Jean Baudrillard - Tubuh Sebagai Obyek Konsumsi Terindah

download Jean Baudrillard - Tubuh Sebagai Obyek Konsumsi Terindah

of 22

description

Tugas Seminar Media dalam Postmodernism

Transcript of Jean Baudrillard - Tubuh Sebagai Obyek Konsumsi Terindah

  • UNIVERSITAS INDONESIA

    TUBUH SEBAGAI OBYEK KONSUMSI TERINDAH Dalam The Consumer Society: Myths and Structures oleh Jean Baudrillard

    PAPER

    SEMINAR MEDIA DALAM POSTMODERNISM

    Disusun oleh:

    Agustinus Rusdianto Berto 1306348240

    FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

    Jakarta

    Juni 2014

  • TUBUH SEBAGAI OBYEK KONSUMSI TERINDAH

    Dalam The Consumer Society: Myths and Structures oleh Jean Baudrillard

    Jika filsuf Rene Decrates masih hidup di masa sekarang, mungkin ia akan memformulasikan

    ulang postulat Aku berpikir maka aku ada menjadi Aku mengkonsumsi maka aku ada. Kini,

    manusia saling berkompetisi untuk memaksimalkan eksistensinya di tengah masyarakat dengan

    mengkonsumsi serangkaian obyek yang tidak pernah akan terpuaskan. Tidak lagi fungsi kebutuhan

    dari suatu obyek yang dikonsumsi, melainkan obyek yang telah disimulasikan melalui permainan

    tanda-tanda. Dengan mengkonsumsi, individu merasa dirinya diakui dan diterima dalam masyarakat.

    Kalangan elite menjadi role model masyarakat kelas bawah dalam mengkonsumsi tanda-tanda yang

    manipulatif dan represif ini. Melalui mitos pertumbuhan dan kesetaraan ekonomi, berbagai institusi

    sosial - pemerintah, korporasi, bahkan institusi keagamaan - mengkomunikasikan warganya (secara

    persuasif atau represif) untuk saling berkompetisi dalam mengkonsumsi tanda-tanda.

    Mengutip situs tempo.co (19/08/13), Menteri Keuangan Republik Indonesia M. Chatib Basri

    mengatakan, Pemerintah melakukan berbagai cara agar membuat orang bisa tetap belanja, kalau

    orang bilang hemat pangkal kaya, saya bilang belanja pangkal kaya. Yang menyelamatkan ekonomi

    dari perlambatan adalah tetap belanja.1 Melalui otoritasnya, berbagai institusi telah berperan

    mentransformasi konsumsi menjadi tindakan yang rasional. Sedangkan media berperan sebagai alat

    dari kepentingan-kepentingan ini, dengan mengepung individu di berbagai contact point

    kesehariannya agar bisa dijadikan sasaran tembak dari strategi komunikasi pemasaran. Realitas ini

    telah menjadi permasalahan yang krusial saat ini di Indonesia, masyarakat dipojokkan dari berbagai

    arah untuk mendorongnya melakukan tindakan konsumsi. Dorongan konsumsi ini mampu

    mengubah seorang individu yang pemalas menjadi individu yang pekerja keras (Baudrillard, 1998:

    84). Konsumsi juga dapat memproduksi individu-individu soliter yang lemah tanpa perlawanan,

    namun kuat berkompetisi secara individualis (Baudrillard, 1998: 85).

    Setiap arena sosial kita, kini telah menjadi arena konsumsi. Hampir setiap saat kita selalu

    diterpa beragam obyek melalui permainan tanda-tanda yang disampaikan oleh media. Menurut

    Baudrillard, dari berbagai obyek yang hadir menerpa kita, tubuh menjadi satu-satunya obyek

    konsumsi yang paling indah. Tubuh selalu erat kaitannya dengan kesehatan, apa yang terlihat di luar

    seolah-olah mewakili apa yang tidak terlihat di dalam. Semua orang akan melakukan apa saja untuk

    tampil sehat. Konsumsi -uang- menunjukkan tingkat kesehatan seseorang. Konsepsi tubuh inilah

    yang kerap dihadirkan dalam realitas pesan di media melalui berbagai strategi permainan tanda-

    tanda seksual - baik feminin ataupun maskulin - untuk menarik minat konsumen. Sebelum

    membahasnya, pada Bab I akan diceritakan terlebih dahulu riwayat singkat Jean Baudrillard dalam

    mengkonstruksi kerangka pemikirannya. Pada Bab II barulah dipaparkan konsepsi tubuh dalam

    perspektif Baudrillard. Konsepsi tubuh yang dibahas meliputi: kunci rahasia tubuh, kecantikan dan

    erotisme fungsional, prinsip-prinsip kesenangan dan kekuatan produktif, strategi modern tubuh,

    tubuh feminin, pemujaan kesehatan, obsesi kerampingan, standard pertukaran seks, simbol dan

    fantasi dalam periklanan, dan boneka seks. Berikutnya di Bab III akan diperlihatkan penerapan

    konsepsi tubuh dalam menganalisa strategi komunikasi pemasaran terpadu -termasuk periklanan-

    dan penyakit-penyakit sosial yang ditimbulkannya. Kemudian pada Bab IV akan dipaparkan kritikan

    Mark Poster terhadap pemikiran-pemikiran Baudrillard secara umum dan kritikan penulis secara

    khusus terhadap konsepsi tubuh. Pada akhir bab, penulis mencoba merangkumnya dalam suatu

    kesimpulan dengan melihat perkembangannya saat ini.

    1 http://www.tempo.co/read/news/2013/08/19/090505536/Menkeu-Chatib-Basri-Belanja-Pangkal-Kaya,

    diakses pada tanggal 31 Maret 2014 pukul 18.10 WIB

  • 2

    I. BIOGRAFI SINGKAT2

    Latar belakang pemikiran Baudrillard pastinya tidak akan lepas dari kisah hidupnya. Jean

    Baudrillard adalah seorang pakar teori kebudayaan, filsuf, komentator politik, sosiolog, dan

    fotografer asal Perancis. Lahir di Reims, Perancis pada 20 Juni 1929. Berasal dari keluarga golongan

    menengah, kakeknya adalah seorang petani dan orangtuanya berprofesi sebagai pegawai

    pemerintah. Setelah menyelesaikan studi SMA di Reims Lyce, ia melanjutkan studi sastra Jerman di

    Sorbonne University, Paris. Ia adalah satu-satunya anak yang bersekolah hingga ke tingkat perguruan

    tinggi di keluarganya. Setelah lulus, ia mengajar di beberapa sekolah menengah (lyce) di Perancis

    (1958-1966). Sambil mengajar, Baudrillard mulai menerbitkan ulasan sastra dan menerjemahkan

    karya-karya penulis seperti Peter Weiss, Bertolt Brecht, Karl Marx, Friedrich Engels, dan Wilhelm

    Emil Mhlmann.

    Kemudian ia melanjutkan studinya di bidang filsafat dan sosiologi dan berhasil

    menyelesaikan disertasi doktoral (Ph.D.) berjudul Le Systme des objets (Sistem Objek-objek) di

    bawah komite disertasi Henri Lefebvre, Roland Barthes, dan Pierre Bourdieu (1966). Ia aktif dalam

    organisasi mahasiswa sosialis dan mengakui sebagai pengikut Marxisme. Ia kemudian mengajar di

    Universit de Paris-X Nanterre (1967). Kemudian bergabung dengan Roland Barthes mengajar di

    Ecole des Hautes Etudes (1968). Ia mulai terpengaruh pemikiran Barthes, selain tentu saja pemikiran

    Karl Marx. Di sanalah ia mulai aktif menulis di samping sibuk berpartisipasi dalam praksis gerakan

    sosialisme Perancis.

    Ia mulai menjadi asisten profesor di Universit de Paris-X Nanterre (1970). Ia menyelesaikan

    habilitasinya L'Autre par lui-mme dan mulai mengajar sosiologi di Universit de Paris-X Nanterre

    sebagai profesor (1972). Ia mulai mengajar di luar negeri seperti di University of California, San Diego

    (1975). Hal tersebut membuatnya menjadi terkenal di dunia bahkan ia menjadi subjek dari

    konferensi di Montana, Amerika Serikat (1990). Ia menjabat sebagai Direktur Ilmiah di IRIS (Institut

    de Recherche et d'Information Socio-conomique/Lembaga Penelitian dan Informasi Sosial Ekonomi)

    di Universit de Paris-IX Dauphine (1968-1990). Ia tetap memberikan dukungannya bagi Institut de

    Recherche sur l'Innovation Sociale (Institut Penelitian Inovasi Sosial) di Centre National de la

    Recherche Scientifique (Pusat Nasional Penelitian Ilmiah) dan memimpin Collge de 'Pataphysique

    hingga meninggal dunia di Paris pada 6 Maret 2007.

    Banyak pemikir dari lintas bidang yang telah menginspirasi Baudrillard dalam melahirkan

    pemikiran masyarakat konsumeris, seperti Karl Marx, Ferdinand de Sausurre, Roland Barthes, Emil

    Durkheim, Thorstein Veblen, John Kenneth Galbraith, Henri Lefebvre, Levi-Strauss, Marshall Sahlins,

    Marshall McLuhan, Jacques Derrida, Michel Foucault, Walter Benjamin, George Simmel, Tocqueville,

    Daniel Bell, David Riesman, Daniel Boorstin, Vance Packard, dan masih banyak lainnya.

    II. GAGASAN-GAGASAN POKOK

    Keikutsertaan Indonesia dalam Free Trade Agreement (FTA), membuat negara kita menjadi

    sasaran empuk dari globalisasi yang dilakukan oleh korporasi-korporasi global, termasuk media.

    Tentunya ini akan mengancam identitas budaya bangsa yang multikultural. Para korporasi besar

    inilah yang sebagian besar mengontrol arus informasi untuk melancarkan strategi komunikasi

    pemasaran terpadunya (iklan, public relation, dsb). Indonesia menjadi pasar yang potensial karena

    2 http://id.wikipedia.org/wiki/Jean_Baudrillard, diakses pada tanggal 31 Maret 2014 pukul 19.22 WIB

  • 3

    memiliki jumlah penduduk sebesar 237,641 juta jiwa (2010)3. Berdasarkan data Survei Sosial

    Ekonomi Nasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) hingga akhir triwulan ketiga 2013 (Maret-

    September), menunjukkan adanya lonjakan konsumsi barang dan jasa sebesar 6 (enam) persen

    dibandingkan pada triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Begitu juga terjadi peningkatan

    sebesar 10 (sepuluh) persen pada konsumsi pakaian, alas kaki, dan tutup kepala. Peningkatan kedua

    kategori konsumsi ini terus mengalami peningkatan sejak tahun 1999 hingga September 2013.

    Barang yang dikonsumsi pada kedua kategori tersebut seperti sabun mandi, parfum, perawatan

    kulit, bahan pemeliharaan pakaian, media cetak, pemeliharaan/pencegahan kesehatan, segala jenis

    pakaian, dsb4. Kesemua produk ini sangat erat kaitannya dengan konsepsi tubuh yang akan dibahas

    selanjutnya.

    Melalui beragam produk tersebut, tubuh menjadi obyek yang lebih baik, lebih berharga,

    lebih meledak dari semua, dan lebih berat dikonotasikan untuk ditampilkan dalam iklan, mode, dan

    budaya massa, seperti pemujaan terhadap higienis, ilmu gizi, terapi, obsesi muda, kewibawaan,

    kejantanan/feminin, perawatan, diet, dan mitos kepuasan. Tubuh menjadi obyek keselamatan dan

    telah menggantikan jiwa sebagai fungsi moral dan ideologis. Selama beberapa abad, manusia mati-

    matian berusaha untuk menutupi dan melindungi tubuhnya, namun sekarang manusia secara

    sistematis meyakinkan tubuhnya kepada orang lain. Tren busana pakaian dari waktu ke waktu

    cenderung terbuka dan minim. Tubuh adalah fakta budaya, dalam budaya apapun, pengaturan

    hubungan tentang tubuh merefleksikan pengaturan hubungan tentang obyek dan relasi sosialnya

    (Baudrillard, 1998: 129).

    Hal ini terlihat jelas pada bentuk pakaian ataupun ornamen lain yang melekat pada tubuh.

    Bentuk, ukuran, dan penempatan tato pada tubuh orang Dayak menunjukkan tinggi rendahnya

    status sosial dan kemampuan seseorang. Tubuh dimaknai secara ekonomi dan fisik yang saling

    berkaitan satu sama lain. Tubuh sebagai modal ekonomi, menunjukkan kedudukan hak milik pribadi

    seseorang, dan tubuh sebagai fetish (obyek konsumsi), menjadikan tubuh sebagai obyek pemujaan

    yang paling berharga, sehingga tidak lagi mencerminkan kedudukan tubuh yang sebenarnya, yaitu

    kesehatan (Baudrillard, 1998: 129). Seseorang yang memiliki kualitas tubuh/paras yang maksimal

    cenderung lebih mudah dalam mencari pekerjaan karena hampir sebagian besar pekerjaan selalu

    memprioritaskan penampilan yang menarik. Bahkan dalam hal rohaniah pun, tubuh menjadi hal

    yang utama, seperti pada institusi keagamaan yang mensyaratkan tinggi badan tertentu untuk bisa

    menjadi seorang pemimpin agama.

    1. Kunci Rahasia Tubuh

    Manusia menggunakan tubuhnya seperti sedang memakai suatu gaun/busana untuk

    menutupi dirinya dan inilah yang membuat efek fashion pada tubuh lebih dominan. Kini fashion

    berfungsi seperti kulit yang menutupi tubuh, busana sebagai simbol prestise dan rumah kedua

    seseorang. Setiap busana mempunyai makna, tanda, dan acuan modenya tersendiri (paradigma

    fashion). Fungsi busana dimainkan agar dapat menutupi berbagai kekurangan tubuh kita (perut,

    selulit, dsb), seperti motif garis-garis vertikal, horizontal, kerah v, lengan panjang, dsb.

    (Baudrillard, 1998: 130) Sifat narsis muncul ketika seseorang sangat mencintai tubuhnya dan

    memonopoli tubuhnya untuk suatu keuntungan. Tubuh dijadikan modal ekonomi (investasi),

    bukan lagi menjadi tujuan yang otonom bagi individu. Melalui prinsip-prinsip normatif - kode

    3 http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=12, diakses pada tanggal 31 Maret 2014 pukul

    20.03 WIB. 4 BPS, Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia, (Jakarta: BPS, 2013), Hal. 58-59.

  • 4

    atau norma-norma - yang direproduksi masyarakat, tubuh dikelola bahkan dieksploitasi seperti

    suatu kekayaan/harta dan dimanipulasi menjadi berbagai signifier (penanda) status sosial

    seseorang (Baudrillard, 1998: 131). Perempuan atau laki-laki akan lebih rutin ke salon

    kecantikan/perawatan tubuh untuk facial atau totok wajah, agar bisa tampil fresh saat bertemu

    klien atau bos.

    2. Kecantikan dan Erotisme Fungsional

    Nilai fungsional tubuh tidak lagi sebagai daging/badan/jasmani (pandangan religius)

    atau sebagai kekuatan kerja (logika industri), tetapi kini dikembalikan ke sifat fisiknya yang

    tampak saja (Baudrillard, 1998: 132). Bentuk fisik tubuh yang tampak sebagai obyek narsis

    seseorang adalah kecantikan dan erotisme. Keduanya tidak dapat dipisahkan, justru

    membentuk dua kutub, yaitu phryneisme (feminin) dan athletisme (maskulin). Bagi wanita,

    kecantikan menjadi syarat mutlak, sebuah religius. Cantik tidak hanya mencerminkan sifat

    seseorang, tetapi juga mencerminkan moral seseorang (Baudrillard, 1998: 132). Kecantikan

    mempengaruhi struktur kognitif seseorang. Orang akan lebih mempercayai seseorang yang

    cantik/tampan ketimbang yang tidak, seperti pada banyak kasus penipuan dengan

    memanfaatkan perempuan cantik. Dari sisi pengusaha, kecantikan merupakan peluang pasar

    karena kecantikan berfungsi sebagai nilai tanda yang dapat ditukar melalui produk-produk yang

    dipasarkan. Banyak iklan produk yang mengklaim dapat membuat seseorang menjadi lebih

    cantik melalui endorsement artis yang muda dan cantik.

    Kecantikan juga dinilai berdasarkan tingkat seksualitas yang melekat pada tubuhnya,

    yaitu erotisme. Perlu dibedakan antara tubuh sebagai erotisme dengan tubuh sebagai

    fantasi/hasrat/birahi. Pada tubuh sebagai fantasi, struktur hasrat individu lebih dominan,

    sedangkan pada tubuh sebagai erotisme, fungsi pertukaran sosial lebih dominan (Baudrillard,

    1998: 133). Erotisme ada di dalam tanda-tanda, tidak pernah di dalam nafsu (ekspresi). Artinya,

    erotisme di sini lebih dimaknai sebagai pertukaran sosial melalui tanda-tanda instrumental,

    daripada sebagai fantasi/nafsu seksual individu. Sebuah tanda dapat menunjukkan tanda-tanda

    lain, seperti pada semiotika. Sehingga tanda-tanda erotisme ini dapat diterima secara sosial,

    misalnya bentuk tubuh boneka peraga busana (mannequin) yang langsing, bentuk tubuh seperti

    bentuk badan gitar, bentuk belahan payudara, bibir yang sensual, dsb. Seperti pada iklan

    multivitamin penambah daya seksual pria yang memainkan tanda/simbol kejantanan pria dalam

    iklan-iklannya.

    3. Prinsip-prinsip Kesenangan dan Kekuatan Produktif

    Obyek atau tanda-tanda tersebut akan dipuja dalam cara yang sama, maka akan

    dikonsumsi pula dengan cara yang serupa. Tubuh dan obyek/tanda membentuk suatu

    persamaan makna yang saling dipertukarkan (timbal balik), yaitu secara ideologis dan ekonomis

    (Baudrillard, 1998: 135). Pertukaran ini mengarah kepada dorongan untuk konsumsi/belanja.

    Tubuh, kecantikan, dan erotisme digunakan untuk menjual suatu produk, kesemuanya

    berorientasi pada proses liberasi tubuh (Baudrillard, 1998: 135). Sama seperti pada kekuatan

    buruh pada marxisme, tubuh harus diemansipasikan dan dibebaskan melalui janji manis

    produk-produk tersebut.

    Melalui prinsip formal kesenangan, individu seolah-olah mendapatkan kepercayaan diri

    (narsis) dan manfaat bagi tubuhnya dari tanda/simbol yang dimanipulasi secara rasional oleh

    produk-produk tersebut (pertukaran). Hal ini akan ditanamkan kepada setiap individu untuk

  • 5

    membangkitkan suatu kekuatan produktif dalam menghasilkan keinginan-keinginan untuk

    mengkonsumsi (permintaan). Kekuatan konsumsi tubuh ini dapat menimbulkan suatu kohesi

    sosial (kedekatan/pertemanan). Melalui dekonstruksi tubuh dan seksualitas, individu

    menganggap dirinya sendiri sebagai obyek yang terindah, sebagai materi pertukaran yang

    sangat berharga (fetish), seperti sebuah proses ekonomi yang mendatangkan keuntungan bagi

    dirinya (Baudrillard, 1998: 135). Misalnya, produk shampoo pria menggunakan simbol/tanda

    kecantikan yang ada pada wanita untuk menggambarkan keindahan dan kecantikan rambut

    wanita dapat diterapkan pada rambut pria (pertukaran makna). Maka dapat terjalin suatu

    pertemanan di antara konsumen-konsumennya karena sama-sama menyukai merek shampoo

    tersebut.

    4. Strategi Modern Tubuh

    Dalam sejarahnya, ideologi-ideologi terkait tubuh cenderung mengkritik ideologi-

    ideologi spiritual, puritan, dan moral yang lebih menekankan jiwa/rohaniah yang telah menjadi

    dogma keselamatan (Baudrillard, 1998: 135). Kini tubuh menjadi terhormat dan mulia, nilai

    yang subversif, mitos, etika, dan dogma keselamatan yang baru. Pemujaan terhadap tubuh

    telah menggantikan ideologi jiwa, memperkuat sistem nilai individualis dan struktur sosial

    melalui pembebasan semu anggota-anggota tubuh (Baudrillard, 1998: 136). Tubuh menjadi

    obyektivasi konsumsi dengan mencampuradukkannya dalam strategi ekonomi, psikologi, dan

    politik. Misalnya pada produk tertentu yang tidak terkait dengan fungsi tubuh apapun tetapi

    memainkan isu tubuh dan erotisme sebagai strategi pemikat konsumen dalam iklannya.

    5. Tubuh selalu Feminin?

    Tubuh tidak selalu dikaitkan dengan phryneisme (feminin), tapi bisa juga terkait

    atletisme (maskulin dan trans gender) (Baudrillard, 1998: 137). Pengertian seksualitas adalah

    wanita, bersumber dari sejarah penindasan tubuh dan eksploitasi perempuan pada dahulu kala.

    Logika emansipasi tubuh erat kaitannya dengan aspek historis emansipasi wanita. Dulu wanita

    dibebaskan dari eksplotasi seks, kini tubuh wanita juga dibebaskan (Baudrillard, 1998: 137).

    Kebebasan ini justru menimbulkan kebingungan bagi wanita dalam membebaskan tubuhnya

    sendiri. Tubuh wanita dalam masyarakat demokrasi modern menjadi nilai yang tidak lagi

    bertanggungjawab, seperti kebebasan seksual, erotisme, permainan, dsb.

    Melalui mitos pembebasan/emansipasi, batasan-batasan seksual tubuh yang dulu

    dilarang, kini dibebaskan/emansipasi melalui status sosial, prestise, dan narsisisme (Baudrillard,

    1998: 138). Tubuh tidak lagi dilihat secara biologis, kini lebih sebagai seksualitas yang

    berorientasi pada konsumsi tubuh. Melalui otonomisasi yang resmi pada sistem tanda individu

    dan kelompok (kelas dan kasta) terbentuklah mekanisme mendasar dari konsumsi, yaitu wanita

    dikonsumsi melalui kebebasan seksual, kebebasan seksual dikonsumsi sebagai wanita

    (Baudrillard, 1998: 138). Misalnya dalam beberapa produk (khususnya fashion dan kecantikan),

    wanita selalu ditampilkan sebagai kaum feminis yang bebas, emansipatif, dan telah sejajar

    kedudukannya dengan kaum pria dalam setiap tugas apapun. Padahal ini belum tentu sesuai

    dengan makna kesetaraan gender, karena tidak meletakkan gender sesuai dengan fungsi dan

    kedudukannya.

  • 6

    6. Pemujaan Kesehatan: Fitness (Kebugaran)

    Hubungan tubuh dengan kesehatan berfungsi untuk menyeimbangkan tubuh, yang

    ditunjukkan melalui representasi tubuh melalui persaingan gengsi untuk mencapai status

    tertentu, seperti melalui pelayanan medis, obat, atau bedah (Baudrillard, 1998: 138). Logika

    persaingan ini dihubungkan dengan penanaman sikap narsis tubuh dan representasi status

    dihubungkan dengan proses personalisasi dan mobilitas sosial (Baudrillard, 1998: 139). Kini

    kesehatan tidak lagi sebagai syarat wajib biologis semata yang dikaitkan dengan ketahanan

    hidup, tetapi kesehatan lebih sebagai syarat mutlak sosial yang dihubungkan dengan status.

    Fitness secara langsung menyatu dengan kecantikan, namun tanda-tandanya berubah dalam

    personalisasi seseorang, memanipulasi kegelisahan dan perfeksionis fungsi-fungsi tubuh.

    Sindrom fitness ini memberikan dua modalitas yang saling melengkapi, yaitu investasi

    narsisisme (dimensi fisik) dan prestise sosial (dimensi status) (Baudrillard, 1998: 139).

    Individu mensakralkan tubuhnya dan medis memenuhinya. Ini menjadi sebuah ritual

    kesehatan, konsumsi tubuh menjadi lebih disakralkan. Somatisasi dalam arti yang luas, ketika

    individu menganggap nilai yang paling mendasar adalah tubuh sebagai obyek prestise dan

    keselamatan, maka dokter akan dianggap sebagai pemegang kebenaran absolut (Baudrillard,

    1998: 139). Sehingga semua saran atau obat apapun yang dianjurkan oleh dokter pasti akan

    dituruti. Dalam etika masyarakat modern memerintahkan setiap individu untuk

    melayani/mengelola tubuhnya sendiri. Individu berusaha dengan baik dan kompetitif dalam

    menjaga kesucian tubuhnya. Sehingga hampir setiap produk-produk kesehatan tubuh selalu

    menggunakan endorsement dokter atau tenaga medis lainnya sebagai sumber informasi yang

    kredibel bagi konsumen.

    7. Obsesi terhadap Kerampingan: Kelangsingan

    Ketika kecantikan menjadi syarat mutlak, universal, dan demokratis pada masyarakat

    konsumeris, maka kecantikan tidak dapat dipisahkan dengan kerampingan. Meskipun

    kecantikan dengan kerampingan tidak memiliki hubungan sebab akibat. Pada masyarakat saat

    ini, kecantikan akan lebih baik bila kurus atau langsing seperti pada profil para model dan

    mannequin, termasuk nafsu jasmani dan pemujaan terhadap mode fashion (Baudrillard, 1998:

    140). Mode fashion bisa bermain pada konsumsi tanda yang cantik dan yang jelek, tetapi mode

    fashion tidak bisa bermain pada gemuk dan kurus (Baudrillard, 1998: 141). Hal ini dilakukan

    semata-mata untuk menarik perhatian dan distinction. Bentuk pencapaian kelangsingan adalah

    melalui pemeliharaan kesehatan berupa diet makanan. Diet menjadi dorongan yang agresif

    untuk membebaskan tubuhnya dari kegemukan. Dahulu orang berpuasa untuk tujuan rohani,

    namun kini lebih bertujuan untuk melakukan diet tubuh (Baudrillard, 1998: 142).

    Pada akhirnya, tubuh menjadi objek yang mengancam, perlu diawasi, dikurangi, dan

    disiksa dengan tujuan estetis (Baudrillard, 1998: 143). Tubuh menjadi sensor diri yang otomatis

    bagi manusia, atau yang disebut Foucault sebagai sistem panopticon. Perhatian lebih tertuju

    pada model yang kurus kering dan langsing seperti yang ditampilkan oleh media-media.

    Pemujaan terhadap kelangsingan (askese) berperan sebagai pendukung logika mode fashion

    (prinsip organisasi sosial) dan logika kematian (prinsip organisasi fisik) (Baudrillard, 1998: 142).

    Yang terpenting tidak hanya mitos dan daya pikat kelangsingan, tetapi juga sebagai bentuk

    kekerasan tubuh, karena melalui ini tubuh benar-benar dikorbankan, sekaligus dibentuk dengan

    sekuat tenaga untuk menjadi sempurna (Baudrillard, 1998: 143). Contoh nyatanya adalah

  • 7

    berbagai iklan produk pelangsing tubuh serta konten media lainnya yang menampilkan tubuh

    langsing sebagai bentuk yang ideal sehingga membentuk persepsi masyarakat.

    8. Standar Pertukaran Seks

    Seksualisasi benda-benda menjadi suatu kebutuhan konsumsi dan menunjukkan status

    sosial seseorang. Erotisme seolah-olah diperuntukkan bagi kalangan elite (seperti teater

    telanjang), sedangkan pornografi bagi masyarakat umum (seperti industri film pornografi).

    Seksualitas menjadi semua penanda (signifier) komunikasi massa, semua hal yang dilihat dan

    didengar untuk dikonsumsi secara terang-terangan menampilkan seksualitas (Baudrillard, 1998:

    143). Tentu saja pada saat yang bersamaan, masyarakat justru mengkonsumsi seksualitas itu

    sendiri. Untuk mendapatkan ledakan makna pesan, obyek-obyek dibelokkan secara sistematis

    dari rasionalitas obyektifnya ke arah komersialisasi dan industrialisasi seksualitas (Baudrillard,

    1998: 144).

    Industri melalui seksualitas, seolah-olah membebaskan individu maupun masyarakat

    dari sensor moral atau larangan-larangan yang tradisional dan puritan. Sehingga dapat terlihat

    jelas fungsi produksi, penjualan, dan margin (keuntungan) dengan adanya konsumsi seksualitas

    ini. Seksualitas ditunjukkan sebagai hal yang revolusioner dan emansipatif (Baudrillard, 1998:

    144). Kemerosotan dan pelapukan sosial masyarakat akan berakhir pada penularan seksualitas

    secara individual yang bertujuan mencari keuntungan dan memudarnya puritanisme, norma-

    norma, dan larangan-larangan/sensor (agama, moral, adat, dan hukum). Sensor tidak lagi

    dilakukan oleh institusi sosial, melainkan dikembalikan ke individu masing-masing (Baudrillard,

    1998: 145). Setiap tanda seksualitas yang ditampilkan dalam iklan produk di media maka akan

    cenderung disimbolkan dengan tubuh dan keseksian kaum wanita.

    9. Simbol dan Fantasi dalam Periklanan

    Seksualitas tubuh bermain dalam fantasi-fantasi dan fungsi simbolis dengan

    menanamkannya melalui mitos ketidaksadaran dalam sistem konsumsi (Baudrillard, 1998: 145).

    Fantasi dan simbol ini dimanipulasi, disembunyikan, dan dimainkan dalam iklan. Ketidaksadaran

    yang ingin dibangkitkan adalah dorongan seksual, nafsu, dan libido (Baudrillard, 1998: 146).

    Fantasmagoria adalah ketika individu dijebak pada simbol-simbol fantasi melalui mitos

    ketidaksadaran, yang hadir dan lenyap dalam citra, fisik, maupun imaginer sebagai akibat dari

    efek-efek yang dihasilkan dari teknologi media (televisi, film, animasi, internet, dsb), yang

    ditanamkan sebagai sistem konsumsi (Baudrillard, 1998: 147).

    Individu dibuat percaya dan menerima simbol-simbol dan fantasi dalam ketidaksadaran

    tersebut. Faktanya, kita tidak berada dalam alam ketidaksadaran tersebut, kita hanya

    menghadapi strategi keinginan merek suatu produk dari periklanan. Sehingga iklan-iklan tidak

    lagi mengandung makna pesan aslinya namun kini dibuat dengan tanda-tanda seksualitas atau

    erotika. Seksualitas yang berusaha ditampilkan dengan konotasi-konotasi budaya dan

    metabahasa agar tidak melanggar aturan yang ada (tidak menyerang secara langsung)

    (Baudrillard, 1998: 148). Misalnya pada produk yang dekat dengan kaum pria, seperti mobil,

    maka pada promosinya akan selalu menggunakan pendekatan wanita-wanita seksi (seperti saat

    pameran). Begitu juga ketika diiklankan maka disimbolkan dengan wanita sebagai obyek fantasi

    seksual melalui permainan tanda-tandanya.

  • 8

    10. Boneka Seks

    Mainan ini ditujukan untuk anak-anak yang beranjak dewasa dengan segala fantasi

    seksualnya. Boneka ini sepadan dengan mainan seks dalam tanda-tanda seksual (organ-organ

    genital, ketelanjangan, atribut lainnya) yang dijadikan milik pribadi. Seksualitas sebagai sebuah

    struktur pertukaran simbolis, meliputi (Baudrillard, 1998: 149):

    a. Fungsi simbolis telah menggantikan arti seks dan kebutuhan seksual yang nyata dan

    sebenarnya.

    b. Fungsi pertukaran telah mengindividualisasikan hasrat seksual. Seks bagi individu dijadikan

    sebagai hak milik pribadinya.

    Seksualitas memiliki fungsi yang terpisah, yaitu (Baudrillard, 1998: 150):

    a. Sebagai nilai guna bagi individu, terkait kebutuhan dan teknik seksual, bukan sebagai

    keinginan.

    b. Sebagai nilai tukar, seksualitas tidak lagi sebagai simbolis melainkan dilihat secara

    ekonomis dan bisnis, seperti prostitusi.

    Boneka ini menjadi hal yang konyol tetapi menjadi logis karena dampak dari seksualitas yang

    ditampilkan dan diekploitasi secara rutin oleh media sehingga menjadi hal yang umum. Boneka

    ini merupakan artefak yang diseksualisasi dalam bentuk simulasi dan artifisial berfungsi simbolis

    untuk mengundang libido.

    III. KEGUNAAN

    Dalam masyarakat konsumeris, seseorang dipandang berhasil, bernilai, dan berkualitas dari

    kemampuannya mengonsumsi. Semakin banyak ia mengonsumsi, semakin tinggi kedudukannya.

    Pada titik inilah iklan mengambil peran sebagai media informasi berbagai kebutuhan konsumsi.

    Dengan kemampuan membangun citra melalui tanda/simbol produk komoditi yang kabur dan

    bercampur aduk, iklan menggoda kita untuk mengonsumsi. Kini iklan berperan sebagai pencipta dan

    pembentuk realitas. Iklan lebih tertarik dengan teknik-teknik manipulasi berbagai hasrat dan citarasa

    konsumen melalui permainan citra. Citra inilah sebenarnya yang dijual, bukan lagi produknya. Citra

    inilah yang sengaja diciptakan untuk merayu dan menggoda agar konsumen kehilangan kontrol dan

    mendorongnya untuk mengonsumsi. Dengan menggunakan prinsip komunikasi bujuk-rayu

    (seduction), hasrat untuk selalu mengonsumsi dikendalikan oleh logika hawa nafsu, yaitu sebuah

    mekanisme ketidakcukupan yang diproduksi seseorang dalam dirinya sendiri, yang selalu ingin

    mendapatkan lebih dan merasakan lebih.

    Berangkat dari pisau analisis tubuh Baudrillard ini, maka kita dapat menggunakannya

    secara umum untuk mengkritisi suatu kampanye komunikasi pemasaran terpadu (termasuk iklan)

    produk tertentu (khususnya yang menggunakan tubuh sebagai simbol/tanda) yang bersentuhan

    secara langsung maupun tidak langsung dalam berbagai contact point pada aktivitas keseharian kita.

    Kita dapat melihat makna yang tersembunyi dalam big idea pesan komunikasi produk tersebut

    yang menggiring kita untuk mengkonsumsinya. Media telah membentuk suatu realitas obyektif

    tubuh melalui standar tubuh ideal yang telah ditanamkan dalam persepsi dan nilai dalam

    masyarakat. Berbagai konsepsi tubuh (kecantikan, kelangsingan, seksualitas, dan erotisme) dalam

    permainan strategi gaya hidup yang semata-mata hanya bertujuan untuk membangkitkan nafsu

    konsumsi dalam rangka mendapatkan keuntungan. Salah satu agensi periklanan terkemuka di

    Indonesia telah berhasil memperkenalkan suatu gaya hidup baru food balancing dalam kampanye

    pemasaran terpadunya (yang diawali melalui Wikipedia), yang sebenarnya hanyalah suatu strategi

    pesan yang tersembunyi untuk memperkenalkan produk minuman jus tertentu.

  • 9

    Akibat dari terbentuknya persepsi dan nilai tubuh tersebut, maka muncullah berbagai

    penyakit psikologis/kejiwaan yang sulit untuk dijelaskan secara medis faktor penyebabnya karena

    tuntutan untuk memenuhi konsepsi tubuh yang ideal tersebut. Seperti yang dilihat oleh Emil

    Durkheim dalam masyarakat modern melalui pendekatan fungsionalisme bahwa keseluruhan

    organis yang memiliki kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian

    yang menjadi anggotanya agar menjaga keadaan tetap normal (equilibrium). Bila kebutuhan/fungsi

    tertentu tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat patologis, yang

    menunjukkan ketidakseimbangan atau adanya perubahan sosial. Menurutnya konsumsi seperti ini

    menjadi perilaku kolektif yang dipaksakan kepada manusia, tidak lagi sebagai kenikmatan atau

    kesenangan.

    Tabel 1 Alur Proses Konsumsi Tubuh

    Gejala patologis sosial ini jelas terlihat dalam perilaku narsisme dan exhibisionis yang marak

    terjadi. Pada kondisi yang ekstrem, terlihat pada berbagai penyakit eating disorder seperti5:

    1. Binge eating disorder (BED), perilaku makan dalam jumlah yang banyak (meskipun tidak lapar)

    dan merasa tidak punya kekuatan untuk berhenti makan. Penderitanya biasanya makan dengan

    cepat sampai tidak bisa merasakan apa yang dimakan. Penderitanya berjuang dengan perasaan

    bersalah, jijik, dan depresi, melawan pola makan yang mempengaruhi tubuhnya.

    2. Body dismorphic disorder (BDD), berupa obsesi mengenai penampilan fisik yang sempurna.

    Penderitanya sangat perhatian terhadap kesempurnaan fisik, tapi juga sangat khawatir dengan

    5 http://www.tummytalk-indonesia.com/tentang-eatingdisorder/, diakses pada tanggal 01 April 2014 pukul

    22.13 WIB.

    Brand A

    TVC Print Ad Sosmed

    Standar Tubuh Ideal (Cantik/Tampan, Langsing, Tinggi/Putih, dsb)

    Persepsi Khalayak

    Konsumsi

    Lingkungan Lingkungan

    Eating Disorder

    Ketidakseimbangan Kontinyu

  • 10

    kekurangan fisik, seperti kaki yang pendek, ukuran dada, bentuk tubuh, jerawat, dsb, bahkan

    bentuk fisik yang tidak terlihat sekalipun.

    3. Bulimia, perilaku makan berlebihan namun setelah makan malah memuntahkannya secara

    paksa (misalnya dengan pencahar), karena perasaan bersalah dan kurang percaya diri.

    4. Anorexia, perilaku mempertahankan berat badan yang tidak sehat karena takut menambah

    berat badannya. Penderitanya biasanya tetap menganggap dirinya kelebihan berat badan,

    walaupun badannya telah kurus. Penderita anorexia biasanya tidak mau makan (diet

    berlebihan).

    5. Compulsive overeating, perilaku ketergantungan makanan dan sulit mengontrol pola makan

    karena faktor emosional, sehingga berat badan bertambah secara berkala. Penderitanya

    biasanya menggunakan makanan sebagai cara untuk mengatasi stress, emosi, dan masalah

    sehari-hari.

    6. Night eating syndrome (NES), perilaku makan pada malam hari karena gangguan makan pada

    jam makan sebelumnya, insomnia, atau gangguan mood.

    Sebuah penelitian yang dilakukan oleh PT Shape UP Indonesia kepada 100 pasien peduli berat badan

    di klinik lightHOUSE di Jakarta pada tahun 2013, menemukan bahwa prevalensi binge eating disorder

    sedang sebanyak 70 persen, dan sisanya mengalami bulimia/anorexia6. Penyakit ini juga terjadi pada

    kaum pria, namun sebagian besar telah terjadi pada kaum wanita. Keharusan menjaga berat badan

    ideal telah menjadi tuntutan banyak pekerjaan, seperti pramugari, model, artis, penari, dsb. Miss

    Indonesia 2005, Imelda Fransisca mengakui dirinya pernah mengidap anorexia, serta pria asal

    Inggris, Simon Metin pernah menderita anorexia sejak berusia 13 tahun7.

    IV. REFLEKSI KRITIS

    Mark Poster mencatat secara sistematis lima kelemahan pemikiran Baudrillard secara umum

    (Kellner, 1994: 83)8:

    1. Baudrillard dianggap tidak mampu menjelaskan pengertian istilah-istilah kunci yang ada dalam

    karya-karyanya, terutama istilah kode. Kadangkala ia menggunakan istilah kode-model dan

    binari-digital dalam pengertian yang sama secara bergantian tanpa pernah merumuskan

    pengertian yang sesungguhnya. Terkadang, ia menyamakan istilah kode dengan tanda dan citra

    sebagai istilah-istilah khusus semiotika. Hal ini mengakibatkan kekaburan pemahaman akan

    gagasan-gagasan orisinal yang dikemukakannya.

    2. Gaya menulis Baudrillard yang aneh dan ganjil seringkali tidak dibarengi dengan argumentasi

    yang sistematis dan logis. Pemikiran-pemikiran Baudrillard kehilangan dasar argumentasi yang

    rasional, seperti pada pernyataan tentang nilai-tanda dan nilai-simbol adalah satu-satunya

    realitas dan manusia adalah sekedar terminal hilir-mudiknya tanda-tanda. Realitas-realitas yang

    disuguhkannya tidak didasari oleh data-data akurat karena ketidakpercayaannya terhadap data-

    data kuantitatif, seperti angka-angka statistik. Gaya tulisannya yang cenderung aforistik,

    hiperbola, puitis, dan dipenuhi dengan kata/istilah yang tidak umum (seperti drugstore,

    fantasmagoria, dsb), sehingga terkesan menjadi tak lebih sebagai cerita fiksi kehidupan yang

    bersemangat dan penuh warna, namun tak masuk akal.

    6 Ibid 7 http://eatandfeel.blogspot.com/2013/06/inspiration.html, diakses pada tanggal 01 April pukul 17.33 WIB. 8 http://fordiletante.wordpress.com/2008/04/15/kebudayaan-postmodern-menurut-jean-baudrillard, diakses

    pada tanggal 31 Maret 2014 pukul 14:22 WIB.

  • 11

    3. Baudrillard terkesan hendak mentotalisasikan ide-ide pemikirannya, dan menolak untuk

    mengubah atau membatasi pemikirannya. Ia menulis tentang pengalaman-pengalaman khusus

    konsumsi, seperti seolah-olah tidak ada hal yang lain dalam realitas sosial dewasa ini. Semua

    realitas yang ada, ia anggap hanya sebagai pertukaran tanda dan simbol. Justru terkesan ia

    malah terjebak dalam modernitas, sebuah narasi besar (grand narration) tentang tanda &

    simbol.

    4. Baudrillard menafikan kenyataan bahwa terdapat keuntungan-keuntungan dari perkembangan

    teknologi informasi dan komunikasi. Media massa dan internet juga memberikan manfaat

    positif seperti misalnya mempercepat penyebaran informasi, menyampaikan berita peristiwa-

    peristiwa aktual sehingga lebih membuka pemahaman.

    5. Sikap fatalis dan nihilis yang secara sadar dipilihnya, menjadikan pemikiran-pemikiran

    Baudrillard jauh dari nilai-nilai moral dan agama. Pendapatnya bahwa tak ada lagi jalan kembali,

    bahwa hidup haruslah dijalani begitu saja dengan sikap acuh tak acuh, tak ada lagi kebenaran,

    kesucian, serta nilai-nilai transendental, pada gilirannya membawa Baudrillard jatuh ke dalam

    jurang pesimisme-ekstrim. Masyarakat seperti dihadapkan pada jalan buntu ketika nilai tanda

    dan simbol telah merasuki seluruh aspek kehidupan. Bahkan moralitas dan agama sebagai

    sumber acuan nilai dan prinsip kehidupan, juga tidak bisa berbuat apa-apa. Malah keduanya

    ikut terseret masuk dalam pusaran arus konsumsi. Baudrillard tidak menyampaikan strategi

    pemecahan atas realitas ini.

    Kritik secara pribadi, Baudrillard belum melihat gejala-gejala patologis sosial yang kronis akibat

    konsumsi tubuh. Berbagai penyakit eating disorder terjadi akibat pembentukkan realitas tubuh yang

    ideal oleh media massa terhadap psikologis/kejiwaan individu. Terlepas dari semua kritik tersebut,

    harus diakui bahwa pemikiran-pemikiran Baudrillard tetap sangat berguna bagi pemahaman realitas

    konsumsi tubuh dewasa ini berubah kian cepat.

    V. KESIMPULAN

    Setelah dipaparkan secara ringkas pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan

    bahwa konsepsi tubuh yang dijelaskan oleh Baudrillard sebenarnya telah terjadi dan terbentuk

    dalam persepsi keseharian kita. Apa yang terlihat di luar secara fisik, seolah-olah mewakili kondisi

    apa yang ada di dalam tubuh (jiwa, moral, organ-organ tubuh, dsb). Padahal pada kenyataannya

    tidak seperti itu, kesehatan seseorang tidak dapat ditunjukkan dari penampilan fisik tubuhnya.

    Kesehatan juga tidak selalu dinilai melalui konsumsi tanda-tanda secara materiil, seperti uang.

    Media selama ini telah mengkonstruksi dan menanamkan persepsi tersebut pada

    khalayaknya. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang pesat, membuat siapapun

    tidak dapat mengelak dari terpaan pesan media. Teknologi mobile phone dan jaringan internet

    semakin mendekatkan konstruksi tersebut dalam keseharian kita. Secara sadar atau tidak/bawah

    sadar kita telah terpengaruh dengan segala konstruksi realitas yang sengaja diciptakan media

    melalui konsep tubuh dan simbol/tanda kecantikan, kelangsingan, erotisme, dan seksualitas.

    Bahkan mungkin kita telah mengalami dampak patologisnya melalui pola konsumsi (makan,

    olahraga, obat-obatan, dsb) dalam keseharian kita. Banyak orang yang mengidapnya tetapi tidak

    menyadarinya sehingga menganggap hal ini adalah sesuatu yang lumrah, bahkan menyenangkan.

    Perspektif Baudrillard ini membantu kita dalam mengkritisi dan menyaring informasi secara cermat

    terkait pola konsumsi tubuh yang keliru dalam masyarakat kita -khususnya generasi muda pada era

    informasi saat ini- sehingga dapat memberikan memberikan pemahaman yang utuh dari sisi yang

    berbeda.

  • 12

    DAFTAR PUSTAKA

    Baudrillard, Jean. The Consumer Society: Myths and Structures. Translated by C.T., London: Sage

    Publications, 1998.

  • Tubuh Sebagai Obyek Konsumsi Terindah The Consumer Society: Myths and Structures - Jean Baudrillard

    - Agustinus Rusdianto Berto 1306348240 -

  • Biografi Singkat

    20 Juni 1929: lahir di Reims, Perancis

    1958-1966: Reims Lyce Sorbonne University Ph.D.

    1967: mengajar di Universit de Paris-X Nanterre

    1968: mengajar di Ecole des Hautes Etudes

    1970: asisten profesor di Universit de Paris-X Nanterre

    1972: profesor di Universit de Paris-X Nanterre

    1975: mengajar di University of California, San Diego

    1990: subyek konferensi di Montana, AS

    1968-1990: direktur di beberapa lembaga penelitian

    6 Maret 2007: meninggal dunia di Paris

  • Kalau orang bilang hemat pangkal kaya, saya bilang belanja pangkal kaya.

    Yang menyelamatkan ekonomi dari perlambatan adalah tetap belanja

    Menteri Keuangan RI, M. Chatib Basri (19/08/2013) http://www.tempo.co/read/news/2013/08/19/090505536/Menkeu-Chatib-Basri-Belanja-Pangkal-Kaya

  • Gagasan-gagasan Pokok

    1. Kunci Rahasia Tubuh

    2. Kecantikan & Erotisme Fungsional

    3. Prinsip-prinsip Kesenangan & Kekuatan Produktif

    4. Strategi Modern Tubuh

    5. Tubuh selalu Feminin?

    6. Pemujaan Kesehatan: Fitness

    7. Obsesi terhadap Kerampingan: Kelangsingan

    8. Standar Pertukaran Seks

    9. Simbol dan Fantasi dalam Periklanan

    10. Boneka Seks

  • Kegunaan

    1. Strategi Komunikasi Pemasaran Terpadu

    2. Patologis Eating Disorder:

    Binge eating disorder (BED)

    Body dismorphic disorder (BDD)

    Bulimia & Anorexia

    Compulsive overeating

    Night eating syndrome (NES)

  • Kegunaan

  • Refleksi Kritis

    1. Tidak mampu menjelaskan pengertian istilah-istilah kunci, terutama istilah kode.

    2. Gaya menulis yang aneh & ganjil seringkali tidak dengan argumentasi sistematik & logis.

    3. Terkesan mentotalisasikan ide-ide pemikirannya, menolak untuk mengubah atau membatasi pemikirannya.

    4. Menafikan keuntungan perkembangan teknologi informasi & komunikasi.

    5. Sikap fatalis & nihilis menjadikan pemikirannya jauh dari nilai-nilai moral & agama.

    Mark Poster (Kellner, 1994: 83)

    6. Belum melihat gejala-gejala patologis sosial akibat konsumsi tubuh

  • Kesimpulan

    1. Apa yang terlihat di luar secara fisik, belum tentu mewakili apa yang ada di dalam tubuh.

    2. Media mengkonstruksi realitas semu tubuh.

    3. Perkembangan teknologi komunikasi & informasi (mobile phone & jaringan internet) semakin mendekatkan kontruksi tersebut dalam keseharian.

    4. Secara sadar/tidak/bawah sadar , kita mengalaminya.

    5. Kritisi & saring informasi yang masuk secara cermat.

  • Sekian & Terima Kasih.