Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

82
V V o o l l u u m m e e 1 1 0 0 E E d d i i s s i i K K h h u u s s u u s s H H a a l l a a m m a a n n 1 1 7 7 7 7 D D e e n n p p a a s s a a r r O O k k t t o o b b e e r r 2 2 0 0 1 1 4 4 I I S S S S N N 2 2 2 2 5 5 2 2 - - 3 3 8 8 0 0 X X K K E E R R T T H H A A P P E E R R T T I I W W I I J J U U R R N N A A L L I I L L M M I I A A H H M M A A G G I I S S T T E E R R K K E E N N O O T T A A R R I I A A T T A A N N U U N N I I V V E E R R S S I I T T A A S S U U D D A A Y Y A A N N A A P PR RO OG GR RA AM M S ST TU UD DI I M MA AG GI IS ST TE ER R K KE EN NO OT TA AR RI IA AT TA AN N U UN NI IV VE ER RS SI IT TA AS S U UD DA AY YA AN NA A 2 20 01 14 4

Transcript of Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Page 1: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

VVV ooo lll uuu mmm eee 111 000

EEE ddd iii sss iii KKK hhh uuu sss uuu sss HHH aaa lll aaa mmm aaa nnn 111 ––– 777 777

DDD eee nnn ppp aaa sss aaa rrr

OOO kkk ttt ooo bbb eee rrr 222 000 111 444 III SSS SSS NNN

222 222 555 222 --- 333 888 000 XXX

KKEERRTTHHAA PPEERRTTIIWWII JJJ UUU RRR NNN AAA LLL III LLL MMM III AAA HHH MMM AAA GGG III SSS TTT EEE RRR KKK EEE NNN OOO TTT AAA RRR III AAA TTT AAA NNN UUU NNN III VVV EEE RRR SSS III TTT AAA SSS UUU DDD AAA YYY AAA NNN AAA

PPPRRROOO GGGRRRAAA MMM SSS TTTUUUDDD III MMMAAAGGG IIISSS TTTEEERRR KKKEEE NNNOOO TTTAAARRRIIIAAA TTTAAA NNN

UUUNNN IIIVVVEEERRR SSSIII TTTAAASSS UUU DDDAAAYYYAAANNNAAA

222000111444

Page 2: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014
Page 3: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

i

KERTHA PERTIWI Jurnal Ilmiah Magister Kenotariatan

(Scientific Journals of The Master of Notary) ISSN 2252 – 380 X

Volume 10 (Edisi Khusus) Periode Oktober 2014

Susunan Organisasi Pengelola

Penanggung Jawab

Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum.

Pimpinan Redaksi

I Made Tjatrayasa, SH.,MH.

Mitra Bestari

Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH.,MS.,CN.

Dewan Redaksi

Prof. R.A. Retno Murni, SH.,MH.,Ph.D.

Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum.

Dr. I Gede Yusa, SH.,MH.

Dr. Ketut Westra, SH.,MH.

Penyunting Pelaksana

Drs. Yuwono, SH.,M.Si.

Dr. I Ketut Sudantra, SH.,MH

Kadek Sarna.,SH.,M.Kn.

I Made Walesa Putra, SH.,M.Kn.

Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH.,M.Kn.

Petugas Administrasi dan Keuangan

Ni Putu Purwanti, SH.,M.Hum.

Wiwik Priswiyanti, A.Md.

I Putu Artha Kesumajaya

I Gde Chandra Astawa Widhiasa

Luh Komang Srihappy Widyarthini, SH.

I Made Suparsa

I Ketut Wirasa

I Gusti Bagus Mardi Sukmawan, Amd. Kom.

Alamat Redaksi

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana

Jl. Pulau Bali No. 1 Sanglah Denpasar

Telp. : (0361)264812. Fax (0361)264812

E-mail : [email protected]

Website : http://www.fl.unud.ac.id/notariat/

Gambar Co ver : Keind ahan Alam Indonesi a

Ker tha Per t iwi merup akan ju rnal i lmiah yan g d i t erb i tkan dua kal i se tahun ( Apr i l

dan Oktober ) yan g memu at in formasi t en t ang b erb agai asp ek huku m Kenotar i a tan

dar i : (1 ) h as i l pene l i t i an , (2 ) naskah konseptu al /op in i , (3 ) resen si buku , d an in fo

Kenotar i a t an actual la inn ya

Page 4: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

i i

PENGANTAR REDAKSI

Om, Swastyastu,

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang

Maha Esa oleh karena atas perkenan dan rahkmat-Nyalah Jurnal Ilmiah Program Studi

Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana periode Oktober Tahun

2014 (Edisi Khusus) dapat diselesaikan. Disusunnya Jurnal Ilmiah Prodi M.Kn. Unud. ini

dimaksudkan untuk dapat sebagai referensi dan informasi terkait dengan berbagai persoalan

dalam bidang Hukum Kenotariatan bagi mahasiswa, dosen serta masyarakat pembaca.

Jurnal Ilmiah ini memuat beberapa artikel pilihan dari mahasiswa maupun dosen

Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana seperti terkait dengan persoalan

Tanggung Jawab Dan Perlindungan Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan

Akta Jual Beli Tanah, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Pembuatan Covernote Sebagai

Salah Satu Produk Hukum Yang Tidak Diatur Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris,

Analisis Keabsahan Akta Notaris Tentang Sewa Menyewa Tanah Dengan Bukti Kepemilikan

Dalam Bentuk Pipil dan artikel lainnya. Artikel tersebut merupakan ringkasan hasil penelitian

tesis mahasiswa yang sudah diuji dan dapat dipertahankan oleh mahasiswa dalam sidang

ujian dihadapan dewan penguji dan Guru Besar.

Dengan diterbitkannya Jurnal Ilmiah periode Oktober Tahun 2014 (Edisi Khusus) ini

diharapkan dapat sebagai bahan evaluasi penyelenggaraan pendidikan didalam mewujudkan

visi dan misi serta tujuan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas

Udayana. Kami juga memberikan kesempatan kepada semua pihak yang kompeten dan

pemerhati bidang Hukum Kenotariatan baik di dalam maupun di luar lingkungan Universitas

Udayana untuk berpartisipasi dalam menulis artikel ilmiah dengan tetap mentaati semua

aturan atau ketentuan yang tercantum dalam Jurnal Ilmiah ini. Akhirnya, semoga Jurnal

Ilmiah ini bermanfaat untuk semua pihak.

Om, Santih, Santih, Santih, Om.

Denpasar, Oktober 2014

Redaksi

Page 5: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

i i i

DAFTAR ISI

Hlm

Susunan Organisasi Pengelola ………………………………………………………………….. i

Pengantar Redaksi ………………………………………………………………………………. ii

Daftar isi ………………………………………………………………..................................... iii

Tanggung Jawab Dan Perlindungan Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam

Pembuatan Akta Jual Beli Tanah

Pande Putu Doron Swardika ……………………………………………………………………… 1

Status Hukum Kepemilikan Tanah Hak Milik Oleh Warga Negara Asing

Melalui Perjanjian Nominee

Ni Nyoman Carina Pariska Pribadi… .…………… .………………… . .…………….. 24

Tanggung Jawab Notaris Terhadap Pembuatan Covernote Sebagai Salah Satu Produk

Hukum Yang Tidak Diatur Dalam Undang - Undang Jabatan Notaris

Putu Ayu Lestari Dewi,SH ………………………………………………………………… 34

Analisis Keabsahan Akta Notaris Tentang Sewa Menyewa Tanah Dengan

Bukti Kepemilikan Dalam Bentuk Pipil

Anak Agung Ade Jaya Wibawa ……. . . .………………………………… . .………… . 44

Pengaturan Hubungan Hukum Perjanjian Kredit Antara Bank Dengan Deposan

Robert Wiradinata ……....…………….……………………………………………..…………. 54

Pengaturan Pencegahan Kepailitan Melalui Kombinasi Insolvency Test, Reorganisasi

Perusahaan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Antonius I Gusti Ngurah Putu Berna Adiputra ……....…………….……………………………. 65

Page 6: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 1

TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH

Oleh

Pande Putu Doron Swardika

NIM : 1092461010

Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana

Email : [email protected]

Pembimbing I : Prof. Dr. Ibrahim R. SH., MH.

Pembimbing II : J.S. Wibisono, SH., MH., MKn.

Abstract

Along with the growth and development of such a large population, while the land area are

relatively not increased, obviously this causes the increasing demand for land, thereby it results in

various problems of land. To prevent or at least reduce the potential for conflict or dispute, then the

mechanism of transfer of land to be registered must be proven under the notarial deed of the Land Deed

Official (PPAT). In practice, often a deed which is not in accordance with the procedures of making the

deed of the Land Deed Official which could pose a risk to the security of rights to land. The legal

consequences of such deviations will put Land Deed Official held a judicial accountability with regard to

authentic act made, if it has legal flaws. In this case, the aspects of legal protection of the PPAT are not

expressly regulated by the Regulation for Position of PPAT, PPAT as an honorable position, should be

given special treatment than the general population because of PPAT is a representation of the state

government to implement some of the tasks in the areas of land associated with data maintenance of the

land registration (Bijhouding or Maintenance).

The problems under discussion in this study is what the responsibility of the Land Deed Official

over the deed of sale of land that they made if it has legal flaws and whether the Job Regulations of the

Land Deed Official has provided legal protection to the Land Deed Officials in performing their duties?

This study is classified as a normative legal research which is due to the lack of its governing law

by using the legislative and the conceptual approach. The legal research material used is derived from the

research literature in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through the

techniques of document studies and library research. The supporting legal materials and information that

has been collected were analyzed by the techniques of description, systematization and construction, then

it was analyzed qualitatively to obtain conclusions on the two issues under studied.

The research results showed that as a result of legal deviations from the law-making procedures

of the PPAT deed, therefore, the PPAT can be subject to sanctions as their consequences both

administrative, civil, or criminal sanctions. While the aspects of legal protection in the law enforcement

process against PPAT who violates the law is not regulated by the Job Regulations of the PPAT.

Keywords: Procedure for Making PPAT deed, Responsibility, Legal Protection, Land Deed Official

(PPAT).

I. Pendahuluan

Tanah dalam pengertian geografis adalah

lapisan permukaan bumi yang digunakan untuk

dipakai sebagai usaha. Dewasa ini tanah tidak

hanya dibutuhkan secara sederhana untuk tempat

tinggal ataupun sebagai modal alami utama dalam

kegiatan pertanian dan peternakan. Seiring dengan

laju pertumbuhan dan perkembangan penduduk

yang sedemikian besar, dan luas tanah yang relatif

tidak bertambah, secara nyata hal ini

menyebabkan kebutuhan akan tanah semakin

meningkat, sehingga menyebabkan tanah dan

berbagai masalah agraria muncul dipermukaan.

Dalam rangka memberikan perlindungan

terhadap pemilik tanah dan mengatur

kepemilikan, peralihan dan peruntukan tanah

secara adil dan menyeluruh serta untuk dapat

mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia,

sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD

NRI 1945 dan untuk dapat mengejawantahkan

amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, maka

diciptakan suatu Hukum Agraria Nasional yakni

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang

lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang

Pokok Agraria. (selanjutnya disingkat UUPA).

Page 7: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 2

Pejabat Pembuat Akta Tanah

(selanjutnya disingkat PPAT) mempunyai peran

yang penting dalam pendaftaran tanah, yaitu

membantu Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kegiatan-

kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (selanjutnya disingkat PJPPAT),

merupakan pelaksanaan dari ketentuan PP No. 24

Tahun 1997. Kemudian PP No. 37 Tahun 1998

dilaksanakan oleh Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4

Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP

No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, (PMNA/Ka

BPN 4/1999). PMNA/Ka BPN 4/1999 dinyatakan

tidak berlaku lagi oleh Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1

Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP

No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, (Perka BPN

1/2006).1 Kemudian Perka BPN 1/2006 diubah

dengan beberapa perubahan pasal, yang diatur

dalam Peraturan Kepala BPN RI No. 23 Tahun

2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala

BPN RI No. 1 tahun 2006 tentang Ketentuan

Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang

PJPPAT, (Perka BPN 23/2009). Pendaftaran

peralihan hak atas tanah, dilaksanakan oleh

PPAT, hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 2

PJPPAT, dengan demikian dalam rangka

pendaftaran pemindahan hak, maka jual beli hak

atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun harus dibuktikan dengan akta yang dibuat

di hadapan PPAT. Selain itu syarat jual beli harus

dibuktikan dengan akta PPAT ditegaskan pula

dalam Pasal 37 Ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997.

Menurut Wawan Setiawan, setiap

pemberian atau adanya suatu kewenangan

senantiasa diikuti pula dengan kewajiban dan/atau

1 Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan

Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada

Media Grup, Jakarta, hal. 316-317.

tanggung jawab dari padanya.2 Dengan demikian

PPAT diberi kewenangan membuat akta otentik

khususnya bidang pertanahan, maka PPAT yang

bersangkutan berkewajiban untuk memenuhi

segala persyaratan yang telah ditentukan,

khususnya dalam pembuatannya agar akta yang

dibuat itu memenuhi syarat sebagai akta otentik

yang sah. Sebagai konsekuensinya PPAT sebagai

pejabat umum yang diberi kewenangan untuk

membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum

tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik

atas satuan rumah susun, harus bertanggung jawab

apabila terjadi penyimpangan dan/atau

pelanggaran persyaratan pembuatan akta yang

dilakukannya, yang akan membawa akibat

terhadap tidak sahnya akta yang dibuat PPAT

tersebut.

Meskipun peralihan hak atas tanah

tersebut sudah dilaksanakan melalui akta PPAT,

tetapi terbuka kemungkinan akan dapat

menimbulkan sengketa pertanahan. Pembatalan

kepemilikan hak atas tanah, sedikit banyaknya

juga berkaitan dengan pembuatan akta jual beli

tanah dihadapan PPAT yang tidak sesuai dengan

prosedur pembuatan akta PPAT. Hal ini

disebabkan dalam prakteknya ada situasi-situasi

dan kondisi-kondisi dalam jual beli yang

menyebabkan ketidak-sesuaian tersebut sepertinya

harus dilakukan agar transaksi atau proses jual

beli tanah bisa dilangsungkan.

Adanya penyimpangan maupun kelalaian

dalam pembuatan akta jual beli oleh PPAT yang

pembuatannya tidak sesuai dengan prosedur yang

telah ditentukan dalam perundang-undangan

dalam praktek yang seringkali terjadi misalnya,

penandatanganan akta jual beli telah dilakukan

tapi PPAT belum mengecek atau memeriksa

kesesuaian sertifikat terlebih dahulu ke Kantor

Pertanahan; penandatanganan akta jual beli

2 Wawan Setiawan, 1991, “Tanggung Jawab

Notaris Dalam Pembuatan Akta”, Makalah dalam

seminar nasional sehari Ikatan Mahasiswa

Notariat Universitas Diponegoro, 9 Maret 1991,

Semarang, tanpa halaman.

Page 8: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 3

dilakukan di luar kantor PPAT dan tanpa dihadiri

oleh saksi-saksi; nilai harga transaksi yang dimuat

dalam akta jual beli berbeda dengan nilai transaksi

yang sebenarnya; dan praktek lainnya yang dapat

memberikan akibat hukum berupa akta yang

dibatalkan dimuka pengadilan atau yang hanya

dianggap sebagai akta di bawah tangan, yang

semua itu diantaranya disebabkan kelalaian dari

seorang PPAT yang membuat akta yang tidak

didasarkan pada persyaratan bentuk yang harus

berdasarkan peraturan perundang-undangan

terkait.

Prinsip equality before the law adalah

pilar utama dari bangunan Negara Hukum yang

mengutamakan hukum di atas segalanya (supreme

of law). Pengakuan kedudukan tiap individu di

muka hukum ditempatkan dalam kedudukan yang

sama tanpa memandang status sosial.

Keberlakuan prinsip equality before the law

dalam praktek penegakan negara hukum yang

berdasarkan kedaulatan hukum terkadang

mengalami “penghalusan” atau “exception”

(pengecualian).

Perbedaan perlakuan hukum atau

pengecualian ini hanya berlaku jika ada alasan

yang khusus, misalnya pengecualian berlaku bagi

orang-orang/kelompok orang-orang tertentu yaitu

mereka yang oleh karena melaksanakan suatu

perbuatan yang ditugaskan oleh Undang-undang

tidak dapat dihukum/dipidana. Terhadap orang-

orang ini tidak berlaku kekebalan hukum, karena

apabila mereka terbukti melakukan tindak pidana

dengan menggunakan kekuasaan dan

kewenangannya, maka hukuman terhadap mereka

lebih berat daripada hukuman yang seharusnya

diterima oleh orang biasa.

Sehingga terhadap orang-orang ini jika

melakukan suatu perbuatan guna melaksanakan

ketentuan Undang-Undang tidak dapat dihukum

(bukan kebal hukum), sebaliknya apabila yang

bersangkutan melakukan suatu perbuatan yang

melanggar hukum dengan menggunakan

kekuasaan dan/atau kewenangannya, maka

hukumannya diperberat. Untuk menjadi orang

yang dikecualikan dari prinsip equality before the

law, tentu saja harus memenuhi persyaratan-

persyaratan tertentu yang dibuat sesuai standart

pemenuhan nilai-nilai sebagai orang yang

terhormat (nobile person) maupun jabatan

terhormat (nobile officium).

Seorang PPAT dalam melaksanakan

fungsi jabatannya tidak tunduk terhadap prinsip

equality before the law, sepanjang dalam

melaksanakan jabatannya telah mengikuti

prosedur yang ditentukan oleh peraturan

perundang-undangan. Namun dengan

“disetujuinya” PPAT diperiksa oleh penyidik,

penuntut umum dan/atau hakim, maka sudah

terdapat unsur pengkondisian bagi PPAT tersebut

untuk ditempatkan dalam posisi tidak berada

dalam golongan “nobile person” atau “nobile

officium”, melainkan seperti seorang yang tunduk

pada prinsip equality before the law seperti yang

terjadi pada orang pada umumnya. Selanjutnya

yang menjadi pertanyaan mendasar apakah PPAT

yang merupakan jabatan tertentu yang

menjalankan sebagian dari tugas pemerintah

khususnya di bidang pertanahan di dalam sistem

hukum Indonesia telah mendapatkan perlindungan

hukum secara layak?

Ketentuan dalam PP No. 37 Tahun 1998

tentang PJPPAT, maupun dalam Perka BPN

1/2006 sebagaimana telah diubah dengan Perka

BPN 23/2009 tentang Perubahan Atas Perka BPN

No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan

PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, sebagai

ketentuan bagi PPAT, tidak ada pengaturan

tentang perlindungan hukum bagi PPAT itu

sendiri, dalam peraturan terkait ke-PPAT-an

lainnya pun tidak diatur, maka perlu adanya dasar

hukum mengenai hal itu, karena PPAT

mempunyai peranan yang cukup besar dalam

membantu tugas pemerintah khususnya dibidang

pertanahan.

Page 9: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 4

Jadi dalam hal seorang PPAT juga ikut

terpanggil dalam suatu kasus tertentu, di mana ia

dijadikan sebagai saksi atau tersangka maupun

terdakwa, maka sampai di mana perlindungan

yang ia peroleh sebagai Pejabat Umum yang

menjalankan jabatannya, adalah dia diproses

dengan cara pada umumnya sesuai dengan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

dan tidak ada suatu mekanisme atau prosedur

yang bersifat khusus. Padahal PPAT

dikategorikan sebagai seorang Pejabat Umum,

dan oleh undang-undang diberikan suatu imunitas

hukum bagi jabatan-jabatan tertentu salah satunya

PPAT berupa hak ingkar atau hak mengundurkan

diri (verschoningrecht) dalam pelaksanaan

kewajiban memberi keterangan sebagai saksi di

Pengadilan, hal ini berkaitan dengan rahasia

jabatan.

Berdasarkan uraian di atas terdapat

kekosongan norma mengenai ketentuan

perlindungan hukum bagi PPAT dalam

menjalankan tugas jabatannya, dimana konsep

perlindungan hukum ini berkaitan erat dengan

aspek pertanggungjawaban, sehingga Penulis

tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai

aspek pertanggungjawaban PPAT terhadap akta

jual beli tanah yang mengandung cacat hukum

kemudian mengkaji mengenai sejauh mana

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

mengatur mengenai perlindungan hukum bagi

PPAT dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Umum

dalam pelaksanaan tugas jabatannya.

Tujuan yang ingin dicapai dengan

adanya penelitian ini adalah meliputi tujuan

umum dan tujuan khusus. Secara umum penelitian

ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis

mengenai aspek tanggung jawab dan perlindungan

hukum PPAT dalam pembuatan akta jual beli

tanah. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui dan menganalisis mengenai

aspek pertanggungjawaban PPAT terhadap akta

jual beli tanah yang di buat dihadapannya

mengandung cacat hukum, dan untuk mengetahui

sejauh mana pengaturan perlindungan hukum

kepada PPAT dalam melaksanakan tugas

jabatannya.

II. Metode Penelitian

2.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini

adalah yuridis normatif, dimana dilakukan

penelusuran terhadap permasalahan yang telah

dirumuskan dengan mempelajari ketentuan

perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang dibahas.3

2.2 Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan perundang-

undangan (the statute approach) dan pendekatan

analisis konsep hukum (analitical & conceptual

approach).

2.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum berupa:

a. Bahan hukum primer dalam penelitian ini

adalah :

1. Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD NRI 1945);

2. Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPerdata);

3. Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP);

4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP);

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria (UUPA);

6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris

(UUJN);

3 Ronny Hamit i jo

Soemitro, 1990, Metodologi

Peneli t ian Hukum dan

Jurumetr i , Ghalia Indonesia,

Jakarta , hal . 14.

Page 10: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 5

7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 tentang Pajak Daerah Dan

Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun

2009);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah (PP No. 24 Tahun 1997);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PP No. 37 Tahun 1998/PJPPAT);

10. Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional RI Nomor 3 Tahun 1997

tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah (PMNA/Ka BPN 3/1997);

11. Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional RI Nomor 8 Tahun 2012

tentang Perubahan Atas Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional RI

Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah (Perka

BPN 8/2012);

12. Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional RI Nomor 1 Tahun 2006

tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(Perka BPN 1/2006);

13. Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional RI Nomor 23 Tahun 2009

tentang Perubahan Atas Peraturan

Kepala Badan Pertanahan Nasional

RI Nomor 1 Tahun 2006 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (Perka BPN

23/2009);

14. Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah Indonesia (Kode Etik

IPPAT).

b. Bahan hukum sekunder yang digunakan

dalam penelitian ada yang berupa buku-

buku teks, artikel dalam berbagai

majalah ilmiah atau jurnal hukum,

dan makalah-makalah. Selain itu,

digunakan bahan hukum dari internet

dengan menyebutkan nama situsnya.

c. Bahan hukum tersier, yang memberikan

informasi lebih lanjut mengenai bahan

hukum primer dan bahan hukum

sekunder antara lain berupa kamus

hukum.

2.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum

dalam penelitian ini dilakukan dengan sistem

kartu.4 Sistem kartu yang digunakan kemudian

diterapkan dengan menggunakan teknik bola salju

dengan menemukan bahan hukum sebanyak

mungkin yang diawali dengan penentuan bahan

hukum yang mula-mula berjumlah kecil,

kemudian dari bahan hukum ini dipilih bahan-

bahan hukum untuk dijadikan bahan hukum

berikutnya, begitu selanjutnya, sehingga jumlah

bahan hukum semakin banyak.

2.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum yang digunakan

dalam penilitian ini adalah teknik analisis isi.

Teknik analisis isi dalam penelitian ini diawali

dengan mengambil bahan hukum yang tepat

dengan permasalahan penelitian. Bahan hukum

yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan

deskripsi dengan menguraikan proposisi-proposisi

4 Sistem kartu yaitu dilakukan dengan cara

mencatat dan memahami isi dari masing-masing

informasi yang diperoleh dari bahan hukum

primer, sekunder maupun bahan hukum tersier.

Page 11: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 6

hukum sesuai pokok permasalahan yang dikaji,

untuk selanjutnya dilakukan sistematisasi

/pengklasifikasian terhadap bahan-bahan hukum

tertulis melalui proses analisis tentang isi-isinya.

Berdasarkan atas hasil sistematisasi tersebut,

kemudian dilakukan konstruksi hukum dan

interpretasi atau penafsiran secara normatif

terhadap proposisi-proposisi yang ada sehingga

dapat diberikan argumentasi untuk mendapat

kesimpulan atas pokok permasalahan yang akan

diteliti dalam penulisan penelitian ini.

III. Tinjauan Umum

3.1 Tinjauan Umum tentang PPAT Sebagai

Pejabat Umum

Menurut Soegondo Notodisoejo, Pejabat

Umum adalah seorang yang diangkat dan

diberhentikan oleh pemerintah dan diberi

wewenang dan kewajiban untuk melayani publik

dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta

melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber

pada kewibawaan (gezag) dari pemerintah. Dalam

jabatannya tersimpul suatu sifat dan ciri khas yang

membedakannya dari jabatan-jabatan lainnya

dalam masyarakat.5 Sedangkan menurut Wawan

Setiawan, Pejabat Umum adalah organ negara

yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum (met

openbaar gezag bekleed), berwenang

menjalankan (sebagian dari) kekuasaan negara

untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik

dalam bidang hukum perdata.6

Berkenaan dengan diperlukannya akta

PPAT sebagai alat bukti keperdataan yang terkuat

menurut tatanan hukum yang berlaku, maka

diperlukan adanya pejabat umum yang ditugaskan

oleh undang-undang untuk melaksanakan

5 R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum

Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal. 44.

6 Wawan Setiawan, 1996, “Kedudukan dan

Keberadaan Pejabat Umum serta PPAT

dibandingkan dengan Kedudukan Pejabat Tata

Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional”,

Media Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt

1996, hal. 264.

pembuatan akta otentik itu. Perwujudan tentang

perlunya kehadiran pejabat umum untuk lahirnya

akta otentik, maka keberadaan PPAT sebagai

pejabat umum tidak dapat dihindarkan. Agar suatu

tulisan mempunyai nilai bobot akta otentik yang

bentuknya ditentukan oleh undang-undang

membawa konsekuensi logis, bahwa pejabat

umum yang melaksanakan pembuatan akta otentik

itupun harus pula diatur dalam Undang-Undang,

dan tidak dalam peraturan perundang-undangan

yang lebih rendah, misalnya Peraturan

Pemerintah.

Embrio institusi PPAT telah ada sejak

tahun 1961 berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961

tentang Pendaftaran Tanah dengan istilah

Penjabat saja. Bahwa yang dimaksud pejabat

adalah PPAT disebutkan dalam Peraturan Menteri

Agraria No. 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta

(PMA 11/1961).7 Pada awal kelahirannya PPAT

tidak dikategorikan atau disebut sebagai Pejabat

Umum, perkembangan kemudian berdasarkan

Pasal 1 angka 4 UU No. 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-

Benda yang Berkaitan dengan Tanah bahwa :

“Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang

selanjutnya disebut PPAT, adalah Pejabat

Umum yang diberi wewenang untuk membuat

akta pemindahan hak atas tanah, akta

pembebanan hak atas tanah, dan akta

pemberian kuasa membebankan Hak

Tanggungan menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.”

Selanjutnya keberadaan PPAT ditegaskan

dalam Pasal 1 angka 24 PP No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah bahwa :

7 Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah

Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 253.

Catatan Penulis : Dalam ketentuan Pasal 19 PP

No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah,

menggunakan istilah “Penjabat”, sedangkan

penyebutan secara lengkap istilah “Pejabat

Pembuat Akta Tanah” ditemukan pada Pasal 1

PMA No. 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta.

Page 12: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 7

“Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana

disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang

diberi kewenangan untuk membuat akta-akta

tertentu.”

Secara khusus keberadaan PPAT diatur

dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 37 Tahun 1998

tentang PJPPAT, yang menegaskan bahwa :

“Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya

disebut PPAT, adalah Pejabat Umum yang

diberi kewenangan untuk membuat akta-akta

otentik mengenai perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas

Satuan Rumah Susun.”

Pengertian yang sama diatur juga didalam

peraturan pelaksana PJPPAT yakni pada Pasal 1

angka 1 Perka BPN 1/2006, yang menegaskan :

“Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya

disebut PPAT, adalah Pejabat Umum yang

diberi kewenangan untuk membuat akta-akta

otentik mengenai perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun.”

Sedangkan pada Pasal 1 angka 3 Kode Etik

IPPAT, menentukan bahwa :

“PPAT adalah setiap orang yang

menjalankan tugas jabatannya yang

menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum.”

Dari definisi-definisi PPAT yang disebut di

atas maka dapat disimpulkan bahwa PPAT adalah

“Pejabat Umum” yang berwenang membuat akta

otentik mengenai perbuatan-perbuatan hukum

tertentu berkaitan dengan hak-hak atas tanah atau

hak milik atas satuan rumah susun. Dimana

kewenangan ini diberikan kepada pejabat tersebut

oleh peraturan perundang-undangan.

3.2 Tinjauan Umum tentang Tata Cara

Pembuatan Akta PPAT

Berkaitan dengan jual beli tanah,

terdapat 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi

berkaitan dengan tata cara pembuatan akta PPAT,

yakni syarat formil dan syarat materil. Adapun

syarat formil dari tata cara pembuatan akta PPAT

tersebar dalam berbagai peraturan yang terkait ke-

PPAT-an. Mengenai bentuk dan tata cara

pembuatan akta PPAT didasari oleh Pasal 24 PP

No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT yang

menentukan “Ketentuan-ketentuan lebih lanjut

mengenai tata cara pembuatan akta PPAT diatur

dalam peraturan perundang-undangan mengenai

pendaftaran tanah.” Ketentuan dalam PP No. 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang

mengatur mengenai hal ini ditegaskan pada Pasal

38 ayat (2) yang menentukan “Bentuk, isi dan

cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh

Menteri”. Peraturan yang dimaksud adalah

PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, yang diatur pada Pasal

95-102. Ketentuan formil lainnya dapat juga

ditemui pada Pasal 21-24 PP No. 37 Tahun 1998

tentang PJPPAT, Pasal 51-55 Perka BPN No. 1

Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP

No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, dan

peraturan yang berkaitan dengan perpajakan.8

1. Syarat Formil

Dalam hal pembuatan akta PPAT, terdapat

tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh

PPAT yaitu:

a. Sebelum melaksanakan pembuatan akta

jual beli hak atas tanah, terlebih dahulu

PPAT wajib melakukan pemeriksaan ke

Kantor Pertanahan setempat untuk

mengetahui kesesuaian sertifikat hak atas

tanah yang bersangkutan dengan daftar-

daftar yang ada di Kantor Pertanahan

dengan memperlihatkan sertifikat asli

kepada petugas Kantor Pertanahan.

(Pasal 97 ayat (1) PMNA/Ka BPN

3/1997).

b. Penyiapan dan pembuatan akta dilakukan

oleh PPAT sendiri dan harus dilakukan

8 Ketentuan formil mengenai tata cara

pembuatan akta PPAT ini pada substansinya

adalah sama, dan Penulis lebih menitikberatkan

pada pengaturan yang diatur pada PMNA/Ka

BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, karena lebih memiliki

relevansi secara yuridis.

Page 13: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 8

dalam bentuk yang sesuai dengan

ketentuan yang telah ditentukan. (Pasal

96 Perka BPN 8/2012 tentang Perubahan

Atas PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun

1997 Tentang Pendaftaran Tanah).

Ketentuan mengenai bentuk akta

telah mengalami perubahan dengan

disahkannya Perka BPN 8/2012, dimana

pada peraturan yang lama pembuatan

akta harus dilakukan dengan

menggunakan formulir (blanko) akta

yang dikeluarkan oleh BPN. Artinya

PPAT tinggal mengisi blanko yang

bentuk dan formatnya telah ditentukan

oleh BPN. Sedangkan ketentuan pada

Perka BPN 8/2012, PPAT diberi

keleluasaan untuk menyiapkan dan

membuat akta PPAT sendiri. Akan tetapi

bentuk dan formatnya harus mengikuti

ketentuan yang diatur oleh BPN

sebagaimana terlampir pada lampiran 16-

23 Perka BPN 3/1997.

Penulis berpendapat bahwa

perubahan yang diatur dalam peraturan

yang baru tersebut bertujuan untuk

mengatasi terjadinya kelangkaan blanko.

Sehingga PPAT diberi kewenangan

untuk membuat akta sendiri akan tetapi

bentuk dan formulasinya harus sama

seperti yang ditentukan oleh BPN.

Sebagaimana di atur pada Pasal 96 ayat

(5) Perka BPN 8/2012 “Kepala Kantor

Pertanahan menolak pendaftaran akta

Pejabat Pembuat Akta Tanah yang tidak

sesuai dengan ketentuan sebagaimana

diatur pada ayat (1)”. Artinya adalah

BPN akan menolak akta PPAT yang

bentuk dan formatnya tidak sesuai

dengan ketentuan dari BPN.

Sebelum Perka BPN 8/2012 berlaku

apabila terjadi kelangkaan blanko, PPAT

tidak diberikan kewenangan untuk

membuat aktanya sendiri. BPN melalui

suratnya Nomor 640/1884 tertanggal 31

Juli 2003 telah memberikan kewenangan

kepada Kanwil BPN dalam menghadapi

keadaan mendesak seperti dalam

menghadapi kelangkaan dan kekurangan

blanko akta PPAT dengan membuat

fotocopy blanko akta sebagai ganti

blanko akta yang dicetak, dengan syarat

pada halaman pertama setiap fotocopy

blanko akta itu dilegalisasi oleh Kepala

Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Propinsi atau pejabat yang ditunjuk serta

dibubuhi paraf dan cap dinas pada setiap

halaman.9

c. Dalam hal izin pemindahan hak

diperlukan maka izin tersebut harus

sudah diperoleh sebelum akta

pemindahan atau pembebanan hak yang

bersangkutan dibuat. (Pasal 98 ayat (2)

PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun

1997 Tentang Pendaftaran Tanah).

d. Sebelum dibuat akta mengenai

pemindahan hak atas tanah, calon

penerima hak harus membuat pernyataan

yang menyatakan:

a. bahwa yang bersangkutan dengan

pemindahan hak tersebut tidak

menjadi pemegang hak atas tanah

yang melebihi ketentuan maksimum

penguasaan tanah menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

b. bahwa yang bersangkutan dengan

pemindahan hak tersebut tidak

menjadi pemegang hak atas tanah

absentee (guntai) menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

c. bahwa yang bersangkutan

menyadari bahwa apabila

pernyataan sebagaimana dimaksud

pada a dan b tersebut tidak benar

maka tanah kelebihan atau tanah

9 Bambang S. Oyong, 2013, “Peraturan

KBPN Nomor 8 Tahun 2012 Dalam Kajian Tugas

Pekerjaan PPAT”, diakses pada tanggal 18

Februari 2013, URL :

http://bambangoyong.blogspot.com/2013/01/norm

al-0-false-false-false-en-us-x-none.html

Page 14: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 9

absentee tersebut menjadi obyek

landreform;

d. bahwa yang bersangkutan bersedia

menanggung semua akibat

hukumnya, apabila pernyataan

sebagaimana dimaksud pada a dan b

tidak benar.

(Pasal 99 ayat (1) PMNA/Ka BPN

3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

PP No. 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah).

e. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri

oleh para pihak yang melakukan

perbuatan hukum atau orang yang

dikuasakan olehnya dengan surat kuasa

tertulis sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(Pasal 101 ayat (1) PMNA/Ka BPN

3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

PP No. 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah).

f. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan

oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang

saksi yang menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

memenuhi syarat untuk bertindak

sebagai saksi dalam suatu perbuatan

hukum, yang memberi kesaksian antara

lain mengenai kehadiran para pihak atau

kuasanya, keberadaan dokumen-

dokumen yang ditunjukkan dalam

pembuatan akta, dan telah

dilaksanakannya perbuatan hukum

tersebut oleh para pihak yang

bersangkutan. (Pasal 101 ayat (2)

PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun

1997 Tentang Pendaftaran Tanah).

g. PPAT wajib membacakan akta kepada

para pihak yang bersangkutan dan

memberi penjelasan mengenai isi dan

maksud pembuatan akta dan prosedur

pendaftaran yang harus dilaksanakan

selanjutnya sesuai ketentuan yang

berlaku. (Pasal 101 ayat (3) PMNA/Ka

BPN 3/1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah).

h. PPAT dilarang membuat akta, apabila

PPAT sendiri, suami atau istrinya,

keluarganya sedarah atau semenda,

dalam garis lurus tanpa pembatasan

derajat dan dalam garis ke samping

sampai derajat kedua, menjadi pihak

dalam perbuatan hukum yang

bersangkutan, baik dengan cara bertindak

sendiri maupun melalui kuasa, atau

menjadi kuasa dari pihak lain. (Pasal 23

ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 tentang

PJPPAT).

i. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja

sejak tanggal ditandatanganinya akta

yang bersangkutan, PPAT wajib

menyampaikan akta yang dibuatkannya

berikut dokumen-dokumen yang

bersangkutan kepada Kantor Pertanahan

untuk didaftar. (Pasal 40 ayat (1) PP No.

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah).

j. Terhadap perbuatan hukum pengalihan

hak tersebut, maka PPAT wajib

menyampaikan pemberitahuan tertulis

mengenai telah disampaikannya akta

sebagai mana dimaksud di atas kepada

para pihak yang bersangkutan. (Pasal 40

ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah).

k. Sebelum dilakukannya penandatanganan

akta jual beli, PPAT harus terlebih

dahulu meminta bukti pembayaran pajak,

ketentuan ini menyatakan: “Pejabat

Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya

dapat menandatangani akta pemindahan

Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti

pembayaran pajak”. (Pasal 91 ayat (1)

UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak

Daerah Dan Retribusi Daerah).

Ketentuan mengenai tugas PPAT

untuk meminta bukti pembayaran pajak

dari pembeli diatur pada Pasal 24 ayat

(1) UU No. 20 Tahun 2000 tentang

Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah

(UU BPHTB), yang menyatakan:

“PPAT/Notaris hanya dapat

menandatangani akta pemindahan hak

atas tanah dan atau bangunan pada saat

Wajib Pajak menyerahkan bukti

pembayaran pajak berupa Surat Setoran

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Page 15: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 10

Bangunan.” Sedangkan bagi penjual

diatur pada Pasal 2 ayat (2) PP No. 71

Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga

Atas PP No. 48 Tahun 1994 Tentang

Pembayaran Pajak Penghasilan Atas

Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas

Tanah Dan/Atau Bangunan, yang

menyatakan: “Pejabat yang berwenang

hanya menandatangani akta, keputusan,

perjanjian, kesepakatan atau risalah

lelang atas pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan apabila kepadanya

dibuktikan oleh orang pribadi atau

badan dimaksud bahwa kewajiban

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

telah dipenuhi dengan menyerahkan

fotokopi Surat Setoran Pajak yang

bersangkutan dengan menunjukkan

aslinya.”

2. Syarat Materil.

Selain tahapan-tahapan syarat formil

tersebut di atas, Adrian Sutedi mengemukakan

bahwa syarat materil sangat menentukan sahnya

jual beli tanah, antara lain sebagai berikut :10

a. Pembeli berhak membeli tanah yang

bersangkutan.

Maksudnya adalah pembeli sebagai

penerima hak harus memenuhi syarat

untuk memiliki tanah yang dibelinya atau

memenuhi syarat sebagai subyek hak

milik.

b. Penjual berhak untuk menjual tanah yang

bersangkutan

Yang berhak menjual suatu bidang tanah

tentu saja pemegang hak yang sah atas

tanah tersebut yang disebut pemilik.

Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu

orang, maka ia berhak untuk menjual

sendiri tanah itu. Akan tetapi, apabila

pemilik tanah adalah dua orang maka

10

Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas

Tanah dan Pendaftarannya, Cet. ke-4, Sinar

Grafika, Jakarta, hal. 77-78.

yang berhak menjual tanah itu ialah

kedua orang itu bersama-sama. Tidak

boleh seorang saja yang bertindak

sebagai penjual.

c. Tanah hak yang bersangkutan boleh

diperjualbelikan dan tidak sedang dalam

keadaan sengketa. Jika salah satu syarat

materil ini tidak dipenuhi dalam arti

penjual bukan merupakan orang yang

berhak atas tanah yang dijualnya atau

pembeli tidak memenuhi syarat untuk

menjadi pemilik hak atas tanah, atau

tanah yang diperjualbelikan sedang

dalam sengketa atau merupakan tanah

yang tidak boleh diperjualbelikan, maka

jual beli tanah tersebut adalah tidak sah.

Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang

tidak berhak adalah batal demi hukum.

Artinya, sejak semula hukum

menganggap tidak pernah terjadi jual

beli.

Ketentuan mengenai syarat materil diatas,

secara yuridis adalah berdasarkan ketentuan

dalam Pasal 39 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, yakni PPAT

berwenang menolak untuk membuat akta jual

beli jika:11

a. Mengenai bidang tanah yang sudah

terdaftar, kepadanya tidak disampaikan

sertifikat asli hak yang bersangkutan atau

sertifikat yang diserahkan tidak sesuai

dengan daftar-daftar yang ada di Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota;

b. Salah satu atau para pihak yang akan

melakukan jual beli atau saksinya tidak

berhak atau memenuhi syarat untuk

bertindak dalam jual beli;

c. Salah satu atau para pihak bertindak atas

dasar surat kuasa mutlak yang pada

hakikatnya berisikan perbuatan hukum

pemindahan hak;

d. Untuk jual beli yang akan dilakukan

belum diperoleh izin pejabat atau instansi

yang berwenang, apabila izin tersebut

11

Urip Santoso, Op.cit, hal. 375.

Page 16: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 11

diperlukan menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

e. Obyek jual beli yang bersangkutan

sedang dalam sengketa mengenai data

fisik dan/atau data yuridis; dan

f. Tidak dipenuhinya syarat lain atau

dilanggar larangan yang ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan

yang berlaku.12

IV. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta

Tanah Atas Akta Jual Beli Tanah Yang

Dibuatnya Mengandung Cacat Hukum

4.1 Sebab Degradasi Kekuatan Pembuktian

dan Batalnya Akta PPAT

1. Sebab Pasal 1868 KUHPerdata.

Dalam kaitannya dengan akta PPAT,

ketentuan tersebut tercantum dalam ketentuan

Pasal 95-102 PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997

tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah.

a. PPAT belum melakukan cek bersih atau

pemeriksaan kesesuaian data ke Kantor

Pertanahan, akan tetapi penandatanganan

akta jual beli telah dilakukan.

b. Penandatanganan akta jual beli oleh para

pihak (penjual dan pembeli) tidak dilakukan

dalam waktu yang bersamaan di hadapan

PPAT dan atau di hadapan PPAT yang

menandatangani akta jual beli.

12

Dalam penje lasan

pada Pasa l 39 ayat (1) PP No.

24 Tahun 1997, menyebutkan

contoh syarat atau larangan

yang d itentukan o leh peraturan

perundang-undangan yang

ber laku sebagaimana ketentuan

huruf f d i a tas, adalah larangan

yang diadakan o leh PP No. 48

Tahun 1994 tentang Pembayaran

Pajak Penghasilan Atas

Penghasilan Dar i Pengalihan

Hak Atas Tanah dan Bangunan

Jo. PP No. 27 Tahun 1996

tentang perubahan Atas PP No.

48 Tahun 1994 tentang

Pembayaran Pajak Penghasilan

Atas Penghasilan Dar i

Pengalihan Hak Atas Tanah Dan

Bangunan untuk membuat akta,

j ika kepadanya t idak diserahkan

fo tocopy sura t se toran pajak

penghasilan yang bersangkutan.

c. Pembuatan dan penandatanganan akta jual

beli dilakukan diluar daerah kerja PPAT dan

atau diluar Kantor PPAT dan tanpa dihadiri

oleh saksi-saksi.

d. PPAT tidak membacakan isi dari akta jual

beli dihadapan para pihak secara terperinci,

hanya menjelaskan mengenai maksud dari

pembuatan akta.

e. Nilai harga transaksi yang dimuat di akta

jual beli tidak sesuai dengan nilai harga

transaksi sebenarnya.

f. Penandatanganan akta jual beli telah

dilakukan akan tetapi para pihak belum

melakukan pembayaran pajak, yakni Pajak

Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

bagi Penjual, dan Pajak Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi

Pembeli.

Ketentuan dalam pasal-pasal itu

merupakan syarat formil dari prosedur pembuatan

akta PPAT, yang apabila dilanggar oleh PPAT,

maka akta PPAT itu hanya memiliki kekuatan

pembuktian sebagai akta dibawah tangan

sepanjang para pihak menandatanganinya, dan

degradasi kekuatan bukti akta PPAT tersebut

menjadi akta dibawah tangan sejak adanya

putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan

hukum tetap. Sepanjang berubahnya atau

terjadinya degradasi dari akta otentik menjadi akta

dibawah tangan tidak menimbulkan kerugian,

maka PPAT bersangkutan tidak dapat dimintakan

tanggung jawab hukumnya melalui Pasal 1365

KUHPerdata. Namun apabila karena degradasi

kekuatan bukti menjadi akta dibawah tangan

tersebut menimbulkan kerugian, dimana adanya

pihak ketiga yang memanfaatkan keadaan ini

sehingga salah satu pihak mendapatkan kerugian

maka PPAT bersangkutan dapat digugat dengan

perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur

didalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Jadi kesimpulannya adalah apabila

terjadi penyimpangan terhadap ketentuan Pasal

95-102 PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997

tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Pasal

1868 dan 1869 KUHPerdata, maka akta otentik

Page 17: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 12

dapat turun atau terdegradasi kekuatan

pembuktiannya dari mempunyai kekuatan

pembuktian sempurna menjadi hanya mempunyai

kekuatan pembuktian selayaknya akta dibawah

tangan, jika pejabat umum yang membuat akta itu

tidak berwenang untuk membuat akta tersebut

atau jika akta tersebut cacat dalam bentuknya,

karena dalam perjalanan proses pembuatan akta

tersebut terdapat salah satu atau lebih

penyimpangan terhadap syarat formil dari

prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT,

baik disengaja maupun karena kealpaan dan/atau

kelalaian dari PPAT bersangkutan.

2. Sebab Pasal 1320 KUHPerdata.

Penyimpangan terhadap syarat materil

(subyektif) menyebabkan akta jual beli yang

dibuat oleh PPAT bersangkutan dapat dimintai

pembatalan oleh pihak yang tidak cakap dan/atau

wakilnya yang sah. Sehingga salah satu pihak

dalam perjanjian maupun pihak ketiga, dapat

mengajukan pembatalan atas perjanjian baik

sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu

dilaksanakan maupun setelahnya. Pasal 1451 dan

Pasal 1452 KUHPerdata menentukan bahwa

setiap kebatalan membawa akibat bahwa

kebendaan dan orang-orang yang dipulihkannya

sama seperti keadaan sebelum perjanjian itu

dibuat. Jadi perjanjian yang telah di buat akan

tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan

(oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak

meminta pembatalan tersebut. Sedangkan

penyimpangan terhadap syarat materil (obyektif)

menyebabkan akta jual beli yang dibuat oleh

PPAT bersangkutan dapat dinyatakan batal demi

hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak

semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.

1. Akta PPAT tersebut dapat dibatalkan.

Dalam kaitannya dengan syarat materil

prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT

adalah ketidakcakapan seseorang untuk

melakukan tindakan hukum (handeling-

sonbekwaamheid).

a. Salah satu atau para penghadap dalam

perjanjian tersebut tidak cakap untuk bertindak

dalam hukum, dan/atau tidak memiliki

kewenangan untuk melakukan tindakan atau

perbuatan hukum tertentu. Misalnya anak

berumur 17 tahun tidak berwenang melakukan

jual beli, walaupun ia yang berhak atas tanah

itu. Jual beli terlaksana jika yang bertindak

adalah ayah dari anak itu sebagai orang yang

melakukan kekuasaan orang tua. Mengenai

yang belum dewasa diatur dalam Pasal 330

KUHPerdata, yang menentukan: 1). Telah

berusia 21 tahun, 2). Atau belum 21 tahun

tetap sudah atau pernah kawin sebelumnya.

(Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24

Tahun 1997 Jo. Pasal 330 Jo. 1330

KUHPerdata).

b. Salah satu atau para penghadap bertindak

berdasarkan kuasa, namun pemberi kuasa yang

disebutkan dalam akta kuasa telah meninggal

dunia. Berdasarkan Pasal 1813 KUHPerdata,

berakhirnya pemberian kuasa dapat

disebabkan karena penarikan kembali kuasa

oleh pemberi kuasa; penghentian kuasa oleh

penerima kuasa; meninggalnya atau

diampunya atau pailitnya pemberi kuasa atau

penerima kuasa; dan karena perkawinan

perempuan sebagai pihak pemberi atau

penerima kuasa. (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan

g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 1813

KUHPerdata).

c. Salah satu atau para penghadap bertindak

berdasarkan kuasa substitusi, namun pada

surat kuasa semula tidak dicantumkan klausula

atau ketentuan tentang hal itu. Berdasarkan

Pasal 1803 KUHPerdata mengatur bahwa

pemberian kuasa substitusi harus dengan jelas

disebutkan dalam surat kuasa, dan apabila

jelas disebutkan maka pemberian kuasa

substitusi harus diikuti dengan penyebutan

nama penerima kuasa substitusi. Kuasa

Substitusi adalah penggantian penerima kuasa

melalui pengalihan, atau dengan kata lain

bahwa Kuasa Substitusi adalah Kuasa yang

dapat dikuasakan kembali kepada orang lain.

Surat kuasa bisa dialihkan kepada pihak lain

dengan persetujuan pemberi kuasa awal,

dengan ketentuan dalam surat kuasa yang

pertama harus dinyatakan bahwa surat kuasa

tersebut dapat dialihkan dengan hak substitusi.

Jika tidak dinyatakan demikian, maka surat

kuasa tersebut dapat dinyatakan tidak

sah. (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24

Tahun 1997 Jo. Pasal 1803 KUHPerdata).

Page 18: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 13

Penyimpangan terhadap syarat materil

(subyektif) ini menyebabkan akta jual beli yang

dibuat oleh PPAT bersangkutan dapat dimintai

pembatalan oleh pihak yang tidak cakap dan/atau

wakilnya yang sah. Sehingga salah satu pihak

dalam perjanjian maupun pihak ketiga, dapat

mengajukan pembatalan atas perjanjian baik

sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu

dilaksanakan maupun setelahnya. Pasal 1451 dan

Pasal 1452 KUHPerdata menentukan bahwa

setiap kebatalan membawa akibat bahwa

kebendaan dan orang-orang yang dipulihkannya

sama seperti keadaan sebelum perjanjian itu

dibuat. Jadi perjanjian yang telah di buat akan

tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan

(oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak

meminta pembatalan tersebut.

2. Akta PPAT tersebut batal demi hukum

Dalam kaitannya dengan syarat materil

prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT

adalah ketidakwenangan seseorang untuk

melakukan tindakan hukum (handeling-

sonbevoegdheid).

a. Pihak penjual dalam akta PPAT tidak disertai

dengan adanya persetujuan dari pihak-pihak

yang berhak memberi persetujuan terhadap

perbuatan hukum dalam suatu akta, artinya

tidak memiliki kewenangan untuk melakukan

perbuatan hukum tertentu, misalnya :

- Sebidang tanah dalam sertifikat atas nama

istrinya, sedangkan tanah tersebut adalah

harta bersama dengan suaminya, akan

tetapi istri tidak atau belum mendapat

persetujuan menjual sendiri tanah tersebut

dari suami, atau suaminya belum

memberikan persetujuan tertulis kepada

istri. Demikian juga sebaliknya, istri belum

memberi persetujuan kepada suami untuk

menjual suatu tanah sebagai harta bersama

walaupun tertulis atas nama suami. (Pasal

39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun

1997 Jo. Pasal 119 KUHPerdata).

- Terhadap pengurus perseroan melakukan

perbuatan untuk mengalihkan atau

menjaminkan hak atas tanah yang

merupakan harta kekayaan perseroan tanpa

adanya persetujuan dari pesero yang

ditetapkan dalam anggaran dasar

perseroan. Demikian juga terhadap salah

seorang atau beberapa orang pengurus

yayasan atau koperasi dalam melakukan

perbuatan hukum mengalihkan atau

menjaminkan hak atas tanah tanpa

persetujuan dari pengurus yayasan dan

koperasi yang ditetapkan dalam anggaran

dasar. (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP

No. 24 Tahun 1997).

- Sebidang tanah dalam sertifikat atas nama,

misalnya X, tetapi Tuan X ini tunduk

kepada KUHPerdata yakni sedang berada

dibawah pengampuan, dan Y sebagai

pengampu atau curator dari X hendak

menjual tanah tersebut dengan alasan

untuk kepentingan X, akan tetapi Y belum

mendapat persetujuan atau ijin dari Ketua

Pengadilan Negeri. (Pasal 39 ayat (1) huruf

e dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal

452 Jo. 393 KUHPerdata).

b. Penghadap yang hendak menjual tanah

belum/tidak mendapat persetujuan dari para

ahli waris. (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP

No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 833 ayat (1) Jo.

Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata).

c. Salah satu penghadap bertindak berdasarkan

surat kuasa mutlak, surat kuasa mutlak pada

saat ini tidak diperbolehkan lagi khususnya

dalam hubungannya dengan Tanah

(benda tidak bergerak) yaitu berdasarkan

Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun

1982 tentang larangan penggunaan kuasa

mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah,

tanggal 6 Maret 1982, jual-beli tanah dengan

menggunakan surat kuasa mutlak tidak sah,

sehingga batal demi hukum.

Jadi kesimpulannya adalah apabila

terjadi penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 39

ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah juncto Pasal 1320

KUHPerdata, maka akta PPAT yang dibuatnya

akan berkonsekuensi logis dapat ditolak

pendaftarannya, dimana berkas permohonan

pendaftaran peralihan haknya sudah diproses

secara administratif, namun ketika diteliti

substansi perbuatan hukumnya, terdapat

permasalahan yang menyebabkan akta ditolak

pendaftarannya. Selanjutnya berkaitan dengan

tugas dan wewenang dari PPAT dalam pembuatan

akta jual beli tanah yang mengandung unsur

penyimpangan terhadap syarat materil dari

prosedur pembuatan akta PPAT, yang terdiri dari

Page 19: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 14

syarat subyek (subyek hak atau orang-orang yang

menghadap atau komparan) dan syarat obyek

(obyek hak yang dialihkan), baik disengaja

maupun karena kealpaan dan/atau kelalaian dari

PPAT bersangkutan, maka akta PPAT itu akan

memiliki konsekuensi yuridis yaitu dapat

dibatalkan dan/atau batal demi hukum.

4.2 Bentuk Pertanggungjawaban PPAT Atas

Akta Yang Mengandung Cacat Hukum

1. Tanggung Jawab Secara Administratif.

Pertanggungjawaban PPAT terkait

kesengajaan, kealpaan dan/atau kelalaiannya

dalam pembuatan akta jual beli yang menyimpang

dari syarat formil dan syarat materil tata cara

pembuatan akta PPAT, maka PPAT dapat

dikenakan sanksi administratif. Berdasarkan Perka

BPN 1/2006, penyimpangan terhadap syarat

formil dan materil tersebut adalah termasuk

pelanggaran berat oleh PPAT yang dapat

dikenakan sanksi pemberhentian dengan tidak

hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan

Pertanahaan Nasional Indonesia.

Tanggung jawab PPAT secara

administratif ini, termasuk didalamnya adalah

tanggung jawab perpajakan yang merupakan

kewenangan tambahan PPAT yang diberikan oleh

undang-undang perpajakan. Berkaitan dengan hal

itu PPAT dapat dikenai sanksi administratif

berupa denda sebesar Rp. 7.500.000,- terhadap

pelanggaran Pasal 91 ayat (1) UU No. 28 Tahun

2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi

Daerah. Jadi, sanksi yang dapat mengancam

PPAT yang membuat akta tidak sesuai dengan

syarat formil dan syarat materil dari prosedur atau

tata cara pembuatan akta PPAT adalah sanksi

pemberhentian dengan tidak hormat dari

jabatannya dan pengenaan denda administratif.

2. Tanggung Jawab Secara Keperdataan.

Pertanggungjawaban PPAT secara

keperdataan sebagai akibat dari adanya kesalahan

karena kesengajaan maupun kelalaian berupa

kekurang-hati-hatian, ketidakcermatan dan

ketidaktelitian dalam pelaksanaan kewajiban

hukum bagi PPAT dalam pembuatan akta jual beli

tanah, sehingga menyebabkan pelaksanaan hak

subyektif seseorang menjadi terganggu, apabila

menimbulkan suatu kerugian bagi para pihak,

maka PPAT bersangkutan harus bertanggung

jawab untuk mengganti kerugian yang diderita

oleh para pihak tersebut dalam bentuk

penggantian biaya, ganti rugi dan bunga.

Penentuan bahwa akta tersebut terdegradasi

menjadi akta dibawah tangan maupun dinyatakan

batal dan/atau batal demi hukum, dan menjadi

suatu delik perbuatan melanggar hukum yang

menimbulkan kerugian, harus didasari dengan

adanya suatu putusan pengadilan yang telah

memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga apabila

ada pihak-pihak yang menuduh atau menilai,

bahwa akta PPAT tersebut palsu atau tidak benar

karena telah terjadi penyimpangan terhadap syarat

materil dan formil dari prosedur pembuatan akta

PPAT (aspek formal), maka pihak tersebut harus

membuktikan tuduhan atau penilaian sendiri

melalui proses hukum gugatan perdata bukan

dengan cara mengadukan PPAT kepada pihak

kepolisian.

3. Tanggung Jawab Secara Pidana.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap PPAT

dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan

sebagaimana tersebut dilanggar, artinya

disamping memenuhi rumusan pelanggaran yang

tersebut dalam peraturan perundang-undangan

terkait ke-PPAT-an, Kode Etik IPPAT juga harus

memenuhi rumusan yang tersebut dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Menurut Habib Adjie, adapun perkara

pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta

Notaris/PPAT dalam pembuatan akta otentik

adalah sebagai berikut:13

a. Membuat surat palsu/yang dipalsukan

dan menggunakan surat palsu/yang

13

Habib Adjie, Op. cit, hal. 76.

Page 20: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 15

dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2)

KUHP);

b. Melakukan pemalsuan terhadap akta

otentik (Pasal 264 KUHP);

c. Menyuruh mencantumkan keterangan

palsu dalam akta otentik (Pasal 266

KUHP);

d. Melakukan, menyuruh melakukan, turut

serta melakukan (Pasal 55 Jo. Pasal 263

ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264

atau Pasal 266 KUHP);

e. Membantu membuat surat palsu/atau

yang dipalsukan dan menggunakan surat

palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1)

dan (2) Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2)

KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266

KUHP).

Penulis berpendapat bahwa seorang

PPAT tidak dapat dikenakan Pasal 266 ayat (1)

KUHP. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 266 ayat

(1) tersebut, terdapat unsur menyuruh. PPAT

dalam pembuatan akta jual beli hanya merupakan

media (alat) untuk lahirnya suatu akta otentik,

sedangkan inisiatif timbul dari para penghadap,

sehingga dalam hal ini PPAT adalah pihak yang

disuruh dan bukan pihak yang menyuruh. Namun,

apabila seorang PPAT telah dengan sengaja dan

diinsyafi atau disadari bekerja sama dengan

penghadap, maka PPAT dapat dikenakan Pasal

263 ayat (1) KUHP yang dikaitkan dengan Pasal

55 (1) KUHP, yaitu turut serta melakukan tindak

pidana. Selain itu, karena produk yang dihasilkan

oleh PPAT adalah berupa akta otentik, maka

PPAT dikenakan pemberatan yaitu sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 264 ayat (1) huruf a

KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.

V. Perlindungan Hukum Bagi Pejabat

Pembuat Akta Tanah Dalam

Melaksanakan Tugas Jabatannya

5.1 Perlindungan Hukum Terhadap PPAT

Berdasarkan Peraturan Jabatan PPAT

1. Pengawasan Terhadap Tugas Jabatan PPAT.

Institusi yang berwenang melakukan

pengawasan terhadap PPAT dalam melaksanakan

jabatannya adalah Badan Pertanahan Nasional

(BPN) dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(IPPAT). Adapun peranan BPN dalam hal ini

adalah memberikan pembinaan dan pengawasan

terhadap PPAT agar dalam melaksanakan

jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Sedangkan peranan

IPPAT dalam hal ini adalah memberikan

bimbingan dan pengawasan terhadap PPAT agar

dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan

Kode Etik IPPAT.

Penulis berpendapat bahwa pengawasan

oleh BPN dan IPPAT tersebut pada dasarnya

adalah merupakan wujud dari perlindungan

hukum (bersifat intern) terhadap PPAT itu sendiri

oleh karena dengan adanya suatu pengawasan,

maka setiap PPAT dalam berperilaku dan

tindakannya baik dalam menjalankan jabatannya

maupun diluar jabatannya selalu dalam koridor

hukum, sehubungan dalam menjalankan tugasnya,

seorang PPAT dituntut untuk selalu berpijak pada

hukum dan regulasi yang berlaku di Indonesia,

dan juga berkewajiban untuk menjalankan tugas

sesuai dengan etika yang sudah disepakati

bersama dalam bentuk Kode Etik. Kode Etik ini

membatasi tindak tanduk PPAT agar dalam

menjalankan tugas jabatannya tidak bertindak

sewenang-wenang.

2. Prosedur Khusus Dalam Penegakan Hukum

Terhadap PPAT

Berdasarkan MoU atau Nota

Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik

Indonesia dengan Ikatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah, No. Pol. : B/1055/V/2006 dan Nomor :

05/PP-IPPAT/V/2006 tentang Pembinaan dan

Peningkatan Profesionalisme Di Bidang

Penegakan Hukum. Dalam lampiran nota

kesepahaman (MoU) ini pada Pasal 1 ayat (2),

mengatur bahwa ketentuan Pasal 66 UUJN

diberlakukan juga bagi PPAT dalam lingkup

proses peradilan pidana, sedangkan dalam proses

peradilan perdata tidak ada perangkat hukum yang

mengaturnya, karena MoU diatas adalah nota

Page 21: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 16

kesepahaman antara POLRI dengan IPPAT,

sedangkan MoU antara Badan Peradilan dengan

IPPAT tidak ada atau tidak diatur. Namun yang

menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah

kekuatan hukum dari suatu nota kesepahaman

atau MoU ini? Menurut Sjaifurrachman, MoU

atau Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara

Republik Indonesia dengan IPPAT bukan

merupakan produk hukum, dan hanya

kesepakatan antara organisasi IPPAT dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan tidak

mengikat Majelis Pengawas Daerah. Dalam hal

ini PPAT yang dipanggil sebagai saksi atau

tersangka diberlakukan ketentuan Pasal 112

KUHAP sedangkan penyitaan terhadap akta asli

PPAT (minuta) dan warkahnya hanya dapat

dilakukan dengan izin khusus Ketua Pengadilan

Negeri setempat berdasarkan ketentuan Pasal 43

KUHAP.14

Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa terdapat kekosongan norma berkaitan

dengan prosedur khusus dalam penegakan hukum

bagi seorang PPAT apabila ditinjau dari sudut

peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-

an. Walaupun telah diatur dalam MoU dan

memiliki kekuatan hukum mengikat, akan tetapi

MoU tidak termasuk dalam tata urutan

perundang-undangan di Indonesia. Salah satu

konsekuensi logis dari prinsip negara hukum

adalah penerapan asas legalitas, dengan kata lain,

dalam unsur negara hukum Pancasila, asas

legalitas menjadi hal yang penting terutama

kaitannya dengan aspek perlindungan hukum bagi

PPAT yang sampai saat ini belum ada ketentuan

yang mengatur, karena perlindungan hukum harus

dimaknai sebagai perlindungan dengan

menggunakan sarana hukum atau perlindungan

yang diberikan oleh hukum, artinya pengaturan

mengenai dasar hukumnya harus jelas tertuang

dalam hukum positif.

14

Sjaifurrachman, 2011, Aspek

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan

Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 236.

Perkembangan terkini telah menghentak

dunia Notaris, yakni Majelis Mahkamah

Konstitusi (MK), dengan Putusan MK No.

49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013, telah

mengabulkan permohonan uji materiil (judicial

review) terhadap Pasal 66 ayat (1) UU No. 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dengan

dibatalkannya frasa “dengan persetujuan Majelis

Pengawas Daerah” Pasal 66 ayat (1) UUJN

berubah bunyi menjadi : Untuk kepentingan

proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau

hakim berwenang (tanpa izin MPD):

a. Mengambil fotokopi Minuta Akta

dan/atau surat-surat yang dilekatkan

pada Minuta Akta atau Protokol

Notaris dalam penyimpanan Notaris;

dan

b. Memanggil Notaris untuk hadir

dalam pemeriksaan yang berkaitan

dengan akta yang dibuatnya atau

Protokol Notaris yang berada dalam

penyimpanan Notaris.

Sehingga dengan dikeluarkannya putusan

MK tersebut otomatis ketentuan perlindungan

hukum bagi Notaris khususnya dalam proses

pidana dan perdata kembali seperti sebelum

berlakunya UUJN atau pada saat berlakunya

Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.

1860:3) tentang Peraturan Jabatan Notaris (PJN).

Dimana dalam proses peradilan guna mengambil

dokumen dalam penyimpanan Notaris dan

memanggil Notaris untuk hadir dalam

pemeriksaan yang berkaitan dengan dokumen-

dokumen yang dibuatnya dalam kedudukan

sebagai saksi, tersangka maupun terdakwa, tidak

perlu meminta persetujuan MPD.

Putusan MK ini jelas berimplikasi pula

kepada jabatan PPAT, karena dengan dicabutnya

beberapa frasa dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN

otomatis MoU atau nota kesepahaman antara

POLRI-INI-IPPAT menjadi berubah juga.

Page 22: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 17

Selanjutnya sampai sejauh mana peraturan

perundang-undangan terkait ke-PPAT-an

mengatur mengenai perlindungan hukum bagi

PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya,

disamping ketentuan yang telah otomatis berubah

sebagaimana penjelasan diatas.

Penulis berpendapat walaupun frasa

tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD

NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat maka dalam rangka pemanggilan

terhadap Notaris maupun PPAT dalam suatu

perkara, walaupun tidak diperlukan adanya

persetujuan dari MPD (karena frasa ini sudah

dihapus) akan tetapi secara prosedur etik,

pemanggilan tersebut minimal atau tetap harus

diberitahukan kepada MPD sebagai pengawas

Notaris dan Majelis Kehormatan Daerah sebagai

pengawas PPAT, dan/atau apabila pihak

kepolisian dalam hal ini penyidik hendak meminta

keterangan dari Notaris/PPAT, akan lebih bijak

pihak penyidik yang datang ke kantor. Di sisi lain

menjadi kewajiban formal dan terstruktur dari INI

dan/atau IPPAT untuk mendampingi atau

melakukan pendampingan kepada Notaris/PPAT

yang dipanggil untuk memenuhi panggilan

penyidik, kejaksaan dan hakim. Berkaitan dengan

hal tersebut hendaknya segera dikeluarkan

Peraturan Menteri Hukum dan Ham perihal

pemanggilan Notaris dan/atau Peraturan Kepala

BPN RI perihal pemanggilan PPAT sehubungan

dengan adanya Putusan MK tersebut agar tidak

terjadi kesemena-menaan dalam pemanggilan

Notaris/PPAT.

5.2 Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar PPAT

Berdasarkan uraian di atas Penulis

berpendapat bahwa, walaupun “hak istimewa”

yang pertama yakni perlindungan hukum berupa

keharusan bagi penyidik, penuntut umum dan

hakim memperoleh persetujuan Majelis Pengawas

Daerah untuk memanggil PPAT dalam rangka

proses peradilan telah dicabut berdasarkan

Putusan MK RI Nomor 49/PUU-X/201215

,

tidaklah menghilangkan hak istimewa lainnya

yakni “Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar”,

sehingga Jabatan PPAT sebagai Pajabat Umum

dalam menjalankan jabatannya tetap terlindungi.

Secara implisit hak istimewa PPAT

diatur karena berkaitan dengan rahasia jabatannya

sebagai pejabat umum. Apabila dikaitkan dengan

hukum, maka tindakan membocorkan rahasia,

secara materil didasarkan pada Pasal 322 ayat (1)

KUHP dan Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata dan

bahkan apabila terdapat unsur pencemaran nama

baik dapat dilihat pada pasal-pasal perbuatan

melanggar hukum dalam KUHPerdata.

Pasal 322 ayat (1) KUHP :

“Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu

rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan

atau pekerjaannya yang sekarang maupun yang

dahulu, diancam dengan pidana penjara paling

lama sembilan bulan atau denda paling banyak

sembilan ribu rupiah.”

Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata :

“Segala siapa yang karena kedudukannya,

pekerjaannya atau jabatannya menurut undang-

undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu,

namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal

yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya

sebagai demikian.”

Sedangkan secara formil atau hukum

acara, didasarkan pada Pasal 170 KUHAP untuk

proses acara pidana, dan dalam Pasal 277 ayat (1)

HIR Jo. 146 ayat (1) angka 3 HIR untuk proses

acara perdata.

Pasal 170 KUHAP :

(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat

martabat atau jabatannya diwajibkan

menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan

dari kewajiban untuk memberi keterangan

sebagai saksi, yaitu tentang hal yang

dipercayakan kepada mereka.

(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala

alasan untuk permintaan tersebut.

Pasal 277 ayat (1) HIR :

“Orang yang karena martabatnya, pekerjaan

atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan

rahasia, boleh minta dibebaskan daripada

15

Berdasarkan Putusan MK ini otomatis

MoU antara POLRI dengan IPPAT, yang

memberlakukan ketentuan Pasal 66 ayat (1)

UUJN bagi Jabatan PPAT juga berubah.

Page 23: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 18

memberi penyaksian; akan tetapi hanya tentang

hal itu saja, yang diberitahukan kepadanya

karena martabatnya, pekerjaan atau jabatannya

itu.”

Pasal 146 ayat (1) angka 3 HIR :

“Sekalian orang yang karena martabatnya,

pekerjaan atau jabatan syah diwajibkan

menyimpan rahasia akan tetapi hanya semata-

mata mengenai pengetahuan yang diserahkan

kepadanya karena martabat, pekerjaan atau

jabatannya itu.”

Sebagaimana uraian di atas, PPAT

sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk menjaga

rahasia yang dipercayakan orang yang

menggunakan jasa PPAT kepadanya. Sama

halnya dengan profesi Notaris maupun Advokat,

rahasia jabatan tidak sekedar merupakan

ketentuan etik, melainkan pula menjadi asas

hukum yang memberikan Kewajiban Ingkar

(Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar

(Verschoningsrecht). Hal ini bermakna disamping

berkewajiban untuk merahasiakan isi akta baik

karena hukum formal (Pasal 170 KUHAP dan

Pasal 277 ayat (1) HIR Jo. 146 ayat (1) angka 3

HIR) maupun hukum materil (Pasal 322 ayat (1)

KUHP dan Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata),

juga untuk menjaga martabatnya sebagai seorang

Notaris/PPAT yang tentunya menjadi tidak

dipercaya, apabila Notaris/PPAT tersebut tidak

bisa menjaga rahasia kliennya.

Hak untuk tidak membuka rahasia

didasarkan atas kepercayaan yang diberikan oleh

klien untuk kepentingan suatu jabatan. Menjadi

kewajiban untuk tidak membuka rahasia

didasarkan pada sumpah jabatan dan Kode Etik

IPPAT yang memberikan sanksi bagi PPAT yang

membuka rahasia. Dalam hukum pidana Pasal 322

ayat (1) KUHP memberikan ancaman pemidanaan

bagi wajib penyimpan rahasia yang membuka

rahasia pekerjaan atau jabatannya. Sedangkan

dalam kedudukan sebagai saksi pada perkara

perdata PPAT dapat minta dibebaskan dari

kewajibannya untuk memberikan kesaksian,

karena jabatannya menurut undang-undang

diwajibkan untuk merahasiakannya (Pasal 1909

ayat (3) KUHPerdata).

1. Pelaksanaan Kewajiban Ingkar

(Verschoningsplicht) oleh PPAT.

Telah menjadi suatu asas hukum publik,

bahwa seorang pejabat umum, sebelum dapat

menjalankan jabatannya dengan sah, harus

terlebih dahulu mengangkat sumpah atau diambil

sumpahnya, selama hal ini belum dilakukan, maka

jabatan itu tidak boleh dan tidak dapat dijalankan

dengan sah. Untuk jabatan PPAT asas ini tertuang

dalam Pasal 15 ayat (1) PJPPAT, yang

menentukan, bahwa: “Sebelum menjalankan

jabatannya PPAT dan PPAT Sementara wajib

mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/

Kotamadya di daerah kerja PPAT yang

bersangkutan”. Selanjutnya mengenai isi sumpah

jabatan PPAT dan PPAT Sementara, berdasarkan

ketentuan Pasal 17 ayat (2) PJPPAT, diatur

didalam peraturan pelaksana PJPPAT yakni pada

Pasal 34 ayat (1) Perka BPN 1/2006.

Pengaturan mengenai sumpah jabatan

tersebut merupakan instrumen Kewajiban Ingkar

(Verschoningsplicht) bagi PPAT, hal ini

ditegaskan pula dalam Kode Etik IPPAT, dimana

seorang PPAT dalam rangka melaksanakan tugas

jabatan ataupun dalam kehidupan sehari-hari

diwajibkan “senantiasa menjunjung tinggi dasar

negara dan hukum yang berlaku serta bertindak

sesuai dengan makna sumpah jabatan, kode etik

dan berbahasa Indonesia secara baik dan benar”

(Pasal 3 huruf b Kode Etik IPPAT).

Jadi ketika PPAT dipanggil atau diminta

oleh Penyidik untuk bersaksi atau memberikan

keterangan berkaitan dengan akta yang dibuat

dihadapannya, adalah menjadi kewajiban hukum

PPAT untuk memenuhi hal tersebut. Kemudian

Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dapat

dipergunakan oleh PPAT pada saat memenuhi

panggilan penyidik, PPAT dapat menyatakan

akan mengunakan Kewajiban Ingkarnya

Page 24: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 19

sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1)

PJPPAT Jo. Pasal 34 ayat (1) Perka BPN 1/2006.

Pernyataan menggunakan Kewajiban Ingkar

tersebut akan dicatat dalam Berita Acara

Pemeriksaan (BAP). Pernyataan menggunakan

kewajiban ingkar tersebut semata-mata

menjalankan perintah PJPPAT, sehingga tidak

perlu disertai alasan apapun.

2. Pelaksanaan Hak Ingkar

(Verschoningsrecht) oleh PPAT

Kewajiban untuk memenuhi panggilan

sebagai saksi ditegaskan dalam Pasal 244 KUHP

Jo. 522 KUHP, dimana terdapat ancaman pidana

apabila tidak dipenuhi sehingga PPAT wajib

memenuhi panggilan tersebut. Berkaitan dengan

hal tersebut, Penulis berpendapat ketika PPAT

dipanggil pengadilan untuk bersaksi berkaitan

dengan akta yang dibuat dihadapannya atau

berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan PPAT

berdasarkan peraturan perundang-undangan

terkait ke-PPAT-an, maka PPAT wajib memenuhi

panggilan tersebut, dan ketika panggilan tersebut

dipenuhi, seorang PPAT bisa mempergunakan

Hak Ingkar (Verschoningsrecht)-nya dengan

terlebih dahulu membuat surat permohonan

kepada hakim yang mengadili/memeriksa perkara

tersebut, bahwa PPAT akan menggunakan Hak

Ingkarnya. Hakim yang memeriksa perkara yang

bersangkutan akan menetapkan apakah

mengabulkan atau menolak permohonan PPAT

tersebut. Jika hakim mengabulkan permohonan

PPAT tersebut, maka PPAT tidak perlu bersaksi.

Tapi jika hakim menolak permohonan PPAT

tersebut, maka PPAT perlu bersaksi, dan atas

keterangan PPAT sebagai saksi di Pengadilan,

jika ada yang dirugikan atas keterangan PPAT,

maka PPAT tidak dapat dituntut berdasarkan

Pasal 322 ayat (1) KUHP karena PPAT

melakukannya atas perintah hakim.

Berpijak pada uraian diatas keberadaan

PPAT selama ini dimata hukum seolah-olah tidak

ada bedanya dengan masyarakat umum.

Seringkali terjadi persamaan perlakuan terhadap

pemeriksaan PPAT sebagai saksi baik dalam

tahap penyidikan, penuntutan hingga persidangan,

PPAT diposisikan seolah-olah sebagai warga

negara masyarakat umumnya yang tidak memiliki

rahasia jabatan yang wajib dirahasiakannya.

Menurut Johan Rabe “in the constitutional sense

equality does not mean that the law must treat

everyone equally and justice require differential

treatment when there are relevant or justified

grounds for that treatment. Equality in

constitutional sense therefore means that those

who are similarly situated, or which reasons are

just reasons.”16

Artinya dalam konstitusi

kesetaraan tidak berarti bahwa hukum harus

memperlakukan semua orang sama dan keadilan

memerlukan perlakuan yang berbeda ketika ada

alasan yang relevan atau dibenarkan untuk

perlakuan itu.

Di sisi lain, Notaris/PPAT merupakan

profesi hukum dan dengan demikian profesi

Notaris/PPAT adalah suatu profesi mulia (nobile

officium), disebut nobile officium dikarenakan

profesi notaris sangat erat kaitannya dengan

kemanusiaan. Akta yang dibuat oleh dan/atau

dihadapan Notaris/PPAT dapat menjadi alas

hukum atas status harta benda, hak dan kewajiban

seseorang. Kekeliruan atas akta Notaris/PPAT

dapat menyebabkan tercabutnya hak seseorang

atau terbebaninya seseorang atas suatu

kewajiban.17

(garis bawah dari Penulis)

Berpijak pada pandangan tersebut,

Penulis berpendapat bahwa Notaris maupun

PPAT yang dalam pasal 1868 KUHPerdata,

dikenal sebagai Pejabat Umum (Openbare

16

Johan Rabe, 2001, Equality, Affirmative

Action and Justice, Hamburg Univ, Germany, p.

21.

17

Anshori , Abdul

Ghofur , 2009, Lembaga

Kenotar iatan Indonesia

(Perspekti f Hukum dan Etika) ,

UII Press , Yogyakar ta , ha l . 25.

Page 25: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 20

Ambtenaren) dan telah dijabarkan dalam UUJN

dan PJPPAT adalah orang yang dikecualikan dari

prinsip equality before the law, dan memenuhi

persyaratan-persyaratan tertentu yang dibuat

sesuai standart pemenuhan nilai-nilai sebagai

orang yang terhormat (nobile person) atau profesi

terhormat dan luhur (officium nobile), sebaliknya

seorang Notaris/PPAT yang tidak sedang dalam

kapasitas sebagai Notaris/PPAT adalah sama

dengan orang pada umumnya, yang tunduk pada

prinsip equality before the law.

Dengan demikian berpijak pada

diakuinya suatu imunitas hukum berupa Hak

Ingkar (Verschoningsrecht) dan Kewajiban Ingkar

(Verschoningsplicht), serta PPAT dikualifikasikan

sebagai Pejabat Umum yang juga termasuk dalam

kategori orang yang terhormat, jabatan terhormat

(nobile person, nobile officium), maka sudah

sepantasnya urgensi pengaturan secara normatif

mengenai prosedur khusus dalam penegakan

hukum (pemanggilan dan pemeriksaan pada

proses penyidikan, penuntutan dan persidangan)

terhadap seorang PPAT segera diatur kembali

dengan masukan pengaturan tersebut di atur

bukan dalam suatu MoU tapi dalam suatu

ketentuan normatif.

VI. Simpulan dan Saran

6.1 Simpulan

Berdasarkan uraian pembahasan di atas,

maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Tanggung jawab PPAT terhadap akta jual

beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat

hukum yang dikarenakan adanya kesengajaan

maupun kelalaian dalam proses pembuatan

akta PPAT akan berakibat hukum terhadap

akta jual beli sekaligus terhadap PPAT

bersangkutan berupa:

- Penyimpangan terhadap Syarat Formil

Dengan berpijak pada syarat-syarat

terpenuhinya akta otentik yang diatur pada

Pasal 1868 KUHPerdata dikaitkan dengan

ketentuan Pasal 95-102 Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun

1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, maka apabila

ketentuan formil tersebut dilanggar, akan

menyebabkan terdegradasinya kekuatan

bukti sempurna dari akta jual beli tersebut

menjadi kekuatan bukti akta dibawah

tangan apabila berdasarkan putusan

Pengadilan menyatakan adanya salah satu

atau lebih pelanggaran yang dilakukan.

- Penyimpangan terhadap Syarat Materil

Dengan berpijak pada syarat-syarat

perjanjian yang diatur pada Pasal 1320

KUHPerdata dikaitkan dengan ketentuan

Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah

No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, maka syarat materil dari tata cara

pembuatan akta PPAT harus memenuhi

syarat-syarat subyektif (subyek hak atau

para pihak yang menghadap atau

komparan) dan syarat obyektif (obyek hak

yang dialihkan) dalam pembuatan akta

PPAT. Apabila syarat subyektif dan

obyektif dilanggar, maka akta PPAT

tersebut dapat dimintai pembatalan

dan/atau dinyatakan batal demi hukum.

Pertanggungjawaban PPAT terhadap akta jual

beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat

hukum yang didasari adanya penyimpangan

terhadap syarat formil dan syarat materil dari

prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT

dapat dikenai sanksi :

- Sanksi Administratif : PPAT yang

bersangkutan dapat dikenai sanksi

pemberhentian dengan tidak hormat dari

jabatannya dan pengenaan denda

administratif karena telah melanggar

larangan atau melalaikan kewajibannya.

- Sanksi Perdata : Apabila akta PPAT yang

terdegradasi menjadi akta dibawah tangan,

Page 26: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 21

atau dinyatakan batal dan/atau batal demi

hukum berdasarkan Putusan Pengadilan

yang telah memiliki kekuatan hukum tetap

dikategorikan sebagai perbuatan

melanggar hukum yang menimbulkan

suatu kerugian bagi para pihak, maka

PPAT dapat dimintai pertanggungjawaban

dalam bentuk penggantian biaya, ganti

rugi dan bunga.

- Sanksi Pidana : Sepanjang tindakan PPAT

bersangkutan terbukti secara sengaja dan

direncanakan baik sendiri maupun secara

bersama-sama dengan salah satu atau para

pihak melakukan pembuatan akta yang

dibuatnya dijadikan suatu alat melakukan

suatu tindak pidana, maka terhadap PPAT

bersangkutan dapat dikenai sanksi pidana

sesuai peraturan yang berlaku.

2. Secara normatif Peraturan Pemerintah No. 37

Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta

peraturan perundang-undangan terkait ke-

PPAT-an lainnya tidak mengatur

perlindungan hukum kepada PPAT dalam

melaksanakan tugas jabatannya. Secara

eksplisit pengaturan mengenai perlindungan

hukum bagi PPAT diatur pada Nota

Kesepahaman antara POLRI dengan IPPAT

No. Pol. : B/1055/V/2006 dan Nomor :

05/PP-IPPAT/V/2006, yang menentukan

bahwa Pasal 66 UUJN diberlakukan pula

terhadap PPAT. Namun berdasarkan Putusan

MK RI Nomor 49/PUU-X/2012 prosedur

khusus dalam mekanisme pemanggilan dan

penyitaan protokol akta Notaris/PPAT tidak

perlu meminta persetujuan Majelis Pengawas

Daerah, artinya hak istimewa tersebut telah

dicabut. Secara implisit hak istimewa lainnya

yang dimiliki oleh PPAT adalah Kewajiban

Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar

(Verschoningrecht) yang diakui sebagai suatu

imunitas hukum untuk kewajiban memberi

keterangan sebagai saksi di tingkat

penyidikan, penuntutan dan persidangan baik

perkara perdata maupun pidana bagi jabatan-

jabatan tertentu, salah satunya PPAT,

berdasarkan :

Secara Materil :

- Pasal 17 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah Juncto Pasal 34

ayat (1) Peraturan Kepala BPN No. 1

Tahun 2006 tentang Ketentuan

Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998;

- Pasal 322 ayat (1) KUHP;

- Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata.

Secara Formil :

- Pasal 170 KUHAP dalam proses acara

pidana;

- Pasal 277 ayat (1) HIR Jo. 146 ayat (1)

angka 3 HIR dalam proses acara perdata.

6.2 Saran

1. Untuk PPAT

Sebagai PPAT dalam melakukan pembuatan

akta jual beli hendaknya berpijak pada

ketentuan peraturan perundang-undangan

terkait ke-PPAT-an yang ada, karena akta

otentik yang dibuatnya akan mempengaruhi

kepastian hukum peralihan hak atas tanah

sehingga dapat mengurangi timbulnya

permasalahan dan konflik pertanahan yang

disebabkan dari alat bukti hak atas tanah yang

cacat hukum, baik secara yuridis maupun

teknis dan administratif. PPAT hendaknya

lebih memperhatikan dan memahami

ketentuan-ketentuan yang terkait dengan

pelaksanaan tugas jabatannya agar terhindar

dari sanksi pemberhentian, denda

administratif, dan gugatan ganti rugi dari para

pihak maupun tuntutan pidana. Disamping itu

PPAT dalam menjalankan tugasnya harus

selalu berlandaskan pada moralitas dan

integritas yang tinggi terhadap profesi dan

jabatannya selaku PPAT.

Untuk Pemerintah dan DPR

Page 27: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 22

Ketentuan mengenai tata cara pembuatan akta

PPAT lebih menitikberatkan pada unsur

kepastian hukum, akan tetapi perkembangan

dalam praktek terkadang menerobos aturan-

aturan tersebut yang apabila tidak dipenuhi

maka akan banyak kepentingan klien yang

tidak bisa dilayani. Sehingga perlu kiranya

dinamika-dinamika yang berkembang dalam

proses pembuatan akta PPAT diperhatikan

dan ditampung untuk dijadikan pertimbangan

dalam pengaturan secara normatif

kedepannya. Sehingga unsur kepastian

hukum dalam pembuatan akta PPAT dapat

terpenuhi dan sebaliknya unsur pelayanan

terhadap masyarakat pengguna jasa PPAT

juga dapat terakomodasi dengan baik.

2. Diharapkan peraturan perundang-undangan

yang akan berlaku kemudian (ius

constituendum) dibentuk suatu unifikasi

hukum mengenai pengaturan PPAT di

Indonesia dalam bentuk Undang-Undang

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, baik itu

yang berkaitan dengan tata cara pembuatan

akta PPAT dan pengaturan mengenai

perlindungan hukum bagi PPAT dalam

melaksanakan tugasnya sebagai Pejabat

Umum. Berpijak pada diakuinya hak ingkar

sebagai suatu kewajiban hukum sekaligus

imunitas hukum, menunjukkan PPAT selaku

Pejabat Umum memiliki hak istimewa

dibanding masyarakat biasa, maka perlu

dipertimbangkan pengaturan mekanisme

khusus dalam penegakan hukum terhadap

PPAT. Untuk tindakan jangka pendek demi

menjaga harkat dan martabat Jabatan PPAT

(juga Notaris) diharapkan prosedur

pemanggilan terhadap PPAT (juga Notaris)

minimal ada pemberitahuan kepada Majelis

Kehormatan Daerah (MPD bagi Jabatan

Notaris) melalui suatu peraturan organis.

Sedangkan prosedur pengambilan atau

penyitaan protokol PPAT kembali pada

aturan Pasal 43 KUHAP, yakni harus dengan

izin Ketua Pengadilan Negeri setempat

terlebih dahulu.

VII. Daftar Bacaan

A. Buku-buku

Adjie, Habib, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia (Perspektif Hukum dan Etika), UII Press,

Yogyakarta.

Notodisoerjo, R. Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Rabe, Johan, 2001, Equality, Affirmative Action and Justice, Hamburg Univ, Germany.

Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju,

Bandung.

Soemitro, Ronny Hamitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. ke-4, Sinar Grafika, Jakarta.

B. Artikel Majalah

Page 28: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 23

Setiawan, Wawan, 1996, “Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum serta PPAT dibandingkan dengan

Kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional”, Media Notariat Nomor 38-

41, Jan-Apr-Jul-Okt 1996.

C. Makalah

Setiawan, Wawan, 1991, ”Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta”, Makalah dalam seminar

nasional sehari Ikatan Mahasiswa Notariat Universitas Diponegoro, Semarang.

D. Internet

Oyong, Bambang S., 2013, “Peraturan KBPN Nomor 8 Tahun 2012 Dalam Kajian Tugas Pekerjaan

PPAT”, diakses pada tanggal 18 Februari 2013, URL :

http://bambangoyong.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

Tjahjono, Jusuf Patrianto, 2008, “Apakah Notaris Tunduk Pada Prinsip Equality Before The Law?”,

diakses pada tanggal 15 November 2012, URL : http://notarissby.blogspot.com/2008/03/apakah-

notaris-tunduk-pada-prinsip.html

E. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).

Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R)/Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (R.I.B.) (Staatsblad Tahun

1941 Nomor 44).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo. Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana

untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981

Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara

Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor

1017, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4432).

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997

Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696).

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746).

Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Kepala BPN Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala BPN Nomor 1

Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta.

*****

Page 29: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 24

STUDY OF LEGAL OWNERSHIP OF LAND juridical PROPERTY BY FOREIGN

CITIZENS THROUGH THE "NOMINEE AGREEMENT"WHICH WAS MADE BEFORE

THE NOTARY

Oleh:

Carina Pariska Pribadi*,I Ketut Rai Setiabudhi **, Ida Bagus Wyasa Putra***

Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Bali as a world tourism center not only draw attention to foreign tourists , but also for foreign who

want to own land and reside in bali. National land laws recognize the various kinds of land rights can be

held by legal subjects. ownership of land rights is determined by the legal subject whether he is qualified

to have a certain right to land or not. Freehold rights are the rights to the fullest and strongest owned by

the subjects of law, only Indonesian people can have freehold rights as set in Article 26, paragraph 2 of

Law No. 5 of 1960 concerning agrarian subjects, for foreign given rights in the form of land use rights. in

practice, foreign desire to own property is very high, therefore they make some sort of agreement with

Indonesian citizen by the name of a nominee agreement which aims to foreigners can borrow the

Indonesian name for the certificate included in the property purchased by foreign.

This thesis aims to determine how the free hold rights of land owner ship arrangements by foreign

through a nominee agreement and fulfillment of achievements like Which nominee agreements if one party

(in particular theIndonesianparty) died. methods used in this study is a normative juridical method, which

is done in-depthstudyof Article 26, paragraph 2 of Law No. 5 of 1960 concern in agrarian subjects. And

discuss the nominee agreement looked from its validity of the terms in the agreement asset in Article 1320

of the Civil Code, as well as case studies are also presented concerning the fulfillment of the achievements

in the nominee agreement.

Nominee agreement ineligible validity agreement asset in Article 1320 of the Civil Codein

particular causesa lawful requirement, because the actual causes of the nominee agreement is to violate

Article 26, paragraph 2 of Law No. 5 of 1960 concern ing agrarian subjects, but in the agrarian law not

expressly on nominee ownership therefore the judge to cancel the agreement should be doing first

interpretation. Nominee agreement is basically a natural agreement, in the sense of achievement

fulfillment by the parties based on the moral attitude and good faith of each party. Achievement in terms

of the fulfillment of an Indonesian citizen died can be done by negotiation with the heirs of the Indonesia

if foreigners want to keep the land if he appointed heir of the dead as a nominee or a nominee to replace

with others, or foreigners sell the land to act as the power of the dead to sell the land.

Key Words : Nominee Agreement, Free hold, Foreigner

*Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan T.A. 2011/2012

**Pembimbing I

***Pembimbing II

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada masa sebelum Kemerdekaan

Indonesia penduduk Indonesia dibagi menjadi 3

(tiga) golongan penduduk berdasarkan Pasal 131

(seratus tiga puluh satu) Indische Staatsregerling

(Is) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari

1926 yakni Eropa, Bumi Putera dan Timur Asing.

Setelah kemerdekaan Indonesia maka

penggolongan penduduk sebagaimana diuraikan

di atas tidak berlaku lagi. Dengan

diundangkannya Undang-Undang nomor 12 tahun

2006 tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia, maka penggolongan penduduk dibagi

menjadi 2 (dua) yakni warga negara Indonesia

dan warga negara asing. Konsekuensi dari

pembagian ini salah satunya ada pada hak dan

kewajiban serta hukum yang berlaku bagi warga

Negara Indonesia dan warga negara asing.

Page 30: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 25

Hukum yang berlaku bagi warga negara

asing tidaklah berbeda dengan hukum yang

berlaku bagi warga Negara Indonesia, Namun

terdapat beberapa ketentuan dimana hak dan

kewajiban warga negara asing berbeda dengan

warga Negara Indonesia yakni dalam bidang

hukum tanah / agraria. Perbedaan hak yang paling

jelas terlihat adalah dalam hal penguasaan tanah,

dimana Warga negara asing hanya diperbolehkan

mempunyai Hak Pakai atas tanah, karena prinsip

yang dianut oleh Undang Undang Pokok Agraria

adalah prinsip Nasionalitas. Hanya warga Negara

Indonesia yang dapat mempunyai hubungan

sepenuhnya dengan tanah sebagai bagian dari

Bumi dalam Frasa yang termuat dalam Pasal 33

Ayat (3) Undang Undang Dasar 1945. Hubungan

sepenuhnya sebagaimana dimaksud di atas adalah

dalam wujud Hak Milik.

Hak Milik menurut Pasal 20 ayat (1)

Undang Undang Pokok Agraria

“hak turuntemurun, terkuat dan terpenuh yang

dapat dipunyai orang atas tanah, dengan

mengingat ketentuan dalam pasal 6.” Hanya

Warga Negara Indonesia dan badan hukum

tertentu saja yang dapat memiliki Hak Milik atas

tanah sedangkan bagi Warga negara asing dan

Badan Hukum Asing yang mempunyai

perwakilan di Indonesia dapat diberikan Hak

Pakai.1 Sebagaimana diatur dalam Undang

Undang Pokok Agraria Pasal 21 ayat (1) “Hanya

warga negara Indonesia dapat mempunyai hak

milik atas tanah” dan diperkuat juga dengan Pasal

26 ayat (2) UUPA, yakni :

Setiap jual beli, penukaran, penghibahan,

pemberian dengan wasiat dan perbuatan-

perbuatan lain yang dimaksudkan untuk

langsung atau tidak langsung

memindahkan hak milik kepada orang

asing, kepada seorang warga negara

yang disamping kewarganegaraan

Indonesianya mempunyai

kewarganegaraan asing atau kepada

suatu badan hukum, kecuali yang

1Maria S.W. Sumardjono, 2007, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan, Kompas, hal.1.

ditetapkan oleh Pemerintah termaksud

dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal

Bali sebagai salah satu destinasi wisata

dunia tidak hanya memiliki daya tarik dari segi

pariwisata saja melainkan dari segi bisnis dan

investasi. Banyak warga negara asing yang

membangun usaha di Bali bahkan bertempat

tinggal di Bali, namun tidak sedikit pula yang

melakukan investasi dalam bentuk tanah

mengingat peningkatan harga tanah di Bali yang

mencapai 50% (lima puluh persen) pertahunnya.

Oleh karena itulah banyak warga negara asing

yang menggunakan perjanjian nominee untuk

mensiasati larangan kepemilikan hak atas tanah

oleh orang asing.

Nominee yang dimaksud dalam

penulisan tesis ini adalah warga Negara Indonesia

yang namanya dipergunakan atau dipinjam pada

Sertifikat Hak Milik atas tanah yang dibeli oleh

warga negara asing juga memberi kuasa penuh

(mutlak) kepada warga negara asing untuk

melakukan segala tindakan hukum yang berkaitan

baik tindakan pengurusan maupun pemilikan atas

tanah tersebut. Perjanjian Perjanjian nominee

dituangkan dalam perjanjian yang sepintas lalu

keliatan tidak menyalahi peraturan perundang

undangan, tetapi isinya secara tidak langsung

memindahkan kepemilikan tanah tersebut kepada

warga negara asing yang bertentangan dengan

undang undang. Adapun macam perjanjiannya

adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian Induk yang terdiri dari

Perjanjian Tanah (Land Agreement) dan

Surat Kuasa;

2. Perjanjian Opsi;

3. Perjanjian Sewa Menyewa (Lease

Agreement);

4. Kuasa Menjual (Power of Attorney to

sell);

5. Hibah Wasiat; dan

Page 31: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 26

6. Surat Pernyataan ahli Waris2

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah

diuraikan di atas dapat dirumuskan

Masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan kepemilikan

tanah oleh orang asing yang dibuat

melalui Perjanjian Nominee dihadapan

Notaris?

2. Bagaimanakah status hukum

“perjanjian nominee” apabila salah satu

pihak meninggal dunia?

1.3. Landasan Teori

1. Konsep Hak

Dalam hukum seseorang yang

mempunyai hak milik atas sesuatu benda

kepadanya diizinkan untuk menikmati hasil dari

benda miliknya itu. Benda tersebut dapat dijual,

digadaikan atau diperbuat apa saja asalkan tidak

bertentangan dengan peraturan perundangan. Izin

atau kekuasaan yang diberikan hukum itu disebut

“Hak” atau “Wewenang”. Jadi pemilik benda itu

berhak untuk mengasingkan benda tersebut.3

2. Konsep Kepemilikan

Berbeda dengan penguasaan, maka

pemilikan mempunyai sosok hukum yang lebih

jelas dan pasti. Konsep pemilikan juga

menunjukkan hubungan antara seseorang dengan

obyek yang menjadi sasaran pemilikan. Namun

berbeda dengan penguasaan yang lebih bersifat

faktual, maka pemilikan terdiri dari suatu

kompleks hak-hak, yang kesemuanya dapat

digolongkan ke dalam ius in rem, karena berlaku

terhadap semua orang, berbeda dengan ius

personam yang hanya berlaku terhadap orang-

orang tertentu.

3. Konsep Penguasaan Hak Atas Tanah

2Salim , 2006, Perkembangan Hukum Kontrak di luar KUHPerdata, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hal. 25. 3C.S.T. Kansil, 1979, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Cet. Kedua, hal. 119.

Menurut Budi Harsono dalam bukunya

Hukum Agraria Indonesia bahwa pengertian

“Penguasaan” dapat dipakai dalam arti fisik, juga

dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan

beraspek publik. Penguasaan yuridis dilandasi hak

yang dilindungi oleh hukum dan umumnya

memberi kewenangan kepada pemegang hak

untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki.

Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun

memberi kewenangan untuk menguasai tanah

yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya

penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.

Konsep hak, konsep kepemilikan dan

konsep penguasaan hak atas tanah digunakan

sebagai pisau analisis untuk membahas

permasalahan pertama khususnya untuk

membahas kepemilikan tanah oleh warga negara

Indonesia yang diikat dengan perjanjian nominee

oleh warga asing

4. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas Kebebasan Berkontrak adalah suatu

asas hukum penting dengan berlakunya kontrak

yang mengandung pengertian bahwa para pihak

bebas untuk membuat kontrak apa saja, baik yang

sudah ada pengaturannya dan bebas menetukan isi

kontrak Namun kebebasan tersebut tidak mutlak

karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh

bertentangan dengan Undang Undang dan

Ketertiban Umum dan kesusilaan.4

5. Asas Konsesualitas

Konsensuil secara sederhana diartikan

sebagai kesepakatan, dengan tercapainya

kesepakatan antara para pihak lahirlah kontrak

meskipun kontrak pada saat itu belum

dilaksanakan. Hal ini berarti juga bahwa dengan

tercapinya kesepakatan oleh para pihak

4PT. Asiamaya Dotcom, Kontrak, Indonesia Menara Imperium, Jl.HR.Rasuna Said, Kav 1A, Jakarta selatan, Email:[email protected], terakhir diakses tanggal 2 April 2007, hal 1.

Page 32: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 27

melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka yang

membuatnya (atau dengan kata lain perjanjian itu

bersifat obligatoir). Asas kebebasan berkontrak

dan Asas konsensualitas digunakan sebagai pisau

analisa untuk permasalahan pertama dan kedua

yakni untuk membahas keabsahan perjanjian

nominee dan perikatan alamiah pada pemenuhan

prestasi dalam perjanjian nominee.

6. Teori Kedudukan

Penegak hukum mempunyai kedudukan

(status) dan peranan (role). Kedudukan (status)

merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-

hak dan kewajiban-kewajiban, dimana kedua

unsur tersebut merupakan peranan (role). Suatu

hak merupakan wewenang untuk berbuat atau

tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban

atau tugas. Ada berbagai halangan yang mungkin

dijumpai pada penerapan peran yang seharusnya

dari penegak hukum yang berasal dari dirinya

sendiri atau dari lingkungan, yaitu:

a) Keterdaulatan batasan kemampuan untuk

menempatkan diri dalam peranan pihak

lain dengan siapa dia berinteraksi;

b) tingkat aspiaasi yang relatif belum tinggi;

c) kegairahan yang sangat terbatas untuk

memikirkan masa depan, sehingga sulit

sekali untuk membuat suatu proyeksi;

d) belum adanya kemampuan untuk menunda

pemuasan suatu kebutuhan tertentu,

terutama kebutuhan material;

e) kurangnya daya inovatif yang sebenarnya

merupakan pasangan konservatisme. 5

5Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), hal. 30.

7. Teori Kedaulatan Negara

Negara adalah suatu organisasi

kekuasaan. Organisasi tersebut merupakan tata

kerja dari alat-alat perlengkapan negara yang

menggambarkan hubungan, pembagian tugas, dan

kewajiban alat-alat perlengkapan negara sebagai

suatu kesatuan untuk mencapai tujuan negara.

Agar pelaksanaan tugas tersebut berjalan lancar

maka negara harus memiliki kekuasaan.6 Dengan

adanya kekuasaaan negara memiliki kekuatan

(power) untuk mengatur masyarakat serta alat-alat

perlengkapan negara demi tercapainya tujuan

negara. Teori kedaulatan negara dan teori

kedudukan merupakan norma dasar yang

digunakan sebagai acuan penggunaan undang-

undang sebagai dasar pembahasan masalah

pertama dan kedua.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan penulisan ini adalah untuk

mengetahui secara yuridis mengenai status warga

negara asing yang memiliki tanah di Indonesia

dengan menggunakan perjanjian nominee.

1.4.2 Tujuan khusus.

1 Untuk mengetahui Status Hukum dari

“Perjanjian Nomine” itu sendiri apabila

si Warga Negara Indonesia meninggal

dunia.

2 Untuk mengetahui kekuatan mengikat

dari Perjanjian Nominee terhadap ahli

waris dari Warga Negara Indonesia yang

meninggal dunia.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan adalah

penelitian Hukum Normatif yakni membahas

mengenai Pasal 1320 Kitab Undang Undang

Hukum Perdata yang dikaitkan dengan perjanjian

nominee itu sendiri, membahas mengenai

6Max Bolisabon et.al, 1992, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.111.

Page 33: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 28

ketentuan dalam Undang Undang Pokok Agraria

serta membandingkan pelaksanaan perjanjian

nominee dalam praktek.

2.2. Jenis Pendekatan

Pendekatan yang dipergunakan untuk

membahasan permasalahan dalam tulisan ini ini

adalah pendekatan perundang-undangan (statute

approach), pendekatan analisis konsep hukum

(analytical and conceptual approach) dan

dipergunakan pendekatan kasus (case approach).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Tinjauan Umum

3.1.1 Tinjauan umum tentang Perjanjian

Perjanjian merupakan Suatu peristiwa

dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau

dimana dua orang itu berjanji untuk

melaksanakan suatu hal.7 Pitlo menjelaskan

pengertian perikatan ”Perikatan adalah suatu

hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan

antara dua atau lebih atas dasar pihak yang satu

(kreditur) berhak atas suatu prestasi (debitur) dan

pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu

prestasi”8.

Pasal 1320 Kitab Undang Undang

Hukum Perdata menguraikan” tentang syarat

syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu

perjanjian; Sepakat mereka yang mengikatkan

dirinya, Kecakapan untuk membuat suatu

perikatan, Suatu hal tertentu, suatu sebab yang

halal”

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya Jadi

sepakat dengan sendirinya mengandung

pemahaman bahwa kedua belah pihak

melakukan perjanjian dengan penuh

kesadaran dan tanpa adanya paksaan dari

siapapun.

7Soebekti, 1989, Hukum Perjanjian, Cet.CV.IV.Pen.Internusa Jakarta, (selanjutnya disingkat R. Soebekti II) hal 1 8R.Setiawan,1986, Pokok–pokok Hukum Perikatan, pen. Bina Cipta, Bandung,hal 2

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Dalam melakukan suatu perjanjian kedua

belah pihak harus cakap untuk itu, sedangkan

orang yang berada dibawah pengapuan,

dibawah umur, orang sakit jiwa tidak cakap

untuk membuat suatu perjanjian. Jadi jelas

diantara persyaratan tersebut harus dipenuhi

oleh para pihak, karena ada kondisi

seseorang menurut hukum dinyatakan tidak

cakap untuk melaksanakan perbuatan hukum.

3. Suatu hal tertentu Suatu perjanjian yang

dibuat berdasarkan kesepakatan dengan

saling menguntungkan dan dalam perjanjian

keduabelah pihak menganggap baik

sehinggga tidak ada yang dirugikan.

4. Suatu sebab yang halal maksudnya yaitu apa

yang diperjanjikan itu harus bebas dari

unsur-unsur yang dianggap tidak benar bila

dipandang menurut hukum, agama maupun

norma-norma lainnya.

3.1.2 Tinjauan tentang hak atas tanah

Hak milik di atur dalam Pasal 20-27,

Pasal 49 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 50 ayat (1)

dan Pasal 56 Undang Undang pokok Agraria.

Nama Hak Milik bukan nama asli Indonesia.

Tetapi sifat sifat hak menguasai tanah yang diberi

nama sebutan hak milik itu sudah dikenal dalam

hukum adat, yaitu sebagai hasil perkembangan

penguasaan dan pengusahaan atau penggunaan

sebagian tanah ulayat secara intensif dan terus

menerus oleh perseorangan warga masyarakat

hukum adalah pemegang hak ulayat9. Hak Milik

pada dasarnya hak yang hanya boleh dimiliki oleh

warga Negara Indonesia baik untuk tanah maupun

bangunan yang ada di atasnya. Kepemilikan Hak

Milik dengan jangka waktu tidak terbatas, dapat

beralih karena pewarisan dan dapat juga

dipindahkan kepada pihak lain. Menurut Pasal 20

Undang Undang Pokok Agraria “Hak Milik

adalah Hak turun- temurun, terkuat dan terpenuh

9 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, hal. 286

Page 34: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 29

yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan

mengingat ketentuan dalam Pasal 6, Hak milik

dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”

Dari uraian pasal tersebut dapat penulis

simpulkan bahwa bunyi Pasal 20 berhubungan

dengan Pasal 6 dikatakan bahwa Hak Milik

adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh

yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan

mengingat bahwa hak itu mempunyai fungsi

social.

Hak Pakai diatur dalam Pasal 41 - 43

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Undang

Undang Pokok Agraria hal-hal yang ditentukan di

dalam Undang Undang Pokok Agraria tersebut

kemudian dirinci dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.

Pasal 41 ayat (1) Undang Undang Pokok Agraria

menyebutkan bahwa Hak Pakai adalah hak untuk

menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah

yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah

milik orang lain yang memberi wewenang dan

kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

pemberiannya oleh pejabat yang berwenang

memberikannya atau dalam perjanjian dengan

pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa-

menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,

segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan

jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.

3.2 Keabsahan dan Kekuatan Mengikat dari

Perjanjian Nominee

Menurut Pasal 1320 Kitab Undang

Undang Hukum Perdata, sahnya suatu perjanjian

jika memenuhi 4 syarat, yakni tercapainya kata

sepakat antara para pihak, para pihak cakap untuk

melakukan / membuat perjanjian, adanya

obyek/sesuatu yang diperjanjikan dan kausa yang

halal. Berikut akan dibahas mengenai keabsahan

perjanjian nominee.

a. Sepakat antara para pihak.

b. Kecakapan dalam bertindak

c. Suatu hal tertentu

d. Sebab yang halal / Kausa yang halal.

Pada perjanjian nominee seolah-olah

obyek perjanjian itu memiliki kausa yang halal,

namun perjanjian ini sebenarnya digunakan untuk

menutupi kausa yang sebenarnya yakni

memindahkan penguasaan tanah secara materiil

dari tangan warga Negara Indonesia yang

namanya akan dicantumkan di sertifikat yang

menjadi obyek jual beli ke tangan warga negara

asing. Secara sepintas memang praktek nominee

ini tidak menyalahi peraturan namun lebih lanjut

dalam Undang Undang Pokok Agraria Pasal 26

ayat (2) menyatakan secara tegas bahwa :

Setiap jual beli, penukaran, penghibahan,

pemberian dengan wasiat dan perbuatan-

perbuatan lain yang dimaksudkan untuk

langsung atau tidak langsungmemindahkan hak

milik kepada orang asing, kepada seorang

warganegara yang disamping kewarganegaraan

Indonesianya mempunyai kewarganegaraan

asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali

yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud

dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena

hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara,

dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain

yang membebaninya tetap berlangsung serta

semua pembayaran yang telah diterima oleh

pemilik tidak dapat dituntut kembali. (garis

bawah dari penulis).

Dari rumusan tersebut terlihat bahwa

orang asing dilarang keras untuk memiliki Hak

Milik atas tanah, namun dalam perjanjian

nominee nama yang tercantum hanyalah nama

warga Negara Indonesia dan karena tanah

termasuk benda tak bergerak maka peralihannya

harus dilakukan dengan balik nama dan dalam

kasus perjanjian nominee nama yang masuk

kedalam sertifikat tanah adalah warga Negara

Indonesia yang telah diikat dengan nominee, hal

ini lah yang menjadi kelemahan Pasal 26 ayat (2)

Undang Undang Pokok Agraria karena UUPA

tidak secara tegas mencantumkan larangan

kepemilikan secara nominee.

Page 35: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 30

Berdasarkan analisa pada Pasal 1320

Kitab Undang Undang hukum Perdata

sebagaimana diuraikan di atas, maka didapatkan

hasil bahwa perjanjian nominee batal demi

hukum, karena tidak memenuhi ketentuan “kausa

yang halal”. Karena dianggap melanggar

ketentuan mengenai subyek yang dapat memiliki

hak milik sebagaimana di atur dalam Undang

Undang Pokok Agraria. Namun apakah Pasal 26

Undang Undang Pokok Agraria memang

dilanggar oleh perjanjian Nominee tersebut.

Memang dalam hukum agraria, belum

dikeluarkan aturan yang secara tegas menyatakan

larangan untuk melakukan pembelian tanah

dengan cara semacam ini (melalui perjanjian

Nominee). Namun dalam hukum penanaman

modal, telah dikeluarkan larangan secara tegas

yakni terdapat dalam Undang-Undang No. 25

Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU

25/07“).

UU 25/07 ini mengatur dalam Pasal 33

ayat (1) bahwa penanam modal dalam negeri dan

penanam modal asing yang melakukan

penanaman modal dalam bentuk perseroan

terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau

pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan

saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas

nama orang lain. Alasan dari adanya pelarangan

ini adalah untuk menghindari terjadinya perseroan

yang secara normatif dimiliki seseorang tetapi

secara materi atau substansi pemilik perseroan

tersebut adalah orang lain. Tujuan dibuatnya

perjanjian nominee adalah untuk menyiasati

ketentuan dalam peraturan perundang undangan

yang membatasi adanya bidang usaha yang

tertutup ataupun terbuka bagi asing dengan

persyaratan tertentu di bidang penanaman modal.

Berbicara mengenai aspek-aspek yang

mempengaruhi sah atau tidaknya perjanjian, maka

struktur nominee khusus dalam kepemilikan

saham ini menjadi struktur yang dilarang dengan

demikian segala bentuk perjanjian atau

pernyataan yang demikian adalah bertentangan

dengan hukum yang berlaku. Pasal 33 ayat (2)

UU 25/07 mengatur sanksi bahwa perjanjian

dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi

hukum. Dalam Pasal 26 maupun pasal lain dalam

Undang Undang Pokok Agraria tidak mengatur

larangan untuk memiliki tanah secara nominee

seperti yang di atur dalam Pasal 33 ayat (2) UU

25/07 sehingga disini terjadi kekosongan hukum.

Untuk dapatnya suatu perjanjian

nominee dibatalkan oleh hakim jika terjadi

sengketa maka perlu dilakukan penafsiran secara

acontrario oleh hakim karena terdapat

kekosongan hukum dalam Undang Undang Pokok

Agraria mengenai kepemilikan secara nominee.

Perjanjian nominee atas saham memiliki struktur

yang sama dengan perjanjian nominee untuk

tanah sehingga hakim memiliki dasar yang kuat

untuk menyatakan bahwa perjanjian ini batal

demi hukum.

3.3 Perbandingan kasus pemenuhan

prestasi dalam perjanjian nominee

Pemenuhan prestasi pada perjanjian

nominee tergantung pada itikad baik para pihak

yang terlibat. Sekuat dan serapi apapun perjanjian

nominee tersebut masih menyimpan potensi

wanprestasi yang tinggi karena sampai saat ini

belum diatur secara tegas mengenai pemilikan

tanah secara nominee. Dalam hukum perdata

dikenal suatu doktrin mengenai perikatan yang

bersifat alamiah, Perikatan alamiah adalah

perikatan yang tidak dapat dipaksakan

pemenuhannya melalui sarana hukum, namun

demikian apabila perikatan tersebut dipenuhi

secara sukarela, maka perikatan tersebut tetap

secara alamiah lahir dan mengikat tanpa

memerlukan sarana pemaksa (hukum).10

10http://strategihukum.net/ketika-perjanjian-nominee-berujung-pada-sengketa (tanggal akses 1 november 2013)

Page 36: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 31

Perikatan alamiah dikenal juga dengan

perikatan moral, dari pengertian luas bahwa yang

dianggap perikatan alamiah ada 3, yaitu:

- Perikatan yang berdasarkan ketentuan

undang-undang atau kehendak para pihak

sejak semula tidak mempunyai hak

penuntutan, contoh pasal 1788 Kitab Undang

Undang Hukum Perdata seperti utang yang

timbul karena perjudian.

- Perikatan yang berasal dari moral yang

sifatnya mendesak, contoh orang yang

menemukan dompet seseorang kemudian

mengembalikan- nya, tidak bisa menuntut si

pemilik dompet untuk membayar kepadanya

sejumlah uang.

- Perikatan yang semula perikatan perdata

kemudian karena verjaring menjadi perikatan

moral. Contoh: pasal 1967 sampai dengan

1975 Kitab Undang Undang Hukum

Perdata11

Penulis memiliki pendapat bahwa

penegakan hak dan kewajiban yang dibangun

dalam perjanjian nominee tidaklah bisa

dipaksakan melalui hukum. Suatu hal yang

bertentangan dengan hukum pastilah telah

menciderai syarat perjanjian yang sah secara

obyektif. Namun kesukarelaan para pihak untuk

mengikatkan diri dalam perjanijan nominee-lah

yang melahirkan suatu perikatan alamiah tersebut.

Pertanyaan yang patut untuk dibahas adalah,

bisakah perjanjian nominee yang secara hukum

batal demi hukum dapat dilaksanakan. Terdapat

dua pandangan mengenai hal tersebut. Pertama

11Riduan Syahrani, 2004,Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata , Alumni, Bandung, hal 203.

secara hukum perjanjian tersebut tidak dapat

dipaksakan atau ditegakkan keberlakuannya,

karena bertentangan dengan ketertiban umum

yang tertulis dan tertuang di dalam hukum positif.

Kedua perjanjian yang cacat hukum tadi tetap

dapat mengikat kedua belah pihak, dalam hal

kedua belah pihak sukarela berkomitmen dengan

ketentuan-ketentuan yang dituangkan dalam

perjanjian nominee tersebut.12

Sebagai contoh singkat mengenai konsep

perikatan alamiah ini adalah dalam hal penagihan

utang dalam perjudian. Pasal 1359 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata “Tiap tiap pembayaran

memperkirakan adanya suatu utang; apa yang

telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat

dituntut kembali. Terhadap perikatan perikatan

bebas, yang secara sukarela telah dipenuhi, tak

dapat dilakukan penuntutan kembali.” Dari uraian

pasal di atas mengatur bahwa pembayaran lahir

dari adanya suatu utang. Perjanjian nominee

hanya bisa terus hidup sebagai perikatan alamiah

apabila kedua belah pihak terus menerus beritikad

baik dan memenuhi hak dan kewajiban masing-

masing pihak secara sukarela. Dalam hal salah

satu pihak ingkar janji terhadap kewajibannya

tersebut, perjanjian nominee tidak memiliki

kekuatan keberlakuan di hadapan hukum, dan

oleh karenanya tidak ada sanksi pemaksa pihak

yang ingkar janji untuk memenuhi kewajibannya

kecuali sanksi moral.

3.4 Status hukum perjanjian nominee dalam

hal salah satu pihak meninggal dunia.

Dalam hal salah satu pihak meninggal

dunia (dalam hal ini pihak nominee / Warga

Negara Indonesia) maka terjadi peristiwa turun

waris yakni hak atas tanah si mati beralih menjadi

milik dari para ahli waris dari si meninggal

(nominee). Pada perjanjian nominee pada

umumnya terdapat klausula bahwa ”dia beserta

ahli warisnya turut serta dan mengikatkan diri

12 Op.cit. Hal 165.

Page 37: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 32

secara sukarela dalam perjanjian (perjanjian

nominee)”. Dalam hukum perjanjian, suatu

perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang

membuatnya dalam hal ini pihak warga negara

asing dan nomineenya, sehingga sejatinya pihak

lain tidak terikat oleh perjanjian ini begitu juga

ahli waris dari nominee dalam hal ia meninggal.

Namun dalam pewarisan menurut KUH Perdata,

yang dimaksud dengan harta warisan adalah hak

dan kewajiban dari si meninggal, jadi yang

diwariskan kepada ahli waris tidak hanya hak saja

namun juga kewajiban. Dalam kasus perjanjian

nominee tanah yang menjadi obyek perjanjian

tersebut telah diikat atau dibebani dengan suatu

kewajiban yang tertera dalam perjanjian maka

disini timbul kewajiban moral dari para ahli waris

nominee untuk menyelesaikan kewajiban

almarhum. Disinilah ikatan antara pihak warga

negara asing dengan ahli waris nominee tersebut

terbentuk.

Dalam Perjanjian nominee dalam prakteknya

dibuat berbagai perjanjian yakni :

1. Perjanjian Induk yang terdiri dari dari

Perjanjian PemilikanTanah (land agreement)

dan Surat Kuasa;

2. Perjanjian Opsi

3. Perjanjian sewa-menyewa (lease agreement)

4. Kuasa Menjual (power of attorney to sell)

5. Hibah Wasiat; dan

6. Surat Pernyataan Ahli Waris.

7. Akta Pengakuan Hutang.

8. Akta Pemberian Hak Tanggungan.

Dengan adanya perjanjian-perjanjian di atas,

pada umumnya pihak Warga Negara Asing

melakukan pembicaraan terlebih dahulu dengan

para ahli waris jika pihak asing ingin menunjuk

ahli waris dari Warga Negara Indonesia tersebut

sebagai nominee pengganti atau pihak asing

tersebut dapat bertindak selaku kuasa dari

nominee yang meninggal dunia dengan

menggunakan Kuasa Menjual yang sudah

dibuatnya. Namun terkadang pelaksanaan

penjualan dengan menggunakan kuasa menjual

tersebut menemui hambatan, hambatan terjadi

jika terdapat persyaratan yang mengharuskan

pihak Warga Indonesia untuk hadir (selaku

pemilik tanah yang tercantum didalam sertipikat)

khususnya dalam hal pengukuran.

IV.SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

1. Pengaturan kepemilikan tanah oleh orang

asing yang dibuat melalui Perjanjian nominee

dihadapan Notaris menurut Hukum

pertanahan Indonesia adalah dengan

memberikan hak atas tanah kepada warga

negara asing berupa hak pakai atas tanah

namun Warga negara asing dan lebih

memilih untuk menggunakan perjanjian

nominee untuk dapat memiliki hak milik atas

tanah. Perjanjian nominee yang sering

disebut sebagai bentuk penyelundupan

hukum dikatakan sah apabila ia tidak

melanggar peraturan perundang-undangan

yang berlaku, ketertiban umum dan

kesusilaan. Berdasarkan paparan di atas

perjanjian nominee tidak memenuhi satu dari

empat syarat sebagaimana yang ditetapkan

oleh Pasal 1320 Kitab Undang undang

Hukum Perdata khususnya syarat „kausa

yang halal”, sehingga dapat dikatakan bahwa

perjanjian nominee tidak sah karena

melanggar ketentuan pasal 26 ayat 2 UUPA,

namun ternyata Pasal-pasal dalam UUPA

tidak mengatur mengenai larangan

kepemilikan secara nominee secara tegas

sehingga perjanjian nominee yang tidak

memenuhi klausula yang halal perlu untuk

dilakukan penafsiran terlebih dahulu oleh

hakim.

2. Status hukum “perjanjian nominee” apabila

salah satu pihak meninggal dunia adalah

dengan penjelasan sebagai berikut untuk satu

kasus perjanjian nominee perlu dibuat lebih

Page 38: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 33

dari satu macam perjanjian, guna menutupi

kelemahan dari satu perjanjian dengan

perjanjian lainnya. Selain itu perjanjian

nominee termasuk dalam perikatan alamiah

jika berbicara mengenai pemenuhan prestasi

dalam arti suatu perjanjian yang

mengkedepankan itikad baik dari masing-

masing pihak untuk memenuhi prestasi

tersebut. Hal ini berbeda dengan perjanjian

pada umumnya yang pemenuhan prestasinya

bisa dipaksakan jika perjanjian nominee

dipaksakan pemenuhannya tanpa ada itikad

baik dari para pihak maka prestasi akan sulit

untuk dilaksanakan. Dalam hal pihak warga

Indonesia meninggal maka terjadi peristiwa

turun waris dan pihak asing dapat menunjuk

ahli waris si nominee untuk menggantikan

pihak yang meninggal atau menjual tanah

tersebut dengan bertindak sebagai kuasa dari

pihak yang meninggal .

4.2 Saran

Bahwa pemerintah harusnya membuat

suatu peraturan yang tegas mengenai perjanjian

nominee dalam bidang pertanahan. Karena selain

tidak memberi perlindungan bagi Warga negara

asing, juga dapat merusak iklim investasi di

Indonesia khususnya di bali karena membuka

peluang bagi Warga Negara Indonesia untuk

melakukan penipuan terhadap Warga negara

asing yang menggunakan namanya untuk

memiliki tanah hak milik. Selain itu pemerintah

harus mempermudah dan memperjelas prosedur

penurunan hak milik menjadi hak pakai, karena

dengan pengurusan yang mudah maka Warga

negara asing tidak akan lagi menggunakan

perjanjian nominee. Bahwa perjanjian nominee

bukanlah pilihan yang tepat untuk saat ini, jika

Warga negara asing ingin memiliki tanah untuk

tempat tinggal, maka dapat menggunakan

lembaga hak pakai di atas hak milik.

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU :

Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Hal. 286

Kansil, C.S.T., 1979, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Cet.

Kedua

Salim., 2006, Perkembangan Hukum Kontrak di luar KUHPerdata, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta,

hlm. 25.

Syahrani, Riduan, 2004, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata , Alumni, Bandung, hlm.203.

Max Bolisabon et.al, 1992, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, PT Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, h.111.

Soebekti, 1989, Hukum Perjanjian, Cet.CV.IV.Pen.Internusa Jakarta

Setiawan,1986, Pokok–pokok Hukum Perikatan, pen. Bina Cipta, Bandung,hal 2

Soekanto, Soerjono, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,Jakarta

II. PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (BW) Terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2009,

Cetakan XXXX, Pradnya Paramita, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria(Lembaran Negara 1960-104)

Page 39: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 34

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor

58)

III. JURNAL :

Sumardjono, Maria S.W., 2007, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan,

Kompas, hal.1.

IV. INTERNET :

http://strategihukum.net/ketika-perjanjian-nominee-berujung-pada-sengketa, tanggal akses 1 november

2013

PT. Asiamaya Dotcom, Kontrak, Indonesia Menara Imperium, Jl.HR.Rasuna Said, Kav 1A, Jakarta

selatan, Email:[email protected], terakhir diakses tanggal 2 Agustus 2013

*****

TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP PEMBUATAN COVERNOTE SEBAGAI SALAH

SATU PRODUK HUKUM YANG TIDAK DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN

NOTARIS

Oleh

Putu Ayu Lestari Dewi*, Prof. R.A. Retno Murni, SH.MH.,Ph.D **, Dr. Ni Nyoman Sukeni,

SH.,Msi.**

Magister Kenotariatan Universitas Udayana

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

RESPONSIBILITIES OF A NOTARY TOWARDS THE MAKING OF A COVERNOTE AS A LAW

PRODUCT NOT REGULATED UNDER THE REGULATION OF A NOTARY’S POSITION

This thesis is motivated by the existence of a legal product that is issued or made by Notary

beyond its authority and not provided for in Law No. 30 Year 2004 on Notary . The legal product known

as covernote .Covernoteis a statement or frequently termed as a cover note made by a notary .Covernote

isissued by the notary for a notary has not finished its work in relation to the duty and authority to issue an

authentic deed . When examined in the duties and authority of the notary Notary Act is not a single article

that confirms that the notary may issue covernote . Based on the background above , the problems arise :

first , Is a Notary has the power to make Covernote according to Law Number 30 Year 2004 concerning

Notary and secondly , How Notary responsible in terms of events or actions in covernote law can not be

fulfilled .

To answer the issues above , the research methods used in this thesis are normative legal research

methods which imply the existence of a vacancy norm in Article 15 UUJN namely the lack of regulation

on the issuing authority covernote Notary . Sources of legal materials used is the primary legal materials ,

secondary , and tertiary , which is also supported by the field data . After all the data has beencollected ,

both field data and literature data are then classified qualitatively according to the problem .

The results of this thesis is first, a notary is not authorized to make covernote because they are

not set in UUJN , so that the product or Notary legal act is not legally binding . And second, in issuing a

covernote,Notary solely responsible for the content of such covernote , which is about facts or the truth

about what is done by him and obliged to finish what has been described in the covernote . If covernote

Notary proved to result in losses for the party , then the Notary personally responsible and can be sued

civilly in the form of compensation . Criminal sanctions may be imposed if the contents covernote issued

by the Notary is proven to describe a false statement .

Key words :covernote , Notary authority , responsibility Notary

Page 40: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 35

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang masalah

Keberadaan Notaris di tengah-tengah

kehidupan masyarakat sangat dibutuhkan, dalam

rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan

alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian

sempurna. Alat bukti yang mempunyai kekuatan

pembuktian sempurna tersebut, lazimnya disebut

dengan akta notariil atau akta otentik. Namun

selain akta-akta yang bersifat otentik tersebut, ada

satu produk hukum yang dikeluarkan/ dibuat oleh

Notaris yang tidak diatur dalam Pasal 15 UUJN

tersebut, namun di dalam praktek kenotarisan

sering dilakukan dan dikerjakan oleh Notaris

sebagai produk hukum, yang disebut dengan

covernote. Hampir semua Notaris mengenal

covernote yang lahir, besar, dan tumbuh dari

kebiasaan Notaris yang sudah berjalan sekian

lama, bahkan sering dipraktekan dalam

menjalankan tugas dan jabatannya. Dalam praktek

ditemukan pula covernote tersebut dibuat dalam

bentuk surat keterangan yang dibuat oleh Notaris

sendiri atas suatu tindakan hukum para pihak

yang dilakukan oleh para pihak dihadapan

Notaris.

Covernote sebagai surat keterangan atau

sering diistilahkan sebagai catatan penutup yang

dibuat oleh notaris, dikeluarkan karena notaris

belum tuntas pekerjaannya dalam kaitannya

dengan tugas dan kewenangan untuk menerbitkan

akta otentik. Jika dicermati tugas dan kewenangan

notaris dalam Undang-Undang Jabatan Notaris

tidak ada satu pasal pun yang menegaskan bahwa

notaris dapat mengeluarkan covernote untuk

menerangkan bahwa akta yang akan dikeluarkan

masih dalam proses berjalan.

Dengan telah berlakunya UUJN sebagai

unifikasi hukum dalam pengaturan Notaris di

Indonesia (ius constitutum),maka hanya UUJNlah

yang berlaku, termasuk kewenangan Notaris yang

tersebut dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2),

sedangkan Pasal 15 ayat (3) akan berlaku dan

mengacu kepada peraturan perundang-undangan

yang akan berlaku kemudian (ius constituendum).

Dengan demikian jika Notaris melakukan suatu

tindakan diluar wewenang, maka Notaris telah

melakukan perbuatan melawan hukum atau

berbuat diluar wewenang. Jika Notaris telah

melakukan seperti itu, maka produk atau tindakan

hukum Notaris tidak mengikat secara hukum

(nonexecutable),dan pihak atau mereka yang

merasa dirugikan oleh tindakan hukum Notaris

diluar wewenang tersebut, maka Notaris dapat

digugat perdata ke pengadilan negeri.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil pengamatan tentang

permasalahan yang berlatar belakang hal tersebut

diatas, maka timbul masalah antara lain :

1. Apakah Notaris mempunyai kewenangan

membuat Covernote menurut Undang-

undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris?

2. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris

dalam hal peristiwa atau perbuatan

hukum dalam covernote tidak dapat

terpenuhi?

I.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dari penulisan

tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah

Untuk mengetahui secara umum

mengenai kedudukan covernote di dalam

Undang-Undang Jabatan Notaris serta

untuk membangun wawasan ilmu hukum

khususnya tentang kewenangan dari

pada Notaris.

b. Tujuan khusus

Mengenai tujuan khusus penelitian ini,

sesuai permasalahan yang dikaji dalam

tesis ini adalah :

Page 41: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 36

1. Untuk mengetahui dan

menganalisis mengenai

kewenangan Notaris dalam

mengeluarkan covernote

menurut Undang-Undang

Jabatan Notaris

2. Untuk mengetahui dan

menganalisis mengenai

tanggung jawab notaris

terhadap covernote yang dibuat

.

I.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian dari penulisan

tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan

dapat menambah khasanah ilmu hukum

perdata pada umumnya, khususnya

tentang ilmu hukum kenotariatan

terutama mengenai permasalahan

kewenangan Notaris dalam menerbitkan

covernote menurut Undang-Undang

Jabatan Notaris.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan informasi kepada

pihak-pihak yang terlibat dalam

penerbitan covernote yaitu bagi Notaris,

dan pihak-pihak yang memerlukan

covenote notaris . Bagi peneliti sendiri,

disamping untuk menyelesaikan studi

juga untuk menambah wawasan dibidang

hukum Kenotariatan khususnya dalam

hal penerbitan covernote oleh Notaris.

I.5 Landasan Teoritis

Adapun teorinya yang digunakan adalah

sebagai berikut :

1. Teori Kewenangan

Ateng Syafrudin berpendapat

ada perbedaan antara pengertian

kewenangan dan wewenang.

Kewenangan adalah apa yang disebut

kekuasaan formal, kekuasaan yang

berasal dari kekuasaan yang diberikan

oleh undang-undang, sedangkan

wewenang hanya mengenai suatu

“onderdeel” (bagian) tertentu saja dari

kewenangan. Dalam kewenangan

terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe

voegdheden). 1

Max Weber mengemukakan

beberapa bentuk wewenang dalam

hubungan manusia yang juga

menyangkut hubungan dengan

kekuasaan. Menurut Weber, wewenang

adalah kemampuan untuk mencapai

tujuan – tujuan tertentu yang diterima

secara formal oleh anggota – anggota

masyarakat. Sedangkan kekuasaan

dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan

yang dimiliki seseorang untuk

mempengaruhi orang lain tanpa

menghubungkannya dengan penerimaan

sosialnya yang formal. Dengan kata lain,

kekuasaan adalah kemampuan untuk

mempengaruhi atau menentukan sikap

orang lain sesuai dengan keinginan si

pemilik kekuasaan.

Istilah wewenang atau

kewenangan disejajarkan dengan

“authority” dalam bahasa Inggris dan

“bevoegdheid” dalam bahasa Belanda.

Authority dalam Black S Law Dictionary

diartikan sebagai “Legal power; a right

to command or to act; the right and

power of public officers to require

obedience to their orders lawfully issued

in scope of their public duties.”2

(Terjemahan bebas; Kewenangan atau

1 Ateng Syafrudin, 2000, Menuju

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang

Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro

Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan,

Bandung, hal. 22 2Henry Campbell Black, 2009, Black‟S

Law Dictionary, West Publishing, hal. 133.

Page 42: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 37

wewenang adalah kekuasaan hukum, hak

untuk memerintah atau bertindak; hak

atau kekuasaan pejabat publik untuk

mematuhi aturan hukum dalam lingkup

melaksanakan kewajiban publik).

2. Teori Tanggung Jawab

Mengenai persoalan

pertanggung jawaban pejabat menurut

Kranenburg dan Vegtig ada dua teori

yang melandasinya yaitu:

a. teori fautes personalles, yaitu

teori yang menyatakan bahwa

kerugian terhadap pihak ketiga

dibebankan kepada pejabat

yang karena tindakannya itu

telah menimbulkan kerugian.

Dalam teori ini beban tanggung

jawab ditujukan pada manusia

selaku pribadi.

b. teori fautes de services, yaitu

teori yang menyatakan bahwa

kerugian terhadap pihak ketiga

dibebankan pada instansi dari

pejabat yang bersangkutan.

Menurut teori ini tanggung

jawab dibebankan kepada

jabatan. Dalam penerapannya,

kerugian yang timbul itu

disesuaikan pula apakah

kesalahan yang dilakukan itu

merupakan kesalahan berat atau

kesalahan ringan, dimana berat

dan ringannya suatu kesalahan

berimplikasi pada tanggung

jawab yang harus ditanggung.3

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam tesis

ini merupakan penelitian hukum normatif.

Penelitian ini beranjak pada kekosongan norma

dalam Pasal 15 dan 16 Undang-Undang Nomor

3Phillipus M. Hadjon, 1997, Tentang

Wewenang, Yuridika, hal. 365

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, mengenai

kewenangan dan kewajiban Notaris dalam

mengeluarkan covernote yang tidak diatur dalam

Undang-Undang Jabatan Notaris.

1.6.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam tesis

ini adalah:

1. Pendekatan Perundang-undangan

(Statute Approach) dilakukan

dengan menelaah semua undang-

undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum

yang sedang ditangani.4

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual

Approach) beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin

yang berkembang di dalam ilmu

hukum.5

3. Pendekatan Sejarah (Historical

Approach) dilakukan dengan

menelaah latar belakang apa yang

dipelajari dan perkembangan

pengaturan mengenai isu yang

dihadapi.6

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitian

ini berasal dari penelitian kepustakan (library

research) artinya terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tertier Adapun bahan hukum primer yang

dimaksud dalam tesis ini adalah bahan hukum

yang memiliki kekuatan mengikat, yaitu:

a. Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata;

b. Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana

4

Peter Mahmud Marzuki, 2005,

Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, (selanjutnya

disingkat Peter Mahmud Marzuki II), hal. 93. 5 Ibid, hal. 95.

6 Ibid, hal. 94.

Page 43: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 38

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria;

d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-Bneda

yang Berkaitan dengan Tanah;

e. Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan;

f. Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris;

g. Kode Etik Notaris

Adapun bahan hukum sekunder yang

dimaksud dalam penulisan tesis ini adalah bahan

hukum yang memberikan penjelasan terhadap

bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder

dalam penulisan tesis ini meliputi : buku – buku

literature, jurnal, makalah dan bahan – bahan

hukum tertulis lainnya yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian.

Adapun bahan hukum tertier yang

dimaksud dalam penulisan tesis ini yaitu bahan

hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder. Bahan hukum tertier

dalam penulisan tesis ini meliputi kamus hukum

dan kamus bahasa Indonesia.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum

dalam penelitian tesis ini yaitu dilakukan dengan

teknik studi pustaka. Teknik studi pustaka ini

dilakukan melalui tahap-tahap indentifikasi dan

inventarisasi. Bahan hukum yang sudah

terkumpul kemudian diolah sesuai dengan

kebutuhan penelitian, melalui beberapa tahap

pemeriksaan (editing), penandaan (coding),

penyusunan (reconstructing), sistimatisasi

berdasarkan pokok bahasan dan sub pokok

bahasan yang di indentifikasi dari rumusan

masalah (systematizing). 7

1.6.5 Teknik Pengolahan Analisis Bahan

Hukum

Setelah semua bahan hukum terkumpul

kemudian diklasifikasikan secara kualitatif sesuai

dengan rumusan masalah. Bahan hukum tersebut

dianalisa dengan teori-teori yang relevan

kemudian ditarik kesimpulan untuk menjawab

masalah. Akhirnya bahan hukum tersebut

disajikan secara deskriptif anatis.

BAB II

PEMBAHASAN

Kewenangan Notaris dalam Membuat

Covernote Menurut Undang- Undang Nomor

30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Akta otentik merupakan produk hukum

dari Notaris, namun di dalam praktek tidak hanya

sebuah akta otentik yang dibuat oleh Notaris,

melainkan ada produk hukum lain yang dibuat

oleh Notaris namun tidak diatur dalam Pasal 15

UUJN, yaitu Covernote. Dalam praktek Notaris

Covernote merupakan surat keterangan yang

dibuat oleh Notaris sendiri atas suatu tindakan

hukum para pihak dan dilakukan dihadapan

Notaris, yang dapat dipercaya oleh para pihak dan

dapat diandalkan karena terdapat tanda tangan,

cap serta segel dari Notaris yang digunakan

sebagai jaminan dan alat bukti yang kuat. Ada

beberapa contoh kegunaan dari surat

keterangan/Covernote Notaris :

1. Bila debitur hendak mengambil kredit di Bank

dan barang yang akan dijaminkan itu masih

dalam proses roya fidusia sedangkan bank

baru akan mencairkan kredit bila barang yang

dijaminkan telah selesai di-roya fidusia

terlebih dahulu, maka salah satu solusi agar

kredit itu dapat dicairkan oleh bank, yaitu

Notaris akan mengeluarkan covernote yang

berisi keterangan bahwa surat-surat

kepemilikan atas barang itu sedang dalam

proses roya dan apabila telah selesai di-roya

maka akan diserahkan kepada bank nantinya.

7Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 192

Page 44: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 39

2. Bila suatu Perseroan Terbatas (PT) sedang

menunggu surat keputusan pengesahan

sebagai badan hukum dari Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia RI dan proses

pengurusannya dilimpahkan ke kantor Notaris,

maka Notaris akan mengeluarkan covernote

yang menerangkan bahwa surat-surat tersebut

sedang dalam proses di Departemen Hukum

dan Hak Asasi Manusia RI, apabila telah

selesai pengurusannya akan diserahkan kepada

pihak yang berkepentingan8.

Sebagai seorang pejabat, Notaris

memiliki kewenangan untuk dapat melaksanakan

tugasnya. Kewenangan yang dimiliki oleh Notaris

dapat dilihat di dalam Pasal 15 UUJN, yaitu :

1. Kewenangan Umum Notaris

Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa

salah satu kewenangan notaris yaitu membuat

akta secara umum. Hal ini dapat disebut sebagai

Kewenangan Umum Notaris dengan batasan

sepanjang :

a. Tidak dikecualikan kepada pejabat

lain yang telah ditetapkan oleh

undang-undang.

b. Menyangkut akta yang harus dibuat

adalah akta otentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian dan ketetapan

yang diharuskan oleh aturan hukum

untuk dibuat atau dikehendaki oleh

yang bersangkutan

c. Mengenai kepentingan subjek

hukumnya yaitu harus jelas untuk

kepentingan siapa suatu akta itu

dibuat.

2. Kewenangan Khusus Notaris

Kewenangan notaris ini dapat dilihat dalam

Pasal 15 ayat (2) UUJN yang mengatur mengenai

kewenangan khusus notaris untuk melakukan

tindakan hukum tertentu, seperti:

1. Mengesahkan tanda tangan dan

menetapkan kepastian tanggal surat di

8

Santia Dewi dan R.M. Fauwas Diradja,

Panduan Teori Dan Praktek Notaris, 2011,

Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal.86.

bawah tangan dengan mendaftarkannya

di dalam suatu buku khusus ;

2. Membukukan surat-surat di bawah

tangan dengan mendaftarkannya dalam

suatu buku khusus ;

3. Membuat salinan (copy) asli dari surat-

surat di bawah tangan berupa salinan

yang memuat uraian sebagaimana ditulis

dan digambarkan dalam surat yang

bersangkutan ;

4. Melakukan pengesahan kecocokan

antara fotokopi dengan surat aslinya

5. Memberikan penyuluhan hukum

sehubungan dengan pembuatan akta

6. Membuat akta yang berkaitan dengan

pertanahan, atau

7. Membuat akta risalah lelang

3. Kewenangan Notaris yang ditentukan

kemudian

Yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN

dengan kewenangan yang akan ditentukan

kemudian adalah wewenang yang berdasarkan

aturan hukum lain yang akan datang kemudian

(ius constituendum). Wewenang notaris yang

akan ditentukan kemudian, merupakan wewenang

yang akan ditentukan berdasarkan peraturan

perundang-undangan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan

bahwa covernote bukan termasuk kewenangan

Notaris karena tidak diatur dalam Pasal 15 UUJN,

karena kewenangan merupakan kekuasaan formal

yang berasal dari undang-undang. Setiap jabatan

apapun di negara kita ini mempunyai kewenangan

tersendiri. Setiap kewenangan harus ada dasar

hukumnya. Kalau kita berbicara mengenai

kewenangan , maka kewenangan seorang Pejabat

apapun harus jelas dan tegas dalam peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang

Pejabat atau jabatan tersebut. Sehingga jika

seorang Pejabat melakukan suatu tindakan diluar

kewenangan disebut sebagai perbuatan melanggar

hukum. Oleh karena itu, suatu kewenangan tidak

Page 45: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 40

muncul begitu saja sebagai hasil dari suatu

diskusi atau pembicaraan di belakang meja

ataupun karena pembahasan-pembahasan ataupun

pendapat-perdapat di lembaga legislatif, tapi

wewenang harus dinyatakan dengan tegas dalam

peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan.

TANGGUNG JAWAB NOTARIS

TERHADAP COVERNOTE YANG DIBUAT

Mengenai tanggung jawab notaris

terhadap covernote yang dibuatnya dapat

dikategorikan sebagai tanggung jawab secara

personal. Menurut Kranenburg dan Vegtig, ada

dua teori yang melandasi persoalan pertanggung

jawaban pejabat yaitu teori fautes personalles dan

teori fautes de service dari kedua teori tersebut.

Teori fautes personalles akan digunakan untuk

menjawab permasalahan tanggung jawab notaris

terhadap covernote yang dikeluarkannya, karena

beban tanggung jawab terhadap covernote yang

dikeluarkan oleh notaris ditujukan kepada

manusia selaku pribadi bukan tanggung jawab

jabatan. Sehingga jika seorang pejabat melakukan

suatu tindakan di luar kewenangan disebut

sebagai perbuatan melanggar hukum.

Perbuatan melanggar hukum merupakan

perbuatan yang menimbulkan kerugian, dan

secara normative perbuatan tersebut tunduk pada

ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal 1365

KUH Perdata menyatakan “tiap perbuatan

melanggar hukum yang membawa kerugian

kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena

salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut.” Bentuk tanggung jawab yang

dianut oleh Pasal 1365 KUH Perdata adalah

tanggung jawab berdasarkan kesalahan.

Perbuatan melanggar hukum yang

dimaksud dalam perbuatan melanggar hukum

oleh notaris, tidak hanya perbuatan yang langsung

melanggar hukum, melainkan juga perbuatan

yang secara langsung melanggar peraturan lain,

yang dimaksud dengan peraturan lain adalah

peraturan yang berada dalam lapangan kesusilaan,

keagamaan, dan sopan santun dalam masyarakat

dilanggar.9

Notaris dalam mengeluarkan covernote

bertanggung jawab sepenuhnya terhadap isi dari

covernote tersebut, yaitu tentang fakta atau

kebenaran mengenai apa yang dikerjakan olehnya

dan berkewajiban menyelesaikan apa yang sudah

diterangkan di dalam covernote. Jika dilihat

bahwa notaris dalam mengeluarkan covernote

yang bukan merupakan kewenangannya menurut

UUJN, apabila covernote tersebut mengakibatkan

kerugian bagi para pihak maka notaris dapat

dituntut secara perdata dalam bentuk ganti rugi

dengan ketentuan bahwa covernote tersebut

ternyata tidak benar. Notaris sebagai pihak yang

mengeluarkan covernote harus bertanggung jawab

sepenuhnya dengan segala akibat hukumnya.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan

yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya

terhadap permasalahan yang dikaji dalam tesis

ini, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

a. Notaris dapat dikatakan tidak berwenang

membuat Covernote menurut UUJN,

karena tidak diatur dalam Pasal 15

UUJN tentang kewenangan Notaris.

kewenangan merupakan kekuasaan

formal yang berasal dari undang-undang.

Namun covernote tidak juga dilarang

menurut Pasal 17 UUJN terutama pada

huruf i yaitu Notaris dilarang melakukan

pekerjaan lain yang bertentangan dengan

norma agama, kesusilaan, atau kepatutan

yang dapat mempengaruhi kehormatan

9R. Wirjono Prodjodikoro, 2000,

Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari

Sudut Hukum Perdata, Mandar Maju, Bandung,

hal. 6

Page 46: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 41

dan martabat jabatan Notaris. Hanya saja

Notaris tetap harus memiliki batasan-

batasan dalam pembuatan covernote

tersebut, seperti batasan terhadap isi atau

materi yang diterangkan didalamnya

harus berdasarkan fakta yang terjadi atau

dilakukan dihadapan Notaris tersebut,

bukan covernote pesanan atau

permintaan para pihak yang

membutuhkan, serta tidak melebih-

lebihkan isinya.

b. Notaris dalam mengeluarkan covernote

bertanggung jawab sepenuhnya terhadap

isi dari covernote tersebut, yaitu tentang

fakta atau kebenaran mengenai apa yang

dikerjakan olehnya dan berkewajiban

menyelesaikan apa yang sudah

diterangkan di dalam covernote. Jika

dilihat bahwa notaris dalam

mengeluarkan covernote yang bukan

merupakan kewenangannya menurut

UUJN, apabila covernote tersebut

mengakibatkan kerugian bagi para pihak

maka notaris dapat dituntut secara

perdata dalam bentuk ganti rugi dengan

ketentuan bahwa covernote tersebut

ternyata tidak benar. Sedangkan

tanggung jawab secara pidana dapat

dikenakan terhadap notaris apabila

terbukti turut serta memberikan

keterangan palsu mengenai isi covernote

yang dibuatnya. Notaris sebagai pihak

yang mengeluarkan covernote harus

bertanggung jawab sepenuhnya dengan

segala akibat hukumnya.

2. Saran

1. Berdasarkan uraian dan pembahasan yang

telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya

terhadap permasalahan yang dikaji dalam

tesis ini, maka dapat diberikan saran;

Mengingat covernote yang dikeluarkan oleh

notaris memiliki peranan yang sangat penting

di dalam praktek kenotariatan, maka

diharapkan agar undang-undang Jabatan

Notaris memberikan pengaturan yang jelas

mengenai bentuk dan isi dari covernote.

Sehingga terdapat kejelasan mengenai

kewenangan notaris dalam mengeluarkan

covernote dan covernote memiliki dasar

hukum yang jelas.

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Adjie, Habib, 2006, Tidak Ada Sengketa Kewenangan Antara Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan

Notaris dalam Bidang Pertanahan, Renvoi 1.37.IV, 3 Juni 2006

, 2009, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia (kumpulan tulisan), CV. Mandar Maju,

Bandung.

, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT.

Refika Aditama, Bandung.

Andasasmita, Komar, 1981, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung.

Anshori, Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia (Perspektif Hukum Dan Etika), 2009, UII

Press, Yogyakarta.

Bertens, K, 1997, Etika, cetakan ke 3, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Budiono, Herlien, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Black, Henry Campbell, 2009, Black‟S Law Dictionary, West Publishing.

Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Burhan, Ashsofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Page 47: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 42

Dewi, Santia dan R.M. Fauwas Diradja, Panduan Teori Dan Praktek Notaris, 2011, Pustaka Yustisia,

Yogyakarta.

Efendi, Lutfi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang.

Efendi, Masyhur, 1994, Dimensi / Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan

Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Fuady, Munir, 2002, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung.

, 2005, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Garner , Bryan A., 2009, Black‟s Law Dictionary 2nd

Pocket Edition, ST. Paul, Minn West Group.

Hadjon, Phillipus M., 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, Surabaya.

, dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta.

H.R., Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

HS, Salim, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Indroharto, 1994, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti ,

Bandung.

Indonesia Legal Center Publishing, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Jabatan Notaris

dan PPAT, CV Karya Gemilang, Jakarta.

Kansil, C.S.T, 2006, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.

Kantaprawira, Rusadi, 1998, MakalahHukum dan Kekuasaan, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Kie, Tan Thong, 2000, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Baru Van Hoeve,

Jakarta.

Koesoemawati, Ira dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa Sukses, Jakarta.

Lubis, Suhrawardi K., Etika Profesi Hukum, 2000, Sinar Grafika, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta

Mertokusumo, Sudikno, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

, 2002, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta

Muhamad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, 1992, Citra Aditya, Bandung.

, 2001, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

,2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Mulyosudarmo, Suwoto, 1990, Kekuasaan dan Tanggungjawab Presiden Republik Indonesia, Suatu

Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas

Airlangga, Surabaya.

Nasution, Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Nico, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation and Studies of

Business Law

Notodisoerjo, Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Perasada,

Jakarta

Page 48: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 43

Prodjodikoro, Wiryono, 2000, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata,

Mandar Maju, Bandung

, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT Refika Aditama,

Bandung

Setiardja, Gunawan, 1990, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia,

Kanisius, Yogyakarta.

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana

Indonesia, Jakarta.

Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju,

Bandung.

Soegondo, R., 1991, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

dan Sri Mamudji, 2010, Penelitan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soerojo, Irwan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya.

Soesilo dan Pramudjir, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, WIPRESS.

Suherman, E, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah

Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung.

Supriadi, 2006, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 1977, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Syarifudin, Ateng, 2000, Jurnal Menuju Penyelenggaraan Pemerintah Negara yang Bersih dan

Bertanggungjawab, Universitas Parahyangan, Bandung.

Tedjosaputro, Liliana, 2003, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, Bigraf Publishing,

Yogyakarta.

Thamrin, Husni, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBang Pressindo, Yogyakarta.

Tobing, G.H.S. Lumbun, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta.

Yudara , Nyoman Gede, dkk, 2006, Kapitaselekta Penegakan Hukum di Indonesia, Prestasi Pustaka

Publisher, Jakarta.

, 2006, Pokok-pokok Pemikiran, disekitar kedudukan dan fungsi notaris serta

akta Notaris Menurut Sistem Hukum Indonesia, Renvoi, Nomor.10.34.III, Tanggal 3 Maret.

II UNDANG-UNDANG :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2009, Cetakan

XXXX, Pradnya Paramita, Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terjemahan Moeljatno, 2006, Bumi Aksara, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indoneisa Nomor 42

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan;

Page 49: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 44

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4432).

Kode Etik Notaris

III MAKALAH :

Adjie,

Habib, 2011, Kumpulan Makalah “Memaknai Hukum Perjanjian dan Hukum Jaminan dalam

Kerangka Mendukung Pelaksanaan Jabatan Notaris/PPAT”

Hadjon, Philipus M., Makalah Tentang Wewenang, Universitas Airlangga, Surabaya

, Eksistensi dan Fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta Figur Hukum

Akta PPAT, Makalah Ceramah Fakultas Hukum UNAIR tanggal 22 Pebruari 1996, hal.

Setiawan, Wawan, Kedudukan dan Keberadaan Notaris sebagai Pejabat Umum dan PPAT dibandikan

dengan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional, Makalah diskusi Ilmiah,

FH Unair dan INI Pengda Jatim, Surabaya, hal. 24

, 1994, Ciri-ciri Notaris yang Ideal, Makalah Refreshing Up Grading Course INI,

Jakarta, hal.

IV INTERNET

Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum, www.wawasanhukum.blogspot.com, diakses tanggal 1 Agustus

2013

Damang, Covernote, http://Psycho-legal.blogspot.com/2011/07/cover-note-oleh-notaris.html

*****

ANALISIS KEABSAHAN AKTA NOTARIS TENTANG SEWA MENYEWA TANAH

DENGAN BUKTI KEPEMILIKAN DALAM BENTUK PIPIL

Oleh

Anak Agung Ade Jaya Wibawa*, Prof. Dr. I Wayan Windia, SH.,M.Si , **, I Made Pria Dharsana,

SH.,M.Kn**

Magister Kenotariatan Universitas Udayana

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

VALIDITY ANALYSIS OF NOTARY DEED LAND OF LEASE RENT IN PIPIL

Land has an important meaning for society, both in terms of economic, social. Each person will try

to meet the need for land, each person will be trying to acquire the land as much as possible. One effort

that is often made is to lease the land.

Lease is a form of reciprocal agreement, lease agreement should not be loose rather than legal

provisions applicable in Indonesia, namely the draft Civil Code (hereinafter referred to as the Code

Civil). Regarding the legitimacy of agreements governed by Article 1320 of the Civil Code, among others:

the agreement of the parties, the skill of the parties who made it, a certain object and a lawful reason.

Lease agreement will give rise to the rights and obligations of the parties who made it. Agreements made

legally valid as the law for those who make it, it is stipulated in Article 1338 of the Civil Code.

This thesis uses empirical legal research methods to approach legislation, which was associated

with the approach of the case and facts approach. Regulatory approach is done by reviewing and

analyzing legislation relating to the regulation of land namely Law No. 5 of 1960 Concerning Basic

Principles of Agricultural and Government Regulation No. 24 of 1997 on registration of land, and a case

Page 50: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 45

approach is used to assess how the lease agreement with the object of ownership in the form of finely

made in a notarial deed, as well as the fact approach to the fact that occur in the field of the ground lease

with the object of ownership in the form of finely.

The results showed that it is legitimate rental agreement with the finely object. When referring to

one of the principles is the principle of konsensualisme agreement, in which agreement has been born if it

has the agreement of the parties. So also with the object of the agreement is not something that is

prohibited by the Act. As for the possible problems arising from the agreement is to be done with the effort

both preventive and repressive laws of the realm of civil and criminal law

*Penulis

**Pembimbing I

*** Pembimbing II

Keywords: Agreement, Lease, Pipil, Deed

I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Tanah bagi kehidupan manusia

mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal

ini disebabkan hampir seluruh aspek

kehidupannya terutama bagi bangsa Indonesia

tidak dapat terlepas dari keberadaan tanah yang

sesungguhnya tidak hanya dapat ditinjau dari

aspek ekonomi saja, melainkan meliputi segala

kehidupan dan penghidupannya.

Kebutuhan ekonomi dalam kehidupan

manusia akan tanah mengakibatkan lalu lintas

hukum dalam jual beli dan sewa-menyewa

terhadap tanah meningkat.

Namun tidak semua orang yang memiliki tanah

memiliki bukti kepemilikan berupa sertipikat Hak

Milik, namun ada juga yang hanya memiliki pipil.

Di Indonesia, secara konstitusional

pengaturan hukum tanah (sebagai bagian dari

sumber daya alam) ditegaskan dalam Pasal 33

ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang

berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat. Dalam Pasal tersebut terkandung 2 unsur

yang berarti penting, yaitu “dikuasai” dan

“dipergunakan”. Unsur dikuasai adalah dasar

wewenang Negara dalam mengatur , negara

adalah badan hukum publik yang dapat

mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia

biasa. Sedangkah unsur “dipergunakan”

mengandung suatu perintah kepada Negara untuk

mempergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran

rakyat.

Bukti kepemilikan tanah di Indonesia

saat ini adalah sertipikat sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar tentang Pokok-Pokok Agraria yang lebih

dikenal dengan UUPA (selanjutnya disebut

UUPA). Lalu bagaimana dengan proses

pendaftaran tanah yang merupakan bukti

kepemilikan seseorang terhadap tanah sebelum

berlakunya UUPA dan Peraturan Pemerintah

Nomor 16 Tahun 1961 tentang Pendaftaran

Tanah. Sebelum berlakunya UUPA dan Peraturan

Pemerintah Nomor 16 Tahun 1961 tentang

Pendaftaran Tanah, bahwa tanda bukti

kepemilikan tanah itu adalah pipil. Pipil adalah

bukti kepemilikan tanah seseorang yang

digunakan pada saat sebelum berlakunya UUPA.

Pada saat setelah berlakunya UUPA,

bukti kepemilikan terhadap tanah adalah berupa

sertipikat , jadi apabila di suatu tanah yang sama

terdapat pipil dan ada sertipikatnya, maka pemilik

sertipikatlah yang akan memiliki hak kebendaan

(hak milik atas tanah) yang lebih kuat, karena

sertipikat hak milik atas tanah adalah tanda bukti

yang lebih kuat daripada pipil.

Pengadaan tanah sudah menjadi

kebutuhan bagi masyarakat yang ingin

meningkatkan taraf perekonomiannya, kebutuhan

tersebut menimbulkan keinginan dari subjek

Page 51: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 46

hukum untuk menguasai sebanyak-banyaknya

tanah di Indonesia, dan salah satu cara yang

dipergunakan oleh mereka adalah dengan sewa-

menyewa tanah. Perjanjian sewa-menyewa diatur

di dalam babVII Buku III KUH Perdata yang

berjudul “Tentang Sewa-Menyewa” yang

meliputi Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600

KUH Perdata. Definisi perjanjian sewa-menyewa

menurut Pasal 1548 KUH Perdata menyebutkan

bahwa: “Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu

perjanjian, dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada

pihak yang lainya kenikmatan dari suatu barang,

selama waktu tertentu dan dengan pembayaran

suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan

telah disanggupi pembayaranya.”

Asas kebebasan berkontrak sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata

mengandung pengertian bahwa perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku mengikat bagi yang

membuat perjanjian tersebut. Itu artinya sejak

lahirnya perjanjian sewa menyewa tanah tersebut

yang dikatakan sah secara undang-undang

otomatis mengikat para pihak yang membuat

perjanjian sewa menyewa itu. Selain asas tersebut

yang patut diperhatikan adalah syarat sahnya

perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal

1320 KUHPerdata.

Setelah kebutuhan manusia akan tanah

terpenuhi dengan upaya sewa-menyewa tersebut,

sekarang munculah kembali bagaimana cara

menuangkan perbuatan hukum sewa menyewa

tersebut agar menjadi alat bukti yang kuat, maka

disinilah letak peran notaris dalam membuat akta

notaris yang berisi perbuatan hukum yang mereka

lakukan tersebut. Dalam hal mencari kepastian

hukum terhadap perbuatan hukum sewa menyewa

tersebut dibuatlah akta notariil.

Walaupun segala informasi mengenai

tanah tersebut belum jelas, baik itu kepemilikan

maupun luasnya, tetap saja dilakukan perjanjian

sewa-menyewa dengan menggunakan objek

berupa pipil, bahkan dengan menggunakan akta

otentik atau akta yang dibuat oleh notaris.Yang

menjadi permasalahan adalah bagaimana

keabsahan akta notaris tersebut, terutama bila

ditinjau dari Pasal 1320 KUHPerdata terutama

dalam hal objek tertentu.

Pipil sebagai yang merupakan

representasi pengakuan Negara terhadap hak

kepemilikan oleh warga Negara Indonesia

sebelum berlakunya UUPA memang bisa diubah

menjadi sertipikat dengan proses konversi yang

dilakukan di Badan Pertanahan Nasional. Secara

garis besar proses konversi ada 4 yaitu,

pendaftaran, pengukuran, sidang dan penerbitan

sertipikat. Proses ini sangat panjang, belum lagi

apabila pemilik tanah ini sudah meninggal tentu

harus ada surat pernyataan silsilah keluarga dan

surat pernyataan waris yang benar-benar valid,

lalu bagaimana dengan perjanjian sewa-menyewa

yang sudah terjadi sebelum proses konversi itu ,

bagaimana bila malah status kepemilikan

terhadap tanah itu bukanlah jatuh kepada pemilik

semula yang menyewakan tanah tersebut padahal

perjanjian itu telah berlangsung selama beberapa

waktu.

1.2 Rumusan Masalah.

Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan

beberapa masalah antara lain :

a) Bagaimanakah keabsahan akta notaris

tentang sewa menyewa tanah dengan bukti

kepemilikan dalam bentuk pipil bila ditinjau

dari hukum perjanjian?

b) Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan

untuk mengantisipasi akibat hukum yang

ditimbulkan dari sewa menyewa tanah

dengan bukti kepemilikan dalam bentuk

pipil?

1.3 Tujuan Penelitian.

1.3.1 Tujuan Umum

a) Tujuan umum dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui dan menganalisis

Page 52: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 47

bagaimana keabsahan akta notaris

tentang sewa menyewa tanah dengan

bukti kepemilikan dalam bentuk pipil

dalam hukum perjanjian.

1.3.2 Tujuan Khusus

b) Tujuan khusus untuk menganalisa

apakah upaya hukum yang dapat

dilakukan untuk mengantisipasi akibat

hukum yang ditimbulkan dari sewa

menyewa tanah dengan bukti

kepemilikan dalam bentuk pipil.

1.4 Manfaat Penelitian.

a. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai

pengembangan ilmu pengetahuan hukum,

khususnya dalam bidang hukum perjanjian dan

bidang pertanahan.

b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini bagi

Pemerintah dalam hal ini adalah kantor

pertanahan setempat, masyarakat khususnya

pihak-pihak yang melangsungkan perjanjian sewa

menyewa dengan objek sebidang tanah dengan

bukti kepemilikan berupa pipil dan bagi Notaris.

1.5 Landasan Teoritis.

Untuk memperjelas dalam memberikan

suatu gambaran mengenai pembahasan

permasalahan diatas, maka dalam penulisan

tesis ini digunakan teori dan asas, yaitu :

1. Teori Negara Hukum

Teori ini digunkana untuk melihat

hubungan antara Badan atau Pejabat tata

Usaha Negara dengan seseorang atau

badan hukum perdata, contohnya adalah

bagaimana pemerintah sebagai regulator

dalam membuat suatuperaturan hukum

yang mengatur seseorang atau badan

hukum perdata.

2. Teori Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian diatur dalam

Pasal 1320 KUHPerdata, dalam teori

perjanjian meliputi asas-asas yang berlaku

umum dalam perjanjian, antara lain asas

kebebasan berkontrak, asas

konsensualisme, asas itikad baik, asas

kepastian dan asas kepribadian.

3. Teori Keadilan.

Keadilan distributif, yaitu keseimbangan

antara apa yang didapati oleh seseorang

dengan apa yang patut didapatkan dan

keadilan korektif, yaitu keadilan yang

bertujuan untuk mengoreksi kejadian yang

tidak adil.1

4. Asas Pembuktian.

Untuk menemukan kepastian hukum

diupayakan dengan pembuktian,

membuktikan dibedakan menjadi 2, yaitu

membuktikan dalam arti logis dan dalam

arti konvensional.2

1.6 Metode Penelitian.

a. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah penelitian hukum

empiris, yaitu dengan melihat

permasalahan dari kenyataan yang ada

dalam masyarakat dan dikaitkan dengan

peraturan perundang-undangan yang

berlaku saat ini. Penelitian hukum empiris

adalah penelitian hukum mengenai

pemberlakuan atau implementasi

ketentuan hukum normatif (kodifikasi

undang-undang atau kontrak) secara in

actio pada setiap peristiwa hukum tertentu

yang terjadi dalam masyarakat.3

.

1 Faudy Munir, 2007, Dinamika Teori

Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, Hal. 109. 2 Sudikno Mertokusumo, 2006. Hukum

Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

h.134 3 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum

dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal.134

Page 53: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 48

b. Jenis Pendekatan.

1) Pendekatan Perundang-undangan

(Statue Aprroach).

2) Pendekatan Kasus (Case Aprroach).

c. Sumber Data.

a. Data primer yaitu data yang diperoleh

melalui penelitian di lapangan yaitu

wawancara yang berasal dari para

informan, Notaris yang berkedudukan

di Kabupaten Badung dan Kabupaten

Tabanan.

b. Data sekunder yaitu data yang

diperoleh dari penelitian kepustakaan

yang meliputi data yang sudah

terdokumentasikan dalam bentuk

bahan-bahan hukum yang dikumpulkan

dengan studi–studi dokumen.

d. Teknik Pengumpulan Data.

Data sekunder, dilakukan dengan studi

dokumen dan untuk data primer, dilakukan

dengan mengadakan wawancara langsung

dengan para informan untuk memperoleh

jawaban yang relevan.

e. Teknik Analisis Data.

Sesudah semua data terkumpul baik itu

data lapangan yang diperoleh dengan

teknik wawancara ataupun data

kepustakaan yang diperoleh dari studi

dokumen kemudian diklasifikasikan secara

kualitatif yang disesuaikan dengan

permasalahan yang dibahas

BAB II

PEMBAHASAN

Keabsahan Akta Notaris Tentang Sewa

Menyewa Tanah Dengan Bukti Kepemilikan

Dalam Bentuk Pipil Bila Ditinjau Dari Hukum

Perjanjian.

Sewa menyewa bukanlah perbuatan

hukum pengalihan hak dari satu orang ke orang

lain yang menuntut pengalihan itu harus

didasarkan atas sertifikat. Itu artinya sewa

menyewa bisa dilakukan dengan menggunakan

pipil atas tanah sebagai objeknya. Atas terjadinya

sewa menyewa yang menggunakan pipil atas

tanah sebagai objeknya dituntut kejelian dari

seorang Notaris menempatkan pipil itu sebagai

objek atas perjanjian sewa menyewa dalam akta

Notariil yang dibuatnya.

Bukan berarti seseorang yang memiliki

tanah tanpa bersertifikat tidak mungkin

melakukan sewa menyewa terhadap tanah yang

dimilikinya tersebut. Ini sejalan dengan teori

kemanfaatan oleh Jeremy Bentham. Berikut

adalah kutipan pendapat dari Jeremy Bentham

mengenai kemanfatan yang terdapat dalam

bukunya “Introduction to the morals and

legislation”, bahwa hukum bertujuan semata-

mata apa yang berfaedah bagi orang.4 Dari

pendapat tersebut dapat penulis analisa bahwa

hukum dapat dinilai baik buruknya di mata

masyarakat adalah bagaimana hukum itu sendiri

memberikan manfaat bagi masyarakat. Hukum itu

dinilai baik apabila ia memberikan faedah yang

berguna bagi masyarakat, dan sebaliknya dinilai

buruk apabila hukum itu malah menimbulkan

kerugian bagi masyarakat. Kemanfaatan adalah

salah satu tujuan hukum disamping kepastian dan

keadilan. Seringkali kemanfaatan digunakan

4 R.Soeroso, 2000, Pengantar Ilmu Hukum,

Sinar Grafika, Jakarta, h.58

Page 54: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 49

sebagai tolak ukur apakah suatu peraturan itu

benar-benar berlaku dan bermanfaat bagi

masyarakat.Teori yang berhubungan dengan

kemanfaatan ini adalah Teori utilitarianisme, inti

dari teori ini adalah bahwa hukum pada dasarnya

bertujuan untuk memberikan faedah yang

sebanyak-banyaknya bagi masyarakat.

Dalam kaitannya dengan sewa menyewa

atas tanah yang masih berpipil adalah tetap

dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan

dengan hukum, kesopanan dan kesusilaan, di

mana objek tanah berpipil itu dilengkapi dengan

data-data yang lengkap yang menunjang bahwa

objek tanah itu adalah yang dimaksud

sebagaimana tertera dalam pipil tersebut.

Perjanjian sewa menyewa dapat

dilaksanakan sejak adanya persetujuan dari para

pihak, jadi entah itu sewa menyewa dengan objek

pipil atau sertifikat tetap dapat terjadi dengan

syarat ada persetujuan dari para pihak yang

membuatnya. Hal ini sejalan dengan teori

perjanjian, khususnya asas perjanjian yaitu asas

konsensualisme. Perjanjian dianggap telah lahir

sejak adanya tanda persetujuan dari para pihak.

Subekti mendefinisikan pengertian

perjanjian sebagai berikut bahwa suatu perjanjian

adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji

kepada seorang yang lain atau di mana dua orang

itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.5

Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi

5R. Soebekt i , 2001,

Hukum Perjanj ian , PT.

Intermasa, Jakar ta , hal . 45

bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan

hukum mengenai harta benda kekayaan antara

dua pihak, di mana satu pihak berjanji atau

dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau

tidak melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain

berhak menuntut pelaksanaan janji itu.6 Dari

beberapa definisi atas perjanjian tersebut dapat

dikatakan bahwa asalkan para pihak telah setuju

terhadap isi dari perjanjian tersebut maka

perjanjian itu berlaku dan sah bagi mereka

sebagai Undang-Undang (asas kebebasan

berkontrak). Dalam definisi tersebut tidak

dijelaskan mengenai Objek perjanjian entah itu

berpipil atau bersertifikat, jadi walaupun

perjanjian didasarkan atas pipil maka perjanjian

itu adalah sah dan berlaku mengikat bagi para

pihak.

Pipil adalah sebuah bentuk pengakuan

negara terhadap penguasaan hak atas tanah

sebelum berlakunya UUPA, dapat dikatakan

bahwa pipil adalah didasarkan atas hukum yang

saat itu berlaku di Indonesia, adapun setelah

berlakunya UUPA adanya sertifikat atas tanah

sebagai bentuk kepemilikan suatu hak atas tanah,

bukan berarti pipil tidak berlaku lagi, pipil tetap

berlaku. Oleh karena itu dari segi norma hukum,

kesusilaan dan ketertiban umum pipil tidak

melanggar, dari segi objek perjanjian yang

dianggap sah sesuai pasal 1320 KUHPerdata

6 Wirjono Prodjodikoro,1985, Hukum

Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Cet VIII,

Sumur, Bandung , hal 11.

Page 55: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 50

perjanjian sewa menyewa dengan objek pipil atas

tanah adalah sah dan bisa dilaksanakan.

Perjanjian sewa menyewa terhadap pipil dapat

menimbulkan permasalahan yang lebih ketimbang

perjanjian sewa menyewa atas sertifikat, ini

karena data-data yang termuat dalam pipil

tidaklah selengkap dan akurat sebagaimana dalam

sertifikat. Dalam memasukan objek perjanjian

sewa dengan objek pipil ke akta notariil haruslah

mendapat perhatian yang lebih agar jangan

sampai objek yang dimaksud sampai salah yang

mengakibatkan akta notariil yang dibuat oleh

Notaris menjadi salah.

Dalam melakukan perjanjian sewa

menyewa tanah yang masih dalam bentuk pipil

tidaklah sama dengan perjanjian sewa menyewa

dengan objek tanah yang telah bersertipikat. Hal

ini dikarenakan ada beberapa informasi dalam

pipil yang belum sesuai dengan kenyataan pada

saat ini, harus diperhatikan data yuridis dan data

sporadik yang berkaitan dengan tanah tersebut.

Apabila ingin melakukan perjanjian sewa

menyewa tanah yang masih dalam bentuk pipil

sebagaiknya didahului dengan pembuatan Akta

Perikatan Pendahuluan Sewa Menyewa Tanah

yang mana isinya sebagaimana hasil wawancara

yang dilakukan oleh peneliti dan kemudia baru

kemudian dibuat Akta Perjanjian Sewa Menyewa

Tanah sebagai tindak lanjut dari Akta

Pendahuluan tersebut.

Perjanjian sewa menyewa baik dengan

objek sertifikat ataupun masih dalam bentuk pipil

adalah sah dan berlaku sebagai undang-undang

sebagaimana bila ditinjau dari teori perjanjian.

Adapun yang dilihat dari perjanjian ini bukanlah

karena objek sewa sudah dalam bentuk sertifikat

atau masih dalam bentuk pipil tetapi lebih kepada

manfaat yang diberikan sebagai akibat dari

perjanjian sewa menyewa tersebut. Bila ditinjau

dari teori kemanfaatan maka perjanjian sewa

menyewa dengan objek sewa masih dalam bentuk

pipil adalah memberi manfaat bagi para pihak,

baik itu yang menyewakan tanah atau penyewa

tanah, kemanfaatan adalah salah satu tujuan

hukum disamping kepastian hukum dan keadilan.

Akta Notaris tentang sewa menyewa tanah

dengan bukti kepemilikan dalam bentuk pipil bila

ditinjau dari hukum perjanjian adalah sah dan

mengikat para pihak yang membuatnya. Dengan

ketentuan bahwa Akta Notaris tersebut dibuat

berdasarkan tata cara dan syarat yang telah

ditentukan oleh UUJN dengan tidak

mengenyampingkan asas-asas umum yang

berlaku dalam perjanjian, sehingga Akta Notaris

itu memiliki kekuatan pembuktian yang

sempurna, dan merupakan murni hasil

kesepakatan para pihak saat itu.

Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Untuk

Mengantisipasi Akibat Hukum yang

Ditimbulkan Dari Sewa Menyewa Tanah

Dengan Bukti Kepemilikan Dalam Bentuk

Pipil

Upaya hukum adalah dilakukan untuk

mencari suatu kebenaran materiil, yaitu kebenaran

Page 56: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 51

yang sebenar-benarnya terjadi. Upaya hukum

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 12 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(selanjutnya disebut KUHAP), adalah hak

terdakwa atau penuntut umum untuk tidak

menerima putusan pengadilan yang berupa

perlawanan atau banding atau kasasi atau hak

terpidana untuk mengajukan permohonan

peninjauan kembali serta menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini (KUHAP).

Secara singkat eksistensi upaya hukum tersebut

adalah upaya untuk mendapatkan keadilan dan

kebenaran materiil (materieele waarheid) bagi

terdakwa/terpidana maupun jaksa/penuntut umum

dari pengadilan yang lebih tinggi.

Upaya Hukum adalah cerminan secara

nyata salah satu asas hukum yang penting yaitu

asas persamaan dimata hukum (equality before

the law) yang mana asas ini menentukan bahwa

bahwa setiap orang yang disangka, ditahan,

dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang

pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai

adanya putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum

tetap.

Setiap orang pasti berusaha sebisa

mungkin untuk menghindar dari masalah, dan

mendapatkan kebahagiaan sebesar-besarnya.

Begitu juga bagi mereka yang melakukan

perjanjian sewa menyewa dengan objek tanah

yang bukti kepemilikannya masih berbentuk pipil,

mereka berusaha memetik keuntungan

semaksimal mungkin dari perjanjian tersebut dan

menghindar dari sengketa atau permasalahan

yang mungkin timbul.

Akta Perikatan Sewa Menyewa Tanah

dibuat sebelum dibuatkan Akta Perjanjian Sewa

Menyewa Tanah terhadap tanah yang masih ber-

pipil. Akta Pendahuluan ini berisi mengenai

kehendak para pihak yang ingin memberi sewa

dan menerima sewa terhadap tanah yang pada

saat itu masih dalam berbentuk pipil, dan apabila

pipil tersebut telah dikonversikan menjadi

sertipikat maka para penghadap sepakat tidak

akan mempemasalahkannya, baik itu apabila

terjadi perubahan luas terhadap bidang tanah yang

menjadi objek sewa tersebut.

Selain merupakan kehendak dari para

pihak, akta pendahuluan tersebut juga sebagai alat

untuk meminimalisir potensi sengketa yang

timbul dari perjanjian sewa menyewa tanah yang

masih ber-pipil, karena dalam akta tersebut juga

dituangkan persetujuan dari para pihak bahwa

mereka telah setuju apabila nanti ada perubahan

setelah proses konversi dari pipil ke sertipikat.

Persetujuan kehendak dari para pihak

yang membuat persetujuan adalah termasuk salah

satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, syarat

persetujuan kehendak itu adalah bersifat subjektif.

Yang artinya apabila dilanggar akan

menyebabkan perjanjian itu dapat dibatalkan.

Dapat dikatakan bahwa untuk mencegah ataupun

meminimalisir akibat hukum yang diduga muncul

Page 57: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 52

dari perjanjian sewa menyewa tanah dalam

bentuk pipil adalah dengan menggunakan Akta

Perjanjian Perikatan Pendahuluan Sewa

Menyewa, yang terpokok harus ada dalam akta ini

adalah harus berisi kedudukan dari pipil saat

perjanjian tersebut dibuat, apakah sedang proses

konversi atau akan dilakukan proses konversi dari

pipil ke sertipikat. Tidak lupa juga dalam Akta ini

harus dituangkan bahwa para pihak yang terlibat

dalam perjanjian ini telah mufakat dan sepakat

akan isi akta ini dan setuju untuk menuangkannya

dalam bentuk akta notariil.

Walaupun telah dilakukan upaya dengan

membuat Akta Perjanjian perikatan Sewa

Menyewa terlebih dahulu bisa juga berpotensi

menimbulkan masalah, entah itu menyangkut

objek perjanjian ataupun unsur-unsur lain dalam

perjanjian tersebut yang dapat dipermasalahkan.

Dalam Akta Notaris biasanya tercantum

mengenai pilihan domisili hukum bagi para

penghadap, yang artinya bila akhirnya mereka

bermasalah terhadap akta tersebut, atau terjadi

wanprestasi dalam perjanjian yang tertuang dalam

Akta tersebut maka para penghadap sepakat untuk

menyelesaikannya di Pengadilan Negeri setempat.

Adapun Akta Notaris yang bermasalah

sehingga terdegradasi menjadi Akta dibawah

tangan tidak lagi memiliki kekuatan pembuktian

yang sempurna, artinya hakim tidak lagi hanya

membaca akta itu sebagaimana yang tertera saja.

Hakim di pengadilan dalam memberikan

putusannya harus berpedoman kepada alat-alat

bukti yang telah disebutkan sebelumnya, apabila

permasalahan yang timbul mengarah ke ranah

pidana ataupun ke arah ranah perdata. Selama

Akta Notaris memenuhi unsur-unsur sebagai akta

otentik dan dibuat berdasarkan tata cara yang

telah ditentukan UUJN maka Akta Notaris itu

memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna di

mata pengadilan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam

bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut :

1. Akta Notaris tentang sewa menyewa

tanah dengan bukti kepemilikan dalam

bentuk pipil bila ditinjau dari hukum

perjanjian adalah sah dan mengikat para

pihak yang membuatnya. Dengan

ketentuan bahwa Akta Notaris tersebut

dibuat berdasarkan tata cara dan syarat

yang telah ditentukan oleh UUJN dengan

tidak mengenyampingkan asas-asas

umum yang berlaku dalam perjanjian,

sehingga Akta Notaris itu memiliki

kekuatan pembuktian yang sempurna,

dan merupakan murni hasil kesepakatan

para pihak saat itu.

2. Upaya hukum yang dapat dilakukan

untuk mengantisipasi akibat hukum yang

diduga timbul terhadap sewa menyewa

dengan objek berupa tanah yang berpipil

adalah dengan dua cara, yaitu dengan

Page 58: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 53

cara upaya hukum sebelum timbulnya

akibat hukum dan sesudah timbulnya

akibat hukum. Adapun upaya hukum

sebagai pencegahan akan timbulnya

akibat hukum yang mungkin terjadi

adalah dengan membuat Akta Perikatan

Pendahuluan Sewa Menyewa tanah

sedangkan upaya hukum yang dapat

dilakukan sesudah timbulnya akibat

hukum adalah dengan jalur litigasi atau

pengadilan baik dalam ranah hukum

pidana ataupun perdata.

Saran.

Sebaiknya membuat Akta Pendahuluan

Perikatan Sewa Menyewa Tanah terlebih

dahulu sebelum membuat Akta Sewa

Menyewa tanah dengan objek sewa yang

masih dalam bentuk pipil, yang mana

inti dari Akta Pendahuluan tersebut

adalah bahwa berisi kesepakatan dari

para pihak bahwa saat itu yang menjadi

objek dalam perjanjian itu adalah tanah

dalam bentuk pipil dengan menerima

baik ataupun pemegang pipil sesuai yang

tercantum dalam pipil tersebut,

disebutkan juga mengenai data yuridis

dan sporadik dari tanah tersebut, dan

kedudukan dari pipil itu saat

diperjanjikan apakah sedang dalam

proses konversi atau akan dilakukan

proses konversi ke bentuk sertipikat,

setelah sertipikat selesai maka

dibuatkanlah Akta Sewa Menyewa oleh

Notaris.

Dalam membuat Akta Notaris sebaiknya tetap

berpedoman kepada tata cara dan syarat yang

telah ditentukan oleh undang-Undang baik itu

UUJN ataupun KUHPerdata tentu saja dengan

tidak mengenyampingkan syarat sahnya

perjanjian dan asas-asas yang berlaku umum

dalam hukum perjanjian. Pembuatan Akta Notaris

diharapkan dengan teliti jangan sampai Akta yang

dibuat malah salah dan terdegradasi menjadi Akta

dibawah tangan yang jelas kekuatan

pembuktiannya tidak sempurna lagi, hal ini

bukannya memberikan kepastian hukum bagi para

pihak malah memunculkan sengketa dari para

pihak baik dalam ranah hukum pidana ataupun

perdata.

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Abdul Kadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Alumni, Badung.

, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung

Adi Rianto, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta

Page 59: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 54

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Peneletian Hukum, Cetakan ke IV, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta.

Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,

Alumni, Bandung.

Muchtar Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah,

Republika, Jakarta

Muljadi, Kartini, 2004, Perikatan Pada Umumnya, PT Raja Grafindo persada, Jakarta.

Syamsudin Meliala, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta

Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.

*****

HUBUNGAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT ANTARA BANK DENGAN DEPOSAN

Oleh

Robert Wiradinata*, Prof. R A. Retno Murni, SH.,MH., Ph.D**, Dr. Iketut Westra SH., MH**

Magister Kenotariatan Universitas Udayana

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

ARRANGEMENT OF LAW RELATIONSHIP OF CREDIT AGREEMENT BETWEEN BANK WITH

DEPOSITOR

In modern era, business world cannot be separated with the bank as the financial institution.

Bank as credit giver always broaden its credit distribution as long as in bank‟s own point of view there

was a conviction that the credit distributed will be able to be returned by the debtor according to its

expectation. Thus, in credit giving the bank always ask for an assurance. Initially, the bank only accept

the rights upon the land or other moving property as an assurance but in next development the bank is

also able to accept deposit as an assurance. Practice of deposit as an assurance of debt in an assurance

legal system has not been arranged clearly and certainly.

Deposit as an assurance is important to be learned to find out about how is the arrangement of

legal relation between the bank and the depositor and how is the legal protection for the bank as credit

giver to the depositor in Bankruptcy Decision. Research about “The arrangement of Legal Relation of

Credit Agreement between the bank and the Depositor” use the research method of normative law with

legislation approach, which is related to the analysis of agreement law concept, and assurance law. The

legal material include the Law No.10 Year 1998 about the Banking of the Republic of Indonesia State

Sheet Year 1998 No.182, Additional of Sheet of the Republic of Indonesia State No.3790, the Law No.37

Year 2004 about Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Duty of the Republic of Indonesia State

Sheet Year 2004 No.131, Additional of Sheet of the Republic of Indonesia State No.4443, Civil Code.

This research shows that there are two legal relations between the depositor and the bank that is

the relation of capital lease and loan. So in the implementation of Bankruptcy Decision, the law

protection for the bank is very weak because the bank only has position as a congruent creditor.

Key words: Deposit, Legal relation, Credit Agreement, Bankruptcy.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pemilik deposito disebut deposan,

kepada setiap deposan akan diberikan imbalan

bunga atas depositonya. Bagi, bunga yang

diberikan kepada para deposan merupakan bunga

yang tertinggi, jika dibandingkan dengan

simpanan giro atau tabungan, sehingga deposito

sebagian dianggap sebagai dana amal.1

1Kasmir, 2001, Dasar-dasar Perbankan,

PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,h.93.

Page 60: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 55

Pinjam meminjam uang yang

diselanggarakan oleh bank pada dasarnya disebut

dengan kredit, di Indonesia lembaga penyalur

kredit identik dengan bank.

Pemberian kredit yang diberikan oleh bank

kepada deposan mempunyai karakteristik yang

sangat khusus, terutama deposan sebagai debitur

dalam kredit yang diberikan oleh bank sebagai

pemegang deposito, tetapi sekaligus sebagai

kreditur dalam hubungannya sebagai pemilik

simpanan dana dalam bentuk deposito. Dalam

praktek pemberian kredit oleh bank kepada

deposan dilakukan dengan sistem back to back

yang pada hakekatnya bank memberikan

pinjaman sekaligus deposan menyerahkan

depositonya dengan surat kuasa. Dari perspektif

hukum jaminan kedudukan bank sebagai

pemegang kuasa atas deposito deposan,

mempunyai kedudukan yang sangat lemah

bilamana terjadi kepailitan, kepailitan adalah

ketiadamampuan untuk membayar dari seorang

(debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh

tempo2, berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 tetang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4443 (untuk

selanjutnya disebut UU Kepailitan), Syarat

ketiadamampuan itu, harus disertai dengan

tindakan nyata untuk mengajukan, yang dilakukan

oleh debitur sendiri secara sukarela, maupun

permintaan dari pihak ketiga, suatu permohonan

pailit kepada pengadilan. Oleh karena itu perlu

adanya perlindungan hukum agar bank

mempunyai kedudukan yang lebih kuat terhadap

deposito yang dipegangnya. Baik di dalam hukum

jaminan atau hukum perbankan, tidak ada

lembaga jaminan yang hanya diikat dengan surat

kuasa.

2Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, 1999,

Kepailitan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.11

Mengingat hak dan kewajiban debitur

adalah bertimbal balik dengan hak dan kewajiban

kreditur maka selama proses itu tidak menghadapi

masalah dalam arti kedua pihak melaksanakan

hak dan kewajibannya sesuai dengan yang

diperjanjiakan maka persoalan tidak akan muncul.

Namun biasanya persoalan baru muncul jika

debitur mengalami kepailitan, Jika terjadi

demikian Pasal 1131 KUH Perdata menentukan

bahwa semua kebendaan yang menjadi milik

seorang, baik yang sudah ada maupun yang akan

ada dikemudian hari, akan menjadi jaminan bagi

perikatannya. Kekosongan norma mengenai

hubungan hukum antara deposan dengan

pemegang deposito akan menimbulkan

ketidakadilan bilamana terjadi keadaan pailitnya

deposan. Kepailitan seorang deposan

mengakibatkan seluruh harta benda deposan baik

yang sudah ada saat pailit maupun baru akan ada

setelah kepailitan akan menjadi budel pailit yang

pengelolaannya dilakukan oleh kurator. Dalam

keadaan demikian adalah tidak adil jika deposito

yang sebelumnya dipegang oleh bank dan

dipergunakan sebagai dasar untuk menimbulkan

keyakinan pemberian kredit akan ditarik untuk

kepentingan para kreditur-kreditur lainnya.

Berdasarkan permasalahan tersebut,

maka saya tertarik untuk melakukan penelitian

dalam bentuk Tesis dengan judul

“PENGATURAN HUBUNGAN HUKUM

PERJAN KREDIT ANTARA BANK

DENGAN DEPOSAN ”

1.2. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas

dalam penulisan ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan hubungan

hukum dalam perjanjian kredit antara

bank dengan deposan ?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum

bagi bank dalam perjanjian kredit

antara bank dengan deposan,

bilamana deposan pailit ?

Page 61: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 56

1.3. Tujuan Penelitian

a. Tujuan umum

Penelitian ini secara umum bertujuan

untuk mengembangkan ilmu Hukum terkait

dengan paradigma science as a prosess (ilmu

sebagai proses), dengan paradigma ini ilmu tidak

akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannya

atas kebenarannya.3 Yaitu terkait dengan

Hubungan hukum pinjam meminjam uang antara

deposan dengan pihak bank .

b. Tujuan khusus

1. Menemukan konsep hubungan

hukum yang digunakan dalam

perjanjian pinjaman uang antara

bank dengan deposan yang

berkedudukan sebagai kreditur dan

debitur.

2. Untuk mengetahui Upaya hukum

yang dapat dilakukan oleh bank

dalam melindungi pinjamannya

kepada deposan dalam hal deposan

pailit.

1.4. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan

bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran untuk

menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan

asas-asas yang berkaitan dengan Hubungan

hukum pinjam meminjam uang antara deposan

dengan bank.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat

sebagai sumbangan pemikiran untuk membantu

dan memberi masukan serta tambahan

pengetahuan untuk penyelesaian permasalahan

yang sama di dalam praktik.

1.5. Landasan Teoritis

1. Perjanjian

Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang

kemudian diterjemahkan oleh Prof. R, Subekti,

3Pedoman Penulisan Usulan Thesis

Hukum Normatif Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2011, h.52

S.H dan R. Tjitrosudibio menjadi KUH Perdata

bahwa mengenai hukum perjanjian diatur dalam

Buku III tentang Perikatan, dimana hal tersebut

mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan

yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang

berlaku terhadap orang-orang atau pihak tertentu.4

Abdul Kadir Muhammad dalam

bukunya berjudul “Hukum Perdata Indonesia”

berpendapat bahwa definisi perjanjian yang

dirumuskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata

tersebut memiliki kelemahan yaitu :

1. Hanya menyangkut sepihak saja.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa

konsensus.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

4. Dalam menyebut tujuan atau

memiliki tujuan yang jelas.5

Maka hubungan hukum antara perikatan

dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu

menerbitkan perikatan. Hubungan hukum adalah

hubungan yang menimbulkan akibat hukum,

akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak

dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu

kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan

beban. Adapun unsur-unsur yang tercantum

dalam hukum perjanjian dapat dikemukakan

sebagai berikut.6

1. Adanya kaidah hukum

2. Subyek hukum

3. Adanya prestasi

4. Kata sepakat

5. Akibat hukum

2. Teori Perlindungan Hukum

Teori Perlindungan Hukum.

4R. Subekti dan R Tjitrosudibio, 1996,

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet.28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,h. 323

5 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. H.224-225

6 Salim H.S, 2003, Hukum Perjanjian dan Teknik Penyusunan Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta, h.4.

Page 62: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 57

Teori perlindungan hukum dari Pareto,

jika suatu perjanjian dipandang dari sudut

ekonomi sebagaimana dipaparkan dalam teori

Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika

membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik

dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih

buruk.7 Dalam penelitian ini, teori ini digunakan

untuk menjamin kedudukan bank sebagai

lembaga penghimpun dana masyarakat agar

mendapat perlindungan hukum atas hak-haknya

terhadap deposito deposan peminjam uang, dalam

hal deposan jatuh pailit.

3. Teori Kepastian Hukum

Sebagaimana yang diuraikan diatas

untuk memecahkan permasalahan hukum dalam

thesis ini terutama untuk menetapkan hubungan

antara deposan dengan bank pemberi kredit,

dalam perjanjian kredit juga didukung dengan

teori tentang asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang dikemukakan oleh Lon

I, Fuller. Menurut Fuller, agar hukum (peraturan)

berfungsi dengan baik, maka peraturan tersebut

harus memenuhi atau mengikatkan diri secara

ketat kepada 8 (delapan) syarat yang merupakan

asas-asas dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan.

Kepastian kata dasarnya adalah pasti,

yang memiliki arti : Suatu hal yang sudah tentu,

sudah tetap dan tidak boleh tidak.8 Gustaf

Radbruch seperti yang dikutip oleh Theo Huijber

mengenai kepastian hukum mengemukakan :

Menurut Radbruch dalam pengertian

hukum dapat dibedakan tiga aspek yang

ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai

pada pengertian hukum yang memadai.

Aspek yang pertama ialah keadilan

dalam arti yang sempit. Keadilan ini

berarti kesamaan hak untuk semua orang

7 Niken Saraswati, 2011, Standar Kontrak Dalam Hukum Perjanjian, Kennysiikebby’s Blog Just Another Wordpress. Com Site (11/06/2013), http://kennysiikebby.wordpress.com/2011/03/07/ standar kontrak dalam hukum perjanjian

8 W.J.S. Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, Hal. 847.

di depan pengadilan. Aspek yang kedua

ialah tujuan keadilan atau finalitas dan

aspek yang ketiga ialah kepastian hukum

atau legalitas.9

Dari dua teori mengenai kepastian

hukum diatas, teori Radbruch lebih mendekati

untuk dipergunakan sebagai penyelesaian

persoalan mengenai kepastian hukum berkaitan

dengan kedudukan bank sebagai penerima

deposito dengan hanya berdasarkan surat kuasa

yang pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan

sebagai kreditur preferent.

1.6 Metode Penulisan

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian hukum normatif, yaitu penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data skunder belaka.10

b. Jenis pendekatan

Pendekatan masalah yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pendekatan

perundang-undangan (statute approach)

pendekatan konsep (conceptual approach),

pendekatan analitis (analytical approach).

c. Sumber bahan hukum

Penelitian ini dilakukan melalui studi

kepustakaan terhadap bahan hukum primer,

skunder dan tersier.

1. Bahan hukum primer, dalam penelitian

ini menggunakan bahan hukum primer

sebagai berikut :

a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

Tentang Perbankan Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor

182, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3790.

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

Tentang Bank Indonesia Lembaran

9 Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum

dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Cetakan Keempat belas, Yogyakarta, Hal. 163.

10 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 2007,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta,h 13.

Page 63: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 58

Negara Republik Indonesia Tahun 1999

Nomor 66

c. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tetang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004

Nomor 131, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4443

d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2. Adapun yang dimaksud dengan bahan

hukum sekunder dalam penelitian ini

adalah buku-buku hukum, jurnal-jurnal

ilmiah, karya tulis hukum atau

pandangan ahli hukum yang termuat

dalam media massa dan data sebagai

penunjang bahan hukum primer.

3. Bahan hukum tersier yang digunakan

dalam penelitian ini adalah kamus

hukum dan ensiklopedia.

d. Teknik pengumpulan bahan

hukum

Bahan hukum yang relevan dikumpulkan

dengan teknik membaca, mengumpulkan bahan

hukum serta menganalisa bahan hukum dengan

menggunakan sistim kartu (card system)11

.

e. Teknik analisis bahan hukum

Analisis bahan hukum dalam penelitian

ini dilakukan dengan teknik deskriptif, kontruktif

hukum dan argumentasi, yang selanjutnya

dilakukan dengan penilaian berdasarkan pada

alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum,

yakni dengan mengemukakan doktrin dan asas-

asas yang ada terkait dengan permasalahan.

II.1 Hubungan hukum

a. Pengertian Hubungan Hukum

Hubungan hukum terdiri dari dua kata

yaitu hubungan dan hukum. Sebelum

membicarakan hubungan hukum perlu dipahami

apa itu hukum, seperti yang dikatakan oleh Prof.

Apeldoorn hukum adalah kekuasaan yang

11 Winarno Surakhmad , 1973, Pengatar

Penelitian Ilmiah,Dasar-dasar Metode & Teknik ,Tarsito, Bandung, h.257.

mengatur dan memaksa, dengan tiada

berkesudahan ia mengatur hubungan-hubungan

yang ditimbulkan oleh pergaulan masyarakat

manusia (hubungan yang timbul dari perkawinan,

keturunan, kerabat darah, ketetanggaan tempat

kediaman, kebangsaan, dari perdagangan dan

pemberian berbagai jasa dan dari perkara-perkara

lainnya), dan hal-hal tersebut dilakukannya

dengan menentukan batas kekuasaan-kekuasaan

dan kewajiban-kewajiban tiap-tiap orang terhadap

mereka dengan siapa ia berhubungan.12

Hukum

misalnya mengatur hubungan antara orang yang

meminjamkan uang dengan orang yang

menerimanya dan itu dilakukannya antara lain

dengan membentuk peraturan-peraturan.

Hubungan yang diatur oleh hukum sedemikian

disebut dengan hubungan hukum. Tiap-tiap

hubungan hukum, mempunyai dua segi yakni

pada satu pihak ia merupakan hak, dan pada pihak

yang lain ia merupakan kewajiban.

b. Jenis Jenis Hubungan Hukum

Sebagaimana telah diuraikan di atas

bahwa hukum mengatur Hubungan antara orang

dengan orang dalam kaitannya hubungan

perkawinan, hubungan keturunan, hubungan

kerabat darah. Jadi hubungan hukum itu tidak lain

adalah hubungan yang meletakkan disatu sisi hak

kepada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain.

Dari uraian mengenai hubungan hukum dapat

dipahami bahwa pada dasarnya hubungan hukum

merupakan yang mempunyai akibat hukum.

Demikian juga hubungan hukum yang disebut

perikatan terjadinya, berubahnya, hapusnya dan

beralihnya mempunyai akibat hukum.

BAB II

PEMBAHASAN

PERJANJIAN KREDIT ANTARA BANK

DENGAN DEPOSAN

III.1 Bentuk Perjanjian Kredit antara

Bank dengan Deposan

12Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h.1

Page 64: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 59

Berdasarkan uraian Pasal 1 angka 11 UU

Perbankan ditegaskan bahwa kredit adalah suatu

bentuk perjanjian yaitu persetujuan antara

peminjam dan bank. Sebagai suatu perjanjian

menurut KUH Perdata, tidak terikat pada suatu

bentuk, artinya apakah perjanjian tersebut dibuat

secara tertulis atau tidak tertulis perjanjian tetap

memiliki daya mengikat bagi mereka yang

membuatnya, hal ini disebutkan dalam Pasal 1338

KUH Perdata yang menyatakan :

semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik

kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak,

atau karena alasan-alasan yang oleh undang-

undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut di

atas dapat dipahami bahwa dari segi bentuk

perjanjian undang-undang tidak mengharuskan

perjanjian dibuat dengan bentuk tertulis maupun

tidak tertulis demikian juga dari segi isinya

Undang-undang menyerahkan kepada para pihak

yang membuat perjanjian tersebut, walaupun

demikian didalam beberapa perjanjian asas ini

dikecualikan seperti didalam perjanjian peralihan

hak atas tanah, perjanjian pemberian hak

tanggungan dan fidusia, menurut undang-undang

harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk akta

notaris.

Berdasarkan proses pembuatan

perjanjian kredit antara bank dengan deposan

dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut

menurut ilmu hukum dikenal dengan nama

perjanjian baku atau standard kontrak.

III.2 Hubungan Hukum antara Bank

dengan Deposan dalam Perspektif

Hukum Perjanjian

Pada dasarnya hubungan hukum antara

bank dengan nasabahnya dapat terjadi dua

hubungan hukum, yaitu hubungan hukum antara

bank dengan nasabah penyimpan dana dan

hubungan hukum antara bank dan nasabah

debitur.

A. Hubungan hukum antara bank

dengan nasabah penyimpan dana

Bentuk hubungan hukum antara bank

dan nasabah penyimpan dana, dapat terlihat dari

hubungan hukum yang muncul dari produk-

produk perbankan, seperti deposito, tabungan,

giro dan sebagainya.

Perjanjian bank dengan nasabah

penyimpan disebut perjanjian simpanan. Dalam

hukum perdata, figur perjanjian simpanan akan

menjadi persoalan hukum tersendiri karena tidak

terdapat kejelasan mengenai pengaturan dan

identitas hukumnya.13

Jika dicermati terkait objek

dari perjanjian simpanan berupa giro, deposito,

sertifikat deposito dan tabungan, maka tidak

ditemukan baik dalam KUH Perdata maupun

dalam KUH Dagang. Namun, sebagai perjanjian,

terdapat ketentuan umum dalam Pasal 1319 yaitu

semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu

nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan

nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan

umum....”

B. Hubungan hukum antara bank

dengan nasabah debitur

Hubungan hukum antara bank dan

nasabah penyimpan serta hubungan hukum antara

bank dan nasabah debitur sangat erat kaitannya.

Kedua hubungan tersebut tidak hanya

dikualifikasikan sebagai hubungan hukum tetapi

penting kiranya untuk menarik pada hubungan

moral. Sebagai hubungan moral, maka

pertanggungjawabannya lebih tinggi di mata

hukum. Moral ini kemudian dapat menjadi

sumber dan sekaligus jembatan etis dalam

tonggak hukum perbankan. Dengan demikian,

dalam pelaksanaan fungsi perbankan terdapat dua

hubungan hukum dan satu hubungan moral yang

saling terkait.

13 Kamello Tan, 2006, karakter Hukum

Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan antara Bank dan Nasabah, Pidato Guru Besar Usu, h.22

Page 65: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 60

III.3 Hak dan Kewajiban antara Bank

dengan Deposan dalam Perjanjian

Kredit

Perjanjian kredit yang dibuat oleh bank

dengan deposan, memberikan hak dan kewajiban

kepada dua belah pihak. Kewajiban bank setelah

perjanjian kredit itu dibuat dengan deposan adalah

:

a. Memberikan sejumlah uang berupa

pinjaman kepada si berutang sesuai

dengan jumlah yang diperjanjikan.

b. Dalam hal hasil pencairan deposito

melebihi jumlah hutang yang timbul

berdasarkan perikatan termaktub telah

dilunasi sebagaimana mestinya, bank

harus menyerahkan kembali simpanan

dalam rekening deposito.

c. Bila seluruh kewajiban si berhutang

yang timbul berdasarkan perikatan telah

dilunasi sebagaimana mestinya, bank

harus menyerahkan kembali simpanan

dalam rekening deposito.

Sedangkan hak-hak dari bank dalam

perjanjian kredit dengan deposan antara lain :

a. Bank berhak mengenakan bunga atas

pinjaman deposan yang besarnya sesuai

dengan yang telah disepakati.

b. Bank bilamana fasilitas kredit yang

dijamin dengan deposito belum dilunasi

sebagaimana mestinya maka bank

berhak mencairkan atau menguangkan

simpanan dalam rekening deposito dan

memindah bukukannya ke rekening

pinjaman si deposan sewaktu-waktu

sebesar sisa fasilitas kredit.

Setelah perjanjian kredit disepakati dan

ditandatangani oleh bank dan deposan, maka

deposan berhak untuk menerima sejumlah uang

sebagai pinjaman (kredit) dari pihak bank.

Kewajiban deposan

a. Membuat surat kuasa untuk kepentingan

bankyang bersifat substitusi.

b. Deposan wajib mengembalikan uang

pinjaman dalam jangka waktu dan

jumlah sesuaai apa yang telah disepakati.

c. Deposan berkewajiban untuk membayar

bunga atas pinjaman kepada bank.

d. Menyerahkan sertifikat deposito sebagai

jaminan kepada bank.

IV.1 Kebersamaan Kreditur terhadap

Kebendaan Debitur

Dalam hubungan hukum keperdataan

hukum berfungsi sebagai pelindung hak-hak

perseorangan dengan tujuan untuk memperoleh

keseimbangan antara hak dan kewajiban satu

pihak dengan pihak yang lain, agar setiap orang

dapat melakukan hubungan hukum dengan rasa

aman khusunya dalam bidang perikatan maka

berdasarkan asas yang diatur dalam Pasal 1131

KUH Perdata menyatakan bahwa dapat dipahami

adanya asas-asas hubungan ekstern kreditur

sebagai berikut :

a. Seorang kreditur dapat mengambil

pelunasan dari setiap bagian dari harta

kekayaan debitur

b. Setiap bagian kekayaan debitur dapat

dijual guna pelunasan tagihan kreditur

c. Hak tagihan kreditur hanya dijamin

dengan harta benda debitur saja, tidak

dengan ”person debitur”.

Jaminan seperti itu diberikan kepada

setiap kreditur terhadap seluruh harta debitur dan

karenanya disebut jaminan umum. Setiap kreditur

menikmati hak jaminan umum seperti itu.

Hal itu tidak berarti, bahwa kreditur

harus menjual seluruh kekayaan debitur, lalu

mengambil suatu bagian sebanding tertentu dari

hasil penjualan dari tiap-tiap benda yang

membentuk kekayaan tersebut. Penjualan seluruh

harta kekayaan debitur hanya terjadi dalam hal

ada kepailitan dan dalam penerimaan boedel

dengan hak utama untuk mengadakan pencatatan

(penerimaan warisan secara beneficiarvide Pasal

1023, Pasal 1024, dan Pasal 1034 KUH Perdata).

Page 66: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 61

IV.2 Pembayaran Piutang melalui Proses

Kepailitan dalam Perjanjian Kredit

Pembayaran piutang dari si pailit setelah

adanya putusan pailit tidak boleh dibayarkan pada

si pailit, jika hak tersebut dilakukan maka tidak

membebaskan utang tersebut. Begitu pula

terhadap tuntutan dan gugatan mengenai hak dan

kewajiban di bidang harta kekayaan tidak boleh

ditujukan oleh atau kepada si pailit melainkan

harus oleh atau kepada kurator. Akan tetapi,

apabila tuntutan tersebut dajukan atau diteruskan

oleh atau terhadap debitur pailit, maka apabila

tuntutan tersebut mengakibatkan suatu

penghukuman terhadap debitur pailit,

penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat

hukum terhadap harta pailit, penghukuman

tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap

harta pailit.

Disamping itu pula, selama

berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk

memperoleh pemenuhan perikatan dari harta

pailit yang ditujukan terhadap debitur pailit,

hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya

untuk dicocokkan. Sedangkan suatu tuntutan

hukum di pengadilan yang diajukan terhadap

debitur sejauh bertujuan untuk memperoleh

pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan

perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum

dengan diucapkan putusan pernyataan pailit

terhadap debitur.

IV.3 Perlindungan Hukum bagi Bank

dalam Perjanjian Kredit dalam hal

Deposan Pailit.

Dalam kaitan perjanjian kredit antara

bank dengan deposan walaupun deposan telah

memiliki deposito di bank yang memberi

pinjaman, tetapi tidak cukup menjamin kepastian

pengembalian kredit dari bank, bilamana debitur

atau deposan jatuh pailit. Jika deposan dalam

keadaan pailit, maka berlakulah asas kebersamaan

dari tiap-tiap kreditur untuk mendapatkan

pelunasan piutangnya sebagaimana diatur dalam

psaal 1131 KUH, dari Pasal tersebut dapat

dicermati ada dua jenis kreditur yaitu kreditur

konkuren dan kreditur preferen, kreditur konkuren

adalah kreditur yang memiliki kedudukan yang

sama dengan sistem pembayaran dengan sistem

perseimbangan sesuai dengan jumlah piutangnya

sedangkan yang dimaksud dengan preferen adalah

kreditur yang mempunyai hak didahulukan

pelunasan piutangnya. Sehingga hanya kreditur

preferenlah yang memiliki kepastian akan

pengembalian piutangnya jika jumlah harta

kekayaan debitur kurang dari jumlah piutang yang

dimiliki oleh kreditur. Lembaga jaminan yang

dapat dibebankan pada benda debitur tergantung

pada jenis benda yang dipergunakan sebagai

jaminan. Oleh karena itu lembaga jaminan yang

dapat dibebankan kepada hak deposito hanya

berupa gadai.

IV.4 Akibat Hukum Kepailitan Deposan

terhadap Kebendaan Debitur

Dalam hal deposan pailit, berdasarkan

keputusan kepailitan untuk pembayaran piutang

bagi kreditur deposan berlakulah tingkatan-

tingkatan bagi penggolongan kreditur, sehingga

jika deposito tidak diikat dengan lembaga

jaminan, baik itu gadai atau fidusia maka bank

sebagai pemegang deposito yang telah

memberikan pinjaman kepada deposan akan

mempunyai kedudukan konkuren atau bersaing

dengan kedudukan lain. Jika harta kekayaan

deposan termasuk depositonya mencukupi untuk

membayar utang-utangnya tidaklah muncul

masalah dalam pelunasan-piutang kreditur-

krediturnya, tetapi masalah kedudukan menjadi

kreditur preferent menjadi penting jika jumlah

harta kekayaan deposan kurang dari jumlah utang

yang harus dibayar, sehingga para kreditur

konkuren tidak mendapat jaminan untuk

pembayaran piutangnya secara optimal. Sehingga

untuk menjamin pelunasan piutang bank yang

telah memberikan kredit kepada deposan

Page 67: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 62

semestinya deposito yang dipergunakan sebagai

jaminan dilanjutkan dengan mengikat deposito itu

dengan lembaga jaminan gadai atau fidusia.

BAB III

PENUTUP

Berdasarkan uraian dalam Bab-bab

sebelumnya, dapat disimpulkan

1. Pengaturan hubungan hukum mengenai

perjanjian kredit antara bank dengan

deposan belum ada pengaturannya, tetapi

berdasarkan hubungan hukum yang

terjadi didalam perjanjian kredit tersebut

dapat dikontruksikan kedalam hubungan

hukum sewa menyewa modal dan

pinjam meminjam.

2. Perlindungan hukum bagi bank pemberi

kredit kepada deposan hanya dengan

kuasa mencairkan deposito bilamana

deposan wanprestasi sangat lemah,

karena dalam penyelesaian hutang

piutang melalui Keputusan Kepailitan,

bank hanya memiliki kedudukan sebagai

kreditur konkuren atau bersaing dengan

kreditur-kreditur yang lainnya.

Saran

1. Untuk menjamin adanya kepastian hukum

dalam dunia perbankan dan perlindungan

nasabah bank, perlu adanya ketentuan yang

pasti mengenai konsep hubungan hukum

antara bank dengan deposan berkaitan

dengan penyimpanan dana masyarakat.

2. Untuk menjamin perlindungan hukum

terhadap bank sebagai kreditur dalam

perjanjian kredit, antara bank dengan

deposan yang mempergunakan deposito

sebagai jaminan, tidaklah cukup dengan

pemberian kuasa dari deposan kepada bank

untuk memperoleh pelunasan melalui

pelaksanaan keputusan pailit. Oleh karena itu

perlu adanya upaya preventif dengan

perjanjian pengikatan jaminan terhadap

deposito. Mengingat deposito tergolong

kedalam benda bergerak maka lembaga

jaminan gadai atau fidusia yang tepat

dibebankan pada deposito tersebut.

Daftar Pustaka

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, 1999, Kepailitan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung.

__________________, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung.

Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

A. Pitlo, 1952, Het Verbintenissenrecht naar he Nederlands Burgelijk Wetboek, H.D Tjeeng

&Zoon, NV Harlem.

Algra,1974, inleiding tot Het Nederlands Privaatrecht, Tjeen Willink, Groningen.

Bambang Sutiyoso,2009, Metode penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan

Berkeadilan,UII. Press, Yogyakarta.

Djumahana, 1996, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

C.H Gatot Wardoyo, 1996, Selintas Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti,

Bandung.

H.F.A. Vollmar, 1984, Studi Hukum Perdata Jilid II, diterjemahkan oleh I.S. Adiwimarta,

Rajawali, Jakarta.

H. Budi Untung, 2005, Kredit Perbankan Indonesia, Andi Yogyakarta, Yogyakarta.

Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

H.R Daeng Naja,2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, P.T Citra Aditya Bakti, Bandung.

Page 68: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 63

H. Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, 2005, Credit Management Handbook (teori,

konsep, Prosedur dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiwa, Bankir dan Nasabah), PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Henry Campbell Black, 1979, Black‟s Dictionary, West Publishing Co., St. Paul Minnesota.

Ibrahim R. Perna-Pernik Yuridis dalam Nalar Hukum. 2006 UPT-Penerbit.

Jazim Hamidi,2005, Hemeneutika Hukum Teori penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi

Teks,UII Press, Yogyakarta

Johny Ibrahim, 2006, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publising,

Malang.

J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung.

_______, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian-Buku I, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Jerry Hoff, 1999, Indonesian Bankruptcy Law, Tatanusa, Jakarta.

Kasmir,2007, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi keenam, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

______,2008, Pemasaran Bank, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

______, 2011, Dasar-dasar Perbankan, Rajawali Pers, Jakarta.

Kartono, 1982, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya Paramita, Jakarta.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Kartini Mulyadi, 2001, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, Alumni, Bandung.

_________, Kreditur Preferens dan Kreditur Separatis Dalam Kepailitan , Undang-undang

Kepailitan dan perkembangannya: Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-

Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis lainnya Tahun 2004 : Jakarta26-28 Januari

2004 ( Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005).

_______, 2001, Dasar-Dasar Perbankan, PT Raja Grafindo Persada,Jakarta.

Lon, l Fuller,1963, The Morality of Law, New Haven and London Yale University Press

Lukman Santosa, 2011, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

Mariam Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.

Mariam Darus Badrulzaman,1978, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung.

Mariam Darus Baadrulzaman, et all, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan dalam Rangka

Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana Universitas Gajah

Mada, Yogyakarta.

_____________, 2005, Mengenal Hukum suatu Pengantar

Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen, Daya Widya, Jakarta.

Pedoman Penulisan Usulan Thesis Hukum Normatif Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Udayana, 2011.

Nasrun Yasabari & Nina Kurnia Dewi 2007, Penjaminan Kredit, Mengantar UKMK mengakses

Pembiayaan, Alumni, Bandung.

Philipus M hadjon,1998, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya.

Page 69: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 64

Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenata Media Group, Jakarta

___________________ , 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

R. Subekti dan R Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan

Burgerlijk Wetboek, Cet.28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

R. Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, cetakan 18, Intermasa, Jakarta.

Rony Hanitjo Soemitro, 1988, Metodologi penulisan Hukum, dan Jurimetri, Cet III, Ghalia

Indonesia, Jakarta.

Rachmadi Usman,2003, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Ricardo Simajuntak, 2005, Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan, Pusat Pengkajian

Hukum, Jakarta.

Salim H.S, 2003, Hukum Perjanjian dan Teknik Penyusunan Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta.

________, 2003,Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta

Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Subekti, 1976, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung.

Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 2007,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.

Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.

Suta Reny Sjahdeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi Para

Pihak Kredit Bank, Institut Bankir Indonesia, Jakarta.

Sudirman I Wayan, 2013,Manajemen Perbankan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Suyatno, 1990, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta.

Samsudin, 2004, Prinsip Kehati-hatian dalam Hubungan Kontraktual Nasabah dan Deposan Bank,

Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat.

Thomas Suyatno dkk, 1993, Dasar-Dasar Perkreditan, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas PT

Gramedia Pusaka Utama.

Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Cetakan Keempat belas,

Yogyakarta.

Winarno Surakhmad, 1973, Pengatar Penelitian Ilmiah,Dasar-dasar Metode & Teknik Tarsito,

Bandung.

Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit

Sumur Bandung, Bandung.

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 66

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tetang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4443

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Page 70: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 65

Bahan Internet :

Niken Saraswati, 2011, Standar Kontrak Dalam Hukum Perjanjian, Kennysiikebby‟s Blog Just

Another Wordpress. Com Site (11/06/2013),

http://kennysiikebby.wordpress.com/2011/03/07/ standar kontrak dalam hukum perjanjian

W.J.S. Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka,

Jakarta

*****

PENGATURAN PENCEGAHAN KEPAILITAN MELALUI KOMBINASI INSOLVENCY TEST,

REORGANISASI PERUSAHAAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

Oleh

Antonius I Gusti Ngurah Putu Berna Adiputra*, R.A. Retno Murni**, I Made Pria Dharsana***

Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana

Email: [email protected]

ABSTRACT

Bankruptcy law in Indonesia is obliged to observe and comply with the regulations set out in Law

No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Obligation Payment (PKPU). The

requirements of bankruptcy decision are stipulated in Article 2 paragraph (1). These regulations cause

problems due to the vagueness of norms; that the bankruptcy terms are too simple, so it would cause the

debtor who actually still in good financial state sentenced into the bankruptcy state. A mechanism of

protection for both debtors and creditors is needed so they are not harmed in the bankruptcy process.

Therefore a regulation of bankruptcy prevention through a combination of Insolvency Test, Corporate

Reorganization and PKPU is needed, so that bankruptcy law can be applied in line with the objectives of

national economic development. Based on this, the problems those can be formulated are about what the

major on regulation of combination system of Insolvency Test, Corporate Reorganization and PKPU and

how the prevention regulation of a company tangled on bankruptcy by using combination system of

Insolvency Test, Corporate Reorganization and PKPU.

Keywords : Regulation, Prevention, Bankruptcy, Insolvency Test, Reorganization, PKPU

*Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan T.A. 2012

**Pembimbing I

***Pembimbing II

I. PENDAHULUAN

Pailitnya suatu perusahaan seringkali bukan

merupakan keinginan dari berbagai pihak. Hal ini

disebabkan oleh banyaknya dampak negatif yang

dapat ditimbulkan oleh karena kepailitan ini, yang

tentunya dapat berdampak buruk, tidak hanya

bagi debitur dan kreditur, namun juga distributor,

pembeli, perusahaan retail, juga Negara dapat

kehilangan sumber pendapatannya dari sektor

pajak, konsumen, dan pada tingkat tertentu dapat

menyebabkan meningkatnya tingkat

pengangguran karena terjadinya Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK). Secara umum,

meningkatnya kasus kepailitan ini akan

menimbulkan efek buruk bagi perekonomian

nasional.

Apabila kondisi perusahaan sedang ada

dalam kondisi ekonomi tidak baik, akan lebih

menguntungkan apabila dilakukan reorganisasi

terlebih dahulu untuk menghindari pailit.

Pencegahan kepailitan dengan cara reorganisasi

perusahaan dapat menghindarkan perusahaan dari

status dilikuidasi.

Selain dengan menerapkan reorganisasi

perusahaan, perlu juga dilakukan suatu proses

yang disebut dengan Insolvency Test. Menurut

Page 71: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 66

James Purba, Insolvency test adalah suatu

keadaan untuk menguji kemampuan debitor

dalam membayar kewajiban. Merujuk

ke insolvency test yang diatur dalam mekanisme

kepailitan Amerika Serikat serta negara penganut

common law system lainnya seperti Inggris,

sebuah perusahaan yang dimohonkan pailit harus

melewati mekanisme ini lebih dulu. Artinya,

perusahaan baru bisa dimohonkan pailit jika

perusahaan benar-benar sudah dalam keadaan

bangkrut. Sementara itu, Undang-Undang Nomor

37 tahun 2004 tentang Kepailitan (selanjutnya

disebut UU Kepailitan) membuka kesempatan

yang cukup luas kepada kreditor untuk

mempailitkan suatu debitor. Asalkan permohonan

kepailitan memenuhi Pasal 2 ayat (1) junctoPasal

8 ayat (4) UU Kepailitan. Keadaan ini merupakan

keadaan Norma Kabur. Alhasil, debitor dapat

diputus pailit tanpa melihat kemampuan untuk

menyelesaikan utang. Jamesmenilai membangun

perusahaan itu tidak cepat dan gampang. Selain

itu, demi kesehatan bisnis dan investasi,

insolvency test perlu dipertimbangkan dalam

revisi UU Kepailitan.1

Apabila Indonesia mengadopsi konsep ini,

ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Yaitu

perlu metode untuk menentukan tingkat kesehatan

suatu perusahaan. Selain itu, syarat permohonan

pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2

UUKepailitan juga perlu diubah, menjadi debitor

yang tidak lagi mampu membayar utang.

Negara-negara di dunia mengenal dua

konsep kepailitan, yaitu insolvency test dan

simply doesn‟t pay. Konsep insolvency test dalam

kepailitan lebih menekankan kepada

ketidakmampuan perusahaan dalam membayar

utang-utangnya. Sedangkan simply doesnt

pay, suatu proses atau cara lain dalam menagih

1 James Purba, sebagaimana dikutip dari

Hukumonline.com (diakses pada tanggal 15

Januari 2013), available from: URL:

http://www.hukumonline.com/be-rita/baca

/lt50909c2cd78cd/revisi-uu-kepailitan-untuk-

lindungi-debitor

utang asalkan terpenuhi syarat permohonan

kepailitan. Indonesia menganut konsep yang

kedua.2

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU

sekarang ini memiliki kelemahan, yaitu membuka

peluang bagi perusahaan yang masih berpotensi

untuk berkembang untuk dijatuhi putusan pailit.

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU hanya

memberikan pranata hukum dalam kerangka

prinsip debt forgiveness yang berupa moratorium

utang debitor atau yang dikenal dalam Undang-

undang Kepailitan dengan nama Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Sedangkan rehabilitasi dalam Undang-Undang

Kepailitan adalah rehabilitasi setelah seluruh

utang-utang debitor terselesaikan, dan bukan

rehabilitasi yang berbentuk fresh-starting..

Permasalahan kepailitan di Indonesia terkait

dengan pelaksanaan undang-undang kepailitan

masih jauh dari harapan. Justru banyak

permasalahan kepailitan timbul oleh karena

lemahnya formulasi aturan hukum, secara

khususnya undang-undang kepailitan, karena

terdapat kekaburan norma mengenai syarat-syarat

kepailitan, serta keksosongan norma karena tidak

adanya mekanisme filter penghidaran kepailitan

seperti Insolvency Test dan Reorganisasi

Perusahaan.

Hal-hal tersebut di atas-lah yang semakin

memberikan gambaran betapa penting dan

perlunya perubahan terhadap Undang-undang

Kepailitan Indonesia. Menjadi penting dan perlu

oleh karena perkembangan ekonomi Indonesia

yang cenderung cepat memerlukan dukungan

perangkat hukum memadai serta sekaligus dapat

memenuhi rasa keadilan di dalam masyarakat.

Sehubungan dengan latar belakang di atas

maka menarik untuk dilakukan penelitian serta

kemudian serta menuangkan dalam bentuk artikel

ilmiah yang berjudul : “Pengaturan Pencegahan

Kepailitan Melalui Kombinasi Insolvency Test,

2 ibid

Page 72: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 67

Reorganisasi Perusahaan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang”.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas,

maka dapat dikemukakan rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi pokok utama dalam

pengaturan sistem kombinasi

Insolvency Test, Reorganisasi

Perusahaan dan PKPU?

2. Bagaimana pengaturan pencegahan

suatu perusahaan terjerat kepailitan

dengan sistem kombinasi Insolvency

Test, Reorganisasi Perusahaan dan

PKPU?

Tujuan umum penelitian atas permasalahan

di atas adalah untuk pengembangan ilmu hukum

khususnya di bidang Hukum Kepailitan yang

berkaitan dengan usaha penyelamatan perusahaan

dari jerat kepailitan. Adapun tujuan khusus yang

ingin dicapai sesuai dengan permasalahan yang

dibahas dalam penelitian ini, yakni:

a. Untuk mengetahui mekanisme

pengaturan pencegahan suatu

perusahaan terjerat kepailitan dengan

sistem kombinasi Insolvency Test,

Reorganisasi Perusahaan dan PKPU

dalam upaya penyelamatan suatu

perusahaan dari jerat kepailitan;

b. Untuk memberikan pandangan

mengenai alasan perlunya revisi

terhadap Undang-undang Kepailitan

Indonesia dengan menerapkan sistem

gabungan PKPU dengan insolvency

Test dan Reorganisasi Perusahaan;

Jenis penelitian yang akan digunakan adalah

penelitian hukum normatif (yuridis normatif)

dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian

adalah analisis dari adanya norma kabur dalam

hal sumirnya syarat untuk dapat mengajukan

gugatan kepailitan, serta kekosongan norma oleh

karena tidak adanya perlindungan bagi

perusahaan yang secara finansial masih sehat dari

jerat kepailitan oleh karena ketiadaan suatu sarana

pengujian terlebih dahulu untuk dapat

menentukan apakah suatu perusahaan itu layak

untuk digugat pailit ataukah tidak layak. Salah

satu caranya adalah denga melakukan insolvency

test dengan dikombinasikan PKPU dan

Reorganisasi perusahaan.

II. KERANGKA TEORI

III. Teori Kepailitan: Teori Berdasarkan Nilai

(Value-based Theory)

Donald R. Korobkin3 mengusulkan teori

berbasis nilai ini. Teori berbasis nilai objek

menolak anggapan bahwa debitur hanya sebagai

“kolam aset” belaka, yaitu properti atau benda

mati. Teori ini menekankan bahwa debitur

memiliki kepribadian dan potensi yang dinamis.4

Menurut teori ini, hukum kepailitan merupakan

respon penuh untuk semua masalah yang timbul

dari kesulitan keuangan , tidak hanya ekonomi

tetapi juga moral, politik, pribadi dan sosial.5

Masalah yang timbul dari kesulitan keuangan

yang begitu rumit sehingga jawabannya harus

diserahkan kepada para pihak yang terlibat untuk

menentukan secara bersama jalan keluar dari

permasalahan tersebut. Teori berbasis nilai

menyimpulkan bahwa hukum kepailitan tidak

hanya respon terhadap masalah mengumpulkan

utang , dan tujuan dari hukum kepailitan adalah

untuk mengatasi masalah kesulitan keuangan dan

menciptakan kondisi ideal di mana kondisi

keuangan para pihak mungkin direhabilitasi

menjadi suatu visi yang koheren dan informatif

tentang apa yang mesti dilakukan oleh

perusahaan. Sejalan dengan itu, reorganisasi

dalam hukum kepailitan adalah untuk

merehabilitasi dan membentuk kembali kembali

nilai-nilai dari debitur untuk mencapai suatu

keadaan perusahaan yang lebih baik.

3 Donald R. Korobkin, 1991, “Rehabilitating

Values: A Jurisprudence pf Bankruptcy”,

Columbia Law Review, Vol.91, Mai 1991, No.4,

hal.717 4 Ibid, hal.744 5Ibid, hal. 789

Page 73: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 68

IV. PEMBAHASAN

A. Pengertian Insolvency Test

Masalah Insolvency merupakan hal yang

esensial dalam hukum kepailitan. Pengadilan baru

dapat menjatuhkan putusan pernyataan pailit

apabila debitor berada dalam keadaan insolvensi.

Pentingnya lnsolvensi dalam hukum kepailitan

oleh karena merupakan salah satu syarat

pernyataan pailit di samping Concursus

Creditorum.

Praktek yang umum dalam dunia bisnis

sering menghubungkan antara Insolvency dan

bankruptcy. Praktisi ekonomi sering

menghubungkan atau menganggap Insolvency

sebagai suatu keadaan terbatasnya liability dari

suatu perusahaan. Kata bankruptcy digunakan

untuk mendiskripsikan prosedur Insolvency.6

Menurut Dictionary of Business

Term7, Insolvency diartikan :

1. Ketidaksanggupan untuk memenuhi

kewajiban finansial ketika jatuh waktu

seperti layaknya dalam bisnis; atau

2. Kelebihan kewajiban dibandingkan

dengan asetnya dalam waktu tertentu.

Pengertian insolvency juga dapat ditemukan

dalam kamus hukum. Black‟s Law Dictionary

mengartikan Insolvency sebagai:

The condition of a person who is insolvent;

inability to pay one's debts; lack of means to

pay one's debts. Such a relative condition of

a man's assets and liabilities that the former,

if all made immediately available, would not

be sufficient to discharge the latter. Or the

condition of a person who is unable to pay

his debts as they fall due, or in the usual

course of trade and business.8

(Terjemahan bebasnya: suatu kondisi dari

seseorang yang insolvent; ketidak- mampuan

untuk membayar utang-utang terhadap suatu

6 Barry Cahir et. al., 2003, Insolvency Law;

Professional Practice Guide, Cavedish

Publishing, Ireland, hal.1 7 David L. Scott, 2009, “Insolvency” The

American Heritage Dictionary of Business Term,

Houghton Mifflin Harcourt, Boston, New York,

hal. 1907 8 Henry Campbell Black, 1979,

“Insolvency” Black‟s Law Dictionary, West

Publishing Co., St. Paul Minnasota, hal.

pihak; kurang dalam hal membayar utang-

utangnya. Suatu keadaan yang relatif dari

asset-aset seseorang dan kewajiban-

kewajiban dari yang awal, apabila

keseluruhannya dibuat tersedia segera, tidak

akan mampu untuk melunasi yang

berikutnya. Atau suatu kondisi seseorang

yang tidak dapat membayar utang-utang

sebagaimana telah jatuh tempo, atau dalam

tujuan yang biasa dalam perdagangan dan

bisnis.)

Berikutnya adalah indikasi dan faktor-faktor

penyebab yang dapat mengarahkan suatu

perusahaan untuk kemudian dikategorikan dalam

keadaan insolvent. Yang sudah jelas adalah

keadaan insolvent dapat menjadi indikasi terhadap

perusahaan-perusahaan yang berada dalam

kondisi berhenti membayar utang-utangnya dan

utang-utang tersebut belum lunas. Namun apabila

meminjam teori dalam ilmu ekonomi, dapat

ditemukan ada suatu keadaan perusahaan yang

kemudian sangat memungkinkan sebagai

penyebab perusahaan tersebut menjadi tidak dapat

membayar utang-utangnya dan kemudian

dimasukkan dalam kategori insolvent. Keadaan

tersebut ditandai dengan penurunan tingkat

keuangan perusahaan dan dikenal dengan istilah

Financial Distress. Kondisi financial distress

perusahaan didefinisikan sebagai kondisi di mana

hasil operasi perusahaan tidak cukup untuk

memenuhi (melunasi) kewajiban (utang-utang)

perusahaan (dalam keadaan Insolvency).9

Insolvency dapat dibedakan dalam kategori,

yaitu10

:

1. Technical Insolvency

Jenis ini bersifat sementara dan

munculnya karena perusahaan

kekurangan kas untuk memenuhi

kewajiban-kewajiban jangka pendek.

2. Bankruptcy Insolvency

Jenis ini bersifat lebih serius dan

munculnya ketika total nilai hutang

9 David L. Scott, loc.cit.

10 Steven V. Campbell, 1996, “Predicting

Bankruptcy Reorganization for Closely Held

Firms”, Accounting Horizons, Vol 10, 3, hal.12-

25

Page 74: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 69

melebihi nilai total aset perusahaan atau

nilai ekuitas perusahaan negatif.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan

perusahaan menghadapi financial distress yaitu

antara lain kenaikan biaya operasi, ekspansi

berlebihan, ketinggalan teknologi, kondisi

persaingan, kondisi ekonomi, kelemahan

manajemen perusahaan dan penurunan aktifitas

perdagangan industri. Dalam kondisi ekonomi

yang tidak buruk, kebanyakan perusahaan yang

mengalami financial distress adalah akibat dari

kelemahan manajemen.11

Pengertian “Test” dalam Oxford Dictionary

of English 12

, apabila diartikan sebagai kata

benda, maka diartikan sebagai “a procedure

intended to establish the quality, performance, or

reliability of something, especially before it is

taken into widespread use.” (Terjemahan

bebasnya: suatu prosedur yang dimaksud untuk

menentukan kualitas, kemampuan, atau ketahanan

dari sesuatu, secara khusus sebelum hal tersebut

atau sesuatu tersebut digunakan secara luas.), dan

apabila diartikan dalam hubungannya sebagai

suatu frase, seperti kedudukannya pada istilah

Insolvency Test maka Test diartikan sebagai: “find

out how useful, strong, or effective someone or

something is.” (Terjemahan Bebasnya: “untuk

mengetahui seberapa berguna, kuat, efektif

seseorang atau sesuatu.” Tentunya hal ini

mengenai kata yang menjadi pasangannya dalam

membentuk frasa), dalam hal Insolvency Test

maka dapat diartikan sebagai suatu prosedur

untuk menentukan apakah suatu (perusahaan)

memenuhi unsur-unsur tertentu atau kualifikasi

tertentu untuk dapat dikategorikan masuk dalam

keadaan Insolvent.

Michael Quinn dalam bukunya memberikan

dua hal yang menjadi test atau ujian untuk dapat

11

Ibid. hal .36 12

Anonim, 2010, “Test” Oxford Dictionary

of English, Oxford University Press, United

Kingdom, hal.

memasukkan suatu perusahaan dalam kategori

Insolvent.13

There are two tests for establishing

insolvency:

a) The „cash flow‟ test, which require

showing that the company is unable to

pay its debt as they fall due for

payment; and

b) The „balance sheet‟ test, which

depends on showing that the value of

the company‟s assets is insufficient to

meet its liabilities, including (for

certain statutory purposes) contingent

and prospective liabilities.

(Terjemahan Bebasnya: Ada dua tes atau

ujian untuk menentukan keadaan insolvent:

a) Tes „aliran kas‟, yang mana

mewajibkan untuk menunjukkan

bahwa perusahaan tidak dapat

membayar sebagaimana seharusnya

pembayaran pada saat jatuh tempo;

dan

b) Tes „neraca‟, yang mana tergantung

pada waktu menunjukkan bahwa nilai

aset-aset perusahaan tidak mencukupi

untuk melunasi kewajiban-

kewajibannya, termasuk (untuk tujuan

hukum tertentu) kewajiban yang

sifatnya merupakan kesatuan dan

prospektif.

Pelaksanaan dan penerapan insolvency test

di berbagai Negara memiliki variasi istilah

tersendiri. Salah satu istilah lain yang digunakan

adalah solvency test. Tidak jauh dari tujuan

insolvency test, pada hakekatnya solvency test

merupakan suatu metode pengujian yang identik

hanya saja masing-masing melihat dari sudut

yang berbeda. Insolvency test melihat dari sudut

pandang ketidakmampuan membayar utang,

sedangkan solvency test melihat dari sudut

pandang kemampuan membayar. Metode yang

digunakan sama-sama bisa dipakai oleh keduanya

hanya saja kesimpulan yang ingin dicapai berbeda

secara sudut pandang.

J.B. Heaton dalam tulisannya menjabarkan

mengenai pendekatan-pendekatan yang dapat

digunakan untuk melakukan solvency test.

Menurutnya ada tiga bentuk pendekatan yang

dapat digunakan untuk melakukan solvency test

yaitu:

13

Barry Cahir et. al., Op. Cit., hal.2

Page 75: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 70

a test of whether a firm reasonably can

be expected to pay its debts as they come

due (the ability-to-pay solvency test,

sometimes referred to as cash-flow

solvency or equitable solvency),

a test of whether the fair value of a

firm‟s assets exceed the face value of its

liabilities (the balance-sheet solvency

test, performed on either a going-

concern or liquidation basis), and

a much less well defined test of whether

a firm has adequate capital (the capital-

adequacy solvency test)14

(Terjemahan bebasnya:

tes apakah suatu perusahaan cukup dapat

diharapkan untuk membayar hutangnya

pada saat jatuh tempo (solvency test atau

uji solvabilitas mengenai kemampuan

untuk membayar, kadang-kadang disebut

sebagai uji solvabilitas arus kas atau uji

solvabilitas yang berimbang),

tes apakah nilai wajar aset perusahaan

melebihi nilai nominal kewajiban (uji

solvabilitas neraca, dilakukan pada baik

perusahaan yang masih going concern

atau perusahaan yang pada dasarnya

akan likuidasi), dan

tes yang kurang lebih didefinisikan

sebagai ujian apakah perusahaan

memiliki modal yang memadai (uji

solvabilitas kecukupan modal))

Heaton menambahkan, dalam menerapkan

pendekatan sebagai acuain solvency test tersebut

di atas tidak selalu mudah. Lebih mudah untuk

mendefinisikan daripada menerapkannya dalam

kenyataan. Yang sering kali menjadi pertanyaan

bagi para praktisi hukum adalah apakah ada

metode yang terbaik di antara ketiga jenis

pendekatan tersebut ataupun di luar ketiganya

yang mampu diterapkan, terutama bagi semua

kasus? Jika secara teoritis disimpulkan,

jawabannya adalah tentu saja ada. Yang sering

dianggap merupakan pendekatan yang optimal

adalah pendekatan dengan menggunakan the

ability-to-pay solvency test. Pendekatan ini

dianggap paling mampu menangkap apa yang

menjadi kehendak atau apa yang paling

diharapkan oleh kreditur; dalam hal ini kesesuaian

mengenai piutang mereka yang sudah jatuh tempo

dibandingkan dengan jangka waktu yang

14

J. B. Heaton, 2007, The Bussines Lawyer

Vol.62, Journal Press, London, hal.983

ditetapkan dalam perjanjian. Walaupun demikian,

dalam prakteknya jenis pendekatan lainnya juga

digunakan untuk dapat melengkapi hasil test dari

the ability-to-pay solvency test atau bahkan

digunakan untuk melemahkan kesimpulan hasil

test tersebut. Contohnya, bisa saja dari hasil test

kemampuan membayar dengan melihat jangka

waktu pembayaran dengan keadaan utang yang

sudah jatuh tempo dapat ditarik kesimpulan

bahwa debitur ada dalam keadaan tidak mampu

membayar, namun berdasarkan the balance-sheet

solvency test ternyata debitur tidak mengalami

masalah, malahan mendapatkan profit dalam

usahanya. Berarti permasalahannya bukan pada

kemampuan membayar, mungkin ada

pertimbangan lain atau suatu kesalahan tertentu

dalam manajemen yang memungkinkan hal ini

terjadi.

B. Reorganisasi Perusahaan

Istilah Reorganisasi, dalam bahasa Inggris

disebut Reorganization. Elisabeth Warren dalam

bukunya mengartikan reorganisasi sebagai “a

change in the debt obligation of the business”.15

(Terjemahan bebasnya: suatu perubahan di dalam

ketentuan utang di bidang bisnis). Tentunya

beliau mengartikan reorganization dalam

konteksnya pada Bankuptcy Law.

Pengertian reorganisasi secara umum dapat

ditemukan dalam kamus. Black‟s Law Dictionary

memberikan definisi reorganisasi sebagai: “Act or

process of organizing again or anew.”

(terjemahan bebasnya: usaha atau proses

pengorganisasian kembali atau dengan cara baru).

Lebih jauh lagi Black memberi penjelasan:

As applied to corporations. The carrying

out, by proper agreements and legal

proceedings, of a business plan for winding

up the affairs of or foreclosing a mortgage

or mortgages upon the property of, insolvent

corporations, more frequently railroad

companies. It is usually accomplished by the

judicial sale of the corporate property and

15

Elizabeth Warren, 2008, Essentials

Chapter 11: Reorganizing American Business,

Aspen Publisher, New York, hal.4

Page 76: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 71

franchises, and the formation by the

purchasers of a new corporation. The

property and franchises are thereupon

vested in the new corporation and its stock

and bonds are divided among such of the

parties interested in the old company as are

parties to the reorganization plan.16

(Terjemahan bebasnya: Seperti diterapkan

pada perusahaan. Pelaksanaan, oleh

perjanjian yang tepat dan proses hukum,

dari rencana bisnis untuk penutupan urusan

atau penyitaan hipotek atau hipotek atas

properti, perusahaan bangkrut, lebih sering

perusahaan kereta api. Hal ini biasanya

dilakukan dengan penjualan berdasarkan

keputusan pengadilan terhadap properti

perusahaan dan waralaba, dan pembentukan

oleh pembeli sebuah perusahaan baru.

Properti dan waralaba yang kemudian

dipegang oleh perusahaan baru serta saham

dan obligasinya dibagi antara para pihak

yang berkepentingan dalam perusahaan

lama sebagaimana kedudukannya sebagai

para pihak dalam rencana reorganisasi.)

Penggunaan istilah reorganisasi di Indonesia

sering dipadankan dengan istilah restrukturisasi.

Kedua istilah ini relatif memiliki makna yang

sama. Secara umum, contoh reorganisasi yang

sering dijumpai adalah reorganisasi atau

restrukturisasi utang. Misalnya, sebuah

perusahaan terikat pada suatu utang jangka

panjang selama jangka waktu 5 tahun dengan

bunga 20 persen per tahun, kemudian

direstrukturisasi atau direorganisasikan menjadi

menjadi utang dengan jangka lebih panjang,

misalnya 8 tahun, namun dengan bunga yang

lebih rendah, yaitu 15 persen per tahun, dengan

nilai agunan yang telah diturunkan juga untuk

lebih mendekati nilai asli dari jaminan tersebut.

Secara singkat, reorganisasi oleh Warren

dimaknai sebagai “how to spread around the pain

for a business that cannot repay its debt in full”17

(terjemahan bebasnya: bagaimana untuk membagi

secara merata kesulitan dari bisnis atau usaha

yang tidak dapat membayar kembali utang-

utangnya secara penuh). Maksud dari pernyataan

itu adalah cara yang ditempuh untuk

16

Henry Campbell Black, 1979,

“Reorganization” Black‟s Law Dictionary, West

Publishing Co., St. Paul Minnasota, hal. 17

Elizabeth Warren, loc. cit.

mengompensasikan setiap kesulitan yang

dihadapi dalam bisnis terutama yang timbul

akibat ketidakmampuan membayar kembali

utang-utang melalui cara lain atau jalan lain.

Reorganisasi di dalam tulisan ini bukan

hanya sekedar reorganisasi dalam obligasi atau

perjanjian utang saja, namun lebih luas lagi

mencangkup reorganisasi perusahaan dan tetap

dalam konteks upaya menanggulangi

permasalahan kesulitan dalam pembayaran utang.

Warren membedakan reorganisasi perusahaan

dalam dua jenis yaitu Reorganisasi Finansial dan

Reorganisasi Operasional.

Reorganisasi Finansial berarti restrukturisasi

yang terjadi adalah murni dalam hal keuangan

saja. Warren menyatakan: “That is, the business

operations remain the same, while the debts are

written down or eliminated and stock in the

business is distributed to unpaid creditors.”18

(Terjemahan bebasnya: bahwasanya, operasional

bisnis perusahaan tersebut tetap sama, hanya saja

utang-utangnya diperjanjikan kembali {diatur

ulang} atau dihapuskan dan saham didistribusikan

kepada kreditor yang piutangnya tidak dilunasi).

Jadi, restrukturisasi utang termasuk di dalam

reorganisasi finansial. Tidak hanya restrukturisasi

utang saja yang terjadi, namun juga dapat

dimungkinkan terjadinya kompensasi dan

konversi terhadap utang baik sebagian maupun

keseluruhan yang tidak dapat dilunasi menjadi

saham dalam perusahaan tersebut. Hal ini

dimungkinkan pada suatu perusahaan yang

berpotensi untuk maju dan berkembang, namun

margin keuntungan yang didapatkan masih tidak

mampu untuk menutupi kewajiban angsuran

utang yang harus dibayarnya.

Tentu akan menjadi pilihan atau langkah

penyelamatan yang sangat baik apabila kreditur

ikut ambil bagian dalam kepemilikan saham

perusahaan daripada harus mempailitkan

perusahaan tersebut, yang dampak jangka

18

Elizabeth Warren , loc. cit.

Page 77: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 72

panjangnya malahan tidak baik bagi

perkembangan perusahan, dan juga bagi para

pihak lainnya yang berkepentingan terhadap

perusahaan tersebut. Dengan demikian kreditor

bukan hanya mendapat pelunasan terhadap

piutangnya, melainkan pula dapat memperoleh

keuntungan terkait potensi perusahaan yang

mampu meraih profit dalam usahanya.

Reorganisasi finansial ini sering disebut sebagai

balance sheet reorganization, oleh karena pada

hakekatnya reorganisasi atau restrukturisasi ini

hanya terjadi di atas kertas saja, dan tidak

mengubah operasional harian. Di atas kertas,

hutang dihapus dan di anggaran dasar terjadi

perubahan kepemilikan saham.

Selanjutnya adalah Reorganisasi

Operasional. Dari istilahnya saja sudah dapat

memberikan gambaran bahwa yang

terestrukturisasi adalah baik sebagian ataupun

keseluruhan operasional dari suatu perusahaan.

Warren menyatakan bahwa dalam proses

reorganisasi ini “The debtor will use the breathing

room provided by the protection of bankruptcy to

close or to sell money-losing division, trim excess

staff, refocusing product lines, cut back on the

number of company cars, and so forth.”19

(Terjemahan bebasnya: Debitur akan

menggunakan “ruang bernafas” yang disediakan

melalui perlindungan oleh Kebangkrutan {dalam

konteks Indonesia lebih tepat diartikan “oleh

Lembaga Kepailitan”} untuk menutup atau

menjual divisi yang hanya menghabiskan uang,

mengurangi staf yang tidak perlu, memfokuskan

kembali lini produk, mengurangi jumlah mobil

perusahaan, dan sebagainya).

Mengenai Jenis Reorganisasi Operasional,

Warren menambahkan pendapatnya: “This type of

business reorganization usually produces a

smaller, leaner company with a reduced debt (and

interest) burden, once again able to concentrate

19

Elizabeth Warren , op. cit., hal.5

on the core competence of the business.”20

(terjemahan bebasnya: tipe reorganisasi usaha ini

biasanya menghasilkan suatu perusahaan yang

lebih kecil, lebih ramping dengan beban utang

yang lebih rendah (beserta bunganya), sekaligus

kemudian mampu untuk berkonsentrasi dalam

kompetensi inti dari usahanya).

Berdasarkan kedua jenis reorganisasi ini,

dapat dimunculkan suatu bentuk reorganisasi

lainnya, yaitu Reorganisasi Menyeluruh. Dalam

bahasa inggris dapat diterjemahkan menjadi

General Reorganization. Jenis ini

mengkombinasikan baik itu reorganisasi finansial,

maupun reorganisasi operasional. Jenis ini

sebenarnya yang sering kali akan dibutuhkan oleh

suatu perusahaan. Suatu perusahaan yang

memerlukan reorganisasi, selain mengalami

kelebihan beban oleh karena tanggungan

utangnya, seringkali juga mengalami suatu

kondisi operasional yang kurang optimal. Dengan

demikian, mencermati kebutuhan tiap perusahaan

sangatlah penting, dan ini merupakan kunci

keberhasilan reorganisasi yang akan dilakukan.

C. Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang

Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang (selanjutnya disingkat PKPU) di dalam

sistematika Undang-Undang Kepailitan Nomor 4

Tahun 1998, pengaturannya dimuat pada Bab II

mulai pasal 212 sampai dengan pasal 279

sedangkan dalam sistematika Undang-Undang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang Nomor 37 Tahun 2004

pengaturannya dimuat pada Bab III mulai pasal

222 sampai dengan pasal 264.

PKPU ini dalam bahasa Inggris disebut

dengan Suspension of Payment, atau dalam

bahasa Belanda disebut dengan Sursence van

Betaling. Yang dimaksud dengan PKPU adalah

suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh

undang-undang melalui putusan pengadilan niaga

20

Elizabeth Warren , op. cit., hal.15

Page 78: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 73

di mana dalam periode waktu tersebut kepada

kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk

memusyawarahkan cara-cara pembayaran

hutangnya dengan memberikan rencana

pembayaran (composition plan) terhadap seluruh

atau sebagian hutangnya itu, termasuk apabila

perlu merestrukturisasikan hutangnya tersebut.

Dengan demikian, PKPU merupakan semacam

moratorium, dalam hal ini legal moratorium.21

Maksud PKPU pada umumnya adalah untuk

mengajukan rencana perdamaian yang meliputi

tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang

kepada kreditur konkuren. Tujuan PKPU adalah

untuk memungkinkan seorang debitur

meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran

pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.22

Dengan adanya penundaan pembayaran,

maka dapat terjadi beberapa kemungkinan.23

a) Piutang – piutang para kreditur akan

dibayar / dapat dibayar seluruhnya oleh

debitur.

b) Pembayaran piutang kreditur itu dilunasi

sebagian melalui pemberesan tahap demi

tahap;

c) Suatu perdamaian di bawah tangan;

d) Pengesahan perdamaian apabila terjadi

perdamaian yang lazim disebut

gerechteljke accord atau dwang acoord;

e) Penyataan pailit, apabila tujuan yang

hendak dicapai dengan pengunduran

pembayaran itu tidak tercapai.

D. PKPU di Indonesia dibandingkan

dengan Reorganisasi di Amerika

Reorganisasi perusahaan berbeda dengan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(PKPU), dimana tujuan dari reorganisasi adalah

21

R. Anton Suyatno, 2012, Pemanfaatan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

Kencana Predana Media Group, Jakarta, hal. 46 22

Rahayu Hartini, 2002, Hukum Kepailitan,

Diretorat Jenderal Pendidikan Tinggi,

Departemen Pendidikan Nasional, hal. 17 23

Zainal Asikin, 1994, Hukum Kepailitan

Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 97-98.

untuk menyelamatkan perusahaan yang mana

jangkauannya lebih luas dalam artian tidak hanya

dalam restrukturisasi utang tapi juga dalam hal

penyehatan manajemen.

Sedangkan konteks dari Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) hanyalah

dalam hal restrukturisasi finansial atau

restrukturisasi utang saja. Sesuai dengan

namanya, maka dengan tundaan pembayaran,

kewajiban membayar semua hutang tetap saja

ada, tetapi untuk sementara ditunda. Ini sebabkan

adanya beberapa alasan sehingga untuk sementara

pembayaran hutang tidak dapat dilaksanakan.

Tetapi, ada perhitungan yang reasonable, bahwa

suatu masa kelak hutang tersebut akan dapat

dilunasi lagi. Misalnya terjadinya musibah berupa

force majeure, yang menyebabkan debitur untuk

sementara tidak sanggup membayar hutang.24

Dalam hal ini dapat kita perbandingkan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di

Indonesia dengan Reorganisasi Perusahaan di

Amerika Serikat :

1. Jangka waktu yang realistis

Jangka waktu yang diberikan oleh

Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia

untuk reorganisasi perusahaan debitur

(Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang /

PKPU) adalah 270 hari dengan ketentuan

PKPU Sementara 45 hari dan PKPU tetap

270 hari.

Bankruptcy Code (Undang-Undang

Kepailitan Amerika Serikat memberik

waktu 120 hari dan 180 hari bagi debitur

hak ekslusif khusus untuk membuat rencana

reorganisasi. Periode ini masih bisa

diperpanjang oleh pengadilan berdasarkan

alasan-alasan yang logis mengingat

kepentingan reorganisasi debitur. Adalah hal

24

Munir Fuandy, 2005, Hukum Pailit dalam

Teori dan Praktik (Edisi Revisi Disesuaikan

dengan UU Nomor 37 Tahun 2004, Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal. 197.

Page 79: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 74

yang tidak realistis dan memberi kesan

terburu-buru karena debitur dipaksa oleh

undang-undang bahwa selama 270 hari

harus telah ada kesepakatan antara debitur

dan kreditur mengenai PKPU sehingga

pengadilan dapat melegitimasi kesepakatan

tersebut melalui putusan Pengadilan Niaga.

Sementara dalam Restrukturisasi Perbankan

jumlah waktu yang cukup lama diperlukan

oleh auditor dari luar untuk meneliti

portofolio sejumlah bak bermasalah yang

dipinjamkan kepada mereka untuk

kepentingan BPPN.25

2. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(PKPU) di Indonesia adalah organisasi yang

minus refinancing.26

Reorganisasi perusahaan bertujuan agar

perusahaan yang berada dalam keadaan

“sakit” disehatkan kembali. Berarti

seharusnya yang menjadi sentral adalah

penyehatan struktural modal yang bertujuan

untuk menyehatkan perusahaan

(refinancing). PKPU tidak menyentuh

perolehan tentang bagaimana rencana

perusahaan debitur untuk memperkuat

struktur modal, karena UU Kepailitan

Indonesia hanya membatasi pengertian

reorganisasi perusahaan sebagai upaya

penjadwalan kembali pembayran hutang

kepada kreditur. Reorganisasi perusahaan di

Amerika Serikat justru berbeda, sebab

reorganisasi perusahaan memang efektif

diarahkan untuk menyehatkan permodalan

dari perusahaan debitur yang sedang “sakit”.

Uang tunai jelas mengubah struktur modal

25

Masyhud Ali, 2002, Restrukturisasi

perbankan & Dunia Usaha. Elex Media

Komputindo, Jakarta, hal 136. 26

Herbert, 2003, Reorganisasi Perusahaan

Dalam Kepailitan. Tesis Pasca Sarjana Ilmu

Hukum, Perpustakaan Universitas Sumater Utara,

Medan, hal 105.

perusahaan sehingga roda bisnis dapat

diputar kembali.27

3. Posisi relatif kreditur

UU Kepailitan Indonesia

memprioritaskan dunia kreditur hanya pada

kreditur terjamin dan kreditur tidak terjamin.

Dalam hubungan antara kreditur struktur

komite kreditur terbatas pada kreditur

konkuren. Oleh karenanya proses PKPU di

Indonesia cenderung untuk menyamaratakan

kepentingan seluruh kreditur. Sebagai

pertandingan, reorganisasi perusahaan di

Amerika Serikat justru diharuskan agar

kreditur dibagi dalam kelas-kelas

kepentingan dari kelas yang paling senior

sampai pada kelas yang paling junior.

4. Pengajuan rencana reorganisasi perusahaan

Menurut UU Kepailitan, Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) hanya

bisa diajukan oleh debitur, atau tidak bisa

diajukan oleh kreditur. Ketentuan ini berbeda

dengan Banruptcy Code yang memuat

bahwa, hak eksklusif debitur untuk

mengajukan rencana reorganisasi

perusahaannya ke pengadilan selama perode

120 hari dan 180 hari. Akan tetapi apabila

tenggang waktu 120 hari dan 180 hari debitur

telah lewat, hak eksklusif debitur gugur maka

kreditur berhak mengajukan rencana

reorganisasi ke pengadilan.

E. Pembaharuan Peraturan Kepailitan

Sebagai Usaha Peningkatan

Perekonomian Indonesia

Berlakunya peraturan perundang-undangan

di Indonesia dalam hal ini secara khusus UU

Kepailitan dan PKPU memiliki tujuan. Pada awal

peraturan kepailitan yang ada tentunya sudah

tidak dapat mengikuti perkembangan ekonomi

masyarakat yang terus berkembang sehingga

dilakukan perubahan. Contoh yang paling nyata

27

Thomas H. Jackson, 2005, The Logic and

Limis of Bankrupcy Law, Harvard University

Press, hal 243.

Page 80: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 75

terlihat dalam pengaturan Undang-Undang No.4

Tahun 1998 tentang Kepailitan yang mana tujuan

pembuatannya adalah untuk mempercepat proses

penyelesaian utang perusahaan yang insolvent

terkait krisis moneter yang dialami Indonesia.

Karena tujuannya adalah mempercepat karena

banyak sekali perusahaan yang bangkrut pada

waktu itu, maka pengaturannya pun menggunakan

dua variabel sebagai acuan mempailitkan, yakni

adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat

ditagih, serta adanya lebih dari satu kreditur. Pada

waktu itu memang jenis pengaturan seperti ini

yang dibutuhkan, karena keadaan ekonomi dan

perusahaan-perusahaan pada waktu itu dapat

dikatakan sangat tidak stabil.

Indonesia saat ini terus berkembang,

terutama di bidang ekonomi dan bisnis. Hanya

saja dalam hal hukum kepailitan walaupun telah

diundangkan Undang-undang terbaru yakni

Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, namun ternyata variabel yang

digunakan sebagai acuan untuk dapat

memailitkan suatu entitas masih tidak berubah

dan hanya dua itu saja. Hal ini tentu tidak sesuai

dengan keadaan ekonomi Indonesia saat ini yang

sedang berkembang maju dengan pesat. Terlalu

sederhana dan sedikitnya variabel sebagai

pertimbangan untuk dapat memailitkan suatu

entitas justru berakibat tidak baik bagi

perkembangan ekonomi Indonesia. Ini sama saja

dengan menutup mata terhadap proyeksi

kemampuan dan potensi masa depan suatu entitas

yang hendak dipailitkan. Entah ia mampu

berkembang di kemudian hari ataupun tidak

seakan-akan oleh Undang-undang Kepailitan dan

PKPU tidak dianggap. Asalkan memenuhi syarat

maka dapat dijatuhkan putusan pailit.

Sistem kombinasi yang ditawarkan dalam

penelitian ini diharapkan mampu menjadi solusi

dari permasalahan pengaturan perundang-

undangan kepailitan yang sekatrang berlaku di

Indonesia. Siatem kombinasi ini diharapkan

mampu memberikan iklim usaha yang lebih baik

di Indonesia yang berimbas pada kemajuan

ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Berdasarkan penelitian ini maka dapat

disimpulkan bahwa hal yang menjadi

pokok utama dalam pengaturan sistem

kombinasi sebagaimana dimaksud

adalah pengaturan sebagai upaya

pencegahan suatu perusahaan

dipailitkan dengan melihat potensi

serta kemampuan perusahaan yang

sedang mangalami kesulitan keuangan

dan terancam dipailitkan tersebut

untuk dapat bangkit lagi di masa

depan. Sistem ini memberikan

kesempatan baru pula bagi suatu

perusahaan untuk dapat berbenah dan

secara tidak langsung membantu

perekonomian Negara karena

perusahaan adalah salah satu roda

penggerak perekonomian Negara.

2. Pengaturan pencegahan suatu

perusahaan terjerat kepailitan dengan

sistem kombinasi Insolvency Test,

Reorganisasi Perusahaan dan PKPU

dapat dilakukan dengan mekanisme

sebagai berikut. Tahap awal sebagai

penyaring setiap permohonan pailit

yang masuk pengadilan niaga adalah

dengan Insolvency Test; dilakukan

dengan memeriksa persyaratan

ketentuan pailit menurut Undang-

undang kemudian menerapkan tiga

jenis test untuk menentukan status

keuangan perusahaan yaitu The Ability

to Pay Solvency Test yang merupakan

ujian mengenai kemampuan

membayar Debitur, The Balance Sheet

Page 81: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 76

test yaitu pengujian terhadap rasio

perbandingan antara total

utang/kewajiban dengan total aset

Debitur, dan The Capital Adequacy

test dengan melihat proyeksi nilai

saham perusahaan di masa depan.

Selanjutnya berdasarkan hasil

Insolvency Test maka ditentukanlah

apakah suatu perusahasan yang

dimohonkan pailit perlu untuk

melakukan reorganisasi perusahaan

atau cukup dengan moratorium atau

restrukturisasi utang yaitu dengan

melalui PKPU.

B. Saran

1. Bagi pemerintah hendaknya segera

melakukan revisi terhadap Undang-

Undang Kepailitan dan PKPU karena

sudah tidak mampu lagi mengimbangi

perkembangan ekonomi negara yang

terus maju; agar Undang-Undang

Kepalitan dapat menjadi alat

mempermudah kemajuan ekonomi.

2. Bagi Debitur hendaknya secara proaktif

melakukan upaya penyelamatan

perusahaannya apabila mengalami

kesulitan keuangan terutama pemenuhan

kewajiban seperti pembayaran utang

agar tidak perlu mengalami proses

kepailitan yang dapat berakibat buruk

bagi masa depan perusahaan ataupun

bisnisnya,

3. Bagi Kred itur hendaknya t idak

menggunakan celah hukum

dalam Undang - Undang

Kepail i tan dan PKPU sebagai

cara untuk mendapatkan

keuntungan dar i Debitur karena

sebenarnya yang mendapat

imbasnya pada jangka panjang

adalah masyasrakat yang

kemudian lebih jauh lagi

ber imbas pada kemunduran

sektoe ekono mi negara.

DAFTAR BACAAN

Buku:

Anonim, 2010, Oxford Dictionary of English, Oxford University Press, United Kingdom

Ali, Masyhud, 2002, Restrukturisasi perbankan & Dunia Usaha. Elex Media Komputindo, Jakarta

Black, Henry Campbell, 1979, Black‟s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul Minnasota.

Cahir, Barry et. al., 2003, Insolvency Law; Professional Practice Guide, Cavedish Publishing, Ireland

Asikin, Zainal 1994, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, RajaGrafindo

Persada, Jakarta

Scott, David L., 2009, The American Heritage Dictionary of Business Term, Houghton Mifflin Harcourt,

Boston, New York

Heaton, J.B., 2007, The Bussines Lawyer Vol.62, Journal Press, London

Warren, Elizabeth, 2008, Essentials Chapter 11: Reorganizing American Business, Aspen Publisher, New

York

Suyatno, R. Anton, 2012, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kencana Predana

Media Group, Jakarta

Hartini, Rahayu, 2002, Hukum Kepailitan, Diretorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan

Nasional

Fuady, Munir, 2005, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik (Edisi Revisi Disesuaikan dengan UU Nomor

37 Tahun 2004, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Herbert, 2003, Reorganisasi Perusahaan Dalam Kepailitan. Tesis Pasca Sarjana Ilmu Hukum,

Perpustakaan Universitas Sumater Utara, Medan

Jackson, Thomas H., 2005, The Logic and Limis of Bankrupcy Law, Harvard University Press

Majalah:

Campbell, Steven V., 1996, “Predicting Bankruptcy Reorganization for Closely Held Firms”, Accounting

Horizons, Vol 10, 3

Page 82: Jurnal ilmiah m kn unud edisi 10 oktober 2014

Jurnal I lmiah Prodi Magister Kenotar iatan, 2013 -2014 Page 77

Korobkin, Donald R., 1991, “Rehabilitating Values: A Jurisprudence pf Bankruptcy”, Columbia Law

Review, Vol.91, No.4

Internet:

James Purba, sebagaimana dikutip dari Hukumonline.com, available from: URL:

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50909c2cd78cd/revisi-uu-kepailita n--untuk-lindungi-

debitor

*****