IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …
Transcript of IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-
X/2012 TERHADAP FUNGSI LEGISLASI DPD
Riyan Permana Putra
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru, yang antara lain Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Realitas pembentukan legislasi dalam kerangka hubungan kelembagaan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah belum begitu mendapatkan tempat yang semestinya seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 telah mengembalikan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah yang sebelumnya direkduksi oleh UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini membawa angin segar bagi Dewan Perwakilan Daerah, yang mana selama ini Dewan Perwakilan Daerah hanya menjadi bayang-bayang dominasi Dewan Perwakilan Rakyat. Dominasi berlebihan yang dilakoni Dewan Perwakilan Rakyat ini mencederai sistem bicameral yang terbentuk untuk tujuan mulia yaitu terciptanya sistem check and balances yang baik.
Implications of Constitutional Court Decision No. 92/PUU-X/2012 Against Legislation Function DPD
Abstract
Amendments Act of 1945 has given rise to some new state institutions, which include the Regional Representative Council of the Republic of Indonesia. Reality creation of legislation within the framework of the institutional relationship between the House of Representatives and the Regional Representative Council not quite get the appropriate places as indicated in the Constitution of 1945., But after the decision of the Constitutional Court No. 92/PUU-X/2012 has restored the authority of the Board of Representatives areas that were previously reduced by the Law no. 27 of 2009 on the MPR, DPR, DPD and DPRD and Law. 12 Year 2011 on the Establishment of legislation. It brings fresh air for the Regional Representatives Council, during which the DPD is only a shadow of the dominance of the House of Representatives. Excessive dominance of the House of Representatives acted this bicameral system formed injured for a good cause, namely the creation of a system of checks and balances is good.
Keywords : DPD, Legislation, Constitusional Court, Amendments, Constitution
Pendahuluan
Pengaturan konstitusi terhadap DPD menunjukkan bahwa keberadaannya sebagai
lembaga legislatif tidak akan pernah optimal untuk memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan daerah. Karena memang sudah diatur sedemikian dengan alasan agar tidak ada
dua lembaga legislatif dalam negara kesatuan. Hasil kerjanya tidak bergantung pada dirinya
Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014
sendiri tetapi bergantung pada DPR. DPD adalah lembaga negara dengan kewenangan
terbatas dan tidak mungkin bertambah lagi kewenangannya kecuali terjadi perubahan
(amandemen) konstitusi lagi. Beberapa waktu lalu para anggota DPD sempat
memperjuangkan peningkatan kewenangan DPD melalui upaya perubahan UUD 1945 namun
gagal mendapat dukungan DPR. Upaya tersebut menjadi bukti bahwa para anggota DPD
sendiri merasa kurang puas dengan kewenangan lembaganya yang terbatas tersebut.1
Harus kita sadari bersama berdasarkan amandemen terhadap UUD 1945 telah terjadi
perubahan mendasar terhadap lembaga perwakilan rakyat di Indonesia. Seperti yang
tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945: "Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang." Berdasarkan Pasal
Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 tersebut dapat ditafsir bahwa seolah-olah sistem perwakilan di
MPR menganut sistem bikameral, di mana MPR adalah forum bersama (joint session) antara
DPR dan DPD. Namun demikian apabila diperbandingkan lebih lanjut lagi antara
kewenangan legislasi DPR dan DPD maka ada ketimpangan derajat diantara dua lembaga
perwakilan tersebut. Diantaranya adalah (1) dalam Pasal 22C UUD 1945 bahwa jumlah
anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR, (2) dalam pasal 20 UUD NRI
1945 "DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang" sedangkan dalam pasal 22D
UUD 1945 menegaskan DPD hanya dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-
undang dan ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dalam hal proses legislasi atau proses pembentukan undang-undang, ketimpangan ini
semakin terlihat di dalam pengaturan kewenangan di dalam Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Contohnya di dalam UU No 12 Tahun 2011 Pasal 20 ayat (1): "Penyusunan Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah", pengertian Pasal 20
ayat (1) ini tentu tidak sejalan dengan maksud pasal 22D UUD 1945 yang memberikan
1Patrialis Akbar, Lembaga-‐Lembaga Negara Menurut UUD RI Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 79
Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014
kewenangan "Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat rancangan Undang-Undang yang berkait dengan otonomi daerah... ". Ayat (3) di
dalam pasal ini kemudian menyebutkan " Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari
fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.
Selain kewenangan pengajuan RUU, kewenangan dalam hal pembahasan RUU di
parlemen pun dibuat tidak setara antara DPR dan DPD, di dalam Pasal 65 ayat (3) UU No 12
Tahun 2011 keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan
hanya pada pembicaraan tingkat I. Pasal 150 ayat (3) UU No.27 Tahun 2009 juga
mengecualikan DPD untuk terlibat dalam pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah
sebagaimana DPR dan Pemerintah, padahal pengajuan dan pembahasan DIM justru
merupakan inti dari pembahasan RUU dan menentukan politik hukum dari suatu RUU.
Dari beberapa fakta di atas, harus kita pahami DPD RI sebagai perwakilan daerah
dalam menjalankan kewenangannya masih memiliki beberapa kelemahan tetapi selelah
hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 92/PUU-X/2012 yang dikeluarkan
dengan suara bulat alias tanpa dissenting opinion, hakim konstitusi mengabulkan sebagian
(besar) permohonan uji materi DPD RI terhadap sejumlah Pasal dalam UU No. 27 Tahun
2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan UU No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mengakibatkan beberapa pembahan
yang terjadi terhadap kewenangan DPD dalam melaksanakan fungsi legislasinya. Perubahan
yang terjadi itulah menjadi menarik untuk menjadi bahasan skripsi yang akan saya ajukan
sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Tinjauan Teoritis
A. Fungsi Legislasi
Kata "legislasi" berasal dari Bahasa Inggris "legislation" yang berarti (1)
perundang- undangan dan (2) pembuatan undang-undang. Sementara itu kata "legislation"
berasal dari kata kerja "to legislate" yang berarti mengatur atau membuat undang-undang.2
2 Dikutip Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hal. 78. Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-‐lndonesia, cetakan ke-‐XXIV, (Jakarta:, Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 353.
Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata legislasi berarti pembuatan undang-
undang. Dengan demikian, fungsi legislasi adalah fungsi membuat membuat undang-undang.
Sebagai sebuah fungsi untuk membentuk undang-undang, legislasi merupakan sebuah
proses (legislation as a process).3 Oleh karena itu, Woodrow Wilson dalam bukunya
"Congressional Goverment" mengatakan bahwa legislation is an aggregate, nor a simple
production.4 Berhubungan dengan hal itu, Jeremy Bentham dan Jhon Austin mengatakan
bahwa legislasi sebagai "any form of law-making".5 Dengan demikian, bentuk peraturan yang
ditetapkan oleh lembaga legislatif untuk maksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan
pengertian "enacted law", "statute", atau undang-undang dalam arti luas.6 Dalam pengertian
itu, fungsi legislasi merupakan fungsi dalam pembentukan undang-undang.
1. Fungsi Legislasi Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Sebelum Perubahan
Jika kita memperhatikan rumusan Pasal 5 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945
sebelum perubahan, yang menyatakan bahwa: "Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat". Maka sangat jelas dan
terang, bahwa badan negara yang berkuasa atau berwenang membentuk undang-undang
adalah Presiden. Secara jelas, penjelasan Pasal 5 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945
sebelum perubahan juga mengatur, bahwa: "Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang." Aturan ini menerangkan, Presiden bersama-sama Dewan Perwakilan
Rakyat menjalankan "legislative power" dalam negara.
Sebagian besar materi UUD Negara RI Tahun 1945 setelah perubahan mengalami
perubahan mendasar apabila dibandingkan dengan naskah aslinya. Perubahan yang perlu kita
perhatikan adalah terjadinya perubahan terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat
(1) UUD Negara RI 1945. Karena perubahan ketentuan yang diatur dalam kedua pasal
tersebut mengindikasikan adanya perubahan substansi dan prosedur konstitusional.
Pasal 5 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 sebelum perubahan menentukan, bahwa
Presiden memegang kekuasaan atau memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang
3 S.A. Walkland, The Legislative Process in Great Britain, (New York-‐ Washington: Frederick A. Praeger Publisher, 1968), hal. 10. Pembentukan undang-‐undang sebagai sebuah proses juga dikemukakan oleh Rosiji Ranggawidjaja, Menyoal Perundang-‐undangan Indonesia, (Jakarta: PT. Perca, 2006), hal. 9.
4 S.A. Walkland, Ibid., hal. 21.
5Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-‐Undang di Indonesia, (Jakarta : Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hal. 31-‐32.
6 Ibid.
Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun setelah perubahan keadaan menjadi
berbalik, seperti diatur dalam Pasal 20 ayat (I) perubahan pertama UUD Negara RI Tahun
1945 yang mengatur bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang.7
Perubahan tersebut menggambarkan terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari
tangan Presiden ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelumnya, Presidenlah yang
memegang fungsi legislasi atau kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat. Sekarang fungsi legislasi atau kekuasaan membentuk undang-
undang berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat seperti ditegaskan dalam Pasal 20 ayat
(1) hasil perubahan pertama UUD Negara RI 1945. Setelah proses perubahan pertama Pasal 5
ayat (1), Presiden hanya berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
B. Teori Bikameral
1. Sistem Lembaga Perwakilan
Sistem lembaga perwakilan diidentifikasi dan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
sistem unikameral atau bikameral, biasanya dikaitkan dengan bentuk pemerintahan
negara tersebut. Jika bentuk negaranya kesatuan biasanya menganut sistem legislatif
unikameral, yakni hanya ada satu majelis atau kamar atau dewan saja. Sedangkan pada
negara dengan bentuk pemerintahan federal umumnya menganut sistem legislatif
bikameral. Dengan dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka sistem lembaga perwakilan di Indonesia berubah dari sistem
unikameral menjadi bikameral.
2. Lembaga Legislatif Unikameral
Lembaga legislatif yang bersifat unikameral merupakan lembaga legislatif yang
terdiri dari satu kamar atau satu dewan saja. Sistem ini biasanya dianut oleh negara
kesatuan. Hanya sedikit negara kesatuan yang menggunakan sistem legislatif bikameral.
Kebanyakan negara kesatuan yang menganut sistem legislatif unikameral itu karena
secara geografis kecil dan penduduknya tidak majemuk atau multikultural serta jumlah
penduduknya dibawah 10 (sepuluh) juta.
7 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, op. cit., Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 20 ayat (1).
Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014
Beberapa keuntungan dari sistem unikameral ini meliputi:
1. Kemungkinan lebih cepat untuk membuat undang-undang, karena satu kamar atau
dewan saja. Sehingga pembahasan rancangan undang-undang tidak akan alot.
2. Tanggung jawab lembaga legislatif akan lebih besar jika suatu produk undang-undang
mengabaikan kepentingan negara karena tidak ada kemungkinan menyalahkan
lembaga lain.
3. Lebih sedikit anggota, sehingga memudahkan masyarakat untuk memantau mereka.
4. Biaya yang murah bagi pemerintahan dan pembayaran pajak.8
3. Lembaga Legislatif Bikameral
Sistem lembaga legislatif bikameral adalah sistem lembaga legislatif dua kamar.
Penerapan sistem bikameral itu, dalam prakteknya, sangat dipengaruhi oleh tradisi,
kebiasaan, dan sejarah ketatanegaraan yang bersangkutan. Sebenarnya tidak banyak
perbedaan antara sistem unikameral atau bikameral, yang penting adalah sistem
majelis/kamar tunggal atau ganda itu dapat benar-benar berfungsi untuk menyalurkan
aspirasi rakyat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Metode Penelitian
Penelitian hukum ini bersifat normatif, yaitu berupaya meneliti akibat setelah adanya
uji materi sejumlah pasal dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis
PermusyawaratanRakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang- undangan terhadap peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam bidang
legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk memperdalam pemahaman penulis
tentang DPD dengan studi kepustakaan serta kajian sebelum dilakukannya uji materi
sejumlah pasal dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hasil Penelitian
1. Realitas pembentukan legislasi dalam kerangka hubungan kelembagaan antara DPR-
RI dan DPD-RI pra-putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X 201 2 masih
8 H. Dahlan Thaib dalam Makmur Amir dan Reni Dwi Purnomowati, Op. cit., hal. 23 -‐ 24.
Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014
memperlihatkan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD-RI memberikan
gambaran bahwa sistem bikameral Indonesia tidak dibangun dalam rangka checks
and balances. Keterbatasan itu memberikan makna, gagasan menciptakan sistem dua
kamar untuk mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan
distribusi kekuasaan menjadi sesuatu yang utopis.
2. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dalam kaitannya
dengan pembentukan legislasi antara DPR-RI dan DPD-RI telah mengembalikan
kewenangan DPD-Ri yang sebelumnya direduksi oleh UU No. 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Hal ini disambut baik oleh DPD
yang selama ini hanya menjadi bayang-bayang dibawah dominasi DPR; dominasi
berlebihan yang mencederai sistem bikameral yang konon dibentuk untuk tujuan
mulia yaitu terciptanya sistem check and balance yang baik.
Pembahasan
Mohammad Mahfud MD selaku ketua majelis hakim merangkap anggota
membacakan perintah atau suruhan (amar) putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 92/PUU-
X/2012 dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan
Merdeka Barat No 6, Jakarta, tanggal 27 Maret 2013. Ia bersama para anggota majelis hakim
lainnya: Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Muhammad Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadt.
Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, dan Anwar Usman. Tanggal 14 September
2012, pimpinan DPD, yakni Irman Gusman (Ketua DPD), La Ode Ida (Wakil Ketua DPD),
dan Gusti Kanjeng Ratu H emas (Wakil Ketua DPD), mengajukan pengujian UU 27/2009
serta UU 12/2011 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945).
Dalam perkara pengujian undang-undang, putusan Mahkamah Konstitusi terdiri atas
tiga kemungkinan, yaitu permohonan dinyatakan tidak dapat diterima, permohonan ditolak,
atau permohonan dikabulkan.9 Dalam putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan
uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan 9 Jimly Asshiddiqie, Op. cit., hal. 226.
Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014
Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yaitu permohonan pemohon dikabulkan untuk sebagian.
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 92/PUU-X/2012 telah mengembalikan
kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sebelumnya direduksi oleh UU No. 27
Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Hakim konstitusi mengabulkan
sebagian besar permohonan uji materi Dewan Perwakilan Daerah terhadap sejumlah pasal
dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan UU No 12
Tahun 2011 tentang Fembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan tanpa dissenting
opinion. Hal ini disambut baik oleh DPD yang selama ini hanya menjadi bayang-bayang
dibawah dominasi DPR; dominasi berlebihan yang mencederai sistem bikameral yang konon
dibentuk untuk tujuan mulia yaitu terciptanya sistem check and balance yang baik.
Dari beberapa poin gugatan yang diajukan DPD, 4 (poin) poin diantaranya merupakan
pokok eksistensi dan jati diri DPD sebagai lembaga negara yang perlu ditegakkan kembali
sebagaimana telah diamanatkan oleh UUD 1945, yaitu :
1.1 Kewenangan DPD dalam mengajukan RUU setara dengan DPR dan Presiden;
1.2 Kewenangan DPD ikut membahas RUU;
1.3 Kewenangan DPD memberikan persetujuan atas RUU; dan
1.4 Keterlibatan DPD dalam menyusun Prolegnas.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :
Realitas pembentukan legislasi dalam kerangka hubungan kelembagaan antara DPR-RI dan
DPD-RI pra-putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X 201 2 masih memperlihatkan
terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD-RI memberikan gambaran bahwa sistem
bikameral Indonesia tidak dibangun dalam rangka checks and balances. Keterbatasan itu
memberikan makna, gagasan menciptakan sistem dua kamar untuk mengakomodasi
kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi sesuatu yang
utopis.
Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dalam kaitannya dengan
pembentukan legislasi antara DPR-RI dan DPD-RI telah mengembalikan kewenangan DPD-
Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014
Ri yang sebelumnya direduksi oleh UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (P3). Hal ini disambut baik oleh DPD yang selama ini hanya menjadi bayang-
bayang dibawah dominasi DPR; dominasi berlebihan yang mencederai sistem bikameral
yang konon dibentuk untuk tujuan mulia yaitu terciptanya sistem check and balance yang
baik.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, terdapat beberapa saran konstruktif yang dapat diberikan
bagi fungsi legislasi DPD kedepannya, yakni :
1. DPD akan kesulitan bertindak tanpa bantuan elemen terkait untuk
mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi itu. Idealnya, ketiga
lembaga negara segera memformulasikan atau merumuskan model tripartit
mekanisme pengajuan RUU bidang tertentu dan pembahasan RUU bidang
tertentu serta penyusunan prolegnas. Langkah-langkahnya antara lain pertemuan
konsultasi. Pertemuan konsultasi DPD dengan Presiden untuk merumuskan proses
legislasi model tripartit. Pimpinan DPD harus menyurati pimpinan DPR agar
kedua pihak segera menggelar pertemuan konsultasi. Pertemuan konsultasi DPD
dengan DPR harus memiliki target utama untuk mengubah peraturan tata tertib
DPR dan peraturan tata tertib DPD.
2. DPD juga perlu melakukan kegiatan sosialisasi tentang beberapa perubahan hak
dan/atau kewenangan DPD pascaputusan Mahkamah Konstitusi. Kegiatan
sosialisasi yang efektif, efisien, dan massif menjadi perlu untuk dilakukan
mengingat masih banyak penyelenggara negara dan kelompok masyarakat yang
belum memahami dan mengerti konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi,
termasuk nilai-nilai demokrasi yang terkandung di dalamnya. Karena putusan
Mahkamah Konstitusi mengubah model proses legislasi yang selama ini model
dwipartit, yaitu DPR (fraksi), dan Presiden, maka banyak masukan dan harapan
masyarakat yang menghendaki kegiatan sosialisasi yang intensif dan ekstensif
dengan jangkauan yang dalam dan luas.
Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014
Dengan adanya sosialisasi putusan Mahkamah Konstitusi diharapkan
terbentuknya kesamaan persepsi dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi,
sehingga mendorong tertransformasikannya seluruh kegiatan DPD dalam
pengajuan RUU bidang tertentu dan pembahasan RUU bidang tertentu serta
penyusunan Prolegnas untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang
transparan dan akuntabel, serta efektif dan efisien.
3. Amandemen kelima UUD 1945 perlu diusulkan DPD untuk semakin meneguhkan
prinsip checks and balances dalam konsep lembaga perwakilan kita. Agar
perbaikan sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama di bidang legislasi dapat
komprehensif dan menghasilkan produk legislasi yang bermanfaat untuk seluruh
rakyat Indonesia. Sebagai lokomotif pengusul amandemen kelima. Seharusnya
DPD mempersiapkan strategi perjuangan yang matang agar proses amandemen
dapat menjadikan UUD 1945 menjadi konstitusi yang hidup (the living and
working constitution) menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan
dinamika ketatanegaraan secara kontekstual.
Kepustakaan
I. Buku
Akbar, Patrialis. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD RI Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Amir, Makmur dan Reni Dwi Purnomowati, Lembaga Perwakilan Rakyat. Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Arinanto, Satya. Setelah V1PR menjadi Bikameral. Kompas, 9 Agustus, 2002. Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1996. _____, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Jakarta:
Konstitusi Press, 2006. _____, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: MKRI,2006. _____, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006. _____, Hubungan antar Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945. Bahan Ceramah
Diklatpim Tingkat I Angkatan XVII Lembaga Administrasi Negara. _____, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.
Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014
_____, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. cet.2. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia Press, 2005.
_____, Pengantar Ilmu Tata Negara Jilid I. Jakarta: Sekretariat Mahkamah Konstitusi, 2006. _____, Perihal Undang-Undang di Indonesia. Jakarta : Sekretariat Jendral Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2006. _____, Model-Model Pengujian Konstitusionalitas di Berbagai Negara, cet. 1. Jakarta:
Konstitusi Press, 2005. _____, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005. _____, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung. Sebuah
Dokumen Historis. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK, 2006. Buyung, Adnan Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi S o si o-
Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta : Grafiti, 1992. Dwi, Reni Pumomowati. Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Evans, Kevin. Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan. Jakarta : CPPS
Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia. Farida, Maria Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Fatmawati, Struktur Dan Fungsi Legislasi Parlemen Dengan Sistem Multikameral: Studi Perbandingan Antara Indonesia dan Berbagai Negara, Cet. Pertama. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press), 2010. Heryadi. Agus. Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. Isra, Saldi, Jalan Berliku Amandemen Komprehensif: Dari Pakar Hingga Selebritis. Jakarta:
Sekretariat Jenderal DPD RI, 2009. Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam
Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers, 2010. Internasional IDEA (Lembaga Internasional untuk Bantuan Demokrasi dan Pemilu),
Penilaian Demokratisasi di Indonesia (Pengembangan Kapasitas seri 8). Jakarta: Internasional IDEA, 2000.
Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramcdia, 1998. Manan, Bagir. MPR, DPR dan DPD dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta: FH Uli Press.
2003.
Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014
Mahfud, Mohammad MD, Amandemen Konstitusi Menuju Refonnasi Hukum Tata Negara. Yogyakarta : Uli Press, 1999.
Mulyosudarmo, Soewoto. Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Jawa
Timur: Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, 2004. Ranggawidjaja, Rosiji. Menyoal Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: PT. Perca, 2006. Reksodiputro, Marjono. Catatan Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Fakutas Hukum
Universitas Indonesia, 1983/1984. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995. Strong, C.F., Modern Political Constitution An Introduction to the Comparative Study of
their History and Existing Fonn. London: Sidwick & Jackson Ltd. 1975. Sukanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1982. Surbakti. Ramlan. Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi
Kekuasaan. Jakarta: LP3ES, 2002. Walkland, S.A., The Legislative Process in Great Britain. New York-Washington: Frederick
A. Praeger Publisher, 1968. II. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. _____, Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara'Republik Indonesia 1945. LN.
Nomor 11 Tahun 2006. _____, Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. LN.
Nomor 12 Tahun 2006. —, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. LN.
Nomor 13 Tahun 2006. _____, Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. LN.
Nomor 14 Tahun 2006. _____, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. LN. Nomor 92 Tahun 2003.
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 Tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR. DPD, dan DPRD, LN No. 92 tahun 2003, TLN No. 43 10. _____, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. LN. RI. Nomor 53 Tahun 2004.
Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014
_____, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Keputusan DPR RI Nomor : 08/DPR RI/I/2004-2009 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Keputusan DPR RI Tahun 2009-2014 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PMK'2005 tentang
Pedoman Beracara Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 4.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X.-2012 Sekretariat Jendral DPR RI. Keputusan DPR RI Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. III. Internet Haris, Syamsuddin. Dilema Amandemen Kelima, www.lini.go.id/www.cgi?berita&
117939168&22&2007&, diakses 5 Januari 2014. Isra, Saldi Fungsi Legislasi DPD Dalam Penguatan Aspirasi Daerah,
http://www.saldiisra.web. id/index.php?option=com_content&view-article&id=84:t'un gsi-lciiislasi-dpd-dalam-penguatan-aspirasi-daerah&patid=23:inakalah<cmid=l 1. diakses 29 Desember 2013
Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014