanjang jalur penelitian. Data yang diambil adalah
deskripsi vegetasi, ada tidaknya goa, jenis vegetasi dominan, dan tanda-tanda
aktivitas macan tutul jawa.
d. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka, pengelola,
petugas lapangan, dan masyarakat setempat. Data sekunder yang diperlukan
adalah keberadaan satwa mangsa dan satwa pesaing, kondisi populasi macan
tutul jawa dan habitatnya, gangguan pernah dan potensial terjadi, interaksi
antara macan tutul jawa dengan masyarakat, serta kondisi penduduk di sekitar
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
15
4. 4 Analisis Data
a. Vegetasi Habitat
Data vegetasi yang didapat kemudian dilakukan pengolahan untuk
mendapatkan nilai-nilai kerapatan jenis (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi
relatif (DR), dan indeks nilai penting (INP) dengan rumus sebagai berikut:
Kerapatan jenis
Kerapatan (K) = jumlah indvidu : luas contoh
K. Relatif (KR) = (kerapatan suatu jenis : kerapatan seluruh jenis) x 100%
Frekuensi jenis
Frekuensi (F) = (Σ plot ditemukannya suatu jenis : Σ seluruh plot)
F. Relatif (FR) = (frekuensi suatu jenis : frekuensi seluruh jenis) x 100%
Dominansi jenis
Dominansi (D) = luas bidang dasar : luas contoh
D. Relatif (DR) = (dominansi suatu jenis : dominansi seluruh jenis) x 100%
Luas bidang dasar: 4
1LBDS .d
2
Dimana d = diameter setinggi dada (± 130 cm)
Indeks Nilai Penting (INP)
INP (tiang dan pohon) = KR + FR + DR
INP (pancang dan semai) = KR + FR
Bentuk cover (tempat berlindung) dipelajari dengan cara obervasi
langsung di lapangan. Bentuk cover macan tutul jawa dalam penelitian ini
dibedakan menurut bentuk dan fungsinya, yaitu sebagai tempat berlindung,
tempat minum, tempat berburu satwa mangsa, dan tempat istirahat.
Tabel IV-3 Fitur habitat macan tutul jawa
Fungsi
habitat
Fisik Vegetasi Tanda
aktivitas
macan tutul Mdpl Goa Pohon
tumbuhan
bawah
Jenis
dominan
1*) 2*) 3*) 4*) 4*) 5*) 6*)
*)Keterangan: 1. Diisi dengan fungsi habitat tersebut untuk macan tutul jawa (tempat berburu, berlindung, istirahat,
atau mengasuh anak) 2. Diisi dengan ketinggian tempat ditemukannya tanda-tanda macan tutul jawa menggunakan habitat
tersebut
3. Diisi dengan ada/tidaknya goa di habitat tersebut 4. Diisi dengan ciri khas vegetasinya seperti pohon dan tumbuhan bawah yang terdapat di habitat
tersebut
5. Diisi dengan jenis tumbuhan dominan di habitat tersebut 6. Diisi dengan bukti-bukti ditemukannya tanda aktivitas macan tutul jawa maupun satwa mangsanya
di habitat tersebut
16
b. Satwa Mangsa
Penghitungan tingkat perjumpaan (encounter rate) satwa dilakukan
dengan cara membagi jumlah titik perjumpaan tanda-tanda (jejak) satwa
mangsa yang ditemukan di jalur pengamatan dengan panjang setiap jalurnya.
ER = Ʃ jejak / panjang jalur
Untuk mengelompokkan kelas perjumpaan satwa mangsa digunakan
rumus sebaran frekuensi (Walpole 1982), dengan menentukan banyaknya
selang kelas yang diperlukan. Dalam penelitian ini kelas perjumpaan satwa
mangsa dibagi menjadi tiga yaitu rare, easy, common. Tentukan wilayah data
dengan menggunakan w = nilai maksimumi – nilai minimumi. Untuk
memperoleh lebar kelas digunakan formula c = w/jumlah kelas. Tentukan limit
bawah kelas bagi selang pertama, lalu tambahkan lebar kelas untuk
memperoleh limit atas kelas. Tentukan frekuensinya pada masing-masing kelas.
c. Keanekaragaman Jenis Satwa Mangsa
Data mangsa macan tutul jawa diolah sehingga memberikan informasi
keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) dan indeks kemiripan jenis komunitas
(IS). Adapun rumus H’ yaitu (Magurran 1988):
N
niln
N
niH'
Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
ni = jumlah individu pada jenis ke-i
N = jumlah total individu
Indeks kemiripan komunitas (similiarity index) antara dua tipe habitat
dihitung dengan rumus (Odum 1994):
BA
2CSI
Keterangan: SI = similiarity index
17
A = jumlah jenis dalam kedua habitat A
B = jumlah jenis dalam kedua habitat B
C = jumlah jenis yang sama pada kedua tipe habitat
Untuk mengetahui perbedaan nilai H’ di antara ketiga tipe habitat maka
dilakukan uji t. Hipotesis (H0) yang akan diuji adalah tidak adanya perbedaan
H’ antar tipe habitat dengan kaidah menerima H0 apabila nilai thitung kurang dari
ttabel pada taraf selang kepercayaan 95 %.
Ragam dari H’ dihitung menggunakan rumus (Magurran 1988):
2
22
2N
1S
N
N
niln
N
ni
N
niln
N
ni
VarH'
Keterangan: S = banyaknya jenis satwa mangsa pada suatu tipe habitat
Uji t untuk mengetahui signifikasi perbedaan antara dua H’
menggunakan rumus (Magurran 1988):
1/2
21
21
varH'varH'
H'H't
Untuk menghitung derajat bebas (degree of freedom/df) digunakan rumus
(Magurran 1998):
2
2
21
2
1
2
21
/NvarH'/NvarH'
varH'varH'df
d. Ketersediaan Air
Ketersediaan air dapat dilihat dari pengamatan langsung di lapangan
(permanen atau tidak permanen). Parameter yang diamati adalah bentuk
sumber air, ketersediaan sumber air (tersedia sepanjang tahun/tidak), dan tipe
habitat tempat ditemukannya sumber air tersebut.
18
Tabel IV-4. Sumber air di TNGHS
Sumber air Bentuk sumber air
Ketersediaan sumber air
Tipe habitat Tersedia
sepanjang
tahun
Tidak
tersedia
sepanjang
tahun
1*) 2*) 3*) 3*) 4*)
*) Keterangan: 1. Diisi dengan nama sumber air yang ditemukan
2. Diisi dengan bentuk sumber air, seperti sungai, aliran parit, tadah hujan, dan lain-lain
3. Diisi dengan jika tersedia sepanjang tahun, dan – jika tidak tersedia sepanjang tahun 4. Diisi dengan jenis tipe habitat tempat ditemukannya sumber air tersebut
e. Gangguan Habitat
Data Gangguan habitat didapat dari Balai Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak dan temuan di sepanjang lokasi pengamatan. Data tersebut
direkapitulasi ke dalam bentuk tabel IV-5
Tabel IV-5. Gangguan habitat di TNGHS
No Jenis gangguan
Tipe habitat
Hutan
pegunungan
bawah sekunder
Hutan
pegunungan
bawah primer
Hutan
pegununga
n tengah
1*) 2*) 2*) 2*)
*) Keterangan: 1. Diisi dengan jenis/nama gangguan yang ditemukan dari observasi lapang/data sekunder
2. Diisi dengan jika ditemukannya gangguan, dan – jika tidak ditemukannya gangguan
f. Kepadatan Relatif Macan Tutul Jawa
Pendugaan kepadatan relatif macan tutul jawa setiap jalur pengamatan
berdasarkan temuan jejak dihitung dengan persamaan:
AD
n
1i pi
Keterangan:
D = kepadatan relatif (individu/km2)
pi = jumlah individu pada pengamatan ke-i (individu)
A = luas jalur yang diteliti (km2)
g. Pola Sebaran Macan Tutul Jawa
Bentuk sebaran spasial macan tutul jawa ditentukan menggunakan nilai
indeks penyebaran (Ludwig dan Reynolds 1988) sebagai berikut:
Indeks Dispersion
ID = (S2
/ )
Keterangan: ID = Indeks penyebaran
x
19
S2 = Ragam populasi macan tutul jawa
= Jumlah rata-rata macan tutul jawa
ID = 1, maka satwa menyebar acak
ID < 1, maka satwa menyebar homogen
ID > 1, maka satwa menyebar kelompok/agregat
h. Hubungan antara Perbedaan Jumlah Aktivitas Macan Tutul Jawa di
Setiap Tipe Habitat
Analisis hubungan dilakukan antara aktivitas macan tutul jawa dengan
tipe habitat. Hal ini dimaksudkan untuk menyelidiki ada tidaknya hubungan
antara tipe habitat dengan jenis-jenis aktivitas yang dilakukan oleh macan tutul
jawa. Hubungan tersebut akan dianalisis menggunakan uji chi kuadrat.
Untuk mempermudah pengelompokan data mengenai macan tutul jawa,
maka setiap perjumpaan baik langsung atau tidak langsung yang
mengindikasikan keberadaan macan tutul jawa beserta aktivitasnya
dimasukkan ke dalam tabel isian.
Tabel IV-6. Tabel isian tanda aktivitas macan tutul jawa No Tanda
aktivitas
Frekuensi per tipe habitat
Hutan
pegunungan
bawah
sekunder
Hutan
pegunungan
bawah
primer
Hutan
pegunungan
tengah
1*)
2*) 2*) 2*)
*) Keterangan: 1. Diisi dengan tanda aktivitas macan tutul jawa yang ditemukan, seperti cakaran di tanah, feses, suara, dan lainnya
2. Diisi dengan jumlah (frekuensi) ditemukannya jenis tanda aktivitas macan tutul jawa
pada masing-masing tipe habitat
Setiap temuan yang ada dimasukkan ke dalam tabel sehingga dapat
diketahui frekuensi keseluruhan dari aktivitas macan tutul jawa pada suatu tipe
habitat. Hal ini juga digunakan untuk mengetahui karakteristik habitat yang
disukai oleh macan tutul jawa dengan indikasi bahwa tempat yang lebih
disukai akan lebih banyak digunakan oleh macan tutul jawa.
Parameter yang akan dianalisis menggunakan metode uji chi-kuadrat
adalah tipe aktivitas macan tutul jawa dengan tipe habitat yang digunakannya.
Langkah pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
H0: tidak ada perbedaan aktivitas di setiap tipe habitat
H1: adanya perbedaan aktivitas di setiap tipe habitat
x
20
Jika χ2 hitung kurang dari χ
2 tabel maka terima H0 pada taraf α = 5%,
dengan derajat bebas (v) = (b-1) (k-1) dimana b dan k masing-masing
menyatakan baris dan kolom.
χ 2
k
i 1 i
iiii
E
E-OE-O
Keterangan:
Oi = frekuensi hasil pengamatan ke-i
Ei = frekuensi harapan ke-i
Frekuensi harapan = (total kolom x total baris) : total pengamatan
i. Analisis Hubungan Jarak dari Sungai/Pemukiman terhadap
Penyebaran Spasial Macan Tutul Jawa
Parameter yang akan dianalisis menggunakan uji regresi pada minitab 4.2
adalah jumlah jejak kaki macan tutul jawa dengan jarak dari
sungai/pemukiman dan jumlah jejak satwa mangsa. Persamaan regresi linier
yang digunakan adalah sebagai berikut (Supranto 2004):
Y = k0 + k1a + k2b + ... + k12l + e
Keterangan: Y= jumlah jejak kaki macan
a= jarak dari pemukiman/sungai
b= jumlah jejak satwa mangsa
Patokan pengambilan keputusan (Sarwono 2006):
Jika P < 0,05 maka hubungan kedua variabel signifikan
Jika P > 0,05 maka hubungan kedua variabel tidak signifikan
Sifat korelasi akan menentukan arah dari korelasi. Keeratan korelasi
dapat dikelompokkan sebagai berikut (Nugroho 2005):
0,00 – 0,20 berarti korelasi memiliki keeratan sangat lemah
0,21 – 0,40 berarti korelasi memiliki keeratan lemah
21
0,41 – 0,70 berarti korelasi memiliki keeratan kuat
0,71 – 0,90 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat
0,91 – 0,99 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat sekali
1 berarti korelasi sempurna
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
5.1.1 Karakteristik Habitat Macan Tutul Jawa
5.1.1.1 Struktur dan Komposisi Vegetasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan pegunungan bawah sekunder
paling banyak ditemukan tanda-tanda keberadaan macan tutul jawa. Hal ini
diduga karena hutan ini memiliki tumbuhan bawah yang melimpah akibat bekas
perambahan. Tumbuhan bawah tersebut merupakan pakan satwa-satwa herbivora
yang menjadi mangsa macan tutul jawa. Macan tutul jawa akan mengikuti
keberadaan satwa mangsanya.
Tabel V-1. Deskripsi tipe habitat macan tutul jawa
Tipe habitat Struktur habitat Komposisi habitat
KR
macan
tutul jawa
(ind/km2)
Ʃ tanda
keberadaa
n macan
tutul jawa
Ʃ jenis
satwa
mangsa
Hutan
pegunungan
bawah
sekunder
Strata B
didominasi
pasang batu.
Strata C-D
didominasi
kiriung anak.
Strata E
didominasi cariu
dan ki lampeni.
63 jenis semai dan tumbuhan
bawah, 37 jenis pohon. Pohon
didominasi Entada
phaseoloides, Schima
walichii, Castanopsis
acuminatisima, dan Quercus
sundaica. Kerapatan lantai
hutan didominasi oleh rotan
dan ki lampeni. Pohon tidak
terlalu rapat, namun memiliki
keliling rata-rata 150 cm.
0.09 21 7
Hutan
pegunungan
bawah primer
Strata B-D
didominasi
kiriung anak.
Strata E
didominasi
hariang dan
cariang.
28 jenis semai dan tumbuhan
bawah, 6 jenis pohon.
Didominasi oleh kiriung
anak, Begonia hirtella,
Quercus sundaica,
Castanopsis argentea, dan
Homalomena rubra.
Kerapatan lantai hutan
didominasi oleh kokopian dan
hariang. Jarak antar pohon
renggang dan memiliki
keliling rata-rata 150 cm.
0.31 20 15
Hutan
pegunungan
tengah
Strata B-D
didominasi
saninten dan
pasang. Strata E
didominasi ki
tales dan hariang.
22 jenis semai dan tumbuhan
bawah, 23 jenis pohon.
Didominasi oleh Begonia
hirtella, Notaphoebe
umbelliflora, Castanopsis
argentea, dan Quercus
sundaica. Kerapatan lantai
hutan didominasi oleh
hariang. Jarak antar pohon
rapat dan memiliki keliling
rata-rata 120 cm.
0.08 12 13
23
Pada habitat hutan sekunder, ditemukan penutupan tumbuhan bawah yang
sangat melimpah. Hal ini dikarenakan habitat ini sedang mengalami pemulihan
setelah perambahan manusia. Dari hasil pengamatan, sebagian besar strata lantai
hutan didominasi oleh tumbuhan bawah dari jenis rotan (Daemonorops
melanochaetes) dengan kerapatan relatif 25,95% dan ki lampeni (Ardisia humilis)
dengan kerapatan relatif 14,29%. Akar-akar ki lampeni merupakan pakan bagi
babi hutan, yang merupakan satwa mangsa macan tutul jawa. Babi hutan
memakan akar, batang, dan cacing , yang berada di sekitar ki lampeni tersebut.
Gambar V-1 Hutan pegunungan bawah sekunder yang
ditata masyarakat setelah terjadi
perambahan.
Penutupan tajuk pohon besar seperti kiriung anak (Castanopsis
acuminatisima), pasang (Quercus sundaica), dan puspa (Schima walichii) juga
mempunyai peranan penting bagi macan tutul di hutan sekunder ini. Macan tutul
jawa membutuhkan thermal cover baginya untuk melindungi diri dari sinar
matahari. Kanopi hutan di wilayah ini di dominasi oleh ketiga jenis tersebut.
Cakaran macan tutul jawa di pohon (scratch) puspa pada jalur pengamatan
wilayah ini, mengindikasikan bahwa wilayah ini merupakan daerah jelajah macan
tutul jawa. Adapun hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah
dapat dilihat pada tabel V-2.
24
Tabel V-2. Hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan
pegunungan bawah sekunder
Jalur No Jenis
Σ KR FR INP Nama lokal Nama Ilmiah
Koridor
1 Rotan Daemonorops melanochaetes 47 14.29 11.67 25.95
2 Cariu Entada phaseoloides 35 10.64 5 15.64
3 Ki buluh Gironniera subaequalis 26 7.90 6.67 14.57
4 Malaya
30 9.12 5 14.12
5 Ki tai Dysoxylum amooroides 17 5.17 1.67 6.83
Gunung
Endut
1 Ki lampeni Ardisia humilis 18 14.29 8.62 22.91
2 Kiriung anak Castanopsis acuminatisima 14 11.11 6.90 18.01
3 Harendong bulu Clidemia hirta 11 8.73 6.90 15.63
4 Ki suit
9 7.14 6.90 14.04
5 Cariu Entada phaseoloides 7 5.56 3.45 9.00
Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di
hutan sekunder, ditemukan sebanyak 63 jenis tumbuhan. Jenis semai dan
tumbuhan bawah yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah rotan
(Daemonorops melanochaetes) dengan nilai 11,67 % dan ki lampeni (Ardisia
humilis) dengan nilai FR 8,62 %. Hal ini menerangkan bahwa ketersediaan
(availability) pakan satwa herbivora cukup baik dengan tersedianya tumbuhan
bawah yang tersedia hampir di seluruh plot pengamatan.
Pada tingkat pancang, ditemukan 53 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan hasil
analisis vegetasi yang mendominasi dengan INP tertinggi adalah ki buluh
(Gironniera subaequalis) dengan nilai 27,2 %, sedangkan KR tertinggi adalah
kiriung anak (Castanopsis acuminatisima) dengan nilai 16,97 %.
Tabel V-3. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di hutan pegunungan bawah
sekunder
Jalur No Jenis
Σ KR FR INP Nama lokal Nama Ilmiah
Koridor
1 Ki buluh Gironniera subaequalis 20 16.39 10.81 27.2
2 Ki kawat Gareinia rostrata 7 5.74 8.11 13.85
3 Rengang
7 5.74 5.41 11.14
4 Malaya
8 6.56 2.70 9.26
5 Saray Caryota mitis 8 6.56 2.70 9.26
Gunung
Endut
1 Kiriung anak Castanopsis acuminatisima 28 16.97 8.62 25.59
2 Puspa Schima walichii 22 13.33 10.34 23.68
3 Kopo Eugenia cymosa 13 7.88 6.90 14.78
4 Huru hejo Actinodaphne sp 10 6.06 5.17 11.23
5 Ki lampeni Ardisia humilis 8 4.85 3.45 8.30
Pada tingkat tiang ditemukan 30 jenis yang didominasi oleh kiriung anak
(Castanopsis acuminatisima) dengan INP sebesar 82,27 %.
25
Tabel V-4. Hasil analisis vegetasi tingkat tiang di hutan pegunungan bawah
sekunder
Jalur No Jenis
KR FR DR INP Nama lokal Nama Ilmiah
Koridor
1 Kiriung anak Castanopsis acuminatisima 27.59 12.5 28.38 68.47
2 Ki buluh Gironniera subaequalis 10.34 12.5 8.11 30.95
3 Mara Macaranga rhizinoides 6.90 8.33 7.00 22.23
4 Ki bancet Turpinia pomifera 3.45 4.17 5.42 13.03
5 Huru payung Actinodaphne areolata 3.45 4.17 5.23 12.84
Gunung
Endut
1 Kiriung anak Castanopsis acuminatisima 30 13 39.22 82.27
2 Ki sampang Evodia latifolia 10 13 11.49 34.53
3 Tali ketan
6.67 8.7 6.08 21.44
4 Kalapa cuing Cocos sp 6.67 8.7 4.12 19.48
5 Rengang 6.67 8.7 3.80 19.16
Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di hutan sekunder ditemukan 37 jenis
yang didominasi oleh kiriung anak (Castanopsis acuminatisima) dengan nilai DR
36,93 % dan puspa (Schima walichii) dengan nilai DR 46,91%.
Tabel V-5. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di hutan pegunungan bawah
sekunder
Jalur No Jenis
KR FR DR INP Nama lokal Nama Ilmiah
Koridor
1 Puspa Schima walichii 14.46 8.33 46.91 69.7
2 Kiriung anak Castanopsis acuminatisima 28.92 10.42 21.02 60.36
3 Rasamala Altingia excels 10.84 12.5 5.50 28.84
4 Pasang batu Quercus blumeana 4.82 8.33 5.24 18.4
5 Pasang Quercus sundaica 3.61 6.25 5.58 15.45
Gunung
Endut
1 Kiriung anak Castanopsis acuminatisima 56.38 22.22 36.93 115.5
2 Pasang Quercus sundaica 11.7 15.56 49.54 76.8
3 Saninten Castanopsis argentea 5.32 11.11 3.28 19.72
4 Puspa Schima walichii 3.19 6.67 1.02 10.88
5 Ki mokla Knema laurina 2.13 4.44 1.03 7.60
Vegetasi hutan sekunder yang mendominasi adalah kiriung anak
(Castanopsis acuminatisima), ki buluh (Gironniera subaequalis), mara
(Macaranga semiglobosa), ki bancet (Turpinia Montana), huru payung
(Neonauclea calycina), ki sampang (Evodia latifolia), tali ketan, kalapa cuing
(Cocos sp), dan rengang.
Hutan pegunungan bawah tersebar di hampir seluruh wilayah Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak, biasanya ditandai dengan adanya perkebunan
teh. Analisis vegetasi dilakukan di hutan pegunungan bawah primer di daerah
Cikaniki.
26
Tabel V-6. Hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan
pegunungan bawah primer
Jalur No Jenis
Σ KR FR INP Nama lokal Nama Ilmiah
Gunung
Kendeng
1 Kokopian Plectronia didyma 33 22.92 17.54 40.46
2 Kiriung anak Castanopsis acuminatisima 35 24.31 14.04 38.34
3 Cantigi Vaccinium varingifolium 14 9.72 12.28 22
4 Bubukuan Strobilanthes cernua 19 13.19 7.02 20.21
5 Huru hiris Litsea javanica 8 5.56 8.77 14.33
Wates
1 Hariang Begonia hirtella 12 14.81 6.67 21.48
2 Cariang Homalomena rubra 7 8.64 8.89 17.53
3 Bingbin Impomoea pescaprae 8 9.88 6.67 16.54
4 Bubukuan Strobilanthes cernua 7 8.64 6.67 15.31
5 Ki uncal Tristaniopsis whiteana 5 6.17 8.89 15.06
Hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan
pegunungan bawah, ditemukan sebanyak 28 jenis tumbuhan. Jenis semai dan
tumbuhan bawah yang memiliki tingkat penyebaran tertinggi hampir di seluruh
plot pengamatan adalah kokopian (Plectronia didyma ) dengan nilai FR 17,54 %.
Tabel V-7. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di hutan pegunungan bawah
primer
Jalur No Jenis
Σ KR FR INP Nama local Nama Ilmiah
Gunung
Kendeng
1 Kiriung anak Castanopsis acuminatisima 28 33.73 19.57 53.3
2 Huru hiris Litsea javanica 18 21.69 19.57 41.25
3 Gompong Polyscias sp 11 13.25 13.04 26.3
4 Pasang Quercus sundaica 9 10.84 15.22 26.06
5 Ipis kulit Decaspermum priticosum 6 7.23 13.04 20.27
Wates
1 Ki kawat Gareinia rostrata 12 34.29 26.09 60.37
2 Ki haji Dysoxylum macrocarpum 5 14.29 13.04 27.33
3 Kopo Eugenia cymosa 4 11.43 13.04 24.47
4 Ki uncal Tristanopsis whiteana 2 5.71 8.70 14.41
5 Sirowar 2 5.71 8.70 14.41
Pada tingkat pancang, ditemukan 15 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan hasil
analisis vegetasi yang mendominasi dengan KR tertinggi adalah ki kawat
(Gareinia rostrata) dengan nilai KR 34,29 %.
Tabel V-8. Hasil analisis vegetasi tingkat tiang di hutan pegunungan bawah
primer
Jalur No Jenis
KR FR DR INP Nama local Nama Ilmiah
Gunung
Kendeng
1 Kiriung anak Castanopsis acuminatisima 50 35.7 48.44 134.2
2 Puspa Schima walichii 27.78 35.7 26.78 90.27
3 Pasang Quercus sundaica 11.11 14.3 17.6 43
4 Huru hiris Litsea javanica 5.56 7.14 3.99 16.69
5 Gompong Polyscias sp 5.56 7.14 3.19 15.88
Wates
1 Rasamala Altingia excels 13.64 13.6 16.78 44.06
2 Kopo Eugenia cymosa 13.64 13.6 12.2 39.47
3 Huru gemblung Litsea resinosa 13.64 13.6 11.09 38.37
4 Pasang Quercus sundaica 9.09 9.09 12.71 30.89
5 Saninten Castanopsis argentea 9.09 9.09 10.6 28.78
27
Pada tingkat tiang ditemukan 15 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan hasil
analisis vegetasi di hutan pegunungan bawah yang mendominasi adalah kiriung
anak (Castanopsis acuminatisima) dengan nilai KR sebesar 48,44 %.
Tabel V-9. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di hutan pegunungan bawah
primer
Jalur No Jenis
KR FR DR INP Nama lokal Nama Ilmiah
Gunung
Kendeng
1 Kiriung anak Castanopsis acuminatisima 54.55 42.86 45.04 142.4
2 Pasang Quercus sundaica 18.18 28.57 33.16 79.91
3 Puspa Schima walichii 27.27 28.57 21.8 77.64
Wates
1 Pasang Quercus sundaica 21.43 25 34.74 81.17
2 Saninten Castanopsis argentea 28.57 25 23.93 77.5
3 Rasamala Altingia excels 21.43 25 26.81 73.24
4 Puspa Schima walichii 21.43 16.67 10.24 48.33
5 Kopo Eugenia cymosa 7.14 8.33 4.282 19.76
Dari hasil analisis vegetasi tingkat pohon di hutan pegunungan bawah
ditemukan 6 jenis tumbuhan. Jenis pohon yang memiliki FR tertinggi adalah
kiriung anak (Castanopsis acuminatisima) dengan nilai 42,86 %.
Gambar V-2 Hutan alam yang mengelilingi kebun teh di
hutan pegunungan bawah primer.
Hutan pegunungan tengah tersebar hampir di seluruh kawasan Salak, Taman
Nasional Gunung Halimun Salak, karena di wilayah ini terdapat banyak puncak
gunung yang mempunyai ketinggian rata-rata 1.200-1.500 mdpl. Pengambilan
sampling plot dilakukan di jalur Cibogo dan jalur Kawah Ratu. Hutan pegunungan
tengah didominasi oleh tumbuhan tinggi menjulang seperti pasang (Quercus
sundaica). Hutan ini memiliki banyak sungai-sungai kecil yang mengalir, namun
sebagian masih didominasi batuan-batuan vulkanik besar di sepanjang jalur
pengamatan dan sungai-sungainya.
28
Tabel V-10. Hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan
pegunungan tengah
Jalur No Jenis
Σ KR FR INP Nama local Nama Ilmiah
Cibogo
1 Ki tales Notaphoebe umbelliflora 152 32.07 11.32 43.39
2 Cacabean Jussieua erecta 106 22.36 18.87 41.23
3 Tepus Achasma megalochilos 63 13.29 13.21 26.5
4 Cariuh Entada phaseoloides 55 11.6 13.21 24.81
5 Hariang Begonia hirtella 46 9.70 13.21 22.91
Kawah
Ratu
1 Hariang Begonia hirtella 70 29.91 14.29 44.2
2 Bawang-bawangan Scirpus erectus 55 23.5 14.29 37.79
3 Harendong bulu Clidemia hirta 23 9.83 17.86 27.69
4 Cacabean Jussieua erecta 18 7.69 10.71 18.41
5 Kirinyuh Eupatorium pallescens 30 12.82 3.571 16.39
Hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan
pegunungan tengah, ditemukan sebanyak 22 jenis tumbuhan. Jenis semai dan
tumbuhan bawah yang memiliki KR tertinggi adalah ki tales (Notaphoebe
umbelliflora) sebesar 32,07 %.
Tabel V-11. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di hutan pegunungan tengah
Jalur No Jenis
Σ KR FR INP Nama local Nama Ilmiah
Cibogo
1 Puspa Schima walichii 3 25 33.33 58.33
2 Ki sireum Eugenia clavimyrtus 4 33.3 16.67 50
3 Ki manjeul Gordonia excels 3 25 16.67 41.67
4 Mumuncangan Ostodes sp 1 8.3 16.67 25
5 Mara Macaranga rhizinoides 1 8.3 16.67 25
Kawah Ratu 1 Ki sireum Eugenia clavimyrtus 1 20 50 70
2 Pasang Quercus sundaica 4 80 50 130
Pada tingkat pancang, ditemukan 6 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan hasil
analisis vegetasi yang mendominasi dengan FR tertinggi adalah Puspa (Schima
walichii) dengan nilai 33,33 %.
Tabel V-12. Hasil analisis vegetasi tingkat tiang di hutan pegunungan tengah
Jalur No Jenis
KR FR DR INP Nama local Nama Ilmiah
Cibogo
1 Beleketebe Sloanea sigun 23.81 20 20.81 64.62
2 Ki sireum Eugenia clavimyrtus 19.05 15 18.48 52.53
3 Mumuncangan Ostodes sp 9.52 15 15.43 39.95
4 Puspa Schima walichii 9.52 10 15.89 35.42
5 Ki hujan Engelhardia serata 9.52 10 10.55 30.08
Kawah Ratu
1 Ki hujan Engelhardia serata 23.53 20 26.37 69.9
2 Ki ronyok Cordyline sp 17.65 20 21.9 59.55
3 Ki huut Glochidion obscurum 17.65 20 18.45 56.1
4 Ki wates Eurya japonica 17.65 10 12.83 40.48
5 Ki sampan Evodia latifolia 11.76 10 14.93 36.69
29
Pada tingkat tiang ditemukan 15 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan hasil
analisis vegetasi di hutan pegunungan tengah yang mendominasi adalah ki hujan
(Engelhardia serata) dengan nilai DR sebesar 26,37 %.
Tabel V-13. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di hutan pegunungan tengah
Jalur No Jenis
KR FR DR INP Nama lokal Nama Ilmiah
Cibogo
1 Saninten Castanopsis argentea 21.33 16.33 33.66 71.32
2 Pasang Quercus sundaica 10.67 10.2 22.07 42.94
3 Beleketebe Sloanea sigun 12 14.29 9.58 35.87
4 Mumuncangan Ostodes sp 17.33 10.2 1.58 29.12
5 Puspa Schima walichii 5.33 6.12 6.33 17.79
Kawah Ratu
1 Pasang Quercus sundaica 42.86 33.33 29.83 106
2 Ki ronyok Cordyline sp 8.57 8.33 33.9 50.81
3 Ki huut Glochidion obscurum 17.14 20.83 7.2 45.18
4 Puspa Schima walichii 8.57 8.33 22.79 39.69
5 Ki wates Eurya japonica 8.57 8.33 2.00 18.9
Dari hasil analisis vegetasi tingkat pohon di hutan pegunungan tengah
ditemukan 23 jenis tumbuhan. Jenis pohon yang memiliki FR tertinggi adalah
pasang (Quercus sundaica) dengan nilai FR sebesar 33,33 %.
Hutan pegunungan tengah memiliki tanda aktivitas dan kelimpahan relatif
macan tutul jawa yang paling kecil. Hal ini diduga karena ketersediaan tumbuhan
bawah yang lebih sedikit dan jarak antar pohon rapat sehingga mempersulit
mobilitas serta pakan satwa mangsa di lantai hutan. Ketersediaan satwa mangsa
yang ditemukan sangat berpengaruh terhadap kelimpahan relatif macan tutul jawa
di habitat tersebut.
5.1.1.2 Ketersediaan Cover
Hasil observasi langsung selama penelitian terdapat empat fungsi habitat
macan tutul jawa, yaitu tempat berburu mangsa, tempat berlindung, tempat
istirahat, dan tempat mengasuh anak (tabel V-14).
30
Tabel V-14. Fitur habitat macan tutul jawa Fungsi
habitat
Fisik Vegetasi
Mdpl Goa Pohon Tumbuhan bawah Jenis dominan
Tempat
berburu
(mengintai
mangsa)
560-
1200
Tidak
ada
Kerapatan pohon
tidak terlalu rapat
(14.46- 56.38%).
Semak dan tumbuhan bawah
lainnya rapat (>14.29),
terdapat areal yang sedikit
lebih terbuka dari areal
lainnya.
Tidak ada jenis
dominan
tertentu
Tempat
berlindung
600-
1200
Tidak
ada
Kerapatan
pohon besar yang
lebar (21.33-
42.86%).
Tidak ada ciri khusus untuk
tumbuhan bawah yang
digunakan.
Quercus
blumeana,
Castanopsis
acuminatisima,
Schima walichii.
Tempat
istirahat
1100 Ada Kerapatan Pohon
besar (>50%),
bambu.
Kerapatan tumbuhan bawah
tinggi (>32.07%) dan sedikit
tertutup.
Bamboosa sp,
Quercus
sundaica.
Tempat
mengasuh
anak
850 ada Tidak ada ciri
khusus kerapatan
vegetasi.
Tidak ada ciri khusus
tumbuhan bawah yang
digunakan
Tidak ada jenis
dominan
tertentu.
Cover merupakan salah satu komponen habitat penting bagi macan tutul
jawa, yaitu untuk bersembunyi dan mengintai mangsanya (Bailey 1984 dalam
Gunawan 2010). Cover yang dapat teridentifikasi adalah tajuk pohon, goa, semak,
rumpun bambu, dan batang pohon seperti rasamala, puspa, dan pasang. Macan
tutul jawa dapat hidup dengan baik di hutan alam maupun hutan tanaman
(Gunawan 1988). Hal ini menunjukkan bahwa macan tutul jawa tidak memilih
jenis apa yang menjadi komposisi dari suatu area hutan, tetapi macan tutul lebih
memanfaatkan kebutuhan vegetasi yang melindungi dirinya dari panas matahari.
Vegetasi yang menjadi faktor pendukung habitat utama bagi macan tutul
jawa adalah tumbuhan bawah dan tingkat strata pohon. Tumbuhan bawah secara
langsung akan berhubungan dengan kebutuhan pakan macan tutul jawa di habitat
tersebut, karena sebagian besar satwa mangsa macan tutul merupakan satwa
herbivora. Lebar atau tidaknya tajuk dalam suatu vegetasi sangat mempengaruhi
habitat macan tutul jawa. Kebutuhan akan pelindung terik sangat besar bagi
macan tutul jawa untuk beritirahat (Gunawan 2010). Vegetasi juga sangat besar
peranannya sebagai faktor pendukung aktivitas mengintai satwa mangsa bagi
macan tutul jawa.
31
Gambar V-3 a) Tajuk pohon merupakan cover thermal yang sangat penting
untuk satwa; b) Batang pohon kiriung anak (Castanopsis
acuminatisima) yang berlubang pada bagian bawahnya; c)
Semak tempat ditemukannya jejak macan tutul jawa dan babi
hutan; dan d) Aliran sungai menuju Goa Macan di hutan pegunungan bawah primer.
Tempat berburu (mengintai mangsa) bagi macan tutul jawa memiliki ciri
khas terdapat tumbuhan bawah yang rapat tapi dengan kerapatan pohon yang tidak
terlalu rapat. Hal ini memudahkan macan tutul jawa untuk bergerak memburu
mangsanya. Tempat berlindung bagi macan tutul jawa memiliki ciri khas
penutupan tajuk yang lebar untuk keperluan berteduh sementara dari terik sinar
matahari dan hujan. Tempat istirahat bagi macan tutul jawa memiliki ciri khas
suatu wilayah yang tertutup dan aman dari gangguan. Tempat istirahat macan
tutul jawa memiliki kerapatan tumbuhan bawah yang tinggi. Vegetasi yang dipilih
biasanya adalah rumpun bambu karena rimbun dan tertutup sehingga dapat
terhindar dari gangguan di sekitarnya. Tempat mengasuh anak memiliki ciri khas
tempat yang lebih tinggi seperti punggungan bukit, yang sulit dijangkau oleh
satwa dan macan tutul jawa lainnya (Gunawan 1987). Biasanya tempat mengasuh
anak banyak dilakukan di goa yang dekat dengan aliran sungai.
5.1.1.3 Ketersediaan Mangsa
a
d c
b
32
Satwa mangsa bagi macan tutul jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak yang ditemukan selama penelitian adalah sebanyak 17 jenis. Pada hutan
sekunder ditemui 8 jenis, pada hutan pegunungan bawah ditemui 15 jenis, dan
pada hutan pegunungan tengah ditemukan 13 jenis. Adapun tingkat perjumpaan
satwa mangsa macan tutul jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dapat
dilihat pada tabel 16.
Tabel V-15. Tingkat perjumpaan satwa mangsa di berbagai tipe habitat
Nama lokal Nama Ilmiah
Encounter rate (ind/km)
Ket*) Hutan
sekunder
Hutan
pegunungan
bawah
Hutan
pegunungan
tengah
Anjing hutan Cuon alpinus - - 0.12 J
Ayam hutan Gallus gallus 0.27 2.79 - JSKLF
Babi hutan Sus scrofa 1.49 2.33 0.71 JRL
Tupai Tupaia javanica - - 0.35 L
Kancil Tragulus javanicus 0.27 0.93 0.12 J
Kijang Muntiacus muntjak - 0.70 0.35 JF
Kucing hutan Prionailurus bengalensis 0.81 1.16 0.71 J
Landak Hystrix javanica - 0.47 - JS
Lingsang Prionodon linsang - 0.23 - J
Lutung Tracypithecus auratus 0.27 1.63 0.82 LB
Musang luwak Paradoxurus hermaproditus - 1.86 0.59 JFB
Owa jawa Hylobates moloch 0.14 0.23 0.47 LB
Puyuh gonggong Arbrophilla javanica - 1.40 0.35 JK
Sigung Mydaus javanensis - 1.86 0.47 JL
Surili Presbytis comata - 0.47 0.47 L
Tikus duri jawa Maxomys bartelsii - 0.23 - J
Trenggiling Manis javanica 0.27 0.70 0.12 JS *) Keterangan:
J= Jejak kaki
S= Sungkuran
K= Korehan
L= Perjumpaan langsung
F= Kotoran
R= Sarang
B= Sisa makanan
Menurut Anonim (1978) dalam Ahmad (2007), jenis mangsa yang dimakan
oleh macan tutul jawa adalah sigung, kelelawar, lutung, surili, kijang, ayam hutan,
merak, pelanduk, kancil dan satwa mangsa lain. Jenis satwa mangsa yang paling
sering dijumpai di ketiga tempat tersebut adalah babi hutan (Sus scrofa). Babi
hutan merupakan salah satu satwa mangsa macan tutul yang mudah dijumpai di
setiap lokasi penelitian.
33
Gambar V-4 Tingkat perjumpaan satwa mangsa di TNGHS.
Macan tutul jawa, seperti halnya kucing besar lainnya merupakan satwa
yang oportunis, yaitu satwa yang menggunakan peluang ketika memangsa pakan
yang tersedia pada saat itu juga. Hal ini menyebabkan semakin mudahnya suatu
mangsa ditemukan, kemungkinan besar itu adalah satwa mangsa yang sering
menjadi pakan macan tutul.
Tabel V-16. Pengelompokan perjumpaan satwa mangsa di berbagai tipe habitat
Tipe Habitat Selang kelas Frekuensi
jenis
Kelompok kelas
Hutan pegunungan bawah sekunder
0.14-0.63 5 Rare
0.74-1.23 1 Easy
1.34-1.83 1 Common
Hutan pegunungan bawah primer
0.23-1.12 8 Rare
1.13-2.02 5 Easy
2.03-2.92 2 Common
Hutan pegunungan tengah
0.12-0.41 6 Rare
0.42-0.71 6 Easy
0.72-1.01 1 Common
Berdasarkan data tingkat perjumpaan, masing-masing satwa mangsa dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu rare (jarang ditemukan), easy (mudah
ditemukan), dan common (biasa ditemukan). Pada hutan sekunder, rata-rata
tingkat perjumpaan satwa mangsa adalah 0,21 individu per kilometer. Satwa
mangsa di hutan sekunder yang termasuk ke dalam tingkat rare adalah ayam
hutan (Gallus gallus), kancil (Tragulus javanicus), lutung (Tracypithecus auratus),
owa jawa (Hylobates moloch), dan trenggiling (Manis javanica), sedangkan untuk
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
An
jing
hu
tan
Aya
m h
uta
n
Bab
i hu
tan
Baj
ing
Kan
cil
Kija
ng
Ku
cin
g h
uta
n
Lan
dak
Lin
gsan
g
Lutu
ng
Mu
san
g
Ow
a ja
wa
Pu
yuh
go
ngg
on
g
Sigu
ng
Suri
li
Tiku
s
Tren
ggili
ng
Enco
un
ter
rate
Satwa Mangsa
Tingkat Perjumpaan Satwa Mangsa di TNGHS
Hutan Pegunungan BawahSekunder
Hutan Pegunungan BawahPrimer
Hutan Pegunungan Tengah
34
tingkat easy terdapat kucing hutan (Prionailurus bengalensis) serta pada tingkat
common terdapat babi hutan (Sus scrofa).
Di hutan pegunungan bawah, rata-rata tingkat perjumpaan satwa mangsa
adalah 1 individu per kilometer. Satwa mangsa di hutan sekunder yang termasuk
ke dalam tingkat rare adalah kancil (Tragulus javanicus), kijang (Muntiacus
muntjak), landak (Hystrix javanica), lingsang (Prionodon linsang), owa jawa
(Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), tikus duri jawa (Maxomys
bartelsii), dan trenggiling (Manis javanica), sedangkan untuk tingkat easy
terdapat kucing hutan (Prionailurus bengalensis), lutung (Tracypithecus auratus),
musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), puyuh gonggong (Arbrophilla
javanica), dan sigung (Mydaus javanica), serta pada tingkat common terdapat
ayam hutan (Gallus gallus) dan babi hutan (Sus scrofa). Di hutan pegunungan
tengah, rata-rata tingkat perjumpaan satwa mangsa adalah 0,33 individu per
kilometer. Satwa mangsa di hutan sekunder yang termasuk ke dalam tingkat rare
adalah anjing hutan/ajak (Cuon alpinus), tupai (Tupaia javanica), kancil
(Tragulus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak), trenggiling (Manis javanica)
dan puyuh gonggong (Arbrophilla javanica), sedangkan untuk tingkat easy
terdapat babi hutan (Sus scrofa), kucing hutan (Prionailurus bengalensis), musang
luwak (Paradoxurus hermaphroditus), owa jawa (Hylobates moloch), sigung
(Mydaus javanica), dan surili (Presbytis comata) , serta pada tingkat common
terdapat lutung (Tracypithecus auratus).
35
Gambar V-5 Tanda-tanda keberadaan satwa mangsa macan tutul
jawa: a) Jejak kaki kucing hutan (Prionailurus
bengalensis); b) Kotoran musang luwak
(Paradoxurus hermaphroditus); c) Sisa makanan
surili (Presbytis comata); dan d) Sarang babi hutan
(Sus scrofa).
Pada kotoran macan tutul di hutan pegunungan bawah ditemukan substrat
kotoran berupa rambut babi hutan, rambut (duri) landak, dan gigi primata. Satwa-
satwa mangsa ini tersebar di seluruh lokasi penelitian dan merupakan mamalia
darat sehingga akan memudahkan macan menangkapnya. Di hutan sekunder
ditemukan kotoran macan berisi substrat rambut babi hutan. Hal ini mendukung
data penelitian juga karena babi hutan merupakan satwa mangsa yang paling
banyak ditemukan di lokasi tersebut dan beberapa jejak kelompok babi hutan di
sepanjang jalur pengamatan juga terdapat jejak macan tutul secara bersamaan.
Selama penelitian diketahui bahwa satwa yang benar-benar diketahui menjadi
pakan macan tutul jawa adalah babi hutan (Sus scrofa), landak (Hystrix javanica),
dan surili (Presbytis comata).
Tabel V-17. Hubungan antara indeks keanekaragaman (H’) satwa mangsa dengan
kepadatan relatif (KR) macan tutul jawa
Tipe Habitat
Jumlah
jenis
mangsa
potensial
H' Mangsa utama
(Karanth & Mervin 1995)
KR
macan
tutul
jawa
Hutan pegunungan
bawah sekunder 7 1.62 4 (babi hutan, kancil, lutung, owa jawa) 0.09
Hutan pegunungan
bawah primer 15 2.46 6 (babi hutan, kancil, kijang, lutung, owa jawa, surili) 0.31
Hutan pegunungan
tengah 13 2.42 6 (babi hutan, kancil, kijang, lutung, owa jawa, surili) 0.08
a b
c d
36
Dari Tabel V-17 tampak tidak adanya hubungan antara keanekaragaman
jenis dan kekayaan jenis satwa mangsa dengan kelimpahan relatif macan tutul
jawa di suatu tipe habitat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prater (1965) dalam
Hoogerwerf (1970) bahwa macan tutul akan membunuh dan makan apa saja yang
mudah ditangkapnya. Faktor penting yang mempengaruhi kelimpahan relatif
macan tutul jawa berarti adalah ketersediaan (availability) satwa mangsa di suatu
tipe habitat. Semakin mudah dan melimpah satwa tersebut dijumpai bisa menjadi
indikasi keberadaan macan tutul di suatu tempat. Hal ini dikarenakan macan tutul
termasuk satwa oportunis, artinya dia akan menggunakan peluang mendapatkan
mangsa dari apa yang paling melimpah terdapat di daerah tersebut.
Tabel V-18. Perbandingan kepadatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan
availability (A) satwa mangsa di masing-masing tipe habitat
No Nama satwa mangsa
Tipe habitat
Hutan pegunungan
bawah sekunder
Hutan
pegunungan
bawah primer
Hutan pegunungan
tengah
KR FR A KR FR A KR FR A
1 Cuon alpinus - - - - - - 0.04 4.17 4.207
2 Gallus gallus 0.09 12.48 12.57 0.93 12.82 13.8 - - -
3 Sus scrofa 0.5 37.45 37.95 0.78 12.82 13.6 0.24 16.67 16.91
4 Tupaia javanica - - - - - - 0.12 4.17 4.287
5 Tragulus javanicus 0.09 6.24 6.332 0.31 7.69 8 0.04 4.17 4.207
6 Muntiacus muntjak - - - 0.23 2.56 2.8 0.12 12.5 12.62
7 Prionailurus bengalensis 0.27 18.73 19 0.39 7.69 8.08 0.24 4.17 4.407
8 Hystrix javanica - - - 0.16 2.56 2.72 - - -
9 Prionodon linsang - - - 0.08 2.56 2.64 - - -
10 Tracypithecus auratus 0.09 6.24 6.332 0.54 5.13 5.67 0.28 4.17 4.447
11 Paradoxurus hermaproditus - - - 0.62 7.69 8.31 0.2 16.67 16.87
12 Hylobates moloch 0.05 6.24 6.287 0.08 5.13 5.21 0.16 8.33 8.493
13 Arbrophilla javanica - - - 0.47 10.26 10.7 0.12 4.17 4.287
14 Mydaus javanensis - - - 0.62 12.82 13.4 0.16 4.17 4.327
15 Presbytis commata - - - 0.16 5.13 5.28 0.16 12.5 12.66
16 Maxomys bartelsii - - - 0.08 2.56 2.64 - - -
17 Manis javanica 0.09 12.48 12.57 0.23 2.56 2.8 0.04 4.17 4.207
Menurut Seidensticker (1976) dalam Gunawan (1988), macan tutul lebih
sering memangsa satwa ungulata dan primata dengan ukuran berat badan antara
25-50 kg. Satwa ungulata yang tersedia melimpah di TNGHS adalah babi hutan,
kancil, dan kijang, sedangkan primata yang tersedia melimpah adalah lutung,
surili, dan owa jawa.
Berdasarkan perbandingan tiga tipe habitat sebagai lokasi pengambilan
contoh, juga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara
semua pasangan H’ satwa mangsa yang diperbandingkan.
37
Tabel V-19. Rekapitulasi uji t perbandingan indeks keanekaragaman (H’) satwa
mangsa macan tutul jawa
Tipe Habitat
Hutan
Pegunungan
Bawah Sekunder
Hutan
Pegunungan
Bawah Primer
Hutan
Pegunungan
Tengah
Hutan Pegunungan Bawah Sekunder -5.50092463* -5.441039*
Hutan Pegunungan Bawah Primer
0.5586362*
Hutan Pegunungan Tengah
Keterangan: *) non-significant
Berdasarkan tabel V-19, tidak ada perbedaan yang signifikan antara
keanekaragaman jenis satwa mangsa macan tutul jawa di semua tipe habitat. Hal
ini berarti macan tutul jawa tidak memiliki preferensi terhadap jenis satwa tertentu,
artinya macan tutul jawa dapat memakan jenis satwa mangsa apa saja. Kenyataan
tersebut didukung pula oleh perhitungan indeks kesamaan jenis (similiarity index)
dengan menggunakan indeks kesamaan Sorensen.
Tabel V-20. Rekapitulasi indek kemiripan komunitas (IS) satwa mangsa macan
tutul jawa
Tipe Habitat
Hutan
Pegunungan
Bawah Sekunder
Hutan
Pegunungan
Bawah Primer
Hutan
Pegunungan
Tengah
Hutan Pegunungan Bawah Sekunder
0.636 0.700
Hutan Pegunungan Bawah Primer
0.393
Hutan Pegunungan Tengah
Nilai indeks kemiripan komunitas yang rendah menunjukkan adanya
perbedaan yang struktur jenis-jenis penyusun suatu komunitas (Gunawan 2010).
Hal ini berarti macan tutul jawa dapat memakan jenis apa saja, selama satwa
mangsa tersebut tersedia dan mudah didapat.
5.1.1.4 Ketersediaan Air
Macan tutul jawa memanfaatkan sumber air untuk berburu mangsa karena
mangsanya umumnya berkumpul di sekitar sumber air. Di lokasi penelitian
terdapat tujuh sumber air yang terdapat pada lintasan jalur pengamatan. Sumber
air yang ditemukan berbentuk sungai, rawa, air terjun, dan rembesan goa.
38
Tabel V-21. Sumber air di TNGHS
Sumber air Bentuk sumber air
Ketersediaan sumber air
Tipe habitat Tersedia
sepanjang
tahun
Tidak
tersedia
sepanjang
tahun
Sungai Cikaniki Sungai - Hutan pegunungan bawah
primer
Sungai Pameungpeuk Sungai - Hutan pegunungan tengah
Curug macan Air terjun, rembesan goa - Hutan pegunungan bawah
primer
Sungai Cibogo Sungai - Hutan pegunungan tengah
Parit Ciparay Aliran parit - Hutan pegunungan bawah
sekunder
Rawa Cibeunteur Rawa - Hutan pegunungan bawah
sekunder
Sungai Ciherang Sungai - Hutan pegunungan tengah
Keterangan : (ada) - (tidak ada)
Sungai Cikaniki, Sungai Pameungpeuk, Sungai Ciherang, Sungai Cibogo,
dan Sungai Ciparay termasuk ke dalam sumber air yang tersedia sepanjang tahun.
Hal ini karena sumber air tersebut berada di kawasan hulu yang curah hujannya
cukup tinggi. Sungai-sungai tersebut masih terlindungi karena berada di kawasan
rimba yang tumbuhan sekitarnya masih terjaga.
Gambar V-6 Sumber air TNGHS di lokasi penelitian: a) Curug Macan; b)
Aliran menuju rawa Cibeunteur; c) Sungai Pameungpeuk; dan
d) Sungai Cibogo.
Curug macan merupakan sumber air yang tidak tersedia sepanjang tahun.
Curug macan menjadi sumber air ketika musim penghujan, yang merupakan
a b
c d
39
tampungan dari rembesan air hujan dari atas goa dan luapan sungai Cikaniki yang
berarus deras selama musim penghujan.
Penelitian di hutan pegunungan bawah sekunder menemukan jejak kaki
kucing hutan dan babi hutan di sepanjang tepi aliran parit. Di hutan pegunungan
bawah primer ditemukan jejak kaki macan tutul jawa berukuran 5 cm x 4 cm dan
7 cm x 6 cm beriringan, yang diduga merupakan jejak kaki macan tutul jawa
betina dan anaknya. Perilaku mengasuh anak oleh macan tutul jawa di sekitar
sumber air diduga karena di tempat tersebut akan dengan mudah mengintai buruan
untuk memberi makan anak macan tutul jawa tanpa meninggalkan anaknya lebih
jauh ketika berburu.
5.1.1.5 Gangguan Habitat
Gangguan habitat yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
selama tahun 2007-2009 adalah penambangan emas tanpa ijin, penebangan liar,
perambahan hutan, pengambilan kayu bakar, pendakian tanpa ijin, pencurian
tumbuhan khas, dampak wisata alam yang tidak terorganisir dengan baik, dan
penggembalaan ternak di kawasan hutan. Menurut Ahmad (2007) perburuan,
kebakaran hutan, kegiatan pariwisata, dan kegiatan lain di dalam hutan juga dapat
mengganggu macan tutul jawa.
Tabel V-22. Gangguan habitat di TNGHS
No Jenis gangguan
Tipe habitat
Hutan
pegunungan
bawah sekunder
Hutan
pegunungan
bawah primer
Hutan
pegunungan
tengah
1 Penambangan emas tanpa ijin - -
2 Penebangan liar - -
3 Perambahan hutan
4 Pengambilan kayu bakar - -
5 Pendakian tanpa ijin - -
6 Pencurian tumbuhan khas - -
7 Dampak wisata alam massal -
8 Penggembalaan hewan ternak - -
Keterangan : (ada) - (tidak ada)
Selama penelitian, ditemukan gangguan terhadap hutan di setiap lokasi. Di
hutan sekunder Cisoka ditemukan pembukaan lahan oleh masyarakat dengan cara
mematikan beberapa pohon yang akan ditebang (di blok Gunung Pari menuju
Gunung Endut). Masyarakat Cisoka menggembalakan ternaknya setiap pagi dan
sore hari melewati hutan. Hal ini menyebabkan kerusakan tumbuhan bawah di
sekitar jalur lalu lintas satwa serta menyebabkan tanah menjadi gembur dan
40
sedikit berair. Bentuk topografi hutan sekunder Cisoka memiliki lereng-lereng
terjal yang gundul sehingga apabila tidak direhabilitasi akan terjadi erosi tanah.
Longsor hebat pernah terjadi di Cisoka pada tahun 2001 dan 2009.
Di hutan pegunungan bawah primer Cikaniki-Citalahab ditemukan kayu
gelondongan yang belum sempat diangkut. Di sekitar Gunung Kendeng
ditemukan tonggak bekas tebangan. Hutan Cikaniki-Citalahab merupakan
kawasan yang dikelilingi oleh beberapa perkampungan dan kebun teh, sehingga
memiliki akses yang mudah bagi masyarakat untuk masuk ke hutan.
Gambar V-7 Gangguan hutan di TNGHS: a) Wisata alam yang tidak
terorganisir dengan baik; b) Penebangan liar; c)
Perambahan hutan; dan d) Penggembalaan liar.
Di hutan pegunungan tengah blok Kawah Ratu ditemukan tonggak bekas
tebangan pohon sebanyak lima buah yang berdiameter ± 25 cm. Blok Kawah Ratu
merupakan daerah wisata alam yang ramai dikunjungi wisatawan lokal, terutama
pada hari libur.
Gangguan habitat yang utama bagi macan tutul jawa adalah perambahan
hutan dan wisata alam secara massal. Perambahan hutan menyebabkan luas
habitat bagi satwaliar semakin menyempit (Lestari 2006). Wisata alam secara
massal menciptakan keramaian yang menyebabkan macan tutul jawa semakin
terdesak ke dalam hutan yang lebih sepi, hal ini dikarenakan macan tutul jawa
termasuk satwa yang sensitif terhadap kehadiran manusia. Pada hutan pegunungan
tengah ditemukan jejak kaki macan tutul yang membelok dari lintasan jalur
a b
c d
41
menuju semak dan ditemukannya bekas jejak kaki macan tutul jawa yang terinjak
oleh sepatu pengunjung. Hal ini membuktikan bahwa habitat macan tutul jawa
telah dimasuki aktivitas manusia yang dapat mengganggunya.
5.1.2 Tingkat Perjumpaan dan Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa
5.1.2.1 Tingkat Perjumpaan Macan Tutul Jawa
Di seluruh lokasi pengamatan ditemukan tanda-tanda keberadaan macan
tutul jawa berupa jejak kaki, kotoran, suara, cakaran di tanah, dan cakaran di
batang pohon. Identifikasi jejak kaki menghasilkan jumlah individu yang
ditemukan di setiap tipe habitat yang diamati (tabel V-23).
Tabel V-23. Jumlah individu macan tutul jawa di masing-masing tipe habitat
No Tipe vegetasi dan jalur Jumlah kontak Individu/jalur
A. Hutan Pegunungan Bawah Sekunder
1 Koridor 17 2 ekor
2 Gunung Endut-Pari 4 1 ekor
B. Hutan Pegunungan Bawah Primer
1 Gunung Kendeng 13 2 ekor
2 Wates 7 2 ekor
C. Hutan Pegunungan Tengah
1 Cibogo 8 1 ekor
2 Kawah Ratu 4 2 ekor
Jumlah 53 8 individu berbeda
*Pengidentifikasian individu Panthera pardus melas sederhana berdasarkan pada perbedaan ukuran jejak kaki dan
wilayahnya
Hasil identifikasi jejak kaki menemukan delapan individu macan tutul yang
berbeda. Identifikasi dilakukan melalui perbedaan ukuran jejak kaki dan jarak
wilayah penelitian yang satu dengan yang lainnya. Di hutan pegunungan bawah
sekunder ditemukan jejak kaki berukuran 6 cm x 5 cm dan berukuran 8 cm x 7 cm.
Di hutan pegunungan bawah primer terdapat empat buah jejak kaki, yaitu 6 cm x
5,5 cm, 7 cm x 6 cm, 8 cm x 7 cm, dan 5 cm x 4 cm. Di hutan pegunungan tengah
ditemukan dua buah jejak kaki, yaitu 6,5 cm x 6 cm dan 9,5 cm x 8,5 cm.
42
Gambar V-8 Jejak kaki macan tutul jawa di jalur
Koridor Cisoka.
Menurut panjang jalur yang digunakan, tingkat perjumpaan macan tutul
tertinggi di hutan pegunungan bawah primer yaitu di blok Cikaniki-Citalahab.
Sementara itu, tingkat perjumpaan macan tutul terendah di hutan pegunungan
tengah yaitu di daerah blok Cidahu.
Tabel V-24. Tingkat perjumpaan dan kelimpahan relatif macan tutul jawa Tipe Habitat Encounter rate (ind/km) Kepadatan relatif (ind/km2)
Hutan Pegunungan Bawah Sekunder 0.27 0.09
Hutan Pegunungan Bawah Primer 0.93 0.31
Hutan Pegunungan Tengah 0.24 0.08
Selain jejak kaki, selama penelitian juga ditemukan tanda-tanda aktivitas
macan tutul jawa lainnya yaitu kotoran dan bekas cakaran. Menurut Eisenberg dan
Lockhart (1972) tanda tersebut merupakan cara macan tutul jawa
mempertahankan daerah teritori.
Gambar V-9 Tanda aktivitas macan tutul jawa: a) Scrape (cakaran di tanah); b) Kotoran; dan c)
Scratch (cakaran di batang pohon).
Untuk mengetahui wilayah territorial macan tutul digunakan tanda-tanda
pada aktivitas membuang kotoran, scrape (cakaran di tanah) dan scratch (cakaran
di batang pohon).
a b c
43
Untuk mencari ada atau tidaknya keterkaitan tersebut digunakanlah uji
statistik chi square. Hipotesis yang digunakan adalah:
Ho Tidak ada hubungan antara tanda-tanda aktivitas macan tutul jawa dengan
tipe habitat
H1 Ada hubungan antara tanda-tanda aktivitas macan tutul jawa dengan tipe
habitat
Pengujian dilakukan dengan melibatkan tiga tipe habitat, aktifitas yang
teramati, dan penggunaan proporsi areal pengamatan selama penelitian.
Tabel V-25. Frekuensi harapan tanda-tanda aktivitas macan tutul jawa di berbagai
tipe habitat
Tipe habitat
Jumlah
aktivitas
teramati
(ni=oi)
Proporsi areal
pengamatan (ai)
Harapan
jumlah
aktivitas
(Σ ni. ai = ei)
oi-ei (oi-ei)2/ei
Hutan Sekunder 21 0.224 11.885 9.115 6.991
Hutan Pegunungan Bawah 20 0.261 13.812 6.188 2.772
Hutan Pegunungan Tengah 12 0.515 27.303 -15.303 8.577
Jumlah 53 1 53 18.340
Pengujian statistik chi square tersebut menghasilkan keputusan untuk
menerima Ho dan menolak H1, berarti aktifitas yang dilakukan oleh macan tutul
tidak dapat dipengaruhi oleh tipe habitatnya. Berdasarkan hasil uji chi square
menunjukkan bahwa χ2
hitung lebih kecil daripada χ2
tabel (21,026). Hal ini bisa
menjadi indikasi bahwa tipe habitat tertentu tidak dipilih macan tutul jawa untuk
tipe aktivitas tertentu.
Tabel V-26. Aktivitas teritorial macan tutul jawa
No Tipe habitat Jenis aktivitas yang ditemui
Kotoran Scrape Scratch
A. Hutan Pegunungan Bawah Sekunder
1 Koridor 1 3 1
2 Gunung Endut-Pari 1 2 0
B. Hutan Pegunungan Bawah Primer
1 Gunung Kendeng 4 2 1
2 Wates 1 2 0
C. Hutan Pegunungan Tengah
1 Cibogo 0 3 0
2 Kawah Ratu 0 0 0
Jumlah 7 12 2
Berdasarkan tabel V-26, dapat dilihat bahwa seluruh tipe habitat penelitian
terdapat aktifitas teritorial bagi macan tutul. Hal ini menunjukkan bahwa habitat
tersebut sering digunakan oleh macan tutul dan akan selalu dipertahankan sebagai
wilayah teritorialnya.
44
Tabel V-27. Frekuensi penemuan jejak kaki macan tutul jawa No Tipe habitat Jumlah jejak kaki
A. Hutan Pegunungan Bawah Sekunder
1 Koridor 10
2 Gunung Endut-Pari 1
B. Hutan Pegunungan Bawah Primer
1 Gunung Kendeng 6
2 Wates 4
C. Hutan Pegunungan Tengah
1 Cibogo 4
2 Kawah Ratu 4
Jumlah 29
Menurut Santiapillai dan Ramono (1992), wilayah jelajah macan tutul pada
habitat yang belum terganggu seluas 10 km2 per individu. Eisenberg dan Lockhart
(1972) menyatakan bahwa macan tutul jantan dan betina dapat mendiami daerah
perburuan yang sama. Penghitungan jejak kaki di hutan pegunungan bawah
sekuder lebih tinggi karena lokasi ini merupakan koridor antara Gunung Pari dan
Gunung Tenggek, sehingga lalu lintas satwa mangsa khususnya babi hutan.
Macan tutul berburu mengikuti wilayah jelajah mangsanya. Penghitungan jejak
terendah berada di hutan pegunungan tengah karena jalur pengamatan merupakan
jalur pendakian atau lalu lintas manusia, sehingga banyak aktifitas jelajah macan
tutul yang terganggu. Penelitian ini belum meneliti mengenai perhitungan luas
jelajah macan tutul di TNGHS.
5.1.2.2 Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa
Pola sebaran macan tutul di TNGHS berdasarkan sebaran scrape, scratch,
kotoran, suara, dan jejak kaki yang disajikan pada tabel V-28.
Tabel V-28. Analisis pola sebaran macan tutul jawa di TNGHS Metode Analisis Data Nilai Bentuk sebaran
Indeks Dispersion (ID)
a. Hutan pegunungan bawah sekunder ID= 0,16 Homogen
b. Hutan pegunungan bawah primer ID= 0 Homogen
c. Hutan pegunungan tengah ID= 0,16 Homogen
Analisis data sebaran aktifitas tersebut menggunakan pendekatan nilai
indeks dispersion (Majid 2009). Perhitungan menggunakan index of dipersion
menunjukkan bahwa macan tutul jawa di masing-masing tipe habitat menyebar
homogen. Penyebaran macan tutul jawa yang homogen diduga karena satwa ini
memiliki sifat soliter dan mempunyai teritori masing-masing. Individu macan
tutul jawa yang sudah memiliki teritori akan mempertahankan wilayahnya dan
45
berusaha untuk tidak memasuki wilayah teritori macan tutul jawa lainnya,
sehingga akan terbentuk suatu pola penyebaran yang homogen.
Penyebaran maupun keberadaan macan tutul tidak ditentukan oleh tipe
habitat tertentu melainkan ditentukan oleh masing-masing komponen habitat yang
dibutuhkannya (tempat berlindung, berburu, dan lain-lain). Macan tutul jawa
dapat hidup di mana saja asalkan mempunyai cover, satwa mangsa, dan aman dari
gangguan manusia.
Gambar V-10 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan
berdasarkan jarak dari sungai di hutan pegunungan bawah sekunder.
Berdasarkan jaraknya dari sumber air utama berupa sungai, keberadaan
macan tutul jawa dibedakan pada selang 500 meter dari sungai, dan terdapat
empat selang jarak dari sungai. Kemudian, jumlah perhitungan aktivitas tersebut
diuji menggunakan uji statistik regresi linier.
Tabel V-29. Jumlah jejak macan tutul jawa dan satwa mangsa yang ditemukan
berdasarkan jarak dari sungai Jarak dari sungai Jejak kaki macan tutul jawa Jejak satwa mangsa
0-100 m 31 8
100-250 m 15 8
250-500 m 23 11
>500 m 2 1
Jarak 250-500 meter dari sungai merupakan lokasi ditemukannya jumlah
jejak kaki macan tutul jawa dan satwa mangsanya dalam jumlah yang tertinggi.
46
Nilai pertemuan tanda-tanda aktivitas macan tutul jawa dan satwa mangsanya
yang paling sedikit berada pada selang jarak diatas 500 meter. Semakin menjauhi
sungai, maka aktivitas macan tutul jawa maupun satwa mangsanya akan semakin
sedikit. Namun, jarak paling sering ditemukan tanda-tanda keberadaan macan
tutul jawa terdapat di selang jarak 250-500 meter.
Gambar V-11 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan
berdasarkan jarak dari sungai di hutan pegunungan bawah primer.
Untuk mengetahui keterkaitan antara jarak sungai dan satwa mangsa
terhadap keberadaan macan tutul jawa dilakukan uji statistik regresi linier dan
menghasilkan Y= -5,29a + 1,45b + 20,8 dimana y= jejak kaki macan tutul jawa, a
= jarak dari sungai dan b = jejak satwa mangsa. Perpaduan jarak sungai dan
jumlah jejak satwa mangsa memiliki keterkaitan terhadap jumlah jejak kaki
macan tutul jawa yang sangat erat karena nilai r = 0,85, namun pada taraf non-
signifikan karena berada pada P > 0,05 (Nugroho 2005). Hal ini menunjukkan,
adanya hubungan yang sangat erat antara perpaduan jarak sungai dan satwa
mangsa, namun tidak termasuk yang paling berpengaruh terhadap keberadaan
macan tutul jawa.
47
Gambar 21 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur
pengamatan berdasarkan jarak dari sungai di hutan pegunungan
tengah.
Macan tutul jawa akan mengikuti jalur yang dilewati oleh satwa mangsanya
agar bisa mendapatkan makanannya. Macan tutul akan mencari daerah yang
memiliki semak tinggi untuk bersembunyi mengintai mangsa. Sumber air juga
merupakan tempat yang disukainya untuk berburu ketika musim kemarau, karena
satwa mangsa secara bergantian akan mendatangi tempat ini.
Gambar V-13 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada
jalur pengamatan berdasarkan jarak dari pemukiman di
hutan pegunungan bawah sekunder.
48
Macan tutul jawa sensitif terhadap aktivitas manusia, karena macan tutul
jawa merupakan jenis satwa yang pemalu dan cenderung menghindar dari
manusia. Macan tutul jawa memang sering ditemukan memasuki pemukiman
masyarakat sekitar, namun aktivias macan tutul jawa sebenarnya selalu terpusat di
dalam hutan dimana terdapat cover dan satwa mangsa yang melimpah.
Gambar V-14 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur
pengamatan berdasarkan jarak dari pemukiman di hutan
pegunungan bawah primer.
Berdasarkan jarak dari pusat gangguan yaitu pemukiman masyarakat, maka
jaraknya dibedakan dalam selang 500 m sehingga ada empat selang jarak dari
pemukiman. Dari jumlah jejak satwa mangsa dan jarak dari pemukiman dilakukan
uji regresi linier keterkaitan antara jumlah jejak kaki macan tutul jawa dengan
jarak dari pusat pemukiman.
Tabel V-30. Jumlah jejak macan tutul jawa dan satwa mangsa yang ditemukan
berdasarkan jarak dari pemukiman Jarak dari pemukiman Jejak kaki macan tutul jawa Jejak satwa mangsa
0-500 m 0 0
500-1000 m 0 2
1000-2000 m 19 29
>2000 m 10 42
Berdasarkan tabel V-30, macan tutul jawa dan satwa mangsa tidak
ditemukan pada jarak 500 meter dari pemukiman, namun pada jarak 500-1.000
meter ditemukan jejak satwa mangsa. Satwa mangsa terbanyak berada di jarak
lebih jauh dari 2 km dari pemukiman. Jejak kaki macam tutul jawa terbanyak
49
ditemukan pada jarak 1-2 km. Hal ini diduga karena keberadaan satwa mangsa
juga tinggi di selang jarak tersebut.
Gambar V-15 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur
pengamatan berdasarkan jarak dari pemukiman di hutan pegunungan
tengah.
Untuk mengetahui keterkaitan antara jarak sungai dan satwa mangsa
terhadap keberadaan macan tutul jawa dilakukan uji statistik regresi linier dan
menghasilkan Y= 4,7a + 0,629 b – 16,1 dimana y= jejak kaki macan tutul jawa, a
= jarak dari pemukiman dan b = jejak satwa mangsa. Perpaduan jarak sungai dan
jumlah jejak satwa mangsa memiliki keterkaitan terhadap jumlah jejak kaki
macan tutul jawa yang erat karena nilai r = 0,65, namun pada taraf non-signifikan
karena berada pada P > 0,05. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat
antara perpaduan jarak pemukiman dan satwa mangsa, namun tidak termasuk
yang paling berpengaruh terhadap keberadaan macan tutul jawa.
5.2 Pembahasan
5.2.1 Karakteristik Habitat Macan Tutul Jawa
5.2.1.1 Struktur dan Komposisi Vegetasi
Pada inventarisasi tingkat perjumpaan macan tutul jawa menunjukkan
bahwa hutan pegunungan bawah sekunder merupakan tipe habitat yang paling
banyak ditemukan aktivitas macan tutul jawa di dalamnya berupa kotoran, scrape
(cakaran di tanah), dan scratch (cakaran di pohon). Hal ini dikarenakan hutan
Pemukiman
50
pegunungan bawah sekunder di Koridor maupun Gunung Endut memiliki bentuk
vegetasi yang sebagian besar merupakan hutan-hutan yang tersisa dari
perambahan. Selain itu, di wilayah ini banyak dijumpai tumbuhan-tumbuhan
bawah yang tumbuh pasca perambahan seperti pakis-pakisan, cariu (Entada
phaseoloides), dan ki tai (Dysoxylum amooroides). Tumbuhan bawah merupakan
tumbuhan yang menjadi pakan satwa-satwa mangsa macan tutul jawa. Di lokasi
pengamatan, terdapat bekas-bekas sungkuran dan korehan dari satwa mangsa
seperti babi hutan, ayam hutan, maupun trenggiling. Hutan pegunungan bawah
sekunder juga memiliki karakteristik wilayah peralihan antara hutan tertutup dan
hutan terbuka yang menjadi tempat ideal bagi macan tutul jawa untuk mengintai
mangsanya.
Hutan pegunungan bawah primer TNGHS berbatasan langsung dengan
perkebunan teh Nirmala Agung. Perkebunan teh kerap kali menjadi habitat dan
lalu lintas rutin bagi satwa-satwa mangsa seperti babi hutan, sigung, dan musang.
Di dalam hutan primernya, hutan pegunungan bawah memiliki topografi terjal
yang di bawahnya terdapat sungai dan air terjun. Vegetasi tidak terlalu rapat dan
sedikitnya tumbuhan bawah memungkinkan satwa mangsa terlihat lebih jelas oleh
macan tutul jawa. Pada hutan pegunungan bawah sekunder tidak terdapat pohon
berdiameter besar atau berbanir sehingga peluang menemukan cover untuk
berlindung semakin kecil, namun di tempat ini terdapat banyak tumbuhan bawah
yang tumbuh sepanjang aliran sungai yang merupakan tempat strategis bagi
macan tutul jawa mencari mangsanya.
Tajuk pohon yang masih rapat, lebar, dan tinggi menjadi tempat mencari
makan bagi kelompok primata seperti lutung, owa, dan surili di hutan pegunungan
tengah. Hutan pegunungan tengah juga memiliki banyak cover untuk macan tutul
jawa berupa kerapatan pohon yang tinggi, dan terdapat areal yang memiliki
rumpun bambu di ketinggian 1100 mdpl, namun perjumpaan dengan satwa
mangsa sangat sulit, mengingat daerah ini merupakan daerah wisata yang banyak
dikunjungi oleh manusia.
51
5.2.1.2 Ketersediaan Cover
A. Tempat Berlindung
Macan tutul jawa membutuhkan vegetasi untuk melindungi dirinya dari
terik matahari. Tajuk pohon yang memiliki kerapatan tinggi sangat disukai oleh
macan tutul jawa (Afnan 2009) karena ini dapat melindungi macan tutul jawa dari
panas matahari. Kerapatan tajuk pohon mempengaruhi intensitas cahaya matahari
yang menyentuh lantai hutan, sehingga fungsi utama dari cover tajuk pohon
adalah sebagai thermal cover.
Cover thermal ditemukan di seluruh lokasi penelitian. Sebagian besar
tumbuhan tinggi, rimbun, dan besar yang menjadi pelindung panas bagi macan
tutul jawa adalah jenis kiriung anak (Castanopsis acuminatisima). Kiriung anak
merupakan salah satu jenis yang dominan dan ditemukan di seluruh lokasi
penelitian. Kiriung anak juga memiliki batang besar dan tinggi sehingga
memudahkan macan tutul jawa untuk bersembunyi dan scratching, sebagai tanda
teritorinya.
B. Tempat Istirahat (Sheltering)
Batang pohon besar berbanir dipilih macan tutul jawa sebagai tempat
istirahat dan menyembunyikan sisa makanannya dari satwa lain (Gunawan 2010).
Di daerah pegunungan hanya sedikit pohon yang memiliki banir lebar, sehingga
menjadi faktor yang sangat penting bagi hidup macan tutul. Batang pohon yang
besar dapat membantu macan tutul jawa bersembunyi ketika mengintai satwa
mangsanya. Di pohon yang besar juga macan tutul jawa dapat menandai
wilayahnya dengan menggarukkan scratch di pangkal batang. Pohon yang besar
dan tinggi dapat menjadi tempat istirahat macan tutul jawa dan mudah untuk
dipanjat. Pohon-pohon pegunungan yang besar diantaranya pasang (Quercus
sundaica), puspa (Schima walichii), dan kiriung anak (Castanopsis
acuminatisima).
Rumpun bambu selama penelitian hanya ditemukan di hutan pegunungan
tengah. Macan tutul jawa senang menggunakan rumpun bambu sebagai cover
karena bambu tumbuh berkelompok rapat dalam satu rumpun sehingga menjadi
tempat bersembunyi dan beristirahat yang aman dan nyaman (Ahmad (2007).
52
C. Tempat Berburu Mangsa
Tumbuhan bawah, semai, dan pancang yang rimbun merupakan tempat
aman bagi satwa untuk bersembunyi. Bagi macan tutul jawa, vegetasi tersebut
digunakan sebagai tempat bersembunyi dari mangsanya ketika mengintai dalam
perburuan. Di hutan pegunungan bawah sekunder, semak rimbun diduga
digunakan macan tutul jawa untuk mengintai mangsanya. Hal ini diindikasikan
oleh adanya jejak kaki macan tutul jawa dan babi hutan di jalur pengamatan
Koridor-Gunung Tenggek.
Hutan pegunungan bawah sekunder memiliki cover semak yang baik untuk
macan tutul jawa karena bentunya yang tinggi dan rapat. Di hutan pegunungan
bawah sekunder pula, terdapat suatu area yang digunakan macan tutul jawa
diduga untuk mengejar mangsanya yang memiliki karakteristik area terbuka yang
lebih luas dari sekitarnya dan ditumbuhi semak yang tinggi. Tampak banyak jejak
kaki macan tututl jawa dan babi hutan yang tidak beraturan di area tersebut
dengan arah yang sama dan berdekatan. Rumpun bambu dan batang pohon besar
digunakan macan tutul jawa untuk beristirahat karena bentuknya yang lebar dan
rimbun sehingga aman dan teduh.
Masing-masing tipe habitat memuliki tipe cover yang berbeda-beda
karakteristiknya. Jadi, macan tutul jawa tidak memilih tipe habitat tertentu untuk
hidup, namun lebih memilih tempat yang aman dari gangguan manusia maupun
satwa lainnya untuk memelihara anak-anaknya, dan menyediakan banyak peluang
untuk mendapatkan satwa mangsa dan tempat istirahat.
D. Tempat Mengasuh Anak
Goa di TNGHS terdapat di hutan pegunungan bawah sekunder dan hutan
pegunungan bawah primer. Goa secara umum berfungsi sebagai tempat istirahat,
melahirkan, dan mengasuh anak macan tutul jawa. Goa juga secara jelas dapat
mengindikasikan bahwa di daerah tersebut kemungkinan besar terdapat macan
tutul jawa khususnya macan tutul jawa betina dan anak-anaknya yang masih kecil
(Afnan 2009).
Karakteristik goa di masing-masing lokasi penelitian sangat berbeda. Goa di
hutan pegunungan bawah sekunder merupakan goa di tengah-tengah kerapatan
hutan yang tinggi, yang sebagian besar merupakan batu kapur yang dinamakan
53
Cadas Putih, namun goa yang terdapat di hutan pegunungan bawah primer
merupakan goa yang terletak di dekat sungai yang memiliki air terjun yang
dinamakan Curug Macan. Penemuan jejak kaki macan tutul di hutan menuju Goa
Macan cukup sering dan termasuk ke dalam jejak-jejak kaki macan tutul jawa
yang baru tercetak. Hal ini menunjukkan bahwa goa ini diduga sering dilewati
oleh macan tutul jawa.
Goa di hutan pegunungan bawah primer besar diduga sudah jarang dipakai
lagi sebagai tempat istirahat karena keadaan goa itu sekarang sering terendam air
sungai yang meluap saat hujan turun. Hutan pegunungan bawah primer relatif
aman terhadap gangguan manusia maupun satwa karnivora pesaing lainnya,
seperti ajak (Cuon alpinus), yang tidak ditemukan tanda keberadaannya selama
penelitian. Hal ini memungkinkan macan tutul jawa di hutan pegunungan bawah
dapat dengan mudah mencari alternatif tempat mengasuh anak di wilayah tersebut.
Goa di hutan pegunungan bawah sekunder juga mempunyai indikasi masih
digunakan oleh macan tutul jawa karena terdapat bekas-bekas aktivitas macan
tutul jawa di sekitarnya berupa jejak kaki dan scratch. Goa di hutan pegunungan
bawah sekunder berupa batuan kapur yang membentuk lubang. Di daerah ini pula
terdengar suara macan tutul jawa di pagi hari. Goa ini terletak jauh dari jalur
utama sehingga memungkinkan menjadi persembunyian yang aman bagi macan
tutul jawa.
5.2.1.3 Ketersediaan Mangsa
Ketersediaan mangsa merupakan salah satu komponen yang penting bagi
satwaliar. Makanan juga menjadi faktor pembatas (Alikodra 2002), artinya
makanan harus selalu tersedia baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sebaran
satwa karnivora akan mengikuti sebaran satwa mangsanya (Bailey 1984 dalam
Gunawan 2010). Dengan demikian, dimana satwa mangsa melimpah, di daerah
tersebut satwa karnivora juga diduga akan melimpah.
Satwa mangsa di hutan pegunungan bawah primer yang berada pada kelas
common (biasa dijumpai) adalah babi hutan (Sus scrofa) dan ayam hutan (Gallus
gallus). Pada kotoran yang ditemukan di hutan pegunungan bawah primer, macan
tutul jawa diduga memangsa landak (Hystrix javanica), babi hutan (Sus scrofa),
dan surili (Presbytis comata). Hal ini didukung oleh data inventarisasi bahwa di
54
hutan pegunungan bawah primer ditemukan babi hutan, landak, dan surili serta
pernyataan Hart et al (1996) bahwa komposisi makanan macan tutul terdiri atas
53,5% ungulata dan 25,4% primata. Macan tutul jawa menyukai jenis ungulata
diduga karena satwa ungulata beraktivitas di lantai hutan yang memungkinkan
macan tutul jawa akan dengan mudah menyergap ketika memangsa satwa tersebut.
Hutan pegunungan bawah sekunder mempunyai tingkat perjumpaan babi
hutan terbesar. Hal ini dikarenakan kawasan hutan langsung berbatasan dengan
perkebunan masyarakat yang menyediakan banyak makanan untuk babi hutan.
Keadaan hutan yang dipenuhi tumbuhan bawah yang merupakan makanan utama
babi juga tersedia melimpah. Babi hutan merupakan salah satu satwa mangsa
paling banyak dimakan oleh macan tutul jawa walaupun ukuran tubuhnya lebih
besar dibandingkan dengan jenis satwa mangsa yang lain. Pada kotoran macan
tutul jawa yang ditemukan juga terdapat rambut babi hutan. Menurut Lestari
(2006), rambut babi hutan memiliki karakteristik warna bulu yang bervariasi dari
hitam sampai keputihan dan warna yang paling dominan adalah warna hitam.
Bentuk rambut agak besar/tebal dan terdapat percabangan (2-3 cabang). Menurut
Seidensticker (1976) dalam Gunawan (1988), macan tutul lebih sering memangsa
satwa dengan ukuran berat badan antara 25-50 kg, yaitu satwa yang memiliki
ukuran setengah hingga sama dengan ukuran badan macan tutul. Babi hutan
menjadi salah satu mangsa yang disukai macan tutul jawa (Afnan 2009) karena
mudah dijumpai di berbagai tipe habitat.
Satwa mangsa yang paling banyak dijumpai di hutan pegunungan tengah
adalah jenis lutung (Tracypithechus auratus). Lutung juga termasuk ke dalam
mangsa yang sering diincar oleh macan tutul jawa (Anonim 1978 dalam Ahmad
2007). Lutung memiliki kebiasaan unik yang menguntungkan macan tutul jawa
dalam memangsanya. Lutung hidup dalam kelompok, yang apabila terdapat
ancaman mereka akan berlari tidak beraturan dan seringkali bergegas turun ke
lantai hutan. Dalam situasi seperti inilah, peluang macan tutul untuk mendapatkan
lutung sebagai mangsanya semakin besar.
Selain memangsa satwa yang ada di hutan, macan tutul jawa kerapkali turun
ke perkampungan masyarakat dan memangsa ternak-ternak mereka. Hal ini sering
terjadi di hutan pegungan bawah sekunder dan hutan pegunungan tengah yang
55
berbatasan langsung dengan pemukiman warga yang memelihara ternak. Ternak
yang menjadi mangsa macan tutul jawa adalah kambing. Beberapa kasus
pemangsaan ini sering dilaporkan masyarakat dalam kurun waktu 2008 ke
belakang terjadi lebih dari 42 kasus penyergapan ternak oleh macan tutul jawa.
Setelah itu masyarakat biasanya membuat kandang ternak terpusat dekat
rumahnya dengan memelihara anjing penjaga atau mereka menjual kambing-
kambingnya dengan beralih menjadi pekebun.
Tingkat perjumpaan satwa mangsa berpengaruh terhadap keberadaan macan
tutul jawa di suatu tipe habitat. Semakin mudah dan melimpah satwa tersebut
dijumpai menandakan semakin mudahnya mengetahui keberadaan macan tutul di
suatu tempat. Hal ini dikarenakan macan tutul akan menggunakan energi yang
seminimal mungkin untuk menemukan dan mengejar mangsa. Macan tutul jawa
juga termasuk satwa oportunis, artinya dia akan menggunakan peluang
mendapatkan mangsa dari apa yang paling melimpah terdapat di daerah tersebut.
Indeks kemiripan komunitas menunjukkan bahwa ketiga tipe habitat yang
menjadi lokasi penelitian memiliki kesamaan jenis yang tidak berbeda jauh. Hal
ini menguntungkan bagi macan tutul jawa karena macan tutul jawa dapat
memperoleh jenis-jenis tersebut di berbagai tipe habitat tempatnya hidup.
Indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa juga menunjukkan angka yang
non-signifikan, artinya tidak adanya perbedaan yang berarti antara
keanekaragaman jenis di suatu tipe habitat dengan habitat lainnya. Hal ini sangat
menguntungkan bagi macan tutul jawa karena pilihan pakan bagi macan tutul
jawa juga banyak. Hal ini berarti keanekaragaman dan kekayaan jenis tidak
berpengaruh nyata terhadap keberadaan macan tutul jawa di suatu daerah,
melainkan mudah atau tidaknya satwa mangsa tersebut ditemukan sesuai
pernyataan Prater (1965) dalam Hoogerwerf (1970) bahwa macan tutul akan
membunuh dan makan apa saja yang mudah ditangkapnya.
Faktor yang paling berpengaruh bagi macan tutul jawa adalah ketersediaan
(availability) satwa mangsa. Kepadatan relatif dan frekuensi relatif satwa mangsa
sangat mempengaruhi ketersediaan satwa mangsa di alam. Dengan begitu,
semakin melimpah dan frekuensi ditemukannya satwa mangsa itu semakin mudah,
56
kemungkinan akan menyebabkan ketersediaan satwa mangsa bagi macan tutul
jawa di alam akan semakin melimpah.
5.2.1.4 Ketersediaan Air
Kebanyakan satwa memenuhi kebutuhan airnya dengan minum dari air
permukaan (Shaw 1985 dalam Gunawan 2010). Di hutan pegunungan bawah
sekunder sumber air sebagian besar adalah parit yang akan membentuk sungai di
kawasan yang lebih rendah dan rawa-rawa di genangan bekas perambahan lahan
yang ditumbuhi rumput-rumput serta vegetasi bambu.
Daerah pegunungan mempunyai daerah aliran air yang masih terjaga dengan
baik karena merupakan daerah hulu. Berbagai sumber air dapat ditemukan di
daerah ini. Sumber air yang ditemukan selama penelitian adalah sungai, air terjun,
rembesan goa, aliran parit, dan rawa.
Sungai merupakan salah satu sumber air yang paling banyak ditemukan di
daerah pegunungan. Sungai memiliki arus dan kedalaman yang bervariasi.
Kebanyakan sungai-sungai di hutan pegunungan bawah primer, merupakan jenis
sungai dengan arus deras dan lebar. Sungai Cikaniki merupakan sungai besar yang
terdapat di hutan pegunungan bawah. Di sungai ini terdapat goa yang dulu sering
digunakan oleh macan tutul. Sungai tersebut juga memiliki air terjun di dekat goa.
Kualitas fisik sumber air ini sangat baik dilihat dari kejernihan dan tidak ada
sampah di dalamnya. Beberapa jejak kaki macan tutul banyak ditemukan di
pinggir sungai ini. Hal ini diduga bahwa macan tutul jawa seringkali melewati
daerah ini. Kenyataan ini didukung pula oleh keterangan masyarakat yang tidak
sengaja melihat macan tutul jawa di sekitar daerah ini. Menurut Amir (komunikasi
pribadi 2010), laporan masyarakat yang melihat macan tutul jawa di subuh dan
malam hari beberapa kali menunjukkan mereka menemukannya di daerah ini.
Sungai di hutan pegunungan tengah merupakan sungai kecil yang mengalir
dari arah kawah yang di daerah lebih rendahnya lagi akan menjadi sungai lebih
besar yang digunakan masyarakat dan pengelola wisata sekitar untuk memenuhi
kebutuhan air mereka. Terdapat beberapa air terjun, yang menjadi salah satu
karakteristik bentuk air di daerah pegunungan.
Sungai di daerah hutan sekunder sangat terbatas. Sungai kerapkali
ditemukan hanya dalam bentuk aliran parit dan air rawa. Aliran parit ini
57
digunakan masyarakat untuk kebutuhan air mereka sehari-hari sedangkan daerah
rawa banyak terdapat di daerah terbuka.
Macan tutul jawa merupakan kucing besar yang tidak terlalu banyak
memanfaatkan air untuk minum. Macan tutul jawa juga tidak berenang seperti
yang terjadi pada harimau. Macan tutul memenuhi asupan air melalui daging
satwa mangsanya yang masih mengandung darah. Jadi, macan tutul hanya
menggunakan sumber air sebagai tempat untuk mencari dan memangsanya. Satwa
mangsa menggunakan sumber air untuk minum dan membersihkan diri. Pada
musim kemarau, macan tutul jawa akan lebih mudah menemukan mangsa karena
diduga aktivitas satwa mangsa berada di sekitar sumber air. Hal ini didukung oleh
oleh pernyataan Bailey (1984) dalam Gunawan (2010) bahwa salah satu respon
satwa terhadap kelangkaan air adalah satwa akan berkumpul di sekitar sumber air
selama musim kering.
5.2.1.5 Gangguan Habitat
Menurut Marker dan Dickman (2005), macan tutul akan menghindari
aktivitas manusia. Untuk itulah, umumnya macan tutul akan menyukai daerah
berlereng curam dan di dekat patahan tebing atau puncak punggung bukit untuk
berlindung karena sulit dijangkau oleh manusia. Sumber gangguan utama bagi
macan tutul jawa adalah manusia, karena bila keluar kawasan hutan dan masuk
kampung, macan tutul dianggap musuh oleh masyarakat serta akan diburu dan
dibunuh (Guggisberg 1975 dalam Gunawan 2010).
Penebangan, pengambilan kayu bakar, dan perambahan hutan secara liar
dan tanpa ijin mempunyai pengaruh yang paling besar dalam kerusakan hutan
alam. Dengan mengambil sumberdaya hutan berupa kayu-kayu pohon akan
mengurangi kerapatan dan jumlah individu maupun jenis pohon yang ada.
Kebutuhan satwa mangsa untuk mencari sumber pakan alami mereka di hutan
akan semakin berkurang. Hal ini berpengaruh juga bagi kecukupan pakan macan
tutul jawa dan hilangnya cover tajuk-tajuk pohon yang sangat dibutuhkan macan
tutul jawa untuk melindungi diri dari panas matahari. Semai-semai bakal pohon
yang tak ternaungi pun akan mati dan regenerasi pohon akan terhambat.
Pendakian tanpa ijin menimbulkan banyak masalah diantaranya masalah
kawasan dan masalah sosial. Pendakian tanpa ijin dapat membahayakan nyawa
58
pendaki yang berakibat pada pertanggung jawaban taman nasional. Pendakian
tanpa ijin juga akan menimbulkan gangguan terhadap keberlangsungan satwaliar
di dalamnya. Pendakian yang membuka-buka jalur baru tentu saja akan merusak
vegetasi-vegetasi yang dilewatinya. Hal ini tentu berdampak pada sumber pakan
satwa mangsa macan tutul. Pendakian yang tidak diketahui oleh petugas sekitar
juga dapat membuat satwa menjadi tidak nyaman, karena petugas sebenarnya
sudah menentukan jalur-jalur mana saja yang boleh dipakai untuk pendakian
resmi sehingga aktivitasnya tidak menggangu keberadaan dan kenyamanan satwa
di sekitarnya.
Wisata alam adalah suatu bentuk wisata yang memanfaatkan alam sebagai
obyeknya. Wisata alam dinilai efektif sebagai sumber ekonomi yang berbasis
alam berkelanjutan. Namun, pada prakteknya, bila wisata alam tidak dikelola
dengan baik maka akan timbul dampak yang jauh lebih besar daripada keuntungan
ekonominya. Para pengunjung yang tidak mempunyai kesadaran dan pengetahuan
mengenai pentingnya menjaga alam akan dengan mudahnya menyebabkan
gangguan-gangguan. Gangguan yang terjadi adalah dengan menimbulkan
kebisingan di dalam hutan, membuang sampah sembarangan, memetik bunga,
mematahkan ranting pohon, mencabuti tumbuhan bawah, merokok, atau bahkan
melukai satwa dengan menangkapnya atau melemparinya.
Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mempunyai pekerjaan utama
bercocok tanam. Untuk menggarap sawah atau kebunnya, sebagian besar masih
menggunakan cara tradisional dengan menggunakan sapi atau kerbau untuk
menggarapnya. Kerbau dan sapi yang digembalakan di padang rumput dalam
hutan memang tidak begitu banyak mengganggu hutan, namun jika hal tersebut
berlanjut dan semakin banyak masyarakat yang menggembalakan ternaknya di
dalam hutan maka lama-kelamaan hutan tersebut juga akan mengalami gangguan.
Gangguan yang terjadi adalah pengurangan tumbuhan bawah sebagai sumber
pakan utama satwa mangsa macan tutul, merusak tekstur tanah yang akan
menimbulkan penyerapan air dan erosi, serta menimbulkan ketidaknyamanan
satwaliar-satwaliar di dalamnya oleh aktivitas penggembalaan yang padat.
59
5.2.2.1 Tingkat Perjumpaan Macan Tutul Jawa
Kepadatan relatif macan tutul jawa terbesat berada di hutan pegunungan
bawah primer. Hal ini dikarenakan dengan banyaknya ketersediaan satwa mangsa
yang beranekaragam jenisnya yang mudah ditemukan dalam luasan yang tidak
terlalu besar berada di tipe hutan ini. Di hutan pegunungan bawah primer juga
terdapat sungai dengan tumbuhan bawah yang tumbuh subur di sekitar sungai,
yang menyebabkan satwa terkonsentrasi di daerah ini. Jejak kaki baru dari macan
tutul jawa juga ditemukan pada selang waktu dua hari pergantian dalam jumlah
yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa daerah ini diduga sering dilewati oleh
macan tutul jawa.
Kegiatan mengasuh anak diduga juga dilakukan macan tutul jawa di daerah
ini karena terdapat goa dan lingkungan yang jauh dari keramaian lalu lintas
manusia. Terdapat jejak macan tutul jawa yang masih kecil diikuti jejak macan
tutul jawa dewasa yang terdapat disepanjang jalur pengamatan di pinggir sungai
hutan pegunungan bawah primer. Macan tutul jawa mengasuh anaknya di tepian
sungai diduga karena daerah tersebut sangat berpotensi bagi macan tutul jawa
dewasa untuk mendapatkan mangsa lebih mudah tanpa meninggalkan anaknya
terlalu jauh ketika berburu.
Kepadatan relatif terendah terdapat di hutan pegunungan tengah. Hal ini
dikarenakan macan tutul jawa terdesak akibat aktivitas kegiatan pengunjung yang
mengunjungi daerah tersebut. Hutan pegunungan tengah Cidahu termasuk daerah
wisata alam. Banyak pengunjung menuju Kawah Ratu dan pendaki-pendaki yang
menuju Puncak Salak I melewati jalur ini. Jalur ini merupakan jalur yang dilewati
oleh macan tutul jawa karena di sepanjang jalur selalu ditemukan jejak kaki
macan tutul jawa beserta satwa mangsanya seperti kijang dan babi hutan. Namun,
ketika pengamatan dilakukan pagi hari, banyak jejak kaki macan tutul jawa yang
rusak terinjak oleh pengunjung. Hal ini menunjukkan bahwa malam harinya
macan tutul tersebut diduga melewati jalur tersebut. Beberapa jejak kaki yang ada
di sepanjang jalur terbuka juga mengarah masuk ke dalam hutan yang lebih
tertutup, kemungkinan besar macan tutul jawa segera bersembunyi ke dalam hutan
tersebut ketika mengetahui jika ada gangguan di dekatnya.
60
Selama penelitian, ditemukan 52 aktivitas macan tutul jawa terdiri dari 29
jejak kaki, 7 kotoran, 12 scrape (cakaran di tanah), 2 scratch (cakaran di batang
pohon), dan 2 kali bersuara. Aktivitas-aktivitas tersebut menandakan bahwa
daerah-daerah tersebut merupakan wilayah jejalah dari masing-masing individu
macan tutul jawa tersebut untuk mencari satwa mangsa dan melakukan aktivitas
lainnya. Tempat-tempat itu sering digunakan dan dilewati macan tutul jawa
sebagai homerange seperti yang dijelaskan Boghey (1973) bahwa homerange
adalah wilayah yang dikunjungi secara tetap karena dapat mensuplai makanan,
minum, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi,
tempat tidur, dan tempat jelajah.
Aktifitas yang dilakukan oleh macan tutul tidak dapat dipengaruhi oleh tipe
habitatnya. Dengan kata lain, faktor yang mempengaruhi keberadaan macan tutul
jawa adalah ketersediaan pakan, air, maupun cover di tiap tipe habitatnya.
Aktivitas terbanyak macan tutul jawa berada di hutan pegunungan bawah
sekunder, hal ini dikarenakan hutan pegunungan bawah sekunder Cisoka memiliki
suplai satwa mangsa yang melimpah, memiliki sumber air yang sedikit sehingga
satwa mangsa akan terkonsentrasi di sumber air itu saja untuk kebutuhan
minumnya, dan memiliki bentuk hutan dengan kerapatan tinggi berisi punggungan
dan daerah peralihan terbuka yang menyediakan banyak ruang macan tutul untuk
mencari satwa mangsa dengan bersembunyi di semak-semak pinggiran daerah
peralihan tersebut.
5.2.2.2 Pola Sebaran Macan Tutul Jawa
Alikodra (2002) menyatakan bahwa organisme atau kumpulan organisme
tersebar di permukaan bumi sesuai dengan kemampuan pergerakannya atau
kondisi lingkungan seperti adanya pengaruh luas kawasan, ketinggian tempat, dan
letak geografis. Penyebaran satwaliar dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan
sumberdaya cover, pakan, dan air, fasilitas penunjang reproduksi, predasi, kondisi
cuaca, maupun degradasi lingkungan.
TNGHS memiliki desa yang hampir tersebar di seluruh pinggiran hutan,
sebagian besar terdapat enclave di dalamnya. Wilayah-wilayah yang terbagi ini
mendesak macan tutul jawa untuk terkonsentrasi di beberapa wilayah saja yang
masih terjaga hutannya dan masih tersedia komponen-komponen habitat yang
61
cukup bagi macan tutul jawa tersebut. Ahmad (2007) juga menjelaskan bahwa
wilayah penyebaran macan tutul juga dapat berkurang akibat aktivitas manusia
secara langsung. Bertambah sempitnya wilayah jelajah macan tutul jawa ini
dikarenakan kewaspadaannya alamiahnya terhadap perjumpaan dengan manusia
dan terganggunya sejumlah aktivitas makan dan berburu karena satwa mangsa
yang juga ikut menyingkir karena keberadaan manusia. Aktivitas reproduksi
macan tutul jawa juga akan terganggu dengan keberadaan manusia yang akan
mendesak daerah teritorinya. Hal ini akan semakin mempersulit macan tutul jawa
jantan untuk menemui betina pasangannya.
Pola penyebaran macan tutul jawa di TNGHS memiliki pola penyebaran
homogen. Hal ini dikarenakan sifat macan tutul jawa yang soliter. Satwa soliter
yang memiliki teritorial seperti macan tutul jawa, akan berusaha mempertahankan
teritorinya dari satwa lain sehingga aktivitas macan tutul jawa akan terkonsentrasi
di wilayah teritorinya saja.
Pola penyebaran macan tutul jawa diduga dapat berubah karena satwa ini
mengikuti pola pergerakan satwa mangsanya atau adanya musim berbiak. Pola
penyebaran macan tutul jawa akan menjadi acak apabila di daerah tersebut terjadi
perbedaan kelimpahan dan frekuensi satwa mangsa yang sangat besar. Macan
tutul jawa akan memiliki homerange yang lebih besar apabila di daerah tersebut
terdapat kelimpahan satwa mangsa yang kecil (Bailey 1984 dalam Gunawan
2010). Perbedaan pola penyebaran juga akan terjadi pada musim kawin, karena
pergerakan macan tutul jawa jantan akan mengikuti pergerakan macan tutul jawa
betina yang sedang dikawininya.
Pola penyebaran macan tutul jawa yang homogen namun hanya terdapat di
dalam hutan ini akan sangat rentan terhadap kepunahan, karena dengan wilayah
yang hanya ada di titik tertentu saja dan dengan perkembangan perluasan daerah
menjadi kawasan non-hutan yang kian mendesak wilayah jelajah macan tutul jawa
ini maka semakin lama macan tutul jawa akan kesulitan dalam mencari makan
dan tidak lagi memperoleh cover yang sesuai untuk melindungi dirinya dari panas
matahari, sehingga akan terus terdesak dan terfragmentasi. Dampak jangka
panjang dari krisis ini adalah sulitnya macan tutul jawa jantan dan betina bertemu
sehingga reproduksi akan terganggu.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6. 1 Kesimpulan
1. Karakteristik habitat yang utama bagi macan tutul jawa di TNGHS yaitu
suatu habitat yang memiliki kelimpahan jenis dan frekuensi jenis satwa
mangsa yang tinggi. Faktor pendukung karakteristik habitat macan tutul
jawa adalah keberadaan sumber air yang mengalir sepanjang tahun,
memiliki cover dengan tajuk yang rapat, tersedia tumbuhan bawah secara
melimpah, dan jauh dari pusat aktivitas manusia.
2. Kepadatan relatif dan tingkat perjumpaan tertinggi macan tutul jawa
berada di hutan pegunungan bawah primer. Macan tutul jawa di Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak memiliki pola sebaran homogen
mengikuti pergerakan satwa mangsanya.
6. 2 Saran
1. Monitoring macan tutul jawa oleh pihak BTNGHS sebaiknya mulai
dilakukan rutin berkala lebih dari satu kali per tahun dengan melibatkan
para peneliti dari berbagai aspek kajian.
2. Perlu adanya pengamanan kawasan yang menjadi lokasi konsentrasi
jelajah macan tutul jawa di TNGHS, khususnya lokasi yang menjadi
kawsan wisata dan dekat dengan pemukiman.
3. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai populasi absolut untuk
mengetahui dugaan populasi menyeluruh di TNGHS
DAFTAR PUSTAKA
Afnan EMA. 2009. Studi Karakteristik dan Preferensi Penggunaan Habitat Macan
Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di Taman Nasional
Ujung Kulon [Skripsi]. Program Sarjana Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Ahmad G. 2007. Analisis Pola Sebaran Spasial Panthera pardus melas Cuvier,
1809 di Taman Nasional Alas Purwo [Skripsi]. Program Sarjana
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Ario AS, Sunarto, dan J Sanderson. 2008. Panthera pardus ssp melas. Dalam:
IUCN 2008. http://www.iucnredlist.org// [31 Juli 2011].
Bailey TN. 1993. The African Leopard: A Study of the Ecology and Behaviour of
A Solitary Felid. Columbia University Press. New York.
Boghey AS. 1973. Ecology of Population 2nd
Edition. The Mac Millan Co. New
York.
Cahyadi I. 2003. Analisis Spasial Struktur dan Fungsi Koridor Hutan antara
Taman Nasional Gunung Halimun dengan Hutan Lindung Gunung Salak
[Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Direktorat PPA. 1978. Mamalia di Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan.
Bogor.
Eisenberg J dan Lockhart. 1972. An Ecological Reconnaissance of Wilpatu
National Park. Contrib. Zool. Ceylon. Hal:1-118
Elton C. 1966. The Ecology of Animals. Butler & Taner Ltd. London.
Gunawan H. 2010. Habitat dan Penyebaran Macan Tutul Jawa (Panthera pardus
melas Cuvier, 1809) di Lansekap Terfragmentasi di Jawa Tengah
[Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gunawan H. 1988. Studi Karakteristik Habitat dan Daerah Penyebaran Macan
Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di Jawa Tengah dan
64
Daerah Istimewa Yogyakarta [Skripsi]. Program Sarjana Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Harahap SA dan Sakaguchi. 2004. Penelitian Monitoring Macan Jawa (Panthera
pardus melas) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Indonesia.
Biodiversity Conservation Indonesia. Bogor.
Hart JA, M Katembo, dan K Punga. 1996. Diet, Prey Selection, and Ecological
Relations of Leopard and Goldeb Cat in the Ituri Forest, Zaire. Journal of
African Ecology. Hal 1074.
Hoogerwerf. 1970. Ujung Kulon, The Land of the Last Javan Rhinoceros. EJ Bril.
Leiden.
Karanth KU dan SE Melvin. 1995. Prey Selection by Tiger, Leopard & Dhole in
Tropical Forests. Journal of Animal Ecology hal. 439-450.
Lekagul B dan JA McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Sahakarnbath Co.
Bangkok.
Lestari NS. 2006. Studi Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae
Pocock, 1929) di Taman Nasional Way Kambas [Skripsi]. Program Sarjana
Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Ludwig JA dan JF Reynolds. 1988. Statistical Ecology. John Wiley & Sons. New
York.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity & Its Measurement. Croom Helm.
London.
Majid AA. 2009. Sebaran spasial dan Karakteristik Habitat Buaya Air Tawar Irian
(Crocodylus novaeguineae Schmidt 1928) di Taman Nasional Wasur
[Skripsi]. Program Sarjana Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Marker LL dan AJ Dickman. 2005. Factors Affecting Leopard (Panthera pardus)
Spatial Ecology, with Particular Reference to Namibian Farmlands.
http://www.cheetah.org [4 Oktober 2011].
McDougal C. 1979. The Face of the Tiger. Rivington Book and Andre Deutsch.
London.
65
Nowak R. 1997. Mammals of the World. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/
[4 Oktober 2011].
Nugroho BA. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan
SPSS. CV Andi Offset. Yogyakarta.
Odum EP. 1994. Fundamental of Ecology. Edisi ketiga. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Prawiradilaga D dan A Marakarmah. 2004. Komunitas Burung pada Koridor
Halimun-Salak. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor.
Rabinowitz AR. 1989. The Density and Behaviour of Large Cats in A Dry
Tropical Forest Mosaic in Hua Kha Khaeng Wildlife Sanctuary. Nat Hist
Bull Siam Society. Thailand. Hal: 235-251
Rinaldi D, SA Harahap dan Prawiradilaga DM. 2008. Ekologi Koridor Halimun-
Salak. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kabandungan.
Santiapillai C dan WS Ramono. 1992. Status of The Leopard (Panthera pardus)
in Java, Indonesia. Tigerpaper. Edisi April-Juli: 1-5.
Sarwono J. 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. CV Andi Offset.
Yogyakarta.
Soerianegara I dan A Indrawan. 1980. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium
Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sudiana N. 1991. Studi Karakteristik Habitat dan Populasi Macan Tutul (Panthera
pardus Linnaeus, 1758) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
[Skripsi]. Program Sarjana Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Supranto, J. 2004. Analisis Multivariat: Arti dan Interpretasi. PT Rineka Cipta,
Jakarta. 359hlm
Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka
Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.
Wahyudi E. 1989. Studi Karakteristik Satwa Mangsa Macan Tutul Jawa
(Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di Taman Nasional Meru Betiri,
Jawa Timur [Skripsi]. Program Sarjana Jurusan Konservasi Sumberdaya
Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
66
Walpole RE. 1982. Pengantar Statistika. Edisi ketiga. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.