Kajian Air Tanah Dan Air Permukaan Di Yogyakarta Pasca Erupsi Merapi 2010
-
Upload
arief-wicaksono -
Category
Documents
-
view
17 -
download
5
description
Transcript of Kajian Air Tanah Dan Air Permukaan Di Yogyakarta Pasca Erupsi Merapi 2010
-
AIR PERMUKAAN (AIR SUNGAI)
Secara alamiah sungai mengalirkan air dari mataair yang berada di lereng
Merapi. Dalam keadaan normal (tidak terkontaminasi abu vulkanik) air sungai tidak
semuanya layak untuk keperluan rumah tangga, usaha pertanian maupun usaha
pemeliharaan ikan di kolam.
Sungai-sungai yang berhulu di lereng Merapi mengalir melalui 5 kecamatan
lokasi kegiatan dari bagian barat ke timur adalah: Sungai Boyong (dibagian hilir
disebut Sungai Code), Kuning, Opak dan Gendol.
Komponen yang berpengaruh pada air permukaan terutama sungai adalah
Daerah Aliran Sungai (DAS). Kondisi DAS bisa dideskripsikan sebagai berikut.
a) Sub DAS Gendol
Sub DAS Gendol berada pada 438.000-440.000 mT dan 9.166.000-9.148.000
mU. Sungai Gendol dengan panjang alur kurang lebih 16,50 km bermuara di Sungai
Opak di hulu sebelah utara Prambanan. Hulu Sungai Gendol berada di dekat puncak
Merapi. Sungai ini merupakan salah satu alur aliran lahar. Luas Sub DAS Gendol
berdasarkan perhitungan seluas 37,29 km2. Berdasarkan peta lembar Kaliurang dan
Pakem secara administratif mencakup 7 kecamatan yaitu: Cangkringan, Kalasan,
Kemalang, Manisrenggo, Ngemplak, Pakem, Srumbung. Sedangkan batas wilayah
daerah penelitian yaitu:
Sebelah utara : Puncak Gunungapi Merapi, Kecamatan Selo
Sebelah timur : Sungai Woro, Kecamatan Manisrenggo
Sebelah selatan : Kecamatan Prambanan, Kecamatan Berbah
Sebelah barat : Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Ngemplak, dan
Kecamatan Kalasan
Mata air dijumpai di daerah Argomulyo, Sindumartani, Bawukan dan Kepurun.
Mata air ini dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk untuk keperluan mandi dan
mencuci. Sedangkan pemenuhan kebutuhan air minum dan memasak
menggunakan sumber mataair utama Bebeng.
Sub DAS Gendol secara umum merupakan kawasan resapan air.Kuantitas air
permukaan kecil sehingga jumlah air hujan yang terinfiltrasi besar terutama pada
daerah berkemiringan lereng yang tidak curam. Sedangkan infiltrasi pada
kelerengan curam akan tetap besar jika ada sabo dam dan vegetasi.
-
Morfometri adalah variabel terukur dari suatu sungai yang merupakan salah
satu faktor terpenting yang digunakan dalam penelitian ini. Pengukuran morfometri
sungai dilakukan pada peta topografi digital Sub DAS Gendol dengan bantuan
software Arc GIS. Selanjutnya dapat diamati parameter-parameter morfometri
Sungai Gendol pada tabel berikut:
Tabel D.3.1. Morfometri Sungai Gendol
No Parameter Nilai
1 Luas sub DAS 37,29 km2
2 Panjang sungai utama (L)
26,25 km
3 Median elevasi 549,49 m
4 CoG 441.255 mT ; 9.156.400
mU
5 Jarak outlet ke CoG 9,78 km
6 Kemiringan sungai 6%
7 Kemiringan DAS 0,2110
8 Drainage Density (DD) 0,0048
9 Luas daerah hulu (Au) 13,24 km2
10 Faktor bentuk DAS (Rc)
10,555
Sumber: Fakultas Geografi UGM, 2011
a. Curah hujan
Kondisi curah hujan di Sub DAS Gendol dilihat dari rerata bulanan curah
hujan tahun 1989-2009 mencapai nilai terendah pada bulan September dengan
rerata curah hujan sebesar 13,2 mm. Kemudian curah hujan mulai naik di bulan
Oktober (111,1 mm) dan mengalami puncak hujan di bulan Februari dengan
rerata sebesar 398,7 mm. Rerata curah hujan ditunjukkan pada tabel D.3.2.
Wilayah Sub DAS Gendol memiliki daerah dengan curah hujan tinggi di
wilayah Stasiun Ngipiksari yang berada di ketinggian 725 m dpl. Berdasarkan
grafik rerata curah hujan bulanan di DAS Gendol dapat diketahui bahwa musim
kemarau di Sub DAS Gendol berlangsung pada bulan Juni-September
sedangkan musim penghujan berlangsung pada bulan Oktober-Mei.
-
TabelD.3.2. Rerata curah hujan bulanan masing-masing stasiundi sekitar Sub DAS Gendol tahun 1989-2009
No Bulan
Stasiun
Rerata
Ng
ipik
sa
ri
Ban
jarh
arj
o
Bro
ng
gan
g
Jan
gkan
g
Dele
s
Wo
ro
Can
di S
ew
u
An
gin
-an
gin
Pak
em
Pru
mp
un
g
Elevasi stasiun hujan (m dpl)
725 350 408 275 1.015 352 242 320 410 575
1 Januari 467,9 395,3 366,2 369,2 389,3 358,6 325,5 326,2 384,5 339,8 372,3
2 Februari 533,7 432,6 447,5 396,2 438,3 379,7 315,6 305,0 382,3 356,5 398,7
3 Maret 430,3 306,4 318,8 282,2 326,2 258,5 275,9 276,1 315,3 309,5 309,9
4 April 355,0 245,0 256,5 207,7 196,9 173,5 158,8 202,7 259,1 266,4 232,2
5 Mei 161,9 112,1 104,3 92,4 109,6 89,3 76,0 84,6 117,4 108,2 105,6
6 Juni 105,3 51,5 65,5 52,5 69,3 50,3 41,4 46,0 86,8 62,1 63,1
7 Juli 57,2 23,9 35,9 22,1 25,5 22,5 30,1 19,9 36,8 33,5 30,7
8 Agustus 73,1 19,1 25,2 22,4 27,1 22,0 19,5 22,8 22,8 18,7 27,3
9 September 31,8 7,9 8,6 5,2 9,1 4,8 5,0 16,1 30,3 13,1 13,2
10 Oktober 163,0 114,6 121,4 104,1 82,3 82,6 61,6 135,0 122,5 124,2 111,1
11 November 400,3 261,2 279,0 276,7 165,8 208,2 166,2 203,9 297,6 220,5 247,9
12 Desember 460,3 323,9 302,6 306,4 304,0 291,7 245,3 257,9 326,7 291,8 311,1
Sumber: BPDAS POO, 2010
b. Suhu
Data suhu udara di Sub DAS Gendol diperoleh dari data suhu di
Stasiun Klimatologi Adisucipto Yogyakarta. Data ini merupakan data suhu
rerata bulanan antara tahun 1976-2007. Rerata suhu bulanan pada masing-
masing stasiun hujan di sekitar Sub DAS Gendol memiliki hasil yang berbeda-
beda. Secara keseluruhan suhu rerata makin menurun seiring dengan elevasi
wilayah yang makin meningkat, sehingga apabila elevasi makin tinggi maka
suhu udara makin rendah. Begitu pula sebaliknya, elevasi semakin rendah
maka suhu makin tinggi. Stasiun dengan elevasi tertinggi adalah Stasiun Deles
elevasi 1.015 m dpl memiliki rerata suhu sekitar 20-220 C kemudian stasiun
dengan elevasi terendah adalah Stasiun Jangkang dengan rerata suhu
bulanan sekitar 26-280 C.
Suhu rerata bulanan dari seluruh stasiun di sekitar Sub DAS Gendol
selama bulan Januari hingga Desember tahun 1976-2007. Suhu rerata
bulanan terendah terdapat pada bulan Agustus sebesar 240 C. Kemudian suhu
rerata tertinggi terdapat pada bulan Oktober yakni 25,70 C. Suhu tertinggi ini
terjadi karena bulan Oktober merupakan bulan peralihan dari musim kemarau
-
ke penghujan sehingga angin bergerak sedikit dan menyebabkan suhu terasa
panas karena suhu meningkat. Rerata suhu bulanan di Sub DAS Gendol
berkisar antara 24-25,70 C dari bulan Januari-Desember.
c. Tipe iklim
Tipe iklim untuk mengetahui kondisi iklim di Sub DAS Gendol
menggunakan acuan dari tipe iklim menurut Schmidt-Fergusson. Metode ini
mendasarkan atas bulan basah dan bulan kering. Hasil perhitungan nilai Q di
Sub DAS Gendol diperoleh tipe iklim C (agak basah) dan D (sedang). Tipe
iklim C (agak basah) didapatkan di Stasiun Ngipiksari dengan elevasi 725 m
dpl serta curah hujan rerata bulanan 270 mm. Tipe iklim D (sedang) terdapat
hampir di seluruh Sub DAS Gendol dari 9 stasiun di sekitar Sub DAS Gendol
meliputi stasiun Banjarharjo, Bronggang, Jangkang, Deles, Woro, Candi Sewu,
Angin-Angin, Pakem dan Prumpung. Untuk lebih jelasnya klasifikasi iklim Sub
DAS Gendol dapat dilihat pada tabel berikut.
TabelD.3.3. Tipe iklim Schmidt-Fergusson di Sub DAS Gendol
No Stasiun Hujan Tipe Iklim Schmidt-Ferguson
Keterangan
1 Ngipiksari C Agak basah
2 Banjar Harjo D Sedang
3 Bronggang D Sedang
4 Jangkang D Sedang
5 Deles D Sedang
6 Woro D Sedang
7 Candi Sewu D Sedang
8 Angin-angin D Sedang
9 Pakem D Sedang
10 Prumpung D Sedang Sumber: Fakultas Geografi UGM, 2011
b) Sub DAS Kuning
Berdasarkan peta lembar Kaliurang, Pakem dan Timoho skala 1:25.000 Sub
DAS Kuning terletak pada 436.000440.000 mT dan 9.162.0009.138.000
mUmemiliki luas wilayah 52,91 km2. Secara administratif mencakup 8 kecamatan
yaitu: Pakem, Cangkringan, Ngaglik, Ngemplak, Depok, Kalasan, Berbah, Piyungan.
Batas wilayah daerah penelitian yaitu:
-
Sebelah utara : Kecamatan Pakem
Sebelah timur : Kecamatan Cangkringan, Kalasan, Ngemplak dan Berbah
Sebelah selatan : Kecamatan Piyungan
Sebelah barat : Kecamatan Depok dan Ngaglik
Secara hidrografi pada lereng selatan Gunungapi Merapi ini mengalir beberapa
sungai yang rata-rata bersifat perenial di hulu dan intermitten di daerah hilir. Salah
satunya yaitu Sungai Kuning. Hulu sungai ini pada elevasi 1.450 m dpl. Dari tempat
tersebut kemudian bercabang menjadi dua alur sungai dan bersatu lagi pada elevasi
425 m dpl dekat Dusun Sembungan. Sungai Kuning bermuara di Sungai Opak pada
elevasi 70 m dpl di sebelah timur Bandara Adisucipto, Dusun Bendosari. Di Pakem
dan Cangkringan lintasan sungai ini sepanjang 22,5 km dengan gradien sungai
4,2%. Aliran lahar hujan yang pernah mengakibatkan bencana alam antara lain:
hancurnyajembatan di Dusun Sumberan, dam atau bendungan dan bangunan irigasi
di Dusun Sawahan serta bangunan penjernih air minum Kota Yogyakarta di Pakem
rusak tergerus lahar dan tertimbun endapan pasir. Parameter-parameter penyusun
morfometri sungai dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel D.3.4. Morfometri sungai di Sub DAS Kuning
No Parameter Hasil Perhitungan
1 Luas Sub DAS (A) 52,91 km2
2 Panjang Sungai Utama (L) 39,02 km
3 Panjang Sungai Ke titik berat DAS Lca 106,79 km
4 Median Elevasi 304,9 m dpl
5 Titik Berat DAS (CoG) 438.095,91 mT ; 9.149.412,17mU
6 Kemiringan sungai (So) 0,080
7 Kemiringan sub DAS 0,140
8 Kerapatan Drainase 2,81 km/km2
9 Luas DAS Daerah Hulu (AU) 25,97 km2
10 Luas DAS Daerah Hilir (AD) 26,94 km2
11 Lebar garis pada 0.75L (WU) 1,91 km
12 Lebar garis pada 0.25L (WL) 2,03 km
13 Panjang DAS 33.372,49 km Sumber: Fakultas Geografi UGM, 2011
a. Curah hujan
Curah hujan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan data curah
hujan dari tujuh stasiun hujan yaitu Ngipiksari (725 m dpl), Pakem (410 m dpl),
Jangkang (259 m dpl), Juwengan (82 m dpl), Berbah (100 m dpl) dan Dolo
-
(350 m dpl). Data hujan yang digunakan adalah data hujan dari tahun 1982-
2006 yang tercantum dalam tabel D.3.5.
Berdasarkan tabel D.3.5.dapat dijelaskan bahwa daerah penelitian
mempunyai hujan tahunan maksimum sebesar 3.576 mm/thn yang dijumpai
pada Stasiun Ngipiksari dan curah hujan minimum sebesar 1.887 mm/thn yang
dijumpai pada Stasiun Juwengan.
Tabel D.3.5. Data curah hujan bulanan per stasiun di Sub DAS Kuning tahun1986-2006
No Bulan
Stasiun Hujan
Ng
ipik
sa
ri
Pak
em
Jan
gkan
g
Ju
wen
gan
Ad
isu
cip
to
Berb
ah
Do
lo
1 Januari 551 399 379 352 560 591 337
2 Februari 613 407 357 371 476 442 375
3 Maret 480 298 248 288 546 383 274
4 April 338 237 174 160 191 133 173
5 Mei 196 97 88 78 80 69 83
6 Juni 116 76 45 44 56 49 49
7 Juli 53 28 18 17 29 24 19
8 Agustus 67 25 20 14 15 12 19
9 September 54 28 10 13 34 14 17
10 Oktober 181 118 101 83 79 74 87
11 November 439 280 243 170 205 177 204
12 Desember 487 323 309 298 305 292 292
CH Tahunan 3.576 2.316 1.990 1.887 2.575 2.259 1.929
Sumber: Analisis data hujan PSDA Kabupaten Sleman
b. Suhu
Kondisi temperatur di daerah penelitian didasarkan pada stasiun
meteorologi Adisucipto yang terletak pada elevasi 107 m dpl selama 25 tahun
(1982-2006). Penentuan temperatur pada lokasi lainnya yakni Stasiun
Ngipiksari (725 m dpl), Stasiun Pakem (410 m dpl), Stasiun Jangkang (259 m
dpl), Stasiun Juwengan (82 m dpl), Stasiun Berbah (100 m dpl) dan Stasiun
Dolo (350 m dpl). Didasarkan pada hasil perhitungan dengan menggunakan
metode Mock (1973) dengan asumsi bahwa kenaikan elevasi 100 meter akan
menurunkan temperatur sebesar 0,6 C.
Rerata tahunan temperatur minimum di DAS Kuning sebesar 24,65 C
terdapat di Stasiun Pakem. Sedangkan rerata tahunan temperatur maksimum
sebesar 26,65 C terdapat di Stasiun Juwengan.
-
c. Tipe iklim
Penentuan tipe iklim di Sub DAS Kuning menggunakan 2 metode
klasifikasi iklim. Metode tersebut yaitu sistem klasifikasi Oldeman dan sistem
klasifikasi Schmidt-Ferguson.
1) Sistem klasifikasi Oldeman
Sub DAS Kuning memiliki tujuh stasiun pengamatan hujan di mana dari
data-data hujan yang ada dapat dicari bulan basah dan bulan kering menurut
Oldeman. Lima dari ketujuh stasiun pengamat hujan di Sub DAS Kuning
tersebut memiliki tipe iklim zona D3. Kelima stasiun pengamat hujan tersebut
berada di Jangkang, Juwangen, Adisucipto, Berbah dan Dolo. Sedangkan dua
stasiun lainnya berada di Ngipiksari dan Pakem yaitu berturut-turut memiliki
tipe iklim zona C2 dan zona C3. Dapat dilihat pada tabel D.3.6:
Tabel D.3.6. Tipe iklim Sub DAS Kuning menurut Schmidt-Ferguson dan Oldeman
2) Sistemklasifikasi Schmidt-Ferguson
Dari tujuh stasiun hujan yang ada di Sub DAS Kuning dapat dicari tipe
iklim menurut Schmidt-Ferguson. Enam dari tujuh stasiun hujan yang ada di
Sub DAS Kuning menunjukkan tipe iklim D atau sedang. Keenam stasiun
hujan tersebut berada di Pakem, Jangkang, Juwengan, Adisucipto, Berbah
dan Dolo. Sedangkan untuk stasiun hujan yang berada di Ngipiksari
menunjukkan tipe iklim C atau agak basah. Seperti terlihat di tabel 3.13.
Klasifikasi tipe iklim menurut Schmidt-Ferguson ini sangat cocok
digunakan untuk penentuan jenis vegetasi di suatu daerah. Untuk Sub DAS
Kuning sendiri memiliki iklim dominan D (sedang). Dimana daerah dengan tipe
iklim D ini sangat baik untuk ditanami vegetasi hutan musim. Selain itu, di Sub
DAS Kuning ada pula daerah dengan tipe iklim C atau agak basah, yaitu di
Ngipiksari. Daerah dengan tipe iklim C sangat baik untuk ditanami vegetasi
yang memiliki kemampuan meranggas di musim kemarau, seperti tanaman jati
dan mangga, kapukrandu.
Tipe Iklim
Ngipiksari Pakem Jangkang Juwengan Adisucipto Berbah Dolo
Schmidt-Ferguson
C (Agak Basah)
D (Sedang)
D (Sedang)
D (Sedang)
D (Sedang)
D (Sedang)
D (Sedang)
Oldeman C2 C3 D3 D3 D3 D3 D3
-
c) Sub DAS Boyong-Code
Secara administrasi DAS Boyong-Code terletak di Kabupaten Sleman, Bantul
dan Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut letak astronominya
terletak pada 7 43' LS serta 110 22' 30" BT. Luas Sub DAS Boyong-Code adalah
44,48 km2. Batas administrasi pada daerah penelitian adalah:
Sebelah utara : Gunungapi Merapi.
Sebelah timur : Kecamatan Cangkringan
Sebelah selatan : Kotamadya Yogyakarta.
Sebelah barat : Kecamatan Turi, dan Sleman.
Morfometriadalahvariabel-variabelterukurdarisuatusistem yang
merupakansalahsatufaktorterpenting yang digunakandalampenelitianini.Dari
hasilpengukuransuatumorfometrisungaikitadapatmengetahuikarakteristik Sub DAS
tersebut.Bentukmemanjang Sub DAS Boyong-Code
disebabkankondisimorfologigunungapimemiliki material yang
hampirsamaataupiroklastisdengankemiringan yang cukupbesar (12,4%).
Bentukmemanjangdengankemiringan yang
cukupbesariniakanmempengaruhivariasihujan. Parameter morfometri Sungai Code
dapat dilihat pada tabel D.3.7:
Tabel D.3.7. Morfometri Sungai Boyong-Code
No Parameter Hasil Perhitungan
1 Luas sub DAS (A) 44,81 km2
2 Panjang Sungai Utama (L) 45,63 km
3 Panjang Sungai ke titik berat DAS Lca
23,76 km
4 Median elevasi 270,382 m dpl
5 Titik Berat DAS (CoG) 433.137 mT ;
9.146.685 mU
6 Kemiringan sungai (So) 0,0017
7 Kemiringan sub DAS 0,124
8 Kerapatan Drainase 0,0024
9 Luas DAS Daerah Hulu (AU) 24,04 km2
10 Luas DAS Daerah Hilir (AD) 20,77 km2
11 Lebar garis pada 0.75L (WU) 1.91 km
12 Lebar garis pada 0.25L (WL) 0,95 km
13 Panjang DAS 38,505 km Sumber: Fakultas Geografi UGM, 2011
-
a. Curah hujan
Curah hujan di sekitar Sub DAS Boyong-Code berdasarkan data dari 10
stasiun pencatat hujan di sekitar Sub DAS Boyong-Code memiliki curah hujan
yang tinggi kurang lebih 2.312 mm/tahun dapat dilihat pada tabel D.3.8.
Sebagian ada yang meresap ke dalam tanah menjadi cadangan airtanah dan
sebagian lagi menguap ke atmosfer.
Tabel D.3.8. curah hujan Sub DAS Boyong-Code
No Nama Stasiun CH Rata-rata
(mm/th)
1 Barongan 1.638,36
2 Gandok 1.956,66
3 Gondangan 2.217,17
4 Jambon 2.256,67
5 Kolombo 2.675,92
6 Ledoknongko 3.001,04
7 Mrican/ Giwangan
1.113,60
8 Ngipiksari 3.509,09
9 Pakem 2.345,24
10 Beran 2.410,38
Rata-rata curah hujan bulanan terendah di Sub DAS Boyong-Code
terjadi di Stasiun Barongan pada bulan Agustus dengan curah hujan sebesar 5
mm/bulan. Sedangkan curah hujan rata-rata bulanan tertinggi terjadi di Stasiun
Ngipiksari pada bulan Februari dengan curah hujan sebesar 580 mm/bulan.
Hujan di Sub DAS Boyong-Code termasuk pola hujan monsunal dimana pola
hujan jenis ini dipengaruhi oleh angin monsun. Jumlah curah hujan minimum
pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September, dan maksimum pada bulan
November, Desember, Januari, dan Februari.
Trend curah hujan selama 2009-2010 sendiri di sepanjang Sub DAS
Boyong-Code menunjukkan intensitas hujan yang tinggi, bahkan sampai awal
2011 ini. Dampaknya sering terjadi genangan bahkan banjir. Selain itu juga
terjadi fenomena angin putting beliung karena adanya perubahan ekstrem dari
cuaca yang semula panas tiba-tiba menjadi dingin dan hujan disertai angin.
Dari segi kesehatan sendiri banyak terjadi gangguan kesehatan masyarakat
seperti demam berdarah dan sistem imun tubuh yang menurun.
-
Pasca erupsi Merapi dari Oktober-Januari sekarang dampak hujan yang
tinggi dan intensif tersebut mengikis lahar dan sedimen yang sudah membeku
dan mengakibatkan banjir lahar dingin yang membawa material Merapi
memenuhi sepanjang aliran di Sub DAS Boyong-Code baik itu dari Sungai
Boyong yang berada pada hilir atas, hingga Sungai Code yang berada di
bawahnya. Dampak dari banjir lahar tersebut banyak terjadi kerusakan
cekdam penahan sedimen dan membuat pendangkalan Sungai Boyong
hingga Code. Material tersebut berupa pasir dan batuan berukuran besar
hingga kecil yang terus ditambang oleh warga masyarakat.
b. Suhu
Data suhu udara di Sub DAS Boyong-Code didapatkan dari hasil
koreksi stasiun-stasiun hujan yang ada dengan Stasiun Klimatologi Adisucipto
pada tahun 1982-2005. Perbedaan suhu dikoreksi dengan menggunakan
Rumus Mock (1973) sehingga kecenderungan suhu tertinggi dan suhu
terendah di stasiun-stasiun hujan di Sub DAS Boyong-Code ini sama. Suhu
tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan suhu terendah terjadi pada bulan
Agustus. Stasiun yang memiliki suhu rata-rata bulanan terendah adalah
Stasiun Ngipiksari karena berada di wilayah yang paling tinggi. Sedangkan
stasiun yang memiliki suhu rata-rata bulanan tertinggi adalah Stasiun
Barongan.
c. Tipe iklim
Penentuan tipe iklim di wilayah penelitian didasarkan pada tipe iklim
Schmidt-Ferguson (1951), tipe iklim Koppen (1918) serta tipe iklim Oldeman
(1975). Tipe iklim Schmidt-Ferguson berdasarkan jumlah bulan basah dan
bulan kering dalam satu tahun, dimana bulan kering adalah bulan dengan
curah hujan rata-rata kurang dari 60 mm sedangkan bulan basah adalah bulan
dengan curah hujan rata-rata lebih dari 100 mm. Kriteria iklim didasarkan pada
hasil bagi rerata jumlah bulan kering dan rerata jumlah bulan basah (nilai Q).
Tipe iklim Schmidt-Ferguson di Sub DAS Boyong-Code berdasarkan data
curah hujan tahun 19832006 beriklim agak basah (C), sedang (D), agak
kering (E). Tipe iklim C (agak basah) terdapat di daerah hulu Sub DAS
Boyong-Code, tipe iklim D (sedang) terdapat di daerah tengah Sub DAS
-
Boyong-Code, sedangkan tipe iklim E (agak kering) terletak di bagian hulu Sub
DAS Boyong-Code.
Penentuan tipe iklim dengan klasifikasi Koppen menggunakan dasar
curah hujan terkering dalam satu bulan (inchi) dan curah hujan rata-rata
tahunan (inchi) yang diplotkan dalam sebuah grafik. Berdasarkan perhitungan
dan pengeplotan menunjukkan bahwa Sub DAS Boyong-Code memiliki iklim
dengan tipe Am dan Aw. Tipe Am berarti pada wilayah tersebut beriklim
monsoon tropis dengan ciri-ciri wilayahnya terik dan hujan berlebihan secara
musiman. Tipe Aw berarti pada wilayah tersebut beriklim hutan hujan tropis
dengan ciri-ciri hujan dalam seluruh musim dan terik.
Tipe iklim Oldeman hanya menggunakan unsur curah hujan sebagai
dasar klasifikasi iklim, dengan mengelompokkan jumlah bulan basah dan
bulan kering berurutan. Berdasarkan hasil klasifikasi iklim Oldeman, Sub DAS
Boyong-Code memiliki tipe iklim C2, C3, D2, dan D3.
d) Sub DAS Bedog
Sub DAS Bedogmerupakanbagiandari DAS Progobagiantimur. Letak Sub DAS
Bedogsecarageografisterletakpadakoordinat 49 M 9.129.150-9.161.700 mUdan
421.650-435.650 mT.Sehinggasecaraadministratif Sub DAS Bedogberada di 2
KabupatenyaituKabupatenSlemandanKabupatenBantul yang
merupakanwilayahadministrasi Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY).BerdasarkanperhitunganmenggunakanpetaRupaBumi Indonesia (RBI) skala
1:25.000 luas DAS Bedogkuranglebih 11.621,42 ha. Batas wilayahdari Sub DAS
Bedogadalah:
Sebelah utara : Sub DAS Krasak
Sebelah timur : Sub DAS Boyong-Code dan Winongo
Sebelah selatan : Sub DAS Winongo
Sebelah barat : Sub DAS Konteng
Morfometri Sub DAS BedogditunjukkanpadatabelD.3.9.
TabelD.3.9. Tabelmorfometri Sub DAS Bedog
Parameter sub DAS Keterangan
Luas sub DAS 86,296 km2
Panjang Sungai 42,478 km
h10 62,5 m
h85 475 m
-
Parameter sub DAS Keterangan
Gradien Sungai Rata-Rata 12,94
Sungai Orde 1 Jumlah 43
Panjang 75,641 km
Sungai Orde 2 Jumlah 10
Panjang 42,544 km
Sungai Orde 3 Jumlah 3
Panjang 23,359 km
Sungai Orde 4 Jumlah 1
Panjang 26,226 km
Faktor Sumber (SF) 0,451
Frekuensi Sumber (SN) 0,754
Faktor Lebar (WF) 1,872
Luas sub DAS Hulu (RUA) 0,519 km2
Faktor Simetri 0,972
Jumlah Pertemuan Sungai (JN) 42
Kerapatan Jaringan 1,994 Sumber: Fakultas Geografi UGM, 2011
a. Curah hujan
Pengukuran, penentuan kondisi iklim dan cuaca didasarkan pada
pengukuran dan data pada stasiun klimatologi yang terdapat di dalam suatu
DAS atau di sekitar DAS. Stasiun hujan yang digunakan dalam penentuan
kondisi dan tipe iklim serta pengukuran lain yang berkaitan dengan kondisi
iklim meliputi 11 (sebelas) stasiun hujan, ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel D.3.10 Stasiun hujan di Sub DAS Bedog
No Nama Stasiun Koordinat
Tahun Data Sumber X Y
1 Ngepos 429335 9186158 1986-2006 BPSDA DIY
2 Beran 423848 9146748 1986-2006 BPSDA DIY
3 Seyegan 421989 9141371 1986-2006 BPSDA DIY
4 Godean 427255 9142608 1986-2006 BPSDA DIY
5 Jambon 425057 9138151 1986-2006 BPSDA DIY
6 Patukan/ Gamping 429211 9145436 1986-2006 BPSDA DIY
7 Gandok 431162 9131251 1986-2006 BMKG
8 Pakem 435971 9152386 1986-2006 BMKG
9 Kemput 434343 9155609 1986-2006 BMKG
10 Prumpung 432914 9148052 1986-2006 BMKG
11 Ngipiksari 436668 9158314 1986-2006 BMKG Sumber : BPSDA DIY, 2009 dan BMKG
Besarnya curah hujan rata-rata bulanan di Sub DAS Bedog dapat dilihat
pada tabel D.3.11. Berdasarkan distribusi curah hujan rata-rata dapat
-
ditentukan tipe hujan pada 6 (enam) stasiun hujan di sekitar Sub DAS Bedog
termasuk tipe monsunal. Tipe monsunal dicirikan dengan curah hujan minimum
pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September. Curah hujan tertinggi pada
bulan November, Desember, Januari, dan Februari. Saat monsun barat, jumlah
curah hujan berlebih karena angin membawa uap air yang banyak dari
Samudra Hindia. Sebaliknya saat monsun timur jumlah curah hujan sangat
sedikit karena uap air yang dibawa angin sangat sedikit.
Distribusi dan besarnya curah hujan dipengaruhi oleh kondisi topografi.
Curah hujan rata-rata bulanan tertinggi terdapat pada Stasiun Ngipiksari (712 m
dpl) dengan curah hujan rata-rata tertinggi pada bulan Februari (614 mm/bln).
Curah hujan rata-rata bulanan terendah terdapat pada Stasiun Ngepos dan
Gandok. Curah hujan rata-rata bulanan terendah terdapat pada bulan Agustus
di Stasiun Ngepos (8 mm/bln).
Tabel D.3.11. Tabel curah hujan rata-rata bulanan di Sub DAS Bedog
Bulan
Stasiun Hujan
Ng
ep
os
Se
ye
ga
n
Go
de
an
Ja
mb
on
Pa
tuk
an
Bera
n
Ga
nd
ok
Pa
kem
Kem
pu
t
Pru
mp
un
g
Ng
ipik
sa
ri
Januari 410 388 394 374 336 405 374 385 481 347 546
Februari 377 347 382 381 341 395 428 406 444 353 614
Maret 345 284 335 320 298 333 301 304 408 304 511
April 228 211 200 220 176 216 185 239 252 234 374
Mei 115 92 86 80 63 99 71 110 124 100 184
Juni 84 63 68 62 57 79 57 76 75 71 138
Juli 27 23 33 33 70 37 18 31 21 34 68
Agustus 17 17 24 22 17 20 8 27 36 21 92
September 20 9 21 17 12 16 10 16 30 19 52
Oktober 160 109 143 122 93 153 90 114 201 135 218
November 281 238 289 239 211 271 182 279 334 217 512
Desember 353 353 353 304 282 345 324 306 293 302 500 Sumber: Hasil perhitungan data curah hujan stasiun hujan di Sub DAS Bedog tahun 1986-2006
b. Suhu
Parameter iklim lainnya yang berpengaruh dalam sistem hidrologi
adalah temperatur udara (suhu). Data suhu udara yang digunakan diperoleh
dari Stasiun Meteorologi Adisutjipto. Penentuan suhu udara bulanan pada tiap
stasiun dilakukan menggunakan persamaan Mock (1973). Berdasarkan hasil
-
perhitungan suhu rata-rata bulanan pada 7 (tujuh) stasiun, yaitu Ngepos,
Ngipiksari, Pakem, Gandok, Kemput, Godean, dan Patukan didapatkan hasil
suhu udara rata-rata bulanan tertinggi terdapat pada bulan Oktober dan paling
rendah pada bulan Agustus.
c. Tipe iklim
Sub DAS Bedog mempunyai bentuk yang memanjang, diawali dari
bagian hulu di lereng Gunungapi Merapi, di bagian tengah dan hulu
merupakan dataran fluvio vulkan dan dataran vulkan dengan topografi berupa
dataran, dan terdapat pula bagian berupa Perbukitan Sentolo
tersusunolehbatugampingdengansisipannapal. Variasi topografi dan
kompleksitas sistem di dalamnya membuat adanya sebuah variasi iklim. Iklim
merupakan gabungan dari berbagai unsur yang mengawali beberapa proses di
atmosfer. Penentuan iklim dapat digolongkan menjadi beberapa metode, yaitu
metode menurut Schimdt-Fergusson, menurut Koppen, dan menurut Oldeman.
Tabel D.3.12. Tipe iklim Sub DAS Bedog
Stasiun Oldemann Schimdt-
Fergusson
Beran C3 C
Gandok C3 D
Godean C3 D
Jambon C3 D
Kemput C3 D
Ngepos C3 C
Ngipiksari B2 C
Pakem D3 C
Patukan/ Gamping D3 D
Prumpung D3 D
Seyegan C3 D
Berdasarkan klasifikasi iklim tipe Schimdt-Fergusson Sub DAS Bedog terdiri
dari 2 tipe iklim, yaitu tipe iklim C (agak basah) dan D (sedang). Tipe iklim C tersebar
di daerah lereng atas Gunungapi Merapi yang direpresentasikan pada Stasiun
Beran, Ngepos, Ngipiksari, dan Pakem. Tipe iklim D (sedang) menyusun sebagian
besar daerah hulu yang dapat dilihat pada tabel D.3.12. Tipe iklim C terdapat pada
bagian hulu Sub DAS Bedog. Sedangkan tipe iklim D (sedang) mendominasi
mayoritas luasan Sub DAS Bedog.
-
Klasifikasi tipe iklim Oldeman Sub DAS Bedog bagian hulu termasuk dalam tipe
iklim B2 yang diwakili oleh Stasiun Ngipiksari. Bagian tengah Sub DAS Bedog
termasuk ke dalam tipe iklim C3, sedangkan di bagian selatan termasuk ke dalam
tipe iklim D3. Ini berarti dari hulu ke hilir, berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, Sub
DAS Bedog memiliki iklim yang basah di utara, dan semakin kering di daerah
selatan
-
AIR TANAH
Air tanah pada daerah penelitian dikontrol oleh Sistem Akuifer Merapi (SAM)
yang tersusun atas Formasi Yogyakarta dan Formasi Sleman. Formasi Sleman lebih
tua dari Formasi Yogyakarta sehingga Formasi Sleman berada di bawah Formasi
Yogyakarta. Material Formasi Sleman berupa pasir, gravel dan boulder sedangkan
material Formasi Yogyakarta terdiri dari pasir, gravel, silt dan lempung. Ketebalan
Formasi Sleman bervariasi, di bagian utara 38 m dan di selatan Kota Yogyakarta
120 m. Ketebalan Formasi Yogyakarta lebih dari 45 m (Mac Donald & Patners,
1984). Sistem Akuifer Merapi mempunyai topografi yang miring ke selatan sesuai
dengan topografinya yang semakin rendah dari utara menuju ke selatan. Pola
alirannya radial sentrifugal seperti biasa yang terdapat pada daerah vulkan yang
berbentuk kerucut.
Pergerakan airtanah pada daerah penelitian secara menyeluruh mengalir dari
utara menuju ke selatan. Muka freatik airtanah ini terpotong oleh lembah-lembah
sungai sehingga dapat dimungkinkan munculnya mataair di daerah tersebut. Selain
itu mataair sering dijumpai pada daerah peralihan slope. Peralihan slope ini selain
ditandai dengan adanya mataair juga ditandai dengan adanya perbedaan yang
mencolok pada daerah tersebut antara lain perubahan dari lereng curam ke lereng
yang datar maupun juga oleh perbatasan antara penggunaan lahan yang kering
dengan erosi persawahan.
a) Sub DAS Gendol
Sub DAS Gendol materialnya berupa batuan gunungapi tak terpisahkan dan
endapan Gunungapi Merapi tua yang terdiri dari breksi vulkanik, aglomerat dan lava
yang bersusunan andesit.
Daerah kajian berada pada sisi selatan lereng Gunungapi Merapi pergerakan
airtanahnya secara menyeluruh mengalir dari utara ke selatan. Maka freatik airtanah
ini terpotong oleh lembah-lembah sungai sehingga mataair muncul. Pasokan
airtanah pada daerah kajian diperoleh dari perkolasi air hujan. Material pembentuk
akuifer pada bentuklahan ini memiliki nilai konduktivitas hidrolik yang cukup tinggi
sehingga memberikan potensi airtanah yang cukup besar. Pada daerah hulu Sub
-
DAS Gendol di dominasi oleh penggunaan mataair sedangkan untuk pemakaian
airtanah berada pada bagian tengah dan hilir Sub DAS Gendol.
Nilai kedalaman airtanah di Sub DAS Gendol memiliki keanekaragaman. Hal ini
dipengaruhi oleh perbedaan elevasi, topografi dan stratigrafi batuan di wilayah Sub
DAS Gendol. Secara keseluruhan kecuali di bagian paling hulu sub DAS potensi
airtanah di wilayah tersebut adalah baik. Meskipun nilai kedalaman muka airtanah
hasil pengukuran lapangan dan tebal akuifer hasil analisis data geolostrik
menunjukkan nilai yang bervariasi. Namun dapat disimpulkan secara umum
kedalaman muka airtanah di Sub DAS Gendol pada daerah hilir sekitar 3 meter.
Sedangkan pada daerah tengah terdapat sumur yang mempunyai kedalaman
hingga 48 m dan pada daerah hulu tidak ditemukan sumur gali akan tetapi untuk
memenuhi kebutuhan airnya penduduk menggunakan sumberdaya mataair yang
tersedia.
Jaring-jaring airtanah (flownet) yang dihasilkan menunjukkan bahwa wilayah
Sub DAS Gendol yang berada di lereng atas hingga lereng tengah merupakan
bagian dari daerah tangkapan (rechargearea). Sedangkan bagian di bawahnya
hingga ke hilir sub DAS merupakan bagian dari daerah pemanfaatan
(dischargearea). Hal tersebut terlihat dari pola jaring-jaring airtanah yang
menunjukkan arah aliran yang dimulai dari bagian hulu Sub DAS Gendol kemudian
mengumpul menuju bagian hilir sub DAS.
Wilayah Sub DAS Gendol di bagian lereng atas selatan Gunungapi Merapi
memiliki potensi airtanah yang paling rendah dibandingkan dengan wilayah hilir. Hal
tersebut ditunjukkan dengan kedalaman muka airtanah yang sangat tinggi sehingga
jarang sekali ditemukan sumur di wilayah tersebut karena untuk membuat sumur
perlu pengeboran yang sangat dalam. Hal tersebut disebabkan lapisan material
pasir sangat tebal, yang berarti lapisan akuifer juga terlalu dalam sehingga airtanah
yang diperoleh juga akan semakin dalam. Kelemahan pada pengukuran lapangan ini
adalah pada saat wawancara dengan warga tidak mengetahui besar kecilnya nilai
fluktuatif. Fluktuasi tinggi muka airtanah tersebut terjadi karena faktor jumlah infiltrasi
dan evaporasi yang berbeda antara musim hujan dengan musim kemarau. Nilai
infiltrasi di musim hujan lebih besar dibandingkan pada musim kemarau dan nilai
evaporasi lebih besar di musim kemarau dibandingkan di musim hujan, sedangkan
kebutuhan air saat musim hujan dan musim kemarau rata-rata adalah sama. Hal
tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan muka airtanah saat musim kemarau.
-
Untuk menghindari terjadinya penurunan muka airtanah yang ekstrim diperlukan
suatu batasan dalam penggunaan airtanah yang diukur dengan nilai hasil aman.
Sub DAS Gendol memiliki keanekaragaman potensi airtanah. Hal ini
dipengaruhi oleh perbedaan elevasi, topografi dan stratigrafi batuan di wilayah Sub
DAS Gendol. Nilai fluktuatif airtanah dipengaruhi oleh curah hujan, infiltrasi, dan
evaporasi. Arah aliran airtanah (flownet) pada Sub DAS Gendol mengalir ke selatan
dimana lereng atas hingga lereng tengah merupakan bagian dari recharge area
sedangkan bagian di bawahnya hingga ke hilir sub DAS merupakan bagian dari
discharge area.
Potensi airtanah Sub DAS Gendol hanya masuk ke dalam 3 kelas klasifikasi
dari 5 kelas yang ada. Kelas potensi airtanah yang tidak ditemui di Sub DAS Gendol
yaitu kelas potensi sangat rendah dan sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa di
wilayah Gendol tidak terdapat variasi potensi airtanah yang begitu tinggi sehingga
daerahnya relatif jarang mengalami krisis air bersih, kecuali pada daerah-daerah
hulu Gendol yang memiliki tingkat potensi airtanah rendah. Dengan demikian
kebutuhan air domestiknya tidak menggantungkan pada sumberdaya airtanah
melainkan bergantung pada sumber mataair Bebeng.
Wilayah dalam Sub DAS Gendol yang termasuk dalam kelas potensi rendah
berada di bagian utara Dusun Bebeng dan Kalitengah Lor yaitu sebesar 6,78% dari
luas seluruh sub DAS pada bagian atas/ hulu sub DAS. Dilihat dari bentuklahannya
yang berupa kerucut gunungapi kemiringan lereng yang miring hingga curam (>30%)
litologinya berupa material breksi, aglomerat dan leleran lava (endapan Gunungapi
Merapi tua/ Qmo), kedalaman airtanah yang sangat dalam (>48 m) serta dari
penggunaan lahannya yang berupa tanah berbatu yang tandus wajar kalau di
wilayah tersebut sulit menemukan airtanah serta tidak terdapat permukiman
penduduk.
Kelas potensi airtanah sedang terdapat hampir di seluruh sub DAS yakni pada
bagian tengah sebesar 78,98% dari luas seluruh Sub DAS Gendol. Bentuklahan
pada kelas potensi sedang ini terdiri dari lereng tengah, sebagian lereng atas dan
bawah, penggunaan lahannya berupa tegalan, kebun, hutan, sawah serta
permukiman. Kemiringan lerengnya mulai dari datar-landai hingga miring (0-30%),
litologinya berupa material tuf, abu, breksi, aglomerat dan leleran lava tak
terpisahkan (endapan Gunungapi Merapi muda/ Qmi), curah hujan yang sedang
(2.233-2.625 mm/tahun), kedalaman airtanah yang dalam hingga sedang (2-10,46
-
m) serta nilai permeabilitas sedang (2,0-6,25 cm/jam) dengan tekstur tanah geluh
berpasir menyebabkan potensi airtanah di daerah ini termasuk sedang dan dapat
mencukupi kebutuhan warga yang bermukim di sekitar wilayah tersebut.
Potensi airtanah dengan kelas tinggi terdapat pada daerah bawah/ hilir sub
DAS dengan cakupan wilayah sebesar 14,24% dari seluruh luas sub DAS. Terdiri
dari daerah administrasi sebagian Desa Sindumartani, Desa Kebonalas dan Desa
Kranggan. Wilayah ini memiliki kedalaman muka airtanah dangkal sampai sangat
dangkal (0,4-2 m), kemiringan lereng datar (0-3%), nilai permeabilitas sedang,
litologi berasal dari endapan Gunungapi Merapi muda, ketebalan akuifer termasuk
tebal (91,4-113,2 m), penggunaan lahan berupa sawah dan permukiman, serta
bentuklahan berupa sebagian lereng bawah dan lereng kaki mengakibatkan wilayah
ini memiliki potensi airtanah yang tinggi walaupun memiliki curah hujan yang rendah
(1.823-1.982 mm/tahun). Seluruh warga di wilayah ini memenuhi kebutuhan air
domestik sehari-hari dengan menggunakan airtanah yang berasal dari sumur gali.
Letaknya yang berada di daerah hulu Sub DAS Opak dan memiliki tekstur tanah
dengan nilai permeabilitas sedang dari Sub DAS Gendol ini menjadikannya sebagai
daerah resapan air (recharge area).
b) Sub DAS Kuning
Secara umum airtanah di Sub DAS Kuning memiliki potensi sedang karena
adanya kombinasi antara parameter penentu potensi airtanah yang tinggi dengan
parameter penentu airtanah lainnya yang relatif rendah. Parameter penentu potensi
airtanah yang tinggi ditunjukkan dengan sebagian besar material batuan. Material
penyusun Sub DAS Kuning porus air merupakan bagian dari formasi Merapi yang
tersusun atas material tuff, abu, breksi, algomerat, leleran lava, andesit dan basalt
sehingga membentuk sistem akuifer yang baik. Curah hujan yang tinggi di bagian
lereng Merapi dan vegetasi yang masih lebat juga menjadi bagian dari parameter
penentu potensi airtanah yang tinggi sehingga mampu mendukung terbentuknya
sistem daerah tangkapan hujan yang baik. Parameter penentu potensi airtanah yang
rendah salah satunya ditunjukkan dengan muka airtanah yang dalam, pola
penggunan lahan sebagai permukiman dan jenis tekstur tanah yang relatif kedap
terhadap air contohnya lempung.
Kondisi potensi airtanah yang sedang hingga tinggi di Sub DAS Kuning
menunjukkan masyarakat di sekitar Sub DAS Kuning tidak mengalami kesulitan
-
dalam memanfaatkan airtanah sebagai sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan
domestiknya meskipun dibeberapa daerah di bagian utara Sub DAS Kuning (lereng
atas Merapi) potensi airtanahnya rendah. Namun permasalahan ini dapat diatasi
dengan memanfaatkan mataair yang ada atau melalui sistem distribusi dari daerah
yang memiliki potensi airtanah tinggi ke daerah yang memiliki potensi airtanah
rendah.
Potensi airtanah di Sub DAS Kuning secara mendalam dapat ditunjukkan
melalui pembagian Sub DAS Kuning menjadi bagian Utara, Tengah dan Selatan.
Bagian Utara (lereng atas Merapi) meliputi Desa Hargobinangun, Umbulharjo,
Pakembinangun dan Wukirsari sebagian besar memiliki potensi airtanah sedang
meski ada daerah-daerah dengan potensi airtanah tinggi yaitu di bagian utara dan
tengah Desa Hargobinangun dan daerah-daerah dengan potensi airtanah rendah
seperti di bagian barat Desa Hargobinangun. Potensi airtanah tinggi di bagian utara
dan tengah Desa Hargobinangun disebabkan daerah tersebut tersusun atas material
yang porus air dengan tekstur pasir berlempung hingga lempung berpasir yang
mampu menyimpan air dengan baik, jenis penggunaan lahan berupa hutan yang
mampu menginfiltrasikan air hujan secara maksimal, akuifer yang relatif tebal
sebagai media penyimpan air dengan volume besar dan permeabilitas yang agak
cepat. Di daerah ini juga ditemukan beberapa sumur yang memiliki kedalaman air
cukup dangkal, bahkan ketika musim penghujan air yang ada pada sumur-sumur
tersebut dapat meluber. Keadaan ini dikarenakan letak sumur berada tepat pada
tekuk lereng. Potensi airtanah rendah di bagian barat Desa Hargobinangun
disebabkan oleh relief daerah tersebut sangat curam sehingga mempersulit proses
infiltrasi air hujan kedalam tanah, permeabilitas tanah agak lambat dan jenis
penggunaan lahan berupa permukiman menyebabkan proses infiltrasi air hujan
terhambat.
Sub DAS Kuning bagian Tengah meliputi Desa Umbulmartani, Widodomartani,
Sukoharjo dan Selomartani didominasi dengan potensi airtanah sedang hingga
tinggi. Kondisi tersebut terjadi karena wilayahnya memiliki permeabilitas tanah yang
agak cepat hingga cepat, material penyusun akuifer porus air dengan tekstur pasir
berlempung hingga lempung berpasir, relief relatif landai, airtanah relatif dangkal dan
jenis pengunaan lahan sebagian besar mampu menginfiltrasikan air hujan dengan
baik seperti sawah, tegalan, kebun, atau rawa. Wilayah Sub DAS Kuning bagian
-
Tengah tidak ditemukan potensi airtanah rendah karena sebagian besar parameter
penentu potensi airtanahnya mengarah pada potensi airtanah yang baik.
GambarD.3.1. Sumur gali penduduk di lereng tengah yang berada pada tekuk lereng
(Posmalang, Wukirsari)
Bagian Selatan Sub DAS Kuning meliputi Desa Wedomartani, Purwomartani,
Maguwoharjo, Kilitirto, Tegaltirto, Sendangtirto, Potorono dan Sitimulyo didominasi
dengan potensi airtanah tinggi. Bahkan di daerah ini juga ditemukan potensi airtanah
yang sangat tinggi di bagian timur Desa Purwomartani akibat permeabilitas tanah
yang cepat, jenis material batuan sangat porus dengan tekstur lempung berpasir,
jenis penggunaan lahan berupa kebun dan lahan terbuka mampu menginfiltrasikan
air hujan dengan baik, relief relatif datar, dan muka airtanah relatif dangkal. Di
wilayah ini tidak ditemukan daerah dengan potensi airtanah yang rendah.
c) Sub DAS Boyong-Code
Aliran airtanah di Sub DAS Boyong-Code secara umum mengalir dari utara ke
selatan yaitu dari Pakem, Sleman hingga ke Jetis, Bantul. Pola persebaran alirannya
berbentuk radial sentrifugal merupakan ciri khas dari pola aliran gunungapi.
Pemanfaatan airtanah bagi masyarakat di sekitar Sub DAS untuk irigasi sawah,
tambak ikan, konsumsi dan MCK. Sub DAS Boyong-Code yang didominasi
permukiman cenderung membuat masyarakat menggunakan airtanah untuk
konsumsi dan kegiatan domestik lainnya.
Daerah recharge area berada di lereng atas, tengah dan bawah yaitu di daerah
Hargobinangun, Pakembinagun dan Harjobinangun. Sedangkan daerah
pemanfaatannya atau discharge area berada di kaki lereng ke selatan Sleman, Kota
-
Yogyakarta hingga Jetis, Bantul yang dilalui oleh Sub DAS Boyong-Code. Daerah
recharge area merupakan wilayah konservasi air dan merupakan wilayah yang
didominasi hutan dengan permukiman jarang dan menyebar.
Seiring perkembangan kekotaan dan padatnya penduduk penggunaan
airtanahnya juga tinggi. Dikhawatirkan airtanah menjadi semakin dalam apabila terus
dipompa berlebihan. Fluktuasi pada musim kemarau mengakibatkan penurunan
tinggi muka air. Berdasarkan survei pengukuran sumur dan hasil wawancara
penduduk di lereng atas fluktuasi TMA airtanah 1-3 m.
Sub DAS Boyong-Code memiliki 3 kelas potensi airtanah yaitu sedang, rendah
dan tinggi. Wilayah dengan tingkat potensi airtanah rendah terletak di Sub DAS
Boyong-Code bagian hulu. Wilayah ini walaupun memiliki curah hujan cukup tinggi
akan tetapi tingkat kemiringan lerengnya terlalu curam sehingga air hujan yang turun
banyak menjadi runoff dan masuk ke sungai menjadi aliran permukaan. Akuifernya
tipis dan juga batuan penyusunnya tidak mampu menyimpan air dengan baik
sehingga potensinya rendah. Daerah yang memiliki potensi airtanah rendah ini
meliputi Kelurahan Hargobinangun bagian selatan dan juga sebagian Kelurahan
Purwobinangun.
Wilayah dengan tingkat potensi airtanah sedang terletak di bagian tengah Sub
DAS Boyong-Code. Wilayah ini memiliki curah hujan cukup tinggi, tingkat kemiringan
lereng agak terjal dan akuifernya tebal. Nilai permeabilitasnya cukup besar akan
tetapi wilayah ini banyak yang sudah menjadi permukiman sehingga kapasitas
infiltrasinya berkurang dan potensi airtanah yang tersimpan tidak cukup besar.
Potensi airtanah sedang ini tersebar di sepanjang Sub DAS Boyong-Code, meliputi
Kelurahan Donoharjo, Sardonoharjo, Sinduharjo, Condongcatur, Sariharto, Sinduadi,
Caturtunggal dan Kota Yogyakarta.
Wilayah dengan tingkat potensi airtanah tinggi terletak di daerah hilir Sub DAS
Boyong-Code. Akuifernya sangat tebal, lerengnya landai, curah hujannya cukup
tinggi, airtanahhya dangkal dan tingkat permeabilitasnya tinggi. Walaupun
penggunaan lahannya sebagian besar berupa permukiman dan pertanian akan
tetapi di wilayah ini potensi airtanahnya termasuk tinggi. Daerah yang memiliki
potensi airtanah tinggi meliputi Kelurahan Pakembinangun, Harjobinangun,
Kecamatan Banguntapan, Sewon, Jetis dan juga Kecamatan Pleret.
-
d) Sub DAS Bedog
Arah aliran airtanah di Sub DAS Bedog dari utara ke selatan berdasarkan
interpolasi pengambilan data koordinat sumur-sumur yang didapat dari survei
lapangan dari Hargobinangun, Sleman hingga Triharjo, Bantul. Fluktuasi terjadi
karena perubahan akibat dari suplai curah hujan atau perubahan musim dari
kemarau ke hujan yang mempengaruhi infiltrasi air yang menyuplai akuifer. Fluktuasi
bervariasi antara 0,5-9 m. Data fluktuasi ini didapatkan dari hasil wawancara dengan
penduduk. Rata-rata fluktuasi untuk DAS Bedog adalah 1,92 meter.
Pemanfaatan terbesar ditunjukkan dengan adanya kontur-kontur yang merapat
dan menuju pada satu titik menunjukkan penurapan airtanah yang paling besar.
Pemanfaatan tersebut berada di lereng atas, tengah dan bawah. Penggunaan relatif
besar berada di daerah atas dan tengah (Sleman-Kota Yogyakarta). Sedangkan di
daerah bawah (Bantul) karena penduduknya lebih jarang maka penurapan
airtanahnya tidak seintensif daerah atas dan tengah. Di lereng atas sendiri yang
seharusnya merupakan wilayah konservasi airtanah atau recharge area namun
penurapannya sudah begitu besar. Ini dikarenakan perkembangan penduduk tidak
terkendali dan hampir meratanya intensitas pertambahan populasi penduduk.
Airtanah tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air penduduk untuk
konsumsi, mandi, peternakan dan irigasi.
Penurapan airtanah relatif besar tercatat di Desa Bangunkerto, Donokerto dan
Trimulyo. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah dimana penggunaan
airtanahnya intensif yang ditunjukkan dengan flownet yang memusat pada suatu
titik. Penurapan airtanah yang besar tersebut akibat dari padatnya penduduk dan
pembuatan sumur pompa yang berlebihan. Apabila tidak segera diatasi hal ini bisa
menimbulkan permasalahan distribusi airtanah tidak merata dan membuat airtanah
menjadi semakin dalam.
Potensi airtanah ditentukan berdasarkan parameter-parameter fisik seperti
batuan induk, kedalaman sumur, geomorfologi, curah hujan, kemiringan lereng, tebal
akuifer, tekstur tanah dan penggunaan lahan. Potensi airtanah terbagi menjadi 5
klasifikasi potensi yaitu potensi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat
rendah (lihat tabel D.3.13).
-
TabelD.3.13. Lokasi administrasi potensi airtanah
Potensi Airtanah
Lokasi
Sangat tinggi
Sebagian desa: Bangunjiwo, Tamantirto, Balecatur, Ambarketawang, Trimulyo, Bangunkerto, Donokerto, Girikerto, Wonokerto, Bantul, Pandowoharjo, Guwosari, Triharjo, Gilangharjo, Wijirejo, Ringinharjo, Tirtonirmolo, Ngestiharjo, Sendangsari, Sidoarum
Tinggi
Sebagian desa: Triharjo, Gilangharjo, Wijirejo, Ringinharjo, Bantul, Pendowoharjo, Bangunjiwo, Tirtonirmolo, Tamantirto, Ngestiharjo, Sendangsari, Guwosari, Sidoarum, Sidomoyo, Balecatur, Ambarketawang, Banyuraden, Nogotirto, Trihanggo, Tirtoadi, Sumberadi, Tlogoadi, Sendangadi, Tridadi, Pandowoharjo, Trimulyo, Bangunkerto, Donokerto, Girikerto, Wonokerto, Purwobinangun, Hargobinangun
Sedang
Sebagian desa: Wijirejo, Ringinharjo, Bantul, Pendowoharjo, Bangunjiwo, Tirtonirmolo, Tamantirto, Sendangsari, Guwosari, Balecatur, Ambarketawang, Trihanggo, Sumberadi, Tlogoadi, Sendangadi, Tridadi, Pandowoharjo, Trimulyo, Bangunkerto, Donokerto, Girikerto, Wonokerto, Purwobinangun, Hargobinangun
Rendah Sebagian desa: Bangunjiwo, Sendangsari, Guwosari, Balecatur, Ambarketawang, Tamantirto, Tridadi, Wijirejo, Bantul, Girikerto, Wonokerto, Purwobinangun, Hargobinangun
Sangat rendah
Sebagian desa: Guwosari, Bangunjiwo, Sendangsari, Tamantirto, Balecatur, Ambarketawang
Potensi airtanah sangat tinggi tersebar di bagian hulu dan hilir Sub DAS Bedog.
Bagian hulu meliputi lereng tengah dan lereng bawah terutama di desa Bangunkerto
dan Wonokerto sedangkan di bagian hilir meliputi lereng kaki fluvio volkanic dan
dataran aluvial. Kemiringan lereng relatif datar (terutama dibagian hilir) sekitar 0-8 m
mampu menahan air hujan yang jatuh lebih lama di suatu tempat sehingga infiltrasi
lebih lama dibandingkan dengan daerah yang memiliki topografi miring. Jenis tanah
didominasi regosol coklat keabuan dengan tekstur pasir membuat air hujan yang
jatuh sangat mudah meresap kedalam tanah. Batuan induk berupa abu/ pasir dan
tuff vulkan dimana sangat umum dijumpai pada bentanglahan gunungapi.
Potensi airtanah yang tinggi mendominasi hampir seluruh morfologi Sub DAS
Bedog mulai dari hulu sampai hilir (lereng tengah, lereng bawah, lereng kaki fluvio
volkanic dan dataran aluvial) kecuali Perbukitan Sentolo di bagian hilir. Batuan induk
-
berupa abu/ pasir dan tuff vulkan dengan jenis tanah didominasi regosol coklat
keabuan dengan tekstur pasir sehingga mampu meresapkan air dengan baik.
Kedalaman akuifer sekitar 80-120 m, kemiringan lereng sekitar 0-15 meter dan
kedalaman sumur relatif cukup dangkal sekitar 1-8 m. Kondisi geomorfologi yang
mendukung terhadap meresapnya air ke dalam tanah ditambah lagi dengan curah
hujan yang besar yaitu diatas 2.500 mm/th, membuat daerah ini memiliki kondisi
potensi airtanah yang besar. Penduduk yang tinggal di daerah sangat tercukupi
kebutuhannya akan air. Penggunaan lahannya didominasi sawah dan permukiman.
Daerah yang memiliki potensi airtanah sedang terbagi menjadi 3 bagian yaitu
dibagian hulu, tengah dan hilir. Bagian hulu meliputi lereng tengah,bagian tengah
termasuk lereng bawah dan di bagiah hilir meliputi dataran aluvial, perbukitan
denudasional (Sentolo) dan bukit sisa. Tekstur tanah berupa pasir dan lempung
dengan batuan induk dibagian hulu, bagian tengah berupa abu/ pasir dan tuff dan
batuan vulkan serta bagian hilir dengan campuran batu kapur dan napal. Wilayah
yang termasuk berpotensi sedang adalah Desa Girikerto, sebagian Desa
Wonokerto, Tridadi, Sendangadi, Pandowoharjo dan sebagian Desa Bangunjiwo.
Kedalaman akuifer rata-rata 30-120 m, kemiringan lereng antara 3-15 m dan
kedalaman sumur rata-rata 3-10 m dan penggunaan lahan didominasi permukiman
membuat ketersediaan air pada kawasan ini cukup digunakan untuk penduduk.
Airtanah dengan potensi rendah tersebar di bagian hulu yaitu di sebagian Desa
Girikerto dan Hargobinangun dan di bagian hilir yang memiliki topografi berbukit
(Formasi Sentolo) meliputi Desa Sendangsari, Guwosari dan Balecatur. Di bagian
hulu batuan induknya berupa abu/ pasir dan tuff vulkan dengan tekstur lempung
bergeluh dengan porositas kecil sehingga air sulit meresap kedalam tanah.
Kemiringan lereng yang curam mengakibatkan air lebih dominan menjadi aliran
permukaan. Di bagian hilir yang termasuk morfologi Perbukitan Sentolo terjadi
proses pengikisan rendah sampai kuat memiliki batuan induk batugamping dan
napal. Tekstur tanahnya lempung bergeluh. Sama seperti di bagian hulu dimana
proses pergerakan air yang dominan adalah horizontal yaitu menjadi aliran
permukaan. Penggunaan lahan di kedua bentuklahan didominasi tegalan dan
permukiman.
Beberapa daerah seperti Desa Sendangsari dan Guwosari memiliki potensi
airtanah yang sangat rendah. Kawasan ini termasuk dalam bagian Formasi Sentolo
dimana bentukan batuannya berupa campuran batugamping dan napal yang padu/
-
kompak. Sedangkan material lepas hasil lapukan dijumpai sangat tipis di
permukaannya sehingga diperkirakan daerah ini termasuk akuifer yang tidak
produktif. MacDonald (1984) mengklasifikasikannya sebagai akuifer minor yaitu
akuifer yang hanya mampu menyediakan air untuk keperluan domestik. Airtanahnya
langka karena kawasan ini memiliki bentukan batuan yang kedap air ditambah lagi
dengan kondisi bentuklahannya yang berbukit dengan kemiringan lereng 8-30 m.
Meskipun curah hujan cukup besar yaitu sekitar 2000 mm/th, namun tekstur
tanahnya berupa lempung bergeluh dimana porositasnya sangat kecil menyebabkan
air sulit meresap ke dalam tanah. Air hanya dapat meresap ke dalam rekahan-
rekahan batuan yang berkekar. Penggunaan lahannya didominasi permukiman.
Daerah yang potensi airtanahnya sangat rendah menandakan bahwa daerah
tersebut tidak cocok untuk didirikan permukiman.
Pada daerah tertentu di Sub DAS Bedog terdapat sumur-sumur yang
mengalami kekeringan. Hal ini disebabkan oleh tekanan atau gencetan terhadap
material akuifer di satu sisi dan di sisi yang lain mengalami kenaikan elevasi akuifer.
Sedangkan tinggi muka airtanah tetap sehingga terkesan mengalami penurunan
muka airtanah. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya fenomena ini adalah
kemungkinan karena timbulnya retakan baru/ sesarpadasaatgempatektonik
Yogyakarta 26 Mei 2006 yang menyebabkan airtanah bocor. Disamping itu situasi
anomali juga terjadi pada fenomena kemunculan artesian atau sumur muncrat,
kualitas air berubah, sumur mengeluarkan lumpur/ tanah, sumur menjadi keruh,
berbaubelerang, muncul mataair baru, mataair terhenti.
Secara keseluruhan airtanah mengalir dari puncak-puncak ketinggian muka
airtanah menuju level yang lebih rendah. Arah aliran airtanah relatif seirama dengan
pola kontur topografinya. Arah aliran airtanah di Sub DAS Bedog dari utara ke
selatan, berdasarkan interpolasi pengambilan data koordinat sumur-sumur yang
didapatkan dari survei lapangan dari Hargobinangun, Sleman hingga Triharjo,
Bantul. Fluktuasi yang terjadi karena perubahan yang diakibatkan dari suplai curah
hujan atau perubahan musim dari kemarau atau ke hujan yang mempengaruhi
infiltrasi air yang menyuplai akuifer. Fluktuasi bervariasi antara 0,5-9 m. Data
fluktuasi ini didapatkan dari hasil wawancara dengan penduduk.
Pemanfaatan terbesar ditunjukkan dengan adanya kontur-kontur TMA yang
merapat dan menuju pada satu titik yang menunjukkan adanya penurapan airtanah.
Pemanfaatan tersebut berada di lereng atas, tengah dan bawah. Penggunaan relatif
-
besar berada di daerah atas dan tengah (Sleman-Kota Yogyakarta) sedangkan di
daerah bawah (Bantul) karena penduduknya lebih jarang maka penurapan
airtanahnya tidak seintensif daerah atas dan tengah. Identifikasi penurapan diketahui
dari tinggi muka airtanah dari titik-titik sampel pengukuran. Di daerah hulu terlihat
pola kontur yang unik yaitu terlihat kontur tinggi muka airtanah yang dapat
diidentifikasi sebagai discharge. Muka airtanah didaerah ini relatif dalam. Jadi di
daerah tersebut terjadi pemanfaatan airtanah yang besar oleh penduduk. Daerah
tersebut meliputi selatan Wonokerto, Donokerto, Bangunkerto dan Trimulyo
kemudian di daerah hilir yaitu Bantul.
Satuan Akuifer Merapi Bagian Tengah merupakan akuifer dengan sebaran
airtanah luas dengan imbuh airtanah berasal dari lereng gunungapi dan infiltrasi
setempat. Memperhatikan daerah imbuh airtanah, material penyusun akuifer dan
curah hujannya, akuifer ini dikategorikan sebagai akuifer mayor yaitu sistem akuifer
yang mampu menyediakan air untuk berbagai keperluan seperti untuk keperluan
domestik, industri dan irigasi. Tebal akuifer pada lereng tengah untuk Sleman
berkisar 133,82 m sedangkan untuk daerah Bantul sebesar 132 m.
Di titik-titik tempat tertentu seperti di Desa Ambarketawang memiliki kedalaman
muka airtanahnya 0 meter atau hampir sama ketinggiannya dengan permukaan
tanah. Pada bagian lain Desa Ambarketawang ditemukan variasi kedalaman
airtanah berkisar antara 1-2 m. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kondisi
geomorfologi yaitu perbedaan ketinggian kontur. Bagian selatan Sub DAS Bedog
berakhir pada Perbukitan Sentolo. Satuan akuifer dari Perbukitan Sentolo ini
terpisahkan oleh endapan aluvium. Material penyusun sistem ini berupa
batugamping dan napal yang padu/ kompak. Sedangkan material lepas hasil
lapukan dijumpai sangat tipis di permukaannya sehingga diperkirakan daerah ini
termasuk akuifer yang tidak produktif. Dari flownet menunjukan daerah Sub DAS
Bedog bagian selatan memiliki kontur TMA yang relatif datar yaitu dari Desa
Tirtonirmolo sampai Sendangsari sehingga nilai TMA-nya lebih kecil dibandingkan
dengan lereng atas Merapi.
Sumber: Kajian Lingkungan Pasca Erupsi Merapi 2010