IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Wilayah...
Transcript of IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Wilayah...
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian
4.1.1 Keadaan Fisik Wilayah Penelitian
Desa Girikerto merupakan sebuah desa di Kecamatan Turi, Kabupaten
Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Wilayah Desa
Girikerto sebelah Utara berbatasan dengan Gunung Merapi, sebelah timur
berbatasan dengan Desa Purwobinangun Kecamatan Pakem, sebelah selatan
berbatasan dengan Desa Donokerto dan sebelah barat berbatasan dengan Desa
Wonokerto. Desa Girikerto terbagi menjadi 13 Padukuhan, yaitu Padukuhan
Ngandong, Nganggring, Kloposawit, Kemirikebo, Sukorejo, Pancoh, Nangsri,
Bangunmulyo, Babadan, Glagahombo, Daleman, Surodadi Lor, dan
Karanggawang.
Topografi Desa Girikerto berada di kaki/lereng gunung Merapi, terletak
pada ketinggian 400-900 mdpl dengan ketinggian tersebut sebagian besar
wilayahnya adalah pertanian. Curah hujan rata-rata 3.908 mm per tahun dengan
suhu udara 240 - 28
0 C. Kondisi tanah di wilayah Desa Girikerto merupakan
daerah perbukitan/ pegunungan yang subur dengan struktur tanah yang
merupakan tanah berpasir dan berbatu cadas. Lokasi Desa Girikerto mudah
dijangkau semua kendaraan baik mobil maupun motor, karena akses jalan ke Desa
Girikerto yang dilalui semuanya sudah beraspal. Desa Girikerto memiliki
pemandangan indah di sekelilingnya berupa sawah yang hijau dan hamparan
kebun salak pondoh. Luas wilayah Desa Girikerto 1.309,788 Ha. Secara
terperinci dapat dilihat pada Tabel 1.
38
Tabel 1. Luas Wilayah Desa Girikerto
No Penggunaan Lahan Luas
Ha %
1 Sawah 354,63 27,08
2 Tegalan 384,40 29,35
3 Jalan dan Sungai 70,00 5,34
4 Pemukiman 263,24 20,1
5 Hutan Lindung 237,51 18,13
Jumlah 1.309,788 100,00
Sumber: Profil Desa Girikerto Tahun 2014
Penggunaan lahan terluas digunakan untuk ladang/tegalan sebanyak
29,35%. Ladang dimanfaatkan penduduk desa untuk berkebun, bercocok tanam
dan beternak. Sebagian ladang dimanfaatkan oleh penduduk untuk ditanami
hijauan sebagai pakan ternak. Desa Girikerto merupakan wilayah agraris yang
subur sehingga hampir semua penduduknya bersawah, berkebun dan beternak.
Tanaman yang menjadi komoditas utama adalah salak pondoh sedangkan tanaman
lain yaitu sayur-sayuran, ketela pohon, sengon, kaliandra dan rumput-rumputan.
4.1.2 Keadaan Penduduk Wilayah Penelitian
Secara umum, masyarakat di Desa Girikerto sebagian besar bermata
pencaharian sebagai petani/peternak. Data mengenai jenis mata pencaharian atau
pekerjaan penduduk dapat dilihat pada Tabel 2.
39
Tabel 2. Jenis Mata Pencaharian atau Pekerjaan Penduduk Desa Girikerto
Sumber: Profil Desa Girikerto Tahun 2014
Jumlah penduduk dengan mata pencaharian terbanyak di Desa Girikerto
adalah petani/peternak. Hal ini didukung luasnya lahan sawah dan tegalan/ladang
yang mendominasi sebagian besar wilayah Desa Girikerto. Penduduk Desa
Girikerto sebagian besar beternak kambing PE (Peranakan Ettawa) karena desa ini
terkenal dengan desa agrowisata kambing PE. Sebagian besar penduduk desa ini
menjadikan peternakan Kambing PE sebagai mata pencaharian pokok. Selain itu,
peternak memperoleh kemudahan dalam mencari hijauan makanan ternak karena
sebagian ladang dimanfaatkan untuk ditanami rumput dan hijauan.
4.1.3 Keadaan Peternakan Wilayah Penelitian
Desa Girikerto merupakan sentra peternakan di Kecamatan Turi, Kabupaten
Sleman terutama kambing, di wilayah ini terdapat banyak kelompok peternak
kambing PE, koperasi pengolahan susu kambing PE maupun usaha komersil
kambing PE. Data mengenai populasi ternak di Desa Girikerto dapat dilihat pada
Tabel 3.
No Jenis Pekerjaan Orang %
1 Petani/ PNS/TNI/POLRI 62 2,37
2 Karyawan Swasta 142 6,30
3 Petani/Peternak 1733 76,50
4 Pedagang 149 6,60
5 Usaha sendiri/wiraswasta 43 1,90
6 Lain-lain 135 6,00
Jumlah 2264 100,00
40
Tabel 3. Populasi Ternak di Desa Girikerto
Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan komoditi unggulan di Desa
Girikerto. Usaha pemeliharaan kambing PE telah menyatu dalam sistem usahatani
di masyarakat pedesaan salah satunya di desa ini. Limbah ternak kambing PE
sangat dibutuhkan petani untuk menjaga kesuburan tanahnya, karena umumnya
petani atau peternak kambing di desa ini berada di wilayah lahan kering. Kondisi
tersebut telah menunjukkan adanya integrasi usaha antara pemeliharaan ternak
dengan usahatani tanaman. Usaha peternakan kambing PE secara ekonomis
memiliki peran strategis didalam sistem usahatani di wilayah Desa Girikerto
Kecamatan Turi Kabupaten Sleman. Keadaan ini ditunjang oleh penjualan produk
peternakan berupa cempe yang tidak mengalami kesulitan dan nilai jual ternaknya
cukup tinggi.
Umumnya petani atau peternak memelihara induk kambing untuk
menghasilkan anakan sebagai komoditi perdagangan selain untuk menghasilkan
pupuk kandang yang bermanfaat sebagai pupuk organik untuk meningkatkan
produktivitas lahan. Usaha peternakan kambing PE di Desa Girikerto berintegrasi
dengan tanaman salak pondoh. Kontribusi pendapatan yang diberikan dari usaha
peternakan kambing PE di Desa Girikerto sekitar 46,71% sedangkan tanaman
No Jenis Ternak Populasi
(Ekor)
1 Ayam Buras 27.894
2 Kambing 2.815
3 Itik 1.762
4 Sapi 1.055
5 Domba 166
6 Kerbau 147
41
salak pondoh memberikan kontribusi pendapatan sebesar 53,29% dari total
pendapatan (Musofie, 2000).
4.2 Identitas Informan
Informan terdiri dari anggota Kelompok Mandiri yang mengikuti pola bagi
hasil anakan. Data identitas informan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Data Informan
Peternak yang mengikuti pola bagi hasil anakan terdiri dari 5 orang yaitu
Bapak Hardono, Widayadi, Triana, Mardi dan Soeparno. Mengelola usaha
peternakan lebih didasarkan pada pengalaman dan pola berpikir peternak.
Berdasarkan pengalaman beternak informan berkisar 2-27 tahun. Lestari (2009)
menyatakan bahwa pengalaman peternak dalam menjalankan usahanya akan
memudahkan dalam mengatasi masalah dan pengambilan keputusan, serta
menentukan berhasil tidaknya seorang peternak mengusahakan suatu jenis usaha
tani. Dengan pengalaman beternak yang cukup lama memberikan indikasi bahwa
No Nama
Lama
mengikuti
pola bagi hasil
Pendidikan Pengalaman
Beternak Umur Pekerjaan
Utama
(Tahun) (Tahun) (Tahun)
1 Hardono 3 SMP 5 36 Peternak
2 Widayadi 2 SMP 8 45
Buruh
Bangunan
3 Triana 7 SMA 10 44 Peternak
4 Mardi 2 SD 2 37 Peternak
5 Soeparno 10 SMA 27 50 Peternak
42
pengetahuan dan ketrampilan peternak terhadap manajemen pemeliharaan ternak
mempunyai kemampuan yang lebih baik.
Usia peternak berhubungan dengan kemampuan fisik dalam melakukan segala
aktivitas. Kemampuan fisik peternak yang tua (lebih dari 65 tahun) relatif
menurun daripada peternak yang berada pada kisaran umur produktif. Usia
peternak yang mengikuti pola bagi hasil anakan adalah usia produktif terletak
pada kisaran 35-50 tahun. Usia produktif sangat penting dalam pengembangan
suatu usaha peternakan khususnya usaha peternakan kambing karena mampu
mengkoordinasi dan mengambil langkah yang efektif (Makatita, 2013).
Tingkat pendidikan informan yaitu satu orang SD, dua orang SLTP dan dua
orang SLTA. Pada umumnya, tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir
seseorang. Pendidikan yang relatif tinggi dan usia lebih muda menyebabkan
petani / peternak memiliki pemikiran yang luas (Makatita, 2013). Hal ini sesuai
dengan kenyataan yang ada di lapangan bahwa tingkat pendidikan lebih tinggi
mempunyai pengaruh terhadap tingkat pengetahuan dan sikap pola bagi hasil,
sehingga pengetahuan dan wawasan informan lebih luas serta dapat mengambil
keputusan yang tepat.
Hal ini berbeda dengan pendapat Noviana (2013), yang menyatakan bahwa
tingkat pendidikan tidak selalu berhubungan dengan kesuksesan seorang peternak
dalam menjalankan usahanya. Seorang peternak dengan pendidikan yang lebih
tinggi belum tentu bisa mencapai kesuksesan dibanding peternak lainnya yang
tingkat pendidikannya lebih rendah. Selain pendidikan formal yang pernah diikuti
oleh informan, pendidikan non-formal seperti pelatihan atau penyuluhan
peternakan juga diberikan oleh pihak pemerintah. Salah satu penyuluhan yang
pernah diikuti informan yaitu pelatihan inovasi teknologi model pengembangan
43
pertanian bioindustri berbasis integrasi kambing dan salak oleh BPTP (Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian) Kementrian Pertanian, Yogyakarta.
Kegiatan penyuluhan dilakukan setahun sekali dan untuk 5 tahun kedepan
difokuskan pada pelatihan pembuatan POP (Pupuk Organik Padat) dan POC
(Pupuk Organik Cair). Hasil pengolahan limbah kambing PE dimanfaatkan untuk
tanaman salak pondoh sehingga adanya integrasi antara peternakan kambing PE
dengan pertanian khususnya tanaman salak pondoh. Tujuan pelatihan atau
penyuluhan untuk membekali peternak kambing perah dengan keahlian dan
keterampilan. Hal tersebut diharapkan dapat membantu para peternak anggota
kelompok Mandiri untuk terus mengembangkan usaha kambing perahnya.
4.3 Profil Kelompok dan Investor
Pola bagi hasil sudah berjalan sejak kelompok didirikan. Mekanisme
pembagian hasil ditentukan oleh pengurus kelompok. Gambaran profil kelompok
sebagai berikut.
1. Nama Kelompok : Mandiri
2. Didirikan : Tahun 1988
3. Jumlah Anggota : 57 orang
4. Jumlah Ternak : 700 ekor (Induk dan Anakan)
5. Nama Ketua : Tamto
6. Bendahara : Suparno dan Giyatno
7. Sekretaris : Triyono dan Sutaryono
8. Alamat Sekretariat : Nganggring Girikerto Turi Sleman Yogyakarta
Kelompok Mandiri didirikan tahun 1988 dengan populasi awal ternak
kambing PE sebanyak 14 ekor dengan rincian 10 ekor kambing betina dan 4 ekor
44
jantan yang berasal dari bantuan Presiden Soeharto. Lahan untuk kandang
memanfaatkan tanah desa milik pemerintah Propinsi Yogyakarta yang dikuasakan
untuk dikelola oleh kelompok. Harga sewa tanah untuk lahan kandang Rp
900.000/ tahun yang dibayar melalui kelompok. Anggota membayar iuran setiap
bulannya dari hasil penjualan anakan maupun susu sebesar 1%, sehingga dari
biaya iuran tersebut digunakan kelompok untuk keperluan perbaikan sarana dan
prasana kandang serta biaya sewa tanah, listrik dan lain sebagainya.
Tujuan pembentukan kelompok adalah memudahkan kegiatan operasional
anggota agar efisien sehingga anggota dapat berkomunikasi dan bertukar
informasi dengan anggota lainnya, selain itu dengan dibuatnya kandang dalam
satu kawasan lebih menjamin kebersihan dan kesehatan. Kelompok Mandiri sudah
mempunyai pasar ternak yang berada di sebelah kandang kelompok untuk
menunjang kegiatan pemasaran ternak. Pasar ternak dibuka setiap hari rabu,
sehingga memudahkan anggota dalam menjual dan membeli kambing. Produk
susu yang dihasilkan dikelola oleh ketua kelompok dan sudah mempunyai pangsa
pasar sendiri. Produk olahan susu kambing PE tersebut berupa susu bubuk aneka
rasa dengan berbagai kemasan. Rata-rata setiap bulannya produk susu bubuk
terjual sebanyak 2 kuintal. Bahan baku berupa susu segar didapat dari beberapa
anggota dan wilayah di Kabupaten Sleman lalu diolah oleh kelompok dan
kemudian dikirim ke beberapa wilayah didalam maupun diluar kota Sleman.
Investor bagi hasil berasal dari wilayah Yogyakarta dan dari luar wilayah
Yogyakarta seperti Solo dan Medan. Investor yang berada di luar kota merupakan
saudara atau kenalan dari peternak ataupun pernah tinggal di kota Sleman.
Investor menyerahkan induk betina yang sudah pernah beranak ataupun dara siap
kawin kepada peternak atau mengirimkan uang untuk dibelikan induk kambing
45
sesuai kriteria bagi investor yang berasal dari luar Yogyakarta. Investor
menggaduhkan induk kambing betina sebanyak 1-7 ekor. Alasan investor
mengikuti pola bagi hasil anakan yaitu ingin menolong peternak meningkatkan
populasi kambing dibandingkan dengan menyimpan modalnya di Bank dan lebih
menguntungkan. Investor yang mengikuti pola bagi hasil anakan bersifat individu
sehingga orang yang mempunyai modal dapat bekerjasama dengan peternak
mengikuti aturan pembagian hasil dari kelompok. Adapun pola bagi hasil yang
dijalankan peternak dengan investor tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Pola Bagi Hasil di Kelompok Mandiri
N
o
Nama
Investor
Nama
Peternak
Jumlah kambing
Milik
Sendiri
(ekor)
Pola bagi hasil
(Gaduhan)
Hasil dari
gaduhan
terakhir
Jangka
Waktu
(ekor) (ekor/kelahiran
)
1 Rahmat
Widayad
i
7
indukan 3 induk betina 6 anakan 2 tahun
2 Risal Hardono 0 7 induk betina 14 anakan 2 tahun
3 Panjoro Hardono 0 1 dara siap
kawin 1 anakan
8 bulan
4 Marik Soeparno 2
indukan 4 induk betina 8 anakan 2 tahun
5 Marjo Mardi 0 2 induk betina 4 anakan 2 tahun
6 Andi Mardi 0 2 induk betina 4 anakan 2 tahun
7 Budi Mardi 0 1 induk betina - -
8 Tamto Triana 3
indukan 1 induk betina 1 anakan 8 bulan
46
Investor yang mengikuti pola bagi hasil sebanyak 8 orang ( satu orang dari
Medan, satu orang dari Solo dan 6 orang dari Sleman) dengan 5 orang peternak
penggaduh. Pada awal kerjasama, terdapat 3 orang peternak yang telah memiliki
kambing yaitu Bapak Widayadi, Bapak Soeparno dan Bapak Triana dengan
pemilikan ternak sebanyak 2-7 ekor induk. Investor yang menggaduhkan
kambing sebanyak 1- 4 ekor hanya mengambil bagi hasil anakan sehingga
keuntungan hasil susu dapat dimanfaatkan peternak untuk menambah pendapatan
, namun ada juga investor yang mengambil bagi hasil anakan dan bagi hasil susu,
karena jumah kambing yang digaduhkan ada 7 ekor induk.
Jangka waktu pelaksanaan pola bagi hasil sudah berjalan selama 2 tahun dan
paling sedikit selama 8 bulan pemeliharaan. Hasil cempe yang diterima peternak
pun berbeda-beda tergantung jumlah ternak yang digaduhkan dan litter size.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, jumlah anak per kelahiran (litter
size) sebanyak 2 ekor. Sebagai contohnya adalah Bapak Widayadi memperoleh
hasil gaduhan terakhir sebanyak 6 ekor cempe / kelahiran dari 3 ekor induk yang
digaduhkan, sehingga 1 ekor induk mempunyai besar litter size sebanyak 2 ekor
cempe.
Produksi susu yang dihasilkan` rata-rata sebanyak 1 liter/hari, selain
mendapatkan keuntungan bagi hasil anakan, peternak juga memperoleh
keuntungan berupa hasil susu yang dapat dijual oleh peternak dengan harga Rp
15.000/liter melalui koperasi pengolahan susu yang ada di kelompok.
Berdasarkan wawancara dengan informan pemerahan induk baru dilakukan saat
cempe berumur 2 bulan dan diperah saat sore hari. Hal ini sesuai pernyataan
Asih (2004) bahwa pada kambing perah penyapihan harus dilakukan lebih awal
tanpa mengganggu pertumbuhan anaknya agar kelebihan produksi induk dapat
47
dimanfaatkan oleh peternak untuk meningkatkan pendapatan atau keperluan gizi
keluarga.
4.4. Gambaran Umum Pola Bagi Hasil di Kelompok Mandiri
Pola bagi hasil pada Kelompok Mandiri dikenal di kalangan peternak dengan
sebutan gaduhan. Aturan bagi hasil ditetapkan atas dasar musyawarah bersama
dengan pengurus maupun anggota. Adapun sistem bagi hasil pertama dibentuk
yaitu 50:50 dengan cara membagi cempe untuk petenak dan investor sedangkan
induk kambing tetap milik investor. Jika induk kambing beranak dua ekor cempe
maka investor dan peternak mendapatkan masing-masing satu ekor namun bagi
hasil 50:50 dirasa merugikan peternak dikarenakan peternak membiayai sarana
produksi mulai dari kandang, pakan dan kesehatan sedangkan investor hanya
menyediakan kambing.
Tahun 2013 aturan sistem bagi hasil pada kelompok Mandiri mengalami
perubahan yaitu 60 : 40. Persentase pembagian hasil berdasarkan biaya sarana
produksi yang ditanggung peternak sehingga 60% penjualan anakan untuk
peternak dan 40% untuk investor. Perjanjian pola bagi hasil tidak dibuat secara
tertulis melainkan hanya secara lisan dengan mengandalkan keterbukaan dan
kepercayaan akan tetapi beberapa syarat harus diikuti oleh peternak yaitu
mempunyai kandang, memberikan fotokopi KTP dan nomor telepon pribadi
kepada investor. Pola bagi hasil yang dijalankan selama ini belum menerapkan
sanksi karena peternak bertanggung jawab memelihara ternaknya dengan baik
sehingga mendapatkan kepercayaan dari investor. Peternak maupun investor
sama-sama mengikuti aturan dari kelompok, seperti yang diungkapkan oleh salah
satu informan :
48
“ Sementara ini belum ada sanksi dari kelompok, hanya kesepakatan antara
pemilik modal dan peternak, jadi selama ini belum ada sanksi yang diterapkan”
(T, 44 Tahun).
Faktor yang membentuk adanya pola bagi hasil di Kelompok Mandiri adalah
faktor ekonomi. Adanya pola bagi hasil dengan sistem gaduhan sangat membantu
peternak sehingga peternak tetap memelihara kambing PE dengan hanya
mengeluarkan modal kandang dan pakan ternak.
Keuntungan yang diperoleh peternak berasal dari penjualan bagi hasil anakan
setiap enam bulan atau setahun sekali, hasil susu yang dapat dijual per hari serta
feses digunakan untuk pupuk. Keuntungan investor yaitu memperoleh bagi hasil
anakan dengan menginvestasikan uangnya dalam bentuk ternak dan menambah
pengetahuan mengenai usaha peternakan kambing PE. Peternak dan investor
memperhitungkan risiko usaha yang kemungkinan terjadi seperti ternak mati.
Jika anakan ada yang mati maka kedua belah pihak menanggung kerugian
bersama. Peternak juga dapat mengembalikan ternak kepada investor karena
pertimbangan biaya ekonomi begitupun sebaliknya investor dapat mengambil
kembali kambing yang telah diserahkan kepada peternak.
4.5 Respon Peternak terhadap Pola Bagi Hasil Anakan Usaha Ternak
Kambing Perah
Respon peternak terhadap pola bagi hasil anakan usaha ternak kambing perah
di Kelompok Mandiri dikaji dari respon tertutup (covert) meliputi pengetahuan
(kognisi) dan sikap (afeksi) serta respon terbuka (overt) meliputi tindakan
(psikomotorik).
49
4.5.1 Pengetahuan Peternak terhadap Pola Bagi Hasil Usaha Ternak
Kambing Perah
Berdasarkan hasil wawancara dan analisis data diketahui beberapa aspek
tingkat pengetahuan peternak terhadap pola bagi hasil usaha ternak kambing perah
yang meliputi makna, hak dan kewajiban serta perjanjian dari pola bagi hasil.
Tingkat pengetahuan peternak terhadap pola bagi hasil usaha ternak kambing
perah dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Respon Pengetahuan (Kognisi) Peternak Terhadap Pola Bagi Hasil
No Pengetahuan Konsep Standar Pengetahuan Peternak
1 Makna pola bagi hasil
Pola kemitraan dengan keuntungan yang diperoleh berdasarkan pada presentase yang disepakati bersama terutama pola bagi hasil anakan dengan bagi hasil 60% : 40% , adapun rincinannya 60% untuk peternak dan 40% untuk investor.
Peternak sudah memahami makna pola bagi hasil : Pembagian hasil keuntungan terutama anakan. Bagian keuntungannya ditetapkan 60% : 40% teruatama untuk anakan dengan rincian 60% untuk peternak dan 40% untuk investor.
2 Hak dan Kewajiban (1) Investor berhak memperoleh bagi hasil dan mengambil kembali kambing dan memberikan saran serta masukan. (2) Peternak berhak memperoleh bagi hasil dan mengembalikan ternak atas dasar pertimbangan ekonomi. (3) Kewajiban investor membeli dan memilih kambing yang sehat, mengontrol ternak dan mengusulkan penjualan. (4) Kewajiban peternak memelihara ternak dengan baik,
Peternak sudah memahami hak dan kewajiban : (1) Investor dan Peternak berhak memperoleh bagi hasil. (2) Kewajiban investor membeli dan memilih kambing yang sehat, mengontrol ternak dan mengusulkan penjualan. (3) Kewajiban peternak memelihara ternak dengan baik dan menyediakan sarana produksi, melaporkan perkembangan ternak dan memberitahukan
50
Peternak yang mengikuti pola bagi hasil di kelompok Mandiri memahami
makna pola bagi hasil yaitu pembagian keuntungan yang ditetapkan masing-
masing pihak terutama bagi hasil anakan, seperti yang diungkapkan salah satu
informan :
“Sistem bagi hasil dengan keuntungan 60:40 untuk anakan , jika beranak satu
atau dua sama saja bagi hasilnya 60:40”. (W,45 Tahun)
Di kalangan masyarakat pedesaan tidak saja berlaku adat perjanjian bagi hasil
tanah pertanian, tetapi juga berlaku perjanjian bagi hasil pemeliharaan ternak.
Suatu perjanjian bagi hasil ternak adalah persetujuan yang diadakan antara
pemilik ternak dengan penggaduh atau pemelihara hewan ternak dengan sistem
bagi hasil. Sistem bagi hasil ternak menurut hukum adat berlaku dengan cara
membagi anak, sedangkan ternak bibitnya tetap (Hadikusuma, 2001).
menyediakan sarana produksi, melaporkan perkembangan ternak dan memberitahukan rencana penjualan.
rencana penjualan
3 Perjanjian
kerjasama
Perjanjian pola bagi
hasil terdiri dari
pembagian
keuntungan dan resiko
usaha, harga jual
ternak/ harga dasar
sarana produksi,
jaminan pemasaran,
penetapan standar
mutu ternak dan
mekanisme
pembayaran.
Peternak sudah memahami
perjanjian pola bagi hasil :
pembagian keuntungan dan
resiko usaha, jaminan
pemasaran, .harga jual
ternak , pengembalian
ternak dan mekanisme
pembayaran
51
Tingkat pengetahuan peternak terhadap hak dan kewajiban pola bagi hasil
sudah memahami secara luas. Seperti yang diungkapkan oleh kelima informan :
“Peternak dan investor berhak menerima hasil keuntungan sedangkan kewajiban
peternak yaitu memberi pakan dan memelihara ternak dengan baik, kewajiban
investor yaitu membeli kambing dan mengontrol ternak serta mengusulkan
penjualan”. (H, 37 Tahun) dan (M, 37 Tahun)
“Hak investor dan peternak menerima hasil keuntungan, kewajiban peternak
memberi pakan serta memelihara ternak dengan baik ,melaporkan perkembangan
ternak kepada investor dan memberitahukan rencana penjualan sedangkan
kewajiban investor membeli dan memilih kambing yang sehat”. (T,44 Tahun), (W
45 Tahun) dan (S, 50 Tahun).
Peternak sudah memahami perjanjian kerjasama pola bagi hasil. Hal ini dapat
ditunjukkan dari ungkapan informan:
“Perjanjian bagi hasil terutama membahas pembagian keuntungan, kedua
masalah risiko usaha, Peternak hanya memelihara saja resikonya jika ternak mati
yang menanggung adalah Investor dan masalah pengembalian ternak, jika
peternaknya sudah tidak ada biaya untuk membeli pakan maka ternaknya dijual
atau dikembalikan selain itu yang ketiga mekanisme pembayaran secara tunai
dengan bertemu dikandang bagi investor yang berdomisili di wilayah
Yogyakarta” (T, 44 tahun), (W, 45 Tahun) dan (S, 50 Tahun)
Meskipun perjanjian pola bagi hasil anakan tidak tertulis namun dicantumkan hal-
hal yang pokok pada catatan kelompok peternak seperti pembagian keuntungan,
risiko usaha dan mekanisme pembayaran. Perjanjian pola bagi hasil bersifat
fleksibel atau luwes. Pada perjanjian baku, baik dibidang pertanian maupun
keuangan dicantumkan ketentuan-ketentuan pokoknya saja, sedangkan hal-hal
yang bersifat detail ditambahkan dalam lampiran perjanjian dengan demikian
pihak-pihak yang terlibat dapat menentukan syarat-syarat dan komposisi
pembagian hasil yang disesuaikan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
kuantitas produksi. (Tim Peneliti Unpad, 1999)
52
4.5.2 Sikap Peternak terhadap Pola Bagi Hasil Anakan Usaha Ternak
Kambing Perah
Sikap Peternak terhadap pola bagi hasil anakan dapat dilihat di Tabel 7.
Tabel 7. Respon Afeksi (Sikap) Peternak Terhadap Pola Bagi Hasil Anakan
No Indikator Sikap Peternak
1 Pola bagi hasil Sikap peternak terhadap pola bagi hasil
adalah setuju. Peternak menilai pola bagi
hasil dengan sistem gaduhan
menguntungkan dan ingin pola bagi hasil
dapat terus berjalan
2 Aturan bagi hasil Sikap peternak terhadap aturan bagi hasil
adalah setuju. Peternak menilai bahwa
aturan bagi hasil 60% : 40% sudah sesuai
dengan harapan peternak.
3 Perjanjian kerjasama Sikap peternak terhadap perjanjian pola
bagi hasil yang dibuat melalui Mou
(perjanjian tertulis) hanya disetujui 2
orang namun sebanyak 4 orang peternak
menanggapi dengan ragu-ragu dan tidak
perlu dibuat perjanjian tertulis karena
selama menjalankan pola bagi hasil tidak
ada masalah.
Sikap peternak setuju terhadap adanya pola bagi hasil terutama anakan. Hal
ini berdasarkan analisis data bahwa peternak menganggap pola bagi hasil anakan
dengan sistem gaduhan menguntungkan dan peternak ingin pola bagi hasil ini
terus berjalan. Hal ini sesuai dari pernyataan 3 orang informan :
“Bagi saya dengan mengikuti pola bagi hasil jelas menguntungkan, Peternak
yang sebelumnya tidak mempunyai kambing dan ingin membeli kambing tapi
kendala biaya jadi mempunyai kambing serta meningkatkan pendapatan”. (H, 37
Tahun), (M, 37 Tahun) dan (S, 50 Tahun).
53
Dipergunakannya pola bagi hasil, ternyata menghasilkan keuntungan komparatif
yaitu keuntungan diatas alternatif-alternatif yang lain. Pola bagi hasil mempunyai
keunggulan antara lain yaitu tujuan, konsep, suply dan demand, pemilikan aset,
risiko, investasi, revenue sharing, masa perjanjian dan lain-lain.
Sikap peternak terhadap aturan bagi hasil anakan adalah setuju. Menurut
peternak sistem bagi hasil 60% : 40% sudah sesuai dengan harapan peternak.
Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan:
“Pola bagi hasil anakan 60:40 sudah sesuai dengan harapan saya yang jelas
sama sama diuntungkan dan tidak ada yang dirugikan” (H,36 Tahun), (M, 37
Tahun)
Pembagian hasil sistem gaduhan tidak kaku, tetapi bersifat proporsional atau
kesebandingan yang didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas
hasil, besarnya investasi, tingkat kesulitan dan lain-lain. Perjanjian dengan
menggunakan pola bagi hasil tidak didasarkan pada sistem hukum tertentu tetapi
berdasarkan prinsip umum yaitu kebebasan berkontrak dengan pola yang bersifat
universal.
Sikap peternak terhadap perjanjian kerjasama pola bagi hasil sebanyak 2
orang informan menilai setuju perlu dibuat perjanjian tertulis. Hal ini
diungkapkan oleh informan :
“Perjanjian pola bagi hasil inginnya diatas kertas agar lebih kuat ,
seumpamanya ingin memelihara sampai kapan ternaknya agar peternak tahu
kapan segera dijual anakannya selain itu investor juga sudah memberikan modal
ke peternak dan memberikan kepercayaan untuk memelihara dan merawat
ternaknya”. (H,36 Tahun) (S, 50 Tahun)
Namun sebanyak 4 informan termasuk pembina kelompok menanggapi ragu-
ragu dalam memberikan penilaian terhadap perjanjian pola bagi hasil dan kurang
54
menyetujui perlu dibuatnya Mou. Seperti yang diungkapkan oleh pembina
kelompok :
“Sebetulnya perlu dibuat Mou namun untuk sekarang berjalan cukup lancar jadi
tidak masalah jika tidak tertulis. Meskipun perjanjiannya tidak tertulis tetapi di
buku notulis sudah ada aturannya yang berisi tentang pembagian keuntungan dan
risiko usaha”. (K, 62 Tahun)
Lebih lanjut diungkapkan oleh salah satu informan :
“Perjanjian kerjasama selama ini tidak ada masalah ,mungkin masalahnya hanya
jika musim kemarau saya inginnya menjual semua cempe nya tetapi investor
inginnya dipelihara sampai besar jadi ditahan terlebih dahulu, saya sepakat saja
tetapi mencari pakannya sulit, dan tidak perlu dibuat Mou karena saya sudah
memberikan foto rumah dan alamat yang jelas, kelompoknya juga sudah jelas,
Investor ingin cari apa lagi? Peternak tidak akan kabur , jika saling percaya
semuanya jadi mudah dan adil”. (W, 45 Tahun).
Perjanjian atau transaksi pola bagi hasil anakan di kelompok Mandiri tidak
tertulis melainkan dengan sistem kepercayaan. Sistem ini dapat berjalan karena
tingkat kepercayaan yang tinggi antara investor dengan peternak terutama di
pedesaan karena interaksi sosial masih kental. Proses komunikasi antarpribadi
dimulai dari kebutuhan dari pihak investor untuk menitipkan serta memelihara
kambingnya kepada peternak. Pihak investor maupun peternak sebelum
melakukan pertukaran, terlebih dahulu mencari informasi mengenai masing-
masing pihak.
Dari salah satu pernyataan informan bahwa dalam menjalankan pola bagi hasil
memiliki beberapa risiko salah satunya saat musim kemarau hijauan sulit didapat
dan peternak harus membeli konsentrat (pollard) sehingga dirasa menambah
biaya. Jika Investor menyetujui, pola bagi hasil dapat diberhentikan sementara
55
sehingga induk kambing dapat dijual atau dikembalikan dengan memperhitungkan
biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan peternak. Apabila induk kambing
dijual, keuntungan dari selisih harga beli dengan harga jual ternak tersebut lalu
dibagi antara investor dan peternak.
4.5.3 Tindakan Peternak terhadap Pola Bagi Hasil Anakan Usaha Ternak
Kambing Perah
Respon psikomotorik peternak terhadap pola bagi hasil anakan usaha ternak
kambing perah dilihat dari kesesuaian pembagian hasil dengan aturan,
kebersamaan usaha antara peternak dengan investor, penjualan ternak serta
pendapatan peternak.. Tindakan Peternak terhadap pola bagi hasil anakan dapat
dilihat di Tabel 8.
Tabel 8. Respon Psikomotorik (Tindakan Peternak) Terhadap Pola Bagi Hasil
No Tindakan Respon 1 Kesesuaian pembagian
hasil dengan aturan Pelaksanaan pola bagi hasil anakan yang dijalankan peternak dengan investor sudah mengikuti aturan bagi hasil kelompok.
2 Kebersamaan usaha antara peternak dengan investor
Investor mengontrol ternaknya ke kandang dan menanyakan perkembangan ternaknya melalui media elektronik, namun belum ada pendampingan berupa pengetahuan atau sarana produksi. Tidak ada unsur keterpaksaan dan pemerasan. Posisi investor tetap lebih tinggi dibanding peternak (Patron- Client).
3 Penjualan cempe Peternak selalu melapor dan melakukan
izin terlebih dahulu melalui investor waktu anakan atau cempe akan segera dijual. Peternak menjual anakan ke pasar ataupun ke anggota kelompok yang merupakan pedagang kambing.
4 Penerimaan Penerimaan peternak dari bagi hasil
penjualan per ekor sampai cempe dijual umur 6 bulan antara Rp 600.000 - Rp 900.000.
56
Pelaksanaan pola bagi hasil anakan dengan sistem gaduhan yang dijalankan
selama ini sudah sesuai dengan aturan bagi hasil kelompok. Masing-masing pihak
selama ini sudah mematuhi aturan pembagian hasil dari kelompok yaitu 60:40
sehingga pembagian hasilpun dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh
pengurus kelompok. Hal ini dapat dilihat dari adanya kewajiban anggota untuk
memberikan 1% hasil penjualan kepada kelompok.
Kebersamaan usaha antara peternak dengan investor yang dijalankan selama
ini kurang baik dari segi pendampingan investor baik berupa pengetahuan maupun
sarana produksi, namun investor yang mengerti mengenai ternak terkadang
memberikan obat-obatan dan vitamin. Seperti yang diungkapkan oleh dua
informan :
“Tergantung dari investor, jika investor mengetahui seputar kambing akan
memberikan pendampingan dan arahan, perjanjian di awal biaya pakan
ditanggung peternak terkadang investor datang memberi obat-obatan dan
vitamin, perhatian dari investor memang ada, tetapi kalau investor tidak
mengetahui tentang kambing biasanya diserahkan kepada peternaknya.” (T,44
Tahun)
“Investor tidak memberikan pendampingan berupa pengetahuan karena mereka
biasanya tidak mengetahui soal ternak karena yang mengetahui keadaan ternak
dari peternaknya , saya hanya bercerita seputar ternak jadi mereka tertarik ingin
bekerjasama. (W, 45 Tahun)
Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan salah satu investor bahwa sarana
produksi berupa pakan dan obat-obatan disediakan oleh peternak.
“Pakan yang menyediakan adalah peternak, sejak saya menggaduhkan disini
kambing jarang sakit, kalau sakit peternak yang mengobati” (R, 45 Tahun).
57
Investor yang berdomisili di sekitar wilayah Yogyakarta berkunjung ke
kandang untuk melihat keadaan ternaknya setiap sebulan sekali kalaupun tidak
dapat mengontrol ternaknya ke kandang, Investor menghubungi peternak melalui
media elektronik dan menanyakan perkembangan kambingnya, seperti yang
diungkapkan oleh salah satu informan :
“Investor yang dekat dari sini sering mengontrol ke kandang seminggu sekali
atau sebulan sekali, tetapi investor yang jauh dapat komunikasi lewat telepon
sebulan dua kali menanyakan perkembangan kambingnya”( H, 36 Tahun).
Penjualan anakan dilakukan enam bulan atau setahun sekali tergantung
kebutuhan masing-masing kedua belah pihak. Beberapa peternak ada yang
membeli hasil gaduhan kemudian dipelihara sampai hari raya Idul Qurban karena
harga jauh lebih tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu Informan :
“Hasil gaduhan berupa cempe, Saya beli dan dipelihara lagi untuk dijual sewaktu
hari raya qurban karena harganya Rp 2.500.000-2.800.000”. (W, 45 Tahun).
Penjualan anakan dilakukan atas izin investor dengan peternak, terlebih dahulu
peternak memberitahu investor mengenai rencana penjualan. Peternak mencari
informasi harga cempe yang akan dijual. Setelah mendapatkan informasi harga
kambing, peternak melakukan kesepakatan mengenai harga jual kepada investor.
Peternak menjual cempe ke pasar ataupun ke anggota kelompok yang merupakan
pedagang kambing. Dalam hal penjualan dan pemasaran investor menyerahkan
kepada peternak.
Harga jual tergantung umur cempe dan bobot badan, peternak menjual cempe
ketika harga kambing tinggi, namun rata-rata peternak menjual cempe umur 6
bulan dengan harga Rp 1.000.000 - Rp. 1.500.000,-. Pembayaran hasil penjualan
cempe dilakukan peternak kepada investor dengan bertemu di kandang ataupun
58
transfer ke rekening investor. Peternak wajib membayar iuran 1% dari hasil
penjualan anakan pada kelompok untuk kegiatan kelompok.
Penerimaan peternak dari bagi hasil penjualan cempe per ekor sampai dijual
umur 6 bulan antara Rp 600.000 - Rp 900.000 sedangkan Investor antara Rp
400.000 - Rp 600.000. Menurut Ibrahim (2009) bahwa PBP (Payback Periode)
adalah jangka waktu tertentu yang menunjukkan terjadinya arus penerimaan (cash
in flows) secara kumulatif sama dengan jumlah investasi dalam bentuk present
value. Analisis payback periode dalam studi kelayakan perlu diperhitungkan
untuk mengetahui berapa lama proyek atau usaha yang dikerjakan baru dapat
mengembalikan investasi. Secara singkat, formula untuk menghitung Payback
Periode yaitu:
𝑃ayback 𝑃eriode =
Payback Periode =
= 25 bulan atau 2 tahun 1 bulan
Berdasarkan perhitungan PBP (Payback Periode) diatas, lamanya usaha hingga
investasi atau modal dapat kembali yaitu 25 bulan atau 2 tahun 1 bulan dari 1 ekor
induk dengan 2 ekor cempe/ kelahiran.