Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 100 Tahun Nkri
-
Upload
ziezah-shawol-onew -
Category
Documents
-
view
96 -
download
10
description
Transcript of Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 100 Tahun Nkri
GAPKI ©2014 i
INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA
MENUJU 100 TAHUN NKRI Membangun Kemandirian Ekonomi, Energi dan Pangan
Secara Berkelanjutan
GABUNGAN PENGUSAHA KELAPA SAWIT INDONESIA
GAPKI 2014
ii GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA MENUJU 100 TAHUN NKRI
Copyright © 2014 GAPKI
Edisi Pertama
GAPKI ©2014 iii
KATA PENGANTAR Industri minyak sawit merupakan industri strategis dalam
perekonomian Indonesia khususnya dimasa yang akan datang. Para ahli pertanian dunia telah lama mengakui bahwa pertanian termasuk perkebunan Kelapa sawit memiliki fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan bagi masyarakat. Berbagai studi baik dari lembaga internasional maupun lembaga di Indonesia, telah membuktikan bahwa industri minyak sawit Indonesia berkontribusi besar baik bagi perekonomian nasional, pembangunan ekonomi daerah, pengurangan kemiskinan maupun untuk pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu, pengembangan industri minyak sawit perlu dilihat sebagai upaya memperbesar manfaat ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan hidup yang lebih besar dan lebih berkualitas.
Kedepan, selain meningkatkan peran yang telah ada selama ini industri minyak sawit Indonesia juga dituntut pada peran baru yakni menyediakan energi pengganti energi fosil. Sebagaimana diketahui, bahwa ketergantungan Indonesia pada solar impor sudah sangat tinggi dan akan makin tinggi kedepan jika tidak ada upaya untuk menggantikannya. Impor, solar selain berisiko tinggi secara ekonomi, penggunaan solar juga menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca yang cukup besar dan secara global menjadi kontributor utama perubahan iklim global. Oleh karena itu penggantian solar dengan biodiesel berbahan baku minyak sawit menjadi tuntutan baru kedepan. Selain membangun kemandirian energy, pengembangan biodiesel tersebut jauh lebih ramah lingkungan.
Dengan tambahan peran baru industri minyak sawit tersebut yakni menyediakan biodiesel tentu memerlukan penigkatan ketersediaan bahan baku berupa minyak sawit mentah (CPO). Sementara untuk kebutuhan hilirisasi oleopangan dan oleokimia juga terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk Indonesia. Dengan kata lain, hilirisasi dan pengembangan biodiesel perlu disertai dengan peningkatan produksi CPO agar tidak terjadi trade-off fuel-food sebagaimana dialami banyak negara dunia.
Dengan latar belakang dan harapan masa depan yang demikian, GAPKI menyusun cetak biru (blue print) dan peta jalan (roadmap) industri minyak sawit Indonesia (Hulu–Hilir) untuk periode 2015-2050. Untuk bagian hulu (perkebunan kelapa sawit) disajikan cetak biru dan
iv GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
peta jalan peningkatan produktivitas CPO melalui peningkatan produktivitas dan perluasan luas areal baik perkebunan rakyat, perkebunan swasta dan perkebunan negara. Dibagian hilir disajikan cetak biru dan peta jalan hilirisasi baik melaui jalur industri oleopangan, jalur industri oleokimia dan jalur industri biodiesel. Dan bagian terpenting dari cetak biru dan roadmap ini adalah Kebijakan Strategis yang perlu didukung pemerintah untuk industri minyak sawit Indonesia kedepan.
Pengurus GAPKI Pusat mengapresiasi dan menyampaikan terimakasih kepada PASPI (Palm Oil agribusiness Staregic Policy Institute)
yang telah kerja keras menyusun Cetak Biru dan Peta Jalan Industri Minyak Sawit ini. Dan kepada seluruh asosiasi industi minyak sawit : DMSI, APROBI, APOLIN, GIMNI, AMNI, APKASINDO, MAKSI kami sampaikan terimakasih atas masukan yang telah diberikan. Dan mari kita semua bergandengan tangan untuk menjadikan industri minyak sawit Indonesia meraih prestasi terbaik kedepan dan menjadi sumber kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Bogor, Juli 2014
PENGURUS GAPKI PUSAT
GAPKI ©2014 v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................................... v DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
BAB II. EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR PASAR
MINYAK NABATI DUNIA ......................................................... 5 2.1 Populasi, Distribusi dan Pertumbuhan Penduduk Dunia .. 5
2.2 Perekonomian Kawasan/Global .......................................... 7 2.3 Perkembangan Konsmsi Minyak Nabati Dunia ................. 9 2.4 Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Per Kawasan .... 11
2.5 Pola Konsumsi Minyak Nabati Berdasarkan Kawasan ...... 18 2.6 Perkembangan Produksi Minyak Nabati Utama Global
Menurut Negara Produsen ............................................. 42 2.7 Ekspor- Impor Minyak Nabati Global................................. 49 2.8 Perkembangan Mutakhir Industri Oleokimia Dunia ......... 52 2.9 Perkembangan Produksi Oleokimia Global ....................... 57
2.10 Industri Penggunaan Produk Oleokimia Global ................ 58 2.11 Volume Konsumsi Oleokimia Global .................................. 60 2.12 Perkembangan Harga Oleokimia ........................................ 60 2.13 Industri Biodiesel Dunia ...................................................... 61 2.14 Dinamika Industri Oleokimia Global .................................. 71
BAB III. EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR INDUSTRI
MINYAK SAWIT INDONESIA .................................................... 73 3.1 Industri Perbenihan Kelapa Sawit ....................................... 73 3.2 Perkembangan Luas Area ..................................................... 75
3.2.1 Perkembangan Luas Areal Menurut Pengusahaan dan Provinsi ................................................................ 75
3.2.2 Perkembangan Komposisi Umur Kelapa Sawit Menurut Pengusahaan dan Provinsi ......................... 80
3.3 Perkembangan Produksi CPO .............................................. 84 3.3.1 Penyebaran dan Kapasitas Produksi PKS .................. 84 3.3.2 Perkembangan Produksi CPO Menurut Pengusahaan
dan Provinsi ................................................................ 85 3.3.3 Perkembangan Produktivitas CPO Menurut
vi GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Pengusahaan dan Provinsi......................................... 89 3.4 Perkembangan Ekspor dan Konsumsi Domestik CPO ...... 95 3.5 Industri Hilir Minyak Sawit ................................................. 98
3.5.1 Industri Minyak Goreng Sawit/Margarin/ Shortening .................................................................... 98
3.5.2 Industri Margarin/Shortening ..................................... 106
3.6 Perkembangan Industri Oleokimia ...................................... 108 3.6.1 Industri Sabun/Detergen ........................................... 115
3.7 Evolusi Kebijakan Pemerintah ............................................. 121 3.8 Perkembangan Harga Energi Dunia, Pupuk dan Rasio
Harga ..................................................................................... 135 3.8.1 Pergerakan Harga Emisi Dunia, Minyak Mentah .... 135 3.8.2 Pergerakan Indeks Harga Pupuk .............................. 138 3.8.3 Pergerakan Harga CPO Dunia .................................. 142
BAB IV. ANALISIS PERUBAHAN DAN PROYEKSI PASAR MINYAK
NABATI GLOBAL MENUJU 2050 .............................................. 146 4.1 Proyeksi Populasi Penduduk Menuju 2050 ........................ 146 4.2 Proyeksi Ekonomi Global Menuju 2050 .............................. 148 4.3 Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Global 2050 .... 152 4.4 Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Global 2050...... 154 4.5 Proyeksi Biodiesel ................................................................. 156 4.6 Proyeksi Harga dan Ratio Harga ......................................... 158 4.7 Perubahan Selera Pasar Global ........................................... 161 4.8 Perubahan Iklim Global ........................................................ 162 4.9 Perubahan Kebijakan Pasar Minyak Nabati Global ........... 164
BAB V. PERANAN INDUSTRI MINYAK SAWIT DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA ................................................ 167 5.1 Kontribusi Persawitan Indonesia dalam Pertumbuhan
Ekonomi ................................................................................ 167 5.1.1 Keterkaitan Pertumbuhan Kelapa Sawit dengan
Sektor Lain .................................................................. 167 5.1.2 Dampak Perkebunan Kelapa Sawit pada Sektor Lain 169 5.1.3 Peran Ekspor Minyak Sawit dalam Perekonomian .. 171 5.1.4 Menyediakan Minyak Nabati yang Kompetitif Bagi
Dunia: Feeding The World ........................................... 175
5.2 Peran Industri Minyak Sawit Dalam Pembangunan Pedesaan ................................................................................ 178 5.2.1 Perkebunan Kelapa Sawit: Menumbuhkan Pusat
Pertumbuhan Baru Pedesaan .................................... 179 5.2.2 Menarik Pertumbuhan Sektor Lain di Kawasan
Pedesaan ..................................................................... 182 5.2.3 Pertumbuhan Produksi CPO Memacu Pertumbuhan
Ekonomi Sentra Sawit ................................................ 183
GAPKI ©2014 vii
5.2.4 Perekonomian Sentra Sawit Bertumbuh Lebih Cepat Dibanding Non Sentra Sawit ...................................... 184
5.3 Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Mengurangi Kemiskinan ............................................................................ 186 5.3.1 Merubah Petani Miskin Menjadi Pengusaha ............ 186 5.3.2 Menciptakan Kesempatan Kerja di Kawasan
Pedesaan ...................................................................... 188 5.3.3 Pendapatan Petani Sawit Meningkat Cepat .............. 190 5.3.4 Pertumbuhan Asset Petani Sawit ............................... 191 5.3.5 Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit Lebih
Tinggi dari Petani Non Sawit ..................................... 191 5.3.6 Mengatasi Kemiskinan dan Menciptakan Kelas
Ekonomi Menengah di Pedesaan ............................... 192 5.3.7 Perkebunan Kelapa Sawit Menurunkan Kemiskinan
di Pedesaan .................................................................. 193 5.4 Kontribusi Industri Minyak Sawit Dalam Pelestarian
Lingkungan ........................................................................... 195 5.4.1 Kebijakan dan Regulasi Tata Kelola Perkebunan
Kelapa Sawit Indonesia yang Berkelanjutan ............. 196 5.4.2 Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dari
Degraded Land dan Low-Carbon ................................... 198
5.4.3 Perkebunan Kelapa Sawit Berfungsi Ekologis .......... 201 5.4.4 Perkebunan Kelapa Sawit Menyerap CO2 dari
Atmosfir Bumi ............................................................. 203 5.4.5 Perkebunan Kelapa Sawit Mengurangi Emisi GHG
Degraded Peat Land ....................................................... 206 5.4.6 Pelestarian Biodiversity pada Perkebunan Kelapa
Sawit ............................................................................ 208 5.4.7 Industri Minyak Sawit Hemat Sumberdaya dan
Minimum Polusi ......................................................... 210
BAB VI. INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA 2050 ........................ 215 6.1 Asumsi-Asumsi ..................................................................... 215 6.2 Visi dan Misi Industri Minyak Sawit Indonesia 2050 ......... 219
6.2.1. Visi 2050 ...................................................................... 219 6.2.2. Misi 2050 ...................................................................... 219
6.3 Roadmap Hilirisasi ................................................................. 220
6.3.1 Proyeksi Konsumsi Industri Hilir Minyak Sawit ...... 221 6.2.2 Proyeksi Produksi Hilir Minyak Sawit ...................... 222
6.4 Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik ................. 224 6.5 Roadmap Produksi CPO Menuju 2050.................................... 225
6.5.1 Roadmap Pengembangan Industri Pembibitan
Kelapa Sawit ................................................................ 225 6.5.2 Roadmap Replanting ...................................................... 227 6.5.3 Roadmap Luas Areal dan Komposisi Tanaman.......... 227
viii GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
6.5.4 Roadmap Produktivitas ............................................... 230
6.5.5 Proyeksi Produksi CPO Menuju 2050 ...................... 232 6.6 Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Sawit
Nasional ............................................................................... 233 6.7 Proyeksi Produksi Jasa Lingkungan ................................... 234 6.8 Proyeksi Ekspor Produk Minyak Sawit dan Pangsa
Indonesia ............................................................................... 235 BAB VII. KEBIJAKAN STRATEGIS INDUSTRI MINYAK SAWIT 2050 .. 241
7.1 Paket Kebijakan BIG PUSH Industri Minyak Sawit
nasional Menuju 2050 ........................................................... 241 7.2 Kebijakan Tata Ruang .......................................................... 242 7.3 Kebijakan Pertanahan ........................................................... 243 7.4 Kebijakan Perizinan Industri Minyak Sawit ....................... 244 7.5 Kebijakan Suku Bunga Kredit .............................................. 245 7.6 Kebijakan Infrastruktur dan Pelabuhan .............................. 247 7.7 Kebijakan Subsitusi Solar dengan Biodiesel (Mandatori
Biodiesel) ............................................................................... 249 7.8 Kebijakan Perdagangan Internasional................................. 250 7.9 Kebijakan Perpajakan ........................................................... 252 7.10 Kebijakan Riset dan Pengembangan ................................... 253 7.11 Kebijakan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development) ...................................................... 255
7.12 Kebijakan Kelembagaan dan Organisasi Ekonomi Petani Sawit ...................................................................................... 256
BAB VIII. PENUTUP .................................................................................... 259 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 261
GAPKI ©2014 ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa) ............. 5 Tabel 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan
(Juta jiwa) ................................................................................. 6 Tabel 2.3. Asumsi GDP ........................................................................... 7 Tabel 2.4. Perkembangan GDP berdasarkan Kawasan (Million USD,
pada Harga Konstan 2005) ...................................................... 8 Tabel 2.5. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Amerika Latin dan Karibia Tahun 1965-2014 ........................ 20 Tabel 2.6. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Sub Sahara Afrika Tahun 1965-2014 ....................................... 22 Tabel 2.7. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Near East dan Afrika Utara Tahun 1965-2014 ...................... 24 Tabel 2.8. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Selatan Tahun 1965-2014................................................. 26 Tabel 2.9. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Timur Tahun 1965-2014 .................................................. 28 Tabel 2.10. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Negara Maju Tahun 1965-2014 ............................................... 30 Tabel 2.11. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara
Amerika Serikat Tahun 1965-2014 .......................................... 32 Tabel 2.12. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Uni Eropa Tahun 1965-2014 .................................................... 34 Tabel 2.13. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Eropa Barat Tahun 1965-2014 ................................................. 36 Tabel 2.14. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Eropa Timur Tahun 1965-2014 ................................................ 38 Tabel 2.15. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Tengah Tahun 1965-2014 ................................................ 40 Tabel 2.16. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia
Tahun 1965-2014 ...................................................................... 42 Tabel 2.17. Pangsa Produksi Minyak Nabati terhadap Total Produksi
Minyak Nabati Utama Dunia 1970-2013 (%) ......................... 43 Tabel 3.1. Kapasitas Produksi Benih Kelapa Sawit di Indonesia........... 74 Tabel 3.2. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit
Rakyat Menurut Provinsi ........................................................ 76 Tabel 3.3. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit
Negara Menurut Provinsi ....................................................... 78 Tabel 3.4. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit
Swasta Menurut Provinsi ........................................................ 79 Tabel 3.5. Perbandingan Komposisi Tanaman Kelapa Sawit antara
Perkebunan Rakyat, Negara, dan Swasta (%)........................ 80
x GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.6. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Menurut Provinsi. ................................ 81
Tabel 3.7. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Menurut Provinsi. ................................ 82
Tabel 3.8. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Negara Menurut Provinsi. ............................................ 83
Tabel 3.9. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Rakyat Seluruh Provinsi. ...................................................................... 86
Tabel 3.10. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Swasta Seluruh Provinsi ....................................................................... 87
Tabel 3.11. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Negara Seluruh Provinsi ....................................................................... 88
Tabel 3.12. Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Setiap Provinsi ................. 90
Tabel 3.13. Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Negara Setiap Provinsi. ............... 91
Tabel 3.14. Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Setiap Provinsi ................ 93
Tabel 3.15 Lokasi dan Kapasitas Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia Tahun 2007 .............................................................. 99
Tabel 3.16. Jumlah Perusahaan, Kapasitas Produksi dan Penyebaran Industri Margarin/Shortening di Indonesia .......................... 107
Table 3.17 Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi Berjalan Indonesia ................................................... 109
Tabel 3.18. Produsen dan Kapastas Industri Oleokimia Nasional(dalam 1000 ton). ....................................................... 110
Tabel 3.19 Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri Sabun Mandi dan Detergen di Indonesia ............................... 116
Tabel 3.20. Produsen dan Kapasitas Industri Biodiesel di Indonesia ...... 120 Table 3.21 Perkembangan Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir di
dalam Negeri ............................................................................ 121 Tabel 3.22. Formula Penetapan Pajak Ekspor CPO dan Produk
Turunan Berdasarkan SK Menkeu No: 434/KMK 0.17/1994 Tanggal 31 Agustus 1994 ....................................... 128
Tabel 3.23. Harga Patokan Ekspor dan Tarif Bea Keluar Produk-Produk Agribisnis Minyak Sawit 1 September – 30 September 2011 ........................................................................ 134
Tabel 4.1. Peringkat 10 jumlah penduduk terbesar dunia tahun 2014 dan 2050E ................................................................................ 147
Tabel 4.2. Peringkat (Ranking) GDP Negara Ekonomi Terbesar Dunia . 150
Tabel 5.1. Keterkaitan ke Depan (Forward Linkages) dan Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkages) Perkebunan Kelapa Sawit. ........................................................................................ 168
Tabel 5.2. Sektor-Sektor Penyedia Input Perkebunan Kelapa Sawit ..... 169 Tabel 5.3. Indeks Multiplier Perkebunan Kelapa Sawit ......................... 170
GAPKI ©2014 xi
Tabel 5.4. Top Ten Sektor Ekonomi (Selain Perkebunan Kelapa Sawit) yang Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Output, Income dan Nilai Tambah Perkebunan Kelapa Sawit.......... 171
Tabel 5.5 Perkembangan Nilai Ekspor CPO dan Turunannya Serta Pangsanya dalam Net Ekspor Non Migas Indonesia ............ 173
Tabel 5.6. Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi Berjalan Indonesia .................................................. 173
Tabel 5.7. Penerimaan Pemerintah dari Bea Keluar Ekspor CPO dan Turunannya, Tahun 2007-2012 ............................................... 174
Tabel 5.8. Negara/Kawasan Utama yang Menikmati Manfaat Produksi CPO Indonesia untuk Bahan Pangan dan Bahan Baku Industri ........................................................................... 176
Tabel 5.9. Sektor-sektor Rural Non-Farm yang Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Produksi CPO .................................................. 182
Tabel 5.10. Perkembangan Jumlah Unit Usaha Keluarga Petani Kelapa Sawit Rakyat di Indonesia .......................................... 187
Tabel 5.11. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja pada Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ...................................... 189
Tabel 5.12. Sektor-Sektor Ekonomi yang Bertumbuh Penyerapan Tenaga Kerja Jika Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Bertumbuh ............................................................................... 189
Tabel 5.13. Perbandingan Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit dengan Petani Non Sawit (Rp Juta) ........................................ 192
Tabel 5.14 Perbandingan Pendapatan per Kapita Petani Sawit, Garis Kemiskinan dan Pendapatan per Kapita Nasional ............... 193
Tabel 5.15. Sektor-sektor Ekonomi (Diluar Perkebunan Sawit) yang Meningkat Pendapatannya Akibat Pertumbuhan Produksi CPO .......................................................................................... 194
Tabel 5.16. Kebijakan dan Regulasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia ..................................................... 197
Tabel 5.17. Perubahan Penggunaan Lahan untuk Hutan, Perkebunan dan Penggunaan Lain di Indonesia (Juta Hektar) ................ 200
Tabel 5.18. Perbandingan Ekofisiologi Perkebunan Kelapa Sawit dengan Hutan Tropis .............................................................. 202
Tabel 5.19. Volume Standing Biomas dan Jumlah Karbon Terfiksasi dari Atmosfir Bumi pada Berbagai Umur Kelapa Sawit....... 204
Tabel 5.20. Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Menurunkan Emisi CO2 Lahan Gambut ( Degraded Peat Land) ............... 207
Tabel 5.21. Berbagai Fauna di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit .... 209 Tabel 5.22. Berbagai Flora di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit ..... 210 Tabel 5.23. Kebutuhan Lahan untuk Menghasilkan 1000 Ton Minyak
Nabati dari Berbagai Jenis Minyak Nabati Global ................ 211 Tabel 5.24. Perbandingan Penggunaan Input dan Polusi Air/Tanah
antara Perkebunan Kelapa Sawit dengan Minyak Nabati Lain untuk Per Ton Minyak Nabati yang Dihasilkan ........... 211
xii GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.25. Konsumsi Air (Water Footprint) dari Berbagai Jenis Tanaman Biofuel ...................................................................... 212
Tabel 6.1. Asumsi Proyeksi Pertumbuhan Tahun 2014-2050 (% Tahun) ....................................................................................... 217
Tabel 6.2. Luas Degraded Land di Indonesia ............................................ 217
Tabel 6.3. Luasan Lahan Berpotensi Tinggi Untuk Tanaman Kelapa Sawit di Beberapa Wilayah Indonesia .................................... 218
Tabel 6.4. Proyeksi Volume Konsumsi Domestik Produk Hilir 2013-2050 .......................................................................................... 221
Tabel 6.5. Proyeksi Produksi Industri Hilir Minyak Sawit (Ton) .......... 223 Tabel 6.6. Proyeksi Kebutuhan CPO untuck Industri Hilir Domestik .. 224 Tabel 6.7. Kebutuhan Bibit dan Roadmap Kualitas bibit Kelapa
Sawit 2013-2050 ........................................................................ 226 Tabel 6.8. Roadmap Replanting dan Tanaman Baru serta Kebutuhan
Bibit Kelapa Sawit 2013-2050 ................................................... 227 Tabel 6.9. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia 2050 ................ 229 Tabel 6.10. Proyeksi Produksi CPO Menurut Pengusahaan 2013-2050 232 Tabel 6.11. Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Minyak
Sawit Nasional 2013-2050 ........................................................ 233 Tabel 6.12. Proyeksi Jasa Lingkungan Pada Industri Minyak Sawit
2013-2050 ................................................................................. 235 Tabel 6.13. Proyeksi Volume Ekspor Produk Hilir Minyak Sawit dan
CPO Indonesia 2013- 2050 ...................................................... 236 Tabel 6.14. Proyeksi Nilai Ekspor Produk Hilir dan CPO Indonesia ..... 237 Tabel 6.15. penghematan Devisa Impor Solar dengan Kebijakan
Mandatori Biodiesel Tahun 2013-2050 .................................... 238 Tabel 6.16. Proyeksi Pangsa Indonesia Dalam Produksi CPO Dunia,
Minyak Nabati Utama Dunia, dan Biodiesel Dunia .............. 238 Tabel 7.1. Perbandingan Peringkat Dunia antara Indonesia dengan
Negara Tetangga dalam Perizinan Usaha .............................. 244 Tabel 7.2. Perbandingan Lending Rate di Indonesiia dengan Negara-
Negara Tujuan Ekspor ............................................................. 246 Tabel 7.3. Perbandingan Indeks Ketersediaan dan Kualitas
Infrastruktur Indonesia dibandingkan Negara Lain pada Tahun 2013 ............................................................................... 247
GAPKI ©2014 xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan ..... 6 Gambar 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan ..... 8 Gambar 2.3. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965,
1980, 2014 ................................................................................. 9 Gambar 2.4. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965 –
2014 ........................................................................................... 10 Gambar 2.5. Perkembangan Pangsa Konsumsi Minyak Nabati Dunia ..... 10 Gambar 2.6. Konsumsi Minyak Kedele berdasarkan Kawasan Tahun
1965-2014 .................................................................................. 11 Gambar 2.7. Negara Konsumen Terbesar Minyak Kedele Dunia 1965-
2014 ........................................................................................... 12 Gambar 2.8. Konsumsi Minyak Sawit berdasarkan Kawasan Tahun
1965-2014 .................................................................................. 13 Gambar 2.9. Negara Konsumen Terbesar Minyak Sawit Dunia 1965-
2014 ........................................................................................... 14 Gambar 2.10. Konsumsi Rapeseed Oil berdasarkan Kawasan Tahun
1965-2014 .................................................................................. 15 Gambar 2.11. Negara Konsumen Terbesar Rapeseed Oil Dunia 1965-
2014 ........................................................................................... 16 Gambar 2.12. Konsumsi Sunflower Oil berdasarkan Kawasan Tahun
1965-201 .................................................................................... 17 Gambar 2.13. Negara Konsumen Terbesar Sunflower Oil Dunia 1965-
2014 ........................................................................................... 18 Gambar 2.14. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Amerika Latin dan Karibia Tahun 1965-2014 ........................ 19 Gambar 2.15. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Sub Sahara Afrika Tahun 1965-2014 ....................................... 21 Gambar 2.16. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Near East dan Afrika Utara Tahun 1965-2014 ...................... 23 Gambar 2.17. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Selatan Tahun 1965-2014................................................. 25 Gambar 2.18. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Timur Tahun 1965-2014 .................................................. 27 Gambar 2.19. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Negara Maju Tahun 1965-2014 ............................................... 29 Gambar 2.20. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara
Amerika Serikat Tahun 1965-2014 .......................................... 31 Gambar 2.21. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Uni Eropa Tahun 1965-2014 .................................................... 33 Gambar 2.22. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Eropa Barat Tahun 1965-2014 ................................................. 35
xiv GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 2.23. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Timur Tahun 1965-2014 ................................................ 37
Gambar 2.24. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Tengah Tahun 1965-2014................................................. 39
Gambar 2.25. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun 1965-2014....................................................................... 41
Gambar 2.26. Perkembangan Pangsa Produksi Minyak Nabati Utama Dunia 1964-2013 ....................................................................... 44
Gambar 2.27. Perkembangan Produksi CPO Dunia Tahun 1964-2013 ........ 45 Gambar 2.28. Perkembangan Produksi Soybean Oil Dunia Tahun 1964-
2013 ........................................................................................... 46 Gambar 2.29. Perkembangan Produksi Rapeseed Oil Dunia Tahun 1964-
2013 ........................................................................................... 47 Gambar 2.30. Perkembangan Produksi Sunflower Oil Dunia 1964-2013 .... 48 Gambar 2.31. Perkembangan Ekspor Minyak Dunia 1964-2013 .................. 49 Gambar 2.32. Perkembangan Ekspor Minyak Kedele Dunia 1964-2013 ..... 50 Gambar 2.33. Perkembangan Ekspor Rapeseed Oil Dunia 1964-2013 ......... 51 Gambar 2.34. Perkembangan Ekspor Sunflower Oil Dunia 1964-2013 ....... 52 Gambar 2.35. Kapasitas Produksi Fatty Acid Dunia Tahun 2011 ................ 53 Gambar 2.36. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Global
2004-2015 .................................................................................. 53 Gambar 2.37. Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia Tahun 2011 ................... 54 Gambar 2.38. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia 2004-
2015 ........................................................................................... 54 Gambar 2.39. Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Dunia 2011. ...................... 55 Gambar 2.40. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol
Global2004-2015 ....................................................................... 55 Gambar 2.41. Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia .................................. 56 Gambar 2.42. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia
2004-2015 .................................................................................. 56 Gambar 2.43. Volume Produksi Fatty Acid Global Historis dan Proyeksi. 57 Gambar 2.44. Volume Produksi Fatty Alcohol Global Historis dan
Proyeksi .................................................................................... 58 Gambar 2.45. Industri Pengguna Fatty Alcohol Global................................ 58 Gambar 2.46. Industri Pengguna Glyserin Global ........................................ 59 Gambar 2.47. Perkembangan Volume Konsumsi Fatty Acid Global
Secara Historis dan Proyeksi ................................................... 59 Gambar 2.48. Perkembangan Volume Konsumsi Fatty Alcohol Global
Secara Historis dan Proyeksi. .................................................. 60 Gambar 2.49. Perkembangan Harga Oleokimia (RM/ton) .......................... 61 Gambar 2.50. Perkembangan Harga Glyserin Menurut Bahan Baku .......... 61 Gambar 2.51. Perkembangan Produksi Biodiesel Dunia 2000-2011. ........... 62 Gambar 2.52. Perkembangan Harga Biodiesel di Pasar Eropa Menurut
Bahan Baku ............................................................................... 63 Gambar 2.53. Komposisi Bahan Baku Surfactant di Berbagai Kawasan .... 64
GAPKI ©2014 xv
Gambar 2.54. Penggunaan Surfactant Global ............................................... 65 Gambar 2.55. Produk Personal Care Dunia .................................................. 66 Gambar 2.56. Pasar Personal Care Dunia...................................................... 66 Gambar 2.57. Penggunaan Lubricant Dunia ................................................. 67 Gambar 2.58. Pasar Lubricant Dunia Menurut Kawasan (USB, 2008) ........ 68 Gambar 2.59. Dinamika Industri Oleokimia Dasar Dunia. .......................... 68 Gambar 2.60. Penggunaan Surfactant Global. .............................................. 69 Gambar 2.61. Produk Persnonal Care Dunia. ................................................. 69
Gambar 2.62. Pasar Personal Care Dunia. ..................................................... 70 Gambar 2.63. Penggunaan Lubricant Dunia. ................................................ 70 Gambar 2.64. pasar Lubricant Dunia Menurut kawasan (USB, 2008). ........ 71 Gambar 2.65. Dinamika Industri Oleokimia Dasar Dunia. .......................... 71 Gambar 3.1. Lokasi Penyebaran Produsen Benih Kelapa Sawit di
Indonesia .................................................................................. 74 Gambar 3.2. Kapasitas Produksi PKS Indonesia Menurut Provinsi
Tahun 2013 (ton TBS/jam), .................................................... 84 Gambar 3.3 Produksi CPO Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2013 ...... 84 Gambar 3.4. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Rakyat ....................................................................................... 89 Gambar 3.5. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Negara ...................................................................................... 92 Gambar 3.6. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Swasta....................................................................................... 94 Gambar 3.7. Perbandingan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Rakyat, Negara dan Swasta. ................................................... 94 Gambar 3.8. Perkembangan Pangsa Ekspor dan Konsumsi Domestik
dari Produksi CPO Indonesia ................................................. 95 Gambar 3.9. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit Indonesia
(000 ton) .................................................................................... 96 Gambar 3.10 Perkembangan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia(000
US$) .......................................................................................... 97 Gambar 3.11. Perkembangan Komposisi Ekspor Minyak Sawit
Indonesia .................................................................................. 97 Gambar 3.12. Perkembangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Menurut
Negara Tujuan ......................................................................... 98 Gambar 3.13. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Indonesia Tahun
2000-2013 .................................................................................. 101 Gambar. 3.14. Rata-rata Pangsa Minyak Goreng Sawit dalam Konsumsi
Minyak Goreng Indonesia Tahun 2000-2008 ......................... 101 Gambar 3.15. Perkembangan Alokasi Produksi Minyak Goreng
Indonesia untuk Konsumsi Domestik dan Ekspor Tahun 2002-2013 .................................................................................. 104
Gambar 3.16. Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Minyak Goreng dan Margarin di Indonesia ............................................................. 105
xvi GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 3.17. Perkembangan Produksi Margarine Indonesia Tahun 2000-2013 .................................................................................. 108
Gambar 3.18. Perkembangan Produksi Oleokimia Dasar di Indonesia 2006-2010 (ton) ......................................................................... 111
Gambar 3.19. Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid Menurut Negara Tujuan (Ton)................................................................ 111
Gambar 3.20. Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid(US $’000). .......... 112 Gambar 3.21. Perkembangan Volume Glyserol Menurut Negara Tujuan
(Ton) .......................................................................................... 112 Gambar 3.22. Perkembangan Volume Ekspor Glyserol Menurut Negara
Tujuan (US$'000) ...................................................................... 113 Gambar 3.23. Perkembangan Value Ekspor Fatty Alcohol Menurut
Negara Tujuan (ton).. ............................................................... 113 Gambar 3.24. Perkembangan Value Ekspor Fatty Alcohol Menurut
Negara Tujuan(US$’000).......................................................... 114 Gambar 3.25. Perkembangan Volume Impor Oleokimia 2006-2011 (ton). .. 114 Gambar 3.26. Perkembangan Volume Impor Oleokimia 20062011
(US$’000) ................................................................................... 115 Gambar 3.27. Penyebaran dan Kapasitas Produksi Sabun dan Detergen ... 116 Gambar 3.28. Perkembangan Produksi Sabun dan Detergen Indonesia
Tahun 2000-2013....................................................................... 117 Gambar 3.29. Perkembangan Produksi dan Tujuan Pasar Industri Sabun
Indonesia .................................................................................. 118 Gambar 3.30. Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Biodiesel di Indonesia .... 118 Gambar 3.31 Perkembangan Produksi Biodiesel Indonesia Tahun 2000-
2013 ........................................................................................... 119 Gambar 3.32. Perkembangan Produksi Biodiesel dan Penggunaanya di
Indonesia .................................................................................. 119 Gambar 3.33. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Mentah Dunia
(Januari 2002=100) .................................................................... 136 Gambar 3.34. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Diesel Dunia
Januari 2007- Desember 2012 (Januari 2002=100) .................. 137 Gambar 3.35. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Gas Alam Cair Dunia
(Januari 2002=100) .................................................................... 138 Gambar 3.36. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Urea Dunia
Januari 2002- Desember 2012 (Januari 2002=100) .................. 139 Gambar 3.37. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Rock Pospat
(Januari 2002=100) .................................................................... 139 Gambar 3.38. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk TSP Dunia
(Januari 2002=100) .................................................................... 140 Gambar 3.39. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk DAP Dunia
(Januari 2002=100) .................................................................... 141 Gambar 3.40. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk KCL Dunia
(Januari 2002=100) .................................................................... 141
GAPKI ©2014 xvii
Gambar 3.41. Pergerakan Indeks Harga Tahunan CPO Dunia (Januari 2002=100).................................................................................. 143
Gambar 3.42. Pergerakan Indeks Harga Bulanan CPO Dunia (Januari 2002=100).................................................................................. 143
Gambar 3.43. Pola Pergerakan Harga Tahunan antara Minyak Mentah (A) % CPO (B) Dunia ............................................................... 144
Gambar 3.44. Pergerakan Indeks Harga Tahunan PKO Dunia (Januari 2002=100).................................................................................. 145
Gambar 3.45. Pergerakan Indeks Harga Bulanan PKO Dunia (Januari =100) ......................................................................................... 145
Gambar 4.1. Penduduk Bumi dan Proyeksi hingga tahun 2050 ................ 146 Gambar 4.2. Perkembangan GDP Dunia Tahun 1980 dan Proyeksi 2050 . 148 Gambar 4.3. GDP per Kapita berdasarkan Kawasan 1980-2050 ................ 151 Gambar 4.4. GDP per Kapita beberapa negara terpilih 1980-2050 ........... 152 Gambar 4.5. Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia 2050 ...... 153 Gambar 4.6. Laju pertumbuhan Konsumsi Minyak Nabati Utama
Dunia ...................................................................................... 154 Gambar 4.7. Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Dunia 2050 ......... 155 Gambar 4.8. Laju pertumbuhan Produksi Minyak Nabati Utama Dunia . 155 Gambar 4.9. Produksi Biodiesel Dunia Tahun 2015, 2018, 2020 ................ 156 Gambar 4.10. Konsumsi Biodiesel Dunia Tahun 2015, 2018, 2020 .............. 157 Gambar 4.11. Ekspor Biodiesel Dunia Tahun 2015, 2018, 2020 .................. 157 Gambar 4.12. Harga Biodiesel Tahun 2011 dan Proyeksi Hingga Tahun
2021 ......................................................................................... 158 Gambar 4.13. Proyeksi Harga Minyak Nabati Utama Dunia 2050 ............. 159 Gambar 4.14. Rasio Harga Minyak Nabati Utama Dunia Terhadap
Minyak Sawit ......................................................................... 160 Gambar 5.1. Komposisi Ekspor Non Migas Indonesia Tahun 2005 dan
2013 ........................................................................................... 172 Gambar 5.2. Penggunaan Produksi CPO (Setara CPO) Indonesia Untuk
Konsumsi Masopyarakat Dunia dan Masyarakat Indonesia .................................................................................. 175
Gambar 5.3. Harga Minyak Sawit (CPO) Lebih Kompetitif daripada Soybean Oil (SBO), Rapeseed Oil, (RPO), dan Sunflower Oil (SFO) ................................................................................... 177
Gambar 5.4. Evolusi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Menjadi Agropolitan/Kawasan Industri Perkebunan di Kawasan Pedesaan di Indonesia ............................................................. 180
Gambar 5.5. Komponen Investasi Perkebunan Kelapa Sawit Tahap Gestation Period di Kawasan Pedesaan Indonesia .............. 181
Gambar 5.6. Rataan Jumlah Unit UKMK Supplier Barang/Jasa untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Pedesaan (Per 100 Ribu TM) .................................................................................. 181
Gambar 5.7. Pengaruh Produksi CPO terhadap PDRB Sentra Sawit Nasional ................................................................................... 184
xviii GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 5.8. Perbandingan PDRB Sentra Sawit dengan Non Sentra Sawit Nasional ......................................................................... 185
Gambar 5.9. Perbandingan Pendapatan Petani Sawit Plasma, Mandiri, dan Petani Non Sawit Nasional .............................................. 190
Gambar 5.10. Pertumbuhan Asset Petani Sawit Nasional ............................ 191 Gambar 5.11. Pengaruh Produksi CPO terhadap Penurunan Kemiskinan
di Sentra Sawit Nasional.......................................................... 195 Gambar 5.12. Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
Tahun 1990-2012....................................................................... 199 Gambar 5.13. Volume Karbon yang Diserap Secara Netto pada
Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990 dan 2010 (Juta Ton Karbon) ..................................................................... 205
Gambar 5.14. Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dalam Menyerap CO2 Global ............................................................. 205
Gambar 5.15. Pengurangan Emisi CO2 dari Palm Oil Biodiesel Sebagai Pengganti Fosil-Diesel Dibandingkan Sumber Biodiesel Lainnya (persen) ...................................................................... 213
Gambar.6.1 Proyeksi Konsumsi Domestik Produk Hilir ........................... 222 Gambar 6.2. Proyeksi Produk Hilir .............................................................. 223 Gambar 6.3. Proyeksi Kebutuhan CPO Domestik Tahun 2013-2050 ........ 224 Gambar 6.4. Perubahan Pangsa Areal Perkebunan Sawit Negara,
Rakyat dan Swasta Indonesia Tahun 2013-2050 .................... 228 Gambar 6.5. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia 2013-2050 ....... 228 Gambar 6.6. Proyeksi Komposisi Tanaman Kelapa Sawit Indonesia
2013-2050 .................................................................................. 229 Gambar 6.7. Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Rakyat
2013-2050 .................................................................................. 230 Gambar 6.8. Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Negara
2013-2050 .................................................................................. 231 Gambar 6.9. Proyeksi Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Swasta
2013-2050 .................................................................................. 231 Gambar 6.10. Proyeksi Nilai Ekspor Produk Minyak Sawit 2013-2050 ....... 237 Gambar 6.11. Pangsa Indonesia dalam Produksi CPO Dunia ..................... 239 Gambar 6.12. Pangsa Indonesia dalam Produksi 4 Nabati Dunia ............... 239 Gambar 6.13. Pangsa Indonesia dalam Produksi Biodiesel Dunia .............. 240
I. Pendahuluan 1
BAB I
PENDAHULUAN
Industri minyak sawit memiliki multi fungsi (multifunctionality) yang memberi manfaat ganda bagi perekonomian Indonesia maupun dunia secara keseluruhan. Manfaat ganda yang dimaksud berupa manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Manfaat dari segi ekonomi yang dimaksud bahwa industri minyak sawit menghasilkan berbagai produk bahan pangan, bahan energi dan bahan baku industri,yang dibutuhkan baik bagi Indonesia maupun masyarakat dunia. Sekitar 70 persen dari CPO yang dihasilkan Indonesia diperuntukkan bagi masyarakat internasional dan hanya sekitar 30 persen untuk kebutuhan masyarakat Indonesia.Selain itu,bagi pekonomian Indonesia industri minyak sawit merupakan sumber penerimaan pemerintah dari Bea keluar, berbagai jenis pajak serta salah satu penyumbang devisa terbesar.
Manfaat sosial dari industri minyak sawit terkait dengan peranan dan kontribusinya dalam penciptaan kesempatan kerja, pembangunan pedesaan (rural development) dan pengurangan kemiskinan pedesaan (poverty alleviation). Berbagai studi emperis (Susila, 2004; Goenadi,2008; World Growth,2009; Joni, 2012; Rofiq, 2012; PASPI,2014) mengungkapkan bahwa perkebunan Kelapa sawit di Indonesia bagian penting dari pembangunan pedesaan maupun pengurangan kemiskinan.
Perkebunan Kelapa sawit juga memiliki fungsi ekologis dan memberi manfaat jasa lingkungan yang mirip dengan hutan (Henson,1999; Harahap, et al. 2005, Fairhurst and Hardter, 2004, PASPI, 2014). Perkebunan Kelapa sawit merupakan bagian penting dari pelestarian siklus karbondioksida(CO2), oksigen (O2) dan air (H2O). Kemampuan perkebunan Kelapa sawit dalam menyerap CO2 dan menghasilkan O2 lebih tinggi dari kemampuan hutan primer. Dengan melihat planet bumi sebagai satu ekosistem, fungsi ekologis perkebunan Kelapa sawit tersebut dinikmati bersama dan gratis oleh masyarakat dunia.
Dengan manfaat ekonomi, sosial dan ekologis dari industri minyak sawit yang demikian, maka setiap pengembangan perkebunan kelapa sawit yang bertujuan untuk meningkatkan produksi CPO, merupakan cara memperbesar manfaat tersebut bagi masyarakat. Demikian juga untuk setiap peningkatan nilai tambah CPO seperti hilirisasi juga merupakan upaya memperbesar manfaat industri minyak sawit bagi masyarakat.
2 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sampai tahun 2013, Indonesia telah berhasil mengembangkan perkebunan Kelapa sawit sekitar 9.2 juta hektar dengan produksi CPO sebesar 26.5 juta ton. Dengan produksi CPO sebesar itu, Indonesia berhasil menjadi produsen CPO terbesar dunia. Prestasi yang impressive tersebut perlu dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya secara berkelanjutan, sehingga multi manfaat yang dihasilkan makin besar,bermutu dan makin meluas secara lintas generasi.
Mempertahankan dan meningkatkan kualitas sebagai produsen CPO terbesar dunia kedepan, Indonesia menghadapi tantangan yang makin kompleks. Berbagai perubahan yang tekait industri minyak sawit akan terjadi baik di pasar domestik maupun pasar global, yang diantaranya sebagai berikut.
Pertama, Ketersediaan lahan untuk perluasan kebun sawit di Indonesia makin terbatas kedepan. Keterbatasan lahan ini memiliki impIikasi penting bagi upaya peningkatan produksi CPO kedepan. Cara cara lama peningkatan produksi CPO melalui peluasan areal perkebunan Kelapa sawit seperti selama ini, harus beralih kepada cara cara baru yang makin berkualitas yakni melalui peningkatan produktivitas CPO dari lahan yang telah ada.
Kedua, Ketergantungan Indonesia pada pasar CPO global sangat tinggi dan berisiko tinggi. Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia sebagian besar (70 persen)CPO yang dihasilkan, dipasarkan ke pasar internasional dan hanya 30 persen diserap didalam negeri. Ketergantungan pada pasar CPO dunia yang demikian memiliki risiko tinggi dan tidak berkelanjutan, karena dengan mudah dipermainkan pasar internasional. Oleh karena itu pengembangan pasar CPO dalam negeri melalui hilirisasi perlu dipercepat agar sebagian besar produksi CPO diserap didalam negeri baik untuk kebutuhan domestik dan diekspor dalam bentuk olahan/produk jadi.
Kedua hal tersebut tersebut ditempatkan dalam konteks perubahan lingkungan global yang sedang berubah. Berbagai purubahan lingkungan global kedepan seperti pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan perubahan pusat-pusat perekonomian global, pergeseran selera dan persaingan antar minyak nabati global, perubahan iklim global,merupakan bagian dari tantangan masa depan yang perlu dipertimbangkan agar industri minyak sawit Indonesia dapat survive secara berkelanjutan serta memberi manfaat maksimal bagi Indonesia.
Tantangan masa depan yang demikian mengundang pertanyaan strategis berikut : Bagimana industri minyak sawit Indonesia kedepan misalnya menuju tahun 2050? Atau sebagai produsen CPO dan sekaligus produsen minyak nabati terbesar dunia, Indonesia ingin seperti apa dengan industri minyak sawitnya? jawaban tantangan
I. Pendahuluan 3
tersebut disajikan dalam cetak biru (blue print) dan Roadmap Industri minyak sawit menuju 2050.
Dalam penyusunan cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia ini, selain mengakomodasikan berbagai perubahan yang mungkin terjadi dalam perekonomian Indonesia juga mengakomodir proyeksi-proyeksi yang dilakukan oleh badan-badan internasional diberbagai bidang seperti proyeksi ekonomi global, populasi penduduk, pangan dan energi menuju tahun 2050. Dengan demikian cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia berada pada proyeksi global tersebut. Namun demikian beberapa penyesuaian dilakukan untuk mengakomodir target posisi Indonesia dalam pasar minyak nabati global.
Buku cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia menuju 2050 berisikan: Pendahuluan, Evaluasi Perkembangan Mutakhir Pasar Minyak Nabati Dunia, Evaluasi Perkembangan Mutakhir Industri minyak sawit Indonesia, Analisis Perubahan dan Proyeksi Pasar Minyak Nabati Global Menuju 2050, Peranan Industri minyak sawit dalam Perekonomian Indonesia, Industri minyak sawit Indonesia 2050, Kebijakan Strategis Industri minyak sawit 2050 dan Penutup.
4 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 5
BAB II
EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR PASAR
MINYAK NABATI DUNIA
2.1. Populasi, Distribusi dan Pertumbuhan Penduduk Dunia Jumlah penduduk dunia pada tahun 2014 ini menurut data Bank
Dunia telah mencapai 7.084.547.400 jiwa. Penduduk Indonesia berjumlah 248,201.749 jiwa (3.5% dari total penduduk dunia) dan berada pada urutan keempat terbesar di dunia setelah China (1.358.013.327 jiwa), India (1.243.387.340 jiwa) dan Amerika Serikat (315.614.887). Perkembangan penduduk dunia dapat dilihat berdasarkan kelompok kawasan, sebagamana pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa)
Kawasan 1970 2000 2006 2015E 2030E 2050E
World 3 676 6 095 6 569 7 275 8 276 9 111
Developed countries 1 079 1 318 1 351 1 396 1 437 1 439
Developing countries 2 597 4 778 5 218 5 879 6 839 7 671
Sub-Sahara Afrika 270 625 730 912 1 245 1 686
Near East/Afrika Utara 181 387 432 504 615 726
Amerika Latin dan Caribia 282 515 556 611 682 721
Asia Selatan 708 1 375 1 520 1 729 2 016 2 242
Asia Timur 1 147 1 857 1 957 2 096 2 247 2 255
Sumber : World Population, UN, 2014
Penduduk dunia pada tahun 1970 mencapai 3.676 milyar jiwa, dan estimasi pada tahun 2015 meningkat hampir dua kali lipat menjadi 7,276 milyar jiwa. Dan diperkirakan pada tahun 2050 akan mencapai 9.11 milyar. Sebanyak 19.19 % penduduk dunia berada di negara maju (developed countries), dan selebihnya, 80,81 % adalah penduduk di negara sedang berkembang (developing countries), yang dapat dirinci berdasarkan kawasan, yakni Sub-Sahara Afrika sebanyak 12,54%, Near East/Afrika Utara 6.93%, Amerika Latin dan Caribia 8.40%, Asia Selatan 23,77% dan Asia Timur sebanyak 28.81%.
6 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 2.1. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan Sumber: FAO (2012)
Pertumbuhan penduduk dunia pada kurun waktu 1970-2000 rata-rata bertambah 1.7 %/tahun, tahun 2000-2015 menurun menjadi 0.97 %/tahun, dan periode 2015-2030 menurun 0.48 %/tahun, sedangkan pada kurun waktu 2030-2050 meningkat menjadi rata-rata 0.75 %/tahun. Pertumbuhan penduduk di negara maju lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk di negara sedang berkembang. Pada kurun waktu 2000-2015, pertumbuhan penduduk negara maju adalah 0.01 %/tahun sedangkan negara berkembang seebesar 0.58 %/tahun. Rendahnya tingkat pertumbuhan di negara mau disebabkan oleh menurunnya tingkat fertilitas penduduk di negara-negara tersebut, dan cenderung semakin menurun dari tahun 2025 hingga tahun 2050. Sebaliknya, di negara-negara berkembang, kecuali China, penduduk di masing-masing kawasan cenderung meningkat. Pertumbuhan penduduk tertinggi terlihat pada negara Sub-
Sahara Afrika, Near East dan Afrika Utara (Tabel 2.2.). Tabel 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa)
Kawasan Pertumbuhan (% pertahun)
1970-2000 2000-2015 2015-2030 2030-2050
World (countries with FBS) 1.7 0.97 0.48 0.75 Developed countries 0.67 0.26 0.01 0.14 Developing countries 2.05 1.13 0.58 0.88
Sub-Sahara Afrika 2.84 2.25 1.53 1.92 Near East/Afrika Utara 2.57 1.48 0.83 1.19 Amerika Latin dan Caribia 2.03 0.85 0.28 0.59 Asia Selatan 2.24 1.18 0.53 0.89 Asia Timur 1.62 0.58 0.02 0.32
Sumber: FAO (2012)
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
1950
1970
1980
1990
2000
2010
2020
2030
2040
2050
Juta
Jiw
a Oceania
Amerika Utara
.New Independent States
Eropa Timur
Eropa Barat
Amerika Latin dan Caribia
Asia
Near East
.North Africa
.Sub-Saharan Africa
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 7
2.2. Perekonomian Kawasan/Global
Perkembangan ekonomi pada horizon waktu jangka panjang bertujuan untuk memberikan gambaran visual adanya perbedaan yang signifikan antara keadaan saat ini dengan proyeksi di masa mendatang. GDP per kapita dunia pada harga konstan tahun 2005-2007 adalah 7603 USD/kapita/tahun, diperkirakan akan mencapai 13758 USD/kapita/tahun. Pertumbuhan GDP dunia rata-rata bertumbuah 2.47 % per tahun pada kurun waktu 2005-2030, dan sedikit leih rendah jika diukur dalam jangka panjang, 2005-2050 yakni 2,11 % per tahun. Pertumbuhan GDP per kapita dalam kurun waktu 2005-2050 adalah 1,36 % per tahun.
Rata-rata GDP per kapita di negara maju pada tahun 2005/2007 adalah 27880 USD/kapita dan pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai 47121 USD/kapita. Rata-rata GDP per kapita di negara sedang berkembang akan meningkat dari 2350 tahun 2005/2007 menjadi 7499 USD/kapita pada tahun 2050. Rata-rata pertumbuhan GDP per kapita di negara maju adalah 1.2 % per tahun, sedangkan di negara berkembang sebesar 2,67% per tahun.
Jika dibandingkan dengan rata-rata GDP per kapita di negara sedang berkembang, rata-rata tertinggi adalah kawasan Asia Timur, yang meningkat dari 2738 USD/kapita menjadi 14428 USD/kapita pada tahun 2050, sebaliknya, terendah adalah di Asia Selatan dan Sub Sahara Afrika (Tabel 2.3.). Diantara negara sedang berkembang, terdapat 45 negara yang memiliki tingkat GDP per kapita dibawah 1000 USD/kapita/tahun.
Table 2.3 Asumsi GDP
Pertumbuhan (%/tahun) GDP per kapita
Total GDP GDP per capita at intern PPP$
at 2005/2007 exchange rates
2005- 2030
2005- 2050
2005- 2030
2005- 2050
2005/ 2007
2005/ 2007
2050
World 2.47 2.11 1.49 1.36 9 510 7 603 13 758
Developing countries 4.47 3.58 3.3 2.67 4 704 2 350 7 499 Sub-Sahara Afrika 4.64 4.17 2.34 2.2 1 363 666 1 736
Near East/Afrika Utara 3.54 2.92 2.03 1.72 7 696 3 858 8 160 Amerika Latin dan Caribia
2.45 2.09 1.58 1.49 9 539 5 726 10 966
Asia Selatan 4.9 4.05 3.67 3.14 2 316 814 3 169 Asia Timur 5.51 4.18 4.9 3.85 5 406 2 738 14 428
Developed countries 1.56 1.34 1.3 1.2 28 056 27 880 47 121
Catatan
45 Developing with
GDP/cap under $1000 in 2005/07
4.73 4.02 3.15 2.73
721 2 361
Other Developing 4.43 3.49 3.65 2.98
3 763 13 698
Sumber: FAO (2012)
8 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Perkembangan GDP pada masing-masing kawasan disajikan pada Tabel 2.4 dan Gambar 2.2.
Table 2.4 Perkembangan GDP berdasarkan Kawasan (Million USD, pada
Harga Konstan 2005)
1980 1990 2000 2005 2010 2020 2030 2050
European Union 17,926 24,007 30,295 33,650 34,865 43,348 50,740 64,995
East Asia 674 1,409 2,898 4,086 5,824 11,692 21,073 45,043
South Asia 263 448 752 1,013 1,431 2,783 5,331 16,020
Near East/North Africa 804 974 1,369 1,728 2,043 3,109 4,556 8,013
Latin America and Caribbean 1,250 1,455 1,988 2,260 2,596 3,743 5,066 7,805
Sub-saharan Africa 96 126 167 208 264 501 1,027 4,630
Other WesternEurope 404 512 633 690 740 895 1,052 1,384
Other EasternEurope 147 173 89 128 143 182 214 260
Central Asia 16 16 7 11 14 18 24 41
World 21,580 29,121 38,199 43,773 47,920 66,272 89,084 148,191
Sumber: FAO (2012)
Gambar 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan
Dampak dari meningkatnya penduduk global, dan disertai
peningkatan GDP maupun GDP per kapita adalah meningkatnya konsumsi pangan di masa mendatang. Kedua variabel tersebut (pertambahan penduduk dan pertumbuhan pendapatan per kapita) juga akan mendorong pertumbuhan konsumsi per kapita minyak nabati dunia, dan akan mempengaruhi total konsumsi minyak nabati dunia maupun tingkat produksi minyak nabati dunia di masa mendatang.
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
1980 1990 2000 2005 2010 2020 2030 2050
World
European Union
East Asia
South Asia
Near East/ North Africa
Latin America andCaribbeanSub- saharan Africa
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 9
2.3. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia Perkembangan konsumsi minyak nabati utama dunia pada
tahun 1965 adalah 5228 juta ton. Hampir 60 % konsumsi minyak nabati dunia adalah minyak kedele, diikuti minyak rapeseed sebanyak 25%, dan minyak sawit (15%) dan minyak bunga matahari 0,67 %. Pada tahun 1980, konsumsi minyak nabati dunia meningkat 3,5 kali lipat menjadi 18000 juta ton. Hal ini menunjukkan perkembangan yang pesat, yakni sebesar 22.95% per tahun. Seiring dengan itu, pola konsumsi minyak nabati dunia berubah, dimana pangsa minyak sawit semakin besar dari 15% menjadi 21% dari total konsumsi minyak batai utama dunia, sedangkan pangsa konsumsi minyak kedele turun dari 60% menjadi 55%. Perkembangan pesat terlihat pada sunflower oil dari 0,67% menjadi 9.62%. Pangsa konsumsi rapeseed menurun menjadi 13.62%.
Pada tahun 2014, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan per kapita, konsumsi minyak nabati dunia meningkat 8.4 kali lipat dibanding tahun 1980 menjadi 151.618 juta ton. Rata-rata konsumsi minyak nabati dunia meningkat lebih pesat, yakni 24.77 % per tahun. Hal ini juga berdampak pada perubahan pola konsumsi minyak nabati dunia, dimana pangsa minyak sawit kini menduduki pangsa terbesar yakni 41% dan mengungguli dominasi minyak kedele dengan share dunia sebesar 32%. Pangsa konsumsi sunflower oil cendeung sama, yakni 10% sedangkan pangsa konsumsi rapeseed meningkat menjadi 17%.
Sumber: Oil World Gambar 2.3. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965, 1980, 2014
10 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Perkembangan konsumsi minyak nabati dunia cenderung meningkat setiap tahun. Konsumsi minyak kedele (soybean oil - SBO)
pada tahun 2000 mencapai 27.814 juta ton dan pada tahun 2014 naik menjadi 48692 juta ton, dengan pertumbuhan rata-rata 5.36 % per tahun. Sementara itu konsumsi minyak sawit (palm oil - PO) pada tahun 2000 mencapai 23642 juta ton dan pada tahun 2014 naik menjadi 62267 juta ton, dengan laju pertumbuhan rata-rata 11.67 % per tahun. (Gambar 2.4). Keadaan ini tercermin dari perkembangan pangsa minyak nabati (Gambar 2.5), dimana terlihat pangsa minyak kedele cenderung menurun dari tahun ke tahun, sebaliknya minyak sawit cenderung meningkat setiap tahun.
Sumber: Oil World Gambar 2.4. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965 – 2014
Sumber: Oil World Gambar 2.5. Perkembangan Pangsa Konsumsi Minyak Nabati Dunia
1965 1980 1990 2000 2010 2014
Total 5,228 18,000 36,377 72,986 126,44 151,61
SBO 3,120 9,935 13,667 27,814 43,690 48,692
PO 776 3,882 10,465 23,642 47,774 62,267
RSO 1,297 2,452 6,198 13,379 23,163 25,464
SFO 35 1,731 6,047 8,151 11,817 15,195
-
50
100
150
200
-
25
50
75
Juta
To
n
Juta
To
n
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 11
2.4. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati per Kawasan
Minyak Kedele (Soybean Oil). Minyak kedele merupakan salah satu sumber utama minyak nabati dunia. Hingga tahun 2008, minyak kedele memiliki pangsa terbesar dan mendominasi sumber minyak nabati utama lainnya. Pada tahun 2014, minyak kedele memiliki pangsa dunia sebesar 32.1%. Perkembangan konsumsi minyak kedele dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu 1965-2014 disajikan pada 2.6.
Sumber: Oil World Gambar 2.6. Konsumsi Minyak Kedele berdasarkan Kawasan tahun 1965-2014
Dalam kurun waktu 1965-2014, rata-rata konsumsi minyak kedele
dunia meningkat rata-rata 6,19 % per tahun. Bila dilihat berdasarkan
kawasan, negara konsumen terbesar dunia adalah Amerika Serikat
(AS). Rata-rata konsumsi minyak kedele AS mencapai 42% dari total
minyak kedele dunia. Dari sisi volume konsumsi kedele Amerika
Serikat cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 3.18 % per
tahun. Namun dari sisi pangsa konsumsi terhadap total kedele dunia,
dapat dilihat bahwa pangsa konsumsi AS cenderung menurun dari
tahun ke tahun. Pada tahun 1965, pangsa konsumsi minyak kedele AS
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
1965
1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2014
Central Asia
Other Eastern Europe
Other Western Europe
Developed Countries
USA
European Union
East Asia
South Asia
Near East/ North Africa
Sub- saharan Africa
Latin American andCaribean
12 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
adalah 76.19%, tahun 1980 menjadi 44.76%, tahun 2000 turun menjadi
27.30% dan pada tahun 2014 menurun menjadi 16.93%.
Disamping itu juga terdapat perubahan pola konsumsi minyak
kedele antar kawasan. Pada tahun 1965, hampir 80% konsumsi minyak
kedele dunia adalah Amerika Serikat. Tahun 1980 pangsa konsumsi
minyak kedele menyebar di Amerika Serikat 44.76%, Latin Amerika
dan Karibia sebesar 24.55% dan Asia Selatan 10.34%. Tahun 2000
pangsa konsumsi minyak kedele Amerika Serikat menurun menjadi
27.30%, Latin Amerika dan Karibia menurun menjadi 19.01%, Asia
Selatan menurun menjadi 10.21%, namun Asia Timur meningkat dari
6.81% (1980) menjadi 18.64%. Tahun 2014 pangsa konsumsi minyak
kedele Amerika Serikat menurun menjadi 16.93, Amerika Latin dan
Karibia naik menjadi 23.91% dan Asia Timur meningkat menjadi
33.15%.
Perkembangan terakhir menunjukkan, dalam kurun waktu 2010-
2014, negara konsumen terbesar minyak kedele di dunia adalah China
29.45%, USA 19.0%, Brazil 12.8%, India 7.0%, Argentina 6.2%, EU-27
4.6%, Meksiko 2.0%, Iran 1.5%, Mesir 1.3% dan Sisa Dunia 16.0%
(gambar 2.7).
Sumber: Oil World Gambar 2.7. Negara Konsumen Terbesar Minyak Kedele Dunia 1965-2014
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
45000
50000
1965
1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2014
Rib
u T
on
Tahun
Konsumsi Soybean Oil Sisa Dunia
Mesir
Iran
Meksiko
EU-27
Argentina
India
Brazil
USA
China
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 13
Minyak Sawit (Palm Oil). Sejak tahun 2008, minyak sawit menggeser dominasi minyak kedele dunia dan sekalgus menempatkan minyak sawit sebagai sumber penting minyak nabati dunia. Pada tahun 2014, minyak sawit memiliki pangsa dunia sebesar 42.1%. Perkembangan konsumsi minyak sawit dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu 1965-2014 disajikan pada 2.8.
Sumber: Oil World Gambar 2.8. Konsumsi Minyak Sawit berdasarkan Kawasan tahun 1965-2014
Dalam kurun waktu 1965-2014, rata-rata konsumsi minyak sawit
dunia meningkat rata-rata 9.42 % per tahun. Bila dilihat berdasarkan
kawasan, konsumen terbesar dunia adalah kawasan Asia Timur (15
negara). Konsumsi kawasan Asia Timur mencapai rata-rata 40.2% dari
total minyak sawit dunia. Dari sisi volume konsumsi minyak sawit
kawasan Asia Timur cenderung meningkat dengan rata-rata
pertumbuhan 15 % per tahun. Dari sisi pangsa, konsumsi minyak sawit
Asia Timur juga meningkat pesat dan tertinggi dibandingkan kawasan
lainnya. Pada tahun 1965, pangsa konsumsi minyak sawit Asia Timur
adalah 11.28%, tahun 1980 menjadi 31.705%, tahun 2000 naik menjadi
37.88% dan pada tahun 2014 naik menjadi 42.82%.
0
10
20
30
40
50
60
70
1965
1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2014
Juta
To
n
Central Asia
Other Eastern Europe
Other Western Europe
Developed Countries
USA
European Union
East Asia
South Asia
Near East/ North Africa
Sub- saharan Africa
Latin American andCaribean
14 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Disamping itu juga terdapat pergeseran pola konsumsi minyak
sawit antar kawasan, yang awalnya (1965) didominasi oleh Sub Sahara
Afrika (77.82%) menuju Asia, baik Asia Timur maupun Asia Selatan.
Pada tahun 1965, sekitar 78% konsumsi terbesar minyak sawit dunia
adalah Afrika Selatan. Tahun 1980 pangsa konsumsi minyak sawit
menyebar di Sub Sahara Afrika 34.14%, Asia Timur 31.05% dan Asia
Selatan 19.04%. Tahun 2000 pangsa konsumsi minyak sawit Sub
Sahara Afrika menurun menjadi 12.76%, Asia Timur dan Asia Selatan
naik masing-masing menjadi 37.88% dan 24.06%. Tahun 2014 pangsa
konsumsi minyak sawit Sub Sahara Afrika menurun menjadi 10.42%,
Asia Timur naik menjadi 42.82% dan Asia Selatan turun menjadi
20.73%.
Perkembangan terakhir menunjukkan, dalam kurun waktu 2010-
2014, negara konsumen terbesar minyak sawit di dunia adalah
Indonesia 15.8%, India 14.9%, China 11.5%, EU-27 10.9%, Malaysia
4.5%, Pakistan 4.2%, Thailand 3.0%, Nigeria 2.5% dan USA 2.2%.
Selebihnya, sekitar 30% dikonsumsi oleh Sisa dunia (Gambar 2.9)
Sumber: Oil World Gambar 2.9. Negara Konsumen Terbesar Minyak Sawit Dunia 1965-2014
0
10
20
30
40
50
60
70
1964
1967
1970
1973
1976
1979
1982
1985
1988
1991
1994
1997
2000
2003
2006
2009
2012
JJu
ta T
on
Tahun
Konsumsi CPO ROW
USA
Nigeria
Thailand
Pakistan
Malaysia
EU-27
China
India
Indonesia
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 15
Rapeseed Oil . Rapeseed oil merupakan sumber minyak nabati terbesar ketiga setelah minyak sawit dan minyak kedele. Pada tahun 2014, Rapeseed Oil memiliki pangsa dunia sebesar 16.8%. Perkembangan konsumsi Rapeseed Oil dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu 1965-2014 (gambar 2.10).
Sumber: Oil World Gambar 2.10. Konsumsi Rapeseed Oil berdasarkan Kawasan tahun 1965-2014
Dalam kurun waktu 1965-2014, rata-rata konsumsi Rapeseed Oil
dunia meningkat rata-rata 6,99 % per tahun. Bila dilihat berdasarkan
kawasan, konsumen terbesar rapeseed dunia adalah Asia Timur
(28.3%), Uni Eropa (23.8%) dan Negara-negara Maju (21.9%). Dari sisi
pangsa konsumsi terhadap total rapeseed oil dunia, dapat
perkembangan pangsa konsumsi rapeseed oil dunia. Pada tahun 1965,
pangsa konsumsi Rapeseed Oil terbesar adalah Asia Selatan yakni
46.84%, namun hanya bertahan hingga tahun 1980 dengan penurunan
pangsa menjadi 27.03%.
Konsumsi rapeseed menyebar ke kawasan lainnya. Tahun 1980,
konsumsi rapeseed oil terbesar adalah Negara Maju, yakni 33.42%, dan
Asia Timur 28.99%. Tahun 2000, konsumsi rapeseed oil Negara Maju
menurun menjadi 23.30%, dan pangsa konsumsi rapeseed Asia Timur
naik menjadi 29.21%, dan Negara Uni Eropa meningkat pesat menjadi
0
5
10
15
20
25
30
1965
1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2014
Juta
To
n
Central Asia
Other Eastern Europe
Other Western Europe
Developed Countries
USA
European Union
East Asia
South Asia
Near East/ NorthAfricaSub- saharan Africa
16 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
25.93% Tahun 2014, konsumsi rapeseed oil dodominasi oleh kawasan
Uni Eropa dengan pangsa 33.79%, diikuti kawasan Asia Timur dengan
pangsa 27.10% dan Negara Maju 16.27%.
Data di atas sekaligus menggambarkan perubahan pola konsumsi
rapeseed oil dunia antar kawasan. Dalam kurun waktu 2010-2014,
negara konsumen terbesar Rapeseed Oil di dunia adalah EU-27 41.7%,
China 29.2%, United States 8.2%, Japan 4.5%, Mexico 2.9%, Canada
2.6%, India 2.5%, Pakistan 1.9%, Norway 1.4% dan sisanya 5.1% adalah
konsumsi sisa dunia (rest of the world) (Gambar 2.11).
Sumber: Oil World Gambar 2.11. Negara Konsumen Terbesar Rapeseed Oil Dunia 1965-2014
Minyak Bunga Matahari (Sunflower Oil). Sunflower oil merupakan sumber minyak nabati terbesar keempat setelah minyak sawit, minyak kedele dan rapeseed oil . Pada tahun 2014, Sunflower Oil memiliki pangsa dunia sebesar 10.0%. Perkembangan konsumsi Sunflower Oil dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu 1965-2014 disajikan pada gambar 2.12.
0
5
10
15
20
25
30
1964
1967
1970
1973
1976
1979
1982
1985
1988
1991
1994
1997
2000
2003
2006
2009
2012
Juta
To
n
Konsumsi Rapeseed Oil ROW
Norway
Pakistan
India
Canada
Mexico
Japan
United States
China
EU-27
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 17
Sumber: Oil World Gambar 2.12. Konsumsi Sunflower Oil berdasarkan Kawasan tahun 1965-2014
Meskipun pangsa sunflower oil hanya 10% dari total minyak
nabati utama dunia, namun perkembangannya cukup pesat. Pada
tahun 1965, konsumsi sunflower oil adalah 28.000 ton, dan pada tahun
2014 telah mencapai 15.195.000 ton. Hal tersebut menunjukkan dalam
kurun waktu 1965-2014, rata-rata konsumsi sunflower oil dunia
meningkat rata-rata 40.25 % per tahun.
Secara umum, konsumen terbesar sunflower oil dunia adalah
kawasan Uni Eropa (23.74%), Negara-negara Maju (19.1%) dan kawasan
near East/Afrika Utara (16.10%).
Dari sisi pangsa konsumsi dapat dilihat perkembangan konsumsi
sunflower oil dunia. Pada tahun 1965, konsumsi sunflower oil terbesar
adalah Near East/ Afrika Utara dan Eropa Barat, dengan pangsa
masing-masing 57.14% dan 39.29%.
Perkembangan konsumsi sunflower oil antar kawasan dunia
menunjukkan bahwa konsumsi sunflower oil cendrung berpusat di
Benua Eropa. Tahun 1980, konsumsi sunflower oil terbesar adalah
Amerika Latin dan Karibia (29.17%), Near East/ Afrika Utara (22.65%),
Uni Eropa (21.37%) dan Negara Maju (13.46%). Tahun 2000, konsumsi
sunflower oil di kawasan Amerika Latin dan Karibia menurun drastis
0
2
4
6
8
10
12
14
16
1964
1965
1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2014
Juta
To
n
Central Asia
Other Eastern Europe
Other Western Europe
Developed Countries
USA
European Union
East Asia
South Asia
Near East/ North Africa
Sub- saharan Africa
18 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
menjadi 8.44%, kawasan Near East/Afrika Utara juga menurun menjadi
11.77%, sedangkan pangsa konsumsi sunflower oil di kawasan Uni
Eropa naik menjadi 31.35% dan Negara Maju naik menjadi 21.59%.
Tahun 2014, konsumsi sunflower oil terbesar adalah Uni Eropa
(24.17%), diikuti Near East/ Afrika Utara (20.68%), Negara Maju
(18.76%). Sedangkan Amerika Latin dan Karibia menurun menjadi
6.30%, sebaliknya konsumsi kawasan Asia Selatan naik menjadi
12.70%).
Dalam kurun waktu 2010-2014, berdasarkan ranking tertinggi, negara konsumen terbesar sunflower oil di dunia adalah EU-27 sebesar 26.5%, Russian 15.9%, India 9.6%, Turkey 7.6%, China 5.2%, Egypt 5.2%, Argentina 4.7%, Ukraine 4.2%, South Africa 2.8% dan sisa dunia 18.2% (Gambar 2.13).
Sumber: Oil World Gambar 2.13. Negara Konsumen Terbesar Sunflower Oil Dunia 1965-2014
2.5. Pola Konsumsi Minyak Nabati Berdasarkan Kawasan
Amerika Latin dan Karibia. Kawasan Amerika Latin dan Karibia merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean oil/SBO). Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014. Pada tahun 1965, hampir 60% konsumsi minyak
0
2
4
6
8
10
12
14
16
19
64
19
67
19
70
19
73
19
76
19
79
19
82
19
85
19
88
19
91
19
94
19
97
20
00
20
03
20
06
20
09
20
12
Juta
To
n
Konsumsi Sunflower Oil ROW
South Africa
Ukraine
Argentina
Egypt
China
Turkey
India
RussianFederationEU-27
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 19
nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh rapeseed oil dan minyak sawit. Sejak tahun 1990 peran minyak sawit
semakin besar, sedangkan proporsi minyak rapeseed dan minyak bunga matahari semakin menurun. (Gambar 2.14).
Sumber: Oil World Gambar 2.14. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Amerika Latin dan Karibia Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Amerika Latin dan Karibia adalah 140.000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 20 kali lipat menjadi 1.991.000 ton, atau rata-rata meningkat 135.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak kedele naik dari 56.4% tahun 1965 menjadi 75.8% pada tahun 1980. Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 16.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil, dimana pangsa minyak sawit dan rapeseed oil keduanya hanya berkisar 7%.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak
nabati naik dari sekitar 3 juta ton menjadi 5 juta ton lebih, dengan
growth 7.1% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi
oleh minyak kedele (61.1%), sedangkan peran minyak sawit semakin
meningkat dari pangsa 6.7% pada tahun 1980 menjadi 16.5% pada
tahun 1990, dan selebihnya adalah minyak bunga matahari (16.9%) dan
rapeseed oil (5.5%). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 7.5 juta
-
2
4
6
8
10
12
14
1965 1980 1990 2000 2010 2014
Juta
To
n
SBO PO RSO SFO
20 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
ton, dengan growth 4.7% per tahun. Dalam dekade 2000-2010,
konsumsi minyak nabati di kawasan Amerika Latin dan Karibia
bertumbuh pesat, yakni 8.8% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi
minyak nabati telah mencapai 14,2 juta ton, kemudian tahun 2014 naik
rata-rata 3,7% per tahun menjadi 16.317 juta ton (Tabel 2.5)
Tabel 2.5. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Amerika Latin dan Karibia Tahun 1965-2014
Nabati Pangsa Konsumsi (JutaTon)
1965 1980 1990 2000 2010 2014
SBO
79 2,267 3,129 5,154 10,344 11,593
% 56.4 75.8 61.1 68.4 72.9 71.0
PO
29 200 843 1,253 2,482 2,992
% 20.7 6.7 16.5 16.6 17.5 18.3
RSO
32 19 284 435 698 775
% 22.9 0.6 5.5 5.8 4.9 4.7
SFO
- 505 863 688 668 957
% 0.0 16.9 16.9 9.1 4.7 5.9
Total
140.0 2,991.0 5,119.0 7,530.0 14,192.0 16,317.0
Growth %/thn
135.8 7.1 4.7 8.8 3.7
Sumber: Oil World
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama
minyak nabati di kawasan Amerika Latin dan Karibia adalah minyak
kedele (71%), dan minyak sawit berada pada urutan kedua dengan
proporsi 18.3%), sedangkan proporsi sun flower oil dan rapeseed oil
masing-masing adalah 4.7% dan 5.9%.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 21
Sub Sahara Afrika. Minyak sawit merupakan sumber utama konsumsi minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika. Sumber minyak nabati lainnya juga diperoleh dari minyak kedele dan rapeseed oil yang juga cenderung meningkat setiap tahun. Pada tahun 1965, hampir 90% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah minyak sawit, dan sisanya dipenuhi oleh rapeseed oil dan minyak kedele. Sejak tahun 2000 peran minyak kedele dan minyak rapeseed semakin besar (Gambar 2.15).
Sumber: Oil World Gambar 2.15. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Sub
Sahara Afrika Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Sub Sahara
Afrika adalah 711.900 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati
meningkat lebih dari 2 kali lipat menjadi 1.520.600 ton, atau rata-rata
meningkat 7.6 % per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa
konsumsi minyak kedele naik dari 1.5 % tahun 1965 menjadi 10.4%
pada tahun 1980. Namun proporsi rapeseed oil menurun dari 12.5%
menjadi 3.1%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati
cenderung berkembang pada konsumsi minyak kedele.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 1.5 juta ton menjadi 2.8 juta ton lebih, dengan
-
1
2
3
4
5
6
7
1965 1980 1990 2000 2010 2014
Juta
To
n
SBO PO RSO SFO
22 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
growth 8.6% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak sawit (71.9%), sedangkan peran minyak sawit kedele menurun dari pangsa 10.4% pada tahun 1980 menjadi 6.0% pada tahun 1990, sementara minyak rapeseed meningkat dari pangsa 3.1% menjadi 22.2 %. Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 5.5 juta ton, dengan growth 9.3% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika bertumbuh pesat, yakni 9% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 10,4 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 2.3% per tahun menjadi 11.3 juta ton (Tabel 2.6). Tabel 2.6. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Sub
Sahara Afrika Tahun 1965-2014
Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton)
1965 1980 1990 2000 2010 2014
SBO
11 158 169 1,554 3,189 3,307
% 1.5 10.4 6.0 28.4 30.7 29.2
PO
612 1,316 2,034 3,008 5,796 6,476
% 86.0 86.5 71.9 55.1 55.8 57.1
RSO
89 47 628 901 1,407 1,561
% 12.5 3.1 22.2 16.5 13.5 13.8
SFO
- - - - - -
% 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Total
711.9 1,520.6 2,830.5 5,462.8 10,391.9 11,343.7
Growth %/thn
7.6 8.6 9.3 9.0 2.3
Sumber: Oil World
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama
minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika adalah minyak sawit dengan pangsa (57.1%), dan minyak kedele berada pada urutan kedua dengan proporsi (29.2%), sedangkan rapeseed oil adalah 13.8%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan minyak kedele dalam pola konsumsi minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika. Sementara rapeseed oil cenderung merata pada kisaran 13 %.
Near East dan Afrika Utara. Secara umum, kawasan Near East dan
Afrika Utara merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean oil=SBO). Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014. Pada tahun 1965, sekitar 57 % konsumsi
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 23
minyak nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh sunflower oil dan minyak sawit. Sejak tahun 1990 peran sun flower oil dan minyak sawit semakin besar, namun laju pertumbuhan sun flower oil lebih besar dibandingkan dengan laju minyak sawit, yakni masing-masing 15.24% dan 6.76% per tahun (Gambar 2.16).
Sumber: Oil World Gambar 2.16. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Near East dan Afrika Utara Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Near East
dan Afrika Utara adalah 140.000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 20 kali lipat menjadi 1.991.000 ton, atau rata-rata meningkat 135.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak kedele naik dari 56.4% tahun 1965 menjadi 75.8% pada tahun 1980. Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 16.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil, dimana pangsa minyak sawit dan rapeseed oil keduanya hanya berkisar 7%.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak
nabati naik dari sekitar 1.4 juta ton menjadi 2.9 juta ton lebih, dengan
growth 10.6% per tahun. Sumber utama minyak nabati bergeser dari
minyak kedele ke sunflower oil dengan pangsa 45.5 %. Sedangkan
peran minyak sawit semakin meningkat dari pangsa 8.58% pada tahun
1980 menjadi 17.96% pada tahun 1990, sementara peran minyak kedele
-
1
1
2
2
3
3
4
1965 1980 1990 2000 2010 2014
Juta
To
n
SBO PO RSO SFO
24 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
menurun dari 51.1 % menjadi 27.3 %. Tahun 2000 konsumsi nabati naik
menjadi 4.1 juta ton, dengan growth 4.1% per tahun. Dalam dekade
2000-2010, konsumsi minyak nabati di kawasan Near East dan Afrika
Utara bertumbuh sebesar 5.4% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi
minyak nabati telah mencapai 6.3 juta ton, kemudian tahun 2014 naik
rata-rata 6,7% per tahun menjadi 8 juta ton (Tabel 2.7).
Tabel 2.7. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Near
East dan Afrika Utara Tahun 1965-2014
Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton)
1965 1980 1990 2000 2010 2014
SBO
94 720 791 2,010 2,631 2,644
% 56.6 51.1 27.3 49.0 41.5 32.9
PO
- 121 521 1,100 1,811 2,163
% - 8.58 17.96 26.82 28.58 26.89
RSO
57 177 270 33 131 95
% 34.3 12.6 9.3 0.8 2.1 1.2
SFO
15 392 1,319 959 1,764 3,143
% 9.0 27.8 45.5 23.4 27.8 39.1
Total
166.0 1,398.0 3,699.0 3,961.0 6,290.0 9,025.0
Growth %/thn
49.5 16.5 0.7 5.9 10.9
Sumber: Oil World
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama
minyak nabati di kawasan Near East dan Afrika Utara adalah sun flower oil (39.1%), dan minyak kedele berada pada urutan kedua dengan proporsi 32.9%, diikuti minyak sawit dengan proporsi 26.89% proporsi dan rapeseed oil dalam jumlah kecil, yakni 1.2%. Proporsi minyak sawit meningkat pesat, sedangkan proporsi minyak kedele cenderung menurun dan proporsi rapeseed menurun tajam dari 34.3% (1965) menjadi 1.2% (2014).
Asia Selatan. Kawasan Asia Selatan merupakan konsumen
utama minyak sawit. Minyak sawit memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014 dengan pangsa rata-rata 42.4 %. Pada tahun 1965, konsumsi utama minyak nabati di kawasan ini adalah rapeseed oil dengan pangsa 77.5%, sementara minyak sawit baru
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 25
berkisar 2% dan minyak kedele sebsesar 20.6%. Sejak tahun 1980 peran minyak sawit mulai meningkat dan pada tahun 2014 telah menggeser dominasi rapeseed dan minyak kedele. Sementara pangsa sun flower oil masih tetap penting dengan pangsa sata-rata 12,5%. (Gambar 2.17).
Sumber: Oil World Gambar 2.17. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Selatan Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Asia Selatan adalah 0.8 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 3 kali lipat menjadi 2.4 juta ton, atau rata-rata meningkat dengan laju pertumbuhan 13 % per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit naik dari 2% tahun 1965 menjadi 30.6% pada tahun 1980. Sedangkan pangsa konsumsi minyak kedele naik menjadi 39,8%, sementara rape seed oil menurun menjadi 28.7%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil dan minyak sawit, sementara penurunan pangsa rapeseed oil cenderung menurun karena terbatasnya supply sumber minyak nabati ini di kawasan Asia Selatan. Dimana volume konsumsi 1965 tidak jauh berbeda dengan volume konsumsi rapeseed oil tahun 1980, yakni 629.000 ton dan 690.000 ton.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 2.4 juta ton menjadi 3.1 juta ton, dengan growth 13% per tahun. Sumber utama minyak nabati didominasi oleh minyak kedele (39.8%), sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dengan pangsa 30.6% pada tahun 1990. dan selebihnya adalah minyak bunga matahari dengan pangsa 28.7%). Dalam dekade 1990-2000
-
2
4
6
8
10
12
14
1965 1980 1990 2000 2010 2014
Juta
To
n
SBO PO RSO SFO
26 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
konsumsi nabati naik menjadi 10.5 juta ton, dengan pertumbuhan yang pesat sebesar 23.5% per tahun. Tahun 2010, konsumsi minyak nabati telah mencapai 15,8 juta ton dengan laju pertumbuhan 5.1% per tahun. Tahun 2014 laju konsumsi naik 3,7% per tahun menjadi 19.9 juta ton (Tabel 2.8). Tabel 2.8. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia
Selatan Tahun 1965-2014
Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton)
1965 1980 1990 2000 2010 2014
SBO
167 955 890 2,767 3,071 3,945
% 20.6 39.8 28.6 26.5 19.5 19.8
PO
16 734 1,186 5,674 10,232 12,880
% 2.0 30.6 38.1 54.4 64.9 64.7
RSO
629 690 737 984 1,160 1,146
% 77.5 28.7 23.7 9.4 7.4 5.8
SFO
- 22 302 1,003 1,297 1,930
% 0.0 0.9 9.7 9.6 8.2 9.7
Total
812.0 2,401.0 3,115.0 10,428.0 15,760.0 19,901.0
Growth %/thn
13.0 3.0 23.5 5.1 6.6
Sumber: Oil World
Pada tahun 2014, konsumsi utama minyak nabati terbesar di
kawasan Asia Selatan adalah minyak sawit (64.7%), dan minyak kedele berada pada urutan kedua dengan proporsi 19.8%, sedangkan proporsi sun flower oil dan rapeseed oil masing-masing adalah 9.7% dan 5.8%. Proporsi minyak sawit meningkat pesat, sedangkan proporsi minyak kedele dan rapeseed oil menurun tajam. Hal ini menunjukkan pola konsumsi bergeser dari rapeseed dan minyak kedele ke minyak sawit.
Asia Timur. Kawasan Asia Timur merupakan konsumen utama minyak sawit. Pola konsumsi minyak nabati di kawasan ini bergeser dari dominasi rapeseed oil pada tahun 1965 (57.9%) ke minyak sawit (1980-2014). Meski demikian, peran minyak kedele dan rapeseed oil tetap memiliki konstribusi penting, serta laju konsumsi tetap meningkat sepanjang tahun. Sejak tahun 2000 peran minyak kedele semakin besar dibandingkan dengan rapeseed. Peran sun flower oil cenderung stabil pada rata-rata pangsa 2.4 % (Gambar 2.18).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 27
Sumber: Oil World Gambar 2.18. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Timur Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Asia Timur
adalah 0.61 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat
4.5 kali lipat menjadi 2.7 juta ton, dengan growth 23.5% per tahun.
Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit naik
dari 10.6% tahun 1965 menjadi 44% pada tahun 1980. Sumber konsumsi
kedua adalah rape seed oil dengan pangsa 27.2% dan minyak kedele
23.1%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung
bergeser dari rapeseed ke minyak sawit dan minyak kedele. Kontribusi
sunflower oil adalah 5.6%.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak
nabati naik dari sekitar 2.7 juta ton menjadi 9.3 juta ton, dengan growth
24.2% per tahun. Sumber utama minyak nabati terbesar tetap diperoleh
dari minyak sawit (48.3%). Peran rapeseed oil tetap pada posisi kedua
dengan pangsa 28.5% dan diikuti kontribusi minyak kedele dengan
pangsa 20,6 % (menurun 2.6% dari pangsa tahun 1980). Tahun 2000
konsumsi nabati naik menjadi 18.8 juta ton, dengan growth 10.3% per
tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di kawasan
-
5
10
15
20
25
30
1965 1980 1990 2000 2010 2014
Juta
To
n
SBO PO RSO SFO
28 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Asia Timur bertumbuh dengan laju 10.8% per tahun, dan tahun 2010
konsumsi minyak nabati telah mencapai 39,1 juta ton, kemudian tahun
2014 naik rata-rata 7.8% per tahun menjadi 51.4 juta ton (Tabel 2.9)
Tabel 2.9. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia
Timur Tahun 1965-2014
Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton)
1965 1980 1990 2000 2010 2014
SBO
189 629 1,910 5,053 12,948 16,073
% 31.4 23.1 20.6 26.8 33.1 31.3
PO
64 1,197 4,487 8,932 19,495 26,606
% 10.6 44.0 48.3 47.4 49.8 51.8
RSO
348 740 2,643 4,457 6,126 7,557
% 57.9 27.2 28.5 23.6 15.6 14.7
SFO
- 153 247 405 576 1,130
% 0.0 5.6 2.7 2.1 1.5 2.2
Total
601.0 2,719.0 9,287.0 18,847.0 39,145.0 51,366.0
Growth %/thn
23.5 24.2 10.3 10.8 7.8
Sumber: Oil World
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama
minyak nabati di kawasan Asia Timur adalah minyak sawit (51.8%),
dan minyak kedele berada pada urutan kedua dengan proporsi 31.3%,
sedangkan proporsi rapeseed oil dan sun flower oil masing-masing
adalah 14.7% dan 2.2%. Proporsi minyak sawit meningkat pesat dari
10.6% (1965) menjadi 51.8% (2014), sedangkan proporsi minyak kedele
cenderung sama, yakni berkisar sepertiga dari konsumsi minyak nabati
total, sedangkan rapeseed oil menurun tajam. Hal ini menunjukkan
perubahan pola konsumsi dari rapeseed ke minyak sawit.
Negara Maju (Developed Countries). Kawasan Negara Maju
merupakan konsumen utama rapeseed oil. Minyak rapeseed memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014. Pada tahun 1965, sebanyak 52% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah rapeseed oil, dan sisanya dipenuhi oleh minyak kedele 28.8% dan minyak sawit 18.6%. Sumber minyak nabati kedua terpenting di
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 29
kawasan ini adalah sunflower oil, dengan trend pertumbuhan positif sebesar 15% pada kurun waktu 1980-2014. Sedangkan laju soybean oil adalah 5% per tahun dan minyak sawit 5% per tahun. Pada Gambar 2.19, terlihat bahwa konstribusi minyak sawit relatif terendah dibandingkan sumber minyak nabati lainnya.
Sumber: Oil World Gambar 2.19. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Negara Maju Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Negara Maju adalah 0.34 juta ton. Tahun 1980, meningkat 4 kali lipat lebih menjadi 1.5 juta ton, dengan laju pertumbuhan 21.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada peningkatan pangsa konsumsi minyak rapeseed dari 52.3% tahun 1965 menjadi 58.1% pada tahun 1980. Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 15.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati masih tetap didominasi minyak rapeseed dan berkembang pada permintaan sunflower oil, dan selebihnya bersumber dari minyak kedele dan minyak sawit, dengan proporsi keduanya mencapai 25%.
Dalam dekade 1980 hingga 1990, konsumsi minyak nabati naik
dari 1.5 juta ton menjadi 4.7 juta ton lebih, dengan growth 21.8% per
tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh rapeseed
oil (52.1%), sedangkan peran sunflower oil semakin meningkat dari
pangsa 15.9% pada tahun 1980 menjadi 31.4% pada tahun 1990, dan
selebihnya adalah minyak kedele (9.6%) dan minyak sawit (6.9%).
-
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
1965 1980 1990 2000 2010 2014
Juta
To
n
SBO PO RSO SFO
30 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 6.7 juta ton, dengan growth
4.1% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di
kawasan Negara Maju bertumbuh 4% per tahun, dan tahun 2010
konsumsi minyak nabati 8 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata
2.8% per tahun menjadi 8.9 juta ton (Tabel 2.10).
Tabel 2.10. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Negara Maju Tahun 1965-2014
Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton)
1965 1980 1990 2000 2010 2014
SBO
99 234 456 904 731 830
% 28.8 15.9 9.6 13.5 9.1 9.3
PO
64 148 328 459 642 685
% 18.6 10.1 6.9 6.9 8.0 7.7
RSO
180 853 2,473 3,555 4,094 4,536
% 52.3 58.1 52.1 53.2 51.2 51.0
SFO
1 233 1,490 1,760 2,529 2,851
% 0.3 15.9 31.4 26.4 31.6 32.0
Total
344.0 1,468.0 4,747.0 6,678.0 7,996.0 8,902.0
Growth %/thn
21.8 22.3 4.1 2.0 2.8
Sumber: Oil World
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama
minyak nabati di kawasan Negara Maju adalah rapeseed oil (51%), dan
minyak sawit berada pada urutan keempat dengan proporsi 7.7%,
berada dibawah sunflower oil (32%) dan minyak kedele (9.3%). Tidak
terdapat perubahan yang nyata dalam pola konsumsi minyak nabati,
dimana tetap didominasi oleh rapeseed oil, yang didukung oleh
sunflower oil, minyak kedele dan minyak sawit.
Amerika Serikat. Negara Amerika Serikat merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean oil=SBO). Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014. Pada tahun 1965, sebanyak 98.8% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh minyak sawit dan rapeseed oil serta sunflower oil dalam proporsi yang relatif kecil (Gambar 2.20).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 31
Sumber: Oil World Gambar 2.20. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara
Amerika Serikat Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati Negara Amerika Serikat adalah 2.2 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 2 kali lipat menjadi 4.3 juta ton, atau rata-rata meningkat 6.6% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada permintaan minyak sawit naik dari 1.1% tahun 1965 menjadi 3.2% pada tahun 1980. Sumber lainnya adalah rapeseed oil dan sunflower oil. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung tidak berubah, yakni tetap pada minyak kedele.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 4.3 juta ton menjadi 6 juta ton lebih, dengan growth 3.9% per tahun. Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 8.6 juta ton, dengan growth 4.3% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di Negara Amerika Serikat bertumbuh 2.2 % per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 10,5 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 3,6% per tahun menjadi 12 juta ton.
Perkembangan volume konsumsi minyak kedele di Amerika
serikat naik 2 juta ton per satu dekade, selama 1980 hingga 2010.
Kemudian, pertumbuhan semakin cepat, dimana pertambahan 2 juta
ton hanya diperlukan dalam 4 tahun. Sementara laju ketersediaan
minyak kedele adalah rata-rata 3 % per tahun. Kebutuhan minyak
nabati dipenuhi dari tiga sumber lainnya, yakni rapeseed oil, minyak
sawit dan sunflower oil. Diantara ketiganya, laju pertumbuhan minyak
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1965 1980 1990 2000 2010 2014
Juta
To
n
SBO PO RSO SFO
32 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
sawit relatif paling besar yakni 18% per tahun, sementara laju minyak
rapeseed dan sunflower oil masing-masing adalah 9% dan 5% per
tahun (Tabel 2.11).
Tabel 2.11. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara
Amerika Serikat Tahun 1965-2014
Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton)
1965 1980 1990 2000 2010 2014
SBO
2,137 4,134 5,506 7,401 7,619 8,210
% 98.8 95.9 91.6 86.3 72.7 68.4
PO
23 140 116 175 957 1,381
% 1.1 3.2 1.9 2.0 9.1 11.5
RSO
3 6 297 849 1,665 2,220
% 0.1 0.1 4.9 9.9 15.9 18.5
SFO
- 29 91 154 243 193
% 0.0 0.7 1.5 1.8 2.3 1.6
Total
2,163.0 4,309.0 6,010.0 8,579.0 10,484.0 12,004.0
Growth %/thn
6.6 3.9 4.3 2.2 3.6
Sumber: Oil World
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama
minyak nabati di kawasan Asia Timur adalah minyak kedele (68.4%),
dan minyak rapeseed berada pada urutan kedua dengan proporsi
18.5.3%, sedangkan proporsi minyak sawit dan sun flower oil masing-
masing adalah 11.5% dan 1.6%. Pola konsumsi masih tetap didominasi
minyak kedele, namun perkembangan minyak sawit dan minyak
rapeseed juga pesat. Hal ini menunjukkan minyak sawit lebih bersifat
komplementer, untuk memenuhi permintaan minyak nabati Amerika
Serikat.
Uni Eropa. Kawasan Uni Eropa merupakan konsumen utama
rapeseed oil. Sunflower oil memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1990-2014. Pada tahun 1990, hampir sekitar 85% konsumsi minyak nabati di kawasan Uni Eropa adalah sungflower oil, dan sisanya dipenuhi oleh minyak kedele (14.9%) dan rapeseed oil (0.8%). Sejak tahun 2000 terjadi perubahan pola konsumsi dari
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 33
sunflower oil ke rapeseed oil dan minyak sawit. Sementara konsumsi minyak kedele cenderung menurun sejak tahun 2000 (Gambar 2.21).
Sumber: Oil World Gambar 2.21. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Uni
Eropa Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Uni Eropa adalah 1000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat menjadi 463000 ton. Tahun 2000 konsumsi minyak nabati meningkat sangat pesat menjadi 11,5 juta ton atau hampir 25 kali lipat dalam dekade 1990-2000. Peningkatan ini berdampak pada perubahan pola konsumsi, sunflower oil menurun dari 84.3% menjadi 22.2 %, sementara rapeseed meningkat pesat dari 0.8% menjadi 34.4% dan minyak sawit dari 0 menjadi 24.3%, serta minyak kedele naik dari 14.9% menjadi 19%.
Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil ke rapeseed dan Minyak sawit berada pada posisi kedua
Dalam dekade 2000 ke 2010, konsumsi minyak nabati naik dari
sekitar 11.5 juta ton menjadi 20.1 juta ton lebih, dengan growth 8.1% per
tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh rapeseed
oil (46.4%), dan minyak sawit memiliki kontribusi penting dengan
pangsa 23.6% dan selebihnya adalah minyak bunga matahari (16.9%)
dan minyak kedele (13.2%). Tahun 2014 konsumsi nabati naik menjadi
21 juta ton, dengan growth 0.2% per tahun (Tabel 2.12)
-
2
4
6
8
10
12
1965 1980 1990 2000 2010 2014
Juta
To
n
SBO PO RSO SFO
34 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 2.12. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Uni Eropa Tahun 1965-2014
Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton)
1965 1980 1990 2000 2010 2014
SBO
- 86 71 2,186 2,745 1,780
% 0.0 18.6 14.9 19.0 13.2 8.5
PO
- - - 2,790 4,910 6,125
% 0.0 0.0 0.0 24.3 23.6 29.2
RSO
1 7 4 3,956 9,666 9,420
% 100.0 1.5 0.8 34.4 46.4 44.9
SFO
- 370 403 2,555 3,524 3,673
% 0.0 79.9 84.3 22.2 16.9 17.5
Total
1.0 463.0 478.0 11,487.0 20,845.0 20,998.0
Growth %/thn
3,080.0 0.3 230.3 8.1 0.2
Sumber: Oil World
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama
minyak nabati di kawasan Uni Eropa adalah rapeseed oil (44.9%), dan minyak sawit berada pada urutan kedua dengan proporsi 29.2%, sedangkan proporsi sun flower oil dan minyak kedele masing-masing adalah 17.5% dan 8.5%. Tahun 1980 dan 1990 pola konsumsi didominasi oleh sun flower oil, kemudian bergeser ke rapeseed oil pada tahun 2000 dan 2010. Minyak sawit memiliki peran kedua terpenting dalam memenuhi permintaan minyak nabati Uni Eropa. Minyak kedele lebih bersifat complementary, yakni untuk mencukup permintaan minyak nabati di Uni Eropa.
Eropa Barat Lainnya. Dewasa ini kawasan Eropa Barat merupakan salah satu kawasan konsumen terbesar rapeseed oil. Namun kawasan ini mengalami perubahan pola konsumsi. Sejak tahun 1965 hingga 2000, sekitar 50% konsumsi minyak nabati Uni Eropa adalah minyak kedele. Dan sunflower oil merupakan sumber kedua terpenting dengan rata-rata pangsa 27%). Kemudian sejak 2000, pola konsumsi berubah drastis ke rapeseed oil dengan pangsa rata-rata 72.2 %. Sunflower oil tetap menempati urutan kedua terbesar, sedang pangsa minyak kedele merosot tajam menjadi 9%. Perubahan ini sekaligus menambah kontribusi minyak sawit di Uni Eropa, dengan pangsa rata-rata 8% (Gambar 2.22).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 35
Sumber: Oil World Gambar 2.22. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Eropa Barat Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Eropa Barat
adalah 52.000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 2
kali lipat menjadi 105.000 ton, atau rata-rata meningkat 6.8% per tahun.
Pola konsumsi pada tahun 1980 adalah minyak kedele dengan pangsa
50.5%, diikuti sunflower oil 25.7%, rapeseed oil 13.3% dan minyak sawit
10.5%.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak
nabati naik 15% dari 105.000 ton menjadi 121.000 ton, dengan growth
1.5% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh
minyak kedele (46.3%) dan sunflower oil berada pada urutan kedua
(22.3%). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 174.000 ton, dengan
growth 4.4% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak
nabati di kawasan Eropa Barat bertumbuh pesat, yakni 11.6% per
tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 375.000
ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 10.3% per tahun menjadi
530.000 ton (Tabel 2.13).
-
50
100
150
200
250
300
350
400
450
1965 1980 1990 2000 2010 2014
Rib
u T
on
SBO PO RSO SFO
36 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 2.13. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Barat Tahun 1965-2014
Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton)
1965 1980 1990 2000 2010 2014
SBO
29 53 56 63 37 43
% 55.8 50.5 46.3 36.2 9.9 8.1
PO
- 11 17 29 28 45
% 0.0 10.5 14.0 16.7 7.5 8.5
RSO
4 14 21 41 261 396
% 7.7 13.3 17.4 23.6 69.6 74.7
SFO
19 27 27 41 49 46
% 36.5 25.7 22.3 23.6 13.1 8.7
Total
52.0 105.0 121.0 174.0 375.0 530.0
Growth %/thn
6.8 1.5 4.4 11.6 10.3
Sumber: Oil World
. Data di atas menunjukkan adanya perubahan pola konsumsi
dari minyak kedele dan sun flower oil ke minyak rapeseed, sedangkan konsumsi minyak sawit cenderung bersifat complementary, dengan pangsa rata-rata sekitar 10%.
Europa Timur Lainnya. Kawasan Eropa Timur merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean oil=SBO). Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014. Pada tahun 1965, hampir 60% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh rapeseed oil dan minyak sawit. Sejak tahun 1990 peran minyak sawit semakin besar, sedangkan proporsi minyak rapeseed dan minyak bunga matahari semakin menurun (Gambar 2.23).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 37
Sumber: Oil World Gambar 2.23. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Eropa Timur Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Eropa Timur adalah 140.000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 20 kali lipat menjadi 1.991.000 ton, atau rata-rata meningkat 135.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak kedele naik dari 56.4% tahun 1965 menjadi 75.8% pada tahun 1980. Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 16.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke sunflower oil, dimana pangsa minyak sawit dan rapeseed oil keduanya hanya berkisar 7%.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak
nabati naik dari sekitar 3 juta ton menjadi 5 juta ton lebih, dengan
growth 7.1% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi
oleh minyak kedele (61.1%), sedangkan peran minyak sawit semakin
meningkat dari pangsa 6.7% pada tahun 1980 menjadi 16.5% pada
tahun 1990, dan selebihnya adalah minyak bunga matahari (16.9%) dan
rapeseed oil (5.5%). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 7.5 juta
ton, dengan growth 4.7% per tahun. Dalam dekade 2000-2010,
konsumsi minyak nabati di kawasan Eropa Timur bertumbuh pesat,
yakni 8.8% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah
0
200
400
600
800
1000
1200
1965 1980 1990 2000 2010 2014
Rib
u T
on
SBO PO RSO SFO
38 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
mencapai 14,2 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 3,7% per
tahun menjadi 16.317 juta ton (Tabel 2.14).
Tabel 2.14. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa Timur Tahun 1965-2014
Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton)
1965 1980 1990 2000 2010 2014
SBO
75 10 84 60
% 0.0 0.0 5.6 1.9 8.1 5.4
PO
% 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
RSO
60 47 123 132
% - - 4.5 9.1 11.8 11.8
SFO
1,198 458 833 922
% 0.0 0.0 89.9 88.9 80.1 82.8
Total
1,333.0 515.0 1,040.0 1,114.0
Growth %/thn
-6.1 10.2 1.8
Sumber: Oil World
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama
minyak nabati di kawasan Eropa Timur adalah sun flower oil (82.8%),
Hal ini berbeda dengan Uni Eropa dan Eropa Barat. Rapeseed oil
berada pada urutan kedua dengan proporsi 11.8% dan minyak kedele
5.4%. Secara umum, sumber utama konsumsi minyak nabati di Eropa
Timur adalah sun flower oil dan rapeseed.
Asia Tengah. Konsumen utama minyak nabati di kawasan Asia Tengah adalah minyak sawit, dan sunflower oil berada pada urutan kedua. Minyak awit memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 2000 s.d 2014. Pada tahun 1990, sunflower oil memiliki pangsa konsumsi sebesar 97.3 % dan belum mengkonsumsi minyak sawit. Sejak tahun 2000 peran minyak sawit meningkat pesat dan mencapai pangsa konsumsi 68.5%, dan pangsa sunflower oil merosot tajam menjadi 29,2 %. Perkembangan selanjutnya tetap didominasi minyak sawit, dan didukung sunflower oil, rapeseed, dan soybean oil (Gambar 2.24).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 39
Sumber: Oil World Gambar 2.24. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Tengah Tahun 1965-2014
Tahun 1990, total konsumsi minyak nabati kawasan Asia Tengah
adalah 110.000 ton. Tahun 2000, konsumsi minyak nabati meningkat
hampir 4 kali lipat menjadi 438.000 ton, atau rata-rata meningkat 29.8%
per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak
sawit dari 0% tahun 1990 menjadi 68.7% pada tahun 2000. Sumber
konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 29.2%. Hal ini
menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser dari
sunflower oil ke minyak sawit, sisanya adalah minyak kedele (2.3%).
Dalam dekade 2000 ke 2010, konsumsi minyak nabati naik dari sekitar 438.000 ton menjadi 1.680 ton lebih, dengan growth 28.5% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak sawit (78.6%)
Tahun 2000-2010 konsumsi nabati naik menjadi 1.685.000 ton. Dengan growth 28.5% per tahun. Pada tahun 2014 naik rata-rata 7,7% per tahun menjadi 2.201.000 ton (Tabel 2.15).
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
1965 1980 1990 2000 2010 2014
Rib
u T
on
SBO PO RSO SFO
40 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 2.15. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia Tengah Tahun 1965-2014
Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton)
1965 1980 1990 2000 2010 2014
SBO
- 10 4 7
% 0.0 0.0 0.0 2.3 0.2 0.3
PO
- 300 1,325 1,800
% 0.0 0.0 0.0 68.5 78.6 81.8
RSO
3 - 22 44
% - - 2.7 - 1.3 2.0
SFO
107 128 334 350
% 0.0 0.0 97.3 29.2 19.8 15.9
Total
110.0 438.0 1,685.0 2,201.0
Growth %/thn
29.8 28.5 7.7
Sumber: Oil World
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama
minyak nabati di kawasan Asia Tengah adalah minyak sawit dengan
proporsi yang sangat dominan, yakni (81.8%), dan sun flower oil
berada pada urutan kedua dengan proporsi 15.9%. Minyak kedele dan
rapeseed berifat complementary dengan proporsi masing-masing 0.3%
dan 2.0%.
World. Hingga tahun 2008, konsumsi utama dan terbesar minyak nabati dunia adalah minyak kedele. Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2008, dengan pangsa rata-rata 47.6% (atau hampir separoh dari konsumsi total minyak nabati utama dunia). Pada kurun waktu yang sama, pangsa rata-rata minyak sawit adalah 24.4 %, rapeseed oil 18.4 % dan sunflower oil 9.5 %. Namun pada kurun waktu 2008 hingga 2014, pola konsumsi dunia berubah, dimana konsumsi minyak sawit meningkat hampir 40 %, dan pangsa minyak kedele menurun menjadi 33.3%, sementara pangsa rapeseed oil menurun menjadi 17.6 % dan sunflower oil naik menjadi 9.7 % (Gambar 2.25).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 41
Sumber: Oil World Gambar 2.25. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia
Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati Dunia adalah 5.2 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 3 kali lipat lebih menjadi 18 juta ton, atau rata-rata meningkat 16.3% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit naik dari 14.8% tahun 1965 menjadi 21.6% pada tahun 1980. Sedangkan pangsa minyak kedele menurun dari 59.7% menjadi 55.2%, dan rapeseed oil menurn dari 24.8% menjadi 13.6%, sedangkan pangsa sunflower oil naik dari 0.7% menjadi 9.6 juta ton.
Dalam dekade 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati dunia naik
dua kali lipat dari 18 juta ton menjadi 36 juta ton, dengan growth 10.2%
per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak
kedele (37.6%), sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dari
pangsa 21.6% pada tahun 1980 menjadi 28.8% pada tahun 1990, dan
selebihnya adalah rapeseed oil (17%) dan sunflower oil meningkat
pesat menjadi 16.6 %. Tahun 2000 konsumsi nabati dunia naik menjadi
73 juta ton, dengan growth 10.1% per tahun. Dalam dekade 2000-2010,
laju pertumbuhan konsumsi minyak nabati dunia naik 7.3% per tahun,
dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 126 juta ton,
kemudian tahun 2014 naik rata-rata 5% per tahun menjadi 152 juta ton
(Tabel 2.16).
-
10
20
30
40
50
60
70
1965 1980 1990 2000 2010 2014
Juta
To
n
SBO PO RSO SFO
42 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 2.16. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun 1965-2014
Nabati Pangsa Konsumsi (Ribu Ton)
1965 1980 1990 2000 2010 2014
SBO
3,120 9,935 13,667 27,814 43,690 48,692
% 59.7 55.2 37.6 38.1 34.6 32.1
PO
776 3,882 10,465 23,642 47,774 62,267
% 14.8 21.6 28.8 32.4 37.8 41.1
RSO
1,297 2,452 6,198 13,379 23,163 25,464
% 24.8 13.6 17.0 18.3 18.3 16.8
SFO
35 1,731 6,047 8,151 11,817 15,195
% 0.7 9.6 16.6 11.2 9.3 10.0
Total
5,227.9 17,999.6 36,376.5 72,985.8 126,443.9 151,617.7
Growth %/thn
16.3 10.2 10.1 7.3 5.0
Sumber: Oil World
Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama
minyak nabati Dunia adalah minyak sawit (41,4%), diikuti minyak kedele dengan proporsi 32.1%, sedangkan proporsi rapeseed oil dan sun flower oil masing-masing adalah 16.8% dan 10%. Data di atas mencerminkan adanya perubahan pola konsumsi minyak nabati dunia dari minyak kedele ke minyak sawit.
2.6. Perkembangan Produksi Minyak Nabati Utama Global
Menurut Negara Produsen
1. Perkembangan Umum
Negara produsen minyak nabati utama dunia antara lain adalah
Amerika Serikat (soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil), India
(soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil), China (soybean oil,
rapeseed oil dan sunflower oil), Uni Eropa (rapeseed oil dan sunflower
oil), Indonesia (minyak sawit) dan Malaysia (minyak sawit).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 43
Tabel 2.17. Pangsa Produksi Minyak Nabati terhadap Total Produksi Minyak Nabati Utama Dunia 1970-2013 (%)
1970 1980 1990 2000 2010 2013
Indonesia 3.06 3.91 7.39 11.45 18.69 21.30
Malaysia 7.28 14.01 16.81 16.46 14.43 13.19
China 5.78 5.37 8.02 10.69 12.07 13.06
EU 0.00 0.00 0.00 9.27 9.37 8.49
USA 46.32 28.15 17.72 12.53 7.38 6.71
India 6.51 3.61 6.36 3.63 3.46 2.99
Total 68.95 55.05 56.30 64.03 65.41 65.75
Sumber: Oil World
Tahun 1970, Amerika Serikat merupakan negara produsen
terbesar minyak nabati dunia dengan pangsa 46.32 %, diikuti Malaysia sebesar 7.28 %. Tahun 1980, seiring dengan perkembangan produksi minyak nabati di negara produsen lainnya, pangsa Amerika Serikat menurun menjadi 28.15, sementara Malaysia naik menjadi 14.01%. Pada tahun 2000, pangsa Amerika Serika semakin menurun, yakni 12.53%, dan kontribusi terbesar kedua adalah Malaysia (16.46%). Peran Indonesia semakin tinggi, yakni 11.45 %, dan posisi keempat adalah China dengan pangsa 10.69%. Pada tahun 2006, poduksi minyak sawit Indonesia telah melampaui produksi minyak sawit Malaysia, dan pada tahun 2010, Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit dengan pangsa 18.69 %, dan tahun 2013, pangsa minyak sawit Indonesia telah mencapai 21.3 %, diikuti Malaysia 13.19 %, Chinan13.06%, Uni Eropa 8.49%, USA 6.71% dan India 2.99%.
Tahun 1988-1994, Amerika Serikat dan Malaysia berada pada posisi yang sama, yakni dengan pangsa rata-rata 17.6 %. Kemudian sejak 1995, Malaysia telah berhasil mengalahkan dominasi minyak nabati dunia. Pada tahun 1977, Indonesia, China dan India berada pada posisi yang sama, yakni dengan pangsa 3.7 %. Namun masing-masing negara memiliki pertumbuhan produksi yang berbeda, dimana Indonesia bertumbuh rata-rata 4.8% per tahun, China bertumbuh rata-rata 3.4 % per tahun, sedangkan India cenderung menurun 0.2 % per tahun.
44 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: Oil World Gambar 2.26. Perkembangan Pangsa Produksi Minyak Nabati Utama Dunia
1964-2013
Perkembangan ini memiliki dampak yang cukup besar, dimana
Indonesia berhasil mengalahkan Malaysia pada tahun 2006. China juga
berhasil menyamai pangsa Malaysia pada tahun 2013, dengan pangsa
yang sama, yakni dengan pangsa 13.1 %. Dan hal ini akan
memproyeksikan China akan unggul dibandingkan dengan Malaysia
dimasa mendatang. Sebaliknya, India cenderung menurun, sehingga
negara ini cenderung menjadi negara importir (Gambar 2.26).
2. Minyak Sawit (CPO)
Pada tahun 1964, total produksi CPO dunia adalah 1.203.000 ton
(gambar 2.27). Pada tahun 2013, produksi CPO dunia telah mencapai 55,82 juta ton. Dari tahun 1964-2000, produksi CPO dunia bertumbuh dengan laju 8.89%, dan setelah tahun 2000 tingkat pertumbuhan produksi CPO dunia adalah 7.22 %.
00
10
20
30
40
50
60
70
80
00
10
20
30
40
50
60
1964
1968
1972
1976
1980
1984
1988
1992
1996
2000
2004
2008
2012
% (
du
nia
)
%
TOTAL
Indonesia
Malaysia
China
India
USA
EU
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 45
Sumber: Oil World Gambar 2.27. Perkembangan Produksi CPO Dunia Tahun 1964-2013
Pada tahun 1964-1969, Nigeria merupakan negara produsen utama dunia. Produksi CPO Nigeria rata-rata 32.56% dari total produksi CPO dunia, sementara total produksi CPO Malaysia dan Indonesia masing-masing mencapai 19. 4% dan 13.4%. Sejak tahun 1970, Malaysia berhasil menggeser kedudukan Nigeria dengan pangsa produksi 30.71%, sedangkan Nigeria dan Indonesia masing-masing memiliki pangsa 22.5% dan 12.93%. Produksi CPO Malaysia terus mendominasi produksi CPO dunia hingga tahun 2005. Tahun 2006 produksi CPO Indonesia mencapai 16.6 juta ton, sedangkan Malaysia sebesar 15.29 juta ton. Sejak 2006, Indonesia berhasil mengungguli Malaysia dengan pangsa masing-masing 44.43% dan 40,9% terhadap produksi CPO dunia. Keberhasilan ini sekaligus mencerminkan pertumbuhan produksi CPO Indonesia lebih besar dibandingkan dengan Malaysia, yakni 11,6% per tahun dan 10.9% per tahun.
Pada tahun 2013, produksi CPO Indonesia mencapai 31 juta ton (55.5%) dan produksi CPO Malaysia mencapai 19.2 juta ton, dengan pangsa 34.4%. Total pangsa produksi CPO Indonesia dan Malaysia mencapai 89.9%. Disamping itu, negara produsen lainnya adalah Thailand dengan pangsa 3.8%, Colombia 1.9%, Nigeria 1.6%, papua New Guinea 1.1% dan Equador 1 %. 3. Minyak Kedele (Soybean Oil)
Pada tahun 1964, total produksi soybean oil dunia adalah 2.970.000 ton. Pada tahun 2013, produksi soybean oil dunia telah mencapai 42,78 juta ton. Dari tahun 1964-2000, produksi soybean oil
0
10
20
30
40
50
60
0
5
10
15
20
25
30
35
1964
1969
1974
1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009
Juta
To
n
Juta
To
n
Negara Produsen Utama CPO Dunia
Dunia
Indonesia 55.5%
Malaysia 34.4%
Thailand 3.8%
Colombia 1.9%
Nigeria 1.7%
Papua NG 1.1%
46 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
dunia bertumbuh dengan laju 6.80%, dan setelah tahun 2000 tingkat pertumbuhan produksi soybean oil dunia adalah 4.05 %.
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
45000
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
140001
964
19
69
19
74
19
79
19
84
19
89
19
94
19
99
20
04
20
09
Rib
u T
on
Negara Produsen Utama Soybean Oil Dunia
Dunia
China 28.6%
USA 20.8%
Brazil 16.6%
Argentina 16.3%
EU-27 5.2%
India 3.9%
Paraguay 1.6%
Sumber: Oil World Gambar 2.28. Perkembangan Produksi soybean oil Dunia Tahun 1964-2013
Negara Amerika Serikat merupakan negara produsen soybean
oil (SBO) terbesar dunia (gambar 2.28). Pada tahun 1964, produksi soybean oil AS 2,3 juta ton atau 78.6% dari total soybean oil dunia. Sejak tahun 1964 hingga 2009, USA merupakan negara produsen SBO terbesar dunia. Pada tahun 2009 produksi SBO AS mencapai 8.9 juta ton (22.94%), sedangkan China mencapai 8.73 juta ton (22.94%). Namun pada tahun 2010, Negara China telah berhasil mengungguli dominasi Amerika Serikat, dimana pangsa produksi SBO China naik menjadi 23.83 % dari total SBO dunia, sedangkan pangsa Amerika Serikat turun menjadi 20,75%.
Hingga awal tahun 2000 an, negara produsen SBO terbesar setelah AS adalah Brazil dan Argentina, dan China menempati posisi keempat. Namun produksi SBO China merupakan yang tertinggi dibanding semua produsen SBO lainnya, yakni 11.06% per tahun, sedangkan laju pertumbuhan produksi SBO AS adalah 3.17%, Brazil 4.24% dan Argentina 8.99%. Hal ini menciptakan keberhasilan China mengungguli Argentina tahun 2000, dan mengalahkan Brazil tahun 2005. Tahun 2013 total produksi SBO China telah mencapai 12,2 juta ton 28.6%, AS 8.92 juta ton (20.8%), Brazil 7.1 juta ton (16.6%), Argentina 6.98 juta ton (16.3 %), Uni Eropa 2.24 juta ton (5.2 %), dan India 1.69 juta ton.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 47
4. Minyak Rape (Rapeseed Oil)
Pada tahun 1964, total produksi rapeseed oil dunia adalah 1.044.000 ton. Pada tahun 2013, produksi rapeseed oil dunia telah mencapai 25,35 juta ton. Dari tahun 1964-2000, produksi rapeseed oil dunia bertumbuh dengan laju 8.10%, dan setelah tahun 2000 tingkat pertumbuhan produksi rapeseed oil dunia adalah 5.64 %.
Sumber: Oil World Gambar 2.29. Perkembangan Produksi Rapeseed Oil Dunia Tahun 1964-2013
Negara India merupakan salah satu negara produsen rapeseed
oil (RSO) terbesar dunia (gambar 2.29). Pada tahun 1964, produksi
rapeseed oil India mencapai 444.000 ton atau 42.53% dari total rapeseed
oil dunia. Sejak tahun 1964 hingga 1978, India merupakan negara
produsen RSO terbesar dunia. Pada tahun 1978 produksi RSO India
mencapai 565.000 ton (26.94%). Produsen terbesar kedua dan ketiga
adalah China dan Jepang, dengan pangsa masing-masing 26.5% dan
19.6%. Sejak 1979, China berhasil mengunggulin India dimana pangsa
produksi Cina mencapai 32.5%, sedangkan India adalah 19.65%.
Hingga tahun 2013, pangsa produksi RSO India merosot hingga 9.67%.
Sejak tahun 1999, Negara-negara Uni Eropa berhasil
mengungguli China, dengan pangsa produksi 32%. Dalam kurun
waktu 2000 hingga 2013, laju pertmbuhan produksi RSO tertinggi
adalah Uni Eropa, diikuti India 4.26% dan China 3.29%.
0
5
10
15
20
25
30
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1964
1968
1972
1976
1980
1984
1988
1992
1996
2000
2004
2008
2012
Juta
To
n
Juta
To
n
Negara Produsen Utama Rapeseed Oil Dunia
Dunia
EU-27 37.2%
China 24.7%
Canada 13.4%
India 9.7%
Japan 4.0%
Japan 2.7%
Mexico 2.3%
48 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tahun 2013 total produksi RSO Uni Eropa telah mencapai 9,4
juta ton (37.2%), China 6.26 juta ton (24.7%), Canada 3.4 juta ton (13.4%),
India 2.45 juta ton (9.7 %), Jepang 1.01 juta ton (4 %), dan Mexico
580.000 ton (2.3%).
5. Minyak Bunga Matahai (Sunflower Oil)
Pada tahun 1964, total produksi sunflower oil dunia adalah 1.000 ton. Pada tahun 2013, produksi sunflower oil dunia telah mencapai 15,94 juta ton. Dari tahun 1964-2000, produksi sunflower oil dunia bertumbuh dengan laju 8.82%, dan setelah tahun 2000 tingkat pertumbuhan produksi sunflower oil dunia adalah 4.68 % per tahun (gambar 2.30).
Sumber: Oil World Gambar 2.30. Perkembangan Produksi Sunflower Oil Dunia 1964-2013
Beberapa negara produsen sunflower oil (SFO) terbesar adalah
Argentina, Ukraina, Rusia dan Uni Eropa. Sejak 1972 hingga 1998, negara produsen terbesar adalah Argentina. Tahun 1999 peran Argentina digantikan oleh Uni Eropa, dimana pangsa produksi masing-masing adalah 29.5% dan 22.1%. Namun kemudian, Uni Eropa digantikan oleh Rusia, seiring dengan pertumbuhan produksi SFO Rusia, dengan pangsa rata-rata 20%. Kemudian, sejak 2010, Ukraina berhasil menempati urutan pertama dalam produksi SFO dunia,
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
1964
1969
1974
1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009
Juta
To
n
Juta
To
n
Negara Produsen Utama Sunflower Oil Dunia
Dunia
Ukraina 34.5%
Rusia 28.1%
EU-27 21.7%
Argentina 8.6%
Turki 6.8%
China 3.7%
India 1.6%
USA 1.3%
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 49
dengan pangsa rata-rata 27%, sedangkan rusia, Uni Eropa dan Argentina masing-masing adalah 16.8%, 20.75% dan 12.5%.
Tahun 2013 total produksi SFO Ukraina telah mencapai 4.6 juta ton (29.3%), Rusia 3.8 juta ton (23.8%), Uni Eropa 2.9 juta ton (18.4%), Argentina 1.17 juta ton (7.34 %), Turki 0.98 juta ton (5.76 %), dan China 501.000 ton (3.14%), India 200.000 ton (1.38%) dan USA 172.000 ton (1.1 %) (Gambar 2.29) dan 9.74 diproduksi oleh negara produsen lainnya (ROW).
2.7. Ekspor-Impor Minyak Nabati Global
Ekspor Minyak Sawit (Palm Oil). Tahun 1964, total ekspor minyak sawit dunia adalah 585.000 ton, dan pada tahun 2013 telah mencapai 42.8 juta ton. Negara eksportir utama CPO dunia adalah Malaysia dan Indonesia, dengan pangsa masing-masing 24.20% dan 21.54%. Hingga tahun 2008, Malaysia tetap mendominasi ekspor CPO dunia, dan sejak tahun 2009, pangsa ekspor CPO Indonesia telah melampaui ekspor CPO Malaysia, yakni 46,02% dan 44.64%. Tahun 2013, Indonesia dan Malaysia memiliki konstribusi rata-rata 90% dari total ekspor CPO dunia, dan sekitar 10 % dipenuhi oleh negara eksportir lainnya, seperti Papua New Guinea 1.5%, Thailand 1.2%, Benin 0.9%, Guatemala 0.8% Honduras 0.7% (Gambar 2.30). Sedangkan 6.12 % lainnya dipenuhi oleh sisa negara dunia (rest of the world) (gambar 2.31).
Sumber: Oil World Gambar 2.31. Perkembangan Ekspor Minyak Dunia 1964-2013
0
10
20
30
40
50
0
5
10
15
20
25
19
64
19
69
19
74
19
79
19
84
19
89
19
94
19
99
20
04
20
09
Juta
To
n
Juta
To
n
Negara Exportir Utama CPO
Dunia
Indonesia 48.4%
Malaysia 40.4%
Papua N.G. 1.5
Thailand 1.2%
Benin 0.9%
50 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Laju pertumbuhan ekspor Indonesia rata-rata 14.57% per tahun, sedangkan Malaysia sebesar 10.84% per tahun. Perkembangan inilah yang mendorong keberhasilan Indonesia menjadi negara eksportir utama dunia, dari 21% pada tahun 1964 menjadi 48.37 %.
Ekspor Minyak Kedele (Soybean Oil). Total ekspor soybean oil
dunia pada tahun 1964 adalah 585.000 ton, dan pada tahun 2013 telah mencapai 42.8 juta ton (gambar 2.32). Tahun 1964 hingga 1979, Amerika Serikat merupakan negara eksportir utama soybean oil dunia, dengan rata-rata konstribusi 86.42%. Tahun 1980 hingga 1984 peran AS digantikan oleh Brazil, dengan rata-rata pangsa ekspor 45.43 %, sedangkan AS pada kurun waktu yang sama adalah 38%. Disamping itu, Argentina mulai berperan dengan pangsa ekspor 12.2%. Sejak tahun 1985-2013, konstribusi Argentina semakin besar, dan berhasil menjadi negara eksporti utama dunia. Pangsa ekspor Argentina rata-rata 43.33%, sedangkan Brazil dan Amerika Serikat masing-masing adalah 24.93% dan 16.36%. Laju (growth) ekspor ketiga negara
eksportir terbesar adalah Argentina 15.65 % per tahun, Brazil 7.2% per tahun dan USA 8.2 % per tahun.
Tahun 2013, Argentina, Brazil dan AS mencapai 70% dar total ekspor soybean dunia, dan 30 % dipenuhi oleh negara eksportir lainnya, seperti Uni Eropa 8.6%, Paraguay 6.9%, Bolivia 2.8%, Rusia 1.9%, termasuk Malaysia 1.5% dan sisa dunia dan Papua New Guinea 1.5%, Thailand 1.2%, Benin 0.9%, Guatemala 0.8% Honduras 0.7% .9%, Bolivia 2.8% (Gambar 2.31). Sedangkan 6.12 % lainnya dipenuhi oleh sisa negara dunia (rest of the world).
Sumber: Oil World Gambar 2.32. Perkembangan Ekspor Minyak Kedele Dunia 1964-2013
0
2
4
6
8
10
12
0
1
2
3
4
5
6
7
1964
1969
1974
1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009
Juta
To
n
Juta
To
n
Negara Eksportir Utama Minyak Kedele
Dunia
Argentina 48.3%
Brazil 15.0%
EU-27 8.6%
USA 7.5%
Paraguay 6.9%
Bolivia 2.8%
Russian 1.9%
Malaysia 1.5%
Canada 1.0%
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 51
Ekspor Minyak Rape (Rapeseed Oil). Rapeseed oil merupakan sumber nabati terpenting ketiga setelah minyak sawit dan soybean oil. Kontribusinya semakin nyata setelah tahun 1990-an, seiring dengan meningkatnya konsumsi minyak nabati dunia. Tahun 1964, perdagangan rapeseed oil di pasar minyak nabati dunia adalah 8 juta ton. Jika dibandingkan dengan total produksi pada tahun yang sama, yakni 1044 juta ton, maka rapeseed lebih dominan memenuhi konsumsi domestik negara produsen masing-masing (terutama China dan India).
Tahun 1980, total ekspor mencapai 219 juta ton dan negara ekportir utama adalah Canada, dengan pangsa ekspor 90.41%. Sejak tahun 1972 hingga 2013, Canada merupakan negara eksportir utama rapeseed oil dunia, dengan rata-rata konstribusi 74.29%. Disamping itu, beberapa negara eksportir lainnya adalah Uni Eropa (sejak 1999) dengan pangsa rata-rata 12.65% dan Amerika Serikat (sejak 1989) dengan pangsa 7.6%. Laju (growth) ekspor ketiga negara eksportir masing-masing adalah Canada 17.82 % per tahun, Uni Eropa 10.85 % per tahun dan USA cenderung berfluktuasi, dengan rata-rata laju 23.14% per tahun mencapai pangsa ekspor rapeseed oil sebesar 78.5% dar total ekspor rapeseed dunia, dan 21.5% dipenuhi oleh negara eksportir lainnya, seperti Rusia 3.2%, Uni Emirat Arab 7.3%, Belarus 1.43%, Australia 2.8% (Gambar 2.32). Sedangkan 2.58 % lainnya dipenuhi oleh sisa negara dunia (rest of the world) (gambar 2.33).
Sumber: Oil World Gambar 2.33. Perkembangan Ekspor Rapeseed Oil Dunia 1964-2013
Ekspor Minyak Bunga matahari (Sunflower Oil). Sunflower oil merupakan sumber nabati terpenting keempat setelah minyak sawit, soybean oil dan rapeseed. Perdagangan sunflower oil di pasar dunia dimulai tahun 1972, oleh Rumania dan Bulgaria, namun hanya
52 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
berlangsung hingga 1998. Keduanya memiliki pangsa ekspor 18.68% dan 3.36%. Demikian halnya dengan Amerika Serikat, juga memiliki peran yang cukup besar pada kurun waktu 1972-1998, dengan pangsa rata-rata 155 dari total ekspor sunflower oil dunia.
Dalam perkembangan ekspor sunflower oil, negara eksportir utama adalah Argentina, pada kurun waktu 1975-1998, dengan pangsa rata-rata 60%, kemudian pangsanya menurun menjadi 30%. Sejak 1999 hingga 2013 peran tersebut digantikan oleh Ukraina (40%) (gambar 2.34).
Jika dibandingkan dengan negara eksportir lainnya, Ukraina termasuk negara eksportir baru, yakni sejak 1988. Namun ekspor negara ini memiliki laju pertumbuhan yang pesat dibandingkan negara lainnya, yakni dengan rata 26% per tahun. Disamping itu, beberapa negara eksportir lainnya adalah Rusia (sejak 1987) dengan pangsa rata-rata 8.49% dan Argentina dengan pangsa 40.58%. Laju (growth) ekspor ketiga negara eksportir masing-masing adalah Ukraina 26.36 % per tahun, Rusia 19.23 % per tahun dan Argentina dengan rata-rata laju 4.84% per tahun. Ketiga negara tersebut mencapai pangsa ekspor sebesar 85.76% dan 14.5% dipenuhi oleh negara eksportir lainnya, (Gambar 2.33).
Sumber: Oil World Gambar 2.34. Perkembangan Ekspor Sunflower Oil Dunia 1964-2013
2.8. Perkembangan Mutakhir Industri Oleokimia Dunia
Dalam industri oleokimia global dikenal tiga oleokimia dasar
(basic chemical) yakni: fatty acid, fatty alcohol, dan glycerol. Kapasitas
0
1
2
3
4
5
6
7
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
19
64
19
69
19
74
19
79
19
84
19
89
19
94
19
99
20
04
20
09
Juta
To
n
Juta
To
n
Negara Eksportir Utama Sunflower Oil
Dunia
Ukraine 69.0%
Rusia 28.5%
Argentina 11.4%
Turki 6.4%
EU-27 4.6%
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 53
produksi oleokimia dunia meningkat dari tahun ke tahun. Kapasitas produksi terbesar berada di Asia (gambar 2.35) Khususnya SE Asia, India dan China. Kapasitas produksi fatty acid Eropa dan North Amerika cenderung stabil dengan kecenderungan turun, sedangkan di kawasan Asia meningkat cepat (gambar 2.36).
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.35. Kapasitas Produksi Fatty Acid Dunia Tahun 2011
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.36. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Global 2004-
2015
Pada tahun 2012, kapasitas produksi fatty acid Asia mencapai
5.7 juta ton. Produksi terbesar adalah Malaysia, 1.95 juta ton (34.21%) dan China 1,83 juta ton (32.11%). Produksi Indonesia adalah 300.000 ton atau 5.26%. Hal ini merupakan tantangan industri hilir persawitan Indonesia di masa mendatang (gambar 2.37).
ROW 4%
Amerika Utara 11%
Eropa 13%
ROA 3%
India 7%
China 22%
SE Asia 40%
54 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.37. Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia Tahun 2012
Kapasitas pertumbuhan produksi fatty acid meningkat pesat di
Asia, khususnya China. Indonesia juga menunjukkan trend pertumbuhan yang positif (Gambar 2.38).
Sumber : LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.38. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia 2004-2015
Pada tahun 2011, kapasitas produksi fatty alcohol dunia terbesar
di Asia (31%) dan China (20%) dan masih lebih besar dibandingkan dengan Eropa (23%) dan Amerika Utara (15%). India juga termasuk salah satu produsen fatty alcohol, dengan pangsa produksi 4% (Gambar 2.39).
0 500 1000 1500 2000
Malaysia
Indonesia
Philipina
China
India
Lainnya
1950
300
190
1830
250
1180
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 55
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.39. Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Dunia 2011
Pertumbuhan kapasitas produksi fatty alcohol Asia (gambar
2.40) bertumbuh cepat sementara Eropa dan North Amerika stabil dan bahkan cenderung menurun. Fenomena tersebut terkait dengan masalah bahan baku (trade-off fuel-food) yang dihadapi oleh kawasan Eropa dan Amerika. Sementara oleokimia Asia yang umumnya menggunakan bahan baku minyak sawit dan minyak kelapa, belum mengalami masalah ketersediaan bahan baku. Selain itu pertumbuhan yang cepat oleokimia di Asia juga hasil relokasi industri oleokimia dari kawasan Eropa ke kawasan Asia.
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.40 Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Global 2004-
2015
SE Asia 31%
China 20%
India 4%
ROA 2%
Europe 23%
N Amerika 15%
ROW 5%
56 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Kapasitas produksi fatty alcohol Asia terbesar di China dan Malaysia (gambar 2.41). pertumbuhan industri fatty alcohol di Asia
khususnya di Cina dan Malaysia di dukung oleh ketersediaan bahan baku dan pertumbuhan pasar yang cukup besar khususnya di Cina.
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.41. Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia 2011
Pertumbuhan kapasitas produksi fatty alcohol Indonesia dan
China bertumbuh cepat di Asia (gambar 2.42).pertumbuhan kapasitas produksi tersebut terkait dengan pertumbuhan produksi yang terus meningkat. Indonesia merupakan pemain relative baru dalam industri oleokimia Asia, sehingga pertumbuhan kapasitas yang tergolong cepat belum disertai dengan pertumbuhan produksi.
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.42. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia 2004-
2015
25%
8%
9%
6%
30%
18%
4% Malaysia
Indonesia
Philipina
Thailand
China
India
Lainnya
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 57
2.9. Perkembangan Produksi Oleokimia Global Produksi fatty acid global juga di dominasi Asia baik pangsa
maupun pertumbuhan (gambar 2.43), sedangkan di Eropa dan Amerika cenderung turun. Hal ini juga sesuai dengan fenomena industri oleokimia global mutakhir dimana di kawasan Eropa dan Amerika
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.43. Volume Produksi Fatty Acid Global Historis dan Proyeksi
industri oleokimia adalah tergolong sunset industry sementara di kawasan Asia industri tersebut tergolong the rising industry.
Dengan karakteristik pertumbuhan industri oleokimia di Eropa, Amerika dibanding dengan di kawasan Asia yang demikian, volume Produksi fatty alcohol global di dominasi Asia baik pangsa maupun Pertumbuhan, sedangkan di Eropa dan Amerika cenderung turun (gambar 2.44). realisasi maupun proyeksi produksi oleokimia global yang makin besar di kawasan Asia makin membuktikan bahwa masa depan industri oleokimia global akan berada di Asia. Pertumbuhan ekonomi dua negara besar Asia (India dan Cina) yang merupakan 50 persen penduduk dunia, merupakan pasar yang potensial dan menarik industri oleokimia global.
58 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.44. Volume Produksi Fatty Alcohol Global Historis dan Proyeksi
2.10. Industri Pengguna Produk Oleokimia Global
Pasar utama fatty acid dunia adalah industri sabun dan detergen. Sekitar 30 persen pangsa fatty acid (gambar 2.45 ) adalah untuk industri sabun dan detergen, bahan baku industri lain/barang antara (18%), industri plastik (14%) dan sisanya untuk kebutuhan industri lainnya.
Sumber: Wolfgang Rupilius dan Salmiah Ahmad Gambar 2.45. Industri Pengguna Fatty Acid Global
Soap&detergents 30%
Intermediates 18%
Plastics 14%
Rubber 6%
Paper 6%
Lubricant & Grease 6%
Coating &resins 6%
Personal care 5%
Food&feed 2%
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 59
Pasar utama fatty alcohol dunia (gambar 2.46) adalah industri sabun dan detergen (55%) serta personal care (20%). Sisanya diserap oleh industri pelumas, amina dan lain-lain.
Sumber: Wolfgang Rupilius dan Salmiah Ahmad Gambar 2.46. Industri Pengguna Fatty Alcohol Global
Pasar utama glyserin dunia (gambar 2.47) adalah industri sabun,
kosmetik, farmasi (37%). Alkyd resin (13%), imdustri makanan (13%), polyurethanes (11%), dan lain-lain.
Sumber: Wolfgang Rupilius dan Salmiah Ahmad Gambar 2.47. Industri Pengguna Glyserin Global
Soap&detergents 55%
Personal care 20%
Lubricant & Grease 6%
Amines 4%
Various 15%
Soap/cosmetics/pharmaceuti 37%
Alkyd resin 13%
Food 12%
Polyurethanes 11%
Tobacco 9%
Explosives 3%
Various 15%
60 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
2.11. Volume Konsumsi Oleokimia Global Konsumsi fatty acid global terbesar dan tumbuh cepat di Asia
sedangkan kawasan Eropa dan Amerika stabil (gambar 2.48). Secara umum pertumbuhan konsumsi terjadi di negara-negara berkembang. Sedangkan di negara maju tampaknya sudah mengalami laju perlambatan konsumsi.
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012 Gambar 2.48. Perkembangan Volume Konsumsi Fatty Acid Global Secara
Historis dan Proyeksi
2.12. Perkembangan harga oleokimia
Harga oleokimia di pasar dunia fluktuatif dan tidak selalu mengikuti pola harga bahan bakunya (CPO) (gambar 2.49). Namun demikian perkembangan harga semua produk-produk hilir tersebut diatas harga bahan bakunya (CPO dan PKO). Harga fatty alcohol (ALC) selalu diatas harga oleokimia lainnya. Produk oleokimia yang tingkat harganya paling rendah adalah sabun dan detergen (soap noodle).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 61
Sumber: Salmiah, . A. et.al (2008) Gambar 2.49. Perkembangan Harga Oleokimia (RM/ton)
2.13. Industri Biodiesel Dunia
Produksi biodiesel dunia meningkat cepat khususnya di Eropa dan Amerika (gambar 2.50). Hal ini terkait dengan issue green energi. Disamping itu industri biodiesel Asia yang muncul sebagai pemain baru mengalami pertumbuhan yang relatif cepat.
Gambar 2.50. Perkembangan Produksi Biodiesel Dunia 2000-2011
Seiring dengan meningkatnya permintaan, harga biodiesel dunia juga cenderung meningkat, sebagaimana disajikan pada gambar 2.51. Harga biodiesel global tergantung pada jenis bahan baku pembuatannya maupun kemurnian. Biodiesel yang berasal dari minyak rapeseed harganya cenderung lebih mahal daripada lemak hewani (tallow). Demikian juga biodiesel dengan kemurnian 100 persen lebih tinggi dibandingkan dengan biodiesel yang kemurniannya kurang dari 100 persen.
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Produksi 882 1,1 1,3 1,8 2,5 4,1 6,5 9,7 14, 15, 17, 21,
Konsumsi 487 957 1,2 1,4 2,3 3,5 6,4 9,1 13, 15, 18, 21,
01000020000300004000050000
62 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012. Gambar 2.51. Perkembangan Harga Biodiesel di Pasar Eropa Menurut Bahan
Baku
Industri biodiesel duni semakin berkembang pesat dalam satu
dekade terakhir. Pada tahun 2000, produsen utama biodiesel dunia adalah Eropa. Tahun 2000 pangsa produksi Eropa mencapai 99 % dan Amerika Selatan sebesar 1 %. Tahun 2011, produksi biodiesel dunia meningkat pesat dan mencapai 5.560 juta galon atau 21.52 juta kilo liter. Peningkatan ini dipengaruhi oleh pertumbuhan di negara-negara produsen, dengan pangsa masing-masing : Eropa 44%, Amerika Utara 18%, Amerika Selatan 25%, dan Asia 7% (Malaysia dan Indonesia). Rata-rata pertumbuhan produksi biodiesel dunia adalah 3.6% per tahun. Perubahan pangsa produsen biodiesel global pada tahun 2000, 2005 dan 2011 disajikan pada gambar 2.52.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 63
Gambar 2.52. Perubahan Pangsa Produsen Biodiesel Global Pada Tahun
2000, 2005 dan 2011
64 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Di sisi permintaan, konsumsi biodiesel dunia juga memiliki trend pertumbuhan yang positif (meningkat). Tahun 2000, konsumsi biodiesel dunia didominasi oleh Eropa (99%) dan Amerika Selatan sebesar 1 %. Tahun 2011, konsumsi biodiesel dunia telah mencapai 5.752 juta galon atau 21.52 juta kilo liter, dengan pangsa : Eropa 61%, Amerika Utara 16%, emrika Selatan 17%, Asia 6%. Rata-rata pertumbuhan produksi biodiesel dunia adalah 3.61% per tahun. Perubahan Pangsa Konsumen Biodiesel Global Pada Tahun 2000, 2005 dan 2011 disajikan pada gambar 2.53.
Gambar 2.53. Perubahan Pangsa Konsumen Biodiesel Global Pada Tahun
2000, 2005 dan 2011
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 65
Produksi dan Konsumsi Biodiesel Eropa (ribu kl). Eropa merupakan negara produsen dan sekaligus konsumen terbesar biodesel dunia. Produksi dan konsumsi biodiesel Eropa meningkat pesat dari tahun 2000 sampai 2011. Pada kurun waktu 2000 hingga 2004, produksi dan konsumsi biodiesel Eropa masih dibawah 2 juta kilo liter. Tahun 2005, produksi telah mencapai 5.53 juta kilo liter dan meningkat pesat hingga dua kali lipat pada tahun 2009 hingga 2011. Sementara itu, laju pertumbuhan konsumsi meningkat lebih pesat, dimana sejak 2007, negara Eropa berkembang menjadi net importir, karena volume konsumsi lebih besar dari volume produksi. Pada tahun 2011, volume produksi biodiesel eropa adalah 11.9 juta kilo liter, sementara konsumsinya lebih besar yakni 14.44 juta klo liter (gambar 2.54).
Sumber: US Service Gambar 2.54. Perubahan Pangsa Konsumen Biodiesel Global Pada Tahun
2000, 2005 dan 2011
Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Utara. Amerika
Serikat merupakan negara produsen kedua setelah Eropa. Produksi dan konsumsi biodiesel USA mulai berkembang pada tahun 2006. Tahun 2006, produksi biodiesel USA telah mencapai 0.99 juta kilo liter dan meningkat pesat hampir empat kali lipat pada tahun 2011. Sementara itu, laju pertumbuhan konsumsi juga meningkat pesat, dari 0.92 juta kilo liter pada tahun 2006 menjadi 3.71 juta kilo liter pada tahun 2011 (gambar 2.55).
66 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: US Service Gambar 2.55 . Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Serikat
Produksi dan Konsumsi Biodiesel Asia. Perkembangan biodiesel di Asia (Malaysia dan Indonesia) mulai berkembang sejak tahun 2006, dengan pangsa yang relatif masih kecil (3.4%). Tahun 2006, produksi biodiesel Asia adalah 0.18 juta kilo liter. Laju produksi biodiesel Asia adalah 6.47 % per tahun dan laju pertumbuhan konsumsi meningkat 6.43 % per tahun. Pada tahun 2005 s/d 2011 Asia tumbuh menjadi negara eksportir, dimana produksi lebih besar dari konsumsi. Produksi dan konsumsi biodiesel Asia disajikan pada gambar 2.55.
Sumber: US Service Gambar 2.56. Produksi dan Konsumsi Biodiesel Asia
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 67
Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Selatan. Perkembangan biodiesel di Amerika Selatan mulai berkembang sejak tahun 2006 (gambar 2.57), dengan pangsa sebesar 25.2%. Tahun 2006, produksi biodiesel Amerika Selatan adalah 4.6 juta kilo liter. Laju produksi biodiesel Amerika Selatan adalah 4.4 % per tahun dan laju pertumbuhan konsumsi meningkat 6.8 % per tahun. Pada tahun 2005 s/d 2011 Amerika Selatan tumbuh menjadi negara eksportir, dimana volume produksi lebih besar dari konsumsi. Produksi dan konsumsi biodiesel Amerika Selatan disajikan pada gambar 2.56.
Sumber: US Service
Gambar 2.57. Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Selatan
Biodiesel and Diesel Prices (U$/Liter). Harga biodiesel (B100) maupun minyak solar (fossil fuel) memiliki korelasi yang cukup erat
(gambar 2.58). Keduanya menunjukkan adanya fluktuasi sepanjang waktu. Secara umum, harga biodiesel relatif lebih mahal dibandingkan dengan minyak solar, namun pada Januari 2014 harga fossil fuel relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga biodiesel (B100). Hal ini memberikan dampak positif bagi pengembangan biodiesel di masa mendatang.
68 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: Biodiesel National Weekly Gambar 2.58 Perkembangan Harga Biodiesel dan Diesel di USA
Salah satu produk hilir CPO adalah surfactan. Industri surfactan meliputi LAS, FAS, FES dan AE, yang menyebar di Eropa, USA dan Asia Pasifik, sebagaimana digambarkan pada gambar 2.59.
Sumber: Bernd Brackmann 2004 Gambar 2.59 Komposisi Bahan Baku Surfactant di Berbagai Kawasan
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 69
Sumber: www.chemsoc.org Gambar 2. 60 Penggunaan Surfactant Global
Penggunaan surfactan global mencakup produk pembersih,
agrochemicals, perminyakan, industri cat, tekstil dan kulit, kertas, pelimer emulis, plastik, pangan, konstruksi dan bahan peledak. Diantara produk tersebut, pasar utama surfactant terbesar adalah industri produk pembersih dengan pangsa 62.9%, dan 8.4 % untuk industri tekstil dan kulit (gambar 2.60).
Sedangkan pasar terbesar produk personal care dunia adalah untuk personal cleaning product (42%), shampoo 38% dan conditioner 20%, sebagaimana dinyatakan pada gambar 2.61.
Sumber: Kline & Company, 2007
Gambar 2. 61. Produk Personal Care Dunia
Pasar personal care dunia menyebar di Eropa (34%), Asia (24%),
USA (20%), Amerika Latin (18%) dan ROW atau negara lainnya (5%), sebagaimana disajikan pada gambar 2.62.
62.90%
2.30%
5.10%
1.90%
8.40%
1.40%
3.40% 0.50%
2.30%
5.50% 0.10%
6.20% Produk pembersihAgrochemicalsPerminyakanIndustri catTekstil & kulitKertasPolimerisasi emulsiPlastikPanganKonstruksiBahan peledakLainnya
42%
38%
20% Personal cleaning product
Shampoo
Conditioner
70 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: Kline & Company, 2007
Gambar 2.62. Pasar Personal Care Dunia
Pasar lubricant dunia (gambar 2.63) adalah engine oil (48%),
process oil (15.3%), hidraulic oil (10.20%). Dengan meningkatnya pertumbuhan industri mesin dan otomotif, kebutuhan untuk lubricant akan meningkat.
Sumber: USB, 2008
Gambar 2.63. Penggunaan Lubricant Dunia
Pasar utama lubricant dunia adalah di kawasan yang industri otomotif dan mesin berkembang pesat (gambar 2.64) yakni Asia Pasifik 36.7%, Amerika Utara 28%, Eropa Barat 12.5% dan ROW 22.8%. Semakin bertumbuh industri otomotif dan mesin, kebutuhan lubricant khususnya untuk engine oil dan hidrolic oil makin meningkat.
34%
24%
20%
18%
5%
Eropa
Asia
North Amerika
Latin Amerika
Lainnya
48%
15.30%
10.20%
26.50%
Total Permintaan 41,8 juta ton
Engine oils
Process oils
Hydraulic oils
All other
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 71
Gambar 2.64. Pasar Lubricant Dunia Menurut Kawasan (USB, 2008)
Pertumbuhan permintaan lubricant dunia yang meningkat tersebut memberi peluang bagi industri minyak sawit Indonesia dalam mengembangkan industri bio lubricant. Pengembangan industri bio lubricant kedepan semakin prospektif dengan meningkatnya tuntutan produk yang lebih ramah lingkungan. 2.14 Dinamika Industri Oleokimia Global Dalam satu dekade terakhir telah terjadi perubahan yang dinamis dalam industri oleokimia global (gambar 2.65). Pemain tradisional oleokimia dunia (USA, EU, Jepang) exit dari industri oleokimia (Less profitable, investasi mahal). (Wolfgang Rupilius and S. Ahmad, 2007). Perusahaan HENKEL exit oleokimia, fokus ke consumer goods; UNILEVER exit oleokimia, fokus ke consumer goods; LONZA exit oleokimia, fokus industri farmasi/bioteknologi; KAO mengurangi oleokimia, fokus ke consumer goods; PROCTER AND GAMBLE mengurangi oleokimia, fokus ke marketing dan consumer goods; PETROFINA exit oleokimia, fokus petroleum & petro chemical; AKZO NOBEL exit oleokimia.
Gambar 2.65 Dinamika Industri Oleokimia Dasar Dunia
36.70%
28%
12.50%
22.80% Asia/Pacific
North Amerika
Western Europe
Rest of World
Industri Bahan Baku
(Minyak Nabati+Hew
Industri Oleokimia
Dasar
Industri Pengguna
(Consumer Goods, Capital
Bacward Integrative Bacward Integrative
Exit or Forward Integrative
Forward Integrative
72 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Selain itu beberapa perusahaan melakukan konsolidasi konsumen menjadi organisasi marketing global olekimia seperti RAG (marger dari Degusa, Rhom, Stock Hausen, Gold Schmidt, C.W. Hulse, Rutgers). Procter Gamble (Merger dari Procter Gambel, Clairol, Wella, Gillete) dan Henkel (merger dari Henkel, Schwarzkopf dan Dial). Strategi integrasi ke depan maupun ke belakang juga terjado pada industri oleokimia global. Forward integrative ke industri pengguna (consumer goods, capital goods) untuk minimisasi risiko agar lebih profitable (integrasi oleokimia-consumer goods/capital goods lebih profitable dari pada hanya oleokimia or industri consumer goods or capital goods). Misalnya: KAO, PROCTER AND GAMBLE. Produsen bahan baku (minyak nabati) forward integrative ke industri oleokimia (ASEAN). Mengamankan CPO/PKO, dan CCO. Strategi Joint venture provider technologi dan jaringan marketing global seperti Wilmar Grup, Bakrie Grup, Sinar Mas , Musim Mas ,Eco Green Cisadane. Sime Darby Grup, United Plantation Grup, Guthre Grup, Golden Hope Plantation, IOI Corporation, Kuala Lumpur Kepong, Felda Holding, PBB Oil Palms, Palmco Holding, Akzo & Nobel Oleochemical (Joint Venture dengan Akzo & Nobel), Cognis Oleochemical (Joint Venture Cognis Jerman, Golden Hope), FPG Oleochemical (Joint Venture Procter & Gamble, USA dengan Felda).
Strategi Bacward integrative dengan industri bahan baku juga terjadi
seperti Cognis Oleochemical (Joint Venture Cognis dengan Golden Hope), FPG Oleochemical (Joint Venture Procter Gamble, dengan Felda), Akzo & Nobel.
Dimasa yang akan datang dinamika industri oleokimia global yang demikian diperkirakan masih akan berlangsung sesuai dengan perkembangan kompetisi global. Penguasaan bahan baku dan pasar produk akhir diperkirakan menjadi penentu strategi industri oleokimia untuk tetap survive ke depan.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 73
BAB III
EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR INDUSTRI
MINYAK SAWIT INDONESIA
Kegiatan ekonomi industri minyak sawit (supply chain) dimulai dari industri pembibitan, perkebunan kelapa sawit, pengolahan TBS menjadi CPO, dan pengolahan CPO lebih lanjut menjadi produk turunan baik setengah jadi (seperti oleokimia) maupun produk jadi (seperti minyak goreng, biodiesel, sabun, shampoo, pelumas dan lain-lain).
3.1 Industri Perbenihan Kelapa Sawit
Mata rantai yang paling hulu dari pada industri minyak sawit
adalah industri pembibitan. Industri pembenihan merupakan industri cetak biru (blue print) dari rantai pasok minyak sawit. Cetak biru sifat-sifat ekonomis kelapa sawit seperti produktivitas dan rendemen minyak dimulai pada industri perbenihan.
Penyediaan benih kelapa sawit yang bermutu baik untuk penanaman ulang (replanting) kebun kelapa sawit yang telah ada maupun untuk kebutuhan perluasan areal baru, sangat penting untuk menjamin kelanjutan agribisnis minyak sawit. Dengan luas areal perkebunan sawit Indonesia tahun 2013 sekitar 9.2 juta hektar, dan dengan asumsi umur produktif tanaman kelapa sawit 25 tahun, maka untuk menjamin kelanjutan rantai pasok minyak sawit memerlukan replanting 4 % dari luas areal atau setara dengan 400 ribu hektar setiap tahun.
Perusahaan yang bergerak dalam pembenihan kelapa sawit di Indonesia dalam sepuluh tahun (sejak reformasi) mengalami peningkatan yang pesat. Bila pada masa orde baru, pembenihan kelapa sawit hanya satu perusahaan yakni Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), pada masa orde reformasi meningkat menjadi 11 unit perusahaan yang tersebar pada beberapa provinsi (Gambar 3.1) dengan kapasitas industri pembenihan kelapa sawit nasional sebesar 256 juta kecambah per tahun.
74 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: Kementerian Pertanian RI (2010) Gambar 3.1. Lokasi Penyebaran Produsen Benih Kelapa Sawit di Indonesia
Tabel 3.1. Kapasitas Produksi Benih Kelapa Sawit di Indonesia
No. Produsen Kapasitas Produksi (kecambah/tahun)
1 PPKS Medan 50,000,000
2 PT Socfin Indonesia 47,000,000
3 PT London Sumatra Tbk. 23,000,000
4 PT Bina Sawit Makmur 30,000,000
5 PT Dami Mas Sejahtera 24,000,000
6 PT Tunggal Yunus Estate 14,000,000
7 PT Tania Selatan 7,000,000
8 PT Bakti Tani Nusantara 20,000,000
9 PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk. 22,000,000
10 PT Sasaran Ehsan Mekarsari 4,000,000
11 PT Sarana Inti Pratama 15,000,000
Total 256,000,000
Sumber: Kementerian Pertanian RI (2010)
Sumatera Utara 55%
Riau 29%
Sumatera Selatan 14%
Jawa Barat 2%
Kapasitas produksi = 256 juta
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 75
3.2 Perkembangan Luas Area
3.2.1 Perkembangan Luas Areal Menurut Pengusahaan dan Provinsi
Perkebunan kelapa sawit Indonesia telah berkembang pada 22
provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Lima provinsi terbesar sebagai sentra usaha perkebunan kelapa sawit adalah Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Kelima provinsi tersebut berada sekitar 64% luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia dan menghasilkan sekitar 70% CPO. Dua pulau utama sentra perkebunan kelapa sawit (Pulau Sawit) di Indonesia yakni Sumatera dan Kalimantan. Sekitar 90% perkebunan kelapa sawit di Indonesia berada pada kedua pulau sawit tersebut. Dan kedua Pulau Sawit tersebut menghasilkan sekitar 95% produksi CPO Indonesia.
Penyebaran perkebunan kelapa sawit pada 22 provinsi Indonesia mulai dari provinsi paling barat Indonesia sampai provinsi paling timur Indonesia, menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit memiliki toleransi yang luas pada keragaman agroklimat di daerah tropis. Selain itu, dengan penyebaran perkebunan kelapa sawit Indonesia yang demikian, melalui perkebunan kelapa sawit Indonesia dapat memanen energi matahari selama 15 jam. Hal ini merupakan salah satu keunggulan alamiah yang dimiliki perkebunan kelapa sawit Indonesia dibandingkan negara lain dari segi ekonomi, penyebaran perkebunan kelapa sawit yang demikian tidak lain adalah penyebaran dunia usaha (firms) yang merupakan "mesin ekonomi". Melalui proses produksi pada usaha perkebunan kelapa sawit tersebut keragaman sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersebar di daerah perkebunan kelapa sawit terdayagunakan untuk menghasilkan minyak sawit dan jasa lingkungan.
Dalam kurun waktu tahun 1990-2013 (Tabel 3.2), terjadi revolusi pengusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang ditandai dengan tumbuh-berkembangnya perkebunan rakyat dengan relatif cepat. Pertumbuhan perkebunan sawit rakyat secara umum relatif cepat yakni sekitar 24% pertahun selama periode 1990-2013.
76 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.2. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Menurut Provinsi
Provinsi
Luas Areal (Ha) Pertumbuhan (%/tahun)
1990 2000 2013 1990-
2000
2000-
2013 1990-2013
Aceh 3275 52811 186826 42.31 10.93 24.74
Sumatera Utara 70918 122493 408708 5.91 10.62 8.46
Riau 165453 263663 1217847 6.08 14.34 10.56
Sumatera Selatan 31700 153134 369282 17.66 7.30 12.05
Sumatera Barat 24170 69486 177792 17.43 8.46 12.57
Kep. Riau 0 0 2905
132.92 132.92
Jambi 18040 155607 173647 1,787.8
0 6.98 16.20
Bangka Belitung 0 91 50047
84.56 84.56
Bengkulu 14240 28180 194170 17.84 18.49 18.19
Lampung 0 45791 58310 135.12 3.28 60.60
Banten 0 6304 7296
1.20 1.20
Jawa Barat 30540 0 182 -12.77 0.83 -10.50
Kalimantan Barat 25656 140979 257204 20.51 4.88 12.04
Kalimantan Selatan
0 11791 60504
36.37 36.37
Kalimantan Tengah
1223 29771 129650 41.04 17.64 28.37
Kalimantan Timur 14523 50364 160718 15.16 11.33 13.09
Sulawesi Tengah 0 7554 50524 15.59 44.53 31.95
Sulawesi Selatan 5000 26678 15589 20.21 7.57 13.37
Sulawesi Barat 0 0 54693
36.50 36.50
Sulawesi
Tenggara 0 0 4229
-4.71 -4.71
Papua 5530 25457 9886 18.16 -4.58 5.85
Papua Barat 0 0 10961
1.20 1.20
Nasional 410268 1190154 3600970 143.20 20.48 24.80
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
Secara umum luas areal perkebunan kelapa sawit rakyat pada
semua provinsi sawit di Indonesia masih bertumbuh positif dan relatif
tinggi. Provinsi sentra utama perkebunan kelapa sawit seperti
Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat laju
pertumbuhan kebun sawit rakyat masih cukup tinggi.
Di masa yang akan datang, perkebunan rakyat masih akan
bertumbuh dan akan melampaui pangsa perusahaan perkebunan,
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 77
khususnya dari segi luas areal. Dengan makin terbatasnya lahan
sehamparan yang relatif luas di Indonesia, akan membatasi ruang gerak
perusahaan perkebunan untuk memperluas areal. Sebaliknya
perkebunan rakyat yang skalanya relatif kecil misalnya kurang dari 10
hektar, masih terbuka untuk menambah perkebunan rakyat.
Berbeda dengan perkebunan kelapa sawit rakyat perkebunan
negara cenderung lambat selama periode 1990-2013 (Tabel 3.3). Luas areal
BUMN perkebunan sawit relatif kecil dan hanya bertumbuh rata-rata 7%
pertahun.
Kondisi ini agak mengherankan mengingat BUMN merupakan
pioner dalam industri minyak sawit Indonesia. Bahkan keberhasilan dan
keyakinan investasi pada industri minyak sawit yang kini dinikmati
perusahaan perkebunan swasta maupun perkebunan rakyat belajar dari
BUMN perkebunan (PTPN Sawit). Dengan kondisi yang demikian
pangsa BUMN perkebunan dalam luas areal total perkebunan kelapa
sawit Indonesia hanya berkisar 8-10 %.
Perkebunan kelapa sawit swasta mengalami pertumbuhan yang
relatif cepat selama periode 1990-2013 (tabel 3.4) yakni sekitar 25%
pertahun. Namun demikian laju pertumbuhan areal perkebunan kelapa
sawit swasta cenderung melambat dari sekitar 45% selama periode 1990-
2000 turun menjadi sekitar 20% selama periode 2000-20013.
Beberapa provinsi yang tercepat pertumbuhan arealnya antara
lain Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Provinsi-provinsi sentra sawit
tradisional seperti Sumatera Utara dan Riau pertumbuhan perkebunan
sawit swasta masih relatif tinggi.
Dengan pertumbuhan luas perkebunan swasta yang demikian
pangsanya mengalami peningkatan dari sekitar 30% tahun 1980 menjadi
sekitar 50%, atau naik sebesar 20% selama 20 tahun terakhir.
Hal yang menarik dari struktur pengusahaan perkebunan kelapa
sawit Indonesia adalah makin meningkatnya pangsa perkebunan
rakyat. Tidak banyak sektor ekonomi di Indonesia di mana BUMN dan
perusahaan swasta hidup berdampingan dengan usaha rakyat di mana
pangsa usaha rakyat makin membesar.
78 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.3. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Negara Menurut Provinsi
Provinsi
Luas Areal (Ha) Pertumbuhan (%/tahun)
1990 2000 2013 1990-2000
2000-2013 1990-2013
Aceh 22900 39688 40059 6.37 1.64 3.72
Sumatera Utara 236631 269644 307242 1.37 1.12 1.24
Riau 68816 62642 78953 -0.49 5.80 2.92
Sumatera Selatan 15610 27516 48944 6.18 6.51 6.36
Sumatera Barat 3810 5382 9518 5.09 8.08 6.71
Kep. Riau 0 0
Jambi 4500 14817 24511 17.00 7.83 12.04
Bangka Belitung 0 0
Bengkulu 711 4392 4704 29.88 3.12 15.38
Lampung 13920 14029 12397 0.46 0.71 0.60
Banten 0 11071 9702
1.21 1.21
Jawa Barat 4121 0 4618 16.39 16.37 16.38
Kalimantan Barat 26034 40460 62393 4.88 4.23 4.53
Kalimantan Selatan
0 0 10966
23.61 23.61
Kalimantan
Tengah 375 0
Kalimantan Timur 4300 17370 43359 17.81 19.75 18.86
Sulawesi Tengah 0 4349 3886 - 6.11 4.96
Sulawesi Selatan 9700 9887 5758 6.48 3.48 4.85
Sulawesi Barat 0 0
Sulawesi Tenggara
0 1102 3905
55.51 55.51
Papua 2800 6367 12632 10.95 27.92 20.14
Papua Barat 0 0 2891
Nasional 414228 528716 686438 4.82 10.30 7.45
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
Struktur pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang demikian
secara ekonomi lebih berkualitas. Rakyat banyak terlibat langsung dalam membuat "kue ekonomi" sedemikian rupa sehingga ikut secara langsung menikmati "kue ekonomi" yang tercipta, melalui mekanisme ekonomi.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 79
Tabel 3.4. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Menurut Provinsi
Provinsi Luas Areal (Ha) Pertumbuhan (%/tahun)
1990 2000 2013 1990-2000 2000-2013 1990-2013
Aceh 41912 109054 112621 10.78 0.54 5.05
Sumatera Utara
143877 181897 366233 3.57 8.10 6.02
Riau 66428 443499 643918 21.28 3.51 11.90
Sumatera Selatan
7059 161219 416707 57.06 9.49 31.29
Sumatera Barat
16500 113147 192787 22.82 5.75 13.57
Kep. Riau 0 0 5783 -1.99 -1.99
Jambi 8750 116486 247835 32.10 14.77 22.71
Bangka Belitung
0 110671 131822 2.25 2.25
Bengkulu 5828 41372 104998 31.07 9.22 19.23
Lampung 190 43300 48776 199.31 1.96 92.41
Banten 0 0 47 0.54 0.54
Jawa Barat 4524 3747 4601 -1.61 2.50 0.61
Kalimantan Barat
5200 136507 374851 42.38 10.12 24.91
Kalimantan Selatan
3363 158332 357625 49.85 10.90 28.75
Kalimantan Tengah
0 171962 896827 63.67 15.09 36.21
Kalimantan Timur
4204 78650 489668 40.30 17.20 27.79
Sulawesi Tengah
0 28329 43078 47.55 3.59 22.70
Sulawesi Selatan*
8000 30028 2448 275.35 67.25 171.30
Sulawesi Barat
0 0 47775 1.49 1.49
Sulawesi Tenggara
0 0 31229 0.49 0.49
Papua 0 20568 13605 81.30 27.10 37.26
Papua Barat 0 0 9979 13.98 13.98
Nasional 315835 1948768 4543213 44.90 19.66 25.20
*Gabungan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
80 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
3.2.2 Perkembangan Komposisi Umur Kelapa Sawit Menurut Pengusahaan dan Provinsi Secara nasional komposisi tanaman kelapa sawit Indonesia
(tabel 3.5) pada periode 2000-2005 terdiri dari 20% TBM, TM muda sampai remaja 35%, dewasa 34%, dan sisanya yakni 12% berupa tanaman tua sampai renta. Sedangkan pada periode 2005-2013 komposisi sawit nasional terdiri dari 20% TBM, TM muda sampai remaja 21%, dewasa 38%, dan sisanya yakni 21% berupa tanaman tua sampai renta. Dari segi tehnis komposisi umur kelapa sawit Indonesia belum mencapai kondisi ideal.
Tabel 3.5. Perbandingan Komposisi Tanaman Kelapa Sawit antara
Perkebunan Rakyat, Negara, dan Swasta (%)
Perkebunan Tahun TBM TM
4-7 th 8-15 th 16-25 th
Negara 2000-05 10 27 29 33
2006-13 15 13 41 31
Swasta 2000-05 12 41 39 7
2006-13 19 19 39 23
Rakyat 2000-05 34 28 27 11
2006-13 21 26 37 16
Nasional 2000-05 20 35 34 12
2006-13 20 21 38 21
Sumber: PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute)
Distribusi TM kelapa sawit rakyat (tabel 3.6) terutama berada di
provinsi Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Jambi. Laju pertumbuhan TM secara nasional mencapai rata-rata 33% pertahun dalam periode 1990-2013. Pertumbuhan TM yang relatif tinggi berada di provinsi Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah. Namun demikian di daerah sentra-sentra tradisional perkebunan sawit seperti Riau dan Sumatera Utara pertumbuhan kebun rakyat masih relatif tinggi.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 81
Tabel 3.6 Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Menurut Provinsi
Provinsi Distribusi TM (%) Pertumbuhan (%/tahun)
1990 2000 2013 1990-2000 2000-2013 1990-2013
Aceh 0.00 4.12 4.11 29.28 10.81 18.04
Sumatera Utara 33.74 12.45 12.85 4.68 10.99 8.10
Riau 25.22 23.85 33.01 15.60 13.85 14.65
Sumatera Selatan 6.69 14.24 10.33 25.83 7.66 15.99
Sumatera Barat 12.79 4.29 4.89 14.06 14.35 14.21
Kep. Riau 0.00 0.00 0.04
Jambi 1.19 12.09 10.10 57.32 8.65 30.95
Bangka Belitung 0.00 0.00 0.85
Bengkulu 0.37 2.03 4.98 44.95 19.11 30.95
Lampung 0.00 2.70 1.23 209.07 7.52 95.15
Banten 0.00 0.75 0.16 -2.24 -2.24
Jawa Barat 14.30 0.00 0.00
Kalimantan Barat 4.42 14.89 7.26 33.55 4.03 17.56
Kalimantan Selatan
0.00 0.01 1.40
Kalimantan Tengah
0.02 1.06 3.19 478.70 25.40 198.09
Kalimantan Timur
1.25 2.86 2.30 36.96 9.99 22.35
Sulawesi Tengah 0.00 0.75 1.00 18.93 26.85 24.08
Sulawesi Selatan 0.00 2.54 0.36 27.27 2.87 13.48
Sulawesi Barat 0.00 0.00 1.25 49.87 49.87
Sulawesi Tenggara
0.00 0.00 0.01
Papua 0.00 1.38 0.28 20.27 -1.17 8.15
Papua Barat 0.00 0.00 0.39 1.82 1.82
Nasional 100.00 100.00 100.00 72.61 12.37 33.01
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
Untuk kelapa sawit swasta distribusi TM (tabel 3.7) terutama (44%)
berada di tiga provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Tengah. Laju pertumbuhan TM kebun swasta secara nasional mencapai rata-rata 46% pertahun dalam periode 1990-2013. Pertumbuhan TM yang relatif tinggi berada di provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Namun demikian di daerah sentra-sentra tradisional perkebunan
82 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
sawit seperti Riau dan Sumatera Utara pertumbuhan kebun swasta masih relatif tinggi, meskipun telah memasuki fase perlambatan pertumbuhan.
Tanaman menghasilkan kelapa sawit negara (tabel 3.8) 55% berada di provinsi Riau dan Sumatera Utara. Laju pertumbuhan TM secara nasional mencapai rata-rata 26% pertahun dalam periode 1990-2013. Pertumbuhan TM yang relatif tinggi berada di provinsi Jambi, Bengkulu, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur. Sedangkan di daerah sentra-sentra tradisional perkebunan sawit seperti Riau dan Sumatera Utara pertumbuhan kebun negara sudah relatif kecil.
Tabel 3.7. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit
Swasta Menurut Provinsi
Provinsi Distribusi TM (%) Pertumbuhan (%/tahun)
1990 2000 2013 1990-2000 2000-2013 1990-2013
Aceh 17 7 3 11.86 0.63 5.57
Sumatera Utara 64 16 10 5.51 5.41 5.46
Riau 14 24 17 28.69 6.35 16.59
Sumatera Selatan 0 9 9 119.91 9.74 60.24
Sumatera Barat 1 7 5 63.79 8.68 33.94
Kep. Riau 0 0 0
5.56 5.56
Jambi 0 6 7 45.79 13.39 27.48
Bangka Belitung 0 6 3
5.21 5.21
Bengkulu 0 2 3 217.72 17.96 109.52
Lampung 0 2 1 84.69 6.55 42.36
Banten 0 0 0
0.68 0.68
Jawa Barat 2 0 0 -2.65 -1.09 -1.81
Kalimantan Barat 0 5 8 146.77 15.88 65.74
Kalimantan Selatan 1 8 8 77.16 20.17 46.29
Kalimantan Tengah 0 4 17 200.25 24.94 80.30
Kalimantan Timur 0 2 6 61.07 30.29 43.67
Sulawesi Tengah 0 1 1 28.72 20.13 23.13
Sulawesi Selatan 0 2 0 71.06 470.07 296.58
Sulawesi Barat 0 0 1
11.07 11.07
Sulawesi Tenggara 0 0 1
10.53 10.53
Papua 0 0 0
71.07 71.07
Papua Barat 0 0 0
56.05 56.05
Nasional 100 100 100 77.36 36.79 46.15
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 83
Tabel 3.8. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit Negara Menurut Provinsi
Provinsi Distribusi TM (%) Pertumbuhan (%/tahun)
1990 2000 2013 1990-2000 2000-2013 1990-2013
Aceh 3.81 6.86 6.85 8.77 4.41 6.33
Sumatera Utara 63.91 53.88 44.32 0.41 0.67 0.56
Riau 17.85 14.14 10.79 -0.01 4.61 2.58
Sumatera Selatan 2.07 5.79 6.46 13.95 3.87 8.31
Sumatera Barat 0.76 0.75 1.03 2.13 7.14 4.93
Kep. Riau 0.00 0.00 0.00
Jambi 0.43 1.90 3.65 21.34 12.19 16.21
Bangka Belitung 0.00 0.00 0.00
Bengkulu 0.15 1.00 0.77 51.52 7.51 26.87
Lampung 2.94 3.00 1.92 2.41 0.17 1.16
Banten 0.00 2.50 1.40
3.62 3.62
Jawa Barat 0.45 0.00 0.67 23.31 476.41 260.65
Kalimantan Barat 6.81 6.51 9.79 3.41 6.13 4.93
Kalimantan Selatan
0.00 0.00 1.87
44.02 44.02
Kalimantan Tengah
0.00 0.00 0.00
Kalimantan Timur 0.20 1.41 6.95 32.74 23.65 27.65
Sulawesi Tengah 0.00 0.00 0.23
-8.57 -8.57
Sulawesi Selatan 0.63 0.92 0.57 13.26 11.98 12.54
Sulawesi Barat 0.00 0.00 0.00
Sulawesi Tenggara
0.00 0.00 0.62
50.75 50.75
Papua 0.00 1.33 1.59 10.44 20.70 16.51
Papua Barat 0.00 0.00 0.53
-8.10 -8.10
Nasional 100.00 100.00 100.00 14.13 36.73 26.16
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
84 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
3.3 Perkembangan Produksi CPO
3.3.1 Penyebaran dan Kapasitas Produksi PKS
Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sebagai bagian yang terintegrasi
dengan perkebunan kelapa sawit mengikuti penyebaran perkebunan kelapa sawit tersebut (Gambar 3.2). Dari 608 unit PKS dan dengan kapasitas produksi 34.280 ton TBS/jam, sebagian besar berada pada kedua pulau sawit tersebut.
Sumber:Kementerian Pertanian RI Gambar 3.2. Kapasitas Produksi PKS Indonesia Menurut Provinsi Tahun
2013 (ton TBS/jam)
Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Gambar 3.3. Produksi CPO Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2013
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
Ace
h
Su
mat
era
Uta
ra
Su
mat
era
Bar
at
Ria
u
Kep
ula
uan
Ria
u
Jam
bi
Su
mat
era
Sel
atan
Ban
gk
a B
elit
un
g
Ben
gk
ulu
Lam
pu
ng
Jaw
a B
arat
Ban
ten
Kal
iman
tan
Bar
at
Kal
iman
tan
…
Kal
iman
tan
…
Kal
iman
tan
Tim
ur
Su
law
esi
Ten
gah
Su
law
esi
Sel
atan
Su
law
esi
Bar
at
Su
law
esi
Ten
gg
ara
Pap
ua
Pap
ua
Bar
at
01234567
Ace
h
Su
mat
era
Uta
ra
Ria
u
Su
mat
era
Sel
atan
Su
mat
era
Bar
at
Kep
. Ria
u
Jam
bi
Ban
gk
a B
elit
un
g
Ben
gk
ulu
Lam
pu
ng
Ban
ten
Jaw
a B
arat
Kal
iman
tan
Bar
at
Kal
iman
tan
…
Kal
iman
tan
…
Kal
iman
tan
…
Su
law
esi
Ten
gah
Su
law
esi
Sel
atan
Su
law
esi
Bar
at
Su
law
esi…
Pap
ua
Pap
ua
Bar
at
Juta
To
n
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 85
3.3.2 Perkembangan Produksi CPO Menurut Pengusahaan dan Provinsi
Sentra utama produksi CPO dari perkebunan rakyat (table 3.9)berada di Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan. Sekitar 60% produksi CPO rakyat di Indonesia berasal dari ketiga provinsi tersebut. Secara nasional laju pertumbuhan produksi CPO dari kebun sawit rakyat adalah sebesar 36% pertahun selama periode 1990-2013. Provinsi Sentra tradisional produksi CPO seperti Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat masih bertumbuh relatif tinggi. Demikian juga provinsi-provinsi sentra baru produksi CPO seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Bila dibandingkan laju pertumbuhan produksi CPO rakyat tersebut dengan laju pertumbuhan areal TM sawit rakyat (33%) berarti pertumbuhan produksi CPO kebun sawit rakyat juga disumbang oleh peningkatan produktivitas.
Lima besar provinsi sentra produksi CPO dari perkebunan swasta (table 3.10)berada di Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Sekitar 55% produksi CPO swasta di Indonesia berasal dari lima provinsi tersebut. Secara nasional laju pertumbuhan produksi CPO dari kebun sawit swasta adalah sebesar 63% pertahun selama periode 1990-2013. Provinsi Sentra tradisional produksi CPO seperti Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat masih bertumbuh relatif tinggi. Demikian juga provinsi-provinsi sentra baru produksi CPO seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Bila dibandingkan laju pertumbuhan produksi CPO swasta tersebut dengan laju pertumbuhan areal TM sawit swasta (46%) berarti pertumbuhan produksi CPO kebun sawit swasta juga disumbang oleh peningkatan produktivitas.
Berbeda dengan perkebunan sawit rakyat dan swasta sentra utama produksi CPO dari perkebunan negara (tabel 3.11)adalah Sumatera Utara. Pangsa Sumatera Utara dalam produksi CPO perkebunan negara mencapai 50%. Secara nasional laju pertumbuhan produksi CPO dari kebun sawit negara adalah sebesar 15% pertahun selama periode 1990-2013. Bila dibandingkan laju pertumbuhan produksi CPO negara tersebut dengan laju pertumbuhan areal TM sawit negara (26%) berarti pertumbuhan produksi CPO kebun sawit Negara terutama disumbang oleh peningkatan areal TM.
86 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.9. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Rakyat Seluruh Provinsi
Provinsi
Produksi CPO (Ton)
Pertumbuhan CPO (%/tahun)
1990 2000 2012 1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh - 63,242 200,501 35.21 12.07 21.12
Sumatera Utara 277,288 345,858 1,218,165 3.88 11.00 7.72
Riau 130,750 492,803 3,237,660 13.54 18.51 17.67
Sumatera Selatan 45,900 272,416 1,027,533 59.46 38.50 39.42
Sumatera Barat 32,500 112,195 390,946 20.62 13.88 14.95
Kep. Riau - - 2,977 -
Jambi - 212,921 899,672 41.37 13.12 24.67
Bangka Belitung - 9 73,983 -
Bengkulu 90 38,040 473,918 33.02 23.32 151.91
Lampung - 31,115 171,176 138.91 17.43 67.13
Banten - 17,954 8,783 - -0.19 -0.19
Jawa Barat 2,900 - 30 8.34 1.72 15.85
Kalimantan Barat 16,300 190,547 444,934 36.56 7.03 18.29
Kalimantan Selatan - 110 115,592 -
Kalimantan Tengah 18 21,708 248,898 102.73 26.26 50.41
Kalimantan Timur 7,042 86,729 172,169 19.88 22.17 29.88
Sulawesi Tengah - 11,216 98,734 41.70
97.72
Sulawesi Selatan - 41,751 24,387 18.19 7.69 11.99
Sulawesi Barat - - 113,233 - 47.45 47.45
Sulawesi Tenggara - - 70 -
Papua - 39,200 16,458 14.06 -3.51 3.68
Papua Barat - - 34,065 -
Nasional 514,778 1,979,814 8,975,896 26.70 16.03 36.45
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 87
Tabel 3.10. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Swasta Seluruh Provinsi
Provinsi
Produksi CPO (Ton)
Pertumbuhan CPO (%/tahun)
1990 2000 2012 1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh 77,074 205,097 284,030 11.31 9.85 10.49
Sumatera Utara 466,090 748,813 1,509,211 5.60 8.27 7.11
Riau 58,264 873,290 2,373,971 34.45 12.22 21.88
Sumatera Selatan 2,325 421,546 1,083,116 104.05 31.11 62.83
Sumatera Barat 2,800 202,588 538,383 95.92 5.63 44.89
Kep. Riau - - 11,756 - 27.02 27.02
Jambi - 219,104 729,241 132.99 12.93 58.67
Bangka Belitung - 91,091 438,212 - 15.79 15.79
Bengkulu 100 39,782 387,075 872.22 28.99 395.61
Lampung 340 59,381 192,057 121.06 11.87 59.34
Banten - - 68 - 0.22 0.22
Jawa Barat 9,917 3,517 4,329 -7.88 18.80 7.20
Kalimantan Barat - 81,363 812,901 341.71 25.80 136.37
Kalimantan Selatan - 82,345 925,528 43.61 31.14 36.24
Kalimantan Tengah - 92,208 1,930,674 210.82 31.22 81.11
Kalimantan Timur - 33,564 507,652 65.92 28.35 43.72
Sulawesi Tengah - 14,731 99,662 54.22 122.19 100.72
Sulawesi Selatan - 37,985 4,818 106.19 22.57 54.43
Sulawesi Barat - - 135,434 - 12.65 12.65
Sulawesi Tenggara - - 12,465 - 16.26 16.26
Papua - - 33,077 - 144.72 144.72
Papua Barat - - 33,077 - 54.24 54.24
Nasional 618,900 3,208,405 12,048,749 99.65 30.54 63.25
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
88 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.11. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Negara Seluruh Provinsi
Provinsi
Produksi CPO (Ton)
Pertumbuhan CPO (%/tahun)
1990 2000 2012 1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh 45,696 95,979 53,162 9.32 -0.14 4.02
Sumatera Utara 969,231 1,176,050 1,080,513 2.04 0.44 1.18
Riau 74,621 300,632 229,249 16.93 11.78 14.14
Sumatera Selatan 27,121 104,804 132,001 15.43 45.52 31.73
Sumatera Barat 9,675 17,597 24,608 7.13 3.89 5.37
Kep. Riau - - -
Jambi 6,800 38,215 85,771 22.1 10.81 15.99
Bangka Belitung - - -
Bengkulu 580 4,820 16,881 52.63 17.59 33.65
Lampung 27,000 50,240 38,718 7.14 1.97 4.34
Banten - 12,602 17,710 7 7
Jawa Barat 32,251 - 12,811 -5.67
Kalimantan Barat 89,200 120,220 202,000 5.62 6.07 5.87
Kalimantan Selatan - - 19,800 30.95 30.95
Kalimantan Tengah - - -
Kalimantan Timur 2,112 12,848 140,060 31.14 28.35 29.63
Sulawesi Tengah - - 2,122
Sulawesi Selatan 2,170 11,818 4,920 35.21 8.52 20.75
Sulawesi Barat - - -
Sulawesi Tenggara - - 2,832
Papua - 24,753 25,771 13.94 13.98 13.96
Papua Barat - - 7,773
Nasional 1,288,447 1,972,578 2,098,714 16.38 13.34 15.61
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 89
3.3.3 Perkembangan Produktivitas CPO Menurut Pengusahaan dan Provinsi Secara umum produktivitas sawit rakyat (PR) telah mengalami
peningkatan produktivitas CPO per hektar selama periode 1990-2013 yakni dari 1.61 ton menjadi 2.92 ton per hektar (Tabel 3.12). Bila dianalisis selama periode 2000-2013 dan mempertimbangkan komposisi umur tanaman kelapa sawit rakyat maka perubahan produktivitas sawit rakyat dalam periode 2000-2005 dibandingkan dengan 2006-2013 (gambar 3.4) telah mengalami pergeseran yang mencerminkan terjadinya peningkatan produktivitas untuk setiap umur TM.
Perkebunan kelapa sawit negara (PN) ternyata mengalami penurunan produktivitas dalam periode 1990-2013 (tabel 3.13) yakni dari 4.40% menjadi 3.11%. Jika dibandingkan produktivitas setiap umur TM Negara antara periode 200-2005 dengan periode 2006-2013 (gambar 3.5) menunjukkan terjadinya penurunan produktivitas pada setiap umur TM. Namun demikian produktivitas kelapa sawit negara masih lebih tinggi dari rata-rata produktivitas kelapa sawit rakyat.
Gambar 3.4. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Rakyat
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2000-05 2006-13
90 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.12. Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Setiap Provinsi
Provinsi
Produktivitas (Ton CPO/Ha)
Pertumbuhan (%)
1990 2000 2013 1990-2000 2000-2012 1990-2012
Aceh
1.92 1.85 4.05 4.22 4.15
Sumatera Utara 4.35 3.48 3.60 -1.56 0.31 -0.14
Riau 2.74 2.59 3.72 -0.39 4.57 3.13
Sumatera Selatan 3.63 2.40 3.77 23.41 32.36 25.1
Sumatera Barat 1.34 3.28 3.03 14.1 2.4 9.69
Kep. Riau
2.84
Jambi 0.00 2.21 3.38 3.56 3.6 3.58
Bangka Belitung 0 2.25 3.29
Bengkulu 0.13 2.35 3.61 8.43 3.64 52.38
Lampung
1.44 5.29 -1.49 14.24 7.4
Banten
3.01 2.05
Jawa Barat 0.11
1.00 37.3 1.72 42.61
Kalimantan Barat 1.95 1.60 2.33 -1.49 3.1 0.84
Kalimantan Selatan
1.17 3.13
Kalimantan Tengah 0.46 2.57 2.96 43.42 3.1 15.04
Kalimantan Timur 2.98 3.80 2.84 9.52 15.2 11.73
Sulawesi Tengah
1.88 3.75 16.06 113.42 79.35
Sulawesi Selatan
2.06 2.57 1.26 4.68 3.2
Sulawesi Barat
3.44
Sulawesi Tenggara
0.34
Papua
3.56 2.23 4.8 -2.54 0.66
Papua Barat
3.32
Nasional 1.61 2.45 2.92 10.73 13.60 17.25
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 91
Tabel 3.13. Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Negara Setiap Provinsi
Provinsi
Produktivitas (Ton CPO/Ha)
Pertumbuhan (%)
1990 2000 2013 1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh 3.41 3.23 1.45 0.40 -3.68 -1.88
Sumatera Utara 4.32 5.04 4.56 1.69 -0.22 0.66
Riau 1.19 4.91 3.97 18.63 1.65 9.43
Sumatera Selatan 3.74 4.18 3.82 2.20 56.26 31.48
Sumatera Barat 3.64 5.40 4.48 4.57 1.19 2.74
Kep. Riau
Jambi 4.53 4.65 4.40 1.99 1.20 1.56
Bangka Belitung
Bengkulu 1.13 1.11 4.11 20.80 15.57 17.97
Lampung 2.61 3.87 3.78 4.77 0.47 2.44
Banten
1.17 2.36
13.20 13.20
Jawa Barat 20.53 0.00 3.58 -1.24 7.73 3.24
Kalimantan Barat 3.73 4.27 3.86 2.64 1.09 1.80
Kalimantan Selatan
1.98
-2.66 -2.66
Kalimantan Timur 2.95 2.10 3.77 0.15 6.26 3.46
Sulawesi Tengah
1.70
-4.33 -4.33
Sulawesi Selatan 0.97 2.95 1.63 21.55 0.54 10.17
Sulawesi Tenggara
0.86
-18.91 -18.91
Papua
4.28 3.03 3.33 6.00 4.84
Papua Barat
2.72
-0.88 -0.88
Nasional 4.40 3.37 3.11 6.27 4.47 4.13
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
92 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 3.5. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Negara
Produktivitas kelapa sawit swasta (PS) menunjukkan peningkatan yang konsisten selama periode 1990-2013 (Tabel 3.14) yakni meningkat dari 2.65 ton menjadi 3.25 ton CPO per hektar. Jika dilihat dalam periode 2000-2005 dibandingkan dengan periode 2006-2013 menunjukkan bahwa produktivitas seluruh umur TM kebun swasta mengalami peningkatan (gambar 3.6)
0
1
2
3
4
5
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2000-05 2006-13
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 93
Tabel 3.14. Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Setiap Provinsi
Provinsi Produktivitas (Ton CPO/Ha)
Pertumbuhan (%)
1990 2000 2013 1990-2000 2000-2013 1990-2013
Aceh 2.60 2.46 3.66 0.83 8.09 4.90
Sumatera Utara 4.22 4.21 4.97 0.35 3.29 1.95
Riau 2.34 3.23 4.64 4.06 4.26 4.17
Sumatera Selatan 5.81 3.92 3.90 19.96 10.60 14.92
Sumatera Barat 1.87 2.66 1.11 8.77 -2.62 2.60
Kep. Riau 2.37 25.60 25.60
Jambi 3.27 3.62 50.05 1.85 22.80
Bangka Belitung 1.43 4.13 9.42 9.42
Bengkulu 0.22 1.64 4.60 59.68 9.71 32.61
Lampung 1.79 2.52 4.62 15.80 5.39 10.16
Banten 1.89 -0.47 -0.47
Jawa Barat 2.35 1.13 1.73 -5.96 19.55 7.86
Kalimantan Barat 1.46 3.12 29.63 9.68 17.28
Kalimantan Selatan
0.89 3.78 -12.35 20.34 6.13
Kalimantan Tengah
1.85 3.72 6.15 8.28 7.61
Kalimantan Timur 1.43 2.71 4.97 9.56 7.57
Sulawesi Tengah 2.37 3.39 23.01 98.67 72.19
Sulawesi Selatan 1.65 2.09 27.45 457.31 270.41
Sulawesi Barat 4.14 1.06 1.06
Sulawesi Tenggara
0.44 4.32 4.32
Papua 3.75 11.80 11.80
Papua Barat 3.01 0.09 0.09
Nasional 2.65 2.26 3.25 15.49 32.54 24.32
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)
94 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 3.6. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Swasta
Jika dibandingkan produktivitas rata-rata kebun sawit swasta,
rakyat dan negara untuk setiap umur TM selama periode 200-2013 (gambar 3.7) menunjukkan bahwa produktivitas sawit negara lebih unggul dibanding dengan rata-rata produktivitas swasta, dan produktivitas sawit swasta masih lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas sawit rakyat.
Gambar 3.7. Perbandingan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat,
Negara dan Swasta
Hal inilah yang menjadi tantangan pengelolaan perkebunan kelapa sawit Indonesia kedepan yakni bagaimana meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat, kebun sawit swasta mendekati produktivitas sawit negara dan selanjutnya meningkatkan produktivitas kebun sawit swasta, rakyat dan negara kepada tingkat produktivitas yang lebih tinggi.
0
1
2
3
4
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2000-05 2006-13
0
1
2
3
4
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Negara Rakyat Swasta
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 95
3.4 Perkembangan Ekspor dan Konsumsi Domestik CPO
Dari total produksi CPO Indonesia diperuntukkan untuk
memenuhi kebutuhan industri dalam negeri (konsumsi CPO domestik) dan untuk ekspor. Pangsa penggunaan CPO baik untuk ekspor maupun kosumsi domestik mengalami dinamika naik turun (gambar 3.8) tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam perdagangan internasional CPO. Pada periode 1970-1978 kebijakan pemerintah cenderung mengarah pada ekspor CPO (Export Orientation), sehingga porsi CPO yang di ekspor lebih besar. Sementara dalam periode 1982-1990 kebijakan perdagangan internasional CPO Indonesia lebih banyak mengunana CPO untuk industri dalam negeri (Domestik Orientation), sehingga porsi konsumsi CPO domestik cenderung lebih besar. Setelah tahun 2006 pemerintah mengendalikan ekspor CPO melalui kebijakan bea keluar CPO yang progresif.
Gambar 3.8. Perkembangan Pangsa Ekspor dan Konsumsi Domestik dari
Produksi CPO Indonesia
Dengan segala dinamika kebijakan perdagangan internasional CPO Indonesia, secara keseluruhan ekspor CPO dan produk turunannya baik secara nilai maupun volume masih menunjukkan kenaikkan setip tahun (gambar 3.9 dan 3.10). peningkatan volume ekspor CPO dan turunannya mengikuti peningkatan produksi CPO di dalam negeri.
Komposisi ekspor minyak sawit Indonesia juga mengalami perubahan, khususnya dalam lima tahun terakhir (gambar 3.11). Pada
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
CPO Ekspor CPO Konsumsi Domestik
96 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
tahun 2008 sampai 2010 komposisi minyak sawit yang diekspor masih didominasi bahan mentah (CPO) sedangkan setelah tahun 2010-2013 pangsa produk olahan CPO makin besar dalam ekspor minyak sawit Indonesia.
Tujuan ekspor minyak sawit Indonesia terutama pada tiga negara/kawasan yakni India, Cina, dan Uni Eropa. Sekitar 70% dari ekspor minyak sawit Indonesia ditujukkan ke tiga kawasan tersebut (gambar 3.12). Meskipun ada perkembangan diversifikasi tujuan ekspor ke negara lain yang di tunjukkan makin besarnya pangsa negara lain, volume ekspor minyak sawit ke India cenderung stabil.
Gambar 3.9. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit Indonesia (ton)
0
5
10
15
20
25
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
Juta
To
n
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 97
Gambar 3.10. Perkembangan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia
Gambar 3.11. Perkembangan Komposisi Ekspor Minyak Sawit Indonesia
0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2011
2013
Mily
ar
USD
0.00
0.01
0.01
0.02
0.02
0.03
2008 2009 2010 2011 2012 2013
juta
to
n
Mentah Olahan
98 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 3. 12. Perkembangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Menurut Negara
Tujuan
3.5 Industri Hilir Minyak Sawit
3.5.1 Industri Minyak Goreng Sawit/Margarin/ Shortening.
Industri hilir minyak goreng sawit yang pertama dan tertua
dalam agribisnis minyak sawit adalah industri minyak goreng. Di Indonesia, sebelum industri minyak goreng sawit berkembang, industri minyak goreng kelapa sudah lebih dahulu berkembang dan menjadi sumber utama minyak goreng di Indonesia. Dengan semakin langkanya bahan baku kelapa/kopra di satu pihak dan makin tersedia minyak sawit, secara bertahap sebagian besar industri minyak kelapa beralih kepada industri minyak goreng sawit.
Menurut data tahun 2007 (Departemen Perindustrian RI, 2007) penyebaran lokasi industri minyak goreng sawit di Indonesia terutama berada pada enam posisi yakni Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur (Tabel 3.15)
0
5000
10000
15000
20000
25000
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Ton
Negara Lain India Eropa China
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 99
Tabel 3.15. Lokasi dan Kapasitas Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia Tahun 2007
Provinsi
Kapasitas Produksi (ton/tahun)
Pangsa Nasional
Sumatera Utara Riau Sulawesi Selatan DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Timur
3.042.828 3.274.909 1.010.613 2.333.906 2.612.080 1.985.548
19,94 21,46 6,62 15,29 17,12 19,57
Indonesia 15.259.884 100,00
Sumber: BPS
Secara nasional, dari sekitar 15,2 juta ton kapasitas produksi industri minyak goreng sawit di Indonesia, sekitar 21,46% berada di Provinsi Riau, kemudian disusul Sumatera Utara dengan pangsa 19,94%. Provinsi berikutnya adalah berturut-turut Jawa Timur (19,57%), Jawa Barat (17,12%), DKI Jakarta (15,29%) dan Sumatera Utara (6,62%). Dengan demikian, sekitar 48% kapasitas industri minyak goreng sawit nasional berada di sentra-sentra produksi CPO nasional (Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan) dan sisanya (52%) berada di sentra-sentra konsumen minyak goreng.Tampaknya, lokasi industri minyak goreng sawit nasional tidak terlalu kuat mengikuti teori lokasi industri Weber, yang dikenal dengan indikator Indeks Material (Material Index).
Menurut indeks material rasio antara bahan baku dengan produk akhir), jika indeks material lebih besar dari satu, lokasi industri mendekat pada bahan baku. Sedangkan jika indeks material lebih kecil dari satu, lebih mendekat pada sentra konsumen. Pada Industri minyak goreng sawit nasional, indeks material lebih besar dari satu sehingga menurut teori tersebut lokasi industri minyak goreng berada di sentra produksi bahan baku yakni CPO. Pada kenyataanya hanya 48% dari kapasitas industri yang berada di sentra produksi CPO. Sebagian besar yakni 51% berada di sentra konsumen (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur).
Hal ini menunjukkan bahwa lokasi bahan baku hanyalah salah satu faktor pertimbangan penentu lokasi industri. Faktor lain seperti ketersediaan jaringan logistik, karakteristik permintaan minyak goreng relatif yang terhadap karektaristik produksi bahan baku, faktor sejarah, ikut memengaruhi lokasi Industri Secara nasional, dalam periode tahun
100 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
2002-2008, industri minyak goreng sawit mengalami perkembangan pesat baik jumlah perusahaan, kapasitas produksi maupun produksi. Jumlah perusahaan pelaku industri minyak goreng sawit meningkat dari 70 unit usaha pada tahun 2002 menjadi 74 unit usaha pada tahun 2008. Kapasitas produksi juga meningkat yakni dari 8,2 juta ton per tahun 2002 menjadi 154 juta ton per tahun 2008 atau bertumbuh rata-rata sekitar 11% per tahun. Demikian juga produksi minyak goreng sawit meningkat dari 3,7 juta ton menjadi 7,9 juta ton dalam periode yang sama.
Dalam periode tahun 2002-2008, utilisasi kapasitas produksi industri minyak goreng sawit masih relatif rendah yakni antara 45%-57%, namun cenderung meningkat sekitar 2% pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa industri minyak goreng sawit masih mengalami kelebihan kapasitas (over capacity) sekitar 43%-55% per tahun.
Selain minyak goreng sawit, Indonesia juga menghasilkan minyak goreng lain yakni minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainya termasuk minyak goreng kedelai. Perkembangan produksi dan dibandingkan dengan minyak goreng sawit diperlihatkan pada Gambar 3.13. Secara keseluruhan produksi minyak goreng nasional dalam periode 2002-2008 bertumbuh rata-rata 13,78% per tahun, yang disumbang pertumbuhan produksi minyak goreng sawit yang bertumbuh 13,77% per tahun, minyak goreng kelapa (11,78%) dan minyak goreng lainnya (minyak goreng kedelai, jagung, dan lain-lain) yang bertumbuh 15,11% per tahun. Dari segi pangsa produksi, minyak goreng sawit merupakan pangsa terbesar dalam produksi minyak goreng nasional dengan pangsa sekitar 87%-90%, sedangkan pangsa minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainya masing-masing pangsanya bergerak dari 5%-6%.
Hal yang menarik adalah pangsa produksi minyak goreng sawit cenderung menurun, sementara pangsa minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainnya cenderung meningkat, meskipun ketiga minyak goreng tersebut secara absolut masih meningkat secara bersama-sama (gambar 3.14). Artinya, laju peningkatan produksi minyak goreng sawit lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata laju perubahan produksi minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainnya dalam periode tersebut. Hal ini memberi indikasi bahwa dalam periode tersebut industri minyak goreng kelapa dan minyak goreng lain (di luar minyak sawit) memperoleh gairah yang lebih baik untuk produksi.
Peningkatan pangsa produksi minyak goreng di luar minyak goreng sawit, secara ekonomi menguntungkan Indonesia, khususnya dalam diversifikasi minyak goreng. Peningkatan produksi minyak
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 101
goreng kelapa baik secara absolut maupun relatif diharapkan dapat menggairahkan kembali produksi kelapa di seluruh Indonesia yang sempat mengalami stagnasi sebelumnya.
Gambar 3.13. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Indonesia Tahun
2000-2013
Gambar 3.14. Rata-rata Pangsa Minyak Goreng Sawit dalam Konsumsi Minyak
Goreng Indonesia Tahun 2000-2008
0
1
2
3
4
5
6
7
8
92
00
0
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
20
13
Juta
To
n
Minyak Goreng Sawit
Minyak Goreng Sawit 86.64%
Minyak Goreng Kelapa 5.31%
Minyak Goreng Lain 8.06
102 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Peningkatan produksi minyak goreng nasional juga disertai dengan peningkatan konsumsi per kapita penduduk. Dalam periode tahun 2002-2008, konsumsi minyak goreng secara komposit meningkat dari 12,36 menjadi 16,82 kg/kapita/tahun. Demikian juga konsumsi minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainya masih mengalami peningkatan, yakni dari 0,57 kg menjadi 1,01 kg/kapita (minyak goreng kelapa) dan dari 0,79 menjadi 1,6 kg/kapita (minyak goreng lainnya).
Secara relatif pangsa konsumsi minyak goreng sawit menduduki pangsa terbesar dalam total konsumsi minyak goreng Indonesia, kemudian disusul minyak goreng lainnya (minyak kedelai, minyak jagung) dan minyak goreng kelapa. Hal yang menarik adalah pangsa konsumsi minyak kelapa cenderung meningkat.
Hal ini secara ekonomi lebih baik karena ada kecenderungan diversifikasi dalam konsumsi minyak goreng sawit. Konsumsi minyak goreng yang terlalu bertumpu pada satu jenis minyak goreng seperti minyak goreng sawit mengandung risiko secara ekonomi khususnya dari segi stabilitas harga. Selain itu, mengingat minyak sawit adalah komoditas ekspor Indonesia, peningkatan konsumsi yang terlalu bertumpu pada minyak goreng sawit dapat mengurangi kesempatan Indonesia memperoleh devisa dari ekspor. Peningkatan pangsa konsumsi minyak goreng non sawit juga diharapkan akan mendorong peningkatan produksi bahan baku minyak goreng nonsawit khususnya kelapa dan jagung yang potensial di Indonesia. Hal ini selain diversifikasi, produksi bahan baku minyak nabati juga akan melestarikan plasma nutfah kelapa dan jagung secara lintas generasi.
Secara nasional, konsumsi minyak goreng sawit sebagian besar dikonsumsi masyarakat dalam bentuk minyak goreng, yakni mencapai 80%. Sisanya, yakni 20% dalam bentuk kemasan (bermerek). Selain karena harga minyak goreng curah lebih murah (20%-30% di bawah harga minyak goreng kemasan). Masyarakat Indonesia tampaknya belum banyak menuntut atribut produk yang lebih rinci (brand minded) sebagaimana diperoleh dari minyak goreng kemasan.
Meskipun pangsa pasar minyak goreng bermerek hanya sekitar 20%, telah cukup banyak produk minyak goreng di pasar. Beberapa di antaranya adalah Bimoli, Filma, Tropical, Fortune, Sania, Kunci Mas, Madina, Rolebrand, Delima, Sunco, Avena, Sarimurni. Hal ini berarti, pada segmen pasar minyak goreng bermerek cenderung terjadi persaingan monopolistik (monopolistic competition) yang sangat intensif. Sebagaimana struktur pasar persaingan monopolistik, persaingan yang terjadi bukanlah pada tingkat harga melainkan pada variabel di luar harga (non price competition) seperti promosi/iklan. Beberapa minyak
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 103
goreng sawit bermerek mempromosikan diri sebagai minyak goreng nonkolesterol. Padahal semua minyak goreng yang bahan bakunya dari tumbuh-tumbuhan, tidak mengandung kolesterol.
Mengingat masih terbatasnya pangsa minyak goreng bermerek di Indonesia, serta tingginya persaingan pada segmen ini, sebagian produsen minyak goreng sawit menyiasati dengan menghasilkan keduanya yakni minyak goreng curah dan bermerek. Sekitar 32% produsen minyak goreng yang ada menghasilkan minyak goreng bermerek sekaligus minyak goreng curah. Dengan cara ini, produsen dapat memanfaatkan pasar minyak goreng curah (umumnya konsumen kelas berpendapatan menengah ke bawah) dan pasar minyak goreng bermerek (konsumen kelas berpendapatan menengah ke atas).
Perbedaan harga antara minyak goreng curah dengan minyak goreng bermerek tampaknya menarik beberapa supermarket/hypermart untuk membuat minyak goreng kemasan semi bermerek dan dipasarkan dengan tingkat harga antara minyak goreng bermerek dengan minyak goreng curah. Segmen pasar yang dibidik minyak goreng semi bermerek ini adalah konsumen bagian atas kelas berpendapatan rendah, dan bagian bawah kelas berpendapatan tinggi atau lazim disebut konsumen kelas menengah.
Secara keseluruhan, dibandingkan dengan volume produksi minyak goreng yang dihasilkan daya serap pasar domestik yakni konsumsi minyak goreng masih terbatas. Akibatnya sebagian besar produksi minyak goreng nasional ditujukan untuk ekspor. Produksi total minyak goreng Indonesia selama periode tahun 2002- 2008 cenderung dan makin mengarah pada ekspor. Pada tahun 2002 sekitar 61% produksi minyak goreng nasional masih dipasarkan di dalam negeri (konsumsi domestik), setelah tahun tersebut sampai tahun 2008 pangsa untuk pasar ekspor meningkat. Pada tahun 2008, sebagian besar (57%) produksi minyak goreng nasional ditujukan untuk ekspor.
Untuk minyak goreng sawit dan kelapa, kecenderungannya sama. Pangsa ekspor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sedemikian rupa sehingga terjadi pembalikan yakni dari pasar domestik menjadi pasar ekspor (gambar 3.15). Pangsa ekspor minyak goreng sawit meningkat dari sekitar 38% tahun 2002 menjadi sekitar 59% pada tahun 2008. Bahkan minyak goreng kelapa dalam periode tahun 2002-2008 secara konsisten sebagian besar ditujukan untuk ekspor.
Berbeda dengan produksi minyak goreng sawit dan kelapa, minyak goreng lainnya dalam periode tahun 2002-2008 secara umum sebagian besar ditujukan untuk pasar domestik. Namun terjadi kecenderungan bahwa pangsa untuk ekspor mengalami peningkatan dan makin berimbang dengan pangsa untuk pasar domestik.
104 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 3.15. Perkembangan Alokasi Produksi Minyak Goreng Indonesia
untuk Konsumsi Domestik dan Ekspor Tahun 2002-2013
Bila dibandingkan dengan kenaikan produksi minyak goreng di mana secara konsisten produksi meningkat dari tahun-ke tahun, dengan kecenderungan pangsa untuk ekspor yang meningkat tersebut, berarti tujuan utama peningkatan produksi minyak goreng adalah untuk meningkatkan ekspor dan bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan domestik. Orientasi produksi yang demikian dimungkinkan antara lain akibat kenaikan harga minyak goreng di pasar internasional khususnya setelah tahun 2005.
Kecenderungan peningkatan ekspor dari produksi minyak goreng nasional, secara ekonomi menguntungkan Indonesia. Nilai tambah yang diperoleh melalui ekspor minyak goreng secara umum lebih besar daripada bila mengekspor CPO. Selain itu, kecenderungan yang demikian mencerminkan bahwa pasar ekspor lebih menarik bagi produksi minyak goreng daripada pasar domestik.
Industri hilir minyak goreng sawit yang pertama dan tertua dalam agribisnis minyak sawit adalah industri minyak goreng. Di Indonesia, sebelum industri minyak goreng sawit berkembang, industri minyak goreng kelapa sudah lebih dahulu berkembang dan menjadi sumber utama minyak goreng di Indonesia. Dengan semakin langkanya bahan baku kelapa/kopra di satu pihak dan makin tersedia minyak sawit, secara bertahap sebagian besar industri minyak kelapa beralih kepada industri minyak goreng sawit.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Ekspor Konsumsi Domestik
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 105
Penyebaran lokasi industri minyak goreng sawit di Indonesia terutama berada pada enam posisi yakni Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur (Gambar 3.16).
Sumber: Statistika Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Gambar 3.16. Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Minyak Goreng dan
Margarin di Indonesia
Secara nasional, dari sekitar 15,2 juta ton kapasitas produksi industri minyak goreng sawit di Indonesia, sekitar 21,46% berada di Provinsi Riau, kemudian disusul Sumatera Utara dengan pangsa 19,94%. Provinsi berikutnya adalah berturut-turut Jawa Timur (19,57%), Jawa Barat (17,12%), DKI Jakarta (15,29%) dan Sumatera Utara (6,62%). Dengan demikian, sekitar 48% kapasitas industri minyak goreng sawit nasional berada di sentra-sentra produksi CPO nasional (Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan) dan sisanya (52%) berada di sentra-sentra konsumen minyak goreng.
Tampaknya, lokasi industri minyak goreng sawit nasional tidak lagi terlalu mengikuti teori lokasi industri Weber, yang dikenal dengan indikator Indeks Material (Material Index). Menurut indeks material
(rasio antara bahan baku dengan produk akhir), jika indeks material lebih besar dari satu, lokasi industri mendekat pada bahan baku. Sedangkan jika indeks material lebih kecil dari satu, lebih mendekat pada sentra konsumen.
Sumatera Utara 21%
Riau 22%
Sulawesi Selatan 7%
DKI Jakarta 18%
Jawa Barat 18%
Jawa Timur 14%
106 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Pada Industri minyak goreng sawit nasional, indeks material lebih besar dari satu sehingga menurut teori tersebut lokasi industri minyak goreng berada di sentra produksi bahan baku yakni CPO. Pada kenyataanya hanya 48% dari kapasitas industri yang berada di sentra produksi CPO. Sebagian besar yakni 51% berada di sentra konsumen (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur). Hal ini menunjukkan bahwa lokasi bahan baku hanyalah salah satu faktor pertimbangan penentu lokasi industri. Faktor lain seperti ketersediaan jaringan logistik, karakteristik permintaan minyak goreng, faktor sejarah, ikut mempengaruhi lokasi industri.
Margarin/shortening merupakan oleo pangan (oleo food) yang konsumsinya makin meningkat di dalam negeri. Pada umumnya, konsumsi margarin/shortening terjadi pada industri jasa boga (food service industri) seperti restoran, industri roti dan lain-lain. Konsumsi rumah tangga masih relatif kecil yakni pada masyarakat golongan pendapatan mengengah ke atas.
Secara ekonomi produk margarin/shortening merupakan produk yang bersifat income elastic demand yakni konsumsinya meningkat jika pendapatan masyarakat meningkat. Bila pendapatan meningkat, konsumsi margarin meningkat lebih besar (%tase) daripada peningkatan pendapatan itu sendiri.
Berbeda dengan industri minyak goreng, sebagian besar (74%) kapasitas industri margarin berada di sentra konsumen. Sisanya yakni 26% berapa di sentra produksi bahan baku seperti Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Bahkan sekitar 50% dari kapasitas produksi yang ada berada di DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi industri margarin lebih berorientasi pada pusat-pusat konsumen.
3.5.2 Industri Margarin/Shortening
Margarin/ shortening merupakan oleo pangan (food oleo) yang
konsumsinya makin meningkat di dalam negeri. Pada umumnya, konsumsi margarin/shortening terjadi pada industri jasa boga (food service industri) seperti restoran, industri roti dan lain-lain. Konsumsi rumah tangga masih relatif kecil yakni pada masyarakat golongan pendapatan mengengah ke atas. Secara ekonomi produk margarin/shortening merupakan produk yang bersifat income elastic demand yakni konsumsinya meningkat jika pendapatan masyarakat meningkat. Bila pendapatan meningkat, konsumsi margarin meningkat lebih besar (%tase) daripada peningkatan pendapatan itu sendiri.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 107
Tabel 3.16. Jumlah Perusahaan, Kapasitas Produksi dan Penyebaran Industri Margarin/Shortening di Indonesia
Daerah Jumlah Perusahaan (unit)
Kapasitas Produksi (ton/tahun)
DKI Jakarta Sumatera Utara Jawa Timur Jawa Barat Riau Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Sumatera Selatan Jawa Tengah
15 11 7 6 2 1 1 1 1 1
459.943 139.860 75.000 74.000 76.200 15.000 15.000 9.600 6.000 900
Total 46 871.502
Sumber: BPS
Industri margarin/shortening di Indonesia telah memiliki sejarah yang panjang. Pada awal perkembangannya menggunakan bahan baku minyak kelapa namun akibat kurangnya minyak kelapa beralih pada bahan baku minyak sawit. Penyebaran industri margarin/shortening dan kapasitas produksi di Indonesia disajikan pada Tabel 3.16
Berbeda dengan industri minyak goreng, sebagian besar (74%) kapasitas industri margarin berada di sentra konsumen. Sisanya yakni 26% berapa di sentra produksi bahan baku seperti Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Bahkan sekitar 50% dari kapasitas produksi yang ada berada di DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi industri margarin lebih berorientasi pada pusat-pusat konsumen.
Perkembangan produksi dan penggunaan produksi industri margarin/shortening di Indonesia disajikan pada Tabel 5.10. Produksi margarin cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 produksinya baru mencapai sekitar 338 ribu ton, meningkat menjadi sekitar 580 ribu ton tahun 2008. Peningkatan produksi margarin yang demikian selain tersedianya bahan baku (stearin, olein, PKO) di Indonesia, juga dimungkinkan oleh pertumbuhan pasar margarin/ shortening baik di dalam negeri maupun ekspor.
Hal yang menarik adalah pangsa produksi margarin yang dipasarkan ke pasar domestik cenderung meningkat yakni dari sekitar 78% tahun 2000 menjadi 84% tahun 2008. Sementara pangsa untuk tujuan pasar ekspor menurun dari 23% menjadi 15%. Tampaknya pertumbuhan pasar domestik lebih mampu menyerap produksi margarin daripada pasar ekspor.
108 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tujuan pasar eskpor margarin Indonesia adalah Hongkong, Srilangka, Angola, Philipina, Vietnam dan Rusia. Sekitar 50% ekspor margarin Indonesia diserap oleh negara-negara tersebut. Sedangkan sisanya ditujukan untuk ekspor ke negara-negara lain.
Bila dibandingkan dengan industri minyak goreng (Gambar 3.17), perkembangan industri margarin ini berbeda/bertolak-belakang. Bila industri margarin cenderung memperbesar pangsa produksinya untuk pasar domestik, industri minyak goreng lebih cenderung memperbesar pasar ekspornya. Hal ini menarik untuk didalami lebih jauh, apakah pertumbuhan konsumsi margarin sedang mulai meningkat di Indonesia? Ataukah produk margarin Indonesia kalah bersaing dengan produk margarin negara lain di pasar dunia?
Gambar 3.17. Perkembangan Produksi Margarine Indonesia Tahun 2000-
2013
3.6 Perkembangan Industri Oleokimia
Peranan ekspor CPO dan turunannya dalam ekspor netto non migas makin penting dan bahkan menjadi katup pengaman. Pada tahun 2004 (Tabel 3.17), kontribusi ekspor CPO dan turunannya baru mencapai 26 % dari net ekspor non migas dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan tahun 2012 dan tahun 2013 pangsa ekspor CPO dan turunannya sudah di atas 100 %. Artinya, sektor non migas
0
100
200
300
400
500
600
700
800
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Rib
u T
on
Margarine
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 109
Indonesia terhindar dari defisit trade, karena adanya ekspor CPO dan turunannya. Peran penting dari ekspor CPO dan turunanya dalam perekonomian makin jelas jika dilihat dalam neraca transaksi berjalan (current account), NTB, Indonesia. Jika ekspor CPO dan produk turunannya tidak diperhitungkan (tanpa minyak sawit) NTB Indonesia sudah mengalami defisit sejak tahun 2008. Dan defisit NTB tersebut mengalami peningkatan sejak tahun 2008 sampai 2013. Defisit NTB makin membengkak pada tahun 2012 dan 2013 ketika total net ekspor Indonesia (non migas dan migas) mengalamin defisit berturut-turut 12,7 dan 13 Milyar dollar USA, sehingga defisit NTB menjadi sekitar 45 dan 47 milyar dollar USA.
Jika ekspor CPO dan turunannya diperhitungkan (dengan minyak sawit), NTB Indonesia sejak tahun 2004-2011 masih positif. Defisit NTB tahun 2012 dan 2013 tidak lagi mampu di tutup oleh ekspor CPO dan turunannya.
Dengan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa industri minyak sawit Indonesia (meskipun masih pada fase sedang bertumbuh) telah berperan menjadi kutub penyelamat NTB pada periode tahun 2008-2012.
Tabel 3.17. Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi
Berjalan Indonesia
Tahun
Tanpa Minyak sawit ($ milyar)
Dengan Minyak Sawit ($ milyar)
Net Ekspor Barang
Total
Neraca Transaksi Berjalan
Net Ekspor Barang Total
Neraca Transaksi berjalan
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
16.12
18.35
24.11
23.67
9.11
17.77
14.73
13.13
-12.68
-13.08
-0.40
-1.44
+5.28
+1.41
-13.67
-1.74
-11.21
-19.96
-45.37
-47.68
20.15
22.78
29.66
32.75
22.91
30.15
31.09
34.78
8.62
6.15
3.11
2.99
10.83
10.49
0.13
10.63
5.14
1.68
-24.07
-28.45
Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah)
110 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.18. Produsen dan Kapastas Industri Oleokimia Nasional (dalam 1000 ton)
No. Perusahaan Fatty Acid
Fatty Alcohol Glycerol
1 PT Ecogreen (Medan & Batam) 45 350 24
2 PT Sumiasih, Bekasi 91 10
3 PT SOCI MAS, Medan 80 8
4 PT Flora Sawita Chemindo , Medan 50 5.1
5 PT Musim Mas, Medan 320 100 30
6 PT Domba Mas, Kuala Tanjung 60 40 4.6
7 Wilmar Group, Gresik 120 30
8 PT Nubika Jaya, Kisaran 130 20
9 PT Cisadane Raya Chemical, Tanggerang 90 10
Total 986 490 141.7
Sumber: BPS
Terkonsentrasinya industri oleokimia di Sumatera Utara mungkin berkaitan dengan sejarah kelapa sawit nasional yang dimulai dari Sumatera Utara. Meskipun saat ini sentra utama produksi CPO nasional (urutan pertama) adalah Riau, tampaknya industri hilir (oleokimia) terbesar masih di Sumatera Utara.
Di masa yang akan datang, diperkirakan Riau akan menjadi sentra utama industri hilir (oleokimia). Mengingat industri ini merupakan industri antara, faktor ketersediaan bahan baku yakni CPO dan PKO menjadi pertimbangan penting bagi pengusaha dalam memilih lokasi investasi industri oleokimia.
Perkembangan Produksi Oleokimia Dasar Indonesia.
Produksi oleokimia dasar di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (gambar 3.18) baik fatty acid, fatty alcohol, maupun glycerol. Pangsa fatty acid merupakan yang tertinggi dalam produksi oleokimia Indonesia setiap tahun.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 111
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.18. Perkembangan Produksi Oleokimia Dasar di Indonesia 2006-
2010 (ton).
Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid. Volume dan nilai ekspor fatty acid (gambar 3.19 dan 3.20). Indonesia juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun meski tengah fluktuasi pada tahun tertentu. Negara tujan ekspor utama fatty acid Indonesia adalah Eropa, India, dan Asia lainnya. Pangsa fatty acid ke China dan Asia lainnya juga bertumbuh dengan pangsa yang meningkat.
Gambar 3.19. Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid Menurut Negara
Tujuan (Ton). Sumber: BPS dan Apolin
0
200
400
600
800
2006 2007 2008 2009 2010
Rib
u T
on
Eropa
Amerika
Afrika
Asia Lainnya
China
India
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
2006 2007 2008 2009 2010
Rib
u T
on
Fatty Alcohol
Glyserol
Fatty Acid
Fatty Acid 742.536 736.069 893.083 856.419 935.332 6,39 10,78
Glyserol 99.813 109.548 98.004 124.474 186.000 18,91 29,49 Fatty Alcohol 137.672 161.500 241.500 282.000 285.000 21,17 30,88
Total 980.021 1.007.117 1.232.587 1.262.893 1.406.332 89,74 15,35
112 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.20. Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid
(US $’000).
Perkembangan Volume Ekspor Glycerol. Volume dan nilai ekspor glycerol Indonesia juga mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun (gambar 3.21 dan gambar 3.22). Negara tujuan ekspor utama glycerol adalah China, Asia, dan Amerika Serikat, dengan pangsa yang makin besar (bertumbuh). Sedangkan negara tujuan ekspor glycerol ke Jepang pangsanya cenderung turun.
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.21. Perkembangan Volume Glyserol Menurut Negara Tujuan
(Ton)
0
100
200
300
400
500
600
700
2006 2007 2008 2009 2010
Rib
u T
on
Grafik Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid Menurut Negara Tujuan (US$'000)
Eropa
Amerika
Afrika
Asia Lainnya
China
India
0
20
40
60
80
100
120
140
2006 2007 2008 2009 2010
Rib
u T
on
Amerika Serikat
Australia
Eropa
Amerika
Afrika
Asia Lainnya
China
Jepang
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 113
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.22. Perkembangan Volume Ekspor Glyserol Menurut Negara
Tujuan
Perkembangan Volume Ekspor Fatty Alcohol. Volume dan
nilai ekspor fatty alcohol secara konsisten meningkat dari tahun ke tahun (gambar 3.23 dan 3.24). Negara tujuan utama ekspor fatty alcohol Indonesia mencakup China, Asia lain, Amerika Serikat, Afrika dan Belanda. Pangsa ekspor fatty acid alcohol ke Belanda dan asia lainnya bertumbuh sangat cepat.
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.23. Perkembangan Volume Ekspor Fatty Alcohol Menurut
Negara Tujuan (ton).
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2006 2007 2008 2009 2010
juta
USD
Australia
Eropa
Amerika
Afrika
Asia Lainnya
Korea Selatan
Amerika Serikat
China
Jepang
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
2006 2007 2008 2009 2010
Rib
u T
on
Eropa Lainnya
Amerika Lainnya
Afrika
Asia Lainnya
Belanda
Singapura
China
Amerika Serikat
114 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.24. Perkembangan Value Ekspor Fatty Alcohol Menurut Negara
Tujuan
Selain mengekspor, Indonesia juga mengimpor oleokimia dasar pada saat tertentu (gambar 3.25 dan 3.26), namun cenderung menurun. Impor fatty acid dan fatty alcohol merupakan oleokimia dasar yang banyak di impor oleh Indonesia.
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.25. Perkembangan Volume Impor Oleokimia 2006-2011
0
50
100
150
200
250
300
2006 2007 2008 2009 2010
Juta
USD
Eropa
Amerika Lainnya
Afrika
Asia Lainnya
Belanda
Singapura
China
Amerika Serikat
0
5
10
15
20
25
30
35
40
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Rib
u T
on
Glyserol
Fatty Alcohol
Fatty Acid
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 115
Sumber: BPS dan Apolin Gambar 3.26. Perkembangan Volume Impor Oleokimia 2006-2011
Konsumsi oleokimia dasar di Indonesia secara konsisten mengalami peningkatan (gambar 3.26). Konsumsi fatty alcohol pangsanya cenderung meningkat, sementara glysecor maupun fatty acid cenderung stabil. Peningkatan konsumsi oleokimia tersebut mencerminkan bahwa didalam negeri telah berkembang industri pengguna oleokimia dasar (hilirisasi oleokimia).
3.6.1 Industri Sabun/Detergen
Indonesia berada di daerah tropis memiliki gaya hidup yang
mungkin berbeda dengan masyarakat di negara beriklim dingin/subtropis. Iklim tropis yang panas dengan kelembaban tinggi, memerlukan gaya hidup mandi secara teratur. Hal ini memerlukan sabun, baik sabun mandi (toilet soap), sabun cuci (wash soap) maupun sabun detergen. Semakin besar penduduk semakin besar kebutuhan sabun tersebut.
Gaya hidup yang demikian, telah mendorong tumbuh berkembangnya industri sabun di Indonesia. Pada awal perkembanganya, bahan baku pembuatan sabun berasal dari minyak kelapa (untuk sabun mandi dan cuci) dan produk turunan petrokimia (detergen). Namun belakangan akibat kelangkaan minyak kelapa dan alasan kesehatan lingkungan (petrokimia) bahan baku beralih ke minyak sawit yang lebih murah, sehat dan bersahabat dengan lingkungan (biodegradable).
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Juta
USD
Glyserol
Fatty Alcohol
Fatty Acid
116 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.19. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri Sabun Mandi dan Detergen di Indonesia
Daerah Jumlah Perusahaan
Kapasitas Produksi (ton/tahun)
Sabun Mandi Sabun Cuci
Detergen
Sumatera Utara Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah Jawa Timur
6 1
10 12 1 1
13
181.800 16.150 521.000 48.900 18.000 15.800 117.460
34.500 - -
58.450 - -
29.540
2620 -
1.185.700 80.202
- 750
2.557.000
Total 44 925.110 122.490 2.574.794
Sumber: BPS
Jumlah perusahaan dan kapasitas produksi industri sabun di Indonesia disajikaan pada Tabel 3.19 dan gambar 3.27.
Pada umumnya lokasi industri sabun di Indonesia lebih berorientasi pada pusat-pusat konsumen. Dari sekitar 925 ribu kapasitas industri sabun mandi di Indonesia sekitar 88% berada di pusat-pusat konsumen seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya 22% berada di sentra produsen bahan baku yakni di Sumatera Utara dan Lampung.
Sumber: Kementerian Perindustrian Gambar. 3.27. Penyebaran dan Kapasitas Produksi Sabun dan Detergen,
Sumatera Utara 5%
Jawa Barat 4%
Jawa Tengah 0%
DKI Jakarta 35%
Banten 0%
Jawa Timur 56%
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 117
Gambar 3.28. Perkembangan Produksi Sabun dan Detergen Indonesia
Tahun 2000-2013
Hal yang relatif sama juga terjadi pada industri sabun cuci dan detergen. Dari kapasitas industri sabun cuci sebesar 122 ribu ton, 78% berada di sentra-sentra konsumen. Bahkan pada industri detergen, sekitar 99 % berada di sentra-sentra konsumen terutama DKI Jakarta.
Dalam periode tahun 2000-2008, produksi sabun dan detergen Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 3.28). Sabun cuci meningkat dari sekitar 240 ribu ton tahun 2000 menjadi sekitar 290 ribu ton tahun 2008. Demikian juga sabun mandi, meningkat dari sekitar 869 ribu ton menjadi 690 ribu ton pada periode yang sama.
Berbeda dengan sabun cuci atau detergen, orientasi pasar dari produksi sabun mandi mengalami perubahan. Pada tahun 2000-2002, sebagian besar produksi sabun mandi dipasarkan ke dalam negeri, namun setelah tahun tersebut sebagian besar beralih ke pasar ekspor. Dengan kata lain, produksi sabun mandi Indonesia makin cenderung melihat pasar ekspor. Hal ini sedikit berbeda dengan produksi sabun cuci di mana sebagian besar produksinya ditujukan untuk pasar domestik. Namun, terdapat kecenderungan bahwa pangsa produksi untuk tujuan pasar ekspor cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan produksi detergen lebih dari 90% ditujukan untuk pasar domestik (Gambar 3.29). Hanya relatif sedikit untuk dipasarkan ke luar negeri (ekspor).
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Rib
u T
on
Sabun& Detergen
118 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 3.29. Perkembangan Produksi dan Tujuan Pasar Industri Sabun
Indonesia
Negara tujuan ekspor sabun mandi Indonesia umumnya adalah negara-negara Asia, Timur-Tengah dan Afika. Sepuluh negara tujuan ekspor sabun mandi terbesar adalah Singapura, Malaysia, Nigeria, Djibouti, Mesir, India, Irak, Ethiopia dan Autralia. Sementara negara tujuan ekspor sabun cuci terbesar adalah Angola, Ethiopia, Uni Emirat Arab, Djbouti, India dan Malaysia. Sedangkan negara tujuan ekspor detergen Indonesia adalah terutama Jepang, Malaysia dan Singapura.
Dengandemikian,meskipunvolumeeksporsabun/detergenIndonesia masih tergolong kecil, negara tujuan ekspor telah terdiversifikasi sedemikian rupa sehingga tidak tergantung pada beberapa negara saja. Dalam jangka panjang hal ini memudahkan Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor sabun/detergen karena sudah dikenal di banyak negara.
Sumber: Aprobi (2009) Gambar 3.30. Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Biodiesel di Indonesia,
0%
10%
20%30%
40%50%
60%70%80%
90%
100%
2000 2002 2004 2006 2008
Domestik Ekspor
Sumatera Utara 4%
Jawa Barat 4%
Riau 81%
DKI Jakarta 1%
Banten 0%
Jawa Timur 8%
Kalimantan Timur 2%
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 119
Industri biodiesel. Industri biodiesel merupakan industri hilir minyak sawit yang masih tergolong baru di Indonesia. Industri ini memiliki momentum untuk tumbuh-berkembang setelah harga BBM fosil mengalami kenaikan yang signifikan di pasar dunia khususnya setelah tahun 2003. Selain itu, keprihatinan dunia akan pemanasan global yang terutama akibat emisi CO2 dari konsumsi BBM fosil juga
ikut merangsang tumbuhnya industri biofuel di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Gambar 3.31. Perkembangan Produksi Biodiesel Indonesia Tahun 2000-2013
Gambar 3.32. Perkembangan Produksi Biodiesel dan Penggunaanya di Indonesia
0
500
1000
1500
2000
2500
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Rib
u T
on
Biodiesel
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
20092010
20112012
2013
Rib
u k
l
Perkembangan Produksi Biodiesel dan Penggunaannya di Indonesia
Konsumsi
Ekspor
Produksi
120 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.20. Produsen dan Kapasitas Industri Biodiesel di Indonesia No. Nama Perusahaan Lokasi Kapasitas
(ton/tahun)
1 PT Alia Mada Perkasa Kosambi, Tangerang
11000
2 PT Anugrah Inti Gemanusa Gresik 40000
3 PT Bioenergi Pratama Jaya Kab. Kutai Timur 6000
Kab. Berau 60000
4 PT Cemerlang Energi Perkasa Dumai, Riau 400000
5 PT Damai Sejahtera Sentosa Cooking
Rungkut, Surabaya 120000
6 PT Darmex Biofuel Bekasi 150000
7 PT Energi Alternatif Jakarta Utara 7000
8 PT Eternal Buana Chemical Industries
Cikupa, Tangerang 40000
9 PT Eterindo Nusa Graha Gresik 40000
10 PT Indo Biofuels Energi Merak 60000
11 PT Multikimia Intipelangi Bekasi 14000
12 Musim Mas Group Kab. Deli Serdang 70000
Batam 350000
13 PT Pasadena Biofuels Mandiri Ciakarang 10240
14 PT Pelita Agung Agrindustri Bengkalis, Riau 200000
15 PT Petro Andalan Nusantara Dumai, Riau 150000
16 PT Primanusa Palma Energi Jakarta Utara 24000
17 PT Sintong Abadi Kab. Asahan 35000
18 PT Sumi Asih Bekasi 100000
19 PT Wahana Abdi Tritatehnika Sejati Cileungsi, Bogor 132200
20 PT Wilmar Bio Energi Indonesia Dumai, Riau 1050000
TOTAL 3069440
Menurut data Asosiasi Produsen Biodisel Indonesia (2009) kapasitas industri biodiesel Indonesia sudah mencapai sekitar 3 juta ton per tahun (gambar 3.30 dan tabel 3.20). Industri ini terbesar di Sumatera Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Dengan kapasitas yang demikian, industri biodiesel nasional sudah mampu memasok setidak-tidaknya 3 juta ton biodiesel untuk kebutuhan dalam negeri. Realisasi produksi biodiesel Indonesia sejauh ini belum diperoleh data yang akurat.
Dengan Indonesia sebagai produksi CPO terbesar di dunia, sebenarnya Indonesia juga akan mampu menjadi produsen biofuel terbesar dunia. Dari produksi perkebunan kelapa sawit saja, Indonesia dapat menghasilkan biopremium, biogasolin, biopertamax dan biosolar
Sumber: BPS
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 121
jika serius mengembangkanya. Produk biofuel tersebut selain dapat diperbaharui (renewable energi) juga ramah lingkungan (environment friendly).
Masalah utama pengembangan biofuel di Indonesia adalah political will dan konsistensi kebiakan energi nasional, dan bukan masalah teknologi apalagi bahan baku. Seharusnya subsidi BBM fosil sesegera mungkin dicabut dan dialihkan untuk subsidi biofuel (untuk sementara)
dan dalam jangka waktu tertentu dicabut secara bertahap, sehingga konsumen memiliki waktu untuk menyesuaikan diri. Tabel 3.21. Perkembangan Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir di dalam
Negeri
Tahun
Kebutuhan CPO untuk Industri (Ton)
Total Minyak Goreng
Oleokimia Margarine Sabun Biodiesel
2000 1,691,099 587,554 33,805 236,167 2,548,625
2001 2,214,000 595,279 36,469 250,360 3,096,108
2002 2,391,120 592,351 39,703 250,946 3,274,120
2003 2,510679 596,758 41,688 251,699 3,400,824
2004 2,887,277 643,709 42,939 251,872 3,825797
2005 3,494,472 761,378 49,657 253,132 4,558,639
2006 3,610,646 780,361 53,629 253,829 78,000 4,776,465
2007 3,843,919 799,447 53,629 258,195 324,000 5,279,190
2008 4305,190 839,420 57,919 263,359 756,000 6,221,888
2009 4,864,864 881,390 62,553 268,626 396,000 6,473,433
2010 5,545945 925,460 67,557 273,999 888,000 7,700,961
2011 6,155,999 971,733 72,962 279,479 1,890,000 9,370,173
2012 6,089,365 996,094 73,489 277,887 2,640,000 10,076,834
2013 6,468,303 1,034,277 76,943 281,002 2,640,000 10,500,524
3.7 Evolusi Kebijakan Pemerintah
Perkembangan agrobisnis minyak sawit sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelumnya tidak dapat dilepaskan dari kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, khususnya sejak tahun 1970. Kebijakan ekonomi yang dimaksud baik kebijakan yang secara langsung ditujukan pada agrobisnis minyak sawit maupun kebijakan secara tidak langsung yakni dalam kerangka pengelolaan makro ekonomi, termasuk dalam perdagangan internasional.
122 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Kebijakan pemerintah yang secara langsung ditujukan pada agrobisnis minyak sawit antara lain kebijakan alokasi penggunaan CPO untuk kebutuhan domestik yang disertai dengan kebijakan harga CPO maksimum, kebijakan Perkebunan Inti Rakyat dan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), dan kebijakan pajak ekspor CPO dan produk turunannya.
Meskipun pangsa pengeluaran konsumen minyak goreng di Indonesia relatif kecil (sekitar 4% dari pengeluaran total), sehingga konstribusinya dalam laju inflasi relatif kecil, intervensi pemerintah pada agrobisnis minyak sawit cukup intensif agar harga minyak goreng relatif murah di Indonesia. Hal ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, apakah kebijakan yang demikian masih perlu dipertahankan ke depan.
Kebijakan PIR dan PBSN. Keberhasilan Indonesia menjadi
produsen CPO terbesar dunia tahun 2006 di mana sekitar 40% bersumber dari perkebunan rakyat, tidak datang sendiri melainkan hasil dari (by design) kebijakan ekonomi benar dalam agrobisnis minyak
sawit. Kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah kebijakan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan Pengembangan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yang oleh banyak pihak diakui keberhasilannya.
Dalam kebijakan PIR, yang bertindak sebagai inti adalah perkebunan negara (BUMN) dan perkebunan swasta. Sedangkan plasma adalah (calon- calon) perkebunan rakyat. Tugas dan tanggung jawab inti antara lain membangun dan memelihara kebun-kebun calon plasma, mempersiapkan, dan membina kemampuan calon plasma sejak awal pembangunan kebun, serta ikut memelihara dan mengelola kebun di bawah bimbingan inti.
Mengingat peran inti sangat penting dalam keberhasilan PIR, perlu terlebih dahulu dilakukan penyehatan dan penguatan inti, melalui kebijakan bantuan pembiayaan (fasilitas kredit) yang dimulai pada 7 (tujuh) BUMN/Perusahaan Besar Swasta Nasional (tahun 1969-1978). Kemudian dilanjutkan dengan kebijakan fasilitas kredit (modal dengan suku bunga murah) kepada perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) I (1977-1981), dilanjutkan dengan PBSN II (1981-1986), dan PBSN III (1986-1990).
Simultan dengan kebijakan penyehatan dan penguatan inti tersebut, tahun 1978 dimulailah PIR pertama yang dibiayai oleh Bank Dunia yang dikenal dengan proyek Nucleus estate and small holders (NES), mulai dari NES I sampai NES VII. Keberhasilan NES tersebut memberi keyakinan pada pemerintah untuk melanjutkan dan memperluas pola PIR dengan pendanaan dalam negeri (APBN) yakni
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 123
PIR khusus dan PIR lokal pada 12 provinsi di Indonesia pada tahun 1980. Melalui serangkaian pola PIR tersebut, berkembang sekitar 231.535 ha perkebunan kelapa sawit baru yakni kebun inti (67.754 ha) dan kebun plasma (163.781 ha). Melalui PIR inilah perkebunan rakyat ikut dalam agrobisnis minyak sawit nasional di mana sebelum tahun 1980 pelaku agrobisnis minyak sawit hanya ada perusahaan negara dan swasta.
Pengalaman keberhasilan pelaksanaan PIR tersebut dan dikaitkan dengan pengembangan ekonomi daerah melalui program transmigrasi, pemerintah mengombinasikan pola PIR dengan program transmigrasi melalui pola PIR Transmigrasi (PIR-Trans) sejak tahun 1986. Pada Pola PIR-Trans, perusahaan swasta bertindak sebagai inti dan petani transmigrasi sebagai plasma. Kebijakan PIR-Trans ini dilaksanakan pada 11 provinsi dan berhasil menumbuhkembangkan perkebunan kelapa sawit baru sekitar 566 ribu hektar di mana 70% kebun plasma dan 30% kebun inti.
Berkembangnya sentra-sentra baru perkebunan kelapa sawit melalui PIR-Trans, tidak melupakan pengembangan PIR lokal sebelumnya yang mengilhami PIR-Trans. Sejak Tahun 1996, PIR lokal dikembangkan (naik kelas) baik dari segi pembiayaan maupun dari segi kelembagaan yang dikaitkan dengan pengembangan koperasi yang dikenal dengan PIR KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Para Anggotanya). PIR KKPA ini dibiayai dengan subsidi kredit koperasi melalui 74 Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada di sekitar perkebunan kelapa sawit (swasta, negara) yang telah ada.
Melalui kebijakan PIR dengan berbagai variasi pelaksanaannya, telah membawa perubahan revolusioner dalam agrobisnis minyak sawit di Indonesia khususnya perkebunan kelapa sawit. Luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat dari hanya sekitar 294 ribu ha tahun 1980, menjadi sekitar 4 juta hektar tahun 2000 atau meningkat hampir 20 kali lipat. Hal yang lebih revolusioner lagi adalah meningkatnya perkebunan rakyat dari hanya 6 ribu hektar menjadi 1,1 juta hektar atau hampir 200 kali lipat dalam periode yang sama.
Melihat keberhasilan kebijakan PIR yang menghasilkan percepatan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, ternyata membangun kepercayaan (trust) baru kepada agrobisnis minyak sawit, baik investor, individu masyarakat, maupun dunia perbankan. Hal ini tercermin dari peningkatan luas perkebunan kelapa sawit yang cepat setelah tahun 2000 di mana tidak ada lagi fasilitas bantuan pemerintah. Dalam waktu 10 tahun (2000-2010), perkebunan kelapa sawit Indonesia naik dari 4,1 juta hektar menjadi sekitar 8 juta
124 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
hektar atau naik dua kali lipat. Peningkatan yang cepat terjadi pada perkebunan rakyat yang meningkat sekitar 3 kali lipat dari 1,1 juta hektar menjadi 3,3 juta hektar pada periode yang sama.
Pada tahun 2006 pemerintah memberikan fasilitas kredit (subsidi bunga kredit) pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan (Permenkeu No:117/PMK.06/2006) untuk rakyat. Namun demikian, sebagian besar masyarakat dari percepatan luas perkebunan kelapa sawit selama periode 2000-2010 diperkirakan dimotori oleh kepercayaan investor baru (perusahaan, individu) dan perbankan pada agrobisnis minyak sawit. Apalagi dalam periode tersebut harga minyak sawit dunia makin membaik sehingga memberi keyakinan bahwa investasi di perkebunan kelapa sawit sangat menguntungkan.
Kebijakan PIR dan PBSN di atas, dapat dikategorikan sebagai kebijakan ekonomi yang sukses (success policies). Kebijakan tersebut bergerak dari fase bantuan modal, kemudian naik kelas menjadi fase subsidi modal dan kemudian menuju fase modal komersial (mandiri).
Dikatakan sebagai kebijakan sukses karena berbagai alasan. Pertama, kebijakan tersebut berhasil (meningkatkan luas perkebunan khususnya perkebunan rakyat sesuai dengan target/sasaran kebijakan). Kedua, kebijakan tersebut berhasil secara bertahap memperbesar peran dunia usaha dan makin mengurangi tanggung jawab/beban pemerintah sehingga tidak menciptakan ketergantungan pada bantuan pemerintah. Ketiga, kebijakan tersebut berhasil menstimulus investasi swasta dan masyarakat sehingga dengan investasi pemerintah yang tidak terlalu besar dikeluarkan, dapat menarik investasi swasta/masyarakat yang jauh lebih besar (triggering effect besar). Keempat, kebijakan tersebut mampu memenuhi
kewajibannya dalam pembangunan. Artinya, keberhasilan pemerintah dalam memberdayakan dunia usaha, secara tidak langsung menyelesaikan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan ekonomi seperti penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan lain-lain.
Dengan kata lain, kebijakan PIR dan PBSN yang demikian merupakan kebijakan yang bersifat pareto improvement, yakni memberi manfaat bagi semua pihak baik petani/perkebunan rakyat, perusahaan perkebunan swasta dan negara (BUMN), pemerintah maupun masyarakat secara keseluruhan. Manfaat tersebut bahkan juga dinikmati masyarakat dunia baik melalui ketersediaan minyak nabati yang lebih murah maupun jasa lingkungan yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 125
Kebijakan Alokasi dan Harga Maksimum CPO Domestik. Pada
periode tahun 1973-1990, pemerintah pernah menempuh kebijakan pengalokasian dan harga CPO domestik. Tujuan kebijakan waktu itu adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku minyak goreng yang saat ini mengalami kekurangan bahan baku dari kelapa/kopra.
Pada awalnya (1973-1978) pemerintah menetapkan harga pembelian CPO bagi industri minyak goreng dangan harga Rp120 per kg. Namun karena tidak efektif, melalui SKB Menteri (Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan Koperasi) No: 275/ KPB/XII/1978, 252/M/SK/12/1978, 764/KPTS/UM/1978 tanggal 16 Desember 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan mengharuskan penggunaan produksi CPO domestik diutamkan untuk kebutuhan dalam negeri dan dengan harga CPO ditetapkan pemerintah secara periodik (tiga bulan sekali) oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi pada waktu itu.
Dengan kebijakan pengaturan harga (harga maksimum) CPO domestik, harga penetapan CPO berubah dari Rp120/kg (pertengahan tahun 1978) berubah menjadi Rp198/kg sampai akhir tahun 1979. Kemudian diubah tiga bulan sekali sampai dengan awal tahun 1991 menjadi Rp550/kg.
Selain menetapkan harga CPO domestik, pemerintah juga mengharuskan penggunaan produksi CPO di Indonesia diutamakan untuk kebutuhan dalam negeri, baik untuk industri minyak goreng maupun industri lain. Kebijakan pengutamaan pasar domestik ini bukan hanya berlaku bagi CPO tetapi juga berlaku untuk palm kernel oil (PKO).
Dampak dari kebijakan tersebut adalah pangsa untuk ekspor CPO mengalami penurunan dan untuk konsumsi domestik meningkat. Bila sebelum tahun 1978 sebagian besar produksi CPO Indonesia adalah untuk tujuan ekspor, setelah tahun 1978 berangsur-angsur turun (Tabel 9.2). Hal yang sama juga terjadi pada PKO, pangsa untuk ekspor makin menurun dan pangsa untuk konsumsi domestikmeningkat. Dengan kata lain, untuk pertama kali dalam sejarah agrobisnis minyak sawit Indonesia terjadi perubahan drastis dalam orientasi pasar, yakni semula berorientasi ekspor (export orientation) yakni sebelum tahun 1978, menjadi berorientasi pada pasar domestik (domestik market orientation).
Dengan perubahan orientasi pasar yang demikian, berarti Indonesia meninggalkan pasar ekspornya baik CPO maupun PKO. Hal ini tercemin dari penurunan pangsa Indonesia dalam pasar ekspor CPO
126 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
dunia yang semula (sebelum tahun 1978) memiliki pangsa di atas 10%, turun menjadi di bawah 10% setelah tahun 1978. Pasar ekspor yang ditinggalkan Indonesia ini kemudian diambil alih Malaysia yang secara konsisten berorientasi ekspor.
Apakah kebijakan pengutamaan pasar domestik yang disertai dengan penetapan harga maksimum berhasil? Hal ini menarik untuk didesikasikan lebih lanjut. Bila diperhatikan, data harga CPO penetapan pemerintah dengan harga CPO aktual di dalam negeri selama masa periode kebijakan tersebut menunjukan hal-hal yang menarik. Pertama, harga CPO aktual di pasar domestik pada umumnya di atas harga CPO penetapan pemerintah (harga maksimum) baik dalam rupiah maupun dalam dolar Amerika Serikat. Kedua, terjadi disparitas harga CPO antara
pasar domestik (aktual) dengan harga ekspor (f.o.b Belawan) yang cukup besar apalagi dibandingkan dengan harga dunia (Rotterdam).
Disparitas harga CPO antara harga aktual di pasar domestik dengan harga yang ditetapkan pemerintah mengindikasikan terjadinya penyelundupan (smugling) dari pasar domestik ke luar negeri. Hal ini
dimungkinkan karena adanya intensif yang cukup besar yakni disparitas harga CPO antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga ekspor. Volume CPO yang diselundupkan keluar negeri ini diperkirakan cukup besar sedemikian rupa, sehingga melalui mekanisme di pasar domestik, harga aktual menjadi lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah.
Kemudian, disparitas harga CPO antara pasar ekspor (f.o.b. Belawan) dengan pasar dunia (Rotterdam) yang cukup besar, mengindikasikan bahwa kebijakan orientasi pasar domestik yang ditempuh pemerintah waktu itu juga dimanfaatkan oleh para pedagang perantara/pembeli CPO internasional dengan cara menekan harga pembelian CPO dari Indonesia. Kebijakan orientasi pasar domestik tersebut dibaca para pemain CPO dunia sebagai ketidakpastian supply CPO dari Indonesia, sehingga direspons dengan cara menekan harga (manage risk).
Lantas siapa yang diuntungkan dengan kebijakan tersebut? Apakah kebijakan tersebut efektif menjaga stabilitas minyak goreng domestik sebagaimana tujuan kebijakan? Untuk menjawab hal ini mari kita lihat perkembangan harga minyak goreng dalam negeri dalam kurun waktu tahun 1980-1994.
Harga minyak goreng di Indonesia mengalami fluktuasi selama periode tahun 1980-1994. Tingkat penurunan harga minyak goreng tertinggi terjadi tahun 1990 yakni 18%. Sedangkan kenaikan tertinggi terjadi tahun 1983 yang mencapai 24%. Secara keseluruhan, rata-rata
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 127
kenaikan harga minyak goreng di Indonesia selama kebijakan tersebut mencapai 6,4%, atau kurang lebih sama dengan laju inflasi selama periode tersebut. Dengan demikian, kebijakan tersebut gagal menjaga stabilitas minyak goreng di dalam negeri.
Tomich dan Mawardi (1995) menganalisis dampak kebijakan tersebut selama periode tahun 1978-1987 mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut merugikan produsen dan konsumen. Kebijakan tersebut menciptakan proteksi nasional sampai 9% pada perkebunan kelapa sawit. Sementara konsumen minyak goreng membayar 6%-12% di atas harga paritas impor minyak goreng. Selama periode 1982-1987 saja, total kerugian konsumen mencapai Rp880 miliar dan kerugian produsen Rp387 miliar. Selain itu, Indonesia kehilangan kesempatan memperoleh devisa yang cukup besar dan kehilangan pasar di pasar dunia
Kebijakan Pajak Ekspor Minyak Sawit. Sebagai bagian dari paket
deregulasi, pada waktu itu dikenal sebagai paket deregulasi Juni tahun 1991 (Pakjun 91), pemerintah mengubah kebijakan perdagangan minyak sawit di dalam negeri. Perubahan yang dimaksud mencakup 3 aspek yakni, (1) Penerapan pajak ekspor minyak sawit dan produk turunannya, (2) Pengelolaan buffer-stock CPO oleh Badan Urusan Logistik (BULOG) dan memberikan subsidi impor olein bila diperlukan, dan (3) Melanjutkan kebijakan penggunaan 80% produksi CPO perkebunan sawit negara (PTP) untuk kebutuhan dalam negeri dengan harga di bawah harga pasar.
Kebijakan pasar ekspor yang ditetapkan bersifat variable, yang tergantung pada perkembangan harga minyak sawit dan turunannya di pasar dunia. Waktu itu ditetapkan harga dasar (HD)—harga tertinggi yang tidak dikenakan pajak—dan harga ekspor (HE) yakni harga ekspor FOB Belawan. Tingkat tarif ditetapkan dan tergantung pada selisih HE dengan HD. Formula Pajak Ekspor (PE) untuk persatuan volume dalam rupiah adalah PE = tarif x (HE-HD) x KURS.
Kebijakan tersebut untuk pertama sekali ditetapkan melalui SK Menteri Keuangan No: 434/KMK 0.17/1994 tanggal 31 Agustus 1994 Formula Perhitungan PE berdasarkan SK tersebut disajikan pada Tabel 3.22.
128 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 3.22. Formula Penetapan Pajak Ekspor CPO dan Produk Turunan Berdasarkan
SK Menkeu No: 434/KMK 0.17/1994 Tanggal 31 Agustus 1994 Tingkat Harga (US$/ton) Pajak Ekspor (%)
1. Crude Palm Oil (CPO) *Harga Dasar 435 0% * Harga Ekspor FOB 0% a. 435-505 60 % (HE-HD) b. 470-505 56 % (HE-HD) c. 505-540 52 % (HE-HD) d. 540-575 48% (HE-HD) e. 575-610 44 % (HE-HD) f. Di atas 610 40 % (HE-HD) 2. RBD Palm Oil * Harga Dasar 460 0% * Harga Ekspor FOB 0% a. 460-500 60 % (HE-HD) b.500-540 56 % (HE-HD) c. 540-580 52 % (HE-HD) d. 580-620 48% (HE-HD) e. 620-660 44 % (HE-HD) f. Di atas 660 40 % (HE-HD) 3. CRD Olein * Harga Dasar 0% * Harga Ekspor FOB 0% a. 465-510 75 % (HE-HD) b, 510-600 70 % (HE-HD) c. 555-600 65 % (HE-HD) d. 600-645 60 % (HE-HD) e. 645-690 55 % (HE-HD) f. Di atas 690 50 % (HE-HD)
4.RBS Olein * Harga Dasar 0% * Harga Ekspor FOB 0% a. 500-550 75 % (HE-HD) b. 550-600 70 % (HE-HD) c. 600-650 65 % (HE-HD) d. 650-700 60 % (HE-HD) e. 700-750 55 % (HE-HD) f. Di atas 750 50 % (HE-HD)
Harga Ekspor (HE) tersebut ditetapkan setiap bulan oleh
Menteri Keuangan baik untuk CPO, maupun produk turunanya RBD Olein, CRD Olein, dan RBD Palm Olein. Pada bulan September 1994, misalnya melalui SK Menteri Keuangan No: 440/MK.017/1994 tanggal 31 Agustus 1994 menetapkan HE CPO (US$ 540/ton), RBD Palm Oil (US$ 591/ ton), CRD Olein (US$ 612/ton) dan RBD Olein (US$ 642/ton).
Realisasi kebijakan pajak ekspor misalnya dalam periode September 1994 sampai dengan November 1995 (Tabel 9.6)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 129
menunjukan bahwa pajak ekspor CPO mencapai 11,9% dari harga ekspor CPO, atau sekitar US$ 72/ton CPO yang diekspor. Untuk RBD Palm Oil mencapai 12.4% dari harga ekspor RBD Palm Oil atau sekitar US$ 79/ton. Sementara untuk produk CRD olein, pajak ekspor mencapai 15,4% atau US$ 97/ ton yang diekspor. Untuk RBD olein, pajak ekspor mencapai 14,8% atau sekitar US$ 99/ton RBD olein yang diekspor.
Dengan demikian, kebijakan pajak ekspor tersebut akan menghasilkan pajak yang lebih tinggi pada produk turunan (olahan) daripada pajak ekspor bahan mentah (CPO). Pajak ekspor RBD Olein lebih tinggi dari CRD Olein. Demikian juga pajak ekspor CRD olein lebih tinggi daripada RBD Palm Oil dan pajak ekspor RBD Palm Oil lebih tinggi daripada pajak ekspor CPO.
Dengan tingkat pajak ekspor yang demikian, di mana pajak ekspor produk turunan lebih tinggi daripada pajak ekspor bahan baku (CPO), tidak memberi intensif untuk industrialisasi (pengolahan lebih lanjut) di dalam negeri. Apakah kebijakan yang demikian menguntungkan konsumen minyak goreng dalam negeri?.
Secara teoritis, kebijakan pajak ekspor yang demikian menciptakan distorsi ekonomi yang secara neto mengurangi/menurunkan kesejahteraan masyarakat keseluruhan. Kebijakan tersebut meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan kesejahteraan konsumen minyak goreng. Namun, mengurangi/menurunkan penerimaan devisa dan pendapatan para usaha perkebunan kelapa sawit termasuk perkebunan rakyat. Dapat dipastikan bahwa peningkatan pendapatan pemerintah dan peningkatan kesejahteraan konsumen minyak goreng di dalam negeri lebih kecil dibandingkan dengan kerugian yang dialami perkebunan kelapa sawit.
Hasil Studi Larson (1996) untuk periode tersebut membuktikan teoritis tersebut. Nilai penurunan pendapatan usaha perkebunan kelapa sawit termasuk perkebunan rakyat di dalamnya, lebih besar daripada nilai pajak ekspor yang diterima pemerintah ditambah dengan manfaat (consumer surplus) yang dinikmati konsumen minyak goreng di dalam negeri. Selain itu, nilai penurunan penerimaan ekspor akibat kebijakan tersebut jauh lebih besar dari pajak ekspor yang diterima pemerintah.
Dengan kata lain, kebijakan pajak ekspor yang demikian secara keseluruhan menurunkan kesejahteraan masyarakat (worse-off). Mereka yang menikmati peningkatan manfaat (better-off) yakni pemerintah dan konsumen, lebih kecil (dalam ukuran moneter) dibandingkan dengan kerugian (worse-off) yang dialami para pelaku perkebunan kelapa sawit termasuk di dalamnya perkebunan rakyat skala kecil.
130 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Selain itu, dilihat dari segi kemudahan perhitungan tarif, kebijakan penetapan pajak ekspor yang demikian cukup rumit karena harus terlebih dahulu menetapkan harga tertinggi (HD) tidak dikenakan tarif untuk masing-masing produk dan menetapkan harga ekspor. Kelemahan lainnya adalah pajak ekspor produk olahan lebih tinggi daripada bahan baku (CPO) sehingga tidak ada intensif untuk mengolah CPO di dalam negeri.
Dalam rangka diregulasi 7 Juli 1997, pemerintah akhirnya mengubah kebijakan penetapan pajak ekspor CPO dan produk turunanya. Melalui keputusan Menteri Keuangan No: 300/ KMK.01/1997 kebijakan pajak ekspor diubah menjadi pajak advalorem
yakni %tase tertentu dari nilai ekspor yang diterapkan semula berkisar 10%-12%, kemudian berubah secara periodik dan pada juli 1998 ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pajak ekspor mencapai 60%, lalu diturunkan menjadi 40% sampai Juni 1999 dan menjadi 10% pada September 1999. Sampai Februari 2001, pajak ekspor sudah tinggal 5% dan menjadi 3% pada tahun 2002 sampai 2005.
Setelah tahun 2005, kebijakan pajak ekspor CPO dan produk turunannya semakin intensif baik dilihat dari cakupan produk maupun besaran tarif melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 92/ PMK-02/2005 cakupan pajak ekspor mencakup 5 jenis. Selain 4 jenis sebelumnya, komoditi buah dan inti sawit dikenakan pajak ekspor sebesar 3%.
Kemudian, melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 61/ PMK.001/2007 kebijakan pajak ekspor diperluas menjadi 9 jenis produk/komoditi dengan kisaran pajak ekspor 6,5%-10%. Melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 72/PMKO11/2011 diperluas menjadi 14 jenis produk dengan kisaran pajak ekspor 0%-40% (buah dan inti sawit dikenakan pajak tertinggi yakni 40%). Perhitungan pajak ekspor (advalorem) didasarkan pada formula: Tarif x Nilai ekspor FOB x KURS.
KebijakanpajakeksporCPOdanprodukturunannyamakinintensif lagi, melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 223/PMK.011/2008 tanggal 17 Desember 2008. Setidak ada tiga perubahan dari pajak ekspor sejak tanggal 17 Desember 2008 tersebut dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya: (1) Cakupan produk yang dikenakan pajak ekspor mencakup 15 jenis termasuk RBD Olein dalam kemasan; (2) Besarnya pajak ekspor (advalorem) didasarkan pada kisaran harga referensi masing-masing jenis produk, di mana semakin meningkat harga referensi, pajak ekspor juga akan semakin meningkat (progressive advalorem tax), dan (3) Harga Patokan Ekspor (HPE) ditetapkan secara periodik.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 131
Harga Patokan Ekspor (HPE) adalah harga patokan yang ditetapkan secara periodik oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan setelah berkoordinasi dengan menteri/ kepala lembaga pemerintah non kementerian/kepala badan teknis terkait. HPE ini ditetapkan denan berpedoman pada harga rata-rata internasional atau harga rata-rata FOB satu bulan terakhir sebelum penetapan HPE. HPE ini merupakan dasar penghitungan/penetapan harga ekspor dalam perhitungan bea keluar. Sedangkan harga referensi (HR) merupakan harga rata-rata internasional komoditi/tertentu (CIF Rotterdam, bursa Malaysia, bursa Jakarta) satu bulan sebelum penetapan HPE. Harga referensi ini digunakan untuk menghitung tarif bea keluar.
Kemudian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.128/ PMK.011/2011 tanggal 15 Agustus 2011, cakupan produk diperluas menjadi 29 jenis produk dan besaran tarif didasarkan pada harga referensi masing-masing produk. Menteri Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan No: 22/M-DAG/PER/8/2011 dan No: 26/M- DAG/PER/8/2011 menetapkan HPE masing-masing produk berlaku 1 September-30 September 2011. Ringkasan ketiga peraturan menteri tersebut disajikan pada.
Harga patokan ekspor dan besaran tarif tersebut akan selalu mengalami perubahan tergantung pada perubahan harga produk- produk tersebut di pasar internasional. Tujuan kebijakan pajak ekspor tersebut adalah untuk stabilisasi harga minyak goreng sawit dan percepatan pengembangan industri hilir (hilirisasi) di dalam negeri.
Secara umum, kebijakan pajak ekspor tersebut telah lebih rasional dibandingkan dengan kebijakan pajak sebelumnya. Besaran tarif untuk produsen yang belum diolah dan produk akhir sudah dibedakan. Pajak ekspor buah dan inti sawit lebih besar dibandingkan dengan CPO dan CPKO. Demikian juga pajak ekspor CPO dan CPKO lebih tinggi dibandingkan dengan produk-produk olahan lebih lanjut. Di sisi ini, kebijakan pajak ekspor yang demikian secara teoritis dapat mendorong hilirisasi di dalam negeri dan stabilisasi harga minyak goreng domestik.
Berbagai studi (Susila 2004; Obado, dkk. 2009; Purba 2011) mengungkapkan bahwa selain meningkatkan penerimaan pemerintah, pajak ekspor dapat menurunkan harga CPO domestik, menaikkan konsumsi CPO domestik, meningkatkan produksi minyak goreng domestik, dan meningkatkan kesejahteraan konsumen. Namun, berbagai studi (termasuk di atas) juga mengungkapkan bahwa kebijakan pajak ekspor yang ditempuh pemerintah juga menurunkan
132 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
areal tanaman penghasil kelapa sawit, produksi, nilai tambah, ekspor, pendapatan petani kebun, menurunkan penyerapan tenaga kerja, dan produktivitas yang lebih besar.
Artinya, tambahan manfaat yang ditimbulkan kebijakan pajak ekspor CPO dan turunannya harus dibayar dengan pengurangan menfaat yang lebih besar dari produsen minyak sawit dan masyarakat yang ikut dalam proses produksi minyak sawit. Pengurangan manfaat tersebut terjadi pada daerah-daerah sentra produksi CPO yang merupakan bagian penting dari pengembangan ekonomi daerah yang sedang difokuskan pemerintah itu sendiri dalam era otonomi daerah.
Selain itu, kebijakan pajak ekspor yang berdampak pada penurunan produkivitas perkebunan kelapa sawit juga perlu diperhatikan. Dalam kondisi saat ini terutama ke depan, di mana lahan makin terbatas seharusnya peningkatan produktivitas menjadi andalan Indonesia untuk meningkatkan produksi CPO. Namun, dengan adanya disinsentif (akibat kebijakan pajak ekspor) dapat mengagalkan upaya peningkatan produktivitas tersebut. Lambatnya pertumbuhan produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia selama ini patut diduga karena disinsentif tersebut. Akibatnya, investasi R&D yang dikeluarkan pemerintah juga tidak teradopsi dalam perkebunan kelapa sawit.
Dengan catatan dampak kebijakan pajak ekspor sebagaimana diuraikan di atas, cara penetapan pajak ekspor tersebut juga masih memiliki beberapa kelemahan, yakni: (1) Penetapan pajak ekspor CPO dan turunnya secara advalorem mengubah keseimbangan produsen CPO sehingga direspons dengan penurunan produksi. Seharusnya, kebijakan pajak ekspor yang ditempuh didasarkan pada specific tax
sehingga tidak mengubah keseimbangan produsen. (2) Penetapan HPE dan tarif bea keluar secara periodik oleh pemerintah menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku agrobisnis minyak sawit seperti perencanaan kontrak-kontrak. Hanya pelaku agrobisnis minyak sawit yang terintegrasi secara vertikal yang tidak menghadapi ketidakpastiaan tersebut, dan (3) Penetapan besaran tarif yang tidak mengikutsertakan variabel perubahan (depresiasi, apresiasi) kurs rupiah dapat mengubah beban produsen minyak sawit (CPO), tergantung pada kecenderungan pengelolaan kurs. Apresiasi mata uang rupiah sama artinya pajak implisit bagi eksportir sehingga bila ditambah dengan tarif nominal yang ditetapkan pemerintah akan menambah pajak ekspor yang menjadi beban produsen/eksportir. Artinya, dalam menentukan tarif bea keluar, variabel depresiasi/apresiasi kurs perlu dipertimbangkan.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 133
Secara keseluruhan, harga CPO FOB dan pasar domestik cenderung mengalami kenaikan selama periode 2000-2008. Pola pergerakan harga CPO domestik (dalam US$) mengikuti pola harga FOB. Selain itu, harga CPO domestik berada di bawah harga FOB dengan siparatis yang bervariasi (5%-42) dengan rata-rata 17,5%. Disparatis harga tersebut mencerminkan dampak dari kebijakan pajak ekspor yang ditetapkan selama periode tersebut.
Rata-rata disparitas harga antara harga CPO FOB dengan harga CPO domestik (17,5%) lebih tinggi dari rata-rata pajak ekspor CPO dalam periode tahun 2000-2008 yang berkisar 1,5%-6,5%. Hal ini dapat dimengerti karena selain pengaruh perubahan kurs, juga dipengaruhi respons masing-masing produsen CPO berbeda-beda (tabel 3.23).
Bila diperhatikan, pangsa produksi CPO Indonesia untuk ekspor menunjukkan peningkatan yakni dari sekitar 58% tahun 2000 menjadi 74% tahun 2008 bahkan tahun 2006 mencapai 78%. Meskipun secara absolut meningkat, pangsa untuk konsumsi domestik dengan sendirinya mengalami penurunan dari 41% menjadi 25%. Hal ini menunjukan bahwa kenaikan produksi CPO Indonesia selama periode tersebut sebagian besar ditujukan ke pasar ekspor. Meskipun pemerintah menerapkan pajak ekspor dengan tarif yang cenderung meningkat, produsen CPO masih lebih memilih menjual CPO ke pasar ekspor dengan konsekuensi membayar pajak ekspor daripada menjual ke dalam negeri. Disparitas harga ekspor dengan harga CPO domestik yang lebih tinggi daripada tarif bea keluar tampaknya masih menguntungkan dari sudut pandang produsen CPO.
134 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Nama Produk HPE
(US$/ton) Tarif (%)
HMKT (US$/ton)
TR (%)
TT (%)
Buah dan Karnel Kelapa Sawit x 418 40 0 40 40
Bungkil Kelapa Sawit 156 20 0 20 20
Crude Palm Oil (CPO) 1.013 15 750 7.5 2,5 Crude Palm Karnel Oil (CPKO) 1.326 15 750 3 2,5 Crude Palm Olein x 1.131 8 750 3 15 Crude Palm Strearin 893 5 750 3 15 Crude Palm Karnel Olein 1.326 8 750 3 15 Crude Palm Karnel Strearin 1.326 8 750 3 15 Palm Fatty Acid Destilate (DFAD) 753 3 750 3 15 Hydrogenated Palm Oil (Bulk>20kg) 1.020 8 750 3 15 Hydrogenated Karnel Oil (Bulk>20kg) 1.363 15 750 3 15 Hydrogenated Palm Olein (Bulk>20kg) 1.158 12 750 3 15 Hydrogenated Karnel Olein (Bulk>20kg) 1.369 15 750 3 15 Hydrogenated Karnel Olein (Bulk>20kg) 1.363 15 750 3 15 Hydrogenated Palm Strearin (Bulk>20kg) 923 6 750 3 15
RBD Palm Olein x 1.141 9 750 2 13
RBD Palm Oil 1.120 9 850 2 10
RBD Palm Karnel Oil 1.434 10 850 2 10
RBD Palm Karnel Olein 1.339 10 850 2 10
RBD Palm Karnel Strearin 1.642 10 850 2 10
RBD Palm Sterarin 902 3 850 2 10
Hydrogenated RBD palm Olein 1.168 10 850 2 10
Hydrogeneted RBD Palm Oil 1.148 7 850 2 10 Hydrogeneted RBD Palm Karnel Oil 1.443 10 850 2 10 Hydrogeneted RBD Palm Karnel Olein 1.366 10 850 2 10 Hydrogented RBD Palm Karnel Stearain 1.668 10 850 2 10
Hydrogented RBD Palm Strearin 929 3 850 2 10 BD Palm Oilein Dalam Kemasan Bermerk (>20kg)(270merk) 1.141 3 1.000 2 6 Biodiesel dari minyak sawit (Fatty Acid Methye Ester) 1.191 5 1.000 2 7,5
HPE= Harga Patokan Ekspor ; HMKT= Harga Minimum Kuota Tarif ; TR= Tarif Terendah ; TT= Tarif Tertingi
Tabel 3.23. Harga Patokan Ekspor dan Tarif Bea Keluar Produk-Produk Agribisnis Minyak Sawit 1 September – 30 September 2011. (Permenkeu: 128/PMK.011/2011, Pemendag: 22/M-DA6-PER/8/11; Pemendag 26/M-DAG/PER/9/2011)
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 135
Lantas apakah kebijakan pajak ekspor CPO dapat dikatakan gagal? Tergantung apa indikatornya. Jika indikatornya adalah harga CPO domestik, jelas kebijakan pajak ekspor tersebut berhasil karena harga CPO di pasar domestik lebih rendah (di bawah) harga ekspor CPO. Seandainya tidak ada pajak ekspor, harga CPO domestik akan mendekati harga ekspor atau sama dengan harga peritas ekspor. Lagi pula, kebijakan pajak ekspor tersebut bukanlah kebijakan melarang ekspor CPO. Namun, bila indikatornya adalah hilirisasi, perlu penelitian lebih lanjut mengenai kebijakan tersebut. 3.8 Perkembangan Harga Energi Dunia, Pupuk dan Rasio Harga
3.8.1 Pergerakan Harga Energi Dunia, Minyak Mentah
Harga minyak mentah dunia telah mengalami peningkatan yang drastis (Gambar 3.33) yakni dari US$ 19,48/barrel Januari 2002 menjadi US$ 110,52/barrel pada Mei 2012. Harga minyak mentah dunia tertinggi pernah terjadi pada bulan Juni 2008 yang mencapai US$ 13305/barrel.
Bila dilihat pola pergerakan harga bulanan dalam kurun waktu Januari 2002-Mei 2012 menunjukkan bahwa harga minyak dunia mengalami peningkatan dari bulan Januari ke Desember setiap tahun. Harga terendah selalu terjadi pada awal kemudian meningkat terus setiap bulan sampai akhir tahun. Pergerakan harga tertinggi setiap tahun terjadi pada bulan Juni-Oktober setiap tahun.
Koefisien variasi (ukuran tingkat risiko) menunjukkan bahwa tingkat risiko harga minyak mentah dunia cenderung berfluktasi. Tingkat risiko harga minyak mentah dunia tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 30.08% dan tahun 2009 mencapai 20.23%.
Setelah tahun 2010 sampai Mei 2012, tingkat risiko pada harga minyak mentah dunia cenderung makin kecil yakni 6.91% pada tahun 2010, 6% tahun 2011 dan 5.4% sampai dengan Mei 2012. Tingkat risiko setelah tahun 2010 jauh lebih rendah dari tingkat risiko sebelum tahun 2010. Hal ini mengindikasikan bahwa keseimbangan pasar minyak mentah dunia mulai tercapai (makin stabil).
136 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 3.33. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Mentah Dunia
(Januari 2002=100)
Dengan demikian, dari analisis pergerakan harga minyak
mentah dunia tersebut dapat disimpulkan bahwa: Harga minyak mentah dunia semakin meningkat dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun, Tingkat risiko yang bersumber dari perubahan harga minyak mentah dunia cenderung semakin menurun, dan harga pada awal tahun selalu lebih rendah dari harga pertengahan maupun akhir tahun.
Minyak Diesel. Perkembangan indeks harga diesel dunia secara
tahunan disajikan pada gambar 3.34. Harga nominal minyak diesel dunia meskipun berfluktuasi masih menunjukkan kenaikan baik secara bulanan atau tahunan.
Harga nominal minyak diesel mengalami peningkatan dari bulan Januari sampai Desember dengan laju pertumbuhan yang makin melambat dari tahun 2007 sampai Mei 2012. Laju pertumbuhan bulanan tahun 2007 mencapai 3.2% perbulan, dan pada tahun 2011 melambat menjadi 0.45% perbulan.
Pergerakan indeks harga tahunan cenderung meningkat dalam periode tahun 2007-2012. Indeks harga terendah pernah terjadi pada tahun 2009 dan kemudian meningkat lagi sampai Mei 2012. Pada tahun 2012 (sampai Mei) harga diesel dunia telah meningkat 94% diatas harga Januari 2007.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 137
Gambar 3.34. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Diesel Dunia
Januari 2007- Desember 2012 (Januari 2002=100)
Bila dilihat indikator koefisien variasi (indikator tingkat risiko)
menunjukkan bahwa tingkat risiko perubahan harga minyak diesel dunia cenderung menurun sejak Januari 2007 sampai Mei 2012. Pada tahun 2007 tingkat risiko sebesar 15%, meningkat menjadi 26 % tahun 2008, kemudian turun menjadi 5.38% tahun 2011 dan sampai Mei 2012 tingkat risiko hanya 4%.
Bila dianalisis pergerakan harga bulanan setiap tahun menunjukkan pola teratur (kecuali 2008). Pola yang dimaksud adalah bahwa harga pada awal tahun cenderung lebih rendah dari harga pertengahan dan akhir tahun. Pola ini sama dengan pola harga minyak mentah dunia sebagaimana yang diuraikan sebelumnya.
Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa: Harga diesel dunia semakin meningkat dari tahun ke tahun, Harga diesel di awal tahun lebih rendah dari harga akhir tahun dan Tingkat risiko akibat perubahan harga diesel dunia cenderung menurun.
Gas Alam Cair. Perkembangan indeks harga tahunan gas alam cair disajikan pada gambar 3.35. Berbeda dengan energi lain harga gas alam cair dunia mengalami fluktuasi besar dari tahun ke tahun. Dengan kecenderungan yang menurun tingkat risiko berkisar antara 8% sampai sekitar 30%.
Pola pergerakan indeks harga bulanan setiap tahun juga berfluktuasi besar, pergerakan harga setiap bulan naik turun sepanjang tahun dengan variasi yang cukup besar.
138 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 3.35. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Gas Alam Cair Dunia
(Januari 2002=100)
3.8.2 Pergerakan Indeks Harga Pupuk
Pupuk Urea. Perkembangan indeks harga pupuk urea dunia disajikan pada gambar 3.36. Secara umun, harga pupuk urea dunia mengalami kenaikan yg cepat dari rata-rata US$ 94/ton tahun 2002 menjadi US$ 430/ton tahun 2012 (sampai bulan Mei 2012).
Pergerakan harga bulanan setiap tahun cenderung mengikuti pola yang sama (kecuali tahun 2002 dan 2008). Pola yang dimaksud adalah harga pada awal tahun selalu lebih rendah dibandingkan dengan pertengahan dan akhir tahun.
Dilihat dari tingkat risiko perubahan harga bulanan (koefisien variasi) setiap tahun, tingkat risiko haga pupuk urea berfluktuasi dari tahun ke tahun. Tingkat risiko paling tinggi terjadi pada tahun 2008 yakni mencapai 40% dan terendah terjadi pada tahun 2009 yakni sebesar 5%. Berbeda dengan tingkat risiko energi dunia, tidak ada tanda-tanda bahwa tingkat risiko harga pupuk urea menurun dari tahun ke tahun. Dengan perkataan lain, risiko dari harga pupuk urea dunia masih cukup besar dan fluktuatif.
Dari hasil analisis perkembangan harga pupuk urea dunia menunjukkan bahwa: Harga di awal tahun cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pertengahan dan akhir tahun, serta Tingkat risiko akibat perubahan harga pupuk urea dunia fluktuatif dan belum ada tanda-tanda terjadi kecenderungan penurunan tingkat risiko, dalam kurun waktu 2002-2012.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 139
Gambar 3.36. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Urea Dunia Januari
2002- Desember 2012 (Januari 2002=100)
Pupuk rock pospat. Perkembangan harga pupuk Rock Pospat (RP) secara indeks pergerakan harga tahunan disajikan pada gambar 3.37. Harga RP dunia mengalami kenaikan yang cepat yakni rata-rata US$ 40/ton tahun 2002 menjadi US$ 140/ton tahun 2012. Harga tertinggi yang pernah tercapai adalah pada tahun 2008 yaitu sebesar US$ 345/ton. Tingkat risiko perubahan harga RP (koefisien variasi) sangat fluktuatif dengan kisaran 0% sampai 42% dan belum ada kecenderungan makin menurun.
Dilihat dari pola pergerakan harga antar bulan setiap tahun tidak menunjukan pola yang tetap seperti pupuk urea. Harga pada awal tahun tidak selalu lebih rendah dibandingkan harga pertengahan dan akhir tahun.
Gambar 3.37. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Rock Pospat
(Januari 2002=100)
140 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Pupuk Triple Superpospat (TSP). perkembangan harga pupuk TSP dunia sejka Januari 2002 sampa Mei 2012 dalam bentuk indeks harga tahunan disajikan pada gambar 3.38.
Harga TSP dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yakni dari US$ 131/ton Januari 2002, meningkat menjadi US$ 485/ton Mei 2012. Harga tertinggi pernah mencapai US$ 1331/ton yakni pada bulan Agustus 2008.
Tingkat risiko harga antar bulan juga mengalami fluktuasi dari yang terendah tahun 2005 (0.22%) sampai tertinggi tahun 2008 (28%). Hal ini memberi petunjuk bahwa tingkat risiko pada pasar TSP dunia masih tinggi. Pola pergerakan antar bulan setiap tahun umumnya konsisten dari tahun ke tahun, harga bulan Januari umumnya lebih rendah dibandingkan pada pertengahan dan ahor tahun.
Gambar 3.38. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk TSP Dunia (Januari
2002=100)
Pupuk Diamonium Phosphate (DAP). Perkembangan harga
pupuk DAP dunia dalam bentuk indeks harga tahunan disajikan pada gambar 3.39. Harga DAP dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, pada Januari 2002 masih US$ 152/ton, lalu meningkat pada bulan Mei 2012 menjadi sekitar US$ 553/ton. Harga DAP tertinggi pernah mencapai US$ 1200/ton pada bulan April 2008.
Tingkat risiko (koefisien variasi) dari tahun ke tahun, yakni terendah (3,9%) tahun 2011 dan tertinggi (27,75%) tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko harg DAP masih relatif tinggi.
Pergerakan harga bulanan (Januari-Desember) memiliki pola yang konsisten dari tahun ke tahun. Pada awal tahun harga DAP umumnya lebih rendah daipada harga pertengahan dan akhir tahun.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 141
Gambar 3.39. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk DAP Dunia (Januari
2002=100)
Pupuk Potasium Chlorida (KCL). Perkembangan harga pupuk KCL dunia dalam bentuk indeks harga tahunan disajikan pada gambar 3.40. Perkembangan harga nominal KCL dunia meningkat dari sekitar US$ 115/ton Januari 2002 menjadi US$ 457/ton Mei 2012. Harga tertinggi pernah menyentuh US$ 872/ton pada bulan februari 2008.
Tingkat risiko harga KCL bervariasi setiap tahun dalam kisaran 1.41% sampa 30.05%. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi risiko dari perubahan harga KCL dunia masih tinggi.
Pola pergerakan harga bulanan setiap tahun juga konsisten, harga bergerak meningkat mulai Januari sampai Desember setiap tahun. Harga KCL terendah selalu terjadi pada awal tahun dan tertingi pada akhir tahun.
Gambar 3.40. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk KCL Dunia (Januari
2002=100)
142 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Hasil analisis perkembangan harga energi dan pupuk dunia yang diuraikan diatas, setidak-tidaknya terdapat hal-hal yang mempunyai implikasi bagi kebijakan pengelolaan perkebunan kelapa sawit Indonesia kedepan sebagai berikut: 1. Harga minyak mentah dan minyak diesel dunia menunjukkan
kenaikan yang konsisten sejak Januari 2002 sampai Mei 2012. Dan tidak ada tanda-tanda yang dapat diyakini bahwa harga tersebut akan kembali ke posisi tahun 2002.
2. Harga pupuk dunia (urea, TSP, RP, DAP, KCL) juga menunjukkan konsistensi yang meningkat dari tahun ke tahun sejak Januari 2002-Mei 2012. Dan tidak ada tanda-tanda yang meyakinkan bahwa harga pupuk akan kembali ke posisi tahun 2002.
3. Pada umumnya, pola pergerakan harga bulanan setiap tahun baik energi maupun pupuk konsisten. Rata-rata harga pada awal tahun lebih rendah dari harga pertengahan dan akhir tahun.
4. Tingkat risiko perubahan harga masih fluktuatif dari tahun ke tahun. Dan belum ada fakta-fakta bahwa tingkat risiko pasar energi dan pupuk akan menurun meskipun pada energi dunia cenderung makin stabil.
Keempat hal tersebut memiliki implikasi penting kedepan yakni: 1. Semua pihak yang terkait harus menyadari bahwa pengelolaan bisnis
perkebunan sudah memasuki era kemahalan (expensive ages) energi
dan pupuk serta mengandung risiko ringgi. Oleh karena itu upaya penghematan energi dan peningkatan efektifitas pemupukan harus menjadi bagian dari budaya korporasi.
2. Mengingat harga awal tahun selalu konsisten lebih rendah dari pada harga pertengahan dan akhir tahun, maka untuk meminimumkan biaya dan risiko, kontrak pembelian energi dan pupuk untuk kebutuhan setahun sebaiknya didasarkan dengn harga Januari (dilakukan pada awal tahun),
3.8.3 Pergerakan Harga CPO Dunia
Perkembangan harga CPO dunia dalam bentuk indeks tahunan disajikan pada gambar 3.41. Harga CPO dunia tertinggi terjadi pada bulan februari 2011 dengan harga US$ 1248/ton dan rata-rata tahun 2011 sebesar US$ 1076/ton.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 143
Gambar 3.41. Pergerakan Indeks Harga Tahunan CPO Dunia (Januari
2002=100)
Pola pergerakan harga bulanan CPO dunia (gambar 3.42) cenderung fluktuatif naum ada kecenderungan bahwa harga CPO dunia meningkat dari bulan Januari ke bulan Desember setiap tahun. Pada triwulan pertama harga bergerak naik, pada triwulan kedua pola pergerakan harga membentuk parabola dengan puncak harga pada bulan mei. Pada triwulan ketiga harga CPO cenderung turun dan memasuki triwulan keempat (September) kembali merangkak naik.
Variasi harga bulanan (koefisien variasi) berkisar antar 3% sampai 32%, hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko dari pergerakan harga CPO bulanan cukup besar.
Gambar 3.42. Pergerakan Indeks Harga Bulanan CPO Dunia (Januari
2002=100)
Bila dibandingkan pola pergerakan harga tahunan antara CPO dengan minyak mentah dunia (gambar 3.43) menunjukkan bahwa pola kedua minyak tersebut hampir sama.
144 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Ketika harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan, harga CPO dunia juga naik. Demikian senaliknya, ketika harga minyak mentah dunia turun (tahun 2008) harga CPO dunia juga turun. Fenomena ini menunjukkan bahwa minyak mentah dan CPO (dalam apsar oleokimia dunia) adalah bersifat substitusi.
Gambar 3.43. Pola Pergerakan Harga Tahunan antara Minyak Mentah (A) %
CPO (B) Dunia
Jika harga minyak mentah naik, masyarakat dunia mengurangi penggunaan minyak mentah sebagia beralih ke CPO sehingga harga CPO naik. Demikian sebaliknya, tentu saja hal ini hanya berlaku pada pasar oleokimia misalnya biofuel vs petrofuel, biolubricant vs petro lubricant, bioplastic vs petro plastic dan lainnya. Pada pasar oleofood dunia seperti minyak goreng dan mentega hubungan substitusi tersebut tidak berlaku. Pada pasar oleofood substitut CPO adalah minyak nabati lainnya.
Perkembangan harga PKO dunia sejak tahun 2002 mengalami peningkatan yang sangat signifikan (gambar 3.44). Rata-rata harga
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 145
tahun 2002 masih US$ 415/ton meningkat menjadi US$ 1649/ton tahun 2011, atau meningkat hampir 400%.
Kenaikan harga PKO tersebut dari tahun ke tahun disertai dengan fluktuasi. Harga tahun 2005 lebih rendah dari tahun 2004 dan harga tahun 2009 lebih rendah dari tahun 2008.
Gambar 3.44. Pergerakan Indeks Harga Tahunan PKO Dunia (Januari
2002=100)
Gambar 3.45. Pergerakan Indeks Harga Bulanan PKO Dunia (Januari =100)
Pola pergerakan harga PKO bulanan (gambar 3.45) umumnya sama yakni harga cenderung meningkat dari bulan Januari sampai Desember setiap tahun. Artinya pada triwulan pertama harga PKO lebih rendah dari pada harga triwulan kedua, dan harga pada triwulan ketiga juga lebih rendah dari harga pada triwulan kedua dan keempat.
146 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
BAB IV
ANALISIS PERUBAHAN DAN PROYEKSI PASAR
MINYAK NABATI GLOBAL MENUJU 2050
4.1 Proyeksi Populasi Penduduk Menuju 2050
Berdasarkan estimasi yang diterbitkan oleh Badan Kependudukan PBB, penduduk dunia mencapai 6.5 miliar jiwa pada tanggal 26 Februari 2006. Kemudian pada tahun 2014, penduduk dunia telah mencapai 7.08 milyar dan 7.153 milyar pada tahun 2015 . Dari jumlah tersebut, sekitar 4.1 miliar diantaranya tinggal di Asia. Tujuh dari sepuluh negara berpenduduk terbanyak di dunia berada di Asia. Pada tahun 2050, estimasi penduduk bumi akan mencapai 9.079 milyar (Gambar 4.1)
Gambar 4.1. Penduduk Bumi dan Proyeksi hingga tahun 2050
Berikut adalah 10 peringkat terbesar negara-negara di dunia berdasarkan jumlah penduduk (2014 dan estimasi 2050).
7,153
9,079
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
9,000
10,000
1950
1960
1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2015
2020
2025
2030
3035
2040
2045
2050
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 147
Tabel 4.1. Peringkat 10 jumlah penduduk terbesar dunia tahun 2014 dan 2050E
Rank Tahun 2014 Tahun 2050E
Negara 000 Jiwa Negara 000 Jiwa %
1 China 1,403,558 India 1,601,005 17.63
2 India 1,210,108 China 1,449,418 15.96
3 Amerika Serikat 319,964 Amerika Serikat 420,081 4.63
4 Indonesia 269,879 Indonesia 336,247 3.70
5 Brasil 201,513 Nigeria 307,420 3.39
6 Pakistan 182,564 Bangladesh 279,955 3.08
7 Bangladesh 171,705 Pakistan 267,813 2.95
8 Nigeria 170,017 Brazil 228,427 2.52
9 Rusia 140,628 Congo (Kinshasa) 181,260 2.00
10 Jepang 125,276 Mexico 153,162 1.69
Dunia 7,084,547 Dunia 9,078,851
Sumber: UN (2012)
Data di atas menunjukan, pada tahun 2014 hampir 20% penduduk dunia ada di China, dan menempati peringkat pertama, sedangkan peringkat kedua adalah India dengan proporsi 17.08%. Sedangkan Indonesia berada pada urutan keempat setelah Amerika Serikat, dengan jumlah penduduk 269,9 juta jiwa. Pada tahun 2050, diproyeksikan penduduk dunia akan mencapai 9.079 milyar. Peringkat pertrama adalah negara India, dengan jumlah penduduk 1,6 milyar jiwa (17.63%) sementara China menempati peringkat kedua yakni sekitar 1,5 milyar (15.96%), dan Indonesia tetap berada pada peringkat keempat dunia (setelah AS) dengan jumlah penduduk 335.25 juta jiwa (3.7%). Disamping itu, posisi Nigeria naik dari peringkat ke-8 menjadi peringkat ke-5, serta tumbuhnya negara-negara yang meningkat ke peringkat yang lebih tinggi, yakni Pakistan, Congo dan Mexico (yang sebelumnya bukan 10 peringkat terbesar).
Kondisi di atas sangat berkaitan dengan proyeksi konsumsi minyak nabati di masa mendatang, dimana negara-negara besar tersebut akan berdampak pada peningkatan permintaan minyak nabati, baik yang disebabkan oleh peningkatan penduduk, peningkatan pendapatan serta peningkatan konsumsi per kapita minyak nabati.
148 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
4.2 Proyeksi Ekonomi Global Menuju 2050 a. GDP bersasarkan Kawasan dan Negara
Menurut data PBB, pada tahun 2010 Gross Domestik Product (GDP) dunia adalah 47 920 milyar USD (2010). Dalam 23 tahun kedepan (tahun 2033) GDP dunia tersebut akan meningkat 2 kali lipat, dan dalam waktu yang lebih pendek, yakni 17 tahun berikutnya (2050), GDP dunia akan meningkat 3 kali lipat menjadi 148 191 milyar USD (untuk menghilangkan efek inflasi, data yang digunaan tersebut adalah data constant price dengan tahun dasar 2005). Perkembangan GDP dunia disajikan pada gambar 4.2.
Sumber: UN (2012)
Gambar 4.2. Perkembangan GDP Dunia Tahun 1980 dan Proyeksi 2050
Berdasarkan kawasan, selama kurun waktu 1980 s/d 2030, GDP terbesar adalah Uni Eropa, yang meningkat dari 7.961 milyar USD (1980) menjadi 19 334 USD pad atahun 2030. Sedangkan posisi kedua terbesar adalah Amerika Serikat, dengan GDP 5 720 milyar USD (1980) menjadi 27 700 USD pada tahun 2050. Peringkat ketiga adalah negara-negara maju (Developed Countries) dengan peningkatan dari 4 245 milyar USD menjadi 14 001 milyar USD pada kurun waktu yan sama.
Perkembangan yang begitu pesat ditunjukkan oleh Negara Asia Timur yang akan menempati posisi teratas sejak tahun 2030 hingga proyeksi tahun 2050. (Negara Asia Timur mencakup : China, Hong Kong, Korea, Indonesia, Malaysia, Mongolia, Philippines, Thailand, Brunei Darussalam dan Singapura). Pada tahun 1980, GDP kawasan
-
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
160,000
-
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
45,000
50,000
Du
nia
(M
ilyar
USD
)
Mily
ar U
SD
World
Latin America andCaribbeanSub- saharan Africa
Near East/ NorthAfricaSouth Asia
East Asia
Develped Countries
United States ofAmericaEuropean Union
Other WesternEurope
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 149
Asia Timur adalah 674 milyar USD. Dengan pertumbuhan yang pesat (8.2 % per tahun), GDP Kawasan asia Timur telah menyamai negara-negara maju pada tahun 2020, dengan GDP sebesar 11 692 milyar USD. (Sementara GDP Negara-negara maju pada tahun yang sama adalah 9_872 milyar USD). Kemudian, tahun 2030, GDP Kawasan asia Timur telah mencapai 21 073 milyar USD, dan sekaligus berhasil mengalahkan GDP Amerika Serikat (19 900 milyar USD) serta Uni Eropa (19 334 milyar USD). Laju pertumbuhan GDP Asia timur jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat (2.1% per tahun) dan Uni Eropa (2.7% per tahun).
Disamping itu, Kawasan Asia Selatan juga patut dipertimbangkan, karena akan menempati peringkat keempat pada tahun 2050, setelah Asia Timur, Amerika Serikat dan Uni Eropa. (Asia Selatan meliputi : Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, Sri Lanka dan Bhutan; dan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah India). Tahun 1980, GDP Asia Selatan baru sekitar 263 milyar USD. Tahun 2010 telah mencapai 1 431 milyar USD (dengan laju pertumbuhan 6.5% per tahun), tahun 2030 telah mencapai 5 331 milyar USD, dan sekaligus mengalahkan kawasan Amerika Latin (5 066 milyar USD), kawasan Afrika Utara (4 556 milyar USD). Tahun 2050 GDP kawasan Asia Selatan akan mencapai 16 020 milyar USD dan menggungguli GDP Negara-negara maju (Developed Countries) dengan GDP 14 001 milyar
USD. Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhan ekonomi Asia Selatan yang cukup pesat, yakni rata-rata 6.6% per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi Negara-negara Maju pada kurun waktu yang sama (2030-2050) adalah 1.1% per tahun.
Diperkirakan Indonesia akan menempati peringkat ke-11 GDP terbesar pada tahun 2050. Perkembangan GDP beberapa negara menuju tahun 2050 disajikan pada tabel 4.2.
Hingga tahun 2030, Amerika Serikat menempati urutan ke-1, namun pada tahun 2050 turun menjadi peringkat kedua, digantikan oleh China. Negara China pada tahun 1980 masih menempati posisi ke 19, namun tahun 2000 telah menempati peringkat ke-7 dan sejak tahun 2010 hingga 2030 menempati peringkat ke-2, serta berhasil menempati peringkat ke-1 pada tahun 2050. Hal ini ditopang oleh pertumbuhan ekonomi China yang mencapai rata-rata 10.06% per tahun (1995-2025), dan menurun pada 2030-2050 menjadi 5.23% per tahun. Sementara pada kurun waktu yang sama, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat adalah 1.44% per tahun dan sedikit melambat yakni 1.26 % per tahun.
150 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 4.2. Peringkat (Ranking) GDP Negara Ekonomi Terbesar Dunia
Negara 1980 2000 2010 2015 2020 2030 2050
China 19 7 2 2 2 2 1
United States of America 1 1 1 1 1 1 2
India 18 13 8 8 7 4 3
Japan 2 2 3 3 3 3 4
United Kingdom 5 5 5 5 5 6 5
Germany 3 3 4 4 4 5 6
France 4 4 6 6 6 7 7
Brazil 10 11 11 11 11 9 8
Canada 8 8 13 9 9 10 9
Mexico 11 10 9 13 12 11 10
Indonesia 32 26 18 18 18 17 11
Sumber: UN (2012)
Negara India juga memiliki perkembangan yang pesat, dari peringkat 18 tahun 1980 menjadi peringkat ke 13 tahun 2000, dengan pertumbuhan ekonomi 3.58% per tahun. Tahun 2010 dan 2015 menempati peringkat ke-8, dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin besar, yakni 5.72% per tahun. Tahun 2020 hingga 2050 rata-rata pertumbuhan ekonomi India meningkat menjadi 6% per tahun, dan membawa India pada peringkat ke-3 tahun 2030 dan peringkat ke-2 pada tahun 2050.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga telah berhasil menghantarkan Indonesia dari peringkat ke-32 tahun 1980 menjadi peringkat ke-11 pada tahun 2050. Rata-rata pertumbuhan GDP Indonesia tahun 2010 hingga 2030 adalah 6% per tahun, dan sedikit melambat pada tahun 2030 ke 2050 menjadi 4.99 % per tahun. Tahun 2015 GDP Indonesia mencapai 481 000 Juta USD, dan tahun 2030 meningkat 2,2 kali lipat menjadi 1.060.000 juta USD, dan tahun 2050 akan mencapai 2.500.000 juta USD.
b. GDP per Kapitabersasarkan Kawasan dan Negara
GDP per kapita tertinggi adalah Amerika Serikat (AS), yakni 25.712 USD/kapita/tahun pada tahun 1980, naik menjadi 40.486 USD pada tahun 2010 (gambar 4.3). Tahun 2050, diperkirakan akan mencapai 68 609 USD/kapita/tahun. Posisi kedua setelah AS adalah Eropa Barat (Norwegia dan Switzerland). Posisi ketiga terbesar adalah kelompok negara maju, dimana tahun 2010 rata-rata GDP per kapita adalah 25.198 USD/kapita/tahun, Tahun 2020 menjadi 30.942 USD/kapita/tahun
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 151
dan tahun 2050 mencapai 46.919 USD/kapita/tahun. Perkembangan GDP per kapita di kawasan Asia Timur tampak cukup menarik, dimana tahun 1990 GDP per kapita adalah 12.629 USD/kapita/tahun (kurang lebih sama dengan Afrika Utara 12.221 USD), dan tahun 2030 meningkat pesat dan setara dengan Uni Eropa, masing-masing 32.500 dan 32.529 USD/kapita/tahun, kemudian tahun 2050 telah berhasil mencapai 47.431 USD/kapita/tahun dan melampaui GDP Developed Countries (46.919 USD/kapita/tahun).
Sumber: UN (2012) Gambar 4.3. GDP per Kapita berdasarkan Kawasan 1980-2050
Pada kurun waktu 2015-2050, proyeksi rata-rata laju
pertumbuhan GDP per kapita dunia adalah 1.95 % per tahun. Benua Asia secara keseluruhan memiliki laju pertumbuhan yang sangat pesat, meliputi kawasan Asia Selatan meningkat 6.17% per tahun, Asia Timur 2.37 % per tahun, Asia Tengah 3.48 % per tahun. Kawasan Sub Sahara Afrika memiliki laju pertumbuhan GDP per kapita rata-rata 4.94 % per tahun. Jika dibandingkan dengan kawasan lainnya, kawasan Eropa Timur meningkat dengan laju 2.09% per tahun, Eropa Barat 1.29 % per tahun dan Uni Eropa 1.55 % per tahun. Pertumbuhan GDP per kapita di negara maju dan Amerika Serikat masing-masing adalah 1,62% per tahun dan 1.26 % per tahun.
-
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
1980
1990
2000
2010
2020
2030
2040
2050
USD
/cap
ita
Latin America andCaribbeanSub- saharan Africa
Near East/ NorthAfricaSouth Asia
East Asia
Develoved Countries
United States ofAmerica
152 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: UN (2012)
Gambar 4.4. GDP per Kapita beberapa negara terpilih 1980-2050
Beberapa negara terpilih menyajikan perkembangan GDP per kapita, yang berhubungan dengan konsumsi di negara tersebut (gambar 4.4). GDP per kapita tertinggi adalah Singapura, diikuti Malaysia dan Uni Eropa serta Malaysia. Indonesia relatif masih rendah dan kurang lebih sama dengan India. Yang menarik adalah GDP per kapita China, yang bertumbuh pesat dari tahun 2015 hingga 2050 dengan posisi sedikit di bawah Amerika Serikat.
4.3 Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Global 2050
Tahun 2014, konsumsi minyak nabati utama dunia adalah
136.13 juta ton, yang terdiri atas minyak sawit (palm oil) 52.45 juta ton (38.53%), minyak kedele (soybean oil) 45.01 juta ton (33.09%), minyak repeseed (rapeseed oil) 25.30 juta ton (18.59%) dan minyak bunga matahari (sunflower oil) 13.37 juta ton (9.82%). Dibandingkan dengan tahun 2020, konsumsi minyak nabati utama dunia meningkat 12.49% menjadi 153,14 juta ton. Sumber konsumsi utama minyak nabati dunia diperoleh dari minyak sawit 39.85%, minyak kedele 32.81%, minyak repeseed 18.01% dan minyak bunga matahari 9.34%. Perubahan tersebut menunjukkan pangsa minyak sawit naik 1.31%, sedangkan ketiga minyak nabati lainnya menurun. Demikian halnya dengan proyeki tahun 2050, estimasi konsumsi minyak nabati utama dunia akan mencapai 334,68 juta ton, atau meningkat 2.5 kali lipat dari
-
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
90,000
1980 1990 2000 2010 2020 2030 2040 2050
India
China
Indonesia
Malaysia
Singapura
AmerikaSerikatEuropeanUnionWorld
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 153
kondisi saat ini. Konsumsi masing-masing minyak nabati adalah minyak sawit 171.16 juta ton (51.14%), minyak kedele 105.78 juta ton (31.61%), minyak repeseed 38.80 juta ton (11.59%) dan minyak bunga matahari sebesar 18.94 juta ton (9.34%) (Gambar 4.5).
Perkembangan di atas menunjukkan trend positif pada keempat minyak nabati tersebut. Namun bila dibandingkan perubahan pangsa masing-masing, terlihat bahwa kontribusi minyak sawit meningkat 12.61% dari 38.53% menjadi 51.14 %. Sedangkan pangsa minyak kedele menurun 1.46%, minyak rapeseed menurun 6.99% dan minyak bunga matahari menurun 4.16%.
Gambar 4.5. Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia 2050
Perubahan pangsa di atas dipengaruhi oleh perbedaan laju pertumbuhan konsumsi masing-masing minyak nabati (gambar 4.6).
Tahun 2015-2030, rata-rata laju pertumbuhan konsumsi minyak sawit adalah 3.15% per tahun, dan cenderung seamakin tinggi pada tahun 2030-2050, yakni 3.46 % per tahun. Sedangkan rapeseed oil cenderung melambat dari 1.34 % per tahun menjadi 1.087 % per tahun. Demikian halnya dengan soybean oil dan sunflower oil, juga cenderung melambat, masing-masing dari 2.58 ke 2.31 % per tahun dan dari 1.06 ke 0.90 % per tahun.
Hal ini menunjukkan pola konsumsi masyarakat dunia cenderung semakin tinggi pada minyak sawit.
0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
160,000
180,000
2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
Rib
u T
on
Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia
Palm Oil Rapeseed Oil Soybean Oil Sunflower Oil
154 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 4.6. Laju pertumbuhan Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia
4.4 Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Global 2050
Tahun 2014, produksi minyak nabati utama dunia adalah 137,44 juta ton, yang terdiri atas minyak sawit (palm oil) 53.41 juta ton (38.91%), minyak kedele (soybean oil) 45.12 juta ton (32.84%), minyak repeseed (rapeseed oil) 25.28 juta ton (18.4%) dan minyak bunga matahari (sunflower oil) 13.55 juta ton (9.9%). Dibandingkan dengan tahun 2020, produksi minyak nabati utama dunia meningkat 12.35% menjadi 154.42 juta ton. Sumber produksi utama minyak nabati dunia adalah minyak sawit 40.2%, minyak kedele 32.6%, minyak repeseed 17.8% dan minyak bunga matahari 9. 4%. Perubahan tersebut menunjukkan pangsa minyak sawit naik 1.3%, sedangkan ketiga minyak nabati lainnya menurun. Demikian halnya dengan proyeki tahun 2050, estimasi produksi minyak nabati utama dunia akan mencapai 358,56 juta ton, atau meningkat 2.6 kali lipat dari kondisi saat ini. Produksi masing-masing minyak nabati adalah minyak sawit 189.66 juta ton (52.9%), minyak kedele 111.07 juta ton (31.0%), minyak repeseed 38.72 juta ton (10.8%) dan minyak bunga matahari sebesar 19.11 juta ton (5.3%). (Gambar 4.7)
-
1.000
2.000
3.000
4.000
Palm Oil RapeseedOil
SoybeanOil
SunflowerOil
2015-2030 3.15122 1.33668 2.57898 1.06844
2030-2050 3.45854 1.08714 2.30618 .90019
An
nu
al G
row
th (%
)
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 155
Gambar 4.7. Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Dunia 2050
Perkembangan di atas menunjukkan trend positif pada keempat minyak nabati tersebut. Namun bila dibandingkan perubahan pangsa masing-masing, terlihat bahwa produksi masing-masing minyak nabati cenderung melambat pada tahun 2030-50 (Gambar 4.8).
Gambar 4.8. Laju pertumbuhan Produksi Minyak Nabati Utama Dunia
0
50000
100000
150000
200000
2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
Rib
u T
on
Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Dunia
Palm Oil Rapeseed Oil Soybean Oil Sunflower Oil
-
1.000
2.000
3.000
4.000
Palm Oil Rapeseed Oil
SoybeanOil
Sunflower Oil
2015-2030 4.03719 1.33283 2.68984 1.05293
2030-2050 3.29340 1.08508 2.44710 .89054
An
nu
al G
row
th (%
)
156 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
4.5 Proyeksi Biodiesel Proyeksi Produksi Biodiesel. Hingga tahun 2020, proyeksi
FAPRI (gambar 4.9) menunjukkan perkembangan diodiesel dunia dengan laju atau trend pertumbuhan yang positif. Hingga tahun 2020, Eropa memegang peran penting dalam pasar biodiesel dunia, dengan produksi sebesar 15.14 juta kilo liter atau dengan pangsa 57.17%. Urutan kedua adalah USA, dengan pangsa 14,18%, dengan volume produksi 3.76 juta kilo liter. Argentina memiliki pangsan produksi 13.26 %, Brazil 11.18 %. Sedangkan Asia atau Indonesia dan Malaysia masing-masing memiliki pangsa 3.49% dan 0.72 %.
Tahun 2020, produksi biodiesel dunia adalah 26.48 juta kilo liter, dengan laju pertumbuhan rata-rata 3.6 % per tahun.
Sumber: FAPRI (2012) Gambar 4. 9 Produksi Biodiesel Dunia tahun 2015, 2018 dan 2020
Proyeksi Konsumsi Biodiesel 2020. Konsumsi biodiesel tahun
2015 hungga 2020 menunjukkan trend yang positif (gambar 4.10). Konsumsi biodiesel dunia tahun 2015 mencapai 24.7 juta kilo liter dan tahun 2020 mencapai 27,18 juta kilo liter. (Growth 3.61% per tahun). Pangsa konsumsi terbesar adalah Eropa (61.08%), diikuti USA dengan pangsa 14.24 %, Argentina dan Brazil masing-masing 3.7 % dan 10.25%. Sementara Indonesia memiliki pangsa 1.56 % dan Malaysia 0.04 %.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 157
Sumber: FAPRI (2012) Gambar 4.10 Konsumsi Biodiesel Dunia tahun 2015, 2018 dan 2020
Berdasarkan data produksi dan konsumsi di atas, diperoleh gambaran ekspor biodiesel (gambar 4.11) sekitar 3 juta kilo liter pada tahun 2015 dan 3.5 juta kilo liter pada tahun 2020. Pada tahun 2020, dari jumlah tersebut, negara-negara pengekspor adalah Argetina dengan pangsa 68.8% dan Indonesia juga diproyeksikan akan memiliki pangsa ekspor biodiesel dunia sebesar 14.2 %, USA 6.2%, Brazil 5.9% dan Malaysia 4.9%. Sedangkan negara importir biodiesel dunia antara lain adalah Uni Eropa dengan pangsa 99,2 % dan 0.8 % oleh Negara Jepang.
Sumber: FAPRI (2012) Gambar 4.11 Ekspor Biodiesel Dunia tahun 2015, 2018 dan 2020
0
500
1000
1500
2000
2500
2015 2018 2020
Brazil
Malaysia
USA
Indonesia
Argentina
158 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: FAPRI (2012) Gambar 4.12 Harga Biodiesel tahun 2011 dan proyeksi hingga tahun 2021
Secara umum, harga biodiesel dunia akan cenderung meningkat (gambar 4.12) dari harga FOB 1.52 US/liter tahun 2011 menjadi 1.62 US/liter pada tahun 2021.
4.6 Proyeksi Harga dan Ratio Harga
Secara umum, harga minyak nabati dunia tahun 1984-2014 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Namun sejak tahun 2000, terdapat kecenderungan harga cenderung meningkat. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya permintaan minyak nabati dunia dan cenderung mengeser harga semakin tinggi. Tahun 2014, harga minyak sawit (CIF Rotterdam) adalah 578.12 US/ton, minyak kedele (CIF Rotterdam) 657 US/ton, rapeseed oil (CIF Hamburg) 693.16 US/ton dan harga minyak bunga matahari (CIF NW Europe) 682.34 US/ton.
Data harga tersebut menunjukkan perbedaan relatif satu sama lain, dimana minyak sawit relatif lebih murah dibandingkan ketiga jenis lainnya, sedang harga minyak bunga matahari relatif lebih mahal.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 159
Gambar 4.13. Proyeksi Harga Minyak Nabati Utama Dunia 2050
Meningkatnya konsumsi per kapita, yang disertai dengan jumlah penduduk dan pendapatan (GDP per kapita), secara bersama-sama akan mempengaruhi permintaan minyak nabati, sebagaimana tercermin dari peningkatan konsumsi pada sub bab sebelumnya. Peningkatan permintaan minyak nabati dunia tersebut akan mempengaruhi harga minyak nabati dunia, dimana pada tahun 2050, diperkirakan masing-masing adalah : harga minyak sawit adalah 1950.66 US/ton, minyak kedele 2123 US/ton, rapeseed oil 2230 US/ton dan harga minyak bunga matahari 2205 US/ton (gambar 4.13).
Proyeksi peningkatan harga (linear) pada minyak sawit rata-rata naik 2.11 % per tahun, minyak kedele naik 1.80 % per tahun, rapeseed oil 2.04 % per tahun dan harga minyak bunga matahari naik 2.02% per tahun.
0
500
1000
1500
2000
2500
1984
1987
1990
1993
1996
1999
2002
2005
2008
2011
2014
2017
2020
2023
2026
2029
2032
2035
2038
2041
2044
2047
2050
USD
/To
n
Proyeksi Harga Minyak Nabati Utama (USD/Ton)
Palm Oil Soybean Oil Rapeseed Oil SunFlower Oil
160 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 4.14. Rasio Harga Minyak Nabati Utama Dunia Terhadap
Minyak Sawit
Perbandingan harga antar minyak nabati utama dunia terhadap minyak sawit (gambar 4.14). Rasio harga minyak kedele terhadap minyak sawit pada tahun 2013 adalah 1.32, artinya minyak kedele 1.32 kali lebih mahal dibandingkan dengan minyak sawit (atau minyak sawit lebih murah). Dari data di atas, jelas terlihat bahwa harga minyak sawit relatif lebih murah dibandingkan dengan harga minyak kedele, minyak rapeseed dan minyak bunga matahari.
Pada tahun 2020, 2030, dan 2050, terlihat rasio harga semakin menurun, menunjukkan harga minyak sawit cenderung meningkat lebih besar dibadingkan dengan peningkatan harga pada ketiga minyak nabati lainnya, atau dengan kata lain, harga minyak kedele, minyak rapeseed dan minyak bunga matahari relatif bertambah murah dibandingkan dengan minyak kedele. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya konsumsi dan permintaan yang lebih tinggi pada minyak sawit dan harga minyak sawit relatif naik (faktor peningkatan demand).
1.0
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
1.7
1.8
2013 2020 2030 2050
SBO/PO 1.32310 1.14742 1.12502 1.09736
RSO/PO 1.41437 1.38389 1.38522 1.38686
SFO/PO 1.75507 1.56763 1.56520 1.56220
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 161
4.7 Perubahan Selera Pasar Global Pertumbuhan nilai perdagangan komoditi minyak nabati dunia
telah mengalami peningkatan tajam dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa factor telah menjadi pendorong perkembangan tersebut dengan beberapa diantaranya adalah : (i) peningkatan kebutuhan minyak nabati yang dipicu naiknya tingkat konsumsi akibat pertumbuhan penduduk, peningkatan taraf hidup dan perubahan pola makan di beberapa negara berkembang seperti China dan India ; (ii) perkembangan industri bioenergi khususnya biodiesel di seluruh dunia, khususnya di kawasan Uni Eropa, Amerika Serikat, Brazil, Argentina, China dan India; (iii) kenaikan harga juga dipicu beberapa factor secara tidak langsung seperti kenaikan harga minyak bumi, cadangan komoditi yang terbatas, kekeringan dan ulah spekulan komoditi; dan terakhir (iv) perubahan iklim global yang dapat berdampak luas dalam aspek geografis.
Dalam beberapa tahun terakhir muncul beberapa pelaku penting dan kecenderungan supply and demands didominasi oleh : (i) China, sebagai pemimpin dunia dalam hal impor minyak nabati; (ii) Indonesia, Malaysia dan Agentina dengan porsi mencapai 75% merupakan tiga negara utama pengekspor minyak nabat, dalam hal ini minyak sawit; (iii) Brazil telah menjadi salah satu eksportir kedelai kedua setelah Amerika Serikat, dimana kedelai tersebut selain sebagai bahan pangan juga menjadi makanan ternak (pakan) dan bahan minyak kedelai ; (iv) Argentina menjadi penguntit berikutnya dalam hal produksi dan ekspor kedelai di dunia.
Pasar minyak nabati dunia saat ini terbagi dalam dua golongan besar (i) bahan pangan yang mencapai 80% dari total produksi dan (ii) pemenuhan kebutuhan industri termasuk didalamnya biodiesel. Aspek terbesar pendorong pertumbuhan kebutuhan minyak nabati masih pada pemenuhan kebutuhan bahan pangan meski perkembangan kebutuhan sebagai sumber energi alternative/biofuel/bio energi semakin penting.
Sebagian besar masyarakat dunia telah menjadikan bioenergi sebagai kambing hitam terhadap meningkatnya harga pangan dunia. Selain itu konversi lahan untuk produksi minyak nabati di berbagai negara tropis dunia dianggap sebagai salah satu katalisator kerusakan hutan. Latar belakang sebenarnya sangat beragam dan rumit, dengan factor utama yang menjadi dampak kenaikan tersebut adalah fluktuasi/kenaikan harga minyak bumi dan ulah nakal spekulan komoditi pangan dalam perdagangan yang semakin mengglobal. Secara nyata telah dengan jelas tergambar bahwa biaya dasar dari
162 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
bahan baku mempunyai peran yang relative kecil dalam penentuan harga jual komoditi pangan di negara berkembang. Yang kemudian lebih berpengaruh terhadap komoditi tersebut adalah isu isu lain yang sama sekali tidak terkait dengan bahan baku komoditi sebagaimana tersebut diatas.
Pasar minyak nabati dunia saat ini sedang mengalami perubahan mendasar, dan akan menghadapi tantangan yang tidak ringan dengan berbagai peluang besar yang mengiringi. Perkembangan standar hidup di berbagai negara berkembang, perkembangan populasi yang diikuti perubahan pola diet/asupan gizi dan ekspansi kebutuhan bioenergi merupakan kecenderungan utama/tren yang akan memegang peran dalam perkembangan sector komoditi ini dimasa mendatang.
Pasar komoditi minyak nabati dunia mempunyai gambaran yang sangat beragam, dimulai dari Cina dengan cirri impor yang sangat besar, sampai dengan India yang mempunyai perkembangan pasar rumah tangga yang sangat besar. Indonesia bersama dengan Malaysia yang secara tradisional telah menjadi produsen utama minyak nabati dunia (i.e minyak sawit), saat ini mulai mendapat tantangan kompetitif dengan besarnya ekspansi lahan dari beberapa negara lain seperti Thailand dan Kolombia. Amerika Serikat dan Kanada sebagai eksportir utama minyak kedelai, saat ini telah mendapat tantangan serius dalam menentukan pasar dengan berkembangnya sector komoditi ini di negara Brasil maupun Argentina. 4.8 Perubahan Iklim Global
Pasar minyak nabati dunia saat ini terbagi dalam dua golongan
besar (i) bahan pangan yang mencapai 80% dari total produksi dan (ii) pemenuhan kebutuhan industri. Aspek terbesar pendorong pertumbuhan kebutuhan minyak nabati masih pada pemenuhan kebutuhan bahan pangan meski perkembangan kebutuhan sebagai sumber energi alternative/biofuel/bioenergi semakin penting. termasuk didalamnya biodiesel. Termasuk dalam kebutuhan bionergi tersebut adalah pemanfaatan minyak nabati seperti minyak sawit, minyak kedelai dan minyak jarak/jatropa sebagai sumber bahan bakar nabati (biodiesel).
Sebagian besar masyarakat dunia telah menjadikan alasan bioenergi sebagai kambing hitam terhadap meningkatnya harga pangan dunia. Selain itu konversi lahan untuk produksi minyak nabati di berbagai negara tropis dunia dianggap sebagai salah satu katalisator kerusakan
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 163
hutan. Awam diketahui bahwa negara negara tropis dunia merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati paling besar di dunia. Kerusakan dan tekanan terhadap alih fungsi lahan di kawasan ini membawa dampak yang lebih nyata. Prinsip dasar aspek keberlanjutan dari bioenergi adalah potensinya dalam menyimpan gas rumah kaca (carbon saving and carbon sinking) dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar fosil.Hal hal ini menyebabkan isu lingkungan dan keberlanjutan dari pemanfaatan bahan bakar nabati menjadi dipertanyakan.
Lebih lanjut latar belakang yang terjadi sebenarnya adalah sangat beragam dan rumit. Pangsa pasar komoditi minyak nabati dan pangan pada umumnya dipengaruhi banyak factor. Hal utama yang menjadi dampak kenaikan tersebut adalah fluktuasi/kenaikan harga minyak bumi dan ulah nakal spekulan komoditi pangan dan penjangnya rantai dstribusi dalam perdagangan yang semakin mengglobal. Secara nyata telah dengan jelas tergambar bahwa biaya dasar dari bahan baku mempunyai peran yang relative kecil dalam penentuan harga jual komoditi pangan di negara berkembang. Yang kemudian lebih berpengaruh terhadap komoditi tersebut adalah isu isu lain yang sama sekali tidak terkait dengan bahan baku komoditi sebagaimana tersebut diatas.
Pasar minyak nabati dunia saat ini sedang mengalami perubahan mendasar, dan akan menghadapi tantangan yang tidak ringan dengan berbagai peluang besar yang mengiringi. Perkembangan standar hidup di berbagai negara berkembang, perkembangan populasi yang diikuti perubahan pola diet/asupan gizi dan ekspansi kebutuhan bioenergi merupakan kecenderungan utama/tren yang akan memegang peran dalam perkembangan sector komoditi ini dimasa mendatang.
Perkembangan nyata kebutuhan bioenergi global telah membawa peningkatan perhatian terhadap jenis komoditi ini. Perhatian berlebihan ini tidak telepas dari implikasi luas yang mungkin dapat ditimbulkan. Beberapa perhatian tersebut antara lain emisi net gas rumah kaca, perubahan tata guna lahan, konservasi keanekaragaman hayati, dampak terhadap ketahanan pangan dan dampak social-ekonomi masyarakat. Untuk mempertahankan bandul kesetimbangan dari dampak negative yang mungkin ditimbulkan, berbagai hal perlu dilakukan untuk menjamin aspek keberlanjutan dari operasi bioenergi dari minyak nabati. Beberapa hal yang bias dilakukan antara lain : sertifikasi, akreditasi dan traceability- yang akan membawa dampak besar, baik positif maupun negative dalam perkembangan industri bioenergi.
164 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
4.9 Perubahan Kebijakan Pasar Minyak Nabati Global
Asia merupakan produsen sekaligus konsumen utama minyak nabati dunia khususnya minyak sawit. Indonesia dan Malaysia, dua produsen minyak nabati dunia menyandarkan kebijakan dalam pengembangan minyak sawit sebagai sumber devisa negara. Dengan perkembangan pasar minyak nabati dunia yang sangat besar, khususnya China dan India telah menjadi importer utama.
Kebijakan bioenergi di China telah menjadi bagian dari sebuah mekanisme untuk mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi minyak bumi, memperkuat modernisasi pertanian dan pengembangan social masyarakat pedesaan dan mendorong lingkungan hidup berkelanjutan. Sementara itu perhatian pemerintah India terhadap ketergantungan energi telah mendorong kebijakan khusus untuk mendukung pengembangan bioenergi khususnya bioetanol dan biodiesel. Berseberangan dengan Indonesia dan Malaysia, India lebih mendorong pengembangan sumber bioenergi non-pangan seperti Jatropha (minyak jarak). Sesuai target yang ada, pada 2011-2012 diharapkan 20% kebutuhan minyak diesel di India berasal dari tanaman ini.
Secara tradisional Indonesia telah menjadi produsen terbesar minyak nabati dunia, khusunya minyak sawit. Berseberangan dengan fakta tersebut, kebijakan pemerintah untuk mendorong penggunaan bioenergi baru dimulai pada beberapa tahun terakhir. Kontribusi penggunaan biodiesel diharapkan meningkat dari 2% pada 2010 menjadi 5% pada 2025. Meskipun penggunaan minyak nabati (i.e minyak sawit) untuk bioenergi sedemikian penting, akan tetapi pendorong utama kebijakan minyak sawit adalah untuk pasar domestik dan pasar ekspor.
Malaysia saat ini merupakan eksportir utama minyak sawit dunia dimana ada komitment kuat dari pemerintah setempat untuk melindungi dan mengembangkan sector industri ini. Sejalan dengan yang terjadi di Indonesia, kebijakan penggunaan biodiesel di negara ini bukanlah kunci utama perkembangan komoditi disbanding penggunaan sebagai bahan pangan. Luas lahan yang telah dikonversi menjadi perkebunan sawit di Malaysia sudah sedemikian besar sehingga pengembangan lebih lanjut menjadi lebih terbatas, khususnya di tanah Semenanjung.
Thailand memiliki basis ekonomi yang lebih terdiferensiasi. Meskipun sector minyak sawit sedang berkembang, dibandingkan Malaysia dan Indonesia peran sector ini masih sangat terbatas. Sebagai
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 165
salah satu sumber bahan baku industri biodiesel, kebijakan perdagangan minyak nabati di Thailand masih dalam taraf formulasi kebijakan sehingga sangat sulit untuk memperkirakan perkembangan kedepan akan seperti apa. Satu hal yang pasti adalah bahwaThailand merupakan produsen singkong terbesar di dunia, salah satu alternative sumber bioenergi/bioethanol lain yang sangat potensial untuk dikembangkan.
166 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 167
BAB V
PERANAN INDUSTRI MINYAK SAWIT DALAM
PEREKONOMIAN INDONESIA
Perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari pertanian tanaman telah lama dikenal memiliki multifungsi (multifunctionality of agriculture) yakni secara ekonomi, social, dan ekologis. Berkembangnya perkebunan kelapa sawit berarti juga menambah manfaat ekonomi social dan ekologis bagi masyarakat. 5.1 Kontribusi Persawitan Indonesia Dalam Pertumbuhan
Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang esensial dalam pembangunan. Pertumbuhan ekonomi baik sektoral, daerah, industri, maupun pada tingkat perusahaan berarti pertumbuhan produksi barang/jasa, pertumbuhan pendapatan, pertumbuhan kesempatan kerja dan pertumbuhan penggunaan input. Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat mutlak bagi peningkatan pendapatan, pengurangan pengangguran dan pengentasan kemiskinan (ADB 2001, 2006).
Berapa besar dampak pertumbuhan suatu sektor terhadap perekonomian lokal, regional maupun nasional tergantung pada keterkaitan (linkages) dan besaran multiplier pertumbuhan sektor itu sendiri. Pertumbuhan yang inklusif akan terjadi apabila keterkaitan input-output suatu sektor dengan sektor lain relatif luas. Sehingga pertumbuhan yang terjadi pada suatu sektor akan menarik pertumbuhan sektor-sektor lainnya. 5.1.1 Keterkaitan Pertumbuhan Perkebunan Kelapa Sawit dengan
Sektor Lain
Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit mempengaruhi pertumbuhan sektor-sektor lain baik sektor penyediaan input bagi perkebunan kelapa sawit (backward linkages) maupun sektor-sektor yang
lebih hilir yakni sektor ekonomi yang menggunakan output perkebunan kelapa sawit sebagai inputnya (forward linkages). Koefisien keterkaitan ke depan dan ke belakang perkebunan kelapa sawit (Tabel 5.1).
168 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.1. Keterkaitan ke Depan (Forward Linkages) dan Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkages) Perkebunan Kelapa Sawit
Sumber: Statistik Indonesia ( Amzul, R., 2011).
Keterkaitan ke belakang perkebunan kelapa sawit bernilai 1.51. Hal ini berarti bahwa setiap pertumbuhan output perkebunan kelapa sawit (CPO) berdampak pada penggunaan output sektor lain yang lebih besar sebagai input perkebunan kelapa sawit.
Sektor penyedia input utama dari perkebunan kelapa sawit adalah surplus usaha tahun sebelumnya dan modal sendiri (reinvestasi), pupuk, kimia, pestisida, tenaga kerja, sektor keuangan dan sektor lain (Tabel 5.2).
Komponen input terbesar adalah reinvestasi surplus usaha. Besarnya pangsa reinvestasi surplus menunjukan bahwa keuntungan yang diperoleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar di reinvestasikan kembali ke perkebunan kelapa sawit itu sendiri untuk membiayai investasi baru. Data tersebut juga menjelaskan bahwa keuntungan yang diperoleh dari perkebunan kelapa sawit tidak seluruhnya keluar dari perkebunan kelapa sawit (capital-drain) melainkan sebagian di reinvestasikan ke perkebunan kelapa sawit itu sendiri.
Keterkaitan ke depan perkebunan kelapa sawit bernilai 1.42. Setiap peningkatan output perkebunan kelapa sawit (CPO) akan menghela peningkatan penggunaan CPO yang lebih besar sebagai input sektor lain.
Sektor pengguna CPO adalah industri minyak nabati, industri kimia, industri makan. Sekitar 80 persen output CPO diserap oleh industri minyak nabati, industri minyak kimia khususnya oleokimia (14 persen), industri makanan (0.31 persen), perkebuan kelapa sawit itu sendiri (4.64 persen) dan sisanya sektor lain.
Secara keseluruhan, keterkaitan ke belakang perkebunan kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan keterkaitan ke depan. Hal ini berarti perkebunan kelapa sawit lebih berperan sebagai lokomotif ekonomi yang menarik perkembangan sektor-sektor lain melalui penggunaan outputnya sebagai input perkebuan kelapa sawit.
Keterkaitan Nilai
Total Forward Linkages 1.42
Total Backward Linkages 1.51
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 169
Tabel 5.2. Sektor-Sektor Penyedia Input Perkebunan Kelapa Sawit
Sektor Pangsa (%)
Reinvestasi surplus Pupuk, kimia, pestisida Tenaga kerja
Keuangan Bibit kelapa sawit Pertanian Bangunan
33.94 18.43 17.31 9.85 4.64 3.56 4.07
Jasa transportasi, perdagangan, restoran/hotel, komunikasi,dll
4.19
Mesin dan peralatan 1.38
Sektor lainnya 2.36
Total 100.00
Sumber: Tabel I-O (Statistik Indonesia, 2008)
5.1.2 Dampak Perkebunan Kelapa Sawit pada Sektor lain
Untuk melihat kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan output, pedapatan, nilai tambah dan kesempatan kerja dibandingkan dengan kemampuan rata-rata sektor-sektor ekonomi, digunakan indeks multiplier output, income, labor, dan value added (Tabel 5.3). Indeks multiplier output perkebunan kelapa sawit 1.71. Hal ini berarti kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan output nasional 1.7 kali dari rata-rata sektor-sektor dalam perekonomian.
Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan pendapatan (income generating) tercermin dari indeks multiplier income yang bernilai 1.8. Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan pendapatan 1.8 kali dari rata-rata kemampuan menciptakan pendapatan sektor-sektor ekonomi.
Dalam menciptakan nilai tambah, perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan nilai tambah tiga kali dari rata-rata sektor-sektor ekonomi dalam perekonomian.
170 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.3. Indeks Multiplier Perkebunan Kelapa Sawit
Sumber: Tabel I-O Indonesia (2008)
Dalam penciptaan kesempatan kerja (job-creation) kemampuan
perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan 2.6 kali kesempatan kerja dalam perekonomian dibandingkan rataan kemampuan sektor ekonomi lainnya.
Dengan demikian perkebunan kelapa sawit salah satu sektor ekonomi nasional yang pro-output, pro-income, pro-job, dan pro-value added.
Sektor-sektor ekonomi utama (10 besar sektor ekonomi) yang menikmati multiplier effect dari peningkatan permintaan akhir perkebunan kelapa sawit (CPO) disajikan pada Tabel 5.4. Dampak peningkatan permintaan akhir perkebunan kelapa sawit terhadap output perekonomian (multiplier output) maupun terhadap income (multiplier income) selain dinikmati sektor perkebunan kelapa sawit itu sendiri, juga dinikmati sektor keuangan, sector perdagangan, restoran dan hotel, industri kimia/pupuk/pestisida dan sektor-sektor lain.
Jika permintaan CPO meningkat bukan hanya menarik peningkatan output dan pendapatan pada perkebunan kelapa sawit saja, tetapi juga meningkatkan output dan pendapatan sektor-sektor lain seperti sektor keuangan, sektor perdagangan, restoran dan hotel, industri kimia/pupuk/pestisida dan sektor-sektor lain.
Indeks Multiplier Perkebunan Kelapa Sawit
Output 1.71
Income 1.79
Tenaga Kerja 2.64
Nilai Tambah 1.59
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 171
Tabel 5.4. Top Ten Sektor Ekonomi (Selain Perkebunan Kelapa Sawit) yang Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Output, Income dan Nilai Tambah Perkebunan Kelapa Sawit
Sumber: Tabel Input-Output Indonesia
5.1.3 Peran Ekspor Minyak Sawit dalam Perekonomian
Komoditas pertanian masih penyumbang terbesar dalam ekspor non migas Indonesia. Pangsa ekspor pertanian dalam total ekspor non migas masih cukup besar yakni 48 persen tahun 2005 dan 36 persen tahun 2013 (Gambar 5.1). Bahkan dari ekspor sektor manufaktur non migas, sebagian besar masih bebasis sumberdaya alam (SDA). Sekitar 20 persen (tahun 2005) dan 19 persen (tahun 2013) dari total ekspor non migas berapa ekspor produk manukfatur sumber daya alam. Sementara produk manukfatur berbasis non sumber daya alam pangsanya kecil dan menurun
Rank Dampak Output Dampak Income Dampak Nilai Tambah
1 Keuangan Jasa lainnya Jasa pertanian
2 Jasa lainnya Keuangan
Perdagangan, hotel dan restoran
3 Perdagangan, hotel dan restoran
Perdagangan, hotel dan restoran
Peternakan, kehutanan, perikanan
4 Industri kimia pupuk, dan pestisida
Industri kimia, pupuk, dan pestisida
Jasa lainnya
5 Industri migas dan tambang
Transportasi Pertanian Pangan
6 Transportasi Infratsruktur Transportasi
7 Infrastruktur
Industri migas dan tambang
Keuangan
8 Industri makanan
Infrastruktur pertanian
Perkebunan lainnya
9 Mesin dan peralatan listrik
Jasa pertanian Industri kimia, pupuk, dan pestisida
10 Sektor Lain Sektor Lain Sektor Lain
172 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
48%
20%
12%
20%
Sumber: Bank Indonesia, 2013 Gambar 5.1. Komposisi Ekspor Non Migas Indonesia Tahun 2005 dan 2013
Peranan ekspor CPO dan turunannya Dalam ekspor netto non migas makin penting dan bahkan menjadi katup pengaman. Pada tahun 2004 (Tabel 5.5), kontribusi ekspor CPO dan turunannya baru mencapai 26 persen dari net ekspor non migas dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan tahun 2012 dan tahun 2013 pangsa ekspor CPO dan turunannya sudah di atas 100 persen. Artinya, sektor non migas Indonesia terhindar dari defisit trade, karena adanya ekspor CPO dan turunannya.
Peran penting dari ekspor CPO dan turunanya dalam perekonomian makin jelas jika dilihat dalam neraca transaksi berjalan (current account), NTB, Indonesia (Tabel 5.6). Jika ekspor CPO dan produk turunannya tidak diperhitungkan (tanpa minyak sawit) NTB Indonesia sudah mengalami defisit sejak tahun 2008. Dan defisit NTB tersebut mengalami peningkatan sejak tahun 2008 sampai 2013. Defisit NTB makin membengkak pada tahun 2012 dan 2013 ketika total net ekspor Indonesia (non migas dan migas) mengalamin defisit berturut-turut 12,7 dan 13 Milyar dollar USA, sehingga defisit NTB menjadi sekitar 45 dan 47 milyar dollar USA.
Jika ekspor CPO dan turunannya diperhitungkan (dengan minyak sawit), NTB Indonesia sejak tahun 2004-2011 masih positif. Defisit NTB tahun 2012 dan 2013 tidak lagi mampu di tutup oleh ekspor CPO dan turunannya.
36%
21% 4%
39%
Pertanian
Tambang
Manufakturberbasis non-SDAManufakturberbasis SDA
2005 2013
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 173
Tabel 5.5. Perkembangan Nilai Ekspor CPO dan Turunannya Serta Pangsanya dalam Net Ekspor Non Migas Indonesia
Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah) Tabel 5.6. Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi
Berjalan Indonesia
Tahun
Tanpa Minyak sawit ($ milyar)
Dengan Minyak Sawit ($ milyar)
Net Ekspor
Barang Total
Neraca Transaksi Berjalan
Net Ekspor Barang Total
Neraca Transaksi berjalan
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
16.12
18.35
24.11
23.67
9.11
17.77
14.73
13.13
-12.68
-13.08
-0.40
-1.44
+5.28
+1.41
-13.67
-1.74
-11.21
-19.96
-45.37
-47.68
20.15
22.78
29.66
32.75
22.91
30.15
31.09
34.78
8.62
6.15
3.11
2.99
10.83
10.49
0.13
10.63
5.14
1.68
-24.07
-28.45 Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah)
Tahun Net ekspor non migas ($ Milyar)
Ekspor Minyak sawit
($ milyar) Pangsa
(%)
2004 15.03 4.03 26.81
2005 18.34 4.43 24.15
2006 14.84 5.55 37.40
2007 27.08 9.08 33.53
2008 15.13 13.80 91.20
2009 25.56 12.37 48.40
2010 27.40 16.36 59.70
2011 35.43 21.65 61.10
2012 13.58 21.30 153.79
2013 15.58 19.23 121.32
174 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Dengan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa industri minyak sawit Indonesia (meskipun masih pada fase sedang bertumbuh) telah berperan menjadi kutub penyelamat NTB pada periode tahun 2008-2012.
Selain dalam menghasilkan devisa (net ekspor) yang besar, industri minyak sawit juga telah memberikan pendapatan bagi pemerintah dari pungutan bea keluar (Tabel 5.7).
Tabel 5.7. Penerimaan Pemerintah dari Bea Keluar Ekspor CPO dan
Turunannya, Tahun 2007-2012
Tahun Realisasi Penerimaan
(Rp. Trilyun)
Akumulasi (Rp. Trilyun)
2007 4.2 4.2
2008 13.6 17.8
2009 0.6 18.4
2010 8.9 27.3
2011 28.9 56.2
2012 23.2 79.4
Sumber : RAPBN 2013 (Kementerian Keuangan)
Sejak pemerintah merubah kebijakan perdagangan internasional CPO dan turunannya dari semula pajak ekspor menjadi bea keluar (export duty) tahun 2007, penerimaan pemerintah dari bea keluar meningkat secara proposional dengan meningkatkan volume ekspor dan harga CPO dan turunannya di pasar internasional. Secara akumulatif sampai tahun 2012, penerimaan pemerintahan telah berjumlah Rp. 79 triliun. Jumlah ini belum memperhitungkan penerimaan pemerintah dari berbagai pajak (PBB, PPh, PPn) dari industri minyak sawit yang diperkirakan cukup besar.
Dengan demikian industri minyak sawit Indonesia meskipun masih dalam fase pertumbuhan, perannya baik dalam ekspor maupun penerimaan pemerintah dari bea keluar sudah cukup besar. Diperkirakan kontribusi industri minyak sawit terhadap devisa maupun penerimaan negara akan lebih besar lagi dimasa yang akan datang, seiring dengan makin bertumbuhnya industri minyak sawit.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 175
5.1.4 Menyediakan Minyak Nabati yang Kompetitif Bagi Dunia : Feeding The World
Produksi minyak sawit (CPO dan produk turunannya) yang dihasilkan Indonesia merupakan bahan pangan (food oleo), bahan baku industri dan bahan energi (biodiesel), yang diperlukan masyarakat dunia. Dalam periode tahun 2000-2013, sekitar 70 persen dari total produksi CPO Indonesia setiap tahun ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dunia dan hanya sekitar 30 persen untuk kebutuhan masyarakat Indonesia. (Gambar 5.2)
Gambar 5.2. Penggunaan Produksi CPO (Setara CPO) Indonesia Untuk Konsumsi Ma syarakat Dunia dan Masyarakat Indonesia.
Dengan perkataan lain, lokasi produksi CPO memang di Indonesia namun peruntukan sebagian besar untuk kebutuhan masyarakat dunia, khususnya kawasan Asia, Eropa dan Afrika. Beberapa negara kawasan yang menikmati produksi CPO Indonesia adalah sebagiamana disajikan pada Tabel 5.8.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2013
Konsumsi Dunia (%) Konsumsi Indonesia (%)
176 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.8. Negara/Kawasan Utama yang Menikmati Manfaat Produksi CPO Indonesia untuk Bahan Pangan dan Bahan Baku Industri
Sumber : BPS
Minyak nabati utama dunia adalah soybean, rapeseed, sunflower,
dan minyak sawit. Dalam periode tahun 2000-2013, pergerakan harga CPO konsisten di bawah harga soybean oil, rapeseed oil maupun sunflower oil (Gambar 5.3). Pergerakan harga yang demikian menunjukkan bawa CPO sangat kompetitif baik sebagai subtitut maupun komplemen dalam konsumsi komposit minyak nabati di berbagai negara/kawasan dunia. Secara teori ekonomi (consumsi behaviours) ketersediaan CPO yang lebih murah, dapat mensubstitusi minyak nabati lain yang lebih mahal, sehingga dapat menahan laju kenaikan harga yang lebih tinggi minyak nabati lain.
Cina dan India yang merupakan negara dunia yang menikmati hampir 60 persen CPO Indonesia, untuk memenuhi pertumbuhan konsumsin minyak nabati akibat pertumbuhan ekonomi yang relatif cepat dalam sepuluh tahun terakhir. Harga CPO dunia yang umumnya lebih murah dari harga minyak kedelai, minyak rapeseed, maupun minyak bunga matahari memberi keuntungan bagi dua negara yang populasi penduduknya hampir 50 persen penduduk dunia.
Negara/Kawasan
Asia Eropa Afrika
India Jerman Mesir
Cina Belanda Afrika Selatan
Pakistan Spanyol Tanzania
Malaysia Perancis Nigeria
Singapura Itali Kongo
Bangladesh Yunani Tunisia
Jepang Rusia Kenya
Korea Selatan Belgia Ghana
Philipina Inggris Algeria
Vietnam Turki Uganda
Rest of Asia Rest of Europe Rest of Africa
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 177
Gambar .5.3. Harga Minyak Sawit (CPO) Lebih Kompetitif daripada Soybean
Oil (SBO), Rapeseed Oil, (RPO), dan Sunflower Oil (SFO)
Bagi negara kawasan Afrika dimana umumnya berpendapatan
rendah ketersediaan CPO baik sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri memberi manfaat bagi rakyat Afrika. Manfaat yang dinikmati selain harga CPO lebih murah, juga dampak tidak langsung harga CPO terhadap harga minyak nabati lainnya. Minyak sawit sebagai subtitusi dan atau komplemen minyak nabati lain, dapat mencegah kenaikan minyak kedele yang berlebihan baik karena pertumbuhan konsumsi maupun akibat kekurangan pasokan. Sehingga dengan tingkat pendapatan yang sama, daya beli masyarakat Afrika untuk minyak nabati meningkat.
Untuk mayarakat kawasan Eropa, kehadiran minyak sawit yang lebih murah berdampak luas bagi ekonomi Eropa secara keseluruhan. Negara Eropa yang merupakan negara-negara berpendapatan tinggi dan konsumsi tinggi (termasuk minyak nabati), ketersediaan minyak sawit yang lebih murah relatif dibandingkan soybean, rapeseed, sunflower oil dan lain-lain memungkinkan masyarakat Eropa dapat mempertahankan tingkat konsumsi tinggi atau mempertahankan tingkat kesejahteraannya.
Ketersediaan minyak sawit yang lebih murah secara global, juga menghindarkan industri-industri oleo kimia global terhindar dari kebangkrutan. Rapilus and Ahmad (2007) mengungkapkan bahwa industri oleo kimia Eropa, USA, Jepang , banyak mengalami under capacity terancam bangkrut akibat kekurangan bahan baku. Pemain industri oleokimia global seperti Henkel, Unilever, Lonza, KAO, Protector and Gamble, Petrosina, Akzo Nobel, Degusa, Rhom, Stock Hausen, Gold schimidt, C W Hulse, Rutgers, Wella, Gillete, Clairol,
0
500
1000
1500
2000
2500
Jan
-00
Oct
-00
Jul-
01
Ap
r-02
Jan
-03
Oct
-03
Jul-
04
Ap
r-05
Jan
-06
Oct
-06
Jul-
07
Ap
r-08
Jan
-09
Oct
-09
Jul-
10
Ap
r-11
Jan
-12
Oct
-12
Jul-
13
CPO SBORPO SFO
178 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Dial, Schwarzkoff dan lain-lain, terpaksa harus melakukan konsolidasi dengan berbagai cara antara lain, akibat kekurangan bahan baku. Sebagian besar industri oleo kimia global tersebut melakukan relokasi (subsidiary) dan kemitraan dengan negara-negara produsen CPO seperti Indonesia dan Malaysia.
Ketersediaan minyak sawit yang cukup besar dan relatif murah secara global, juga dapat membantu mengurangi fuel-food trade-off yang dihadapi masyarakat Eropa dan USA, dalam kebijakan mandatori biodiesel. OECD (2006) memperkirakan bahwa bila target 10 persen konsumsi energi fosil disubtitusi dengan biofuel, maka 70 persen lahan pertanian Uni Eropa dan 30 persen lahan pertanian USA, harus dikonversi untuk tanaman bahan baku biofuel . Trade-off yang demikian dapat dikurangi jika Eropa dan USA bersedia meningkatkan konsumsi minyak sawit yang lebih besar sehingga dapat mengurangi tekanan pada minyak nabati produksi domestiknya.
Dengan demikian perkebunan kelapa sawit Indonesia dapat di katakan adalah untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia (Feeding The World), Indonesian Palm Oil Industri for : Asian People, for European People, for American People and for African People. Manfaat kesejahteraan yang diciptakan perkebunan kelapa sawit Indonesia, sebagian besar dinikmati masyarakat internasional.
5.2 Peran Industri Minyak Sawit Dalam Pembangunan Pedesaan
Pembangunan daerah pedesaan (rural development) merupakan
salah satu fokus kebijakan pembangunan di Indonesia. Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah yang telah dilaksanakan sejak tahun 2000, dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan daerah pedesaan yang tertinggal dibandingkan pembangunan kawasan perkotaan.
Perhatian pada percepatan pembangunan di Indonesia memang sangat diperlukan mengingat: (1) sebagian besar penduduk Indonesia yakni 58 persen (tahun 2000) dan 50 persen (tahun 2012) berada di kawasan pedesaan yang perlu ditingkatkan kesejahteraannya; (2) Angatan kerja terbesar berada dan bekerja dikawasan pedesaan/pertanian; (3) Jumlah penduduk miskin Indonesia sebagian besar berada dikawasan pedesaan/pertanian. Berdasarkan fakta ini (ADB, 2004) pembangunan pedesaan di Indonesia hendaklah fokus pada peningkatan pendapatan di pedesaan (pro-rural income) dan pengurangan kemiskinan (pro-poor).
Bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi daerah pedesaan/pertanian setinggi mungkin, merupakan sasaran penting untuk meningkatkan pendapatan di pedesaan dan pengurangan kemiskinan (ADB, 2004). Mengacu pada Say’s Law, kunci terjadiya
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 179
penciptaan pedapatan (income generating) adalah menumbuh kembangkan dunia usaha (firms) di kawasan pedesaan baik usaha
keluarga, usaha kelompok, usaha kecil-menengah maupun korporasi, yang berbasis pada sumberdaya yang tersedia dikawasan pedesaan. Melalui proses produksi, pendapatan tercipta dan terdistribusi melalui mekanisme factor-payment. Semakin besar jumlah dan ragam dunia usaha yang berkembang di kawasan pedesaan, semakin besar dan beragam pendapatan yang tercipta dikawasan pedesaan.
5.2.1 Perkebunan Kelapa Sawit: Menumbuhkan Pusat
Pertumbuhan Baru Pedesaan
Sejak awal pengembangan perkebunan kelapa sawit tahun 1980-an di Indonesia, baik sebagai bagian dari pembangunan pertanian maupun pengembangan daerah (transmigrasi), ditujukan untuk membuka dan membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan. Daerah terbelakang (hinter land) yang tertinggal/degraded land dikembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam konteks pembangunan kawasan pedesaan merupakan kegiatan ekonomi pioner, kemudian menarik pengembangan sektor-sektor lain di kawasan pedesaaan dan melahirkan pusat-pusat petumbuhan ekonomi baru. Evolusi perkembangan pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia secara umum mengikuti dua fase (Gambar 5.4).
Fase pertama, yakni Gestation Stage. Daerah pedesaan yang umumnya masih kosong, terisolasi atau degraded land/ghost town yang ditetapkan pemerintah untuk kawasan pembangunan perkebunan kelapa sawit, dikembangkan oleh perusahaan negara (BUMN) atau perusahaan swasta yang bertindak sebagai inti. Sementara masyarakat lokal bertindak sebagai plasma.
Mengingat daerah yang bersangkutan masih terisolasi, maka PN/PS harus membuka jalan/jembatan masuk (acces road) dengan investasi besar. Selain itu, investasi yang dikeluarkan inti (4-5 tahun) mencakup pembangunan jalan usaha tani (farm road), pembangunan kebun inti dan plasma, pembangunan perumahan karyawan, fasilitas sosial/umum dan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan.
180 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
PS: Perkebunan Swasta PN: Perkebunan Negara PRP: Perkebunan Rakyat Plasma PRM: Perkebunan Rakyat Mandiri SB: Suplier Barang SJ: Suplier Jasa SF: Suplier Bahan Pangan
Gambar 5.4. Evolusi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Menjadi Agropolitan/Kawasan Industri Perkebunan di Kawasan Pedesaan di Indonesia
Fase kedua, yakni Growth Stages. Umumnya setelah 5 tahun,
keberhasilan inti plasma menarik investasi petani lokal untuk menanam kelapa sawit (perkebunan rakyat mandiri). Umumnya jumlah perkebunan rakyat ini bertumbuh cepat dalam suatu wilayah sehingga luas kebun perkebunan rakyat mandiri secara total lebih luas dari kebun pola PIR.
Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit baik inti, plasma maupun petani mandiri mendorong berkembangnya usaha kecil-menengah-koperasi (UKMK) yang bergerak pada supplier barang/produk industri perkotaan, maupun pedagang hasil-hasil pertanian/perikanan/peternakan untuk kebutuhan pangan masyarakat perkebunan kelapa sawit (Gambar 5.5).
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 181
Gambar 5.5 Komponen Investasi Perkebunan Kelapa Sawit Tahap Gestation Period di Kawasan Pedesaan Indonesia
Pada tahap selanjutnya, pertumbuhan kelapa sawit khususnya setelah menghasilkan minyak sawit (CPO) di kawasan tersebut berkembang pusat-pusat pemukiman, perkantoran, pasar, dan lain-lain sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan menjadi suatu agropolitan (kota-kota baru pertanian). Jumlah unit UKMK supplier barang/ jasa untuk perkebunan kelapa sawit dkawasan pedesaan (per 100 ribu TM) cenderung meningkat dari tahun 2004-2012 (gambar 5.6).
Gambar 5.6 Rataan Jumlah Unit UKMK Supplier Barang/Jasa untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Pedesaan (Per 100 Ribu TM)
Pembangunanperumahan/ fasilitassosial-umum 15%
Infrastrukturjalan/jembatan 20%
Pemeliharan TBM30%
Pembukaan lahan danpenanaman sawit35%
0
100
200
300
400
500
600
700
800
2004 2008 2012
Unit UKM
Tahun
182 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Menurut Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja (2014), sampai tahun 2013 telah berkembang daerah perkebunan kelapa sawit telah berkembang menjadi menjadi kawasan pertumbuhan sentra produksi CPO (50 kawasan) di kawasan pedesaan antara lain Sungai Bahar (Jambi), Pematang Panggang dan Peninjauan (Sumatera Selatan), Arga Makmur (Bengkulu), Sungai Pasar dan Lipat Kain (Riau), Paranggean (Kalimantan Tengah) dan kawasan lain. Sebagian besar dari kawasan sentra produksi CPO tersebut telah berkembang menjadi kota kecamatan dan kabupaten baru di kawasan pedesaan.
5.2.2 Menarik Pertumbuhan Sektor Lain di Kawasan Pedesaan
Untuk mempercepat pembangunan daerah pedesaan, sektor-
sektor diluar pertanian/perkebunan (rural non-farm economy) mencakup manufakturing, konstruksi, transportasi, komunikasi, jasa-jasa (Islam, 1997; Rosegrant and Hazell, 2000, Gibb, 1974; Anderson and Leiserson 1980), perlu dikembangkan. Hal ini penting untuk kondisi kawasan pedesaan Indonesia mengingat sebagian besar penduduk, angkatan kerja dan bahkan penduduk miskin berada pada rural non-farm economy
tersebut (ADB, 2004).
Tabel 5.9. Sektor-sektor Rural Non-Farm yang Bertumbuh Akibat
Pertumbuhan Produksi CPO
Rank Sektor
1 Sektor keuangan
2 Sektor jasa lainnya
3 Perdagangan, hotel, restoran
4 Kimia dasar, pupuk/pestisida
5 Minyak, gas dan tambang
6 Transportasi
7 Infrastruktur
8 Pengolahan Makanan
9 Alat-alat listrik
10 Sektor lainnya
Sumber: Tabel I-O Indonesia
Peningkatan produksi CPO pada kawasan sentra produksi CPO di kawasan pedesaan juga terkait dan berdampak luas pada sektor rural non-farm economy (Tabel 5.9)
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 183
Jika output perkebunan kelapa sawit (produksi CPO) bertumbuh, sekitar 40 persen berdampak pada pertumbuhan sektor rural non-farm seperti lembaga keuangan, perdagangan/restoran, hotel, transportasi, infrastruktur, dan sektor-sektor lain (Amzul, 2011). Hal ini berarti pertumbuhan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada perkebunan kelapa sawit, melainkan sebagian (40 persen) dinikmati masyarakat yang bekerja diluar perkebunan kelapa sawit di pedesaan.
Dengan perkataan lain, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di kawasan pedesaan akan meningkatkan kapasitas perekonomian daerah pedesaan dalam menghasilkan output/pendapatan dan kesepatan kerja baik pada perkebunan kelapa sawit maupun pada sektor lain (rural non-farm) di kawasan pedesaan. Bahkan bukan hanya
masyarakat pedesaan saja yang menikmati dampak ekonomi perkebunan kelapa sawit, melainkan juga dinikmati sektor perkotaan seperti lembaga keuangan, restoran dan hotel, food processing dan electric equipment and manufacturing sector. Membangun perkebunan kelapa sawit bukan hanya membangun pedesaan tetapi juga bagian dari cara membangun perkotaan.
5.2.3 Pertumbuhan Produksi CPO Memacu Pertumbuhan Ekonomi
Sentra Sawit
Pertumbuhan produksi perkebunan kelapa sawit termasuk dampaknya terhadap sektor rural non-farm akan terlihat dalam Produk Domestik Bruto (PDB) non migas dan tambang di daerah sentra sawit di Indonesia.
Produksi CPO berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDB non migas sentra perkebunan kelapa sawit Nasional (gambar 5.7). Peningkatan produksi CPO berhasil meningkatkan PDB non migas daerah sentra sawit di Indonesia.
Elastisitas produksi CPO terhadap PDB non migas sentra sawit bernilai 2.46. Peningkatan satu persen produksi CPO baik secara langsung (melalui kontribusi nilai tambah) maupun secara tidak langsung (melalui multiplier nilai tambah dari sektor lain), meningkatkan 2.46 persen PDB non migas di daerah sentra sawit di Indonesia.
184 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 5.7. Pengaruh Produksi CPO terhadap PDRB Sentra Sawit Nasional
5.2.4 Perekonomian Sentra Sawit Bertumbuh Lebih Cepat Dibanding Non Sentra Sawit Kontribusi positif dan elastis dari produksi CPO terhadap PDRB
non migas sentra sawit di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, secara lintas waktu (overtime) menyebabkan pertumbuhan PDRB non migas sentra-sentra sawit lebih cepat daripada pertumbuhan PDRB non sentra sawit. Akibatnya, dengan meningkatnya produksi CPO, PDRB non migas sentra sawit makin meninggalkan PDRB non migas non sentra sawit (Gambar 5.6).
Perbedaan PDRB non migas antara sentra sawit dengan non sentra sawit di Sumatera Utara (provinsi tertua sawit) sudah mulai terlihat sejak tahun 1990. Kemudian setelah tahun 1990 perbedaan tersebut makin besar khususnya setelah tahun 2005. Semakin meningkat produksi CPO semakin cepat bertumbuh PDRB non migas sentra sawit dan makin meninggalkan pertumbuhan PDRB non migas non sentra sawit.
PDB = -194 + 231.66 CPO R2= 0.91 E= 2.46
-
100
200
300
- 5.00 10.00 15.00
Rp
Tri
llyu
n
Ribu ton
Pengaruh Produksi CPO Teradap PDB
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 185
Gambar. 5.8. Perbandingan PDRB Sentra Sawit dengan Non Sentra Sawit Nasional
Hal yang menarik adalah Riau. Sampai tahun 2006, PDRB non migas sentra sawit dengan non sentra sawit masih relatif sama. Namun setelah tahun 2006, PDRB non migas sentra sawit lebih cepat bertumbuh dibandingkan PDRB non migas senta sawit makin besar dengan non sentra sawit. Hal ini terjadi karena sebelum tahun 2006 sebagian besar perkebunan kelapa sawit Riau masih TBM dan TM muda. Namun setelah tahun 2006 produksi CPO Riau bertumbuh cepat.
Perbedaan lebih kontras antara PDRB non migas sentra sawit dengan non sentra sawit terjadi di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Pertumbuhan produksi CPO yang lebih tinggi setelah tahun 2000, telah memacu pertumbuhan yang lebih cepat PDRB non migas pada kedua sentra sawit tersebut.
Bukti-bukti emperis tersebut menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan bagian penting dari upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil studi ini juga mengukuhkan hasil studi (Susila, 2004; World Growth, 2011; Joni, 2012; Rofiq, 2012) yang menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagian penting dari pembangunan daerah pedesaan (rural development).
0
50
100
150
200
250
300
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
20
13
Rp
Tri
lyu
n
PDRB Sentra Sawit dan non Sentra Sawit di Indonesia
Kabupaten Sawit Kabupaten Non Sawit
186 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
5.3 Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Mengurangi Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi masyarakat internasional termasuk Indonesia. Jumlah penduduk miskin memang telah cenderung turun seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia (BPS, 2013) telah turun dari 42,3 juta orang (28,6 persen dari jumlah penduduk tahun 1980) menjadi 28,6 juta orang (11,7 persen dari jumlah penduduk tahun 2012). Dari jumlah tersebut, penduduk miskin di pedesaan juga telah turun dari 32,8 juta orang tahun 1980 menjadi 18 juta orang tahun 2012.
Karakteristik penduduk miskin dikawasan pedesaan Asia (Dixon, 1990) antara lain lahan sempit, kurang gizi, kurang pendidikan, pendapatan rendah, terisolasi, dan usia harapan hidup yang rendah. Sedangkan untuk penduduk miskin pedesaan di Indonesia umumnya akses pendidikan dan kesehatan rendah, infrastruktur (air minum, transportasi, listrik) rendah serta sanitasi buruk (World Bank, 2001),
pendidikan keterampilan rendah, miskin sumberdaya, tergantung pada pertanian subsisten, dan berpendapatan rendah (ADB, 2004).
Untuk mengatasi kemiskinan penduduk secara berkelanjutan diperlukan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi pedesaan dimana penduduk miskin berada. Pertumbuhan ekonomi (pendapatan) yang menyasar pada kemiskinan merupakan keharusan dalam kebijakan pembangunan di Indonesia (ADB, 2001). Dengan meningkatnya pendapatan penduduk miskin maka akan membuka akses penduduk miskin pada pendidikan, kesehatan maupun aspek kesejahteraan yang lebih luas dan lebih berkualitas. 5.3.1 Merubah Petani Miskin Menjadi Pengusaha
Sumber pendapatan utama dari penduduk miskin pedesaan Indonesia adalah dari upah tenaga kerja pertanian dan dari pertanian skala kecil (ADB, 2004). Dengan fakta ini, maka untuk mengeluarkan penduduk miskin dari kemiskinannya salah satunya adalah memperbesar skala ekonomi pertaniannya, sehingga memperoleh pendapatan yang cukup untuk membiayai hidup keluarganya.
Program perkebunan inti rakyat (Nucleus Estate Smallholder, NES) yang dilaksanakan pemerintah merupakan pintu masuk (entry point) keikutsertaan perkebunan rakyat dalam perkebunan kelapa sawit nasional (Badrun, 2010: Sipayung, 2012). PIR/NES yang dimaksud mencakup PIR Berbatuan (NES Subsidy), PIR Lokal (NES-Local), PIR
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 187
Khusus (Specific NES) yang dilaksanakan pemerintah tahun 1977-1986; kemudian dilanjutkan PIR Transmigrasi (NES Transmigration) dalam
periode 1985-1995; PIR Kredit Koperasi Para Anggota/KKPA (NES-Coperation Credit) tahun 1995-2005 maupun PIR Revitalisasi perkebunan (NES-Revitalize of Plantation) sejak tahun 2005. Rangkaian kebijakan dan program NES tersebut. bukan hanya berhasil untuk perkebunan rakyat yang menjadi peserta NES, tetapi jasa merangsang dan meyakinkan petani lain (diluar peserta) untuk masuk pada perkebunan kelapa sawit secara mandiri (petani sawit mandiri).
Tabel 5.10. Perkembangan Jumlah Unit Usaha Keluarga Petani Kelapa Sawit
Rakyat di Indonesia
Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Jumlah unit usaha petani kelapa sawit (Tabel 5.10) meningkat cepat dari hanya 142 ribu unit usaha keluarga tahun 1990 menjadi 3,7 juta unit usaha keluarga tahun 2013. Demikian juga luas perkebunan kelapa sawit rakyat meningkat secara revolusioner dari hanya 291 ribu hektar tahun 1990 menjadi 3,8 juta hektar tahun 2013.
Peningkatan unit usaha yang demikian dapat dimaknai bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah merubah 3,7 juta keluarga miskin (petani) menjadi pengusaha sawit. Untuk konteks Indonesia, tidak banyak (jika bukan satu-satunya) sektor ekonomi yang yang mampu merubah petani kecil/miskin menjadi pengusaha sawit sebanyak dan secepat itu.
Dengan menjadi pengusaha sawit yang demikian, kehidupan ekonomi keluarga petani sawit tersebut akan lebih terjamin hingga setidak-tidaknya dalam 25 tahun (replanting kelapa sawit umur 25 tahun). Dengan replanting berikutnya akan menyambung kehidupan ekonomi bagi keturunannya secara berkelanjutan.
Tahun Jumlah Unit Usaha Petani Sawit (Ribu/Unit Usaha)
Luas (Ribu Ha)
1990 142 291.33
1995 320 658.54
2000 682 1166.76
2005 1184 2356.89
2010 1710 3387.26
2013 3703 3790.14
188 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
5.3.2 Menciptakan Kesempatan Kerja di Kawasan Pedesaan
Selain menjadi pengusaha kelapa sawit, cara untuk mengurangi
kemiskinan di pedesaan adalah menciptakan kesempatan kerja baru yang sesuai dengan karakteristik tenaga kerja pedesaan. Salah satu karakteristik penduduk miskin di pedesaan adalah bekerja secara musiman di pertanian (ADB, 2004).
Secara keseluruhan tingkat pendidikan penduduk dipedesaan juga umumnya rendah. Oleh karena itu, untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan hendaklah mengembangkan sektor-sektor ekonomi yang lebih banyak menyerap tenaga kerja yang sesuai dengan karakteristik/latar belakang tenaga kerja pedesaan. Perkebunan kelapa sawit merupakan sektor ekonomi dengan teknologi padat kerja (labor intensive). Tidak hanya padat kerja tetapi juga akomodatif terhadap keragaman mutu/skill tenaga kerja pedesaan.
Secara umum, struktur pendidikan penduduk di kawasan pedesaan (BPS, 2002) sebagian besar merupakan tenaga kerja berpendidikan sekolah dasar ke bawah. Jika dibandingkan dengan tenaga kerja yang terserap di perkebunan kelapa sawit menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit secara umum lebih akomodatif terhadap tenaga kerja yang tersedia dikawasan pedesaan.
Penyerapan tenaga kerja pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Tabel 5.11) mengalami peningkatan dari tahun ketahun seiring dengan perluasan kebun, peningkatan produksi dan perkembangan industri hulu dan hilir. Pada tahun 2000, jumlah tenaga kerja yang bekerja pada perkebunan kelapa sawit baru sekitar 3,4 juta orang, tahun 2000 meningkat menjadi 9,3 juta orang tahun 2013.
Dengan fakta tersebut perkebunan kelapa sawit merupakan sektor ekonomi pedesaan yang bersifat pro-job. Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit menciptakan kesempatan kerja baru di pedesaan.
Jika diasumsikan setiap pekerja menanggung 4 orang anggota keluarga, maka dengan jumlah tenaga kerja pada tahun 2013, sekitar 37 juta orang penduduk memiliki sumber pendapatan dari perkebunan kelapa sawit.
Kesempatan kerja tidak hanya tercipta pada perkebunan sawit saja jika perkebunan kelapa sawit bertumbuh. Pertumbuhan produksi kelapa sawit (CPO) akan menciptakan kesepakatan kerja baru di sektor lain (Tabel 5.12) melalui dampak multiplier dari pertumbuhan CPO itu sendiri di pedesaan.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 189
Tabel 5.11. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja pada Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Uraian 2000 2005 2010 2013
A. Tenaga kerja pada UKMK Suplier barang/jasa perkebunan sawit
15.548 194.177 372.861 396.623
B. Tenaga kerja pada Perkebunan kelapa sawit
1. Tenaga kerja (orang) 2. Karyawan
Perusahaan
1.360.000
717.916
2.370.000
73261
3.420.000 1.199.552
3.830.000 1.286.347
Total TK (orang) 2.093.464 2.637.438 4.992.413 5.512.970
Tabel 5.12. Sektor-Sektor Ekonomi yang Bertumbuh Penyerapan Tenaga Kerja
Jika Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Bertumbuh
Rank Sektor-sektor Ekonomi
1 Jasa Pertanian
2 Perdagangan, Restoran, Hotel
3 Perternakan, Kesehatan dan Perikanan
4 Tanaman Pangan
5 Transportasi
6 Sektor Keuangan
7 Industri Kimia
8 Sektor Lain
Sumber: Tabel I-0 Indonesia
Dampak multiplier kesempatan kerja perkebunan kelapa sawit menciptakan kesempatan kerja baru dalam perekonomian dimana sekitar 10 persen terjadi diluar perkebunan kelapa sawit (Amzul, 2011).
Jika produksi CPO bertambah (akibat permintaan pasar), kesempatan kerja tidak hanya bertumbuh pada perkebunan kelapa sawit, melainkan juga disektor-sektor lain. Bahkan dampak multiplier pertumbuhan produksi CPO juga meningkatkan kesempatan kerja baru di sektor perkotaan seperti sektor keuangan dan industri kimia. Hal ini menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan sektor yang efektif mengurangi tingkat pengangguran khususnya dipedesaan.
Karakteristik teknologi perkebunan kelapa sawit yang padat karya (labor intensive) dan akomodatif terhadap berbagai keragaman kualitas tenaga kerja seperti penduduk miskin dipedesaan, menjadikan
190 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
perkebunan kelapa sawit menjadi bagian solusi penting untuk mengurangi pengangguran atau memberi kesempatan kerja bagi penduduk miskin pedesaan.
5.3.3. Pendapatan Petani Sawit Meningkat Cepat
Untuk mengeluarkan petani dari kemiskinan dan untuk
meningkatkan kesejahteraannya, peningkatan pendapatan secara berkelanjutan mutlak diperlukan. Hanya melalui peningkatan pendapatan yang memadai dan sustainable para petani dan keluarganya mampu mencapai kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik dan mutu kehidupan yang lebih baik.
Pendapatan petani sawit (gambar 5.9) baik plasma maupun petani sawit mandiri pada wilayah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah bertumbuh cepat.
Pendapatan petani dari perkebunan kelapa sawit tergantung berbagai faktor seperti tingkat produktivitas, biaya, skala usaha dan harga jual.
Greig-Gran (2008) menemukan bahan pendapatan petani sawit plasma mencapai $ 2100/ha, sementara petani sawit mandiri dengan produktivitas rendah mencapai $ 2340/ha. Sedangkan Stern Review (World Growth, 2011) menemukan pendapatan petani sawit tahun 2007
mencapai $ 960-3340/ha.
Gambar. 5.9. Perbandingan Pendapatan Petani Sawit Plasma, Mandiri, dan
Petani Non Sawit Nasional
-
20
40
60
80
100
120
2009 2010 2011 2012 2013
Perbandingan Pendapatan Petani (Rp juta/thn)
Petani Plasma Petani Mandiri Petani Non-Sawit
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 191
5.3.4 Pertumbuhan Asset Petani Sawit Aset utama petani (kebun sawit) juga meningkat dengan
meningkatnya umur tanaman (Gambar 5.10).
Gambar 5.10. Pertumbuhan Asset Petani Sawit Nasional
Pertumbuhan asset petani sawit yang demikian menunjukan bahwa kapasitas ekonomi petani sawit dalam menghasilkan pendapatan makin meningkat. Selain itu, mengingat aset petani tersebut merupakan tanaman tahunan produktif yang economic life time-nya sampai 25 tahun, berarti kesinambungan pendapatan petani dan keluarganya akan terjamin (sustainable).
Dengan perkataan lain, pendapatan petani sawit bukan hanya relatif besar dan meningkat tetapi juga berkelanjutan (sustainable). Dengan pendapatan yang sustainable tersebut keluarga petani dapat meningkat kesejahteraannya termasuk jaminan kesejahteraan keturunannya dan masa tua petani yang lebih berkualitas.
5.3.5 Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit Lebih Tinggi dari
Petani Non Sawit Jika dibandingkan pendapatan rumah tangga petani sawit
dengan rumah tangga petani non sawit secara umum pendapatan petani sawit lebih tinggi dari pendapatan petani non-sawit (Tabel 5.13)
-
200.00
400.00
600.00
800.00
1,000.00
2009 2010 2011 2012 2013
Nilai Asset Petani (Rp Juta)
Plasma Mandiri Non Sawit
192 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Pendapatan petani sawit yang lebih tinggi dari pada petani non sawit juga ditemukan Stern Review (World Growth, 2011) yakni petani
sawit ($ 960-3340/ha), petani karet ($ 72/ha), petani padi ($ 28/ha), petani ubi kayu (C$ 19/ha) dan petani kayu ($ 1099/ha). Tabel 5.13. Perbandingan Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit dengan
Petani Non Sawit (Rp Juta/Tahun)
2009 2010 2011 2012 2013
Petani Plasma 49 66 83 119 118
Petani Mandiri 48 55 75 100 102
Petani Non-Sawit 18 19 20 24 29
Pendapatan petani sawit yang lebih tinggi dari pendapatan petani non-sawit dapat dimaknai beberapa hal yakni: (1) untuk meningkatkan pendapatan petani, khususnya mengatasi kemiskinan, penggunaan lahan untuk kebun sawit lebih efektif daripada penggunaan untuk tanaman lain; (2) fenomena konversi lahan pertanian ke perkebunan kelapa sawit merupakan fenomena alamiah dan rasional dari sudut pandang kepentingan petani.
5.3.6 Mengatasi Kemiskinan dan Menciptakan Kelas Ekonomi
Menengah di Pedesaan
Perbandingan pendapatan petani sawit dengan garis kemiskinan serta pendapatan per kapita nasional (Tabel 5.14) menunjukan bahwa jika dibandingkan pendapatan per kapita petani sawit plasma, petani sawit mandiri telah jauh diatas garis kemiskinan nasional. Bahkan pendapatan petani non sawit disekitar perkebunan kelapa sawit (petani karet, padi, sayuran) juga telah diatas garis kemiskinan meskipun jauh dibawah pendapatan petani sawit plasma maupun petani sawit mandiri.
Namun, bila dibandingkan, pendapatan per kapita petani sawit plasma dan mandiri telah mendekati pendapatan per kapita non migas nasional. Bahkan pada beberapa tahun telah melampaui pendapatan per kapita non migas nasional. Berbeda dengan petani sawit, pendapatan per-kapita petani non sawit masih jauh dibawah pendapatan per kapita non migas nasional.
Jika pendapatan per kapita non migas nasional dijadikan ukuran tingkat pendapatan menengah (middle income class), maka petani
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 193
sawit baik plasma maupun mandiri telah tergolong pada penduduk Indonesia yang berpendapatan menengah.
Dengan fakta empiris ini, perkebunan kelapa sawit Indonesia bukan hanya berhasil menarik para petani keluar dari kemiskinan tetapi juga berhasil menempatkan mereka menjadi penduduk middle income class nasional. Dengan jumlah keluarga petani sawit nasional tahun 2013 berjumlah 3,7 juta keluarga dan dengan rata-rata anggota keluarga (family size) 4 orang, berarti sekitar 14,8 juta orang penduduk Indonesia telah terbebas dari kemiskinan melalui perkebunan kelapa sawit dan bahkan sebagian besar diantaranya berhasil menjadi middle income class nasional meskipun tinggal dikawasan pedesaan.
Hasil studi ini mengukuhkan studi (Susila, 2004; Goenadi, 2008; World Growth, 2011; Joni, 2012; Rofiq, 2012) yang mengungkapkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan sektor yang berhasil mengurangi kemiskinan (pro-poor).
5.3.7 Perkebunan Kelapa Sawit Menurunkan Kemiskinan di
Pedesaan
Dampak pertumbuhan produksi CPO (akibat peningkatan permintaan CPO) terhadap peningkatan pendapatan (multiplier income) tidak hanya dinikmati pelaku perkebunan kelapa sawit saja melainkan juga dinikmati masyarakat yang bekerja disektor-sektor ekonomi lain (Tabel 5.15). Dari pendapatan yang tercipta dalam perekonomian akibat pertumbuhan CPO, sekitar 64 persen dinikmati pelaku perkebunan kelapa sawit dan sisanya yakni 36 persen dinikmati sektor-sektor lain baik yang ada dipedesaan maupun di perkotaan (Amzul, 2011).
Tabel 5.14 Perbandingan Pendapatan per Kapita Petani Sawit, Garis
Kemiskinan dan Pendapatan per Kapita Nasional (Rp Juta per Kapita)
Tahun Poverty Line
Rataan Pendapatan Petani Sawit
Rataan Pendapatan Petani Non
Sawit
Pendapatan per Kapita Non Migas Nasional
Kota Desa Plasma Mandiri
2009 2.66 2.15 16.00 14.06 5.20 21.55
2010 2.79 2.20 21.32 20.36 6.12 24.39
2011 3.16 2.68 29.12 27.55 6.38 27.66
2012 3.32 2.88 36.70 31.58 6.56 30,30
2013 3.46 3.04 36.06 28.76 7.36 33.21
194 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.15. Sektor-sektor Ekonomi (Diluar Perkebunan Sawit) yang Meningkat
Pendapatannya Akibat Pertumbuhan Produksi CPO
Rank Sektor
1 Jasa Lainnya
2 Sektor Keuangan
3 Trade, Restoran, Hotel
4 Basic Chemical, Feirtilizer and Pesticide
5 Transportation
6 Infrastruktur
7 Oil, Gas and Mining
8 Agriculture Infrastruktur
9 Agriculture Service
10 Others Sektor
Sumber: Tabel I-O Statistik Indonesia (2008)
Manfaat pertumbuhan produksi CPO (misalnya akibat ekspor) bukan hanya dinikmati pemilik kebun sawit tetapi juga tenaga kerja baik yang bekerja di perkebunan kelapa sawit maupun tenag kerja diluar perkebunan/pertanian (termasuk diperkotaan).
Dengan dampak perubahan perkebunan produksi kelapa sawit yang demikian maka peningkatan produksi CPO berkaitan dengan penurunan kemiskinan (Gambar 5.11). Meningkatnya produksi CPO, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan di daerah pedesaan sehingga menurunkan angka kemiskinan.
Peningkatan produksi CPO menurunkan kemiskinan pada kabupaten-kabupaten sentra sawit di Indonesia. Setiap peningkatan produksi CPO sebesar 10 persen, menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 7.7 persen.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 195
Gambar 5.11. Pengaruh Produksi CPO terhadap Penurunan Kemiskinan di Sentra Sawit Nasional
Dengan fakta emperis ini, peningkatan produksi CPO baik melalui peningkatan produktivitas, rendemen maupun perluasan kebun didaerah-daerah sentra sawit adalah menurunkan persentase kemiskinan (pro-poor). Oleh karena itu pemerintah daerah perlu memfasilitasi terjadinya peningkatan produksi CPO disentra-sentra sawit, karena akan menurunkan jumlah penduduk miskin didaerah yang bersangkutan.
Goenadi (2008) mengemukakan bahwa lebih dari 6 juta orang yang terlibat dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia keluar dari kemiskinan. World Growth (2009) mengungkapkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagian penting dan signifikan dalam mengurangi kemiskinan.
5.4 Kontribusi Industri Minyak Sawit dalam Pelestarian
Lingkungan Dewasa ini, ekosistem planet bumi mengalami kemerosotan
mutu lingkungan. Salah satuya adalah terjadinya pemanasan global (global warming) yang telah memicu terjadinya berbagai bentuk perubahan iklim global (global climate change) seperti anomali iklim, banjir, kekeringan dan lain-lain, dan telah menimbulkan berbagai kerugian di berbagai belahan bumi.
Kemiskinan (%) = 32.24 - 1.0 CPO E= -0.77 R2 = 0.89
-
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
- 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00
196 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Masalah pemanasan global beserta dampaknya pada perubahan iklim tersebut sudah lama menjadi perhatian masyarakat global. Berbagai forum multilateral telah dibentuk dan bekerja untuk memahami, menjelaskan, dan merumuskan langkah-langkah mitigasi pemanasan global dan dampaknya. Pesannya jelas bahwa semua orang, lembaga organisasi, negara, sektor-sektor pembangunan hendaklah menjadi bagian solusi dari masalah tersebut. Untuk mengatasi masalah pemanasan global secara internasional telah disepakati komitmen untuk: (1) Mengurangi emisi gas rumah kaca dan (2) Menyerap kembali gas rumah kaca (CO2) dari atmosfir bumi. Untuk kedua cara tersebut, perkebunan kelapa sawit merupakan bagian penting dari solusi. Peranan perkebunan kelapa sawit secara ekologis dan minyak sawit yang bersifat renewable energi
dan menghemat emisi, berkontribusi pada upaya pelestarian lingkungan global.
5.4.1 Kebijakan dan Regulasi Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit
Indonesia yang Berkelanjutan
Untuk mewujudkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, Indonesia telah memiliki regulasi dan kebijakan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, mulai dari kebijakan nasional, sektoral, daerah sampai pada level perusahaan. Pada level nasional (kebijakan nasional), Indonesia telah memiliki setidaknya 9 Undang-Undang dan 6 Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar kebijakan nasional bagi tata kelola dan keberlanjutan perkebunan kelapa sawit (Tabel 5.16). Kemudian untuk kebijakan sektoral Indonesia juga memiliki Peraturan Menteri yang mengatur dan mengelola pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Pada level perusahaan, tata kelola perusahaan perkebunan kelapa sawit diaplikasikan dalam berbagai variasi penerapan manajemen seperti Good Agriculture Practices, Good Manufacturing Practices, ISO 9001,14000, 2600; SMK3 (Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja), Good Corporate Governance, ISPO (Indonesian Sustainability Palm Oil), RSPO (RoundTabel Sustainability Palm Oil). Pelaksanaan tata kelola yang demikian mulai dari level kebijakan nasional, sektoral, dan perusahaan, telah berada pada on the right track menuju sustainable palm oil industri yang makin baik.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 197
Tabel 5.16. Kebijakan dan Regulasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia
Regulasi/ kebijakan Tentang
I. Undang- undang
UU No. 12 Tahun 1992
UU No. 5 Tahun 1960
UU No. 13 Tahun 2003
UU No. 18 Tahun 2004
UU No. 32 Tahun 2009
UU No. 26 Tahun 2007
UU No. 5 Tahun 1990
UU No. 41 Tahun 1999
UU No. 17 Tahun 2004
Sistem Budidaya Tanaman Peraturan Dasar Pokok Agraria Ketenagakerjaan Perkebunan Pengelolaan Lingkungan Hidup Penataan Ruang Konservasi SDA Hayati Dan Ekosistemnya Kehutanan Pengesahan Kyoto Protokal To The United Nations Framework Convention On Climate Change
II. Peraturan Pemerintah (PP)
PP 7/1973
PP 6/1995
PP 85/1999
PP 8/2001
PP 51/2007
PP 31/2009
Pestisida Perlindungan Tanaman Pengelolaan Limbah Berbahaya Dan Racun Pupuk Budidaya Tanaman Indikasi Geografis Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik
III. Peraturan/ Keputusan Menteri
No. 33/Permentan/O.T 140/7/2006
No. 98/Permentan/Q.T 140/9/2013
No. 58/Permentan/OT.140/8/2007
No.07/Permentan/OT.140/2/2009
No. 14/Permentan/OT.110/2/2009
No. 19/Permentan/OT.140/3/2011
No. 1496.1/Kpts/OT.100/10/2003
No. 633/Kpts/OT.140/10/2004
Revitalisasi Perkebunan Pedoman Izin Usaha Perkebunan. Sistem Standarisasi Nasional Pertanian/Perkebunan. Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan. Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budi daya Perkebunan. Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO). Klasifikasi Perusahaan Perkebunan. Pedoman Kriteria Dan Standarisasi Klasifikasi Kimbun
198 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sumber: Kementerian Pertanian
Sejak diberlakukannya ISPO tahun 2011, secara bertahap perusahaan perkebunan kelapa sawit telah dan sedang memperoleh sertifikasi ISPO dan RSPO. Pelaksanaan ISPO di Indonesia bersifat mandatory sehingga seluruh perkebunan kelapa sawit harus melaksanakan ISPO. Sedangkan RSPO bersifat sukarela, namun banyak perusahaan yang sudah dan sedang proses sertifikasi RSPO.
5.4.2 Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dari Degraded
Land dan Low-Carbon
Selama ini berkembang opini global (oleh LSM transnasional ) yang mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah dari konversi hutan primer. Opini dan tuduhan tersebut perlu di buktikan secara empiris apakah benar atau salah.
Hasil analisis penutupan lahan (Land Cover) citra satelit yang dilakukan CIFOR (Gunarso et al.,2012) menunjukan bahwa tidak benar bahwa lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagaian besar berasal dari hutan primer (Gambar 5.12). Sumber lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar bersumber dari lahan degraded land dan low-carbon, seperti lahan terlantar (waste land), lahan pertanian, hutan rusak dan tanaman industri.
IV. Level Perusahaan Good Agriculture Practices
Good Manufacturing Practices
ISO 9001 (Quality Management System)
ISO 14000 (Environmental Management Standar)
ISO 26000 (Corporate Social Responsibility)
SMK 3 (Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja)
ISPO/RSPO Good Corporate Governance
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 199
Sumber: Gunarso et al., 2012 Gambar 5.12. Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun
1990-2012
Dalam periode tahun 1990-2010, terjadi tambahan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia seluas 6.7 juta hektar. Berdasarkan citra satelit tersebut, sebesar 43 persen berasal dari lahan terlantar (waste land), dari lahan pertanian (14 persen ), lahan hutan tanaman industri (12%). Sumber lahan untuk perkebunan kelapa sawit dalam periode tersebut adalah umumnya dari degraded land dan low-carbon.
Hasil penelitian Gunarso et al., (2012) tersebut mematahkan hasil kajian Koh and Wilcove, (2008) yang mengatakan bahwa 67 persen perkebunan kelapa sawit Indonesia berasal dari konversi hutan primer
Hasil citra satelit tersebut dapat dikonfirmasi dengan data tata guna lahan di Indonesia (Tabel 5.17). Indonesia memiliki land area seluas 189.63 juta hektar dari total land area sebagian besar yakni 136 juta hektar adalah hutan (72 persen dari total land area). Dari luas hutan tersebut sekitar 54 juta hektar adalah hutan lindung dan hutan konservasi (tropical virgin forest). Hutan lindung dan konservasi sesuai
undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan diperuntukan untuk pelestarian biodiversity baik fauna (Orang Utan, Mawas, Harimau, Gajah, Badak, Aneka Burung, dll), flora (aneka ragam tumbuhan) serta konservasi tanah dan air.
Keberadaan hutan tersebut khususnya hutan lindung dan hutan konservasi harus dilindungi, dijaga, dan dirawat keberadaannya karena memiliki fungsi ekologis (biodiversity) yang tidak tergantikan. Selain itu, sebagai tropical virgin forrest, hutan lindung dan hutan konversi merupakan stok karbon global.
Lahan Terlantar 43.45%
Lahan Pertanian 14.40%
Disturbed Forest 26.55%
Tanaman Industri 12.60%
Unsdisturbed Forest 3.00%
GAPKI - 200
Tabel 5.17. Perubahan Penggunaan Lahan untuk Hutan, Perkebunan dan Penggunaan Lain di Indonesia (Juta Hektar)
Land Use 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Hutan Lindung Hutan Suaka Alam Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Hutan Buru Hutan Produksi Dapat Dikonversi
31.7 23.1 22.9 36.0 - 23.0
31.8 23.6 21.7 35.8
- 14.1
31.6 23.3 22.5 36.6 0.2
22.8
31.6 23.3 22.5 36.7 0.2 22.8
31.6 23.3 22.4 36.7 0.2 22.7
31.6 23.3 22.4 36.7 0.2 22.7
32.0 24.4 22.8 33.9 0.2 21.0
32.2 26.1 22.8 34.1
- 20.9
Total Hutan 136.7 127.0 137.1 137.1 136.9 136.9 134.3 136.2
Perkebunan sawit Perkebunan Lain Pertanian dan Pemukiman
5.3 12.3 35.3
5.4 12.5 44.7
6.6 12.02 33.88
6.7 12.2
33.66
7.4 11.9
33.44
7.8 12.2 32.7
8.4 12.1 34.8
9.0 12.3 32.1
Total Land Area 189.6 189.6 189.6 189.6 189.6 189.6 189.6 189.6
Sumber: BAPPENAS (2013), Statistik Indonesia dan Kementerian Pertanian (2013)
201 Industri Minyak Sawit Indonesia Tahun 2050. Kado 100 Tahun NKRI
Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2011 hanya 9 juta hektar atau hanya 4 persen dari Land Area, bahkan lebih rendah dari lahan padi di Indonesia yang luasnya 13.4 juta hektar maupun perkebunan lainnya (12 juta hektar). Dengan fakta yang demikian adalah tidak berdasar tuduhan yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia menggerogoti hutan. Luas hutan di Indonesia relatif stabil pada 136 juta hektar sementara perkebunan kelapa sawit baru mencapai 9 juta hektar.
Perlu dicatat bahwa sebagian besar hutan lindung di Indonesia berada pada ketinggian wilayah (dari permukaan laut) yang sudah diluar comfort zone kelapa sawit (dataran tinggi). Dengan kata lain, hutan dan perkebunan kelapa sawit hidup berdampingan pada tempat masing-masing. Keduanya bagian penting dari upaya pelestarian lingkungan khususnya penyerapan CO2 ekosistem global.
5.4.3 Perkebunan Kelapa Sawit Berfungsi Ekologis
Secara ekofisiologis (Tabel 5.18) berbagai indikator menunjukkan
bahwa hutan dengan perkebunan kelapa sawit memiliki karakteristik ekofisiologi yang mirip. Dari fungsi tata air misalnya (evapotranspirasi, cadangan air tanah, penerusan curah hujan, laju infiltrasi dan kelembaban) hutan tropis sama dengan perkebunan kelapa sawit. Keunggulan hutan tropis adalah dalam hal stok karbon (total biomass) yang mencapai empat kali lipat dari pada stok karbon pada perkebunan kelapa sawit. Tingginya stok karbon pada hutan tersebut mencerminkan besarnya volume biodiversity hutan. Oleh karena itu hutan difungsikan terutama sebagai pelestarian biodiversity dan penyimpan stok karbon.
Untuk indikator laju penyerapan CO2 dari atmosfir bumi, perkebunan kelapa sawit justru lebih unggul dibandingkan hutan. Berbagai indikator laju penyerapan CO2 dari atmosfir bumi seperti efisiensi fotosintesis, efisiensi konversi energi matahari, asimilasi netto, produksi oksigen, perkebunan kelapa sawit lebih unggul dibanding hutan. Akibatnya, incremental biomass dan produktivitas bahan kering per tahun perkebunan kelapa sawit lebih unggul dibandingkan dengan hutan.
Dengan keunggulan masing-masing perkebunan kelapa sawit dan hutan yang demikian justru menguntungkan upaya pelestarian ekosistem global, asal ditempatkan pada fungsi dan ruang yang tepat. Hutan memang harus difungsikan sebagai pelestarian biodiversity dan stok karbon. Sementara untuk menyerap kembali CO2 atmosfir bumi (agar konsentrasi GHG atmosfir bumi tidak meningkat), merupakan keunggulan fungsi ekologis perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian hutan dan kelapa sawit adalah dua sub ekosistem yang berkontribusi pada pelestarian ekosistem global.
V. Peranan Persawitan dalam Perekonomian IndonesiaGAPKI - 202
Tabel 5.18. Perbandingan Ekofisiologi Perkebunan Kelapa Sawit dengan Hutan Tropis
Indikator Hutan Tropis Perkebunan
Kelapa Sawit
Asimilasi kotor (ton CO2/ha/tahun) 163.5 161.0
Total respirasi (ton CO2/ha/tahun) 121.1 96.5
Asimilasi neto (ton CO2/ha/tahun) 42.4 64.5
Indeks luas daun 7.3 5.6
Efisiensi fotosintesis (%) 1.73 3.18
Efisiensi konversi radiasi (g/mj) 0.86 1.68
Total biomas di area (ton/ha) 431 100
Incremental biomas (ton/ha/tahun) 5.8 8.3
Produktivitas bahan kering (ton/ha/tahun) 25.7 36.5
Produksi oksigen (O2) (ton O2/ha/tahun) 7.09 18.70
Evapotranspirasi (mm/tahun) 1560-1620 1610-1750
Cadangan air tanah s/d kedalaman 200 cm (mm) 59-727 75-739
Penerusan curah hujan ke permukaan tanah (%) 85 87
Laju infiltrasi lapisan solum 0-40 cm (ml/cm3/menit) 30-90 10-30
Kelembaban udara (%) 90-93 85-90
Sumber: Henson (1999), PPKS (2004,2005)
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 203
5.4.4 Perkebunan Kelapa Sawit Menyerap CO2 dari Atmosfir Bumi
Pemanasan global merupakan fenomena meningkatnya temperatur udara atmosfir bumi akibat peningkatan intensitas efek rumah kaca (green house effect) pada atmosfir bumi. Peningkatan efek
rumah kaca tersebut disebabkan oleh meningkatnya kosenterasi gas-gas rumah kaca (green house gases) yang melampaui konsenterasi alamiahnya sedemikian rupa, sehingga panas matahari makin banyak terperangkap pada atmosfir bumi (Kiehl, et al., 1957; IPCC, 1991,20012007; Isaac and Brian, 2000; Hansen et al., 2000; IEA 2009, 2010, 2012; World Bank, 2010; Sumarwoto, 1992). Gas-gas rumah kaca yang dimaksud antara lain karbondioksida (CO2), methane (CH4), Nitrous Oxide (NxO), dan gas buatan manusia.
Konsenterasi gas CO2 (yang merupakan komponen terbesar gas rumah kaca di atmosfir bumi), telah mengalami peningkatan dari 280 ppmv tahun 1800-an menjadi 353 ppmv tahun 1990-an (IPCC, 1991) dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 379 ppmv (IEA, 2012).
Sumber emisi CO2 gobal berasal dari aktivitas manusia yakni energi (56 persen), pertanian (13,8 persen), industri (14,7 persen), land use change (12,2 persen), dan limbah (3.2 persen. (IEA, 2011). Kontribuor terbesar (Top Ten Emiter) emisi CO2 adalah Cina, USA, India, Rusia, Jepang, Jerman, Iran, Kanada, Korea Selatan, Inggris. Top ten emiter dunia tersebut mencapai 65 persen dari total emisi CO2 global tahun 2010. Pangsa Indonesia dalam total emisi CO2 global hanya 1.3 persen (IEA, 2012).
Sektor pertanian global juga merupakan sumber emisi CO2 (setara CO2) baik dari pemupukan (NxO), peternakan (CH4), maupun land use change (CO2), dan lain-lain. Top Six emitter CO2 pertanian global (FAPRI, 2012) adalah Cina, Brazil, India, USA, European Union dan Argentina, dengan kontribusi 70 persen dari total emisi GHG pertanian global. Kontribusi pertanian Indonesia hanya sekitar 2.7 persen.
Secara alamiah (diciptakan Tuhan) tumbuhan hijau merupakan bagian penting dari pelestarian daur (cycle) karbondioksida (CO2), oksigen (O2) dan air (H2O) dalam ekositem planet bumi. Dengan perkataan lain pertanian (tanaman) memiliki fungsi ekologis. Adanya fungsi ekologis pertanian yang demikian merupakan bagian dari multifungsi pertanian yang sudah lama diketahui (OECD, 2001; Huylenbroek, et al. 2007).
Kelapa sawit merupaka tanaman ideal yang mengkonversi fotosintesis (potosynthetically active radiation, PAR) menjadi biomas
204 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
(Fairhurst and Hardter, 2005). Selama proses asimilasi, tanaman kelapa sawit menyerap karbondioksida (CO2) dari atmosfir bumi dan melepas oksigen (O2) ke atmosfir bumi. Pada saat respirasi kelapa sawit melepas CO2 dan secara neto (fotosintesis/asimilasi minus respirasi) kelapa sawit adalah penyerap CO2 dari atmosfir bumi (Hansen, 1999; Fairhurst and Hardter, 2005).
Fiksasi neto CO2 dari atmosfir bumi, menjadi biomas pohon kelapa sawit. Chan (2002) mengukur produksi biomas perkebunan kelapa sawit (standing biomass) dan jumlah kandungan karbon pada berbagai umur kelapa sawit (Tabel 5.19). Tabel 5.19. Volume Standing Biomas dan Jumlah Karbon Terfiksasi dari
Atmosfir Bumi pada Berbagai Umur Kelapa Sawit
Umur (Tahun)
Standing Biomas (Ton/ha)
Karbon (Ton/ha)
1-3 14.5 5.80
4-8 40.3 16.12
9-13 70.8 28.32
14-18 93.4 37.36
19-24 113.2 45.28
>25 104.5 41.00
Sumber:Chan, K.W (2002). Oilpalm Carbon Sequestration and Carbon Accounting: Our Global Strengh. MPOA.
Dibandingkan dengan hutan tropis, jumlah karbon yang
terfiksasi dalam biomas hutan tropis (in circulation and annual increment) relatif sama. Perbedaannya adalah annual increment fiksasi carbon pada kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan pada hutan tropis, karena huan tropis sudah pada fase steady-state (asimilasi sama dengan respirasi), sementara kelapa sawit masih bertumbuh (asimilasi > respirasi). Dengan perkataan lain, untuk menyerap kembali CO2 dari atmosfir bumi, perkebunan kelapa sawit jauh lebih unggul dari pada hutan.
Dengan menggunakan standing biomas dan jumlah karbon hitungan Chan (2002) dapat ditunjukan jumlah karbon yang diserap perkebunan kelapa sawit Indonesia (Gambar 5.13).
Volume fiksasi karbon perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat dari 30,34 juta ton tahun 1990 menjadi 200 juta ton tahun 2010, akibat peningkatan luas areal maupun perubahan komposisi umur kelapa sawit. Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga menghasilkan oksigen (O2) yang diperlukan bagi kehidupan di planet bumi. Volume O2 yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit 18,7 ton
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 205
1990 2010
30.34
200.31
O2/Ha/tahun, yang lebih besar dibandingkan hutan tropis sekunder yang hanya 7,09 ton/Ha/tahun (Hansen, 1999; Harahap, et al., 2005).
Gambar 5.13. Volume Karbon yang Diserap Secara Netto pada Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990 dan 2010 (Juta Ton Karbon)
Gambar 5.14. Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dalam Menyerap CO2 Global
Atmosfir bumi CO2 CO2 CO2 CHINA USA EROPA CO2
O2 Perkebunan sawit
Indonesia
O2 + Minyak Sawit
+ CPO
206 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
5.4.5 Perkebunan Kelapa Sawit Mengurangi Emisi GHG Degraded Peat Land Lahan gambut (peat land) menyimpan carbon stok yang perlu
dilestarikan. Lahan gambut di Indonesia hanya sekitar 7 persen dari luas lahan gambut dunia yang luasnya 381 juta hektar. Sekitar 44 persen lahan gambut global berada di kawasan Eropa dan Rusia, Amerika (40 persen) dan sisanya (9 persen) di negara-negara lain (Joosten, 2008).
Secara alamiah lahan gambut menghasilkan emisi GHG khususnya CO2, CH4 dan NxO dari proses dekomposisi bahan organik dan kehidupan organisma yang hidup dilahan gambut (Perish, et al., 2007, Fahmuddin et al., 2008). Besarnya emisi GHG lahan gambut sangat bervariasi tergantung berbagai variabel seperti bahan induk gambut, land cover, vegetasi, manajemen drainase, teknik budidaya (Oleszczuk, et al., 2008, Kheong et al., 2010, Melling et al.,2005, 2007, 2010, Hirano, et al., 2007, 2011; Kohl, et al., 2011, Jauhiainen, et al, 2004), dan tergantung metodologi pengukuran emisi, flux approach atau stock approach (Khoon, et al, 2005).
Meningkatkan kebutuhan lahan untuk pertanian global, menyebabkan lahan gambut juga dimanfaatkan. Sekitar 78 persen lahan gambut dunia telah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, dimana 88 persen berada pada lahan gambut non-tropis dan 12 persen di daerah tropis (Strack, 2008). Lahan gambut di Indonesia yang layak digunakan untuk pertanian (dengan syarat yang ditetapkan pada Peraturan Menteri Pertanian No. 14/ Permentan/ PL.110/ 2/ 2009) hanya sekitar 6 juta hektar (Fahmudin, et al., 2008).
Penelitian emisi GHG lahan gambut tropis di Indonesia dan Malaysia sudah banyak dilakukan antara lain Murayama dan Bakar (1996), Hadi et al., (2001), Melling et al., 2005, 2007, Germerand Souaerborn, 2008, Sabiham et al., (2012) dan Sabiham, 2013. Hasil-hasil empiris tersebut mengungkapkan bahwa: (1) emisi GHG bervariasi baik akibat variasi lahan gambut maupun perbedaan vegetasi dan tata air ; (2) pada kondisi alamiah lahan gambut (hutan gambut tropis, hutan gambut sekunder) menghasilkan emisi GHG dan (3) lahan gambut yang ditanami kelapa sawit dapat mengurangi emisi GHG.
Hasil empiris (Tabel 5.20) menunjukan bahwa emisi GHG perkebunan kelapa sawit di lahan gambut lebih rendah dari emisi GHG lahan/hutan gambut sekunder maupun primer. Bukti empiris ini sekaligus mengoreksi pandangan (umumnya LSM) yang menyatakan
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 207
bahwa perkebunan kelapa sawit di lahan gambut meningkatkan emisi CO2 gambut. Tabel 5.20. Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Menurunkan Emisi
CO2 Lahan Gambut ( Degraded Peat Land)
Land Use Peat land
Emisi Ton CO2/ha/
Tahun Peneliti
Hutan gambut primer 78,5 Melling, et al., (2007)
Hutan gambut sekunder 127,0 Hadi, et al., (2001)
Kelapa sawit gambut 57,6 Melling, et al., (2007)
Kelapa sawit gambut 55,0 Melling, et al., (2005)
Kelapa sawit gambut 54,0 Murayama & Bakar (1996)
Kelapa sawit gambut 31,4 Germer and Sauaerborn (2008)
Jika bukti empiris dikombinasikan dengan pertumbuhan karbon stok dari standing biomass perkebunan kelapa sawit (Chan, 2002) terdahulu, maka perkebunan kelapa sawit dilahan gambut bukan hanya mengurangi emisi CO2 tetapi juga meningkatkan stok karbon pada ekosistem lahan gambut. Stok karbon diperkebunan lahan gambut meningkat dengan meningkatnya umur tanaman (Sabiham, 2013).
Lahan gambut di Indonesia sekitar 80 persen dikategorikan lahan gambut rusak (degraded peat land) (Joosten, 2008). Oleh karena itu pemanfaatan lahan gambut tersebut untuk perkebunan kelapa sawit (dengan kultur teknis yang sustainable) dapat menjadi alternatif penting
untuk merestorasi/ rehabilitasi lahan gambut, setidaknya menurunkan emisi GHG lahan gambut.
Berdasarkan penjelasan tentang ekosistem perkebunan kelapa sawit sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia merupakan bagian solusi dari pelestarian lingkungan global. Dengan melihat dunia pada satu ekosistem, emisi CO2 dari top ten emmiten dari negara-negara maju didaur ulang oleh Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia menjadi oksigen dan sebagian disimpan dalam bentuk biomass dan sebagian lagi dirubah menjadi CPO. Oksigen dari kelapa sawit di-supply ke atmosfir bumi secara gratis, sementara CPO di-supply ke sejumlah negara untuk bahan pangan maupun untuk energi pengganti fossil-fuel.
208 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
5.4.6 Pelestarian Biodiversity pada Perkebunan Kelapa Sawit Meskipun perkebunan kelapa sawit secara tata ruang dan fungsi
bukan untuk pelestarian biodiversity, perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga ikut melestarikan biodiversity baik fauna maupun flora (Tabel 5.21 dan 5.22) melalui mekanisme sebagai berikut: (1) Sebagian HGU perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang tidak layak untuk budidaya (topografi, sungai, sumber mata air, dll) dijadikan sebagai tempat pelestarian biodiversity (high conservation value); (2) Perkebunan kelapa sawit yang merupakan standing biomass setidaknya selama 25-30 tahun (sebelum di replanting) merupakan tempat hidup berbagai ragam flora maupun fauna; (3) Perkebunan kelapa sawit itu sendiri secara built-in merupakan cara pelestarian biodiversity (tanaman kelapa sawit itu sendiri) termasuk multifungsi (ekonomi, sosial, ekologis) yang melekat pada perkebunan kelapa sawit secara lintas generasi.
Bukankah jenis-jenis tanaman yang lestari pada zaman sekarang adalah jenis tanaman yang dibudidayakan secara global dan turun temurun? Dan bukankah berbagai flora dan fauna yang telah punah atau terancam punah di planet bumi adalah karena tidak dibudidayakan manusia?
Dari segi pemanfaatan dan pelestarian multifungsi dari biodiversity, kelapa sawit adalah suatu contoh yang dapat dipelajari
makna dari pentingnya plasma nutfah. Dari empat biji yang ditanam di Kebun Raya Bogor tahun 1848, melalui pemanfaatan dan pelestarian multifungsinya, manfaat sosial, ekonomi dan ekologisnya dapat dinikmati secara lintas generasi, lintas suku/bangsa/negara seperti saat ini.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 209
Tabel 5.21.Berbagai Fauna di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit
Sumber: Thohari (2010)
Nama Daerah Nama Latin Nama Daerah Nama Latin
MAMALIA Pekaka emas Pelargopsis capensis
Rindil bulan Echionoserex gymnurus Raja udang meninting Alcedo meninting
Tupai kecil Tupaia minor Cekakak batu Lacedo pulchella
Tuoai Ptilocercus lowii Kangkareng perut-putih Anthracoceros albirostris
Tupai akar Tupaia glis Takur warna-warni Megalaima mystacophanos
Codot kecil kelabu Pentethor lucasii Takur tenggaret Megalaima australis
Codot sayap totol Balionycteris maculata Takur ampis Calorhamphus fuliginosus
Kukang bukang Nycticebus coucang borneanus Pelatuk besi Dinopium javanenses
Trenggiling peusing/ahom Manis javanica Caladi batu Meiglytes tristis
Monyet kra Macaca fascicularis Sempur hujan sungai Cybirhynvhus macrorhynchus
Monyet beruk Macaca nemestrina Cica daun kecil Chloropsis cyanopogon
Owa kalawat Hylobates muelleri Cica daun besar Chloropsis sonnerati
Bajing kelapa Callosciurus laticaudatus Merbah Pycnonotus goiavier
Bajing gunung Dremomys everetti Srigunting Dicrurus panadiseus
Bajing tanah moncong runcing Rhinosciurus laticaudatus Srigunting gagak Dicrurus annectans
Landak raya Hystrix brachyura Kacer Copsychus saularis
Angkis ekor panjang Trichys fasciculata Murai batu Copsychus malabaricus
Beruang madu/behuang Helarctos malayanus Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps
Sigung Mydaus javanensis Sikatan rimba dada kelabu Rhinomyas umbratilis
Musang Paradoxurus hermaphroditus Sikatan hijau laut Eumyas thalassina
Macan akar Felis bengalensis Sikatan belang Ficedula wastermanni
Babi Sus sp. Kipasan mutiara Rhipdura perlata
Pelanduk kancil Tragulus javanicus Kipasan belang Rhipdura javanica
Kijang muntjak Muntiacus muntjak Seriwang asia Terisphone paradisi
BURUNG Kerak jambul Acridotheres cristatellus
Bambangan hitam Dupetor flavicollis Tiong emas Gracula rellgiosa
Elang ikan kepala kelabu Ichthyophaga ichthyaetus Burung madu sepah raja Aethopyga siparaja
Elar ular bido Spilornis cheela Pijantung kecil Arachnothera longilostra
Elang hitam Ictinaetus malayensis Pijantung besar Arachnothera robusta
Elang bondol Haliastur indus Cabai tunggir coklat Diaceum everetti
Puyuh kepala merah Haematortyx sanguiniceps Kacamata biasa Zosterops palpebrosus
Puyuh sengayan/sio Rollulus rouloul Bondol kalimantan Lonchura fuscans
Sempidan biru/belonge Lophura ignita Burung gereja Passer montanus
Kareo padi Amaurornis phoenicurus REPTIL
Trinil Tringa sp Kobra Naja sp.
Punai kecil Treron olax Ular banyu Phynton reticulatus
Punai Treron sp. Biawak Varanus boornensis
Tekukur Streptopelia chinensis Ular belang Bungarus cancidus
Delimukan zamrud Chalcophaps indica Ular Tanah Calloselasma rhodostoma
Bayan Tanygnathus sp Ular daun Dryophis prasinus
Srindit melayu Loriculus galgulus Toke Gekko gecko
Bubut alang-alang Centropus bengalensis Kadal Mabouya multifasciata
Beluk ketupa Ketupa ketupu Labi-labi Chitra indica
Kukuk beluk Strix leptogrammica Kura-kura Orlitia boornensis
Taktarau melayu Eurostopodus temminckii Senyulong Tomistoma schlegelii
Walet sapi Collocalia esculentra
210 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 5.22.Berbagai Flora di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit
Nama Daerah
Nama Latin Status
Ulin Eusideroxylon zwageri Dilindungi (PP no.7 tahun 1999) Vulnerable (IUCN)
Jelutung Dyera costulata Dilindungi (PP no.7 tahun 1999)
Meranti tembaga
Shorea leprosula Endangered (IUCN)
Ramin Gonystylus bancanus Vulnerable (IUCN)
Mersawa Anisoptera grossivenia Vulnerable (IUCN)
Kantung Semar
Nepenthes ampullaria type green
Dilindungi (PP no.7 tahun 1999)
Kantung Semar
Napenthes maxima type green
Dilindungi (PP no.7 tahun 1999)
5.4.7 Industri Minyak Sawit Hemat Sumberdaya dan Minimum Polusi Kebutuhan minyak nabati untuk konsumsi masyarakat global
akan meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk maupun pertumbuhan ekonomi. Sementara ketersediaan lahan untuk produksi minyak nabati global makin terbatas baik di negara maju maupun dinegara-negara berkembang. Solusinya adalah masyarakat global harus memilih minyak nabati yang memiliki produktivitas per satuan luas lahan yang lebih tinggi (hemat lahan).
Perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan jenis minyak nabati lainnya, merupakan minyak nabati yang hemat sumberdaya lahan (Tabel 5.23). Untuk menghasilkan 1000 ton minyak nabati, perkebunan kelapa sawit hanya memerlukan lahan seluas 234 hektar. Sementara jenis tanaman minyak nabati lainnya memerlukan lahan yang lebih luas yakni soybean (2.222 Ha), rapeseed (1.449 Ha) dan sunflower (1.923 Ha).
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 211
Tabel 5.23. Kebutuhan Lahan untuk Menghasilkan 1000 Ton Minyak Nabati
dari Berbagai Jenis Minyak Nabati Global.
Jenis minyak nabati
Produktivitas minyak (ton/ha)
Kebutuhan lahan untuk 1000 ton
minyak nabati (ha) Soybean 0,45 2.222 Rapeseed 0,69 1.449 Sunflower 0,52 1.923 Groundnuts 0,45 2.222 Coconut 0,34 2.941 Cotton 0,19 5.263 Palm oil 4,27 234
Sumber: Oil World , 2010
Selain hemat lahan, perkebunan kelapa sawit juga lebih hemat input (seperti pupuk, pestisida maupun energi) dan minimal polusi/emisi yang masuk ke air dan ke dalam tanah (Tabel 5.24). Perkebunan kelapa sawit lebih hemat pupuk (N, P) dibanding dengan soybean dan rapeseed. Demikian juga dalam penggunaan energi, perkebunan kelapa sawit lebih hemat dibandingkan minyak nabati lainnya.
Tabel 5.24.Perbandingan Penggunaan Input dan Polusi Air/Tanah antara
Perkebunan Kelapa Sawit dengan Minyak Nabati Lain untuk Per Ton Minyak Nabati yang Dihasilkan
Indikator Kelapa Sawit Soybean Rapeseed
Input N (kg) Phosphorus (kg P2O5) Pesticide/Herbicide (kg) Energi (GJ)
47 8 2
0.5
315 77 29 2.9
99 42 11 0.7
Polusi ke Air/Tanah N (kg) Phosphorus (kg P2O5) Pesticide/Herbicide (kg)
5 2
0.4
32 23 23
10 13 9
Sumber: FAO (1996)
212 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Pada perkebunan kelapa sawit untuk setiap penggunaan satu GJ energi fosil-fuel dapat menghasilkan energi/minyak nabati sebesar 2 ton. Sementara dari soybean hanya diperoleh 0,34 ton minyak dan 1,4 ton minyak rapeseed. Hal ini bermakna bahwa dalam upaya internasional menghemat penggunaan energi fosil maka penggunaan energi fosil untuk produksi minyak sawit dapat menjadi pilihan rasional.
Polusi atau emisi penggunaan pupuk (N, P) dan pestisida ke air maupun tanah, perkebunan kelapa sawit lebih rendah/minimum dibandingkan dengan soybean dan rapeseed. Fakta ini berarti proses produksi minyak sawit jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan soybean dan rapeseed.
Selain sumberdaya lahan dan penggunaan input, masalah penggunaan air juga perlu dilihat. Dewasa ini masalah kelangkaan air juga menjadi perhatian masyarakat dunia. Selama ini berkembang opini kehadiran perkebunan kelapa sawit dituduh menghisap banyak air sehinggga membuat kering daerah sawit. Opini ini perlu dibuktikan berdasarkan fakta emperis.
Tebu (sugar cane) merupakan jenis tanaman biofuel yang paling hemat menggunakan air untuk setiap satuan energi yang dihasilkan (Tabel 5.25). Urutan kedua terhemat adalah minyak sawit, kemudian disusul sunflower dan soybean. Jagung dan ubi kayu ternyata lebih banyak menggunakan air. Tanaman rapeseed adalah yang paling boros menggunakan air. Tabel 5.25. Konsumsi Air (Water Footprint) dari Berbagai Jenis Tanaman Biofuel
Jenis Tanaman Kisaran (m³/GJ)
Rataan (m³/GJ)
Cassava 30 – 205 118
Coconut 49 – 203 126
Maize 9 – 200 105
Palm oil 75 75
Soybean 61 – 138 100
Sugarcane 25 – 31 28
Sunflower 27 – 146 87
Rapeseed 67 – 214 184 Sumber: Garbens – Leenes et al., (2009)
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia 213
Dengan fakta tersebut menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah salah satu tanaman biofuel yang hemat air. Lebih hemat daripada soybean, rapeseed, cassava maupun jagung. Dengan demikian opini yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah rakus air, tidak didukung fakta atau tidak benar.
Penggunaan biodiesel minyak sawit sebagai pengganti diesel (fossil-fuel) juga menurunkan emisi GHG sebesar 62 persen dari emisi
GHG diesel. Pengurangan emisi GHG tersebut lebih besar pada minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya. (Gambar 5.15). Hal ini berarti semakin besar blending biodiesel minyak sawit dalam konsumsi diesel global, semakin berkurang emisi GHG global.
Sebagian besar produksi CPO Indonesia dipasok keseluruh negara dunia. Jika minyak sawit tersebut digunakan sebagai biodiesel untuk mensubsitusi fossil-fuel (khususnya di negara-negara yang konsumsi fossil-fuel tinggi seperti Uni Eropa, USA, dan negara lain) akan mengurangi emisi CO2 global. Penggantian fosil-fuel (diesel) dengan palm oil diesel dapat mengurangi 62 persen emisi CO2
dibandingkan diesel. Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit merupakan bagian
solusi dari upaya mengurangi peningkatan emisi CO2 global melalui dua cara, yakni: Pertama, menyerap CO2 dari atmosfir bumi (dari emisi yang dihasilkan masyarakat dunia); dan Kedua, mengurangi emisi CO2 global melalui subsitusi diesel (fossil-fuel) dengan palm oil diesel.
Sumber: European Commission Joint Research Centre Gambar 5.15. Pengurangan Emisi CO2 dari Palm Oil Biodiesel Sebagai
Pengganti Fosil-Diesel Dibandingkan Sumber Biodiesel Lainnya
(persen)
45 40
58 62
88
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
RapeseedBiodiesel
SoybeanBiodiesel
SunflowerBiodiesel
Palm OilBiodiesel(methanecapture)
Waste CookingOil/Vegetable
Oil
214 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 215
BAB VI
INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA 2050
Dalam merumuskan industri minyak sawit Indonesia 2050 mengadopsi paradigma bahwa sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, Indonesia berkesempatan untuk mendefinisikan secara by design “Mau Seperti Apa Industri minyak sawit Indonesia 2050”, dan bukan ditentukan oleh negara- negara dunia. Bahwa perubahan lingkungan strategis global yang akan terjadi menuju tahun 2050 mempengaruhi peluang industri sawit Indonesia tentu saja benar dan perlu dipertimbangkan untuk merumuskan mau kemana industri minyak sawit Indonesia kedepan. Namun point of view yang seharusnya dimiliki Indonesia sebagai terbesar produsen industri sawit (sebagaimana digunakan dalam buku ini) adalah industri minyak sawit Indonesia harus memimpin perubahan dan mengendalikan pasar minyak sawit dunia dan bukan sebaliknya yakni pasar minyak sawit dunia menentukan industri minyak sawit Indonesia. Sudut pandang yang demikian menjadi dasar penyusunan cetak biru industri minyak sawit Indonesia 2050.
6.1 Asumsi - Asumsi Kebutuhan CPO domestik 2015-2050 difokuskan pada upaya
memenuhi kebutuhan produksi biodiesel untuk secepat mungkin mengganti (mengurangi) konsumsi solar/diesel untuk ketahanan dan keberlanjutan energi dan pegurangan laju emisi GHG dari konsumsi solar. Hal ini sangat penting mengingat ketergantungan Indonesia pada solar impor makin tinggi untuk memenuhi kebutuhan solar dalam negeri baik akibat pertumbuhan ekonomi maupun pertambahan jumlah penduduk.
Volume konsumsi solar Indonesia meningkat dari 39.4juta kl (2013) naik menjadi 50.94 juta kl (2020) kemudian menjadi sekitar 100 juta kl (2050). Menurut proyeksi US Energy Information Administration(2008), harga crude oil dunia diperkirakan naik menjadi
U$ 300/barrel atau sekitar U$ 2/liter (berdasarkan harga tetap tahun 2009). Hal ini berarti resiko ekonomi yang akan dihadapi Indonesia makin besar di masa yang akan datang jika tidak ada upaya yang fundamental untuk mengurangi ketergantungan pada solar. Mempercepat subsitusi solar dengan biodiesel asal minyak sawit
216 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
(FAME) diharapkan menjadi salah satu solusi untuk membangun kemandirian energi kedepan.
Kebutuhan CPO untuk biodiesel mengikuti kebijakan mandatori dengan skedul dan volume yang telah direncanakan selama ini (PERMEN ESDM No. 32/2008). Namun antisipasi percepatan mandatory biodiesel juga dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah tahun 2030 diharapkan Indonesia sudah memasuki mandatory B40.
Selain itu kebutuhan CPO juga memperhatikan kebutuhan minyak goreng, margarine, sabun dan detergen sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Hal yang penting lagi, hilirisasi CPO didalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah, transformasi struktur ekspor minyak sawit (dari bernilai tambah rendah ke bernilai tambah tinggi)menjadi perhatian penting dalam menetapkan proyeksi kebutuhan CPO di masa yang akan datang. Asumsi dan Proyeksi Kebutuhan CPO Domestik disajikan pada tabel 6.1.
Dari segi produksi, diasumsikan perluasan areal kebun masih berjalan sesuai dengan trend historisnya, baik perkebunan sawit swasta, negara, terutama rakyat. Menurut berbahgai sumber (tabel 6.2 dan tabel 6.3) lahan yang tersedia di Indonesia masih memungkinkan untuk perluasan areal perkebunan kelapa sawit, baik pada provinsi yang sudah berkembang perkebunan kelapa sawit maupun pada provinsi pengembangan baru seperti Aceh, Sulawesi, Maluku dan Papua. Menurut data tersebut terdapat sekitar 29 juta hektar degraded land diluar kawasan hutan. Demikian juga bila dihitung lahan yang telah termanfaatkan oleh perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan kesesuaian lahan untuk kelapa sawit yang tersedia pada beberapa provinsi masih tersedia sekitar 17 juta hektar.
Dari sisi ekofisiologis, perkebunan kelapa sawit memiliki fungsi ekofisiologis yang relatif sama dengan hutan (Hansen, 1999, PPKS, 2004). Oleh karena itu pemanfaatan degraded land pada hutan produksi untuk perkebunan kelapa sawit tidak menurunkan kualitas ekosistem, bahkan sebaliknya justru meningkatkan kualitas ekosistem baik melalui fungsi ekologis perkebunan kelapa sawit, dalam menyerap CO2, meningkatkan penambahan karbon/biomas dan menghasilkan oksigen.
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 217
Tabel 6.1. Asumsi Proyeksi Pertumbuhan Tahun 2014-2050 (%/tahun)
URAIAN Kondisi
2013
Proyeksi Pertumbuhan (%/tahun)
2013
2020
2021
2025
2026
2030
2031
2035
2036
2040
2041
2045
2046
2050
jumlah
penduduk
(juta jiwa) 249.9 1.00 0.95 0.47 0.46 0.45 0.44 0.43
GDP
(U$/kapita) 3,580 4.70 4.69 4.53 4.34 4.15 4.00 3.84
Minyak Goreng (ton)
Konsumsi 5,221,000 3.00 2.49 2.26 2.03 1.84 1.69 1.55
Produksi 18,808,940 1.58 1.42 1.35 1.26 1.19 1.12 1.06
Margarine (ton)
Konsumsi 378,000 3.00 2.49 2.26 2.03 1.84 1.69 1.55
Produksi 723,000 3.98 3.11 2.77 2.43 2.17 1.95 1.78
Oleokimia/ Detergen (ton)
Konsumsi 562,054 4.00 3.13 2.78 2.44 2.17 1.96 1.79
Produksi 1,600,000 3.50 2.82 2.53 2.24 2.02 1.83 1.68
Konsumsi Solar (Juta Ton) 39.4 3.74 2.98 2.61 2.31 2.07 1.88 1.72
Mandatori
Biodiesel (%B) B 4.4 B 5 B 10 B 20 B 20 B 20 B 20 B 20
Ekspansi
Mandatori
(%B)
B 20
B25-
B 30
B 35-
B 40 B 40 B 40 B 40 B 40
Tabel 6.2. Luas Degraded Land di Indonesia Lokasi/Wilayah Luas (Juta Ha)
Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi dapat dikonversi Non Kawasan Hutan
4.75 9.52 13.88 10.87 9.69 29.72
Jumlah 78.43
Sumber: Prosval Consulting (Bimasena 2014)
218 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 6.3. Luasan Lahan Berpotensi Tinggi Untuk Tanaman Kelapa Sawit di Beberapa Wilayah Indonesia
Provinsi Luas Lahan
Berpotensi (Ha) Luas Areal
Sawit 2013 (Ha) Lahan Masih Tersedia (Ha)
Sumatera Utara 1,298,000 1,190,556 107,444
Riau 2,848,200 1,940,717 907,483
Bengkulu 728,479 303,873 424,606
Kalimantan Barat 3,671,100 694,447 2,976,653
Kalimantan Tengah
3,638,500 1,026,478 2,612,022
Kalimantan Timur 4,399,400 693,744 3,705,656
Sulawesi Tengah 146,300 97,489 48,811
Sulawesi Selatan 288,000 23,795 264,205
Papua 5,896,500 36,124 5,860,376
Total Lahan Berpotensi
22,914,479 6,007,223 16,907,256
Sumber: Puslit Tanah dan Agroklimat, Balitbang Deptan (1993)
Oleh sebab itu pemanfaatan degraded land untuk perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan produksi tetap maupun hutan produksi yang dapat dikonversi dapat menjadi bagian dari solusi restorasi ekosistem. Tentu saja untuk degraded land yang ada dikawasan hutan lindung dan hutan konservasi sebaiknya tidak dikonversi pada penggunaan lain, dipertahankan dan direhabilitasi untuk memperbaiki fungsi hutan lindung dan hutan konservasi. Meskipun ketersediaan lahan untuk perluasan areal perkebunan kelapa sawit masih tersedia sampai pada luasan tertentu, dimasa yang akan datang diharapkan peningkatan produktivitas CPO per hektar lahan menjadi andalan sumber pertumbuhan produksi CPO Indonesia. Sumber pertumbuhan produksi CPO dari produktivitas dipandang lebih berkualitas karena: (1) Sumber pertumbuhan CPO dari produktivitas lebih sustainable dan lebih menguntungkan; (2) Dapat meminimumkan konflik sosial maupun konflik antar sektor, (3) Mengurangi ketergantungan pada kebaikan alam dan dampak perubahan iklim dalam produksi CPO nasional dan (4) Menjaga keseimbangan pertumbuhan sektor-sektor pembangunan secara nasional.
Pandangan yang demikian telah lama disadari pelaku persawitan di Indonesia. Oleh karena itu pada acara peringatan 100 tahun perkebunan kelapa sawit Indonesia tahun 2011 di Medan, telah
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 219
disepakati untuk mengejar produktivitas yakni 35 ton TBS/Ha dengan rendemen 26 persen (dikenal dengan target 35-26) atau produktivitas CPO sekitar 9 ton CPO/Ha.
Tentu saja, target tersebut merupakan target jangka panjang melalui upaya yang sistematis dan by design. Perkebunan kelapa sawit Malaysia sendiri dalam jangka panjang (sebagimana dimuat dalam PEMANDU) menargetkan produktivitas CPO/Ha sebesar 6 ton tahun 2020 dan 8 ton tahun 2030
Peningkatan produktivitas CPO per hektar dipengaruhi berbagai variable seperti bibit/varietas, kultur teknis budidaya khususnya pemupukan, umur dan komposisi tanaman, populasi tanaman per hektar, pemanenan dan pengangkatan TBS , dan efisiensi proses pengolahan CPO pada PKS (CPO Mill). Upaya perbaikan yang ideal (continous improvement) menjangkau seluruh variabel tersebut diatas sehingga diperoleh peningkatan total produktivitas (total factor productivity). Untuk peningkatan produktivitas CPO per hektar menuju 2050 diproyeksikan melakukan berbagai upaya yakni: (1) menggunakan varietas unggul (produktivitas 5-6 ton CPO/Ha) pada replanting dan perbaikan kultur teknis budidaya dan PKS selama periode tahun 2016-2025 baik PR,PN dan PS, (2) menggunakan varietas unggul baru (rataan produktivitas 7-8. Ton CPO/Ha) pada replanting dan perbaikan kultur teknis budidaya dan PKS selama periode tahun 2026-2030 dan (3) menggunakan varietas unggul baru (rataan produktivitas 8-9 Ton CPO/Ha) pada replanting dan perbaikan kultur teknis budidaya dan PKS selama periode tahun 2031-2050. 6.2 Visi dan Misi Industri Minyak Sawit Indonesia 2050
6.2.1 Visi 2050
Menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar CPO dan produk hilir minyak sawit dunia secara berdayasaing dan berkelanjutan
6.2.2 Misi 2050
1. Meningkatkan produksi CPO khususnya melalui peningkatan produktivitas CPO perhektar.
2. Mempercepat hilirisasi didalam negeri baik industri oleopangan, oleokimia dan turunannya (pelumas,surfaktan,dll), detergen dan sabun serta biodiesel.
220 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
3. Melakukan perbaikan terus menerus tata kelola industri minyak sawit yang berkelanjutan.
4. Mengembangkan kebijakan industri minyak sawit yang kompetitif dan berkelanjutan.
6.3 Roadmap Hilirisasi
Indonesia tentu tidak berhenti pada posisi sebagai produsen CPO terbesar dunia seperti yang telah dicapai sejak tahun 2006, namun ingin naik kelas menjadi negara produsen terbesar dunia dalam olein (minyak goreng, margarin dan shortening), detergen dan sabun, biodiesel, dan produk turunan oleokimia seperti pelumas, surfaktan, dan lain-lain. Oleh sebab itu menuju tahun 2050 Indonesia akan mempercepat dan memperluas hilirisasi CPO di dalam negeri yang telah dimulai sejak 2011. Percepatan dan perluasan hilirisasi CPO didalam negeri memiliki manfaat ganda seperti peningkatan nilai tambah didalam negeri, merubah struktur ekspor industri minyak sawit ke arah dominasi produk-produk hilir bernilai tambah tinggi dan memperkuat bargaining position Indonesia dipasar global. Hilirisasi yang makin luas di dalam negeri akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar CPO global. Menuju tahun 2050 roadmap percepatan dan perluasan hilirisasi
dilakukan (tabel 6.4)melalui 4 jalur yakni: (1) Pengembangan industri minyak goreng dan margarin baik untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun untuk ekspor, (2) pengembangan dan pendalaman industri oleokimia untuk menghasilkan produk turunan bernilai tambah tinggi yang ditujukan kepada pasar domestik dan ekspor, (3) Pengembangan industri detergen dan sabun untuk menghasilkan produk turunan bernilai tambah tinggi yang ditujukan kepada pasar domestik dan ekspor dan (4) Percepatan industri biodiesel. Perhatian khusus perlu diberikan pada pengembangan dan pendalaman industri oleokimia serta biodiesel. Pendalaman industri oleokimia ditujukan untuk menghasilkan produk-produk bernilai tambah tinggi dan memiliki pasar yang bertumbuh baik di dalam negeri maupun di pasar dunia. Produk yang dimaksud antara lain pelumas (lubrikan) dan surfaktan. Kemudian pengembangan biodiesel ditujukan untuk menghasilkan biodiesel (FAME) sebagai pengganti solar (diesel) yang konsumsi dan impornya meningkat cepat. Menuju tahun 2050 produksi biodiesel Indonesia diproyeksikan dapat memenuhi 40% penggantian kebutuhan solar (B40) Indonesia.
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 221
Penggantian sebagian solar dengan biodiesel juga akan mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia. 6.3.1 Proyeksi Konsumsi Industri Hilir Minyak Sawit
Berdasarkan asumsi yang dikemukakan pada tabel 6.1, konsumsi minyak goreng diproyeksikan meningkat dari 5.2 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 6.4 juta ton tahun 2020. Kemudian konsumsi minyak goreng meningkat dari 8.1 juta ton 2030 dan menjadi 11.5 juta ton tahun 2050. Sementara itu konsumsi margarine/shortening/ specialty fat diproyeksikan meningkat dari 0.37 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 0.46 juta ton tahun 2020. Kemudian konsumsi minyak goreng meningkat dari 0.59 juta ton 2030 dan menjadi 0.83 juta ton tahun 2050(tabel 6.4 dan gambar 6.1). Tabel 6.4. Proyeksi Volume Konsumsi Domestik Produk Hilir 2013-2050 (Ton)
Tahun Minyak Goreng
Margarine Oleokimia/Detergen Biodiesel
2013 5,221,000 378,000 562,054 1,500,000
2014 5,377,630 389,340 584,536 2,500,000
2015 5,538,959 401,020 607,918 4,262,000
2016 5,705,128 413,051 632,234 8,856,000
2017 5,876,281 425,442 657,524 9,190,000
2018 6,052,570 438,206 683,825 9,522,000
2019 6,234,147 451,352 711,178 9,856,000
2020 6,421,171 464,892 739,625 10,188,000
2025 7,260,076 525,629 862,818 20,649,792
2030 8,116,967 587,668 989,556 26,847,857
2035 8,973,858 649,707 1,116,295 30,095,952
2040 9,830,749 711,746 1,243,034 33,344,048
2045 10,687,641 773,784 1,369,773 36,592,143
2050 11,544,532 835,823 1,496,512 39,840,238
Searah dengan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri,
konsumsi oleokimia diproyeksikan meningkat dari 0.56 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 0.73 juta ton tahun 2020. Kemudian konsumsi oleokimiatersebut meningkat dari 0.99 juta ton 2030 dan menjadi 1.49 juta ton tahun 2050.
Dengan percepatan mandatory biodiesel kedepan, konsumsi biodiesel diproyeksikan meningkat dari 1.5 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 10.18 juta ton (B20) tahun 2020. Kemudian secara
222 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
bertahap kebijakan mandatory diproyeksikan meningkat menjadi B40 tahun 2030, konsumsi biodiesel meningkat dari 26.84 juta ton 2030 dan menjadi 39.84 juta ton tahun 2050.
Gambar 6.1. Proyeksi Konsumsi Domestik Produk Hilir
6.3.2 Proyeksi Produksi Industri Hilir Minyak Sawit
Untuk memenuhi kebutuhan produk industri hilir dan terus berkembang dari tahun ke tahun, memerlukan peningkatan produksi industri hilir minyak sawit di dalam negeri (tabel 6.5). Produksi minyak goreng diproyeksikan meningkat dari 18.8 juta ton tahun 2013 menjadi 20.9 juta ton tahun 2020 dan menjadi 30.3 juta ton tahun 2050. Sementara itu produksi margarine diproyeksikan meningkat dari 0.72 juta ton tahun 2013 menjadi 0.95 juta ton tahun 2020 dan menjadi 1.91 juta ton tahun 2050. Produksi Oleokimia/detergen diproyeksikan meningkat 30 kali dalam periode 2013-2050, yakni dari 16 juta ton tahun 2013 menjadi 20.3 juta ton tahun 2020 dan menjadi 38.9 juta ton tahun 2050.
Industri biodiesel yang merupakan jalur hilirisasi baru di Indonesia diproyeksikan bertumbuh cepat, yakni dari sekitar 3 juta ton tahun 2013 menjadi 11.6 juta ton tahun 2020 dan menjadi 55.7 juta ton tahun 2050. Peningkatan produksi biodiesel tersebut dapat memenuhi program subsitusi solar dengan biodiesel yakni dari B10 tahun 2013 menjadi B20 tahun 2020 dan menjadi B40 ditahun 2050.
demikian Dengan proyeksi produksi yang (gambar 6.2) maka diperlukan peningkatan kapasitas pabrik masing-masing. Kapasitas pabrik minyak goreng meningkat sekitar 20 juta ton tahun 2013 menjadi sekitar 22 juta ton tahun 2020 dan menjadi sekitar 33 juta ton tahun 2050. Demikian juga kapasitas pabrik industri margarine meningkat dari sekitar 1 juta ton tahun 2013 menjadi sekitar 1.5 juta ton tahun 2020 dan menjadi sekitar 2.1 juta ton tahun 2050.
0
10
20
30
40
50
6020
13
2015
2017
2019
2021
2023
2025
2027
2029
2031
2033
2035
2037
2039
2041
2043
2045
2047
2049
Juta
to
n
biodiesel oleokimia/detergen TOTAL Mgr& Margarine
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 223
Tabel 6.5. Proyeksi Produksi Industri Hilir Minyak Sawit 2013-2050 (ton)
Tahun Minyak goreng margarine oleokimia/detergen Biodiesel
2013 18,808,940 723,000 1,600,000 3,084,143
2014 19,101,449 751,590 1,656,000 3,800,000
2015 19,400,016 781,383 1,713,960 5,762,000
2016 19,704,796 812,431 1,773,949 10,356,000
2017 20,015,946 844,792 1,836,037 10,690,000
2018 20,333,631 878,523 1,900,298 11,022,000
2019 20,658,019 913,685 1,966,809 11,356,000
2020 20,989,282 950,342 2,035,647 11,688,000
2025 22,523,374 1,107,778 2,339,024 28,909,708
2030 24,080,352 1,270,019 2,650,017 37,587,000
2035 25,637,331 1,432,260 2,961,009 42,134,333
2040 27,194,309 1,594,501 3,272,002 46,681,667
2045 28,751,288 1,756,742 3,582,994 51,229,000
2050 30,308,267 1,918,983 3,893,987 55,776,333
Gambar 6.2 Proyeksi Produksi Hilir
Kapasitas pabrik oleokimia diproyeksikan meningkat dari
sekitar 18 juta ton tahun 2013 menjadi sekitar 22 juta ton tahun 2020 dan menjadi sekitar 40 juta ton tahun 2050. Peningkatan yang sangat cepat terjadi pada industri biodiesel, kapasitas pabrik tahun 2013 masih
0102030405060708090
100
201
3
201
5
201
7
201
9
202
1
202
3
202
5
202
7
202
9
203
1
203
3
203
5
203
7
203
9
204
1
204
3
204
5
204
7
204
9
Juta
To
n
TOTAL Mgr & Margarine oleokimia/detergen biodiesel
224 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
sekitar 3 juta ton akan meningkat menjadi sekitar 12 juta ton tahun 2020 dan sekitar 57 juta tahun 2050. 6.4 Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik
Peningkatan produksi indutri hilir yang diproyesikan tersebut diatas memerlukan peningkatan kebutuhan CPO (tabel 6.6). Kebutuhan CPO yang diperlukan minyak goreng meningkat dari 18.8 juta ton tahun 2013 menjadi 20.9 juta ton tahun 2020 dan 30.3 juta ton tahun 2050. Demikian juga kebutuhan CPO yang diperlukan pada industri margarine dari 0.7 juta ton tahun 2013 menjadi 0.9 juta ton tahun 2020 dan 1.91 tahun 2050. Pada industri oleokimia/detergen juga terjadi peningkatan kebutuhan CPO, yakni dari 16 juta ton taun 2013 menjadi 20.3 juta ton tahun 2020 dan 38.9 juta ton tahun 2050. Peningkatan kebutuhan CPO pada industri biodiesel mengalami peningkatan yang sangat cepat, yakni dari 3 juta ton tahun 2013 menjadi 11.6 juta ton tahun 2020 dan 55.7 tahun 2050. Tabel 6.6. Proyeksi Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik
Kebutuhan CPO Domestik (ton)
Tahun minyak goreng Margarine oleokimia/detergen biodiesel TOTAL
2013 18,808,940 723,000 1,600,000 3,084,143 24,216,083
2014 19,101,449 751,590 1,656,000 3,800,000 25,309,039
2015 19,400,016 781,383 1,713,960 5,762,000 27,657,359
2016 19,704,796 812,431 1,773,949 10,356,000 32,647,176
2017 20,015,946 844,792 1,836,037 10,690,000 33,386,775
2018 20,333,631 878,523 1,900,298 11,022,000 34,134,452
2019 20,658,019 913,685 1,966,809 11,356,000 34,894,512
2020 20,989,282 950,342 2,035,647 11,688,000 35,663,271
2025 22,523,374 1,107,778 2,339,024 28,909,708 54,879,884
2030 24,080,352 1,270,019 2,650,017 37,587,000 65,587,388
2035 25,637,331 1,432,260 2,961,009 42,134,333 72,164,933
2040 27,194,309 1,594,501 3,272,002 46,681,667 78,742,479
2045 28,751,288 1,756,742 3,582,994 51,229,000 85,320,024
2050 30,308,267 1,918,983 3,893,987 55,776,333 91,897,569
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 225
Secara keseluruhan penyerapan CPO untuk kebutuhan domestik meningkat dari 24 juta ton tahun 2013 menjadi 35 juta ton tahun 2020 dan 91 juta ton tahun 2050. Penyerapan CPO domestik terbesar adalah untuk industri biodiesel, yakni sekitar 12 persen tahun 2013 menjadi 32 persen tahun 2020 dan 60 persen 2050 dari total kebutuhan CPO domestik Indonesia (gambar 6.3).
Gambar 6.3. Proyeksi kebutuhan CPO Domestik tahun 2013-2050
6.5 Roadmap Produksi CPO Menuju 2050
Untuk memenuhi kebutuhan CPO domestik yang diproyeksikan meningkat dari tahun ke tahun diperlukan peningkatan produksi CPO. Peningkatan produksi CPO dapat dilakukan melalui perluasan areal maupun peningkatan produktivitas. Dalam periode 2015-2050 peningkatan produktivitas menjadi sumber pertumbuhan penting bagi industri minyak sawit. Oleh karena itu pengembangan industri pembibitan kelapa sawit menjadi sangat penting untuk mendukung peningkatan produktivitas tersebut. 6.5.1 Roadmap Pengembangan Industri Pembibitan Kelapa Sawit
Untuk memenuhi kebutuhan bibit unggul baik untuk replanting maupun areal baru serta pencapaian produktivitas diperlukan bibit dengan produktivitas sebagaimana disajikan pada table 6.7.
Kebutuhan bibit kelapa sawit unggul untuk memenuhi
kebutuhan replanting dan area baru diproyeksikan meningkat dari
0
20
40
60
80
100
2013
2015
2017
2019
2021
2023
2025
2027
2029
2031
2033
2035
2037
2039
2041
2043
2045
2047
2049
juta
To
n
minyak goreng margarine oleokimia/detergen
biodiesel TOTAL
226 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
tahun ke tahun. Tahun 2015 diperlukan 132.7 juta kecambah dan meningkat menjadi 150.3 juta kecambah tahun 2030, kemudian diperlukan 251.1 juta kecambah tahun 2050.
Tabel 6.7. Kebutuhan Bibit dan Roadmap Kualitas Bibit Kelapa Sawit 2013-2050
Tahun Kebutuhan Bibit Protas Proven
Bibit (ton CPO/Ha)
2013 118,278,200 4-5
2014 63,623,600 4-5
2015 132,738,720 4-5
2016 144,078,166 4-5
2017 165,031484 5-6
2018 150,117,639 5-6
2019 117,647,574 5-6
2020 146,165,529 5-6
2025 151,915,329 6-8
2030 150,361,729 6-8
2035 217,063,329 8-9
2040 231,981,249 8-9
2045 245,408,058 8-9
2050 251,157,858 8-9
Selain jumlah bibit yang diperlukan hal yang penting adalah
produktivitas terbukti (proven) bibit yang dihasilkan diharapkan mengalami peningkatan dari periode ke periode. Pada saat ini bibit yang tersedia dari pembibitan kelapa sawit memiliki produktivitas (proven) antara 5-7 ton CPO perhektar. Mengingat diperlukan waktu yang relatif panjang (7-10 tahun) untuk menghasilkan varietas baru, maka diharapkan varietas bibit dengan kemampuan produksi 7-8 ton CPO perhektar diproyeksikan baru tersedia tahun 2025. Selanjutnya untuk kebutuhan varietas bibit yang lebih unggul lagi yakni dengan produktivitas 8-9 ton CPO perhektar diproyeksikan baru tersedia mulai tahun 2030. Oleh karena itu, perlu segera disusun cetak biru maupun roadmap industri pembibitan kelapa sawit nasional mulai dari tingkat plasma nutfah, grandparents (pohon nenek), dan parents (pohon induk) sampai pada produksi kecambah (bibit komersil). Bagaimana industri pembibitan kelapa sawit dalam menghasilkan bibit yang makin unggul
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 227
menentukan sejauh mana kemajuan produktivitas yang akan dicapai oleh industri perkebunan kelapa sawit Indonesia.
6.5.2 Roadmap Replanting Dalam periode 2013-2050 diproyeksikan replanting dan penanaman baru kelapa sawit (tabel 6.8). luas replanting cenderung meningkat, sementara tanaman baru cenderung menurun menuju tahun 2050. Hal ini membuktikan bahwa industri minyak sawit Indonesia menuju tahun 2050 lebih memfokuskan peningkatan produktivitas dibandingkan dengan perluasan areal. Tabel 6.8. Roadmap Replanting dan Tanaman Baru serta Kebutuhan Bibit
Kelapa Sawit 2013-2050
Tahun Raplanting Nasional
Tanaman Baru
Nasional Total
2013 140,965 450,426 591,391
2014 118,050 200,068 318,118
2015 153,149 510,545 663,694
2016 184,319 536,072 720,391
2017 262,282 562,875 825,157
2018 159,569 591,019 750,588
2019 190,822 397,416 588,238
2020 234,615 496,213 730,828
2025 263,364 496,213 759,577
2030 255,596 496,213 751,809
2035 589,104 496,213 1,085,317
2040 663,694 496,213 1,159,906
2045 730,828 496,213 1,227,040
2050 759,577 496,213 1,255,789
6.5.3 Roadmap Luas Areal dan Komposisi Tanaman Untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit 2015-2050
dilakukan melalui dua strategi yakni : perluasan areal baru dan peningkatan produktivitas. Di proyeksikan tambahan area baru masih terjadi setiap tahun (khususnya perkebunan rakyat) dalam periode 2015-2050. Dengan demikian diproyeksikan pada tahun 2020 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia akan mencapai 13.3 juta hektar (table 6.9 dan gambar 6.5). Terdiri dari perkebunan sawit rakyat 6.6 juta
228 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Ha, perkebunan sawit swasta 5.9 juta Ha, dan negara 0.72 juta Ha. Kemudia pada tahun 2050 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia akan mencapai 28 juta hektar. Terdiri dari perkebunan sawit rakyat 16.6 juta Ha, perkebunan sawit swasta 10 juta Ha, dan negara 0.8 juta Ha. Dengan demikian pangsa perkebunan rakyat makin dominan dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia (gambar6.4).
Gambar 6.4. Perubahan Pangsa Areal Perkebunan Sawit Negara, Rakyat, dan
Swasta Indonesia tahun 2013-2050
Gambar 6.5. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia 2013-2050
2013 Rakyat44.11%Negara6.86%Swasta49.03%
2020 Rakyat49.48%Negara5.46%Swasta45.06%
2050 Rakyat58.99%
Negara3.11%
Swasta37.903%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2013
2015
2017
2019
2021
2023
2025
2027
2029
2031
2033
2035
2037
2039
2041
2043
2045
2047
2049
Rakyat Negara Swasta
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 229
Gambar 6.6 Proyeksi Komposisi Tanaman Kelapa Sawit Indonesia 2013-2050.
Tabel 6.9. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia 2015-2050
Tahun Rakyat Negara Swasta Nasional
2015 4,810,271 704,094 5,207,071 10,721,437
2016 5,186,611 707,615 5,363,283 11,257,508
2017 5,585,049 711,153 5,524,182 11,820,384
2018 6,006,787 714,708 5,689,907 12,411,403
2019 6,248,745 721,613 5,838,461 12,808,819
2020 6,583,652 726,597 5,994,782 13,305,032
2025 8,258,191 751,515 6,776,389 15,786,095
2030 9,932,729 776,433 7,557,996 18,267,158
2035 11,607,267 801,351 8,339,602 20,748,221
2040 13,281,806 826,269 9,121,209 23,229,284
2045 14,956,344 851,188 9,902,816 25,710,348
2050 16,630,883 876,106 10,684,423 28,191,411
Dengan kombinasi perluasan areal baru, dan replanting pada perkebunan sawit rakyat, negara, maupun swasta secara
overtime proyeksi komposisi perkebunan kelapa sawit Indonesia menurut umur (gambar 6.6) mengalami perubahan dari tahun ke tahun.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2015 2020 2025 2030 2035 2040 20452050
TBM Muda Remaja Dewasa Tua
230 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
6.5.4 Roadmap Produktivitas
Selain perluasan areal pengembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia menuju 2050, juga (bahkan terpenting) peningkatan produktivitas CPO perhektar melalui program replanting yang konsisten setiap tahun (antara lain menuju perbaikan komposisi tanaman), keharusan penggunaan varietas unggul baru pada setiap replanting/penanaman areal baru, perbaikan kultur teknis baik pada budidaya, pemanenan/pengangkutan dan proses pengolahan PKS. Dengan perbaikan kultur teknis yang diharapkan dilaksanakan secara bersama-sama oleh pelaku perkebunan kelapa sawit, maka diproyeksikan roadmap peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia akan terjadi baik pada perkebunan kelapa sawit rakyat (gambar 6.7), negara (gambar 6.7), maupun swasta (gambar 6.9) .
Gambar 6.7. Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit
Rakyat 2013-2050
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Pro
tas
Umur
Rakyat 2013-26 Rakyat 2027-35 Rakyat 2036-50
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 231
Gambar 6.8. Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit
Negara 2013-2050
Gambar 6.9. Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Swasta
2013-2050 Roadmap produktivitas perkebunan sawit rakyat diharapkan meningkat dari 2.82 ton CPO/ha (2013) menjadi 3.39 ton CPO/ha (2020) dan 6.38 ton CPO/ha (2050). Produktivitas perkebunan sawit negara diharapkan meningkat dari 3.97 ton CPO/ha (2013) menjadi 4.93 ton CPO/ha (2020) dan 8.32 ton CPO/ha (2050). Kemudian produktivitas
0
2
4
6
8
10
12
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Pro
tas
Umur
Negara 2013-26 Negara 2027-35 Negara 2036-50
0123456789
10
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Pro
tas
Umur
Swasta 2013-26 Swasta 2027-35 Swasta 2036-50
232 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
perkebunan sawit swasta juga diharapkan meningkat 3.37 ton CPO/ha (2013) menjadi 4.16 ton CPO/ha (2020) dan 7.30 ton CPO/ha (2050). Dengan demikian secara nasional produktivitas perkebunan sawit meningkat dari 3.69 ton CPO/ha (2013) menjadi 4.40 ton CPO/ha (2020) dan 7.42 ton CPO/ha (2050). 6.5.5 Proyeksi Produksi CPO Menuju 2050
Jika roadmap peningkatan produktivitas maupun perluasan areal sebagaimana dijelaskan diatas dapat terlaksana sesuai skedul, maka produksi CPO Indonesia diproyeksikan akan meningkat dari 27.6 juta tahun 2013 menjadi 43.9 juta tahun 2020. Dengan perbaikan yang terus- menerus (continuous improvement), produksi CPO Indonesia akan
mencapai 141 juta ton ketika NKRI berumur 100 tahun dan menjadi 163 juta ton tahun 2050 (tabel 6.10). Tabel 6.10. Proyeksi Produksi CPO Menurut Pengusahaan 2013-2050
Tahun Rakyat Negara Swasta Nasional
2013 9,347,156 3,063,871 15,229,197 27,640,224
2014 10,317,201 3,458,403 16,584,740 30,360,345
2015 11,213,164 3,658,103 17,495,909 32,367,176
2016 12,558,461 3,829,231 18,705,947 35,093,639
2017 13,540,232 3,858,699 19,354,109 36,753,040
2018 15,179,208 3,980,417 20,101,878 39,261,503
2019 16,533,046 4,111,606 20,913,766 41,558,419
2020 18,180,641 4,152,173 21,598,196 43,931,010
2025 27,560,147 4,201,871 24,509,687 56,271,705
2030 36,370,598 5,348,872 36,756,336 78,475,805
2035 48,987,183 5,321,167 40,038,103 94,346,453
2040 60,503,011 7,306,455 53,389,036 121,198,502
2045 73,929,887 7,765,991 60,197,693 141,893,571
2050 90,995,043 7,597,767 65,166,827 163,759,637
Dari produksi CPO Indonesia tersebut diproyeksikan produksi CPO asal perkebunan rakyat akan meningkat dari 9.3 juta tahun 2013 menjadi 18.2 juta tahun 2020 dan 91 juta tahun 2050. Produksi CPO asal perkebunan negara akan meningkat dari 3 juta tahun 2013 menjadi 4.1 juta tahun 2020 dan 7.6 juta tahun 2050. Produksi CPO asal perkebunan swasta akan meningkat dari 15.2 juta tahun 2013 menjadi 21.6 juta tahun 2020 dan 65 juta tahun 2050. Hal ini berarti pangsa CPO asal
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 233
perkebunan rakyat dalam total produksi CPO nasional meningkat dari 33 persen tahun 2013 menjadi 41 persen tahun 2020 dan menjadi 55 persen tahun 2050.
6.6 Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Sawit Nasional
Peningkatan produksi CPO maupun hilirisasi menciptakan kesempatan kerja baru. Teknologi pada industri minyak sawit yang umumnya lebih padat karya (labor intensive), berarti setiap peningkatan produksi pada industri minyak sawit akan menggunakan banyak tenaga kerja.
Tabel 6.11 Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Sawit
Nasional 2013-2050
Tahun Tenaga Kerja
Perkebunan Sawit Supplier Industri Hilir Total
2013 5,005,412 500,541 96,864 5,602,818
2014 5,105,446 510,545 101,236 5,717,227
2015 5,360,718 536,072 110,629 6,007,420
2016 5,628,754 562,875 130,589 6,322,218
2017 5,910,192 591,019 133,547 6,634,758
2018 6,205,702 620,570 136,538 6,962,809
2019 6,404,409 640,441 139,578 7,184,428
2020 6,652,516 665,252 142,653 7,460,420
2025 7,893,047 789,305 219,520 8,901,872
2030 9,133,579 913,358 262,350 10,309,286
2035 10,374,111 1,037,411 288,660 11,700,181
2040 11,614,642 1,161,464 314,970 13,091,076
2045 12,855,174 1,285,517 341,280 14,481,971
2050 14,095,705 1,409,571 367,590 15,872,866
Penyerapan tenaga kerja pada industri minyak sawit nasional di proyeksikan meningkat (tabel 6.11) dari 5,6 juta tahun
2013 menjadi 7.5 juta tahun 2020, dan menjadi 15.8 juta tahun 2050. Hal ini belum memperhitungkan jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor jasa industri minyak sawit seperti di pelabuhan CPO, di perdagangan produk-produk hilir baik untuk
234 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
tujuan pasar dalam negeri maupun untuk tujuan pasar internasional. Jika diasumsikan setiap pekerja menghidupi 4 orang anggota keluarga maka jumlah penduduk yang secara langsung hidup dalam industri minyak sawit Indonesia mencapai 22.4 juta orang tahun 2013, 30 juta orang tahun 2020, dan 63.2 orang juta tahun 2050. 6.7 Proyeksi Produksi Jasa Lingkungan
Industri minyak sawit selain berkontribusi pada bidang ekonomi, juga berkontribusi pada pelestarian lingkungan hidup melalui peranannya dalam penyerapan karbondioksida (salah satu gas rumah kaca, GHG) dan menghasilkan oksigen (mekanisme fotosintesa tanaman kelapa sawit). Selain itu penggantian solar dengan biodiesel sebagai bahan energi juga dapat mengurangi emisi GHG. Berdasarkan proyeksi (Tabel 6.12) volume biomas yang berada di areal perkebunan kelapa sawit meningkat dari 627.4 juta ton tahun 2013, menjadi 902.8 juta ton tahun 2020 dan menjadi 1924.7 juta ton tahun 2050. Total pengurangan emisi CO2 yang disumbang oleh industri minyak sawit (melalui penyerapan netto CO2, penghematan emisi CO2 dari konsumsi biodiesel) meningkat dari 255.9 juta ton tahun 2013, menjadi 379.9 juta ton tahun 2020 dan menjadi 859.7 juta ton tahun 2050. Penyerapan/penghematan CO2 oleh industri minyak sawit nasional tersebut merupakan kontribusi penting dalam program pengurangan emisi GHG nasional ke depan. Jasa lingkungan lainnya adalah penyediaan oksigen (O2) untuk kehidupan di bum. Produksi oksigen dari perkebunan kelapa sawit diproyeksikan meningkat dari 14 juta ton tahun 2013, menjadi 17.4 tahun 2020, dan menjadi 38.19 juta ton pada tahun 2050.
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 235
Tabel 6.12 Proyeksi Jasa Lingkungan Pada Industri Minyak Sawit 2013-2050
Tahun Standing Biomas ¹ (Ton)
Total Pengurangan Emisi CO2 (ton) ²
Produksi Oksigen (Ton) ³
2013 627,446,962 255,950,423 14,016,738,905
2014 686,991,858 280,922,343 15,363,700,196
2015 705,093,443 291,325,721 15,605,716,193
2016 744,887,303 314,648,793 16,521,178,011
2017 776,070,351 327,660,420 16,093,131,924
2018 822,501,801 346,768,184 15,885,234,462
2019 880,408,665 370,469,338 16,890,812,571
2020 902,877,762 379,992,161 17,403,132,862
2025 1,022,537,199 455,617,329 21,700,020,312
2030 1,261,688,867 565,265,791 23,607,652,298
2035 1,379,201,121 619,600,994 28,909,394,604
2040 1,619,139,333 722,906,580 32,112,561,130
2045 1,805,188,483 804,656,541 33,904,694,298
2050 1,924,695,919 859,789,817 38,197,602,377 ¹ dihitung berdasarkan metode Chan, 2002 ² dihitung berdasarkan metode Chan, 2002 dan European Commission JRC ³ dihitung berdasarkan Henson, 1999
6.8 Proyeksi Ekspor Produk Minyak Sawit dan Pangsa
Indonesia
Volume ekspor produk industri hilir minyak sawit Indonesia di proyeksikan meningkat menuju 2050 (tabel 6.13). Ekspor minyak goreng sawit diproyeksikan dari 13.5 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 14.5 juta ton tahun 2020, dan 18.7 juta ton tahun 2050. Ekspor oleokimia juga diproyeksikan meningkat dari 1 juta ton pada tahun 2013 menjadi sekitar 1.2 juta ton tahun 2020 dan menjadi 2.3 juta ton pada tahun 2050. Ekspor margarin diproyeksikan meningkat dari 0.34 juta ton tahun 2013 menjadi 0.48 juta ton tahun 2020 dan 1 juta ton tahun 2050. Ekspor Biodiesel juga diproyeksikan meningkat dari 1.5 juta ton tahun 2013 menjadi 1.5 juta ton pada tahun 2020 dan 15.9 juta ton tahun 2050. Begitupun Ekspor CPO diproyeksikan meningkat dari 1.7 juta ton tahun 2013 menjadi 4.1 juta ton tahun 2020 dan menjadi 19.5 juta ton tahun 2050.
236 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Diproyeksikan nilai ekspor industri sawit Indonesia menuju tahun 2050 (Tabel 6.14 dan Gambar 6.10) meningkat dari U$ 24 milyar tahun 2013 menjadi U$ 35.6 milyar tahun 2020 dan menjadi U$ 225 milyar pada tahun 2050. Selain meningkatkan penerimaan devisa dari ekspor produk-produk sawit tersebut hilirisasi melalui jalur pengembangan biodiesel juga terjadi penghematan devisa dari subsitusi solar impor dengan biodiesel (tabel 6.14). Nilai penghematan devisa tersebut diproyeksikan sebesar U$ 3.742 Milyar tahun 2015 meningkat menjadi U$ 11.188 Milyar tahun 2020 dan menjadi U$ 110.267 Milyar tahun 2050. Tabel 6.13. Proyeksi Volume Ekspor produk hilir dan CPO Indonesia
2013-2050
Tahun
Volume Ekspor Industri Minyak Sawit (ton)
Minyak Goreng
Margarin Oleokimia/ Detergen
Biodiesel Hilir
Lainnya CPO
2013 13,587,940 345,000 1,037,946 1,584,143 1,712,071 1,712,071
2014 13,723,819 362,250 1,071,464 1,300,000 2,525,653 2,525,653
2015 13,861,058 380,363 1,106,042 1,500,000 2,354,908 2,354,908
2016 13,999,668 399,381 1,141,714 1,500,000 1,223,232 1,223,232
2017 14,139,665 419,350 1,178,513 1,500,000 1,683,133 1,683,133
2018 14,281,062 440,317 1,216,473 1,500,000 2,563,525 2,563,525
2019 14,423,872 462,333 1,255,631 1,500,000 3,331,953 3,331,953
2020 14,568,111 485,450 1,296,022 1,500,000 4,133,869 4,133,869
2025 15,263,298 582,149 1,476,207 8,259,917 695,910 695,910
2030 15,963,385 682,351 1,660,460 10,739,143 6,444,209 6,444,209
2035 16,663,473 782,553 1,844,714 12,038,381 11,090,760 11,090,760
2040 17,363,560 882,755 2,028,968 13,337,619 27,293,903 15,162,121
2045 18,063,647 982,957 2,213,221 14,636,857 42,482,935 14,090,612
2050 18,763,735 1,083,159 2,397,475 15,936,095 52,304,828 19,557,240
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 237
Tabel 6.14. Proyeksi Nilai Ekspor Produk hilir dan CPO Indonesia tahun 2013-2050
Tahun Nilai Ekspor (U$ juta)
Minyak Goreng
Margarin Oleokimia Biodiesel Hilir Lainnya
CPO (crude)
Total Ekspor
2013 16,964 431 1,296 2,248 2,137 1,846 24,922
2014 17,680 467 1,380 1,909 3,254 2,798 27,488
2015 18,245 501 1,456 2,257 3,100 2,656 28,214
2016 18,669 533 1,522 2,289 1,631 1,396 26,039
2017 19,155 568 1,597 2,320 2,280 1,957 27,877
2018 19,541 603 1,665 2,343 3,508 3,012 30,671
2019 19,866 637 1,729 2,369 4,589 3,915 33,105
2020 20,178 672 1,795 2,393 5,726 4,857 35,622
2025 22,508 858 2,177 13,950 1,026 877 41,397
2030 25,378 1,085 2,640 19,126 10,245 9,012 67,486
2035 28,409 1,334 3,145 22,549 18,908 17,042 91,387
2040 31,600 1,607 3,693 26,212 49,673 25,390 138,175
2045 34,953 1,902 4,283 30,114 82,205 25,541 178,998
2050 38,468 2,221 4,915 34,255 107,230 38,150 225,239
Gambar 6.10 Proyeksi Nilai Ekspor Produk Minyak Sawit 2013-2050
0
50
100
150
200
250
2013
2015
2017
2019
2021
2023
2025
2027
2029
2031
2033
2035
2037
2039
2041
2043
2045
2047
2049
Mily
ar
USD
Minyak Goreng Margarin Oleokimia
Biodiesel Hilir Lainnya CPO (crude)
238 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Tabel 6.15. Penghematan Devisa Impor Solar dengan Kebijakan Mandatori Biodiesel tahun 2013-2050
Tahun Pengurangan impor solar (ton)
Proyeksi Harga Solar Dunia U$/ton
Nilai Impor (U$ juta)
2013 1,500,000 815 1,222
2014 2,500,000 846 2,114
2015 4,262,000 878 3,742
2016 8,856,000 912 8,074
2017 9,190,000 984 9,040
2018 9,522,000 1021 9,720
2019 9,856,000 1059 10,437
2020 10,188,000 1098 11,189
2025 20,649,792 1312 27,089
2030 26,847,857 1554 41,733
2035 30,095,952 1825 54,915
2040 33,344,048 2120 70,697
2045 36,592,143 2437 89,166
2050 39,840,238 2768 110,268
Tabel 6.16. Proyeksi Pangsa Indonesia Dalam Produksi Minyak Nabati Utama
Dunia, CPO Dunia, dan Biodiesel Dunia
Tahun
Produksi CPO & Pangsa Produksi 4 nabati
utama Produksi Biodiesel
Indonesia Dunia Pangsa
Indonesia Dunia
Pangsa Indonesia
Indonesia Dunia Pangsa
Indonesia
(juta ton) (juta ton)
(%) (juta ton) (%) (juta ton) (juta ton) (%)
2015 32.37 54.92 58.94 140.00 23.12 5.76 28.34 20.33
2020 43.93 62.05 70.80 154.42 28.45 11.68 36.63 31.89
2025 56.27 78.26 71.91 181.32 31.03 28.91 56.25 51.39
2030 78.48 100.54 78.06 216.77 36.20 37.58 67.31 55.84
2035 94.35 122.82 76.82 252.22 37.41 42.13 74.23 56.76
2040 121.20 145.10 83.53 287.67 42.13 46.68 81.15 57.52
2045 141.89 167.38 84.78 323.11 43.91 51.22 88.07 58.16
2050 163.76 189.66 86.35 358.56 45.67 55.77 95.00 58.71
Dengan skenario tersebut diatas diproyeksikan pangsa Indonesia dalam produksi CPO, minyak nabati dan biodiesel dunia adalah sebagai berikut (tabel 6.16, gambar 6.11, gambar 6.12, gambar 6.13). Pangsa Indonesia dalam produksi CPO dunia meningkat dari
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 239
58.94 persen tahun 2015 menjadi 78.06 persen tahun 2030 dan menjadi 86.35 persen tahun 2050. Sementara dalam produksi minyak nabati utama dunia (minyak sawit, soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil) meningkat dari 23.12 persen tahun 2015 menjadi 36.20 persen tahun 2030 dan menjadi 45.67 persen tahun 2050. sedangkan dalam produksi biodiesel dunia pangsa Indonesia meningkat dari 20.33 persen tahun 2015 menjadi 55.84 persen tahun 2030 dan menjadi 58.71 persen tahun 2050. Dengan pangsa yang demikian Indonesia menjadi pemain terbesar dalam pasar minyak nabati global.
Gambar 6.11. Pangsa Indonesia dalam Produksi CPO Dunia
Gambar 6.12. Pangsa Indonesia dalam Produksi 4 Nabati Dunia
0
50
100
150
200
250
300
350
400
2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
Juta
To
n
CPO Indonesia ROW Dunia
0
100
200
300
400
500
600
700
800
2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
Juta
To
n
4 Nabati Indonesia ROW Dunia
240 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Gambar 6.13 Pangsa Indonesia dalam Produksi Biodiesel Dunia
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
Juta
To
n
Biodiesel Indonesia ROW Dunia
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 241
BAB VII KEBIJAKAN STRATEGIS INDUSTRI MINYAK SAWIT 2050
Untuk mencapai target/sasaran industri minyak sawit 2050 sebagaimana diuraikan terdahulu, memerlukan dukungan kebijakan pemerintah. Kebijkan strategis yang perlu diperjuangkan dan dikeluarkan pemerintah yakni kebijakan tata ruang, kebijakan pertanahan, kebijakan penyederhanaan perizinan investasi/usaha, kebijakan suku bunga, kebijakan infrastruktur, kebijakan pembiayaan, kebijakan perpajakan, kebijakan energi, kebijakan lingkungan hidup, kebijakan daerah, kebijakan penelitian dan pengembangan dan kebijakan perdagangan internasional.
Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan kebijakan strategis yang diperlukan industri minyak sawit untuk mencapai target/sasaran yang ditetapkan. Oleh karena itu dalam perumusan kebijakan beserta instrument kebijakan, delivery kebijakan, implementasi kebijakan serta evaluasi/memitoring kebijakan sejak awal didisain sebagai team work yang melibatkan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan pemerintah. 7.1 Paket Kebijakan BIG PUSH Industri Minyak Sawit Nasional
Menuju 2050 a. Uraian Masalah/Argumentasi
Dari berbagai studi industri minyak sawit Indonesia selama ini menunjukkan bahwa hanya pendekatan parsial dan tidak dilakukan peningkatan produksi CPO secara signifikan, maka hanya terjadi perubahan kecil-kecil (a bit a bit changes) dan terjadi trade-off fuel-food.
Kebijakan bea keluar/pajak ekspor CPO dan turunannya merugikan produsen CPO termasuk petani, namun diuntungkan industri hilir CPO (Manurung, 1993, Larson 1995, Tomich and Mawardi, 1996; Susila, 2004; Obado et.al. 2009). Pengembangan biodiesel domestik ( tanpa peningkatan produksi CPO yang signifikan) memang menguntungkan bagi produsen CPO dan pemerintah (pengurangan impor solar) namun berpotensi menurunkan produksi minyak goreng sawit domestik akibat perebutan CPO (Susila dan Munadi, 2008; Joni, et.al. 2012) sekalipun dilakukan kenaikan bea keluar.
Kebijakan penurunan suku bunga kredit dapat mendorong peningkatan produksi CPO dan industri hilir (minyak goreng sawit) secara serentak (Manurung, 1993; Purba, 2011), demikian juga
242 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
peningkatan infrastruktur di pertanian/pedesaan juga mendorong perkembangan industri minyak sawit (Joni, 2012). Dan secara keseluruhan peningkatan produksi CPO baik akibat hilirisasi/pengembangan biodiesel akan mendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra perkebunan kelapa sawit (PASPI, 2014) dan penurunan kemiskinan (Susila dan Munadi, 2008; Joni et.al. 2012, Rofiq 2013, PASPI, 2014).
Dengan perkataan lain, kata kunci adalah agar tidak trade-off dengan industri hilir pengembangan industri biodiesel diperlukan peningkatan perlu didukung oleh peningkatan produksi CPO yang signifikan dan tidak cukup hanya mengandalkan mekanisme pasar biasa (business as usual).
b. Kebijakan yang Diperlukan
Untuk memberikan hilirisasi (industri biodiesel, olein, oleokimia, detergen/sabun, dll) diperlukan kebijakan dorongan kuat (BIG PUSH) yakni kebijakan peningkatan produksi CPO yang cukup besar (baik melalui peningkatan produktivitas, maupun perluasan kebun). Peningkatan produksi CPO yang besar tersebut memerlukan dukungan kebijakan kepastian dan kemudahan berusaha pada perkebunan kelapa
sawit (kebijakan tata ruang, pertanahan, penyederhanaan perizinan) yang didukung kebijakan penurunan tingkat suku bunga, peningkatan infrastruktur dan pelabuhan, kebijakan R&D, dan kebijakan perpajakan. Kebijakan bea keluar CPO dan turunannya tidak diperlukan lagi jika kebijakan-kebijakan diatas telah operasional.
7.2 Kebijakan Tata Ruang
a. Uraian Masalah/Argumentasi Sampai tahun 2014, masalah tata ruang baik pada tingkat nasional
(RTRWN), provinsi (RTRWP) maupun pada level kabupaten/kota (RTRWK) belum berhasil ditetapkan pemerintah sehingga menimbulkan ketidakpastian usaha dan investasi. Undang-undang tata ruang pada dasarnya hanya mengenal fungsi kawasan lindung (hutan lindung dan konservasi) dan kawasan budidaya (budidaya kehutanan dan sektor lain), belum menjadi landasan kebijakan tata ruang Nasional maupun daerah. Sementara itu, Kementerian Kehutanan menetapkan kawasan hutan di setiap provinsi secara sepihak yakni kawasan lindung (58.3 juta ha) kawasan budidaya kehutanan (77.9 juta ha, yang eksklusif untuk hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan Areal Penggunaan Lain/ APL (53.4 juta ha).
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 243
Konflik dan tumpang tindih pemanfaatan ruang antar sektor/masyarakat termasuk kebun sawit rakyat terjadi di kawasan budidaya kehutanan (versi Kementerian Kehutanan) sehingga banyak kebun sawit rakyat yang dibongkar paksa oleh kementerian kehutanan. Disamping itu kebun sawit rakyat sulit disertifikasi karena dinilai tidak sesuai dengan kebijakan tata ruang.
Kebijakan tata ruang merupakan salah satu kebijakan publik yang diperuntukkan mendukung pembangunan nasional sebagaimana amanat UUD 1945 beserta perubahannya. Oleh karena itu, prinsip dasar/paradigma kebijakan tata ruang haruslah memfasilitasi pelaksanaan pembangunan nasional dan bukan menghambat pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan kepastian tata ruang dan penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan ruang di setiap provinsi.
b. Kebijakan yang Diperlukan
Kebijakan penetapan dan revisi tata ruang yang akomodatif pada pembangunan yang berkeadilan, berkerakyatan dan berkelanjutan
1. Menegakkan kedaulatan nasional dalam penetapan tata ruang dan bebas dari intervensi negara lain/LSM trans nasional
2. Mewujudkan kebijakan satu tata ruang nasional (National One Map Policy) yang membagi ruang atas kawasan lindung (hutan lindung dan hutan konservasi) dan kawasan budidaya/sektor.
3. Mengevaluasi SK Menteri Kehutanan tentang penetapan tata ruang kehutanan yang tumpang tindih dengan kegiatan sektoral/masyarakat di setiap provinsi
4. Melakukan perlindungan dan jaminan atas lahan perkebunan sawit rakyat.
7.3 Kebijakan Pertanahan
a. Uraian Masalah/Argumentasi Industri minyak sawit Indonesia menuju 2020, terkait pertanahan :
(1) Sejumlah perkebunan sawit negara dan swasta akan mengurus HGU baru (setelah 35 tahun HGU pertama, 25 tahun HGU perpanjangan); (2) Terdapat ribuan hektar kebun sawit negara dan swasta yang sampai tahun 2014 meskipun sudah memiliki izin lokasi dan badan usaha, namun belum memperoleh HGU; dan (3) kebun sawit rakyat belum memiliki hak atas tanah formal sehingga secara hukum dianggap illegal. Terkait dengan HGU ini berbagai permasalah yang berlarut-larut diantaranya; (1) Tumpang tindih HGU baik antar perusahaan
VI. Kebijakan Strategis Industri Minyak Sawit 2020
244 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
maupun sektor; (2) Pengurusan HGU yang rumit, lama dan mahal; (3) Adanya klaim dari masyarakat sekitar atas nama hak ulayat pada areal HGU dan atau izin lokasi yang diberikan pemerintah; (4) dalam sistem inti-plasma sering terjadi ketidak sesusaian luas areal efektif yang diberikan pemerintah (antara rencana dan kenyataan) sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan antara inti dengan calon plasma, dan (5) Ketidakpastian/kerancuan status hukum hak ulayat/masyarakat hukum adat dalam konteks NKRI.
b. Kebijakan yang Diperlukan
Untuk membangun kepastian hukum atas hak atas tanah dan menyelesaikan masalah pertanahan yang berlarut larut diperlukan terobosan kebijakan pertanahan kedepan sebagai berikut: 1. Mempercepat pemberian SHM lahan kebun sawit rakyat sebagai
layanan pemerintah; 2. Menyederhanakan pengurusan HGU yang cepat (dengan target
waktu yang definitif) dan murah; 3. Memberikan perlindungan HGU (perpanjangan/pembaruan HGU
tidak boleh tertunda/batal hanya karena klaim-klaim sepihak terkait yang belum memiliki kekuatan hukum tetap);
4. Mempertegas kebijakan Nasional tentang hak ulayat masyarakat hukum adat dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan
5. Menyediakan lahan plasma yang clean dan clear dalam kerjasama inti-plasma.
7.4 Kebijakan Perizinan Industri Minyak Sawit
a. Uraian Masalah/Argumentasi
Masalah perizinan usaha merupakan masalah yang berkepanjangan
di Indonesia yang belum terselesaikan. Dalam hal jumlah perizinan
dan lama pengurusan yang diperlukan untuk memperoleh izin-izin
usaha, peringkat Indonesia (Tabel 7.1) jauh lebih jelek dibanding
negara-negara tetangga.
Tabel 7.1. Perbandingan Peringkat Dunia antara Indonesia dengan Negara Tetangga dalam Perizinan Usaha.
Uraian Indonesia Malaysia Thailand Singapura
2010 2013 2010 2013 2010 2013 2010 2013
Jumlah perizinan usaha 88 104 88 10 57 20 6 10
Lama pengurusan izin 121 128 39 16 98 106 3 5
Sumber: Global Competitiveness Index, 2010, 2013
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 245
Peringkat Indonesia dalam hal kemudahan perizinan usaha ( jumlah izin dan lama pengurusan) terjelek dan makin jelek jika dibandingkan negara tetangga Malaysia, Thailand dan Singapura.
Dalam perkebunan kelapa sawit masalah perizinan usaha ini
mencakup: (1) Banyaknya izin-izin yang harus diurus (sekitar 54 jenis
izin) dan tumpang tindih dari berbagai lembaga pemerintah pusat dan
daerah, (2) Waktu yang diperlukan dalam pengurusan izin sangat
lama; dan (3) Biaya pengurusan izin yang mahal. Masalah perizinan
tersebut selain menimbulkan biaya tinggi juga mengakibatkan
opportunity loss. Dari 54 jenis izin perkebunan kelapa sawit seharusnya
dapat disederhanakan dan dunia usaha hanya diwajibkan memiliki :
(1) legalitas badan usaha, (2) izin usaha perkebunan termasuk
didalamnya HGU dan (3) Izin yang terkait kewajiban perpajakan.
Sedangkan izin-izin yang merupakan bagian dari ketiga kelompok
diatas, izin-izin yang terkait dengan hak warga negara/ kewajiban
pemerintah/negara sebagaimana ditetapkan undang-undang, tidak
diperlukan/dihapus.
a. Kebijakan yang Diperlukan
Untuk mendukung percepatan tercapainya sasaran industri minyak
sawit 2020, diperlukan revolusi perizinan usaha perkebunan yakni:
1. Memberikan surat ijin perkebunan sawit rakyat secara gratis dan
merupakan layanan pemerintah
2. Menyederhanaan jenis-jenis perizinan menjadi hanya perizinan :
Legalitas badan usaha, izin usaha perkebunan dan HGU, dan
legalitas kewajiban perpajakan.
3. Menyelenggarakan perizinan secara on-line, cepat, mudah, murah
dengan pembayaran biaya perizinan (PNBP) secara non-tunai.
4. Mengevaluasi regulasi sektoral dan Peraturan Daerah yang
tumpang tindih/ menghambat perkebunan kelapa sawit dan
industri hilir.
7.5 Kebijakan Suku Bunga Kredit
a. Uraian Masalah/Argumentasi Industri persawitan Indonesia menuju 2020 diproyeksikan dan
ditargetkan untuk meningkatkan produktivitas CPO dan hilirisasi. Kedua hal tersebut merupakan kegiatan ekonomi yang padat modal (capital intensive). Oleh karena itu, ketersediaan modal dengan tingkat suku bunga yang kompetitive sangat menentukan keberhasilannya.
246 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Masalahnya suku bunga kredit di Indonesia terlalu tinggi dan tidak kompetitive (tabel 7.2) dengan negara tetangga produsen CPO (Malaysia, Thailand) dan negara tujuan utama ekspor CPO (India dan Cina).
Tabel 7.2. Perbandingan Landing Rate di Indonesia dengan
Negara-negara Produsen CPO dan Negara Tujuan Ekspor (%)
Negara 2008 2009 2010 2011 2012
Indonesia 13.6 14.5 13.3 12.4 11.8 Thailand 7.0 6.0 5.9 6.9 7.1 Malaysia 6.1 5.1 5 4.9 4.8
Philipina 8.8 8.6 7.7 6.7 5.7 Singapura 5.4 5.4 5.4 5.4 5.4 India 13.3 12.2 8.3 10.2 10.6
China 5.3 5.3 5.8 6.6 6.0
Sumber: World Bank Indicator (2008-2012)
Selain itu, skim perkreditan dari perbankkan yang terjangkau petani sawit juga tidak tersedia. Kredit revitalisasi perkebunan yang ada selain suku bunga kredit terlalu tinggi juga menuntut persyaratan yang tidak mungkin dipenuhi oleh petani sawit.
Tingginya suku bunga kredit di Indonesia menghambat replanting
kebun sawit rakyat, peningkatan produktivitas dan hilirisasi yang dipromosikan kedepan. Dan jika kebijakan suku bunga tinggi yang selama ini dipertahankan maka dikhawatirkan hilirisasi akan berkembang di Malaysia, Thailand, India dan Cina sebagaimana terjadi beberapa tahun terakhir.
Hasil studi (Manurung, 1993; Purba, 2011, Joni; 2012, PASPI, 2014)
mengungkapkan bahwa penurunan suku bunga kredit akan
berdampak pada peningkatan produksi CPO, mendorong hilirisasi
domestik, memacu pertumbuhan ekonomi daerah pedesaan dan
mengurangi kemiskinan.
b. Kebijakan yang Diperlukan
Usulan kebijakan untuk pembiayaan dan suku bunga kredit : 1. Menyediakan skim pembiayaan/perkreditan untuk perkebunan
sawit rakyat yang murah (subsidi bunga, dengan grace periode yang wajar) dan mudah dijangkau petani sawit (penjaminan kredit oleh pemerintah).
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 247
2. Menurunkan tingkat suku bunga ke tingkat suku bunga yang kompetitif dengan negara tetangga maupun negara tujuan ekspor minyak sawit, serta tingkat suku bunga yang membuat investasi lebih kompetitif daripada menabung (saving).
3. Mengembangkan kelembagaan keuangan non bank untuk menyediakan pembiayaan dan pengelolaan keuangan/asset bagi petani sawit rakyat.
7.6 Kebijakan Infrastruktur dan Pelabuhan
a. Uraian Msalah/Argumentasi
Secara umum, ketersediaan dan kualitas infrastruktur di Indonesia
masih dibawah negara tetangga (Singapura, Malaysia, Thailand Cina)
kecuali India (Tabel 7.3) Infrastruktur jalan dan pelabuhan laut di
Indonesia masih relative rendah.
Tabel 7.3. Perbandingan Indeks Ketersediaan dan Kualitas Infrastruktur Indonesia Dibandingkan Negara lain pada Tahun 2013
infrastruktur Indonesia Singapura Malaysia Thailand Cina India
Jalan 3.7 6.2 5.4 4.9 4.5 3.6
Kereta Api 3.5 5.6 4.8 2.6 4.7 4.8
Transportasi Udara
4.5 6.8 5.8 5.5 4.5 4.8
Pelabuhan Laut
3.9 6.8 5.4 4.5 4.5 4.2
Listrik 4.3 6.7 5.8 5.2 5.1 3.2
Skor rataan 4 6.4 5.5 4.5 4.3 3.9
Sumber: Global Competetiveness Index, 2013 (skor tertinggi 7.0)
Untuk kebutuhan industri minyak sawit Indonesia kedepan infrastruktur jalan (jalan desa, jalan kecamatan, jalan kabupaten, jalan provinsi dan jalan menuju ke pelabuhan) serta pelabuhan dan tangki timbun CPO memegang peranan penting baik untuk menjamin aliran input ke perkebunan kelapa sawit diseluruh pelosok maupun untuk mengangkut TBS dari kebun ke PKS serta pengangkatan CPO ke pelabuhan untuk distribusikan ke sentra konsumen domestik dan internasional.
248 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Sampai tahun 2013 terdapat beberapa pelabuhan CPO yang telah oprasional di Indonesia seperti Belawan, Kuala Tanjung, Teluk Bayur, Dumai, Tanjung periuk, Tanjung Perak, Surabaya, dan lain-lain. Dan beberapa pelabuhan CPO baru sedang dikembangkan seperti Tanjung Api-api (Sumatera Selatan), Maloy (Kalimantan Timur). Selain itu pada beberapa daerah sejumlah peraturan daerah melarang pengangkutan TBS dan CPO melaui jalan umum yang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
Menuju tahun 2020, produksi CPO Indonesia diproyeksikan akan meningkat sekitar 2 kali lipat dari produksi tahun 2013. Hal ini memerlukan peningkatan kapasitas pelabuhan CPO setidaknya 2 kali lipat dari posisi 2013 dan mengikuti penyebaran sentra-sentra produksi CPO baik yang eksisting maupun daerah sentra baru. Peningkatan ketersediaan infrastruktur pada industry persawitan akan meningkatkan produksi CPO, hilirisasi, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan (Joni, et.al. 2013).
b. Kebijkan yang diperlukan
Untuk memfasilitasi peningkatan kegiatan industri minyak sawit menuju tahun 2020, memerlukan kebijakan pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan CPO antara lain,
1. Memperluas dan meningkatkan kapasitas/kualitas jaringan jalan dari sentra produksi ke pelabuhan CPO serta pembangunan transportasi kereta api dan jalan raya toll/haighway pada pulau sawit (Sumatera , Kalimantan dan Sulawesi).
2. Memperluas dan meningkatkan kapasitas/kualitas pelabuhan ekspor CPO seperti Belawan, Kuala Tanjung, Teluk Bayur, Dumai, Tanjung Periuk, Tanjung Perak, Tanjung Api-api (Sumatera Selatan), Maloy (Kalimantan Timur), Kalimantan Barat dan Sulawesi: yang terintegrasi dengan kawasan industri hilir CPO serta didukung ketersediaan energi/listrik/gas.
3. Meningkatkan kualitas pelayanan secara cepat/murah, online, non tunai dan terintegrasi (antara tangki timbun CPO, pompa CPO, sistem transportasi laut, jasa kepabeanan/ administrasi ekspor).
Menghapus peraturan-peraturan daerah yang melarang transportasi TBS dan CPO melintasi jalan raya umum.
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 249
7.7 Kebijakan Subsitusi Solar dengan Biodiesel (Mandatory Biodiesel)
a. Uraian Maslah/Argumentasi
Konsumsi solar Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi. Kebutuhan konsumsi solar tahun 2015 sekitar 42.62 juta kilo liter akan meningkat menjadi 50.94 juta kilo liter tahun 2020. Untuk memenuhi kebutuhan solar tersebut Indonesia telah tergantung pada impor dan telah menimbulkan guncangan pada neraca perdagangan. Selain itu konsumsi solar menghasilkan emisi GHG yang cukup besar. Untuk mengurangi ketergantungan pada solar impor, pemerintah telah mengeluarkan permen ESDM No. 32/2008, 25/2013 dan 20/2014 yang dikenal dengan kebijakan mandatori, dengan secara bertahap menuju B30 tahun 2025. Namun realisasi tahun 2013 baru sekitar 4 persen untuk transportasi. Target dan realisasi
mandatori biodiesel tersebut dinilai terlalu rendah mengingat dampak impor solar bagi perekonomian begitu besar. Selain itu, penetapan harga biodiesel (berdasarkan MOPS/Mean Oil Platts Singapore Solar) dinilai kurang berdasar dan tidak kompetetif dibanding dari harga internasional sehinggga mendorong sebagian besar biodiesel diekspor. Hasil simulasi kebijakan pengembangan biodiesel di Indonesia (Susila dan Munadi, 2008; Joni, 2012; Joni et.al 2013; Oktaviani,et.al 2013) mengungkapkan bahwa pengembangan biodiesel memacu pertumbuhan ekonomi nasional, ekonomi daerah, peningkatan produksi CPO, dan menurunkan kemiskinan. b. Kebijakan yang Diperlukan
Diperlukan kebijakan yang revolusioner mandatory biodiesel (subsitusi solar dengan biodiesel) sebagai berikut: 1. Meningkatkan dan mempercepat implementasi mandatori
biodiesel menjadi B20 tahun 2015-2020, B30 (2021-2030) dan B40 setelah tahun 2031 dengan penerapan insentif dan disinsentif;
2. Menetapkan kebijakan harga biodiesel berdasarkan harga paritas biodiesel internasional semisal MOPS Biodiesel, ICIS atau berdasarkan biaya produksi ditambah margin (ditetapkan setingkat PP),
250 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
3. Mendesentralisasi mandatori biodiesel sedemikian rupa sehingga kebijakan dan realisasi mandatori biodiesel tidak harus sama untuk setiap provinsi
4. Memberikan insentif perpajakan untuk pengembangan biodiesel,
5. Mengeluarkan kebijakan afirmatif bagi industri otomotif untuk memproduksi kendaraan (FFV/Flexible Fuel Vehicle) dengan bahan
bakar nabati sesuai dengan kebijakan mandatori dan SNI, 6. Mengurangi subsidi BBM fosil dan menggunakan sebagian dana
pengurangan subsidi tersebut untuk mendukung pelaksanaan mandatori biodiesel,
7. Memberikan insentif bagi pengembangan industri methanol, dan 8. Menjamin pasokan gas bagi industri methanol dan biofuel.
7.8 Kebijakan Perdagangan Internasional a. Uraian Masalah/Argumentasi
Kebijakan pembatasan ekspor minyak sawit dengan berbagai instrument (quota, pajak ekspor/bea keluar) telah berlangsung hampir 40 tahun. Semula kebijakan pembatasan ekspor minyak sawit dimaksudkan untuk mengendalikan harga minyak goreng domestik, kemudian bergeser untuk tujuan penerimaan negara dan hilirisasi. Kebijakan yang terakhir adalah kebijakan bea keluar bagi CPO dan produk turunannya (PMK; 128/2011). Kebijakan bea keluar tersebut besarnya bea keluar hanya ditetapkan berdasarkan harga CPO internasional (juga menetapkan batas bawah harga CPO tidak dikenakan bea keluar) yang dikenal dengan Harga Patokan Ekspor (HPE). Berbagai studi (Manurung, 1993 Tomich dan Mawardi, 1995; Larson, 1996; Susila, 2004; Zulkifli, 2000; Obado, et.al. 2009) mengungkapkan bahwa kebijakan pembatasan ekspor tersebut secara netto merugikan Indonesia. Kebijakan tersebut menguntungkan industri hilir dan penerimaan pemerintah, akan tetapi merugikan perkebunan kelapa sawit. Jika kebijakan tersebut disertai dengan penurunan tingkat suku bunga kredit akan dapat mengkompensasi kerugian perkebunan kelapa sawit tanpa merugikan industri hilir, pemerintah dan konsumen (PASPI,
2014). Selain itu penetapan tarif bea keluar hanya berdasarkan harga CPO internasional dinilai juga kurang tepat karena tidak memperhitungkan tarif bea keluar negara produsen CPO lainnya,
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 251
tarif impor CPO negara pengimpor, pergerakan kurs rupiah maupun pergerakan kurs mata uang negara-negara pengimpor CPO utama. Hal ini menyebabkan CPO Indonesia kalah bersaing dengan CPO Malaysia dan minyak nabati lainnya. b. Kebijakan yang Diperlukan 1. Melanjutkan Kebijakan BK untuk menjamin pasokan bahan baku
bagi industri hilir dalam negeri dengan beberapa perbaikan :
a. Penetapan tarif BK hendaklah fleksibel tidak hanya
mempertimbangkan harga CPO dunia, tetapi juga
memperhitungkan tarif BK negara pesaing, tarif impor CPO dan
turunannya negara importir utama (EU, India, China)
pergerakan kurs rupiah, pergerakan kurs mata uang negara
pesaing (ringgit) dan pergerakan kurs mata uang negara
importir utama (Euro, Yuan, Rupee).
b. Tarif BK makin menurun dengan makin ke hilir produk industri
hilir yang diekspor berdasarkan HS code yang disempurnakan.
c. Penerimaan pemerintah dari BK sebagian digunakan untuk
dana riset industri minyak sawit, subsidi/ pembiayaan
replanting kebun sawit rakyat dan pembangunan jalan kebun
sawit rakyat serta promosi dan positive campaign.
2. Memfungsikan Kedutaan Besar/perwakilan Indonesia di seluruh
negara sebagai “marketing” industri minyak sawit Indonesia
termasuk monitoring kebijakan negara pengimpor/ produsen
minyak nabati
3. Mengeluarkan kebijakan berbagai bentuk retaliasi perdagangan
kepada negara-negara: (a) yang menuduh dumping atau isu lain
secara sepihak yang tidak didukung oleh fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan dan (b) yang menerapkan berbagai bentuk
unfair trade yang merugikan Indonesia.
4. Melakukan diplomasi internasional untuk mendorong
tanggungjawab bersama dalam pelestarian hutan global dimana
setiap Negara-negara di dunia (tidak hanya Indonesia dan Negara
tropis lainnya) harus memiliki luas hutan minimal 30% dari arable
land.
252 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
7.9 Kebijakan Perpajakan
a. Uraian Masalah/Argumentasi
Sektor pertanian termasuk didalamnya perkebunan kelapa sawit merupakan sektor yang sangat penting untuk ketahanan pangan nasional, pembangunan daerah pedesaan, pengurangan kemiskinan dan pelestarian lingkungan hidup. Perkebunan kelapa sawit selain menghasilkan barang-barang ekonomi juga menghasilkan eksternalitas positif (jasa lingkungan) yang diberikan gratis kepada masyarakat. Oleh karena itu pertanian/perkebunan seharusnya memperoleh subsidi dan tidak dibebebankan berbagai pajak. Kebijakan perpajakan selama ini masih diutamakan untuk memaksimumkan penerimaan negara. Dengan objektif seperti itu, maka perluasan objek pajak pada mata rantai industri minyak sawit (juga industri lain) menjadi strategi utama dan masalah dampaknya terhadap kinerja pembangunan ekonomi kurang memperoleh perhatian. Perilaku pemerintah daerah dalam menarik kembali/pajak daerah untuk PAD merupakan bagian dari paradigma tersebut. Selain itu, penarikan PPN pada barang-barang modal (seperti pupuk bibit, pestisida, alat dan mesin), penarikan pajak (PBB) yang lebih besar pada perkebunan kelapa sawit produktif (dibandingkan dengan lahan yang tidak diusahai)merupakan kontra produktif bagi pembangunan ekonomi. Penarikan PPN pada setiap mata rantai pasok persawitan
melalui mekanisme transaksi antar mata rantai, dimana PPn dihulu (pupuk, pestisida, alat-alat dan mesin-mesin) menjadi bagian biaya dihilir (double margina lization) akan menyebabkan biaya pokok akhir menjadi tinggi (high cost) dan menurunkan
kemampuan bersaing. Dimasa yang akan datang kebijakan perpajakan perlu lebih rasional dan difungsikan sebagai instrument reward and
punishment pembangunan, tanpa mengurangi upaya mengoptimalkan penerimaan negara. Untuk penerimaan pemerintah dari pajak, hendaknya pemerintah lebih fokus pada peningkatan tax rate pendapatan (PPh) atau sales taxes (pajak konsumen akhir) dan menghapus PPn barang modal, barang antara (intermediate) yang masih diolah kelebih hilir, untuk
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 253
mendorong dan memberhasilkan hilirisasi didalam negeri. Hasil studi (Drajat, 2003; Hutagaol, 2004); Drajat, et.al. 2005) mengungkapkan bahwa penghapusan PPn diperkebunan akan meningkatkan produksi, ekspor, dan nilai tambah dari perkebunan itu sendiri. Pertumbuhan nilai tambah perkebunan akibat dari penghapusan PPn lebih tinggi daripada tarif PPn yang dihapus (better -off). b. Kebijakan yang Diperlukan
Usulan kebijakan dalam perpajakan ini adalah : 1. Menghapus PPn (PPn nol persen) barang modal (seperti pupuk
bibit, pestisida, alat dan mesin), barang antara yang akan diolah lebih lanjut didalam negeri (hilirisasi). Untuk penerimaan pemerintah sebaiknya dari sales tax (pajak konsumen akhir) dan PPh.
2. Meninjau kembali kebijakan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang membebankan PBB lebih besar pada perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan lahan tidak produktif.
3. Memberikan insentif pajak pada kegiatan perkebunan kelapa sawit yang pioner pada daerah tertinggal/pelosok, dan
4. Memberikan insentif pajak untuk kegiatan riset dan pengembangan, pendidikan/training, CSR dan promosi positive campaign .
5. Memberikan insentif pajak untuk industri hilir tanpa membedakan nilai investasinya.
7.10 Kebijakan Riset dan Pengembangan a. Uraian masalah/Argumentasi Sampai tahun 2013, industri minyak sawit Indonesia khususnya perkebunan kelapa sawit secara ekonomi masih berada pada fase awal pembangunan, yakni produksi CPO masih bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya alam (lahan, agro klimat) dan sumberdaya manusia (SDM) yang didominasi belum terampil (unskill labor) yang dikenal dengan fase factor-driven. Dalam periode 2015-2020, industri minyak sawit Indonesia ditargetkan (by design) untuk bergerak lebih maju (naik kelas) kepada industri minyak sawit yang memanfaatkan modal (capital) dengan SDM yang lebih terampil (skilled labor) yakni fase capital-driven. Pada fase ini peningkatan produksi CPO akan dihasilkan dari peningkatan produktivitas CPO perhektar.
Fase ini diharapkan akan dicapai dalam 10 tahun kedepan (2015-2025). Berikutnya (2026-2050) industri minyak sawit indonesia
254 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
ditargetkan akan lebih intensif memanfaatkan ilmu pengetahuan (knowledge) yang didukung oleh SDM yang kreatif (talent), yang menghasilkan kenaikan produktivitas total (total productivity) dan bernilai tambah tinggi (high value added). Kunci keberhasilan fase capital-driven dan terutama innovation-driven adalah kemampuan menghasilkan invention (temuan baru) dan inovasi (innovation=new ide+ execution). Untuk menghasilkan invention (pada semua aspek industri minyak sawit) diperlukan R&D yang intensive pada lembaga-lembaga R&D. Sedangkan untuk merubah invention menjadi innovation memerlukan SDM yang kreatif (talent) pada level perusahaan
dalam industri minyak sawit Indonesia. Permasalahan R&D pada industri minyak sawit Indonesia selama ini (sampai tahun 2013), diantaranya adalah: (1) Banyak lembaga R&D yang melakukan riset dibidang persawitan (lembaga riset pemerintah, perguruan tinggi) namun berjalan sendiri-sendiri dan tidak ada lembaga yang mengkoordinasi/memimpin; (2) Kegiatan penelitian dibidang industri minyak sawit dari masing-masing lembaga riset tersebut tidak terkoordinir, tidak sinergis dan tidak terkonvergensi pada pemecahan masalah-masalah utama dalam industri minyak sawit; (3) Hasil-hasil penelitian tersebut (invention) sebagian besar tersimpan dalam perpustakaan dan tidak banyak yang menjadi inovasi karena kurangnya mekanisme delivery/desiminasi invention dari lembaga riset ke perusahaan; dan (4) Kurangnya
dukungan dana baik dari dana pemerintah maupun dari dunia industri minyak sawit. b. Kebijakan yang Diperlukan
Mengingat inovasi merupakan tulang punggung industri minyak sawit Indonesia menuju 2020 khususnya dalam peningkatan produktivitas CPO dan hilirisasi, diperlukan kebijakan dibidang R&D sebagai berikut: 1. Mengkoordinasi dan mensinergikan kegiatan riset di bidang
industri minyak sawit agar secara konvergen melahirkan invention-invention yang urgen, dan signifikan dalam memajukan industri minyak sawit;
2. Mengembangkan kelembagaan/sistem (pusat informasi dan desiminasi), mekanisme transaksi/desiminasi invention-invention
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 255
dari lembaga-lembaga riset kepada pengguna langsung (perkebunan kelapa sawit dan industri hilir).
3. Mengembangkan kemampuan melakukan innovation pada setiap perusahaan dalam industri minyak sawit dan
4. Menyediakan dana yang memadai baik dari pemerintah maupun dari dunia usaha industri minyak sawit untuk pelaksanaan R&D.
5. Mengembangkan riset aplikasi biofuel untuk kendaraan bermotor, alat berat, pembangkit sampai B100.
7.11 Kebijakan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)
a. Uraian masalah/Argumentasi Perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari sektor pertanian, secara internasional telah diakui memiliki multifungsi (multifunctionality) dalam ekosistem yakni fungsi ekonomi, fungsi sosial dan fungsi ekologis. Dan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang diadopsi akhir-akhir ini juga
memiliki/berakar pada ketiga aspek tersebut, atau sering disebut 3P (Profit, People, Planet). Dengan kata lain secara inheren (built-in) perkebunan kelapa sawit adalah pembangunan berkelanjutan dan telah terbukti sejak 100 tahun lalu sampai sekarang. Secara ekonomi peranan industri persawitan sudah lama diakui. Sementara, secara sosial perkebunan kelapa sawit merupakan bagian penting dari penciptaan kesempatan kerja, pembangunan pedesaan dan pengurangan kemiskinan (Susila, 2004, 2008., Joni, 2012., Rofiq, 2013., World Growth, 2009, 2011., PASPI, 2014).
Sedangkan secara ekologis perkebunan kelapa sawit memiliki fungsi ekologis seperti fungsi hutan (Henson, 1999., Harahap et.al, 2005) dan memenuhi definisi hutan (Lund, 2005, 2012.,FAO, 2010) sehingga perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari upaya restorasi ekosistem melalui peningkatan biomas dan stok karbon (Chan, 2002), bahkan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut mengurangi emisi gas rumah kaca (Melling, et.al, 2006, 2007., Germer and Sauaerborn, 2008., Sabiham, et.al 2012., Sabiham, 2013). Fungsi perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari fungsi restorasi ekosistem dibuktikan pula oleh hasil citra satelit (Gunarso et.al., 2012) yang mengungkapkan bahwa asal usul lahan perkebunan sawit di Indonesia sebagian besar (97%) adalah dari berbagai jenis degraded land dan low carbon. Selain itu
penggantian solar fosil dengan biodiesel (FAME) dapat menurunkan emisi sampai (62%) (European Commission Joint Research Centre 2011). Oleh karena itu kebijakan mandatori biodiesel yang ditempuh pemerintah sangat tepat baik secara ekonomi, sosial dan ekologis. Agar
256 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
tidak terjadi trade off fuel-food dalam mandatory biodiesel harus dilakukan peningktan produksi CPO yang memadai (PASPI., 2014). Oleh karena itu moratorium (Inpres No.6/2013) harus dicabut, karena selain menghambat pengembangan perkebunan juga menjadi “alat” bagi intervensi asing dalam mencampuri urusan domestic Indonesia. Tentu saja tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan akan menjadi perhatian penting kedepan. Oleh karena itu program sertifikasi keberlanjutan (ISPO, RSPO dll) tetap dilanjutkan kedepan.
b. Kebijakan yang Diperlukan 1. Menegakkan kedaulatan Indonesia dalam pengelolaan
pembangunan dan lingkungan hidup yang berkelanjutan. a) Menolak intervensi asing dalam pengelolaan pembangunan dan
lingkungan hidup Indonesia. b) Menolak donasi asing yang dapat mengurangi kedaulatan
Indonesia dalam mengelola pembangunan dan lingkungan hidup.
2. Mendorong ekspansi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan a) Mencabut moratorium (Inpres No.6/ 2013) b) Mengalokasikan lahan terdegradasi (degraded land) untuk
perkebunan kelapa sawit sebagai upaya restorasi ekosistem c) Mengimplentasikan tata kelola perkebunan berkelanjutan dan
mempercepat sertifikasi ISPO atau sertifikasi berkelanjutan lainnya seperti RSPO pada perkebunan kelapa sawit dan industri hilir.
d) Menyediakan pembiayaan sertifikasi ISPO bagi perkebunan rakyat.
3. Mempromosikan/mengakui fungsi ekonomi,sosial dan ekologis perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari restorasi ekosistem
7.12 Kebijakan Kelembagaan dan Organisasi Ekonomi Petani Sawit
a. Uraian masalah/Argumentasi Pada kurun waktu 2015 – 2020 mendatang luas areal perkebunan sawit rakyat diperkirakan akan mencapai 7 juta ha atau 51% dari total luas perkebunanan sawit nasional. Hal ini menunjukan perkebunan sawit rakyat akan mendominasi perkebunan sawit nasional. Selama ini masing-masing petani bergerak sendiri-sendiri baik dalam pengadaan pupuk, bibit, pencarian sumber modal, pemanenan dan pengangkutan TBS. Permentan No.98/2013 telah membuka kesempatan kepada koperasi petani untuk ikut dalam pengusahaan PKS bersama-sama
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050 257
dengan perusahaan swasta yang bergerak dibidang PKS namun tidak memiliki kebun.Oleh sebab itu petani perlu mengembangkan organisasi ekonominya melalui koperasi perkebunan sawit rakyat agar dapat memenfaatkan skala ekonomi (economic of scale) baik dalam pengadaan sarana produksi, permodalan, pemanenan dan pengangkutan TBS. Bahkan melalui koperasinya (Puskop, Inkop) para petani sawit dapat membeli saham-saham (di pasar modal) perusahaan pabrik pupuk, maupun perusahaan industri hilir minyak sawit. b. Kebijakan yang Diperlukan 1. Memfasilitasi para petani kebun sawit sehamparan untuk
membentuk koperasi petani sawit dengan skala yang ekonomis baik pada tingkat koperasi primer, koperasi sekunder (pusat koperasi) maupun induk koperasi.
2. Menyediakan permodalan murah bagi petani sawit / koperasinya untuk membiayai replanting maupun kegiatan bisnis koperasinya
3. Meningkatkan kemampuan managerial petani sawit dalam mengelola koperasinya maupun membangun networking bisnis ke hulu dan ke hilir
4. Mengembangkan lembaga keuangan non bank sebagai penyedia modal bagi anggota koperasi petani sawit
5. Memberikan insentif perpajakan kepada koperasi dan anggotanya. 6. Mengembalikan sebagian Bea Keluar yang telah dipungut
pemerintah kepada petani sawit melalui pembangunan sarana prasarana kebun sawit rakyat.
258 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
VIII. Penutup 259
BAB VIII
PENUTUP
Cetak biru dan roadmap Industri minyak sawit Indonesia menuju 2050 yang telah disusun dalam buku ini jika direalisasikan dengan baik akan menempatkan Indonesia menjadi pemain utama dalam pasar minyak nabati global khususnya pada pasar minyak sawit serta turunannya. Hal ini tercermin dari besarnya pangsa Inonesia dalam produksi CPO maupun dalam produksi minyak nabati global maupun pada produksi biodiesel global.
Bagi perekonomian Indonesia kontribusi Industri minyak sawit baik dalam pertumbuhan ekonomi, pembangunan pedesaan, pengurangan kemiskinan dan pelestarian lingkungan hidup, diproyeksikan makin meningkat dan makin berkualitas serta makin berkelanjutan. Peningkatan produksi CPO dari sekitar 26 juta ton tahun 2013 menjadi sekitar 160 juta ton menuju tahun 2050 yang disertai dengan perluasan hilirisasi didalam negeri Akan menyerap banyak tenaga kerja, memutar perekonomian daerah dan nasional melalui multiplier output, pendapatan,nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja. Demikian juga nilai ekspor yang dihasilkan diproyeksikan naik dari sekitar $21 milayar tahun 2013 menjadi $ 230 milyar menuju tahun 2050.
Selain itu hilirisasi dengan pengembangan biodiesel secara revolusioner akan memberi manfaat ganda bagi Indonesia maupun bagi masyarakat internasional. Produksi biodiesel yang diproyeksikan menuju tahun 2050 dapat mensubsitusi konsumsi solar Indonesia sampai 50 persen (B50), sehingga akan mengurangi terkurasnya devisa untuk mengimpor solar. Bagi masyarakat dunia, keberhasilan Indonesia dalam menghasilkan biodiesel akan menyediakan biodiesel sehingga akan mengurangi masalah trade-off fuel-food yang dihadapi banyak negara khususnya di negara-negara maju
Tentu saja, subsitusi solar (petrofuel) dengan biodisel juga akan mengurangi emisis GHG yang terus meningkat di setiap negara. Tidak hanya itu, melalui perkebunan kelapa sawit, emisi karbondioksida yang terus meningkat diberbagai negara, sebagian akan diserap dan disimpan oleh perkebunan kelapa sawit. Dan menghasilkan oksigen yang gratis bagi masyarakat dunia.
260 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia 2050 ini masih bersifat agregat/ nasional. Untuk lebih realistis dan implementatif, perlu di review secara periodic dan diterjemahkan pada level daerah (provinsi, kabupaten), level industri ( industri pembibitan, industri olein, industri oleokimia dan turunannya, industri detergen/ sabun, industri biodiesel) dan selanjutnya pada level perusahaan dalam bentuk rencana tahunan. Demikian juga aspek kebijakan strategis industri minyak sawit nasional perlu didisain lebih implementatif temasuk instrumen, lembaga eksekutor, sinergitas kebijakan, serta proses dan time skedul delivery-nya.
VIII. Penutup 261
DAFTAR PUSTAKA
ADB, 2004: Agriculture and Rural Development Strategy Study. Asian Development Bank and Ministry Agriculture of Indonesia.
ADB, 2006: Indonesia Strategic Vision of Agriculture and Rural Development.
Alexandratos, N. 2009. World Food and Agriculture To 2030/2050. Expert Meeting on How Feed The World in 2050. FAO.
Amzul, R. 2011: The Role Palm Oil Industry in Indonesia Economy and Its Export Competitiveness. PhD Dissertation. University Of Tokyo.
Badan Pusat Statistik. 1990-2013. Statistik Indonesia. BPS. Jakarta. Badrun, M. 2010: Lintasan 30 tahun Pengembangan Kelapa Sawit. Direktur
Jendral Perkebunan, Kementerian Pertanian RI. Balisacan, A. M., E. M. Pernia and A. Asra. 2003: Revisiting Growth and
Poverty Reduction in Indonesia. What Do Subnational Data Show? Bulletion of Indonesian Economic Studies. 39 (3): 331-53.
Bapenas, 2013. Kinerja Pembangunan 2004-2011. Bapenas Jakarta. Barlow, C. Zahara z. and R. Gondowarsito, 2003: Indonesian Palm Oil
Industry: Oil Palm Industry Economic Journal Vol: 3(1): P 8-15. BPPT. 2013. Outlook Energi Indonesia 2013; Pusat Teknologi
Pengembangan Sumberdaya Energi BPPT, Jakarta. Brunskill, A. 2012. Current and Future Issues and Challenges for The
Oleochemichal Industry. LMC International. London Chan, K. W. 2002: Oil Palm Carbon Sequestration and Carbon Accounting:
Our Global Strength. MPOA. Corley, R.H.V, 2008. How Much Palm Oil Do We Need? Environmental
Science and Policy 12 (2009): 134-139 Dradjat, B. R. Suprihatin, Herman, K. Anwar. 2005. Dampak Kebijakan
Pajak Pertambahan Nilai Pada Kinerja Komoditas Primer Perkebunana Analisis Kebijakan Pertanian 3 (2): 106-132.
Drescher A, R. Glaser, C. Richert, K. Nippes. 2011. Demand Key Nutriments NPK in The Year 2050. Department of Geography of Freiburg.
Energi Information Administration. 2008. World Average Crude Oil Price: Actual 2968-2011 and Forcast.
EPA. 2005. Average Carbon Dioxide Emissions Resulting from Gasoline an Diesel Fuel.
Fahmudin, A. and I. G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Badan Litbang. Departemen Pertanian
Daftar Pustaka
262 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Fairhurst. T. and R. Hardter, 2004: Oil Palm: Management for Large and Sustainable Yields. Oxford Graphic Printers, Pte Ltd.
FAO. 2012. World Agricultural: Towards 2030/2050. The 2012 Revision.
FAO. Rome. Italy Gerbens-Leenes, Hoekstra P. Van der Meer, T. 2009: The Water Footprint
of Energi From Biomass: A Quantitative Assessment and Consequences of an Increasing Share of Bioenergi Supply. Ecological Economics 68:4: 1052-1060.
Germer, J. and J. Sauaerborn, 2008. Estimation of The Impact of Palm Oil Plantation on GHG Balance. Environ & Development Sustainability. 10: 697-716
Goenadi, 2008: Prospective on Indonesian Palm Oil Production. Paper Presented on The International Food and Agriculture Policy Council. Spring 2008 Meeting. Bogor
Gunarso, P, M. E. Hartoyo, Y. Nugroho, N.I. Ristiana, R. S. Maharani. 2012: Analisis Penutupan Lahan Dan Perubahannya Menjadi Kebun Kelpa Sawit Di Indonesia Tahun 1990-2010.
Harahap, I. Y, Y Pangaribuan, H. H Siregar, E Listia. 2005: Lingkungan Fisik Perkebunan Kelapa Sawit. PPKS. Medan
Henson, I. E. 1999. Comparative Ecophysiology of Oil Palm and Tropical Rain Forest. Oil and Environment. A Malaysian Prespective. Kuala Lumpur
Hirano, T. Jauhiainen, J. Inoue, T. and Takahasi, H. 2009. Control on Carbon Balance of Tropical Peat Lands. Ecosystem. 12: 873-887
Hirano, T. Segah, H.; Harada, T., Limin, S., June, T., Hirata, R. And Osaki, M. 2007. Carbondioxide Balance of Tropical Peat Swamp Forest in Kalimantan. Indonesia. Global Change Biology. 13: 412-435
Huylenbroeck, G. V.; V. Vandermulen, E. Mette Penningen, A. Verspecht. 2007: Multifungtionality of Agriculture: A Review Definition, Evidence and Instruments. Living Review in Landscape Research 1: (2007) : 3
ICF Consulting. 2005. Long Term Crude Oil Supply And Prices California Energi Commissions.
Islam, N. 1997: The Non-Farm Sector and Rural Developments Review Issues and Evidence In A 2020 Vision For Food Agriculture And The Environment. IFPRI:
Jauhiainen, J. Vasander, H. Jaya, A. Takashi, I. Hikkinen, J. Martiknen, P. 2004. Carbon Balance in Manage Tropical Peat in Central Kalimantan Indonesia. in Wise Use of Peat Land. Proceeding of The 12th International Peat Congress. International Peat Society. PP. 653-659
VIII. Penutup 263
Joni, R. 2012. Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Disertasi. IPB. Bogor.
Joni, R. E. G. Said, Harianto, N. Kusnadi. 2012. Dampak Perkembangan Industri Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Minyak Kelapa Sawit Indonesia. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 20(3); 143-151.
Joosten, H. 2009. The Global Peat Land CO2 Picture: Peat Land Status and Emission in all Countries of The World. Wet Land International, ede. (dipersiapkan untuk UNFCCC, Bangkok Sep/Okt 2009)
Kementerian Pertanian RI. 1990-2013: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 1990-2013.
Larson, D. F. 1996: Indonesia’s Palm Oil Sector. Policy Research Workers Paper. World Bank.
Melling, L. 2010. Green House Gases Emission from Tropical Peat Land; Myth, Fact and uncertainties. International Oil Palm Conference. Yogyakarta. PP6.
Melling, L. Goh. K.J. and R. Hatanto.2007. Comparison Study Between GHG Fluxes from Forest and Oil Palm Plantation on Tropical Peat Land of Serawah Malaysia. International on Oil Palm and Environment. Bali. Indonesia.
Melling, L. Hatano, R. and Goh, K. J. 2005. Soil CO2 Flux from Ecosystem in Tropical Peat Land of Serawak. Malaysia. Tell us. 57: 1-11.
Melling, L. Hatano, R. and Goh, K. J. 2007. Nitrous oxide Emission From Three Ecosystem in Tropical Peat Land of Serawak Malaysia. Soil Science & Plant Nutrition. 53: 792-805.
Melling, L.;K.J Goh; C. Beavies. R. Hatanto.2007.Carbon Flow and Budget in A Young Mature Oil Palm Agroekosistem on Deep Tropical Peat. Proceding of The International Symposium on Tropical Peat Land. Jakarta. Yogya.
Murayama, S. and Baker, Z. A. 1996. Decomposition of Tropical Peat Soils. Decomposition Kinetic of Organic Matter of Peat Soils. Japan
Agricultural Research. Quarterly. 30: 145-151. OECD. 2001. Multifunctionality Towards An Analytical Framework. OECD.
Paris. OECD/FAO, 2007: Agricultural Outlook 2007-2016. Paris. Oil World. 2009-2012. Oil World Statistic. ISTA Mielke GmBh. Hamburg Pinkoh L. Wilcove, D. 2008: Is Palm Oil Agriculture Really Destroying
Tropical Agriculture? Conservation Latter I: 60-64. PWC. 2013. World in 2050: The BRICs and Beyond: Prospects, Challenges
and Opportunities.
Daftar Pustaka
264 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI
Rabobank, 1996: Food and Agribusiness in Indonesia. Food and Agribusiness Research Rabobank International Nederland.
Rabobank. 1995: The Oilseed Complex. Rabobank International Food and Agribusiness Research. Nederland.
Rofiq, H. N. 2013. Economies Analysis of Palm Oil Plantation and Oil Palm Productivity in Effect on Percapita Income in Indonesia. International Institute of Social Studies. The Huge. The Netherlands.
Rosegrant, M.W, M. Ewing, S. Msangi, T. Zhu. 2008. Bioenergi and Global Food Situation Until 2020/2050. W. BGU. Washington DC, Berlin.
Rupilus, W. and S. Ahmad. 2007. The Changing World of Oleochemical. Palm Oil Development.
Sabiham, S. 2013. Sawit dan Lahan Gambut dalam Pembangunan Kebun Kelapa Sawit di Indonesia. Himpunan Gambut Indonesia.
Sabiham, S., S.D. Tarigan, Haryadi I. Las, F. Agus, Sukarman, P. Setyanto and Wahyunto. 2012. Organic Carbon Storage and Management Strategies For Reducing Carbon Emission from Petlands. Pedologist 55 (3): 426-434
Sato, Y. 1997: The Palm Oil Industry in Indonesia. It’s Structural Changes and Competitiveness. Waves of Change in Indonesia’s Manufacturing Industry. IDE. Tokyo.
Sipayung, T. 2012. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit. IPB Press. Bogor. Sugiyono., I. Y. Harahap., Winarna., A.D. Koedadiri., A. Purba., P. Pura.
2003. Penilaian Kesesuaian Lahan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Suhaila, A. M. 2012: The Palm Oil Industry From The Perspective of Sustainable Development: The Case Study of Malaysian Palm Oil Industry, Master Thesis. Graduate School of Asia Pacific Studies Ritsumeikan Asia Pacific University Japan.
Sumarto, S and A. Suryahadi.2004: Trade, Growth and Poverty in Indonesia. National Conference Of The University Outreach Network. Bogor.
Susila, W.R. dan E. Munadi 2008. Dampak Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Informatika Pertanian 17(2); 1173-1194.
Susila, W. R. 2004. Contribution of Palm Oil Industry to Economic Growth and Poverty Allevation in Indonesia. Jurnal LITBANG Pertanian 23(3).
Susila, W.R. 2004. Impact of CPO Export Tax on Several Aspects on Indonesia CPO Industry. Oil Palm Industry Economic Journal 4 (2): 1-13.
Tomich, T.P dan Mawardi, M. S. 1995: Evolution of Palm Oil Trade Policy in Indonesia 1978-1991. Elaeis Volume 7 (1): P 87-102.
VIII. Penutup 265
USDA Foreign Agricultural Service, 2012. EU Biofuel Annual 2012. Global Agricultural Information Network.
USDA Foreign Agricultural Service, 2013. Indonesia Biofuel Annual 2013. Global Agricultural Information Network.
Valenzuela, E and K. Anderson. 2011. Projecty The World Economy to 2050: Agricultural in the Economy-Wide GTAP Model. Center For International Economic Studies. University of Adelaide. Australia.
World Bank, 2002: People, Poverty and Livelihoods: Links For Sustainable Poverty Reduction in Indonesia. World Bank. Washington DC.
World Bank, 2010: Agricultural Rural Development Data. World Bank. Washington DC.
World Bank, 2011: The World Bank Grup Framework and IFC Strategy for Engagement in The Palm Oil Sector. The World Bank and International Financial Corporation.
World Energi Council. 2013. World Energi Scenarios: Composing Energi Futures To 2050. Switzerland.
World Growth, 2009: Conversion The Immutable Link Between Forestry and Development, Arlington VA.
World Growth, 2009: Palm Oil: The Sustainable Oils. World Growth, 2011 World Bank’s Revised Palm Oil Strategy Undermines
Economic Development and Restricts Global Markets. World Growth. World Growth, 2011: The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia. World
Growth. Zen, Z, Barlow, C and Gondowarsito, R. 2006: Oil Palm in Indonesia
Socio-Economic Improvement: A Review of Option. Industry Economic Journal, Vol.6: PL8-29.
Daftar Pustaka