Isi Skipsi
-
Upload
vicisinaga1341 -
Category
Documents
-
view
717 -
download
2
description
Transcript of Isi Skipsi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional terutama dengan semakin
banyaknya proyek-proyek pembangunan fisik serta bervariasinya dunia usaha
yang berkembang dewasa ini maka kebutuhan akan barang-barang modal makin
meningkat sehingga memerlukan sumber-sumber pembiayaan yang mendukung
kegiatan pembangunan dunia usaha.
Untuk pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi yang tidak terlepas dari
pembangunan industri dan perdagangan tersebut diperlukan beberapa faktor untuk
menunjang keberhasilannya. Salah satu faktornya adalah pembiayaan, yang
digunakan untuk penggandaan barang-barang modal bagi kelangsungan kegiatan
usaha.
Perolehan pembiayaan tersebut bisa melalui lembaga perbangkan maupun
lembaga non bank, dan salah satu alternatif yang dapat dipakai oleh lembaga
perbangkan maupun non bank adalah menggunakan mekanisme leasing.
Sejak diakui keberadaanya hingga sekarang leasing di Indonesia telah
menunjukan perkembangan yang cukup pesat dan menggembirakan. Hal tersebut
dapat dilihat dari banyaknya jumlah perusahaan, nilai kontrak leasing yang
dipakai dalam peraktek.
1
Selain itu leasing dapat pula dikatakan sebagai salah satu cara untuk
menghimpun dana yang terdapat dalam masyarakat serta menginvestasikannya
kembali kedalam sektor-sektor ekonami tertentu yang dianggap produktif.
Walaupun leasing merupakan ciptaan peraktek atau kebiasaan masyarakat
akan tetapi hingga kini belum ada perangkat hukum yang mengatur secara
memadai sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kegiatan
leasing tersebut terutama jika terjadi suatu sengketa.
Pembahasan leasing ini diharapkan dapat menjadi bagian dari kebijakan
pembangunan di bidang hukum yang melandasi kegiatan pembangunan di bidang
ekonomi sebagaimana tertulis dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
( TAP MPR) No. IV/ MPR/ 1999 Tentang Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ),
dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang menitik beratkan arah kebijakan
pembangunan dibidang hukum dan ekonomi, diantarannya melalui
pengembangan, penataan dan penegakan hukum secara konsisten untuk lebih
menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran supermasi hukum serta
menghargai hak asasi manusia dan dengan melakukan pengembangan kebijakan
di bidang industri, perdagangan dan investasi dalam rangka meningkatkan daya
saing global.1 Terlebih lagi jika hal tersebut dihubungkan dengan Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia berdasar atas
hukum 2, maka kegiatan pembangunan di dalam bidang ekonomi, khususnya
1 Indonesia, TAP MPR No.IV/ MPR/ 1999 Tentang Garis Garis Besar Haluan Negara.2 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Batang Tubuh.
2
peraktek pembiayaan yang berbentuk leasing ini dengan sendirinya harus berdasar
atas hukum yang berlaku.
Beranjak dari penjelasan tersebut di atas serta melihat manfaat yang diperoleh
jenis usaha leasing inilah yang mendorong penulis untuk membahas
permasalaahan leasing sebagai salah satu alternatif pembiayaan dalam kegiatan
disektor ekonomi, ditinjau dari segi hukum yang melandasinnya berserta upaya-
upaya hukum yang dapat dilakukan bila timbul suatu sengketa di kemudian hari,
sehingga dapat tercipta suatu kepastian hukum dalam kegiatan leasing tersebut.
B. Pokok Permasalahan
Untuk menghindari melebarnya pembahasan permasalahan yang ada,
penulisan sekeripsi ini dibatasi oleh ruang lingkup yang hanya membahas
mengenai pengertian leasing sebagaimana yang dimaksud oleh surat Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha
( Leasing) yang dapat disimpulkan berupa jenis kegiatan usaha yang berjenis
Financial Leasing dan Operating Leasing 3 yang selanjutnya akan dirangkum ke
dalam suatu pokok-pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Ketentuan-ketentuan hukum apakah yang melandasi dan mengatur mengenai
pelaksanaan perjanjian atau kontrak leasing selama ini, sehingga pelaksanaan
leasing tersebut dapat diterima dan diterapkan di Indonesia ?
3 Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing), Kepmen Keuangan No. 1169/ KMK.01/ 1991 ps 1
3
2. Apakah ketentuan-ketentuan hukum yang ada tersebut sudah dapat
memberikan jaminan yang adanya kepastian hukum bagi para pihak yang
mengaitkan diri dan melaksanakan perjanjian atau kontrak leasing dimaksud ?
3. Bagaimanakah bentuk dan cara penyelesaian suatu sengketa yang timbul
kemudian hari dari adanya perjanjian atau kontrak leasing ?
C. Tujuan Penelitian
Melihat besarnya peran leasing sebagai alternatifpembiayaandan pesatnya
berkembang leasing di tengah-tengah masyarakat, maka penelitian ini di harapkan
bertujuan untuk dapat :
1. Mengetahui lebih jauh mengenai pengaturan pelaksanaan leasing dan
perkembangannya di Indonesia.
2. mengetahui proses terjadinya kontrak atau perjanjian leasing dalam praktek di
Indonesia serta dampaknya bagi para pihak yang melaksanakan kontrak
tersebut .
3. Mengetahui beberapa alternatif cara penyelesaian sengketa yang timbul
dalam perjanjian atau kontrak leasing untuk dapat memberikan suatu
gambaran yang jelas mengenai cara penyelesaian terbaik dari beberapa
alternatif yang ada tersebut .
4
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipilih dalam penulisan skripsi ini, menggunakan
metode deskriptif analitis. Dimana penyusunan skripsi ini, penulis mengupayakan
semaksimal mungkin untuk mendapatkan data-data dan informasi dari sumber-
sumber yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan melalui studi kepustakaan
( library research ) dan penelitian lapangan ( field research ).
Adapun penelitian kepustakaan, akan dipelajari dan diteliti bahan-bahan
kepustakaan yang terdiri dari :
1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan yang mempunyai kekuatan mengikat
seperti norma dasar, peraturan dasar atau peraturan perundang-undangan serta
putusan pengadilan.
2. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer yang dipakai seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya
dari kalangan akademis dan praktisi hukum baik berupa buku, majalah, artikel
maupun makalah dari seminar-seminar.
5
Karena skripsi ini perinsipnya merupakan suatu peroses yang dimulai dari
mengidentifikasikan masalah mengenai leasing dan bagaimana pelaksanaannya
dewasa ini yang kemudian memperbandingkannya dengan beberapa bentuk
perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata seperti sewa menyewa, sewa beli dan
jual beli maka sudah selayaknya dalam penulisan ini juga penulis menggunakan
studi kasus ( methode case study ) dengan mengacu kepada suatu putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam penyelesaian sengketa yang
timbul dari adanya perjanjian leasing dalam prakteknya.
E. Sistimatika Penulisan
Selanjutnya sistimatika penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang
terdiri dari :
Bab I : Pendahuluan
Pada bab I ini akan diuraikan mengenai hal-hal dan ketentuan
menyangkut penulisan secara keseluruhan yang meliputi Latar
belakang, Permasalahan, Tujuan penelitian, Metode penelitian serta
Sistimatika penulisan.
Bab II : Tinjauan Kepustakaan
Bab II akan memuat delapan materi pokok yaitu Pengertian leasing,
sejarah dan perkembangan leasing, dasar hukum, jenis-jenis leasing,
obyek dan subyek leasing, perbedaan leasing dengan perjanjian jual
beli secara angsuran, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian sewa
6
beli, sahnya perjanjian leasing, proses terjadinya perjanjian leasing,
hak dan kewajiban para pihak serta perjanjian baku.
7
Bab III : Masalah dan penyelesaian Perselisihan
Pada bab III ini akan menguraikan tentang pokok pembahasan
mengenai resiko dan wanprestasi yang timbul dari perjanjian leasing,
serta sarana penyelesaiaanya, seperti melalui negoisasi dan
perdamaian.
Bab IV : Penutup
Bab IV merupakan bab penutup yang menjelaskan kesimpulan dari
penulis setelah melakukan pembahasan terhadap topik
permasalahan. Dan kemudian penulisan sekeripsi ini akan diakhiri
dengan pemberian saran sebagai pemikiran dari penulis.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM PERJANJIAN LEASING
Istilah leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa atau lebih umum sewa
menyewa. Jadi leasing merupakan suatu bentuk derivative dari sewa menyewa
karena memeng dasarnya leasing adalah sewa menyewa.4 Sedangkan secara
umum leasing artinya adalah equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan
barang modal untuk di gunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik
secara langsung maupun tidak.
Sedangkan untuk definisi leasing di Indonesia dapat di sebutkan sebagai
berikut:
“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk di gunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu berdasarken bembayaran-pambayaran secara berkala di sertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk memberi barang-barang modal yang bersangkutan atau untuk memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah di sepakati bersama”.
Selanjutnya defenisi di maksud mengalami perubahan dengan lahirnya
peraturan perundang-undangan baru, yang menyatakan bahwa:
“Suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finan lease) maupun sewa guna usaha tanpa
4 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek, Cet,1, (Bandung Cara Adtiya bakri; 1999).
9
tanpa hak opsi (operating lease) untuk di pergunakan oleh lesse selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala”5.
Dari defenisi tersebut di atas, dapat di tafsirkan dua hal yang berbeda yaitu,
pertama bahwa pada awalnya leasing di maksudkan hanya untuk kemudahan bagi
pembayaran perusahaan-perusahaan saja, namun perkembangan selanjuatnya
leasing juga dapat di berikan kepada indinvidu dengan peruntukan barang yang
belum tentuuntuk kegiatan usaha.
Dan penafsiran kedua adalah bahwa pada prinsifnya dua pengertian leasing di
maksud adalah sama, yaitu menyangkut unsur-unsur penertian yang terdiri dari :
A Suatu kegiatan pembiayaan
Leasing yang di maksudkan sebagai usaha memberikan kemudahan
pembiayaan, yang tidak hanya hanya terbatas kepada perusahaan akan tetapi
juga dapat di berikan kepada individu dengan peruntukan barang yang belum
tentu untuk kegiatan usaha.
B Penyediaan barang modal
Barang modal ini sangat bervareasi, misalnya berupa mesin-mesin,
pesawat terbang, peralatan kantor seperti computer, mesin foto copy,
kendaraan bermotor dan sebagainya.
C Jangka waktu tertentu
5 Departemen Keuangan, Surat Keputusan Bersama Mentri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI, No. Kep/ 122/ MK/ IV/ 21/ 1974 ; No.32/ M/ SK/ 2/ 1974 dan No.30/ M/ SK/2/ 1974 Tentang Perijinaan Usaha Lising, Pasal 1
10
Biasanya dalam kontrak leasing di tentukan untuk berapa tahun leasing
tersebut di lakukan. Adapun jangka waktu leasing di tetapkan dalam 3
kategori yaitu:
1 Jangka singkat, yaitu minimal dua tahun
2 jangka menengah, yaitu minimal 3 (tiga tahun)
3 Jangka panjang, yaitu minimal 7 (tujuh tahun)
D Pembayaran kembali secara berkala
Besar dan lamanya angsuran sesuai dengan kesepakatan yang telah di
tuangkan dalam kontrak leasing.
E Hak opsi untuk membeli barang modal
Di akhir masa leasing, kepada lease di berikan hak opsi yaitu apakah hak
opsi akn membeli barang modal yang bersangkutan dengan harga terlebih
dahulu di tetapkan dalam kontrak leasing atau memperpanjang kontrak
leasing. Namun demikian tidak semua jenis leasing memberikan hak opsi.
F Nilai sisa (resido) yang di sepakati bersama.
Besarnya jumlah uang yang harus di bayar kembali kepada leasse di
akhiri masa leasing atau pada saat leasse mempunyai hak opsi. Dan nilai sisa
ini biasanya sudah di tetapkan bersama terlebih dahulu dalam kontrak leasing.
Meskipun leasing telah nyata ada dan hal itu karena akibat kemajuan dan
perkembangan tehnik dari cara pembiayaan, akan tetapi Indonesia dan beberapa
11
negara lainnya belum mempunyai peraturan yang mengaturnya sebagai lembaga
hukum.
Adapun yang dapat dijadikan dasar hukum dari perlaksanaan leasing di
Indonesia, yang terpenting diklasifikasikan sebagai berikut :
1.Umum.
a. Asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan
pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata buku ke III mengenai
ketentuan umum tentang perikatan yang menganut sistim terbuka.
Sepanjang memenuhi syarat seperti yang diatur oleh Undang-undang6.
b. Pasal 1320 KUHPerdata yang memuat syarat-syarat untuk syahnya suatu
perjanjian. Syarat pertama yang menentukan tentang kata sepakat antara
kedua belah pihak syahnya perjanjian. Persetujuan kedua belah pihak yang
merupakan kesepakatan itu harus diberikan secara bebas. Pasal 1321
KHUPerdata menentukan tiga hal yang menyebabkan sepakat yang
diberikan tidak sah yaitu karena kekhilafan, paksaan dan penipuan.
Dengan adanya azas konsensual ini maka suatu perjanjian bukan saja sudah
dilahirkan tetapi juga sudah sah jika terlah tercapai sepakat mengenai hal-
hal pokok perjanjian tersendiri.
6 Fuady, op.cit. hal 6
12
c. Pasal 1548 sampai 1580 KHUPerdata yang berisikan ketentuan-ketentuan
tentang sewa menyewa sepanjang tidak diadakan penyimpangan oleh para
pihak. 7
2. Khusus8.
1. Surat Keputusan Menteri Keuangan, Nomor Kep.38/MK/IV/1/1972, tentang
Lembaga Keuangan, yang telah diubah dengan keputusan Menteri
Keuangan, Nomor 562/KMK/011/1982.
2. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan
Menteri Perindustrian
No. 122/MK/IV/1974;
No. 32/M/SK/2/1974;
No. 30/Kpb/I/1974;
Tentang perijinan usaha leasing.
3. Keputusan Presiden RI No. 61 Tahun 1988, tentang Lembaga Pembiayaan.
4. Keputusan Menteri Keuangan RI, Nomor 1251/KMK. 013/1988, tentang
ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan, sebagaimana
telah diubah dengan keputusan menteri keuangan Nomor.
1256/KMK.00/1989.
7 Tunggal, op.cit. hal 12
8 Fuady, op.cit. hal 10
13
5. Keputusan menteri keuangan RI, Nomor. 634/KMK. 013/1990, tentang
pengadaan barang modal berfasilitas melalui Perusahaan sewa Guna Usaha
(Perusahaan Leasing).
6. Keputusan Menteri Keuangan RI, Nomor. 1169/KMK. 01/1991, tentang
kegiatan sewa guna usaha.
Leasing secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) jenis, yaitu 9:
1.Financial Lease
2.Operating Lease
Klasifikasi leasing ke dalam financial lease dan operating lease berdasarkan
pada substansi hak dari leassee, dengan pengertian apabila leasing atau sewa guna
usaha dengan hak opsi maka disebut Financial Lease, sedangkan leasing atau
sewa guna usaha tanpa hak opsi maka disebut Opeating Lease.
Adapun penjelasan lebih lanjut kedua macam leasing tersebut adalah sebagai
berikut 10:
1. Financial Lease
Dalam Financial Lease, bukan saja pemakaian atau pemanfaatan suatu barang
yang diberikan atau dipindahkan dari lessor kepada leassee, akan tetapi juga
sebagian dari resiko pemilik digeserkan kepada lease.
9 Departemen Keuangan, No. 1169/KMK.01/1991, op.cit., Ps. 1 huruf a
10 Fuady, op.cit. hal 16.
14
Financial Lease ini sering disebut juga dengan capital lease atau full-payout
lease. Financial Lease merupakan suatu corak lease yang lebih seri diterapkan,
dengan cirri-ciri sebagai berikut :
a. Jangka waktu berlakunya leasing relatif panjang.
b. Besarnya harga sewa plus hak opsi harus menutupi harga barang plus
keuntungan yang diharapkan oleh lessor.
c. Diberikan hak opsi untuk leasse untuk membeli barang di akhir masa
leasing.
d. Financal lease dapat diberikan oleh perusahaan pembiayaan .
e. Harga sewa yang dibayar perbulan oleh leasing dapat dengan jumlahnya
yang tetap, maupun dengan cara berubah-ubah sesuai dengan suku bunga
pinjaman.
f. Biasanya lease yang menanggung biaya pemeliharaan, kerusakan, pajak
dan asuransi.
g. Kontrak lease tidak dapat dibatalkan sepihak.
Dalam praktek kegiatan financial lease dapat dibedakan dari bentuk variatif
lainnya11, yaitu :
a.Sales and Lease Back
Sale and lease back merupakan suatu jenis pembiayaan dengan nama barang
sebenarnya berasal dari lease, kemudian dibeli oleh lessor. Selanjutnya,
barang tersebut oleh leassee disewanya kembali dari lessor untuk suatu
11 Ibid, hal 18.
15
periode tertentu. Biasanya bentuk sale and lease back ini mengambil bentuk
financial lease, oleh karena lessor dari semula memang tidak berkeinginan
memiliki barang tersebut. Sehingga, bentuk sale and lease back ini mirip
dengan hutang uang untuk suatu keperluan tertentu dengan bayaran cicilan di
mana barang tersebut dipergunakan sebagai jaminan hutang.
b. Direct Lease
Direct Lease merupakan leasing dimana barangnya tidak dibeli terlebih
dahulu oleh lessor dari lessee seperti pada sale and lease back, tetapi lessor
membeli suatu barang dari pihak ketiga, yakni pihak supplier,untuk kemudian
barang tersebut dileasingkan kepada pihak lessee. Jadi dalam hal ini, pihak
lessee sebenarnya membutuhkan barang modal untuk usahanya. Atau untuk
keperluannya, tetapi memerlukan bantuan biaya dari pihak Lessor untuk
pengadaan barang tersebut.
c.Leverage Lease
Leverage Lease merupakan suatu jenis financial leasing dengan mana pihak
yang memberikan pembiyaan disamping lessor juga pihak ketiga. Biasanya
Leveraged Lease ini dilakukan terhadap barang-barang yang mempunyai nilai
tinggi, dimana pihak lessor hanya membiayai antara 20% sampai 40% dari
pembelian barang, sedangkan selebihnya akan dibiayaai oleh pihak ketiga,
yang merupakan hasil pinjaman lessor dari pihak ketiga tersebut dengan
memakai kontrak leasing yang bersangkutan sebagai jaminan hutangnya.
Pihak ketiga ini sering disebut dengan Credit Provider atau Debt Participant.
16
Biasanya dalam leveraged lease ini terdapat juga seorang yang disebut
manager. Yakni pihak yang melaksanakan tender kepada lessee, dan
mengatur hubungan dan negosiasi antara. Lessor, lessee dan debt participant.
d. Cross Border Lease
Cross Border merupakan leasing dengan mana pihak lessor dan pihak lessee
berada dalam dua negara yang berbeda.
e. Net Lease
Ini merupakan bentuk financial leasing dimana lessee yang menanggung
resiko dan bertanggung jawab atas pemeliharaan barang dan membayar
pajak dan asuransinya.
f. Net-net Lease
Ini juga merupakan financial leasing dimana lessee tidak hanya menanggung
resiko dan bertanggung jawab atas pemeliharaan barang dan membayar pajak
saja, bahkan lessee harus mengembalikan barang kepada lessor dalam kondisi,
dan nilai seperti pada saat mulainya perjanjian leasing. Sering juga dipakai
istilah Non-Maintenance Lease baik untuk Net Lease maupun untuk Net-net
Lease.
g. Full Service Lease
Full Service Lease disebut juga dengan Rental Lease atau Gross Lease. Yang
dimaksudkan adalah Leasing dengan nama pihak Lessor bertanggung jawab
atas pemeliharaan barang, membayar asuransi dan pajak.
17
h. Big Ticket Lease
Ini merupakan leasing untuk barang-barang yang mahal, misalnya pesawat
terbang dan dengan jangka waktu leasing yang relatif lama. Misalnya sampai
10 (sepuluh) tahun.
i. Captive Leasing
Yang dimaksudkan dengan captive leasing adalah leasing yang ditawarkan
oleh lessor kepada langganan tertentu yang telah terlebih dahulu ada
hubungan dengan lessor. Dalam hal ini,biasanya yang menjadi barang obyek
leasing adalah barang yang merupakan merk dari lessor sendiri.
j. Third Party Leasing
Third Party Leasing merupakan kebalikan dari captive leasing. Dalam hal
Third Party Leasing ini pihak lessor bebas menawarkan leasing kepada siapa
saja. Jadi lessor tidak harus mempunyai hubungan terlebih dahulu dengan
lessee.
k. Wrap Lease
Wrap Lease merupakan jenis leasing yang biasanya pihak lessor tidak
mengembil resiko, sehingga jangka waktunya lebih singkat dari biasanya.
Tetapi tentunya ini akan memberatkan lessee karena dia harus membayar
cicilan yang besar. Karena ini pihak lessor biasanya meleassee kembali
barang tersebut kepada investor yang mau menanggung resiko, sehingga
jangka waktu leasing bagi lessee akan menjadi lebih panjang, sehingga
cicilannya menjadi relatif kecil. Wrap Lease ini belum lazim di Indonesia,
18
dan sringkali bentuk leasing seperti ini dipraktekkan terhadap leaseing
komputer.
l. Straight Payable Lease, Seasonal Lease dan Return on Investment Lease
Pembagian kepada tiga jenis leasing ini adalah jika, dipergunakan criteria
“cara pembayaran” terhadap cicilan harga barang oleh lessee kepada lessor.
Yang dimaksud dengan Straight Payable Lease adalah leasing yang
cicilannya dibayar oleh lessee kepada lessor tiap bulannya dan dengan
jumlah cicilan yang selalu sama.
Sementara itu, yang dimaksud dengan Seasonal Lease adalah leasing yang
metode pembayaran cicilannya oleh lessee kepada lessor dilakukan tiap
periode tertentu. Misalnya dibayar tiap bulan sekali. Sedangkan yang
dimaksud dengan Return on Investment Lease adalah suatu jenis leasing
dimana pembayaran cicilan oleh lessee kepada lessor hanya terhadap
angsuran bunganya saja. Sementara hutang pokoknya baru dibayar setiap
akhir tahun dari keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan lessee.
2.Operating Lease
Dalam operating lease, pemilik barang hanya menyerahkan kepada lessee
hak sementara untuk menikmati atau mempergunakan barang yang menjadi
obyek lease, dan resiko terhadap obyek tetap terjadi beban lessor sebagai
pemilik barang.
19
Operating lease disebut juga service lease . Operating lease ini biasanya
merupakan suatu corak leasing dengan karakteristik sebagai berikut :
a.Jangka waktu berlakunya leasing relatif singkat, dan lebih singkat dari usia
ekonomis dari barang tersebut.
b.Besarnya harga sewa lebih kecil ketimbang harga barang ditambah
keuntungan yang diharapkan lessor.
c.Tidak diberikan “hak opsi” bagi lessee untuk membeli barang diakhir masa
leaseing.
d.Biasanya operating lease dikhususkan untuk barang-barang yang mudah
terjual setelah pemakaian (yang laku dipasar barang bekas).
e.Operating lease biasanya diberikan oleh pabrik atau leveransir, karena
umumnya mereka mempunyai keahlian dalam seluk beluk tentang barang
tersebut. Sebab, dalam operaring lease, jasa pemeliharaan merupakan
tanggung jawab lessor.
f.Biasanya harga sewa setiap bulannya dibayar dengan jumlah yang tetap.
g.Biasanya lessorlah yang menanggung biaya pemeliharaan, kerusakan, pajak
dan asuransi.
h.Biasanya kontrak leasing dapat dibatalkan sepihak oleh leassee, dengan
mengembalikan barang yang bersangkutan kepada lessor.
20
B. SUBYEK DAN OBYEK PERJANJIAN LEASING
Dalam suatu perjanjian leasing pada prinsipnya ada 2 pihak atau subyek yang
terkait,12 yaitu :
1. Subyek
1.1. Lessor.
Pihak yang memberikan pembiayaan dengan cara leasing kepada
pihak yang membutuhkannya. Dalam hal ini lessor bisa merupakan
perusahaan pembiayaan yang bersifat multi finance atau hanya yang
khusus bergerak dibidang leasing
Lessor sebagai lembaga pembiayaan, yang dapat dilakukan oleh:
a. Bank
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh bank yang akan melaksanakan
kegiatan leasing ditratur berdasarkan undang-udnang No, 7 tahun 1992
tentang perbankan. Tetapi pengaturan tersebut tidak akan mengurangi
kewajiban dari Bank yang bersangkutan untuk meminta ijin dari
Menteri Keuangan.
b. Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Selain harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam surat
keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988, untuk usaha
12 Departemen Keuangan, No. 1251/KMK.013/1988 op.cit.,.
21
ini juga harus mempunyai tata usaha atau pembukuan tersendiri
(khusus).
c. Perusahaan Pembiayaan
Selain harus berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi, juga harus
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam surat keputusan Menteri
Keuangan No. 1251/KMK.013/1988.
1.2. Lessee .
Perusahaan atau Perorangan yang menggunakanbarang modal dengan
pembiayaan dari lessor13.
Selanjutnya mengenai subyekleasing ini diatur oleh Surat Keputusan
Menteri Keuagnan No.649/KMK/IV/5/1974 Tentang Perijinan Usaha
Leasing dan pengumyuan Direktur Jenderal Moneter No.
Peng-307/DJM/III.1/7/197414.
2. Obyek
Yang dimaksud dengan obyek perjanjian adalahhal yang diwajibkan
kepada pihak berwajib (debitur), dan hal terhadap mana pihak yang berhak
(kreditur) mempunyai hak.
Dalam perjanjianleasing tidak semua barang dapat dijadikan obyek
perjanjian leasing. Oleh karenanya yangdapat menjadi obyek dari perjanjian
13 Departemen Keuangan, No. 30/Kpb/I/1974. op. cit., Pasal 1 ayat 114 Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur Batu, 1979), hal.21.
22
leasing adalah barang Modal, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang
berharga atau bernilai dalam lalu lintas ekonomi15.
C. HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK
Leasing apabila ditinjau dari sudut ilmu hukum adalah bagian dari hukum
perdata, karena terikat oleh ketentuan buku III KUHPerdata yang mengatur
perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang berdasarkan suatu
perikatan, yaitu suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara
dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut sesuatu (suatu
barang) dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu16.
Dari perikatan yang lahir karena adanya kata sepakat tersebut, selanjutnya
direalisasikan kedalam bentuk suatu perjanjian tertulis, yang pada akhirnya akan
menimbulkan hak dan kewajiban y ang berimbang bagi para pihak yang membuat
perjanjian dimaksud, artinya keseimbangan untuk mendapatkan kesempatan yang
sama dengan tujuan memperoleh suatu hasil yang adil dan patut.
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan pasal 1338 Kitab Undang-
undang hukum perdata yang menyebutkan 17:
15 Andasasmita, op.cit., hal 38.
16 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet XXI, (Jakarta : Intermasa, 1987) hal 122
17 Retno Wulan, op. cit., hal 12
23
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian-perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikat baik”
Sehingga karenanya para pihak hendaknya menjalankan hak dan kewajiban
yang berhubungan dengan perjanjian yang dibuatnya dengan sebaik-baiknya.
Dalam perjanjian leasing, secara garis besar dapat digambarkan berupa, lessor
wajib menyediakan barang modal bagi lessee untuk dapat dinikmati kegunaan
bagi keperluan lessee, dan untuk itu lessee mempunyi kewajiban untuk
membayar imbalan jada atau biayasewa kepada lessor atas penyediaan barang
modal tersebut. Selama jangka waktu perjanjian leasing berjalan, hak milik atas
barang yang dilease secara hukum tetap berada pda tangan lessor. Dan pada
akhir periode lesse memiliki hak opsi untuk membeli barang modal yang,
disewanya atau memperpanjang kembali jangka waktu leasing, disamping
lessee juga diwajibkan untuk menjada serta memelihara barang modal yang
disewanya tersebut secara baik dan layak.
Adapun ketentuan –ketentuan yang lainnya yang lebih khusus mengatur
mengenai hak dan kewajiban dari lessor dan lessee adalah ketentuan pasal 1548
sampai dengan padal 1580 KUHPerdata18
18 Andasasmita, op, cit., hal 17.
24
D. SAHNYA PERJANJIAN LEASING
Hukum perjanjian menganut sistim terbuka, artinya kepada masyarakat
diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk membuat perjanjian dengan
syarat-syarat yang mereka tentukan sepakati bersama, termasuk untuk membuat
perjanjian leasing19.
Sistim terbuka dari KUHPerdata terbaca dalam pasal 1338 ayat 1, yang
berbunyi20“ Semua perjanjian yang dibuat secara sah beralaku sebgai Undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”.
Dengan demikian undang-undang memperkenankan setiap orang untuk
membuat perjanjian seperti yang mereka kehendaki, dan perjanjian yang mereka
buat itu akan mengikat mereka seperti undang-undang mengikat. Oleh karenanya
setiap orang dapat membuat perjanjian apa saja, sesuai dengan yang diangan-
angankan, dikehendaki serta disepakati, asal saja perjanjian yang mereka buat itu
tidak bertentangan denganundang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.
Jadi para pihak dapat membuat perjanjian dengan ketentuan sendiri meskipun
menyimpang dwari ketentuan yang tercantum dalam KHUPerdata. Akan tetapi
apabila mereka tidak mengatur sendiri syarat perjanjian tentang suatu hal yang
dipandang oleh undang-undang cukup penting, maka pasal-pasal dalam
KUHPerdata yang berhubungan dengan hal tersebut secara otomatis akan
19 Retno Wulan, “Klausula-Klausula Penting Dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha Menuju Standarisasi Dokumentasi Dan Penyelesaian Sengketa Yang Terjado Dalam Praktek” (makalah disampaikan pada seminarsehari tentang leasing dan perkembangannya, Jakarta, 1966)
20 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgeljk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 25, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992), ps. 1338
25
berlaku. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa pasal-pasal yang mengatur
perjanjian dalam KHUPerdata merupakan hukum pelengkap saja, karena memang
pasal-pasal dalam KUHPerdata ini hanya berfungsi sekedar melengkapi
perjanjian yang dibuat dengan tidak mencantumkan hak dan kewajiban para pihak
secara lengkap21.
Meskipun para pihak dalam pembuatan perjanjian diberikan kebebasan dalam
membuat perjanjian leasing namun tidak berarti mereka dapat bebas dapat bebas
berbuat menurut kemauan yang mreka inginkan Karena ada beberapa hal yang
harus tetap ditaati sebagaimana yang disimpulkan dari ketentuan pasal 1320
KUHPerdata, yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
4 (empat) syarat, yaitu22 :
1. Sepakat mereka yang membuat perjanjian.
Yang dimaksud dengan kata sepakat adalah, bahwa kedua subyek yang
membuat perjanjian itu harus sepakat, setuju, atau seia-sekata, mengenai hal-
hal pokok dari perjanjian yang mereka buat itu. Kata sepakat ini harus
diberikan secara bebas atau sukarela. Menurut pasal 1321 KUHPerdata, kata
sepakat yang telah diberikan ini, akan menjadi sah, apabila kata sepakat
diberikan karena :
a. Salah pengertian atau kekhilafan;
b. Paksaan;
21 Retno Wulan, op. cit., hal 6
22 Ibid, Hal. 7
26
c. Penipuan;
2. Kecakapan untuk membuat Perjanjian
suatu perjanjian harus dibuat oleh orang yang benar-benar mempunyai
kewenangn untuk membuat perjanjian dengan lain perkataan, pihak yang
bersangkutan harus cakap untuk berbuat menurut hukum dan harus
menginsyafi benar akan tanggung jawab yang akan dipikulnya sebagai akibat
dari perjanjian yang dibuatnya itu. Undang-undang tidak menyatakan dengan
jelas siapa-siapa yang dianggap cakap untukmelakukan perbuatan hukum.
Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan, bahwa orang-orang yang dianggap tidak
cakap untuk membuat perjanjian adalah :
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-
undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian tertentu (c kini sudah tidak berlaku).
Apabila pasal tersebut ditafsirkan secara a contrario, maka orang-orang yang
dapat membuat perjanjian adalah orang-orang yang sudah dewasa, orang-
orang yang tidak berada dibawah pengampuan. Wanita yang tidak dilarang
oleh undang-undang.
Menurut pasal 330 KUHPerdata, orang dewasa adalah orang yang telah
berumum 21 tahun, atau yang berumur kurang dari 21 tahun, akan tetapi
27
sebelumnya telah menikah. Dan oleh pasal 50 undang-undang No. 1 tahun
1974, tentang perkawinan, batas usia dewasa ditentukan 18 tahun.
Setelah adanya undang-undang No. 1/4974 pasal 31 ayat 1 dengan jelas
menyatakan, bahwa hak hak kedudukan istri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan di
masyarakat.
Dalam ayat 2 dijelaskan lebih lanjut, bahwa masing-masing pihak berhak
untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Obyek tertentu
Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan, bahwa paling sedikit yang menjadi
obyek perjanjian harus dapat ditentukan jenisnya, baik mengenai benda
berwujud atau benda yang tidak berwujud. Sedangkan menurut ketentuan
pasal 1334 KUHPerdata obyek perjanjian dapat pula berupa barang-
barang yang baru diharapkan akan ada dikemudian hari, jadi barang itu
belum ada pada waktu perjanjian dibuat. Contoh dari perjanjian seperti ini
adalah perjanjian jual beli hasil panen tahun depan. Sehingga karenanya
perjanjian yang tidak mempunyai obyek tertentu, adalah batal demi
hukum.
4. Suatu sebab yang halal.
28
Syarat yang terakhir untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu
sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab, adalah isi perjanjian itu
sendiri, Pasal 1335 KUHPerdata menentukan, bahwa perjanjian akan
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan jika dibuat dengan tanpa sebab atau
dibuat berdasarkan sebab palsu atau sebab yang terlarang. Perjanjian
dikatakan dibuat tanpa sebab, jika tujuan dimaksud oleh para pihak pada
waktu perjanjian dibuat tidak akan tercapai, misalnya apabila dibuat suatu
perjanjian novasi atas suatu perjanjian yang tidak ada sebelumnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan sebab yang palsu adalah suatu sebab
yang dibuat oleh para pihak untuk menutupi sebab yang sebenarnya dari
perjanjin itu, misalnya apabila dibuat perjanjian jual beli morphin dengan
sebab palsu, yaitu untuk pengobatan, padahal sebab yang sebenarnya
adalah untuk dipakai secara bebas.
Yang dimaksud dengan sebab yang terlarang menurut pasal 1337
KUHPerdata adalah, sebab yang bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum atau kesusilaan. Perjanjian yang bertentangan dengan
undang-undang misalnya adalah perjanjian yang dibuat antara ayah dan
anak untuk tidak saling mewarisi. Perjanjian yang bertentangan dengan
ketertiban umum misalnya, apabila dibuaaat perjanjian pemberian upah
antara A dan C, sebesar Rp. 2.000.000,- apabila C membunuh B.
perjanjian yang bertentangan dnegan kesulitan misalnya, perjanjian antara
suami istri, bahwa suami bersedia menceraikan istrinya, apabila istri
29
berjanji, bahwa setelah ia kawin lagi, akan memberikan sebuah mobil
kepada bekas suaminya.
Perjanjian yang dibuat dengan Causa yang tidak halal, apabila
dimohonkan pelaksanaanya kepada Pengadilan Negeri akan tidak
berhasil, oleh karena perjanjian semacam itu sejak semula adalah batal
demi hukum.
Syarat pertama, dan syarat kedua disebut syarat subyektif, oleh karena syarat
ini langsung menyangkut orang atau subyek yang membuat perjanjian. Apabila
salah satu dari syarat subyektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut atas
permohonan pihak yang bersangkutan dapat dibatalkan oleh hakim. Perjanjian
tersebut selama belum dibatalkan tetap berlaku. Pembatalan berlaku sejak putusan
hakim memperoleh kekuatan hukum yang tetap (ex nunc), jadi tidak sejak
semula.
Syarat ketiga dan syarat keempat disebut syarat obyektif. Disebut demikian
oleh karena syarat tersebut menyangkut obyek perjanjian. Apabila salah satu dari
syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut diatas permohonan pihak yang
bersangkutan atau secara ex officio dapat dinyatakan batal demi hukum,
perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Pembatalahj adalah sejak semula
(ex tunc). Kedua belah pihak dikembalikan dalam keadaan semula sebelum
perjanjian dibuat.
Selain dari syarat-syarat tersebut diatas mengenai syahnya suatu perjanjian
leasing, ketentuan lebih lanjut yang mengatur secara khusus mengenai syarat-
30
syarat yang harus ada dalam suatu perjanjian leasing, adalah dicantumkannya hal-
halnya sebagaimana yang diatur dalam surat keputusan menteri keuangan No.
1169/KMK.01/1991, yang terdiri dari :
a. Jenis transaksi sewa guna usaha;
b. Nama dan alamat masing-masin pihak;
c. Nama, jenis, tipe dan lokasi penggunaan barang modal;
d. Harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa guna usaha, angsuran
pokok pembiayaan, imbalan jasa sewa guna usaha, nilai sisa, simpanan jaminan,
dan ketentuan asuransi atas barang modal yang disewa guna usahakan;
e. Masa sewa guna usaha;
f. Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa guna usaha yang dipercepatm
dan penetapan kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal barang modal
yang disewa guna usaha dengan hak opsi hilang, rusak atau tidak berfungsi
karena sebab apapun;
g. Opsi bagi penyewa guna usaha dalam hal transaksi sewa guna usaha dengan
hak opsi;
h. Tanggungjawab para pihak atas barang modal yang disewa guna usaha.
Serta kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pembuatan perjanjian
leasing dan dapat diterjemahkan dalam bahasa asing jika dianggap perlu.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya, tentang para pihak
dalam pelaksanaan leasing yang terdiri dari pihak yang memberikan pembiayaan
31
(lessor), pihak yang menerima pembiayaan (lessee) dan pihak penyedia barang
modal (supplier).
Proses transaktsi leasing dapat dimulai pada saat seorang atau suatu
perusahaan membutuhkan barang modal untuk menunjang jalannya produksi
perusahaan.
Secara garis besar proses transaksi leasing sampai dengan dilakukannya
pembuatan perjanjian leasing dapat dilakukan melalui 3 tahap, yaitu :
1. Tahap Permohonan
Pertama-tama dalam proses transaksi leasing ini pihak calon lessee yaitu
orang atau perusahaan yang membutuhkan barang-barang modal mengajukan
proposal permohonan untuk menggunakan fasilitas leasing terhadap barang
mdoal yang diinginkannya kepada perusahaan leasing. Mengisi formulir
permohonan lessee yang telah disediakan oleh perusahaan leasing yang
berisikan keterangan penting yang merupakan bahan atau data bagi
perusahaan leasing untuk mengadakan analisis akseptabelitas dari calon
leasee, seperti keterangan umum dan latar belakang orang atau perusahaan
yang mengajukan permohonan lease, keterangan barang yang akan menjadi
obyektif, syarat-syarat dari lessee, keterangan tenttang penjamin, keterangan-
keterangan mengenai bank-bank dimana pemohon leasing menjadi nasabah,
dll.
Setelah pemohon leasing tersebut mengisi formulir permohonan leasing,
pihak perusahaan leasing akan mengadakan analisis dan evaluasi terhadap
32
pemohon leasing tersebut, diantaranya dengan mengdakan pemeriksaan
terhadap kebenaran barang yang dibutuhkan tersebut merupakan barang
modal yang akan menunjang jalannya usaha dari pemohon, kemampuan usaha
dari pemohon yang berkaitan dengan kemampuan pemohon untuk membayar
angsuran dari perjanjian lesing nantinya. Pemeriksaan terhadap obyek leasing
yang menyangkut harga barang tersebut, kemampuan (umur ekonomis) dari
barang tersebut.
Dari pemeriksaan yang dilakukan oleh perusahaan leasing sebagaimana telah
dijelaskan diatas, maka hasil pemeriksaan tersebut dapat berguna untuk
menentukan keputusan yang akan diambil , yaitu dapat berupa :
- Permohonan leasing ditolak;
- Menunda permohonan leasing atau
- Permohonan leasing dikabulkan.
Apabila permohonan tersebut dikabulkanmaka dapat dilanjutkan ketahap
berikutnya yaitu tahap perundingan.
2. Tahap Perundingan
Tahap perundingan atau tahap negoisasi merupakan tahap kedua dalam
pelaksanaan realisasi transaksi leasing. Dalam tahap ini pemohon dan
perusahaan leasing mengadakan perundingan untuk membicarakan hal-hal
yang berhubungan dengan permohonan leasing yang diajukan. Perundingan
tersebut adalah mengenai hal-hal yang pokok yaitu mengenai barang, harga
33
dan syarat-syarat perjanjian. Mengenai barang misalnya dimana letak atau
lokasi barang dan apakah factor lain dalam lokasi tersebut, mengenai harga,
apakah harga yang dibayarkan sudah termasuk asuransi dan lain sebagainya.
System terbuka yang merupakan asas yang utama dalamperjanjian seharusnya
dapat terlihat dalam tahap.
Jadi bila si pemohon tidak menyetujui syarat-syarat yang diajukan oleh pihak
perusahaan leasing maka pemohon dapat saja meninggalkan perusahaan
leasing tersebut dan dapat mencari perusahaan leasing lain yang kemungkinan
dapat memberikan persyaratan yang lebih ringan atau lunak.
Tetapi apabila kedua belah pihak sepakat terhadap syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh mereka maka proses selanjutnya adalah dibuatnya perjanjian
leasing.
3. Tahap Pembuatan Perjanjian
Setelah terjadi kesepakatan dalam tahap perundingan mengenai perjanjian
leasing maka proses transaksi ini akan diakhiri dengan tahap pembuatan
perjanjian leasing. Adapun pembuatan akta perjanjian leasing ini dapat
dilakukan dalam dua bentuk, yaitu :
a. Akta dibawah tangan23
23 Retno Wulan, op. cit., hal 2.
34
pembuatan akta dibawah tangan kini merupakan kesepakatan yang mudah
dan dapat dilakukan dengan singkat oleh karena dapat dilakukan tanpa
harus adanya notaries. Dengan kata lain, segala persyaratan yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak dalam tahap perundingan akan
dituangkan dalam akta perjanjian leasing, yang dibuat minimal sebanyak 2
buah dan keduanya harus asli, oleh pihak lessor, yang selanjutnya akan
ditandatangani oleh para pihak.
Dengan adanya tanda tangan kedua belah pihak menandakan adanya
kesepakatan kedua belah pihak terhadap perjanjian leasing yang mereka
buat.
b. Akta Notaris 24
Apabila diinginkan adanya akta otentik dalam pembuatan perjanjian
leasing maka hal tersebut dapat dilakukan dengan meminta bantuan
notaries yang ditunjuk oleh kedua belah pihak. Segala hasil perundingan
yang telah disepakati oleh para pihak diserahkan kepada pihak notaries.
Notaries kemudian merumuskan kembali apa saja yang telah menjadi
kesepakatan para pihak dan kemudian menuangkannya dalam suatu akta
perjanjian, minimal sebanyak tiga rangkap dimana dua rangka akta
haruslah asli.
24 Ibid.
35
Setelah perjanjian yang dibuat oleh notaries tersebut selesi maka
kemudian dibacakan dihadapan kedua belah pihak. Setelah kedua belah
pihak merasa tidak ada keberatan terhadap akta perjanjian tersebut maka
akta tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak dihadapan notaries
dan para saksi. Pada prakteknya bentuk dari akta perjanjian leasing yang
lebih dominan dipergunakan oleh para pihak, adalah dalam bentuk akta
dibawah tangan, hal tersebut dikarenakan bentuk akta perjanjian semacam
ini dianggap lebih singkat, tidak bertele-tele dan biaya murah.
E. MASALAH HUKUM DALAM PERJANJIAN LEASING
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai syarat sahnya suatu
perjanjian dan proses pembuatan suatu perjanjian leasing yang selayaknya untuk
dilakukan atau dipenuhi, sehingga tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.
Namun ada kalanya suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian tidak dapat terlaksana sebagaimana yang telah
diperjanjikan. Dalam hukum perjanjian, ada dua hal yang menyebabkan tidak
terlaksananya suatu perjanjian yaitu Overmatch dan Wanprestasi atau ingkar
janji.25
1. Resiko
25 Tunggal, op.cit., hal. 44
36
Resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu
kejadian diluar kesalahan salah satu pihak.26 Dan siapa yang harus memikul
kerugian-kerugian itu?
Dengan demikian persoalan resiko itu berpokok pangkal pada kejadian yang
dalam hukum Perjanjian dinamakan Keadaan Memaksa. Dimana persoalan
resiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa, sebagaimana ganti rugi
adalah buntut dari wanprestasi.
Dalam buku III KUH Perdata terdapat beberapa pasal yang mengatur
mengenai resiko, namun dari beberapa pasal yang ada, hanya ketentuan pasal
1553 yang mengatur masalah resiko dalam perjanjian sewa menyewa yang
dapat dianalogikan kedalam perjanjian leasing.
Dalam Perjanjian leasing resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian
jikalau ada kejadian.
Pada waktu perjanjian leasing berjalan terdapat kemungkinan bahwa barang
modal yang menjadi obyek leasing tersebut mengalami kerusakan,
kemusnahan, kehilangan akibat dari suatu peristiwa yang bukan karena
kesalahan pihak lesse maupun pihak lessor. Apabila terjadi peristiwa tersebut
maka peristiwa tersebut dapat digolongkan keadaan memaksa yang tidak
dapat dihindari. Keadaan memaksa (Overmatch) adalah peristiwa yang terjadi
tidak disengaja dan terjadinya itu tidak dapat diduga ketika membuat
perjanjian leasing.
26 Subekti, op.cit., hal. 59.
37
Sedangkan keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absolute) yaitu dalam
halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya
oleh karena bencana alam), tetapi ada juga yang bersifat tidak mutlak
(Relatif), yaitu berupa suatu keadaan dimana perjanjian masih dapat juga
dilaksanakan, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar dari hak si
berhutang (misalnya adanya larangan dari pemerintah mengenai barang hasil
produksi dari si Lessee).
Yang menjadi masalah sekarang bila terjadi keadaan memaksa dalam
perjanjian leasing, siapakah yang akan menanggung kerugian yang
ditimbulkan. Dalam perjanjian leasing dewasa ini umumnya keadaan
memaksa dimasukkan ke dalam resiko yang harus ditanggung. Resiko berarti
kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada kejadian di luar kesalahan
salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.
Hal tersebut menjadi permasalahan oleh karena kedua pihak baik pihak lesse
maupun pihak lessor tidaklah berasalah.
Seperti telah disebutkan pada bab-bab terdahulu bahwa mengenai kegiatan
sewa guna usaha atau leasing belum diatur dengan Undang-Undang tetapi
hanya dengan surat Keputusan Menteri Keuangan. Adapun dalam surat
keputusan tersebut hanya diatur mengenai hal-hal yang bersifat administratif
yang berkenaan dengan hak dan kewenangan pemerintah dalam membina dan
mengarahkan serta mengawasi kegiatan usaha leasing. Karena tidak diatur
38
dengan Undang-Undang maka mengenai pengaturan masalah resiko dalam
perjanjian leasing belum jelas.
Jika kita berpedoman pada KUH Perdata, maka mengenai resiko diatur dalam
ketentuan pasal 1237, 1460, 1545 dan 1553.
Dari keempat pasal tersebut di atas yang dapat dianalogikan dengan
perjanjian leasing adalah pasal 1553, yang berbunyi sebagai berikut :
“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa dapat memilih, menurut keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa ataukah ia akan meminta bahkan pembatalan persetujuannya sewa, tetapi tidak dalam satu kedua hal itupun ia berhak atas suatu ganti rugi”.
Dari keempat pasal tersebut diatas yang dapat dianalogikan dengan perjanjian
leasing adalah pasal 1553 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena
mengenai perkataan gugur itu, dapat disimpulkan bahwa masing-masing pihak
tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak lainnya. Dengan perkataan lain
kerugian akibat kemusnahan itu dipikul seluruhnya oleh pemilik barang.27
Beban resiko dalam pasal 1553 tersebut diletakkan pada pemilik benda
meskipun penyewa tidak dapat meminta keuntungan atas hal tersebut.
Tetapi sesuai dengan sifat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak
mereka masih diberi kebebasan untuk menentukan siapa yang bertanggung
jawab mengenai resiko baik karena keadaan memaksa maupun karena hal-hal
yang tidak disengaja lainnya.
27 Subekti, op.cit., hal 62.
39
Selain dari pada itu juga di dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan no.
1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) diatur
sedikit mengenai masalah resiko.
“Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa guna usaha yang dipercepat, dan penetapan kerugian yang harus ditanggung Lessee dalam hal barang modal yang disewa guna dengan hak opsi hilang rusak atau tidak berfungsi karena sebab apapun.”
Kata-kata “karena sebab apapun” dalam pasal di atas dapat disamakan dengan
keadaan memaksa. Jadi dengan demikian mengenai keadaan memaksa
seharusnya dicantumkan dalam klausul perjanjian leasing. Akan tetapi
mengenai siapa yang harus bertanggung jawab sepenuhnya atas keadaan
memaksa tersebut tidak dapat sepenuhnya atas keadaan memaksa tersebut
tidak dapat diambil suatu kesimpulan.
Kalaupun hal tersebut dapat ditafsirkan akan timbul dua kemungkinan, yaitu :
1. Kerugian harus ditanggung oleh pihak lessee.
2. Kerugian harus ditanggung oleh kedua belah pihak.
Dalam prakteknya ternyata pihak lessor mengambil kemungkinan pertama
untuk dicantumkan dalam klausul perjanjian leasing. Jadi pihak lessee
bertanggung jawab atas barang yang menjadi objek leasing.
Hal ini dapat dilihat dalam contoh suatu perjanjian leasing yang terdapat pada
bagian lampiran skripsi ini. Dimana dalam bagian yang mengatur tentang
kehilangan dan kerusakan pada peralatan pasal 13 menyatakan :
40
1. Penyewa (lessee) dengan ini menerima dan harus menanggung sejak
dimulai Jangka Waktu yang disebut dalam Pasal 2, seluruh resiko atas
kehilangan atau kerusakan pada peralatan atau sebagainya yang timbul
karena sebab apapun.
2. Dalam hal kehilangan kerusakan pada peralatan. Penyewa atas biayanya
dan atas pilihan yang menyewakan, harus segera.
a. Mengganti peralatan yang serupa dalam keadaan baik dan berjalan;
atau
b. Memulihkan peralatan dalam keadaan baik dan berjalan.
Dari apa yang dijelaskan di atas tergambar jelas apabila isi perjanjian leasing
tersebut sangat menguntungkan pihak lessor. Sebagai perusahaan pembiayaan
(finance company) jelas ia tidak ingin pembiayaan yang dilakukan
menimbulkan kerugian baginya oleh karena keuntungan merupakan tujuan
utama perusahaan tersebut. Jadi pembiayaan yang telah dikeluarkan tersebut
harus dapat diperoleh kembali tanpa kekurangan apapun. Oleh karena itu
wajar jika dalam perjanjian leasing yang dirancang perusahaan pembiayaan.
Lessor dibebaskan dari segala tanggung jawab mengenai resiko apapun.
2. Wanprestasi
Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya
prestasi buruk. Yaitu apabila si berhutang (debitur) tidak melakukan apa yang
41
diperjanjikan dan karenanya debitur dapat dikatakan telah lalai, alpa atau
ingkar janji.28
Adapun wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur itu dapat
berupa 4 macam29 :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang penting dimana terdapat debitur
yang melakukan wanprestasi itu diancam dengan beberapa sanksi atau hukum.
Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi Debitur yang lalai ada
empat macam, 30 yaitu :
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti rugi. Yang terdiri dari biaya, rugi dan bunga.
Dalam soal penuntutan ganti rugi, undang-undang memberikan ketentuan
yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti
rugi, yaitu hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan apa yang boleh
dituntut sebagai ganti rugi, yaitu hanya meliputi kerugian yang dapat
28 Subekti, op.cit., hal. 45.29 Ibid.30 Ibid.
42
diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi. Hal
tersebut merupakan perlindungan terhadap seorang Debitur dari
kesewenang-wenangan Kreditur.
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian. Yang
harus dimintakan kepada hakim, meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.
3. Peralihan resiko, yaitu kewajiban untuk memikul kerugian yang menimpa
barang yang menjadi obyek perjanjian. Misalnya Debitur bertanggung
jawab atas objek perjanjian.
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkirakan di depan hakim.
Yaitu kewajiban pihak yang dikalahkan untuk membayar biaya perkara.
Misalnya Debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi
suatu perkara di depan hakim.
Di dalam kenyataan sukar untuk menentukan saat debitur dikatakan tidak
memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian pihak-
pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut.31
Undang-undang memberikan upaya hukum untuk menentukan kapan saatnya
seseorang dapat dikatakan wanprestasi, yaitu dengan adanya suatu pernyataan
lalai (ingebrekestelling, somasi)32. Oleh karenanya debitur akan dianggap lalai
31 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Edisi Kedua, Cet.1, (Bandung, 1996, hal. 23
32 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, cet.1, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal 12.
43
dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih
dahulu ditagih, dan kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur
menghendaki pelaksanaan perjanjian.33
Apabila debitur sudah diperingati atau sudah dengan tegas ditagih janjinya,
tetapi tetap tidak melakukan prestasinya, maka debitur berada dalam keadaan
lalai atau alpha, sehingga terhadapnya dapat dilakukan sanksi-sanksi yaitu
penuntutan ganti rugi, pembatalan perjanjian, dan peralihan resiko.34
Dengan demikian pernyataan lalai ini diperlukan dalam hal kreditur meminta
ganti rugi atau meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya
ingkar janji atau wanprestasi.35 Dan cara pemberitahuan pernyataan lalai
tersebut diatur dalam ketentuan pasal 1238 Kitab undang-undang Hukum
Perdata yang menyatakan :
Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Surat perintah yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah suatu pernyataan
resmi oleh seorang jurusita pengadilan, dan akta sejenis itu yang dimaksud
adalah suatu peringatan tertulis. Tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan
secara lisan, namun akan lebih baik dilakukan secara tertulis dan sebaiknya
dengan surat tercatat agar lebih mudah pembuktiannya di muka hakim dan
sulit dipungkiri oleh kreditur.33 Subekti , op.cit., hal. 46.34 Ibid., hal. 47.35 Badrulzaman, op.cit., hal. 24.
44
Dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menentukan
bahwa kewajiban untuk memberikan pernyataan lalai atau peringatan terhadap
lessee dapat ditiadakan dengan jalan menentukan dalam perjanjian bahwa
suatu wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lessee cukup dibuktikan dengan
lewatnya waktu pembayaran angsuran uang sewa, atau sejak saat
dilakukannya tindakan-tindakan yang dilarang oleh perjanjian tersebut.
Dalam pelaksanaan perjanjian leasing, wanprestasi umumnya dilakukan oleh
pihak lessee, baik itu yang bersifat sementara dalam arti menunggak dan
kemudian membayar, juga bisa bersifat tetap dalam arti persoalan itu terpaksa
diselesaikan melalui proses hukum.
Dalam perjanjian leasing, maka berbagai kemungkinan wanprestasi dapat
terjadi dengan konsekuensi yuridis yang berbeda pula36. Adapun hal-hal yang
dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi tersebut37 antara lain :
1. Lessee menunda pembayaran sewa yang telah seharusnya dibayar atau
baru membayar sekian hari setelah tanggal tertentu atau lessee melakukan
pembayaran tapi tidak sebagaimana yang telah diperjanjikan;
2. Tidak membayar denda atas keterlambatnanya membayar uang sewa itu
atau terlambat membayar denda itu;
3. Dalam keadaan tidak mampu ataupun tidak mau lagi membayar uang
sewa, hal ini terjadi dengan kemungkinan pihak lessee jatuh pailit hingga
36 Fuady, op.cit., hal. 45.37 Tunggal, op.cit., hal. 46.
45
tidak bisa membayar sewa barang yang dileasednya, atau memang dengan
sengaja lessee tidak membayar sewa yang sudah jatuh tempo
pembayarannya.
4. Melakukan tindakan-tindakan yang dengan nyata melanggar perjanjian
leasing itu sendiri, misalnya tanpa seijin lesso (secara tertulis) lessee
mengalih pakaikan barang yang dilease kepada pihak lain, menjadikan
barang tersebut sebagai jaminan terhadap hutangnya atau menjual barang
tersebut dengan tujuan antara lain melepaskan diri dari pembayaran sewa
yang dilanggarnya atau menghilangnya label barang dan sebagainya.
Untuk wanprestasi tersebut, lessor dapat menetapkan sanksi, yaitu :
a. Untuk setiap keterlambatan membayar uang sewa, maka lessee harus
membayar bunga keterlambatan (sekian persen) dihitung sejak tanggal
jatuh tempo pembayaran sewa;
b. Menarik suatu deposito guna menjamin ketaatan lessee terhadap
perjanjian leasing yang akan dikembalikan lagi kepada lessee pada masa
berakhirnya leasing dengan dikurangi jumlah-jumlah yang harus dibayar
oleh lessee tanpa bunga;
c. Menarik dan menguasai kembali barang yang dilease, dimana biaya-biaya
harus ditanggung oleh lessee termasuk pembongkaran dan pemindahan
dari tempat lessee ke tempat lessor
46
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERJANJIAN LEASING
Wanprestasi dalam perjanjian leasing umumnya dilakukan oleh pihak
lessee dan biasanya wanprestasi tersebut mengenai soal pembayaran uang sewa
atau pembayaran lainnya yang sudah merupakan kewajiban lessee atau juga
47
mengenai dilanggarnya kewajiban atau larangan oleh pihak lessee yang tercantum
dalam perjanjian.
Dalam terjadinya wanprestasi atau terjadinya sengketa tentu diperlukan suatu
jalan penyelesaiannya. Dalam hal ini ada beberapa cara yang dapat ditempuh
untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dikemudian hari, yaitu melalui
negosiasi dan perdamaian, arbitrase, serta melalui badan peradilan.
Adapun uraian mengenai penyelesaian sengketa tersebut adalah sebagai berikut :
1. Negosiasi dan Perdamaian
Di sini lessor dan lessee mengadakan suatu perdamaian sendiri di luar sidang.
Pelaksanaan perdamaian tersebut tergantung dari negosiasi yang dilakukan
kedua pihak, sehingga terjadi persetujuan dari kedua belah pihak agar
sengketa tersebut tidak dilanjutkan lagi. Perdamaian yang dilakukan kedua
belah pihak di luar sidang, dalam prakteknya hanya berkekuatan sebagai
persetujuan kedua belah pihak belaka, yang apabila tidak ditaati oleh salah
satu pihak, maka masih harus diajukan lagi persengketaan tersebut melalui
suatu proses di pengadilan.
Dalam sengketa perjanjian leasing, apabila terjadi perdamaian antara kedua
belah pihak, maka pihak lessor akan mengambil kembali barang-barang
miliknya yang dikuasai oleh lessee.
2. Arbitrase
Lembaga arbitrase di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah
lama dikenal. Salah satu ketentuan yang dianggap merupakan sumber pokok
48
dapat dilaksanakan arbitrase adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 337
Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement,
Staatblad 1941; 44) atau pasal 337 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa
dan Madura (Rechtsreglement Buitengeswesten, Staatsblad 1927; 227). Kedua
ketentuan dasar tersebut dianggap menjadi dasar berlakunya ketentuan
arbitrase yang diatur kelembagaannya secara cukup lengkap dalam ketentuan
pasal 615 sampai pasal 651 Reglement Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvordering, Staatsblad 1847, 52) bagi seluruh golongan penduduk
Hindia Belanda waktu itu38. Dengan berlakunya ketentuan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, semua ketentuan di muka dinyatakan tidak berlaku lagi.
Menurut ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 tahun 1999 :
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengkata.
Dengan demikian syarat pengikatan diri untuk menyelesaikan sengketa
melalui arbitrase merupakan suatu prasyarat karena berdasarkan kontrak dan
kemauan (permufakatan) dari para pihak sendirilah persoalannya diajukan
melalui arbitrase, dan tanpa adanya persetujuan tentang hal itu tidak mungkin
untuk dipakai cara penyelesaiannya kepada arbitrase ini.39
38 “Arbitrase Sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Business News No. 6393, 25 November 1999, hal. 7.
39 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, cet.2 (Bandung : Alumni, 1986), hal.109
49
Secara umum dapat dikatakan bahwa jalannya pemeriksaan dalam lembaga
arbitrase tidak akan jauh berbeda dengan jalannya proses pemeriksaan perkara
dalam lembaga peradilan pada umumnya. Proses jalannya pemeriksaan
tersebut meliputi antara lain acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai,
sistem pembuktian yang diterapkan, hak-hak para pihak dalam proses
pemeriksaan, serta alur jalannya pemeriksaan itu sendiri yang diambil dari
sejak permohonan untuk pemeriksaan sengketa diajukan hingga pada akhirnya
dijatuhkan suatu putusan pada tingkat akhir yang mengikat para pihak yang
meminta penyelesaian perselisihan atau sengketa mereka melalui lembaga
arbitrase tersebut.40
Berdasarkan ketentuan pasal 34 Undang-Undang No. 30 tahun 1999
menentukan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan
dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional maupun internasional
berdasarkan atas kesepakatan para pihak. Dan dalam hal yang demikian, maka
proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase
tersebut (yang dipilih oleh para pihak) akan dilakukan menurut peraturan dan
acara dari lembaga arbitrase yang dipilih kecuali ditentukan lain oleh para
pihak.
Di Indonesia, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga
resmi untuk menyelesaikan masalah sengketa dagang pada umumnya dan
sengketa leasing pada khususnya, menyarankan kepada para pihak yang ingin
40 “Berbagai Aturan Dasar Yang Wajib Dipenuhi Sehubungan Dengan Jalannya Proses Pemeriksaan Sengketa Dalam Arbitrase”, Business News, No. 6423, 3 Februari 2000, hal. 7.
50
menggunakan arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia, untuk
mencantumkan dalam perjanjian mereka klausula standar sebagai berikut41 :
“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia oleh arbiter yang ditunjuk menurut peraturan tersebut”.
Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, bila ada pihak yang tidak mau
melaksanakan putusan dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia, dalam jangka
waktu yang telah ditentukan maka putusan dari Badan Arbitrase Nasional
Indonesia tersebut akan dikirimkan ke Pengadilan Negeri untuk dimintakan
pelaksanaan eksekusinya.
Selain dari pada itu lembaga arbitrase memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan lembaga peradilan, hal tersebut sebagaimana dijelaskan pada
Penjelasan umum Undang-undang No. 30 1999 pada alinea IV yang
menyatakan bahwa kelebihan tersebut antara lain meliputi :
1. Jaminan kerahasiaan;
2. Terhindar dari keterlambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan
administratif;
3. Dapat memilih sendiri arbiter (hakim swasta) berdasarkan pada
pengetahuan, pengalaman serta latar belakangnya, serta personalianya
yang jujur dan adil;
41 Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1992), hal.11
51
4. Dapat menentukan sendiri pilihan hukum, proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase;
5. Putusan bersifat mengikat dan dilakukan melalui tata cara (prosedur) yang
sederhana serta langsung dapat dilaksanakan.
Sedangkan perbedaan yang paling menyolok diantara dua proses penyelesaian
tersebut hanya menyangkut masalah jangka waktu dan sifat penyelesaiannya
saja. Dimana pada proses penyelesaian melalui arbitrase hanya memerlukan
180 hari atau selama-lamanya kurang dari 455 hari dan bersifat final.
3. Badan Peradilan
Leasing pada dasarnya merupakan salah satu bentuk hukum ekonomi, yang
aturan mainnya baru berbentuk Deregulasi Keputusan Presiden dan
Keputusan Menteri Keuangan, yang menitik beratkan pada masalah yang
bersifat administratif seperti perizinan dan Perpajakan. Akibatnya tidak ada
standar hukum yang bersifat Unified Legal Frame Work, sehingga dalam
penyelesaian permasalahan yang timbul dari transaksi leasing akan
berpedoman kepada Hukum Perjanjian sebagaimana yang diatur KUH
Perdata, dengan cara mengkonstruksikannya sebagai perjanjian atau bentuk
perjanjian tertentu (Contractus Sui Generis).42
Perselisihan atau sengketa yang timbul sehubungan dengan perjanjian leasing
apabila diajukan melalui suatu gugatan kepada Pengadilan Negeri merupakan
42 Hasil wawancara dengan Bapak M. Yahyah Harahap, Mantan Hakim Agung.
52
sengketa perdata yang harus diperiksa, dipertimbangkan dan diputuskan oleh
hakim atau majelis hakim yang bersangkutan. Seperti diketahui bahwa
terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding
kepada Pengadilan Tinggi dan setelah adanya putusan dari Pengadilan Tinggi
masih dapat diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Adapun mengenai hukum acara yang mengatur penyelesaian sengketa perdata
melalui badan peradilan, umumnya diatur dalam Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR).
Untuk memperbaiki atau memulihkan hak-hak lessor yang telah menderita
kerugian akibat ingkar janji dari pihak lessee sebagai yang telah disepakatinya
dalam perjanjian dan juga kemungkinan sebagai akibat dari perbuatan pihak
lessee yang melawan hukum, maka lessor antara lain dapat menuntut lessee,
melalui pengajuan surat gugatan ke Pengadilan Negeri sebagai badan
peradilan tingkat pertama agar :
1. Melakukan sita revindikator atas barang-barang yang menjadi obyek
perjanjian leasing dengan maksud untuk mengambil kembali barang-
barang milik lessor yang berada dalam kekuasaan lessee, untuk kemudian
diserahkan kepada lessor.
2. Menghukum pihak lessee membayar ganti rugi kepada pihak lessor atas
kerugian yang telah dideritanya sebagai akibat dari tindakan ingkar janji
atau wanprestasi dan atau melawan hukum yang telah dilakukan oleh
lessee yaitu berupa :
53
a. Uang angsuran yang masih tertunggak;
b. Denda atas tunggakan ditambah bunganya;
c. Seluruh uang sewa yang masih berjalan hingga angsuran yang
terakhir;
d. Residual value (nilai sisa) dari barang yang dileased;
e. Biaya-biaya penagihan, termasuk biaya perkara dan honor pengacara;
f. Bunga yang bersangkutan.
3. Meletakkan sita jaminan atas harta milik lessor lainnya untuk menjamin
pembayaran ganti rugi.
4. Mengalihkan segala resiko kepada pihak lessee.
5. Menghukum pihak lessee membayar segala ongkos perkara.
6. Menuntut kepada hakim untuk membatalkan perjanjian lease atau
menyatakan perjanjian tersebut batal akibat adanya ingkar janji.
Hakim dalam memeriksa, mempertimbangkan dan memutuskan sengketa
yang timbul sehubungan dengan adanya perjanjian leasing yang dibuat oleh
kedua pihak, yang pertama-tama dipakai sebagai dasar adalah surat gugatan
yang telah dibuat oleh Penggugat. Oleh karena itu, gugatan harus dibuat
dengan jelas, lengkap, padat dan berisi.
Fundamentum Petendi atau posita harus lengkap, namun tidak bertele-tele,
dan terutama apa yang diminta agar dikabulkan oleh hukum, Petitum harus
54
lengkap. Hal itu oleh karena pasal 178 Het Herziene Indonesisch Reglement
(HIR) menyatakan :
1. Pada waktu bermusyawarah, hakim karena jabatannya wajib melengkapi
segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak;
2. Hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan;
3. Hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau
memberikan lebih dari pada yang dituntut.
Dari pasal 178 ayat 3 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) nampak
jelas bahwa petitum harus lengkap oleh karena hakim tidak bisa mengabulkan
hal-hal yang tidak dituntut.
Dalam hal hakim berusaha meneliti apakah perjanjian tersebut benar-benar
merupakan suatu perjanjian leasing ataukah digolongkan dalam perjanjian
sewa-menyewa, maka hakim akan memperhatikan hal sebagai berikut43 :
- Maksud sebenarnya dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian;
- Sifat perjanjiannya;
- Adat kebiasaan yang berlaku;
- Janji-janji yang ditinjau hubungannya antara satu sama lain dan dengan
penafsiran yang sistematis;
43 Retno Wulan, “Klausula-klausula Penting Dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha Menuju Standarisasi Dokumentasi dan Penyelesaian Sengketa Yang Terjadi Dalam Praktek” (Makalah disampaikan pada Seminar Sehari tentang Leasing dan Perkembangannya, Jakarta, 1996.
55
- Jika ada keragu-raguan maka perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian
orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan untuk
keuntungan orang yang telah mengakibatkan dirinya untuk itu;
- Kalau dalam persetujuan telah disebutkan sesuatu hal, misalnya mengenai
penegasan sesuatu hak, maka ini tidak boleh digunakan untuk membatasi
hak-hak yang berakar pada hal-hal yang tidak disebutkan.
Adapun yang menjadi landasan bagi hakim dalam mengemban tugasnya
tersebut adalah Undang-undang No. 14 tahun 1970, yaitu Undang-Undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang dalam pasal 5 dikemukakan, bahwa
pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang
dan bahwa dalam perkara perdata pengadilan membantu para pencari keadilan
dan berusaha sekeras-berasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dengan biaya ringan.
Dalam pasal 14 dikemukakan, bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan hakim wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya. Pasal tersebut selanjutnya mengemukakan,
bahwa ketentuan penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Dalam pasal 18 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut
dikemukakan, bahwa semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai
kekuatan hukum, apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
56
Pasal 23 dari Undang-Undang tersebut mengemukakan, bahwa segala putusan
pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu,
juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
Dalam menghadapi perkara yang bersangkutan hakim harus menguasai
dengan baik Hukum Acara Perdata, terutama yang menyangkut beban
pembuktian dan kekuatan alat-alat bukti yang diajukan oleh kedua belah
pihak.
Oleh karenanya pasal-pasal dari buku III KUH Perdata yang memuat asas-
asas Hukum Perjanjian, antara lain pasal 1338, pasal 1320, pasal 1339, pasal
1354, pasal 1456, haruslah dikuasai hakim dengan baik, untuk dapat menelaah
keabsahan perjanjian leasing yang bersangkutan44.
B. ANALISIS KASUS SENGKETA PERJANJIAN LEASING
Pada bagian di atas telah dijelaskan, adakalanya suatu perjanjian yang
telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian tidak dapat terlaksana
sebagaimana yang telah diperjanjikan akibat salah satu pihak yaitu lessee telah
ingkar janji atau wanprestasi. Dan salah satu upaya hukum yang dapat dilakukan
lessor untuk melindungi hak-hak dan kepentingannya ialah dengan mengajukan
sengketa perjanjian leasing tersebut kepada lembaga peradilan.
44 Ibid
57
Berikut ini akan dibahas mengenai kasus sengketa Perjanjian Leasing
yang disebabkan oleh adanya perbuatan Ingkar Janji (wanprestasi), yang proses
penyelesaiannya melalui Negosiasi dan Perdamaian, dan kasus tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu Di sini lessor dan lessee mengadakan
suatu perdamaian sendiri di luar sidang. Pelaksanaan perdamaian tersebut
tergantung dari negosiasi yang dilakukan kedua pihak, sehingga terjadi
persetujuan dari kedua belah pihak agar sengketa tersebut tidak dilanjutkan lagi.
Perdamaian yang dilakukan kedua belah pihak di luar siding. Adapun kasus
dimaksud adalah sebagai berikut :
Pada hari selasa tanggal 25 mei tahun 2004 telah dibuat dan ditandatangani
perjanjian oleh dan antara :
Hartadi Soeharto dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut dan selaku
demikian untuk dan atas nama serta sah mewakili PT. Pro Car Internasional
Finance yang berkedudukan di Jakarta maupun selaku kuasa PT Bank INA
Perdana sebagaimana ternyata dari perjanjian kerjasama penyaluran kredit
kendaran bermotor roda empat dalam bentuk pembiayaan bersama (joint
financing) nomor : BIP/38/KK-HW/2003 tertanggal 22 desember 2003. untuk
selanjutnya disebut kreditur dengan Ferdinand H yang beralamat di PS Kecapi
GG.Mesjid 2/64 Rt003/008 JatiWarna Bekasi dalam hal ini bertindak untuk dan
atas nama diri sendiri selanjutnya disebut debitur. Kedua belah pihak setuju untuk
mengadakan perjanjian pembiayaan dengan penyerahan hak milik secara fidusia
58
(selanjutnya disebut Perjanjian) dengan mengunakan syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut :
1. kreditur menyetujui untuk memberikan fasilitas pembiayaan kepada debitur
berupa pembiayaan satu unit kendaraan bermotor (selanjutnya disebut kendaraan)
dengan spesifikasi sebagai berikut :
Type : Suzuki/ Carry ST 100 No Polisi : B 2953 LY
No rangka : MHYESL4104J-662921 Warna : Merah Bata
N0 mesin : F10A-ID-662921 Tahun : 2004
Dalam keadaan : Baru
BPKB atas nama : Ferdinand H
2. baik kreditur maupun debitur setuju dan sepakat atas pemberian atau
penerimaan pembiayaan tersebut ditentukan sebagai berikut :
a. jumlah pinjaman pokok adalah sebesar Rp. 38.500.000
b. pinjaman tersebut diberikan untuk jangka waktu 24 bulan sejak ditandatanganinya
perjanjian ini
c. pembayaran kembali dilakukan dalam 24 angsuran yang dibayarkan selambat-
lambatnya pada tanggal 25 setiap bulannya dan dimulai tanggal 25-06-2004
dengan besar angsuran Rp. 2.053.333
Perjanjian ini berlaku dan mengikat sejak penandatanganan oleh kedua belah
pihak dan berakhir sampai kewajiban debitur selesai dipenuhi seluruhnya. Kedua
belah pihak telah sepakat untuk tunduk dan patuh kepada seluruh syarat perjanjian
59
sebagaimana yang terkatub pada halaman sebelah perjanjian ini yang juga merupakan
satu kesatuan dari dan tidak terpisahkan dengan perjanjian ini.
Menurut perjanjian pembiayaan dengan penyerahan hak milik secara fiducia
nomor : 01-04624 tertanggal 25 mei 2004 antara PT Pro Car Internasional Finance
dengan Ferdinand H sebagai debitur, bahwa debitur tersebut tidak memenuhi
kewajibannya yaitu bilamana pembiayaan tidak dibayar lunas pada waktu yang telah
ditetapkan maka Kreditur berhak untuk menjual seluruh jaminan sehubungan dengan
pembiayan ini.
60
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian-uraian singkat dan sederhana sebagaimana yang
telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, mengenai leasing dan pelaksanaannya,
ada beberapa kesimpulan yang bisa diperoleh penulis dari pembahasan tersebut,
diantaranya sebagai berikut :
Leasing adalah suatu pranata hukum perjanjian yang lahir dan tumbuh
berkembang dari kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat, yang berkaitan dengan
masalah pembiayaan. Pranata leasing adalah perjanjian In Nominat karena tidak
mempunyai nama atau penyebutan di dalam KUH Perdata, namun demikian
dalam perkembangannya pranata leasing mengacu kepada ketentuan pasal 1338
juncto pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata buku ke III mengenai
ketentuan umum tentang perikatan yang menganut sistem terbuka, yang
merupakan asas pokok dari hukum perjanjian. Yaitu suatu asas yang memberikan
kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pihak untuk mengadakan perjanjian
yang berisi dan bermacam apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan
kesusilaan, serta memenuhi ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian.
Para pihak apabila menghendaki, juga dapat membuat suatu perjanjian diluar dari
ketentuan buku III KUH Perdata, maka karenanya buku III KUH Perdata itu
sering dikatakan hanya bersifat sebagai pelengkap saja.
61
Pesatnya perkembangan leasing selanjutnya membuat pemerintah merasa
perlu untuk mengatur lebih khusus mengenai pelaksanaan leasing. Hal tersebut
dapat dilihat dari dikeluarkannya beberapa deregulasi yang bertaraf Keputusan
Presiden atau dibawahnya yang menitik beratkan pada masalah perijinan,
kegiatan, ketentuan dan tata cara pelaksanaan, dan lain sebagainya mengenai
leasing.
Ketentuan-ketentuan yang ada tersebut apabila dikaitkan dengan para
pihak yang melaksanakan perjanjian leasing belumlah cukup memadai, hal itu
dikarenakan aturan yang ada tersebut hanya bersifat administratif saja dan
disamping itu pula aturan dimaksud, kedudukannya berada di bawah peraturan
yang setingkat dengan Undang-Undang.
Dengan demikian pelaksanaan leasing di Indonesia dapat dikatakan belum
mempunyai suatu ketentuan peraturan perundang-undangan atau standar hukum
yang kokoh. Oleh karena itu aturan yang ada tersebut kurang memberikan
jaminan kepastian hukum bagi para pihak yang melaksanakan perjanjian leasing.
Apabila timbul sengketa diantara para pihak yang membuat perjanjian,
ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa
tersebut, antara lain dengan menggunakan upaya perdamaian melalui suatu
negosiasi antara para pihak, jika tidak memperoleh perdamaian, maka para dapat
mengajukan permasalahan ketingkat selanjutnya yaitu melalui badan arbitrase
atau melalui lembaga Peradilan.
62
Untuk menentukan apakah pihak yang berwenang adalah badan arbitrase atau
lembaga peradilan, para pihak akan mengacu kepada isi perjanjian, badan atau
lembaga manakah yang telah dipilih oleh para pihak bila terjadi sengketa.
B. SARAN-SARAN
Mengingat pengaturan tentang leasing yang ada saat ini, hanya dalam
tingkat Keputusan Presiden serta peraturan-peraturan pelaksanaan dibawahnya.
Hal tersebut menyebabkan leasing belum mempunyai suatu landasan perundang-
undangan yang kokoh.
Untuk itu perlu ditingkatkan upaya pembaharuan hukum secara terarah
dan terpadu melalui penyusunan suatu perundang-undangan baru yang sangat
dibutuhkan dalam rangka untuk dapat membantu dan mendukung pelaksanaan
dari transaksi leasing tersebut, sehingga terlaksananya suatu standar hukum yang
bersifat Unified Legal Frame Work.
Adalah merupakan tugas dari pemerintah Indonesia beserta aparat-aparat
yang berwenang untuk segera meningkatkan peraturan-peraturan yang ada
menjadi suatu Undang-Undang khusus yang notabene mengatur perihal leasing
secara keseluruhan dan lengkap sehingga terciptanya Law Enforcement.
Hal tersebut dirasakan perlu mengingat dalam prakteknya transaksi
leasing masing terdapat penyimpangan-penyimpangan, dan untuk
mengantisipasinya perlu diciptakan suatu iklim berusaha yang sehat serta
63
kompetitif, menghilangkan hal-hal yang bisa menimbulkan kekurangan atau
penyimpangan dalam pelaksanaan perjanjian leasing itu sendiri.
Selain dari pada itu juga perlu kiranya dipikirkan mengenai upaya untuk
membatasi sedemikian rupa pemakaian asas-asas dalam KUH Perdata diantaranya
mengenai asas kebebasan berkontrak yang bersifat semu, dalam arti bahwa pihak
yang mempunyai kedudukan lebih kuat lebih banyak menentukan isi perjanjian,
hal ini jelas akan merugikan pihak-pihak yang lemah.
64