IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 SURVEI TAHU KOMERSIAL....
Transcript of IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 SURVEI TAHU KOMERSIAL....
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 SURVEI TAHU KOMERSIAL
Survei tahu komersial bertujuan mencari jenis dan merek tahu apa saja yang dijual di pasar
Indonesia, khususnya area Bogor. Survei dilakukan dengan mengunjungi satu per satu pasar yang
tersebar di wilayah Bogor. Pasar yang dipilih adalah hypermarket dan supermarket agar tahu yang
disurvei memiliki kemasan dengan label yang jelas informasinya, khususnya jenis koagulan, bahan
baku pembuatan, kode badan POM atau departemen kesehatan, dan produsen. Hal ini dilakukan untuk
menghindari tersurveinya tahu yang mungkin tercemar dengan bahan tambahan pangan berbahaya
seperti formalin dan boraks, baik yang disengaja ataupun tidak disengaja ditambahkan oleh
produsennya. Alasan sehingga kedua zat tersebut harus dihindari, karena dua zat tersebut khususnya
formalin dapat memberikan efek membal pada tahu, sehingga tekstur yang terukur bukan diakibatkan
oleh koagulan, kondisi koagulasi, maupun protein kedelai, melainkan diakibatkan oleh adanya zat
tersebut pada tahu. Survei dilakukan di Giant Hypermarket Botani Square, Foodmart Supermarket
Ekalokasari, Giant Supermarket Padjajaran, Ada Supermarket, Ramayana Supermarket Plaza Jambu
Dua, dan Giant Hypermarket Yasmin.
Tahu yang didapatkan dari survei berjumlah 46 tahu dengan berbagai jenis dan merek. Jenis-
jenis tahu tersebut adalah tahu hard, tahu soft, tahu silken, tahu silken egg, tahu silken shrimp, dan
tahu silken egg shrimp. Merek tahu yang didapat adalah Sakake, Mico, Kong Kee, Sakura, Giant,
Sutra, Soylicious, Tiga Anak, Bintang Terang, Aneka Rasa, Gemelli, Yunyi, Putih Sari, Kuning Sari,
dan Traditional Tofu. Semua tahu dengan berbagai merek dan jenis tersebut, selanjutnya dipilih untuk
dianalisis profil teksturnya secara objektif menggunakan alat Texture Analyzer. Daftar tahu-tahu
komersial yang disurvei disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Daftar tahu-tahu yang berhasil disurvei
Kode
Sampel
Kode
Merek Produsen Koagulan Tipe Tempat Pembelian
1 E PT Mitra
Boga Segar
GDL,
Garam
Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
2 A PT Mico
Sejati
Indonesia
GDL Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
3 A PT Mico
Sejati
Indonesia
GDL Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
4 C PT GIST GDL Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
5 B Harum Sari
Food
Industry
Tidak
diketahui
Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
28
Tabel 7. (Lanjutan)
Kode
Sampel
Kode
Merek Produsen Koagulan Tipe Tempat Pembelian
6 E PT Mitra
Boga Segar
GDL,
Garam
Silken
egg
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
7 B Harum Sari
Food
Industry
Garam,
koagulan
tidak diketahui
Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
8 F Harum Sari
Food
Industry
Tidak
diketahui
Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran
9 E PT Mitra
Boga Segar
GDL,
Garam
Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
10 H Kong Kee Food
Processing
Jakarta
GDL Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
11 E PT Mitra
Boga Segar
GDL,
Garam
Silken
egg
and
shrimp
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
12 E PT Mitra
Boga Segar
GDL,
Garam
Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
13 D PT Zehat
International
GDL,
CaSO4,
MgCl2
Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
14 G UD Tiga
Anak
Garam Hard Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran
15 K Bintang
Terang
Garam Hard Foodmart
16 A PT Mico Sejati
Indonesia
GDL Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
17 L Aneka Rasa Tidak
diketahui
Hard Foodmart
18 G UD Tiga
Anak
Garam Hard Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran
19 D PT Zehat
International
GDL,
CaSO4,
MgCl2
Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
29
Tabel 7. (Lanjutan)
Kode
Sampel
Kode
Merek Produsen Koagulan Tipe Tempat Pembelian
20 B Harum Sari
Food
Industry
Tidak
diketahui
Silken Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
21 D PT Zehat
International
Garam Silken
egg
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
22 A PT Mico
Sejati
Indonesia
GDL,
CaSO4
Hard Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
23 A PT Mico
Sejati
Indonesia
GDL,
CaSO4
Silken
shirmp
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
24 G UD Tiga
Anak
Garam Hard Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran
25 D PT Zehat
International
Garam Silken
egg
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
26 J Gemelli
Indonesia
Garam Soft Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran
27 I Pabrik Tahu
Yun-Yi
Garam Hard Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
28 A PT Mico
Sejati
Indonesia
GDL,
CaSO4
Silken
egg
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
29 J Gemelli
Indonesia
Garam Soft Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran
30 I Pabrik Tahu
Yun-Yi
Garam Hard Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
31 A PT Mico
Sejati
Indonesia
GDL,
CaSO4
Silken
egg
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
32 A PT Mico
Sejati
Indonesia
GDL,
CaSO4
Silken
shrimp
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
33 A PT Mico
Sejati
Indonesia
GDL,
CaSO4
Silken
egg
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
30
Tabel 7. (Lanjutan)
Kode
Sampel
Kode
Merek Produsen Koagulan Tipe Tempat Pembelian
34 F Harum Sari
Food
Industry
Tidak
diketahui
Silken
egg
and
shrimp
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran
35 N Kuning Sari Garam Hard Foodmart
36 B Harum Sari Food
Industry
Garam Silken egg
and
shrimp
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
37 B Harum Sari
Food
Industry
Garam Silken
egg
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
38 C PT GIST Garam Silken
egg
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
39 F Harum Sari
Food
Industry
Garam Silken
egg
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran
40 C PT GIST Garam Silken
egg
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
41 A PT Mico
Sejati
Indonesia
GDL Soft Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
42 B Harum Sari
Food
Industry
Garam Silken
egg
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
43 C PT GIST Garam Silken
egg
Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran,
Foodmart
44 M Kuning Sari Garam Hard Foodmart
45 O Kuning Sari Garam Hard Foodmart
46 J Gemelli
Indonesia
Garam Soft Giant Hypermarket Yasmin dan Botani
Square, Giant Supermarket Padjajaran
4.2 PENGUKURAN TEKSTUR TAHU SECARA OBYEKTIF
Tahu yang telah disurvei sebanyak 46 tahu dengan berbagai jenis dan merek, kemudian dibeli
dan diukur profil teksturnya menggunakan alat Texture Analyzer (TA-XT2i). Hasil pengukuran
tekstur tahu menggunakan TPA (Texture Profile Analysis) menghasilkan grafik TPA yang kemudian
31
diolah. Hasil pengolahan data berupa nilai puncak tertinggi kurva pertama, waktu penekanan pertama,
waktu penekanan kedua, luas permukaan di bawah kurva pertama, dan luas permukaan di bawah
kurva kedua. Nilai-nilai tersebut digunakan untuk menghitung nilai profil kekerasan (hardness),
elastisitas (elasticity), daya kohesif (cohesiveness), kelengketan (gumminess), dan daya kunyah
(chewiness). Hasil dari pengolahan data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.
Nilai RSD dari data elastisitas dan daya kunyah dihitung guna melihat seberapa besar data
tersebut dapat dipercaya. Setelah itu dilakukan analisis ragam (ANOVA) terhadap data-data tersebut
untuk melihat perbedaan nyata di antara data-data. Hasil dari analisis ragam tersebut dapat dilihat
pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Data hasil TPA dari 46 produk tahu untuk elastisitas dan daya
kunyah beserta nilai RSD dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Daftar nilai elastisitas dan chewiness
Kode
Sampel Koagulan
Elastisitas Chewiness
Nilai (%) RSD (%) Nilai (kg) RSD (%)
1 GDL, Garam 0.5964a 7.1674 0.1351abc 15.9050
2 GDL 0.6008a 6.9657 0.0718a 12.8663
3 GDL 0.6419ab 6.0639 0.1172ab 16.6176
4 GDL 0.6584bc 9.6408 0.1427abc 18.8772
5 Tidak diketahui 0.6763bcd 12.6988 0.1582abc 26.5769
6 GDL, Garam 0.6770bcd 7.5841 0.2248abcd 11.5182
7 Garam, koagulan
tidak diketahui
0.6802bcd 6.5451 0.2459abcd 25.1007
8 Tidak diketahui 0.6854bcd 10.8874 0.2377abcd 30.5208
9 GDL, Garam 0.7088cd 12.5284 0.2172abcd 48.0316
10 GDL 0.7155cd 14.1935 0.2960abcde 32.4638
11 GDL, Garam 0.7331d 9.6179 0.2742abcde 16.4874
12 GDL, Garam 0.7361d 5.1073 0.2792abcde 16.5212
13 GDL, CaSO4,
MgCl2
0.8161e 8.0489 0.3040abcde 19.9345
14 Garam 0.8221ef 10.1595 0.3839cdef 21.8055
15 Garam 0.8327efg 3.0146 1.1359kl 30.3375
16 GDL 0.8416efg 10.1174 0.2377abcd 29.6950
17 Tidak diketahui 0.8449efg 11.9312 1.8724no 17.0296
18 Garam 0.8459efg 6.1489 0.5022ef 32.4653
19 GDL, CaSO4,
MgCl2
0.8729efgh 9.8166 0.3457bcde 46.0093
20 Tidak diketahui 0.8836fghi 12.4801 0.4400def 15.6864
21 Garam 0.8905ghij 7.8174 0.8352ghij 11.6593
22 GDL, CaSO4 0.9118hijk 1.8901 1.9871o 20.0632
23 GDL, CaSO4 0.9139hijk 2.4983 0.5983fg 18.9625
32
Tabel 8. (Lanjutan)
Kode
Sampel Koagulan
Elastisitas Chewiness
Nilai (%) RSD (%) Nilai (kg) RSD (%)
24 Garam 0.9140hijk 1.2374 0.7516gh 9.1091
25 Garam 0.9243hijk 1.9899 0.8996hijk 13.1141
26 Garam 0.9284hijk 1.5956 0.8352ghij 29.2497
27 Garam 0.9308hijk 10.3035 0.7805ghi 26.4819
28 GDL, CaSO4 0.9320hijk 0.7171 0.7259gh 5.9161
29 Garam 0.9347hijk 1.3200 1.3413l 6.3738
30 Garam 0.9371hijk 3.7921 1.6865mn 15.2921
31 GDL, CaSO4 0.9389ijk 0.5771 0.9667hijk 4.0025
32 GDL, CaSO4 0.9411ijk
0.6717 0.9176hijk
6.2661
33 GDL, CaSO4 0.9432ijk 0.5051 0.8039ghij 8.7407
34 Tidak diketahui 0.9434ijk 0.4592 0.7554gh 1.6690
35 Garam 0.9439ijk 4.8640 2.0132o 24.3979
36 Garam 0.9479ijk 1.3507 0.8303ghij 6.5022
37 Garam 0.9499ijk 0.4121 1.0094ijk 6.6521
38 Garam 0.9502ijk 0.5743 0.9348hijk 3.6974
39 Garam 0.9511ijk 0.9209 0.9770hijk 20.1934
40 Garam 0.9511ijk 1.0207 1.0510jk 6.8016
41 GDL 0.9513ijk 4.2432 1.5886m 32.7521
42 Garam 0.9526jk 0.9028 0.8779hij 9.0375
43 Garam 0.9549jk 0.6526 1.1344kl 3.5706
44 Garam 0.9742k 6.6706 2.0857o 24.6550
45 Garam 0.9743k 5.5714 2.6608p 23.2609
46 Garam 0.9786k 9.6426 1.1331kl 29.3323
Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05
Nilai-nilai elastisitas dan chewiness kemudian dieliminasi atau dipilih dengan melihat nilai
RSD-nya. Nilai elastisitas dan daya kunyah yang diambil adalah nilai yang RSD-nya di bawah 10%.
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai yang dapat dipercaya, karena nilai yang dipilih nantinya
akan berdampak pada keseluruhan analisis dalam penelitian ini. Dengan demikian hasil akhir
penelitian lebih besar kemungkinannya untuk mendekati hasil yang sebenarnya. Data-data yang telah
dieliminasi tersebut lalu diolah menggunakan metode analisis ragam (ANOVA) dengan tujuan
mengelompokkan tahu-tahu tersebut. Pengolahan ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS
13.0.
33
Tabel 9. Daftar anggota per golongan berdasarkan nilai elastisitas
Golongan Anggota
(Kode dan Nilai (%)) Jenis Tahu
I 1 (0.5964); 2 (0.6008) 1, 2 (silken)
II 3 (0.6419); 4 (0.6584); 6 (0.6770);
7 (0.6802) 3, 4, 7 (silken);
6 (silken egg)
III 11 (0.7331); 12 (0.7361) 11 (silken egg and shrimp);
12 (silken)
IV 13 (0.8161); 15 (0.8327); 18 (0.8459) 13 (silken);
15, 18 (hard)
V 15 (0.8327); 18 (0.8459); 19 (0.8729) 15, 18 (hard);
19 (silken)
VI 19 (0.8729); 21 (0.8905); 22 (0.9118);
23 (0.9139); 24 (0.9140) 19 (silken);
21 (silken egg);
22, 24 (hard);
23 (silken shrimp)
VII 21 (0.8905); 22 (0.9118); 23 (0.9139); 24 (0.9140); 25 (0.9243); 26 (0.9284);
28 (0.9320); 29 (0.9347); 30 (0.9371)
22, 24, 30 (hard);
21, 25, 28 (silken egg);
23 (silken shrimp);
26, 29 (soft)
VIII 22 (0.9118); 23 (0.9139); 24 (0.9140);
25 (0.9243); 26 (0.9284); 28 (0.9320);
29 (0.9347); 30 (0.9371); 31 (0.9389);
32 (0.9411); 33 (0.9432); 34 (0.9434);
35 (0.9439); 36 (0.9479); 37 (0.9499); 38 (0.9502); 39 (0.9511); 40 (0.9511);
41 (0.9513); 42 (0.9526); 43 (0.9549)
22, 24, 30, 35 (hard);
23, 32 (silken shrimp);
25, 28, 31, 33, 37, 38, 39, 40, 42, 43
(silken egg);
26, 29, 41 (soft);
34, 36 (silken egg and shrimp)
IX 25 (0.9243); 26 (0.9284); 28 (0.9320);
29 (0.9347); 30 (0.9371); 31 (0.9389);
32 (0.9411); 33 (0.9432); 34 (0.9434);
35 (0.9439); 36 (0.9479); 37 (0.9499);
38 (0.9502); 39 (0.9511); 40 (0.9511); 41 (0.9513); 42 (0.9526); 43 (0.9549);
44 (0.9742); 45 (0.9743)
25, 28, 31, 33, 37, 38, 39, 40, 42, 43
(silken egg);
26, 29, 41 (soft);
30, 35, 44, 45 (hard);
32 (silken shrimp);
34, 36 (silken egg and shrimp)
X 26 (0.9284); 28 (0.9320); 29 (0.9347);
30 (0.9371); 31 (0.9389); 32 (0.9411);
33 (0.9432); 34 (0.9434); 35 (0.9439);
36 (0.9479); 37 (0.9499); 38 (0.9502);
39 (0.9511); 40 (0.9511); 41 (0.9513);
42 (0.9526); 43 (0.9549); 44 (0.9742); 45 (0.9743); 46 (0.9786)
26, 29, 41, 46 (soft);
28, 31, 33, 37, 38, 39, 40, 42, 43
(silken egg);
30, 35, 44, 45 (hard);
32 (silken shrimp);
34, 36 (silken egg and shrimp)
Nilai yang berhuruf tebal adalah yang terpilih
Penghitungan analisis ragam metode ANOVA menghasilkan 10 grup, masing-masing bagi
elastisitas dan chewiness. Masing-masing grup dapat berisikan satu, dua, atau bahkan lebih dari dua
anggota. Anggota-anggota tahu komersial untuk masing-masing grup dapat dilihat pada Tabel 9 dan
34
Tabel 10, sedangkan hasil dari analisis ragam metode ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 5 dan
Lampiran 6.
Tabel 10. Daftar anggota per golongan berdasarkan nilai chewiness
Golongan Anggota
(Kode dan Nilai (%)) Jenis Tahu
I 28 (0.7259); 24 (0.7516); 34 (0.7554) 28 (silken egg);
24 (hard);
34 (silken egg and shrimp)
II 24 (0.7516); 34 (0.7554); 33 (0.8039) 24 (hard);
34 (silken egg and shrimp);
33 (silken egg)
III 33 (0.8039); 36 (0.8303) 33 (silken egg);
36 (silken egg and shrimp)
IV 36 (0.8303); 42 (0.8779) 36 (silken egg and shrimp);
42 (silken egg)
V 42 (0.8779); 32 (0.9176); 38 (0.9348) 42, 38 (silken egg);
32 (silken shrimp)
VI 32 (0.9176); 38 (0.9348); 31 (0.9667) 32 (silken shrimp);
38, 31 (silken egg)
VII 31 (0.9667); 37 (1.0094) 31, 37 (silken egg)
VIII 37 (1.0094); 40 (1.0510) 37, 40 (silken egg)
IX 43 (1.1344) 43 (silken egg)
X 29 (1.3413) 29 (soft)
Nilai yang berhuruf tebal adalah yang terpilih
Golongan yang dimaksud adalah kelompok-kelompok tahu yang tahu-tahu anggotanya tidak
memiliki perbedaan nyata satu sama lain. Langkah selanjutnya adalah memilih satu tahu dari masing-
masing kelompok untuk mendapatkan tahu-tahu yang akan dianalisis lebih lanjut. Satu tahu diambil
dari masing-masing grup dengan anggapan bahwa tahu tersebut tidak berbeda nyata dengan tahu
lainnya yang terdapat dalam satu grup. Dengan demikian didapatlah 10 tahu dari kelompok elastisitas
dan 10 tahu dari kelompok chewiness. Tahu-tahu tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut untuk
mewakili tahu-tahu lainnya yang tidak terpilih. Daftar tahu yang terpilih untuk dianalisis lebih lanjut
dapat dilihat pada Tabel 11 dan Tabel 12. Nilai-nilai elastisitas dan daya kunyah tidak perlu lagi
dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dalam rangka melihat perbedaan nyata di antara
nilai-nilai tersebut. Hal ini dikarenakan pengelompokkan sebelumnya dilakukan melalui analisis
ragam, sehingga perbedaan nyata dapat dilihat dari hasil ANOVA tersebut.
Dari Tabel 11 dapat dilihat nilai dari masing-masing tahu representatif untuk kelompok tahu
berdasarkan elastisitas yang berkisar antara 0.5964 hingga 0.9786 %. Tahu-tahu tersebut diambil dari
masing-masing grup yang didapatkan dari analisis ragam yang dapat dilihat pada lampiran 5. Tahu-
tahu ini kemudian dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui penyebab adanya perbedaan nilai
elastisitas di antara tahu-tahu tersebut.
35
Dari Tabel 12 dapat dilihat nilai dari masing-masing tahu representatif untuk kelompok tahu
berdasarkan daya kunyah yang berkisar antara 0.7259 hingga 1.3413 kg. Seperti halnya tahu-tahu dari
kelompok tahu berdasarkan elastisitas, tahu-tahu tersebut juga diambil dari masing-masing grup yang
didapatkan dari analisis ragam yang dapat dilihat pada Lampiran 6. Tahu-tahu ini kemudian dianalisis
lebih lanjut untuk mengetahui penyebab adanya perbedaan nilai daya kunyah (chewiness) di antara
tahu-tahu tersebut.
Tabel 11. Daftar tahu terpilih berdasarkan elastisitas
Kode Sampel Merek Nilai
(%)
1 Sakake Silken Tofu tube 0.5964a
6 Sakake Silken Egg Tofu tube 0.6770bcd
12 Sakake Silken Tofu Firm box 0.7361d
13 Soylicious Silken Tofu tube 0.8161e
19 Soylicious Silken Tofu Tahu Sutra box 0.8729efgh
24 Tiga Anak Tahu Bandung Kuning Asin Gurih 0.9140hijk
28 Mico Tahu Telur Rasa Telur Ayam box 0.9320hijk
31 Mico Egg Tofu Tahu Telur big tube 0.9389ijk
36 Sakura Tahu Telur Rasa Udang Shrimp Egg Tofu tube 0.9479ijk
46 Gemelli Tahu Potong Kunyit Halus 0.9786k
Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05
Tabel 12. Daftar tahu terpilih berdasarkan daya kunyah
Kode Sampel Merek Nilai
(kg)
28 Mico Tahu Telur Rasa Telur Ayam box 0.7259gh
34 Giant Shrimp Egg Tofu Tahu Telur Rasa Udang tube 0.7554gh
33 Mico Tahu Telur Rasa Telur Ayam small tube 0.8039ghij
36 Sakura Tahu Telur Rasa Udang Shrimp Egg Tofu tube 0.8303ghij
42 Sakura Tahu Telur Egg Tofu tube 0.8779hij
32 Mico Tahu Rasa Udang tube 0.9176hijk
31 Mico Egg Tofu Tahu Telur big tube 0.9667hijk
40 Kong Kee Tofu Telur Bebek 1.0510jk
43 Kong Kee Tofu Telur Ayam tube 1.1344kl
29 Gemelli Tahu Bandung Kunyit Padat Halus 1.3413l
Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05
Tahu-tahu yang disurvei tersebut dihasilkan melalui proses koagulasi tertentu. Adapun
koagulan-koagulan yang dipakai sesuai dengan yang tertera pada label adalah sebagai berikut, GDL
(Glucono δ Lactone), CaSO4, MgCl2 ataupun koagulan jenis garam lainnya, dan bisa juga campuran
dari koagulan-koagulan yang telah disebutkan tadi. Koagulan Glucono δ Lactone (GDL) merupakan
36
ester siklik netral asam glukonant yang memiliki bentuk serbuk kristal putih. Ketika dilarutkan, GDL
dapat larut dengan cepat dan terhidrolisis menjadi asam glukonat. Gugus karbonil pada asam glukonat
yang terbentuk cenderung tidak stabil dan membentuk COO- dan H+, terdapatnya H+ inilah yang
menyebabkan penurunan pH lingkungan. Proses hidrolisis GDL menjadi asam glukonat dapat
dipercepat dengan cara meningkatkan suhu. GDL biasa digunakan untuk menghasilkan tahu sutra
(silken tofu). Pada pembuatan tahu sutra, hidrolisis GDL berlangsung lambat dan meningkat seiring
meningkatnya suhu inkubasi. Meskipun mekanisme koagulasi dikarenakan adanya penurunan pH,
proses koagulasi yang lambat menyebabkan curd yang dihasilkan memiliki tekstur yang lebih halus
dibandingkan curd yang dihasilkan dengan koagulan jenis asam (Trisna, 2010).
Koagulan CaSO4 merupakan koagulan jenis garam sulfat yang paling umum digunakan dalam
pembuatan curd protein kedelai. Koagulasi dengan koagulan CaSO4 terjadi pada kondisi pH yang
jauh dari titik isoelektrik protein kedelai. Hal ini disebabkan CaSO4.2H2O mengkoagulasi protein
melalui mekanisme pembentukan ikatan antara protein dengan ion Ca2+. Koagulan sulfat
mengkoagulasikan protein dan meningkatkan ikatan silang polimer sehingga terjadilah agregasi
protein (Obatolu, 2007). Secara teori, koagulasi dengan koagulan CaSO4.2H2O membutuhkan
interaksi antara ion Ca2+ dengan protein, di mana ion tersebut akan bertindak sebagai jembatan yang
menghubungkan molekul-molekul protein sehingga dapat terjadi agregasi. Konsentrasi yang rendah
pada penggunaan koagulan ini akan mengurangi agregasi protein yang terbentuk akibat dari
kurangnya ion Ca2+ (Fahmi, 2010).
Koagulan jenis garam merupakan jenis koagulan yang paling banyak digunakan dalam
memproduksi tahu-tahu yang telah disurvei. Kation metal (yang bermuatan positif) dalam garam
tertentu (seperti Mg2+ atau Ca2+) bereaksi dengan bermacam-macam protein dalam susu kedelai dan
mengendap dengan lemak membentuk curd. Dengan demikian tahu dikoagulasi oleh ion magnesium
dan kalsium. Pemakaian koagulan tipe garam dapat menyebabkan terjadinya koagulasi protein pada
pH di atas titik isoelektrik protein globulin kedelai (Wolf dan Cowan, 1971). Wolf dan Briggs (1959)
yang dikutip oleh Shurtleff dan Aoyogi (2001) menunjukkan bahwa protein yang diendapkan oleh ion
kalsium mayoritas adalah komponen 11S, yaitu subunit protein asam (A1, A2, A3, A4, dan A5) dan
subunit protein basa.
Melalui proses pemanasan susu kedelai, sebagai prasyarat terbentuknya gel, struktur molekul
dari protein kedelai akan terbuka atau menjadi unfold, dan akibatnya ikatan hidrogein (-SH), ikatan
disulfide (S-S), dan sisi rantai asam amino hidrofobik akan terekspos. Selanjutnya dengan adanya
penambahan koagulan, seperti koagulan asam, maka muatan negatif molekul protein akan berkurang
akibat terjadinya protonasi COO- pada residu asam amino. Akhirnya molekul-molekul protein
cenderung saling mendekat karena memiliki muatan yang sama. Situasi ini membuat ikatan hydrogen
(-SH), ikatan disulfide (S-S) serta interaksi hidrofobik terjadi secara intermolekul. Reaksi ini yang
menyebabkan terjadinya agregasi protein yang membentuk struktur jaringan tiga dimensi gel curd
(Liu et al., 2004).
4.3 EKSTRAKSI PROTEIN
Ekstrasi protein ini bertujuan untuk melarutkan protein dalam larutan buffer. Tahu yang diteliti
kemudian dihilangkan kandungan lemaknya dengan menggunakan larutan non polar seperti heksan.
Hal ini dilakukan agar lemak tidak mengganggu jalannya proses pelarutan protein dalam larutan
buffer tris pH 8.4 yang mengandung 0.02 M 2-Mercaptoethanol. Prinsip dari proses pelarutan protein
adalah mereduksi ikatan-ikatan protein yang terbentuk, di mana β-mercaptoethanol memiliki peran
37
sebagai reducing agent yang dapat memutuskan ikatan disulfida protein sehingga protein dapat
terekstrak dari matriks pangan (Corredig, 2006). Untuk mengetahui jumlah protein yang berhasil
diekstrak dari tahu, maka dilakukan pengukuran menggunakan metode Bradford. Dengan mengolah
data yang dihasilkan oleh metode Bradford, maka didapatkan nilai total protein. Nilai total protein
untuk tahu kelompok elastisitas dan chewiness dapat dilihat pada Tabel 13 dan Tabel 14.
Tabel 13. Nilai total protein terekstrak untuk sampel elastisitas
Kode Sampel Total Protein
Tipe Tahu Jenis Koagulan (mg/100mg)
1 2.95 Silken GDL, Garam
6 1.92 silken egg GDL, Garam
12 3.30 Silken GDL. Garam
13 4.60 Silken GDL, CaSO4, MgCl2
19 4.38 Silken GDL, CaSO4, MgCl2
24 2.73 Hard Garam
28 1.53 Silken egg GDL, CaSO4
31 1.00 Silken egg GDL, CaSO4
36 0.94 Silken egg and shrimp Garam
46 3.15 Soft Garam
Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05
* tidak signifikan pada p<0.05
Gambar 10. Grafik korelasi elastisitas dan total protein
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa total protein terlarut dari tahu kelompok elastisitas
berkisar antara 0.94 hingga 4.60 mg/100mg. Tabel tersebut menunjukkan bahwa total protein tertinggi
terdapat pada tahu tipe silken, sedangkan tahu bertipe hard dan soft total proteinnya berada di
bawahnya. Tahu bertipe hard dan soft seharusnya memiliki protein yang lebih tinggi dibandingkan
R =-0.254*
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 1 2 3 4 5
Elas
tisi
tas
(%)
Total Protein(mg/100mg)
38
dengan yang tipe silken. Tahu hard dan soft seharusnya memiliki protein yang lebih banyak
dibandingkan dengan tahu tipe silken karena tahu hard dan silken mengalami penekanan yang
menyebabkan keluarnya air sehingga protein lebih terkonsentrasi. Seperti yang dinyatakan Muchtadi
(2010), tahu keras mengandung lebih banyak protein, lemak, dan kalsium dibandingkan jenis tahu
lainnya. Hal ini dapat terjadi karena pelarutan protein untuk tahu tersebut tidak dapat mengekstrak
protein dengan maksimal, akibat tertahan oleh matriks tahu. Data ini memang mendukung pernyataan
Muchtadi, namun sebenarnya data ini masih berdasarkan berat basah, artinya kadar air mungkin masih
berpengaruh dalam data ini.
Walaupun ekstraksi atau pelarutan protein ini ditujukan untuk mendapatkan jumlah yang tepat
untuk diinjeksikan ke dalam slab gel elektroforesis, tapi peneliti mencoba untuk melihat korelasi
antara total protein hasil pelarutan dan tekstur tahu, dalam hal ini elastisitas dan chewiness. Gambar
10 menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara total protein dengan tingkat
elastisitas, yang ditunjukkan dengan nilai R yang rendah (-0.254) dan tidak signifikan pada p<0.05.
Itu artinya kontribusi total protein menurut penelitian ini tidak secara signifikan mempengaruhi profil
tekstur elastisitas.
Tabel 14. Nilai total protein terekstrak untuk sampel daya kunyah
Kode Sampel Total Protein
Tipe Tahu Jenis Koagulan (mg/100mg)
28 1.53 Silken egg GDL, CaSO4
34 0.82 Silken egg and shrimp Tidak diketahui
33 1.10 Silken egg GDL, CaSO4
36 0.94 Silken egg and shrimp Garam
42 - Silken egg Garam
32 1.35 Silken shrimp GDL, CaSO4
31 1.00 Silken egg GDL, CaSO4
40 - Silken egg Garam
43 - Silken egg Garam
29 4.11 Soft Garam
Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05
Tabel 14 menunjukkan bahwa total protein untuk tahu kelompok daya kunyah atau chewiness
berkisar antara 0.82 hingga 4.11 mg/100mg. Sampel 42, 40 dan 43 tidak ditampilkan hasilnya karena
nilainya yang terlalu kecil. Hal ini dikarenakan tidak berhasilnya metode pelarutan mengekstrak
protein dari matriks tahu. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kondisi koagulasi dan jenis koagulan
yang berbeda yang digunakan dalam pembuatan tiga tahu tersebut dibandingkan dengan tahu-tahu
lainnya. Sehingga protein tersebut tidak dapat diputus ikatan disulfida proteinnya oleh larutan buffer
tris pH 8.4 yang mengandung 0.02 M 2-Mercaptoethanol, dan mengakibatkan protein tidak dapat
terekstrak dari matriks tahu. Amat disayangkan jenis koagulan garam apa yang dipakai dalam
pembuatan tiga tahu tersebut tidak tertera dengan jelas pada kemasan, melainkan hanya terdapat
tulisan ―garam‖.
Tahu yang memiliki protein tertinggi menurut Tabel 14 adalah tahu bertipe soft, sedangkan
tahu bertipe silken, baik silken egg, silken shrimp, maupun silken egg and shrimp. Hal ini disebabkan
oleh penekanan pada tahu soft seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yang menyebabkan
keluarnya air dan terkonsentrasinya protein. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muchtadi (2010)
39
sebelumnya yang menyatakan bahwa tahu yang keras akan memiliki kandungan protein yang tinggi
dibandingkan dengan tahu yang lainnya. Data ini memang mendukung pernyataan Muchtadi, namun
sebenarnya data ini masih berdasarkan berat basah, artinya kadar air kemungkinan masih berpengaruh
dalam data ini.
*signifikan pada p<0.01
Gambar 11. Grafik korelasi chewiness dan total protein
Gambar 11 menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang cukup signifikan antara total
protein dengan tingkat daya kunyah yang ditunjukkan dengan nilai R yang cukup tinggi (0.882) dan
signifikan pada p<0.01. Itu artinya total protein memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
profil tekstur daya kunyah. Hal ini senada dengan pernyataan Fahmi (2010), semakin tinggi kekerasan
sampel dan semakin kompak struktur sampel tersebut akan membuat daya kunyahnya menjadi
semakin tinggi. Dengan demikian semakin tinggi kadar protein pada tahu maka tekstur tahu tersebut
akan semakin keras. Semakin keras tahu maka semakin dibutuhkan lebih banyak kunyahan dan waktu
kunyahan untuk membuatnya menjadi bagian yang kecil-kecil sebelum masuk ke tahap penelanan.
Dengan kata lain semakin tinggi kadar protein maka semakin tinggi daya kunyah. Dibalik itu semua,
data ini masih berdasarkan berat basah. Itu artinya kadar air masih berpengaruh dalam data ini,
sehingga ada kemungkinan bahwa kadar airlah yang menyebabkan total protein tersebut memiliki
korelasi positif terhadap nilai daya kunyah. Hal ini dapat dianalisis lebih jauh di hasil Kjeldahl nanti
yang juga menghitung kadar protein berdasarkan berat kering.
4.4 ANALISIS ELEKTROFORESIS
Terdapat keragaman profil tekstur elastisitas dan daya kunyah di antara tahu-tahu komersial
berdasarkan analisis sebelumnya. Oleh sebab itu dilakukan analisis metode elektroforesis yang
bertujuan menganalisis variasi dalam tekstur berdasarkan subunit protein maupun rasio subunit
protein. Subunit protein yang dimaksud adalah α′ dan α, β, asam (A3, A1, A2, A4), basa, dan A5,
sedangkan rasio subunit protein yang dimaksud adalah A/α'+α, A/β, B/α'+α, dan B/β. Analisis ini
R = 0.882*
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
0 1 2 3 4 5
Ch
ew
ine
ss(k
g)
Total Protein(mg/100mg)
40
dilakukan guna melihat apakah subunit-subunit protein dan rasio-rasio subunit protein tersebut
berkontribusi terhadap keragaman elastisitas dan daya kunyah yang terdapat pada tahu-tahu komersial.
Analisis ini dimulai dengan mengambil supernatan yang didapatkan dari pelarutan protein
sebelumnya kemudian dianalisis dengan menggunakan metode elektroforesis (SDS-PAGE) untuk
mengetahui berat molekul subunit protein yang menyusun protein terlarut. Dengan mengetahui kadar
protein masing-masing sampel melalui metode Bradford, maka jumlah protein yang akan disuntikan
ke dalam mini slab elektroforesis dapat dibuat sama. Jumlah protein yang disuntikan yaitu sebanyak 2
µg. Analisis protein metode elektroforesis ini membutuhkan pewarna coomassie yang memiliki
sensitivitas terhadap protein hingga 0.1 µg untuk masing-masing pita protein (Bolag dan Edelstein,
1991). Oleh sebab itu jumlah protein yang disuntikan ke dalam slab elektroforesis harus tidak kurang
dari batas deteksi pewarna coomassie untuk keseluruhan pita protein. Hal ini bila tidak dilakukan akan
membuat pita protein pada gel elektroforesis yang telah diinjeksikan protein dan telah masuk ke tahap
staining (pewarnaan) dan destaining (penghilangan warna) tidak akan terlihat dengan jelas.
Teknik elektroforesis ini sering digunakan dalam penelitian untuk memisahkan molekul-
molekul biologi, khususnya protein. Menurut Bachrudin (1999) selain elektroforesis tidak
mempengaruhi struktur biopolimer, elektroforesis juga sangat sensitif terhadap perbedaan muatan dan
berat molekul yang cukup kecil. Pomeranz dan Meloan (1994) menyatakan bahwa prinsip teknik
elektroforesis dalam memisahkan molekul-molekul yang bermuatan berbeda ini adalah pengaliran
protein dalam medium yang mengandung medan listrik sehingga senyawa protein yang bermuatan
akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan muatan molekul protein.
Migrasi partikel bermuatan ini dapat terjadi akibat adanya perbedaan muatan total, ukuran dan bentuk
partikel.
Mercaptoethanol yang terdapat dalam tabung eppendorf yang berisi sampel yang telah
dipanaskan dapat memecah struktur tiga dimensi protein, terutama ikatan disulfida menjadi subunit-
subunit polipeptida secara individual. Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) kemudian akan bereaksi dengan
protein membentuk kompleks SDS-protein yang bermuatan negatif, sehingga protein akan bergerak
dalam medan listrik hanya berdasarkan ukuran molekul. Kompleks SDS-protein memiliki muatan
yang identik dan bergerak pada gel hanya berdasarkan ukuran protein (Wijaya dan Rohman, 2005).
Ukuran molekul suatu protein dapat diketahui melalui berat molekulnya. Kompleks SDS-protein yang
memiliki ukuran besar (berat molekul besar) akan mempunyai mobilitas yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan kompleks SDS-protein yang memiliki ukuran kecil (berat molekul kecil)
(Karsono, 2010).
Marker, yang digunakan sebagai standar protein, dalam penelitian ini terdiri atas protein-
protein yang berberat molekul kecil. Marker (Fermentas) tersebut mengandung tujuh jenis protein
standar, yaitu β-galactosidase (BM : 116 kDa), bovine serum albumin (BM : 66.2 kDa), ovalbumin
(BM : 45 kDa), lactase dehidrogenase (BM : 35 kDa), REase BSP 981 (BM : 25 kDa), β-
Lactoglobulin (BM : 18.4 kDa), dan lysozime (BM : 14.4 kDa). Penentuan berat molekul sampel
dihitung berdasarkan kurva standar marker, yang diperoleh melalui hubungan antara mobilitas
elektroforetik (Rf) dengan nilai logaritma berat molekul (Log BM) marker (Fahmi, 2010).
Gel hasil elektroforesis SDS-PAGE lalu didokumentasikan dalam bentuk gambar dengan
menggunakan alat Gel-Doc (Bio-rad). Hasil dokumentasi gel menggunakan GEL-DOC tersebut dapat
dilihat pada Gambar 12 dan 13. Gambar 12 dan Gambar 13 menunjukkan pola pita protein yang
serupa dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syah et al. (2010) yang
memperlihatkan bahwa pita protein tahu terbagi menjadi lima subunit protein yaitu α′ dan α, β, asam
(A3, A1, A2, A4), basa, dan A5.
41
(a)
(b)
M: marker; Sampel 1, 12, 13,dan 19: tahu sutra (regular); 24: tahu tradisional (regular); 6, 28, dan 31: tahu sutra
(telur); Sampel 46: tahu tradisional (regular); 36: tahu sutra (telur & udang)
Gambar 12. Profil SDS-PAGE total protein tahu berdasarkan elastisitas: (a) sampel 1 hingga 31, (b)
sampel 36 dan 46
116
66.2
45
35
25
18.4
14.4
MW, kDa M 1 6 12 13 19 24 28 31
Asam (A1,A2,A4)
MW, kDa
116
66.2
45
35
25
18.4
14.4
M 36 46
Asam (A1,A2,A4)
α α΄
β A3
Basa
A5
α α΄
β A3
Basa
A5
42
M: marker; Sampel 28, 33, dan 31: tahu sutra (telur); 34 dan 36: tahu sutra (telur dan udang); 32: tahu sutra
(udang); 29: tahu tradisional (regular)
Gambar 13. Profil SDS-PAGE total protein tahu berdasarkan chewiness
Pembagian pita protein mengacu pada pembagian yang telah dipublikasikan oleh Mujoo et al.
(2003). Menurutnya pita protein kedelai pada gel SDS-PAGE terdiri atas α′, α, β yang merupakan
subunit 7S (β-konglisinin) dan pita golongan Asam (A1, A2, A3, A4, A5 ) dan Basa (B1, B2, B3, B4) yang
merupakan subunit 11S (Glisinin). Hal ini senada dengan pernyataan Fukushima (2004) yang
menyatakan bahwa sekitar 90% protein kedelai merupakan protein simpanan yang sebagian besar
terdiri atas glisinin (11S) dan β-konglisinin (7S).
Polipeptida A5 memiliki berat molekul yang paling rendah dibandingkan dengan polipeptida
lain penyusun glisinin (11S) dan β-konglisinin (7S). Hal ini menyebabkan A5 memiliki mobilitas yang
paling tinggi dan menempuh jarak terjauh dalam gel elektroforesis. Sementara polipeptida α′ memiliki
berat molekul tertinggi sehingga mobilitasnya juga paling rendah dan menempuh jarak terpendek
dalam gel elektroforesis (Karsono, 2010).
Sampel 42, 40, dan 43 dalam kelompok chewiness tidak diikutsertakan dalam penyuntikkan ke
dalam slab gel elektroforesis, karena konsentrasi total proteinnya yang terlalu rendah. Ketebalan pita
protein pada gel elektroforesis menggambarkan tingkat intentsitas dari protein dalam sampel. Semakin
tebal pita protein maka semakin tinggi konsentrasi protein dalam sampel, begitu juga sebaliknya.
Densitas dari semua pita protein pada gel dapat dilihat pada Tabel 15 dan Tabel 16. Sampel tahu yang
ditambahkan sumber protein lainnya selain protein dari kedelai pada saat pembuatannya, tetap
dibandingkan hasilnya dengan tahu yang tidak ditambahkan sumber protein lainnya. Hal ini dilakukan
untuk melihat apakah subunit protein yang didapatkan memberikan korelasi terhadap elastisitas dan
daya kunyah walaupun protein dari telur dan udang diabaikan. Lebih dari 75% dari protein kedelai
adalah subunit 7S dan 11S, oleh sebab itu penelitian ini hanya difokuskan pada dua jenis protein
tersebut. Berat molekul dari α′, α, β, asam (A3, A1, A2, A4), basa, dan A5 secara berturut-turut adalah
57-80, 57-75, 45-52, 34-45, 15-20, dan 10 kDa (Yamauchi et al., 1981; Utsumi et al., 1981; Peng et
al., 1984; Wolf & Briggs, 1985; Mujoo et al., 2003)
Densitas pita protein pada gel-gel SDS-PAGE dianalisis dengan menggunakan ImageJ 1.42q
(sebuah software komputer dari Wayne Rasband, National Institute of Health, USA
(http://rsb.info.nih.gov/ij)). Pengukuran densitas pita protein tersebut bertujuan untuk mengetahui
persentase dari masing-masing pita. Perhitungan persentase subunit merupakan perbandingan luas
116
66.2
45
35
25
18.4
14.4
MW, kDa M 28 34 33 36 32 31 29
Asam (A1,A2,A4)
α α΄
β A3
Basa
A5
43
area masing-masing pita dibagi dengan luas area seluruh pita, sehingga jumlah total seluruh pita
adalah 100%. Khusus untuk subunit α′ dan α, peneliti menggabungnya menjadi satu karena sulitnya
memisahkan keduanya akibat kurang jelasnya pita protein yang terdapat pada gel.
Dapat dilihat pada Tabel 15, densitas protein untuk masing-masing sampel elastisitas.
Persentase subunit α′ & α berkisar antara 6.88 hingga 24.42 %. Persentase subunit β berkisar antara
5.66 hingga 13.13 %. Persentase subunit kelompok asam (A3, A1, A2, & A4) berkisar antara 40.61
hingga 61.25 %. Persentase subunit kelompok basa berkisar antara 7.29 hingga 25.86 %. Setelah itu
persentase subunit asam A5 berkisar antara 2.69 hingga 25.19 %. Persentase subunit seluruh kelompok
asam (A) berkisar antara 45.40 hingga 72.70 %. Persentase subunit 7S (α', α, dan β) berkisar antara
17.06 hingga 31.71 %. Persentase subunit 11S (golongan asam (A1, A2, A3, A4, A5 ) dan basa) berkisar
antara 68.29 hingga 82.94 %. Rasio 11S/7S berkisar antara 2.15 hingga 4.86.
Tabel 15 juga menunjukkan bahwa semua sampel memiliki protein yang mayoritas berberat
molekul 30-45 kDa atau dengan kata lain subunit protein mayoritasnya adalah subunit kelompok asam
(A3, A1, A2, & A4). Subunit 11S dari seluruh sampel jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan
subunit 7S-nya. Selain itu subunit-subunit protein yang tertera pada Tabel 15 dicari rasionya masing-
masing dengan tujuan mencari tahu apakah terdapat korelasi antara rasio tersebut dengan tingkat
elastisitas. Hasil analisis ragam untuk melihat perbedaan nyata di antara nilai-nilai persentase densitas
dilampirkan pada Lampiran 7.
Rasio subunit-subunit protein dapat dilihat pada Lampiran 8. Pada dasarnya penghitungan rasio
ini didasarkan pada rasio 11S/7S yang ditemukan oleh Mujoo (2003) yang diyakini memiliki
pengaruh terhadap tekstur tahu. Rasio yang dihitung adalah rasio subunit anggota dari 11S dengan
subunit anggota 7S. Rasio antara seluruh subunit kelompok asam (A) dengan subunit α'&α (A/α'+α)
berkisar antara 2.38 hingga 10.56. Rasio antara seluruh subunit kelompok asam (A) dengan subunit β
(A/β) berkisar antara 5.54 hingga 10.37. Rasio antara subunit kelompok basa (B) dengan subunit α'&α
(B/α'+α) nilainya berkisar antara 0.41 hingga 1.77. Rasio antara subunit kelompok basa (B) dengan β
(B/β) nilainya berkisar antara 0.56 hingga 4.44. Hasil analisis ragam untuk melihat perbedaan nyata di
antara nilai-nilai rasio subunit protein dilampirkan pada Lampiran 9.
Nilai densitas protein untuk tahu kelompok chewiness dapat dilihat pada Tabel 16. Sama
seperti sampel kelompok elastisitas subunit α′ dan α digabungnya menjadi satu karena sulitnya
memisahkan keduanya akibat kurang jelasnya pita protein yang terdapat pada gel. Densitas protein
sampel 42, 40, dan 43 tidak ada nilainya, karena konsentrasi protein terekstrak yang didapatkan
melalui metode pelarutan nilainya terlalu rendah.
Tabel 16 menunjukkan bahwa densitas protein untuk masing-masing sampel chewiness.
Persentase subunit α′ & α berkisar antara 5.49 hingga 21.34 %. Persentase subunit β berkisar antara
6.36 hingga 14.63 %. Persentase subunit kelompok asam (A3, A1, A2, & A4) berkisar antara 45.51
hingga 55.76 %. Subunit kelompok basa persentasenya berkisar antara 11.80 hingga 18.73 %. Setelah
itu persentase subunit asam A5 berkisar antara 8.75 hingga 15.05 %. Subunit seluruh kelompok asam
(A) memiliki persentase berkisar antara 54.26 hingga 68.90 %.
44
Tabel 15 . Persentase densitas protein tahu kelompok elasitisitas
Kode
sampel Tipe Tahu Jenis Koagulan
Densitas Protein (%)
Berat molekul (kDa)/Subunit protein kedelai
60-80/ 45-55/ 30-45/ 15-25/ 10-14/ A 7S 11S 11S/7S α' & α β A3, A1,
A2, & A4
Basa A5
1 Silken GDL, Garam 20.16f 7.33bc 47.08c 11.74c 13.69g 60.77d 27.49cd 72.51bc 2.64ab
6 Silken egg GDL, Garam 6.88a 13.13e 47.51c 7.29a 25.19h 72.70f 20.01b 79.99d 4.00c
12 Silken GDL. Garam 22.27g 6.03ab 51.52d 9.15b 11.03e 62.55d 28.30d 71.70b 2.53ab
13 Silken GDL, CaSO4, MgCl2 24.42h 7.28bc 44.04b 21.45e 2.81a 46.84ab 31.71e 68.29a 2.15a
19 Silken GDL, CaSO4, MgCl2 23.45gh 8.01cd 42.71bc 23.14f 2.69a 45.40a 31.45e 68.55a 2.18a
24 Hard Garam 13.40d 5.66a 53.36de 23.78f 3.79b 57.15c 19.07ab 80.93de 4.25c
28 Silken egg GDL, CaSO4 11.03c 9.29d 53.49de 14.50d 11.70ef 65.18e 20.32b 79.68d 3.92c
31 Silken egg GDL, CaSO4 8.58b 8.49cd 55.24e 15.08d 12.62f 67.85e 17.06a 82.94e 4.86d
36 Silken egg and
shrimp Garam 17.58e 7.72c 61.25f 8.03a 5.43c 66.68e 25.30c 74.70c 2.95b
46 Soft Garam 20.20f 5.83a 40.61a 25.86g 7.49d 48.11b 26.03c 73.97c 2.84b
Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05
45
Tabel 16. Persentase densitas protein tahu kelompok chewiness
Kode
sampel Tipe Tahu Jenis Koagulan
Densitas protein (%)
Berat molekul (kDa)/Subunit protein kedelai
60-80/ 45-55/ 30-45/ 15-25/ 10-14/ A 7S 11S 11S/7S α' & α β A3, A1,
A2, & A4
Basa A5
28 Silken egg GDL, CaSO4 5.49a 14.76e 46.68a 17.45d 15.62f 62.30c 20.25c 79.75c 3.94c
34 Silken egg and
shrimp Tidak diketahui 9.58c 10.61c 48.43b 18.73f 12.64d 61.08b 20.19c 79.81c 3.95c
33 Silken egg GDL, CaSO4 7.28b 12.03d 48.14b 17.51d 15.05f 63.19d 19.31b 80.69d 4.18d
36 Silken egg and
shrimp Garam 14.63d 10.88c 50.73c 13.20b 10.55b 61.28b 25.52d 74.48b 2.92b
42 Silken egg Garam - - - - - - - - -
32 Silken shrimp GDL, CaSO4 8.96c 9.32b 55.76d 14.48c 11.48c 67.24e 18.28a 81.72e 4.47e
31 Silken egg GDL, CaSO4 8.94c
10.36c
55.18d
11.80a
13.72e
68.90f
19.30b
80.70d
4.18d
40 Silken egg Garam - - - - - - - - -
43 Silken egg Garam - - - - - - - - -
29 Soft Garam 21.34e 6.36a 45.51a 18.04e 8.75a 54.26a 27.70e 72.30a 2.61a
Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05
46
Persentase subunit 7S (α', α, dan β) berkisar antara 18.28 hingga 27.70 %. Subunit 11S
(golongan asam (A1, A2, A3, A4, A5 ) dan basa) persentasenya berkisar antara 72.30 hingga 81.74 %.
Rasio 11S/7S nilainya berkisar antara 2.61 hingga 4.47. Tabel 16 menunjukkan bahwa densitas
protein untuk masing-masing sampel chewiness. Persentase subunit α′ & α berkisar antara 5.49 hingga
21.34 %. Persentase subunit β berkisar antara 6.36 hingga 14.63 %. Persentase subunit kelompok
asam (A3, A1, A2, & A4) berkisar antara 45.51 hingga 55.76 %. Subunit kelompok basa persentasenya
berkisar antara 11.80 hingga 18.73 %. Setelah itu persentase subunit asam A5 berkisar antara 8.75
hingga 15.05 %. Subunit seluruh kelompok asam (A) memiliki persentase berkisar antara 54.26
hingga 68.90 %. Persentase subunit 7S (α', α, dan β) berkisar antara 18.28 hingga 27.70 %. Subunit
11S (golongan asam (A1, A2, A3, A4, A5 ) dan basa) persentasenya berkisar antara 72.30 hingga 81.74
%. Rasio 11S/7S nilainya berkisar antara 2.61 hingga 4.47.
Dapat dilihat juga pada Tabel 16 bahwa semua sampel memiliki protein yang mayoritas
berberat molekul 30-45 kDa atau dengan kata lain subunit protein mayoritasnya adalah subunit
kelompok asam (A3, A1, A2, & A4). Subunit 11S dari seluruh sampel jumlahnya jauh lebih besar
dibandingkan dengan subunit 7S-nya. Sama seperti tahu kelompok elastisitas, subunit-subunit protein
yang tertera pada Tabel 16 dicari rasionya masing-masing dengan tujuan mencari tahu apakah terdapat
korelasi antara rasio tersebut dengan tingkat chewiness. Hasil analisis ragam untuk melihat perbedaan
nyata di antara nilai-nilai persentase densitas dilampirkan pada Lampiran 10.
Rasio subunit-subunit protein dapat dilihat pada Lampiran 11. Rasio antara seluruh subunit
kelompok asam (A) dengan subunit α'&α (A/α'+α) berkisar antara 2.54 hingga 11.36. Rasio antara
seluruh subunit kelompok asam (A) dengan subunit β (A/β) berkisar antara 4.22 hingga 7.21. Rasio
antara subunit kelompok basa (B) dengan subunit α'&α (B/α'+α) nilainya berkisar antara 0.85 hingga
3.18. Rasio antara subunit kelompok basa (B) dengan β (B/β) nilainya berkisar antara 1.14 hingga
1.76. Hasil analisis ragam untuk melihat perbedaan nyata di antara nilai-nilai rasio subunit protein
dilampirkan pada Lampiran 12.
Untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara subunit atau rasio subunit protein dengan
profil tekstur, dalam hal ini elastisitas dan chewiness, maka digunakan program SPSS 13.0. Dengan
menggunakan Pearson correlation dapat dilihat nilai korelasi beserta signifikansi korelasi tersebut.
Hasil mentah dari pengolahan data yang didapatkan dari program SPSS ini dapat dilihat pada
Lampiran 13 dan Lampiran 14. Hasil gabungan dari kesemua pengolahan data tersebut dapat dilihat
pada Lampiran 15 dan Lampiran 16.
Lampiran 15 menunjukkan korelasi yang ada antara subunit protein dan rasio subunit protein
dengan tingkat elastisitas. Semua subunit protein maupun rasio subunit protein, tak satupun di
antaranya yang memiliki korelasi yang signifikan dengan tingkat elastisitas yang ditunjukkan dengan
nilai R bervariasi (Rα‘+α = -0.103, Rβ = -0.306, RAcidic (A3, A1, A2, A4) = 0.248, RBasic = 0.5, RA5 = -0.55, RA
= -0.227, R7S = -0.253, R11S = 0.253, R11S/7S = 0.268, RA/α‘+α = -0.117, RA/β = 0.109, RB/α‘+α = 0.518,
RB/β = 0.469) dan tidak signifikan pada p<0.05. Menurut Blazek (2008), glisinin berkontribusi
terhadap peningkatan kekerasan dan kekokohan gel, sedangkan β-konglisinin memberikan pengaruh
terhadap elastisitas gel curd yang dihasilkan. Itu berarti seharusnya β-konglisinin (7S) mempengaruhi
tingkat elastisitas curd tahu. Hasil yang yang didapat dari analisis, 11S justru tidak memiliki korelasi
yang signifikan terhadap tingkat elastisitas dengan nilai R rendah (0.253) dan tidak signifikan pada
p<0.05. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kondisi koagulasi, jenis koagulan dan
kualitas kedelai saat pembuatan tahu oleh produsennya. Selain itu protein lain yang berasal telur dan
udang kemungkinan juga menyebabkan hasil tidak sesuai dengan teori yang dilaporkan oleh Blazek
(2008).
47
Lampiran 16 menunjukkan hasil pengolahan data mengenai korelasi yang ada antara subunit
protein dan rasio subunit protein dengan tingkat chewiness dengan nilai R yang bervariasi (Rα‘+α =
0.883, Rβ = -0.868, RAcidic (A3, A1, A2, A4) = -0.119, RBasic = 0, RA5 = -0.728, RA = -0.48, R7S = 0.632, R11S
= 0.632, R11S/7S = -0.574, RA/α‘+α = -0.694, RA/β = 0.908, RB/α‘+α = -0.67, RB/β = 0.809). Subunit protein
α' & α memiliki korelasi positif yang cukup signifikan dengan nilai R yang cukup tinggi (0.833) dan
signifikan pada p<0.05. Artinya semakin banyak kandungan subunit protein α' & α (subunit protein
berberat molekul 60-80 kDa), maka semakin besar juga tingkat daya kunyah tahu. Subunit β memiliki
korelasi negatif yang cukup signifikan dengan nilai R yang cukup rendah dan signifikan pada p<0.05.
Itu berarti semakin banyak kandungan subunit β (subunit protein berberat molekul 45-55 kDa) maka
semakin kecil tingkat daya kunyah tahu. Sedangkan untuk rasio A/β terdapat korelasi positif yang
signifikan yang ditunjukkan dengan nilai R tinggi (0.908) dan signifikan pada p<0.01. Itu berarti
semakin tinggi rasio A/β, maka tahu akan semakin tinggi daya kunyahnya. Rasio B/β memiliki
korelasi positif yang signifikan yang ditunjukkan dengan nilai R yang cukup tinggi (0.809) dan
signifikan pada p<0.05. Dengan kata lain semakin tinggi nilai rasio B/β maka akan semakin tinggi
daya kunyah tahu.
Menurut Cai dan Chang (1999) di dalam Blazek (2008), perbedaan komposisi protein yang
terkandung dalam curd kedelai, khususnya glisinin dan β-konglisinin, sangat berpengaruh terhadap
rendemen, kekerasan, dan mutu sensori curd kedelai. Semakin tinggi kekerasan sampel dan semakin
kompak struktur sampel tersebut akan membuat daya kunyahnya menjadi semakin tinggi (Fahmi,
2010). Dengan demikian glisinin dan β-konglisinin akan mempengaruhi tingkat daya kunyah. Mujo et
al. (2003) berpendapat bahwa kandungan protein 11S dan rasio 11S/7S memberikan korelasi positif
terhadap kekerasan gel dari protein kedelai. Glisinin (11S) berkontribusi terhadap peningkatan
kekerasan dan kekokohan gel, sedangkan β-konglisinin memberikan pengaruh terhadap elastisitas gel
yang dihasilkan (Blazek, 2008).
Hettiarachchy dan Kalapathy (1998) menyebutkan bahwa ikatan disulfide terdapat dalam
protein glisinin (11) dan tidak terdapat dalam protein β-konglisinin (7S). Oleh sebab itu, semakin
besar proporsi glisinin (11S), semakin keras dan kokoh curd yang terbentuk. Hal yang sebaliknya
berlaku untuk β-konglisinin, semakin besar proporsi β-konglisinin (7S), curd yang terbentuk akan
semakin lunak dan elastis (Karsono, 2010).
Hasil yang didapat yang bisa dilihat pada Lampiran 16, menunjukkan sebaliknya. Kadar
glisinin (11S) tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan nilai R yang rendah (-0.632) dan tidak
signifikan pada p<0.05. Selain itu korelasi kadar subunit α' & α juga bertentangan dengan teori
menurut Blazek (2008), karena memiliki korelasi positif yang signifikan. Seharusnya semakin tinggi
subunit α' & α maka akan semakin kecil daya kunyahnya, karena semakin besar proporsi 7S maka
semakin kecil daya kunyahnya. Tetapi hasil korelasi kadar subunit β dengan daya kunyah tidak
bertentangan dengan teori menurut Blazek, yaitu semakin tinggi kadar subunit β maka akan semakin
kecil daya kunyahnya karena semakin lunak tahunya.
Hasil korelasi rasio A/β justru tidak bertentangan dengan teori, karena terdapat korelasi positif
yang signifikan antara rasio A/β dengan tingkat daya kunyah. Hal ini senada dengan teori yang
dinyatakan Blazek (2008), yaitu glisinin (11S) berkontribusi terhadap peningkatan kekerasan dan
kekokohan gel, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya subunit golongan Asam (A1, A2, A3, A4, A5)
merupakan bagian dari subunit 11S (glisinin). Hal itu juga berarti bahwa semakin tinggi β maka akan
semakin rendah daya kunyah tahu. Karena β merupakan bagian dari β-konglisinin maka pernyataan
tersebut senada dengan yang dinyatakan oleh Karsono (2010), yaitu semakin besar proporsi β-
konglisinin, curd yang terbentuk akan semakin lunak dan elastis.
48
Hasil korelasi rasio B/β juga tidak bertentangan dengan teori, karena terdapat korelasi positif
yang cukup signigikan antara rasio B/β dengan tingkat daya kunyah. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, subunit protein golongan basa merupakan bagian dari subunit glisinin (11S). Hal itu juga
berarti semakin tinggi proporsi subunit protein β maka akan semakin rendah daya kunyah tahu.
Perbedaan-perbedaan hasil analisis korelasi subunit dan rasio subunit protein dengan tingkat
elastisitas dan daya kunyah, dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi koagulasi, jenis koagulan dan
kualitas kedelai saat pembuatan tahu oleh produsennya. Selain itu protein lain yang berasal telur dan
udang kemungkinan juga menyebabkan hasil tidak sesuai dengan teori yang dilaporkan oleh Blazek
(2008).
Sulitnya protein untuk terekstrak dapat menyebabkan beberapa protein yang berperan dalam
koagulasi protein tahu saat pembuatannya masih tertinggal dalam matriks tahu. Hal ini kemungkinan
mempengaruhi hasil pita-pita protein yang muncul pada slab elektroforesis. Protein yang tertinggal
pada matriks tahu jadi tidak terikut dalam analasis elektroforesis sehingga band-band yang muncul
dalam slab elektroforesis tidak sesuai dengan kandungan protein sebenarnya yang terdapat dalam
tahu komersial. Dengan demikian hasil elektroforesis jadi tidak maksimal, tapi peneliti telah mencoba
mengoptimalkan pengekstrakkan protein melalui pengunaan metode pelarutan yang dilakukan oleh
Mujo (2003) yang telah dimodifikasi. Awalnya pengekstrakkan hanya berlangsung sekali, namun
dalam metode yang telah dimodifikasi ini proses pelarutan diulang hingga tiga kali dengan harapan
pengekstrakkan protein menjadi optimal. Hal ini mungkin masih kurang membantu, karena bisa saja
protein terikat kuat dalam matriks tahu sehingga sulit untuk diekstrak dengan metode termodifikasi
ini.
Protein yang terbawa dari penambahan telur dan udang juga akan mempengaruhi pita-pita
protein yang muncul pada gel elektroforesis. Protein-protein yang terdapat pada telur diantaranya
adalah ovalbumin, ovotransferrin, ovomucoid, ovomucin, lyzosyme, cystatin, ovomacroglobulin,
ovoinhibitor, dan avidin. Ovalbumin memiliki berat molekul 45 kDa, ovomucoid memiliki berat
molekul 28 kDa, ovomacroglobulin memiliki berat molekul 175 kDa, ovoinhibitor memiliki berat
molekul antara 46 hingga 49 kDa (Mine dan Kovacs-Nolan, 2006), dan avidin memiliki berat molekul
66 kDa (Sewald dan Jakubke, 2002). Cherian (2006) mengatakan bahwa ovoalbumin merupakan
protein mayoritas dari protein putih telur yang membangun sekitar 54% dari total protein putih telur.
Ovotransferrin dan ovomucoid secara berturut-turut menyusun sekitar 12 dan 11 % protein. Dengan
demikian yang menjadi perhatian utama adalah ovalbumin yang memiliki berat molekul 45 kDa.
Protein ini akan ikut muncul pada pita protein dengan berat molekul 45 kDa, pita ini adalah pita
subunit protein β dari kedelai. Protein yang terbaca pada pita dengan berat molekul 45 kDa untuk
sampel 6, 28, 31, 36, 33, 34, dan 42. Semua sampel tersebut mengandung telur.
Protein yang didapat dari udang juga memberi kontribusi yang kecil pada pita-pita protein yang
muncul pada gel elektroforesis. Udang yang dipakai dalam membuat tahu ini hanyalah sebagai flavor
atau dengan kata lain penambahan dilakukan dalam jumlah yang sedikit karena harga udang yang
tinggi. Ada produsen yang menambahkan ekstrak udang sebagai flavor, tapi juga ada produsen yang
hanya menambahkan flavor udang. Hal inilah yang menyebabkan pengaruh protein udang pada pita
protein pada gel elektroforesis lemah. Menurut Haejung et al. (1987) protein sarkoplasma larut air dari
udang teridentifikasi 5 pita protein mayoritasnya untuk udang putih yang masing-masing berberat
molekul 88.6, 81.7, 79.9, 77.7 dan 75.7 kDa. Dengan demikian pita protein untuk udang ini masuk ke
pita protein subunit protein kedelai α' dan α, khusus sampel 36, 34, dan 32.
49
4.5 ANALISIS KADAR AIR
Gel dari protein kedelai atau yang dikenal sebagai curd, memiliki kemampuan menahan air,
lemak, polisakarida, flavor dan komponen lainnya (Zayas, 1997). Menurut Obatolu (2007),
peningkatan kekerasan curd seringkali dihubungkan dengan penurunan kemampuan matriks dalam
menahan air (Water Holding Capacity). Curd atau tahu yang keras memiliki struktur matriks yang
padat karena molekul-molekul protein berdekatan satu dengan lainnya akibat hilangnya air pada tahap
koagulasi. Tahu dengan kekerasan tinggi memiliki kemampuan menahan air (WHC) yang rendah. Hal
ini disebabkan oleh matriks curd yang lebih rapat sehingga menurunkan kemampuannya dalam
menahan air. Sebaliknya tahu yang lunak memiliki matriks yang renggang sehingga air dapat
terperangkap dalam jumlah yang lebih banyak. Tahu lunak memiliki kandungan air yang tinggi yaitu
sekitar 84 hingga 90%. Dengan kata lain, tingkat kekerasan tahu dipengaruhi kadar air yang
terperangkap dalam matriks tahu. Hal itu terjadi pada kekerasan, hal yang sama belum tentu terjadi
pada tingkat keelastisitasan dan daya kunyah tahu.
Analisis kadar air ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar air yang terdapat pada tahu ikut
mempengaruhi tingkat kelesatisitasan dan daya kunyah tahu, khususnya tahu komersial. Hasil
perhitungan kadar air dari beberapa tahu komersial terpilih dapat dilihat pada Lampiran 17. Data
kadar air untuk tahu kelompok elastisitas dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Data kadar air untuk sampel elastisitas
Kode Kadar Air Nilai Elastisitas
(%) Tipe Tahu Jenis Koagulan
Sampel (%bb)
1 88.00g 0.5964a Silken GDL, Garam
6 84.31c 0.6770bcd silken egg GDL, Garam
12 85.77d 0.7361d Silken GDL. Garam
13 86.74f 0.8161e Silken GDL, CaSO4, MgCl2
19 86.33e 0.8729efgh Silken GDL, CaSO4, MgCl2
24 82.94b 0.9140hijk Hard Garam
28 85.51d 0.9320hijk Silken egg GDL, CaSO4
31 85.53d 0.9389ijk Silken egg GDL, CaSO4
36 89.26h 0.9479ijk Silken egg and shrimp Garam
46 80.91a 0.9786k Soft Garam
Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05
50
*tidak signifikan pada p<0.05
Gambar 14. Grafik korelasi kadar air dengan elastisitas
Tabel 17 menunjukkan bahwa kadar air untuk sampel kelompok elastisitas berkisar antara
80.91 hingga 89.26 %bb. Sampel berkode 12, 28, dan 31 tidak berbeda nyata pada p=0.05. Sampel 28
dan 31 bertipe sama, yaitu silken egg, sedangkan sambel 12 bertipe silken. Berdasarkan tabel tersebut
dapat dilihat bahwa tahu bertipe silken (baik silken, silken egg, atau silken egg and shrimp) memiliki
kadar air yang tinggi, sedangkan tahu bertipe hard dan soft memiliki kadar air yang rendah. Hal ini
disebabkan tahu bertipe silken memiliki matriks yang renggang sehingga air dapat terperangkap
dalam jumlah yang lebih banyak. Sebaliknya tahu bertipe hard dan soft memiliki matriks curd yang
lebih rapat sehingga menurunkan kemampuannya dalam menahan air, selain karena tahu tipe ini
ditekan pada saat pembuatannya yang menyebabkan air dalam matriks curd keluar dan membuatnya
menjadi lebih keras.
Gambar 14 menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara kadar air dengan
tingkat keelastisitasan tahu yang ditunjukkan dengan nilai R yang rendah (-0.306) dan tidak signifikan
pada p<0.05. Tingkat keelastisitasan merupakan jumlah pengembalian ke bentuk semula dari gaya
deformasi atau tingkat di mana material yang dideformasi kembali ke kondisi sebelum dideformasi
setelah gaya deformasi dihilangkan. Sedangkan kekerasan adalah gaya yang dibutuhkan untuk
menekan suatu pangan antara gigi geraham (untuk padat) atau antara lidah dan langit-langit mulut
(untuk semi padat) kepada pangan yang diberikan deformasi atau penetrasi (Kramer dan Szczesniak,
1973).
Dengan demikian elastisitas berbeda dengan kekerasan. Kekerasan pangan diketahui bila
sampel pangan diberi gaya hingga berubah bentuk tapi tidak kembali ke kondisi semula, sebaliknya
elastisitas pangan diketahui bila sampel pangan diberi gaya hingga berubah bentuk tapi kemudian
kembali ke kondisi semula. Menurut Obatolu (2007), tahu dengan kekerasan tinggi memiliki
kemampuan menahan air (WHC) yang rendah. Dengan kata lain, kadar air yang sedikit pada tahu
yang diakibatkan rapatnya matriks tahu akan menyebabkan tahu menjadi keras dan butuh gaya
deformasi yang sangat besar untuk membuatnya berubah bentuk. Kadar air yang tinggi pada tahu
yang diakibatkan renggangnya matriks tahu, sehingga air mudah terperangkap, akan menyebabkan
tahu tidak keras (lunak) dan hanya butuh gaya deformasi yang kecil untuk membuatnya berubah
bentuk.
R = -0.306*
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
80 82 84 86 88 90
Elas
tisi
tas
(%)
Kadar Air (%)
51
Hal yang terjadi pada kekerasan tersebut tidak terjadi pada keelastisitasan. Tahu dengan kadar
air yang rendah belum tentu menjadi elastis ataupun tidak elastis. Begitu juga sebaliknya, tahu dengan
kadar air yang tinggi belum tentu menjadi elastis ataupun tidak elastis. Dapat dilihat pada Tabel 17,
sampel berkode 12 dengan kadar air 84.31 %bb memiliki nilai elastisitas yang rendah (0.6770 %).
Sampel berkode 31 dengan kadar air 85.53 %bb yang tidak berbeda nyata pada p=0.05 dengan kadar
air sampel berkode 12, justru memiliki nilai elastisitas yang tinggi (0.9389 %) yang berbeda nyata
pada p=0.05 dengan nilai elastisitas sampel berkode 12.
Tabel 18. Data kadar air untuk sampel daya kunyah
Kode Kadar Air Nilai Chewiness
(kg) Tipe Tahu Jenis Koagulan
Sampel (%bb)
28 85.51b 0.7259gh Silken egg GDL, CaSO4
34 88.20g 0.7554gh Silken egg and shrimp Tidak diketahui
33 86.07c 0.8039ghij Silken egg GDL, CaSO4
36 89.26h 0.8303ghij Silken egg and shrimp Garam
42 86.85d 0.8779hij Silken egg Garam
32 86.19c 0.9176hijk Silken shrimp GDL, CaSO4
31 85.53b 0.9667hijk Silken egg GDL, CaSO4
40 87.28e 1.0510jk Silken egg Garam
43 87.98f 1.1344kl Silken egg Garam
29 76.32a 1.3413l Soft Garam
Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05
Dapat dilihat pada Tabel 18 bahwa kadar air untuk sampel kelompok chewiness berkisar antara
76.32 hingga 89.26 %bb. Sampel berkode 28 dan 31 tidak berbeda nyata pada p=0.05. Sampel
berkode 33 dan 32 juga tidak berbeda nyata pada p=0.05. Sampel berkode 28, 31, dan 33 bertipe
silken egg, sedangkan sampel berkode 32 bertipe silken shrimp. Berdasarkan tabel tersebut dapat
dilihat tahu bertipe silken (baik silken egg, silken shrimp, maupun silken egg and shrimp), memiliki
kadar air yang tinggi. Tahu bertipe soft justru memiliki kadar air yang rendah. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya pada tahu kelompok elastisitas, hal ini disebabkan tahu bertipe silken memiliki
matriks yang renggang sehingga air dapat terperangkap dalam jumlah yang lebih banyak. Sebaliknya
tahu bertipe soft memiliki matriks curd yang lebih rapat sehingga menurunkan kemampuannya dalam
menahan air. Hasil analisis ragam untuk melihat perbedaan nyata di antara tahu-tahu komersial baik
untuk kelompok elastisitas maupun kelompok daya kunyah dapat dilihat pada Lampiran 18.
Dapat dilihat pada Gambar 15 bahwa terdapat korelasi negatif yang cukup signifikan antara
tingkat daya kunyah (chewiness) dengan kadar air yang ditunjukkan dengan R yang cukup rendah
yaitu -0.666 dan signifikan pada p<0.05. Chewiness atau daya kunyah adalah lamanya waktu atau
jumlah dari kunyahan yang dibutuhkan untuk mengunyah pangan padat ke tahap yang siap untuk
penelanan. Chewiness merupakan produk dari kekerasan, daya kohesif, dan elastisitas (Kramer dan
Szczesniak, 1973).
52
*signifikan pada p<0.05
Gambar 15. Grafik korelasi kadar air dengan chewiness
Dengan demikian chewiness memiliki hubungan dengan kekerasan yang dipengaruhi oleh
kadar air. Seperti yang telah dijelaskan oleh Fahmi (2010) yang menyatakan bahwa semakin tinggi
kekerasan sampel dan semakin kompak struktur sampel tersebut akan membuat daya kunyahnya
menjadi semakin tinggi. Selain itu menurut Obatolu (2007), tahu yang memiliki kekerasan yang tinggi
memiliki kemampuan menahan air (Water Holding Capacity) yang rendah. Semakin tinggi kadar air
curd, semakin rendah nilai kekerasan, kohesivitas, dan daya kunyah (Karsono, 2010). Oleh sebab itu,
tahu yang keras memiliki kadar air yang sedikit yang disebabkan oleh rapatnya matriks tahu. Tahu
yang lunak memiliki kadar air yang banyak yang disebabkan oleh renggangnya matriks tahu sehingga
dapat memerangkap air. Hal yang sama terjadi juga pada tingkat daya kunyah. Sehingga semakin
rendah kadar air, maka semakin tinggi daya kunyah. Sebaliknya semakin tinggi kadar air, maka
semakin rendah daya kunyah. Dengan kata lain, lama dan banyaknya kunyahan tahu yang memiliki
kadar air yang rendah akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan lama dan banyaknya kunyahan
tahu yang memiliki kadar air yang tinggi.
Perbedaan penggunaan jenis dan konsentrasi koagulan, pengadukan yang dilakukan selama
koagulasi, dan tekanan terhadap curd akan memberikan variasi tahu mulai dari keras hingga lunak
dengan kandungan air berkisar antara 70% hingga 90% dan kandungan protein 5% hingga 16%
berdasarkan berat basah (Blazek, 2008). Dengan demikian kadar air yang terkandung dalam tahu juga
dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi koagulan yang digunakan pada saat koagulasi pembuatan tahu
oleh produsennya. Amat disayangkan karena informasi mengenai jenis koagulan yang digunakan pada
pembuatan tahu-tahu yang diteliti, tidak semuanya tercantum dengan jelas pada kemasan tahu-tahu
tersebut seperti yang tertera pada Tabel 7 atau Tabel 8.
Menurut Fahmi (2010), curd dari koagulan CaSO4.2H2O memiliki kadar air yang lebih tinggi
dibandingkan dengan curd dari koagulan CH3COOH. Trisna (2011) menyatakan bahwa pengaruh
konsentrasi GDL (Glucono Delta Lactone) terhadap kadar air curd menjukkan bahwa dengan
meningkatnya konsentrasi koagulan menyebabkan penurunan kadar air curd. Selain itu, kadar air juga
dipengaruhi oleh kondisi koagulasi saat pembuatan tahu seperti temperatur koagulasi. Curd yang
dihasilkan melalui koagulasi pada suhu awal 63oC memiliki kandungan air yang lebih tinggi
R = -0.666*
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
74 76 78 80 82 84 86 88 90
Ch
ew
ine
ss(k
g)
Kadar Air (%)
53
dibandingkan curd yang dihasilkan pada suhu awal 83oC (Karsono, 2010). Hasil mentah korelasi
Pearson yang didapatkan dari program SPSS 13.0 baik untuk sampel elastisitas maupun sampel daya
kunyah dapat dilihat pada Lampiran 19.
Tabel 19. Perbandingan kadar air tahu jenis firm
Kode Tipe
Tahu
Jenis
Koagulan
Kadar Air
(%bb)
Nilai Elastisitas
(%)
Nilai Chewiness
(kg) Sampel
29 Soft Garam 76.32a 0.9347hijk 1.3413l
46 Soft Garam 80.91c 0.9786k 1.1331kl
24 Hard Garam 82.94d 0.9140hijk 0.7516gh
17 Hard Tidak
diketahui 80.16b
0.8449efg 1.8724no
Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05
Tabel 19 menunjukkan bahwa tahu tipe soft yang berkode 29 dan 46 memiliki kadar air yang
berbeda nyata pada p=0.05. Nilai elastisitas dari keduanya tidak berbeda nyata pada p=0.05, begitu
juga dengan nilai daya kunyahnya. Dari jenis koagulan yang dipakai untuk memproduksi kedua tahu
tersebut diketahui bahwa koagulan yang digunakan adalah koagulan jenis garam. Tampaknya
perbedaan jenis koagulan garam yang dipakai juga bertanggung jawab akan perbedaan kadar air tahu.
Nilai kadar air juga dipengaruhi oleh kondisi koagulasi dan penekanan. Penekanan yang lebih keras
dan lama umumnya akan menghasilkan tahu yang kadar airnya jauh lebih rendah, karena penekanan
menyebabkan air yang terdapat di dalam tahu terbuang dan menyebabkan matriks curd menjadi lebih
rapat sehingga menurunkan kemampuannya dalam menahan air.
Merek tahu berkode 29 adalah ―Gemelli Tahu Bandung Kunyit Padat Halus‖, sedangkan merek
tahu berkode 46 adalah ―Gemelli Tahu Potong Kunyit Halus‖. Berdasarkan keterangan yang terdapat
pada label, tahu berkode 29 menyatakan bahwa tahu tersebut padat dan halus, dengan demikian tahu
tersebut lebih padat dibandingkan dengan tahu berkode 46. Itu artinya tahu berkode 29 mengalami
penekanan yang lebih tinggi dan lebih lama dibandingkan dengan tahu berkode 46, untuk
mendapatkan tekstur yang padat. Hal inilah yang menyebabkan tahu berkode 29 memiliki kadar air
yang lebih rendah dibandingkan dengan tahu berkode 46. Nilai daya kunyah untuk tahu berkode 29
juga sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tahu berkode 46, walaupun tidak berbeda nyata. Hal ini
dikarena semakin padat tahu, maka kekerasan akan menjadi lebih tinggi, sehingga dibutuhkan
kunyahan yang banyak jumlahnya untuk mengubahnya menjadi bentuk yang kecil-kecil sebelum
ditelan. Selain itu semakin rendah kadar air juga akan menyebabkan nilai daya kunyah semakin
tinggi, sesuai dengan hasil yang dijelaskan sebelumnya dari Gambar 15.
Dapat dilihat pada Tabel 19, tahu tipe hard yang berkode 24 dan 17 memiliki kadar air yang
berbeda nyata pada p=0.05. Nilai Elastisitas dari tahu berkode 24 (0.9140 %) berbeda nyata dengan
tahu berkode 17 (0.8449 %) pada p=0.05. Hal yang sama juga terjadi pada nilai daya kunyah. Nilai
daya kunyah tahu berkode 24 (0.7516 kg) berbeda nyata dengan tahu berkode 17 (1.8724 kg) pada
p=0.05. Dari jenis koagulan yang dipakai untuk memproduksi kedua tahu tersebut diketahui bahwa
koagulan yang digunakan untuk tahu berkode 24 adalah garam, sedangkan untuk tahu berkode 17
koagulannya tidak diketahui. Dengan demikian perbedaan dari segi kadar air, nilai elastisitas dan nilai
daya kunyah dapat disebabkan oleh jenis koagulan yang dipakai. Selain itu kondisi koagulasi serta
besar tekanan dan lama penekanan juga mempengaruhi perbedaan-perbedaan tersebut. Nilai daya
kunyah untuk tahu berkode 24 lebih rendah dibandingkan dengan tahu berkode 17, juga disebabkan
54
oleh kadar air. Kadar air tahu berkode 24 lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air tahu berkode 17.
Hal ini juga sesuai dengan hasil yang dijelaskan sebelumnya dari Gambar 15. Hasil analisis ragam
untuk kadar air keempat sampel tersebut disajikan pada Lampiran 20.
4.6 ANALISIS KADAR PROTEIN METODE KJELDAHL
Salah satu yang diteliti untuk mengetahui penyebab terdapatnya perbedaan nilai elastisitas dan
daya kunyah pada tahu-tahu komersial adalah kadar proteinnya. Analisis kadar protein menggunakan
metode Kjeldhal ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara kadar protein total
dengan nilai elastisitas dan daya kunyah pada tahu komersial. Metode Kjeldahl mengukur kandungan
nitrogen dalam sampel. Kandungan protein dapat dikalkulasi dengan mengasumsi rasio protein untuk
pangan spesifik yang dianalisis (Chang, 2003).
Metode Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian: (1) penghancuran/digestion,
(2) destilasi, dan (3) titrasi. Pada tahap penghancuran, nitrogen organik diubah menjadi ammonium
dengan kehadiran katalis pada suhu sekitar 370oC. Pada tahap destilasi sampel yang telah dihancurkan
dibuat basa dengan menggunakan NaOH dan nitrogen didestilasi sebagai NH3. Senyawa NH3
kemudian dijerat dalam larutan asam borat. Jumlah dari nitrogen ammonia dalam larutan ini dihitung
melalui titrasi dengan larutan HCl standar (Chang 2003). Hasil analisis protein metode Kjeldahl dapat
dilihat pada Lampiran 21. Hasil analisis kadar protein kelompok tahu elastisitas dapat dilihat pada
Tabel 20.
Dapat dilihat pada Tabel 20 nilai kadar protein untuk tahu kelompok elastisitas berkisar antara
49.03 hingga 56.54 g/100g bahan kering. Sampel berkode 1, 12, 28 dan 31 memiliki kadar protein
yang tidak berbeda nyata pada p=0.05. Sampel berkode 6, 13, 24, dan 36 memiliki kadar protein yang
tidak berbeda nyata pada p=0.05. Sampel berkode 19, 24, 36 dan 46 memiliki kadar protein yang
tidak berbeda nyata pada p=0.05. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa tahu soft memiliki kadar
protein berdasarkan berat kering yang paling tinggi, namun tidak untuk tahu hard. Tahu tipe hard
kadar protein berdasarkan berat keringnya masih lebih rendah dibandingkan dengan tahu tipe silken
berkode 19. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi koagulasi yang berbeda dan jenis koagulan
yang berbeda. Tahu tipe hard yang berkode 24 menggunakan koagulan jenis garam, sedangkan tahu
silken berkode 19 menggunakan koagulan GDL, CaSO4, dan MgCl2. Hal ini membuat perbedaan
kadar protein yang berhasil dikoagulasikan, sehingga menyebabkan kadar protein untuk tahu tipe hard
berdasarkan berat kering menjadi lebih rendah dibandingkan tahu bertipe silken.
Tahu tipe silken tidak hanya dibuat dengan memakai koagulan jenis lakton, seperti yang dapat
dilihat pada Tabel 2. Tahu tipe silken juga dapat dibuat dengan menggunakan koagulan tipe nigari dan
kalsium sulfat, begitu juga dengan tipe hard yang dapat memakai koagulan tipe lakton serta kalsium
sulfat. Jadi untuk kasus tahu silken dan tahu firm yang memakai koagulan yang sama, hal yang
membuat terjadinya perbedaan tekstur hanyalah variasi kondisi koagulasi, dan khusus untuk tahu tipe
firm (hard atau soft) adanya aplikasi penekanan.
Berdasarkan berat basah, nilai kadar protein untuk tahu kelompok elastisitas yang dapat dilihat
pada Tabel 20 berkisar antara 5.87 hingga 11.08 g/100g bahan basah. Sampel berkode 12, 13, 28 dan
31 memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata pada p=0.05.Dapat dilihat juga pada tabel
tersebut bahwa sampel bertipe silken (baik silken, silken egg, maupun silken egg and shrimp)
memiliki kadar protein di bawah kadar protein dari tahu bertipe hard dan soft. Kadar protein tahu
bertipe hard dan soft merupakan yang tertinggi karena tahu tersebut mengalami penekanan saat
pembuatannya oleh produsennya. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan dari metode pelarutan
55
protein. Total protein tertinggi justru terdapat pada tahu tipe silken, sedangkan tahu bertipe hard dan
soft total proteinnya berada di bawahnya. Hal ini disebabkan oleh tidak sepenuhnya protein tahu yang
dianalisis berhasil diekstrak, akibat tertahan oleh matriks tahu. Di atas itu semua, kadar protein bahan
basah ini kemungkinan masih terdapat pengaruh kadar air.
Tabel 20. Data kadar protein metode Kjeldahl untuk sampel elastisitas
Kode
Sampel
Kadar Protein
(g/100g bahan
kering)
Kadar Protein
(g/100g bahan
basah)
Total Protein
(mg/100mg)
Nilai
Elastisitas
(%)
Tipe Tahu Jenis
Koagulan
1 49.52a 5.94a 2.95 0.5964a
Silken GDL, Garam
6 52.73b 8.34d 1.92 0.6770bcd
silken egg GDL, Garam
12 49.94a 7.11b 3.30 0.7361d
Silken GDL. Garam
13 52.88b 7.01b 4.60 0.8161e
Silken GDL, CaSO4, MgCl2
19 56.14c 7.75c 4.38 0.8729efgh
Silken GDL, CaSO4, MgCl2
24 53.91bc 9.59e 2.73 0.9140hijk
Hard Garam
28 49.03a 7.04b 1.53 0.9320hijk
Silken egg GDL, CaSO4
31 49.41a 7.19b 1.00 0.9389ijk
Silken egg GDL, CaSO4
36 54.33bc 5.87a 0.94 0.9479ijk Silken egg
and shrimp Garam
46 56.54c 11.08f 3.15 0.9786k
Soft Garam
Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05
Menurut Chang (2006), tekanan dan durasi penekanan akan mempengaruhi kandungan air,
hasil dan tekstur dari tahu. Gandhi dan Bourne (1988) menunjukkan bahwa ketika penekanan
ditingkatkan dari 4.79 ke 19.1 g/cm2, kandungan air dari tahu menurun dari 82% hingga 60% dan
hasil menurun dari 2.0 kg hingga 1.2 kg per kg seluruh kedelai kering. Dengan kata lain tahu yang
ditekan dengan tekanan dan durasi tertentu akan membuat proteinnya semakin terkonsentrasi,
walaupun produk yang didapat lebih sedikit dibandingkan bila tidak ditekan akibat terbuangnya whey
tahu selama penekanan. Dengan demikian ± 240 mg tahu hard dan soft yang diambil untuk
pengukuran kadar nitrogennya, akan memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan ±
240 mg tahu silken. Hal ini dikarenakan kadar air yang dimiliki oleh tahu silken, kontribusinya dalam
± 240 mg lebih besar dibandingkan dengan kontribusi kadar air tahu hard atau soft. Sebaliknya
kontribusi kadar protein tahu silken dalam ± 240 mg lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi kadar
protein tahu hard dan soft. Hal ini khusus untuk kadar protein berdasarkan bahan basah. Data kadar
protein berdasarkan bahan basah ini masih dipengaruhi oleh kadar air.
Kadar protein bisa juga dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi koagulan. Seperti yang
dijelaskan oleh Blazek (2008), perbedaan penggunaan jenis dan konsentrasi koagulan, pengadukan
yang dilakukan selama koagulasi, dan tekanan terhadap curd akan memberikan variasi tahu mulai dari
keras hingga lunak dengan kandungan air berkisar antara 70% hingga 90% dan kandungan protein 5%
hingga 16% berdasarkan berat basah. Menurut Fahmi (2010), protein yang terkoagulasi menggunakan
koagulan CaSO4.2H2O membentuk matriks curd dengan kandungan protein yang lebih rendah
56
dibandingkan dengan curd yang terbentuk oleh koagulan CH3COOH. Semakin tinggi konsentrasi
koagulan CaSO4.2H2O yang digunakan untuk membuat curd, akan membuat protein yang terkoagulasi
semakin banyak. Hal ini disebabkan oleh peningkatan konsentrsi ion Ca2+ untuk membentuk jembatan
penghubung protein. Sementara itu, pada curd CH3COOH, peningkatan konsentrasi koagulan akan
membuat protonasi pada gugus COO- semakin banyak sehingga koagulasi protein akan meningkat.
Dapat dilihat pada Tabel 20, tampaknya penambahan bahan lainnya seperti telur dan udang,
belum tentu menyebabkan kandungan protein tahu menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh, tahu berkode
1 yang tidak mengandung telur, dengan nilai elastisitas 0.5964 %, memiliki nilai kadar protein 49.52
g/100g bahan kering. Tahu berkode 31 yang mengandung telur, dengan nilai elastisitas 0.9389 % yang
berbeda nyata pada p=0.05 dengan nilai elastisitas tahu berkode 1, memiliki nilai kadar protein 49.41
g/100g bahan kering yang tidak berbeda nyata pada p=0.05 dengan kadar protein tahu berkode 1. Hal
ini dikarenakan kadar protein jauh lebih dipengaruhi oleh kemampuan dari jenis koagulan beserta
besar konsentrasinya dalam mengkoagulasi protein. Koagulan yang ditambahkan ke dalam susu
kedelai, baik yang telah ditambahkan dengan telur dan udang ataupun yang tidak ditambahkan dengan
telur dan udang, akan mengkoagulasikan protein tertentu sesuai dengan jenis dan banyaknya
koagulan. Jadi penambahan telur dan udang bukan berarti akan meningkatkan kadar protein, karena
jumlah protein yang dikoagulasikan oleh koagulan akan sama (sesuai dengan jenis koagulan).
Selain itu suhu koagulasi juga mempengaruhi banyaknya protein yang terkoagulasi. Hal ini
senada dengan pernyataan Karsono (2010) yang mengatakan suhu awal proses koagulasi yang tinggi
(83oC) menyebabkan partikel protein bergerak lebih cepat dan intensitas untuk berinteraksi
membentuk agregat juga semakin besar, atau dengan kata lain agregasi protein pada suhu awal proses
koagulasi 83oC berlangsung cepat. Sebaliknya suhu awal proses koagulasi 63oC menyebabkan
agregasi berlangsung lambat sehingga dalam waktu yang ditentukan (10 menit) masih banyak
koagulat protein yang belum teragregasi membentuk curd. Sehingga dibutuhkan suhu koagulasi yang
tepat untuk mendapatkan kadar protein yang optimum.
Total protein yang didapat melalui pelarutan protein sebenarnya tidak dapat dibandingkan
dengan total protein yang didapatkan melalui metode Kjeldahl. Hal ini disebabkan total protein yang
didapat dari metode pelarutan, tahu yang dipakai sudah dihilangkan kandungan lemaknya. Total
protein yang didapatkan dari metode Kjeldahl, tahu yang dipakai kandungan lemaknya tidak
dihilangkan. Selain itu total protein metode Kjeldahl berdasarkan bahan kering terlihat jauh lebih
besar dibandingkan dengan total protein dari metode pelarutan. Hal ini terjadi karena nilai tersebut
berdasarkan berat kering atau dengan kata lain dengan mengecualikan kandungan airnya.
Total protein metode Kjeldahl berdasarkan bahan basah sedikit lebih mendekati total protein
metode pelarutan, karena keduanya sama-sama tidak mengecualikan kadar air. Perbedaan yang ada
hanya terdapat pada kandungan lemaknya, yaitu total protein metode pelarutan tidak memiliki
kandungan lemak karena sudah dihilangkan sebelumnya. Kandungan lemak dari tahu sebenarnya
tidaklah sebesar kadar air yaitu hanya sekitar 4.8 g/100g tahu (Anonima, 2011), sehingga perbedaan
yang dihasilkan penghilangan lemak tidak akan sebesar pengecualian kadar air. Selain itu kadar lemak
telur juga tidak terlalu berpengaruh karena penambahan telur ke dalam tahu tidaklah banyak. Sama
halnya dengan udang, penambahan udang ke dalam tahu hanyalah sebagai flavor, dan udang yang
ditambahkan pun hanya sedikit, bahkan ada yang hanya menambahkan flavor udang. Hal ini
dikarenakan harga udang yang cukup tinggi. Atas dasar ini peneliti mencoba sedikit menghubungkan
antara total protein metode Kjeldahl berdasarkan bahan basah dengan total protein metode pelarutan.
Total protein yang didapat melalui pelarutan protein terlihat lebih kecil dibandingkan dengan
total protein yang didapatkan melalui metode Kjeldahl berdasarkan bahan basah. Total protein terlarut
dari tahu kelompok elastisitas berkisar antara 0.94 hingga 4.60 mg/100mg, hasil ini jauh lebih kecil
57
dibandingkan dengan hasil yang didapat dari metode Kjeldahl (5.87 hingga 11.08 g/100g bahan basah
atau 5.87 hingga 11.08 mg/100mg). Padahal total protein dari metode pelarutan sudah mengecualikan
lemak, seharusnya justru nilainya lebih besar. Hal ini disebabkan oleh tidak semua protein berhasil
terekstrak akibat tertahannya protein dalam matriks tahu yang dianalisis saat dilarutkan. Sedangkan
total protein yang diukur dengan metode Kjeldahl adalah total nitrogen (N) yang ada di dalam curd,
baik N yang berasal dari protein maupun N yang berasal dari komponen non protein (Karsono, 2010).
Total nitrogen ini kemudian dikonversi menjadi kadar protein dengan cara mengalikannya dengan
faktor konversi. Faktor konversi yang dipakai dalam penelitian ini adalah 6.25. Ini yang menyebabkan
hasil total protein metode Kjeldahl terlihat lebih banyak dibandingkan dengan metode pelarutan
protein.
*tidak signifikan pada p<0.05
Gambar 16. Grafik korelasi kadar protein Kjeldahl bahan kering dan elastisitas
Guna melihat apakah terdapat hubungan antara nilai total protein metode Kjeldahl berdasarkan
bahan kering dengan nilai elastisitas tahu maka dianalisis korelasinya menggunakan korelasi Pearson.
Kadar protein yang digunakan adalah yang berdasarkan berat kering. Hal ini dilakukan untuk
menghindari ikut terbawanya pengaruh kadar air terhadap nilai elastisitas tahu. Dapat dilihat pada
Gambar 16 bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara kadar protein metode Kjeldahl
dengan profil tekstur elastisitas. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R yang rendah (0.392) dan tidak
signifikan pada p<0.05. Itu berarti meningkatnya kadar protein belum tentu akan meningkatkan
keelastisitasan tahu. Hal ini didukung oleh data yang ada pada data Tabel 20. Seperti kode bersampel
1 dan 31 yang telah dijelaskan sebelumnya, sampel berkode 12 dengan nilai kadar protein 49.94
g/100g bahan kering memiliki nilai elastisitas 0.7361% yang berbeda nyata pada p=0.05 dengan nilai
elastisitas sampel berkode 31 (0.9389 %) yang memiliki nilai kadar protein 49.41 g/100g bahan
kering yang tidak berbeda nyata pada p=0.05 dengan sampel berkode 12.
Untuk melihat seperti apa korelasi antara nilai total protein metode Kjeldahl berdasarkan bahan
basah dengan nilai elastisitas tahu, dengan maksud membandingkannya dengan korelasi antara total
protein berdasarkan bahan kering dengan nilai elastisitas, maka korelasi tersebut peneliti analisis
menggunakan korelasi Pearson. Hasil yang didapat yang dapat dilihat pada Gambar 17 adalah sama,
yaitu tidak terdapat korelasi yang signifikan antara kadar protein Kjeldahl berdasarkan bahan basah
R = 0.392*
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
48.00 50.00 52.00 54.00 56.00 58.00
Elas
tisi
tas
(%)
Kadar Protein(g/100g bahan kering)
58
dengan nilai elastisitas tahu yang ditunjukkan dengan nilai R yang rendah (0.372) dan tidak signifikan
pada p<0.05. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa kadar air tampaknya tidak mempengaruhi
korelasi antara nilai kadar protein bahan basah dengan nilai elastisitas. Hal tersebut juga didukung
dengan data kadar air yang telah didapatkan sebelumnya dan dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar
tersebut menunjukkan bahwa kadar air tidak mempengaruhi nilai elastisitas yang ditunjukkan nilai R
yang rendah dan negatif (-0.306) dan tidak signifikan pada p<0.05.
*tidak signifikan pada p<0.05
Gambar 17. Grafik korelasi kadar protein Kjeldahl bahan basah dan elastisitas
Tabel 21. Data kadar protein metode Kjeldahl untuk sampel daya kunyah
Kode Kadar Protein Kadar Protein
(g/100g bahan
basah)
Total Protein
(mg/100mg)
Nilai
Chewiness
(kg)
Tipe Tahu Jenis
Koagulan Sampel (g/100g bahan
kering)
28 49.03a 7.04c 1.53 0.7259gh
Silken egg GDL, CaSO4
34 52.69bc 6.22b 0.82 0.7554gh Silken egg
and shrimp Tidak
diketahui
33 50.26ab 6.99c 1.10 0.8039ghij
Silken egg GDL, CaSO4
36 54.33c 5.87a 0.94 0.8303ghij Silken egg
and shrimp Garam
42 54.29c 7.14c - 0.8779hij
Silken egg Garam
32 51.00ab 7.04c 1.35 0.9176hijk Silken
shrimp GDL, CaSO4
31 49.41a 7.19c 1.00 0.9667hijk
Silken egg GDL, CaSO4
40 49.09a 6.27b - 1.0510jk
Silken egg Garam
43 52.46bc 6.36b - 1.1344kl
Silken egg Garam
29 52.57bc 12.45d 4.11 1.3413l
Soft Garam
Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05
R = 0.372*
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 2 4 6 8 10 12
Ela
stis
ita
s(%
)
Kadar Protein(g/100g bahan basah)
59
Tabel 21 menunjukkan nilai kadar protein untuk tahu kelompok chewiness atau daya kunyah
berkisar antara 49.03 hingga 54.33 g/100g bahan kering. Sampel berkode 28, 33, 32, 31 dan 40
memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata pada p=0.05. Sampel berkode 34, 33, 32, 43 dan 29
memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata pada p=0.05. Sampel berkode 34, 36, 42, 43 dan 29
memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata pada p=0.05. Tabel tersebut juga menunjukkan
bahwa tahu silken egg and shrimp memiliki kadar protein berdasarkan berat kering yang paling tinggi,
alih-alih tahu soft. Tahu tipe soft kadar protein berdasarkan berat keringnya masih lebih rendah
dibandingkan dengan tahu tipe silken berkode 34 (silken egg and shrimp), 36 (silken egg and shrimp),
dan 42 (silken egg). Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi koagulasi yang berbeda, tapi untuk jenis
koagulan ternyata tahu tipe soft yang berkode 29 dan tahu bertipe silken berkode 36 dan 42 sama-
sama menggunakan koagulan jenis garam, walaupun tidak jelas garam apa yang digunakan. Dengan
demikian hal yang membuat perbedaan ini tampaknya adalah kondisi koagulan, penekanan, dan
garam koagulan jenis apa yang dipakai.
Tabel 21 juga mendukung pernyataan sebelumnya bahwa penambahan telur belum tentu
menyebabkan kadar protein pada tahu menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh, tahu berkode 29 yang
tidak mengandung telur maupun udang, dengan nilai daya kunyah 1.3413 kg memiliki nilai kadar
protein 52.57 g/100g bahan kering. Tahu berkode 33 yang mengandung telur, dengan nilai daya
kunyah 0.8039 kg yang berbeda nyata pada p=0.05 dengan nilai elastisitas tahu berkode 29. Hal ini
dikarenakan kadar protein jauh lebih dipengaruhi oleh kemampuan dari jenis koagulan beserta besar
konsentrasinya dalam mengkoagulasi protein. Koagulan yang ditambahkan ke dalam susu kedelai,
baik yang telah ditambahkan dengan telur dan udang ataupun yang tidak ditambahkan dengan telur
dan udang, akan mengkoagulasikan protein tertentu sesuai dengan jenis dan banyaknya koagulan. Jadi
penambahan telur dan udang bukan berarti akan meningkatkan kadar protein, karena jumlah protein
yang dikoagulasikan oleh koagulan akan sama (sesuai dengan jenis koagulan).
Nilai kadar protein berdasarkan bahan basah untuk tahu kelompok chewiness atau daya kunyah
yang dapat dilihat pada Tabel 21 adalah berkisar antara 5.87 hingga 12.45 g/100g bahan basah.
Sampel berkode 28, 33, 42, 32, dan 31 memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata pada p=0.05.
Sampel berkode 34, 40, dan 43 juga tidak berbeda nyata pada p=0.05. Data pada tabel ini juga
menunjukkan bahwa sampel bertipe silken egg dan silken egg and shrimp memiliki kadar protein di
bawah kadar protein dari tahu bertipe soft. Kadar protein tahu bertipe soft merupakan yang tertinggi
karena pada data ini kadar air masih mempengaruhi. Pada tahu tipe ini terdapat aplikasi penekanannya
saat pembuatannya, sehingga kadar air semakin rendah. Semakin rendah kadar air suatu sampel maka
kadar protein bahan kering akan lebih rendah dengan kadar protein bahan kering dari sampel yang
memiliki kadar air tinggi.
Data tersebut juga mendukung pernyataan mengenai penambahan bahan lain seperti udang
yang belum tentu mempengaruhi besarnya kadar protein tahu. Data tersebut juga mendukung
pernyataan mengenai penambahan bahan lain seperti udang yang belum tentu mempengaruhi
besarnya kadar protein tahu. Dapat dilihat pada Tabel 21, sampel berkode 34 yang mengandung telur
dan udang memiliki kadar protein (52.69 g/100g bahan kering) yang tidak berbeda nyata pada p=0.05
dengan kadar protein sampel berkode 43 (52.46 g/100g bahan kering) yang hanya mengandung telur,
padahal nilai elastisitas sampel berkode 34 dan 43 berbeda nyata pada p=0.05, yaitu secara berturut-
turut 0.7554 dan 1.1344 kg. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kadar protein jauh lebih
dipengaruhi oleh kemampuan dari jenis koagulan beserta besar konsentrasinya dalam mengkoagulasi
protein. Koagulan yang ditambahkan ke dalam susu kedelai, baik yang telah ditambahkan dengan
telur dan udang ataupun yang tidak ditambahkan dengan telur dan udang, akan mengkoagulasikan
60
protein tertentu sesuai dengan jenis dan banyaknya koagulan. Jadi penambahan telur dan udang bukan
berarti akan meningkatkan kadar protein, karena jumlah protein yang dikoagulasikan oleh koagulan
akan sama (sesuai dengan jenis koagulan).
Hasil yang didapatkan dari ekstraksi protein berbeda dengan hasil dari metode Kjeldahl. Hasil
ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 21 yang menunjukkan bahwa nilai total protein tahu kelompok daya
kunyah (0.82 hingga 4.11 mg/100mg) jauh lebih kecil dibandingkan dengan total protein tahu yang
didapat dari metode Kjeldahl yang berkisar antara 5.91 hingga 12.45 g/100g bahan basah (5.91 hingga
12.45 mg/100mg bahan basah). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, protein yang dianalisis
dengan metode pelarutan protein belum tentu semuanya berhasil diekstrak oleh larutan buffer yang
mengandung mercaptoethanol akibat tertahan oleh matriks tahu. Total protein tertinggi pada tahu
kelompok daya kunyah metode pelarutan protein justru terdapat pada tahu tipe soft. Hasil ini sama
dengan hasil yang ditunjukkan oleh total protein yang didapatkan dari metode Kjeldhal. Hasil analisis
ragam untuk melihat perbedaan nyata di antara kadar protein bahan kering tahu-tahu komersial baik
kelompok elastisitas maupun kelompok daya kunyah terdapat pada Lampiran 22.
*tidak signifikan pada p<0.05
Gambar 18. Grafik korelasi kadar protein Kjeldahl bahan kering dan daya kunyah
Berdasarkan Gambar 18, dapat dilihat bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara
tingkat chewiness atau daya kunyah dengan nilai kadar protein Kjeldahl. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai R yang rendah (0.085) dan tidak signifikan pada p<0.05. Itu berarti kadar protein tidak
mempengaruhi tingkat daya kunyah. Semakin tinggi kadar protein belum tentu akan membuat tingkat
daya kunyah semakin meningkat pula. Hal ini bertentangan dengan pernyataan Karsono (2010) yang
menyatakan bahwa kadar protein curd berkorelasi positif terhadap kekerasan dan kohesivitas pada
taraf 5 %. Tektur curd yang dihasilkan semakin keras dan kompak seiring dengan meningkatnya
kadar protein curd. Kekerasan dengan daya kunyah saling berhubungan, semakin tinggi kekerasan
maka semakin dibutuhkan banyak kunyahan untuk mengubah bahan makanan menjadi bentuk kecil-
kecil yang siap untuk ditelan. Seperti yang dinyatakan oleh Fahmi (2010), semakin tinggi kekerasan
sampel dan semakin kompak struktur sampel tersebut akan membuat daya kunyahnya menjadi
semakin tinggi. Daya kunyah dipengaruhi oleh kekerasan serta kekompakan sampel (DeMan, 1985).
Dengan kata lain semakin tinggi kekerasan akan menyebabkan daya kunyah semakin tinggi pula.
R = 0.085*
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
48.00 49.00 50.00 51.00 52.00 53.00 54.00 55.00
Ch
ewin
ess
(kg)
Kadar Protein(g/100g bahan kering)
61
Perbedaan kondisi koagulasi dan jenis koagulasi tampaknya menyebabkan perbedaan hasil
penelitian ini dengan penelitian Karsono. Selain itu varietas kedelai dan aplikasi penekanan juga
mempengaruhi. Karsono (2010) menggunakan jenis koagulan whey, dan kondisi koagulasinya antara
63 dan 83oC. Jenis koagulan yang dipakai oleh produsen untuk memproduksi tahu-tahu komersial
kelompok daya kunyah yaitu GDL, Ca2SO4, dan garam, sedangkan kondisi koagulasi tidak diketahui.
Karsono selain itu juga menghitung kadar proteinnya berdasarkan bahan basah, sehingga kadar air
juga tampaknya ikut berpengaruh terhadap kadar protein bahan basahnya.
*signifikan pada p<0.05
Gambar 19. Grafik korelasi kadar protein Kjeldahl bahan basah dan daya kunyah
Untuk melihat seperti apa korelasi antara nilai total protein metode Kjeldahl berdasarkan bahan
basah dengan nilai daya kunyah tahu, dengan maksud membandingkannya dengan korelasi antara
total protein berdasarkan bahan kering dengan nilai daya kunyah, maka korelasi tersebut peneliti
analisis menggunakan korelasi Pearson. Hasil yang didapat yang dapat dilihat pada Gambar 19 adalah
berbeda, yaitu terdapat korelasi positif yang signifikan antara kadar protein Kjeldahl berdasarkan
bahan basah dengan nilai daya kunyah tahu yang ditunjukkan dengan nilai R yang cukup tinggi
(0.692) dan signifikan pada p<0.05. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa kadar air
tampaknya mempengaruhi korelasi antara nilai kadar protein bahan basah dengan nilai daya kunyah.
Hal tersebut juga didukung dengan data kadar air yang telah didapatkan sebelumnya dan dapat dilihat
pada Gambar 15. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kadar air mempengaruhi nilai daya kunyah
yang ditunjukkan nilai R yang sangat rendah dan negatif (-0.666) dan signifikan pada p<0.05. Yang
perlu diperhatikan adalah korelasi kadar protein Kjeldahl bahan basah dengan nilai daya kunyah
adalah positif, sedangkan korelasi kadar air dengan daya kunyah adalah negatif. Itu artinya semakin
tinggi kadar protein bahan basah maka semakin tinggi nilai daya kunyah tahu, lalu semakin tinggi
kadar air maka semakin rendah daya kunyah.
Hal tersebut tampaknya diakibatkan oleh kadar air itu sendiri. Semakin tinggi kadar air maka
semakin rendah daya kunyah, itu berarti semakin rendah juga kadar protein bahan basah tahu
kelompok daya kunyah. Seperti yang telah disebutkan, kejadian itu disebabkan oleh kadar air, kadar
air yang ikut dihitung memberikan kontribusi berat pada berat sampel. Dengan demikian protein pada
tahu ikut hadir bersama-sama dengan kadar air, maka semakin tinggi kadar air menyebabkan kadar
R = 0.692*
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
0 2 4 6 8 10 12 14
Ch
ew
ine
ss(k
g)
Kadar Protein(g/100g bahan basah)
62
protein semakin kecil, karena persentase kadar air pada berat bahan semakin besar, dan semakin besar
kadar air maka akan semakin rendah daya kunyahnya. Hasil mentah korelasi Pearson kadar protein
Kjeldahl bahan kering dengan tekstur baik untuk sampel elastisitas maupun sampel daya kunyah yang
didapatkan dari program SPSS 13.0 disajikan pada Lampiran 23. Hasil analisis ragam kadar protein
Kjeldahl bahan basah dapat dilihat pada Lampiran 24, sedangkan hasil mentah korelasi Pearson kadar
protein Kjeldahl bahan basah dengan tekstur baiku untuk sampel elastisitas maupun sampel daya
kunyah disajikan pada Lampiran 25.