infar miokard akut
description
Transcript of infar miokard akut
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut WHO (2008), pada tahun 2002 penyakit infark miokard akut, merupakan
penyebab kematian utama di dunia. Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%) kematian terjadi
akibat penyakit infark miokard akut di seluruh dunia. Penyakit infark miokard akut adalah
penyebab utama kematian pada orang dewasa. Infark miokard akut adalah penyebab
kematian nomor dua di negara berpenghasilan rendah, dengan angka mortalitas 2.470.000
(9,4%). Di Indonesia pada tahun 2002 penyakit infark miokard akut merupakan penyebab
kematian pertama dengan angka mortalitas 220.000 (14%).1
Infark miokard akut (IMA) didefinisikan sebagai nekrosis miokard yang disebabkan
oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri koroner.2,3,4 Hal ini biasanya
menyebabkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen, yang mana paling sering
disebabkan oleh rupturnya plak dan pembentukan trombus pada pembuluh darah koroner,
sehingga terjadi penurunan suplai darah ke miokardium.3 Infark miokard akut merupakan
bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tidak
stabil, IMA tanpa elevasi (NSTEMI) dan IMA dengan ST elevasi (STEMI).4 Aterosklerosis
adalah penyakit utama yang bertanggungjawab untuk sebagian besar kasus sindrom koroner
akut. Tetapi selain itu, terdapat juga penyebab lain dari IMA antara lain oklusi koroner akibat
vaskulitis, hipertrofi ventrikel (hipertrofi ventrikel kiri, idiopathic hypertrophic subaortic
stenosis [IHSS], penyakit jantung katup, emboli arteri koroner, yang diakibatkan oleh
kolesterol atau udara, anomali koroner kongenital, dan lain sebagainya.3,4
Untuk menurunkan angka kematian akibat penyakit ini, kesadaran masyarakat segera
mengenali gejala-gejala infark miokard akut dan kesigapan segera membawa penderita ke
fasilitas kesehatan terdekat perlu ditingkatkan.2
1
BAB 2
ISI
2.1. EPIDEMIOLOGI
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan Republik Indonesia
menyatakan bahwa peringkat penyakit kardiovaskular sebagai penyebab kematian semakin
meningkat. Pada tahun 1972, penyakit kardiovaskular berada di urutan ke-11 sebagai
penyebab kematian, dan pada tahun 1986 berubah menjadi urutan ke-3. Persentase kematian
akibat penyakit kardiovaskular di tahun 1998 sekitar 24,4%. Pada tahun 2002 penyakit infark
miokard akut merupakan penyebab kematian pertama dengan angka mortalitas 220.000 (14%).5
Penyakit Jantung Koroner (PJK) umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40
tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit
tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45 tahun untuk
mendefenisikan “pasien usia muda” dengan penyakit jantung koroner atau infark miokard
akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang rendah pada usia muda. Persentase penderita
IMA dengan usia di bawah 40 tahun adalah 2-8% dari seluruh penderita IMA dan sekitar
10% pada penderita dengan usia di bawah 46 tahun. 5
Berdasarkan data rekam medis Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK),
penderita IMA yang berusia di bawah 45 tahun sejumlah 92 orang dari 962 penderita IMA di
tahun 2006, atau 10,1%. Di tahun 2007 angka ini menjadi 10,7% (117 penderita IMA usia
muda dari 1096 seluruh penderita IMA). Sedangkan di tahun 2008 menjadi 10,1% (108
penderita IMA usia muda dari 1065 seluruh penderita IMA). 5
2.2. DEFINISI
Infark miokard adalah nekrosis otot jantung yang bersifat ireversibel, dan merupakan
akibat dari iskemik yang berkepanjangan. Hal ini biasanya menyebabkan ketidakseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen, yang mana paling sering disebabkan oleh rupturnya plak dan
pembentukan trombus pada pembuluh darah koroner, sehingga terjadi penurunan suplai darah
ke miokardium.2,3,4
Sindrom koroner akut (SKA) sudah berperan sebagai terminologi operasional yang
bermanfaat sebagai rujukan dari segala bentuk gejala klinis, yang sesuai dengan iskemia
miokard akut. Terminologi baru ini lebih akurat membagi SKA sewaktu datang pertama kali
sebagai infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) dan IMA tanpa elevasi segmen
ST (NSTEMI) daripada dibagi atas infark miokard akut gelombang Q (IMAQ. QwMI) dan
2
infark miokard akut tanpa gelombang Q (IMAnQ, non Q MI), demikian juga dengan angina
pektoris tidak stabil (UAP) (gambar 1).6
Gambar 1. Spektrum Sindrom Koroner Akut6
2.3. ETIOLOGI
Aterosklerosis adalah penyakit utama yang bertanggungjawab untuk sebagian besar
kasus sindrom koroner akut. Rata-rata 90% infark miokard disebabkan trombus akut
menyumbat arteri koroner yang aterosklerotik. Ruptur plak dan erosi diperkirakan menjadi
pemicu utama terjadinya trombosis koroner.3
Faktor risiko terjadinya aterosklerosis yang tidak dapat dimodifikasi antara lain: 2,3
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Riwayat keluarga yang mengalami penyakit jantung koroner pada usia muda (<55
tahun untuk pria dan < 65 tahun untuk wanita)
Faktor risiko terjadinya aterosklerosis yang dapat dimodifikasi antara lain:
1. Merokok atau penggunaan tembakau lainnya
2. Diabetes mellitus
3. Hipertensi
3
4. Hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia, termasuk kadar lipoprotein tinggi yang
diturunkan
5. Dyslipidemia
6. Gaya hidup yang santai atau kurang aktivitas fisik
7. Stress psikososial
Penyebab infark miokard selain aterosklerosis antara lain:3
1. Oklusi koroner akibat vaskulitis
2. Hipertrofi ventrikel (hipertrofi ventrikel kiri, idiopathic hypertrophic subaortic
stenosis [IHSS],penyakit jantung katup)
3. Emboli arteri koroner, yang diakibatkan oleh kolesterol, udara
4. Anomali koroner kongenital
5. Trauma koroner
6. Vasospasme koroner primer (angina varian)
7. Penggunaan obat (kokain, amfetamin, efedrin)
8. Arteritis
9. Anomali koroner, termasuk aneurisma arteri koroner
10. Faktor yang menyebabkan konsumsi oksigen meningkat seperti latihan fisik yang
berat, demam, hipertiroidisme
11. Faktor yang menyababkan penyampaian oksigen menurun, seperti hipoksemia karena
anemia berat
12. Disseksi aorta, dengan keterlibatan retrograd arteri koroner
13. Infeksi katup jantung melalui patent foramen ovale (PFO)
14. Perdarahan gastrointestinal yang signifikan
2.4. PATOFISIOLOGI
Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh penurunan
suplai oksigen atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi
koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner.
Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak
yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang
rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang
cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi lemak tak jenuh
4
yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang
menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi
seperti TNF α, dan IL-6.3,4
ST elevation myocardial infarction (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang
sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI juga terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vaskular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor sperti merokok, hipertensi, dan
akumulasi lipid. 3,4
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur,
ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi trombus mural lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus
mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yag
tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari
fibrin rich red trombus, yang dipercayai menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon
terhadap terapi trmbolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen,
ADP, epinefrin dan serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu
aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah
mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam
amino pada proterin adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang
berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. Kaskade koagulasi
diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi,
mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi
fibrinogen, menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh
trombus yang terdiri dari trombosit dan fibrin.4
5
Gambar 2. Penyakit yang disebabkan aterosklerosis dan trombosis 7
Gambar 3. Kaskade pembentukan trombus 7
2.5. DIAGNOSIS
2.5.1. Gejala klinis
Riwayat pasien merupakan hal yang sangat penting dalam mendiagnosis infark
miokard dan terkadang dapat menjadi satu-satunya petunjuk yang mengarah ke diagnosis
pada fase awal gejala pasien. 3
Pasien dengan infark miokard yang tipikal dapat mengalami gejala prodromal seperti
kelelahan, rasa tidak nyaman pada dada, atau malaise dalam beberapa hari sebelumnya; selain
itu STEMI yang tipikal dapat muncul tiba-tiba tanpa peringatan terlebih dahulu.2,3
Nyeri dada pada infark miokard akut biasanya berlangsung lebih dari 20 menit,
retrosternal, brlokasi di tengah atau dada kiri; menjalar ke rahang, punggung atau lengan kiri.
Rasa nyeri ini dapat digambarkan oleh penderita sebagai perasaan sperti tertekan benda berat,
6
seperti diremas-remas, seperti terbakar atau seperti ditusuk-tusuk. Kadangkala rasa nyeri ini
dirasakan di daerah epigastrium sehingga sering disalah interpretasikan sebagai dispepsia.
Gejala nyeri dada ini seringkali diikuti keringat dingin, rasa mual dan muntah, rasa lemas,
pusing, perasaaan melayang dan pingsan.2,3,4,8,9,10
Pada penderita yang sudah diketahui menderita PJK, peningkatan kualitas nyeri dada
merupakan indikasi adanya plak ateroma yang tidak stabil yang dapat memburuk menjadi
infark miokard akut.2 Walaupun demikian gejala yang atipikal juga tidak jarang terjadi seperti
pada penderita DM, penderita usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita gagal ginjal kronik,
atau dementia, nyeri dada yang dirasakan mungkin tidak bersifat khas. Pada penderita-
penderita ini keluhan yang sering diutarakan adalah sesak nafas dan nyeri dada atipikal. 2,3,4,10
Infark miokard pada umumnya sering muncul pada pagi hari, kemungkinan hal ini
sebagian disebabkan peningkatan agregasi platelet yang diinduksi oleh katekolamin dan
peningkatan konsentrasi plasminogen activator inhibitor -1 (PAI-1) dalam serum yang terjadi
pada saat bangun pagi. Secara keseluruhan, onset tidak secara langsung berkaitan dengan
latihan fisik yang berat.3
2.5.2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita infark miokard bisa bervariasi, pada pasien tertentu
dapat ditemukan keadaannya tenang, dengan hasil pemeriksaan fisik yang normal, sedangkan
penderita lainnya merasakan nyeri yang hebat, dengan distress pernafasan yang signifikan
dan membutuhkan ventilator.3
Tujuan penting dari pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah untuk menyingkirkan
penyebab nyeri dada non-kardiak dan gangguan jantung non-iskemik (antara lain: emboli
patu, disseksi aorta, perikarditis, penyakit jantung katup) atau penyebab ekstrakardiak yang
potensial seperti penyakit paru akut (seperti: pneuomotoraks, pneumonia, atau effusi
pleura).4,10
Pasien dengan gejala yang sedang berlangsung biasanya terbaring dengan tampilan
pucat dan diaphoresis. Hipertensi dapat memicu infark miokard, atau merupakan refleksi
adanya kenaikan katekolamin karena kecemasan, nyeri, atau simpatomimetik eksogen.
Hipotensi dapat mengindikasikan disfungsi ventrikel karena iskemia. Hipotensi pada keadaan
infark miokard biasanya mengindikasikan adanya infark sekunder yang luas baik yang
disebabkan oleh penurunan kontraktilitas jantung secara global atau karena infark ventrikel
kanan. Tanda lain pada disfungsi ventrikel adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur
7
midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup
mitral dan pericardial friction rub. Disfungsi katup jantung biasanya akibat infark yang
melibatkan otot papillary. Regurgitasi mitral karena iskemia otot papillary atau nekrosis bisa
terjadi.3,4 Peningkatan suhu sampai 38°C dijumpai pada minggu pertama pasca STEMI.4
2.5.3. Elektrokardiografi (EKG)
Elektrokardiografi (EKG) memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman
yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. EKG sebaiknya dilakukan dalam
10 menit setelah kontak pertama dengan tenaga medis atau saat kedatangan di IGD.2,4,10,11,12
Gambaran diagnosis EKG pada NTSEMI antara lain:
1. Depresi segmen ST >0,05 mV
2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris di
sandapan prekordial
Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia jantung,
terutama sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya perubahan segmen
ST. Namun EKG yang normal pun tidak dapat menyingkirkan diagnosis Angina Pektoris
Tidak Stabil (APTS)/NSTEMI.12 Apabila pada pada pemeriksaan EKG yang pertama tidak
menunjukkan kelainan, pemeriksaan EKG harus dilakukan kembali apabila pasien tetap
mengalami gejala dan harus dibandingkan dengan rekaman EKG saat tidak mengalami
gejala. Perbandingan dengan rekaman EKG yang sebelumnya, cukup bermanfaat terutama
pada pasien dengan penyakit jantung yang mendasari seperti hipertrofi ventrikel kiri atau
sudah pernah mengalami infark miokard. Rekaman EKG harus diulang paling tidak 3 atau 6-
9 jam dan 24 jam setelah timbul gejala pertama kali, dan sesegera mungkin pada kasus gejala
nyeri dada yang berulang. Pemeriksaan EKG sebelum pasien dipulangkan juga disarankan.
Pada hasil rekaman EKG yang normal, kemungkinan adanya NSTEMI-ACS belum bisa
disingkirkan. Pada kasus tertentu, iskemik pada area arteri sirkumfleks atau iskemik ventrikel
terisolasi seringkali terlewatkan dari EKG 12 sandapan, tetapi dapat dideteksi pada sandapan
V7–V9 dan pada sandapan V3R DAN V4R. Pemeriksaan EKG standar pada saat istirahat
tidak secara adekuat merefleksikan gambaran trombosis koroner dan iskemik miokard.
Sekitar dua pertiga dari semua episode iskemik pada fase yang tidak stabil biasanya secara
klinis tidak tampak (silent), sehingga tidak terdeteksi pada pemeriksaan EKG ynag
konvensional. Oleh karena itu, rekaman online continuous computer-assisted 12-lead ST
segmen juga merupakan diagnostik yang bernilai.10
8
Gambar 4 . gambaran NSTEMI pada EKG13
Perubahan EKG pada infark miokard akut (IMA) meliputi hiperakut T, ST elevasi
yang diikuti terbentuknya gelombang Q patologis, kembalinya segmen ST pada garis
isoelektrik dan inversi gelombang T. Cut off point elevasi segmen ST adalah 0,01 mm.
Perubahan ini harus ditemui minimal pada 2 sandapan yang berdekatan. Terbentuknya bundle
branch block baru atau yang dianggap baru, yang menyertai nyeri dada yang khas merupakan
juga kriteria diagnostik IMA.2
Kriteria diagnostik untuk infark lama meliputi gelombang QR pada sandapan V1-V3
yang melebihi 30 msec (0,03 sec) atau gelombang Q pada sandapan I,II,aVL,aVF, V4-V6
yang ditemukan pada minimal 2 sandapan yang berdekatan dengan kedalaman minimal 1
mm.2
9
Gambar 5. ST elevasi pada sandapan II, III, Avf, V5, dan V6 serta depresi ST pada
prekordial13
2.5.4. Petanda (Biomarker) kerusakan jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK)MB dan cardiac spesific
Troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai
petanda optimal untuk pasien untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal,
karena pada keadaan ini juga akan diikuti kenaikan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST
dan gejala IMA terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak bergantung pada
pemeriksaan biomarker.4,12
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya
nekrosis jantung (infark miokard). 4,12
CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis,
dan kardoversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
10
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu: 4,12
Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8
jam.
Creatinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
2.5.5. Pencitraan non-invasif
Di antara pencitraan non-invasif, ekokardiografi aadalah modalitas yang paling
penting pada kejadian akut karena dapat digunakan dengan cepat dan sudah banyak tersedia
(pada sentra tertentu). Fungsi sistolik ventrikel kiri adalah variabel prognostik yang penting
pada pasien penyakit jantung koroner dan dapat dinilai secara mudah dan akurat dengan
ekokardiografi. Oleh tenaga medis yang berpangalaman, hipokinesia atau akinesia dapat
dideteksi ketika iskemik berlangsung. Lebih jauh lagi, diagnosis banding seperti disseksi
aorta, embloi pulmonum, stenosis aorta, kardiomiopati hipertropik, atau effusi perikardial
dapat diidentifikasi. Dengan demikian, sebaiknya ekokardiografi secara rutin tersedia di
instalasi gawat darurat atau unit nyeri dada, dan digunakan pada semua pasien. Pada pasien
dengan hasil EKG 12 sandapan tidak diagnostik dan biomarker jantung negatif tetapi
disangkakan ACS, pencitraan stress (stress imaging) dapat dilakukan, pada saat pasien bebas
dari nyeri dada. Berbagai studi telah menggunakan stress echocardiography, menunjukkan
negative predictive values yang tinggi dan/atau outcome yang baik pada hasil stress
echocardiogram yang normal.4
Cardiac magnetic resonance (CMR) dapat mengintegrasikan penilaian fungsi dan
perfusi, dan deteksi jaringan parut pada satu sesi, tetapi teknik pencitraan ini tidak tersedia
secara luas. Berbagai studi menunjukkan kegunaan MRI untuk menyingkirkan atau
mendeteksi ACS. Demikian juga pada pencitraan dengan nuclear myocardial perfusion
imaging yang dinilai cukup bermanfaat, tetapi juga tidak tersedia luas. Multidetector
computed tomography (CT) tidak sering digunakan dalam mendeteksi iskemik, tetapi dapat
menunjukkan visualisasi langsung dari arteri koroner. Dengan demikian, teknik ini memiliki
potensi untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit jantung koroner. 4
2.5.6. Pencitraan invasif (angiografi koroner)
11
Angiografi koroner memberikan informasi mengenai adanya dan keparahan penyakit
jantung koroner dan dengan demikian tetap menjadi baku emas (gold standard).
Direkomendasikan untuk melakukan angiogram sebelum dan sesudah menggunakan
vasodilator intrakoroner (nitrat) dalam mengatasi vasokonstriksi. 4
2.6. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa kondisi kardiak dan non kardiak dapat menyerupai NSTEMI. Kondisi
kronis yang mendasari seperti kardiomiopati hipertropik dan penyakit katup jantung (contoh:
stenosis aorta atau aorta regurgitasi) dapat berkaitan dengan gejala tipikal NSTEMI,
peningkatan biomarker jantung, dan perbahan EKG. Terkadang atrial fibrilasi paroksismal
(AF) menyerupai ACS. Dikarenakan beberapa pasien juga menderita penyakit jantung
koroner, proses diagnosis bisa menjadi sulit. Miokarditis, perikarditis, atau mioperikarditis
yang disebabkan etiologi yang berbeda dapat menimbulkan nyeri dada yang menyerupai
angina tipikal pada NSTEMI, dan dapat menyebabkan peningkatan level biomarker jantung,
perbahan EKG, dan kelainan gerakan dinding jantung. Kondisi demam, gejala flu (gejalan
saluran nafas) sering mendahului atau menyertai kondisi ini. Disseksi aorta merupakan
kondisi lain yang dapat menjadi diagnosis banding. NSTEMI bisa merupakan komplikasi
disseksi aorta ketika disseksi melibatkan arteri koroner. Selain itu, stroke dapat disertai
perubahan EKG, kelainan gerakan dinding jantung, dan peningkatan level biomarker jantung.
Gejala atipikal seperti nyeri kepala dan vertigo pada beberapa kasus walaupun jarang dapat
menjadi gejala iskemik miokard.10
Gambar 6. Kelainan kardiak dan non kardiak yang menyerupai NSTEMI10
2.7. PENATALAKSANAAN
12
Tujuan utama dari tatalaksana infark miokard akut adalah diagnosis yang cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin
dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan
tatalaksana komplikasi infark miokard akut.4,8
Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan Sindroma Koroner Akut11
2.7.1. Tatalaksana STEMI
13
2.7.1.1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum
yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure).4,8
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adnya fibrilasi
ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan
lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra
hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain: 4,8,9
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih
Melakukan terapi perfusi
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama
transportasi ke rumah sakit melainkan karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai
keputusan pasien untuk meminta pertolongan pertama. Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara
edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini. 4,8,9
Pemberian fibrinolitik prahospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedis di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan tatalaksana STEMI dan
kendali komando medis online yang bertanggungjawab pada pemberian terapi. Di Indonesia
saat ini pemberian trombolitik pra hospital belum bisa dilakukan. 4,8,9
14
Gambar 8 . Pilihan transportasi pasien dengan STEMI dan terapi reperfusi awal9
2.7.1.2. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat
terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI. 4,8,9
1. Tatalaksana umum
Tirah baring total dilakukan minimal 12 jam.2
Oksigen
Suplemen oksigen harus segera diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <
90%. Pada pasien dengan STEMI tanpa kompilkasi dapat diberikan oksigen selama 6
jam pertama. oksigen 2-4 liter/menit biasanya cukup mempertahankan saturasi
oksigen > 95%.2,4
Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan
sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga
dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner
yang terkena infark atau miokard dengan cara dilatasi pembuluh kolateral. Jika nyeri
dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena. NTG intravena juga diberikan
15
untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru. Preparat nitrat lainnya seperti ISDN
sublingual 2,5-10 mg, atau intravena 1,25 -5,0 mg/jam juga dapat digunakan. Terapi
nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG,
JVP meningkat, paru bersih, dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien
yang menggunakan phospodiesterase- 5 inhibitor sildenafil dalam 24 jm sebelumnya
karena dapat memicu efek hipotensi nitrat. 2
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Hal ini sangat penting, karena nyeri dada dikaitkan dengan aktivasi saraf simpatis
yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung. 2,4
Morfin
Morfin sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan
dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping
yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar
melalui penurunan simpatis. Sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi
curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elvasi
tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl
0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi terutama pasien dengan infark posterior.
Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg IV. 2,4
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien dengan STEMI dan efektif pada
spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenasi trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-
160 mg. 2,4
Penyekat beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap
2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60x/menit, tekanan
darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm
dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
16
metoprolol pral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100
mg tiap 12 jam. 2,4
Terapi reperfusi
Reperfusi akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi
dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang
menjadi gagal pompa atau takiaritmia ventrikular yang maligna. 2,4
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical
contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30
menit atau door-to-baloon (medical contact –to-baloon) time untuk PCI dapat dicapai
dalam 90 menit. 2,4
2. Seleksi Strategi Reperfusi
Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain: 4
Waktu onset gejala
Waktu onset dejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas infark
dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus
sangat tergantung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam
pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan
secara dramatis menurunkan angka kematian. Sebaliknya, kemampuan memperbaiki
arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang banyak tergantung pada lama
gejala pasien yang menjalani PCI.
Risiko STEMI
Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien dengan
renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.
Risiko perdarahan
Jika terapi reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko
perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI.
Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis harus
mempertimbangkan manfaat dan risiko.
Waktu yang dibutuhkan untuk transport ke laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI penelitian menunjukkan PCI
lebih superior dari reperfusi farmakologis.
Langkah-langkah penilaian dalam memilih terapi reperfusi pada pasien STEMI :4,8,9
17
Langkah 1. Nilai waktu dan risiko
Waktu sejak onset gejala
Risiko STEMI
Risiko fibrinolisis
Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI yang mampu
Langkah 2. Tentukan apakah fibrinolisis atau strategi invasif lebih disukai. Jika
presentasi kurang dari 3 jam dan tidak ada keterlambatan untuk strategi invasif, tidak
ada preferensi untuk strategi lain.
Fibrinolisis umumya lebih disukai jika:
Presentasi awal < 3 jam atau kurang dari onset gejala dan keterlambatan ke
strategi invasif
Strategi invasif bukan merupakan pilihan
Laboratorium kateterisasi belum tersedia
Kesulitan akses vaskular
Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang mampu
Terlambat untuk strategi invasif:
- Transpor jauh
- (door-to-baloon)- (door-to-needle) time lebih dari 1 jam
- Medical contact-to-baloon atau door-to-baloon time lebih dari 90 menit
Strategi invasif umumnya lebih disukai jika:
Laboratorium PCI yang mampu tersedia backup surgical medical contact-to-
baloon atau door-to-baloon time < 90 menit. (Door-to-baloon)-(door-to-
needle) time < 1 jam.
Risiko tinggi STEMI
- Syok kardiogenik
- Klas Killip lebih atau sama 3
Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk meningkatnya risiko perdarahan dan
perdarahan intrakranial.
Presentasi terlambat (onset gejala > 3 jam yang lalu)
Diagnosis STEMI tidak yakin
3. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
18
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam membuka
arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka
panjang yang lebih baik. Namun PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas dan
aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana hanya di beberapa di rumah sakit.4
4. Reperfusi Farmakologis
Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit
sejak masuk (door-to-needle time < 30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi
cepat patensi arteri koroner.2,4,8,9
Indikasi terapi fibrinolitik :2
1. Gejala yag sesuai dengan infark miokard akut
2. Perubahan EKG :
ST elevasi > 0,1 mm pada minimal 2 sandapan yang berdekatan
Gambaran bundle branch block baru atau diduga baru
3. Onset nyeri dada:
< 6 jam : sangat bermanfaat
6-12 jam : bermanfaat
>12 jam : tidak bermanfaat kecuali pada penderita dengan iskemia yang
berlanjut, yang terbukti dari berlanjutnya nyeri dada dan ST elevasi pada EKG.
Pemberian terapi fibrinolitik jangan menunggu hasil pemeriksaan enzim jantung,
karena penundaan yang tidak perlu ini dapat mengurangi miokardium yang seharusnya dapat
terselamatkan. Jika keluhan pasien sesuai dengan infark miokard akut dan kadar enzim
meningkat, namun tidak terdapat ST elevasi pada EKG, maka diagnosisnya adalah infark
non-ST elevasi. Pasien ini harus mendapat terapi heparin, aspirin, dan obat-obat anti-angina.
Terapi fibrinolitik/trombolitik tidak boleh diberikan pada NSTEMI. 2
Kontraindikasi absolut terapi fibrinolitik:2,4
1. Stroke hemoragik, kapanpun terjadinya atau stroke jenis lain yang terjadi dalam 1
tahun terakhir ini.
2. Neoplasma intrakranial
3. Perdarahan internal aktif (tidak termasuk menstruasi)
4. Suspek diseksi aorta
Kontraindikasi relatif terapi fibrinolitik:2,4
19
1. Hipertensi berat (tekanan darah >180/110)
2. Riwayat kejadian serebrovaskular atau kelainan intraserebral
3. Penggunaan antikoagulan dalam dosis terapi (INR 2-3)
4. Trauma yang baru terjadi (dalam 2-4 minggu), termasuk cedera kepala atau resusitasi
jantung > 10 menit atau operasi besar < 3 minggu
5. Pungsi pembuluh darah yang tidak dapat dikompresi
6. Perdarahan internal dalam 2-4 minggu terakhir
7. Penggunaan streptokinase sebelumnya (terutama 5 hari sampai 2 tahun) atau riwayat
alergi terhadap streptokinase
8. Kehamilan
9. Tukak lambung
10. Riwayat hipertensi kronik yang berat
Jenis-jenis obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK), dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara
memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan trombus fibrin.
Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non spesifik fibrin
seperti streptokinase.2,4
5. Tatalaksana di Rumah Sakit 4
ICCU
Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
Diet : karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah segera setelah infark
miokard, pasien harus puasa atau hanya minum cair dengna mulut dalam 4-12 jam
pertama. Diet mencakup lemak < 30 % kalori total dan kandungan kolesterol <300
mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya serat, kalium,
magnesium, dan rendah natrium.
Bowels : istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk
menghilangkan dan nyeri sering mengakibatkan konstipasi. Diet tinggi serat dan
penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200
mg/hari).
Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan
periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg, atau
lorazepam 0,5-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali sehari biasanya
efektif.
20
Terapi Farmakologis
1. Antitrombotik
Penggunaan antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti
klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan
primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner
yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis.
Aspirin merupakan antiplatelet standar STEMI.4,8,9
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi trombosis
pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab
dan stenting dengan plasebo dan stenting. Hasilnya menunjukkan penurunan kematian,
reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan
stent. 4,8,9
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractinated
heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan trombolitik
spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi
arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah 60 U/kg (maksimum 4000 U)
dilanjutkan infus inisial 12 U/kg per jam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial
thromboplastin selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali. Antikoagulan
alternatif pada pasien STEMI adalah low-molecular-weight heparin (LMWH). 4,8,9
2. Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera
jika obat diberikan secara akut dan yag diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan
untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya
infark, dan menurunkan risiko aritmia ventrikel yang serius. 4,8,9
3. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Manfaat maksimal tampak pada
pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark
sebelumnya, dan/atau fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan
manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan
hemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg.
Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan
21
menurunkan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada psien yang
mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark. 4,8,9
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Penelitian klinis
mengenai gagal jantung menyatakan penggunaan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) pada
pasien yang intoleran dengan penggunaan inhibitor ACE. 4,8,9
2.7.2. Tatalaksana NSTEMI
Pasien NSTEMI harus diistirahatkan di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk
deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan
pada setiap pasien NSTEMI yaitu:4
1. Terapi antiiskemia
2. Terapi antiplatelet/antikoagulan
3. Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi)
4. Perawatan sebelum meningggalkan RS dan sesudah perawatan RS
1. Terapi Antiiskemia
Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada berulang, dapat diberikan
terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta.
Nitrat
Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien mengalami nyeri
dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitrat sublingual 3 kali dengan interval
5 menit, direkomendasikan pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10 μg/menit). Laju
infus dapat ditingkatkan 10 μg/ menit tiap 3-5 menit sampai keluhan menghilang atau
tekanan darah sistolik <100 mmHg. Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengan
nitrat oral atau dapat menggantikan nitrogliserin intravena jika pasien sudah bebas nyeri
selama 12-24 jam. Kontraindikasi absolut adalah hipotensi atau penggunaan sildenafil
atau obat sekelasnya 24 jam sebelumnya. 4
Penyekat Beta
Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60 kali/menit. Dosis
yang direkomendasikan Metoprolol 25-50 mg oral 2x/hari, Propanolol 20-80 mg oralper
hari dalam dosis terbagi, Atenolol 25-100 mg oral per hari, bisoprolol 10 mg oral per hari.
Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung seperti verapamil atau diltiazem
22
direkomendasikan pada pasien dengan nyeri dada persisten atau rekuren setelah terapi
nitrat dosis penuh dan penyekat beta pada pasien dengan kontraindikasi penyekat beta.
Jika nyeri dada menetap walaupun dengan pemberian nitrogliserin intravena, morfin
sulfat dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit sampai dosis total 20 mg. 4
2. Terapi Antiplatelet
Aspirin
Aspirin yang merupakan penghambat COX-1 yang irreversibel di dalam platelet
(trombosit), dengan menghambat pembentukan tromboksan A2. Dosis 160 mg aspirin
pada pasien dengan kecurigaan infark miokard akut. Karenanya dosis minimum aspirin
sebesar 160 mg direkomendasikan pada pasien NSTEMI/APTS. 4
Pada penelitian dengan dosis berbeda dari aspirin dengan penggunaan jangka panjang
pada pasien dengan PJK menunjukkan hasil yang sama efikasinya untuk dosis per hari
75-325 mg. Kontraindikasi terhadap aspirin termasuk diantaranya intoleran dan alergi
(biasanya timbul gejala asma), perdarahan gastrointestinal atau genitourinari, dan
beberapa penyakit hematologi. 4
Klopidogrel
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada permukaan
platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaannya pada
UA/NSTEMI dengan dosis awal 300 mg dan dosis pemeliharaan 75 mg selama satu
tahun. Bagi yang intoleran dengan aspirin dan klopidgrel tidak dapat disediakan,
ticlodipine 250 mg bid. 4
Antagonis GP IIb/IIIa
Saat ini terdapat tiga antagonis reseptor GP IIb/IIIa yang telah diakui penggunaan
klinis. Abciximab (reopro), selain itu cyclic heptapeptide eptifibatide (integrilin) dan
nonpeptide mimetic tirofiban (aggrastat). 4
Antikoagulan
23
Heparin, baik heparin tak terfraksinasi (UFH) atau heparin berat molekul rendah
(LMWH), merupakan komponen kunci pada tatalaksana antitrombotik dari
APTS/NSTEMI. 4
Dosis UFH bolus IV :
- 60-70 U/kg (maksimum 5000 U)
- Infus 12 U/kg/jam (maksimum 1000 U/jam)
Dosis LMWH (Enoxaparin, Nadroparin) :
- 1 mg/kg, SC, bid
- 0,1 ml/10 kg, SC, bid
3. Strategi invasif dini dibandingkan dengan konservatif dini
Secara luas dibicarakan bahwa terdapat 2 perbedaan tatalaksana pasien dengan
APTS/NSTEMI, yaitu konservatif dini (EC) dan invasif dini (EI). Pada EC, angiografi
koroner ditujukan pada pasien-pasien dengan kejadian iskemia meskipun telah
mendapatkan terapi medis. Pada pendekatan EI, semua pasien tanpa kontraindikasi untuk
revaskularisasi koroner merupakan subyek untuk dilakukan angiografi koroner dan
revaskularisasi. 4
Gambar 9. Jalur Iskemia Akut4
24
Gambar 10. Strategi Revaskularisasi pada NSTEMI/UAP4
4. Tatalaksana Predischarge dan Pencegahan Sekunder
Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai berat badan yang optimal,
nasihat diet, menghentikan merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi dan tatalaksana
intensif diabetes melitus dan deteksi adanya diabetes yang tidak dikenali sebelumnya. 4
2.8. KOMPLIKASI3,4
Disfungsi ventrikular
Gangguan haemodinamik seperti kongesti paru
Syok kardiogenik
Infark ventrikel kanan
Aritmia pasca STEMI
Ekstrasistol ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel
Takikardia ventrikel
Fibrilasi ventrikel
25
Fibrilasi atrium
Aritmia supraventrikular
Asistol ventrikel
Bradiaritmia dan blok
Komplikasi mekanik (Ruptur musculus papillaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding
ventrikel)
Gambar 11. Tatalaksana gawat darurat terhadap komplikasi STEMI9
2.9. PROGNOSIS 4
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca infark miokard akut:
26
Klas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal jantung
kongestif
6
II + S3 dan/atau ronki basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
Tabel 2.1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Klas Indeks Kardiak
(L/min/m2)
PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51
PCWP : Pulmonary capilary wedge pressure
Tabel 2.2. Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut
27
28
BAB 3
PEMBAHASAN
Pembuluh darah koroner merupakan penyalur aliran darah yang membawa oksigen
dan makanan yang dibutuhkan miokard agar dapat berfusi dengan baik. Penyakit Jantung
Koroner adalah salah satu akibat utama arteriosklerosis (pengerasan pembuluh darah nadi)
yang dikenal sebagai atherosklerosis. Pada keadaan ini pembuluh darah nadi menyempit
karena terjadi endapan-endapan lemak (atheroma dan plaques) pada dindingnya.
Faktor-faktor resiko untuk terjadinya keadaan ini adalah merokok, tekanan darah
tinggi, peninggian nilai kolesterol didarah, kegemukan stress, diabetes mellitus dan riwayat
keluarga yang kuat untuk Penyakit Jantung Koroner . Dengan bertambahnya umur penyakit
ini akan lebih sering ada. Pria mempunyai resiko lebih tinggi dari pada wanita, tetapi
perbedaan ini dengan meningkatnya umur akan makin lama makin kecil.
Manifestasi klinis penyakit jantung koroner (PJK) bervariasi tergantung pada derajat
aliran dalam arteri koroner yang diklasifikasikan kedalam angina pektoris stabil, angina
pektoris tidak stabil dan infark miokard akut. Sindrom Koroner Akut (SKA) sudah berperan
sebagai terminologi operasional yang bermanfaat sebagai rujukan dari segala bentuk gejala
klinis, yang sesuai dengan iskemia miokard akut.
Manifestasi klinis dari angina pektoris stabil berupa nyeri dada sentral atau
retrosentral yang dapat menyebar kesalah satu atau kedua tangan, leher dan punggung. Sakit
sering timbul pada kegiatan fisik maupun emosi atau dapat timbul spontan waktu istirahat.
Pola nyeri dadanya dapat dicetuskan kembali oleh suatu kegiatan dan oleh faktor-faktor
pencetus tertentu dan sakit dada tidak lebih dari 15 menit. Angina pektoris tidak stabil pada
umumnya terjadi pola-pola perubahan pada frekuensi, keparahan lama sakitnya dan faktor
pencetusnya. Angina pektoris tidak stabil sering terjadi waktu istirahat, sudah terdapat
perburukan gejala dan lama nyeri lebih dari 15 menit. Angina pektoris tidak stabil atau infark
miokard akut dianggap memiliki suatu kondisi yang memiliki hubungan erat dimana
patogenesa dan presentasi klinisnya sama namun berbeda derajat berat ringannya; karenanya
yang terutama berbeda apakah iskemia yang terjadi cukup berat untuk mengakibatkan
kerusakan miokard dan petanda otot yang diperiksa secara kuantitatif.
Pasien dengan infark miokard yang tipikal dapat mengalami gejala prodromal seperti
kelelahan, rasa tidak nyaman pada dada, atau malaise dalam beberapa hari sebelumnya; selain
itu STEMI yang tipikal dapat muncul tiba-tiba tanpa peringatan terlebih dahulu. Serangan
29
infark miokard biasanya akut, dengan rasa sakit seperti angina,tetapi tidak seperti angina
yang biasa, maka disini terdapat rasa penekanan yang luar biasa pada dada atau perasaan
akan datangnya kematian. Rasa nyeri ini dapat digambarkan oleh penderita sebagai perasaan
seperti tertekan benda berat, seperti diremas-remas, seperti terbakar atau seperti ditusuk-
tusuk. Kadangkala rasa nyeri ini dirasakan di daerah epigastrium sehingga sering disalah
interpretasikan sebagai dispepsia. Gejala nyeri dada ini seringkali diikuti keringat dingin, rasa
mual dan muntah, rasa lemas, pusing, perasaaan melayang dan pingsan.
Pada penderita yang sudah diketahui menderita PJK, peningkatan kualitas nyeri dada
merupakan indikasi adanya plak ateroma yang tidak stabil yang dapat memburuk menjadi
infark miokard akut. Walaupun demikian gejala yang atipikal juga tidak jarang terjadi seperti
pada penderita DM, penderita usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita gagal ginjal kronik,
atau dementia, nyeri dada yang dirasakan mungkin tidak bersifat khas. Pada penderita-
penderita ini keluhan yang sering diutarakan adalah sesak nafas dan nyeri dada atipikal.
Selain dari gejala klinis, hal yang sangat penting dalam mendiagnosis PJK atau IMA
adalah elektrokardiografi (EKG). Rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri sangat
bermanfaat. Pada angina stabil EKG memperlihatkan kelainan khas berupa elevasi segmen
ST namun EKG yang normal belum tentu menyingkirkan adanya suatu angina. EKG pada
waktu istirahat dikerjakan bila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dada adalah nonkardiak.
Sedangkan EKG waktu aktivitas atau latihan penting dilakukan pada pasien-pasien yang amat
dicurigai terjadinya kelainan pada kardiak. EKG sewaktu istirahat pada saat nyeri dada dapat
menambah kemungkinan ditemukannya kelainan yang sesuai dengan gejala iskemik. Depresi
segmen ST 1 mm atau lebih menunjukkan pertanda iskemik yang spesifik. Pemeriksaan EKG
pada angina pektoris tidak stabil menunjukkan adanya depresi segmen ST yang baru
menunjukkan kemungkinan adanya iskemik akut. Gelombang T negatif juga merupakan
salah satu tanda iskemik atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik
seperti depresi segmen ST < 0, 5 mm dan gelombang T negatif < 2mm tidak spesifik untuk
iskemik dan dapat disebabkan oleh hal lain. Sehingga dapat menjadi pegangan bahwa
gambaran diagnosis EKG pada NTSEMI antara lain depresi segmen ST >0,05 mV, inversi
gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris di sandapan
prekordial. Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia
jantung, terutama sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya perubahan
segmen ST. Namun EKG yang normal pun tidak dapat menyingkirkan diagnosis Angina
Pektoris Tidak Stabil (APTS)/NSTEMI. Perubahan EKG pada infark miokard akut (IMA)
meliputi hiperakut T, ST elevasi yang diikuti terbentuknya gelombang Q patologis,
30
kembalinya segmen ST pada garis isoelektrik dan inversi gelombang T. Cut off point elevasi
segmen ST adalah 0,01 mm. Perubahan ini harus ditemui minimal pada 2 sandapan yang
berdekatan. Kriteria diagnostik untuk infark lama meliputi gelombang QR pada sandapan V1-
V3 yang melebihi 30 msec (0,03 sec) atau gelombang Q pada sandapan I,II,aVL,aVF, V4-V6
yang ditemukan pada minimal 2 sandapan yang berdekatan dengan kedalaman minimal 1
mm.
Dalam membedakan APTS dan IMA pemeriksaan yang digunakan adalah petanda
biokimia jantung (cardiac enzyme). Hal ini disebabkan karena petanda biokimia jantung
merupakan indikator penting dari nekrosis miokard. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah
creatinin kinase (CK)MB dan cardiac spesific Troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan
secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien untuk pasien
STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti
kenaikan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA terapi reperfusi diberikan
segera mungkin dan tidak bergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim
di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard).
Pemeriksaan ekokardiografi diperlukan untuk mentukan luasnya iskemik jika dilakukan pada
saat nyeri dada sedang berlangsung. Pemeriksaaan ini juga bermanfaat untuk menganalisis
fungsi miokardium segmental bila terjadi pada pasien angina pektoris stabil dan sudah pernah
mengalami infark jantung sebelumnya, walaupun cara ini tidak dapat memperlihatkan
iskemik yang baru terjadi. Bila ekokardiografi dilakukan 30 menit dari serangan angina,
mungkin sekali masih dapat memperlihatkan adanya segmen miokardium yang mengalami
disfungsi oleh karena iskemi akut. Segmen ini akan pulih lagi setelah iskemik aku.
Ekokardiografi stres juga dapat membantu menegakkan diagnosis iskemia miokardium.
Ekokardiografi stres dilaksanakan pada pasien yang dicurigai menderita angina pektoris stabil
sedangkan EKG istirahatnya menunjukkan ST depresi 1 mm atau lebih. Saat ini yang menjadi
gold standar pemeriksaan baik untuk PJK ataupun IMA adalah angiografi, dimana angiografi
koroner memberikan informasi mengenai adanya dan keparahan penyakit jantung koroner.
Secara umum penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner terdiri dari dua tahapan
yaitu terapi farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologis yang paling penting
adalah penanganan pasien di intalasi gawat darurat. Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus
segera dievaluasi karena semakin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan lebih baik.
Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun membatasi luasnya infark dan
mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang dilakukan terlebih dahulu adalah
melakukaan pemeriksaan klinis terlebih dahulu dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,
31
pemeriksaan enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT, pemberian segera: Oksigen, infus
NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%, pasang monitoring EKG secara kontinu, dan setelah itu
pemberian obat. Obat yang diberikan adalah nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin
intravena (kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg, bradikardia (< 50 kpm), pemberian
aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak respon diganti dengan dipiridamol, tiklopidin atau
klopidogrel, dan untuk mengatasi nyeri dapat diberikan morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena,
dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau
tramadol 25-50 mg intravena.
Dalam penatalaksanaan Sindroma Koroner Akut (SKA), seperti yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya, dimana tatalaksana yang digunakan adalah sesuai dengan 2010 AHA
Guidelines for CPR and ECC for the evaluation and management of acute coronary
syndromes (ACS). Dimana algoritme penanganan yang direkomendasikan oleh panduan
penatalaksanaan sindroma koroner akut tersebut memiliki beberapa tujuan utama antara lain:
Mengurangi jumlah miokardium yang mengalami nekrosis paada pasien dengan
infark miokard akut, sehingga dapat mempertahankan fungsi ventrikel kiri, mencegah
gagal jantung, dan membatasi terjadi komplikasi.
Mencegah major adverse cardiac events (MACE): kematian, infark miokard nonfatal,
dan perlunya revaskularisasi yang urgen.
Mengatasi komplikasi yang mengancam hidup dan akut, seperti ventrikular fibrilasi
(VF), ventrikular takikardi (VT), takikardi tidak stabil, bradikardi simptomatik,
edema paru, syok kardiogenik, dan komplikasi mekanik.
Diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat merupakan potensi yang paling besar
dalam melakukan penyelamatan miokard pada jam pertama STEMI dan penanganan dini
pada angina tidak stabil dan NSTEMI menguragi kejadian yang tidak diinginkan dan
memperbaiki hasil akhir. Dengan demikian diperlukan tenaga kesehatan yang dapat dengan
tanggap mengenali potensi terjadinya PJK ataupun SKA. Penundaan penanganan dapat
terjadi selama 3 interval antara lain: dari onset gejala hingga pengenalan pasien terhadap
gejala, saat transpor pra-rumah sakit, dan saat penilaian di unit gawat darurat. Gejala serta
informasi yang lain yang cukup penting seperti faktor risiko, EKG, biomarker dan
pemeriksaan lainnya digunakan dalam melakukan triase serta keputusan penatalaksanaan di
luar rumah sakit dan unit gawat darurat.
Selain intervensi dari farmakologi, pasien dengan penyakit jantung koroner harus
mendapat intervensi nonfarmakologi berupa menghindari faktor – faktor predisposisi yang
dapat dimodifikasi antara lain merubah gaya hidup dengan diet rendah lemak terutama kadar
32
lemak jenuh tinggi, mengganti susunan makanan yang mengandung lemak jenuh dengan
lemak tak jenuh, memperbanyak olah raga memberhentikan kebiasaan merokok.
BAB 4
33
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Infark miokard akut merupakan penyebab kematian pertama di Indonesia pada tahun
2002. Infark miokard akut merupakan nekrosis miokard yang disebabkan oleh tidak
adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri koroner. Infark miokard akut
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) dimana aterosklerosis adalah
penyakit utama yang bertanggungjawab untuk sebagian besar kasus sindrom koroner akut.
Untuk menurunkan angka kematian akibat penyakit ini, kesadaran masyarakat segera
mengenali gejala-gejala infark miokard akut dan kesigapan segera membawa penderita ke
fasilitas kesehatan terdekat perlu ditingkatkan. Selain hal tersebut pencegahan terhadap
faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi juga tidak kalah pentingnya dalam penangan
penyakit ini.
4.2. Saran
Sangat diharapkan adanya pemahaman dan kesigapan dari tenaga medis dalam
penatalaksanaan infark miokard akut oleh karena penundaan terhadap penatalaksanaan yang
tepat akan meingkatkan tingkat mortalitas. Selain itu perlu ditingkatkan edukasi kepada
masyarakat pentingnya pencegahan terhadap faktor risiko yang dapat dimodifikasi,
pengenalan dini terhadap gejala infark miokard akut, serta akibat dari penyakit itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
34
Sulastomo, H. 2010. Sindroma Koroner Akut dengan Gangguan Metabolik. Diunduh dari:
http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php?id=355
Kalim, H., dkk. 2004. Pedoman Perhimpunan Kardiovaskular Indonesia: Tatalaksana
Sindroma Koroner Akut Dengan ST-Elevasi. Jakarta: PERKI.
Zafari, A.M., et al. 2012. Myocardial Infarction. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/155919-overview
Sudoyo, A.W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi ke-IV. Jakarta
Balai penerbitan FK UI.
Rilantono, L.I., dkk. 2001. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta Balai penerbitan FK UI.
Kalim, H., dkk. 2004. Pedoman Perhimpunan Kardiovaskular Indonesia: Tatalaksana
Sindroma Koroner Akut Tanpa ST-Elevasi. Jakarta: PERKI.
Stary, H.C., et al. 2002. Update on the Medical Management of Acute Coronary Syndrome.
O’Connor, et al. 2010. Circulation Journal of American Heart Association: Part 10: Acute
Coronary Syndromes : 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Antman, A. M., et al. 2004. Circulation Journal of American Heart Association: ACC/AHA
Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction
Executive Summary. Diunduh dari:
http://circ.ahajournals.org/content/110/5/588.full.pdf+html
35
Antman, A. M., et al. 2008. Circulation Journal of American Heart Association: 2007
Focused Update of the ACC/AHA 2004 Guidelines for the Management of Patients
With ST-Elevation Myocardial Infarction. Diunduh dari:
http://circ.ahajournals.org/content/123/18/2022.full.pdf
Hamn, C.W., et al. 2011. European Heart Journal : ESC Guidelines for the management of
acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment
elevation. Diunduh dari:
http://www.escardio.org/guidelinessurveys/escguidelines/GuidelinesDocuments/
Guidelines- NSTE-ACS-FT.pdf
Tobing, D. 2006. ECG Changes In Ischemia, Injury and Infarction. Department of
Cardiology and Vascular Medicine Faculty of Medicine University of Indonesia National
Cardiovascular Center Harapan Kita.
36