Ekonomi Islam, Kelembagaan, dan Konteks Keindonesiaan Dari ...
Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …
Transcript of Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …
Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 255
Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI
Ahmad Fithonik Ibnu Malik1 1 Madrasah Diniyah Darussalamah, sumbersari kencong kepung, Kabupaten Kediri,
Jawa Timur, 64293, Indonesia.
Email: [email protected]
Abstrak: Wajah Islam di berbagai belahan dunia kadang terlihat keras dan bahkan
arogant. Hal ini berbeda dengan Islam di Indonesia yang cenderung ramah, ini
menunjukkan bahwa Islam di Indonesia masih tetap dapat dinilai sebagai Islam yang
moderat. gambaran Islam yang ramah ini sempat terganggu dengan adanya gerakan
radikal. Dalam hal ini, Muhammadiyah dan Nahdlotul Ulama adalah dua organisasi
yang menjadi penjaga moderatisme Islam di Indonesia. Meskipun keduanya banyak
perbedaan, namun di sisi lain juga banyak persamaan, terlebih dalam menjaga
keutuhan NKRI. Dalam penelitin ini akan disajikan berbagai aspek persamaan dan
perbedaan dari NU dan Muhammadiyah serta berbagai perjuangannya dalam
menjaga keutuhan dan kesatuan NKRI.
Kata Kunci: NU, Muhammadiyah, Perjuangan.
1. Pendahuluan
Nahdlotul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, adalah dua organisasi
keagamaan yang terbentuk pada awal abad ke-20, tampak peranannya dalam
perjuangan usaha mempertahankan kemerdekaan. Baik secara keorganisasian
maupun individu tokohnya dapat dilihat andil mereka, baik pada masa
prakemerdekaan maupun pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dan sejak
berdiri sampai perjalanan yang mengiringinya, baik Nahdatul Ulama (NU) maupun
Muhammadiyah tampak sekali kontribusinya bagi bangsa Indonesia.
Dari NU tampak kontribusinya terhadap berdirinya bangsa Indonesia,
kendati awal berdirinya diketahui sebagai respon dari berdirinya organisai
Muhammadiyah. Sebagaimana dikatakan, bahwa NU didirikan oleh KH. Hasyim
Asyári yang menyaksikan posisi mereka terancam dengan munculnya Islam
reformis dan radikal seperti Wahhabi. Pengaruh muhammadiyah dan Sarekat Islam
di dalam negeri dan aliran Wahhabi diluar negeri yang semakin meluas telah
memarjinalisasikan Kiai Hasyim, yang sebelumnya merupakan satu-satunya
pemimpin dan juru bicara komunitas muslim, dan selain itu ajaran kaum pembaru
sangat melemahkan legitimasi mereka. Oleh karena itu, NU didirikan untuk
mewakili kepentingan-kepentingan kiai, visualisasi vis a vis pemerintah dan juga
kaum pembaru dan untuk menghambat perkembangan organisasi-organisasi yang
hadir lebih dulu [1, pp. 21–22].
Karena tuntutan zaman pada waktu itu, NU pun selanjutnya banyak andil
dalam perjuangan kemerdekaan. Misalnya, sebagaimana telah disinggung, NU
banyak andil dalam badan perjungan Hizbullah dan Sabilillah. Andree Feillard
mengungkapkan, sejak September 1945, pasukan Inggris mendarat di Jawa,
mewakili sekutunya, Belanda, yang berusaha menanamkan kembali kekuasaannya
di Hindia Belanda. Jakarta, Bandung, dan Semarang telah jatuh ke tangan mereka
256 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
dan kedatangan mereka di tunggu di Surabaya. Menghadapi ancaman ini, para
ulama NU berkumpul pada tanggal 22 Oktober 1945 dan menyatakan Perang Jihad
melawan sekutu Inggris-Belanda. Sementara itu, pesantren-pesantren sering
dijadikan tempat berlindung dan berkumpul pasukan Hizbullah dan Sabilillah.
Dan dari Muhammadiyah, yang sejak berdiri memang tidak campur tangan
dalam politik melawan kolonial, meskipun para anggotanya banyak yang terlibat,
juga banyak berkontribusi dalam perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia.
Meskipun pada dasarnya di sekolah-sekolah Muhammadiyah, perasaan anti
kolonialisme Belanda disimpan secara rahasia namun efektif. karena Belanda tidak
mencurigai bahwa gerakan Muhammdiyah ini berbahaya [2, p. 66].
Deliar Noer mencatat, bahwa organisasi Muhammadiyah didirikan dengan
maksud menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. kepada
penduduk bumiputra dan memajukan hal agama Islam kepada anggotaanggotanya.
Untuk mencapai tujuan ini, maka organisasi ini bermaksud mendirikan lembaga-
lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tablig yang di dalamnya dibahas
dan dibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta
menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat-surat kabar dan majalah-majalah [3,
p. 86].
Menurut Syafii Maarif, Muhammadiyah mengambil alih sistem pendidikan
Barat berupa sistem klasikal tanpa rasa beban. Pada pusat-pusat pendidikan
Muhammadiyah, apa yang disebut disiplin-disiplin sekuler juga diajarkan, hanya
saja dicoba diintegrasikan dengan ajaran Islam, sekalipun belum berhasil semua
secara teori. Dengan cara ini, Muhammadiyah berharap, setidak-tidaknya dalam
jangka panjang, akan mampu menciptakan pribadi-pribadi muslim yang utuh, yaitu
semacam kombinasi antara seorang alim dan seorang intelektual [2, p. 67].
2. Metode
Artikel ini ditulis dengan kajian pustaka. Karena kajian ini bersifat pustaka,
untuk itu dalam seluruh prosesnya dari awal hingga akhir penelitian, penulis
menggunakan berbagai macam pustaka yang relevan untuk menjawab
permasalahan yang dicermati. Sementara itu, penelitian kajian pustaka merupakan
penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian
pustaka dan hasil olah pikir peneliti mengenai topik atau masalah kajian, dimana
memuat beberapa gagasan atau proposisi yang berkaitan yang harus didukung oleh
data yang diperoleh dari sumber pustaka. Obyek penelitian adalah komponen-
komponen dan pengembangan kurikulum Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif analitik dengan menerapkan analisa konten
sebagaimana yang digagas oleh Shelley dan Krippendorff yaitu teks, mengajukan
pertanyaan riset, memahami konteks, menganalisa konstruks, melakukan inferensi
dan validasi data.
3. Hasil
Tahun 1926 M menjadi tahun mahapenting bagi ulama pesantren. Jam'iyah
Nahdlotul Ulama (NU) berdiri dan memulai program kegiatannya. Kegiatam yang
bersifat keagamaan dan kemasyrakatan. Bahkan, dedikasi nasionalisme kalangan
pesantren semakin kuat. Maklum, pada masa berdirinya NU, tahun 1926 M itu
Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 257
nusantara dalam kungkungan penjajah Belanda. KH Hasyim Asy'ari adalah tokoh
yang gencar melakukan perlawanan terhadap Penjajah di Indonesia. Terbentuknya
organisasi NU setidaknya menjadi wadah negosiatif dengan tanggungjawab besar
membebaskan belenggu penjajahan. Yang terpenting, NU dalam sejarahnya
termasuk organisasi besar yang ikut menjaga perjalanan kedaulatan negara
kesatuan republik Indonesia (NKRI).
Kelahiran Jamiyah Nahdlotul Ulama (NU) tidak bisa lepas dengan sosok
KH. Hasyim As'ari. Beliau tercatat salah satu dari sejumlah Kiai yang
memprakarsai lahirnya organisasi Nahdlotul Ulama. Ada dua orang Kiai
kharismatik lagi yang dianggap sebagai lokomotor lahirnya jamiyah berfaham
ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) ini. Beliau berdua adalah Kiai Wahab Hasbullah
dan Kiai Moh. Kholil [4, p. 59]. Sebelum tercetus nama Jamiyah Nahdlotul Ulama,
para Kiai berfaham Ahlussunah Wal Jamaah memimiki perkumpulan komite Hijaz.
Komite Hijaz didirikan oleh Kiai pesantren karena merasa 'diabaikan' oleh
pemerintah pada saat ini. Salah seorang ulama dari barisan kiai pesantren, Kiai
Wahab Hasbullah tidak bisa ikut serta ke kerajaan Arab karena dianggap tidak
memiliki organisasi. Padahal, suara Kiai pesantren pada saat itu hanya untuk
menyampaikan komitmen menjaga kelurusan bermadzhab dan menolak kebijakan
kerajaan Arab Saudi yang dianggap kurang professional [5, p. 9].
Peran NU dalam membangun karakter umat dan bangsa dapat dilihat dari
berbagai lembaga dan ruang yang digunakannya dalam mendidik masyarakatnya.
NU tidak hanya memainkan peran membangun karakter bangsa lewat pendidikan
formal saja. NU juga memaksimalkan jalur pendidikan informal baik masjid,
mushalla, dan rumah-rumah anggotanya atau simpatisannya. Berikut ini sarana
yang menjadi tempat NU dalam membangun dan mempertahankan karakter bangsa
Indonesia yang Islamized:
1) Pesantren
Ada 5 elemen penting sebuah pesantren dikatakan pesantren NU, lima
elemen tersebut antara lain: Kyai, Santri, Pondok, Masjid dan Kitab Kuning
[6, p. 25]. Dari kelima elemen tersebut, biasanya, Kitab Kuning dijadikan
elemen yang membedakan pesantren NU atau bukan.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pesantren adalah basis pergerakan
dan kaderisasi NU. Meskipun pesantren ada sebelum NU didirikan akan
tetapi NU adalah organisasi Islam yang sangat peduli akan keberlangsungan
pesantren di Indonesia selama ini. Sehingga NU lebih diidentikan dengan
kaum tradisional ketimbang Muhammadiyah dalam hal pemilihan pesantren
sebagai bentuk dan substansi pendidikan NU [7, p. 66]. Kelahiran NU juga
dianalisa sebagai kebangkitan Kyai, Santri dan Pesantren.
2) Madrasah
Keberadaan madrasah sangat akrab dengan keberadaan NU sendiri
ketimbang ormas-ormas Islam lainnya. Tipologi madrasah dan
perkembangannya sampai saat ini merupakan bukti bahwa madrasah sangat
dekat dengan kalangan nahdliyyin, meskipun seluruhnya bukan monopoli
NU. Karena Muhammadiyah, al Irsyad, Perhimpunan Umat Islam dan Persis
juga memiliki madrasah baik Diniyah, Awaliyah, Ibtida’iyah, Tsanawiyah
dan Aliyah.
258 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
3) Perguruan Tinggi
NU sudah terkenal dengan pesantrennya yang saat ini jumlahnya
sekitar 10 ribu atau madrasahnya yang jumlahnya sekitar 12 ribu. Namun
harus diketahui NU juga telah merambah ke perguruan tinggi yang berlabel
universitas. Tercatat hingga kini lebih dari 26 Universitas Nahdlotul Ulama
(UNU) telah berdiri di beberapa provinsi dan kota di pulau Jawa. UNU juga
sudah merambah ke pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Menurut Sekretasi Jenderal Pengurub Besar Nahdlotul Ulama (PBNU)
Helmy Faishal Zaini jumlah tersebut belum termasuk perguruan tinggi yang
tidak ada label NU seperti Darul Ulum, Diponegoro, dan lainnya yang
mencapai 130 unit. Perguruan tinggi NU terus focus pada kualitas ketimbang
kuantitas. Dalam misinya, NU memberikan perhatian pada pemberian
landasan moral dan spiritual untuk mencapai pembangunan mahasiswa
seutuhnya.
4) Tarekat
Hubungan NU dengan tarekat sebagaimana kedekatan pesantren
dengan tasawuf. Tarekat berbeda dengan pesantren karena ada dua hal yang
terdapat dalam tarekat: pertama, menjalankan amalan seperti wirid atau zikir
secara bebas; kedua, mengikuti sebuah kelompok tarekat tertentu dan
menjalankan wirid sesuai dengan yang telah ditentukan dalam tarekat
tersebut. Pada point kedualah yang membedakan tarekat dengan pesantren
meskipun ada pesantren yang beraliran tarekat tertentu namun pesantren
yang tidak beraliran tarekat lebih dominan.
5) Masjid
Pada awalnya masjid digunakan sebagai pusat kegiatan kaum
muslimin baik untuk pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian,
kegiatan administrasi dan kultural. Bahkan ketika belum ada madrasah
masjid merupakan tempat representatif dalam menyelenggarakan pendidikan
[6, p. 33]. Nampaknya, NU masih meneruskan tradisi tersebut meskipun
tidak menolak pembaharuan pendidikan. Hal itu terlihat dalam pemanfaatan
masjid di kalangan warga NU tidak hanya untuk sholat lima waktu atau
shalat jum’ah saja. Warga NU juga memanfaatkan masjid sebagai tempat
belajar ilmu-ilmu keIslaman ketika madrasah, sekolah dan perguruan tinggi
tidak dapat meyediakan bangku untuknya atau ketika kesibukan tidak
memungkinkan untuk dapat duduk dibangku tersebut. Adapun bentukbentuk
kegiatan di masjid basanya bersifat tahunan namun juga ada yang bersifat
usbu’iyah. Rajaban, peringatan maulid, peringatan Muharram, lebaran anak
yatim adaah bentuk-bentuk agenda tahunan sedang pengajian kitab kuning
seperti seperti sullam taufiq, safinatun najah dan lain-lain merupakan
kegiatan usbu’iyah.
6) Musholla
Berbeda dengan masjid mushalla tidak digunakan untuk sholat jum’at
dan shalat ’Idain. Akan tetapi mushalla tidak lepas dijadikan sebagai tempat
pengajaran ilmu-ilmu keislaman dalam tradisi NU. Disamping digunakan
untuk rajaban dan maulidan untuk tingkat RT atau antar RT, di mushalla
juga biasanya diadakan pengajian tiap pekan dan ada juga yang digunakan
Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 259
tempat untuk belajar mengaji anak-anak yang biasanya digerakkan oleh
guru-guru yang masih muda.
7) Majlis Ta’lim
Majlis Ta’lim berawal dari pemberian pengajian yang dilakukan di
masjid-masjid di sekitar Jakarta yang dilakukan oleh KH. Abdullah Syafi’i.
Model yang dilakukan oleh KH. Abdullah Syafi’i kemudian mengalami
perkembangan yang pesat di tanah air yang kemudian biasa disebut Majlis
Ta’lim. Pesatnya perkembangan majlis ta’lim di tanah air memunculkan
badan yang mengatur majlis tersebut yang dikenal dengan BKMT (Badan
Kontak Majlis Ta’lim) yang seluruhnya adalah dari kalangan kaum hawa.
Melihat latar belakang kemunculannya, kehadiran majlis ta’lim tidak
lepas dari peran Kyai NU, paling tidak sepaham dengan NU, dan para
pengikutnya yang keseluruhan adalah nahdliyyin dan pengajiannya pun
berpaham NU.
8) Rumah
Rumah kyai atau guru dan warga NU juga tidak lepas dari sarana
memberikan pendidikan. Banyak para kyai atau guru menjadikan rumah dan
pelatarannya sebagai sarana penyiraman ruhani begitu juga rumah warga
NU. Biasanya ada pengajian tiap pekan yang berbentuk arisan pengajian atau
bentuk lain. Paling tidak rumah warga NU pasti menjadi tempat tahlilan atau
maulidan dimana sang guru tidak hanya membaca surat Yasin, do’a dan
Rawi saja akan tetapi juga ada yang bersifat tuntunan atau ajaranajaran Islam
dalam hidup dan tujuan hidup.
Jika menengok awal kemunculan NU, tujuan dan maksud NU dalam
Anggaran Dasar 1926 adalah ”berikhtiyar memperbanyak madrasah-
madrasah yang berdasarkan agama Islam” dan ”memperhatikan hal-hal yang
berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau dan pondok-pondok, begitu
juga dengan hal ihwalnya anak-anak yatim dan orang fakir miskin” [8, p.
181]. Dari kata-kata tersebut NU dapat diambil kesimpulan bahwa NU
merupakan organisasi kemasyarakatan yang mementingkan pendidikan dan
pengajaran Islam untuk bangsa Indonesia kedepan. Bahkan dalam
pergerakannya NU menitikberatkan pada bidang pendidikan disamping
sosial dan perekonomian. Maka pada akhir tahun 1356/1938 komisi
perguruan NU sudah melakukan pembaruan pendidikan dengan tetap
melestarikan pendidikan ala pesantren [9, p. 122] dengan mengeluarkan
reglement tentang susunan madrasah-madrasah NU yang harus dijalankan
mulai 2 Muharram 1357. Susunannya adalah sebagai berikut:
a) Madrasah Awaliyah, lama belajar 2 tahun.
b) Madrasah Ibtidaiyah, lama belajar 3 tahun
c) Madrasah Tsanawiyah, lama belajar 3 tahun
d) Madrasah Mu’allimin ’Ulya, lama belajar 3 tahun [10, p. 269].
Para ulama dan para kiai mempunyai pengaruh yang sangat besar,
terlebih karena sifat pendidikan agama di pesantren, pondok yang mengarah
pada orientasi vertikal kalangan santri kepada para gurunya yang dalam
filosofis diartikan harus di“gugu” dan di”tiru” menyebabkan pengaruh
kewibawaan para ulama dan kiai sangat besar. Karena itulah, dalam
260 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
menjangkau perspektif pembangunan politik di Indonesia dalam arti yang
seluas-luasnya, para ulama sangat berperan penting dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara [11, p. 238].
Adapun komitmen NU dalam bidang pendidikan ketika menjadi partai
politik dan aktif dalam kegiatan politik praktis masih tetap menjadikan
pendidikan sebagai bagian dari gerakannya, setidaknya kata-kata
”mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran Islam” masih tercantum
dalam Anggaran Dasarnya. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri merebaknya
kekhawatiran perlakuan diskriminatif menghantui lembaga pendidikan NU.
Alhasil, banyak warga NU yang mendirikan lembaga pendidikan enggan
menggunakan label NU, bahkan tidak sedikit yang menarik dari
keorganisasian NU karena rasa takut terhadap kegiatan politik radikal yang
dilakukan NU pada tahun 1970-an dan itu sangat menghantui di bidang
pendidikan. Takut akan mendapatkan perlakuan diskriminatif. Oleh karena
itu, istilah Madrasah Ibtida’iyah NU (MINU), sekolah NU mereka rubah
dengan nama-nama yang tidak mencolok seperti sekolah ”Wahid Hasyim”.
Begitu juga Universitas NU di Malang diberi nama ”Universitas Sunan Giri”
[12, p. 304].
4. Pembahasan
A. NU dan Kemerdekaan NKRI
Belanda sebagai bangsa yang paling lama menguasai bangsa Indonesia
sudah melakukan banyak kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan rakyat
Indonesia [13, p. 29]. Sikap kolonial Belanda telah menumbuhkan benih-benih
ketidak puasan bangsa Indonesia sehingga para pemuka agama menghimpun
kekuatan melalui dunia pesantren diantaranya adalah Nahdlotul Ulama (NU) [11,
p. 235]. Ditambah adanya beberapa program kristenisasi yang digalakkan oleh
penjajah Belanda di bumi nusantara ini menjadikan Nahdlotul Ulama bangkit
menghimpun laskar-laskar kekuatan (ḥizbullāh) untuk melawan penjahan
Belanda yang dianggap kafir dan dhalim. NU dengan segala kekuatan yang ada
pada tingkat komunitas masyarakatnya secara menyeluruh memberikan pengaruh
yang mengakibatkan munculnya kelompok baru yang disebut ulama dan santri,
yang kemudian karena kekuatan NU ini semakin lama semakin kuat, maka oleh
penjajah Belanda ingin dijauhkan dari pengaruh politiknya.
NU mendirikan pasukan dengan nama Hizbullah (Tentara Allah) dan
kemudian Sabiliillah adalah organisasi yang bersifat militer yang di dalamnya
NU dan Muhammadiyah banyak berperan. Dikatakan, Hizbullah sejak awal
berdirinya berkaitan dengan aspirasi ke arah kemerdekaan Indonesia. Para
anggota Hizbullah yang dilatih oleh para perwira Peta, telah menyatakan
kesetiaannya pada Masyumi [14, p. 186]. Wahid Hasyim (tokoh NU), sebagai
wakil presiden Masyumi, secara resmi memeriksa latihan barisanbarisan
Hizbullah [1, p. 50]. Sementara itu, ketua Hizbullah adalah Zainal Arifin (salah
seorang delegasi NU dalam pengurus Masyumi) dan Mohammad Roem
(Muhammadiyah) sebagai wakilnya [14, p. 319].
Peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia
tidak hanya sebagai pengobar semangat santri dan masyarakatnya, akan tetapi
juga bertujuan “mempengaruhi” pemerintah agar segera menentukan sikap
Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 261
melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan kemerdekaan negara Republik
Indonesia.
Sedangkan pembelaan santri dan ulama’NU yang paling terkenal adalah
tragedy pembelaan kemerdekaan RI pada 10 November 1945 di Surabaya yang
sampai sekarang dirkenal dengan sebutan Hari Pahlawan.
Keterlibatan Nahdlotul Ulama (NU) mempunyai arti penting dalam
perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia, yang
terbentuk dalam Panitia Sembilan dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945 yang menghasilkan
dokumen sejarah penting, yaitu “Piagam Jakarta”[15, p. 208].
Syukurlah rumusan “Atas berkat rahmat Allah... “ itu tidak dituntut untuk
dicoret sebagaimana rumusan tujuh kata “(Ketuhanan)… dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya....”, seperti kita pahami
“tujuh kata” itu kemudian dicoret dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) tanggal 18 Agustus 1945. Bung Hatta mengaku, ia
mendapat telepon dari seorang perwira Jepang yang mengaku menyampaikan
aspirasi kaum Kristen Indonesia Timur, bahwa mereka tidak mau bergabung
dengan NKRI jika “tujuh kata” itu tidak dihapus. Hingga kini, peristiwa seputar
pencoretan “tujuh kata” itu masih misterius, sebab sampai meninggalnya Bung
Hatta tidak membuka siapa sebenarnya perwira Jepang yang meneleponnya
tersebut [16, p. 68].
B. Peran NU dalam Memberantas Komunisme dan Radikalisme
Sikap NU terhadap Komunis adalah anti dari dahulu, meskipun pada waktu
demokrasi terpimpin para tokoh-tokoh tua dan kiai tetap setia kepada Presiden
Soekarno. Namun sebagai politisi lainya yang diberi jabatanjabatan rendah
selama Demokrasi Terpimpin menuntut agar 96 Komunis dilarang. Peranan yang
sangat berpengaruh pada hari-hari itu dimainkan oleh Subhan ZE, yang bangkit
sebagai salah seorang pengorganisir demonstrasi-demontrasi mahasiswa yang
mengakibatkan pembentukan “KAP-Getapu” [1, p. 86].
Pengurus Besar Nahdlotul Ulama (NU) beserta delapan ormasormasnya
tanggal 5 Oktober 1965 telah mengeluarkan sejumlah pernyataan yang antara lain
memohon kepada Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi
agar dalam tempo yang sesingkatsingkatnya membubarkan Partai Komunis
Indonesia, Pemuda Rakyat, Gerwani, Serikat Buruh Pekerja Umum atau SOBSI,
serta semua ormasormas lainnya yang ikut mendalangi dan/atau bekerja sama
dengan apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”. Selain itu,
dimohonkan pula kepada Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi agar
mencabut izin terbit untuk selama-lamanya semua surat kabar/media publikasi
lainnya yang langsung atau tidak langsung telah mendukung dan/atau membantu
apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September. Perlawanan NU terhadap
PKI dilakukan disemua ruang [17, p. 91], seperti:
262 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
PKI NU
Mebanggakan masanya: lewat Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat)
Menandinginya: dengan Lesbumi
(Lembaga Seniman Budajawan
Muslimin Indonesia)
Menggerakan : Gerwani menggerakan Muslimat
Menjadikan: Pemuda Rakyat selaku
pasukan pelopor mereka
NU menjadikan: Gerakan Pemuda
Ansor
Menggrakan: Barisan Tani Indonesia
(BTI)
Menggaktifkan Pertanu
Mempunyai SOBSI Menggerakan: Sarbumusi
Menyanyikan: Lagu Genjer-genjer Menciptakan: Solawat Badar
Radikalisme pada hakikatnya adalah gerakan dari kaum fundamentalis.
Karena Amstrong dalam bukunya berjudul “Berperang Demi Tuhan” yang
dikutip Abdul Karim Al-Jilani menyatakan bahwa: dalam segala bentuknya,
fundamentalisme adalah iman yang sangat reduktif. Dalam kecemasan dan
ketakutan mereka, kaum fundamentalis sering mendistorsi tradisi yang mereka
bela. Misalnya, mereka sangat selektif dalam membaca Kitab Suci, tetapi mereka
mengabaikan pluralitas al-Qur’an dan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk
membenarkan kekerasan yang diperbuat. Mereka juga mengabaikan ayat yang
jauh lebih banyak yang menyerukan perdamaian, toleransi, dan sikap memaafkan.
Kaum fundamentalis yakin bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan, tetapi
sebenarnya religiusitas sejenis ini mewakili kemunduran dari Tuhan [18, p. 95].
Radikalisme dalam sebuah ideologi dan agama biasanya terjadi karena
beberapa faktor, seperti kegagalan dalam memahami pesan-pesan agama secara
integral dan comprehensive, sehingga pada akhirnya memilih prilaku yang
ekstrim. Namun tidak jarang radikalisme diciptakan oleh para elitnya untuk
meraup sesuatu kepentingan politis. Untuk kasus radikalisme di Indonesia, pada
masa Orde Baru, mainstream umat Islam yang mayoritas Ahlussunnah wal
Jama‘ah ini sempat mendapat perlindungan akidah dari negara. Karena kala itu,
setiap ada aliran sesat yang mencoba untuk merongrong Aswaja sebagai arus
utama umat, langsung dilibas oleh Kopkamtib dan Laksusda dengan pendekatan
keamanan untuk tujuan stabilitas nasional. Adapun ciri-ciri fundamentalis pada
umumnya adalah rigit dan literalis. Dua ciri ini berimplikasi pada sikap yang
tidak toleran, radikal, militan, dan berpikir sempit, bersemangat secara berlebih-
lebihan atau cenderung ingin mencapai tujuan dengan cara kekerasan [19, p. 10].
Adapun kelompok-kelompok yang dianggap radikal dan berkembang di
Indonesia antara lain:
1) Ikhwanul Muslimin
2) Hizbut Tahrir
3) Jihadi Ikhwani dan Salafi (Wahhabi)
4) Salafi Dakwah dan Salafi Surur
5) ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)
6) Syi’ah
Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 263
7) Jama’ah Tabligh
8) Front Pembela Islam (FPI)
9) MTA (Majelis Tafsir al-Qur’an) [20, p. 131].
Di sisi lain berdirinya NU adalah untuk menangkal penyebaran aliran
Wahhabi yang telah keluar dari akidah Aswaja murni. Yang pada saat itu sudah
merebak di daerah timur tengah, terkhusus Saudi Arabia. Tangkalan ini bertujuan
untuk menyelamatkan akidah kultural dan budaya di jawa yang lampau telah
diajarkan oleh para wali songo dengan memasukkan nilai-nilai ajaran islam
dalam setiap kegiatannya.
C. Peran Muhammadiyah dalam Kemerdekaan NKRI
Muhammadiyah termasuk organisasi Islam progresif. Kelahirannnya
dilatarbelakangi oleh kondisi sosial yang labil, tensi politik imprialis, dan kondisi
umat yang berada dalam tekanan dimensional. Tahun 1912 M, tahun berdirinya
Muhammadiyah, merupakan tahun kelam bagi bangsa Indonesia. Sebab, pada
tahun ini tanah air sudah berada dalam kuasa Penjajah Belanda. Kuku Penjajah
Belanda sangat kuat melakukan tekanan Fisik dan phisikologis. Misi Penjajah
memang adalah mengambil untung dari tanah jajahannya. Indonesia, pada masa
itu merupakan ladang potensi alam yang sangat disukai oleh Penjajah Belanda.
Maklum, di banding negara lain di kawasan Asia, Indonesia termasuk kawasan
yang memiliki sejuta kekayaan alam. Yang paling menarik hari Penjajah adalah
kawasan penghasil rempah-rempah.
Salah satu spirit perlawanan itu dilakukan sejumlah tokoh penting negeri
ini, seperti KH. Ahmad Dahlan. Sepulang dari perantauannya di kawasan timur
tengah, Beliau mulai melakukan analisa kritis atas kondisi sosial, cara beragama
umat Islam –di kawasan Yogyakarta, secara sepisifik-, dan ghirah untuk merdeka
dari Penjajah. Gerakan perlawanan pertamdimulai KH. Ahmad Dahlan dengan
mencoba mendobrak ‘gaya beragama’ masyarakat. KH. Ahmad Dahlan, melihat
ada sesuatu yang harus dilurus dari cara bergama masyarakat di kawasannya.
Yaitu, mengambalikan kemurnian ajaran agama Islam. Gerakan kembali ke
pemurnian ajaran agama Islam ini, karena kondisi masyarakat di kawasan
Yogyakarta sudah terbawa arus tahayul, bidah (syaiah), dan Khurafat yang sangat
kental syirik kepada Tuhan. Kondisi sosiorelegi ini memaksa KH Ahmad Dahlan
untuk berjuang keras untuk meyakinkan masyarakatnya tentang Islam yang
rahmatan lil’alamin. Tentang ajaran agama yang menentang nista terhadapTuhan.
Atas fakta inilah, sebagian orang mengidentikan KH Ahmad Dahlan –
Muhammadiyah, sebagai organisasi- sebagai pembawa ruh modenisasi ajaran
keislaman. Berkembang kemudian, Islam modernis.
Alasan lain, KH. Ahmad Dahlan melihat realitas timpang dunia pendidikan
masyarakat Indonesia. Maklum, pada tahun 1912 tersebut merupakan masa
gencargencarnya Pemerintah Belanda melakukan sabotase akademik di kalangan
masyarakat pribumi yang Islam. Belanda meyakini, politiasi pendidikan secara
simultan akan memuluskan gerakan mobiliasi masa dalam rengluh Penjajah.
Faktanya sangat simpel, lembaga pendidikan bentukan Belanda akan menjadi
media untuk menyampaikan misi Penjajah kepada rakyat yang menjadi bagian
dari sekolah bentukan Belanda (school). Politisasi Pendidikan Belanda ini
264 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
dianggap sebagai langkah jitu untuk merekrut lulusan sekolah kepada pihak
Belanda. Atas inisiatif seorang Profesor Belanda bernama Snouck Hurgronje,
pada tahun 1889-1906 M Belanda mendirikan Pax-Neerlandica. Ikatan ini
menjadi perkumpulan untuk menyatukan masyarakat Pribumi dengan Belanda.
Perkumpulan ini dimaksudkan untuk mempermudah Belanda menjadi bagai dari
Penjajah. Sayang, usaha ini sia-sia. Justru sebaliknya, sejumlah tokoh yang
belajar di lembaga pendidikan bentukan Belanda semakin gigih melakukan
perlawanan kepada Belanda [21, p. 255].
Berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,
telah membangkitkan semangat berjuang kepada masyarakat Indonesia, baik di
bidang perjuangan fisik, maupun politik. Hal ini tidak luput juga peran serta
warga Muhammadiyah, seperti Ki Bagus Hadikusuma, Kasman Singodimejo, dan
lain sebagainya. Mereka merasa terpanggil untuk berbakti mempertahankan
kemerdekaan dan supaya negara yang baru merdeka ini dapat berdiri dengan
tegak. Salah satunya adalah berusaha untuk membentuk dasar konstitusi negara
dengan peranannya di BPUPKI, bersama para tokohtokoh lainnya. Selain itu,
tokoh-tokoh Muhammadiyah juga turut serta dalam mewarnai komite, partai
politik, maupun dalam revolusi fisik.
Pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI membentuk Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) dan komite tersebut dilantik Presiden pada tanggal 29
Agustus 1945. Anggota KNIP terdiri dari 140 orang di antaranya ada tokoh
Muhammadiyah, yaitu Ki Bagus Hadikusuma. Sementara itu, pimpinan Pusat
KNIP terdiri dari Kasman Singodimejo sebagai ketua, Sutarjo sebagai wakil
ketua I, Latuharhary sebagai wakil ketua II, dan wakil ketua III dijabat oleh
Adam Malik. Tugas dari KNIP ini adalah untuk membantu tugas dari Presiden
dalam menjalankan pemerintahan, terutama di masa awal-awal, mengingat
kondisi dari negara Indonesia yang belum stabil. Setelah KNIP terbentuk, tidak
beberapa lama didirikanlah Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di
Yogyakarta pada tanggal 29 Oktoer 1945. Ki Bagus Hadikusuma diangkat
sebagai penasihat bersama dengan BPH Purboyo, dan Sukiman [22, p. 72].
Setelah pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah No. X tanggal 3
November 1945, yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Hatta, yang berisi
tentang anjuran untuk membentuk partai-partai politik, maka partai-partai politik
pun bermunculan [23, pp. 192–204]. Hal ini untuk menunjukkan bahwa negara
Republik Indonesia yang baru dibentuk ini menganut sistem demokrasi. Isi dari
maklumat tersebut yaitu:
1) Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya
partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham
yang ada dalam masyarakat.
2) Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum
dilangsungkannya pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada
bulan Januari 1946.
Keluarnya Maklumat Pemerintah tersebut dan juga keinginan untuk
mempersatukan umat Islam di Indonesia, maka pada tanggal 7 November 1945,
seluruh organisasi Islam mengadakan kongres di gedung Madrasah Mualimin
Muhammadiyah Yogyakarta.
Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 265
D. Peran Muhammadiyyah dalam Bidang Pendidikan
Di dalam modernisasi pendidikan Muhammadiyah metode termasuk hal
yang harus diperbaharui. Metode pendidikan pesantren yang selama ini
menggunakan metode bandongan, sorogan dan hafalan diganti dengan beberapa
metode, sebagai berikut:
1) Metode penghayatan. Maksudnya menghayati dan memahami apa yang
dibaca. Metode ini digunakan untuk mengganti metode menghafal yang
banyak diterapkan di dunia pesantren. Kelemahan metode menghafal pada
umumnya bersifat normatif dan maknanya tidak diketahui peserta didik.
2) Metode klasikal yakni belajar secara bersama-sama di kelas dan dibimbing
oleh seorang guru [24, p. 71]. Metode ini mirip dengan metode diskusi di
kelas, pada saat itulah terjadi dialog antara murid dan saling bertanya.
3) Metode ceramah, artinya para guru menerangkan di depan kelas dengan
ceramah. Metode ini tergolong tua usianya, keunggulannya; guru dapat
menguasai kelas, mudah mengorganisasikan peserta didik, guru dapat
menguasai bahan ajar. Kelemahannya apa yang disampaikan oleh guru
sering tidak diingat oleh peserta didik, menyebabkan peserta didik bersifat
pasif, guru menganggap peserta didik paham tentang pelajaran pada hal
peserta didik tidak paham dan bagi mereka membosankan.
4) Metode berkelompok, belakangan metode ini disebut metode mutual
education. Contoh, Hadis Nabi Muhammmad Saw; artinya shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihatku shalat.
5) Metode pemberian contoh dan keteladanan. Metode keteladanan bukan saja
dianut oleh para guru sekolah-sekolah Muhammadiyah tetapi juga dianut
oleh pendiri Muhammadiyah yakni K.H. Ahmad Dahlan, para Pimpinan
Pusat Muhammadiyah seperti K.H. AR. Fakhruddin yang selalu
menonjolkan akhlak mulia dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Mengutip
Masyitoh Chusnan dimensi moralitas dan spiritualitas Muhammadiyah
merupakan esensi atau bahkan ruh Muhammadiyah itu sendiri. Kedua
dimensi ini juga merupakan titik tolak dan landasan bagi setiap amal usaha
Muhammadiyah. 19 Sifat-sifat keteladanan guru Muhammadiyah antara lain;
sabar, syukur, wara’, zuhud, qanaah, tawakkal, ikhlas beramal, dan rida.
Demikian pula para guru Muhammadiyah menjauhi akhlak tercela seperti
kikir, sombong, pemarah, takabbur, ‘ujub dan sifat tidak ikhlas dalam
mengajar.
6) Metode melalui bimbingan dan penyuluhan. Metode ini banyak digunakan di
sekolah-sekolah Muhammadiyah untuk membimbing peserta didik sehingga
akal dan spiritualnya terbimbing dengan baik.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat kita temukan beberapa perbedaan
antara peran NU dan Muhammadiyah dalam mewarnai Indonesia ini. Misalnya,
NU lekat dengan usahanya mempertahankan budaya kultural dan merambah
masyarakat urban, menggabungkan kearifan lokal dengan nilai-nilai Islam, serta
memilih satu dari mazhab fiqih besar dalam Islam. Sedangkan Muhammadiyyah
lebih identik dengan upaya Memodernkan masyarakat kultural, Pendidikan
system modern dan klasikal, mengklasifikasikan perbedaan kearifan lokal dan
266 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
Islam, serta tanpa memilih mazhab tertentu (ini bukan serta merta berarti tidak
bermazhab).
Sedangkan beberapa persamaan umum yang mungkin dapat kita ditemukan
diantaranya adalah sama-sama memiliki sikap yang toleransi dengan agama lain,
tidak berat sebelah dan menjalankan nilai-nilai Pancasila, tradisi pendalaman
ilmu Islam, kecintaan terhadap ibu pertiwi (hubbul wathan), serta kuatnya ruhud
da’wah (semangat berdakwah).
5. Kesimpulan
Wajah Islam di berbagai belahan dunia kadang terlihat keras dan bahkan
arogant. Hal ini berbeda dengan Islam di Indonesia yang cenderung ramah, ini
menunjukkan bahwa Islam di Indonesia masih tetap dapat dinilai sebagai Islam
yang moderat. Namun demikian, gambaran Islam yang ramah ini sempat terganggu
dengan adanya gerakan radikal. Dalam hal ini, Muhammadiyah dan Nahdlotul
Ulama adalah dua organisasi yang menjadi penjaga moderatisme Islam di
Indonesia. Meskipun keduanya banyak perbedaan, namun di sisi lain juga banyak
persamaan, terlebih dalam menjaga keutuhan NKRI. Gerakan sosial Islam moderat
seperti Muhammadiyah dan NU, haruslah tetap menjaga ciri khas keislamannya
yang sejati tanpa perlu memperjuangkannya dengan cara-cara kekerasan. Karena
bagaimanapun, gerakan Islam tetap harus memperlihatkan missi Islam sebenarnya
sebagai gerakan yang mengusung missi rohmatan lil ‘aalamiin.
6. Daftar Referensi
[1] M. van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana
Baru. Yogyakarta: LKiS, 2008.
[2] A. S. Ma’arif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang
Perdebatan dalam Konstitusi. Jakarta: LP3ES, 2006.
[3] D. Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 1900-1942. Jakarta: LP3ES,
1980.
[4] A. M. Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran. Surabaya:
Khalista, 2006.
[5] M. Hasyim and A. Athoillah, Khazanah Katulistiwa: Potret Kehidupan dan
Pemikiran Kiai - Kiai Nusantara. Tuban: Kakilangit Book, 2009.
[6] A. Haedari and A. Hanif, Masa depan Pesantren Dalam Tantangan
Modernitaas aadan Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta: IRD Press,
2004.
[7] A. M. Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia, 1999.
[8] Z. Muchtarom, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
[9] H. Muhammadiyah and S. Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia. Jakarta:
elSAS, 2004.
[10] M. Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara, 1979.
[11] A. M. Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia. Bandung: Mizan, 1996.
[12] A. Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna.
Yogyakarta: LKiS, 1999.
[13] S. Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia.
Bandung: Al-Ma’arif, 1979.
Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 267
[14] H. J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya, 1985.
[15] Z. M. Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad; Garda Depan
Menegakkan Indonesia 1945- 1949. Tangerang: Pustaka Compass, 2014.
[16] N. Goncing, “Politik Nahdatul Ulama dan Orde Baru,” The Politics: Jurnal
Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, vol. 1, no. 1, pp. 61–74,
2015.
[17] K. Marijan, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926. Jakarta:
Erlangga, 1992.
[18] A. K. Al-Jilani, “Perspektif Karen Armstrong Tentang Gerakan Muslim
Fundamentalis di Abad Modern,” Marâji: Jurnal Ilmu Keislaman, vol. 1, no.
1, pp. 81–114, 2014.
[19] M. Baharun, Isu Syiah dan Ilusi Ukhuwwah. Jakarta: Pembela Islam, 2014.
[20] M. H. Afandi, “Doktrin Shi’ah Membelenggu Ukhuwwah,” Jurnal Lentera:
Kajian Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi, vol. 1, no. 2, pp. 143–158,
2015.
[21] S. Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru; 1500 - 1900. Jakarta:
Gramedia, 1987.
[22] Suhatno, Ki Bagus Hadikusuma, Hasil Karya dan Pengabdiannya. Jakarta:
Proyek IDSN Ditjarahnitra-Depdikbud, 1982.
[23] G. M. T. Kahin, “Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia,” Jakarta: Sinar
Harapan, 1995.
[24] A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa Pada Awal
Abad ke 20. Bandung: Bina Ilmu, 1986.