ISSN 0216-9169 - · PDF file29 KAJIAN BIOLOGI LEBAH TAK BERSENGAT (APIDAE : TRIGONA ) DI...
Transcript of ISSN 0216-9169 - · PDF file29 KAJIAN BIOLOGI LEBAH TAK BERSENGAT (APIDAE : TRIGONA ) DI...
Fauna Indonesia merupakan Majalah llmiah Populer yang diterbitkan oleh
Masyarakat Zoologi Indonesia (MZI). Majalah ini memuat hasil pengamatan
ataupun kajian yang berkaitan dengan fauna asli Indonesia,
diterbitkan secara berkala dua kali setahun
ISSN 0216-9169
Redaksi
Mohammad Irham
Pungki Lupiyaningdyah
Nur Rohmatin Isnaningsih
Conni Margaretha Sidabalok
Sekretariatan
Yulianto
Yuni Apriyanti
Alamat Redaksi
Bidang Zoologi Puslit Biologi - LIPI
Gd. Widyasatwaloka, Cibinong Science Center
JI. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong 16911
TeIp. (021) 8765056-64
Fax. (021) 8765068
E-mail: [email protected]
Foto sampul depan :
Meloidogyne incognita - Foto: Kartika Dewi
PEDOMAN PENULISAN
Redaksi FAUNA INDONESIA menerima sumbangan naskah yang belum pernah diterbitkan, dapat
berupa hasil pengamatan di lapangan/ laboratorium atau studi pustaka yang terkait dengan fau-
na asli Indonesia yang bersifat ilmiah popular.
Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan summary Bahasa Inggris maksimum 200 kata
dengan jarak baris tunggal.
Huruf menggunakan tipe Times New Roman 12, jarak baris 1.5 dalam format kertas A4 dengan uku-
ran margin atas dan bawah 2.5 cm, kanan dan kiri 3 cm.
Sistematika penulisan:
a. Judul: ditulis huruf besar, kecuali nama ilmiah spesies, dengan ukuran huruf 14.
b. Nama pengarang dan instansi/ organisasi.
c. Summary
d. Pendahuluan
e. Isi:
i. Jika tulisan berdasarkan pengamatan lapangan/ laboratorium maka dapat
dicantumkan cara kerja/ metoda, lokasi dan waktu, hasil, pembahasan.
ii. Studi pustaka dapat mencantumkan taksonomi, deskripsi morfologi, habitat
perilaku, konservasi, potensi pemanfaatan dan lain-lain tergantung topik tulisan.
f. Kesimpulan dan saran (jika ada).
g. Ucapan terima kasih (jika ada).
h. Daftar pustaka.
5. Acuan daftar pustaka:
Daftar pustaka ditulis berdasarkan urutan abjad nama belakang penulis pertama atau tunggal.
a. Jurnal
Chamberlain. C.P., J.D. BIum, R.T. Holmes, X. Feng, T.W. Sherry & G.R. Graves. 1997. The use
of isotope tracers for identifying populations of migratory birds. Oecologia 9:132-141.
b. Buku
Flannery, T. 1990. Mammals of New Guinea. Robert Brown & Associates. New York. 439 pp.
Koford, R.R., B.S. Bowen, J.T. Lokemoen & A.D. Kruse. 2000. Cowbird parasitism in
grasslands and croplands in the Northern Great Plains. Pages 229-235 in Ecology and
Management of Cowbirds (J. N.M. Smith, T. L. Cook, S. I. Rothstein, S. K. Robinson, and
S. G. Sealy, Eds.). University of Texas Press, Austin.
c. Koran
Bachtiar, I. 2009. Berawal dari hobi , kini jadi jutawan. Radar Bogor 28 November 2009.
Hal.20
d. internet
NY Times Online . 2007.”Fossil &nd challenges man’s timeline”. Accessed on 10 July 2007
(http://www.nytimes.com/nytonline/NYTO-Fossil-Challenges-Timeline.html).
6. Tata nama fauna:
a. Nama ilmiah mengacu pada ICZN (zoologi) dan ICBN (botani), contoh Glossolepis incisus, na-
ma jenis dengan author Glossolepis incisus Weber, 1907.
b. Nama Inggris yang menunjuk nama jenis diawali dengan huruf besar dan italic, contoh Red
Rainbow&sh. Nama Indonesia yang menunjuk pada nama jenis diawali dengan huruf besar,
contoh Ikan Pelangi Merah.
c. Nama Indonesia dan Inggris yang menunjuk nama kelompok fauna ditulis dengan huruf
kecil, kecuali diawal kalimat, contoh ikan pelangi/ rainbowHsh.
7. Naskah dikirim secara elektronik ke alamat: [email protected]
i
KATA PENGANTAR
Fauna Indonesia edisi pertama di tahun 2013 menyambangi anda kembali dengan suatu perubahan, yaitu
majalah ini bersatu dengan induknya, Masyarakat Zoologi Indonesia (MZI), bersama dengan majalah ilmiah
Zoo Indonesia di website baru Masyarakat Zoologi Indonesia (www.MZI.or.id). Adanya publikasi Fauna
Indonesia di dalam MZI berarti majalah ini kembali kepada akar organisasi yang akan menggeliat menggaungkan
potensi dan konservasi fauna di Indonesia. Pembaca pun tidak hanya akan membaca artikel-artikel menarik
dalam edisi ini namun akan mengetahui juga organisasi dan aktifitas MZI.
Pada edisi ini ada tujuh artikel yang kami persembahkan kepada pembaca yang meliputi dunia
herpetofauna, moluska, serangga dan cacing endoparasit. Hal yang menarik untuk diperhatikan pada sajian ini
adalah sebagian memaparkan segi potensi pemanfaatan dari fauna lokal Indonesia. Artikel-artikel tentu saja akan
membuka wacana yang baik bagi kita untuk menguak lebih jauh lagi tentang besarnya manfaat fauna yang berada
di sekitar kita. Nilai-nilai ekonomis yang belum banyak terungkap dapat terinisiasi dari tulisan tersebut. Kita
berharap bahwa semakin banyak tulisan yang dapat membuka potensi-potensi tersembunyi dari fauna Indonesia.
Tentu saja ini akan memperkuat pemikiran bahwa mengapa konservasi satwa perlu dilakukan karena potensi
pemanfaatannya baik untuk pangan, kesenangan dan servis ekologi sangat dibutuhkan manusia.
Selamat membaca.
Redaksi
ii
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI ...................................................................................................................... i DAFTAR ISI .............................................................................................................................................. ii VOKALISASI ANAK BUAYA MUARA Crocodylus porosus ........................................................... 1 Hellen Kurniati INFORMASI BIOLOGI DAN PEMANFAATAN KERANG KEREK (Gafrarium tumidum) ................................................................................................................................. 5 Muhammad Masrur Islami MOLUSKA BAKAU SEBAGAI SUMBER PANGAN ................................................................... 12 Nova Mujiono PELUANG EKSPLORASI KERAGAMAN KEONG DARAT DARI PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA ............................................................................ 17 Heryanto MELOIDOGYNE INCOGNITA PADA KENTANG HITAM (SOLENOSTEMON ROTUNDIFOLIUS) ........................................................................................... 22 Kartika dewi & Yuni Apriyanti KAJIAN BIOLOGI LEBAH TAK BERSENGAT (APIDAE : TRIGONA) DI INDONESIA ....................................................................................................................................... 29 Erniwati JENIS-JENIS KURA-KURA AIR TAWAR YANG DIPERDAGANGKAN DI BANTEN .............................................................................................................................................. 35 Dadang Rahadian Subasli
29
KAJIAN BIOLOGI LEBAH TAK BERSENGAT
(APIDAE : TRIGONA) DI INDONESIA
Erniwati
Museum Zoologicum Bogoriense, Bidang Zoologi,Puslit Biologi—LIPI
Summary
Stingless bees are small bees with many benefits, but not familiar to most people. !ere are only few research has been done
on the bees. Stingless bees are distributed in both subtropic and tropic regions, with 50 species occur in Southeast Asia.
One common species is Trigona laeviceps Smith. !ey nest on the woods and some even in the residents at 0-1000 m asl.
!ey eat pollen and flower’s honey and use resin as their nest material. !is paper will discuss the general information about
this interesting stingless bee and also revealing their behavior and way of life.
PENDAHULUAN
Lebah tak bersengat (Stingless) merupakan salah
satu marga lebah sosial yang termasuk suku Apidae
(Gambar 1). Di Indonesia lebah tak bersengat dikenal
dengan beberapa nama tergantung daerahnya, antara
lain Teuwel (Jawa Barat) dan Klanceng (Jawa Tengah
dan Jawa Timur). Sementara itu di Sumatra Barat,
kelompok lebah ini disebut dengan Galo-galo.
Penyebaran lebah tak bersengat terdapat di
daerah tropik dan subtropik atau wilayah yang dilalui
Gambar 1. Lebah tak bersengat dari suku Apidae
garis khatulistiwa (Hubbel & Johnson 1977, Free
1993). Diperkirakan sekitar 200 jenis lebah tak
bersengat yang sudah diketahui terdapat di wilayah
tropik dan subtropik (Inoue et al. 1984), di kawasan
Asia Tenggara diketahui kira – kira terdapat 50 jenis
lebah tak bersengat (Sakagami 1982; Inoue et al.
1985). Sementara itu, di Indonesia masih belum
diketahui secara pasti berapa jumlah jenisnya.
Menurut Schwarz (1937) terdapat 31 jenis di
Kalimantan, 41 jenis di pulau Sumatra, dan 9 jenis di
pulau Jawa. Menurut ahli lebah tak bersengat
Sakagami, pada tahun 1987 jumlah jenis yang terdapat
di pulau Jawa sudah berkurang menjadi 6 yaitu
Trigona laeviceps, T. itama, T. drescheri, T. apicalis, T.
thoracica, dan T. terminata. (Sakagami et al. 1990).
Lebah tak bersengat berperan penting dalam
proses penyerbukan tanaman bunga. Proses
penyerbukan terjadi bila serbuk sari menempel pada
kepala putik. Serbuk sari yang menempel pada kepala
putik bisa jadi berasal dari bunga itu sendiri atau dari
Fauna Indonesia Vol 12 (1) Juni 2013: 29-34
30
bunga lain dari tanaman tersebut, bisa juga dari bunga
tanaman lain yang sejenis. Akan tetapi tidak semua
tanaman berbunga mampu melakukan penyerbukan
sendiri, oleh karena itu diperlukan perantara yang
dapat membantu terjadinya proses penyerbukan. Ada
beberapa perantara yang mampu membantu proses
penyerbukan yaitu : air, angin, serangga, burung dan
kelelawar (Crene & Walker 1984). Organisme
penyerbuk yang sering dijumpai di alam adalah
kelompok serangga, umumnya kelompok serangga
berbulu lebat yaitu kelompok lebah (Apidae).
Lebah tak bersengat merupakan salah satu
marga dari suku Apidae yang berperan sebagai
penyerbuk pada banyak jenis tanaman seperti
rambutan, mangga, durian, dan lainnya. Seiring
dengan lingkungan yang semakin rusak maka populasi
lebah ini semakin tertekan. Di sisi lain informasi
mengenai perbanyakan koloni masih sangat kurang
dan belum ada laporan pengelolaan penyerbukan
untuk intensifikasi pertanian dan penghasil madu.
Oleh sebab itu, informasi mengenai aspek-aspek
biologi lebah tak bersengat perlu dipahami sebagai
pengetahuan dasar pengembangan dan
pelestariannya .
Gambar 2. Morfologi lebah tak bersengat (Sakagami et al.
1990)
PENGENALAN MARGA TRIGONA
Secara umum lebah tak bersengat bertubuh
kecil, lebih kecil dari lalat rumah dan lebah madu atau
berkisar 2 mm – 8 mm, berwarna hitam, coklat muda
atau kekuningan (Eckert & Shaw 1977). Menurut
Salmah (1983), morfologi lebah tak bersengat adalah
kepala membesar kearah depan, matanya sempit ke
arah mandibula, mata majemuk (ocelli) membentuk
garis lurus pada vertek, antena filiform, toraks agak
membulat, abdomen pendek berbentuk oval, stigma
kecil, kakinya kuat dengan bagian ujung melebar dan
pipih serta berbulu. Badan dan kaki - kakinya
berbulu, bulu - bulu tersebut sangat bermanfaat untuk
membawa polen dan berpindah ke kepala putik dalam
proses penyerbukan pada tanaman.
Salah satu jenis lebah tak bersengat yang
umum dan dapat dijumpai diseluruh pelosok
Indonesia adalah Trigona laeviceps. Ciri cirinya
(Gambar 2) adalah tubuh berukuran kecil, ramping,
panjangnya 2,5 mm – 3,25 mm. Tubuh berwarna
coklat kehitaman, permukaan ventral abdomen
memiliki bulu – bulu berwarna keputihan. Bagian
vertek, mesonotum serta scutellum berbulu – bulu
berwarna hitam, terutama di pinggir bagian belakang
scutellum. Tarsusnya berbulu warna pucat, tetapi
permukaan basitarsi bagian belakang berwarna
kehitaman (Schwarz 1937)
Klasifikasi lebah tak bersengat T. laeviceps
menurut Michener (1974) adalah
Kelas : Insecta
Bangsa : Hymenoptera
Suku : Apidae
Anak suku : Apinae
Tribus : Meliponini
Marga : Trigona
Jenis : T. laeviceps Smith
SARANG DAN HABITAT
Lebah tak bersengat adalah makhluk sosial yang
hidup secara berkoloni. Di dalam satu sarang di
kepalai oleh ratu yang jumlahnya hanya satu dan
mempunyai pekerja yang membantu sang ratu dalam
mengerjakan dan memenuhi kebutuhan kehidupan
Fauna Indonesia Vol 12 (1) Juni 2013: 29-34
31
koloni. Lebah pekerja jumlahnya sangat banyak 300 –
80.000 individu, tergantung pada jenis dan umur
koloninya (Free 1982). Masing-masing individu
mempunyai tugas dan saling berhubungan. Ratu
bertugas hanya untuk bertelur, yang nantinya akan
menjadi lebah baru, untuk melanjutkan keturunannya,
menjadi pekerja yang bertugas mencari makanan, dan
lain-lain. Makanan berupa nektar dan polen
tumbuhan, serta resin dikumpulkan oleh lebah pekerja
secara gotong royong.
Gambar 3. Bentuk pintu sarang
Sarang terbuat dari material resin yang juga
berasal dari tumbuhan. Pintu sarangnya hanya ada
satu untuk masuk dan keluar-nya anggota koloni.
Pintu ini dihiasi dengan corong yang terbuat dari resin
dan memiliki bentuk yang bermacam-macam, ada
yang pendek dan ada yang panjang, tergantung
jenisnya (Gambar 3). Struktur sarang lebah tak
bersengat berbeda-beda bergantung pada tingkat
evolusinya. Menurut Salmah (1983), sarang terbagi
tiga bagian, yaitu bagian tempat anakan, tempat
nektar atau madu, dan tempat polen yang disebut sel.
Susunan sel di dalam sarang terdiri dari 2 tipe yaitu
Cluster (susunan sel tidak teratur) (Gambar 4.) dan
Gambar 3. Komposisi sarang Trigona laeviceps dari Sukabumi
susunan sel berbentuk Comb (susunan sel yang teratur
seperti sisir).
Menurut Michener (1974) tipe sarang T.
laeviceps adalah antara bentuk Cluster dan bentuk
Comb. Umumnya lebah tak bersengat banyak dijumpai
hidup di hutan – hutan, namun beberapa jenis telah
beradaptasi di daerah hutan terbuka, padang rumput,
dan bahkan sudah banyak dijumpai di pemukiman
(Inoue et al. 1984). Lebah tak bersengat bersarang
pada rongga batang pohon yang sudah mati atau pada
sarang rayap dan semut yang sudah tidak terpakai
(Michener 1974, Sakagami 1982). Selain itu sarang T.
laeviceps sering dijumpai di daerah pemukiman
penduduk di Jawa, menempati rongga – rongga bambu
penyangga atap atau dinding rumah, rongga – rongga
pada celah pintu, tepi – tepi lantai, tepi jendela, pada
tembok batu, dan rongga di bawah pot bunga
(Hambali 1979 ; Erniwati & Ubaidillah 2012).
KEGUNAAN DAN POTENSI
Di beberapa negara, pengelolaan lebah sosial
untuk tujuan komersil telah lama dilakukan.
Pembudidayaan lebah ada yang bertujuan untuk
mendapatkan madu yang dihasilkannya, ada juga yang
bertujuan untuk membantu penyerbukan pada suatu
tanaman perkebunan, atau untuk keduanya.
Banyaknya jenis dan luasnya sebaran lebah tak
bersengat membuatnya banyak dimanfaatkan sebagai
penyerbuk tanaman yang mempunyai nilai ekonomi.
Di Australia bagian Utara, lebah tak bersengat
digunakan untuk penyerbukan tanaman mangga
(Mangifera indica) (Anderson et al. 1982). Schwarz
(1948) melaporkan di Mexico, Amerika Tengah dan
Guiana Prancis sudah lama memanfaatkan lebah tak
bersengat sebagai peningkatan hasil panen vanila
(Vanilla planifolia). Di Brasil, Brantjes (1981)
melaporkan tentang peranan lebah tak bersengat
sebagai penyerbuk kluwih (Arthocarpus artilis). Di
Indonesia, budidaya lebah madu sudah populer dan
banyak yang melakukannya. Tetapi untuk lebah tak
bersengat masih terbatas pemanfaatannya karena
Fauna Indonesia Vol 12 (1) Juni 2013: 29-34
32
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang lebah ini.
Di beberapa negara, eksplorasi, penelitian, dan
studi terhadap lebah tak bersengat cukup
mendapatkan ruang dan perhatian penting, hal itu
terlihat dari banyaknya publikasi ilmiah baik berupa
jurnal, buletin, artikel maupun buku. Hasil dari
eksplorasi tersebut kemudian dijadikan rujukan oleh
seluruh masyarakat dunia dalam melestarikan dan
mengusahakan lebah tak bersengat sebagai salah satu
hewan yang layak diternakkan
Selain sebagai penyerbuk penting bagi
tanaman bernilai ekonomi seperti buah-buahan, lebah
tak bersengat juga berperan penting dalam
penyerbukan tumbuh-tumbuhan yang terdapat di
hutan sehingga membantu dalam regenerasi hutan
tersebut. Lebah tak bersengat juga penghasil polen,
madu, dan propolis. Menurut informasi yang
diperoleh bahwa propolis lebah tak bersengat adalah
yang terbaik. Di tingkat peternak harga per kg propolis
mencapai Rp. 700.000 dan polen Rp 50.000 (Trubus
2010).
KESIMPULAN
Lebah tak bersengat merupakan salah satu
jenis lebah sosial yang banyak manfaatnya, antara lain
sebagai : agen penyerbukan untuk berbagai jenis
tanaman, penghasil madu dan propolis. Usaha
manajemen penyerbukan yang memerlukan
pengembangan lebah tak bersengat di Indonesia masih
sangat kurang. Oleh karenanya dukungan dan
perhatian dari lembaga pemerintah sangat diperlukan
untuk mengembangkan penelitian tentang lebah tak
bersengat secara menyeluruh, terutama tentang
perilaku, metode budidaya yang disesuaikan dengan
kondisi lingkungan serta pemilihan jenis yang cocok
untuk diternakkan.
PUSTAKA
Anderson, D.L., M.Sedgley., J.R.T. Short & A.J.
Allwood.1982. Insect pollination of
manggo in Northern Australia. Aust. J. Res.
33:541 – 548.
Brantjes, N.B.M. 1981. Nectar and pollination of
bread fruit Artocarpus altilis Moraceae).
Acta. Bot. Neerl. (4): 345-352.
Crane, E & P. Walker. 1984. Pollination directory for
world crops. International Bee Research
Association. London: 183 pp.
Eckert, J.E. & F.R. Shaw. 1977. Beekeeping. Mac
Millan Publishing Co Inc, New York: ix + 536
pp.
Erniwati dan R. Ubaidillah. 2012. Pola distribusi
serangga berguna untuk tanaman pertanian di
kawasan penyangga Gede Pangrango, Jawa
Barat. Prosiding Kongres
Entomologi Indonesia VIII. Bogor, PEI pusat (In
Press).
Free, J.B. 1982. Bees and mankind. George Allen &
Unwin, London: xi + 455 pp.
Free, J.B. 1993. Insect pollination of crops. Academic
Press, London: 544 pp
Hambali, G.G. 1979. Potensi lebah getah Trigona.
Dalam Kongres Nasional Biologi IV.
Perhimpunan Biologi, Indonesia Bandung : 1
– 10
Hubbel, S.P. & L.K. Johnson. 1977. Competition and
nest spacing in a tropical stingless bees
community. Ecology (58): 949 – 963.
Inoue, T., S.F. Sakagami., S. Salmah & S. Yamane.
1984. !e process of colony multiplication in
the Sumatran stingless bees Trigona
(Tetragonula) laeviceps.
Fauna Indonesia Vol 12 (1) Juni 2013: 29-34
33
Biotropica 16(2): 100 – 111.
Inoue, T., S.salmah, I. Abbas & Erniwati Y. 1985.
Foraging behaviour of individu workers and
foraging dynamic of colonies of three
Sumatran stingless bees. Res. Popul.Ecol. 27
(2): 373 – 392.
Michener, C.D. 1974. -e social behavior of the bees : A
comperative study. !e Belknap Press
Of Havard University Press, Cambridge: xii
+ 312pp.
Sakagami, S.F., T. Inoue, S. Salmah. 1990. Stingless
bees of Central Sumatra. In: Ohgushi R.,
Sakagami, S.F. and Roubik, D. W. (Eds).
Natural History of Social bees in Equatorial
Sumatra. Hokaido University Press, Japan.
125 – 137 p
Sakagami, S.F. 1982. Stingless bees. In: H.R. Herman
(ed). 1982. Social Insects. Academic Press,
New York.
Salmah, S. 1983. Aspek morfologi dan ekologi lebah
tak bersengat Trigona (Tetragonula) laeviceps
Smith di Sumatra Barat. In: Prosiding
Kongres Entomologi II, Jakarta.
Schwarz, H.F. 1937. !e Indo-Malayan species of
Trigona. Bull. Am. Mus. Nat. Hist (76):
83 – 141.
Schwarz, H.F. 1948. Stingless bees (Meliponinae) of
the Western Hemisphere. Bull. Am. Mus.
Nat. Hist. 90: xviii + 546 pp
Majalah Trubus No.490 tahun 2010.
Erniwati
Museum Zoologicum Bogoriense
Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI
Gd. Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta – Bogor KM. 46
Cibinong 16911
Email: [email protected]
Fauna Indonesia Vol 12 (1) Juni 2013: 29-34
34
Tabel 1. Jenis - jenis lebah tak bersengat yang terdapat di Indonesia
No.
Spesies
Sulawesi Kalimantan Jawa Sumatra
1 Trigona (Heterotrigona) iridipennis Frederick Smith X X X
2 Trigona laeviceps Frederick Smith X X X X
3 Trigona (Geniotrigona) thoracica Frederick Smith X X X
4 Trigona borneensis Friese X
5 Trigona collina Frederick Smith X X
6 Trigona (Heterotrigona) apicalis Frederick Smith X X X
7 Trigona canifrons Frederick Smith X X
8 Trigona (Tetragonula) atripes Frederick Smith X X
9 Trigona nitidiventris Frederick Smith X X X
10 Trigona (Lepidotrigona) ventralis Frederick Smith X X
11 Trigona (Lepidotrigona) terminata Frederick Smith X X
12 Trigona peninsularis Cockerell X
13 Trigona apicalis var binghami Herbert F Schwarz X
14 Trigona (Sundatrigona) moorei Herbert F Schwarz X X
15 Trigona melina Gribodo X X
17 Trigona fuscobalteata Cameron X X X
18 Trigona sapiens Cockerell X
19 Trigona (Heterotrigona) itama Cockerell X X X X
20 Trigona reepeni Friese X
21 Trigona (Tetragonula) geissleri Cockerell X
22 Trigona (Heterotrigona) melanoleuca Cockerell X
24 Trigona sarawakensis Herbert F Schwarz X
25 Trigona (Tetragona) fuscobalteata var pagdeni Herbert F Schwarz X
25 Trigona (Tetragonula) minangkabau Sakagami and Inoue X
26 Trigona (Heterotrigona) incisa Sakagami and Inoue X X
27 Trigona (Lepidotrigona) trochanterica X
28 Trigona drescheri Schwarz X X
29 Trigona (Homotrigona) fimbriata Smith X X
30 Trigona (Trigonella) lieftincki Sakagami & Inoue X
31 Trigona fuscibasis Cockerell X X
32 Trigona rufibasalis Cockerell X
33 Trigona melanocephala Cribodo X
34 Hypotrigona (Pariotrigona) pendleburyi Schwarz X X
35 Trigona scintillans Cockerell X X
36 Trigona erythrogastra Cameron X
37 Trigona (Odontotrigona) haematoptera Cockerell X
38 Trigona (Platytrigona) hobbyi Schwarz X
(Sumber: dari Koleksi Museum Bogoriense ; Sakagami et al. 1990)