improvement of speaking ability with sor singgihof balinese in ...
-
Upload
truongtuong -
Category
Documents
-
view
257 -
download
13
Transcript of improvement of speaking ability with sor singgihof balinese in ...
i
TESIS
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA SOR SINGGIH BAHASA BALI DALAM
MEMBANGUN KARAKTER SISWA KELAS VIB SD NEGERI 3 SUKAWATI MELALUI METODE
BERMAIN PERAN
NI MADE AYU SUWANDEWI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2013
i
TESIS
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA SOR SINGGIH BAHASA BALI DALAM MEMBANGUN
KARAKTER SISWA KELAS VIB SD NEGERI 3 SUKAWATI MELALUI METODE BERMAIN PERAN
NI MADE AYU SUWANDEWI NIM 1190161021
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2013
ii
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA SOR SINGGIH BAHASA
BALI DALAM MEMBANGUN KARAKTER SISWA KELAS VIB SD NEGERI 3 SUKAWATI MELALUI METODE BERMAIN PERAN
Tesis untuk Memeroleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Linguistik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI MADE AYU SUWANDEWI NIM 1190161021
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PEMBELAJARAN DAN PENGAJARAN BAHASA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2013
iii
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
Tanggal 16 Desember 2013
Mengetahui,
Pembimbing I,
Prof. Dr. I Nym Weda Kusuma, M.S. NIP 19590618 198303 1 001
Pembimbing II,
Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum. NIP 19600825 1986021 001
Ketua Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum. NIP 19620310 198503 1 005
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K). NIP 19590215 198510 2 001
iv
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis Ini Telah Diuji
Tanggal 16 Desember 2013
Panitia Penguji Tesis, berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana Nomor: 3375/UN 14.4/HK/2013 Tanggal 12 Desember 2013
Ketua : Prof. Dr. I Nym Weda Kusuma, M.S.
Anggota :
1. Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum.
2. Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum.
3. Dr. I Nyoman Sedeng, M. Hum.
4. Dr. Made Sri Satyawati, SS., M.Hum.
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini.
Nama : Ni Made Ayu Suwandewi
NIM : 1190161021
Program Studi : Magister Linguistik Konsentrasi Pembelajaran
dan Pengajaran Bahasa
Judul Tesis : Peningkatan Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa
Bali dalam Membangun Karakter Siswa Kelas VIB SD
Negeri 3 Sukawati Melalui Metode Bermain Peran
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat digunakan sebagaimanamestinya.
Denpasar, 16 Desember 2013
Yang membuat pernyataan,
Ni Made Ayu Suwandewi
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena
atas penyertaan dan rahmat-Nya, tesis yang berjudul“ Peningkatan Kemampuan
Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali dalam Membangun Karakter Siswa Kelas VIB
SD Negeri 3 Sukawati ”ini dapat diselesaikan.
Penyelesaian penulisan tesis ini dapat terjadi karena adanya bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1) Rektor Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis dalam menempuh pendidikan pascasarjana di institusi yang beliau
pimpin;
2) Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis lewat pengajaran dan bimbingan
para pengajar pada Program Studi Linguistik, Konsentrasi Pembelajaran
dan Pengajaran Bahasa;
3) Ketua Program Studi Magister Linguistik, Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penulis menjadi
mahasiswa;
4) Prof. Dr. I Nengah Sudipa, M.A selaku Pembimbing Akademik yang telah
banyak memberikan motivasi, bimbingan, dan perhatian mendalam bagi
penulisan tesis ini;
vii
5) Prof. Dr. I Nym Weda Kusuma, M.S.danDr. A.A Putu Putra, M.Hum,
selaku Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dan motivasi; serta para penguji yang telah memberikan banyak
masukan dan motivasi dalam proses penulisan ini;
6) para dosen pada Konsentrasi Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa,
Program Studi Magister Linguistik, Program Pascasarjana Universitas
Udayana yang telah banyak memberikan ilmu dan motivasi selama penulis
mengikuti perkuliahan;
7) staf administrasi, Pak Ebuh, Pak Sadra, Bu Komang dan Bu Gung yang
telah banyak membantu segala kelengkapan administrasi selama penulis
mengikuti perkuliahan;
8) Teman-teman Konsentrasi Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa Angkatan
2011, terima kasih atas segala motivasi dan dukungannya serta kerja
samanya selama perkuliahan;
9) Ni Ketut Tariyani, S.Pd. selaku Kepala Sekolah SDNegeri 3 Sukawati
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan
penelitian lapangan di sekolah yang beliau pimpin;
10) Siswa Kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati yang secara kooperatif yang telah
bersedia menjadi objek penelitian untuk memeroleh data;
11) keluarga tercinta, yaitu ayah, ibu, dan kakak di rumah, terima kasih atas
dukungan moral dan materi yang diberikan sehingga penulis dapat
melaksanakan pendidikan di Program magister (S2) Linguistik hingga
selesai;
viii
12) Kekasih tersayang, terima kasih atas segala bentuk perhatian dan
dukungan yang diberikan tanpa henti.
Semoga Tuhan Yang Mahaesa melimpahkan rahmat-Nya atas segala amal
baik kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan
penyelesaian tesis ini.Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca untuk pencapaian kualitas penulisan yang lebih baik di masa datang,
khususnya bagi pembelajaran dan pengajaran bahasa.
Denpasar, 16 Desember 2013
Ni Made Ayu Suwandewi
ix
ABSTRAK PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA SOR SINGGIH BAHASA
BALI DALAM MEMBANGUN KARAKTER SISWA KELAS VIB SD NEGERI 3 SUKAWATI MELALUI METODE BERMAIN PERAN
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan
menggunakan metode kombinasi (mixed methods), yakni metode penelitian kuantitatif dan metode kualitatif dengan model penelitian concurrent triangulation. Penelitian ini, bertujuan (1) menjelaskan nilai dan kualitas bahasa dalam berbicara sor singgih bahasa Bali sebelum penerapanmetode bermain peran dalam membangun karakter siswa; (2) menjelaskan nilai dan kualitas bahasa dalam berbicara sor singgih bahasa Bali setelah penerapanmetode bermain peran dalam membangun karakter siswa; (3) serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan kemampuan berbicara sorsinggihbahasa Balidalammembangun karaktersiswa melalui metode bermain peran. PTK dilaksanakan selama dua siklus pada kelas VIB, semester II SD Negeri 3 Sukawati.
Data dikumpulkan melalui metode observasi, kuesioner, wawancara, dan tes dengan menggunakan teknik pencatatan, perekaman, dan pengambilan gambar. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menghitung nilai prestasi siswa dalam tes berbicara sor singgih bahasa Bali dan respons terhadap tindakan melalui kuesioner. Data kualitatif digunakan untuk analisis proses tindakan, hasil peningkatan kualitas bahasa, penggunaan sor singgih bahasa Bali, serta karakter yang terbangun sebelum dan setelah penerapan tindakan. Teori yang digunakan adalah teori behavioristik dan keterampilan berbicara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) sebelum penerapan tindakan nilai rerata kelas tahap pratindakan hanya sebesar 50% termasuk kategori “kurang”; (2) setelah penerapan tindakan meningkat menjadi 61% tergolong kategori “cukup” pada siklus I dan 79% termasuk kategori “baik” pada siklus II. Peningkatan kualitas bahasa dalam berbicara sor singgih bahasa Bali dari aspek kebahasaan terjadi dalam hal pelafalan, kosakata, dan tata bahasa, sedangkan dari aspek nonkebahasaan terjadi dalam hal materi, kelancaran, dan gaya. Peningkatan dari segi penggunaan bahasa Bali, yakni siswa mampu menggunakan sor singgih bahasa Bali (Basa Alus Singgih, Basa Alus Sor, Basa Mider, lan Basa Kapara) sesuai dengan desa kala patra, yakni tempat, waktu, dan keadaan. Karakter yang terbangun dalam penelitian ini adalah karakter kesopansantunan berbahasa Bali; (3) faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan berbicara sor singgih bahasa Bali siswa adalah adanya pengulangan materi, penerapan metode yang mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, kebiasaan (karakter kesopanan) yang ditumbuhkan setiap hari, motivasi, minat, hubungan/interaksi antara guru dan siswa, siswa dengan siswa, serta sikap mental.
Kata kunci: sor singgih bahasa Bali, bermain peran, membangun karakter
x
ABSTRACT IMPROVEMENT OF SPEAKING ABILITY WITH SOR SINGGIHOF
BALINESE IN CHARACTER BUILDING OF CLASS VIB STUDENTS OF SD NEGERI 3 SUKAWATI TROUGH ROLE PLAY METHOD
This research is Classroom Action Research (CAR) by using the combination method (Mixed Methods)of quantitative and qualitative method with research model concurrent triangulation. There are three purposes of this research, those are (1) explaining the value and language quality in communicating using sor singgih of Balinese before the application of role play in students characters’ building; (2) explaining the value and language quality in communicating using sor singgih of Balinese after the application of role play in students characters’ building; and (3) identifying the factors that influence sorsinggihof Balinese in students character’s building through role play. CAR is done in two cycles at VIB, semester II SD Negeri 3 Sukawati.
The data collecting through methods of observation, questionnaire, interview, and test, by using note-taking, video recording, and pictures taking technique. Quantitative data analysis is done by counting the students performance’s score in communicating test using sor singgih of Balinese and their responses in questioners. Qualitative data in analyzing the implementation process, the result of language quality, the using of sor singgih of Balinese, and the character develops before and after implementation. The theories used are behavioristics theory and speaking skills.
The research results show that (1) before the application the class mean is 50% with “less” category; (2) after the application it increase to 61% “moderate” category in the 1st cycle and 79% “good” category in the 2nd cycle. Improvement of language quality in speaking sor singgih of Balinese in language aspect happens in pronunciation, vocabulary, and grammar, while in non language aspects are in terms of teaching material, fluency and style. The improvement in using Balinese is students are able to use sor singgih of Balinese (Basa Alus Singgih, Basa Alus Sor, Basa Mider, lan Basa Kapara) based on desa kala patra those are place, time and situation. Character that was built up in this research is politeness in speaking Balinese the improvement; and (3) factors that influenced the improvement of speaking sor singgih of Balinese of students are the repetition of teaching material, application of method that can be applied on daily lives, habitual (polite characters) that built up daily through motivation, interest, interaction between teacher and students, students and students and students mentality.
Keywords: sor singgih of Balinese, role play, character building
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM.................................................................................... i
PRASYARAT GELAR MAGISTER ....................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ............................................. iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ........................................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................. ix
ABSTRACT .............................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... xv
DAFTAR SIMBOL . ................................................................................. xvi
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 8
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................... 8
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 8
1.4.1 Manfaat Teoretis ................................................................................ 8
1.4.2 Manfaat Praktis .................................................................................. 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
MODEL PENELITIAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka ...................................................................................... 11
2.2 Konsep .................................................................................................. 16
2.2.1 Peningkatan ....................................................................................... 17
xii
2.2.2 Kemampuan Berbicara ....................................................................... 17
2.2.3 Sor Singgih Bahasa Bali .................................................................... 18
2.2.4 Pendidikan Karakter ........................................................................... 25
2.2.5 Bermain Peran ................................................................................... 30
2.3 Landasan Teori ..................................................................................... 35
2.3.1Teori Behavioristik ............................................................................. 35
2.3.2 Keterampilan Berbicara ..................................................................... 36
2.4 Model Penelitian ................................................................................... 54
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian ............................................................................ 58
3.2 Tahapan Penelitian ................................................................................ 62
3.2.1 Pratindakan ........................................................................................ 62
3.2.2 Siklus I .............................................................................................. 63
3.2.3 Siklus II.............................................................................................. 65
3.3 Subjek Penelitian .................................................................................. 65
3.4 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ................................................. 66
3.5 Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 66
3.6 Instrumen Penelitian.............................................................................. 68
3.7 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ................................................. 68
3.7.1 Tes ..................................................................................................... 69
3.7.2 Kuesioner ........................................................................................... 69
3.7.3 Lembar Observasi .............................................................................. 70
3.7.4 Pedoman Wawancara ........................................................................ 70
3.7.5 Catatan Guru ..................................................................................... 71
3.8 Metode dan Teknik Analisis Data.......................................................... 71
3.9 Metode dan Teknik Penyajian Analisis Data ........................................ 77
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Sebelum Penerapan
Metode Bermain Peran dalam Membangun Karakter Siswa Kelas VIB 80
xiii
4.1.1 Analisis Kuantitatif Pratindakan ........................................................ 81
4.1.1.1 Observasi Pratindakan .................................................................... 81
4.1.1.2 Kuesioner Pratindakan..................................................................... 83
4.1.1.3 Tes Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Pratindakan ........................ 86
4.1.2 Analisis Kualitatif Pratindakan………………………………..…….. 98
4.1.3 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali Pratindakan .............................. 107
4.1.4 Membangun Karakter Siswa Pratindakan ........................................... 109
4.2 Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali SetelahPenerapan
Metode Bermain Peran dalam Membangun Karakter Siswa Kelas VIB 111
4.2.1 Analisis Kuantitatif Siklus I................................................................ 112
4.2.1.1 Perencanaan Siklus I ...................................................................... 112
4.2.1.2 Tindakan Siklus I ........................................................................... 114
4.2.1.3 Observasi Siklus I ........................................................................... 116
4.2.1.4 Tes Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Siklus I .............................. 119
4.2.1.5 Refleksi Siklus I .............................................................................. 128
4.2.2 Analisis Kualitatif Siklus I ................................................................ 129
4.2.3 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali Siklus I..................................... 133
4.2.4 Membangun Karakter Siswa Siklus I ................................................. 135
4.2.5 Analisis Kuantitatif Siklus II .............................................................. 136
4.2.5.1 Perencanaan Siklus II ..................................................................... 136
4.2.5.2 Tindakan Siklus II ........................................................................... 137
4.2.5.3 Observasi Siklus II ......................................................................... 140
4.2.5.4 Tes Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Siklus II .............................. 142
4.2.5.5 Refleksi Siklus II ............................................................................. 154
4.2.6 Hasil Kueioner Pascatindakan ............................................................ 154
4.2.7 Analisis Kualitatif Siklus II ............................................................... 158
4.2.8 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali Siklus II .................................. 162
4.2.9 Membangun Karakter Siswa Siklus II ................................................ 163
4.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi peningkatan kemampuan Berbicara
Siswa ................................................................................................... 164
xiv
BAB V KURIKULUM, SILABUS, MATERI, RPP, DAN EVALUASI
5.1 Linguistik Terapan ............................................................................... 168
5.2 Profil Siswa........................................................................................... 170
5.3 Analisis Kebutuhan (Need Analysis) ..................................................... 171
5.3.1 Target Kebutuhan (Target Needs)....................................................... 171
5.3.2 Kebutuhan Belajar (Learning Needs) ................................................. 173
5.4 Analisis Frame faktor (Frame Factor Analysis) .................................... 174
5.5 Kurikulum ............................................................................................. 177
5.6 Silabus .................................................................................................. 178
5.7 Materi ................................................................................................... 181
5.8 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ............................................ 182
5.9 Evaluasi ............................................................................................... 199
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan ............................................................................................... 201
6.2 Saran ..................................................................................................... 206
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 209
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................ 213
xv
DAFTAR SINGKATAN
PTK : Penelitian Tindakan Kelas
RPP : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
KKM : Kriteria Ketuntasan Minimum
Metkom : Metode Kombinasi
Asi : Alus Singgih
Aso : Alus Sor
Ami : Alus Mider
Bk : Basa Kapara
K : Basa Kasar
T : Transkripsi
ST : Standar
Nom : Nomina
Pron : Pronomina
V : Verba
FV : Frase Verba
Num : Numeralia
Adj : Adjektiva
Adv : Adverbia
Prep : Preposisi
Konj : Konjungsi
Art : Artikel
Part : Partikel
Int : Interogatif
Dem : Demonstrativa
xvi
DAFTAR SIMBOL
푀 : Mean (rerata)
∑푋 : Jumlah skor
N : Jumlah siswa
[…] : Pengapit tulisan fonetis
/…/ : Pengapit fonem
/ : Berhenti sejenak
// : Berhenti lebih lama
xvii
DAFTAR TABEL
3.1 Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ....................................... 65
3.2 Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Usia ......................................... 65
3.3 Lembar Obsevasi .................................................................................. 70
3.4 Catatan Guru ......................................................................................... 71
3.5 Kriteria Penilaian Berbicara berdasarkan Aspek Kebahasaan ................ 73
3.6 Kriteria Penilaian Berbicara berdasarkan Aspek Nonkebahasaan ........... 73
3.7 Tingkat Penguasaan Kemampuan Berbicara .......................................... 75
4.1 Hasil Tes Pemahaman Sor Singgih Bahasa Bali .................................... 82
4.2 Kuesioner Pratindakan .......................................................................... 84
4.3 Nilai Siswa dalam Berbicara Bahasa Bali Pratindakan ........................... 89
4.4 Tingkat Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Siswa Kelas
VIB SDN 3 Sukawati Pratindakan ....................................................... 91
4.5 Penilaian Pelafalan Bahasa Bali Tahap Pratindakan ............................... 93
4.6 Penilaian Kosakata Bahasa Bali Tahap Pratindakan............................... 94
4.7 Penilaian Tata Bahasa Bali Tahap Pratindakan ...................................... 95
4.8 Penilaian Materi Bahasa Bali Tahap Pratindakan ................................... 96
4.9 Penilaian Kelancaran Bahasa Bali Tahap Pratindakan ........................... 97
4.10 Penilaian Gaya Siswa Pratindakan ....................................................... 98
4.11 Kegiatan Pembelajaran Siklus I……………………............................. 114 4.12 Nilai Siswa dalam Berbicara Bahasa Bali Siklus I ............................... 120
4.13 Tingkat Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Siswa Kelas
VIB SDN 3 Sukawati Siklus I………………………………………… 122
4.14 Penilaian Pelafalan Bahasa Bali Siswa Siklus I ……………………… 123 4.15 Penilaian Kosakata Bahasa Bali Siswa Siklus I.................................... 124
4.16 Penilaian Tata Bahasa Bali Siswa Siklus I……………………………. 125
4.17 Penilaian Materi Bahasa Bali Tahap Siklus I……………………… 126 4.18 Penilaian Kelancaran Siswa Siklus I .................................................... 126
4.19 Penilaian Gaya Siswa Siklus I……………………………………….. 127
xviii
4.20 Kegiatan Pembelajaran Siklus II .......................................................... 138
4.21 Nilai Siswa dalam Berbicara Bahasa Bali Siklus II .............................. 143
4.22 Tingkat Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Siswa Kelas
VIB SDN 3 Sukawati Siklus II……………………………………… 145
4.23 Perbandingan Nilai Rerata Siswa dalam Kemampuan Berbicara .......... 146
4.24 Peningkatan Nilai Rerata Siswa dalam Kemampuan Berbicara
Berdasarkan Aspek Kebahasaan dan Nonkebahasaan .......................... 148
4.25 Penilaian Pelafalan Bahasa Bali Siswa Siklus II .................................. 150
4.26 Penilaian Kosakata Bahasa Bali Siswa Siklus II .................................. 150
4.27 Penilaian Tata Bahasa Bali Siswa Siklus II .......................................... 151
4.28 Penilaian Materi Bahasa Bali Tahap Siklus II……………………….. 152 4.29 Penilaian Kelancaran Bahasa Bali Siswa Siklus II…………………… 153
4.30 Penilaian Gaya Siswa Siklus II………………………………………... 153 4.31 Hasil Kuesioner Pascatindakan ………………………………………. 155
5.1 Silabus Pembelajaran Keterampilan Berbicara Bahasa Bali ................... 180
5.2 Materi Pembelajaran Sor Singgih Bahasa Bali dengan Metode Bermain
peran ……………………………………………………………………. 181
xix
DAFTAR GAMBAR
2.1 Konteks Komunikasi ............................................................................ 37
2.2 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali ................................................... 46
2.3 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali .................................................... 47
2.4 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali .................................................... 48
2.5 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali .................................................... 49
2.6 Model Penelitian ................................................................................... 57
3.1 PTK Model Hopkins (1993) .................................................................. 59
3.2 Metode Kombinasi Model Concurrent Triangulation ........................... 61
4.1 Diagram Kemampuan Berbicara Pratindakan ....................................... 90
4.2 Karakter yang Berkembang di SD Negeri 3 Sukawati ………………… 111
4.3 Diagram Kemampuan Berbicara Siklus I ............................................... 121
4.4 Diagram Kemampuan Berbicara Siklus II ............................................. 145
4.5 Diagram Peningkatan Nilai Rerata Kelas ............................................... 147
4.6 Perbandingan Nilai Rerata dalam Kemampuan Berbicara Siswa ............ 148
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat suku Bali memiliki alat komunikasi dan alat budaya, yaitu
bahasa Bali atau bahasa daerah Bali yang mencerminkan identitas manusia Bali.
Bahasa Bali adalah salah satu bahasa daerah yang mempunyai sistem bahasa yang
bertingkat-tingkat (anggah-ungguhing basa/sor singgih basa Bali). Menurut I
Nengah Duija (2007:17), anggah-ungguhin basa Bali (tingkat-tingkatan bahasa
Bali) yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat suku Bali
mencerminkan pelapisan atau stratifikasi sosial masyarakat penutur bahasa
tersebut, baik yang bersifat tradisional maupun yang bersifat modern yang kedua-
duanya mempunyai pengaruh besar dan kuat terhadap sikap sopan santun dalam
berkomunikasi.
Masyarakat suku Bali dalam etika pergaulannya dilandasi oleh sopan
santun, yang berpola dalam bingkai manyama braya. Bingkai manyama braya ini
membentuk karakter dan pola pikir, termasuk sikap mental orang Bali sehingga
dalam berkomunikasi pun masyarakat suku Bali akan selalu memilih dan memilah
ketika memakai tingkat-tingkatan bahasa Bali (sor singgih bahasa Bali) yang
sesuai dan tepat dengan identitas status lawan bicaranya. Bila pilihan tingkat-
tingkatannya cocok, akan menyenangkan dan menggembirakan bagi lawan bicara.
Akan tetapi, jika salah pilih dalam pemakaian, akan terasa janggal apalagi
berkonotasi negatif mengakibatkan lawan bicara menjadi salah paham atau
tersinggung (Suarjana, 2008:60).
2
Penggunaan sor singgih bahasa Bali ini akan sekaligus mencerminkan
identitas dan status sosial di antara mereka sebagai pembicara dan lawan bicara.
Apabila lawan bicara sudah dikenal identitasnya, maka lebih mudah memilih
tingkatan bahasa mana yang cocok untuk digunakan dalam berkomunikasi
daripada berkomunikasi dengan lawan bicara yang belum dikenal. Untuk lebih
memudahkan dalam berkomunikasi, terlebih dahulu perlu diketahui identitas
lawan bicara. Cara yang telah lazim digunakan di Bali adalah dengan melontarkan
pertanyaan secara tradisional, yakni “Nawegan titiang nunasang antuk linggih?”,
yang secara bebas artinya ‘Maaf saya ingin mengenal identitas Anda’ (Suarjana,
2008:61).
Dalam pembelajaran bahasa Bali di sekolah ada kecenderungan siswa
sangat sulit memahami pemakaian bahasa Bali dalam berkomunikasi. Hal ini
disebabkan oleh sistem bahasa Bali dikatakan begitu rumit karena adanya sor
singgih bahasa Bali tersebut. Siswa harus memahami dalam memilih dan memilah
bahasa yang akan digunakan sesuai dengan siapa lawan bicaranya (siapa saja yang
berbicara), berbicara tentang apa, dan kala apa berbicara (desa kala patra, yaitu
tempat, waktu, dan keadaan) yang membuat bahasa itu sulit untuk digunakan
dalam berkomunikasi. Kurangnya pemahaman penggunaan sor singgih bahasa
Bali pada siswa menimbulkan kurangnya kesopansantunan siswa dalam berbicara
kepada lawan tutur, seperti dengan guru di sekolah.
Dalam proses pembelajaran bahasa Bali guru diharapkan lebih banyak
mengenalkan sor singgih bahasa Bali sebagai alat komunikasi yang dapat
menjalin keharmonisan antara pembicara dan lawan bicara. Di samping itu, juga
3
dipakai untuk membawakan arti-arti kesopansantunan yang berjenjang atau
bertingkat. Tingkatan tutur bahasa Bali memainkan peranan yang sangat penting
dalam upaya pembentukan mental siswa yang berkarakter.
Pada saat pembelajaran bahasa Bali di sekolah, guru cenderung lebih
memfokuskan mengajarkan keterampilan menulis dan keterampilan membaca
bahasa Bali, baik bahasa Bali Latin maupun aksara Bali. Sementara itu,
keterampilan lain utamanya keterampilan berbicara kurang mendapat perhatian.
Menurut Iskandarwassid dan Sunendar (2011:241), keterampilan berbicara pada
hakikatnya merupakan keterampilan mereproduksi arus sistem bunyi artikulasi
untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan kepada orang
lain. Dalam hal ini, kelengkapan alat ucap seseorang merupakan persyaratan
alamiah yang memungkinkannya untuk memproduksi suatu ragam yang luas
bunyi artikulasi, tekanan, nada, kesenyapan, dan lagu bicara.
Siswa SD Negeri 3 Sukawati merupakan siswa homogen yang keseharian
menggunakan bahasa Bali sebagai alat komunikasi, baik di keluarga, di sekolah,
maupun di lingkungan masyarakat. Sebagai siswa yang berada di lingkungan yang
menggunakan bahasa Bali dalam berkomunikasi, mereka harus dapat memahami
maksud dari apa yang dituturkan oleh lawan tutur serta mampu menyampaikan
tuturan sesuai dengan sor singgih bahasa Bali. Akan tetapi, kenyataan yang ada
justru terbalik.
Berdasarkan data observasi awal, wawancara, dan pemberian tes kepada
siswa kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati ternyata memiliki kemampuan
pemahaman berbicara sor singgih bahasa Bali dengan kategori rendah. Tes
4
dilakukan dengan memberikan sepuluh pertanyaan kepada kelas VIB dengan
jumlah 31 siswa pada 5 Januari 2013. Dari hasil tes diketahui bahwa sebanyak
29% siswa memiliki kualitas pemahaman sor singgih bahasa Bali yang sangat
kurang (hasil di bawah nilai 39), 55% siswa memiliki kualitas pemahaman sor
singgih bahasa Bali yang kurang (hasil di bawah nilai 54). Sementara itu, hanya
16% siswa memiliki kualitas pemahaman sor singgih bahasa Bali yang cukup
(hasil di bawah nilai 69). Data ini menunjukkan bahwa kualitas kemampuan
pemahaman berbicara sor singgih bahasa Bali dikategorikan kurang/rendah.
Dalam kenyataannya sekolah mengharapkan agar 75% siswa mampu memahami
dan menggunakan sor singgih bahasa Bali yang baik dalam berkomunikasi.
Dari hasil observasi awal yang dilakukan di SD Negeri 3 Sukawati,
ditemukan banyak siswa yang cerdas dan pintar, tetapi mereka kehilangan
kemampuan berkomunikasi yang baik dalam bahasa Bali, terutama penggunaan
sor singgih bahasa Bali yang benar. Siswa cenderung tidak melihat dengan siapa
mereka berbicara. Mereka kehilangan kepekaan berkomunikasi, juga dengan
orang yang lebih tua. Budaya menegur dan menyapa mengalami erosi yang cukup
berarti. Kadang kala saat siswa berbicara bahasa Bali kepada gurunya kurang
memiliki tutur yang sopan. Hal itu disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan
rendahnya kemampuan berbicara bahasa Bali sesuai dengan sor singgihnya.
Berikut sepenggal percakapan antara guru dan salah satu siswa kelas VIB pada
saat dilakukan pengamatan dan wawancara.
Siswa: “Buk, timpal tiang ané negak dini sing ada.”
“Bu, teman saya yang duduk di sini tidak ada.” Guru: “Dija nika timpalé?”
5
“Di mana temannya?” Siswa: “Sing nawang, Buk. Amah gamang asanné.” “Tidak tahu, Bu. Dimakan makhluk halus rasanya.”
Dalam penggalan percakapan di atas terlihat ketidaksesuaian pemilihan
kata yang digunakan oleh siswa tersebut. Adanya kata “dini sing ada” yang
seharusnya menggunakan kata “driki ten wenten” karena lawan tutur siswa adalah
orang yang lebih tua (guru), maka harus menggunakan bahasa alus singgih.
Kalimat “Sing nawang, Buk. Amah gamang asanné” juga merupakan tuturan
yang kurang sopan walaupun maksud tuturan yang disampaikan siswa tersebut
hanyalah sebagai lelucon. Seharusnya tuturan tersebut cukup menggunakan kata
“ten uning, Bu”, Akan tetapi, tuturan yang disampaikan siswa kepada lawan
tuturnya merupakan tuturan yang kurang sopan.
Tutur kata yang kurang sopan yang diujarkan oleh siswa kepada gurunya
merupakan salah satu gambaran siswa sebagai generasi penerus bangsa yang
mengalami penurunan kualitas karakter bangsa. Karso Mulyo (dalam
http://batang-karso.blogspot.com/2012/08/case-study-membangun-karakter-
bangsa.html) mengatakan bahwa karakter bangsa yang dimaksudkan adalah
keseluruhan sifat yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan,
bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola pikir yang dimiliki oleh sekelompok manusia
yang mau bersatu, merasa dirinya bersatu, memiliki kesamaan nasib, asal,
keturunan, bahasa, adat, dan sejarah bangsa. Pembangunan karakter bangsa
haruslah diawali dari lingkup yang terkecil, khususnya di sekolah. Upaya
mewujudkan nilai-nilai tersebut dapat dilaksanakan melalui pembelajaran. Tentu
6
esaja pembelajaran dapat mengadopsi semua nilai karakter bangsa yang akan
dibangun.
Menurut Ratna Megawangi (2009:93), pendidikan karakter adalah sebuah
usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak
dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat
memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Pendidikan karakter
merupakan salah satu pendidikan yang terintegrasi dengan pembelajaran yang
terjadi pada semua mata pelajaran. Dalam hal ini, pendidikan karakter
diintegrasikan dengan pelajaran bahasa Bali dalam aspek kemampuan berbicara
sor singgih bahasa Bali melalui metode bermain peran dalam upaya
menumbuhkan kesantunan berbicara siswa.
Bermain peran menekankan kenyataan, yakni siswa diturutsertakan dalam
memainkan peran di dalam mendramatisasi masalah-masalah hubungan sosial
dalam cerita. Bermain peran menjadi sangat penting sebagai
penumbuhkembangan keterampilan berbicara, bukan hanya sebagai keterampilan
berkomunikasi, melainkan juga sebagai seni. Melalui metode bermain peran siswa
diajak untuk belajar memecahkan masalah pribadi dengan bantuan kelompok
sosial yang anggotanya teman-temannya sendiri. Dengan kata lain, metode ini
berupaya untuk membantu individu melalui proses kelompok sosial.
Proses pembelajaran yang tepat menjadi sangat penting untuk
meningkatkan kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali dalam membangun
karakter siswa. Pembelajaran bahasa Bali dengan menerapkan metode bermain
peran diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan pemakaian sor singgih
7
bahasa Bali yang benar pada siswa dalam berkomunikasi, baik dengan guru,
antarsiswa, maupun dengan masyarakat serta mampu membangun karakter siswa.
Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru sangat berpengaruh pada kualitas
pemahaman terhadap kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali siswa, yaitu
mendukung tumbuhnya kecerdasan berbahasa praktis yang baik karena mampu
memotivasi siswa untuk berbicara langsung dengan lawan bicara serta mampu
membangun karakter siswa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1) Bagaimana kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali sebelum
penerapan metode bermain peran dalam membangun karakter siswa kelas
VIB SD Negeri 3 Sukawati?
2) Bagaimana kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali setelah
penerapan metode bermain peran dalam membangun karakter siswa kelas
VIB SD Negeri 3 Sukawati?
3) Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi peningkatan kemampuan
berbicara sor singgih bahasa Bali dalam membangun karakter siswa
melalui metode bermain peran siswa kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati?
8
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengungkap fenomena-
fenomena yang terjadi dalam kaitannya dengan penanaman nilai-nilai karakter
pada siswa. Di samping itu, juga untuk meningkatkan kemampuan berbicara sor
singgih bahasa Bali melalui metode bermain peran pada pembelajaran bahasa
Bali di SD Negeri 3 Sukawati.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini dapat dijelaskan seperti di bawah ini.
1) Untuk mengetahui kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali dalam
membangun karakter siswa sebelum menerapkan metode bermain peran siswa
kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati.
2) Untuk mengetahui kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali dalam
membangun karakter siswa setelah menerapkan metode bermain peran siswa
kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati.
3) Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi peningkatan
kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali dalam membangun karakter
siswa melalui metode bermain peran siswa kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian yang dilakukan ini adalah memberikan
wawasan keilmuan dalam pembelajaran yang sesuai dengan keberadaannya
9
sebagai suatu kajian linguistik mengenai permasalahan pembelajaran sor singgih
bahasa Bali di SD Negeri 3 Sukawati. Di dalam Permasalahan ini terlibat peran
guru untuk dapat meningkatkan kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali
dalam membangun karakter siswa kelas VIB dengan menerapkan metode bermain
peran. Apalagi adanya kenyataan bahwa siswa sangat sulit memahami pemakaian
sor singgih bahasa Bali dalam berkomunikasi. Hal itu disebabkan oleh sistem
bahasa Bali yang begitu rumit. Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru
sangat berpengaruh kepada kualitas pemahaman terhadap kemampuan berbicara
sor singgih bahasa Bali dalam membangun karakter siswa.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
memberikan kontribusi bagi perbaikan terus-menerus dalam proses pembelajaran
di sekolah, khususnya pembelajaran bahasa Bali siswa kelas VIB. Penelitian yang
dilakukan ini diharapkan memberikan manfaat kepada sekolah, guru, dan siswa di
SD Negeri 3 Sukawati.
Pertama, bagi sekolah penelitian ini diharapkan mampu memberikan
manfaat bagi seluruh warga sekolah dalam upaya membangun karakter siswa
khususnya karakter kesopansantunan serta meningkatkan prestasi siswa dalam
bidang pembelajaran bahasa Bali, khususnya pembelajaran kemampuan berbicara
sor singgih bahasa Bali.
Kedua, bagi guru, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat
dalam upaya memberikan inovasi baru dalam pembelajaran bahasa Bali dengan
menerapkan metode bermain peran untuk meningkatkan kemampuan berbicara
10
sor singgih bahasa Bali siswa serta mampu membangun karakter khususnya
karakter kesopansantunan siswa.
Ketiga, bagi siswa, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan
pemahaman siswa tentang sor singgih bahasa Bali. Di samping itu, mampu
membangun karakter khususnya karakter kesopansantunan siswa dengan
penerapan metode bermain peran dalam pembelajaran bahasa Bali.
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka
Ada beberapa penelitian sejenis yang dapat disampaikan sebagai kajian
pustaka dalam penelitian ini yang mencakup penggunaan beberapa metode yang
digunakan untuk dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa.
Penelitian yang pertama yang dilakukan oleh Rianti (2012), melakukan
penelitian di SMK PGRI 4 Denpasar dengan judul “Peningkatan Kemampuan
Berbicara Bahasa Inggris Melalui Teknik Role Play pada Siswa Kelas X
Akomodasi Perhotelan di SMK PGRI 4 Denpasar”. Penelitian ini merupakan
penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
berbicara bahasa Inggris yakni, pelafalan, tata bahasa, pembendaharaan kata,
kelancaran, dan pemahaman. Adanya pemakaian Teknik Role Play tersebut
ternyata dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa.
Rianti (2012:2) berpendapat bahwa salah satu kunci keberhasilan dalam
menguasai bahasa Inggris ialah pembelajar mengembangkan dan menerapkan
strategi dalam belajar bahasa. Pada saat pembelajar bahasa Inggris tidak dapat
menemukan kata yang dikehendaki untuk menyampaikan pesan yang
dipikirkannya. Pada saat itulah pembelajar perlu menggunakan strategi
komunikasi (communication strategis) untuk mencegah kemacetan dalam
penyampaian pesan itu. Salah satu teknik yang memungkinkan siswa dapat
12
praktik berbicara adalah role play atau bermain peran. Dengan role play para
siawa dapat dilatih berbicara dengan berbagai situasi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rianti adalah penggunaan role play
dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berbicara dalam hal meningkatkan
kemampuan berbicara pelafalan, tata bahasa, pembendaharaan kata, kelancaran,
dan pemahaman. Hal ini terbukti dengan meningkatnya persentase nilai siswa
pada pretes ke postes I dan postes II, yaitu persentase jumlah nilai rerata siswa
dalam kemampuan berbicara yang meningkat dari 51% (termasuk kategori
“kurang”) pada pretes meningkat menjadi 68% (termasuk kategori “cukup”) pada
postes I, dan dari 68% menjadi 76% (termasuk kategori “baik”) pada postes II.
Penelitian yang kedua yang dilakukan oleh Arsani (2012) dengan judul
“Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Siswa Dwibahasa Kelas
VA Pelangi School Ubud Melalui Metode Bercerita”. Penelitian ini juga
merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan berbicara bahasa Indonesia pada siswa dwibahasa melalui bercerita
tentang dongeng “Keong Emas”. Arsani memilih metode bercerita sebagai cara
untuk mengajarkan bahasa Indonesia siswa dwibahasawan karena bercerita
mampu membantu siswa untuk lebih termotivasi guna berperan aktif dalam
kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia khususnya dalam meningkatkan
kemampuan berbicara bahasa Indonesia siswa.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arsani adalah penggunaan metode
bercerita dapat meningkatkan kemampuan siswa dwibahasa dalam berbicara. Hal
ini dapat dilihat meningkatnya persentase nilai siswa pada pretes ke postes I dan
13
postes II, yaitu persentase jumlah nilai rerata siswa dalam kemampuan berbicara
yang meningkat dari 50% (termasuk kategori “kurang”) pada pretes meningkat
menjadi 59% (termasuk kategori “kurang”) pada postes I, dan dari 59% menjadi
81% (termasuk kategori “baik”) pada postes II.
Penelitian yang ketiga ditulis oleh Nugraha Putra (2012) yang berjudul
“Peningkatan Kemampuan Berbicara Melalui Metode Langsung dalam
Pengajaran Bahasa Inggris di lembaga Kursus English Center”. Penelitian ini juga
merupakan penelitian tindakan kelas dalam upaya untuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam berbicara bahasa Inggris dengan menggunakan metode
langsung. Pemakaian metode langsung dalam pengajaran bahasa Inggris dapat
meningkatkan kemampuan berbicara siswa yaitu merangsang dan memotivasi
siswa dalam berkomunikasi. Hal ini terbukti dengan meningkatnya persentase
nilai siswa pada pretest ke postes I dan postes II, yaitu persentase jumlah nilai
rerata siswa dalam kemampuan berbicara yang meningkat dari 30,6 (termasuk
kategori “kurang”) pada pretes meningkat menjadi 47,7 (masih termasuk kategori
“kurang”) pada postes I, dan dari 47,7 menjadi 71,3 (termasuk kategori “baik”)
pada postes II.
Penelitian yang keempat dilakukan oleh Dewantara (2012) dengan judul
penelitian “Identifikasi Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Keterampilan
Berbicara Siswa Kelas VIIE SMPN 5 Negara dan Strategi Guru untuk
Mengatasinya”. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang
bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis (1) faktor penyebab kesulitan
belajar siswa dalam pembelajaran keterampilan berbicara dan (2) strategi guru
14
untuk mengatasi faktor penyebab kesulitan belajar siswa dalam pembelajaran
keterampilan berbicara.
Dewantara mengatakan bahwa dalam pembelajaran keterampilan berbicara
guru hendaknya mampu melakukan dianogsis terhadap faktor penyebab kesulitan
belajar siswa dan memiliki pengetahuan yang luas mengenai strategi-strategi
pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mengatasi faktor penyebab kesulitan
belajar siswa. Strategi yang biasa diterapkan oleh guru adalah strategi
pembelajaran langsung (ekspositori), strategi pembelajaran yang berpusat pada
guru (teacher center strategies), strategi pembelajaran deduksi, dan strategi
pembelajaran heuristik yang diimplementasikan dengan berbagai metode, teknik,
dan media pembelajaran keterampilan berbicara. Dengan strategi-strategi tersebut
kerap terjadi pembelajaran yang minim memberikan peluang kepada siswa untuk
belajar berkomunikasi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewantara adalah (1) faktor-faktor
penyebab kesulitan belajar siswa dalam pembelajaran keterampilan berbicara
berasal dari faktor motif/motivasi, kebiasaan belajar, penguasaan komponen
kebahasaan, penguasaan komponen isi, sikap mental, hubungan/interaksi antara
guru dan siswa, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan
hubungan/interaksi antara siswa dan siswa. Faktor yang paling dominan
menyebabkan kesulitan belajar adalah sikap mental.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Yuni (2012) dengan judul
“Penerapan Pembelajaran Berbicara Bahasa Indonesia Menggunakan Dongeng
dengan Kearifan Lokal di Kelas 2 SD Negeri 3 Yehembang Kangin”. Penelitian
15
ini juga merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk
mengetahui dan mendeskripsikan (1) pelaksanaan pembelajaran berbicara bahasa
Indonesia menggunakan dongeng dengan kearifan lokal dalam pembelajaran
bahasa Indonesia yang terdiri atas langkah-langkah pembelajaran, aktivitas
belajar-mengajar, dan evaluasi pembelajaran serta (2) nilai kearifan lokal yang
terdapat dalam dongeng yang digunakan dalam pembelajaran berbicara bahasa
Indonesia.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuni menggunakan pendekatan
tematik yang terdiri atas (1) penciptaan suasana menarik melalui instrumen musik
dalam apersepsi ternyata sangat efektif untuk mempersiapkan kondisi psikologis
siswa sebelum menerima pembelajaran, (2) proses penggalian wawasan siswa
melalui tanya-jawab ternyata sangat efektif memancing partisipasi siswa dalam
mengemukakan pendapat, gagasan, dan jawaban, (3) penceritaan dongeng oleh
guru dengan memerhatikan aspek-aspek mendongeng, yakni pilihan kata dan
panjang pendek kalimat, urutan cerita, mimik atau ekspresi, serta pelafalan dan
intonasi ternyata mampu memancing respons antusias siswa, (4) penceritaan
dongeng oleh siswa dengan memerhatikan aspek-aspek mendongeng ternyata
memengaruhi kelancaran dalam bercerita, (5) tanya-jawab untuk memancing
siswa mengemukakan pendapat serta memberikan pemahaman langsung
mengenai nilai moral yang baik dan tidak baik, (6) penyimpulan, evaluasi, dan
tindak lanjut yang disertai klarifikasi dan penegasan pada akhir pembelajaran.
Yuni mengemukakan bahwa pembelajaran berbicara menggunakan
dongeng dengan kearifan lokal dapat mengaktifkan siswa dalam berbicara,
16
mengemukakan pendapat, jawaban, dan pertanyaan. Berdasarkan evaluasi
pembelajaran yang dilakukan Yuni, diketahui bahwa keterampilan siswa dalam
berbicara menceritakan dongeng ternyata sangat bervariasi. Beberapa siswa ada
yang (1) lancar, runtut, dan lengkap dalam bercerita, (2) ada yang lancar, runtut,
tetapi kurang lengkap, (3) ada yang lancar, lengkap, tetapi kurang runtut, (4)
bahkan ada yang kurang lancar, kurang lengkap, dan tidak runtut. Selain itu,
penelitian ini juga menunjukkan bahwa nilai kearifan lokal yang terkandung
dalam dongeng, yakni moral individu, sosial, dan religi.
Dari semua kajian pustaka yang telah disampaikan di atas, diketahui
bahwa teknik role play atau bermain peran sangat relevan dengan penelitian yang
penulis lakukan. Teknik role play yang digunakan dalam pembelajaran bahasa
Inggris terbilang efektif dan mampu meningkatkan kemampuan berbahasa siswa,
khususnya kemampuan berbicara bahasa Inggris. Akan tetapi, dalam penelitian
yang penulis lakukan ini, role play atau bermain peran diterapkan dalam
pembelajaran bahasa Bali, khususnya pembelajaran berbicara sor singgih bahasa
Bali dalam membangun karakter siswa. Karakter yang dikembangkan dalam
penelitian ini adalah karakter sopan santun.
2.2 Konsep
Studi yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas beberapa konsep
yang memerlukan penjelasan. Konsep-konsep tersebut, antara lain peningkatan,
kemampuan berbicara, sor singgih bahasa Bali, pendidikan karakter, dan bermain
peran.
17
2.2.1 Peningkatan
Peningkatan adalah proses, perbuatan, cara, meningkatkan usaha dsb (Fajri
dan Senja, 2007:786). Peningkatan dalam hal ini adalah suatu proses
meningkatkan kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali dalam membangun
karakter siswa.
2.2 2 Kemampuan Berbicara
Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan,
menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan (Arsjad dan Mukti, 1988:17).
Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan
persendian (juncture) jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, ditambah
lagi dengan gerak tangan dan air muka (mimik) pembicara.
Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Berkomunikasi
adalah hubungan seseorang atau kelompok orang dengan yang lain melalui media
tertentu dan dalam konteks ini media itu adalah wicara/berbicara. Ada banyak
media lain dalam berkomunikasi, antara lain kerdipan mata, gerakan tangan,
dengan bendera, dengan ranting, dengan asap, dan lain-lainnya. Akan tetapi,
media komunikasi yang dimaksud di sini hanya bahasa lisan, yakni
wicara/berbicara itu sendiri.
Berbicara merupakan kegiatan berbahasa yang paling purba, jauh
mendahului peradaban manusia dalam aspek lain. Oleh karena itu, berbicara atau
berbahasa lisan atau oral sering dianggap dan diakui sebagai hakikat inti dari
kegiatan berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan informasi dengan efektif,
18
sebaiknya pembicara betul-betul memahami isi pembicaraannya di samping juga
dapat mengevaluasi efek komunikasinya terhadap pendengar. Jadi, tidak hanya
apa yang akan dibicarakan, tetapi bagaimana mengemukakannya. Bagaimana
mengemukakannya hal ini meyangkut masalah bahasa dan pengucapan bunyi-
bunyi bahasa tersebut. Ucapan adalah seluruh kegiatan yang dilakukan dalam
mereproduksi bunyi bahasa, yang meliputi artikulasi, yaitu bagaimana posisi alat
bicara, seperti lidah, gigi, bibir, dan langit-langit pada waktu membentuk bunyi,
baik vokal maupun konsonan (Arsjad dan Mukti, 1988:17).
2.2.3 Sor Singgih Bahasa Bali
Sor singgih bahasa Bali menurut Kamus Bahasa Bali (Bali-Indonesia), kata
sor berarti bawah, singgih berarti halus atau hormat. sor singgih berarti (aturan)
tinggi rendah (dalam berbahasa) (Gautama dan Sariani, 2009:616). Jadi sor
singgih bahasa Bali berarti aturan tentang tingkat-tingkatan atau tinggi rendahnya
rasa dalam berbahasa Bali.
Sor singgih bahasa Bali merupakan tingkatan-tingkatan bahasa Bali yang
mencerminkan pelapisan atau stratifikasi sosial masyarakat penutur bahasa
tersebut, baik yang bersifat tradisional maupun yang bersifat modern. Dalam
masyarakat suku Bali, struktur pelapisan masyarakatnya yang lebih dikenal
dengan sebutan warna merupakan sumber dasar terbentuknya tingkatan-tingkatan
bahasa Bali itu. Di samping itu, disebabkan oleh tata etika dan sopan santun
masyarakat Bali yang telah mendapat pengaruh besar dari budaya Jawa (Hindu)
terutama pada zaman pemerintahan Majapahit ketika menguasai daerah Bali
(Suarjana, 2008:59).
19
Salah satu strategi yang digunakan oleh masyarakat untuk berinteraksi secara
sosial adalah strategi kesopanan (politeness strategy). Strategi kesopanan ini
merupakan suatu keterampilan budaya yang dimiliki oleh masyarakat
pendukungnya yang dikemas melalui bahasa untuk menimbulkan kenyamanan
dan keberterimaan secara adab dan berbudaya (Suarjana, 2008:80).
Pilihan strategi kesopanan antara masyarakat yang memiliki hirarki status
sosial (berkasta) dan masyarakat egalitarian menurut Brown dan Levinson (1987)
cenderung berbeda (Suarjana, 2008:81). Masyarakat yang memiliki hierarki status
sosial akan memilih strategi kesopanan negatif dalam berbahasa. Sebaliknya,
masyarakat egalitarian cenderung memilih kesopanan positif dalam berbahasa.
Bagaimana ragam tinggi dipilih oleh kelas bawah untuk kelas atas dalam
masyarakat Bali, baik secara kacamata tradisional maupun modern (sebagai
bentuk kesopanan negatif).
Di pihak lain, kelas bawah akan menerima ragam rendah dari kelas atas.
Di kalangan kelas atas sendiri, mereka akan memilih strategi kesopanan positif,
tujuannya adalah untuk memberikan pengakuan atas kekuasaan satu sama lainnya.
Sebaliknya, di pihak kelas bawah justru strategi kesopanan negatif yang
berkembang. Tujuannya adalah secara bersama-sama menekankan
kesetiakawanan dan saling tenggang rasa atas keterbatasan kekuasaan itu. Ini
sebagai salah satu dasar mengapa bahasa Bali memiliki tingkat-tingkatan (sor
singgih) bahasa dalam tuturannya (Suarjana, 2008:81). Sor singgih bahasa Bali
dapat dibedakan menjadi lima, yakni seperti di bawah ini.
20
1. Basa Kasar
Basa kasar (K) adalah tingkatan bahasa Bali yang memiliki rasa bahasa
paling bawah. Basa kasar dibedakan menjadi dua, yakni basa kasar pisan dan
basa kasar jabag (Suarjana, 2008:84).
a) Basa Kasar Pisan
Basa kasar pisan adalah bahasa Bali yang dalam penggunaannya
tergolong tidak sopan, yang sering digunakan dalam situasi emosional, jengkel,
marah, dengki, dan caci maki.
Contoh:
(a) Apa petang iba ento? “Apa yang kamu katakan itu?
(b) Wih, cicing magedi uli dini! “Hai, anjing keluar dari sini!” (Suarjana, 2008:84)
b) Basa Kasar Jabag
Basa kasar jabag adalah bahasa Bali yang dalam penggunaannya tidak
disesuaikan dengan situasi pembicaraan. Artinya, kata-kata dalam bahasa itu tidak
mengindahkan tingkat-tingkatan yang ada dalam bahasa Bali, kadang kala
melampaui etika berbicara. Dalam penggunaannya dianggap tidak sopan dan tidak
wajar. Percakapan semacam ini dinilai salah sasaran. Biasanya dalam situasi
kebahasaan tidak semata-mata pembicara tidak memahami sor singgih basa Bali,
justru ada kalanya ingin menunjukkan keangkuhan, kelebihan, atau keakrabannya.
21
Hal ini sering terjadi antara wangsa yang lebih rendah terhadap wangsa
yang lebih tinggi atau ditunjukkan kepada orang yang patut dihormati dan
dimuliakan.
Contoh :
(a) I Bapa pules di paon. “Ayah tidur di dapur”
(b) Cok mai singgah, nyanan ajaka mabalih joged! “ Cok (singkatan dari Cokorda) mari mampir, nanti nonton joget bersama!”
(Suarjana, 2008:86)
(2) Basa Andap
Basa andap adalah tingkatan bahasa Bali yang digunakan dalam suasana
bersahaja (dalam pergaulan akrab dan sopan) sehingga sering disebut dengan
istilah basa kasar sopan atau basa Bali lumrah/kapara (Bk).
Bahasa Bali sebagai bahasa sopan digunakan dalam pergaulan yang
sifatnya akrab, misalnya sesama wangsa. Di samping itu, sama kedudukannya,
sama umur, sama pendidikan, sama jabatan, kawan sederajat, bahasa
kekeluargaan. Bahasa ini lebih sering dan dominan dipakai oleh wangsa jaba.
Contoh :
(a) Luh beliang Bapa roko, rokon Bapané suba telah! “ Luh belikan ayah rokok, rokok ayah sudah habis!”
(b) Ditu meli sig warung Mén Dayuh apang maan mudahan! “Di sana beli di warung Ibu Dayuh agar dapat lebih murah!” (Suarjana, 2008:87)
22
(3) Basa Madia
Basa madia adalah tingkatan bahasa Bali yang tergolong menengah, yang
nilai rasa bahasanya berada di antara Basa Bali Andap dan Basa Bali Alus.
Artinya bahwa konotasi basa madia tidak kasar juga tidak halus. Oleh karena
itulah, sering juga disebut dengan bahasa antara (tidak halus dan juga tidak kasar).
Contoh :
(a) Tiang ampun rauh duk I ratu masiram “Saya sudah datang ketika Anda mandi”
(b) Ajak sira ragane meriki? “ Sama siapa anda kemari?”
(Suarjana, 2008:89)
(4) Basa Alus
Basa alus adalah tingkatan bahasa Bali yang mempunyai nilai rasa bahasa
yang tinggi atau sangat hormat. Biasanya bahasa ini digunakan dalam situasi
resmi (seperti rapat, pertemuan, seminar, sarasehan, percakapan mengenai adat,
agama, dan sebagainya). Pada dasarnya percakapan dengan menggunakan basa
alus itu akan menunjukkan adanya norma sopan santun, moral yang bernilai
ramah-tamah yang tinggi (Suarjana, 2008:90).
a) Basa Alus Sor
Basa alus sor (Aso) adalah tingkatan bahasa Bali alus atau hormat
mengenai diri sendiri atau digunakan untuk merendahkan diri sendiri. Di samping
itu, juga untuk orang lain atau objek yang dibicarakan yang patut drendahkan atau
bisa juga karena status sosialnya dianggap lebih rendah dari pada orang yang
diajak berbicara.
23
Contoh :
(a) Benjang semeng ipun jaga tangkil mriki “ Besok pagi ia akan datang kemari “
(b) Ipun kantun nunas, antosang dumun! “Ia masih makan, tunggu dulu!” (Suarjana, 2008:92)
b) Alus Mider
Basa alus mider (Ami) adalah tingkatan bahasa Bali alus atau hormat yang
memiliki nilai rasa tinggi atau sangat hormat yang dapat digunakan untuk
golongan bawah juga untuk golongan atas.
Contoh :
(a) Titiang nenten medrebe jinah, I ratu akeh maduwe jinah “Saya tidak mempunyai uang, Anda banyak mempunyai uang”
(b) Ipun makta asiki, Ida makta kakalih “ Ia membawa satu, Beliau membawa dua”
(Suarjana, 2008:93)
c) Basa Alus Singgih
Basa alus singgih (Asi) adalah tingkatan bahasa Bali alus atau hormat
yang hanya dapat digunakan oleh pembicara untuk menghormati atau memuliakan
orang yang patut dihormati atau dimuliakan, baik kepada lawan bicara maupun
orang atau objek yang dibicarakan.
Contoh :
(a) Dayu Biang akuda sampun maduwe oka? “ Dayu biang sudah berapa mempunyai anak?”
24
(b) I Ratu kayun ngrayunan ulam bawi? “Anda mau makan daging babi?”
(Suarjana,2008:94)
(5) Basa Mider
Basa mider adalah kata-kata dalam bahasa Bali yang tidak memiliki
tingkat-tingkatan rasa bahasa (tidak halus dan tidak kasar) sehingga bahasa ini
dapat digunakan untuk dan kepada siapa saja. Selain itu, dalam pemkaiannya tidak
terikat oleh adanya status sosial dalam masyarakat juga tidak terikat oleh situasi
dan kondisi percakapan di mana pun berlangsung. Oleh karena itulah basa mider
dapat disebut sebagai bahasa Bali lepas hormat (netral).
Contoh dalam tataran bahasa alus :
(a) Ida pedanda irika nyongkok, kairing antuk parekane. “ Ida Pedanda di sana jongkok, diikuti oleh abdinya”.
Contoh dalam tataran bahasa andap :
a. Kija Beli ituni, paling icang ngalih? “ Ke mana kakak tadi, bingung saya mencari?”
Contoh dalam tataran bahasa kasar :
(a) Suba lakar bangka masih nagih meli motor “ Sudah mau mati, juga minta membeli motor”
(Suarjana, 2008:96-97)
25
2.2.4 Pendidikan Karakter
Kata karakter berasal dari kata Yunani, charassein yang berarti mengukir
sehingga berbentuk sebuah pola. Hal itu berarti bahwa akhlak mulia tidak secara
otomatis dimiliki oleh setiap manusia begitu ia dilahirkan, tetapi memerlukan
proses panjang melalui pengasuhan dan pendidikan (proses “pengukiran”). Oleh
karena itu, pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan
baik (habit) sehingga sifat anak sudah terukir sejak kecil (Megawangi, 2009:23).
2) Nilai-nilai Dasar Pendidikan Karakter
Menurut Ratna Megawangi (2009:93), pendidikan karakter adalah sebuah
usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak
dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat
memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
Nilai-nilai dasar pendidikan karakter yang perlu ditanamkan kepada anak-
anak adalah nilai-nilai universal. Adapun nilai-nilai universal yang perlu
ditanamkan kepada anak-anak adalah sebagai berikut.
(1) Bertakwa (religious)
Takwa adalah terpeliharanya sifat diri untuk tetap taat melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Bertakwa adalah menjalankan
takwa (Fajri dan Senja, 2007:786). Para guru harus mampu mengarahkan anak
didik menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa. Orang yang
bertakwa akan sadar bahwa dirinya hanya hamba Tuhan yang harus bertanggung
jawab dengan apa yang telah dilakukannya di dunia.
26
(2) Bertanggung jawab (responsible)
Tanggung jawab adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya (Fajri dan
Senja, 2007:794). Para guru harus mampu mengajak para peserta didiknya untuk
menjadi manusia yang bertanggung jawab. Mampu mempertanggungjawabkan
apa yang telah dilakukannya dan berani menanggung segala risiko dari apa yang
telah diperbuatnya. Rasa tanggung jawab ini harus ada dalam diri para peserta
didik.
(3) Berdisiplin (dicipline)
Disiplin adalah usaha menaati tata tertib, baik tata tertib di sekolah,
instansi, maupun lain-lain (Fajri dan Senja, 2007:258). Para guru harus mampu
menanamkan disiplin yang tinggi kepada para peserta didiknya. Kedisiplinan
harus dimulai pada saat masuk sekolah. Budaya tepat waktu harus ditegakkan.
Siapa yang terlambat datang ke sekolah harus terkena sanksi atau hukuman sesuai
dengan peraturan tata tertib yang berlaku di sekolah.
(4) Jujur (honest)
Jujur adalah dapat dipercaya, tidak bohong, berkata apa adanya (Fajri dan
Senja, 2007:406). Kejujuran saat ini merupakan hal yang langka. Para guru harus
mampu memberikan contoh kepada para peserta didiknya untuk mampu berlaku
jujur. Ketika jujur diajarkan di sekolah-sekolah, maka para peserta didik tidak
akan berani berbohong karena telah terbiasa jujur. Kebiasaan jujur ini jelas harus
menjadi fokus utama dalam pendidikan di sekolah.
27
(5) Sopan (polite)
Sopan adalah tertib menurut aturan, santun, dan hormat (Fajri dan Senja,
2007:769). Karakter sopan ini harus dilatihkan kepada peserta didik dan
dicontohkan bagaimana cara berlaku sopan kepada orang lain, terutama kepada
mereka yang telah lebih tua daripadanya. Tentu karakter kesopanan harus
diperlihatkan dan dijunjung tinggi. Sering kali kita melihat karakter anak sekolah
yang kurang sopan, baik dalam berbicara maupun bertindak. Hal inilah yang harus
diubah dalam pendidikan karakter bangsa.
(6) Peduli (care)
Peduli adalah menghiraukan, memerhatikan, mengindahkan, dan menurut
(Fajri dan Senja, 2007:631). Peserta didik harus dilatih untuk peduli kepada
sesama. Belajar melakukan empati kepada orang lain dengan rasa kepedulian yang
tinggi.
(7) Kerja keras (hard work)
Kerja keras adalah aktivitas untuk melakukan sesuatu secara sungguh-
sungguh (Fajri dan Senja, 2007:458). Peserta didik harus dilatih untuk mampu
bekerja keras. Bukan hanya mampu bekerja keras, tetapi juga mampu bekerja
cerdas, ikhlas, dan tuntas. Orang yang senang bekerja keras pastilah akan menuai
kesuksesan dari apa yang telah dikerjakannya.
(8) Sikap yang baik (good attitude)
Sikap yang baik adalah cara bertindak yang baik (Fajri dan Senja,
2007:760). Peserta didik harus memiliki sikap yang baik. Dengan sikap yang baik
28
akan terlihat karakter dari peserta didik tersebut. Sikap yang baik kepada orang
lain harus dicontohkan oleh guru kepada para peserta didiknya. Perilaku orang
dapat dilihat dari sikap baik yang dimunculkannya.
(9) Toleransi (tolerate)
Toleran adalah bersikap tenggang rasa atau bersikap menghargai pendirian
orang lain (Fajri dan Senja, 2007:824). Peserta didik harus dilatih agar mampu
bertoleransi dengan baik kepada orang lain. Toleransi harus dipupuk sejak dini,
apalagi kepada hal-hal yang bernuansa suku, agama, dan ras. Perlu toleransi yang
tinggi agar mampu memahami kalau kita berbeda, tetapi hakikatnya tetap satu
juga. Toleransi antarumat beragama adalah salah satu bentuk toleransi yang paling
jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
(10) Kreatif (creative)
Kreatif adalah kemampuan untuk mencipta (Fajri dan Senja, 2007:489).
Peserta didik harus diajarkan agar mampu kreatif sehingga akan menumbuhkan
keterbiasaan menciptakan sesuatu yang baru. Guru kreatif akan menghasilkan
peserta didik yang kreatif pula. Ajarkan peserta didik agar mampu kreatif dalam
menjalankan aktivitas kesehariannya. Anak kreatif lahir dari proses pendidikan
yang berkelanjutan.
(11) Mandiri (independent)
Mandiri adalah dalam keadaan berdiri sendiri (Fajri dan Senja, 2007:547).
Anak yang terbiasa mandiri biasanya akan jauh lebih berhasil hidupnya daripada
anak yang kurang mandiri. Mandiri bukan hanya mampu berdiri di atas kakinya
29
sendiri, tetapi juga mampu membawa dirinya untuk tidak bergantung penuh
kepada orang lain. Kemandirian harus ditanamkan kepada para peserta didik bila
ingin anak menjadi mandiri.
(12) Rasa Ingin Tahu (curiosty)
Ingin tahu adalah kemauan untuk mengetahui sesuatu (Fajri dan Senja,
2007:379). Setiap anak pasti memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Tentu sebagai
guru dituntut untuk mampu mengarahkan rasa ingin tahu siswa ke arah hal-hal
yang positif.
(13) Semangat Kebangsaan (nationality spirit)
Para peserta didik harus didorong memiliki semangat kebangsaan. Dengan
begitu akan ada rasa bangga kepada bangsanya sendiri.
(14) Menghargai (respect)
Peserta didik harus mampu menghargai hasil karya orang lain yang
dilihatnya. Dengan begitu ada penghargaan yang diberikan olehnya kepada orang
lain. Saling menghargai merupakan cerminan budaya bangsa yang harus
dilestarikan secara turun-temurun. Menghargai pendapat orang lain adalah salah
satu contoh dari karakter saling menghargai sesama.
(15) Bersahabat (friendly)
Ketika peserta didik sudah terbiasa bersahabat, maka akan terasalah
pentingnya sebuah persahabatan. Bersahabat adalah karakter penting yang harus
dimiliki oleh para peserta didik. Guru harus memupuk rasa persaudaraan yang
tinggi. Bila kita saling bersahabat, maka akan semakin dekat dan akrab.
30
(16) Cinta damai (peace ful)
Peserta didik harus cinta damai. Cinta mencintai antarsesama anak
manusia. Kita semua bersaudara dan tidak selayaknya kita saling bertengkar. Kita
cinta damai, tetapi kita pun cinta kemerdekaan.
2.2.5 Bermain Peran
Bermain peran pada dasarnya adalah siswa memainkan peranan di dalam
mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial
(Sudjana, 2010:84). Bermain peran pada prinsipnya merupakan metode untuk
‘menghadirkan’ peran-peran yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu
‘pertunjukan peran’ di dalam kelas/pertemuan, yang kemudian dijadikan sebagai
bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian, baik terhadap keunggulan
maupun kelemahan tiap-tiap peran tersebut dan kemudian memberikan
saran/alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran tersebut. Metode ini
lebih menekankan pada masalah yang diangkat dalam ‘pertunjukan’, bukan pada
kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran.
Menurut Crookall dan Oxford bermain peran adalah sebuah bentuk
simulasi karena di dalam permainan peran (role play), siswa menyajikan dan
sekaligus mengalami sendiri jenis-jenis karakter yang ada dalam kehidupan
sehari-hari (Ghazali, 2010:276). Permainan peran dapat dipandang sebagai peran-
peran yang dimainkan siswa, di mana peran biasanya merupakan situasi sosial
yang ditulis dalam bentuk naskah.
Metode bermain peran ini dipelopori oleh George Shaftel. Dalam
kehidupan nyata, setiap orang mempunyai cara yang unik dalam berhubungan
31
dengan orang lain. Masing-masing dalam kehidupan memainkan sesuatu yang
dinamakan peran. Oleh karena itu, untuk dapat memahami diri sendiri dan orang
lain (masyarakat) sangatlah penting untuk menyadari peran dan bagaimana peran
tersebut dilakukan. Kemampuan menempatkan diri dalam posisi atau situasi orang
lain dan mengalami/mendalami sebanyak mungkin pikiran dan perasaan orang
lain tersebut perlu dikembangkan. Kemampuan ini adalah kunci bagi setiap
individu untuk dapat memahami dirinya dan orang lain yang pada akhirnya dapat
berhubungan dengan orang lain (masyarakat) (Hamzah B. Uno, 2012:25)
Bermain peran bertujuan untuk membantu siswa menemukan makna diri
(jati diri) di dunia sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan kelompok.
Artinya, melalui bermain peran siswa belajar menggunakan konsep peran,
menyadari adanya peran-peran yang berbeda-beda, dan memikirkan perilaku
dirinya dan perilaku orang lain. Proses bermain peran ini dapat memberikan
contoh kehidupan perilaku manusia yang berguna sebagai sarana bagi siswa untuk
(1) menggali perasaannya, (2) memeroleh inspirasi dan pemahaman yang
berpengaruh terhadap sikap, nilai, dan persepsinya, (3) mengembangkan
keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah, dan (4) mendalami mata
pelajaran dengan berbagai macam cara. Hal ini akan bermanfaat bagi siswa pada
saat terjun ke masyarakat kelak karena ia akan mendapatkan diri dalam suatu
situasi di mana begitu banyak peran terjadi, seperti dalam lingkungan keluarga,
bertetangga, lingkungan kerja, dan lain-lain (Hamzah B. Uno, 2012:26).
32
1) Prosedur Pembelajaran Melalui Bermain Peran
Keberhasilan pembelajaran melalui bermain peran bergantung pada
kualitas permainan peran yang diikuti dengan analisis terhadapnya. Di samping
itu, bergantung pula pada persepsi siswa tentang peran yang dimainkan terhadap
situasi yang nyata. Prosedur pembelajaran melalui bermain peran terdiri atas
sembilan langkah menurut Hamzah B. Uno (2012:26), yaitu sebagai berikut.
(1) Pemanasan
Guru berupaya memperkenalkan siswa pada permasalahan yang
disadari sebagai suatu hal yang bagi semua orang perlu mempelajari dan
menguasainya. Bagian berikut dari proses pemanasan adalah
menggambarkan permasalahan dengan jelas disertai dengan contoh.
Masalah dapat diangkat dari kehidupan peserta didik agar dapat
merasakan masalah itu hadir di hadapan mereka, dan memiliki hasrat
untuk mengetahui bagaimana masalah yang hangat dan aktual, langsung
menyangkut kehidupan peserta didik, menarik dan merangsang rasa
ingin tahu peserta didik, serta memungkinkan berbagai alternatif
pemecahan.
(2) Memilih Pemain (Partisipan)
Siswa dan guru membahas karakter setiap pemain dan menentukan
siapa yang memainkannya. Dalam pemilihan pemain ini, guru dapat
memilih siswa yang sesuai untuk memainkannya atau siswa sendiri yang
mengusulkan memainkan siapa dan mendeskripsikan peran-perannya
33
langkah kedua ini lebih baik. Langkah pertama dilakukan jika siswa
pasif dan enggan untuk berperan apa pun.
(3) Menata Panggung
Dalam hal ini, guru mendiskusikan dengan siswa di mana dan
bagaimana peran itu dimainkan. Apa saja kebutuhan yang diperlukan.
Penataan panggung yang paling sederhana adalah hanya membahas
skenario (tanpa dialog lengkap) yang menggambarkan urutan permainan
peran.
(4) Menyiapkan Pengamat (Observer)
Guru menunjuk beberapa siswa sebagai pengamat. Sebaiknya
pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang
dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati
peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya.
(5) Memainkan Peran
Permainan peran dilaksanakan secara spontan sesuai dengan peran
masing-masing. Mereka berusaha memainkan setiap peran seperti benar-
benar dialaminya. Mungkin proses bermain peran tidak berjalan mulus
karena para peserta didik ragu dengan apa yang harus dikatakan.
(6) Diskusi dan Evaluasi
Guru bersama siswa mendiskusikan permainan tadi dan melakukan
evaluasi terhadap peran-peran yang dilakukan. Usulan perbaikan akan
34
muncul. Mungkin siswa yang meminta untuk berganti peran. Bahkan
alur, ceritanya akan sedikit berubah. Apa pun hasil diskusi dan evaluasi
tidak jadi masalah.
(7) Memainkan Peran Ulang
Seharusnya, pada permainan peran kedua ini berjalan lebih baik.
Siswa dapat memainkan perannnya lebih sesuai dengan skenario.
(8) Diskusi dan Evaluasi Kedua
Pembahasan diskusi dan evaluasi lebih diarahkan pada realitas
karena pada saat permainan peran dilakukan, banyak peran yang
melampaui batas kenyataan. Misalnya, seorang siswa memainkan peran
sebagai pembeli. Siswa membeli barang dengan harga yang tidak
realistis. Hal ini dapat menjadi bahan diskusi.
(9) Berbagi Pengalaman dan Simpulan
Siswa diajak untuk berbagi pengalaman tentang tema permainan
peran yang telah dilakukan dan dilanjutkan dengan membuat simpulan.
Melalui permainan peran adalah suatu upaya meningkatkan kemampuan
siswa untuk mengenal perasaannya sendiri dan perasaan orang lain serta dapat
meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Dalam hal ini, siswa mampu
meningkatkan kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali dalam pembelajaran
bahasa Bali.
35
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Behavioristik
J.B Skinner adalah ahli pembelajaran behavioristik yang menyatakan
belajar merupakan perubahan tingkah laku. Seseorang dianggap telah belajar jika
ia telah mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Dalam kutipan bukunya
dinyatakan bahwa teknik pendidikan yang menekana pada penghafalan bahan
lisan bersandar berat pada dorongan atau motivasi. Sebagai contoh, beberapa baris
puisi yang diberikan kepada anak dan dia diperintahkan untuk “belajar”. Guru
kemudian meminta anak untuk membaca puisi. Penghargaan atau pujian akan
diberikan jika ia melakukannya dengan benar, sebaliknya guru akan
menghukumnya jika ia salah mengucapkannya. Hal itu dilakukan dalam rangka
menghasilkan tanggapan yang kemudian dapat diperkuat.
“Educational techniques which emphasize the memorization of verbal material lean heavily upon prompting. How the grade-school child aquires verbal behavior is often of little concern to the teacher. For example, a few lines of poem are given to the child is usually left to “learn” them. In some little-understood fashion which the child is usually left discover for himself, he must convert texture. The teacher then asks the child to recite te poem, rewards him if does so correctly, and punishes him if he is unable to recite it or recites it correctly. In order to generate responses which may then be reinforced, the teacher may resort of promts. A partially learned poem is thus evoked and reinforced”. (Skinner, 1957:255)
Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan (input) yang
berupa stimulus dan keluaran (output) yang berupa respons. Penguatan
(reinforcement) adalah faktor penting dalam belajar. Penguatan adalah apa saja
yang memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement), maka respons akan semakin kuat. Demikian juga penguatan
dikurangi (negative reinforcement) maka respons juga akan lemah. Efek prosedur
36
dalam memberikan respons dari kondisi pengendalian tertentu biasanya dilakukan
dengan cara lain. Selain menggunakan berbagai macam penguatan, suatu
ketergantungan diatur dengan respons verbal dan penguat umum. Setiap perstiwa
yang bersifat mendahului suatu ganjaran berbeda, dapat digunakan sebagai
penguat untuk membawa perilaku bawah kontrol seseorang pada semua kondisi
yang kurang tepat dan rangsangan yang buruk (Skinner, 1957:54).
Menurut Iskandarwassid (2011:4) pembelajaran dimaknai sebagai proses
menuju ke arah yang lebih baik. Variasi belajar dapat diamati melalui prises
tingkah laku atau penampilan anak didik. Ada enam jenis tingkah laku, yaitu (1)
suatu kegiatan belajar peserta didik yang ditampilkan melalui proses stimulus (S)
– respons (R), S adalah situasi yang memberikan stimulus, sedangkan R adalah
respons dari stimulus. (2) untaian dan rangkaian, suatu kegiatan belajar yang
terjadi berdasarkan rentetan atau rangkaian respons yang dihubung-hubungkan,
(3) perbedaan yang beragam, proses belajar terjadi atas serangkaian respons yang
khusus, (4) penggolongan, jenis belajar yang terjadi diatas atas penggolongan
suatu benda, keadaan, atau perbuatan yang sesuai dengan situasi, (5)
menggunakan urutan, suatu kecakapan untuk berbuat atau bertindak tidak sesuai
dengan landasan komponennya, (6) memecahkan masalah, kemampuan berpikir,
menganalisis, dan memecahkan masalah.
2.3.2 Keterampilan Berbicara
Keterampilan berbicara mensyaratkan adanya pemahaman minimal dari
pembicara dalam membentuk sebuah kalimat. Sebuah kalimat, betapa pun
37
kecilnya, memiliki struktur dasar yang saling bertemali sehingga mampu
menyajikan sebuah makna. Harmer (1983) menyatakan bahwa berbicara
merupakan alat komunikasi yang alami antara anggota masyarakat untuk
mengungkapkan pikiran dan sebagai sebuah bentuk tingkah laku sosial. Lebih
jauh lagi Harmer (1983) menyatakan bahwa keterampilan berbicara adalah
kemampuan menyusun kalimat-kalimat karena komunikasi terjadi melalui
kalimat-kalimat untuk menampilkan perbedaan tingkah laku yang bervariasi dari
masyarakat yang berbeda. Dalam konteks komunikasi, pembicara berlaku sebagai
pengirim (sender), sedangkan penerima (receiver) adalah penerima warta
(massage). Warta terbentuk oleh informasi yang disampaikan sender dan massage
merupakan objek dari komunikasi. Feedback muncul setelah warta diterima dan
merupakan reaksi dari penerima pesan (Iskandarwassid dan Sunendar, 2011:240).
Untuk lebih jelasnya tampak dalam bagan 2.1 berikut ini.
Gambar 2.1 Konteks Komunikasi
Menurut Iskandarwassid dan Sunendar (2011:241), keterampilan berbicara
pada hakikatnya merupakan keterampilan mereproduksi arus sistem bunyi
artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan
PENERIMA PENGIRIM
BALIKAN
WARTA
38
kepada orang lain. Dalam hal ini, kelengkapan alat ucap seseorang merupakan
persyaratan alamiah yang memungkinkannya untuk memproduksi suatu ragam
yang luas bunyi artikulasi, tekanan, nada, kesenyapan, dan lagu bicara.
Kemampuan bahasa lisan (berbicara) memerlukan pengetahuan tentang
bahasa yang digunakan (tata bahasa, kosakata, penggunaan bentuk yang tepat
untuk fungsi tertentu) dan keterampilan untuk mengomunikasikan pesan. Metode
pengajaran bahasa menawarkan banyak kerangka untuk mengembangkan
keterampilan berbahasa lisan. Littlewood (1981) menyusun kegiatan pembelajaran
berbicara menjadi beberapa fase, yaitu fase prakomunikasi (mempraktikkan
struktur bentuk-bentuk bahasa dan maknanya) dan fase komunikatif (di mana
siswa menggunakan bahasa secara fungsional dan berlatih dalam interaksi sosial).
Pembagian menjadi fase prakomunikasi dan fase komunikatif oleh Littlewood ini
menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan komunikasi dapat dipilah-pilah dan
diurutkan sesuai dengan tujuan pembelajaran dan hasil kemampuan berbicara
yang diinginkan (Ghazali, 2010:249).
Berkaitan dengan kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali, berikut
ini dijelaskan tentang pelafalan bahasa Bali, intonasi kalimat bahasa Bali, jeda
dalam bahasa Bali, penggunaan sor singgih bahasa Bali, beberapa kesalahan
dalam tuturan bahasa Bali, dan kelas kata bahasa Bali.
1) Pelafalan Bahasa Bali
Pelafalan/pengucapan suku kata-suku kata dari kata-kata yang membentuk
suatu wacana memiliki aturannya. Ada beberapa suku kata bahasa Bali yang
bentuknya sama dengan suku kata bahasa Indonesia, tetapi ucapannya berbeda
39
(Riken dkk., 1993:3). Pelafalan bahasa Bali adalah faktor yang sangat penting
dalam keberhasilan komunikasi lisan. Pelafalan yang salah dapat menyebabkan
terjadinya salah pengertian dan pada akhirnya menyebabkan gangguan
komunikasi. Beberapa aturan pengucapan kata dalam ejaan bahasa Bali Latin
adalah sebagai berikut.
(1) Suku terbuka bervokal / a /, yang terletak pada akhir kata, diucapkan seperti e
pepet [ ].
Contoh : bapa [bap ] ‘ayah’
uma [um ] ‘sawah’ sepeda [seped ] ‘sepeda’
Bila mendapat akhiran, suku terbuka bervokal /a/, ucapannya bersuara [a]
Contoh : bapa + e (ne) bapane [bapAne] ‘ayah itu’
uma + ne (nne) umanne [umAnne] ‘sawahnya’ sepeda + e (ne) sepedane [s pedAne] ‘sepeda itu’
(Riken dkk., 1993:4)
(2) Suku terbuka bervokal / a /, suku ke-3 dari belakang pada kata dasar dari
empat suku, ucapannya seperti e pepet [ ].
Contoh : Nagasari [nag sarI] ‘nama pohon, nama kue’
majagau [maj gaƱ] ‘nama pohon’
majalangu [maj laŋƱ] ‘nama kerajaan (dalam cerita “Cupak”)’
Catatan : pada kata dasar dari tiga suku, suku kata terbuka yang ke-3 dari belakang, tidak ada bervokal / a / (Ejaan Bali Latin yang Disempurnakan).
(Riken dkk., 1993:4)
40
(3) Suku terbuka bervokal / a /, pada morfem terikat (awalan), ucapannya seperti e
pepet [ ].
Contoh : prajani [pr janI] ‘sekarang’
kumanyama [kum nyama] ‘bersaudara’
makaukud [mak ukƱd] ‘semuanya’
(Riken dkk., 1993:4)
(4) Kata yang bersuku terbuka bervokal / a /, diikuti suku vokal / a / sebagai suku
akhir, kedua vokal / a / itu ucapannya seperti e pepet [ ].
Contoh : baa [b ] ‘bara’ daa [d ] ‘wanita dewasa’
sekaa [s k ] ‘perkumpulan’
Bila mendapat akhiran, kedua vokal / a / di atas, ucapannya [a].
Contoh : baa + e (ne) baane [baane] ‘bara itu’ daa + e (ne) daane [daane] ‘wanita itu’
sekaa + e (ne) sekaane [s kaane] ‘perkumpulan itu’ (Riken dkk., 1993:4)
(5) Suku kata yang bervokal / e / pepet [ ] dan yang bervokal / e / taling [e],
bentuk vokalnya sama, yaitu / e /.
Contoh kalimat :
Ngudiang seksek adine sirep? seksek [s ks k] ‘desak’
Apit sakan balene amah seksek. seksek [seksek] ‘binatang pemakan kayu’
Ia tundéna nektek be. nektek [n kt k] ‘cincang’
Ia nektek pipis di balene. nektek [nektek] ‘menghitung satu per satu’
(Riken dkk., 1993:5)
41
(6) Semua vokal /e/ pada suku akhir kata yang terbuka, ucapannya e taling [e].
Contoh : be [be] ‘ikan’
sate [sate] ‘sate’ bale [bale] ‘rumah’
(Riken dkk., 1993:6)
2) Intonasi Kalimat Bahasa Bali
Kalimat adalah satuan kumpulan kata yang terkecil yang mengandung
pikiran yang lengkap. Sebuah kata yang berdiri sendiri belum jelas maknanya.
Suatu kata baru jelas maknanya dalam kalimat tertentu, seolah-olah kata hidup
dalam kalimat. Lagu kalimat (intonasi) memegang peranan sangat penting dalam
pengucapan bahasa Bali (Riken dkk., 1993:8). Intonasi yang benar akan
memperjelas pikiran yang terkandung dalam kalimat tersebut. Ditinjau dari
intonasinya, kalimat dibagi atas tiga tipe, yaitu sebagai berikut.
a) Kalimat berita
Pada bagian awal suara meninggi, selanjutnya agak mendatar, kemudian
dengan suara merendah dan diakhiri berhenti. Dengan intonasi berhenti,
kalimat terasa selesai.
Contoh :
Sedeng iteha ia madaar ada gegendong teka.
[sǝdǝŋ itǝhǝ iǝ mǝdaar adǝ gǝgendoŋ tǝkǝ]
‘Sedang asyiknya dia makan tiba-tiba ada pengemis datang’
42
b) Kalimat perintah
Intonasi akhirnya menurun deras disertai dengan tekanan yang keras pada
bagian yang diutamakan.
Contoh :
Jemakang tiang baju di lemarine!
[jǝmakang tiang bajƱ di lǝmarIne] ‘Ambilkan saya baju di lemari!’
c) Kalimat tanya
Ditandai dengan intonasi yang menaik.
Contoh :
Bapa lakar kija?
[bapǝ lakar kijǝ] ‘Ayah mau kemana?’
(Riken dkk., 1993:6)
3) Jeda
Jeda adalah waktu berhenti sebentar atau waktu istirahat. Jeda juga
bermakna berhenti sebentar dalam ujaran. Tanda “ / “ berarti jeda (waktunya lebih
pendek) dari pada tanda “ // “.
Contoh :
a) Ingetang De, buin mani tiang kema! | = | Ingetang De // buin mani / tiang kema! | = |
[ingǝtaŋ de, buIn manI tiaŋ kǝmǝ] ‘Ingat De, besok saya datang’
b) Nyen ke cerik-cerike bisa ngelangi? | = | Nyen ke / cerik-cerike bisa ngelangi? | = |
43
[nyen ke cǝrIk-cǝrIke bisǝ ngǝlaŋI] ‘Siapa yang bisa berenang?’
(Riken dkk., 1993:6)
4) Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali
Variasi suatu bahasa tidak hanya terjadi pada kelompok masyarakat
anekabahasa (multilingual society), tetapi juga bisa terjadi pada masyarakat
ekabahasa (monolingual society). Munculnya variasi bahasa disebabkan oleh
perbedaan latar belakang sosial atau latar belakang geografis. Variasi bahasa yang
terjadi karena perbedaan geografis dapat diidentifikasikan pada sistem bunyinya.
Sedangkan, dari segi latar sosialnya, variasi bahasa dapat ditemukan dalam
berbagai variabel sosial masyarakat (status sosial, jenis kelamin, dan strategi
kesopanan), baik masyarakat yang berstratifikasi sosial (berkasta) maupun
masyarakat yang egalitarian (Suarjana, 2008:69).
Dalam masyrakat yang memiliki sistem kasta/wangsa yang ketat,
penerapan tingkatan tutur (speech levels) akan menjadi sangat ketat pula. Dalam
situasi tutur masyarakat berkasta, seorang penutur (addresser) akan memilih
tingkatan tutur yang tepat sesuai dengan status sosial lawan bicara (audience)
yang dihadapi. Tingkatan tutur yang dipilih akan menentukan posisi sosial (secara
horizontal dan vertikal) dari setiap penutur yang terlibat dalam tindak bicara
tersebut. Bahasa Bali adalah salah satu contoh yang sangat baik untuk
menjelaskan bagaimana stratifikasi sosial diidentifikasi melalui penggunaan
bahasanya (Suarjana, 2008:69).
44
Secara konsep sebagaimana pernah dipetakan oleh seorang ahli bahasa
berkebangsaan Eropa (Belanda) yang bernama J. Kersten SVD pada tahun 1970-
an tentang pemakaian sor singgih bahasa Bali itu dapat dibuat menyerupai dua
buah bidang yang dibatasi sebuah garis melintang. Garis ini yang berfungsi untuk
membedakan antara bidang atas dan bidang bawah. Bidang atas yang ditandai
dengan huruf A (A=atas) adalah untuk mengelompokkan status sosial orang itu
lebih tinggi (sebagai golongan atas), sedangkan bidang bawah yang ditandai
dengan huruf B (B=bawah) adalah untuk mengelompokkan status sosial orang itu
lebih rendah (sebagai golongan bawah) (Suarjana, 2008:72).
Untuk mengetahui dalam pengelompokan ini, siapa yang termasuk
golongan atas dan siapa yang termasuk golongan bawah, menurut J. Kersten SVD
dapat dibedakan sebagai berikut.
(1) Secara tradisional, yang dikelompokkan sebagai golongan atas adalah
orang-orang atau mereka yang berstatus tri wangsa yang dalam
masyarakat Bali juga dikenal dengan soroh menak, yakni wangsa
brahmana, wangsa ksatriya, dan wangsa wesya, sedangkan yang
dikelompokkan sebagai golongan bawah adalah wangsa jaba.
(2) Secara modern, yang dikelompokkan sebagai golongan atas dan
golongan bawah antara tri wangsa dan wangsa jaba memiliki peluang
dan kesempatan yang sama. Maksudnya, yang termasuk golongan atas
adalah di samping tri wangsa atau soroh menak, bisa juga wangsa
jaba. Demikian halnya dengan golongan bawah, bisa tri wangsa, bisa
juga wangsa jaba. Artinya status orang itu diklasifikasikan secara
45
pragmatis (tidak semata-mata kelahiran atau keturunan, tetapi juga
karena jabatan atau kedudukan, dan finansialnya).
(Suarjana, 2008:72).
Untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat digambarkan sebagai skema
berikut ini.
1. SecaraTradisional ∶ 퐴Golonganatas
(푇푟푖푊푎푛푔푠푎)
퐵Golonganbawah(푊푎푛푔푠푎퐽푎푏푎)
2. SecaraModern ∶ 퐴 Golonganatas
(푇푟푖푊푎푛푔푠푎 + 퐽푎푏푎)
퐵 Golonganbawah(푇푟푖푊푎푛푔푠푎 + 퐽푎푏푎)
(Suarjana, 2008:73)
Penggunaan bahasa Bali yang mengenai sor singgih-nya, agar sesuai
dengan konsep tuturannya, dapat ditempuh dengan jalan bertanya terlebih dahulu
kepada lawan bicara untuk mengetahui status sosialnya, apakah ia sebagai lawan
bicara patut di-singgih-kan atau tidak. Caranya dengan menggunakan kalimat
tanya, yaitu “Nawegang titiang nunasang antuk linggih?” yang secara bebas
artinya ‘Maaf saya ingin mengenal identitas Anda’, atau dengan menanyakan
langsung indik pagenahan “tentang rumah atau tempat tinggal (maksudnya di
griya, di puri, di jero)” dan swakaryannyane (pekerjaannya) (Suarjana, 2008:73).
Untuk tidak terjadi kekeliruan dalam penggunaan sor singgih bahasa Bali,
perhatikan konsep di bawah ini:
46
1. Jika pembicara atau orang pertama (O1), yang diajak bicara atau orang
kedua (O2), dan yang dibicarakan atau orang ketiga (O3) semuanya
sebagai golongan bawah, maka bahasa Bali yang digunakan oleh O1
kepada O2 dan mengenai O3 adalah Basa Bali Andap (Suarjana, 2008:74).
Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.
A
B
O1 O2
O3
Gambar 2.2 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali (Suarjana, 2008:75)
Contoh :
a) Bapan icange liu ngelah pangina, jani suba mataluh. “Ayah saya banyak punya ayam betina, sekarang sudah bertelur”
b) I Méme anak suda adung, kéto masih reraman I luhe. “Ibu (saya) sudah sepakat, begitu juga orang tuamu”.
(Suarjana, 2008:75)
2. Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, yang
diajak bicara atau orang kedua (O2) dan yang dibicarakan atau orang
ketiga (O3) yang sama-sama sebagai golongan atas, maka bahasa yang
digunakan oleh O1 kepada O2 dan bahasa yang digunakan mengenai O3
adalah Basa Bali Alus Singgih. Sebaliknya, untuk O1 yang mengenai
47
dirinya sendiri akan digunakan Basa Bali Alus Sor (Suarjana, 2008:76).
Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.
O2
A O3
B
O1
Gambar 2.3 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali (Suarjana, 2008:76)
Contoh :
a) Gusti Mangku sampun ka pura makta banten. “Gusti Mangku sudah ke pura membawa sesajen”.
b) Titiang nenten tangkil ka griya, Ida lunga ka pasar “Saya tidak datang ke griya, Beliau pergi ke pasar”.
(Suarjana, 2008:77)
3. Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, yang
diajak bicara atau orang kedua (O2) sebagai golongan atas, dan yang
dibicarakan atau orang ketiga (O3) sebagai golongan bawah, maka bahasa
yang digunakan oleh pembicara atau orang pertama O1 kepada O2 adalah
Basa Bali Alus Singgih, sedangkan yang mengenai O1 dan O3
menggunakan Basa Bali Alus Sor (Suarjana, 2008:77). Hal ini dapat
digambarkan sebagai berikut.
48
A O2
B
O1 O3
Gambar 2.4 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali (Suarjana, 2008:78)
Contoh:
a) Memen ipun sampun padem. “Ibunya sudah meninggal”.
b) Pianak ipun mangkin sampun mapumahan. “Anaknya sekarang sudah berumah tangga”.
(Suarjana, 2008:78)
4. Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, yang
diajak bicara atau orang kedua (O2) sebagai golongan bawah juga,
sedangkan yang dibicarakan atau orang ketiga (O3) sebagai golongan atas,
maka bahasa Bali yang digunakan oleh O1 kepada O2 adalah Basa Bali
Andap, sedangkan bahasa yang mengenai O3 menggunakan basa Bali Alus
Singgih dan mengenai O1 dan O2 menggunakan Basa Bali Alus Sor
(Suarjana, 2008:78). Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.
49
O3
A
B
O1 O2
Gambar 2.5 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali (Suarjana, 2008:79)
Contoh :
a) Apa ke Luh suba nawang, Ida lakar makerabkambe?. “Apakah Luh sudah tahu, beliau akan menikah?”.
b) Bapa lakar kija? lan ngayah ka griya!. “Ayah akan ke mana? Mari membantu (kerja) ke griya!”.
(Suarjana, 2008:79)
5) Beberapa Kesalahan dalam Tuturan Bahasa Bali
Penutur bahasa Bali di samping mengenal adanya bahasa standar atau
baku juga mengenal adanya varian bahasa yang disebut dengan dialek. Dialek ini
lebih mengarah pada kebiasaan penutur menurut kedaerahannya sehingga dikenal
dengan dialek geografi. Dialektika inilah yang cenderung menjadi tidak standar
dalam penuturannya. Malah bisa mengarah pada terjadinya kesalahan dalam
penuturan bahasa Bali itu sendiri. Kesalahan ini biasanya terjadi pada kata-kata
jadian/kata-kata berimbuhan (pada tataran morfologi), yaitu yang paling kentara
adalah penggunaan afiksasi yang berupa akhiran atau sufiks (pengiring), sehingga
menimbulkan kesalahan dalam maknanya.
50
Contoh:
1. I Bapa nyelepin siap di guungane “ I Bapa (ayah) memasuki ayam di sangkar”
Yang benar : I Bapa nyelepang siap di guunganne “ I Bapa (ayah) memasukkan ayam di sangkar”
2. Borehang batise aji baas cekuh apang anget! “ Lulurkan kakinya dengan beras kencur agar hangat!” Yang benar :
Borehin batise aji baas cekuh apang anget! “ Luluri kakinya dengan beras kencur agar hangat!”
Itulah beberapa contoh bahasa Bali yang tidak standar atau tidak baku
dalam tuturannya sehingga cenderung menjadi salah paham atau salah pengertian
(Suarjana, 2008:65).
6) Kelas Kata Bahasa Bali
Terdapat beberapa kemungkinan kata dasar dan kata turunan
dikelompokkan menjadi satu kategori atau kelas. Penggolongan kata menjadi
kategori tertentu bisa dilakukan dengan melihat perilaku satuan bahasa itu sendiri
secara gramatikal, baik pada tataran frase maupun tataran kalimat. Sehubungan
dengan itu, dalam bahasa Bali dapat ditentukan beberapa macam kategori atau
kelas kata, yaitu (a) verba atau kata kerja, (b) nomina atau kata benda yang
mencakup pronominal atau kata ganti dan numeralia atau kata bilangan, (c)
adjektiva atau kata sifat, (d) adverbial atau kata keterangan, dan (e) kata tugas
yang mencakup preposisi, konjungsi, interjeksi, artikel, dan partikel (Granoka
dkk., 1996:28).
51
A. Kategori Verba
a. Verba atau kata kerja dalam perilakunya berfungsi sebagai predikat.
Misalnya:
1. Dustane ento malaib. “Pencuri itu lari”
b. Verba mengandung makna perbuatan, proses atau keadaan yang bukan
sifat atau kualitas.
Misalnya:
2. I Dadong mati “Nenek meninggal”
3. Umahe puun “Rumahe itu terbakar”
B. Kategori Nomina
Nomina atau kata benda dapat dipandang dari beberapa segi, yaitu segi
semantis, segi sintaksis, dan segi bentuknya. Dipandang dari segi semantis,
nomina mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep. Dari segi sintaksis,
nomina memiliki cirri-ciri tertentu, seperti berikut.
a. Dalam kalimat yang predikatnya verba, nomina cenderung menduduki fungsi
subjek, objek, atau pelengkap.
Misalnya:
4. Meme meli nasi “Ibu membeli nasi”
b. Nomina pada umumnya dapat diikuti oleh adjektiva, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
52
Misalnya: 5. Bapa ngaba siap putih
“Ayah membawa ayam putih”
1) Pronomina
Pronominal juga sering disebut kata ganti, baik kata ganti orang maupun
kata ganti penunjuk.
a) Kata ganti orang: icang ”saya”, cai “kamu”, raganne “Anda”, ia “dia”
b) Kata ganti penunjuk : ento “itu”, niki “ini”
2) Numeralia
Numeralia juga disebut kata bilangan, baik kata bilangan tentu, taktentu,
maupun pecahan, misalnya sa “satu”, dua “dua”, telu “tiga”, tenga
“setengah”.
C. Adjektiva
Adjektiva memiliki cirri untuk memberikan keterangan yang lebih khusus
tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina yang sering berfungsi sebagai
subjek, objek, atau pelengkap dalam kalimat. Kelas adjektiva dapat dibedakan
menjadi dua tipe, yaitu tipe kualitatif dan tipe klasifikatoris. Adjektiva
klasifikatoris kehadirannya tidak bertaraf-taraf, seperti genep “genap”, dobel
“ganda”, gasal “gasal”, langgeng “kekal”.
D. Adverbial
Adverbial atau kata keterangan berfungsi untuk menerangkan unsur atau
bagian kalimat yang berfungsi sebagai predikat, baik yang berupa verba, nomina,
53
sdjektiva, maupun numeralia. Selain itu, adverbial dapat menjelaskan seluruh
klausa.
6. Ia enggal luas “Dia segera pergi”
7. Asanne ia suba nawang unduke ento. “Rasanya ia telah mengetahui masalah itu”
E. Kata Tugas
Kata tugas memiliki ciri yaitu tidak memiliki arti leksikal, tetapi
mempunyai arti gramatikal saja. Kata tugas jarang mengalami perubahan bentuk.
Kata tugas dalam bahasa Bali dapat dibedakan menjadi beberapa bagian sebagai
berikut.
a) Preposisi atau kata depan, misalnya di “di”, saking “di’, uli “dari”, ka “ke”.
b) Konjungsi atau kata perangkai yang berfungsi sebagai penghubung, misalnya
teken “dengan”, lan “dan”, tur “dan (lalu)”, wiadin “atau”, muah “dan”, sayan
“makin”.
c) Interjeksi
Interjeksi atau kata seru adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati
pembicara, seperti heran, kagum, dan sedih.
Contoh:
8. Beh, sing madaya ia keto! “Wah, tidak disangka ia begitu!”
9. Ah, masa ia keto! “Ah, masak ia begitu!”
10. Aduh, kene suba lacur tiange “Aduh, begini sial saya”
54
d) Artikel
Artikel adalah kata tugas yang membatasi makna jumlah nomina.
Contoh:
11. Sri Bagawan “Sri Bagawan”
12. Sang mraga wikan “Orang yang dipandang arif bijaksana”
13. Para semeton titiang “Para tamu yang saya hormati”
e) Partikel
Dalam bahasa Bali, keberadaan partikel sebagai kata tugas agak terbatas.
Misalnya:
14. Apake ane madan samong? “Apakah yang bernama samong?”
2.4 Model Penelitian
Usaha untuk meningkatkan kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali
dalam membangun karakter siswa dilakukam melalui metode bermain peran.
Metode bermain peran adalah upaya mengubah pola pembelajaran yang
cenderung menggunakan metode konvensional. Berdasarkan rumusan
permasalahan yang ada, yaitu (1) bagaimana kemampuan berbicara sor singgih
bahasa Bali sebelum penerapan tindakan dalam membangun karakter siswa, (2)
bagaimana kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali setelah penerapan
tindakan dalam membangun karakter siswa, serta (3) faktor-faktor yang
memengaruhi peningkatan dalam penerapan tindakan, yaitu bermain peran. Oleh karena
itu, dilakukan tindakan dengan beberapa siklus untuk mendapatkan keadaan akhir
55
sesuai dengan harapan, yaitu peningkatan kemampuan berbicara sor singgih
bahasa Bali dalam membangun karakter siswa melalui metode bermain peran
pada siswa kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati. Penelitian ini menggunakan
beberapa teori untuk mendukung ketercapaian peningkatan kemampuan berbicara
sor singgih bahasa Bali dalam membangun karakter siswa. Teori tersebut adalah
teori behavioristik, dan keterampilan berbicara.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action
research) dengan menggunakan metode kombinasi (mixed methods), yakni
metode penelitian kuantitatif dan metode kualitatif dengan model penelitian
concurrent triangulation. Metode kombinasi (mixed methods) adalah suatu
metode penelitian yang mengombinasikan atau menggabungkan antara metode
kuantitatif dan metode kualitatif untuk digunakan secara bersama-sama dalam
suatu kegiatan penelitian sehingga diperoleh data yang lebih komprehensif, valid,
reliabel, dan objektif. Di pihak lain, model yang digunakan adalah model
concurrent triangulation, yaitu metode penelitian yang menggabungkan antara
metode penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan cara mencampur kedua metode
tersebut secara seimbang (50% metode kuantitatif dan 50% metode kualitatif).
Metode tersebut digunakan secara bersama-sama, dalam waktu yang sama, tetapi
independen untuk menjawab rumusan masalah yang sejenis (Sugiyono,
2012:499).
Penelitian ini menggunakan strategi alternatif penelitian tindakan kelas
yang dilaksanakan secara bersiklus dengan desain PTK model Hopkins (1993).
Dalam setiap penelitian tindakan, termasuk penelitian tindakan kelas, terdapat
56
empat aspek pokok, yaitu (1) penyusunan rencana, (2) tindakan, (3) observasi, dan
(4) refleksi. Pengkajian keempat aspek pokok tersebut dilakukan secara berbaur,
bertahap, dan sistematis yang diterapkan dalam dua siklus, yaitu siklus I dan
siklus II. Oleh karena itu, model penelitian jika digambarkan secara umum tampak
sebagai berikut.
57
Gambar 2.6 Model Penelitian
Catatan: menunjukkan hambatan/kesulitan menunjukkan keterkaitan menunjukkan saling keterkaitan
Siswa Pembelajaran Keterampilan Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali
Faktor-faktor yang
Memengaruhi
Peningkatan dalam
Penerapan Tindakan
Penerapan
Bermain Peran
Keterampilan Berbicara PTK
Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Mixed Methods) dengan
Model Penelitain Concurrent Triangulation.
Analisis Data
Hasil Penelitian Peningkatan Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa
Bali dalam Membangun Karakter Siswa
Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali sebelum
Penerapan Tindakan dalam Membangun Karakter Siswa
Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali setelah
Penerapan Tindakan dalam Membangun Karakter Siswa
Teori
Behavioristik
58
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian “Peningkatan Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali
dalam Membangun Karakter Siswa Kelas VIB SDN 3 Sukawati Melalui Metode
Bermain Peran” ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action
research) dengan menggunakan metode kombinasi (mixed methods), yakni
metode penelitian kuantitatif dan metode kualitatif dengan model penelitian
concurrent triangulation.
Menurut Sukardi (2008:210), penelitian tindakan adalah cara suatu
kelompok atau seseorang dalam mengorganisasi suatu kondisi sehingga mereka
dapat mempelajari pengalaman mereka dan membuat pengalaman mereka dapat
diakses oleh orang lain. Menurut Arikunto (dalam Wiriaatmadja, 2005:66),
penelitian tindakan kelas (PTK) adalah suatu penelitian tindakan yang dilakukan
di kelas yang dilakukan secara kolaboratif. Dalam penelitian kolaboratif pihak
yang melakukan tindakan adalah guru, sedangkan yang diminta melakukan
pengamatan terhadap berlangsungnya proses tindakan adalah peneliti. Penelitian
ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan penelitian dengan desain PTK
model Hopkins (1993) sebanyak dua siklus dengan menggunakan empat tahapan,
yaitu plan (perencanaan), act (tindakan), observe (pengamatan), dan reflect
(perenungan). PTK model Hopkins dapat dilihat melalui gambar berikut ini.
59
Gambar 3.1 PTK Model Hopkins (1993)
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kombinasi
(mixed methods), yakni metode kuantitatif dan metode kualitatif dengan model
penelitian concurrent triangulation. Menurut Sugiyono (2012:404), metode
kombinasi (mixed methods), yang selanjutnya disingkat metkom adalah suatu
metode penelitian yang mengombinasikan atau menggabungkan antara metode
kuantitatif dan metode kualitatif untuk digunakan secara bersama-sama dalam
Identifikasi Masalah
Observasi
Perencanaan
Siklus II
Data Penelitian
Refleksi
Refleksi
Perencanaan siklus I
Tindakan
Tindakan
Observasi
60
suatu kegiatan penelitian sehingga diperoleh data yang lebih komprehensif, valid,
reliabel, dan objektif.
Data yang komprehensif adalah data yang lengkap yang merupakan
kombinasi antara data kuantitatif dan kualitatif. Data yang valid adalah data yang
memiliki derajat ketepatan yang tinggi antara data yang sesungguhnya terjadi dan
data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Data yang reliabel adalah data yang
konsisten dari waktu ke waktu dan dari orang ke orang. Data yang objektif
lawannya data yang subjektif. Jadi, data yang objekktif apabila data tersebut
disepakati oleh banyak orang. Dengan menggunakan metode kombinasi, maka
data yang diperoleh dengan metode kualitatif yang bersifat subjektif dapat
ditingkatkan objektivitasnya pada sampel yang lebih luas dengan metode
kuantitatif (Sugiyono, 2012:404).
Creswell (Sugiyono, 2012:407) mengklasifikasikan metode kombinasi
menjadi dua model utama, yaitu model sequential (kombinasi berurutan) dan
model concurrent (kombinasi campuran). Model urutan (sequential) ada dua,
yaitu model urutan pembuktian (sequential explanatory) dan model urutan
penemuan (sequential exploratory). Model concurrent (campuran) ada dua, yaitu
model concurrent triangulation (campuran kuantitatf dan kualitatif secara
berimbang) dan concurrent embedded (campuran penguatan/metode kedua
memperkuat metode pertama).
Dalam penelitian ini model penelitian yang digunakan adalah model
concurrent triangulation (metode campuran kuantitatf dan kualitatif secara
61
berimbang). Metode kombinasi model concurrent triangulation adalah metode
penelitian yang menggabungkan antara metode penelitian kualitatif dan kuantitatif
dengan cara mencampur kedua metode tersebut secara seimbang (50% metode
kuantitatif dan 50% metode kualitatif). Metode tersebut digunakan secara
bersama-sama, dalam waktu yang sama, tetapi independen untuk menjawab
rumusan masalah yang sejenis (Sugiyono, 2012:499). Adapun model concurrent
triangulation dapat dilihat melalui gambar berikut ini.
Gambar 3.2 Metode Kombinasi Model Concurrent Triangulation
Masalah Kualitatif
Memperkuat
peneliti sebagai
human instrument
Pengumpulan Data
Kuantitatif
Landasan Teori
Masalah Kuantitatif
Pengumpulan Data
Kualitatif
Rumusan Hipotesis
Analisis Data Kualitatif
Masalah yang
sejenis
Meta Analisis
Simpulan: memperkuat,
memperlemah, bertentangan
Sumber Data
Analisis Data Kuantitatif
62
Pada saat peneliti menggunakan metode kualitatif, maka peneliti harus
memperkuat diri menjadi human instrument agar bisa mengumpulkan dan
menganalisis data kualitatif. sebaliknya pada saat menjadi peneliti kuantitatif,
peneliti melakukan kajian teori untuk dapat dirumuskan hipotesis dan instrumen
penelitian. Instrumen penelitian digunakan untuk mengumpulkan data kuantitatif.
Data kualitatif yang telah terkumpul dianalisis secara kualitatif, sedangkan data
kuantitatif dianalisis dengan statistik. Kedua kelompok data hasil analisis
kualitatif dan kuantitatif selanjutnya dianalisis lagi dengan meta analisis (analisis
data hasil penelitian kuantitatif dan kualitatif atau sebaliknya) untuk dapat
dikelompokkan, dibedakan, dan dicari hubungan satu data dengan data yang lain
sehingga diketahui apakah kedua data saling memperkuat, memperlemah, atau
bertentangan (Sugiyono, 2012:500).
3.2 Tahapan penelitian
Tahapan penelitian ini dilakukan melalui tiga fase, yaitu fase sebelum
diberlakukannya siklus pratindakan, siklus I, dan siklus II. Setiap siklus dapat
dijabarkan sebagai berikut.
3.2.1 Pratindakan
Siklus pratindakan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat
keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran bahasa Bali. Secara khusus ingin
mengetahui sor singgih bahasa Bali dalam membangun karakter siswa,
kemampuan awal keterampilan berbicara, dan sejauh mana pemakaian bahasa
Bali siswa sebelum diberlakukannya tindakan serta sejauh mana perkembangan
63
karakter siswa khususnya karakter kesopansantunan berbahasa dan bertindak.
Aktivitas yang dilakukan pada pratindakan adalah sebagai berikut.
1) Mengumpulkan informasi untuk mengetahui situasi belajar siswa, motivasi
belajar siswa, metode belajar-mengajar keterampilan berbicara bahasa Bali
siswa. Hal itu dilakukan untuk mengetahui permasalahan utama yang
dialami siswa dalam berbicara bahasa Bali khususnya sor singgih bahasa
Bali serta perkembangan karakter kesopansantunan siswa. Informasi
dikumpulkan dari siswa menggunakan teknik pencatatan dan kuesioner
untuk mengetahui respons siswa terhadap kegiatan pembelajaran bahasa
Bali di kelas sebelum diberlakukannya tindakan.
2) Menggunakan teknik observasi partisipasi dengan berpatisipasi dalam
proses pembelajaran di kelas untuk mengetahui sejauh mana kemampuan
berbicara sor singgih bahasa Bali siswa, kemampuan kebahasaan dan
kemampuan pemakaian bahasanya dengan mengadakan tes awal (pre-test)
serta lembar observasi peneliti dan perkembangan karakter siswa untuk
mengamati karakter yang muncul pada siswa.
3.2.2 Siklus I
Siklus I dilaksanakan dengan empat tahapan. Tahapan pelaksanaan dalam
siklus ini dijabarkan sebagai berikut.
1) Perencanaan
Pada tahap perencanaan, persiapan yang dilakukan sebelum mengadakan
observasi langsung ke kelas adalah dengan mempersiapkan silabus, rencana
64
pelaksanaan pembelajaran, materi ajar untuk dipakai dalam pembelajaran di kelas,
lembar observasi peneliti dan perkembangan karakter siswa, dan tes akhir pada
akhir siklus I serta kriteria penilaian hasil belajar.
2) Tindakan
Pelaksanaan tindakan pada siklus I dilakukan dalam tiga kali pertemuan.
Tahap tindakan dilakukan oleh guru dengan menerapkan metode bermain peran.
Proses pembelajaran dilakukan sesuai dengan jadwal pelajaran bahasa Bali kelas
VIB. Materi yang diberikan adalah pengertian sor singgih bahasa Bali dan cara
membuat dialog bahasa Bali serta mempraktikkan dialog tersebut di depan kelas.
3) Observasi
Pelaksanaan observasi dilakukan selama proses pembelajaran dengan
menggunakan lembar observasi yang telah disiapkan dan mencatat kejadian-
kejadian yang tidak terdapat dalam lembar observasi dengan membuat lembar
catatan lapangan, mengambil foto, dan merekam gambar.
4) Refleksi
Pada tahap refleksi, data dikumpulkan bersama-sama untuk dianalisis dan
ditentukan tingkat keberhasilannya. Peneliti bersama guru melakukan evaluasi
terhadap pelaksanaan tindakan pada siklus I yang digunakan sebagai bahan
pertimbangan perencanaan pembelajaran pada siklus berikutnya. Data yang
berupa data kuantitatif yang diperoleh dari hasil tes akhir siklus I, dievaluasi dan
dihitung menggunakan rumus untuk menentukan skor perolehan tiap-tiap siswa.
65
Demikian pula data kualitatif yang diperoleh dijabarkan dalam bentuk tulisan
secara deskriptif.
3.2.3 Siklus II
Rencana tindakan siklus II dimaksudkan sebagai hasil refleksi dan
perbaikan terhadap pelaksanaan pembelajaran pada siklus I. Tahapan siklus II
mengikuti tahapan siklus I.
3.3 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati, tahun
ajaran 2012/2013. Dalam penelitian ini, jumlah siswa 31 orang yang terdiri atas
18 orang siswa laki-laki dan 13 orang siswa perempuan. Adapun subjek
penelitian, yaitu siswa kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati berdasarkan jenis
kelamin dan tingkat usia dapat dilihat pada tabel 3.1 dan tabel 3.2 sebagai berikut.
Tabel 3.1 Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
NO. KELAS JENIS KELAMIN JUMLAH PERSENTASE
1 VI B LAKI-LAKI 18 58,06 % PEREMPUAN 13 41,94 %
JUMLAH 31 100 %
Tabel 3.2 Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Usia
NO. KELAS USIA (TAHUN)
JENIS KELAMIN JUMLAH PERSENTASE
1 VI B 12 LAKI-LAKI 10 32,26 %
PEREMPUAN 10 32,26 %
13 LAKI-LAKI 8 25,80 % PEREMPUAN 3 9,68 %
JUMLAH 31 100 %
66
3.4 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 3 Sukawati yang bertempat di
Jalan Pantai Purnama, Banjar Gelumpang, Sukawati. Lokasi penelitian ini dipilih
karena SD Negeri 3 Sukawati merupakan sekolah dasar yang situasi penggunaan
bahasa Balinya tinggi, tetapi kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali
siswanya masih rendah. Situasi ini diketahui dengan diadakannnya observasi awal
pada 5 Januari 2013 dengan guru serta dengan siswa kelas VIB tentang
penguasaan kemampuan berbicara bahasa Bali, khususnya tentang sor singgih
bahasa Bali. Selain itu, berdasarkan hasil observasi awal, pemilihan lokasi juga
disebabkan oleh target (goal) pada kompetensi dasar keterampilan berbicara
dirasakan masih kurang. Dengan demikian, diperlukan strategi dan metode yang
tepat untuk mencapai target kompentensi berbicara khususnya kemampuan
berbicara sor singgih bahasa Bali dalam membangun karakter siswa.
Penelitian dilaksanakan selama kurun waktu tiga bulan, yakni pada 7
Februari 2013 sampai dengan 30 April 2013. Kelas yang diteliti merupakan kelas
VIB pada semester dua. Penelitian dimulai saat berlangsungnya pelajaran bahasa
Bali pukul 09.30 WITA.
3.5 Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian dengan menggunakan metode kombinasi
dalam rancangan PTK ini ada dua, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data
kuantitatif, yaitu hasil pengukuran berupa tes dialog bermain peran sor singgih
bahasa Bali dan kuesioner. Tes dibagi menjadi dua yaitu pretes (pratindakan) dan
67
postes (pascatindakan). Tes digunakan sebagai data untuk mengetahui
kemampuan siswa dalam berbicara sor singgih bahasa Bali dalam membangun
karakter siswa. Pretes (pratindakan) dilakukan sebelum penerapan metode
bermain peran. Postes (pascatindakan) dilakukan setelah penerapan metode
bermain peran. Kuesioner digunakan sebagai data untuk mengetahui respons
siswa terkait dengan metode bermain peran. Sebaliknya, data kualitatif, yaitu
berupa hasil pengamatan (lembar observasi), video perekam, dan kamera. Lembar
observasi digunakan sebagai data untuk mengetahui proses belajar-mengajar
sesuai dengan treatment (perlakuan) peningkatan kemampuan berbicara sor
singgih dalam membangun karakter siswa melalui metode bermain peran. Di
pihak lain, perekaman digunakan untuk merekam tes dialog (percakapan) sor
singgih bahasa Bali di kelas.
Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu sumber
data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yang diperlukan
dalam penelitian ini berasal dari siswa kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati. Data
berupa hasil tes dialog sor singgih bahasa Bali yang diperoleh dari siswa
bertujuan untuk mengetahui kelancaran berbicara sor singgih siswa dalam
membangun karakter siswa. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
bersumber dari guru kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati yang bertujuan untuk
mengetahui prestasi belajar siswa di kelas. Selain itu, juga data yang diperoleh
dari teman sejawat yang bertujuan untuk mengetahui perilaku kerja sama dalam
lingkungan belajar.
68
3.6 Instrumen Penelitian
Metode kombinasi menggunakan dua instrumen penelitian, yaitu
instrumen penelitian kuantitatif dan instrumen penelitian kualitatif. Instrumen
penelitian kuantitatif adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena, baik
alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2012:148). Secara spesifik semua
fenomena ini disebut variabel penelitian. Dalam penelitian ini, digunakan
instrumen penelitian kuantitatif berupa kuesioner dan tes atau penugasan untuk
membuat percakapan (dialog bahasa Bali) yang kemudian dipraktikkan atau
diperagakan secara berkelompok sesuai dengan peran tokoh masing-masing di
depan kelas. Sebaliknya, instrumen penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri.
Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus
penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data,
menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data, dan membuat simpulan atas
temuannya (Sugiyono, 2012:305). Dalam penelitian ini, digunakan instrumen
penelitian kualitatif melalui lembar observasi, catatan guru, kamera, dan
handycam.
3.7 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan sumbernya, metode penelitian kombinasi ini, yaitu
kombinasi kuantitatif dan kualitatif difokuskan pada teknik pengumpulan data.
Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini, rumusan masalah dijawab dengan
data kuantitatif dan data kualitatif. Untuk mendapatkan data kuantitatif digunakan
teknik pengumpulan data kuantitatif dengan tes dialog bahasa Bali, kuesioner,
69
dan dokumentasi. Sebaliknya, untuk mendapatkan data kualitatif digunakan teknik
pengumpulan data kualitatif dengan observasi, catatan guru, dokumentasi berupa
perekaman dan foto.
3.7.1 Tes
Tes dibagi menjadi dua yaitu pretes (pratindakan) dan postes
(pascatindakan). Tes merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur
keefektifan tindakan dan peningkatan prestasi siswa. Pretes diberikan untuk
mengetahui kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali siswa sebelum
penggunaan metode bermain peran. Postes diberikan pada akhir tiap siklus
sebagai alat ukur tingkat kemampuan dan tingkat peningkatan kemampuan
berbicara sor singgih bahasa Bali yang dicapai oleh siswa kelas VIB SD Negeri 3
Sukawati dengan menggunakan metode bermain peran. Aspek-aspek yang dinilai
meliputi aspek kebahasaan, yakni lafal, kosakata, dan struktur, sedangkan aspek
nonkebahasaan, yakni materi, kelancaran, dan gaya yang dijabarkan pada rubrik
kemampuan berbicara. Tes pemahaman sor singgih pada saat observasi awal
ditampilkan pada lampiran 03 dan handout dialog bahasa Bali pada pretes
(pratindakan) dan postes (pascatindakan) ditampilkan pada lampiran 01.
3.7.2 Kuesioner
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan instrumen
penelitian, yaitu kuesioner dengan menggunakan skala Likert dalam bentuk
checklist. Skala Likert digunakan untuk mengukur pendapat siswa tentang proses
pembelajaran bahasa Bali yang diajarkan oleh guru di kelas, khususnya untuk
70
mengetahui proses belajar-mengajar sor singgih bahasa Bali. Kuesioner diberikan
pada siswa sebanyak dua kali. Kuesioner pertama diberikan sebelum pelaksanaan
metode bermain peran dan yang kedua setelah penggunaan metode bermain peran.
Data kemudian dianalisis secara deskriptif.
3.7.3 Lembar Observasi
Lembar observasi disiapkan untuk menilai dan merekam kegiatan interaksi
guru dan siswa dalam menilai kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali
siswa selama pretes dan postes. Lembar observasi ini ditampilkan dalam tabel 3.3
sebagai berikut.
Tabel 3.3 Lembar Observasi
No. Siswa
Indikator
Total Nilai
Nilai dalam persen
(%)
Tingkat kemampuan 1 2 3 4 5 6
1 2 3 dst Keterangan :
1 = Pelafalan 4 = Materi
2 = Kosakata 5 = Kelancaran 3 = Tata Bahasa 6 = Gaya
3.7.4 Pedoman Wawancara
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data untuk
memeroleh data atau informasi yang lebih terperinci tentang hasil observasi dan
kuesioner. Dalam penelitian ini, kegiatan tersebut dilakukan dengan
71
menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan isi kuesioner. Pedoman
wawancara ini ditampilkan pada lampiran 02.
3.7.5 Catatan Guru
Catatan guru digunakan untuk merekam segala kegiatan pembelajaran dan
pengajaran di kelas selama pelaksanaan metode bermain peran. Aktivitas ini
dilakukan pada setiap siklus. Catatan guru disajikan pada tabel 3.4 sebagai
berikut.
Tabel 3.4 Catatan Guru
No. Kegiatan Guru/Peneliti Kegiatan Siswa Situasi Kelas
Selain contoh-contoh instrumen di atas, beberapa benda-benda instrument
lain yang digunakan untuk menunjang teknik pengumpulan data pada penelitian
ini adalah perangkat elektronik berupa kamera, kamera perekam, dan alat-alat
tulis. Cacatan guru ini ditampilkan pada lampiran 04.
3.8 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kombinasi, yakni metode deskriptif kuantitatif dan metode deskriptif kualitatif.
Metode deskriptif kuantitatif berkaitan dengan perhitungan angka-angka dan
persentase yang selanjutnya hasil analisis tersebut diuraikan melalui kata-kata
secara deskriptif. Dalam penelitian ini, metode analisis deskriptif kuantitatif
digunakan untuk menghitung seberapa besar peningkatan nilai prestasi siswa dan
72
nilai rerata kelas pada tahap pratindakan, siklus I, dan siklus II. Metode ini juga
dilakukan untuk mencari persentase respons siswa terhadap tindakan yang
dilakukan berdasarkan hasil kuesioner.
Adapun teknik yang digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan
berbicara sor singgih bahasa Bali siswa, yaitu dengan menggunakan data kriteria
penilaian berbicara, data tingkat penguasaan kemampuan berbicara, perhitungan
nilai tes hasil belajar tiap-tiap siswa dan rerata kelas menggunakan beberapa
rumus-rumus.
1) Data Kriteria Penilaian Berbicara
Penilaian yang dilakukan hendaknya ditujukan pada usaha perbaikan
prestasi siswa sehingga menumbuhkan motivasi pada pelajaran berikutnya.
Penilaian kemampuan berbicara dalam pengajaran berbahasa berdasarkan dua
faktor, yaitu faktor kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan meliputi
pelafalan, kosakata, dan struktur, sedangkan faktor nonkebahasaan meliputi
materi, kelancaran, dan gaya (Haryadi, 1997:95).
Penilaian yang digunakan untuk mengukur kemampuan berbicara siswa
dilakukan melalui tugas bermain peran. Untuk mengevaluasi kemampuan
berbicara siswa dibutuhkan format penilaian berbicara. Berikut merupakan format
penilaian berbicara yang dimodifikasi dari penilaian Jakovits dan Gordon
(Nurgiyantoro, 2001:290).
73
Tabel 3.5 Kriteria Penilaian Berbicara Berdasarkan Aspek Kebahasaan
Lima Kriteria Penilaian
Skor Kriteria Penilaian
Pelafalan 5 4
3
2
1
Pelafalan fonem jelas, standar, dan intonasi jelas.
Pelafalan fonem jelas, standar, dan intonasi kurang jelas.
Pelafalan fonem kurang jelas, terpengaruh dialek, dan intonasi kurang tepat.
Pelafalan fonem kurang jelas, terpengaruh dialek, dan intonasi tidak tepat.
Pelafalan fonem tidak jelas, banyak dipengaruhi dialek, dan intonasi tidak tepat.
Kosakata 5 4
3
2 1
Penguasaan kata-kata, istilah, dan ungkapan tepat, sesuai, dan variatif.
Penggunaan kata, istilah, dan ungkapan kurang tepat, kurang sesuai meskipun variatif.
Penggunaan kata, istilah, dan ungkapan kurang tepat, kurang sesuai, serta kurang bervariatif.
Penggunaan kata, istilah dan ungkapan kurang tepat, kurang sesuai dan sangat terbatas.
Penggunaan kata, istilah, dan ungkapan tidak tepat, tidak sesuai, dan sangat terbatas
Struktur/Tata Bahasa
5 4 3
2
1
Hampir tidak terjadi kesalahan struktur. Sekali-kali terdapat kesalahan struktur. Kesalahan struktur terjadi berulang-ulang
dan tetap. Kesalahan struktur terjadi berulang-ulang
dan banyak jenisnya. Kesalahan struktur banyak, berulang-ulang
sehingga mengganggu pemahaman.
Tabel 3.6 Kriteria Penilaian Berbicara Berdasarkan Aspek Nonkebahasaan
Materi 5 4
Topik dan uraian sesuai, mendalam, mudah dipahami dan unsur wacana lengkap.
Topik dan uraian sesuai, kurang mendalam, agak sulit dipahami, unsur wacana tidak
74
3 2 1
lengkap. Topik dan uraian sesuai, kurang mendalam,
sulit dipahami, unsur wacana tidak lengkap.
Topik dan uraian kurang sesuai, kurang mendalam, sulit dipahami, unsur wacana tidak lengkap.
Topik dan uraian tidak sesuai, tidak mendalam, sulit dipahami, unsur wacana tidak lengkap.
Kelancaran 5 4 3
2 1
Pembicaraan lancar sejal awal sampai akhir, jeda tepat.
Pembicaraan lancar, jeda kurang tepat. Pembicaraan agak tersendat, jeda kurang
tepat. Pembicaraan sering tersendat, jeda tidak
tepat. Pembicaraan tersendat-sendat, jeda tidak
tepat
Gaya 5 4 3 2 1
Gerakan, busana santun, wajar, tepat, luwes.
Gerakan, busana santun, wajar, tepat, kurang luwes.
Gerakan, buasana santun, wajar, kurang tepat, kurang luwes.
Gerakan, busana kurang santun, kurang wajar, kurang tepat, kurang luwes.
Gerakan dan busana tidak santun, tidak wajar, tidak tepat, dan tidak luwes.
Jumlah skor siswa yang diperoleh melalui rubrik di atas selanjutnya
dianalisis menggunakan teori statistik deskriptif. Perhitungan secara umum
diarahkan untuk mengetahui akumulasi skor berbicara yang kemudian disesuaikan
dengan tabel pada tingkat kemampuan berbicara siswa. Dalam hal ini, tingkat
ketuntasan nilai rerata kelas didasarkan pada persentase nilai yang ditetapkan oleh
SD Negeri 3 Sukawati, seperti pada tabel berikut ini.
75
Tabel 3.7 Tingkat Penguasaan Kemampuan Berbicara:
Presentase Kategori
85 -- 100% Sangat Baik
70 -- 84% Baik
55 -- 69% Cukup
40 -- 54% Kurang
0 -- 39% Sangat Kurang
(Simon, 2005:17)
Hubungan dari setiap persentase dan kriteria kemampuan siswa pada tabel di
atas dapat dijelaskan melalui deskripsi berikut ini.
(1) Sangat Baik : siswa mampu memeroleh nilai 85 sampai dengan 100
(2) Baik : siswa mampu memeroleh nilai 70 sampai dengan 84
(3) Cukup : siswa mampu memeroleh nilai 55 sampai dengan 69
(4) Kurang : siswa mampu memeroleh nilai 40 sampai dengan 54
(5) Sangat Kurang : siswa mampu memeroleh nilai 0 sampai dengan 39
Perhitungan nilai tes hasil belajar tiap-tiap siswa dan rerata kelas (mean)
dilakukan untuk mengetahui peningkatan prestasi siswa dalam kemampuan
berbicara sor singgih bahasa Bali. Rumus-rumus yang digunakan dikutip dari
Sukiman (2012:181), seperti berikut ini.
a. Nilai tes hasil belajar siswa:
Nilai =skoryangdiperolehsiswa
skormaksimum 푥100
76
b. Rumus untuk mencari mean (rerata) siswa:
푀 =Ʃ푋푁
(Sukiman, 2012:181)
Ket:
푀 = mean (rerata) siswa
Ʃ푋 = jumlah skor
푁= jumlah siswa
Hasil kuesioner baik pada pretes maupun postes, dihitung dan dipersentase
dari tiap-tiap pertanyaan digambarkan secara deskriptif melalui rumus sebagai
berikut.
c. Rumus yang digunakan untuk persentase:
Persentase(%) =Jumlahsiswayangmemilihpertanyaan
Jumlahkeseluruhansiswa 푥100%
(Heaton, 1998: 25)
Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) untuk mata pelajaran bahasa Bali di
SD Negeri 3 Sukawati adalah 65. Jadi berkaitan dengan hal tersebut, pemberian
treatment (siklus) berakhir setelah angka KKM 65 dapat diperoleh.
Selanjutnya, metode deskriptif kualitatif digunakan sebagian besar untuk
menjelaskan hasil perhitungan secara kuantitatif yang berasal dari jumlah nilai
berupa angka-angka dari persentase peningkatan prestasi dan respons siswa. Di
samping itu, instrumen penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Peneliti
77
kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian,
memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai
kualitas data, analisis data, menafsirkan data, dan membuat simpulan atas
temuannya (Sugiyono, 2012:305).
Fokus dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan berbicara sor
singgih bahasa Bali dalam membangun karakter siswa. Informan yang dipilih
sebagai sumber data adalah siswa kelas VIB untuk dianalisis data tersebut secara
kualitatif yang berasal dari hasil pengamatan dan pembelajaran siswa, yakni
berupa rekaman dialog bermain peran sor singgih bahasa Bali. Data hasil
pengamatan dianalisis dengan memberikan deskripsi berdasarkan bukti-bukti
pengamatan secara empirik di kelas, berupa analisis kelas kata bahasa Bali,
penggunaan sor singgih bahasa Bali, dan perkembangan karakter siswa. Di
samping itu, data berupa hasil pembelajaran siswa dianalisis untuk dikaji secara
kualitatif berdasarkan kriteria penilaian kemampuan berbicara yang terdiri atas
dua faktor, yaitu faktor kebahasaan meliputi pelafalan, kosakata, tata bahasa, dan
faktor nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan gaya.
3.9 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data dibagi menjadi dua, yakni hasil analisis data kuantitatif
dan hasil analisis data kualitatif yang disajikan secara formal dan informal. Data
formal mencerminkan beberapa hasil penelitian, seperti (1) nilai tes dan level
kemampuan siswa serta (2) nilai rerata kelas. Hasil analisis data kuantitatif ini
disajikan dalam bentuk tabel hasil skor penilaian individu dan gambar diagram
78
batang, selanjutnya diuraikan dengan teknik deskriptif. Diagram tersebut
berfungsi untuk menampilkan jumlah persentase peningkatan nilai kemampuan
berbicara sor singgih bahasa Bali yang telah dicapai siswa serta mengetahui
perbandingan yang diperoleh dalam pratindakan, siklus I, dan siklus II
Sementara itu, data informal yang terdiri atas beberapa informasi, meliputi
data tentang (1) hasil analisis aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan, kelas
kata bahasa Bali, penggunaan sor singgih bahasa Bali, serta pembentukan karakter
sebelum dan sesudah penerapan metode bermain peran, (2) respons dan analisis
faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan kemampuan berbicara sor singgih
bahasa Bali siswa. Hasil analisis data kualitatif yang dikumpulkan berasal dari
demonstrasi memeragakan bermain peran, wawancara, observasi, kuesioner,
perekaman, dan dokumentasi. Data tersebut disajikan dalam bentuk penjelasan
narasi dengan menggunakan teknik penyajian secara deskriptif interpretatif.
79
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian pada bab IV ini menjelaskan secara terperinci temuan-temuan yang
merupakan hasil penelitian dari Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan
menggunakan metode kombinasi (Mixed Methods), yakni metode penelitian
kuantitatif dan metode kualitatif dengan model penelitian concurrent
triangulation dalam rangka meningkatkan kemampuan berbicara sor singgih
bahasa Bali dalam membangun karakter siswa kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati.
Metode yang diujicobakan adalah metode bermain peran, yakni sebanyak dua
siklus selama kurun waktu tiga bulan. Tahapan-tahapan kegiatannya dimulai
sesuai dengan urutan PTK model Hopkins (1993), yakni plan (perencanaan), act
(tindakan), observe (pengamatan), dan reflect (perenungan).
Hasil penelitian berupa data kuantitatif dan data kualitatif yang disajikan
secara formal dan informal. Data kuantitatif yang disajikan secara formal
mencakup angka-angka dan persentase dari perhitungan nilai prestasi dan respon
siswa pada kuesioner. Peningkatan prestasi siswa secara keseluruhan dapat dinilai
berdasarkan perolehan nilai. Tabel dan diagram batang membantu untuk
menyajikan data formal dalam penelitian ini. Dengan menggunakan rumus
statistik yang dijelaskan melalui uraian-uraian secara deskriptif terhadapat
perhitungan peningkatan nilai dan respon siswa, baik sebelum maupun setelah
dilakukannya penelitian. Diagram batang digunakan untuk menggambarkan
secara lebih jelas peningkatan nilai rerata kelas yang menjadi landasan
80
keberhasilan atas tercapainya nilai ketuntasan siswa, sekaligus menentukan
berakhirnya siklus penelitian ini.
Sementara itu, data kualitatif yang disajikan secara informal dalam bentuk
uraian narasi menceritakan kejadian-kejadian atau hasil dari proses penerapan
tindakan kelas yang dilakukan berdasarkan metode bermain peran. Selanjutnya,
hasil berupa peningkatan kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali melalui
tes berbicara dikaji melalui beberapa teori berbicara yang berdasarkan kriteria
penilain berbicara, yakni dari aspek kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan tata
bahasa sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan gaya. Di
samping itu, juga dilihat dari penggunaan sor singgih bahasa Bali siswa dan
karakter yang berkembang pada siswa. Penjabaran ini merupakan bagian inti dari
analisis yang berfungsi melengkapi penyajian data-data formal sebelumnya,
terutama yang terkait dengan peningkatan prestasi berbiacara sor singgih bahasa
Bali.
4.1 Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Sebelum Penerapan Metode Bermain Peran dalam Membangun Karakter Siswa Kelas VIB
Hasil kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali diperoleh sebelum
metode bermain peran diterapkan dalam upaya membangun karakter siswa kelas
VIB. Hasil penelitian berupa data kuantitatif dan data kualitatif disajikan secara
formal dan informal. Data formal yang mencerminkan beberapa hasil penelitian,
seperti (1) nilai tes dan level kemampuan siswa serta (2) nilai rerata kelas. Hasil
analisis data kuantitatif ini disajikan dalam bentuk tabel hasil skor penilaian
individu dan gambar diagram batang, selanjutnya diuraikan dengan teknik
81
deskriptif. Diagram tersebut berfungsi untuk menampilkan jumlah persentase
peningkatan nilai kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali yang telah
dicapai siswa.
Sementara itu, data informal yang terdiri atas beberapa informasi, meliputi
data tentang hasil analisis aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan,
penggunaan sor singgih bahasa Bali, serta pembentukan karakter sebelum
penerapan metode bermain peran. Data hasil tersebut dapat dijelaskan melalui
uraian berikut.
4.1.1 Analisis Kuantitatif Pratindakan
Pada analisis kuantitatif tahap awal ini, diadakan sebuah observasi
(pengamatan) awal untuk mengidentifikasi permasalahan pembelajaran dan
kemampuan awal siswa. Kegiatan ini termasuk dalam tahap pratindakan sesuai
dengan PTK. Pada tahap ini, data kuantitatif yang terkait dengan hasil observasi,
hasil kuesioner, hasil tes berbicara sor singgih bahasa Bali pratindakan
berdasarkan kriteria penilain berbicara, yakni dari aspek kebahasaan meliputi
lafal, kosakata, dan tata bahasa. Sebaliknya aspek nonkebahasaan meliputi materi,
kelancaran, dan gaya yang dapat dijelaskan melalui uraian berikut.
4.1.1.1 Observasi Pratindakan
Tahapan pratindakan dalam penelitian ini diawali dengan melakukan
observasi awal dengan wawancara tentang pengguanaan bahasa Bali dalam
berkomunikasi dan pemberian tes pemahaman sor singgih bahasa Bali di kelas
dilakukan oleh peneliti pertama kali pada 5 Januari 2013. Berdasarkan data
82
wawancara, semua siswa menggunakan bahasa Bali sebagai alat komunikasi, baik
di sekolah maupun di rumah. Siswa pun menyatakan bahwa berkomunikasi
menggunakan bahasa Bali lebih tinggi derajatnya karena mereka bangga
menggunakan bahasa Bali sebagai alat komunikasi. Saat siswa ditanya sejauh
mana pemahamannya tentang sor singgih bahasa Bali, semua siswa menjawab
belum pernah diajarkan tentang materi sor singgih bahasa Bali.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, maka peneliti memberikan tes
dengan sepuluh soal objektif. Data tes pemahaman sor singgih bahasa Bali
diberikan kepada siswa kelas VIB dengan jumlah 31 siswa. Data tersebut dapat
dilihat dalam tabel 4.1 hasil tes pemahaman sor singgih bahasa Bali, sebagai
berikut.
Tabel 4.1 Hasil Tes Pemahaman Sor Singgih Bahasa Bali
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) 9 29 %
2 40 – 54 (kurang) 17 55 %
3 55 – 69 (cukup) 5 16 %
4 70 – 84 (baik) - -
5 85 – 100 (sangat baik) - -
Secara garis besar, sebanyak 29% siswa memiliki kualitas pemahaman sor
singgih bahasa Bali yang sangat kurang (hasil di bawah nilai 39), 55% memiliki
kualitas pemahaman sor singgih bahasa Bali yang kurang (hasil di bawah nilai
54). Sementara itu, hanya 16% di antara mereka memiliki kualitas pemahaman
83
sor singgih bahasa Bali yang cukup (hasil di bawah nilai 69). Data ini
menunjukkan bahwa kualitas kemampuan pemahaman berbicara menggunakan
sor singgih bahasa Bali dikategorikan kurang. Dalam kenyataannya sekolah
mengharapkan agar 75% siswa mampu memahami dan menggunakan sor singgih
bahasa Bali yang baik dalam berkomunikasi.
Pemerolehan informasi sebagai data awal dirasakan belum cukup hanya
berdasarkan pengamatan dan tes pemahaman sor singgih bahasa Bali saja, karena
peneliti belum mengetahui tingkat kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali
sebelum diterapkannya tindakan. Oleh sebab, itu, peneliti memberikan kuesioner
dan melakukan tes pratindakan, yakni tes kemampuan berbicara.
4.1.1.2 Kuesioner Pratindakan
Tahapan pratindakan yang kedua dalam penelitian ini, yakni dengan
memberikan kuesioner kepada siswa pada 7 Februari 2013. Ada dua kuesioner
yang diberikan kepada siswa. Pertama, kuesioner yang diberikan pada saat
pratindakan (pretes) dan kuesioner yang kedua diberikan pada saat pascatindakan.
Kuesioner yang diberikan menggunakan skala Likert dalam bentuk checklist.
Tujuan pemberian kuesioner adalah untuk mengetahui respons siswa dalam
pelaksanaan proses pembelajaran dan pengajaran bahasa Bali siswa kelas VIB SD
Negeri 3 Sukawati sebelum pelaksanaan metode bermain peran. Data kemudian
dianalisis secara deskriptif. Kuesioner yang diberikan terdiri atas delapan soal.
Adapun hasil kuesioner dapat dilihat dalam tabel 4.2 hasil kuesioner pratindakan
sebagai berikut.
84
Tabel 4.2 Kuesioner Pratindakan
No. Pertanyaan Pendapat Pemilih Persentase 1 Apakah anak-anak pernah
diajarkan pelajaran bahasa Bali oleh guru Anda?
Selalu - - Sering - -
Kadang-kadang 31 100% Tidak Pernah - -
2 Apakah guru anak-anak pernah
menilai kemampuan berbicara bahasa Bali?
Selalu - Sering -
Kadang-kadang 5 16% Tidak Pernah 26 84%
3 Apakah anak-anak pernah
diajarkan tentang berbicara bahasa Bali?
Selalu - Sering -
Kadang-kadang 14 45% Tidak Pernah 17 55%
4 Apakah anak-anak kesulitan
belajar bahasa Bali? Selalu - Sering 1 3%
Kadang-kadang 25 81% Tidak Pernah 5 16%
5 Apakah anak-anak pernah
diajarkan pelajaran sor singgih bahasa Bali?
Selalu - Sering -
Kadang-kadang 6 19% Tidak Pernah 25 81%
6 Apakak anak-anak tahu sor
singgih bahasa Bali ada bagian-bagiannya?
Selalu - Sering -
Kadang-kadang 4 13% Tidak Pernah 27 87%
7 Adakah guru yang telah
menggunakan metode bermain peran dalam pembelajaran bahasa Bali?
Selalu - Sering -
Kadang-kadang - Tidak Pernah 31 100%
8 Apakah guru bahasa Bali pernah menyuruh membuat percakapan dalam bahasa Bali dan kemudian dipraktikkan di depan kelas?
Selalu - Sering -
Kadang-kadang - Tidak Pernah 31 100%
Secara garis besar, 100% siswa menjawab bahwa kadang-kadang diajarkan
pelajaran bahasa Bali oleh guru di kelas. Berdasarkan hasil wawancara,
85
siswa menyatakan bahwa guru yang mengajar adalah guru kelas bukan guru
bahasa Bali sehingga kemampuan dalam mengajarkan bahasa Bali antara guru
kelas dan guru bahasa Bali sedikit berbeda.
Apakah guru Anda pernah menilai kemampuan berbicara bahasa Bali 84%
siswa menyatakan tidak pernah guru menilai kemampuan berbicara bahasa Bali
dan 16% siswa menyatakan kadang-kadang guru menilai kemampuan bahasa Bali.
Sebanyak 55% siswa tidah pernah diajarkan tentang berbicara bahasa Bali dan
sebanyak 45% siswa menyatakan kadang-kadang diajarkan tentang berbicara
bahasa Bali.
Terkait dengan motivasi siswa dalam belajar bahasa Bali, sebanyak 16%
siswa tidak pernah mengalami kesulitan belajar bahasa Bali, sedangkan 81%
siswa menyatakan kadang-kadang mengalami kesulitan belajar bahasa Bali, dan
3% siswa lainnya menyatakan sering mengalami kesulitan belajar bahasa Bali.
Menurut sebagian besar siswa, merasa senang jika belajar bahasa Bali.
Terkait dengan pernahkah materi sor singgih bahasa Bali diajarkan oleh
guru di kelas, sebanyak 81% siswa menyatakan tidak pernah diajarkan tentang
materi sor singgih bahasa Bali dan sebanyak 19% siswa menyatakan kadang-
kadang diajarkan tentang materi sor singgih bahasa Bali. Setelah diwawancarai
berhubungan dengan pernyataan siswa di atas, siswa menyatakan masih ragu-ragu
dan belun secara pasti memahami apa itu sor singgih bahasa Bali. Begitu juga
dalam menjawab apakah siswa tahu sor singgih bahasa Bali ada bagian-
bagiannya, sebanyak 87% siswa menyatakan tidak pernah tahu dan sebanyak 13%
siswa menyatakan kadang-kadang tahu.
86
Adakah guru yang telah menggunakan metode bermain peran dalam
pembelajaran bahasa Bali, sebanyak 100% siswa menyatakan tidak pernah ada
guru telah menggunakan metode bermain peran dalam pembelajaran bahasa Bali.
Sebanyak 100% pula siswa menyatakan bahwa guru tidak pernah menyuruh
membuat percakapan dalam bahasa Bali dan kemudian dipraktikkan di depan
kelas. Kondisi pembelajaran bahasa Bali yang dialami siswa ini terjadi karena
guru dalam mengajar bahasa Bali di kelas lebih memfokuskan mengajarkan
menulis aksara Bali dan membaca aksara Bali saja sehingga keterampilan
berbicara cenderung ditiadakan.
4.1.1.3 Tes Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Pratindakan
Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam berbicara sor singgih bahasa
Bali sebelum pelaksanaan metode bermain peran, peneliti memberikan pretes.
Pretes dilakukan pada 14 Februari 2013. Sebelum memberikan tes, peneliti
menyiapkan segala sesuatu untuk tes, seperti topik, lembar observasi, dan
perekam. Ketika peneliti memasuki kelas, siswa menyambut dengan memberikan
salam “Panganjali Om Swastiastu”, peneliti membalas dengan mengucapkan “Om
Swastiastu”. Setelah itu, peneliti langsung menyapa siswa dengan mengucapkan
“rahajeng semeng alit-alite”. Siswa hanya terdiam dan tersenyum saat peneliti
menyapa dengan bahasa Bali. Peneliti menyarankan kepada siswa untuk ikut
membalas dengan mengucapkan “rahajeng semeng Ibu guru”. Setelah itu,
peneliti memperkenalkan diri dan memberi tahu mereka terkait dengan penelitian
yang akan dilaksanakan di kelas ini. Para siswa pun menerima dengan antusias
dan peneliti yang juga sekaligus sebagai guru memulai pelajaran.
87
Pertama-tama peneliti mengecek daftar kehadiran siswa dan memberikan
dua topik kepada siswa untuk dipilih, yaitu (1) Katemu guru ring perpustakaan
dan (2) Nelokin timpal gelem. Setelah memberikan topik, siswa secara
berpasangan membuat percakapan sesuai dengan topik yang dipilih. Siswa
berdiskusi dengan teman sebangkunya untuk membuat percakapan kemudian
dipraktikkan di depan kelas. Peneliti memberikan waktu 15 menit untuk
berdiskusi. Semua siswa lebih memilih topik yang kedua sebagai bahan dialog,
yaitu Nelokin timpal gelem. Hal ini disebabkan oleh siswa merasakan kesulitan
dan belum percaya diri untuk membuat dialog dengan topik yang pertama, yakni
Katemu guru ring perpustakaan.
Dalam kegiatan ini, peneliti sebagai guru merekam kemampuan berbicara
sor singgih bahasa Bali siswa dan menganalisis dengan menggunakan kriteria
kemampuan berbicara serta menentukan persentase nilai siswa. Di samping itu,
peneliti juga mencatat tingkah laku yang dilakukan oleh siswa. Ada salah satu
siswa saat berdiskusi sempat menaikkan kaki di atas bangku sehingga peneliti
memberikan teguran kepada siswa tersebut. Setelah 15 menit siswa melakukan
diskusi, peneliti meminta siswa maju dengan pasangannya secara bergilir untuk
bisa dilakukan perekaman.
Pada saat perekaman, peneliti meminta siswa untuk berbicara (berdialog)
tanpa menggunakan teks dialog yang sudah dibuat, tetapi ada beberapa siswa tetap
membawa teks dialog ke depan. Kegiatan ini berjalan cukup lancar walaupun saat
perekaman dialog, siswa yang belum atau sudah melakukan demonstrasi di depan
88
kelas membuat sedikit keributan dengan mengobrol dengan temannya atau
berlatih berdialog sehingga proses perekaman sedikit terganggu.
Data yang diperoleh dalam pretes dijelaskan dan dianalisis secara
deskriptif beserta rerata nilai kemampuan siswa dalam berbicara sesuai dengan
sor singgih bahasa Bali. Nilai yang diperoleh berdasarkan kriteria penilaian
berbicara, yakni dari aspek kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan struktur,
sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan gaya. Hasil tes
pratindakan ini juga dianalisis secara kualitatif dilihat dari penggunaan aspek
bahasa Bali sesuai dengan sor singgih-nya.
Dalam penilaian, setiap indikator ditentukan skornya dengan patokan atau
ukuran berdasarkan kategori skor yang telah ditentukan. Skor tersebut
dikategorikan menjadi lima kategori, yaitu sangat kurang, kurang, cukup, baik,
dan sangat baik. Kategori sangat kurang apabila siswa mendapat skor 1 (0--39),
kategori kurang apabila siswa mendapatkan skor 2 (40--54), kategori cukup
apabila siswa mendapatkan skor 3 (55--69), kategori baik apabila siswa
mendapatkan skor 4 (70--84), dan kategori sangat baik apabila siswa mendapatkan
skor 5 (85--100).
Dalam pretes atau tes awal, rerata nilai siswa dalam kemampuan berbicara
sor singgih bahasa Bali sangat rendah. Adapun hasil tes pratindakan dalam
penelitian ini, dapat dilihat dalam tabel 4.3 nilai siswa dalam berbicara sor singgih
bahasa Bali, sebagai berikut.
89
Tabel 4.3 Nilai Siswa dalam Berbicara Bahasa Bali Pratindakan
No. Siswa Indikator
Total Nilai
Nilai dalam persen
(%)
Tingkat kemampuan
1 2 3 4 5 6
1 Ana Wiguna 1 1 2 2 2 3 11 37 37% Sangat kurang 2 Adi Wiarta 3 1 2 2 2 3 13 43 43% Kurang 3 Raditya 1 1 2 2 2 3 11 37 37% Sangat kurang 4 Aris Prayoga 3 2 2 2 3 3 15 50 50% Kurang 5 Gede Aditya 3 2 2 2 3 3 15 50 50% Kurang 6 Ari Ananda 3 1 1 2 3 3 13 43 43% Kurang 7 Arya Bintan 3 1 2 2 3 3 14 47 47% Kurang 8 Anasuya 2 4 3 3 2 3 17 57 57% Cukup 9 Astiti Bakti 2 2 2 2 3 3 14 47 47% Kurang 10 Adi Mahardika 1 1 2 2 2 3 11 37 37% Sangat kurang 11 Budiarta 2 2 2 2 3 3 14 47 47% Kurang 12 Dwi Cahyani 2 2 2 2 3 3 14 47 47% Kurang 13 Buddhi Saputra 3 2 2 2 3 3 15 50 50% Kurang 14 Fajar Punarbawa 3 2 2 2 3 3 15 50 50% Kurang 15 Indah Jayanti 3 4 3 4 4 3 21 70 70% Baik 16 Juliawan 3 1 2 2 3 3 14 47 47% Kurang 17 Kertayasa 1 1 2 2 2 2 10 33 33% Sangat kurang 18 Kanya Devani 3 4 5 2 4 3 21 70 70% Baik 19 Marta Prasetya 3 2 2 2 3 3 15 50 50% Kurang 20 Mayumi Siddhi. P 2 4 3 3 2 3 17 57 57% Cukup 21 Okta Anggara 3 2 2 2 3 3 15 50 50% Kurang 22 Pratama 1 1 2 2 2 3 11 37 37% Sangat kurang 23 Rahmawati 3 4 3 4 2 3 19 63 63% Cukup 24 Rista Juniari 3 4 5 2 3 3 20 67 67% Cukup 25 Ryan Endrawan 3 2 2 2 3 3 15 50 50% Kurang 26 Riyanti 3 3 3 3 3 3 18 60 60% Cukup 27 Suriyaningsih 2 2 2 2 3 3 14 47 47% Kurang 28 Setia Devi 2 2 2 3 2 3 14 47 47% Kurang 29 Tirta 3 2 2 2 3 3 15 50 50% Kurang 30 Widia Swari 3 3 3 3 3 3 18 60 60% Cukup 31 Devi Agustina 2 2 2 3 2 3 14 47 47% Kurang
Rerata 2.4 2.2 2.4 2.3 2.7 3 1.547 Nilai 48 44 48 46 54 60 50% Kurang
Keterangan :
1 = Pelafalan 4 = Materi 2 = Kosakata 5 = Kelancaran
3 = Tata Bahasa 6 = Gaya
90
Tabel di atas menggambarkan nilai yang diperoleh siswa SD Negeri 3
Sukawati dalam keterampilan berbicara sor singgih bahasa Bali pada pemberian
pretes (tes awal) adalah 50% dengan kategori kurang (masih rendah). Berdasarkan
tabel hasil tes awal di atas dapat dijelaskan bahwa pelafalan siswa berada pada
kategori kurang. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai total siswa untuk
pelafalan, yaitu sebesar 48% dengan rerata (rata-rata) 2,4. Selanjutnya, untuk
kosakata nilai total siswa berada pada kategori kurang, yaitu 44% dengan rerata
2,2. Tata bahasa nilai total siswa berada pada kategori kurang, yaitu 48% dengan
rerata 2,4. Pada materi, nilai total siswa berada pada kategori kurang, yaitu 46%
dengan rerata 2,3. Untuk kelancaran, nilai total siswa berada pada kategori
kurang, yaitu 54% dengan rerata 2,7, sedangkan untuk gaya, nilai total siswa
berada pada kategori cukup, yaitu 60% dengan rerata 3.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif kuantitatif dalam tahapan pratindakan
di atas, juga dapat ditunjukkan dalam gambar diagram batang. Data kemampuan
berbicara siswa kelas VIB SDN 3 Sukawati pada tahap pratindakan disajikan
dalam gambar 4.1 berikut.
0
50
100
NIL
AI R
ERAT
A KE
LAS
KRITERIA KEMAMPUAN BERBICARA
Gambar 4.1 Diagram Kemampuan Berbicara Pratindakan
91
Berikut ini dijelaskan tentang tingkat kemampuan siswa kelas VIB SDN 3
Sukawati dalam tahap pratindakan ini. Tingkat kemampuan siswa disajikan dalam
tabel 4.4 sebagai berikut.
Tabel 4.4 Tingkat Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Siswa Kelas VIB SDN 3 Sukawati Pratindakan
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) 5 16%
2 40 – 54 (kurang) 18 58%
3 55 – 69 (cukup) 6 19%
4 70 – 84 (baik) 2 7%
5 85 – 100 (sangat baik) 0 0%
Data pada tabel menunjukkan bahwa sebanyak dua orang (7%) siswa
memeroleh nilai pada tingkat kemampuan baik. Sementara itu, enam siswa (19%)
memeroleh nilai pada tingkat cukup. Sisanya, yakni sebanyak 18 siswa (58%)
memeroleh nilai kurang dan lima siswa (16%) memeroleh nilai sangat kurang.
Skor tertinggi yang diperoleh adalah 70, sedangkan terendah adalah 33. Nilai
rerata yang diperoleh adalah sebesar 50 dalam kategori kurang (masih rendah).
Apabila disesuaikan dengan standar kriteria ketuntasan minimal (KKM) pada
mata pelajaran bahasa Bali seperti yang diterapkan di SD Negeri 3 Sukawati,
maka nilai rerata dari pratindakan ini dinyatakan rendah dan belum memenuhi
standar. Berdasarkan hasil tes awal pratindakan dapat disimpulkan sebagai
berikut.
92
1) Seluruh siswa menyatakan jarang diajarkan pelajaran bahasa Bali.
2) Persentase rerata siswa dalam berbicara sor singgih bahasa Bali masih
rendah.
3) Seluruh siswa menyatakan belum pernah ada guru yang mengajarkan
dengan metode bermain peran dalam pengajaran berbicara bahasa Bali.
4) Hampir seluruh siswa belun jelas dalam pelafalan, masih ada beberapa
kesalahan baik dalam kosakata maupun tata bahasa. Di samping itu, materi
yang kurang mendalam, masih ada beberapa siswa yang salah dalam
penempatan jeda, serta gaya siswa, yaitu gerakan masih kurang luwes.
Adapun rincian hasil tes pratindakan dalam penelitian ini, berdasarkan
kriteria penilaian berbicara, yakni dari aspek kebahasaan meliputi lafal, kosakata,
dan struktur sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran dan
gaya yang dapat dijelaskan melalui uraian berikut.
1) Pelafalan Bahasa Bali Siswa Pratindakan
Pelafalan kata-kata bahasa Bali yang tepat memiliki peranan yang penting
dalam suksesnya komunikasi dengan bahasa tersebut. Persentase yang diberikan
untuk aspek pelafalan adalah nilai sangat baik (85--100%), baik (70--84%), cukup
(55--69%), kurang (40--54%), dan sangat kurang (0--39%). Terkait dengan hasil
tes awal penelitian pada tahap pratindakan, kemampuan siswa dalam aspek
pelafalan berdasarkan hasil tes pratindakan dapat dilihat dalam tabel 4.5 di bawah
ini.
93
Tabel 4.5 Penilaian Pelafalan Bahasa Bali Tahap Pratindakan
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) 5 16%
2 40 – 54 (kurang) 8 26%
3 55 – 69 (cukup) 18 58%
4 70 – 84 (baik) - -
5 85 – 100 (sangat baik) - -
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak delapan belas (58%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam
kategori “cukup”, sedangkan sebanyak delapan (26%) siswa memeroleh nilai
dalam kategori “kurang”, dan sisanya sebanyak lima (16%) siswa memeroleh nilai
dengan kategori “sangat kurang”.
2) Kosakata Bahasa Bali Siswa Pratindakan
Aspek kosakata merupakan aspek yang sangat penting dalam menyusun
kalimat bahasa Bali. Pemilihan kosakata yang salah menyebabkan kekeliruan
dalam memaknai kalimat yang diucapkan. Persentase yang diberikan untuk aspek
kosakata adalah nilai sangat baik (85--100%), baik (70--84%), cukup (55--69%),
kurang (40--54%), dan sangat kurang (0--39%). Terkait dengan hasil tes awal
penelitian pada tahap pratindakan, kemampuan siswa dalam aspek kosakata
berdasarkan hasil tes pratindakan dapat dilihat dalam tabel 4.6 di bawah ini.
94
Tabel 4.6 Penilaian Kosakata Bahasa Bali Tahap Pratindakan
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) 9 29%
2 40 – 54 (kurang) 14 45%
3 55 – 69 (cukup) 2 7%
4 70 – 84 (baik) 6 19%
5 85 – 100 (sangat baik) - -
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak enam (19%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam kategori
“baik”, sebanyak dua (7%) siswa memeroleh nilai dalam kategori “cukup”,
sedangkan sebanyak empat belas (45%) siswa memeroleh nilai dalam kategori
“kurang”, dan sisanya sebanyak sembilan (16%) siswa memeroleh nilai dengan
kategori “sangat kurang”.
3) Tata Bahasa Bali Siswa Pratindakan
Tata bahasa merupakan salah satu komponem penting yang memengaruhi
kualitas tuturan. Persentase yang diberikan untuk aspek tata bahasa adalah nilai
sangat baik (85--100%), baik (70--84%), cukup (55--69%), kurang (40--54%), dan
sangat kurang (0--39%). Terkait dengan hasil tes awal penelitian pada tahap
pratindakan, kemampuan siswa dalam aspek tata bahasa berdasarkan hasil tes
pratindakan dapat dilihat dalam tabel 4.7 di bawah ini.
95
Tabel 4.7 Penilaian Tata Bahasa Bali Tahap Pratindakan
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) 1 3%
2 40 – 54 (kurang) 22 71%
3 55 – 69 (cukup) 6 19%
4 70 – 84 (baik) 2 7%
5 85 – 100 (sangat baik) - -
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, hanya dua (7%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam kategori “baik”,
sebanyak enam (19%) siswa memeroleh nilai dalam kategori “cukup”, sedangkan
sebanyak dua puluh dua (71%) siswa memeroleh nilai dalam kategori “kurang”,
dan sisanya hanya satu (3%) siswa memeroleh nilai dengan kategori “sangat
kurang”.
4) Materi Bahasa Bali Siswa Pratindakan
Persentase yang diberikan untuk aspek nonkebahasaan, yakni aspek materi
adalah nilai sangat baik (85--100%), baik (70--84%), cukup (55--69%), kurang
(40--54%), dan sangat kurang (0--39%). Terkait dengan hasil tes awal penelitian
pada tahap pratindakan, kemampuan siswa dalam aspek materi berdasarkan hasil
tes pratindakan dapat dilihat dalam tabel 4.8 di bawah ini.
96
Tabel 4.8 Penilaian Materi Bahasa Bali Tahap Pratindakan
No. Tingkat Kemampuan Jumlah
Siswa Persentase
(Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - -
2 40 – 54 (kurang) 23 74%
3 55 – 69 (cukup) 6 19%
4 70 – 84 (baik) 2 7%
5 85 – 100 (sangat baik) - -
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, hanya dua (7%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam kategori “baik”,
sebanyak enam (19%) siswa memeroleh nilai dalam kategori “cukup”, sedangkan
sebanyak dua puluh tiga (74%) siswa memeroleh nilai dalam kategori “kurang”.
5) Kelancaran Bahasa Bali Siswa Pratindakan
Kelancaran seseorang dalam berbicara memudahkan pendengar
menangkap isi pembicaannya. Persentase yang diberikan untuk aspek
nonkebahasaan, yakni aspek kelancaran adalah nilai sangat baik (85--100%), baik
(70--84%), cukup (55--69%), kurang (40--54%), dan sangat kurang (0--39%).
Terkait dengan hasil tes awal penelitian pada tahap pratindakan, kemampuan
siswa dalam aspek kelancaran berdasarkan hasil tes pratindakan dapat dilihat
dalam tabel 4.9 di bawah ini.
97
Tabel 4.9 Penilaian Kelancaran Bahasa Bali Tahap Pratindakan
No. Tingkat Kemampuan Jumlah
Siswa
Persentase
(Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - -
2 40 – 54 (kurang) 11 35%
3 55 – 69 (cukup) 18 58%
4 70 – 84 (baik) 2 7%
5 85 – 100 (sangat baik) - -
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak dua (7%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam kategori “baik”,
sebanyak delapan belas (58%) siswa memeroleh nilai dalam kategori “cukup”,
sedangkan sebanyak sebelas (35%) siswa memeroleh nilai dalam kategori
“kurang”.
6) Gaya Siswa Pratindakan
Persentase yang diberikan untuk aspek tata bahasa adalah nilai sangat baik
(85--100%), baik (70--84%), cukup (55--69%), kurang (40--54%), dan sangat
kurang (0--39%). Terkait dengan hasil tes awal penelitian pada tahap pratindakan,
kemampuan siswa dalam aspek gaya berdasarkan hasil tes pratindakan dapat
dilihat dalam tabel 4.10 di bawah ini.
98
Tabel 4.10 Penilaian Gaya Siswa Pratindakan
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - -
2 40 – 54 (kurang) 1 3%
3 55 – 69 (cukup) 30 97%
4 70 – 84 (baik) - -
5 85 – 100 (sangat baik) - -
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak tiga puluh (97%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam kategori
“cukup” dan sisanya sebanyak satu (3%) siswa memeroleh nilai dalam kategori
“kurang”.
4.1.2 Analisis Kualitatif Pratindakan
Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis data kualitatif yang
berasal dari hasil pengamatan dan pembelajaran siswa, yakni berupa rekaman
dialog bermain peran sor singgih bahasa Bali. Data hasil pengamatan dianalisis
dengan memberikan deskripsi berdasarkan bukti-bukti pengamatan secara empirik
di kelas, berupa analisis kelas kata bahasa Bali, penggunaan sor singgih bahasa
Bali, dan perkembangan karakter siswa. Data berupa hasil pembelajaran siswa
dianalisis untuk dikaji berdasarkan kriteria penilaian kemampuan berbicara yang
terdiri atas dua faktor, yaitu faktor kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan tata
bahasa dan aspek nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan gaya yang
dapat dijelaskan melalui uraian berikut.
99
1) Pelafalan Bahasa Bali Siswa Pratindakan
Pada tahap pratindakan ini, pelafalan siswa kelas VIB dikategorikan
kurang, yaitu senilai 48%. Hal ini disebabkan oleh beberapa siswa kurang jelas
dalam melafalkan kata-kata pada dialog yang diucapkan. Dalam bahasa lisan,
norma yang harus dipatuhi adalah tentang kebenaran ucapannya (antara fonemis
atau tulisannnya dengan fonetis atau ucapannnya). Penutur bahasa Bali di samping
mengenal adanya bahasa standar atau baku juga mengenal adanya varian bahasa
yang disebut dengan dialek. Dialek ini lebih mengarah pada kebiasaan penutur
menurut kedaerahannya sehingga dikenal dengan dialek geografi. Dialektika
inilah yang cenderung menjadi tidak standar dalam penuturannya. Malah bisa
mengarah pada terjadinya kesalahan dalam penuturan bahasa Bali itu sendiri
(Suarjana, 2008:65).
Berdasarkan hasil tes awal (pratindakan), ditemukan beberapa kesalahan
pelafalan siswa yang masih terpengaruh dialek daerah. Kesalahan-kesalahan
tersebut, seperti kata “kal” diucapkan oleh siswa menjadi “kel [kǝl]”. Kata “kal”
merupakan kependekan dari “bakal” yang dalam bahasa Indonesia artinya akan.
Selanjutnya, pada kata “masi” diucapkan oleh siswa menjadi “mase [mase]”. Kata
“masi” merupakan kependekan dari “masih” dalam bahasa Indonesia yang artinya
juga. Pada kata “keto [keto]” diucapkan oleh siswa menjadi “ketau [ketaƱ]”.
Kata “keto” yang dalam bahasa Indonesia artinya begitu. Ada juga siswa yang
mengucapkan kata “[keto]” dengan ucapan “kete [ketǝ]”.
Selanjutnya, pada kata “abana [abanǝ]” diucapkan oleh siswa menjadi
“aba’e [abǝwǝ]”. Sufiks -a apabila dibubuhkan pada bentuk dasar yang
100
berakhiran dengan vokal, maka terjadilah alomorf -na. Kata “abana” berasal dari
kata “aba” mendapatkan penambahan sufiks -a (aba + -a) menjadi “abana” yang
artinya dibawa. Kesalahan-kesalahan dalam pelafalan yang diucapkan oleh siswa
di atas, dapat dilihat dalam data dialog berikut.
(i) T : kel kija Ris? (data rekaman 1)
[kǝl kijǝ rIs]
ST : kal kija Ris? (BK)
[kal kijǝ rIs]
“Mau ke mana Ris?”
(ii) T : dadi mase ketau (data rekaman 13) [dadI mase ketaƱ]
ST : dadi masi keto (BK)
[dadI masI keto]
“boleh juga kalau begitu”
(iii) T : Ooh,…kete (data rekaman 9)
[Ooh…ketǝ]
ST : Ooh…keto (BK) [Ooh,…keto]
(iv) T : sampun aba’e ke dokter? (data rekaman 4)
[sampƱn abǝwǝ kǝ doktǝr] ST : suba abana ka dokter
[subǝ abanǝ kǝ doktǝr] “sudah dibawa ke dokter?”
Berdasarkan hasil tes awal pelafalan bahasa Bali, beberapa siswa sudah
cukup memenuhi standar pengucapan kata dalam dialog yang dipraktikkan di
depan kelas. Kata-kata tersebut, seperti kata “kija” diucapkan dengan [kijǝ] yang
artinya ke mana, kata “ajaka” diucapkan dengan [ajakǝ] yang artinya diajak, kata
101
“apa” diucapkan dengan [apǝ] yang artinya apa, kata “sira” diucapkan dengan
[sirǝ] yang artinya siapa, kata “suba” diucapkan dengan [subǝ] yang artinya
sudah, kata “dija” diucapkan dengan [dijǝ] yang artinya di mana, kata “majalan”
diucapkan dengan [mǝjalan] yang artinya berjalan, kata “ada” diucapkan dengan
[adǝ] yang artinya ada, kata “kena” diucapkan dengan [kenǝ] yang artinya kena.
2) Kosakata Bahasa Bali Siswa Pratindakan
Pada tahap pratindakan ini, kosakata siswa kelas VIB dikategorikan
kurang, yaitu senilai 44%. Hal ini disebabkan masih sangat terbatasnya kosakata
yang digunakan siswa dalam dialog yang dipraktikkan di depan kelas serta adanya
beberapa penggunaan kata yang kurang sesuai. Hal seperti ini muncul karena
kurangnya pemahaman yang benar terhadap suatu makna suatu kata. Berkaitan
dengan pemahaman tehadap makna suatu kata, maka kosa kata dalam penelitian
ini dianalisis berdasarkan kelas kata bahasa Bali. Kesalahan-kesalahan dalam
kosakata yang diucapkan oleh siswa di atas, dapat dilihat dalam data dialog
berikut.
(i) T A : gelem kuda? (data rekaman 4)
[gǝlǝm kudǝ]
“sakit berapa?” B : gelem kebus dingin [gǝlǝm kǝbƱs diŋIn]
ST A : gelem apa? (BK)
Adj + Int [gǝlǝm apǝ]
“sakit apa?” B : gelem kebus dingin Adj + Adj +Adj [gǝlǝm kǝbƱs diŋIn]
102
(ii) T A : sampun aba’e ke dokter (data rekaman 4) [sampƱn abǝwǝ kǝ doktǝr] B : sampun [sampƱn] ST A : suba abana ka dokter? (BK)
Adv + (aba/V + -a) + Prep + Nom Pekerjaan
[subǝ abanǝ kǝ doktǝr]
“sudah dibawa ke dokter?” B : suba Adv [subǝ]
“sudah”
(iii) T A : Pen, ada acara apa ci binjep’en? (data rekaman 6)
[pǝn adǝ acara apǝ ci bInjǝpǝn] B : sing ada. Nak engken?
[sIŋ adǝ. nak engken] A : sing tawang ci Aris gelam?
[sIŋ tawaŋ ci arIs gǝlǝm] ST A : Pen, ada ngudiang binjepang? (BK)
Nom Nama + V + (N- + kudiang/Int) + (Adv/binjep + -ang)
[pǝn, adǝ ngudiaŋ bInjǝpaŋ] “Pen, (nama orang) ada akan melakukan apa sebentar?”
B : sing ada. Nak engken? Adv + V + Nom + Int
[sIŋ adǝ. nak engken] A : sing nawang I Aris gelem? Adv + V (N- + tawang/V) + Art + Nom Nama + Adj
[sIŋ nawaŋ I arIs gǝlǝm]
“tidak tahu Aris sakit?”
103
Beberapa data di atas menunjukkan ada kekeliruan dalam pemilihan kata
dalam kalimat yang diucapkan. Digunakannya kata-kata yang digarisbawahi pada
data di atas jika dihubungkan dengan konteks kalimat-kalimat tersebut kurang
tepat dan kurang sesuai dengan sor singgih bahasa Bali. Data rekaman (4), pada
kalimat di atas menunjukkan kesalahan pemilihan kata “kuda” yang seharusnya
menggunakan kata “apa” dalam tuturan bahasa Bali kapara (BK). Kata “kuda”
yang dalam bahasa Indonesia artinya berapa dan kata “apa” yang artinya apa.
Selanjutnya juga pada data rekaman (4), kata “sampun” yang seharusnya
menggunakan kata “suba” karena tuturan (dialog) yang dilakukan dua orang siswa
tersebut adalah menggunakan bahasa Bali kapara (BK), dan kedua orang siswa
(O1 dan O2) tersebut berasal dari golongan bawah (jaba/sudra), serta orang yang
dibicarakan (O3) juga berasal dari golongan bawah (jaba/sudra). Kata “sampun”
merupakan Basa Alus Mider (Ami) adalah bahasa alus yang bisa digunakan oleh
golongan bawah dan golongan atas.
Pada data (6), kata “acara” merupakan kata dari bahasa Indonesia sehingga
patut diganti dengan makna yang hampir sama, yaitu kata “ngudiang”.
Selanjutnya kata “ci” pada dialog di atas merupakan kependekan dari kata “cai”.
Kata “ci” sendiri merupakan bahasa Bali Kasar yang seharusnya tidak digunakan
oleh penutur (siswa) dalam berkomunikasi walaupun lawan tuturnya adalah
temannya sendiri yang sama-sama berasal dari golongan bawah (jaba/sudra).
Kata “ci” dirasakan kurang sopan jika dipakai dalam bertutur kata. Kata “ci” bisa
diganti dengan menambahkan kata “I” seperti pada kalimat “sing tawang ci Aris
gelam?”diganti menjadi “sing nawang I Aris gelem?”, sedangkan kata “tawang”
104
seharusnya diganti dengan kata “nawang” yang artinya mengetahui. Kata
“nawang” berasal dari kata “tawang” mendapatkan imbuhan prefiks N- (alomorf
n-) yang meluluhkan fonem konsonan / t / pada kata “tawang” sehingga berubah
menjadi “nawang” yang merupakan bentuk verba tindak berpelengkap.
3) Tata Bahasa Bali Siswa Pratindakan
Pada tahap pratindakan ini, tata bahasa siswa kelas VIB dikategorikan
kurang, yaitu senilai 48%. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya struktur kata
yang kurang sesuai dan masih banyak kata yang perlu ditambahkan dalam kalimat
yang diucapkan siswa. Kesalahan-kesalahan dalam tata bahasa yang diucapkan
oleh siswa di atas dapat dilihat dalam data dialog berikut.
(i) T A : Bin, ada acara jani? (data rekaman 2)
[bIn, adǝ acara janI]
B : sing, nak engken?
[siŋ nak eŋken] A : ajaka nelokin timpal gelem mi!
[ajakǝ nǝlokIn timpal gǝlǝm mI]
ST A : Bin, ada ngudiang jani? (BK) S Nom Nama + P Int + O Adv
[bin, adǝ ngudiaŋ janI] “Bin, ada kegiatan yang dilakukan sekarang?”
B : sing, nak engken? Adv + Int [sIŋ, nak eŋken] “tidak, ada apa?”
A : mai, ajaka nelokin timpal gelem! Dem + (ajak/V + -a) + P V (N- + delok/V + -in) + O Nom Nama + K Adj
[mai, ajakǝ nǝlokIn timpal gǝlǝm]
105
(ii) T A : Tu, ampun ningehin kabar? (data rekaman 12) [tu, ampƱn niŋǝhIn kabar] “Tu, sudah mendengar kabar?” ST A : Tu, suba ningeh kabar? S Nom Nama + P Adv + (N- + dingeh/V) + O Adv [tu, ampƱn niŋǝh kabar] “Tu, sudah mendengar kabar?”
Dalam beberapa kalimat di atas, masih terdapat kekurangan dan kata yang
digaris bawahi jika digunakan dalam konteks kalimat-kalimat tersebut kurang
tepat. Pada data rekaman (2), kata “acara” merupakan kata dari bahasa Indonesia
sehingga patut diganti dengan makna yang hampir sama, yaitu kata “ngudiang”.
Terdapat ketidaksesuaian penempatan kata “mi” yang seharusnya diucapkan
“mai” pada kalimat “ajaka nelokin timpal gelem mi”. Kata “mai” seharusnya
ditempatkan pada awal kalimat. Kata “nelokin” berasal dari kata dasar “delok”
yang artinya jenguk. Kata “delok” mendapatkan imbuhan prefiks N- (alomorf n-)
yang meluluhkan fonem konsonan / d / pada kata “delok” yang mendapatkan
penambahan sufiks -in sehingga berubah menjadi “nelokin” yang merupakan
bentuk verba tindak berpelengkap. Kata “nelokin” merupakan bentuk verba yang
dibentuk dengan sufiks –in memerlukan objek penderita. Jadi kalimat “mai, ajaka
nelokin timpal gelem!” merupakan kalimat yang benar karena memiliki objek
penderita, yaitu orang yang diajak menjenguk teman yang sakit tersebut.
Penutur bahasa Bali di samping mengenal adanya bahasa standar atau
baku juga mengenal adanya variasi bahasa yang disebut dengan dialek. Akan
tetapi, dalam kenyataannya, tataran dialektika sering kali menjadikan kekeliruan
dalam penggunaannya. Hal yang paling kentara adalah penggunaan afiksasi
106
berupa akhiran atau sufiks (pangiring) sehingga menimbulkan kesalahan makna.
Pada data rekaman (12), kata “ningehin” kurang sesuai yang seharusnya diubah
menjadi “ningeh” yang artinya “mendengar”. Kata ningeh berasal dari kata dingeh
mendapatkan imbuhan prefiks N- (alomorf n-) yang meluluhkan fonem konsonan
/ d / pada kata “dingeh” sehingga berubah menjadi “ningeh” yang merupakan
bentuk verba tindakan berpelengkap. Selain itu, kata “ampun” seharusnya
menggunakan kata “suba” karena tuturan (dialog) yang dilakukan dua orang siswa
tersebut adalah menggunakan bahasa Bali kapara (BK), dan kedua orang siswa
(O1 dan O2) tersebut berasal dari golongan bawah (jaba/sudra), serta orang yang
dibicarakan (O3) juga berasal dari golongan bawah (jaba/sudra). Kata “ampun”
merupakan basa madya.
4) Materi Bahasa Bali Siswa Pratindakan
Pada tahap pratindakan ini siswa kelas VIB dikategorikan kurang, yaitu
senilai 46%. Hampir semua siswa masih belum memiliki kepercayaan diri untuk
mengeksplorasi kemampuan dalam membuat sebuah dialog bahasa Bali. Hal ini
dapat dilihat dari pemilihan topik, yakni semua siswa lebih memilih topik yang
kedua, yakni “Nelokin timpal gelem” daripada topik yang pertama, yakni
“Katemu guru ring perpustakaan”. Hal ini disebabkan oleh bahasa yang
digunakan pada topik kedua lebih mudah, yakni menggunakan bahasa
kapara/andap, sedangkan topik yang kedua menggunakan basa alus singgih dan
basa alus sor. Di samping itu, uraian dialog yang disampaikan kurang mendalam
dan hanya mengungkapkan seputar rencana menjenguk teman yang sakit saja.
107
5) Kelancaran Bahasa Bali Siswa Pratindakan
Pada tahapan pratindakan ini, siswa kelas VIB dikategorikan kurang, yaitu
senilai 54%. Kepercayaan diri siswa kurang. Hal ini dapat dilihat dari masih
banyak siswa yang membawa teks dialog yang dibuatnya di depan kelas.
Pembicaraan terputus-putus dan ada yang disertai dengan bunyi-bunyi tertentu,
misalnya, e…., em….sampai akhirnya melakukan pengulangan kata. Selain itu,
volume suara mereka kadang-kadang kecil dan ada yang berbicara terlalu cepat
sehingga menyulitkan pendengar menangkap isi atau pokok pembicaraan.
6) Gaya Siswa Pratindakan
Pada tahap pratindakan ini, siswa kelas VIB dikategorikan cukup, yaitu
senilai 60%. Hanya satu siswa yang menunjukkan busana yang digunakan kurang
santun karena ada bajunya yang keluar/tidak rapi, gerakan yang kurang, serta
kurang luwes dalam berdialog. Untuk siswa yang lainnya sudah menunjukkan
berpakaian yang rapi pada saat berdialog di depan kelas, hanya pada tahap
pratindakan ini banyak siswa masih kurang dalam gerakan/ekspresi, dan kurang
luwes serta kurang serius dalam berdialog.
4.1.3 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali Pratindakan
Variasi suatu bahasa tidak hanya terjadi pada kelompok masyarakat
anekabahasa (multilingual society), tetapi juga bisa terjadi pada masyarakat
ekabahasa (monolingual society). Munculnya variasi bahasa disebabkan oleh
perbedaan latar belakang sosial atau latar belakang geografis (Suarjana, 2008:69).
108
Dalam masyarakat yang memiliki sistem kasta/wangsa yang ketat,
penerapan tingkatan tutur (speech levels) menjadi sangat ketat pula. Dalam situasi
tutur masyarakat berkasta, seorang penutur (addresser) memilih tingkatan tutur
yang tepat sesuai dengan status sosial lawan bicara (audience) yang dihadapi.
Tingkatan tutur yang dipilih menentukan posisi sosial (secara horizontal dan
vertikal) dari setiap penutur yang terlibat dalam tindak bicara tersebut. Bahasa
Bali adalah salah satu contoh yang sangat baik untuk menjelaskan bagaimana
stratifikasi sosial diidentifikasi melalui penggunaan bahasanya (Suarjana,
2008:69).
Penggunaan bahasa secara konsep sebagaimana pernah dipetakan oleh
seorang ahli bahasa berkebangsaan Eropa (Belanda) yang bernama J. Kersten
SVD pada tahun 1970-an tentang pemakaian sor singgih bahasa Bali itu dapat
dibuat menyerupai dua buah bidang yang dibatasi sebuah garis melintang. Pada
penelitian tahap pratindakan ini, siswa diberikan tes untuk memainkan peran di
depan kelas dengan topik “nelokin timpal gelem”. Beberapa siswa mampu
menerapkan penggunaan bahasa Bali sesuai dengan konsep pertama, yaitu jika
pembicara atau orang pertama (O1), yang diajak berbicara atau orang kedua (O2),
dan yang dibicarakan atau orang ketiga (O3) semuanya sebagai golongan bawah.
Dengan demikian, bahasa Bali yang digunakan oleh O1 kepada O2 dan mengenai
O3 adalah Basa Bali Andap. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.
109
A
B
O1 O2
O3
Contoh dialog yang diucapkan siswa pada data rekaman (4):
A : Om swastiastu Ari “Om Swastiastu Ari” B : Om Swastiastu Adi, engken ada apa? “Om Swastiastu Adi, ya ada apa?” A : Kene, timpale dugas dibi gelem “Begini, ada teman kita kemarin sakit” B : nyen? “siapa?” A : To, Kertayasa timpale “itu, Kertayasa teman (kita)”
Pada dialog di atas, siswa A sebagai (O1) berasal dari golongan bawah
(jaba/sudra) berbicara menggunakan basa andap/kapara dengan lawan tutur (O2)
siswa B yang juga berasal dari golongan bawah (jaba/sudra), sedangkan yang
dibicarakan, yaitu (O3) juga berasal dari golongan bawah (jaba/sudra), maka
siswa (O1 dan O2) bisa menggunakan basa andap/kapara saat membicarakan O3.
4.1.4 Membangun Karakter Siswa Pratindakan
Pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan baik
(habit) sehingga sifat anak sudah terukir sejak kecil (Megawangi, 2009:23).
Membangun karakter siswa bisa dilakukan sejak usia dini. Pada tingkat sekolah
dasar, siswa diajari bagaimana bersikap yang sopan, berbicara yang sopan,
memiliki rasa tanggung jawab, toleransi, disiplin, dan bertakwa (religious).
110
Pada penelitian ini, “Peningkatan Kemampuan Berbicara Sor Singgih
Bahasa Bali dalam Membangun Karakter Siswa Kelas VIB SDN 3 Sukawati
Melalui Metode Bermain Peran”, siswa diajari bagaimana berbahasa Bali yang
sopan sesuai dengan sor singgih bahasa Bali (berkomunikasi dengan santun sesuai
dengan tata krama) melalui metode bermain peran. Hal ini dapat ditunjukkan
pada dialog setiap tahapan PTK, siswa sudah mampu mengungkapkan rasa hormat
kepada guru, orang yang lebih tua, atau juga kepada orang yang berasal dari
golongan atas (tri wangsa). Adapun data karakter yang berkembang pada
pratindakan adalah sebagai berikut.
Setiap memulai sesuatu, siswa selalu mengucapkan kata “Om Swastiastu”
(karakter religius dan sopan santun). Saat bertemu dengan teman pun, siswa juga
mengucapkan kata “Om Swastiastu” seperti pada data 1 dan 4 berikut.
(i) A : Om swastiastu Ris (data rekaman 1)
“Om Swastiastu Ris”
B : Om Swastiastu Jar
“Om Swastiastu Jar”
(ii) A : Om swastiastu Ari (data rekaman 6)
“Om Swastiastu Ari”
B : Om Swastiastu Adi, engken ada apa?
“Om Swastiastu Adi, ya ada apa?”
Karakter yang sudah berkembang di sekolah SD Negeri 3 Sukawati adalah
karakter kesopansantunan, yaitu siswa pada saat memulai pembelajaran, memulai
berdialog, bertemu dengan gurunya selalu mengucapkan kata “Om Swastiastu”.
111
Hal ini, dikarenakan siswa selalu dibiasakan menunjukkan kesopanan dengan
mengucapkan kata “Om Swastiastu” kepada guru di sekolah. Karakter
kesopansantuanan ini dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 4.2 Karakter yang Berkembang di SD Negeri 3 Sukawati
4.2 Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Setelah Penerapan
Metode Bermain Peran dalam Membangun Karakter Siswa Kelas VIB
Setelah melakukan identifikasi permasalahan melalui hasil pengamatan
dan tes pratindakan, metode bermain peran diterapkan pada siklus I dan siklus II
dengan tujuan meningkatkan kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali dalam
membangun karakter siswa khususnya karakter kesopanan dalam berbahasa Bali.
Siklus I dan siklus II dalam penelitian ini terdiri atas beberapa komponen, yaitu
plan (perencanaan), act (tindakan), observe (pengamatan), dan reflect
(perenungan). Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Data
hasil tersebut dapat dijelaskan melalui uraian berikut.
112
4.2.1 Analisis Kuantitatif Siklus I
Pada analisis kuantitatif siklus I ini, diawali dari perencanaan, yaitu
mempersiapkan beberapa hal yang berhubungan dengan keperluan penelitian.
Selanjutnya dilakukan tindakan, observasi, hasil tes berbicara, dan refleksi. Pada
tahap ini, data kuantitatif yang terkait dengan hasil tes berbicara sor singgih
bahasa Bali siklus I berdasarkan kriteria penilain berbicara, yakni dari aspek
kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan tata bahasa, sedangkan aspek
nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan gaya. Persentase yang diberikan
untuk aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan adalah nilai sangat baik (85--
100%), baik (70--84%), cukup (55--69%), kurang (40--54%), dan sangat kurang
(0--39%). Data tersebut dapat dijelaskan melalui uraian berikut.
4.2.1.1 Perencanaan Siklus I
Sebelum melaksanakan tindakan pada siklus I, disiapkan beberapa hal
yang berhubungan dengan keperluan penelitian, seperti mempersiapkan silabus,
rencana pelaksanaan pembelajaran, materi ajar untuk dipakai dalam pembelajaran
di kelas, instrumen, dan topik penugasan berupa tes akhir pada akhir siklus I serta
kriteria penilaian hasil belajar. Data tersebut dapat dijelaskan melalui urain
berikut.
1) Menyusun silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
Dalam penelitian ini, silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) disusun untuk memeroleh data dalam persiapan yang dilakukan guru
113
dan rencana dalam kegiatan pembelajaran. Rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) ini terdiri atas tujuan, materi, kegiatan pengajaran, dan penilaian.
Standar kompetensi dalam penelitian ini adalah bercakap-cakap dalam
kehidupan anak-anak/siswa, kompetensi dasar yang ingin dicapai oleh siswa
pada siklus ini adalah agar siswa dapat mengekspresikan idenya secara lisan
(kemampuan bercakap-cakap/berkomunikasi dengan bahasa yang santun
sesuai dengan tata krama). Indikator yang ingin dicapai adalah agar siswa
dapat bercakap-cakap (berkomunikasi dengan lancar), siswa dapat
menggunakan bahasa sor singgih sesuai dengan unsur penentu komunikasi,
siswa bercakap dengan sikap yang sopan sesuai dengan tata
krama/kesopansantunan.
2) Menyiapkan Materi
Materi yang digunakan pada tiap siklus ini berdasarkan kurikulum KTSP
untuk sekolah dasar. Materi diambil berdasarkan buku Bahasa Bali untuk SD
Kelas VI semester I dan II, karya Drs. I Gusti Putu Adnyana dan penerbit
Pustaka Tarukan Agung. Materi yang diberikan adalah sor singgih bahasa Bali
(Basa Alus Singgih, Basa Alus Sor, Basa Mider, lan Basa Kapara).
3) Menyiapkan Instrumen
Menyiapkan instrumen dalam penelitian ini sangat diperlukan. Terdapat
beberapa instrumen yang digunakan dalam siklus ini, yaitu perekam, catatan
guru, catatan data berdasarkan lembar evaluasi yang disediakan. Semua
114
instrumen tersebut digunakan untuk mengetahui peningkatan kemampuan
berbicara sor singgih bahasa Bali dalam membangun karakter siswa.
4) Menyiapkan Topik Penugasan
Topik yang diberikan pada siklus ini berdasarkan materi bahasa Bali
pada semester II. Materi yang diberikan adalah sor singgih bahasa Bali dan
bagian-bagiannya dengan topik untuk latihan adalah kehidupan sekolah
“katemu ring perpustakaan” dan topik untuk tes adalah kehidupan sekolah
“Katemu sareng guru ring sekolah”.
4.2.1.2 Tindakan Siklus I
Penerapan metode bermain peran pada penelitian siklus I ini dilaksanakan
berdasarkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat. Langkah-
langkah pembelajaran dibagi menjadi tiga tahapan, yakni kegiatan awal, kegiatan
inti (eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi), dan kegiatan akhir dalam waktu tujuh
puluh menit (satu pertemuan). Bahasa yang digunakan pada saat proses
pembelajaran adalah menggunakan bahasa Bali. Secara garis besar, bentuk
kegiatan pembelajaran siklus I di atas disajikan pada tabel 4.11 sebagai berikut.
Tabel 4.11 Kegiatan Pembelajaran Siklus I
Kegiatan Peneliti Kegiatan Siswa
a) Kegiatan Awal (10 menit)
1. Membuka pelajaran dengan mengucapkan salam “Om Swastiastu”, dan “rahajeng semeng alit-alite”, serta membacakan absensi.
2. Memberikan apersepsi berupa
1. Menjawab salam “Om Swastiastu”, dan “rahajeng semeng Bu guru”, serta merespons apa yang disampaikan peneliti.
2. Menjawab pertanyaan yang
115
pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari, seperti “yening alit-alite mabebaosan sareng guru, nganggen basa Bali napi basa Indonesia? Yening mabebaosan ajak timpal nganggen basa napi? dll”. Menjelaskan tujuan pembelajaran dan menyampaikan cakupan materi “mangkin alit-alite jagi malajah sor singgih basa Bali taler kapahannyane lan malajah ngaryanin bablibagan basa Bali”.
diajukan dengan mengangkat tangan sebelumnya.
b) Kegiatan Inti (50 menit)
Eksplorasi 3. Menjelaskan pengertian sor singgih
bahasa Bali dan pembagiannya (Basa Alus Singgih, Basa Alus Sor, Basa Alus Mider, lan Basa Kapara), memberikan pemahaman tentang nilai karakter kesopansantunan berbahasa Bali (bagaimana berkomunikasi dengan bahasa yang santun sesuai dengan tata krama), serta memberikan arahan cara membuat percakapan.
4. Menegaskan cara pengucapan, intonasi.
5. Memeragakan sebuah percakapan bahasa Bali “Katemu ring perpustakaan”.
Elaborasi 6. Menugasi dua siswa untuk
mempraktikkan percakapan “Katemu ring perpustakaan” di depan kelas.
7. Memberikan handout yang memuat contoh percapakan bahasa Bali “mabebaosan ring sekolahan”
8. Membahas secara mendetail komponen contoh-contoh percakapan pada handout dan menyelipkan pemahaman tentang nilai karakter kesopansantunan
3. Menyimak dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
4. Menyimak dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
5. Menyimak dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
6. Siswa yang lain menyimak dan
mencatat hal-hal yang dianggap penting.
7. Menerima handout dari peneliti dan membacanya dengan saksama.
8. Menyimak dan mencatat hal-hal
yang dianggap penting.
116
berbahasa. 9. Menugasi siswa membuat
percakapan dengan topik “Katemu sareng guru ring sekolah”, membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Alokasi waktu berdiskusi ±10 menit.
10. Meminta hasil percakapan yang sudah dibuat untuk dikumpulkan.
11. Tugas percakapan yang diberikan akan direkam pada pertemuan berikutnya.
Konfirmasi 12. Memberikan feedback yang positif
dan penguatan yang berfokus pada kosakata, susunan kalimat, dan penggunaan sor singgih basa sesuai dengan unsur penentu, serta memberikan motivasi kepada siswa yang kurang/belum berpartisipasi aktif.
9. Mencari kelompok, berdiskusi, dan
menulis dialog (percakapan) dalam waktu 10 menit.
10. Mengumpulkan percakapan yang sudah dibuat.
11. Tugas percakapan bahasa Bali yang dibuat dipraktikkan di depan kelas pada pertemuan berikutnya.
12. Menyimak feedback yang
diberikan dan melakukan Tanya jawab terhadap hal-hal yang masih kurang dipahami.
c) Kegiatan Akhir (10 menit)
13. Memberitahukan siswa bahwa tugas percakapan yang sudah dibuat tadi akan direkam pada pertemuan berikutnya dan menutup pelajaran dengan mengucapkan “Pramasanti”.
13. Merespon apa yang disampaikan dengan mengucapkan “inggih bu” dan mengucapkan “Pramasanti”.
4.2.1.3 Observasi Siklus I
Tujuan observasi adalah untuk mengetahui hasil dalam tiap pelaksanaan
siklus, yaitu data berupa peningkatan kemampuan berbicara sor singgih bahasa
Bali dalam membangun karakter siswa. Siklus I dilaksanakan pada 7 Maret 2013,
pukul 09.30 WITA. Dalam observasi di kelas, peneliti menggunakan catatan
(diary) untuk mencatat situasi selama pelaksanaan bermain peran. Dalam catatan
117
guru, terdapat kegiatan siswa (respon siswa) selama pelaksanaan metode bermain
peran dan situasi kelas selama proses pembelajaran dan pengajaran berlangsung.
Pembelajaran dimulai dengan mengucapkan “Panganjali Om Suastiastu”,
mengucapkan salam rahajeng semeng alit-alite”, dan membacakan absensi.
Kegiatan pertama adalah memberikan apersepsi berupa pertanyaan-pertanyaan
yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari,
seperti “yening alit-alite mabebaosan sareng guru, nganggen basa Bali napi basa
Indonesia? Yening mabebaosan ajak timpal, nganggen basa napi?” di samping
itu, juga menjelaskan tujuan pembelajaran dan menyampaikan cakupan materi
“mangkin alit-alite jagi malajah sor singgih basa Bali taler kapahannyane lan
malajah ngaryanin bablibagan basa Bali”. Kegiatan ini dilaksanakan untuk
meningkatkan motivasi dan kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran.
Dalam mengonstruksi pemahaman, kegiatan eksplorasi diberikan melalui
kegiatan menjelaskan pengertian sor singgih bahasa Bali dan pembagiannya (Basa
Alus Singgih, Basa Alus Sor, Basa Alus Mider, lan Basa Kapara), serta
memberikan pemahaman tentang nilai karakter kesopansantunan berbahasa Bali
(bagaimana berkomunikasi dengan bahasa yang santun sesuai dengan tata krama),
juga memberikan arahan cara membuat percakapan. Hal lain yang juga dilakukan
adalah menegaskan cara pengucapan, intonasi, dan memeragakan sebuah
percakapan berbahasa Bali “Katemu ring perpustakaan” sesuai dengan prosedur
pembelajaran melalui bermain peran. Prosedur tersebut meliputi (1) pemanasan,
yakni siswa diperkenalkan permasalahan dalam dialog yg diperankan, (2) memilih
pemain, yakni peneliti dan siswa membahas karakter setiap pemain dan
118
menentukan siapa yang memainkan tokoh guru dan tokoh siswa, (3) menata
panggung, yakni tempat yang digunakan untuk memainkan peran adalah di depan
kelas, (4) menyiapkan pengamat, yakni peneliti sendiri sebagai pengamat
langsung, (5) memainkan peran, yakni siswa memainkan peran di depan kelas, (6)
diskusi dan evaluasi, yakni peneliti bersama siswa mendiskusikan permainan tadi
dan melakukan evaluasi terhadap peran-peran yang dilakukan, (7) memainkan
peran ulang, yakni siswa melakukan permainan ulang, (8) diskusi dan evaluasi
kedua, yakni mendiskusikan kesalahan-kesalahan yang dilakukan saat memainkan
peran tersebut, dan (9) berbagi pengalaman dan simpulan. Kegiatan ini
dilaksanakan untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang sor singgih bahasa
Bali.
Ketika memasuki kegiatan elaborasi, siswa diminta mempraktikkan contoh
percakapan “Katemu ring perpustakaan” di depan kelas. Setelah itu memberikan
handout yang memuat contoh percapakan bahasa Bali “mabebaosan ring
sekolahan”. Membahas secara mendetail komponen contoh-contoh percakapan
pada handout dan menyelipkan pemahaman tentang nilai karakter
kesopansantunan berbahasa sesuai dengan contoh handout berupa dialog-dialog
yang mengandung nilai kesopansantunan dalam berbicara bahasa Bali. Pada
kegiatan konfirmasi, diberikan feedback yang positif dan penguatan yang berfokus
padakosa kata, susunan kalimat, dan penggunaan sor singgih basa sesuai dengan
unsur penentu, serta memberikan motivasi kepada siswa yang kurang/belum
berpartisipasi aktif.
119
Pada bagian kegiatan akhir, peneliti menginstruksikan siswa untuk
membuat sebuah dialog percakapan tiap-tiap kelompok dengan topik “Katemu
sareng guru ring sekolah”. Hasil karya mereka kemudian diperagakan di depan
kelas serta dilakukan perekaman. Ketika melakukan perekaman percakapan siswa
di depan kelas, peneliti menggunakan kriteria penilaian berbicara yang terdiri atas
dua aspek, yaitu aspek kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan struktur,
sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan gaya. Hal ini
digunakan untuk mengetahui peningkatan kemampuan berbicara sor singgih siswa
serta membangun rasa kesopansatunan siswa dalam berkomunikasi.
4.2.1.4 Tes Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Siklus I
Sesuai dengan kerangka di atas, pada akhir siklus I dilakukan sebuah tes
berbicara sor singgih bahasa Bali dalam membangun karakter siswa kelas VIB SD
Negeri 3 Sukawati dengan topik “Katemu sareng guru ring sekolah” secara
berkelompok. Dialog tersebut direkam dan dianalisis sesuai dengan kriteria
penilaian berbicara. Jumlah skor siswa yang diperoleh melalui rubrik berbicara
yang terdiri atas enam indikator tersebut, selanjutnya dianalisis menggunakan
teori statistik deskriptif. Perhitungan secara umum diarahkan untuk mengetahui
akumulasi skor berbicara yang kemudian disesuaikan dengan tabel pada tingkat
kemampuan berbicara siswa. Perolehan nilai siswa berdasarkan evaluasi outcome
dijabarkan melalui informasi pada tabel 4.12 nilai siswa dalam berbicara sor
singgih bahasa Bali, sebagai berikut.
120
Tabel 4.12 Nilai Siswa dalam Berbicara Bahasa Bali Siklus I
No. Siswa Indikator
Total Nilai
Nilai dalam persen
(%)
Tingkat Kemampuan
1 2 3 4 5 6 1 Ana Wiguna 2 2 2 3 3 3 15 50 50% Kurang 2 Adi Wiarta 2 2 2 3 3 3 15 50 50% Kurang 3 Raditya 2 2 2 3 3 3 15 50 50% Kurang 4 Aris Prayoga 3 2 3 3 2 3 16 53 53% Kurang 5 Gede Aditya 4 3 4 4 4 3 22 73 73% Baik 6 Ari Ananda 2 3 2 3 3 3 16 53 53% Kurang 7 Arya Bintan 3 2 4 3 3 3 18 60 60% Cukup 8 Anasuya 3 4 4 4 3 3 21 70 70% Baik 9 Astiti Bakti 3 3 4 3 3 3 19 63 63% Cukup 10 Adi Mahardika 3 2 4 3 4 4 19 63 63% Cukup 11 Budiarta 4 3 4 4 4 3 23 77 77% Baik 12 Dwi Cahyani 3 3 4 3 3 3 19 63 63% Cukup 13 Buddhi Saputra 2 3 3 3 3 3 17 57 57% Cukup 14 Fajar Punarbawa 4 3 4 4 4 3 18 60 60% Cukup 15 Indah Jayanti 4 4 4 4 4 4 24 80 80% Baik 16 Juliawan 3 2 4 3 2 3 17 57 57% Cukup 17 Kertayasa 2 2 2 3 3 3 15 50 50% Kurang 18 Kanya Devani 3 4 3 3 4 3 20 67 67% Cukup 19 Marta Prasetya 1 4 3 3 2 3 16 53 53% Kurang 20 Mayumi Siddhi P. 3 4 4 4 3 3 21 70 70% Baik 21 Okta Anggara 2 2 2 3 3 3 15 50 50% Kurang 22 Pratama 1 4 3 3 2 3 16 53 53% Kurang 23 Rahmawati 3 2 3 3 3 3 17 57 57% Cukup 24 Rista Juniari 3 4 3 3 2 3 18 60 60% Cukup 25 Ryan Endrawan 1 3 3 3 2 3 15 50 50% Kurang 26 Riyanti 4 4 4 4 3 4 23 77 77% Baik 27 Suriyaningsih 3 3 4 3 2 3 18 60 60% Cukup 28 Setia Devi 3 4 3 3 2 3 18 60 60% Cukup 29 Tirta 1 4 3 3 2 3 16 53 53% Kurang 30 Widia Swari 4 4 4 4 4 4 24 80 80% Baik 31 Devi Agustina 3 4 4 4 4 3 21 70 70% Baik
Rerata 2.7 3.1 3.3 3.3 2.9 3.1 1.889 Nilai 54 62 66 66 58 62 61% Cukup
Keterangan :
1 = Pelafalan 4 = Materi
2 = Kosakata 5 = Kelancaran 3 = Tata Bahasa 6 = Gaya
121
Tabel di atas menggambarkan bahwa nilai yang diperoleh siswa SD
Negeri 3 Sukawati dalam keterampilan berbicara sor singgih bahasa Bali pada
pemberian siklus I dengan kategori cukup. Hasil siklus I menunjukkan adanya
peningkatan pada nilai rerata (mean) kelas. Jumlahnya menjadi 61 atau meningkat
sebanyak 11 poin dari jumlah 50 pada tes pratindakan. Hal ini ditunjukkan dengan
perolehan nilai total siswa untuk pelafalan, yaitu sebesar 54% dengan rerata (rata-
rata) 2,7 berada pada kategori kurang. Selanjutnya, untuk kosakata nilai total
siswa berada pada kategori cukup, yaitu 62% dengan rerata 3,1. Tata bahasa nilai
total siswa berada pada kategori cukup, yaitu 66% dengan rerata 3,3. Pada materi,
nilai total siswa berada pada kategori cukup, yaitu 66% dengan rerata 3,3. Untuk
kelancaran, nilai total siswa berada pada kategori cukup, yaitu 58% dengan rerata
2,9, sedangkan untuk gaya, nilai total siswa, yaitu 62% dengan rerata 3,1 berada
pada kategori cukup.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif kunatitatif dalam tahapan siklus I di
atas, juga dapat ditunjukkan dalam gambar diagram batang. Data kemampuan
berbicara siswa SDN 3 Sukawati pada tahap siklus I disajikan dalam gambar 4.3
berikut.
0
100
NIL
AI R
ERAT
A KE
LAS
KRITERIA KEMAMPUAN BERBICARA
Gambar 4.3 Diagram Kemampuan Berbicara Siklus I
122
Berikut ini dijelaskan tentang tingkat kemampuan siswa SDN 3 Sukawati
dalam tahap siklus I. Tingkat kemampuan berbicara siswa disajikan dalam tabel
4.13 sebagai berikut.
Tabel 4.13 Tingkat Kemampuan Berbicara Siswa Kelas VIB SDN 3 Sukawati Siklus I
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) 0 0%
2 40 – 54 (kurang) 9 29%
3 55 – 69 (cukup) 14 45%
4 70 – 84 (baik) 8 26%
5 85 – 100 (sangat baik) 0 0%
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak delapan orang
(26%) siswa memeroleh nilai pada tingkat kemampuan baik. Sementara itu, empat
belas siswa (45%) memeroleh nilai pada tingkat cukup. Sisanya, yakni sebanyak
sembilan siswa (29%) memeroleh nilai kurang. Skor tertinggi yang diperoleh
adalah 80, sedangkan terendah adalah 50. Nilai rerata yang diperoleh adalah
sebesar 61% dalam kategori cukup. Nilai ini hampir mendekati target, yaitu 65%.
Berdasarkan data tabel 4.6 dan tabel 4.7, dapat disimpulkan bahwa jumlah
siswa yang memeroleh nilai standar dalam pelafalan, kosakata, tata bahasa, materi
kelancaran, dan gaya mengalami peningkatan. Adapun perincian hasil tes siklus I
123
dalam penelitian ini, berdasarkan kriteria penilaian berbicara, yakni dari aspek
kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan struktur, sedangkan aspek
nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan gaya yang dapat dijelaskan
melalui uraian berikut.
1) Pelafalan Bahasa Bali Siswa Siklus I
Berdasarkan hasil tes siklus I, diketahui bahwa hasil peningkatan nilai
pelafalan yang dicapai siswa dengan persentase yang diberikan untuk aspek tata
bahasa adalah nilai sangat baik (85--100%), baik (70--84%), cukup (55--69%),
kurang (40--54%), dan sangat kurang (0--39%), dapat digambarkan dalam tabel
4.14 berikut ini.
Tabel 4.14 Penilaian Pelafalan Bahasa Bali Siswa Siklus I
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) 4 13%
2 40 – 54 (kurang) 7 23%
3 55 – 69 (cukup) 14 45%
4 70 – 84 (baik) 6 19%
5 85 – 100 (sangat baik) - -
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak enam (19%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam kategori
“baik”, sebanyak empat belas (45%) siswa memeroleh nilai dalam kategori
“cukup”, sedangkan sebanyak tujuh (23%) siswa memeroleh nilai dalam kategori
124
“kurang”, dan sisanya sebanyak empat (13%) siswa memeroleh nilai dengan
kategori “sangat kurang”.
2) Kosakata Bahasa Bali Siswa Siklus I
Berdasarkan hasil tes siklus I, diketahui bahwa hasil peningkatan nilai
kosakata yang dicapai siswa dengan persentase yang diberikan untuk aspek tata
bahasa adalah nilai sangat baik (85--100%), baik (70--84%), cukup (55--69%),
kurang (40--54%), dan sangat kurang (0--39%), dapat digambarkan dalam tabel
4.15 berikut ini.
Tabel 4.15 Penilaian Kosakata Bahasa Bali Siswa Siklus I
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - -
2 40 – 54 (kurang) 10 32%
3 55 – 69 (cukup) 9 29%
4 70 – 84 (baik) 12 39%
5 85 – 100 (sangat baik) - -
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak dua belas (39%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam kategori
“baik”, sebanyak sembilan (29%) siswa memeroleh nilai dalam kategori “cukup”,
dan sisanya sebanyak sepuluh (32%) siswa memeroleh nilai dengan kategori
“kurang”.
125
3) Tata Bahasa Bali Siswa Siklus I
Berdasarkan hasil tes siklus I, diketahui bahwa hasil peningkatan nilai tata
bahasa yang dicapai siswa dengan persentase yang diberikan untuk aspek tata
bahasa adalah nilai sangat baik (85--100%), baik (70--84%), cukup (55--69%),
kurang (40--54%), dan sangat kurang (0--39%), dapat digambarkan dalam tabel
4.16 berikut ini.
Tabel 4.16 Penilaian Tata Bahasa Bali Siswa Siklus I
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - -
2 40 – 54 (kurang) 6 19%
3 55 – 69 (cukup) 10 32%
4 70 – 84 (baik) 15 49%
5 85 – 100 (sangat baik) - -
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak lima belas (49%) siswa yang berhasil memeroleh nilai dalam
kategori “baik”, sebanyak sepuluh (32%) siswa memeroleh nilai dalam kategori
“cukup”, dan sisanya sebanyak enam (19%) siswa memeroleh nilai dengan
kategori “ kurang”.
4) Materi Bahasa Bali Siswa Siklus I
Persentase yang diberikan untuk aspek nonkebahasaan yakni aspek materi
adalah nilai sangat baik (85--100%), baik (70--84%), cukup (55--69%), kurang
126
(40--54%), dan sangat kurang (0--39%). Berdasarkan hasil tes siklus I dapat
dilihat kemampuan siswa dalam aspek materi dalam tabel 4.17 di bawah ini.
Tabel 4.17 Penilaian Materi Bahasa Bali Tahap Siklus I
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - -
2 40 – 54 (kurang) - -
3 55 – 69 (cukup) 22 71%
4 70 – 84 (baik) 9 29%
5 85 – 100 (sangat baik) - -
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak dua puluh dua (71%) siswa memeroleh nilai dalam kategori
“cukup”, sedangkan sebanyak sembilan (29%) siswa memeroleh nilai dalam
kategori “baik”.
5) Kelancaran Bahasa Bali Siswa Siklus I
Berdasarkan hasil tes siklus I, diketahui bahwa hasil peningkatan nilai
kelancaran yang dicapai siswa dapat digambarkan dalam tabel 4.18 berikut ini.
Tabel 4.18 Penilaian Kelancaran Siswa Siklus I
No. Tingkat Kemampuan Jumlah
Siswa
Persentase
(Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - -
2 40 – 54 (kurang) 9 29%
3 55 – 69 (cukup) 15 48%
4 70 – 84 (baik) 7 23%
5 85 – 100 (sangat baik) - -
127
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak tujuh (23%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam kategori
“baik”, sebanyak lima belas (45%) siswa memeroleh nilai dalam kategori
“cukup”, sedangkan sebanyak sembilan (29%) siswa memeroleh nilai dalam
kategori “kurang”.
6) Gaya Siswa Siklus I
Berdasarkan hasil tes siklus I, diketahui bahwa hasil peningkatan nilai
gaya yang dicapai siswa dapat digambarkan dalam tabel 4.19 berikut ini.
Tabel 4.19 Penilaian Gaya Siswa Siklus I
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - -
2 40 – 54 (kurang) - -
3 55 – 69 (cukup) 27 87%
4 70 – 84 (baik) 4 13%
5 85 – 100 (sangat baik) - -
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, hanya sebanyak empat (13%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam
kategori “baik” dan sebanyak dua puluh tujuh (87%) siswa memeroleh nilai dalam
kategori “cukup”.
128
4.2.1.5 Refleksi Siklus I
Berdasarkan hasil penelitian pada siklus I, diketahui bahwa peningkatan
kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali siswa SD Negeri 3 Sukawati dalam
proses dan hasil belajar yang dijabarkan melalui nilai-nilai siswa dapat dikatakan
telah tercapai dengan cukup baik. Akan tetapi, peningkatan tersebut masih
dirasakan belum mencapai standar karena nilai rerata kelas hanya mencapai 61%
dengan kategori cukup. Di samping itu, hanya sebanyak sembilan siswa (29%)
yang memeroleh nilai di atas 65 pada mata pelajaran berbicara sor singgih bahasa
Bali sehingga penerapan tindakan siklus II diperlukan untuk memeroleh
peningkatan yang lebih baik lagi. Dalam siklus II, peneliti fokus pada pelafalan
dan kelancaran dalam berbicara. Hal ini disebabkan oleh masih ada beberapa
siswa yang belum termotivasi untuk mau menghafal dialog bahasa Bali yang
dibuatnya. Beberapa siswa masih belum memiliki rasa percarya diri untuk
berdialog di depan kelas sehingga pada siklus II dilakukan dengan fokus pada
beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
1) Memberikan motivasi kepada siswa yang masih terlihat pasif dan belum
percaya diri di depan kelas.
2) Memberikan waktu yang lebih untuk berlatih berbicara.
3) Memberikan contoh-contoh dialog bahasa Bali dan mencontohkan
pelafalan yang benar.
4) Menyelipkan pendidikan karakter khususnya kesopansantunan berbahasa
Bali (berkomunikasi dengan bahasa yang santun) sesuai dengan sor
singgih bahasa Bali dengan memberikan beberapa contoh-contoh perilaku.
129
4.2.2 Analisis Kualitatif Siklus I
Adapun perincian hasil analisis kualitatif siklus I dalam penelitian ini, data
hasil pengamatan dianalisis dengan memberikan deskripsi berdasarkan bukti-bukti
pengamatan secara empirik di kelas, berupa analisis kelas kata bahasa Bali,
penggunaan sor singgih bahasa Bali, dan perkembangan karakter siswa. Data
brupa hasil pembelajaran siswa dianalisis untuk dikaji berdasarkan kriteria
penilaian berbicara, yakni dari aspek kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan
struktur, sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan gaya
dapat dijelaskan melalui uraian berikut.
1) Pelafalan Bahasa Bali Siswa Siklus I
Pada tahapan siklus I ini terjadi peningkatan nilai rerata pelafalan bahasa
Bali siswa kelas VIB, yaitu senilai 54% yang dikategorikan “kurang”.
Peningkatan ini dibuktikan dari semakin jelasnya pengucapan siswa saat
berdialog. Peningkatan pelafalan ini dapat ditunjukkan, seperti kata “masi” tidak
lagi diucapkan “mase”, bahkan ada yang mengucapkan dengan kata “masih” yang
dalam bahasa Indonesia artinya juga. Hal ini dapat dilihat dalam dialog siswa
berikut.
(i) T A : Niki Buk, Made Danu menden masih teke (data rekaman 1) [nikI bu, made danƱ mǝnden masIh tǝkǝ]
ST A : sapuniki Bu, Made Danu tonden masih teke [sapunikI bu, made danƱ tonden masIh tǝkǝ] Begini Bu, Made Danu belum juga datang”
Pada dialog yang diucapkan oleh siswa di atas, seperti kata “masih” sudah
diucapkan “masih” tidak lagi diucapkan “mase”, walaupun demikian ada
130
beberapa kesalahan dalam pengucapannya, seperti kata “menden” yang
seharusnya diucapkan dengan kata “tonden”. Kata “niki” yang seharusnya diganti
dengan kata “sapuniki”. Berhubungan dengan kesalahan dalam pemilihan kata,
dibahas pada bagian analisis kosakata bahasa Bali siklus I.
2) Kosakata Bahasa Bali Siswa Siklus I
Pada siklus I ini terjadi peningkatan nilai rerata kosakata bahasa Bali siswa
kelas VIB, yaitu senilai 62% yang dikategorikan “cukup”, walaupun masih terjadi
kesalahan pada pemilihan kata bahasa Bali. Hal ini disebabkan oleh tingkat
bahasa yang digunakan adalah basa alus singgih atau juga menggunakan basa
alus mider. Tidak seperti pada tahap pratindakan sebelumnya yang menggunakan
bahasa kapara/andap. Kesalahan-kesalahan dalam kosakata yang diucapkan oleh
siswa di atas, dapat dilihat dalam data dialog berikut.
(i) T : niki Buk, Made Danu menden masih teke (data rekaman 1) [nikI bu, made danƱ mǝnden masIh tǝkǝ] ST : sapuniki Buk, Made Danu durung rauh Adv + Nom Nama + Nom Nama + Adv + V [sapunikI bu, made danƱ durƱŋ raƱh] “Begini Bu, Made Danu belum juga datang”
Pada dialog di atas kata “niki” dalam bahasa Indonesia yang artinya ini,
kurang tepat digunakan sehingga bisa diganti dengan kata “sapuniki” dalam
bahasa Indonesia yang artinya begini. Pada kata “menden”, “masih”, dan “teke”
juga kurang tepat digunakan. Hal ini disebabkan oleh orang pertama (O1) adalah
siswa dengan lawan tutur adalah guru sebagai orang kedua (O2) dan yang
dibicarakan adalah siswa sebagai orang ketiga (O3), maka siswa (O1) harus
131
menggunakan basa alus singgih atau juga bisa menggunakan basa alus mider
pada saat berbicara dengan gurunya (O2), sedangkan membicarakan O3 harus
menggunakan basa alus sor atau juga basa alus mider dengan mengganti
sepenggal kalimat “menden masih teke” menjadi “durung rauh. Kata “durung”
artinya belum dan “rauh” artinya datang yang termasuk ke dalam basa alus mider.
kata “menden” juga memiliki kesalahn yang seharusnya kata yang tepat adalah
kata “tonden” artinya belum.
3) Tata Bahasa Bali Siswa Siklus I
Pada siklus I ini, terjadi peningkatan nilai rerata tata bahasa Bali siswa
kelas VIB, yaitu senilai 66% yang dikategorikan “cukup”. Peningkatan ini terjadi
pada struktur bahasa Bali dan penggunaan bahasa Bali. Hal ini dapat dilihat dalam
contoh dialog berikut.
(i) A&C : Om swastiastu (data rekaman 1) [om swastiastƱ]
“Om Swastiastu” B : Om Swastiastu, sira pesenganne? Nom salam (bahasa Sanskerta) + Int [om swastiastƱ, sirǝ pǝseŋanne] “Om Swastiastu, siapa namanya?” A : Titiang Mayumi, Buk Pron + Nom Nama + Nom Nama [titIaŋ mayumI, bu] “Saya Mayumi, Bu” C : Titiang Anasuya, Buk Pron + Nom Nama + Nom Nama [titIaŋ anasuya, bu] “Saya Anasuya, Buk” B : Napi tetujonne meriki? Int + Demo
132
[napI tǝtujonne mǝrikI] “Apa tujuannya kesini?” C : Titiang sareng kalih jagi mataken Buk S Pron + Konj + Num + P FV (ma- + taken/V) + O Nom Nama [titIaŋ sarǝŋ kalIh jagI mǝtaken bu] “Saya berdua mau bertanya Buk” B : Cening lakar mataken napi? S Nom Nama + P FV (ma- + taken/V) + Int [cǝnIŋ lakar mǝtaken napI] “Anak-anak mau bertanya apa?”
Pada data dialog rekaman satu di atas, kata om swastiastu merupakan kelas
kata nomina tak bersenyawa yang bermakna sebagai ucapan salam untuk agama
Hindu yang berasal dari bahasa Sansekerta. Om swastiastu tersebut yang artinya
semoga semua dalam keadaan sehat. Pada dialog siswa C memilki struktur
kalimat yang lengkap, yakni terdapat subjek (S) pada kata Titiang sareng kalih
dengan pola S Pron + Konj + Num, sedangkan predikat (P), yakni pada kata jagi
mataken dengan pola P FV (ma- + taken/V), dan objek (O), yakni pada kata buk
atau Ibu dengan pola Nom Nama.
4) Materi Bahasa Bali Siswa Siklus I
Pada tahap siklus I ini terjadi peningkatan nilai rerata materi bahasa Bali
siswa kelas VIB, yaitu senilai 66% yang dikategorikan “cukup”. Siswa
mengalami peningkatan dari segi materi dialog yang disampaikan. Hal ini dapat
dilihat dari semakin percaya dirinya siswa dalam menguraikan topik dialog yang
dipraktikkan di depan kelas. Topik yang diberikan adalah “ketemu sareng guru
ring sekolah”. Sebelum memberikan topik untuk tes, siswa juga diberikan
pemahaman tentang pengertian sor singgih bahasa Bali dan pemabagiannya
133
(unsur-unsur penentu). Selain itu, juga diberikan topik sebagai latihan, yaitu
tentang kehidupan sekolah “Ketemu ring perpustakaan”.
5) Kelancaran Bahasa Bali Siswa Siklus I
Peningkatan pada aspek kelancaran pada siklus I ini dilihat dari nilai rerata
kelancaran bahasa Bali siswa kelas VIB, yaitu senilai 58% yang dikategorikan
“cukup”. Peningkatan ini dapat dilihat dari pembicaraan yang jarang tersendat-
sendat dan kepercayaan diri siswa semakin meningkat. Hal itu, terjadi karena
siswa bisa memahami sor singgih bahasa Bali yang sudah dijelaskan oleh peneliti.
Semangat siswa juga semakin meningkat walaupun beberapa siswa masih
membaca teks dialog yang dibuatnya di depan kelas.
6) Gaya Siswa Siklus I
Peningkatan pada siklus I ini terjadi peningkatan nilai rerata gaya bahasa
Bali siswa kelas VIB, yaitu senilai 62% yang dikategorikan “cukup”. Hampir
semua siswa dalam busana yang digunakan sudah terlihat santun dan rapi,
gaya/ekspresi sudah semakin meningkat. Selain itu, keluwesan saat berdialog juga
sudah semakin terlihat perubahannya.
4.2.3 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali Siklus I
Pada siklus I ini siswa mampu mengungkapkan penggunaan bahasa sesuai
dengan konsep ketiga tentang pemakaian sor singgih bahasa Bali. Konsep ketiga
tersebut, yaitu jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah,
yang diajak bicara atau orang kedua (O2) sebagai golongan atas, dan yang
134
dibicarakan atau orang ketiga (O3) sebagai golongan bawah, maka bahasa yang
digunakan oleh pembicara atau orang pertama O1 kepada O2 adalah Basa Bali
Alus Singgih, sedangkan yang mengenai O1 dan O3 menggunakan Basa Bali Alus
Sor. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.
O2
A
B
O1 O3
Contoh dialog yang diucapkan siswa pada data rekaman (4):
(i) T : Niki Buk, Wayan Saputra nu ngutang luu lan Ratih kantun nyiram kebun.
ST : Sapuniki Buk, Wayan Saputra kantun ngutang luu lan Ratih taler kantun nyiram kebun
“Begini Bu, Wayan Saputra masih membuang sampah dan Ratih juga masih menyiram kebun”
Pada data dialog rekaman empat di atas, siswa sudah mampu
menggunakan konsep ketiga dalam penggunaan sor singgih bahasa Bali, yakni
pembicara atau orang pertama (O1) adalah siswa berasal dari golongan bawah
(jaba/sudra), yang diajak bicara atau orang kedua (O2) adalah guru berasal dari
golongan bawah (jaba/sudra), dan yang dibicarakan atau orang ketiga (O3)
adalah siswa berasal dari golongan bawah (jaba/sudra). Dalam dialog di atas,
siswa mampu menggunakan kalimat “Ratih kantun nyiram kebun”. Kata
“kantun” merupakan basa alus mider yang tepat diucapakna kepada O2, yakni
135
guru di sekolah. Walaupun ada beberapa kesalahan yang tuturkan oleh siswa,
seperti kata “niki” seharusnya diganti menjadi “sapuniki” dan kalimat yang lebih
tepatnya dituturkan adalah menggunakan kalimat, seperti kalimat “Sapuniki Buk,
Wayan Saputra kantun ngutang luu lan Ratih taler kantun nyiram kebun” dalam
bahasa Indonesia dapat diartikan ‘Begini Bu, Wayan Saputra masih membuang
sampah dan Ratih juga masih menyiram kebun’.
4.2.4 Membangun Karakter Siswa Siklus I
Adapun data karakter yang berkembang pada siklus I adalah sebagai
berikut. Pengucapan kata “inggih” dan “suksma” (menumbuhkan karakter
kesopansantunan) yang selalu diucapkan saat berbicara dengan orang yang paling
tua, guru, dan orang dari golongan triwangsa. Hal ini dapat dilihat pada dialog
berikut.
(i) A (guru) : Yeh…suba tengai tonden masih teke? (data rekaman 2) “Yah...sudah siang begini belum juga datang?”
B (siswa) : Inggih Buk “Iya Bu”
(ii) A (siswa) : Inggih, yan asapunika tiang matur suksama (data rekaman 6) “Ya, kalau begitu saya mengucapkan terima kasih”
Pada penggalan data dialog rekaman dua di atas, guru sebagai (O1) berasal
dari golongan bawah (jaba/sudra) berbicara dengan siswa sebagai (O2) berasal
dari golongan bawah (jaba/sudra), maka guru dalam bertutur bisa menggunakan
basa andap/kapara, sedang siswa saat berbicara dengan gurunya harus
menggunakan basa alus singgih atau juga menggunakan basa alur mider. Dialog
di atas, siswa sudah mampu menggunakan kata “inggih” saat menjawab
136
pertanyaan dari gurunya, hal ini menandakan siswa sudah terbangun karakter
kesopansantunannya.
Sedangkan, pada penggalan data dialog enam, siswa sebagai (O1) berasal
dari golongan bawah (jaba/sudra), berbicara dengan lawan tutur (O2) seorang
ratu pedanda berasal dari golongan atas (brahmana), sehingga siswa sudah benar
menggunakan kalimat “Inggih, yan asapunika tiang matur suksama”. Pada
penggalan kalimat tersebut ada kata ”inggih dan suksma” yang menandakan
kesopansatunan siswa dalam berbicara.
4.2.5 Analisis Kuantitatif Siklus II
Berdasarkan hasil refleksi yang telah diperoleh pada siklus I sebelumnya,
penerapan siklus II ini dilakukan dengan lebih maksimal untuk memeroleh hasil
yang lebih maksimal juga. Pelaksanaan tindakan dilaksanakan sama seperti pada
siklus I yang sesuai dengan tahapan-tahapan PTK. Tahapan-tahapan tersebut
disajikan melalui penjelasan berikut.
4.2.5.1 Perencanaan Siklus II
Sebelum tindakan siklus II dimulai, dilakukan perencanaan yang meliputi bagian-
bagian, seperti berikut ini.
1. Menyusun silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), handout siklus II.
Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) terdiri atas standar kompetensi,
kompetensi dasar, materi, kegiatan pembelajaran, dan penilaian. Kompetensi
dasar pada siklus ini adalah kemampuan bercakap-cakap/berkomunikasi
dengan bahasa yang santun sesuai tata krama.
137
2. Menyiapkan bahan atau materi ajar. Dalam siklus ini, materi yang
diberikan adalah sor singgih bahasa Bali dan bagian-bagiannya dengan
topik latihan “bablibagan indik peplajahan” dan topik tes ada lima, yaitu
(1) mablanja ka peken, (2) ngidih pipis teken rerama, (3) katemu timpal
anyar, (4) mabebaosan sareng Ratu Peranda, dan (5) bablibagan
nyanggra perpisahan sekolah.
3. Menyiapkan instrumen berupa peralatan tulis, catatan guru, lembar
observasi, dan perekam.
4. Menyiapkan kuesioner untuk diisi secara jujur oleh siswa setelah
berakhirnya tindakan.
4.2.5.2 Tindakan Siklus II
Pelaksanaan pada siklus ini disusun untuk memperbaiki kelemahan yang
ditemukan pada siklus I. Penerapan metode bermain peran ini hampir mirip
dengan penerapan pada siklus I, hanya topik yang diberikan untuk tes berbicara
lebih banyak dari pada siklus I. Topik tes yang diberikan ada lima, yaitu (1)
mablanja ka peken, (2) ngidih pipis teken rerama, (3) katemu timpal anyar, (4)
mabebaosan sareng Ratu Peranda, dan (5) bablibagan nyanggra perpisahan
sekolah.
Pada siklus I ini pelaksanaan metode bermain peran memberikan
peningkatan dalam kemampuan berbicara, khususnya berbicara sesuai dengan sor
singgih bahasa Bali serta tingkah laku siswa mengalami sedikit perubahan. Secara
lebih terperinci, pelaksanaan pada siklus I ini dapat dilihat berdasarkan kegiatan
pembelajaran yang disajikan pada tabel 4.20, sebagai berikut.
138
Tabel 4.20 Kegiatan Pembelajaran Siklus II
Kegiatan Peneliti Kegiatan Siswa d) Kegiatan Awal (10 menit)
1. Membuka pelajaran dengan
mengucapkan salam “Om Swastiastu”, dan “rahajeng semeng alit-alite”, serta membacakan absensi.
2. Memberikan apersepsi berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari, seperti “sira sane uning napi nike sor singgih basa Bali? Sor singgih basa Bali kakapah dados kude? Alit-alite taen mablanja? Ring dija anake numbas woh-wohan, ulam, sanganan?” Menjelaskan tujuan pembelajaran dan menyampaikan cakupan materi “mangkin alit-alite jagi malajah ngaryanin bablibagan basa Bali, inggih punika bablibagan indik peplajahan, taler ibu jagi nyelasang conto-conto bablibagan manut sor singgih basa Baline”.
1. Menjawab salam “Om Swastiastu”, dan “rahajeng semeng Bu guru”, serta merespons apa yang disampaikan peneliti.
2. Menjawab pertanyaan yang
diajukan dengan mengangkat tangan sebelumnya.
e) Kegiatan Inti (50 menit) Eksplorasi 3. Mengulas kembali secara singkat
tentang pengertian sor singgih bahasa Bali dan pembagiannya (Basa Alus Singgih, Basa Alus Sor, Basa Alus Mider, lan Basa Kapara), serta memberikan pemahaman tentang nilai karakter kesopansantunan berbahasa Bali (bagaimana berkomunikasi dengan bahasa yang santun sesuai dengan tata krama).
4. Menegaskan tentang cara pengucapan, intonasi, dan memeragakan sebuah percakapan berbahasa Bali “Bablibagan indik peplajahan”
3. Menyimak dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
4. Menyimak dan mencatat hal-hal
yang dianggap penting.
139
Elaborasi 5. Menugasi dua siswa untuk
mempraktikkan percakapan “Bablibagan indik peplajahan” di depan kelas.
6. Memberikan handout yang memuat contoh percakapan bahasa Bali “Mabebaosan ring pasar”
7. Membahas secara mendetail komponen contoh-contoh percakapan pada handout dan menyelipkan pemahaman tentang nilai karakter kesopansantunan berbahasa.
8. Menugasi siswa membuat percakapan dengan topik “(1) mablanja ka peken, (2) ngidih pipis teken rerama, (3) katemu timpal anyar, (4) mabebaosan sareng Ratu Peranda, dan (5) bablibagan nyanggra perpisahan sekolah”, membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Pengambilan topik dilakukan secara diundi. Alokasi waktu berdiskusi ±20 menit.
9. Meminta hasil percakapan yang dibuat untuk dikumpulkan.
10. Tugas percakapan yang diberikan akan direkam pada pertemuan berikutnya.
Konfirmasi 11. Memberikan feedback yang positif
dan penguatan yang berfokus pada kosakata, susunan kalimat, dan penggunaan sor singgih basa sesuai dengan unsur penentu.
5. Siswa yang lain menyimak dan
mencatat hal-hal yang dianggap penting.
6. Menerima handout dari peneliti dan membacanya dengan saksama.
7. Menyimak dan mencatat hal-hal
yang dianggap penting.
8. Mencari kelompok, berdiskusi berdasarkan undian topik yang didapatkan, dan menulis dialog (percakapan) dalam waktu 20 menit.
9. Mengumpulkan hasil dialog percakapan yang sudah dibuat.
10. Tugas percakapan bahasa Bali yang dibuat dipraktikkan di depan kelas pada pertemuan berikutnya.
11. Menyimak feedback yang
diberikan dan melakukan tanya jawab terhadap hal-hal yang masih kurang dipahami.
f) Kegiatan Akhir (10 menit)
12. Memberitahukan siswa bahwa tugas percakapan yang sudah dibuat tadi
12. Merespon apa yang disampaikan
dengan mengucapkan “inggih bu” dan mengucapkan “Pramasanti”.
140
akan direkam pada pertemuan berikutnya dan menutup pelajaran dengan mengucapkan “Pramasanti”.
4.2.5.3 Observasi Siklus II
Pelaksanaan siklus II ini tidak jauh berbeda dari siklus I sebelumnya.
Siklus II ini dilaksanakan pada 11 April 2013, pukul 09.30 WITA. Seperti biasa,
pembelajaran dimulai dengan mengucapkan “Panganjali Om Suastiastu”,
mengucapkan salam rahajeng semeng alit-alite”, dan membacakan absensi.
Kegiatan pertama adalah memberikan apersepsi berupa pertanyaan-pertanyaan
yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari,
seperti “sira sane uning napi nike sor singgih basa Bali? Sor singgih basa Bali
kakapah dados kude? Alit-alite taen mablanja? Ring dija anake numbas woh-
wohan, ulam, sanganan?”. Di samping itu, juga menjelaskan tujuan pembelajaran
dan menyampaikan cakupan materi “mangkin alit-alite jagi malajah ngaryanin
bablibagan basa Bali, inggih punika bablibagan indik peplajahan, taler ibu jagi
nyelasang conto-conto bablibagan manut sor singgih basa Baline”. Kegiatan ini
dilaksanakan untuk meningkatkan motivasi dan kesiapan siswa dalam mengikuti
pembelajaran.
Dalam observasi di kelas, peneliti menggunakan catatan (diary) untuk
mencatat situasi selama pelaksanaan bermain peran. Dalam catatan guru, terdapat
kegiatan siswa (respons siswa) selama pelaksanaan metode bermain peran, dan
situasi kelas selama proses pembelajaran dan pengajaran berlangsung. Kegiatan
eksplorasi diberikan melalui kegiatan mengulas kembali secara singkat tentang
141
pengertian sor singgih bahasa Bali dan pembagiannya, memberikan pemahaman
tentang nilai karakter kesopansantunan berbahasa Bali (bagaimana berkomunikasi
dengan bahasa yang santun sesuai dengan tata krama). Menegaskan cara
pengucapan, intonasi, dan memeragakan sebuah percakapan berbahasa Bali
“Bablibagan indik peplajahan” sesuai dengan prosedur pembelajaran melalui
bermain peran. Prosedur tersebut meliputi (1) pemanasan, yakni siswa
diperkenalkan permasalahan dalam dialog yg diperankan, (2) memilih pemain,
yakni peneliti dan siswa membahas karakter setiap pemain dan menentukan tokoh,
(3) menata panggung, yakni tempat yang digunakan untuk memainkan peran
adalah di depan kelas, (4) menyiapkan pengamat, yakni peneliti sendiri sebagai
pengamat langsung, (5) memainkan peran, yakni siswa memainkan peran di depan
kelas, (6) diskusi dan evaluasi, yakni peneliti bersama siswa mendiskusikan
permainan tadi dan melakukan evaluasi terhadap peran-peran yang dilakukan, (7)
memainkan peran ulang, yakni siswa melakukan permainan ulang, (8) diskusi dan
evaluasi kedua, yakni mendiskusikan kesalahan-kesalahan yang dilakukan saat
memainkan peran tersebut, dan (9) berbagi pengalaman dan simpulan. Kegiatan
ini dilaksanakan untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang sor singgih
bahasa Bali.
Pada waktu memasuki kegiatan elaborasi, siswa diberikan handout yang
memuat contoh percapakan bahasa Bali “mabebaosan ring pasar”. Selain itu, juga
membahas secara mendetail komponen contoh-contoh percakapan pada handout
dan menyelipkan pemahaman tentang nilai karakter kesopansantunan berbahasa.
Pada kegiatan konfirmasi, diberikan feedback yang positif dan
142
penguatan yang berfokus pada kosakata, susunan kalimat, dan penggunaan sor
singgih basa sesuai dengan unsur penentu, serta memberikan motivasi kepada
siswa untuk dapat menerapkan pembelajaran bermain peran bahasa Bali ini dalam
kehidupan sehari-hari.
Pada bagian kegiatan akhir, peneliti menginstruksikan siswa untuk
membuat sebuah percakapan tiap-tiap kelompok dengan topik, yaitu “(1)
mablanja ka peken, (2) ngidih pipis teken rerama, (3) katemu timpal anyar, (4)
mabebaosan sareng Ratu Peranda, dan (5) bablibagan nyanggra perpisahan
sekolah”. Hasil karya mereka kemudian diperagakan di depan kelas serta
dilakukan perekaman. Ketika melakukan perekaman percakapan siswa di depan
kelas, peneliti menggunakan kriteria penilaian berbicara yang terdiri atas dua
aspek, yaitu aspek kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan struktur, sedangkan
aspek nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan gaya. Hal ini digunakan
untuk mengetahui peningkatan kemampuan berbicara sor singgih siswa.
4.2.5.4 Tes Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Siklus II
Berakhirnya penelitian tindakan kelas (PTK) pada siklus II ini ditandai
dengan pemberian tes berbicara sor singgih bahasa Bali dengan bermain peran.
Analisis yang dilakukan menunjukkan peningkatan persentase nilai rerata siswa
dalam kemampuan berbicara. Peningkatan ini terjadi pada setiap aspek yang
dinilai aspek tersebut, yaitu aspek kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan
struktur, sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan gaya.
Persentase tingkat kemampuan berbicara yang terdiri atas aspek kebahasaan dan
nonkebahasaan adalah nilai sangat baik (85--100%), baik (70--84%), cukup (55--
143
69%), kurang (40--54%), dan sangat kurang (0--39%). Hasil tes siklus II dapat
dilihat pada tabel 4.21 nilai siswa dalam kemampuan berbicara pada siklus II
sebagai berikut.
Tabel 4.21 Nilai Siswa dalam Berbicara Bahasa Bali Siklus II
No. Siswa Indikator
Total Nilai
Nilai dalam Persen
(%)
Tingkat Kemampuan
1 2 3 4 5 6
1 Ana Wiguna 3 3 4 3 4 3 20 67 67% Cukup 2 Adi Wiarta 3 3 4 3 4 3 20 67 67% Cukup 3 Raditya 2 3 4 3 4 3 20 67 67% Cukup 4 Aris Prayoga 3 3 4 3 4 3 20 67 67% Cukup 5 Gede Aditya 4 4 5 4 4 4 25 83 83% Baik 6 Ari Ananda 4 4 5 4 4 4 25 83 83% Baik 7 Arya Bintan 4 3 4 4 5 4 24 80 80% Baik 8 Anasuya 5 5 5 5 4 4 28 93 93% Sangat baik 9 Astiti Bakti 3 3 4 2 5 4 21 70 70% Baik 10 Adi Mahardika 4 3 4 4 5 4 24 80 80% Baik 11 Budiarta 5 4 5 5 5 4 28 93 93% Sangat baik 12 Dwi Cahyani 3 3 4 2 5 4 21 70 70% Baik 13 Buddhi Saputra 5 4 5 5 4 4 27 90 90% Sangat baik 14 Fajar Punarbawa 4 4 4 5 4 4 25 83 83% Baik 15 Indah Jayanti 5 4 5 5 5 4 28 93 93% Sangat baik 16 Juliawan 4 3 4 4 5 4 24 80 80% Baik 17 Kertayasa 3 3 4 3 4 3 20 67 67% Cukup 18 Kanya Devani 4 4 4 5 3 4 24 80 80% Baik 19 Marta Prasetya 3 3 4 3 4 3 20 67 67% Cukup 20 Mayumi Siddhi P. 5 4 5 5 5 4 28 93 93% Sangat baik 21 Okta Anggara 3 3 4 3 4 3 20 67 67% Cukup 22 Pratama 3 3 4 3 4 3 20 67 67% Cukup 23 Rahmawati 3 3 4 2 5 4 21 70 70% Baik 24 Rista Juniari 4 4 4 5 4 4 25 83 83% Baik 25 Ryan Endrawan 4 4 4 5 4 4 25 83 83% Baik 26 Riyanti 5 4 5 5 5 4 28 93 93% Sangat baik 27 Suriyaningsih 3 3 4 2 5 4 21 70 70% Baik 28 Setia Devi 4 4 4 5 4 4 25 83 83% Baik 29 Tirta 3 3 4 3 4 3 20 67 67% Cukup 30 Widia Swari 5 4 5 5 5 4 28 93 93% Sangat baik 31 Devi Agustina 5 4 5 5 4 4 27 90 90% Sangat baik
Rerata 3.8 3.5 4.3 3.9 4.3 3.7 2.439 Baik Nilai 76 70 86 78 86 74 79%
144
Keterangan :
1 = Pelafalan 4 = Materi 2 = Kosakata 5 = Kelancaran 3 = Tata Bahasa 6 = Gaya
Tabel di atas menggambarkan nilai yang diperoleh siswa SD Negeri 3
Sukawati dalam keterampilan berbicara sor singgih bahasa Bali dengan metode
bermain peran pada pemberian siklus II dengan kategori baik. Hasil siklus II
menunjukkan adanya peningkatan pada nilai rerata (mean) kelas. Jumlahnya
menjadi 79 atau meningkat sebanyak 18 poin dari jumlah 61 pada tes siklus I. Hal
ini ditunjukkan dengan perolehan nilai total siswa untuk pelafalan, yaitu sebesar
76% dengan rerata (rata-rata) 3,8 berada pada kategori baik. Selanjutnya, untuk
kosakata nilai total siswa berada pada kategori baik yaitu, 70% dengan rerata 3,5.
Nilai total tata bahasa siswa berada pada kategori sangat baik, yaitu 86% dengan
rerata 4,3. Pada materi, nilai total siswa berada pada kategori baik yaitu 78%
dengan rerata 3,9. Untuk kelancaran, nilai total siswa berada pada kategori sangat
baik yaitu 86% dengan rerata 4,3, sedangkan untuk gaya, nilai total siswa adalah
74% dengan rerata 3,7 yang berada pada kategori baik.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif kuantitatif dalam tahapan siklus II di
atas, juga dapat ditunjukkan dalam bentuk diagram batang. Data kemampuan
berbicara siswa SDN 3 Sukawati pada tahap siklus II disajikan dalam gambar 4.4
berikut.
145
Berikut ini dijelaskan tentang tingkat kemampuan siswa SDN 3 Sukawati
dalam tahap siklus II. Tingkat kemampuan berbicara siswa disajikan dalam tabel
4.22 sebagai berikut.
Tabel 4.22 Tingkat Kemampuan Berbicara Siswa SDN 3 Sukawati Siklus II
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) 0 0%
2 40 – 54 (kurang) 0 0%
3 55 – 69 (cukup) 9 29%
4 70 – 84 (baik) 14 45%
5 85 – 100 (sangat baik) 8 26%
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak delapan orang
(26%) siswa telah mampu memeroleh nilai “sangat baik”. Hal ini merupakan
suatu kemajuan karena pada siklus sebelumnya belum ada yang berhasil mencapai
nilai pada tingkat tersebut. Peningkatan lainnya adalah sebanyak empat belas
siswa (45%) memeroleh nilai “baik”. Sementara itu, sebanyak sembilan
0
100
NIL
AI R
ERAT
A KE
LAS
KRITERIA KEMAMPUAN BERBICARA
Gambar 4.4 Diagram Kemampuan Berbicara Siklus II
146
siswa (29%) memeroleh nilai “cukup”. Hasil perstasi siswa SD Negeri 3 Sukawati
pada siklus II telah mengacu pada target pencapaian yang diharapkan peneliti
karena mencapai skor tertinggi yang diperoleh siswa adalah 93, sedangkan nilai
terendah adalah 67. Nilai rerata yang diperoleh adalah sebesar 79% dalam
kategori “baik”. nilai ini sudah mencapai target, yaitu 65%.
Hasil tes dalam tes pratindakan, tes siklus I, dan tes siklus II menunjukkan
metode bermain peran dapat meningkatkan kemampuan berbicara sor singgih
bahasa Bali dalam membangun karakter siswa SD Negeri 3 Sukawati. Hal ini
dapat dilihat dalam tabel 4.23 berikut.
Tabel 4.23 Perbandingan Nilai Rerata Siswa dalam Kemampuan Berbicara
Tipe Tes Persentase Nilai Rerata Kategori
Pratindakan 50% Kurang
Siklus I 61% Cukup
Siklus II 79% Baik
Perbandingan nilai rerata kelas dalam tiga tahapan penelitian ini
ditunjukkan dalam bentuk diagram batang. Data peningkatan kemampuan
berbicara siswa SDN 3 Sukawati disajikan dalam gambar 4.5 berikut.
147
Gambar yang ditunjukkan oleh diagram batang memberikan informasi
tantang peningkatan prestasi siswa. Sebelumnya, nilai rerata kelas pada tahapan
pratindakan hanya berkisar 50% dengan kategori “kurang”, selanjutnya meningkat
menjadi 61% dengan kategori “cukup” pada siklus I, dan akhirnya meningkat lagi
sejumlah 18 poin pada siklus II mencapai ketuntasan nilai pada angka 79%
dengan kategori “baik”.
Hasil tes dalam tes pratindakan, tes siklus I, dan tes siklus II, menunjukkan
peningkatan nilai rerata dalam kemampuan berbicara siswa kelas VIB SD Negeri
3 Sukawati berdasarkan aspek kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan tata
bahasa, sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan gaya.
Peningkatan tersebut dapat dilihat dalam tabel 4.24 berikut.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Pratindakan Siklus I Siklus II
NIL
AI
RE
RAT
A K
EL
AS
TAHAPAN PTK
Gambar 4.5 Diagram Peningkatan Nilai Rerata Kelas
148
Tabel 4.24 Peningkatan Nilai Rerata Siswa dalam Kemampuan Berbicara Berdasarkan Aspek Kebahasaan dan Nonkebahasaan
Tipe Tes Persentase (%) Nilai Rerata Kelas
Pelafalan Kosakata Tata Bahasa
Materi Kelancaran Gaya
Pratindakan 48% 44% 48% 46% 54% 60%
Siklus I 54% 62% 66% 66% 58% 62%
Siklus II 76% 70% 86% 78% 86% 74%
Perbandingan nilai rerata kelas dalam tiga tahapan penelitian ini, juga
ditunjukkan dalam bentuk diagram batang. Data peningkatan kemampuan
berbicara siswa kelas VIB SDN 3 Sukawati disajikan dalam gambar 4.6 berikut.
Dari grafik 4.6, dapat dilihat bahwa nilai rerata kemampuan berbicara
siswa kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati dalam aspek kebahasaan meliputi lafal,
kosakata, dan tata bahasa, sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi materi,
0102030405060708090
Pratindakan Siklus I Siklus II
Nila
iRer
ata
Kel
as
Aspek Kebahasaan dan Nonkebahasaandalam Tiap Tahapan PTK
Gambar 4.6 Perbandingan Nilai Rerata dalam KemampuanBerbicara Siswa
PelafalanKosakataTata BahasaMateriKelancaraGaya
149
kelancaran, dan gaya mengalami peningkatan. Peningkatan dalam pelafalan dari
48% pada pratindakan menjadi 54% pada siklus I yang sama-sama dalam kategori
“kurang”, dan meningkat menjadi 76% dengan kategori “baik”. Dalam kosakata,
meningkat dari 44% pada pratindakan dengan kategori “kurang” menjadi 62%
dengan kategori “cukup” pada silkus I, dan meningkat lagi pada siklus II, yaitu
70% dengan kategori “baik”. Untuk tata bahasa, meningkat dari 48% dengan
kategori “kurang” pada pratindakan menjadi 66% dengan kategori “cukup” pada
siklus I, meningkat lagi menjadi 86% dengan kategori “sangat baik” pada siklus
II. Untuk materi, meningkat dari 46% dengan kategori “kurang” pada pratindakan
menjadi 66% dengan kategori “cukup” pada siklus I, meningkat lagi menjadi 78%
dengan kategori “baik” pada siklus II. Dalam hal kelancaran, meningkat dari 54%
dengan kategori “kurang” pada pratindakan menjadi 58% dengan kategori
“cukup” pada siklus I, meningkat lagi menjadi 86% dengan kategori “sangat baik”
pada siklus II. Sedangkan untuk gaya, meningkat dari 60% pada pratindakan
dengan kategori “cukup” menjadi 62% dengan kategori “cukup” pada silkus I, dan
meningkat lagi pada siklus II, yaitu 74% dengan kategori “baik”.
Adapun perincian hasil tes siklus II dalam penelitian ini berdasarkan
kriteria penilaian berbicara, yakni dari aspek kebahasaan meliputi lafal, kosakata,
dan struktur, sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan
gaya yang dapat dijelaskan melalui uraian berikut.
1) Pelafalan Bahasa Bali Siswa Siklus II
Berdasarkan hasil tes siklus II, diketahui bahwa hasil peningkatan nilai
pelafalan yang dicapai siswa dapat digambarkan dalam tabel 4.25 berikut ini.
150
Tabel 4.25 Penilaian Pelafalan Bahasa Bali Siswa Siklus II
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - -
2 40 – 54 (kurang) 1 3%
3 55 – 69 (cukup) 12 39%
4 70 – 84 (baik) 10 32%
5 85 – 100 (sangat baik) 8 26%
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak delapan (26%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam kategori
“sangat baik”, sebanyak sepuluh (32%) siswa memeroleh nilai dalam kategori
“baik”, sedangkan sebanyak dua belas (39%) siswa memeroleh nilai dalam
kategori “cukup”, dan sisanya hanya satu (3%) siswa memeroleh nilai dengan
kategori “ kurang”.
2) Kosakata Bahasa Bali Siswa Siklus II
Berdasarkan hasil tes siklus II, diketahui bahwa hasil peningkatan nilai
kosakata yang dicapai siswa dapat digambarkan dalam tabel 4.26 berikut ini.
Tabel 4.26 Penilaian Kosakata Bahasa Bali Siswa Siklus II
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - - 2 40 – 54 (kurang) - - 3 55 – 69 (cukup) 16 52% 4 70 – 84 (baik) 14 45% 5 85 – 100 (sangat baik) 1 3%
151
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, hanya satu (3%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam kategori “sangat
baik”, sebanyak empat belas (45%) siswa memeroleh nilai dalam kategori “baik”,
dan sisanya sebanyak enam belas (52%) siswa memeroleh nilai dengan kategori “
cukup”.
3) Tata Bahasa Bali Siswa Siklus II
Berdasarkan hasil tes siklus II, diketahui bahwa hasil peningkatan nilai tata
bahasa yang dicapai siswa dapat digambarkan dalam tabel 4.27 berikut ini.
Tabel 4.27 Penilaian Tata Bahasa Bali Siswa Siklus II
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - -
2 40 – 54 (kurang) - -
3 55 – 69 (cukup) - -
4 70 – 84 (baik) 21 68%
5 85 – 100 (sangat baik) 10 32%
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak sepuluh (10%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam kategori
“sangat baik” dan sebanyak dua puluh satu (68%) siswa memeroleh nilai dalam
kategori “baik”.
152
4) Materi Bahasa Bali Siswa Siklus II
Persentase yang diberikan untuk aspek nonkebahasaan, yakni aspek materi
adalah nilai sangat baik (85--100%), baik (70--84%), cukup (55--69%), kurang
(40--54%), dan sangat kurang (0--39%). Berdasarkan hasil tes siklus II
kemampuan siswa dalam aspek materi dapat dilihat dalam tabel 4.28 di bawah ini.
Tabel 4.28 Penilaian Materi Bahasa Bali Tahap Siklus II
No. Tingkat Kemampuan Jumlah
Siswa
Persentase
(Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - -
2 40 – 54 (kurang) - -
3 55 – 69 (cukup) 13 42%
4 70 – 84 (baik) 5 16%
5 85 – 100 (sangat baik) 13 42%
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak tiga belas (42%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam kategori
“sangat baik”, sebanyak lima (16%) siswa memeroleh nilai dalam kategori “baik”,
sedangkan sebanyak tiga belas (42%) siswa memeroleh nilai dalam kategori
“cukup”.
5) Kelancaran Bahasa Bali Siswa Siklus II
Berdasarkan hasil tes siklus II, diketahui bahwa hasil peningkatan nilai
kelancaran yang dicapai siswa dapat digambarkan dalam tabel 4.29 berikut ini.
153
Tabel 4.29 Penilaian Kelancaran Bahasa Bali Siswa Siklus II
No. Tingkat Kemampuan Jumlah
Siswa
Persentase
(Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - -
2 40 – 54 (kurang) - -
3 55 – 69 (cukup) 1 3%
4 70 – 84 (baik) 19 61%
5 85 – 100 (sangat baik) 11 36%
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak sebelas (36%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam kategori
“sangat baik”, sebanyak sembilan belas (61%) siswa memeroleh nilai dalam
kategori “baik”, sedangkan satu (3%) siswa memeroleh nilai dalam kategori
“cukup”.
6) Gaya Siswa Siklus II
Berdasarkan hasil tes siklus II, diketahui bahwa hasil peningkatan nilai
gaya yang dicapai siswa dapat digambarkan dalam tabel 4.30 berikut ini.
Tabel 4.30 Penilaian Gaya Siswa Siklus II
No. Tingkat Kemampuan Jumlah Siswa
Persentase (Total Jumlah Siswa)
1 0 – 39 (sangat kurang) - -
2 40 – 54 (kurang) - -
3 55 – 69 (cukup) 9 29%
4 70 – 84 (baik) 22 71%
5 85 – 100 (sangat baik) - -
154
Tabel penelitian di atas menunjukkan bahwa dari tiga puluh satu orang
siswa, sebanyak dua puluh dua (71%) siswa berhasil memeroleh nilai dalam
kategori “baik”, dan sebanyak sembilan (29%) siswa memeroleh nilai dalam
kategori “cukup”.
4.2.5.5 Refleksi Siklus II
Penerapan metode bermain peran dalam meningkatkan kemampuan
berbicara sor singgih bahasa Bali dalam membangun karakter siswa kelas VIB SD
Negeri 3 Sukawati telah berakhir dengan dilaksanakannya siklus II. Hal ini
dibuktikan dari peningkatan persentase nilai rerata siswa dalam pratindakan,
siklus I, dan siklus II yang didasarkan atas tercapainya standar nilai rerata 79%
dengan kategori “baik” sesuai dengan yang diharapkan oleh institusi sekolah. Di
samping itu, dari segi proses pembelajaran, dengan belajar sor singgih bahasa
Bali, siswa dapat lebih memahami bahasa daerahnya sendiri, memahami nilai
kesopansantunan yang terdapat di dalamnya, mampu menerapkan nilai
kesopansantunan tersebut ke dalam percakapan bahasa Bali yang dipraktikkan di
depan kelas. Siswa juga menunjukkan sikap yang positif dalam bertingkah laku
dan minat siswa meningkat untuk mempelajari bahasa Bali.
4.2.6 Kuesioner Pascatindakan
Kuesioner pada akhir siklus II (pascatindakan) ini dipakai untuk melihat
respons siswa pada akhir pelaksanaan tindakan. Hasil ini dapat dilihat dalam tabel
4.31 hasil kuesioner pascatindakan, sebagai berikut.
155
Tabel 4.31 Hasil Kuesioner Pascatindakan No. Pertanyaan Pendapat Pemilih Persentase 1 Saya senang dengan metode
bermain peran yang disampaikan peneliti dalam pembelajaran sor singgih bahasa Bali.
Sangat Setuju 11 36% Setuju 15 48% Ragu-ragu 5 16% Tidak Setuju - - Sangat Tidak Setuju - -
2
Penerapan metode bermain peran meningkatkan pemahaman terhadap pembelajaran sor singgih bahasa Bali.
Sangat Setuju 11 36% Setuju 13 42% Ragu-ragu 7 22% Tidak Setuju - - Sangat Tidak Setuju - -
3 Saya menyukai pelajaran
berbicara bahasa Bali dengan menggunakan metode bermain peran.
Sangat Setuju 11 36% Setuju 17 55% Ragu-ragu 2 6% Tidak Setuju 1 3% Sangat Tidak Setuju - -
4 Saya masih merasa ragu
berbicara saat metode bermain peran dilaksanankan di depan kelas.
Sangat Setuju - - Setuju 8 26% Ragu-ragu 5 16% Tidak Setuju 18 58% Sangat Tidak Setuju - -
5 Pemberian topik yang berbeda-
beda dalam bermain peran dapat menambah pengetahuan saya tentang sor singgih bahasa Bali.
Sangat Setuju 17 55% Setuju 10 32% Ragu-ragu 4 13% Tidak Setuju - - Sangat Tidak Setuju - -
6 Saya lebih memahami sor
singgih bahasa Bali dan bagian-bagiannya jauh lebih baik dari pada sebelumnya.
Sangat Setuju 21 68% Setuju 10 32% Ragu-ragu - - Tidak Setuju - - Sangat Tidak Setuju - -
7 Dengan menggunakan metode
bermain peran, berbicara bahasa Bali sesuai dengan sor singgih-nya bukanlah hal yang sulit.
Sangat Setuju 14 45% Setuju 10 32% Ragu-ragu 5 16% Tidak Setuju 2 7% Sangat Tidak Setuju - -
8 Metode bermain peran dapat menambah pemahaman saya berkomunikasi yang santun sesuai dengan tata krama (sesuai dengan sor singgih-nya).
Sangat Setuju 21 68% Setuju 10 32% Ragu-ragu - - Tidak Setuju - - Sangat Tidak Setuju - -
156
Berdasarkan hasil kuesioner akhir siklus II (pascatindakan) di atas,
diketahui bahwa sebanyak sebelas (36%) siswa merasa sangat senang dengan
metode bermain peran yang disampaikan peneliti dalam pembelajaran sor singgih
bahasa Bali. Pendapat ini didukung oleh lima belas (48%) siswa lainnya
menyatakan senang dan lima (16%) siswa yang menyatakan ragu-ragu karena
berpendapat bahwa pembelajaran bahasa Bali sebelumnya lebih santai.
Pada pertanyaan kedua, sebanyak sebelas (36%) siswa mengakui
penerapan metode bermain peran meningkatkan pemahaman terhadap
pembelajaran sor singgih bahasa Bali. Pernyataan setuju juga diungkapkan oleh
tiga belas (42%) siswa lainnya, sedangkan tujuh (22%) siswa menyatakan masih
ragu-ragu. Selanjutnya, sebanyak sebelas (36%) siswa menyatakan sangat
menyukai pelajaran berbicara bahasa Bali dengan menggunakan metode bermain
peran. Pernyataan setuju juga diungkapkan oleh tujuh belas (55%) siswa, dua
(6%) siswa menyatakan masih ragu-ragu, dan hanya satu (3%) siswa yang
menyatakan tidak setuju.
Selanjutnya, sebanyak delapan (26%) siswa menyatakan setuju masih
memiliki rasa ragu berbicara saat metode bermain peran dilaksanankan di depan
kelas. Hal ini dapat dilihat masih ada beberapa siswa membaca teks dialog yang
dibuat dan ada beberapa siswa yang kadang tersendat-sendat dalam berbicara
bahasa Bali. Di pihak lain sebanyak lima (16%) siswa menyatakan ragu-ragu dan
sebanyak delapan belas (58%) siswa menyatakan tidak setuju. Dalam hal
pemberian topik berbicara, sebanyak tujuh belas (55%) siswa menyatakan sangat
setuju pemberian topik yang berbeda-beda dalam bermain peran dapat menambah
157
pengetahuan tentang sor singgih bahasa Bali. Di samping itu, sebanyak sepuluh
(32%) siswa juta menyatakan setuju dan hanya empat (13%) siswa yang
menyatakan masih ragu-ragu.
Terkait dengan pemahaman siswa tentang sor singgih bahasa Bali,
sebanyak dua puluh satu (68%) siswa menyatakan sangat setuju memahami sor
singgih bahasa Bali dan bagian-bagiannya jauh lebih baik dari pada sebelumnya.
Pernyataan ini juga didukung oleh sepuluh (32%) siswa menyatakan setuju.
Selanjutnya, sebanyak empat belas (45%) siswa menyatakan sangat setuju dengan
menggunakan metode bermain peran, berbicara bahasa Bali sesuai dengan sor
singgih-nya bukanlah hal yang sulit. Sebanyak sepuluh (32%) siswa juga
menyatakan dukungannya, sedangkan lima (16%) siswa menyatakan masih ragu-
ragu, dan hanya dua (6%) siswa menyatakan tidak setuju. Selanjutnya, sebanyak
dua puluh satu (68%) siswa menyatakan sangat setuju bahwa metode bermain
peran dapat menambah pemahaman berkomunikasi yang santun sesuai tata krama
(sesuai dengan sor singgih-nya). Pernyataan ini juga didukung oleh sepuluh
(32%) siswa lainnya.
Berdasarkan hasil kuesioner di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa
menyukai metode bermain peran diterapkan dalam pembelajaran bahasa Bali
khususnya pembelajaran berbicara sor singgih bahasa Bali. Hal ini dapat
dibuktikan dari jumlah siswa yang memilih pilihan positif dalam kuesioner pada
akhir tahapan siklus II (pascatindakan) ini.
158
4.2.7 Analisis Kualitatif Siklus II
Adapun perincian hasil analisis kualitatif siklus II dalam penelitian ini,
berdasarkan kriteria penilaian berbicara, yakni dari aspek kebahasaan meliputi
lafal, kosakata, dan struktur, sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi materi,
kelancaran, dan gaya yang dapat dijelaskan melalui uraian berikut.
1) Pelafalan Bahasa Bali Siswa Siklus II
Pada siklus II ini terjadi peningkatan nilai rerata pelafalan bahasa Bali
siswa kelas VIB, yaitu senilai 76% yang dikategorikan “baik”. Peningkatan yang
terjadi, yaitu pelafalan siswa semakin jelas terdengar. Hal ini dapat dilihat pada
fonem / a / yang terletak pada akhir kata, diucapkan e [ ǝ ], seperti kata “suba”
diucapkan [subǝ]. Kata “keto” yang sudah diucapkan [keto], bukan “kete”.
Peningkatan tersebut dapat dilihat pada data 6 berikut.
(i) A : Nah yen suba keto sawetara jam 10.00 semeng pendak Pedanda [nah yen subǝ keto sawǝtara jam dasǝ sǝmǝŋ pǝndak pǝdandǝ]
Ya kalau begitu, sekitar jam sepuluh pagi jemput saya (Pedanda).
Pada data dialog 6 di atas, siswa sebagai tokoh pedanda (orang suci) sudah
mampu mengucapkan lafal yang baik, serta sudah mampu menggunakan bahasa
Bali sesuai sor singgih-nya. Kata “pendak” merupakan basa alus singgih.
2) Kosakata Bahasa Bali Siswa Siklus II
Pada siklus II ini terjadi peningkatan nilai rerata kosakata bahasa Bali
siswa kelas VIB, yaitu senilai 70% yang dikategorikan “baik”. Peningkatan yang
terjadi, yaitu semakin banyak variasi kata yang digunakan siswa pada dialog yang
159
dilakukannya. Walaupun ada beberapa kesalahan dalam pemilihan kata, seperti
saat orang pertama (O1) bertanya kepada orang kedua (O2), yaitu orang yang
belum dikenal, maka (O1) harus menggunakan bahasa alus singgih saat berbicara
dengan (O2). Hal ini dapat dilihat pada data 5 berikut.
(i) T : Gus, sira adanne? [gus, sirǝ adanne] ST : Gus, sira pesenganne? Nom Nama + Int [gus, sirǝ pǝseŋanne]
“Gus (panggilan untuk anak laki-laki), siapa namanya? (ii) T A : Sampun ngajeng, Ning? (data rekaman 7)
[sampƱn ngajeŋ, niŋ] “Sudah makan, Ning (panggilan untuk anak/panjak)” B: Sampun Tu, tiang sampun ngajeng. [sampƱn tu, tiaŋ sampƱn ŋajǝŋ] “Sudah ratu, saya sudah makan” ST B : Sampun Ratu, titiang sampun nunas Adv + Nom Nama + Pron + Adv + V (N- + tunas/V) [sampƱn ratƱ, tiaŋ sampƱn nunas] “Sudah ratu, saya sudah makan”
Kesalahan ini juga terjadi pada penggunaan kata”ngajeng” dengan kata “
nunas” pada dialog di atas. Jika orang pertama (O1) adalah golongan bawah,
sedangkan lawan tutur orang kedua (O2) adalah berasal dari golongan atas, maka
O1 harus menggunakan basa alus singgih kepada O2, sedangkan yang mengenai
O1 sendiri menggunakan basa alus sor. Oleh karena itu, pada dialog yang
diucapkan oleh O2 (B) kata “ngajeng” diganti dengan kata “nunas”. Kata
“ngajeng” merupakan basa madia, sedangkan kata “nunas” merupakan basa alus
sor.
160
3) Tata Bahasa Bali Siswa Siklus II
Pada siklus II ini terjadi peningkatan nilai rerata tata bahasa Bali siswa
kelas VIB, yaitu senilai 86% yang dikategorikan “sangat baik”. Siswa mengalami
peningkatan pada tata bahasa. Pada dialog di griya, siswa sudah mampu
mengungkapkan struktur kalimat yang benar, seperti pada data dialog 6 berikut.
(i) T A :Titiang nunasang indik odalan ring sanggah titiang. S Pron + P V (N- + tunas/V + -ang) + O (Konj + Prep) + K (Nom + Pron)
[titIaŋ nunasaŋ indIk odalan riŋ saŋgah titIaŋ]
“Saya menanyakan tentang odalan (upacara) di rumah saya”
Kata “nunasang” sudah tepat digunakan dalam kalimat di atas. Hal ini
disebabkan oleh kata “nunasang” berasal dari kata dasar “tunas” dalam bahasa
Indonesia yang artinya minta, mohon. Kata dasar “tunas” mendapat sufiks – ang
menjadi “tunasang” artinya mintakan atau juga tanyakan. Untuk membentuk
verba (kata kerja) maka fonem / t / pada kata “tunas” mengalami peluluhan
konsonan menjadi “nunas” dan ditambahkan sufiks –ang menjadi “nunasang”
artinya menanyakan.
Peningkatan yang terjadi pada siklus II ini adalah pada tataran tata bahasa
yang diucapkan oleh siswa pada saat berdialog, seperti penggalan kalimat data
dialog rekaman enam, yakni kalimat “titiang nunasang indik odalan ring sanggah
titiang”. Kata “titiang” merupakan subjek (S) dengan pola S Pron, kata
“nunasang” merupaka predikat (P) dengan pola P V (N- + tunas/V + -ang), kata
“indik odalan” merupakan objek (O) dengan pola O (Konj + Prep), dan kata “ring
sanggah titiang” merupakan keterangan (K) dengan pola K (Nom + Pron).
161
4) Materi Bahasa Bali Siswa Siklus II
Pada tahap siklus II ini terjadi peningkatan nilai rerata materi bahasa Bali
siswa kelas VIB dari segi materi dialog yang disampaikan, yaitu senilai 78% yang
dikategorikan “baik”. Hal ini dapat dilihat dari pemberian topik untuk tes yang
lebih variatif, yaitu “(1) mablanja ka peken, (2) ngidih pipis teken rerama, (3)
katemu timpal anyar, (4) mabebaosan sareng Ratu Peranda, dan (5) bablibagan
nyanggra perpisahan sekolah.”. Semua siswa dengan antusias membuat dialog
sesuai dengan topik yang didapatnya. Siswa juga mengalami peningkatan kualitas
dalam menyampaikan ide/gagasan serta mampu mengungkapkan sesuai sor
singgih bahasa Bali. Walaupun ada beberapa kesalahan kata yang dipilih kurang
tepat dan kalimat yang disampaikan kurang jelas, siswa pada siklus II ini sudah
bisa menampilkan materi yang lebih mendalam.
5) Kelancaran Bahasa Bali Siswa Siklus II
Pada siklus II ini terjadi peningkatan nilai rerata kelancaran bahasa Bali
siswa kelas VIB, yaitu senilai 86% yang dikategorikan “sangat baik”. Hal ini,
dapat dilihat dari persentase jumlah siswa yang meningkat dalam hal kelancaran
berdialog di depan kelas. Hampir semua siswa tidak membaca teks yang
dibuatnya di depan kelas. Di samping itu, intonasi dan jeda saat berdialog juga
semakin baik.
6) Gaya Siswa Siklus II
Pada siklus II ini juga terjadi peningkatan nilai rerata gaya siswa kelas
VIB, yaitu senilai 74% yang dikategorikan “baik”. Hal ini dapat dilihat dari
162
busana yang digunakan siswa sudah terlihat santun dan rapi, gaya/ekspresi sudah
semakin meningkat. Keluwesan saat berdialog sudah semakin terlihat
perubahannya. Kepercayaan diri siswa juga semakin meningkat.
4.2.8 Penggunaan Sor Singgih Bahasa Bali Siklus II
Pada siklus II penggunaan sor singgih bahasa siswa mengalami
peningkatan. Siswa sudah mulai percaya diri dalam pemakaian bahasa Bali saat
berkomunikasi pada situasi yang berbeda-beda. Siswa sudah mampu
menggunakan bahasa Bali dari bahasa Bali biasa (basa andap/kapara) sampai
basa alus walaupun beberapa masih terdapat kesalahan-kesalahan dalam
penggunaan kata bahasa Bali. Peningkatan ini dapat dilihat dalam dialog (data
rekaman 6) berikut.
(ii) T A: Nawegan Ratu singgih peranda wenten sane jagi tunasang titiang. “Mohon maaf ratu singgih Peranda ada yang akan saya tanyakan”
Kalimat dialog di atas diucapkan oleh siswa sebagai orang pertama (O1)
berasal dari golongan bawah (jaba/sudra) dengan lawan tuturnya adalah ratu
pedanda sebagai orang kedua (O2) adalah dari golongan atas (tri
wangsa/brahmana), maka siswa sebagai O1 sudah tepat menggunakan kalimat di
atas, yaitu menggunakan basa alus singgih dan basa alus sor. Kata “nawegan”
merupakan kata untuk merendahkan diri yang dapat diartikan dengan kata
maaf/mohon maaf. Kata “tunasang” adalah basa alus sor. Kata “tunasang” dalam
bahasa Indonesia artinya mintakan atau juga tanyakan.
163
4.2.9 Membangun Karakter Siswa Siklus II
Adapun data karakter yang berkembang pada siklus I adalah karakter
kesopansantunan. Karakter ini juga berkembang pada situasi di pasar, di griya
(tempat tinggal golongan Brahmana), dan di keluarga. Hal ini dapat dilihat pada
dialog berikut.
(i) Di pasar A (pembeli) : Ten dados aji dasa tali kilo Buk (data rekaman 4)
“Tidak boleh harganya 10.000 per kilo Bu”
Pada penggalan dialog di atas, siswa (O1) sebagai pembeli sudah mampu
berbicara dengan menggunakan penanda kesopanan, yakni menggunakan kata
“ten dados” yang artinya tidakah boleh. Siswa sudah mampu menggunakan basa
alus dalam berkomunikasi pada dialog yang dimainkan. Dalam bahasa Bali, kata
“ten dan dados” merupakan basa alus mider.
(ii) Di Griya (tempat tinggal golongan Brahmana) A : Inggih ratu, suksma kematen. Titiang nglungsur mapamit. (data rekaman7) “Ya ratu, terima kasih. Saya mohon pamit”
Pada penggalan situasi dialog di atas, siswa sudah mampu menggunakan
kata “inggih” dan “suksma” dalam menumbuhkan karakter kesopansantunan yang
diucapkan saat berbicara dengan orang dari golongan atas (triwangsa).
(iii) Di keluarga
A (Ayah) : Nah-nah…ne pipise dum ajak dadua (data rekaman3) “Ya…ya…ini uangnya bagi berdua”
164
A (anak) : Suksma pa… “Terima kasih ayah”
Pada penggalan situasi dialog di atas, siswa sudah mampu menggunakan
kata “suksma” yang artinya terima kasih sebagai penanda kesopanan berbahasaa.
Mengajarkan mengucapkan kata “suksma” merupakan tujuan untuk
menumbuhkembangkan karakter kesopansantunan dalam lingkungan keluarga.
4.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Peningkatan Kemampuan Berbicara
Siswa
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan tersebut, dapat
diidentifikasi tiga temuan bermakna yang berkaitan dengan rumusan masalah.
Temuan tersebut (1) kemampuan berbicara sor singgih siswa sebelum penerapan
metode bermain peran, (2) peningkatan kemampuan berbicara sor singgih siswa
setelah penerapan metode bermain peran, dan (3) faktor-faktor yang memengaruhi
peningkatan berbicara sor singgih siswa dalam penerapan metode bermain peran.
Dalam penelitian ini, hasil tes awal pratindakan menujukkan persentase
nilai rerata siswa adalah 50% dalam kategori kurang. Hal ini berarti bahwa siswa
kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati memiliki kemampuan yang rendah dalam
berbicara sor singgih bahasa Bali. Masalah ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor ini berasal dari faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal),
seperti di bawah ini.
1) Intensitas guru dalam mengajarkan bahasa Bali sangat kurang (rendah).
Hal ini, disebabkan oleh guru yang mengajar bukan berasal dari latar
165
belakang pendidikan bahasa Bali, sehingga tingkat pemahaman siswa juga
kurang (rendah) khususnya tentang sor singgih bahasa Bali.
2) Motivasi siswa selama proses belajar mengajar juga kurang baik. Ketika
ada sepasang temannya melakukan praktik dialog di depan kelas, siswa
yang lain cenderung kurang mau memerhatikan temannya yang sedang
berdialog di depan kelas.
3) Kebiasaan belajar siswa yang kurang baik. Siswa cenderung membuat
keributan dengan bercakap-cakap dengan temannya sehingga mengganggu
proses perekaman.
4) Penguasaan komponen kebahasaan masih rendah. Masih banyak siswa
yang belun jelas dalam pelafalan, masih ada beberapa kesalahan, baik
dalam kosakata maupun tata bahasa.
5) Sikap mental siswa masih kurang baik. Hampir sebagian siswa sering
membuat keributan di kelas. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
pengawasan atau kontrol dari guru, akibat intensitas guru dalam mengajar
bahasa Bali sangat kurang.
6) Hubungan interaksi antara guru dan siswa masih rendah. Guru cenderung
berfokus mengajarkan keterampilan menulis dan membaca aksara Bali
serta bahasa Bali Latin, sedangkan keterampilan berbicara lebih sering
diabaikan.
7) Metode pengajaran guru kurang menarik. Guru kurang inovatif dalam
penerapan metode saat proses belajar.
166
Hasil tes siklus I menujukkan peningkatan. Persentase nilai rerata siswa
adalah 61% dalam kategori cukup. Siklus II juga menunjukkan peningkatan, yaitu
persentase nilai rerata siswa adalah 79% dalam kategori baik. Pada tahap
pascatindakan dari siklus I sampai dengan siklus II, ada beberapa hal yang
menjadi fokus peneliti dalam upaya meningkatkan kemampuan berbicara sor
singgih bahasa Bali dalam membangun karakter siswa, yaitu sebagai berikut.
1) Memberikan motivasi kepada siswa yang masih terlihat pasif dan belum
percaya diri di depan kelas.
2) Memberikan waktu yang lebih untuk berlatih berbicara.
3) Memberikan contoh-contoh dialog bahasa Bali dan mencontohkan
pelafalan yang benar.
4) Menyelipkan pendidikan karakter khususnya kesopansantunan berbahasa
Bali (berkomunikasi dengan bahasa yang santun) sesuai dengan sor
singgih bahasa Bali dengan memberikan beberapa contoh perilaku.
Dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dirasa
dapat menjadi pemicu terjadinya peningkatan berbicara sor singgih bahasa Bali
dalam membangun karakter siswa kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati melalui
metode bermain peran adalah sebagai berikut.
1) Adanya pengulangan materi sor singgih dengan tujuan untuk lebih
mengingatkan siswa tentang pemakaian sor singgih dalam kehidupan
sehari-hari.
2) Adanya metode/cara bermain peran yang mampu mempermudah siswa
menyerap pelajaran bahasa Bali, khususnya pelajaran berbicara sor
167
singgih bahasa Bali dan mampu mengaplikasikannya ke dalam kehidupan
sehari-hari.
3) Adanya kebiasaan yang ditumbuhkan setiap hari, yaitu selalu memberikan
pemahaman tentang perilaku yang baik dan sopan (menanamkan karakter
yang baik pada siswa).
4) Adanya motivasi yang diberikan oleh guru saat siswa sulit dalam
mengungkapkan bahasa Bali ke dalam sebuah dialog.
5) Adanya ketertarikan siswa untuk berbicara bahasa Bali dengan
berdialog/bercakap-cakap dengan temannya di depan kelas karena siswa
lebih bebas mengeksplorasi kemampuannya dengan bermain peran.
6) Hubungan interaksi antara guru dan siswa, antarsiswa dibangun melalui
tanya-jawab dan penerapan metode bermain peran.
7) Sikap mental siswa dibentuk dengan menyelipkan pendidikan karakter
khususnya kesopansantunan berbahasa Bali.
168
BAB V KURIKULUM, SILABUS, MATERI, RPP, DAN
EVALUASI
5.1 Linguistik Terapan
Pengajaran bahasa merupakan salah satu cabang dari linguistik terapan
(applied linguistics), karena pengajaran bahasa merupakan aktivitas yang berfokus
pada aplikasi dari ilmu bahasa. Linguistik terapan dikenal sebagai cabang ilmu
linguistik yang memiliki fokus pada penerapan aspek teori-teori linguistik,
metode, dan temuan dalam masalah bahasa (Crystal, 1991:22). Tujuan dalam
linguistik terapan adalah menggunakan pengetahuan dan wawasan yang diperoleh
melalui investigasi-investigasi ilmu pengetahuan ke dalam hakikat bahasa dengan
harapan mampu memecahkan beberapa permasalahan yang muncul dalam
perencanaan dan penerapan program-program pengajaran bahasa.
Program-program pengajaran bahasa disusun sebagai pedoman dasar
dalam proses pembelajaran yang biasa dikenal dengan istilah kurikulum dan
silabus. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang
kompetensi yang dibakukan dan cara penyampaian yang disesuaikan dengan
keadaan dan kemampuan daerah. Sedangkan silabus adalah suatu rencana yang
mengatur kegiatan pembelajaran dan pengelolaan kelas, serta penilaian hasil
belajar dari suatu mata pelajaran. Silabus ini merupakan bagian dari kurikulum
sebagai penjabaran Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar ke dalam materi
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk
penilaian hasil belajar.
169
Hasil evaluasi yang dilakukan melalui pengamatan empirik pada kelas
VIB SD Negeri 3 Sukawati menunjukkan bahwa terjadinya permasalahan dalam
pengajaran mata pelajaran bahasa Bali diakibatkan oleh kurangnya penyusunan
sistematika perencanaan pembelajaran yang baik dan tidak tersedianya tenaga
pendidik yang berkompetensi dalam pengajaran bahasa Bali. Hal ini disebabkan
oleh guru yang mengajarkan bahasa Bali adalah guru kelas, bukan guru yang
berlatar belakang pendidikan bahasa Bali. Metode pengajaran yang digunakan
oleh guru sangat berpengaruh pada kualitas pemahaman terhadap kemampuan
berbicara pada siswa. Selama ini, guru kelas lebih memfokuskan mengajarkan
keterampilan menulis dan keterampilan membaca bahasa Bali, baik bahasa Bali
Latin maupun aksara Bali juga menggunakan teknik penugasan berupa menjawab
LKS (lembar kerja siswa). Metode pengajaran (konsep belajar) yang digunakan
seorang guru akan memberikan pengaruh kepada siswa secara langsung
(instructional effect) dan tidak langsung (nurturant effect) (Djamarah, 2000:193).
Terkait dengan penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode
bermain peran (role play) dengan dasar prosedur tindakan yang dilaksanakan
adalah melalui PTK. Kegiatan pembelajaran diarahkan pada keterampilan
berbicara sor singgih bahasa Bali di tingkat sekolah dasar. Pemahaman konsep
linguistik terapan memberikan solusi atas penggunaan teori seputar kakikat
bahasa, proses berbahasa, dan penggunaan bahasa secara aktual dalam komunikasi
sehari-hari. Sebelum dibuatkan pedoman dan tindakan, penting kiranya
digambarkan terlebih dahulu profil siswa kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati,
170
semester dua, tahun ajaran 2012/2013. Setelah itu, sebuah analisis kebutuhan
selanjutnya dirancang untuk mengetahui kebutuhan siswa secara utuh.
5.2 Profil Siswa
Profil siswa sangat penting diketahui oleh pendidik untuk dapat
mengetahui kemampuan dasar dan motivasi siswa pada saat proses belajar
mengajar demi terciptanya situasi pembelajaran yang kondusif. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan kepada guru kelas VIB dapat diketahui karakteristik
pribadi siswa, lingkumgan siswa, dan psikologis mereka. Terkait dengan
penelitian ini, profil peserta didik semester II kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati
tahun ajaran 2012/2013 dapat disajikan dalam penjabaran sebagai berikut.
PROFIL SISWA
Jumlah Siswa : 31 orang
Gender : Laki-laki (18 orang)
Perempuan (13 orang)
Umur : 12 dan 13 tahun
Latar Belakang keluarga : berasal dari golongan keluarga petani, pegawai swasta, polri, wiraswasta, dan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka termasuk dalam golongan kelas menengah ke bawah.
Tingkat Kemampuan : rendah
Motivasi : mampu berbicara bahasa Bali sesuai dengan sor
singgih bahasa Bali untuk membangun karakter kesopansantunan dalam berbicara bahasa Bali.
Sikap : sebagian besar siswa memiliki sikap antusias dalam mengikuti pembelajaran bahasa Bali, tetapi
171
cenderung cepat jenuh sehingga kerap kali membuat keributan.
Ketertarikan : mempelajari pelafalan, kosakata, tatabahasa, materi,
kelancaran, dan gaya dalam bermain peran bahasa Bali.
Bahasa Pertama : bahasa Bali dan bahasa Indonesia.
Tujuan Belajar : secara umum untuk mengetahui seluk beluk tentang sor singgih bahasa Bali. kemudian secara khusus agar mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Bali sesuai dengan sor singgih bahasa Bali dalam membangun karakter kesopansatunan berbicara.
5.3 Analisis Kebutuhan (Need Analysis)
Analisis kebutuhan (need analysis) adalah suatu aktivitas yang
mendeskripsikan perbedaan antara aktivitas bahasa apa yang sudah dikuasai dan
dilakukan pembelajar saat ini dan aktifitas bahasa apa yang diharapkan mampu
dikuasai siswa nantinya (Richard, 1986:51). Analisis kebutuhan ini terdiri atas dua
aspek, yakni target needs (apa yang diperlukan peserta didik dalam situasi bahasa
target) dan learning needs (apa yang perlu dilakukan peserta didik untuk
mempelajari bahasa target).
5.3.1 Target Kebutuhan (Target Needs)
Analisis tentang target kebutuhan dapat dibedakan menurut tiga
klasifikasi, yaitu keperluan (necessities), kekurangan (lack), dan keinginan
(wants) pembelajar.
172
1) Keperluan (Necessities)
Bagian keperluan (necessities) meliputi hal-hal yang harus diketahui oleh
siswa dalam menggunakan bahasa yang dipelajari secara efektif sesuai dengan
target kebutuhan. Dalam hal ini, siswa kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati
menyadari bahwa kebutuhan mereka adalah meningkatkan keterampilan berbicara
bahasa Bali sesuai dengan tata krama (kesopansantunan berbicara) dalam
kehidupan sehari-hari, baik di sekolah, di keluarga, dan di masyarakat melalui
metode bermain. Dari segi bahasa, tentunya mereka menginginkan penguasaan
berbahasa Bali yang sesuai dengan sor singgih bahasa Bali.
2) Kekurangan (Lack)
Bagian kekurangan (lack) menjelaskan pengetahuan yang sudah atau
belum dikuasai oleh siswa. Terkait dengan tujuan di atas, dilakukan tes
pratindakan yang selanjutnya digunakan sebagai refleksi penggunaan pada
pelaksanaaan siklus penelitian selanjutnya. Secara garis besar, sebagian siswa
sesungguhnya sudah mampu berbicara bahasa Bali dengan benar. Akan tetapi,
beberapa siswa masih keliru dalam penggunaan kata yang sesuai dengan sor
singgih bahasa Bali. Kalimat yang diucapkan cenderung terpengaruh oleh dialek
setempat yang banyak menyingkat-nyingkat kata yang mengakibatkan kesalahan-
kesalahan dalam pengucapan, seperti kata “mai naé” diucapkan “mi nǝ”, kata
“abana” diucapkan “abawǝ”, kata “ningehang” diucapkan “ningehin”, dan
sebagainya. Dalam mengekspresikan kata-kata pun siswa cenderung kurang
173
mampu menguasai dialog dengan benar dan dari segi gaya kurang luwes. Hal ini
disebabkan oleh siswa belum terbiasa dengan metode yang digunakan karena
pembelajaran yang sering dilakukan hanya berfokus pada kemampuan membaca
dan menulis bahasa Bali serta menjawab lembar kerja siswa (LKS).
3) Keinginan (Wants)
Pada dasarnya, kompetensi-kompetensi yang ingin dikuasai siswa sejalan
dengan indikator pembelajaran yang disusun. Kompetensi yang ingin dicapai
adalah (1) siswa dapat bercakap-cakap (berkomunikasi dengan lancar), (2) siswa
dapat menggunakan bahasa sor singgih sesuai dengan unsur penentu komunikasi,
dan (3) siswa bercakap dengan sikap yang sopan sesuai dengan tata krama. Materi
yang diharapkan adalah yang terkait dengan konsep sor singgih bahasa Bali
(bagaimana berbicara dengan teman, orang tua, guru, orang yang baru dikenal,
berbelanja ke pasar, dan sebagainya).
5.3.2 Kebutuhan Belajar (Learning Needs)
Kebutuhan belajar (learning needs) ini berhubungan dengan situasi
pembelajaran (learning situation) yang meliputi penjelasan bagaimana seseorang
mempelajari item-item bahasa, keterampilan, dan strategi yang dipakai dalam
pembelajaran (Hutchinson dan Waters, 1987:61). Analisis kebutuhan
pembelajaran pada situasi pembelajaran sor singgih bahasa Bali disajikan sebagai
berikut.
174
1) Memahami konsep sor singgih bahasa Bali sesuai dengan unsur penentu
komunikasi (basa andap, basa mider, basa alus sor, dan basa alus
singgih).
2) Mampu menggunakan bahasa bahasa Bali sesuai dengan sor singgih-nya.
3) Mampu bercakap-cakap dengan lancar.
4) Mampu menyampaikan ekspresi dalam mengajukan pertanyaan,
gagasan/ide, serta permintaan.
5) Mampu bercakap-cakap dengan sikap yang sopan sesuai dengan tata
krama (sesuai dengan sor singgih bahasa Bali).
6) Mampu membangun dan meningkatkan karakter kesopansantunan dalam
berbahasa.
5.4 Analisis Frame Faktor (Frame Factor Analysis)
Dalam penulisan silabus, sangat perlu disesuaikan dengan situasi dan
kondisi lingkungan pembelajaran karena hal tersebut mendukung keberhasilan
proses pembelajaran di kelas. Situasi dan kondisi lingkungan pembelajaran
tersebut meliputi permasalahan, seperti gambaran umum tentang situasi kelas,
sarana dan prasarana mengajar, kendala belajar yang muncul di kelas, sumber
daya manusia (SDM), dan tujuan.
1) Deskripsi Kelas
Mata pelajaran bahasa Bali diberikan setiap hari Kamis pada pukul
09.30—10.40 WITA di ruangan kelas VIB SD Negeri 3 Sukawati. Suasana kelas
dirasakan cukup nyaman karena ruangan kelas cukup untuk menampung 31 orang
175
siswa dan terdapat beberapa jendela serta gorden sehingga sirkulasi udara lebih
baik. Selain itu, ruangannya juga tidak terlalu bising karena jarak cukup jauh dari
jalan raya utama sekolah. Fasilitas yang disediakan di ruangan meliputi meja guru,
papan tulis, lemari buku, spidol, penghapus.
2) Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana dalam pembelajaran yang umumnya digunakan oleh
peneliti adalah lembar observasi, cacatan guru, contoh percakapan/teks, silabus.
RPP, dan buku pedoman bahasa Bali.
3) Kendala Belajar yang Muncul
Kendala belajar yang muncul pada umumnya adalah pemahaman siswa
sangat kurang dalam memahami sor singgih bahasa Bali, kurangnya motivasi
siswa bekerja dalam kelompok yang bisa dilihat dalam penampilan siswa
memperagakan dialog yang dibuat di depan kelas dari pratindakan sampai pada
siklus I dan siklus II hanya terdapat beberapa orang siswa yang
berpartisipasi/antusias dalam berdialog. Di samping itu, hambatan yang terjadi
pada siswa adalah mengeksplorasi kalimat dan ide yang akan dituangkan ke dalam
sebuah dialog. Hal ini terjadi karena bahasa Bali memiliki tingkat-tingkatan
bahasa dari yang paling kasar sampai dengan bahasa yang paling halus (sor
singgih basa) yang menyebabkan siswa sedikit kebingungan dalam menentukan
kata dan kalimat yang akan dipakai. Dalam proses pembelajaran pun 1 atau 2
orang siswa sering menaikkan kaki di atas bangku serta kerap kali membuat
176
keributan yang kadang mengganggu kegiatan belajar. Akan tetapi, pada siklus II
permasalahan tersebut secara perlahan-lahan mulai dapat diatasi.
4) Sumber Daya Manusia (SDM)
Terkait dengan sumber daya manusia (SDM) yang meliputi tenaga
pengajar, mata pelajaran bahasa Bali di SD Negeri 3 Sukawati diajarkan oleh guru
kelas yang berlatar belakang pendidikan S1 PGSD. Latar belakang pendidikan
guru kelas VIB yang tidak linier dengan mata pelajaran bahasa Bali. Hal ini
menyebabkan siswa jarang diajar serta guru kelas cenderung hanya mengajarkan
keterampilan menulis dan keterampilan membaca bahasa Bali, baik bahasa Bali
Latin maupun aksara Bali. Di samping itu, juga menggunakan teknik penugasan
berupa menjawab LKS (lembar kerja siswa) saja.
5) Tujuan (Objective)
Desain pembelajaran dalam penelitian ini dilakukan untuk memenuhi
tujuan pembelajaran seperti uraian berikut ini:
(a) Membantu siswa agar mampu lebih aktif dalam berkomunikasi dengan
bahasa Bali, seperti (1) siswa mampu bercakap-cakap (berkomunikasi
dengan lancar), (2) siswa mampu menggunakan bahasa sor singgih sesuai
dengan unsur penentu komunikasi, dan (3) siswa mampu bercakap dengan
sikap yang sopan sesuai dengan tata krama.
(b) Mengembangkan tingkat penguasaan kosakata dan tata bahasa Bali siswa.
177
5.5 Kurikulum
Kurikulum pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 20, Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu (Ruhimat dkk., 2011:8).
Kurikulum yang berlaku saat ini dan digunakan oleh SD Negeri 3
Sukawati adalah kurikulum KTSP 2006 yang berlandaskan pada Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 pasal 5 ayat 2, Undang-Undang Nomor 20, Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta Undang-Undang Nomor 22, Tahun
1999 tentang Otonomi Daerah. Dalam kurikulum ini, mata pelajaran bahasa Bali
termasuk ke dalam kelompok muatan lokal.
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan
kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk
keunggulan daerah. Sehubungan dengan itu, pelaksanaan pendidikan budi pekerti
di daerah Provinsi Bali berdasarkan Perda Nomor 3, Tahun 1992 yang
ditindaklanjuti dengan surat edaran Kakanwil Depdikbud Provinsi Bali Nomor
715/I/19/I.1994 yang menggariskan bahwa bahasa daerah Bali dan pendidikan
budi pekerti agar dijadikan muatan lokal wajib pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, yang menentukan kenaikan kelas dan kelulusan peserta didik. Dalam
pelaksanaannya, alokasi waktu disesuaikan dengan kebutuhan sekolah.
178
Bahasa Bali yang termasuk ke dalam kelompok muatan lokal memiliki
peran yang sangat penting dalam kehidupan dan peradaban masyarakat Bali serta
memiliki peran sentral dalam pengembangan intelektual, sosial, dan emosional
peserta didik. Sebagai salah satu keunggulan lokal di Bali, pembelajaran bahasa
Bali diharapkan dapat membantu peserta didik untuk lebih mengenal, mencintai,
dan ikut melestarikan keunggulan lokal Bali. Sebagai salah satu bahasa daerah di
Indonesia, bahasa Bali berfungsi sebagai (a) lambang kebanggaan daerah dan
masyarakat Bali, (b) lambang identitas daerah dan masyarakat Bali, (c) alat
penghubung di dalam keluarga dan masyarakat Bali, dan (d) pendukung sastra
daerah Bali dan sastra Indonesia. Mata pelajaran bahasa Bali bertujuan agar
peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
(1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku
dalam masyarakat Bali, baik secara lisan maupun tulisan.
(2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa daerah
dan bahasa ibu.
(3) Memahami bahasa Bali dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif
dalam berbagai tujuan.
(4) Menggunakan bahasa Bali untuk meningkatkan kemampuan intelektual
serta kematangan emosional dan sosial.
5.6 Silabus
Istilah silabus digunakan untuk merujuk pada materi yang ada di dalam
sebuah kegiatan belajar atau sederet kegiatan belajar (misalnya kegiatan belajar
179
pada semester satu, dua, dsb). Silabus yang dirancang dengan baik juga digunakan
untuk memetakan materi yang akan diberikan selama periode waktu tertentu.
Biasanya silabus menjelaskan tujuan, prosedur penilaian, dan jumlah serta jenis-
jenis tes dan ulangan, pekerjaan rumah, tugas laboratorium, pekerjaan sekolah,
dan sistem penentuan nilainya (Ghazali, 2010:74).
Terkait dengan penelitian ini, penyusunan silabus pembelajaran mata
pelajaran bahasa Bali berlandaskan kurikulum institusi yang berlaku di SD Negeri
3 Sukawati. Silabus ini terdiri atas bagian-bagian, seperti aspek keterampilan,
standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, indikator, pengalaman
belajar, penilaian, alokasi waktu, alat dan sumber belajar. Contoh silabus pada
materi sor singgih bahasa Bali digambarkan sebagai berikut.
180
SILABUS
MATA PELAJARAN : BAHASA BALI KELAS : VI SEMESTER : II
5.1 Silabus Pembelajaran Keterampilan Berbicara Bahasa Bali
NO ASPEK STANDAR KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR
MATERI POKOK
INDIKATOR PENGALAMAN BELAJAR
PENILAIAN ALOKASI WAKTU
ALAT SUMBER BAHAN
B Berbicara Bercakap-cakap kehidupan anak-anak/siswa
Kemampuan bercakap-cakap (berkomunikasi dengan bahasa yang santun sesuai dengan tata krama)
Bahan: guru mengusahakan topik percakapan: 1) Kehidupan
sekolah. 2) Kehidupan
lingkungan keluarga
3) Masa depan anak/siswa
1) Siswa dapat bercakap-cakap (berkomunikasi dengan lancar)
2) Siswa dapat menggunakan bahasa sor singgih sesuai dengan unsur penentu komunikasi
3) Siswa dapat bercakap-cakap dengan sikap yang sopan sesuai dengan tata krama
1) Melakukan percakapan tanya jawab
2) Menggunakan sor singgih sesuai unsur penentu komunikasi
3) Menirukan sikap yang sopan sesuai dengan tata krama
Tes lisan Tes tulis Penugasan
Buku pelajaran kelas VI, Penerbit Tarukan Agung Buku Widya Sari kelasVI penerbit Tri Agung
181
5.7 Materi
Materi disusun sesuai dengan silabus dan sesuai dengan kebutuhan siswa
serta tujuan yang akan dicapai. Materi selengkapnya dapat dilihat dalam tabel
berikut.
Tabel 5.2 Materi Pembelajaran Sor Singgih Bahasa Bali dengan Metode Bermain peran
Pertemuan Kegiatan Materi
Siklus I Eksplorasi 13. Menjelaskan pengertian sor singgih bahasa Bali dan pembagiannya (Basa Alus Singgih, Basa Alus Sor, Basa Alus Mider, lan Basa Kapara).
14. Memberikan pemahaman tentang nilai karakter kesopansantunan berbahasa Bali (bagaimana berkomunikasi dengan bahasa yang santun sesuai dengan tata krama).
15. Menjelaskan cara membuat percakapan. 16. Menegaskan tentang cara pengucapan, intonasi,
dan memeragakan sebuah percakapan berbahasa Bali “Katemu ring perpustakaan”.
Elaborasi Memberikan dan membahas handout yang memuat tentang contoh percakapann bahasa Bali “mabebaosan ring sekolahan”.
Konfirmasi Memberikan feedback yang positif dan penguatan yang berfokus pada kosakata, susunan kalimat, dan penggunaan sor singgih basa sesuai dengan unsur penentu.
Siklus II Eksplorasi Mengulas kembali secara singkat tentang pengertian sor singgih bahasa Bali dan pembagiannya (Basa Alus Singgih, Basa Alus Sor, Basa Alus Mider, lan Basa Kapara), serta memberikan pemahaman tentang nilai karakter kesopansantunan berbahasa Bali (bagaimana berkomunikasi dengan bahasa yang santun sesuai dengan tata krama).
Elaborasi Memberikan handout yang memuat contoh percapakan bahasa Bali “Mabebaosan ring pasar”
Konfirmasi Memberikan feedback dan penguatan yang berfokus pada kosakata, susunan kalimat, dan penggunaan sor singgih basa sesuai dengan unsur penentu.
182
5.8 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana yang
menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai
suatu kompetensi dasar yang telah dijabarkan dalam silabus. RPP ini dibuat oleh
pengajar/guru sebagai pedomam umum untuk melaksanakan pembelajaran kepada
peserta didiknya dan mengacu kepada poin-poin yang diungkapkan pada bagian
silabus. Selanjutnya RPP memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran,
materi pembelajaran, metode pembelajaran, sumber belajar, kegiatan
pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Berikut ini penjabaran RPP yang
digunakan peneliti dalam siklus I dan II.
A. SIKLUS I
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Sekolah : SDN 3 Sukawati
Mata Pelajaran : Bahasa Bali
Kelas / Semester : VI B/ II (dua)
Alokasi Waktu : 4 x 35 menit (2 x pertemuan)
I. Standar Kompetensi
Bercakap-cakap kehidupan anak-anak/siswa (berbicara).
183
II. Kompetensi Dasar
Bercakap-cakap dengan bahasa yang santun sesuai dengan tata krama (sor
singgih bahasa Bali).
III. Indikator
a) Siswa dapat bercakap-cakap dengan lancar.
b) Siswa dapat menggunakan sor singgih basa sesuai dengan unsur
penentu.
c) Siswa bercakap-cakap dengan sikap yang sopan sesuai dengan tata
krama.
IV. Tujuan Pembelajaran
Setelah peserta didik mempelajari tema ini:
a) Dapat bercakap-cakap dengan sikap yang sopan sesuai dengan tata
krama
b) Dapat bercakap-cakap dengan lancar
c) Dapat menggunakan sor singgih basa sesuai dengan unsur penentu
V. Karakter Siswa yang dikembangkan
a) Santun
b) Percaya diri
c) Mandiri
d) Rasa ingin tahu
e) Bersahabat dan komunikatif
f) Disiplin
184
VI. Materi Ajar
Percakapan dengan topik kehidupan sekolah, kehidupan lingkungan
keluarga, masa depan siswa.
Sor Singgih Basa Bali
Ritatkala mabebaosan patut nganutin sor singgih. Sor Singgih Basa Bali
punika kapah dados 4 soroh, inggih punika:
1. Basa Bali Alus Singgih (Asi)
2. Basa Bali Alus Sor (Aso)
3. Basa Bali Alus Mider (Ami)
4. Basa Bali Alus Kapara (Bk)
a. Basa Bali Alus Singgih kaangge ritatkala mabaos sareng sami patut
kasinggihan, umpami: guru, pamuka agama, anak ane kelihan, tamiu,
miwah sane lianan.
Umpami:
1) Bapak Guru malih pidan lunga ka rumah sakit.
2) Nunas lugra titiang ratu pedanda lunga kija palinggih iratu
mangkin.
b. Basa Bali Alus Sor kaanggen ngalusang iraga padidian umpami:
1) Titiang kantun nunas ratu.
2) Ipun tan prasida ngiring saantukan buntut ipunne lih.
Kruna titiang, buntut, dane ngandika maka sami alus sor.
c. Basa Bali Alus Mider punika Basa Bali sane dados kaanggen ring alus
singgih, alus sor, lan ring basa kasar, umpami kruna kija:
185
1) Ratu lunga kija palungane?
2) De lakar kija jani?
3) Dane lunga kija sane dibi?
Miwah sane lianan. Kruna kija kabaos alus mider.
d. Basa Kapara inggih punika basa Bali kaanggen mabaos sareng sane
patut akrab. Biasane basa macampur wenten alus, kasar, umpami:
1) De, mai ngajeng malu, beli sedekan madaar!
2) Man lakar kija, simpang mulih malu! Miwah sane lianan.
Conto-conto kruna sane lianan:
1. Matur majeng ring bapak guru:
a. Nawegan Bapak guru titiang nenten midep.
b. Ring napi genahe Ibu Guru?
c. Niki napi wastanne Bapak Guru?
2. Matur majeng ring ida pedanda:
a. Ratu peranda titiang parekan due pedek tangkil.
b. Titiang ngelungsur mapamit, Ratu peranda.
3. Pangandikan bapak guru ring sisia:
a. Cerik-cerike jani musti jemet malajah!
b. Ane pelih sinah kene denda.
c. Made sing dadi nakal!
VII. Metode Pembelajaran
a) Ceramah/informasi
b) Diskusi/kooperatif
186
c) Tanya jawab
d) Demonstrasi
e) Tugas
VIII. Pertemuan I
1. Langkah-langkah Pembelajaran
1) Kegiatan Awal (10 menit)
a) Membuka pelajaran dengan mengucapkan salam “Om Swastiastu”,
dan “rahajeng semeng alit-alite”, serta membacakan absensi
(santun dan disiplin).
b) Memberikan apersepsi berupa pertanyaan-pertanyaan yang
mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan
dipelajari, seperti “yening alit-alite mabebaosan sareng guru,
nganggen basa Bali napi basa Indonesia? Yening mabebaosan
ajak timpal nganggen basa napi? dll” (rasa ingin tahu).
c) Menjelaskan tujuan pembelajaran dan menyampaikan cakupan
materi “mangkin alit-alite jagi malajah sor singgih basa Bali taler
kapahannyane lan malajah ngaryanin bablibagan basa Bali” (rasa
ingin tahu).
2) Kegiatan Inti (50 menit)
A. Eksplorasi
a) Menjelaskan pengertian sor singgih bahasa Bali dan pembagiannya
(Basa Alus Singgih, Basa Alus Sor, Basa Alus Mider, lan Basa
Kapara) (rasa ingin tahu).
187
b) Memberikan pemahaman tentang nilai karakter kesopansantunan
berbahasa Bali (bagaimana berkomunikasi dengan bahasa yang
santun sesuai dengan tata karma) (rasa ingin tahu dan santun).
c) Menjelaskan dan memberikan arahan cara membuat percakapan.
d) Menegaskan tentang cara pengucapan, intonasi, serta gaya/ekspresi
(percaya diri).
e) Memperagakan sebuah percakapan berbahasa Bali “Katemu ring
perpustakaan” (percaya diri dan kesantunan).
B. Elaborasi
a) Menugasi dua siswa untuk mempraktikkan percakapan “Katemu
ring perpustakaan” di depan kelas (percaya diri, kesantunan,
komunikatif).
b) Memberikan handout yang memuat tentang contoh percapakan
bahasa Bali “mabebaosan ring sekolahan”.
c) Membahas secara mendetail komponen contoh-contoh percakapan
pada handout dan menyelipkan pemahaman tentang nilai karakter
kesopansantunan berbahasa (rasa ingin tahu, komunikatif,
kesantunan).
d) Menugasi siswa membuat percakapan dengan topik “Katemu
sareng guru ring sekolah”, membagi siswa menjadi beberapa
kelompok. Alokasi waktu berdiskusi ±10 menit (disiplin, percaya
diri, rasa ingin tahu).
188
e) Meminta hasil percakapan yang sudah dibuat untuk dikumpulkan.
f) Tugas percakapan yang diberikan akan direkam pada pertemuan
berikutnya.
C. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru melakukan kegiatan berikut.
a) Memberikan feedback yang positif dan penguatan yang berfokus
pada kosakata, susunan kalimat, dan penggunaan sor singgih basa
sesuai dengan unsur penentu, serta memberikan motivasi kepada
siswa yang kurang/belum berpartisipasi aktif (motivasi, saling
menghargai).
b) Menyimpulkan materi : percakapan bahasa Bali
3) Kegiatan Akhir (10 menit)
a) Bersama-sama dengan peserta didik dan/ atau sendiri membuat
rangkuman / simpulan pelajaran.
b) Memberitahukan siswa bahwa tugas percakapan yang sudah dibuat
tadi akan direkam pada pertemuan berikutnya dan menutup
pelajaran dengan mengucapkan “pramasanti” (santun dan religius).
189
IX. Pertemuan II
1. Langkah-langkah Pembelajaran
1) Kegiatan Awal (10 menit)
a) Membuka pelajaran dengan mengucapkan salam “Om Swastiastu”,
dan “rahajeng semeng alit-alite”, serta membacakan absensi
(santun dan disiplin).
b) Memberikan apersepsi berupa pertanyaan-pertanyaan yang
mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan
dipelajari (rasa ingin tahu).
c) Menjelaskan tujuan pembelajaran dan menyampaikan cakupan
materi.
2) Kegiatan Inti (50 menit)
A. Eksplorasi
a) Menegaskan cara pengucapan, intonasi, dan memperagakan sebuah
percakapan berbahasa Bali (percaya diri, komunikatif).
b) Memperagakan sekilas sebuah contoh percakapan berbahasa Bali
(percaya diri, komunikatif).
B. Elaborasi
a) Meminta setiap kelompok meeragakan dialog yang sudah dibuat di
depan kelas (percaya diri, bersahabat, dan komunikatif).
b) Merekam dialog yang diperagakan oleh tiap-tiap kelompok.
190
C. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru melakukan kegiatan sebagai berikut.
a) Memberikan feedback yang positif dan penguatan yang berfokus
pada kosakata, susunan kalimat, dan penggunaan sor singgih basa
sesuai dengan unsur penentu, serta memberikan motivasi kepada
siswa yang kurang/belum berpartisipasi aktif (motivasi, saling
menghargai).
b) Menyimpulkan materi : percakapan bahasa Bali.
3) Kegiatan Akhir (10 menit)
a) Bersama-sama dengan peserta didik dan/ atau sendiri membuat
rangkuman / simpulan pelajaran.
b) Menutup pelajaran dengan mengucapkan “pramasanti” (santun dan
religious).
X. Sumber Pembelajaran
a) Buku Bahasa Bali Kelas VI, Penerbit Pustaka Tarukan Agung
b) Sor Singgih Basa Bali, penerbit Rhika Dewata Singaraja
XI. Penilaian
Penilaian dilakukan dengan teknik penilaian berbicara (tes praktek
berdialog di depan kelas) dengan bentuk instruksi membuat
dialog/percakapan bahasa Bali yang sesuai dengan sor singgih basa Bali.
Di samping itu, juga sesuai dengan enam indikator penilaian berbicara
yang terdiri atas dua aspek, yaitu aspek kebahasaan meliputi lafal,
191
kosakata, dan struktur sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi materi,
kelancaran, dan gaya.
XII. Kriteria penilaian
Kriteria penilaian diambil berdasarkan nilai tes berbicara dengan
lima kategori, yaitu (a) kategori sangat kurang apabila siswa mendapat
skor 1 (0--39), (b) kategori kurang apabila siswa mendapatkan skor 2 (40--
54), (c) kategori cukup apabila siswa mendapatkan skor 3 (55--69), (d)
kategori baik apabila siswa mendapatkan skor 4 (70--84), dan (e) kategori
sangat baik apabila siswa mendapatkan skor 5 (85--100).
Mengetahui Sukawati,………………..
Kepala Sekolah Pengajar Mata Pelajaran Bahasa Bali
(Guru/Peneliti)
Ni Ketut Tariyani, S.Pd. Ni Made Ayu Suwandewi, S.Pd.B.
NIP 196304231990072001
192
B. SIKLUS II
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Sekolah : SDN 3 Sukawati
Mata Pelajaran : Bahasa Bali
Kelas / Semester : VI B/ II (dua)
Alokasi Waktu : 4 x 35 menit (2 x pertemuan)
I. Standar Kompetensi
Bercakap-cakap kehidupan anak-anak/siswa (berbicara).
II. Kompetensi Dasar
Bercakap-cakap dengan bahasa yang santun sesuai dengan tata krama (sor
singgih bahasa Bali).
III. Indikator
a) Siswa dapat bercakap-cakap dengan lancar.
b) Siswa dapat menggunakan sor singgih basa sesuai dengan unsur
penentu.
c) Siswa bercakap-cakap dengan sikap, yang sopan sesuai dengan tata
krama.
IV. Tujuan Pembelajaran
Setelah peserta didik mempelajari tema ini :
193
a) Dapat bercakap-cakap dengan sikap yang sopan sesuai dengan tata
krama
b) Dapat bercakap-cakap dengan lancar
c) Dapat menggunakan sor singgih basa sesuai dengan unsur penentu
V. Karakter Siswa yang dikembangkan
a) Santun
b) Percaya diri
c) Mandiri
d) Rasa ingin tahu
e) Bersahabat dan komunikatif
f) Disiplin
VI. Materi Ajar
Percakapan dengan topik kehidupan sekolah, kehidupan lingkungan
keluarga, masa depan siswa.
VII. Metode Pembelajaran
a) Ceramah/informasi
b) Diskusi/kooperatif
c) Tanya jawab
d) Demonstrasi
e) Tugas
194
VIII. Pertemuan I
1. Langkah-langkah Pembelajaran
1) Kegiatan Awal (10 menit)
a) Membuka pelajaran dengan mengucapkan salam “Om Swastiastu”,
dan “rahajeng semeng alit-alite”, serta membacakan absensi
(santun dan disiplin).
b) Memberikan apersepsi berupa pertanyaan-pertanyaan yang
mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan
dipelajari, seperti “sira sane uning napi nike sor singgih basa Bali?
Sor singgih basa Bali kakapah dados kude? Alit-alite taen
mablanja? Ring dija anake numbas woh-wohan, ulam,
sanganan?” (rasa ingin tahu).
c) Menjelaskan tujuan pembelajaran dan menyampaikan cakupan
materi “mangkin alit-alite jagi malajah ngaryanin bablibagan basa
Bali, inggih punika bablibagan indik peplajahan, taler ibu jagi
nyelasang conto-conto bablibagan manut sor singgih basa Baline”
(kepercayaan diri).
2) Kegiatan Inti (50 menit)
A. Eksplorasi
a) Mengulas kembali secara singkat tentang pengertian sor singgih
bahasa Bali dan pembagiannya (Basa Alus Singgih, Basa Alus Sor,
Basa Alus Mider, lan Basa Kapara) (rasa ingin tahu)
195
b) Memberikan pemahaman tentang nilai karakter kesopansantunan
berbahasa Bali (bagaimana berkomunikasi dengan bahasa yang
santun sesuai dengan tata krama) (kesantunan, komunikatif).
c) Menegaskan cara pengucapan, intonasi, dan gaya/eskpresi.
d) Memperagakan sebuah percakapan berbahasa Bali “Bablibagan
indik peplajahan” (percaya diri, kesantunan, komunikatif).
B. Elaborasi
a) Menugasi dua siswa untuk mempraktikkan percakapan
“Bablibagan indik peplajahan” di depan kelas (percaya diri,
kesantunan, bersahabat, komunikatif).
b) Memberikan handout yang memuat tentang contoh percakapan
bahasa Bali “mabebaosan ring pasar”.
c) Membahas secara mendetail komponen contoh-contoh percakapan
pada handout dan menyelipkan pemahaman tentang nilai karakter
kesopansantunan berbahasa (rasa ingin tahu).
d) Menugasi siswa membuat percakapan dengan topik “(1) mablanja
ka peken, (2) ngidih pipis teken rerama, (3) katemu timpal anyar,
(4) mabebaosan sareng Ratu Peranda, dan (5) bablibagan
nyanggra perpisahan sekolah”, membagi siswa menjadi beberapa
kelompok. Pengambilan topik dilakukan secara diundi. Alokasi
waktu berdiskusi ±20 menit (rasa ingin tahu, komunikatif, dan
bersahabat).
e) Meminta hasil percakapan yang sudah dibuat untuk dikumpulkan.
196
f) Tugas percakapan yang diberikan akan direkam pada pertemuan
berikutnya.
C. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru melakukan kegiatan berikut.
a) Memberikan feedback yang positif dan penguatan yang berfokus
pada kosakata, susunan kalimat, dan penggunaan sor singgih basa
sesuai dengan unsur penentu (motivasi, saling menghargai)..
b) Menyimpulkan materi percakapan bahasa Bali
3) Kegiatan Akhir (10 menit)
a) Bersama-sama dengan peserta didik dan/ atau sendiri membuat
rangkuman / simpulan pelajaran.
b) Memberitahukan siswa bahwa tugas percakapan yang sudah dibuat
tadi akan direkam pada pertemuan berikutnya dan menutup
pelajaran dengan mengucapkan “pramasanti” (santun dan
religious).
IX. Pertemuan II
1. Langkah-langkah Pembelajaran
1) Kegiatan Awal (10 menit)
a) Membuka pelajaran dengan mengucapkan salam “Om Swastiastu”,
dan “rahajeng semeng alit-alite”, serta membacakan absensi
(santun dan disiplin).
197
b) Memberikan apersepsi berupa pertanyaan-pertanyaan yang
mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan
dipelajari (rasa ingin tahu).
c) Menjelaskan tujuan pembelajaran dan menyampaikan cakupan
materi.
2) Kegiatan Inti (50 menit)
A. Eksplorasi
a) Menegaskan cara pengucapan, intonasi, dan gaya/eskpresi.
b) Memperagakan sekilas sebuah contoh percakapan berbahasa Bali
(kesantunan dan komunikatif).
B. Elaborasi
a) Meminta setiap kelompok memeragakan dialog yang sudah dibuat
di depan kelas (komunikatif, bersahabat, kesantunan, dan percaya
diri).
b) Merekam dialog yang diperagakan oleh tiap-tiap kelompok.
C. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru melakukan kegiatan sebagai berikut.
a) Memberikan feedback yang positif dan penguatan yang berfokus
pada kosakata, susunan kalimat, dan penggunaan sor singgih basa
sesuai dengan unsur penentu, serta memberikan motivasi kepada
siswa yang kurang/belum berpartisipasi aktif (motivasi, saling
menghargai).
198
b) Menyimpulkan materi percakapan bahasa Bali.
3) Kegiatan Akhir (10 menit)
a) Bersama-sama dengan peserta didik dan/ atau sendiri membuat
rangkuman / simpulan pelajaran.
b) Menutup pelajaran dengan mengucapkan “pramasanti” (santun dan
religius).
X. Sumber Pembelajaran
a) Buku Bahasa Bali Kelas VI, Penerbit Pustaka Tarukan Agung
b) Sor Singgih Basa Bali, penerbit Rhika Dewata Singaraja
XI. Penilaian
Penilaian dilakukan dengan teknik penilaian berbicara (tes praktik
berdialog di depan kelas) dengan bentuk instruksi membuat
dialog/percakapan bahasa Bali yang sesuai dengan sor singgih basa Bali
serta sesuai dengan enam indikator penilaian berbicara yang terdiri atas
dua aspek, yaitu aspek kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan struktur
sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan gaya.
XII. Kriteria Penilaian
Kriteria penilaian diambil berdasarkan nilai tes berbicara dengan
lima kategori, yaitu (a) kategori sangat kurang apabila siswa mendapat
skor 1 (0--39), (b) kategori kurang apabila siswa mendapatkan skor 2 (4--
54), (c) kategori cukup apabila siswa mendapatkan skor 3 (55--69), (d)
199
kategori baik apabila siswa mendapatkan skor 4 (70--84), dan (e) kategori
sangat baik apabila siswa mendapatkan skor 5 (85--100).
Mengetahui Sukawati,………………..
Kepala Sekolah Pengajar Mata Pelajaran Bahasa Bali
(Guru/Peneliti)
Ni Ketut Tariyani, S.Pd. Ni Made Ayu Suwandewi, S.Pd.B.
NIP 196304231990072001
5.9 Evaluasi
Evaluasi adalah serangkaian kegiatan untuk memeroleh, menganalisis, dan
menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan
secara sistematis dan berkesinambungan sehingga menjadi informasi yang
bermakna dalam pengambilan keputusan dalam mata pelajaran tertentu (Sukiman,
2012:11). Menurut Sudjana (1988:127), evaluasi dapat digambarkan sebagai
proses penentuan nilai sesuatu berdasarkan kriteria tertentu. Berdasarkan
penetapan kriteria penilaian pembelajaran, evaluasi pada penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui keberhasilan penerapan tindakan dan peningkatan kemampuan
berbicara sor singgih bahasa Bali bagi siswa kelas VIB semester II SD Negeri 3
Sukawati, tahun ajaran 2012/2013.
200
Alat yang digunakan sebagai instrumen evaluasi adalah tes lisan (tes
praktik). Pelaksanaan tes lisan (tes praktik) tersebut dilakukan setiap akhir siklus.
Evaluasi mahasiswa dilaksanakan pada tahap pratindakan hingga berakhirnya
penelitian. Penelitian mencakup prestasi siswa dalam berdialog bahasa Bali sesuai
dengan sor singgih basa Bali. Aspek penilaian mencakup penguasaan aspek
kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan struktur, sedangkan aspek
nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran, dan gaya. Keberhasilan penilaian
diberikan berdasarkan rubrik penilaian berbicara dari setiap aspek. Keberhasilan
penelitian ditentukan berdasarkan kriteria tingkatan kemampuan, seperti (a)
kategori sangat kurang apabila siswa mendapat skor 1 (0--39), (b) kategori kurang
apabila siswa mendapatkan skor 2 (40--54), (c) kategori cukup apabila siswa
mendapatkan skor 3 (55--69), (d) kategori baik apabila siswa mendapatkan skor 4
(70--84), dan (e) kategori sangat baik apabila siswa mendapatkan skor 5 (85--
100).
201
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
Bab VI simpulan dan saran ini merupakan bagian akhir keseluruhan
laporan penelitian. Dalam bab ini dikemukakan dua subbab, yaitu: (1) simpulan,
dan (2) saran. Kedua subbab tersebut diuraikan secara berturut-turut sebagai
berikut.
6.1 Simpulan
Dari serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini seperti
proses pengumpulan data, pengklasifikasian data, dan analisis data akhirnya
penelitian sampai kepada bab yang merangkum penjelasan mengenai temuan-
temuan penting dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1) Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dikemukakan pada Bab
IV, sebelum metode bermain peran ini diterapkan, siswa merasa kesulitan
dalam memilih kata-kata (sor singgih) yang digunakan dalam dialog. Hal ini
dapat dilihat dari semua siswa lebih memilih tema dialog “nelokin timpal
gelem” untuk dipakai sebagai bahan dialog, dibandingkan memilih tema
“ketemu guru ring perpustakaan”. Dari hasil pengaamatan awal ditemukan
bahwa motivasi siswa selama proses belajar mengajar juga kurang baik. Siswa
lebih sering membuat keributan, kurang memperhatikan penjelasan guru, dan
kadang siswa berbahasa yang kurang mencermati arti sor singgih basa dengan
guru yang mengajar. Metode pengajaran yang konvensional cenderung
membuat siswa cepat bosan, sehingga metode bermain peran bahasa Bali
202
memberikan nuansa baru yang menyenangkan. Metode bermain peran
diperkenalkan pada pertemuan pertama pada siklus I dan diaplikasikan pada
akhir ditiap-tiap siklus.
Hasil tes awal menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam berbicara
sesuai dengan sor singgih bahasa Bali masih rendah. Data kuantitatif
menunjukkan bahwa nilai rerata siswa pada tes awal, yaitu 50% yang
dikategorikan ke dalam level kurang. Berdasarkan analisis kualitatif,
ditemukan beberapa kesalahan, yaitu (1) pelafalan siswa, seperti kata “kal”
diucapkan menjadi “kel [kǝl]”. Selanjutnya, pada kata “masi” diucapkan
menjadi “mase [masé]”. Pada kata “keto [kéto]” diucapkan menjadi “ketau
[kétau]”. Ada juga yang mengucapkan kata “[kéto]” dengan ucapan “kete
[ketǝ]”. Dalam kata “abana [abanǝ]” yang berasal dari kata “aba”, diucapkan
menjadi “aba’e [abawǝ]”. (2) Kesalahan-kesalahan dalam kosakata yang
diucapkan oleh siswa, seperti “gelem kuda?”, kata “kuda” yang seharusnya
diganti dengan kata “apa”. (3) Kesalahan-kesalahan dalam tata bahasa yang
diucapkan seperti: ”ajaka nelokin timpal gelem mi!” yang seharusnya “mai,
ajaka nelokin timpal gelem!”
Ada beberapa faktor yang menyebabkan penguasaan keterampilan
berbicara sor singgih bahasa Bali siswa masih dikategorikan rendah. Faktor-
faktor ini berasal dari faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal), yaitu:
a. intensitas guru dalam mengajar bahasa Bali rendah;
b. motivasi belajar siswa yang masih rendah;
c. kebiasaan belajar siswa yang kurang baik;
203
d. penguasaan komponen kebahasaan masih rendah;
e. sikap mental siswa masih kurang baik;
f. hubungan/interaksi antara guru dan siswa masih rendah;
g. metode pengajaran guru kurang menarik, guru cenderung berfokus
mengajarkan keterampilan menulis dan membaca aksara Bali serta
bahasa Bali Latin.
Hal ini dapat dilihat dari hasil kuesioaner tes awal bahwa secara garis
besar, 100% siswa menjawab kadang-kadang diajarkan pelajaran bahasa Bali
oleh guru di kelas, 84% siswa menyatakan bahwa guru tidak pernah menilai
kemampuan berbicara bahasa Bali. Sebanyak 55% siswa menyatakan bahwa
mereka tidak pernah diajari berbicara bahasa Bali, 81% siswa menyatakan
kadang-kadang mengalami kesulitan belajar bahasa Bali. Sebanyak 81%
siswa menyatakan tidak pernah diajarkan materi sor singgih bahasa Bali.
Sebanyak 87% siswa menyatakan tidak pernah tahu tentang sor singgih
bahasa Bali. Sebanyak 100% siswa menyatakan bahwa tidak pernah ada guru
yang telah menggunakan metode bermain peran dalam pembelajaran bahasa
Bali. Sebanyak 100% pula siswa menyatakan bahwa guru tidak pernah
menyuruh membuat percakapan dalam bahasa Bali dan kemudian
dipraktikkan di depan kelas.
2) Kemampuan berbicara sor singgih bahasa Bali dapat ditingkatkan setelah
penerapan metode bermain peran. Penerapan metode bermain peran pada
penelitian ini dilakukan sebanyak dua siklus. Peningkatan ini dapat dilihat
204
dengan membandingkan hasil tes kemampuan berbicara siklus I yang
mengalami peningkatan. Hasil siklus I sebesar 61% berada pada kategori
cukup. Peningkatan yang terjadi dapat dilihat pada data kualitatif berupa (1)
pelafalan dibuktikan dari semakin jelasnya pengucapan saat berdialog, (2)
kosakata dan tata bahasa mengalami peningkatan karena siswa sudah berani
menggunakan basa alus singgih atau juga menggunakan basa alus mider
dalam berdialog, artinya tidak seperti pada tahap pratindakan sebelumnya
yang hanya menggunakan bahasa kapara/andap, (3) aspek kelancaran dapat
dilihat dari pembicaraan yang jarang tersendat-sendat walaupun ada beberapa
siswa masih membaca teks dialog yang dibuatnya di depan kelas, dan (4)
aspek gaya busana yang digunakan siswa sudah terlihat santun dan rapi,
gaya/ekspresi sudah semakin meningkat. Di samping itu, keluwesan saat
berdialog sudah semakin terlihat perubahannya.
Peningkatan yang dialami siswa juga semakin terlihat pada penerapan
siklus II. Secara kuantitatif perolehan nilai sebesar 79% berada pada kategori
baik. Ketepatan berbahasa siswa yang mengalami peningkatan mencakup
peningkatan pelafalan, kosakata, dan tata bahasa. Peningkatan yang terjadi
dapat dilihat pada data kualitatif berupa hal-hal berikut. Pertama, pada
pelafalan dibuktikan dari semakin terdengar jelasnya pengucapan saat
berdialog. Hal ini dapat dilihat pada fonem a yang terletak pada akhir kata,
diucapkan e “ǝ”, dan kata “keto” yang sudah diucapkan “keto”, bukan “kete”.
Kedua, pada kosakata, semakin banyak variasi kata yang digunakan siswa pada
dialog yang dilakukannya ketiga, pada tingkat tata bahasa mengalami
205
peningkatan seperti pada pada dialog di griya (rumah bagi kaum Brahmana),
siswa sudah mampu mengungkapkan struktur kalimat yang benar dengan
menggunakan basa alus singgih atau juga menggunakan basa alus mider dalam
berdialog. Keempat, pada aspek materi siswa juga mengalami peningkatan
kualitas dalam menyampaikan ide/gagasan serta mampu mengungkapkan
sesuai dengan sor singgih bahasa Bali. Kelima, pada aspek kelancaran yakni
intonasi dan jeda juga saat berdialog semakin baik. Keenam, pada aspek gaya
busana yang digunakan siswa sudah terlihat santun dan rapi, gaya/ekspresi
sudah semakin meningkat. Di samping itu, keluwesan saat berdialog sudah
semakin terlihat perubahannya. Kepercayaan diri siswa juga semakin
meningkat.
3) Terkait dengan faktor-faktor yang dirasa dapat menjadi pemicu terjadinya
peningkatan berbicara sor singgih dapat dijabarkan sebagai berikut.
(1) Adanya pengulangan materi sor singgih dengan tujuan untuk lebih
mengingatkan siswa tentang pemakaian sor singgih dalam kehidupan
sehari-hari.
(2) Adanya metode/cara bermain peran yang mampu mempermudah siswa
menyerap pelajaran sor singgih bahasa Bali dan mampu
mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.
(3) Adanya kebiasaan yang ditumbuhkan setiap hari, yaitu selalu
memberikan pemahaman tentang perilaku yang baik dan sopan
(menanamkan karakter yang baik pada siswa)
206
(4) Adanya motivasi yang diberikan oleh guru saat siswa sulit dalam
mengungkapkan bahasa Bali ke dalam sebuah dialog.
(5) Adanya ketertarikan siswa untuk berbicara bahasa Bali dengan
berdialog/bercakap-cakap dengan temannya di depan kelas, karena siswa
lebih bebas mengeksplorasi kemampuannya dengan bermain peran.
(6) Hubungan interaksi, baik antara guru dan siswa, maupun antarsiswa
yang dibangun melalui tanya-jawab dan penerapan metode bermain
peran.
(7) Sikap mental siswa yang dibentuk dengan menyelipkan pendidikan
karakter khususnya kesopansantunan berbahasa Bali.
6.2 Saran
Keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa
yang erat pula hubungannya dengan proses berpikir yang mendasari bahasa.
Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang
berbahasa, semakin cerah dan jelas pula jalan pikirannnya. Keterampilan hanya
dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktik dan banyak latihan. Melatih
keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir (Tarigan,
1986:2). Adanya sebuah metode yang membantu dalam melatih kemampuan
berbicara siswa sangat perlu dikembangkan dalam proses belajar mengajar.
Metode pengajaran yang digunakan guru akan memberikan pengaruh kepada
siswa, baik secara langsung maupun tidak langsung (Djamarah, 2000:193).
Berkenaaan dengan kegiatan penelitian yang telah dilaksanakan, secara garis
besar terdapat beberapa saran yang ingin disampaikan peneliti kepada pihak-pihak
207
yang berhubungan langsung dengan keberhasilan pelaksanaan tindakan ini,
sebagai berikut.
Pertama, pihak sekolah, hendaknya memberikan sosialisasi kepada guru
pengajar, khususnya guru bahasa Bali untuk lebih inovatif dalam proses belajar
mengajar. Pembelajaran bahasa juga sebaiknya ditujukan pada konsep komunikasi
yang seimbang, baik secara lisan maupun tulisan, serta mengacu pada kurikulum
dan silabus yang digunakan. Kekurangan buku pelajaran bahasa Bali juga
menghambat dalam proses belajar mengajar di kelas sehingga diharapkan kepada
pihak sekolah untuk dapat memfasilitasi buku pelajaran/bahan ajar yang
digunakan siswa sesuai dengan kurikulum dan silabus yang digunakan.
Kedua, guru pengajar mata pelajaran bahasa Bali hendaknya lebih intens
dalam mengajar serta menyusun pembelajaran yang mengacu pada kurikulum dan
silabus berdasarkan alur pembelajaran yang berimbang dan melibatkan banyak
komunikasi sebagai bukti nyata penugasan bahasa. Penggunaan metode yang
bervariasi akan lebih meningkatkan kemampuan siswa dalam penguasaan bahasa.
Adanya kebiasaan yang ditumbuhkan setiap hari, yaitu selalu memberikan
pemahaman tentang perilaku dan bahasa yang baik dan sopan (menanamkan
karakter yang baik pada siswa).
Ketiga, siswa hendaknya meningkatkan ketertarikan dalam mempelajari
bahasa Bali serta terus mempertahankan semangat untuk memahami konsep sor
singgih basa Bali. Di samping itu, diharapkan siswa membiasakan diri berbicara
dan berperilaku yang sopan dan satun kepada guru, orang tua, masyarakan,
208
ataupun teman sendiri. Setiap waktu dan kesempatan dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya untuk belajar.
Keempat, peneliti bahasa sangat mungkin mengadakan penelitian lanjutan
yang lebih mendalam yang terkait dengan penelitian ini, terutama yang berkaitan
dengan pengkajian bahasa berdasarkan kajian mikrolinguistik dan makrolinguistik
yang lebih mendalam lagi. Di samping itu, penggunaan metode yang tepat dapat
meningkatkan kemampuan berbicara siswa dalam membangun karakter siswa
yang lebih baik lagi.
209
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I Gusti Putu. 2006. Bahasa Bali untuk SD Kelas VI Semester 1 dan 2. Denpasar: Pustaka Tarukan agung.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Arsani, Gusti Ayu Ririn. 2012. “Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Siswa Dwibahasa Kelas VA Pelangi School Ubud Melalui Metode Bercerita”. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana Denpasar.
Arsjad, Maindar G. dan Mukti U.S. 1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara
Bahasa Indonesia. IKIP Jakarta: Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi.
Brown, H. Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa.
Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat. Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Dewantara, I Putu Mas. 2012. “Identifikasi Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Keterampilan Berbicara Siswa Kelas VIIE SMPN 5 Negara dan Strategi Guru untuk Mengatasinya”. Tesis. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif.
Jakarta: Rineka Cipta. Duija, I Nengah. 2007. Aksara, Bahasa, dan Sastra Bali (Sebuah Pengantar).
Denpasar: Sari Kahyangan. Fajri dkk. 2007. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Difa Publisher.
Gautama, Wayan Budha dan Ni Wayan Sariani. 2009. Kamus Bahasa Bali (Bali-Indonesia). Surabaya: Paramita.
Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan
Pendekatan Komunikatif-Interaktif. Bandung: Refika Aditama. Granoka, Ida Wayan Oka, dkk. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar:
Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Hamzah, B. Uno. 2012. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar
Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
210
Harmer, Jeremy. 1983. The Practice of English Language Teaching. New York: Longman Group Limited
Haryadi. 1997. Berbicara (Suatu Pengantar) Diktat Perkuliahan. IKIP
Yogyakarta Hopkins, J. 1993. Action Research for Educstional Change. Philadelphia: Open
University Press. Hutchinson, T. and Allan Waters. 1987. English for Specific Purpose. New York:
Cambrig University Press. Hymes, Dell. 1973. Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach.
Philadelphia: University of Pensylvania Press. Iskandarwassid dan Sunendar. 2011. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung:
Remaja Rosdakarya. Jendra, I Wayan. 1990. Kedudukan dan Peranan Berbicara dalam Sastra Agama
Hindu. Denpasar: Universitas Udayana. Kesuma dkk. 2012. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah.
Bandung: Remaja Rosdakarya. Megawangi, Ratna. 2009. Pendidikan Karakter. Jakarta Timur: Indonesia
Heritage Foundation. Mulyo, Karso. 2012. Membangun karakter bangsa melalui pembelajaran
kontekstual. dalamhttp://batang-karso.blogspot.com/2012/08/ case-studymembangun-karakter-bangsa.html).
Musfiroh, Tadkiroatun. 2008. Cerita untuk Anak Usia Dini. Yogyakarta: Tiara
Wacana. Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis
Kompetensi. Yogyakarta: BPFE Putra, I Gst. Bagus Wahyu Nugraha. 2012. “Peningkatan Keterampilan Berbicara
Melalui Metode Langsung dalam Pengajaran Bahasa Inggris di Lembaga Kursus English Center”. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana Denpasar.
Rianti, Ayu Putu. 2012. “Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris
Melalui Teknik Role Play pada Siswa Kelas X Akomodasi Perhotelan di SMK PGRI 4 Denpasar”. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana Denpasar.
211
Riken. dkk. 1993. Materi Pokok Bahasa Daerah Bali. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan masyarakat Hindu dan Buddha.
Rochiati, Wiriaatmadja. 2005. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Rochyatmo, Amir. 1996. Pelestarian dan Mordenisasi Aksara Daerah
Perkembangan Metode dan Teknik Menulis Aksara Jawa. Jakarta: Putra Sejati Raya.
Ruhimat. dkk. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers. Skiner. 1957. Verbal Behavior. New York : Appleto-Century-Crofts.Inc. Suarjana, I Nyoman Putra. 2008. Sor-Singgih Basa Bali Kebalian Manusia Bali
dalam Dharma Papandikan, Pidarta Sambrama Wacana dan Dharma Wacana. Denpasar: Tohpati Grafika Utama.
Suasta, Ida Bagus Made. 2004. Membaca Aksara Bali dalam Perkembangan
Pasang Aksara Bali. Denpasar: Universitas Udayana. Sudjana, Nana. 1988. Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: Kecana. Sudjana, Nana. 2010. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar
Baru Algensindo. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung:
Alfabeta. Sukardi. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Sukiman. 2012. Pengembangan Sistem Evaluasi. Yogyakarta: Insan Madani.
Supinah. 2011. Teknik Penyusunan Instrumen Penilaian. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.
Tarigan, Hendry Guntur. 1986. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa. Bandung: PT Angkasa. Tinggen, I Nengah. 1994. Sor Singgih Basa Bali. Singaraja: Rhika Dewata. Wijana. dkk. 2011. Analisis Wacana Pragmatik (Kajian Teori dan Analisis).
Surakarta: Yuma Pustaka.
212
Yuni, Eka Parama. 2012. “Penerapan Pembelajaran Berbicara Bahasa Indonesia Menggunakan Dongeng dengan Kearifan Lokal di Kelas II SD Negeri 3 Yehembang”. Tesis. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
213
214
Lampiran 01 Contoh Handout Dialog Bahasa Bali
KATEMU RING PERPUSTAKAAN
Sawetara jam 09.00 Putu Dama sedeng memaca buku satua Bali di
perpustakaan. Saget rauh Bapak guru, raris mawacana.
Guru : “Cening Dama apa ane pelajahin cening, cara anak keta mamaca?”
Dama : “Titiang melajah satua Bali Pak Guru sane kasirat antuk aksara Bali.
Makeh aksarane ten manut teken suaran ipun.”
Guru : “Ah! Dadi keto orang cening, ken totonan (raris magisu-gisuan I Dama
ngaturang ring Bapak guru, kruna sane tusing bisa kapaca)”
Dama : “Niki pak guru tan prasida titiang ngwacen.”
Guru : “Oh tetenan ne madan pasang aksara ning! Yening ada kruna
matengenan kagantungin antuk c lan j patut kasurat antuknya, mamunyi
penjor.”
Dama : “Oh kenten Pak guru wawu mangkin titiang uning indik punika.”
Contoh Handout Dialog Bahasa Bali
MABEBAOSAN RING SEKOLAHAN Guru : “ papelajahan napi mangkin?”
Murid : “Mangkin pelajahan basa Bali”
Guru : “Indayang ambil buku bacaan Baline raris rereh kaca kalih!”
Murid : “Sampun guru”
Guru : “Yening sampun, indayang wacen sajeroning angen dumun!”
Murid : “Inggih guru”
Guru : “Wenten sane durung ngarti daging wacaan punika?”
Murid : “Sampun guru”
215
Contoh Handout Dialog Bahasa Bali
BABLIBAGAN INDIK PAPLAJAHAN Darma : “ Gede suba malajah?”
Gede : “Suba ja kala sing apal nden”
Darma : “Yen ulangan bareng-bareng nah, De!”
Gede : “Nah”
Contoh Handout Dialog Bahasa Bali
MABEBAOSAN RING PASAR Panumbas : “ Jero dagang, napi kemaon sane kadol”
Pedagang : “Titiang wantah ngadol cecerakian rauhing beras akidik”
Panumbas : “Icen ja tiang numbas beras. Aji kuda ngadol akilo?”
Pedagang : “Pateh kemanten sekadi dagange sane lian-lianan wantah aji
tigang atus selae rupiah.”
Panumbas : “Icen sampun tiang naur aji tigang atus rupiah”
Pedagang : “Tan dados, pocol tiang, saantukan batin berase tipis sajan.
Yening numbas makeh kirangin sampun limang rupiah.”
Panumbas : “inggih jero dagang, yening dados ngiring ja sami olah-olahan
akidik. Limolas rupiah sampun tanggunin tigang atuse”
Pedagang : “Kudang kilo jerone numbas”
Panumbas : “Tiang numbas wantah dasa kilo”
Pedagang : “Inggih ambil ampun, sakewanten sampunang baosanga
asapunika ring anak lianan! Niki anak anggong tiang gegarus”
Panumbas : “Ngiih jero dagang, tiang mapamit”
Pedagang : “Ngiring, benjang-benjang mriki malih matetumbasan, nggih!”
216
Lampiran 02 Pedoman Wawancara Observasi Awal
Pertanyaan 1. Bahasa apa yang sering digunakan saat berkomunikasi di rumah?
2. Bahasa apa yang sering digunakan saat berkomunikasi di sekolah?
3. Pernahkah anak-anak berkomunikasi menggunakan bahasa Bali di rumah?
4. Pernahkah anak-anak berkomunikasi menggunakan bahasa Bali di
sekolah?
5. Apakah anak-anak menyukai berkomunikasi menggunakan bahasa Bali?
6. Dengan siapa anak-anak bekomunikasi menggunakan bahasa Bali?
7. Menurut anak-anak berkomunikasi menggunakan bahasa Bali itu rendahan
atau lebih tinggi derajadnya?
8. Tahukah anak-anak tentang sor singgih bahasa Bali?
9. Pernahkah anak-anak berkomunikasi menggunakan sor singgih bahasa
Bali?
217
Lampiran 03 Pedoman Tes Kemampuan Berbicara Sor Singgih Bahasa Bali Observasi Awal NAMA KELAS ABSEN SOAL: 1. Ritatkala mababaosan sareng Bapak/Ibu patut nganggén…
a. Basa Bali Alus Singgih c. Basa Bali Alus mider b. Basa Bali Alus Sor d. Basa Bali Alus Kapara
2. Ritatkala mababaosan sareng Ratu Pedanda patut nganggén… a. Basa Bali Alus Singgih c. Basa Bali Alus mider b. Basa Bali Alus Sor d. Basa Bali Alus Kapara
3. Lengkara basa Bali Alus Sor sané patut inggih punika… a. Ratu lunga kija sane dibi? b. Bapak guru malih pidan lunga ka rumah sakit? c. Titiang kantun nunas ratu. d. Dé, mai ngajeng malu!
4. Basa Bali sané tan patut kanggén ritatkala mababaosan sareng sang sané patut kasinggihin inggih punika… a. Mbok, lakar kija? c. Cicing iba, ngalél-lék mai! b. Ampunang irika negak! d. I ratu akéh madué jinah?
5. “Ratu lunga kija mangkin?”. Krun kija kabaos… a. Basa Bali Alus Singgih c. Basa Bali Alus mider b. Basa Bali Alus Sor d. Basa Bali Alus Kapara
6. Adin titiang…titiang jinah. Ané anggon ngisinin cecek-cecek di arep… a. Ngaturin c. Ngemaang b. Ngicén d. Ngwéhin
7. I Biang sungkan nanging I Aji… a. Kénak c. sakit b. Gelem d. Won-wonan
8. Bani tekén anak lingsir utawi rerama kadanin… a. Alpaka guru c. Wanén b. Duweg d. Galak
9. Ida Cokorda malinggih di kursiné, Bapan tiangé ….di ambéné. a. Duduk c. Negak b. Nyongkok d. Ngadeg
10. Murid-muridé sinarengan….ring Bapak guru ngaturang suksma. a. Ngraos c. Ngandika b. Matur d. Ngomong
218
Lampiran 04 Kegiatan Pembelajaran Pratindakan
Kegiatan Peneliti Kegiatan Siswa Situasi Kelas
14. Membuka pelajaran dengan mengucapkan salam “Om Swastiastu”, dan “rahajeng semeng alit-alite”, peneliti memperkenalkan diri, serta membacakan absensi.
15. Peneliti memberikan topik kepada siswa untuk dipilih, yaitu (1) ketemu guru ring perpustakaan san (2) nelokin timpal gelem.
16. Peneliti membagi siswa kedalam beberapa kelompok (secara berpasangan).
17. Peneliti meminta siswa maju secara berpasangan dan peneliti memulai melakukan perekaman.
18. Memberitahukan siswa bahwa percakapan yang sudah tadi akan dinilai dan menutup pelajaran dengan mengucapkan “Pramasanti”.
17. Menjawab salam “Om Swastiastu”, dan “rahajeng semeng Bu guru”, serta merespons apa yang disampaikan peneliti.
18. Menyimak dengan
seksama
19. Siswa berdiskusi dengan teman sebangku untuk membuat percakapan.
20. Siswa memulai mempraktikkan dialog yang dibuat di depan kelas.
21. Merespon apa yang disampaikan dengan mengucapkan “inggih bu” dan mengucapkan “Pramasanti”.
1. Suasana diawal tenang dan siswa memperhatikan yang disampaikan peneliti.
2. Sedikit terjadi keributan dan peneliti memualai menenangkan kelas.
3. Saat berdiskusi, siswa sedikit membuat keributan.
4. Saat melakukan perekaman beberapa siswa membuat keributan dengan mengobrol dengan temannya, sehingga kerapkali peneliti menyarankan untuk tenang.
5. Suasana tenang.
219
Lampiran 04 Kegiatan Pembelajaran Siklus I
Kegiatan Peneliti Kegiatan Siswa Situasi Kelas
g) Kegiatan Awal (10 menit)
1. Membuka pelajaran dengan mengucapkan salam “Om Swastiastu”, dan “rahajeng semeng alit-alite”, serta membacakan absensi.
2. Memberikan apersepsi berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari, seperti “yening alit-alite mabebaosan sareng guru, nganggen basa Bali napi basa Indonesia? Yening mabebaosan ajak timpal nganggen basa napi? dll”. Menjelaskan tujuan pembelajaran dan menyampaikan cakupan materi “mangkin alit-alite jagi malajah sor singgih basa Bali taler kapahannyane lan malajah ngaryanin bablibagan basa Bali”.
1. Menjawab salam “Om Swastiastu”, dan “rahajeng semeng Bu guru”, serta merespons apa yang disampaikan peneliti.
2. Menjawab pertanyaan
yang diajukan dengan mengangkat tangan sebelumnya.
1. Susana tenang. 2. Susana sedikit ribut.
h) Kegiatan Inti (50 menit)
Eksplorasi 3. Menjelaskan pengertian
sor singgih bahasa Bali dan pembagiannya (Basa Alus Singgih, Basa Alus Sor, Basa Alus Mider, lan Basa Kapara), memberikan pemahaman tentang nilai karakter
3. Menyimak dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
3. suasana lebih tenang.
220
kesopansantunan berbahasa Bali (bagaimana berkomunikasi dengan bahasa yang santun sesuai dengan tata krama), serta memberikan arahan cara membuat percakapan.
4. Menegaskan cara pengucapan, intonasi.
5. Memeragakan sebuah percakapan bahasa Bali “Katemu ring perpustakaan”.
Elaborasi 6. Menugasi dua siswa untuk
mempraktikkan percakapan “Katemu ring perpustakaan” di depan kelas.
7. Memberikan handout yang memuat contoh percapakan bahasa Bali “mabebaosan ring sekolahan”
8. Membahas secara mendetail komponen contoh-contoh percakapan pada handout dan menyelipkan pemahaman tentang nilai karakter kesopansantunan berbahasa.
9. Menugasi siswa membuat percakapan dengan topik “Katemu sareng guru ring sekolah”, membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Alokasi waktu berdiskusi ±10 menit.
10. Meminta hasil percakapan yang sudah dibuat untuk dikumpulkan.
11. Tugas percakapan yang diberikan akan direkam pada pertemuan
4. Menyimak dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
5. Menyimak dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
6. Siswa yang lain
menyimak dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
7. Menerima handout dari peneliti dan membacanya dengan saksama.
8. Menyimak dan mencatat
hal-hal yang dianggap penting.
9. Mencari kelompok, berdiskusi, dan menulis dialog (percakapan) dalam waktu 10 menit.
10. Mengumpulkan percakapan yang sudah dibuat.
11. Tugas percakapan bahasa Bali yang dibuat dipraktikkan di depan
4. Susana sedikit ribut. 5. Susana sedikit ribut. 6. Susana sedikit ribut. 7. Suasana tenang. 8. Susana sedikit ribut. 9. Susana sedikit ribut. 10. Susana sedikit ribut. 11. Suasana tenang.
221
berikutnya.
Konfirmasi 12. Memberikan feedback
yang positif dan penguatan yang berfokus pada kosakata, susunan kalimat, dan penggunaan sor singgih basa sesuai dengan unsur penentu, serta memberikan motivasi kepada siswa yang kurang/belum berpartisipasi aktif.
kelas pada pertemuan berikutnya.
12. Menyimak feedback
yang diberikan dan melakukan Tanya jawab terhadap hal-hal yang masih kurang dipahami.
12. Suasana tenang
i) Kegiatan Akhir (10 menit)
13. Memberitahukan siswa bahwa tugas percakapan yang sudah dibuat tadi akan direkam pada pertemuan berikutnya dan menutup pelajaran dengan mengucapkan “Pramasanti”.
14. Merespon apa yang disampaikan dengan mengucapkan “inggih bu” dan mengucapkan “Pramasanti”.
13. Suasana tenang.
222
Lampiran 04 Kegiatan Pembelajaran Siklus II
Kegiatan Peneliti Kegiatan Siswa Situasi Kelas
j) Kegiatan Awal (10 menit)
3. Membuka pelajaran dengan mengucapkan salam “Om Swastiastu”, dan “rahajeng semeng alit-alite”, serta membacakan absensi.
4. Memberikan apersepsi berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari, seperti “sira sane uning napi nike sor singgih basa Bali? Sor singgih basa Bali kakapah dados kude? Alit-alite taen mablanja? Ring dija anake numbas woh-wohan, ulam, sanganan?” Menjelaskan tujuan pembelajaran dan menyampaikan cakupan materi “mangkin alit-alite jagi malajah ngaryanin bablibagan basa Bali, inggih punika bablibagan indik peplajahan, taler ibu jagi nyelasang conto-conto bablibagan manut sor singgih basa Baline”.
12. Menjawab salam “Om Swastiastu”, dan “rahajeng semeng Bu guru”, serta merespons apa yang disampaikan peneliti.
13. Menjawab pertanyaan yang diajukan dengan mengangkat tangan sebelumnya.
1. Suasana tenang 2. Suasana tenang
k) Kegiatan Inti (50 menit)
Eksplorasi 14. Mengulas kembali secara
singkat tentang pengertian sor singgih bahasa Bali dan pembagiannya (Basa
4. Menyimak dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
3. Suasana tenang
223
Alus Singgih, Basa Alus Sor, Basa Alus Mider, lan Basa Kapara), serta memberikan pemahaman tentang nilai karakter kesopansantunan berbahasa Bali (bagaimana berkomunikasi dengan bahasa yang santun sesuai dengan tata krama).
15. Menegaskan tentang cara pengucapan, intonasi, dan memeragakan sebuah percakapan berbahasa Bali “Bablibagan indik peplajahan”
Elaborasi 16. Menugasi dua siswa untuk
mempraktikkan percakapan “Bablibagan indik peplajahan” di depan kelas.
17. Memberikan handout yang memuat contoh percakapan bahasa Bali “Mabebaosan ring pasar”
18. Membahas secara mendetail komponen contoh-contoh percakapan pada handout dan menyelipkan pemahaman tentang nilai karakter kesopansantunan berbahasa.
19. Menugasi siswa membuat percakapan dengan topik “(1) mablanja ka peken, (2) ngidih pipis teken rerama, (3) katemu timpal anyar, (4) mabebaosan sareng Ratu Peranda, dan (5) bablibagan nyanggra perpisahan sekolah”, membagi siswa menjadi
13. Menyimak dan mencatat
hal-hal yang dianggap penting.
14. Siswa yang lain menyimak dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
15. Menerima handout dari peneliti dan membacanya dengan saksama.
16. Menyimak dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
17. Mencari kelompok, berdiskusi berdasarkan undian topik yang didapatkan, dan menulis dialog (percakapan) dalam waktu 20 menit.
4. Suasana agak
sedikit rebut. 5. Suasana sedikit
rebut 6. Suasana sedikit
ribut 7. Suasana sedikit
ribut 8. Suasana sidikit ribut
224
beberapa kelompok. Pengambilan topik dilakukan secara diundi. Alokasi waktu berdiskusi ±20 menit.
20. Meminta hasil percakapan yang dibuat untuk dikumpulkan.
21. Tugas percakapan yang diberikan akan direkam pada pertemuan berikutnya.
Konfirmasi 22. Memberikan feedback
yang positif dan penguatan yang berfokus pada kosakata, susunan kalimat, dan penggunaan sor singgih basa sesuai dengan unsur penentu.
18. Mengumpulkan hasil dialog percakapan yang sudah dibuat.
19. Tugas percakapan bahasa Bali yang dibuat dipraktikkan di depan kelas pada pertemuan berikutnya.
20. Menyimak feedback
yang diberikan dan melakukan tanya jawab terhadap hal-hal yang masih kurang dipahami.
9. Suasana sedikit
ribut. 10. Suasana sedikit
ribut. 11. Suasana tenang
l) Kegiatan Akhir (10 menit)
21. Memberitahukan siswa bahwa tugas percakapan yang sudah dibuat tadi akan direkam pada pertemuan berikutnya dan menutup pelajaran dengan mengucapkan “Pramasanti”.
13. Merespon apa yang
disampaikan dengan mengucapkan “inggih bu” dan mengucapkan “Pramasanti”.
12. Suasana tenang
225
DOKUMENTASI PRATINDAKAN
226
227
DOKUMENTASI SIKLUS I
228
229
DOKUMENTASI SIKLUS II
230
ii