IMPLIKASI PENGHAPUSAN PILIHAN FORUM HUKUM · PDF fileDALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN ......
Transcript of IMPLIKASI PENGHAPUSAN PILIHAN FORUM HUKUM · PDF fileDALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN ......
IMPLIKASI PENGHAPUSAN PILIHAN FORUM HUKUM
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
(Analisis Putusan No. 93/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
Fajar Misbahul Munir
NIM: 108044100023
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
IMPLIKASI PENGHAPUSAN PILIHAN FORUM HUKUM
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN SYARIAH
(Analisis Putusan No. 93/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun Oleh
Fajar Misbahul Munir
NIM: 108044100023
Pembimbing
Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A.
NIP. 197608072003121001
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul IMPLIKASI PENGHAPUSAN PILIHAN FORUM HUKUM
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH(Analisis
Putusan Nomor 93/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi) telah diujikan dalam sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi
Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah).
Jakarta, 28 Januari 2014
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. (…………………….)
NIP. 195003061976031001
2. Sekretaris : Rosdiana, M.A. (…………………….)
NIP. 196906102003122001
3. Pembimbing : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A. (..………...................)
NIP.197210161998031004
4. Penguji 1 : Ali Mansur, M.A. (…………………….)
5. Penguji 2 : Dr. Hj. Mesraini, M.A. (…………………….)
NIP. 197602132003122001
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 28 Januari 2014
Fajar Misbahul Munir
v
ABSTRAK
Nama :Fajar Misbahul Munir
NIM :108044100023
Jurusan/Kon :Hukum Keluarga/Peradilan Agama
Kata Kunci :Perbankan Syariah, Pilihan Forum, Non Litigasi, Mahkamah
Konstitusi
Tulisan ini mengangkat tentang pilihan forum khususnya menyoroti
penyelesaian non litigasi pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012. Putusan tersebut merupakan jawaban atas pengujian materi pasal 55
ayat (2) dan (3) Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap UUD
1945. Pembahasan utama yang diangkat adalah implikasi putusan terhadap ketentuan
penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui pilihan forum secara non litigasi.
Pasal yang diujikan ini telah lama menjadi sorotan oleh para akademisi, praktisi
maupun warga pengguna ekonomi syariah lantaran mengakibatkan ketidakpastian
hukum. Lantas bagaimana dampak yang terjadi setelah putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap ketentuan pilihan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah
secara non litigasi.
Dalam penyajiannya penulis menggunakan metode deskriptif analitis. Dimulai
dari penyajian mengenai asas kebebasan berkontrak menurut hukum perdata serta
hukum perdata Islam. Selanjutnya penulis sajikan tentang alternatif penyelesaian
sengketa perbankan syariah di Indonesia. Gambaran umum, latar belakang judicial
review pun penulis paparkan guna melihat duduk perkara. Lalu dipertajam oleh
pandangan ahli melihat problematika pasal yang diuji tersebut. Kemudian diakhiri
dengan analisis dampak dan kesimpulan dari putusan tersebut. Data-data yang
digunakan adalah data primer, sekunder termasuk data terkini seperti wawancara
dengan Hakim Konstitusi yang dicoba dikomparasikan sebagai bahan analisis. Sesuai
dengan analisa hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa choice of forum baik
secara litigasi (Peradilan Umum) maupun non litigasi untuk menyelesaikan sengketa
perbankan syariah yang di tentukan dalam penjelasan pasal tersebut tidak lagi
mempunyai hukum mengikat secara keseluruhannya tanpa terkecuali.
Namun jika para pihak sepakat untuk tidak menyelesaikan di Peradilan
Agama, maka ketentuan penyelesaian dengan memilih forum di luar Peradilan
Agama (non litigasi) dapat dibenarkan bilamana ada kesepakatan tertulis terlebih
dahulu diantara para pihak. Sedangkan bentuk penyelesaian dengan mekanisme
perdamaian (non litigasi) pasca putusan MK ini tidaklah dibatasi. Artinya semua
bentuk alternatif penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui non litigasi baik
yang dilaksanakan di dalam maupun di luar pengadilan berupa mediasi, negosiasi,
konsultasi, fasilitasi, arbitrase, konsiliasi maupun pendapat ahli tidaklah menjadi
masalah, selama pilihan forum penyelesaian tersebut telah disepakati kedua pihak dan
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kita haturkan kedapa Allah SWT atas nikmat
tak tergantikan yang diberikan kepada kita. Yaitu Islam sebagai ajaran yang benar
dan Muhammad SAW sebagai suri tauladan yang mulia. Semoga dengan mensyukuri
segala kenikmatanNya, kita semua senantiasa dalam lindungan dan hidayahNya. Dan
dengan semakin banyak kita bershalawat kepada RasulNya, semakin besar pula
harapan kita mendapat naungan syafaatnya di hari akhirat kelak. Amin.
Selanjutnya penulis bersyukur atas selesainya penulisan skripsi ini guna
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
judul “Implikasi Penghapusan Pilihan Forum Hukum dalam Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah (Analisis Putusan No. 93/PUU-X/2012 Mahkamah
Konstitusi)”.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari betul bahwa masih banyak
kesalahan, kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu besar harapan penulis
ini bukan karya paripurna. Melainkan karya pembuka untuk membuat karya ilmiah
yang lebih sempurna pada tingkat selanjutnya. Tak ada gading yang tak retak. Tak
ada manusia yang sempurna. Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT
semata.
vii
Selanjutnya penulis sampaikan, sejak awal masa studi hingga akhir
menyelesaikan skripsi ini tentunya tidak terlepas berkat dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., M.A., dan Hj. Rosdiana, MA, Selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga.
3. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., selaku pembimbing yang dengan berbagai
kesibukannya masih sempat untuk berdiskusi dan memeriksa skripsi penulis serta
memberikan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Fuad Thohari, M.Ag selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa
memberikan arahan selama masa studi.
5. Seluruh staff pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah
dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan memberikan motivasi
sepanjang penulis berada di sini.
6. Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan hukum yang telah memberikan fasilitas
referensi buku-buku dalam studi kepustakaan.
7. Dr. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M. Hum., Hakim Mahkamah Konstitusi
yang telah memberikan informasi serta masukan kepada penulis.
viii
8. Teristimewa untuk ayahanda Drs. H. Saiful Munir dan ibunda Dra. Hj. Siti Nur
Puji Utami tercinta atas doa, kasih sayang, pengorbanan serta dukungan baik
moril maupun materiil sehingga penulis bisa menyelesaikan studi. Hanya doa
yang ananda bisa berikan serta ridho yang selalu ananda harapkan. Dan untuk
kakakku Kharisma Dyah Utami serta adikku Triana Nurbaity atas perhatian dan
dukungan yang diberikan.
9. Keluarga besar Peradilan Agama angkatan 2008 atas persahabatan dan
pembelajaran bersama, Keluarga besar UKM HIQMA atas jalinan silaturahmi
dan bekal organisasi, Warga Komplek BPKP Situgintung atas kekeluargaan yang
terbina, Keluarga besar PSC atas pengalaman dan pelatihan, Keluarga besar
Ikamaksuta Jakarta dan semua pihak yang pernah mengenal, akrab dan bahkan
turut serta memberikan kontribusi kepada penulis baik moril maupun materiil
yang tidak bisa penulis sebut satu persatu walaupun tanpa mengurangi hormat
dan terimakasih penulis.
Demikian ucapan terimakasih penulis sampaikan mudah-mudahan kebaikan-
kebaikannya dapat diterima dan dibalas Allah SWT.
Jakarta, 24 Januari 2014
Penulis
Fajar Misbahul Munir
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………….. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN iii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………… iv
ABSTRAK…………………………………………………………………… v
KATA PENGANTAR……………………………………………………… vi
DAFTAR ISI……………………………………………………………….... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………. 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah…………………... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………….. 9
D. Metode Penelitian …………………………………….. 10
E. Review Terdahulu ……………………………………. 13
F. Sistematika Penulisan ………………………………… 14
BAB II ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
A. Sejarah dan Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak…. 17
B. Asas Kebebasan Berkontrak dalam KUH Per…...……. 25
C. Asas Kebebasan Berkontrak Menurut Hukum Perdata
Islam…………………………………………………...
28
x
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
MELALUI NON LITIGASI
A. Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di
Indonesia………………………………………………
33
B. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah dalam
Hukum Islam……….........................................................
51
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO 93/PUU-X/2012 TENTANG PENGHAPUSAN
PILIHAN FORUM
A. Gambaran Umum Putusan Mahkamah Konstitusi……. 60
B. Problematika Pilihan Forum Dalam Pasal 55 Ayat 2
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Menurut Ahli.
64
C. Analisis Penulis terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi beserta Implikasinya.………………………
71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………… 80
B. Saran-Saran…………………………………………… 83
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 85
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………….. 91
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ekonomi Islam atau lebih dikenal dengan ekonomi syariah merupakan
cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan kesejahteraan
manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya serta perilaku muslim
dengan mengikuti al-qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Lembaga keuangan yang
melakukan aktivitas ekonomi syariah ini diantaranya Perbankan Syariah.1
Perkembangan bank syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam
mulai muncul pada pertengahan abad ke-20. Di Indonesia, kendati gagasan
dan wacana bank syariah di Indonesia muncul pada tahun 70-an akan tetapi
pada saat itu upaya pendirian bank syariah belum dapat terealisasi.2 Akibatnya
perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia dapat dikatakan terlambat jika
dibandingkan dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya
muslim. Akhirnya pada tahun 1991 dibentuk suatu akta pendirian PT. Bank
Muamalat Indonesia pada tahun 1990 yang menginginkan adanya pendirian
bank syariah di Indonesia.3
1 Euis Amalia, M. Taufiki dan Dwi Nur’aini Ihsan, Buku Modul Praktikum Bank Mini,
Konsep dan Mekanisme Bank Syariah, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007), h.7. 2Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana 2006), Cet. Ketiga, h. 58. 3Muhammad Syafiie Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan,
(Jakarta: Tazkia Institute, 1999), h. 278.
2
Bank syariah secara yuridis juga diperkenalkan pada tahun 1992 sejalan
dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Kemudian secara tegas aturan Perbankan Syariah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Seiring dengan semakin berkembangya Perbankan Syariah di Indonesia,
maka dibutuhkan regulasi yang jelas dalam mengaturnya. Penegasan adanya
prinsip syariah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, merupakan salah satu regulasi yang membedakan antara bank
konvensional dengan bank syariah. Salah satu regulasi yang menonjol
perbedaannya antara bank konvensional dan bank syariah adalah mengenai
penyelesaian sengketanya.
Beberapa sengketa yang sering terjadi dalam perbankan syariah
diantaranya seperti adanya ingkar janji (wan prestasi), pertikaian-pertikaian
dan kesalahfahaman. Di samping itu permasalahan yang terjadi dalam
perkembangan ekonomi syariah diantaranya:4 pertama, permasalahan dalam
formulasi akad dimana praktik di lapangan antara bank dan lembaga keuangan
syariah belum memiliki format akad yang baku. Kedua, belum adanya
kejelasan mengenai pembuatan akad syariah, apakah akad tersebut harus
4 Hermansyah, “Tiga Masalah Fundamental Yang Mengganjal ” artikel diakses pada
senin, 02 September 2013 14:46 dari http://pa-banjarbaru.Pta
Banjarmasin.go.id/index.php?content=mod_berita&id=132.
3
notariil atau hanya sekedar perjanjian dalam asuransi antara penanggung dan
tertanggung. Ketiga, mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
Dalam perjalanan sejarah perbankan syariah di Indonesia, penyelesaian
sengketa ekonomi syariah setidaknya dapat dilakukan oleh tiga lembaga yang
telah memiliki kompetensi untuk menanganinya yaitu Basyarnas, Pengadilan
Negeri dan yang sekarang adalah Pengadilan Agama. Dua lembaga yang
terakhir ini merupakan lembaga peradilan yang sering disebut dengan proses
litigasi. Sedangkan satu lembaga lainnya adalah proses penyelesaian yang
dilakukan diluar pengadilan yang sering disebut dengan proses non litigasi.
Keberadaan lembaga Arbitrase diakui secara yuridis oleh Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, demikian juga kewenagan
Arbitrase menangani sengketa Perbankan Syariah juga didasarkan atas
kesepakatan ketika berakad atau membuat perjanjian pactum de
compromittendo (sejak awal sebelum terjadi sengketa) atau acta kompromis
(setelah terjadi sengketa).5
Selain Arbitrase, Peradilan Umum juga memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah dengan merujuk Pasal 50
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang menyebutkan
bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
5Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Lampiran UU No. 30 Tahun
1999, h. 50-51.
4
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata ditingkat pertama. Sejak
lahirnya Perbankan Syariah (kelahiran Bank Muamalat Indonesia tahun 1991),
Peradilan Umum mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan Perbankan
Syariah.6
Sedangkan Peradilan Agama, baru pada tahun 2006 mulai mendapatkan
kewenangan menangani sengketa Perbankan Syariah. Kewenangan ini mulai
beralih dari Peradilan Umum menjadi kewenangan Peradilan Agama
berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan
Pasal 49 dijelaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang: a. perkawinan, b.
kewarisan, c. wasiat, d. hibah, e.wakaf, f. zakat, g. infak, h. sedekah dan i.
ekonomi Islam.7 Dengan demikian sudah jelas bahwa kewenangan Peradilan
Agama sudah sampai pada kasus sengketa ekonomi syariah.
Dengan demikian Peradilan Negeri tidak lagi memilki wewenang
sengketa ekonomi syariah. Akan tetapi dalam sengketa yang berkaitan dengan
hak milik atau sengketa keperdataan antara lain orang yang beragama non-
Islam mengenai sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-
6Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum yang kemudian diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004. 7Sulaikin Lubis, dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2006), h. 106.
5
Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama masih terkait dengan
Peradilan Umum.8
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, selain Peradilan Agama kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa perbankan syariah juga dapat dilakukan oleh
Arbitrase dan Peradilan Umum. Sebagaimana Pasal 55 Undang-Undang No.
21 Tahun 2008 menyebutkan9:
1. Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan agama.
2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi akad.
3. Penyelesaian sebagaimana yang dimaksud ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah
Kemudian dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) tersebut disebutkan10
:
Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi
akad” adalah upaya sebagai berikut:
a. Musyawarah
b. Mediasi Perbankan;
c. Melalui badan Arbitase Syariah (Basyarnas) Atau lembaga arbitase lain;
dan atau
d. Melalui pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum
Namun terhitung tepat sejak pukul 09.41 WIB, tanggal 29 Agustus 2013,
penjelasan pasal ini tidak lagi berlaku.11
Mahkamah Konstitusi, melalui
8Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia,
(Yogyakarta: Citra Media, 2006), h. 145. 9Tim Redaksi Focus Media, Undang-Undang Perbankan Syariah Dan Surat Berharga
Syariah Negara, (Jakarta: Focus Media 2008), h. 71. 10
Ibid., h. 122-113.
6
Putusan Nomor 93/PUU-X/2012 menegaskan bahwa Penjelasan Pasal 55
Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.12
Penjelasan pasal tersebutlah yang selama ini menjadi biang kemunculan
pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum).13
Lalu bagaimana implikasi
dari penghapusan pilihan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah
tersebut?
Problem inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian dan mengambil dari putusan Mahkamah Konstitusi yakni Putusan
Nomor 93/PUU-X/2012. Penelitian ini sesuai dengan latar belakang akademik
penulis yaitu Peradilan Agama.
Dengan adanya ketidakpastian kewenangan penyelesaian sengketa
perbankan syariah ini, penulis ingin melihat bagaimana implikasi putusan
pengujian ketentuan pilihan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah
yang sangat multitafsir ini, akhirnya dapat diselesaikan Mahkamah Konstitusi
melalui putusannya Nomor 93/PUU-X/2012.
11
Pencantuman waktu selesainya pembacaan putusan tersebut termaktub dalam bagian
penutup putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. 12
MK Kabulkan Pemohon Terkait UU Perbankan Syariah diakses pada hari senin, 02
September 2013 14:35 dari http://ekonomisyariah.info/blog/2013/08/30/mk-kabulkan-
pemohon-terkait-uu-perbankan-syariah/. 13
Ahmad Z. Anam, M.S.I. (Calon Hakim Pengadilan Agama Kab. Kediri. Mentor: Drs.
H. Imam Asmu’i, S.H), Tantangan dan Strategi Pengadilan Agama dalam Merespon Amanat
Konstitusi yang Memberikan Kewenangan Penuh untuk Mengadili Sengketa Perbankan
Syari’ah, diakses pada senin, 02 September 2013 14:35 dari pa-
kedirikab.go.id/utama/index.php?option=com_content&view=article&id=173:pengadilan-
agama-pasca-putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-93puu-x2012&catid=62:berita-original.
7
Dari beberapa persoalan diatas penulis ingin menuangkan dalam sebuah
karya tulis ilmiah dengan judul: “Implikasi Penghapusan Pilihan Forum
Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Analisis
Putusan Nomor 93/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi)”.
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas arah pembahasan skripsi ini penulis membatasi
hanya pada kajian Putusan. Putusan yang dimaksud adalah putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Fokus pengamatan
penelitian ini adalah pada implikasi penghapusan penjelasan pasal 55 ayat
(2) UU No 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah.
Adapun yang penulis maksud dengan implikasi adalah akibat hukum.
Yaitu dampak yang terjadi dalam ketentuan pilihan forum penyelesaian
sengketa perbankan syariah dalam penyelesaian sengketa secara non
litigasi.
2. Perumusan Masalah
Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
kewenangan absolut Peradilan Agama jelas meliputi ekonomi syariah.
Namun dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 55
ayat (2) membuka jalan penyelesaian sengketa perbankan syariah dengan
8
pilihan forum sesuai akad. Sehingga perkara perbankan syariah ini masih
mungkin ditangani lembaga di luar Pengadilan Agama.
Kemudian setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
pengujian Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di
mana penjelasan Pasal 55 ayat 2 mengenai pilihan forum (choice of forum)
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Maka,
bagaimana kedudukan pilihan forum setelah dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Apakah pilihan forum yang tercantum dalam
penjelasan Pasal 55 ayat 2 UU Perbankan Syariah lantas semua terhapus
dan tidak berlaku? Atau hanya forum litigasi saja yang terhapus, guna
mengembalikan kewenangan yuridis Peradilan Agama saja, sehingga
lembaga non litigasi yang tercantum dalam penjelasan pasal masih bisa
dijadikan alternatif penyelesaian? Atau mungkinkah terbuka peluang
untuk penyelesaian sengketa melalui non litigasi dalam bentuk apapun
(tanpa melihat apakah sebelum putusan MK tercantum pada penjelasan
pasal 55 atau tidak)
Maka dari rumusan yang dikemukakan diatas dapat dirinci
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut
hukum Islam?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui non
litigasi di Indonesia?
9
3. Apa implikasi dari penghapusan penjelasan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 terhadap penyelesaian
sengketa perbankan Syariah, khususnya dalam penyelesaian
melalui non litigasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pembatasan dan rumusan masalah diatas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa perbankan
syariah menurut hukum Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa perbankan
syariah di Indonesia melalui non litigasi.
3. Untuk mengetahui implikasi dari penghapusan penjelasan Pasal 55
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
penyelesaian sengketa Perbankan Syariah, khususnya dalam
penyelesaian melalui non litigasi pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut:
10
1. Untuk menambah ilmu dan wawasan intelektual bagi mahasiswa
ataupun masyarakat yang membaca hasil penelitian ini khususnya
bagi penulis.
2. Memberikan satu karya ilmiah bagi civitas akademika Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dapat memberikan pengetahuan mengenai Ekonomi Syariah,
khususnya dalam penyelesaian sengketa Perbankan Syariah
melalui non litigasi.
D. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan kualitatif gabungan dari field research dan
kajian pustaka. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilakan data deskriptif, yaitu ucapan atau tulisan dan prilaku yang
diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri.14
Field research adalah
penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data
lapangan15
yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Kajian kepustakaan
14
Arief Furqan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan Fenomologis
Terhadap Ilim-Ilmu Sosial, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), h. 21-22. 15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), h. 234.
11
adalah pengkajian dari buku-buku yang mengacu dan berhubungan
dengan pembahasan skripsi ini yang dianalisa data-datanya.
2. Data dan Sumber Penelitian
a. Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung
berupa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 dan
dari responden yaitu hakim Mahkamah Konstitusi melalui wawancara.
Data sekunder diperoleh dari buku-buku, hasil penelitian, makalah-
makalah seminar, jurnal, sumber dari internet serta literatur lainnya
yang berkaitan dengan topik judul skripsi ini.
b. Sumber Penelitian
Sumber penelitian yang digunakan adalah sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber primer adalah sumber-sumber hukum yang
mengikat seperti peraturan perundang-undangan.16
Sedangkan sumber
sekunder adalah sumber hukum yang memberikan penjelasan sumber
hukum primer17
seperti buku-buku, hasil penelitian dan litaratur
lainnya.
16
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu TInjauan
Singkat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 13. 17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu TInjauan
Singkat, h. 13.
12
3. Tehnik Pengumpulan Data
a. Wawancara Mendalam (indepth interview) yaitu merupakan sebuah
percakapan antara dua orang atau lebih18
untuk memperoleh
keterangan data secara lisan melalui tanya jawab yang berupa
wawancara dengan hakim Mahkamah Konstitusi.
b. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel-
variabel yang berupa buku-buku, hasil penelitian, makalah-makalah
seminar, jurnal, catatan-catatan, dan artikel-artikel, dan juga sumber-
sumber dari internet yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data yaitu suatu cara yang dipakai untuk menganalisa,
mempelajari serta mengolah kelompok data tertentu, sehingga dapat
diambil suatu kesimpulan yang kongkret tentang permasalahan yang
diteliti dan dibahas. Dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah
analisis deskriptif yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
suatu gejala tertentu.19
Dari gambaran ini dapat diperoleh data yang
kemudian dianalisis dan diinterpretasikan sesuai dengan data yang ada,
yang akhirnya diambil kesimpulan.
18
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, cet. Ke-1, (Bandung: Pustaka Setia,
2002), h. 130. 19
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, cet.
ke-dua, h. 104.
13
5. Tehnik Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan dan transliterasi yang digunakan adalah
berpedoman kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan
oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2012.20
E. Review Terdahulu
Dalam pembahasan tentang perbankan syariah di Indonesia terutama
kewenangan dan problematika prosedur penyelesaiannya, penulis menelusuri
beberapa skripsi yang ada di Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah. Diantara
karya-karya yang penulis telusuri adalah sebagai berikut:
No Nama/Kon/Fak
/Thn/ Judul
Substansi Perbedaan
1. Muhammad Dani,
Jurusan Perbankan
Syariah, Syariah
dan Hukum UIN
Jakarta, 2008
dengan Judul:
Persepsi Praktisi
Perbankan Syariah
Terhadap Pilihan
Penyelesaian
Pada skripsi ini
menjelaskan
tentang tinjauan
hakim tentang
pilihan pihak yang
berperkara dalam
penyelesaian
sengketa ekonomi
syariah antara
Basyarnas dan
Dalam hal ini
penulis
menitikberatkan
mengenai implikasi
dari Putusan
Mahkamah
Konstitusi terkait
pilihan forum non
litigasi dalam
sengketa perbankan
20
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, “Buku Pedoman Penulisan Skripsi,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”,
(Jakarta:Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu, PPJM Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta).
14
Sengketa Antara
Basyarnas dan
Peradilan Agama.
Peradilan Agama.
syariah pasca
putusan Nomor
93/PUU-X/2012.
2. Fahmi Firmansyah,
Jurusan Peradilan
Agama, Syariah
dan Hukum UIN
Jakarta, 2013
dengan Judul:
Eksistensi
Peradilan Agama
Pasca Putusan
Mahkamah
Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012.
Skripsi ini
membahas
eksistensi
peradilan agama
serta peran dan
langkah yang
disiapkan Hakim
Peradilan Agama
setelah putusan
tersebut.
Dalam hal ini
penulis
menitikberatkan
mengenai implikasi
dari Putusan
Mahkamah
Konstitusi terkait
pilihan forum non
litigasi dalam
penyelesaian
sengketa perbankan
syariah pasca
putusan Nomor
93/PUU-X/2012.
F. Sistematika Penulisan
Dalam memaparkan penelitian ini kedalam bentuk penulisan, maka
penulis menyusunnya secara sistematis guna memudahkan dalam
menganalisis suatu masalah. Adapun sistematika penulisan ini adalah sebagai
berikut:
Bab satu dikemukakan mengenai pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang penulisan skripsi ini. Dalam hal ini penulis mengemukakan tentang
ekonomi syariah beserta perkembangannya disertai dengan permasalahan
15
penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang ada di Indonesia. Setelah itu,
dikemukakan batasan dan rumusan permasalah pada skripsi ini. Kemudian
dijelaskan mengenai tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review
terdahulu dan sistematika penulisan.
Bab dua membahas tentang asas kebebasan berkontrak yang di dalamnya
dijelaskan tentang sejarah dan pengertian asas kebebasan berkontrak, asas
kebebasan berkontrak dalam KUHPer dan asas kebebasan berkontrak dalam
hukum Islam.
Bab tiga membahas tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah
melalui non litigasi, di dalamnya memuat alternatif penyelesaian sengketa
perbankan syariah di Indonesia dan penyelesaian sengketa perbankan syariah
menurut hukum perdata Islam.
Bab empat mengemukakan mengenai hasil penelitian penulis terhadap
hakim Konstitusi tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah khususnya
terkait pilihan forum non litigasi. Kemudian akan dikemukakan analisis
putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012 yang menguji pasal 55
ayat 2 UU No 21 tentang Perbankan Syariah. Pembahasan pada bab ini akan
diperoleh kedudukan pilihan forum, khususnya melalui non litigasi serta
persepsi hakim Mahkamah Konstitusi tentang penyelesaian sengketa
perbankan Syariah pasca putusan.
16
Bab lima, disajikan penutup berupa kesimpulan dari data dan kajian yang
telah diolah dan dianalisis menjadi pokok permasalahan. Selain itu,
kesimpulan ini juga disertai saran-saran yang berhubungan dengan kajian ini.
17
BAB II
ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
A. Sejarah dan Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak
1. Sejarah Asas Kebebasan Berkontrak
Setiap warga Negara Indonesia memiliki hak konstitusi untuk
mewujudkan kesejahteraan dirinya sebagai wujud demokrasi ekonomi yang
berlaku di Indonesia berdasarkan UUD 1945. Kesejahteraan seseorang sebagai
indikator untuk mewujudkan kemakmuran, berkaitan dengan siapa yang akan
memperoleh kemakmuran dan bagaimana memperoleh kemakmuran itu.
Di samping itu, pemenuhan kebutuhan seseorang akan benda ekonomi
sangat berkaitan dengan kepemilikan. Masalah kepemilikan merupakan
bagian terbesar dari kewenangan hukum yang mengaturnya,1 di sinilah terlihat
hubungan ekonomi dengan hukum. Memang antara ekonomi dan hukum
berlainan bidangnya, tetapi kedua bidang ini saling membutuhkan dan
melengkapi satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan pendekatan sistem, norma hukum yang dianut di dalam
Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian adalah bagian dari hukum harta
kekayaan. Artinya semua perjanjian pada dasarnya adalah berkaitan dan
berhubungan dengan kekayaan yang mempunyai nilai ekonomi yaitu yang
1 Milik senantiasa dipikirkan sebagai bagian dari hukum meun et tuum, yaitu hukum
tentang apa yang menjadi milik saya dan apa yang menjadi milik anda. Save M.Dagun,
Pengantar Filsafat Ekonomi, (Jakarta, Rineka Cipta, 1992), h. 82.
18
dapat dijadikan objek perdagangan (in de handel).2 Oleh karena itulah,
perjanjian merupakan titel untuk memperoleh dan mengalihkan kekayaan dari
dan untuk seseorang.
Pada dasarnya setiap orang bebas melakukan perjanjian. Hal ini sebagai
realisasi dari asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya
adalah implementasi dari alam pikiran faham individualis. Di sinyalir bahwa
kebebasan berkontrak yang dituangkan ke dalam Buku III KUHPerdata
berlatar-belakang pada faham individualisme yang secara embrional lahir
dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Eficuristen dan berkembang pesat
pada abad ke XVIII melalui pemikiran Huge de Groot (Grotius), Thomas
Hobbes, John Locke dan Rousseau. Puncak perkembangannya dalam periode
setelah revolusi Perancis. Faham individualis mengutamakan dan menjunjung
tinggi nilai-nilai dan eksistensi individu di dunia ini, termasuk dalam
memenuhi kebutuhannya.3
Dalam sejarah perkembangan kebebasan berkontrak, makna dan isi
kebebasan berkontrak mengalami pergeseran sesuai dengan faham atau
ideologi yang dianut oleh suatu masyarakat, dengan kalimat lain sejauh mana
kebebasan seseorang melakukan kontrak dapat dibatasi oleh faham atau
ideologi yang dianut suatu masyarakat. Pada saat lahirnya asas kebebasan
2 Pasal 1332 KUH,Perdata : yang dapat dijadikan objek perjanjian adalah semua benda
yang dapat diperdagangkan yang berarti sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi. 3Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya,
(Bandung: Alumni: 1981), h. 118-119. Lihat juga Achmad Ichsan, Hukum Perdata I B,
(Jakarta: PT. Pembimbing Masa, 1969), h., 9.
19
berkontrak pada abad 17 dan 18, asas kebebasan berkontrak mempunyai daya
kerja sangat kuat, kebebasannya itu tidak dapat dibatasi baik oleh rasa
keadilan masyarakat atau pun oleh campur tangan negara. Hal ini terjadi
karena adanya pengaruh ideologi individualisme.
Pengaruh faham individualisme yang berkembang pada abad 17-18 telah
memberi peluang yang cukup luas atas isi asas kebebasan berkontrak
sedemikian bebasnya dan sangat kuat dalam melindungi kepentingan individu.
Namun dalam perkembangannya, akibat desakan faham-faham etis dan
sosialis, faham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih setelah perang
dunia kedua. Faham ini secara umum menimbulkan zaman baru dalam
hukum, demikian juga pengaruh faham etis dan sosialis ini terlihat dan sangat
terasa pada isi dari asas kebebasan berkontrak.4 Asas kebebasan berkontrak
mula-mula muncul dan berlaku dalam hukum perjanjian Inggris sebagai awal
dari sejarah timbulnya asas kebebasan berkontrak.
Menurut Treitel, sebagaimana dikutip oleh Remy Sjahdeini, freedom of
contract digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum, yaitu:5
a. Asas umum yang mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syarat-
syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak; asas tersebut tidak
membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena
4 Mahadi, Hukum Sebagai Sarana Mensejahterakan Masyarakat, (Medan: USU Press,
1985), h. 2-3. 5 Remy Syahdeini, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan yang seimbang dari
kreditur dan debitur, makalah yang disampaikan pada Seminar Ikatan Notaris Indonesia di
Surabaya pada tanggal 27 April 1993, h. 2.
20
syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak.
Menurut Treitel, asas ini ingin menegaskan bahwa ruang lingkup asas
kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan
sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat.
b. Asas umum yang mengemukakan pada umumnya seseorang menurut
hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian. Menurut
Treitel, dengan asas umum ini ingin mengemukakan bahwa asas
kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk
menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian.
Asas ini merupakan asas umum yang bersifat universal. Asas kebebasan
berkontrak merupakan asas dalam hukum perjanjian yang dikenal hampir
semua sistem hukum.6 Asas kebebasan berkontrak telah menjadi asas hukum
utama dalam hukum perdata, khususnya dalam hukum perjanjian, dikenal
dalam civil law system maupun dalam common law system, bahkan dalam
sistem hukum Islam.
Pengertian kebebasan berkontrak dalam civil law system berasal dan
dikembangkan dari konsep dan perkembangan perikatan atau obligatio yang
untuk pertama kali dipergunakan di dalam civil law tradition pada zaman
6Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993), 38. Lihat juga Ridwan Khairandy, Pengaruh Paradigma Kebebasan
Berkontrak Terhadap Teori Hukum Kontrak Klasik dan Pergeserannya, tidak dipublikasikan,
2003, h. 49.
21
Romawi oleh Kaisar Justianus, di dalam Corpus Iuris Civilis pada tahun 533,
bagian Institutiones.7
Pengertian kebebasan berkontrak dalam common law:8
1. Tidak seorang pun terikat untuk membuat kontrak apapun jika ia tidak
menghendakinya (nobody was bound to enter into any contracts at all if
he didnot chose todo so);
2. Setiap orang memiliki pilihan orang dengan siapa ia akan membuat
kontrak (everyone had a choice of persons with whom he could contract);
3. Orang dapat membuat pelbagai macam (bentuk) kontrak (people could
make virtually any kind of contract);
4. Orang dapat membuat berbagai kontrak dengan isi dan persyaratan yang
dipilihnya (people could make any kind of contract on an term they
chose).
Asas kebebasan berkontrak ini juga pada era globalisasi telah disepakati
sebagai suatu asas hukum dapat dilihat dalam:9
The Unidroit Principles of International Institute Contract yang
diselesaikan penyusunannya oleh The International Institute for the
univication of Private Law (UNIDROIT) di Roma pada bulan Mei 1994
memuat kebebasan berkontrak sebagai suatu asas dan diatur di dalam
Pasal pertama. Selain itu, Commission on Europen Contract Law, sebuah
badan yang beranggotakan para ahli hukum dari European Community
(sekarang Uni Eropa) telah pula menyelesaikan The principles Of
7 Johannes Gunawan, “Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan Berkontrak” dalam Sri
Rahayu Oktoberina, Niken Savitri, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70
Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, (Bandung: Aditama, 2008), h. 259. 8 Ibid., h. 265.
9 Ibid., h. 258.
22
European Contract Law pada tahun 1998 pada Pasal 1.102 mengatur
tentang kebebasan berkontrak sebagai suatu asas.
Dalam sistem hukum nasional Indonesia, asas ini ini diimplementasikan
pada hukum perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1338 KUH Perdata
yang menentukan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perjanjian
dengan siapa yang dikehendakinya dan bebas menentukan isi perjanjian yang
akan dilakukan. Berdasarkan prinsip asas inilah maka Buku III KUHPerdata
menganut sistem terbuka.
Asas kebebasan berkontrak pada prinsipnya sebagai sarana hukum yang
digunakan subjek hukum untuk memperoleh hak kebendaan dan mengalihkan hak
kebendaan demi pemenuhan kebutuhan diri pribadi subjek hukum. Dalam
KUHPerdata yang menganut sistem kontinental kebebasan untuk melakukan
kontrak dan menentukan isi kontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata. Wujud kebebasan berkontrak baru dapat diketahui dalam
praktiknya pada saat melakukan perjanjian. Dalam memenuhi kebutuhan
manusia, termasuk kebutuhan akan benda ekonomi, peranan perjanjian ini sangat
penting karena perjanjian oleh hukum disebutkan sebagai titel untuk memperoleh
hak kepemilikan.
2. Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak
Walaupun banyak persetujuan-persetujuan yang belum diatur dalam
undang-undang, akan tetapi karena BW menganut azas kebebasan berkontrak,
yang artinya bahwa setiap orang adalah bebas untuk membuat persetujuan
23
apapun selain yang diatur oleh undang-undang, maka tidak tertutup
kemungkinan bagi para pihak untuk membuat persetujuan-persetujuan
tersebut.10
Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga
disebut sebagai sistem terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang
oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Penegasan mengenai
adanya kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga
dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan
yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan
kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.
Subekti menyatakan bahwa, cara menyimpulkan asas kebebasan
berkontrak (beginsel der contractsvrijheid) adalah dengan jalan menekankan
pada perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan
bahwa Pasal 1338 ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan
(proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu
akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan
10
Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: BinaCipta, 1979), h. 10-11.
24
terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum
dan kesusilaan".11
Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa "Semua"
mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal
maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak
(contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan
menentukan "apa" dan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang
diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan
mengikat.12
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa
setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi
dan macam apapun asal tidak bertentangandengan undang-undang, kesusilaan
dan ketertiban umum.13
Asas kebebasan berkontrak itu dituangkan oleh
pembentuk undang-undang dalam Pasal 1338 ayat 1 BW.Dalam hukum
perdata asas kebebasan berkontrak yang dianut Buku III BW ini merupakan
sistem (maeriil) terbuka sebagai lawan sistem (materiil) tertutup yang dianut
Buku II BW.14
Bahwa dengan kebebasan membuat perjanjian tersebut berarti orang
dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang diatur dalam Buku III BW
11
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1983), Cetakan Keenam Belas, h. 5. 12
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2001), Cetakan Pertama, h. 84. 13
Subekti, HukumPerjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1979), cet. VI, h. 13. 14
Ibid., h. 13.
25
akan tetapi diatur sendiri dalam perjanjian, sebab perjanjian yang dibuat
sacara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
(Pasal 1338 ayat 1 BW). Namun kebebasan berkontrak bukan berarti boleh
membuat kontrak (perjanjian) secara bebas, tetapi kontrak (perjanjian) harus
tetap dibuat dengan mengindahkan syarat-syarat untuk sahnya perjanjian, baik
syarat umum sebagaimana disebut Pasal 1320 BW maupun syarat khusus
untuk perjanjian-perjanjian tertentu.
Sistem ini mengandung konsekuensi dibabaskannya orang membuat
perjanjian jual beli menurut kehendak kedua belah pihak meskipun isi
perjanjian itu tidak diatur undang-undang atau bahkan menyimpang dari
undang-undang.
B. Asas Kebebasan Berkontrak dalam KUH Perdata
Pengaturan hukum perdata Indonesia masih mengacu apa yang terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berlakunya ketentuan ini
secara yuridis didasarkan pada Pasal II Peraturan Peralihan UUD 1945. Dalam
KUHPer ataupun dalam peraturan lainnya tidak ada satu pasal pun yang
menyatakan dengan tegas berlakunya asas kebebasan berkontrak. Hal ini tidak
berarti bahwa hukum perdata Indonesia tidak mengenal asas kebebasan
berkontrak.
Dalam KUHPer, asas kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari Pasal
1338 KUHPer yang menyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat
26
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”.15
Dari
“semua” dapat ditafsirkan bahwa setiap orang dapat membuat perjanjian
dengan isi apapun. Ada kebebasan dari setiap subjek hukum untuk membuat
perjanjian dengan siapapun yang dikehendaki, dengan isi dan dalam bentuk
apapun yang dikehendaki.
Dengan adanya asas kebebasan berkontrak ini, maka dimungkinkan
subjek hukum membuat perjanjian hukum yang baru yang belum dikenal
dalam undang-undang (dikenal dsengan istilah perjanjian tidak bernama,
yakni perjanjian yang jenis dan peraturannya belum dituangkan dalam KUH
Perdata). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pembentuk
undang-undang pada asasnya memang mengakui kemungkinan akan adanya
perjanjian lain dari yang telah diatur dalam KUH perdata, dan ini
membuktikan berlakunya asas kebebasan berkontrak.16
Akibat adanya asas kebebasan berkontrak adalah bahwa bentuk perjanjian
yang berupa kata sepakat (consensus/lisan) saja sudah cukup. Apabila
consensus demikian dituangkan dalam akta, dimaksudkan hanya untuk
kepentingan pembuktian semata. Sedangkan mengenai isinya, para pihak pada
dasarnya bebas menentukan sendiri apa yang mereka inginkan.
15
KUHPer Pasal 1338. 16
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1993), h.
36.
27
1. Ruang Lingkup Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi
ruang lingkup sebagai berikut:
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi
ruang lingkup sebagai berikut:
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih klausa dari perjanjian yang
dibuatnya;
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
e. Kebebasan untuk menentukan syarat-syarat suatu perjanjian termasuk
kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvullend, optional).17
2. Unsur-unsur Asas Kebebasan Berkontrak
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menetapkan bentuk perjanjian.
d. Kebebasan untuk menetapkan isi perjanjian.
e. Kebebasan untuk menetapkan cara membuat perjanjian.18
17
Remy Syahdeini, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan yang Seimbang Dari
Kreditur dan Debitur, h. 10. 18
Yohanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Penerbit Unika
Parahyangan Program Pasca sarjana Program Magister Ilmu Hukum, 1999), h. 33-34.
28
Dalam asas kebebasan berkontrak setiap orang bebas untuk mengadakan
perjanjian atau tidak mengadakan perjanjian serta memilih dengan siapa ia
akan membuat perjanjian. Adapun mengenai isi, bentuk dan cara pembuatan
perjanjian para pihak bebas untuk menyepakatinya.
Terhadap asas kebebasan berkontrak dikenal pembatasan yang termuat
dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu perjanjian tidak boleh bertentangan
dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang. Menurut Pitlo, di
samping hal tersebut di atas masih terdapat pembatasan yang lain dalam
wujud dipersyaratkannya bentuk tertentu, yaitu harus dituangkan dalam
bentuk tertulis, atau otentik atau notariil.19
C. Asas Kebebasan Berkontrak Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam, suatu perjanjian harus dilandasi adanya kebebasan
berkehendak dan kesukarelaan dari masing-masing pihak yang mengadakan
transaksi sebagai mana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 29
sebagai berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
19
A. Pitlo, Tafsiran Singkat Tentang Beberapa Bab dalam Hukum Perdata, (Jakarta:
Intermassa, 1979), h. 56.
29
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Q.S.
4: 29).20
Syariat Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk
melakukan akad sesuai yang diinginkannya, sebaliknya apabila ada unsur
pemaksaan atau pemasungan kebebasan akan menyebabkan legalitas kontrak
yang dihasilkan batal atau tidak sah. Asas ini menggambarkan prinsip dasar
bidang muamalah yaitu kebolehan (mubah) yang mengandung arti bahwa
hukum Islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam
muamalah baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
Banyak bidang-bidang usaha yang telah diisyaratkan dalam Al-quran,
misalnya pertanian, peternakan, industri, baik industri pakaian, industri besi
ataupun industri bangunan, perdagangan, kelautan dan jasa.21
Namun kebebasan berkontrak tersebut memiliki limitasi terhadap hal-hal
yang sudah jelas dilarang dalam syariat. Tujuan dari limitasi tersebut adalah
untuk menjaga agar tidak terjadi penganiayaan antara sesama manusia melalui
kontrak yang dibuatnya. Limitasi tersebut antara lain larangan bertransaksi
secara ribawi, larangan perjuadian atau untung-untungan, dan larangan gharar
atau menjual barang yang tidak dapat diserahkan karena belum dikuasai
dalam melakukan transaksi.22
20
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan
Tejemahannya, (Jakarta: Depag RI, 1986), h. 122. 21
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 193-194. 22
Ibid., h. 194.
30
Keberadaan perjanjian dapat ditelaah dengan melihat beberapa prinsip
muamalah dalam Islam, di antaranya: pertama, pada dasarnya segala bentuk
mualamah adalah mubah, kecuali yang dilarang dalam al-Qur’an dan Sunnah;
kedua, muamalah dilakukan atas dasar suka rela, tanpa mengandung unsur
paksaan; ketiga, muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan
manfaat dan menghindari madharat dalam kehidupan masyarakat; keempat,
muamalah dilaksanakan untuk memelihara keadilan, menghilangkan
kezaliman (ketidakadilan), gharar (penuh tipu daya).23
Menurut mazhab Hanbali dan Maliki, pihak-pihak yang melakukan
perjanjian (akad) bebas menggunakan persyaratan selama syarat-syarat itu
bermanfaat bagi kedua belah pihak, misalnya menentukan sifat-sifat tertentu
yang bermanfaat terhadap barang yang dibeli. Namun demikian, mereka tetap
menyatakan bahwa syarat tersebut tidak boleh bertentangan dengan kehendak
syara’.24
Salah satu faktor penting dalam terciptanya perjanjian adalah adanya
unsur kerelaan di antara pihak yang melebur diri ke dalam ikatan perjanjian.
Pihak kedua berikrar kepada pihak pertama dan saling rela dengan ikatan
tersebut. Harus dipahami bahwa bertemunya kedua pihak adalah sebagai
wujud kesesuaian keinginan untuk memunculkan kelaziman syara’ yang
23
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah: Hukum Perdata Islam,
(Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1993), h.
10. 24
Lihat Abdul Azis Dahlan, et,al. (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1996), Juz I, h. 67.
31
dicari oleh kedua pihak. Akad tersebut tidak hanya bisa terwujud dengan
adanya ikatan dua perkataan secara nyata, akan tetapi juga terwujud dengan
adanya ucapan dari salah satu pihak kemudian pihak yang lain mengerjakan
sesuatu yang menunjukkan kehendaknya.
Bahkan juga dapat terjadi suatu akad dengan adanya ikatan antara dua
perilaku yang dapat menggantikan posisi ucapan tersebut, yaitu yang bisa
dipahami oleh kedua belah pihak, baik berupa tindakan maupun isyarat.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami, bahwa sebenarnya inti
terciptanya perjanjian adalah terwujudnya kehendak pihak yang mengadakan
perjanjian dan ada kesesuaian antara keduanya untuk menjalankan kewajiban
bersama, yang diindikasikan dari adanya ungkapan, tulisan, isyarat, atau
tindakan. Suatu perjanjian dapat mengikat para pihak yang terlibat
didalamnya apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Rukun akad yang paling
pokok adalah ijab dan kabul.25
Dengan demikian, esensi perjanjian adalah
pencapaian kesepakatan kedua belah pihak, di mana perbuatan seseorang
dianggap sebagai suatu pernyataan kehendak. Pernyataan kehendak dapat
dilakukan berupa tindakan yang menurut kebiasaan dianggap sebagai
perjanjian. Tindakan tersebut juga dianggap sebagai pernyataan kerelaan atas
suatu persyaratan dari satu pihak.
25
Lihat Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1990), Juz II, h. 40.
32
Suatu kebiasaan selama tidak melanggar syara’ diperbolehkan dan dapat
diambil sebagai dasar hukum. Karena hukum asal dalam bermuamalah adalah
boleh (mubah) dan tidak diberikan penjelasan rinci tata cara
pelaksanakaannya. Maka pelaksanaannya dikembalikan kepada kebiasaan
yang telah berlaku.
33
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
MELALUI NON LITIGASI
A. Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
perbankan syariah, Pasal 55 ayat (2) sangat terbuka sekali pilihan forum
penyelesaian sengketa perbankan syariah antara litigasi dan non litigasi.
Beberapa lembaga non litigasi yang dijadikan media penyelesaian sengketa
perbankan syariah diantaranya:
1. Musyawarah
Di dalam Undang-Undang tentang Perbankan Syariah, musyawarah
merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar
peradilan. Kata musyawarah sedikit asing atau tidak terlalu familiar
dikalangan masyarakat, namun sebenarnya musyawah ini dapat disamakan
dengan proses negosiasi. Kata “negotiation” dalam bahasa inggris yang
diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia yaitu memiliki arti “berunding” atau
“bermusyawarah”.1 Menurut Joni Emiron secara umum negosiasi dapat
diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui
proses peradilan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama atas
1Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet. Ke-4, h. 171.
34
dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.2 Sedangkan menurut Garry
Goodpaster yang dimaksud dengan negosiasi adalah proses bekerja untuk
mencapai suatu perjanjian dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan
komunikasi yang dinamis dan bervariasi serta bernuansa sebagaimana
keadaan atau yang dapat dicapai orang. Maka dapat dipahami bahwa
musyawarah merupakan negosiasi yang mana lebih dikenal oleh banyak
pihak.3
Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai
kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang
sama maupun yang berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang
bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak
ketiga sebagai penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan
maupun yang berwenang mengambil keputusan.4
Terdapat beberapa teknik negosiasi yang dikenal:
1. Teknik Negosiasi Kompetitif: a) Diterapkan untuk negosiasi yang
bersifat alot; b) Adanya pihak yang mengajukan permintaan tinggi
pada awal negosiasi; c) Adanya pihak yang menjaga tuntutan tetap
tinggi sepanjang proses; d) Konsesi yang diberikan sangat langka atau
terbatas; e) Perunding lawan dianggap sebagai musuh; f) Adanya
2Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 44-45. 3Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2006h. 171. 4Ibid., h. 171-172.
35
pihak yang menggunakan cara-cara berlebihan untuk menekan pihak
lawan; g) Negosiator tidak memiliki data-data yang baik dan akurat.
2. Teknik Negosiasi Kooperatif: a) Menganggap negoisator pihak lawan
sebagai mitra, bukan sebagai musuh; b) Para pihak menjajaki
kepentingan, nilai-nilai bersama dan mau bekerja sama; c) Tujuan
negosiator adalah penyelesaian sengketa yang adil berdasarkan
analisis yang objektif dan atas fakta hukum yang jelas.
3. Teknik Negosiasi Lunak: a) Menempatkan pentingnya hubungan
timbal-balik antar pihak; b) Tujuannya untuk mencapai kesepakatan;
c) Memberi konsesi untuk menjaga timbal-balik; d) Mempercayai
perunding; e) Mudah mengubah posisi; f) Mengalah untuk mencapai
kesepakatan; g) Berisiko saat perunding lunak menghadapi seorang
perunding keras, karena yang terjadi adalah pola “menang kalah” dan
melahirkan kesepakatan yang bersifat semu.
4. Teknik Negosiasi Keras: a) Negosiator lawan dipandang sebagai
musuh; b) Tujuannya adalah kemenangan; c) Menuntut konsesi
sebagai prasyarat dari hubungan baik; d) Keras terhadap orang
maupun masalah; e) Tidak percaya terhadap perunding lawan; f)
Menuntut perolehan sepihak sebagai harga kesepakatan (win-lose); g)
Memperkuat posisi dan menerapkan tekanan.
5. Teknik Negosiasi Interest Based: a) Sebagai jalan tengah atas
pertentangan teknik keras dan lunak, karena teknik keras berpotensi
36
menemui kebuntuan (dead lock), sedangkan teknik lunak berpotensi
citra pecundang bagi pihak yang minor; b) Mempunyai empat
komponen dasar yaitu people (Komponen people dibagi menjadi tiga
landasan, yaitu: pisahkan antara orang dan masalah; konsentrasi
serangan pada masalah bukan orangya; para pihak menempatkan diri
sebagai mitra kerja), interest (Komponen interest memfokuskan pada
kepentingan mempertahankan posisi), option/solution (Komponen
option, bermaksud: Memperbesar bagian sebelum dibagi dengan
memperbanyak pilihan-pilihan kesepakatan; Jangan terpaku pada satu
jawaban; Menghindari pola pikir bahwa pemecahan masalah mereka
adalah urusan mereka). dan criteria (pioc) (Komponen kriteria
mencakup: kesepakatan kriteria, standar objektif, indepedensi;
bernilai pasar; preseden; scientific judgement atau penilaian ilmiah;
standar profesi; bersandar pada hukum; kebiasaan dalam
masyarakat).5
Ada beberapa tahap dalam melaksanakan negosiasi agar hasil yang
diharapkan dapat berhasil dengan baik. Adapun tahap-tahap negosiasi sebagai
berikut:
a. Tahap Persiapan
5Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan:
Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2011), h. 19.
37
Sebelum mempersiapkan suatu perundingan, maka perlu mempersiapkan
segala sesuatu yang diperlukan sebelum mengenal kepentingan orang lain.
Dalam praktek pelaksanaan negosiasi biasanya apa yang sudah
dipersiapkan belum tentu dapat diterapkan langsung secara formal, sebab
selalu ada masalah baru yang muncul ketika negosiasi dilaksanakan. Oleh
karena itu perlu dicari pokok persoalan apa yang cenderung timbul.6
b. Tahap Berlangsung Negosiasi
Dalam tahap ini biasanya seorang perunding mempersiapkan strategi
tentang hal-hal yang berkaitan dengan menetapkan persoalan dan
permasalahan apa yang akan dinegosiasi secara terperinci dan sistematis
sehingga tidak terjadi pendekatan yang melantur dari masalah yang
sebenarnya. Langkah berikutnya adalah dengan menyelidiki
kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari argumentasi yang
dikemukakan. Kedua belah pihak bisa mengungkapkan gagasan-gagasan
baru untuk melihat respon yang muncul.7
c. Tahap Setelah Negosiasi dilaksanakan
Setelah negosiasi dilaksanakan, para pihak yang diwakili oleh negosiator
mengambil kesimpulan tentang hal-hal yang telah disepakati bersama.
6Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 172. 7Ibid., h. 173.
38
Kesempatan tersebut sebaiknya dibuat dalam bentuk tertulis dan
ditandatangani bersama.8
2. Mediasi Perbankan
Pengaturan mengenai mediasi dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal
6 ayat (3),9 Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat (3) adalah suatu
proses kegiatan bagi kelanjutan dari gagalnya negosiasi perdamaian yang
dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2). Dalam proses
mediasi pada hakikatnya ada keterlibatan pihak ketiga, dalam hal ini mediator
baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen yang
bersifat netral dan tidak memihak.
Sebagai pihak yang netral, mediator berkewajiban untuk melaksanakan
tugas dan fungsinya berdasarkan kehendak dan kemauan para pihak. Sebagai
suatu pihak diluar, yang tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator
berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang
bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang
dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan informasi yang diperoleh,
baru kemudian mediator dapat menentukan duduk perkara dari masing-masing
8Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h.
174. 9Dalam Pasal 6 ayat (3) dinyatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa
atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun
melalui seorang mediator.
39
pihak yang bersengketa, dan selanjutnya mencoba menyusun proposal
penyelesaian, yang kemudian dikomunikasikan kepada pihak secara langsung.
Apabila telah sepakat dan diperoleh suatu persetujuan dari para pihak atas
proposal yang diajukan untuk penyelesaian masalah yang dipersengketakan,
mediator kemudian menyusun kesepakatan itu secara tertulis untuk
ditandatangani oleh para pihak. Menurut Undang-UndangNomor 30 Tahun
1999 tentang arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa, Kesepakatan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan
mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan i’tikad baik.
Kesepakatan tertulis tersebut kemudian didaftarkan di Pengadilan Agama10
dalam waktu paling lama tiga puluh hari terhitung sejak penandatanganan, dan
wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama tiga puluh hari sejak
pendaftaran.
3. Badan Arbitrase Syariah (BASYARNAS)
a. Pengertian Arbitrase
Secara etimologi Arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin)
atau arbitrage yang berarti suatu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu
menurut kebijaksanaan. Secara istilah Arbitrase adalah penyelesaian sengketa
yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang arbiter atas dasar
10
Katentuan ini didasarkan pada SEMARI Nomor 8 tahun 2008 yang menyatakan bahwa
penyelesaian arbitrase atau mediasi syari’ah didaftarkan untuk dieksekusi di Pengadilan
Agama.
40
kebijaksanaannya dan para pihak akan tunduk pada putusan yang diberikan
oleh arbiter yang mereka tunjuk.11
Sehubungan dengan pengertian di atas, dalam Pasal 1 angka (1) Undang-
UndangNomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dijelaskan bahwa arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum
yang didasarkan pada perjanjian abitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.Dari pengertian tersebut dapat diketahui pula bahwa
dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak itu sendiri, yang
didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah
diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka sebagai Undang-Undang.12
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka (8) Undang-UndangNomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
disebutkan bahwa lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak
yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu,
lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai
suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.13
11
Ahmad Djauhari, Arbitrase Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Basyarnas, 2006), h. 22. 12
Dalam istilahnya dikenal dengan asas Pacta sunt van servanda, yaitu semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang
membuatnya. (Lihat: Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, t.th), h.
649. 13
Lihat Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternati
Penyelesaian Sengketa.
41
Dengan demikian, arbitrase merupakan suatu sistem atau cara
penyelesaian sengketa keperdataan oleh pihak ketiga yang disepakati atau
ditunjuk oleh para pihak baik sebelum terjadinya sengketa maupun setelah
terjadinya sengketa. Proses arbitrase yang relatif cepat dan murah,
menjunjung tinggi asas konfidensialitas (kerahasiaan), bebas memilih arbiter
dengan pertimbangan keahlian (expert) dan para pihak bebas memilih hukum
yang akan dipakai dalam proses arbitrase dan putusan yang dihasilkan
bersifat final and binding serta merupakan win-loss solution.14
b. Bentuk-Bentuk Arbitrase
1) Arbitrase sementara (ad-hoc atau volunter arbitrase)
Arbitrase ad-hoc adalah arbitrase yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat setelah sengketa terjadi (akta kompromis), dimana
arbiter yang dipilih adalah arbiter bukan dari institusi arbitrase yang
ada.15
Arbitrase ini tidak permanen atau tidak melembaga,
bersifat incidental dan jangka waktunya tertentu sampai dengan sengketa
diputuskan. Para pihak dapat mengatur sendiri cara-cara bagaimana
pelaksanaan pemilihan arbiter, tentang prosedur atau proses beracara,
petugas administratif, dll. Dalam melaksanakannya, jenis ini sering
mendapatkan kesulitan diantaranya dalam melakukan negosiasi dan
14
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaanya di Indonesia, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005), h. 208. 15
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2009), cet. Ke-2, h. 204.
42
menetapkan aturan-aturan prosudural serta menetapkan
arbirternya.16
Dengan demikian, arbitrase ini keberadaannya hanya untuk
memutuskan dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja.
Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad-
hoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Namun, perlu
ditekankan bahwa yang dijadikan patokan dalam pemilihan-pemilihan
dan penentuan arbiter tersebut tidak boleh menyimpang dari apa yang
telah ditentukan oleh Undang-Undang.
2) Arbitrase institusional (lembaga Arbitrase)
Arbitrase Institusional adalah suatu lembaga permanen yang dikelola
oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka
tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang
dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS), badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem
arbitrase sendiri-sendiri.17
Jadi, sifat permanen tersebut merupakan salah
satu pembeda dari arbitrase ad hoc. Arbitrase institusional ini sudah dan
tetap ada sebelum ada perselisihan maupun setelah perselisihan tersebut
selesai diputus. Arbitrase ini sudah memiliki aturan-aturan prosedur
16
Ahmad Djauhari, Arbitrase Syariah di Indonesia, (Jakarta: Basyarnas, 2006), h. 54. 17
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h. 27.
43
sebagai pedoman bagi para pihak, termasuk dalam hal penentuan atau
pengangkatan para arbiternya.
Di Indonesia, terdapat dua badan arbitrase institusional, yaitu Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan oleh Kamar Dagang
dan Industri (Kadin) tahun1977 dan Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) yang didirikan serta menjadi perangkat organisasi dari
Majelis Ulama Indonesia tahun 1993.18
c. Sejarah Badan Arbitrase Syariah
Lembaga Arbitrase (hakam) telah dikenal sejak zaman pra islam. Pada
masa itu, tradisi penyelesaian sengketa melalui juru damai lebih berkembang
pada masyarakat Makkah sebagai pusat dari perdagangan, selain di Makkah,
perwasitan juga berkembang juga berkembang pada masyarakat Madinah
sebagai daerah yang agraris untuk menangani masalah-masalah sengketa hak
milik atas tanah.19
Gagasan berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia, diawali dengan
bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi hukum, kiyai dan para
ulama untuk bertukar pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di
Indonesia. Peretemuan tersebut dimotori oleh dewan pimpinan Majelis Ulama
18
Ahmad Djauhari, Arbitrase Syariah di Indonesia,( Jakarta: Basyarnas, 2006), h. 54-55. 19
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga terkait BAMUI
dan Takaful di Indonesia,( Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 141.
44
Indonesia (MUI) pada tanggal 22 April 1992,20
pada tanggal tersebut
diadakanlah rapat lanjutan, rapat lanjutan tersebut mereka membentuk tim
yang bertugas untuk mempelajari dan mempersiapkan bahan-bahan bagi
kemungkinan berdirinya lembaga arbitrase Islam.
Setelah diadakannya rapat lanjutan sebagai tindak lanjut pertemuan
sebelumnya. Dewan pimpinan MUI menerbitkan SK. Dan berkat Rahmat
Allah dan usaha semua pihak yang terlibat dalam proses berdirinya BAMUI
(Badan Arbitrase Muamalah Indonesia), akhirnya pada tanggal 21 Oktober
1993 telah diresmikan BAMUI.
Dalam perkembangan selanjutnya, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) mengalami perubahan nama dan status. Dalam rekomendasi Rapat
Kerja Nasional MUI, tanggal 23-26 Desember 2002, menegaskan bahwa
BAMUI adalah lembaga hakam (arbitrase syari’ah) satu-satunya di Indonesia
dan merupakan perangkat organisasi MUI. Kemudian sesuai dengan hasil
pertemuan antara Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dengan Pengurus
Badan Arbitrase Muamalah Indonesia tanggal 26 Agustus 2003 serta
memperhatikan isi surat Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia No.
82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 7 Oktober 2003, maka Majelis Ulama
Indonesia dengan SK nya. Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 30 syawal 1424/24
20
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga terkait BAMUI
dan Takaful di Indonesia, ( Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 144.
45
Desember 2004 M, menetapkan diantaranya, bahwa;21
nama Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitarse Syari’ah Nasional
(BASYARNAS), bentuk badan hukum BAMUI dari yayasan menjadi badan
yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI,
Basyarnas dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai lembaga hakam
bersifat otonom dan independen, dan terakhir mengangkat pengurus
Basyarnas.22
d. Dasar Hukum Basyarnas
Beberapa perUndang-Undangan telah lahir yang berkaitan dengan
kedudukan Basyarnas yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan
terakhir dirubah dengan Undang-UndangNomor 50 Tahun 2009.
b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Undang-Undang tersebut keberadaan Basyarnas dianggap sebagai
alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan (non ligitasi) yang
21
Ahmad Djauhari, Arbitrase Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Basyarnas, 2006.h), 42. 22
Ibid. h. 38.
46
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa ketika melakukan akad perjanjian.
e. Struktur Organisasi dan Ruang Lingkup Kewenangan Basyarnas
Sebagai sebuah organisasi atau badan, Badan Arbitase Syariah Nasional
mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas ketua, wakil ketua, sekretaris
dan beberapa orang anggota tetap.23
Ketua, wakil ketua, sekretaris dan
beberapa orang anggota tetap tersebut diangkat dan dibeherentikan atas usulan
pendiri Badan Arbitase Syariah Nasional.
Arbitrase sebagai salah satu lembaga penyelesaian sengketa, dan dalam
penyelesaian tersebut Arbitrase mempunyai kewenangan tertentu.24
Adapun
kewenangan BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) meliputi:
a) Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan,
industri, keuangan, jasa dan lain- lain dimana para pihak sepakat secara
tertulis untuk menyelesaikannya.
b) Memberikan suatu pendapat yang mengingat tanpa adanya suatu sengketa
mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian permintaan
para pihak.25
23
A. Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif,
(Bandung: PT. CITRA ADITYA BAKTI, 2002), h. 94. 24
Ibid., h. 84. 25
Ibid., h. 62.
47
f. Kompetensi Basyarnas Dalam Sengketa Ekonomi Syariah
Kompetensi absolut dari lembaga arbitrase ditentukan oleh ada tidaknya
perjanjian yang memuat klausula arbitrase baik berupa pactum de
compromittendo26
ataupun akta kompromis.27
Dalam Pasal 11 UU No. 30
Tahun 1999 tentang alternatif penyelesaian sengketa menyatakan bahwa
adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjiannya kepengadilan Negeri. Oleh karena itu, berdasarkan aturan
hukum yang berlaku kewenangan absolute seluruh badan-badan peradilan
negara, termasuk dalam hal ini lingkungan peradilan agama tidak dapat
menjangkau sengketa atau perkara yang timbul dari perjanjian yang
didalamnya terdapat klausula arbitrase.28
Lembaga arbitrase dalam melaksanakan kompetensinya berdasarkan
perjanjian arbitrase terealisasikan berupa pemberian pendapat hukum yang
mengikat (legal binding opinion) dan pemberian putusan arbitrase karena
adanya suatu sengketa tertentu. Bahwa tanpa adanya suatu sengketa, lembaga
arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam
suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat hukum yang mengikat
mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
26
Lihat: Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, h. 649. Dan Ahmad Djauhari, Arbitrase
Syari’ah di Indonesia, h. 50. 27
Lihat Ahmad Djauhari, Arbitrase Syari’ah di Indonesia, h. 51. 28
Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Di Pengadilan Agama &
Mahkamah Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-1, h. 109.
48
Legitimasi penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah bahwa
perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang
membuatnya dan bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka (open
system). Oleh karena itu, terdapat kebebasan dari para pihak dalam
menentukan materi atau isi perjanjian, pelaksanaan perjanjian, dan cara
menyelesaikan sengketa.29
Sehingga secara tegas dikatakan bahwa arbitrase
adalah penyelesaian sengketa diluar pengadilan umum yang didasarkan pada
suatu perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya
sengketa (pactum de compromittendo) maupun sesudah terjadi sengketa (akta
kompromis).
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 terdapat
persyaratan terhadap sengketa yang diselesaikan melalui mekanisme arbitrase,
yang berbunyi:
1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa
dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
perundang-undangan dikusai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa yang menurut peraturan perUndang-Undangan dengan tidak
dapat diadakan perdamain.
29
Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian Sengketa Perbanka Syariah: Analisis Konsep
dan UU No. 21 Tahun 2008, (Yogyakarta: UGM Press, 2010), cet. Ke-1, h. 68.
49
Namun, dalam praktiknya terdapat badan-badan arbitrase secara spesifik
ditujukan untuk menyelesaikan sengketa tertentu oleh pihak tertentu. Salah
satunya adalah Basyarnas yang secara khusus mempunyai kewenangan
menyelesaikan sengketa-sengketa muamalah yang dihadadapi oleh umat Islam
g. Prosedur dan Putusan Penyelesaian Sengketa di Basyarnas
Berkaitan dengan prosedur dan proses penyelesaian sengketa lembaga
keuangan syariah melalui Basyarnas harus didasarkan pada UU No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Peraturan Prosedur Basyarnas (dulu BAMUI).
Adapun ketentuan-ketentuan umum yang terkait prosedur penyelesaian
sengketa UU No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan sengketa harus diajukan secara tertulis, namun demikian
dapat juga secara lisan apabila disetujui para pihak dan dianggap perlu
oleh Arbiter atau Majelis Arbiter.
b. Arbirter atau Majelis Arbirter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian
antara pihak yang bersengketa.
c. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama
180 hari sejak Arbiter atau Majelis Arbiter terbentuk, namun demikian
dapat diperpanjang apabila diperlukan dan disetujui para pihak.
d. Putusan Arbitrase harus memuat kepala putusan yang berbunyi “Demi
keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” nama singkat
sengketa, uraian singkat sengketa, pendirian cara pihak, nama lengkat dan
alamat Arbiter atau Majelis Arbiter mengenai keseluruhan sengketa,
50
pendapat masing-masing Arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat
dalam Majelis Arbitrase, amar putusan, tempat dan tanggal putusan, dan
tantangan Arbiter atau Majelis Arbiter.
e. Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus
dilaksanakan.
f. Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan harus ditutup
dan ditetapkan sidang mengucapkan putusan arbitrase dan diucapkan
dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup.
g. Dalam waktu paling lama 14 hari setelah putusan diterima, para pihak
dapat mengajukan permohonan kepada Arbiter atau Majelis Arbiter untuk
melakukan koreksi terhadap kekeliruan administrasi dan atau menambah
atau mengurangi seuatu tuntutan putusan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuaun prosedur di atas, dimaksudkan untuk
menjaga agar jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase termasuk
juga arbitrase syariah menjadi berlarut-larut, sehingga dengan demikian dalam
arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan
kembali. Dengan demikian, putusan yang sudah tandatangani arbiter bersifat
final and binding artinya putusan Basyarnas mempunyai kekuatan mengikat
dan padanya tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.
Namun, di sini ada pengecualian apabila telah terjadi kekhilafan, atau
penipuan di dalamnya mengenai suatu fakta atau dengan adanya novum.
Setelah putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka
51
salinan otentik putusan diserahkan dan didaftarkan di kepeniteraan PN
(Pengadilan Negeri). Bilamana putusan tidak dilakukan secara sukarela, maka
dilaksanakan berdasarkan perintah ketua PN (Pengadilan Negeri).
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008
perubahan No. 02 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase
Syariah, disebutkan bahwa dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak
dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut berdasarkan perintah
Pengadilan Agama.
B. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah dalam Hukum Perdata Islam
1. Al-sulh (Perdamaian)
Konsep al-sulh merupakan doktrin utama dalam hukum Islam di bidang
muamalat untuk menyelesaikan sengketa, dan ini sudah merupakan condition
sine qua non dalam masyarakat manapun, karena pada hakikatnya
perdamaian bukanlah suatu pranata positif belaka, melainkan lebih berupa
fitrah manusia. Keberadaan perdamaian juga diakui sebagai salah satu
alternatif penyelesaian sengketa, sebagaimana termuat dalam pasal 1851
sampai dengan pasal 1864 Bab Kedelapanbelas Buku III KUHPerdata.30
30
Definisi perdamaian menurut KUHPerdata adalah suatu persetujuan dengan mana
kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang,
mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu
perkara. Lihat Pasal 1851 KUHPerdata.
52
Ajaran Islam memerintahkan agar penyelesaian setiap perselisihan yang
terjadi diantara manusia sebaiknya diselesaikan dengan jalan perdamaian,
firman Allah Surat Al-Hujurat ayat 9:
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya...” (Q.S. Al-
Hujurat: 9).
Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang
umumnya diakui di semua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian
dikukuhkan ke dalam sebuah institusi yang bernama hukum, maka hukum itu
harus mampu menjadi saluran agar keadilan itu dapat deselenggarakan secara
seksama dalam masyarakat. Dalam konteks ini tugas hakim yang paling berat
adalah menjawab kebutuhan manusia akan keadilan tersebut selain melakukan
pendekatan kedua belah pihak untuk merumuskan sendiri apa yang mereka
kehendaki dan upaya ini dapat dilakukan pada tahap perdamaian.31
a. Pengertian al-sulh
Dalam hukum Islam secara terminologis perdamaian disebut dengan
istilah Islah yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan.
31
Lailatul Arofah, “Perdamaian dan Bentuk Lembaga Damai di Pengadilan Agama
Sebuah Tawaran Alternatif”, dalam Mimbar Hukum, No. 63, h. 43.
53
Dan menurut syara’ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu
persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.32
Islah merupakan sebab untuk mencegah suatu perselisihan dan
memutuskan suatu pertentangan dan pertikaian. Pertentangan itu apabila
berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu maka islah
mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal
yang membangkitkan fitnah dan pertentangan dan yang menimbulkan sebab-
sebab serta menguatkannya adalah persatuan dan persetujuan, hal itu
merupakan suatu kebaikan yang dianjurkan oleh syara.33
Dalam bahasa Indonesia perdamaian diartikan sebagai perhentian
permusuhan. Sedangkan pengertian perdamaian menurut hukum positif
sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1851 KUHP Perdata adalah suatu
perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan,
menjanjikam atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang
sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara.34
Kemudian
dikenal juga dengan istilah dading yaitu suatu persetujuan tertulis secara
damai untuk menyelesaikan atau memberhentikan berlangsungnya terus suatu
perkara.35
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan sebuah
32
As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Juz III, (Beirut:Dar Al-Fikr, 1977), h. 305. 33
Alauddin at-Tharablisi, Muin Al-Hukkam: Fi Ma Yataraddadu baina al-Khasamaini
min al-Ahkami, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.), h., 123. 34
Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1989). 35
Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet ke 8, h. 33.
54
perdamaian adalah untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau
mencegah timbulnya suatu perkara.
b. Dasar Hukum al-sulh
Sedangkan dasar hukum perdamaian dalam hukum Islam adalah
sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Hujurat ayat 10 dan al-Baqarah ayat
224 sebagai berikut:
Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. al-
Hujurat: 10).
Artinya: “Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu
sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan Mengadakan
ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah: 224).
Penyelesaian sengketa dengan jalan perdamaian adalah sangat cocok dan
dianggap paling baik, karena dengan jalan musyawarah akan ditemukan jalan
keluar untuk mengakhiri sengketanya dengan tidak ada yang merasa
55
dikalahkan sehingga para pihak sama-sama puas dan terhindar dari rasa
permusuhan. Oleh karena itu para pelaku bisnis lebih cenderung memilih
lembaga perdamaian dan alternatif penyelesaian sengketa diluar peradilan
daripada melalui peradilan atau arbitrase seperti BANI (Badan Arbitrase
Nasional Indonesia).36
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Mahkamah
Agung RI telah mengeluarkan Peraturan yang dikenal PERMA Nomor 2
Tahun 2003 dan telah diperbaharui dengan PERMA Nomor 1 tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan Intinya dalam mengadili perkara
perdata atau bisnis, hakim wajib melakukan perdamaian dengan menempuh
mediasi.
Mengupayakan perdamaian bagi semua muslim yang sedang mengalami
perselisihan dan pertengkaran dinilai ibadah oleh Allah. Namun tidak
dianjurkan perdamaian dilakukan dengan paksaan, perdamaian harus karena
kesepakatan para pihak. Dalam hal ini Imam Malik pernah berkata bahwa dia
tidak sependapat jika hakim memaksa salah satu pihak yang berperkara atau
mengenyampingkan permusuhan salah satu pihak, karena semata-mata hanya
menginginkan perdamaian.37
36
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), h. 82. 37
Salam Mazkur, Peradilan dalam Islam, Alih Bahasa Imron AM., (Surabaya: Bina
Ilmu, 1993), Cet ke 4, h. 19-20.
56
2. Lembaga Al-tahkiim (Arbitrase)
Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan istilah
“tahkiim”. Tahkiim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara etimologi,
tahkiim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.38
Secara umum, tahkiim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang
dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit
oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan
mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan “Hakam”.
Menurut Abu al-Ainain Fatah Muhammad39
pengertian tahkiim menurut
istilah fiqih adalah sebagai bersandarnya dua (2) orang yang bertikai kepada
seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian
para pihak yang bersengketa. Sedangkan menurut Said Agil Husein al
Munawar40
pengertian “tahkiim” menurut kelompok ahli hukum Islam
mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan atau menetapkan
hukum diantara manusia dengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak
yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan secara umum.
Sedangkan pengertian “tahkiim” menurut ahli hukum dari kelompok
Syafiiyah yaitu memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih
38
Liwis Ma’luf, Al-Munjid al- Lughoh wa al-A’lam, (Bairut: Daar al-Masyriq, t.th.),
h.146. 39
Abu al-Ainain Fatah Muhammad, Al-Qadha wa al-Itsbat fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo:
Darr Al Fikr, 1976), h.84. 40
Said Agil Husin al-Munawar, Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam, Dalam Arbitrase
Islam di Indonesia, BAMUI & BMI, (Jakarta: t.p., 1994), h. 48-49.
57
dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’
terhadap suatu peristiwa yang wajib dilaksanakannya.
Lembaga arbitrase telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada saat itu
meskipun belum terdapat sistem Peradilan Islam yang terorganisir, setiap ada
persengketaan mengenai hak milik, hak waris dan hak-hak lainnya seringkali
diselesaikan melalui juru damai (wasit) yang ditunjuk oleh mereka yang
bersengketa. Lembaga perwasitan ini terus berlanjut dan dikembangkan
sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang pernah
berlaku pada masa pra Islam. Tradisi arbitrase ini lebih berkembang pada
masyarakat Mekkah sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaikan
sengketa bisnis diantara mereka. Ada juga yang berkembang di Madinah,
tetapi lebih banyak dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan pertanian,
sebab daerah Madinah dikenal dengan daerah agraris. Nabi Muhammad SAW.
sendiri sering mejadi mediator dalam berbagai sengketa yang terjadi baik di
Mekkah maupun di Madinah. Ketika daerah sudah berkembang lebih luas,
mediator ditunjuk dari kalangan shahabat dan dalam menjalan tugasnya tetap
berpedoman pada al-Qur‟an, al-Hadis dan ijtihad menurut kemampuannya.
Ruang lingkup arbitrase hanya terkait dengan persoalan yang menyangkut
“huququl Ibad” (hak-hak perorangan) secara penuh, yaitu aturan-aturan
hukum yang mengatur hak-hak perorangan yang berkaitan dengan harta
bendanya. Umpamanya kewajiban mengganti rugi atas diri seseorang yang
58
telah merusak harta orang lain, hak seorang pemegang gadai dalam
pemeliharaannya, hak-hak yang menyangkut jual beli, sewa menyewa dan
hutang piutang. Oleh karena tujuan dari Arbitrase itu hanya menyelesaikan
sengketa dengan jalan damai, maka sengketa yang bisa diselesaikan dengan
jalan damai itu hanya yang menurut sifatnya menerima untuk didamaikan
yaitu sengketa yang menyangkut dengan harta benda dan yang sama sifatnya
dengan itu sebagaimana yang telah diuraikan di atas.41
Menurut Wahbah Az-Zuhaili,42
para ahli hukum Islam dikalangan
mazhab Hanabilah berpendapat bahwa tahkiim berlaku dalam masalah harta
benda, qisas, hudud, nikah, li’an baik yang menyangkut hak Allah dan hak
manusia, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad al-Qadhi Abu Ya’la
(salah seorang mazhab ini) bahwa tahkiim dapat dilakukan dalam segala hal,
kecuali dalam bidang nikah, li’an, qazdaf, dan qisas. Sebaliknya ahli hukum
dikalangan mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa tahkiim itu dibenarkan
dalam segala hal kecuali dalam bidang hudud dan qisas, Sedangkan dalam
bidang ijtihad hanya dibenarkan dalam bidang muamalah, nikah dan talak
saja. Ahli hukum Islam dikalangan mazhab Malikiyah mengatakan bahwa
tahkiim dibenarkan dalam syariat Islam hanya dalam bidang harta benda saja
41
Abdul Manan, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Sebuah Kewenangan Baru
Peradilan Agama,” dalam Mimbar Hukum, Edisi No. 73 tahun 2011, h. 11-12. 42
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus Syiria: Dar El Fikr,
2005), Juz IV, h.752.
59
tetapi tidak dibenarkan dalam bidang hudud, qisas dan lian, karena masalah
ini merupakan urusan Peradilan.
Pendapat yang terakhir ini adalah pendapat yang sering dipakai oleh
kalangan ahli hukum Islam. Untuk menyelesaikan perkara yang timbul dalam
kehidupan masyarakat, termasuk juga dalam bidang ekonomi syari‟ah.
Pendapat ini adalah sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu
Farhum43
bahwa wilayah tahkiim itu hanya yang berhubungan dengan harta
benda saja, tidak termasuk dalam bidang hudud dan qisas.
43
Muhammad Ibnu Farhum, Tabsirah al-Hukkam fi Ushul al-Qhadhiyah wa Manahij al-
Ahkam, (Bairut,Libanon: Darr al Maktabah al Ilmiah,1031), Jilid I, h. 19.
60
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO 93/PUU-X/2012 TENTANG PENGHAPUSAN PILIHAN FORUM
A. Gambaran Umum Putusan Mahkamah Konstitusi.
1. Latar Belakang Uji Materi Pasal 55 Ayat (2) dan (3) UU No 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 ini sebenarnya
adalah jawaban terhadap uji materi Pasal 55 ayat (2) dan (3) Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945. Judicial Review ini diajukan oleh Ir. H. Dadang
Achmad (Direktur CV. Benua Enginering Consultant) yang didaftarkan di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 19 Oktober 2012 dengan
Nomor perkara 93/PUU-X/2012. Pemohon merupakan Nasabah Bank
Muamalat Indonesia Cabang Bogor.
Selanjutnya pemohon selaku pengguna bank syariah tersebut merasa
dirugikan dengan berlakunya pasal 55 ayat (2) dan (3) UU No 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, akhirnya mengajukan uji materi Pasal 55 ayat (2)
dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
terhadap Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tentang hak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
61
2. Permohonan dan Alasan Pokok Pemohon.
Adapun permohonan yang diajukan oleh pemohon kepada Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi yaitu agar menyatakan materi muatan Pasal 55 ayat (2)
dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 dan dinyatakan pula tidak mempunyai ketentuan hukum yang
mengikat.
Selain itu pemohon menyertai beberapa alasan pokok pengajuan uji
materi pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
yaitu:
1. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanahkan setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, namun kepastian
hukum tersebut tidak didapatkan pada ketentuan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah karena
mempersilahkan para pihak untuk memilih lembaga peradilan (choice of
forum) dalam menyelesaikan sengketanya perbankan syariah dalam
perkara yang substansinya sama dan objeknya yang sama pula, apalagi
Pasal 55 ayat (3) Undang-undang ini menyatakan “Penyelesaian Sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan
prinsip syariah” sehingga memunculkan pertanyaan apakah lembaga
62
penyelesaian sengketa yang dipilih para pihak sesuai ketentuan Pasal 55
ayat (2) tersebut sudah memenuhi ketentuan syariah? padahal ayat lainnya
dalam undang-undang perbankan syariah ini tepatnya Pasal 55 ayat (1)
undang-undang tersebut secara tegas telah menentukan peradilan mana
(baca: Peradilan Agama) yang harus digunakan dalam menyelesaikan
sengketa perbankan syariah, maka dengan adanya kebebasan memilih
tersebut akan menimbulkan berbagai penafsiran dari berbagai pihak dan
ketidakpastian hukumnya;
2. Terdapat kontradiksi antara ketentuan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 yang secara tegas menyebut “Pengadilan dalam
Lingkungan Peradilan Agama yang menyelesaikan Sengketa Perbankan
Syariah” dengan ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan (3) yang membebaskan
kepada para pihak untuk memilih lembaga peradilan mana yang akan
mengadili jika terjadi sengketa dalam perbankan syariah yang menurut
pemohon bisa diasumsikan boleh memilih peradilan umum bahkan di
lingkungan peradilan lain yang disepakati para pihak, akibatnya sangat
jelas akan melahirkan penafsiran sendiri-sendiri dan sama sekali tidak ada
kepastian hukum yang dijamin.
3. Bahwa ketidakpastian hukum tersebut nampak dengan dirugikannya
pemohon sebagai nasabah Bank Muamalat Indonesia Cabang Bogor
dimana perkaranya sekarang sedang berproses ke Mahkamah Agung
63
untuk menyelesaikan sengketa kewenangan mengadili antar lembaga
peradilan.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi.
Pada tanggal 28 Maret 2013 yang lalu terhadap permohonan uji materi
Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah terhadap Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan
putusannya Nomor 93/PUU-X/2012 yang dibacakan oleh Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 29 Agustus 2013.
Adapun amar putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi dengan
Nomor perkara 93/PUU-X/2012 sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
a) Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
64
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut,
tidak semua hakim konstitusi sepakat karena Hakim Konstitusi Hamdan
Zoelva dan Ahmad Fadlil Sumadi memiliki alasan berbeda (concurring
opinion) sekalipun memiliki putusan yang sama, adapun Hakim Konstitusi
Muhammad Alim memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion).
B. Problematika Pilihan Forum Dalam Pasal 55 UU No 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah Menurut Ahli.
Dalam menggali implikasi hukum putusan, selain menggali latar
belakang diajukannya pengujian undang-undang, perlu kiranya penulis
sampaikan problematika pilihan forum dalam pasal yang diujikan.
Problematika ini dilihat melalui pendapat para ahli terhadap redaksi pasal
undang-undang yang diujikan. Karena dengan memahami redaksi akan
nampak maksud dari pasal tersebut. Lalu dengan mendapati apa yang
dimaksud pasal, bilamana ada perubahan redaksi pasal yang baru akan bisa
terlihat perbedaannya. Dan dengan terlihat perbedaan redaksi pasal, implikasi
setelah perubahan redaksi pasal juga akan terlihat.
1. Redaksi Pasal 55 UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Pasal 55 Undang-Undang No 21 Tahun 2008 menyatakan bahwa:
65
1. Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan agama.
2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi akad.
3. Penyelesaian sebagaimana yang dimaksud ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah
Penjelasan Pasal 55 Undang-undang No 21 Tahun 2008:
1. Cukup jelas
2. Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi
akad” adalah upaya sebagai berikut:
a. Musyawarah
b. Mediasi Perbankan;
c. Melalui badan Arbitase Syariah (Basyarnas) Atau lembaga arbitase lain;
dan atau
d. Melalui pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum
3. Cukup Jelas.1
2. Problematika Pasal 55 Ayat (2) dan (3) No 21 tahun 2008 Menurut Ahli
a. Dr. Ija Suntana Mengutarakan beberapa pendapat dalam majlis sidang
sebagai ahli dari Universitas Islam Negeri Bandung, diantarnya; Pertama,
Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang menurut ahli masih ada
bertentangan atau dalam islam dikenal ta’arudh al-adillah dengan Pasal 1
ayat (3) sehingga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum dan
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kedua, Diberikannya kebebasan memilih dan adanya pilihan forum
penyelesaian sengketa Perbankan Syariah yang tidak ditunjuk langsung
oleh Undang-Undang akan menimbulkan chaos sebelum atau dalam
1 Tim Redaksi Focus Media, Undang-Undang Perbankan Syariah Dan Surat
Berharga Syariah Negara, (Jakarta: Focus Media 2008), h. 71.
66
praktik akad. Sebab mungkin saja dalam menentukan akad di Bank
Syariah, pihak bank menginginkan penyelesaian sengketa di pengadilan
negeri, sedangkan nasabah menginginkan diselesaikan di pengadilan
agama, hal tersebut akan menimbulkan masalah.
Ketiga, menurut ahli adanya kesempatan choice of forum akan
membahayakan apabila ada ungkapan bahwa orang yang masuk ke Bank
Syariah bukan orang muslim saja, tetapi ada non muslim. Padahal dalam
teori hukum dia telah melakukan choice of law (telah memilih hukum)
sedangkan ada bank konvensional yang dapat dipilih. Di masing-masing
bank telah dijelaskan secara nyata bahwa aturan dan asas yang telah
dilaksanakan mulai akad sampai penyelesaian sengketa sesuai dengan
aturan. Pun demikiann di Bank Syariah, sudah seharusnya ikut dan tunduk
dalam aturan dan semua ketentuan sesuai prinsip syariah.
b. Prof. DR. H. Dedi Ismatullah, SH selaku ahli juga menyampaikan
beberapa pendapat; Pertama, Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara
Indonesia adalah negara hukum yang terkandung dua pengertian, yaitu
supreme of law dan equality before the law. Artinya Negara menjamin
kepastian hukum (rechtstaat). Maka adanya pilhan forum menimbulkan
kebingungan hukum (confuse). Oleh karena itu ahli melihat Pasal 55 ayat
(2) dan ayat (3) tidak rasional, sebab bertentangan dengan ayat (1). Selain
itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Kompetensi Peradilan Agama. Dan kompetensi tersebut merupakan
67
kepastian hukum bagi orang yang ingin berperkara di dalam masalah bank
ekonomi Islam;
Kedua, melaksanakan ekonomi syariah di peradilan agama merupakan
bentuk implementasi Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, maka negara
mempunyai kewajiban melindungi hak-hak hukum bagi setiap warga
negaranya. Selain itu, Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 sudah jelas tentang
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
(equality before the law). Yaitu samanya kedudukan antara pengadilan
agama dan pengadilan negeri, tetapi pengadilan agama telah dijustifikasi
oleh Undang-Undang tersendiri,
c. Muhammad Ikbal mengemukakan beberapa hal selaku saksi, yaitu;
Pertama, seharusnya prosedur yang sebenarnya tidak pernah ditempuh oleh
Bank Muamalat, seperti penyelesaian melalui arbitrase syariah atau pun
penyelesaian perkara perbankan syariah yang seharusnya dilakukan dalam
lingkungan peradilan yang secara substantif membidangi hal-hal yang
terkait dengan nilai-nilai syariat Islam;
Kedua, dalam penyelesian sengketa tersebut, musyawarah-
musyawarah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah tidak diterapkan
oleh Bank Muamalat dan justru yang dilakukan oleh Bank Muamalat
langsung mengajukan permohonan unnmanning dan eksekusi ke
Pengadilan Negeri Bogor;
68
Ketiga, menurut saksi, seharusnya untuk menyelesaikan permasalahan
ini menggunakan Undang-Undang Perbankan Syariah yang berlaku dan
berdasarkan hasil penjelasan dari penasihat hukum ada ketidakpastian
hukum pada undang-undang yang diujikan.
d. DR. Muhammad Syafii Antonio mengemukakan pendapatnya terkait
dengan dispute settlement option, sebelum Tahun 2006, dispute settlement
option yang terjadi antara perbankan syariah dengan nasabah memang
hampir seluruhnya hanya satu, yaitu Badan Arbitrase Syariah Nasional,
disebut dengan Basyarnas. Biasanya dalam perjanjian antara bank dengan
nasabahnya dicantumkanlah arbitration clause. Bank sebagai pihak
pertama, nasabah sebagai pihak kedua, keduanya sepakat untuk menunjuk
Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai pemutus konflik atau dispute di
antara kedua belah pihak. Biasanya apapun putusan dari Basyarnas ini
bersifat final and binding, bersifat mengikat dan tidak boleh ada upaya
hukum lanjutan. Setelah 2006, kemudian ada Undang-Undang Perbankan
Syariah memberikan opsi kepada keuangan dan perbankan syariah untuk
memilih apakah akan ke Basyarnas saja atau akan ke pengadilan agama?
Di sana diberikan dua opsi, ahli melihat dalam kasus ini memang ada satu
masalah utama dan yang kedua ada masalah turunannya. Masalah
utamanya seperti yang tadi disampaikan oleh Pemohon, selaku kontraktor
Benua Engineering Construction ada permasalah dari Bohir yang
memberikan pekerjaan kepada nasabah, yang kemudian terjadi
69
pembayaran yang tidak sesuai dari harapan, sehingga mungkin hal ini
dilihat oleh bank sebagai suatu nasabah yang tidak memenuhi cicilannya;
Selain itu ahli melihat catatan yang mendasar, yaitu memang ada suatu
penafsiran dari pihak lembaga keuangan terhadap Pasal 55 di Undang-
Undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008 di Pasal 55 ayat (1) :
“Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama”. Ayat (2) “Dalam hal para pihak
telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan
isi akad”. Bahwa dalam penjelasan Pasal 55 sebagai berikut, ayat (1)
cukup jelas dan ayat (2) yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut : a.
Musyawarah, b. Mediasi perbankan, c. Melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas), d. Atau lembaga arbitrase lain dan/atau melalui
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum;
Berkaitan dengan penjelasan tersebut, boleh jadi lembaga keuangan
dimaksud mengambil opsi yang (d) ini, sehingga nasabah di awal
menganggap ini ada Basyarnas, sementara lembaga keuangan yang
bersangkutan mengambil opsi (d) ini. Jadi, di sinilah mungkin yang
dibawa ke Mahkamah Konstitusi ini, apakah ini tidak menjadikan satu
conflict of dispute settlement karena mungkin ada 2 atau bahkan 3
70
pemutus konflik di sini, satu Basyarnas, kedua peradilan agama, yang
ketiga peradilan umum.
Menurutnya ini bukan kasus yang pertama, tetapi ini sudah belasan
kali, jikalau tidak puluhan kali terjadi. Selain itu menurut ahli, untuk
menghilangkan dispute ada dua langkah, pertama, ketika terjadi perjanjian
antara nasabah dengan lembaga keuangan syariah harus dijelaskan betul
bahwa apa opsi dispute settlement dan ketika opsi dispute settlement sudah
ditetapkan, misalnya, Badan Arbitrase Syariah Nasional, maka pihak
pertama dan pihak kedua sepakat menjadikan Basyarnas sebagai one and
the only dispute settlement body dan apa pun putusannya bersifat final and
binding dan tidak boleh ada upaya hukum lainnya. Apabila ada upaya
hukum lainnya setelah itu, maka batal demi hukum. Kedua, seandainya
yang akan dipilih adalah pengadilan agama, maka keduanya juga
menyepakatinya sesuai dengan aturan yang berlaku dan supaya tidak
terjadi dispute, menurut ahli, jikalau masih dibuka peluang untuk pergi ke
pengadilan umum, akan membuat konflik antara peradilan agama dan
peradilan umum. Sehingga, menurut ahli akan lebih baik mencabut poin
(d) karena menurut ahli menghilangkan pintu ketiga untuk pergi ke
peradilan umum, tetapi hanya Basyarnas saja dan/atau hanya peradilan di
lingkungan Peradilan Agama saja sehingga dengan demikian sudah
menjadi clear dan tidak terulang masalah ini di kemudian hari.
71
C. Analisis Penulis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi beserta
Implikasinya.
Setelah penulis mendapat beberapa sumber, baik secara pustaka maupun
lapangan dengan wawancara hakim konstitusi yang terlibat langsung dengan
terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012 yang menguji
Pasal 55 ayat (2) dan (3) UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
terhadap UUD Republik Indonesia 1945 tersebut, ada beberapa implikasi
yang penulis dapati. Secara redaksi, pasal 55 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
UU No 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah ini, memang tidak ada yang
dirubah sama sekali.
Pasal 55 Undang-Undang No. 21 Tahun 20082 menyebutkan:
1. Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama.
2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi akad.
3. Penyelesaian sebagaimana yang dimaksud ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah
Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) yang semula sebagai materi utama judicial
review justru tidak mengalami perubahan. Ini dapat diartikan bahwa majlis
hakim konstitusi tidak melihat adanya pertentangan ayat (2) dan (3) dengan
pasal 28D UUD 1945. Namun yang menjadi sorotan utama pasca putusan ini
adalah Penjelasan Pasal 55 ayat 2 yang menyebutkan:
2Tim Redaksi Focus Media, Undang-Undang Perbankan Syariah Dan Surat
Berharga Syariah Negara, h. 71.
72
Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi
akad” adalah upaya sebagai berikut:
a. Musyawarah
b. Mediasi Perbankan;
c. Melalui badan Arbitase Syariah (Basyarnas) Atau lembaga arbitase lain;
dan atau
d. Melalui pengadilan dalam lingkup peradilan Umum.3
Redaksi penjelasan pasal 55 ayat (2) inilah yang justru dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945
dalam pembacaan Putusan MK No 93/PUU-X/2012.
Sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk 4 hal. Pertama, Menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedua, Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketiga, Memutus pembubaran partai politik. Keempat, memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
Berkenaan dengan pembahasan ini, kewenangan pengujian pasal 55 ayat
(2) dan (3) ini sangat jelas masuk dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi
point pertama. Sedangkan posisi pasal yang diuji tersebut sebagaimana yang
telah dinyatakan dalam UU No 24 pasal 57 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi: „Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
3Tim Redaksi Focus Media, Undang-Undang Perbankan Syariah Dan Surat
Berharga Syariah Negara, h. 122-113.
73
menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-
undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, materi muatan
ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat‟.
Adapun bilamana sebuah pasal dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, maka secara otomatis tidak lagi mempunyai landasan
hukum.4 Maka pasal tersebut juga tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum
karena bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi dalam kompetensinya menimbang dan
memutuskan bahwa apakah pasal tersebut sesuai dengan konstitusi Negara
atau tidak. Artinya putusan bukan dengan membuat ketentuan baru. Akan
tetapi hanya mengembalikan undang-undang, pasal, ayat maupun penjelasan
ayat yang diuji sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan. Untuk itu beberapa
implikasi yang terjadi pasca putusan ini pun bukan karena Mahkamah
Konstitusi yang membuat atau yang menentukan demikian. Namun karena
pembentuk undang-undang atau ketentuan undang-undang mengatur
demikian.
Selanjutnya beberapa hal yang penulis kemukakan ini merupakan
tinjauan perubahan redaksi beserta implikasi yang terjadi pasca putusan
Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012 terhadap penyelasaian sengketa
4 Ali Salmande, pelaksanaan putusan mahkamah konstitusi hukum online, 23 Januari
2014 Pukul 11:05 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4222/pelaksanaan-keputusan-
mahkamah-konstitusi.
74
Perbankan Syariah di Indonesia melalui non litigasi. Diantaranya adalah
sebagai berikut;
Mengenai ayat 2 yang sudah tidak lagi ada penjelasannya. Menurut
hemat penulis, masih nampak adanya pilihan forum. Karena redaksi pasal
sama sekali tidak ada perubahan. Yaitu ”dalam hal para pihak telah
memperjanjikan selain sebagaimana yang dimaksud ayat (1)”. Dari redaksi itu
terlihat dalam kata “memperjanjikan” sangat kental adanya asas kebebasan
berkontrak sebagaimana yang telah penulis diuraikan pada BAB II.
Adanya ayat kedua yang membuka pilihan forum ini, bila diperhatikan
jelas menjadi pilihan kedua. Sehingga tepat bila pilihan forum ini disebut
sebagai alternatif penyelesaian sengketa perbankan syariah. Karena yang
utama adalah ayat (1), yaitu Peradilan Agama yang mendapatkan kewenangan
mutlak dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
Selain itu dalam pasal ini, muatan faham individualisme dalam asas
kebebasan berkontrak yang mengatasnamakan keinginan personal terlihat
melalui redaksi “selain sebagaimana yang dimaksud ayat (1)” dapat diartikan
ada keinginan sendiri/kedua belah pihak untuk sepakat tidak mengikuti
ketentuan pertama dan beralih pada pilihan sesuai kehendak (keinginan) yang
disepakatinya (sendiri).
Sedangkan pada redaksi yang setelahnya yaitu “penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai isi akad”. Ini memperkuat adanya muatan asas hukum
perikatan, hukum perjanjian Islam dan asas al-hurriyah dalam hukum perdata
75
Islam. Maka, adanya pasal ini sangat menekankan adanya pencantuman akad
dari hasil musyawarah mufakat kedua belah pihak. Karena akad akan sangat
menentukan dimana, bagaimana bentuk dan isi, serta penyelesaian
sengketanya.
Bilamana sudah tercantum akan ada kejelasan dan kepastian hukumnya.
Termasuk forum mana yang dikehendaki untuk penyelasaian sengketa.
Karena akad akan menjadi undang-undang dan ketentuan yang mengikat bagi
kedua belah pihak yang mensepakatinya.
Dengan disebutkannya akad sebagai syarat pilihan forum ini, menjadi
kewajiban dan keharusan para pihak yang berkontrak menuangkan hasil
kesepakatan guna menghindari ketidakpastian hukum ataupun pelanggaran
akan pengingkaran akad. Lalu bagaimana bilamana tidak dicantumkan?
Setelah penulis mengamati, dengan tidak adanya penjelasan pasal (2) atau
lebih tepatnya melihat penjelasan ayat (2) yang sudah tidak berkekuatan
hukum ini, secara otomatis dikembalikan kepada ketentuan ayat (1). Yaitu
Peradilan Agama sebagai penyelesai absolut perbankan syariah.
Untuk itu pencantuman akad tidak bisa diremehkan. Karena tidak
adanya pencantuman akad, bilamana hendak menyelesaikan di luar Peradilan
Agama merupakan kesalahan fatal para pihak pembuat akad yang harus
diperhatikan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah pasca putusan
MK No 93/PUU-X/2012.
76
Pilihan forum yang terkandung dalam redaksi pasal ayat (2) ini memang
tidak lagi ada penjelasannya. Namun bila dilihat dari redaksi “selain
sebagaimana yang dimaksud ayat (1)” mengandung arti masih terbukanya
pilihan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah diluar Peradilan
Agama. Karena ayat (1) sangat jelas menunjuk Peradilan Agama tanpa ada
penjelasan yang mereduksinya lagi.
Mengenai bentuk pilihan forum diluar Peradilan Agama dalam
penyelesaian sengketa Perbankan Syariah, bilamana dilihat dari penjelasan
pasal 55 ayat (2) UU No 21 Tahun 2008, terdapat 4 bentuk pilihan forum
sebelum judicial rivew. Yaitu a) musyawarah, b) mediasi perbankan c)
Basyarnas atau lembaga arbitrase lain dan d) Pengadilan Negeri.
Dalam melihat bentuk pilihan forum dalam penyelesaian sengketa
perbankan syariah yang tercantum pada penjelasan pasal, apa saja pilihan
penyelesaian sengketa perbankan syariah yang masih bisa berlaku? Penulis
mengacu pada pernyataan MK dalam putusan terhadap penjelasan pasal 55
ayat (2) yaitu “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Apakah dengan
pernyataan ini, 4 bentuk pilihan forum yang tercantum tersebut otomatis
terhapus dan tidak lagi dapat digunakan? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut kita bisa kembali melihat kedudukan MK.
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, dalam hal menguji pasal
terhadap UUD 1945, MK menyatakan “tidak mempunyai hukum mengikat”
bisa disimpulkan tidak lagi mempunyai landasan hukum. Tidak punya
77
landasan hukum ini konteksnya hanya dalam ayat atau pasal yang telah diuji.
Bukan pada pasal yang mengatur ketentuan umum masing-masing bentuk
penyelesaian sengketa perbankan yang tercantum ada pada penjelasan pasal
55 ayat 2 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Ini berarti yang tidak berlaku adalah ketentuan penyelesaian perbankan
syariah dengan dasar pasal tersebut. Bukan ketentuan pasal masing-masing.
Karena masing-masing ketentuan dalam pasal punya landasan hukum yang
kuat. Lalu apakah semua bisa diterapkan dalam penyelesaian sengketa
perbankan syariah, termasuk juga PN?
Disinilah letak perbedaan pendapat hakim. Ada dissenting opinion
(pendapat berbeda). Dan ada concurring opinion (alasan berbeda). Dari 9
hakim konstitusi yang menyatakan pendapatnya, yang berbeda hanya satu. Ia
menyatakan bahwa yang bertetangan dari penjelasan pasal 55 ayat (2)
hanyalah huruf (d) (Peradilan Umum) selain itu tidak bertentangan.5Artinya
penjelasan pasal 55 ayat (2) tahun 2008 huruf (a), huruf (b), dan huruf (c)
yaitu (musyawarah, mediasi dan arbitrase syariah) tidak bertentangan dengan
UUD 1945 dan Undang-Undang tersebut dibenarkan oleh prinsip syariah.
Sedang yang lain berpendapat bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2)
seluruhnya bertentangan dengan kostitusi. Artinya mayoritas hakim
menyatakan seluruh proses penyelesaian sengketa perbankan syariah dalam
5 Lihat Dissenting Opinion Hakim Konstitusi (Muhamad Alim) dalam uraian
penjelasan tentang Pendapat Berbeda Putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012,
hal 55-56.
78
penjelasan ayat (2) baik secara litigasi (peradilan umum) maupun non litigasi
(musyawarah, mediasi perbankan dan arbitrase syariah) dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Hal ini bila dilihat dari filosofi hukum perdata, bilamana seseorang ada
permasalahan dengan orang lain, pada dasarnya itu urusan dia. Mengapa
negara harus ikut campur. Namun dalam hal ini negara memfasilitasi mereka
yang gagal menyelesaikan sengketa pribadinya. Pertama dengan
mengembalikan solusinya kepada kedua belah pihak. Namun bilamana gagal
jalur sidanglah yang musti ditempuh sebagai upaya negara untuk menjaga hak
konstitusional warganya, yaitu terwujudnya keadilan dan kepastian hukum.6
Adapun penulis melihat hal ini dari asas kebebasan berkontrak. Memang
tidak bisa dipungkiri merupakan hak seorang untuk menentukan akad dan
forum penyelesaian sengketanya. Baik litigasi maupun non litigasi. Dalam
litigasi penulis sepakat kewenangan menangani sengketa perbankan syariah
mutlak dan tunggal di Peradilan Agama. Namun kemutlakan PA tidak lantas
menghilangkan pilihan penyelesaian sengketa perbankan syariah selain
peradilan agama.
Hemat penulis, dinyatakannya penjelasan pasal 55 ayat 2 UU No 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat oleh mayoritas hakim tersebut, bukan berarti menghapus semua
6 Ahmad Fadlil Sumadi dalam wawancara dengan penulis di Ruang Kerja
Mahkamah Konstitusi pada hari senin tanggal 6 januari 2014 pukul 12. 05-12:28 WIB.
79
pilihan forum hukum non litigasi. Juga bukan berarti menghapus sebagian
pilihan forum non litigasi yang ada di penjelasan pasal (yaitu Musyawarah,
Mediasi, Basyarnas atau Arbitase lain). Akan tetapi justru membuka lebar
semua bentuk alternatif penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non
litigasi baik di dalam maupun luar pengadilan (yaitu musyawarah, Basyarnas,
arbitrase lain, konsultasi, konsiliasi, negosiasi, fasilitasi, mediasi atau
penilaian ahli)
Namun yang terpenting diatas semua bentuk penyelesaian sengketa
perbankan syariah adalah prinsipnya. Sebagaimana yang terkandung dalam
ayat (3). Jangan sampai keanekaragaman alternatif pilihan penyelesaian
sengketa yang terbuka oleh pasal (2) ini sampai mengurangi kemutlakan
ketentuan utamanya yaitu pasal (1). Namun juga tidak melupakan apa yang
terkandung dalam ayat (3), yaitu tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi syariah mulai dari niat, akad hingga
penyelesaian sengketa selalu diiringi dengan prinsip syariah. Sehingga ada
kesesuaian antara pelaksanaan dengan nilai dan prinsip yang terkandung.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan analisis penulis terhadap hasil penelitian
yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Penyelesaian sengketa perbankan syariah pada dasarnya merupakan
perkara perdata. Menurut hukum perdata Islam ada dua metode
penyelesaian sengketa. Yaitu al-sulh (perdamaian) dan al-tahkiim
(arbitrase). Adanya al-sulh (perdamaian) ini adalah penyelesaian
sengketa melalui islah yaitu memutus sengketa melalui perdamaian
antara kedua belah pihak. Sedangkan al-tahkiim (arbitrase) adalah
penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga yang disebut dengan arbiter.
Fungsinya adalah sebagai mediator (hakam) yang netral, namun mampu
mengupayakan para pihak untuk dapat berinisiatif mendapatkan mufakat
dalam penyelesaian terbaik. Maka sungguh terlihat betapa Islam dalam
menyelesaikan sengketa perdata termasuk didalamnya perbankan syariah
selalu mendahulukan perdamaian kemaslahatan umat.
2. Penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia melalui non
litigasi yang disebutkan dalam penjelasan pasal 55 ayat (2) UU No 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ada beberapa alternatif. Yaitu
musyawarah, mediasi perbankan dan arbitrase syariah (Basyarnas) atau
81
lembaga arbitrase lain. Adapun yang tidak disebutkan didalam penjelasan
adalah; konsultasi, negosiasi, konsiliasi, fasilitasi dan pendapat ahli
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi No 93 PUU-X 2012, semua
bentuk penyelesaian non litigasi bisa digunakan sebagai alternatif
penyelesaian sengketa perbankan syariah bilamana para pihak sudah
mensepakati didalam akadnya. Hanya saja dalam teknis pelaksanaan
penyelesaian sengketa perbankan syariah ini, dibedakan menjadi dua.
Yaitu penyelesaian sengketa melalui non litigasi di pengadilan dan
penyelesaian sengketa melalui non litigasi di luar pengadilan. Di dalam
pengadilan bisa melalui mediasi di Peradilan Agama. Adapun yang diluar
pengadilan melalui arbitrase, musyawarah, konsultasi, negosiasi, fasilitasi
dan pendapat ahli.
Dalam arbitrase ada dua pilihan lembaga, yaitu Basyarnas dan Bani.
Namun bilamana mengingat ketentuan yang termuat di dalam ayat (3)
pasal 55 UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang tidak
membolehkan adanya pertentangan dengan prinsip syariah, secara
otomatis Basyarnas adalah pilihan utama dalam penyelesaian sengketa
perbankan syariah melalui jalan arbitrase. Karena Basyarnas memang
terbentuk dengan perangkat syariah dan untuk penyelesaian sengketa
ekonomi syariah.
3. Adapun Putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012 pastilah
mendatangkan implikasi terhadap ketentuan penyelesaian sengketa
82
perbankan syariah. Baik secara litigasi (dengan mekanisme hukum)
maupun non litigasi (dengan perdamain/bukan mekanisme hukum).
Secara litigasi putusan ini menjadikan posisi Peradilan Agama
semakin kuat. Hal ini dikarenakan pilihan forum dalam lingkungan
peradilan umum yang notabenenya adalah sama-sama penyelesaian
secara litigasi tidak lagi mempunyai kekutan hukum tetap. Artinya setiap
penyelesaian sengketa perbankan syariah secara litigasi (dengan
mekanisme hukum) mmengharuskan setiap warga negara, masyarakat
maupun lembaga pengguna bank syariah, untuk menyelesaikannya
melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Sedangkan penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non
litigasi sangatlah terbuka untuk semua jenis penyelesaian tanpa ada
pembatasan. Baik yang tercantum dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 tahun
2008 tentang Perbankan Syariah (yaitu musyawarah, mediasi perbankan
dan arbitrase syariah (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain) maupun
yang tidak tersebut dalam penjelasan (sebagaimana konsultasi, negosiasi,
fasilitasi, konsiliasi dan pendapat ahli).
Akan tetapi yang harus digaris bawahi dan menjadi catatan penting
adalah, penyelesaian tersebut disepakati oleh kedua belah pihak dan tidak
bertentangan dengan prinsip syariah. Jadi mutlaknya kewenangan
Peradilan Agama dalam menangani ekonomi syariah, khususnya tentang
perbankan syariah sebagaimana yang disebut dalam pasal 49 huruf I
83
point a Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, tidak
lantas menghilangkan penyelesaian sengketa secara non litigasi diluar
Peradilan Agama. Akan tetapi justru semakin leluasa memberikan
kebebasan penyelesaian sengketa melalui non litigasi dengan tanpa
pembatasan bentuk penyelesaian non litigasi. Dengan demikian, besar
harapan agar keadilan diantara pengguna perbankan syariah dapat
diwujudkan sesuai asas kebebasan berkontrak dengan mekanisme
perdamaian.
B. Saran
Setelah penulis mengemukakan kesimpulan diatas, maka saran-saran
yang penulis akan sampaikan adalah sebagai berikut:
1. Kepada pembuat undang-undang untuk lebih memperhatikan bahasa
hukum yang jelas, tegas dan tidak bersayap. Sehingga tidak menimbulkan
multitafsir bagi warga Negara pada umumnya dan praktisi hukum pada
khususnya dalam mendapatkan kepastian hukum berupa keadilan.
2. Kepada penegak hukum, khususnya lembaga Pengadilan Agama yang
dalam hal ini berwenang dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah,
hendaknya benar-benar memberikan perhatian lebih terhadap
kewenangan menangani sengketa ekonomi syariah ini. Utamanya dalam
pelaksanaan asas cepat, sederhana dan biaya ringan. Salah satunya dengan
pengamatan terhadap efektifitas pelaksanaan pnyelesaian dengan jalur
84
perdamaian baik mediasi maupun musyawarah oleh hakim mediator
Pengadilan Agama.
3. Kepada pengguna perbankan syariah, penyelesaian sengketa perbankan
syariah tidak selalu identik dengan mekanisme hukum. Penyelesaian
dengan perdamaian (non litigasi) baik di dalam pengadilan maupun diluar
pengadilan bisa menjadi alternatif penyelesaian yang lebih cepat, ringan
dan sederhana. Dengan demikian akan lebih efisien waktu, biaya maupun
tenaga dalam menangani sengketa perbankan syariah sesuai kehendak
mayoritas pebisnis.
4. Kepada akademisi, khususnya segenap civitas akademika Fakultas
Syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk meberikan
penekanan pembelajaran mengenai perundang-undangan. Terutama
tentang pemahaman dan penafsiran pasal, penjelasan pasal dan
penerapan pasal yang dikaitkan langsung dengan problematika riil
pelaksanaan di lapangan. Karena banyak problematika yang
membingungkan bukan karena kesalahan peraturan perundang-undangan,
namun acapkali juga karena kesalahan akademisi atau bahkan praktisi
hukum dalam memahami redaksi undang-undang sebagaimana yang
terjadi pada pasal 55 UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah.
Maka dengan demikian Fakultas Syariah dan Hukum diharapkan dapat
memberikan kontribusi sebagai institusi pendidikan yang mencetak
mahasiswa handal, terdepan dan terpercaya di bidang hukum Islam.
85
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Al-Quran. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-
Quran dan Tejemahannya. Jakarta: Depag RI, 1986
Ahmad Djauhari. Arbitrase Syari‟ah di Indonesia. Jakarta: Basyarnas,
2006.
Alauddin at Tharablisi. Muin Al-Hukkam: Fi Ma Yataraddadu baina al-
Khasamaini min al-Ahkami. Beirut: Dar al Fikr, t.th..
Al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh „Ala al-Mazahib al-Arba‟ah. Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1990, Juz II.
Al-Munawar, Said Agil Husin. Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam,
Dalam Arbitrase Islam di Indonesia. BAMUI & BMI. Jakarta: t.p.,
1994.
Amalia, Euis M. Taufiki dan Dwi Nur’aini Ihsan, Buku Modul Praktikum
Bank Mini, Konsep dan Mekanisme Bank Syariah. Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum. 2007.
Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2009.
. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia.
Yogyakarta: Citra Media, 2006.
. Penyelesaian Sengketa Perbanka Syariah: Analisis
Konsep dan UU No. 21 Tahun 2008, Yogyakarta: UGM Press,
2010.
Antonio, Muhammad Syafiie. Bank Syariah; Wacana Ulama dan
Cendikiawan. Jakarta: Tazkia Institute, 1999.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Asyhadie, Zaeni. Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaanya di Indonesia.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.
Azhar Basyir, Ahmad. Asas-asas Hukum Muamalah: Hukum Perdata
Islam. Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 1993.
86
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus Syiria:
Dar El Fikr, 2005, Juz IV.
Badrulzaman, Mariam Darus dkk.. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2001, Cetakan Pertama.
. Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya.
Bandung: Alumni: 1981.
Basir, Cik. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Di Pengadilan
Agama & Mahkamah Syariah. Jakarta: Kencana, 2009.
Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana 2006, Cet. Ke-4.
Djauhari, Ahmad. Arbitrase Syari‟ah di Indonesia. Jakarta: Basyarnas,
2006.
Emirzon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Farhum, Muhammad Ibnu. Tabsirah al-Hukkam fi Ushul al-Qhadhiyah wa
Manahij al-Ahkam. Bairut: Libanon: Darr al Maktabah al-
Ilmiah,1031.
Furqan, Arief. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif : Suatu Pendekatan
Fenomologis Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial. Surabaya: Usaha
Nasional, 1992.
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase, Lampiran UU No.
30 Tahun 1999.
Gunawan, Johannes. “Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan
Berkontrak”. Dalam Sri Rahayu Oktoberina, Niken Savitri. Butir-
butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr.
B. Arief Sidharta. Bandung: Aditama, 2008.
. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Penerbit
Unika Parahyangan Program Pasca sarjana Program Magister Ilmu
Hukum, 1999.
Ichsan, Achmad. Hukum Perdata I B. Jakarta: PT. Pembimbing Masa,
1969.
J. Satrio. Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya. Bandung: Alumni,
1993.
87
Jimmy Joses Sembiring. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar
Pengadilan: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase. Jakarta:
Transmedia Pustaka, 2011.
M. Dagun, Save. Pengantar Filsafat Ekonomi. Jakarta, Rineka Cipta,
1992.
Ma’luf, Liwis. Al-Munjid al- Lughoh wa al-A‟lam. Bairut: Daar al-
Masyriq.
Mahadi. Hukum Sebagai Sarana Mensejahterakan Masyarakat. Medan:
USU Press, 1985.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Margono, Suyud. ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek
Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.
Mazkur. Salam Peradilan dalam Islam. Alih Bahasa Imron AM. Surabaya:
Bina Ilmu, 1993, Cet ke 4.
Muhammad, Abu al-Ainain Fatah. Al-Qadha wa al-Itsbat fi al-Fiqh al-
Islami. Kairo: Darr Al Fikr, 1976.
Pitlo. Tafsiran Singkat Tentang Beberapa Bab dalam Hukum Perdata.
Jakarta: Intermassa, 1979.
Puspa, Yan Pramadya. Kamus Hukum. Semarang: Aneka Ilmu, t.th..
Rosyadi, A. Rahmat. Arbitrase dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif. Bandung: PT. CITRA ADITYA BAKTI, 2002.
Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Sabiq, As Sayyid. Fiqh As-Sunnah. Beirut: Dar Al Fikr, 1977, Juz III.
Setiawan. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta, 1979.
Simorangkir, dkk.. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006.
88
Subekti & Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:
Pradnya Paramita, 1989.
Subekti. HukumPerjanjian. Jakarta: Intermasa, 1979, cet. VI
. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet-
boek). Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, Cetakan Ke-16.
Sukandarrumidi. Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti
Pemula. cet. ke-2.
Sulaikin Lubis, dkk.. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Sumitro, Warkum. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga
terkait BAMUI dan Takaful di Indonesia. Jakarta:PT RajaGrafindo
Persada, 1996.
Syahdeini, Remy. Asas Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan yang
seimbang dari kreditur dan debitur. Makalah yang disampaikan
pada Seminar Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya pada tanggal
27 April 1993.
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum. “Buku Pedoman Penulisan
Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta”. Jakarta: Pusat Peningkatan dan
Jaminan Mutu, PPJM Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012.
Tim Redaksi Focus Media. Undang-Undang Perbankan Syariah Dan
Surat Berharga Syariah Negara. Jakarta: Focus Media 2008.
B. Jurnal
Arofah, Lailatul. “Perdamaian dan Bentuk Lembaga Damai di Pengadilan
Agama Sebuah Tawaran Alternatif”. Dalam Mimbar Hukum, No.
63.
Manan, Abdul. “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Sebuah
Kewenangan Baru Peradilan Agama”. Dalam Mimbar Hukum,
Edisi No. 73 tahun 2011.
C. Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonessia
89
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Perbankan Mahkamah
Konstitusi
Putusan No 93/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi
D. Ensiklopedia
Abdul Azis Dahlan, et,al. (ed).. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Juz I.
E. Internet
Ahmad Z. Anam, M.S.I. (Calon Hakim Pengadilan Agama Kab. Kediri.
Mentor: Drs. H. Imam Asmu’i, S.H), Tantangan dan Strategi
Pengadilan Agama dalam Merespon Amanat Konstitusi yang
Memberikan Kewenangan Penuh untuk Mengadili Sengketa
Perbankan Syari‟ah, diakses pada senin, 02 September 2013 14:35
dari pa-
kedirikab.go.id/utama/index.php?option=com_content&view=artic
le&id=173:pengadilan-agama-pasca-putusan-mahkamah-
konstitusi-nomor-93puu-x2012&catid=62:berita-original.
Ali Salmande, pelaksanaan putusan mahkamah konstitusi hukum online,
23 Januari 2014 Pukul 11:05
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4222/pelaksanaan-
keputusan-mahkamah-konstitusi
Hermansyah, “Tiga Masalah Fundamental Yang Mengganjal ” artikel
diakses pada senin, 02 September 2013 14:35 dari http://pa-
90
banjarbaru.Pta
Banjarmasin.go.id/index.php?content=mod_berita&id=132
MK Kabulkan Pemohon Terkait UU Perbankan Syariah diakses pada hari
senin, 02 September 2013 14:35 dari
http://ekonomisyariah.info/blog/2013/08/30/mk-kabulkan-
pemohon-terkait-uu-perbankan-syariah/.
Ahmad Fadlil Sumadi dalam wawancara dengan penulis di Ruang Kerja
Mahkamah Konstitusi pada hari senin tanggal 6 januari 2014 pukul
12. 05-12:28 WIB.
PUTUSANNomor 93/PUU-X/2012
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2] Nama : Ir. H. Dadang Achmad
Pekerjaan : Direktur CV. Benua Enginering Consultant
Alamat : Taman Cimang RT 002 RW 008 Kelurahan Kedung Jaya,Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 3 Agustus 2012
memberi kuasa kepada Rudi Hernawan, S. H., dan E. Sophan Irawan, SMHK.,para Advokat pada Kantor Advokat Rudi Irawan & Rekan beralamat kantor di Jalan
Siliwangi Nomor 17 Desa Bojongkokosan, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten
Sukabumi, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Pemerintah;
Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;
Mendengar keterangan saksi dan ahli Pemohon;
Mendengar keterangan ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
Membaca kesimpulan Pemohon dan Pemerintah;
2
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonan bertanggal 12 Agustus 2012, yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal
12 September 2012 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
322/PAN.MK/2012 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
pada tanggal 24 September 2012 dengan Nomor 93/PUU-X/2012, yang telah
diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 19 Oktober 2012,
yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
1. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI1) Bahwa Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut
UUD 1945) menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang di bawahnya dalam
lingkungan Peradilan umum, lingkungan Peradilan agama, lingkungan
Peradilan militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.
2) Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU 24/2003)
dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia
Nomor 5076) menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945”.
3) Bahwa dengan demikian permohonan Pemohon termasuk ke dalam salah
satu kewenangan mengadili Mahkamah Konstitusi yaitu tentang menguji
materil Undang-Undang terhadap UUD 1945.
2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON1) Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 beserta penjelasannya menyatakan,
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
3
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum
adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; d. lembaga negara”;
2) Bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 telah menentukan 5 (lima)
syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003, sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, dianggap telah
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. hak dan/atau kewenangan tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian kontitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi;
3) Bahwa Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia berdasarkan
bukti KTP dan sebagai nasabah dari Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
Cabang Bogor yang telah melakukan ikatan berupa akad sebagaimana akta
Notaris Nomor 34 tertanggal 9 Juli 2009 dan diperbaharui dengan akad
pembiayaan Al-Musyarakah (tentang perpanjangan jangka waktu dan
perubahan jaminan) dengan Nomor 14 tertanggal 8 Maret 2010 yang dibuat
di hadapan Catur Virgo, SH. Notaris di Jakarta.
4) Bahwa sebagai warga negara Republik Indonesia, Pemohon memiliki hak-
hak konstitusional antara lain seperti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjunng hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”.
4
5) Bahwa sebagai warga negara Republik Indonesia, Pemohon juga berhak
secara konstitusional mendapat jaminan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum seperti yang diatur dalam Pasal
28D ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.”
6) Bahwa dengan demikian Pemohon memiliki hak konstitusional dalam
mengajukan permohonan ini yaitu melakukan Permohonan Uji Materil
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yaitu
Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) yang mengatur tentang penyelesaian
sengketa. Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1).
3. POKOK PERMOHONAN1) Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan dalam kewenangan masalah
konstitusi dan kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan di atas
adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok permohonan
ini.
2) Bahwa Pemohon sebagai warga negara Indonesia bermaksud mengajukan
permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94) yaitu Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) yang mengatur tentang
penyelesaian sengketa. Terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
3) Bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 55 ayat (1) yang
berbunyi “Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama”. Pasal 55 ayat (2) Undang-
Undnag Nomor 21 Tahun 2008 yang berbunyi “Dalam hal para pihak telah
memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad”.
Sedangkan Pasal 55 ayat (3) berbunyi “Penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan
prinsip syariah”.
4) Bahwa Pemohon sebagai pencari keadilan serta menginginkan adanya
kepastian hukum dari suatu produk hukum dalam hal ini Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2008 di mana Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) telah
5
menimbulkan tidak adanya ketidakpastian hukum seperti yang diamanatkan
oleh UUD 1945 Pasal 28D ayat (1).
5) Bahwa jika suatu Undang-Undang mempersilahkan untuk memilih
menggunakan fasilitas negara (lembaga peradilan), sedangkan ayat lainnya
secara tegas telah menentukan peradilan mana yang harus dipakai, maka
dengan adanya dibebaskan memilih akan menimbulkan berbagai penafsiran
dari berbagai pihak apalagi selanjutnya ayat lain mengisyaratkan harus
memenuhi prinsip-prinsip dalam hal ini prinsip syariah sehingga
menimbulkan pertanyaan apakah peradilan yang dipilih atau yang
diperjanjikan oleh masing-masing pihak seperti diatur dalam Pasal 55 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tersebut telah memenuhi prinsip
syariah seperti yang diisyaratkan oleh Pasal 55 ayat (3) Undnag-Undang
Nomor 21 Tahun 2008. Maka di sinilah akan timbul ketidakpastian
hukumnya, sementara Pasal 55 ayat (1) yang secara tegas mengatur jika
terjadi perselisihan maka harus dilaksanakan di pengadilan dalam ruang
lingkup Peradilan Agama. Hal ini tidak akan dipilih oleh para pihak jika
terjadi perselisihan dalam perbankan syariah.
6) Bahwa UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) telah secara tegas mengatur bahwa
Undang-Undang harus menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan.
Maka kalau kita melihat Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang perbankan syariah, yaitu antara Pasal 55 ayat (1) dengan Pasal 55
ayat (2) dan ayat (3) terdapat kontradiktif di mana yang satu secara tegas
menyebutkan dan yang lainnya membebaskan untuk memilih, maka dengan
adanya kontradiktif tersebut antara yang satu dengan yang lainnya lahirlah
penafsiran sendiri-sendiri sehingga makna kepastian hukum menjadi tidak
ada.
7) Bahwa menurut Pemohon apa yang diatur dalam Bab IX mengenai
penyelesaian sengketa yaitu Pasal 55 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, timbul
kontradiktif antara ayat (1) yang secara tegas mengatur jika terjadi sengketa
dalam Perbankan Syariah maka harus dilaksanakan dalam lingkungan
Peradilan Agama. Sedangkan ayat (2)-nya memberi pilihan kepada para
pihak yang terikat dalam suatu akad untuk memilih akan dilaksanakan di
lingkungan peradilan mana akan dilaksanakan jika terjadi sengketa dalam
6
Perbankan Syariah. Sehingga bisa diasumsikan para pihak boleh memilih
apakah mau di lingkungan Peradila Agama, atau di Peradilan Umum
bahkan di lingkungan peradilan lain pun diberi keleluasaan oleh ayat (2)
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 asalkan tercantum dalam
akad. Maka dengan adanya ayat (2) Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 sangat jelas sama sekali tidak ada kepastian Hukum yang
dijamin oleh UUD 1945. Sehingga nampak jelas Bab IX mengenai
penyelesaian sengketa Pasal 55 ayat (2) sangatlah bertentangan dengan
UUD 1945 Pasal 28D ayat (1).
8) Bahwa akibat tidak adanya kepastian hukum dengan dicantumkannya ayat
(2) Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 melahirkan pula
kehawatiran dalam Undang-Undang ini sehingga dimuatlah ayat (3) Pasal
55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008. Sedangkan ayat (3) Pasal 55
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tidak perlu terbit apabila tidak ada
ayat (2) Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Undang-
Undang Perbankan Syariah.
9) Bahwa untuk supaya mencerminkan adanya kepastian Hukum seperti yang
dijamin oleh UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 28 D ayat (1). Maka ayat (2)
Pasal 55 UU No. 21 tahun 2008 haruslah dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat.
10)Bahwa Pemohon dalam hal ini sangat berkepentingan oleh karena
Pemohon sebagai nasabah Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Bogor
sangat merasa dirugikan akibat adanya ayat (2) Pasal 55 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kerugian yang dialami
oleh Pemohon di mana perkaranya sekarang sedang diurus melalui
permohonan ke Mahkamah Agung, yaitu tentang kewenangan mengadili.
Begitu pula Pemohon meyakini banyak nasabah dari Bank Muamalat
Indonesia,Tbk yang merasa dirugikan karena tidak adanya kepastian
Hukum seperti yang telah kami uraikan di atas.
11)Bahwa akhirnya diharapkan hukum hadir di tengah-tengah masyarakat
dijalankan tidak sekadar menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan
(according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih
dalam (to the very meaning) dari Undang-Undang atau hukum. Hukum tidak
hanya dijalankan dengan kecerdasan intelektual melainkan dengan
7
kecerdasan spiritual. Menjalankan hukum harus dengan determinasi,
empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa untuk berani
mencari jalan lain guna kebenaran, keadilan dan kepastian hukum para
pencari keadilan.
Maka berdasarkan hal-hal yang telah kami uraikan di atas demi adanya
kepastian hukum yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28D ayat (1), maka kiranya
Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Kontitusi berkenan untuk memutus sebagai
berikut:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon
2. Menyatakan bahwa materi muatan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 55 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
3. Menyatak bahwa materi muatan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 55 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat
4. Memerintahkan putusan ini diumumkan melalui lembaran negara
5. Menyerahkan keputusan ini kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi sesuai ketentuan yang berlaku
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P-8, sebagai berikut:
1. Bukti P-1 Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah
2. Bukti P-2 Fotokopi KTP Pemohon
3. Bukti P-3 Fotokopi Salinan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bogor
Nomor 07/pdt/eks.akta/2012/PN.Bgr
4. Bukti P-4 Fotokopi Salinan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bogor
Nomor 07/Pdt/Eks.Akta/2012/PN.Bgr
5 Bukti P-5 Fotokopi Surat Penyelesian Pembiayaan Al Musyarakah an CV
Benua Enginering Consultan dari Bank Mualamat Cabang Bogor
bertanggal 27 April 2010
6. Bukti P-6 Fotokopi Surat Persetujuan Fasilitas Pembiayaan Al Musyarakah
an CV Benua Enginering Consultan dari Bank Mualamat Cabang
8
Bogor bertanggal 7 Juli 2009
7. Bukti P-7 Fotokopi Salinan Akad Pembiayaan Al Musyarakah Nomor 34
bertanggal 9 Juli 2009 antara Bank Mualamat dengan Haji
Dadang Achmad di hadapan Notaris Catur Virgo
8. Bukti P-8 Fotokopi Salinan Perubahan Akad Pembiayaan Al Musyarakah
Nomor 14 bertanggal 8 Maret 2010 antara Bank Mualamat
dengan Haji Dadang Achmad di hadapan Notaris Catur Virgo
Selain itu, Pemohon juga telah mengajukan 2 (dua) orang ahli yang bernama
Dr. Ija Suntana dan Prof. DR. H. Dedi Ismatullah, SH., MH., dan telah didengar
keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 20 Desember 2012
dan 1 (satu) orang saksi bernama Muhammad Ikbal yang telah didengar
keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 29 Januari 2013, yang
menerangkan sebagai berikut:
Ahli Pemohon1. Dr. Ija Suntana
Bahwa secara filosofis sub dan sifkum perbankan syariah didominasi oleh
istilah-istilah bisnis Islam, seperti murabahah, hudaibiyah, musyarakah,
mudarabah, qardh, hawalah, ijarah, dan kafalah. Oleh sebab itu, merupakan
hal yang benar dan tepat apabila penyelesaian perkara perbankan syariah
dilakukan dalam lingkungan peradilan yang secara substantif membidangi hal-
hal yang terkait dengan nilai-nilai syariat Islam. Apabila diserahkan pada
sistem peradilan yang tidak menerapkan aturan-aturan syariah, yang akan
muncul adalah ketidaksinkronan antara praktik akad dengan penyelesaian
sengketanya. Akad dilakukan di dalam sistem syariah, sementara
penyelesaiannya dilakukan dalam lingkungan peradilan yang tidak
menggunakan aturan dan asas-asas syariah;
Bahwa secara eksplisit dikatakan Peradilan Agama dalam Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 yang mengubah Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama dikatakan secara langsung bahwa salah satu
kompetensi absolut peradilan agama adalah menyelesaikan perkara-perkara
sengketa ekonomi syariah dan perbankan syariah masuk dalam bagian dari
ekonomi syariah. Oleh sebab itu, pelemparan kompetensi absolut kepada
selain lembaga yang tertulis secara langsung, menurut penilaian ahli adalah
penyimpangan dari asas kepastian hukum yang diatur dalam Undang-Undang
9
Dasar 1945, yaitu Pasal 28D Bab 10A tentang Hak Asasi Manusia yang
menjamin tentang kepastian hukum bagi warganya;
Bahwa ketika peradilan ada dua, kemudian diberikan kesempatan untuk dipilih
oleh para pihak yang bersengketa, hal tersebut akan menimbulkan choice of
forum yang dalam perkara yang substansinya sama juga, objeknya sama,
kemudian diberikan kebebasan memilih, sehingga akan menimbulkan
legaldisorder (kekacauan hukum). Selain itu, akan menimbulkan disparitas
keputusan, kemungkinan juga akan terjadi keanehan, sebab mungkin ketika
putusana lahir dari peradilan agama, sementara putusan b lahir dari
pengadilan umum untuk kasus yang sama, atau ada dua kasus yang memiliki
kemiripan sama atau bahkan sama, maka akan terjadi keanehan bagi para
pihak yang menerima;
Bahwa pasal a quo ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, dalam istilah hukum Islam akan
menimbulkan yang disebut dengan ta’arudh al-adillah, pertentangan dua
aturan ketika ayat (2) dan ayat (3) nya masih tetap ada. Selanjutnya, terkait
dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
bertentangan sebetulnya apabila masih tetap ditetapkan dalam Undang-
Undang tersebut, yaitu dengan Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum
karena salah satu karakter negara hukum adalah adanya kepastian hukum
dan juga bertentangan dengan Pasal 28D yang menyebutkan bahwa salah
satu hak asasi manusia, termasuk di dalamnya adalah para nasabah, adalah
dijamin kepastian hukum;
Bahwa apabila ada pilihan forum untuk penyelesaian perkara, sementara
orang diberikan kebebasan, ibaratnya untuk memilih, tidak ditunjuk langsung
oleh Undang-Undang, hal tersebut akan menimbulkan chaossebelum atau
dalam praktik akad. Sebab mungkin saja ketika orang mau menandatangani
akad di banknya yang itu masuk ke bank syariah, orang/nasabah yang masuk
bank syariah, sementara pihak bank menginginkan bahwa penyelesaian
sengketa itu ada di pengadilan negeri, sementara nasabah menginginkan
diselesaikan di pengadilan agama, hal tersebut akan menimbulkan masalah
dalam akad tersebut;
10
Bahwa sebelum masuk kepada urusan hukum, dalam penentuan akad pun
akan menjadi masalah karena akan jadi perdebatan antara “Saya ingin di
pengadilan agama,” kata nasabah, sementara kata pihak bank, “Saya ingin di
pengadilan negeri,” dan itu tidak akan ditemukan titik temu;
Bahwa ketika diberikan kesempatan choice of forum adalah
membahayakanapabila adaungkapan bahwa orang yang masuk ke bank
syariah itu tidak orang muslim saja, tapi ada nonmuslim. Dalam teori hukum
ketika orang nonmuslim masuk kepada peradilan atau perbankan syariah, dia
telah melakukan choice of law (telah memilih hukum). Ketika dia telahmemilih
hukum, maka secara langsung dia siap dan ikut diatur dengan aturan dan
asas yang ada di lembaga yang dia masuki, yaitu hal-hal yang terkait dengan
syariah dan ketika bank syariah menerapkan aturan-aturan syariah, maka
ketika nonmuslim masuk ke dalam bank syariah telah menyiapkan diri dan
siap juga menerima terhadap aturan yang diterapkan oleh bank syariah,
sehingga dari urusan asas, aturan, dan sampai penyelesaian sengketanya
harus disesuaikan dengan syariah. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa
nonmuslim yang telah masuk ke dalam bank syariah itu telah melakukan
choice of law karena ada bank konvensional yang dapat dipilih kenapa masuk
ke bank syariah. Sementara di bank syariah telah dijelaskan secara nyata
bahwa aturan dan asas yang telah dilaksanakan mulai akad sampai
penyelesaian sengketa sesuai dengan aturan syariah;
2. Prof. DR. H. Dedi Ismatullah, SH. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, negara Indonesia adalah negara hukum
yang di dalamnya ada dua pengertian yaitu supreme of law dan equality
before the law. Penafsiran terhadap supreme of law yaitu salah satunya
adalah kepastian hukum, rechtstaat adalah kepastian hukum, maka dengan
diberikannya pilihan hukum bagi orang yang masuk di peradilan, akan
menimbulkan confuse atau kebingungan hukum.Oleh karena itulah, maka ahli
melihat Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) tidak rasional, sebab bertentangan
dengan ayat (1). Salah satunya adalah dilaksanakan peradilan di peradilan
agama tetapi diberikan pilihan di peradilan yang lain. Hal tersebut juga akan
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Kompetensi Peradilan Agama. Kompetensi peradilan agama adalah
11
merupakan kepastian hukum bagi orang yang ingin berperkara di dalam
masalah bank ekonomi Islam;
Bahwa adanya Pasal 29 ayat (2), “Negara menjamin kemerdekaan tiap
penduduk pemeluk agamanya untuk melaksanakan syariatnya”. Menurut ahli
melaksanakan ekonomi syariah di peradilan agama adalah merupakan bentuk
dari implementasi Pasal 29 ayat (2), maka negara mempunyai kewajiban
melindungi hak-hak hukum bagi setiap warga negaranya. Selain itu, Pasal 28
ayat (1), sudah jelas tentang kepastian hukum, yaitu setiap orang berhak atas
pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum. Menurut ahli, bahwa equality before
the law adalah samanya kedudukan antara pengadilan agama dan pengadilan
negeri,tetapi oleh karena pengadilan agama telah dijustifikasi oleh Undang-
Undang tersendiri, sehingga ini adalah merupakan kompetensi absolut bagi
peradilan agama;
Saksi PemohonMuhammad Ikbal Bahwa saksi merupakan nasabah Bank Muamalat Cabang Bogor yang pada
saat itu menggunakan fasilitas pembiayaan al-musyarakah. Menurut saksi,
Bank Muamalat merupakan salah satu bank yang menerapkan prinsip-prinsip
perbankan syariah. Ketika perusahaan saksi dihadapkan pada persoalan Bank
Muamalat, di luar dugaan perusahaan saksi mendapatkan surat penetapan dari
Pengadilan Negeri Bogor berupa unmanning dan penyitaan eksekusi terhadap
aset-aset yang telah dijaminkan kepada Bank Muamalat;
Bahwa menurut saksi, seharusnya prosedur yang sebenarnya tidak pernah
ditempuh oleh Bank Muamalat, seperti penyelesaian melalui arbitrase syariah
atau pun penyelesaian perkara perbankan syariah yangseharusnya dilakukan
dalam lingkungan peradilan yang secara substantif membidangi hal-hal yang
terkait dengan nilai-nilai syariat Islam;
Bahwa dalam penyelesian sengketa tersebut, musyawarah-musyawarah yang
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah tidak diterapkan oleh Bank Muamalat dan
justru yang dilakukan oleh Bank Muamalat langsung mengajukan permohonan
unnmanning dan eksekusi kePengadilan Negeri Bogor;
Bahwa dengan adanya permasalahan tersebut, saksi melakukan konsultasi
dengan penasihat hukum, danmenurut penasehat hukum seharusnya yang
12
berwenang dalam hal ini untuk melakukan penyelesaian sengketa adalah
melalui pengadilan agama atau arbitrasesyariah dan bukan melalui pengadilan
negeri dikarenakan Bank Muamalat adalah bank yang menerapkan prinsip-
prinsip perbankan syariah danbukan merupakan bank konvesional;
Bahwa menurut saksi, seharusnya untuk menyelesaikan permasalahan ini
menggunakan Undang-Undang Perbankan Syariah yang berlaku dan
berdasarkan hasil penjelasan dari penasihat hukum ada ketidakpastian hukum,
yaitu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, Pasal 55 ayat (1) yang
berbunyi, “Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama”d an pada Pasal 55 ayat (2)
berbunyi, “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi akad”, sedangkan ayat (3) berbunyi, “Penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip
syariah”;
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah telah
memberikan keterangan dalam persidangan pada tanggal 28 November 2012,
sebagai berikut:
Bahwa tujuan pembangunan nasional adalah terciptanya masyarakat adil dan
makmur berdasarkan demokrasi ekonomi. Salah satu bentuk penggalian potensi
dan wujud kontribusi masyarakat dalamperekonomian nasional tersebut adalah
pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai Islam atau syariah dengan
mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam sistem hukum nasional. Prinsip syariah
berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan,dan
keuniversalan, rahmatan lilalamin. Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam
pengaturan perbankan yang didasarkan pada prinsip syariah yang disebut
perbankan syariah. Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran
Islam yang berkaitan dengan ekonomi;
Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai
bentuknya dan menggunakan sistem, antara lain, prinsip bagi hasil. Dengan
prinsip hasil, bank syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil
karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko
yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan
nasabahnya. Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada
13
perbankan syariah akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan peradilan
agama. Di samping itu, dibuka pulakemungkinan penyelesaian sengketa melalui
musyawarah, mediasi perbankan, badan arbitrase syariah nasional atau lembaga
arbitrase,atau melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum sepanjang
disepakati di dalam akad oleh para pihak dan sesuai dengan prinsip syariah;
Terhadap anggapan Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan
ayat (3) Undang-Undang Perbankan Syariah telah menimbulkan adanya
ketidakpastian hukum akibat lembaga penyelesaian sengketa dalam perbankan
syariah, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut.
Kegiatan usaha perbankan syariah diwujudkan dalam akad-akad yang
dibuatnya, baik itu dalam bentuk musyarakah, mudarabah, atau bentuk-bentuk
lain. Tindakan membuat akad tersebut termasuk dalam klasifikasi muamalah.
Kaidah dasar untuk muamalah perdata adalah segala sesuatu boleh kecuali
yang jelas-jelas diharamkan. Muamalah dalam bahasa hukum konvensional
dikenal dengan istilah perdata atau privat. Dalam kaidah fikih disebut, pada
dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Dengan demikian, dalam bermuamalah prinsipnya adalah
segala sesuatu diperbolehkan sepanjang tidak melanggar ketentuan syariah.
Jika kemudian timbul sengketa terhadap akad bank syariah tersebut karena
termasuk ke dalam kaidah syariah muamalah, maka para pihak dibebaskan
untuk menyelesaikannya dengan cara yang menurut para pihak sepanjang
tidak melanggar ketentuan yang telah dilarang oleh syariah;
Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa pada perbankan syariah
merupakan bagian dari asas kebebasan berkontrak. Hal tersebut jugasejalan
dengan syariah Islam yang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk
melakukan akad sesuai dengan yang diinginkanoleh para pihak sepanjang
sesuai dengan prinsip syariah. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip
syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa dibidang syariah (Pasal 1 angka 12 Undang-Undang
Perbankan Syariah). Sehingga walaupun para pihak bersepakat dalam
menyelesaikan sengketa selain pada peradilan agama, misalnya melalui
musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan
di lingkungan peradilan umum tetap harus menggunakan prinsip syariah
14
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, karena penggunaan prinsip
syariah menjadi dasar kesepakatan tertulis (akad) antara bank syariah dengan
pihak yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak
yangdilakukan sesuai prinsip syariah;
Dengan adanya ketentuan tersebut, terlihat bahwa Undang-Undang a quo
justru sangat menghargai perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dalam
hal pemilihan forum penyelesaian sengketa yang ditujukan apabila pada suatu
ketika terjadi sengketa antara pihak-pihak.Asas ini adalah asas universal yang
masih diakui oleh masyarakat umum. Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam
pengaturan perbankan yang didasarkan pada prinsip syariah. Selain itu,
ketentuan a quo akan lebih mendorong masyarakat umum untuk
menggunakan jasa perbankan syariah. Hal ini dikarenakan kegiatan usaha dan
nasabah perbankan syariah tidak hanya ditujukan bagi masyarakat yang
beragama Islam, akan tetapi juga ditujukan bagi masyarakat yang bukan
beragama Islam, sehingga dibukalah penyelesaian sengketa di luar peradilan
agama dengan ketentuan tetap sesuai dengan prinsip syariah. Berdasarkan
penjelasan tersebut, menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat
(3) Undang-Undang Perbankan Syariah dimaksudkan untuk memberikan
pilihan-pilihan sarana penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah dengan
tetap menerapkan rambu-rambu sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah. Sehingga hal demikian telah memberikan kepastian hukum dan tidak
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada Yang Terhormat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
yang memeriksa dan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat memberikan putusan
sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum;
2. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat
diterima;
3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
15
4. Menyatakan Ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tidak bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan
Rakyat telah memberikan keterangan dalam persidangan pada tanggal 28
November 2012, sebagai berikut:
Bahwa terhadap kedudukan hukum Pemohon, DPR berpandangan bahwa
Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohon
sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya
dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang
dimohonkan untuk diuji;
Terhadap kedudukan hukum tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada
Ketua MajelisHakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, untuk mempertimbangkan
dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak,
sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007;
Bahwa ketentuan Bab 9 tentang Penyelesaian Sengketa, Pasal 55 Undang-
Undang a quo mengatur penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada
perbankan syariah akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan peradilan
agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui
musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di
lingkungan peradilan umum sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak
dengan tetap berpegang kepada prinsip syariah. Pasal 55 Undang-Undang a quo
dan penjelasannya yang selengkapnya berbunyi sebagaiberikut1) Penyelesaian
sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama, 2) Dalam hal pihak telah memperjanjikan penyelesaian
sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi akad, 3) Penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah;
16
Dalam penjelasan ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad adalah upaya sebagai berikut:
a. musyawarah, b. mediasi perbankan,c. melalui badan arbitrase syariah nasional
atau lembaga arbitrase lain dan/atau, d. melalui pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum;
Bahwa Pasal 55 Undang-Undang Perbankan Syariah telah memberikan alternatif
penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan di lingkungan peradilan agama,
baik jalur non pengadilan maupun melalui pengadilan di peradilan umum;
Bahwa secara prinsip penegakan hukum penyelesaian sengketa hanya dilakukan
oleh kekuasaan kehakiman yang dilembagakan secara konstitusional yang lazim
disebut badan yudikatif. Dengan demikian, yang berwenang memeriksa dan
mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan
kehakiman berpuncak di Mahkamah Agung, dalam hal ini ditunjuk dalam Undang-
Undang a quo adalah peradilan agama. Ketentuan ini telah pula disinkronisasikan
dengan ketentuan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama
yang menyebutkan adanya perluasan kewenangan peradilan agama untuk
menangani, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang
ekonomi syariah, termasuk di dalamnya perbankan syariah.Peradilan agama
merupakan salah satu badan peradilan, pelaku kekuasaan kehakiman untuk
menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan
perkara tertentu, antara lain orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak,sedekah, dan ekonomi
syariah;
Bahwa selain melalui jalur pengadilan, penyelesaian sengketa diluar jalur
pengadilan merupakan usaha sebelum menempuh jalur pengadilan. Pengaturan
terhadap sengketa keperdataan yang dimungkinkan terjadi antar nasabah dan
bank syariah,dalam Undang-Undang a quo memberikan alternatif penyelesaian
sengketa, mengingat penyelesaian sengketa merupakan masalah keperdataan
antara para pihak yang dapat diselesaikan sesuai dengan kesepakatan yang
telah diperjanjikan para pihak di dalam akad atau perjanjian. Hal ini sejalan
dengan asas hukum perdata tentang kebebasan berkontrak yang disimpulkan
dalam ketentuan Pasal 1338 ayat(1) KUHPer yang menyatakan bahwa semua
kontrak perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
17
mereka yang membuatnya. Dalam hukum syariah dikenal asas di bidang
muamalah, yakni adanya asas al-sufiah, al-muamalah,al-ibahah. Bahwa dasar
hukum dalam bidang muamalah atauhubungan antara orang perorangan adalah
mubah atau boleh. Namun demikian, alternatif penyelesaian sengketa yang
diperjanjikan dalam akad tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip
syariah;
Bahwa meskipun dibuka kemungkinan alternatif penyelesaian sengketa selain
melalui lembaga pengadilan di lingkungan peradilan agama, namun penggunaan
penyelesaian sengketa yang diperjanjikan dalam akad antara para pihak, dalam
hal ini ketentuan ayat (2) Pasal 5 Undang-Undang Perbankan Syariah, baik
melalui musyawarah, mediasi, arbitrase, maupun lewat pengadilan di lingkungan
peradilan umum, wajib berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Hal ini
dinyatakan dengan jelas pada Pasal 55 ayat (3) Undang-Undang a quo yang
menyatakan, “Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
boleh bertentangan dengan prinsip syariah, sehingga kepastian hukum tetap
dapat terjamin bagi para pihak.”;
Bahwa dibukanya kemungkinan para pihak untuk memilih pengadilan di bawah
peradilan umum. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang a quo antara lain
mengingat nasabah bank syariah pada hakikatnya tidaklah selalu orang
perorangan yang beragama Islam. Berdasarkan Pasal 1 angka 16, “Nasabah
adalah pihak yang menggunakan jasa bank syariah dan/atau unit usaha syariah.”
Tidak ada pembatasan terkait agama, kepercayaan, bagi nasabah bank syariah
untuk menggunakan jasa bank syariah sepanjang yang bersangkutan bersedia
tunduk pada ketentuan-ketentuan dan prinsip syariah dalam pelaksanaan akad
antara nasabah dan bank syariah termasuk dalam hal terjadinya sengketa. Maka,
proses penyelesaian sengketa (meskipun bukan lewat jalur peradilan umum)
harus tetap sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah;
Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian
sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum, juga terbuka
kemungkinan diajukan melalui jalur nonperadilan seperti arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Pengadilan agama, pengadilan agama bertugas dan berwenang
18
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama, antara
orang-orang yang beragama Islam. Di antaranya di bidang ekonomi syariah,
termasuk perbankan syariah. Pada praktiknya, dalam proses berperkara di
pengadilan agama pun tidak dinafikkan adanya pilihan dalam hal perkara
sengketa keperdataan, terkait dengan proses perkara di lingkungan peradilan
umum, bahkan pengadilan agama menghormati keputusan pengadilan tersebut.
Hal ini tergambar dalam ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 yang berbunyi, ayat (1),“Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau
sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus
mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum.” Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan pula
bahwa apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain
tersebut bukan menjadi subjek bersengketa di pengadilan agama,sengketa di
pengadilan agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke
pengadilan di lingkungan peradilan umum. Penangguhan dimaksud hanya
dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan
agama bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap objek
sengketa yang sama dengan sengketa dipengadilan agama. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya pilihan hukum dalam proses penyelesaian sengketa adalah
dimungkinkan dan tidak mengurangi kepastian hukum bagi para pihak;
Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis sebagaimana
diuraikan di atas terkait dengan pengujian materi ketentuan Pasal 55 Undang-
Undang a quo dipandang perlu melihat latar belakang perumusan Pasal 55
Undang-Undang a quo dalam risalah rapat pembahasan RUU a quo yang akan
disampaikan kemudian;
Demikian keterangan DPR di sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi
Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan
mengadili perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut.
1. Menerima keterangan DPR secara keseluruhan;
2. Menyatakan Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945;
3. Menyatakan Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
19
[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Mahkamah telah
memanggil ahli DR. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec., yang telah memberikan
keterangan dalam persidangan tanggal 29 Januari 2013, sebagai berikut:
Bahwa dalam perbankan syariah mengenal ada beberapa jenis pembiayaan,
pertama, ada yang disebut dengan pembiayaan yang berdasarkan kepada jual
beli, yaitu bank membelikan terlebih dahulu kebutuhan Pemohon, kemudian
setelah dibelikan oleh bank, lalu dijual kembali kepada Pemohon dengan
margin. Misalnya, Tuan A membutuhkan satu kendaraan, dengan harga
Rp200.000.000,00 maka dibeli oleh bank dari dealer, misalnya dengan harga
Rp200.000.000,00 kemudian sesuai dengan kapasitas dan kemampuan bayar si
nasabah dijual kembali kepada nasabah dengan harga Rp300.000.000,00 untuk
periode yang disepakati, misalnya 60 bulan. Maka, selama 60 bulan, nasabah
mencicil dan sebelum lunas, kendaraan itu masih dijaminkan kepada bank;
Pembiayaan yang kedua disebut dengan pembiayaan murabahah dan ada juga
pembiayaan-pembiayaan yang hampir mirip yang disebut dengan Bai Al-
Istishna, yaitu order untuk membuatkan, kemudian dijual kembali. Jenis
pembiayaan yang kedua adalah bagi hasil. Bagi hasil ini ada beberapa jenis,
tetapi yang paling umum disebut dengan Al-Mudharabah dan Al-Musyarakah.
Yang dimaksud dengan Al-Mudharabah adalah seluruh dana, seluruh
pembiayaan dari bank, sementara nasabah menyediakan project. Seluruh dana
dari bank dan nasabah memberikan project, nasabah menjalankan project
tersebut, kemudian bank melihat potensi profitnya dan atas dasar kesepakatan,
disepakatilah berapa porsi untuk bank dan berapa porsi untuk nasabah;
Jenis yang kedua adalah Al-Musyarakah atau dalam bahasa Indonesia disebut
dengan syirkah, yaitu dananya sebagian dari bank dan sebagian dari nasabah.
Jadi, jika mudharabah itu 100% dari bank, sementara dalam musyarakah,
sebagian dana atau aset dikontribusikan oleh nasabah. Adapun dari hasil
pembagian keuntungan biasanya disepakati sesuai dengan kesepakatan,
karena dari satu project ke project yang lain biasanya berbeda, yang
disesuaikan dengan tingkat marketability, tingkat kompetensi, dan tingkat
industri yang ada, dan tiap-tiap nasabah memiliki kompetensi yang berbeda. Itu
yang disebut dengan pembiayaan musyarakah, sebagian dari bank, sebagian
dari nasabah dan profit disepakati bersama.
20
Yang ketiga, ada yang disebut dengan pembiayaan yang berdasarkan sewa
atau yang disebut dengan ijarah. Ini biasanya bank membeli dahulu keperluan
sesuai dengan keperluan nasabah menjadi milik bank, kemudian Bank
menyewakan kepada nasabahnya. Dalam perkembangannya ada beberapa
bentuk dari sewa menyewa ini yang biasanya ada bentuk yang disebut dengan
ijarah muntahiya bittamlik atau sewa menyewa yang diakhiri dengan purchase
option di akhir masa penyewaan dan ada beberapa bentuk yang lain, tapi ahli
ingin menambahkan khusus untuk pembiayaan bagi hasil, memang
nomenklaturnya ada sedikit berbeda dengan jual beli, di mana dalam jual beli
unsur yang berutang dan yang berpiutang sangat jelas, tetapi dalam bagi hasil
ada unsur kemitraan. Mungkin ini yang menjadi daya tarik dari Pemohon
mengapa datang ke Bank Syariah;
Bagaimana dengan jaminan dalam pembiayaan bagi hasil ini?, Bank Indonesia
memperkenankan bank mengambil jaminan untuk bagi hasil dengan catatan
hanya boleh dieksekusi jikalau nasabah ingkar janji atau terjadi wanprestasi.
Dengan catatan, nasabah terjadi wanprestasi. Apa yang dimaksud dengan
wanprestasi? Biasanya antara bank dengan nasabah mencantumkan satu, dua,
tiga condition-nya dan jika kondisi satu, dua, tiga ini sudah terpenuhi, bank baru
melakukan pemanggilan, baru melakukan proses ke pengadilan atau proses ke
Basyarnas. Biasanya selama proses ini berjalan dengan baik dan biasanya
diselesaikan dengan baik di antara mereka;
Bahwa terkait dengan dispute settlement option, sebelum tahun 2006, dispute
settlement option yang terjadi antara perbankan syariah dengan nasabah
memang hampir seluruhnya hanya satu, yaitu Badan Arbitrase Syariah
Nasional, disebut dengan Basyarnas. Biasanya dalam perjanjian antara bank
dengan nasabahnya dicantumkanlah arbitration clause. Bank sebagai pihak
pertama, nasabah sebagai pihak kedua, keduanya sepakat untuk menunjuk
Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai pemutus konflik atau dispute di
antara kedua belah pihak. Biasanya apapun putusan dari Basyarnas ini bersifat
final and binding, bersifat mengikat dan tidak bisa ada upaya hukum
lanjutan.Setelah 2006, kemudian ada Undang-Undang Perbankan Syariah
memberikan opsi kepada keuangan dan perbankan syariah untuk memilih
apakah akan ke Basyarnas saja atau akan ke pengadilanagama? Di sana
diberikan dua opsi, ahli melihat dalam kasus ini memang ada satu masalah
21
utama dan yang kedua ada masalah turunannya. Masalah utamanya seperti
yang tadi disampaikan oleh Pemohon, selaku kontraktor Benua Engineering
Construction ada permasalah dari Bohir yang memberikan pekerjaan kepada
nasabah, yang kemudian terjadi pembayaran yang tidak sesuai dari harapan,
sehingga mungkin hal ini dilihat oleh bank sebagai suatu nasabah yang tidak
memenuhi cicilannya;
Bahwa catatan ahli yang mendasar, adalah memang mungkin ada suatu
penafsiran dari pihak lembaga keuangan terhadap Pasal 55 di Undang-Undang
Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008 di Pasal 55 ayat (1) : “ Penyelesaian
sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama”. Ayat (2) “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan
penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad”. Bahwa dalam
penjelasan Pasal 55 sebagai berikut, ayat (1) cukup jelas dan ayat (2) yang
dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad
adalah upaya sebagai berikut : a. Musyawarah, b. Mediasi perbankan, c. Melalui
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), d. Atau lembaga arbitrase lain
dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum;
Bahwa menurut ahli, boleh jadi lembaga keuangan dimaksud mengambil opsi
yang (d) ini, sehingga nasabah di awal menganggap ini ada Basyarnas,
sementara lembaga keuangan yang bersangkutan mengambil opsi (d)ini. Jadi,
di sinilah mungkin yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi ini, apakah ini tidak
menjadikan satu conflict of dispute settlement karena mungkin ada 2 atau
bahkan 3 pemutus konflik di sini, satu Basyarnas, kedua peradilan agama, yang
ketiga peradilan umum;
Bahwa dalam pengamatan ahli, ini bukan kasus yang pertama, tetapi ini sudah
belasan kali, jikalau tidak puluhan kali terjadi, tapi ahli tidak tahu apakah dibawa
ke sini atau tidak. Misalnya, ada di Bank Muamalat di Bandung, di mana waktu
itu yang dimenangkan oleh Basyarnas adalah nasabah. Sementara bank yang
dimenangkan oleh Basyarnas adalah bank, sementara nasabah mendatangi
pengadilan umum negeri. Putusan Pengadilan Umum Negeri memenangkan
nasabah, terjadilah dispute. Dalam kasus Bank Syariah Mandiri, ada yang
dibawa juga ke Basyarnas yang dimenangkannya adalah nasabah, kemudian
22
Bank Syariah Mandiri melakukan upaya hukum lain. Jadi, terjadi juga dispute
dalam hal tersebut;
Bahwa menurut ahli, untuk menghilangkan dispute ada dua langkah,
pertama,ketika terjadi perjanjian antara nasabah dengan lembaga keuangan
syariah harus dijelaskan betul bahwa opsi dispute settlement dan ketika opsi
dispute settlement sudah ditetapkan, misalnya, Badan Arbitrase Syariah
Nasional, maka pihak pertama dan pihak kedua sepakat menjadikan Basyarnas
sebagai one and the only dispute settlement body dan apa pun putusannya
bersifat final and binding dan tidak boleh ada upaya hukum lainnya. Apabila ada
upaya hukum lainnya setelah itu, maka batal demi hukum. Yang kedua,
seandainya akan dipilih adalah pengadilan agama, maka keduanya juga
menyepakatinya sesuai dengan aturan yang berlaku dan supaya tidak terjadi
dispute, menurut ahli, jikalau masih dibuka peluang untuk pergi ke pengadilan
umum, akan membuat konflik antara peradilan agama dan peradilan umum.
Sehingga, menurut ahli akan lebih baik mencabut poin (d) karena menurut ahli
menghilangkan pintu ketiga untuk pergi ke peradilan umum, tetapi hanya
Basyarnas saja dan/atau hanya peradilan di lingkungan Peradilan Agama saja
sehingga dengan demikian sudah menjadi clear dan tidak terulang masalah ini
di kemudian hari.
[2.6] Menimbang bahwa Pemohon dan Pemerintah telah menyampaikan
kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah masing-masing pada
tanggal 5 Februari 2013, yang pada pokoknya masing-masing pihak tetap pada
pendiriannya;
[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa isu hukum utama permohonan Pemohon adalah
mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
23
Indonesia Nomor 4867, selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah) terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945);
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan
terlebih dahulu hal-hal berikut:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076),
salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama
danterakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap UUD 1945;
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon mengenai
pengujian materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka Mahkamah
berwenang mengadili permohonan a quo;
Kedudukan hukum (legal standing)Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap
UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
24
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian, yaitu:
a. peroranganwarga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal
20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7] Menimbang bahwa dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak
dapat diterima sebagai Pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945, menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, orang atau
pihak dimaksud haruslah:
a. menjelaskan kualifikasinya, yaitu apakah sebagai perorangan warga negara
Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga
negara;
25
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi
sebagaimana dimaksud pada huruf a, sebagai akibat diberlakukannya Undang-
Undang yang dimohonkan pengujian;
[3.8] Menimbang bahwa Pemohon adalah perseorangan warga negara
Indonesia yang merupakan nasabah Bank Mualamat Cabang Bogor yang telah
melakukan akad dengan Bank Mualamat dan merasa dirugikan hak
konstitusionalnya, karena berlakunya Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan
Syariah;
Bahwa Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk
memperoleh perlindungan dan kepastian hukum, serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Secara konkret kerugian tersebut diakibatkan Pemohon sebagai nasabah dari
Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Cabang Bogor yang telah melakukan ikatan
berupa akad sebagaimana Akta Notaris Nomor 34 bertanggal 9 Juli 2009 dan telah
diperbaharui dengan akad pembiayaan Al-Musyarakah (tentang perpanjangan
jangka waktu dan perubahan jaminan) Nomor 14 bertanggal 8 Maret 2010, yang
kemudian terjadi sengketa dengan Bank Mualamat, tetapi proses penyelesaian
sengketa tersebut tidak secara tegas menentukan peradilan yang ditunjuk untuk
menyelesaikan sengketa tersebut.
Bahwa dengan adanya kebebasan untuk memilih, menurut Pemohon
telah menimbulkan berbagai penafsiran khususnya berkaitan dengan apakah
peradilan yang dipilih atau yang diperjanjikan oleh masing-masing pihak
sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah
telah memenuhi prinsip syariah seperti yang diisyaratkan oleh Pasal 55 ayat (3)
UU Perbankan Syariah. Hal tersebut menurut Pemohon telah menimbulkan
adanya ketidakpastian hukum, karena dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang
a quo mengatur secara tegas bahwa jika terjadi perselisihan maka harus
dilaksanakan di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama;
[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil Pemohon tersebut, menurut
Mahkamah, Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing)
sehingga Pemohon dapat mengajukan permohonan a quo;
26
[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;
Pokok Permohonan
[3.11] Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya memohon pengujian Pasal
55 ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah terhadap UUD 1945, yang masing-
masing menyatakan:
Pasal 55 ayat (2) : “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian
sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi Akad”.
Pasal 55 ayat (3) :“Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah”.
Adapun pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian adalah:
Pasal 28D ayat (1) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
[3.12] Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya mengajukan alasan-alasan
sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon Undang-Undang a quo tidak secara tegas
menentukan peradilan mana yang harus dipakai bila terjadi sengketa
perbankan syariah karena dengan adanya kebebasan untuk memilih
sebagaimana tercantum dalam pasal a quo telah menimbulkan berbagai
penafsiran terkait peradilan yang dipilih atau yang diperjanjikan oleh masing-
masing pihak sehingga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum,
sedangkan Pasal 55 ayat (1) yang secara tegas mengatur jika terjadi
perselisihan harus dilaksanakan di pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama;
Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 secara tegas mengatur adanya kepastian
hukum dan keadilan, sedangkan menurut Pemohon Pasal 55 ayat (1) dengan
Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) sangat kontradiktif karena norma yang satu
secara tegas menyebutkan peradilan yang ditunjuk untuk menyelesaikan
sengketa perbankan syariah sedangkan norma yang lainnya justru
27
membebaskan untuk memilih. Adanya kontradiksi tersebut menurut Pemohon
pada akhirnya dapat menimbulkan penafsiran tersendiri sehingga menimbulkan
adanya ketidakpastian hukum;
Bahwa menurut Pemohon akibat adanya pasal a quo telah menyebabkan
Pemohon yang merupakan nasabah Bank Mualamat mengalami kerugian
konstitusional karena tidak adanya kepastian hukum dalam penyelesaian
sengketa Perbankan Syariah.
[3.13] Menimbangbahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah
mengajukan alat bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P-8, serta dua ahli yaitu DR. Ija Suntana dan Prof. DR. H. DediIsmatullah, SH., serta saksi Muhammad Ikbal yang memberi keterangan di
bawah sumpah dalam persidangan, yang selengkapnya termuat dalam bagian
Duduk Perkara, pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Ahli : Dr. Ija Suntana
Bahwa pasal a quo dalam istilah hukum Islam akan menimbulkan yang disebut
dengan ta’arudh al-adillah, pertentangan dua aturan ketika ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang a quo masih tetap ada. Menurut ahli, Pasal 2 dan 3 Undang-
Undang a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) sehingga menimbulkan
adanya ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945;
Adanya pilihan forum untuk penyelesaian perkara, dan juga diberikannya
kebebasan untuk memilih dan tidak ditunjuk langsung oleh Undang-Undang, hal
tersebut akan menimbulkan chaos sebelum atau dalam praktik akad. Sebab
mungkin saja ketika seseorang mau menandatangani akad di Bank Syariah,
sementara pihak bank menginginkan penyelesaian sengketa di pengadilan
negeri, sedangkan nasabah menginginkan diselesaikan di pengadilan agama, hal
tersebut akan menimbulkan masalah dalam akad tersebut;
Menurut ahli ketika diberikan kesempatan choice of forum adalah membahayakan
apabila ada ungkapan bahwa orang yang masuk ke Bank Syariah bukan orang
muslim saja, tetapi ada non muslim. Dalam teori hukum ketika orang non muslim
masuk kepada peradilan atau perbankan syariah, dia telah melakukan choice of
law (telah memilih hukum). Ketika dia telah memilih hukum, maka secara
28
langsung dia siap dan ikut diatur dengan aturan dan asas yang ada di lembaga
yang dia masuki, yaitu hal-hal yang terkait dengan syariah dan ketika bank
syariah menerapkan aturan-aturan syariah, maka ketika non muslim masuk ke
dalam bank syariah telah menyiapkan diri dan siap juga menerima terhadap
aturan yang diterapkan oleh bank syariah, sehingga dari urusan asas, aturan, dan
sampai penyelesaian sengketanya harus disesuaikan dengan syariah. Oleh
sebab itu, dikatakan bahwa non muslim yang telah masuk ke dalam bank syariah
telah melakukan choice of law karena ada bank konvensional yang dapat dipilih,
karena di bank syariah telah dijelaskan secara nyata bahwa aturan dan asas
yang telah dilaksanakan mulai akad sampai penyelesaian sengketa sesuai
dengan aturan syariah;
Ahli : Prof. DR. H. Dedi Ismatullah, SH.
Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum yang
di dalamnya ada dua pengertian yaitu supreme of law dan equality before the law.
Penafsiran terhadap supreme of law yaitu salah satunya adalah kepastian hukum,
rechtstaat adalah kepastian hukum, maka dengan diberikannya pilihan hukum
bagi orang yang masuk di peradilan, akan menimbulkan confuse atau
kebingungan hukum. Oleh karena itulah, maka ahli melihat Pasal 55 ayat (2) dan
ayat (3) tidak rasional, sebab bertentangan dengan ayat (1). Salah satunya
adalah dilaksanakan peradilan di peradilan agama tetapi diberikan pilihan di
peradilan yang lain. Hal tersebut juga akan bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Kompetensi Peradilan Agama.
Kompetensi peradilan agama adalah merupakan kepastian hukum bagi orang
yang ingin berperkara di dalam masalah bank ekonomi Islam;
Menurut ahli melaksanakan ekonomi syariah di peradilan agama adalah
merupakan bentuk daripada implementasi Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, maka
negara mempunyai kewajiban melindungi hak-hak hukum bagi setiap warga
negaranya. Selain itu, Pasal 28 ayat (1) UUD 1945, sudah jelas tentang kepastian
hukum, yaitu setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Menurut ahli, bahwa equality before the law adalah samanya kedudukan antara
pengadilan agama dan pengadilan negeri, tetapi oleh karena pengadilan agama
telah dijustifikasi oleh Undang-Undang tersendiri, sehingga ini adalah merupakan
kompetensi absolut bagi peradilan agama;
29
Saksi : Muhammad Ikbal
Bahwa menurut saksi, seharusnya prosedur yang sebenarnya tidak pernah
ditempuh oleh Bank Muamalat, seperti penyelesaian melalui arbitrase syariah
atau pun penyelesaian perkara perbankan syariah yang seharusnya dilakukan
dalam lingkungan peradilan yang secara substantif membidangi hal-hal yang
terkait dengan nilai-nilai syariat Islam;
Bahwa dalam penyelesian sengketa tersebut, musyawarah-musyawarah yang
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah tidak diterapkan oleh Bank Muamalat dan
justru yang dilakukan oleh Bank Muamalat langsung mengajukan permohonan
unnmanning dan eksekusi ke Pengadilan Negeri Bogor;
Bahwa menurut saksi, seharusnya untuk menyelesaikan permasalahan ini
menggunakan Undang-Undang Perbankan Syariah yang berlaku dan
berdasarkan hasil penjelasan dari penasihat hukum ada ketidakpastian hukum,
yaitu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, Pasal 55 ayat (1) yang
berbunyi, “Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama” dan pada Pasal 55 ayat (2)
berbunyi, “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi akad”, sedangkan ayat (3) berbunyi, “Penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip
syariah”;
[3.14] Menimbang terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah telah
menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 28 November
2012, yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Kegiatan usaha perbankan syariah diwujudkan dalam akad-akad yang dibuatnya,
baik itu dalam bentuk musyarakah, mudarabah, atau bentuk-bentuk lain.
Tindakan membuat akad tersebut termasuk dalam klasifikasi muamalah. Kaidah
dasar untuk muamalah perdata adalah segala sesuatu boleh kecuali yang jelas-
jelas diharamkan. Muamalah dalam bahasa hukum konvensional dikenal dengan
istilah perdata atau privat. Dalam kaidah fikih disebut, pada dasarnya semua
bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Dengan demikian, dalam bermuamalah prinsipnya adalah segala sesuatu
30
diperbolehkan sepanjang tidak melanggar ketentuan syariah. Jika kemudian
timbul sengketa terhadap akad bank syariah tersebut karena termasuk ke dalam
kaidah syariah muamalah, maka para pihak dibebaskan untuk menyelesaikannya
dengan cara yang menurut para pihak sepanjang tidak melanggar ketentuan
yang telah dilarang oleh syariah;
Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa pada perbankan syariah merupakan
bagian dari asas kebebasan berkontrak. Hal tersebut juga sejalan dengan syariah
Islam yang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk melakukan akad
sesuai dengan yang diinginkan oleh para pihak sepanjang sesuai dengan prinsip
syariah. Adapun yang dimaksud dengan prinsip syariah adalah prinsip hukum
Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah
(Pasal 1 angka 12 Undang-Undang PerbankanSyariah). Sehingga walaupun para
pihak bersepakat dalam menyelesaikan sengketa selain pada peradilan agama,
misalnya melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau
melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum tetap harus menggunakan
prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, karena
penggunaan prinsip syariah menjadi dasar kesepakatan tertulis (akad) antara
bank syariah dengan pihak yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi
masing-masing pihak yang dilakukan sesuai dengan prinsip syariah;
Dengan adanya ketentuan tersebut, terlihat bahwa Undang-Undang a quo justru
sangat menghargai perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dalam hal
pemilihan forum penyelesaian sengketa yang ditujukan apabila pada suatu ketika
terjadi sengketa antara pihak-pihak. Asas ini adalah asas universal yang masih
diakui oleh masyarakat umum. Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan
perbankan yang didasarkan pada prinsip syariah. Selain itu, ketentuan a quo
akan lebih mendorong masyarakat umum untuk menggunakan jasa perbankan
syariah. Hal ini dikarenakan kegiatan usaha dan nasabah perbankan syariah tidak
hanya ditujukan bagi masyarakat yang beragama Islam, akan tetapi juga
ditujukan bagi masyarakat yang bukan beragama Islam, sehingga dibukalah
penyelesaian sengketa di luar peradilan agama dengan ketentuan tetap sesuai
dengan prinsip syariah. Berdasarkan penjelasan tersebut, menurut Pemerintah,
ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Perbankan Syariah
dimaksudkan untuk memberikan pilihan-pilihan sarana penyelesaian sengketa
31
dalam perbankan syariah dengan tetap menerapkan rambu-rambu sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Sehingga hal demikian telah
memberikan kepastian hukum dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945;
[3.15] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan
Rakyat telah memberikan keterangan dalam persidangan pada tanggal 28
November 2012, yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, yang
pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Bahwa Pasal 55 Undang-Undang Perbankan Syariah telah memberikan alternatif
penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan di lingkungan peradilan agama,
baik jalur non pengadilan maupun melalui pengadilan di peradilan umum. Secara
prinsip penegakan hukum penyelesaian sengketa hanya dilakukan oleh
kekuasaan kehakiman yang dilembagakan secara konstitusional yang lazim
disebut badan yudikatif. Dengan demikian, yang berwenang memeriksa dan
mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan
kehakiman berpuncak di Mahkamah Agung, dalam hal ini ditunjuk dalam Undang-
Undang a quo adalah peradilan agama. Ketentuan ini telah pula disinkronisasikan
dengan ketentuan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama
yang menyebutkan adanya perluasan kewenangan peradilan agama untuk
menangani, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang
ekonomi syariah, termasuk di dalamnya perbankan syariah. Peradilan agama
merupakan salah satu badan peradilan, pelaku kekuasaan kehakiman untuk
menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan
perkara tertentu, antara lain orang-orang yang beragama Islam dibidang
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi
syariah;
Bahwa selain melalui jalur pengadilan, penyelesaian sengketa diluar jalur
pengadilan merupakan usaha sebelum menempuh jalur pengadilan. Pengaturan
terhadap sengketa keperdataan yang dimungkinkan terjadi antar nasabah dan
bank syariah, dalam Undang-Undang a quo memberikan alternatif penyelesaian
sengketa, mengingat penyelesaian sengketa merupakan masalah keperdataan
antara para pihak yang dapat diselesaikan sesuai dengan kesepakatan yang
32
telah diperjanjikan para pihak di dalam akad atau perjanjian. Hal ini sejalan
dengan asas hukum perdata tentang kebebasan berkontrak yang disimpulkan
dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa
semua kontrak perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-
Undang bagi mereka yang membuatnya. Dalam hukum syariah dikenal asas di
bidang muamalah, yakni adanya asas al-sufiah, al-muamalah,al-ibahah. Bahwa
dasar hukum dalam bidang muamalah atauhubungan antara orang perorangan
adalah mubah atau boleh. Namun demikian, alternatif penyelesaian sengketa
yang diperjanjikan dalam akad tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip
syariah;
Bahwa meskipun dibuka kemungkinan alternatif penyelesaian sengketa selain
melalui lembaga pengadilan di lingkungan peradilan agama, namun penggunaan
penyelesaian sengketa yang diperjanjikan dalam akad antara para pihak, dalam
hal ini ketentuan ayat (2) Pasal 55 Undang-Undang Perbankan Syariah, baik
melalui musyawarah, mediasi, arbitrase, maupun lewat pengadilan di lingkungan
peradilan umum, wajib berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Hal ini
dinyatakan dengan jelas dalam Pasal 55 ayat (3) Undang-Undang a quo yang
menyatakan, “Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
boleh bertentangan dengan prinsip syariah”, sehingga kepastian hukum tetap
dapat terjamin bagi para pihak;
Bahwa dibukanya kemungkinan para pihak untuk memilih pengadilan di bawah
peradilan umum. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang a quo antara lain
mengingat nasabah bank syariah pada hakikatnya tidaklah selalu orang
perorangan yang beragama Islam. Berdasarkan Pasal 1 angka 16, “Nasabah
adalah pihak yang menggunakan jasa bank syariah dan/atau unit usaha syariah.”
Tidak ada pembatasan terkait agama. kepercayaan, bagi nasabah bank syariah
untuk menggunakan jasa bank syariah sepanjang yang bersangkutan bersedia
tunduk pada ketentuan-ketentuan dan prinsip syariah dalam pelaksanaan akad
antara nasabah dan bank syariah termasuk dalam hal terjadinya sengketa. Maka,
proses penyelesaian sengketa (meskipun bukan lewat jalur peradilan umum)
harus tetap sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah;
Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian
sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum, juga terbuka
kemungkinan diajukan melalui jalur non peradilan seperti arbitrase dan alternatif
33
penyelesaian sengketa. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Pengadilan agama, pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama, antara
orang-orang yang beragama Islam. Di antaranya di bidang ekonomi syariah,
termasuk perbankan syariah. Pada praktiknya, dalam proses berperkara di
pengadilan agama pun tidak dinafikkan adanya pilihan dalam hal perkara
sengketa keperdataan, terkait dengan proses perkara di lingkungan peradilan
umum, bahkan pengadilan agama menghormati keputusan pengadilan tersebut.
Hal ini tergambar dalam ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 yang berbunyi, ayat (1), “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau
sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus
mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum.” Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan pula
bahwa apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain
tersebut bukan menjadi subjek bersengketa di pengadilan agama, sengketa di
pengadilan agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke
pengadilan di lingkungan peradilan umum. Penangguhan dimaksud hanya
dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan
agama bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap objek
sengketa yang sama dengan sengketa di pengadilan agama. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya pilihan hukum dalam proses penyelesaian sengketa
adalah dimungkinkan dan tidak mengurangi kepastian hukum bagi para pihak;
[3.16] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Mahkamah telah
memanggil ahli DR. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec., yang telah memberikan
keterangan dalam persidangan tanggal 29 Januari 2013, (keterangan
selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara) yang pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
Bahwa terkait dengan dispute settlement option, sebelum Tahun 2006, dispute
settlement option yang terjadi antara perbankan syariah dengan nasabah
memang hampir seluruhnya hanya satu, yaitu Badan Arbitrase Syariah
Nasional, disebut dengan Basyarnas. Biasanya dalam perjanjian antara bank
34
dengan nasabahnya dicantumkanlah arbitration clause. Bank sebagai pihak
pertama, nasabah sebagai pihak kedua, keduanya sepakat untuk menunjuk
Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai pemutus konflik atau dispute di
antara kedua belah pihak. Biasanya apapun putusan dari Basyarnas ini bersifat
final and binding, bersifat mengikat dan tidak boleh ada upaya hukum lanjutan.
Setelah 2006, kemudian ada Undang-Undang Perbankan Syariah memberikan
opsi kepada keuangan dan perbankan syariah untuk memilih apakah akan ke
Basyarnas saja atau akan ke pengadilan agama? Di sana diberikan dua opsi,
ahli melihat dalam kasus ini memang ada satu masalah utama dan yang kedua
ada masalah turunannya. Masalah utamanya seperti yang tadi disampaikan
oleh Pemohon, selaku kontraktor Benua Engineering Construction ada
permasalah dari Bohir yang memberikan pekerjaan kepada nasabah, yang
kemudian terjadi pembayaran yang tidak sesuai dari harapan, sehingga
mungkin hal ini dilihat oleh bank sebagai suatu nasabah yang tidak memenuhi
cicilannya;
Bahwa catatan ahli yang mendasar, adalah memang ada suatu penafsiran dari
pihak lembaga keuangan terhadap Pasal 55 di Undang-Undang Perbankan
Syariah Nomor 21 Tahun 2008 di Pasal 55 ayat (1) : “ Penyelesaian sengketa
perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama”. Ayat (2) “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian
sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi akad”. Bahwa dalam penjelasan Pasal 55 sebagai
berikut, ayat (1) cukup jelas dan ayat (2) yang dimaksud dengan penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut : a.
Musyawarah, b. Mediasi perbankan, c. Melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas), d. Atau lembaga arbitrase lain dan/atau melalui
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum;
Bahwa menurut ahli, boleh jadi lembaga keuangan dimaksud mengambil opsi
yang (d) ini, sehingga nasabah di awal menganggap ini ada Basyarnas,
sementara lembaga keuangan yang bersangkutan mengambil opsi (d) ini. Jadi,
di sinilah mungkin yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi ini, apakah ini tidak
menjadikan satu conflict of dispute settlement karena mungkin ada 2 atau
bahkan 3 pemutus konflik di sini, satu Basyarnas, kedua peradilan agama, yang
ketiga peradilan umum;
35
Bahwa dalam pengamatan ahli, ini bukan kasus yang pertama, tetapi ini sudah
belasan kali, jikalau tidak puluhan kali terjadi. Selain itu menurut ahli, untuk
menghilangkan dispute ada dua langkah, pertama, ketika terjadi perjanjian
antara nasabah dengan lembaga keuangan syariah harus dijelaskan betul
bahwa apa opsi dispute settlement dan ketika opsi dispute settlement sudah
ditetapkan, misalnya, Badan Arbitrase Syariah Nasional, maka pihak pertama
dan pihak kedua sepakat menjadikan Basyarnas sebagai one and the only
dispute settlement body dan apa pun putusannya bersifat final and binding dan
tidak boleh ada upaya hukum lainnya. Apabila ada upaya hukum lainnya setelah
itu, maka batal demi hukum. Kedua, seandainya yang akan dipilih adalah
pengadilan agama, maka keduanya juga menyepakatinya sesuai dengan aturan
yang berlaku dan supaya tidak terjadi dispute, menurut ahli, jikalau masih
dibuka peluang untuk pergi ke pengadilan umum, akan membuat konflik antara
peradilan agama dan peradilan umum. Sehingga, menurut ahli akan lebih baik
mencabut poin (d) karena menurut ahli menghilangkan pintu ketiga untuk pergi
ke peradilan umum, tetapi hanya Basyarnas saja dan/atau hanya peradilan di
lingkungan Peradilan Agama saja sehingga dengan demikian sudah menjadi
clear dan tidak terulang masalah ini di kemudian hari.
Pendapat Mahkamah
[3.17] Menimbang bahwa isu konstitusional dalam permohonan a quo
adalah apakah Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah mengandung
ketidakpastian hukum yang menciderai hak-hak konstitusional Pemohon untuk
mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana tercantum dalam Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 dan apakah adanya pilihan forum hukum untuk
menyelesaikan sengketa sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
UU Perbankan Syariah, yaitu: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain;
dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, juga
menimbulkan adanya ketidakpastian hukum yang menciderai hak-hak
konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945?
36
[3.18] Menimbang bahwa terhadap isu konstitusional tersebut Mahkamah
terlebih dahulu perlu mengutip Penjelasan Umum dalam Undang-Undang a quo
yang menyatakan tentang adanya pilihan forum untuk menyelesaikan sengketa
yang berkaitan dengan Perbankan Syariah, yaitu: “...penyelesaian sengketa yang
mungkin timbul pada perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di
lingkungan Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan
penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga
arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang
disepakati di dalam Akad oleh para pihak.”
[3.19] Menimbang bahwa timbulnya sengketa dalam perbankan syariah yang
terjadi antara nasabah dan Unit Usaha Syariah, disebabkan adanya salah satu
pihak yang merasa tidak puas atau merasa dirugikan. Pada prinsipnya pihak-pihak
yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan
penyelesaian sengketa yang dikehendaki sesuai dengan prinsip syariah yaitu
prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syariah;
Unit Usaha Syariah dalam perbankan syariah sebelum menyalurkan
pembiayaan dari Bank Syariah ke nasabah diwajibkan untuk membuat
kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain
yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai
dengan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut akad;
Proses penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah sebagaimana
diatur dalam Pasal 55 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah telah
memberikan tugas dan kewenangan kepada pengadilan di lingkungan peradilan
agama. Hal tersebut juga diatur lebih lanjut dalam Pasal 49 huruf (i) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dimana penyelesaian
sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di
bidang ekonomi syari'ah lainnya;
[3.20] Menimbang bahwa secara sistematis, pilihan forum hukum untuk
penyelesaian sengketa sesuai dengan akad adalah pilihan kedua bilamana para
37
pihak tidak bersepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan agama.
Dengan demikian pilihan forum hukum untuk menyelesaikan sengketa perbankan
syariah harus tertera secara jelas dalam akad (perjanjian). Para pihak harus
bersepakat untuk memilih salah satu forum hukum dalam penyelesaian sengketa
bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikannya melalui pengadilan agama.
Persoalannya muncul bilamana dalam akad tidak tertera secara jelas forum hukum
yang dipilih;
Persoalan tidak jelasnya pilihan forum hukum tidak hanya dialami oleh
Pemohon, tetapi terdapat beberapa kasus serupa yang terjadi, hingga akhirnya
timbul konflik hukum dan terdapat beberapa putusan pada tingkat arbitrase atau
pengadilan yang mengadili perkara yang sama. Akad (perjanjian) merupakan
Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya sebagaimana ketentuan Pasal
1338 KUH Perdata, namun suatu akad tidak boleh bertentangan dengan Undang-
Undang, terlebih lagi Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kekuasaan
mutlak bagi suatu badan peradilan yang mengikat para pihak yang melakukan
perjanjian. Oleh sebab itu, kejelasan dalam penyusunan perjanjian merupakan
suatu keharusan. Para pihak seharusnya secara jelas menyebutkan salah satu
forum hukum yang dipilih bilamana terjadi sengketa. Pada dasarnya, Undang-
Undang telah mengatur secara normatif dengan memberikan contoh forum hukum
yang dapat dipilih oleh para pihak yang membuat perjanjian;
[3.21] Menimbang bahwa pilihan forum hukum sebagaimana diatur dalam
Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah dalam beberapa kasus
konkret telah membuka ruang adanya pilihan forum penyelesaian yang juga telah
menimbulkan adanya persoalan konstitusionalitas yang pada akhirnya dapat
memunculkan adanya ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan kerugian
bukan hanya bagi nasabah tetapi juga pihak Unit Usaha Syariah. Adanya pilihan
penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa dalam
perbankan syariah sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU
a quo pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan
untuk mengadili oleh karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa perbankan syariah sedangkan dalam Undang-Undang
yang lain (UU Peradilan Agama) secara tegas dinyatakan bahwa peradilan agama
38
diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah
termasuk juga sengketa ekonomi syariah;
[3.22] Menimbang bahwa dengan merujuk sengketa yang dialami oleh
Pemohon dan praktik dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebagaimana
diuraikan di atas, menurut Mahkamah, hukum sudah seharusnya memberikan
kepastian bagi nasabah dan juga unit usaha syariah dalam penyelesaian sengketa
perbankan syariah. Apabila kepastian dalam penyelesaian sengketa perbankan
syariah tidak dapat diwujudkan oleh lembaga yang benar-benar kompeten
menangani sengketa perbankan syariah, maka pada akhirnya kepastian hukum
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga tidak akan pernah
terwujud;
Menurut Mahkamah, adalah hak nasabah dan juga unit usaha syariah
untuk mendapatkan kepastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945. Mahkamah menilai ketentuan Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang a quo tidak memberi kepastian hukum. Berdasarkan kenyataan
yang demikian, walaupun Mahkamah tidak mengadili perkara konkrit, telah cukup
bukti bahwa ketentuan Penjelasan pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian
hukum yang adil dan hilangnya hak konstitusional nasabah untuk mendapatkan
kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah [vide
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945] yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
konstitusi;
[3.23] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut
di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan menurut
hukum untuk sebagian;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.3] Dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;
39
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945,Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4867) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
1.2 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud, MD., selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi,
Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, dan Anwar Usman, masing-
masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal dua puluh delapan, bulan
40
Maret, tahun dua ribu tiga belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh sembilan,
bulan Agustus, tahun dua ribu tiga belas, selesai diucapkan pukul 09.41 WIB,
oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu M. Akil Mochtar, selaku Ketua merangkap
Anggota, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman,
Maria Farida Indrati, Arief Hidayat, dan Patrialis Akbar, masing-masing sebagai
Anggota, dengan didampingi oleh Hani Adhani sebagai Panitera Pengganti,
dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya dan Pemerintah atau yang mewakili, tanpa
dihadiri Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. Terhadap putusan
Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil
Sumadi memiliki alasan berbeda (concurring opinion) dan Hakim Konstitusi
Muhammad Alim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion);
KETUA,
ttd.
M. Akil Mochtar
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
tdHamdan Zoelva
ttd.
Muhammad Alim
ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Maria Farida Indrati
ttd.
Arief Hidayat
41
ttd.
Patrialis Akbar
Terhadap putusan Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Hakim
Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi memiliki alasan berbeda (concurring opinion) dan
Hakim Konstitusi Muhammad Alim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion),
sebagai berikut:
6. ALASAN BERBEDA (CONCURRING OPINION)
[6.1] Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva
Persoalan konstitusional utama yang dipermasalahkan oleh Pemohon
adalah adanya ketidakpastian hukum mengenai forum penyelesaian sengketa
perbankan syariah berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Di satu sisi Undang-
Undang Perbankan Syariah menetapkan pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama sebagai forum penyelesaian sengketa perbankan syariah. Tetapi di sisi
lain, Undang-Undang Perbankan Syariah memungkinkan penyelesaian sengketa
di luar lingkungan Peradilan Agama sesuai dengan isi akad yang diperjanjikan
para pihak, yaitu antara lain penyelesaian melalui pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
Terdapat dua aspek yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah terkait
persoalan tersebut. Pertama, kewenangan absolut pengadilan agama. Kedua,
penyelesaian sengketa perbankan syariah diluar pengadilan agama sesuai dengan
isi akad yang diperjanjikan para pihak.
Pertama, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh lingkungan peradilan di
bawah Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dibagi dan
dipisahkan berdasarkan kompetensi atau yurisdiksi (separation court system
based on jurisdiction) masing-masing badan peradilan, yaitu lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan
peradilan tata usaha negara. Pembagian empat lingkungan peradilan tersebut
menunjukan adanya pemisahan yurisdiksi antar lingkungan peradilan yang
42
menimbulkan pembagian kewenangan (kekuasaan) absolut atau atribusi
kekuasaan (attributive competentie atau attributive jurisdiction) yang berbeda-beda
dan tertentu pada tiap-tiap lingkungan peradilan. Sehingga jenis perkara tertentu
yang merupakan kewenangan satu lingkungan peradilan secara mutlak tidak dapat
diperiksa oleh pengadilan lain.
Pembagian kewenangan absolut masing-masing peradilan kemudian
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menegaskan sebagai berikut:
1. Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan [Pasal 25 ayat (2)];
2. Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [Pasal 25 ayat (3)];
3. Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan [Pasal 25 ayat (4)];
4. Peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan [Pasal 25 ayat (5)].
Pengaturan mengenai kewenangan absolut masing-masing lingkungan peradilan
juga diatur dalam Undang-Undang yang mengatur masing-masing badan
peradilan. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
Peradilan Umum bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata [vide Pasal 50 dan Pasal 51
ayat (1)]. Sementara Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara (vide Pasal 47). Adapun Peradilan Militer sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer hanya berwenang mengadili
perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI, sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata, dan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang
bersangkutan [vide Pasal 9 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)].
43
Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: a) perkawinan, b) kewarisan, wasiat dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, c) wakaf serta shadaqah. Kewenangan
Peradilan Agama tersebut diperluas berdasarkan Pasal 49 huruf i Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama dengan kewenangan memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Lebih lanjut, pengaturan tentang
kewenangan absolut pengadilan agama untuk menangani perkara ekonomi
syariah khususnya bidang perbankan syariah dinyatakan secara tegas dalam
Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah.
Dengan demikian kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan absolut dari
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang tidak dapat diselesaikan oleh
peradilan lain karena akan melanggar prinsip yurisdiksi absolut.
Kedua, pada dasarnya upaya penyelesaian setiap sengketa perdata di bidang
perdagangan dan mengenai sengketa hak keperdataan dimungkinkan untuk
diselesaikan di luar pengadilan negara, baik melalui arbitrase maupun melalui
alternatif penyelesaian sengketa [vide Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa]. Hal itu dapat
dilakukan melalui perjanjian atau kesepakatan/akad tertulis yang disepakati para
pihak, baik sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) maupun
setelah terjadinya sengketa dimaksud (akta kompromi) sesuai dengan prinsip
pacta sunt servanda. Akad atau perjanjian tersebut merupakan hukum yang
mengikat bagi para pihak yang melakukan akad atau perjanjian tersebut (vide
Pasal 1338 KUHPerdata).
Namun demikian, perjanjian atau akad tersebut harus memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang (vide Pasal 1320 KUHPerdata).
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut ditentukan bahwa untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4.
Suatu sebab yang halal.
44
Dalam ilmu hukum, syarat pertama dan kedua digolongkan sebagai syarat
subjektif yang melekat pada diri persoon yang membuat perjanjian, yang bila tidak
terpenuhi menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable),
sementara syarat ketiga dan keempat dikategorikan sebagai syarat objektif yang
berhubungan dengan objek perjanjian, yang bila tidak terpenuhi menyebabkan
perjanjian batal demi hukum (nietig, null and void). Lebih lanjut, agar suatu
perjanjian atau akad memenuhi syarat keempat, yaitu “suatu sebab yang halal”,
maka sebab dibuatnya akad atau perjanjian tersebut harus sesuai dengan
ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Perjanjian atau akad yang tidak memenuhi
syarat tersebut menjadi batal demi hukum. Demikian halnya perjanjian atau akad
mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah harus pula memenuhi
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dengan ancaman batal demi hukum
berdasarkan Pasal 1337 KUHPerdata.
Oleh karena itu menurut saya, perjanjian atau akad yang mencantumkan
penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d
Undang-Undang Perbankan Syariah bertentangan dengan konstitusi, karena
bertentangan dengan prinsip pemisahan kewenangan absolut yang ditentukan
oleh konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945) yang ditegaskan lebih lanjut dalam
Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga dalam Pasal 49 huruf i
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Suatu akad atau perjanjian
meskipun telah disepakati para pihak tidak dapat mengenyampingkan
kewenangan absolut pengadilan yang telah ditentukan dalam Undang-Undang.
Pilihan penyelesaian sengketa perbankan syariah sesuai isi perjanjian atau akad
oleh para pihak di luar Pengadilan Agama hanya dapat dilakukan melalui
penyelesaian arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Begitu pun bagi
pihak yang tidak beragama Islam yang melakukan transaksi perbankan/keuangan
syariah jika tidak menundukan diri pada kewenangan Pengadilan Agama dapat
memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa.
45
Dengan demikian menurut saya, Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-
Undang Perbankan Syariah yang memungkinkan penyelesaian sengketa melalui
peradilan umum menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan
prinsip konstitusi yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[6.2] Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi
Sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, saya perlu
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Pilihan pelayanan sistem perbankan dan konsekuensinya1. Bahwa seiring dengan demokratisasi di bidang politik di Indonesia pada akhir
dekade 1990-an dan awal dekade 2000-an berkembang pula demokratisasi di
bidang ekonomi yang kemudian diperkokoh dengan Perubahan UUD 1945 yang
memberikan landasan konstitusional dalam rangka demokratisasi di bidang
tersebut. Pasal 33 ayat (4) menyatakan, “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional”. Sesuai dengan perkembangan tersebut maka dibentuklah
perbankan syariah yang diikuti dengan pembentukan UU Perbankan Syariah
yang menjadi payung hukumnya dalam rangka mengembangkan sistem
ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan,
dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah guna menampung
kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah yang
semakin meningkat [vide konsiderans (menimbang) huruf a dan huruf b UU
Perbankan Syariah];
2. Bahwa perbankan syariah merupakan praktik perbankan yang memiliki
kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional [vide konsiderans
(menimbang) huruf c UU Perbankan Syariah]. Mengenai apa kekhususan
perbankan syariah yang membedakannya dari perbankan konvensional, UU
Perbankan Syariah merumuskan, “Perbankan Syariah adalah segala sesuatu
yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya” [vide Pasal 1 angka 1 UU Perbankan Syariah], dan secara
khusus mengenai bank syariah sendiri dirumuskan, “Bank Syariah adalah Bank
46
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut
jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah” [vide Pasal 1 angka 7 UU Perbankan Syariah]. Adapun mengenai
prinsip syariah dirumuskan, “Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah” [vide Pasal 1
angka 12 UU Perbankan Syariah]. Selain kekhususan yang terkait dengan
hukum berdasarkan prinsip syariah, terdapat pula kekhususan yang lain, yaitu
mengenai lembaga yang menjadi forum penyelesaian manakala terjadi
sengketa [vide Pasal 55 UU Perbankan Syariah]. Adapun mengenai subjek
yang menjadi sasaran pelayanan dalam perbankan syariah adalah badan
hukum, orang Islam atau non-Islam yang menentukan pilihannya secara
sukarela terhadap perbankan syariah [vide Penjelasan Pasal 49 UU Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana telah diubah dua kali
masing-masing UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama].
3. Bahwa dengan dibentuknya sistem perbankan syariah, di Indonesia terdapat
pilihan bagi masyarakat secara demokratis untuk menggunakan jasa pelayanan
perbankan, yaitu pilihan antara perbankan konvensional dan perbankan syariah.
Dalam menentukan pilihan tersebut sudah barang tentu yang menjadi dasar
utamanya adalah kualitas pelayanan dan nilai ekonomisnya, namun tidak dapat
dipungkiri pula bahwa selain itu terdapat dasar-dasar pilihan lain, yaitu nilai
keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang secara khusus
bagi orang Islam adalah sesuai dengan prinsip syariah. Suatu prinsip hukum
berdasarkan nilai-nilai Islam sebagai agama yang dipeluknya;
4. Bahwa ketika seseorang telah menentukan suatu pilihan, terutama yang terkait
dengan pilihan sistem seperti perbankan, maka pilihan tersebut mengandung
pula suatu pilihan terhadap subsistem yang terdapat di dalamnya. Dalam
perspektif hukum, suatu sistem mengandung 3 (tiga) subsistem, yaitu substansi
hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Oleh karena itu, pilihan terhadap
pelayanan jasa perbankan sebagai suatu sistem tersebut mengandung
konsekuensi pada pilihan substansi hukum yang mengaturnya dan pilihan
terhadap struktur hukum yang menegakkannya, dalam hal ini pilihan forum
ajudikasi dalam rangka penyelesaian sengketa hukumnya secara litigasi, serta
47
pilihan terhadap budaya hukum yang melingkupinya, termasuk di dalamnya
forum ajudikasi non-litigasi yang berkembang di dalamnya secara kultural.
Manakala telah dipilih penggunaan jasa perbankan syariah maka konsekuensi
pilihan substansi hukum yang mengaturnya adalah hukum berdasarkan prinsip
syariah dan forum untuk menyelesaikannya secara litigasi adalah pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama dan untuk menyelesaikannya secara non-
litigasi adalah forum penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute
resolution atau ADR) berdasarkan hukum syariah yang juga terkait dengan
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, seperti melalui musyawarah
yang dipimpin oleh hakim di lingkungan peradilan agama. Sebaliknya, manakala
telah dijatuhkan pilihan itu pada pelayanan jasa perbankan konvensional maka
konsekuensi pilihan substansi hukumnya adalah hukum yang berlaku pada bank
konvensional dan forum penyelesaian sengketanya secara litigasi adalah
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan untuk menyelesaikannya
secara non-litigasi adalah forum ADR berdasarkan hukum yang berlaku dan
terkait dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dan kekuasaannya1. Bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan agama merupakan salah satu
pengadilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang berada di bawah
Mahkamah Agung sama dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
sebagaimana ketentuan konstitusional dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan
lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Ketentuan konstitusional tersebut dielaborasi dalam UU Peradilan
Agama, “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini” [vide Pasal 2
UU Peradilan Agama]. Adapun yang dimaksud dengan “perkara perdata
tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini” adalah perkara perdata tertentu
yang diatur dengan hukum berdasarkan prinsip-prinsip syariah, yang untuk
sebagian telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
48
2. Bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan agama sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman memiliki kedudukan dan tugas pokok yang sama dengan
pengadilan dalam lingkungan peradilan lainnya, bahkan sama dengan MA dan
MK, yaitu menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,
sebagaimana ketentuan konstitusional Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Pengadilan dalam empat lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
tersebut kekuasaan atau kewenangannya dibedakan menurut substansi hukum
yang berlaku dan subjek hukum yang dilayaninya. Namun demikian, kekuasaan
atau kewenangan dimaksud tetap ditentukan oleh Undang-Undang. Kekuasaan
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang:a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h.
shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah [vide Pasal 49 UU Peradilan Agama].
Selanjutnya, Penjelasan Pasal 49 menyatakan, “Penyelesaian sengketa tidak
hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi
syari’ah lainnya. Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama
Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini”, dan
pada pasal tersebut huruf i menyatakan, “Yang dimaksud dengan “ekonomi
syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari’ah, antara lain meliputi: a. bank syari’ah; ...”.
3. Bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dalam
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,
sebagaimana juga pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, memiliki
fungsi, antara lain, mengadili perkara yang diajukan kepadanya dan
melaksanakan secara paksa terhadap putusan atas permohonan suatu pihak
yang menang (eksekusi), ketika pihak yang kalah tidak dengan sukarela
melaksanakan putusannya. Untuk melaksanakan fungsi tersebut di atas
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, sebagaimana juga pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, dalam susunannya (struktur organisasi)
terdapat satuan kepaniteraan, yang di dalamnya terdapat kejurusitaan, dipimpin
49
oleh seorang Panitera Pengadilan [vide Pasal 26 UU Peradilan Agama] yang
tugas pokok dan fungsinya, antara lain, melakukan penyitaan dan eksekusi
sebagaimana diuraikan.
POKOK PERMOHONANBahwa meskipun permohonan Pemohon tersebut hanya mengenai Pasal 55
ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah, Mahkamah dalam
mempertimbangkannya, untuk memperoleh pengertian yang komprehensif,
memandang perlu mengkonstruksikannya berdasarkan seluruh ayat dalam pasal
tersebut berikut Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU
Perbankan Syariah. Untuk itu Mahkamah akan menguraikan terlebih dahulu
mengenai Pasal 55 UU Perbankan Syariah. Pada pokoknya Pasal 55 UU
Perbankan Syariah mengatur tentang penyelesaian sengketa dalam perbankan
syariah, baik dilakukan berdasarkan litigasi maupun non-litigasi.
Untuk menyelesaikan berdasarkan litigasi dalam sengketa perbankan
syariah Pasal 55 ayat (1) menentukan menjadi kewenangan pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama. Hal demikian sesuai dengan kekuasaan pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama yang diatur dalam Pasal 49 dan Penjelasannya
dari UU Peradilan Agama sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan di atas.
Untuk penyelesaian berdasarkan non-litigasi Pasal 55 ayat (2) menentukan
dilakukan berdasarkan akad. Apa yang dimaksud dengan akad Pasal 1 UU
Perbankan Syariah merumuskan sebagai suatu kesepakatan tertulis antara Bank
Syariah (BS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang memuat adanya
hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.
Selain itu, apa yang disepakati dalam akad tersebut khusus mengenai
penyelesaian non-litigasi dimaksud dalam Penjelasan Umum UU Perbankan
Syariah ditentukan, “Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul
pada perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan
Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian
sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau
melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam
Akad oleh para pihak” yang kemudian dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 55
ayat (2) yang menyatakan, “Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi Akad adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah;
b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
50
atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum”.
Terdapat dua permasalahan yang perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah
dalam Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) tersebut terkait dengan
akad mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah. Pertama,
permasalahan bentuk penyelesaian non-litigasi. Kedua, permasalahan
memperjanjikan pengalihan kekuasaan suatu peradilan yang telah ditentukan oleh
undang-undang.
Permasalahan bentuk penyelesaian non-litigasiMengenai permasalahan bentuk penyelesaian non-litigasi, saya
berpendapat, bahwa penjelasan, baik Penjelasan Umum maupun Penjelasan
Pasal 55 ayat (2) sebagaimana dipertimbangkan di atas, telah menentukan norma
yang membatasi bentuk-bentuk penyelesaian non-litigasi dalam sengketa
perbankan syariah dengan menentukan bentuk-bentuknya secara limitatif.
Penentuan yang demikian, yaitu dengan menyebutkan rincian bentuk penyelesaian
ke dalam huruf a, huruf b, dan huruf c yang diikuti dengan kata “dan/atau” sebelum
huruf d dapat ditafsirkan bahwa penyelesaian non-litigasi tersebut secara limitatif
hanya ada 4 (empat) bentuk penyelesaian saja yang dapat dipilih oleh para pihak
yang bersengketa, baik dengan memilih bentuk dimaksud secara tunggal atau
kumulasi. Padahal bentuk penyelesaian non-litigasi tidak hanya meliputi empat
bentuk tersebut.
Bentuk penyelesaian non-litigasi lebih dari empat bentuk tersebut.
Pertanyaannya adalah, apakah dengan demikian para pihak tidak dapat memilih
bentuk penyelesaian non-litigasi lain selain yang ditentukan. Jawabnya, manakala
ketentuan tersebut limitatif berarti tidak dapat. Sebaliknya, manakala keempat
bentuk penyelesaian non-litigasi tersebut hanya sebagai bagian saja dari bentuk
penyelesaian non-litigasi, quod non, maka seharusnya Penjelasan Pasal 55 ayat
(2) UU Perbankan Syariah tidak demikian merumuskannya. Implikasi penafsiran
yang demikian menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi para pihak
karena telah membatasi bentuk penyelesaian non-litigasi. Padahal, dalam
penyelesaian sengketa hukum perdata yang paling berhak adalah mereka yang
terlibat di dalam sengketa tersebut. Oleh karena itu, dalam pemeriksaan sengketa
tersebut di pengadilan, hakim wajib berusaha mendamaikan terlebih dahulu. Baru
kalau para pihak tidak dapat berdamai hakim memulai pemeriksaan. Terkait
51
dengan hak dari para pihak untuk menyelesaikan secara non-litigasi tersebut maka
membatasi bentuk penyelesaian sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Umum
maupun Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah tersebut,
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;
Permasalahan memperjanjikan pengalihan kekuasaan suatu peradilan yangtelah ditentukan oleh undang-undang
Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah menyatakan, “Dalam hal para
pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad”. Pasal 55
ayat (1) UU Perbankan Syariah menyatakan, “Penyelesaian sengketa Perbankan
Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Pasal 55
ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan Syariah mengandung norma bahwa
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama berkuasa atau berwenang
memeriksa dan mengadili sengketa perbankan syariah. Hal ini sejalan dengan
ketentuan mengenai kekuasaan peradilan agama dalam UU Peradilan Agama.
Akan tetapi, oleh karena dalam sengketa hukum perdata yang paling berhak
menyelesaikan adalah para pihak maka dalam mengimplementasikan hak tersebut
para pihak ditentukan berhak pula menempuh penyelesaian secara non-litigasi.
Oleh karena itu diatur supaya penyelesaian secara non-litigasi dimaksud
dimasukkan dalam akad. Sampai sejauh ini ketentuan yang terdapat pada ayat (2)
tersebut tidak menjadi permasalahan konstitusional. Permasalahan konstitusional
terjadi ketika Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 55 ayat (2), yang selain
membatasi bentuk-bentuk penyelesaian non-litigasi yang dapat dipilih
sebagaimana dipertimbangkan di atas, juga telah membentuk norma baru yang
bertentangan dengan pasal dan ayat yang dijelaskan, yaitu bahwa para pihak
diberikan hak melalui akad yang dibuatnya mengalihkan kekuasaan pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama menjadi kekuasaan pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum. Pemberian hak untuk membuat akad dengan isi yang
bukan saja bertentangan dengan Pasal 55 ayat (1) UU Perbankan Syariah, tetapi
juga bertentangan dengan Pasal 49 UU Peradilan Agama. Dengan demikian,
permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah
tidak beralasan menurut hukum, sedangkan Penjelasan Umum dan Penjelasan
Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah menimbulkan permasalahan
konstitusional yaitu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat
52
(2) UUD 1945 sebagaimana dipertimbangkan dalam paragraf sebelumnya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, meskipun penjelasan dimaksud tidak
dimohonkan dalam petitum permohanan, melainkan Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
UU Perbankan Syariah dijadikan dasar posita permohonannya, namun karena
substansi Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan
Syariah merupakan sumber permasalahan konstitusional terhadap Pasal 55 UU
Perbankan Syariah maka menurut saya Mahkamah harus memberikan putusan
terhadap penjelasan dimaksud dalam rangka memberikan solusi konstitusional
dalam penyelesaian sengketa hukum perbankan syariah;
Menimbang bahwa Pasal 55 ayat (3) UU Perbankan Syariah yang menyatakan,
“Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah”, menentukan bahwa meskipun para pihak
memilih dalam akadnya dengan penyelesaian non-litigasi, namun penyelesaian
tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Hal demikian menurut
saya telah bersesuaian dengan apa yang dipertimbangkan pada paragraf
sebelumnya, sehingga permohonan pengujian konstitusionalitas pasal a quo tidak
beralasan menurut hukum. Demikianlah concurring opinion saya terhadap putusan
Mahkamah ini.
7. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)
Hakim Konstitusi Muhammad Alim
Ketika penjajah Belanda menginjakkan kaki impersialismenya di bumi
nusantara, sesungguhnya penduduk nusantara sebagian besar sudah menganut
agama Islam. Sejarah telah menjadi saksi bahwa kerajaan- kerajaan Islam telah
bertebaran hampir di seantero nusantara, terutama di darah-daerah pantai telah
banyak bandar-bandar yang ramai. Masyarakat nusantara yang sebagian besar
beragama Islam itu menurut penelitian, antara lain, oleh Salomon Keyzer (1823-
1868) bahwa di kalangan masyarakat nusantara yang menganut agama Islam,
berlaku hukum Islam. Penelitian ini sejalan dengan pendapat Lodewijk Willem
Christian van den Berg (1845-1927) yang mengemukakan bahwa orang Islam
nusantara telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan
sebagai suatu kesatuan. Berarti , menurut van den Berg, yang diterima oleh orang
beragama Islam di Indonesia waktu itu bukan hanya bagian-bagian dari hukum
53
Islam melainkan keseluruhan hukum Islam. Itulah sebabnya teori yang
dikemukakannya disebut teori receptio in complexu.
Berbeda dengan van den Berg, Christian Snouck Hurgronje (1857-1936)
dalam penelitiannya terhadap masyarakat Aceh dan Gayo berkesimpulan bahwa
yang berlaku bagi orang Islam di kedua daerah itu bukanlah hukum Islam,
melainkan hukum adat. Memang, menurut dia, hukum adat telah dipengaruhi oleh
hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum apabila benar-
benar telah diterima oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang berlaku, bukan
hukum Islam.
Pendapat ini kemudian dikenal sebagai teori resepsi yang lebih
dikembangkan secara ilmiah oleh dua orang muridnya, sesama warga Belanda,
yakni Cornelis van Vollenhoven dan Bertrand Ter Haar.
Teori resepsi ini mendapat tantangan dari para pemikir Islam Indonesia,
yang menurut mereka, teori resepsi itu dimaksudkan oleh pemerintah kolonial
Belanda untuk menghapuskan hukum Islam di Indonesia, karena menurut
Belanda, perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonial Belanda banyak
dipengaruhi oleh hukum Islam.
Salah seorang murid Ter Haar, yang tidak sependapat dengan gurunya,
yaitu Hazairin, menganggap teori resepsi adalah teori iblis, sebab dengan teori
tersebut mengajak kepada umat Islam Indonesia untuk tidak taat kepada Allah
SWT dan RasulNya.
Dengan politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang berkeinginan
‘mematikan’ hukum Islam di Indonesia, sambil tetap ‘menjinakkan’ umat Islam
Indonesia demi melestarikan penjajahannya karena dari pemimpin atau raja-raja
beragama Islam di Indonesia, Belanda banyak mendapat perlawanan yang
patriotik, maka pemerintah kolonial Belanda menerbitkan Staatsblad 1882 Nomor
152 yang dikenal dengan sebutan Priesterraad (Pengadilan Agama) yang
mengadili perkara-perkara perdata tertentu bagi umat Islam di Jawa dan Madura
dengan tidak ditentukan kewenangannya. Oleh karena tidak jelasnya kewenangan
peradilan agama ini, maka menurut Notosusanto, pengadilan agama menentukan
sendiri perkara-perkara yang menurut pandangannya masuk kompetensinya, yaitu
perkara-perkara yang berhubungan dengan sebagian kegiatan perdata umat Islam
Indonesia, seperti pernikahan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya seorang
anak, perwalian, kewarisan,hibah, sadakah, baitulmal, dan wakaf.
54
Selain tidak ditentukan kewenangannya, peradilan agama juga
pembentukannya tidak seragam. Kalau untuk Jawa dan Madura dibentuk
pengadilan agama, seperti tersebut di atas, untuk Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur dibentuk Kerapatan Kadi dan Kerapatan Kadi Besar. Untuk
selain Jawa dan Madura, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, di luar
daerah-daerah tersebut, oleh pemerintah Republik Indonesia dibentuk dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang lazim dikenal dengan sebutan
Mahkamah Syariah.
Pengadilan Agama oleh pemerintah kolonial Belanda, di samping tidak
ditetapkan kewenangannya secara mutlak, sebagai ‘pengadilan kelas dua’,putusan-putusannya juga tidak dapat dieksekusi sebelum mendapat persetujuan
dari Ketua Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) setempat yang dikenal dengan
sebutan executoire verklaring atau biasa juga dinamakan fiat executie. Bahkan
setelah kemerdekaan, yakni ketika diundangkannya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, putusan perceraian yang dijatuhkan oleh pengadilan agama
harus pula, “ Dikukuhkan “ oleh pengadilan negeri setempat.
Perlakuan diskriminatif terhadap pengadilan agama dilanjutkan, ketika
pada bulan April 1977 tunjangan fungsional para hakim golongan III pada
peradilan umum ditetapkan sebanyak Rp. 60.000,-/ bulan, sedangkan bagi hakim
peradilan agama dengan pangkat yang sama hanya Rp. 45.000,-/ bulan.
Meskipun pada akhirnya tunjangan fungsional hakim peradilan agama
disamakan dengan tunjangan fungsional hakim peradilan umum dan hakim
peradilan tata usaha negara dan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, putusan pengadilan agama tidak lagi di-
fiat executie, atau dikukuhkan oleh pengadilan negeri, akan tetapi sarana dan
prasarana pengadilan agama masih jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan
sarana dan prasarana peradilan umum dan peradilan tata usaha negara.
Selain itu, pola mutasi, khususnya para hakim peradilan umum dan hakim
peradilan tata usaha negara juga berbeda dengan hakim peradilan agama. Jikalau
para hakim peradilan umum dan hakim peradilan tata usaha negara pada
umumnya dimutasikan dari satu tempat tugas ke tempat tugas lainnya setelah
55
bertugas di satu tempat selama tiga hingga lima tahun, para hakim pengadilan
agama kebanyakan bertugas di suatu pengadilan selama sepuluh tahun lebih.
Keadaan baru berubah setelah, sebelumnya personalia, keuangan dan
material, peradilan umum dan peradilan tata usaha negara dikelola oleh
Departemen Kehakiman kini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan
untuk peradilan agama dilaksanakan oleh Departemen Agama (sekarang
Kementerian Agama), beralih seluruhnya ke Mahkamah Agung.
Tanpa bermaksud memuji secara pribadi, dalam era kepemimpinan Bagir
Manan sebagai Ketua Mahkamah Agung barulah personalia, sarana, dan
prasarana peradilan agama, seiring dengan peralihan pengelolaan personalia,
keuangan dan materil kepada Mahkamah Agung dibenahi, sehingga alhamdulillah
personalia, sarana dan prasarana peradilan agama relatif sama dengan peradilan
umum dan peradilan tata usaha negara.
Walaupun era penjajahan yang seperti tersebut di atas berusaha untuk
merintangi perkembangan hukum Islam di Indonesia telah berlalu, personalia,
sarana dan prasarana peradilan agama telah memadai, paling tidak sudah
seimbang dengan peradilan umum, kewenangan peradilan agama sudah tegas
diatur dalam ketentuan perundang-undangan, namun masih saja ada orang
tertentu, paling tidak pembentuk Undang-Undang yang bermaksud mengebiri
kewenangan peradilan agama, seperti Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang pada huruf d
menentukan, “Yang dimaksud dengan“ penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
dengan Akad adalah sebagai berikut : d.melalui pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum”.
Sepanjang pengetahuan saya, belum pernah terjadi suatu kewenangan
mutlak peradilan agama diserahkan kepada peradilan umum untuk mengadilinya.
Yang justru terjadi, kewenangan mengadili perkara pidana yang merupakan
kompetensi peradilan umum, untuk daerah Provinsi Aceh bagi penduduk
beragama Islam diadili oleh Mahkamah Syari’ah yang diemban oleh peradilan
agama.
Berhubung dengan itu, Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang dalam huruf d-nya
menentukan, “Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum“ harus
dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
56
Indonesia Tahun 1945, yakni Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan , “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum“ dan karena itu tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Adapun Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c Undang-
Undang a quo, yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian
sengketa sesuai dengan akad adalah upaya musyawarah, mediasi perbankan,
melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional, menurut saya hal-hal tersebut
merupakan upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat
dibenarkan berdasarkan asas musyawarah, dengan syarat tidak melanggar
ketentuan Undang-Undang dan sejalan dengan ketentuan syariah.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Hani Adhani
Bersama Hakim Konstitusi setetah sesi wawancara diruang kerja
Dr. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M. Hum