Intoksikasi Herbisida
-
Upload
mohd-kamal -
Category
Documents
-
view
419 -
download
14
Transcript of Intoksikasi Herbisida
Intoksikasi HerbisidaA. PENDAHULUAN
Pestisida (pest killing agent) merupakan obat-obatan atau senyawa
kimia yang umumnya bersifat racun, digunakan untuk membasmi
jasad pengganggu tanaman, baik hama, penyakit maupun gulma.
Sampai saat ini, pestisida yang beredar di pasaran jumlah dan
jenisnya mencapai ribuan. Berdasarkan tujuan dan sasarannya,
pestisida dapat digolongkan / dibedakan dalam insektisida,
herbisida, fungisida, rodentisida, akarisida, nematisida, dan
bakterisida. Herbisida merupakan salah satu jenis pestisida yang
berfungsi dalam mengendalikan dan membunuh gulma.(1).
Penggunaan herbisida telah terbukti bermanfaat meningkatkan
hasil pertanian maupun perkebunan. Salah satu bahan aktif
herbisida yang secara luas digunakan adalah paraquat, bahan aktif
ini telah digunakan di Indonesia sejak tahun 1974. Karena sifat
kimia dan toksisitasnya, maka pada tahun 1979 statusnya diubah
menjadi pestisida terbatas pakai yang hanya boleh digunakan oleh
instansi atau perorangan yang telah mendapat izin (2).
Dari beberapa jenis herbisida yang ada, dalam referat ini hanya
paraquat dan sedikit tentang diquat saja yang akan dibahas
mengingat bahwa paraquat mempunyai efek toksik yang paling
besar dari semua jenis herbisida. Selain itu, paraquat merupakan
jenis herbisida yang paling banyak dipakai secara global di
beberapa negara berkembang tanpa batasan (3).
B. JENIS HERBISIDA
a. Paraquat
Paraquat (methyl viologen), [C12H14N2]2+, dengan nama kimia
1,1’-dimetil-4,4’-bipiridinum atau dalam bentuk paraquat dichloride
[C12H14N2]Cl2 , merupakan herbisida golongan bipiridil yang
berefek toksik sangat tinggi. Paraquat dapat pula ditemukan secara
komersial sebagai garam methyl sulfat (C12H14N2 • 2CH3SO4)
(4,5).
Paraquat adalah produk sintesis yang pertama kali dibuat pada
tahun 1882 oleh Weidel dan Russo. Pada tahun 1933, Michaelis dan
Hill menemukan kandungan redoks dan disebut senyawa metil
viologen. Kandungan paraquat pertama kali dijelaskan pada tahun
1958 dan mulai menjadi produk komersil pada tahun 1962 (6,7).
Paraquat mempunyai ciri berupa (5,6,7):
a. berupa massa padat, tetapi biasanya dalam bentuk konsentrat
20-24%
b. berat molekul 257,2 D
c. pH 6,5 – 7,5 dalam bentuk larutan
d. titik didih pada 760 mmHg sekitar 175oC – 180oC.
e. berwarna kuning keputihan dan berbau seperti ammonia
f. sangat larut di dalam air, kurang larut dalam alkohol, dan tidak
larut dalam senyawa hidrokarbon
g. stabil dalam larutan asam atau netral dan tidak stabil dalam
senyawa alkali
h. tidak aktif akibat paparan sinar ultraviolet
Paraquat yang digunakan lebih dari 120 negara bekerja secara non-
selektif menghancurkan jaringan tumbuhan dengan mengganggu /
merusak membran sel. Gramoxone larutan 20%, produk Syngenta,
merupakan nama dagang dari paraquat yang paling banyak dipakai
(4,7).
b. Diquat
Diquat, (C12H12N2) atau dalam bentuk diquat dibromide (1,1’-
ethylene-2,2’-dipyridylium-dibromida), C12H12N2Br2, merupakan
herbisida non-selektif yang mirip dengan analog paraquat tetapi
memilki efek toksik yang berbeda (7).
Diquat membentuk monohidrat dengan warna kristalin kekuningan.
Tingkat lebur antara 335oC dan 340oC. Diquat memiliki pH sekitar
5-7. Diquat sangat larut dalam tanah, tidak diabsorbsi oleh
tanaman, dan tidak didekomposisi secara metabolik oleh tanaman.
Namun, paparan sinar matahari dapat mendegradasi diquat dengan
cepat dan luas. Diquat tidak terakumulasi dalam makanan (7,8).
c. Jenis Lain
Beberapa jenis herbisida lain berdasarkan mekanisme kerjanya
pada tanaman di antaranya (7):
a. menghambat proses fotosintesis, seperti anilides, uracils,
benzimidazoles, biscarmabates, pyridazinones, triazines, quinones,
dan triazinones.
b. menghambat sintesis asam amino, seperti glyphosate,
sulfonilures, bialaphos, dan imidazolinones.
c. mengganggu membran sel, seperti p-Nitrodiphenyl eter, N-
phenylamides, dan oxadiazoles.
d. menghambat sintesis lipid, seperti asam alkali aryloxyphenoxy
e. mengambat sintesis selulosa, seperti dichlobenil
f. menghambat pembelahan sel, seperti fosfor amida dan
dinitroanilin
g. menghambat sintesis klorofil, seperti phiridazinones, fluoridone,
dan difluninone
h. menghambat sintesis folat, seperti metil carbamate
i. menghambat pertumbuhan tunas, seperti maetachlor
j. mengatur perkembangan, seperti asam picolinic dan asam
benzoic
C. ASAL PAPARAN
Jenis herbisida seperti paraquat misalnya, memberikan efek toksik
yang berbeda tergantung bagaimana zat tersebut masuk ke dalam
tubuh manusia. Beberapa di antaranya, yaitu (6) :
a. Oral
Merupakan jalan masuknya zat yang paling sering yang didasari
adanya tujuan bunuh diri. Tertelannya paraquat juga dapat terjadi
secara kebetulan atau dari masuknya butiran semprotan ke dalam
faring, namun biasanya tidak menimbulkan keracunan secara
sistemik.
b. Inhalasi
Belum ada kasus keracunan sistemik yang dilaporkan dari paraquat
akibat inhalasi droplet paraquat yang ada di udara walaupun pada
penilitian pada hewan menunjukkan tingginya keracunan melalui
inhalasi.
Efek toksik melalui inhalasi melalui semprotan biasanya hanya
berupa iritasi pada saluran pernapasan atas akibat deposit
paraquat pada daerah tersebut.
c. Kulit
Kulit normal yang intak merupakan barier yang baik mencegah
absorbsi dan keracunan sistemik. Namun, jika terjadi kontak yang
lama dan lesi kulit yang luas, keracunan sistemik dapat terjadi dan
dapat menyebabkan keracunan yang berat sampai kematian.
Kontak yang lama dan trauma dapat memperburuk kerusakan kulit,
namun ini terbilang jarang.
d. Mata
Konsentrat paraquat yang terpercik dapat menyebabkan iritasi
mata yang berat yang jika tidak diobati dapat menyebabkan erosi
atau ulkus dari kornea dan epitel konjungtiva. Inflamasi tersebut
berkembang lebih dari 24 jam dan ulserasi yang terjadi menjadi
faktor resiko infeksi sekunder. Jika diberikan pengobatan yang
adekuat, penyembuhan biasanya sempurna walaupun memakan
waktu yang lama.
e. Parenteral
Keracunan sistemik jarang terjadi pada kasus akibat injeksi
subkutan, intraperitonial, dan intravena dari paraquat.
D. FARMAKOKINETIK
Penelitian pada tikus dan anjing menunjukkan absorpsi paraquat
yang cepat tetapi tidak sempurna melalui traktus gastrointestinal
khususnya lambung, kira-kira kurang dari 5% diabsorpsi. Informasi
absorpsi paraquat melalui lambung pada manusia belum ada, tetapi
bisa diasumsikan hal itu dapat disamakan, namun masih perlu
penilitian untuk mendukung hal tersebut. Absorpsi melalui kulit
yang tidak intak dapat terjadi, namun terbatas hanya sekitar 0,3%
dari dosis terapan (6).
Paraquat yang terabsorpsi didistribusikan ke semua organ dan
jaringan melalui aliran darah. Paru-paru merupakan organ selektif
tempat terkumpulnya paraquat dari plasma melalui suatu proses
energi. House et al (1990) menemukan bahwa waktu paruh
paraquat sekitar 5 – 84 jam. Paraquat tidak dimetabolisme tetapi
direduksi menjadi radikal bebas yang tidak stabil, yang kemudian
mengalami reoksidasi untuik membentuk kation dan menghasilkan
anion superoksid (6).
Penelitian pada hewan menunjukkan paraquat diekskresi secara
cepat oleh ginjal. Sekitar 80-90% diekskresi dalam waktu 6 jam dan
hampir 100% dalam 24 jam. Paraquat dapat menyebabkan nekrosis
tubular akut yang dapat memperlambat ekskresi lebih dari 10-20
hari (6).
E. PATOFISIOLOGI
a. Paraquat
Ketika masuk dalam tubuh per oral dalam dosis yang adekuat,
paraquat mempunyai efek terhadap traktus gastrointestinal, ginjal,
hepar, jantung, dan organ lainnya. Paru-paru merupakan target
organ utama dari paraquat dan efek toksik yang dihasilkan dapat
menyebabkan kematian walaupun toksisitas melalui inhalasi
terbilang jarang (9).
Mekanisme utama yang terjadi ialah paraquat menimbulkan stres
oksidatif melalui siklus redoks (reduksi oksidasi) sehingga
membentuk radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan
pada jaringan (gambar 3). Radikal bebas merupakan suatu
kelompok bahan kimia baik berupa atom atau molekul dengan
reaksi jangka pendek yang memiliki satu atau lebih elektron bebas.
Atom atau molekul dengan elektron bebas ini dapat digunakan
untuk menghasilkan tenaga dan beberapa fungsi fisiologis di dalam
tubuh. Namun oleh karena mempunyai tenaga yang sangat tinggi,
zat ini juga dapat merusak jaringan normal apabila jumlahnya
terlalu banyak. Radikal bebas yang terdiri atas unsur oksigen
dikenal sebagai kelompok oksigen reaktif (reactive oxigen species /
ROS), seperti anion superoksida (O2-) (9.10,11).
Telah ditemukan bukti bahwa reaksi redoks merupakan reaksi
utama yang bertanggung jawab terhadap toksisitas paraquat.
Kation paraquat dapat direduksi oleh NADPH-dependent
mikrosomal flavoprotein reductase menjadi bentuk radikal
tereduksi. Kemudian bereaksi dengan molekul oksigen membentuk
kation paraquat dan ion superoksida (O2-). Paraquat berlanjut ke
dalam siklus dari bentuk teroksidasi ke bentuk tereduksi dengan
elektron dan oksigen. Paraquat menyebabkan kematian sel melalui
lipid peroksidase atau deplesi NADPH, seperti yang terjadi pada
paru-paru (6,10).
Brian J. Day (1999) dalam salah satu jurnalnya menggambarkan
bagaimana toksisitas paraquat juga melibatkan nitrc oxide synthase
(NOS). NOS adalah enzim yang memproduksi NO dan molekul
lainnya dengan mengkatalisis oksigen dan NADPH. Teori saat ini
menjelaskan NO bereaksi dengan O2- yang terbentuk dari paraquat
untuk menghasilkan toksin peroxynitrit. Dan dari hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa NOS merupakan diaforase
paraquat dan toksisitas berupa senyawa aktif redoks melibatkan
penurunan aktivitas NO. Diaforase adalah suatu kelas enzim yang
memindahkan elektron dari NADH atau NADPH ke molekul seperti
tetrazolium, quinon, dan paraquat. Biasanya diaforase paraquat
merupakan enzim oksidoreduktase yang terdiri dari flavin dan
menggunakan NADH atau NADPH sebagai elektron donor. Pada
umumnya enzim diaforase yang dapat bereaksi redoks dengan
paraquat adalah sitokrom P450 reduktase (10).
Edema paru akut dan kerusakan paru-paru dini dapat terjadi dalam
beberapa jam akibat paparan akut yang berat. Kerusakan lanjut
berupa fibrosis paru, penyebab kematian, yang kebanyakan terjadi
7-14 hari setelah paparan. Pada pasien yang terpapar dalam
konsentrasi yang sangat tinggi, beberapa di antaranya meninggal
lebih cepat (sekitar 48 jam) akibat kegagalan sirkulasi (9).
Baik pneumatosit tipe I maupun tipe II bergerak ke daerah
akumulasi paraquat. Biotrasnformasi dari paraquat di dalam sel-sel
tersebut menyebabkan produksi radikal bebas sehingga terjadi
peroksidase lipid dan kerusakan sel. Cairan protein hemoragik dan
leukosit menginfiltrasi alveolus, setelah terjadi proliferasi fibroblast
yang cepat. Terjadi penurunan progresif pada tekanan parsial
oksigen arteri dan kapasitas difusi CO2. Kerusakan berat pada
pertukaran gas tersebut menyebabkan proliferasi yang cepat dari
jaringan ikat fibrous di dalam alveolus dan pada akhirnya kematian
akibat asfiksia dan anoksia jaringan (9).
Paraquat juga bersifat neurotoksik. Paraquat secara struktural
menyerupai neurotoksikan dopaminergik, yaitu 1-methyl-4-phenyl-
1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP). Akhirnya telah disadari bahwa
paraquat dapat menjadi faktor etiologi dari penyakit Parkinson
(12,13).
Wonsuk Yang (2005) pada penelitiannya mendapatkan adanya
hubungan antara toksistas paraquat terhadap dopaminergik akibat
dari proses stres oksidatif dan disfungsi proteasomal. Dari
disertasinya dikemukakan beberapa bukti dan kesimpulan yang
mendukung hal tersebut, di antaranya (13):
a. paraquat meningkatkan konsentrasi ROS pada sel saraf yang
diteliti (SY5Y)
b. paraquat menghambat aktivitas glutathione peroksidase
c. paraquat menurunkan potensial transmembran mitokondria
(MTP)
d. paraquat menyebabkan peningkatan malondialdehyde (MDA)
yang mengindikasikan kerusakan oksidatif pada komponen sel yang
diteliti
e. paraquat menurunkan aktivitas proteasomal, aktivitas
mitokondria, dan tingkat ATP intrasel, yang mengindikasikan
disfungsi mitokondria disertai aktivasi jalur apoptosis
Kerusakan pada tubulus proksimal ginjal sering bersifat reversibel
dibandingkan kerusakan yang terjadi pada jaringan paru-paru.
Namun, rusaknya fungsi ginjal menjadi penting sebagai penentu
pengeluaran racun dari paraquat. Sel tubulus normal secara aktif
mengekskresi paraquat melalui urin, secara efisien membersihkan
racun dari dalam darah. Keracunan diquat secara khas
menyebabkan kerusakan yang lebih berat dibandingkan paraquat
(9).
Nekrosis lokal dari miokardium dan otot rangka adalah kelainan
utama akibat keracunan dibandingkan jaringan otot lainnya, dan
secara khas terjadi sebagai fase kedua. Keracunan paraquat yang
lama memberi efek toksik pada otot lurik dan otot polos berupa
miopati akibat degenerasi fiber otot tipe I. Pernah dilaporkan
keracunan melalui proses pencernaan menyebabkan edema
cerebral dan kerusakan pada otak (6,9)
b. Diquat
Keracunan diquat terbilang kurang dibandingkan keracunan akibat
paraquat sehingga laporan (data) tentang keracunan diquat sangat
sedikit. Secara sistemik diquat diabsorbsi secara non-selektif pada
jaringan paru, sebagaimana halnya paraquat, namun kerusakan
paru-paru oleh diquat lebih ringan (9)
Penelitian pada hewan, diquat menyebabkan kerusakan ringan
yang reversibel hanya pada sel pneumatosit tipe I, tidak pada sel
tipe II. Tidak ada fibrosis paru-paru yang progresif seperti
ditemukan pada keracunan paraquat. Namun, diquat memiliki efek
toksik yang berat pada SSP. Pada pemeriksaan laboratorium, tidak
didapatkan efek langsung neurotoksik. Terdapat kelainan patologis
pada otak berupa infark brain batang otak dan juga pada pons (9)
F. TOKSISITAS
Gejala klinis yang timbul bergantung pada dosis atau konsentrasi
racun yang pada akhirnya menjadi dasar prognosis dari kasus
keracunan paraquat
§ Dosis rendah, yaitu < 20 mg/kgBB (7,5 ml dalam konsentrasi
20%) tidak memberikan gejala atau hanya gejala gastrointestinal
yang muncul seperti muntah atau diare (6,9)
§ Dosis sedang, yaitu 20-40 mg/kgBB (7,5-15 ml dalam konsentrasi
20%) menyebabkan fibrosis jaringan paru yang masif dan
bermanifestasi sebagai sesak napas yang progresif yang dapat
menyebabkan kematian antara 2-4 minggu setelah masuknya racun
(3,6). Gangguan ginjal dan hati dapat ditemukan. Sesak napas
dapat muncul setelah beberapa hari pada beberapa kasus berat.
Fungsi ginjal biasanya dapat kembali ke normal (6).
§ Dosis besar, yaitu > 40 mg/kgBB (> 15 ml dalam konsentrasi
20%) menyebabkan kerusakan multi organ, tetapi lebih progresif.
Sering disertai tanda khas berupa ulkus pada orofaring. Gejala
gastrointestinal sama seperti pada konsumsi racun dengan dosis
yang lebih rendah namun gejalanya lebih berat akibat dehidrasi.
Gagal ginjal, aritmia jantung, koma, kejang, perforasi oesofagus,
dan koma kemudian diakhiri dengan kematian yang dapat terjadi
dalam 24-48 jam akibat gagal multi organ. (6,9).
Tertelannya paraquat dengan dosis yang sedang (20-40 mg/kgBB)
dapat menyebabkan kelainan morbiditas yang terdiri dari 3 tingkat,
yaitu (6):
a. Stage I : 1-5 hari. Efek korosif lokal seperti hemoptisis, ulserasi
membran mukosa, mual, diare, dan oligouria.
b. Stage II : dalam 2-8 hari didapatkan tanda-tanda kerusakan hati,
ginjal, dan jantung berupa ikterus, demam, takikardi, miokarditis,
gangguan pernapasan, sianosis, peningkatan BUN, kreatinin, alkali
fosfatase, bilirubin, dan rendahnya protrombin.
c. Stage III : dalam 3-14 hari terjadi fibrosis paru. Batuk, dispnea,
takipnea, edema, efusi pleura, atelektasis, penurunan tekanan O2
arteri yang menunjukkan hipoksemia, peningkatan gradien tekanan
O2 alveoli, dan kegagalan pernapasan.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
didapatkan kesimpulan besar dosis dan toksiknya pada manusia.
a. Estimasi dosis yang dapat diterima untuk manusia sekitar 0-
0,005 mg ion paraquat/kgBB (12)
b. Estimasi dosis gejala akut 0,006 mg/kgBB (12)
c. Estimasi insiden mortalitas dari keracunan paraquat sekitar 33-
50% (6)
Waktu merupakan faktor penting dalam menentukan seberapa
besar konsentrasi letal. Sebagai contoh, konsentrasi 100 g/L dalam
4 jam setelah masuknya racun, mengindikasikan 70% kesempatan
hidup, tetapi pada 20 jam mengindikasikan < 10% kesempatan
hidup (6).
G. GEJALA KLINIS
a. Paraquat
Gejala yang timbul bergantung pada jalur masuk paparan dan
konsentrasi paraquat dalam tipa produknya. Pada kasus
tertelannya paraquat yang masif, dapat bermanifestasi muntah,
nyeri abdomen, diare, gagal ginjal dan hati, serta gagal jantung
yang berkembang pada 24 jam pertama. Kadang-kadang diakhiri
dengan kematian akibat gagal jantung akut (6).
Gejala dan tanda dini dari keracunan melalui melalui pencernaan di
antaranya rasa terbakar pada mulut, kerongkongan, dada, perut
atas, akibat dari efek korosif paraquat terhadap mukosa. Diare
yang kadang-kadang dengan darah juga dapat terjadi. Muntah dan
diare dapat berujung hipovolemia. Pusing, sakit kepala, demam,
mialgia, letargi, dan koma adalah contoh lain dari gejala sistemik
dan susunan saraf pusat (SSP). Pankreatitis dapat menyebabkan
nyeri abdomen berat. Proteinuria, hematuri, pyuria, dan azotemia
menunjukkan adanya kerusakan ginjal. Oligouria atau anuria
mengindikasikan adanya nekrosis tubular akut (6,9,10).
Oleh karena ginjal merupakan organ yang mengeliminasi paraquat
dari jaringan tubuh, gagal ginjal dapat terjadi akibat terbentuknya
konsentrasi tinggi, termasuk paru-paru. Kelainan patologik ini
dapat terjadi dalam beberapa jam pertama setela masuknya
paraquat yang melalui pencernaan. Asidosis metabolik dan
hiperkalemia dapat terjadi akibat gagal ginjal (6). Sebelum
diberikan terapi untuk membatasi absorbsi dan efeknya, terjadi
suatu reaksi dari konsentrasi tersebut pada jaringan paru-paru. Hal
ini menjadi alasan mengapa metode terapi untuk mengeliminasi
paraquat beberapa jam setelah tertelan dapat menurunkan angka
mortalitas (9).
Batuk, sesak napas, dan takipnea biasanya muncul 2-4 hari setelah
tertelannya paraquat, tetapi dapat muncul setelah 14 hari. Sianosis
secara progresif dan sesak napas menunjukkan adanya gangguan
pertukaran oksigen pada paru yang rusak. Pada beberapa kasus,
batuk berdahak adalah awal dan manifestasi terpenting dari
kerusakan paru akibat paraquat (9).
Traktus gastrointestinal adalah tempat pertama atau keracunan
fase I ke permukaan mukosa melalui proses pencernaan dari zat
tersebut. Keracunan ini bermanifestasi sebagai edema dan nyeri
akibat ulseratif pada mulut, faring, oesofagus, lambung, dan usus.
Pada derajat yang lebih tinggi, keracunan gastrointestinal yang lain
berupa kerusakan sel-sel hati yang menyebabkan peningkatan
bilirubin dan enzim hati seperti AST, ALT, dan LDH (3). Beberapa
penelitian menjelaskan tentang fenomena toksisitas pada hati ini
dan pada tahun 1977 oleh Cagen dan Gibson menemukan bahwa
paraquat tidak bersifat hepatotoksik pada jenis tikus tertentu
(12,14).
Gejala pada kulit biasanya terjadi pada pekerja tani akibat
keracunan paraquat. Khususnya dalam bentuk konsentrat, paraquat
menyebabkan kerusakan lokal pada jaringan yang terpapar dengan
zat tersebut. Kerusakan lokal pada kulit berupa dermatitis kontak.
Kontak yang lama akan menyebabkan eritema, vesikel, erosi dan
ulkus, dan perubahan pada kuku. Walaupun absorbsi melalui kulit
lambat, kulit yang erosif akan mempertinggi tingkat absorbsinya
(9)
Keracunan fatal dilaporkan telah terjadi akibat kontaminasi
paraquat yang lama, tetapi hal ini terjadi hanya pada kulit yang
tidak intak. Kontak yang lama pada kulit akan menimbulkan
pengikisan atau ulserasi, yang cukup untuk mempermudah
absorpsi ke sistemik. Kontak racun pada kuku dapat menyebabkan
bintik putih atau pada kasusu berat dapat terjadi atrofi kuku (9).
Sebagai tambahan, beberapa pekerja tani dapat terpapar melalui
inhalasi semprotan dengan gejala perdarahan hidung akibat
kerusakan lokal. Namun, paparan melalui inhalasi tidak
menyebabkan keracunan sistemik karena penguapan dan
konsentrasi yang rendah dari paraquat. Kontaminasi pada mata
menyebabkan konjungtivitis berat dan kadang-kadang berlanjut ke
kelainan kornea (9).
b. Diquat
Pada kasus keracunan diquat, tanda klinis dari keracunan saraf
sangat penting, di antaranya cemas, iritabilitas, lemas, disorientasi,
dan berkurangnya refleks. Efek neurologis dapat berlanjut ke koma
dan menyebabkan kematian pada pasien (9).
Gejala dini dari keracunan melalui saluran pencernaan pada
umumnya sama dengan paraquat. Akibat sifat korosif terhadap
jaringan memberikan gejala di antaranya rasa terbakar pada mulut,
kerongkongan, dada dan perut, mual dan muntah, dan diare. Jika
dosisnya kecil, gejala-gejalatersebut dapat muncul setelah 1-2 hari .
darah dapat muncul pada muntahan dan feses (9).
Ginjal merupakan organ sekresi utama untuk mengeliminasi diquat
yang ada dalam tubuh. Oleh karena itu, kerusakan ginjal
merupakan tanda penting dari keracunan. Proteinuria, hematuri,
dan pyuria dapat berkembang ke gagal ginjal dan azotemia.
Peningkatan dari serum alkali fosfatase, AST, ALT, dan LDH
menunjukkan kerusakan pada hati. Ikterus dapat muncul kemudian
(9).
Jika pasien selamat dalam beberapa jam atau hari, dapat terjadi
kegagalan sirkulasi akibat dehidrasi. Hipotensi dan takikardi dapat
terjadi yang pada akhirnya berakibat syok dan kematian (9).
H. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Kualitatif
Pada beberapa fasilitas pelatihan, tes kolorimetri digunakan untuk
mengidentifikasi paraquat dan diquat dalam urin dan untuk
memberikan indikasi seberapa besar konsentrasi zat yang
diabsorpsi. Pada alat terdapat lubang tes untuk paraquat di dalam
urin atau aspirat cairan lambung. Biasanya tes ini digunakan pada
kasus darurat untuk konfirmasi adanya keracunan paraquat secara
cepat. Metode tes ini berdasarkan pada reduksi kation paraquat
menjadi ion radikal stabil berwarna biru oleh natrium dithionit
(6,9).
Dalam satu volume urin, ditambahkan setengah volume dari urin
preparat 1% sodium ditionit dalam 0,1 N NaOH. Perubahan warna
diperhatikan dalam waktu satu menit. Warna biru mengindikasikan
adanya paraquat sekitar 0,5 mg/l. Baik positif dan negatif kontrol
sebaiknya dijamin bahwa senyawa dithionitnya tidak teroksidasi
dalam kemasannya (9).
Tes ini bernilai jika 12 jam setelah masuknya paraquat dan dapat
mendeteksi konsentrasi paraquat dalam urin < 1 mg/L (6).
Ketika urin 24 jam diperiksa, tes dithionit terlihat mempunyai
beberapa nilai prognosis. Konsentrasi yang kurang dari 1 mg/l
(tidak berwarna biru terang), pada umumnya menunjukkan tingkat
keselamatan, sedangkan konsentrasi lebih dari 1 mg/l (biru gelap)
sering berakibat fatal (9).
Diquat dalam urin memberikan warna hijau dengan tes ditionit.
Walaupun penelitian penggunaan tes dithionit pada keracunan
diquat masih sedikit, hubungan antara prognosis yang buruk
dengan perubahan warna pada umumnya sama (9).
b. Kuantitatif
Paraquat dan diquat dapat diukur di dalam cairan biolgis seperti
darah dan urin dengan spektrofotometri, liquid kromatografi, dan
metode radioimunoassay. Tes jenis ini tersedia pada laboratorium
klinik dan beberapa industri. Kelangsungan hidup biasanya dapat
tercapai jika konsentrasi dalam plasma tidak melebihi
2;0,6;0,3;0,16;dan 0,1 mg per liter berturut-turut dalam waktu 4, 6,
10, 16, dan 24 jam, setelah masuk ke pencernaan (9).
Metode radioimmunoassay yang digunakan untuk mendeteksi
paraquat dalam konsentrasi rendah dalam urin dan plasma pertama
kali ditemukan oleh Levitt (1977). Prosedur tes ini berdasarkan
adanya antibodi yang meningkat terhadap derivat paraquat.
Sensivitas dari pemeriksaan ini 6 ng ion paraquat/ml plasma (6).
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang ditemukan
oleh Gill (1983) merupakan pemeriksaan yang berdasrkan ekstraksi
paraquat dan diquat menggunakan sep-pak C18 cartridge, dengan
ethyl viologen (garam 1,1’dimethyl-4,4’-bipyridium sebagai standar.
Kromatografi dapat mendeteksi paraquat dalam urin sekitar 1
mg/L. Spektrofotometri yang telah ditemukan oleh Smith (1993)
berguna pula untuk menilai ekstrak dan reduksi natrium dithionit
dalam cairan biologis (6).
I. PENANGANAN
Prinsip umum pada penatalaksanaan keracunan paraquat antara
lain (6):
a. prioritas yang dipikirkan adalah mencegah absorpsi paraquat
lebih lanjut dengan menyingkirkan semua bahan yang
terkontaminasi dari tubuh
b. pemberian oksigen merupakan kontraindikasi dari keracunan
paraquat karena dapat memperbesar pembentukan radikal bebas
(superoksid) yang merupakan patogenesis penyebab kerusakan
pada paru-paru
c. bilas lambung harus dipikirkan dalam satu jam pertama setelah
masuknya racun yang melalui saluran pencernaan
d. apabila terjadi asidosis sebaiknya dikoreksi dengan natrium
bikarbonat intravena
e. gagal ginjal akut dapat diterapi dengan hemodialisis
f. efek paparan pada mata dapat dilakukan irigasi dengan air yang
mengalir sekitar 15 menit
J. PENEMUAN AUTOPSI
Pada autopsi, dalam pemeriksaan dalam, bisa didapatkan efusi
pleura dan kerusakan pada saluran pernapasan bagian atas. Dalam
jumlah besar, paru-paru tampak padat, dengan perdarahan,
termasuk pada daerah subpleura (12).
Secara histologis, didapatkan edema dan alveoli tampak kurang
terisi udara dengan proliferasi yang hebat dari epitel dan fibroblast
pada dinding alveolus. Infiltrasi dari sel-sel mononuklear, PMN,
makrofag, dan eosinofil juga bisa didapatkan. Pada ginjal
didapatkan adanya kerusakan tubulus dan pada hati didapatkan
degenerasi pada daerah midzonal dan lobulularnya (12).
Penelitian pada tikus yang diberikan paraquat per oral sebanyak
50-300 mg/L selama 16 minggu, didapatkan pada mikroskop
elektron terjadi dilatasi pembuluh darah dan pada vena terisi oleh
platelet dan agregasi eritrosit. Pada dosis yang lebih tinggi, septum
intraalveolar menebal. Pada dosis ≥100 mg/L, didapatkan
pneumonitis lobaris dengan sel mononuklear, makrofag, dan
neutrofil. Pada beberapa hewan coba lain yang menerima paraquat
lebih dari 4 minggu, ditemukan fibroblas pada dinding septum. Sel
tipe II didapatkan tidak mengalami kerusakan, tetapi sel tipe II
membengkak dan ditemukan bukti adanya udem dari septum
intraalveolar (12).
Pada autopsi, perubahan histopatologis juga dapat ditemukan pada
hati dan ginjal khususnya tubulus proksimalnya (12).
K. ASPEK MEDIKOLEGAL
Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan dapat dibagi dalam
dua kelompok, yaitu atas dasar dari tujuan pemeriksaan itu sendiri.
Yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian, yang
kedua untuk mengetahui suatu peristiwa (15).
Pasal 133(1) KUHAP : Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun
mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana,
ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya (15).
DAFTAR PUSTAKA
1. Zein U, Purba A, Ginting Y, dan Pandjaitan T.B. Beberapa Aspek
Keracunan di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit H. Adam Malik,
Medan. Available from : http://www.idi.or.id/mki/racun.htm
2. Murad J, Mutiatikum D, Muktiningsih SR. Status Kesehatan
Petani Perkebunan Rakyat Pengguna Paraquat Dibandingkan
dengan Petani Bukan Pengguna Paraquat di Lampung Selatan.
Available from : http://www.kalbefarma.com
3. Wesseling C et al. Paraquat in Developing Countries. Available
from : http://www.una.ac/paraquat_in_developing_countries_pdf
4. Mishra AK, Pandey AB. Paraquat. Available from :
http://www.panap.net/ uploads/
media/paraquat_monograph_PAN_AP.pdf
5. Anonym. NIOSH Pocket Guide to Chemical Hazards-Paraquat.
Available from : http://www.cdc.gov/niosh/nmam/1910425.html
6. Ashton C, Leahy N. Paraquat. Available from :
http://www.intox.org/databank/ documents/
chemical/paraquat/pim399.htm
7. Bronstein AC. Herbicides. In : Dart RC, Ed. Medical Toxicology.
3rd ed. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins, 2004: 1515-24
8. Anonym. Diquat in Drinking-water. Available from :
http://www.who.int
9. Anonym. Paraquat. Available from :
http://www.panap.net/uploads/media/rmpp_ ch12.pdf
10. Day BJ et al. A Mechanism of Paraquat Toxicity Involving Nitric
Oxide Synthase. Available from : http://www.pnas.com
11. Anonym. Free Radical Introduction. Available from :
12. Marrs TC, Adjei A. Pesticide residues in food-2003-Joint
FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues - PARAQUAT. Available
from : http://www.inchem.org.
documents/jmpr/jmpmoro/v2003pr08.htm
13. Yang W. The Bipyridyl Herbicide Paraquat-Induced Toxicity In
Human Neuroblastoma SH-S5Y5 Cells: Relevance To Dopaminergic
Pathogenesis. Available from :
http://txspace.tamu.edu/bitstream/1969.pdf
14. Thundiyil JG et al. Acute Pesticide Poisoning:A Proposed
Classification Tool. Available from :
http://www.who.int/bulletin/volumes/86/07/041814.pdf
15. Idries AM. Keracunan. Dalam : Pedoman Ilmu Kedokteran
Forensik. Edisi pertama. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997: 330-31