Interaksi Obat Dan Makanan

4
Kamis, 28 Juni 2012 - 07:38:24 WITA INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN Diposting oleh : Pramono Kategori: Gizi - Dibaca: 7317 kali INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN Pendahuluan Interaksi obat merupakan masalah penting yang mengakibatkan ribuan orang harus di rumah sakit di Amerika Serikat setiap tahun. Penelitian selama satu tahun baru-baru ini disejumlah apotek menunjukkan bahwa hampir satu dari 4 pasien yang mendapatkan resep pernah mengalami interaksi obat yang berarti pada suatu saat tertentu dalam tahun tersebut. Interaksi demikian telah menimbulkan gangguan yang serius sehingga kadang-kadang menyebabkan kematian. Yang lebih sering terjadi adalah interaksi yang meningkatkan toksisitas atau turunya efek terapi pengobatan sehingga pasien tidak merasa sehat kembali atau tidak cepat sembuh sebagaimana seharusnya (Harknoss, 1989). Saat kita mendapatkan obat dari apotik, kita sering diberi tahu bahwa obat sebaiknya diminum sebelum atau sesudah makan. Kita kadang tidak tahu, untuk apa sebenarnya hal tersebut harus dilakukan. Mengapa obat tertentu harus diminum sebelum makan dan obat lainnya harus diminum sesudah makan. Hal itu sebenarnya berkaitan dengan masalah interaksi obat, sebagai salah satu langkah unttuk menghindari terjadinya interaksi dari suatu obat yang merugikan ( Lulukria, 2010). Secara singkat dikatakan interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat yang lainnya. Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang efektif (Harknoss, 1989). Untuk mendapatkan efek obat harus berinteraksi dengan reseptor tetapi adakalanya obat berinteraksi dengan faktor lain yang dapat meningkatkan atau mengurangi efek dari obat tersebut, antara lain: faktor lingkungan, kondisi fisiologi tubuh, metabolisme tubuh, farmakodinamik, farmakokinetik, dan makanan. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi interaksi obat. Pengaruh makanan terhadap kerja obat masih sangat kurang. Karena itu, pada banyak bahan obat masih belum jelas bagaimana pengaruh pemberian makanan pada saat yang sama pada kinetika obat. Pada sejumlah senyawa makanan menyebabkan peningkatan, penundaan, dan penurunan absorbsi obat (Mutschler, 1999). Makanan dapat berikatan dengan obat, sehingga mengakibatkan absorbsi obat berkurang atau lebih lambat. Sebuah contoh diskusi tentang makanan yang berikatan dengan obat adalah interaksi tetrasiklin dengan produk-produk dari susu. Akibatnya adalah penurunan konsentrasi tetrasiklin dalam plasma. Oleh karena adanya efek pengikatan ini, maka tetrasiklin harus dimakan satu jam sebelum atau 2 jam sesudah makan dan tidak boleh dimakan dengan susu (Hayes et al., 1996). Jadi interaksi obat merupakan sarana bagi semua pihak. Pasien, dokter dan farmasis harus bekerjasama, untuk upaya memaksimalisasi pemakiaan obat demi kepentingan pasien. Di era informasi yang serba cepat dan mudah seperti sekarang ini, masyarakat mestinya semakin menyadari untuk menjadi mitra aktif dalam menjaga pemeliharaan kesehatannya sendiri dan keluarga (Harknoss, 1989).

description

IOM

Transcript of Interaksi Obat Dan Makanan

Page 1: Interaksi Obat Dan Makanan

Kamis, 28 Juni 2012 - 07:38:24 WITA

INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN Diposting oleh : Pramono Kategori: Gizi - Dibaca: 7317 kali

INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN

Pendahuluan

Interaksi obat merupakan masalah penting yang mengakibatkan ribuan orang harus di rumah sakit di Amerika

Serikat setiap tahun. Penelitian selama satu tahun baru-baru ini disejumlah apotek menunjukkan bahwa hampir

satu dari 4 pasien yang mendapatkan resep pernah mengalami interaksi obat yang berarti pada suatu saat tertentu

dalam tahun tersebut. Interaksi demikian telah menimbulkan gangguan yang serius sehingga kadang-kadang

menyebabkan kematian. Yang lebih sering terjadi adalah interaksi yang meningkatkan toksisitas atau turunya efek

terapi pengobatan sehingga pasien tidak merasa sehat kembali atau tidak cepat sembuh sebagaimana seharusnya

(Harknoss, 1989).

Saat kita mendapatkan obat dari apotik, kita sering diberi tahu bahwa obat sebaiknya diminum sebelum atau

sesudah makan. Kita kadang tidak tahu, untuk apa sebenarnya hal tersebut harus dilakukan. Mengapa obat

tertentu harus diminum sebelum makan dan obat lainnya harus diminum sesudah makan. Hal itu sebenarnya

berkaitan dengan masalah interaksi obat, sebagai salah satu langkah unttuk menghindari terjadinya interaksi dari

suatu obat yang merugikan ( Lulukria, 2010).

Secara singkat dikatakan interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat yang lainnya. Kerja obat yang

diubah dapat menjadi lebih atau kurang efektif (Harknoss, 1989). Untuk mendapatkan efek obat harus berinteraksi

dengan reseptor tetapi adakalanya obat berinteraksi dengan faktor lain yang dapat meningkatkan atau mengurangi

efek dari obat tersebut, antara lain: faktor lingkungan, kondisi fisiologi tubuh, metabolisme tubuh, farmakodinamik,

farmakokinetik, dan makanan.

Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi interaksi obat. Pengaruh makanan terhadap

kerja obat masih sangat kurang. Karena itu, pada banyak bahan obat masih belum jelas bagaimana pengaruh

pemberian makanan pada saat yang sama pada kinetika obat. Pada sejumlah senyawa makanan menyebabkan

peningkatan, penundaan, dan penurunan absorbsi obat (Mutschler, 1999). Makanan dapat berikatan dengan obat,

sehingga mengakibatkan absorbsi obat berkurang atau lebih lambat. Sebuah contoh diskusi tentang makanan

yang berikatan dengan obat adalah interaksi tetrasiklin dengan produk-produk dari susu. Akibatnya adalah

penurunan konsentrasi tetrasiklin dalam plasma. Oleh karena adanya efek pengikatan ini, maka tetrasiklin harus

dimakan satu jam sebelum atau 2 jam sesudah makan dan tidak boleh dimakan dengan susu (Hayes et al., 1996).

Jadi interaksi obat merupakan sarana bagi semua pihak. Pasien, dokter dan farmasis harus bekerjasama, untuk

upaya memaksimalisasi pemakiaan obat demi kepentingan pasien. Di era informasi yang serba cepat dan mudah

seperti sekarang ini, masyarakat mestinya semakin menyadari untuk menjadi mitra aktif dalam menjaga

pemeliharaan kesehatannya sendiri dan keluarga (Harknoss, 1989).

Page 2: Interaksi Obat Dan Makanan

Interaksi Obat dan Makanan

Dasar yang menentukan apakah obat diminum sebelum, selama atau setelah makan tentunya adalah karena

absorpsi, ketersediaan hayati serta efek terapeutik obat bersangkutan, yang amat tergantung dari waktu

penggunaan obat tersebut serta adanya kemungkinan interaksi obat dengan makanan itu sendiri. Cukup banyak

usaha-usaha yang dilakukan untuk menyelidiki hal ini. Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan dapat

terjadinya interaksi obat dengan makanan adalah :

• Perubahan motilitas lambung dan usus, terutama kecepatan pengosongan lambung dari saat masuknya

makanan

• Perubahan pH, sekresi asam serta produksi empedu

• Perubahan suplai darah di daerah splanchnicus dan di mukosa saluran cerna

• Dipengaruhinya absorpsi obat oleh proses adsorpsi dan pembentukan kompleks

• Dipengaruhinya proses transport aktif obat oleh makanan

• Perubahan biotransformasi dan eliminasi.

(Widianto, 1989)

Dari semua pengaruh ini, ada beberapa factor yang mempengaruhi interaksi obat dan makanan antara lain:

a. Pengosongan lambung

Pada kasus tertentu misalnya setelah pemberian laksansia atau penggunaan preparat retard, maka di usus

besarpun dapat terjadi absorpsi obat yang cukup besar. Karena besarnya peranan usus halus dalam hal ini, tentu

saja cepatnya makanan masuk ke dalam usus akan amat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang

diabsorpsi. Peranan jenis makanan juga berpengaruh besar di sini. Jika makanan yang dimakan mengandung

komposisi 40% karbohidrat, 40% lemak dan 20% protein maka walaupun pengosongan lambung akan mulai terjadi

setelah sekitar 10 menit. Proses pengosongan ini baru berakhir setelah 3 sampai 4 jam. Dengan ini selama 1

sampai 1,5 jam volume lambung tetap konstan karena adanya proses-proses sekresi.

Tidak saja komposisi makanan, suhu makanan yang dimakanpun berpengaruh pada kecepatan pengosongan

lambung ini. Sebagai contoh makanan yang amat hangat atau amat dingin akan memperlambat pengosongan

lambung. Ada pula peneliti yang menyatakan pasien yang gemuk akan mempunyai laju pengosongan lambung

yang lebih lambat daripada pasien normal. Nyeri yang hebat misalnya migren atau rasa takut, juga obat-obat

seperti antikolinergika (missal atropin, propantelin), antidepresiva trisiklik (misal amitriptilin, imipramin) dan opioida

(misal petidin, morfin) akan memperlambat pengosongan lambung. Sedangkan percepatan pengosongan lambung

diamati setelah minum cairan dalam jumlah besar, jika tidur pada sisi kanan (berbaning pada sisi kiri akan

mempunyai efek sebaliknya,) atau pada penggunaan obat seperti metokiopramida atau khinidin. Jelaslah di sini

bahwa makanan mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung, maka adanya gangguan pada absorpsi obat

karenanya tidak dapat diabaikan.

b. Komponen makanan

Efek perubahan dalam komponen-komponen makanan :

1. Protein (daging, dan produk susu)

Sebagai contoh, dalam penggunaan Levadopa untuk mngendalikan tremor pada penderita Parkinson. Akibatnya,

kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik. Hindari atau makanlah sesedikit mungkin makanan

berprotein tinggi (Harknoss, 1989).

2. Lemak

Keseluruhan dari pengaruh makan lemak pada metabolisme obat adalah bahwa apa saja yang dapat

mempengaruhi jumlah atau komposisi asam lemak dari fosfatidilkolin mikrosom hati dapat mempengaruhi

kapasitas hati untuk memetabolisasi obat. Kenaikan fosfatidilkolin atau kandungan asam lemak tidak jenuh dari

fosfatidilkolin cenderung meningkatkan metabolism obat (Gibson, 1991). Contohnya : Efek Griseofulvin dapat

meningkat.interaksi yang terjadi adalah interaksi yang menguntungkan dan grieseofluvin sebaiknya dimakan pada

saat makan makanan berlemak seperti daging sapi, mentega, kue, selada ayam, dan kentang goring (Harkness,

1989).

3. Karbohidrat

Karbohidrat tampaknya mempunyai efek sedikit pada metabolism obat, walaupun banyak makan glukosa,

terutama sekali dapat menghambat metabolism barbiturate, dan dengan demikian memperpanjang waktu tidur.

Kelebihan glukosa ternyata juga mengakibatkan berkurangnya kandungan sitokrom P-450 hati dan memperendah

aktivitas bifenil-4-hidroksilase (Gibson, 1991). Sumber karbohidrat: roti, biscuit, kurma, jelli, dan lain-lain (Harkness,

1989).

4. Vitamin

Page 3: Interaksi Obat Dan Makanan

Vitamin merupakan bagian penting dari makanan dan dibutuhkan untuk sintesis protein dan lemak, keduanya

merupakan komponen vital dari system enzim yang memetabolisasi obat. Oleh karena itu tidak mengherankan

bahwa perubahan dalam level vitamin, terutama defisiensi, menyebabkan perubahan dalam kapasitas

memetabolisasi obat. Contohnya :

a. Vit A dan vit B dengan antacid, menyebabkan penyerapan vitamin berkurang.

b. Vit C dengan besi, akibatnya penyerapan besi meningkat.

c. Vit D dengan fenitoin (dilantin), akibatnya efek vit D berkurang.

d. Vit E dengan besi, akibatnya aktivitas vit E menurun.

(Harkness, 1989)

5. Mineral

Mineral merupakan unsur logam dan bukan logam dalam makanan untuk menjaga kesehatan yang baik. Unsur –

unsure yang telah terbukti mempengaruhi metabolisme obat ialah: besi, kalium, kalsium, magnesium, zink,

tembaga, selenium, dan iodium. Makanan yang tidak mengandung magnesium juga secara nyata mengurangi

kandungan lisofosfatidilkolin, suatu efek yang juga berhubungan dengan berkurangnya kapasitas memetabolisme

hati. Besi yang berlebih dalam makanan dapat juga menghambat metabolisme obat. Kelebihan tembaga

mempunyai efek yang sama seperti defisiensi tembaga, yakni berkurangnya kemampuan untuk memetabolisme

obat dalam beberapa hal. Jadi ada level optimum dalam tembaga yang ada pada makanan untuk memelihara

metabolism obat dalam tubuh (Gibson, 1991).

c. Ketersediaan hayati

Penggunaan obat bersama makanan tidak hanya dapat menyebabkan perlambatan absorpsi tetapi dapat pula

mempengaruhi jumlah yang diabsorpsi (ketersediaan hayati obat bersangkutan). Penisilamin yang digunakan

sebagai basis terapeutika dalam menangani reumatik, jika digunakan segera setelah makan, ketersediaan

hayatinya jauh lebih kecil dibandingkan jika tablet tersebut digunakan dalam keadaan lambung kosong. Ini akibat

adanya pengaruh laju pengosongan lambung terhadap absorpsi obat (Gibson, 1991).

Interaksi antara obat dan makanan disini dapat dibagi menjadi :

1. Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan, mengganggu pengecapan dan mengganggu traktus

gastrointestinal atau saluran pencernaan.

2. Obat-obatan yang dapat mempengaruhi absorbsi, metabolisme dan eksresi zat Gizi

Obat dan penurunan nafsu makan

Efek samping obat atau pengaruh obat secara langsung, dapat mempengaruhi nafsu makan. Kebanyakan stimulan

CNS dapat mengakibatkan anorexia. Efek samping obat yang berdampak pada gangguan CNS dapat

mempengaruhi kemampuan dan keinginan untuk makan. Obat-obatan penekan nafsu makan dapat menyebabkan

terjadinya penurunan berat badan yang tidak diinginkan dan ketidakseimbangan nutrisi (Mahan, 2002).

Obat dan perubahan pengecapan atau penciuman

Banyak obat yang dapat menyebabkan perubahan terhadap kemampuan merasakan dysgeusia, menurunkan

ketajaman rasa hypodysgeusia. Gejala-gejala tersebut dapat mempengaruhi intake makanan. Obat-obatan yang

umum digunakan dan diketahui menyebabkan hypodysgeusia seperti: obat antihipertensi (captopril), antriretroviral

ampenavir, antineoplastik cisplastin, dan antikonvulsan phenytoin (Mahan, 2002).

Obat dan gangguan gastrointestinal

Obat dapat menyebabkan perubahan pada fungsi usus besar dan hal ini dapat berdampak pada terjadinya

konstipasi atau diare. Obat-obatan narkosis seperti kodein dan morfin dapat menurunkan produktivitas tonus otot

halus dari dinding usus. Hal ini berdampak pada penurunan peristaltik yang menyebabkan terjadinya konstipasi

(Lulukria, 2010).

Absorbsi

Interaksi dalam proses absorpsi dapat terjadi dengan berbagai cara misalnya,

- Perubahan (penurunan) motilitas gastrointestinal oleh karena obat-obat seperti morfin atau senyawa-senyawa

antikolinergik dapat mengubah absorpsi obat-obat lain.

- Kelasi yakni pengikatan molekul obat-obat tertentu oleh sen/.zyawa logam sehingga absorpsi akan dikurangi,

oleh karena terbentuk senyawa kompleks yang tidak diabsorpsi. Misalnya kelasi antara tetrasiklin dengan

senyawa-senyawa logam /berat akan menurunkan absorpsi tetrasiklin.

- Makanan juga dapat mengubah absorpsi obat-obat tertentu, misalnya: umumnya antibiotika akan menurun

absorpsinya bila diberikan bersama dengan makanan

Page 4: Interaksi Obat Dan Makanan

(Grahame, 1985)

Obat-obatan yang dikenal luas dapat mempengaruhi absorbsi zat gizi adalah obat-obatan yang memiliki efek

merusak terhadap mukosa usus. Antineoplastik, antiretroviral, NSAID dan sejumlah antibiotik diketahui memiliki

efek tersebut. Mekanisme penghambatan absorbsi tersebut meliputi: pengikatan antara obat dan zat gizi (drug-

nutrient binding) contohnya Fe, Mg, Zn, dapat berikatan dengan beberapa jenis antibiotik; mengubah keasaman

lambung seperti pada antacid dan antiulcer sehingga dapat mengganggu penyerapan B12, folat dan besi; serta

dengan cara penghambatan langsung pada metabolisme atau perpindahan saat masuk ke dinding usus (Lulukria,

2010).

Metabolisme

Interaksi dalam proses metabolisme dapat terjadi dengan dua kemungkinan, yakni

• Pemacuan enzim (enzyme induction) suatu obat (presipitan) dapat memacu metabolisme obat lain (obat obyek)

sehingga mempercepat eliminasi obat tersebut. Obat-obat yang dapat memacu enzim metabolism obat disebut

sebagai enzyme inducer. Dikenal beberapa obat yang mempunyai sifat pemacu enzim ini yakni Rifampisin;

Antiepileptika: fenitoin, karbamasepin, fenobarbital.

• Penghambatan enzim, Obat-obat yang punya kemampuan untuk menghambat enzim yang memetabolisir obat

lain dikenal sebagai penghambat enzim (enzyme inhibitor). Akibat dari penghambatan metabolisme obat ini adalah

meningkatnya kadar obat dalam darah dengans egala konsekuensinya, oleh karena terhambatnya proses eliminasi

obat. Obat-obat yang dikenal dapat menghambat aktifitas enzim metabolisme obat antara lain kloramfenikol,

isoniazid, simetidin, propanolol, eritromisin, fenilbutason, alopurinol,dan lain-lain.

(Grahame, 1985)

Obat-obatan dan zat gizi mendapatkan enzim yang sama ketika sampai di usus dan hati. Akibatnya beberapa obat

dapat menghambat aktifitas enzim yang dibutuhkan untuk memetabolisme zat gizi. Sebagai contohnya

penggunaan metotrexate pada pengobatan kanker menggunakan enzim yang sama yang dipakai untuk

mengaktifkan folat. Sehingga efek samping dari penggunaan obat ini adalah defisiensi asam folat (Lulukria, 2010).

Ekskresi

Obat-obatan dapat mempengaruhi dan mengganggu eksresi zat gizi dengan mengganggu reabsorbsi pada ginjal

dan menyebabkan diare atau muntah. Sehingga jika dirangkum, efek samping pemberian obat-obatan yang

berhubungan dengan gangguan GI (gastrointestinal) dapat berupa terjadinya mual, muntah, perubahan pada

pengecapan, turunnya nafsu makan, mulut kering atau inflamasi/ luka pada mulut dan saluran pencernaan, nyeri

abdominal (bagian perut), konstipasi dan diare. Efek samping seperti di atas dapat memperburuk konsumsi

makanan si pasien. Ketika pengobatan dilakukan dalam waktu yang panjang tentu dampak signifikan yang

memperngaruhi status gizi dapat terjadi (Bruyne, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Bruyne, L. K., et al., 2008, Nutrition and Diet Therapy, USA: Thompson.

Gibson, Gordon, 1991, Pengantar Metabolisme Obat, UI Press ; Jakarta.

Grahame, Smith DG et al., 1985, Oxford Textbook of Clinical Pharmacology and Drug Therapi, Pp.158-171, Oxford

University Press, Oxford.

Harkness, Richard, 1989, Interaksi Obat, Penerbit ITB: Bandung.

Hayes, Eveleyn et al., 1996, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC:

Jakarta.

Mahan, L. K. and Escott-Stump, S, 2002, Krause’s Food, Nutrition and Diet Therapy. USA: Elsevier.

Muttschler,Ernest, 1999, Dinamika Obat : Farmakologi dan Toksikologi, Penerbit ITB: Bandung.

Widianto, Mathilda ., 1989, Cermin Dunia Kedokteran, PT Temprint: Jakarta.

(Pramono; www.giziwebster.co.cc)