Jurnal Mechanical-Maret 2012-1-2
-
Upload
indrasiagian -
Category
Documents
-
view
109 -
download
13
description
Transcript of Jurnal Mechanical-Maret 2012-1-2
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1,Maret 2012
1
PEMANFAATAN PARTIKEL TEMPURUNG KEMIRI SEBAGAI BAHAN
PENGUAT PADA KOMPOSIT RESIN POLIESTER
Harnowo Supriadi
Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Lampung
Jln.Prof.Sumantri Brojonegoro No. 1 Gedung H FT Lt. 2 Bandar Lampung
Telp. (0721) 3555519, Fax. (0721) 704947
Email: [email protected]
Abstract
The objective of the research is to investigate the effect of composition ratio of polyester as
matrix and Aleurites moluccana willd particles on mechanical properties (hardness,flexure
strength and tensile strength) of composite.
This experimental research used Aleurites moluccana willd particles as reinforced material
and polyester as resin.The instrument for the research were universal testing machine (UTM),
hardness testing mac hine. This research had been performed by making variation of composition
ratio of resin and Aleurites moluccana willd particles (30 % :70%, 40% :60 %, 50 % : 50% and
60% :40%).
The result of this research show that the maximum hardness of composite was54,1 HRL. The
maximum flexure strength was 33,62 N/mm2 and the maximum tensile strength was 16,97 N/mm
2.
The maximum value of hardness, flexure strength and tensile strength had been achieved on
composition ratio 40 % :60 %.
Keywords : Aleurites moluccana Willd particles, Aleurites moluccana willd particles, polyester
resin, hardness, flexural strength, tensile strength.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tempurung biji kemiri memiliki sifat keras,
cukup tebal, dan berkayu merupakan limbah
yang dihasilkan dari pengolahan tanaman
kemiri. Pemanfaatan tempurung tersebut
sebagai bahan bakar sedangkan abunya
digunakan sebagai pupuk. Pemanfaatan limbah
padat kemiri dalam bidang teknologi bahan
belum begitu banyak dilakukan khususnya
penelitian mengenai pemanfaatan limbah padat
kemiri sebagai material penguat komposit.
Variasi komposisi volume matriks dan partikel
di komposit memberi pengaruh pada sifat
mekaniknya, jika jumlah volume partikel
sedikit maka komposit cendrung bersifat
seperti matriksnya namun apabila volume
partikel terlalu banyak maka sifat mekaniknya
menurun dikarenakan kemampuan matriks
untuk mengikat partikel berkurang. Pada
penelitian sejenis mengenai variasi komposisi
matriks dan partikel pada komposit yang
diperkuat partikel tempurung kelapa sawit
didapat komposisi yang mempunyai sifat
mekanik terbaik adalah 40 % partikel dan 60 %
matriks. Penelitian ini menggunakan
tempurung biji kemiri dalam bentuk partikel
dengan komposisi tertentu sebagai bahan
penguat komposit. Diharapkan hasil akhir
penelitian ini dapat menjadi material alternatif
yang baru dan bermanfaat.
Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui pengaruh komposisi antara partikel tempurung kemiri sebagai
penguat dan resin polyester sebagai
matriks terhadap sifat mekanik komposit.
2) Untuk mendapatkan komposisi terbaik dari komposit yang diperkuat serbuk
tempurung kemiri.
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
2
LANDASAN TEORI
Tempurung Kemiri
Biji Kemiri tergolong buah batu (stony seed)
karena berkulit keras menyerupai tempurung
dengan permukaan luar kasar berlekuk,
berwarna coklat atau kehitaman. Kulit biji
inilah merupakan bagian buah yang paling
keras.
Gambar 1. Struktur Biji Kemiri
Komposit
Komposit merupakan sejumlah sistem
multifasa sifat gabungan, yaitu gabungan
antara bahan matriks atau pengikat, dengan
pemerkuat. Kekuatan dan sifat menyeluruh
ditingkatkan dengan memasukkan fasa
terdispersi ke dalam matriks. Matriksnya dapat
berupa keramik, logam atau polimer.
Komposit dibentuk dari dua atau lebih bahan
penyusun yang berbeda jenis, sehingga
memiliki sifat-sifat yang berasal dari bahan-
bahan penyusun tersebut. Bergantung pada
cara penyusunan, komposit juga memiliki sifat-
sifat kombinasi antara bahan-bahan penyusun,
dan seringkali lebih baik dibandingkan dengan
sifat asal bahan penyusun tersebut (1)
Berdasarkan fungsi bahan penyusun dalam
komposit, maka bahan-bahan tersebut
dibedakan menjadi dua, yaitu bahan utama
sebagai pengikat dan bahan pendukung sebagai
penguat. Bahan utama membentuk matriks
dimana bahan penguat ditanamkan
didalamnya. Bahan penguat dapat berbentuk
serat, partikel, serpihan atau bisa juga dalam
bentuk lain.
Komposit Partikel
Komposit partikel merupakan komposit yang
mengandung bahan penguat berbantuk partikel
atau serbuk. Partikel sebagai elemen penguat
sangat menentukan sifat mekanik dari
komposit karena meneruskan beban yang
didistribusikan oleh matrik. Ukuran, bentuk,
dan material partikel adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi properti mekanik dari komposit
partikel(2)
.
Dalam pembuatan komposit partikel sangat
penting untuk menghilangkan unsur udara dan
air karena partikel yang berongga atau yang
memiliki lubang udara kurang baik jika
digunakan dalam campuran komposit. Adanya
udara dan air pada sela-sela partikel dapat
mengurangi kekuatan dan mengurangi
ketahanan retak bahan (3)
.
Pengaruh peningkatan kehalusan partikel pada
komposit antara lain(4)
:
1) Meningkatkan reaksi antara partikel dengan campurannya.
2) Memperkecil diameter pori. 3) Menurunkan nilai porositas. 4) Meningkatkan kerapatan. 5) Meningkatkan kekuatan tekan dan
beban lentur.
a b c d
e f g h
Gambar 2. Rancangan Partikel
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah resin poliester tak jenuh merek
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
3
41.3
54.1
51.1
43.4
0
10
20
30
40
50
60
Nil
ai
Ke
ke
ra
sa
n (
HR
L)
(30%:70%) (40%:60%) (50%:50%) (60%:40%)
Komposisi (Partikel:Matriks)
(30%:70%)
(40%:60%)
(50%:50%)
(60%:40%)
26.29
33.62
26.06
22.82
0
5
10
15
20
25
30
35
Ke
ku
ata
n L
en
tur (
N/m
m^
2)
(30%:70%) (40%:60%) (50%:50%) (60%:40%)
Komposisi (Partikel:Matriks)
(30%:70%)
(40%:60%)
(50%:50%)
(60%:40%)
12.04
16.97
14.97
13.03
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Ke
ku
ata
n T
arik
(N
/mm
^2
)
(30%:70%) (40%:60%) (50%:50%) (60%:40%)
Komposisi (Partikel:Matriks)
(30%:70%)
(40%:60%)
(50%:50%)
(60%:40%)
dagang YUKALAC 157 BQTN-EX. Serbuk
tempurung kemiri, Katalis MEKPO (Metil Etil
Keton Peroksida,) Larutan NaOH 0,1 M,dan
Aquades.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Universal Testing Machine (UTM),uji
kekerasan Rockwell, ayakan standar ASTM
E11, untuk mendapat ukuran partikel
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
4
Dari gambar 3 dapat dilihat pada komposisi
30%-70% (partikel-matriks) nilai kekerasan
adalah 41.3 HRL dan mengalami peningkatan
pada komposisi 40%-60% menjadi sebesar
54,1 HRL namun pada komposisi 50%-50%
sampai 60%-40% kembali mengalami
penurunan nilai kekerasan. Nilai kekerasan
tertinggi dimiliki oleh komposisi 40%-60%
yaitu sebesar 54.1 HRL, karena kekuatan pada
materialnya lebih merata atau lebih homogen,
hal ini disebabkan adanya hubungan yang
saling mendukung antara bahan penguat dan
matrik dari komposit yang menyebabkan
adanya ikatan yang kuat.
Pada komposisi 60% : 40 % dan 50 % : 50 %
(partikel:matriks) angka kekerasan belum
mencapai nilai yang maksimum dikarenakan
ikatan antar partikel yang kurang kuat
menyebabkan mudah tergesernya bahan
penguat didalam matrik komposit diakibatkan
adanya gaya dari luar permukaan komposit
(penekanan). Pada komposisi 60% : 40 % nilai
kekerasanya adalah 43.4 HRL hal ini
disebabkan kekurangan komposisi resin
(matrik) yang berfungsi sebagai pengikat dari
bahan penguat akan menyebabkan ikatan yang
kurang kuat. Namun komposisi resin (matrik)
yang berlebih seperti pada komposisi 30%-
70% juga akan menurunkan angka kekerasan
komposit dikarenakan adanya sifat dari bahan
penyusun komposit yaitu resin polyester yang
bersifat elastis.
Pada gambar 4, terlihat bahwa terdapat
perbedaan kekuatan lentur rata-rata dari
komposit tersebut. Perbedaan nilai tersebut
disebabkan adanya pengaruh yang diberikan
oleh variasi komposisi partikel bahan penguat
komposit dan matriks. Kekuatan lentur
(flectional strength) berbanding lurus dengan
beban maksimum. Kekuatan lentur terbesar
bernilai 33.62 N/mm2 pada komposisi
40%:60% (penguat:matriks) hal ini terjadi
karena ikatan dan kerapatan antara matrik
dengan partikel semakin baik dan seragam atau
homogen sehingga dapat lebih maksimal daya
kontak lekatnya dengan resin, sehingga partikel
bahan penguat dapat menahan beban (atau
meneruskan gaya) yang diberikan oleh
komposit. Sedangkan pada komposisi
30%:70% kekuatan lenturnya bernilai 26.29
N/mm2
lebih baik dari komposisi 50%:50%,
hal tersebut dikarenakan komposit dengan
komposisi 30%:70% cendrung bersifat seperti
matriksnya resin polister yang mempunyai
sifat elastis. Kekuatan lentur terkecil bernilai
22.82 N/mm2 pada komposisi 60%:40% hal ini
disebabkan karena keterbatasan matriks yang
berupa poliester tak jenuh untuk mengikat
penguat yang komposisi lebih banyak
dibanding dengan matriksnya. Dengan
demikian variasi komposisi partikel dan
matriks dapat meningkatkan kekuatan
komposit terhadap beban yang diberikan dari
luar kekomposit tersebut dan juga
meningkatkan nilai kelenturan pada komposit
dengan penambahan komposisi resin hingga
pada komposisi tertentu dan akan turun
kembali.
Pada gambar 5 dapat dilihat kekuatan tarik
untuk komposisi 60%:40% sebesar 13,03
N/mm2 dan mengalami kenaikan sebesar 1,94
N/mm2 pada komposisi 50%:50% (14,97
N/mm2), hal ini terjadi karena ikatan partikel
dan matriks semakin merata. Kenaikan
kekuatan tarik terus naik hingga mencapai nilai
maksimum pada komposisi 40%:60% sebesar
16,97 N/mm2 pada komposisi ini terjadi ikatan
yang sangat baik antara partikel dan matriks.
Dan kembali mengalami penurunan sebesar
4,93 N/mm2 pada komposisi 30%:70%, ini
dikarenakan komposit cendrung bersifat seperti
matriksnya.
Dapat dilihat pada grafik kekuatan tarik
komposit resin polyester dan tempurung kemiri
bahwa kekuatan tarik akan terus meningkat
dengan penambahan komposisi resin hingga
pada komposisi tertentu dan akan turun
kembali. Fenomena ini dapat terjadi oleh
karena matriks yang digunakan dalam
penelitian ini mempunyai keterbatasan dalam
kemampuan mengikat penguat dalam hal ini
adalah partikel tempurung kemiri.
Jika dibandingkan antara kelima variasi
komposisi partikel tersebut, maka komposit
dengan komposisi 40%:60% memiliki
kekuatan tarik yang besar dan tingkat keuletan
yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena
pada komposit dengan menggunakan
komposisi 40%:60% terjadi ikatan yang merata
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
5
dan homogen antara penguat dan matriks.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisa dan pembahasan yang
dilakukan terhadap penelitian komposit yang
menggunakan matriks berupa poliester tak
jenuh dan menggunakan penguat berupa
partikel tempurung kemiri, maka dapat diambil
beberapa simpulan sebagai berikut:
1) Nilai kekuatan tarik spesimen uji yang terendah terdapat pada komposisi
spesimen uji 30% : 70%
(penguat:matriks), yaitu sebesar 12.04
N/mm2. Sedangkan nilai kekuatan tarik
spesimen uji yang tertinggi terdapat pada
komposisi spesimen uji 40% : 60%, yaitu
sebesar 16,97 N/mm2.
2) Nilai kekuatan lentur spesimen uji yang terendah terdapat pada komposisi
spesimen uji 60% : 40%, yaitu sebesar
22,82 N/mm2. Sedangkan nilai kekuatan
lentur spesimen uji yang tertinggi terdapat
pada komposisi spesimen uji 40% : 60%,
yaitu sebesar 33,62 N/mm2.
3) Nilai kekerasan terendah terjadi pada komposisi 30% : 70% dengan nilai
kekerasan komposit adalah 41.3 HRL.
Sedangkan nilai kekerasan yang tertinggi
terdapat pada komposisi spesimen uji 40%
: 60%, yaitu sebesar 54,1 HRL.
4) Komposisi 40% : 60% merupakan komposisi yang terbaik karena
menghasilkan nilai kekerasan, kekuatan
tarik dan kekuatan lentur yang paling
besar dibandingkan komposisi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Grdal, Zafer. 1999. Design and optimization of laminated composite
materials. John Wiley & Sons. Inc:
Canada
[2] Antonia, Y.T. 2004. Komposit Laminat Bambu serat Woven sebagai Bahan
Alternatif Fiber Glass Pada kulit. ITS : Surabaya
[3] Surdia, dkk 1992. Pengetahuan Bahan Teknik. Cet 2. Pradnya Paramita: Jakarta.
[4] Triwulan, IGP Raka, dan Pujo Adji. Jurusan teknik sipil, institut teknologi
sepuluh november. pengaruh kehalusan abu terbang pada durabilitas beton
bertulang dengan metode Galvan ostatis.
2006
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
6
KAJI PENGGUNAAN METHANOL SEBAGAI REFRIGERAN UNTUK
MENINGKATKAN EFISIENSI TERMAL SISTEM PENDINGIN
KONVEKSI DENGAN UNDERGROUND THERMAL STORAGE TANK
M. Dyan Susila dan Indra Mamad Gandidi Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Lampung
Gedung H Fakultas Teknik , Jl. Prof. Soemantri Brojonegoro No. 1
Bandar Lampung, 35145 Telp: (0721) 3555519 Fax: (0721) 704947
e-mail : [email protected]
Abstract
Convective roof cooling operates using water as refrigerant. It consists in convection process pass
through over the roof, thus decreasing the roof temperature. This system has a great potential to
provide thermal comfort in places where roof temperature is low. However, thermal efficiency from
the previous research which it is use water as refrigerant is still low. A way to solve this problem is
to use methanol as a refrigerant. Following, this paper analyzes some operation parameters such
as: roof and room temperature and heat transfer rate. The paper shows the conditions for the best
operation point, with regard to thermal conditions of roof and room temperature.
Keywords: wind, turbine, electrical power.
DAFTAR SIMBOL
Simbol Satuan
A Luas permukaan perpindahan panas pipa (m)
Dh Diameter hidraulik pipa (m)
f Faktor gesekan (Tak Berdimensi)
F Faktor koreksi LMTD (Tak Berdimensi)
he Koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2.K)
k Konduktivitas termal (W/m.K)
eNu Bilangan Nusselt (Tak Berdimensi)
Pr Bilangan Prandtl (Tak Berdimensi)
DRa Bilangan Reynold (Tak Berdimensi)
0T Gradien temperatur keluar atap (K)
iT Gradien temperatur masuk atap (K)
C,LT Log Mean Temperature Different (K)
Ue Koefisien perpindahan panas menyeluruh (W/m2.K)
PENDAHULUAN
Pengaruh penipisan ozon di lapisan
stratosfir berdampak pada perubahan cuaca dan
meningkatnya radiasi ultra violet (UV-B) yang
mencapai permukaan bumi. Hal ini akan
menimbulkan berbagai masalah bagi
perikehidupan manusia. Misalnya menurunnya
imunitas, bertambahnya penyakit menular,
meningkatnya kasus kanker kulit, kerusakan
pada mata, kerusakan pada rantaibiologis dan
masih banyak lagi (modul pembelajaran
interaktif, 2008).
Salah satu zat utama yang bertanggung
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
7
jawab terhadap kerusakan lapisan ozon adalah
unsur Klorin (Cl). Unsur ini secara luas
digunakan sebagai cmethanolan pendingin
pada freezer, kulkas, AC ruangan, dan mesin
pendingin lainnya, serta dikenal sebagai zat
CFC (Chlorofluorocarbon). (Suara Pembaruan,
2007)
Disisi lain, kencendrungan masyarakat
dunia terutama yang berada pada daerah tropis
untuk menaikan standar hidupnya khususnya
dalam memenuhi kebutuhan ruangan yang
nyaman telah memberikan pengaruh terhadap
keseimbangan kebutuhan dan ketersediaan
energi listrik. Dimana diketahui, untuk
mengoperasikan sebuah AC dibutuhkan energi
listrik yang cukup besar. Semakin banyak
penggunaan AC maka beban listrik yang harus
ditanggung oleh pembangkit daya akan
semakin besar. Sehingga tahun 2010
diperkirakan 63,2 % pembangkit daya listrik
di Indonesia masih menggunakan energi fosil
yang notabene kian menipis
(www.elektroindonesia.com).
Oleh karena itu, penyediaan teknologi
pendingin alternatif yang bernilai ekonomis
dan ramah lingkungan sangat diperlukan.
Keberhasilan mereduksi beban termal ke dalam
ruangan dengan cara mereduksi panas radiasi
yang sampai ke permukaan atap rumah telah
dapat memenuhi kebutuhan pendinginan
ruangan yang bernilai ekonomis dan ramah
lingkungan (Jain. S, 2003). Penggunaan
metode evaporatif roof cooling menggunakan
atap PV dapat menurunkan temperatur atap
dari 72 0C menjadi 39
0C dan dapat
menghemat biaya (operasi dan perawatan)
sebesar 30 % pada tahun ke-5 dibandingkan
penggunaan AC (C. M. Chu, A, et all, 2003).
Selanjutnya, temperatur atap pada siang
hari dapat mencapai 60C sedangkan pada
malam harinya turun hingga 25C. Fluktuasi
temperatur ini dapat mengakibatkan thermal
shock pada atap dan mempercepat penuaan
material atap. Dengan memberikan perlakuan
pendinginan pada atap agar temperatur atap
tetap konstan akan dapat memperpanjang umur
penggunaan atap (Flora Kylie, 2002).
Bagaimanapun juga, problem biaya
karena penggunaan PV dalam mengkonstruksi
pendingin evaporasi akan menjadi hambatan
utama dalam merealisasikan sistem ini di
Indonesia. Lebih lanjut, metoda evaporasi akan
membutuhkan cadangan air yang cukup
banyak untuk menambah sejumlah air yang
menguap ke lingkungan dan teknologi jenis ini
akan sulit diterapkan bagi daerah yang miskin
sumber air.
Berkaitan dengan problem harga atap PV
dan keterbatasan akan sumber air, I.M.
Gandidi, 2008, melakukan reduksi temperatur
atap menggunakan metode konveksi dengan
mengaliran air di atas dan atau di bawah
permukaan atap dengan sekumpulan pipa yang
terbuat dari tembaga. Panas ini dibuang
kedalam thermal storage tank yang
ditempatkan di kedalaman 3 meter tepat di
bawah rumah. Hasil penelitianya menunjukan
bahwa metode ini mampu menurunkan
temperatur atap 12 0C.
Bagaimanapun, penurunan temperatur
atap 12 0C belum merupakan kondisi optimum
dari sistem ini. Rendahnya hasil ini disebabkan
oleh penggunaan air sebagai refrigeran dimana
diketahui air mempunyai titik didih yang tinggi
sehingga panas yang diserap untuk proses
penguapan air di atas permukaan atap tidak
maksimal. Karenanya, penelitian yang telah
dilakukan ini menggunakan methanol sebagai
refrigeran agar proses penyerapan panas di atas
permukaan atap lebih maksimal.
TINJAUAN PUSTAKA
Pada wilayah katulistiwa, energi panas
matahari sampai ke atap melalui proses radiasi
dengan laju perpindahan panas Q sampai ke
atap lebih kurang 800 W/m2 - 1000 W/m
2 (The
FAO Technical Papers, 2003). Panas pada atap
ruangan tersebut akan sampai kedalam ruangan
melalui mekanisme perpindahan panas radiasi
melalui atap sehingga temperatur ruangan akan
meningkat. Panas pada atap ini merupakan
sumber panas paling besar dalam memberikan
kontribusi terhadap peningkatan temperatur
ruangan yang besarnya 46% dari sumber panas
total (ASHRAE Model, 2004). Karenanya,
rumah hunian akan mempunyai temperatur
ruangan antara 30 0C sampai 35
0C. Kondisi ini
sangat tidak nyaman untuk melakukan aktivitas
di dalam rumah. Jika sumber panas yang
masuk ke ruangan sebesar 46% yang berasal
atap dapat diserap, maka temperatur ruangan
diperkirakan dapat mencapai 26 0C - 28
0C.
Temperatur ini sudah memenuhi standar
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
8
ruangan yang nyaman di musim panas
(Sustainable energy authority Victoria, 2002).
Sistem pendingin alternatif ini
diperkirakan dapat menyelesaikan persoalan
kebutuhan teknologi pendingin ruangan rumah
hunian daerah tropis dan mereduksi
penggunaan AC elektrik serta masalah energi
dan lingkungan yang ditimbulkannya. Selain
itu, penggunaan sistem pendingin alternatif
sangat baik dan menunjang program
pemerintah dalam pengurangan dan pelarangan
penggunaan refrigeran perusak ozon seperti
yang tertuang dalam Keputusan Menperindag
RI No: 110/MPP/Kep/1/1998 tentang larangan
memproduksi dan memperdagangkan bahan
perusak lapisan ozon serta memproduksi
barang baru yang menggunakan bahan perusak
lapisan ozon (Pasek, A.D, dkk., 2004).
Prinsip Kerja Pendinginan Konveksi
Sistem pendingin konveksi pada dasarnya
kombinasi antara sistem pendingin
konvensional (kompresi uap) dengan sistem
pendingin absorpsi (absorption cooling).
Sistem ini juga tersusun dari komponen yang
merupakan inti dari sebuah AC, seperti :
kondensor (terletak pada tangki methanol di
bawah tanah), evaporator (rangkaian pipa
tembaga pada atap), dan katup ekspansi.
Perbedaan mendasar yang dimiliki oleh metode
konveksi dengan AC adalah tidak
menggunakan kompresor sehingga daya listrik
yang dibutuhkan relatif kecil.
Prinsip kerja metode ini adalah refrigeran
methanol mengalir dalam evaporator yang
ditempatkan di bawah dan atau di atas
permukaan atap. Selama melintas dalam
evaporator, refrigeran methanol akan menyerap
panas secara konveksi pada permukaan atap
(gambar 1). Panas yang diserap oleh refrigeran
methanol dibuang di bawah tanah
(underground thermal storage tank)
menggunakan kondensor. Pembuangan panas
melalui kondensor di dalam tanah sangat
memungkinkan karena temperatur bawah
berkisar antara 17 0C 23 0C untuk kedalaman
3 meter (Kasuda, T., and Archenbach, P.R,
1999).
Gambar 1. Susunan pipa evaporator pada atap.
Metanol
Metanol dikenal juga dengan nama
alkohol kayu. Titik lelehnya adalah -98C dan
titik didihnya adalah 64,7C. Massa molarnya
adalah 32,04 g/mol dengan specific gravity
2.12 (Oxford, 2004). Pada suhu 100C, entalpi
penguapan air adalah 2256,7 kJ/Kg, sedangkan
entalpi penguapan metanol pada temperatur
yang sama adalah 1101 kj/Kg, (Hewitt, 1994).
Ini berarti jumlah energi per satuan massa yang
dibutuhkan oleh metanol untuk menguap
adalah lebih sedikit dibandingkan air, atau
dengan kata lain metanol akan lebih cepat
menguap. Pada proses penguapan, panas yang
diambil (kalor laten) akan lebih besar
dibandingkan ketika hanya terjadi peningkatan
temperatur (kalor sensibel) (Chemical safety
Data, 2004).
Perpindahan Panas pada Atap
Proses perpindahan panas pada atap
dengan pendinginan konveksi berlangsung
dalam tiga arah. Masing-masing adalah panas
yang diterima permukaan atap karena radiasi
matahari, panas yang diserap secara konveksi
oleh evaporator dan panas yang diteruskan ke
ruangan secara radiasi oleh atap (I. M. Gandidi,
2008).
Laju perpindahan panas yang diserap
evaporator Qe dapat diturunkan dari persamaan
kesetimbangan energi yang terjadi pada atap
(Hewitt, G.F., Shires, G.L., Bott, T.R, 1994).
Dari hukum kesetimbangan energi, laju
perpindahan panas yang diserap refrigeran
methanol dalam evaporator sebesar :
C,Lee TAUQ (1)
Dimana,
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
9
FTT
TTT
io
io
CL
)/ln(, (2)
h
ee
D
kNuh (3)
Dimana F adalah faktor koreksi
evaporator untuk jenis multipass flow. Harga
bilangan Nusselt Nu tergantung pada
karakteristik aliran yang terjadi dalam
kondensor. Untuk aliran dalam pipa dimana
temperatur permukaannya diasumsikan
konstan, dengan kondisi aliran laminar dan
berkembang penuh maka nilai bilangan
Nusseltnya konstan (Nue = 3,66 ). Sedangkan
untuk aliran yang turbulen dapat digunakan
persamaan yang dihasilkan Petukhov, et all
(Incropera, Frank P dan Dewitt, David P.
1996):
)1(Pr)8/f(7,121
Pr)1000)(Re8/f(Nu
3/22/1
De
(4)
dimana f adalah :
264.1Relog82.1 Df (5)
METODE PENELITIAN
Metode dalam penelitian ini dilakukan
sama dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh penelti sebelum ini (I. M. Gandidi, 2008).
Hal ini dilakukan untuk mendapat hasil
komparasi yang jelas terhadap penggunaan
methanol sebagai refrigeran.
Penelitian dilakukan secara
eksperimental terhadap dua model rumah yang
berukuruan 2 m x 1.5 m x 2 m. Kedua model
ini digunakan untuk mendapat data yang
dibutuhkan pada rumah dengan perlakukan
pendinginan atap dan rumah tanpa perlakuan
pendinginan atap.
KKoonnddeennssoorr
EEvvaappoorraattoorr
Katup Ekspansi
Atap
Underground thermal storage tank
Pompa
Gambar 2. Instalasi pengujian pendinginan metode konveksi
Model rumah dibuat tipe permanen
menggunakan material beton dengan atap seng.
Untuk rumah dengan perlakuan pendinginan,
di atas atap seng diberi evaporator sebagai alat
pendingin menggunakan pipa tembaga yang
berdiameter dengan panjang proporsional dengan lebar atap. Geometri pipa dibentuk
persegi dengan kedua ujungnya setengah
lingkaran (rectangle duct with rounded ends).
Kondensor sebagai alat untuk membuang
panas ke lingkungan bawah tanah (thermal
storage tank) juga terbuat dari pipa tembaga
berdiameter dengan panjang 20 m yang diletakan pada kedalaman 3 meter di bawah
permukaan tanah tepat di bawah rumah model.
Agar temperatur keluaran kondensor lebih
dingin, dibuat juga katup ekspansi
menggunakan pipa bercabang yang
berdiameter 3/16.
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
10
Untuk mensirkulasikan methanol sebagai
fluida kerja (absorber), dialirkan menggunakan
pompa berkapasitas 34 l/mt yang diletakan
disamping rumah model.
Dalam pelaksanaan penelitian, model
tanpa pendingin dengan model rumah dengan
pendingin, diuji pada waktu yang bersamaan.
Data-data temperatur yang diperlukan, diukur
menggunakan thermokopel digital yang
diletakan pada 7 titik pengukuran. Proses
pengambilan data dilakukan setiap setengah
jam dimulai dari jam 08.00 sampai jam 16.00
untuk setiap satu laju aliran massa methanol.
Laju aliran massa methanol divariasikan
sebanyak 5 variasi dengan cara mengatur katup
sebelum masuk flow meter. Sehingga
dibutuhkan 10 hari waktu pengambilan data.
Pengukuran besarnya radiasi matahari yang
sampai di permukaan atap, diukur
menggunakan solarimeter. Selanjutnya, kedua
hasil rumah model dibandingkan untuk
menentukan pengaruh pemasangan pendingin
konveksi pada atap terhadap pendinginan
ruangan.
Perhitungan dilakukan untuk
mendapatkan laju panas yang diserap
evaporator Qe, temperatur atap Ta dan
temperatur ruangan Tr. Hasil perhitungan
terhadap Qe, Ta dan perubahan temperatur
ruangan ditampilkan dalam bentuk grafik
sebagai fungsi laju aliran massa methanol dan
radiasi matahari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tulisan ini menganalisis beberapa
parameter yang berhubungan dengan
perubahan temperatur atap dan ruangan yang
merupakan fungsi dari laju aliran massa
refrigerant dalam evaporator dan radiasi
matahari. Gambar 3. menunjukan pengaruh
intensitas matahari terhadap perubahan
temperatur ruangan rumah model dengan
system pendingin menggunakan methanol dan
tanpa pendingin. Pengukuran data dilakukan
selama 5 hari pada waktu cuaca cerah.
25
25.5
26
26.5
27
27.5
28
28.5
29
29.5
30
30.5
31
31.5
32
32.5
33
9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00
Waktu Surya
Te
mp
era
tur
rua
ng
an
(C
)
absorben metanol (0.6 L/m) standar absorben metanol standar
absorben metanol (0.52 L/m) standar absorben metanol (0.68 L/m) standar
absorben metanol(0.76 L/m) standar
Gambar 3. Grafik temperatur ruangan terhadap waktu surya
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
11
Pada laju aliran massa methanol 0.68
L/m, temperatur ruangan tertinggi pada rumah
model tanpa pendingin sebesar yaitu 32.2 C
yang terjadi pukul 14.00 dengan radiasi
matahari 1563.021 W dan ruangan rumah
model dengan pendingin sebesar 30.9 C yang
terjadi pada pukul 13.30 dengan radiasi
matahari 1814.39 W. Temperatur ruangan
terendah kedua model terjadi pada laju aliran
massa methanol 0.76 L/m pada pukul 09.00
dengan besar radiasi matahari 1260.23 W. Dari
titik puncak tersebut temperatur ruangan akan
cenderung menurun hingga akhir pengambilan
data pada pukul 16.00. Penurunannya tidak
terlalu signifikan dibandingkan dengan
kenaikannya sejak awal pengambilan data.
Efek Penggunaan Refrigeran Air dan
Methanol
Gambar 4. menunjukkan pengaruh
penggunaan sistem pendingin konveksi (air)
dan methanol pada rumah model serta
dibandingkan dengan rumah model tanpa
pendingin. Perbandingan dilakukan pada laju
aliran massa dengan selisih temperatur ruangan
terbaik untuk kedua sistem. Pada metode
konveksi menggunakan air, rata-rata selisih
temperatur ruangan terbaik terjadi pada laju
alir 0.75 L/m yaitu sebesar 0.51C, dimana
selisih temperatur ruangan tertingginya
mencapai 0.58 C, dan nilai terendahnya
adalah 0.1C.
25
26
27
28
29
30
31
32
33
9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00
Waktu Surya
Te
mp
er
atu
r r
ua
ng
an
(C
)
absorben metanol (0.68 L/m) standar pendingin dengan metode konveksi (0.75 L/m) standar (0.75 L/m)
Gambar 4.Grafik temperatur ruangan metode konveksi dengan refrigerant air, methanol dan tanpa pendingin
terhadap waktu surya
Sedangkan pada sistem pendingin
absorben metanol rata-rata selisih temperatur
ruangan terbaik terjadi pada laju alir 0.68 L/m
dengan beda temperatur rata-rata yaitu 0.46C .
Selisih temperatur ruangan tertinggi pada laju
aliran ini mencapai 0.5 C sedangkan
terendahnya adalah 0.1C. Berdasarkan
kemampuannya dalam menurunkan temperatur
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
12
ruangan, sistem pendingin dengan refrigerant
air lebih baik daripada sistem pendingin
absorben metanol. Hal ini terjadi karena sistem
kondensor yang berada di dalam tangki di
bawah tanah yang tidak dirancang secara
proporsional, sehingga tidak bekerja secara
efektif, sehingga temperatur masukan metanol
tidak dapat dipertahankan konstan. Secara
umum nilainya lebih tinggi dibandingkan
temperatur masukan air pada sistem pendingin
metode konveksi. Bahkan pada beberapa
kondisi tertentu, temperatur metanol lebih
tinggi daripada temperatur atap sehingga tidak
mampu untuk mendinginkan ruangan. Human
error dalam perancangan dan pembuatan
instalasi uji, terutama sulitnya membuat pipa-
pipa evaporator yang kecil, desaian optimal
dan kedalaman tanki yang tidak sesuai, juga
memberikan kontribusi rendahnya kemampuan
methanol sebagai refrigerant.
25
30
35
40
45
50
55
60
65
9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00
Waktu surya
Te
mp
era
tur a
tap
(C
)
absorben metanol (0.68 L/m) standar (0.68 L/m) pendingin dengan metode konveksi (0.75 L/m) standar (0.75 L/m)
Gambar 5. Grafik temperatur atap metode konveksi dengan refrigerant air, methanol dan tanpa pendingin
terhadap waktu surya
Sama halnya dengan grafik perbandingan
temperatur ruangan metode konveksi (air)
terhadap sistem absorben metanol yang telah
dibahas sebelumnya, pada gambar 5. nilai
temperatur atap yang ditampilkan adalah pada
laju aliran massa refrigeran yang memilki
persentase penurunan nilai Ta terbesar. Pada
pendingin menggunakan air, terjadi pada laju
alir 0.75 L/m yaitu sebesar 13.15 %, sedangkan
pada sistem pendingin absorben metanol
terjadi pada laju alir 0.68 L/m sebesar 10.11 %.
Secara keseluruhan untuk semua laju alir
volum, rata-rata persentase penurunan
temperatur atap yang terjadi juga lebih baik
pada metode konveksi menggunakan air yaitu
9.47 %, sedangkan pada sistem pendingin
absorben metanol hanya 6.37 %. Efek
penurunan temperatur atap pada metode
konveksi dapat lebih baik karena laju
penyerapan panas oleh air lebih baik daripada
metanol. Nilai kalor laten metanol yang lebih
besar menjadi tidak berpengaruh karena proses
penguapan tidak berhasil terjadi pada saat
metanol berada di atas atap. Pendeknya waktu
lintas methanol di atas permukaan atap
menyebabkan energi panas laten untuk
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
13
merubah fasa methanol tidak maksimal,
sehingga laju penyerapan panas oleh methanol
akan rendah. Temperatur masuk metanol yang
tinggi juga mengakibatkan proses penyerapan
panas atap oleh metanol tidak maksimal karena
selisih temperatur metanol terhadap temperatur
atap pun kecil. Tingginya temperatur metanol
ini disebabkan oleh penempatan tangki yang
kurang porposinal sebagai reservoir thermal.
Perbandingan dengan Sistem Pendingin
Evaporasi
Grafik 6. menunjukkan perbandingan
antara selisih temperatur ruangan rumah tanpa
pendingin terhadap rumah dengan pendingin
evaporasi dan pendingin refrigeran metanol.
Perbandingan dilakukan pada laju alir dengan
selisih temperatur ruangan terbaik untuk kedua
sistem. Pada metode evaporasi, rata-rata selisih
temperatur ruangan terbaik terjadi pada laju
alir 1.4 L/m yaitu sebesar 0.65C. Nilai
tertingginya mencapai 1.9C, terendahnya
adalah 0.4C. Pada sistem pendingin refrigeran
methanol selisih temperatur ruangan terbaik
terjadi pada laju aliran massa 0.68 L/m dengan
nilai yang lebih kecil yaitu 0.36C. Selisih
temperatur ruangan tertinggi pada laju aliran
ini mencapai 0.5C sedangkan terendahnya
adalah 0.1C.
27
27.5
28
28.5
29
29.5
30
30.5
31
31.5
32
32.5
9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00
Waktu surya
Te
mp
era
tur
rua
ng
an
(C
)
absorben metanol (0.68 L/m) standar pendingin dengan metode evaporas(14 L/m) standar
Gambar 6. Grafik temperatur ruangan metode evaporasi dan absorber metanol terhadap waktu surya
Berdasarkan kemampuannya dalam
menurunkan temperatur ruangan maka sistem
pendingin metode evaporasi memiliki performa
lebih baik daripada sistem pendingin absorben
metanol.
Selisih temperatur ruangan yang besar
pada sistem pendingin evaporasi berkaitan erat
dengan nilai temperatur atapnya. Seperti bisa
dilihat pada gambar 7 dan gambar 8,
temperatur atap pada metode evaporasi dapat
dipertahankan relatif konstan yaitu pada 29.8 33 C, padahal temperatur atap tanpa
pendingin bisa mencapai 62 C pada kondisi
puncaknya.
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
14
25
30
35
40
45
50
55
60
65
9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00
Waktu surya
Te
mp
era
tur a
tap
(C
)
absorben metanol (0.68 L/m) standar (0.68 L/m) pendingin dengan metode evaporasi (10 L/m) standar (10 L/m)
Gambar 7. Grafik temperatur atap metode evaporasi dan absorber methanol terhadap waktu surya
Keadaan yang ekstrim ini dapat terjadi
karena pada metode evaporasi, atapnya
terselimuti oleh air sepanjang pengambilan
data. Temperatur atap yang rendah juga
berpengaruh pada persentase penyerapan laju
perpindahan panas oleh sistem metode
evaporasi yang dapat mencapai 90 %,
sedangkan pada pendingin dengan absorben
metanol lebih kurang 15%.
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30
Waktu surya
T
-roo
m
absorben metanol (0.011 kg/s)
metode konveksi(0.012 kg/s)
metode evaporasi (0.016 kg/s)
Gambar 8. Grafik T-room pada sistem absorber metanol, air dan evaporasi terhadap waktu surya
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
15
KESIMPULAN
Dari jenis refrigeran yang digunakan
dalam pendingin metode konveksi, model
rumah dengan pendingin konveksi
menggunakan air sebagai refrigeran
mempunyai performansi yang lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan methanol.
Kajian lebih lanjut perlu dilakukan jika
menggunakan methanol terutama dalam
mendisain dan menempatkan condensor
dibawah tanah serta model atap yang
digunakan. Disain khusus terhadap atap sangat
diperlukan untuk meningkat kemampuan dari
sistem ini agar perubahan fase dari methanol
bisa berlangsung selama melintas di atas
permukaan atap.
DAFTAR PUSTAKA
[1] C. M. Chu, A, et.all, 2003, Possible Schemes For Solar-Powered Methanol-
Conditioning In 2-Storey Terrace
Houses, Chemical Engineering Programme, School Of Engineering And
It, University Malaysia Sabah, Sabah,
Malaysia.
[2] Flora, Kylie, 2002, Evaporative Roof Cooling : Tried and True Alternative, Cool Roof Co. Kentucky, 16 April 2005
http ; // www.afe.org / members / journals
/ May-June 99 / default / htm.
[3] Hewitt, G.F., Shires, G.L., Bott, T.R, 1994, Process Heat Transfer, Begell House Inc, New York.
[4] I. M. Gandidi., 2007, Reduksi Temperatur Atap dengan Motode
Konveksi sebagai Metode Alternatif untuk
Mendinginkan Ruangan Rumah Hunian, Laporan Penelitian Dosen Muda, Lembaga
Penelitian, Univesitas Lampung.
[5] Jain. S, 2003, Desiccant Augmented Evaporative Cooling: An Emerging
Methanol-Conditioning Alternative Department Of Mechanical Engineering,
Indian Institute of Technology Delhi,
Hauz Khas, New Delhi-110016, India.
[6] Kasuda, T., and Archenbach, P.R, 1999 "Earth Temperature and Thermal
Diffusivity at Selected Stations in the
United States", ASHRAE Transactions,
Vol. 71, Part 1.
[7] Pasek, A.D, dkk., 2004., Phase-Out Management Plan For CfCs In The
Refrigeration (Servicing) Sector In
Indonesia. Palembang. 1. Sustainable energy authority Victoria,
2002, Choosing a Cooling System, [8] http://www.sustainability.vic.gov.au/resou
rces/documents/Choosing_a_cooling_syst
em.pdf, 30 April 2008
[9] Modul Pembelajaran Interaktif, 2008 Retrofitting Sistem Refrigerasi http://ict.pontianak.go.id/interaktif/MIRSR
/ch3/index.html, April 2008, 18.40 WIB)
[10] Surat Kabar Suara Pembaruan, 2007, Ozon, Payung Dunia yang Kian Terkoyak, Pusat Informasi Lingkungan Dunia,
http://www.pili.or.id/incl_indo_read_detail
.php?id=512, April 2008, 18.40 WIB
[11] ___________ Pengembangan energi terbarukan sebagai energi aditif di
Indonesia, 1997, 17 Februari 2006
www.elektroindonesia.com/elektro/energi
4.html.
[12] __________ , ASHRAE Model , 2004. United States 16 April 2005
www.ecoology.com / why the roof.htm
[13] __________, Chemical safety Data: Methanol, Jan. 2004. Oxford. Des 2005
www.OxfordHSci.com
[14] ___________The FAO Technical Papers, 2003, 16 April 2005 www. FAO. Org /
DOCRETP / 003 / X5641E /
X6541E02.htm
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
16
Karaktristik Pola Aliran Pemisahan Kerosene-Water
Pada Pipa T-Junction Sudut 90 Dan Radius 25 mm Dengan Bahan Pleksiglass
Kms. Ridhuan
Jurusan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Metro
Jl. Ki Hajardewantara N0. 116 Metro Timur Kota Metro
Email : [email protected]
Abstract
Tests with the fluid flow pattern visualization kerosene (kerosene)-water through a pipe with a
T-junction has been performed at the Laboratory of Fluid Mechanics, Faculty of Engineering,
Gadjah Mada University. Tests performed on the test section of T-Junction with an angle of 90 and 25 mm bend radius. Fleksiglass material with a diameter of 1.5 inches with kerosene (kerosene)
and water as working fluid. To determine the flow pattern is done by kerosene and set the
superficial velocity of water. Kerosene superficial velocity (Jk) and superficial velocity of water
(Jw) that flowed in the test section is set by using a valve and measured using flow meters at a
range of values Jk = 0.10 m / s - 0.22 m / s and Jw = 0 , 10 m / s - 0.40 m / s. Flow patterns that
occur during the research process was recorded by using cameras and observed visually with the
movement slowed. As a result, it is known that the flow pattern occurring in this study is stratified
(S), Stratified Wavy (SW), Three Layer (3L), Stratified Wavy Water in Oil (SWw / o), and dispersed
(D). For kerosene-water separation of the most well occur in Stratified Wavy flow pattern at a
speed suprfisial kerosene (Jk) 0.14 to 0.18 m / s and superficial velocity of water (Jw) 0.15 to 0.25
m / s. In the superficial mixture velocity (Jmix) 0.34 to 0.43 m / s. And for kerosene-water
separation of the less well occur in dispersed flow pattern (D) velocity suprficial kerosene (Jk) 0.12
m / s down and 0.20 m / s upward. Superficial velocity of water (Jw) 0.15 m / s down and 30 m / s
upward. In the superficial mixture velocity (Jmix) below 0.56 m / s. And on top of 0.60 m / s.
Keywords: flow patterns, kerosene-Water, T-junction.
PENDAHULUAN
Salah satu metode yang digunakan untuk
memisahkan antara fluida air dan fluida
minyak adalah dengan menggunakan
konstruksi perpipaan dengan sambunganT (T Junction) untuk menggantikan fungsi dari
separator yang selama ini digunakan. Ketika
aliran dua fase mengalir melalui T-junction
terjadi distribusi tidak merata terhadap kualitas
campuran pada kedua sisi keluar ( run dan side
arm) dari T-junction. Distribusi tidak merata
dari aliran fluida tersebut berdampak pula pada
parameter lain seperti gradien tekanan dan
efisiensi pemisahan.
Penelitian tentang pola aliran minyak
dan air pada pipa horizontal telah dilakukan
oleh Angeli dan Hewitt (1999). Pipa yang
digunakan adalah stailess steel dan acrylic
dengan diameter dalam 7 mm dan 5,7 mm.
Penelitian dilakukan pada kecepatn superficial
campuran minyak-air antara 0,2 sampai 3,9
m/s dan fraksi volume air yang masuk antara 6
% sampai 86 %. Minyak yang digunakan
mempunyai densitas 801 kg/m3 dan viskositas
1,6 mPa.s. Hasil penelitinnya yaitu empat pola
aliran utama, antara lain pola aliran Stratified
Wavy pada pipa acrylic terjadi pada kecepatan
campuran 0,6 m/s. Sedang pada pipa stainless
steel terjadi pada kecepatan campuran 0,3 m/s.
Pola three layer pada pipa acrylic terjadi pada
kecepatan campuran 0,9 sampai 1,7 m/s dan
fraksi volume air 0,2 sampai 0,5. Sedangkan
pada pipa stainless steel terjadi pada kecepatan
campuran 0,9 sampai 1,7 m/s. Untuk pola
Stratified Mixed terjadi pada pada kecepatan
campuran yang sama pada Three Layer tetapi
fraksi volume airnya di bawah 0,3 dan diatas
0,5 pada kedua pipa. Fully Dispersed/Mixed
pada pipa stainless steel terjadi pada kecepatan
campuran 1,3 m/s ke atas. Sedangkan pada
pipa acrylic terjadi pada kecepatan campuran
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
17
1,7 m/s.
a. Pola aliran Stratified Wavy (SW)
b. Pola aliran Three Layer (3L)
c. Pola aliran Stratified Mixed (SM)
d. Pola aliran Mixed (M)
Gambar 1. Gambar Pola aliran yang dihasilkan dari
penelitian (Angeli dan Hewitt,1999).
Yang dan Azzopardi (2006) meneliti
pengaruh kecepatan superfisial campuran
terhadap pola aliran yang terjadi pada sisi inlet
dari T-junction dan pemisahan fase antara
kerosene-air. Pada tahun berikutnya (2007)
mereka melakukan penelitian tentang phase
maldistribution dengan fokus kajian pada pola
aliran stratified with mixture interface (ST &
MI) dan pola aliran dispersed. Data yang
diukur berdasarkan pada besarnya aliran fraksi
massa yang keluar dari side arm.
Penelitian tentang pola aliran kerosene-
air pada pipa horizontal dengan bahan acrylik
telah dilakukan juga oleh Imam Syopii
(2009). Diameter pipa yang digunakan 1 inch.
Kecepatan superficial air 0,087 m/s sampai
0,58 m/s Dan kecepatan superfisian kerosene
0,084 m/s sampai 0,336 m/s. Dengan fraksi
volume air (water cut) 21 % samapi 87 %.
Secara umum ada lima pola aliran yang dapat
ditemui yaitu stratified wavy terjadi pada
kecepatan superficial kerosene 0,087 sampai
0,204 m/s, dan air 0,087 sampai 0,583 m/s.
Pola aliran Three layer terjadi pada kecepatan
superficial kerosene 0,0141 sampai 0,274 m/s
dan air 0,087 sampai 0,583m/s. Untuk pola
alira mixed atau dispersed pada kecepatan
superfisial kerosene 0,029 sampai 0,336 m/s
dan air pada 0,521 sampai 0,583 m/s. Pola
aliran dispersed water in oil (Dw/o) pada
kecepatan superfisial kerosene 0,029 sampai
0,336 m/s, air 0,389 sampai 0,583. Dan pola
aliran Caterpillar wavy pada kecepatan
superficial kerosene 0,084 sampai 0,141 m/s,
dan air 0,472 sampai 0,583.
a. Pola Aliran
Aliran cairan-cairan dapat mempunyai
berbagai konfigurasi geometrik yang dikenal
dengan pola aliran. Parameter fisik yang
penting dalam menentukan pola aliran adalah
tegangan permukaan dan gravitasi. Pola aliran
dalam pipa vertikal dan horizontal akan
berbeda. Banyak kriteria pola aliran yang
dilaporkan, seperti Brauner dan Maron (1992)
membagi pola aliran cairan-cairan pada pipa
horizontal, seperti pola aliran strata licin
(stratified) merupakan pola aliran dasar yang
terjadi dengan densitas cairan yang berbeda.
Pola aliran strata dengan dipisahkan campuran
(stratified with mixing interface), ini pola
aliran stratified tetapi diantara kedua fase
terdapat pemisah yang berupa campuran fase.
Dan pola aliran dispered atau mixing yaitu
ketika ada dua fluida yang salah satunya
mengalir terus-menerus tetapi yang lain
menyebar.
Bareta dkk (1997) telah meneliti efek
viskositas terhadap pola aliran minyak-air
pada pipa horisontal yang berdiameter 3 mm,
panjang 1000 mm, dengan variasi water cut 0,2
dan 0,4. Dengan menggunakan tiga macam
minyak yaitu Gilotherm ALD (viskositas
kinematik 71,170x10-2
m2/s), Gilotherm RD
(viskositas kinematik 9,874x10-2
m2/s), dan
Santhotherm SP (viskositas kinematik
53,325x10-2
m2/s). Hasil penelitiannya
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
18
mendapatkan lima pola aliran utama, yaitu
pola aliran dispersed, annular, slug, bubbly dan
plug.
b. Kecepatan Superfisial
Kecepatan superficial (J) (m/s)
didefinisikan sebagai perbandingan antara laju
alir volumetrik dari fase tunggal (V) dengan
luas melintang pipa (A). Berikut beberapa
persamaan untuk mengetahui karaktristik
pemisahan kerosene-water :
Kecepatan Superfisial :
A
JAJ kkks
(1)
Kecepatan Superfisial Water :
A
JAJ wwws
(2)
Kecepatan superficial campuran :
wsksm JJJ (3)
Fraksi volume air (water cut) :
wsks
ws
wJJ
J
(4)
Fraksi volume kerosene (kerosene cut) :
wsks
ks
kJJ
J
(5)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan fluida
kerosene (densitas = 819 kg/m3 dan viskositas
kinematik = 0,00192 kg/m.s) dan air (densitas
= 998 kg/m3 dan viskositas absolut = 0,00102
kg/m.s). Pipa uji yang berdiameter dalam 1,5
inci. Sudut T-junction yang digunakan adalah
90 dengan radius belokan 25 mm. Pada tahap awal, air terlebih dahulu
dipompakan dari tangki penampungan ke
dalam pipa saluran sampai penuh, selanjutnya
kerosene dipompakan dari tangki
penampungan ke dalam pipa saluran sehingga
kerosene dan air akan bercampur di dalam
mixer. Setelah kerosene dan air bercampur di
dalam mixer, kemudian laju aliran keduanya
diatur dengan menggunakan katup dan diukur
dengan flow meter dengan nilai besaran sesuai
dengan matriks tes penelitian pada Tabel 1.
Aliran campuran kemudian mengalir
menuju seksi uji dan besarnya fraksi massa
campuran yang keluar dari kedua outlets
diukur. Pengukuran pola aliran dilakukan
dengan menggunakan camera pada sisi inlet
dan sisi T-Junction. Selanjutnya aliran tersebut
keluar dari kedua bagian yaitu air dominan ke
run dan kerosene ke branch. Selanjutnya
aliran tersebut masuk ke sparator, kemudian
dipisahkan, setelah itu air kembali ke tangki
penampung air dan kerosenepun demikian.
Kemudian dengan cara yang sama
dilakukan pengukuran untuk matrik tes
selanjutnya dan seterusnya.
Tabel 1. Matriks Test Penelitian
No. Kecepatan superficial air
Jw (m/s)
Kecepatan superficial keroseneJk
(m/s)
1 0,10 0,10
2 0,15 0,12
3 0,20 0,14
4 0,25 0,16
5 0,30 0,18
6 0,35 0,20
7 0,40 0,22
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran pada kecepatan superficial
campuran (Jmix) 31 m/s sampai 80 m/s. Dan
farksi volume air masuk 0,23 m/s sampai 0,64
m/s. Secara umum ada 5 pola aliran yang
ditemui pada penelitian ini yaitu :
1. Stratified Wavy (SW), 2. Three Layer (3L), 3. Dispersed atau Mixer (D), 4. Dispersed water in oil (Dw/o) dan 5. Dispersed oil in water (Do/w).
a. Kecepatan Superficial Rendah
Pada kecepatan superfisial air rendah (Jw
0,15 m/s) ada 4 pola aliran yang terbentuk yaitu (SW) terjadi pada Jk 0,12 m/s, Pola aliran (SWw/o) pada Jk 0,16 m/s, Pola aliran (3L) pada Jk 0,20. Dan pola aliran (D) pada 0,2. Keempat pola aliran tersebut mempunyai
karaktristik yang berbeda, karena fraksi
volume air yang semakin sedikit, seperti pada
gambar 2, 3, 4 dan 5.
Pola aliran di T-Junction Pola aliran di inlet (Skala 1:3)
Gambar 2. Pola aliran Stratified Wavy (SW)
kerosene
Mixed Layer
Gambar 3. Pola aliran Three Layer (3L) (Skala 1:3)
Dispersed Dispersed
Gambar 4. Pola aliran Dispersed (Skala 1:3)
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
20
(DWw/o)
(DWw/o)
Gambar 5. Pola aliran DispersedWavy Water in Oil (DWw/o) (Skala 1:3)
(DWo/w)
Gambar 6. Pola aliran Dispersed Wavy Oil in Water (SWo/w) (Skala 1:3)
b. Kecepatan Superficial Menengah
Pada kecepatan superfisial air menengah
(Jw 0,20 sampai 0,30 m/s) ada 4 pola aliran yang terbentuk yaitu (SW) terjadi pada Jk 0,10 m/s, Pola aliran (DWo/w) pada Jk 0,12 sampai 0,14 m/s, Pola aliran (3L) pada Jk 0,16 sampai 0,20 m/s. Dan pola aliran (D) pada
0,22. Konfigurasi pola aliran yang terjadi hampir sama dengan konfigurasi pola aliran
kecepatan superficial rendah. Ini terlihat pada
gambar 2, 3, 4 dan 6.
c. Kecepatan Superficial Tinggi
Pada kecepatan superfisial air tinggi (Jw
0,20 sampai 0,30 m/s) ada 2 pola aliran yang terbentuk yaitu Pola aliran Dispersed Wavy
Water in Oil (DWw/o) pada Jk 0,10 sampai
0,16 m/s. (DWo/w) pada Jk 0,16 sampai 0,22 m/s. Dibandingkan dengan kecepatan
superficial sebelumnya, pada kecepatan
superfisial air tinggi ini hanya terdapat pola
aliran yang hampir sama, seperti pada gambar
5 dan 6.
Pola aliran Stratified Wafi (SW) terjadi
pada kecepatan superficial kerosene 0,10
sampai 0,12 m/s. Dan kecepatan superficial air
0,10 sampai 0,30 m/s. Dimana pada pola aliran
ini terjadi gelombang pada lapisan kerosene
karena relative terpengaruh oleh tegangan
geser yang terjadi pada kedua lapisan fluida,
sehingga efisiensi pemisahan kerosene-air
belum sempurna, seperti pada gambar 2.
Pada pola Dispersed Wavy Oil in Water
(DWo/w) terjadi pada kecepatan superficial
kerosene 0,12 sampai 0,22 m/s. Dan pada
semua kecepatan superficial air yaitu 0,10
sampai 0,22 m/s. Hal ini terjadi akibat
tegangan geser yang terjadi dekat dinding pipa
pada lapisan kerosene relative lebih
terpengaruh oleh tegangan geser, dimana fluida
lebih cendrung menyebar dan pecah
membentuk butiran-butiran dan pada butiran-
butiran kerosene diselimuti atau dikelilingi
oleh air sehingga kerosene di dalam air, seperti
pada gambar 6.
Untuk pola aliran Dispersed Wavy Wate
in Oil (DWw/o) terjadi pada kecepatan
superficial kerosene 0,10 samapi 0,14 m/s. Dan
kecepatan superficial air 0,30 sampai 0,40 m/s.
yang terjadi pada pola aliran (SWw/o)
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
21
analisanya tidak jauh berbeda dengan (SWo/w)
hanya saja tegangan geser kedua permukaan
fluida yang terjadi lebih dominan pada lapisan
air, sehingga air cendrung pecah dan
membentuk butiran-butiran. Dimana butiran-
butiran air tersebut diselimuti atau dikelilingi
oleh kerosene, sehingga air di dalam kerosene,
seperti pada gambar 5 dan 6.
Pola aliran Three Layer (3L) terjadi pada
kecepatan superficial kerosene 0,16 sampai
0,20 m/s. Dan kecepatan superficial air 0,10
sampai 0,30 m/s. yang terjadi karena dekat
dinding pipa pada lapisan kerosene relative
terpengaruh oleh tegangan geser permukaan
yang tejadi sehingga fluida cenderung pecah
dan menyebar. Semakin meningkatnya
kecepatan superficial air menyebabkan butiran-
butiran kerosene berubah menjadi butiran
berukuran kecil dan terdistribusi pada daerah
batas fase dan membentuk lapisan campuran
antara air dan kerosene seperti pada gambar 3.
Pola aliran Dispersed (D) atau pully
Dispersed terjadi pada kecepatan superficial
kerosene 0,20 samapi 0,22 m/s. Dan kecepatan
superficial air 0,10 sampai 0,30 m/s. Pola
aliran ini terjadi akibat kecepatan superficial
kerosene lebih besar dari kecepatan superfisial
air, sehingga kerosene cendrung menyebar
karena pengaruh tegangan geser dan membetuk
lapisan campuran dibagian atas sedangkan air
bergerak secara kontinyu dibagian bawah.
Pembentukan pola aliran Dispersed dengan
diawali terjadinya pola aliran Three Layer,
karena meningkatnya salah satu kecepatan
superficial fluida yang mengakibatkan naiknya
tegangan geser kedua permukaan fluida
sehingga berpengaruh terhadap semakin
meluasnya daerah campuran (mixed) dan
akhirnya terbentuklah pola aliran dispersed,
seperti pada gambar 4.
Pada seksi pemisahan kerosene-air di T-
Junction terlihat bahwa pembentukan pola
aliran yang terjadi sangat berpengaruh terhadap
hasil pemisahan yang didapat. Seperti terlihat
pada gambar 2 dan 6 di atas bahwa untuk pola
aliran Stratified Wavy pada kecepatan
superficial kerosene (Jk) 0,10 sampai 0,20 m/s
dan kecepatan superficial air (Jw) 0,25 sampai
0,30 m/s adalah merupakan kondisi pemisahan
yang baik sekali, dimana efisiensi
pemisahannya yang paling baik.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Variasi kecepatan superficial aliran kerosene dan air dalam penelitian ini akan
menghasilkan pola aliran Stratified Wavy
(SW), Three Layer (3L), Dispersed atau
Mixer (D), Dispersed water in oil (Dw/o)
dan Dispersed oil in water (Do/w).
2. Untuk pemisahan kerosene-air yang paling baik terjadi pada pola aliran Stratified Wavy
pada kecepatan superficial kerosene (Jk)
0,10 sampai 0,20 m/s dan kecepatan
superficial air (Jw) 0,25 sampai 0,30 m/s.
Atau pada kecepatan superficial campuran
(Jmix) 0,30 sampai 0,40 m/s. Dan dengan
Water cut 67 % sampai 70 %.
3. Dan untuk pemisahan kerosene-air yang kurang baik terjadi pada pola aliran
Dispersed (D) kecepatan suprfisial kerosene
(Jk) 0,20 sampai 0,22 m/s dan kecepatan
superficial air (Jw) 0,10 sampai 0,20 m/s.
Atau pada kecepatan superficial campuran
(Jmix) 0,30 sampai 0,47 m/s. Dan dengan
Water cut 31 % sampai 50 %.
4. Ditemukan aliran transisi atau peralihan yaitu Stratified Wavy, dan Dispersed yaitu
Three Layer pada kecepatan kerosen (Jk)
0,160,20 m/s dan kecepatan air (Jw) 0,15-0,30 m/s.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Angeli, P and Hewitt, G.F. 1999. Flow Structure in Horizontal Oil-Water Flow.
International Journal of Multiphase Flow.
Vol-26. pp 1117-1140.
[2] Bereta A, Ferrari P, Galbiati L and Andreini PA, 1997, Horizontal Oil-Water
Flow in Small Diameter Tubes Flow
Paterns. International Comunkastion of
Heat and Mass Transfer, Vol.24, pp223-
229
[3] Brauner, N. And Maron DM.1992. Flow Pattern Transition in Two phase Liquid-
liquid Flow in Horizontal Tube.
International Journal of Multiphase Flow,
Vol 18, pp. 123-140.
[4] Syofii Imam, 2009, Studi eksperimen
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
22
mengenai pola aliran cairan-cairan minyak
tanah dan air pada pipa horizontal sebagai
simulasi aliran dua fase pada pipa
ekspolasi
[5] Yang L, B.J Azzopardi, A. Belghasi, 2006. Phase separation of liquid-liquid two-
phase flow at a T-junction. AIChE
Journal. Vol. 52(1), pp. 141-149.
[6] Yang L, B.J Azzopardi, 2007. Phase split of liquid-liquid two-phase flow at a
horisontal T-junction. International
Journal of Multiphase Flow. Vol. 33(2),pp.
207-216.
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
23
MAKSIMUM TEGANGAN THERMAL PADA PROSES PENCELUPAN
CERAMIC STALK DI LOW PRESSURE DIE CASTING MACHINE
Hendra
Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Bengkulu
Email : [email protected]
Abstract
Low pressure die casting is process to make the axi-simmetric product such as cylinder head,
piston, brake drum and etc. The process is injected the molten metal with high speeds and pressure
into a metallic die. The low pressure die casting process has some advantages as a low-cost and
high-efficiency precision forming technique. The low pressure die casting having the permanent die
and filling systems are placed over the furnace containing the molten alloy. The filling of the cavity
is obtained by forcing using the pressurized gas to order a rise the molten metal into a tube, which
connects the die to the furnace. The tube called stalk made from ceramics because ceramics has
high temperature resistance and high corrosion resistance. However, care should be taken for the
thermal stress when the tube is dipped into the molten metal. To reduce the risk of fracture it is
important because fracture may happen due to the thermal stresses. In this paper, thermo-fluid
analysis is performed to calculate surface heat transfer coefficient. Then, the finite element method
is applied to consider the thermal stresses when the stalk is dipped into the crucible with varying the
dipping speeds. It is found that the stalk with slowly dipping is better than fast dipping to reduce the
thermal stress.
Keywords: Thermal Stress, Stalk, Low Pressure Die Casting Machine, Finite element method
1. INTRODUCTION
Low pressure die casting (LPDC)
merupakan suatu proses untuk menghasilkan
produk axi-symmetric seperti cylinder head,
piston, brake drum dan light automotive wheels
[1,2]. LPDC didefinisikan sebagai satu bentuk
teknik pembentukan dengan cetakan yang
mana prinsip kerjanya yaitu molten metal di
injeksikan dengan tekanan dan kecepatan
tinggi ke cetakan metal. Proses LPDC
memiliki peranan yang besar pada industri
pengecoran karena memiliki ongkos yang
rendah dan efisiensi ketepatan teknik
pembentukan yang tinggi. Gambar 1
menunjukkan skema dari mesin LPDC. Mesin
LPDC mempunyai cetakan permanen, tungku
pemanasan dan pipa penyalur metal dari
tungku pembakaran yang berisi molten metal.
Pipa penyaluran berfungsi meneruskan molten
metal dengan memanfaatkan gaya tekan dari
gas yang dimampatkan dari tungku
pembakaran ke cetakan. Pipa penyaluran
molten metal disebut dengan stalk.
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
24
Material pipa penyaluran terbuat dari
ceramic karena ceramic memiliki daya tahan
terhadap temperatur tinggi dan korosi.
Sebelumnya material stalk atau pipa dibuat dari
besi cor yang mana membuat kualitas produk
rendah karena adanya bagian permukaan dari
molten metal yang meleleh menempel pada
permukaan pipa. Akibatnya kualitas produk
Tabel 1 The physical properties dari molten aluminum at 750oC
(1023K) [4]
Table 2 Mechanical properties dari ceramics
Physical property (dimension)
Thermal conductivity , W/m K Roll diameter D, m
Kinematics viscosity , mm2/s Isobaric specific heat pC , kJ/kg K
Viscosity , mPa s Constants in Eq. (1) when
3 5
11 10 2 10 ( )Re C
Constants in Eq. (1) when 3 51 10 2 10 ( )Re n
112.2
0.17
0.967
1.1
2.2
0.26
0.6
Tabel 3 Harga surface heat transfer coefficient
W/m2.K
Mechanical properties of ceramics (dimension) Sialon
Thermal conductivity, W/m K
Specific heat, J/kg K
Coefficient of linear expansion, 1/K
Youngs modulus, GPa(kgf/mm2) Specific weight
Poissons ratio 4 Point bending strength, MPa (kgf/mm2)
Fracture toughness, MN/m3/2
17
650
3.010-6
294 (29979)
3.26
0.27
1050 (107)
7.5
Model
2mm/su
25mm/su
Step 16
Step 8
Step 2
given
: 0 -650mmz
0mmz
Bagian dalam dan luar permukaan
Bagian bawah permukaan
Level pencelupan hingga
pertengahan stalk:
Untuk keseluruhan permukaan
pencelupan sampai pertengahan stalk:
3 21.5 10 W/m K
3 21.5 10 W/m K
(1) 0-60st
85mmor 70mmir
(2) 60s -600st
r
z
o
13
00
mm
Cylinder model
(Molten Al T=750oC)
65
0m
m
85mmor
70mmir
3 216.1 10 W/m K
3 2(2.53-19.1) 10 W/m K
3 2(0.831-19.51) 10 W/m K
3 216.1 10 W/m K
3 2(0.831-19.51) 10 W/m K
3 20.831 10 W/m K
3 20.831 10 W/m K
Model
2mm/su
25mm/su
Step 16
Step 8
Step 2
given
: 0 -650mmz
0mmz
Bagian dalam dan luar permukaan
Bagian bawah permukaan
Level pencelupan hingga
pertengahan stalk:
Untuk keseluruhan permukaan
pencelupan sampai pertengahan stalk:
3 21.5 10 W/m K
3 21.5 10 W/m K
(1) 0-60st
85mmor 70mmir
(2) 60s -600st
r
z
o
13
00
mm
Cylinder model
(Molten Al T=750oC)
65
0m
m
85mmor
70mmir
r
z
o
13
00
mm
Cylinder model
(Molten Al T=750oC)
65
0m
m
85mmor
70mmir
3 216.1 10 W/m K
3 2(2.53-19.1) 10 W/m K
3 2(0.831-19.51) 10 W/m K
3 216.1 10 W/m K
3 2(0.831-19.51) 10 W/m K
3 20.831 10 W/m K
3 20.831 10 W/m K
StalkDie
Molten
Aluminum 750
Metal fill
Crucible
Pressuring
gases
Fill stalk
Moving
platen
StalkDie
Molten
Aluminum 750
Metal fill
Crucible
Pressuring
gases
Fill stalk
Moving
platen
Gambar.1 Skema dari mesin low pressure die casting
(LPDC)
z
r
70mm
85mm
13
00
mm
15mm
z
r
70mm
85mm
13
00
mm
15mm
Gambar. 2 Elemen mesh dari stalk (dengan
radius sudut =5)
z
o
u=25mm/s
z
o
u=25mm/s
z
o
u=2mm/s
z
o
u=2mm/s
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
25
rendah dan umur stalk pendek. Oleh karena itu
ceramic digunakan untuk meningkatkan umur
pemakaian. Tetapi ceramic memiliki
kelemahan yaitu memiliki fracture toughness
rendah. Gambar.1, menunjukkan ceramic
stalk yang memiliki peranan penting pada
mesin LPDC karena stalk menerima molten
metal dari tabung pemanas yang dikenal
dengan nama crucible. Permasalahan muncul
ketika ceramic stalk dicelupkan kedalam
molten metal karena adanya tegangan thermal
yang muncul ketika ceramic stalk dicelupkan.
Tegangan thermal ini akan mempengaruhi
kekuatan material ceramic sehingga
mengakibatkan kerusakan akibat rendahnya
fracture toughness dari material ceramic. Paper
ini menggunakan metode elemen hingga untuk
menghitung tegangan thermal yang muncul
ketika stalk dicelup kedalam crucible dengan
variasi level pencelupan dan kecepatan
pencelupan.
2. METODOLOGI DAN SIFAT PHISIK
MATERIAL
Ceramic stalk pada mesin low pressure
die casting memiliki dimensi panjang 1300mm
dan diameter 170mm. Temperatur molten
aluminum diasumsikan adalah 750oC. dan
temperatur ceramic 20oC. Tabel 1
menunjukkan sifat phisik dari molten
aluminum pada temperature 750oC [4]. Tabel 2
menunjukkan sifat mekanik dari material
ceramik Ceramik yang digunakan adalah
Sialon [3]. Axi-symmetric model digunakan
untuk ceramic stalk dengan jumlah elemen
19500 dan nodal 20816.
x (mm)
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
20000
22000
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6650
22000
20000
10000
5000
0 100 200 300 400 600500
Su
rface
hea
t tr
ansf
er (
W/m
2K
)
AB C,D
x
D
C15000
0
x
B
A
o o
x (mm)
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
20000
22000
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6650
22000
20000
10000
5000
0 100 200 300 400 600500
Su
rface
hea
t tr
ansf
er (
W/m
2K
)
AB C,D
x
D
C15000
0
x
B
A
o
x
B
A
o o
Gambar 3 Surface heat transfer coefficient dari stalk (u=25mm/s)
Heat transfer coefficient for 2-D and axi-symmetry model
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
26
Koefisien heat transfer ketika stalk dicelup kedalam molten metal diperlukan
dalam analisa tegangan thermal. Paper ini
menggunakan volume beda hingga 2 dimensi
(2D) and axi-simetri model untuk menghitung
koefisien heat transfer. Hasil 2D dibandingkan
dengan hasil axi-simetri model. Gambar 3
menunjukkan nilai koefisien heat transfer 2D
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
0 100 200 300 400 500 600
Time (s)
200 600400
(M
Pa)
Maximum stress
400
200
0
-100
-200
-300
0 100 300 500
300
100
-400
1max
3max
max
min
maxz
minz
maxr
minr
maxrz
minrz
max 128z MPa
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
0 100 200 300 400 500 600
Time (s)
200 600400
(M
Pa)
Maximum stress
400
200
0
-100
-200
-300
0 100 300 500
300
100
-400
1max
3max
max
min
maxz
minz
maxr
minr
maxrz
minrz
max 128z MPa
Gambar 4 Tegangan maksimum vs. waktu pada pencelupan lambat ( 2mm/su )
-300
-200
-100
0
100
200
0 5 10 15 20 25 3010 3020
200
100
0
-100
-200
-300
zmax
maxrzmax
zminmin
(M
Pa)
Time (s)
1max
3max
rmax
rzmin rmin
Maximum stress zmax 128MPa
0-300
-200
-100
0
100
200
0 5 10 15 20 25 3010 3020
200
100
0
-100
-200
-300
zmax
maxrzmax
zminmin
(M
Pa)
Time (s)
1max
3max
rmax
rzmin rmin
Maximum stress zmax 128MPa
0
a.
b. Perbesaran gambar (a)
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
27
dan axi-simetri model dengan kecepatan celup
cepat = 25mm/su . Axi-simetri model menunjukkan nilai koefisien heat transfer bagian dalam berbeda dengan bagian luar
seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3. Jika
diameter axi-simetri model tak hingga maka
nilai akan mendekati nilai pada hasil 2D. Tabel 3 menunjukkan nilai koefisien heat
transfer untuk ceramic stalk dengan kecepatan celup lambat = 2mm/su and
kecepatan celup cepat = 25mm/su . Apabila kecepatan celupnya lebih lambat daripada
= 2mm/su ini sangat lambat pada proses
pencelupan dan jika melebihi = 25mm/su sangat berbahaya. Sehingga dipilih range
pencelupan yaitu = 2mm/su dan
= 25mm/su .
3. TEGANGAN THERMAL PADA
CERAMIC STALK
3.1. Hasil Pengujian Pencelupan Lambat
Pada kecepatan celup lambat
= 2mm/su , nilai koefisien perpindahan
panas 3 2=1.510 W/m Km digunakan
untuk tiap level pencelupan pada bagian dalam
dan luar ceramic stalk sampai mencapai titik
tengah ceramic stalk. Level pencelupan
bervariasi antara 8 level, 16 level dan 32 level.
Hasil yang diperoleh ditunjukkan oleh Gambar
4. Gambar 4 menunjukkan nilai maksimum
tegangan tarik 1 , maksimum tegangan tekan
3 , komponen maksimum tegangan r , ,
z dan maksimum regangan geser rz dengan
16 level pencelupan. Gambar 4 menunjukkan
maksimum tegangan maxz hampir sama
dengan maksimum tegangan tarik 1 pada
waktu = 20.5st Oleh sebab itu hanya
maksimum tegangan komponen maxz yang
akan dibahas dalam tulisan ini karena nilai
komponen maxz sama dengan nilai
Gambar 5 Distribusi temperatur dan tegangan ( = 2mm/su pada saat = 20.5st ),
displacement 50
z
Detail of A Detail of B
Temperature
950C
1700C
2460C3220C
3970C
4720C5480C
6230C
A
r
B
r
-138MPa
9.6MPa
-108MPa
-49MPa
-79MPa
68MPa
98MPa
-19MPa
39MPa-19MPa
z
z
max 128MPaz
z
Detail of A Detail of B
Temperature
950C
1700C
2460C3220C
3970C
4720C5480C
6230C
A
r
B
r
-138MPa
9.6MPa
-108MPa
-49MPa
-79MPa
68MPa
98MPa
-19MPa
39MPa-19MPa
z
z
max 128MPaz
Temperature Stress z
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
28
maksimum tegangan tarik 1 . Maksimum
tegangan maxz memiliki nilai puncak
128MPa pada waktu = 20.5st untuk level pencelupan 16 level. Pada level 8 dan 32
nilainya sama tetapi waktu mencapai nilai
puncaknya berbeda. Hal ini disebabkan oleh
level pencelupan menimbulkan efek getaran
akibat adanya perbedaan panas yang terjadi
pada daerah dibawah dan diatas level
pencelupan.
Maksimum tegangan max =128MPaz
terjadi pada saat waktu = 20.5st dan tidak mengalami penurunan nilai sampai level
pencelupan mencapai pertengahan ceramic
stalk. Setelah mencapai pertengahan ceramic
stalk tegangan akan mengalami penurunan.
Dengan adanya level pencelupan 16
menunjukkan terjadinya fluktuasi nilai
tegangan seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 5 menunjukkan distribusi
temperatur dan tegangan z pada ceramic
stalk dengan kecepatan pencelupan lambat
= 2mm/su dan waktu = 20.5st . Gambar 5 menunjukkan tegangan maksimum terjadi pada
bagian dalam dari ceramic stalk 128MPa yang
mana tegangan maksimum max = 296MPaz
terdapat pada bagian diameter dalam dan
bawah ceramic stalk.
3.2 Hasil Pengujian Pencelupan Cepat
Tegangan thermal dengan pencelupan
cepat = 25mm/su ditunjukkan pada Gambar 1. Tabel 3 menunjukkan nilai koefisien
perpindahan panas yang digunakan pada
pencelupan cepat = 25mm/su . Tabel 3 menjelaskan nilai koefisien perpindahan panas
yang digunakan pada permukaan ceramic stalk
dan dibagi menjadi dua proses:
1. Saat waktu pencelupan = 0-60st , nilai
koefisien heat transfer 3 2= (0.831-19.51)10 W/m K
digunakan untuk bagian dalam dan luar
permukaan ceramic stalk. Maksimum nilai
koefisien heat transfer 3 2=16.110 W/m K digunakan pada
permukaan bagian bawah ceramic stalk
( 0mmz ) seperti ditunjukkan oleh Tabel 3.
2. Saat waktu pencelupan > 60st , nilai
minimal koefisien perpindahan panas 3 2= 0.83110 W/m K digunakan
pada seluruh permukaan ceramic stalk
yang dicelup sampai pertengahan ceramic
stalk.
Gambar 6 menunjukkan distribusi
temperatur dan tegangan z pada ceramic stalk
dengan pencelupan cepat ( = 25mm/su pada
saat =1.1st ). Gambar 6 menunjukkan nilai tegangan maksimum terdapat pada bagian
bawah dari ceramic tube. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan temperatur yang besar terjadi
pada bagian dalam dan luar ceramic stalk.
Gambar 7 menunjukkan tegangan maksimum
1 , r , , z dan rz . Seperti ditunjukkan
pada Gambar 7, tegangan tarik maksimum
1 = meningkat dalam waktu singkat.
Setelah mencapai nilai puncak
max = 246MPa pada waktu =1.1st , nilai
tegangan tarik akan menurun.
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
29
(a)
-600
-400
-200
0
200
0 1 2 3 4 5
zmaxmax
rzmax
zmin
min
(M
Pa)
Time (s)
1max
3max
rmax
rzminrmin
Maximum stress300
100
0
-100
-500
-600
-300
1 2 3 4 50
200
-200
-400
max 246MPa
-600
-400
-200
0
200
0 1 2 3 4 5
zmaxmax
rzmax
zmin
min
(M
Pa)
Time (s)
1max
3max
rmax
rzminrmin
Maximum stress300
100
0
-100
-500
-600
-300
1 2 3 4 50
200
-200
-400
max 246MPa
Gambar 6 Tegangan maksimum vs. waktu pada pencelupan cepat ( = 25mm/su )
-600
-400
-200
0
200
0 10 20 30 40 50
zmaxmaxrzmax
zminmin
(M
Pa)
Time (s)
1max
3max
rmax
rzminrmin
Maximum stress max 246MPa300
100
0
-100
-500
-600
-300
10 20 30 40 500
200
-200
-400
-600
-400
-200
0
200
0 10 20 30 40 50
zmaxmaxrzmax
zminmin
(M
Pa)
Time (s)
1max
3max
rmax
rzminrmin
Maximum stress max 246MPa300
100
0
-100
-500
-600
-300
10 20 30 40 500
200
-200
-400
(b). Pembesaran gambar (a)
u=25mm/su=25mm/s
u=25mm/su=25mm/s u=25mm/su=25mm/s u=25mm/su=25mm/s
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
30
Gambar 7 Distribusi temperatur dan tegangan ( = 25mm/su pada saat
=1.1st ), displacement 50
Temperature
Detail of C Detail of D
900C
1600C
5790C
7190C6490C
5090C
4390C3690C
2990C
z
D
rr
C
z
-167MPa
108MPa
-373MPa
-235MPa
-98MPa
39MPa
177MPa
max=246MPa
Temperature
Detail of C Detail of D
900C
1600C
5790C
7190C6490C
5090C
4390C3690C
2990C
z
D
rr
C
z
-167MPa
108MPa
-373MPa
-235MPa
-98MPa
39MPa
177MPa
max=246MPa
Temperature Stress
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
31
3.3 Perbandingan Tegangan Maksimal
Antara Pencelupan Cepat Dan Lambat
Perbandingan tegangan maksimum antara
pencelupan cepat = 25mm/su dan lambat
= 2mm/su dapat dilihat pada Gambar 4 sampai dengan 7. Gambar 6 menunjukkan
maksimum tegangan untuk pencelupan cepat
= 25mm/su yaitu max = 246MPa , 2 kali
lebih tinggi dibanding dengan pencelupan
lambat = 2mm/su yaitu max =128MPaz
(lihat gambar 4). Tabel 4 menunjukkan posisi
maksimum tegangan dan perbandingan
tegangan maksimum pencelupan cepat
= 25mm/su dan pencelupan lambat.
= 2mm/su .
DAFTAR PUSTAKA
[1] The A to Z of Materials Aluminum Casting Techniques-Sand Casting and Die
Casting Processes. (Online), available
from , (accessed 2008-4-23).
[2] F. Bonollo, J. Urban, B. Bonatto, M. Botter. Gravity and Low Pressure Die
Casting of Aluminium Alloys: a Technical
and Economical Benchmark. Allumino E
Leghe, 2005.
[3] Nogami S. Large Sialon Ceramics Product for Structural Use. Hitachi Metal Report,
vol.15; 1999.pp.115-120 [in Japanese].
[4] Editorial committee of JSME. Data of heat transfer. Tokyo: JSME; 1986. p.323 [in
Japanese].
Ceramic Stalk
u=25mm/s
u=2mm/s
Model
Ceramic Stalk
u=25mm/s
u=2mm/s
Model
246MPa(A)
209MPa(A)z
98MPa(B)rz
89MPa(A)r
1 246MPa(A)
BA
128MPa(A)z
105MPa(B)
21MPa(C)rz 4MPa(A)r
1 128MPa(A)
C
A
B
Saat t=20.5s
(maksimum tegangan)
Saat t=1.1s
(maksimum tegangan)
246MPa(A)
209MPa(A)z
98MPa(B)rz
89MPa(A)r
1 246MPa(A)
BA
128MPa(A)z
105MPa(B)
21MPa(C)rz 4MPa(A)r
1 128MPa(A)
C
A
B
C
A
B
Saat t=20.5s
(maksimum tegangan)
Saat t=1.1s
(maksimum tegangan)
Tabel 4 Nilai maksimum tegangan tarik
pada ceramic stalk
-
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012
32
PENGARUH PRESTRAIN BERTINGKAT TERHADAP KEKERASAN
DAN KEKUATAN TARIK BAJA KARBON SEDANG
Zulhanif Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Lampung
Gedung H Fakultas Teknik , Jl. Prof. Soemantri Brojonegoro No. 1
Bandar Lampung, 35145 Telp: (0721) 3555519 Fax: (0721) 704947
Abstrak
Prestrain adalah suatu gejala deformasi plastis yang terjadi pada material logam, dimana
material yang mengalami beban tarik dengan besar tegangan yang terjadi di atas tegangan luluh
(yield) dari material logam tersebut. Efek prestrain akan meningkatkan tegangan luluh dan tegangan tarik material. Tegangan tarik dapat meningkat karena tegangan yang dibutuhkan untuk
menimbulkan deformasi plastis ditingkatkan dengan prestrain. Regangan awal yang diberikan
terhadap material akan mengakibatkan gerakan dislokasi sehingga menyebabkan pengerasan-
regang. Pengerasan-regang banyak digunakan untuk mengeraskan logam atau paduan yang tidak
bereaksi terhadap perlakuan panas.
Material yang digunakan yaitu baja karbon sedang. Setelah material dibentuk, material
tersebut di uji tarik sehingga didapat grafik stress strain dan load displacement. Dari grafik tersebut dapat dicari nilai prestrain 3 %, 5 %, 7%, dan 6 %, 10 %, 14 %. Spesimen dipasang pada
alat uji dan dijepit sehingga spesimen tidak bergeser pada saat pemberian beban tarik. Pada
pengujian prestrain sekali diukur pada prestrain 3%, 5 %, 7 % dan 6 %, 10 %, 14 %. Setelah itu
dibiarkan selama 1 hari, kemudian dilakukan pengujian tarik. Dari pengujian tarik ini akan
didapatkan tegangan-regangan sehingga diperoleh data-data y (MPa), ult (MPa), dan (%). Nilai
uji tarik material ult akan dapat diketahui dengan melihat kertas grafik dari hasil pengujian spesimen. Sedangkan untuk prestrain dua kali diukur pada prestrain 3%, 5 %, 7 %. Setelah itu
dibiarkan sampai setengah hari, kemudian di prestrain 3%, 5 %, 7 %. Selanjutnya dibiarkan sampai
hari besoknya, kemudian dilakukan pengujian tarik. Dari pengujian tarik ini akan didapatkan
tegangan-regangan sehingga diperoleh data-data y (MPa), ult (MPa), dan (%). Hasil pengujian yang didapatkan untuk spesimen yang diberi perlakuan prestrain, mengalami
peningkatan nilai kekerasan dan kekuatan tariknya. Peningkatan nilai kekuatan tarik tertinggi terjadi
pada prestrain 14 % sekali, sebesar 669,57 MPa (8,20%).sedangkan yang terendah terjadi pada
prestrain 3 % sekali, sebesar 626,89 MPa(1,30%).
Kata kunci : Prestrain, Dislokasi, Pengerasan Regangan, Deformasi Plastis,.
PENDAHULUAN
Baja karbon adalah baja yang mengandung
unsur besi, karbon dan juga unsur lainnya
(mangan, silikon, belerang, dan lain-lain),
dalam batas-batas tertentu yang tidak banyak
berpengaruh terhadap sifatnya.
Baja karbon sedang mengandung kadar
karbon sampai 0,3 - 0,6 %, lebih kuat dan
keras dibandingkan dengan baja karbon
rendah. Penggunaannya hampir sama dengan
baja karbon rendah. Baja ini digunakan
terutama untuk yang memerlukan kekuatan
dan ketangguhan yang lebih tinggi. Banyak
juga digunakan sebagai baja konstruksi
mesin, untuk poros, roda gigi, rantai dan
lain-lain. Untuk meningkatkan sifat mekanik
baja ini dapat dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya yaitu, dengan pelapisan, heat
treatment, prestrain dan lain lain.
Prestrain dapat meningkatkan sifat mekanik
material, karena prestrain dapat menimbulkan
tegangan sisa dan dislokasi. Adanya tegangan
sisa dan dislokasi dap