Isi Refrat

26
BAB I PENDAHULUAN Ruptur vesica urinaria merupakan rupturnya vesica urinaria oleh karena trauma pada pelvis. Trauma ini paling sering terjadi pada pasien dengan riwayat kecelakaan lalu lintas. Rupture vesica urinaria dapat menyebabkan terjadinya ekstravasasi padaintraperitoneal ataupun intraperitoneal. Jika terjadi ekstravasasi intra peritoneal, hal yang akan terjadi adalah radang peritoneum dan bisa menyebabkan terjadinya peradangan organ-organ lainnya terutama organ yang terdapat pada rongga peritoneum seperti liver, spleen, bagian awal duodenum, colon sigmoid, colon tranversus, yeyunum, ileum, rectum superior. Peradangan pada organ-organ tersebut dapat membahayakan nyawa penderita apabila tidak ditangani secara cepat. Ekstravasasi ekstraperitoneal dapat menyebabkan terjadinya peradangan yang hebat pada bagian pelvis yang mengalami kerusakan atau fraktur apabila terjadi ekstravasasi urin. Dari seluruh angka kejadian traumaurogenital, trauma buli-buli diperkirakan hanya 2% besarnya, hal ini bisa dinyatakan sebagai suatu kejadian yang jarang namun berakibat fatal bagi penderita apabila tidak ditangani secara cepat. 1

Transcript of Isi Refrat

BAB I

PENDAHULUAN

Ruptur vesica urinaria merupakan rupturnya vesica urinaria oleh karena

trauma pada pelvis. Trauma ini paling sering terjadi pada pasien dengan riwayat

kecelakaan lalu lintas. Rupture vesica urinaria dapat menyebabkan terjadinya

ekstravasasi padaintraperitoneal ataupun intraperitoneal. Jika terjadi ekstravasasi

intra peritoneal, hal yang akan terjadi adalah radang peritoneum dan bisa

menyebabkan terjadinya peradangan organ-organ lainnya terutama organ yang

terdapat pada rongga peritoneum seperti liver, spleen, bagian awal duodenum,

colon sigmoid, colon tranversus, yeyunum, ileum, rectum superior. Peradangan

pada organ-organ tersebut dapat membahayakan nyawa penderita apabila tidak

ditangani secara cepat. Ekstravasasi ekstraperitoneal dapat menyebabkan

terjadinya peradangan yang hebat pada bagian pelvis yang mengalami kerusakan

atau fraktur apabila terjadi ekstravasasi urin.

Dari seluruh angka kejadian traumaurogenital, trauma buli-buli diperkirakan

hanya 2% besarnya, hal ini bisa dinyatakan sebagai suatu kejadian yang jarang

namun berakibat fatal bagi penderita apabila tidak ditangani secara cepat.

Komplikasi pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urin ke

rongaa pelvis yang dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan

abses pelvis yang lebih berat lagi adalah robekan buli-buli intraperitoneal. Jika

tidak segera dilakukan operasi, dapat menimbulkan peritonitis akibat dari

akstravasisi urine pada rongga intra peritoneum. Kedua keadaan ini dapat

menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa.Kadang-kadang dapat pula

terjadi penyulit berupa gangguan miksi, yaitu frekuensi dan urgensi yang biasanya

akan sembuh selama 2 bulan (Sjamsuhidayat, 2004).

Pasien yang datang biasanya dengan pireksia, nyeri abdomen bagian bawah,

distensi abdomen, disuria, atau oliguri, hematuria serta tiba-tiba mengalami gagal

ginjal akut. Dalam diagnosis ruptur vesika urinari memerlukan adanya nyeri

abdomen bagian bawah, hematuria, gagal ginjal akut serta azotaemia pada diri

pasien. Pengamatan klinis yang cermat terhadap tanda dan gejala ditambah dengan

sistogram dan laparoskopi merupakan gold standard dalam diagnosis dan terapi

1

pada ruptur vesika urinaria. Selama laparoskopi, retrograde cystourethrogram

sangat berguna dalam menentukan lokasi vesika urinari yang ruptur. Apabila

pasien tidak segera ditangani maka ruptur ekstraperitoneum dapat menimbulkan

terjadinya ekstravasasi urin ke rongga pelvis yang dapat memicu timbulnya

infeksi. Bila ruptur intraperitoneum makan dapat menimbulkan terjadinya

ekstravasasi urin pada rongga intraperitoneum yang memicu timbulnya peritonitis.

Kedua komplikasi tersebut dapat menyebabkan terjadinya sepsis yang mengancam

jiwa. Penyakit ini memiliki angka kejadian yang jarang. Akan tetapi, penyakit ini

berpotensi fatal dengan angka kematian mencapai lebih dari 80% (Saleem, 2009 ;

Purnomo, 2011 ; Ahmed, 2009).

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Ruptur vesica urinaria atau trauma pelvis (buli-buli) adalah trauma yang

sering disebabkan oleh ruda paksa dari luar dan sering didapatkan bersama

fraktur pelvis. Fraktur macam ini dapat menyebabkan kontusio atau ruptur

kandung kemih. Pada kontusio buli-bulihanya terjadi memar pada buli-buli

dengan hematuria tanpa ekstravasasi urine. Trauma kandung kemih terbanyak

karena kecelakaan lalu lintas yang disebabkan fragmen patah tulang pelvis

(90%) yang mencederai buli-buli. Trauma tumpul menyebabkan rupture buli-

buli terutama bila vesica urinaria penuh atau terdapat kelainan patologik

seperti tuberculosis, tumor, atau obstruksi sehingga trauma kecil sudah

menyebabkan rupture. Ruptur buli-buli dapat juga terjadi secara spontan, hal

ini biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan pada dinding vesica

urinaria (Sjamsuhidayat, 2004).

Fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranasea karena prostat

dengan uretra prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur,

sedangkan uretra membranasea terikat diafragmaurogenital. Bila buli-buli

yang penuh dengan urine mengalami trauma, maka akan terjadi peningkatan

tekanan intra vesikel yang dapat menyebabkan contosio buli-buli/buli- buli

pecah. Keadaan ini dapat menyebabkan ruptura intraperitoneal. Ruptur

kandung kemih intraperitoneal dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsang

peritonium termasuk defans muskuler dan sindrom ileus paralitik Angka

kejadian trauma pada buli-buli diperkirakan 2% dari seluruh kejadian pada

trauma urogenital (Sjamsuhidayat, 2004).

B. Epidemiologi

Dari seluruh angka kejadian traumaurogenital, trauma buli-buli

diperkirakan hanya 2% besarnya, hal ini bisa dinyatakan sebagai suatu

kejadian yang jarang namun berakibat fatal bagi penderita apabila tidak

ditangani secara cepat.

3

C. Klasifikasi

Berdasarkan dari letak rupturnya dapat dibagi menjadi dua yaitu :

a. Ektraperitoneal Ruptur Vesiva Urinaria

Kebanyakan vesica urinaria pecah ekstraperitoneal dapat dikelola

dengan aman dengan drainase kateter sederhana (yaitu, uretra atau

suprapubik). Biarkan kateter dalam selama 7-10 hari dan kemudian

mendapatkan sebuah cystogram. Sekitar 85% dari waktu, laserasi yang

disegel dan kateter akan dihapus untuk percobaan berkemih (Purnomo,

2011).

Hampir semua cedera kandung kemih ekstraperitoneal sembuh dalam 3

minggu. Jika pasien dibawa ke ruang operasi untuk cedera yang

berhubungan, pecah ekstraperitoneal dapat diperbaiki bersamaan jika

pasien stabil (Purnomo, 2011).

Kandung kemih dengan ekstravasasi ekstraperitoneal yang luas sering

diperbaiki melalui pembedahan. Intervensi bedah dini mengurangi rawat

rumah sakit dalam waktu lama dan komplikasi potensial, sementara juga

untuk mempromosikan pemulihan awal (Purnomo, 2011).

b. Intraperitoneal kandung kemih pecah/ Intraperitoneal rupture vesica

urinaria

Kebanyakan, pecah kandung kemih intraperitoneal memerlukan

eksplorasi bedah. Cedera ini tidak sembuh dengan kateterisasi

berkepanjangan saja. Urine mengambil jalur yang paling resistensi dan

terus bocor ke rongga perut. Hal ini menyebabkan asites kemih, perut

kembung, dan gangguan elektrolit (Purnomo, 2011).

Pembedahan mengeksplorasi semua luka tembak di perut bagian

bawah. Karena sifat dari cedera visceral terkait, pasien harus segera

dibawa dengan kecepatan tinggi trauma rudal ke ruang operasi, di mana

luka kandung kemih dapat diperbaiki bersamaan dengan cedera visceral

lainnya (Purnomo, 2011).

Stabilisasi luka ke daerah suprapubik melibatkan kandung kemih

yang harus dikelola selektif. Pembedahan memperbaiki cedera

4

intraperitoneal yang jelas, dan mengelola cedera ekstraperitoneal kecil

dengan drainase kateter (Purnomo, 2011).

D. Tanda dan Gejala

a. Anamnesis (Purnomo, 2003)

1. Keluhan utama :

Nyeri di daerah supra simphysis

Kencing darah atau bercampur darah

Tidak keluar kencing dan atau tidak ingin kencing

Keadaan umum : gelisah, cemas

2. Pemeriksaan Fisik

Tekanan darah : meningkat

Denyut nadi : meningkat

Respirasi rate : meningkat

3. Riwayat trauma

Instrumentasi di daerah urethra buli – buli

b. Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi (Purnomo, 2003):

Adanya jejas di daerah symphysis atau pelvis

Kwalitas urin yang keluar ( hematuria)

Abdomen distended bagian bawah(supra symphisis)

2. Palpasi (Purnomo, 2003):

Nyeri tekan di supra symphisis / abdomen bawah

Abdomen tegang ( peritonismus )

Buli – buli tidak teraba( kosong)

Terdapat infiltrat urin di daerah prevesikal

3. Perkusi : nyeri ketok supra symphisis

4. RT : prostat melayang/ tidak teraba ditempat

5

c. Patofisiologi

Kasus rupture vesica urinaria jarang terjadi. Hal ini disebabkan

karena posisi anatomis dari vesica urinaria yang apabila tidak terdistensi

maksimal berada di belakang tulang pelvis (ekstraperitoneal), sehingga

dapat terlindungi. Namun apabila buli-buli (vesica urinaria) terdistensi

dengan maksimal, posisi buli-buli dapat menjadi lebih superior bahkan

mungkin sampai ke cavum abdomen (intraperitoneal) yaitu setinggi 8-10

cm di belakang symphisis pubis. Oleh karena itu rupture vesica urinaria

tergantung dari derajat distensinya (Tanagho &McAninch, 2008).

Kebanyakan kasus rupture pada vesica urinaria yang terjadi

ekstraperitoneal, terjadi karena kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan

patahnya tulang pelvis sehingga vesica urinaria cedera. Trauma tumpul

dapat. mengakibatkan rupture buli-buli terutama apabila kandung kemih

penuh atau terdapat kelainan patelegik sepetrti tuberculosis, tumor atau

obstruksi sehingga menyebabkan rupture. Selain itu rupture vesicae dapat

juga disebabkan karena trauma tajam yang jarang terjadi karena luka tusuk

maupun luka akibat tembakan (Tanagho &McAninch, 2008).

Fraktur pada tulang panggul juga dapat menimbulkan kontusio atau

rupture kandung kemih, pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada

6

dinding buli-buli dengan hematuria tanpa eksravasasi urin. Rupture

kandung kemih ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur

tulang pelvis pada dinding depan kandung kemih yang penuh. Pada

kejadian ini terjadi ekstravasasi urin dari rongga perivesikal (Tanagho

&McAninch, 2008).

E. Diagnosis

Penegakan diagnosis untuk ruptur vesika urinaria (Davey, 2006) yaitu :

a. Anamnesis

Ketika dilakukan anamnesis, pasien biasanya mengeluhkan adanya nyeri

di daerah suprapubic. Dengan keluhan penyerta seperti keluarnya darah

saat buang air kecil, anuria atau sulit kencing, dan bila ditelusuri akan

terdapat riwayat trauma pada penderita.

b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik inspeksi, akan ditemukan beberapa hal yang

menunjukan adanya perlukaan (jejas) di daerah pelvis, dan adanya distensi

abdomen bagian bawah (supra symphisis). Pada palpasi akan ditemukan

adanya abdomen yang tegang, kosongnya buli-buli/hilangnya kandung

kemih dan juga nyeri tekan pada abdomen bawah. Pada saat melakukan

perkusi akan ditemukan nyeri ketok kostovertebrae.

c. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan darah, akan ditemukannya penurunan hematokrit yang

menunjukan adanya kehilangan darah periode akut. Pada pemeriksaan

radiologi akan ditemukan gambaran fraktur pada pelvis. Pemeriksaan

cystography akan menunjukan adanya gambaran ekstravasasi di

ekstraperitoneal ataupun intra peritoneal, hal ini nantinya akan membantu

dalam menentukan letak ruptur dan bagaimana penatalaksanaannya.

Diagnosis dari ruptur vesica urinaria ini dapat ditegakan bila terdapat

kemiripan/kesamaan tanda dan gejala serta gambaran seperti diatas.

7

F. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah (kadar hematokrit)

Pemeriksaan darah rutin pada pasien ruptur vesika urinaria akan

menunjukan adanya penurunan hematokrit. Kadar normal hematokrit pada

anak adalah 33-38%, pada pria dewasa 40-48%, dan bagi wanita dewasa

adalah 37-43%. Pada kasus ruptur vesika urinaria akan terjadi penurunan

nilai hematokrit yang drastis, hal ini dikarenakan adanya peristiwa

kehilangan darah akut (kehilangan darah secara mendadak, misalnya pada

kecelakaan). Penurunan hematokrit juga digunakan untuk mendiagnosis

anemia, leukimia, gagal ginjal kronik, malnutrisi, kekurangan vitamin B

dan C, kehamilan, ulkus peptikum. Sebaliknya, peningkatan hematokrit

biasanya terjadi pada pasien dengan dehidrasi, diare berat, eklampsia, efek

pembedahan, luka bakar, dan lain-lain (Sacher, 2004).

b. Pemeriksaan radiologi (Foto rontgen)

Pemeriksaan menggunakan foto rontgen ini dilakukan pada bagian

pelvis. Hal ini ditujukan untuk mengetahui apakah ada fraktur tulang

pelvis atau tidak. Dalam kasus ruptur vesika urinaria, kebanyakan kasus ini

disebabkan karena adanya fraktur tulang pelvis. Gambaran foto tulang

pelvis yang normal, tidak akan menunjukan adanya retakan atau patahan di

tulang pelvis (Patel, 2005).

c. Pencitraan (Cystography)

Pemeriksaan cystography atau lebih dikenal dengan sistogram

biasanya digunakan untuk memeriksa adanya ruptur vesika urinaria dan

tumor vesika urinaria. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberi kontras

ke dalam vesika urinaria kemudian dibuat beberapa foto. Pada kasus ruptur

vesika urinaria, pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat ada tidaknya

ruptur vesika urinaria dan lokasi ruptur, baik intraperitoneal maupun ekstra

peritoneal. Foto pada ruptur vesika urinaria ekstraperitoneal akan

menunjukan adanya gambaran ekstravasasi seperti nyala api di daerah

perivesikal, sedangkan pada intra peritoneal terlihat kontras masuk ke

dalam rongga abdomen (Patel, 2005).

8

d. Pemeriksaan urin

Pemeriksaan unrin pada kasus ruptur vesika urinaria ditujukan untuk

mengetahui ada tidaknya darah dalam urin. Adanya darah dalam urin

(hematuria) menunjukan bahwa adanya ruptur vesika urinaria, sedangkan

bila ternyata tidak terdapat darah pada urin maka tidak terdapat ruptur

vesika urinaria (Sacher, 2004).

G. Penatalaksanaan

1. Medikametosa

a. Hentikan syok

b. Hentikan perdarahan

c. Bila ditemukan fraktur tulang punggung disertai ruftur intra peritoneal

dilakukan operasi sectio alta yang dilanjutkan dengan laparatomi.

d. Pasang kateter sederhana 7-10 hari untuk ruptur ekstraperitoneum

e. Pembedahan

Teknik operasi :

1) Posisi terlentang

2) Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan antiseptik.

3) Lapangan pembedahan dipersempit dengan linen steril.

4) Dengan pembiusan umum.

5) Insisi kulit midline ± 10 cm, lapis demi lapis dan rawat perdarahan

6) M. rektum abdominis dipisahkan pada linea alba (tengah-tengah)

7) Lemak prevesikal disisihkan kearah kranial sehingga buli-buli 

terlihat keseluruhannya dengan jelas.

8) Periksa dengan teliti seluruh dinding buli-buli, tentukan letak,

jumlah, ukuran dan bentuk robekannya :

a) Bila bentuk robekan tidak teratur, perlu dilakukan debridement

pada tepi-tepinya.

b) Bila letak robekan di intraperitoneal, maka dilakukan repair

trans peritoneal

9) Pasang DK 16F per urethra sebelum dilakukan penjahitan buli-

buli, dan pastikan DK masuk di dalam buli (balon kateter jangan

9

dikembangkan dulu, agar tidak tertusuk sewaktu menjahit buli)

pada kasus – kasus ruptura yang berat atau pertimbangan lain perlu

di pasang kateter sistostomi nomor 22 atau 24.

10) Jahit robekan buli 2 lapis, yaitu :

a) Jahit mukosa-muskulari buli dengan plain cutgut  3-0 secara

jelujur biasa

b) Jahit mukosa-muskularis dengan dexon 4-0, satu-satu

11) Kembangkan balon kateter dengan larutan garam fisiologis ± 10cc

12) Lakukan test buli-buli, untuk mengecek jahitan buli (bocor atau

tidak)

13) Cuci lapangan operasi dengan larutan garam fisiologis sampai

bersih

14) Pasang drain redon perivesikal (di cavum Retzii) dan fiksasi

dengan silk 1-0 di kulit

15) Tutup lapangan operasi lapis demi lapis

a) Dekatkan M. rektus abdominis dengan chromic 2-0 satu-satu

b) Jahit lemak subkutan dengan plain cat-gut 3-0 satu-satu

c) Jahit kulit dengan silk 3-0 satu-satu

Komplikasi operasi

Komplikasi pasca bedah ialah perdarahan dan infeksi luka operasi.

Perawatan Pascabedah

1) Lepas kateter pada hari ke 7

2) Lepas drain redon setelah lepas kateter dan produksinya < 20 cc

dalam 2 hari berturut-turut.

3) Pelepasan benang jahitan keseluruhan 10 hari pasca operasi

f. Antibiotik spektrum luas untuk mencegah terjadinya infeksi

a. Non Medikametosa

1. Istirahat tirah baring

2. Diet makanan

3. Menyarankan pasien kembali beraktivitas normal dalam waktu 4-6

minggu.

10

2. Prognosis

Apabila ruptur pada vesica urinaria segera dioperasi maka penyakit ini

akan segera membaik dan tidak terjadi komplikasi yang membahayakan.

Namun. Jika tidak segera dioperasi maka pada robekan buli-buli

intraperitoneal dapat menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasasi urine

pada rongga peritoneum. Keadaan tersebut dapat menyebabkan sepsis yang

dapat mengancam jiwa (Purnomo, 2008)

3. Komplikasi

a. Peritonitis

Merupakan inflamasi rongga peritoneal dapat berupa primer atau

sekunder, akut atau kronis dan diakibatkan oleh kontaminasi kapasitas

peritoneal oleh bakteri atau kimia. Primer tidak berhubungan dengan

gangguan usus dasar (contoh: sirosis dengan asites, sistem urinarius ) dan

sekunder inflamasi dari saluran GI, ovarium atau uterus, cedera traumatik

atau kontaminasi bedah ( Doenges, 2007).

b. Fistula

Merupakan saluran tidak normal yang menghubungkan organ-organ

bagian dalam tubuh yang secara normal tidak berhubungan, atau

menghubungkan organ-organ bagian dalam dengan permukaan tubuh

bagian luar ( Martin, 2005).

c. Pyelonephritis ( infeksi ginjal)

Merupakan jenis infeksi saluran urin spesifik yang umumnya dimulai

dari uretra atau kendung kemih dan menjalar ke ginjal ( Purwadianto,

2000)

d. Sepsis

Merupakan kondisi medis yang berpotensi berbahaya atau

mengancam nyawa, yang ditemukan dalam hubungan dengan infeksi yang

diketahui atau dicurigai (biasanya namun tidak terbatas pada bakteri-

bakteri) yang tanda-tanda dan gejala-gejalanya memenuhi paling sedikit

dua dari kriteria-kriteria berikut dari sindrom respon peradangan sistemik

atau systemic inflammatory response syndrome (SIRS):

11

1. Denyut jantung yang meningkat (tachycardia) >90 detak per menit

waktu istirahat

2. Temperatur tubuh tinggi (>100.4F atau 38C) atau rendah (<96.8F

atauor 36C)

3. Kecepatan pernapasan yang meningkat dari >20 napas per menit atau

PaCO2 (tekanan parsial dari karbondioksida dalam arteri darah) <32

mm Hg

4. Jumlah sel darah putih yang abnormal (>12000 sel/µL atau <4000

sel/µL atau >10% bands [tipe yang belum matang dari sel darah putih]

(Carpenito, 2009)

12

BAB III

PEMBAHASAN

Pada saat ini penatalaksanaan pada ruptur vesika urinari dilakukan dengan

sistogram dan laparoskopi yang merupakan gold standard dalam diagnosis dan

terapi ruptur vesika urinari. Sistogram merupakan pemeriksaan radiologi kandung

kemih, setelah kandung kemih diisi oleh suatu medium kontras melalui kateter.

Sedangkan laparoskopi merupakan suatu instrumen untuk melihat rongga

peritoneum, struktur rongga pelvik dan dapat juga dipakai untuk tindakan operatif.

Sistogram sangat berguna selama laparoskopi untuk mengetahui lokasi atau

bagian vesika urinari yang mengalami ruptur. Bersamaan dengan hal tersebut,

laparoskopi dilakukan untuk menjahit bagian vesika urinari yang ruptur. Selain

sistogram, dapat juga digunakan Sistouretrogram. Sistouretrogram merupakan

suatu pemeriksaan radiografik kandung kemih dan uretra (Saleem, 2009 ;

Brooker, 2008 ; Hadibroto, 2007).

Saat ini laparoskopi lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan

laparotomi (Pembedahan perut sampai dengan membuka selaput perut) dan

sistotomi (insisi ke dalam kandung kemih melalui dinding abdomen). Terdapat

beberapa kelebihan dari laparoskopi bila dibandingkan dengan laparotomi dan

sistotomi. Kelebihan laparoskopi operatif pada umumnya adalah penyembuhan

luka operasi lebih cepat, waktu perawatan lebih pendek, nyeri akibat operasi lebih

cepat hilang, parut luka operasi lebih kecil, cedera kandung kemih, dan

perdarahan post-operatif lebih jarang terjadi. Sedangkan kekurangan yang paling

tampak adalah masalah biaya, dimana laparoskopi memerlukan biaya yang lebih

besar (Hadibroto, 2007).

Terdapat beberapa harapan dalam penatalaksanaan kasus ini. Harapan

tersebut diantaranya adalah untuk lebih mempercepat dalam mendiagnosis

terjadinya ruptur vesika urinari dengan tepat sehingga penatalaksanaan lebih lanjut

dapat diberikan secepat mungkin. Dengan penatalaksanaan yang lebih cepat

dilakukan maka diharapkan dapat menekan terjadinya komplikasi seperti

peritonitis dan sepsis, serta diharapkan pula dapat menurunkan potensi angka

kematian dari rruptur vesika urinari. Selain itu, diharapkan pula penatalaksanaan

13

yang dilakukan dapat meminimalisir bahkan tidak memberikan efek negatif pada

diri pasien sesudahnya.

Berikut ini langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menangani apabila

terjadi rupture vesica urinaria :

a. Atasi syok dan perdarahan.

b. Istirahat baring sampai hematuri hilang.

c. Bila ditemukan fraktur tulang punggung disertai ruftur vesicaurinaria intra

peritoneal dilakukan operasi sectio alta yang dilanjutkan dengan laparatomi.

14

BAB IV

KESIMPULAN

b. Ruptur vesica urinaria atau trauma pelvis (buli-buli) adalah trauma yang sering

disebabkan oleh ruda paksa dari luar dan sering didapatkan bersama fraktur

pelvis.

c. Ruptur vesica urinaria terjadi tergantung dari derajat distensinya. Kebanyakan

kasus rupture pada vesica urinaria yang terjadi ekstraperitoneal

d. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada rupture vesica urinaria

adalah pemeriksaan darah (kadar hematokrit), pemeriksaan radiologi (Foto

rontgen), pencitraan (Cystography), dan pemeriksaan urin.

e. Untuk meneggakan diagnosis dari ruptur vesica urinaria yaitu terdapat riwayat

trauma pada pasien, terdapat gambaran radiologi berupa fraktur tulang pelvis,

terdapat nyeri suprapubik dan kekakuan otot abdomen, kencing bercampur

darah atau hematuria, terdapat gambaran ekstravasasi pada pencitraan

sistogram.

f. Prognosis ruptur vesica urinaria baik apabila segera dilakukan operasi tetapi

apabila tidak segera dilakukan operasi dapat menyebabkan peritonitis.

g. Komplikasi yang dapat timbul akibat ruptur vesica urinaria yaitu peritonitis,

fistula, pyelonefritis, dan sepsis.

h. Penatalaksanaan pada ruptur vesika urinari dilakukan dengan sistogram dan

laparoskopi yang merupakan gold standard dalam diagnosis dan terapi ruptur

vesika urinari.

15

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Jamil., Ismail H Mallick dan Syed Muzaffar Ahmad. 2009. Rupture of urinary bladder: a case report and review of literature. Cases Journal. 2:7004.

Brooker, Chris. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : EGC.

Carpenito, Lynda. 2009. Diagnosis Keperwatan Aplikasi pada Praktik Klinis. EGC: Jakarta

Davey, Patrick. 2006. At a Glance MEDICINE. Surabaya: Penerbit Erlangga. 440 hal.

Doenges, Marilyn E. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta

Hadibroto, Budi R. 2008. Laparoskopi Operatif. Available at http://repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 12 September 2012.

Hatch DA. 2007. Normal and Abnormal Development of the Bladder. Avaliable at

http://www.meddean.luc.edu. Diakses tanggal 13 September 2012

Martin, Susan. 2005. Standar Perawatan Pasien, Edisi 5. EGC : Jakarta

Patel, Pradip R. 2007. Lecture Notes: Radiologi edisi dua. Surabaya: Penerbit Erlangga. 315 hal.

Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto.

Purwadianto, Agus. 2000. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara: Jakarta

R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC

Sacher, Ronald A. 2004. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium edisi 11. Jakarta: EGC. 705 hal.

Sagalowsky AI, Peters PC. Menyarankan pasien kembali beraktivitas normal dalam waktu 4-6 minggu.. Genitourinary trauma. In: Walsh PC, et al, eds. Campbell's Urology. 7th ed. Philadelphia, Pa: WBS; 1998:3104-8.

Saleem M A., Mahmoud AM., Gopinath BR. 2009. Spontaneous urinary bladder rupture: a rare differential for lower abdominal pain in a female patient. Singapore Med J. 50(12) : e410.

16

Sylvia Anderson Price, Lorraine mcCarty Wlison.2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC

Tanagho, Emil A. ;McAninch, Jack W. 2008. General Urology, 17th edition. United States of America: Lange.

17