INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …
Transcript of INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …
INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI
ALLAH
(Studi Komparatif Tafsir Marāh Labīd dan Tafsir Al-Misbāḥ)
SKRIPSI
Diajukan Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Nama : Irfan Hazri
NIM : 11140340000183
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLA
JAKARTA
1441 H/2019 M
v
ABSTRAK
Irfan Hazri, Interpretasi Ayat-ayat Mutasyābbihāt Tentang Posisi
Allah (Studi Komparatif Tafsir Marāh Labīd dan Tafsir Al-Misbāḥ)
Ayat-ayat al-Qur’an menurut mayoritas ulama diklasifikasikan
menjadi dua bagian yaitu muhkam dan mutasyabih. Muhkam menjadi
legitimasi dan dapat dipahami secara rasional. Sebaliknya mutasyabih
sebuah istilah untuk ayat-ayat yang tidak dapat dipahami secara rasional.
Salah satu poin ayat mutasyabih adalah posisi Allah. Perdebatan mengenai
bersemanyam Allah sampai saat ini masih banyak di kalangan ulama terjadi
perbedaan, apakah Allah memiliki tempat yang sama atau tidak. Menurut
dua tokoh mufasir Indonesia memiliki kemiripan dalam menafsirkan
tempat bersamanyam Allah. Meskipun bersemanyam ini tidak diartikan
sebagai tempat hanya saja majaz (metafor). Perbedaan yang sangat
signifikan di antara dua tokoh ini adalah ketika menentukan posisi Allah
dengan merujuk QS. al-Baqarah [2]: 29. Bagi Quraisy Syihab kata ila al-
samā’ sebagai bentuk tempat bersemanyam Allah lebih tingga dari
makhluknya. Bagi Imam Nawawi, ia tidak menjelaskan mengenai posisi
hanya saja kata ila merupakan akat imbuhan yang tidak diartikan sebagai
posisi. Permasalahan yang timbul dari kedua mufasir mengenai intepretasi
posisi Allah in yang menjadikan pijaka awal untuk melakukan penelitian
lebih lanjut.
Skripsi ini membahas tentang komparasi penafsiran Imam Nawawi
dan Quraish Shihab terkait posisi Allah didalam al-Qur’an.Penulis memilih
Tafsir Marāh Labīd dan Tafsir al-Misbah dalam penelitian ini karena kedua
kitab ini ditulis bernegara yang sama dan berteologikan sama.tetapi
memiliki perbedaan dalam menafsirkan posisi Allah.
Setelah melakukan penelitian, penulis menganggap bahwa kedua
mufasir ini memiliki kesamaan dalam mendefinisikan konsep mutasyabih
dan memiliki kesamaan terkait metodologi penafsiran yaitu ta’wīl.
Sedangkan perbedaanya, Quraish Shihab menjelaskan bahwa Allah
memiliki tempat yang lebih tinggi dari mahluknya. dan berkuasa di ‘arsy
(tempat kerajaan-Nya). Sedangkan Imam Nawawi hanya mengatakan
bahwa posisi Allah bersemanyam di ‘arsy (tempat kerajaan-Nya),dan ia
menafsirkan kata ( الى السماءتوى ٱس ) Allah menciptakan langit, bukan posisi
tempat tertinggi Allah.
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI
dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158/1987 dan
0543 b/U/1987, Tanggal 22 Januari 1988.
A. Konsonan Tunggal
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Keterangan
alif tidak dilambangkan ا
ba’ b be ب
ta’ t te ت
sa’ ṡ es (dengan titik di atas) ث
jim j je ج
ha’ ḥ حha (dengan titik di
bawah)
kha’ kh ka dan ha خ
dal d de د
zal ż ذzet (dengan titik di
atas)
ra’ r er ر
zai z zet ز
sin s es س
syin sy es dan ye ش
vii
sad ṣ صes (dengan titik di
bawah)
dad ḍ ضde (dengan titik di
bawah)
ta’ ṭ طte (dengan titik di
bawah)
za’ ẓ ظzet (dengan titik di
bawah)
ain ‘ koma terbalik di atas‘ ع
gain g ge غ
fa f ef ف
qaf q qi ق
kaf k ka ك
lam l el ل
mim m em م
nun n en ن
wawu w we و
ha’ h ha ه
hamzah ’ apostrof ء
ya y ye ي
B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah Ditulis Rangkap
ditulis muta‘aqqidin متعقدين
viii
ditulis ‘iddah عدة
C. Ta’ Marbutah
1. Bila dimatikan ditulis h
ditulis hibbah هبة
ditulis jizyah جزية
(Ketentuan ini tidak diberlakukan terhadap kata-kata Arab
yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat,
zakat, dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).
Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua
itu terpisah, maka ditulis dengan h.
الأولياء كرامة ditulis karāmah al-auliyā
2. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah
dan ḍammah, ditulis t
الفطر زكاة ditulis zakātul fitri
D. Vokal Pendek
kasrah ditulis i
_____ fathah ditulis a
ḍammah ditulis u ___ۥ__
E. Vokal Panjang
fathah + alif ditulis ā
ix
هلية جا ditulis jāhiliyah
fathah + ya’ mati ditulis ā
ditulis yas` ā يسعى
kasrah + ya’ mati ditulis ī
ditulis karīm كريم
ḍammah + wawu
mati ditulis
ū
F. Vokal Rangkap
fathah + ya’ mati ditulis ai
ditulis bainakum بينكم
fathah + wawu
mati ditulis au
ditulis qaulun قول
G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata
Dipisahkan dengan
Apostrof
ditulis a’antum أأنتم
ditulis u‘iddat ت أعد
ditulis la’in syakartum شكرتم لئن
x
H. Kata Sandang Alif + Lam
a. Bila diikuti huruf Qamariyyah
ditulis al-Qur’ān القرأن
ditulis al-qiyās القياس
b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan
menggandakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya serta
menghilangkan huruf l (el)-nya
’ditulis as-samā السماء
ditulis asy-syams الشمس
I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat
Ditulis menurut bunyi pengucapannya dan menulis
penulisannya
الفوض ذوي ditulis żawī al-furūd
السنة أهل ditulis ahl as-sunnah
xi
KATA PENGANTAR
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang.”
Segala Puji serta rasa syukur yang sangat mendalam penulis panjatkan
kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Menguasai segala sesuatu, dibumi
maupun dilangit. Yang Maha Memudahkan segala urusan hamba-Nya.
Karena atas kuasa-Nyalah penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muḥammad SAW. Yang telah memberikan tauladan bagi umat manusia
dengan perilaku qur’ānī nya. Dan atas izin-Nya pula ia memiliki
keistimewaan untuk dapat memberikan syafaat kepada umatnya.
Pada dasarnya, penulisan skripsi Skripsi ini membahas tentang
komparasi penafsiran Imam Nawawi dan Quraish Shihab terkait posisi
Allah di dalam al-Qur’an. Mereka sepakat ayat-ayat posisi Allah
dikategorikan sebagai ayat-ayat mutasyabih yang memiliki unsur-unsur
teologi. Penulis memilih Tafsir Marāh Labīd dan Tafsir al-Misbah dalam
penelitian ini karena kedua kitab ini ditulis bernegara yang sama tetapi
memiliki perbedaan di antaranya: Imam Nawawi cendikiawan yang non-
akademisi, sedangkan Quraish Shihab tokoh intlektual akadamisi yang
pernah duduk di bangku perkuliahan.
Oleh karena itu, penulis menulis skripsi yang berjudul “,
Interpretasi Ayat-ayat Mutasyābbihāt Tentang Posisi Allah (Studi
Komparatif Tafsir Marāh Labīd dan Tafsir Al-Misbāḥ)”. Semoga
skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran dalam memahami
Ayat-Ayat Mutasabihat.
xii
Penulisan skripsi ini tentu melibatkan berbagai pihak yang turut
membantu dari awal proses penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini.
Oleh karena itu, penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Amany Lubis, MA. Selaku Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman.Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Lebih khusus, penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada
Dr Eva Nugraha. Selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qu’an dan
Tafsir.
4. Dr. Hasani Ahmad Said, M.A, sebagai Dosen Pembimbing
Skripsi terbaik bagi penulis. Terimakasih telah meluangkan
banyak waktunya untuk membimbing, menasehati, sekaligus
memberikan gagasan-gagasannya kepada penulis. Sehingga
penulisan skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik.
5. SeluruhDosendan Guru Besar Fakultas Ushuluddin yang telah
memberikan begitu banyak pengetahuan sekaligus bimbingannya
selama empat tahun.
6. Terimakasih kepada bapak Mafri Amir, M.A selaku Dosen
Pembimbing Akademik
7. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada parapimpinan dan
segenap civitas akademik Fakultas Ushuluddin, segenap Staf
Perpustakaan Fakultas Ushuluddindan Perpustakaan Utama
Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta yang
turutmembantu penulis dalam menemukan buku-buku referensi
untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Terimakasih sebesar-besarnya kepada keluarga penulis,
khususnya kedua orang tua penulis yang telah membesarkan dan
xiii
mendidik penulis dengan kasih sayang, perjuangan, dan
pengorbanan yang begitu luar biasa. Teruntuk Ayahanda dan
Ibunda tercinta, Arisman dan Siti Azizah yang telah menanamkan
semangat berjuang, yang selalu mendampingi penulis sampai
akhir penulisanskripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan umur panjang, kesehatan dan kelapangan rezki.
9. Kepada adik-adik penulis, Nurfa zira dan Muhammad Husnul
Hakim,Terimakasih untuk doa, semangat, dan dukungannya
kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.
10. Teman-teman terbaik penulis di Jurusan Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir Angkatan 2014,khususnya kepada. Bahaludin Siregar,
Dadan Haerudin, Alwi Abdussalam. Dan Aprido.
11. Kepada temen-temen seperjuangan M febri Armada Lc, Alfian
Arman Spd.i, Hasbi Assydiqy, Aminul Hijrah Yulinda dan Nur
hidayat .Terimakasih karena telah menjadi teman yang selalu
memberi motivasi dan semnagat.
Hanya kepada Allah penulis berharap, siapapun yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah membalasnya,
memberikan kesehatan, optimisme, kemudahan segala urusan, dan
takdir baik menyertainya, amin.
Jakarta, 12 November 2019
Irfan Hazri
NIM. 111403310000183
xiv
DAFTAR ISI
COVER…………………………………………………………………….i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN……………………………………..iii
LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………… iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................................. xi
DAFTAR ISI ........................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Permasalahan Penelitian............................................................... 5
1. Identifikasi Masalah ...................................................................... 5
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 6
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 6
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 7
F. Metodologi Penelitian................................................................. 10
1. Jenis Penelitian ............................................................................ 10
2. Sumber Data ................................................................................. 11
3. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 12
4. Teknik Analisis dan Langkah-langkah Penelitian................... 12
xv
G. Sistematika Penulisan ................................................................ 13
BAB II TINJAUAN UMUM TAFSIR MARĀH LABĪD DAN TAFSIR
AL-MĪSBĀH ............................................................................................ 14
A. Biografi Imam Nawawī ............................................................. 14
B. Biografi Quraish Shihāb ............................................................. 23
C. Karakteristik Tafsir Marah Labid ............................................... 30
D. Karakteristik Tafsir Al-Mishbāh ................................................ 35
BAB III KONSEP MUTASYĀBIHĀT MENURUT IMAM NAWĀWI
DAN QURAISH SHIHAB ...................................................................... 39
A. Definisi Mutasyābihāt ................................................................ 39
B. Mutasyabîhāt Perspektif Imam Nawawī ................................... 47
C. Mutasyabîhāt Perspektif M. Quraish Shihab ............................. 51
D. Ruang Lingkup Mutasyābbihāt .................................................. 53
E. Hikma Konsep Mutasyābihāt .................................................... 55
BAB IV TAFSIRAN ISTIWA’ POSISI ALLAH PERSPEKTIF IMAM
NAWĀWI DAN QURAISH SHIHB ...................................................... 58
A. Kajian Ayat-ayat Posisi Allah .................................................... 58
1. Bentuk Term Posisi Allah .......................................................... 59
2. Identifikasi Ayat .......................................................................... 62
3. Munasabah Ayat ......................................................................... 65
B.Argumentasi Posisi Allah Menurut Imam Nawawi .................. 68
C. Argumentasi Posisi Allah Menurut Quraish Shihab ................. 71
D. Persamaan dan Perbedaan Kedua Mufassir ............................... 76
xvi
BAB V PENUTUP .................................................................................. 80
A. Kesimpulan ................................................................................ 80
B. Saran ........................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memahami ayat-ayat al-Qur’an agar tidak menjadi mis intrepertasi
maka seseorang harus mempelajari metode-metode yang telah disediakan
oleh ulama konservatif maupun progresif. Karena Bahasa al-Qur’anyang
penuh sekali dengan maksud dan tujuan.1 Menurut al-Dzhahabi, lafadz al-
Qura’n memiliki dua dimensi, pertama dimensi Dzhahir (teks), kedua
dimensi Batin (ta’wil),2 bahkan terjadi tiga golongan dalam
mengklasifikasi lafadz ayat al-Quran,3 pertama menyakini bahwa seluruh
lafadz ayat al-Qur’anadalah Muhkam4 sebagaimana firman Allah QS. al-
Hūd [11] 1
خبير حكيم لدن من فصلت ثم آياته أحكمت كتاب الر
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang
Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”.5
1 Lihat selengkapnya mengenai alasan al-Quran ditirunkan menggunakan
Bahasa Arab, M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan,
Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2009), 105-106. 2 Muhammad Husain al-Dzhahabī, Tafsīr Wa Mufassirūn (Maktabah Wahbah,
2000) 262. 3 Al-Syaikh Muhammad Abd al-‘Adzīm al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm
al-Quran (Bairūt: Dār al-Kitab al-‘Arabī), juz 2, 213-214. 4 Muhkam ialah lafadz yang memiliki makna yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga memiliki ketetapan makna tanpa perlu penjelasan lain kemudiann muhkam ayat
yang tidak dinaskah (dihapus) lihat Al-Syaikh Muhammad Abd al-‘Adzīm al-Zarqānī,
Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-Quran (Bairūt:Dār al-Kitab al-‘Arabī) juz 2, 215. Badr al-
Dīn al-Zarkasyī, al-Burhān Fī ‘Ulūm al-Quran (Mesir: Dār al-Turāts, 2008), juz 2, h. 68-
69. Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahman ibn Abī Bakr al-Suyūtī Abū al-Fadl, al-Itqān Fī ‘Ulūm
al-Quran (Riyad: al-Irsyād al-Su’udiyyah, 2008), 640. Abū Muhammad ‘Abdullah ibn
Muslim ibn Qutaibah al-Dīnawarī, Ta’wīl Muskil al-Quran (Bairūt: Dār al-Kitab al-
‘Alamiyyah, 2010), 86. 5M. Hasby Al- Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Quran (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1993), 166.
2
Kedua, sebagian kelompok meyakini bahwa seluruh lafadz ayat al-
Qur’anadalah Mutasyabbihat,6 sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam
QS. al-Zumar [39] 23
م الله نز ل أحسن ال حديث كتابا متشابها م ثاني تق شعر منه جلود الذين يخشون رب ه
ومن ذلك هدى الله يهدي به من يشاء ثم تلين جلودهم وقلوبهم إلى ذك ر الله
يضلل الله فما له من هاد
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran
yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya
kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudiann menjadi
tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk
Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang
pemimpinpun”.7
Ketiga, sebagian mereka menyakini bahwa ayat-ayat al-Qur’an
memiliki lafadz Muhkam dan lafadz Mutasyabbihat sebagai mana firman
Allah QS. Alī ‘Imran [3] 7
محكمات هن أم ال كتاب وأخر متشابهات هو الذي أنزل عليك ال كتاب منه آيات
وما يعلم فأم ا الذين في قلوبهم زيغ فيت بعون ما تشابه منه ابتغاء ال فتنة وابتغاء تأ ويله
6Mutasyabbihāt adalah memiliki maksud tersembunyiyang tidak bisa diketahui
dalil Akli dan Naqli sehingga membutuhkan penjelasan lainnya seperti penjelasan hari
kimata dan huruf muqatta’ah. Lihat Al-Syaikh Muhammad Abd al-‘Adzīm al-Zarqānī,
Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-Quran (Bairūt: Dār al-Kitab al-‘Arabī) juz 2, . 215. Badr
al-Dīn al-Zarkasyī, al-Burhān Fī ‘Ulūm al-Quran (Mesir: Dār al-Turāts, 2008), juz 2, h.
68-69. Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahman ibn Abī Bakr al-Suyūtī Abū al-Fadl, al-Itqān Fī
‘Ulūm al-Quran (Riyad: al-Irsyād al-Su’udiyyah, 2008), h. 640. Abū Muhammad
‘Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah al-Dīnawarī, Ta’wīl Muskil al-Quran (Bairūt: Dār al-
Kitab al-‘Alamiyyah, 2010), h. 86. al-Rāghib al-Asfahānī, Mufradāt Alfādz al-Quran
(Dār al-Qalam, 2009), . 254-255 7 Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996), 82.
3
وما يذكر يقولون آمن ا به كل من عند ربنا ل م والر اسخون في ال ع تأ ويله إلا الله
إلا أولو ال أل باب
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (al-Quran) kepada kamu. Di antara
(isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi al-Qur'an
dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”8
Dari tiga kelompok ini yang lebih tendensius adalah pendapat yang
ketiga yang menerima lafadz al-Qur’anyang Muhkam dan mutasyabbihāt.
Setelah pengklasfikasian, terjadi lagi perbedaan kalangan ulama
bagaimana mengintrepretasikan ayat-ayat mutasyabbihāt karena secara
global ayat mutasyabbihāt adalah ayat yang terkait dengan sifat-sifat Allah
,pertama, kelompok yang menafsirkan ayat mutasyabbihāt dengan cara
Nafi al-Sifat (menegasikan sifat).9 Kedua, kelompok antromorfisme
(tasbih) yaitu menafsirkan dengan cara menyerupakan sifat-sifat yang ada
pada manusia.10 Ketiga, kelompok yang lebih moderat, mereka menyakini
sifat-sifat Allah tetapi tidak menyerupakan kepada sifat-sifat manusia.11
Selanjutnya terjadi benturan di kalangan moderat atau yang
sebagian kelompok yang mengaku moderat (salaf) metode apa yang layak
8 Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1996), 82. 9Abī al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm ibn Abī Bakr Ahmad al-Syahrastanī,
Al-Milal Wa al-Nihal (Bairūt: Dār al-Fikr, 2002), 34. 10Abī al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm ibn Abī Bakr Ahmad al-Syahrastanī,
Al-Milal Wa al-Nihal (Bairūt: Dār al-Fikr, 2002), 86. 11Abī al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm ibn Abī Bakr Ahmad al-Syahrastanī,
Al-Milal Wa al-Nihal (Bairūt: Dār al-Fikr, 2002), 75.
4
untuk menafsirkan ayat-ayat Mutasabbihāt, apakah memerlukan tawīl atau
tidak. Menurut kalangan moderat yang menggunakan ta’wil di dalam
menetukan posisi Allah seperti yang dijelaskan QS. Ṭaha [20] 5
الر حمن على ال عرش استوى
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy
Menurut Imam Nawawī , terma ن ـ حم diartikan sebagai ٱلر
Pencipta seluruh alam. Kata istawa ala ‘arsy sebagai majāz (metafor)
terhadap kerjaan-Nya, dan juga sebagai bentuk kinayah sehingga boleh
diartikan dengan tempat di tempat kerjaannya. Tetapi pada konteks Allah
tidak bisa diartikan bahwa Dia duduk di tempat-Nya dengan makna asli.12
Penafsiran ini sejalan dengan Quraish Shihab Kata ٱستوى (istawa)
menurut ahli bahasa memiliki kaifiyyah (caranya) tidak diketahui,
mempercayainya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah. Ia
menambahkan penjelasan, bahwa makna kata ini dengan cara
mengalihkan makna kata istawa dari makna dasarnya yaitu bersemayam
ke makna majazi (metafor) yaitu berkuasa. Sehingga penggalan ayat ini
menegaskan kekuasaan Allah SWT dalam mengatur dan mengendalikan
alam raya.13
Kedua mufasir ini sepakat bahwa ‘arsy sebagai tempat
bersemanyam Allah meskipun tidak diartikan sengan tempat hanya saja
memiliki makna metafor. Permasalahanya muncul ketika kedua mufasir
memiliki interpretasi berbeda terkait posisi Allah dengan merujuk QS. al-
Baqarah [2]: 29 dengan menggunakan kalimat ila al-samā. Menurut Imam
12 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-
Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 2, 20 13 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an (Jakarata: Lentera Abadi, 2017), Vol. 5, 119.
5
Nawawī kata ila tidak diartikan dengan makna asli melainkan kata sisipan
yang berorientasi menciptakan. Sedangkan menurut Quraish Shihab
kalimat ini mengandung makna Maha Tinggi sebagai bentuk
mengangungkan tempat bersemanyam Allah. Pandanga Quraish Shihab
masih bisa dirasionalkan yang memberikan interpretasi kalimat yang tidak
jauh dari makna aslinya. Meskipun Imam Nawawī sedikit berbeda
menginterpretasikan QS. al-Mulk [67]: 16, bahwa Allah itu tidak memiliki
tempat sebab bila memiliki tempat maka ada egaliter antara Allah dengan
makhluknya itu sebabnya ia tidak memberikan diktum bahwa Allah
berada di langit.
Dari permasalahan ini maka muncullah suatu penelitian terkait
bagaimana kedua mufasir ini menginterpretasikan ayat-ayat yang
berkaitan tentang posisi Allah dengan berjudul “Intrepertasi ayat-ayat
mutasyabbihāt tentang posisi Allah (Studi Komparati Tafsir Marāh Labīd
dan Tafsir al-Misbāh”
B. Permasalahan Penelitian
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas banyak berdebatan mengenai ayat-ayat
mutasyabihat tentang posisi Allah di kalangan ulama, dan banyaknya
penafsiran mengenai ayat-ayat mutasabihat menjadi daya tarik penulis
untuk mengkaji lebih dalam mengenai ayat yang sering diperdebatkan
di antara nya :
a. Ayat Mutasyabihat memiliki makna yang sulit dipahamai secara
rasional, dan perlunya penjelasan.
b. Terjadi perbedaan penafsiran dalam menentukan posisi Allah.antara
Imam Nawawī dan Qurais Syihab.
6
c. Imam Nawawī dan M.Qurais Syihab memiliki theology yang sama
akan tetapi penafsiran nya berbeda.
d. Metotode yang digunakan oleh Imam Nawawī dan Qurais sihab
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam skripsi ini, berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka
penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas :
a. Bagaimana intrepertasi Imam Nawawī al-Jawī dan Quraish
Syihab dalam penafsiran ayat-ayat Mutasyabbihāt tentang
posisi Allah yang sebenarnya?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian atau kajian tentu mempunyai tujuan yang
mendasari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui interpretasi dalam tafsir Marā Labīd dan al-
Misbāh tentang memahami ayat-ayat mutasyabbihāt yang menjelaskan
tentang posisi Allah
2. Untuk mengetahui metode apa yang digunakan kedua mufasir dalam
menafsirkan ayat-ayat mutasyabbihāt tentang posisi Allah.
3. Umtuk mengetahui pandangan mufassir Indonesia tentang posisi
Allah.
D. Manfaat Penelitian
Selain memiliki tujuan, penelitian ini diharapkan mempunyai
kontribusi dan manfaat yaitu:
1. Dengan adanya kajian ini, dapat menambah wawasan keilmuan
khususnya dalam bidang tafsir dan ilmu theologi.
2. Dengan adanya kajian dua tokoh ini dapat menambah wawasan
keilmuan tentang tafsir ayat theologi yang lebih keindonesian.
7
3. Dengan adanya kajian ini penulis berharap mudah-mudahan dapat
dijadikan sebagai literatur dan dorongan untuk mengkaji masalah
tersebut lebih lanjut.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini perlu dikaji dan diteliti dari berbagai aspek, karena
bersinggungan langsung dengan sosial kemasyarakatan yang bermayoritas
beragama Islam di negara ini. Penelitian yang berjudul “Intrepertasi
Ayat-ayat Mutasyabbihāt tentang Posisi Allah (Studi Komparati
Tafsir Marāh Labīd dan Tafsir al-Misbāḥ)”
Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan ditemukan literatur
yang berbentuk jurnal dan skripsi yaitu:
1. al-Qadi al- Jabbar dan Ayat-ayat Mutasabbihat dalam al-Qur’anoleh
Machasin, yang diambil dalam bentuk jurnal. Penelitian ini membahas
tentang kitab mutasabbihat.14
2. Konstruksi Penafsiran Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Sebagai Hujjah oleh Haryadi, yang diambil dalam bentuk jurnal.
Tulisan ini menjelaskan kembali pendapat Ulama tentang ayat
Mutasyabihat, apa ayat mutasyibihat itu bisa dicapai pengertiannya
atau tidak, ternyata ada ayat mutasyabihat itu dapat dicari
pengertiannya da nada yang tidak dapat dicari pengertiannya yang
sebenarnya, dengan ini jelas ayat mutasyabihat yang dapat difahami
pengertiannya sama kedudukannya dengan ayat yang muhkamat yang
menjadi pegangan dan sandaran bagi segala tindak tanduk kita sehari-
hari.15
14 Machasin, “al-Qadi al-Jabbar dan Ayat-Ayat Mutasabbihat dalam al-Quran,”
al-Jamia’ah, no. 57 (t. b, 1994). 15 Haryandi, “Konstruksi Penafsiran Ayat-Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Sebagai Hujjah,” Garuda Ijtihad, Vol. 34, no. 1 (Juni, 2018):14.
8
3. Memahami Makna Muhkamat dan Mutsyabihat dalam al-Qur’anoleh
Novi Yanti, yang diambil dalam bentuk jurnal. tulisan ini membahas
tentang Semua hal yang berkaitan dengan Al-Qur’antentang ayat
muhkam. Karena muhkam adalah subjek dari Alquran, dan ada
beberapa ayat mutasyabih yang artinya dikembalikan ke ayat
muhkamat. Takwil untuk ayat mutashabihat dilakukan tidak hanya
oleh generasi khalaf, tetapi generasi Salaf (tiga abad pertama Hijrah)
juga melakukan hal yang sama.16
4. Membincang Ayat-Ayat Muhkam dan Mutsyabihat oleh Muhammad
Anwar Firdausi, yang diambil dalam bentuk jurnal. Tulisan ini
membahas tentang dalam memahami al Quran manusia, khususnya
umat muslim masih menemukan kesulitan dalam memahami arti
secara benar. Dalam kajian studi Islam hal tersebut biasa disebut
dengan ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat. Dalam tulisan ini juga
menjelaskan interpretasi para ulama yang terjadi berselisih pendapat,
meskipun pada subtansinya sama-sama benar, hanya caranya yang
berbeda.17
5. Skripsi Moh Hidayat Penafsiran Ayat-ayat Mutasabbihat dalam Tafsir
al-Jilani karya Syaikh Abd al-Qdir al-Jilani. Dalam skripsi ini hanya
meneliti tentang kajian penafsiran Syaikh ‘Abd al-Qadir al-jilani
terhadap beberapa ayat-ayat mutasabbihat. Yang berbicara seakan-
akan Allah menyerupai mahluknya.18
6. Skripsi yang ditulis oleh Abdul Qodir berjudul “Metode Ulama Salaf
dalam Memahami Ayat-ayat Mutasyabbihat (Studi terhadap Metode
16 Novi Yanti, “Memahami Makna Muhkamat dan Mutasyabihat dalam al-
Quran,” al-Islah Jurnal Pendidikan, Vol. 8, no. 2 (t. b, 2016): 246-256. 17 Muhammad Anwar Firdausi, “Membincang Ayat-ayat Muhkam dan
Mutsyabih”, Ulul Albab, Vol. 16, no 1 (t. b, 2015). 18 Mohammad Hidayat, “Penafsiran Ayat-Ayat Mutasabbihat dalam Tafsir al-
Jilani Karya Syaikh Abd al-Qdir al-Jilani,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012).
9
Tafwīd dan Ta’wil Ayat-ayat tentang Sifat Allah)”. skripsi ini
menjelaskan tentang metode apa yang dilakukan ulama salaf dalam
menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat.19
7. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Faroqi berjudul “Analisi Ayat –ayat
Mutasyabihat Tafsir al-Munir Karya Wahbah al-Zuhailī”. Skripsi ini
menjelaskan tentang penjelasan dari Wahbah al-Zuhali di dalam
tafsirnya mengenai ayat-ayat yang mutasyabihāt.20
8. Skripsi yang ditulis oleh Hanel Betaria yang berjudul “Ayat-ayat
Mutasyabbihat dalam al-Qur’an: Studi analisis terjemahan al-
Qur’anoleh Hb. Jasin terhadap ayat-ayat antropomiorfisme. Skripsi
ini hanya membahas tentang analisis penafsiran oleh Hb. Jasin tentang
ayat-ayat mutsyabihat (antropomorfisme).21
9. Skripsi ditulis oleh A. Faroqi berjudul “Analisis Ayat-ayat
Mutasyabihat Tafsir al-Munir Karya Wahbah al-Zuhaili”. Tulisan ini
hanya fokus pada kajian analisis dalam kitab tafsir Wahbah al-
Zuhaili.22
10. Skripsi yang ditulis oleh Randa yang berjudul “Interpretasi Hadits
Terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat: Studi Ayat-ayat Tajsim. Tulisan ini
19Abdul qodir, “metode ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabbihat
(studi terhadap metode Tafwīd dan Ta’wil ayat-ayat tentang sifat Allah),” (Skripsi S1
Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadits, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2015) 20Ahmad Faroqi, “Analisi ayat –ayat Mutasyabihat Tafsir al-Munir Karya
Wahbah al-Zuhailī,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Humainora, Universitas Islam
Negri Walisongo, 2016) 21 Hanel Betaria, “Ayat-ayat Mutasyabbihat dalam al-Quran : Studi analisis
terjemahan al-Quran oleh Hb. Jasin terhadap ayat-ayat antropomiorfisme,” (Skripsi S1
Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullan Jakarta, 2012). 22 A. Faroqi, “Analisis Ayat-ayat Mutasyabihat Tafsir al-Munir Karya Wahbah
all-Zuhaili,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Humaniora Universitas Islam Negeri
Walisongo Semarang, 2016).
10
melihat penafsiran ulama dengan merujuk interpretasi hadits tentang
ayat-ayat mutasyabihat berupa tajsim.23
Dari beberapa literatur skripsi yang dijelaskan di atas, penulisan tidak
menemukan adanya kesamaan secara khusus yang dibahas oleh penulis
dalam penulisan ini adalah “Intrepertasi ayat-ayat mutasyabbihāt tentang
posisi Allah (studi komparatif tafsir Marāh labīd dan al-Misbāh)”
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu
penelitian dengan mengumpulkan kata atau kalimat dari individu, buku
atau sumber yang lain.24 Penulis menggunakan metode pendekatan
penafsiran al-Qur’andari segi tafsir tematik. Yakni, menghimpun ayat-
ayat al-Qur’anyang memiliki tujuan yang sama, menyusunnya secara
kronologis selama memungkinkan dengan memperhatikan sebab
turunnya, menjelaskannya, mengaitkannya dengan surah tempat ia
berada, menyimpulkan dan menyusun kesimpulan tersebut ke dalam
kerangka pembahasan sehingga tampak dari segala aspek, dan
menilainya dengan kriteria pengetahuan yang sahih.
Untuk lebih jelasnya, penulis menghimpun ayat-ayat Al-
Qur’anyang berkenaan ayat-ayat mutasyabbihāt tentang posisi Allah,
kemudian menyusunnya berdasarkan kronologis serta sebab turunnya
ayat-ayat tersebut, sehingga diketahui pengklasifikasiannya. Apakah ia
tergolong ayat-ayat makkiyah atau madaniyyah.
23 Randa, “Interpretasi Hadits Terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat: Studi Ayat-
ayat Tajsim,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam
Negeri Raden Fatah Palembang, 2018). 24 Nanang Martono, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Grafindo Persada,
2010), 19.
11
2. Sumber Data
Sumber utama yang menjadi data primer adalah penafsiran Ulama
melalui buku Marāh Labīd Imam Nawawī dan al-Misbāh Quraisy
Shihab. Sedangkan data sekunder didapat dari tulisan orang lain yang
membicarakan dan mendiskusikan tentang posisi Allah dan kajian
ayat-ayat mutasyabih, artikel, jurnal dan lainnya yang memiliki
korespondensial dengan tema penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Mengenai pengumpulan data, penulis menggunakan metode atau
teknik library research, yaitu mengumpulkan data-data melalui bacaan dan
literatur-literatur yang ada kaitannya dengan pembahasan penulis. Teknik
ini bisa disebut juga sebagai studi dokumen yang merupakan salah satu
proses kajian penelitian untuk melihat dan menganalisis pernyataan atau
data seseorang atau kelompok. Studi dokumen ini dilakukan dengan
melihat hasil data dari para penelitian yang sudah ada untuk melihat gejala
perubahan sosial di masyarakat mengenai penelitian penulis.25 sebagai
sumber pokoknya adalah al-Qur’andan penafsirannya, serta sebagai
penunjangnya yaitu buku-buku ke Islaman yang membahas secara khusus
tentang Tafsir, disiplin Ilmu Bahasa dan buku-buku yang membahas
secara umum dan implisitnya mengenai masalah yang dibahas. Adapun
dalam pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an sebagai bahan penafsiran adalah
dengan pendekatan tafsir tematik. Adapun langkah-langkah dalam mencari
tema ayat, hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’ī.
25 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Posdakarya ) hlm 216-217
12
Langkah-langkah tersebut dengan menggunakan teori al-Farmawī, di
antaranya:26
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai
pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-
masing.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
(outline).
6. Melengkapi pembahasan yang relevan dengan pokok bahasan.
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan
jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian
yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum)
dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau
yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya
bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
1. Teknik Analisis dan Langkah-Langkah Penelitian
Metode yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah
deskriptif-analitik, yaitu mendeksripsikan keseluruhan data yang sudah
ada.27
Pertama, mereduksi yaitu kegiatan merangkum atau memilih data-data
penting sehingga dapat memberikan gambaran secara spesifik dalam
26 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung : Penerbit Mizan, 1994), h. 114-115. 27 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B, (Bandung:
Alfabeta, 2017) hlm 245
13
menentukan permasalah penelitian. Penulis memilih tema umum tentang
pembelaan terhadap al-Qur’an.
Kedua, penyajian data. Kegiatan ini dilakukan setelah mereduksi data.
Selanjutnya data yang sudah direduksi disajikan dengan diagram yang
akan mempermudah dalam memahami penjelasan deskriptif.
Ketiga, penarikan kesimpulan, kegiatan ini merupakan kegiatan
terakhir yang dilakukan dalam penelitian. Setelah melakukan dua kegiatan
di atas maka harus dilakukan kesimpulan sebagai gambaran umum hasil
penelitian tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi
yang terkandung dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang teridiri dari latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan
penelitian, metode penelitian dan penulisan serta sistematika penulisan.
Bab II Berisi tentang Tinjauan Umum Tafsir Marā Labīd dan al-
Misbāh
Bab III Membahas tentang pngertian mutasyabbihāt, menurut
M.Quraisyihab dan Imam Nawawī al-Bantani, Ruang lingkup
mutasyabbihāt, Fungsi adanya ayat mutasyabbihāt, pengaruh adanya ayat-
ayat mutasyabbihāt,
Bab IV Sebagai pembahasan inti mengenai metode penafsiran
Imam Nawāwī al-Jāwī Marāh Labīd dan Quraisy Syihab al-Misbā di
dalam memahami ayat-ayat mutasyabbihāt, dan bagaimana menafsirkan
ayat-ayat yang mengenai posisi Allah.
Bab V Merupakan bab penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-
saran
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TAFSIR MARĀ LABĪD DAN AL-MISBĀḤ
A. Biografi Imam Nawawī al-Bantani
Imam Nawawī adalah panggilan populer di kalangan akademisi
Islam, sedangkan nama aslinya adalah Abū ‘Abd al-Mu`thi Muhammad
Nawawi b. Umar b. ‘Arabi b. Alī al-Jāwi al-Bantāni al-Tanāra al-Syāfi’i
al-Qadari. Daerah Arab ia dikenal dengan sebutan nama al-Syaikh
Muhammad Nawawi al-Jāwi al-Makki, sedangkan di Indonesia tempat
kelahirannya lebih dikenal dengan sebutan nama Kiai Nawawi Banten.1
Nama Muhammad Nawawi sendiri diambil dari nama seorang ulama
Islam yang produktif dan penulis kitab-kitab fiqh madzhab Syafi`i,
dengan harapan agar kelak puteranya yang sudah punya tanda-tanda
kecerdasan dan kesalehan akan mengikuti jejak Imam Nawawi, dan hal
itu terbukti dengan keproduktifannya dengan banyaknya karya-karya
yang dihasilkan dalam berbagai cabang ilmu keagamaan.2
Ayahnya merupakan sosok dikenal sebagai tokoh karismatik yang
disegani, disamping sebagai seorang ulama yang memimpin pesantren
di Tanara, ia juga masih keturunan bangsawan yang taat beragama.
Ibunya adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang sukses mendidik semua
putera-puteranya, yang dikemudian hari menjadi pemuka agama, di
antaranya: Kiai Nawawi, Kiai Tamim, Kiai Said, Kiai Ahmad, dan Kiai
Abdullah. Adapun melihat dari silsilahnya, Imam Nawawi merupakan
keturunan ke dua belas dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan
1 Mustamin Arsyad, “Signifikansi Tafsir Marāh Labīd, Terhadap
Perkembangan Studi Tafsir di Nusantara,” Studi al-Qur’an, Vol. I, no. 3 (t. b, 2006):
616. 2 Mustamin Arsyad, “Signifikansi Tafsir Marāh Labīd, 617.
15
Gunung Jati), yang silsilahnya masih bersambung dengan Nabi
Muhammad SAW, melalui Imam Ja’far al-Ṣadīq, Muhammad al-Baqīr,
Alī Zainal ‘Abidīn, Sayyidina Husain, Fathimah al-Zahra3
Tempat kelahiranya Tanara, Tirtayasa, Serang, Banten letaknya
di propinsi yang pisah dari Jawa Barat, Indonesia. Nawawi al Bantani
adalah putera pertama dari seorang penghulu juga ulama berasal dari
Tanara. Ibunya bernama Jubaidah penduduk asli Tanara dari keturunan
ayahnya. Nawawi al Bantani disinyalir sebagai keturunan Maulana
Hasanuddin, yang merintis, membuka kerajaan Islam Banten atas
perintah ayahnya, Syaikh Syarif Hidayatullah atau dikenal Sunan
Gunung Djati Cirebon.
Pendidikan agama ia dimulai sejak masa kanak-kanak. Nawawi
dikenal sebagai orang yang tekun dan fokus dalam mencari ilmu.
Bersama saudaranya Ahmad dan Tamim, ia belajar ilmu pengetahuan
agama Islam zdari ayahnya sendiri. Ilmu-ilmu yang dipelajari meliputi
pengetahuan dasar gramatika Arab (Nahwu dan Sharf), Fiqh, Tauhid,
dan Tafsir. Mereka juga belajar pada Kiai Sahal, seorang ulama terkenal
di daerah Banten. Kemudian mereka dikirim oleh ayahnya ke daerah
Purwakarta (Karawang) untuk melanjutkan studi pada K.H. Yusuf,
seorang kiai alim yang muridnya banyak berasal dari luar Jawa Barat.4
Dalam usia 15 tahun, Nawawi al Bantani rihlah intlektual ke
Mekkah.5 Di sana ia menuntut ilmu dan berguru pada Sayyid Ahmad
3 Mustamin Arsyad, “Signifikansi Tafsir Marāh Labīd, 58. Lihat pula, Mamat
Burhanuddin, Hermeneutika Al-Qur’an ala Pesantren (Analisis Terhadap Tafsir
Marâh Labîd Karya K.H. Nawawi Banten), cet. I, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h.
21. 4 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup
Kiyai, (Jakarta: LP3S, 1982), 87. 5 ‘Abd al-Rahman, “Nawawi al Bantani; an Intellectual Master of The
Pesantren Tradition.” Studia Islamika. Vol. III. no. 3, (t. b, 1996): 23-24.
16
Nahrawi, Sayyid Ahmad Dimyathi, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang
semuanya itu mereka ulama yang tinggal di Mekkah. Ia juga belajar
pada Muhammad Khathib al Hanbali, seorang ulama yang bermukim di
Madinah, kemudian ia melanjutkan rihlah intlektual ke daerah Syam
dan Mesir. Ilmu-ilmu yang diperoleh dari para gurunya inilah yang di
kemudian hari menjadi bekal bagi Nawawi al-Bantani untuk
menghasilkan sebuah karya tafsir marāh labīd dan tidak hanya tafsir tapi
ilmu-ilmu lainnya. Kegiatan selain belajar, ia juga menyibukan dengan
kegiatan mengajar murid-muridnya yang di kemudian harinya menjadi
ulama besar di Nusantara6. Di Indonesia, murid-murid Nawawi
termasuk tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain
dalam dakwah Islam juga dalam perjuangan Nasional. Di antaranya
adalah K.H. Hasyim Asy`ari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur
(Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H. Khalil dari Bangkalan,
Madura, Jawa Timur, K.H. Asy`ari dari Bawean, yang menikah dengan
dengan puteri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H. Najihun dari
Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, Banten yang menikahi cucu
perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rokayah bint Nawawi,
K.H. Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin, Labuan, Pandeglang,
Banten, K.H. Ilyas dari kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang,
Banten, K.H. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Tirtayasa, Serang,
Banten, K.H. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, Jawa Barat.7 Ada
pula yang berasal dari Malaysia, seperti K.H. Dawud (Perak). Murid-
murid lainnya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syekh
6 Sunanto Musyrifah. “Nawawi al Bantani: Ulama Indonesia Pengarang
Tafsir Munir” (zHasil Penelitian). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 27. 7 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup
Kiyai, 89.
17
Abd al-Hamid Quds, Syekh Abd al-Sattar al-Dihlawi, dan Syekh Said
al- Yamani.8
Setelah lamanya menuntut ilmu di negeri Arab, ia kemudian
pulang ke Tanara, Banten tepatnya pada tahun 1833. Sesampai di
kampung halamannya, ia menyebarluaskan ilmunya kepada santri-santri
pesantren orang tuanya dengan harapan agar mereka mendapatkan
pengetahuan Islam dan disebarluaskannya. Selain mengajar para santri,
ia juga memberikan ceramah-ceramah umum di lingkungan masyarakat
sekitarnya. Ceramah-ceramahnya ternyata mampu menyedet masa dan
menggairahkan kesadaran mereka untuk bangkit melawan para kolonial
yang membawa penindasan di bumi Nusantara ini. Meskipun situasi
politik Banten pada saat itu belum berubah jauh dari saat
ditinggalkannya di Mekkah. Para Kolonial Belanda selalu terus-
menerus melakukan pengawasan terhadap kegiatan keagamaan tanpa
terkecuali kegiatan-kegiatan Nawawi al Bantani. Kemampuannya
dalam memobilisasi masa semakin membuat pihak Belanda ketakutan.
Untuk mengurung pengaruhnya di masyarakat, para Kolonial merasa
perlu membuat cara yang dapat menghalangi hubungannya dengan
masyarakat (pengikut-pengikutnya) yang pada akhirnya ceramah-
ceramahnya tersebut dapat dibekukan oleh pihak Belanda.9 Pemikiran
Nawawi al Bantani bisa dilihat ketika hegemoni yang dibawa oleh Imam
Nawawi itu ditulis dalam karya-karya fikih, tauhid, tasawuf, tafsir,
hadis, dan sejarah.10 Menurut ‘Abd al-Rahman tipikal dan tipologis
8 Aan Parhani, “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani Dalam Tafsir
Marāh Labīd,” Tafsere, Vol. 1, no. 1 (t. b, 2013): 10. 9 Ansor Bahary, “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Tafsir Marāh Labīd
Nawawi al-Bantani,” Ulul AlBab, Vol. 16, No. 2 (t. b, 2015): 178-179. 10 Tihami, “Pemikiran Fiqh al Syaikh Muhammad al Nawawi al Bantani,”
(Disertasi S2., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,1998), 8-9.
18
pandangan Nawawi al Bantani diringkas menjadi empat bidang; tafsir,
sufisme, hukum Islam, dan tauhid.11 Artinya, menyangkut tasawuf atau
sufisme, ia tidak menyuruh dan tidak pula melarang murid-muridnya
untuk memasuki tarekat, ia tampaknya berusaha bersikap netral,
sekalipun diketahui ia merupakan pengikut salah seorang gurunya
Syaikh Khathib al Sambasi, tokoh pendiri tarekat Naqsyabandiyah wa
Qadiriyah di Nusantara ini. Nawawi al Bantani sendiri menulis
beberapa karya tentang tasawuf atau sufisme seperti disebutkan dalam
karya-karya ilmiahnya. Tasawuf yang diikutinya adalah tasawuf al
Ghazali. Dalam bidang hukum Islam, lebih tendensius kepada madzhab
al Syafi’i. Pada konteks ini, ia juga menafsirkan dan memberikan
penjelasan karya-karya Syafi’iyah, seperti al Ramli, Zakaria al Anshari,
Ibnu Hajar al Asqalani dan sebagainya. Dalam bidang tauhid, Nawawi
al Bantani adalah tipikal Asy’ariyah, sekalipun ia tetap menekankan
pentingnya penggunaan akal dalam memahami Tuhan khususnya, di
samping wahyu al Quran itu sendiri.
Selain itu, terkait sikap dan pemikiran Nawawi al Bantani, secara
sosio-kultural dan sejarah, para penulis Ensiklopedi Islam dapat
memotretnya menjadi beberapa hal, antara lain: pertama, Ia tidak begitu
agresif atau reaksioner alias konfrontasi frontal dalam menghadapi
pemerintahan Kolonial Belanda, sekalipun ia tidak kooperatif dalam
bentuk apapun. Kedua, senantiasa memusatkan pada pendidikan dan
pengajaran, memperhatikan jiwa-jiwa keagamaan dalam membekali
muridmuridnya, serta semangat untuk menegakkan kebenaran. Ketiga,
Membina dan menganjurkan hubungan sosial dengan orang-orang kafir
11 Azbd al- Rahman, “Nawawi al-Bantani; an Intellectual Master of The
Pesantren Tradition.” Studia Islamika. Vol. III. no. 3,(t. b, 1996): 82.
19
yang tidak menjajah, karena semua manusia adalah saudara. Keempat,
ia mendukung segala bentuk ide pembaharuan dalam memahami agama
demi mewujudkan hakikat kebenaran, apalagi pada masa hidupnya di
Mekkah merasakan langsung ‘kehangatan’ iklim pembaharuan yang
bergejolak pada saat itu. Kelima, Dalam menghadapi tantangan zaman,
umat Islam perlu menguasai berbagai bidang keterampilan dan keahlian.
Keenam, Terkait urusan khilafiyah yang ada di umat, Nawawi al Bantani
menganggapnya sebagai rahmat pada konteks keragaman dalam
beragama, kemampuan dan persaingan untuk kemajuan Islam. Dengan
demikian, pemikiran dan sikap Nawawi al Bantani dapat dikatakan
sebagai ulama yang memegang prinsip dan keteguhan terhadap
kebenaran, terutama sekali kebenaran keyakinan agamanya. Yang tidak
kalah pentingnya dalam hubungan sosi-politiknya pada saat itu adalah
open minded baik terhadap orang yang seakidah maupun mereka yang
tidak seakidah dengannya, mengakui adanya pluralitas manusia di dunia
ini, tidak alergi pada pembaharuan dan dalam menempuhnya orang
Islam harus memiliki keahlian dan keterampilan sehingga bisa sejajar
dan sebanding dengan manusia lainnya. 12
Imam Nawawi menikah dengan seorang isteri yang berasal dari
daerah yang sama yaitu daerah Bnaten. Dia yang senantiasa
mendampingi beliau selama perjalanan hidupnya. Dia memegang
peranan penting dalam keluarga. Dengan sukses dia berusaha
menentang hasrat suaminya untuk mengambil isteri yang kedua yang
dikenal dengan istilah poligami.13 Dari isterinya itu, beliau dikarunia
12 Ansor Bahary, “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Tafsir Marāh
Labīd Nawawi al-Bantani, 182. 13 Aan Parhani, “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani Dalam Tafsir
Marāh Labīd, 7.
20
satu orang Putera yang bernama ‘Abd al-Mu`thi dan meninggal ketika
masih balita, dan empat orang puteri, yaitu: Rokayah, Nafisah, Maryam,
dan Zahrah.14
Imam Nawawi wafat pada hari Kamis 25 Syawal 1314 H/1897
M di Syi’ib Ali, Mekkah dalam usia 84 tahun. Ia dikubur di Pemakaman
Ma’la yang berdekatan dengan kuburan Ibnu Hajar alAsqalani (pakar
hadis abad 9 H) dan Siti Asma’ binti Abu Bakar al Shiddiq.15
Sepak terjang dalam dunia pendidikan tidak diragukan lagi,
ditambah karya-karya yang ia tulis cukup banyak dan memiliki
kemanfaatan bagi kalangan generasi setelahnya sebagai referensi
agama. Adapaun karya-karyanya di antara beberapa pemerhati karya
Syekh Nawawi tidak ada kesepakatan mengenai jumlah buku yang
ditulis oleh Nawawi. Sebagian mengatakan Imam Nawawi memiliki
karya sekitar 100 karya dalam berbagai bidang ilmu. Sebagian
kelompok berpendapat Imam Nawawi memiliki 80 karya. Sumber lain
menyebut lebih dari 100 karya yang kesemuanya ditulis dalam bahasa
Arab.16 Mustamin melacak karya-karya Imam Nawawi dengan berusaha
keras untuk mendapatkan yang belum dicetak/ diterbitkan, atau minimal
mendapatkan judul-judulnya yang dikatakan mencapai seratusan karya
tersebut, dengan mengunjungi Perpustakaan Al- Haram al-Makki yang
terletak di sebelah Masjid al-Haram, pada bulan Dzul Hijjah 1418 H,
14 Mamat, mengutip pendapat Chaidar, menyebutkan bahwa dari Nasimah
lahir dua anak; Maryam Nafisah (jadi satu nama) dan Rokayah, sedangkan dari
Hamdanah lahir Zahrah. Ia tidak menyebutkan Abd al-Mu’thi anak dari isteri yang
mana. Lihat. Aan Parhani, “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani Dalam
Tafsir Marāh Labīd,” Tafsere, Vol. 1, no. 1, (t. b, 2013): 8. 15 Ansor Bahary, “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Tafsir Marāh
Labīd Nawawi al-Bantani, 178. 16 M. Mustamin Arsyad, al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jāwi wa Juhūduhu
fī al-Tafsīr al-Qur’an al-Karīm fī Kitābihi “al-Tafsīr al-Munīr li Ma`ālim al-Tanzīl,
(Desertasi Doktor S3., Universitas al-Azhar Kairo-Mesir, 2000), 157-158.
21
akan tetapi tidak ditemukan sama sekali. Dari sekian banyak karyanya
tersebut, diklasifikasikan ke dalam tujuh bidang, yaitu di antaranya:
1. Bidang Tafsir. Imam Nawawi menulis Marāh Labīd li Kasyf
ma’na Qur’an Majīd, yang lebih dikenal dengan al-Tafsīr al-
Munīr li Ma’ālim al-Tanzīl al-Musfar ‘an wujūh Mahāsin al-
Ta’wīl, yang diterbitkan pertama kali di Kairo tahun 1305 H.
2. Bidang Hadis. Ia menulis di antaranya: Tanqīh al-Qaul al-
Hatsīts bi Syarh Lubāb al-Hadīs, Nashā’ih al-‘Ibād fī Bayān
Al-fāzh Munabbihāt ‘ala al-Isti’dād li Yaum al-Ma’ād.
3. Bidang Tauhid dan Ushuluddin. Karyanya antara lain: Tîjān
al-Durari Syarh Risālah al-Bājūrī, Dzarī’ah al-Yaqīn ‘ala
Umm al-Barāhīn, Syarh `Alā Manzhūmah al-Syekh
Muhammad al-Dimyāthī fī al-Tawashshul bi Asmā’ Allah al-
Husna, al-‘Aqd al-Tsamīn Syarh Fath al-Mubīn Fath al-
Majīd fî Syarh al-Durr al-Farīd, Qāmi’ al-Tughyān ‘ala
Manzhūmah Syu’ab al-Imān, Qathr al-Ghaits fī Syarh
Masā’il Abī al-Laits, Naqāwah al-‘Aqīdah wa Syarhuh al-
Musamma al-Nahjah al-Jayyidah li Hall Naqāwah al-
‘Aqīdah, Nūr al-Zhallām fī Syarh ‘Aqīdah al-‘Awwām.
4. Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh. Ia menulis di antaranya:
Bahjah al Wasā’il bi Syarh Masā’il (2) al-Tsamār al-
Yāni’ah fī al-Riyādh al-Badī’ah, Sullam al-Munājah ‘ala
Safīnah al-Shalāh, Sulūk al-Jāddah fī Bayān al-Jum’ah wa
al-Mu’ādah, Fath al-Mujīb bi Syarh Mukhtashar al-Khatīb,
Qūth al-Habīb al-Gharīb Hāsyiah ‘ala Fath al-Qarīb al-
Mujīb, Kāsyifah al-Sajā Syarh Safīnah al-Najā, Nihayah al-
Zain fī Irsyād al-Mubtadi’īn.
22
5. Bidang Tasawuf dan Akhlaq, ia menulis yang sudah
diterbitkan di antaranya: Salālim al-Fudhalā Syarh
Manzhūmah Hidāyah al-Adzkiyā, Marāqī al-‘Ubūdiyyah
Syarh Bidāyah al-Hidāyah, Mirqāh Shu’ūd al-Tashdīq fī
Syarh Sulam al-Taufīq, Mishbāh al-Dhallām ‘ala al-Manhaj
al-Atamm fī Tabwīb al-Hikam, Minhâj al-Rāghibīn fī al-
Shafā wa al-Uns
6. Bidang Sīrah (Sejarah Nabi Muhammad SAW). Ia menulis
di antaranya adalah: al-Ibrīz al-Dāni fī Maulid Sayyidinā
Muhammad al-‘Adnānī, Bughyah al-‘Awwām fī Syarh
Maulid Sayyid al-Anām, Targhīb al-Musytāqīn li Bayān
Manzhūmah al-Sayyid al-Barjanjī fī Maulid Sayyid al-
Awwalīn wa al-Ākhirīn, al-Durar al-Bahiyyah fī Syarh al-
Khashāish al-Nabawiyyah, Fath al-Shamad al-‘Ālim ‘ala
Maulid al-Syekh Ahmad ibn Qāsim, Madārij al-Shu’ūd ila
Iktisāh al-Burūd.
7. Bidang Nahw, Sharf, dan Balaghah. Ia menulis di antaranya
adalah: Fath Ghāfir al-Khathiyyah ‘ala al-Kawākib al-
Jaliyyah fī Nazhm al-Ajrūmiyyah, al-Fushūsh al-Yāqūtiyyah
‘ala al-Raudhah al-Bahiyyah, al-Riyādh al-Qauliyyah fī al-
Sharf, Kasyf al-Marūthiyyah ‘ala Sitār al-Ajrūmiyyah,
Lubab al-Bayan fî `Ilm al-Balâghah.
8. Bidang tajwid, ia menulis Hilyah al-Shibyān fī ‘Ilm al-
Tajwīd
23
9. bidang ahwāl al-syakhsiyyah (hubungan suami isteri) ada
kitab yang berjudul ‘Uqūd al-Lujjain fī Bayān Huqūq al-
Zaujain.17
B. Biografi M. Quraish Shihab
Nama kepanjangannya adalah Muhammad Quraish Shihab, ia lahir
tanggal 16 februari 1944 di daerah Rapang, Ujung Pandang, Sulawesi
Selatan. Ia merupakan anak ke-4 dari delapan bersaudara serta dari
pasangan suami istri Prof. KH. Abdurrahman Sihab dan Asma Aburisyi
yang merupakan keluarga bernasab (keturunan) arab seorang
berpendidikan akademisi dan terpelajar yang menjadi ulama sekaligus
guru besar di IAIN Alauddin Ujung Pandang.18 sebagai seseorang yang
memiliki berfikiran progresif, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan
merupakan agen perubahan. Maka tak heran ayahnya sejak kecil
memberikan edukasi kepada anaknya M. Quraish Shihab. Ia telah
menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an pada usia enam
sampai tujuh tahun. Ia mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan
oleh ayahya sendiri. Selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya
juga menjelaskan maksud dari isi ayat al-Qur’an secara sepintas tentang
17 Lihat dalam desertasinya Mustamin hampir membahas dan mencantumkan
seluruh karya-karya di atas. Sebagian juga ada beberapa karya yang tidak sempat
beliau temukan kitabnya, tantang substansi dari isi masing-masing kitab dan
kedudukannya di Indonesia. M. Mustamin Arsyad, al-Syekh Muhammad Nawawi al-
Jāwi wa Juhūduhu fī al-Tafsīr al-Qur’an al-Karīm fī Kitābihi “al-Tafsīr al-Munīr li
Ma`ālim al-Tanzīl, (Desertasi Doktor pada Universitas al-Azhar Kairo-Mesir, 2000),
h. 155-233. Lihat pula, Sobby Arsyad, Buku Daras Potret Tafsir al-Qur’an Di
Indonesia (Bandar Lampung: 2007), 8. 18 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2003), 6.
24
kisah-kisah dalam al-Qur’an. Di sinilah mulai tumbuh benih-benih
kecintaan M. Quraish Shihab kepada al-Qur’an.
Riwayat pendidikan M. Quraish Shihab dimulai dari pendidikan
formal yaitu dari Sekolah Dasar (SD) Lompobattang, Ujung Pandang.
Ia tamat SD pada usia 11 tahun. Setelah tamat SD, ia melanjutkan
pendidikannya di SMP Muhammadiyyah Makassar. Namun tak sampai
lulus di SMP Muhammadiyah Makassar, tepatnya hanya setahun
mengenyam pendidikan di sana, ia terpikat oleh kepiawaian kakaknya
yang bernama Ali Shihab dalam berbahasa Arab setelah nyantri di
pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyyah Malang. Oleh karena itu M.
Quraish Shihab pindah sekolah dari SMP Muhammadiyah Makassar ke
pesantren Dar al-Hadits al- Fiqhiyyah Malang diasuh langsung oleh
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih al-Alwi dan putranya Prof. DR.
Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih yang terkenal sebagai ulama
ahli hadis.19
Pada tahun 1958, ketika berusia 14 tahun Quraish berangkat ke
Mesir untuk melanjutkan studi dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-
Azhar, Mesir. Pada tahun 1959, Kemudian Quraish Shihab melanjutkan
studinya ke Universitas al-Azhar dengan diterimanya di jurusan Tafsir
Fakultas Usuluddin di Universitas al-Azhar. Tetapi ia menempuh
pendidikan Tsanawiyah di Al-Azhar terlebih dahulu sebelum masuk
perguruan tinggi Universitas al-Azhar. Quraish Shihab di Mesir banyak
belajar dengan Ulama-ulama besar seperti Syaikh Abdul Halim
Mahmud pengarang buku al-Tafsīr al-Falsafī fī al-Islam, al-Islam wa
al-‘Aql, dan lainnya. Abdul Halim Mahmud juga merupakan dosen M.
Quraish Shihab sewaktu menuntut ilmu di Universitas al- Azhar.
19 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 6.
25
Gurunya ini juga lulusan Universitas Al-Azhar kemudian melanjutkan
studinya ke Sorbon University dalam bidang falsafah. M. Quraish
Shihab menyatakan keberkesanannya terhadap sang guru:20
“beliau adalah dosen saya yang kemudian menjadi Syaikh Al-Azhar,
saya sering naik bus bersama beliau, beliau punya pengaruh yang
besar”
Pada tahun 1967 ia selesai kuliah S-1 dengan mendapatkan meraih
gelar Lc (S1) di Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits
Universitas al-Azhar. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Fakultas
yang sama dan pada tahun 1969 berhasil meraih gelar MA, dengan judul
tesis “al-‘Ijāz al-Tasyrīy li al-Qur’an al-Karīm.21 Setelah
menyelesaikan pendidikanya di Fakultas Ushuludin al-Azhar Mesir, ia
kembali ke tanah kelahirannya di Ujung Pandang. Dalam waktu kurang
lebih sebelas tahun dari waktu selesai magister tahun 1969 sampai 1980,
ia terjun ke berbagai aktivitas sambil menambah pengalaman, baik
dalam bidang kegiatan akademik di IAIN Alauddin maupun di berbagai
institusi pemerintah setempat. Dalam mas pengalaman ini, ia terpilih
sebagai pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu, ia juga
terlibat dalam pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta
wilayah timur Indonesia dan diserahi tugas sebagai koordinator wilayah.
Di tengah-tengah kesibukannya itu ia juga aktif melakukan kegiatan
ilmiyah yang menjadi dasar kesarjanaannya. Beberapa penelitian telah
dilakukannya. Di antaranya, ia meneliti tentang “Penerapan Kerukunan
Hidup Beragama di Timur Indonesia” (1975), dan “Masalah Wakaf di
Sulawesi Selatan” (1978). Meskipun telah mendapat gelar Master, ia
20 Miftahudin bin Kamil, Tafsir al-Misbah M.Quraish Shihab Kajian Aspek
Metodologi, (Malaysia: Universiti Malaya, 2007), 208. 21 Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: Raja Grafindo, 2005), 364.
26
merasa ilmu yang dimilikinya masih belum cukup, pada tahun 1980 M.
Quraish Shihab kembali lagi ke Kairo, Mesir, untuk melanjutkan
studinya di Universitas al- Azhar setelah ia banyak berkiprah di
Indonesia baik di pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Pada
tahun 1982 akhirnya ia mendapatkan gelar Doktor Falsafah (Ph.D)
dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an dengan disertasi yang berjudul
“Nazham al-Durār Li al-Biqa’ī: Tahqīq wa Dirāsah”. Ia mendapat
predikat Summa cum Laude disertasi. Dengan keberhasilannya itu, M.
Quraish Shihab tercatat sebagai orang pertama dari Asia Tenggara yang
meraih gelar Doktor Falsafah dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur‟an dari
Universitas al-Azhar Kairo, Mesir.22
Pada tahun 1984 setelah masa pendidikan S-3, ia ditugaskan untuk
menjadi dosen di UIN Syarif Hidayatullah untuk mengajar di bidang
tafsir dan ulum al-Qur'an. Selain itu, ia sempat diberikan amanah untuk
menduduki jabatan rektor selama dua periode, yakni pada tahun 1992-
1996 dan 1997-1998. Selain itu dia pernah menduduki jabatan sebagai
menteri agama selama kurang lebih dua bulan, Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat pada 1984, anggota Lajnah Pentashih al-Qur-an
Departemen Agama. Dengan sepak terjang dari lembaga-lembaga yang
diikuti, ini membuktikan Kehadiran M. Quraish Shihab di ibukota
Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh
masyarakat. Ia juga pernah terlibat dalam beberapa organisasi
profesional, antara lain asisten ketua umum ikatan cendikiawan muslim
se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga
tercatat sebagai pengurus perhimpunan ilmu-ilmu syari’ah, dan
22 Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islqam di Indonesia,
364.
27
Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan
Redaksi Studia Islamika: Indonesian Journar for Islamic Studies,
Ulumul Qur’an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal Kajian Agama dan
Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.23
Karya-karyanya cukup banyak ditulis dan diterbitkan berbagai
penerbit. Di antaranya:
1. Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif al-
Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1998)
2. Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998)
3. Pengantin al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999)
4. Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999)
5. Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan 1999)
6. Panduan Puasa bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit
Republika, November 2000)
7. Panduan Shalat bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit
Republika, September 2003)
8. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Ibadah Mahdah
(Bandung: Mizan, 1999)
9. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Al Qur'an dan Hadits
(Bandung: Mizan, 1999)
10. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Ibadah dan Muamalah
(Bandung: Mizan, 1999)
11. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Wawasan Agama
(Bandung: Mizan, 1999)
23 Badiatul Raziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-
Nusantara, 2009), 270.
28
12. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Tafsir Al Quran
(Bandung: Mizan, 1999)
13. Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987)
14. Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam Al-
Qur’an –Al-Sunah (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
15. Mukjizat Al-Qur’an (Bandug: Mizan, 2007)z
16. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987)
17. Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI &
Unesco, 1990)
18. Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994)
19. Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan,
1994)
20. Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)
21. Wawasan al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996)
22. Tafsir al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997)
23. Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur'an (Bandung;
Mizan, 1999)
24. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati,
1999)
25. Jalan Menuju Keabadian (Jakarta: Lentera Hati, 2000)
26. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (15
Volume, Jakarta: Lentera Hati, 2003)
27. Menjemput Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT. (Jakarta:
Lentera Hati, 2003)
29
28. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; dalam Pandangan Ulama dan
Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004)
29. Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan di balik Setiap Fenomena
(Jakarta: Lentera Hati, 2004)
30. Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005)
31. Logika Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal Dalam
Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005)
32. Rasionalitas al-Qur'an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar
(Jakarta: Lentera Hati, 2006)
33. Menabur Pesan Ilahi; al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
34. Wawasan al-Qur'an Tentang Dzikir dan Doa (Jakarta: Lentera
Hati, 2006)
35. Asmā al-Husnā; Dalam Perspektif al-Qur'an (4 buku dalam 1
boks)(Jakarta: Lentera Hati)
36. Sunnah - Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian
atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, Maret
2007)
37. Al-Lubāb; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fâtihah dan Juz
'Amma (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2008)
38. M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang Patut
Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008)
39. Doa Harian bersama M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati,
Agustus 2009)
40. M. Quraish Shihab Menjawab; 101 Soal Perempuan yang Patut
Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2010)
30
41. Al-Qur'ân dan Maknanya; Terjemahan Makna disusun oleh M.
Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2010)
42. Membumikan al-Qur'ân Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam
Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati, Februari 2011)
43. Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, dalam sorotan Al-Quran
dan Hadits Shahih (Jakarta: Lentera Hati, Juni 2011)
44. Do'a al-Asmâ' al-Husnâ (Doa yang Disukai Allah SWT.) (Jakarta:
Lentera Hati, Juli 2011)
45. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung
Pandang, IAIN Alauddin, 1984).24
C. Karakteristik Tafsir Marāh Labīd
Pada sub bab ini, membahas tentang metode penafsiran, corak
penafsiran, sumber penafsiran. Sebelum menjelaskan mengenaik
karakteristik, terlebih dahulu harus diketahui sekilas tentang dasar
dalam penulisan kitab marāh labīd. Dasar penulisan ini tidak diketahui
secara pasti kapan atau sejak kapan Nawawi al-Bantani memulai dalam
menulis Tafsir Marāh Labīd. Namun demikian, ia mulai menulis tafsir
tersebut setelah adanya sebagian permohanan dari banyak orang-orang
mulia yang ada di sekelilingnya ketika itu agar menulis tafsir al-Quran.
Hal ini tampak pada penjelasan di awal sekali sebelum ia menjelaskan
pembahasan surah al Fatihah, menceritakan:
“Sungguh para teman-teman muliaku memohon kepadaku untuk
menuliskan tafsir Qur’an yang mulia. Maka akupun ragu dalam waktu
yang lama... . Pada akhirnya, aku penuhi permintaan mereka itu demi
mengikuti jejak para salaf yang telah menyusun ilmu agar tetap
24 Hasani Ahmad Said, Diskusi Munasabah al-Qur’an: Tinjauan Kritis
Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Misbah (Jakarta:
Lecture Press, 2013), 129-178.
31
berkesinambungan (lestari). Tidak ada tambahan apapun atas
perbuatanku, akan tetapi pada setiap masa ada pembaharuan agar hal
tersebut dapat menjadi pertolongan bagiku dan bagi mereka (orang-
orang) yang tak berdaya sepertiku. Aku mengambil (merujuk)nya dari
beberapa kitab, seperti al-Futuhāt al-Ilahiyyah, Mafātih al-Ghaib, al-
Sirāj al-Munīr, Tanwīr al-Miqbās, Tafsir Abū Su’ūd. Aku
menamakannya sesuai pada masanya “Marāh Labīd li Kasyfi Ma’na al
Quran al-Majīd”. Hanya kepada Yang Maha Mulia dan Maha Pembuka
aku bersandar, kusandarkan dan kuserahkan sepenuhnya hanya
kepada-Nya. Pada saat ini aku memulainya karena kebaikan
pertolongan-Nya, yakni Dia adalah Yang Maha Menolong kepada siapa
saja yang meminta perlindungan-nya”
Permintaan inilah yang membuat Imam Nawawi untuk segera
menulis tafsir. Muncul sebelum tafsirnya diberi nama dengan sebutan
atau nama tersebut. Inilah sebenarnya yang melatarbelakangi atau
mendasari penulisan Tafsir Marāh Labīd muncul. Kata Marāh Labīd
secara etimologi berarti “karung atau tempat kebahagiaan” dan secara
terminologi berarti “tempat kebahagiaan bagi kaum atau mereka yang
kembali kepada ke jalan Allah SWT”. Penamaan ini juga untuk sebuah
karya tafsirnya rasanya tidak ada tendensius apapun, karena makna dari
bahasa judul yang diberikan layaknya seperti orientasi tafsir-tafsir
(ittijah al Tafsir) lainnya.25
Tafsir Marah Labid ini ditulis menggunakan berbahasa Arab, bukan
bahasa Melayu seperti Tafsir Turjuman al Mustafid karya Abddurrauf
Sinkel (tokoh tafsir indonesia) yang juga ulama Nusantara dan
kemunculannya lebih dahulu daripada Tafsir Marāh Labīd. Bahkan di
antara sekian tafsir karya Nusantara yang ada, boleh jadi hanya Tafsir
Marāh Labīd yang penulisannya menggunakan berbahasa Arab. Karena
mayoritas tafsir Nusantara yang di tulis dan selama ini ada
25 Ansor Bahary, “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Tafsir Marāh
Labīd Nawawi al-Bantani, 183-185.
32
menggunakan bahasa Nusantara, seperti Melayu, Jawa, dan bahasa
Nusantara itu sendiri (Indonesia). Terlepas dari sebagian pandangan
yang menganggap tafsir hanyalah untuk karya yang ditulis
menggunakan berbahasa Arab, dan di luar itu kurang dianggap sebagai
tafsir atau bahkan sama sekali tidak dianggap karya tafsir. Apalagi,
mungkin hanya sekedar terjemahan dari tafsir-tafsir sebelumnya tanpa
berbuat lebih banyak dari terjemhan yang dilakukannya.
1. Metode penafsiran
Dalam kajian ‘ulum al-tafsir ada beberapa metode yang
digunakan para ulama dalam menginterpretasikan, sebagaimana
yang dilakukan oleh al-Farmawi, mengenai segmentasi metode
penafsiran. Ia mengklasifikasikan menjadi empat bagian antaranya:
Ijmālī, Tahlilī, Muqaran, dan Maudhū’ī26.
Dalam tafsir Imam Nawawi tafsir marāh labīd dari segi teknik
penafsirannya, marā labīd dikategori dalam tafsir yang
menggunakan metode Ijmali, di mana Nawawi berusaha untuk
menafsirkan seringkas mungkin tetapi tetap mencakup banyak hal
dengan menggabungkan pendapat-pendapat dalam bahasa yang
ringkas. Kemudian dengan menyertakan penyebutan nama surat dan
status makiyah atau madaniyah. Ia juga menjelaskan terlebih dahulu
jumlah ayat, kata (kalimat), dan huruf suatu surat di mana hal ini
beliau lakukan dengan mengikuti langkah kitab tafsir referensinya
yaitu Abū Su’ūd dan al- Sirāj al-Munīr yang selalu menyebut jumlah
ayat, kata, dan huruf setiap surat. Ia juga menjelaskan Asbāb al-
Nuzūl dengan memotong sanadnya dan langsung menyebutkan
26 Abū al-Hayy al-Farmawī, al-Bidayah Fi ala Tafsir al-Maudhu’iy (Mesir :
Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), 25.
33
sumbernya dari sahabat, sehingga lebih ringkas. Sebagian kalangan
juga memberikan pendapat bahwa tafsir marāh labīd menggunakan
metode penafsiran yaitu tahlili.27
2. Corak tafsir
Corak penafsiran Nawawi banyak sekali hegemoninya
dipengaruhi oleh keluasan ilmunya (multi-disipliner) yang meliputi
berbagai bidang ilmu agama Islam. Hal ini bisa ditemukan dengan
banyaknya hasil karya yang ia hasilkan dalam berbagai bidang ilmu
tersebut. Karenanya, ketika mengkaji kitab tafsir karyanya, didapati
berbagai aspek kajian di dalamnya. setidaknya ditemukan lima
bidang ilmu, di antaranya: Ulum al-Qur’an, Ilmu bahasa (Nahw,
sharf, dan balāghah), Fiqh, Ushul Fiqh, Ilmu Kalam (Teologi), dan
Tasawuf.
Dalam bidang fiqh, Nawawi menggunakan corak penafsiran
dengan tendensius kepada kelompok Syafi’iyah, karena ia menyebut
dirinya sebagai penganut madzhab al-Syafi`i. Sekalipun ia tidak
fanatisme terhadap madzhab yang ia gunakan tetapi di beberapa
tempat dalam tafsirnya banyak membandingkan empat madzhab
yang ada. Dalam bidang Teologi, Nawawi menganut paham Ahl al-
Sunnah wa al-Jama`ah, yang afiliasinya kepada Asy`ariyah. Aspek
lain yang bisa dilihat dari tafsir Nawawi adalah qira’at. Nawawi
termasuk mufassir yang menempuh tradisi menafsirkan dan
memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan ilmu qira’at,
27 M. Mustamin Arsyad, “al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jāwi wa
Juhūduhu fī al-Tafsīr al-Qur’an al-Karīm fī Kitābihi “al-Tafsīr al-Munīr li Ma`ālim al-
Tanzīl,” (Desertasi Doktor Universitas al-Azhar Kairo-Mesir, 2000), 240. Lihat pula
Ansor Bahary, Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Marah Labid Nawawi al-
Bantani(Pdf : Ulul al-babVolume 16, No.2 Tahun 2015), 186.
34
sehingga jarang ditemukan ayat yang tidak dikomentari perbedaan
qira’atnya dan terkadang mengemukakan argumentasi setiap
penganut qira’at yang ada.28
3. Sumber tafsir
Dalam kajian ulum al-tafsir sumber penafsiran diklasifikasikan
menjadi dua yaitu bi al-Ma’tsūr dan bi al-Ra’yī. Dalam tafsir marāh
labīd termasuk perpaduan antara bentuk tafsir bi al-ma’tsūr dan bi
al-ra’yī. Dalam banyak tempat, Nawawi sering menafsirkan suatu
ayat dengan ayat. Ia juga mengutip banyak mengutip hadis sebagai
tafsiran ayat. Pola penafsiran seperti ini dikenal dengan penggunaan
teknik interpretasi tekstual, yaitu menafsirkan ayat dengan ayat atau
hadis Nabi saw. Dalam bentuk bi ma’tsūr lainnya, Nawawi juga
banyak mengutip perkataan sahabat sebagai sumber penafsirannya,
seperti perkataan Ibn ‘Abbās, Ibn Mas’ūd, Alī b. Abī Thālib, dan
lain-lain.29 Begitu juga ia menambah literatur bi ma’tsūr diambil
dari sumber tabi’in.
Sedangkan paduan lainnya ia juga mengaktualisasikan tafsir bi
al-ra’y. Pada kasus ini, Nawawi memahami bi al-ra’yī bukan berarti
bahwa seseorang boleh mengaktualisasikan secara langsung
kedalam penafsiran al-Qur’an dengan tanpa dibekali perangkat
disiplin keilmuan yang memadai sebagai alat bantunya.
Menurutnya, bi al-ra’yī berarti seseorang berijtihad memahami al-
Qur’an dengan dilandaskan kepada perangkat-perangkat ilmiyah
28 Mustamin Arsyad, “Signifikansi Tafsir Marāh Labīd Terhadap
Perkembangan Studi Tafsir di Nusantara, 635. 29 M. Mustamin Arsyad, “al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jāwi wa
Juhūduhu fī al-Tafsīr al-Qur’an al-Karīm fī Kitābihi “al-Tafsīr al-Munīr li Ma`ālim al-
Tanzīl,” (Desertasi Doktor S3., Universitas al-Azhar Kairo-Mesir, 2000), 157-158
246-264.
35
dan syar’iyah, yang dikenal dalam syurūth al-mufassir (syarat-syarat
mufasir). Nawawi sendiri dalam menginterpretasikan ayat dengan
pendekatan keilmuan, senantiasa mengutip pendapat pakar dalam
bidangnya. Dalam bidang bahasa, beliau senantiasa memulai dengan
ungkapan “Ahl al- Ma’āni berkata:..” atau langsung menyebut
tokohnya misalnya “al-Zujāj berkata:…” dan sebagainya.
D. Karakteristik Tafsir al-Misbāh
Sejarah awal ditulisnya tafsir ini Tafsir al-Mishbah mulai
ditulisnya pada hari Jum’at, 14 Rabi’ul Awwal 1420 H/ 18 Juni 1999
M ketika beliau menjabat sebagai Duta Besar RI di Kairo, dan
selesai ditulis pada hari Jum’at, 8 Rajab 1423 H/ 5 September 2003.
Pendorong Quraish Shihab untuk menulis Tafsir al-Mishbah
dikarenakan rasa antusias masyarakat terhadap al- Qur’an baik dari
segi membaca ataupun pemahaman terhadap isi kandungan ayat al-
Qur’an. Penulisan Tafsir al-Mishbah ini sebelumnya diawali dengan
karya dia yakni, Tafsir al- Qur’an al-Karim yang diterbitkan oleh
Pustaka Hidayah, pada tahun 1997. Dinilai terlalu panjang lebar
dalam menjelaskan definisi derivasi setiap kata. karya tersebut
kurang menarik minat orang untuk membacanya. Sehingga dia tidak
melanjutkan penulisan tersebut.30 Berdasarkan kebutuhan
masyarakat akan pemahaman al-Qur'an. Tafsir al- Mishbah dalam
konteks memperkenalkan ayat al-Qur’an berusaha menghidangkan
suatu bahasan setiap surat dengan tujuan surat atau tema pokok
surat. dalam penerbitan tafsir ini terdiri dari 15 volume atau jilid,
30 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Vol. I, xiii.
36
dan pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati Jakarta,
tahun 2000. Dalam penyusunan tafsirnya Quraish Shihab
memberikan pembahasan yang meliputi:
a. Penyebutan nama-nama surat serta alasan-alasan
penamaanya, juga disertai dengan keterangan tentang ayat-
ayat diambil untuk dijadiakan nama surat.
b. Jumlah ayat dan tempat turunnya, misalnya, apakah ini
dalam katagori surat makkiyyah atau dalam katagori surat
Madaniyyah, dan ada pengecualian ayat-ayat tertentu jika
ada.
c. Penomoran surat berdasarkan penurunan dan penulisan
mushaf, kadang juga disertai dengan nama surat sebelum
atau sesudahnya surat tersebut.
d. Menyebutkan tema pokok dan tujuan serta menyertakan
pendapat para ulama-ulama tentang tema yang dibahas.
e. Menjelaskan hubungan antara ayat sebelum dan sesudahnya.
f. Menjelaskan tentang sebab-sebab turunya surat atau ayat
(asbāb al-nuzūl).31
Semua itu dia lakukan guna memudahkan pemahaman yang
dilakukan pembaca atas penafsirannya walau dengan rendah hati dia
mengatakan bahwa apa yang ditulisnya bukan dari ijtihad dia melainkan
nukilan dia atas karya-karya para ulama' seperti al-Biqaiy, Sayyid
Muhammad Thanthawi, Syekh Mutawalli Sya'rawi, Sayyid Quthub,
Muhammad Thahir Ibnu 'Asyur, Sayyid Muhammad Husein
Thabathaba'i, dan beberapa tokoh lainnya
31 Atik Wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir al-
Mishbah,” Hunafa Jurnal Studia Islamika,Vol 11, no.1 (Juni 2014): 119-120.
37
1. Metode penafsiran
Metode yang digunakan Quraish Shihab dalam Tafsir al-
Mishbah ialah metode tahlili dengan tartib mushafi, yakni
penjelasan al-Qur’an sesuai urutan mushaf dimulai dari surah QS.
al-Fatihah [1] sampai surah QS. al-Nas [114].
Pemilihan metode tahlili yang digunakan dalam tafsir al-Misbah
didasarkan pada kesadaran M. Quraish Shihab bahwa metode
maudhu’i yang sering ia gunakan pada karyanya yang berjudul
“Membumikan al-Qur'an” dan “Wawasan al-Qur'an” selain
mempunyai keunggulan dalam memperkenalkan konsep al-Qur'an
tentang tema-tema tertentu secara utuh. Sebab menurutnya al-Qur'an
memuat tema yang tidak terbatas, Jadi dengan ditetapkan judul
pembahasan yang akan dikaji hanya satu sudut dari permasalahan
tersebut. Dengan demikian kendala untuk memahami al-Qur'an
secara lebih komprehensip masih tetap ada.32
2. Corak penafsiran
Tafsir al-Misbāh ini menggunakan corak adabi ijtima'i, yaitu
corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur'an dengan
cara mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur'an secara teliti.
Kemudian menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur'an
tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik, dan seorang
mufassir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur'an yang dikaji
dengan kenyataan sosial dengan sistem budaya yang ada.
3. Sumber penafsiran
32 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur'an,XI.
38
Sudah diketahui sebelumnya, bahwa sumber terbagi dua bagian
bi ma’tsur dan bi ra’yī. Dalam tafsir al-Misbāh dikategorikan
sebagai Tafsir bi al-Ra’yī yaitu menafsirkan melalui pemikiran atau
ijtihad, dengan cara menggunakan fenomena sosial yang menjadi
latar belakang dan sebab turunya ayat, kemampuan dan pengetahuan
kebahasaan, pengertian kealaman dan kemampuan Intelegensia.
Akan tetapi dalam menafsirkan juga tafsir a-Misbah tidak
melupakan bi al-Ma’sūr yang merujuk kepada hadits Nabi
Muhammad SAW dan para sahabat dan tabi’in.33
33 M. Nor Ichwan, Belajar al-Qur’an, Menyingkap Khasanah Ilmu-ilmu al-
Qur’an melalui pendekatan Histors Metodologis, (Semarang:zRasail, 2005), 169.
39
BAB III
KONSEP MUTASYĀBIHĀT MENURUT IMAM NAWĀWI DAN
QURAISH SHIHAB
A. Definisi Mutasyābihāt
Perlu diketahui, bahwa konsep mutasyābihāt di dalam kajian ‘Ulūm
al-Qur’an selalu dikaitkan dengan konseps muhkam. Pada subbab ini,
peniliti membahas defenisi keduanya baik secara etimologi maupun
terminologi. Adapun secara etimologi, kata muhkamāt merupakan
derivasi yang berakar kata dalam bentuk fi’il محكم -يحكم احكام-احكم
(ahkama-yuhkimu-ihkāman muhkam) yang memiliki makna أتقن
(menyempurnakan atau unggul).1 Term mutasyābih berasal dari kata
kerja متشابه-تشابها-يتشابه-تشابه (tasyābaha-yatasyābahu-tasyābuhan-
mutasyābih) diartikan dengan saling menyerupai, menjadi serupa, dan
menjadi identik. Kata ini bila ditelurusuri dengan merujuk akar kata asli
berasal dari kata شبه. Dalam hal ini penulis mengemukakan beberapa
ayat-ayat tentang makna mutasyābih di dalam al-Qur’an diantaranya:
Ayat pertama mengatakan bahwa makna kata متشابها adalah serupa
sebagaimna dijelaskan didalam QS. al-Baqarah [2] 25
1 Mu’jam washit, (Maktabah al-Syurūq al-Dawliyah, 2004), 220. Dan lihat
juga, Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an,(
Bairūt: Dār Kitab al-‘Arabī, 1995), juz 2, 213.
40
كلما وبشر الذين آمنوا وعملوا الصالحات أن لهم جنات تجري من تحتها الأنهار ولهم وأتوا به متشابها نا من قبل قالوا هذا الذي رزق رزقوا منها من ثمرة رزقا
وهم فيها خالدون فيها أزواج مطهرة “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman
dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-
buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah
diberikan kepada kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang
serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan
mereka kekal di dalamnya”.
Berdasarkan ayat diatas dapat dilihat kata mutsyabihāt diartikan dengan
makna serupa.
Ayat kedua, menjelaskan makna kata متشابها adalah mutu ayat-ayat
(kokoh) berdasarkan QS. al-Zumar [39] 23
أحسن الحديث كتابا متشابها مثاني تقشعر منه جلود الذين يخشون ربهم الله نزل ومن ذلك هدى الله يهدي به من يشاء ثم تلين جلودهم وقلوبهم إلى ذكر الله
من هاد يضلل الله فما له “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al
Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian
menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah
petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-
Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya
seorang pemimpinpun.”
Pada ayat ketiga, menjelaskan makna kata متشابهات adalah samar di
dalam QS. Alī ‘Imran [3] 7
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهاتوما يعلم فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله
41
ما يذكر و يقولون آمنا به كل من عند ربنا والراسخون في العلم تأويله إلا الله إلا أولو الألباب
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di
antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi
Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-
orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal.2”
Dari tiga ayat diatas dapat diambil inferensi (kesimpulan) bahwa
makna kata mutasyābihāt didalam al-Qur’an sangat beragam di
antaranya: samar, kokoh, dan kemudian serupa. Dalam penelitian ini
penulis tendensi dalam menjadi landasan teori dengan merujuk QS. Alī
‘Imran [3] 7, kata mutasyābihāt dalam ayat ini memiliki makna yang
samar sehingga perlu reinteprretasi (ta’wil).
Term mutasyābih dikalangan kajian tafsir memiliki perubahan
dengan maksud untuk melihat maksud ayat-ayat yang tidak dapat
dipahami secara rasional. Ayat-ayat yang memiliki unsur-unsur
mutasyābih biasanya berkaitan dengan huruf hijaiya yang disebutkan
pada beberapa awal surah al-Qur'an dan ungkapan yang menjelaskan
tentang sifat-sifat Allah. Dam kasus ini, sebagian ulama memberikan
trobosan metode untuk memahami ayat-ayat mutasyābih dengan
menghadirkan interpretasi berupa ta'wil yang digunakan untuk
2 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an.
214.
42
menjelaskan ungkapan ayat-ayat mutasyābih.. 121-124)QS. Alī ‘Imran
[3] 7
Pada ayat di atas, secara Bahasa kata mutasayabihāt diartikan
dengan samar. Maksudnya adalah ayat ini memberikan informasi
mengenai bahwa ayat-ayat al-Qur’an memiliki lafadz Muhkam dan
lafadz Mutasyabbihat Dari pembahasan ini, hemat penulis muhkamāt
memiliki pengertian sempurna dan jelas, sedangkan mutasyābihāt
sebaliknya yaitu memiliki makna samar dan harus dita’wilkan.
Setelah mengetahui defenisi secara etimologi (bahasa), maka
langkah selanjutnya adalah dengan mendefiniskan secara terminologi
(istilah). Kedua konsep ini memiliki pengertian yang berbeda-beda
dikalangan para ulama di antaranya:
Menurut al-Zarqānī, pertama, ia memberikan defenisi muhkam
yaitu:
لحكم الشرعي الذي لم يتطرق إليه نسخ و من نصوص الكتاب أو السنة دالا علي ا معناه بوضوح لا خفا فيه
“Hukum syari’at yang tidak dimasukkan oleh nasakh dan naṣ-naṣ al-
Qur’an atau Sunnah yang memiliki kejelasan makna yang tidak
ditemukan kesamaran di dalam makna.”
Kedua, kata mutasyābihāt menurut al-Zarqānī adalah و المتشابهاتقد نسخ ما yaitu merupakan kebalikan dari definisi muhkam yang berarti
ditemukan naskh.3 Setelah memberikan defenisi pribadinya, ia
memberikan pendapat ulama mengenai defenisi tentang muhkamāt dan
mutsyabihāt di antaranya:4
3 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an,
214. 4 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an,
215.
43
1. Muhkam ialah kejelasan dan jelas dalam hal dilālah (petunjuk)
yang tidak ditemukan nasakh. Sedangkan mutasyābih yaitu
memiliki makna yang samar dan tidak diketahui maksudnya baik
itu dengan menggunakan rasionalitas maupun dalil yang sifatnya
naqlī.
2. Muhkam yang bisa diketahui maksudnya baik karena kejelasan
maupun dengan menggunakan ta’wīl. Sedangkan mutasyābih
hanya Allahlah yang mengetahui maksud dan tujuannya seperti
hari kiamat, keluarnya Dajjāl, huruf muqaṭa’ah di awal surah.
Defenisi ini yang dipegang oleh kelompok Ahl Sunnah wa al-
Jama’ah
3. Muhkam ialah makna yang satu, sedangkan mutasyābih
memiliki beragam makna dan maksud. Ini merupakan pendapat
dari Ibn ‘Abbās dan hegemoni ilmu uṣūl al-fiqh.
4. Konsep muhkam stagnasi pada dirinya sendiri sehingga tidak
membutuhkan kepada penjelasan. Sedangkan mutasyābih
makna yang tidak tetap sehingga membutuh penjelasan karena
perbedaan tawīl (interpretasi). Defenisi ini dipegang oleh Ibn
Ahmad.
5. Muhkam ialah konsep peraturan yang relevansi dan tertib karena
memiliki maksud yang jelas tanpa ada kontradiksi makna.
Sedangkan mutasyābih ialah yang tidak memadai dalam
menjelaskan maksud karena keterbatasan di dalam kebahasaan.
Ini merupakan pendapat Imām Haramain
6. Muhkam ialah makna dan maksud yang jelas tanpa ada
problematis yang diambil dari akar kata ihkām yaitu itqān
(sempurna), sedangkan mutasyābih sebaliknya. Muhkam juga
44
merupakan sistematis dan terstruktur yang jelas, sedangkan
mutasyābih susunan nama yang ambiguitas, lafadz yang wahm
karena menyerupai dengan kebenaran. Pengertian ini disusun
oleh kelompok muta’akhirīn (kontemporer) dari pendapat ulama
sebelumnya seperti Imām al-Suyūtī menyatakan di dalam
kitabnya al-Itqān “muhkam ialah makna yang jelas, sedangkan
mutasyābih sebaliknya.5
7. Muhkam merupakan dilālah (petunjuk) yang jelas yaitu naṣ dan
zāhir, sebaliknya mutasyābih merupakan dilālah (petunjuk)
yang tidak memiliki kejelasan yaitu mujmar, mu’awwal, dan
musykal. Ini merupakan defenisi yang dipegang oleh Imām al-
Rāzī.6
Tidak hanya ini, al-Zarqānī juga menambahkan pendapat
yang lain mengenai muhkam dan mutasyābihāt yang
menurutnya pendapat ini lebih lemah daripada pendapat
sebelumnya, di antaranya:
8. Muhkam bisa diaktualisasikan, sedangkan mutasyābih
sebaliknya. Pendapat ini menurut Imām Suyūṭi diambil dari
‘Ikrimah dan Qatādah
9. Muhkam ialah makna dan maksud yang bisa dirasionalkan
dengan menggunakan akal. Sedangkan mutasyābih sebaliknya,
seperti bilangan shalat dan spesifikasi puasa di bulan Ramadhan
tidak di bulan Sya’bān.
5 Imam Suyūti, Al-itqan Fī ‘Ulūm al-Qur’an, (Su’udiyyah: al-Mamlakat al-
‘Arabiyah, t.t.h), juz 1, 645. 6 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an.
216.
45
10. Muhkam ialah lafadznya tidak diulang-ulang, sedangkan
mutasyābih lafadznya terulang-ulang.
11. Muhkam tidak dinaskah, sedangkan mutasyābih ayatnya
dinasakh.7
Defenisi yang diklasifikasi oleh al-Zarqāni memiliki kesamaan
dengan Imam Suyūtī yang mengakumulasi mengenai defenisi
muhkamāt dan mutasyābihāt sebagai berikut:
1. Muhkam adalah ayat yang bisa diketahui baik dengan dalil yang
jelas maupun yang samar, dan mutasyābih merupakan ayat yang
maknanya hanya diketahui Allah, seperti terjadinya hari kiamat,
kapan keluarnya Dajjal dan huruf-huruf muqaṭṭa’ah pada awal
surah.
2. Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya dan mutasyābih ayat
yang samar maknanya.
3. Muhkam adalah bagian ayat yang tidak mungkin ditakwilkan,
yaitu hanya memiliki satu pengertian saja, dan mutasyābih ayat
yang banyak mengandung pengertian.
4. Muhkam adalah ayat dapat dipahami dengan akal, dan
mutasyābih kebalikannya, yaitu diluar jangkauan akal manusia.
5. Muhkam adalah aya-ayat yang tidak perlu penjelasan dan
mutasyābih kebalikannya.
6. Muhkam adalah ayat-ayat yang memiliki makna sesuai dengan
lahiriah ayat, sedangkan mutasyābih adalah ayat yang memiliki
makna lain disamping makna lahir.
7 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an,
218-219.
46
7. Muhkam ayat yang menjelaskan tentang suruhan dan larangan
serta menerangkan halal dan haram, sedangkan mutasyābih
adalah ayat yang tidak jelas maknanya
8. Muhkam adalah lafaz-lafaz yang menjelaskan tentang kewajiban
(farā’id), janji pahala,dan janji siksaan, sedangkan mutasyābihāt
adalah lafaz yang menjelaskan tentang kisah, dan perumpamaan
(al-amts āl).
9. Muhkam adalah lafaz dimana di dalamnya menjelaskan tentang
hal-hal yang hukumnya halal, haram dan lain sebagainya.
Sementara mutasyâbihât adalah lafaz yang saling membenarkan
satu dengan yang lain.8
Menurut buku Muqaddimah al-Qur’an dan Tafsirnya, muhkam
adalah naṣ yang tidak memberikan keraguan lagi tentang apa yang
dimaksudkannya (naṣ yang sudah memberikan pengertian yang pasti).
Sedangkan mutasyābih ialah sebaliknya, yakni naṣ yang mengandung
pengertian yang samar-samar dan mempunyai kemungkinan beberapa
arti.9
Setelah mengetahui dari berbagai defenisi mengenai muhkamāt dan
mutasyābihāt, kesimpulannya menurut penulis tidak ada perbedaannya
dalam mendefinisikan muhkam dan mutasyābihāt hanya berbeda dalam
menggunakan redaksinya, seperti defenisi mutasyābih merupakan ayat-
ayat yang maknanya masi samar dan butuh untuk dita’wilkan, hanya
Allah yang mengetahui sebab tidak bisa dirasionalkan dengan akal.
8 Abū al-Fadl Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān Ibn Abī Bakr al-Suyūṭī, al-Itqān
fī ‘Ulūm al-Qur’an, (al-Saudiyyah: al-Mamlakat al- ‘Arabiyyah, t.t.h), juz 4,1336. 9 Kementrian Agama RI, Muqaddimah al-Qur’an dan Tafsirnya ( Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), jilid 1, 193.
47
Sedangkan muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksud dan
tujuannya.
B. Mutasyābihāt Prespektif Imam Nawawī
Pada bab sebelumnya, penulis menyusu defenisi muhkam dan
mutasyābih dari kalangan ulama untuk mengkompromikan defenisi dari
Imam Nawawī dan Quraish Shihab. Pertama, muhkam dan mutasyābih
dalam perspektif Imam Nawawī yang ditemukan dalam kitab tafsirnya
marāh labīd ketika menafsirkan QS. Ali ‘Imran [3]
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهاتوما يعلم فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله
ما يذكر و يقولون آمنا به كل من عند ربنا والراسخون في العلم تأويله إلا الله إلا أولو الألباب
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di
antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi
Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-
orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal”.
Pada teks آيات محكماتmenurut Imam Nawawī berasalah dari kata
yang berarti terpelihara dari segala aspek. Ia (hikmah) حكمة
mendefenisikan muhkam sebagai dilālah (petunjuk) yang memiliki
48
kejelasan makna dan maksud, ia memberikan contoh muhkam pada QS.
al-‘Arāf [7] 28.10
قل إن الله لا يأمر فاحشة قالوا وجدنا عليها آباءنا والله أمرنا بهاوإذا فعلوا أتقولون على الله ما لا تعلمون بالفحشاء
“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata:
"Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu,
dan Allah menyuruh kami mengerjakannya". Katakanlah:
"Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang
keji". Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak
kamu ketahui?”
Pada ayat yang digaris bawahi, menurut Imam Nawawī ini
merupakan bentuk ayat muhkam yang memiliki kejelasan petunjuk
bahwa Allah melarang untuk berbuat keji. Sedangkan konsep
mutasyābih perspektif Imam Nawawī dijelaskan juga pada ayat yang
sama QS. Ali ‘Imran [3] 28 pada teks بهـات ـ Menurutnya .وأخر متش
mutasyābih adalah ayat-ayat yang pada aspek maknanya memiliki
keserupaan sehingga maksudnya menjadi tidak jelas. Ia menambahkan
bahwa ayat-ayat mutasyābih tidak membutuhkan penjelasan tetapi
membutuhkan argumentasi dalil, sebab tidak semua bisa dirasionalkan
dengan akal pikiran tetapi Allah yang lebih mengetahi tentang
interpretasi ayat-ayat mutasyābih.
Imam Nawawī juga mengutip pendapatnya Ibn ‘Abbās, bahwa
interpretasi al-Qur’an diklasifikasikan menjadi empat bagian:
a. Tafsir menjadi tidak mungkin ada bagi orang yang bodoh
b. Tafsir hanya bisa diketahui oleh orang arab karena itu
merupakan Bahasa mereka sendiri.
c. Tafsir yang diketahui oleh para ulama
10 Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf
Ma’na al-Qur’an al-Majīd (Bairūt: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 1, 111.
49
d. Terakhir adalah tafsir yang hanya Allah yang mengetahui
maksud dan tujuannya.11
C. Mutasyābihāt Prespektif M. Quraish Shihab
Konsep muhkam dan mutasyābih perspektif Qurash Shihab, dalam
hal ini penulis merujuk langsung buku yang ia tulis berjudul “kaidah-
kaida tafsir.” Kata mutasyābih berasal dari akar kata الشبه (al-syabh)
yaitu serupa (tapi tak sama) sebagaimana dijelaskan di dalam QS. al-
Zumar [39] 23
كتـابا متشـابها “Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)”
Quraish Shihab juga menambah satu ayat terkait defenisi
mutasyābih dalam QS. Ali ‘Imran [3] 7
الكتاب وأخر هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم متشابهات
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di
antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi
Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat”.
Menurutnya, yang dimaksud dengan mutasyābih pada ayat Ali
‘Imran ini adalah samar. Ini merupakan pengembangan dari makna
keserupaan diatas. Memang keserupaan dua hal atau lebih dapat
menimbulkan kesamaran dalam membedakannya masing-masing.12
Quraish Shihab juga membeda-bedakan defenisi muhkam dan
mutasyābih seperti al-Zarqāni dan Imam Suyūti, di antaranya yang
dimaksud dengan muhkam adalah:
11 Muhammad ibn ‘Umar ibn Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf
Ma’na al-Qur’an al-Majīd (Bairut: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz, 1, 111-
112. 12 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 210.
50
a. Ayat yang diketahui maksudnya, baik karena kejelasan
redaksinya sendiri, maupun melalui ta’wīl penafsirannya.
b. Ayat yang tidak dapat menerima kecuali satu penafsiran
c. Ayang yang kandungannya tidak mungkin dibatalkan
(Mansukḥ)
d. Ayat yang jelas maknanya dan tidak membutuhkan penjelasan
dari luar dirinya, atau ayat yang tidak disentuh oleh sedikit pun
kemusykilan13
Sedangkan mutasyābih, ia mengumpulkan beberapa pendapat di
antaranya:
a. Ayat-ayat yang hanya Allah yang tahu kapan terjadi apa yang
diinformasikan, seperti kapan tibanya hari kiamat, atau hadir دابة
(dābbah) dalam QS. al-Naml [27] 82
b. Ayat yang tidak dipahami kecuali mengaitkannya dengan
penjelasan
c. Ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna
d. Ayat yang Mansukḥ yang tidak diamalkan karena batal
hukumnya
e. Apa yang diperintahkan untuk diimani, lalu menyerahkan
maknanya kepada Allah
f. Kisah-kisah dalam al-Qur’an
g. Huruf-huruf alfabetis yang terdapat pada awal beberapa surah,
seperti Alif-Lam-Mim.
Kesimpulan dari Quraish Shihab, defenisi-defenisi di atas
mengandung kelemahan-kelemahan, sehingga pada akhirnya kita
13 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 211.
51
dapat menyimpulkan bahwa muhkam adalah yang jelas maknanya,
sedangkan mutasyābih adalah yang samar.14
Setelah Quraish Shihab mengakumulasi defenisi-defenisi
terkaid muhkam dan mutasyābih, ia menjelaskan sebab-sebab
timbulnya mutasyābih (kesamaran) dalam tiga hal pokok:
a. Lafadz/kata yang digunakan ayat, seperti misalnya kata Abbā
dalam QS. ‘Abasa [80] 31. Diriwayatkan bahwa Sayyidina
‘Umar merasa lesulitan memahami makna kata itu sehingga
pada akhirnya ia hanya mengambil kesimpulan umum tentang
pesan ayat. Contoh lain adalah firman Allah SWT yang
menginformasikan sikap Nabi Ibrāhim terhadap patung-patugn
sembahan kaumnya, antara lain QS. al-Shāffāt [37] 93
فراغ عليهم ضربا باليمين
“Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya
dengan tangan kanannya (dengan kuat)”
Derivasi yamīn ( ی م ین) tidak jelas maksdunya, apakah dalam arti
tangan kanan, atau kauat atau sumpah sehingga tersebut dapat
dipahami dalam arti Nabi Ibrāhim : Pergi dengan cepat dan
sembunyi-sembunyi menuju patung-patung itu, lalu
memukulnya dengan tangan kanan, atau memukulnya dengan
keras, atau memukulnya disebabkan sumpah yang pernah
diucapkan bahwa dia akan merusakberhala-berhala itu.15
b. Kesamaran pada makananya, seperti uraian al-Qur’an tentang
sifat-sifat Allah, misalnya QS. al-Fath [48] 10
14 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir. 211. 15 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir. 212.
52
يد الله فوق أيديهم
“Tangan Allah di atas tangan mereka”
Kata yad apakah diartikan sebagai tangan layaknya bentuk
manusia, atau memiliki makna yang berbeda seperti
kekuasaan.16
c. Kesamaran pada lafadz dan makna, seperti firman Allah QS. al-
Baqarah [2] 189
وليس البر بأن تأتوا البيوت من ظهورها
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya”
Penggalan ayat ini dapat dinilai mutasyābih, karena redaksinya
yang sangat singkat. Di samping itu maknanya tidak jelas
sehingga diperlukan pengetahuaan menyangkut adat istiadat
masyarakat arab pada masa jahiliyyāh yaitu tentang cara
menyangkut masuk rumah.17
Dari kedua defenisi ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan dalam mendefinisi muhkam dan mutasyābih.
Muhkam diartikan sebagai kejelasan, sedangkan mutasyābih memiliki
kesamaran sehingga membutuhkan penjelasan lain. Perbedaan dari
keduanya, Quraish Shihab lebih banyak terpengaruh dengan defenisi-
defenisi ulama sebelumnya disbanding defenisi yang dijelaskan oleh
Imam Nawawī. Quraish Shihab juga lebih banyak menjelaskan terkaid
konsep muhkam dan mutaysabih baik itu objek kajian, sebab-sebab
16 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 212. 17 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 213.
53
adanya konsep hingga membandingkan defenisi-defenisi ulama
sebelum dengan menambah kesimpulan pribadi.
D. Ruang Lingkup Mutasyābihāt
Pada subbab ini, penulis mengutip pendapatnya al-Zarqanī dalam
kitab manāhil ‘irfān yang ia klasfifikasikan menjadi tiga hal sebagai
berikut:
1. Mutasyābih dari segi lafaz, sebagaimana dikatakan ulama tafsir
dikatakan mutasyābih adalah karena perserupaan atau kemiripan
kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Misalnya kata yang
memiliki kesamaan dan keserupaan, tetapi makna dan maksud
saling berbeda yang ditemukan dalam QS. al-Ra’d [13] 2 dan
QS. Luqmān [31] 29
ثم استوى على العرش وسخر الله الذي رفع السماوات بغير عمد ترونهايدبر الأمر يفصل الآيات كل يجري لأجل مسمى والقمر الشمس
لعلكم بلقاء ربكم توقنون “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang
(sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di
atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-
masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur
urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-
Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan
Tuhanmu.”
يل وسخر الشمس ألم تر أن الله يولج الليل في النهار ويولج النهار في الل أ كل يجري إلى أجل مسمى وأن الله بما تعملون خبير والقمر
54
“Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa
sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan
memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan
matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada
waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dari kedua ayat ini ditemukan mutasyābih yang berupa
perbedaan terletak pada kalimat “li ajli” dan “ila ajli”. Tetapi
makna dan maksud memiliki tujuan yang sama yaitu Allah telah
mengatur matahari dan bulan yang berjalan sesuai waktu yang
telah ditentukan oleh-Nya.
2. Mutasyābih dari segi makna. Seperti sifat-sifat Allah, hari
kiamat, kenikmatan surge dan siksaan neraka. Secara rasional
manusia tidak mungkin sampai mengetahui hal-hal demikian.
3. Mutasyābih dari segi lafadz beserta makna. Seperti contoh QS.
al-Baqarah [2] 189
قل هي مواقيت للناس والحج وليس البر بأن تأتوا يسألونك عن الأهلة وأتوا البيوت من أبوابها واتقوا الله ظهورها ولكن البر من اتقى البيوت من
لعلكم تفلحون “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan
itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada
Allah agar kamu beruntung.”
Menurut al-Zarqāni, sesorang yang tidak mengatahui adat
jahiliyah tidaklah bisa menafsirkan ayat ini karena disamping lafaz
55
“annisaa” jarang dipakai dalam bahasa Arab maknanya tidak diketahui
tanpa mengetahui fakta yang terjadi.18
Dari tiga klasifikasi yang disusun oleh al-Zarqāni, ada tiga hal
posisi mutasyābih dalam al-Qur’an yaitu mutasyābih lafadz saja,
mutasyābih maknanya saja, dan mutasyābih lafadz dan maknanya
bersamaan.
E. Hikmah Konsep Mutasyābihāt
Konsep mutasyābih memiliki hikmah tersendiri dalam
mengetahuinya. Al-Zarqānī memberikan klasifikasi mengenai hikmah-
hikmah tentang mutasyābih. Pertama, bahwa mutasabih hanya bisa
diketahui oleh Allah SWT dengan memberikan hikmah:19
a. Merupakan rahmat Allah kepada hambanya yang lemah yang
tidak bisa memikul dan menahan atas segala pengetahuan
b. Ruang informasi agar manusia bisa mempercayainnya dengan
ungkapan “kami beriman meskipun kami tidak mengetahui hal
itu.”
c. Sebagaimana dikatakan oleh Fakhruddīn al-Rāzī, bahwasanya
al-Qur’an meliputi dakwah kepada kelompok tertentu dan
awam. Dengan adanya ini agar bisa tumbuh tentang segala
pengetahuan.20
d. Membangkitkan argumentasi terhadap orang yang lemah dan
bodoh dalam ilmu pengetahuan
18 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-
Qur’an,(Bairūt: Dār Kitab al-‘Arabī, 1995), juz 2, 220-221. 19 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an,
223-224. 20 Imam Suyūti, Al-itqan Fī ‘Ulūm al-Qur’an, (Su’udiyyah, 20080), juz 1,
670.
56
e. Perkataan Fakhruddīn al-Rāzī, sekiranya seluruh ayat al-Qur’an
hanya dihukumi sebagai muhkam, maka sudah pasti hanya ada
satu aliran (madzhab) pemahaman terhadap al-Qur’an. Dimana
pemahaman-pemahaman lain sudah tentu tidak benar kecuali
mengikuti dan sesuai dengan pemahaman aliran tersebut.
Namun karena realitanya ayat al-Qur’an terbagi menjadi
muhkam sebagai induknya (umm al-kitab) dan mutasyābihāt
sebagai cabangnya, maka pemahaman terhadap teks al-Qur’an
mengalami variasi sehingga melahirkan banyak aliran yang
bermacam-macam. Dari kemunculan setiap aliran itu mereka
aka berlomba-lomba dan bersungguh-sungguh dalam
mendalami ilmu penta’wilan untuk dijadikan sebagai pisau
analisis dalam mencari makna yang benar-benar dimaksud. Dari
hal ini, penafsiran terhadap ayat muhkam menjadi acuan dasar
dalam penafsiran ayat mutasyābih dan akhirnya akan
teridentifîkasi pemahaman yang benar dan membuang
pemahaman yang salah.21
Kedua, hikmah mutasyābih yang terkandung di dalam al-Qur’an di
antaranya:22
a. Merealisasikan ‘ijāz al-Qur’an.
b. Memudahkan daya hafalan dan menjaganya.
21 Imam Suyūti, Al-itqan Fī ‘Ulūm al-Qur’an, 670. 22 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an,
224-225.
57
c. Menurut Fakhruddīn al-Rāzi, selama mutasyābih masih ada,
maka bisa menjadi wasilah kepada kebenaran meskipun
ditempuh secara sulit.23
d. Ia juga menambahkan, dalam memahami ayat muhkam dan
mutasyābih memerlukan logika. Hal ini memberikan kesadaran
secara tidak langsung dan sekaligus menganjurkan kepada peran
akal dalam menganalisis teks al-Qur’an.
e. Hikmah al-Qur’an meliputi muhkam dan mutasyābih adalah
untuk menghasilkan disiplin ilmu yang banyak seperti ilmu
kebahasaan, nahwu, uṣul al-fiqh.
23 Imam Suyūti, Al-itqan Fī ‘Ulūm al-Qur’an, 669.
58
BAB IV
TAFSIRAN ISTIWA’ POSISI ALLAH PERSPEKTIF IMAM
NAWAWĪ DAN M. QURAISH SHIHAB
Imam Nawawī dan Quraish Shihab memiliki kesamaan dalam
mendefinisi mengenai mutayabih, yaitu ayat-ayat yang tidak memiliki
kejelasan makna dan maksud sehingga membutuhkan petunjuk lain. Secara
fundamen, mengenai ayat-ayat mutaysabih sangatlah banyak, maka pada
penelitian ini penulis membatasi ayat-ayat yang akan dibahas. Dalam
pembatasan ayat-ayat perlu menggunakan metode pengumpulan ayat agar
langkah-langkah dalam menyelesaikan penelitian ini fokus ke satu tema.
Dalam pengumpulan ayat-ayat yang akan dikaji peneliti menggunakan
metode tematik farmawi, di antaranya: pertama, menentukan tema dalam
suatu penelitian. Dalam penelitian ini penulis menentukan tema terkait
posisi Allah dengan menggunakan term kata istiwa al ‘arsy. Kedua, setelah
menentukan tema, langkah selanjutnya pencarian dengan menggunakan
kamus-kamus al-Qur’an seperti mu’jam al-mufahras li al-fādz li al-Qur’an.
Ketiga, memaparkan tentang munasabah ayat bila diperlukan serta
klasifikasi makkī dan madanī. Keempat, sebagai langkah inti untuk
melakukan kajian analisis-komparatif terhadap argumen kedua mufasir
terkait judul ini. Maka pada sub-bab berikutnya menjelaskan langkah-
langkah dalam menyelesaikan penelitian ini.
A. Kajian ayat-ayat Posisi Allah
Pada subbab ini, peneliti menjelaskan mengenai batasan-batasan ayat
yang akan diteliti, baik itu menjelaskan priodesasi tempat turunnya ayat,
dan kolerasi ayat sebelumnya (munasabah).
59
1. Bentuk Term Posisi Allah
Pada penelitian ini, ayat-ayat yang akan diteliti adalah tentang posisi
Allah yang merujuk kepada ayat-ayat yang memiliki derivasi kata توى ٱس
( istawā) dan عرشٱل (al-‘arsy). Kata توى ٱس (istawā) menurut mujam al-
wasīt diartikan sebagai استقام (berlaku tegak dan seimbang) dan اعتدل
(moderat, seimbang dan lurus).1 Menurut Quraish Shibab kata ٱستوى
(istawā) diartikan pada mulanya berarti tegak lurus, tidak bengkok.
Selanjutnya kata itu dipahami secara majazī dalam arti menuju ke
sesuatu dengan cepat dan penuh tekad bagaikan yang berjalan tegak
lurus tidak menoleh ke kiri dan ke kanan.2 Sedangkan kata ٱلعر ش (al-
‘arsy) memiliki arti الملك atau سرير الملك (otoritas kerajaan atau tempat
kerajaan).3 Menurut tafsir Kementrian Agama RI, kata ٱلعرش (al-‘arsy)
pada mulanya adalah sesuatu yang beratap (syai’ musaqqaf). Pohon
anggur yang diberi kayu-kayu di atasnya agar batang-batangnya
menjalar dengan teguh dan kokoh di atasnya disebut ma’rusy. ‘Arsy
juga bisa berarti singasana raja. Dari sini bisa dibayangkan posisi raja
yang berada di atas seperti halnya sesuatu yang beratap. Dari
pengertiann hissi ini lalu ditarik ke pengertian maknawi yang berarti
keteguhan, kemantapan (tawassūq) dari sini muncul arti kekuasaan (al-
sulṭan), keperkasaan (al-‘izz) dan lainnya. Akan halnya bagaimana
1 Jumhuriyah Masr al’Arabiyyah, Mu’jam al-Wasīt, (Riyad: Maktabah al-Syurūq
al-Dauliyyah, 2004), 466. 2 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarata: Lentera Abadi, 2017), Vol. I, 136. 3 Jumhuriyah Masr al’Arabiyyah, Mu’jam al-Wasīt, (Maktabah al-Syurūq al-
Dauliyyah, 2004), 593.
60
bentuk ‘Arsy Allah, adalah suatu yang tidak bisa diketahui dengan pasti.
Yang terpenting bahwa Allah berkuasa dan mantap dengan kekuasaan-
Nya.4
Di dalam al-Qur’an kata ستوى ٱ (istawā) ditemukan sebanyak dua
belas ayat, di antaranya: QS. al-Baqarah [2] 29, QS. al-‘Arāf [7] 54, QS.
Yūnus [10] 3, QS. al-Ra’d [13] 2, QS. Taha [20] 5, QS. al-Furqān [25]
59, QS. al-Qasas [28] 14, QS. al-Sajadah [32] 4, QS. Fussilat [42] 11,
QS. al-Fath [48] 29, QS. al-Najm [53] 6, dan QS. al-Hadīd [57] 4.5
Sedangkan kata لعرش ٱ (al-‘arsy) di dalam al-Qur’an ditemukan
sebanyak 22 ayat, di antaranya: QS. al-‘Arāf [7] 54, QS. al-Taubah, [9]
129, QS. Yūnus [10] 3, QS. Yūsuf [12] 100, QS. al-Ra’d [13] 2, QS.
al-Isrā’ [17] 42, QS. Taha [20] 5, QS. al-‘Anbiyā’ [21] 22, QS. al-
Mu’minūn [23] 82 dan 116, QS. al-Furqān [25] 59, QS. al-Namal [27]
23 dan 26, QS. al-Sajadah [32] 4, QS. al-Zumar [39] 75, QS. Ghāfir [40]
7 dan 15, QS. al-Zukhruf [43] 82, QS. al-Hadīd [57] 4, QS. al-Hāqqah
[69] 17, QS. al-Takwīr [81] 20, dan QS. al-Burūj [85] 15.6
Setelah menghimpun semua ayat, langkah selanjutnya agar lebih
mudah diketahui priodesasi ayat baik itu makkiyah maupun
madaniyyah.7 Dalam hal ini penulis memberikan dalam bentuk tabel
sebagai berikut:
4 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
jilid III, 356. 5 Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī,Mu’jam al-Mufahras li al-Fādz al-Qur’an al-
Karīm (Qāhirah: Dār al-Hadīts), 373. 6 Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī,Mu’jam al-Mufahras li al-Fādz al-Qur’an al-
Karīm (Qāhirah: Dār al-Hadīts), h. 456 7 Adapaun yang dimaksud dengan istilah Makkiyah dan Madaniyyah, para ulama
berbeda pendapat dalam memberikan batasan mengenai ayat-ayat Makiyyah dan
Madaniyyah. Ada yang berpendapat berdasarkan masa turunnya yaitu ayat-ayat Makiyyah
adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, dan ayat-ayat
Madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah.
Adapun yang berpendapat berdasarkan tempat diturunkannya yaitu Makiyyah adalah ayat-
ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah dan
61
4.1Tabel Periodeisasi Ayat
Periode
Surah
No.Surah
No. Ayat
Al-‘Arāf 7 54
Al-Taubah 9 129
Yūnus 10 3
Yusūf 12 100
Al-Isrā’ 17 42
Taha 20 5
Al-‘Anbiyā’ 21 22
Al-
Mu’minūn
23 86 dan
116
Al-Furqān 25 14 dan 59
Makkiy
ah
Al-Namal 27 23 dan 26
Al-Qasas 28 14
Al-Sajadah 32 4
Al-Zumar 39 75
Ghāfir 40 7 dan 15
Fussilat 41 11
Al-Zukhruf 43 82
Al-Najm 53 6
Al-Hāqqah 69 17
Madaniyyah merupakan ayat-ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud,
Qubā; dan Sil. Lihat, Manna Khalīl Al-Qattān, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Bogor: PT.
Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), cet. 16, h. 83-85
62
Al-Takwīr 81 20
Al-Burūj 85 15
Al-Baqarah 2 29
Al-Ra’d 13 2
Madani
yah
Al-Fath 48 29
Al-Hadīd 57 4
Dari semua ayat ini, penulis hanya fokus kepada ayat-ayat yang
derivasi kata istawā dan ‘arsy terususun dalam satu konteks ayat, maka
ditemukan berjumlah enam ayat. Kemudian penulis juga menambah
ayat-ayat yang berkaitan dengan substansi posisi Allah yaitu QS. al-
Baqarah [2] 29 dan QS. Fussilat [41] 11.
2. Identifikasi Ayat
Setelah menyusun priodesasi beserta maksud term ayat yang akan
diteliti, maka pada subbab ini penulis menguraikan ayat-ayat yang akan
diteliti di antaranya QS. ‘Arāf [7] 54
ثماستوى علىالعرشإ أيام والأرضفيستة الذيخلقالسماوات نربكماللهالخلقيغشي له ألا بأمره مسخرات يطلبهحثيثاوالشمسوالقمروالنجوم النهار الليل
رتباركاللهربالعالمينوالأم“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia
menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-
masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam.”
63
QS. Yūnus [10] 3
إنربكماللهالذيخلقالسماواتوالأرضفيستةأيامثماستوى علىالعرش يدبرالأمرمامنشفيعإلامنبعدإذنهذ لكماللهربكمفاعبدوهأفلاتذكرون
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas
'Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan
memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang
demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka
apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”
QS. al-Ra’d [13] 2
الشمس العرشوسخر استوى على ثم ترونها بغيرعمد السماوات رفع الذي اللهم لأجل يجري كل ربكموالقمر بلقاء لعلكم الآيات يفصل الأمر يدبر سمى
توقنون
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang
kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan
menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga
waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya),
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini
pertemuan(mu) dengan Tuhanmu.”
QS. Taha [20] 5
الرحم نعلىالعرشاستوى
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas
'Arsy.”
QS. al-Furqān [25] 59
الذيخلقالسماواتوالأرضومابينهمافيستةأيامثماستوى علىالعرشالرحم نفاسألبهخبيرا
Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara
keduanya dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas
'Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang
Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.
QS, Sajadah [32] 4
64
علىالعرشاللهالذيخلقالسماواتوالأرضومابينهمافيستةأيامثماستوى أفلاتتذكرون مالكممندونهمنوليولاشفيع
“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas
'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari pada-Nya seorang penolongpun
dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak
memperhatikan?”
QS. al-Hadīd [57] 4
لجهوالذيخلقالسماواتوالأرضفيستةأيامثماستوى علىالعرشيعلممايوهومعكمأين فيالأرضومايخرجمنهاوماينزلمنالسماءومايعرجفيها
واللهبماتعملونبصير ماكنتم“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:
Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia mengetahui apa yang
masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang
turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama
kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan.”
Kemudian penulis juga menambah ayat-ayat yang terkaid dengan
substansi kajian posisi Allah yang terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]
29
سبع فسواهن السماء إلى استوى ثم جميعا الأرض في ما لكم خلق الذي هو
هوبكلشيءعليمو سماوات
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Dan QS. Fussilat [41] 11
ثماستوى إلىالسماءوهيدخانفقاللهاوللأرضائتياطوعاأوكرهاقالتاأتيناطائعين
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi:
65
"Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau
terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".
3. Munasabah
Pada subbab sebelumnya penulis menguraikan ayat-ayat yang akan
diteliti, maka pada bagian ini penulis menguraikan munasabah setiap
ayat yang akan diteliti. Pertama, QS. al-‘Arāf [7] 54. Pada ayat-ayat
yang sebelumnya Allah mengambarkan keadaan orang-orang kafir di
akhirat dan penyesalan mereka karena telah mengikuti anjuran
pemimpin-pemimpin dan setan-setan, sedangkan Rasul-rasul Allah
telah datang dan mengajak mereka agar menganut agama tauhid. Maka
pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia adalah Pencipta langit dan
bumi dan bagaimana besarnya kekuasaan-Nya dan bagaimana hebat dan
rapi ciptaan-ciptaan-Nya, untuk menjadi bukti bagi manusia bahwa Dia
sajalah Tuhan yang berhak disembah dan dipanjatkan doa kepada-Nya.8
Kedua, QS. Yūnus [10] 3. Pada ayat-ayat sebelumnya menjelaskan
bahwa al-Qur’an mempunyai hikmah, tetapi orang kafir tidak mau
percaya bahwa al-Qur’an itu dari sisi Allah, diturunkan kepada rasul-
Nya. Muhammad dengan perentara Jibril, mereka mengatakan bahwa
al-Qur’an itu adalah sihir dan Muhammad adalah tukang sihir. Ayat ini
merupakan bukti atau argumentasi yang membantah pendapat dan
anggapan orang-orang kafir itu, dan menetapkan bahwa al-Qur’an yang
dibacakan oleh Muhammad itu benar-benar dari Tuhan yang
menciptakan seluruh alam, yang memberikan syafaat dengan izin-Nya,
yang mengurus dan mengatur seluruh alam dan wajib disembah oleh
makhluk-Nya.9
8 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
jilid III, h. 356 9 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
jilid IV, 351-352.
66
Ketiga, QS. al-Ra’ad [13] 2. Pada ayat sebelumnya yaitu QS. Yusūf
[12] 111, menjelaskan al-Qur’an bukan perkataan yang dibuat-buat,
tetapi kitab suci yang membenarkan risalah nabi-nabi sebelumnya.
Kemudian pada ayat ini menjelskan tentang penegasan kembali
kebenaran al-Qur’an yang diturunkan Allah melalui Malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad SAW. Allah menjelaskan dalam al-Qur’an
tanda-tanda kekuasaan dan kemampuan-kemampuan-Nya dalam
menciptakan langit dan bumi dengan berbagai kenikmatan yang ada di
antara keduanya. Hanya orang-orang yang mau berpikir yang bisa
menyadari keberadaan Allah dan kebenaran al-Qur’an.10
Keempat, QS. Taha [20] 5. Akhir dari surat Maryam menerangkan
bahwa al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab supaya mudah bagi
Nabi Muhammad SAW menyampaikan kepada kaumnya yang
berbahasa Arab. Al-Qur’an berisi kabar gembira bagi orang-orang yang
bertakwa dan sebagai peringatan bagi orang-orang yang ingkar,
sedangkan awal surah Ṭaha ini menguatkan penjelasan di atas, di
samping menerangkan bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah, sang
Pencipta langit dan bumi.11
Kelima, QS. al-Furqān [25] 59. Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah
menjelaskan tanda-tanda keesaan-Nya di ala mini dan keindahan
ciptaan-Nya yang penuh berisi hikmah dan kebijaksanaan. Pada ayat-
ayat ini, Allah menerangkan sikap dan perbuatan kaum musyrikin yang
tetap saja berpaling dari petunjuk dan kebenaran, bahkan tetap
10 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,
2010), jilid V, 61. 11 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,
2010), jilid VI, 114.
67
menyembah berhala yang tidak memberik kemanfaatan dan
kemudharan apa-apa.12
Keenam, QS. Sajadah [32] 4. Pada ayat-ayat sebelumnya
diterangkan mengenai kebeneran al-Qur’an sebagai Kalamullah dan
kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW sebagai pemberi kabar
gembira dan peringatan kepada orang-orang musyrik. Pada ayat-ayat ini
diterangkan mengenai bukti-bukti kekuasaan dan keesaan Allah yang
terdapat pada penciptaan langit dan bumi pada pemulaannya, kemudian
penciptaan manusia dari tanah, dan keturunan dari sari pati air yang
hina. Kemudian Allah menyempurnakan sebagai manusia.13
Ketujuh, QS. al-Hadīd [57] 4. Pada ayat sebelumnya yaitu QS.
Waqī’ah [56] 1-96 menjelaskan mengenai kedahsyatan sakratulmaut
dan nasib manusia yang berbeda-beda, serta perintah untuk bertasbih.
Pada ayat-ayat ini menerangkan bahwa seluruh makhluk bertasbih
kepada Allah.14
Kedelapan, QS. al-Baqarah [2] 29. Pada ayat yang sebelumnya
diterangkan sikap orang-orang kafirterhadap perumpamaan-
perumpamaan yang telah disebutkan Allah, terhadap perjanjian mereka
dengan Allah dan terhadap tingkah laku mereka yang merusak agama,
manusia dan kemanusiaan. Pada ayat ini Allah SWT mencela orang
kafir itu dan memerintahkan mereka agar memperhatikan dirinya,
kejadiannya, kehidupannya, dan kemana mereka kembali dengan
meghadirkan informasi-informasi bukti-bukti kebesaran Allah.15
12 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,
2010), jilid VII, 39-40. 13 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,
2010), jilid VII, 581. 14 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,
2010), jilid IX, 664. 15 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,
2010), jilid I, .70.
68
Kesembilan, QS. Fussilat [41] 11. Pada ayat sebelumnya
diterangkan bahwa Allah memerintahkan kepada Rasulullah SAW agar
mengajak umatnya untuk melaksanakan ajaran Islam, beriman kepada
Allah, memurnikan ketundukan dan ketaatan hanya kepada-Nya saja,
dan selalu meminta ampun kepada-Nya atas dosa-dosa yang telah
diperbuat. Pada ayat-ayat berikutnya dikemukakan bukti-bukti
kekuasaan dan keesaan Allah dalam menciptakan langit dan bumi, dan
menghiasi langit dengan bintang-bintang yang tidak terhingga
banyaknya. Dia mengetahui segala sesuatu, tidak ada sesuatupun yang
luput dari pengetahuan-Nya. Namun, orang-orang musyrik masih juga
menyembah patung-patung yang tidak sanggup berbuat sesuatu apalagi
mempunyai kehendak dan kekuasaan.16
B. Argumentasi Posisi Allah Menurut Imam Nawawi
Pada subbab ini, penulis membahas spesifikasi interpretasi Imam
Nawawī mengenai ayat-ayat yang akan diteliti. Adapun referensi yang
diambil oleh penulis adalah dari karya Imam Nawawī marāh labīd.
a. Pada QS. ‘Arāf [7] 54, mengenai teks ٱلتوى ٱس عرشعلى , menurut
Imam Nawawī derivasi teks tersebut merupakan tempat
bersemanyam-Nya (singgahsana kerajaan) setelah selesai
menciptakan langit dan bumi, maksudnya adalah tindakan dan
perencanaan Allah setelah menciptakan langit dan bumi. Pada teks
عرشٱل maksudnya tempat duduk kerajaan. Menurut Imam Nawawī
kata عرشٱل tidak diartikan secara tekstual melainkan menggunakan
16 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,
2010), jilid VIII, 595.
69
makna lain. Menurut al-Qaffāl yang dikutip oleh Imam Nawawī ,
maksud dari derivasi di atas adalah Allah menetap di tempat
kerajaan-Nya. Sedangkan maksud penyebutan Allah terhadap istiwā
‘ala ‘arsy adalah efektif berlaku maha kuasa-Nya dan berlaku
terhadap kehendak-Nya.17
b. Pada QS. Yūnus [10] 3, menurut Imam Nawawī teks عرشعلىٱلتوى ٱس
bersemanyan meliputi wujud-Nya, maksud dari ayat ini juga
merupakan perencanaan Allah terhadap kerajaan-Nya. Ayat ini juga
memberikan informasi bahwa ‘Arsy tercipta sebelumnya diciptanya
langit dan bumi dengan argumentasi firman Allah QS. Hūd [11] 7.18
c. Pada QS. al-Ra’ad [13] 2, Imam Nawawī menafsirkan ayat ini juga
senada dengan penafsiran sebelumnya bahwa Allah menciptakan
‘Arsy sebelum menciptkan langit dan bumi. Istawā di artikan
sebagai bersemayamnya Allah di ‘Arsy sebagai tempat kerajaan-
Nya.19
d. Pada QS. Taha [20] 5, menurut Imam Nawawī maksud dari derivasi
ـن sebagai Pencipta seluruh alam. Kata istawā ala ‘arsy ٱلرح
sebagai majāz (metafor) terhadap kerajaan-Nya, dan juga sebagai
bentuk kinayah sehingga boleh diartikan dengan tempat di tempat
kerajaannya. Tetapi pada konteks Allah tidak bisa diartikan bahwa
Dia duduk di tempat-Nya dengan makna asli.20
17 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-
Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 1, 375. 18 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-
Qur’an al-Majīd, 378-379. 19 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-
Qur’an al-Majīd, 552. 20 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-
Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 2, 20.
70
e. Pada QS. al-Furqān [25] 59, menurut Imam Nawawī pada teks
عرشعلىٱلتوى ٱس (istawā ‘ala ‘arsy) diarikan sebagai tempat yang
Maha Tinggi sebagai bentuk Pencipta langit dan bumi.21
f. Pada QS. Sajadah [32] 4 dan QS. al-Hadīd [57] 4, Imam Nawawī
menafsirkan ayat ini senada dengan penafsiran sebelumnya bahwa
Allah menetap di tempat kerjaan-Nya yang diciptakan sebelum
Allah ciptakan langit dan bumi.22
g. Pada QS. al-Baqarah [2] 29, derivasi توى ٱس diartikan oleh Imam
Nawawī berkeinginan, maksudnya setelah Allah menciptakan bumi
beserta isinya kemudian Allah berkeinginan menciptakan langit.23
Dari semua ayat yang ditafsirkan oleh Imam Nawawī dapat
disimpulkan bahwa ia mengangap ayat ini mutasyābih sehingga tidak bisa
diartikan dengan makna yang jelas tetapi membutuhkan ta’wīl atau
penjelasan dengan menggunakan makna lain. Ia juga tidak menjelaskan
secara ekspilisit mengenai istawā ‘ala ‘arsy. Sehingga kesimpulannya
bahwa Posisi Allah sebagai raja yang menetap di kerajaan-Nya.
Sebagaimana telah dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya bahwa Allah
menetap dikerajaannya setelah menciptkaan langit dan bumi. Pada dasarnya
ia menafsirkan teks istiwa dan ‘arsy tidak jauh beda dengan penafsiran
ulama sebelumnya seperti Ibn Katsīr, al-Tabarī. Ia menafsirkan istiwa
sebagai kerajaan, tetapi tidak dianalogikan sebagai kerajaan yang memiliki
keserupaan dengan manusia. Di sisi inilah Imam Nawawī menghadirkan
21 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-
Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 2, 137. 22 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-
Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 2, 241 dan 489. 23 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-
Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 1, 14.
71
re-interpretasi (ta’wīl). Sama halnya ia menafsirkan kata yang artinya ‘arsy,
ia tidak menafsirkan makna asli melainkan makna yang dipalingkan dengan
alasan bahwa ayat ini memiliki kesamaran (mutasyābih āt).
C. Argumentasi Posisi Allah Menurut Quraish Shihab
Setelah mengetahui interpretasi dari Imam Nawawī , maka langkah
selanjutnya melihat interpretasi dari Quraish Shihab agar bisa
dikomparatifkan dengan menghasilkan perbedaan dan persamaan dalam
menafsirkan ayat-ayat tentang posisi Allah. Dalam penelitian subbab ini,
penulis merujuk langsung dalam karyanya kitab al-Misbah.
a. Pada QS. al-‘Arāf [7] 54, menurut Quraish Shihab pada teks توى ٱس
ٱل شرععلى ini masih menjadi perdebatan para ulama. Ada yang
enggan menafsirkannya, “Hanya Allah SWT yang tahu maknanya”
demikian ungkapan ulama salaf (Abad I-III H). Kata توى ٱس (istawā)
dikenal oleh ahli bahasa, kaifiyyah (caranya) tidak diketahui,
mempercayainya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah.
Demikian ucapan Imam Mālik ketika makna tersebut ditanyakan
kepadanya. Ulama-ulama sesudah abad III, berupaya menjelaskan
maknya dengan mengalihkan makna kata istawā dari makna
dasarnya yaitu bersemayam ke makna majazi yaitu berkuasa, dan
demikian penggalan ayat ini bagaikan menegaskan tentang
kekuasaan Allah SWT dalam mengatur dan mengendalikan alam
raya, tetapi tentu saja hal tersebut sesuai dengan kebesaran dan
kesucian-Nya dan segala sifat kekurangan atau kemakhlukan. Ia
juga mengutip pendapat Tabathaba’ī yang diambil dari al-Rāghīb al-
Asfhānī yang menyatakan antata lain, bahwa kata ‘Arsy yang dari
72
segi bahasa adalah tempat singgahsana atau tempat duduk raja,
kadang-kadang dipahami dalam arti kekuasaan. Pada mulanya
diartikan sebagai sesuatu yang beratap. Tetapi perlu dicatat, bahwa
Allah yang duduk dikursi/Arsy’ yang tertinggi itu keadaan dan
pengaturannya terhadap alam raya.24
b. Pada QS. Yunūs [10] 3, pada ayat ini Quraish Shihab tidak
menjelaskan secara mendetail, sebab telah dijelaskan pada ayat
sebelumnya pada QS. al-‘Arāf [7] 54. Ia juga menambahkan bahwa
ayat ini memberikan makna majāz (metafor)25
c. Pada QS. al-Ra’ad [13] 2, ayat ini ditafsirkan oleh Quraish Shihab
sama pada ayat sebelum-sebelumnya. Bahkan penggunaan katapun
tidak ada perbedaan dengan sebelumnya. Bahkan ia menambahkan,
agar merujuk kepada QS. al-‘Arāf [7] 54.26
d. Pada QS. Taha [20] 5, menurutnya al-Rahīm adalah pencipta alam
raya yaitu Allah SWT, yang bersemayam yakni berkuasa penuh di
atas ‘Arsy yakni pada seluruh kerajaan-Nya. Milik-Nya sendiri dan
dalam wewenang serta pengaturan-Nya tanpa campur tangan
siapapun termasuk tuhan-tuhan musyrikin semua yang ada di alngit,
dan semua yang ada di bumi, serta semua yang terdapat diantara
keduanya dan semua yang dibawah seperti barang tambang dan
kekayaan lainnya.27
e. Pada QS. al-Furqān [25] 59, QS. Sajadah [32] 4, dan QS. al-Hadīd
[57] 4. Ayat ini Qurasih Shihab menafsirkan sesuai pada ayat
24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarata: Lentera Abadi, 2017), Vol. 5, . 119. 25 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarata: Lentera Abadi, 2017), Vol. 6, 13. 26 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
538. 27 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarata: Lentera Abadi, 2017), Vol. 8, 271.
73
sebelumnya yaitu telah dijelaskan secara eksplisit dalam QS. al’Arāf
[7] 54
f. Pada QS. al-Baqarah [2] 29, menurut Quraish Shihab pada teks
ٱلسماءتوى ٱس إلى diartikan “kemudian Dia berkehendak menuju
langit”. Kata kemudian dalam ayat ini bukan dalam arti selang
masa, tetapi dalam arti peringkat, yakni peringkat sesuatu yang
disebut sesudahnya yaitu langit dan apa yang ditampungnya lebih
agung, lebih besar, indah dan misterius daripada bumi. Maka Dia,
yakni Allah menyempurnakan mereka, menjadi tujuh langit dan
menetapkannya hukum-hukum yang mengatur perjalanannya
masing-masing serta menyiapkan sarana yang sesuai bagi yang
berada di sana, apa dan atau siapa pun. Itu semua diciptakan-Nya
dalam keadaan sempurna dan amat teliti.28
Dari semua ayat yang ditafsirkan oleh Qurais Shihab dapat
disimpulkan bahwa ia mengangap ayat ini mutasyābih sama halnya
dengan pandangan Imam Nawawī , sehingga tidak bisa diartikan dengan
makna yang jelas tetapi membutuhkan re-interpretasi ta’wīl atau
penjelasan dengan menggunakan makna lain. Ketika menjelaskan kata
yang sama dalam ayat yang berbeda beliau kebanyakan menyuruk
merujuk ke penafsiran sebelumnya. M. Quraish sihab dalam
memberikan reinterpretasi (ta’wīl) ia menggunakan bahasa pengalihan
yang bisa dipahami, ini sesuai dengan corak tafsir yang ia tulis adabī
ijtima’ī yang mementingkan sosio-kultur. Bisa ditemukan ketika ia
menafsirkan kata istiwa, menurutnya diartikan dengan sebuah
28 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarata: Lentera Abadi, 2017), Vol. 1, 136.
74
kekuasaan. Arti ini berbeda sekali dengan penafsiran yang dilakukan
oleh Imam Nawawī dengan mengartikan kerajaan.
Perbedaan ini bisa dipahami bahwa kata kekuasaan tidak hanya
stagnasi dengan membutuhkan kerajaan, sebab kekuasaan memiliki
relasi kuasa misalnya antara makhluk dengan Khalik. Antara manusia
dengan Allah memiliki jarak yang jauh, sehingga Allah memiliki relasi
kuasa dengan manusia sehingga tidak bisa diegaliterkan dalam hal
posisi. Konsekuensi dengan mengarikan kerajaan adalah membutuhkan
sebuah tempat fisik berbentuk kerajaan. Sama halnya ketia menfasirkan
kata arasy’ beliau menjelaskan bahwa kata aras itu diartikan sebagai
kursi, atau singgah sana raja, beliau mengumpamakan kata arasy dengan
maksud bahwa singgah sana seorang raja itu tempat nya lebih tinggi dari
pada rakyatnya. Kemudian ketika dijelaskan kata istiwa’ diartikan
dengan makna kekuasaan yang menguasai alam semesta dan mengatur
segala yang ada didalamnya. Maka dapat disimpulkan arti علىتوى ٱس
شرعٱل menurut M. Quraish shihab adalah Allah yang berkuasa atas
segala ciptaan nya dan berada ditempat yang maha tinggi dari
mahluknya.
Setelah memaparkan kedua interpretasi kedua mufasir, penulis
memberikan referensi dari penafsiran konstitusi berjudul “Tafsir al-Qur’an
dan Terjemahnya” sebagai perbandingannya. Menurut tafsir Kementrian
Agama ayat tentang istawā ‘ala ‘arsy, Allah bersemanyam di atas ‘’arsy
setelah menciptakan langit dan bumi. Tentang bagaimana Allah
bersemanyaam di atas ‘arsy-Nya dan bagaimana Dia mengatur semesta
alam ini tidaklah dapat disamakan atau digambarkan seperti
bersemanyamnya seorang raja di atas singgahsananya karena Allah tidak
boleh dimisalkan atau disamakan dengan makhluk-Nya. Namun hal ini
75
harus dipercayai dan diimani dan hanya Allah sediri Yang Mengetahui
bagaimana hakikatnya. Para sahabat Nabi tidak ada yang merasa ragu dalam
hatinya mengenai bersemanyam-Nya Allah di atas ‘arsy. Mereka
menyakini hal itu dan beriman kepada-Nya tanpa mengetahui bagaimana
gambaranya. Demikianlah Imam Malik berkata ketika ditanyakan
kepadanya masalah bersemanyamnya Allah di atas ‘arsy sebagai berikut,
“Bersemanyamnya Allah adalah suatu hal yang tidak asing lagi, tetapi
bagaimana caranya tidak dapat dipikirkan”.29
Sedangkan penafsiran derivasi kata ٱلسماءتوى ٱس إلى , di dalam tafsir
Kementrian Agama ayat ini menjelaskan bahwa Allah menuju langit dan
menyempurnakannyaa menjadi tujuh langit. Ayat ini juga memberikan
pengertian bahwa Allah menciptakan langit lalu Allah
menyempurnakannya menjadi tujud langit.30
Dari uraian di atas dapat diambil hipotesa, ayat-ayat yang ditafsirkan
oleh Quraish Shihab masih ruang lingkup mutasyābih , kesamaran dalam
teks ayat membuat penggunaan makna berbeda dengan Imam Nawawī .
Tetapi pola penafsiran tidak jauh berbeda yang signifikan dengan Imam
Nawawī . Quraish Shihab lebih tendensi bahwa posisi Allah tidaklah
dikategorikan tempat yang memiliki ruang dan waktu, tetapi diartikan
sebagai Allah memiliki kekuasaan yang Maha Tinggi. Adapun Perbedaan
dan persamaan akan dibahas pada bab selanjutnya. Dari beberapa tafsir
yang dianalisis, penafsiran Quraish Shihab dalam memeberikan ta’wil ayat-
ayat mutasyabbihāt lebih mudah dipahami, sedangkan penafsiran lainnya
tidak memberikan penjelasan dalam pemberian ta’wil.
29 Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Lentera
Abadi, 2010), Jilid III, 360. 30 Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Lentera
Abadi, 2010), Jilid I, 71.
76
D. Perbedaan dan Persamaan kedua mufasir
Setelah melewati kajian-kajian analisi ayat kedua tafsir, maka langkah
terakhir selanjutnya, penulis menganalisa dengan melihat perbedaan dan
persamaan kedua mufasir.
1. Jangkauan makna istiwa
Kedua mufasir memiliki kesamaan dalam menentukan ayat-ayat
mutasyābih āt, sehingga ayat-ayat yang berkaitan tentang posisi Allah
dikategorisasikan sebagai mutasyābih āt. Perbedaan yang ditemukan
adalah pemberian makna terkait ayat-ayat mutasyābih seperti term
istiwa. Pada intinya kedua mufasir sepakat dalam mengarikan kata dasar
dari istawā adalah tempat kerajaan, perbedaan terjadi ketika diartikan
dengan menyandarkan sifat-sifat Allah. Quraisy Syihab mengartikan
istiwa sebagai kekuasaan Allah, menurut Imam Nawawī diartikan
dengan kerajaan. Perbedaan ini bisa mempengaruhi dalam memahami
maksud, seperti Imam Nawawī mengartikan kerjaan maka
konsekuensinya kerajaan (al-mulk) membutuhkan suatu benda atau
fisik. Berbeda ketika diartikan kekuasaan yang bisa dipahami sebagai
relasi pembeda antara Allah dengan manusia, atau Khalik dengan
makhluknya. Maksud kekuasaan tidak mesti membutuhkan sebuah
kerajaan tetapi cukup dengan relasi kuasa maka bisa menjadi pembeda.
Makna yang diberikan oleh Quraisy Syihab merupakan jangkauan
makna atau bisa disebut sebagai pengembangan makna.
2. Pengembangan makna ‘Arsy
Tidak hanya berbeda dalam memaknai istiwa, tetapi juga berbeda
dalam menafsirkan ‘arsy. Dalam hal ini Imam Nawawī menggunakan
makna aslinya meskipun ia memberikan catatan bahwa yang dimaksud
dengan tempat duduk tidak bisa disamakan dengan tempat duduk
77
manusia. Berbeda dengan Quraisy Syihab, ia meskipun berpijak kepada
makna asli tetapi ia memberikan makna lain yaitu sebagai pengawasan
Allah yang tinggi. Pengambilan makna ini bisa dianalisis, bahwa ia
berpijak kepada relasi makna kekuasaan sehingga istiwa dan ‘arsy
merupakan term yang tidak bisa diartikan secara harfiyah. Pengambilan
makna kekuasaan maka cara dan ekpresi untuk melakukannya adalah
pengawasan.
3. Menentukan posisi Allah
Posisi tidak bisa diartikan dengan tempat (tamakkun) sebab
Allah tidak memiliki tempat, inilah yang argumen kedua mufasir
dalam menentukan keberadan Allah. Dalam penentuan posisi Allah
Imam Nawawī tidak menjelaskan secara detail, dengan merujuk
penafsirannya maka posisi Allah sudah dipastikan di ‘arsy. Quraisy
Syihab mencoba memberikan opini dalam menentukan posisi Allah
yang disertakan arah posisi, meskipun Allah tidak membutuhkan
arah, hanya saja ia menggunakan ta’wil (reinterpretasi) terhadap
ayat-ayat di atas. Menurutnya posisi Allah sudah pasti di ‘arsy,
tetapi dalam penentuan arah posisi, dalam hal ini ia berpendapat
posisi Allah lebih tinggi dari makhluknya sebagai bentuk relasi
kuasa kepada makhluknya. Memberikan pemahaman lebih tinggi ini
suatu opini yang menunjukkan posisi Allah yang memiliki korelasi
ketika ia menafsirkan istiwa yang berarti kekuasaan. Bentuk
kekuasaannya adalah lebih tinggi (lebih baik/lebih mulia/lebih
indah) dari makhluknya.
Dari beberapa perbedaan persamaan ini, peneliti memberikan tabel
agar bisa dipahami secara mendetail sebagai berikut:
78
4.2Tabel Persamaan dan perbedaan
Perbedaan Persamaan
Penafsiran Imam Nawawī
cukup singkat daripada Qurasih
Shihab, sehingga pemahaman
yang diberikan tidak eksplisit.
Metode yang digunakan dalam
menafsirkan ayat-ayat
mutasyābih sama-sama
menggunakan ta’wīl.
Perbedaan dalam
menggunakan istilah bahasa,
seperti menurut Imam Nawawī
istawā diartikan dengan استقام (istaqāma/menetap),
sedangkan Quraish Shibab,
kata istawā terjadi perubahan
makna bukan hanya menetap
tetapi menjadi berkuasa atau
kekuasaannya dalam mengatur
alam semesta.
Kedua mufasir memiliki
persamaan dalam penolakan
tafwīd dalam menafsirkan ayat-
ayat mutaysabih.
Imam Nawawī hanya fokus kepada
penafsiran ٱلتوى ٱس عرشعلى yang
substansinya mengenai tempat
posisi Allah, sedangkan Quraish
Shihab tidak hanya menafsirkan
ayat mengenai tempat posisi Allah,
ia juga menafsirkan mengenai arah
posisi meskipun kesimpulannya itu
hanya majazī (metafor) dalam
penggunaan kata.
Imam Nawawī memiliki
kesamaan dengan Quraish
Shihab perihal memaknai ‘Arsy
sama-sama memaknai dengan
kata kerajaan
Perbedaan dalam pemaknaan
derivasi kata, ٱلسماءتوى ٱس إلى , dalam
QS. al-Baqarah [2] 29 Imam
Nawawī memaknai Allah
berkeinginan untuk menciptakan
langit, sedangkan Quraish Shihab
bahwa Allah berkehendak menuju
langit.
Memiliki kesamaan dalam
mengkategorikan ayat-ayat ini
mutasyābih
79
Dari kedua pandangan mufasir ini, penulis lebih tendensi (condong)
kepada pandangan Quraish Shihab dengan beberapa alasan, di antaranya:
pertama, pemberian makna lebih tinggi (ulya) merupakan interpretasi yang
tidak jauh dari kaidah bahasa. Penafsiran ini didukung oleh pandangan al-
Rāzi yang memberikan klasifikasi masalah terkait QS. al-Baqarah [2] 29.31
Kedua, Quraish Shihab tidak melupakan kaidah ta’wīl yang diartikan
sebagai pengalihan makna dasar kepada makna yang lain. Biasanya ta’wīl
yang sulit dipahami adalah ta’wīl para sufi. Tentunnya Quraish Shihab tidak
demikian, ia mengikuti syarat bahwa dalam penggunaan ta’wīl haruslah
berpegang kepada kaidah bahasa.32 Ketiga, penggunaan makna terhadap
kata istiwa, ia memiliki pengembangan makna yang tidak stagnasi dengan
menggunakan interpretasi ulama. Quraisy Shihab mengartikan istiwa
dengan berkuasa yang lebih jauh bisa diterima dengan sebab tidak terjadi
mujassim (menyerupai) dengan makhluk-makhluk-Nya.
31Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tafsīr al-Kabīr
Wa Mafātiḥ al-Ghaib, Juz II. 215-216 32 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik al-Dakhīl fi al-Tafsīr ( Jakarta, PT. QAF
Media Kreativa, 2019), 90
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bab ini, penulis membahas tentang jawaban dari rumusan masalah
yang dilakukan setelah analisis dari kedua mufasir yang telah dijelaskan di
dalam bab-bab sebelumnya. Penulis mendapatkan kesimpulan beberapa hal,
di antaranya perihal kesamaan kedua mufasir.
1. kedua mufasir sepakat dalam mendefinisikan mutasyabih
merupakan ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan lain karena
memiliki makna yang samar.
2. Imam Nawawi dan Quraish Shihab sepakat bahwa posisi Allah
merupakan kategorisasi ayat-ayat mutasyabih.
Sedangkan perbedaan yang signifikan antara Imam Nawawi dan
Quraish Shihab di antaranya:
1. Quraish Shibab menjelaskan terkait posisi Allah berkuasa di ‘arsy
(tempat kerajaan/singgahsana raja) dan memiliki tempat yang
tertinggi dibandingakan dengan mahluknya.
2. Adapun Imam Nawawi hanya memberikan penjelasan terkait Allah
bersemanyam di ‘arsy (tempat kerajaan). Sedangkan kata الى السماء tidak diartikan tempat yang tertinggi melainkan diartikan توى ٱس
oleh Imam Nawawi yaitu Allah menciptakan langit jika diartikan
dalam bentuk arah maka Allah membutuhkan tempat. dan kata
istiwa diartikan dengan makna bersemayam bukan kekuasaan.
81
Adapun metode yang digunakan Imam Nawawi dan Quraish Shihab
dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabih terkait posisi Allah memiliki
kesamaan yaitu ta’wīl. Mereka tidak menggunakan tafwīd ataupun tajsīm
dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabih terkait posisi Allah.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran
terhadap penelitian ini sebagai berikut:
1. Penelitian yang penulis lakukan masih dikategorikan belum
maksimal karena fokus terhadap dua mufasir, sehingga ada harapan
untuk pengembangan wawasan terkait pembahasan.
2. Penelitian ini diharapkan ada penelitian selanjutnya dan melakukan
perkembangan bagi umat Islam khususnya mahasiswa/i jurusan
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir terkait penelitian ayat-ayat mutaysabih
agar menumbuhkan wawasan keislaman dan bisa diaktualisasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
3. Penelitian ini agar tetap berkembang khususnya terkait kajian
bercorak teologi, sehingga bisa memberikan wawasan baru terkait
pembahasan ini.
4. Diharapkan ada perkembangan dalam melakukan tentang posisi
Allah dengan menggunakan pendekatan yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, M. Mustamin, “Al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jāwi wa
Juhūduhu fī alTafsīr al-Qur’an al-Karīm fī Kitābihi “al-Tafsīr al-
Munīr li Ma`ālim al-Tanzīl.” Desertasi Doktor., Universitas Al-Azhar
Kairo-Mesir, 2000.
Arsyad, Mustamin. “Signifikansi Tafsir Marāh Labīd Terhadap
Perkembangan Studi Tafsir di Nusantara.” Jurnal Studi Al-Qur’an.
Vol. I, No. 3, (2006)
Arsyad, Sobby. Buku Daras Potret Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia. Bandar
Lampung: 2007.
al-Asfahānī, al-Rāghib. Mufradāt Alfādz al-Qur’an. Bairut : Dār al-Qalam,
2009.
al-‘Asy’arī, Abū al-Hasan ‘Alī b. Ismā’il b. Ishāq b. Sālim b. Ismā’il b.
‘Abdullah b. Mūsa b. Abī Bardah b. Abī Mūsa. Risālah ila Ahli al-
Tsaghri bi bāb al-Abwāb. Riyad : al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-
Su’udiyyah, 2010.
Bahary, Ansor. “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Tafsir Marāh
Labīd Nawawi al-Bantani,” Ulul AlBab, Vol. 16, No. 2, (tb 2015)
al-Bāqī, Muhammad Fu’ād ‘Abd. Mu’jam al-Mufahras li al-Fādz al-
Qur’an al-Karīm. Qāhirah: Dār al-Hadīts, 2009.
Burhanuddin, Mamat. Hermeneutika Al-Qur’an ala Pesantren (Analisis
Terhadap Tafsir Marâh Labîd Karya K.H. Nawawi Banten).
Yogyakarta: UII Press, 2006.
al-Dīnawarī, Abū Muhammad ‘Abdullah b. Muslim b. Qutaibah. Ta’wīl
Muskil al-Qur’an. Bairūt: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 2010.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup
Kiyai. Jakarta: LP3S, 1982.
Fāris, Zakariyā Abū Husain, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah. Bairūt:Mufahris
Fihrasah Kāmilah, 2009.
Al-Farmawī, Abū al-Hayy. al-Bidayah Fi ala Tafsir al-Maudhu’iy. Mesir:
Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977.
Ichwan, M. Nor. Belajar Al-Qur’an, Menyingkap Khasanah Ilmu-ilmu al-
Qur’an melalui pendekatan Histors Metodologis. Semarang :Rasail,
2005.
Kamil, Miftahudin bin. Tafsir al-Misbah M.Quraish Shihab Kajian Aspek
Metodologi, Malaysia: Universiti Malaya, 2007.
Kementrian Agama RI. Muqaddimah al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta:
Lentera Abadi, 2010.
Martono, Nanang. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grafindo Persada,
2010.
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Posdakarya.
Mu’jam washit. Maktabah al-Syurūq al-Dawliyah, 2004.
Nata, Abudin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islqam di Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo, 2005
Al-Nawawī, Muhammad b. ‘Umar b. al-Jāwī. Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na
al-Qur’an al-Majīd. Libanan: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997
Parhani, Aan. “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani Dalam Tafsir
Marāh Labīd.” Tafsere, Vol. 1, No. 1, (tb 2013)
Al-Qattān, Manna Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: PT. Pustaka
Litera Antar Nusa, 2013.
Al-Rahman, ‘Abd. “Nawawi al Bantani; an Intellectual Master of The
Pesantren Tradition.” Studia Islamika. Vol. III. No. 3, (tb1996).
Raziqin, Badiatul, dkk. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta: e-
Nusantara, 2009.
Al- Shiddieqy, M. Hasby. Ilmu-Ilmu Al-Quran. Jakarta : PT. Bulan Bintang,
1993
Said, Hasani Ahmad. Diskusi Munasabah al-Qur’an: Tinjauan Kritis
Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-
Misbah.Jakarta: Lecture Press, 2013.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir, Tangerang : Lentera Hati, 2003.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2003.
Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Qur’an, Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan,
Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib. Bandung: Mizan 2003.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an, Vol. I, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B. Bandung:
Alfabeta, 2017.
Sunanto, Musyrifah. Nawawi al Bantani: Ulama Indonesia Pengarang
Tafsir Munir (Hasil Penelitian). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2000.
al-Suyūtī, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahman b. Abī Bakr Abū al-Fadl. al-Itqān
Fī ‘Ulūm al-Qur’an. Riyad: al-Irsyād al-Su’udiyyah, 2008.
al-Syahrastanī, Abī al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm b. Abī Bakr Ahmad,
Al-Milal Wa al-Nihal. Bairūt : Dār al-Fikr, 2002.
Tihami. “Pemikiran Fiqh al Syaikh Muhammad al Nawawi al Bantani.”
Disertasi S3., . Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Quran. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1996.
Wartini, Atik. “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-
Mishbah.” Hunafa: Jurnal Studia Islamika. Vol 11, no.1 (Juni 2014).
al-Zarkasyī, Badr al-Dīn. al-Burhān Fī ‘Ulūm al-Qur’an. Bairut: Dār al-
Turāts, 2008.
al-Zarqānī, Muhammad Abd al-‘Adzīm. Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-
Qur’an. Bairut : Dār al-Kitab al-‘Arabī. T.th.
al-Dzhahabī, Muhammad Husain. Tafsīr Wa Mufassirūn, Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000.