IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. TOTAL KAROTENOID · adalah proses pemisahan antara ... dalam molekul...
Transcript of IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. TOTAL KAROTENOID · adalah proses pemisahan antara ... dalam molekul...
41
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. TOTAL KAROTENOID
Karotenoid merupakan pigmen berwarna jingga atau merah yang
terdapat di berbagai macam plastida berwarna (kromoplas) di akar, batang,
daun, bunga, dan buah berbagai tumbuhan. Karotenoid yang terkandung
dalam sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung 80-85% aktivitas vitamin
A (De Pee, 1996).
Secara umum, proses analisis karotenoid pada penelitian ini terdiri dari
ekstraksi, saponifikasi, pemisahan fase, dan pengukuran. Ekstraksi dilakukan
dengan menggunakan campuran aseton dan heksana (1:1) yang merupakan
pelarut non polar karena karoten sebagai senyawa non polar hanya dapat larut
dalam pelarut non polar (like dissolves like). Saponifikasi dilakukan dengan
menggunakan KOH dalam metanol. Proses ini merupakan prosedur
pemurnian untuk membuang lipid dan klorofil yang tidak diinginkan, namun
tidak merusak karotenoid yang umumnya stabil terhadap alkali. Selanjutnya
adalah proses pemisahan antara fase organik (lapisan atas) dengan fase air
(lapisan bawah) dalam ekstrak bahan dengan cara pemusingan (sentrifuse)
menggunakan heksan. Terakhir, dilakukan proses pengukuran dengan
spektrofotometer UV menggunakan panjang gelombang 450 nm. Menurut
Gross (1991), karotenoid menyerap terutama pada daerah biru (430-470 nm),
dengan absorbansi maksimum pada panjang gelombang 451 nm.
Kandungan total karotenoid pada 24 sampel sayuran indigenous yang
diperoleh dari penelitian ini dapat dilhat pada Tabel 11, dan untuk perhitungan
total karoten pada sampel selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari
hasil tersebut diketahui bahwa daun kemangi memiliki kandungan total
karotenoid tertinggi, yakni sebesar 58.41 mg/100 g dry basis, kemudian
diikuti oleh daun pakis (57.33 mg/100 g dry basis) dan daun kelor (56.43
mg/100 g dry basis). Sebaliknya, bunga turi memiliki kandungan total
karotenoid terendah, yaitu sebesar 3.65 mg/100 g dry basis. Kandungan rata-
rata total karotenoid pada ke-24 sampel adalah sebesar 29.01 mg/100 g dry
basis. Bila dibandingkan dengan kandungan total karotenoid pada jenis
42
sayuran lainnya (Tabel 2), maka kandungan total karotenoid pada sayuran
indigenous ini masih diatas nilai kandungan total karotenoid jenis sayuran
lainnya. Lebih jelasnya, diagram batang kandungan total karotenoid pada 24
sayuran indigenous dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Diagram batang kandungan total karotenoid pada 24 sayuran
indigenous Jawa Barat
Philip (1975) menyatakan bahwa adanya ikatan rangkap terkonjugasi
dalam molekul karotenoid menandakan adanya gugus kromofor yang
menyebabkan terbentuknya warna pada karotenoid, semakin banyak ikatan
rangkap terkonjugasi maka semakin pekat warna karotenoid tersebut, yaitu
semakin mengarah ke warna merah atau oranye. Akan tetapi, hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa tidak hanya sayuran berwarna kemerahan saja yang
memiliki kandungan karotenoid, namun juga sayuran berwarna hijau memiliki
total karotenoid yang bahkan lebih besar dibandingkan sayuran berwarna
kemerahan. Menurut Winarno (1992), ada hubungan langsung antara derajat
kehijauan sayuran dengan kadar karoten, semakin hijau daun tersebut semakin
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
Bunga
turi
Tak
okak
Bunga
pep
aya
Kec
om
bra
ng
Kuca
i
Ter
ub
uk
Man
gko
kan
Anta
nan
beu
rit
Lem
bay
un
g
Dau
n l
abu
Pucu
k m
engk
ud
u
Dau
n …
Kat
uk
Pucu
k m
ete
Anta
nan
Po
hp
ohan
Man
gko
kan
puti
h
Bel
unta
s
Kro
ko
t
Ken
ikir
Dau
n G
inse
ng
Dau
n k
elo
r
Pak
is
Kem
angi
a3.65 0.25
j45.52 1.77i43.19 3.24
d15.17 0.08 f22.59 1.83b8.061 0.48
m58.41 5.56
f23.61 0.32
h32.54 2.10
e17.51 2.00
i41.58 1.68
l51.66 1.72
j45.96 1.84
a48.48 1.39
b8.374 0.71a4.105 0.13
m56.43 0.76
f22.57 1.45f21.18 0.57
c11.13 0.68
f21.23 0.18
b7.60 0.50
g28.25 1.87
m57.33 0.77
43
tinggi kadar karotennya, sedangkan daun-daunan yang pucat miskin akan
karoten.
Sampel sayuran yang berwarna hijau pada penelitian ini cenderung
memiliki total karotenoid yang lebih besar dibandingkan dengan total
karotenoid yang dimiliki oleh sampel sayur yang berwarna lebih terang
(kuning muda sampai merah), seperti bunga turi, kecombrang, dan bunga
papaya. Menurut Sediaoetama (1976), karoten berwarna kuning, namun tidak
semua warna kuning pada buah-buahan ataupun sayur-sayuran disebabkan
oleh warna ini, masih terdapat pigmen lain seperti zeaxanthin dan flavoxantin
yang tidak aktif, artinya tidak dapat diubah menjadi vitamin A.
Kandungan karoten dan β-karoten yang terkandung dalam sayur-sayuran
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti cara budidaya, varietas, dan umur
tanaman (Howard et al., 1994). Dengan demikian, dapat dimungkinkan bahwa
hasil karotenoid dan β-karoten yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat
lebih rendah atau lebih tinggi dari hasil yang diperoleh dari penelitian lainnya
(Portocarrero et al., 1992). Namun demikian, sampel-sampel yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan sampel dengan varietas dan umur penen yang
biasa dikonsumsi (dibuat sayur/lalapan) oleh masyarakat yang diperoleh dari
pasar-pasar setempat.
Pengolahan data nilai total karoten terhadap 24 sampel dengan ANOVA
menghasilkan output seperti pada Lampiran 4. Hasil uji statistik tersebut
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap nilai kandungan
total karotenoid antar sampel. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi sampel
yang dihasilkan, yakni lebih kecil dari taraf α (0.05). Oleh karena adanya
perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan.
Hasil uji Duncan (Lampiran 5) memberikan informasi bahwa terdapat 13
subset yang dihasilkan. Sampel yang berada pada subset yang sama berarti
tidak memiliki kandungan total karotenoid yang berbeda nyata pada taraf
signifikansi 5%, sedangkan sampel yang berada pada subset yang berbeda
berarti memiliki kandungan total karotenoid yang berbeda nyata pada taraf
signifikansi 5% terhadap sampel yang berada pada subset lainnya. Dengan
demikian, sebagai contoh dapat dikatakan bahwa kemangi, pakis, dan kelor
44
sebenarnya tidak memiliki kandungan total karotenoid yang berbeda nyata
karena berada pada subset yang sama. Akan tetapi, ketiga sampel tersebut
memiliki kandungan total karotenoid yang berbeda secara nyata terhadap
sampel bunga pepaya, kecombrang, dan kucai, serta sampel lainnya yang
berada pada subset berbeda.
B. β-KAROTEN
Salah satu senyawa metabolit sekunder yang bermanfaat bagi tubuh
adalah senyawa yang merupakan turunan isoprenoid. Termasuk didalamnya
adalah karotenoid, dimana β-karoten sebagai prekursor vitamin A merupakan
karotenoid yang paling banyak dijumpai pada tumbuhan tingkat tinggi.
Identifikasi karotenoid spesifik pada penelitian ini hanya dilakukan pada
β-karoten. Hal ini dikarenakan β-karoten memiliki nilai gizi yang penting dan
merupakan sumber provitamin A. Selain itu, hampir dalam setiap sayuran dan
buah segar, 85% dari total aktivitas vitamin A berasal dari β-karoten. Seperti
pada bayam, komponen utama karotenoidnya adalah β-karoten disusul lutein,
neosantin, zeasantin, dan violasantin (Ball, 2000).
Hasil ekstrak yang diperoleh dari pengukuran total karotenoid digunakan
pula dalam pengukuran β-karoten dengan melarutkan ekstrak kering hasil
penguapan dengan fase gerak, yakni campuran metanol, asetonitril, dan
kloroform. Pengukuran β-karoten dilakukan dengan menggunakan metode
HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Menurut Macrae (1988),
keutamaan dari HPLC adalah kemampuannya untuk menangkap komponen
dengan stabilitas panas yang terbatas ataupun yang bersifat volatil. HPLC
merupakan metode yang sangat sensitif, tepat, selektif, dan memiliki tingkat
otomatisasi yang tinggi sehingga lebih sederhana dalam pengoperasiannya.
Hasil analisis β-karoten terhadap 24 sampel sayuran indigenous dengan
menggunakan HPLC diperoleh hasil seperti terlihat pada Tabel 11, dan untuk
perhitungan β-karoten pada sampel selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran
2. Berdasarkan hasil analisis tersebut, diketahui bahwa daun labu memiliki
kadar β-karoten tertinggi, yaitu sebesar 13.27 mg/100 g dry basis, kemudian
diikuti oleh daun kemangi (12.43 mg/100 g sampel dry basis) dan daun
45
pohpohan (12.03 mg/100 g sampel dry basis), sedangkan bunga kecombrang
memiliki kandungan β-karoten terendah, yakni sebesar 0.01 mg/100 g dry
basis. Meskipun bunga kecombrang memiliki warna kemerahan akan tetapi
ternyata tanaman ini memiliki kandungan β-karoten yang rendah seperti
halnya kandungan total karotennya yang rendah pula. Hal ini dapat
disebabkan adanya kandungan pigmen lainnya yang jauh lebih besar yang
berperan dalam menghasilkan warna kemerahan sampai keunguan pada
tanaman ini, seperti pigmen antosianin.
Kadar β-karoten pada 24 sayuran indigenous yang dianalisis berkisar
antara 0.01 sampai 13.27 mg/100 g dry basis, sedangkan kadar rata-rata β-
karoten pada 24 sayuran tersebut adalah sebesar 5.30 mg/100 g dry basis. Bila
dibandingkan dengan kadar β-karoten jenis sayuran lainnya seperti yang
tertera pada Tabel 2, maka kadar β-karoten yang dimiliki oleh sayuran
indigenous ini pun masih tergolong lebih tinggi. Lebih jelasnya, diagram
batang kandungan β-karoten pada 24 sayuran indigenous dapat dilihat pada
Gambar 12.
Gambar 12. Diagram batang kandungan β-karoten pada 24 sayuran
indigenous Jawa Barat
0
2
4
6
8
10
12
14
Kec
om
bra
ng
Bunga
turi
Ter
ub
uk
Tak
okak
Kuca
i
Man
gko
kan
Bunga
pep
aya
Anta
nan
beu
rit
Pucu
k m
engk
ud
u
Lem
bay
un
g
Dau
n k
edo
nd
ong c
ina
Pucu
k m
ete
Man
gko
kan
puti
h
Anta
nan
Ken
ikir
Kat
uk
Kro
ko
t
Pak
is
Bel
unta
s
Dau
n k
elo
r
Dau
n G
inse
ng
Po
hp
ohan
Kem
angi
Dau
n l
abu
gh6.87 0.15
j8.87 0.28
f4.80 0.62
c1.17 0.08
e3.53 0.66
a0.01 0.00
kl12.40 1.56
hi7.49 0.08
g6.35 0.66
cd1.53 0.05
k12.03 1.28
k11.9 0.10
i7.84 0.70
ab0.15 0.02
bc1.04 0.02
abc0.66 0.05
j9.09 0.19
d2.28 0.02
d2.40 0.43ab0.16 0.00
m13.30 1.74
c1.19 0.12 e3.82 0.29
ij8.27 0.60
46
Kromatogram β-karoten yang diperoleh dari hasil analisis menunjukkan
bahwa puncak β-karoten muncul disekitar menit ke-16 sampai menit ke-18.
Namun umumnya puncak β-karoten muncul pada menit ke-17 sesuai dengan
kromatogram standar β-karoten yang diperoleh (Gambar 13) , yakni muncul
pada menit ke-17.584.
Gambar 13. Hasil kromatogram HPLC analisis β-karoten dari standar
β-karoten dengan kemunculan puncak β-karoten pada
menit ke-17.584
Sebagai contoh, kromatogram HPLC β-karoten dari daun kedondong
cina dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan hasil kromatogram tersebut,
dapat dilihat bahwa puncak β-karoten muncul pada menit ke-17.741. Hasil
kromatogram tersebut menunjukkan pula adanya puncak sebelum puncak β-
karoten, yakni diantara menit ke-16 sampai ke-17, puncak ini dimungkinkan
adalah α-karoten, salah satu jenis karoten lain selain β- dan γ-karoten (Zakaria
et al., 2000). Puncak ini juga muncul disebagian besar hasil kromatogram
sampel sayur lainnya.
Cis β-karoten sebagai isomer dari β-karoten yang banyak di sayuran
terutama setelah perlakuan dengan panas (Zakaria, 2000) pun sering muncul
setelah puncak β-karoten, biasanya terlihat sebagai ekor puncak dari β-
47
karoten. Akan tetapi, karena penggunaan kolom yang tidak terlalu panjang
(digunakan kolom 15 cm) dalam penelitian ini, maka pemisahan puncak
menjadi kurang jelas sehingga cis β-karoten tidak tampak dalam
kromatogram.
Gambar 14. Hasil kromatogram HPLC analisis β-karoten dari ekstrak
daun kedondong cina dengan kemunculan puncak β-
karoten pada menit ke-17.741
Hasil kromatogram ekstrak sayuran indigenous lainnya tidak jauh
berbeda dengan hasil kromatogram ekstrak daun kedondong cina. Puncak β-
karoten dari ekstrak sayuran pada kromatogram yang dihasilkan umumnya
muncul pada menit ke-16 sampai dengan menit ke-18.
Pengolahan data nilai β-karoten terhadap 24 sampel dengan ANOVA
menghasilkan output seperti pada Lampiran 4. Hasil uji statistik tersebut
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap nilai kandungan
β-karoten antar sampel. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi sampel yang
dihasilkan, yakni lebih kecil dari taraf α (0.05). Oleh karena adanya perbedaan
yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan.
48
Hasil uji Duncan (Lampiran 5) memberikan informasi bahwa terdapat 12
subset yang dihasilkan. Sampel yang berada pada subset yang sama berarti
tidak memiliki kandungan β-karoten yang berbeda nyata pada taraf
signifikansi 5%, sedangkan sampel yang berada pada subset yang berbeda
berarti memiliki kandungan β-karotenoid yang berbeda nyata pada taraf
signifikansi 5% terhadap sampel yang berada pada subset lainnya. Dengan
demikian, sebagai contoh dapat dikatakan bahwa daun kedondong cina dan
pucuk mete tidak memiliki kandungan β-karoten yang berbeda nyata karena
berada pada subset yang sama. Akan tetapi, kedua sampel tersebut memiliki
kandungan β-karoten yang berbeda nyata terhadap sampel daun mangkokan
putih serta sampel lainnya yang berada pada subset berbeda.
C. ANTOSIANIN
Antosianin merupakan salah satu pigmen utama dalam tumbuhan yang
terdapat dalam vakuola sel bagian tanaman, yaitu organel sitoplasmik yang
berisikan air, serta dibatasi oleh membran yang identik dengan membran
tanaman (Kimbal, 1993). Pigmen ini berada pada sebagian besar tanaman
tingkat tinggi dan terdapat pada seluruh bagian tanaman (Brouillard, 1982).
Menurut Jackman dan Smith (1996), antosianin ini tidak stabil dalam
suasana netral atau basa. Dengan demikian, prosedur ekstraksi biasanya
dilakukan dengan menggunakan pelarut asam yang dapat merusak jaringan
tanaman. Cara yang paling sering digunakan adalah dengan maserasi yaitu
merendam bahan yang akan diekstrak dalam alkohol, pada suhu rendah, dan
dengan penambahan sedikit asam seperti HCl. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan oleh Raharja dan Dianawati (2001) yakni mempelajari
ekstraksi antosianin pada daun erpa dengan menggunakan tiga jenis larutan
pengekstrak yaitu aquades, etanol, dan metanol yang masing-masing
mengandung HCl, ditemukan bahwa aquades yang mengandung HCL (HCl
5% dalam aquades) cukup asam untuk memecah dinding sel vakuola dimana
pigmen antosianin terdapat namun tidak terlalu asam untuk mengakibatkan
kerusakan pigmen. Berdasarkan hasil penelitian tersebut yang menggunakan
sampel tanaman daun, maka pelarut yang digunakan untuk mengektrak
49
antosianin dalam penelitian ini adalah HCl 5% dalam aquades. Sesuai dengan
pernyataan Bridle dan Timberlake (1997), bahwa antosianin merupakan
pewarna alami yang berasal dari famili flavonoid yang larut dalam air (water
soluble).
Antosianin memiliki cincin aromatik yang mengandung gugus polar
(hidroksil, karboksil, metoksil) dan residu glikosil yang menghasilkan molekul
polar dengan keadaannya yang polar, antosianin lebih mudah larut dalam
pelarut polar seperti etanol, metanol, dan air (Jackman dan Smith, 1996),
sedangkan asam klorida dalam pelarut akan mendenaturasi membran sel
kemudian melarutkan pigmen antosianin keluar dari sel.
Kandungan antosianin dapat diketahui melalui beberapa metode, yaitu
metode yang menggunakan larutan yang memiliki satu nilai pH dan metode
yang menggunakan dua larutan yang memiliki dua nilai pH yang berlainan.
Salah satu metode yang menggunakan satu nilai pH yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu metode yang digunakan oleh Lees dan Francis (1972).
Total antosianin dihitung dari absorbansi ekstrak yang dilarutkan dalam etanol
95%:HCl 1.5 N (85:15) pada panjang gelombang 535 nm. Nilai serapan molar
yang digunakan adalah 98.2 yaitu nilai E (1%, 1 cm, 535 nm) untuk pelarut
etanol yang diasamkan. Nilai ini merujuk pada absorpsi campuran antosianin
buah cranberry di dalam etanol asam yang diukur didalam celah selebar 1 cm
pada panjang gelombang 535 nm dalam konsentrasi 1% (w/v).
Hasil penelitian pada 24 sampel sayur menunjukkan bahwa konsentrasi
antosianin tertinggi terdapat pada bunga kecombrang yaitu sebesar 43.19
mg/100 g dry basis, diikuti oleh takokak (22.09 mg/100 g dry basis) dan
terubuk (20.50 mg/100 g dry basis). Sebaliknya, konsentrasi antosianin
terendah terdapat pada daun pakis dengan konsentrasi sebesar 0.67 mg/100 g
dry basis. Konsentrasi antosianin pada 24 sampel sayuran indigenous dapat
dilihat pada Tabel 11 dan untuk perhitungan antosianin pada sampel
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Dibandingkan dengan tanaman buah ataupun sayur lainnya (Tabel 4), 24
tanaman sayur diatas tergolong memiliki kandungan total antosianin yang
rendah, yakni berkisar antara 0.0067 mg/g dry basis sampai 0.4319 mg/g dry
50
basis dengan rata-rata sebesar 0.082 mg/g dry basis. Hal ini dapat disebabkan
karena pigmen antosianin sebagian besar terdapat pada tanaman yang
berbunga dan menghasilkan warna dari merah tua sampai biru pada bunga,
buah, dan daun (Harborne dan Grayer, 1988), sedangkan 24 sampel yang
diteliti sebagian besar merupakan tanaman daun yang berwarna hijau, hanya
kecombrang memiliki warna merah sampai keunguan dan terbukti bahwa
sampel tersebut memiliki kandungan antosianin terbesar diantara sampel
lainnya. Lebih jelasnya, diagram batang kandungan total antosianin pada 24
sayuran indigenous dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Diagram batang kandungan total antosianin pada 24 sayuran
indigenous Jawa Barat
Pengolahan data nilai antosianin terhadap 24 sampel dengan ANOVA
menghasilkan output seperti pada Lampiran 4. Hasil uji statistik tersebut
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap nilai kandungan
antosianin antar sampel. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi sampel yang
dihasilkan, yakni lebih kecil dari taraf α (0.05). Oleh karena adanya perbedaan
yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Pak
is
Kem
angi
Bel
unta
s
Pucu
k m
ete
Kro
ko
t
Bunga
turi
Dau
n G
inse
ng
Dau
n k
edo
nd
ong c
ina
Ken
ikir
Anta
nan
beu
rit
Dau
n l
abu
Anta
nan
Kuca
i
Po
hp
ohan
Kat
uk
Pucu
k m
engk
ud
u
Lem
bay
un
g
Man
gko
kan
Man
gko
kan
puti
h
Bunga
pep
aya
Dau
n k
elo
r
Ter
ub
uk
Tak
okak
Kec
om
bra
ng
f3.97 0.27bc1.41 0.07
k9.25 0.46j7.99 0.42
e2.80 0.06
p43.19 1.12
ab0.84 0.05
i7.00 0.49
h5.92 0.27g4.88 0.18
h6.08 0.10
e2.75 0.11cd2.00 0.08de2.21 0.12
h5.95 0.14
l22.09 0.70
m13.14 0.05
j7.67 0.24
j7.86 0.49
n20.50 1.07
h5.88 0.26
o11.98 0.73
cd1.92 0.10a0.67 0.04
51
Hasil uji Duncan (Lampiran 5) memberikan informasi bahwa terdapat 16
subset yang dihasilkan. Sampel yang berada pada subset yang sama berarti
tidak memiliki kandungan antosianin yang berbeda nyata pada taraf
signifikansi 5%, sedangkan sampel yang berada pada subset yang berbeda
berarti memiliki kandungan antosianin yang berbeda nyata pada taraf
signifikansi 5% terhadap sampel yang berada pada subset lainnya. Dengan
demikian, sebagai contoh dapat dikatakan bahwa daun pakis dan kemangi
tidak memiliki kandungan antosianin yang berbeda nyata karena berada pada
subset yang sama. Akan tetapi, kedua sampel tersebut memiliki kandungan
antosianin yang berbeda nyata terhadap sampel beluntas, pucuk mete, dan
krokot serta sampel lainnya yang berada pada subset berbeda.
D. ASAM ASKORBAT
Asam askorbat atau vitamin C merupakan vitamin yang mudah larut
dalam air. Vitamin ini sering disebut sebagai fresh food vitamin karena banyak
terdapat pada sayur dan buah-buahan segar (Winarno, 1992).
Analisis vitamin C dalam sayur-sayuran yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan metode titrasi dengan iodium. Sampel sayur-
sayuran diekstrak dengan cara menghancurkannya dan digunakan air untuk
membantu melarutkan vitamin C yang terdapat dalam sampel. Ekstrak sampel
yang diperoleh direaksikan dengan larutan amilum 1% sebagai indikator
perubahan warna ekstrak setelah dititrasi dengan 0.01 N iodium, yakni
menjadi berwarna semburat biru. Sebanyak 1 ml 0.01 N iodium ini setara
dengan 0.88 mg asam askorbat, sehingga dari hasil titrasi dapat dikalkulasikan
berapa banyak asam askorbat dalam sampel.
Berdasarkan hasil analisis asam askorbat pada 24 sampel, diketahui bahwa
kandungan asam askorbat terbesar pada sampel pucuk mete (5607.78 mg/100
g dry basis), diikuti oleh daun kemangi (3835.86 mg/100 g dry basis) dan
bunga pepaya (2326.38 mg/100 g dry basis), sedangkan kandungan asam
askorbat terendah dimiliki oleh mangkokan putih, yaitu sebesar 236.54
mg/100 g dry basis. Nilai asam askorbat dari 24 sampel yang dianalisa dapat
dilihat pada Tabel 11 dan untuk perhitungan asam askorbat pada sampel
52
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Perbedaan nilai kandungan
vitamin C beberapa jenis sayur yang dianalisa dalam penelitian ini dengan
sumber lainnya dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor dari masing-
masing sampel seperti suhu, intensitas sinar, umur tanaman, jumlah
kandungan air, faktor genetik, varietas, dan kesuburan tanah (Fennema, 1985),
maupun dari cara analisis yang digunakan. Lebih jelasnya, diagram batang
kandungan asam askorbat dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Diagram batang kandungan asam askorbat pada 24 sayuran
indigenous Jawa Barat
Hasil analisis asam askorbat yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel
sayuran segar yang dianalisis memiliki kandungan asam askorbat yang cukup
tinggi, yakni berkisar antara 236.54 mg/100 g dry basis sampai 5607.78
mg/100 g dry basis, dengan rata-rata kandungan vitamin C sebesar 1194.70
mg/100 g dry basis. Hasil ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan
kandungan asam askorbat pada berbagai jenis sayuran lainnya seperti tertera
pada Tabel 5.
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
Man
gko
kan
puti
h
Dau
n k
edo
nd
ong c
ina
Bel
unta
s
Anta
nan
Kec
om
bra
ng
Kro
ko
t
Anta
nan
beu
rit
Ter
ub
uk
Dau
n l
abu
Dau
n G
inse
ng
Tak
okak
Po
hp
ohan
Bunga
turi
Kuca
i
Man
gko
kan
Lem
bay
un
g
Pucu
k m
engk
ud
u
Pak
is
Dau
n k
elo
r
Ken
ikir
Kat
uk
Bunga
pep
aya
Kem
angi
Pucu
k m
ete
g1654.02 7.27
b295.46 0.69
a236.54 0.29
f836.41 3.16a245.42 3.82c336.84 0.30
h3835.86 8.62
i2248.27 10.96
c336.14 0.51
r524.05 0.59e732.48 0.06
d632.98 0.26
s467.13 8.95 e734.40 2.71
f825.42 4.06d639.98 0.03
j1571.85 14.74
k1033.89 49.6 l933.74 11.75
m574.99 1.50
n602.87 10.23
o2326.38 3.24
p5607.78 7.91
q1422.03 40.1
53
FDA menetapkan standar klaim untuk vitamin C yaitu minimal
mengandung 20% RDA vitamin C. RDA (Recommended Dietary Allowance)
atau AKG (Angka Kecukupan Gizi) vitamin C untuk wanita dan pria dewasa
menurut National Academy of Science (2000) adalah sebesar 75-90 mg,
sehingga suatu produk dapat diklaim mengandung vitamin C yang tinggi jika
mengandung vitamin C minimal 15-18 mg/sajian. Untuk sayuran, sajian
rumah tangga yang biasa digunakan adalah dalam ukuran mangkuk, bila
dikonversi adalah sebanyak 50-100 gram per mangkuk. Dengan demikian, bila
konsumsi terhadap sayur-sayuran indigenous tersebut dilakukan sesuai
takaran, maka akan memenuhi angka kecukupan gizi vitamin C yang
disarankan dengan memperhatikan kehilangan vitamin C saat pengolahan.
Menurut penelitian Subeki (1998) mengenai pengaruh cara pemasakan
terhadap kandungan antioksidan di sayuran, besarnya persentase penurunan
vitamin C saat pengolahan pangan adalah sebesar 22-58% (perebusan) dan 35-
73% (penumisan). Lusivera (2001) dalam penelitian yang sejenis menyatakan
bahwa proses pemasakan sayuran secara rumah tangga dapat menurunkan
kandungan asam askorbat sebesar 16-91%. Tingginya penurunan tersebut
karena sifat asam askorbat yang sangat mudah teroksidasi, baik secara
enzimatik maupun secara kimiawi, serta kerusakan karena degradasi oleh
panas. Namun demikian, penurunan vitamin C pada sayuran ini tergantung
dari cara pemasakan, suhu dan lama pemasakan, serta jenis dan ukuran
sayuran.
Pengolahan data nilai asam askorbat terhadap 24 sampel dengan
ANOVA menghasilkan output seperti pada Lampiran 4. Hasil uji statistik
tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap nilai
kandungan asam askorbat antar sampel. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi
sampel yang dihasilkan, yakni lebih kecil dari taraf α (0.05). Oleh karena
adanya perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan.
Hasil uji Duncan (Lampiran 5) memberikan informasi bahwa terdapat 19
subset yang dihasilkan. Hal ini menarik karena subset yang dihasilkan lebih
banyak dibandingkan dengan subset yang dihasilkan dari uji Duncan pada
senyawa karotenoid, β-karoten, dan antosianin. Artinya, asam askorbat
54
memiliki keragaman data yang lebih besar dibandingkan dengan keragaman
data senyawa-senyawa lainnya pada ke 24 sampel.
Sampel yang berada pada subset yang sama berarti tidak memiliki
kandungan asam askorbat yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%,
sedangkan sampel yang berada pada subset yang berbeda berarti memiliki
kandungan asam askorbat yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%
terhadap sampel yang berada pada subset lainnya. Dengan demikian, sebagai
contoh dapat dikatakan bahwa beluntas dan mangkokan putih tidak memiliki
kandungan asam askorbat yang berbeda nyata karena berada pada subset yang
sama. Akan tetapi, kedua sampel tersebut memiliki kandungan asam askorbat
yang berbeda nyata terhadap sampel bunga kecombrang dan sampel-sampel
lainnya yang berada pada subset berbeda.
E. META-ANALISIS ANTAR SENYAWA TERIDENTIFIKASI
1. Analisis Hubungan Antara Karotenoid, β-Karoten, Antosianin dan
Asam Askorbat
Data hasil analisis keempat senyawa selanjutnya diolah
menggunakan Principal Component Analysis (PCA) atau analisis
komponen utama. PCA digunakan untuk memproyeksikan suatu data yang
berukuran atribut besar menjadi bentuk representasi data yang lebih kecil.
PCA juga mampu menyajikan keterkaitan data awal menjadi data yang
tidak saling berkorelasi. Analisis statistik ini dapat menjelaskan 75-90%
dari total keragaman dalam data yang memiliki 25 sampai 30 peubah
hanya dengan dua sampai tiga komponen utama (Meilgaard et al., 1999).
Hasil olahan data analisis keempat senyawa dengan menggunakan
metode PCA memperlihatkan bahwa dari empat nilai akar ciri (eigen
value), terdapat dua komponen yang memiliki akar ciri lebih besar
dibandingkan dua komponen lainnya. Komponen utama pertama (PC1)
adalah total karotenoid yang memiliki akar ciri sebesar 2.2338, sedangkan
komponen utama kedua (PC2) adalah β-karoten yang memiliki akar ciri
sebesar 0.9518. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komponen
55
utama pembeda ke-24 sampel yang dianalisis adalah total karotenoid dan
β-karoten. Data akar ciri dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Akar ciri (eigen value) dengan proporsi dan kumulatif keragaman
dari 4 peubah
Komponen Peubah Akar ciri Proporsi Kumulatif
1 Total karotenoid 2.2338 0.558 0.558
2 β-karoten 0.9518 0.238 0.796
3 Antosianin 0.6076 0.152 0.948
4 Asam askorbat 0.2068 0.052 1.000
Berdasarkan dua komponen utama tersebut, maka dari Tabel 7
diambil nilai mutlak (absolut) tertinggi dari nilai-nilai vektor ciri (yang
dicetak tebal pada Tabel 8). Komponen pertama (PC1) dibagi dalam dua
kelompok, yaitu kelompok yang memiliki hubungan positif (total
karotenoid) dan kelompok yang memiliki hubungan negatif (antosianin).
Komponen utama kedua (PC2) pun dibagi dalam dua kelompok, yaitu
kelompok yang memiliki hubungan positif (β-karoten) dan kelompok yang
memiliki hubungan negatif (asam askorbat).
Tabel 8. Nilai vektor dari hubungan antar peubah dengan komponen
utama
Peubah PC 1 (55.8%) PC 2 (23.8%)
Total karotenoid 0.596 0.213
β-karoten 0.589 0.275
Antosianin -0.488 0.130
Asam askorbat 0.244 -0.928
Seperti diperlihatkan pada tabel diatas, komponen utama satu (PC1)
dan komponen utama dua (PC2) memiliki persentase keragaman yang
lebih besar dari komponen lainnya. Komponen utama pertama (PC1)
mampu menerangkan keragaman data sebesar 55.8%, sedangkan
komponen utama kedua (PC2) mampu menerangkan keragaman data
sebesar 23.8%, sehingga keseluruhan keragaman yang dapat diterangkan
56
oleh kedua komponen utama tersebut pada grafik biplot adalah sebesar
79.6%.
Tabel 9. Matriks korelasi dari empat peubah yang merupakan senyawa-
senyawa yang dianalisis pada 24 jenis sayuran indigenous
Peubah Total
karotenoid β-karoten Antosianin
Asam
askorbat
Total karotenoid 1
β-karoten 0.792 1
Antosianin -0.462 -0.457 1
Asam askorbat 0.181 0.132 -0.235 1
Matriks korelasi pada Tabel 9 diatas menunjukkan hubungan antar
peubah, apakah memiliki hubungan yang positif atau negatif. Semakin
tinggi nilai korelasi antar peubah (semakin mendekati angka 1 atau -1),
maka semakin erat hubungan kedua peubah tersebut. Peubah yang
berkorelasi paling kuat adalah total karotenoid dengan β-karoten,
keduanya memiliki nilai korelasi sebesar 0.792 dan berkorelasi positif.
Korelasi positif artinya, semakin tinggi nilai β-karoten maka akan semakin
tinggi pula nilai total karotenoidnya, dan sebaliknya.
Grafik biplot PC1 dan PC2 pada Gambar 12 membagi empat jenis
senyawa yang diidentifikasi ke dalam empat kelompok kuadran. Masing-
masing kelompok terdiri dari objek-objek yang digambarkan sebagai titik-
titik. Objek-objek dengan karakteristik yang sama digambarkan sebagai
titik-titik yang posisinya berdekatan (Sartono et al., 2003). Kelompok
pertama terdiri dari kecombrang, takokak, terubuk, antanan beurit, dan
daun kedondong cina. Kelompok kedua terdiri dari mangkokan putih,
antanan, daun labu, daun kelor, krokot, beluntas, pohpohan, daun ginseng,
dan pakis. Selanjutnya, kelompok ketiga terdiri dari katuk, kemangi,
kenikir, dan pucuk mete. Terakhir, kelompok empat terdiri dari kucai,
lembayung, bunga turi, bunga pepaya, mangkokan, dan pucuk mengkudu.
Karakteristik suatu objek dapat disimpulkan dari posisi relatifnya
yang paling dekat dengan peubah (digambarkan sebagai garis
berarah/vektor) (Sartono et al., 2003). Dengan demikian, berdasarkan
grafik biplot tersebut, sampel-sampel di kelompok pertama dicirikan
dengan dominansi kandungan antosianin. Selanjutnya, sampel-sampel di
57
kelompok kedua dicirikan dengan dominansi kandungan total karotenoid
dan β-karoten, sedangkan sampel-sampel di kelompok ketiga dicirikan
dengan dominansi kandungan asam askorbat. Sedangkan kelompok
terakhir tidak dicirikan oleh peubah apapun, artinya tidak ada dominansi
senyawa tertentu pada sampel-sampel di kelompok empat ini.
3210-1-2-3-4
1
0
-1
-2
-3
-4
PC 1 (55.8%)
PC
2 (
23
.8%
) Asam askorbat
Antosianin Beta karotenTotal karotenoid
Kecombrang
Takokak
Terubuk
Bunga pepaya
Bunga turiKucai
Katuk
mengkudu
PucukLembayung
An.Beurit
Daun kedondong cina
Pucuk mete
Kemangi
MangkokanKenik ir
PakisDaun kelor
Mangkokan putih
Antanan
Daun labu
Krokot
Beluntas
Pohpohan
Daun ginseng
Gambar 17. Grafik biplot hasil pengujian dengan PCA (Principal Component
Analysis) dari nilai hasil analisis total karotenoid, β-karoten,
antosianin, dan asam askorbat pada 24 jenis sampel sayuran
Grafik biplot diatas juga dapat menginterpretasikan hubungan antara
dua atribut. Grafik biplot akan menggambarkan peubah sebagai garis
berarah. Dua peubah yang memiliki korelasi positif akan digambarkan
sebagai dua buah garis dengan arah yang sama atau membentuk sudut
sempit (<90°), sedangkan dua peubah yang memiliki korelasi negatif akan
digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah berlawanan atau
membentuk sudut tumpul (>90°) (Sartono et al., 2003). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa total karotenoid dan β-karoten yang memiliki
58
vektor searah dan membentuk sudut sempit (<90°) antara dua vektor,
bahkan berhimpit diartikan memiliki hubungan positif, artinya jika
kandungan total karotenoid pada sampel tinggi, maka kandungan β-
karoten pada sampel pun akan tinggi, dan sebaliknya. Akan tetapi,
antosianin dengan total karoten, β-karoten, dan asam askorbat memiliki
vektor yang berlawanan arah dan membentuk sudut tumpul (>90°), artinya
kedua senyawa ini berkorelasi negatif, sehingga jika kandungan antosianin
pada sampel tinggi maka dimungkinkan kandungan ketiga senyawa
lainnya pada sampel akan rendah.
Selain menggunakan uji analisis komponen utama (PCA), hubungan
antar senyawa teridentifikasi dapat diketahui dengan menggunakan uji
korelasi. Uji ini menghasilkan output yang dapat dilihat pada Lampiran 3.
Ouput tersebut memberikan informasi bahwa terdapat hubungan antara
nilai total karotenoid dengan β-karoten, karena memiliki nilai p (0.000)
yang lebih kecil dari nilai α (0.05), dengan nilai korelasi sebesar 0.792 dan
memiliki korelasi positif. Nilai ini menunjukkan korelasi yang kuat karena
semakin mendekati nilai 1 atau -1, maka kolerasi dianggap semakin kuat.
Korelasi positif artinya, bila nilai total karotenoid naik, maka nilai β-
karoten pun akan naik, dan sebaliknya.
Disamping itu, terdapat pula hubungan antara antosianin dengan total
karotenoid (pvalue 0.023< α 0.05) dan antosianin dengan β-karoten
(pvalue 0.025< α 0.05), dengan nilai korelasi masing-masing sebesar -
0.462 dan -0.457. Nilai korelasi negatif tersebut memberikan informasi
bahwa bila nilai antosianin naik, maka nilai total karotenoid akan turun,
dan bila nilai antosianin turun maka nilai total karotenoid akan naik. Nilai
korelasi ini dianggap cukup berarti meskipun tidak tergolong tinggi. Selain
itu, ouput uji korelasi menunjukkan pula bahwa tidak ada hubungan antara
kandungan asam askorbat dengan kandungan total karotenoid, β-karoten,
maupun antosianin. Hal ini dikarenakan nilai p yang dihasilkan lebih besar
dari nilai α (0.05).
59
2. Analisis Hubungan Antara Total Fenol dan Total Flavonoid
Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Batari (2007) dan
Rahmat (2009) terhadap kandungan total fenol dan kandungan senyawa
flavonoid pada 24 sayuran indigenous Jawa Barat menunjukkan bahwa
semua sayuran indigenous yang diuji mengandung senyawa flavonoid.
Komponen flavonoid yang diuji berupa senyawa flavonol dan flavon.
Flavonoid merupakan salah satu kelas dari polifenol yang terdiri dari
beberapa sub kelas seperti flavon, flavonol, flavonone, flavan dan
antosianin (Vermerris dan Nicholson, 2006). Dengan demikian, nilai total
flavonoid secara kasar diperoleh dengan menggabungkan nilai total
flavonol dan flavon yang diperoleh dari penelitian sebelumnya dan nilai
total antosianin yang diperoleh dari penelitian ini (Tabel 10).
Hubungan antara total fenol dan total flavonoid pada 24 jenis
sayuran dapat diidentifikasi dengan menggunakan uji korelasi. Uji ini
menghasilkan output yang menginformasikan bahwa terdapat hubungan
antara nilai total fenol dengan nilai total flavonoid, karena memiliki nilai p
(0.023) yang lebih kecil dari nilai α (0.05), dengan nilai korelasi positif
sebesar 0.461. Korelasi positif artinya, bila nilai total fenol naik, maka
nilai total flavonoid pun akan naik, dan sebaliknya. Nilai korelasi tersebut
(0.461) dianggap cukup berarti meskipun tidak tergolong tinggi. Output uji
korelasi ini dapat dilihat pada Lampiran 3.
Senyawa fenolik merupakan kelompok senyawa kimia yang
memiliki satu atau lebih grup hidroksil (gugus –OH) yang melekat pada
cincin hidrokarbon aromatik (Vermerris dan Nicholson, 2006). Flavonoid
merupakan salah satu golongan senyawa fenol alam yang terbesar yang
berada dalam bentuk ester atau glikosida terkonjugasi dengan senyawa
lain (Pratt dan Hudson, 1990). Dengan demikian, bila suatu sampel
memiliki total flavonoid yang tinggi, maka seyogiyanya sampel tersebut
juga memiliki total fenol yang tinggi pula, dan bila total flavonoid dalam
sampel rendah, maka total fenol dalam sampel pun akan rendah. Hal ini
dikarenakan flavonoid merupakan bagian terbesar dari senyawa fenol
selain senyawa-senyawa fenolik lainnya, seperti dari asam fenolat, asam
60
sinamat, kumarin, tanin, β-sianin, dan sebagainya (Vermerris dan
Nicholson, 2006).
Tabel 10. Nilai total fenol, total flavonol dan flavon, total antosianin dan
total flavonoid pada 24 sayuran indigenous Jawa Barat
Sampel
Sayuran
Kandungan (mg/100 g dry basis)
Total
Fenol*
Total Flavonol
dan Flavon*
Total
Antosianin
Total
Flavonoid**
Kenikir 1225.88 420.85 3.61 424.46
Beluntas 1030.03 79.19 1.29 80.48
Mangkokan
putiha
669.30 215.00 8.41
223.41
Mangkokan 490.97 38.51 7.27 45.78
Kedondong
cina
542.61 358.17 2.55
360.72
Kecombrang 801.33 11.76 39.27 51.03
Kemangi 784.32 69.78 0.76 70.54
Katuk 870.64 831.70 6.36 838.06
Antanan 581.95 263.88 5.39 269.27
Antanan
beurita
805.46 332.20 4.44
336.64
Pohpohan 831.62 26.98 5.52 32.50
Daun Ginseng 614.50 49.33 2.50 51.83
Krokot 447.91 4.05 1.82 5.87
Turia
323.68 217.40 2.01 219.41
Kucaia
211.73 89.40 5.41 94.81
Takokaka
860.29 27.40 20.08 47.48
Kelora
536.08 473.30 11.94 485.24
Mengkudua
236.45 201.40 6.97 208.37
Lembayunga
438.30 386.30 7.15 393.45
Terubuka
204.38 3.80 18.64 22.44
Daun labua
412.62 200.10 5.35 205.45
Bunga Pepayaa
376.23 306.80 10.89 317.69
Pucuk metea
2809.53 656.30 1.74 658.04
Pakisa
306.70 84.40 0.61 85.01 *Batari (2007); *
aRahmat (2009)
** Diperoleh dari penjumlahan total flavonol dan flavon dengan total antosianin
3. Analisis Hubungan Antara Total Fenol dan Total Antosianin
Analisis data mengenai hubungan antara total fenol dan antosianin
dengan menggunakan uji korelasi menghasilkan output seperti pada
Lampiran 3. Berdasarkan hasil uji korelasi ini diketahui bahwa tidak
61
terdapat korelasi antara nilai total fenol dengan nilai total antosianin,
karena nilai p (0.648) yang dihasilkan lebih besar dari nilai α (0.05).
Antosianin merupakan salah satu golongan senyawa flavonoid yang
memiliki gugus –OH pada strukturnya (Vermerris dan Nicholson, 2006).
Bila analisis total fenol dilakukan, maka antosianin akan ikut terdeteksi
sebagai salah satu senyawa fenolik. Dengan demikian, bila nilai total
antosianin pada sampel tinggi, maka nilai total fenol pada sampel tersebut
pun akan tinggi. Akan tetapi, bila nilai total antosianin pada sampel
tersebut rendah, tidak dapat dikatakan bahwa total fenol yang terkandung
pun akan rendah, karena belum tentu jumlah senyawa fenolik lainnya
seperti flavonol dan flavon (yang termasuk dalam golongan flavonoid)
juga rendah.
4. Analisis Hubungan Antara Kadar Protein dan Total Karotenoid
Analisis data mengenai hubungan antara kadar protein dengan total
karotenoid dengan menggunakan uji korelasi menghasilkan output
(Lampiran 3) yang menginformasikan bahwa tidak terdapat hubungan
antara nilai kadar protein dengan nilai total karotenoid, karena memiliki
nilai p (0.156) yang lebih besar dari nilai α (0.05). Nilai korelasi yang
diperoleh pun tergolong rendah, yakni sebesar 0.299.
Karotenoid dalam tanaman ditemukan di bagian kloroplas, terutama
di kromoplas. Karotenoid di membran kloroplas pun berikatan dengan
protein sama halnya dengan pigmen klorofil yang membentuk ikatan
kovalen dengan protein hidrofobik. Hubungan yang erat sendiri lebih
ditemukan pada klorofil dengan protein. Hal ini dikarenakan konjugasi
antara klorofil dengan protein penting untuk membantu mengefisienkan
penyerapan dan transfer energi dan untuk mempertahankan struktur
kloroplas dari serangan spesies oksigen reaktif (ROS) yang dapat
menghancurkan struktur tilakoid (membran internal kloroplas). Klorofil
bebas yang tidak terikat dengan protein dapat bereaksi dengan oksigen
yang dapat menghasilkan ROS dan radikal bebas lainnya (Hopkins dan
Hurner, 2004). Karotenoid sendiri meskipun membentuk kompleks dengan
62
protein pada membran tilakoid, secara kuantitatif tidak memiliki hubungan
langsung dengan protein. Hal ini dikarenakan keberadaan karotenoid tidak
dipengaruhi oleh keberadaan protein dan sebaliknya. Hanya saja, salah
satu yang menentukan keberadaan karotenoid dalam kloroplas adalah
jumlah klorofil, sebab karotenoid berfungsi untuk mencegah fotooksidasi
ketika klorofil memanen cahaya. Hal ini mengindikasikan bahwa
karotenoid dibuat dalam jumlah banyak di membran fotosintetik hanya
ketika klorofil disintesis dan membutuhkan perlindungan karotenoid untuk
tetap dapat berfungsi (Hopkins dan Hurner, 2004).
Disamping itu, tidak seperti halnya klorofil, karotenoid tidak hanya
terdapat pada sel-sel di jaringan fotosintetik saja yang berada di daun, tapi
juga terdapat pada sel-sel di jaringan non-fotosintetik. Karotenoid di dalam
sel-sel pada jaringan fotosintesis secara khusus terlokalisasi di membran
kloroplas dan plastoglobuli, sedangkan di jaringan non-fotosintetik seperti
di umbi kentang, pigmen ini lebih banyak berada pada membran yang
melingkupi plastida. Begitu pula halnya dengan protein. protein yang
terdapat di daun pun tidak hanya protein yang terikat pada pigmen di
membran tilakoid. Terdapat pula protein integral, struktural maupun
protein pengangkut di organel-organel lainnya yang merupakan hasil
sintesis ribosom. Ribosom ini terdapat di dalam mitokondria dan
kloroplas. Sebagian protein tersebut disintesis oleh ribosom pada
sitoplasma yang kemudian diangkut kedalam baik mitokondria maupun
kloroplas (Lakitan, 2004). Selain itu, protein juga tidak hanya berada di
daun saja namun juga banyak terdapat pada bagian tanaman lainnya,
seperti di umbi. Korelasi antara protein dengan karotenoid di organ lain
pada tumbuhan mungkin saja terjadi, seperti yang dinyatakan oleh
Hermawati (1997) dalam penelitiannya bahwa secara genotipe dan
fenotipe kandungan protein di umbi ubi jalar berkorelasi positif terhadap
kandungan karotennya dan ditunjukkan dengan nilai korelasi sebesar 0.64.
Fungsi karotenoid di jaringan non-fotosintetik adalah memberikan
pigmen berwarna terang seperti pada buah dan bunga. Untuk memberikan
warna yang kuat pada organ-organ tersebut, maka sejumlah besar
63
karotenoid perlu diakumulasikan, dan bentuk stuktur terspesialisasi untuk
menangkap jumlah yang besar ini adalah kromoplas (Davies, 2000). Desai
dan Salunkhe (1991) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang dekat
antara suplai nitrogen dengan kadar karoten yang terkandung dalam wortel
yang secara normal kekurangan kloroplas di dalamnya. Semakin tinggi
kadar nitrogen yang diberikan, kadar karoten pada hasil panen akan
semakin tinggi pula. Hal ini menunjukan adanya korelasi antara kadar
protein dengan kadar karotenoid di umbi.
F. IDENTIFIKASI POTENSI SAYURAN INDIGENOUS BERDASARKAN
PROFIL KAROTENOID, ANTOSIANIN DAN ASAM ASKORBAT
Sayuran indigenous Jawa Barat sebagai salah satu sumber daya lokal
memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Sayur-sayuran yang
banyak ditemukan di Jawa Barat ini umumnya merupakan tanaman kelompok
biofarmaka yang dikonsumsi dalam jumlah yang relatif kecil sebagai sayur,
urap, lalap, penyedap dan sebagai minuman. Dari tanaman biofarmaka yang
seharusnya berfungsi sebagai obat/jamu, memang banyak jenis yang dapat
berfungsi sebagai pangan fungsional, seperti daun dan bunga pepaya, bunga
beluntas, jenis daun lalapan, daun katuk, dan sebagainya (Sumarno, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh database 24
sayuran indigenous Jawa Barat secara kuantitatif, diantaranya kandungan total
karotenoid, β-karoten, antosianin, dan asam askorbat. Keseluruhan hasil
(database) penelitian terhadap kandungan komponen-komponen bioaktif dari
24 jenis sayuran indigenous Jawa Barat tersebut dapat dilihat pada Tabel 11.
Dari tabel tersebut, dapat diketahui bahwa ke-24 sayuran indigenous yang
diteliti memiliki kandungan total karotenoid, β-karoten, antosianin, dan asam
askorbat dengan jumlah yang bervariasi. Dengan demikian, ke-24 sampel
tersebut memiliki potensi manfaat sesuai senyawa-senyawa bioaktif yang
terkandung didalamnya, meskipun tidak semua sampel berpotensi sebagai
sumber karotenoid, β-karoten, antosianin, maupun asam askorbat sekaligus.
Ekstrak daun kenikir, beluntas, kemangi, daun ginseng, krokot, kelor,
dan pakis memiliki kandungan karotenoid yang lebih tinggi dibandingkan
64
sampel sayuran indigenous lainnya, berturut-turut sebesar 48.48 mg/100 g;
45.52 mg/100 g; 58.41 mg/100 g; 51.67 mg/100 g; 45.96 mg/100 g; 56.43
mg/100 g; dan 57.33 mg/100 g dry basis. Nilai-nilai tersebut pun masih lebih
tinggi dibandingkan dengan kadar total karotenoid pada bayam, daun melinjo,
dan daun pepaya yang mengandung karotenoid berturut-turut sebesar, 24.73
mg/100 g, 45.08 mg/100 g, dan 36.23 mg/100 g dry basis (Subeki, 1998).
Berdasarkan literatur diketahui bahwa karotenoid mempunyai peranan nyata
dalam penyediaan bahan baku (sebagai sumber provitamin A), penyediaan
bahan campuran makanan (food ingredients), atau sebagai bahan pewarna
makanan alami (food colours). Karotenoid juga berperan dalam bidang
kosmetika dan obat-obatan (Sudibyo, 1990). Selain itu, karotenoid penting
untuk penglihatan, pertumbuhan, diferensiasi jaringan, reproduksi, serta
perawatan sistem kekebalan (Ball, 2000).
Menurut De Vries dan Silvera (2000), karotenoid memiliki aktivitas
antioksidan biologis yang penting. Beberapa karotenoid dapat diubah menjadi
vitamin A dalam tubuh. Semua karotenoid penting bagi kesehatan karena
sifatnya sebagai antioksidan, baik yang bersifat sebagai provitamin A maupun
tidak. Papas (1999) menyebutkan bahwa karotenoid dapat melindungi tubuh
dari penyakit kardiovaskuler, mengurangi resiko terjadinya kanker,
meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan merangsang pembuatan enzim
detoksifikasi. Fungsi lain karotenoid sebagaimana disebutkan oleh Gross
(1991) adalah sebagai pewarna alami yang memberikan warna kuning sampai
oranye, sebagai agen potensial pencegah kanker dan mencegah atau
memperlambat pertumbuhan tumor kulit yang diakibatkan oleh radiasi UV-B
(290-320 nm) (Mathews-Roth, 1985).
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas, kemangi,
pohpohan, daun ginseng, kelor, daun labu, dan pakis memiliki kandungan β-
karoten yang lebih tinggi dibandingkan sampel sayuran indigenous lainnya,
dengan nilai berturut-turut sebesar 8.87 mg/100 g; 12.43 mg/100 g; 12.03
mg/100 g; 11.89 mg/100 g; 9.09 mg/100 g; 13.27 mg/100 g; dan 8.27 mg/100
g dry basis. Bahkan nilai-nilai tersebut pun masih lebih tinggi dibandingkan
dengan kadar β-karoten pada komoditi sayur lainnya, seperti pada daun
65
pepaya, wortel, dan daun singkong yang mengandung β-karoten berturut-turut
sebesar, 10.27 mg/100 g, 8.57 mg/100 g, dan 7.58 mg/100 g dry basis (Subeki,
1998). Dengan demikian, sampel-sampel sayuran indigenous tersebut
memiliki potensi manfaat β-karoten yang besar, antara lain untuk mencegah
proses menua yang terlalu dini, mengurangi terjadinya penyakit degeneratif,
dan untuk penanggulangan kebutaan karena xeroftalmia. Menurut Teik
(1994), manusia yang mengkonsumsi karoten dalam jumlah tinggi mempunyai
resiko yang rendah terhadap serangan kanker. Namun konsumsi vitamin A
yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama akan meracuni tubuh, tetapi
bila dikonsumsi dalam bentuk β-karoten sebagai provitamin A tidak akan
berakibat keracunan. Menurut Gross (1991), β-karoten meyumbangkan lebih
dari 85% aktivitas total provitamin A di kebanyakan sayur-sayuran dan buah-
buahan.
Berdasarkan hasil percobaan yang ditinjau ulang oleh Langseth (2000)
dengan menggunakan hewan percobaan dan secara in vitro, β-karoten
memiliki aktivitas biologis yang dapat mencegah terjadinya kanker dan
melalui penelitian epidemiologis didapatkan bahwa ada korelasi negatif antara
resiko terjadinya kanker paru-paru dengan konsumsi sayur-sayuran dan buah-
buahan yang merupakan sumber β-karoten. Hal ini sejalan dengan penelitian
Temple dan Basu (1988) yang menyebutkan bahwa β-karoten melindungi
paru-paru dan organ lain dari kanker. Mekanisme aksi perlindungan yang
mungkin terjadi adalah sebagai berikut: 1) β-karoten terkonversi menjadi
vitamin A, 2) mengubah metabolisme karsinogen, 3) berperan sebagai
antioksidan, dan 4) memperkuat sistem imun.
Ekstrak daun mangkokan putih, kecombrang, takokak, kelor, terubuk,
dan bunga pepaya mengandung senyawa antosianin yang lebih tinggi
dibandingkan sampel sayuran indigenous lainnya, yaitu berturut-turut sebesar
9.25 mg/100 g; 43.19 mg/100 g; 22.09 mg/100 g; 13.14 mg/100 g; 20.50
mg/100 g; dan 11.98 mg/100 g dry basis. Nilai-nilai tersebut pun masih lebih
tinggi dibandingkan dengan kadar antosianin pada buah apel dan plum yang
mengandung antosianin sebesar 1-10 mg/100 g dan 5 mg/100 g dry basis.
Akan tetapi, kadar antosianin pada sayuran indigenous masih jauh lebih
66
rendah dibandingkan dengan kadar antosianin pada kubis ungu, rosella, dan
kulit buah duwet yang memiliki nilai berturut-turut sebesar 82 mg/100 g, 1500
mg/100 g, dan 389 mg/100 g dry basis (lihat Tabel 4).
Antosianin dapat berfungsi sebagai pewarna alami, selain klorofil,
betasianin, karoten dan titanium oksida (zat pewarna mineral) (Winarno,
1992). Banyak bukti telah menunjukkan bahwa antosianin bukan saja tidak
beracun (non-toxic) dan tidak menimbulkan efek mutagenik (non-mutagenic),
tetapi juga memiliki sifat theurapetik yang positif yang berguna untuk
perawatan ketidakteraturan sirkulasi darah dan mengurangi resiko penyakit
jantung koroner karena sifat antioksidan dari pigmen antosianin (Bridle dan
Timberlake, 1997). Sebagai sumber pewarna alami, pigmen antosianin
dilaporkan dapat diaplikasikan pada model minuman ringan tanpa sukrosa,
model makanan berprotein, minuman ringan, minuman beralkohol, manisan,
saus, pikel, makanan beku atau makanan kaleng dan yogurt (Markakis, 1982).
Ekstrak daun kenikir, kemangi, katuk, bunga pepaya, pucuk mete, dan
kelor mengandung dominansi asam askorbat yang lebih tinggi dibandingkan
sampel sayuran indigenous lainnya, yakni berturut-turut sebesar 1654.02
mg/100 g; 3835.86 mg/100 g; 2248.27 mg/100 g; 2326.38 mg/100 g; 5607.78
mg/100 g; dan 1571.85 mg/100 g dry basis. Nilai-nilai tersebut pun masih
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan komoditi sayur lainnya, seperti pada
daun singkong, bunga kol, dan sawi hijau yang mengandung asam askorbat
brturut-turut sebesar 1431 mg/100 g, 1222 mg/100 g, dan 1091 mg/100 g dry
basis (Subeki, 1998). Dengan demikian, sampel-sampel sayuran indigenous
tersebut memiliki potensi yang besar sebagai sumber asam askorbat yang baik.
Asam askorbat berfungsi dalam pembentukan kolagen interselular yang
banyak terdapat pada tulang rawan, kulit dalam, tulang, dentin, dan vascular
endhotelium. Proses hidroksilasi dua asam amino prolin dan lisin menjadi
hidroksi-prolin dan hidroksi-lisin dipengaruhi oleh adanya asam askorbat.
Kedua senyawa tersebut merupakan komponen penting dalam pembentukan
kolagen (Winarno, 1992). Sifat penting lainnya adalah membantu
perlindungan terhadap vitamin lainnya seperti vitamin A, E dan beberapa
vitamin B dari proses oksidasi. Asam askorbat dapat bereaksi dengan nitrit,
67
sehingga dapat mencegah reaksi nitrit dengan amin untuk membentuk
senyawa karsinogenik nitrosamin (Pike dan Brown, 1975).
Asam askorbat berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menangkap
secara efektif singlet oksigen dan superoksida anion, dapat memutus reaksi
radikal bebas yang dihasilkan melalui peroksidasi lemak (Nabet, 1996).
Senyawa ini menjadi bagian dari pertahanan pertama terhadap spesies oksigen
reaktif dalam plasma dan sel (Zakaria et al., 1996). Defisiensi vitamin ini akan
menyebabkan penyakit skorbut. Gejala khas dari penyakit ini adalah
pendarahan, gigi goyang, luka sukar sembuh, dan tulang mudah patah.
Berdasarkan keseluruhan data yang diperoleh, terlihat bahwa nilai
kandungan asam askorbat pada 24 sampel sayuran indigenous memiliki nilai
yang cukup signifikan dan dapat diunggulkan dibandingkan dengan nilai
kandungan ketiga senyawa lainnya (karotenoid, β-karoten, dan antosianin)
pada 24 sampel. Hasil ini dapat dihubungkan dengan hasil penelitian
Sandrasari (2008) yang menyatakan bahwa ekstrak metanol dari sayuran
indigenous memiliki kapasitas antioksidan yang baik. Asam askorbat
merupakan senyawa polar yang dapat larut dalam pelarut organik yang juga
bersifat polar seperti metanol. Ekstraksi komponen antioksidan yang terdapat
dalam sayuran indigenous dengan pelarut metanol dapat pula mengekstrak
kandungan asam askorbat yang terdapat didalamnya. Dengan demikian, dapat
diidentifikasi apakah tingginya kandungan asam askorbat pada sayuran
indigenous yang dianalisis pada penelitian ini berpengaruh terhadap tingginya
kapasitas antioksidan sayuran-sayuran tersebut yang telah diteliti lebih dulu
oleh Sandrasari (2008).
Hasil penelitian yang dilakukan Sandrasari (2008) pada 11 jenis sayuran
indigenous (beluntas, kenikir, mangkokan, kemangi, pohpohan, katuk,
antanan, daun ginseng, daun kedondong cina, kecombrang dan krokot) tentang
kapasitas antioksidan yang diuji dengan radikal bebas DPPH dan dinyatakan
dengan % inhibisi menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas (86.65%) dan
ekstrak daun kenikir (84.13%) memiliki kapasitas antioksidan tertinggi yang
sangat kuat karena kemampuannya menghambat perkembangan radikal bebas
lebih dari 80%. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada kapasitas antioksidan
68
yang dinyatakan dengan nilai TEAC. Kapasitas antioksidan ekstrak daun
beluntas memiliki nilai TEAC tertinggi, baik yang diuji dengan radikal DPPH
(1195.14 µol TEAC/ mg ekstrak) maupun dengan radikal ABTS (46.42 µol
TEAC/ mg ekstrak), kemudian diikuti oleh ekstrak daun kenikir dengan nilai
TEAC/DPPH sebesar 902.66 µol TEAC/ mg ekstrak dan nilai TEAC/ABTS
sebesar 37.99 µol TEAC/ mg ekstrak, sedangkan kapasitas antioksidan dengan
nilai TEAC terendah ditunjukkan pada ekstrak krokot yaitu sebesar 79.40
µmol TEAC/mg ekstrak (TEAC/DPPH) dan 7.59 µol TEAC/ mg ekstrak
(TEAC/ABTS). Pada pengujian kemampuan mereduksi, diperoleh hasil
bahwa ekstrak daun kenikir memiliki kemampuan mereduksi paling tinggi,
diikuti oleh ekstrak daun beluntas dan pohpohan, sedangkan krokot memiliki
kemampuan mereduksi paling rendah. Pengujian kapasitas antioksidan yang
lain adalah dari kemampuannya menghambat proses oksidasi lipid lanjut,
ekstrak daun kenikir ternyata memiliki kemampuan tertinggi, diikuti oleh daun
beluntas dan kedondong cina, sedangkan yang paling rendah adalah ekstrak
daun katuk.
Berdasarkan hasil penelitian Sandrasari (2008) tersebut, dari 11 jenis
sayuran indigenous yang diteliti, diketahui bahwa ekstrak daun beluntas dan
daun kenikir memiliki kemampuan terbesar sebagai radikal scavenger,
pereduksi dan penghambat terjadinya oksidasi lipid lanjut, sedangkan krokot
dan memiliki kemampuan terendah. Hasil tersebut cukup sejalan dengan hasil
penelitian ini bahwa daun kenikir yang memiliki kapasitas antioksidan tinggi
juga memiliki kandungan asam askorbat yang tinggi, yakni sebesar 1654.02
mg/100 g dry basis. Akan tetapi, daun beluntas yang dinyatakan oleh
Sandrasari (2008) memiliki kapasitas antioksidan tertinggi ternyata memiliki
kandungan asam askorbat yang masih jauh lebih rendah dibandingkan daun
kenikir, yaitu sebesar 295.46 mg/100 g dry basis, bahkan masih lebih rendah
dibandingkan krokot yang mengandung asam akorbat sebesar 467.13 mg/100
g dry basis dan katuk sebesar 2248.27 mg/100 g dry basis. Selain itu, ekstrak
daun beluntas dan kenikir memiliki kapasitas antioksidan tertinggi
dibandingkan sampel lain karena mengandung senyawa fenol yang tinggi pula
dengan nilai total fenol masing-masing ekstrak sebesar 141.10 dan 119.53 µg
69
GAE/ mg bahan, dan sebaliknya ekstrak krokot memiliki nilai total fenol
terendah sebesar 42.24 GAE/ mg bahan (Sandrasari, 2008). Hal ini
mengindikasikan bahwa kapasitas antioksidan tersebut sangat dipengaruhi
oleh kandungan senyawa fenolik sebagai antioksidan primer, sedangkan
kandungan asam askorbat sendiri sebagai antioksidan sekunder berfungsi
menambah keefektifan kerja dari antioksidan primer, misalnya dengan
meregenerasi antioksidan utama, mendeaktifkan kontaminan prooksidan dan
menangkap oksigen (Sandrasari, 2008). Dengan demikian, pengaruh asam
askorbat terhadap kapasitas antioksidan pada sampel sayuran indigenous
tersebut tidak cukup signifikan. Namun, secara umum kandungan asam
askorbat pada sampel pun tetap memiliki kapasitas sebagai antioksidan seperti
yang dinyatakan oleh Bermond (1990) bahwa asam askorbat sebagai
antioksidan dapat menangkap singlet oksigen dan radikal peroksida sehingga
dapat melindungi membran sel. Asam askorbat juga dapat membantu
mereduksi radikal α-tokoferilsemiquinon menjadi α-tokoferol yang merupakan
pengaruh tidak langsung dalam mencegah oksidasi lemak.
Keseluruhan hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa
ekstrak daun beluntas dan daun ginseng memiliki potensi manfaat karoten dan
β-karoten sekaligus karena dominansi kedua senyawa tersebut dalam sampel.
Ekstrak daun kenikir mengandung total karotenoid dan asam askorbat yang
tinggi, sedangkan bunga pepaya mengandung antosianin dan asam askorbat
yang juga tinggi. Ekstrak daun kemangi dan pakis memiliki kandungan total
karotenoid, β-karoten dan asam askorbat yang mendominansi, dengan
demikian kedua sampel tersebut memiliki potensi manfaat dari tiga senyawa
sekaligus, sedangkan ekstrak daun kelor mengandung sekaligus keempat
senyawa dengan konsentrasi yang tergolong tinggi diantara sampel-sampel
lainnya.
70
Tabel 11. Rekapitulasi nilai keseluruhan hasil analisis pada 24 jenis sayuran indigenous Jawa Barat
Nama Lokal Kadar Air
(%)
Kadar
Protein
(%)
Konsentrasi (mg/100 g wet basis) Konsentrasi (mg/100 g dry basis)
Total Fenol* Total
Karotenoid
Βeta
Karoten Antosianin
Asam
Askorbat Total Fenol*
Total
Karotenoid Β-karoten Antosianin
Asam
Askorbat
Kenikir 80.30±2.53 19.92±0.58 150.01±10.56 9.55±0.27 1.35±0.03 0.78±0.05 325.84±1.43 1225.88±85.14 k48.48±1.39 gh6.87±0.15 f3.97±0.27 g1654.02±7.27
Beluntas 80.81±1.50 21.43±0.47 83.12±12.93 8.74±0.34 1.7±0.05 0.27±0.01 56.70±0.13 1030.03±160.17 j45.52±1.77 j8.87±0.28 bc1.41±0.07 b295.46±0.69
Mangkokan
putiha 82.31±0.18 12.23±0.28 74.19±1.08 7.64±0.57 0.85±0.11 1.64±0.08 41.84±0.05 490.97±7.15 i43.19±3.24 f4.80±0.62 k9.25±0.46 a236.54±0.29
Mangkokan 82.28±0.13 20.96±0.19 94.30±14.19 2.69±0.01 0.21±0.02 1.42±0.07 148.21±0.56 669.30±100.69 d15.17±0.08 c1.17±0.08 j7.99±0.42 f836.41±3.16
Kedondong
cina 85.43±1.57 18.63±0.18 79.06±11.16 3.29±0.27 0.51±0.10 0.41±0.01 36.08±0.56 542.61±76.57 f22.59±1.83 e3.53±0.66 e2.80±0.06 a245.42±3.82
Kecombrang 89.77±0.21 8.81±0.47 80.61±9.64 0.82±0.05 0.001±0.0 4.42±0.11 34.46±0.03 801.33±95.85 b8.061±0.48 a0.01±0.00 p43.19±1.12 c336.84±0.30
Kemangi 87.42±0.47 32.72±0.47 81.18±11.93 7.35±0.45 1.56±0.20 0.10±0.01 428.55±1.08 784.32±115.28 m58.41±5.56 kl12.40±1.56 ab0.84±0.05 h3835.86±8.62
Katuk 78.19±0.49 34.45±0.44 149.31±15.35 5.15±0.07 1.63±0.02 1.53±0.11 490.35±2.39 870.64±89.53 f23.61±0.32 hi7.49±0.08 i7.00±0.49 i2248.27±10.96
Antanan 81.72±0.30 3.93±0.13 46.32±1.77 5.95±0.38 1.16±0.12 1.08±0.05 61.45±0.09 581.95±22.22 h32.54±2.10 g6.35±0.66 h5.92±0.27 c336.14±0.51
Antanan
beurita 84.30±0.11 17.57±0.28 121.06±1.93 2.75±0.31 0.24±0.01 0.77±0.03 85.10±0.09 805.46±12.84 e17.51±2.00 cd1.53±0.05 g4.88±0.18 r524.05±0.59
Pohpohan 87.68±0.01 24.09±1.54 70.11±13.47 5.12±0.21 1.48±0.16 0.75±0.01 90.24±0.01 831.62±159.75 i41.58±1.68 k12.03±1.28 h6.08±0.10 e732.48±0.06
Daun Ginseng 91.83±0.00 20.06±0.48 48.91±9.96 4.22±0.14 0.97±0.01 0.22±0.01 51.71±0.02 614.50±125.16 l51.66±1.72 k11.9±0.10 e2.75±0.11 d632.98±0.26
Krokot 88.07±0.35 18.65±0.08 33.46±2.33 5.48±0.22 0.94±0.08 0.24±0.01 55.73±1.07 447.91±31.12 j45.96±1.84 i7.84±0.70 cd2.00±0.08 s467.13±8.95
Turia 90.23±0.09 21.35±0.12 31.62±0.50 0.36±0.02 0.01±0.00 0.22±0.01 71.75±0.37 323.68±5.09 a3.65±0.25 ab0.15±0.02 de2.21±0.12 e734.40±2.71
Kucaia 92.30±0.32 4.91±0.32 35.04±3.32 0.64±0.05 0.08±0.00 0.46±0.01 63.56±0.31 211.73±20.09 b8.374±0.71 bc1.04±0.02 h5.95±0.14 f825.42±4.06
Takokaka 79.89±1.22 13.45±0.27 92.91±1.05 0.87±0.03 0.13±0.01 4.44±0.14 128.70±0.01 860.29±9.72 a4.105±0.13 abc0.66±0.05 l22.09±0.70 d639.98±0.03
Kelora 75.27±0.14 29.34±0.42 133.60±1.97 13.95±0.19 2.25±0.05 3.25±0.01 388.72±3.64 536.08±7.92 m56.43±0.76 j9.09±0.19 m13.14±0.05 j1571.85±14.74
Mengkudua 85.46±0.06 15.54±0.15 39.23±0.27 3.28±0.21 0.33±0.00 1.12±0.04 150.33±7.22 236.45±1.61 f22.57±1.45 d2.28±0.02 j7.67±0.24 k1033.89±49.6
Lembayunga 84.36±0.38 34.74±0.15 49.53±0.64 3.31±0.09 0.37±0.07 1.23±0.08 146.04±1.84 438.30±5.71 f21.18±0.57 d2.40±0.43 j7.86±0.49 l933.74±11.75
Terubuka 88.39±0.10 20.91±0.24 23.73±1.67 1.29±0.08 0.02±0.00 2.38±0.12 66.76±0.17 204.38±14.41 c11.13±0.68 ab0.16±0.00 n20.50±1.07 m574.99±1.50
Daun labua 86.68±0.48 23.21±0.21 74.27±1.78 2.83±0.02 1.77±0.23 0.78±0.03 80.30±1.36 412.62±9.89 f21.23±0.18 m13.30±1.74 h5.88±0.26 n602.87±10.23
Bunga
Pepayaa 88.91±0.45 28.87±0.18 44.47±1.44 0.84±0.06 0.13±0.01 1.33±0.08 258.09±0.36 376.23±12.17 b7.60±0.50 c1.19±0.12 o11.98±0.73 o2326.38±3.24
Pucuk metea 80.82±0.09 34.68±0.80 614.72±2.24 5.42±0.36 0.73±0.06 0.37±0.02 1075.57±1.5 2809.53±11.06 g28.25±1.87 e3.82±0.29 cd1.92±0.10 p5607.78±7.91
Pakisa 89.27±0.89 31.19±0.80 34.56±0.25 6.15±0.08 0.89±0.06 0.07±0.00 152.58±4.30 306.70±0.25 m57.33±0.77 ij8.27±0.60 a0.67±0.04 q1422.03±40.1
*Batari (2007); *aRahmat (2009)