JURNAL

17
1. Pendahuluan Perkembangan teknologi bahan dan rekayasa mikroteknologi telah mendorong perubahan yang sangat besar terhadap pengunaan material khususnya baja dalam dunia industri. Seiring dengan perkembangan yang ada maka dibutuhkan baja dengan sifat dan karakteristik yang sesuai terhadap kondisi pada saat diaplikasikan. Oleh karena itu diperlukan baja dengan karakteristik kuat dan tangguh. Baja karbon sedang sebagai bahan yang dipakai untuk pembuatan mata pisau pemanen sawit yang dibuat secara konvensional masih memiliki banyak kelemahan. Seperti yang telah diketahui bahwa cukup banyak kekurangan dari mata pisau pemanen sawit yang dibuat dipasaran, terutama pada kekerasannya yang tidak merata, hal ini dikarenakan proses yang digunakan adalah hammering. Hammering menggunakan palu yang PENGARUH PENGEROLAN PRA PEMANASAN DIBAWAH TEMPERATUR REKRISTALISASI DAN TINGKAT DEFORMASI TERHADAP KEKERASAN DAN KEKUATAN TARIK SERTA STRUKTUR MIKRO BAJA KARBON SEDANG UNTUK MATA PISAU PEMANEN SAWIT Fuad Affiz Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara ABSTRAK Proses pengerolan pra pemanasan dibawah temperatur rekristalisasi adalah proses pembentukan yang dilakukan dibawah temperatur rekristalisasi logam yang mendapatkan pemanasan awal, dimana baik ukuran maupun bentuk dari logam tidak dapat kembali ke bentuk semula. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati pengaruh perlakuan pengerolan pra pemanasan dibawah temperatur rekristalisasi dan tingkat deformasi terhadap sifat mekanis bahan seperti kekerasan, kekuatan tarik, dan struktur mikro bahan. Mengetahui hubungan dan pengaruh ukuran butir terhadap sifat mekanis bahan. Melihat apakah baja karbon sedang yang telah diproses dengan perlakuan pengerolan pra pemanasan dibawah temperatur rekristalisasi memiliki sifat mekanis lebih baik dari bahan awal (raw material) tanpa perlakuan apapun. Perbaikan sifat mekanis baja karbon sedang untuk mata pisau pemanen sawit ini dilakukan dengan metode deformasi plastis menyeluruh dengan teknik pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi. Pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi dilakukan pada temperatur 600°C, 625°C, 650°C, 675°C dan 700°C dengan tingkat deformasi 5%, 10%, 15% dan 20% berurutan. Hasil pengujian sifat mekanis memperlihatkan bahwa nilai kekerasan optimum adalah 299 BHN pada suhu 650°C dengan tingkat deformasi 10%. Hasil pengujian tarik optimum diperoleh tegangan batas sebesar 1025,2 MPa dan tegangan luluh 688,9 MPa pada proses pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi pada suhu 600°C dengan tingkat

Transcript of JURNAL

Page 1: JURNAL

1. PendahuluanPerkembangan teknologi bahan dan rekayasa

mikroteknologi telah mendorong perubahan yang sangat besar terhadap pengunaan material khususnya baja dalam dunia industri. Seiring dengan perkembangan yang ada maka dibutuhkanbaja dengan sifat dan karakteristik yang sesuai terhadap kondisi pada saat diaplikasikan. Oleh karena itu diperlukan baja dengan karakteristik kuat dan tangguh.

Baja karbon sedang sebagai bahan yang dipakai untuk pembuatan mata pisau pemanen sawit yang dibuat secara konvensional masih memiliki banyak kelemahan. Seperti yang telah diketahui bahwa cukup banyak kekurangan dari mata pisau pemanen sawit yang dibuat dipasaran, terutama pada kekerasannya yang tidak merata, hal ini dikarenakan proses yang digunakan adalah hammering. Hammering menggunakan palu yang

dipukul dengan tenaga manusia, oleh sebab itu tidak bisa diukur secara pasti gaya yang dilakukan. Pengerjaan mata pisau pemanen sawit secara konvensional dilakukan 2 orang atau lebih, yang berbeda-beda gaya yang diberikan (tenaga) untuk memukul (memberikan tekanan) benda kerja dengan hammer, juga sifat ketangguhannya yang masih rendah yang menyebabkan sering patah/lecet nya permukaan mata pisau sehingga umur pakai lebih singkat. Maka hal inilah yang mendasari dilakukannya penelitian untuk meningkatkan sifat mekanis baja karbon sedang sebagai bahan untuk mata pisau pemanen sawit.

Untuk mendapatkan sifat mekanis baja yang baik, maka dikembangkan baja dengan penambahan unsur paduan seperti silicon, mangan, chromium, nickel, aluminium, copper, vanadium dan sebagainya. Hal ini efektif dalam perbaikan sifat mekanis baja, hanya saja memberi dampak

PENGARUH PENGEROLAN PRA PEMANASAN DIBAWAH TEMPERATUR REKRISTALISASI DAN TINGKAT DEFORMASI

TERHADAP KEKERASAN DAN KEKUATAN TARIK SERTA STRUKTUR MIKRO BAJA KARBON SEDANG UNTUK MATA

PISAU PEMANEN SAWIT

Fuad AffizDepartemen Teknik Mesin Fakultas Teknik

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Proses pengerolan pra pemanasan dibawah temperatur rekristalisasi adalah proses pembentukan yang dilakukan dibawah temperatur rekristalisasi logam yang mendapatkan pemanasan awal, dimana baik ukuran maupun bentuk dari logam tidak dapat kembali ke bentuk semula. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati pengaruh perlakuan pengerolan pra pemanasan dibawah temperatur rekristalisasi dan tingkat deformasi terhadap sifat mekanis bahan seperti kekerasan, kekuatan tarik, dan struktur mikro bahan. Mengetahui hubungan dan pengaruh ukuran butir terhadap sifat mekanis bahan. Melihat apakah baja karbon sedang yang telah diproses dengan perlakuan pengerolan pra pemanasan dibawah temperatur rekristalisasi memiliki sifat mekanis lebih baik dari bahan awal (raw material) tanpa perlakuan apapun. Perbaikan sifat mekanis baja karbon sedang untuk mata pisau pemanen sawit ini dilakukan dengan metode deformasi plastis menyeluruh dengan teknik pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi. Pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi dilakukan pada temperatur 600°C, 625°C, 650°C, 675°C dan 700°C dengan tingkat deformasi 5%, 10%, 15% dan 20% berurutan. Hasil pengujian sifat mekanis memperlihatkan bahwa nilai kekerasan optimum adalah 299 BHN pada suhu 650°C dengan tingkat deformasi 10%. Hasil pengujian tarik optimum diperoleh tegangan batas sebesar 1025,2 MPa dan tegangan luluh 688,9 MPa pada proses pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi pada suhu 600°C dengan tingkat deformasi 5%. Korelasi ukuran butir terhadap sifat mekanis yaitu kekerasan berbanding terbalik, dimana semakin kecil ukuran butir maka bahan akan semakin keras. Sedangkan untuk hubungan antara ukuran butir dan kekuatan tarik berbanding lurus, dimana semakin besar ukuran butir maka kekuatan bahan akan semakin meningkat. Pengaruh pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi yang dilakukan, dimana sifat mekanisnya masih dibawah sifat mekanis bahan baku sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi menurunkan sifat-sifat mekanis bahan.

Keywords: Pengerolan Dibawah Temperatur Rekristalisasi, Baja Karbon Sedang, Sifat Mekanis,Diameter Butiran.

Page 2: JURNAL

pada biaya produksi yang tinggi. Penguatan logam yang berdampak terhadap peningkatan sifat mekanik dapat terjadi dengan berbagai cara, antara lain dengan mekanisme pengerasan regangan (strain hardening), larutan padat, fasa kedua, prespitasi, dispersi, penghalusan butir dan tekstur.

Beberapa tahun belakangan ini telah dikembangkan metode lain untuk mendapatkan sifat mekanis yang baik tanpa menambahkan unsur paduan yaitu dengan metode deformasi plastis menyeluruh (Severe Plastic Deformation). Proses deformasi plastis menyeluruh adalah proses pembentukan logam dimana regangan plastis yang diberikan kepada logam atau material yang diproses sangat besar sehingga menghasilkan butir yang halus (ultra fine grain).

Proses deformasi yang dilakukan antara lain dapat dilakukan dengan cara pengerjaan panas maupun dingin. Proses deformasi dengan cara pengerolan memberikan pengaruh terhadap kekerasan yang merata pada mata pisau pemanen sawit. Dalam proses pengerolan maka material yang melalui alat pengerol akan memiliki kekerasan yang merata karena pada saat mengerol tekanan pada tiap titik akan sama. Dalam hal ini proses pengerolan akan lebih unggul dalam kekerasan yang merata, berbeda dengan cara pengerjaan konvensional yang kekerasannya belum tentu rata akibat dari gaya yang berbeda-beda.

Temperatur rekristalisasi yaitu, perubahan struktur kristal akibat pemanasan pada suhu kritis diamana untuk suhu kritis pada baja karbon adalah pada 723°C, sehingga dapat diartikan lebih lanjut bahwa temperatur rekristalisasi adalah suatu proses dimana butir logam yang terdeformasi digantikan oleh butiran baru yang tidak terdeformasi yang intinya tumbuh sampai butiran asli termasuk didalamnya.

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk peningkatan sifat mekanis dari baja karbon sedang. Peneliti mencoba untuk melakukan proses pengerolan dingin dibawah suhu rekristalisasi. Maka dengan peralatan yang ada peneliti melakukan pengerolan dingin dibawah suhu rekristalisasi dengan rentang suhu 600°C hingga 700°C dan dengan tingkatan deformasi sebesar 5% - 20%.

Dalam penelitian ini, yang menjadi batasan masalahadalah hubungan dan pengaruh perubahan sifat mekanis terhadap diameter butir material dalam skala mikro. Adapun pembatasan masalah pada skripsi ini yaitu: 1. Material yang digunakan adalah baja karbon

sedang yang merupakan bahan yang digunakan sebagai per belakang mobil (per daun) yang dijual di pasaran yang diaplikasikan pada mata pisau pemanen sawit.

2. Pemanasan awal pada suhu 600°C, 625°C, 650°C, 675°C dan 700°C selama 1 jam dengan tingkat deformasi 5%, 10%, 15% dan 20%.

3. Pengujian sifat mekanis setelah dilakukan proses pengerolan diabawah temperatur

rekristalisasi meliputi uji kekerasan dalam skala brinell dan uji tarik.

4. Pengamatan struktur mikro setelah dilakukan proses pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi.

2. Tinjauan Pustaka2.1. Baja

Baja adalah logam paduan antara besi (Fe) dan karbon (C), dimana besi sebagai unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon dalam baja berkisar antara 0,1% hingga 1,7% sesuai tingkatannya. Dalam proses pembuatan baja akan terdapat unsur-unsur lain selain karbon yang akan tertinggal di dalam baja seperti mangan (Mn), silikon (Si), kromium (Cr), vanadium (V), dan unsur lainnya.

Berdasarkan komposisi dalam prakteknya baja terdiri dari beberapa macam yaitu: Baja Karbon ( Carbon Steel ), dan Baja Paduan ( Alloy Steel )

2.2. Klasifikasi BajaBerdasarkan tinggi rendahnya presentase

karbon di dalam baja, baja karbon diklasifikasikan sebagai berikut:1. Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel)

mengandung karbon antara 0,10 s/d 0,30 %. Baja karbon ini dalam perdagangan dibuat dalam plat baja, baja strip dan baja batangan atau profil.

2. Baja Karbon Menengah (Medium Carbon Steel) mengandung karbon antara 0,30% - 0,60% C. Baja karbon menengah ini banyak digunakan untuk keperluan alat-alat perkakas bagian mesin. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung dalam baja maka baja karbon ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk keperluan industri kendaraan, roda gigi, pegas dan sebagainya.

3. Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steel) mengandung kadar karbon antara 0,60% - 1,7% C dan setiap satu ton baja karbon tinggi mengandung karbon antara 70 – 130 kg. Baja ini mempunyai tegangan tarik paling tinggi dan banyak digunakan untuk material tools. Salah satu aplikasi dari baja ini adalah dalam pembuatan kawat baja dan kabel baja. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung didalam baja maka baja karbon ini banyak digunakan dalam pembuatan pegas, alat-alat perkakas seperti: palu, gergaji atau pahat potong. Selain itu baja jenis ini banyak digunakan untuk keperluan industri lain seperti pembuatan kikir, pisau cukur, mata gergaji dan lain sebagainya.

2.3. Sifat Mekanik BajaSifat mekanik suatu bahan adalah kemampuan

bahan untuk menahan beban-beban yang dikenakan padanya. Beban-beban tersebut dapat berupa beban tarik, tekan, bengkok, geser, puntir, atau beban kombinasi.

Page 3: JURNAL

Sifat-sifat mekanik yang terpenting antara lain :1. Kekuatan (strength) menyatakan kemampuan

bahan untuk menerima tegangan tanpa menyebabkan bahan tersebut menjadi patah. Kekuatan ini ada beberapa macam, dan ini tergantung pada beban yang bekerja antara lain dapat dilihat dari kekuatan tarik, kekuatan geser, kekuatan tekan, kekuatan puntir, dan kekuatan bengkok.

2. Kekerasan (hardness) dapat didefenisikan sebagai kemampuan bahan untuk bertahan terhadap goresen, pengikisan (abrasi), penetrasi. Sifat ini berkaitan erat dengan sifat keausan (wear resistance). Dimana kekerasan ini juga mempunyai korelasi dengan kekuatan.

3. Kekenyalan (elasticity) menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk yang permanen setelah tegangan dihilangkan. Bila suatu bahan mengalami tegangan maka akan terjadi perubahan bentuk. Bila tegangan yang bekerja besarnya tidak melewati suatu batas tertentu maka perubahan bentuk yang terjadi bersifat sementara, perubahan bentuk ini akan hilang bersamaan dengan hilangnya tegangan, akan tetapi bila tegangan yang bekerja telah melampaui batas, maka sebagian bentuk itu tetap ada walaupun tegangan telah dihilangkan. Kekenyalan juga menyatakan seberapa banyak perubahan bentuk yang permanen mulai terjadi, dengan kata lain kekenyalan menyatakan kemampuan bahan untuk kembali ke bentuk dan ukuran semula setelah menerima beban yang menimbulkan deformasi.

4. Kekakuan (stiffness) menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan/beban tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk (deformasi) atau defleksi. Dalam beberapa hal kekakuan ini lebih penting daripada kekuatan.

5. Plastisitas (plasticity) menyatakan kemampuan bahan untuk mengalami sejumlah deformasi plastis yang permanen tanpa mengakibatkan terjadinya kerusakan. Sifat ini sangat diperlukan bagi bahan yang akan diproses dengan berbagai proses pembentukan seperti, forging, rolling, extruding dan sebagainya. Sifat ini sering juga disebut sebagai keuletan/kekenyalan (ductility). Bahan yang mampu mengalami deformasi plastis yang cukup tinggi dikatakan sebagai bahan yang mempunyai keuletan / kekenyalan tinggi, dimana bahan tersebut dikatakan ulet / kenyal (ductile). Sedang bahan yang tidak menunjukan terjadinya deformasi plastis dikatakan sebagai bahan yang mempunyai keuletan rendah atau dikatakan getas / rapuh (brittle).

6. Ketangguhan (toughness) menyatakan kemampuan bahan untuk menyerap sejumlah energi tanpa mengakibatkan terjadinya kerusakan. Juga dapat dikatakan sebagai

ukuran banyaknya energi yang diperlukan untuk mematahkan suatu benda kerja, pada suatu kondisi tertentu. Sifat ini dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga sifat ini sulit untuk diukur.

7. Kelelahan (fatigue) merupakan kecenderungan dari logam untuk patah apabila menerima tegangan berulang-ulang (cyclic stress) yang besarnya masih jauh dibawah batas kekuatan elastisitasnya. Sebagian besar dari kerusakan yang terjadi pada komponen mesin disebabkan oleh kelelahan. Karenanya kelelahan merupakan sifat yang sangat penting tetapi sifat ini juga sulit diukur karena sangat banyak faktor yang mempengaruhinya.

8. Keretakan (creep) merupakan kecenderungan suatu logam mengalami deformasi plastis yang besarnya merupakan fungsi waktu, pada saat bahan tersebut menerima beban yang besarnya relatif tetap.

2.4. Mekanisme Penguatan LogamPenguatan logam yang berdampak terhadap

peningkatan sifat mekanik dapat terjadi berbagai cara, antara lain dengan mekanisme pengerasan regangan (strain hardening), larut-padat, fasa kedua, prespitasi, dispersi, penghalusan butir dan tekstur.1. Pengerasan regang (strain hardening)

Penguatan melalui mekanisme pengerasan regangan dapat terjadi terhadap semua logam akibat proses deformasi plastis yang menyebapkan terjadinya peningkatan kerapatan dislokasi. Dislokasi yang semakin rapat mengakibatkan dislokasi itu sendiri semakin sukar bergerak sehingga bahan semakin kuat atau keras.

2. Larut padat Penguatan mekanisme larut padat terjadi akibat adanya atom-atom asing yang larut padat baik secara subtitusi maupun interstisi. Atom asing yang larut padat tersebut dapat berupa unsur pemadu dalam bentuk paduan maupun inklusi berupa atom pengotor. Kelarutan atom-atom asing ini dalam bentuk larut padat mengakibatkan timbulnya medan tegangan yang berdampak terhadap pergerakan dislokasi. Pergerakan dislokasi semakin sukar dengan timbulnya medan tegangan sehingga mengakibatkan logam menjadi lebih kuat atau keras.

3. Fasa kedua Penguatan atau pengerasan dapat pula terjadi melalui mekanisme fasa kedua karena timbulnya senyawa fasa paduan. Pembentukan senyawa fasa kedua dalam paduan terjadi karena penambahan unsur paduan yang melampaui batas larut padat. Senyawa fasa yang terbentuk relatif bersifat keras dan pergerakan dislokasi cenderung akan terhambat oleh fasa kedua tersebut. Pergerakan dislokasi yang terhambat oleh fasa kedua akan memperkuat dan memperkeras logam.

Page 4: JURNAL

4. Prespitasi Pengerasan logam dapat juga ditingkatkan dengan proses prespitasi yaitu pengerasan melalui partikel endapan fasa yang halus dan menyebar. Distribusi prespitat dalam bentuk partikel endapan fasa kedua ini menimbulkan tegangan dalam (internal sress). Tegangan yang ditimbulkan semakin besar sehingga mengakibatkan semakin meningkatnya kekuatan atau kekerasan. Pengerasan presipitasi ini terjadi melalui proses perlakuan panas, quenching dan aging. Paduan logam dalam bentuk dua fasa atau lebih dipanaskan pada suhu tertentu sehingga senyawa fasa tersebut akan larut-padat dalam satu fasa yang relatif homogen. Fasa yang relatif homogen tersebut kemudian didinginkan secara cepat sehingga membentuk fasa larut-padat super jenuh. Fasa larut-padat super jenuh tersebut kemudian mengalami aging sehingga terbentuk presipitat berupa partikel endapan fasa kedua yang halus dan tersebar merata yang mengakibatkan bahan menjadi keras. Pengerasan presipitasi ini akan menurun kekuatannya bila mengalami suhu overaging.

5. Dispersi Penguatan logam tanpa pengaruh suhu overaging dapat dilakukan dengan metode dispersi. Pengerasan dispersi merupakan pengerasan melalui proses memasukkan partikel-partikel dispersi dalam bentuk serbuk yang tercampur secara homogen. Partikel dispersi yang digunakan merupakan partikel yang sama sekali tidak larut dalam matriknya. Campuran serbuk logam tersebut dikenai proses kompaksi dan sintering dengan suhu pemanasan sampai mendekati titik cair logam matrik sehingga mengakibatkan terjadi ikatan yang kuat. Partikel dispersi tersebut merupakan rintangan bagi gerakan dislokasi dan semakin banyak partikel akan semakin banyak terjadinya dislokasi. Dislokasi yang semakin banyak mengakibatkan dislokasi semakin rapat dan semakin sulit bergerak sehingga bahan akan semakin keras.

6. Penghalusan butir dan tekstur Penguatan dengan cara penghalusan butir (grain refining) terjadi melalui struktur butir. Butir logam merupakan kumpulan sel-satuan yang berorientasi sama. Polikristal memiliki butir-butir yang orientasinya berbeda satu dengan yang lain. Pada saat deformasi terjadi, dislokasi akan bergerak pada bidang slip dan berusaha mencapai permukaan luar. Oleh karena orientasi setiap butir berbeda dengan yang lain, orientasi bidang slip pada butir-butir juga akan berbeda-beda. Sebagai akibatnya pergerakan dislokasi akan terhambat. Gerakan dislokasi yang akan menyeberangi batas butir memerlukan tegangan yang lebih besar sehingga dengan demikian batas butir akan menjadi penghalang dan penghambat gerakan dislokasi. Struktur

butir memiliki batas-batas butir yang merupakan rintangan bagi pergerakan dislokasi. Butir yang semakin halus cenderung akan semakin memperbanyak batas butir. Batas butir yang banyak akan mengakibatkan gerakan dislokasi semakin sukar karena semakin banyak rintangan sehingga material menjadi semakin kuat. Penghalusan butir dapat dilakukan melalui proses pembekuan dan proses rekristalisasi. Penguatan tekstur merupakan peningkatan kekuatan atau kekerasan melalui orientasi kristal. Logam yang ditingkatkan kekuatannya diusahakan kristalnya memiliki orientasi tertentu. Pembentukan kristal logam agar sel-satuan memiliki orientasi yang mendekati arah tertentu dapat dilakukan dengan cara deformasi plastis, seperti dengan proses pengerolan.

2.5. Proses DeformasiProses deformasi memanfaatkan sifat

beberapa material yaitu kemampuannya mengalir secara plastis pada keadaan padat tanpa merusak sifat-sifatnya. Dengan menggerakan material secara sederhana ke bentuk yang di inginkan, maka sedikit atau bahkan tidak ada material yang terbuang sia-sia.

Dari proses pengecoran, direduksi ukurannya dan diubah kedalam bentuk-bentuk dasar seperti plates, sheets dan rod. Bentuk-bentuk dasar ini kemudian mengalami proses deformasi lebih lanjut sehingga diperoleh kawat (wire) dan berjenis-jenis produk akhir yang dihasilkan melalui tempa (forging), ekstrusi, sheet metal forming dan sebagainya.

Deformasi yang diberikan dapat berupa aliran curah (bulk flow) dalam tiga dimensi. Geser sederhana, tekuk sederhana dan gabungan ataupun kombinasi dari beberapa jenis proses tersebut. Tegangan yang diperlukan untuk mendapatkan deformasi tersebut dapat berupa tarikan (tension), tekan (compression), geseran (shear) atau kombinasi dari beberapa jenis tegangan tersebut.

Secara makroskopis, deformasi dapat dilihat sebagai perubahan bentuk dan ukuran. Perubahan bentuk yang terjadi dapat di bedakan atas deformasi elastis dan deformasi plastis.

Meskipun hakekat proses pembentukan logam adalah mengusahkan deformasi plastis yang terkontrol, namun dalam berbagai hal pengaruh deformasi elastis cukup besar sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Untuk itu perlu dibahas lebih dahulu pengertian deformasi elastis dan deformasi plastis.

Perubahan bentuk dapat dipisahkan menjadi dua, yaitu deformasi elastis dan defomasi plastis. Deformasi elastis adalah perubahan bentuk yang terjadi bila ada gaya yang berkerja, serta akan hilang bila beban ditiadakan. Dengan kata lain bila beban ditiadakan, maka benda akan kembali kebentuk dan ukuran semula. Di lain pihak, defomasi plastis adalah perubahan bentuk yang

Page 5: JURNAL

permanent, meskipun bebannya di hilangkan. Secara diagramatis menunjukan pengertian deformasi elastis dan deformasi plastis pada suatu diagram tegangan-regangan.

Bila suatu material dibebani sampai daerah plastis, maka perubahan betuk yang saat itu terjadi adalah gabungan antara deformasi elastis dengan deformasi plastis (penjumlahan ini sering juga disedut deformasi total). Bila beban-beban ditiadakan, maka deformasi elastis akan hilang pula, sehinga perubahaan bentuk yang ada hanyalah deformasi plastis saja.

Pengaruh temperatur terhadap proses-proses pembentukan adalah hal mengubah sifat-sifat dan prilaku material. Secara umum kenaikan temperatur akan mengakibatkan turunnya kekuatan material, naiknya keuletan dan turunnya laju pengerasan regangan yang mana perubahannya tersebut mengakibatkan kemudahan material untuk deformasi.

Berdasarkan temperatur material pada saat deformasi ini, proses pembentukan logam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu: Pengerjaan panas (Hot working), dan Pengerjaan dingin (Cold working)

Pada awalnya batasan kedua kelompok tersebut hanyalah didasarkan atas ada atau tidaknya proses pemanasan benda kerja. Namun bila ditinjau dari segi metalurgis, hal ini tidak sepenuhnya benar.

Batasan yang berlaku lebih umum adalah yang didasarkan pada temperatur rekristalisasi logam yang diproses. Hal ini memang berkaitan dengan ada atau tidaknya proses pelunakan selama proses berlangsung.

2.6. Pengerolan DinginPengerolan dingin adalah suatu proses

pengerolan yang dilakukan di bawah temperatur rekristalisasi. Pengerolan ini dipergunakan untuk menghasilkan produk yang memiliki kualitas permukaan akhir yang baik. Pengerasan regangan yang diperoleh dari reduksi dingin dapat meningkatkan kekuatan.

Material yang diproses dengan pengerolan pada suhu di bawah suhu rekristalisasi dikatakan telah mengalami pengerjaan dingin. Material pada umumnya mengalami pengerjaan dingin pada temperatur kamar, meskipun perlakuan tersebut mengakibatkan kenaikan suhu. Pengerolan dingin dapat mengakibatkan distorsi pada butir dan meningkatkan kekuatan dan kekerasan, memperbaiki kemampuan pemesinan, meningkatkan ketelitian dimensi serta menghaluskan permukaan logam. Sewaktu material mengalami pengerolan dingin terjadi perubahan yang mencolok pada struktur butir seperti perpecahan butir dan pergeseran atom-atom.

Untuk pengerolan dingin diperlukan tekanan yang lebih besar dari pada pengerolan panas. Material mengalami deformasi tetap bila tegangan melebihi batas elastis. Karena tidak mungkin terjadi rekristalisasi selama pengerolan dingin, tidak

terjadi pemulihan dari butir yang mengalami perpecahan.

2.7. Pengujian KekerasanKekerasan logam didefinisikan sebagai

ketahanan terhadap penetrasi, dan memberikan indikasi cepat mengenai perilaku deformasi (Smallman, 2000). Alat uji kekerasan menekankan bola kecil, piramida atau kerucut ke permukaan logam dengan beban tertentu, dan bilangan kekerasan (Brinell atau piramida Vickers) diperoleh dari diameter jejak. Kekerasan dapat dihubungkan dengan kekuatan luluh atau kekuatan tarik logam, Karena sewaktu indentasi, material di sekitar jejak mengalami deformasi plastis mencapai beberapa persen regangan tertentu. Bilangan kekerasan Vickers (VPN) didefinisikan sebagai beban dibagi luas permukaan jejak piramida dan dinyatakan dalam satuan kgf/mm2 dan besarnya sekitar tiga kali tegangan luluh untuk material yang tidak mengalami pengerasan kerja yang berarti. Bilangan kekerasan Brinell (BHN) diberikan oleh persamaan (2.4). Dimana bilangan Brinell didefinisikan sebagai tegangan P/A, dalam satuan kgf/mm2, diamana P adalah beban dan A adalah luas permukaan kutub bola yang membentuk indentasi. Jadi

BHN= 2 PπD ¿¿ ……………..(1)

dimana d adalah diameter jejak dan D adalah diameter indentor. Agar diperoleh hasil yang kosisten maka rasio d/D harus kecil dan diusahakan agar tetap konstan. Dengan begini nilai BHN untuk material lunak adalah sama. Pengujian kekerasan penting, baik untuk pengendalian kerja maupun penelitian, khususnya bilamana diperlukan informasi mengenai getas pada suhu tinggi.

2.8. Pengujian TarikBanyak hal yang dapat kita pelajari dari hasil

uji tarik. Bila kita terus menarik suatu bahan sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap berupa kurva. Kurva ini  menunjukkan hubungan antara tegangan dengan regangan.

Perubahan panjang dalam kurva disebut sebagai regangan teknik(ε eng.), yang didefinisikan sebagai perubahan panjang yang terjadi akibat perubahan statik (L) terhadap panjang batang mula-mula (L0). Tegangan yang dihasilkan pada proses ini disebut dengan tegangan teknik (σeng), dimana didefinisikan sebagai nilai pembebanan yang terjadi (F) pada suatu luas penampang awal (A0).

Page 6: JURNAL

Gambar 1. Kurva tegangan regangan bajaTegangan normal tesebut akibat gaya tarik

dapat ditentukan berdasarkan persamaan (2).

σ= FAo .………………………………. (2)

Dimana:σ = Tegangan tarik (MPa)F = Gaya tarik (N)Ao = Luas penampang spesimen mula-mula (mm2)

Regangan akibat beban tekan statik dapat ditentukan berdasarkan persamaan (3).

ε= ΔLL ………………………………... (3)

Dimana: ΔL=L-L0

Keterangan:ε = Regangan akibat gaya tarikL = Perubahan panjang spesimen akibat beban tekan (mm)Lo = Panjang spesimen mula-mula (mm)

Pada prakteknya nilai hasil pengukuran tegangan pada suatu pengujian tarik pada umumnya merupakan nilai teknik. Regangan akibat gaya tarik yang terjadi, panjang akan menjadi bertambah dan diameter pada spesimen akan menjadi kecil, maka ini akan terjadi deformasi plastis (Nash, 1998). Hubungan antara stress dan strain dirumuskan pada persamaan (4)

E = σ / ε ……………………………….. (4)3.

E adalah gradien kurva dalam daerah linier, di mana perbandingan tegangan (σ) dan regangan (ε) selalu tetap. E diberi nama  “Modulus Elastisitas” atau “Young Modulus”. Kurva yang menyatakan hubungan antara strain dan stress seperti ini kerap disingkat kurvaSS (SS curve).

Umumnya, limit elastis bukan merupakan definisi tegangan yang jelas, tetapi pada besi tidak murni dan baja karbon rendah, titik awal terjadinya deformasi plastis ditandai dengan penurunan beban secara tiba-tiba yang menunujukan adanya titik luluh atas dan titik luluh bawah. Perilaku luluh ini merupakan karakteristik bebagai jenis logam, khususnya yang memiliki struktur bcc dan mengandung sejumlah kecil elemen terlarut. Untuk material yang tidak memiliki titik luluh yang jelas, berlaku definisi konvensional mengenai titik awal deformasi plastis, yaitu tegangan uji 0,1 atau 0,2 %. Di sini ditarik garis sejajar dengan bagian elastis kurva tegangan-regangan dari titik dengan regangan 0,2 %.

2.9. Perhitungan Dimater ButirAda beberapa metode yang dapat dilakukan

untuk mengukur besar butir dari struktur mikro suatu material salah satunya adalah metode Planimetri yang dikembangkan oleh Jeffries.

Dimana metode ini cukup sederhana untuk menetukan jumlah butir persatuan luas pada bagian-bidang yang dapat dihubungkan pada standar ukuran butir ASTM E 112. Metode planimetri ini melibatkan jumlah butir yang terdapat dalam suatu area tertentu yang dinotasikan dengan NA. Secara skematis proses perhitungan menggunakan metode ini seperti pada gambar 2.

Gambar 2 Perhitungan butiran menggunakan metode planimetri

Jumlah butir bagian dalam lingkaran (Ninside) ditambah setengah jumlah butir yang bersingungan (Nintercepted) dengan lingkaran dikalikan oleh pengali Jeffries (f) dapat dituliskan pada persamaan (5).

N A=f (N inside+N intercepted

2) ………..(5)

Dimana pengali Jeffries yang dipergunakan tergantung pada perbesaran yang digunakan pada saat melihat struktur mikro dan dapat ditetukan melalui tabel 1.

Untuk selanjutnya setelah diperoleh nilai NA

maka ukuran butir dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut

d = (3,322 log NA) – 2,95 ………………(6)

Tabel 1. Hubungan antara perbesaran yang digunakan dengan pengali JeffriesPerbesaran

(M)Pengali Jefrries( f) untuk menetukan

butiran/mm2

1 0.000210 0.0225 0.12550 0.575 1.125100 2.0150 4.5200 8.0250 12.5300 18.0500 50.0750 112.51000 200.0

Sumber: ASTM E 112-96, 2000

3. Metodologi Penelitian3.1. Alat-Alat dan Bahan

Adapun peralatan yang di pergunakan selama penelitian ini adalah:1. Tungku Pemanas(Furnace Naber) 2. Thermocouple Type-K3. Pengerol4. Jangka sorong

Page 7: JURNAL

5. Penjepit specimen6. Mesin poles (polisher)7. Mikroskop optic8. Mikroskop VB9. Alat uji kekerasan Brinell10. Mesin Sekrap11. Mesin uji tarik Torsee Type AMU-10

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:1. Baja karbon sedang yang merupakan bahan

yang digunakan sebagai per belakang mobil (per daun) yang diaplikasikan pada mata pisau pemanen sawit.

2. Resin dan hardener.3. Kertas pasir dengan grade 120, 240, 400, 600,

800, 1000, 1200 dan 1500.4. Larutan etsa nital 5%5. Kain Panel6. Larutan alumina

3.2. Langkah-Langkah PenelitianPersiapan Spesimen

Spesimen yang dipergunakan dalam pengujian ini ada 3 yaitu spesimen uji kekerasan yang berukuran 55x15x5, dan metalografi berukuran 15x15x5, serta spesimen uji tarik disesuaikan pada ASTM E-8M

Proses Pengerolan Dibawah Temperatur Rekristalsasi

Pemanasan spesimen dilakukan pada suhu 6000C, 6250C 6500C, 6750C, 7000C dan digunakan thermocouple digital untuk didapatkan pembacaan suhu yang akurat di dalam furnace, kemudian ditahan selama 60 menit untuk didapatkan panas yang menyeluruh pada spesimen. Benda uji yang telah dipanaskan dan ditahan selama 60 menit selanjutnya dirol agar didapat deformasi terhadap ketebalan sebesar 5%, 10%, 15% dan 20% mengunakan alat rol. Setelah mengalami deformasi spesimen kemudian didinginkan perlahan mengunakan udara bebas (air cooling) sampai dengan temperatur ruang.

PengujianPengujian pertama dilakukan pengujian

kekerasan yang dilakukan terhadap baja karbon sedang yang telah mengalami proses pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi. Kemudian diambil 3 spesimen dengan nilai kekerasan tertinggi untuk selanjutnya dilakukan pengujian tarik dan pengamatan struktur mikro.

Pengujian KekerasanPengujian kekerasan dilakukan di

laboratorium metallurgi fakultas teknik USU. Sebelum diuji kekerasannya, spesimen dibersihkan dan diratakan permukanya terlebih dahulu dengan mesin polish dan kertas pasir. Setelah itu pengujian kekerasan dilakukan dengan alat brinell dengan pembebanan 3000 kg dan diameter jejak diukur menggunakan teropong indentor.

Berikut ini adalah prosedur percobaan yang dilakukan pada pengujian kekerasan dengan metode Brinell :1. Spesimen dibersihkan permukaannya dengan

mesin polish.2. Setelah bersih, spesimen diletakkan pada

landasan uji dan bola indentor yang digunakan adalah bola dengan diameter 10 mm.

3. Spesimen dinaikkan hingga menyentuh bola indentor, kemudian katup hidrolik dikunci.

4. Tuas hidrolik ditekan berulang-ulang hingga skala pada panel menunjukkan angka 3000 kg kemudian ditahan selama 30 detik.

5. Setelah 30 detik katup hidrolik dibuka untuk mengembalikan beban ke posisi semula (0 kg).

6. Pengambilan data kekerasan diulang sebanyak 5 kali untuk masing-masing spesimen dan diambil data rata-ratanya.

7. Pengamatan diameter indentasi dilakukan dengan menggunakan teropong Indentor dan data diameternya disesuaikan dengan tabel kekerasan.

Pengujian TarikPada penelitian ini pengujian tarik dilakukan

hanya pada kondisi pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi yang memiliki nilai kekerasan yang optimal yang diperoleh dari hasil uji kekerasan. Adapun nilai optimal yang diambil yaitu pada pengerolan dingin dengan suhu 650°C dengan deformasi 5% dan 10% serta pada suhu 600°C dengan deformasi 5%. Pada pengujian tarik dicari tegangan luluh (σy), tengangan batas (σu) dan regangan (ɛ). Karena terjadi perbedaan kelunakan bahan akibat variasi suhu perlakuan panas maka perlu dihitung kembali ketebalan bahan sebelum dilakukan pengujian. Pada penelitian ini pengujian tarik menggunakan alat uji tarik Torsee Type AMU-10 dengan kapasitas 10 ton

Berikut ini adalah prosedur percobaan yang dilakukan pada pengujian tarik dengan menggunakan alat uji tarik Torsee Type AMU-10:1. Spesimen dibentuk sesuai ukuran menurut

standar ASTM E-8M.2. Mesin uji tarik dihidupkan kemudian disetting

alat pembaca grafik dan jarum skala beban pada panel.

3. Spesimen dicekam pada chuck atas, kemudian chuck bawah dinaikkan dengan menekan tombol UP hingga mencekam spesimen secara keseluruhan.

4. Katup hidrolik (load valve) dibuka kemudian mesin (pompa hidrolik) dijalankan sampai spesimen putus.

5. Setelah spesimen putus katup hidrolik (load valve) ditutup dan katup pembuka (unload valve) dibuka, kemudian chuck bawah diturunkan dengan menekan tombol DOWN.

6. Spesimen yang putus dilepas dari chuck atas dan bawah, kemudian diukur besar pertambahan panjangnya dan dicatat data yang diperoleh dari grafik hasil uji tarik.

Page 8: JURNAL

7. Prosedur yang sama dilakukan pada spesimen uji tarik yang lain.

Pengujian MetallografiPengujian metalografi agar dapat diamati

mikrostrukturnya, maka terlebih dahulu benda uji di potong yang merupakan bagian dari spesimen kekerasan yaitu pada bagian ujungnya, kemudian di mounting mengunakan resin dan hardener.

Berikut ini adalah prosedur percobaan yang dilakukan pada pada pengujian Metallografi :1. Spesimen yang telah dimounting dengan resin

dipolish dengan polisher.2. Spesimen dipolish dengan kertas pasir grade

120 dan 240 selama 15 menit, kemudian dilanjutkan dengan grade 400, 600, 800, 1000, dan 1500 selama 15 menit.

3. Setelah dipolish dengan kertas pasir, spesimen dipolish dengan bubuk alumina sampai terbentuk kilatan seperti cermin.

4. Etsa nital 5% dituangkan dalam wadah atau cawan kemudian spesimen dicelupkan kedalam etsa selama 5-30 detik.

5. Spesimen yang telah dietsa dibersihkan dengan cara dicelupkan lagi ke dalam alkohol kemudian dikeringkan di udara bebas atau dikeringkan dengan kipas angin.

6. Pengamatan struktur mikro dilakukan dengan menggunakan alat mikroskop optik rax vision yang disambungkan ke program Rax Vision Plus 4.1 pada komputer.

7. Spesimen diletakkan diatas bidang uji atau meja mikroskop kemudian didekatkan dengan optic mikroskop.

8. Digunakan perbesaran 200X dan diambil photo dari masing-masing spesimen.

9. Fokus pada mikroskop diputar untuk mendapatkan pengamatan yang baik pada spesimen.

10. Setelah didapatkan fokus dan pencahayaan yang yang pas, diambil photo dari spesimen dengan mengklik icon Capture frame pada program Rax Vision plus 4.1.

11. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk spesimen lainnya.

12. Setelah itu diukur diameter masing-masing spesimen dengan metode planimetri dan dicatat data hasil pengukuran.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1. HasilBerikut ini adalah data hasil pengujian sifat

mekanis dan uji komposisi sebelum dilakukan pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi dapat dilihat pada tabel

Tabel 2. Sifat Mekanis Baja Karbon SedangSifat Mekanis

Tegangan Luluh (MPa)

782,13

Tegangan Tarik (MPa) 1134,546

Elongasi (%) 20Kekerasan (HB) 349,8

Tabel 3. Hasil Uji Komposisi Bahan Baja Karbon Sedang

Komposisi Kimia Unsur (%)Fe 98C 0,596Si 0,0100

Mn 0,600P 0,0020S 0,0020Cr 0,569Mo 0,0100Ni 0,0050Al 0,0200Cu 0,163Ti 0,0050V 0,0075Sn 0,0094Nb 0,0020

Hasil Uji Kekerasan Setelah PengerolanPengujian kekerasan dalam penelitian ini

dilakukan agar dapat diketahui pengaruh suhu dan besar deformasi terhadap perubahan nilai kekerasan material baja karbon sedang. Secara umum hasil pengujian kekerasan dari penelitian dapat dilihat pada

Tabel 4. Pengujian kekerasan badasarkan skala Brinell

Sampel Deformasi BHN Standar Dev.Raw Material 0% 349,8 10,77

600°C

5% 288,6 12,410% 285,2 10,4415% 282 12,320% 272,2 6,4

625°C

5% 244,2 9,810% 247 13,715% 241,4 8,220% 247 10,5

650°C

5% 295,2 8,310% 299 13,315% 285,2 10,420% 272,6 11,3

675°C

5% 260,6 6,810% 263,4 6,815% 260,6 6,820% 252,6 12,9

700°C

5% 247 12,710% 241,4 8,215% 244,6 12,720% 243,8 5,6

Berdasarkan hasil pengujian kekerasan pada tabel, dapat dilihat bahwa kekerasan dengan nilai paling optimum terjadi pada suhu 6500C dengan tingkat deformasi 10% yaitu sebesar 299 dalam

Page 9: JURNAL

skala BHN, diikuti dengan deformasi pada suhu 650°C dengan tingkat deformasi 5% yaitu sebesar 295,2 BHN dan pada suhu 600°C dengan tingkat deformasi 5% sebesar 288,6 dimana nantinya nilai-nilai tersebut akan dijadikan acuan untuk pengukuran hasil uji tarik dan pengamatan struktur mikro serta untuk penelitian lanjutan yang berhubungan dengan sifat mekanis bahan.

Hasil Uji Tarik Setelah PengerolanPengujian tarik dilakukan untuk mengetahui

sifat-sifat mekanis dari spesimen. Dalam penelitian ini pengujian tarik hanya dilakukan pada deformasi dengan nilai-nilai optimal yang mengacu pada hasil uji kekerasan, karena dari hasil pengujian kekerasan perubahan yang signifikan.

Hasil uji tarik terdiri dari tiga parameter yaitu tegangan luluh (yield strength), tegangan batas (ultimate strength), dan keuletan yang ditunjukkan oleh besarnya regangan. Secara umum hasil pengujian tarik dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Tabel 5 Hasil Uji Tarik Pada Nilai Optimal

BahanTegangan

Luluh (MPa)

Tegangan Batas (MPa)

Regangan (%)

Sebelum Pengerolan

782,13 1134,546 20

Roll Opt. 1 (650°C-

10%)601,24 903,57 17

Roll Opt. 2 (650°C-

5%)623,98 920,97 16

Roll Opt. 2 (600°C-

5%)688,9 1025,2 16

Hasil Pengamatan Mikrostruk Setelah Pengerolan

Dalam pengamatan struktur mikro, perlu dilakukan persiapan benda uji. Pengamatan struktur mikro dilakukan untuk mengamati besar ukuran butir pada nilai-nilai optimal yang diambil sebelumnya. Dengan menggunakan metode planimetri maka dapat diketahui besar butir dari spesimen.

Untuk selanjutnya dapat diperoleh berapa besar butir untuk masing-masing spesimen pada nilai perlakuan optimal. Hasil pengukuran butir ini nantinya berkaitan dengan sifat mekanis yaitu kekerasan dan hasil uji tarik.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3. Foto Mikro Pembesaran 200x (a) Sebelum Pengerolan, (b) Roll Opt. 1, (c) Roll

Opt.2, dan (d) Roll Opt. 3

Hasil pengukuran diameter butir ditampilkan pada tabel 4.5 berikut ini.

Tabel 6. Hasil Pengukuran Diameter ButirBahan Diameter Butir (μm)

Sebelum Pengerolan 5,6Roll Opt. 1 (650°C – 10%)

7,8

Roll Opt. 2 (650°C – 5%)

7,97

Roll Opt. 3 (600°C – 5%)

8,96

4.2. PembahasanPada subbab ini akan membahas hubungan

antara kekerasan, kekuatan tarik, serta diameter butir setelah dilakukan pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi yang dapat dilihat pada grafik-grafil berikut.

288 290 292 294 296 298 300600

650

700

750

800

850

900

950

1000

1050

650°C (10%)650 (5%)

600°C (5%)

650°C (10%)650°C (5%)

600°(5%)

f(x) = − 8.58538757823786 x + 3164.43338468946

f(x) = − 12.1508786711604 x + 4525.51189696679

Tegangan BatasLinear (Tegangan Batas)Tegangan LuluhLinear (Tegangan Luluh)

Teg

anga

n (M

Pa)

Kekerasan (BHN)

Gambar 4. Hubungan antara Kekerasan dengan Kekuatan Luluh dan Kekuatan Batas

Page 10: JURNAL

5. KesimpulanKesimpulan yang dapat diambil dari penelitian

ini adalah :1. Sifat mekanis baja karbon sedang dengan

pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi diperoleh hasil sebagai berikut : Hasil uji kekerasan maksimum adalah

299 BHN pada proses pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi dengan suhu 650°C dan tingkat deformasi 10

Hasil uji tarik maksimum untuk nilai tarik ultimate sebesar 1025,2 Mpa dan nilai tarik yield (luluh) sebesar 688,9 Mpa pada suhu 600°C dengan deformasi 5%.

2. Hubungan antara kekerasan dan ukuran butir berbanding terbalik, dimana semakin kecil

ukuran butir maka bahan akan semakin keras. Sedangkan untuk hubungan antara kekuatan tarik dan ukuran butir berbanding lurus, dimana semakin besar ukuran butir maka bahan akan semakin kuat.

3. Pengaruh dari perlakuan pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi yang telah dilakukan, setelah diambil nilai-nilai optimalnya maka hasil yang diperoleh masih dibawah daripada bahan mentahnya (raw material), sehingga

7.6 7.8 8 8.2 8.4 8.6 8.8 9 9.2282

284

286

288

290

292

294

296

298

300650°C (10%)

650°C (5%)

600°C (5%)

f(x) = − 8.17293807865452 x + 361.638919561709

diameter butir (μm)

keke

rasa

n (B

HN

)

Gambar 5 Hubungan antara Kekerasan dengan Diameter Butir

7.6 7.8 8 8.2 8.4 8.6 8.8 9 9.2550

600

650

700

750

800

850

900

950

1000

1050

600°c (5%)650°c (5%)

650°c (10%)

600°c (5%)650°C (5%)

650°c (10%)

f(x) = 72.1235878705512 x + 43.5012239870898

f(x) = 105.001486452051 x + 84.3510800135911

Tegangan BatasLinear (Tegangan Batas)Tegangan LuluhLinear (Tegangan Lu-luh)

diameter butir (μm)

Tega

ngan

(M

Pa)

Gambar 6. Hubungan antara Kekuatan Tarik dengan Diameter Butir

Page 11: JURNAL

dapat disimpulkan bahwa pengaruh pengerolan dibawah temperatur rekristalisasi hanya menurunkan sifat-sifat mekanisnya.

Daftar Pustaka1. Al Hasa, M. Husna. Karakterisasi Sifat

Mekanik Dan Mikrostruktur Paduan Intermetalik Alfeni Sebagai Bahan Kelongsong Bahan Bakar, J. Tek. Bhn. Nukl. Vol. 3 No. 2 Juni 2007: 49–109.

2. Amanto, Hari, dan Daryanto. Ilmu Bahan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999.

3. Alexander,W.O. Davies, G.J. Heslop, S. Reynolds,K.A. Dasar Metalurgi Untuk Rekayasawan. Jakarta: PT. Gramedia Utama, 1991

4. ASM Handbook vol 9. Metallography and Microstructures, ASM International: USA, 2004.

5. ASM Handbook, Volume 1, Properties and Selection: Irons Steels and High Performance Alloys. ASM International, 2005.

6. ASTM E 10-01. Standard Test Method for Brinell Hardness of Metallic Materials. ASTM International, 2004

7. ASTM E 112-96 rev, Standart Test Methods for Determining Average Grain Size. ASTM International, 2000.

8. Callister Jr, W.D. Material Science and Engineering: An Introduction. New York: John Wiley&Sons: 2004.

9. Dieter, George E. Metalurgi Mekanik, Jakarta: Erlangga, 1987.

10. Janosec, M. Effect of cold rolling and annealing on mechanical properties of HSLA steel. Jurnal Ilmiah. 2006

11. Khzouz, Erik. Grain Growth Kinetics in Steels, Worcester Polytechnic Institute April 2011.

12. Leslie, William C. The physical metallurgy of Steel, McGraw-Hill, 1982

13. Medrea, C. Mechanical and Structural Properties of AISI 1015 Carbon Steel Nitrided after Warm Rolling. Jurnal Ilmiah. 2008

14. Nash, William. Strength of Materials. Schaum’s Outlines, 1998.

15. Pandu, Yosafat. Sifat Mekanik Logam Baja Karbon Rendah Sebelum dan Sesudah Melalui Proses Rolling. Jurnal Ilmiah: Universitas Sriwijaya. 2004

16. Smallman, R.E. Metalurgi Fisik Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1991.

17. Subarmono dan Jamasri: Pengaruh Pengerasan Regangan Terhadap Ketangguhan Baja. Jurnal Ilmiah: Universitas Gajah Mada. 2005

18. Sularso dan Kiyokatsu Suga. Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin. Pradnya Paramita: Jakarta. 1994.

19. Zrnik, J. Dobtkin, S.V. Stejskal, O. Efect Of Thermomechanical Conditions On

Ultrafine Grained Structure Formation In Carbon Steels By Severe Plastic Deformation.Hradec nad Moravicí (2008), 13-15.