Imunologi Transplantasi-Dewi Mustika
-
Upload
dewi-mustika -
Category
Documents
-
view
513 -
download
25
Transcript of Imunologi Transplantasi-Dewi Mustika
REFERAT IMUNOLOGI LANJUTAN
IMUNOLOGI TRANSPLANTASI
Oleh:
Dewi Mustika
NIM: 106070100111006
PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
i
2010
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Ta’ala Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. Hanya dengan rahmat serta petunjuk-Nya,
penulisan referat dengan judul : “Imunologi Transplantasi” ini dapat diselesaikan.
Penulisan referat ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Imunologi. Dengan selesainya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada segenap dosen mata kuliah Imunologi yang telah memberikan bimbingan
terkait mata kuliah ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga referat ini
dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi pembaca.
Desember, 2010
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................ii
Daftar Isi...................................................................................................................iii
Daftar Gambar..........................................................................................................iv
Daftar Tabel...............................................................................................................v
BAB I Pendahuluan..................................................................................................1
BAB 2 Pembahasan...................................................................................................3
2.1 Istilah pada Transplantasi.................................................................................3
2.1.1 Istilah khusus............................................................................................3
2.1.2 Istilah lain..................................................................................................4
2.2 Respon imun terhadap allograft.......................................................................7
2.2.1 Rekognisi Alloantigen..............................................................................9
2.2.1.1 Rekonisi langsung (direct recognition) alloantigen.............................12
2.2.1.2 Rekonisi tidak langsung (indirect recognition) alloantigen.................14
2.2.2 Aktivasi limfosit alloreaktif ...................................................................15
2.3 Mekanisme Effektor Rejeksi Allograft..........................................................18
2.3.1 Rejeksi hiperakut....................................................................................21
2.3.2 Rejeksi akut.............................................................................................22
2.3.3 Rejeksi kronik.........................................................................................25
2.4 Pencegahan dan Pengobatan Rejeksi Allograft..............................................26
2.4.1 Immunosupresi untuk Mencegah atau Mengobati Rejeksi Allograft.....26
2.4.2 Metode untuk Mengurangi Immunogenicity Allograft...........................30
2.4.3 Metode untuk Menginduksi Toleransi terhadap Donor..........................32
2.5 Organ yang dapat Ditransplantasikan............................................................33
BAB 3 Kesimpulan.................................................................................................38
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Istilah transplantasi.................................................................................4
Gambar 2.2 Kompleks gen MHC pada manusia........................................................5
Gambar 2.3 First and second set allograft rejection.................................................8
Gambar 2.4 Genetic dari rejeksi graft......................................................................10
Gambar 2.5 Direct & Indirect alloantigen recognition..........................................11
Gambar 2.6 Dasar molekuler direct recognition dari rekognisi molekul MHC alogeneik..............................................................................................13
Gambar 2.7 Urutan kejadian yang dapat terjadi selama rejeksi graft......................16
Gambar 2.8 Mekanisme Dekstrusi Sel Sasaran.......................................................17
Gambar 2.9 histopatologi berbagai bentuk rejeksi graft..........................................19
Gambar 2.10 Klasifikasi rejeksi graft......................................................................20
Gambar 2.11 Mekanisme imun pada rejeksi graft...................................................24
Gambar 2.12 Tempat kerja berbagai immunosupresan mengontrol rejeksi............26
v
DAFTAR GAMBAR
Tabel 2.1 Istilah transplantasi....................................................................................3
Tabel 2.2 Genetik dan golongan darah ABO.............................................................6
Tabel 2.3 Mekanisme utama pada rejeksi berbagai graft........................................15
Tabel 2.4 Rejeksi hiperakut, akut dan kronik..........................................................19
Tabel 2.5 Obat imunosupresi yang digunakan untuk menekan rejeksi....................27
Tabel 2.6 Keadaan klinis yang memerlukan transplantasi sumsum tulang.............35
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
Transplantasi adalah merupakan proses pengambilan sel, jaringan atau
organ, disebut dengan graft , dari satu individu dan memindahkannya ke individu
yang lain. Individu yang memberikan graft disebut dengan donor, sedangkan yang
mendapatkan graft disebut dengan resipien. Apabila graft ditempatkan pada lokasi
anatomi normalnya maka prosedur ini disebut dengan transplantasi orthotopik,
sedangkan jika ditempatkan pada lokasi lain maka disebut dengan transplantasi
heterotropik. Istilah lain yang termasuk dalam transplantasi adalah transfusi yang
berarti memindahkan sel darah atau plasma dalam sirkulasi dari satu individu
pada individu yang lain (Ghaffar and Nagarkatti, 2010).
Transplantasi merupakan tindakan pilihan bila suatu alat atau jaringan
tubuh yang vital rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi atau rusak permanen akibat
proses penyakit (Baratawidjaja, 2009). Transplantasi sebagai suatu pendekatan
terapi telah berkembang selama 40 tahun terakhir sehingga saat ini, transplantasi
ginjal, hepar, jantung, paru, pancreas dan sumsum tulang secara luas telah
digunakan. Lebih dari 30.000 transplantasi ginjal, jantung, paru, liver, dan
pancreas dikerjakan di Amerika setiap tahun. Saat ini, transplantasi dari organ dan
sel lainnya sedang dikembangkan (Abbas et al, 2007).
Faktor utama yang membatasi kesuksesan transplantasi adalah respon
imun dari resipien terhadap jaringan donor. Hal ini ditemukan pada seseorang
yang mendapatkan penggantian kulit yang mengalami kerusakan akibat kebakaran
dari donor yang tidak memiliki hubungan terbukti terjadi kegagalan. Kegagalan
ini terjadi akibat suatu proses inflamasi yang disebut sebagai rejeksi (Abbas et al,
2007). Rejeksi merupakan hasil dari proses reaksi inflamasi yang merusak
jaringan transplant. Penelitian pada tahun 1940s dan 1950s menunjukkan bahwa
rejeksi graft merupakan fenomena imunologi, karena diketahui adannya
spesifisitas dan memory yang dimediasi oleh limfosit (Abbas & Lichtman, 2009).
Antigen yang perlu mendapat perhatian utama pada proses transplantasi adalah
antigen golongan darah ABO, sistem HLA yang polimorfik, antigen minor yang
1
menyangkut golongan darah non-ABO dan antigen yang berhubungan dengan
kromosom sex (Baratawidjaja, 2009). Antigen dari allograft yang berperan utama
sebagai target rejeksi adalah protein major histocompatibility complex (MHC)
(Abbas & Lichtman, 2009).
Imunologi transplantasi pentig terkait dengan dua alasan, yaitu selain
karena respon rejeksi imunologi yang hingga saat ini masih menjadi barier utama
pada proses transplantasi, respon imun terhadap molekul allogeneik model studi
mekanisme aktivasi limfosit (Abbas et al, 2007). Pada makalah ini akan
difokuskan terutama membahas transplantasi allogeneik karena model
transplantasi inilah yang paling banyak digunakan. Pembahasan dikaitkan dengan
aspek immunologi dasar maupun aspek klinis dari transplantasi.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Istilah pada Transplantasi
2.1.1 Istilah Khusus
Transplantasi adalah merupakan proses pengambilan sel, jaringan atau
organ, disebut dengan graft , dari satu individu dan memindahkannya ke individu
yang lain. Individu yang mmeberikan graft disebut dengan donor, sedangkan yang
mendapatkan graft disebut dengan resipien (Abbas et al, 2007). Istilah khusus
pada tranplantasi didasarkan pada asal jaringan tubuh yang dicangkokkan dari
donor ke resipien (Tabel 2.1 & gambar 2.1) (Baratawidjaja, 2009). Transplantasi
graft dari satu individu pada individ yang sama disebut dengan autologous graft
(autograft). Sedangkan graft yang ditransplantasikan antara dua individu
syngeneic atau identik secara genetic disebut dengan syngeneic graft. Graft yang
ditransplantasikan antar dua individu yang berbeda secara genetic disebut dengan
allogeneic graft (allograft). Sedangkan Xenogeneic graft (xenograft) merupakan
istilah untuk transplantasi graft antar individu yang berbeda spesies (Ghaffar and
Nagarkatti , 2010; Abbas et al, 2007).
Tabel 2.1 Istilah Transplantasi (Baratawidjaja, 2009).
Hukum transplantasi menggariskan bahwa graft akan diterima bila resipien
dan donor memiliki gen histokompatibilitas tertentu yang sama (Baratawidjaja,
2009). Antigen yang merupakan target dari rejeksi (penolakan) disebut dengan
3
alloantigen dan xenoantigen, sedangkan antibody dan sel T yang bereaksi
melawan antigen ini disebut dengan alloreaktive dan xenoreactive (Abbas &
Lichtman, 2009).
Gambar 2.1 Istilah Transplantasi (Ghaffar and Nagarkatti , 2010).
2.1.2 Istilah lain
1) Hukum transplantasi
Autograft dan isograft biasanya memberikan hasil yang baik, sedang allograft
sering ditolak. Telah dibuktikan bahwa rejeksi allograft disebabkan karena
reaksi imun yang ditimbulkan oleh limfosit. Reaksi tersebut terjadi dengan
memori, sehingga jaringan kedua yang dicangkokkan dari donor yang sama
akan menimbulkan rejeksi yang lebih cepat (Baratawidjaja, 2009).
2) Histokompatibilitas
Histokompatibilitas adalah kemampuan seseorang untuk menerima graft dan
orang lain, suatu keadaan bila tidak terjadi respons imun (Ghaffar and
Nagarkatti , 2010).
3) Gen histokompatibilitas
4
Gen histokompatibilitas adalah gen yang menentukan apakah graft dapat
diterima. Banyak lokus gen yang dapat menolak graft, tetapi yang terpenting
adalah gen MHC (Baratawidjaja, 2009). Gen MHC diwarisi sebagai suatu
kelompok (haplotype), satu dari setiap orangtua. Dengan demikian, manusia
mewarisi heterozigot satu dari ayah dan satu dari ibu, masing-masing berisi
tiga kelas-I (B, C dan A) dan tiga kelas II (DP, DQ dan DR) lokus. Seorang
individu heterozigot akan mewarisi maksimal 6 kelas I. Demikian pula,
individu juga akan mewarisi gen DP dan DQ dan mengekspresikan kedua
antigen orangtuanya. Karena molekul MHC kelas II terdiri dari dua rantai
yaitu alpha dan beta, dengan beberapa determinan antigen pada setiap rantai,
dan rantai alpha dan beta DR dapat terkait dengan kombinasi cis atau trans
eter, seorang individu dapat memiliki spesifitas DR tambahan (Gambar 6B).
Juga, ada lebih dari satu gen fungsional DR rantai beta. Oleh karena itu,
banyak spesifisitas DR dapat ditemukan pada suatu individu (Ghaffar and
Nagarkatti , 2010).
Gambar 2.2 Kompleks gen MHC pada manusia (Ghaffar and Nagarkatti , 2010)
5
4) Antigen transplantasi
Sebelum transplantasi dilakukan, harus ditentukan terlebih dahulu
kompatibilitas donor dan resipien untuk mendapatkan hasil optimal dan hidup
graft dan meminimalkan penolakan (Baratawidjaja, 2009).
a) Antigen golongan darah
Kompatibilitas golongan darah ABO merupakan hal yang pertama harus
dilakukan. Antigen ABO yang merupakan golongan darah utama,
ditemukan pada permukaan sel darah merah. Gen yang memberi kodenya
adalah polimorfik (Baratawidjaja, 2009).
Tabel 2.2 Genetik dan Golongan Darah ABO (Baratawidjaja, 2009).
Antigen karbohidrat ditemukan pada sel darah merah dan beberapa
jaringan lain. Kebanyakan orang mempunyai antibodi (isohemaglutinin)
yang mengenal antigen tersebut. Subyek dengan golongan A mempunyai
antibodi terhadap B, golongan B mempunyai antibodi terhadap A.
Transfusi golongan darah yang tidak sama/cocok akan ditolak (Tabel 2.2)
(Baratawidjaja, 2009).
b) Antigen histokompatibilitas mayor
Tissue typing adalah identifikasi antigen MHC. MHC-I menentukan
antigen permukaan semua sel dalam tubuh yang memiliki nukleus yang
dapat menjadi sasaran rejeksi pada transplantasi atas pengaruh CTL,
antibodi dan komplemen. Gen-gen yang memberi kode molekul MHC
adalah polimorfik (Baratawidjaja, 2009).
Antigen yang ditentukan lokus A dan B memberikan respons kuat sedang
antigen yang ditentukan lokus C hanya memberikan respons lemah.
6
Antigen MHC-II atau antigen Ia merupakan antigen yang mengaktifkan
sel Th. Antigen MHC-II merupakan antigen terpenting pada rejeksi tandur.
Pada umumnya graft tidak akan hidup bila donor dan resipien tidak
memiliki satu haplotip DR pun yang sama. Sel Th resipien akan
memberikan respons terhadap antigen donor sedang sel Th donor akan
memberikan respons yang sama terhadap antigen resipien dengan akibat
matinya tandur. Kemungkinan antigen HLA dan 2 individu akan sama
sangat kecil (1 dalam l 0 juta) (Ghaffar and Nagarkatti , 2010).
c) Antigen histokompatibilitas minor
Antigen histokompatibilitas minor antara lain adalah golongan non ABO
dan antigen yang berhubungan dengan kromosom seks. Antigen tersebut
biasanya lebih lemah dibanding antigen MHC, dan diduga merupakan
antigen yang dijadikan sasaran pada rejeksi dengan awitan lambat
(Baratawidjaja, 2009).
5) Sel passenger
Sel passenger adalah sel leukosit donor yang terdapat dalam jaringan tandur.
Sel Th resipien dapat memberikan respons terhadap antigen donor. Interaksi
dapat pula terjadi antara sel-sel sistem imun donor dan resipien karena
keduanya memiliki profil MHC-II. Leukosit donor dapat bermigrasi ke luar
dari graft dan masuk ke dalam sistem limfoid resipien (Baratawidjaja, 2009).
2.2 Respon Imun terhadap Allograft
Proses rejeksi yang menyebabkan kerusakan pada graft merupakan akibat
dari respon imun yang terjadi pada tubuh resipien terhaap graft dari donor.
Beberapa penelitian menunjukkan keterlibatan dari respon imun adaptif dalam
prose rejeksi (Gambar 2.3) (Abbas et al, 2007). Skin graft ditransplantasikan
antara dua individu yang secara genetic tidak berhubungan, sebagai contoh, dari
mencit strain A ke mencit strain B dan terjadi rejeksi oleh resipien naiv dalam 7
hingga 10 hari. Proses ini disebut dengan first set rejection. Hal ini terkait dengan
respon imun primer tehadap graft. Transplantasi kedua dari donor yang sama atau
donor yang sama secara genetic dengan donor pertama direjeksi lebih cepat, yaitu
7
2 hingga 3 hari. Respon yang lebih cepat ini terkait dengan respon imun sekunder.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa graft yang berbeda secara genetic
menginduksi timbulnya memori immunologi sebagai salah satu tanda respon imun
adaptive (Abbas et al, 2007).
Gambar 2.3 First and second set allograft rejection. Hasil dari eksperimen mengindikasikan bahwa rejeksi graft diperankan oleh respon imun adaptive yaitu memory yang dimediasi oleh limfosit (Abbas et al, 2007).
Kemampuan dalam merejeksi ini dapat ditransfer dari mencit strain B
yang telah mendapat graft ke strain B naiv melalui perantara limfosit. Eksperimen
ini menunjukkan bahwa second set rejection dimediasi oleh limfosit yang telah
tersensitisasi dan memastikan bahwa rejeksi merupakan akibat dari respon imun
adaptive (Abbas et al, 2007). Allograft kulit pada manusia biasanya ditolak
dalam 10-14 hari, tetapi bila allograft kedua dan individu yang sama
dicangkokkan lagi, resipien akan menolaknya lebih cepat, biasanya dalam 5-7
8
hari. Hal ini disebabkan oleh karena sudah terjadi sensitisasi oleh graft pertama
dan adanya memori pada pajanan kedua (Baratawidjaja, 2009).
Interaksi antara faktor humoral dan selular yang terjadi pada rejeksi graft
sangat kompleks. Sistem imun yang berperan pada proses rejeksi adalah sistem
imun yang juga berperan terhadap mikroba. Sebabnya adalah polimorfisme
genetik, terutama oleh karena antigen transplantasi merupakan produk gen yang
polimorfik. Golongan darah dan molekul MHC di antara berbagai individu
berbeda. Reaksi rejeksi dapat dikurangi dengan menggunakan anggota keluarga
sebagai donor, tissue typing dan obat imunosupresi (Baratawidjaja, 2009).
2.2.1 Rekognisi Alloantigen
Pengenalan (rekognisi) sel yang ditransplantasikan sebagai self atau
foreign ditentukan oleh gen polimorfik yang diturunkan dari kedua orangtua dan
diekspresikan secara dominan. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil dari
eksperimen transplantasi antara strain inbert mencit. Dasar dari immunologi
transplantasi berasal dari eksperimen pada hewan coba ini (gambar 2.4) (Abbas et
al, 2007).
Penelitian menunjukkan bahwa polimorfisme molekul yang secara
dominan diekspresikan pada graft bertanggungjawab terhadap terjadinya rejeksi.
Polimorfisme merupakan kondisi dimana antigen graft berbeda antar individu
spesies tertentu atau antar atrain pada hewan coba, sebagai contoh antar mencit
strain A dan B. Ekspresi kodominan berarti bahwa hewan coba (AxB)F1
mengekspresikan allel strain A dan strain B. (AxB)F1 menanggapi kedua jaringan
sebagai self, sedangkan mencit A atau B menanggapi jaringan (AxB)F1 sebagai
foreign. Hal inilah yang menyebabkan mencit (AxB)F1 tidak menolak graft strain
A maupun B sedangkan mencit strain A atau B merejeksi graft (AxB)F1 (Abbas et
al, 2007).
Molekul Major histocompatibility complex (MHC) bertanggung jawab
pada hampir seluruh reaksi rejeksi yang kuat. MHC ditemukan dan dinamai
terkait dengan peranannya dalam rejeksi graft yang dikerjakan antar mencit yang
berbeda strain. Gen dan molekul yang homolog dengan MHC pada mencit
9
terdapat pada semua manusia, pada manusia disebut dengan adalah kompleks
HLA (Human leukocyte antigen). Setelah 20 tahun ditemukan baru diketahui
bahwa fungsi fisiologis dari molekul MHC adalah untuk mempresentasikan
antigen sehingga dapat dikenali oleh limfosit T (Abbas & Lichtman, 2009).
Gambar 2.4 Genetic dari rejeksi graft. Pada ilustrasi ini dua warna mencit yang berbeda mewakili strain inbred dengan haplotype MHC yang berbeda. Alel MHC yang diturunkan dari kedua orang tua secara kodominan diekspresikan pada kulit dari offspring A x B, oleh karena itu mencit ini memiliki kedua warna. Syngeneic graft tidak direjeksi (A). allograft selalu direjeksi (B). Graft dari parent percampuran AxB tidak direjeksioleh offspring (C), namun graft dari offspring akan direjeksi oleh parent. Fenomena ini terkait dengan produk gen MHC yang bertanggung jawab terhadap rejeksi graft, graft direjeksi hanya jika graft tersebut mengekspresikan MHC yang tidak diekspresikan oleh mencit resipien (Abbas et al, 2007).
Selanjutnya telah diketahui secara luas bahwa rejeksi graft ditentukan oleh
gen yang diturunkan yang mana produk dari gen ini adalah suatu molekul yang
diekspresikan pada seluruh jaringan. Setiap manusia mengekspresikan enam allele
MHC kelas I (satu allele HLA-A, B, dan C dari setiap parent) dan enam allele
MHC kelas II (satu allele HLA-DR, DQ, dan DP dari setiap parent). Polimorfisme
dari gen MHC diperkirakan setidaknya 120 allel gen HLA-A dan 250 allel HLA-
10
B pada populasi. Hal inilah yang menyebabkan setiap individu cenderung
mengekspresikan beberapa protein MHC yang dikenali sebagai foreign oleh
system imun individu yang lain, kecuali pada kembar identik. Semua molekul
MHC dapat menjadi target dari rejeksi, meskipun HLA-C dan HLA-DP memiliki
polimorfisme yang terbatas dan signifikansi minor (Abbas & Lichtman, 2009).
Molekul MHC allogeneik dipresentasikan untuk terjadianya rekognisi/
pengenalan oleh sel T resipien melalui dua jalur yang berbeda (gambar 2.5).
Gambar 2.5 Direct & Indirect alloantigen recognition. A. Rekognisi alloantigen direct terjadi ketika sel T secaara langsung berikatan dengan molekul MHC allogeneik yang intak pada APC donor. B. rekognisi alloantigen indirect terjadi ketika molekul MHC allogeneik dari sel graft diambil dan diproses oleh APC resipien, dan fragmen peptide
molekul MHC allogeneik berikatan dan dipresentasikan oleh molekul MHC resipien (Abbas & Litchman, 2009).
Jalur yang pertama disebut dengan direct presentation , melibatkan
rekognisi dari molekul MHC yang intak yang diekspresikan oleh APC (antigen
presenting cell) donor pada graft dan hal ini adalah konsekuensi dari kesamaan
struktur dari MHC foreign (allogeneik) yang intak dengan molekul MHC self.
Cara yang kedua disebut dengan indirect presentation yang melibatkan
11
pemrosesan dari molekul MHC donor oleh APC resipien dan presentasi peptide
yang berasal dari MHC allogeneik oleh molekul MHC self. Dalam cara ini,
molekul MHC asing diperlakukan sebagaimana antigen protein asing, dan
mekanisme indirect ini sama halnya dengan mekanisme presentasi dari antigen
protein mikroba (Abbas et al, 2007).
2.2.1.1 Rekonisi langsung (direct recognition) alloantigen
Direct recognition merupakan reaksi silang (cross raction) dari reseptor sel
T (TCR) normal, yang mana normalnya secara selected mengenali molekul MHC
self dengan pepida asing dalam hal mengenali molekul MHC allogeneik plus
peptide. Hal ini terkait dengan bias dari spesifitas TCR dalam mengenali molekul
MHC, bahkan sebelum terjadinya seleksi (Abbas & Lichtman, 2009). Dengan
kata lain, gen TCR berhubungan dengan pengkodean struktur protein yang
memiliki afinitas intrinsic terhadap molekul MHC. Selama perkembangan sel T di
timus, seleksi positif menghasilkan sel T yang dapat bertahan dengan reaktivitas
yang lemah terhadap self-MHC, namun tidak mengeliminasi sel T yang memiliki
reaktivitas yang kuat terhadap molekul MHC allogeneik. Seleksi negatif pada
timus secara efisien mengeliminasi sel T dengan affinitas yang tinggi terhadap
MHC self, tapi tidak dibutuhkan mengeliminasi sel T yang berikatan kuat dengan
molekul MHC allogeneik, kecuali jika sel T ini juga berikatan kuat dengan MHC
self. Hasilnya berupa repertoire matur yang memiliki affinitas intrinsic terhadap
molekul MHC self, termasuk juga sel-sel T yang mengikat mengikat molekul
MHC allogeneik dengan affinitas yang tinggi. Banyak dari sel T yang matur ini
akan berikatan dengan kompleks MHC self-peptida asing dan juga molekul MHC
allogeneik. Bahkan mungkin saja ditemukan beberapa sel T yang tidak berguna
yang mana berikatan dengan molekul MHC allogeneik tetapi tidak berikatan kuat
dengan kompleks self-MHC – peptide asing (Abbas et al, 2007).
Molekul MHC allogeneik yang mengikat peptide dapat menyerupai
molekul MHC plus peptide asing tertentu (gambar 2.6). Peptide yang terikat pada
molekul MHC allogeneik dapat memainkan beberapa peran saat terjadinya
rekognisi molekul. Peptide ini dibutuhkan dalam menstabilkan ekspresi molekul
12
MHC allogeneik di permukaan. Klon sel T alloreaktif mengenali molekul MHC
allogeneik yang mengikat peptide. Kebanyakan peptide ini berasal dari protein
yang identik pada donor maupun resipien. Dengan kata lain, peptide ini
merupakan self-peptide. Mekanisme induksi toleransi hanya dapat terjadi jika
terjasi presentasi molekul self oleh MHC self. Oleh karena itu sel T yang spesifik
terhadap peptide self yang dipresentasikan oleh MHC asing tidak dihilangkan dan
tetap dapat memberi respon terhadap allograft (Abbas & Lichtman, 2009).
Gambar 2.6 Dasar molekuler direct recognition dari rekognisi molekul MHC alogeneik (Abbas & Litchman, 2009).
13
Setidaknya sebanyak 2 % sel T idividu dapat mengenali dan berespon
secara langsung molekul MHC asing dan frekuensi reaktivitas sel T ini yang
tinggi menjadi alasan mengapa allograft dapat mencetuskan respon imun yang
kuat. Kenyataanya setiap molekul MHC allogeneik secara langsung dikenali oleh
banyak TCR yang berbeda, masing-masing berkaitan dengan peptide yang
berbeda. Hal ini terkait dengan beberapa factor, seperti adanya polimorfisme
residu molekul MHC allogeneik pada region yang berikatan dengan TCR
memungkinkan setiap MHC allogeneik ini untuk dikenali oleh klon sel T yang
multiple. Selain itu, berbagai preptida yang berbeda dapat terikat pada produk gen
allogeneik yang sama dalam jumlah 105 pada setiap permukaan sel allogeneik.
Factor lainnya adalah densitas dari peptide allogeneik yang terikat pada MHC
yang dipresentasikan pada APC allogeneik semuanya bersifat foreign peptide.
Jika dibandingkan dengan densitasnya pada APC self yang hanya
mempresentasikan 1% peptide asing yang terikat pada MHC self, sedangkan
kebanyakan adalah MHC self yang mengikat peptide self, APC allogeneik dapat
meningkatkan lebih banyak jumlah respon sel T. Disamping itu, memang sel T
alloreaktif yang berespon terhadap paparan ini merupakan sel T memori yang
siap melakukan ekspansi (Abbas et al, 2007).
2.2.1.2 Rekonisi tidak langsung (indirect recognition) alloantigen
MHC allogeneik dapat diproses dan dipresentasikan oleh APC resipien
yang memasuki graft, dan proses molekul MHC dikenali oleh sel T terjadi
sebagaimana dengan antigen protein asing yang konvensional (gambar 2.5).
Karena molekul MHC berbeda secara struktural dengan yang ada pada host,
molekul ini dapat diproses dan dipresentasikan dengan cara yang sama dengan
antigen protein asing., yang menghasilkan peptide asing yang terikat pada
molekul MHC self pada permukaan APC host. Presentasi indirect dapat
mencetuskan allorekognisi oleh sel T CD4 karena antigen yang melewati jalur
vesicular endosomal pada APC dan dipresentasikan oleh MHC kelas II. Beberapa
antigen dari sel graft yang difagositosis juga memasuki jalur presentasi antigen
14
MHC kelas I dan secara tidak langsung dikenali oleh sel T CD8, yang merupakan
bentuk dari cross presentation dari sel dendritik (Abbas & Lichtman, 2009).
2.2.2 Aktivasi limfosit alloreaktif
Aktivasi sel T alloreaktif in vivo membutuhkan presentasi alloantigen oleh
APC dari donor pada graft (diresct presentation of antigen) atau oleh APC host
yang mengambil dan mempresentasikan alloantigen graft (indirect presentation).
Kebanyakan organ memiliki APC resident seperti sel dendritik. Sehingga
transplantasi suatu organ, mengandung APC yang mengekspresikan molekul
MHC donor dan juga kostimulator yang mana MHC ini dapat bermigrasi ke nodus
limfe regional. Disini MHC akan dikenali oleh MHC resipien yang bersirkulasi
pada organ limfoid perifer (direct pathway). Selain itu, sel dendritik dari resipien
juga dapat bermigrasi menuju graft, atau alloantigen grafth terbawa sampai nodus
limfe, dimana selanjutnya ditangkap oleh APC (indirect pathway). Sel T
alloreaktif dapat diaktivasi melalui kedua jalur yang telah dijelaskan (Abbas et al,
2007)
Reaksi rejeksi ditimbulkan oleh sel Th resipien yang mengenal antigen
MHC allogeneik dan memacu imunitas humoral (antibodi). Sel CTL juga
mengenali antigen MHC alogeneik dan membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain
ialah makrofag dikerahkan ke tempat graft atas pengaruh limfokin dan sel Th
sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi tersebut serupa dengan yang terjadi
pada reaksi hipersensitivitas tipe IV dari Gell dan Coombs/ DTH (Tabel 2.3 dan
gambar 2.7) (Baratawidjaja, 2009).
Tabel 2.3 Mekanisme utama pada rejeksi berbagai graft (Baratawidjaja, 2009).
15
Gambar 2.7 Urutan kejadian yang dapat terjadi selama rejeksi graft (1) Dilakukan transplantasi (2) Sel dendritik atau makrofag donor yang ada dalam graft (passenger leucocytes) meninggalkan graft dan merangsang sel T resipien dengan segera (3) Sel T resipien diaktiflcan dan membunuh sel donor dalam graft (4) Sel donor yang dibunuh melepas antigen donor, yang dapat dimakan fagosit resipien yang kemudian mempresentasikannya ke sel T resipien melalui molekul MHC-II (allorecognition indirek) (Baratawidjaja, 2009).
Sel T helper CD4+ alloreaktif berdiferensiasi menjadi sel effektor yang
menghasilkan sitokin yang dapat menghancurkan graft melalui reaksi DTH
(delayed type hypersensitivity). Sel T CD8+ alloreaktif yang diaktivasi melalui
jalur langsung berdiferensiasi menjadi CTL yang membunuh sel bernukleus pada
graft, yang mana mengekspresikan molekul MHC kelas I allogeneik. CTL yang
diaktifkan melalui jalur tidak langsung (indirect) bersifat self MHC restricted dan
tidak dapat membunuh secara langsung sel asing pada graft. Oleh karena
mekanisme rejeksinya melalui DTH yang dimediasi oleh sel T CD4+ yang
16
menginfiltrasi graft. Diduga bahwa mekanisme yang dimediasi oleh CTL CD8+
terkait dengan rejeksi akut, sedangkan sel T CD4+ memainkan peran penting
dalam rejeksi kronik. Sebagai tambahan, hal yang juga penting dalam rekognisi
antigen adalah kostimulasi sel T oleh molekul B7 pada APC sehingga dapat
mengaktivasi sel T alloreaktif (Abbas et al, 2007).
Gambar 2.8 Mekanisme Dekstrusi Sel Sasaran (a) Langsung dibunuh sel T dan kerusakan jaringan indirek oleh pelepasan sitokin pada hipersensitivitas tipe lambat (b) Dibunuh oleh sel NK yang diaktifkan IFN (c) Pembunuhan spesifik melalui kompleks imun dan sel NK (d) Serangan ADCC (e) Fagositosis sel sasaran yang ditutupi antibody (f) Trombosit dengan antibodi yang diikat permukaan endotel vaskular graft membentuk mikrotrombi (g) Sitotoksisitas melalui komplemen (h) Makrofag yang diaktifkan (Baratawidjaja, 2009).
17
Berbeda dengan alloreaktivitas sel T, mekanisme terjadinya produksi
alloantibody yang melawan molekul MHC asing lebih sedikit diketahui. Produksi
antibody ini tergantung pada peran sel T helper, sehingga pastinya melibatkan
allorekognisi indirect. Dalam hal ini, limfosit B mengenali molekul MHC asing,
menginternalisasi dan kemudian memproses protein ini sehingga
dipresentasikanlah peptide kepada sel T helper yang sebelumnya telah diaktivasi
oleh peptida yang sama yang dipresentasikan oleh sel dendritik. Oleh karena itu,
baik sel dendritik maupun sel B memproses dan mempresentasikan protein MHC
allogeneik ke sel T host ,dan sel T helper secara tidak langsung telah mengenali
molekul MHC asing yang dipresentasikan oleh APC. Mekanisme ini tentunya
sama halnya dengan respon sel B terhadap antigen protein asing (Abbas et al,
2007).
2.3 Mekanisme Effektor Rejeksi Allograft
Reaksi allograft adalah suatu keadaan dimana transplantasi jaringan, sel
atau alat tubuh dan donor singeneik dengan cepat diterima resipien dan mendapat
vaskularisasi serta berfungsi normal. Graft yang berasal dan donor allogeneik
akan diterima untuk sementara dan mendapat vaskularisasi. Selanjutnya dapat
terjadi rejeksi yang lamanya tergantung dari derajat inkompatibilitas. Reaksi
rejeksi pada umumnya berlangsung sesuai respon CMI (Baratawidjaja, 2009).
Pada beberapa eksperimen menggunakan hewan coba dan pada transplantasi di
klinik, sel T CD4 atau CD8 alloreaktif maupun alloantibody dapat memediasi
terjadinya rejeksi allograft. Effektor imun yang berbeda ini menyebabkan
mekanisme yang berbeda (Abbas et al, 2007). Sesudah vaskularisasi timbul
gejala, mula-mula terjadi invasi graft oleh sel-sel limfosit dan monosit melalui
pembuluh darah. Reaksi inflamasi ini segera menimbulkan kerusakan pembuluh
darah yang diikuti nekrosis jaringan tandur (Baratawidjaja, 2009).
Terkait dengan alasan historical, rejeksi graft diklasifikasikan berdasarkan
dasar dari gambaran histopathologinya atau waktu terjadinya rejeksi setelah
transplantasi dari pada berdasarkan dasar mekanisme effektornya (Abbas &
Lichtman, 2009). Istilah hiperakut, akut, dan kronik, menggambarkan kecepatan
18
terjadinya rejeksi (gambar 2.10), sebagai contoh adalah proses rejeksi terhadap
transplant ginjal (tabel 2.4; gambar 2.9) (Baratawidjaja, 2009).
Tabel 2.4. Rejeksi hiperakut, akut dan kronik (Baratawidjaja, 2009).
Gambar 2.9 histopatologi berbagai bentuk rejeksi graft. A. rejeksi hiperakut allograft ginjal dengan kerusakan endothelial, thrombus platelet dan thrombin serta infiltrasi neutrofil pada glomerulus. B. rejeksi akut ginjal dengan sel inflamasi pada jaringan ikat di sekitar tubulus dan diantara sel epitel tubulus. C. rejeksi akut allograft ginjal dengan dekstruksi reaksi inflamasi pada lapisan endothel arteri. D. rejeksi kronik pada allograft ginjal dengan arteriosklerosis graft. Lumen vaskuler digantikan oleh akumulasi sel otot polos dan jaringan ikat pada intima pembuluh darah (Abbas et al, 2007).
19
Gambar 2.10 Klasifikasi rejeksi graft. A. hiperakut rejeksi, antibody reaktif terhadap endotel vaskuler mengaktivasi complement dan mentriger thrombosis intravaskuler dan nekrosis dinding pembuluh darah yang cepat. B. rejeksi akut, limfosit T CD8 reaktif trhadap alloantigen pada sel endothel dan sel parenchymal memediasi kerusakan tipe sel ini. Antibody alloreaktif yang terbentuk juga berkontribusi dalam injury vaskuler. C. rejeksi kronik dengan arteriosklerosis graft, injury terhadap dinding pembuluh darah menyebabkan proliferasi sel otot polos intima dan oklusi luminal. Lesi ini kemungkinan disebabkan oleh reaksi DTH yang kronik terhadap alloantigen pada dinding pembuluh darah (Abbas & Lichtman, 2009).
20
2.3.1 Rejeksi hiperakut
Rejeksi hiperakut ditandai dengan oklusi trombotik vaskularisasi graft
yang terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam sesudah transplantasi dan
terjadi anastomose pembuluh darah host dengan pembuluh darah graft (Abbas &
Lichtman, 2009). Hal ini disebabkan destruksi oleh antibodi yang sudah ada pada
sirkulasi resipien terhadap tandur/antigen donor akibat transplantasi, transfusi
darah atau kehamilan sebelumnya. Antibodi yang terikat pada endothelium
tensebut mengaktifkan komplemen yang menimbulkan edem dan perdarahan
interstisial dalam jaringan graft sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh
jaringan (Baratawidjaja, 2009).
Aktivasi complement menyebabkan kerusakan endothel dan paparan
protein membrane basalis subendothel inilah yang mengaktifkan platelet. Sel
endothel terstimulasi untuk memproduksi factor von Willebrand yang memediasi
adhesi dan agregasi platelet. Hal ini memicu penempelan lipid dan menimbulkan
koagulasi. Sel endothel kehilangan heparin sulfat proteoglycan permukaan, yang
secara normal berinteraksi danngan antitrombin III untuk mencegah koagulasi.
Proses inilah yang menjelaskan terjadinya thrombosis dan oklusi vaskuler
(gambar 2.9.A) sehingga organ transplant mengalami kerusakan iskemik (Abbas
et al, 2007). Resipien menderita panas, leukositosis dan memproduksi sedikit urin
atau tidak sama sekali. Urin mengandung berbagai elemen selular seperti eritrosit.
Dewasa ini belum ada pengobatan terhadap hal ini karena hal tersebut disebabkan
antibodi yang sudah ada dalam resipien (Baratawidjaja, 2009).
Pada awal transplantasi, rejeksi hiperakut biasanya dimediasi oleh
alloantibody IgM dengan titer yang tinggi sebelum dilakukan transplaantasi.
Alloantibody yang terlah diketahui denga baik adalah antigen golongan darah
ABO yang diekspresikan oleh sel darah merah. Antigen ABO juga diekspresikan
oleh sel endothel vaskuler (Abbas et al, 2007). Tidak seperti graft lain, ginjal
mempunyai antigen ABO yang diekspresikan pada endotel pembuluh darah. Jadi
bila donor mempunyai golongan darah lain dari resipien, antibodi akan
menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe 2 dalam graft ginjal (Baratawidjaja,
2009). Saat ini, rejeksi hiperakut terhadap antibodo anti-ABO sangatlah jarang
21
terjadi karena proses seleksi sebelumnya, namun mayor antibody inilah yang
menjadi baarier utama dalam pelaksanaan xenotransplantasi (Abbas et al, 2007).
Resipien mungkin juga mempunyai respons memori terhadap HLA
melalui rejeksi graft sebelumnya (Baratawidjaja, 2009). Hal ini karena
keberadaan antibody IgG yang secara langsung menyerang protein alloantigen
eperti molekull MHC asing atau alloantigen lainnya yang diekspreseikan oleh sel
endothel pembuluh darah. Antibody ini ditimbulkan dari paparan sebelumnya
terhadap alloantigen melalui transfuse darah, transplantasi sebelumnya, atau
kehamilan multiple (Abbas et al, 2007). Wanita multipara sebagai resipien dapat
disensitasi oleh HLA paternal yang diekspresikan oleh sel anak. Hal tersebut
dapat terjadi selama hamil dan partus katika sedikit darah dari bayi masuk ke
dalam sirkulasi ibu (Baratawidjaja, 2009). Jika titer antibody alloreaktif ini
rendah maka onset dari rejeksi hiperakut akan lambat dan terjadi dalam beberapa
hari, namun masih lebih cepat jika dibandingkan dengan rejeksi tipe akut. Upaya
dalam mencegah rejeksi hiperakut dilakukan skrining secara rutin terkait dengan
keberadaan antibody alloreaktif sebelum dilakuka transplantasi (Abbas et al,
2007).
2.3.2 Rejeksi akut
Rejeksi akut merupakan proses injuri vaskuler dan parenchymal yang
dimediasi oleh sel T dan antibody yang biasanya dimulai minggu pertama setelah
transplantasi (Abbas & Lichtman, 2009). Penolakan akut terlihat pada resipien
yang sebelumnya tidak disensitisasi terhadap graft. Hal ini merupakan rejeksi
umum yang sering dialami resipien yang menerima graft yang missmatch atau
yang menerima allograft dan pengobatan imunosupresif yang kurang dalam usaha
mencegah penolakan. Rejeksi dapat terjadi sesudah beberapa minggu sampai
bulan setelah tandur/ ginjal tidak berfungsi sama sekali dalam waktu 5-21 hari
(Baratawidjaja, 2009).
Pada transplantasi ginjal, penolakan akut disertai dengan pembesaran
ginjal yang disertai rasa sakit, penurunan fungsi dan aliran darah, Adanya sel
darah dan protein dalam urin. Pemeriksaan histologis menunjukkan infiltrasi
22
limfosit dan monosit yang diaktifkan. Bila resipien sebelumnya sudah disensitasi
antigen donor, reaksi dapat terjadi dalam 2-5 hari. Rejeksi akut dapat dihambat
dengan imunosupresi misalnya serum anti limfosit, steroid dan lainnya
(Baratawidjaja, 2009).
Antibody dan sel T effektor berkembang sejak beberapa hari hingga
beberapa minggu sebagai respon terhadap graft. Limfosist T memainkan peran
sentral dalam rejeksi akut dalam merespon alloantigen, termasuk molekul MHC,
yang terdapat pada endothel dan sel parenchimal vaskuler (gambar 2.10.B). sel T
yang teraktivasi menimbulkan direct killing sel graft dan produksi sitokin yang
merekrut dan mengaktivasi sel inflamasi. Pada transplantasi orga yang
tervaskularisasi, seperti ginjal, endotel merupakan target pertama dari reaksi
rejeksi akut. Endothelialitis mikrovaskuler ditemukan pada awal rejeksi akut dan
endotelialitis pada arteri dengan ukuran medium merupakan indikasi dari severe
rejection yang menyebabkan kegagalan transplantasi (Abbas & Lichtman, 2009).
Baik sel T CD4+ maupun sel T CD8+ berkontribusi dalam terjadinya
rejeksi akut. CTL yang terinfiltrasi pada graft menimbulkan terjadinya rekognisi
dan killing dari sel graft. CTL ini dapat secara adaptive ditransfer untuk
menimbulkan reaksi rejeksi graft seluler yang akut. Keberadaan CTL pada
specimen biopsy graft renal yang terdeteksi melalui PCR terhadap RNA yag
mengkode gen CTL merupakan indicator yang spesifik dan sensitive terhadap
terjadinya rejeksi akut. Sedangkan sel T CD4+ penting dalam memediasi rejeksi
melalui sekresi sitokin dan menginduksi DTH-like reaction terhadap graft. Pada
mencit yang diknockout sel T CD8-nya, tetap dapat mengalami rejeksi akut. Hal
ini menunjukkan bahwa sel T CD4+ saja cukup untuk memediasi rejeksi akut.
Transfer adaptif sel T CD4+ alloreatif juga dapat mencetuskan rejeksi terhadap
allograft. Antibody juga dapat memediasi rejeksi akut melalui respon imun
humoral terhadap antigen dinding pembuluh darah dan anti bodi yang dihasilkan
berikatan dengan pembuluh darah sehingga mengaktivasi komplemen. Gambaran
histopatologi dari mekanisme ini berupa nekrosis transmural dinding pembuluh
darah graft dengan inflamasi akut (gambar 2.9.C). Fragmen komplemen C4d yang
teridentifikasi dengan immunohistokimia pada kapiler allograft ginjal digunakan
23
di klinis sebagai indicator aktivasi jalur komplemen klasik dan rejeksi humoral
(Abbas et al, 2007).
Rejeksi melalui mekanisme humoral dan selular terlihat pada Gambar 2.11
(Baratawidjaja, 2009).
Gambar 2.11 Mekanisme imun pada rejeksi graft (Baratawidjaja, 2009)
2.3.3 Rejeksi kronik
24
Rejeksi kronik adalah hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan secara
perlahan beberapa bulan sampai tahun sesudah organ berfungsi normal. Hal ini
disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen graft atau oleh karena
timbulnya intoleransi terhadap sel T. Kadang timbul sesudah pemberian
imunosupresan dihentikan. Infeksi yang ada akan mempermudah timbulnya
rejeksi yang kronik. Pada transplantasi ginjal, gejala gagal ginjal terjadi perlahan-
lahan dan progresif. Pemeriksaan histologik menunjukkan proliferasi sejumlah
besar sel mononuklear yang memacu hal ini, terutama sel T. Mekanisme rejeksi
tidak jelas, tetapi sesudah transplantasi, respons memori (dan primer) yang
menimbulkan produksi antibodi dan imunitas selular terhadap HLA yang
memerlukan waktu lama dapat berperan. Antigen transplantasi minor juga dapat
memacu respons imun yang cukup berarti dan menimbulkan penolakan. Oleh
karena kerusakan sudah terjadi, pengobatan dengan imunosupresi tidak lagi
banyak berguna (Baratawidjaja, 2009).
Graft bervaskularisasi yang bertahan selama lebih dari 6 bulan lambat laun
mengalami oklusi arteri sebagai akibat dari proliferasi sel otot polos intima,
bahkan dapat terjadi kerusakan iskemik. Perubahan arterial ini disebut juga
sebagai vaskulopati graft atau accelerated graft arteriosclerosis (gambar 2.9.D).
pathogenesis dari lesi ini berkaitan dengan kombinasi proses yang melibatkan
respon pembuluh darah terhadap injuri perioperatif dan episode rejeksi akut
dengan chronic DTH-like reaction limfosit host terhadap alloantigen donor pada
pembuluh darah graft. Akumulasi sel otot polos pada intima arteri graft
distimulasi oleh growth factor dan chemokin yang disekresikan oleh sel endothel,
sel otot polos, dan makrofag dalam merespon IFN-γ dan TNF yag disekresikan
oleh limfosit T alloreaktif. Perkembangan dari lesi arterial berupa arterosklerosis
ini menyebabkan penurunan aliran darah ke graft dan parenchyma lambat laun
digantikan oleh jaringan fibrous dengan peranan dari fibroblast growth factor,
TGF-β dan IL-13. Dengan berkembagnya terapi dalam mengontrol rejeksi akut,
rejeksi kronik menjadi penyebab utama dari gagalnya allograft (Abbas et al,
2007).
25
2.4 Pencegahan dan Pengobatan Rejeksi Allograft
Jika resepien memiliki system imun yang fungsional secara keseluruhan,
transplantasi hampir pasti akan direjeksi. Strategi yang di gunakan pada praktek
klinik maupun pada eksperimen menggunakan hewan coba untuk menghindari
atau menunda terjadinya ejeksi adalah dengan penggunaan imunosupresi dan
meminimalisasi kekuatan reaksi allogeneik graft. Selain itu salah satu tujuan
penting dalam menejemen transplantasi adalah menginduksi toleransi yang
spesifik terhadap donor, sehingga graft dapat bertahan tanpa memerlukan
immunosupresi yang nonspesifik (Abbas & Lichtman, 2009).
2.4.1 Immunosupresi untuk Mencegah atau Mengobati Rejeksi Allograft
Imunosupresi merupakan pendekatan utama untuk mencegah dan
memenejemen rejeksi transplantasi. Berbagai metode immunosupressi telah
banyak digunakan (table 2.5) (Abbas et al, 2007).
Gambar 2.12 Tempat kerja berbagai immunosupresan untuk mengontrol rejeksi graft (Baratawidjaja, 2009).
Obat-obat bekerja di berbagai tempat dan respons imun. Pengobatan yang
simultan dengan bahan yang bekerja pada berbagai urutan tahap perkembangan
26
respons rejeksi diharapkan terdapat sinergi yang kuat dan hal ini jelas terlihat pada
siklosporin dan rapamisin (Gambar 2.12) (Baratawidjaja, 2009).
Tabel 2.5 Obat imunosupresi yang digunakan untuk menekan rejeksi
(Abbas & Lichtman, 2009).
a. Imunosupresan yang menghambat atau mebunuh sel limfosit T.
Di antara bahan-bahan yang menekan respons imun, banyak yang bersifat
sitotoksik terhadap limfosit T. Contoh bahan-bahan tersebut adalah serum anti-
limfosit (ALS) atau Anti-Lymphocyte Globulin (ALG). Bahan imunosupresan
lainnya adalah steroid yang mencegah migrasi neutrofil dan produksi IL-i, IL-6
dan IL-i2. Bahan sitotoksik seperti azatioprin, metotreksat dan sikiofosfamide
dapat membunuh sel yang berproliferasi sedangkan siklosporin A, FK506 dan
27
Rapamisin mencegah produksi IL-2 atau respons terhadap IL-2
(Baratawidjaja, 2009).
Immunosupresif yang paling penting saat ini adalah inhibitor calcineurin
termasuk siklosporin dan FK-506 (Abbas et al, 2007). Siklosporin yang
mencegah produksi IL-2, merupakan bahan yang makin banyak digunakan
sebagai imunosupresan dalam alotransplantasi. Bahan tersebut merupakan
produk fungus yang mampu memperbaiki masa hidup graft, melalui supresi sel
Th atau dengan meningkatkan aktivitas sel CTL (BAratawidjaja, 2009). Hal ini
terjadi karena hambatan aktivasi fator transkripsi NFAT dan transkripsi gen IL-
2 dan sitokin yang lain (Abbas et al, 2007). Efek imunosupresinya tidak
spesifik terhadap suatu antigen tetapi juga terhadap respons mikroorganisme
sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Imunosupresi disertai pula
dengan peningkatan kejadian penyakit limfoproliferatif (Baratawidjaja, 2009).
FK-506 sama halnya dengan siklosporin, yaitu menghambat calcineurin. FK-
506 lebih bayak digunakan pada transplantasi liver atau pada kasus
transplantasi ginjal dimana pemberian siklosporin saja tidak cukup (Abbas et
al, 2007).
Kelas immunosupresif lainnya adalah agen yang dapat mengontrol rejeksi
dengan menginhisbisi enzim sellular yaitu rapamycin. Rapamycin dapat
mencegah proliferasi dari sel T Karen kompleks rapamycin-FKBP berikatan
dengan mTOR, yang merupakan serin/threonin protein kinase yang dibutuhkan
untuk proses translasi protein yang menimbulkan proliferasi sel (Abbas et al,
2007).
b. Anti-metabolit
Anti-metabolit menekan respons imun melalui toksin yang membunuh sel T
yang sedang proliferasi. Agen ini mencegah maturasi limfosit dan juga
membunuh sel T matur yang sedang berproliferasi akibat stimulus alloantigen
(Abbas et al, 2007). Contohnya ialah azatioprin dan mercaptopurin yang
mencegah sintesis RNA. Klorambusil dan sikiofosfamid merupakan bahan
yang meng-alkyl-kan DNA dan juga memiliki efek antimetabolit dan
mencegah metabolisme DNA (Baratawidjaja, 2009).
28
MMF merupakan agen dari kelasi ini yang terbaru dan saat ini benyak
digunakan. Metabolit MMF yaitu mycophenolic acd, yang mengeblok isoform
spesifik limfosit inosin monofosfat dehodroksigenase yang merupakan enzim
yang dibutuhkan untuk sintesis de novo nukleotida guanine (Abbas et al, 2007).
c. Antibodi yang bereaksi dengan struktur permukaaan sel T
Pada kebanyakan transplantasi, rejeksi terutama disebabkan CMI atas peran
utama sel T. Antibodi terhadap jaringan asing berkompetisi dengan sel T untuk
mengikat antigen transplantasi sehingga antibodi tersebut dapat mencegah
penghancuran oleh CMI. Pencegahan rejeksi dan perpanjangan masa hidup
graft oleh antibodi spesifik disebut enhancement dan antibodi tersebut disebut
enhancing antibody (Baratawidjaja, 2009).
Antibody monoclonal mencit yang benyak digunakan adalah OKT3 yang
spesifik terhadap CD3. OKt3 merupakan litic antibody dengan mengaktivasi
system komplemen untuk mengeliminasi sel T atau mengopsonisasi sel T
sebelum difagositosis. Antibody lainnya yang telah digunakan di klinik adalah
anti CD25 yang merupakan subunit α dari reseptor IL-2. Agen ini mencegah
aktivasi sel T dengan mengeblok IL-2 berikatan dengan sel T serta
menghancurkan sel T yang mengekspresikan CD25 dengan cara yang sama
dengan OKT3 (Abbas et al, 2007).
d. Agen yang mengeblok jalur kostimulator sel T
agen yang dapat mengeblok jalur kostimulator sel T digunakan untuk
mencegah rejeksi allograft akut. Hal ini karena agen ini dapat mencgah
pengirima signal kedua yang dibutuhkan dalam aktivasi sel T. bentuk soluble
dari CTLA-4 melakukan fusi dengan domain Fc IgG mencegah molekul B7
pada APC untuk berinteraksi dengan CD28 sel T 9 (Abbas et al, 2007).
e. Bahan anti-inflamasi
Steroid adrenokortikoid (prednison dan prednisolon) mempunyai khasiat anti-
inflamasi. Efek steroid ialah menstabilkan membran lisosom sehingga
mencegah penglepasan enzim lisosom yang dapat merusak jaringan. Steroid
juga mencegah rejeksi dan presentasi antigen oleh APC ke sel T, migrasi
neutrofil, produksi IL-1, IL-6 dan IL-2 (Baratawidjaja, 2009).
29
2.4.2 Metode untuk Mengurangi Immunogenicity Allograft
Strategi utama untuk mengurangai immunogenesitas graft pada
transplantasi adalah dengan meminimalisasi perbedaan alloantigenik antara donor
dan resipien. Untuk menghindari rejeksi hiperakut, antigen golongan darah ABO
donor graft harus identik dengan resipien (Abbas et a, 2007). Antigen ABO adalah
penting oleh karena antigen itu diekspresikan pada banyak jenis sel. Antibodinya
yang sudah ada pada resipien yang inkompatibel dapat menimbulkan kerusakan
jaringan graft misalnya pada ginjal. Berikutnya adalah antigen histokompatibilitas
mayor dan minor. MHC merupakan induksi terkuat dan reaksi rejeksi yang
ditimbulkan melalui sel T. Kesulitan dengan MHC adalah bentuknya yang sangat
polimorfik, sehingga untuk menemukan donor dan resipien yang cocok sangat
sulit, kecuali pada kembar identik. Masa hidup graft ditentukan oleh banyaknya
spesifisitas yang dimiliki bersama oleh donor dan resipien (Baratawidjaja, 2009).
Pasien yang membutuhkan allograft juga harus diuji keberadaan antibodi
yang dapat melawan sel donor. Hal ini disebut dengan cross matching, yang
dilakukan dengan cara mencampurkan serum resipien dengan leukosit dari donor
yang potensial dan ditambahkan komplemen untuk memicu lisis sel donor yang
dimediasi oleh jalur klasik. Jika terdapat antibody pada serum resipien, biasanya
yang melawan molekul MHC donor, sel donor akan mengalami lisis. Hal inilah
yang disebut dengan positif crossmach. Pada transplantasi ginjal, perlu dilakukan
minimalisasi perbedaan allelikn MHC, baik kelas I maupun kelas II, antara donor
dan resipien. Semua donor yang potensial dan resipien dilakukan “tissue typed”
untuk mengidentifikasi molekul HLA yang diekspesikan (Abbas & Lichtman,
2009).
Uji kompabilitas donor dan resipien pada transplantasi yang secara rutin
dilakuakan untuk mengurangi resiko rejeksi, meliputi (Abbas et a, 2007):
a. ABO blood typing
Tes ini dilakukan pada semua transplantasi, karena tidak ada graft yang dapat
bertahan pada inkompabilitas ABO antara donor dan resipien. Hal ini
diakibatkan antibody IgM natural bersifat spesifik terhadap anigen golongan
darah ABO kan berakibat pada rejeksi hiperakut. Blood typing dilakukan
30
dengan melakukan pencampuran sel darah merah pasien dengan sera anti-A
dan anti-B (Abbas et al, 2007).
b. Tissue typing : HLA matching
Pada transplantasi ginjal, semakin banyak allel MHC yang match antara donor
dan resipien, semakin baik survival dari graft, terutama pada tahun pertama
transplantasi. Pada transplantasi sumsum tulang, HLA matching penting untuk
menghindari GVHD. Pengalaman di klinis selama ini menunjukkan bahwa dari
seluruh lokus kelas I dan kelas II, hanya kecocokan HLA-A, HLA-B, dan
HLA-DR yang penting dalam memrediksi outcome. Karena masing masing
gen MHC ini diekspresikan oleh dua allel, sehingga antara donor dan resipien
terdapat kemungkinan mismatch antigen MHC nol hingga enam. Antigen-
mismatch zero memprediksikan survival graft donor yang yang paling baik.
Kecocokan HLA pada transplantasi ginjal memungkinkan untuk diusahakan
karena donor ginjal dapat disimpan di bank organ sebelum transplantasi hingga
ditemukan resipien dengan kecocokan yang baik. Selain itu pasien yang
membutuhkan transplant ginjal dapat dimaintain terlebih dahulu dengan
dialysis. Pada kasus transplantasi jantung dan liver, penyimpanan organ lebih
sulit dan resipin biasanya dalam kondisi yang kritis. Oleh karena itu sering kali
HLA typing sulit dilakukan dan pilihan lebih didasarkan pada kecocokan
golongan darah ABO dan kompabilitas anatomic (Abbas et al, 2007).
HLA haplotype dapat ditentukan dengan dengan test serologis. Koleksi sera
yang standar dicampur dengan limfosit resipien pada well yang terpisah dari
plate kultur jaringan. Ditambahkan komplemen ke dalam well dan cat
fluorescent akan masuk ke sel yang mati. Setelah diinkubasi, diperiksa dengan
mikroskop fluorescence. PCR dapat dengan lebih detail menentukan tipe MHC,
menggantika metode serologis (Abbas et al, 2007).
c. Skrining terhadap keberadaan antibody
Pasien yag akan menjalani transplantasi diskrining keberadaan antibody yang
reaktif terhadap molekul HLA untuk mengidentifikasi resiko rejeksi hiperakut
atau akut. Sejumlah kesil serum pasien dicampur dengan sel dari 40 hingga 60
donor yang berbeda yang mewakili populasi donor organ pada well terpisah.
31
Ikatan antara antibody pasien dengan sel donor pada panel ditentukan dengan
lisis yang dimediasi oleh komplemen atau menggunakan fow cytometry dengan
antibody sekunder terhadap IgG yang dilabel dengan fluorescent. Hasilnya
berupa percent reactive antibody (PRA), yang menunjukkan persentase pool sel
donor yang bereaksi dengan serum pasien (Abbas et al, 2007).
d. Crossmatching
Cross-matching merupakan suatu tindakan untuk menguji serum resipien
terhadap antibodi HLA preformed donor. Cross matching digunakan untuk
memeriksa adanya antibodi preformed terhadap HLA donor pada resipien.
Serum asal resipien potensial dicampur dengan limfosit donor dan dievaluasi
untuk lisis dengan bantuan komplemen atau teknik pewarnaan imunofluoresen
atau flow cytometry. Adanya sel mati atau positif fluoresen berarti ada antibodi
antidonor yang dapat menimbulkan rejeksi hiperakut, Hal ini berarti
kontraindikasi untuk menggunakan kombinasi donor-resipien tersebut. Esai ini
mengidentifikasi antibodi HLA dalam serum resipien. Cross matching untuk
golongan darah juga dilakukan pada transplantasi ginjal (Baratawidjaja, 2009).
Bila serum pasien tidak menghancurkan limfosit donor, Mixed Lymphocyte
Reaction (MLR) dapat dilakukan untuk menentukan apakah sel donor
merangsang blastogenesis dengan adanya limfosit resipien (Baratawidjaja,
2009).
2.4.3 Metode untuk Menginduksi Toleransi terhadap Donor (Donor Specific
Tolerance)
Rejeksi allograft dapat dicegah dengan membuat host toleran terhadap
alloantigen graft. Toleransi dalam hal ini berarti host tidak menyebabkan injuri
graft meskipun tanpa immunosupresif maupun agen anti iflamasi. Toleransi
terhadap allograft akan melibatkan mekanisme yang terlibat dalam toleransi
terhadap antigen self, yaitu anergi perifer, delesi, atau supresi aktif sel T
alloreaktif. Toleransi sangat diharapkan dapat terjadi pada transplantasi karena
bersifat spesifik alloantigen dan dapat menghindarkan dari masalah utama terkait
dengan immunosupresif yang non spesifik yaitu kerentanan terhadap infeksi dan
32
tumor yang diinduksi oleh virus. Selain itu toleransi terhadap graft dapat
mengurangi rejeksi kronik yang tidak terpengaruh oleh agen immunosupresif
(Abbas & Lichtman, 2009).
Transplantasi kulit pada mencit yang sebelumnya telah diberi sel spleen
dari donor menimbulkan toleransi sehingga graft dapat diterima. Pada pasien
ransplantasi ginjal yang mendapatkan transfusi darah yang berisi leukosit
allogeneik sebelumnya menunjukkan penurunana kejadian episode rejeksi akut
dibanding dengan yang tidak mendapatkan transfusi. Saat ini tranfusi darah dari
resipien yang potensial merupakan terapi profilaptik yang potensial untuk
menurunkan kejadian rejeksi (Abbas et al, 2007).
Strategi yang juga dikembangkan adalah untuk menginduksi sel limfosit T
regulator yang spesifik terhadap alloantigen graft (Abbas et al, 2007). Natural
regulatory T cells (Treg) diharapkan dapat mencapai aplikasi kinis untuk
menginduksi toleransi. Lebih dari 10 tahun, Treg mulai berpindah dari eksperimen
menggunakan hewan coba menuju aplikasi klinik. Meskipun mekanisme
molekuler inhibisinya belum jelas terungkap, perubahan jumlah Treg ditunjukkan
pada beberapa penyakit pada manusia seperti penyakit autoimmune yang
dikaitkan dengan penurunan jumlah Treg dan Treg seringkali terakumulasi pada
tumor solid dan keganasan hematologi. Memonitor jumlah Treg merupakan salah
satu cara mengidentifikasi pasien dengan resiko kekagalan graft dan
memungkinkan membantu meminimalisasi terpai immunosupresif pada pasien
dengan transplant. Mekanisme molekuler dari proliferasi Treg dan eliminasi Treg
seperti apoptosis yang dimediasi oleh ligan CD95 saat ini sedang diteliti
kegunaanya sebagai target terapi. Ekspansi jumlah Treg in vivo dan in vitro
merupakan strategi terapi yang baru untuk mencapai toleransi parsial atau bahkan
operasional setelah transplantasi organ (Pauly et al, 2009).
2.5 Organ yang dapat Ditransplantasikan
2.5.1 Ginjal
Transplantasi ginjal dilakukan pada gagal ginjal tingkat akhir dengan
menggunakan ginjal asal anggota keluarga atau mayat sebagai donor. Matching
33
lokus HLA-B dan HLA-DR sangat penting, Sedang matching lokus HLA-A tidak
memberikan keuntungan yang lebih bila resipien mendàpat pengobatan dengan
imunosupresan seperti siklosporin (Baratawidjaja, 2009).
Adanya sensitisasi terhadap antigen donor yang sudah terjadi sebelum
transplantasi juga penting diketahui oleh karena dapat merugikan. Hal tersebut
misalnya terjadi akibat transplantasi terdahulu yang menimbulkan antibodi anti-
HLA. Antibodi anti-HLA juga dapat digunakan sebagai indikator dan adanya
reaksi penolakan. Mereka yang sebelum transplantasi tidak mengandung anti-
HLA, tetapi kemudian mengandungnya, menunjukkan masa hidup yang rendah
(12%). Sebaliknya, mereka yang sebelumnya menunjukkan anti-HLA dan
kemudian tidak menunjukkan lagi, mempunyai masa hidup tinggi (100%). IL-2
dalam serum dapat pula digunakan sebagai petanda dan penolakan
(Baratawidjaja, 2009).
2.5.2 Jantung dan paru
Meskipun HLA matching dapat menguntungkan pada transplantasi
jantung dan paru, namun hal tersebut sering tidak sempat dilakukan. Masa hidup
satu tahun mencapai 80% pada penderita yang ditangani dengan baik. rejeksi dini
jantung yang menunjukkan adanya peningkatan ekspresi MHC-I dapat diukur
dengan perubahan elektrokardiogram dan biopsi miokard. Adanya perubahan
tersebut menunjukkan diperlukannya dosis imunosupresan yang lebih tinggi
(Baratawidjaja, 2009).
2.5.3 Hati
Hati merupakan imunogen yang lemah dan masa hidup satu tahun
melebihi 70%. Mismatch HLA sering tidak praktis dan tidak menunjukkan
keuntungan pula, tetapi anti-HLA pçda resipien dapat menimbulkan kerusakan
saluran empedu (Baratawidjaja, 2009).
2.5.4 Kornea
Tramsplantasi komea sangat efektif dan berhasil untuk waktu yang lama.
Tempat kornea tersebut terlindung dan aliran limfe sehingga biasanya tidak
34
mempunyai kapiler (sequestered antigen). Bila terjadi vaskularisasi (misalnya
akibat trauma) maka risiko rejeksi bertambah. Matching HLA-DR mempunyai
keuntungan dan imunosupresan yang menggunakan tetes steroid juga diperlukan
untuk mencegah penolakan (Baratawidjaja, 2009).
2.5.5 Kulit
Transplantasi kulit hanya dapat dilakukan sebagai homografi oleh karena
kulit sangat imunogenik. Ada kalanya diperlukan allograft untuk sementara
menutupi luka yang luas dan kemudian diganti dengan homograft (Baratawidjaja,
2009).
2.5.6 Sumsum Tulang
Transplantasi sumsum tulang dilakukan pada defisiensi imun, aplasia
hematologis dan untuk mengganti sumsum tulang pada penderita yang mendapat
pengobatan agresif seperti pada leukemia (Tabel 2.6). Masa hidup berbeda yang
tergantung dan berat dan jenis penyakit yaitu 70% pada anemia aplastik dan 10-
50% pada leukemia (Baratawidjaja, 2009).
Tabel 2.6 Keadaan klinis yang memerlukan transplantasi sumsum tulang
(Baratawidjaja, 2009).
Sumsum tulang sangat imunogenik dan donor terbaik adalah saudara
kembar dengan HLA identik. Kompatibilitas ABO tidaklah terlalu penting, oleh
karena sel darah merah sudah disingkirkan dari sumsum tulang dan sel asal tidak
35
menunjukkan antigen ABO. Resipien sudah mendapat iradiasi total dan atau dosis
tinggi imunosupresan sebelum dilakukan transplantasi untuk mengurangi risiko
host versus graft rejection (GvHD), Pada transplantasi sumsum tulang selalu ada
risiko terjadinya komplikasi berupa GvHD, mengingat sumsum tulang
mengandung sel T matur. Oleh karena itu selalu diusahakan untuk menurunkan
jumlah sel T tersebut (misalnya melalui biji besi magnetik yang dilapisi antibodi),
meskipun tindakan tersebut tidak selalu meningkatkan keberhasilan
(Baratawidjaja, 2009).
Penyakit Graft versus Host (GvH) ialah keadaan yang terjadi bila sel yang
imunokompeten asal donor mengenal dan memberikan respons imun terhadap
jaringan resipien. Bila sel T yang matur dan imunokompeten ditransfusikan
kepada resipien yang alogeneik dan oleh karena salah satu sebab tidak dapat
menolaknya, maka sel tersebut bereaksi dengan sel pejamu. Reaksi yang fatal
tersebut disebut GvH. Sel-sel yang diserang ialah semua sel yang
mengekspresikan MHC-II. Sel T yang ditransfusikan akan menimbulkan reaksi
CMI di berbagai tempat (Baratawidjaja, 2009).
Tanda dan respons GvH antara lain pembesaran kelenjar getah bening,
urnpa, hati, diare, kemerahan di kulit, ram- but rontok, berat badan menurun dan
akhirnya meninggal. Kematian diduga terjadi karena destruksi sel pejamu dan
jaringan akibat respons CMI yang berlebihan terhadap banyak sel sasaran pada
pejamu yang memiliki antigen MHC-II (Baratawidjaja, 2009).
Reaksi GvH dapat terjadi akibat transplantasi sumsum tulang kepada
resipien dengan supresi sistem imun atau akibat transfusi darah segar kepada anak
atau neonatus yang imunokompromais. Hal ini lebih mudah terjadi bila sebelum
transplantasi atau transfusi tidak diusahakan untuk menyingkirkan semua sel T
matur yang imunokompeten. Dalam kedua hal tersebut, rejeksi normal oleh
resipien terhadap limfosit yang ditransfusikan tidak mungkin terjadi
(Baratawidjaja, 2009).
Sel T yang aloreaktif mengerahkan sel-sel efektor pejamu ke tempat
transplantasi yang biasanya terjadi dalam waktu 4 minggu (GvHD akut). Organ
yang dijadikan sasaran adalah hati (terutama epitel bilier), kulit dan saluran cerna.
36
Reaksi kronis dapat terjadi kemudian, biasanya menyusul GvHD akut. Reaksi
tersebut biasanya responsif terhadap peningkatan dosis imunosupresan, tetapi
akhirnya resipien sering menjadi sangat rentan terhadap infeksi virus oportunistik
(Baratawidjaja, 2009).
37
BAB 3
KESIMPULAN
Transplantasi jaringan dari satu individu kepada resipien yang tidak
identik secara genetic menimbulkan respon imun spesifik yang disebut dengan
rejeksi yang dapat menghancurkan graft. Molekul utama yang menjadi target
rejeksi transplant adalah molekul MHC allogeneik kelas I dan II. Molekul
allogeneik dipresenasikan melalui dua cara. Jalur yang pertama disebut dengan
direct presentation , melibatkan rekognisi dari molekul MHC yang intak yang
diekspresikan oleh APC (antigen presenting cell) donor pada graft dan hal ini
adalah konsekuensi dari kesamaan struktur dari MHC foreign (allogeneik) yang
intak dengan molekul MHC self. Cara yang kedua disebut dengan indirect
presentation yang melibatkan pemrosesan dari molekul MHC donor oleh APC
resipien dan presentasi peptide yang berasal dari MHC allogeneik oleh molekul
MHC self. Pada beberapa eksperimen menggunakan hewan coba dan pada
transplantasi di klinik, sel T CD4 atau CD8 alloreaktif maupun alloantibody dapat
memediasi terjadinya rejeksi allograft. Effektor imun yang berbeda ini
menyebabkan mekanisme yang Terkait dengan alasan historical, rejeksi graft
diklasifikasikan berdasarkan dasar dari gambaran histopathologinya atau waktu
terjadinya rejeksi setelah transplantasi dengan istilah hiperakut, akut, dan kronik.
Strategi yang di gunakan pada praktek klinik maupun pada eksperimen
menggunakan hewan coba untuk menghindari atau menunda terjadinya ejeksi
adalah dengan penggunaan imunosupresi dan meminimalisasi kekuatan reaksi
allogeneik graft melalui proses seleksi. Selain itu, salah satu tujuan penting dalam
menejemen transplantasi adalah menginduksi toleransi yang spesifik terhadap
donor, sehingga graft dapat bertahan tanpa memerlukan immunosupresi yang
nonspesifik.
38
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK & Litchtman AH. 2009. Basic Immunology Functions and Disorders
of The Immune System. Saunders Elsevier, 3:45-63
Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. 2007. Cellular and Molecular Immunology-6th
edition. Saunders Elsevier, 5-6:97-133.
Baratawidjaja, KG. 2009. Imunologi Dasar-Edisi 9. Jakarta: FKUI, 8:197-217.
Ghaffar A and Nagarkatti P. 2010. MHC: Genetics And Role In Transplantation .
Http://Pathmicro.Med.Sc.Edu/ Book/Immunol-Sta.Htm. Diakses Pada
Tanggal 26 Desember 2010.
Pauly E, Kunz P, Maurer B, Po¨ schl J, Fritzsching B. Regulatory T cells and
tolerance induction. Clin Transplant 2009: 23 (Suppl. 21): 10–14.
39