pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah :...
Transcript of pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah :...
i
KAIDAH FIKIH EKONOMI
ii
iii
April Purwanto
KAIDAH FIKIH
EKONOMI
iv
Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti
Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry
Desain Sampul : Muhammad Zakky Ramadhan
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
All Rights reserved
Cetakan Pertama, Februari 2019
Diterbitkan Oleh Penerbit Pistaza
Jl Taqwa no 31 Plosokuning IV Rt 17 Rw 07 Minomartani Ngaglik Sleman 55581
Telp 085200713971
Email : [email protected]
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
April Purwanto
Kaidah Fikih Ekonomi/Karya April Purwanto: Penyuntung Naskah, Pudji Hastuti –Cet 1 –Sleman, Pistaza, 2019 xii + 263 h, 14,8 x 21,0 Cm
ISBN 978 602 057-1 Kaidah Fikih Ekonomi I Judul II April Purwanto 9x7.3
v
KATA PENGANTAR
Segala pujian bagi Allah yang telah memberikan kekuatan dan hidayah
kepada penyusun untuk menyelesaikan tulisan ini. Walaupun begitu cepat
waktu yang digunakan untuk menyusun buku ini, namun waktu yang
digunakan untuk mempersiapkan bahan dan materi sudah cukup lama
(sekitar dua tahunan). Mengingat buku ini akan segera digunakannya
sebagai bahan kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Program Studi
Ekonomi Syariah pada Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) An Nur. Ketika penulis
mendapatkan Surat Keputusan (SK) nomor: 008 Tahun 2019 Tentang
Penetapan Dosen Pengampu mata kuliah, terutama mata kulih Kaidah Fikih
Ekonomi, penulis berfikir tentang materi apa yang harus dipersiapkan
untuk mengantarkan mahasiswa memahami mata kuliah ini.
Awalnya buku ini hanya merupakan rangkuman dari garis besar mata
kuliah saja yang sering penulis bagikan kepada mahasiswa ketika kuliah,
tetapi atas masukan beberapa mahasiwa penulis berusaha menyeriusi
rangkuman kaidah fikih ekonomi ini, menjadi buku ajar mata kuliah,
mengingat belum banyak buku Kaidah Fikih ekonomi di pasaran yang
membahas tentang permasalahan tersebut. Oleh karena itu, penulis
berusaha semaksimal mungkin untuk serius membuat buku yang penulis
harapkan menjadi pedoman mata kuliah Kaidah Fikih Ekonomi. Insya Allah
dengan berjalannya waktu penulis akan berusaha untuk menyempurna-
kannya.
Untuk memahami mata kuliah Kaidah Fikih Ekonomi, mahasiswa
membutuhkan panduan buku-buku rujuan yang mudah dipahami sesuai
dengan daya pikir mahasisawa. Sedangkan buku-buku yang dipasaran
sangat jarang ditemukan buku Kaidah Fikih Ekonomi yang ditulis para
sarjana yang menggunakan gaya bahasa yang mudah dimengerti. Ada
kitab-kitab kaidah ushul fikih umum dalam bahasa Arab, semisal kitab
“Asybah wa nadhoir” karya imam Suyuti, sangat tidak mudah dipahami oleh
mahasiswa. Mahasiswa butuh buku yang mudah dipahami. Oleh karena itu,
penulis berusaha sekemampuan penulis untuk mempersembahkan sebuah
vi
tulisan Kaidah Fikih Ekonomi sebagai bahan kuliah semester IV untuk mata
kuliah Kaidah Fikih Ekonomi pada program Studi Ekonomi Syariah pada
Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta.
Pada kesempatan ini penulis berusaha sedikit-demi sedikit mencari-
kan " Kaidah syari’ah dari Kaidah fikihiyyah muyassaroh / kaidah-kaidah
fikih yang mudah " yang telah ditulis oleh ulama' dari generasi salafus
sholeh hingga saat ini.
Harapan dari penulisan buku ini adalah agar para mahasiswa semakin
mengenal Kaidah-Kaidah syar'iyah yang disusun oleh para ulama. Karena
dari kaidah-kaidah ini dibangun diatasnya bangunan agama yang megah ini
yang menjadi acuan dalam menjalani kehidupan di dunia. Selain itu kaidah-
kaidah itu diharapkan akan menjadi acuan dalam istimbat hukum, serta
mempermudah bagi kita untuk memahami agama ini. Para mahasiswa
dalam beragama, diharapkan mampu menggunakan kaidah dengan ilmu
sebagai dasar untuk menentukan status hukum ekonomi di dunia milenial
yang semakin maju ini.
Dalam kehidupan beragama mahasiswa mampu mempertimbangkan
berbagai keadaan sehingga mampu memutuskan status hukum tanpa di-
dasari oleh nafsu dan keinginan yang menjerumuskan. Tentu dengan
memahami terlebih dahulu dasar-dasar istimbat hukum yang berupa
kaidah-kaidah ushuliyah maupun Kaidah-Kaidah fikiyah yang telah di
pikirkan oleh ulama-ulama terdahulu.
Bukan hanya asal menyatakan halal atau haram, boleh atau tidak
boleh pada permasalahan fikih ekonomi kontemporer tetapi dengan ilmu
yang dipahami, dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum dalam buku
ini walaupun sedikit minimal bisa membantu menyelesaikan permasalahan
fikih ekonomi kontemporer. Tentunya dengan kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan ulama dan ilmu-ilmu pendukungnya yang menjadi pertimbang-
an untuk memutuskan suatu perkara. Karena hakekat ilmu, pada dasarnya
adalah bagaimana mengetahui kebenaran dengan dalilnya bukan hanya
sekedar akal-akalan & memperturutkan hawa nafsu.
Sebagaimana kata imam Ali r.a tatkala mensikapi perintah rasulullah
untuk mengusap sepatu bagian atas, bukan bagian bawahya bagi orang
vii
yang berwudhu, ketika memakai sepatu dalam perjalanan (musafir) atau
pada musin dingin. Beliau berkata :
لرأى لكان أسفل الف أ ن أعاله وقد رأيت رسول لو كان الد ين ب لمسح م ول ب يسح على ظاهر خفيه -صلى هللا عليه وسلم-الل
Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf
(Sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sung-
guh aku sendiri telah melihat Rasulullah SAW mengusap bagian atas kedua
khufnya.
Penulis menyadari dalam penulisan buku Kaidah Fikih Ekonomi ini
masih banyak kekurangan, kata pepatah “ Tidak ada gading yang tidak
retak” tidak ada kesempurnaan dalam hasil karya manusia, Sekecil apapun
pasti ada kekurangan. Penulis memberanikan diri bukan berarti sudah
sempurna, penulis memberanikan karena keterpaksaan dan kebutuhan
untuk memudahkan mahasiswa dalam memahami Kaidah Fikih Ekonomi.
Penulis menyadari betul kekurangan ini, tetapi karena memenuhi kebutuh-
an dalam pembelajaran para mahasiswa penulis berusaha sekuat tenaga
untuk menyelesaikannya.
Oleh karena itu, penulis ucapkan banyak terima kasih kepada para
pihak yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung
sehingga terselesaikannya tulisan ini. Terutama teman-teman Dosen IIQ An
Nur, teman-teman Dosen di Fak Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan
Kalijaga, teman-teman yang tergabung di Masyarakat Ekonomi Syariah
(MES) DIY, Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) DIY, Forum Zakat (FOZ) DIY
yang penulis sejak Musyawarah Wilayah tahun 2015 diamanahi menjadi
ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO), Kelompok diskusi Group
WA Masyarakat Zakat Indonesia, Kelompok diskusi Group WA Konsorsium
Investasi Syariah (KIS) Surakarta yang memberikan informasi dan bertukar
pikiran serta pengalaman masing-masing dalam diskusi ekonomi syariah.
Penulis juga berharap adanya kritik dan saran dari para dosen Institut
Ilmu al Qur’an (IIQ) An Nur khususnya dan para dosen di kampus lain,
untuk memberikan masukan hingga sempurnanya buku Kaidah Fikih
Ekonomi ini. Mudah-mudahan buku ini dapat menjadi amal jariah penulis
viii
dan menjadi bahan bacaan bagi para mahasiswa penikmat Kaidah fikih
ekonomi. Semoga bermanfaat !!!
Plosokuning IV, 24 Maret 2019
April Purwanto
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A. Pendahuluan .......................................................................................... 1
B. Tujuan Pembelajaran Kaidah Fikih Ekonomi ........................................... 3
C. Urgensi Kaidah Fikih Ekonomi ................................................................ 5
D. Kebutuhan akan disiplin ilmu lain ........................................................ 17
BAB II PENGERTIAN KAIDAH ......................................................................................... 21
A. Kaidah dalam konteks Keindonesiaan .................................................. 21
B. Proses terjadinya kaidah itu di Indonesia ............................................. 22
1. Kaidah dalam Realitas Indonesia ...................................................... 24
2. Kaidah Fikih ...................................................................................... 25
BAB III QAIDAH USHULIYYAH ....................................................................................... 29
A. Pengertian Qaidah Ushuliyah ............................................................... 29
B. Contoh Kaidah Ushuliyyah ................................................................... 34
BAB IV KAIDAH FIKIHIYAH ............................................................................................. 39
A. Pengertian Kaidah Fikihiyah ................................................................. 40
B. Macam-macam Kaidah Fikihiyah .......................................................... 43
C. Perbedaan Kaidah Fikihiyyah dan Kaidah Ushuliyah............................. 45
D Hubungan Kaidah Fikihiyah, fikih, Ushul Fikih dan Kaidah Ushuliyyah .. 47
E. Kegunaan dan Fungsi Qowaid Fikihiyah dalam Fikih ............................ 49
F. Kaidah Assasiyah dan Kaidah Far’iyah . ................................................ 50
BAB V SEJARAH PERKEMBANGAN KAIDAH FIKIH ................................................ 61
A. Pentingnya Kaidah Fikih ....................................................................... 61
x
B. Ushul fikih di masa Rasulullah SAW ...................................................... 62
1. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan .............................................. 62
2. Fase Perkembangan dan Kodifikasi ................................................... 65
3. Fase Kematangan dan Penyempurnaan ........................................... 68
C. Metodologi Penyusunan Kaidah Fikihiyah ............................................ 69
D. Lima Kaidah Ushul Fikih ....................................................................... 69
I. Kaidah Asasi Pertama ....................................................................... 69
II. Kaidah Asasi Kedua .......................................................................... 70
III. Kaidah Asasi Ketiga.......................................................................... 73
IV. Kaidah Asasi Keempat ...................................................................... 75
V. Kaidah Asasi Kelima .......................................................................... 77
BAB VI KAIDAH FIKIH DAN PERMASALAHANNYA ............................................... 81
A. Pengertian Kaidah Fikih ........................................................................ 81
B. Posisi Kaidah Fikih ................................................................................ 82
C. Urgensi Kaidah Fikih ............................................................................. 82
D. Proses kodifikasi kaidah fikih................................................................ 83
E. Sistematika penulisan Kaidah Fikih ...................................................... 84
F. Klasifikasi kaidah fikih .......................................................................... 85
BAB VII MAQASHID SYARIAH DALAM USHUL FIKIH .......................................... 87
A. Maqashid syariah dalam ekonomi islam ................................. 89
B. Bangunan Ekonomi Islam ....................................................... 95
C. Tujuan Ekonomi Islam Berdasarkan Maqashid Syariah .......... 97
D. CSR (Maqashid Syariah Dalam CSR) ........................................ 98
E. Tingkatan Maqashid Syariah ................................................... 99
F. Maqashid Syariah Dalam Konsumsi ........................................ 99
BAB VIII KAIDAH FIKIH TENTANG EKONOMI ........................................ 101
A. Kaidah-Kaidah Fikih Yang Berhubungan dengan Masalah Ekonomi ... 101
xi
B. Penerapan Kaidah Fikih dalam Ekonomi ............................................ 103
BAB IX KAIDAH FIKIH TENTANG TRANSAKSI KEUANGAN ............................ 111
A. Kaidah Fikih dan Kaidah Ushuliyah ................................................... 111
B. Niat dan Motivasi dalam Kontrak ....................................................... 114
C. Konsep Menghilangkan Mudharat .................................................... 116
D. Aturan Relaksasi (Keringanan) Dalam Hukum Islam .......................... 118
E. Status Adat ....................................................................................... 120
F. Keyakinan Versus Keraguan ............................................................. 121
BAB X KAIDAH-KAIDAH FIKIH EKONOMI .............................................................. 123
Kaidah Kedua puluh dua ............................................................................................................. 223
Kaidah pertama........................................................................................ 123
Kaidah Kedua ........................................................................................... 128
Kaidah Ketiga ........................................................................................... 132
Kaidah Keempat ....................................................................................... 138
Kaidah Kelima .......................................................................................... 143
Kaidah Keenam ........................................................................................ 146
Kaidah Ketujuh ......................................................................................... 151
Kaidah Kedelapan .................................................................................... 156
Kaidah Kesembilan ................................................................................... 160
Kaidah Kesepuluh..................................................................................... 165
Kaidah Kesebelas ..................................................................................... 167
Kaidah Kedua belas .................................................................................. 169
Kaidah Ketiga belas .................................................................................. 172
Kaidah keempat belas .............................................................................. 174
Kaidah Kelima belas ................................................................................. 181
Kaidah Keenam belas ............................................................................... 185
Kaidah Ketujuh belas................................................................................ 193
Kaidah Kedelapan belas ........................................................................... 200
xii
Kaidah Kesembilan belas .......................................................................... 208
Kaidah Kedua puluh ................................................................................. 215
Kaidah Kedua puluh satu.......................................................................... 219
Kaidah Kedua puluh tiga .......................................................................... 227
Kaidah Kedua puluh empat ...................................................................... 231
Kaidah Kedua puluh lima ......................................................................... 236
Kaidah Kedua puluh enam ....................................................................... 240
BAB XII. PENUTUP ............................................................................................................. 244
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 246
RIWAYAT PENULIS ........................................................................................................... 254
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Pada Semester genap tahun 2019 penulis diminta untuk mengajar
mata kuliah Kaidah Fikih Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
pada program studi Ekonomi Syariah. Mata kuliah ini sebenarnya bagi
penulis merupakan mata kuliah baru, karena baru kali ini penulis ditugasi
untuk mengajar mata kuliah Kaidah Fikih Ekonomi. Bagi penulis ini adalah
hal yang baru karena selama penulis kuliah di jenjang sarjana S1 maupun
S2 penulis tidak pernah mendapat mata kuliah Kaidah Fikih Ekonomi.
Penulis menyadari kekurangan tersebut. Namun ini merupakan tantangan
yang sekaligus sebagai pemicu bagi penulis untuk lebih banyak belajar lagi
tentang kaidah-kaidah fikih pada khususnya dan ilmu-ilmu lain yang
mendukung pembelajaran kaidah fikih pada umumnya.
Dua tahun silam penulis berusaha menghimpun buku-buku kaidah
ushul fikih dan penulis berusaha merangkum materi kaidah-kaidah terse-
but. Karena menurut penulis kaidah fikih sangat penting dan bisa dijadikan
dasar dalam mengambil keputusan dalam masalah-masalah ekonomi mo-
dern. Mengingat problema ekonomi modern sangat kompleks dan susah
ditemukan dalam ajaran Islam yakni Alquran maupun hadits.
Oleh karena itu, dengan mata kuliah yang akan penulis ajarkan ini
penulis merasakan kebodohan yang sangat karena sedikitnya pemahaman
dari penulis dalam kaidah fikih ekonomi. Karena Kebodohan inilah panulis
mengupgrade diri untuk memahami kaidah fikih ekonomi. Penulis yakin
akan suatu pepatah yang mengatakan, “seorang ahli tidak akan mampu
menjadi ahli tanpa mengulang apa yang menjadi keahlian-nya”. Ungkapan
inilah yang memotifasi penulis untuk bangkit menerima tantangan
mengajar mata kuliah Kaidah fikih ekonomi.
Untuk mengajar mata kuliah itu penulis harus mempersiapkan bebe-
rapa literatur yang beragam. Ketika penulis mencari literatur Kaidah Fikih,
penulis teringat pernah menyimpan kitab kuning yang sudah agak kumal
dipojok rak buku karena sudah bertahun-tahun sudah tidak dijamah. Buku
2
itu berjudul “Al Asybah wa Nadhoir fil Furu” karya Imam Jalaluddin Abdur
Rahman bin Abu Bakr As Suyuthi. Setelah penulis baca-baca, walaupun
penulis tidak begitu lancar berbahasa Arab, ternyata disana terdapat
beberapa Kaidah Fikih dengan berbagai klasisfikasinya.
Penulis menyadari bahwa tidak semua mahasiswa juga mampu untuk
membaca teks kitab tersebut. Oleh karena itu harus ada rujukan pendam-
ping yang lebih mudah untuk dipahami dalam pembelajaran Kaidah Fikih
Ekonomi. Beberapa buku ushul Fikih dan Kaidah ushul fikih yang ber-
bahasa indonesia sebenarnya juga dapat menjadi literatur dalam pembe-
lajaran Kaidah Fikih Ekonomi tersebut.
Materi kaidah fikih ekonomi bisa dikatakan sebagai materi dasar bagi
para mahasiswa sebelum terjun ke masyarakat untuk mengabdikan diri
dalam menjalani tugas sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Mengapa
kaidah fikih ekonomi menjadi materi dasar ? Karena kegiatan apapun yang
dilakukan manusia, untuk menghasilkan sesuatu yang berkualitas harus
mengacu pada kaidah yang berlaku. Kaidah sebagai penuntun etika dan
aktiftias kahidupan kita. Kaidah ini bersifat universal, karena pada intinya
kaidah itu adalah
ء ر د ب ل ج د و اس ف ال
ال ص ال
Menolak segala kerusakan dan menarik segala yang bermaslahah
Mata kuliah Kaidah Fikih Ekonomi ini diharapkan agar Mahasiswa
jurusan Ekonomi Syariah mampu mengetahui, memahami Kaidah-Kaidah
Fikih dan meletakkan dalam pembahasan masalah ekonomi. Mahasiswa
dituntut untuk lebih kreatif memecahkan permasalahan-permasalahan
kontemporer yang semakin hari dirasakan semakin pelik. Sehingga mem-
butuhkan istimbat hukum yang bisa dipahami oleh berbagai kalangan umat
Islam. Dengan kemunculan transaksi-transaksi baru yang tidak pernah ada
contoh sebelumnya, para ulama dalam memberikan fatwa di tuntut untuk
kreatif dan aktif belajar ilmu-ilmu modern untuk memutuskan suatu
perkara. Disini mahasiswa diajak untuk berpikir global dan kreatif dalam
memecahkan masalah dengan segala persoalannya. Mahasiswa mampu
mempertimbangkan dengan berbagai pertimbangan dalam memecahkan
permasalahan muamalah iqtishadiyah di era modern ini.
3
Buku-buku Kaidah fikih dan ushul fikih yang ditulis oleh ulama dan
sarjana dengan berbagai latar belakang disiplin ilmu sebenarnya sangatlah
banyak. Namun ketika mencari buku atau kitab yang mengkhususkan diri
dalam pembahasan Kaidah Fikih Ekonomi masih sangat minim. Oleh
karena itu penulis memberanikan diri untuk mencoba meramu berbagai
Kaidah Fikih yang mengkhususkan diri pada Kaidah Fikih Ekonomi.
Alhamdulillah, dengan segala kekuatan dan kemampuan yang dianugerah-
kan Allah kepada penulis, penulis mampu menyelesaikan penulisan buku
Kaidah Fikih Ekonomi.
Buku Kaidah Fikih Ekonomi ini, ditulis untuk kalangan Mahasiswa
terutama mahasiswa jurusan Ekonomi Syariah yang baru belajar mema-
hami berbagai persoalan yang sudah terjadi untuk persiapan menghadapi
persoalan yang sedang dan akan terjadi di masyarakat. Mengingat segala
persoalan yang terjadi di masyarakat akan berlangsung terus menerus dan
tidak akan pernah berhenti. Ketika kita mampu menyelesaikan persoalan
masa lalu maka dipastikan akan mucul persoalan pada masa sekarang dan
juga apabila kita mampu menyelesaikan persoalan masa sekarang dimasa
depan akan muncul persoalan yang baru. Begitulah yang menjadi hukum
alam.
B. Tujuan Pembelajaran Kaidah Fikih Ekonomi
Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk membantu mahasiswa
dalam memahami Kaidah Fikih terutama Kaidah Fikih Ekonomi untuk
diterapkan dalam istimbat hukum. Buku ini hanya memberikan contoh-
contoh cara ulama beristimbat hukum dalam menentukan hukum suatu
perkara dengan berbagai metodenya. Kaidah Fikih memudahkan mahasis-
wa atau calon ulama untuk belajar menentukan hukum suatu perkara.
Dengan berbagai pertimbangan faktor-faktor yang mempengaruhi kedu-
dukan hukum suatu perkara.
Dengan buku ini mahasiswa diharapkan mampu mengembangkan
pemikiran hukum ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa diajak
untuk berpikir dengan contoh-contoh yang diberikan. Contoh-contoh
tersebut adalah hasil pemikiran ulama terdahulu dalam proses menetap-
kan suatu hukum terutama yang terkait dengan masalah ekonomi..
Setelah memahami hukum dengan Kaidah-Kaidah yang digunakan
yang terdapat dalam pengambilan keputusan hukum tersebut, mahasiswa
4
diajak untuk berpikir dengan kondisi kekinian. Bagaimana pemikiran
mahasiswa ketika dihadapkan pada pemasalahan transaksi muamalah
kontemporer? Mahasiswa diajak untuk berpikir kritis terhadap suatu
permasalahan kontemporer, Kemudian diajak untuk menuangkan gagasan
pemikirannya ke dalam tulisan. Disini kita bisa menilai apakah mahasiswa
itu mampu mengeluarkan gagasan yang brilian atau tidak. Apakah maha-
siswa mampu memecahkan permasalahan hukum, dengan memberikan
solusi pada permasalahan akad-akad transaksi yang terjadi pada saat ini ?
Kalau dia memahami apa yang tertulis dalam buku ini diharapkan Maha-
siswa akan mampu mengkritisi dan memberikan solusi permasalahan da-
lam bidang muamalah kontemporer.
Dengan mengambil contoh-contoh yang penah dilakukan para ulama
sebagaimana yang dicontohkan dalam buku ini, kita bisa meniru dan
memodifikasi permasalahan yang terjadi pada masa lalu dalam permasa-
lahan yang terjadi pada masa sekarang atau masa yang akan datang.
Bagaimana ulama dahulu mengambil hukum dengan berpedoman pada
Kaidah-Kaidah yang dibuat sendiri. Sekarang dengan Kaidah-Kaidah yang
sudah ada, kita tinggal menjalankan saja. Artinya menggunakan kaidah-
kaidah hukum untuk memutuskan suatu perkara dalam syariat Islam.
Sebenarnya ulama sekarang itu tugasnya lebih enteng dalam istimbat
hukum karena ibarat jalan tol, ulama sekarang sudah tidak perlu mem-
bangun jalan tol lagi, semua sudah ada, jadi tinggal dilewati dan dirawat
jangan sampai rusak. Kaidah fikih sudah dibuat tinggal menerapkan dalam
hukum saja. Walaupun begitu tidak serta merta setiap orang bisa beristim-
bat hukum tetapi harus memiliki kapasitas dan pemahaman yang kompe-
rehensif tentang berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat. Ini butuh
riset untuk memahami hal tersebut. Sehingga fatwa-fatwanya mampu men-
jadi panduan bagi masyarakat pada umumnya.
Apabila kita lihat kondisi sekarang ini, bisa dikata sangat mempriha-
tinkan apabila fatwa ulama sudah tidak didengar oleh masyarakat. Seolah
ulama itu hanya milik segolongan orang yang meminta fatwa saja. Padahal
harusnya fatwa itu menyeluruh bagi setiap anggota masyarakat. Oleh
karena itu hadirnya buku ini diharapkan mampu melahirkan ulama dika-
langan mahasiswa dan para pembaca buku ini untuk bisa memahami
kondisi masyarakat secara komperehensif. Sehingga apabila suatu ketika
diminta untuk berfatwa mampu memberikan jawaban yang bisa digunakan
5
oleh masyarakat secara umum, bukan hanya sekelompok masyarakat yang
meminta fatwa saja.
C. Urgensi Kaidah Fikih Ekonomi
Kaidah fikih ekonomi sebenarnya memiliki ruang lingkup yang cukup
luas, mengingat kajian ekonomi sebagai ilmu, memiliki cakupan yang luas
pula. Sehingga yang membutuhkan kaidah fikih ekonomi bukan hanya
kalangan tertentu saja, tetapi bisa seluruh lapisan masyarakat. Dari masya-
rakat pedesaan hingga masyarakat perkotaan. Walaupun kelihatan-nya
kalangan masyarakat pedesaan kurang memperhatikan hal seperti ini
namun sebenarnya mereka butuh pemahaman kaidah fikih ekonomi juga.
Misalnya dalam kondisi modernisasi seperti sekarang ini kemajuan ilmu
pertanian dan teknologi pertanian mengharuskan dia memproduksi hasil
pertanian dengan kemasan yang layak untuk masuk pada pasar modern. Ia
butuh tenaga ahli, alat bahan, teknologi pemasaran, yang semua itu meru-
pakan hal baru bagi para petani pedesaan. Tentu para petani tidak mau
terdlolimi dan tidak mau mendholimi, dengan adanya alat-alat moderen,
dan pemasaran modern ini. Ia butuh pemahaman tentang kemanfaatan dan
ketentuan hukum yang akan berlaku apabila ia tidak mampu menjalankan
pertanian modern ini. Walaupun ada ungkapan yang menyatakan bahwa
setiap usaha itu pasti mengandung resiko. Tetapi apa salahnya apabila para
petani itu dapat memahami peralatan modern dan pemasaran modern
untuk meminimalisir resiko yang akan didapatkannya. Maka ia harus
memahami tentang kaidah fikih ekonomi sebagai upaya untuk mengurangi
resiko yang akan terjadi dan tidak terdholimi serta tidak mendholimi orang
lain.
Ketika penulis menjadi salah satu pengurus/pimpinan di sebuah lem-
baga keuangan syariah pada tahun 2006-2008, penulis pernah diikutkan
pada sebuah pelatihan perbankan syariah yang diadakan oleh Assosiasi
Perbankan Syariah Indonesia (ASBISINDO) di gedung Artaloka Jakarta
Pusat. Hampir seluruh pesertanya adalah pimpinan organisasi perbankan
syariah dan organisasi keuangan bukan bank yang mengunakan label
syariah. Pelatihan itu diadakan bukan hanya sekali namun beberapa kali.
Dalam pelatihan tersebut ada penyampaian materi salah satunya adalah
materi Ushul fikih. Karena diharapkan para pimpinan organisasi mampu
memahami cara-cara ulama beristimbat hukum untuk menentukan hukum
6
suatu transasksi. Namun sayangnya pelatihan itu tidak membahas tentang
kaidah-kaidah fikih untuk ekonomi Islam. Pembahasan ushul fikih yang
diberikan pemateri adalah pembahasan ushul fikih secara umum.
Di beberapa Lembaga keuangan syariah baik bank maupun non bank,
direktur bidang pelatihan, pendidikan dan pengembanan kadang sering
pula mengadakan training kelembagaan dengan materi Ilmu ushul fikih.
Disini materi Kaidah fikih ekonomi juga sangat langka diajarkan dalam
materi-materi training kelembagaan baik perbankan syariah maupun lem-
baga syariah bukan bank, bahkan materi bahasannya tidak ditemukan
sama sekali. Karena kelangkaan itu, maka para praktisi yang pakar ekono-
mi Islam dan SDM lembaga keuangan syariah dan bank syariah bahkan
termasuk regulator syariah perlu sekali memahami ilmu ushul fikih teruta-
ma kaidah-kaidah fikih ekonomi, karena disiplin ilmu ini menduduki posisi
utama dalam ilmu ekonomi syariah, khususnya bagi para pimpinan lemba-
ga keuangan syariah, bank syariah, regulator syariah, dewan fatwa, terlebih
dosen-dosen di perguruan tinggi yang mengajar ekonomi Islam.
Ilmu ushul fikih yang diterapkan dalam kehidupan harusnya bermua-
tan maqashid syariah. Karena dalam maqashid syariah akan memberikan
pemikiran rasional dan filosofis tentang ketentuan-ketentuan fikih muama-
lah, qanun dan fatwa-fatwa, misalnya mengapa gharar itu dilarang, dan apa
yang menjadi sebab dari setiap larangan gharar?, Mengapa bay’ kali bi kali
dilarang?, apa yang menjadi sebabnya, alasannya dan rahasianya?, Menga-
pa riba fadhal dilarang?, apa sebabnya?, Kajian sebab dan falsafah tasyri’
tentang riba fadhal ini akan menghasilkan argumentasi rasional mengapa
penangguhan jual beli emas, perak, dollar, rupiah dilarang?, tetapi mengapa
tahawwuth/ hedging1 untuk maslahah dibolehkan?. Mengapa pertukaran
1 al-Tahawwuth al-Islami atau Islamic Hedging yaitu cara untuk mengurangi
risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi nilai tukar berdasarkan prinsip syariah.Dalam fatwa terbaru dari Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), yaitu Nomor 96/DSN-MUI/IV/2015 tanggal 2 April 2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth Al-Islami / Islamic Hedging) Atas Nilai Tukar, dijelaskan lebih rinci mengenai akad dan mekanisme yang dapat digunakan dalam transaksi lindung nilai, sebagai berikut:1.'Aqd al-Tahawwuth al-Basith (Transaksi Lindung Nilai Sederhana) adalah transaksi lindung nilai dengan skema Forward Agreement yang diikuti dengan Transaksi Spot pada saat jatuh tempo serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang; 2.'Aqd al-Tahawwuth al-Murakkab (Transaksi Lindung Nilai Kompleks) adalah transaksi lindung nilai dengan skema berupa rangkaian Transaksi Spot dan Forward Agreement yang diikuti dengan
7
dinar dengan rupiah harus cash, sedangkan jual beli emas batangan/per-
hiasan secara cicilan dibolehkan. Dalam kasus yang lain; Mengapa talaqqi
rukban2 dilarang ?, apa yang menjadi sebabnya?.
Terus yang penting lagi adalah, apa yang menjadi penyebab larangan
transaksi dua akad dalam satu transaksi?, Mengapa akad two in one itu
dilarang dan mengapa hybrid kontrak dibolehkan?, Bentuk akad two in one
bagaimana yang dilarang dan bagaimana pula yang dibolehkan?. Jawaban-
nya harus dijelaskan secara rasional dan filosofis dalam koridor ilmu ushul
fikih. Urgensi mengetahui sebab ini menjadi suatu keharusan, mengingat
telah terjadi kesalahan fatal dalam menyimpulkan dua akad dalam satu
transaksi (shaf-qatain fi shafqah), yaitu menggeneralisasi secara salah
bahwa setiap two in one (dua akad dalam 1 transaksi) dilarang, padahal
hanya ada dua macam saja dari akad two in one yang dilarang. Ratusan ben-
tuk lainnya dihalalkan. Kesalahan fatal ini karena kajian fikih muamalah-
nya tanpa didasari ilmu ushul fikih tentang sebab dan maqashid syariah
serta tanpa kajian ilmu hadits yang mendalam.
Satu lagi yang cukup penting adalah tentang akad ta’alluq3, Ada ba-
nyak pandangan yang menggeneralisasi semua ta’alluq itu dilarang, semua
jual beli bersyarat itu dilarang, tanpa mengkaji dan memahami mengapa
ta’alluq itu dilarang, apa apa yang menjadi sebabnya, bentuk ta’alluq yang
bagaimana yang dilarang dan bentuk ta’alluq bagaimana yang dibolehkan?.
Mengapa jual beli bersyarat itu dilarang, apa sebabnya?, Semua pengetahu-
an ini sangat berguna menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru yaitu
Transaksi Spot pada saat jatuh tempo serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang; dan, 3. 'Aqd al-Tahawwuth fi Suq al-Sil'ah (Transaksi Lindung Nilai melalui Bursa Komoditi Syariah) adalah transaksi lindung nilai dengan skema berupa rangkaian transaksi jualbeli komoditi (sil'ah) dalam mata uang rupiah yang diikuti dengan jual-beli komoditi (sil'ah) dalam mata uang asing serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang pada saat jatuh tempo..Selanjutnya dalam fatwa tersebut juga diatur pula beberapa ketentuan pelaksanaan Islamic Hedging yaitu: transaksi lindung nilai syariah atas nilai tukar tidak boleh dilakukan untuk tujuan yang bersifat spekulatif (untung-untungan), hanya boleh dilakukan apabila terdapat kebutuhan nyata (lil hajah), hak pelaksanaan muwa'adah dalam mekanisme lindung nilai tidak boleh diperjualbelikan. Lihat Peraturan Bank Indonesia no 18/2/PBI/2016
2 Talaqqi Rukban, ialah kegiatan pedagang dengan cara menyongsong peda-gang desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar)
3 Akad Ta’alluq adalah satu akad yang pelaksanaannya tergantu pada akad yang lain.
8
akan memberikan pemahaman apa dan bagaimana bentuk akad ta’alluq
yang dilarang dan mana pula yang dibolehkan, begitu pula jual beli bersya-
rat, mana jual beli yang dilarang dan mana pula yang dibolehkan. Semua
analisisnya harus didasarkan pada kajian illat atau sebab dalam metodologi
ushul fikih.
Contoh lainnya yang juga menarik adalah akad sewa beli (lease and
purchase), apakah akad ini bisa disebut sebagai gharar,? Apa yang gharar
dalam akad ini?. Ketidakjelasan akadnya sewa atau beli, atau dianggap
tidak jelas pemindahahan kepemilikan?. Di sinilah diperlukan kajian illat
atau sebab dan maqashid syariah, sebuah kajian falsafah syariah mengapa
gharar itu dilarang, apakah sebabnya terdapat pada akad sewa beli itu?
Secara praktis, sebenarnya akad sewa beli tidak gharar, karena akad-
nya sudah jelas sekali. Usman Tsabir sudah membahas kontrak ini dalam
buku Muamalah Maliyah Mu’ashirah, secara tuntas4 Begitu sewa berakhir,
maka secara otomatis dan demi hukum aset menjadi milik nasabah, tanpa
perlu akad baru lagi, karena janji hibah yang diaktekan ada saat akad sudah
terwujud secara otomatis setelah berakhirnya periode sewa. Kejelasan
akad sewa beli ini tidak akan memancing dispute atau rawan perselisihan,
karena itu hukumnya boleh. Jual beli gharar yang sebabnya sudah hilang,
hukumnya boleh, sesuai dengan kaedah al hukm yaduru ma’al illat wujudan
wa ‘adaman (hukum itu berputar sesuai dengan sebab, jika ada sebabnya,
maka hukumnya berlaku, jika tidak ada sebab, maka hukum tidak ada, tidak
berlaku).
Dalam kasus ini gharar itu dilarang karena akan sangat rawan
menimbulkan perselisihan para pihak, sedangkan dalam akad sewa beli
semuanya sudah jelas, sama jelasnya dengan kontrak jual beli. Karena akad
yang jelas itu maka peluang perselisihan tidak ada, maka akibat akad
hybrid sebenarnya tidak ada. Kalaupun peluang dispute ada, tapi porsinya
sedikit sekali dan kecil sekali, bahkan disputenya bukan karena ghararnya,
melainkan karena moral hazard di antara kedua pihak, misalnya dengan
sengaja menunda pembayaran cicilan. Kecilnya peluang perselisihan sewa
sama saja dengan kecilnya peluang jual beli murabahah cicilan, sebab
setiap akad pasti selalu ada kemungkinan terjadinya perselisihan, tapi
4 Muhammad Utsman Syabir, 2007,Muamalah Maliyah Mu’ashirah, Daarun
nafais, Kuwait, hal 321
9
sekali lagi bukan karena ketidakjelasan akadnya, melainkan karena moral
hazard terutama dari nasabah yang mencicil.
Cobalah kita gunakan logika akal sehat kita, kalau ada akad lease and
purchase tanpa bunga, dengan ketentuan akad yang jelas, maka hukumnya
boleh, karena tidak ada gharar dan tidak ada riba. Dengan demikian tidak
semua gharar itu dilarang. Hanya gharar yang besar saja yang dilarang,
yaitu peluang yang mendatangkan perselisihan saja yang dilarang syariah,
sedangkan gharar yang sedikit tidak dilarang apalagi sudah menjadi ‘urf.
Oleh karena itulah ulama membagi gharar kepada 3 macam, gharar katsir,
gharar mutawassith dan gharar qalil.
Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu akad yang
mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kepastian, baik ada atau
tidak adanya obyek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan
menyerahkan obyek yang disebutkan, dalam akad tersebut5. Atau dalam
beberapa kasus dipahami sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak
mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan objek
akad. Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khathar (pertaru-
han) dan menghadang bahaya6. Sehingga Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-
gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah)7. Sedangkan
menurut Al-Musyarif, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan
al-jahalah (ketidakjelasan) serta jual beli dalam bahaya, yang tidak dike-
tahui harga, barang, keselamatannya, dan kapan memperolehnya, dan hal
ini termasuk dalam kategori perjudian.
Menurut ahli bahasa lainnya, jual beli gharar adalah jual beli yang
lahirnya menggiurkan pembeli sedangkan isinya tidak jelas. Al-Azhari
menyatakan: “Termasuk dalam jual beli gharar semua jual beli tidak jelas
yang mana kedua pihak berakad tidak mengetahui hakikatnya sehingga ada
faktor atau pihak lain yang menjelaskannya8
5 Habib nazir, Muhammad Hasanudin,2008, Ensiklopedi Ekonomi dan Per-
bankan Syariah, Kafa Publishing, Bandung, Hal 245
6 Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648
7Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, 1383, Majmu’ Fatawa Shaikh al Islam Ahmad b. Taimiyah. Al Riyadh Press, Riyadh,. Vol. 29. Hal 22
8 Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi. 2008, Problematika Investasi pada bank Islam solusi ekonomi; (Terj: Rafiqah Ahmad, Alimin). Migunani, Jakarta:. lihat juga: al-jauhariy, ash-shahih, vol 23: hal 786
10
✓ Dalil tentang Pelarangan Gharar
Jika dalam dasar hukum gharar adalah batil, dan yang dimaksudkan
adalah gharar yang dilarang dan diharamkan berdasarkan beberapa ruju-
kan hadist antara lain:
عليه وسلم عن ب يع الصاة وعن ب يع الغرر نى رسول الل صلى الل “ Rasulullah saw melarang jual beli al-hashah (dengan melempar batu) dan
jual beli gharar.9”
Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah 10
dan jual beli gharar. Menjual suatu barang dengan mengecualikan sebagi-
annya, kecuali yang dikecualikan itu telah diketahui keberadaannya. Misal-
nya jika seorang menjual kebun, maka tidak diperbolehkan baginya menge-
cualikan sutu pohon yang tidak diketahui karena didalamnya mengandung
unsur penipuan dan ketidakjelasan yang diharamkan.11 “Rasulullah saw
telah melarang jual beli muhaqalah12, munabazah13 dan tsunayya14, kecuali
jika telah diketahui” 15.
9 HR Muslim
صاة 10 صى adalah bentuk jamak dari kata الح yang berarti kerikil. Mereka (ahli الح
bahasa) berkata, “Bahwa kalimat صاة -termasuk dalam kategori idhafah (menyan ب يحع الح
darkan) mashdar (kata dasar) kepada macamnya.”Makna jual beli dengan cara melempar kerikil, yaitu seorang penjual berkata kepada pembeli, “Lemparkan kerikil ini, di mana saja kerikil ini jatuh, maka itulah batas akhir tanah yang engkau beli”.Jual beli seperti ini hukumnya haram dan termasuk jual beli Jahiliyyah.
11 Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, 2012, Minhajul Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Darul Haq,,Jakarta, hal 459
12 Al-Muhaqalah diambil dari kata قحل yang berarti ladang, di mana hasil الح
pertanian masih berada di ladang. Maksud dari jual beli muhaqalah yaitu menjual biji-bijian (seperti gandum, padi dan lainnya) yang sudah matang yang masih di tangkainya dengan biji-bijian yang sejenis. Pada jual beli model ini terkumpul dua hal yang ter-larang, yaitu: 1. Adanya ketidakjelasan kadar pada barang yang dijualbelikan. 2. Padanya terdapat unsur riba karena tidak diketahui secara pasti adanya kesamaan antara dua barang yang dijualbelikan. Padahal ketentuan syar’i dalam hal ini adalah, “Bahwa ketidakpastian adanya kesamaan (antara dua barang yang dijual-belikan) sama seperti mengetahui secara pasti adanya tafadhul (melebihkan salah satu barang yang ditukar) dalam hal hukum.” Ketidakjelasan di sini karena biji-bijian yang masih di tang-kainya tidak diketahui kadarnya (beratnya) secara pasti dan tidak diketahui pula baik dan buruknya barang tersebut. Adapun adanya unsur riba di sini karena jual beli biji-
11
✓ Hukum dan Hikmah Gharar
Berdasarkan hukumnya gharar terbagi menjadi tiga:16
a. Gharar yang diharamkan secara ijma ulama, yaitu gharar yang
menyolok (al-gharar al-katsir) yang sebenarnya dapat dihindarkan
dan tidak perlu dilakukan. Contoh jual beli ini adalah jual beli
mulaamasah17, munaabadzah, bai’ al-hashah, bai’ malaqih18, bai’ al-
bijian dengan biji-bijian yang sejenis dengannya tanpa adanya takaran syar’i yang sudah diketahui akan menyebabkan ketidakjelasan pada sesuatu. Ketidakjelasan di sini karena biji-bijian yang masih di tangkainya tidak diketahui kadarnya (beratnya) secara pasti dan tidak diketahui pula baik dan buruknya barang tersebut. Adapun adanya unsur riba di sini karena jual beli biji-bijian dengan biji-bijian yang sejenis dengan tanpa adanya takaran syar’i yang sudah diketahui akan menyebabkan ketidakjelasan pada sesuatu.
13 Kata al-Munabadzah secara bahasa diambil dari kata الن بحذ yang berarti
melempar, jadi kata منابذة adalah shighah مفاعلة dari الن بحذ. Sedangkan kata munabadzah
secara syar’i berarti seseorang berkata, “Kain mana saja yang kamu lemparkan kepada-ku, maka aku membayar-nya dengan harga sekian,” tanpa ia melihat kepada barang tersebut. Al-Muwaffiq Ibnu Qudamah al-Maqdisi memberi definisi jual beli Munabadzah, “Yaitu masing-masing pihak melempar (menawarkan) pakai-annya kepa-da temannya dan masing-masing mereka tidak melihat pakaian temannya.”Jual beli ini tidak sah disebabkan dua ‘illat (alasan), yaitu: 1. Adanya ketidakjelasan barang. 2. Barang yang dijual masih tergantung pada syarat, yaitu apabila kain tersebut dilempar-kan kepadanya. Dan masuk dalam kategori ini semua jenis barang, berdasarkan perka-taan, “Barang apa saja yang engkau lemparkan kepada saya, maka saya wajib memba-yarnya dengan harga sekian.” Jual beli seperti ini tidak boleh.Jual beli ini dilarang oleh syari’at, karena gambaran jual beli seperti ini akan mengundang perselisihan dan permusuhan antara kedua belah pihak
14 Jual Beli Tsunaya (Penjualan Disertai Pengecualian) yaitu seorang penjual berkata kepada pembeli, “Aku jual barang ini kepadamu kecuali sebagiannya saja”. Atau seorang berkata,“Aku jual unta-unta ini kepadamu kecuali sebagiannya saja.” Atau seorang berkata, “Aku jual pohon ini kepadamu kecuali sebagiannya saja,” dan begitu seterusnya. Pengecualian ini, yaitu seorang penjual menyisakan sesuatu yang masih majhul (tidak diketahui) kepada pembeli dengan cara mengecualikan sebagian dari barang yang sudah dijual.Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa pengecualian sesuatu yang telah diketahui dengan sesuatu yang tidak diketahui akan menjadikan sisanya menjadi tidak diketahui, dan ini tidak boleh.
15 HR At Tirmizi
16 Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, hal 289.
17 Mulamasah secara bahasa adalah sighah (bentuk) مفاعلة dari kata لمس yang
berarti menyentuh sesuatu dengan tangan. Sedangkan pengertian mulamasah secara syar’i, yaitu seorang pedagang berkata, “Kain mana saja yang engkau sentuh, maka kain tersebut menjadi milikmu dengan harga sekian.”Jual beli ini bathil dan tidak diketahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) para ulama akan rusaknya jual beli seperti ini. Jual
12
madhamin19, dan sejenisnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama
tentang keharaman dan kebatilan akad seperti ini.
b. Gharar yang dibolehkan secara ijma ulama, yaitu gharar ringan (al-
gharar al-yasir). Para ulama sepakat, jika suatu gharar sedikit maka
ia tidak berpengaruh untuk membatalkan akad. Contohnya sese-
orang membeli rumah dengan tanahnya
c. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian
yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu
yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan
lain-lainnya. Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam
jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya.
Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka diantaranya
Imam Malik memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin
dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga
memperbolehkannya.
Karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan sikap permu-
suhan pada orang yang dirugikan yaitu bisa menimbulkan kerugian yang
besar kepada pihak lain. Oleh karena itu dapat dilihat adanya hikmah
larangan jual beli tanpa kepastian yang jelas (Gharar) ini. Dimana dalam
larangan ini mengandung maksud untuk menjaga harta agar tidak hilang
dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang akibat jenis
jual beli ini.
beli ini tidak sah disebabkan dua ‘illat (alasan), yaitu: 1. Adanya ketidakjelasan barang 2. Barang yang dijual masih tergantung pada syarat, yaitu apabila kain tersebut dilemparkan kepadanya. Dan masuk dalam kategori ini semua jenis barang, berdasar-kan perkataan, “Barang apa saja yang engkau lemparkan kepada saya, maka saya wajib membayarnya dengan harga sekian.” Jual beli seperti ini tidak boleh.
18 Jual beli mulaqih , yaitu jual beli barang yang menjadi objeknya hewan yang masih berada dalam bibit jantan sebelum bersetubuh dengan betina. seperti mengawinkan seekor domba jantan dan betina agar dapat memperoleh keturunan, jual beli seperti ini haram hukumnya karena mengandung unsur kesamaaran didalamnya.
19 Bai’ al – Madhmin yaitu menjual sperma yang berada dalam sulbi unta jantan. Maksudnya adalah bahwa si penjual membawa hewan jantan kepada hewan betina untuk dikawinkan. Anak hewan dari hasil perkawinan itu menjadi milik pembeli.
13
✓ Klasifikasi Gharar
Terdapat 4 (empat) konsep dasar yang berkaitan erat dengan pembahas-
an gharar yaitu konsep game, zero sum-game, normal exchange (konsep
pertukaran normal) dan konsep resiko.
a. Game
Kalau kita lihat dalam berbagai literatur, Pengertian Game adalah
permainan yang menggunakan media elektronik, merupakan sebuah
hiburan berbentuk multimedia yang di buat semenarik mungkin agar
pemain bisa mendapatkan sesuatu sehingga adanya kepuasaan batin.
Bermain game merupakan salah satu sarana pembelajaran. Game
edukasi dibuat dengan tujuan spesifik sebagai alat pendidikan, untuk
belajar mengenal warna, mengenal huruf dan angka, matematika,
sampai belajar bahasa asing. Desainer yang membuat game harus
memperhitungkan berbagai hal agar game benar-benar dapat mendi-
dik, menambah pengetahuan dan meningkatkan keterampilan yang
memainkannya. Game edukasi di Indonesia bisa masyarakat temukan
di berbagi toko buku, tempat hiburan, pameran atau bazar dan di
sekolah-sekolah yang bekerja sama langsung dengan perusahaan
pembuat game tersebut. Game edukasi dalam perancangan ini dituju-
kan pada produk keluaran PT Maximize Informa Studio Indonesia
(MISI) yang bernama “Edu-Games” 20
Namun, yang dimaksud dengan game disini adalah sebuah pertukaran
yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang dalam termino-
logi fikih lebih dikenal juga dengan istilah mu’awadhah bi qashd al-
ribh.
b. Zero Sum Game
Zero-sum adalah situasi dalam game theory di mana keuntungan sese-
orang setara dengan kerugian orang lain, sehingga perubahan bersih
dalam kekayaan atau keuntungan adalah nol. Zero-sum game mungkin
hanya memiliki sedikit pemain atau memiliki hingga jutaan peserta.
Poker dan perjudian adalah contoh populer zero-sum game karena
20 http;//elib.unikom.ac.id/files/disk1/.../jbptunikompp-gdl-prasetyoad-22806-6-
unikom_p-i.pdf di akses pada tanggal 28 Februari 2019
14
jumlah jumlah yang dimenangkan oleh beberapa pemain sama dengan
gabungan kerugian yang dialami pemain lainnya.
Seperti susunan katanya, ”permainan dengan hasil bersih nol” adalah
konsep permainan yang hanya menghasilkan output win-lose (menang
kalah). Kemenangan yang diperoleh satu pihak adalah secara terbalik
kerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan
naik tanpa mengurangi hasil pihak lain. Pada dasarnya permainan Zero
sum-game ini adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak
ada hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak, tidak ada kerja-
sama. Disinilah terletak adanya unsur gharar sifat dari kontrak ber-
jangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti
ada yang rugi)21 juga mendukung transaksi ini lebih mendekat-kan
transaksi menjadi maysir ketika transaksi pertukaran dari kontrak
tersebut sangat berubah-ubah (volatile) pertukarannya dan sulit
untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka
valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terba-
tas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a
game of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif.
Disamping itu terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain
mengimplikasikan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban
setiap pihak.
c. Normal Exchange
Pertukaran barang dan jasa, akan mendapatkan keuntungan dan
kepuasaan bagi kedua belah pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih
dikenal dengan istilah utility dan profit maximis. Hal ini dapat dicapai
jika marginal utility (kepuasaan maksimum) yang dirasakan kon-
sumen lebih besar dibandingkan harga barang yang dibeli dan biaya
marginal kurang dari harga barang yang dijual.
Berdasarkan asumsi diatas, jelas bahwa tujuan konsumen rasional
dari kegiatan konsumsinya adalah memaksimumkan kepuasaan mate-
riil saja. Berarti seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang atau
jasa sehingga memperoleh kepuasaan selalu menggunakan kerangka
21 Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity
Bank-bank Asing. http://Mgyasni.niriah.com /2017/06/06/ Kritik-Syariah-terhadap -Transaksi-Murabahah-Commodity–Bank-bank-Asing /.diunduh 28 Januari 2019
15
rasionalitas (bersifat duniawi)22. Dan dari pandangan lain utility
ekonomi bukanlah suatu sifat yang selalu muncul dari asal barang
dikonsumsi, tetapi barang tersebut benar-benar diperlukan dan
digunakan serta dapat bermanfaat23.
Dimana menurut islam pertukaran barang dan jasa dapat terjadi
dalam teori konsumsi tujuannya adalah untuk memperoleh maslahah
terbesar, sehingga ia dapat mencapai kemenangan dunia dan akhirat
serta kesejahteraan jadi tidak hanya kepuasaan materiil saja. Dalam
meningkatkan kesejahteraan dan kemasalahatan, Imam Al-Ghazali
mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah baik yang
berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitis, keru-
sakan) dalam meningkatkan kesejahteraan.24 Jadi utilitas individu
dalam islam sangat tergantung pada utility individu lainnya (inter-
pendent utility) sehingga dapat terbentuk kemaslahatan.
d. Risk Concept
Para ilmuwan ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan risiko.
Menurut Knight25 risiko menguraikan situasi dimana kemungkinan
dari suatu peristiwa (kejadian) dapat diukur. Karenanya, risiko ini
dapat diperkirakan setidaknya secara teoritis.
✓ Dampak dari Gharar, Alasan Pelarangan beserta Contohnya.
Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga
kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan
bahwa larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai peranan yang
begitu hebat dan menjamin keadilan.
Ketidaktentuan dan ketidakjelasan timbul khususnya berkenaan dengan
aspek-aspek berikut:
22 Muhammad, 2004, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. BPFE-
Yogyakarta,. Yogyakarta: hal 193
23 Muhammad Abdul Mun’im al-Jamal. 1997, Ensiklopedi Ekonomi Islam. Terjemahan. Selangor Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia,. hal 555.
24 Adiwarman, Karim. 2007, Ekonomi Mikro Islam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta:hal 62
25 Lihat, Frank H. Knight.1921, Risk, Uncertainty, and Profit, Houghton Mifflin Co. Boston
16
➢ Keberadaan barang yang ditransaksikan (barangnya ada atau
tidak;
➢ Barangan yang ditransaksikan itu dapat diserahkan atau tidak;
➢ Kaidah transaksi yang dilaksanakan tidak jelas tetapi menarik
perhatian masyarakat untuk bertransaksi;
➢ Akad atau kontrak yang mendasari transaksi itu sendiri sifatnya
tidak jelas.
Contoh jual-beli gharar ini adalah membeli atau menjual anak
lembu yang masih di dalam perut induknya. Menjual burung yang
terbang di udara. Ia menjadi gharar karena tidak dapat dipastikan.
Yang menjadi pertanyaan adalah sempurnakah janin yang akan
dilahirkan, dapatkah burung itu ditangkap. Maka, jika harga dibayar,
tiba-tiba barangnya tidak sempurna, lalu pembeli tidak puas hati
hingga terjadi permusuhan dan keributan. Islam melarang gharar
untuk menghindari kejadian seperti ini. Akan tetapi, Islam memaklumi
gharar yang sedikit yang tidak dapat dielakkan.
Contoh berikutnya, Gharar/ketidakjelasan bisa terjadi pada
asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pemba-
yaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita
sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika
baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan
meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung mera-
sa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya,
perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara financial.
Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama
masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan
jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan
ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar.
Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli
tersebut cacat secara hukum.
Kemahiran menemukan illat, maslalah dan maqashid dari suatu
akad dan transaksi sangat diperlukan, mengingat kasus-kasus baru
terus bermunculan, seperti pembiayaan KPR syariah secara indent,
MDC (Margin During Construction), tawarruq munazzam, dan sebagai-
nya.
17
Ilmu ushul fikih akan merekonstruksi sebab atau illat dari
larangan jual beli indent (KPR property syariah), bentuk pembiayaan
KPR indent bagaimana yang dilarang? Mengapa dalam jual beli salam,
uangnya harus cash ? sehingga jual beli kali bi kali (al-bay’ bi ajli
badalain) dilarang?, dan bentuk kali bi kali bagaimana yang dilarang,
dan mengapa dilarang ? Apa perbedaan sebab atau illat antara KPRS
Indent (yang menggunakan akad musyarakah mutanaqishah) dengan
jual beli kali bi kali yang dilarang Nabi Muhammad Saw ?. Atau dengan
perkataan lain, apakah boleh cicilan pada salam fil manafi’ untuk
pembiayaan KPRS Indent dengan musyarakah mutanaqishah (MMq)?
Kalau dilarang apa yang menjadi sebabnya?, apakah yang menjadi
sebabnya sudah berubah dan berbeda dengan yang menjadi sebabnya
kali bi kali?. Kalau yang menjadi sebabnya sama maka KPRS indent
dengan MMq tentu tidak dibolehkan, tetapi jika yang menjadi sebab-
nya berbeda, maka KPRS Indent dengan MMq dibolehkan. Disinilah
diperlukan kecerdasan dan kepiawaian dalam menemukan yang
menjadi sebabnya suatu kasus keuangan syariah.
D. Kebutuhan akan disiplin ilmu lain
Upaya menemukan yang menjadi sebabnya sering kali membutuhkan
pengetahuan disiplin ilmu lain yang terkait, misalnya ilmu ekonomi makro.
Mungkin secara fikih muamalah literalis suatu produk dibolehkan, tetapi
setelah mengkaji maslahat dan mudharatnya dari perspektif ilmu ekonomi
makro, sesuatu produk itu bisa dilarang. Karena itu kita jangan terjebak
kepada kerangkeng fikih muamalah, tapi temukanlah yang menjadi sebab-
nya, temukan maslahah dan mudharat dalam sinaran maqashid syariah.
Mungkin saja seseorang memiliki keahlian dalam ushul fikih, tapi tidak
menggunakan pisau analisis ilmu ekonomi makro, sehingga tidak bisa
menemukan yang menjadi sebabnya dengan tepat di bidang ekonomi.
Misalnya ada seorang pakar di luar negeri yang membolehkan transaksi
bursa komoditi berjangka karena mengqiyaskannya dengan bay’ salam,
secara formal memang kelihatannya mirip. Namun secara illat dan
maqashid, terdapat unsur derivatif ribawi di dalamnya, sehingga transaksi
itu menjadi terlarang.
Contoh lain yang cukup sederhana antara lain tentang yang menjadi
sebab larangan riba, dikatakan (dianggap) yang menjadi sebabnya zhulm,
18
padahal yang menjadi sebabnya bukan zhulm. Kesalahan menemukan yang
menjadi penyebab riba, akan menimbulkan kekeliruan berikutnya, misal-
nya menganggap suku bunga bank di Jepang yang berkisar 2-3 persen
setahun adalah tidak riba, karena ringan dan tidak zhulm, dibanding
margin murabahah di Indonesia yang mencapai 10-12 persen setahun. Di
sini dibutuhkan teori-teori ilmu ekonomi makro Islami, seperti teori inflasi,
teori bubble dan krisis, hubungan riba dengan produksi, employment, dan
sebagainya.
Pakar ekonomi Islam dan hukum ekonomi Islam harus bisa menemu-
kan ilat yang menjadi sebabnya secara tepat dan akurat. Pengetahuan
tentang yang menjadi sebab ini begitu urgen, karena dengan mengetahui
yang menjadi sebab, maka ketentuan fikih muamalah akan selalu bermuat-
an maslahah dan maqashid syariah sehingga syariah akan selalu aktual,
responsif, segar dan relevan dengan perubahan-perubahan bisnis dan
tuntutan kemajuan zaman.
Dalam ilmu ushul fikih kajian tentang illat dibahas dalam sub bahasan
masalikul illat, yang dimulai dari takhrijul manath, kemudian tanqihul
manath dan terakhir tahqiqul manath. Forum Training ushul fikih akan
melatih para ekonom muslim (akademisi/praktisi), DPS, regulator dan
bankir untuk menemukan illat dan menetapkannya (tahqiqul manath).
Selanjutnya dalam kajian illat dan maslahah, seorang ahli ushul fikih
harus bisa menentukan qiyas jaliy dan qiyas khafiy dalam banyak kasus
ekonomi keuangan, Tanpa pengetahuan tentang qiyas jaliy dan qiyas khafiy,
maka akan mengakibatkan pandangan yang keliru dalam memahami suatu
konsep fikih muamalah, seperti menggeneralisasi semua tawarruq dila-
rang. Padahal harus dibedakan tawarruq munazzam pada umumnya
dengan tawarruq yang nyata-nyata sektor riil, untuk pembiayaan pertanian
dan UMKM, maka penyalurannya juga pasti menganalisa risiko dan kalku-
lasi bisnis pertanian itu. Dengan demikian, pakar keuangan syariah, akade-
misi dan praktis harus bisa memahami konsep Istihsan dengan baik, agar
pemahaman keuangan syariahnya utuh dan komprehensif. Jika metode
istihsan digunakan secara kreatif, maka bank-bank syariah akan bisa
melahirkan inovasi-inovasi produk yang canggih sehingga bisa tumbuh dan
berkembang dengan cepat bahkan bisa bersaing dengan produk-produk
bank-bank konvensional.
19
Pengetahuan tentang teori operasional qiyas jaliy ke qiyas khafiy, akan
menolong seorang pakar dalam membedakan musyarakah mutanaqishah
untuk KPRS indent Ijarah Maushufah fiz Zimmah(IMFZ) dengan bay kali bi
kali (al-bay’ bi ajli badalain). Kalau seorang ahli fikih tidak bisa membeda-
kannya, maka MMq indent dianggap tidak sah, karena IMFZ sesungguhnya
adalah bay’ salam, sedangkan bay’ salam harus duluan semua uangnya.
Disinilah perlu analisis dan kajian komprehensif tentang perbedaan IMFZ
dengan bay kali bi kali, Setidaknya terdapat 4 hal yang membedakan antara
keduanya dan para ulama dunia membolehkannya asalkan akadnya tidak
menggunakan redaksi salam. Jika terdapat perbedaan antara bay kali bi kali
dengan IMFZ, maka peranan qiyas jaliy harus ditinggalkan menuju qiyas
khafiyy, sehingga penggunaan akad Ijarah IMFZ pada MMq indent menjadi
pratik yang dibolehkan secara syariah. (Ket : qiyas jaliy dalam kasus ini
adalah menyamakan IMFZ dengan salam, sedangkan qiyas khafiyy membe-
dakan IMFZ dengan bay kali bi kali.
Di sisi lain, pembiayaan KPRS indent dengan IMFZ harus dikaji dan
dianalisis dengan bantuan ilmu ekonomi makro, sebab mungkin saja secara
teori hukum Islam pembiayaan KPRS MMq Indent lolos, namun dari aspek
kajian yang lebih luas, (ilmu ekonomi makro), transaksi itu menimbulkan
resiko kemudhratan, spekulasi properti, gelembung-gelembung harga, dan
sebagainya. Nah, kalau ada problem seperti itu, maka pembiayaan properti
indent dengan IMFZ pada MMq, seharusnya dilarang, walaupun hukum
asalnya dibolehkan.
20
21
BAB II PENGERTIAN KAIDAH
Sebelum pembahasan tentang kaidah-kaidah, kaidah ushuliyyah dan
kaidah fikihiyyah perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa pengambilan
dasar hukum dari kaidah-kaidah itu semua adalah nash-nash yang terdapat
dalam al quran maupun hadits. Nash/teks Al-Qur’an dan Hadits dalam teori
terbagi dua, qoth’i (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi
dalalah dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash
qoth’i itu sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah,
dan Fikihiyyah.
Kalamiyyah ialah dalil-dalil yang diunggkapkan Allah secara naqliyah
saja, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ualama.
Semua dipaksa harus sepakat terhadap apa yang diungkapkan Allah dalam
al quran. Jadi yang benar hanya satu. Maka barangsiapa yang melakukan
kesalahan terhadap hal ini, ia akan mendaaptkan balasan diakhirat dan
dinyatakan oleh al quran sendiri sebagai orang yang berdosa. Nash jenis ini
di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan
sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka dan mu’jizat-
mu’jizatnya dan sebagainya. Kemudian apabila kesalahan seseorang itu
mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka ia dinyatakan
bersalah dan ia dianggap sebagai orang yang inkar terhadap Allah, kalau
tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan
tersesat. Walaupun begitu tetap saja Allah yang menentukan hukum dan
membalas perbuatan seseorang yang menjalankannya. Manusia tidak
mampu menentukan apakah ia akan masuk surga atau neraka.
A. Kaidah dalam konteks Keindonesiaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kaidah merupakan kata
serapan dari Bahasa Arab yang artinya rumusan asas yang menjadi hukum;
aturan yang sudah pasti; patokan; dalil26 Namun kaidah ini seringkali kita
jumpai penggunaannya di masyarakat menjadi bias walaupun masih
26 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Hal 376
22
mengalami kemiripan makna. Kata kaidah seringkali juga diartikan sebagai
patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam bertindak.
Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur prilaku
manusia dan prilaku kehidupan bermasyarakat. Seolah kata kaidah ini
menjadi aturan pokok yang menjadi panduan dalam melakukan aktifitas
kehidupan di masyarakat.
Kaidah juga dipahami sebagai petunjuk hidup, yaitu petunjuk
bagaimana seharusnya kita berbuat atau tidak berbuat, bertingkah laku
atau tidak bertingkah laku didalam masyarakat. Dengan demikian, Kaidah
disamakan dengan norma yang terjadi dimasyarakat. Kaidah menjadi berisi
perintah atau larangan bagi setiap orang. Setiap orang hendaknya menaati
norma atau kaidah yang digunakan di masyarakat agar kehidupan dapat
tenteram dan damai. Hukum merupakan seperangkat norma atau kaidah,
dan kaidah itu bermacammacam, tetapi tetap sebagai satu kesatuan.
Karena kaidah itu berisi perintah maupun larangan maka sudah selayaknya
kaidah yang merupakan petunjuk hidup tersebut mempunyai sifat
memaksa yang merupakan ciri dari kaidah hukum. Dalam kaidah hukum
orang yang melanggar harus kena sangsi.
Kaidah sepertinya terjadi dengan begitu saja, dari perasaan orang.
Kadang seseorang dalam berperilaku dan bertindak menyebabkan orang
lain tidak suka, tidak nyaman dan tidak merasa aman. Lantas kepikiran
oleh seseorang bagaimana supaya tingkah laku, dan tindakannya bisa
menjadikan orang lain itu aman, tenteram, senang dan bahagia. Orang
membuat rumusan kehidupan untuk menjadikan orang hidup bermasyara-
kat itu menjadikan hatinya tenang tidak terganggu, tenteram, bahagia serta
bisa menikmati kehidupan dengan penuh kebahagiaan. Nah rumusan orang
untuk menjadikan hidup menjadilebih tenteram, tenang dan aman inilah
yang kemudianmenjadi kaidah dalam kehidupan bermasyarakat
B. Proses terjadinya kaidah itu di Indonesia
Soerjono Soekano dan Purnadi Purbacaraka dalam buku Perihal
Kaidah Hukum, menyatakan bahwa Apa yang diartikan dengan kaidah
adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman bertingkah laku/ berperi
laku atau bersikap dan bertindak dalam masyarakat, dalam menjalani
23
kehidupan.27 Sumber kaidah, Ada yang berpendapat bahwa kaidah itu
datangnya dari luar manusia, kaidah merupakan perumusan suatu
pandangan mengenai perikelaku atau sikap tindakan dalam hidup,
misalnya siapa yang meminjam sesuatu harus mengembalikannya. Ada
pula yang berpendapat bahwa kaidah datangnya dari diri manusia itu
sendiri, yaitu meliputi pikiran dan perasaan sendiri.
Setiap orang memiliki urusan kepentingan dan ingin segera menyele-
saikan urusannya itu. Masyarakat adalah kumpulan dari orang-orang yang
hidup berkelompok. Semua orang ingin bebas menyelesaikan urusan
kepentingannya. Namun perlu diingat bahwa di dalam masyarakat semua
juga ingin tidak terganggu oleh orang lain dalam menjalankan urusan
kepentingannya. Kalau semuanya ingin bebas menjalankan urusannya
tentu akan mengganggu kebebasan orang lain dalam menjalankan urusan-
nya. Padahal setiap orang ingin hidup tenteram aman dan nyaman.
Di dalam masyarakat terdapat berbagai macam kepentingan dimana
kepentingan bersama mengharuskan adanya ketertiban dalam kehidupan
masyarakat. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Agar dapat
memenuhi kebutuhannya dengan aman, tenteram, dan damai diperlukan
suatu tata aturan. Tata aturan yang berwujud aturan yang menjadi
pedoman bagi seluruh tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya
lazim disebut kaidah atau sering juga orang menyebut dengan istilah
norma. Norma memiliki dua hal yang saling bertentangan yaitu:
1. Perintah. Perintah merupakan sifat norma yang harus diikuti secara
umum. Supaya setiap orang dapat menjalani hidup tenteram, nyaman
aman dan damai. Perintah ini mengharuskan setiap orang untuk
berbuat sesuatu atau pebuatan yang dipandang mampu memuaskan
banyak orang, dan bernilai baik oleh karena itu, akibatnyapun
dipandang baik.
2. Larangan Larangan lawan dari perintah yakni norma yang harus
ditinggalkan atau tidak melakukan sesuatu. Karena sesuatu itu dinilai
buruk dan akan berakibat buruk bagi kelangsungan hubungan antar
sesama manusia.
27 Soerjono Soekano dan Purnadi Purbacaraka, 1993, Perihal Kaidah Hukum,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 24
24
Disini norma berfungsi untuk memberi petunjuk kepada manusia mengenai seseorang harus bertindak dalam masyarakat, serta perbuatan mana yang harus dijalankan dan yang harus dihindari. Norma itu dapat dipertahankan dengan sanksisanksi, yaitu ancaman hukuman terhadap siapa saja yang melanggarnya. Sanksi merupakan suatu legitimasi pengu-kuh terhadap berlakunya norma tadi dan merupakan reaksi terhadap perbuatan yang melanggar norma.
1. Kaidah dalam Realitas Indonesia
Di dalam kehidupan masyarakat tentu setiap orang mendambakan
kehidupan yang aman dan tenteram tanpa adanya gangguan dari siapapun.
Apabila keamanannya teganggu maka masyarakat akan merasa tidak
nyaman dan kacau. Manusia yang bersifat individualistis akan mementing-
kan dirinya sendiri, dengan demikian timbullah pertikaian. Jika keadaan
masyarakat terus menerus seperti itu maka tidak dapat dikatakan ada
kehidupan yang teratur dalam masyarakat tersebut. Namun, kehidupan
masyarakat dalam pergaulan masyarakat terikat oleh kaidah dan norma
yang berlaku di masyarakat, yaitu peraturan hidup yang mempengaruhi
tingkah laku manusia di dalam pergaulan di masyarakat. Sejak kecil
manusia telah merasakan adanya peraturan hidup yang membatasi sepak
terjangnya. Pada awalnya hanyalah peraturan hidup yang berlaku dalam
lingkungan keluarga saja, baru kemudian yang berlaku di masyarakat. Apa
yang dirasakan paling nyata adalah peraturan hidup yang berlaku dalam
suatu negara. Namun, dengan adanya norma itu dirasakan adanya
penghargaan dan perlindungan terhadap diri dan kepentingannya. Karena
memang norma bertujuan agar kepentingan dan ketenteraman warga
masyarakat terpelihara dan terjamin.
Setiap daerah memiliki tradisi dan kaidah serta norma yang berbeda.
Orang jawa menyebut kaidah atau norma dengan unggah-ungguh. Dijawa
ketika menghadapi orang banyak atau berjalan melewati kumpulan orang
banyak harus menundukkan badan dan posisi badan harus lebih rendah
dari orang yang dilaluinya. Kalau naik kendaraan harus turun. Kalau orang
jawa tidak melakukan itu dianggap dan dicap sebagai orang yang tidak
memilki unggah ungguh atau orang yang memiliki tata krama. Namun
sangat berbeda ketika orang jawa berada di padang atau batak.atau daerah
lain. Aturan itu hilang karena dalam adat kebiasaan mereka mungkin tidak
ditemukan unggah ungguh, subasita atau tata Krama. Toh kalau ada unggah
25
ungguh, subasita atau tata Krama. Mungkin dalam bentuk yang lain tidak
seperti orang jawa. Di Indonesia Kaidah dipahami sebagai moral, etika,
susila, unggah-ungguh dan tata krama.
2. Kaidah Fikih
Kalau di Indonesia kaidah dipahami sebagai tata kehidupan yang
harmonis, sebenarnya sama dalam kehidupan masyarakat Islam. Dalam
Islam kaidah dipabami sebagai dasar aturan dalam penetapan hukum dan
tata cara berperilaku sebagai seorang muslim. Sebagai kajian ilmu kaidah
fikih memiliki peranan penting dalam penentuan hukum syariah. Dalam
studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fikih
senantiasa diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan
pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fikih, kita mendapat dua
term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fikih
Kaidah (Kaidah) dalam bahasa arab Jamaknya Al- Qawâ’id. Secara
bahasa, Kaidah artinya asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang
konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang
artinya fondasi rumah, qawâ’id al-dîn, artinya dasar-dasar agama, qawâ’id
al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di dalam Al-qur’an
surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :
نا ن الب يت وإساعيل رب نا ت قبل م يم القواعد م يع وإذ ي رفع إب راه إنك أنت السم [ ٢:١٢٧العليم ]
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah dari-pada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".28
ب ن م فأتى الل ن ق بله ن قد مكر الذين م م السقف م يانم من القواعد فخر عليهن حيث ل يشعرون ] م وأتهم العذاب م [ ١٦:٢٦ف وقه
Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap
28 QS Al-Baqarah 127
26
(rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari. 29
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar,
asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.30 Al-Qaidah al-
fikihiyah ( kaidah-kaidah fikih) secara etimologis artinya dasar-dasar atau
asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih .
Sedangkan arti fikihiyah diambil dari kata fikih yang diberi tambahan
ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara
etimologi makna fikih lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang
banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman
Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122 :
نون لي نفروا كافة هم طائفة لي ت فقهوا ف وما كان المؤم ن ف لول ن فر من كل فرقة مم لعلهم ي [ ٩:١٢٢ذرون ]الد ين ولي نذروا ق ومهم إذا رجعوا إليه
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.31 Hadist Nabi SAW :
به خي ا ي فق هه من مه رشده ف يرد الل الد ين وي له“Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan dimudahkan dalam
urusan agama dan ia diilhami Petunjuk-NYa”32
Maka Al-Qawâ’id al-Fikihiyah (kaidah-kaidah fikih) secara etimologis
adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah
29 QS An-Nahl 26
30 Ali Ahmad Al-Nadwi, 2000, Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah, Dâr al-Qâlam, Beirut :, cet. V. Lihat juga Muhammad al-Ruki 1998, Qawâ’id Al-Fiqhi al-Islami, Dâr al-Qâlam, Beirut,, cet. I, hal. 107.
31 QS At-Taubah ;122
32 HR. Bukhari Muslim
27
atau jenis-jenis fikih.33 Para ulama dalam mendefinisikan kaidah secara
terminologi (istilah) beda. Ada yang memperluaskannya dan ada yang
mempersempitkannya. Semua dilakukan untuk lebih memudahkan para
pembelajar lebih mudah memahami uraian-uraian yang disampaikan para
ulama. Walaupun berbagai uraian yang disampaikan berbeda tetapi
sebenarnya substansi uraiannya tetap sama.
Seperti Muhammad Abu Zahrah misalnya mendefinisikan kaidah
dengan34 :
د يمعها ع إل قياس واح ات الت ت رج تشاب مموع األحكام ال
“kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya”.
Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan35:
ا يع جزئيات ية كل ية منطبقة على ج قض“ketetapan yang kulli (menyeruruh, general) yang mencakup seluruh bagian-
bagiannya”
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771H) mendefinisikan kaidah dengan36 :
ها ن األمر الكل ي الذي ي نطبق عليه جز ئيات كثية ي فهم أحكا مها م“kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang
banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah
tadi”
Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimahnya, dan Ibnu Nuzaim (w.
970 H) dalam kitab al-asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan
bahwa kaidah itu adalah37 :
33 Asymuni A. Rahman, 1976, Qa’idah-qa’idah Fiqh, : Bulan Bintang ,Jakarta,
cet. I. Hal 6
34 Muhammad Abu Zahrah, tt, Ushul Fiqh, Dâr Al-Fikri Al-Arabi, tt, hal. 10
35 Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, 1983 M, Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt, hal. 171
36 Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki,tt, Al-Asybah wa al-Nazhâir: Juz I, Dâr al-Kutub al-Islamiyah, Beiruthal. 11
37 Ibnu Nuzaim, 1983, Al-Asybah wa al-Nazhair, Dar al-Fikr, Damaskus:, hal 8
28
ها معرفة القواعد الت ت ردإليه وف رعوا األحكام علي “Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci daripadanya
hukum”
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya “al-asybah wa
nazhair”, mendefinisikan kaidah dengan38:
حكم كل ي ي نطبق علي جز ئياته “ Hukum kulli (menyeluruh,general) yang meliputi bagian-bagiannya” .
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan
kepada juz ‘iyat nya (bagian-bagiannya). Dengan demikian di dalam hukum
Islam ada dua macam kaidah:
1. Kaidah-kaidah ushul fikih, yang kita temukan di dalam kitab-kitab
ushul fikih, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari
sumbernya Al-Qur’an ataupun Al-Hadis. Kaidah ushul adalah kaidah
pokok dalam pembahasan fikih pada bab selanjutnya dibahas dalam
kaidah ushuliyyah
2. Kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumya di dalam nash. Maka dalam materi kaidah fikih ekonomi ini, yang akan dibahas adalah kaidah fikih bukan kaidah ushulnya, dalam bab setelah bab kaidah ushuliyyah akan dibahas kaidah fikihiyyah.
38 Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, 1979, al-Asybah wa al-Nazhair fi
Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’I, cet. I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut:, hal.5
29
BAB III QAIDAH USHULIYYAH
A. Pengertian Qaidah Ushuliyah
Kaidah ushuliyah merupakan gabungan dari dua kata Kaidah dan
ushuliyah. Kata kaidah sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya yang dalam bahasa Indonesia ditulis dengan bahasa Arab
kaidah, artinya dasar atau pondasi sesuatu39, patokan, pedoman dan titik
tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak kaidah
(mufrad) adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, arti-
nya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Ashl secara etimologi diarti-
kan sebagai fondasi dari suatu bangunan yang diatasnya akan didirikan
suatu bangunan(fikih) yang kehadiranya lebih dahulu dari bangunan (fikih)
itu sendiri40 atau dengan kata lain “fondasi sesuatu, baik yang bersifat
materi ataupun bukan”
Ushul Fikih adalah kata ganda yang terdiri dari dua kata, yaitu kata
ushl bentuk jamak dari Ashl dan kata fikih. Kata fikih secara etimologi
”paham yang mendalam” Adapun menurut istilah, Ashl artinya “sesuatu
yang menjadi dasar bagi yang lainnya”. Dari pengertian ini ada banyak hal
yang menjadi dasar bagi yang lainnya, maka uala mengembangkan
pengertian dari ashl diantaranya:
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul
fikih bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman
Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b. Kaidah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi
Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau
fondasi)”.
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul
fikih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti
39 Abdul Aziz Dahlan et. al.(ed), Ensiklopedi hukum Islam vol 3, Ikhtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta, hal 860
40 Ibid, hal 866
30
hakikatnya”. Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perka-
taan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak
semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, sese-
orang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti
warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinya-
takan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia
tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu
juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul: ”Anak adalah
cabang dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil,
yakni dalil-dalil fikih. Jadi, kaidah ushuliyah adalah pedoman untuk meng-
gali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan
metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai Kaidah
Istimbat iyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, Kaidah
ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang
digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu
dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan
Arab.41 Maka kaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyelu-
ruh, universal dan global (kulli dan mujmal). Kaidah ushuliyyah merupakan
sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Kaidah ushuliyyah umumnya
berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan
hukum yang terdapat dalam bahasa sumber hukum. Menguasai kaidah
ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah
dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, yaitu :
➢ Pertama, kaidah-kaidah ushul fikih, yang kita temukan di dalam
kitab-kitab ushul fikih, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum
(takhrîj al-ahkâm) dari sumbernya, Al-qur’an dan/atau Al-hadist.
41 Beni Ahmad Saebani, 2009,Ilmu Ushul Fiqh, CV. Pustaka Setia, Bandung,
hal. 193-194.
31
Dikarenakan dalam pembahasan kaidah ushul fikih sering ditemukan
dalam kitab-kitab ushul fikih maka kaidah ini disebut juga ushul fikih
atau kaidah ushul fikih yaitu kaidah-kaidah hukum yang dipetik dari
bahasa arab itu sendiri. Misalnya lafadz ditinjau dari segi, makna
yang sengaja diciptakan ada yang mutlaq, muqayyad, aam (umum),
khas (khusus), petunjuk amar adalah wajib dan petunjuk nahi adalah
haram, dan lain sebagainya. Kalau ditinjau dari pemakaiannya ada
yang haqiqat, majaz, sharih, dan kinayah. Ditinjau dari dalalah
maknanya ada yang mutasyabih, mujmal, musykil, khafi, zhahir, nash,
mufassar, dan muhkam. Ditinjau dari sedi cara pengambilan dalalah-
nya ada dalalatul ‘ibarat, dalalatul isyarah, dalalatud dalalah, dalala-
tul istidha’, manthuq, mafhum, dan lain sebagainya. Sedang kalau
ditinjau dari segi perlawanannya ada yang nasikh, mansukh, rajih, dan
marjuh42.
➢ Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan
secara general dari seluruh cabang materi fikih yang menjadi pedo-
man untuk menetapkan hukum setiap petistiwa fikihiyah baik yang
telah ditunjukan oleh nash yang sharih maupun yang belum ada
nashnya sama sekali.43 Atau kaidah kaidah fikih yang secara keselu-
ruhan yang digunakan untuk menentukan hukum dari kasus-kasus
baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Kaidah fikih itu disamping berfungsi sebagai tempat bagi para
mujtahid mengembalikan seluruh seluk beluk masalah fikihiyah juga
sebagai kaidah (dalil) untuk menetapkan hukum masalah-masalah
baru yang tidak ditunjuk oleh nash yang sharih yang sangat
memerlukan untuk ditentukan hukumnya. Oleh karena itu, setiap
orang yang sanggup mengusai kaidah-kaidah fikihiyah niscahya
mam-pu menguasai seluruh bagian masalah fikih dan sanggup
menetap-kan ketentuan hukum setiap peristiwa yang belum atau
tidak ada nashnya.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fikih maupun kaidah-kaidah
fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum Islam, hanya saja kaidah-
42 Muchtar yahya, fathchurrahman, 1993, dasar-dasar pembinaan hukum
Islam, al Ma’arif. Bandung. Hal 485
43 Ibid,
32
kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrîj al-ahkâm, yaitu mengeluar-
kan hukum dari dalil-dalilnya (Al-qur’an dan Sunnah). Sedangkan kaidah-
kaidah fikih sering digunakan di dalam tathbîq al-ahkâm, yaitu penerapan
hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara kaidah
ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian kaidah ushuli-
yyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terda-
pat dalam bahasa (wahyu) itu.
Menguasai kaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakih untuk
mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Dalam hal ini Kaidah fikihiyah pun berfungsi sama dengan kaidah ushuli-
yyah, sehingga terkadang ada suatu kaidah yang dapat disebut kaidah
ushuliyyah dan kaidah fikihiyah.
Kaidah kulliyah fikihiyah tidak lain adalah prinsip-prinsip umum yang
harus menampung kebanyakan dari bagian-bagian (juz’iyah) yang terperin-
ci. Oleh karena itu, Kaidah-kaidah itu jumlahnya cukup banyak. Ada sebagi-
an ulama yang menetapkan sebanyak 40 buah kaidah dan ada sebagian
yang lain menetapkan lebih dari 40 buah kaindah.
Disamping ada beberapa ulama yang menjabarkan lagi, kaidah-kaidah
kulliyah menjadi berpuluh-puluh kaidah, terdapat juga sebagian ulama
yang memadatkan menjadi beberapa kaidah induk saja.
Syaikh Izzudin bin Abdus Salam dalam kitab Qawaidul Ahkam Fii
Mashalihil Anam44 mengatakan bahwa segala masalah fikihiyah itu hanya
kembali kepada dua kaidah induk yaitu;
ء ر د داس ف ال
(Menolak segala yang merusak)
dan
44 Kitab Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam karya Imam Izzuddin bin 'Abdus
salam, mengajarkan bagaimana kita memahami posisi Maqasid As-Syariah terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kitab ini adalah jawaban bagi mereka yang menco-ba membenturkan antara nash dengan maqasid dan mereka yang mengabaikan kandungan maqasid di dalam nash. Tampak sekali dalam kitab ini fleksibelitas syariat Islam berkat orisinalitas pemikiran Imam Izzuddin bin Abdussalam.
33
ب ل ج حال ص ال
(Menarik segala yang bermanfaat)
Bahkan ada yang mengembalikan masalah-masalah fikih itu hanya
karena kaidah ” dar’ul mafasid” (Menolak segala yang merusak) itu sudah
termasuk dalam kaidah ”jalbul Mashalih” (Menarik segala yang ber-
manfaat).
Al Qadhi Abu Said mengatakan bahwa ulama syafi’iyyah memulangkan
seluruh ajaran imam syafi’i kepada empat kaidah yaitu;
كلش ب ال ز ي ل يح ق الي
(Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
يح س يح الت ب ل جح ت ة ق ش امل . 2
(Kesukaran mendatangkan kemudahan)
ال ز ي ر ر الض 3
(Kemudharatan harus dihilangkan)
ة م ك م ة اد ال ع 4
(Kebiasaan dapat menjadi hukum)
Sebagian ahli ilmu golongan muta’akhirin menambahkan satu kaidah
lagi dari empat kaidah diatas, yaitu;
ه د اص ق م ب ر وح م ال (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
Kaidah-kaidah tersebut dikatakan sebagai kaidah induk, karena berpu-
luh-puluh kaidah fikihiyah bernaung dan dapat dikembalikan kepadanya.
Dari kalima kaidah tersebut, alangkah baiknya kalau kaidah terahir
tersebut dijadikan kaidah nomor satu, karena semua hukum fikih memiliki
tujuan yang itu menjadi pokok dari suatu pembahasan kaidah fikih. Ulama
1
34
juga ada yang menyebut kelima kaidah tersebut dengan nama “Qawa’idul
Khamsa”
B. Contoh Kaidah Ushuliyyah
ه د اص ق م ب ر وح م ال a. (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
Sebelum kita melakukan sesuatu pasti kita memiliki keinginan yang
diharapkan. Keinginan yang diharapkan inilah yang sering disebut sebagai
tujuan. Apabila seseorang melakukan sesuatu bisa dipastikan karena
memiliki keinginan yang diharapkan. Motivasi inilah yang menjadi harapan
bagi seseorang yang menjalankan aktifitas. Motivasi inilah yang menjadi
tujuan. Tanpa adanya motivasi seseorang tidak akan melakukan sesuatu.
Orang melakukan sesuatu pasti ada yang menjadi tujuan yang diharapkan.
dalam hati ada keinginan yang menyertainya. Misalnya kalau kita mau
membeli sesuatu, adanya keinginan itu namanya niat. Kainginan itu
datangnya dari hati, maka niat juga dari hati. Niat sebagai motivasi dan
tujuan yang menjadi harapan bagi setiap orang yang melakukan aktifitas.
Sementara ada yang berkeyakinan bahwa niat hati harus dibimbing dengan
ungkapan lisan. Sehingga harus diungkapkan. Yang menjadi pertanyaan
adalah apakah setiap kita akan melakukan sesuatu harus diunggkapkan
dengan pernyataan lisan? Ada kalanya diungkapkan dengan lisan
adakalanya pula tidak diungkapkan dengan lisan. Semua tergantung pada
situasi dan kondisi dimana dia berada. Ungkapan yang dilisankan itu
bertujuan untuk mempertegas niat dalam membedakan nilai suatu aktifitas
yang menjadi kebiasaan. Misalnya; Mandi junub dan mandi biasa, sholat
sunah dan sholat wajib, Puasa sunah dan puasa wajib dan lain sebagainya.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang
berbunyi, yang artinya:
ن يا ن ؤته وما كان لن فس أن توت إل بذن الل كتاب مؤجال ومن يرد ث واب الدها ن رة ن ؤته م ها ومن يرد ث واب الخ ن [ ٣:١٤٥وسنجزي الشاكرين ] م
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa
35
menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur45
ال ز ي ر ر الض b. (Kemudharatan harus dihilangkan)
Kalau misalkan ada pohon kelapa yang sudah tinggi berada di pinggir
jalan yang ramai dilalui banyak orang memiliki buah yang lebat. Buah
sudah tua dan mengering sehingga buah tersebut sering jatuh dan sering
mengenai kepala orang yang lewat dibawahnya hingga ada yang harus
dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini pohon
tersebut harus segera dipanen atau kalau tidak ada yang berani memanjat
karena ketinggian pohon tersebut maka pohon tersebut harus di tebang.
Dalam kasus ini kemudharatan itu disebabkan oleh buah yang sudah tua
dan mengering maka yang dihilangkan adalah buahnya yakni segera
dipanen atau pangkalnya pohon maka pohonnya bisa ditebang. Untuk
menghilangkan kemudharatan tersebut.
Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56,:
ها وادعوه خوف ا وطمع ا دوا ف األرض ب عد إصالح إن رحت الل قريب ول ت فسنني ] ن المحس [ ٧:٥٦م
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
ة م ك م ة اد ال ع c. (Kebiasaan dapat menjadi hukum)
Ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana kebiasaan
tersebut telah mendarah daging, maka dengan sendirinya kebiasaan terse-
but akan menjadi hukum, misalkan kebiasaan sedekah laut, kalau ada
masyarakat pesisir yang tidak melakukan sedekah laut tersebut, maka dia
akan dikucilkan oleh masyarakat setempat. Kemudian ada seseorang yang
45 . QS. Ali-Imran: 145
36
melakukan perubahan esensi sedekah laut tersebut, tanpa merubah
aktifitas sedekah laut. Dia sadarkan masyarakat bahwa yang memberikan
rezeki itu Allah, bukan laut. Laut adalah makhluk Allah sama kedudukanya
dengam manusia. Esensi sedekah laut adalah bersyukur kepada Allah atas
karunia rezeki yang diberikan dalam bentuk kebahagiaan bersama tanpa
ada kesyirikan. Mereka ubah tradisi sedekah laut dengan melarung sesuatu
ke laut dengan mengumpulkan masyarakat di pendapa balai desa, dan
mengumpulkan berbagai macam tangkapan hasil laut. Kemudian salah
seorang tokoh agama berdoa kepada Allah serta membagikan hasil
tangkapan laut itu kepada masyarakat dalam keadaan matang dan siap
santap. Sebagaimana wali songo, merubah tradisi wayang yang berasal dari
kitab suci agama Hindu tentang cerita Ramayana dan Mahabarata. Para
wali merubah esensi dan memvisualisasikan dalam bentuk gambar dua
dimensi dengan mengubah sehingga mampu merubah keyakinan
masyarakat tentang tradisi dan kebudayaannya
Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat
199,
لني ] لعرف وأعرض عن الاه [ ٧:١٩٩خذ العفو وأمر بJadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Ada perbedaan antara al-adah dengan ‘urf. Adat (al-adah) adalah
perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh manusia yang kebenarannya
logis, tapi tidak semuanya menjadi hukum. Sedangkan ‘urf, jika jika
mengacu pada “al-ma’ruf”, berarti kebiasaan yang normatif dan semuanya
dapat dijadikan hukum, karena tidak ada yang bertentangan dengan al-
quran atau hadits.
كلش ب ال ز ي ل يح ق الي d. (Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih
ragu apakah kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus
berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita masih punya wudhu’,
kita langsung sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya wudhu’ kita
telah batal.
37
يح س يح الت ب ل جح ت ة ق ش امل e. (Kesukaran mendatangkan kemudahan)
Apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalanan tersebut
sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqashar sholat, maka kita
boleh mengqashar sholat tersebut, karena apabila kita tidak mengqashar
sholat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang cukup untuk
shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan
pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu
termasuk pada pekerjaan yang sulit dilakukan apabila harus melakukan
sholat pada waktu sholat tersebut.46
Kaidah ini berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 185,
بكم اليسر ول يريد بكم العسر يريد الل “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.”.
Dan Surat An-Nisa’ ayat 28,
أن يف ف عنكم نسان ضعيف ا ] يريد الل [ ٤:٢٨وخلق ال “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia
dijadikan bersifat lemah.”
46 Muliadi Kurdi, 201, 1Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga
Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh:, hal.80
38
39
BAB IV KAIDAH FIKIHIYAH
Manusia hidup dengan berbagai permasalahannya. Masalah manusia
muncul silih berganti seiring dengan perkembangan pola pikirnya.
Permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari beragam macam-
nya. Tentunya ini mengharuskan agar segera mendapatkan jalan keluar
untuk penyelesaiannya. Jalan keuar seseorang dari permasalahan berma-
cam-macam, ada yang cepat ada yang lambat, ada yang mengguna-kan
cara-cara cepat ada yang lama sekali belum terselesaikan. Seorang dikata-
kan sebagai ahli ketika ia sudah berpengalaman dalam menyelesai-kan
permasalahan. Sehingga mudah baginya menyelesaikan berbagai permasa-
lahan kehidupan. Namun ada juga yang bukan ahli lama sekali dalam
menyelesiakan permasalahan. Kuncinya adalah kebiasaan. Seseorang tidak
akan menjadi ahli apabila tidak pernah mengulang apa yang pernah
diselesaikan. Oleh karena itu seseorang dikatakan sebagai ahli karena
kebiasaannya mengulang menyelesaiakan permasalahanyang ada. Semakin
banyak masalah yang dihadapi untuk diselesaikan,maka semakin
meningkat pula keahliannya dalam suatubidang ilmu tertentu.
Permasalahan yang diselesaikan seorang ahli akal lebih cepat karena
mereka memiliki rumus yang didapat dari kebiasaan sehari-hari. Rumus-
rumus yang dikembangkan itu akan menjadi dasar dalam menyelesaikan
permasalahan umat. Rumusan penyelesaian masalah itulah yang dalam
ilmu fikih disebut kaidah fikih. Oleh karena itu, disusunlah suatu kaidah
secara umum yang diikuti cabang-cabang secara lebih mendetail terkait
permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini
tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan
permasahalan yang muncul ditengah-tengah kehidupan di zaman modern
ini.
Maka, hendaklah mahasiswa memahami secara baik tentang konsep
disiplin ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum
Islam. Masih jarang diantara kaum muslim yang memahami secara baik
tentang pedoman penyelesaian hukum Islam. Menjadi kewajiban sebagai
40
seorang muslim untuk lebih memahami dan meyikapi persoalan hukum
dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum.
A. Pengertian Kaidah Fikihiyah
Jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah ushulliyah yang merupakan
pedoman dalam mengali hukum Islam yang berasal dari sumbernya, Al-
Qur’an dan Hadits, kaidah fikihiyah merupakan kelanjutannya, yaitu
sebagai petunjuk operasional dalam peng-istimbat-an hukum islam. Kaidah
Fikihiyah disebut juga sebaagai Kaidah Syari’iyah
Adapun tujuannya adalah untuk memudahkan Mujtahid dalam meng-
istimbat-kan hukum yang sesuai dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan
manusia. Sementara Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam
menyimpulkan bahwa kaidah fikihiyah adalah sebagai suatu jalan untuk
mendapat kemashalatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara
mensikapi kedua hal tersebut.
Adapun pengertian Kaidah Fikihiyah, dapat diuraikan dari kaidah dan
Fikih. Kaidah menurut Dr. Ahmad Muhammad Asy- Syafi’i dalam buku
Ushul Fikih Islami adalah: “Hukum yang bersifat universal (kulli) yang
diikuti oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”. Sementara arti fikih
dari beberapa definisi yang dikemukankan fuqaha’ berkisar pada rumusan
berikut:47
1. Fikih merupakan bagian dari Syari’ah
2. Hukum yang dibahas mencakup hukum amali
3. Obyek hukum pada orang-orang mukallaf
4. Sumber hukum berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil
lain yang bersumber pada kedua sumber utama tersebut
5. Dilakukan dengan jalan istimbat atau ijtihad sehingga
kebenarannya kondisional dan temporer adanya.
Dengan demikian pengertian Kaidah Fikihiyah dapat diartikan dianta-
ranya sebagai, “Hukum–hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang
dibangun oleh Syari’ serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pen-
47 Ahmad Muhammad Asy-Syafii, 1983, Ushul fiqh al-Islami, Iskandariyah
Muassasah Tsaqofahal-Jamiiyah, tt. ..hal.4.
41
syariatan-nya“48, atau “Sebagai suatu jalan untuk mendapatkan kemaslaha-
tan dan menolak kerusakan” (Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas
Salam).
Kaidah fikihiyah sebagai salah satu disiplin ilmu tidak berdiri sendiri
dalam tema dan kajiannya. Sebagai derifasi dari fikih atau hukum Islam,
kaidah fikihiyah merupakan simpul-simpul umum dari beberapa perma-
salahan hukum Islam yang dapat digunakan oleh kalangan awam maupun
fuqahâ dalam mencari solusi permasalahan hukum yang muncul di tengah
masyarakat dalam pelbagai tema baik ibadah, muamalah maupun isu-isu
hukum Islam kontemporer
Ushûliyûn membagi kaidah fikihiyyah dari sisi substansinya menjadi
dua bagian; Pertama, kaidah pokok yang memuat lima kaidah dan kedua,
kaidah cabang yang mencakup banyak aspek baik kaidah-kaidah yang
berkaitan dengan ibadah, muamalah, siyâsah, mâliyah dan lain-lain.
Kata Qai’dah fikihiyah terdiri dari dua kata yakni kaidah dan fikihiyyah.
Kaidah sebagaimana telah dijelaskan diatas adalah bentuk kata mufrad
yang jamaknya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Sedangkan
kata fikihiyyah berasal dari kata fikih, yang berarti faham, yang menurut
istilah berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan
perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci.
Pengertian Kaidah fikihiyyah menurut Musthafa Ahmad az-Zarqa
ialah49:
زة دست ورية تضمن أحكام ا تشريعية عامة ىف اصول ية كل ية ىف نصوص موج فقه الوادث الت تذخل تت موضوعها
“Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencang-kup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada pristiwa-pristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.”
Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, kaidah fikihiyyah itu ialah:
48 Ibid, hal.5.
49 Abd . Rahman Dahlan, 2005, Ushul Fiqih. Amzah,Jakarta : hal13
42
“kaidah-kaidah yang bersifat kully dan dari maksud-maksud syara’ mene-
tapkan hukum (maqashidusy syar’i) pada mukalaf serta dari memahami
rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya.” 50
Secara terminologi, kaidah fikihiyyah adalah ketentuan hukum yang
bersifat umum serta mencakup hukum-hukum derifasinya karena sifat
keumumannya dan atau totalitasnya. Adapun secara umum, fuqahâ terbagi
kedalam dua kelompok pendapat berdasarkan pada penggunaan kata kullî
di satu sisi dan kata aghlabî atau aktsari di sisi lain. Pertama, fuqahâ yang
berpendapat bahwa kaidah fikihiyyah adalah bersifat kullî mendasarkan
argumennya pada realitas bahwa kaidah yang terdapat pengecualian
cakupannya berjumlah sedikit dan sesuatu yang sedikit atau langka tidak
mempunyai hukum. Kedua, fuqahâ berpendapat bahwa karakteristik
kaidah fikihiyyah bersifat aghlabiyah atau aktsariyah, karena realitasnya
kaidah fikihiyyah mempunyai keterbatasan cakupannya atau mempunyai
pengecualian cakupannya sehingga penyebutan kulli dari kaidah fikihiyyah
kurang tepat.51
Adapun persamaan dan perbedaan qawâ’id fikihiyyah dengan
dhawâbith fikihiyyah serta nazhâriyah fikihiyyah adalah sebagai berikut:
1) Qawâ’id fikihiyyah dengan dlawâbith fikihiyyah
Keduanya memiliki kajian yang sama berupa kaidah yang terkait
dengan fikih. Yang membedakan adalah cakupan keduanya di
mana qawâ’id fikihiyyah, selanjutnya disebut kaidah fikih, lebih
luas cakupannya dari dlawâbith fikihiyyah yang hanya
mengkhususkan diri pada satu bab fikih tertentu.52
50 A. Mu’in, dkk, 1986, “Ushul Fiqih 1”, Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Islam, Jakarta:hal, 181.
51 Abdul Haq, dkk, 2009, Formalisasi Nalar Fikih, Khalista, Surabaya: hal. 8-11.
52 Al-Bannâni berpendapat bahwa kaidah fikih tidak khusus membahas satu bab (masalah) fikih saja, berbeda halnya dengan dhawâbith fiqhiyah. Lihat Abd al rahman ibn Jâdillâh al-Bannâni, 1995, Hâsyiyah al-Bannâni, Jilid I, Dâr al-Fikr, Bayrut:h. 357. Adapun Ibn Nujaim berpendapat bahwa perbedaan kaidah fikih dengan dhawâbith fiqhiyah adalah kalau kaidah fikih menghimpun masalah-masalah cabang dari pelbagai bab fikih yang berbeda-beda, sedangkan dhâbith hanya menghimpun masalah-masalah cabang dari satu bab fikih saja.Ibn Nujaim, 1983, al-Asybah wa al-Nazhâir, Dâr al-Fikr, Damaskus:, h. 192.
43
2). Qawâ’id fikihiyyah dengan nazhâriyah fikihiyyah
Keduanya memiliki kajian yang sama tentang berbagai permasa-
lahan fikih dalam berbagai bidang atau bab. Perbedaanya adalah
kalau kaidah fikih mengandung hukum fikih dan bersifat aplikatif
sehingga dapat diterapkan pada cabangnya masing-masing, se-
dangkan nazhâriyah fikihiyyah berupa teori umum tentang hukum
Islam yang dapat diaplikasikan pada sistem, tema dan pengem-
bangan perundang undangan53.
B. Macam-macam Kaidah Fikihiyah
Kaidah fikihiyyah dibagi menjadi 3 macam yaitu:
1. Lima kaidah dasar yang mempunyai skala cakupan menyeluruh,
lima kaidah ini memiliki ruang lingkup Furi’iyyah yang sangat
luas, komprehensif, dan unversal, sehingga hampir menyentuh
semua elemen hukum fikih.
2. Kaidah-kaidah yang mempunyai cangkupan furu’ cukup banyak,
tetapi tak seluas yang pertama, kaidah ini biasa disebut sebagai
al-qawa’id al-aghlabiyah.
3. Kaidah yang mempunyai cangkupan terbatas (al-qawa’id al-
qaliliyah) bahkan cendrung sangat sedikit.54
Disisi lain ulama juga mengklasifikasikan dasar kaidah fikihiyyah ke
dalam berbagai segi. Untuk kalsifikasi Kaidah fikihiyyah setidaknya terbagi
dalam tiga segi yang terdiri dari ;
1. Segi Fungsi
Ditilik segi fungsinya, kaidah fikih dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu kaidah yang berfungsi sebagai sentral dan kaidah yang berfungsi
sebagai marginal. Kaidah fikih yang berfungsi sebagai sentral adalah
kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang sangat luas. Kaidah ini
dikenal sebagai al-Qawa‟id al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
53 Musthafâ Ahmad al-Zarqâ’, 1983, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, Mathba’ah
Jâmi’ah, Damaskus, hal. 235. Bandingkan dengan pendapat Abû Zahrah, 1990, Ushûl Fiqh, Dâr al-Fikr al-Arabî, Mesir, hal.10.
54 Abdul haq, dkk, “2009, Formulasi Nalar Fiqih”, Khalista, Surabaya:, hal,82.
44
العادةمكمة
Al-‟Adatu Muhakkamah (Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam
menetapkan hukum) kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang
berperan marginal, diantaranya:
ن هم المعروف بني التجاركمالمشروط ب ي
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah
ditentukan sebagai syarat”.
لعرف لنص الت عيني ب كمالت عيني ب
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan
dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah
yang cakupannya lebih atau sebaliknya yaitu sangat sempit sehingga tidak
dihadapkan dengan furu‟.
2. Segi Mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fikih dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai
pengecualian. Kaidah fikih yang tidak punya pengecualian adalah sabda
Nabi Muhammad Saw. Umpamanya adalah :
واليمني على من انكر الب ي نةعلى المدعي
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan
kepada tergugat”
Kaidah fikih lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian
kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh
ulama.
3. Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fikih dapat dibedakan menjadi beberapa
macam, yaitu :
a. Kaidah kunci
45
Kaidah kunci adalah bahwa seluruh kaidah fikih pada dasarnya,
dapat dikembalikan kepada satu kaidah yang menjadi kunci pokok dari
seluruh kaidah yang berlaku, yaitu :
صالحد و جلب ال فاس
درء ال
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah
fikih adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan
sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
b. Kaidah asasi
Kaidah Asasi adalah kaidah fikih yang tingkat kesahihannya diakui
oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fikih tersebut adalah :
دها قاص المور ب
”Perbuatan/perkara itu bergantung pada niatnya”
لشك اليقني لي زال ب
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
ر المشقة تلب الت يس
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
العادةمكمة
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
c. Kaidah fikih yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fikih yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ”
majallah al-Ahkam al-Adliyyat, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah
fuqaha utsmaniah.
C. Perbedaan Kaidah Fikihiyyah dan Kaidah Ushuliyah
Perbedaan antara keduanya adalah sebagi berikut:
46
1. Kaidah ushul pada hakikatnya adalah kaidah istidlaliyah yang
menjadi wasilah para mujtahid dalam istimbat (pengambilan)
sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang
membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan
kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu
hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan
suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fikih adalah suatu susunan
lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang
mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami
bahwa kaidah fikih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan
sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istimbat (mengam-
bil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu
fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib.
Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari
kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik
Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib.
Berbeda dengan kaidah fikih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharat-
an mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i,
bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
2. Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (raha-
sia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan
kaidah fikih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
3. Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan
mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (peng-
ecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama
sekali. Berbeda dengan kaidah fikih yang banyak terdapat istitsn-
‘’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
4. Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fikih pun bisa dilihat dari
maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iy-
yah. Sedangkan kaidah fikih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik
itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.
5. Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit daripada kaidah-kaidah
fikih.
6. Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fikih. Seluruh
ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan
47
mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’i. Adapun kaidah-kaidah
fikih ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-
kaidah fikih bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan
hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukan hujjah bagi selainnya, sebagian
yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara
mutlak.
7. Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fikih.
8. Kaidah Ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fikihiyah
secara induktif. Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk meng-
istimbat-kan hukum syara’ amaliyah, sedangkan kaidah fikihiyah
adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan
‘illat atau kaidah fikihiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu
al-masa’il –alfikihiyawa tashiliha.
D Hubungan Kaidah Fikihiyah, fikih, Ushul Fikih dan Kaidah
Ushuliyyah
Kalau dilihat dari istilahnya, keempat istilah ini mengandung istilah
yang sama yaitu istilah fikih. Keempatnya mustilah memiliki hubungan
yang erat yang mengikat keempat-empatnya. Kaidah Fikihiyah, fikih, ushul
fikih dan kaidah fikihiyah tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya. Keempat ilmu tersebut saling terkait dengan perkembangan fikih,
karena pada dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah fikih.
Kaidah fikihiyah, ushul fikih dan kaidah ushuliyah adalah ilmu-ilmu
yang berbicara tentang fikih. Dengan demikian kajian kaidah fikihiyah,
ushul fikih dan kaidah usuliyah tersebut adalah fikih.
Menurut al-Baidhawy (w.685) dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul
fikih adalah :
ح ا و ه ن الستفادة م ية ف ي ك و ، ال إج قه ل الف ئ ل ة د ف عر م دي ف ست ال ال
“pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fikih, metode penggunaannya, dan keadaan (syarat-syarat) orang yang menggunakannya.”
Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fikih, yaitu :
1. Dalil (sumber hukum)
48
2. Metode penggunaan dalil, sumber hukum, atau metode penggalian
hukum dari sumbernya.
3. Syarat-syarat orang yang berkompeten dalam menggali (mengistin-
bat) hukum dan sumbernya.
Dengan demikian, ushul fikih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil
atau sumber hukum dan metode penggalian (istimbat ) hukum dari dalil
atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus
ditempuh oleh orang yang berkompeten. Hukum yang digali dari
dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fikih. Jadi
fikih adalah produk operasional ushul fikih. Sebuah hukum fikih tidak
dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (nash al-Qur’an dan sunah) tanpa
melalui ushul fikih. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fikih, yaitu
dasar-dasar (landasan) fikih.
Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istimbat ) dari
ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi
وة .......ك واالز ت ءا ة و ال وا الص م ي ق ا و “dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat ...”
Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul
fikih, perintah pada asalnya menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang
merubah ketentuan tersebut ( وبج لو ل ر مح ال ف ل صح ال ).
Disamping itu kaidah fikihiyah dapat dijadikan sebagai kerangka
acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena
dalam menjalankan hukum fikih kadang-kadang mengalami kendala-
kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat
pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajiban-
nya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan
shalat tepat pada waktunya. Dalam kasus seperti ini, mukalaf tersebut
boleh menunda sholat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum
boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan kaidah fikihiyah, yaitu dengan
menggunakan kaidah :”الضرار يزال“ bahaya wajid dihilangkan. Ini adalah
salah satu perbedaan antara kaidah ushuliyah dengan kaidah fikihiyah.
49
Kaidah ushuliyah mengkaji dalil hukum (nash al-Qur’an dan sunah) dan
hukum syara’, sedangkan kaidah fikihiyah mengkaji perbuatan mukalaf dan
hukum syara’.
Demikianlah hubungan antara fikih, kaidah fikihiyah, ushul fikih dan
kaidah ushuliyah. Hukum syara’ (fikih) adalah hukum yang diistimbat dari
nash al-Qur’an dan sunnah melalui pendekatan ushul fikih yang diantara-
nya menggunakan kaidah ushuliyah. Hukum syara’ (fikih) yang telah
diistimbat tersebut diikat oleh kaidah fikihiyah, dengan maksud supaya
lebih mudah difahami dan identifikasi.55
E. Kegunaan dan Fungsi Qowaid Fikihiyah dalam Fikih
Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa
Kaidah Fikihiyah mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk
mendapat suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana
cara mensi-kapi kedua hal tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al Furu’nya
menulis bahwa seorang fikih tidak akan besar pengaruhnya tanpa
berpegang kepada kaidah fikihiyah, karena jika tidak berpegang pada
kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda antara
furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fikihiyah tentunya mudah
menguasai furu’-furu’nya.
Lebih lanjut berbicara tentang kegunaan Kaidah Fikihiyah ini adalah
sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad al-Nadwi sebagai berikut56 :
1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum karena kaidah telah
dijadikan patokan yang mencakup banyak persoalan.
2. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang
banyak diperdebatkan, karena kaidah dapat mengelompokkan per-
soalan-persoalan berdasarkan illat yang dikandungnya.
3. Mendidik orang yang berbakat fikih dalam melakukan analogi (ilhaq)
dan tahkrij untuk mengetahui hukum permasalahan-permasalahan
baru.
55 Syarif Hidayatullah, tt, Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Tran-
saksi Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah, mu’ashirah), hal. 32-35.
56 H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA. http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin /01-02 pendahuluan diunduh pada hari Ahad, tanggal 24 Februari 2019
50
4. Mempermudah orang yang berbakat fikih dalam mengikuti (mema-
hami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang
berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bah-
wa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berde-
katan ataupun menegakkan maslahat yang lebih besar.
6. Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian karena kaidah
mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.
7. Secara sederhana, kegunaan kaidah fikih adalah sebagai pengikat
(ringkasan) terhadap beberapa persoalan fikih. Menguasai suatu kai-
dah berarti menguasai sekian bab fikih. Oleh Karena itu, mempelajari
kaidah dapat memudahkan orang yang berbakat fikih dalam
menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fikih.
8. Dengan mempelajari kaidah-kidah fikih kita akan mengetahui prinsip-
prinsip umum fikih dan akan mengetahui pokok masalah yang mewar-
nai fikih dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih.
9. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah mene-
tapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
10. Dengan mempelajari kaidah fikih akan lebih arif dalam menerapkan
materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan
dan adat yang berbeda.
11. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
12. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang
banyak diperdebatkan.
F. Kaidah Assasiyah dan Kaidah Far’iyah .
ه د اص ق م ب ر وح م ال . 1
(Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
Niat yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu
melaksanakan suatu amal perbuatan menjadi kriteria yang menentukan
nilai dan status hukum amal perbuatan yang dilakukannya. Apakah nilai
dari perbuatan itu sebagai amal syari’at (ibadah) atau perbuatan kebiasaan
dan apakah status hukumnya –jika ia sebagai amal syari’at (ibadah)-wajib
51
atau sunah atau yang lain sebagainya ditentukan oleh niat pelakunya.
Itulah sebabnya kaidah ini bisa diterapkan hampir pada seluruh masalah
fikihiyah.
Contoh: kalau kita hendak mengerjakan sholat maka bisa dipastikan
akan memulai dengan yang namanya niat, kalau kita tidak memulai dengan
yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat. Begitu juga dengan
yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang
namnya niat.57
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang
berbunyi:
ها.... ن رة ن ؤته م ها ومن يرد ث واب الخ ن ن يا ن ؤته م ....ومن يرد ث واب الدArtinya:
”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”58
ا ابلن ية، األعمال إن جرته كانت فمنن وى، ماامرئ لكل وإن ؛ ورسوله هللا إل هجرته جرته كانت ومن ورسوله، هللا إل فه جرته ؛ ي نكحها امرأة أو يصيبها لدنيا ه فه
إليه هاجر ما إل’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap
orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya)
Shuhaib r.a membaritahukan bahwa rasulullah saw bersabda;
57 Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki, tt, Al-
Asybah wa al-Nazhâir, Juz I, Dâr al-Kutub al-Islamiyah, Beirut:, hal. 11
58 QS. Ali-Imran: 145
52
ا وهو يوت يوم مات، شيئ ا صداقها من ي عطيها ل أن فن وى امرأة ت زوج رجل أيا زان ع ا رجل من اشتى رجل ، وأي يوم مات شيئ ا ثنه من ي عطيه ل أن فن وى، ب ي
النار ف والائن ، خائن وهو يوت Kapan saja seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, lalu bermaksud tidak akan memberikan memberikan maskawin sedikitpun kepadanya, matilah ia pada saat kematiannya sebagai pezina, dankapan saja seseorang membeli suatu barang dari seseorang dengan niat tidak akan membayar harganya sedikitpun, matilah ia pada saat kematiannya dalam keadaaan sebagai pengkhianat.
Imam syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, Ad Daruquthni dan lainnya sepakat
menetapkan bahwa hadits niat itu menempati sepertiga dari seluruh ilmu
pengetahuan Islam. Pendapat semacam ini diulas oleh Imam Baihaqi
sebagai berikut; segala aktifitas manusia itu adakalanya berpangkal pada
hati sanubari, pada lisan dan adakalanya pada anggota badan. Niat yang
berpangkal pada hati nurani adalah aktivitas kejiwaan. Aktivitas itu lebih
penting dan lebih kuat ketimbang aktivitas yang berpangkal pada lisan dan
anggota badan. Hal itu sebabkan karena niat daapt berfungsi sebagai
ibadah yang berdiri sendiri. Sedangkan aktivitas yang lain tidak dapat
berfungsi sebagia ibadah sekiranya tidak didukung oleh niat. Niat sekalipun
tidak dibarengi dengan amal perbuatan masih dianggap lebih baik daripada
perbuatan yang tidak dibarengi dengan niat.
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
Kaidah
يال اذا عي نه واخطأ ل يضر ما ل يشتط الت عرض له جلة و ت فص“ suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global maupun secara terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, kesalahannya itu tidak membhayakan (membatalkan).”
Kaidah
و ما يشتط فيه الت عرض فالطأ فيه مبطل “suatu amal yang disyaratkan penjelasannya maka kesalahannya membatal-kan perbuatan tersebut.”
53
Kaidah
يال اذا عي نه فاخطأ ضر نه ت فص ب الت عرض له جلة و ل يشتط ت عيي و ما ي“suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara terperinci, karena apabila disebut secara terprinci dan ternyata salah, kesalahannya itu dapat membahayakan.”
Kaidah
ص اللفظ العام ول ت عم الاص الن بة ىف اليمني تص “niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz umum dan tidak pula menjadi-kan umum pada lafadz yang khusus.”
Kaidah
ا ى فان د وهو اليمني عند القاض ع واح فظ ال ىف موض مقاص اللفظ على نية الى على نية القاض
“maksud dari suatu lafadz adalah menerut niat orang yang mengucapkan-nya, kecuali dalam satu tempat, yang dalam sumpah dihadapan hakim. Dalam keadaan demikian, maksud lafadz menurut niat hakim.”59
kaidah
د و المعان ل لللفاظ والمعان العبة ىف العقود المقاص“yang dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafadz atau bentuk perkataan.”
ال ز ي ر ر الض .2
(Kemudharatan harus dihilangkan)
Kaidah ini merupakan pembina dasar hukum islam. Sebagaimana
kita ketahui bahwa dalam bagian muamalah, jinayah dan munakahat, jiwa
dari kaidah ini memegang peranan penting.
59 Ibnu Nuzaim, 1983, Al-Asybah wa al-Nazhair, Dar al-Fikr, Damaskus, cet. 1
hal 34
54
Pengembalian suatu barang yang telah dibeli, karena terdapat cacat ,
diadakan khiyar dalam jual beli karena perbedaan sifat-sifat yang telah
disepakati, adanya perwalian bagi orang-orang yang tidak cakap mentran-
saksikan harta milik, adanya hak syuf’ah (jual beli utama) bagi seseorang
tetangga dan lain sebagainya adalah sekian contoh-contoh untuk menghin-
darkan kemudharatan para pihak yang mengadakan muamalah bersama.
Syari’at mengadakan hukuman qishash, hudud, kafarat, ganti rugi,
menghalalkan kepada penguasa untuk memerangi kaum pemberontak dan
lain sebagainya untuk membuat kemashlahatan bersama dan menghindari
kemudharatan.
Islam membolehkan adanya perceraian dalam keadaan yang sangat
diperlukan demi ketenteraman rumah tangga yang sudah sangat begitu
kacau dan memberikan kuasa kepada hakim untuk memfasakhkan nikah
seseorang lantaran suami sudah tidak dapat menunaikan tugas rumah
tangga dengan baik, demi untuk menghilangkan kemudharatan bagi
mereka yang tersiksa.
Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56:
ها وادعوه خوف ا وطمع دوا ف األرض ب عد إصالح إن رحت الل قريب اول ت فسنني ] ن المحس [ ٧:٥٦م
Artinya:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
ب ي هللا ل ن ا ني د س ف ال
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan
(al qashash ; 77)
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
Kaidah
الضرورة تبيح المحظرة
55
“kemudaratan membolehkan yang mudarat (dilarang).”
Kaidah
ر بقدرها ما أبيح للضرورة ي قد“apa-apa yang dibolehkan karena mudarat diperkirakan sewajarnya, atau menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”
Kaidah
لضرر الضرر ل ي زال ب“kemudaratan tidak dapat hilang kemudaratan lain.”
Kaidah
ما رتكاب أخف ه دتن روعي أعظمهما صرر ا ب إذا ت عارض المفس“jika ada dua kemudaratan yang bertentangan, diambil kemudaratan yang paling besar.”60
Kaidah
م على جلب المصالح درءالمفاس د مقد“menolak kemafasadatan didahulukan daripada mengambil kemalahatan.”
Kaidah
الاجة ت نزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة “kebutuhan itu menempati kemudaratan, baik secara umum maupun khusus.’
ة م ك م ة اد ال ع .3
(Kebiasaan dapat menjadi hukum)
60 Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, 1979, al-Asybah wa al-Nazhair fi
Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’I, cet. I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut:, hal.5
56
Kaidah fikih ini adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa
Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat
dan al-‘urf.61 Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus
menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara
kontinyu manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu
perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam
mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima
oleh watak kemanusiaannya.62
Menurut A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah
“Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah
al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan”.63 ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid.
‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia
dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak
membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang
telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalal-
kan yang haram atau membatalkan yang wajib.64
Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat ber-
ikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kema-
shlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah.
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukum-
nya.
61 Jaih Mubarok, 2002, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi), PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta:hal. 153.
62 Muhammad Ma’shum Zein, 2006, Sistematika Teori Hukum Islam (Qawa’id Fiqhiyyah), Al-Syarifah Al-Khadijah, Jombang: hal. 79.
63 A. Djazuli, 2007, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis), Kencana, Jakarta: hal. 80.
64 Imam Musbikin, 2001, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Jakarta; hal. 94.
57
6. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.65
Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat
199:
لني ] لعرف وأعرض عن الاه [ ٧:١٩٩خذ العفو وأمر بArtinya:
“jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
Kaidah
نة واألمكنة ل ي نكر ت غيي األحكام بت غيي األزم“tidak diingkari perubahan hukum disebaban perubahan zaman dan tempat.”
Kaidah
المعروف عرف ا كالمشرط شرط ا“yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
Kaidah
لن لمعروف كالثابة ب ص الثابت ب“yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash
ق الي . 4 ك لش ب ال ز ي ل يح
(Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
Misalnya seseorang baru saja menikah, untuk memenuhi kebutuhan
penting rumah tangganya, ia membeli peralatan rumah tangga (magic jar)
untuk menanak nasi. Setelah sampai dirumah magic jar itu tidak bisa
digunakan untuk menanak nasi lantaran terjadi kerusakan. Maka sang
pembeli menggugat ke pengadilan kepada penjual dan menyatakan bahwa
65 Burhanudin, 2001, Fiqih Ibadah, CV Pustaka Setia, Bandung: hal. 263.
58
magic jar nya telah rusak ketika sampai di rumah. Hakim memutuskan
gugatan pembeli tersebut tidak dapat dikabulkan, lantaran dipakai di
rumah. Karena menurut asalnya magic jar yang dijual ditetapkan dalam
keadaan baik.
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
Kaidah
األصل ب قاء ماكان على ماكان “asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya.”
Kaidah
األصل ب راءة الذ مة “asal itu bebas dari tangugan.”
Kaidah
العدم األصل “asal itu tidak ada”
Kaidah
ق رب الزمان األصل ىف كل حديث ت قدره ب“asal dalam setiap keadaan dilihat dari waktunya yang terdekat.”
Kaidah
بحة األصل ىف األشياء ال“asal dari sesuatu adalah kebolehan”
Kaidah
األصل ىف البحة التحري “asal dari kemubahan adalah keharaman.”
يح س يح الت ب ل جح ت ة ق ش امل .5
59
(Kesukaran mendatangkan kemudahan)
Seseorang yang akan meninggal dunia diperkenankan untuk mewa-
siat-kan sepertiga harta peninggalannya kepada siapa saja yang dikehen-
daki untuk menambah amal kebaikan dan taqarub kepada Allah. Andai kata
ia tidak diberikan batasan maksimal sepertiga harta peninggalannya, maka
hal itu akan menimbulkan kesulitan ekonomi bagi ahli warisnya yang
berhak menerima. Apalagi kalau mereka sangat membutuhkan harta
peninggalannya.
Kaidah ini berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 185:
بكم اليسر ول يريد بكم العسر يريد اللArtinya:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.”
Surat An-Nisa’ ayat 28:
أن يف ف عنكم نسان ضعيف ا ] يريد الل [ ٤:٢٨وخلق الArtinya:
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia
dijadikan bersifat lemah.”
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
Kaidah
إذا ضاق األمر إتسع وإذا اتسع األمر ضاق “apabila suatu perkara itu sempit, hukumnya menjadi luas, sebaliknya, jika suatu perkara itu luas, hukumnya menjadi sempit.”
Kaidah
د ه ه إن عكس إل ض كل ما تاوز حد“semua yang melampaui batas, hukumnya berbalik mejadi keblikannya,”
Kaidah
60
عاصىل الرخص ل ت نط ب
“rukhsah-rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”
Kaidah
لشك الرخص ل ت نط ب“rukhsah itu tidak dapat di sangkut pautkan dengan keraguan.”
61
BAB V SEJARAH PERKEMBANGAN KAIDAH FIKIH
A. Pentingnya Kaidah Fikih
Dalam menerapkan kaidah fikih, setidaknya ada tiga hal yang perlu
diperhatikan agar tepat penggunaannya. Ketiga hal tersebut adalah: (1)
kehati-hatian dalam penggunaannya; (2) ketelitian dalam mengamati
masalah-masalah yang ada di luar kaidah yang digunakan. Dengan kata
lain, meneliti masalah-masalah kekecualian (istitsnaiyat) dari kaidah
tersebut; dan (3) memerhatikan sejauh mana kaidah yang digunakan
berhubungan dengan kaidah-kaidah lain yang mempunyai ruang lingkup
yang lebih luas66
Kaidah fikih dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1. Dari sudut sumber,
Kaidah merupakan media bagi peminat fikih Islam untuk memaha-
mi dan menguasai maqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami
beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam
satu persoalan.
2. Dari segi istimbat al-ahkam,
Kaidah fikih mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum
terjadi. Oleh karena itu, kaidah fikih dapat dijadikan sebagai salah
satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum
ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fikihnya berkata bahwa nash-nash
tasyrik telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-
undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang
dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-
prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu
cabang undang-undang .
66 A, Djazuli , 2010, Kaidah-Kaidah Fikih, Kencana, Jakarta:hal. 183
62
Karena cakupan dari fikih begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi
berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-
masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada
kaidah-kaidah fikihiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam meng-
istimbat kan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolong-kan
masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fikihiyah adalah sebagai suatu jalan
untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta
bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-
Furuqnya menulis bahwa seorang fikih tidak akan besar pengaruhnya
tanpa berpegang pada kaidah fikihiyah, karena jika tidak berpegang pada
kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak pertentangan dan berbeda antara
furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fikihiyah tentunya mudah
menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
B. Ushul fikih di masa Rasulullah SAW
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan Kaidah fikihiyah dapat
dibagi kedalam tiga fase berikut 67:
1. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad
lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi
fase sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman.
A. Zaman Nabi Muhammad saw
Berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan
zaman tabi’in serta tabi’it tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-
974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman keju-
mudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri
mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang men-
dirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fikih telah mencapai puncak kejayaan, kaidah
fikih baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fikih yang dominan
67 Lihat Al-Nadawi, Ali Ahmad, 1986, Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah, Cet. I, Dar Al-
Qalam, Damaskus:
63
adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknanya sangat
luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits
yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fikih. Oleh karena
itulah periodesasi sejarah kaidah fikih dimulai sejak zaman Nabi Muham-
mad SAW.
Sabda Nabi Muhammad Saw, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari
dua segi, yaitu :
• Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum
Islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat.
• Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah
fikih karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah
fikih, yaitu :
بلضمان الراج .1 (hak menerima hasil karena harus menanggung kerugian)
جبار اجرحه العجماء .3( kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan
ganti rugi), dll.
Ibnu Taimiyah (w. 728 H), setelah menyampaikan hadits riwayat Ahli
Sunan menyatakan, dengan hadits jawami’ al-kalim (singkat padat) Nabi
Muhammad SAW menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat menghi-
langkan dan mengacaukan akal (adalah) haram. Nabi tidak membeda-
bedakan jenisnya, apakah benda tersebut berjenis makanan atau minuman.
Ini adalah ketetapan Nabi Muhammad saw, yaitu hukum meminum minum-
an yang memabukkan adalah haram.
B. Zaman Sahabat
Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fikih, karena turut serta memben-
tuk kaidah fikih. Para sahabat dapat membentuk kaidah fikih karena dua
keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah saw dan mereka tahu
situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun
berkenaan dengan mereka.
64
Atsar (pernyataan) sahabat yang dapat dikatagorikan jawami’ al-kalim
dan kaidah fikihiyyah diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pernyataan Umar bin Khatab ra (w.23 H) yang diriwayatkan oleh al-
Bukhari (w. 256 H) dalam kitabnya Shahih al-Bukhari:
الشروط عند القوق مقاطع (penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat).
2. Pernyataan Ali bin Abi Thalib ra (w. 40 H) yang diriwayatkan oleh Abd
al-Razaq (w.211 H) :
عليه قاسم الر بح فال ضمان من (orang yang membagi keuntungan tidak harus menanggung kerugian).
Atsar Umar bin Khatab ra di atas menjadi kaidah dalam masalah
syarat. Atsar Ali bin Abi Thalib menjadi kaidah yang subur dalam bidang
persoalan harta benda, seperti mudharabah dan syirkah.
C. Zaman Tabi’in dan Tabi’ tabi’in selama 250 tahun.
Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fikih pada generasi
tabi’in:
Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182)
Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun
adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke
Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal
sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta
peninggalan (tirkah atau mauruts), apabila yang meninggal dunia tidak
memiliki ahli waris.
Imam Asy-Syafi’i,
Pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah
yang dibentuknya, yaitu
”Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak
diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
65
Pernyataan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, diantaranya
نهر م صغ أ و ا ه ط م ق س اس الن ن ط ع ق ا س ذ إ م عظ األ (apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur).68
Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H),
Diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal yang
abu Daud dalam kitabnya al-Masail, yaitu :
هنالر ة و ق د الص ة و ب ال يه ع توز ف ي الب يه ا جاز ف ل م ك ”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk
dihibahkan dan digadaikan”
Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w.189 H),
Ia mengemukakan apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian
timbul keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah hadats (batal) atau belum,
dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih baik ia mengulangi
wudhunya. Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat beserta kera-
guannya itu, menurut kami boleh, karena ia masih mempunyai wudhu
sehingga ia yakin bahwa ia telah hadats (batal). Apabila seorang muslim
terpercaya atau muslimah yang terpercaya, merdeka maupun tidak, mem-
beri tahu bahwa ia telah hadats (batal), tidur terlentang, atau pingsang; ia
tidak boleh melaksanakan shalat (sebelum mangulangi wudhu). Pernya-
taan al-Syaibani tersebut di atas seperti kaidah:
ك لش ب ول ز ي ل ني ق الي (keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan) .
2. Fase Perkembangan dan Kodifikasi
Awal mula kaidah fikihiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan di-
bukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelah-
nya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai tampak dan
semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fikih mengalami kemajuan
68 Dari beberapa contoh kaidah fiqhiyah pada masa awal yang berkaitan
dengan muamalah adalah kaidah “la yajtami’u al ajru wa al dhoman”
66
yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fikih dalam
madzhab. Ulama pada saat itu merasa puas dengan perkembangan yang
telah dicapai oleh fikih pada saat itu. Pembukuan fikih dengan mencantum-
kan dalil beserta perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi diantara
madzhab sepertinya telah memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan
lain bagi generasi setelahnya kecuali merujuk pada pendapat-pendapat
madzhab itu dalam memutuskan dan menjawab persoalan-persoalan baru.
Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang
seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama mempunyai
inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum
furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari kesemerawutan. Hal inilah yang
dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H) dalam risalahnya (ushul al-
Karkhi). Dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) dalam kitabnya Ta’sis al-
Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut mencakup
berbagai masalah fikih, maka disebut kaidah, sedangkan kalau hanya
mencakup satu masalah fikih , disebut dhabit.
Menurut An Nadwi bahwa golongan Hanafiah merupakan yang per-
tama kali mempelajari kaidah fikihiyah. Beberapa informasi yang menyata-
kan hal tersebut termaktub dalam beberapa literatur diantaranya, Alaby
(761 H), As Suyuthi (911 H) dan Ibnu Najm (970 H) dalam al kaidah
menyatakan bahwa Imam Ad Dibas pada abad 4 Hijriyah telah mengumpul-
kan beberapa kaidah-kaidah Mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Imam Ad
Dibas membaca kaidah-kaidah tersebut berulang kali setiap malam di
masjid yang kemudian Abu Said al Harawi Al Syafii menukil dari Ad Dibas
beberapa kaidah-kaidah tersebut69.
Imam al Karkhi (340 H) menyusun sebuah catatan yang berisi 37
kaidah, kemudian dari golongan Hanafiyah muncul Imam al Khusyni (361
H) dengan karyanya ushul al fataya. Dan setelah itu muncul Abi Laits Al
Samarqandi (373 H) dengan karyanya ta’sis al nadhri yang identik dengan
karya Abi Zaid Ad Dibasi (430 H) dengan sedikit perbedaan.
69 Dibahas dalam lima kaidah yang dinukil al Harawi dari Ad Dibas.
67
Bisa dikatakan bahwa abad 4 H merupakan fase kedua dari kemun-
culan kaidah fikihiyah70 dengan asumsi pada abad inilah ditemukannya
kaidah fikihiyah sebagai sebuah disiplin ilmu.
Pada abad ke-7 H kaidah fikihiyah mengalami perkembangan yang
sangat signifikan walaupun terlalu dini untuk dikatakan matang. Di antara
ulama yang menulis kitab kaidah pada abad ini adalah al-‘Allamah
Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H). Ia menulis kitab
dengan judul “al-Kaidah fi Furu’I al- Syafi’iyah”. Kemudian al-Imam Izzudin
Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab “Kaidah al-Ahkam fi Mashalih al-
Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal. Dari kalangan madzhab Maliki
Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-
Mudzhb fi Kaidah al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini
menunjukan bahwa kaidah fikihiyah mengalami perkembangan yang pesat
pada abad ke-7 H. Kaidah fikihiyah pada abad ini nampak tertutup namun
sedikit demi sedikit mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu kaidah fikihiyah mengalami masa keemasan,
ditandai dengan banyak bermunculannya kitab-kitab Kaidah fikihiyah.71
Perkembangan ini terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para
ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat
dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni.
Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara
karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
1. Al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)
2 Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
3 Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I
(w.761 H)
4 Dll
Karya-karya besar yang mengkaji kaidah fikihiyah yang disusun pada
abad IX H banyak mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Di
antara karya-karya tersebut adalah:
1. Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)
70 Sebagai sebuah susunan ilmu tersendiri
71 Pada masa ini muncul tujuh buah karya yang sangat terkenal lihat.
68
2 Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad
al-Zubairi (w. 808 H)
3. Kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H)
4. Dll
Dengan demikian, ilmu kaidah fikihiyah berkembang secara berangsur-
angsur.
Pada abad X H, pengkodifikasian kaidah fikihiyah semakin berkem-
bang. Imam al-Suyuti (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah
fikihiyah yang paling penting dari karya al-‘Alai, al-subaki dan al-zarkasyi.
Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-Asybah wa al-
Nadhair. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup
kaidah ushuliyah dan kaidah fikihiyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi.
Pada abad XI dan XII H, ilmu kaidah fikihiyyah terus berkembang. Dengan
demikian, fase kedua dari ilmu kaidah fikihiyah adalah fase perkembangan
dan pembukuan. Fase ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-
Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII)
hampir dapat menyempurnakan ilmu kaidah fikihiyah.
3. Fase Kematangan dan Penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fikih, meski-
pun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fikih
pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad
XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin
dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih
menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fikih tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin.
Pengkodifikasian qawa’id fikihiyyah mencapai puncaknya ketika
disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) Fuqaha pada
masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada
akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan
lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.
69
Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan
setelah diadakan pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab-kitab
fikih, adalah suatu prestasi yang gemilang dan merupakan indikasi pada
kebangkitan fikih pada waktu itu. Para tim penyusun kitab itu sebelumnya
telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fikih, lalu mengkon-
struknya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya.
Kitab Majalllat al-Ahkam al-‘Adliyyah inilah yang menyebabkan qaidah fikih
semakin tersebar luas dan menduduki posisi yang sangat penting dalam
proses penalaran hukum fikih.
C. Metodologi Penyusunan Kaidah Fikihiyah
Metodologi ulama dalam penyusunan kaidah fikihiyah ulama tidak
hanya berdasarkan atas satu metodologi saja. Terdapat bermacam-macam
metodologi penyusunan kaidah fikihiyah, diantaranya :
a. Penyusunan sesuai dengan huruf hijaiyah
b. Penyusunan sesuai dengan subyek pembahasannya
c. Penyusunan sesuai dengan bab dalam fikih
d. Mengumpulkan kaidah-kaidah tidak secara urut
Metodologi ulama dalam hubungan antara kaidah fikihiyah dengan
yang ilmu yang lain :
1. Mengumpulkan kaidah fikihiyah dengan kaidah-kaidh yang lainya
2. Mengumpulkan kaidah fikihiyah dengan subyek pembahasan
fikihiyah yang lain.
E. Lima Kaidah Ushul Fikih
I. Kaidah Asasi Pertama
دها قاص األمور بSegala pernyataan tergantung pada niat.
Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud
melakukan sesuatu disertai pelaksanaannya.
قصد الشيء مقتان بفعله أوالقصدالمقارن للفعل
70
Di dalam sholat misalnya yang dimaksud dengan niat adalah ber-
maksud didalam hati dan wajib niat disertai takbirat al-ihram .
Di kalangan mahzab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada
dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari
maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad di dalam hatinya, itu
pun sudah cukup, dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang lebih
utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram di dalam shalat, agar
niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi niat adalah :
• Untuk membedakan antar ibadah dan adat kebiasaan.
• Untuk membedakan kualitas perbuatan baik kebaikan maupun
kejahatan.
• Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu
serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.
Secara lebih mendalam lagi para fuqaha merinci masalah niat ini baik
dalam ibadah mahdoh seperti thoharoh, wudhu, tayamum, mandi junub,
sholat qhasar, sholat jama, sholat wajib, sholat sunnat, zakat, haji, saum
ataupun didalam ibadah ghair mahdoh seperti pernikahan, thalaq, wakaf,
jual beli, hibah, wasiat, sewa-menyewa, hutang piutang dan akad-akad
lainnya.
II. Kaidah Asasi Kedua
الشك اليقني لي زال ب Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan.
Di dalam kaidah-kaidah fikih banyak di bicarakan tentang hal yang
berhubungan dengan keyakinan dan keraguan misalnya orang yang sudah
yakin suci dari hadast kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya
atau belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk kehati-
hatian yang lebih utama adalah memperbaharui wudhunya. Dari kaidah
asasi tersebut kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang
lingkupnya.
ثله أ ليقني م . اليقني لي زال ب
71
Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan
pula
Contohnya kita yakin sudah berwudhu tetapi kemudian kita yakin pula
telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal.
. أن ما ث بت بيقن لي رت فع إلبيقني ب Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali
dengan keyakinan lagi.
Contohnya thowaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan
yaitu dengan tujuh putaran kemudian dalam keadaan thowaf seseorang
ragu apakah yang dilakukannya puteran ke enam atau kelima. Maka yang
menyakinkan adalah jumlah kelima, karena putaran yang kelima adalah
yang menyakinkan.
. األصل ب راءة الذمة ت Hukum asal adalah bebasnya seorang dari tanggung jawab
Contohnya anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajib-
an sampai adanya waktu baligh. Makan dan minum asalnya di bolehkan
sampai adanya dalil yang melarang makan-makanan dan minum-minuman
yang di haramkan.
ه . األصل ب قاءماكان على ماث كان مال يكن ما ي غي Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal
yang mengubahnya.
Contohnya manusia bebas dari tanggung jawab karena adanya
kematian. Kewajiban suami istri hilang karena ada talaq.
فات العارضة العدم ج . األصل ف الصHukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada .
Contohnya apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli
tentang aib baarah (kecacatan) dalam dijual belikan, maka yang dianggap
benar adalah perkataan sipenjual. Karena pada asalnya cacat itu tidak ada.
72
ق رب زمنه ح . األصل ف كل حادث ت قدي ره بHukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang
paling dekat kepadanya .
Contohnya seorang wanita yang sedang mengandung ada yang
memukul perutnya kemudian keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan
sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu meninggal. Maka meninggalnya si
bayi tidak disandarkan kepada pemukulan yang terjadi kepada waktu yang
telah lama tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling
dekat kepada kematiaannya.
ليل على التحري خ بحةحت يدل الد . األصل ف األشياء الHukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang
menunjukkan keharamannya.
Contohnya apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas
tentang keharamannya maka hukumnya boleh dimakan.
قة د . األصل ف الكالم القي Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti sebenarnya.
Contohnya apabila seseorang berkata : “saya mau mewakafkan harta
saya kepada anak kyai Ahmad maka anak dalam kalimat tersebut adalah
anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu.
لظن الذي يظهر خطا ءه ذ . ل عبة بTidak dianggap(diakui) persangkaan yang jelas salahnya.
Contohnya apabila seorag debitor telah membayar hutangnya kepada
kreditor, kemudian wakil debitor membayar lagi hutang debitor atas
sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor maka waikil debitor
berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya karena
pembayaranya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas salahnya yaitu
menyangka bahwa utang belum dibayar oleh debitor.
73
III. Kaidah Asasi Ketiga
ي الشقة تلب الت يسKesulitan mendatangkan kemudahan.
Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukhalaf, maka syariah
meringankannya. Sehingga mukhalaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran. Dari kaidah tersebut dimunculkan kaidah-kaidah
lain seperti:
. إ ذا ضاق األ مر إتسع أ Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas.
Contohnya boleh berbuka puasa pada bulan ramadhan karena sakit
atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu
kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.
. إذات عذ ر األصل يصا ر إل البدل ب Apabila yang asli suka dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya.
Contohnya tayamum sebagai pengganti wudhu.
نه معفو عنه ت . ماليكن التحرز مApa yang tidak mungkin menjaganya atau menghindarkannya maka
hal itu dimaafkan.
Contohnya pada waktu sedang saum kita berkumur-kumur maka tidak
mungkin terhindar dari rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa.
Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan, misalnya orang yang
berpergian dengan tujuan melakukan maksiat. misalnya, membunuh maka
orang semacam ini tidak boleh meggunakan keringanan di dalam hukum
Islam.
جاز ثقة يصار إل ال . إذات عذ رت القي
74
Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya maka
kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya.
Contohnya seseorang berkata,” saya wakafkan tanah saya ini kepada
anak kyai Ahmad”. Padahal semua tahu bahwa anak kayi tersebut sudah
lama meninggal, maka yang ada hanyalah cucunya. maka dalam hal ini, kata
anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya bukan kata sesungguh-
nya sebab tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah
meninggal.
. إذات عذ ر إعمال الكالم ي همل ج Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan maka perkataan tersebut
ditinggalkan.
Contohnya apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa
dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari
akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang
diakuinya sebagai ayahnya. Maka, Perkataan orang tersebut ditinggalkan
dalam arti tidak diakui perkataannya.
بتدء ح وام مال ي غت فر ف ال . ي غت فر ف الدBisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan
pada permulaannya.
Contohnya orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar
uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewa-
an dan dia ingin memperbaharui sewaannya dalam arti melanjutkan
sewaannya maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.
بتدء مال ي غت فر ف الدوام خ . ي غت فر ف الDimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya
Contohnya seseorang yang baru masuk Islam minum-minuman keras
karena kebiasaanya sebelum masuk Islam dan tidak tahu bahwa minum-
minuman tersebut dilarang. Maka orang tersebut dimaafkan untuk
permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya setelah dia tahu
75
bahwa perbuatan tersebut adalah haram maka dia harus menghentikan
perbuatan tersebut.
. ي غت فر ف الت وابع مال ي غت فر ف غيها د Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada
hal yang lainnya.
Contohnya penjual boleh menjualkembali karung bekas tempat beras
karana karung mengikuti kepada beras yang dijual.
IV. Kaidah Asasi Keempat
الضرري زال Kemadharatan harus dihilangkan.
Contohnya larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok
masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemadharatan bagi
rakyat. Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah di atas
diantaranya:
خظورات أ . الضرورات تبيح ال
kemadharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.
Contohnya boleh menangkap dan menghukum pelaku pornografi dan
pornoaksi untuk menyelamatkan keturunan.
لضرورات ت قد ربقدرها . اب Keadaan darurat, ukurannya ditentukan kadar kedaruratannya.
Contohnya seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang
diobatinya sekedar yang diperlukan untuk pengobatan, itu pun apabila
tidak ada dokter wanita.
مكان ت . الضرري زال بقدر الKemadharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan.
Contohnya usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak
kelaparan.
76
لضرر ث. . الضرر ل ي زال بKemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan lagi.
Contohnya orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil
barang orang lain yang juga sedang kelaparan.
جل الضرر العام ج . يتمل الضرر الاص ألKemadharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak
kemadharatan yang bersifat umum.
Contohnya boleh melarang tindakan hukum seseorang yang
membahayakan kepentingan umum, misalnya mempailitkan suatu
perusahaan demi menyelamatkan para nasabah.
لضرر األخف ح . الضرر األشد ي زال بKemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan
yang lebih ringan.
Contohnya apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama,
mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits dan ilmu yang berdasarkan agama
kecuali di gaji, maka boleh menggajinya.
. الاجة ت نزل منزلة الضرورةعامة كان أو خاصة خ Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum
maupun khusus
Contohnya dalam jual beli, objek yang di jual telah wujud. Akan tetapi,
demi untuk kelancaran transaksi, boleh menjual barang yang belum
berwujud asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada.
. كل رخصة أبيحت للضرورةوالاجة ل تست بح ق بل وجودها د Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-
hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-
hajah.
77
Contohnya memakan makanan yang haram, baru dilaksanakan setelah
terjadinya kondisi darurat. Misalnya tidak ada makanan lain yang halal.
امنهي عنه . كل تصر ف جر فساد ا أودفع صالح ذ Setiap tindakan yang membawa kemafsadatan atau menolak kemasla-
hatan adalah dilarang.
Contohnya menghambur-hamburkan harta atau boros tanpa ada
manfaatnya.
V. Kaidah Asasi Kelima
العادةمكمة Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum
Contohnya sebelum Nabi Muhammad di utus, adat kebiasaan sudah
berlaku di masyarakat baik di dunia arab maupun di bagian lain termasuk
di Indonesia. Adat kebiasaan tersebut di bangun atas dasar nilai-nilai yang
di anggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipa-
hami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat
tersebut. Diantara cabang dari kaidah ini adalah:
ا أ ب العمل ب . إستعمال الناس حجة يApa yang di perbuat orang banyak adalah alasan/argumen yang wajib
diamalkan.
Contohnya menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi
kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menjahitkan
pakaian adalah tukang jahit.
ا ت عتب العادة إذااضطردت أوغلبت ب . إنAdat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat
yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum.
Contohnya apabila seseorang berlangganan majalah, maka majalah itu
diantar ke rumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan
majalah, maka ia bisa komplain dan menuntut kepada agen majalah
tersebut.
78
. العبة للغالب الشائع لللنا در ت Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang terkenal oleh
manusia bukan dengan jarang terjadi.
Contohnya para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil
terpanjang tidak akan melebihi satu tahun.
عروف عرف ا كالشروط شرط ا ث . ال
Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang di syaratkan suatu
syarat.
Contohnya apabila orang bergotong- royong membangun rumah yatim
piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan orang-orang yang bergotong
royong itu tidak di bayar.
ن هم ج عروف بني التجار كالشروط ب ي . ال
Sesuatu yang tidak dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat
diantara mereka.
لنص ح عروف كا الت عيني بل . الت عيني ب
Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash
Contohnya apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menje-
laskan siapa yang bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut. Maka si
penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk
kecuali dengan izin orang yang menyewakan.
قة خ مت نع حقي مت نع عادة كا ال
. ال
Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang
tidak berlaku dalam kenyataan.
Contohnya seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain
adalah miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan darimana asal harta
tersebut.
79
قة تتك بدللة العادة د . القي Arti hakiki di tinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat.
Contohnya yang disebut jual beli adalah penyerahan uang dan
penerimaan barang oleh si pembeli serta sekaligus penyerahan barang dan
penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi apabila si pembeli sudah
menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli
itu telah terjadi. Dan penjual tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun
harga barang naik.
ذن اللفطى ذ ذن العرىف كال . الPemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan
pemberian izin menurut ucapaan.
80
81
BAB VI KAIDAH FIKIH DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Kaidah Fikih
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan bab yang telah
lalu bahwa dalam studi ilmu kaidah fikih, kita mendapat dua term yang
perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fikih. Kaidah yang merupakan bentuk
mufrod dari kata kaidah berarti aturan atau patokan. Sebagaimana telah
dijelaskan tersebut diatas bila dalam bahasa Arab terdapat kalimat
“Qowaidl al Bait” maka yang dimaksud adalah pondasi bangunan.
Dalam tinjauan terminologi, para Ulama’ mengartikan kaidah, itu
berbeda-beda sesuai dengan konsentrsai masing-¬masing dibidang studi-
nya, yakni:
1. Kaidah menurut Ulama’ Nahwu (Gramatika Arab), misalnya diartikan
sebagai ketentuan-ketentuan umum yang bersifat tetap/menyeluruh
yang dapat mencakup semua pembahasan masalah-masalah parti-
kular.
2. Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan
“Ketentuan dasar yang bersifat tetap secara kulliyyah yang dapat
diketahui hukum-hukum cabang yang tercakup di dalamnya.
3. Dikalangan ahli Fikih masih terjadi perbedaan pandangan dalam
mendefinisikan arti kaidah. Tajuddin As Subki (W. 771 H) memaknai
kaidah sebagai sebuah rumusan hukum yang bersifat menyeluruh
(kulliyyah) dan dapat mencakup berbagai masalah furu’iyyah, untuk
mengetahui ketentuan hukum pada masalah yang serupa72.
4. Al Hamawi mengartikannya sebagai kerangka hukum mayoritas yang
mencakup banyak permasalahan serta berfungsi untuk mengetahui
hukum-hukumnya, dan masih terdapat pengecualian-pengecualian.
72 Tajuddin as Subki tt,, Al-Asybah wan Nadha'ir, Daar al Qalam, Damaskus, hal 20
82
Sedangkan Fikih, menurut istilah adalah ilmu yang menerangkan
hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan
dari dalil-dalil yang tafshili (terperinci).
Jadi, dari semua uraian diatas–Sebagaimana yang diutarakan oleh Dr.
Abdurrahman Asy Sya’lani–dapat disimpulkan, bahwa Kaidahul fikihiyah
adalah “Aturan umum dalam fikih yang bersifat kulliyyah (unifersal) yang
membahas tentang cabang-cabang yang banyak dari berbagai bab”.
B. Posisi Kaidah Fikih
Menurut al-Qarrafi syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
terbagi dalam dua macam yaitu: Ushuliyyah yang berisi prinsip-prinsip
dasar atas bangunan hukum syari’at; dan furu’iyyah yang merupakan hasil
dari penerapan prinsip dasar tersebut.
Hukum-hukum ushuliyyah juga dibagi menjadi dua bagian yakni,
kaidah ushuliyyah yang berisi disiplin ilmu yang menekankan kajiannya
pada unsur kebahasaan yang terdapat dalam dalil nash dan metode peng-
galian hukum dari dalil tersebut. Studi inilah yang kemudian melahirkan
produk hukum yang kemudian disebut dengan Fikih.
Bagian kedua dari hukum ushuliyyah adalah kaidah fikih yang meru-
pakan studi yang membahas kerangka hukum yang bersifat umum yang
dirumuskan berdasarkan dalil atau kesamaan ’illat dan karakteristik
permasalahan. Dalam artian, kaidah fikih merupakan rumusan umum dari
berbagai macam persoalan furu’iyyah yang memiliki kesamaan ’illat yang
sesuai dengan dalil nash dan prinsip dasar syari’at. Hasil dari pada peng-
generalisasi-an tersebut dirumuskan dalam sebuah prinsip umum yang
digunakan untuk menelaah persoalan lain yang memiliki kesamaan ’illat.
C. Urgensi Kaidah Fikih
Menurut al-Suyuthi dengan menguasai kaidah fikih akan dapat
diketahui hakikat fikih, dasar-dasar hukumnya, landasan pemikirannya,
dan rahasia-rahasia terdalamnya. Sedangkan menurut Syekh Yasin al-
Fadani, keuntungan dari mempelajari kaidah fikih adalah akan diperoleh
kemudahan dalam mengetahui hukum kontemporer yang tidak mempu-
nyai nash.
Al-Subuki menyatakan bahwa, mengerahkan semua kemampuan
untuk mempelajari semua persoalan furu’ tanpa didukung oleh ilmu ushul
83
fikih akan menyebabkan timbulnya kontradiksi dalam pikiran. Akan tetapi,
jika kedua bidang tersebut (Red : Furu’ dan Ushul Fikih) sulit dikuasai,
maka mempelajari kaidah fikih akan sangat membantu dalam memahami
persoalan fikih dan substansi terdalam.
Selain itu, diantara keutamaan mempelajari kaidah-kaidah fikihiyyah
lainnya, menurut al-Qarrafi adalah setiap satu kaidah mengandung
beragam furu’ fikihiyyah yang tidak terhitung jumlahnya. Dengan bahasa
yang indah dan analitis, al-Qarrafi menyatakan ”barangsiapa menguasai
ilmu fikih disertai kaidah-kaidah kulliyah, karena semuanya telah tercakup
dalam kaidah-kaidah itu”.
D. Proses kodifikasi kaidah fikih
Ketika Rasulullah SAW masih hidup semua persoalan yang dihadapi
oleh umat Islam bisa langsung ditanyakan pada Beliau. Namun ketika
Rasulullah SAW telah wafat, mau tidak mau para Sahabat harus berijtihad
untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Metode yang
ditempuh oleh sahabat setiap kali menghadapi masalah baru adalah ber-
usaha mencari jawabannya dalam al-Qur’an, jika tidak ditemukan maka
mereka meneliti hadits Nabi, dan jika tidak ditemukan maka mereka
berupaya melakukan ijtihad dengan berpegang pada prinsip pokok yang
dicontohkan Nabi.
Mereka berupaya meneliti ‘illat hukum yang dikandung nash dan
mengkomparasikannya dengan permasalahan baru. Inilah cikal bakal peng-
gunaan qiyas sebagai salah satu metode penggalian hukum. Penggunaan
qiyas inilah yang pada akhirnya menjadi embrio lahirnya hukum fikih.
Pada masa tabi’in kajian hukum fikih semakin berkembang seiring
dengan munculnya berbagai mazhab fikih. Beragam metodologi penggalian
hukum mulai diperkenalkan oleh para imam madzhab, seperti konsep
istishlah Imam Malik, metodologi qiyas Imam Syafi’i, serta konsep istihsan
imam Hanafi. Pada masa ini pula mulai bermunculan kitab-kitab fikih
periode pertama yang ditulis oleh imam madzhab atau para muridnya.
Selain membicarakan berbagai macam persoalan fikih, pada umumnya
dalam kitab tersebut juga disisipkan beberapa prinsip dasar bangunan
hukum yang digali dari berbagai macam dalil yang menjadi landasan
persoalan hukum fikih. Penyisipan tersebut oleh generasi fuqaha’
84
selanjutnnya dijadikan sebagai prinsip penggalian hukum. Dari sinilah para
ulama mulai mengembangkan kaidah fikih.
Disamping itu, bibit kaidah juga dirumuskan para ulama dari ber-
bagai persoalan juz’iyyah yang dipadukan dengan dalil syar’i. Permasa-
lahan yang memiliki kemiripan ‘illat dan karakter hukum dikemas dalam
satu ungkapan yang bisa berbentuk ‘illat, dlabith, kaidah, atau ketentuan
hukum lainnya. Hasil dari upaya tersebut dikumpulkan, dihafal, bahkan
ditulis dalam kitab-kitab.
Usaha untuk menghafal dan mengumpulkan tersebut mulai tampak
sejak tahun 300-an hijriyah. Diantaranya adalah ulama’ madzhab hanafi
yakni Abu Thahir ad-Dabbas yang merangkum persoalan fikih madzhab
Hanafi dalam 17 kaidah. Koleksi kaidah milik Abu Thahir ini kemudian
dibukukan oleh sahabat karibnya yaitu Abu al-Hasan al-Karkhi yang
kemudian ditambah sehingga berjumlah 39 kaidah.
Sementara itu di kalangan madzhab Syafi’I, Qadli husayn dinilai
sebagai orang pertama yang merumuskan 4 macam kaidah madzhab
Syafi’I, yakni:
نيق ي ب ل ا إ نه ع ال ز ي ل ة يع ر الش قرر ف ت صل تهد و ل أ ك .1
ييس الت ب ل ت ة ق الش إن .2
ار ر ض ل و ر ر ض ل ه ول ن ق اشتقت م .3
ايه ل وع إ ج الر ة و اد يم الع ك ت .4.
Ke empat kaidah ini pada periode berikutnya disempurnakan lagi
menjadi lima kaidah dengan penambahan kaidah مبقاصدهااألمور , dan
disertai dengan perubahan berbagai redaksi.
E. Sistematika penulisan Kaidah Fikih
Menurut catatan Abdurrahman al-Sya’alani, setidaknya ada tiga
model dalam mensistematisasikan penulisan pada kitab-kitab kaidah fikih,
antara lain:
85
a. Kitab yang ditulis sesuai urutan bab dalam kitab fikih, seperti kitab al-
Ashbah wa al-Nadloir karya Ibn al-Mulaqqan, atau kitab al-Qawa’id
karya al-Maqarri.
b. Kitab kaidah fikih yang ditulis sesuai dengan urutan huruf hijaiyyah,
seperti langkah al-Zarkasyi dalam menulis kitab al-Mantsur fi al-
Qawa’id
c. Kitab kaidah yang membagi kaidah-kaidah tertentu dalam beberapa
bab atau bagian tertentu, seperti al-‘Alai yang memulai kitabnya
dengan membahas lima kaidah dasar, kemudian kaidah ushuliyyah
dan di akhiri dengan kaidah fikihiyyah. Sedangkan Ibn al-Subuki
memulai kitab al-Asybah wa al-nadloir-nya dengan membahas lima
kaidah dasar, kaidah-kaidah umum, kaidah-kaidah yang khusus yang
masuk pada satu bab fikih, dan diakhiri dengan pembahasan istilah
yang memunculkan cabang hukum.
F. Klasifikasi kaidah fikih
Jika ditinjau dari aspek cakupan furu’ (cabang) yang dikandung dalam
suatu kaidah, maka kaidah fikih dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu:
1. Lima kaidah dasar yang memiliki cakupan menyeluruh, komprehensif
dan universal, sehingga hampir menyentuh semua elemen hukum
fikih.
2. Kaidah yang memiliki cakupan furu’ cukup banyak.
3. Kaidah yang memiliki cakupan terbatas, bahkan cenderung sangat
sedikit.
Sementara jika ditinjau dari segi muttafaq atau mukhtalaf –nya
kiadah-kaidah fikih juga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Semua kaidah yang telah disepakati oleh semua madzhab, yaitu lima
kiadah dasar atau biasa disebut ¬al-kaidah al-kulliyyah.
2. Formulasi kaidah yang hanya disepakati dalam satu madzhab saja,
seperti kaidah aghlabiyyah dan qaliliyyah, dan jumlah mencapai 40
kaidah.
3. Rumusan kaidah yang masih diperdebatkan dalam satu madzhab yang
jumlahnya ada 20 kaidah.
86
Kaidah-kaidah ini biasanya diawali dengan nada pertanyaan, atau
ditambah penegasan bahwa dalam kaidah ini masih ada khilaf.
87
BAB VII MAQASHID SYARIAH DALAM USHUL FIKIH
Dalam penetapan hukum syariat yang berhubungan dengan ekonomi
terbuka pintu ijtihad yang tujuannya memberikan kemaslahatan dan bukan
kerugian bagi umat. Hal ini berhubungan dengan upaya pembentukan atau
pengembangan hukum yang baru yang tidak ada dalam al-quran dan as-
sunnah yang ditinjau dari pendekatan maslahat, yang dilakukan dengan
ijtihad. Selain itu juga sangat berhubungan dengan maqashid syariah
sebagai alasan (‘illah) atau hikmah dalam melakukan ijtihad.
Para ulama mempunyai pendekatan yang berbeda dalam identifikasi
maqashid. Menurut kamali73:
a. Pendekatan tekstual yang jelas, perintah dan larangannya. Perintah
merupakan tujuan syari’ (Allah) dalam bentuk perintah yang positif
dan larangan yang merupakan maqashid syariah dalam bentuk
negatif yang bertujuan menjauhkan manusia dari sesuatu yang
merugikan. Pendekatan ini lebih difokuskan kepada pendekatan teks
(Al-Quran dan As-sunnah).
b. Pendekatan illat, yaitu proses ijtihad menggunakan metode qiyas
yaitu menganalogikan sebuah kasus hukum (furu’) yang baru dengan
yang lama (usul) dengan menghadirkan alasan atau sebab (‘illat)
hukumnya. Pendekatan ini tidak fokus secara langsung kepada
maqashid al-syari’ dan maslahah manusia.
c. Pendekatan ijtihad dengan premis untuk merealisasikan manfaat
(maslahah) dan mencegah kerusakan (mafsadah). ‘illah dalam pende-
katan ini dinamakan hikmah pada setiap kasus hukum yang baru.
Contoh, hikmah pelarangan narkoba adalah menjaga manusia dari
kerusakan akalnya yang merujuk pada dalil keharaman khamar.
73 Lihat Al-Kamali, Abdullah. 2000. Maqashid al-Syari’ah Fi Dau’ Fiqh al-
Muuwazanat.cet. I,: Dar al-Fikr , Beirut-Libanon
88
Maka semua minuman memabukan yang dapat merusak akal
manusia diharamkan.
Ada beberapa metode pengambilan hukum dengan menggunakan
pendekatan maqashid syariah, menurut imam syatibi metode tersebut
yaitu:
A. Nash-nash dan hukum-hukum perlu dilihat dari segi tujuan-tujuannya
tanpa harus berhenti pada kejelasan, lafaz dan bentuknya dalam
menentukan ‘illat suatu hukum. Imam syatibi menegaskan dalam
penentuan hukum tidak boleh mengabaikan atau melalaikan maqashid
syariah dengan merujuk pada nash-nash yang benar. Karena itu, dalam
penetapan hukum menggunakan teks-teks alquran dan sunnah.
Contoh: Cari hadits mengenai zakat hanya diberlakukan bagi muslim
dan non muslim wajib membayar jizyah.
Dalam penjelasan di atas, ada dua tujuan dari zakat yaitu, untuk men-
sucikan para muzakki dan solidaritas kepada saudara-saudaranya
yang membutuhkan. Sebaliknya selain non muslim tidak dikenakan
dua tujuan zakat namun diwajibkan untuk membayar jizyah sebagai
kompen-sasi mereka tinggal dinegara Islam.
B. Pendekatan dengan menggunakan nash-nash yang umum dengan
dalil-dalil yang khusus. Adapun yang dimaksud al-kulliyah al-ammah,
yaitu:
• al-kulliyah al-nashiyyah (teks-teks yang menyeluruh) yang bera-
sal dari nash-nash quran dan sunnah yang benar (shahih)
• al-kulliyah al-istiqrai’ (induksi yang menyeluruh) yang menghu-
bungkan metode induksi dengan sejumlah teks-teks dan hukum-
hukum tertentu.
Hal tersebut menjadi sesuatu kewajiban dalam pengambilan hukum
yaitu dengan menimbang hal-hal khusus (dalil-dalil khusus) menjadi
sesuatu yang umum.
C. Jalb al-masalih wa dar’i al mafsadah (mendatangkan kemaslahatan
dan meninggalkan kerugian), merupakan penjelasan dari konsep
maslahah mursalah, dimana terdapat perbedaan pendapat dalam
menggunakan pendekatan ijtihad ini. Menurut syatibi, ketika suatu
89
maslahah benar-benar sesuai dengan maqashid syariah, maka diharus-
kan ditetapkan hukumnya dan pelaksanaannya.
D. I’tibar al-maalat, yaitu suatu ijtihad yang berupaya menetapkan suatu
hukum berdasarkan kondisi atau situasi yang mengitari objek hukum.
Menurut syatibi, seorang mujtahid tidak boleh menetapkan suatu
hukum dengan langsung atau menahan diri tanpa harus melihat atau
mengambil pertimbangan dari apa-apa yang ditafsirkan oleh suatu
perbuatan. Dalam penerapannya dapat dimasukan kepada kaidah-
kaidah az-zariah, istihsan, dll.
A. Maqashid syariah dalam ekonomi islam
Dalam upaya memahami kedudukan Maqashid syariah dalam ekonomi
Islam para akademisi dan praktisi lembaga perbankan dan keuangan
syariah, tidak cukup hanya mengetahui fikih muamalah dan aplikasinya
dalam praktek perbankan dan keuangan syariah, tetapi mereka juga perlu
memahami hal yang lebih penting dalam penentuan hukum syariah dalam
ekonomi Islam yaitu memahami ilmu ushul fikih.
Semua ulama sepakat bahwa ushul fikih menduduki posisi yang sangat
penting dalam ilmu-ilmu syariah. Imam Al-Syatibi (w.790 H), dalam kitab
Al-Muwafaqat, mengatakan, mempelajari ilmu ushul fikih merupakan
sesuatu yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena
melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil
syara’ (Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkan dalil-dalil
syariah itu di lapangan. Menurut Al-Amidy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil
Ahkam, Siapa yang tidak menguasai ilmu ushul fikih, maka diragukan
ilmunya, karena tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah (syariah)
kecuali dengan ilmu ushul fikih.”74 .
Hal penting dalam memahami ushul fikih adalah memahami maqashid
syariah. Maqashid syariah merupakan penggerak aktifitas dan kegitatan
ilmu ushul fikih. Maqashid syariah adalah jantung dalam ilmu ushul fikih,
karena itu maqashid syariah menduduki posisi yang sangat penting dalam
merumuskan ekonomi syariah, untuk menciptakan produk-produk per-
bankan dan keuangan syariah.
74 Lihat asy Syatibi, dalam kitab Al-Muwafaqat dan juga Lihat Al-Amidy
dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam
90
Para ulama ushul fikih sepakat bahwa pengetahuan maqashid syariah
menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk menjawab berbagai proble-
matika kehidupan ekonomi dan keuangan yang terus berkembang. Maqa-
shid syariah tidak saja diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan
ekonomi makro (moneter, fiscal ; public finance), tetapi juga untuk mencip-
takan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori
ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah juga sangat diperlu-kan dalam
membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah.
Fathi al-Daraini dalam buku Al-Fikih al-Islam al-muqarin ma’a al-
mazahib mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid syariah meru-
pakan pengetahuan yang utama dan memiliki proyeksi masa depan dalam
rangka pengembangan teori ushul fikih, karena itu maqashid syariah
menu-rutnya merupakan ilmu yang berdiri sendiri.
Dalam melakukan ijtihad seorang mujtahid harus menguasai maqashid
syariah. ‘Abdul wahhab Khallaf dalam Ilmu Ushul Fikihnya menyebut
dengan tegas bahwa nash-nash syariah tidak dapat dipahami secara tepat
dan benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid syariah dan
asbabun nuzul (latar belakang historis turunnya ayat). Keberhasilan
penggalian hukum ekonomi Islam dari dalil-dalil Al-Quran dan hadits
sangat ditentukan oleh pengetahuan tentang maqashid al-syariah yang
dapat ditelaah dari dalil-dalil tafshili (al-quran dan sunnah)
Maqashid syariah tidak saja menjadi faktor yang paling menentukan
dalam melahirkan produk-produk ekonomi syariah yang dapat berperan
ganda (alat sosial kontrol dan rekayasa sosio-econonomy) untuk mewujud-
kan kemaslahatan manusia, tetapi juga lebih dari itu, maqashid syariah
dapat memberikan dimensi filosofis dan rasional terhadap produk-produk
hukum ekonomi Islam yang dilahirkan dalam aktivitas ijtihad ekonomi
syariah kontemporer. Maqashid syaiah akan memberikan pola pemikiran
yang rasional dan substansial dalam memandang akad-akad dan produk-
produk perbankan syariah. Hanya dengan pendekatan maqashid syariah-
lah produk perbankan dan keuangan syariah dapat berkembang dengan
baik dan dapat meresponi kemajuan bisnis yang terus berubah dengan
cepat.
Di era kemajuan ekonomi dan keuangan syariah kontemporer, banyak
persoalan yang muncul, seperti hedging (swap, forward, options), Margin
91
During Contruction (MDC), Profit Equalization Reserve (PER), Trade Finance
dan segala problematikanya, puluhan kasus hybrid contracts, instrument
money market inter bank, skim-skim sukuk, repo, pembiayaan sindikasi
antar bank syariah atau dengan konvensional, restrukturisasi, pembiayaan
property indent, ijarah maushufash fiz zimmah, hybrid take over dan
refinancing, forfeiting, overseas financing, skim KTA, pembiayaan multi
guna, desain kartu kredit, hukum-hukum terkait jaminan fiducia, hypoteik
dan hak tanggungan, maqashid dari Anuitas, Tawarruq, Net Revenue
Sharing, cicilan emas, investasi emas, serta sejumlah kasus-kasus baru yang
terus bermunculan. Semua kasus dan upaya ijtihad terhadap kompleksitas
ekonomi dan keuangan syariah masa kini yang terus berubah dan
berkembang, memerlukan analisis berdimensi filosofis dan rasional dan
subtantif yang terkandung dalam konsep maqashid syariah.
Tanpa maqashid syariah, maka semua pemahaman mengenai ekonomi
syariah, keuangan dan perbankan syariah akan sempit dan kaku. Tanpa
maqashid syariah, seorang pakar dan praktisi ekonomi syariah akan selalu
keliru dalam memahami ekonomi syariah. Tanpa maqashid syariah, produk
keuangan dan perbankan, regulasi, fatwa, kebijakan fiscal dan moneter,
akan kehilangan substansi syariahnya. Tanpa maqashid syariah, fikih
muamalah yang dikembangkan dan regulasi perbankan dan keuangan yang
hendak dirumuskan akan kaku dan statis, akibatnya lembaga perbankan
dan keuangan syariah akan sulit dan lambat berkembang. Tanpa
pemahaman maqashid syariah, maka pengawas dari regulator gampang
menyalahkan yang benar ketika mengaudit bank-bank syariah. Tanpa
maqashid syariah, maka regulator (pengawas) akan gampang menolak
produk inovatif yang sudah sesuai syariah. Tanpa pemahaman maqashid
syariah maka regulasi dan ketentuan tentang (Pernyataan Standart
Akuntansi Kauangan)PSAK syariah akan rancu, kaku dan dan mengalami
kesalahan fatal.
Jiwa maqashid syariah akan mewujudkan fikih muamalah yang elastis,
fleksibel, lincah dan senantiasa bisa sesuai dengan perkembangan zaman
(shilihun li kulli zaman wa makan). Penerapan maqashid syariah akan
membuat bank syariah dan LKS semakin cepat berkembang dan kreatif
menciptakan produk-produk baru, sehingga tidak kalah dengan produk
bank-bank konvensional.
92
Pemahaman maqashid syariah ini bertitik tolak dari pemahaman
(penguasaan) berbagai disiplin ilmu, seperti ushul fikih, falsafah tasyri’,
tarikh tasyri’ fil muamalah, filsafat hukum Islam, ulumul quran dan tafsir,
ulumul hadits dan mushtalahul hadits, qawaid fikih, kaedah ushul fikih dan
kaedah bahasa Arab. Karena itulah, pengetahuan tentang maqashid al-
syariah ini menjadi syarat yang sangat penting dalam melakukan ijtihad
ekonomi syariah kontemporer.
Setelah belajar Maqashid Syariah pada Ekonomi, Keuangan dan
Perbankan syariah ini diharapkan mahasiswa akan mampu membahas
secara mendalam praktik maqashid syariah sejak zaman Nabi yang
dilakukan Rasulullah dengan contoh-contoh kasus yang menarik. Demikian
pula maqashid syariah pada zaman zaman sahabat, juga perlu
direkonstruksi dengan kasus-kasus historis, yang penting sebagai ibrah
(cermin) dalam berijtihad bagi para mahasiswa, akademisi, pakar dan
regulator untuk perumusan regulasi, peraturan, fatwa dan Undang-Undang.
Begitu pula maqashid syariah di zaman Imam-Imam mazhab, sampai ke
zaman abad pertengahan di masa Imam Al-Ghazali, Ibnu Taymiyah dan
Ibnu Qayyim, bahkan sampai ke zaman Syah Waliullah ad-Dahlawy. Dengan
demikian, maqashid syariah tidak saja dikaji dari sisi teori dan konsep,
melainkan juga dari segi sejarahnya selama berabad-abad. Pendeknya
maqashid syariah akan dipaparkan dalam buku kecil ini secara
komprehensif dan tuntas, agar bisa menjadi contoh, cermin dan pedoman
bagi ilmuwan, cendikiawan, ulama dan regulator dalam membuat regulasi,
mengawasi, mengaudit dan menciptakan produk perbankan dan keuangan.
Selama ini banyak kajian maqashid syariah dilakukan secara dangkal
yang hanya berupa kulit-kulit luar saja, sehingga belum banyak
pengaruhnya menjiwai perumusan regulasi, penciptaan produk dan malah
menciptakan kekakuan dalam pengembangan produk perbankan dan
keuangan syariah. Parahnya di Indonesiamasih saja ada regulator PSAK
yang bukan ahli syariah, secara salah memahami maqashid syariah. Mereka
berpandangan pemahaman akad dalam fikih muamalah itulah maqashid
syariah. Na’uzubillah. Padahal fikih muamalah bukanlah maqashid syariah.
Dalam kajian kaidah fikih ekonomi ini, kajian ushul fikih lebih banyak
ditekankan pada ushul fikih yang bermuatan maqashid syariah. Maka dalil-
dalil yang dibahas umumnya dalil-dalil yang berdimensi maqashid syariah,
seperti istihsan, maslahah dan maslahah mursalah, sadd al-zariah,’urf,
93
istishab dan tentunya qiyas. Setidaknya terdapat 11 (sebelas) dalil syariah,
yaitu (Alquran, Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan, maslahah mursalah, ‘Urf,
Sa’ad zariah, Istishab, fatwa sahabat dan syar’u man qablana. Pembahasan
dalil-dalil dari kasus-kasus aktual kontemporer dalam pembahasan buku
ini, senantiasa dijiwai oleh maqashid syariah, sebagai pedoman utama
dalam perumusan hukum finansial Islam. Oleh karena itu, kajian maqashid
syariah mendapatkan porsi pembahasan yang cukup luas dalam diskusi
kelas.
Untuk lebih mengkomprehensifkan materi ini, kajiannya juga menggu-
nakan ilmu qawaid fikih dan tarikh tasyrik fil-muamalat serta didukung
ilmu tafsir, ulumul quran dan hadits (mushtalahul hadits). Pendekatan yang
holistic ini akan menunjukkan secara nyata bahwa ekonomi syariah adalah
ilmu yang multidisiplin yang bisa dipertanggung-jawabkan secara
akademis dan syar’i. Dan yang lebih penting lagi, pendekatan yang holistic
ini akan menghasilkan produk, regulasi, aturan dan produk perbankan dan
keuangan yang benar-benar sesuai dengan maqashid syariah.
Dalam konteks keindonesiaan kita juga perlu memahami metode
penetapan fatwa MUI di Indonesia, yakni bagaimana manhaj dan metode
ijtihad yang dilakukan MUI dalam menetapkan fatwa-fatwa ekonomi
syarah. Ini penting, agar para mahasiswa memahami metodologi syariah
dalam penetapan suatu hukum ekonomi Islam, sehingga para mahasiswa
mengetahui bahwa penetapan fatwa tidak dilakukan sembarangan,
melainkan dengan metodologi ushul fikih yang sophisticated dan sangat
ektra hati-hati yang bisa dipastikan berada dalam koridor syariah.
Kalangan masyarakat awam, mungkin tidak begitu perlu memahami
ilmu ushul fikih berwawasan maqashid syariah, tetapi mahasiwa yang
diharapkan menjadi seorang pakar dalam ekonomi syariah, dosen, Dewan
Syariah dalam lembaga keuangan syariah, pejabat bank/LKS, Direksi, DPS,
terlebih regulator (OJK) dan BI, auditor, hakim, wajib memahami ilmu
ushul fikih dan maqashid syariah dengan baik. Demikian pula General
Manager Bank Syariah, Pimpinan Divisi, Head Group, Branch Manager,
(kepala cabang), semua dosen dan mahasiswa prodi ekonomi syariah,
konsultan, notaris syariah perlu memahami maqashid syariah dan aplikasi-
nya dalam ekonomi, keuangan dan perbankan syariah.
Definisi Ekonomi Islam:
94
• M. Umer Chapra75 cabang ilmu yang membantu merealisasikan
kesejahteraan manusia (falah) melalui alokasi dan distribusi sumber-
daya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa memba-
tasi kebebasan indivisu ataupun menciptakan ketidakseimbangan
makro dan ekologis.
• Menurut M. Akram Khan76 mendefinisikan ilmu ekonomi Islam
adalah ilmu yang bertujuan untuk melakukan kajian tentang
kabahagiaan hidup manusia (falah) yang dicapai dengan
mengorganisasikan sumber daya di bumi atas dasar gotong royong
dan partisipasi. Ekonomi islam di tetapkan bertujuan untuk
memelihara kemaslahatan umat manusia, kemaslahatan hidup
tersebut berkembang dan dinamis mengikuti perkembangan dan
dinamika hidup umat manusia, formulasi ekonomi yang tersurat di
dalam al-qur’an dan al-hadist.
• Syed Nawab Haider Naqvi77 menyatakan bahwa perbedaan antara
ekonomi Islam dan konvensional adalah internalisasi nilai-nilai etika
(agama) dalam ekonomi Islam.
Dari definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari
ekonomi Islam adalah merealisasikan falah kepada umat manusia dimuka
bumi melalui pendayagunaan sumber-sumber daya yang dianugerahkan
oleh Allah kepada manusia dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan
oleh Allah Swt.
Worldview merupakan perbedaan sudut pandang antara ekonomi
Islam dan konvensional, dan menghasilkan perbedaan tujuan hidup
manusia dalam berekonomi. Ekonomi Islam merupakan ilmu yang
memberikan cara kepada manusia untuk mendapatkan kesejahteraannya
(falah) yang berdasarkan kepada sumber-sumber Islam.
75 Lihat Umer Chapra. 2000, Islam dan Tantangan Ekonomi, Gema Insani
Press, Jakarta
76 Lihat Muhammad Akram Khan, “The Role of Government in the Economy,” The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997, hal. 157.
77 Lihat Syed Nawab Haider Naqvi,1993, Etika dan Ilmu Ekonomi; Suatu Sintesis Ekonomi,(Terj) Husin Anis, Asep Himat, Mizan, Bandung
95
B. Bangunan Ekonomi Islam
Fondasi utama
1. Aqidah, adalah ketetapan hati yang tidak ada keraguan di dalamnya.
Kidah merupakan fungsi utama dalam ekonomi Islam. Contoh: dalam
bentuk keyakinan kepada Allah, bahwa harta dalam Islam adalah
amanah yang diberikan oleh Allah, sebagai pemilik mutlak kekayaan
seluruh alam kepada manusia sebagai khalifatullah fil ard.
2. Syariah, adalah aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT
kepada hamba-hambanya yang bersumber dari al-quran dan as-
sunnah. Syariah mencakup seluruh aspek kehidupan baik ritual
(ibadah) maupun sosial (muamalah). Ibadah berfungsi sebagai
pengikat ketaatan dan keharmonisan hubungan antara manusia
dengan Allah SWT, sedangkan muamalah berfungsi sebagai aturan
hukum manusia yang ditetapkan oleh Allah untuk kemaslahatannya
dimuka bumi.
3. Akhlak, merupakan komponen yang melekat selalu dalam diri
manusia. Manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk melakukan
kebaikan dimuka bumi, ini membuktikan pentingnya peran akhlak
dalam kehidupan manusia.
Ketiga fondasi diatas harus menjadi satu keutuhan dalam implemen-
tasinya dikehidupan manusia yang direalisasikan kedalam fondasi ekonomi
Islam yang tediri dari falsafah dasar, yaitu:
1. Tauhid, merupakan asas utama dari segala aktivitas manusia. Sistem
ekonomi yang telah dibangun oleh Rasulullah saw adalah sistem yang
menggabungkan harmonisasi dan persaudaraan (ukhuwwah dan
tazkiyah) diantara umat manusia, disatukan oleh nilai-nilai tauhid yang
berasal dari kata wahada yang berarti satu. Mereka adalah satu
kesatuan umat yang berikrar tiada Tuhan selain Allah, tiada yang maha
kaya selain Allah, tiada yang maha berkuasa selain Allah dan tiada yang
maha Adil selain Allah.
2. Khalifah (perwakilan) yang memegang peranan penting dalam
kehidupan manusia. Manusia sebagai khalifatullah mempunyai 2 tugas:
• Sebagai hamba Allah (kewajiban agama)
96
• Sebagi pemakmur bumi (muamalah), dalam kewajiban ini direalisasi-
kan menjadi kewajiban ekonomi, sosial, dan politik. Karena itu
manusia dipercaya untuk mengelola bumi, dengan kebebasan dalam
bertindak untuk memilih yang benar dan meninggalkan yang salah
karena manusia diberi pengetahuan untuk belajar. (Al-Ahzab:72)
3. Alam, tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan manusia sebagai khalifah
di muka bumi. Dalam alquran dijelaskan hubungan manusia dengan
alam, yang meliputi alam kandungan, alam dunia, alam barzah dan alam
akhirat. Alam dunia yang paling menentukan posisi manusia yang
dimanifestasikan dalam perbuatan untuk mencapai kebahagiaan
akhirat. Orang yang mengenal dirinya sendiri akan mengenal wujud
dari alam (al-Zariyat, 19-20)
4. Ukhuwwah, adalah konsep yang berasal dari Islam, yang bermula ketika
umat muslim (muhajir) dan anshor dikenalkan oleh Rasulullah saw, ada
3 hal urgen dari konsep ini yaitu terwujudnya satu kesamaan
keyakinan, tujuan dan perilaku. Ketika ukhuwwah Islamiyyah sangat
kuat maka akan menghasilkan peradaban yang kuat, terutama dalam
bidang ekonomi. Turunan dari konsep ini akan direalisasikan dalam
bentuk kerjasama (cooperation), tolong menolong (ta’awun) dan
kebersamaan untuk maju.
5. Tazkiyah, merupakan komponen akhir yang menghubungkan antara
hubungan manusia dengan Allah, manusia lain, alam dan masyarakat.
Tazkiyah merujuk kepada penyucian dan tumbuh. Pembangunan
mengarah kepada kesempurnaan melalui penyucian perilaku-perilaku
dan hubungan-hubungan, sehingga hasilnya adalah falah.
Pilar-Pilar Ekonomi Islam, merupakan turunan dari fondasi
1. Konsep Kebebasan, tanggung jawab dan amanah konsep ini merupakan
turunan dari fondasi tauhid, alam dan khalifah. Hal ini berhubungan
dengan perilaku manusia (human behaviour) dalam ekonomi Islam
yang diatur oleh syariat.
2. Konsep kepemilikan, konsep ini berhubungan dengan kepemilikan
harta, harta yang dimiliki manusia adalah mutlak milik Allah,
sedangkan manusia hanyalah diberikan amanah untuk mengelolanya.
97
Kepemilikan dengan amanah (ownership by trusteeship) dibagi menjadi
2:
• Kepemilikan pribadi, bagi individu dibolehkan dalam Islam baik
dengan cara bekerja, warisan atau perdagangan.
• Kepemilikan publik, berhubungan harta-harta yang menjadi milik
bersama masyarakat dalam pengguanaanya. Secara umum konsep ini
berhubungan dengan aktivitas konsumsi dan produksi manusia.
3. Konsep Keadilan, menjelaskan tentang peranan distribusi dan transfer
pendapatan yang berasal dari kekayaan yang dihasilkan oleh manusia.
Tujuan distribusi dalam Islam adalah tidak terakumulasi harta pada
sebagian orang saja, melainkan terdistribusikan kepada mereka yang
membutuhkan, sehingga keadilan sosial dapat tercapai.
C. Tujuan Ekonomi Islam Berdasarkan Maqashid Syariah
Tujuan Ekonomi Islam Maqashid Syariah
Tujuan Ekonomi Islam adalah untuk falah atau kesejahteraan di dunia
dan akhirat78. (al-baqarah: 201), konsep falah ini sangat komprehensif,
yang mencakup pada aspek spiritual, moral, dan kesejahteraan di dunia
dan kesuksesan di akhirat.
• Pada level mikro, falah mengacu kepada pemenuhan kebutuhan
dasar, kebebasan dalam bekerja untuk mendapatkan kesenangan
spiritual dan materi
78 QS al-baqarah: 201
98
• Pada level makro, terbentuknya stabilitas dan kesejahteraan
ekonomi dengan standrad kehidupan masyarakat dapat tercapai di
dunia dan akhirat.
• Turunan dari konsep falah adalah, distribusi pendapatan yang
merata, keadilan ekonomi, berkurangnya kemiskinan dan terbukanya
kesempatan kerja.
D. CSR (Maqashid Syariah Dalam CSR)
CSR adalah sesuatu yang menunjukkan kegiatan perusahaan selain
meningkatkan keuntungan, seperti melindungi lingkungan, memperhatikan
kebutuhan karyawan, melakukan bisnis yang beretika, dan terlibat dalam
masyarakat setempat.
Implikasi dari maqashid dalam CSR
1. Nilai maqasid syariah sendiri dalam CSR itu terlihat pada adanya
pemerataan terhadap keuntungan yang diberikan oleh perusahaan
untuk kesejahteraan karyawan dan keluarganya, dan masyarakat
sekitarnya.
2. Ini sebagai bukti bahwa, menghapus semua image tentang kapitali-
sasi sebuah perusahaan. ini juga di pandang dari kacamata Islam
sebagai suatu bentuk pertangggungjawaban pada Allah SWT.
3. Konsep Islam sendiri pada CSR adalah sebagai bukti ketaqwaan kita
pada Allah yang mana kita mempunyai kewajiban dalam bertanggung
jawab atas kelangsungan kehidupan manusia.
The mashlahah pyramid
Tahsiniy
ah
Hajiyah
Dharuriyat
99
E. Tingkatan Maqashid Syariah
Pada tingkat pertama (dharuriyat), para manajer diharapkan dapat
menjaga kepentingan kebutuhan-kebutuhan esensi dari stakeholder dan
berbasis kepada maqashid al-khamsah (agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta). Kebutuhan yang esensi menjadi prioritas bagi karyawan sebelum
diberikan kepada konsumen dan masyarakat.
1. Agama, penyediaan fasilitas ibadah, penyediaan waktu yang cukup
untuk ibadah, aturan-aturan perusahaan berbasisi nilai-nilai Islam
2. Jiwa, menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja dilingkungan ker-
ja, asuransi kesehatan.
3. Keturunan, bantuan biaya pernikahan bagi para pekerja, subsidi
pembelian rumah.
4. Akal, bantuan biaya pendidikan untuk keluarga pekerja dan masyara-
kat sekitar, pengembangan skill pekerja dan mesyarakat melalui
training.
5. Harta, gaji yang adil, biaya pensiun.
Pada tingkat kedua ada hajiyat, perusahaan dapat membuka program
CSR seperti pelatihan dan program peningkatan kualitas sumber daya
manusia, program beasisiwa untuk meningkatkan tingkat pengetahuan
karyawan dan memberikan pelatihan bagi karyawan mengenai instrumen
keuangan Islam yang ditawarkan untuk melindungi iman (hifdz al-din).
Pada tingkat terakhir adalah tahsiniyat, perusahaan dibebankan
tanggung jawab sosial dengan terlibat dalam program-program yang dapat
menyebabkan peningkatan dan pencapaian terhadap kehidupan umat.
Contoh: dengan menyediakan fasilitas ibadah di masyarakat, fasilitas
kesehatan seperti perawatan gratis bagi masyarakat miskin dan yang
membutuhkan, melindungi lingkungan masyarakat, menawarkan beasisiwa
bagi siswa miskin dan yang membutuhkan dan meningkatkan fasilitas
pendidikan di masyarakat setempat.
F. Maqashid Syariah Dalam Konsumsi
Prinsip-Prinsi dasar konsumsi:
1. Prinsip halal (al-maidah: 3)
2. Prinsip kebersihan dan kebajikan (al-baqarah: 172)
100
3. Prinsip moderat (Al-‘araf: 31)
Skala prioritas konsumsi dalam tinjauan maqashid syariah, seorang
muslim harus mempertimbangkan aspek-aspek yang membawa manfaat
(maslahat) dan bukan kerugian (mafsadah). Hal ini berhubungan dengan
kajian maqashid syariah yang terdiri dari :
1. Dharuriyat, merupakan kebutuhan oleh manusia dalam konsumsi.
a. Kebutuhan dalam menjaga agama seperti memperdalam ilmu
keagamaan, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
b. Kebutuhan dalam menjaga jiwa, seperti sandang, pangan, papan,
eksistensi diri dan kesehatan.
c. Kebutuhan dalam menjaga keturunan, seperti pengeluaran perka-
winan dan keluarga.
d. Kebutuhan dalam menjaga akal, seperti pengeluaran pendidikan
e. Kebutuhan dalam menjaga harta, seperti pengeluaran tabungan,
investasi dan asuransi.
2. Hajiyat, untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan dalam
pemenuhan kebutuhan dasar (dharuriyat) manusia. Contoh: pengeluaran
zakat, infak dan sedekah merupakan kebutuhan yang dapat meralisasikan
aspek ritual (hifdz al-din).
3. Tahsiniyah atau kamaliyat, adalah segala sesuatu yang tujuan tidak
untuk merealisasikan maqashid al-khamsah dan tahsiniyat melainkan
untuk menjaga kehormatan dari maqashid al-khamsah itu sendiri. Pada
tingkatan ini lebih difokuskan kepada etika manusia dalam berkonsumsi
dengan landasan nilai-nilai Islam.
101
BAB VIII KAIDAH FIKIH TENTANG EKONOMI
Kaidah fikihiyah (kaidah-kaidah fikih) terdiri dari kaidah umum dan
kaidah khusus, kaidah khusus terbagi lagi kepada beberapa bidang, salah
satunya adalah di bidang Ekonomi (Muamalah) Kaidah yang khusus di
bidang Ekonomi (Muamalah) menjadi sangat penting karena perhatian
sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits terkait ibadah mahdhoh
dan hukum keluarga Islam lebih dominan dibanding dengan fikih-fikih
yang lain. Akibatnya, di bidang fikih-fikih selain ibadah mahdhoh dan
hukum keluarga Islam, ruang lingkup ijtihad menjadi sangat luas dan
materi-materi fikih sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak.
Al-Qur’an dan Hadits untuk bidang selain ibadah mahdhoh dan hukum
keluarga Islam hanya menentukan garis-garis besarnya saja yang tercermin
dalam dalil-dalil yang bersifat umum. Hal ini tampaknya erat kaitannya
dengan fungsi manusia yang selain sebagai hamba Allah juga sebagai
khalifah fi al-ardh.Oleh karena itu, dalam makalah ini pemakalah hanya
membahas kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Ekonomi (Muamalah)
saja.
A. Kaidah-Kaidah Fikih Yang Berhubungan dengan Masalah
Ekonomi
Kaidah-kaidah fikih terdiri dari kaidah fikih yang umum dan kaidah
fikih yang khusus, salah satu kaidah fikih yang khusus yaitu kaidah yang
berhubungan dengan masalah ekonomi (muamalah), kaidah-kaidah terse-
but antara lain adalah sebagai berikut:
ف صل األ .1 اه ي ر ى ت ل ع يل ل أن يدل د ل ة إ ح ب ال ة ل ام ع ال
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
ا التزماه بلتعاقدته م يج ت ن ين و ى التعاقد ض العقد ر ف صل األ .2“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
إذنهال ه ب ي ملك غ ف ف صر ن ي د أ ح أل وز ي ل .3
102
“Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta”
ةاز ج ل ال قب ي ل ل ط االب .4“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”
ة الالحقة كالوكالة السابقةاز ج ال .5“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu”
انع م ت ي ان ل م الض و ر ج األ .6
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”
ان م لض ب اج ر ال .7“Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian”
لغمنب رم الغ .8“Risiko itu menyertai manfaat”
ه من ض ا ف ل م ط ئ ب ي ل ش ط ا ب ذ إ .9“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
اه ع اف ن ى م ل ع د ق الع ان ك عي ى األ ل ع قد الع .10“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad
terhadap manfaat benda tersebut”
ود ق الع ن م ه يد ب ت ح ص ا ي م ل ك .11 ه ت ي ق و ت ح ص ي ال ف ات ض او ع ال
“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah
diberlakukan sementara”
لط ب ي الغ ك ل م ف ف ر ص لت ب ر م األ .12“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah
batal”
بضلق ب ل إ ع ب الت م ت ي ل .13
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
انم الض اف ن ي ي رع ش ال از و ال .14
103
“Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan
ganti rugi”
ت ل ب ق ن و ك ي ن أ ز ائ ج ول ب ق ل ك .15
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”
زائ ج و ه اه ف ض ت ق ن م و م أ د ق الع ة ح ل ض ن م م ان رط ك ش ل ك .16“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut,
maka syarat tersebut dibolehkan”
ه ن ه ر از ج ه ع ي ب از ا ج م .17“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan”
ب ر و ه ة ف ع ف ن م ر ج ض ر ق ل ك .18“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama
dengan riba”
الضرري زال .19“Kemadharatan harus dihilangkan”
الاجة ت نزل منزلة الضرورةعامة كان أو خاصة .20“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun
khusus”
انتمع ي ان ل م الض و جر األ .21“Sewa dan membayar kerusakan, tidaklah berkumpul”
B. Penerapan Kaidah Fikih dalam Ekonomi
Penerapan Kaidah-kaidah fikih dalam ekonomi adalah sebagai berikut:
1. Kaidah pertama:
ف ل ص أل ا اه ي ر ى ت ل ع يل ل ن يدل د أ ل ة إ ح ب ة ال ل ام ع ال
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai kerjasama (mudharabah dan musyarakah) perwakilan, dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.
104
2. Kaidah kedua:
ض د ر ق الع ف ل ص األ اقدع لت اه ب ا التزم تيجته م ن دين و اق ع ت ى ال
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang
berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu,
transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah
pihak. Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam
keadaan terpaksa atau dipakasa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada
waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak
merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal.
Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh
penjual karena barangnya terdapat cacat.
3. Kaidah ketiga:
ه ن ذ إ ال ب ه ي غ لك م ف ف ر ص ي ن أ د ح أل ز و ي ل “Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang
lain tanpa izin si pemilik harta”
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang
dijual atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya.
Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.
4. Kaidah keempat:
ةاز ج ال ل ب ق ي ل ل ط االب “Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak
pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun
diterima salah satu pihak. Contohnya, Bank syariah tidak boleh melakukan
akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga,
meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga
sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah
apabila lembaga keuangan lain itu mau menggunakan akad-akad yang
105
diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu akad-akad atau transaksi
tanpa menggunakan sistem bunga.
5. Kaidah kelima:
ةق اب ة الس ال ك و ال ك ة ق ح ة الال از ج ال “Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan
yang telah dilakukan lebih dahulu”
Seperti telah dikemukakan pada kaidah ketiga bahwa pada dasarnya
seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain
tanpa seizin pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah di atas, apabila
seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si
pemilik harta memberikan izin kepadanya, maka tindakan hukum itu
menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik
harta. Contohnya adalah akad wakalah yang diberlakukan di Bank Syariah.
6. Kaidah keenam:
انع م ت ي ل ان م الض و ر ج األ “Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak
berjalan bersamaan”
Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut
adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada
di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya
tidak ada di pasaran.
Contoh, seseorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa
keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-
barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat.
Maka, si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu
membawa sewaannya.
7. Kaidah ketujuh:
انم لض ب اج ر ال
106
“Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat
benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang
mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan
alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan
binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak
pembeli.
8. Kaidah kedelapan:
ن م لغ ب م ر الغ “Risiko itu menyertai manfaat”
Maksud dari kaidah al ghurmu bi al ghunmi ialah bahwa seseorang
yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung risiko. Sedangkan
menurut Umar Abdullah al-Kamil, makna yang tersirat dari kaidah ini
adalah bahwa barang siapa yang memperoleh manfaat dari sesuatu yang
dimanfaatkannya maka ia harus bertanggung jawab atas dhoror atau
ghurmu serta dhomān yang akan terjadi.
Contohnya Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada
keridhaan dari penjual atau ditanggung bersama. Demikian pula halnya,
seseorang yang meminjam barang, maka dia wajib mengembalikan barang
dan risiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos
mengangkut dan memelihara barang, dibebankan pada pemilik barang.
9. Kaidah kesembilan:
ه ن م ض ا ف م ل ط ب ئ ي ش ل ط ا ب ذ إ “Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam
tanggungannya”
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si
pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang.
Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak
pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga
107
barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya
dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.
10. Kaidah kesepuluh:
اه ع اف ن ى م ل ع د ق الع ك ان عي ى األ ل ع د ق الع “Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap
manfaat benda tersebut”
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan
nnisa pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan
sekaran, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh
hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah
sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
11. Kaidah kesebelas:
ود ق الع ن م ه يد ب ت ح ص ا ي م ل ك ه ت ي ق و ت ح ص ي ال ف ات ض او ع ال
“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah
diberlakukan sementara”
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang
masing-masing memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak
(penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga
barang. Di pihak lain yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga
barang dan berhak terhadap barang yang dibelinnya. Dalam akad yang
semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak
dibatasi waktunya. Apabila waktuya dibatasi, maka bukan jial beli tapi
sewa menyewa.
12. Kaidah kedua belas:
لط ب ي الغ ك ل م ف ف ر ص لت ب ر م األ “Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain
adalah batal”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk
bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap
miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala
108
penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual
barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.
13. Kaidah ketiga belas:
بضلق ب ل إ ع ب الت م ت ي ل “Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
Akad tabarru adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan
semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai
penyerahan barangnya dilaksanakan.
14. Kaidah keempat belas:
انم الض اف ن ي ي رع ش ال از و ال “Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan
ganti rugi”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik
melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti
rugi. Contohnya, si A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian
binatang tetangganya jatuh kedalam sumur tersebut dan mati. Maka,
tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali
sumur ditempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.
15. Kaidah kelima belas:
ت ل ب ق ن و ك ي ن أ ز ائ ج ول ب ق ل ك “Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”
Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad
jual beli, sewa menyewa dan lain-lainnya, akad untuk menyebut “qabiltu”
(saya telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab
itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup
dijawab dengan “saya terima”.
16. Kaidah keenam belas:
زائ ج و ه اه ف ض ت ق ن م و م أ د ق الع ة ح ل ض ن م م ان رط ك ش ل ك
109
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut,
maka syarat tersebut dibolehkan”
Contohnya seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa
apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka
penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih,
syarat tercatat di notaris.
17. Kaidah ketujuh belas:
ه ن ه ر از ج ه ع ي ب از ا ج م “Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan”
Sudah tentu barang yang boleh dijual boleh pula digadaikan namun,
ada pengecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan tapi tidak
boleh digadaikan karena tidak bisa diserah terimakan
18. Kaidah kedelapan belas:
ب ر و ه ة ف ع ف ن م ر ج ض ر ق ل ك “setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama
dengan riba”
Riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang
yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uang), karena
pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah
ditentukan. dalam perbankan syariah dilarang menggunakan transaksi
yang menimbulkan riba, oleh sebab itu sistem bunga diganti menjadi
sistem bagi hasil.
19. Kaidah Sembilan belas:
رري زال الض “Kemadharatan harus dihilangkan”
Konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus
dijauhkan dari idhrar (tindakan menyakiti) baik oleh dirinya maupun
orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti orang
lain). Contohnya larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok
110
masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemadharatan bagi
rakyat.
20. Kaidah kedua puluh:
الاجة ت نزل منزلة الضرورةعامة كان أو خاصة “Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum
maupun khusus”
Contohnya dalam jual beli, objek yang di jual telah wujud. Akan tetapi,
demi untuk kelancaran transaksi, boleh menjual barang yang belum
berwujud asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada.
21. Kaidah kedua puluh satu:
انتمع ي ان ل م الض و جر األ “Sewa dan membayar kerusakan, tidaklah berkumpul”
Maksud dari kaidah ini ialah, bahwa upah tanggungan (ganti rugi) dari
suatu barang,
111
BAB IX KAIDAH FIKIH TENTANG
TRANSAKSI KEUANGAN
Manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan oleh Allah swt. Di
dalam berinteraksi antar sesamanya selalu mempunyai hubungan dan
tidak bisa sendiri-sendiri. Manusia sangat bergantung sekali dengan manu-
sia lainnya atau butuh teman, kawan atau makhluk lain maka manusia
tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan orang lain. Bagaimana kalau
seorang manusia mau makan tentu dia butuh beras untuk dimasak maka
tentu dia harus membelinya di pasar atau dia harus menanamnya maka dia
perlu bibit dan pupuk yang diperoleh dari orang lain.
Di dalam berhubungan antar manusia sangat dibutuhkan aturan-atur-
an. Selain aturan itu datang dari Allah swt dan Sunnah RasulNya diperlukan
juga bahan-bahan yang lain, yang intinya mendatangkan kebaikan bagi
manusia.
Hubungan yang dimaksud juga berarti saling bertransaksi dan dalam
setiap kegiatan kehidupan atau ekonomi sangat memerlukan transaksi.
Dalam ekonomi ada yang kita kenal dengan Transaksi Keuangan. Segala
aspek aktifitas ekonomi memerlukan transaksi keuangan. Karena label
ekonomi kita telah berubah menjadi ekonomi Islam maka dalam transaksi
keuangan mutlak diperlukan transaksi yang Islami dan diridloi oleh Allah
SWT. Maka Transaksi Keuangan itu harus mempunyai landasan yang kuat
dan benar. Berasal dari sumber yang haq dan tayib. Aturan itu harus
mempunyai rujukan hukum yang jelas. Dari semua rujukan hukum itu
dibutuhkan kaidah fikih atau hukum syariat yang jelas. Dalam bertransaksi
keuangan hendaklah ada kaidah fikih yang kita pakai agar transaksi itu
syah dan tayib tadi.
A. Kaidah Fikih dan Kaidah Ushuliyah
Dalam pembahasan pada BAB-BAB yang telah lalu diuraikan fungsi
utama dari ilmu Kaidah Fikihiyyah dari seluruh aturan-aturan yang
universal dan menyeluruh tersebut diidentifikasi, dikonsolidasi dan
dikelompokkan menjadi aturan-aturan yang tematik atau sesuai dengan
112
fungsi masing-masing aturan itu sebenarnya atau dengan kata lain aturan
yang sifatnya umum bisa dikhususkan untuk topik-topik tertentu.
Status hukum Kaidah adalah merupakan bantuan hukum yang bisa
menjadi pedoman bagi ahli-ahli hukum dalam mengeluarkan suatu fatwa
atau oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara sepanjang tidak
melenceng dari Alquran, Sunnah Rasul atau prinsip-prinsip umum hukum
Islam.
Perbedaan antara Ushul Fikih dan Kaidah Fikihiyyah (Kaidah Fikih)
adalah, Ushul Fikih menaruh perhatian utama pada aturan-aturan menter-
jemahkan teks hukum dan metodologi yang diikuti untuk menurunkan
suatu aturan dari teks hukum. Ushul Fikih merupakan suatu metode yang
diterapkan untuk menurunkan aturan-aturan umum dari sumber-sumber
asli. Misalnya, aturan “Amr (Komunikasi dalam bentuk perintah) merupa-
kan kewajiban” adalah suatu kaidah ushuliyah. Semua amalan wajib seperti
mendirikan sholat, membayar zakat dan memenuhi perjan-jian diturunkan
dari aturan ini. Aturan itu diterapkan pada semua perbuatan yang status
hukumnya wajib dalam Islam.
Di sisi lain, Kaidah Fikihiyyah diekstrapolasi dari ketentuan-ketentuan
fikih dan menitik beratkan pada upaya mengidentifikasi analogi hukum dan
mengelompokkannya ke dalam judul yang sesuai. Aturan “Suatu yang
membahayakan harus dihilangkan” misalnya adalah kaidah fikih yang
memasukkan semua ketentuan dalam hukum Islam di mana menghapus-
kan hal-hal yang membahayakan dititikberatkan oleh syariah seperti
hukum-hukum yang berkaitan dengan kompensasi terhadap pengrusakan
harta seseorang, hukum mengganti kerugian, hukum Qisas, Hukum pre-
emption (dalam istilah fikih disebut “Syuf’ah” yaitu hak prioritas untuk
membeli terlebih dahulu), likuidasi, hak membatalkan kontrak dan lain-
lain.79
Selain Kaidah ada juga istilah Dabitah. Dabitah adalah memfokuskan
penerapannya dalam topik-topik yang individual. Sementara Kaidah atau
Kaidah adalah satu aturan yang umum yang dapat diterapkan pada semua
spesifikasi yang terdapat dalam beberapa bab Fikih. Misalnya ada Kaidah
“Suatu perbuatan dinilai dari niat di balik perbuatan itu” yang diterapkan
79 Muhammad Tahir Mansoori, 2010, Kaidah-Kaidah Fiqh Keuangan dan
Transaksi Bisnis, Ulul Albab Institut, Bogor, hal. 9
113
pada berbagai bidang seperti ibadah, transaksi, hukum kriminal dan lain-
lain.
Sumber dan asal Kaidah dapat dikelompokkan ke dalam beberapa
kategori :
1. Kaidah yang diturunkan dari teks Alquran dan Hadis Rasulullah SAW.
Contohnya, kaidah ‘Dasar dari segala perbuatan adalah maksud
perbuatan tersebut” diturunkan dari hadist yang terkenal : “Innamal
A’malu binniyat (yang artinya : “Sesungguhnya amal perbuatan itu
tergantung pada niatnya)”.80 Begitu juga dengan kaidah “Kesulitan
dapat memunculkan kemudahan” didasarkan pada sejumlah ayat
Alquran yang memberikan suatu kemudahan ketika mengalami
keadaan sulit. Seperti tercantum dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat
185 dan Surat Al-Hajj ayat 78.
2. Kaidah yang aslinya adalah hadist Rasulullah saw, namun kemudian
lebih dikenal sebagai kaidah-kaidah hukum antara lain :
a. Siap menerima untung berarti siap menerima rugi
انم لض ب اج ر ال b. Setiap hutang yang membawa keuntungan bagi yang meminjam-
kannya adalah Riba
ب ر و ه ا ف فع ر ن ج ض ر ق ل ك c. Jangan menjual apa yang tidak engkau miliki
ك د ن ع س ي ا ل م ع ب ت ل 3. Kaidah yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan fikih, tersebar
dalam beberapa bab berbeda pada kitab-kitab fikih.
4. Kaidah yang berasal dari Ushul Fikih (yaitu prinsip-prinsip hukum
Islam) yang diturunkan oleh ulama fikih yang berasal dari keten-
tuan Alquran dan Sunnah antara lain contohnya :
80 Ibid. hal 11
114
a. “Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan”
atau Istishab yang terkenal dalam hukum Islam
كلش ب ل و ز ي ل ني ق الي b. “Adat kebiasaan itu merupakan hakim” atau prinsip Urf
ة م ك م ة اد الع c. Ijtihad tidak berlaku apabila ada nushush (teks Alquran atau
Hadist yang menjelaskan hukum itu)
ه ل ث ب ض نق ي ل اد ه ت ج ال B. Niat dan Motivasi dalam Kontrak
Dalam melakukan kerjasama atau transaksi hendaklah kita mulai
dengan niat yang baik. Apabila niat itu selaras dengan niat Allah atas
transaksi itu maka perbuatan tersebut menjadi sah, tetapi apabila niat itu
tidak selaras dengan niat Allah maka perbuatan tersebut tidak sah.
Niat dan motivasi menentukan sifat dasar yang sebenarnya dari suatu
akad, disamping menentukan status hukum dalam hal sah atau tidak
sahnya suatu perbuatan. Sehingga ketika suatu hadiah atau donasi yang
diberikan bertentangan dengan beberapa ketentuan maka akad itu akan
berubah menjadi akad jual-beli dan bukan lagi akad hadiah walaupun
namanya Hadiah atau Donasi. Begitu juga dengan akad hawalah (pendele-
gasian hutang). Jika orang yang berhutang masih memliki kewajiban untuk
melunasi hutangnya disamping orang yang menggantinya, maka akad
tersebut jatuh pada akad Kafalah meskipun nama akadnya Hawalah. Sama
halnya dalam kerjasama Mudharabah jika ada ketentuan yang menyatakan
bahwa pihak yang menyediakan modal akan memperoleh semua keun-
tungannya maka akad itu disebut Mudharabah tapi akad hutang.81
Sebagai contoh dari suatu kontrak ditentukan oleh tujuan dan maksud
kontrak tersebut adalah giro di bank komersial. Para ulama kontemporer
memperlakukan giro sebagai suatu kontrak hutang daripada kontrak
wadiah atau amanah disebabkan karena kontrak wadiah harus memenuhi
81 Ibid. hal 23
115
syarat bahwa sebagai titipan di tangan orang yang dipercaya dengan tujuan
menjaga keamanan dan tidak ada keharusan suatu kewajiban atau
misalnya apabila barang yang dititipkan itu rusak bukan karena
kecerobohan maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya, kemudian
adalah bahwa titipan tersebut tidak dapat dipakai oleh orang yang
menerima amanah tersebut. Tetapi apabila barang wadiah tersebut dipakai
oleh si pemegang amanah dengan seizin yang punya maka kontrak wadiah
berubah menjadi kontrak hutang, kontrak agensi atau kontrak kerjasama.
Dan bagaimana dengan giro pada di Bank Syariah ? Ternyata hal yang
ditemukan adalah sangat kontras dari prinsip Wadiah yakni sebagai
berikut :
1. Bank Syariah menggunakan uang yang dititipkan dan tidak berlaku
dalam kasus Wadiah.
2. Bank Syariah mencampur adukkan uang titipan itu dengan tabungan
yang lain.
3. Bank Syariah selalu menjamin pengembaliannya dengan aman, atau
bank menanggung semua kewajiban dan resiko terkait uang yang
dititipkan.
4. Bank Syariah tidak mengembalikan uang yang sama tetapi uang lain
dalam jumlah yang sama.
Oleh karena giro membentuk hubungan pemberi hutang dan peng-
hutang antara nasabah dan bank maka tidak dibolehkan bagi bank untuk
memberikan layanan ekstra kepada nasabah karena hal itu dihitung
sebagai Riba. Hal ini telah dilarang dalam suatu prinsip yang terkenal :
‘Setiap hutang yang memberikan manfaat adalah Riba”. Dalam konteks
transaksi hutang, uang jasa yang diberikan kepada pemberi hutang dapat
membuka pintu untuk riba. Jadi atas dasar prinsip Sadd al-dara’i (Menutup
segala cara yang membuka pintu kemungkaran) hal ini harus dihindari.
Beberapa kontrak yang tidak dibenarkan adalah sebagai berikut :
1. Bay’ al Inah; adalah menjual barang secara kredit dengan harga
tertentu dan kemudian membelinya kembali secara kontan dengan
harga yang lebih murah dari harga kredit, di mana kedua transaksi
terjadi pada waktu yang bersamaan.
116
2. Tawaruq; adalah suatu transaksi di mana seorang yang membutuh-
kan uang membeli suatu barang secara kredit dari orang tertentu
dan kemudian menjualnya ke pasar secara kontan dengan harga di
bawah harga beli sebelumnya dari pemilik barang.
3. Bay’ bil Wafa; merupakan transaksi di mana seseorang yang
membutuhkan uang menjual suatu barang kepada pembeli dengan
syarat kapan saja si penjual mau maka si pembeli tadi harus
mengembalikan barang yang dibelinya kepadanya dengan harga
pembelian semula.
4. Hiyal; alat/strategi hukum yaitu menghilangkan hak atau menguat-
kan yang salah yang pada sisi lain selalu digunakan dengan niat dan
tujuan untuk menghindari larangan syariah.
5. Sadd Al-Dara’i; mencegah atau menutup proses yang tujuannya
haram atau dilarang yang sebenarnya merupakan pencegahan suatu
kemungkaran sebelum terjadi. Persoalan niat untuk memperoleh
hasil tertentu tidak dapat menimbulkan hasil tersebut
C. Konsep Menghilangkan Mudharat
Ketentuan-ketentuan ini pada umumnya berfungsi sebagai tindakan
pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya mudarat dan mencegah
mudarat itu sebelum terjadi. Dan beberapa penerapan kaidah ini adalah
sebagai berikut :
1. Hukum Pencegahan (Hajr)
Hukum Islam telah membuat batasan-batasan terhadap muatan-
muatan akad dari suatu pihak yang memiliki karakter membahayakan
orang lain dan batasan-batasan terhadap transaksi yang
kemungkinkan besar membahayakan orang lain. Tindakan mencegah
seseorang dari transaksi tersebut disebut hajr dalam hukum Islam.
Hajr adalah mencegah orang tertentu dari menyia-nyiakan hartanya.
Hukum pencegahan diwajibkan syariah untuk menyelamatkan hak
dan kepentingan masyarakat yang diakibatkan oleh karakter orang-
orang tertentu.82 Alasan-alasan penting dari pencegahan tersebut
adalah :
82 Ibid. hal 47
117
a. Safah atau pemborosan dalam hukum Islam merujuk pada
penyalahgunaan harta seseorang yang berlawanan dengan akal
dan syariah dengan cara menghabiskannya tanpa tujuan yang
benar atau menggunakan harta secara berlebihan di luar
kebutuhan meskipun realitasnya rasional bagi orang tersebut.
b. Orang yang mengalami penyakit yang mematikan dilarang
melakukan transaksi atas seluruh harta yang dimilikinya karena
dia harus memikirkan kepentingan ahli warisnya. Sebagai contoh
transaksi searah yang dilakukannya adalah memberikan donasi,
waqaf, infaq dan sedekah yang hanya dibatasi pada sepertiga dari
hartanya. Dan jika dia mempunyai hutang maka dilarang
melakukan donasi karena harta yang ditinggalkannya itulah
sebagai pembayar hutangnya kelak. Dan untuk transaksi dua arah
(timbal balik) maka terlarang untuk membatalkannya karena
kepentingan sang pasien lebih utama daripada kepentingan ahli
waris.
c. Orang yang telah dinyatakan bangkrut oleh pengadilan maka
terlarang baginya untuk mempergunakan hartanya karena
hartanya itu adalah untuk melindungi hak kreditor (pemberi
piutang) dan mencegah membuat transaksi yang membahayakan
kreditor.
2. Law of Pre-emption
Tujuan utama mengakui hak pre-emption adalah untuk menghin-
dari berbagai bahaya yang dapat terjadi pada pemilik atau tetangga
dengan masuknya orang ketiga dari luar. Hak Pre-Emption mempunyai
dasar justifikasi :
a. Kesulitan dan ketidaknyamanan dari suatu kepemilikan bersama
lebih dipentingkan daripada pembeli asing (pihak luar) dan
merelakan orang asing masuk boleh jadi membuat partner kita
meninggalkan hartanya karena ketidaknyamanannya.
b. Konsepsi demokrasi dalam hukum waris cenderung untuk
membagi-bagi harta keluarga maka hak pre-emption untuk
mencegah kejahatan yang timbul karena membagi-bagikan harta
tersebut.
118
c. Sharaya-ul-Islam dimana pembagi-bagian akan menyebabkan
kerugian dan kerusakan.
d. Hedaya adalah memberikan hak untuk mencegah ketidaknyaman-
an yang timbul
3. Melanjutkan Kontrak Bagi Hasil Sampai Masa Panen Tiba
Kontrak tersebut tetap berlanjut walau salah satu atau kedua
belah pihak meninggal dunia. Hal ini untuk mencegah terjadi kemuda-
ratan.
4. Kewajiban Pekerja Tempahan
Bahwa para pekerja tetap harus memenuhi kewajibannya sampai
pekerjaan selesai dan wajib mengganti apabila terjadi kerusakan.
5. Penalti/denda atas gagal bayar dalam pembiayaan Murabahah
Untuk mencegah atau menghilangkan kemudharatan ada bebera-
pa ketentuan yaitu : pertama; Khiyar al-‘ayb (hak untuk membatalkan
kontrak karena barangnya cacat), kedua; Khiyar al-gabn (hak untuk
membatalkan kontrak karena penipuan), ketiga; Penghentian kontrak
karena beberapa keadaan.
D. Aturan Relaksasi (Keringanan) Dalam Hukum Islam
Hukum-hukum syariah didasarkan atas kenyamanan, keringanan dan
menghilangkan kesulitan dari masyarakat. Syariah telah memperhatikan
keadaan khusus di mana suatu penderitaan harus diatasi dalam rangka
menyediakan kemudahan bagi mereka yang berada dalam kesulitan.83
Kaidah ini menyatakan bahwa dalam kasus tertentu, demi menjaga
kepentingan dasar dan kebutuhan masyarakat, hukum asal yang ketat,
yang menyebabkan kesulitan yang sulit dibayangkan dapat diringankan.
Dalam keadaan mendesak, keluasaan diperbolehkan. Dan kaidah ini
mencakup semua keadaan yang memerlukan suatu konsensi hukum dari
hukum asalnya, agar pemenuhan kewajibaan dapat terlaksana dan dalam
kapasitas seorang manusia normal.84
83 Ibid. hal 75
84 Ibid. hal 76
119
Kaidah ini dapat juga diterapkan pada semua konsensi hukum yang
didasari oleh sebab-sebab seperti perjalanan, sakit, tekanan, kelalaian,
kesulitan umum (‘umum a-balwa), cacat fisik dan lupa. Secara umum,
kaidah ini membolehkan keringanan dari aturan asal dalam kasus darurat
dan kebutuhan (hajat).85Kaidah ini meliputi : Keadaan darurat dan
kebutuhannya serta keadaan Hajat (kebutuhan) dan akibatnya.
Keadaan darurat terbagi menjadi dua yaitu :
1. Darurat dalam pengertian khusus; merupakan suatu kepentingan
esensial yang jika tidak dipenuhi, dapat menyebabkan kesulitan yang
dahsyat yang membuat kematian. Untuk mengilustrasikan hal ini,
dapat diambil contoh daging babi yang dilarang bagi seseorang
muslim untuk memakannya. Jika seseorang yang sekarat karena
kelaparan mengikuti larangan ini dan menjaga diri dari tidak
memakan babi atau bangkai, dia bisa mati kelaparan. Jadi memakan
babi bagi seorang yang sekarat karena kelaparan dibolehkan atas
dasar kebutuhan yang mendesak.86
2. Darurat dalam pengertian umum ini pengertiannya lebih luas merujuk
pada suatu yang esensial untuk melindungi dan menjaga tujuan-tujuan
syariah. Dapat diamati bahwa perhatian utama dari defenisi darurat
menurut Syatibi adalah untuk melindungi tujuan-tujuan dasar syariah,
yaitu :
a. Menjaga dan melindungi agama,
b. Menjaga dan melindungi nyawa,
c. Menjaga dan melindungi keturunan,
d. Menjaga dan melindungi akal,
e. Menjaga dan melindungi kesehatan,
f. Menjaga dan melindungi kemuliaan serta kehormatan diri.
Jadi, menurut defenisi ini, segala sesuatu yang membantu
merealisasikan tujuan-tujuan dasar syariah ini adalah darurat. Dan
darurat harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut yaitu :
85 Ibid. hal 77
86 Ibid. hal 79
120
a. Darurat harus nyata, bukan spekulatif dan imajinatif
b. Tidak ada solusi lain yang ditemukan untuk mengatasi penderitaan
kecuali keringanan itu
c. Solusi harus tidak menyalahi hak-hak sakral yang memicu pembu-
nuhan, pemurtadan, perampasan harta atau bersenang-senang dengan
sesama jenis kelamin
d. Harus ada justifikasi kuat melakukan keringanan
e. Harus benar-benar hanya itulah solusi yang tersedia
3. Keadaan Hajat dan Akibatnya. Sama dengan darurat yaitu hajat yang
menerapkan keringanan terhadap hukum asal dan memberikan alasan
untuk berbeda darinya. Hajat terdiri dari dua jenis, hajat amah dan
hajat khassah. Syatibi mendefenisikan hajat sebagai suatu kepentingan
yang kalau dipenuhi akan menghilangkan kesusahan dan kesulitan,
dan kalau tidak dipenuhi akan membuat hilangnya tujuan-tujuan yang
dimaksud. Jadi, jika jenis kepentingan ini tidak dipenuhi, maka segala
sesuatu yang terkait dengan aturan-aturan syariah pada umumnya
akan mengalami kesulitan dan kesusahan, tapi hal ini tidak dianggap
sebagai penyebab kekacauan yang diprediksi sebagai hasil dari tidak
terpenuhinya kepentingan yang esensi ini. Contoh kebutuhan yang
selangkah lebih maju dari derajat kebutuhan adalah bolehnya kontrak
salam ( pembelian barang dengan uang di muka dan pengiriman
barang belakangan ), Istisna’ (kontrak memproduksi suatu barang atas
dasar pesanan), bay’ bil wafa’ (penjualan dengan hak penebusan),
pinjaman, ijarah dan lain-lain.
E. Status Adat
Adat kebiasaan memberikan suatu dasar (dalil) bagi keputusan
pengadilan di mana seorang hakim mempunyai alternatif dalam
menghakimi suatu perkara. Adat kebiasan ini juga memberikan bantuan
dan bimbingan interpretasi yang menolong seorang hakim untuk
menginterprestasikan ketentuan-ketentuan hukum dari Alquran dan
Sunnah.87 Misalnya untuk memastikan, besarnya perbedaan antara harga
87 Ibid. hal 99
121
pasar dengan harga aktual dalam suatu transaksi khusus, didasarkan pada
praktik perdagangan dan masyarakat yang terlibat dalam transaksi serupa.
Ulama Fikih terdahulu membingkai sejumlah hukum yang telah
dipertimbangkan atas dasar kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat pada zamannya. Beberapa dari hukum-hukum itu diganti oleh
ulama fikih belakangan, ketika mereka menemukan bahwa kebiasaan yang
mereka dasarkan atasnya tidak ada lagi.
Misalnya, zaman terdahulu gandum dan jelai diukur dalam istilah
Mudd dan Sha’ (dua pengukuran kapasitas benda). Tapi, sekarang gandum
dan jelai itu diukur beratnya secara umum. Jadi, perhitungan apapun,
apakah untuk dagang, pembayaran ushr, sedekah, atau kafarat, semuanya
dilakukan dalam bentuk satuan berat yang umum dipakai.
‘Urf juga memiliki peranan dalam riba al-fadl. Riba al-Fadl adalah
suatu kelebihan yang dihasilkan melalui kriteria syariah (yaitu pengukuran
atau berat). Dalam hukum Islam klasik, jika dua pihak menukar satu mudd
gandum dengan dua mud gandum, mereka dikatakan telah melakukan Riba
al-Fadl. Tapi sekarang, sejak gandum diukur dengan berat, maka Riba al-
Fadl akan terjadi hanya ketika, katakan 5 kg gandum ditukar dengan 8 kg
gandum. Seperti itulah ulam fikih menerjemahkan kriteria syariah dalam
defenisi di atas berkenan dengan pengukuran kapasitas.
Pada masa lalu, jual-beli hak-hak yang abstrak dan harta yang tidak
berwujud dilarang oleh ulama fikih. Namun sekarang, praktik perdagangan
telah berubah. Hak-hak yang abstrak dan tidak berwujud seperti hak cipta,
hak paten, dan lain-lain, diberlakukan sebagai komoditi yang dapat
diperjual belikan. Ulama Fikih modern telah menetapkan bahwa hak-hak
ini dapat dijual dan dibeli seperti harta berwujud lainnya.
F. Keyakinan Versus Keraguan
Aturan dengan keyakinan versus keraguan dan pandangan untuk
meneruskannya, yang dinyatakan oleh kaidah, mencakup semua kasus di
mana suatu konflik antara keberadaan sesuatu di masa lalu dan keraguan
akan keberlangsungannya. Kaidah ini menyatakan bahwa aturan hukum
dari sesuatu yang dibangun dengan sebuah keyakinan akan terus berlanjut,
dan keraguan tidak akan mempengaruhi kedudukannya, karena kedudukan
yang telah dibangun itu adalah suatu pernyataan kepastian, dan pandangan
122
yang merubah kedudukan itu (keraguan) akan ditiadakan atau diha-
puskan.88
Para pemikir muslim telah mengelompokkan derajat pembuk-tian
dalam persoalan keyakinan versus keraguan ini ke dalam 5 kategori: yaqin
(yakin), ghalabatudz-dzann (berprasangka kuat), zann (prasangka), syak
(ragu-ragu), dan wahm (bisikan hati). Mereka membolehkan menyan-
darkan praktik hukum-hukum syariah pada tiga kategori pertama. Konssep
kepastian telah tercantum dalam kaidah dasar dan sejumlah kaidah
pelengkap.
Makna dari kaidah dasar yang disebutkan diatas, bahwa begitu
sesuatu didasarkan atas keraguan, maka hal itu, hanya bisa dibatalkan
melalui bukti tertentu yang seimbang. Atas dasar prinsip ini, harta waris
tidak dapat dituntut dari seorang yang hilang, karena dugaannya ia masih
hidup sepanjang tidak ada bukti yang menyatakan bahwa ia sudah
meninggal dunia. Disini, dalam kasus ini, hidupnya orang-orang yang hilang
dibangun dari fakta, yang tidak dapat ditolak hanya berdasarkan keraguan
dan kematiannya. Oleh karena itu, hartanya tidak dapat dibagikan kepada
ahli warisnya berdasar keraguan ini. Jika terdapat bukti yang menyatakan
ia meninggal dunia, maka hartanya dapat diwariskan kepada kerabatnya89.
88 Ibid. hal 117
89 Ibid. hal 118
123
BAB X KAIDAH-KAIDAH FIKIH EKONOMI
Kaidah pertama
بحة والطهارة احألصحل ف احألعحيان احإل
Hukum asal benda-benda adalah suci dan boleh dimanfaatkan
Kaidah ini menjelaskan bahwa hukum asal seluruh benda yang ada di
sekitar kita dengan segala macam dan jenisnya adalah halal untuk
dimanfaatkan. Tidak ada yang haram kecuali ada dalil yang menunjukkan
keharamannya. Juga, hukum asal benda-benda tersebut adalah suci, tidak
najis, sehingga boleh disentuh ataupun dikenakan.
Ini termasuk patokan penting dalam syariat Islam dan memiliki
implementasi yang sangat luas, terkhusus dalam penemuan-penemuan
baru, baik berupa makanan, minuman, pakaian dan semisalnya. Maka
hukum asal dari semua itu adalah halal, boleh dimanfaatkan, selama tidak
nampak bahayanya sehingga menjadikannya haram.
Oleh karena itulah, Ibnu Taimiyah mengatakan berkaitan dengan
kaidah ini, “Ini adalah kalimat yang luas maknanya, perkataan yang umum,
perkara utama yang banyak manfaatnya, serta luas barakahnya. Dijadikan
rujukan oleh para pembawa syari’ah dalam perkara yang tidak terhitung,
baik berupa amalan dan kejadian-kejadian di antara manusia.”90
Dasar Hukum
Kaidah ini ditunjukkan oleh dalil-dalil baik dari al-Qur`ân, as-Sunnah,
maupun Ijma’. Dalil dari al-Qur`ân, di antaranya firman Allâh swt:
هو الذي خلق لكم ما ف األرض جيع ا
Dia-lah Allâh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. [Q.S al-
Baqarah:29].
90Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, 1383, Majmu’ Fatawa Shaikh al Islam
Ahmad b. Taimiyah. Al Riyadh Press, Riyadh,. Vol. 21. Hal 535.
124
Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’adi ketika menafsirkan ayat ini
mengatakan, “Dalam ayat yang agung ini terdapat dalil yang menunjukkan
bahwa hukum asal semua benda adalah mubah dan suci. Karena ayat ini
disebutkan dalam konteks pemberian karunia dari Allâh Swtkepada para
hamba-Nya.”91
Demikian pula firman Allâh Swt:
ا لكم أل تكلوا ما ذكر اسم الل عليه وقد فصل لكم ما حرم عليكم وم
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang
disebut nama Allâh ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allâh
telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu. [Q.S al-
An’âm:119].
Sisi pendalilan dari ayat ini dapat dilihat dari dua sisi.
Pertama, Allâh Swt mencela orang-orang yang tidak mau memakan
daging hewan yang disembelih atas nama Allâh Swt sebelum hewan
tersebut dinyatakan secara khusus sebagai hewan yang halal. Seandainya
bukan karena hukum asal segala benda itu halal, tentu mereka tidak
mendapatkan celaan itu.
Kedua, dalam ayat ini disebutkan bahwa Allâh Swt telah menjelaskan
apa-apa yang diharamkan. Ini menunjukkan, apa-apa yang tidak dijelaskan
keharamannya maka itu bukan perkara yang haram. Dan apa-apa yang
tidak haram, berarti itu halal. Karena tidak ada macam yang lain, kecuali
benda itu halal atau haram.
Adapun dalil dari as-Sunnah di antaranya sabda Nabi Saw dalam
hadits riwayat Imam al-Bukhâri dan Muslim :
صلى ي هللا عنه أن النب هللا عليه وسلم قال : إن عن سعد بن أب وقاص رضن أجل مسألته أعظم المسلمني جرم ا من سأل عن شيء ل يرم فحر م م
Dari Sa’d bin Abi Waqqash r.a , bahwasannya Nabi Saw bersabda,
“Sesungguhnya orang Muslim yang paling besar kesalahannya adalah orang
91 Syaikh Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’adi, 2002, Tafsîr al-Karîm ar-
Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, cet. I, Muassasah ar-Risalah, Beirut, hal. 48.
125
yang mempertanyakan sesuatu yang semula tidak haram, kemudian
diharamkan karena sebab pertanyaannya itu”. (HR al-Bukhâri)92
Hadits ini menunjukkan bahwa pengharaman itu adakalanya terjadi
karena sebab pertanyaan. Artinya, sebelum munculnya pertanyaan,
perkara tersebut tidaklah haram. Dan inilah hukum asalnya.
Dalil lain dari as-Sunnah adalah hadits riwayat Imam Tirmidzi :
ي قال : سئل رسول هللا السمن صلى هللا عليه وسلم عن عن سلمان الفارسما والب والفراء. ف قال : الالل ما أحل هللا ف كتابه والرام ما حرم هللا ف كتابه و
سكت عنه ف هو ما عفا عنه
Dari Salman al-Farisi, ia berkata: “Rasulullah Saw pernah ditanya tentang
minyak samin, keju, dan (mengenakan) bulu binatang, maka beliau bersab-
da, ‘Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allâh Swtdi dalam kitab-Nya, dan
yang haram adalah apa yang diharamkan Allâh Swtdi dalam kitab-Nya, dan
apa yang Dia diamkan termasuk sesuatu yang dimaafkan.” (HR at-Tirmidzi) 93
Hadits tersebut merupakan nash yang menunjukkan bahwa perkara-
perkara yang didiamkan dan tidak disinggung tentang keharamannya maka
itu bukanlah perkara yang menjatuhkan seseorang kepada dosa, sehingga
bukan termasuk kategori perkara yang haram.
Demikian pula para Ulama telah bersepakat tentang eksistensi kaidah
ini, yaitu keberadaan hukum asal benda-benda adalah halal untuk diman-
faatkan, baik dimakan, diminum, atau semisalnya. Dan tidaklah haram
darinya kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Sebagaimana
disebutkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, beliau mengatakan, “Saya
tidak mengetahui perbedaan pendapat di kalangan Ulama terdahulu bahwa
perkara yang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya maka
perkara itu tidak haram secara mutlak. Banyak orang dari kalangan ahli
ushul-fikih dan cabangnya yang menyebutkan kaidah ini. Dan saya
92 HR al-Bukhâri
93 HR at-Tirmidzi
126
memandang sebagian di antara mereka telah menyebutkan ijma’, baik
secara yakin maupun persangkaan yang yakin”94.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal semua benda
adalah suci maka telah tercakup dalam dalil-dalil yang disebutkan di atas
ditinjau dari dua sisi.
Pertama, sesungguhnya dalil-dalil tersebut menunjukkan bolehnya
semua bentuk pemanfaatan, baik dengan dimakan, diminum, dipakai,
disentuh, dan lain sebagainya. Dengan demikian, penetapan kesucian
benda-benda itu telah tercakup di dalamnya.
Kedua, telah dipahami dari dalil-dalil tersebut bahwa hukum asal
benda-benda yang ada di sekitar kita itu boleh dimanfaatkan, seperti
dimakan dan diminum. Maka diperbolehkannya barang-barang tersebut
untuk disentuh sebagai benda yang tidak najis adalah lebih utama. Yang
demikian, karena makanan itu bergabung dan bercampur dengan badan.
Adapun sesuatu yang disentuh atau dipakai maka ia sekedar mengenai
badan dari sisi luarnya saja. Apabila telah tetap kebolehan sesuatu dalam
bentuk tergabung dan tercampur, maka kebolehan sesuatu sekedar dipakai
atau disentuh adalah lebih utama. Hal itu diperkuat dengan dalil dari Ijma,
sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, beliau menga-
takan: “Sesungguhnya para fuqaha seluruhnya bersepakat bahwa hukum
asal benda-benda adalah suci, dan sesungguhnya najis itu jumlahnya
tertentu dan terbatas. Sehingga semua benda di luar batasan tersebut
hukumnya suci”95.
Penerapan Kaidah
Di antara bentuk implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut:
1. Hewan-hewan yang statusnya meragukan apakah halal ataukah
haram seperti jerapah, gajah, dan semisalnya, maka sesungguhnya
dihukumi sebagai binatang yang halal sesuai hukum asalnya.
2. Tanaman-tanaman yang tidak mengandung racun maka secara
umum halal sesuai hukum asalnya.96
94Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, 1383, Majmu’ Fatawa Shaikh al Islam
Ahmad b. Taimiyah. Al Riyadh Press, Riyadh,. Vol. 21. Hal 538.
95 Ibid, Vol 21. Hal 542.
96 Lihat As-Suyuthi, al-Asybâh wa an-Nazhâ-ir,.... hal. 60.
127
3. Beraneka-ragam makanan, minuman, buah-buahan, dan biji-bijian
yang sampai kepada kita dari luar negeri, dan kita tidak mengetahui
namanya, sedangkan tidak nampak kandungan zat yang berbahaya
padanya maka hukumnya halal sesuai konsekuensi kaidah ini.97
4. Air, bebatuan, tanah, pakaian, dan wadah-wadah hukum asalnya suci
berdasarkan kaidah ini.
5. Kotoran dan air kencing dari binatang yang halal dimakan hukumnya
suci, karena benda-benda di sekitar kita hukum asalnya suci,
sedangkan tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannnya,
sehingga dikembalikan pada hukum asalnya98.
97 Lihat Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, 1983, al-Wajiz fi Idhah al-Fiqh al-
Kuliyyat, Mu’assasah al-Risalah, Beirut: hal. 114.
98 Diangkat dari Nashir bin ‘Abdillâh al-Miman, 2005, al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalah, cet. II, Jami’ah Ummul- Qura, Makkah al-Mukarramah, hal. 193-198.
128
Kaidah Kedua
ال ضحط رار ل ي بحط ل حق الحغيح
Keadaan darurat tidak menggugurkan hak orang lain
Kaidah ini merupakan salah satu cabang kaidah “Kesulitan menjadi
sebab adanya kemudahan” yang termasuk salah satu dari lima kaidah besar
dalam pembahasan fikih. Juga merupakan penjelasan lanjutan dari kaidah
“Keadaan darurat menjadi sebab diperbolehkannya perkara yang
dilarang.”99
Sebagaimana telah kita fahami bahwa seseorang yang berada dalam
keadaan darurat, yang menyebabkannya harus mengkonsumi sesuatu yang
haram, maka ia diberikan udzur untuk melakukannya. Misalnya, orang
yang sangat lapar dan tidak ada makanan yang didapatkan kecuali daging
bangkai maka dalam keadaan itu diperbolehkan baginya untuk memakan
daging tersebut sekedarnya.
Allâh swt berfirman:
فمن اضطر غي بغ ول عاد فال إث عليه
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa
baginya. [QS Al-Baqarah :173]
Namun demikian, timbul pertanyaan apabila perbuatan seseorang
mengambil atau mengkonsumsi perkara yang haram itu menyebabkan
hilang atau rusaknya harta orang lain? Apakah ia wajib menggantinya
ataukah tidak? Inilah yang dibahas dalam kaidah ini. Kaidah ini
menjelaskan bahwa keadaan darurat meskipun menjadikan seseorang
mendapatkan udzur untuk mengambil perkara yang haram dan tidak
berdosa ketika ia melakukannya namun tidak berarti bahwa itu juga
99 Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah suatu keadaan yang dialami seseorang, apabila tidak diatasi maka akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan orang tersebut yang bersifat dharuri. (Lihat – Nashir bin ‘Abdillâh al-Miman, 2005, al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalah, cet. II, Jami’ah Ummul- Qura, Makkah al-Mukarramah, hal. 288)
129
menjadi sebab diperbolehkannya menggugurkan (atau menghilangkan)
hak orang lain. Sehingga apabila keadaan darurat menyebabkan seseorang
terpaksa mengambil atau memanfaatkan harta orang lain maka ia tetap
harus mengganti harta yang telah ia manfaatkan dari harta orang lain
tersebut.100
Dasar Hukum
Di antara dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini adalah
beberapa nash firman Allâh swt dan sabda Nabi saw yang menjelaskan
tentang haramnya mengambil harta seorang Muslim dengan cara yang
batil. Allâh swt berfirman:
لباطل إل أن تكون تارة عن ت راض نكم ب ي أي ها الذين آمنوا ل تكلوا أموالكم ب ي نكم م
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesama kamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. [QS An-Nisâ’:29]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’adi menafsirkan ayat ini dengan
mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla melarang para hamba-Nya yang beriman
dari memakan harta sesama mereka dengan cara yang batil. Larangan ini
mencakup memakannya dengan cara merampas, mencuri, atau mengambil-
nya dengan perjudian, dan cara-cara hina lainnya.”101
Adapun dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah sabda Nabi saw
dalam hadits Abu Hurairah r.a riwayat Muslim. Rasulullah saw bersabda :
كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه
Setiap orang Muslim terhadap Muslim lainnya adalah haram darahnya,
hartanya dan kehormatannya (H.R. Muslim)
Rasulullah saw bersabda :
100 Lihat pembahasan kaidah ini dalam Az-Zarqa, Syarh al-Qawâ’id al-
Fiqhiyyah, hal. 161.
101 Abdurrahman bin Natsir as-Sa’ady, 2000, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir kalam al-Mannan vol 2, Ulin Nuha ats-Tsa’alaby, Kairo, hal 54
130
ه ل يل مال امرئ مسلم إل بطيب ن فس
Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan darinya.” (H.R
Ahmad)102
Demikian pula diantara yang mendukung eksistensi kaidah ini adalah
beberapa kaidah fikih berkaitan dengan keadaan darurat yang dialami oleh
seorang insan. Di antaranya :
لضرر الضرر ل ي زال ب
Madharat tidak boleh dihilangkan dengan madharat lainnya
الضرر ل ي زال بثله
Madharat tidak boleh dihilangkan dengan madharat semisalnya
Kaidah ini mengharuskan adanya dhoman (ganti rugi) atas harta yang
diambil dan dimanfaatkan oleh orang yang sedang mengalami keadaan
darurat. Jika tidak demikian, berarti itu adalah betuk menghilangkan
madharat dengan madharat lainnya, atau dengan madharat semisal, atau
bahkan dengan madharat yang lebih besar dari madharat pertama, dan ini
bertentangan dengan kaidah tersebut.
Al-Bazdawi mengatakan, “Sesungguhnya pengaruh keadaan darurat
nampak dari gugurnya dosa, bukan hukumnya yang gugur. Maka wajib bagi
seseorang yang mengalami keadaan darurat membayar ta’wîdh (ganti
rugi). Barangsiapa mengalami kelaparan boleh baginya memakan harta
orang lain namun (kewajibannya) ganti rugi tidak gugur darinya.103
Penerapan Kaidah
Banyak permasalahan fikih yang tercakup dalam kandungan kaidah
ini.104 Berikut ini beberapa contoh darinya :
102 Lihat al-Munawi, Kunûz al-Haqâiq fi Hadîts Khair al-Khalâ’iq vol 2. Hal 175
103 Lihat al-Bazdawi Kasyfu al-Asrâr vol 1. Hal 1511. Lihat juga Shalih bin Ghanim as-Sadlan, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Mâ Tafarra’a ‘anha hal. 300.
104 Lihat Ibnu Rajab, al-Qawâ’id karya hal. 36., Ibnu al-Laham, al-Qawâ’id wa al-Fawâid al-Ushûliyyah hal. 34. Lihat juga al-Qarafi , al-Furûq Vol 1 . hal 195
131
1. Jika seseorang dalam keadaan lapar sehingga terpaksa memakan
makanan orang lain, maka ia wajib mengganti makanan itu atau
membayar ganti rugi kepada pemiliknya. Karena keadaan darurat
tidak menggugurkan hak orang lain.105
2. Apabila sebuah perahu dikhawatirkan akan tenggelam karena
banyaknya muatan, kemudian si pemilik perahu itu melemparkan
sebagian barang milik penumpang ke laut, maka ia wajib mengganti
barang yang dilemparkan tersebut kepada pemiliknya.106
3. Apabila seseorang menyewa perahu selama jangka waktu tertentu,
kemudian ia tidak bisa mengembalikan perahu itu tepat waktu
dikarenakan adanya penghalang berupa ombak yang besar atau
semisalnya yang menyebabkan keterlambatan sampai di daratan,
maka dalam keadaan ini ia wajib membayar ganti rugi kepada
pemilik perahu sesuai standar harga sewa secara umum dan sesuai
kadar lamanya waktu tambahan dari pengembalian itu.107 Hal ini
dikarenakan keadaan darurat yang dialami si penyewa tidak
menggugurkan hak si pemilik perahu tersebut.108
105 Apabila barang yang dimanfaatkan tersebut berupa barang yang ada
semisalnya maka wajib diganti dengan barang semisal. Jika tidak maka diganti dengan membayar harganya. (Lihat Muhammad ‘Utsman Syabir, al-Qawâ’id al-Kulliyyah wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah, hal. 227)
106 Lihat Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, 1983, al-Wajiz fi Idhah al-Fiqh al-Kuliyyat, Mu’assasah al-Risalah, Beirut: hal. 186; Lihat juga Ibnu Rajab, al-Qawâ’id hal. 36. Dan Muhammad ‘Utsman Syabir, al-Qawâ’id al-Kulliyyah wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah hal. 228.
107 Lihat Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajîz fi Idhah Qawâ’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hal. 186
108 Ya’qub bin Abdul Wahhab al-Bahisin, al-Mufasshal fi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Cet. II, Tahun 1432 H/2011 M, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh, Hal. 270-272.
132
Kaidah Ketiga
بحة إ ل ب دل يحل احألصحل ف الشروحط ف الحمعامالت الح ل واإلح
Hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah adalah halal dan
diperbolehkan kecuali ada dalil (yang melarangnya)
Hukum asal menetapkan syarat sah dalam ibadah adalah tidak boleh
kecuali ada dalil yang menunjukkannya. Disini akan diulas tentang hukum
asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah, yaitu perkara-perkara yang
tidak termasuk ibadah. Dalam hal ini, perlu kita pahami bahwa hukum
suatu persyaratan tergantung pada hukum pokok perkaranya. Apabila
hukum asal suatu perkara dilarang maka hukum asal menetapkan syarat
juga dilarang. Dan jika hukum asal suatu perkara halal maka hukum asal
menetapkan syarat juga halal.
Para fuqahâ’ telah menjelaskan bahwa mu’âmalah, baik jual beli, sewa
menyewa, dan semisalnya hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan
kecuali ada dalil yang melarangnya. Dari sini dapat diketahui bahwa hukum
asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah juga halal dan diperbolehkan.
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu kita ketahui pula bahwa dalam
mu’âmalah, terutama jual beli, ada istilah syurût shihhatil bai’ (syarat sah
jual beli) dan syurût fil bai’ (syarat jual beli). Yang dimaksud syarat sah
adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar akad jual beli itu sah.
Adapun syarat jual beli adalah syarat yang ditentukan oleh salah satu
pelaku atau keduanya dan tidak berkaitan dengan keabsahan jual beli,
seperti syarat pengantaran barang ke rumah si pembeli, atau persyaratan
pembayaran secara cicilan, atau syarat lainnya.
Perbedaan antara syarat sah jual beli dengan persyaratan dalam jual
beli dapat kita ketahui dari rincian berikut ini :
1. Syarat sah jual beli disyaratkan pada semua jual beli, adapun syarat
jual beli terkadang ada dan terkadang tidak.
2. Jual beli tidak akan sah kecuali jika syarat sah terpenuhi, tapi jika yang
tidak ada syarat jual beli maka akadnya tetap sah.
133
3. Syarat sah itu tertentu, tidak berubah, dan berlaku dalam semua jual
beli, adapun persyaratan dalam jual beli tidak tertentu dan bisa
berbeda antara satu akad dengan akad yang lainnya.
4. Syarat sah harus terpenuhi meskipun tidak disebutkan oleh kedua
belah pihak. Adapun persyaratan dalam jual beli itu asalnya tidak ada
kecuali jika dikehendaki dan disebutkan oleh salah satu pelaku akad
dan disetujui oleh yang lainnya.
5. Hukum asal syarat sah jual beli adalah tauqîfi, artinya perlu dalil.
Seseorang tidak boleh menetapkan sesuatu sebagai syarat sah kecuali
jika ada dalil shahih yang menunjukkannya. Adapun persyaratan
dalam jual beli maka hukum asalnya halal dan diperbolehkan. Artinya,
seseorang tidak boleh melarang suatu persyaratan yang dikehendakai
pelaku akad mu’âmalah tanpa ada dalil yang melarangnya.109
Persyaratan yang menjadi pembahasan kita dalam kaidah ini adalah
syurût fil mu’âmalah (persyaratan dalam mu’âmalah), bukan syarat sah
mu’âmalah.
Sebagaimana telah diisyaratkan dalam uraian di atas, bahwa kaidah ini
menjelaskan tentang hukum asal persyaratan dalam mu’âmalah.
Persyaratan tersebut hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan,
kecuali jika ada dalil yang melarang, sebagaimana hukum asal mu’âmalah
itu sendiri yaitu diperbolehkan. Maka seseorang tidak diperkenankan
melarang suatu persyaratan yang disepakati pelaku akad mu’âmalah
kecuali jika memang ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap
persyaratan tersebut.
Dasar Hukum
Di antara dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini adalah sabda
Nabi Saw :
109 Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin menjelaskan bahwa di antara
perbedaan antara syarat sah jual beli dengan persyaratan dalam jual beli adalah bahwa syarat sah ditentukan oleh syariat sedangkan persyaratan dalam jual beli ditentukan oleh para pelaku akad. ( Lihat Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, 2007, Mudzakkirah al-Fiqh vol II, Cet. I, Dar al-Ghad al-Jadid, Kairo, hal 185).
134
م إل شرط ا حرم حالل أو أحل حرام ا والمسلمون على شروطه
Kaum Muslimin itu terikat dengan persyaratan yang mereka sepakati,
kecuali syarat yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan
perkara yang haram.110
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir r.a , Rasûlullâh Saw bersabda :
إن أحق الشرط أن ي وىف به ما استحللتم به الفروج
Sesungguhnya persyaratan yang paling berhak untuk ditunaikan adalah
persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita) 111
Demikian pula sabda Nabi Saw :
ما بل أق وام يشتطون شروط ا ليست ىف كتاب الل، من اشتط شرط ا ليس ىف ائة مرة كتاب الل ف ليس له، وإن اشتط م
Mengapa ada beberapa kaum yang menetapkan syarat-syarat yang tidak
terdapat dalam Kitabullâh. Barangsiapa menetapkan suatu syarat yang
tidak terdapat dalam Kitabullâh maka tidak ada hak baginya untuk
melaksanakannya meskipun sejumlah seratus syarat.112
Dalam hadits tersebut Nabi Saw tidak mengingkari persyaratan
mereka, namun yang beliau ingkari adalah syarat itu menyelisihi
Kitabullâh. Ini menunjukkan bahwa hukum asal menentukan syarat
tertentu dalam mu’âmalah adalah diperbolehkan kecuali jika menyelisihi
Kitabullâh.113
110 HR. Abu Dâwûd
111 HR. Al-Bukhâri
112 HR. Al-Bukhari
113 Lihat penjelasan hadits di atas dalam al-Imam Muhyiddin an-Nawawi, 2007, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj vol IX, Cet. XIV, Dar al-Ma’rifah, Beirut, hal 379-381.
135
Penerapan Kaidah
Berikut ini adalah contoh kasus yang masuk dalam implementasi
kaidah ini :
1. Jika seseorang membeli setumpuk kayu dengan syarat kayu tersebut
diantar ke rumahnya atau digergaji di tempat tertentu maka jual beli
dan persyaratan tersebut sah karena hukum asal persyaratan itu
adalah boleh.
2. Jika penjual mengatakan, “Aku jual barang ini jika si Fulan rela.” Atau
ia mengatakan, “Aku jual barang ini jika si Fulan datang.”
Menurut madzhab Hambali, jual beli dengan persyaratan seperti
ini tidak sah disebabkan tidak adanya perpindahan kepemilikan.
Karena ada kemungkinan si Fulan rela atau tidak rela, dan ada
kemungkinan si Fulan datang dan mungkin juga tidak. Sedangkan
hukum asal dalam jual beli adalah berpindahnya barang dagangan dari
si penjual kepada si pembeli setelah sempurnanya akad. Maka
persyaratan tersebut menyebabkan akad itu tidak sah.
Namun pendapat yang kuat adalah akad dan persyaratan tersebut
sah. Karena hukum asal persyaratan dalam jual beli adalah
diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya dan tidak ada dalil
yang melarang persyaratan ini. Maka, jika si pembeli setuju dengan
syarat tersebut maka ia boleh meneruskan akad jual beli. Namun jika
ia tidak setuju maka tidak ada kewajiban baginya untuk meneruskan
akad itu.
Jika ada yang mengatakan, “Bukankah akad tersebut masih
menggantung dan kepemilikannya belum berpindah ?” Kita jawab
bahwa justru itulah tujuan penetapan syarat tersebut. Artinya, si
penjual tidak mau kepemilikan barang itu berubah kecuali jika si Fulan
rela dengan jual beli itu atau jika si Fulan datang.
3. Persyaratan ‘inah114 dalam jual beli. Apabila seseorang mengatakan,
“Saya jual barang ini kepadamu dengan harga 1.000 dirham dengan
114 Yang dimaksud ‘inah dalam jual beli adalah apabila seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah. (Lihat Nukhbah min al-‘Ulama’, 1424 H, al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, Majma’ al-Malik Fahd li Taba’at al-Mus-haf as-Syarif, al-Madinah al-Munawwarah, hal. 217).
136
cara kredit, dengan syarat engkau menjualnya kembali kepadaku
dengan harga 800 dirham secara tunai.” Persyaratan tersebut tidak
diperbolehkan. Meskipun persyaratan dalam jual beli hukum asalnya
boleh, namun khusus untuk persyaratan seperti ini dilarang karena
ada dalil yang melarang, seperti sabda Nabi Saw :
لعينة, وأخذت أذانب الب قر , وت ركتم الهاد, سلط ,إذا ت باي عتم ب لزرع يتم ب ورضعوا إل دينكم عليكم ذلا ل ي نزعه حت ت رج الل
Apabila kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (salah satu bentuk
riba), dan memegang ekor-ekor sapi, dan ridha dengan pertanian
(terlena dengan kehidupan dunia) dan meninggalkan jihad, maka
Allâh akan menurunkan kehinaan kepada kalian. Dia (Allâh) tidak
akan mengangkat kehinaan tersebut sehingga kalian kembali ke
agama kalian115
4. Seseorang menjual rumahnya dengan syarat dia masih diijinkan
menempatinya dalam waktu tertentu. Persyaratan seperti ini
diperbolehkan. Demikian pula jika seseorang menjual hewan
peliharaannya dengan syarat masih diijinkan memanfaatkannya
selama waktu tertentu.[8]116
5. Apabila seseorang menjual budaknya dengan syarat si pembeli
membebaskan budak itu setelah dibeli, maka hal itu diperbolehkan. Ini
pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali. Karena hukum asal
menetapkan syarat dalam jual beli itu diperbolehkan selama tidak ada
dalil yang secara khusus melarang penetapan syarat tersebut. Dalam
hal ini, apabila dikemudian hari, si pembeli menolak untuk
membebaskan budak itu, maka hakim berhak memaksanya untuk
membebaskan budak itu.
6. Apabila seseorang menjual suatu barang dengan syarat seandainya di
kemudian hari si pembeli akan menjual kembali barang itu maka si
penjual pertama yang paling berhak untuk membelinya. Dalam kasus
seperti ini sebagian Ulama’ mengharamkan persyarataan tersebut.
115 HR. Abu Dâwûd
116 HR. Al-Bukhari
137
Karena si pembeli tidak memiliki kebebasan untuk menjual barangnya
kepada yang ia kehendaki, yang hal itu bertentangan dengan hakikat
kepemilikan atas barang.
Namun menurut pendapat yang kuat, jual beli tersebut sah, demikian pula
persyaratannya. Karena hukum asal persyaratan dalam jual beli adalah
diperbolehkan, kecuali ada dalil yang melarangnya. Dalam hal ini, tidak ada
dalil yang secara khusus menunjukkan larangan terhadap syarat tersebut.
Jadi, jika si pembeli ridha dengan syarat tersebut maka ia bisa meneruskan
akad itu, namun jika tidak, maka dia tidak wajib untuk melanjutkannya.
Dalam hal ini, jika di kemudian hari si pembeli menjual barang itu namun
tidak mau menjualnya kepada si penjual pertama, maka hakim berhak
memaksanya untuk menjualnya kepada pembeli pertama itu. Karena sejak
semula ia telah bersedia dengan persyaratan tersebut dan telah menyetu-
juinya. Ini juga adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.117
117 Lihat Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan,tt, Talqih al-Afham al-‘Aliyyah bi
Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, dalam kaidah yang Ke-30.
138
Kaidah Keempat
ت لف واها دل يحالا إ ذا اخح ء م نح مت علقات الحمعاملة ي رجح أق ح الحمت عام الن ف شيح
Jika dua orang pelaku muamalah berselisih tentang suatu hal berkaitan
dengan muamalah itu maka keberpihakan diberikan kepada yang lebih kuat
alasannya
Kaidah ini menjadi rujukan dalam kasus perselisihan yang terjadi
antara pihak-pihak pelaku akad muamalah, baik jual beli, sewa menyewa,
gadai, atau selainnya. jika terjadi perselisihan di antara mereka berkaitan
dengan persyaratan, harga, atau hal-hal lainnya, maka pihak yang lebih
kuat alasannya yang lebih dikuatkan perkataannya. Dalam akad jual beli,
misalnya, adakalanya yang lebih dikuatkan adalah perkataan si penjual dan
adakalanya yang lebih dikuatkan adalah perkataan si pembeli.
Dalam kasus perselisihan semacam ini, sering kali penyelesaiannya
dikembalikan kepada hukum asal dari permasalahan yang bersangkutan.
Di antaranya jika terjadi perselisihan tentang ada tidaknya persyaratan
tambahan, maka hukum asalnya persyaratan itu tidak ada. Demikian pula,
jika suatu akad jual beli telah selesai dan dinyatakan sah kemudian salah
satu pihak menyatakan bahwa jual beli itu tidak sah karena sebab tertentu,
maka keputusannya berpihak kepada orang yang menyatakannya sah,
karena hukum asal suatu akad yang telah terjadi adalah sah. Demikian pula,
berkaitan dengan cacat pada barang yang diperjual belikan, jika telah
terjadi akad jual beli kemudian si pembeli menyatakan ada cacat pada
barang maka hukum asalnya cacat tersebut tidak ada, kecuali jika ada bukti
pendukung. Dan hukum-hukum asal lainnya sebagaimana dijelaskan para
Ulama.118
Dasar Hukum
Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah sabda Nabi Saw
dalam hadits Ibnu ‘Abbâs R.a :
118 Lihat Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil, tt, Syarh al-Qawâ’id as-
Sa’adiyah, Dar Athlas al-Kahadhra’ li an-Nasyri wa-at-Tauzi’, Hal. 212.
139
الب ي نة على المدعي واليمني على من أنكر
Bukti itu wajib didatangkan oleh orang yang menuduh dan sumpah wajib
bagi orang yang mengingkarinya.119
Demikian pula disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ûd r.a :
لعة أو ن هما ب ي نة فالقول ما ي قول رب الس يتادان إذا اخت لف المت عامالن وليس ب ي
Jika terjadi perselisihan antara dua orang yang melakukan muamalah dan
tidak ada bukti pendukung antara keduanya maka perkataan berpihak
kepada pemilik barang atau keduanya saling membatalkan jual beli itu.120
Penerapan Kaidah
Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak,
terutama berkaitan dengan permasalahan muamalah. Di antaranya :
1. Jika seseorang menjual rumahnya kepada orang lain. Beberapa waktu
kemudian, ia mengatakan bahwa rumah tersebut masih dalam status
gadai.121 Dengan perkataannya itu, ia ingin membatalkan jual beli.
Maka, perkataannya tidak diterima, karena hukum asal dalam akad
jual beli adalah sah. Kecuali jika ia bisa mendatangkan bukti yang
menunjukkan bahwa rumah tersebut berstatus gadai, maka perkata-
annya diterima.122
2. Apabila seseorang telah membeli sebuah mobil. Selang beberapa hari
kemudian ia datang kepada si penjual dan mengatakan ada cacat pada
mobil itu. Tujuannya mendapatkan hak khiyar.123 Maka hukum asal
dari dakwaan ini adalah tidak diterima kecuali jika si pembeli bisa
119 HR. Al-Baihaqi
120 HR. Ahmad
121 Barang yang sedang dalam status gadai tidak boleh diperjual belikan. Sebagaimanan disebutkan dalam salah satu bait dalam Manzhumah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah karya Syaikh Abdurrahman as-Sa’adi
122 Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, 1426 H, Syarh Manzhûmah Ushûlil Fiqh wa Qawâ’idihi, Cetakan Pertama, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hal. 268.
123 Yaitu hak untuk meneruskan atau membatalkan jual beli tersebut. Lihat Abu Bakr Jabir al-Jazairi, 2002, Minhâjul Muslim, M, Dar Ibni al-Haitsam, Kairo, Hal. 284.
140
mendatangkan bukti kebenaran dakwaannya tersebut. Karena hukum
asal dari barang yang sudah dibeli adalah bebas dari aib (cacat).124
3. Dua orang melakukan akad jual beli suatu barang. Selang beberapa
waktu kemudian, si penjual mengatakan bahwa jual beli itu tidak sah,
karena ketika pelaksanaan akadnya dulu ia belum baligh.125
Sedangkan si pembeli mengatakan bahwa jual beli itu sah. Maka dalam
kasus ini perkataan si pembeli yang dimenangkan karena asal dalam
akad jual beli adalah sah, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa
akad itu tidak sah.126
4. Seseorang menjual sebuah mobil kepada orang lain. Dua hari kemudian,
ia datang kepada si pembeli seraya mengatakan bahwa jual beli itu
tidak sah karena dilaksanakan setelah adzan shalat Jum’at.127
Sedangkan si pembeli mengatakan bahwa jual beli itu sah karena
dilaksanakan di luar waktu itu. Maka perkataan berpihak kepada si
pembeli. Karena hukum asal suatu akad jual beli adalah sah. Maka,
dalam kasus ini si penjual harus mendatangkan bukti bahwa jual beli
itu memang dilaksanakan setelah adzan shalat Jum’at. Jika ia tidak
punya bukti, maka kita katakan kepada si pembeli supaya bersumpah
bahwa jual beli itu terjadi di luar waktu tersebut dan dihukumi akan
sahnya jual beli itu.128
124 Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil, tt, Syarh al-Qawâ’id as-Sa’adiyah,
Dar Athlas al-Kahadhra’ li an-Nasyri wa-at-Tauzi’, Hal. 216.
125 Transaksi jual beli yang dilakukan anak yang belum baligh tidak sah kecuali dengan izin walinya. Lihat Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 1422 H, as-Syarh al-Mumti’ ‘alâ Zâd al-Mustaqni’, Cetakan Pertama, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, Hal. 111.
126 Sebagian Ulama berpendapat bahwa dalam kasus seperti ini, asalnya yang lebih dikuatkan adalah perkataan si penjual. Karena ada hukum asal lain yang lebih kuat, yaitu bahwa hukum asal seseorang adalah belum baligh. Maka dalam kasus tersebut yang wajib bagi si penjual adalah bersumpah bahwa ketika pelaksanaan akad ia belum sampai usia baligh dan jual beli itu dihukumi tidak sah. Ini tidak bertentangan dengan kaidah yang menjelaskan bahwa hukum asal suatu akad adalah sah, karena ada hukum asal lain yang lebih kuat darinya. Lihat Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, 1426 H, Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Cetakan Pertama, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hal. 268.
127 Jual beli setelah dikumandangkannya adzan shalat Jum’at termasuk kategori jual beli yang dilarang sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Jumu’ah: 9
128 Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, 1426 H,Syarh Manzhûmah Ushûlil Fiqh wa Qawâ’idihi, hal. 267
141
5. Jika seorang pembeli mengatakan adanya unsur jahalah
(ketidakjelasan) atas barang yang ia beli, dan mengatakan bahwa ia
tidak melihat barang ketika dilaksanakannya transaksi. Dengan tujuan
untuk membatalkan jual beli tersebut. Maka, asalnya perkataan
tersebut tidak diterima karena hukum asal dalam akad jual beli adalah
sah. Demikian pula, keberadaan si pembeli yang membawa barang
tersebut menunjukkan bahwa perkataannya tidak benar. Jika memang
benar apa yang ia katakan, tentu ketika akan menerima barang ia
menolak menerimanya karena adanya unsur jahalah.129
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa apabila terjadi perselisihan
antara dua orang yang melakukan muamalah, maka dilihat siapa di antara
keduanya yang lebih kuat alasan atau buktinya. Namun, suatu ketika timbul
permasalahan baru, yaitu jika ternyata keduanya sama-sama mempunyai
bukti yang kuat sehingga tidak bisa ditentukan perkataan pihak mana yang
lebih dikuatkan. Dalam kasus seperti ini, para Ulama menjelaskan bahwa
jual beli tersebut dibatalkan. Yaitu dengan cara si pembeli mengembalikan
barang yang telah ia bawa dan si penjual mengembalikan uang yang telah
ia dapatkan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Mas’ûd r.a :
ن هما ب ي نة لعة أو يتادان إذا اخت لف المت عامالن وليس ب ي فالقول ما ي قول رب الس
Jika terjadi perselisihan antara dua orang yang melakukan muamalah dan
tidak ada bukti pendukung antara keduanya maka perkataan berpihak
kepada pemilik barang atau keduanya saling membatalkan jual beli itu.130
Namun demikian, jika salah satu pihak mau mengalah dan ridha
dengan perkataan pihak lainnya maka ini pun diperbolehkan. Misalnya
dalam kasus jual beli yang pembayarannya ditunda, terjadi perselisihan
antara si penjual dan pembeli berkaitan dengan harga barang yang semula
telah disepakati, dikarenakan lupa, atau sebab-sebab lainnya. Si penjual
menyebutkan harga yang lebih tinggi daripada harga yang disebutkan si
pembeli. Sedangkan tidak ada bukti yang lebih menguatkan salah satu dari
keduanya. Kemudian si pembeli mengalah dan rela dengan harga yang
129 Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, 1426 H, Syarh Manzhumah Ushul al-
Fiqh wa Qawa’idihi, hal. 268.
130 HR. Ahmad
142
disebutkan si penjual, maka ini termasuk dalam kategori perdamaian yang
diperbolehkan.131
131 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 1430 H, at-Ta’lîq ‘alal Qawâ’id wa al-
Ushûlil Jâmi’ah, Cetakan pertama, Muassasah as-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin al-Khairiyyah, Unaizah, hal. 207.
143
Kaidah Kelima
ن ف ت كوح ن ف الت عحم يح الالز م الشركاء ف احألمحالك يشح ت كوح ا, ويشح ا ون قحصان ز يدت همح ن ح دار ما ل كل م ل مب قح هح سب م لحك ه مح ومع الح م الحمصار يحف ب وت قسط عليحه
ي تساووحن
Orang-orang yang berserikat dalam kepemilikan suatu barang, saling
menanggung penambahan dan pengurangan benda tersebut, dan bersama-
sama menanggung perbaikan yang bersifat wajib. Dan hak masing-masing
dibagi sesuai kadar kepemilikan mereka. Adapun jika kadar kepemilikan
masing-masing tidak diketahui maka dibagi rata di antara mereka.
Kaidah ini menjelaskan tentang orang-orang yang berserikat dalam
kepemilikan suatu benda. Mereka ini, sama-sama menerima untung jika
ada penambahan nilai pada barang tersebut, namun jika sebaliknya, maka
mereka sama-sama menanggung kerugian. Demikian pula, jika benda itu
perlu perbaikan, maka biaya perbaikannya ditanggung bersama-sama. Pro-
sentase keuntungan dan kerugian sesuai dengan prosentase kepemilikan-
nya terhadap benda yang dimiliki secara bersama-sama itu.
Penambahan tersebut bisa berupa penambahan dari sisi dzatnya,
sifatnya, tambahan yang terpisah atau tambahan yang menyatu dengan
benda yang mereka miliki, demikian pula tambahan dari hasil usahanya132.
Penerapan kaidah ini dapat diketahui dari contoh-contoh kasus,
diantaranya :
1. Apabila sebuah rumah dimiliki oleh dua orang. Salah satunya memiliki
sepertiga dan yang lainnya memiliki dua pertiga dari rumah tersebut.
Jika nilai jual rumah itu bertambah, maka tambahan ini menjadi milik
bersama sesuai dengan prosentase kepemilikan masing-masing133.
132 Wizâratul Auqaf was Syu-ûn al-Islamiyah, 1983, an-nama’ (penambahan)
dalam al-Mausû’atul Fiqhiyyah, Cet. Kedua. Wizâratul Auqaf was Syu-ûn al-Islamiyah. Kuwait vol 41. Hal 369-370.
133 Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil., Syarhul Qawâ’idis Sa’adiyah, hal. 197.
144
Sebaliknya jika terjadi kerusakan, dan salah satu pemiliknya ingin
rumah itu diperbaiki, maka pemilik lainnya wajib ikut andil dalam
perbaikan tersebut134 .
2. Jika beberapa hewan ternak dimiliki oleh dua orang atau lebih, maka
biaya pemeliharaannya ditanggung berdua sesuai dengan kadar
kepemilikannya. Artinya, yang kadar kepemilikan setengah, ia wajib
menanggung setengah dari seluruh biaya. Dan, yang kadar kepemilik-
an sepertiga, ia wajib menanggung 1/3 dari seluruh biaya peme-
liharaan135.
3. Jika sebidang tanah atau sebuah rumah diwakafkan untuk beberapa
orang. Kemudian tanah atau rumah tersebut rusak dan perlu biaya
perbaikan. Maka biaya tersebut ditanggung bersama136 .
4. Apabila dua orang sepakat membangun dinding pembatas antara
rumah mereka, kemudian dinding tersebut rusak. Lalu mereka
berselisih tentang siapakah yang berkewajiban memperbaikinya.
Maka, dalam masalah ini yang wajib memperbaiki adalah mereka
berdua, karena mereka memanfaatkannya bersama137.
5. Beberapa ekor kambing yang dimiliki dua orang, kemudian jumlahnya
bertambah karena ada yang melahirkan, atau kambing tersebut
memproduksi susu. Maka tambahan tersebut menjadi milik bersama
sesuai prosentase kepemilikan masing-masing. Ini adalah contoh an-
nama’ al-munfashil (tambahan yang terpisah).
6. Jika seekor ternak dimiliki dua orang, lalu hewan itu semakin gemuk.
Ini berarti nilai jualnya bertambah. Pertambahan nilai jual ini menjadi
milik mereka berdua. Ini adalah contoh an-Nama’ul muttashil
(pertambahan yang menyatu dengan yang asli).
134 Lihat ta’liq Syaikh al-Utsaimin 2002, terhadap kitab al-Qawâ’id wa al-
Ushulul Jâmi’ah wal Furuq wat Taqâsim al-Badî’ah an-Nâfi’ah, Cet. Pertama. Maktabah as-Sunnah. Kairo. hal. 140.
135 Ibid
136 Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil, Syarhul Qawâ’idis Sa’adiyah, hal. 198.
137 Al-Imam al-Hafizh Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali., Taqrîrul Qawâ’id wa Tahrîrul Fawâ-id, Vol 2,Hal 81.
145
7. Seseorang yang mahjûr ‘alaihi (yang dilarang mengelola hartanya)
karena bangkrut dan berkewajiban melunasi hutang. Jika harta yang ia
punya tidak cukup untuk melunasi hutang, maka masing-masing orang
yang menghutangi diambilkan dari harta tersebut sesuai kadar
besarnya hutang dari mereka138.
8. Apabila di antara dua rumah ada dinding yang membatasi dan
dimanfaatkan bersama oleh kedua pemilik rumah tersebut, kemudian
salah satunya ingin memasang atap atau memasang tiang pada
dinding tersebut, maka yang lain tidak boleh melarangnya. Dengan
syarat, pemasangan atap atau tiang tersebut tidak menimbulkan
madharat dan dengan izin terlebih dahulu.139
Sebagaimana sabda Nabi Saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhâri dan Muslim :
ي هللا عنه : أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال : ل ينع عن أب هري رة رضداره .جار جاره أن ي غرز خشبه ف ج
Dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasulullah Saw pernah bersabda,
“Janganlah seseorang melarang tetangganya untuk memasang kayu di
dinding rumahnya.”140
Berkaitan dengan pembahasan kaidah ini, adakalanya kadar kepemi-
likan dua orang atau lebih terhadap suatu barang tidak diketahui dengan
jelas. Jika ini terjadi, maka bagian masing-masing dianggap sama. Misalnya,
seseorang mewakafkan atau mewasiatkan tanahnya untuk beberapa orang
tanpa menentukan bagian masing-masingnya, maka dalam kasus ini kadar
untuk masing-masing orang disamakan, tanpa melebihkan salah seorang
dari yang lainnya.
138 Syaikh Ibnu Utsaimin mencontohkan, jika total hutangnya Rp. 10.000,
dengan rincian Rp. 5.000,- dari A, Rp. 3.000,- dari B, dan Rp. 2.000,- dari C. Sedangkan harta yang bisa digunakan untuk bayar hutang hanya sejumlah 5.000. Maka A diberi Rp. 2.500, B diberi Rp. 1.500, dan C diberi Rp. 1.000.
139 Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil,.Syarhul Qawâ’idis Sa’adiyah, hal. 198.
140 HR. Al-Bukhâri
146
Kaidah Keenam
تحالف وغيح ها إ ل ما ن التصرفات واحإل ل احألمناء ف الذ ي تحت أيحد يحه مح م بل ق وح ي قح والعادة خالف الح س
Perkataan Orang Yang Diserahi Amanah Berkaitan Dengan Pengelolaan,
Kerusakan Dan Masalah Lain Yang Berhubungan Dengan Harta Yang
Diamanahkan Kepadanya Diterima, Kecuali Apabila Menyelisihi Realita Dan
Kebiasaan141
Kaidah ini sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan antara
pemilik harta dan orang yang diserahi amanah142 untuk mengelola harta
tersebut. Dalam akad mudharabah atau yang semisalnya, pemilik harta
(pemodal) mempercayakan hartanya kepada orang lain untuk kelola, baik
dalam perdagangan, sewa atau lain sebagainya. Dalam hal ini, apabila
terjadi perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang diserahi
amanah berkaitan dengan harta tersebut, maka perkataan yang diterima
adalah perkataan orang yang diserahi amanah. Karena pemilik harta telah
mempercayakan harta kepadanya dan telah menposisikannya seperti
dirinya.
Namun, apabila pernyataan orang yang diserahi amanah tersebut
menyelisihi kebiasaan atau tidak selaras dengan realita yang ada, maka
pernyataannya tidak diterima. Misalnya, apabila seseorang yang dititipi
barang mengatakan bahwa barang tersebut telah hancur karena musibah
kebakaran. Sedangkan secara realita tidak ada indikasi musibah kebakaran,
maka perkataannya tidak diterima. Apabila ada tanda-tanda musibah
kebakaran, kemudian terjadi perselisihan antara pemilik harta dengan
141 Diangkat dari kitab Abdurrahman bin Nashir as-Sa’adi. Tahqiq , Dr. Khâlid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. 2001, al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsîmul Badî’atun Nâfi’ah, Cet. II. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh, hal. 78.
142 Orang yang diserahi amanah (al-amin) maksudnya orang yang mendapat-kan kepercayaan untuk membawa harta orang lain dengan izin pemiliknya atau dengan izin syari’at. (Lihat Abdurrahman bin Nashir as-Sa’adi. Tahqiq Dr. Khâlid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. 1423, Tuhfatu Ahlit Thalab fi Tahrir Ushul Qawa’id Ibni Rajab. Syaikh Cet. Ke-2. Dar Ibni al-Jauzi. Damam, hal. 38-39.
147
orang yang dititipi harta, misalnya, si pemilik harta bersikeras bahwa
barang yang dititipkan itu tidak ikut terbakar, sementara orang yang
diserahi amanah menyatakan bahwa barang itu juga terbakar, maka
perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah.143
Kasus-kasus lain yang bisa menjadi contoh implementasi kaidah ini
adalah sebagai berikut :
1. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjual
sejumlah barang. Beberapa waktu berselang, barang itu rusak. Lalu ia
berkata kepada yang diserahi amanah, “Engkau wajib mengganti
karena engkau tidak menjaga harta itu!” Sementara orang yang
diserahi amanah menyanggahhh, “Saya sudah sungguh-sungguh
menjaganya. Karenanya, saya tidak wajib mengganti.” Maka dalam
kasus seperti ini, perkataan yang diterima adalah perkataan orang
yang diserahi amanah. Karena kedudukannya sebagai orang yang
diserahi amanah, sehingga perkataannya berkaitan dengan kerusakan
barang, diterima.
2. Apabila seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sejumlah
pakaian. Beberapa waktu kemudian terjadi perselisihan. Si pemilik
harta berkata, “Engkau belum menawarkan pakaian itu !” Dan orang
yang diserahi amanah berkata, “Saya telah menawarkannya.” Maka,
dalam kasus ini, perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang
diserahi amanah. Karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi
amanah, sehingga perkataannya berkaitan dengan pengelolaan harta,
diterima.
3. Apabila seseorang meminjam suatu barang kepada orang lain. Setelah
beberapa waktu, pemilik barang mendatangi orang yang meminjam
untuk meminta supaya barangnya dikembalikan. Lalu si peminjam
mengatakan bahwa barang tersebut telah rusak karena musibah. Maka
dalam hal ini, perkataan si peminjam tersebut asalnya diterima karena
kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah, dan sebelumnya
memang ia telah mendapatkan izin dari pemilik harta untuk
membawa ataupun memanfaatkan barang tersebut.
143 Lihat ta’liq Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin 2002, terhadap
kitab al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsîmul Badî’atun Nâfi’ah. Cet I. Maktabah as-Sunnah. Kairo, hal. 131.
148
Adapun berkaitan dengan ganti rugi kerusakan, para ulama
berbeda pendapat apakah si peminjam wajib mengganti barang
tersebut ataukah tidak. Dan pendapat yang kuat adalah bahwa si
peminjam tidak wajib mengganti atau membayar ganti rugi kecuali
apabila ia tidak benar-benar menjaganya (tafrith) atau berlebihan
dalam pemanfaatannya (ta’addi).144
4. Apabila ada akad sewa menyewa antara dua orang. Kemudian setelah
masa sewa selesai, pemilik barang mendatangi si penyewa untuk
meminta supaya barangnya dikembalikan. Lalu si penyewa berkata
bahwa barang tersebut rusak karena suatu kecelakaan. Maka
perkataan si penyewa diterima karena kedudukannya sebagai orang
yang diserahi amanah.145
5. Dalam akad mudahrabah,146 perkataan mudharib (pengelola barang
mudharabah) berkaitan dengan keuntungan ataupun kerugian dari
pengelolaan barang, diterima. Demikian pula perkataannya berkaitan
dengan penjualan barang, baik secara tunai, kredit, syarat-syarat akad
yang ia lakukan dan sebagainya. Karena hal itu berkaitan dengan
pengelolaan barang yang diamanahkan kepadanya.147
Dalam uraian di atas telah dijelaskan bahwa pembahasan kaidah ini
berkisar pada perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang
diserahi amanah berkaitan dengan pengelolaan dan kerusakan harta yang
diamanahkan. Di sisi lain, terkadang timbul perselisihan berkaitan dengan
pengembalian barang, apakah barang tersebut sudah dikembalikan atau
belum. Yaitu, apabila orang yang diserahi amanah mengatakan bahwa harta
yang diamanahkan sudah dikembalikan kepada pemilik harta, namun si
144 Ini dikuatkan oleh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin 1426, Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa’idihi. Cet. I. Dar Ibni al-Jauzi. Damam, hal. 278.
145 Lihat Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin 1426, Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa’idihi, hal. 278
146 Mudhârabah adalah akad persekutuan antara dua orang atau lebih, di mana harta berasal dari salah seorang diantara mereka, sedangkan yang lainnya berperan seabgai pengelola harta tersebut dengan keuntungan dibagi sesuai kesepakatan di antara mereka, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik harta. Lihat Muhammad Rawas Qal’ah Jiy dan Dr. Hamid Shadiq Qunaibi, 1988., Mu’jam Lughah al-Fuqaha’. Prof. Dr. Cet. II.. Dar an-Nafais. Beirut. Pada kata ( الضاربة ).
147 Lihat contoh-contoh lain penerapan kaidah ini dalam Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa’idihi, hal. 277-278
149
pemilik menyangkalnya. Maka, dalam kasus seperti ini para ulama
menjelaskan, apabila si penerima amanah tidak memiliki kepentingan sama
sekali pada harta tersebut, maka perkataannya diterima. Namun apabila
dia memiliki kepentingan, maka perkataannya ditolak.(apabila harta yang
diamanahkan tersebut semata-mata untuk maslahat si pemilik harta maka
asalnya perkataan orang yang diserahi amanah diterima. Namun, apabila
orang yang diserahi amanah mengambil manfaat dari harta yang
diamanahkan kepadanya, maka asalnya perkataannya tidaklah di
terima).148
Implementasinya sebagai berikut :
1. Apabila Ahmad menitipkan sejumlah uang kepada Hasan. Selang
beberapa waktu kemudian, Ahmad menemui Hasan untuk meminta
uang yang dititipkannya itu. Kemudian Hasan berkata bahwa uang
tersebut sudah dikembalikan kepada Ahmad. Maka dalam kasus
seperti ini, perkataan yang diterima adalah perkataan Hasan dan ia
tidak dituntut untuk mendatangkan bukti pengembalian. Karena
Hasan membawa harta tersebut semata-mata untuk kepentingan
Ahmad dan tidak berkepentingan dengannya. Dalam hal ini, ia juga
telah berbuat ihsan ketika membantu Ahmad membawakan uangnya.
Sementara Allah k berfirman berkaitan dengan orang yang berbuat
ihsan :
يم غفور رح ن سبيل والل نني م ما على المحس
Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang
berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, [QS at-
Taubah:91]
2. Apabila seseorang menyelamatkan harta orang lain dari kehancuran
karena ada bencana alam atau semisalnya. Setelah itu, pemilik harta
menyatakan bahwa seluruh harta tersebut atau sebagiannya belum
dikembalikan kepadanya. Sedangkan orang yang menyelamatkan
mengatakan bahwa ia telah mengembalikan semua harta yang ia
selamatkan kepada pemiliknya. Maka dalam kasus seperti ini,
148 Lihat penjelasan Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’adi , Tuhfatu Ahlit Thalab
fi Tahrir Ushul Qawa’id Ibni Rajab, hal. 38-39.
150
perkataan berpihak kepada si penyelamat harta. Karena ia membawa
harta tersebut demi kemaslahatan pemilik harta. Dan ini masuk juga
dalam keumuman firman Allâh Subhanahu wa Ta’aladalam surah at-
Taubah di atas.149
3. Apabila Ahmad meminjam barang dari Hasan. Setelah beberapa lama,
terjadi perselisihan. Ahmad mengaku telah mengembalikan barang
tersebut, sementara Hasan menyangkal. Maka dalam kasus seperti ini,
hukum berpihak kepada Hasan. Karena Ahmad membawa barang
tersebut adalah untuk kepentingan dirinya serta untuk mengambil
manfaat darinya. Maka pengakuan Ahmad tidak diterima kecuali jika
ia bisa mendatangkan bukti pengembalian barang tersebut.
4. Apabila Ahmad menyewa sebuah mobil dari Hasan. Setelah masa sewa
habis, Hasan menemui Ahmad untuk meminta mobilnya dikembalikan.
Lalu Ahmad mengatakan bahwa mobil telah ia kembalikan ke Hasan.
Maka dalam hal ini, perkataan Ahmad tidak diterima, karena ia
membawa mobil untuk kemaslahatannya dan ia mengambil manfaat
darinya.150
149 Lihat Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin 1426, Manzhûmah Ushulil Fiqh
wa Qawa’idihi, hal. 276.
150 Lihat al-Hâfizh Zainuddîn Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali. 1998, Taqrîrul Qawâ’id wa Tahrîrul Fawâ’id, Ta’liq Syaikh Abu Ubaidah Masyhûr bin Hasan Alu Salmân. Cet. I.. Dar Ibni Affân, hal. 315-322.
151
Kaidah Ketujuh
مة ق وت عذرت الحق سح تح ل الحمسح رع الحقرحعة إ ذا جه تشح
Pengundian Disyariatkan Apabila Orang Yang Berhak Tidak Diketahui
Dan Pembagian Tidak Mungkin Untuk Dilakukan
Telah disebutkan dalil disyariatkannya pengundian151-saat tidak
diketahui siapa yang berhak- dalam al-Qur`ân dan Hadits.. Allâh Swt
berfirman:
ني ن المدحض فساهم فكان م
Kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam
pengundian 152
Ayat ini berkaitan dengan kisah Nabi Yûnus A.s ketika meninggalkan
kaumnya yang tidak mau beriman kepada beliau, sehingga sampailah
beliau di tepi pantai dan melihat kapal yang akan berlayar, maka beliau pun
naik ke kapal tersebut. Ternyata muatan kapal tersebut terlalu penuh
muatannya, sehingga saat berada di tengah lautan kapal tidak bisa
bergerak ke depan maupun ke belakang di tengah-tengah lautan. Bila
muatan tidak dikurangi, seluruh penumpang akan tenggelam. Untuk itu,
mereka mengadakan pengundian untuk menentukan siapa di antara
mereka yang akan dikeluarkan dari kapal. Setelah dilakukan undian,
keluarlah nama Nabi Yunus A.s. Selanjutnya beliau dilemparkan keluar dari
kapal. Dan masuklah beliau ke mulut seekor ikan dan tinggal beberapa
waktu di perut ikan itu sampai diselamatkan Allâh Swt .153
Contoh lain, Allâh Swt berfirman:
151 Pengundian (undian)–seperti tercantum dalam kaedah di atas–ditujukan
untuk menentukan pihak yang berhak mendapatkan sesuatu daripada pihak lain. Hal ini perlu ditekankan supaya tidak dibawa kepada undian-undian berhadiah – yang identik dengan perjudian – yang menjamur di media massa.
152 QS Ash Shofat :141
153 Abu Bakr Jabir al-Jazairi. 2003, Aisar at-Tafâsir, Cet. VI, Maktabah Ulum wal Hikam, hal. 1094
152
م إذ ي لقون أقالمهم أي هم يكفل مري وما كنت ل مون وما كنت لديه م إذ يتص ديه
Padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan
pena-pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan
memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka
bersengketa154.
Ayat ini berkaitan dengan kisah para pengemuka bani Israil yang
berselisih untuk menentukan siapa di antara mereka yang berhak
mengasuh Maryam. Maka, mereka bersepakat pergi ke suatu sungai untuk
mengundi siapa yang berhak mengasuhnya dengan melemparkan pena-
pena mereka, dengan kesepakatan bahwa siapa di antara mereka yang
penanya tidak hanyut terbawa arus sungai, maka dia lah yang berhak
mengasuh Maryam. Ternyata pena Nabi Zakariya A.s lah yang tidak hanyut
terbawa air sungai, sehingga beliau lah yang berhak mengasuh Maryam.155
Adapun dalil dari Sunnah, disebutkan dalam hadits:
ها قالت : كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إذا أراد ي هللا عن عن عائشة رضا معه سفر ا أق رع بني نسائه, فأي ت هن خرج سهمها خرج .ب
Dari ‘Aisyah r.a ia berkata : Dahulu Rasûlullâh Saw apabila ingin bepergian,
maka beliau mengundi para isterinya. Siapa di antara mereka yang keluar
undiannya, maka beliau akan pergi bersamanya156
Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak, baik
berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun muamalah. Dia antaranya
adalah sebagai berikut :
1. Apabila ada dua orang berebut untuk mengumandangkan adzan,
sedangkan keduanya bukan muadzin râtib157 dan tidak ada kelebihan
salah satu dari yang lain, baik dari sisi keindahan dan kenyaringan
154 QS Ali Imron : 44
155 Ibnu Katsir, 1992,Tafsir al-Qur’ânul ‘Azhim, al-Hâfizh Ibnu Katsir,. Dârul Fikr. Beirut, hal. 446-447
156 HR. Al-Bukhâri
157 Yaitu muadzin yang memang telah ditugaskan secara khusus untuk mengumandangkan adzan di masjid tertentu.
153
suara, ataupun karakteristik lain yang diperhatikan dalam adzan,
maka penentuan yang berhak mengumandangkan adzan dilakukan
dengan pengundian.
2. Apabila ada dua orang atau lebih sama-sama berkeinginan menjadi
imam sholat, sedangkan mereka setara dari sisi keindahan bacaan,
kedalaman ilmu agama, hijrah, dan usia, maka yang berhak menjadi
imam ditentukan dengan pengundian.
3. Apabila seseorang ingin memberikan suatu barang tertentu, baik
berupa air, pakaian, bejana, atau selainnya kepada orang yang paling
layak mendapatkan barang tersebut di antara sekelompok orang.
Ternyata sekelompok orang tersebut mempunyai sifat latar belakang
yang sama, dan sulit ditentukan siapa di antara mereka yang paling
layak mendapatkan barang tersebut. Maka orang yang berhak
mendapatkannya ditentukan dengan pengundian.
4. Apabila ada beberapa jenazah yang akan disholatkan maka jenazah
orang yang paling berilmu diletakkan paling dekat dengan imam158.
Namun apabila semua jenazah tersebut mempunyai kesetaraan dari
sisi keilmuan, tidak ada yang lebih utama salah satu dari yang lainnya,
maka yang diletakkan paling dekat dengan imam ditentukan dengan
pengundian.
5. Apabila ada dua jenazah yang terpaksa dikuburkan dalam satu liang
lahat karena tempat yang sempit, waktu yang sempit, atau tenaga
pengubur yang sedikit, maka yang lebih didahulukan dimasukkan ke
liang lahat dan diletakkan lebih dekat ke arah kiblat adalah jenazah
orang yang paling utama di antara mereka. Yaitu, jenazah orang yang
paling berilmu dan paling banyak menghafal al Qur’ân159 Namun,
apabila kedua jenazah tersebut mempunyai kesetaraan dalam ilmu
158 Yang dimaksud dengan beberapa jenazah di sini adalah beberapa jenazah
yang sejenis, yaitu sama-sama laki-laki atau sama-sama perempuan. Adapun jika jenisnya berbeda, maka jenazah-jenazah tersebut disholatkan dengan meletakkan jenazah laki-laki dewasa paling dekat dengan imam, kemudian anak laki-laki yang belum baligh, kemudian jenazah wanita dewasa, kemudian jenazah anak wanita yang belum baligh. Syaikh al-‘Utsaimîn, 2003, Fatâwa fi Ahkâmil Janâiz,. Cet. I, Dâr ats-Tsurayyâ,. Riyadh, hal. 102
159 HR. Al-Bukhâri
154
dan hafalan, maka yang berhak dimasukkan lebih dahulu ke liang lahat
ditentukan dengan undian.
6. Apabila ada dua orang sama-sama menyatakan bahwa suatu barang
tertentu adalah miliknya, dan tidak ada qarinah (tanda-tanda) yang
menguatkan salah satunya lebih berhak atas barang tersebut, maka
orang yang berhak memilikinya ditentukan dengan pengundian.
Namun demikian, apabila barang tersebut bisa dibagi dan keduanya
bersepakat untuk membagi barang tersebut menjadi dua bagian dan
masing-masing mendapatkan separuh bagian yang sama, ini
diperbolehkan.160
7. Apabila ada dua orang berebut untuk mendapatkan suatu barang atau
perkara mubâhât161, dan barang tersebut tidak mungkin dimiliki
secara bersama, maka orang yang berhak mendapatkannya ditentukan
dengan pengundian Misalnya, apabila ada dua orang berbarengan dan
sama-sama berkeinginan untuk duduk di suatu tempat tertentu di
dalam masjid, maka dalam hal ini penentuan yang berhak duduk di
tempat tersebut dilakukan dengan pengundian.
8. Apabila seorang wanita akan melangsungkan pernikahan dan seluruh
karib kerabat yang berhak menikahkannya berkeinginan menjadi wali
nikahnya, padahal mereka semua sederajat, maka penentuan wali
nikah dilakukan dengan pengundian.
9. Apabila seseorang mempunyai beberapa budak, kemudian ia
membebaskan salah satu budaknya, tetapi ia lupa budak manakah
yang ia bebaskan, maka penentuannya ditetapkan dengan pengundian.
Kemudian, berkaitan dengan pembahasan kaidah ini, perlu dipahami
bahwa apabila kadar kepemilikan dua orang atau lebih terhadap suatu
harta ataupun piutang sudah diketahui secara jelas, kemudian mereka
melakukan pengundian untuk menentukan siapa di antara mereka yang
akan mendapatkan harta atau piutang tersebut secara penuh, maka ini
160 Lihat ta’liq (komentar) Syaikh al-‘Utsaimîn , 2002, al-Qawâ’id wal Ushûl
al-Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsim al-Badi’ah an-Nâfi’ah, Cet. I, Maktabah as-Sunnah, Kairo, hal. 130
161 Yaitu barang-barang atau perkara-perkara yang tidak ada hak kepemili-kan secara khusus atasnya, baik berupa tanah, tempat, tanaman, atau selainnya, seba-gaimana dijelaskan pada kaidah sebelumnya.
155
termasuk perjudian yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil al-Qur’ân,
Sunnah, dan Ijmâ’. Di antara contohnya dapat diketahui melalui dua kasus
berikut:
1. Apabila sebuah mobil dimiliki secara bersama oleh dua orang. Kemudian
keduanya melakukan pengundian dengan kesepakatan bahwa siapa di
antara keduanya yang keluar namanya dalam undian, maka ia berhak
memiliki mobil tersebut secara penuh, pengundian seperti ini tidak
diperbolehkan karena termasuk dalam kategori perjudian.
2. Apabila ada dua orang sama-sama mempunyai piutang kepada si Fulan
(seseorang), kemudian kedua orang tersebut melakukan pengundian,
dengan kesepakatan bahwa siapa di antara keduanya yang namanya keluar
dalam pengundian, maka seluruh piutang si Fulan, baik dari orang pertama
ataupun orang kedua, menjadi miliknya. Maka pengundian seperti ini
termasuk dalam kategori perjudian.162
162 Lihat contoh-contoh lain dari penerapan pengundian yang tidak diperbo-
lehkan dan masuk dalam kategori perjudian dalam kitab Manzhûmah Ushûl al-Fiqh wa Qawâ’idihi, Karya Syaikh al-‘Utsaimîn.
156
Kaidah Kedelapan
امنح سبق إ ل الحمباحات ف هو أحق ب
Barangsiapa Lebih Dahulu (Menemukan Atau Mendapatkan) Yang Mubahat
Maka Dia Yang Lebih Berhak Atas Perkara Tersebut
Kaidah yang mulia ini menjelaskan bahwa siapa saja yang terlebih
menemukan atau mendapatkan yang mubahat, maka dia lebih berhak
untuk mendapatkan atau memanfaatkannya. Mubâhât maksudnya segala
yang tidak ada hak kepemilikan secara khusus atasnya, baik berupa tanah,
tempat tertentu, tanaman yang tumbuh di bumi atau yang lainnya.
Dalil yang menunjukkan keabsahan kaidah ini yaitu hadits yang
diriwayatkan dari Asmar bin Mudharris r.a, Rasûlullâh Sawbersabda :
من سبق إل ما ل يسبق إليه مسلم ف هو أحق به
Barangsiapa lebih dahulu sampai kepada suatu perkara daripada orang
muslim lainnya, maka dia yang lebih berhak atas sesuatu tersebut.163
Juga hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma,
Rasûlullâh Saw bersabda :
ا حد ف هو أحق ب من عمر أرض ا ليست أل
Barangsiapa mengelola tanah yang tidak dimiliki siapa pun, maka ia lebih
berhak terhadap tanah itu.164
Hadits ini menjelaskan bahwa seseorang yang lebih dahulu
mendapatkan dan mengelola tanah yang tidak bertuan, maka dia yang lebih
berhak untuk memiliki dan memanfaatkan tanah itu. Kemudian perkara
mubâhât lainnya diqiyaskan dan dihukumi sama seperti tanah yang
disebutkan dalam hadits diatas.
163 HR. Abu Dâwud
164 HR. Bukhâri
157
Adapun implementasi kaidah ini, dapat diketahui dari contoh-contoh
berikut :
1. Berkaitan dengan pengairan sawah dari air sungai. Apabila para
pemilik sawah berselisih tentang sawah manakah yang paling
didahulukan untuk mendapatkan pengairan dari sungai tersebut.
Maka dalam hal ini yang paling didahulukan adalah sawah yang
posisinya paling tinggi, karena biasanya posisinya lebih dekat dengan
suangi. Setelah sawah tersebut dialiri air dan telah cukup maka
barulah dialirkan ke sawah di bawahnya.
2. Berkaitan dengan hewan buruan, baik di darat maupun di laut. Siapa
saja yang lebih dahulu menangkapnya atau senjatanya lebih dahulu
mengenainya maka dia yang lebih berhak untuk memiliki hewan
tersebut. Adapun sebatas melihat hewan tersebut, maka
kepemilikannya belum bisa ditentukan. Demikian pula keberadaan
kayu di hutan, rerumputan yang ada di padang rumput, barangsiapa
lebih dahulu sampai kepadanya maka dia lah yang lebih berhak
mendapatkannya.
3. Berkaitan dengan tempat-tempat yang disediakan untuk kepentingan
umum, seperti masjid atau selainnya. Tidak boleh seseorang
menyuruh orang lain untuk berdiri dari tempat duduknya kemudian ia
duduk di tempat orang tersebut. Misalnya Ahmad sedang duduk di
suatu tempat di masjid mendengarkan pengajian. Kemudian Zaid
datang dan menyuruh Ahmad berdiri, kemudian Zaid duduk di tempat
tersebut. Maka seperti ini tidak diperbolehkan. Karena Ahmad lebih
dahulu sampai di tempat tersebut sehingga dia yang lebih berhak
untuk duduk di sana.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Ibnu ‘Umar r.a dijelaskan bahwasanya Rasûlullâh Saw bersabda :
ه ث يلس في ن ملس ه ولكن ت فسحوا وت وسعوال يقيم الرجل الرجل م
Tidak boleh seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat
duduknya kemudian ia duduk di sana, akan tetapi hendaklah kalian
memberi kelonggaran dan keluasan.165
165 HR. Bukhâri
158
4. Berkaitan dengan harta-harta yang diwakafkan, baik berupa tanah,
rumah, atau barang-barang lainnya yang dalam pemanfaatannya tidak
memerlukan persetujuan dari nâzhir (pengurus) barang yang
diwakafkan. Maka siapa saja yang lebih dahulu sampai pada barang-
barang tersebut, dia lebih berhak untuk memanfaatkannya. Misalnya
seseorang mewakafkan sebuah rumah untuk ditempati oleh fakir
miskin, maka fakir miskin mana saja yang lebih dahulu sampai ke
rumah tersebut, dia yang lebih berhak untuk memanfaatkannya,
sampai kebutuhannya terhadap rumah itu selesai.
Ini berkaitan dengan harta-harta wakaf yang tidak ada nâzhirnya
secara khusus. Adapun jika harta-harta wakaf itu diurusi oleh nâzhir
(pengurus) yang khusus maka pemanfaatannya tergantung pada
persetujuan nâzhir tersebut, tidak berdasarkan siapa yang lebih
dahulu sampai pada barang-barang itu.
5. Berkaitan dengan lahan mati, yaitu tanah yang tidak bertuan secara
khusus. Siapa saja yang lebih dahulu menghidupkan tanah tersebut
dan mengelolanya, maka dia yang lebih berhak memiliki tanah
tersebut.
Dalam hal ini, seseorang dikatakan menghidupkan tanah yang
mati di antaranya dengan membuat pagar pembatas sehingga tanah
itu tidak dimasuki hewan-hewan liar, atau dengan membangun sumur
di area tanah tersebut sehingga bisa mengairinya. Demikian pula bisa
dilakukan dengan mengalirkan air ke tanah tersebut baik dari sungai,
atau selainnya untuk mengairi tanah tersebut. Atau dengan
membersihkan tanah tersebut dari bebatuan, genangan air, atau
benda-benda lain yang menghalangi pemanfaatan tanah tersebut.
Rasûlullâh Saw bersabda :
تة فهي له من أحيا أرض ا مي
Barangsiapa menghidupkan lahan mati, maka lahan itu menjadi
miliknya.166
6. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan melamar wanita yang telah
dilamar orang lain, selama lamaran tersebut belum ditolak oleh si
166 R. Abu Dawud
159
wanita atau tidak ada izin dari si pelamar pertama. Hal ini
dikarenakan orang yang pertama lebih dulu melamarannya sehingga
dia lebih berhak, Sebagaimana sabda Rasûlullâh Saw:
يه, حت يتك الا طبة أخ له, أو يذن له ل يطب ب عضكم على خ طب ق ب الاطب
Janganlah salah seorang di antara kalian melamar wanita yang telah
dilamar orang lain sampai pelamar itu meninggalkannya atau
mengizinkannya.167
7. Rasûlullâh Saw telah mengabarkan tentang pahala yang besar yang
akan didapatkan oleh seseorang apabila berdiri di shaf pertama dalam
shalat berjama’ah. Sebagaimana sabda beliau :
موا عليه دوا إل أن يسته لو ي علم الناس ما ف الن داء والصف األول ث ل ي لست هموا
Seandainya manusia mengetahui besarnya pahala mengumandangkan
adzan dan pahala berdiri di shaf pertama sementara mereka tidak bisa
memperolehnya kecuali dengan berundi tentulah mereka akan
berundi.168
Dalam hal ini, seseorang yang lebih dahulu sampai di shaf pertama
tersebut, dia yang paling berhak untuk menempati posisi tersebut daripada
orang lain setelahnya.
167 HR. Bukhâri,
168 HR. Bukhâri
160
Kaidah Kesembilan
ا أحل حراماا أوح حرم حاللا إ ل صلححا ل م يح الحمسح الصلحح جائ ز بيح
Shulh (berdamai) Dengan Sesama Kaum Muslimin Itu Boleh Kecuali
Perdamaian Yang Menghalalkan Suatu Yang Haram Atau Mengharamkan
Suatu Perkara Yang Halal
Kaidah mulia yang sangat bermanfaat ini diambil dari lafadz hadits
yang telah dishahihkan oleh beberapa ahli hadits. Diriwayatkan dari Abu
Hurairah R.a , Rasûlullâh Saw bersabda :
م حالل أو أحل حرام ا والمسلمون ا حر الصلح جائز بني المسلمني إل صلح م إل شرط ا حرم حالل أو أحل حرام ا روطه على ش
Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan kecuali perdamaian
yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang
halal. Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka
sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau
menghalalkan suatu yang haram.169
Hadits ini menjelaskan bahwa seluruh macam shulh (perdamaian)
antara kaum muslimin itu boleh dilakukan, selama tidak menyebabkan
169 Hadits المسلمون عند شروطهم diriwayatkan oleh imam Bukhâri 4/451 secara
mu’allaq dengan shighah jazm. Dan diriwayatkan secara maushul oleh Imam Ahmad 2/366, Abu Dâwud no. 3594, Ibnu Jârud no. 637, al Hâkim 2/45, Ibnu ‘Adiy no. 2088 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu lewat jalur riwayat Katsîr bin Zaid dari Walîd bin Rabâh. Dan dalam riwayat Imam Tirmidzi no. 1370 dari Katsîr bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf al Muzaniy dari bapaknya dari kakeknya, Rasulullah saw bersabda:
ا حرم م إل شرط ا حرم حالل أو أحل حرام ا الصلح جائز بني المسلمني إل صلح روطه حالل أو أحل حرام ا والمسلمون على ش
Lafadz ini dibawakan juga oleh Thabrani dalam al Kabîr no. 30, Ibnu ‘Adiy no. 2081, Dâruquthni 3/27, al Baihaqi 6/79, Ibnu Mâjah no. 2353 tanpa kalimat yang akhir. Hadits ini dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, Anas, Abdullâh bin Umar, Râfi’ bin Khadîj Rahiyallahu anhum. Dengan mengumpulkan seluruh jalur periwayatannya, maka hadits diatas itu tsâbit atau sah.
161
pelakunya terjerumus ke dalam suatu yang diharamkan oleh Allâh Swt dan
Rasûl-Nya.
Berikut beberapa contoh penerapan kaidah diatas :
1. Shulhul iqrâr atau as-shulh ma’al iqrâr (perdamaian yang disertai
pengakuan)
Misalnya, seseorang melihat barang yang diakuinya sebagai milik dia,
misalnya jam, namun jam itu berada di tangan orang lain. lalu dia
mengatakan : “Jam ini milikku !” Orang yang sedang membawa jam
itu mengatakan : “Ya, ini memang jammu. Namun aku ingin berdamai
denganmu dengan cara memberikanmu sejumlah uang lalu jam ini
menjadi milikku.” Jika si pemilik setuju, maka shulh ini sah dan inilah
disebut as-shulh ma’al iqrâr atau shulhul iqrâr.
Apabila Ahmad menyetujui tawaran Zaid tersebut maka ini
diperbolehkan. Ini termasuk kategori Shulhul Iqrâr.
2. Shulhul inkâr atau as-shulh ma’al inkâr (perdamaian yang disertai
pengingkaran)
Contohnya, kasus jam diatas. Jika yang membawa jam itu mengingkari
pengakuan orang itu dengan mengatakan : “Jam ini bukan milikmu
tapi milikku.” Kemudian dia khawatir permasalahan ini akan berke-
panjangan, akhirnya dia ingin menyelesaikannya dengan mengajak
damai. Dia mengatakan : “Kita damai saja, saya akan memberikanmu
sejumlah uang dan jam ini tetap di tanganku sebagai milikku.” Jika
orang pertama setuju, maka shulh ini sah dan disebut dengan shulhul
inkâr atau as-shulh ma’al inkâr. Melihat dalam peristiwa ini ada
indikasi bohong, syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
mengatakan : “Bagi yang berbohong, maka akadnya tidak sah.”
3. Berdamai dalam khiyâr ‘aib (hak pembeli untuk membatalkan tran-
saksi karena ada cacat pada barang)
Apabila seseorang membeli sesuatu dengan harga tertentu, kemudian
ia mengetahui ada cacat pada barang itu dan ia ingin mengembalikan-
nya kepada penjualnya. Ketika mengembalikan barang tersebut, si
penjual mengatakan, “Bagaimana jika barang ini tidak dikembalikan
dan aku akan berikan ganti rugi kepadamu berupa uang sebesar
sekian sebagai kompensasi dari kerusakan tersebut ?”
162
Apabila si pembeli setuju tawaran ini, maka ini termasuk kategori
berdamai yang diperbolehkan.
4. Berdamai dalam khiyâr Syarth (hak pembeli untuk membatalkan atau
meneruskan transaksi dengan syarat-syarat tertentu yang telah
disepakati antara penjual dan pembeli)
Misalnya, Ahmad hendak membeli rumah dari Zaid dengan
kesepakatan si pembeli diberi waktu sepekan. Dalam waktu ini, dia
berhak untuk membatalkan atau meneruskan jual beli tersebut.
Namun kemudian, sebelum lewat waktunya, Zaid mendatangi Ahmad
dan mengatakan, “Bagaimana jika jual beli ini kita jadikan dan kita
tuntaskan saja tanpa menunggu waktunya habis ? Sebagai
kompensasi, aku akan berikan kepadamu sejumlah uang.”
Apabila Zaid menerima tawaran Ahmad ini, maka shulh ini termasuk
kategori shulh (berdamai) yang diperbolehkan dan masuk dalam
keumuman kaidah di atas.
5. Berdamai dalam hak syuf’ah.
Apabila ada suatu barang dimiliki secara bersama oleh Ahmad dan
Zaid, misalnya tanah atau rumah. Kemudian Ahmad menjual
bagiannya kepada Yasir. Dalam hal ini Zaid bisa menggunakan hak
syuf’ahnya untuk membatalkan jual beli tersebut. Zaid berhak menarik
bagian yang sudah dijual Ahmad dan merubah statusnya menjadi milik
Zaid atau membelinya dengan harga yang sudah disepakati oleh
Ahmad dan Yasir. Dalam peristiwa ini, saat Zaid akan menggunakan
hak syuf’ahnya, Yasir berkata, “Bagaimana jika engkau tidak
menggunakan hak syuf’ahmu ? Karena aku ingin memiliki barang ini.
Sebagai konsekuensinya aku akan memberikan sejumlah uang kepada-
mu.”
Apabila Zaid setuju dengan tawaran Yasir ini, maka ini termasuk
kategori shulh (berdamai) yang diperbolehkan.
6. Berdamai dalam diyât pembunuhan atau yang lain.
Apabila terjadi suatu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja dan
zalim, maka keluarga korban bisa menuntut hukum qishâsh atau
menuntut diyât (ganti rugi atas pembunuhan tersebut). Jika menuntut
diyât, maka jumlahnya telah ditentukan dalam syari’at yaitu sejumlah
163
100 ekor onta dengan memenuhi berbagai ketentuan lainnya. Dalam
hal ini, apabila keluarga korban mengusulkan kepada keluarga si
pembunuh supaya memberikan diyât lebih dari 100 ekor lalu keluarga
si pembunuh menyetujuinya, maka ini termasuk shulh (berdamai)
yang diperbolehkan.
7. Perdamaian dalam hutang yang tidak diketahui jumlahnya.
Apabila Ahmad berhutang sejumlah uang kepada Zaid. Setelah
beberapa waktu, keduanya sama-sama lupa nominalnya. Dalam
kondisi ini, apabila Zaid mengatakan, “Bagaimana kalau kita tentukan
saja nominalnya yaitu Rp. 100.000,-, jika nominal sebenarnya lebih
dari itu, maka aku merelakannya, namun jika nominal sebenarnya
kurang dari seratus ribu, maka engkau yang merelakannya ?” Apabila
Ahmad menerima tawaran Zaid tersebut maka ini termasuk shulh
(perdamaian) yang diperbolehkan.
8. Perdamaian dalam hak-hak suami isteri.
Apabila seorang isteri khawatir akan diceraikan oleh suaminya,
kemudian si isteri tersebut berkata kepada suaminya, “Aku ingin tetap
menjadi isterimu, sebagai konsekuensinya aku relakan nafkahku
dikurangi.” Apabila si suami setuju, maka ini termasuk perdamaian
yang diperbolehkan, sebagaimana firman Allâh swt :
ن ب علها نشوز ا أو إعراض ا فال جناح عل ما أن يصلحا وإن امرأة خافت م يها والصلح خي ن هما صلح ب ي
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi
mereka. [an Nisâ’/4:128]
Demikian pula, seluruh perdamaian yang dilakukan untuk
menyelesaikan perselisihan dan persengketaan di antara manusia, maka
hal tersebut diperbolehkan dan masuk dalam keumuman kaidah ini, baik
lewat perantara hakim atau yang lain. Kesimpulannya, hukum asal dari
perdamaian itu adalah boleh selama tidak menyebabkan pelakunya
terjerumus dalam perkara yang haram.
164
Diantara shulh (perdamaian) yang tidak diperbolehkan karena ada
unsur haram di dalamnya dapat diketahui dari beberapa contoh berikut :
1. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp. 100.000 kepada
Zaid. Setelah beberapa waktu, Zaid lupa nominal, sementara Ahmad
masih ingat nominalnya, tetapi ia tidak mau memberitahukannya
kepada Zaid. Dalam hal ini, apabia Ahmad berkata kepada Zaid, “Aku
juga lupa berapa jumlah hutangku itu. Bagaimana kalau kita tentukan
saja jumlahnya Rp. 50.000 ? Aku rela jika jumlah hutang sebenarnya
lebih kecil dari itu. Dan relakanlah jika jumlah hutang sebenarnya
lebih besar dari itu.” Kemudian Zaid menyetujui tawaran Ahmad
tersebut. Maka perdamaian tersebut haram bagi Ahmad, karena ia
telah menghalalkan perkara yang haram.
2. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp. 100.000 kepada
Zaid, dengan jangka waktu pengembalian selama satu pekan. Setelah
berlalu satu pekan, ternyata Ahmad belum bisa melunasi hutangnya.
Kemudian Ahmad berkata kepada Zaid, “Berilah tenggang waktu
kepadaku selama tiga hari untuk melunasi hutangku. Dan sebagai
konsekuensinya, aku akan membayar hutangku sebesar Rp 100.000
dengan tambahan Rp. 20.000 untukmu.” Jika Zaid setuju, maka
perdamaian seperti itu tidak diperbolehkan karena mengandung riba.
165
Kaidah Kesepuluh
ع إ ل الحق يحمة ر الحمسمى رج إ ذا ت عذ
Apabila Harga Yang Disepakati Tidak Diketahui Maka Dikembalikan Kepada
Harga Pasar
Dalam transaksi jual beli, pada asalnya, pembeli wajib membayar
kepada penjual senilai harga yang telah disepakati oleh keduanya. Namun,
apabila harga yang telah disepakati tersebut tidak diketahui karena penjual
dan pembeli sama-sama lupa atau karena sebab lainnya, maka dalam hal ini
timbul permasalahan tentang penentuan harga barang tersebut.
Kaidah di atas menjelaskan bahwa apabila harga yang disepakati oleh
penjual dan pembeli tersebut di kemudian hari tidak diketahui dikarena-
kan suatu sebab tertentu, padahal harga barang belum diserahkan oleh si
pembeli, maka dalam hal ini harga barang ditentukan sesuai umumnya
harga barang tersebut di pasaran.
Kaidah ini berbeda dengan kaidah sebelumnya. Karena, dalam suatu
akad transaksi yang harganya telah ditentukan dan disepakati oleh pelaku
transaksi, ada kemungkinan besarnya harga tersebut kemudian tidak
diketahui lagi. Atau ada juga kemungkinan bahwa harga yang telah
disepakati tersebut tidak mungkin diserahkan dikarenakan tidak sahnya
akad transaksi, baik karena gharâr (unsur tipuan), karena adanya perkara
yang haram, atau sebab-sebab lainnya.
Di antara implementasi kaidah ini dapat diketahui pada contoh-contoh
berikut:
1. Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli dengan kesepakatan
harga tertentu, dan sebelum pembayaran diserahkan, keduanya tidak
mengetahui berapa besarnya harga yang telah disepakati tersebut,
maka dalam hal ini harga barang ditentukan sesuai harga secara
umum di pasaran, karena umumnya barang-barang dagangan
diperjual-belikan sesuai harganya secara umum di pasaran.
2. Apabila seseorang mempekerjakan orang lain dengan kesepakatan
upah tertentu, kemudian ketika datang waktu pemberian upah,
166
ternyata tidak diketahui lagi berapa besarnya upah tersebut,
dikarenakan kedua belah pihak lupa atau karena sebab lainnya, maka
dalam hal ini dikembalikan kepada jumlah upah untuk pekerjaan
semisal secara umum di daerah bersangkutan.
3. Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita, namun ia belum
menentukan besarnya mahar yang harus ia serahkan kepada isterinya,
maka dalam hal ini mahar ditentukan berdasarkan umumnya mahar
yang diberikan untuk wanita semisal di daerah bersangkutan.
167
Kaidah Kesebelas
م إ ذا ق جع ل كالحمعحدوح ر معحر فة منح له الح ت عذ
Apabila Pemilik Suatu Barang Tidak Diketahui Maka Barang Tersebut
Dianggap Tidak Ada Pemiliknya
Apabila seseorang menemukan barang milik orang lain, namun tidak
diketahui secara jelas siapa pemiliknya, maka dalam hal ini timbul
permasalahan berkaitan dengan pemanfaatan barang tersebut.
Oleh karena itu, kaidah ini menjelaskan bahwa suatu barang yang
tidak diketahui siapa pemiliknya dan sangat sulit untuk mengetahuinya,
maka barang tersebut dianggap tidak ada pemiliknya. Dan wajib untuk
memanfaatkan barang tersebut dalam perkara-perkara yang paling
bermanfaat bagi pemiliknya atau orang yang paling berhak untuk
memanfaatkannya.
Di antara implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :
1. Berkaitan dengan barang temuan (luqathah). Seseorang yang
menemukan barang temuan, kemudian ia berusaha untuk
mengumumkan tentang penemuan tersebut, namun pemiliknya tidak
juga bisa diketahui, maka barang tersebut menjadi milik si penemu.
Karena dialah orang yang paling berhak untuk memilikinya.
2. Apabila seseorang memakai barang orang lain tanpa izin, kemudian
tatkala ia ingin mengembalikan barang tersebut, ternyata tidak
diketahui siapa pemiliknya, dan ia sangat kesulitan untuk mengetahui
pemiliknya, maka dalam hal ini ia bisa menyerahkan barang tersebut
ke Baitul Mal supaya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Atau
bisa juga ia menyedekahkan barang tersebut atas nama pemiliknya
dengan niat apabila pemiliknya datang maka ditawarkan kepadanya
apakah ia setuju jika barang tersebut disedekahkan sehingga ia
mendapatkan pahala sedekah, atau si pemilik barang ingin supaya
barang tersebut diganti, sehingga pahala sedekah menjadi milik si
penemu barang.
168
3. Berkaitan dengan harta hasil curian atau hasil rampokan. Apabila
harta tersebut tidak diketahui siapa pemiliknya, maka harta tersebut
bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum, atau bisa juga
disedekahkan kepada fakir miskin. Dan bagi orang yang menerima
sedekah dari harta tersebut, halal baginya untuk memanfaatkannya,
karena harta tersebut pemiliknya tidak diketahui, maka dianggap
tidak ada pemiliknya.
4. Seseorang yang meninggal dunia sedangkan ahli warisnya tidak
diketahui, maka harta warisannya dimasukkan ke Baitul Mal untuk
dimanfaatkan dalam perkara-perkata yang maslahat.
5. Seseorang yang akan melangsungkan pernikahan namun tidak
diketahui siapa walinya, maka ia dianggap seorang yang tidak punya
wali. Sehingga ia dinikahkan oleh wali hakim
169
Kaidah Kedua belas
ق ب ب رحمان ه ئاا ق بحل أوان ه عوح منح ت عجل شي ح
Barangsiapa Tergesa-Gesa Ingin Mendapatkan Sesuatu Sebelum Datang
Waktunya Maka Ia Mendapatkan Hukuman Dengan Tidak Mendapatkan Apa
Yang Ia Inginkan Tersebut
Kaidah ini menjelaskan tentang ‘iqâb (hukuman) yang didapatkan oleh
seseorang yang terburu-buru mendapatkan sesuatu yang ia inginkan
sebelum datang waktunya. Ia mendapatkan hukuman berupa kebalikan
dari apa ia inginkan itu. Demikian itu karena manusia adalah hamba yang
dikuasai oleh Allah Swt dan berada di bawah perintah dan hukum-Nya.
Maka sudah sepantasnya bagi manusia untuk tunduk kepada hukum yang
telah digariskan oleh-Nya.
Allah Swt berfirman :
م وما كان لم ن أمره ورسوله أمر ا أن يكون لم الية م نة إذا قضى الل ن ول مؤم ؤم
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. [al-Ahzâb/33:36]
Oleh karena itu, apabila seseorang tergesa-gesa mendapatkan perka-
ra-perkara yang menjadi konsekuensi hukum syar’i sebelum terpenuhi
sebab-sebabnya yang shahîh, maka ia tidak akan mendapatkan manfaat
sedikitpun, bahkan ia memperoleh hukuman berupa kebalikan dari yang ia
inginkan.
Di antara implementasi dan contoh penerapan kaidah ini adalah
sebagai berikut :
1. Barangsiapa tergesa-gesa untuk mendapatkan warisan dari orang
tuanya atau orang lain dengan cara membunuh orang tuanya atau
orang lain yang akan memberikan warisan kepadanya itu, maka ia
mendapatkan ‘iqâb (hukuman) berupa diharamkan dari mendapatkan
warisan tersebut. Demikian itu dikarenakan ia telah tergesa-gesa
170
untuk mendapatkan warisan dengan cara yang haram maka ia
diharamkan dari mendapatkan warisan tersebut.
2. Tentang orang yang mendapatkan wasiat, yang dijanjikan akan
mendapatkan suatu harta tertentu setelah meninggalnya si pemberi
wasiat. Apabila ia tergesa-gesa untuk mendapatkannya dengan mem-
bunuh si pemberi wasiat maka ia tidak berhak mendapatkan wasiat
tersebut.
3. Tentang mudabbar, yaitu budak yang dijanjikan bebas oleh tuannya
setelah tuannya tersebut meninggal. Apabila si budak tersebut
tergesa-gesa untuk mendapatkan kebebasan dengan cara membunuh
tuannya, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan kebebasan dari
statusnya sebagai budak.
4. Seorang laki-laki yang berada dalam keadaan sakit parah yang
menyebabkan kematiannya. Apabila sebelum meninggal ia mencerai-
kan isterinya dengan tujuan supaya isterinya tidak mendapatkan
warisan darinya, maka dalam hal ini si isteri tersebut tetap berhak
mendapatkan warisan darinya, meskipun si isteri tersebut telah
selesai dari masa iddah, selagi belum menikah lagi dengan laki-laki
lain. Dan ada pula yang berpendapat bahwa si isteri tersebut tetap
mendapatkan warisan meskipun telah menikah lagi dengan laki-laki
lain karena ia mempunyai udzur.
5. Termasuk juga dalam implementasi kaidah ini adalah bahwasanya
orang yang tergesa-gesa untuk melampiaskan syahwatnya di dunia
dalam perkara-perkara yang haram, maka ia dihukum dengan tidak
mendapatkannya di akhirat selama belum bertaubat di dunia.170
Allah Swt berfirman :
ن يا تم طي باتكم ف حياتكم الد وي وم ي عرض الذين كفروا على النار أذهب ا واستمت عتم ب
170 Misalnya orang laki-laki yang memakai pakaian sutra di dunia maka ia
diharamkan dari memakainya di akhirat, dan orang yang minum khamr di dunia diharamkan dari meminumnya di akhirat. Sebagaimana sabda Nabi Saw : “Barangsiapa memakai sutra di dunia maka ia tidak akan memakainya di akhirat. Dan barangsiapa meminum khamr maka ia tidak akan meminumnya di akhirat”. [HR. al-Bukhâri dan Muslim]
171
Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka
(kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang
baik dalam kehidupan duniamu (saja) dan kamu telah bersenang-
senang dengannya.171
Berkebalikan dengan kaidah ini, maka barangsiapa meninggalkan
suatu kejelekan dikarenakan mengharap keridhaan Allah Swt , maka
Allah Swt akan memberikan kepadanya suatu pengganti yang lebih
baik dari yang ia tinggalkan tersebut.
171 QS al-Ahqâf:20
172
Kaidah Ketiga belas
ثحل يات مب ثحل ها والحمت قومات ب ق يحمت ها من الحم تضح
Barang Mitsliyat Diganti Dengan Barang Semisalnya Dan Mutaqawwamat
Diganti Dengan Harganya
Kaidah ini berkaitan dengan kasus seseorang yang mempunyai tang-
gungan untuk mengganti barang orang lain dikarenakan barang tersebut ia
rusakkan, ia hilangkan, atau karena sebab lainnya. Dalam hal ini, timbul
permasalahan, apakah ia mengganti dengan barang yang semisal ataukah
cukup mengganti dengan harga tertentu senilai barang yang harus diganti
tersebut.
Maka, kaidah ini menjelaskan bahwa apabila barang yang dirusakkan
tersebut berupa mitsliyat maka diganti dengan barang yang semisal deng-
annya. Dan apabila barang yang dirusakkan tersebut berupa mutaqa-
wwamat maka diganti dengan nilai barang tersebut.
Namun, para Ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan batasan
mitsliyat dan mutaqawwamat. Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa
mitsliyat adalah semua barang yang diperjual-belikan dengan ditakar atau
ditimbang. Sedangkan mutaqawwamat adalah barang-barang yang diper-
jualbelikan selain dengan ditakar atau ditimbang.
Para Ulama’ yang lain berpendapat bahwa mitsliyat itu lebih umum
daripada batasan di atas. Mereka berpendapat bahwa mitsliyat adalah
segala sesuatu yang mempunyai misal yang serupa atau mirip dengannya.
Sedangkan mutaqawwamat adalah barang-barang selain kategori tersebut.
Pendapat inilah yang benar dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut :
1. Rasulullah Saw pernah meminjam seekor onta, kemudian beliau ingin
mengembalikan ganti onta tersebut kepada pemiliknya. Namun, beliau
tidak mendapatkan onta yang semisal. Maka beliau memberikan ganti
berupa onta yang lebih baik dari onta tersebut.
Hadits ini menunjukkan bahwa mitsliyat tidak terbatas pada barang-
barang yang diperjual-belikan dengan ditimbang atau ditakar semata.
173
2. Rasulullah Saw pernah memerintahkan Aisyah R.a untuk menganti
piring Zainab binti Jahsy, dikarenakan Aisyah R.a telah memecahkan
piringnya.
3. Karena memberikan ganti dengan barang yang semisal atau serupa
terkandung di dalamnya dua hal bagi pemilik barang, yaitu
didapatkannya nilai barang yang diganti dan terealisasinya maksud
pemilik barang dalam manfaat barang tersebut. Maka, inilah pendapat
yang benar berkaitan dengan batasan mitsliyat dan mutaqawwamat.
Di antara implementasi dan penerapan kaidah ini adalah sebagai
berikut :
1. Berkaitan dengan perusakan barang. Seseorang yang merusakkan
barang orang lain dan sedangkan barang tersebut termasuk kategori
mitsliyat, maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa.
Namun, apabila barang tersebut termasuk kategori mutaqawwamat
maka ia cukup mengganti dengan nilai harga barang tersebut.
2. Berkaitan dengan kasus pinjam meminjam. Seseorang yang meminjam
barang orang lain untuk dimanfaatkan, misalnya ia meminjam
sejumlah makanan atau selainnya untuk memenuhi kebutuhannya,
maka ia wajib mengembalikan barang tersebut. Apabila barang itu
termasuk kategori mitsliyat maka ia wajib mengembalikan dengan
barang yang serupa. Dan apabila barang tersebut termasuk kategori
mutaqawwamat maka ia cukup mengembalikan dengan nilai harga
barang tersebut.
3. Seseorang yang dititipi barang oleh orang lain. Kemudian barang
tersebut hilang dikarenakan keteledorannya, atau ia berlebih-lebihan
dalam menggunakan barang tersebut. Maka, ia wajib mengganti
barang tersebut. Apabila barang tersebut termasuk kategori mitsliyat
maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa. Dan apabila
barang tersebut termasuk kategori mutaqawwamat maka ia cukup
mengganti dengan nilai harga barang tersebut.
4. Seseorang yang menyembelih udhiyah (hewan kurban). Kemudian ia
memakan semua daging hewan kurbannya tersebut tanpa menyede-
kahkan sedikitpun. Maka, dalam hal ini ia wajib bersedekah dengan
daging hewan sejenis sekedar jumlah yang wajib sebagai ganti atas
kewajibannya bersedekah dengan daging hewan kurban tersebut.
174
Kaidah keempat belas
ةح ب اإل ل و ال ت ال ام ع امل ف ل صح األ
“Hukum asal dalam muamalah adalah halal dan mubah”
Manusia akan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Apabila seseorang merasakan lapar pasti akan berusaha untuk mendapat-
kan makanan untuk menghilangkan laparnya, dan ketika seseorang
meraskaan kantuk yang amat sangat pasti ia membutuhkan waktu untuk
Istirahat. Selain memenuhi kebutuhan fisik manusia juga membutuhkan
pemenuhan spriritual, orang butuh ketenangan. Dalam upaya memenuhi
kebutuhan spiritual aktifitas manusia di dunia ini bisa digolongkan menjadi
dua yaitu:
[1] Aktivitas ibadah (pemenuhan kebutuhan spiritual)
[2] Aktivitas non Ibadah (pemenuhan kebutuhan fisik
Untuk memenuhi kebutuhan spiritual atau aktivitas ibadah, Nabi Saw
memberi batasan, semua kegiatan ibadah harus ada perintah atau anjuran
dari Allah dan rasulnya. Tanpa perintah atau anjuran dari Allah dan rasul-
nya, kegiatan ibadah itu tidak diterima. Manusia dalam upayanya
memenuhi kebutuhan spriritualnya berusaha untuk mendapatkan kebaha-
giaan di dunia. Bukan hanya didunia saja manusia juga berpikir bagaimana
kehidupan setelah mati nanti. Maka ini menjadi pertanyaan besar dalam
benak setiap orang. Orang Islam sudah diberikan petunjuk dalam Al Qur’an
tentang hal itu. Sehingga tidak ada cara yang bisa diikuti kecuali mengikuti
petunjuk al Quran dan hadits nabi.
Karena itulah, Nabi Saw mengingatkan kepada umatnya, bahwa setiap
aktifitas keagamaan, tanpa panduan dan petunjuk dari beliau, tidak akan
diterima. Beliau bersabda,
ل عمال ليس عليه أمران ، ف هو رد من عم
175
Siapa yang melakukan amalan ibadah yang tidak ada ajarannya dari kami,
maka amal itu tertolak. 172
Berbeda dengan aktivitas yang kedua, aktivitas non ibadah atau
aktifitas pemenuhan kebutuhan fisik, manusia diberi hak untuk berkreasi
dan berinovasi, melakukan kegiatan apapun yang bisa memberikan
manfaat dan kebaikan bagi dirinya, selama tidak melanggar larangan-
larangannya.
Bahkan Nabi Saw menegaskan, bahwa umatnya lebih mengetahui
tentang urusan dunia mereka.
Dalam hadis yang sangat terkenal, yang menyatakan,
م اك ي ن د ر و م ب م ل ع أ م ت ن أ
“Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.”
Hukum Asal
Allah ciptakan dunia dan seisinnya ini, dan Allah mengizinkan bagi
manusia untuk memanfaatkannya. Allah berfirman,
هو الذي خلق لكم ما ف األرض جيع ا
Dialah Dzat yang menciptakan untuk kalian, semua yang ada di muka bumi
ini.173
Imam as-Sa’adi mengatakan,
يع , ورحة بكم برا لكم، خلق : أي نتفاع , األرض على ما ج ستمتاع لال والعتبار وال
Artinya, dia ciptakan semua yang ada di muka bumi ini untuk kalian, sebagai
kebaikan dan kasih sayang yang diberikan untuk kalian. Agar dimanfaatkan,
dinikmati, dan diambil pelajaran.174
172 HR. Muslim
173 QS Al Baqarah ; 29
174 Syaikh Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’adi, Tafsir as-Sa’adi, hal. 48
176
Sehingga apapun di alam ini, boleh dimanfaatkan manusia.
Hanya saja, pemanfaatan mereka dibatasi hak kepemilikan. Sehingga
mansia hanya bisa memanfaatkan barang, jika:
[1] Barang itu milik sendiri.
[2] Mengadakan transaksi dengan orang lain, hingga terjadi perpindahan
kepemilikan.
Jika kita mengambil hak orang lain tanpa transaksi yang dibenarkan,
berarti termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Allah sampaikan ini dalam al-Quran,
لباطل إل أن تكون تارة عن ت راض ي أي ها الذين آمنوا ل نكم ب تكلوا أموالكم ب ي نكم مHai orang-orang yang beriman, janganlah kalian makan harta sesama
kalian dengan cara yang batil, selain melalui perdagangan yang saling ridha
diantara kalian. 175
Berdasarkan ayat ini, manusia diberi kebebasan untuk melakukan
transaksi yang menjadi syarat perpindahan kepemilikan, selama di sana
ada unsur Saling ridha. Baik transaksi sepihak (tabarru’at), seperti
sedekah, hibah, infaq, dst. atau transaksi dua pihak (muawwadhat), seperti
jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, dst.
Disamping syariat memberikan kebebasan untuk melakukan
transaksi, syariat juga memberikan batasan beberapa bentuk transaksi
yang dilarang, sekalipun itu dilakukan saling ridha. Karena keterbatasan
akal manusia, sehingga terkadang mereka tidak tahu unsur kedzaliman
yang ada pada transaksi itu.
Seperti transaksi riba. Bagi sebagian masyarakat, riba tidak dianggap
kedzaliman karena dilakukan saling ridha. Anggapan ini berasal dari
keterbatasan mereka dalam memahami kedzaliman yang sebenarnya. Yang
jika ini dilaranggar, akan merusaka kehidupan manusia.
Dan sebagai gantinya, Allah perbolehkan mereka melakukan jual beli.
175 QS. An-Nisa: 29
177
Allah berfirman,
الب يع وحرم الر ب وأحل الل
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.176
Untuk itu, ada 3 catatan untuk Jual Beli yang Haram
1. Jual beli yang haram itu hanya sedikit. Karena hukum asal jual beli
adalah mubah
2. Muamalat yang diharamkan, tujuan besarnya untuk menghindari
setiap unsur kedzliman dan mewujudkan kemaslahatan di
masyarakat.
3. Jual beli yang Allah haramkan, kebanyakan diganti dengan transaksi
yang halal. Seperti, Allah larang judi dan diganti dengan lomba. Allah
larang riba, diganti dengan jual beli.
Akad Transaksi
Model transaksi yang dipraktekkan di zaman para sahabat adalah
melanjutkan bentuk transaksi yang sudah makruf di kalangan masyarakat
sejak masa silam. Artinya, transaksi itu sudah ada sebelum Nabi Saw
diutus.
Rasulullah Saw hanya membatasi atau melarang, jika di sana ada
unsur pelanggaran.
Kita bisa lihat beberapa kasus transaksi berikut,
[1] Transaksi salam
Transaksi ini terbiasa dilakukan penduduk Madinah, sebelum beliau
tiba di Madinah. Artinya, transaksi ini sudah ada sejak zaman jahiliyah.
Ketika Nabi Saw datang, beliau memberi batasan, agar transaksi salam
tidak melanggar syariat.
Ibnu Abbas menceritakan,
176 QS. al-Baqarah: 275
178
المدينة ، والناس يسلفون ىف الثمر العام –صلى هللا عليه وسلم –قدم رسول الل من أسلف ىف تر » -صلى هللا عليه وسلم-ال رسول الل أو ثالثة ، ف ق –والعامني
« ف ليسلف ىف كيل معلوم ووزن معلوم إل أجل معلوم
Nabi Saw tiba di Madinah, sementara mereka telah melakukan
transaksi salam dalam jual beli kurma, untuk masa setahun, dua tahun, atau
tiga tahun. Beliau Saw bersabda, “Siapa yang melakukan transaksi salam,
hendaknya dia tentukan nilai takarannya, timbangannya, dan batas
waktunya. ” 177.
Nabi Saw bukan orang yang menciptakan transaksi salam. Beliau
hanya memberi batasan.
[2] Jual beli araya
Menukar kurma kering di tangan dengan kurma basah yang masih di
tangkai, dengan cara perkiraan. Dan ini jelas riba, karena pasti ada selisih.
Sebelum islam datang ke Madinah, transaksi ini biasa dilakukan para
masyarakat. Ketika Nabi Saw datang, beliau memberi keringanan maksimal
5 wasaq.
Abu Hurairah r.a mengatakan,
ها, فيما دون –صلى هللا عليه وسلم –أن رسول الل رص رخص ف ب يع العراي ب خسة أوسق, أو ف خسة أوسق
Bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan untuk jual beli araya dengan
perkiraan, selama tidak melebihi 5 wasaq. 178
Nabi saw tidak menciptakan akad transaksi. Yang beliau lakukan
adalah membatasi, agar tidak melanggar larangan.
Dengan demikian, termasuk ungkapan yang salah ketika ada orang
yang menganjurkan,‘Akad dan Transaksi harus sesuai sunnah’. Sekali lagi,
ini kalimat yang salah. Karena akad dan transaksi bukan masalah ibadah.
Tidak Melanggar
177 HR. Muttafaq ‘alaih
178 HR. Muttafaq ‘alaih
179
Mengingat hukum asal transaksi adalah mubah, maka alam melakukan
transaksi, tugas seorang muslim adalah memastikan bahwa transaksi yang
dia lakukan, tidak melanggar larangan.
Karena itu, dalam pelaksanaan akad, orang tidak dituntut untuk
mendatangka dalil, apakah akadnya pernah ada di zaman Nabi SAW atau
tidak ada. Karena akad bukan masalah ibadah. Sekalipun akad itu tidak ada
contohnya di masa silam, akad ini bisa diterima, selama tidak melanggar
syariat. Sehingga yang lebih penting untuk dia ketahui bukan bagaimana
cara membuat akad, tapi apakah ada larangan dalam akad itu.
Syaikhul Islam mengatakan,
ن إ يلها ف ل ت ا و يه ر ت ون م ل ع ا ي و ن و ك ي ل د او ق ع مبينه ت عاقدوا إذا المسلمني فإن ني اقد ح الع ان ن ك إ ا و يه ر وا ت د اق ع ت ي ا ل ذ ا إ ون يصح ح ه م ل ع ا أ يم ف يع ا اء ج ه ق الف
يد ل ق ت ل و اد ه ت ج ا ل يلها ل ت م ل ع ن ي ك ي ن ل ذ إ
Kaum muslimin, ketika mereka melakukan akad, mereka tidaktahu apakah
itu halal ataukah haram. Dan para ulama semuanya – menurut yang saya
tahu – menilai sah transaksi ini. Selama mereka tidak melakukan transaksi
yang haram. Meskipun orang yang melakukan akad, ketika dia dibolehkan
untuk berakad, dia tidak tahu kehalalannya, baik dengan ijtihad maupun
dengan mengikuti ulama.
Kemudian Syaikhul Islam menegaskan, andai semua akad harus
berdasarkan dalil, maka banyak akad yang tidak sah sampai orang itu tahu
dalilnya,
وت ب ث د ع ب ل إ د ق ع ح ص ي ل ود ق الع ة ح ص ا ف ط ر ش اص ال ع ار ن الش ذ إ ان و ك ل ف ق ال ف اد ص د ق ان ن ك إ و آث ه ن إ اد ف ه ت ج ا ي غ ب م اك ال م ك و ح ا ل م ك ه ن ذ إ
Jika izin khusus dari syariat menjadi syarat sah akad, maka setiap akad yang
dilakukan manusia menjadi tidak sah, sampai dia yakin ada dalilnya.
180
Sebagaimana ketika ada hakim yang memutuskan tanpa melalui ijtihad,
maka dia berdosa, meskipun bisa jadi sesuai kebenaran.179
Untuk itu, manusia boleh mengadakan model akad yg baru selama
tidak ada unsur pelanggaran syariat. Akad dinilai sah dengan cara apapun
yang menunjukkan keridhaan.
179 Ahmad bin Abd Halim, Syeikh Islam Ibn Taimiyah, 2002, al-Qawaid an-
Nuraniyah al Fiqhiyah, Dar Ibn al-Jawzi, al-Dammam, hal. 206
181
Kaidah Kelima belas
ل عح و ف ول أ ن ق ا م ه ي ح ل ع ل د ا ي ة مب ل ام ع امل د ق ع ن ت
“Muamalah dinilai sah, dengan ucapan maupun perbuatan apapun yang
menunjukkan adanya transaksi”
Ungkapan lain untuk kaidah masalah akad,
ب ود ق الع ف ةب الع و د اص ق ل
و اظ ف ل أل ب ل ان ع ال
ان ب ال
“Inti akad berdasarkan maksud dan makna akad, bukan berdasarkan lafadz
dan kalimat”180 .
Salah satu diantara rukun jual beli adalah adanya shighat akad,
yaitu ucapan atau tindakan atau isyarat dari penjual dan pembeli yang
menunjukkan keinginan mereka untuk melakukan transaksi tanpa
paksaan.
Jika Shighat ini disampaikan secara lisan, para ulama menyebutnya
dengan istilah: ijab qabul. Sementara shighat dalam jual beli disampaikan
dalam bentuk perbuatan atau isyarat, disebut Bai’ Mu’athah.
Saling Ridha
Saling ridha antara penjual dan pembeli menjadi syarat penting dalam
transaksi jual beli. Karena ini yang memastikan bahwa dalam akad tersebut
tidak ada unsur kedzaliman.
Allah berfirman,
لباطل إل أن تكون تارة عن ت راض نكم ب ي أي ها الذين آمنوا ل تكلوا أموالكم ب ي نكم م
180 Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah al-Qawaid al-Kulliyah,
hal. 147
182
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. 181
Dari Abu Said al-Khudri, Nabi SAW juga bersabda,
ا الب يع عن ت راض إن
Jual beli harus dilakukan saling ridha. 182
Shighat
Ulama berbeda pendapat dalam masalah shighat dalam jual beli;
Pertama, dalam madzhab syafiiyah harus dinyatakan secara lisan, artinya
harus ada ijab qabul.
Mereka beralasan, bahwa saling ridha merupakan syarat
mutlak dalam jual beli. Sementara keridhaan termasuk amal hati.
Tidak ada yang tahu kecuali Allah dan si pemilik hati. Orang lain
baru tahu, jika dia mengungkapkanya. Karena itulah, harus
diucapkan secara lisan. Harus ada ijab qabul. Tanpa ucapan lisan,
berarti meraba isi hati orang lain. Dan itu tidak bisa diterima.
Kedua, madzhab mayoritas ulama, di kalangan Hanafiyah, Malikiyah,
Hambali da sebagian ulama Syafiiyah menyatakan bahwa dalam
transaksi jual beli tidak harus diucapkan. Artinya akad sah
dilakukan dengan cara apapun, yang penting masing-masing
saling paham yang menunjukkan keridhaan.
Ibnu Qudamah mengatakan,
ب ه ذ ول و ب الق اب و ي ل ب ل إ ح ص ي ل ع ي الب ن هللا أ ه ح ي ر ع اف الش ب ه ذ م ان ول ثل ق م ل إ ه اب ح ص أ ض ع ب
Pendapat Imam Syafi’I : bahwa jual beli tidak sah kecuali jika
masing-masing mengucapkan ijab qabul. Sementara sebagian
syafiiyah mengikuti pendapat kami.
181 QS An-Nisa: 29
182 HR. Ibn Majah
183
Kemudian beliau melanjutkan,
ل إ يه وع ف ج الر ب ج و ه ف ت ي ف ي ك ني ب ي ل و ع ي الب ل ح هللا أ ن ا أ ن ل و ع م ه اب ح ص أ ن ع ل م و ل س يه و ل ى هللا ع ل ص ب الن ن ل ع ق ن ي ل و ….ف ر الع ف ك ل ا ذ و ل م ع ت س ا و ل ل و و ب الق اب و ي ال ال م ع ت س م ا ه ن ي ب ع ي الب ع و ق و ة ر ث ك ه ل ق ن جب و ا ل ط ر ش ك ل ذ ان ك و ل ا و ع ائ ش ال ق ن ل ق ن م ل ات اع ي ب
Kami berpendapat bahwa Allah menghalalkan jual beli, dan Dia
tidak menjelaskan tata caranya. Sehingga mengenai tata caranya
wajib kita kembalikan kepada standar masyarakat….. dan tidak
ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari
para sahabat tentang penggunaan ijab qabul, padahal jual beli
sangat sering terjadi di antara mereka. Andai mereka selalu
menggunakan ijab dan qabul tertentu dalam jual beli, tentu akan
banyak dinukil sampai kita. Dan itu jika itu syarat jual beli,
seharusnya dinukil ke kita.183
Ad-Dasuqi – ulama Malikiyah – mengatakan,
و ل أ و ق ن ، م ل و ة أ غ ل ل د اء و ا ، س ف ر ا ع ض ى الر ل ع ل د ا ي ب ع ي الب د ق ع ن ي اه د ح أ ن م و ا أ م نه ة م ار ش إ و ة أ اب ت ك
Transaksi jual beli terhitung sah dengan pernyataan akad apapun
yang menunjukkan saling ridha secara urf. Baik sesuai makna
bahasa ataupun tidak. Baik berupa ucapan, tulisan, isyarat ucapan
atau tulisan atau salah satunya. 184
Ridha
183 Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah, 1997, al-Mughni vol 4, Dar Alamul
Kutub, Riyadhi, hal 4
184 Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait , 1983, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, vol 9, Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, Kuwait; hal 12
184
Kapan seseorang disebut telah ridha? Sebagai acuan untuk
mengetahui batasan ridha.
Para ulama menyebutkan, rukun saling ridha ada 2:
[1] Ilmu (mengetahui dan menyadari) dan
[2] al-ikhtiyar (tidak ada paksaan).
Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah,
اض الر ط ق س ي اه ر ك ال
Unsur paksaan, menggugurkan ridha.185 .
Penerapan Kaidah
1. Seseorang membeli makanan, dia mengatakan kepada penjual: ’Pak,
saya minta dibungkus dua..’ statusnya beli, sekalipun kalimatnya
minta.
2. Kantin kejujuran. Sekalipun tidak ada ucapan akad apapun, tetap sah
sebagai jual beli. Termasuk jual beli mu’athah.
3. Pembeli mengatakan ke penjual: Tolong bawa dulu hp saya, ini
amanah. Tunggu sampai saya ambil uangnya. Status barang ini
adalah rahn, meskipun dia bilangnya amanah. Karena amanah bisa
diambil pemiliknya kapanpun. Sementara hp ini tidak.
185 Sulaiman ar-Ruhaili, Mudzakarah Qawaid fi al-Buyu’, hal 117
185
Kaidah Keenam belas
ة ل ط ب ي ه ف صد قح ا ي م يح ف ة ال ه ج وح أ ر ر ا غ ه ي ح ف ة ل ام ع م ل ك
Semua muamalah yang gharar atau jahalah menjadi tujuan utama dalam
transaksi, statusnya batal
Secara bahasa, Gharar adalah bentuk masdar dari gharrara –
yugharriru– Taghrir yang artinya membahayakan atau seseorang
memposisikan dirinya atau hartanya di posisi bahaya, atau mengurangi.
(al-Mishbah al-Munir, 2/445)
Para ulama menyebutkan, secara umum, muamalah yang dilarang,
karena di sana mengandung salah satu dari 3 unsur: [1] Dzalim, [2] Gharar,
dan [3] Riba. Adanya unsur jahalah, membuat gharar mirip dengan judi.
Sementara judi termasuk amal perbuatan setan.
Allah berfirman,
ن عمل الشيطان ر واألنصاب واألزلم رجس م ا المر والميس ي أي ها الذين آمنوا إن فاجتنبوه لعلكم ت فلحون
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan”186
Terdapat banyak dalil dari hadis yang menunjukkan larangan gharar.
Kita akan sebutkan beberapa hadis seputar gharar, dengan harapan kita
bisa memahami makna gharar secara lebih utuh,
[1]Hadis Dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda,
نى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم عن ب يع الغرر
186 QS Al-Maidah: 90
186
Rasulullah Saw melarang jual beli gharar. (HR. Muslim 3881, Nasai 4535,
dan yang lainnya).
[2] Hadis dari Ibnu Umar r.a, beliau mengatakan,
عن عسب الفحل –صلى هللا عليه وسلم –نى النب
Nabi saw melarang jual beli sperma hewan pejantan187
[3] Hadis dari Ibnu Umar,
نى عن ب يع حبل الب لة –صلى هللا عليه وسلم – أن رسول الل
Bahwa Rasulullah Saw melarang jual beli habalil habalah.188 (HR. Bukhari
2143 & Muslim 3882).
Jual beli habalil habalah ada 2 makna:
1. Jual beli anak dari hewan yang masih dikandungan. Misal: onta A
hamil, mengandung onta B. Anak dari onta B ini dijual. Dengan
pengertian ini, jual beli yang terjadi adalah bai’ ma’dum (jual beli
barang yang belum ada).
2. Jual beli dengan batas pembayaran ditentukan melalui lahirnya anak
dari onta yang masih ada di kandungan. Berdasarkan pengertian ini,
jual beli yang terjadi adalah jual beli sampai batas yang tidak jelas.189.
Kata Ibnu Umar,
كان الرجل يبتاع الزور إل أن تنتج الناقة ث تنتج الت بطنها
Bahwa di zaman Jahiliyah, orang jual onta sampai onta bunting melahirkan
anaknya, kemudian anak ini melahirkan anaknya.
[4] Hadis dari Abu Said al-Khudri r.a ,
187 HR. Ahmad
188 HR Mutafaqun Alaih
189 Musthofa Dib Bugha, Ta’liqat Shahih Bukhari, ,vol 2, hal 753
187
نى عن المنابذة ، وهى طرح الرجل ث وبه –صلى هللا عليه وسلم –أن رسول الل لب يع إل الرجل ، ق بل أن ي قل به ، أو ي نظر إليه ، ونى عن المالمسة ، ب
والمالمسة لمس الث وب ل ي نظر إليه
Bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli munabadzah, yaitu seorang
menjual kain ke orang lain dengan cara dilempar. Jika kena berarti dibeli
tanpa melihat dulu kualitas kainnya. Beliau juga melarang jual beli
mulamasah. Bentuknya, seseorang membeli kain dengan cara disentuh
sambil memejamkan mata.190
[5] Dari Anas bin Malik r.a ,
ى قالوا وما نى عن ب -صلى هللا عليه وسلم-أن رسول الل يع الثمرة حت ت زهيك ل مال أخ الثمرة فبم تستح . ف قال إذا منع الل ى قال تمر ت زه
Bahwa Rasulullah saw melarang jual beli buah sampai dia mengalami
zuhuw. Para sahabat bertanya, “Apa ciri zuhuw?” jawab Nabi saw ,“Sampai
memerah. Karena ketika Allah taqdirman tidak jadi berbuah, lalu dari mana
dia bisa mengambi harta saudaranya?.” 191
Dari semua hadis di atas, jika kita simpulkan, semua jual beli yang
dilarang Nabi saw muaranya kembali kepada satu kata, yaitu adanya
ketidak jelasan. Modal dan uang yang diberikan oleh penjual dan pembeli,
digantikan dengan sesuatu yang tidak jelas. Bisa jadi untung besar, atau
bisa jadi sangat merugikan.
[1] Pada jual beli sperma hewan pejantan, terjadi ketidak jelasan,
apakah nanti sperma ini bisa membuahi ovum betina ataukah tidak.
Artinya, petani yang beli sperma pejantan, uang yang dia bayarkan
digantikan dengan peluang kehamilan.
[2] Pada jual beli habalul habalah, unsur ghararnya sangat jelas. Baik
yang terkait waktunya atau bendanya. Baik penjual maupun
190 HR. Bukhari
191 HR. Muslim
188
pembeli tidak akan pernah tahu masa depan bayi hewan yang ada di
kandungan.
Sehingga uang yang dibayarkan pembeli digantikan dengan peluang
masa depan janin.
[3] Pada jual beli mulamasah dan munabadzah, unsur ketidak
jelasannya sangat nampak. Jika kainnya bagus, dia bisa dapat
untung. Jika jelek, dia rugi. Sangat mirip dengan judi.
[4] Pada jual beli ijon, uang yang dibayarkan dipertaruhkan. Karena
bisa jadi pohon ini berbuah banyak, sehingga dia untung besar. Atau
sebaliknya, gagal panen, sehingga dia rugi besar.
Karena itu, sebagian ulama, diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
memberikan definisi tentang gharar dengan pengertian,
و ه ر ر الغ ةب اق ول الع ه ج ال
“Gharar adalah Jual beli yang tidak jelas konsekuensinya” 192
Karena inti dari gharar adalah adanya jahalah (ketidak jelasan), baik
pada barang maupun harga barang, maka gharar sangat mirip dengan judi.
Sama-sama majhul alaqibah (tidak jelas konsekuensinya). Bedanya, judi
terjadi pada permainan. Sementara gharar terjadi dalam transaksi.
Meskipun bahaya judi lebih besar, karena ini pemicu permusuhan dan
saling membenci, serta menghalangi orang untuk mengingat Allah.
Sehingga diharamkan tanpa kecuali. Berbeda dengan gharar, di sana masih
ada bentuk yang ditoleransi syariat. Karena semua transaksi kita, tidak ada
yang 100% terbebas dari ketidak-jelasan.
Bentuk Gharar
Bentuk tidak jelas pada barang
(1) Tidak tahu barang sama sekali
(2) Tahu barangnya, buta kriteria
(3) Jual beli barang yang belum dimiliki. Tidak jelas, apakah bisa
diserahkan atau tidak
192 Ahmad bin Abd Halim, Syeikh Islam Ibn Taimiyah, 2002, al-Qawaid an-
Nuraniyah al Fiqhiyah, hal. 116)
189
(4) Penjual tidak bisa dipastikan bisa menyerahkan barang. Seperti
menjual barang hilang
Bentuk tidak jelas pada harga
(1) Tidak jelas harganya sama sekali. Misal: Kujual mobil ini, harganya
tentukan sendiri. Mereka pisah dan belum ditentukan harganya.
(2) Dikasih pilihan 2 harga, dan ketika pisah, belum ada pilihan. Baik tidak
jelas di depan atau tidak jelas di belakang.
(3) Tidak jelas masa pelunasannya.
Semua bentuk gharar di atas, menyebabkan ketidak jelasan untung
ruginya. Bisa salah satunya lebih diuntungkan, sementara satunya
dirugikan.
Syarat Gharar Terlarang
Hukum asal gharar dilarang. Hanya saja, ada beberapa bentuk gharar
yang diperbolehkan. Dan secara umum, batasan gharar yang terlarang
adalah sebagai berikut,
Pertama, berpengaruh kepada kelanjutan jual beli dan memungkinkan
dihindari. Ini terjadi jika ghararnya besar dan tidak bisa
ditoleransi. Jika ghararnya kecil, tidak terlalu diperhitungkan
dampaknya, tidak pengaruh. Seperti, detail isi mesin untuk jual
beli kendaraan bermotor, atau detail pondasi rumah.
Ibnul Qoyim menjelaskan,
ة ن صح عا م ان ن م ك ي نه ل از م ت ح ال ن ك ي و ل يا أ س ي ان ا ك ذ ر إ ر الغ و هن از م ت ح ن ال ك ي ي ذ ال ي ث ك ال ف ال ، ب د ق الع
“Gharar jika hanya sedikit atau tidak mungkin dihindari, tidak
mempengaruhi keabsahan jual beli. beda dengan gharar yang
besar dan memungkinkan untuk dihindari.” 193
Al-Qarrafi menyebutkan,
193 Al-Jauziyah, Ibnu Qoyyim, Zadul Ma'ad, Pustaka Azzam, Jakarta: 2000, Cet.
II,, Vol 5. Hal 820
190
ا، اع ج ع إ ن ت ي م ث ام : ك س ق ة أ ث ال ث – ع ي الب ف ي أ –ة ال ه ال ر و ر الغ ة، ب طن ال ق و ار الد اس س أ ا ، ك اع ج ز إ ائ يل ج ل ق ، و اء و ال ف ي الط ك ؟ان لث ب م أ ل و أل ب ق ح ل ي ل ، ه يه ف ف ل ت خ ط ا س و ت م و
Gharar dan jahalah – dalam jual beli – ada 3 macam:
[1] Gharar banyak, hukumnya terlarang dengan sepakat ulama.
Seperti: burung yang ada di udara.
[2] Gharar sedikit, hukumnya boleh dengan sepakat ulama.
Seperti: pondasi rumah dan jenis kapas kain jubah
[3] Gharar pertengahan, hukumna diperselisihkan ulama. Apakah
dimasukan yang pertama atau kedua.? 194
Batasan:
Al-Baji menjelaskan,
ه ف ب وص د ي ق ح الع ب ص أ ت ح د ق ى الع ل ب ع ل ا غ م و ه ي ث الك ر ر الغ
Gharar yang banyak adalah gharar yang mendominasi akad, sehingga akad
ini dikenali dengan ketidak jelasan itu. 195
Kedua, menjadi tujuan utama transaksi
Jika gharar bukan tujuan utama transaksi, namun hanya
mengikuti keberadaan transaksi, hukumnya dibolehkan.
Ada kaidah menyatakan,
م ك ال بع ف ت د و ج الو ف ابع الت
Sesuatu yang keberadaannya hanya sebagai pengikut (tabi’) maka
status hukumnya juga hanya sebagai pengikut.
Sebagai contoh:
194 Abidin, Zainal. 1959. Al-Furuq. Yogyakarta: Maktabah Al-Munawwir. Vol
3, hal 265
195 Abi Walid Sulaiman Bin Kholaf Bin Sai’d Ayyub Al-Bajiy, 1999, Al-Muntaqa Syarah Muwattha’ Malik vol 5,, Beirut Lebanon : Daar Kitabu Al-‘Ulmiyah, hal 41
191
Tidak boleh menjual janin yang ada di kandungan induknya.
Karena ketidak jelasan janin merupakan tujuan utama transaksi.
Namun Boleh menjual hewan betina yang bunting, meskipun
dengan harga lebih mahal, karena bunting. Sehingga harga janin,
sudah jadi satu dengan harga induk. Jual beli ini dibolehkan,
karena ketidak jelasan janin, sifatnya hanya mengikuti.
Dalam kaidah Fikih dinyatakan oleh al-Kurkhi,
ا د ص ل ق ط ب ي ان ن ك إ كما و ح عا و ب ت يء الش ت ب ث د ي ق ه ن أ ل ص األ
Hukum asalnya, terkadang ada sesuatu dibolehkan karena
mengikuti, meskipun batal jika jadi tujuan utama. 196.
Ketiga, bukan kebutuhan umum
Gharar yang itu menjadi kebutuhan umum, dibolehkan.
Semua jual beli yang tidak bisa didetailkan luar dalamnya,
sementara jual beli itu menjadi kebutuhan umum, termasuk
dalam kategori ini.
Syaikhul Islam menjelaskan,
ه، ن يه م ل ة إ اج و ال دع ا ت يم ف ص خ ر ك ل ذ ل ، ف ب ن الر ل م ق أ ر ر الغ ة د س ف م و را ر ه غ ن و ك ر ر ن ض ررا م ض د ش أ ه ي ر ت ن إ ف
Mafsadah gharar lebih ringan dari pada riba. Karena itu
dibolehkan untuk gharar karena menjadi kebutuhan umum, yang
itu tidak ada dalam riba. Karena riba lebih berbahaya dari pada
keberadaan gharar. 197
Keempat, hanya pada akad muawadhah
Gharar pada akad tabarru’, tidak diperhitungkan sama sekali.
Akad muawwadhat: akad komersial
Akad tabarru’: akad sosial.
196 Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fiqh, hal. 340
197 Ahmad bin Abd Halim, Syeikh Islam Ibn Taimiyah, 2002, al-Qawaid an-Nuraniyah al Fiqhiyah, hal 140
192
Gharar yang terlarang, hanya pada akad muawwadhat.
Sementara gharar pada akad sosial, tidak dihitung.
Sebagai contoh, si A menawarkan ke si B, “Besok datang ke
rumah ya, nanti tak kasih sesuatu yang menarik.”
Kalimat si A, ‘Nanti tak kasih sesuatu yang menarik’ ini tidak
jelas. Bisa jadi makanan spesial, atau ikan hias, atau dikasih jam
tangan, atau dikasih hadiah TV. Namun tidak ada pihak yang
dirugikan, sekalipun si B datang ke sana
193
Kaidah Ketujuh belas
ام ه ن ح ع ر ر ع الض ف ر و ي رف ة الط ح ل صح م اة اع ر م ل صح األ
Pada prinsipnya, wajib memperhatikan hak kedua belah pihak dan
meniadakan setiap yang merugikan bagi keduanya.
Salah satu prinsip besar yang diajarkan dalam islam adalah prinsip
keadilan. Allah tegaskan dalam al-Quran, bahwa semua Rasul diutus
dengan membawa al-mizan (risalah keadalian).
Allah berfirman,
لقسط يزان لي قوم الناس ب لب ي نات وأن زلنا معهم الكتاب والم لقد أرسلنا رسلنا ب
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” 198.
Allah juga menegaskan bahwa Dia hanya memerintahkan manusia
untuk bertindak sesuai prinsip keadilan. Allah berfirman,
حسان لعدل وال إن الل يمر ب
“Sesungguhnya Allah hanya memerintahkan untuk bersikap adil dan berbuat
baik…”199
Keadilan yang dipelihara dalam islam, tidak hanya dalam masalah
hukum pidana, termasuk perdata, bahkan dalam semua kehidupan. Tak
terkecuali dalam masalah muamalah.
Menuntut Hak
Terkait hak dan kewajiban dalam berinteraksi dengan orang lain,
terkadang ada model manusia yang hanya semangat dalam menuntut hak,
tapi malas dalam menunaikan kewajiban. Perbuatan ini diistilahkan
dengan tathfif, orangnya disebut muthaffif.
198 QS. Al-Hadid: 25
199 QS. An-Nahl: 90
194
Model manusia semacam ini telah Allah singgung dalam Alquran,
melalui firman-Nya,
وإذا كالوهم أو وزنوهم يست وفون .ويل للمطف فني. الذين إذا اكتالوا على الناس رون يس
“Celakalah para muthaffif. Merekalah orang yang ketika membeli barang
yang ditakar, mereka minta dipenuhi. tapi apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”200.
Cerita ayat tidak sampai di sini. Setelah Allah menyebutkan sifat
mereka, selanjutnya Allah memberi ancaman keras kepada mereka. Allah
ingatkan bahwa mereka akan dibangkitkan di hari kiamat, dan dilakukan
pembalasan setiap kezaliman.
Para ulama ahli tafsir menegaskan bahwa makna ayat ini bersifat
muta’adi. Artinya, hukum yang berlaku di ayat ini tidak hanya terbatas
untuk kasus jual beli. Tapi mencakup umum, untuk semua kasus yang
melibatkan hak dan kewajiban. Setiap orang yang hanya bersemangat
dalam menuntut hak, namun melalaikan kewajibannya, maka dia terkena
ancaman tathfif di ayat ini. 201.
Keseimbangan Hak dalam Muamalah
Dalam Muamalah maliyah (terkait harta), tidak boleh ada posisi yang
dia selalu untung dan tidak ada resiko kerugian. Karena itulah, Rasulullah
saw memberikan batasan, bahwa setiap peluang keuntungan harus
diimbangi dengan resiko kerugian.
Terdapat beberapa hadis yang menyebutkan hal ini. Diantaranya,
Pertama, hadis dari Aisyah r.a,beliau mengatakan,
لضمان - عليه وسلمصلى هللا-أن رسول الل قضى أن الراج ب
200 QS. Al-Mutaffifin: 1 – 3
201 Syaikh Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’adi, Tafsir as-Sa’adi, hal. 915
195
Bahwa Rasulullah saw memutuskan, adanya keuntungan karena
menanggung resiko kerugian. 202
Kedua, hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a ,
يضمن عن ربح ما ل -صلى هللا عليه وسلم-نى رسول الل
Rasulullah Saw melarang keuntungan yang tidak ada tanggungan
resiko kerugian. 203
Dalam prakteknya,
[1] Tidak boleh ada jual beli, sementara salah satu di posisi selalu aman
dari kerugian. Seperti menjual barang yang belum diserah terimakan.
Sehingga posisi penjual sama sekali tidak menanggunng resiko
terhadap barang.
[2] Tidak boleh ada investasi, sementara pemodal di posisi aman. Hanya
bisa untung atau minimal modal kembali. Sementara mudharib
(pelaku usaha) berkewajiban menanggung ganti rugi jika usahanya
mengalami kerugian.
[3] Demikian pula dalam transaksi kafalah utang. Seorang penjamin tidak
boleh meminta bayaran. Karena dia di posisi selalu untung. Jika orang
yang ditanggung ini sesuai janjinya, maka dia untung. Dan jika tidak
sesuai janjinya, maka dia punya jaminan upah yang dibayarkan untuk
melunasi utangnya.
Lain halnya dengan transaksi sosial, yang memang tujuan awalnya
untuk beramal dan bukan mencari keuntungan. Sehingga islam
mengajarkan, orang yang hendak membantu, memang harus siap
berkorban. Sekalipun ada resiko yang harus dia terima. Seperti memberi
utang, meminjamkan barang, membantu orang lain, yang itu semua
digantikan dengan janji pahala.
Perlindungan Terhadap Konsumen
Islam menjaga hak kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Karena
itu, dalam transaksi mereka dipastikan tidak ada paksaan dan semua murni
dilakukan atas kesadaran. Islam mengatur ini dengan adanya hak khiyar.
202 HR. Ahmad
203 HR. Ahmad
196
Hak untuk memilih, antara melanjutkan transaksi ataukah membatalkan-
nya.
Ada banyak macam khiyar, dan secara umum bisa kita kelompokkan
menjadi 4:
Pertama, Khiyar Majlis
Khiyar ini wajib ada dalam setiap jual beli. Bahkan Nabi SAW
melarang orang yang akad secara sengaja menghindari khiyar
majlis.
Dari Abdullah bin Amr r.a , Nabi SAW bersabda,
يار ول يل له أن ليار ما ل ي فتقا إل أن تكون صفقة خ المت بايعان ببه خشية أن يستقيله ي فارق صاح
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar, selama tidak berpisah,
kecuali bila telah disepakati untuk memperpanjang hak khiyar
hingga setelah berpisah. Tidak halal baginya untuk meninggalkan
sahabatnya karena takut ia akan membatalkan transaksinya.” 204
Masa khiyar majlis
1. Batasan yang diberikan Nabi SAW adalah sampai mereka berpisah.
2. Bentuk perpisahan berbeda-beda tergantung fasilitas transaksinya
3. Jual beli online masa khiyar majlisnya berbeda dengan jual beli
offline
Kedua, Khiyar Syarat
Kedua pelaku akad atau salah satunya mengajukan syarat khiyar
selama batas tertentu.
Hakekat khiyar syarat adalah perpanjangan khiyar majlis,
berdasarkan kesepakatan.
Dalil
Hadis dari Amr bin Auf , bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
204 HR. Abu Daud
197
م المسلمون على أو شرط أحل حرام ا إل شرط حرم حالل شروطه
”Kaum muslimin harus mengikuti syarat (kesepakatan) diantara
mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram”205
Aturan berlaku selama masa khiyar
1. Selama rentang masa khiyar, pembeli boleh memanfaatkan barang
2. Jika terjadi resiko barang, pembeli yang menanggung resiko
3. Ketika masa khiyar berakhir maka akad menjadi lazim (mengikat)
Ketiga, Khiyar Aib
Batasan Aib yang membolehkan adanya khiyar : aib yang
mengurangi nilai barang. 206
Harus Disebutkan Aibnya
Jika barang memiliki aib yang mengurangi harganya, wajib dia
jelaskan. Jika tidak, maka terhitung menipu.
Dari Abu Hurairah r.a,
Bahwa Nabi saw pernah melewati setumpuk gandum, lalu beliau
memasukkan tangannya, ternyata ada yang basah. Kemudian
beliau bersabda,
جعلته ف وق الطعام كي ي راه الناس، من غش ف ليس من أفال
Mengapa tidak kamu taruh di atas, biar dilihat orang. Siapa yang
menipu maka dia bukan golonganku. 207
Dalam hadis lain, dari Uqban bin Amir, Nabi saw bersabda,
ع ا فيه عيب إل المسلم أخو يه ب ي ن أخ ، ول يل لمسلم بع م المسلم ب ي نه له
205 HR Abu Daud
206 Lihat As-Syubaili Muqadimah Muamalat Maliyah
207 HR Muslim
198
Muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi
muslim yang menjual barang kepada saudaranya sementara di
sana ada aibnya, kecuali dia harus menjelaskannya.208
Hak Pembali
Jika pembeli menemukan aib dalam barang, dia punya 2 pilihan
hak:
[1] Mengembalikan barang itu dan meminta uangnya
[2] Tidak mengembalikan barang, namun dia berhak meminta
al-Arsy [األرش]
Al-Arsy adalah selisih harga antara barang yang cacat
dengan barang yang tidak cacat.
Syarat Lepas Tangan
Ketika penjual mengajukan syarat kepada pembali untuk lepas
tangan dari setiap aib barang, dan pembeli menerimanya, apakah penjual
bisa bebas dengan syarat ini? Bolehkah pembeli mengajukan hak khiyar?
Ada dua keadaan dalam hal ini
[1] Pembeli telah mengetahui cacat barang atau cacat itu sangat jelas,
maka penjual bebas dari cacat ini
[2] Pembeli tidak tahu cacat, sementara penjual lepas tangan dari semua
aib, hukum yang berlaku ada 2:
[a] Cacat yang sama-sama tidak diketahui, penjual lepas tangan.
Karena pembeli telah menerima
[b] Cacat yang diketahui penjual, tidak gugur darinya, karena ini
penipuan
Keempat, Khiyar Ghuben
Ghuben [الغب] secara bahasa artinya kurang. Sementara dalam jual
beli, ghuben [الغب] artinya tindakan menipu, yang mengurangi nilai
barang, baik dilakukan penjual atau pembeli. (keteragan Ibnu
Nujaim – dinukil dari al-Mausuah al-Fikihiyah)
208 HR Ibnu Majah
199
Khiyar ini melindungi hak penjual atau pembeli karena tidak tahu
keadaan barang atau proses transaksi.
Dari Anas bin Malik r.a ,Nabi saw bersabda,
ه ل يل مال امرئ مسلم إل بطيب ن فس
Tidak halal memakan harta orang lain, kecuali dengan kerelaan
pemiliknya.209
Ibnu Qudamah210 menyebutkan, ada 3 bentuk transaksi yang
diberi hak khiyar karena ghuben,
[1] Talaqqi ar-Rukban
Menjemput petani sebelum dagangan masuk ke pasar, sementara
dia buta harga pasar.
[2] Bai’ Najasy
Berpura-pura menawar atau memuji barang agar harga naik, atau
sebaliknya. Dengan maksud menipu penjual atau pembeli
[3] Bai’ Mustarsil
Mustarsil artinya dilepas. Dalam jual beli, bai’ mustarsil berarti
menjual barang tanpa tahu harga, dan dilepas sesuai harga yang
berlaku di masyarakat. Atau membeli tanpa tahu harga, dan
pasrah pada penjual.Jika ada selisih harga yang tidak wajar, pihak
yang dirugikan memiliki hak khiyar atau mendapatkan ganti atas
kerugian.
209 HR Ad-Daruquthni
210 Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah, 1997, al-Mughni,vol 4, hal 92
200
Kaidah Kedelapan belas
ةب ت عح م د وح ق الع ف ود ص الق
Niat dalam akad itu ternilai
Amal perbuatan manusia terdiri dari amalan dzahir (yang nampak)
dan amalan bathin (yang tidak nampak). Amalan dzahir berupa gerakan
dan ucapan. Sementara amal bathin adalah niat dan motivasi pelakunya.
Dan keduanya diperhatikan dalam syariah.
Dalam hadis dari Abu Hurairah r.a , Nabi saw bersabda,
إن الل ل ي نظر إل صوركم وأموالكم ولكن ي نظر إل ق لوبكم وأعمالكم
Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan rupa kalian atau harta kalian.
Namun Allah memperhatikan hati dan amal kalian211
Karena itulah, ada amal yang tidak dinilai dalam islam, disebabkan
tidak ada faktor pendorong batin. Artinya, sama sekali tidak diniatkan oleh
pelakunya untuk melakukan amal itu.
Seperti sumpah laghwu, kalimat sumpah yang diucapkan sebatas
pemanis bahasa. Yang ini menjadi tradisi masyarakat arab. Mereka suka
mengucapkan, ‘Demi Allah…’ dalam percakapan mereka. Misalnya: “Demi
Allah, saya mau makan.” “Demi Allah, saya gak tahu.”… dst. dan sumpah
semacam ini tidak dihitung sumpah.
Allah berfirman,
ا كسبت ق لوبكم ذكم ب للغو ف أيانكم ولكن ي ؤاخ ب ذكم الل ل ي ؤاخ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu)
yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.212.
211 HR HR. Muslim
212 QS. Al-Baqarah: 225
201
Ayat ini berbicara tentang kalimat sumpah yang tidak dimaksudkan
untuk bersumpah. Ibnul Qoyim menjelaskan,bahwa Orang yang merenungi
dalil-dalil syariah, dia akan menyimpulkan bahwa syariat tidak menilai
lafadz yang tidak diniatkan oleh orang yang mengucapkannya. Namun dia
disikapi seperti ucapan tanpa keinginan orang yang mengucapkannya.
Seperti ucapan orang tidur, orang lupa, orang mabuk, orang bodoh, orang
dipaksa, atau orang yang salah ngomong karena saking gembiranya atau
saking marahnya atau karena sakit atau karena sebab lainnya. 213
Selanjutnya Ibnul Qoyim menyebutkan hadis dari Anas bin Malik r.a ,
Nabi saw membuat permisalan, ada orang yang kehilangan ontanya di
tengah padang pasir. Sementara bekal makanan, minuman dan pakaiannya
ada di onta itu. Hingga dia putus asa dan tidur di bawah sebatang pohon.
Tiba-tiba onta itu datang, berdiri di sampingnya lengkap dengan semua
perbekalannya. Langsung dia pegang tali kekangnya, dan mengatakan,
اللهم أنت عبدى وأان ربك
“Ya Allah, Engkau hambaku dan aku tuhanmu.”
Dia salah ngomong, karena saking gembiranya.214
Islam tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan, “Ya Allah, kamu
hamba-Ku dan aku Rab-Mu.” karena saking gembiranya, setelah dia
menemukan kembali ontanya yang hilang.
Niat dalam Muamalah
Sebagaimana niat menentukan keabsahan dari ucapan seseorang,
dalam muamalah, niat memiliki pengaruh terhadap status akad. Di sana
ada beberapa pendapat ulama,
Pertama, madzhab hanafi
Dalam akad perlu mempertimbangkan dzahir (yang nampak) dari
maksud dan keinginan pelaku. Tanpa harus mencari tahu latar
belakang perbuatan pelaku.
213 Al-Jauziyah, Ibn Al-Qayyim, 2000, I’lam al-Muwaqqi’in, vol 3, Maktabah
Dar al-Bayan, Damaskus, hal 95
214 HR. Muslim
202
Seorang penjual perasan anggur tidak harus yakin bahwa anggur
yang dia jual tidak akan digunakan pembeli untuk membuat
khamr. Karena hukum asal jual beli angur adalah halal secara
dzatnya. Dan bukan kewajiban penjual untuk mencari tahu
makud pembeli. 215
Kedua, madzhab malikiyah
Dalam akad, harus mengetahui tujuan pelaku.
Dalam prakteknya, jika kreditor tahu bahwa hadiah yang
diberikan debitor adalah karena utangnya, maka hadiah ini tidak
boleh diterima. Karena ini termasuk celah riba.
Termasuk juga, jika diketahui tujuan orang yang menikah adalah
untuk tahlil, maka nikahnya batal. 216
Ketiga, madzhab syafi’i
Semua aktivitas akad hanya didasarkan pada apa yang
dzahir. Imam as-Syafii mengatakan,
ة م ه ت ه ب ل ط ب أ ل ر اه الظ ا ف يح ح ص ان د ك ق ع ل ك ن أ ه ي ل إ ب ه ذ ا أ م ل ص أ ني ب ة اد ع ب ل و
ت ان ا ك ذ إ ة ي ا الن م ه ل كر أ ر و اه الظ ة ح ص ب ه ت ز ج أ و ني ع اي ب ت ال
ع ي الب د س ف ت ت ان ت ك ر ه ظ و أ ة ل ي الن
Prinsip yang menjadi pendapat saya bahwa semua akad terhitung
sah berdasarkan dzahirnya. Saya tidak menganggap batal, hanya
berdasarkan sangkaan atau kebiasaan orang yang melakukan
akad. Saya menilai sah jika dzahirnya sah. Dan saya tidak suka
menilai batal hanya berdasarkan niat, andai niat itu ditampakkan,
bisa membatalkan jual beli. 217.
Karena itulah, imam as-Syafii membolehkan jual beli ‘inah.
Dan beliau menganggap ah secara dzahir, tanpa ada penilaian
215 Hasyiyah Ibnu Abidin,1966, Radd Al-Mukhtar vol 4, Musthafa al-Babi al-
Halabi, Mesir: 1966. hal 592
216 Imam Malik bin Anas,1323, Al-Mudawwanah Al-Kubro, As-Saadah, Birut: ,vol 3, hal 171
217 Muhammad bin Idris As-Syafi'i, al-Umm vol 3, Dar al-Fikr, Beirut. hal 74
203
untuk maksud transaksi riba. Beliau pasrahkan niat pelakunya
kepada Allah.
Keempat, madzhab hambali
Dalam setiap akad harus melihat latar belakang pelaku.
Ibnul Qoyim menjelaskan,
ن ا ا ه م د ه ز و ي ل ت ال ة ع ي ر الش ة د اع ق و ة ف ب ت ع ات م اد ق ت ع ال د و اص ق ال
صد الق ف … ات ار ب الع و ت ب ر ق الت ه ف ب ت ع م ي ا ه م ات ك ار ب الع ات و ف ر ص الت و دا أ اس و ف حا أ ي ح ص اما و ر و ح ل أ ال ح يء الش ل ع اد ب ق ت ع ال و ة ي الن و ةي ص ع و م ة أ اع ط
Kaidah dalam syariah yang tidak boleh ditiadakan, bahwa tujuan
dan keyakinan itu ternilai dalam aktivitas muamalah dan
transaksi… maksud, niat, dan keyakinan menentukan status halal
dan haram, sah dan tidak sah, dinilai taat atau maksiat. 218
Pendapat hambali lebih mendekati. Karena terdapat beberapa dalil
yang menunjukkan pengaruh niat dalam menentukan keabsahan
muamalah. Diantaranya,
Pertama, hadis dari Abu Hurairah r.a , Nabi saw bersabda,
من أخذ أموال الناس يريد أداءها أدى الل عنه ، ومن أخذ يريد إتالف ها أت لفه الل
Siapa yang membawa harta orang lain untuk dia kembalikan,
maka Allah akan membantunya untuk mengembalikannya. Dan
siapa yang membawa harta orang lain untuk dia habiskan, maka
Allah akan menghilangkannya219
Dalam riwayat lain, Dari Shuhaib al-Khoir, Nabi saw,
ا رجل تدين دي ن ا، وهو م ه، لقي الل سارق اأي ع أن ل ي وف يه إي م
218 Al-Jauziyah, Ibn Al-Qayyim, 2000, I’lamul Muwaqqi’in, vol 3, hal 96
219 HR. Bukhari
204
“Siapapun yang berutang, dan dia berniat untuk tidak mengemba-
likannya, maka ketika mati, dia akan ketemu Allah sebagai
pencuri.” 220
Sama-sama berutang, namun Nabi saw memberikan hukum
yang berbeda karena niatnya berbeda.
Kedua, hadis tentang mahar nikah
Dari Suhaib bin Sinan r.a , Nabi saw bersabda,
ا رجل أ ها، ف غرها أي صدق امرأة صداق ا وهللا ي علم أنه ل يريد أداءه إلي ، لقي هللا ي وم ي لقاه وهو زان لباطل هلل، واستحل ف رجها ب ب
Lelaki yang memberi mahar istrinya, sementara Allah tahu, dia
tidak ingin memberikan mahar itu, lalu dia tipu istrinya atas nama
Allah, dan melakukan hubungan dengan ucapan yang batil, maka
dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dalam keadaan sebagai
pezina. 221
Kata as-Sindi mengenai penjelasan hadis ini,
ده ي ض س ر ا ق ذ ن ه أ و ه ل، و اط ب ال م ال ك ل ي: ب ، أ ”ل اط ب ل ب “
“dengan ucapan batil” maknanya dia ambil mahar itu sebagai
utang, yang akan dikembalikan. 222.
Sekalipun suami telah memberikan mahar kepada istrinya, namun
ketika niatnya tidak ingin memberikannya, Nabi saw menghukuminya
sebagai pezina.
Hukum di Dunia & Akhirat
Pembahasan mengenai niat, perlu kita pisahkan antara hukum dunia
dan hukum di akhirat. Hukum di dunia, terkait hubungan pelaku (pemilik
220 HR. Ibn Majah
221 HR. Ahmad
222 Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad Bin Hanbal, vol 31,. Kairo: Mu'assasah Qurtubah, hal 262
205
niat) dengan orang lain.Hukum di akhirat, terkait hubungan pelaku
(pemilik niat) dengan Allah Ta’ala.
Karena itu, selama niat tidak pernah ditampakkan pelaku, dan tidak
ada indikator yang menampakkan niat pelaku, maka hukum di dunia
mengikuti dzahirnya (apa yang nampak).
Muhammad Abu Zahra, dalam kitabnya al-Milkiyah wa Nadzariyatul
‘Aqd menyimpulkan tentang pengaruh niat dalam akad sebagai berikut,
1. Orang yang melakukan akad secara tegas menyatakan keinginannya
melakukan akad sesuai yang dia ucapkan, maka konsekuensi akad ini
mengikatnya tanpa ada khilaf diantara ulama.
Misalnya, Orang menyatakan beli dan memang dia ingin beli, bukan
pinjam. Maka konsekuensi akad jual beli mengikat baginya.
2. Orang yang melakukan akad, memiliki maksud dan tujuan yang
berbeda dengan kalimat akad yang dia utarakan. Namun niat itu
hanya ada di batinnya, tidak dia tampakkan dan sama sekali tidak
ada indikator bahwa dia memiliki niat yang berbeda, maka masalah
niatnya, urusan dia dengan Allah, sementara hukum di dunia,
mengikuti apa yang dia tampakkan.
3. Orang yang melakukan akad, memiliki niat yang berbeda dengan apa
yang dia ucapkan, dan pihak kedua mengetahui adanya indikator
yang menunjukkan niat pihak pertama, dalam kondisi ini dia disikapi
sesuai yang dia niatkan di hadapan Allah (hukum akhirat) dan di
depan qadhi (hukum dunia). 223.
Demikian pula yang dinyatakan Dr. Muhammad Shidqi Burnu dalam
kitabnya al-Wajiz fi Qawadi Fikihiyah Kubro, tentang hubungan niat
dengan akad,
ي ع ر ش م ك ا ح ه ي ل ع ب ت ت ي ا ل ه د ح و ة ي الن ، و ر اه و لظ ب ق ل ع ت ت ة ي رع الش ام ك ح األ و ل ل و ة ي ى الن ل ع ب ت ت ي د ق ف ال ع ت و ه ان ح ب هللا س د ن ة ع ر الخ ام ك ح ا أ م أ . ي و ي ن د راه عل ظ ا ف ه ب اح ص ي
223 Muhammad Abu Zahra, Al-Milkiyah wa Nazhariyah Al'Aqd fi Sya-Syariah
Al-Islamiyah, Dar Al-. Fikr Al-Arabiy.., hal. 221
206
Hukum Syar’i itu terkait dengan dzahirnya. Karena itu, semata niat tidak
bisa dijadikan acuan hukum syariat I dunia. Sementara untuk hukum akhirat
kelak di hadapan Allah, niat yang dimiliki seseorang sangat berpengaruh
terhadap keabsahan. Meskipun tidak dilakukan dalam perbuatan. 224.
Contoh Penerapan kaidah
[1] Masalah zakat barang yang ingin dijual
Ada banyak barang yang dimiliki oleh seseorang, selain emas dan
perak. Salah satu diantara aturan zakat adalah adanya zakat barang
dagangan. Dan barang dagangan wajib dizakati, sejak dia diniatkan
untuk dijual. Jika barang tidak ada keinginn untuk dijual, tidak wajib
dizakati.
Misalnya, orang beli rumah untuk dihuni, maka rumah ini tidak wajib
dizakati. Berbeda dengan orang yang beli rumah dengan rencana, akan
dijual lagi jika laku lebih tinggi. Maka jika memenuhi haul, rumah ini
wajib dizakati
[2] Jual beli benda yang berpotensi untuk digunakan maksiat
Seperti pisau untuk membunuh, racun tikus untuk meracuni orang,
lem aibon untuk bikin teller, dst. Jika penjual tidak tahu, barang yang
dia jual akan digunakan pembeli untuk maksiat maka jual belinya
halal. Jika penjual tahu, barang yang dia jual akan digunakan pembeli
untuk maksiat maka jual belinya tidak sah.
Ibnu Qudamah mengatakan,
ة ن ت الف ف ح ال ع الس ي ب ل ر ا، و خ ه ذ خ ت ي ن م ي ص الع ع ي ب ح ص ي ل و
Tidak sah jual beli anggur kepada orang yang mau menjadikannya
menjadi khamr, dan tidak boleh menjual senjata di masa fitnah
(perang). 225.
Ketika penjual tahu keinginan pembeli, maka dia dianggap membantu
pembeli untuk melakukan pelanggaran. Sehingga niat pembeli
menentukan keabsahan jual beli.
224 Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah al-Qawaid al-Fiqhiyah
al-Kubro, hal. 131
225 Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah, al-Muqni’, vol 2, hal 20
207
[3] Orang yang meletakkan barang di tempat orang lain ada bbeberapa
kemungkinan.
Bisa karena dia ingin memberi sedekah atau hadiah. Atau ditaruh
sebatas dititipkan, karena dia buru-buru sehingga tidak sempat
meninggalkan pesan. Yang menentukan adalah niat dari orang yang
meletakkannya.
[4] Menemukan barang hilang (luqathah)
Orang yang mengambil barang hilang dengan niat untuk dimiliki
pribadi maka statusnya ghasab (menguasai harta orang lain tanpa
izin). Sehingga ketika barang hilang atau rusak, dia wajib ganti rugi.
Sementara orang yang mengambil barang hilang dengan niat untuk
diumumkan dan dikembalikan ke pemilik maka statusnya orang yang
amanah. Sehingga jika barang hilang atau rusak, dia tidak wajib ganti
rugi.
Dalam Pelanggaran yang Disengaja, Niat Tidak Diperhitungkan
Orang yang korupsi, mencuri, untuk disedekahkan, niat baiknya tidak
diperhitungkan.Dari Ibnu Umar r.a , Nabi saw bersabda,
ن غلول ل ت قبل صالة بغي طهور ول صدقة م
Shalat tanpa bersuci tidak akan terima, demikian pula sedekah dari hasil
korupsi226
Menyembunyikan harta orang lain untuk main-main. Dari as-Saib bin
Yazid dari ayahnya, Nabi saw bersabda,
يه لعب ا ول جاداا ل يخذن أحدكم متاع أخ
Jangan sekali-kali kalian mengambil harta saudaranya (sesama muslim)
baik serius maupun main-main227
226 HR. Muslim
227 HR. Ahmad
208
Kaidah Kesembilan belas
ه ام ق م م وح ق ي نح و م ك أ ال م نح م ل إ ع يح الب ح ص ي ل ل صح األ
Hukum Asal, Tidak sah jual beli kecuali oleh pemilik atau wakil dari pemilik.
Kaidah ini berlaku baik bagi penjual atau pembali. Syarat penjual
berarti dia harus memiliki barang atau wakilnya. Dan syarat pembeli, dia
harus pemilik uang atau wakilnya.
Kaidah ini hubungannya dengan menjaga hak orang lain. Karena
harta milik orang lain, tidak boleh diganggu, apalagi ditransaksikan tanpa
seizin pemiliknya.
Dari bu Bakrah r.a , Nabi saw bersabda,
كم هذا، ىف شهركم هذا، ىف ب لدكم إن دماءكم وأموالكم عليكم حرام ، كحرمة ي وم هذا
Sesungguhnya darah sesama kalian, harta sesama kalian adalah haram
untuk kalian langgar. Sebagaimana kemulilaan hari kalian ini (idul adha), di
bulan kalian ini (Dzulhijjah), dan tanah kalian ini (tanah haram Mekah).228
Wakil Pemilik
Ada 4 istilah wakil bagi pemilik dalam transaksi,
[1] Orang yang dipasrahi mengelola harta dari orang yang hidup dan
sudah dewasa. Diistilahkan dengan wakil
[2] Orang yang dipasrahi mengelola harta dari anak kecil. Baik anak yatim
atau bukan. Diistilahkan dengan wali.
[3] Orang yang dipasrahi mengelola harta dari orang yang telah
meninggal, seperti membagi warisan, atau melunasi utang, dst. yang
diistilahkan dengan washi (orang yang diberi wasiat)
228 HR. Bukhari
209
[4] Orang yang diamanahi untuk mengurus wakaf, baik dari pemerintah
atau dari pemiliknya. Disebut nadzir wakaf (pengelola wakaf).
Dasar hukum
Salah satu hadis yang banyak dijadikan acuan dalam kajian fikih
muamalah adalah hadis Hakim bin Hizam. Beliau pernah bercerita,
Aku pernah bertanya kepada Nabi saw. Aku sampaikan, ‘Ada orang
yang mendatangiku, memintaku untuk menyediakan barang yang tidak aku
miliki. Bolehkah saya belikan barang itu dipasar, kemudian aku jual barang
itu kepadanya?’
Jawab Nabi saw,
ل تبع ما ليس عندك
“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.”229
Dalam riwayat lain, Hakim pernah mengatakan,
أن أبيع ما ليس عندى -صلى هللا عليه وسلم-نان رسول الل
“Rasulullah saw, melarangku untuk menjual barang yang tidak aku miliki.” 230
Ketika membawakan hadis ini, Turmudzi menyatakan,
ه د ن ع س ي ا ل م ل ج الر ع ي ب ي ن وا أ ه ر م ك ل الع ل ه ر أ ث ك أ د ن ع يث د ا ال ذ ى ه ل ل ع م الع و
Mayoritas ulama mengamalkan hadis ini. Mereka membenci seseorang
menjual apa yang tidak dia miliki. 231
Contoh Transaksi
Terdapat beberapa transaksi jual beli, yang barangnya tidak dimiliki
pejual ketika akad. Namun transaksi ini dibolehkan syariat.
Petama, Bai’ Salam
229 HR. Ahmad
230 HR. Turmudzi
231 HR. Turmudzi
210
Dalam jual beli salam, pembeli membayar tunai di muka, sementara
barang diserahkan penjual secara tertunda. Sehingga, ketika transaksi
salam terjadi, penjual sama sekali tidak memiliki barang yang dia jual.
Dan jual beli salam dibolehkan dengan sepakat ulama. Berdasarkan
hadis dari Ibnu Abbas r.a ma, Nabi saw bersabda,
إل أجل معلوم من أسلف ىف تر ف ليسلف ىف كيل معلوم ووزن معلوم
Siapa yang melakukan transaksi salaf untuk kurma, maka hendaknya
dia tentukan takarannya, timbangannya, dan waktunya232.
Ibnul Mundzir menukil adanya ijma’ tentang hukum transaksi
salam,
ز ائ ج م ل الس ن ى أ ل ع م ل الع ل ه أ ن م ه ن ع ظ ف ن ن م ل ك ع ج أ
Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa jual beli salam itu
dibolehkan.233
Yang menjadi pertanyaan, bukankah orang yang melakukan
transaksi salam, tidak memiliki barang? Lalu mengapa transaksi ini
dibolehkan?
Ada dua pendapat ulama dalam memahami kasus jual beli salam,
Pertama, bahwa salam itu pengecualian. Ulama menyebutnya khilaf al-
Qiyas(tidak sejalan dengan qiyas). Karena keluar dari kaidah
umum dan aturan syariat terkait jual beli. Seharusnya, menjual
barang yang tidak dimiliki hukumnya terlarang. Baik tunai, ada
uang ada barang atau salah satu tertunda.
Namun transaksi salam diperbolehkan, karena ada dalil yang
membolehkannya dan mengingat kebutuhan masyarakat untuk
melakukan transaksi ini. Bahkan sebagian beranggapan bahwa
transaksi salam adalah jual beli gharar yang dibolehkan karena
hajat.
232 HR Mutafaqun Alaih
233 Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah, al-Mughni, vol 4, hal 185
211
Kedua, bahwa bai’ salam tidak bisa disebut khilaf qiyas. Karena dalam
syariat, tidak ada istilah khilaful qiyas. Jika ada aturan syariat
yang dianggap khilaf qiyas, ada 2 kemungkinan:
[1] Proses qiyasnya yang keliru, sehingga analogi yang dilakukan
tidak sejalan
[2] Atau hukum pada kasus itu tidak didukung dalil yang shahih.
Dalam Majmu’ al-Fatawa, Syaikhul Islam menjelaskan pendekatan
untuk transaksi salam.
Beliau mengatakan,” Pernyataan bahwa salam itu keringanan (rukhsah)
dari syariat adalah perkataan sebagaian ulama dan tidak ada alam hadis.
Mereka mengatakan, bahwa salam adalah seseorang menjual barang yang
tidak dia miliki, sehingga berseberangan dengan qiyas. Sementara Nabi saw
melarang menjual barang yang tidak dimiliki, sebagaimana dalam hadis
Hakim bin Hizam.
Sementara hakekat jual beli salam ada 2 kemungkinan,
[1] Menjual barang yang sudah tertentu (mu’ayyan), sehingga dia menjual
barang orang lain sebelum dia beli. Ini bukan jual beli salam, dan ini
yang dilarang dalam hadis Hakim bin Hizam.
[2] Atau menjual barang yang bisa diserahkan, meskipun sudah dijamin.
Dan inilah pengertian yang tepat untuk jual beli salam. Orang yang
melakukan transaksi salam dia telah menjamin untuk mendatangkan
barang.
Lebih lanjut Syaikhul Islam mengatakan,
Jika itu dilakukan dalam tempo tertentu, maka
م ل ا الس م أ ني ب ق ر ف ي أ ل ف ج ؤ م ن م ث اع ب ي ت ب ال ك و ه و ون ي الد ن م ين د ه ن إ ف ل ج ؤ ال
؟ة م الذ ف ال ج ؤ ر م الخ ض و الع ن و ك و ة م الذ ال ف ج ؤ م ني ض و الع د ح أ ن و ك
Untuk salam dengan rentang waktu tunda, statusnya adalah utang. Seperti
menjual barang, namun pembayarannya tertunda. Lalu apa bedanya antara
barang yang tertunda atau pembayaran yang tertunda, sementara keduanya
dijamin?
Kemudian beliau membawakan firman Allah,
212
إذا تداينتم بدين إل أجل مسماى فاكت بوه
Apabila kalian berutang sampai batas waktu tertentu maka catatlah…234
Ibnu Abbas pernah mengatakan,
ف ل الس ن أ د ه ش أ الية ه ذ ه أ ر ق هللا و اب ت ك ل ف ال ح ة م الذ ف ن و م ض ال
Saya bersaksi bahwa jual beli salam yang dijamin, hukumnya halal
berdasarkan al-Quran. Lalu beliau membaca ayat di atas.
Karena itu, transaksi salam yang hukumnya mubah, sejalan dengan
qiyas dan tidak bertentangan dengan qiyas. 235
Kedua, Bai’ Fudhuli
Kata fudhuli turunan dari kata fadhl, yang artinya kelebihan.
Sementara secara istilah, para ulama menyebutkan,
ةي ل و و ي، أ ع ر ن ش إذ ي غ ب ي الغ ق ح ف ف ر ص ت
Mentransaksikan hak orang lain, tanpa izin secara syar’i atau karena
statusnya sebagai wali (pengurus) orang lain. 236
Kaitannya dengan makna bahasa, orang yang melakukan jual beli
fudhuli, dia melakukan perbuatan yang itu bukan urusannya.
Mengenai hukum Bai’ Fudhuli, ada dua keadaan:
[1] Jika pemilik barang tidak merelakan barangnya dijual orang lain, atau
uangnya digunakan orang lain maka transaksinya batal dengan
sepakat ulama.
[2] Pemilik barang atau uang mengizinkan. Untuk kasus keduanya, apakah
transaksinya sah?
Ada dua pendapat ulama,
234 QS. al-Baqarah: 282
235Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, 1383, Majmu’ Fatawa, Vol 20, hal 529
236 Ibn Nujaim al-Masharî Al-Hanafî, 1252, al-Bahr ar-Râiq Syarh Kanz ad-Daqâiq Fî Furû' al-Hanafiyyah, vol 6, Dâr al-Kutub al-'Alamiyyah, Beirut,. , hal 160
213
Pertama, jual beli fudhuli statusnya sah, selama pemilik barang atau uang
merelakannya.Ini pendapat Abu hanifah, Dalam kitab al-Inayah Syarh al-
Hidayah dinyatakan,
، ف ه ن ذ إ ي غ ب ه ي غ ك ل م ع ب ن م خ، س ف اء ن ش إ و ع ي الب از ج أ اء ش ن إ ار ي ل ب لك ا ال
ةاي و ر ف د ح أ لك و ا م ب ه ذ م و ه و
Orang yang menjual barang milik orang lain tanpa seizinnya, maka pemilik
memiliki hak pilih. Jika dia mau, dia bisa merelakannya. Dan jika dia mau,
dia bisa membatalkan transaksi. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam
Ahmad dalam salah satu riwayat. 237.
Kedua, bai’ fudhuli statusnya batal, sekalipun pemiliknya merelakan. Ini
adalah pendapat Imam as-Syafii dalam pendapat baru dan Imam Ahmad
dalam salah satu riwayat. Lanjutan keterangan dalam al-Inayah Syarh al-
Hidayah,
ا ب ن أل ة ي ع ر ش ة ي ل و ن ع ر صد ي ل ه ن أل د ق ع ن ي هللا : ل ه ح ي ر ع اف الش ال ق و و ك أ ل ل
ة ي ع ر الش ة ر د لق ب ل إ اد ق ع ن ا ل ا، و د ق د ف ق ك و الال ن بذ
Sementara Imam as-Syafii rahimahullah mengatakan, Jual belinya tidak sah,
karena dia tidak memiliki izin secara syar’I ketika melakukan akad. Karena
izin syar’I untuk akad adalah dengan memiliki barang atau dengan izi
pemiliknya. Sementara keduanya tidak ada. Dan transaksi tidak sah kecuali
dengan al-Qudrah as-Syar’iyah (keadaan yang diizinlan syariah). 238.
Pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat pertama. Dan ini
yang dinilai kuat oleh Syaikhu Islam. 239
Diantara dalil yang mendukung pendapat ini adalah hadis tentang
Urwah al-Bariqi. Sahabat yang dipeseni Nabi saw untuk membeli seekor
kambing seharga 1 dinar. Namun oleh Urwah, uang ini digunakan untuk
membeli 2 ekor kambing. Ketika di perjalanan pulang, ada orang yang
237 Muhammad bin Muhammad Al babaruti, 'ināyah syarh al-hidāyah
Maktabah. Syamilah, vol 9, Hal 361
238 Muhammad bin Muhammad Al babaruti, al-Inayah Syarh al-Hidayah,vol 9, hal 361
239Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, 1383, Majmu al-Fatawa, vol 20, hal 578
214
menawar salah satu kambingnya. Kemudian oleh urwah dijual seharga 1
dinar. Pulanglah Urwah menuju Rasulullah saw dengan membawa seekor
kambing dan uang 1 dinar. Oleh Nabi saw Urwah didoakan keberkahan.
Hingga seorang sahabat mengatakan, andai Urwah menjual pasir, pasti dia
akan untung. 240
Dalam hadis ini, Urwah membelanjakan harta Nabi saw diluar tugas
yang diamanahkan kepadanya. Ketika Nabi saw merelakannya, transaksi
Urwah tidak dibatalkan
240 HR. Bukhari
215
Kaidah Kedua puluh
ةام س ى امل ل ا ع اه ن ب ح ات م ع ب الت وق ق ح ؛ و ة اح ش ى امل ل ا ع اه ن ب ح م ات ض او ع امل د وح ق ع
Akad muawwadhat dibangun di atas prinsip al-masyahah. Sementara akad
tabarru’ dibangun di atas prinsip toleran. (Al-Masyahah dari kata as-Syuh
(.yang artinya pelit [الشح]
Dalam fikih muamalah maliyah (muamalah terkait harta), di sana ada
4 pembagian akad, dilihat dari objeknya,
[1] Akad Muawwadhat
Itulah transaksi yang tujuan utamanya mendapatkan iwadh
(keuntungan berupa uang atau barang atau jasa), yang dilakukan
secara dua arah. Seperti: jual beli, sewa-menyewa, dst.
[2] Akad Tabarru’ (sosial)
Itulah akad yang tujuan utamanya untuk sosial, menolong, berbuat
baik kepada sesama, sehingga dilakukan searah. Misalnya: hibah,
sedekah, pinjaman, termasuk memberi pinjaman uang (utang).
[3] Akad Musyarakat
Transaksi yang tujuannya mendapat keuntungan, dengan mengga-
bungkan peran banyak pihak, untuk bersama-sama mendapatkan
keuntungan. Seperti: mudharabah, musyarakah, dst.
[4] Akad Tautsiqat
Akad yang tujuan utamanya untuk menjamin keamanan suatu
transaksi. Sehingga dia tidak menjadi tujuan utama, namun sebatas
penjamin transaksi lainnya. Seperti akad dhiman (jaminan), kafalah,
gadai, dst.
Jika kita kerucutkan, dari keempat akad, bisa kita kelompokkan jadi
dua yaitu;
Pertama, akad yang motifnya komersial. Itulah akad muawwadhat.
Kedua, akad yang motifnya sosial, itulah akad tabarru’.
216
Untuk akad yang kedua, yaitu akad muawwadhat, prinsip penting
yang perlu dikedepankan adalah saling ridha. Sebagaimana yang Allah
tegaskan,
لباطل إل أن تكون تارة عن ت راض ي أي ه نكم ب ا الذين آمنوا ل تكلوا أموالكم ب ي نكم م
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”241.
Dalam tafsirnya, Ibnul Arabi mengatakan,
د اع و ق ن ة م الي ه ذ ه س أ ت و ال ام ع ال
اتض او ع اس ال
Ayat ini merupakan kaidah baku dalam muamalah dan prisip dalam akad
muawadhat.
Dari Abu Said al-Khudri, Nabi saw juga bersabda,
ا الب يع عن ت راض إن
Jual beli harus dilakukan saling ridha. 242
Rukun ridha:
Para ulama menyebutkan, untuk bisa disebut ridha, di sana harus
terpeuhi 2 rukun:
[1] Ilmu (mengetahui dan menyadari), artinya pelaku akad memahami
bentuk akad dan menyadari konsekuensi akad. Tidak ada pihak yang
dibodohi dalam transaksinya.
[2] al-ikhtiyar (tidak ada paksaan), artinya, tidak ada unsur paksaan
dalam semua trasaksinya.
Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah,
241 QS. An-Nisa: 29
242 HR. Ibn Majah
217
اض الر ط ق س ي اه ر ك ال
Unsur paksaan, menggugurkan ridha.243.
Akad muawadhat dibangun di atas prisip pelit, artinya untuk bisa
dianggap akad muawwadhat yang sah, maka masing-masing harus
memastikan bahwa pasangannya telah ridha, tidak ada paksaan dalam
melakukan transaksi.
Termasuk juga, masing-masing pelaku akad harus memahami objek
akad dan konsekuensinya. Karena itu, dalam akad muawwadhat, semua
harus terukur. Sehingga tidak boleh ada transaksi yang mengandung
gharar (ketidak jelasan).
Perlindungan Konsumen
Bisa jadi dalam sebuah transaksi, salah satu pihak merasa dibodohi
atau menyesal dengan tawaran yang diajukan. Termasuk merasa rugi
karena ada cacat pada barang.
Karena itu, baik penjual maupun pembeli, diberi kesempatan untuk
berfikir, antara melanjutkan dan membatalkan transaksi. Dalam fikih jual
beli, kesempatan ini disebut hak khiyar. Hak untuk memilih antara
melanjutkan atau membatalkan transaksi.
Akad Tabarru’ Lebih Longgar
Berbeda dengan akad tabarru’. Syariat memberikan kelonggaran.
Bahkan boleh ada unsur gharar.Karena akad ini sifatnya sosial, sehingga
tidak ada pihak yang dirugikan.
Sebagai contoh, Si A memiliki mobil yang hilang. Sudah sebulan dia
mencari, tapi belum ketemu.Si A tidak boleh menjual mobil itu ke orang
lain, selama belum ditemukan. Si A boleh memberikan mobil itu ke orang
lain, sekalipun belum ditemukan. Misalnya, si A mengatakan kepada si B,
“Saya berikan mobil saya yang hilang ke anda. Silahkan anda cari, jika
ketemu silahkan anda miliki.”Dalam kondisi ini, si B boleh menerima.
Sekalipun ada unsur gharar dan semua serba tidak terukur. Karena sifatnya
pemberian (tabarru’).
243 Sulaiman ar-Ruhaili, Mudzakarah Qawaid fi al-Buyu’,. hal 117
218
Contoh lain,Jual beli dengan cara melempar pada banyak objek yang
berbeda. Jual beli ini terlarang, karena sangat tidak jelas dan tidak terukur.
Di masa silam disebut jual beli munabadzah.
Berbeda jika bentuknya akad sosial. Misalnya ada orang yang
menyediakan banyak hadiah untuk para siswa. Ada yang sangat mahal,
sampai ada yang hanya berupa kerupuk. Untuk bisa mendapatkan hadiah
itu, masing-masing siswa memilih balon yang disediakan. Di dalam balon
ada kertas tertulis jenis hadiah yang akan dia dapatkan. Semacam ini
dibolehkan, sekalipun ada unsur gharar. Dan tidak jelas dalam transaksi
tabarru’, dibolehkan.
Contoh ketiga, Garansi barang atau asuransi resiko.
Jika garansi atau asuransi itu berbayar, maka transaksinya terlarang.
Karena premi yang dibayarkan digantikan dengan jaminan resiko.
Sementara resiko sifatnya tidak jelas. Bisa terjadi, dan bisa tidak terjadi.
Karena takdir tidak bisa diprediksi. Sehingga transaksinya gharar.
Ini berbeda jika garansi atau asuransi itu gratis. Sebagai layanan bagi
konsumen. Ini dibolehkan, karena gharar dalam transaksi tabarru’ diper-
bolehkan.
219
Kaidah Kedua puluh satu
ف ر و ع أ ع ر ش اه ض ت ق ا ا م و ه ات ور ر ن ض م و ا ه يه م ف ل خ يئا ؛ د ش ع ن ب م
Siapa yang menjual sesuatu, maka semua yang menjadi unsur pendukung
utama benda itu, masuk ke dalamnya. Termasuk apa yang menjadi
konsekuensi dari perpindahan hak milik benda itu, baik secara syariat atau
urf.
Ketika ada orang melakukan transaksi terhadap objek, ada 3 hal yang
harus mengikuti transaksi itu,
Pertama, bagian yang tidak bisa dipisahkan dari objek itu (dharurat as-
sila’). Yaitu segala sesuatu yang jika dipisahkan dari benda itu, maka benda
tersebut dianggap tidak ada atau sama sekali tidak bisa difungsikan.
Kedua, bagian yang menurut masyarakat itu harus dilibatkan. Meskipun dia
bukan dharurat as-Sila’. Artinya, barang masih bisa berfungsi, ketika ini
ditiadakan. Hanya saja, aturan tidak tertulis di masyarakat, ii harus dilibat-
kan.
Ketiga, bagian yang harus dilibatkan menurut aturan syariat. Meskipun ti-
dak pernah dibahas dalam aturan masyarakat. Sehingga acuannya kembali
kepada dalil.
Contoh kasus
Pertama, jual beli rumah
Orang yang membeli rumah, maka dia memiliki:
– Semua atap rumah itu
– Sumur yang ada di rumah itu
– Instalasi listrik rumah
– Halamannya
– Dan dia harus ada akses jalan
Karena semua ini bagian yang tidak bisa dipisahkan dari rumah itu.
Selanjutnnya, apakah pembeli juga mendapatkan perabotan di rumah itu?
220
Ini kembali kepada urf yang berlaku di masyarakat itu.
Kedua, siapa yang membeli tanah maka dia memiliki atasnya sampai ke
langit. Menurut keterangan al-Qurthubi, ini dengan sepakat ulama. Apakah
dia memiliki semua yang ada di bawah tanahnya? Ulama berbeda
pendapat.
Kita simak keterangan al-Qurthubi,
، ل ف الس وا ف ف ل ت خ ا . و اء م الس ل إ ه و ل ل الع ن أ ف ال خ ل . و ه ان رك أ ه ل ف ت ي الب ه ن ل م ا ن ب ه ذ م ف . و يء ش رض األ طن ب ف ه ل س ي ل ال ق ن م م ه ن م ، و ه ل و ه ال ق ن م م ه ن م ف
ن ل و الق
Siapa yang memliki rumah maka dia memiliki pondasinya, dan tidak ada
perbedaan bahwa bagian atas rumah itu sampai ke langit adalah punya dia.
Sementara ulama berbeda pendapat untuk bagian yang ada di bawah tanah
itu. Sebagian ada yang mengatakan, semua itu miliknya dan ada yang
mengatakan, apa yang ada di bawah tanah, sama sekali bukan miliknya. Dan
dalam madzhab kami (Malikiyah), ada 2 pendapat. 244.
Ketiga, jual beli pohon, siapa yang berhak atas buahnya?
Dari Ibju Umar r.a ma, Nabi SAW bersabda,
تاع ، ومن اب تاع من اب تاع نال ب عد أن ت ؤب ر ف ثمرتا للبائع ، إل أن يشتط المب تاع ا وله مال فماله للذى بعه إل أن يشتط المب عبد
Siapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya milik
penjual. Kecuali jika membeli mempersyaratkan. Siapa yang membeli budak
dan dia membawa harta, maka harta itu milik orang yang menjualnya,
kecuali jika pembeli mempersyaratkannya.245
Nabi saw memberi rincian untuk pohon yang dikawinkan,
[1] Jika dia beli sebelum dikawinkan maka buah itu menjadi milik pembeli
244 Muhammad bin Ahmad abi Bakr Abi ‘Abdullah al-Qurthubi,, Tafsir al-
Qurthubi al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, vol 16,, Daar Ar-Risalah, Beirut, 2006, hal 85
245 HR Mutafaqun Alaih
221
[2] Jika dia beli setelah dikawinkan maka buah itu menjadi milik penjual.
Apakah tidak menyalahi kaidah di atas?
Jawabannya, tidak. Karena buah bukan dharurat as-Sila’. Dia membeli
pohon, bukan membeli buah. Dan pohon tetap bisa bertahan hidup, tanpa
buah. Karena itu, hak terhadap buah kembali kepada orang yang
mengkawinkannya.
Keempat, hadis budak Barirah
Tersebutlah seorang budak wanita bernama Barirah. Tuannya
menjanjikan, jika Barirah bisa menebus sekian dinar, maka dia boleh
merdeka. Transaksi semacam ini disebut transaksi mukatabah. Akhirnya,
Barirah meminta bantuan kepada Aisyah r.a.Aisyah menceritakan,
ى تسع أواق، ف كل عام أوقية، فأعينين، ل ع لي ه ت أ ب ات ت : ك ال ق ة ف ر ي ر ب ن ت اء ج أهلها، ل ة إ ير ر ت ب ب ه ذ لت، ف ع ف ت : إن أحبوا أن أعدها لم ويكون ولؤك ل ال ق ف ندهم ورسول هللا صلى هللا عليه وسلم ن ع ت م اء ج ا، ف ه ي ل فأب وا ع م ت ل ال ق ف
قالت : إن قد عرضت ذلك عليهم فأب وا إل أن يكون الولء لم، فسمع جالس، ف النب صلى هللا عليه وسلم، فأخبت عائشة النب صلى هللا عليه وسلم، فقال : )
ث قام خذيها واشتطي لم الولء، فإنا الولء على من أعتق ( . ففعلت عائشة،د هللا وأثن عليه، ث قال : ) ما بل ، فحم رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ف الناس
اب هللا ت ك ف يس ن شرط ل م ان ا ك رجال يشتطون شروط ا ليست ف كتاب هللا، م ائة شرط، ق ان ك ن إ ل، و ط ب و ه ف ء لمن ل ا الو إن أحق، وشرط هللا أوثق، و اء هللا ض م
أعتق(
“Barirah datang kepadaku lalu menyampaikan masalahnya:
“Sesungguhnya saya melakukan mukatabah terhadap majikanku dengan
sembilan uqiyah, per-tahunnya saya membayar satu uqiyah, maka bantulah
saya”. ‘Aisyah berkata : “Kalau memang majikanmu berkenan, saya akan
222
menyiapkan dananya, dengan syarat wala‘-mu nanti menjadi milik, maka
aku akan melakukannya”. Maka Barirah pergi kepada majikannya, dan
menyampaikan syarat yang diminta ‘Aisyah namun mereka tidak
menyetujuinya. Kemudian Barirah datang lagi kepada ‘Aisyah ketika itu
Rasulullah sedang duduk. Barirah berkata: “Saya telah menawarkan
tawaran tadi kepada mereka, namun mereka enggan, kecuali wala‘-nya
untuk mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mendengarnya, dan
Aisyah menceritakan duduk perkaranya kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah
bersabda: “Ambilah ia (Barirah) dan persyaratkan wala sebagaimana yang
engkau syaratkan, karena wala’ itu bagi orang yang membebaskan budak“.
Kemudian ‘Aisyah melakukannya (pergi ke rumah majikan Barirah).
Lalu Rasulullah saw berkhutbah di hadapan orang-orang, beliau memuji
Allah dan memuliakan-Nya, kemudian bersabda:
“Mengapa sebagian orang lancang mempersyaratkan syarat yang tidak ada
dalam Kitabullah. Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, ia adalah
syarat yang batil, walaupun itu 100 syarat. Keputusan Allah itu lebih benar.
Dan syarat dari Allah itu lebih kuat. Dan sesungguhnya wala’ itu bagi orang
yang membebaskan budak”246
Ketika Aisyah r.a yang membayar Barirah, berarti yang memerdeka-
kan Barirah adalah Aisyah. Dan dalam aturan jual beli budak, siapa yang
membeli dan memerdekakan budak itu, maka hak wala’ kembali kepada
yang memerdekakannya, bukan kepada majikan sebelumnya.
Dengan memiliki hak wala’ maka dia berhak atas harta warisan yang
ditinggalkan seorang budak jika dia meninggal. Rasulullah saw menetapkan
wala itu menjadi milik orang yang membebaskan budak. Artinya, hak wala’
adalah konsekuensi dari perpindahan hak milik budak setelah transaksi
jual beli, berdasarkan aturan syariat.
246 HR Mutafaqun Alaih
223
Kaidah Kedua puluh dua
اه ح ال و ص د بح ي ت ار ح م الث ع يح ب ز وح ي ل
Tidak boleh jual beli buah sampai nampak kelayakannya.
Ada banyak hadis yang mendasari kaidah ini, diantaranya,
Pertama, hadis dari Ibnu Umar r.a ma, beliau mengatakan,
نى عن ب يع الث مار حت ي بدو صالحها ، –صلى هللا عليه وسلم –أن رسول الل تاع نى البائع والمب
Rasulullah saw bersabda melarang jual beli buah sampai nampak
kelayakannya. Beliau melarang penjual dan pembeli. 247
Kedua, hadis dari Anas bin Malik r.a , beliau mengatakan,
نى عن ب يع ثر النخل حت ت زهو. ف قلنا ألنس -صلى هللا عليه وسلم-أن النبيك ما زهوها قال تم ل مال أخ الثمرة ب تستح . أرأي تك إن منع الل ر وتصفر
Nabi saw melarang jual beli buah kurma sampai nampak kelayakannya.
Perawi bertanya kepada Anas, “Apa yang dimaksud nampak kelayakannya?”
jawab Anas: “Sampai memerah atau menguning.” Kata Nabi saw,“
Bagaimana menurutmu jika Allah menghendaki tidak jadi berbuah. Dengan
alasan apa dia boleh mengambil harta saudaranya?” (HR. Bukhari 2208 &
Muslim 4060).
Ketiga, hadis dari Ibnu Umar r.a , beliau mengatakan,
بل -صلى هللا عليه وسلم-الل أن رسول نى عن ب يع النخل حت ي زهو وعن السن حت ي ب يض ويمن العاهة نى البائع والمشتى
247 HR. Bukhari
224
Bahwa Rasulullah saw melarang jual beli kurma sampai memerah atau
menguning. Dan tidak boleh jual beli bulir gandum sampai memutih (terlihat
isinya), dan aman dari gagal panen. Beliau melarang penjual dan pembeli.248
Keempat, hadis Anas bin Malik r.a , beliau mengatakan,
ت يسود وعن ب يع نى عن ب يع العنب ح -صلى هللا عليه وسلم-أن رسول الل الب حت يشتد
Rasulullah Saw melarang jual beli anggur sampai menghitam, dan beliau
melarang jual beli biji-bijian sampai benar-benar berisi.249
Dari beberapa hadis yang kita baca, kita menyimpulkan
1. Hadis mengenai larangan menjual buah dan hasil pertanian sebelum
layak panen, bertujuan untuk menghalangi terjadinya sengketa
antara penjual dan pembali.
Beliau mengatakan, “Bagaimana menurutmu jika Allah menghendaki tidak
jadi berbuah. Dengan alasan apa dia boleh mengambil harta saudaranya.”
2. Illah larangan itu adalah adanya gharar (ketidak jelasan) dalam
transaksi. Bisa untung besar dan bisa rugi besar. Kembali kepada
takdir yang sama sekali tidak diketahui manusia.
Nabi Saw mengatakan,
“Bagaimana menurutmu jika Allah menghendaki tidak jadi berbuah.”
3. Karena illah-nya terkait unsur gharar, larangan ini berlaku baik bagi
penjual dan pembeli. Artinya, unsur saling ridha dalam hal ini tidak
teranggap. Sehingga, bisa saja ada orang yang melakukan transaksi
ijon dan mereka saling ridha. Sekalipun saling ridha, transaksi tetap
dianggap batal.
Ibnu Umar mengatakan, “Beliau melarang penjual dan pembeli.”
a. Batasan yang beliau berikan ada dua,
b. Dia sudah layak panen (sampai nampak kelayakannya)
248 HR. Ahmad
249 HR. Ahmad
225
c. Aman dari gagal panen. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis ketiga
dari Ibnu Umar.
d. Standar layak panen hasil pertanian berbeda-beda,
4. Untuk buah-buahan, kembali kepada warna yang menunjukkan
masak atau hampir masak. Untuk kurma, memerah atau menguning.
Jika masih hijau, tidak diperkenankan. Untuk anggur, sampai
menghitam. Jika masih hijau atau kuning, belum layak dijual.
5. Untuk biji-bijian, seperti gandum atau beras, kembali kepada isi
bulirnya. Orang jawa menyebutnya kemlatak.
6. Standar layak panen, tidak harus ada pada semua buah di lahan itu.
Namun bisa hanya dengan mengacu pada sebagian yang sudah layak
panen. Jika sudah ada sebagian yang layak panen, indikator ini bisa
diberlakukan untuk semuanya. Karena jika harus memastikan semua
layak panen, akan sangat merepotkan.
Syaikhul Islam mengatakan,
دح ن أ ة ع اي و ر و ه س و ن ال ك ل ذ يع ب ا و ه يع ب از ج ة ر ج ش ض ع ب ح ال ا ص د ا ب ذ إ و
Jika telah nampak kelayakan di sebagian tanaman, maka boleh
menjualnya dan menjual tanaman yang sejenisnya. Dan ini riwayat dari
Imam Ahmad. 250.
Demikian pula keterangan Ibnul Qoyim,
ك ل ذ ع ي ب ز و ي ك ل ذ ك ا ، و ه ع ي ا ج ه ع ي ب از ج ر ج الش ض ع ب ف ح ال ا الص د ا ب ذ إ ان ت س الب ف ه ل ك ع و الن
Jika telah nampak kelayakan di sebagian pohon, maka boleh menjual
semua hasil pohon itu. Dan boleh menjual semua yang sejenis dengan
pohon itu yang satu kebun. (I’lam al-Muwaqqi’in, 4/23).
7. Boleh melakukan transaksi ijon untuk diambil ketika selesai akad
250 Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, al-Ikhtiyarat al Fiqhiyah, Daar al Kutub al
Ilmiyah, Beirut: 1995, hal. 475
226
Misalnya, orang membeli mangga yang belum kelihatan layak panen,
masih kecil-kecil. Tapi langsung diambil setelah akad. Terutama bagi
yang membutuhkan mangga kecil untuk manisan.
8. Bedakan antara jual beli pohon dengan jual beli buah
Hadis ini membahas jual beli buah atau biji yang ada di pohon. Ber-
beda dengan jual beli pohon, dia dibeli untuk diambil semuanya.Yang
menjadi pertanyaan, siapa yang berhak memiliki buahnya,
Dari Ibnu Umar r.a Nabi saw bersabda,
تاع ، ومن من اب تاع نال ب عد أن ت ؤب ر ف ثمرتا للبائع ، إل أن يشتط المب تاع ا وله مال فماله للذى بعه إل أن يشتط المب اب تاع عبد
“Siapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya
milik penjual. Kecuali jika membeli mempersyaratkan. Siapa yang
membeli budak dan dia membawa harta, maka harta itu milik orang
yang menjualnya, kecuali jika pembeli mempersyaratkannya.”251
Nabi saw memberi rincian untuk pohon yang dikawinkan,
[1] Jika dia beli sebelum dikawinkan maka buah itu menjadi milik pembeli
[2] Jika dia beli setelah dikawinkan maka buah itu menjadi milik penjual.
Ini berlaku jika pohon itu berbuah dengan sebab ada usaha manusia
mengawinkannya. Jika dia berbuah tanpa keterlibatan usaha manusia,
maka hasilnnya menjadi hak milik pembeli.
Contoh,
Ada sebagian orang yang menjual pohon jagung belum ada isi
jagungnya. Tapi dijual untuk digunakan pakan ternak. Sehingga dia diambil
setelah dibeli, bukan ditunggu sampai panen. Ini dibolehkan. Karena yang
dibeli seluruh pohonnya, dan bukan buahnya.
251 HR. Bukhari
227
Kaidah Kedua puluh tiga
ومز الل د وح ق الع ف ل صح األ
“Hukum asal akad itu mengikat”
Di lihat dari keterikatannya, akad dibagi menjadi 2:
[1] Akad lazim adalah akad yang mengikat kedua belah pihak pelaku akad.
Akad ini tidak bisa dibatalkan, kecuali atas kerelaan keduanya.
Misalnya, jual beli, atau sewa menyewa. Dalam akad jual beli, penjual
maupun pembeli tidak boleh membatalkan transaksi jual beli yang
telah terlaksana secara sepihak.
[2] Akad jaiz adalah akad yang tidak mengikat kedua belah pihak pelaku
akad. Sehingga bisa dibatalkan oleh salah satunya secara sepihak,
tanpa harus menunggu izin pasangan akadnya.
Misalnya, akad wadi’ah, wakalah, atau syirkah.
Kita ambil contoh akad wadiah, Orang yang titip barang, boleh saja
membatalkan akadnya dengan mengambil barangnya. Demikian pula orang
yang dititipi barang, dia berhak untuk mengembalikan barang itu ke
pemilik, dan membatalkan akad.
Jika kita tambahkan, ada yang ketiga, yaitu akad lazim satu pihak, dan
jaiz bagi pihak lain.
Seperti gadai. Barang gadai tidak boleh diambil oleh orang yang
berutang, kecuali atas izin yang menghutangi. Sehingga akad gadai, lazim
baginya.
Sementara orang yang memberi utang, bisa saja mengembalikan
barang itu kapanpun, tanpa harus menuggu restu dari yang menghutangi.
Akad Jual Beli itu Mengikat
Ketika akad jual beli itu sah, maka statusnya mengikat pelaku akad.
Sehingga tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Mengapa hukum asal akad
itu mengikat?
228
Karena akad dibolehkan dalam syariat untuk terwujudnya sesuatu
yang menjadi tujuan akad. Dan untuk memenuhi kebutuhan pelaku akad.
Sehingga konsekuensi akad harus mengikat, untuk melindungi hak orang
lain yang memiliki hajah.
az-Zarkasyi megatakan,
ني ب ة ي ار ال د و ق الع ب ت ن ي أ ل ا ا ر اه ة ظ ح ى الص ل ة ع ل و م م ني م ل س ال ا ذ ل و ه ف ال خ ني
ةح ى الص ع د م ق د ص اد س الف و ة ح الص ا ىف ف ل ت ا اخ ذ ا
Akad yang terjadi diantara kaum muslimin secara dzahir dihukumi sah,
sampai ada bukti bahwa akad itu tidak sah. Karena itu, jika ada dua
penilaian yang berbeda, antara sah dan tidak sah, maka lebih dimenangkan
yang menilai sah.252
Kaidah ini bisa kita terapkan dalam banyak kasus. Terutama ketika
terjadi sengketa antara pihak yang melakukan akad.
Pertama, adanya klaim dari salah satu pelaku akad bahwa akad tidak
memenuhi syarat sah.
Misalnya, pembeli mengklaim bahwa saat membeli barang itu, dia
tidak sadar atau terpaksa atau sebab lainnya yang menghilangkan
status ahliyah tasharruf, maka klaimnya boleh tidak diterima selama dia
tidak membawa bukti untuk klaim yang dia sampaikan. Karena hukum asal
dari transaksi adalah sah dan mengikat sampai ada bukti bahwa akad itu
tidak sah.
Kedua, membatalkan akad dengan alasan belum ada serah terima
Akad mengikat meskipun belum terjadi serah terima. Karena ikatan
terjadi ketika keduanya telah melakukan akad jual beli, sepakat dalam
menentukan barang dan harga. Sekalipun barang belum diserahkan dan
uang juga belum diserahkan.
Karena itu, membatalkan akad dengan alasan belum ada serah
terima, boleh ditolak.
Ada peristiwa yang pernah terjadi dengan sahabat Khuzaimah bin
Tsabit r.a .
252 Baruddin al-Zarkasyi ,al-Mantsur fil Qawaid, vol 2, hal 413
229
Suatu ketika Nabi saw membeli seekor kuda dari orang badui. Lalu
Nabi saw meminta kepada orang badui ini agar mengikuti beliau, meng-
ambil uang untuk membayar kuda.
Nabi saw berjalan cepat, sementara orang badui ini sambil meng-
gandeng kudanya, dia berjalan lambat. Sehingga banyak orang yang
menawar kuda yang dibawa orang badui ini. Mereka tidak tahu, bahwa
Nabi Saw telah membelinya.
Merasa ada yang nawar lebih tinggi, si badui ini tertarik untuk
menjualnya ke orang lain. Diapun memanggil Nabi Saw sambil teriak,
“Apakah kamu jadi membeli kuda ini? Jika tidak, biar saya jual ke yang
lain..”
Mendengar ini, Nabi Saw menyampaikan kepada si Badui,“Bukankah
tadi saya sudah membeli kuda itu darimu.”
“Tidak, demi Allah, aku belum menjual kuda ini kepadamu.” Kata si
Badui.
“Yakin, aku tadi sudah membeli kuda itu darimu.” Jawab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Mana saksimu, datangkan.” Pinta si Badui.
Datanglah Khuzaimah bin Tsabit dan mengatakan,
أنك قد بي عته أان أشهد
“Saya yang menjadi saksi, bahwa anda telah membelinya.”
Nabi saw terheran, beliaupun tanya ke Khuzaimah,“Dengan apa kamu
bisa bersaksi?”
“Dengan Allah membenarkanmu, ya Rasulullah…” jawab Khuzaimah.
Kemudian Nabi saw menjadikan persaksian Khuzaimah sepadan dengan
persaksian 2 orang. 253
Dalam peristiwa di atas, usaha orang badui untuk membatalkan akad,
tidak disetujui oleh Nabi Saw. Karena akad telah terjadi, telah disepakati
barang dan harganya. Hanya saja belum terjadi serah terima.
253 HR. Ahmad
230
Contoh:
Perjanjian di Nota
Dalam nota pembelian terkadang tertulis; ”Barang yang sudah dibeli
tidak dapat dikembalikan atau ditukar, kecuali jika ada perjanjian.”
Apakah ini dibenarkan? Karena menggugurkan hak khiyar dari konsumen.
Pada asalnya transaksi jual beli termasuk transaksi yang lazim.
Artinya mengikat kedua belah pihak. Sehingga jika ada salah satu pihak
yang ingin membatalkan akad, maka tidak bisa dilakukan, kecuali atas
kerelaan lawannya.
Dan biasanya, toko yang memasang tulisan tersebut dalam nota,
tetap menerima pengembalian dari konsumen, jika dalam barangnya ada
cacat atau kesalahan barang yang diterima.
Karena itu, tulisan semacam ini bukan melanggar syariat. Tidak ada
unsur menggugurkan hak khiyar. Hak khiyar tetap ada, namun dibatasi
selama konsumen masih di majlis transaksi, yaitu di toko.
Dalam transaksi jual beli normal, pembeli tidak dibenarkan
mengembalikan barang yang sudah dibeli tanpa ada perjanjian atau karena
alasan cacat.
Dianjurkan ada Iqalah
Pembeli boleh saja mengembalikan barang, tapi penjual tidak boleh
dipaksa untuk menerimanya. Artinya, penjual berhak menerima dan
berhak menolak. Hanya saja, penjual dianjurkan menerima, dan ini jika
diniatkan berbuat baik kepada orang lain maka bernilai pahala baginya.
Menerima pengembalian ini disebut iqalah. Dari Abu Hurairah R.a ,
Nabi saw bersabda,
عث رته ا أقاله الل من أقال مسلم
Siapa yang menerima iqalah (pembatalan transaksi) dari orang muslim,
maka Allah akan menggugurkan kesalahannya. 254
254 HR. Abu Daud
231
Kaidah Kedua puluh empat
اع ز الن ل إ ة ي ض ف ت م ان ا ك ذ إ اد س الف د ي ف ا ت ن إ ة ال ه ال لك ش ال
Jahalah yang menyebabkan jual belinya batal adalah jahalah yang
menyebabkan terjadinya sengketa.
Setiap sengketa dalam masalah dunia merendahkan kredibilitas
manusia. Karena itulah, syariat mencegah setiap celah terjadinya sengketa
antar-sesama muslim. Terutama sengketa dalam transaksi jual beli. Karena
itu, kaidah ini menjadi salah satu syarat penting dalam masalah kejelasan
objek transaksi.
Sebagai contoh, dalam jual beli buah. Nabi saw melarang jual beli
buah sebelum nampak kelayakannya untuk dipetik. Arahan Nabi saw di
atas, dalam rangka menutup terjadilah celah sengketa antara pemilik
pohon dengan pembeli.
Kemudian, dalam satu hadis yang panjang, Rasulullah saw melarang
sederet transaksi. Karena semuanya mengandung jahalah (ketidak jelasan).
Dari Jabir bin Abdillah r.a , beliau menceritakan,
مة والمخاب رة عن المحاق لة والمزاب نة والمعاو -صلى هللا عليه وسلم-نى رسول الل يا ورخص ىف العراي وعن الث ن
Rasulullah saw melarang transaksimuhaqalah, muzabanah, muawamah,
mukhabarah, dan ats-Tsunya. Namun beliau memberi keringanan untuk
transaksi Araya. 255
Muhaqalah: transaksi muzara’ah (patungan antara pemilik lahan
pertanian dengan penanam), dengan pembagian tertentu yang
bukan berdasarkan prosentase. Misalnya petak Sawah sebelah
kanan milik tuan tanah. Sementara yang sebelah kiri milik petani.
255 HR. Muslim
232
Atau panen tahun ini milik petani, panen tahun depan milik tuan
tanah.
Muzabanah: tukar menukar antara kurma kering dengan kurma basah
dengan sama-sama ditakar. Atau anggur kering dengan anggur
basah dengan sama-sama ditakar.
Mu’awamah: jual beli buah kurma atau pohon lainnya, uangnya sekarang
tapi diambil dua tahun atau 3 tahun berikutnya. Sehingga sama
sekali belum kelihatan buahnya.
Mukhabarah: patungan antara pemilik lahan pertanian dengan penanam,
dengan aturan, hasil panen tertentu milik petani, sementara hasil
panen jenis lainnya milik tuan tanah.
At-Tsunya: pengecualian. Artinya, penjual meminta adanya pengecualian
ketika menjual barangnya.
Ulama berbeda pendapat mengenai makna pengecualian dalam jual beli,
[1] Menyatakan kecuali sebagian.
Misalnya, penjual mengatakan, ‘Saya jual motor ini seharga 7 juta,
kecuali sebagian.’
Sementara dia tidak memberi tahu, sebagian apa yang dimaksud.
Dan jika sebagian itu dinyatakan, hukumnya dibolehkan. Sebagaimana
dinyatakan dalam riwayat lain, dari Jabir bin Abdillah,
يا إل أن ت علم -عليه وسلم صلى هللا-أن النب نى عن الث ن
Bahwa Nabi saw melarang ats-Tsunya kecuali jika diberi tahukan. 256
Kata an-Nawawi, pengecualian yang sama-sama diketahui,
dibolehkan dengan sepakat ulama. 257.
[2] Mengajukan syarat ketika jual beli yang mengurangi sebagian hak
pembeli.
Misalnya, penjual mensyaratkan agar barang itu tidak dijual ke orang
lain atau tidak dikasihkan orang lain.
256 HR. Nasai
257 An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Vol 10, hal 195
233
[3] Jual beli dengan perjanjian, jika penjual berhasil mengembalikan uang
maka pembeli wajib mengembalikan barang. Atau istilah lainnya ba’i
al-Wafa’. 258.
Namun, melihat konteks hadis, yang lebih tepat adalah makna
pertama. Sebagaimana keterangan an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
Dan jika perhatikan, semua transaksi di atas, sangat besar unsur
ghararnya. Mentransaksikan peluang. Antara terjadi dan tidak terjadi.
Antara untung, atau rugi sama sekali. Inilah yang dimaksud unsur ‘jahalah’
(ketidak jelasan) yang berpeluang menimbulkan sengketa.
Ada beberapa bentuk ketidak jelasan dalam akad. Diantaranya,
1. Ketidak jelasan pada objek akad, termasuk ketidak jelasan pada upah
untuk akad ijarah.
2. Ketidak jelasan sesuatu yang diserah terimakan dalam akad
muawadhat. Seperti tidak jelas harga dalam akad jual beli.
3. Ketidak jelasan masa serah terima objek akad, untuk akad yang
ikatannya dibatasi masa tertentu. Seperti ketidak jelasan masa untuk
akad sewa.
4. Ketidak jelasan sarana penjamin akad yang disyaratkan adanya
jaminan. Misalnya dalam akad gadai, barang yang digadaikan harus
jelas. 259
Jahalah Yang Tidak Menimbulkan Sengketa
Secara sederhana, keseimbangan dalam transaksi mu’awadhat, dapat
kita rumuskan dengan, Iwadh(yang diserahkan) =Muawwadh(yang
diterima) .Keduanya harus jelas. Jika yang diserahkan jelas, sementara yang
diterima sifatnya hanya peluang, antara terjadi dan tidak terjadi, maka
transaksi ini dilarang. Inilah yang disebut jual beli gharar.
Misalnya, seseorang menyerahkan menyerahka uang, kemudian dia
mendapatkan kupon undian berhadiah. Bisa menang, bisa kalah. Atau nilai
iwadh-nya jelas, namun muawwadh-nya ada bagian yang tidak jelas. Dalam
258 Qutb Mushtafa Sanu, 2000, Mu'jam Musthalahat Usul al-Fikih, vol 1. Dar al-
Fikr, Beirut:, hal 405
259 Mustafa Ahmad al-Zarqa’, 1965, Madkhal al-Fiqh al-Islamy, vol 2. Mathabi’ Fata al-‘Arab, Mesir: hal 689
234
kondisi ini ditimbang, seberapa besar nilai ketidak jelasannya. Jika nilai
ketidak jelasan itu besar, ini dilarang.
Namun jika nilai ketidak jelasan itu kecil, dan tidak mungkin untuk
dihindari, dibolehkan.
Dalam hadis di atas, Nabi saw memberi keringanan untuk jual beli
araya. Jual beli araya atau ariyah adalah jual beli barter antara kurma
kering di tangan dengan kurma basah di tangkai pohon. Atau barter antara
anggur kering (zabib) dengan anggur basah.
Transaksi semacam ini, bisa dipastikan ada selisih. Sementara barter
antar-bahan makanan yang sama, hukumnya riba kecuali ukurannya sama.
Nabi saw memberikan keringanan selama tidak mencapai 5 wasaq.
Sebagaimana dinyatakan dalam hadis, dari Abu Hurairah r.a ,
رخص ىف ب يع العراي فيما دون خسة أوسق -صلى هللا عليه وسلم-ل الل أن رسو أو ىف خسة أوسق
Bahwa Rasulullah saw memberi keringanan untuk jual beli araya di bawah 5
wasaq.260.
Jika 1 wasaq = 60 sha’, dan 1 sha’ = 2,7 kg, berarti 5 wasaq = 810 kg.
Nabi saw membolehkan, karena ketidak jelasan ukuran senilai itu
masih bisa ditoleransi. Dan ini menjadi kebutuhan para sahabat ketika itu,
sehingga mereka bisa melakukan transaksi barter araya dengan prediksi
tanpa ada sengketa.
Syaikh Ahmad Ibrahim mengatakan,
الهالة ليست بانعة لذاتا؛ بل لكونا مفضية ال النزاع
Ketidakjelasan, tidak dilarang secara dzatnya, namun karena keberadaan-
nya bisa menimbulkan sengketa. 261.
Contoh penerapan kaidah:
[1] Transaksi makan di warung
260 HR. Abu Daud
261 Ahmad Ibrahim bik, al-Muamalat as-Syar’iyah al-Maliyah, hal. 163
235
Ketika seseorang beli di warung, dia mengambil nasi, lauk, sayur, dan
kelengkapan lainnya. Dia baru melapor kasir setelah dimakan.
Sementara dia hanya menyebutkan jenis sayur dan lauk yang diambil.
Tanpa menghitung berapa gram nasinnya, berapa gram sayurnya, dst.
Ketidakjelasan ukuran semacam ini, tidak sampai menimbulkan
sengketa, dan itu dibolehkan.
[2] Tidak jelas teknik pembagian keuntungan dalam syirkah (kongsi)
Ketidak jelasan cara pembagian hasil dalam syirkah, sangat rentan
dengan sengketa. Terlebih ketika terjadi kerugian. Karena itu, ketidak
jelasan di sini, bisa mempengaruhi keabsahan akad.
Dalam Ensiklopedi Kaidah Fikih Muamalah, dinyatakan,
يشتط بيان الوجه الذي سيقسم فيه الربح بني الشركاء؛ وإذا بقي مبهما ومهول تكون الشركة فاسدة
Disyaratkan adanya penjelasan metode pembagian keuntungan antara
anggota syirkah. Jika masih ada yang belum jelas dan tidak dipahami, maka
kerja sama syirkah menjadi batal. 262.
[3] Ketidak jelasan jarak ketika naik taksi dengan argo
Ketika seseorang mencari alamat dengan taksi, bisa dipastikan
jaraknya tidak jelas dan nominal yang harus dibayar oleh penumpang
juga tidak jelas. Bisa sangat jauh, bisa juga dekat.
Namun ketidak jelasan di sini tidak akan menimbulkan sengketa.
Karena keduanya telah sepakat, biaya yang dikeluarkan penumpang,
sesuai dengan jarak berapa lama dia berada di dalam taksi. 263.
262 Ibid Hal 253
263Ibid, hal 254
236
Kaidah Kedua puluh lima
ان م لض و ب أ ل م لع و ب أ ال م لح ا ب م إ ح بح الر ق ح ت سح ي
Orang berhak mendapat keuntungan, karena harta, pekerjaan, atau resiko
kerugian.
Secara umum, prinsip yang diajarkan syariat bahwa keuntungan
yang diperoleh seseorang, berbanding lurus dengan pengorbanan dan
resiko yang dia keluarkan.
Terdapat banyak hadis yang menegaskan hal ini. Diantaranya,dari
Abdullah bin Amr bin Ash r.a , Nabi saw bersabda,
ول ربح ما ل يضمن
“Tidak boleh ada keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian.”264
Kemudian hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Nabi saw bersabda,
لضمان الراج ب
“Hasil keuntungan itu sebagai ganti dari resiko yang dia tanggung.”265
Kemudian, dalil tentang bolehnya mengambil upah karena dia telah
bekerja, hadis dari Abu Hurairah r.a , Nabi saw bersabda,
ي ا فاست وىف … قال الل ثالثة أان خصمهم ي وم القيامة نه ، ول ورجل استأجر أج م ي عط أجره
Allah berfirman,“Ada 3 orang yang menjadi lawanku di hari kiamat… (salah
satunya) …dan orang yang mempekerjakan orang lain, lalu karyawan ini
telah bekerja dengan baik, namun si majikan tidak memberikan upahnya. 266
Dalam hadis ini, Allah membela hak karyawan yang telah bekerja,
namun dia tidak diberi upah oleh majikannya.
264 HR. Ahmad
265 HR. Ahmad
266 HR. Bukhari
237
Dari ketiga dalil di atas, para ulama menetapkan kaidah yang lebih
singkat,
الغنم بلغرم
“Keuntungan itu diberikan karena ada resiko kerugian.”
Makna kaidah
Pertama, hak keuntungan karena harta
Orang yang menanam modal, dia berhak untuk mendapatkan
keuntungan dari pertambahan modalnya. Karena dia juga menanggung
resiko kerugian jika modalnya berkurang.
Karena itulah, jika ada akad mudharabah, dimana pihak pemodal
mensyaratkan, apabila terjadi kerugian atau proyek gagal, maka modal
harus dikembalikan maka akad mudharabahnya batal. Karena berarti
konsekuensinya tidak jalan. Karena pemodal hanya siap berbagi
keuntungan, sementara dia tidak siap berbagi kerugian.
Dan dengan adanya persyaratan, mengembalikan modal ketika
terjadi kegagalan, maka status akadnya menjadi qard (utang), sehingga dia
tidak berhak menerima bagi hasil keuntungan. Karena semua kelebihan
dari utang statusnya riba.
Kedua, hak keuntungan karena pekerjaan
Orang yang telah bekerja, dia berhak mendapat upah atas pekerjaan
yang dia lakukan. Ini berlaku untuk akad ijarah.
Sementara untuk akad ju’alah (semacam sayembara), yang dilakukan
adalah jual beli hasil dari usaha, dan bukan volume usaha. Misalnya,
membersihkan virus komputer. Jika berhasil maka akan dibayar Rp
100.000;
Setelah dilakukan pembersihan selama 1 jam, ternyata tidak berhasil,
dan menyerahkan kembali komputer tadi ke pemilik. Apakah petugas
pembersih virus dapat upah??
Jawabannya, tidak dapat upah. Dia menjual hasil dan bukan semata
jasa. Karena dia tidak berhasil, maka dia tidak berhak dapat uang.
238
Karena itu, jika dalam sebuah skema transaksi, ada posisi yang selalu
mendapatkan upah, sementara dia sama sekali tidak bekerja, maka skema
semacam ini bermasalah. Seperti bisnis MLM, dimana ada up line yang
selalu mendapat bonus, padahal dia sama sekali tidak bekerja. Dia tidak
melakukan penjualan, juga tidak mencari konsumen, dst. dia hanya
menikmati kerja orang lain yang menjadi down line-nya, sehingga upah
yang dia terima adalah upah yang tidak sah.
Ketiga, hak keuntungan karena tanggungan
Orang yang menanggung resiko tertentu atau dibebani tanggung
jawab tertentu, maka dia berhak mendapat keuntungan.
Mudharib (pelaku usaha) yang mengelola harta orang lain, dia
memegang tanggung jawab terhadap harta itu. Karenanya, dia berhak
mendapat bagi hasil keuntungan.
Di zaman Nabi saw, ada sahabat yang membeli budak, Setelah
dipekerjakan beberapa hari, pembeli melihat ada cacat di budaknya, yang
tidak diceritakan oleh penjual. Akhirnya dia-pun mengembalikan budak ini
ke penjual. Tapi pihak penjual tidak mau menerimanya, kecuali jika
pembeli mambayar nilai sewa budak yang telah dipekerjakan di tempat
pembeli selama beberapa hari.
Akhirnya keduanya mengadukan hal itu kepada Nabi Saw.Dan beliau
memutuskan, penjual harus menerima pengembalian karena cacat itu, dan
pembeli tidak berkewajiban bayar biaya sewa.
Penjual belum merasa puas dengan keputusan ini, sampai
mengatakan,
رسول الل قد است غل غالمىي
“Ya Rasulullah, dia telah menikmati ‘hasil’ dari budakku.”
Lalu Nabi saw menjawab,
لضمان الراج ب
“Hasil itu berbanding dengan tanggungan resikonya267
267 HR. Abu Daud
239
Dengan jawaban ini, Nabi saw memenangkan pembeli. Pembeli tidak
berkewajiban bayar nilai sewa, karena selama budak itu ada di tangannya,
keselamatan budak itu menjadi tanggung jawabnya. Karena itu,
sebagaimana dia menanggung resiko keselamatan itu budak, dia juga
berhak menikmati hasil dari budak itu. Hasil yang dia nikmati, terbayarkan
dengan resiko yang menjadi tanggung jawabnya.
240
Kaidah Kedua puluh enam
ة م ال ى الس ل د ع قح الع ي ض م ل صح ال
Pada prinsipnya, semua barang yang diterima dalam keadaan selamat
ketika akad
Yang dimaksud selamat di sini adalah terbebas dari aib dan cacat
yang berpengaruh mengurangi nilai barang. Jika dalam barang itu ada cacat
yang mempengaruhi nilainya, maka barang itu dianggap tidak selamat.
Kaidah ini memiliki posisi penting dalam muamalah maliyah. karena
menjadi salah satu rujukan untuk menentukan siapa yang berhak ketika
terjadi sengketa. kaidah ini secara umum merupakan turunan dari prinsip
mengambil yang dzahir (yang nampak), dalam setiap kasus maupun
ucapan.
Al-Kasani mengatakan,
ة وب ل ط ع م ي الب ف ة م ال الس ن أ ة ل ل د د ق الع ف ة ط و ر ش م ة م ال الس ن ى أ ل ع ل ي ل الد د ي ق ب ل ه إ اع ف ت ن ا ل ام ك ت ي ل و يع لب ب اع ف ت ن ال ه ض ر غ ن أل ه ر آخ ل ة إ اد ي ع ت ش ال
ةم ال الس
Bukti bahwa barang bebas cacat adalah syarat akad secara prinsip, karena
barang bebas cacat, itu yang diinginkan pembeli. Karena tujuannya adalah
memanfaatkan barang. Sementara dia tidak bisa memanfaatkan dengan
baik, kecuali jika barang bebas dari cacat. 268.
Untuk itulah, ketika pembeli telah menerima barang, asumsinya,
barang ini bebas dari cacat. Jika ternyata barang ini memiliki cacat, berarti
asumsi itu tidak benar, sehingga pembeli punya hak mengembalikan
barang.
Dalam Ensiklopedi Kaidah Fikih Mumalah Maliyah dinyatakan
268'Allaudin Al- Kasani, al Bada'i as-Shana'i, vol 5, , Dar al-Fikr, Beirut: hal
274
241
ع ر الش اق ف ت ة ب م ال الس يه ل ع ود ق الع ف ل ص األ ن ب؛ ل ي ع ال ار ي ت خ ب ا ث ن إ و انم ز ل ك اس ف الن ل ام ع ا ت ذ ى ه ل ع ل؛ و ق الع و
Adanya khiyar aib, karena hukum asal dari objek akad adalah diterima
dengan selamat. Bisa dipahami secara syariat dan sesuai logika. Dan inilah
yang menjadi tradisi masyarakat dalam bertransaksi dari zaman ke zaman. 269
Ini seperti yang dinyatakan al-Baji – ulama Malikiyah -,
ب ي ى ع ل ع د ع ب ع ل اط ن إ ا؛ ف ه ي ل ع ص ن ي ل ن إ ؛ و ة م ال الس ي ض ت ق د ي ق الع ق ال ط إ ن إ …د الر ه ل ان ك
Ketika akad telah dilakukan, barang harus dalam kondisi selamat dari aib,
meskipun tidak ada kesepakatan. Sehingga jika setelah itu pembeli melihat
ada aib, maka dia punya hak untuk mengembalikan. 270.
Penerapan Kaidah
Pertama, Pembeli mengklaim bahwa dirinya tidak serius ketika melakukan
akad.
Jika pembeli mengklaim bahwa dia tidak serius ketika melakukan
akad, dan dengan ini dia beralasan untuk mengembalikan barang, maka
alasannya tidak bisa diterima. Karena pada asalnya, transaksi terjadi
dengan baik (as-Salamah), tidak ada penipuan, dan barang diterima dengan
baik. Kecuali jika dia punya bukti yang mendukung pernyataannya.
Dalam al-Mughni dinyatakan,
ن ؛ أل ة ن ي ب ب ل إ ه ل و ق ل ب ق ي ؛ ل ه ار ر ق إ ال ح ل ق الع ل ائ ز ان ك ه ن ى أ ع د ا ث ق ب ر ق أ ن م و اه ي غ م ل ع ي ت ح ة م ال الس ل ص األ
269 Jamharah al-Qawawid al-Fiqhiyah fi al-Muamalah al-Maliyah, hal 270
270 Abi Walid Sulaiman Bin Kholaf Bin Sai’d Ayyub Al-Bajiy, 1999, Al-Muntaqa Syarah Muwattha’ Malik, vol 4, Daar Kitabu Al-‘Ulmiyah, Beirut Lebanon, hal 183
242
Siapa yang menyetujui hak tertentu, kemudian dia mengklaim bahwa ketika
menyetujui dia tidak sadar, maka klaimnya tidak bisa diterima, kecuali
dengan bukti. Karena hukum asalnya adalah akad itu berlangsung selamat
(sukses) sampai diketahui ada kondisi yang berbeda. 271.
Kedua, komplain adanya aib dari pembeli
Jika pembeli mengembalikan barang karena adanya aib pada barang
Di sana ada 3 rincian:
Pertama, Cacat itu murni dari kesalahan pembeli. Dia tidak berhak
mengembalkan barang yang telah dia beli.
Kedua, Cacat yang bisa dipastikan dari penjual, misalnya orang beli
buku, ternyata ada bagian halaman yang kurang. Atau ada bagian
yang tidak sesuai spec yang disebutkan ketika akad.
Ketiga, Cacat tidak jelas kapan munculnya. Pembeli komplain, semen-
tara penjual tidak menerimanya. Siapakah yang dimenang-kan
dalam kasus ini?
Ulama berbeda pendapat dalam kasus ini. Dalam madzhab hambali ada 2
pendapat,
[1] yang dimenangkan adalah pembeli.
Sehingga pembeli cukup bersumpah bahwa cacat itu sudah ada sejak
dari penjual. Ini merupakan pendapat al-Kharqi (w. 334 H).
[2] yang dimenangkan penjual
Sehingga penjual cukup bersumpah bahwa cacat itu dari pembeli. Dan
ini pendapat yang lebih kuat. Dengan alasan:
1. Hukum asal transaksi, barangnya selamat bebas cacat. Jika ada
klaim cacat yang tidak jelas, dikembalikan kepada hukum asal,
bahwa barang diterima dengan selamat.
2. Dinyatakan dalam kaidah,
يخ ار الت ف ف ال ت خ ال د ن ع ه ات ق و أ ب ر ق أ ل إ ث اد ة ال اف ض إ ل ص األ
271 Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah, 1997, al-Mughni, vol 5, hal 271
243
Hukum asalnya, kejadian dikembalikan kepada waktu yang paling
dekat, ketika terjadi perbedaan dalam menetapkan waktunya.
Karena barang ini baru diterima oleh pembeli maka kejadian
dikembalikan kepada pembeli.
Ketiga, jual beli dengan syarat bebas komplain (Ba’i bi Syarth al-Bara’ah)
Ketika penjual mengajukan syarat kepada pembali untuk lepas
tangan dari setiap aib barang, dan pembeli menerimanya, apakah penjual
bisa bebas dengan syarat ini? Bolehkah pembeli mengajukan hak khiyar?
Ada dua keadaan dalam hal ini
Pertama, Pembeli telah mengetahui cacat barang atau cacat itu sangat
jelas, maka penjual bebas dari cacat ini
Kedua, Pembeli tidak tahu cacat, sementara penjual lepas tangan dari
semua aib, hukum yang berlaku ada 2:
[a] Cacat yang sama-sama tidak diketahui, penjual lepas tangan.
Karena pembeli telah menerima semua kondisi barang.
[b] Cacat yang diketahui penjual, sementara dia diam dan merahasia-
kannya. Sehingga pembeli tetap berkewajiban menerima hak
khiyar aib. Karena dengan menyembunyikan aib, termasuk
penipuan.
244
BAB XII. PENUTUP
Hukum Islam (Fikih) adalah satu dari sistem hukum yang sangat
berkembang dalam sejarah manusia, baik dalam hal kedalamannya
maupun keluasan aplikasinya. Fikih menduduki tempat yang penting dalam
budaya hukum ummat manusia secara keseluruhan . Tidak seperti banyak
tradisi hukum lainnya, Fikih telah memulai sistemasi hukum dan formulasi
kaidah-kaidah hukum-hukumnya sendiri pada awal mula dari tahap
perkembangannya.
Dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi, hukum Islam (Fikih) ini
merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga
kaidah fikih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi
ekonomi juga menggunakan kaidah fikih muamalah. Kaidah fikih muama-
lah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala
tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada
dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang
berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan
maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Alquran maupun Hadist),
maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Kaidah fikih dalam muamalah yang ditulis di atas memberikan arti
bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan ke-dunia-an,
manusia diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja yang bisa
memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungan-
nya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini
didasarkan pada Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi
‘umurid dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam
urusan kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan
waktu, Islam memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk
menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang
bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwa Islam menjunjung
tinggi asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan potensi-
245
nya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi
manusia sebagai khalifatul-Llah fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).
Efek yang timbul dari kaidah fikih muamalah di atas adalah adanya
ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muama-
lah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang
muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum
ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama
transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam
Islam.
246
DAFTAR PUSTAKA
A Djazuli, Kaidah- Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah
yang Praktis, Kencana, Jakarta: 2007.
A. Ifham Sholihin.Buku Pintar Ekonomi SyariahGramedia, Pustaka Utama,
Jakarta: , 2010
A. Mu’in, dkk, “Ushul Fikih 1”, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta, 1986,
Abd Aziz (ed), Ensiklopedi hukum Islam vol 3, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996
Abd haq, dkk, , Formulasi Nalar Fikih”, Khalista, Surabaya, 2009
Abd Husain Abdullah, Al-Iqtishad al Islami; ushusun wa muba’un wa akhdaf,
(Ekonomi Islam; Prinsip, Dasar, dan Tujuan) terj. M Irfa Syofwani,
Yogyakarta: Magistra Insani Press, 2004.
Abd Muhsin bin Abdullah az-Zamil, tt, Syarh al-Qawâ’id as-Sa’diyah, Dar Athlas al-Kahadhra’ li an-Nasyri wa-at-Tauzi
Abd Rahman bin Nashir as-Sa’adi. Tahqiq , Khâlid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsîmul Badî’atun Nâfi’ah, Cet. II. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh, 2001,
Abd Rahman bin Natsir as-Sa’ady, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir kalam al-Mannan vol 2, Ulin Nuha ats-Tsa’alaby, Kairo, 2000
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fikih. Amzah, Jakarta , 2005,
Abd Rahman ibn Jâdillâh al-Bannâni, Hâsyiyah al-Bannâni, Jilid I, Dâr al-Fikr, Beirut, 1995
Abd Wahab bin Ali bin Abd Al-kafi Al-Subki, Al-Imam Tajuddin. Al-Asybah wa Al-
Nazhair juz 1. Beirut: Dar Al-kutub al-Islamiyah.
Abdullah Al-Kamali. Maqashid al-Syari’ah Fi Dau’ Fikih al- Muuwazanat.cet. I, Dar
al-Fikr, Beirut-Libanon: 2000.
Abi Walid Sulaiman Bin Kholaf Bin Sai’d AyyubAl-Bajiy, Al-Muntaqa Syarah Muwattha’ Malik,: Daar Kitabu Al-‘Ulmiyah, Beirut Lebanon 1999,
Abidin, Zainal. Al-Furuq. Vol 3Maktabah Al-Munawwir., Yogyakarta: 1959.
Abu Bakr Jabir al-Jazairi Aisar at-Tafâsir, Cet. VI, Maktabah Ulum wal Hikam,. 2003,
Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhâjul Muslim, M, Dar Ibni al-Haitsam, Kairo, 2002
247
Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Latif, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fikih
Islami, Jakarta, Pustaka Al-Furqon; , 2009
Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, Dar al-Ma’arif, Beirut1979,
Adiwarman Azwar Karim, , Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIIT Indonesia, 2002.
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam; Edisi Ketiga, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Adiwarman, Karim, Ekonomi Mikro Islam. PT. Raja Grafindo Persada,. Jakarta. 2007
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam; Jilid I, terj. Soeroyo dan Nastangin, Dana
Bhakti Wakaf, Yogyakarta: 1995.,
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam; Jilid II, terj. Soeroyo dan Nastang-in,
Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta: 1995.,
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam; Jilid III, terj. Soeroyo dan Nastang-in,
Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta: 1995.,
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam; Jilid IV, terj. Soeroyo dan Nastang-in,
Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta: 1995.,
Ahmad bin Abd Halim, Syeikh Islam Ibn Taimiyah, al-Qawaid an-Nuraniyah, Dar Ibn al-Jawzi, al-Dammam, 2002,
Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad Bin Hanbal, Vol. VI. Kairo: Mu'assasah Qurtubah, tt.
Ahmad Muhammad Asy-Syafii, Ushul fikih al-Islami, Iskandariyah Muassa-sah Tsaqofahal-Jamiiyah, tt. , 1983
Ahmad Mukri,. Kontekstualisasi ijtihad dalam diskursus pemikiran hukum Islam di
Indonesia. Pustaka Pena Ilahi, Bogor:2010
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz IV, Musthafa Bab al-Halabi, ,
Beirut: t.th
Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007,
Ali Ahmad Al-Nadawi, Al-Qawa'id Al-Fikihiyah, Cet. I, Dar Al-Qalam, Damaskus, 1986
Ali Ahmad Al-Nadw. Al-Kaidah Al-Fikihiyah. cet .V. Dar al-Qalam. Beirut:. 2000
Ali Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawâ’id Al-Fikihiyah, Dâr al-Qâlam, Beirut , 2000
Al-Jauziyah, Ibn Al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz II, Maktabah Dar al-Bayan, Damaskus, 2000,
Al-Jauziyah, Ibnu Qoyyim, Zadul Ma'ad, Pustaka Azzam, Jakarta: 2000.
248
Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1983
Al-Kamali, Abdullah. Maqashid al-Syari’ah Fi Dau’ Fikih al- Muuwazanat.cet. I,: Dar al-Fikr , Beirut-Libanon. 2000
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fikih al-Syafi’I, cet. I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 1979
Amir. Syarifuddin.Ushul Fikih jilid 1. Kencana, Jakarta: , 2008
Amir. Syarifuddin.Ushul Fikih.Jilid 2. Kencana, Jakarta: , 2011
An Nabhani, Taqyuddin. An – Nidlam Al Iqtishadi Fil Islam, terj. oleh Magh-fur
Wachid, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Surabaya: Risalah
Gusti , 2002
Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad, Problematika Investasi pada bank Islam solusi ekonomi; (Terj: Rafiqah Ahmad, Alimin). Migu-nani, Jakarta. 2008
Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-Undangan Pidana
Khusus di Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Kemente-rian Agama RI,
Jakarta: 2010.
Asymuni Abd.Rahman. Kaidah-Kaidah Fikih. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang. . 1976
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fikih, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2009
Burhanudin, Fikih Ibadah, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001
Dahlia Husni, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani, Jakarta: 2006.
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Edisi ke-3, Rajawali Press,
Jakarta:2010.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
ke- 2, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa:
Edisi Empat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Euis Amalia,.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kon-
temporer, Pustaka Asatrus, Jakarta:, 2005
Frank H. Knight, Risk, Uncertainty, and Profit, Houghton Mifflin Co. Boston .1921
Gregory Mankiw, Pengantar Ekonomi Edisi Kedua Jilid 1,(terj) Haris Munan-dar,
Erlangga, Jakarta: 2003.
Habib Nazir, M Hasanudin, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan, Kafa Publishing, Bandung, 2008
Hamka Haq, Al Syathibi; Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-
Muwafaqat, Erlangga, Jakarta: 2007.
249
Hassan Shadily (ed),. Ensiklopedi Indonesia, Ictiar–Van Hoeve, Jakarta 1983
Hasyiyah Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar, jilid IV, Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir: 1966.
Ibn Nujaim al-Masharî Al-Hanafî, , al-Bahr ar-Râiq Syarh Kanz ad-Daqâiq (Fî Furû' al-Hanafiyyah), vol , Dâr al-Kutub al-'Alamiyyah, Beirut,. 1252 H
Ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Nazhâir, Dâr al-Fikr, Damaskus, 1983
Ibnu Majah, Abu Abd M. bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, Darur Fikr,
Beirut:1607.
Ibnu Nuzaim., Al-Asybah wa al-Nazhair. cet 1. Dar Al-fikr. Damaskus: 1983
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Shaikh al Islam Ahmad b. Taimiyah. Al Riyadh Press, Riyadh, 1983
Ibnu Taimiyah, Public Duties in Islam, The Institution of The Hisba, (terj) Arif
Maftuhin Dzofir, Tugas Negara Menurut Islam, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta:. 2004
Imam Malik bin Anas, Al-Mudawwanah Al-Kubro, Birut: As-Saadah, 1323 H,
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fikihiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
Jaih Mubarok, Kaidah Fikih (Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Jalaluddin Abd al-Rahman Al-Suyuthi. a-Asybah wa al-Nazhair fi Kaidah wa furu’
Fikih al-Syafi’i. cet 1. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. , Beirut: 1979
Jusmaliani, Bisnis Berbasis SyariahBumi Aksara, , Jakarta: 2008.
Kementerian Agama RI, Syaamil Al-Quran, Edisi Ushul Fikih, Sygma Publising,
Bandung: 2011.
Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait Al-Mausu'ah Al-Fikihiyah Al-Kuwaitiyah, vol 9, Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, Kuwait; , 1983,
Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdhatul Ulama 1926-2004, Ahkamul
Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Lajnah Ta’lif Nasyr
NU, Surabaya: 2007.
M Nazori Majid,, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf. Cet. I. PSEI STIS,
Yogyakarta: 2003.
M Syakir Sula. Asuransi Syariah (life and general): Konsep dan Sistem Operasional ,
Gema Insani Press, Jakarta: , 2004
250
M. Abdul Mannan,, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Dasar-Dasar Ekonomi
Islam), diterj. M Nastangin, PT Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta: 1995.
M. Nur Rianto, Dasar-dasar Ekonomi Islam, Era Adicitra Intermedia, Solo: 2011.
M. Nur Rianto,, Euis Amalia, Teori Mikro Ekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi
Islam dan Ekonomi Konvensional, Kencana, Jakarta: 2010.
M. Umer Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Gema Insani, Jakarta:2000.
Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, Yogyakarta: 2000.
Muchtar yahya, fathchurrahman, dasar-dasar pembinaan hukum Islam, al Ma’arif. Bandung. , 1993
Muhammad Abdul Mun’im Al-Jamal, Ensiklopedi Ekonomi Islam. (Terj.) Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Selangor Malaysia: . 1997
Muhammad Abu Zahrah, tt, Ushul Fikih, Dâr Al-Fikri Al-Arabi, tt
Muhammad Abû Zahrah, Ushûl Fikih, Dâr al-Fikr al-Arabî, Mesir, 1990
Muhammad al-Ruki, Qawâ’id Al-Fikihi al-Islami, Dâr al-Qâlam, Beirut, 1998,
Muhammad bin Ahmad abi Bakr Abi ‘Abdullah al-Qurthubi,, Tafsir al-Qurthubi al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Cet I, Daar Ar-Risalah, Beirut, 2006
Muhammad bin Idris As-Syafi'i, al-Umm (Juz II, , Dar al-Fikr, Beirut.
Muhammad bin Muhammad Al babaruti, 'ināyah syarh al-hidāyah Maktabah. Syamilah, Kitabul Fikihi, Fikih Hanafiah
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Mudzakkirah al-Fikih vol II, Cet. I, Dar al-Ghad al-Jadid, Kairo, 2007
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarh Manzhûmah Ushûlil Fikih wa Qawâ’idihi, Cetakan Pertama, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, 1426
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, at-Ta’lîq ‘alal Qawâ’id wa al-Ushûlil Jâmi’ah, Cetakan pertama, Muassasah as-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin al-Khairiyyah, Unaizah, 1430 H
Muhammad Ma’shum Zein, Sistematika Teori Hukum Islam (Qawa’id Fikihiyyah), Al-Syarifah Al-Khadijah, Jombang, 2006
Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah al-Fikih al-Kuliyyat, Mu’assasah al-Risalah, Beirut, 1983,
Muhammad Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fikih Keuangan dan Transaksi Bisnis, Ulul Albab Institut, Bogor, 2010
Muhammad Umer Chapra, Islam dan tantangan Ekonom; Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Risalah Gusti, Surabaya, 1999.
Muhammad Utsman Syabir,Muamalah Maliyah Mu’ashirah, Daarun nafais, Kuwait, 2007
251
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE Yogyakarta,
Yogyakarta: 2004.
Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. BPFE-Yogyakarta,. Yogyakarta, 2004
Muhyiddin an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj vol IX, Cet. XIV, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 2007
Muliadi Kurdi, Ushul Fikih Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh, 2011
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fikih Islam, Sebuah Pengantar, Risalah Gusti,
Surabaya:1995.
Mustafa Ahmad al-Zarqa’,Madkhal al-Fikih al-Islamy, Juz.3. Mathabi’ Fata al-‘Arab, Mesir: 1965
Musthafâ Ahmad al-Zarqâ’, al-Madkhal al-Fikih al-‘Amm, Mathba’ah Jâmi’ah, Damaskus, , 1983
Muwattha’ Malik,Beirut Lebanon : Daar Kitabu Al-‘Ulmiyah, 1999
Nashir bin ‘Abdillâh al-Miman, al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fikihiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalah, cet. II, Jami’ah Ummul- Qura, Makkah al-Mukarramah, 2005
Nashir bin ‘Abdillâh al-Miman, al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fikihiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalah, cet. II, Jami’ah Ummul- Qura, Makkah al-Mukarramah, 2005
Nasrun Haroen,, Ushul Fikih 1, Logos,Yogyakarta: 1997.
Nukhbah min al-‘Ulama’, al-Fikih al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, Majma’ al-Malik Fahd li Taba’at al-Mus-haf as-Syarif, al-Madinah al-Munawwarah , 1424 H
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta:2010.
Nurul Huda, dan A Muti, Keuangan Publik Islam: Pendekatan Kitab al- Kharaj
Imam Abu Yusuf), Ghalia Indonesia, Bogor: 2011.
Nurul Huda,, et al, Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Kencana, Jakarta:
2009.
Paradigma Muhammad, Metodologi dan Aplikasi Ekonomi Syariah, Graha Ilmu,
Yogyakarta: 2008,
Sadono Sukirno,.Mikro Ekonomi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1999
Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual; Jawaban tuntas Masalah Kontemporer, Gema
Insani, Jakarta: 2003.
252
Shadr, M. Baqir. Iqtishaduna: Buku Induk Ekonomi Islam: (Terj )Yudi,: Zahra,
Jakarta, 2008
Sindung Haryanto, Sosiologi Ekonomi, Ar Ruzz, Jakarta:2011.
Soerjono Soekano dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
Suharsimi Arikunto.Prosedur Penelitian; SuatuPendekatan Praktis, Rineka Cipta,
Jakarta: , 1998
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Bumi Aksara, , Jakarta: 2008.
Syahin Harahap, dan Hasan Bakti, Ensiklopedia Aqidah Islam, Kencana, Jakarta:
2009.
Syaikh Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’di, Tafsîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, cet. I, Muassasah ar-Risalah, Beirut, 2002
Syaikh al-‘Utsaimîn , al-Qawâ’id wal Ushûl al-Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsim al-Badi’ah an-Nâfi’ah, Cet. I, Maktabah as-Sunnah, Kairo, 2002,
Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah, al-Mughni vol 4, Dar Alamul Kutub, Riyadh, 1997
Syalabi,.Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, PT AL Husna Zikra, Jakarta: 1997
Syed Nawab Haider Naqvi, Etics and Economics: An Islamic Synthesis, The Islamic
Foundation, London, 1981
Syed Nawab Haider Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami, The
Islamic Foundation, London, 1981
Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, al-Ikhtiyarat al Fikihiyah, Daar al Kutub al Ilmiyah, Beirut: 1995
Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhâir, Juz I, Dâr al-Kutub al-Islamiyah, Beirut
Tajuddin as Subki, Al-Asybah wan Nadha'ir, Daar al Qalam, Damaskus
Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddqy, Falsafah Hukum Islam, ;PT. Pustaka
Rizki putra. Semarang, 2013,
Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddqy, Pengantar Hukum Islam. cet 1. PT.
Pustaka Rizki putra. Semarang:. 1997
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. , 1989
Wahbah Zuhaily, tt, al-Fikih al-Islam Wa Adillatuhu, Juz IV, Mesir: Dar al- Fikr, t.th.
William A Mceachern,, Pengantar Ekonomi Mikro: Pendekatan Kontemporer, (terj)
Sigit Triandar, Salemba Empat, , Jakarta: 2001.
253
Ya’qub bin Abdul Wahhab al-Bahisin, al-Mufasshal fi al-Qawâ’id al-Fikihiyyah, Cet. II, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh. 2011
Yusuf Qardhawi, “Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami” (Norma dan Etika
Ekonomi Islam), terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Gema Insani Press,
Jakarta: 2006.,
Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-
bank Asing. Mgyasni.niriah.com
Yulianti, Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf : e-journal.stainsalatiga.ac.id.
http//www. firmadani.com/sistem-ekonomi-kapitalis. diunduh hari ahad 10
Februari 2019
http:// elib.unikom.ac.id/files/disk1/.../jbptunikompp-gdl-prasetyoad-22806-6-unikom_p-i.pdf di akses pada tanggal 28 Februari 2019
http://alimurtadho.wordpress.com. diunduh hari jumat 1Februari 2019
http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/07/penetapan-harga-dalam-
islamperpektif.html.diunduh hari ahad 3Februari 2019
http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin /01-02 pendahuluan diunduh pada hari Ahad, tanggal 24 Februari 1019
254
RIWAYAT PENULIS
April Purwanto lahir di Klaten pada tanggal
14 Sya’ban 1391 H. Alumnus Program Studi
Keuangan dan Perbankan Syariah (KPS) Program
Pasca-sarjana UIN Sunan Kalijaga ini merupakan
praktisi Zakat sejak tahun 1998 ketika banyak
orang menganggap pekerjaan Amil zakat bukan
meru-pakan pekerjaan profesi. Konsistensi dan
pengalamannya dibuktikan deng-an mendirikan
Pusat informasi dan studi zakat (Pistaza) pada
tahun 2005 yang dikemudian membidani lahirnya
beberapa lembaga amil zakat di berbagai daerah yang masih eksis hingga
sekarang.
Selain itu penulis juga pernah aktif di beberapa organisasi di tingkat
nasional maupun daerah. Diantara organisasi yang penah diikuti adalah
Forum zakat (FOZ), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) DIY, Ikatan Ahli
Ekonomi Islam (IAEI) DIY, Dewan Masjid Indonesia (DMI), Masyarakat
Relawan Indonesia (MRI), dan Gerakab Bebas Narkoba Kabupaten Sleman,
dan lain-lain.
Beberapa karya yang pernah diterbitkan;
1. Risalah Zakat, Rumah Zakat Indonesia, 2003
2. Tanya Jawab Seputar Zakat, RZI Jogja,2005
3. Cara Cepat Menghitung Zakat, Sketsa, 2006
4. Zakat dan Pemberdayaan Umat, Bamuis BNI, 2007
5. Penguatan Modal Berbasis Masyarakat, Pistaza, 2009
6. Mananjemen Fndraising bagi organisasi pengelola Zakat, Teras,
2009
7. Fikih Muamalah, Pistaza, 2017