Indonesian Sandya Institute Research Paper Series · 3. Metodologi Riset 8 4. Hasil Survei 11 5....
Transcript of Indonesian Sandya Institute Research Paper Series · 3. Metodologi Riset 8 4. Hasil Survei 11 5....
Foto: Reuters
Sandya Institute Research Paper
Menjelaskan Potensi Ekonomi Komunitas Pengungsi Indonesia: Survei mengenai
Karakteristik Ketenagakerjaan dan Penghidupan
Matthew LoCastro1 Sandya Institute
Diovio Alfath Sandya Institute
George Hu
Sandya Institute
Abstract: Terhitung dari bulan September 2019, Indonesia telah menjadi rumah sementara bagi 13,657 pengungsi luar negeri. Kebanyakan dari mereka berasal dari Afghanistan dan Somalia dan meninggalkan negara asalnya untuk mencari rasa aman dan lari dari keadaan mengancam dengan maksud mencari suaka di tempat lain. Populasi dari pengungsi yang sekarang tinggal di Indonesia merupakan salah satu kelompok pengungsi paling kecil dalam tingkat regional. Dengan kerangka kebijakan yang terbatas, ancaman mendatang dari menurunnya bantuan internasional, dan populasi pengungsi yang kecil, ini adalah waktu tepat untuk menciptakan dan menjalankan kebijakan yang mengizinkan kesempatan penghidupan yang sementara tapi berkesinambungan bagi komunitas pengungsi Indonesia sementara mereka menunggu bertahun-tahun untuk dimukimkan kembali. Untuk menciptakan kebijakan mengenai aktivitas penghidupan sementara, riset yang substantif dan berbasis data diperlukan untuk mendasari rekomendasi mengenai pekerjaan potensial serta kesempatan pendidikan dan wirausaha yang tepat bagi komunitas pengungsi tanpa mengganggu sistem pendidikan dan ekonomi Indonesia. Melalui tinjauan literatur dan pengumpulan survei dari karakteristik tenaga kerja dan pendidikan pengungsi, sebuah kerangka kerja akan kita usulkan. Kerangka yang diusulkan akan memfokuskan tindakan yang bisa diambil para pengambil kebijakan di Indonesia untuk mengembangkan kesempatan penghidupan sementara yang bisa didapatkan pengungsi demi kehidupan yang independen dan manusiawi serta mendukung perkembangan ekonomi dan institusi Indonesia.
Kata Kunci: Pengungsi, Indonesia, Hak Asasi Manusia, Pasar Tenaga Kerja
Unlocking the Potentials of Indonesia’s Refugee Population for the Advancement of a Sustained and Independent Livelihood: A Survey on Labour Characteristics
1 Rajawali Center, Jl. Rajawali Blok B 1 No.5 Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Indonesia Email: [email protected]
II
Penerbit:
Sandya Institute
Rajawali Center, Jl. Rajawali Blok B 1 No.5
Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520
Indonesia
© Sandya Institute, 2019
Sandya Institute Research Project FY2018 No. 1
Diterbitkan November 2019
Hak cipta dilindungi undang-undang. Tulisan ini tak bisa direproduksi, disimpan, atau dikirim dalam bentuk apapun baik elektronik ataupun fisik tanpa izin tertulis dari Sandya Institute. Temuan, interpretasi, kesimpulan ataupun opini yang tertulis dalam tulisan ini merupakan opini dari penulis dan tidak mencerminkan pandangan dari Sandya Institute. Kesalahan apapun dalam isi ataupun sitasi dalam tulisan adalah tanggung jawab penulis. Materi tulisan ini bisa direferensi atau dicetak dengan pengakuan yang tepat.
III
Pengantar Sandya Institute memulai proyek ini pada bulan September 2018 untuk memajukan kemampuan kerja humaniter pelayanan pengungsi di Indonesia. Dengan menyurvei populasi pengungsi di atas umur 18 tahun mengenai sejarah pekerjaan dan kemampuannya, Sandya Institute telah memajukan diskursus mengenai akses kesempatan penghidupan sementara bagi pengungsi selagi menunggu pemukiman kembali. Selama penulisan penelitian ini, Sandya Institute mendapat bantuan dari 65 anggota dari komunitas pengungsi di DKI Jakarta, Medan dan Makassar yang berperan sebagai pemimpin dan perwakilan komunitas. Bantuan mereka sangat penting untuk cakupan proyek ini dalam memastikan partisipasi komunitas dalam inisiatif kami. 65 anggota ini telah dilatih dan diberi pengakuan berupa sertifikat untuk pelatihan mengenai bagaimana mengumpulkan dan menyebarkan survei tersebut di kota mereka. Dalam jangka waktu satu bulan, tiap anggota bertugas mengumpulkan respon fisik dan membantu anggota-anggota mendapatkan akses survei tersebut secara elektronik. Riset ini, berjudul Menjelaskan Potensi Ekonomi Komunitas Pengungsi Indonesia: Survei mengenai Karakteristik Ketenagakerjaan dan Penghidupan, diciptakan dengan masukan dan pertimbangan dari komunitas pengungsi. Pembuatan pertanyaan, penerjemahan, focus group discussions, analisa, dan proposal kebijakan diciptakan dengan masukan dari individu dan komunitas yang menjadi target karya ini Hasil dari survei ini mencerminkan secara luas situasi politik dan ekonomi pengungsi di Indonesia. Melalui informasi ini, Sandya Institute menciptakan sebuah proposal dan kerangka kebijakan untuk menanggapi kekurangan dan kompleksitas perlindungan pengungsi di Indonesia. Sandya Institute akan terus mengawasi keadaan pengungsi serta memperbarui proposal kami sesuai dengan perubahan lingkungan. Pembuatan proyek ini dilakukan dengan kerja sama dengan anggota masyaraklat sipil serta organisasi humaniter lainnya. Tim Sandya Institute berterima kasih kepada kelompok dan institusi di bawah ini sebagai institusi yang mendukung tulisan ini:
Location Representative Name Organization Name
Jakarta Mohammad Baqir Bayani Health, Education and Learning Program-
HELP- for Refugees
Jakarta Ahmad Basir Zaffari Refugee Learning Nest
Jakarta Febi Yonesta SUAKA: Indonesian Civil Society Association
For Refugee Rights Protection
Jakarta Mohammad Hussain Sultani Hope Learning Center (HLC)
Jakarta Ms. Ann Maymann United Nations High Commissioner for
Refugees (UNHCR)
Kata Pengantar (Sandya)
Kita sekarang dihadapkan dengan perang, kekerasan dan persekusi yang menyebabkan perpindahan
paksa 68,5 juta orang di dunia. Kita berada di tengah krisis pengungsi global yang paling menantang
di sejarah manusia. Walau Indonesia masih belum meratifikasi Konvensi tahun 1951 Mengenai Status
Pengungsi dan Protokol 1967 Mengenai Status Pengungsi, negara kita memiliki tradisi panjang atas
penerimaan pengungsi dan orang-orang yang membutuhkan perlindungan internasional. Terhitung
September 2018, Indonesia mengakomodir sekitar 13,657 pengungsi dari 42 negara.
Di antara 13,657 pengungsi dan pencari suaka, hanya sedikit yang telah secara sukses dimukimkan
kembali di negara ketiga. Kebanyakan dari mereka hidup dengan akses yang terbatas akan hak untuk
mendapat pendidikan, penghidupan, akomodasi dan layanan kesehatan. Kami mendengar dan
berdiskusi dengan komunitas pengungsi dan pencari suaka dan paska diskusi tersebut, kami
menemukan bahwa komunitas ini penuh dengan potensi, maka dari itu kami percaya bahwa hidup
mereka akan meningkat dengan adanya akses penghidupan. Maka, kami bersama dengan Uniter Nations
High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan kolega pengungsi kami membuat riset ini. Sandya Institute
ingin menyampaikan rasa terima kasih kami kepada semua rekan-rekan atas kolaborasi produktif ini.
Sebagai sebuah institusi yang bekerja memajukan dan melindungi hak minoritas dan pengungsi di
Indonesia, kami berkomitmen untuk meneruskan perkembangan riset ini dan membantu para
pemegang kepentingan untuk mencari solusi yang komprehensif bagi pencari suaka dan pengungsi di
Indonesia sebagai cara melaksanakan nilai-nilai yang ada dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Diovio Alfath
Executive Director of Sandya Institute
V
Kata Pengantar (UNHCR)
Oleh Ann Maymann, Representatif UNHCR di Indonesia
Adalah suatu kehormatan bagi saya untuk memberikan kata pengantar pada penelitian penting yang
berjudul “Menjelaskan Potensi Ekonomi Komunitas Pengungsi Indonesia: Survei mengenai Karakteristik Ketenagakerjaan dan Penghidupan”. Temuan-temuan sekaligus rekomendasi kebijakan yang dirumuskan
berdasarkan bukti di dalam laporan ini dapat berfungsi sebagai alat advokasi yang penting. Selain itu,
penelitian ini dapat menjadi permulaan dimana solusi berkelanjutan bagi para pengungsi di Indonesia dapat
diartikulasikan sebagai rekomendasi yang konstruktif, terlebih lagi pada saat ini dimana solusi inovatif
sangatlah diperlukan.
Tidak diragukan lagi, kita berada pada momen penting dalam sejarah. Jumlah pengungsi secara global telah
mencapai lebih dari 70 juta orang. Pada saat yang sama, sangat sedikit pengungsi yang dapat kembali ke
negara asal mereka dengan selamat, sedangkan peluang pemukiman kembali di negara ketiga juga sangat
berkurang. Hal ini membuktikan bahwa pendekatan inovatif yang disertai dengan metode-metode
pendekatan baru sangat diperlukan untuk mengatasi secara efektif permasalahan dimana jutaan manusia
terus-menerus hidup tanpa perlindungan yang layak serta minimnya akses ke layanan dan kesempatan-
kesempatan yang sesuai untuk memenuhi penghidupan mereka. Hal ini merupakan sebuah tragedi baik
pada tingkat individual maupun bagi umat manusia. Mengikuti pengadopsian Deklarasi New York pada
tahun 2016 dimana negara-negara di seluruh dunia menegaskan kembali komitmen mereka untuk
melindungi pengungsi, yang juga dilanjutkan dengan pengadopsian bersejarah Global Compact on Refugees pada tahun 2018 oleh para pemimpin dunia pada UN General Assembly, dan juga mengingat
bahwa Global Refugee Forum semakin mendekat, negara-negara tersebut sekarang memiliki kesempatan
untuk menunjukkan pendekatan baru mereka melalui kerja sama yang lebih kuat dan juga dengan solidaritas
dengan para pengungsi dan negara-negara penerima di seluruh dunia sebagai bagian dari komunitas
internasional.
Indonesia telah menunjukkan kepemimpinan dalam bidang kemanusiaan yang krusial dalam permasalahan
ini, terutama dalam komitmennya untuk terus melindungi para pengungsi. Hal ini ditunjukkan dalam
Peraturan Presiden No. 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi, serta pengakuan yang meningkat akan
perlunya pemberdayaan pengungsi sebagai sarana bagi pengungsi untuk menjadi mandiri, berkontribusi
pada komunitas tuan rumah mereka yang murah hati, memenuhi kebutuhan penghidupan dan intelektual
mereka untuk kepentingan Indonesia, serta meningkatkan peluang mereka untuk masa depan yang
sejahtera. Pada saat perubahan yang menantang dalam lingkungan pemberian bantuan dan peluang oleh
negara ketiga yang terbatas ini, UNHCR siap untuk meningkatkan dan memperkuat dukungannya kepada
Pemerintah Indonesia dalam melindungi pengungsi dan mengembangkan solusi baru yang inovatif.
Saya ingin mengambil kesempatan ini untuk menyampaikan ucapan terima kasih yang mendalam dan
sepenuh hati kepada Sandya Institute atas komitmennya yang tak tergoyahkan untuk mempromosikan
pemahaman tentang pentingnya memastikan hak-hak pengungsi di Indonesia seperti yang telah ditunjukkan
di dalam penelitian berkualitas tinggi ini yang berisi rekomendasi praktis dan konstruktif penting. UNHCR
berterima kasih dan dengan senang hati akan terus melanjutkan kolaborasi yang kuat dengan Sandya
Institute dalam mendukung para pengungsi di Indonesia.
11 December 2019
VI
Anggota Penelitian
Matthew LoCastro: Luce Scholar dan Research Manager, Sandya Institute Diovio Alfath: Pendiri dan Executive Director, Sandya Institute George Hu: Analis Data, Sandya Institute
Tim Pengeditan dan Penerjemahan Wisnu Trianugeraha: Sandya Institute – Editor and Penerjemah Bahasa Indonesia Roberto: Sandya Institute – Editor and Penerjemah Bahasa Indonesia Aden Ali Ahmed: Penerjemah Bahasa Somali Sahand Yazdanyar and Milad Anwari: Penerjemah Bahasa Farsi/Persia William Albadeesh: Penerjemah Bahasa Arab Kamshaveny Sorupanathan: Penerjemah Bahasa Tamil Felix: Desain
Terima Kasih
Kepada sukarelawan yang membantu membuat riset ini untuk menjalin harapan bagi masa depan yang lebih baik
VII
Daftar Isi
Daftar Figur viii
Daftar Tabel ix
Terminologi dan Definisi x
1. Pendahuluan dan Latar Belakang 1
2. Tinjauan Literatur — Dampak Ekonomi Pengungsi dalam Konteks 4
3. Metodologi Riset 8
4. Hasil Survei 11
5. Rekomendasi Kebijakan 28
6. Permasalah Kebijakan 35
7. Analisis Kesenjangan dan Potensi Program dan Penelitian Lanjutan 36
8. Kesimpulan 37
Appendix A 39
Appendix B 44
Appendix C 48
Appendix D 52
Referensi 56
VIII
Daftar Figur
Figur 1: Pengungsi dan Pencari Suaka Terdaftar di Indonesia 3
Figur 2: Populasi Pengungsi terbagi melalui Kota 9
Figur 3: Alur Survei 10
Figur 4: Sebaran Survei yang dikumpulkan berdasarkan Kota 12
Figur 5: Jumlah Responden berdasarkan Usia 12
Figur 6: Data Populasi UNHCR yang Relevan dalam Survei 13
Figur 7: Presentase Survei yang Terkumpul sesuai Negara Asal 14
Figur 8: Lama Tinggal di Indonesia 15
Figur 9: Tipe Tempat Tinggal Sekarang 16
Figur 10: Tipe Pendapatan Primer 16
Figur 11: Skema Pendapatan dan Pengeluaran 18
Figur 12: Tingkat Pendidikan Responden Berdasarkan Berbagai Skenario 23
Figur 13: Peningkatan Bahasa Indonesia Berdasarksn Waktu Tinggal di Indonesia 25
Figur 14: Kemampuan Komputer dan Teknis Responden 27
Figur 15: Tujuan dan Rencana Masa Depan Responden 28
Figur 16: Alur Waktu Tindakan Kebijakan Pengungsi yang Bersifat Utama 31
IX
Daftar Tabel
Tabel 1: Perbandingan Data Negara Asal 14
Tabel 2: Pendapatan (IDR) Bulanan Responden per Sektor di Negara Asal 19
Tabel 3: Uraian Statistik Ketenagakerjaan Lebih Lanjut 20
Tabel 4: Tingkat Pendidikan sesuai dengan Presentase Sampel 22
Tabel 5: Kemahiran Bahasa yang Dipilih oleh Responden 26
X
Daftar Terminologi dan Definisi2
Asylum Seeker/Pencari Suaka – adalah individu yang mencari perlindungan internasional dan klaim status pengungsinya belum ditentukan, tak peduli apakah itu telah didaftarkan atau belum. Department of Immigration and Border Protection of Australia (DIBP)/Departemen Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan Australia – Terhitung Desember 2017, DIBP berada di bawah Departemen Dalam Negeri (Department of Home Affairs). DIBP bertanggung jawab atas kebijakan imigrasi/bea cukai perbatasan, bersama dengan urusan keamanan nasional dan kebijakan luar negeri. Internally displaced persons (IDPs)/Pengungsi Internal – adalah orang-orang atau sekumpulan individu yang terpaksa meninggalkan rumah atau tempat tinggalnya, terutama karena, atau untuk menghindari dampak dari konflik bersenjata, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, atau bencana alam atau yang diciptakan manusia yang masih belum melewati perbatasan internasional. Untuk kepentingan statistika UNHCR, populasi yang akan dihitung hanyalah pengungsi internal akibat konflik bersenjata yang mana badan ini bertanggung jawab atas pemberian perlindungan dan/atau bantuan. International Organization for Migration (IOM)/Organisasi Internasional untuk Migrasi – Dibangun pada tahun 1951, Organisasi Internasional untuk Migrasi(IOM)- UN Migration- adalah organisasi antar-pemerintah terdepan yang bertugas mengedepankan migrasi yang teratur dan manusiawi bagi kemaslahatan bersama. Ini dilakukan dengan mengembangkan pengertian masalah migrasi, membantu pemerintah menjawab tantangan dalam migrasi, memajukan perkembangan sosial dan ekonomi melalui migrasi, dan menjunjung tinggi harga diri dan kemakmuran migran beserta keluarga dan komunitas mereka. Others of concern/Orang lain yang menjadi perhatian – Individu yang tidak masuk ke dalam kelompok-kelompok yang ada, namun diberikan perlindungan dan/atau bantuan oleh UNHCR atas dasar humaniter atau dasar istimewa lainnya. Refugees/Pengungsi – Termasuk individu yang berada di bawah Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi; Protokol 1967; Konvensi OAU 1969 Mengatur Aspek Tertentu dari Masalah Pengungsi di Afrika; Mereka yang diakui sesuai dengan Statuta UNHCR, individu yang diberikan bentuk perlindungan tambahan; atau mereka yang mendapat perlindungan sementara. Semenjak 2007, populasi pengungsi juga termasuk orang-orang yang menghadapi situasi yang sama atau mirip dengan pengungsi. Returned IDPs/Pengungsi Internal yang dipulangkan – merupakan pengungsi internal yang menerima perlindungan dan bantuan UNHCR dan kemudian dikembalikan ke daerah asal atau tinggalnya pada tahun tersebut.
2 Catatan: Terminologi/definisi ini diambil dari situs UNHCR, IOM dan Departemen Dalam Negeri Australia.
XI
Returned refugees/Pengungsi yang dipulangkan – adalah mantan pengungsi yang kembali ke negara asalnya secara spontan atau teratur tapi belum terintegrasi secara penuh. Pemulangan ini biasanya hanya tejadi dalam kondisi aman dan manusiawi. Stateless persons/Orang tanpa Kewarganegaraan – di bawah hukum internasional adalah orang-orang yang tidak termasuk warga negara manapun di bawah rezim hukumnya. Dengan kata lain, dia tidak memiliki kewarganegaraan atau berkebangsaan negara manapun. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)/ Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Pengungsi – Agen Pengungsi PBB, adalah sebuah organisasi global yang bertujuan menyelamatkan jiwa, melindungi hak dan membangun masa depan yang lebih baik bagi pengungsi, komunitas pengungsi internal dan orang-orang tanpa kewarganegaraan
1
1. PENDAHULUAN DAN LATAR BELAKANG
Pada Juni 2019, Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), memperkirakan ada lebih
dari 70,8 juta orang yang terusir secara paksa di seluruh dunia. Angka ini menunjukkan derajat
pemindahan atau pengusiran paksa yang tinggi—bahkan, tingkat pengusiran terteinggi semenjak
Perang Dunia II (UNHCR, 2018). Dari 70,8 orang yang diperkirakan, 41,3 merupakan pengungsi
internal, 25,9 adalah pengungsi, dan 3,5 juta adalah pencari suaka. Dari 25,9 juta pengungsi, lebih dari
setengah dilaporkan berumur di bawah 18 tahun (United Nations, 2019). Walau sebagian besar
pengungsi dan pencari suaka berpusat di Timur Tengah dan Afrika, ada presentase populasi yang
sering terlupakan yang tinggal di Asia Tenggara.
Pada 2018, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)/United Nations (UN) memperkirakan ada 3,26
juta orang yang menjadi perhatian di Asia Tenggara, sebuah peningkatan sebanyak 15.4%
dibandingkan 2017. Dari jumlah ini, kira-kira 1,2 juta diklasifikasikan sebagai pengungsi, dalam situasi
yang sama seperti pengungsi, atau pencari suaka (UNHCR SE Asia, 2019). Walau adanya jumlah orang
yang menjadi perhatian yang tinggi, hanya tiga negara di daerah ini (Kamboja, Filipina, dan Timor
Leste) yang telah menandatangani Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi; kebanyakan negara lain
hanya setuju untuk menghargai asas non-refoulement. Walau ada pengertian bersama untuk tidak
memaksa pulang pengungsi dan pencari suaka, mayoritas dari negara-negara ini memiliki kekurangan
infrastruktur, prosedur, dan kerangka kebijakan yang layak untuk membantu individu-individu ini.
Salah satu negara yang tidak menandantangani Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi dan
Protokolnya pada 1967 di Indonesia. Sebab itu, UNHCR memproses klaim dan mengawasi kerja
perlindungan pengungsi di Indonesia menggantikan pemerintah. Indonesia telah mengizinkan pencari
suaka dan pengungsi yang terdaftar untuk tetap berada dalam batas wilayahnya sementara mereka
menanti pemukiman kembali di negara ketiga atau evaluasi status pengungsi PBB. Orang-orang yang
tiba di Indonesia diizinkan tinggal sementara selagi mereka mencari sebuah tempat pemukiman akhir.
Di luar batas wilayahnya, Indonesia dikelilingi negara yang menampung sejumlah besar pencari
suaka dan pengungsi. Angka terakhir menunjukkan bahwa Thailand (The UN Refugee Agency
Thailand, 2019) menampung sekitar 93,000 pengungsi dan pencari suaka sementara Malaysia (United
Nations Malaysia, n. d.) menampung 178,000 orang. Sementara itu, populasi orang yang
dipindah/diusir secara paksa dalam Indonesia mulai mengalami peningkatan ketibaan pada tahun
2009. Pada tahun 2016, populasi ini mencapai 14,405 dan berada pada angka yang lumayan stabil
dengan penurunan yang relatif kecil.
2
Pada September 2019 (UNHCR Indonesia, 2019), UNHCR melaporkan bahwa total populasi
yang terdaftar di bawah UNHCR menurun menjadi 13,657 orang (Figur 1). Angka ini terdiri dari
10,374 pengungsi dan 3,302 pencari suaka dari 42 negara yang berbeda, semua dianggap sebagai
pengungsi di bawah hukum Indonesia. Mayoritas individu ini datang dari tiga negara: Afghanistan,
Myanmar, dan Somalia (UNHCR Indonesia, n. d.).
Proses pencarian suaka di negara ketiga seringkali merupakan proses yang sangat panjang dan
jarang berujung pada tindakan yang akan menciptakan pemukiman kembali. Pada tahun 2019
(terhitung September), 537 orang meninggalkan Indonesia untuk pemukiman kembali dan 190 dengan
sukarela kembali ke negara asalnya. Dalam jangka waktu yang sama, negara kita mendapat 368 kasus
baru (759 individu) yang terdaftar dengan UNHCR. Melihat ukuran populasi yang ada dan alur
ketibaan pengungsi yang kecil namun terus-menerus memastikan stabilitas keseluruhan populasi,
pemukiman kembali tidak terjadi pada tingkat yang memungkinkan keberangkatan pengungsi yang
cepat dari Indonesia (UNHCR Indonesia, 2019). Saat sebagian besar populasi menanti pemukiman
ulang, mereka tidak dapat mencari pekerjaan dan menghadapi batasan yang signifikan untuk
mengakses kesempatan penghidupan lain seperti pendidikan.
Organisasi Internasional merupakan sumber utama penghidupan bagi mereka yang menanti
pemukiman kembali dari Indonesia. Namun, kerangka kebijakan sekarang tidak memberikan cara
untuk penghidupan diri di saat pendanaan tidak tersedia atau dinamika global menyebabkan
penurunan pendanaan internasional. Bantuan tidak disediakan secara universal ke semua anggota
komunitas pengungsi karena batasan dan kekurangan pendanaan. Terlebih lagi, keberadaan pendanaan
dari organisasi internasional bukanlah merupakan hal yang pasti dalam masa depan mendatang
(UNHCR Indonesia, Pertemuan, 2019). Pada data perencanaan 2018 UNHCR (UNHCR Indonesia,
Global Focus, 2019), diperkirakan ada 300 keluarga yang layak untuk mendapat pendanaan dan sekitar
8,000 orang menerima bantuan dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) (International
Organization for Migration, 2019)
3
Figur 1: Pengungsi dan Pencari Suaka Terdaftar di Indonesia
Sumber: Penulis dan UNHCR, September 2019
Individu bisa ditinggal menanti selama bertahun-tahun selama proses pemukiman kembali tanpa
kepastian apa yang akan ada di masa depan. Dengan batasan yang diimplementasikan atas pemukiman
kembali di Australia bagi pengungsi yang terdaftar dengan UNHCR di Indonesia paska Juli 2014
(Farrell, 2014) dan potongan yang berlanjut pada penerimaan pengungsi Amerika (Shear & Kanno-
Youngs, 2019), prospek pemukiman kembali sangatlah tipis. Reformasi terbaru pada tahun 2016 yang
dilaksanakan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo telah memberikan beberapa peningkatan kondisi
hidup pengungsi yang tinggal di Indonesia, menciptakan sebuah kerangka awal untuk mendefinisikan
dan menyelesaikan masalah populasi pengungsi saat ini. Namun, perubahan signifikan masih
diperlukan untuk memastikan bahwa Indonesia siap untuk memperkuat sebuah komunitas pengungsi
dan pencari suaka yang independent yang akan menguntungkan ekonomi Indonesia dan tidak
membebani wajib pajak Indonesia
Ketiadaan akses pekerjaan formal dan informal, kesempatan pendidikan, dan alat finansial
membebani tak hanya keuangan tapi juga kesehatan mental dan emosional individu ini (IOM, 2019).
Mempertimbangkan waktu tunggu yang lama, dan ketidakmampuan mereka untuk kembali ke negara
asal, sangat rasional apabila kita mengembangkan cara untuk mengizinkan pengungsi dan pencari
suaka untuk masuk ke pasar tenaga kerja Indonesia dengan cara yang memastikan keseimbangan
kepentingan semua pemegang kepentingan. Inisiatif ini sering mendapat perlawanan atas kekhawatiran
4
tentang pasar tenaga kerja yang terlalu ramai di mana masuknya gelombang pekerja baru bisa
memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. Namun, ada pertimbangan bahwa pengenalan tenaga
kerja baru ini ke pasar Indonesia dengan cara yang terencana akan mendukung pertumbuhan ekonomi
dengan kerugian minimal. Kemungkinan besar bahwa masyarakat Indonesia dan pengungsi/pencari
suaka bisa secara sekaligus mendapat keuntungan ekonomi. Terlebih lagi, menyediakan sebuah jalan
untuk penghidupan yang berkelanjutan akan memungkinkan pemerintah Indonesia agar tidak dipaksa
masuk ke dalam situasi yang secara fiskal akan menantang apabila dukungan internasional menurun
atau berhenti.
Untuk menentukan apakah Indonesia memiliki potensi untuk membawa keuntungan ekonomi
dengan masuknya tenaga kerja baru, Sandya Institute telah melaksanakan survei atas populasi
pengungsi dan pencari suaka yang tinggal di Indonesia. Tim kami mengunjungi tiga kota penting;
Jakarta (dan area sekitarnya), Medan dan Makassar, di Indonesia untuk mengumpulkan informasi
mengenai kondisi tenaga kerja dan ekonomi populasi ini. Setelah pengumpulan data, tim melakukan
analisa kualitatif awal untuk membandingkan dan menggarisbawahi dampak potensial pengungsi dan
pencari suaka atas pasar tenaga kerja Indonesia. Proses ini dilakukan untuk menghasilkan kerangka
kebijakan jangka panjang yang memastikan kesempatan penghidupan sementara bagi pengungsi
selama masa penantian pemukiman kembali. Melalui analisa ini, Sandya Institute telah mengidentifikasi
sektor pengungsi mana yang bisa berkontribusi pada pasar tenaga kerja Indonesia.
Di bagian berikut, penulis akan menyediakan tinjauan literatur yang mendukung argumentasi kami
mengenai keuntungan kesempatan penghidupan sementara di Indonesia. Kemudian, penjelasan
mengenai metodologi survei akan dijabarkan lebih lanjut. Terakhir, tulisan ini akan menyimpulkan
hasil survei kami dan analisa atas temuan kami dalam konteks lingkungan kebijakan Indonesia.
2. TINJAUAN LITERATUR – DAMPAK EKONOMI PENGUNGSI DALAM KONTEKS
Melihat sejarah global yang panjang mengenai migrasi paksa, tinjauan kami dimulai dengan melihat
studi kasus global mengenai pengenalan populasi baru dalam berbagai kota, negara bagian dan negara
di seluruh dunia. Penelitian sebelumnyan telah berfokus pada dampak ekonomi pengungsi dan migran
pada negara penampung dalam berbagai kondisi di Eropa, Afrika, Asia dan Timur Tengah. Sebagian
besar studi ini menitikberatkan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh populasi pengungsi di
5
daerah tersebut begitu mereka diberikan kesempatan untuk mengambil tindakan penghidupan
sementara.
Pada penelitian tahun 2018, Mortiz Marbach (Marbach, Hainmueller & Hangartner, 2018)
membahas bagaimana larangan pekerjaan jangka panjang di Jerman berdampak pada kemampuan
pengungsi untuk mengembangkan kesempatan ekonomi yang berkelanjutan bagi diri sendiri di akhir
masa larangan. Dalam studi kasusnya, biaya yang dibebankan kepada wajib pajak untuk menjaga
kehidupan komunitas selama periode ini diperkirakan berakumulasi sampai jumlah 620 juta rupiah (40
juta Euro) per tahun dalam bentuk pengeluaran kesejahteraan dan pendapatan pajak yang hilang.
Penelitian lain memfokuskan dampak pengungsi di Jerman menemukan bahwa kegagalan integrasi
800,000 migran (sama dengan 1% dari populasi Jerman) bisa menurunkan output per kapita dan
konsumsi sebanyak 0.43% dan 0.48%. Namun, apabila langkah integrasi berjalan lancar, output dan
konsumsi per kapita akan naik sebanyak 0.34% dan 0.38%. Ditambah lagi, ditemukan bahwa dengan
menciptakan sebuah kerangka integrasi yang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan populasi migran dan
asli, tak ada dampak jangka panjang yang singnifikan pada GDP dan konsumsi. Secara keseluruhan,
model ini menemukan bahwa dampak makroekonomi pengungsi sangatlah kecil (Stahler, 2017).
Di daerah timur Turki terdapat program kerja yang tersedia bagi tiga juta populasi pengungsi Syria.
Penelitian kebijakan ini menemukan bahwa masuknya jumlah pengungsi secara besar memberi
dampak positif pada margin produksi intensif dan ekstensif firma-firma, terpusat pada ekonomi
informal. Dampak ini terutama terasa pada firma yang kecil dan mereka yang beroperasi dalam
konstruksi, hotel dan restoran (Altindag, Bakis & Rozo, 2018). Ditemukan bahwa masuknya bantuan
dari pemerintah Turki, Pemerintah-pemerintah luar negeri dan organisasi non-pemerintah pada
akhirnya menyalurkan kemah pengungsi pada pendapatan firma lokal (Erdogan & Unver, 2015).
Komite Penyelamat Internasional (The International Rescue Committee) menekankan dalam risetnya bahwa
investasi pada komunitas pengungsi Syria telah berkontribusi pada penciptaan pekerjaan dan
pengeluaran konsumen dalam makanan, sewa dan layanan, meningkatkan ekonomi lokal (International
Rescue Committee, 2016). Studi lain juga menunjukkan penurunan dalam ekonomi informal Turki
namun penurunan ini bersamaan dengan laporan penurunan biaya barang-barang informal (Tumen,
2016). Walau ada laporan dalam beberapa kasus mengenai penurunan, juga terlihat bahwa tak ada
keramaian berlebih pada pasar tenaga kerja formal (Akgündüz, van den Berg, & Hassink, 2015).
Meninjau studi kasus internasional lain, Afrika juga terbukti merupakan sebuah daerah dengan
ketertarikan riset yang tinggi. Laporan-laporan telah menunjukkan keuntungan yang didorong
pengungsi di daerah-daerah Afrika, menitikberatkan stimulasi fiskal bagi bisnis lokal pada tibanya
6
bantuan pengungsi dan keberadaan internasional untuk mengatur krisis (Miller, 2018). Di Rwanda,
pengungsi Kongo yang menerima bantuan uang berkontribusi pada meningkatnya pemasukan real
tahunan dalam ekonomi lokal sebanyak $205 sampai $253, jauh lebih besar dari bantuan yang diterima
tiap pengungsi sebesar $120 dan $126 (Taylor, Filipski, Alluosh, Gupta, Valdes & Gonzalez-Estrada,
2016). Temuan ini mengarah kepada asumsi, bersama dengan literatur lain, bahwa pengungsi yang
mandiri akan menjadi nilai tambahan bagi ekonomi lokal mereka
Dibandingkan dengan situasi pengungsi di Indonesia, perbedaan utama hanya ada dalam organisasi
internasional dan nirlaba yang menyediakan bantuan dan dukungan. Skenario ini berarti bahwa
pengeluaran pemerintah lokal terbatas dalam jangka pendek dan jangka panjang. Namun,
ketergantungan pada dukungan eksternal melektakkan Indonesia dalam posisi yang lemah apabila
dukungan ini ditarik.
Bantuan internasional di Indonesia sebagian besar disediakan oleh UNHCR dan Departemen
Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan Australia (DIBP) via IOM. Angka 2016 menunjukkan bahwa
Australia mendanai US$40 juta dari bantuan yang diterima IOM sebesar US$49 juta dolar secara
nasional. Namun, dalam usaha menghentikan alur migran baru ke Indonesia, DIBP memutuskan pada
tanggal 15 Maret 2018 untuk menghentikan pendanaan otomatis sebelumnya kepada migran baru yang
bukan merupakan beban kasus sebelumnya, efektif berlaku dari tanggal tersebut (Lamb & Doherty,
2018). Tindakan ini menunjukkan bahwa potensi penarikan pendanaan internasional adalah ancaman
nyata dan dekat.
Mengaplikasikan pelajaran dari luar negeri ke dalam kasus Indonesia, bisa disimpulkan bahwa
sebuah influx migran yang spontan bisa meningkatkan secara proporsional dengan peningkatan jumlah
tenaga kerja yang diasosiasikan dengan migrasi. Adaptasi dengan ekuilibrium baru akan terjadi lebih
cepat dalam ekonomi terbuka yang bisa mengimpor kapital untuk mengakomodir tenaga kerja yang
lebih besar dan di mana pertumbuhan dari industri ekspor yang labour-intensive bisa menyerap tenaga
kerja tambahan (Dadush & Niebuhr, 2016). Pandangan ini bersamaan dengan Masterplan Percepatan
dan Perluasan Perkembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) karena adanya penekanan untuk
meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia pada tingkat makroekonomik dan untuk
meningkatkan ekspor Indonesia (Kementrian Koordinator bidang Perekonomian, 2011). Visi untuk
2025 akan dicapai dengan focus pada tiga tujuan:
1. Untuk meningkatkan nilai tambah dan mengembangkan nilai rantai proses produksi industri
dan untuk meningkatkan efisiensi dari jaringan distribusi. Kemudian, untuk meningkatkan
kemampuan industri untuk mengakses dan menggunakan sumber daya alami dan manusia.
7
2. Untuk meningkatkan efisiensi produksi dan meningkatkan usaha pemasaran agar integrasi
pasar domestik lebih lanjut, menguatkan ekonomi nasional dan meningkatkan kemampuan
kompetitif global
3. Untuk mendorong penguatan sistem inovasi nasional dalam area proses produksi dan
pemasaran, dengan fokus pada penguatan kompetisi global yang berkesinambungan melalui
ekonomi yang berdasar pada riset & pengembangan
Kemajuan pada tujuan ini akan terjadi apabila Indonesia menggunakan populasi yang teratur dalam
tenaga kerja internasional yang tersedia dalam komunitas pengungsi, terutama bagian yang bisa
menumbuhkan penjualan grosir bersama dengan industri berorientasi ekspor. Perspektif internasional
pengungsi bisa menfasilitasi inovasi yang dipelopori Indonesia, meninggalkan dampak besar setelah
masa tinggal pengungsi individual. Secara keseluruhan, keuntungan tenaga kerja pengungsi bisa
berkontribusi kepada pertumbuhan signifikan dalam produktivitas sementara kerugiannya hampir
mendekati nol karena jumlah populasi pengungsi yang insignifikan di Indonesia (di bawah 0.01%).
Melihat pada studi kasus di Amerika Serikat, bisa dilihat bahwa pengungsi bisa meningkatkan
perdagangan internasional, merubah preferensi barang-barang terhadap komoditas dari negara asal
mereka dengan mengurangi biaya transaksi bilateral, dan hal tersebut akan meningkatkan impor dan
ekspor di bawah kondisi yang tepat (Steingress, 2018). Peningkatan ini akan sejalan dengan tujuan
perkembangan dari administrasi sekarang.
Lalu, melihat di seluruh Asia Tenggara, negara tetangga Malaysia dan Thailand (Human Rights
Watch, 2017) juga perlu melakukan manajemen populasi pengungsi dan pencari suaka yang besar.
Sama dengan Indonesia, kedua negara tersebut tidak memperbolehkan pengungsi mencari pekerjaan
formal atau mengakui kemampuan mereka untuk masuk dalam grey market. Dalam laporan terbaru
pada tahun 2019, Malaysian Institute for Democracy and Economic Affairs (Institute for Democracy and
Economic Affairs, 2019) memperkirakan bahwa menyediakan pengungsi hak untuk bekerja secara
legal akan berdampak pada meningkatnya Gross Domestic Product/Produk Domesti Bruto (GDP) 2024
sebanyak RM3 miliar (lebih dari 10 juta rupiah) melalui pengeluaran yang lebih tinggi bersamaan
dengan dampak sekunder. Mereka juga melaporkan bahwa mengizinkan pengungsi untuk pekerja akan
berdampak pada kontribusi pajak sebesar RM50 juta (170 miliar rupiah) tiap tahun pada 2024. Temuan
akhir mereka juga menggarisbawahi bahwa stimulasi pengungsi bisa menghasilkan 4,000 lapangan
pekerjaan baru untuk warga Malaysia (Todd, Amirullah & Shin, 2019).
Kekhawatiran memperkenalkan pekerja berkemampuan rendah ke dalam ekonomi Indonesia bisa
menggantikan tenaga kerja berkemampuan rendah Indonesia tetap ada. Namun, berdasar dari
8
pengalaman negara-negara yang telah membuka pasar tenaga kerja mereka ke pengungsi dan pekerja
migran, Sandya Institute telah menunjukkan bahwa dalam jangka panjang dampaknya secara
keseluruhan sangatlah positif, terutama jika pekerja ini tetap ada dalam pasar tenaga kerja tanpa
didiskriminasi. Memberikan akses pasar tenaga kerja kepada pengungsi bisa menjadi jawaban untuk
meningkatkan tingkat produktivitas Indonesia dan menjawab masalah ketidakcocokan kemampuan
tenaga kerja apabila kebijakan yang tepat dibangun.
Meletakkan semua studi kasus ini dalam konteks kita memerlukan pertimbangan dari kemampuan
ekonomi tiap negara dan identitas uniknya. Namun, tim riset kami percaya bahwa ada maksud untuk
meningkatkan penghidupan pengungsi dengan memperluas dan menguatkan kerangka kebijakan
mengenai kesempatan dalam penempatan sementara mereka. Peningkatan ini akan meningkatkan
posisi ekonomi Indonesia dan memperkaya identitas budayanya yang unik.
3. METODOLOGI RISET
Untuk menelusuri karakteristik tenaga kerja dari komunitas pengungsi Indonesia, Sandya Institute
melakukan riset lapangan yang ekstensif di Jakarta (DKI Jakarta), Medan dan Makassar pada
September 2019. Tiga kota ini ditentukan sebagai tempat pengumpulan survei karena konsentrasi
pengungsinya yang relatif lebih tinggi (Figur 2). Metodologi kami menggunakan sebuah proses digital
yang inklusif dan terdesentralisasi untuk menjaga integritas data yang dikumpulkan dan kepemilikan
narasi riset oleh komunitas pengungsi.
Selama 2018, Sandya Institute bekerja untuk mengembangkan sebuah survei dengan 31 pertanyaan
yang dibagi dalam tiga bagian. Bagian Satu memfokukskan karakteristik demografi (seperti usia, negara
asal, kota tinggal, dan lama tinggal di Indonesia). Bagian Dua mengenai karakteristik ekonomi dan
pekerjaan, dan Bagian Tiga merupakan pertanyaan dengan respon bebas yang membebaskan partisipan
survei untuk berbagi narasi dan informasi kualitatif mereka mengenai kehidupan dalam Indonesia.
Ketiga bagian ini dikembangkan dengan konsultasi mendalam dengan anggota komunitas pengungsi
bersama dengan ahli-ahli di bidang ekonomi dan tenaga kerja. Kemudian, survei yang final
diterjemahkan oleh anggota-anggota komunitas pengungsi dalam empat bahasa lain (Somali, Arabic,
Farsi/Persian, dan Tamil) selain Inggris.
9
Figur 2: Populasi Pengungsi terbagi melalui Kota
Sumber: Penulis dan UNHCR, September 2019
Survei terdiri dari tiga bentuk pertanyaan dalam 3 bagian. Bentuk pertanyaan tersebut terdiri atas:
1. Matriks Pilihan Berganda (satu pilihan jawaban)
2. Pilihan Berganda (banyak pilihan jawaban)
3. Pertanyaan terbuka: Sejarah pekerjaan/pendapatan/pengeluaran/komentar
Setiap bentuk pertanyaan didesain untuk menangkap berbagai elemen penting dan preferensi
partisipan dalam sekumpulan masalah dan solusi dalam kategori yang terhubung.
Kelima survei itu kemudian disediakan dalam platform survei online3 selana empat minggu dalam
tiap kota cakupan. Untuk memulai diseminasi survei, Sandya Institute meminta bantuan dari 65
anggota/pemuka komunitas pengungsi (usia 18 sampai 59) untuk melakukan dan mengumpulkan
maksimal 30 survei per-anggota dalam komunitas mereka, dengan target individu dari usia 18 sampai
59. Sukarelawan dipilih berdasarkan ketersediaan, hubungan dengan Sandya Institute dan hubungan
mereka dalam komunitas sendiri. Sebelum memulai koleksi individu, semua sukarelawan diwajibkan
mendatangi pelatihan sertifikasi selama dua-jam yang dijalankan oleh Sandya Institute mengenai
3 Catatan: Platform daring yang digunakan adalah Zoho Survey Pro Package
10
pengumpulan dan pelaksanaan survei. Tim riset menargetkan individu di atas umur 18, yang
ditentukan sebagai usia awal produktif. Alur proyek ini telah dirancang dalam Figur 3 untuk
menunjukkan tujuan, output dan alasan dibalik tiap langkah.
Figur 3: Alur Survei
Sumber: Penulis, September 2019
Secara keseluruhan, Sandya Institute mengumpulkan 2,820 survei, dari mana 1,605 dianggap
lengkap dan 1,215 tidak lengkap. Sebuah survei dianggap lengkap apabila ia telah menyelesaikan dan
menjawab empat pertanyaan akhir pada halaman akhir survei. 1,605 respon yang lengkap kemudian
dimasukkan menggunakan peranti lunak statistik R untuk mengkonfirmasi tak adanya duplikat. Data
kemudian dikumpulkan menjadi satu berkas Comma Separated Value (CSV) untuk proses dan analisa
lebih lanjut menggunakan R dan bahasa peranti lunak lain, Python.
Sebelum hasil dianalisa, dilakukan pembersihan data. Pertama, semua respon diterjemahkan ke
dalam Bahasa Inggris menggunakan penerjemahan Python-encoded melalui Google Cloud Translator.
Menggunakan Python dan pengecekan manual, tim riset meyelesaikan inkonsistensi teknis dalam
respon-respon. Misalnya, kebanyakan partisipan melaporkan pendapatan terdahulu di negara asalnya
dalam mata uang negara tersebut, dan bukan Rupiah Indonesia (IDR). Solusi inkonsistensi ini, untuk
maksud perbandingan, adalah dengan merubah semuah jumlah moneter ke dalam IDR. Penting dicatat
bahwa pembersihan data teknis ini hanya dilakukan apabila diperlukan dalam one-to-one assessment;
Sandya Institute sama sekali tidak merubah isi respon asli. Strategi pemrosesan statistik tambahan
seperti one-hot encoding digunakan untuk menyiapkan data untuk analisa.
Penentuan Lingkup
Analisa dampak ekonomi dan potensi pengungsi serta pencari suaka pada ekonomi Indonesia.
Survei daring
Kelompok Target: Pengungsi dan Pencari Suaka di: Area Jakarta (DKI Jakarta), Medan, Makassar
Analisa
Jumlah responden: 1605 partisipan Kategori partisipan: Laki-laki atau perempuan berumur 18 dan di atasnya
Analisa Data
-Analisa data kualitatif -Penelusuran analisa tematik.
-Konsep yang diambil dari berbagai kelompok kepentingan, pandangan keseluruhan dikumpulkan
Hasil yang diharapkan
-Rancangan kesimpulan ekonomi kualitatif. -Proposal pedoman kebijakan.
11
Begitu analisa dibersihkan, analisa dilakukan untuk menarik kesimpulan dari 1,605 keseluruhan
responden, sekaligus dengan responden dari tiga kota (DKI Jakarta, Medan dan Makassar).
Kesimpulan ini akan dijabarkan secara detil di bagian berikutnya dari tulisan ini. Semua tabel hasil
dibuat dengan R, lebih tepatnya menggunakan paket ggplot2 peranti tersebut.
4. HASIL SURVEI
Dari distribusi awal survei, platform daring kita melaporkan 2,820 jawaban dari semua pilihan
bahasa. Survei dibiarkan terbuka selama 4 minggu di tiap kota fokus dengan total 1,605 respon valid
dari evaluasi kelengkapan dan ketergunaan. Menggunakan jawaban yang dikumpulkan, bagian di
bawah mewujudkan profil responden dan mengidentifikasi lebih lanjut profil ekonomi pengungsi
dalam pasar Indonesia. Detail hasil survey disimpulkan dalam Appendix A.
4.1. Distribusi Geografis Respon
Dengan perkiraan pengungsi berusia di atas 18 di DKI Jakarta sebanyak 4,853; 1,310 di Medan;
dan 1,380 di Makassar (UNHCR Indonesia, Internal Population Data, 2019), tim kami berhasil
mengumpulkan 97% respon dari tiga kota (beberapa respon diselesaikan di luar area target karena
survei disebarkan secara daring). Dalam evaluasi cakupan populasi, survei menerima respon
sebanyak 13% dari pengungsi berusia produktif di Jakarta, 20% pengungsi berusia produktif di
Makassar, dan 48 % dari pengungsi berusia produktif di Medan. Figur 4 menunjukkan presentasi
survei yang dikumpulkan berdasarkan tiga kota yang menjadi fokus.
4.2. Profil Partisipan
Dalam penelitian ini, Sandya Institute mengumpulkan 1,605 respon, yang merupakan 11.75%
dari seluruh populasi pengungsi Indonesia. Survei kami menemukan bahwa rata-rata usia dari
sampel adalah 29 tahun dan usia median adalah 28 tahun (Figur 5). Dari total populasi pengungsi
berumur di atas 18 tahun dan di bawah 59 tahun, survei ini diisi oleh 16.3% dari individu dalam
cakupan populasi ini. Hasil ini bisa digunakan sebagai indicator sumber yang mewakili populasi
keseluruhan.
12
Figur 4: Sebaran Survei yang dikumpulkan berdasarkan Kota
Sumber: Penulis, September 2019
Figur 5: Jumlah Responden berdasarkan Usia
Perkiraan representasi dari keseluruhan populasi pengungsi juga dipertimbangkan sebelum
analisa data. Populasi pengungsi Indonesia sekarang terdiri dari 32% perempuan dan 68% laki-
laki. Walau hasil tidak cocok secara tepat, uraian berdasar gender dari partisipan survei secara
kasar menyerupai dengan presentasi 28% perempuan dan 72% responden laki-laki. 97% dari
0102030405060708090
100
11 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 59 61 64 68
# o
f Res
pond
ents
AgeSumber: Penulis, September 2019
13
responden jatuh dalam kurun usia dewasa, yang sesuai dengan populasi target survei ini.
Ketidaksesuaian ada dalam pengumpulan berdasar negara asal. Komunitas pengungsi Afghanistan
sekarang merupakan kelompok terbesar di Indonesia, mengisi 56 % dari pengungsi yang terdaftar,
tapi hanya merupakan 27% dari responden survei. Komunitas Somalia, sebaliknya terwakili secara
berlebih pada 33.3% dibandingkan populasi yang terdaftar sebanyak 10%. Data demografi ini
dijabarkan pada Figur 6, Figur 7 dan Tabel 1.
Figur 6: Data Populasi UNHCR yang Relevan dalam Survei
Sumber: Penulis dan UNHCR, September 2019
Setelah mempertimbangkan ketidaksesuaian di atas, kami memutuskan dalam analisa ini untuk
mengevaluasi data yang dikumpulkan melalui lensa tingkat nasional, tanpa melihat gender atau
negara asal. Keputusan ini dibuat mengingat rekomendasi kebijakan yang relevan akan berlaku
bagi semua kelompok dan demografis dalam cara yang sama. Hasil berikut juga termasuk di
8,153 Cases 13,657 Individuals
46% (1,759)
26% (2,486)
53% (145)
54% (2,065)
74% (7,074)
47% (128)
Children
Adult
Elderly
Female Male
28% (3,824)
70% (9,560)
2% (273)
Population by Age and Gender
Catatan: Manula – Di atas usia 59 tahun/Anak-anak – di bawah usia 18 tahun
Partisipasi survei sebagai persentase populasi pengungsi
berdasarkan usia
3.3%
(9)
16.3% (1559)
.97% (37)
14
dalamnya individu yang melaporkan dirinya di bawah umur 18 tahun dan di atas umur 59 tahun
karena dampak statistik dari kelompok di bawah 18 sangatlah terbatas dan kontribusi potensi
ekonomi dari mereka yang berusia di atas 59 perlu dipertimbangkan dengan asumsi individu ini
memiliki keinginan bekerja.
Sumber: Data Penulis dan UNHCR, September 2019
4.3. Pendapatan dan Pengeluaran di Indonesia
Beberapa temuan utama survei ini menitikberatkan di perkiraan dari pendapatan dan
pengeluaran rata-rata dari populasi pengungsi. Keseluruhan data ini menyediakan gambaran
penting ke dalam kualitas hidup pengungsi di Indonesia dan cara mereka menyokong diri mereka
selama tinggal di negara ini. Menimbang bahwa mayoritas dari yang disurvei menyatakan telah
tinggal di Indonesia selama lebih dari dua tahun, dengan angka rata-rata jatuh pada 4.5 tahun,
pembuat kebijakan perlu mendapat sebuah konteks kuantitatif tentang bagaimana pengungsi
dipengaruhi dan mempengaruhi ekonomi lokalnya (Figur 8). Penghidupan yang didapat pengungsi
sekarang dapat dibandingkan dengan pendapatan mereka sebelum tiba di Indonesia untuk
menunjukkan perbedaan kualitas kehidupan dan kemampuan untuk berkontribusi ke
pertumbuhan ekonomi lokal. Perlu ditekankan bahwa angka pendapatan dan pengeluaran
diletakkan dalam konteks yang didasari pada ukuran keluarga. Dengan membagi pendapatan dan
Figur 7: Presentase Survei yang Terkumpul sesuai Negara Asal
Tabel 1: Perbandingan Data Negara Asal
15
pengeluaran tiap orang dengan ukuran keluarganya, riset ini mampu mendapat analisa komparatif
yang mempertimbangkan tiap anggota dependen yang disokong oleh pendapatan yang dilaporkan.
Figur 8: Lama Tinggal di Indonesia
Sumber: Penulis, September 2019
Kemudian, ada pula faktor tak langsung yang dievaluasi, seperti kondisi tempat tinggal
responden dan sumber pendapatan. Walau sebagian populasi menerima beberapa bantuan dari
organisasi internasional atau bantuan lain, sebagian besar pengungsi tidak mendapat bantuan uang
langsung ini. Dalam bahasan kondisi tempat tinggal, mayoritas pengungsi (antara 8,000 dan 8,800
individu) tinggal dalam sebuah skema perumahan yang disediakan pemerintah atau organisasi
internasional dan maka dari itu tidak menganggap tempat tinggal sebagai sebuah pengeluaran.
Kelompok ini biasanya menerima sejumlah uang saku namun jumlah ini biasanya jauh dari jumlah
rata-rata (International Organization for Migration Indonesia, n.d.). Sementara kebanyakan
responden survei di Medan dan Makassar tinggal di perumahan milik IOM, di DKI Jakarta hanya
sepertiga responden tinggal di perumahan milik IOM dengan lebih dari 100 orang mengatakan
mereka tanpa tempat tinggal. Dibandingkan dengan angka nasional, 71% responden survei
melaporkan tinggal di perumahan milik IOM dibanding dengan 62% pengungsi yang tinggal di
perumahan milik IOM.4
4 Catatan: Pengungsi tinggal di akomodasi yang tidak diatur oleh pemerintah Indonesia. Yang dimaksud dengan asisten publik berarti mendapatkan donasi dari organisasi internasional dan non-profit.
16127 26 14
1377
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1-2 years 3-6 months 7-11 months Less than 3months
More than 2years
Average: 4.5 Years
16
Karena mayoritas pengungsi melaporkan bahwa mereka tinggal di perumahan milik IOM dan
ini sesuai dengan kenyataan situasi pengungsi sekarang, bisa diasumsikan bahwa situasi perumahan
direpresentasikan secara akurat di berbagai skenario yang ada dan bahwa variabel ini tidak akan
mencondongkan datanya ke suatu arah tertentu (Figur 9 dan 10)
Sumber: Penulis, September 2019
Karena perbandingan pendapatan dan pengeluaran sangat penting untuk mendapat
pengetahuan yang menyeluruh tentang kondisi pengungsi di Indonesia, perlu ada penjabaran lebih
detil dari perbandingan ini. Secara garis besar, tiga skenario ditentukan untuk mempelajari
bagaimana jumlah pendapatan dan pengeluaran bervariasi sesuai dengan sumber pendapatan dan
tipe akomodasi perumahan :
1. Pendapatan yang dilaporkan disesuaikan dengan jumlah dependen5
2. Pendapatan yang dilaporkan disesuaikan dengan jumlah dependen dan disaring melalui sumber
pendapatan
3. Pendapatan yang dilaporkan disesuaikan dengan jumlah dependen dan disaring dengan tipe
perumahan
5 Catatan: Dependen sama dengan ukuran keluarga. Jumlah ini ditentukan dengan individu ditambah dengan laporan jumlah anak dan apakah ada pasangan yang dilaporkan. Keluarga umum adalah 2.5 orang dengan 859 keluarga single dan 726 keluarga dengan dependen
Figur 9: Tipe Tempat Tinggal Sekarang
Figur 10: Tipe Pendapatan Primer
17
Hasil analisa menunjukkan bahwa pengungsi pada umumnya berujung pada defisit IDR
222,701 dalam budget bulanannya. Mereka yang mendapat bantuan finansial memiliki bagian
defisit yang lebih kecil, sementara mereka yang tidak mendapat bantuan finansial memiliki beban
hutang yang lebih banyak sebesar IDR 165,684 (Figur 11). Menurut angka kemiskinan nasional
Jakarta pada tahun 2018, mereka yang mendapat bantuan berada pada sedikit di atas batas angka
kemiskinan IDR 578,000 (Fitriani, 2018) per bulan. Namun, angka ini telah dipertanyakan oleh
berbagai kalangan yang merasa bahwa angka tersebut jauh terlalu rendah (Renaldi, 2018). Sebuah
perbandingan yang lebih tepat adalah angka Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan
untuk DKI Jakarta, Medan dan Makassar. Di DKI Jakarta, UMR yang ditetapkan sebanyak IDR
4,276,349 per bulan serta IDR 2,303,403 dan IDR 2,860,382 untuk Sumatera Utara dan Sulawesi
Selatan (Gideon, 2019). Menggunakan UMR provinsi sebagai dasar perbandingan dan berasumsi
bahwa mayoritas yang menerima upah minimum juga memiliki biaya perumahan yang terbatas
atau terbagi bersama, jelas bahwa skema pendapatan sekarang tidak mencukupi bagi seorang
pengungsi untuk menjaga sebuah standar kehidupan yang layak. Bahkan dengan bantuan yang
diberikan, pengungsi tetap berada di bawah standar kehidupan rumah tangga di Indonesia (OECD,
2017). Ini bukan berarti bahwa UMR merupakan syarat standar kehidupan yang layak karena juga
ditemukan pula bahwa banyak pekerja Indonesia yang dipekerjakan di bawah kontrak jangka
pendek, yang menaruh mereka di bawah UMR, namun di atas angka kemiskinan (Allen, 2016).
Pada saat yang bersamaan, angka ini menunjukkan bahwa dalam kondisi ini, pengungsi telah
berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bantuan yang diterima pengungsi dari
organisasi internasional — bantuan yang mencapai mayoritas populasi pengungsi dalam berbagai
jumlah yang berbeda (International Organization for Migration Indonesia, n.d.) — sepenuhnya
dialokasikan ke ekonomi konsumsi Indonesia melalui pengeluaran hidupnya. Namun,
ketersinambungan dari kontribusi ekonomi pengungsi berdasar pada kontribusi organisasi
internasional bersifat tidak tetap. Pendanaan organisasi internasional selalu beresiko dan berada
pada keinginan kontribusi moneter negara lain kepada sistem global bantuan internasional. Untuk
melindungi mereka dari kerapuhan dari bantuan eksternal, pemerintah Indonesia bisa mengambil
alih beban yang sekarang dipegang oleh organisasi internasional untuk biaya hidup dan tinggal.
Kebijakan ini memastikan tak hanya kelanjutan dari kontribusi ekonomi secara langsung dari
komunitas pengungsi tapi juga bisa menjadi jalan menuju pekerjaan sementara dan kesempatan
penghidupan bagi pengungsi. Merumuskan kebijakan tersebut seharusnya menjadi prioritas utama.
18
Figur 11: Skema Pendapatan dan Pengeluaran
Sumber: Penulis, September 2019
4.4. Sejarah Pekerjaan dan Pencapaian Pendidikan Sebelum Kedatangan
Untuk memperkaya rekomendasi kebijakan mengenai jalur potensial akses pendidikan dan
integrasi tenaga kerja, dikumpulkan pula data mengenai tingkat pendidikan pengungsi dan
pekerjaan pra-kedatangan Indonesia. Responden ditanyakan dari beberapa daftar pilihan untuk
menyatakan sektor kerja mereka, dan juga menjelaskan posisi pekerjaan mereka sebelumnya serta
pendapatannya. Pilihan ini dibuat menggunakan pedoman International Labour Organization untuk
pasar tenaga kerja dan pekerjaan.
Respon-respon yang dijabarkan pada Tabel 2 menunjukkan pekerjaan sektoral terbesar, yakni
Pelajar, yang merupakan 25% dari orang yang disurvei. Dengan sejumlah besar orang menyatakan
dirinya sebagai pelajar, kebutuhan sumber daya pendidikan tinggi sangatlah jelas. Sektor terbesar
kedua dan ketiga adalah Komunitas, Sosial dan Layanan Pribadi, dengan presentase sebanyak
15.6% dan perdagangan Ritel dan Grosir, Restoran dan Hotel, dengan presentase sebanyak 11.4%.
19
Sektor Konstruksi dan Agrikultur masing-masing berkontribusi sebanyak 11% sementara sektor
yang tersisa (Transportasi, Penyimpanan, Komunikasi, Pertambangan, Manufaktur, Keuangan,
Asuransi dan Real Estate, Listrik, Gas dan Air) mewakili 12.2 % jumlah yang tersisa dengan sektor
Transportasi, Penyimpanan, Komunikasi merupakan jumlah terbesar. Dua kelompok lain adalah
mereka yang melaporkan dirinya sebagai pengangguran dan mereka yang tidak melaporkan sektor
pekerjaan tertentu. Kedua kelompok tersebut ketika digabungkan mencapai 13.5% responden
yang disurvei.
Sesuai dijabarkan dalam Tabel 2, semua sektor melaporkan pendapatan yang lebih tinggi di
negara asalnya dibanding pendanaan yang sekarang diterima dalam bentuk bantuan. Rata-rata
pendapatan dari seluruh populasi yang disurvei sebanyak IDR 4,925,668 per bulan. Bila
diasumsikan biaya hidup antara Indonesia dengan negara asal mereka kurang lebih sama, bisa
dilihat bahwa pengungsi bisa mendapatkan standar kehidupan yang lebih tinggi di negara asalnya
(World Bank, 2019). Data ini juga menunjukkan bahwa pengungsi di Indonesia memiliki
kemampuan untuk berkontribusi secara positif ke ekonomi lokal sebagaimana yang terjadi di
negara asal dengan menciptakan pekerjaan bagi populasi umum.
Tabel 2: Pendapatan (IDR) Bulanan Responden per Sektor di Negara Asal
Sumber: Penulis, September 2019
20
Pengungsi, sebagaimana yang telah dibahas, bisa menyediakan utilitas yang signifikan dalam
meningkatkan ekspor barang Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan bahwa sejumlah besar
individu memiliki pengalaman dalam perdagangan grosir. Populasi lain bisa membantu dengan
wirausahanya sendiri seperti akuntansi, layanan makanan, penjahit dan penjaga took. Profesi
seperti ini, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 3, bisa diintegrasikan dalam pasar resmi dan
dikumpulkan pendapatan wajib pajaknya.
Di sini penting dicatat bahwa populasi pengungsi memegang kemampuan dan titel yang luas.
Konsentrasi terbesar dari satu pekerjaan tidak melebihi 100 respon yang dilaporkan, berarti ketika
dirubah perhitungannya dengan ukuran populasi keseluruhan, tidak lebih dari 600 orang akan
memegang satu bidang. Angka rendah ini membuktikan poin bahwa memperbolehkan pengungsi
untuk memasuki tenaga kerja tak akan memiliki dampak atau berdampak kecil pada gangguan pasar
tenaga kerja.
Indikator kedua dari bagian ini mengumpulkan informasi mengenai tingkat pendidikan
pengungsi. Dibandingkan dengan populasi Indonesia, ada kesempatan besar bagi pengungsi untuk
memasuki bagian dari pasar kerja tanpa menciptakan kompetisi melalui pengetahuan atau
kemampuan yang ada (Tabel 4). Tingkat pendidikan ini relatif konsisten dengan populasi
responden survei dan juga mereka yang berindikasi ingin mencari kesempatan pendidikan
tinggi/lanjutan atau yang melaporkan pekerjaannya sebagai pelajar (Figur 12).
21
Sum
ber:
Penu
lis, S
epte
mbe
r 201
9
Tab
el 3
: Ura
ian
Stat
istik
Ket
enag
aker
jaan
Leb
ih L
anju
t
22
Tabel 4: Tingkat Pendidikan sesuai dengan Presentase Sampel 6
Pasar Indonesia (25 ke atas) Data Survei
SMA: 34.601%. Junior High: 41.5%
Junior College: 8.3%
S1: 9.374% Gelar Bachelor’s (Ekuivalen S1): 7.3%
S2: .614% dan S3: .05% Pendidikan Lebih Lanjut: 4.6%
Walau 35% populasi Indonesia telah menyelesaikan pendidikan sekunder rendah, 41% dari
populasi pengungsi telah mencapai tingkat pendidikan ini. Namun, di tingkat universitas, lebih
banyak proporsi populasi Indonesia yang telah menyelesaikan S1/Bachelor’s dibanding dengan
populasi pengungsi. Di tingkat pendidikan tertinggi, populasi pengungsi secara signifikan memiliki
bagian yang lebih tinggi dalam pencapaian gelar Master’s, PhD, atau bentuk pendidikan lanjutan
lain.
Hasil presentase pendidikan ini seharusnya tidak memberi masalah ketika kita mengizinkan
pengungsi mengakses pasar tenaga kerja (Adiputera & Prabandari, 2019). Menurut survei World
Bank, tingkat pengangguran Indonesia tertinggi ada di antara lulusan tersier atau sekunder senior,
sementara pekerja tak terdidik relatif terserap secara baik dalam pekerjaan berkemampuan rendah
(World Bank, 2014). Masuknya pengungsi ke pasar tenaga kerja berkemampuan rendah di mana
aka nada kompetisi juga akan dibatasi oleh keuntungan bahasa yang dipegang pekerja lokal
dibanding populasi pengungsi dan pencari suaka (Dadush, 2017).
Evaluasi apapun yang mempertimbangkan karakteristik pekerjaan dan pendidikan populasi
pengungsi akan bisa menyimpulkan bahwa ada kesempatan bagi populasi pengungsi untuk
mempengaruhi secara positif lingkungan tenaga kerja lokal. Peningkatan kehidupan penungsi akan
sangat besar dan menurunkan beban biaya pemerintah Indonesia secara substansial. Sebaliknya,
pengungsi yang tertinggal dalam kondisi tidak tentu selama jangka waktu tidak jelas akan
berdampak pada biaya fiskal yang tinggi dan kontribusi ekonomi lokal yang lebih kecil (Dadush,
2017).
6 Catatan: Junior High – Menyelesaikan middle school tapi tidak high school (baik teknis/edukasi) Junior College – Menyelesaikan high school hingga associate’s degree (baik teknis/edukasi) Pendidikan lebih lanjut – Gelar apapun di atas bachelor’s (i.e. Master’s, PhD)
Sumber: Penulis, September 2019 & World Bank, Education, 2019
23
Figur 12: Tingkat Pendidikan Responden Berdasarkan Berbagai Skenario
Sumber: Penulis, September 2019
Asian Development Bank melaporkan bahwa pasar tenaga kerja Indonesia dikarakterisasi oleh
pertumbuhan yang lambat dalam pasar kerja dan tingkat ketidakcocokan yang tinggi dengan
permintaan pasar. Ekonomi Indonesia sedang melihat penurunan dalam ekonomi informal dan
pertumbuhan individu yang mencari kesempatan formal (Allen, 2016). Pengangguran di Indonesia
telah menurun dan berada tetap pada angka 5% dari tahun 2005 (ILO Office for Indonesia and
Timor-Leste, 2017) sejajar dengan tren penurunan yang kecil. Kurangnya penyerapan tenaga kerja
menjadi masalah konsisten dengan sebagian besar pengangguran terjadi pada mereka dengan gelar
sarjana/S1 (Moody’s Analytics, 2019). Pertumbuhan ekonomi berada pada angka tetap sekitar 5%
per tahun semenjak 2013, kebijakan makroekonomi dengan baik menyeimbangkan pertumbuhan
dan stabilitas, serta pertumbuhan PDB/GDP diramalkan dalam keadaan sehat. Tingkat
24
pendidikan telah meningkat, namun kurangnya kemampuan/skill menahan pertumbuhan dan
tingkat pendapatan (OECD, 2018).
Berdasarkan temuan survei ini, sejumlah pengungsi yang signifikan berkemungkinan menjadi
wirausaha atau pemilik usaha kecil. Berdasarkan studi migran yang tinggal di Australia pada tahun
2009-2010 oleh Austalian Bureau of Statistics, usaha yang dibangun oleh migran yang tinggal di
Australia dilaporkan telah tumbuh di mana tingkat pendapatan ada pada tingkat yang lebih besar
atau sama dengan ekspatriat (Australian Bureau of Statistics, 2017). Usaha-usaha formal ini tidak
akan bersaing dengan mereka yang dengan gelar sarjana ingin mencari kesempatan pekerjaan.
Begitupula seseorang yang memegang gelar Magister/S2 dan Doktor/S3, mereka akan mencari
tipe pekerjaan lain yang tidak tumpeng tindih. Sebaliknya, sebagian besar individu di komunitas
pengungsi yang tidak memiliki gelar ekuivalen SMA akan bernasib lebih baik dengan adanya
kemampuan usaha dalam pasar pekerjaan informal tanpa rasa takut akan ditahan (Kusmayadi,
2016), sama dengan warga negara Indonesia lain. Mengingat mengecilnya pasar ekonomi informal,
ada ruang tumbuh dan kesempatan bagi pengungsi untuk mendukung fondasi dari bagian ekonomi
yang mengecil (Adiputera & Prabandati, 2019).
4.5. Keterampilan Bahasa dan Teknis yang Tercatat
Sesuai dengan yang telah disebutkan sebelumnya, populasi lokal telah dan akan selalu
mempunyai keunggulan lebih dibandingkan dengan populasi pengungsi dalam kemampuan
kebahasaan. Namun, dinamika ini tidak sama dengan populasi pengungsi yang tidak mengerti
Bahasa Indonesia sama sekali. Ketika disurvei tentang jumlah bahasa yang digunakan, komunitas
pengungsi melaporkan bahwa mayoritas dari mereka, sebesar 81,7%, berbicara setidaknya dua
bahasa; 50,3% dapat berbicara menggunakan tiga bahasa; dan 23,7% melaporkan dapat berbicara
menggunakan empat bahasa. Dari total populasi tersebut, 70% melaporkan salah satu dari bahasa
ini adalah Bahasa Inggris sedangkan 38% melaporkan salah satu dari bahasa ini adalah Bahasa
Indonesia.
Saat dievaluasi dari waktu ke waktu, data menunjukkan bahwa para pengungsi yang telah
berada di negara ini selama lebih dari dua tahun telah menunjukkan kapasitas yang substansial
untuk mempelajari Bahasa Indonesia. Untuk mereka yang telah tiba di Indonesia dalam dua tahun
terakhir, sekitar 15% melaporkan mengetahui Bahasa Indonesia. Namun, di antara mereka yang
telah tinggal di Indonesia selama lebih dari dua tahun, sekitar 45% melaporkan bahwa mereka
mempunyai pengetahuan Bahasa Indonesia (Figur 13). Peningkatan kemahiran Bahasa Indonesia
25
yang terlaporkan menunjukkan bahwa pengungsi berusaha mempelajari bahasa tersebut. Selain itu,
tingkat kemahiran berbahasa Inggris yang tinggi juga menawarkan banyak tempat dan kesempatan
untuk bekerja di lingkungan internasional maupun industri yang berpotensi untuk memberikan
kontribusi terhadap pembangunan jaringan bisnis internasional yang Indonesia perlukan untuk
meningkatkan peluang ekspor dan perdagangan internasional.
Figur 13: Peningkatan Bahasa Indonesia Berdasarkan Waktu Tinggal di Indonesia
Sumber: Penulis, September 2019
Dibalik kemampuan penggunaan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, terdapat pula peluang
besar bagi para pengungsi untuk mengajar orang lain bahasa asli mereka. Dengan banyaknya
pengungsi yang berbicara bahasa Arab, Persia, Tamil, dan Somalia, banyak peluang bagi orang
Indonesia yang ingin mempelajari bahasa-bahasa ini untuk melakukannya dengan penutur asli.
Tabel 5 di bawah ini menyoroti tingkat kemahiran yang dilaporkan dalam Bahasa Indonesia,
Inggris, dan Arab pada skala numerik 1 - pemula, 2 - menengah, 3 - maju, 4 - lancar, dan 5 -
penutur asli. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kemahiran Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris tingkat menengah, dua bahasa yang dibutuhkan untuk pekerjaan dan sosialisasi - pengungsi
memiliki keterampilan bahasa yang dibutuhkan untuk mulai bekerja, dan mereka juga
membutuhkan peluang untuk terus membangun keterampilan ini. Sementara itu, tingkat
26
kemahiran berbahasa Arab yang relatif tinggi menunjukkan keterampilan bahasa yang diperlukan
untuk memfasilitasi perdagangan asing baru dan untuk membantu mengajar orang lain Bahasa
Arab atau memfasilitasi pelajaran bagi mereka yang mempelajari Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris.
Tabel 5: Kemahiran Bahasa yang Dipilih oleh Responden
Sumber: Penulis, 2019
Selain keterampilan bahasa, ada juga bagian signifikan lain dari kelompok tersebut, antara lain
adalah keterampilan komputer, keterampilan teknis, dan keterampilan perdagangan yang
menunjukkan kemampuan pengungsi untuk mengoperasikan bisnis mereka masing-masing atau
menjadi kontributor yang berharga bagi orang lain.
44% responden menunjukkan kemahiran dalam Microsoft Word, sedangkan 36%
menunjukkan kemahiran dalam Microsoft Excel dan 33% untuk Microsoft PowerPoint. Di bidang
kreatif lain, 27% responden mempunyai kemahiran dalam bidang fotografi, 23% mahir dalam
menggunakan Internet, 22% menunjukkan pengetahuan tentang media sosial, dan 22% responden
menunjukkan kemampuan untuk menggunakan Photoshop. Persentase rendah yang diindikasikan
untuk sumber daya yang umum digunakan, seperti Internet, dapat dikaitkan dengan persepsi
bahwa penggunaan internet dasar bukanlah keterampilan yang dapat dilaporkan. Namun, yang
penting untuk ditekankan kepada individu adalah bahwa hal ini adalah keterampilan yang
dinginkan untuk melamar pekerjaan. Di luar keterampilan industri kreatif, 11% responden
menunjukkan bahwa mereka memiliki keterampilan teknis dalam akuntansi sedangkan 11% juga
menunjukkan keterampilan teknis dalam menjahit (Figur 14).
27
4.6. Rencana Masa Depan
Di bagian akhir survei, Responden diberikan tiga pertanyaan yang berkaitan tentang niat dan
prioritas mereka di masa depan. Terdapat dua pertanyaan bersifat 'Ya atau Tidak' sedangkan
pertanyaan ketiga memberikan responden kemampuan untuk memilih beberapa pilihan dan juga
untuk mereka mengamati preferensi opsi yang diajukan secara berdampingan. Setelah ditinjau,
84,5% responden menunjukkan keinginan mereka untuk mencari pendidikan yang lebih tinggi,
sementara 66,9% menunjukkan keinginan untuk mencari peluang kerja (Figur 15). Namun, ketika
responden diberikan opsi berupa pemukiman kembali (resettlement) bersamaan dengan kesempatan
pendidikan dan pekerjaan, dimana responden diberi lebih banyak pilihan, kesempatan untuk
pemukiman kembali sangat banyak dipilih oleh hampir setiap peserta survei.
* 27% tidak melaporkan keterampilan teknis apa pun
* 49% tidak melaporkan keterampilan komputer apa pun
Keterampilan Teknis
Sumber: Penulis, September 2019
Keterampilan Komputer
Figur 14: Keterampilan Komputer dan Teknis Responden
28
Figur 15: Tujuan dan Rencana Masa Depan Responden
Berdasarkan hasil ini, jelas bahwa komunitas pengungsi mencari pekerjaan sementara dan
peluang pendidikan. Oleh karena itu, solusi yang diusulkan untuk mengelola populasi pengungsi
harus mempertimbangkan jenis pekerjaan di negara asal, tingkat pendidikan, dan keterampilan
yang dipelajari dalam konteks bahwa durasi tinggal populasi pengungsi bersifat sementara sampai
pemukiman kembali berhasil dikonfirmasi.
5. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Memberikan akses ke pekerjaan dapat menurunkan kerentanan pengungsi dan meningkatkan
kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Ketidakmampuan untuk bekerja ini telah mengakibatkan
masalah kesehatan mental dan fisik yang diperparah oleh pengalaman keseluruhan pemindahan paksa
(IOM, 2019). Seperti yang dilaporkan dalam salah satu diskusi kelompok fokus Sandya Institutes,
kehidupan seorang pengungsi saat ini adalah “seperti binatang; kegiatan keseharian kita adalah bangun
tidur, makan, lalu kembali tidur. Kita tidak diperbolehkan menjadi produktif dan hal-hal seperti kita
dipaksa untuk tidak melakukan apa pun adalah sangat tidak baik bagi kesehatan mental dan pikiran
kita (Sandya Institute, 2019).”
Mendapatkan peluang kerja dan pendidikan tanpa diskriminasi, tanpa rasa takut untuk ditangkap,
dan tanpa konsekuensi eksploitasi adalah sangat penting untuk menciptakan eksistensi yang secara etis
dibenarkan untuk populasi ini. Kegagalan untuk mengembangkan kerangka kerja untuk menyelesaikan
masalah-masalah ini akan mencegah pengungsi untuk meningkatkan standar hidup mereka. Hal ini
Sumber: Penulis, September 2019
29
dapat menyebabkan risiko yaitu meningkatnya biaya pengelolaan populasi pengungsi oleh pemerintah
Indonesia secara berkelanjutan, jika organisasi internasional menghentikan operasi dan kegiatan
mereka saat ini.
Namun, ada cara memungkinkan para pengungsi mencari peluang pendidikan dan pekerjaan tanpa
mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ukuran populasi pengungsi yang lebih kecil
dibandingkan dengan ukuran keseluruhan angkatan kerja Indonesia membuat kemungkinan terjadinya
dampak negatif sangat rendah. Akan tetapi, satu hal yang harus diperhatikan adalah pengungsi yang
memasuki sektor pekerjaan informal sangat rentan terhadap eksploitasi tenaga kerja karena mereka
tidak memiliki jalur bantuan seperti kemampuan untuk mengubungi pihak berwenang ketika terjadi
pelanggaran, tidak seperti penduduk local yang dapat dengan leluasa menghubungi polisi jika terdapat
masalah. Sebagaimana diketahui dalam penelitian ini, keterampilan dari populasi yang disurvei tidak
secara langsung bersaing dengan populasi pengangguran di Indonesia. Selain itu, pengungsi dapat
hidup berdampingan dengan komunitas lokal sekaligus memberikan kontribusi positif bagi
perekonomian Indonesia serta turut membangun visi negara untuk menumbuhkan ekonomi masa
depan. Dengan pertimbangan ini, dan dengan mempertimbangkan lingkungan kebijakan saat ini,
Sandya Institute telah mengusulkan beberapa bidang fokus untuk kerangka kerja yang dapat
mendukung peluang mata pencaharian pengungsi yang bersifat sementara.
1. Kerangka Kerja Pekerjaan Sementara
a. Kesempatan magang yang dipimpin implementasinya oleh Pemerintah
b. Kesempatan untuk membuka usaha sendiri yang dipimpin implementasinya
oleh Pemerintah
c. Program pelatihan dan peningkatan kejuruan yang dipimpin implementasinya
oleh organisasi non pemerintah
2. Kerangka Kerja Pendidikan Sementara
a. Untuk organisasi non pemerintah dan organisasi internasional:
i. Sistem standardisasi dan kerja sama pusat pembelajaran
ii. Pelatihan Bahasa dan General Education Development (GED)
b. Untuk Pemerintah Indonesia:
i. Pengintegrasian pengungsi ke dalam institusi pendidikan tinggi
30
Meskipun saran kebijakan ini lebih berfokus pada tindakan-tindakan yang dipimpin oleh pemerintah,
Lembaga Swadaya Masyarakat mengambil peran penting dalam menerapkan dan memastikan
keberhasilan kebijakan yang diberlakukan pemerintah.
5.1. Keadaan Lingkungan Kebijakan Saat Ini
Karena rendahnya paparan dan perhatian publik Indonesia terhadap masalah pengungsi dan
terbatasnya kapasitas UNHCR dalam dunia geopolitik yang fluktuatif, penentuan status pengungsi
dan pemukiman kembali merupakan proses yang panjang dan sulit. Kebijakan Indonesia untuk
tidak menerima penyelesaian permanen pengungsi juga menghambat upaya integrasi atau
pengembalian. Kerangka kerja pengungsi saat ini sangat terbatas karena kurangnya hukum yang
mengatur perlindungan pengungsi sehingga meningkatkan kebingungan tentang bagaimana krisis
harus ditangani. Kerangka kerja kebijakan saat ini seperti yang dikembangkan berdasarkan
Undang-Undang Imigrasi (6/2011) (Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, dkk., 2011)
mengacaukan pengungsi dan imigran lainnya. Peraturan eksekutif seperti Peraturan Imigrasi
Direktur Jenderal no. IMI-1489 UM.08.05 Tahun 2010 tentang Imigran Ilegal (SUAKA, 2019)
mengembangkan perlindungan bagi pengungsi dari pelanggaran imigrasi yang berlaku untuk
imigran ilegal. Sementara Keputusan Presiden 125/2016 (Tobing, 2019) menciptakan garis besar
awal untuk mekanisme manajemen pengungsi. Di bawah Keputusan ini, para pengungsi dan
pencari suaka berada di bawah definisi yang sama (UNHCR Indonesia, 2019), “sebagai orang asing
yang tinggal di wilayah Republik Indonesia dikarenakan keresahan atas persekusi yang beralasan”.
Definisi ini berlaku untuk sebagai langkah pertama dalam menciptakan sistem bagi para pengungsi
yang memberikan perlindungan awal dan mengurangi kemungkinan pelanggaran sewenang-
wenang. Selanjutnya, definisi dan ketetapan mendorong pembagian tanggung jawab yang sangat
penting untuk menciptakan mekanisme kebijakan yang efisien (Tobing, 2018). Namun, hal ini
tidak membahas kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan orang dewasa, pelatihan, atau
kegiatan mata pencaharian lainnya. Pengungsi tetap bergantung pada tunjangan bulanan dari
UNHCR atau IOM, dimana tunjangan ini tidak memiliki jaminan kelanjutan jangka panjang dan
jumlahnya jauh dari standar pendanaan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Dengan tidak adanya negara lain di ASEAN (selain Filipina) yang memungkinkan para
pengungsi untuk mencari peluang di pasar tenaga kerja dengan basis non-percobaan, Indonesia
dapat terus bergerak sebagai pemimpin di wilayah tersebut dengan mengadopsi kerangka kerja
integrasi sementara yang komprehensif. Hal ini akan mendukung kepemimpinan Indonesia di
31
ASEAN, dimana kerangka kerja tersebut mempertimbangkan keadaan pengungsi yang tinggal di
Indonesia untuk jangka waktu yang cukup lama dikarenakan keadaan dan permasalahan yang tidak
terduga seputar proses dan keputusan pemukiman kembali. (Topsfield, 2017).
Figur 16: Alur Waktu Tindakan Kebijakan Pengungsi yang Bersifat Utama
Source: Authors, September 2019
5.2. Kerangka Kerja Sama Sementara
Kerangka kerja sama yang ideal akan mempertimbangkan tiga jenis peluang bagi para
pengungsi. Peluang-peluang ini akan memberikan kesempatan bagi para pengungsi untuk
berpartisipasi aktif dalam masyarakat Indonesia selama masa tinggal sementara mereka dan
memungkinkan mereka untuk mempersiapkan transisi mereka ke negara-negara pemukiman
kembali.
32
1. Kesempatan magang
2. Kesempatan untuk membuka usaha sendiri
3. Program pelatihan dan peningkatan kejuruan
Dari ketiga bidang fokus ini, nomor satu dan dua akan dibahas lebih lanjut karena poin-poin
ini memerlukan tindakan dari pemerintah secara langsung sekaligus arahan pada tingkat menteri
untuk diimplementasikan. Inisiatif untuk proposal ketiga harus disetujui oleh otoritas pemerintah
manapun dan telah dilakukan (dengan persetujuan pemerintah, bila diperlukan) melalui pemberian
peluang pembelajaran yang dipimpin oleh aktor organisasi non-pemerintah dan internasional.
Karena aktor-aktor non-pemerintah dan organisasi internasional adalah kekuatan utama dalam
inisiatif proposal ketiga, program-program ini tidak menjadi perhatian utama pada setiap tindakan
pemerintah yang diusulkan. Oleh karena itu, laporan ini mendorong perluasan dan formalisasi
program-program inisiatif ini tetapi tidak mencantumkan proposal kebijakan apapun.
Untuk memungkinkan para pengungsi terlibat dalam kesempatan magang, arahan pemerintah
harus menyatakan bahwa peluang tersebut dapat dikejar dan difasilitasi oleh organisasi luar.
Definisi kesempatan magang adalah posisi pelatihan sementara berbayar dalam perusahaan,
universitas, atau tempat kerja lain yang ada. Saat ini, peluang seperti itu belum diizinkan secara
formal. Dalam skenario tersebut, masuk akal untuk membuat parameter yang ditetapkan oleh
pemerintah terutama mengenai potensi dan mekanisme pembayaran di posisi tersebut. Parameter-
parameter itu penting untuk memastikan bahwa pembayaran tidak berlebihan dan tidak menarik
potensi peluang dari pekerja Indonesia. Selain itu, batasan juga membantu menetapkan standar
yang memastikan akses ke mata pencaharian secara mandiri dan mencukupi. Jenis peluang kerja
mungkin dapat dibatasi oleh pembuat kebijakan Indonesia berdasarkan kebutuhan untuk
melindungi apa yang dilihat sebagai industri Indonesia yang rentan. Dalam membuat
pertimbangan ini, sangat disarankan agar tidak ada sektor-sektor berikut yang dibatasi: layanan
masyarakat, sosial, dan pribadi; listrik, gas, dan air; keuangan, asuransi, dan perumahan;
perdagangan eceran dan grosir; dan transportasi, biro penyimpanan, dan komunikasi. Sektor-
sektor ini harus diberi perhatian khusus karena kesempatan bagi para pengungsi untuk mencari
pekerjaan sementara tanpa bersaing secara langsung dengan pekerja Indonesia di sektor-sektor
tersebut sangat besar, baik karena kondisi kecocokan keterampilan atau sedikitnya jumlah
pengungsi di sektor-sektor ini.
Area fokus kedua, yang merupakan peluang bisnis yang dikelola secara individual, perlu
dipertimbangkan dalam dua bagian. Yang pertama melibatkan bisnis yang dijalankan secara formal
33
dan yang kedua melibatkan bisnis yang beroperasi di pasar informal. Untuk membuka peluang
bagi pengungsi menjalankan bisnis di pasar formal, persyaratan investasi asing, dan dalam
beberapa kasus persyaratan kepemilikan asing, harus dihapus dari bisnis yang akan berbasis di
Indonesia untuk periode sementara yang dimiliki dan dioperasikan oleh para pengungsi.
Kemungkinan pengabaian persyaratan hanya akan berlaku bagi mereka yang mempunyai kartu
identitas yang diberikan dan diisukan oleh UNHCR dengan pertimbangan bahwa operasi bisnis
dan periode tinggal mereka di Indonesia bersifat sementara dengan adanya kondisi pemukiman
kembali (resettlement). Manfaat dari menciptakan jalur kepemilikan bisnis formal adalah
kemampuan untuk mengumpulkan pendapatan pajak dari bisnis-bisnis ini dan untuk dampak
ekonomi positif yang lebih besar pada ekonomi lokal. Mempertimbangkan bahwa banyak
pengungsi bekerja di industri grosir dan perdagangan di negara asal mereka, keuntungan dari
proposal kerja ini bisa sangat besar untuk memperluas sistem ekspor dan mengembangkan
koneksi perdagangan global milik Indonesia. Mengenai kelonggaran operasi bisnis informal di grey
market, satu-satunya arahan yang perlu dipertimbangkan adalah arahan yang memungkinkan bisnis
tersebut ada tanpa takut ditangkap atau ditahan/dipersekusi oleh otoritas setempat. Proposal kerja
sama ini harus secara eksplisit menyatakan bahwa bisnis tersebut dapat beroperasi di grey market
dimana hasil pendapatan bisnis tersebut memberikan keuntungan terhadap ekonomi lokal,
sekaligus memberikan mayoritas pengungsi sebuah kesempatan untuk mencari peluang kerja
secara mandiri.
Mempertimbangkan kerangka kerja sistem hukum Indonesia, arahan mengenai tindakan-
tindakan ini harus berasal dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Indonesia, bekerja sama dengan Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri
lintas kementerian yang sedang beroperasi untuk mengidentifikasi undang-undang atau kebijakan
saat ini, terutama menentukan di Kementerian manakah kebijakan tersebut akan dinaungi.
Kerjasama lintas kementerian juga sangat penting untuk memastikan konsistensi kebijakan dan
menghindari tumpang tindih arahan. Pembuat kebijakan juga diharapkan untuk
mengkomunikasikan tindakan nasional apapun ke pemerintahan provinsi dan daerah.
5.3. Kerangka Kerja Pendidikan Sementara
Mengingat bahwa sekitar seperempat dari semua responden menunjukkan bahwa mereka
sebelumnya adalah seorang siswa, kami merasa perlu adanya pengusulan jalur sistem pendidikan
sementara yang lebih baik. Kelompok utama pembuat kebijakan dalam bidang ini adalah organisasi
34
non-pemerintah dan internasional serta Pemerintah Indonesia. Diskusi berikut akan dibagi
menurut tindakan yang diusulkan yang diharapkan dapat diambil oleh masing-masing sektor
sebagai berikut:
1. Untuk organisasi non pemerintah dan organisasi internasional:
a. Sistem standardisasi dan kerja sama pusat pembelajaran
b. Pelatihan Bahasa dan General Education Development (GED)
2. Untuk Pemerintah Indonesia:
a. Pengintegrasian pengungsi ke dalam institusi pendidikan tinggi
Tindakan sektor non-pemerintah dalam hal ini terdiri atas pusat pembelajaran lokal dan
organisasi amal sukarela yang bekerja sama dengan organisasi internasional seperti UNHCR.
Lembaga-lembaga ini berfungsi sebagai badan implementasi dan operator utama dalam
menyediakan peluang pendidikan informal yang tidak terakreditasi untuk komunitas pengungsi.
Salah satu kekurangan utama dalam sistem kesempatan pendidikan informal saat ini bagi para
pengungsi adalah kurangnya standarisasi di dalam masing-masing institusi dan juga lintas institusi,
terutama dalam konteks pembuatan kurikulum. Lembaga yang berupaya beroperasi dalam ruang
kesempatan pendidikan di Indonesia memerlukan lebih banyak komunikasi eksternal antar
lembaga untuk memastikan standarisasi kualitas pendidikan populasi pengungsi. Meskipun
penelitian ini berfokus pada peluang pendidikan bagi individu usia kerja, koordinasi lebih lanjut di
antara para pelaku pendidikan juga dapat bermanfaat bagi mereka yang berusia lebih muda.
Menciptakan kurikulum standar di seluruh lembaga pendidikan dapat berfungsi sebagai titik
aspirasi yang dapat memastikan pembelajaran progresif untuk komunitas tersebut, sehingga
mereka tidak harus mempelajari materi-materi yang sebelumnya telah mereka pelajari. Pendanaan
kesempatan pembelajaran ini akan bergantung pada para aktor yang ikut serta di dalam ranah ini
serta pendanaan organisasi internasional. Selain itu, penekanan berkelanjutan pada kesempatan
pelatihan kebahasaan dan persiapan ujian GED akan bermanfaat bagi sebagian besar individu yang
ingin melanjutkan pendidikan di tingkat lanjut, sesuai dengan informasi tingkat pencapaian
pendidikan dan tujuan pendidikan yang dilaporkan saat ini. Program-program ini dapat
menciptakan jalur vital untuk membuka peluang mencari mata pencaharian yang lebih besar bagi
para pengungsi.
Tanggung jawab pemerintah Indonesia dalam memastikan aksesibilitas pendidikan lebih
difokuskan pada penyediaan kesempatan pendidikan formal. Berfokus pada populasi usia kerja,
arahan kebijakan pendidikan harus membantu membangun jalur untuk mengejar kursus maupun
35
kelas di lembaga pendidikan tinggi Indonesia. Karena kurangnya pengakuan yang kredibel
berdasarkan status mereka sebagai pengungsi, lembaga pendidikan tinggi Indonesia yang
terakreditasi saat ini tidak dapat menerima pengungsi untuk program yang terakreditasi. Standar
yang berlaku untuk siswa internasional saat ini juga berlaku untuk pengungsi; namun, para
pengungsi tidak memiliki kemampuan yang sama untuk memberikan dokumentasi yang harus
disiapkan oleh siswa internasional untuk kelas-kelas yang terakreditasi beserta kesempatan
pembelajaran dan pelatihan lainnya. Meninjau persyaratan ini, serta memahami keadaan para
pengungsi dan kesulitan yang mereka hadapi untuk belajar bersama murid-murid Indonesia, akan
memberikan kemajuan yang signifikan dalam memberikan para pengungsi kesempatan untuk
terlibat dalam kegiatan-kegiatan produktif yang dapat mempersiapkan mereka untuk pemukiman
kembali mereka dan juga memungkinkan kontribusi positif bagi masyarakat Indonesia. Perubahan
kebijakan ini juga akan memerlukan tindakan tingkat menteri dalam bentuk arahan kebijakan untuk
mengembangkan standar dan proses peluang pendidikan tingkat tinggi bagi pengungsi.
6. PERMASALAHAN KEBIJAKAN
Kekhawatiran tentang kebijakan yang berfokus pada peningkatan mata pencaharian populasi
pengungsi dapat menyebabkan permasalahan bagi pembuat kebijakan; namun, kekhawatiran ini
seharusnya tidak menghalangi pembuat kebijakan untuk mengambil tindakan tegas dan progresif
untuk mendukung populasi rentan ini. Tidak mengizinkan pengungsi untuk bekerja atau mencari
peluang pendidikan dikarenakan persepsi bahwa mereka adalah beban nasional yang meningkatkan
persaingan dalam pencarian kerja hanya akan menyebabkan kerugian bagi populasi ini sekaligus untuk
pemerintah Indonesia. Beberapa poin berikut merupakan stigma dan miskonsepsi tentang kelompok
pengungsi yang akan kami jelaskan secara singkat dengan harapan bahwa masyarakat luas
mendapatkan informasi yang akurat mengenai populasi tersebut:
1. Perpajakan: Pemerintah dapat memungut pajak yang berasal dari hasil upah/bisnis pengungsi.
2. Beban biaya nyata: Biaya untuk menyediakan perawatan kesehatan mental dan layanan
pendukung tambahan akan menjadi beban biaya nyata bagi Pemerintah Indonesia. Jika
populasi tersebut diizinkan untuk mencari kesempatan kerja, maka biaya ini bisa dihindari.
3. Pertumbuhan ekonomi: Indonesia akan kehilangan potensi tenaga kerja baru beserta
kesempatan untuk memperluas pasar global negara.
36
4. Mata pencaharian yang berkelanjutan: Melarang mereka menciptakan bisnis baru juga akan
mengurangi peluang bagi masyarakat lokal untuk mendapatkan pekerjaan (Adiputera, &
Prabandari, 2019).
5. Masalah keamanan: Kekhawatiran bahwa pengungsi menjadi ancaman bagi keamanan
Indonesia sangat tidak mungkin karena tidak ada kasus nyata dimana pengungsi menjadi
ancaman serius bagi keamanan nasional Indonesia.
Selain itu, kekhawatiran bahwa memberikan pengungsi kesempatan untuk mencari mata
pencaharian mereka masing-masing dapat menciptakan sistem yang meningkatkan “faktor penarik”
pengungsi ke Indonesia adalah tidak berdasar. Seperti yang terlihat dalam survei ini, hampir semua
pengungsi ingin dipindahkan ke negara ketiga (negara tujuan). Sangat penting untuk diketahui bahwa
pendapatan rata-rata populasi yang disurvei menunjukkan bahwa pengungsi memiliki gaji yang lebih
tinggi di negara asal mereka, sedangkan biaya hidup mereka sama atau bahkan lebih murah di negara
asal mereka. Dengan memasukkan fakta ini ke dalam evaluasi kami, tim peneliti dapat menyimpulkan
bahwa para pengungsi luar negeri di Indonesia tidak datang dan tinggal di Indonesia dengan tujuan
maupun untuk urusan ekonomi. Para pengungsi luar negeri di Indonesia meninggalkan negara asal
mereka karena ancaman nyata terhadap keselamatan mereka. Semua faktor tersebut selanjutnya
dibuktikan dengan berkurangnya populasi pengungsi di Indonesia karena banyak dari mereka yang
sekarang telah dimukimkan ke negara tujuan maupun kembali ke negara asal dibandingkan dengan
mereka yang tiba di Indonesia.
7. ANALISIS KESENJANGAN DAN POTENSI PROGRAM DAN
PENELITIAN LANJUTAN Peluang penelitian di masa depan mengenai populasi pengungsi sesuai dengan kerangka survei
penelitian ini sangat besar, terutama jika Pemerintah Indonesia dapat membuat kebijakan-kebijakan
yang telah direkomendasikan. Pertanyaan tambahan mengenai karakteristik yang mengukur kualitas
mata pencaharian dapat pula dimasukkan, sekaligus upaya untuk meneliti komunitas pengungsi luar
negeri yang lebih besar lagi. Melakukan penelitian dimana fokus riset adalah keperluan sosialisais,
termasuk pengungkapan data yang dapat menangkap sentimen dan persepsi penduduk Indonesia
terhadap kelompok pengungsi tersebut juga dapat membantu memberi informasi lebih lanjut kepada
para pembuat kebijakan jika dan ketika mereka berupaya untuk mengatasi menentukan bagaimana
populasi pengungsi luar negeri ini dapat hidup berdampingan dengan komunitas lokal lain selama
periode tinggal sementara mereka di Indonesia. Selain itu, penelitian di masa depan dapat juga berfokus
37
pada kontribusi pengungsi terhadap laju perekonomian dimana pengungsi yang merupakan target
penelitian dan/atau survei tersebut adalah komunitas pengungsi luar negeri yang telah diberikan
pemukiman kembali (resettlement) dari Indonesia ke negara ketiga, dengan tujuan untuk memperkirakan
dampak ekonomi mereka dalam kondisi yang berbeda.
Sehubungan dengan penelitian di masa depan, peluang penelitian berdasarkan laporan dan survei
ini dapat berfokus pada analisis regresi kuantitatif berdasarkan data pasar tenaga kerja Indonesia yang
tersedia saat ini. Penelitian ekonomi pada skala ini dapat memberikan lebih banyak bukti mengenai
dampak kuantitatif yang ditimbulkan pengungsi di Indonesia terhadap perekonomian nasional.
Sandya Institute menganggap laporan ini sebagai langkah pertama dalam upaya jangka panjang
untuk bekerja sama dengan pemerintah, pihak swasta, nirlaba, dan pemangku kepentingan masyarakat
lain untuk menciptakan solusi kebijakan yang etis dan efektif. Laporan ini berfungsi sebagai dasar
untuk advokasi kebijakan dan pembangunan koalisi yang berkelanjutan untuk mengatasi masalah
mendasar yang dihadapi pengungsi luar negeri yang tinggal di Indonesia. Sandya Institute akan terus
bekerja sama dengan para pemangku kepentingan dan aktor di ranah ini untuk meningkatkan taraf
kehidupan pengungsi.
8. KESIMPULAN Tak tentunya waktu menunggu di Indonesia yang dihadapi oleh pengungsi luar negeri
menyebabkan taraf hidup mereka memburuk, dimana tingkat produktifitas mereka menurun
meskipun adanya keinginan untuk berkontribusi di dalam komunitas lokal tempat mereka tinggal.
Masalah yang dihadapi pengungsi di Indonesia selalu ada dan bersifat konstan dengan tidak banyaknya
tanpa perubahan atau peningkatan yang signifikan. Karena kondisi global yang memperlambat proses
pemukiman kembali, periode tunggu yang harus dihabiskan para pengungsi di Indonesia dapat
melebihi satu dekade. Walaupun langkah-langkah telah dilakukan untuk mengurangi penggunaan
pusat-pusat penahanan dan untuk menciptakan kerangka kerja yang mengakui status kepengungsian
komunitas tersebut, masih ada banyak hal yang harus dicanangkan dan diimplementasikan untuk
melindungi hak asasi populasi ini secara memadai.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Sandya Institute tentang karakteristik
ketenagakerjaan pengungsi di dalam laporan ini, kami yakin atas adanya potensi kemajuan untuk
meningkatkan taraf hidup populasi tersebut sekaligus membuka lapangan pekerjaan dan mata
pencaharian serta kesempatan pendidikan saat mereka menunggu status pemukiman kembali mereka.
Membuka akses ke peluang-peluang ini akan membutuhkan kerja sama yang berkelanjutan antara para
38
pengungsi, organisasi nirlaba, dan pemerintah dan masyarakat Indonesia. Upaya-upaya ini penting
untuk membantu populasi yang sudah rentan untuk mempertahankan kualitas hidup yang manusiawi.
39
App
endi
x A
: Sum
mar
y of
Sur
vey
Out
com
es fo
r All
Resp
onde
nts
40
41
42
43
Sour
ce: A
utho
rs, S
epte
mbe
r 201
9
44
App
endi
x B:
Sur
vey
Out
com
es fo
r DK
I Jak
arta
Res
pond
ents
45
46
47
Sour
ce: A
utho
rs, S
epte
mbe
r 201
9
48
App
endi
x C:
Sur
vey
Out
com
es fo
r Mak
assa
r Res
pond
ents
49
50
51
So
urce
: Aut
hors
, Sep
tem
ber 2
019
52
App
endi
x D
: Sur
vey
Out
com
es fo
r Med
an R
espo
nden
ts
53
54
55
Sour
ce: A
utho
rs, S
epte
mbe
r 201
9
56
Referensi
Adiputera, Y., & Prabandari, A. (2019, July 25). Akses Pekerjaan Untuk Pengungsi Di Indonesia: Peluang Dan Tantangan . Retrieved November 1, 2019, from https://simpan.ugm.ac.id/s/srjhE7cag7H8eDY#pdfviewer.
Akgündüz, Y., van den Berg, M. & Hassink, W.H.J. (2015). The Impact of Refugee Crises on Host Labor Markets: The Case of the Syrian Refugee Crisis in Turkey. IZA Discussion Paper No. 8841. Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=2564974
Allen, E. R. (2016). Analysis of trends and challenges in the Indonesian labor market. ADB Paper on
Indonesia, 16. Retrieved from https://www.adb.org/sites/default/files/publication/182935/ino-paper-16-2016.pdf
Altindag, O., Bakis, O., & Rozo, S. (2018). Blessing or Burden? The Impact of Refugees on Businesses and the Informal Economy. SSRN Electronic Journal. doi: 10.2139/ssrn.3188406
Australian Bureau of Statistics. (2017, September 6). Personal Income of Migrants, Australia, 2009-10.
Retrieved November 1, 2019, from https://www.abs.gov.au/ausstats/[email protected]/mf/3418.0. Dadush, U. (2017, November). The Economic Effects of Refugee Return and Policy Implications.
Retrieved November 1, 2019, from http://bruegel.org/wp-content/uploads/2017/11/RefugeeReturnOCPPC-1.pdf.
Dadush, U., & Niebuhr, M. (2016). The Economic Impact of Forced Migration. OCP Policy Center - Carnegie Endowment for International Peace, 16(3). Retrieved from https://carnegieendowment.org/files/RP-_16-03_Final.pdf
Erdogan, M. and Unver, C. (2015). ˘ Perspectives, Expectations and Suggestions of the Turkish
Business Sector on Syrians in Turkey. Turkish Confederation of Employer Associations
Farrell, P. (2014, November 18). Asylum seekers registered with UNHCR in Indonesia blocked from resettlement. Retrieved November 1, 2019, from https://www.theguardian.com/australia-news/2014/nov/18/asylum-seekers-registered-with-unhcr-in-indonesia-blocked-from-resettlement.
Fitriani, F. F. (2018, January 2). BPS DKI : Warga Miskin Jakarta Naik Tipis: Jakarta. Retrieved
November 1, 2019, from https://jakarta.bisnis.com/read/20180102/77/722711/bps-dki-warga-miskin-jakarta-naik-tipis.
Gideon, A. (2019, October 19). Daftar Lengkap Prediksi Kenaikan UMP 2020 di 34 Provinsi. Retrieved November 1, 2019, from https://www.liputan6.com/bisnis/read/4088870/daftar-lengkap-prediksi-kenaikan-ump-2020-di-34-provinsi.
Human Rights Watch. (2017, July 6). Thailand: Implement Commitments to Protect Refugee Rights.
Retrieved November 1, 2019, from https://www.hrw.org/news/2017/07/06/thailand-implement-commitments-protect-refugee-rights.
57
ILO Office for Indonesia and Timor-Leste. (2017). Indonesia Jobs Outlook 2017: Harnessing
technology for growth and job creation. Retrieved November 1, 2019, from https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_613628.pdf.
Indonesian Coordinating Ministry for Economic Affairs. Master Plan Acceleration and Expansion of
Indonesia Economic Development 2011-2025 (2011). Republic of Indonesia. Institute for Democracy and Economic Affairs . (2019, April 29). IDEAS: Refugees could contribute
over RM3 billion to the Malaysian economy if granted the right to work. Retrieved November 1, 2019, from https://web.archive.org/web/20190507042554/http://www.ideas.org.my/ideas-refugees-could-contribute-over-rm3-billion-to-the-malaysian-economy-if-granted-the-right-to-work/.
International Labour Office. (2012). International Standard Classification of Occupations. Retrieved
November 1, 2019, from http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---dcomm/---publ/documents/publication/wcms_172572.pdf.
International Organization for Migration (IOM). (2019, November 11). Meeting with IOM in-person. International Organization for Migration Indonesia. (n.d.). FAQs for Media on Assistance towards
Refugees & Asylum Seekers in Indonesia. Retrieved November 1, 2019, from https://indonesia.iom.int/faqs-media-assistance-towards-refugees-asylum-seekers-indonesia.
International Rescue Committee. (2016, January 1). Policy brief: Impact of Syrian refugees on host communities. Retrieved November 1, 2019, from https://www.rescue.org/report/policy-brief-impact-syrian-refugees-host-communities.
IOM. (2019). Migration Health Annual Report 2018. Retrieved November 1, 2019, from
https://publications.iom.int/system/files/pdf/mhd_ar_2018.pdf Kusmayadi, I. (2016). Imigran Asal Irak Ra- mai Jadi Tukang Cukur Di Puncak Bogor. Merdeka.com.
Retrieved from https://www.merdeka.com/peristiwa/imigran-asal-iran-ramai-jadi-tukang-cukur-di-puncak-bogor.html
Lamb, K., & Doherty, B. (2018, April 15). On the streets with the desperate refugees who dream of
being detained. Retrieved November 1, 2019, from https://www.theguardian.com/world/2018/apr/15/on-the-streets-with-the-desperate-refugees-who-dream-of-being-detained.
Marbach, M., Hainmueller, J., & Hangartner, D. (2018). The long-term impact of employment bans on
the economic integration of refugees. Science Advances, 4(9). doi: 10.1126/sciadv.aap9519 Miller, S. D. (2018). Assessing the Impacts of Hosting Refugees. World Refugee Council Research Paper, 4.
Retrieved from https://www.cigionline.org/sites/default/files/documents/WRC Research Paper no.4.pdf
58
Moody's Analytics. (2019, March). Indonesia - Unemployment Rate. Retrieved November 1, 2019, from https://www.economy.com/indonesia/unemployment-rate.
OECD. (2018, October). OECD Economic Surveys: Indonesia 2018. Retrieved November 1, 2019,
from https://www.oecd.org/economy/surveys/Indonesia-2018-OECD-economic-survey-overview.pdf.
OECD. (2017). Household Disposable Income (Indicator). Retrieved from http://dx.doi.
org/10.1787/de435f6e-en
Renaldi, A. (2018, July 23). Poverty Isn't Decreasing, Indonesia's Official Poverty Line Is Just Too Low. Retrieved November 1, 2019, from https://www.vice.com/en_asia/article/ev8z7w/poverty-isnt-decreasing-indonesias-official-poverty-line-is-just-too-low.
Sandya Institute. (2019, November 4). Focus Group Discussion with Refugee Representatives in
Jakarta.
Shear, M. D., & Kanno-Youngs, Z. (2019, September 26). Trump Slashes Refugee Cap to 18,000, Curtailing U.S. Role as Haven. Retrieved November 1, 2019, from https://www.nytimes.com/2019/09/26/us/politics/trump-refugees.html.
Stahler, N. (2017, April 24). A Model-Based Analysis of the Macroeconomic Impact of the Refugee
Migration to Germany (2017). Bundesbank Discussion Paper No. 05/2017. Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=2956674
Steingress, W. (2018). The causal impact of migration on US trade: Evidence from political
refugees. Canadian Journal of Economics/Revue Canadienne Déconomique, 51(4), 1312–1338. doi: 10.1111/caje.12356
SUAKA - Indonesian Civil Society Association for Refugee Rights Protection. (2019, February 27).
Legal Source of Related Refugee Protection in Indonesia. Retrieved November 1, 2019, from https://suaka.or.id/news/legal-source-of-related-refugee-protection-in-indonesia/.
Taylor, J. E., Filipski, M. J., Alloush, M., Gupta, A., Valdes, R. I. R., & Gonzalez-Estrada, E. (2016). Economic impact of refugees. Proceedings of the National Academy of Sciences, 113(27), 7449–7453. doi: 10.1073/pnas.1604566113
The House of Representatives of the Republic of Indonesia and The President of the Republic of Indonesia. (2011). Law of the Republic of Indonesia Number 6 of 2011 Concerning Immigration. Retrieved November 1, 2019, from http://www.imigrasi.go.id/phocadownloadpap/Undang-Undang/uu%20nomor%206%20tahun%202011%20-%20%20english%20version.pdf
The UN Refugee Agency Thailand. (2019, October 31). The UN Refugee Agency (Thailand). Retrieved
November 1, 2019, from https://www.unhcr.or.th/en.
Tobing, D. H. (2019, January 24). Indonesia Refugee Policy Is On Right Track. Retrieved November 1, 2019, from https://www.thejakartapost.com/academia/2019/01/24/indonesia-refugee-policy-is-on-right-track.html.
59
Tobing, D. H. (2018, January 12). A Year of Jokowi's Refugee Decree: What Has Changed? Retrieved
November 1, 2019, from https://www.thejakartapost.com/academia/2018/01/12/a-year-of-jokowis-refugee-decree-what-has-changed.html.
Todd, L., Amirullah, A., & Shin, W. Y. (2019, April). The Economic Impact of Granting Refugees in
Malaysia the Right to Work. Retrieved November 1, 2019, from http://www.ideas.org.my/wp-content/uploads/2019/05/P60_Refugee-V6.pdf.
Topsfield, J. (2017, October 31). Most refugees in Indonesia will never be resettled: UN Refugee
Agency. Retrieved November 1, 2019, from https://www.smh.com.au/world/most-refugees-in-indonesia-will-never-be-resettled-un-refugee-agency-20171031-gzbzhn.html.
Tumen, S. (2016). The Economic Impact of Syrian Refugees on Host Countries: Quasi-experimental
Evidence from Turkey. American Economic Review, 106 (5): 456-60.DOI: 10.1257/aer.p20161065 UNHCR Digital Inclusion Team. (2018, August 14). Refugees Statistics - Are refugee numbers the
highest ever? Retrieved November 1, 2019, from https://www.unhcr.org/blogs/statistics-refugee-numbers-highest-ever/.
UNHCR Indonesia. (2019, September 24). Indonesia Global Focus. Retrieved November 1, 2019, from http://reporting.unhcr.org/node/10335?y=2018#year.
UNHCR Indonesia. (2019). UNHCR Indonesia Monthly Statistical Report September 2019. UNHCR
Indonesia Monthly Statistical Report September 2019. Jakarta, Jakarta: UNHCR
UNHCR Indonesia. (2019, November 5). Meeting with UNHCR Indonesia in-person.
UNHCR Indonesia. (n.d.). UNHCR in Indonesia - UNHCR Indonesia Overview. Retrieved November 1, 2019, from https://www.unhcr.org/id/en/unhcr-in-indonesia.
United Nations. (2019, June 19). Figures at a Glance. Retrieved November 1, 2019, from
https://www.unhcr.org/figures-at-a-glance.html. United Nations Malaysia. (n.d.). Figures at a Glance in Malaysia. Retrieved November 1, 2019, from
https://www.unhcr.org/figures-at-a-glance-in-malaysia.html. UNHCR Indonesia. (2019). UNHCR Indonesia Internal Population Data. UNHCR Indonesia September
Database 2019. Jakarta, Jakarta: UNHCR.
UNHCR SE Asia. (2019, September 24). South East Asia. Retrieved November 1, 2019, from http://reporting.unhcr.org/node/39?y=2018.
World Bank. (2019). Consumer price index (2010 = 100) - Indonesia, Iraq, Myanmar, Sudan, Sri Lanka. Retrieved November 1, 2019, from https://data.worldbank.org/indicator/FP.CPI.TOTL?end=2016&locations=ID-IQ-MM-SD-LK&start=2004.
60
World Bank. (2019). Educational attainment, population 25 , total (%) (cumulative) - Indonesia. Retrieved November 1, 2019, from https://data.worldbank.org/indicator/SE.SEC.CUAT.LO.ZS?locations=ID.
World Bank. (2014). Development Policy Re-view 2014 Indonesia: Avoiding The Trap.Washington D.C: The World Bank. Diak-ses dari http://documents.worldbank.org/curated/en/936481468042895348/pdf/860250ESW0whit00Box385267B-00PUBLIC0.pdf