Intoksikasi Herbisida

18
Intoksikasi Herbisida A. PENDAHULUAN Pestisida (pest killing agent) merupakan obat-obatan atau senyawa kimia yang umumnya bersifat racun, digunakan untuk membasmi jasad pengganggu tanaman, baik hama, penyakit maupun gulma. Sampai saat ini, pestisida yang beredar di pasaran jumlah dan jenisnya mencapai ribuan. Berdasarkan tujuan dan sasarannya, pestisida dapat digolongkan / dibedakan dalam insektisida, herbisida, fungisida, rodentisida, akarisida, nematisida, dan bakterisida. Herbisida merupakan salah satu jenis pestisida yang berfungsi dalam mengendalikan dan membunuh gulma.(1). Penggunaan herbisida telah terbukti bermanfaat meningkatkan hasil pertanian maupun perkebunan. Salah satu bahan aktif herbisida yang secara luas digunakan adalah paraquat, bahan aktif ini telah digunakan di Indonesia sejak tahun 1974. Karena sifat kimia dan toksisitasnya, maka pada tahun 1979 statusnya diubah menjadi pestisida terbatas pakai yang hanya boleh digunakan oleh instansi atau perorangan yang telah mendapat izin (2). Dari beberapa jenis herbisida yang ada, dalam referat ini hanya paraquat dan sedikit tentang diquat saja yang akan dibahas mengingat bahwa paraquat mempunyai efek toksik yang paling besar dari semua jenis herbisida. Selain itu, paraquat merupakan jenis herbisida yang paling banyak dipakai secara global di beberapa negara berkembang tanpa batasan (3). B. JENIS HERBISIDA a. Paraquat Paraquat (methyl viologen), [C12H14N2]2+, dengan nama kimia 1,1’-dimetil-4,4’-bipiridinum atau dalam bentuk

Transcript of Intoksikasi Herbisida

Page 1: Intoksikasi Herbisida

Intoksikasi HerbisidaA. PENDAHULUAN

Pestisida (pest killing agent) merupakan obat-obatan atau senyawa

kimia yang umumnya bersifat racun, digunakan untuk membasmi

jasad pengganggu tanaman, baik hama, penyakit maupun gulma.

Sampai saat ini, pestisida yang beredar di pasaran jumlah dan

jenisnya mencapai ribuan. Berdasarkan tujuan dan sasarannya,

pestisida dapat digolongkan / dibedakan dalam insektisida,

herbisida, fungisida, rodentisida, akarisida, nematisida, dan

bakterisida. Herbisida merupakan salah satu jenis pestisida yang

berfungsi dalam mengendalikan dan membunuh gulma.(1).

Penggunaan herbisida telah terbukti bermanfaat meningkatkan

hasil pertanian maupun perkebunan. Salah satu bahan aktif

herbisida yang secara luas digunakan adalah paraquat, bahan aktif

ini telah digunakan di Indonesia sejak tahun 1974. Karena sifat

kimia dan toksisitasnya, maka pada tahun 1979 statusnya diubah

menjadi pestisida terbatas pakai yang hanya boleh digunakan oleh

instansi atau perorangan yang telah mendapat izin (2).

Dari beberapa jenis herbisida yang ada, dalam referat ini hanya

paraquat dan sedikit tentang diquat saja yang akan dibahas

mengingat bahwa paraquat mempunyai efek toksik yang paling

besar dari semua jenis herbisida. Selain itu, paraquat merupakan

jenis herbisida yang paling banyak dipakai secara global di

beberapa negara berkembang tanpa batasan (3).

B. JENIS HERBISIDA

a. Paraquat

Paraquat (methyl viologen), [C12H14N2]2+, dengan nama kimia

1,1’-dimetil-4,4’-bipiridinum atau dalam bentuk paraquat dichloride

[C12H14N2]Cl2 , merupakan herbisida golongan bipiridil yang

berefek toksik sangat tinggi. Paraquat dapat pula ditemukan secara

komersial sebagai garam methyl sulfat (C12H14N2 • 2CH3SO4)

(4,5).

Paraquat adalah produk sintesis yang pertama kali dibuat pada

Page 2: Intoksikasi Herbisida

tahun 1882 oleh Weidel dan Russo. Pada tahun 1933, Michaelis dan

Hill menemukan kandungan redoks dan disebut senyawa metil

viologen. Kandungan paraquat pertama kali dijelaskan pada tahun

1958 dan mulai menjadi produk komersil pada tahun 1962 (6,7).

Paraquat mempunyai ciri berupa (5,6,7):

a. berupa massa padat, tetapi biasanya dalam bentuk konsentrat

20-24%

b. berat molekul 257,2 D

c. pH 6,5 – 7,5 dalam bentuk larutan

d. titik didih pada 760 mmHg sekitar 175oC – 180oC.

e. berwarna kuning keputihan dan berbau seperti ammonia

f. sangat larut di dalam air, kurang larut dalam alkohol, dan tidak

larut dalam senyawa hidrokarbon

g. stabil dalam larutan asam atau netral dan tidak stabil dalam

senyawa alkali

h. tidak aktif akibat paparan sinar ultraviolet

Paraquat yang digunakan lebih dari 120 negara bekerja secara non-

selektif menghancurkan jaringan tumbuhan dengan mengganggu /

merusak membran sel. Gramoxone larutan 20%, produk Syngenta,

merupakan nama dagang dari paraquat yang paling banyak dipakai

(4,7).

b. Diquat

Diquat, (C12H12N2) atau dalam bentuk diquat dibromide (1,1’-

ethylene-2,2’-dipyridylium-dibromida), C12H12N2Br2, merupakan

herbisida non-selektif yang mirip dengan analog paraquat tetapi

memilki efek toksik yang berbeda (7).

Diquat membentuk monohidrat dengan warna kristalin kekuningan.

Tingkat lebur antara 335oC dan 340oC. Diquat memiliki pH sekitar

5-7. Diquat sangat larut dalam tanah, tidak diabsorbsi oleh

tanaman, dan tidak didekomposisi secara metabolik oleh tanaman.

Namun, paparan sinar matahari dapat mendegradasi diquat dengan

cepat dan luas. Diquat tidak terakumulasi dalam makanan (7,8).

Page 3: Intoksikasi Herbisida

c. Jenis Lain

Beberapa jenis herbisida lain berdasarkan mekanisme kerjanya

pada tanaman di antaranya (7):

a. menghambat proses fotosintesis, seperti anilides, uracils,

benzimidazoles, biscarmabates, pyridazinones, triazines, quinones,

dan triazinones.

b. menghambat sintesis asam amino, seperti glyphosate,

sulfonilures, bialaphos, dan imidazolinones.

c. mengganggu membran sel, seperti p-Nitrodiphenyl eter, N-

phenylamides, dan oxadiazoles.

d. menghambat sintesis lipid, seperti asam alkali aryloxyphenoxy

e. mengambat sintesis selulosa, seperti dichlobenil

f. menghambat pembelahan sel, seperti fosfor amida dan

dinitroanilin

g. menghambat sintesis klorofil, seperti phiridazinones, fluoridone,

dan difluninone

h. menghambat sintesis folat, seperti metil carbamate

i. menghambat pertumbuhan tunas, seperti maetachlor

j. mengatur perkembangan, seperti asam picolinic dan asam

benzoic

C. ASAL PAPARAN

Jenis herbisida seperti paraquat misalnya, memberikan efek toksik

yang berbeda tergantung bagaimana zat tersebut masuk ke dalam

tubuh manusia. Beberapa di antaranya, yaitu (6) :

a. Oral

Merupakan jalan masuknya zat yang paling sering yang didasari

adanya tujuan bunuh diri. Tertelannya paraquat juga dapat terjadi

secara kebetulan atau dari masuknya butiran semprotan ke dalam

faring, namun biasanya tidak menimbulkan keracunan secara

sistemik.

b. Inhalasi

Belum ada kasus keracunan sistemik yang dilaporkan dari paraquat

akibat inhalasi droplet paraquat yang ada di udara walaupun pada

penilitian pada hewan menunjukkan tingginya keracunan melalui

inhalasi.

Efek toksik melalui inhalasi melalui semprotan biasanya hanya

Page 4: Intoksikasi Herbisida

berupa iritasi pada saluran pernapasan atas akibat deposit

paraquat pada daerah tersebut.

c. Kulit

Kulit normal yang intak merupakan barier yang baik mencegah

absorbsi dan keracunan sistemik. Namun, jika terjadi kontak yang

lama dan lesi kulit yang luas, keracunan sistemik dapat terjadi dan

dapat menyebabkan keracunan yang berat sampai kematian.

Kontak yang lama dan trauma dapat memperburuk kerusakan kulit,

namun ini terbilang jarang.

d. Mata

Konsentrat paraquat yang terpercik dapat menyebabkan iritasi

mata yang berat yang jika tidak diobati dapat menyebabkan erosi

atau ulkus dari kornea dan epitel konjungtiva. Inflamasi tersebut

berkembang lebih dari 24 jam dan ulserasi yang terjadi menjadi

faktor resiko infeksi sekunder. Jika diberikan pengobatan yang

adekuat, penyembuhan biasanya sempurna walaupun memakan

waktu yang lama.

e. Parenteral

Keracunan sistemik jarang terjadi pada kasus akibat injeksi

subkutan, intraperitonial, dan intravena dari paraquat.

D. FARMAKOKINETIK

Penelitian pada tikus dan anjing menunjukkan absorpsi paraquat

yang cepat tetapi tidak sempurna melalui traktus gastrointestinal

khususnya lambung, kira-kira kurang dari 5% diabsorpsi. Informasi

absorpsi paraquat melalui lambung pada manusia belum ada, tetapi

bisa diasumsikan hal itu dapat disamakan, namun masih perlu

penilitian untuk mendukung hal tersebut. Absorpsi melalui kulit

yang tidak intak dapat terjadi, namun terbatas hanya sekitar 0,3%

dari dosis terapan (6).

Paraquat yang terabsorpsi didistribusikan ke semua organ dan

jaringan melalui aliran darah. Paru-paru merupakan organ selektif

tempat terkumpulnya paraquat dari plasma melalui suatu proses

energi. House et al (1990) menemukan bahwa waktu paruh

Page 5: Intoksikasi Herbisida

paraquat sekitar 5 – 84 jam. Paraquat tidak dimetabolisme tetapi

direduksi menjadi radikal bebas yang tidak stabil, yang kemudian

mengalami reoksidasi untuik membentuk kation dan menghasilkan

anion superoksid (6).

Penelitian pada hewan menunjukkan paraquat diekskresi secara

cepat oleh ginjal. Sekitar 80-90% diekskresi dalam waktu 6 jam dan

hampir 100% dalam 24 jam. Paraquat dapat menyebabkan nekrosis

tubular akut yang dapat memperlambat ekskresi lebih dari 10-20

hari (6).

E. PATOFISIOLOGI

a. Paraquat

Ketika masuk dalam tubuh per oral dalam dosis yang adekuat,

paraquat mempunyai efek terhadap traktus gastrointestinal, ginjal,

hepar, jantung, dan organ lainnya. Paru-paru merupakan target

organ utama dari paraquat dan efek toksik yang dihasilkan dapat

menyebabkan kematian walaupun toksisitas melalui inhalasi

terbilang jarang (9).

Mekanisme utama yang terjadi ialah paraquat menimbulkan stres

oksidatif melalui siklus redoks (reduksi oksidasi) sehingga

membentuk radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan

pada jaringan (gambar 3). Radikal bebas merupakan suatu

kelompok bahan kimia baik berupa atom atau molekul dengan

reaksi jangka pendek yang memiliki satu atau lebih elektron bebas.

Atom atau molekul dengan elektron bebas ini dapat digunakan

untuk menghasilkan tenaga dan beberapa fungsi fisiologis di dalam

tubuh. Namun oleh karena mempunyai tenaga yang sangat tinggi,

zat ini juga dapat merusak jaringan normal apabila jumlahnya

terlalu banyak. Radikal bebas yang terdiri atas unsur oksigen

dikenal sebagai kelompok oksigen reaktif (reactive oxigen species /

ROS), seperti anion superoksida (O2-) (9.10,11).

Telah ditemukan bukti bahwa reaksi redoks merupakan reaksi

utama yang bertanggung jawab terhadap toksisitas paraquat.

Kation paraquat dapat direduksi oleh NADPH-dependent

Page 6: Intoksikasi Herbisida

mikrosomal flavoprotein reductase menjadi bentuk radikal

tereduksi. Kemudian bereaksi dengan molekul oksigen membentuk

kation paraquat dan ion superoksida (O2-). Paraquat berlanjut ke

dalam siklus dari bentuk teroksidasi ke bentuk tereduksi dengan

elektron dan oksigen. Paraquat menyebabkan kematian sel melalui

lipid peroksidase atau deplesi NADPH, seperti yang terjadi pada

paru-paru (6,10).

Brian J. Day (1999) dalam salah satu jurnalnya menggambarkan

bagaimana toksisitas paraquat juga melibatkan nitrc oxide synthase

(NOS). NOS adalah enzim yang memproduksi NO dan molekul

lainnya dengan mengkatalisis oksigen dan NADPH. Teori saat ini

menjelaskan NO bereaksi dengan O2- yang terbentuk dari paraquat

untuk menghasilkan toksin peroxynitrit. Dan dari hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa NOS merupakan diaforase

paraquat dan toksisitas berupa senyawa aktif redoks melibatkan

penurunan aktivitas NO. Diaforase adalah suatu kelas enzim yang

memindahkan elektron dari NADH atau NADPH ke molekul seperti

tetrazolium, quinon, dan paraquat. Biasanya diaforase paraquat

merupakan enzim oksidoreduktase yang terdiri dari flavin dan

menggunakan NADH atau NADPH sebagai elektron donor. Pada

umumnya enzim diaforase yang dapat bereaksi redoks dengan

paraquat adalah sitokrom P450 reduktase (10).

Edema paru akut dan kerusakan paru-paru dini dapat terjadi dalam

beberapa jam akibat paparan akut yang berat. Kerusakan lanjut

berupa fibrosis paru, penyebab kematian, yang kebanyakan terjadi

7-14 hari setelah paparan. Pada pasien yang terpapar dalam

konsentrasi yang sangat tinggi, beberapa di antaranya meninggal

lebih cepat (sekitar 48 jam) akibat kegagalan sirkulasi (9).

Baik pneumatosit tipe I maupun tipe II bergerak ke daerah

akumulasi paraquat. Biotrasnformasi dari paraquat di dalam sel-sel

tersebut menyebabkan produksi radikal bebas sehingga terjadi

peroksidase lipid dan kerusakan sel. Cairan protein hemoragik dan

leukosit menginfiltrasi alveolus, setelah terjadi proliferasi fibroblast

yang cepat. Terjadi penurunan progresif pada tekanan parsial

oksigen arteri dan kapasitas difusi CO2. Kerusakan berat pada

pertukaran gas tersebut menyebabkan proliferasi yang cepat dari

Page 7: Intoksikasi Herbisida

jaringan ikat fibrous di dalam alveolus dan pada akhirnya kematian

akibat asfiksia dan anoksia jaringan (9).

Paraquat juga bersifat neurotoksik. Paraquat secara struktural

menyerupai neurotoksikan dopaminergik, yaitu 1-methyl-4-phenyl-

1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP). Akhirnya telah disadari bahwa

paraquat dapat menjadi faktor etiologi dari penyakit Parkinson

(12,13).

Wonsuk Yang (2005) pada penelitiannya mendapatkan adanya

hubungan antara toksistas paraquat terhadap dopaminergik akibat

dari proses stres oksidatif dan disfungsi proteasomal. Dari

disertasinya dikemukakan beberapa bukti dan kesimpulan yang

mendukung hal tersebut, di antaranya (13):

a. paraquat meningkatkan konsentrasi ROS pada sel saraf yang

diteliti (SY5Y)

b. paraquat menghambat aktivitas glutathione peroksidase

c. paraquat menurunkan potensial transmembran mitokondria

(MTP)

d. paraquat menyebabkan peningkatan malondialdehyde (MDA)

yang mengindikasikan kerusakan oksidatif pada komponen sel yang

diteliti

e. paraquat menurunkan aktivitas proteasomal, aktivitas

mitokondria, dan tingkat ATP intrasel, yang mengindikasikan

disfungsi mitokondria disertai aktivasi jalur apoptosis

Kerusakan pada tubulus proksimal ginjal sering bersifat reversibel

dibandingkan kerusakan yang terjadi pada jaringan paru-paru.

Namun, rusaknya fungsi ginjal menjadi penting sebagai penentu

pengeluaran racun dari paraquat. Sel tubulus normal secara aktif

mengekskresi paraquat melalui urin, secara efisien membersihkan

racun dari dalam darah. Keracunan diquat secara khas

menyebabkan kerusakan yang lebih berat dibandingkan paraquat

(9).

Nekrosis lokal dari miokardium dan otot rangka adalah kelainan

utama akibat keracunan dibandingkan jaringan otot lainnya, dan

secara khas terjadi sebagai fase kedua. Keracunan paraquat yang

lama memberi efek toksik pada otot lurik dan otot polos berupa

miopati akibat degenerasi fiber otot tipe I. Pernah dilaporkan

Page 8: Intoksikasi Herbisida

keracunan melalui proses pencernaan menyebabkan edema

cerebral dan kerusakan pada otak (6,9)

b. Diquat

Keracunan diquat terbilang kurang dibandingkan keracunan akibat

paraquat sehingga laporan (data) tentang keracunan diquat sangat

sedikit. Secara sistemik diquat diabsorbsi secara non-selektif pada

jaringan paru, sebagaimana halnya paraquat, namun kerusakan

paru-paru oleh diquat lebih ringan (9)

Penelitian pada hewan, diquat menyebabkan kerusakan ringan

yang reversibel hanya pada sel pneumatosit tipe I, tidak pada sel

tipe II. Tidak ada fibrosis paru-paru yang progresif seperti

ditemukan pada keracunan paraquat. Namun, diquat memiliki efek

toksik yang berat pada SSP. Pada pemeriksaan laboratorium, tidak

didapatkan efek langsung neurotoksik. Terdapat kelainan patologis

pada otak berupa infark brain batang otak dan juga pada pons (9)

F. TOKSISITAS

Gejala klinis yang timbul bergantung pada dosis atau konsentrasi

racun yang pada akhirnya menjadi dasar prognosis dari kasus

keracunan paraquat

§ Dosis rendah, yaitu < 20 mg/kgBB (7,5 ml dalam konsentrasi

20%) tidak memberikan gejala atau hanya gejala gastrointestinal

yang muncul seperti muntah atau diare (6,9)

§ Dosis sedang, yaitu 20-40 mg/kgBB (7,5-15 ml dalam konsentrasi

20%) menyebabkan fibrosis jaringan paru yang masif dan

bermanifestasi sebagai sesak napas yang progresif yang dapat

menyebabkan kematian antara 2-4 minggu setelah masuknya racun

(3,6). Gangguan ginjal dan hati dapat ditemukan. Sesak napas

dapat muncul setelah beberapa hari pada beberapa kasus berat.

Fungsi ginjal biasanya dapat kembali ke normal (6).

§ Dosis besar, yaitu > 40 mg/kgBB (> 15 ml dalam konsentrasi

20%) menyebabkan kerusakan multi organ, tetapi lebih progresif.

Sering disertai tanda khas berupa ulkus pada orofaring. Gejala

gastrointestinal sama seperti pada konsumsi racun dengan dosis

yang lebih rendah namun gejalanya lebih berat akibat dehidrasi.

Gagal ginjal, aritmia jantung, koma, kejang, perforasi oesofagus,

Page 9: Intoksikasi Herbisida

dan koma kemudian diakhiri dengan kematian yang dapat terjadi

dalam 24-48 jam akibat gagal multi organ. (6,9).

Tertelannya paraquat dengan dosis yang sedang (20-40 mg/kgBB)

dapat menyebabkan kelainan morbiditas yang terdiri dari 3 tingkat,

yaitu (6):

a. Stage I : 1-5 hari. Efek korosif lokal seperti hemoptisis, ulserasi

membran mukosa, mual, diare, dan oligouria.

b. Stage II : dalam 2-8 hari didapatkan tanda-tanda kerusakan hati,

ginjal, dan jantung berupa ikterus, demam, takikardi, miokarditis,

gangguan pernapasan, sianosis, peningkatan BUN, kreatinin, alkali

fosfatase, bilirubin, dan rendahnya protrombin.

c. Stage III : dalam 3-14 hari terjadi fibrosis paru. Batuk, dispnea,

takipnea, edema, efusi pleura, atelektasis, penurunan tekanan O2

arteri yang menunjukkan hipoksemia, peningkatan gradien tekanan

O2 alveoli, dan kegagalan pernapasan.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,

didapatkan kesimpulan besar dosis dan toksiknya pada manusia.

a. Estimasi dosis yang dapat diterima untuk manusia sekitar 0-

0,005 mg ion paraquat/kgBB (12)

b. Estimasi dosis gejala akut 0,006 mg/kgBB (12)

c. Estimasi insiden mortalitas dari keracunan paraquat sekitar 33-

50% (6)

Waktu merupakan faktor penting dalam menentukan seberapa

besar konsentrasi letal. Sebagai contoh, konsentrasi 100 g/L dalam

4 jam setelah masuknya racun, mengindikasikan 70% kesempatan

hidup, tetapi pada 20 jam mengindikasikan < 10% kesempatan

hidup (6).

G. GEJALA KLINIS

a. Paraquat

Gejala yang timbul bergantung pada jalur masuk paparan dan

konsentrasi paraquat dalam tipa produknya. Pada kasus

tertelannya paraquat yang masif, dapat bermanifestasi muntah,

nyeri abdomen, diare, gagal ginjal dan hati, serta gagal jantung

yang berkembang pada 24 jam pertama. Kadang-kadang diakhiri

Page 10: Intoksikasi Herbisida

dengan kematian akibat gagal jantung akut (6).

Gejala dan tanda dini dari keracunan melalui melalui pencernaan di

antaranya rasa terbakar pada mulut, kerongkongan, dada, perut

atas, akibat dari efek korosif paraquat terhadap mukosa. Diare

yang kadang-kadang dengan darah juga dapat terjadi. Muntah dan

diare dapat berujung hipovolemia. Pusing, sakit kepala, demam,

mialgia, letargi, dan koma adalah contoh lain dari gejala sistemik

dan susunan saraf pusat (SSP). Pankreatitis dapat menyebabkan

nyeri abdomen berat. Proteinuria, hematuri, pyuria, dan azotemia

menunjukkan adanya kerusakan ginjal. Oligouria atau anuria

mengindikasikan adanya nekrosis tubular akut (6,9,10).

Oleh karena ginjal merupakan organ yang mengeliminasi paraquat

dari jaringan tubuh, gagal ginjal dapat terjadi akibat terbentuknya

konsentrasi tinggi, termasuk paru-paru. Kelainan patologik ini

dapat terjadi dalam beberapa jam pertama setela masuknya

paraquat yang melalui pencernaan. Asidosis metabolik dan

hiperkalemia dapat terjadi akibat gagal ginjal (6). Sebelum

diberikan terapi untuk membatasi absorbsi dan efeknya, terjadi

suatu reaksi dari konsentrasi tersebut pada jaringan paru-paru. Hal

ini menjadi alasan mengapa metode terapi untuk mengeliminasi

paraquat beberapa jam setelah tertelan dapat menurunkan angka

mortalitas (9).

Batuk, sesak napas, dan takipnea biasanya muncul 2-4 hari setelah

tertelannya paraquat, tetapi dapat muncul setelah 14 hari. Sianosis

secara progresif dan sesak napas menunjukkan adanya gangguan

pertukaran oksigen pada paru yang rusak. Pada beberapa kasus,

batuk berdahak adalah awal dan manifestasi terpenting dari

kerusakan paru akibat paraquat (9).

Traktus gastrointestinal adalah tempat pertama atau keracunan

fase I ke permukaan mukosa melalui proses pencernaan dari zat

tersebut. Keracunan ini bermanifestasi sebagai edema dan nyeri

akibat ulseratif pada mulut, faring, oesofagus, lambung, dan usus.

Pada derajat yang lebih tinggi, keracunan gastrointestinal yang lain

berupa kerusakan sel-sel hati yang menyebabkan peningkatan

bilirubin dan enzim hati seperti AST, ALT, dan LDH (3). Beberapa

penelitian menjelaskan tentang fenomena toksisitas pada hati ini

Page 11: Intoksikasi Herbisida

dan pada tahun 1977 oleh Cagen dan Gibson menemukan bahwa

paraquat tidak bersifat hepatotoksik pada jenis tikus tertentu

(12,14).

Gejala pada kulit biasanya terjadi pada pekerja tani akibat

keracunan paraquat. Khususnya dalam bentuk konsentrat, paraquat

menyebabkan kerusakan lokal pada jaringan yang terpapar dengan

zat tersebut. Kerusakan lokal pada kulit berupa dermatitis kontak.

Kontak yang lama akan menyebabkan eritema, vesikel, erosi dan

ulkus, dan perubahan pada kuku. Walaupun absorbsi melalui kulit

lambat, kulit yang erosif akan mempertinggi tingkat absorbsinya

(9)

Keracunan fatal dilaporkan telah terjadi akibat kontaminasi

paraquat yang lama, tetapi hal ini terjadi hanya pada kulit yang

tidak intak. Kontak yang lama pada kulit akan menimbulkan

pengikisan atau ulserasi, yang cukup untuk mempermudah

absorpsi ke sistemik. Kontak racun pada kuku dapat menyebabkan

bintik putih atau pada kasusu berat dapat terjadi atrofi kuku (9).

Sebagai tambahan, beberapa pekerja tani dapat terpapar melalui

inhalasi semprotan dengan gejala perdarahan hidung akibat

kerusakan lokal. Namun, paparan melalui inhalasi tidak

menyebabkan keracunan sistemik karena penguapan dan

konsentrasi yang rendah dari paraquat. Kontaminasi pada mata

menyebabkan konjungtivitis berat dan kadang-kadang berlanjut ke

kelainan kornea (9).

b. Diquat

Pada kasus keracunan diquat, tanda klinis dari keracunan saraf

sangat penting, di antaranya cemas, iritabilitas, lemas, disorientasi,

dan berkurangnya refleks. Efek neurologis dapat berlanjut ke koma

dan menyebabkan kematian pada pasien (9).

Gejala dini dari keracunan melalui saluran pencernaan pada

umumnya sama dengan paraquat. Akibat sifat korosif terhadap

jaringan memberikan gejala di antaranya rasa terbakar pada mulut,

kerongkongan, dada dan perut, mual dan muntah, dan diare. Jika

dosisnya kecil, gejala-gejalatersebut dapat muncul setelah 1-2 hari .

darah dapat muncul pada muntahan dan feses (9).

Page 12: Intoksikasi Herbisida

Ginjal merupakan organ sekresi utama untuk mengeliminasi diquat

yang ada dalam tubuh. Oleh karena itu, kerusakan ginjal

merupakan tanda penting dari keracunan. Proteinuria, hematuri,

dan pyuria dapat berkembang ke gagal ginjal dan azotemia.

Peningkatan dari serum alkali fosfatase, AST, ALT, dan LDH

menunjukkan kerusakan pada hati. Ikterus dapat muncul kemudian

(9).

Jika pasien selamat dalam beberapa jam atau hari, dapat terjadi

kegagalan sirkulasi akibat dehidrasi. Hipotensi dan takikardi dapat

terjadi yang pada akhirnya berakibat syok dan kematian (9).

H. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

a. Kualitatif

Pada beberapa fasilitas pelatihan, tes kolorimetri digunakan untuk

mengidentifikasi paraquat dan diquat dalam urin dan untuk

memberikan indikasi seberapa besar konsentrasi zat yang

diabsorpsi. Pada alat terdapat lubang tes untuk paraquat di dalam

urin atau aspirat cairan lambung. Biasanya tes ini digunakan pada

kasus darurat untuk konfirmasi adanya keracunan paraquat secara

cepat. Metode tes ini berdasarkan pada reduksi kation paraquat

menjadi ion radikal stabil berwarna biru oleh natrium dithionit

(6,9).

Dalam satu volume urin, ditambahkan setengah volume dari urin

preparat 1% sodium ditionit dalam 0,1 N NaOH. Perubahan warna

diperhatikan dalam waktu satu menit. Warna biru mengindikasikan

adanya paraquat sekitar 0,5 mg/l. Baik positif dan negatif kontrol

sebaiknya dijamin bahwa senyawa dithionitnya tidak teroksidasi

dalam kemasannya (9).

Tes ini bernilai jika 12 jam setelah masuknya paraquat dan dapat

mendeteksi konsentrasi paraquat dalam urin < 1 mg/L (6).

Ketika urin 24 jam diperiksa, tes dithionit terlihat mempunyai

beberapa nilai prognosis. Konsentrasi yang kurang dari 1 mg/l

(tidak berwarna biru terang), pada umumnya menunjukkan tingkat

keselamatan, sedangkan konsentrasi lebih dari 1 mg/l (biru gelap)

sering berakibat fatal (9).

Page 13: Intoksikasi Herbisida

Diquat dalam urin memberikan warna hijau dengan tes ditionit.

Walaupun penelitian penggunaan tes dithionit pada keracunan

diquat masih sedikit, hubungan antara prognosis yang buruk

dengan perubahan warna pada umumnya sama (9).

b. Kuantitatif

Paraquat dan diquat dapat diukur di dalam cairan biolgis seperti

darah dan urin dengan spektrofotometri, liquid kromatografi, dan

metode radioimunoassay. Tes jenis ini tersedia pada laboratorium

klinik dan beberapa industri. Kelangsungan hidup biasanya dapat

tercapai jika konsentrasi dalam plasma tidak melebihi

2;0,6;0,3;0,16;dan 0,1 mg per liter berturut-turut dalam waktu 4, 6,

10, 16, dan 24 jam, setelah masuk ke pencernaan (9).

Metode radioimmunoassay yang digunakan untuk mendeteksi

paraquat dalam konsentrasi rendah dalam urin dan plasma pertama

kali ditemukan oleh Levitt (1977). Prosedur tes ini berdasarkan

adanya antibodi yang meningkat terhadap derivat paraquat.

Sensivitas dari pemeriksaan ini 6 ng ion paraquat/ml plasma (6).

High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang ditemukan

oleh Gill (1983) merupakan pemeriksaan yang berdasrkan ekstraksi

paraquat dan diquat menggunakan sep-pak C18 cartridge, dengan

ethyl viologen (garam 1,1’dimethyl-4,4’-bipyridium sebagai standar.

Kromatografi dapat mendeteksi paraquat dalam urin sekitar 1

mg/L. Spektrofotometri yang telah ditemukan oleh Smith (1993)

berguna pula untuk menilai ekstrak dan reduksi natrium dithionit

dalam cairan biologis (6).

I. PENANGANAN

Prinsip umum pada penatalaksanaan keracunan paraquat antara

lain (6):

a. prioritas yang dipikirkan adalah mencegah absorpsi paraquat

lebih lanjut dengan menyingkirkan semua bahan yang

terkontaminasi dari tubuh

b. pemberian oksigen merupakan kontraindikasi dari keracunan

paraquat karena dapat memperbesar pembentukan radikal bebas

(superoksid) yang merupakan patogenesis penyebab kerusakan

Page 14: Intoksikasi Herbisida

pada paru-paru

c. bilas lambung harus dipikirkan dalam satu jam pertama setelah

masuknya racun yang melalui saluran pencernaan

d. apabila terjadi asidosis sebaiknya dikoreksi dengan natrium

bikarbonat intravena

e. gagal ginjal akut dapat diterapi dengan hemodialisis

f. efek paparan pada mata dapat dilakukan irigasi dengan air yang

mengalir sekitar 15 menit

J. PENEMUAN AUTOPSI

Pada autopsi, dalam pemeriksaan dalam, bisa didapatkan efusi

pleura dan kerusakan pada saluran pernapasan bagian atas. Dalam

jumlah besar, paru-paru tampak padat, dengan perdarahan,

termasuk pada daerah subpleura (12).

Secara histologis, didapatkan edema dan alveoli tampak kurang

terisi udara dengan proliferasi yang hebat dari epitel dan fibroblast

pada dinding alveolus. Infiltrasi dari sel-sel mononuklear, PMN,

makrofag, dan eosinofil juga bisa didapatkan. Pada ginjal

didapatkan adanya kerusakan tubulus dan pada hati didapatkan

degenerasi pada daerah midzonal dan lobulularnya (12).

Penelitian pada tikus yang diberikan paraquat per oral sebanyak

50-300 mg/L selama 16 minggu, didapatkan pada mikroskop

elektron terjadi dilatasi pembuluh darah dan pada vena terisi oleh

platelet dan agregasi eritrosit. Pada dosis yang lebih tinggi, septum

intraalveolar menebal. Pada dosis ≥100 mg/L, didapatkan

pneumonitis lobaris dengan sel mononuklear, makrofag, dan

neutrofil. Pada beberapa hewan coba lain yang menerima paraquat

lebih dari 4 minggu, ditemukan fibroblas pada dinding septum. Sel

tipe II didapatkan tidak mengalami kerusakan, tetapi sel tipe II

membengkak dan ditemukan bukti adanya udem dari septum

intraalveolar (12).

Pada autopsi, perubahan histopatologis juga dapat ditemukan pada

hati dan ginjal khususnya tubulus proksimalnya (12).

K. ASPEK MEDIKOLEGAL

Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan dapat dibagi dalam

dua kelompok, yaitu atas dasar dari tujuan pemeriksaan itu sendiri.

Page 15: Intoksikasi Herbisida

Yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian, yang

kedua untuk mengetahui suatu peristiwa (15).

Pasal 133(1) KUHAP : Dalam hal penyidik untuk kepentingan

peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun

mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana,

ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli

kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya (15).

DAFTAR PUSTAKA

1. Zein U, Purba A, Ginting Y, dan Pandjaitan T.B. Beberapa Aspek

Keracunan di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit H. Adam Malik,

Medan. Available from : http://www.idi.or.id/mki/racun.htm

2. Murad J, Mutiatikum D, Muktiningsih SR. Status Kesehatan

Petani Perkebunan Rakyat Pengguna Paraquat Dibandingkan

dengan Petani Bukan Pengguna Paraquat di Lampung Selatan.

Available from : http://www.kalbefarma.com

3. Wesseling C et al. Paraquat in Developing Countries. Available

from : http://www.una.ac/paraquat_in_developing_countries_pdf

4. Mishra AK, Pandey AB. Paraquat. Available from :

http://www.panap.net/ uploads/

media/paraquat_monograph_PAN_AP.pdf

5. Anonym. NIOSH Pocket Guide to Chemical Hazards-Paraquat.

Available from : http://www.cdc.gov/niosh/nmam/1910425.html

6. Ashton C, Leahy N. Paraquat. Available from :

http://www.intox.org/databank/ documents/

chemical/paraquat/pim399.htm

7. Bronstein AC. Herbicides. In : Dart RC, Ed. Medical Toxicology.

3rd ed. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins, 2004: 1515-24

8. Anonym. Diquat in Drinking-water. Available from :

http://www.who.int

9. Anonym. Paraquat. Available from :

http://www.panap.net/uploads/media/rmpp_ ch12.pdf

10. Day BJ et al. A Mechanism of Paraquat Toxicity Involving Nitric

Oxide Synthase. Available from : http://www.pnas.com

11. Anonym. Free Radical Introduction. Available from : 

Page 16: Intoksikasi Herbisida

12. Marrs TC, Adjei A. Pesticide residues in food-2003-Joint

FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues - PARAQUAT. Available

from : http://www.inchem.org.

documents/jmpr/jmpmoro/v2003pr08.htm

13. Yang W. The Bipyridyl Herbicide Paraquat-Induced Toxicity In

Human Neuroblastoma SH-S5Y5 Cells: Relevance To Dopaminergic

Pathogenesis. Available from :

http://txspace.tamu.edu/bitstream/1969.pdf

14. Thundiyil JG et al. Acute Pesticide Poisoning:A Proposed

Classification Tool. Available from :

http://www.who.int/bulletin/volumes/86/07/041814.pdf

15. Idries AM. Keracunan. Dalam : Pedoman Ilmu Kedokteran

Forensik. Edisi pertama. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997: 330-31