IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011...
Transcript of IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011...
1
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN
2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP
PENGATURAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA
PERBANKAN
(Studi Analisis di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Sarjana dalam Hukum Islam (S.H.I)
Oleh:
MUH ASROI
NIM. 214 11 028
JURUSAN S1-HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2015
2
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan
koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa :
Nama : Muh Asroi
NIM : 214 11 028
Judul : IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 21
TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA
KEUANGAN TERHADAP PENGATURAN DAN
PENGAWASAN LEMBAGA PERBANKAN (Studi
Analisis di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga).
dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam
sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
3
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH
Jalan Nakula Sadewa V No. 9 Telp.(0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722
Website : www.iainsalatiga.ac.id E-mail :[email protected]
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul :
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011
TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP PENGATURAN
DAN PENGAWASAN LEMBAGA PERBANKAN (Studi Analisis di Bank
Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga).
Oleh :
MUH ASROI
NIM. 214 11 028
4
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Muh Asroi
NIM : 214 11 028
Jurusan : S1 Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas : Syari’ah
Judul : IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 21
TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA
KEUANGAN TERHADAP PENGATURAN DAN
PENGAWASAN LEMBAGA PERBANKAN (Studi
Analisis di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga).
menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan
(Plagiat) dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah (Buku
Pedoman IAIN Salatiga).
5
MOTO PENULIS
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih
hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika
kamu orang-orang yang beriman.” ( Qs. Al-Imran:139).
--------------------o------------------
“Allah selalu menciptakan kejaiban ketika kita mau memberikan keajaiban
kecil yang mampu kita lakukan dan membaginya pada orang lain
motivator terbesar dan terhebat tidak lain adalah diri sendiri,
kesuksesan yang membentang luas dihadapan hanya akan teraih dengan
keberanian dan kemauan sebuah langkah pertama terlebih dahulu,
sukses adalah tentang kemauan dan kerja keras”
(Muhammad Asroi).
--------------------o------------------
“Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk yang berbeda, keterbatasan
dan kekurangan, tetapi semua itu bukan menjadikan manusia patah
semangat untuk menjalani kehidupan, semua itu akan menjadi keunikan
dan kelebihan setiap pada diri manusia itu sendiri dan bagaimana manusia
itu bisa meraih kesuksesan dengan keterbatasan yang ada, Suskses
datang pada mereka yang mau bertindak dan mau merealisasikannya
dengan kehidupan “ (Muhammad Asroi).
---------------------o------------------
“Kebahagian seseorang diukur bukan karna banyak hartanya melainkan
kebahagian itu ketika kita mau bersyukur atas nikmat yang allah berikan”
(Muhammad Asroi).
6
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan dengan cinta dan ketulusan hati karya ilmiah berupa skripsi ini
kepada :
1. Bapak Pawit dan ibu Wasilah tercinta, yang telah mendoakan dan
memberi kasih sayang serta pengorbanan selama ini.
2. Adik ku Siti Anifah, yang telah memberikan kasih sayangnya dan
mendoakan agar selalu tetap istiqomah dalam hal apapun.
3. Kakak-kakak dan adik Ponakan dari keluarga Mawardi Muhdi Mundakir
(M3) Law Foundation yang telah membantu dalam studi di IAIN Salatiga,
baik materiil maupun non materiil.
4. Para guru sejak Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi yang
penulis sayangi dan hormati dalam memberikan ilmu dan membimbing
dengan penuh kesabaran.
5. Aiif Japanise Corporation yang telah memberikan kehidupan bermakna,
pencerahan dan motivasi yang berarti sehingga penulis bisa semangat
dalam menjalani kehidupan.
6. Abdi Masyarakat Law Foundation yang telah menerima penulis untuk
mengembangkan ilmu hukum hingga saat ini.
7. Almamater Tercinta Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga yang penulis
banggakan.
7
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kehadirat Allah SWT, karena
berkat rahmat-Nya Penulisan Skripsi ini dapat kami selesaikan sesuai dengan
yang diharapkan. Kami juga bersyukur atas rizki dan kesehatan
yang telah diberikan oleh-Nya sehingga kami dapat menyusun Penulisan Skripsi
ini.
Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Nabi, Kekasih,
Spirit Perubahan, Rasullah Muhammad SAW beserta segenap keluarga dan para
sahabat-sahabatnya, syafa’at beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan
nanti.
Penulisan Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu
persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I), Fakultas
Syari’ah, Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari’ah yang berjudul: “Implementasi
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Terhadap Pengaturan Dan Pengawasan Lembaga Perbankan (Studi Analisis
Di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga)”. Penulis mengakui bahwa dalam
menyusun Penulisan Skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan
dari berbagai pihak. Karena itulah penulis mengucapkan penghargaan yang
setinggi-tingginya, ungkapan terima kasih kadang tak bisa mewakili kata-kata,
namun perlu kiranya penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga
8
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN
Salatiga.
3. Bapak Ilya Muhsin, S.H.I., M.Si, selaku Wakil Dekan Fakultas Syari’ah
Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama yang selalu memberikan ilmunya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar
dan baik.
4. Ibu Evi Ariyani, M.H, selaku Ketua Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari’ah
di IAIN Salatiga.
5. Bapak Farkhani, S.H.I., S.H., M.H, selaku Dosen Pembimbing yang selalu
meberikan saran, pengarahan dan masukan berkaitan penulisan skripsi
sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai yang diharapkan.
6. Ibu Lutfiana Zahriani, M.H, selaku Kepala Lab. Fakultas Syari’ah IAIN
Salatiga yang memberikan pemahaman, arahan dalam penulisan skripsi
sehingga penulisan skripsi ini bisa saya selesaikan.
7. Bapak Gery Baldi, selaku Direktur Bank Syari’ah Mandiri Cabang
Salatiga yang telah berkenan memberikan izin penelitian di Bank Syari’ah
Mandiri Cabang Salatiga serta memberikan informasi berkaitan penulisan
skripsi.
8. Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan Regional IV di Semarang, C.q Ibu
Sulistianingsih selaku Departemen Informasi dan Dokumen OJK yang
telah berkenan memberikan izin penelitian di kantor Perwakilan Otoritas
Jasa Keuangan yang berada di Semarang yang telah memberikan informasi
9
berkaitan penulisan skripsi tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 21
Tahun 2011 tentang OJK.
9. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf adminitrasi
Fakultas Syari’ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu
memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
tanpa halangan apapun.
10. Teman-teman Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari’ah angkatan 2011 di
IAIN Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh
pendidikan di IAIN Salatiga.
11. Lembaga Bantuan Hukum Asyka Justice dan Advokat yang telah
memberikan pengalaman dan ilmu mengenai hukum serta persoalan
hukum yang ada di masyarakat.
12. Lembaga Pendampingan Usaha (LPU) “Katalis” yang bisa memberikan
inspirasi dalam diskusi ekonomi dan kemasyarakatan.
13. Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) dan Ikatan Senat
Mahasiswa Hukum Indonesia (ISMAHI) yang telah menjadikan penulis
melihat Dunia dalam mempelajari hukum.
14. Sacipto Rahardjo Institute yang telah memberikan pemikiran berkenaan
hukum progresif yang ada di Indonesia.
15. Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI) IAIN Salatiga dan Forum
Silaturrahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Indonesia yang telah
memberikan ilmu ekonomi dan organisasi ekonomi islam.
10
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan
balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa
mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya. Amiin.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun
analisanya, sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan penulisan skripsi ini dibaca dan dipahami.
Akhirnya, penulis berharap semoga skrispi ini bermanfaat khususnya bagi
penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca.
Salatiga, Mei 2015
Penulis.
11
ABSTRAK
Asroi, Muh. 2015. Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengaturan dan Pengawasan
Lembaga Perbankan (Studi Analisis di Bank Syari’ah Mandiri Cabang
Salatiga). Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan. S1 Hukum Ekonomi Syari’ah.
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Farkhani, S.H.I.,
S.H., M.H.
Kata Kunci : Implementasi, Pengaturan dan Pengawasan, UU No. 21 Tahun
2011, OJK.
Dalam penelitian ini akan mengkaji tentang Implementasi Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap
Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Perbankan (Studi Analisis di Bank
Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga). Pertanyaan utama yang ingin dijawab
melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana Implementasi Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2011 Terhadap Pengaturan dan Pengawasan Lembaga
Perbankan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga (2) Hambatan dan
Upaya apa saja yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Implementasi
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 terhadap pengaturan dan
pengawasan lembaga perbankan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan penelitian
kualitatif dengan pendekatan yang dilakukan memakai pendekatan Yuridis
Normatif yang bersifat deskriptif analitis. Pendekatan yuridis normatif
(normative law research) menggunakan studi hukum normatif berupa
produk perilaku hukum. Pendekatan ini berfungsi untuk mengidentifikasi
dan mengklarifikasi pelaksanaan undang-undang. Deskriptif analitis itu
menggambarkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengaturan Dan Pengawasan
Lembaga Perbankan (Studi Analisis di Bank Syari’ah Mandiri Cabang
Salatiga).
Temuan penelitian ini menunjukan bahwa, Pertama: Implementasi
Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Terhadap Pengaturan dan Pengawasan
Lembaga Perbankan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga belum
dilaksanakan sepenuhnya oleh Otoritas Jasa keuangan. Alasan OJK belum
mengimplementasikan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK salah satunya
adalah menghindari terjadinya penyesuaian yang menyulitkan kondisi
perbankan nasional dan menghindari terjadinya gangguan pada sistem
perbankan secara nasional. Kedua: Hambatan dan Upaya yang dilakukan
Otoritas Jasa Keuangan dalam Implementasi Undang-undang No. 21 Tahun
2011 terhadap pengaturan dan pengawasan di Bank Syari’ah Mandiri
Cabang Salatiga meliputi hambatan internal dan ekternal dan upaya yang
dilakukan OJK untuk mengatasi hambatan yaitu; menambah Sumber Daya
Manusia (SDM) yang berkualitas, Melakukan sharing knowledge,
continuous education, best practice learning program.
12
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
NOTA PEMBIMBING........................................................................................ ii
PENGESAHAN………………………………………………………………... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................................... iv
MOTO.................................................................................................................. v
PERSEMBAHAN……………………………………………………………… vi
KATA PENGANTAR......................................................................................... vii
ABSTRAK........................................................................................................... xi
DAFTAR ISI....................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH............................................ 1
B. FOKUS PENELITIAN…............................................................ 8
C. TUJUAN PENELITIAN............................................................. 8
D. KEGUNAAN PENELITIAN...................................................... 9
E. PENEGASAN ISTILAH............................................................. 10
F. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................. 11
G. METODE PENELITIAN............................................................ 14
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian............................................ 14
2. Kehadiran Peneliti................................................................. 16
3. Lokasi Penelitian................................................................... 17
4. Sumber Data.......................................................................... 17
5. Prosedur Pengumpulan Data................................................. 19
6. Analisis Data......................................................................... 21
7. Pengecekan Keabsahan Data................................................. 21
8. Tahap-tahap Penelitian.......................................................... 22
H. SISTEMATIKA PENULISAN...................................................
23
13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG OTORITAS JASA
KEUANGAN (OJK) DAN PERBANKAN
A. Otoritas Jasa Keuangan (OJK).………………………………… 25
B. Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan………..... 36
C. Lembaga Perbankan…………………………………………… 43
D. Penilaian Kesehatan Bank dan Prinsip-Prinsip
Perbankan………………………………………………………
56
BAB III GAMBARAN PENGATURAN DAN PENGAWASAN
OTORITAS JASA KEUANGAN DI BANK SYARI’AH
MANDIRI CABANG SALATIGA
A. Gambaran Umum Bank Syari’ah Mandiri (BSM)……………. 62
B. Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan di Bank
Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga……………………………..
68
C. Hambatan dan Upaya Otoritas Jasa Keuangan dalam
Implementasi Undang-Undang No. 21 Tahun 2011…………...
73
BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGATURAN DAN
PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN DI BANK
SYARI’AH MANDIRI CABANG SALATIGA
A. Analisis Implementasi Undang-undang No. 21 Tahun 2011
Terhadap Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Perbankan di
Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga……………………….
78
B. Analisis Hambatan dan Upaya Otoritas Jasa Keuangan dalam
Implementasi Undang-Undang No. 21 Tahun 2011…………...
84
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan................................................................................. 88
B. Saran........................................................................................... 89
C. Penutup………………………………………………………... 90
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
14
DAFTAR GAMBAR
Tabel. 5.1 Struktur Organisasi Bank Syari’ah Mandiri…………...................... 67
15
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Berdasarkan tujuan nasional yang tertuang di dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum. Maka dalam melaksanakan tujuan nasional tersebut
perlu adanya pembangunan nasional yang dilakukan dari, oleh dan untuk
rakyat dan serta dilaksanakan di dalam segala aspek kehidupan bangsa
yang meliputi aspek hukum, ekonomi, politik, sosial budaya dan aspek
pertahanan dan keamanan.
Bank Indonesia dalam perannya sebagai Bank Sentral adalah stake
holder yang memiliki posisi yang sangat strategis dalam mendukung
pembangunan nasional dalam hal perekonomian negara baik dalam
melayani pemerintahan negara maupun dunia keuangan dan perbankan di
Indonesia, Bank Sentral sebagai Lembaga Tinggi Negara yang berwenang
untuk melakukan pengawasan dan melakukan fungsi regulasi terhadap
kebijakan moneter sebuah negara, adalah aspek penting dalam tercapainya
cita-cita stabilitas ekonomi pada sebuah negara. Stabilitas ekonomi yang
kemudian berujung pada tercapainya cita-cita bernegara dalam upaya
mendorong terciptanya general welfare dilakukan dengan
16
mengoptimalkan fungsi pengawasan dari Bank Sentral, dalam hal ini Bank
Indonesia.
Dasar kewenangan Bank Indonesia selaku Bank Sentral, dalam
melakukan fungsi pengawasan terhadap bank-bank yang ada di Indonesia
diatur di dalam Pasal 8 huruf C Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Bank
Indonesia.
Bank merupakan perusahaan jasa yang menyediakan jasa keuangan
bagi seluruh lapisan masyarakat. Bank mempunyai fungsi sebagai lembaga
intermediasi yaitu memberikan jasa lalu lintas pembayaran, serta sebagai
sarana dalam pelaksanaan kebijakan moneter, sehingga bank mempuyai
peran yang penting dalam kehidupan perekonomian. Fungsi intermediasi
berarti menghubungkan kepentingan pihak yang kelebihan dana dengan pihak
yang membutuhkan dana.
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran
suatu Negara, bahkan pada era globalisasi sekarang ini, bank juga telah
menjadi bagian dari sistem keuangan dan pembayaran dunia. Mengingat
hal itu, maka bila suatu bank telah memperoleh izin berdiri dan beroperasi
dari otoritas moneter di Negara yang bersangkutan, bank tersebut menjadi
milik masyarakat. Oleh karena itu, eksistensinya bukan saja harus dijaga
oleh para pemilik bank itu sendiri, tetapi juga oleh masyarakat nasional
dan global (Sutedi, 2007: 1).
17
Mengingat kegiatan perbankan bergerak dengan dana dari
masyarakat atas dasar kepercayaan, maka setiap pelaku perbankan
diharapkan tetap menjaga kepercayaan masyarakat tersebut. Kepercayaan
masyarakat terhadap dunia perbankan akan terjaga apabila sektor
perbankan itu sendiri diselenggarakan dikelola dengan prinsip kehati-
hatian sehingga selalu terpelihara kondisi kesehatannya. Sejalan dengan
harapan tersebut, bank Indonesia sebagai bank sentral yang mempunyai
peran pula dalam menentukan dan memberikan arah perkembangan-
perbankan serta melindungi masyarakat, maka Bank Indonesia mempunyai
kewenangan dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan
terhadap seluruh kegiatan perbankan (Djumhana, 2000: 276). Disitulah
letak peran pentinnya pengawasan bank, karena sistem perbankan
memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dan strategis dalam
menggerak tumbuhkan perekonomian.
Setiap negara senantiasa berupaya agar lembaga perbankan selalu
berada dalam kondisi yang sehat, aman, dan stabil. Kesehatan suatu bank
adalah kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional
perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya
dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perbankan
yang berlaku. Suatu sistem perbankan dalam kondisi yang tidak sehat akan
menyebabkan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi tidak akan
berfungsi dengan optimal. Jika fungsi intermediasi terganggu maka alokasi
dan penyediaan dana dari perbankan untuk kegiatan investasi dan
18
membiayai sektor-sektor yang produktif dalam perekonomian menjadi
terbatas. Sistem perbankan yang tidak sehat juga akan mengakibatkan lalu
lintas pembayaran yang dilakukan oleh sistem perbankan tidak lancar
dan efisien, selain itu sistem perbankan yang tidak sehat juga akan
menghambat efektivitas kebijakan moneter. Kesehatan suatu bank
merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik pemilik, pengelola
bank, masyarakat, pengguna jasa bank dan Bank Indonesia selaku otoritas
pengawasan bank. Faktor kepercayaan dari masyarakat juga merupakan
faktor yang utama dalam menjalankan bisnis perbankan, sehingga bank
dituntut untuk mempunyai kemampuan mengelola kinerja keuangan
dengan baik agar dapat menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank
tersebut.
Pada tahun 1997/1998 Indonesia memasuki krisis ekonomi yang
diawali dengan turunya nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika. Krisis
ekonomi itu juga melanda industri perbankan nasional, selanjutnya dikenal
sebagai krisis perbankan nasional. Krisis perbankan telah mempengaruhi
bangsa dan akhirnya menimbulkan krisis politik nasional. Bank komersial
dilikuidasi oleh pemerintah, sebelas bank diambil alih dan 36 bank
direstrukturisasi yang menghabiskan biaya lebih dari US$ 25 Milyar.
Krisis tersebut juga mengakibatkan turunya kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan dan pemerintah, sehingga memicu penarikan dana
secara besar-besaran, semakin turunnya permodalan bank-bank, banyak
19
bank tidak mampu melunasi kewajibannya karena menurunnya nilai tukar
rupiah dan manajemen tidak professional (Yumya, 2008: 28).
Sejalan dengan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
Tentang Bank Indonesia adalah dibentuknya lembaga pengawas pada jasa
keuangan yang dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dengan lahirnya lembaga Otoritas Jasa
Keuangan, maka peran serta Bank Indonesia sebagai lembaga pengawasan
Bank beralih kepada lembaga Otoritas Jasa Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga negara yang
mempunyai fungsi regulasi (pengaturan) dan supervisi (pengawasan)
terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Sektor jasa
keuangan tersebut meliputi, jasa keuangan di sektor perbankan, kegiatan
jasa keuangan di sektor pasar modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor
perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa
keuangan lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, agar kegiatan
di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil,
transparan dan akuntabel, haruslah juga diikuti dengan suatu sistem
pengaturan dan pengawasan yang baik dan taat hukum (Batunagar,
2006: 2).
Alasan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini antara lain makin
kompleks dan bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala
konglomerasi perusahaan jasa keuangan, dan globalisasi industri jasa
20
keuangan. Disamping itu, salah satu alasan rencana pembentukan Otoritas
Jasa Keuangan adalah karena pemerintah beranggapan bahwa Bank
Indonesia, sebagai Bank Sentral telah gagal dalam mengawasi sektor
perbankan. Kegagalan tersebut dapat dilihat pada saat krisis ekonomi yang
melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997, dimana sebanyak 16
bank dilikuidasi pada saat itu (Yumya, 2008: 28).
Kehadiran Bank yang berprinsip syari’ah di Indonesia masih
relatife baru, yaitu baru awal tahun 1990-an, meskipun masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat muslim terbesar di dunia. Prakarsa untuk
mendirikan Bank Syari’ah Indonesia dilakukan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Namun, diskusi
tentang Bank Syari’ah sebagai basis ekonomi islam sudah mulai dilakukan
pada awal tahun 1980.
Bank Syari’ah pertama di Indonesia merupakan hasil tim
perbankan MUI, yaitu dengan dibentuk PT Bank Muamalat Indonesia
(BMI) yang akta pendiriannya ditanda tangani tanggal 1 November 1991.
Bank ini ternyata berkembang cukup pesat sehingga saat ini BMI sudah
memiliki puluhan cabang yang tersebar dibeberapa kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, bandung, dan kota lainya.
Dalam perkembangan selanjutnya kehadiran Bank Syari’ah di
Indonesia khususnya cukup menggembirakan. Disamping BMI, saat ini
juga telah lahir Bank Syari’ah milik pemerintah seperti Bank Syari’ah
Mandiri (BSM). Kemudian berikutnya berdiri bank Syari’ah sebagai
21
cabang dari konvensional yang sudah ada, seperti Bank BNI, Bank IFI,
dan lainnya (Kasmir, 2009: 187, 189).
Sedangkan konsep dasar Bank Syari’ah menerapkan prinsip sistem
bagi hasil dan jual beli sesuai Al-Quran, QS. Al-Baqarah (2):275 yaitu:
Artinya:
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil
riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya (QS. Al-Baqarah 275).
Berdasarkan dari latar belakang tersebut, penulis ingin mengkaji
bagaimana pengaturan dan pengawasan lembaga perbankan setelah adanya
UU No. 21 Tahun 2011 Tentang OJK, mengingat perkembangan industri
perbankan saat ini berkembang sangat pesat, sehingga penulis menyusun
suatu penelitian dengan Judul: “Implementasi Undang-undang Nomor 21
Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengaturan
22
dan Pengawasan Lembaga Perbankan (Studi Analisis di Bank Syari’ah
Mandiri Cabang Salatiga).”
B. FOKUS PENELITIAN
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas,
dirumuskanlah beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011
Terhadap Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Perbankan di Bank
Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga ?
2. Hambatan dan upaya apa saja yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan
dalam Implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 terhadap
pengaturan dan pengawasan lembaga perbankan di Bank Syari’ah
Mandiri Cabang Salatiga ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai tujuan yaitu sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui Implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun
2011 Terhadap Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Perbankan di
Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga.
b. Untuk mengetahui hambatan dan upaya yang dilakukan Otoritas Jasa
Keuangan dalam Implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011
terhadap pengaturan dan pengawasan lembaga perbankan di Bank
Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga.
23
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Dalam penelitian ini penulis mengharapkan agar hasil penelitian ini
tidak hanya berguna untuk pribadi tetapi juga berguna untuk orang lain.
Kegunaan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Manfaat Teoritis
Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu Hukum pada umumnya dan
dibidang Hukum Perbankan pada khususnya, terutama dalam
pengawasan perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
2) Manfaat Praktis
a. Bagi Pemerintah bermanfaat memberikan masukan pada
pemerintah dalam menilai Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku saat ini agar tidak tumpang tindih sehingga dapat
diterapkan kepastian hukum. Saran dan penilaian terhadap isi
peraturan Perundang-undangan tersebut selanjutnya dapat
dijadikan masukan apabila akan dilakukan revisi Peraturan
Perundang-undangan.
b. Bagi Bank Indonesia, agar dapat lebih fokus memperhatikan
fungsinya yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan
moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran.
c. Bagi Otoritas Jasa Keuangan memberikan masukan dalam
pelakasanaan fungsi pengawasan kegiatan sektor Jasa keuangan
24
agar teratur, adil, transparan, dan mewujudkan sistem keuangan
yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.
d. Bagi Penulis, dengan adanya penelitian ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman dalam pengetahuan pengawasan
Otoritas Jasa keuangan. Selain itu kegiatan penelitian dan
permasalahan yang akan diteliti sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.).
E. PENEGASAN ISTILAH
Peneliti sampaikan bahwa untuk meghindari kesalah pahaman,
maka penulis kemukakan pengertian judul penelitian ini sebagai berikut:
Implementasi menurut Udoji yang dikutip oleh Solichin Abdul
Wahab (2002: 59), adalah pelaksanaan atau sesuatu kebijakan yang
penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan
kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana
bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak di implentasikan.
Pengertian implementasi diatas apabila dikaitkan dengan kebijakan
adalah bahwa sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat
dalam suatu bentuk positif seperti Undang-Undang dan kemudian
didiamkan dan tidak dilaksanakan atau di implementasikan, tetapi sebuah
kebijakan dilaksanakan atau di implementasikan agar mempunyai dampak
atau tujuan yang di inginkan (Wahab, 2002: 64).
25
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa Keuangan, Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut
tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan
Syari’ah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
perbankan dan undang-undang mengenai perbankan Syari’ah.
Pengertian Otoritas Jasa Keuangan menurut Pasal 1 Ayat (1)
Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa keuangan
adalah Lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak
lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini tidak merupakan duplikasi atau pengulangan dari
penelitian yang ada. Karena penelitian yang penulis teliti ini menganalisis
mengenai “Implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengaturan dan
Pengawasan Lembaga Perbankan (Studi Analisis di Bank Syari’ah
Mandiri Cabang Salatiga.” Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi
acuan dan perbandingan bagi penelitian ini antara lain yaitu terdapat
beberapa penelitian terkait yang membahas tentang Otoritas Jasa keuangan
diantaranya:
26
Pertama, Skripsi Rahma Safitri (Universitas Sebelas Maret
Surakarta Fakultas Ilmu Hukum ) 2013, dengan judul “Independensi
Otoritas Jasa Keuangan Dalam Melakukan Pengawasan Perbankan Di
Indonesia (Berdasarkan Berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan)”. Skripsi ini menjelaskan tentang
idependensi pengawasan perbankan yang akan dilakukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan sebagai lembaga independen berdasarkan Undang-undang
No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa keuangan (OJK). Berdasarkan
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dilator belakangi amanat Pasal
34 Undang-undang Bank Indonesia untuk mengalihkan pengawasan
perbankan kepada Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) yang
idependen maka disahkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan. Pengalihan pengawasan perbankan dikarenakan
Bank Indonesia sebagai pengawas perbanakan tidak independen dalam
melaksanakan fungsinya.
Kedua, Skripsi Ajeng Kumalasari (Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah dan Hukum) 2014, dengan judul “
Perlindungan Hukum Data Nasabah Dalam Internet Banking
(Tinjauan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa Keuangan)”. Skripsi ini menjelaskan tentang bentuk dan upaya
perlindungan data nasanah dalam internet; mekanisme perlindungan
hukum data nasabah internet banking; upaya yang dilakukan perbankan
dalam melindungi nasabah dalam internet banking. Berdasarkan hasil
27
penelitian dapat disimpulkan bahwa data nasabah dalam internet banking
membutuhkan perlindungan hukum yang jelas dan pasti serta pengamanan
data nasabah secara efektif. Karena perlindungan terhadap konsumen jasa
perbankan telah berpindah dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) tidak menutup kemungkinan bahwa peraturan Bank Indonesia
masih digunakan selama peraturan OJK belum ada atau tidak bertentangan
dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketiga, Skripsi Yuanita Suryo (Universitas Sebelas Maret
Surakarta Fakultas Hukum) 2013, dengan judul Skripsi “Fungsi
Pengaturan Dan Pengawasan Perbankan Di Indonesia Setelah
Disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa Keuangan”. Skripsi ini menjelaskan tentang fungsi pengaturan dan
pengawasan perbankan di Indonesia setelah adanya pengalihan
kewenangan dari Bank Indonesia (BI) kepada Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), serta implikasi fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan
setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa setelah disahakannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan, fungsi pengaturan dan pengawasan
perbankan di Indonesia yang sebelumnya dijalankan oleh Bank Indonesia
akan dialihkan kepada kepada OJK dan akan sepenuhnya dijalankan oleh
OJK pada tahun 2014.
28
Mencermati hasil dari penelitian terdahulu jelas bahwa penelitian
ini berbeda dengan penulis terdahulu. Dalam penelitian ini penulis
menjelaskan mengenai Implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun
2011 Terhadap Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Perbankan di Bank
Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga serta Hambatan dan Upaya yang
dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Implementasi Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2011 terhadap pengaturan dan pengawasan lembaga
perbankan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga.
G. METODOLOGI PENELITIAN
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
Pendekatan Penelitian ini berdasarkan pada penelitian hukum
yang dilakukan dengan memakai pendekatan Yuridis Normatif.
Pendekatan yuridis Normatif (normative law research)
menggunakan studi hukum normatif berupa produk perilaku hukum,
misalnya mengkaji tentang rancangan undang-undang. Pokok
kajiannya adalah hukum yang dikonsepsikan sebagai norma atau
kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku
setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada
inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum,
penemuan hukum dalam in concreto, sistematika hukum, taraf
29
sinkronisasi hukum, perbandingan hukum serta sejarah hukum
(Muhammad, 2004: 52).
Sisi yuridis dalam penelitian ini akan meninjau peraturan
Undang-undang yaitu, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan menjadi dasar
yuridis dalam pengaturan dan pengawasan lembaga perbankan.
Dalam penelitian ini yang dicari adalah klarifikasi pelaksanaan
(implementasi) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap Pengaturan dan
pengawasan lembaga perbankan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang
Salatiga.
b. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini secara spesifik bersifat deskriptif
analitis artinya, hasil penelitian ini berusaha memberikan gambaran
secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau gejala
yang diteliti (Soekanto, 1986: 10). Jenis ini dimaksudkan untuk
memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data
seteliti mungkin tentang objek yang diteliti.
Penelitian ini untuk menggambarkan pelaksanaan Undang-
undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
khususnya Pasal 7 yang menyatakan bahwa OJK mempunyai
wewenang (1) pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan
bank, seperti perizinan untuk pendirian bank, kegiatan usaha bank,
30
(2) pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank seperti
likuiditas, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum
pemberian kredit, (3) pengaturan dan pengawasan mengenai aspek
kehati-hatian bank seperti prinsip mengenal nasabah, dan anti
pencucian uang, dan (4) pemeriksaan bank. Kajian tentang
implementasi Undang-Undang ini sangat penting karena sesuai
amanat UU No. 21 Tahun 2011 Tentang OJK sejak 31 Desember
2013 fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari BI ke OJK.
Penulis memilih ini, karena metode ini dapat
mendeskripsikan realitas yang ada di masyarakat untuk di
tuntaskan dengan teori hukum yang ada, metode deskriptif analitis
juga bermanfaatkan untuk menggambarkan penulisan dengan jelas
dan terstruktur permasalahan-permasalahan pokok tanpa
melakukan kajian hipotesa maupun perhitungan menggunakan
statistik.
2. Kehadiran Peneliti
Kehadiran Peneliti dalam penelitian ini melakukan, Observasi dan
wawancara secara langsung ke kantor Otoritas Jasa Keuangan
Pimpinan Wilayah IV Jateng yang berada di Semarang dan Bank
Syari’ah Mandiri Cabang Kota Salatiga, sebagai intrumen penggali
data.
31
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang
Salatiga berlokasi Ruko Diponegoro A6 A7 Jalan Diponegoro 77, Kota
Salatiga, Jawa Tengah dengan objek penelitian adalah Bank Syari’ah
Mandiri Cabang Salatiga dan Otoritas Jasa Keuangan Pimpinan
Wilayah IV Jawa Tengah yang berada di Semarang.
Pemilihan objek penelitian tersebut dengan pertimbangan bahwa
sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa sektor keuangan perbankan
beralih dari Bank Indonesia ke Lembaga Otoritas Jasa Keuangan.
4. Sumber Data
Sumber data penelitian adalah sumber dari mana data dapat
diperoleh (Meleong, 2000: 114). Sumber data yang penulis
menggunakan dua sumber data yaitu:
a. Data primer
Data primer adalah kata-kata dan tindakan orang-orang
yang diamati atau diwawancarai (Moleong 2009: 157). Sumber
data primer penelitian ini, penulis peroleh baik melalui kegiatan
observasi dengan ikut terlibat langsung maupun dari hasil
wawancara dengan informan. Data primer diperoleh dari:
1) Informan
Adalah orang yang di manfaatkan untuk memberikan
informasinya tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Jadi,
32
seorang informan harus mempunyai banyak pengalaman
tentang latar penelitian. Seorang informan berkewajiban secara
suka rela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya
bersifat informal (Moleong, 2002: 90). Dalam penelitian ini
yang menjadi informan adalah Manager Pelaksana SDI dan GA
di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga dan Otoritas Jasa
Keuangan Pimpinan Wilayah IV Jawa Tengah yang berada di
Semarang.
2) Dokumen
Dokumen meliputi, buku arsip berkaitan dengan pelaporan
bank kepada Otoritas Jasa Keuangan, buku transakasi nasabah
baik berupa dana tabungan nasabah maupun dana yang
dipinjam oleh nasabah (kredit), Sistem informasi debitur,
Standar akuntansi bank di Bank Syari’ah Mandiri Cabang
Salatiga.
b. Data sekunder
Data sekunder terdiri dari 3 bahan hukum, antara lain bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yaitu
sebagai berikut :
1) Bahan hukum primer meliputi :
a) Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
33
b) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa Keuangan (OJK).
2) Bahan hukum sekunder, di dapat melalui studi kepustakaan
biasanya berupa buku maupun literatur mengenai pandangan
seorang ahli hukum. Literatur dalam penulisan ini antara lain:
a) Buku tentang perbankan
b) Buku dan literatur tentang penelitian.
c) Buku-buku tentang pengaturan dan pengawasan lembaga
perbankan.
d) Website milik Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga dan
Otoritas Jasa Keuangan Pimpinan Wilayah IV Jawa Tengah
yang berada di Semarang.
3) Bahan hukum tersier, adalah bahan hukum sebagai pelengkap
kedua bahan hukum sebelumnya, yaitu berupa:
a) Kamus Besar Bahasa Indonesia.
b) Kamus Hukum.
c) Artikel tentang hukum mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
5. Prosedur pengumpulan data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode penelitian lapangan (Ali, 2009: 107). Data yang
dikumpulkan secara langsung dari sumbernya di tempat penelitian.
Pada pengumpulan data secara primer, penulis menggunakan
beberapa tehnik guna memperoleh data antara lain :
34
a. Observasi (Pengamatan)
Observasi dalam penelitian ini dengan cara mengumpulkan data
yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala
yang tampak pada obyek penelitian yang pelaksanaanya langsung
pada tempat dimana suatu peristiwa, keadaan atau situasi sedang
terjadi (Nawawi, 1995: 94). Pengamatan ini yang dilakukan secara
langsung pada objek yaitu Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga
yang diteliti dan dimungkinkan untuk memberi penelitian pada
objek yang diteliti dengan berpedoman pada Undang-undang No.
21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
b. Wawancara (interview)
Merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih
berhadapan secara langsung dalam proses interview ada dua pihak
yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak sebagai
pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi
sebagai informan atau responden (Romy, 1990: 71). Wawancara
dalam penelitian ini dilakukan kepada informan kunci dan
informan pangkal. Informan kunci yakni dari Bank Syari’ah
Mandiri Cabang Salatiga dan Otoritas Jasa Keuangan Pimpinan
Wilayah IV Jawa Tengah. Karena penelitian yang digunakan
menggunakan dasar penelitian studi kasus atau analisis, maka
pengumpulan data dengan wawancara secara mendalam dianggap
paling tepat karena dimungkinkan untuk mendapat informasi
35
secara detail dari objek yang diteliti. Wawancara mendalam
dilakukan secara langsung terhadap informan yang berpedoman
pada daftar pertanyaan yang sudah disusun oleh peneliti
sebelumnya.
6. Analisis data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif
analisis. Analisis data yang dapat digunakan adalah pendekatan
kualitatif terhadap data primer dan sekunder, dengan menggunakan
pola pikir deduktif yang menganalisis Implementasi Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap
pengaturan dan pengawasan lembaga perbankan di Bank Syari’ah
Mandiri Cabang Salatiga. Setelah pengumpulan data terkumpul
kemudian data tersebut di analisis seperlunya agar diperoleh data yang
matang dan akurat. Untuk menganalisisnya, data-data yang diperoleh
kemudian direduksi, dikategorikan dan selanjutnya disentisasi atau
disimpulkan (Moleong, 2011: 288).
7. Pengecekan keabsahan data
Dalam suatu penelitian, validalitas data mempunyai pengaruh yang
sangat besar dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga
untuk mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknik untuk
memeriksa keabsahan data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam
membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moleong,
36
2004: 330). Pengeceken keabsahan data dalam penelitian ini
menggunakan triangulasi data dimana dengan membandingkan apa
yang telah diatur oleh Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan dengan hasil penelitian pengaturan dan
pengawasan lembaga perbankan di bank Syari’ah mandiri cabang
Salatiga.
8. Tahap-tahap Penelitian
Pengumpulan awal data dilakukan dengan melakukan studi
kepustakaan yakni dengan mengumpulkan bahan peraturan perundang-
undangan, buku maupun literatur lain yang berkaitan dengan
permasalahan yang hendak diteliti. Setelah itu penulis melakukan
observasi lapangan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga untuk
mencari gambaran mengenai permasalahan yang akan di teliti.
Setelah melakukan observasi penulis melaksanakan wawancara
dengan Manager Pelaksana SDI dan GA di Bank Syari’ah Mandiri
Cabang Salatiga. Yakni dengan mengajukan beberapa pertanyaan
mendasar tentang pengaturan dan pengawasan perbankan yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan ke Bank Syari’ah Mandiri
Cabang Salatiga sesuai dengan rumusan masalah yang penulis
perlukan. Sehingga memudahkan penulis untuk lebih memahami
pokok permasalahan yang akan diteliti.
37
H. SISTEMATIKA PENELITIAN
Agar diperoleh penelitian yang sistematis, terarah serta mudah di
pahami dan dapat dimengerti oleh para pembaca pada umumnya, maka
penulisan skripsi ini dibagi ke dalam lima bab, dimana masing-masing bab
dibagi atas beberapa sub bab. Urutan bab tersebut tersusun secara
sitematik dan saling berkaitan antara satu dengan sama lain. Uraian
singkat atas bab-bab dan sub bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
BAB I Bab ini merupakan bab pendahuluan, yang menguraikan
tentang Latar belakang masalah, Fokus Penelitian, Tujuan
Masalah, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Tinjauan
Pustaka, Kerangka Teoritik, Metode Penelitian yang berisi
tentang Jenis penelitian dan pendekatan, Kehadiran Peneliti,
Lokasi Penelitian, Kebutuhan dan Sumber Data, Teknik
Pengumpulan Data, Analisia Data, Pengecekan Keabsahan
Data, Tahap-Tahap Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II Bab ini merupakan yang berisi Tinjauan umum tentang
Otoritas Jasa Keuangan dan Perbankan meliputi, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan, Lembaga Perbankan, Penilaian Kesehatan Bank dan
Prinsip-prinsip Perbankan.
BAB III Bab ini merupakan yang berisi Gambaran Pengaturan dan
Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Bank Syari’ah
Mandiri (BSM) Cabang Salatiga meliputi, Gambaran Umum
38
Mengenai Bank Syari’ah Mandiri, Pengaturan dan Pengawasan
Otoritas Jasa Keuangan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang
Salatiga, Hambatan dan Upaya Otoritas Jasa Keuangan dalam
Implementasi UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK terhadap
pengaturan dan pengawasan Lembaga perbankan di Bank
Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga.
BAB IV Bab ini merupakan yang berisi Pembahasan meliputi,
Implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011
Terhadap Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Perbankan di
Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga, serta Hambatan dan
upaya yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dalam
Implementasi UU No. 21 Tahun 2011 terhadap pengaturan dan
pengawasan lembaga perbankan di Bank Syari’ah Mandiri
Cabang Salatiga.
BAB V Bab ini merupakan penutup yang berisi mengenai, Kesimpulan
dan Saran-saran yang mungkin berguna bagi perkembangan
hukum perbankan di Indonesia serta Rekomendasi.
39
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN
DAN PERBANKAN
A. OTORITAS JASA KEUANGAN
1. Latar Belakang Pembentukan OJK
Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya
keresahan dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank
Indonesia. Ada tiga hal yang melatar belakangi pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan, yaitu perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia,
permasalahan lintas sektoral industri jasa keuangan, dan amanat Pasal 34
Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Pasal ini
merupakan respon dari krisis yang terjadi pada 1997/1998 yang
berdampak pada Indonesia mengakibatkan banyak bank yang mengalami
koleps sehingga timbul keresahan terhadap Bank Indonesia dalam
mengawasi bank-bank di Indonesia. Ide awal pembentukan OJK
sebenarnya hasil kompromi untuk menghindari jalan bentuk pembahasan
undang-undang tentang Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(Suteki, 2004: 36).
Secara historis gagasan pembentukan otoritas terjadi pasca krisis
ekonomi pada tahun 1997 yang melumpuhkan industri perbankan, kondisi
ini memperlihatkan lemahnya perlindungan terhadap konsumen perbankan
yang menyebabkan Bank Indonesia harus mengeluarkan talangan liquidity
support atau dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan total
40
Rp. 218,3 triliun (Gemala, 2006: 199). Dana yang diberikan tidak hanya
bank swasta namun kepada Bank Exsim yang sekarang sudah dilebur ke
dalam Bank Mandiri. Gagasan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank
sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank
sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan yaitu Pasal 34
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan:
(a) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-
Undang; (b) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Sedangkan pengawasan yang dilakukan yaitu terhadap bank dan
perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi
asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan
pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan
dana masyarakat.
Namun pada tahun 2004 pemerintah dan DPR tidak juga
melahirkan otoritas baru tetapi merevisi Undang-undang Bank Indonesia,
pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bank
Indonesia yang memberikan indepedensi kepada bank sentral tujuannya
agar Bank Indonesia dengan pengelolaan moneter negara tidak perlu
41
dipusingkan lagi dengan masalah pengawasan yang selalu bersifat teknis
(Sulistio, 2004: 252).
Pada akhir tahun 2010 Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan
belum juga selesai. Perencanaan awal yang akan disahkan pada rapat
paripurna 17 Desember 2010 tidak terlaksana. Pemerintah dan DPR tidak
sepakat mengenai struktur dan tata cara pembentukan Komisioner OJK,
pemerintah mengusulkan Dewan Komisioner terdiri dari tujuh anggota dan
dua orag diantaranya merupakan ex-officio yang otomatis berasal dari
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia
(http://www.lipsus.kontan.co.id, diunduh 15 Januari 2015, Pukul 13.16
Wib).
Pada tahun 2011, parlemen (DPR) yang diketuai Priyo Budi
Santoso menyetujui pengesahan RUU OJK menjadi Undang-Undang
dalam rapat Paripurna DPR Oktober 2011, dengan hasil: (1) fungsi
penyelidikan dan penyidikan OJK disepakati; (2) masa transisi Bank
Indonesia yaitu 3 tahun sejak OJK diundangkan atau ahir 2014, untuk
Bapepam-LK harus sudah melebur pada akhir 2012; (3) Dewan
Komisioner harus sudah dipilih pada juni 2012 yang mana penyeleksi
calon Dewan Komisiosner oleh Menteri Keuangan (http://vibiznews.com,
diunduh 15 Januari 2015 Pukul 14.05 Wib).
Pada bulan Januari 2012 Presiden telah membentuk panitia seleksi
pemeilihan sembilan calon anggota Dewan Komisioner OJK dan pada Juli
2012 terpililah ketua dewan komisioner merangkap anggota dan delapan
42
dewan komisioner merangkap anggota lainnya, OJK memiliki struktur
dengan unsur chek and balance terlihat dari pemisahan jelas antara fungsi
pengaturan dan fungsi pengawasan bertujuan untuk sebagai berikut : (1)
Menciptakan ketegasan pemisahan antara tanggung jawab dengan
regulator (Dewan Komisioner) dengan tanggung jawab supervisior
(kepala eksekutif masing-masing pengawas perbankan, pasar modal dan
industri keuangan non bank); (2) menghindari pemusatan kekuasaan yang
terlalu besar pada satu pihak agar tidak terjadi penyalahgunaan
kewenangan; (3) mendorong terjadinya pembagian kerja (division of
labor) sehingga tercipta profesionalisme dari spesialisasi di masing-
masing fungsi pengaturan dan pengawasan (Naskah Akademik OJK,
2010: 4).
Pengalihan pengawasan perbankan dan non perbankan akhirnya
secara resmi dilimpahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan pada 1 Januari
2014, agenda diawal tahunya mengawasi pasar modal, perbankan, reksa
dana dan dana pensiun dengan masalah penarikan dana stimulus oleh bank
sentral Amerika Serikat atau taing off yang mempengaruhi kinerja
ekonomi dan pasar modal Indonesia.
2. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawas jasa
keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan
pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Keberadaan Otoritas Jasa
43
Keuangan ini sebagai suatu lembaga pengawas sektor keuangan di
Indonesia perlu untuk diperhatikan, karena harus dipersiapkan dengan baik
segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut(Sundari, 2011: 44).
Pada 22 November 2011, telah disahkan dan diundangkan Undang-
undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5253. Menurut pasal 1 angka1
Undang-undang No. 21 Tahun 2011, Menyebutkan: “Otoritas Jasa
Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan”.
Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa Otoritas Jasa Keuangan
adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri
perbankan, pasar modal, reksa dana, perusahaan pembiayaan, dana
pensiun dan asuransi. Pada dasarnya UU tentang OJK ini hanya mengatur
mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari
lembaga yang memiliki kekuasaan didalam pengaturan dan pengawasan
terhadap sektor jasa keuangan. Oleh karena itu, dengan dibentuknya OJK
diharapkan dapat mencapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif
didalam penanganan masalah-masalah yang timbul didalam sistem
keuangan. Dengan demikian dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas
44
sistem keuangan dan adanya pengaturan dan pengawasan yang lebih
terintegrasi (Sinaga, 2013: 2).
3. Tujuan dan Asas-asas Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa
keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksa dana, asuransi,
dana pension dan perusahaan pembiyaan. Secara normative ada empat
tujuan pendirian OJK (1), meningkatkan dan memelihara kepercayaan
publik di bidang jasa keuangan, (2) menegakkan peraturan perudang-
undangan di bidang jasa keuangan, (3) meningkatkan pemahaman public
mengenai bidang jasa keuangan, dan (4) melindungi kepentingan
konsumen jasa keuangan (Sutedi, 2014: 42).
Menurut Pasal 4 UU OJK, Otoritas Jasa Keuangan dibentuk
dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan disektor jasa
keuangan: (a) Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
(b) Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil; (c) Mampu melindungi kepentingan Konsumen
dan masyarakat.
Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan
sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing
nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional
antara lain sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan
45
kepemilikan disektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan
aspek globalisasi (Kajian Akademik, 29).
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi atas prinsip-prinsip
tata kelola yang baik yang meliputi idependensi, akuntabilitas,
pertanggung jawaban, transparasi dan kewajaran. Otoritas Jasa Keuangan
melaksanakan tugas dan wewenangan berdasarkan asas-asas sebagai
berikut:
a. Asas independensi, yakni idependen dalam pengambilan keputusan
dan pelakasanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, dengan tetap
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam Negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undang dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggara Otoritas Jasa Keuangan.
c. Asas kepentingan Umum, yakni asas yang membela dan melidungi
kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan
umum.
d. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggara Otoritas Jasa Keuangan.
e. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan
tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
46
f. Asas Intregitas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral
dalam setiap tidadakan dan keputusan yang diambil dalam
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.
g. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa
keuangan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada publik (Sutedi,
2014: 113).
4. Struktur Otoritas Jasa Keuangan
Sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola dan asas-asas di atas,
Otoritas Jasa Keuangan harus memiliki struktur dengan prinsip chek and
balance. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas
antara fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan yang
dilakukan oleh dewan komisioner melalui pembagian tugas yang jelas
demi pencapaian tujuan Otoritas Jasa Keuangan. Tugas dewan komisioner
melalui bidang tugas terkait kode etik, pengawasan internal melalui
mekanisme dewan audit, edukasi, dan perlindungan konsumen, serta
fungsi, tugas dan wewenang pengawasan (Sutedi, 2014: 114).
Struktur Otoritas Jasa Keuangan diatur pada BAB IV Pasal 10
sampai 25 Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan. Strukur Otoritas Jasa Keuangan lebih dikenal dengan nama
Dewan Komisioner. Dewan Komisioner ini beranggotakan sembilan orang
47
anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Susunan Dewan
Komisioner ini terdiri sebagai berikut:
a. Seorang Ketua merangkap anggota.
b. Seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota.
c. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota.
d. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap
anggota.
e. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
merangkap anggota.
f. Seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota. Seorang anggota
yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen.
g. Seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan
anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia.
h. Seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang
merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.
i. Anggota Dewan Komisioner memiliki hak suara yang sama.
Secara kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan berada di luar
pemerintahan dimaknai terlepas dan tidak menjadi bagian dari kekuasaan
pemerintah, namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur
kekuasaan pemerintah, karena hakikatnya OJK disektor jasa keuangan yang
48
memiliki relasi yang berkaitan dengan otoritas lain, seperti dalam hal fiskal
dan moneter.
Oleh karena itu lembaga ini mewakilkan unsur-unsur dari otoritas lain
secara ex-officio. Keberadaan ex-officio bertujuan dalam koordinasi, kerja
sama, harmonisasi dalam fiscal moneter dan sector jasa keuangan. keberadaan
ex-officio juga diperlukan dalam menjaga kestabilitasan nasional dalam
persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi,
pertukaran informasi demi memelihara stabilitas sistem keuangan. OJK harus
merupakanbagian dari sistem penyelenggara urusan pemerintah yang
berinteraksi dengan lembaga-lembaga Negara lainnya (Sutedi, 2014:113).
5. Hubungan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan
OJK sebagai lembaga otoritas yang dibentuk dari integrasi dua
lembaga besar, yaitu Direktorat Pengatur dan Pengawas Perbankan Bank
Indonesia dan Bapepam LK, Kementerian Keuangan akan menghadapi
beberapa persoalan teknis dalam pelaksanaan tugas dan wewenanganya
sebagai akibat dari peralihan kewenangan dari lembaga yang lama. Selain
kendala kelambanan waktu, efektifitas lembaga dan cakupan wilayah
kerja, OJK menghadapi permasalahan dalam mencapai model integrasi
yang optimal karena peran dan kepentingan masing-masing cenderung
berbeda yakni antara prinsip prudensial pada perbankan dan lembaga
keuangan serta disclosure pada pasar modal.
49
Dalam penjelasan umum UU tentang OJK telah tampak adanya
kesadaran preventif dari pembentuk UU ini terhadap masalah keterkaitan
kewenangan OJK dengan beberapa otoritas lain seperti otoritas moneter
dan otoritas fiskal. Hal ini tergambar antara lain dari struktur dan unsur
kelembagaan yang secara kelembagaan, OJK berada di luar pemerintah
dan tidak menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah (Khopiatuziadah,
2012).
Berdasarkan Pasal 39 Undang-undang No. 21 Tahun 2011 dalam
melaksanakan tugasnya, Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan
Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang
Perbankan antara lain:
a. Kewajiban pemenuhan modal minimum bank.
b. Sistem informasi perbankan yang terpadu.
c. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta
asing, dan pinjaman komersial luar negeri.
d. Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya.
e. Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important
bank dan data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang
kerahasiaan informasi.
Selanjutnya dalam Pasal 44 Undang-undang No. 21 Tahun 2011
hubungan kelembagaan antara lain:
1) Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum
Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan anggota terdiri atas:
50
a) Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator.
b) Gubernur Bank Indonesia selaku anggota.
c) Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota.
d) Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku
anggota.
2) Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dibantu kesekretariatan
yang dipimpin salah seorang pejabat eselon I di Kementerian
Keuangan.
3) Pengambilan keputusan dalam rapat Forum Koordinasi Stabilitas
Sistem Keuangan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
4) Dalam hal musyawarah untuk mufakat jika tidak tercapai maka
pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
B. PENGATURAN DAN PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN
1. Otoritas Jasa Keuangan sebagai Otoritas Pengawas Bank
Kegiatan perbankan yang dilakukan sehari-hari, baik oleh bank
umum maupun bank perkreditan rakyat tidak terlepas dari berbagai
kesalahan. Kesalahan ini dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak
sengaja. Oleh karena itu, agar dunia perbankan dapat berjalan sesuai
dengan peraturan yang telah ditetapkan, maka perlu dilakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap segala aktivitas yang dilakukan oleh dunia
perbankan. Pelaksanaan pembinaan pengawasan terhadap dunia perbankan
di Indonesia dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pembinaan dan
51
pengawasan bank yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan tersebut
amanat yang diberikan di Pasal 6 point a, Undang-undang Nomor 21
Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (Hikmah, 2007: 7). Jadi,
Otoritas sebagai Pembina dan pengawas terhadap bank berada di Otoritas
Jasa Keuangan (Usman, 2003: 127).
Seperti telah dibahas sebelumnya, dasar hukum lahirnya Otoritas
Jasa Keuangan adalah Pasal 34 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004.
Dalam Pasal tersebut dinyatakan tugas mengawasi Bank akan dilakukan
oleh lembaga pengawasan yang independen. Istilah pengawasan dalam
bahasa Indonesia asal katanya adalah “awas”, sehingga pengawasan
merupakan kegiatan mengawasi saja, dalam arti melihat sesuatu dengan
seksama. Tidak ada kegiatan di luar itu, kecuali melaporkan hasil kegiatan
mengawasi tadi (Situmorang dan Juhir, 1994: 17).
Akan tetapi, bila kita lihat dalam Pasal 9, OJK berwenang
memberikan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan. Seharusnya apabila konsisten dengan tugas pengawasan yang
diberikan oleh Bank Indonesia, OJK hanya melakukan pengawasan dan
melaporkan hasil pengawasan yang dilakukan kepada Badan Pemeriksa
Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Jika kita melihat tugas dan wewenang Bank Indonesia, yaitu:
a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan
52
c. Mengatur dan mengawasi Bank (Gozali, dan Rachmadi, 2010: 107).
Dari ketiga tugas diatas, Otoritas Jasa Keuangan mendapat amanat
untuk melakukan tugas pengawasan terhadap Bank. Akan tetapi dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-undang OJK menyatakan Otoritas Jasa Keuangan,
yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan
bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Dalam
rumusan Pasal tersebut muncul wewenang tambahan yaitu pengaturan.
Artinya, Undang-undang OJK ini memberikan kewenangan yang lebih
dari sekedar pengawasan terhadap sektor perbankan (Indaryanto, 2012).
Otoritas jasa Keuangan sebagai otoritas perbankan berdasarkan
ketentuan perundangan memiliki kewenangan untuk membuat dan
menerapkan perundangan (right to regulate) yang berkaitan dengan
kegiatan operasional sebuah bank (Siamat, 2005: 193).
Sedangkan sebagai pembina dan pengawasan perbankan di
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan peran dan
fungsinya tidak terlepas tujuannya yang diatur secara eksplisit di dalam
Pasal 5 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 yaitu Otoritas Jasa
Keuangan memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan.
53
2. Pelaksanaan Pengaturan dan Pengawasan Bank
Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan mengawasi bank,
menurut ketentuan Pasal 6 Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Otoritas
Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
(a) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; (b) Kegiatan jasa
keuangan di sektor Pasar Modal; (c) Kegiatan jasa keuangan di sektor
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya.
Selanjutnya dalam Pasal 7 Undang-undang No. 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa untuk
melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Otoritas Jasa Keuangan
mempunyai wewenang:
a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang
meliputi sebagai berikut:
1) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran
dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya
manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan
izin usaha bank.
2) Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,
produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.
b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi
sebagai berikut:
54
1) Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan
modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio
pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank.
2) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank.
3) Sistem informasi debitur.
4) Pengujian kredit (credit testing).
5) Standar akuntansi bank.
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank,
meliputi sebagai berikut:
1) Manajemen risiko.
2) Tata kelola bank.
3) Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang.
4) Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan.
d. Pemeriksaan bank.
Sementara itu dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disebutkan untuk melaksanakan tugas
dan pengaturan dalam mejalankan perannya sebagai dimaksud dalam pasal 6,
OJK mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. Menetapkan peraturan pelaksanaan.
b. Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
c. Menetapkan peraturan dan keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
d. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan.
55
e. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas Otoritas Jasa
Keuangan.
f. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis
terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu.
g. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter
pada Lembaga Jasa Keuangan.
h. Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban.
i. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Ditambah pada Pasal 9 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa (OJK) untuk melaksanakan tugas pengawasannya
sebagaimana dalam Pasal 6, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang
sebagai berikut:
a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan.
b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif.
c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku,
dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
56
d. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau
pihak tertentu.
e. Melakukan penunjukan pengelola statuter.
f. Menetapkan penggunaan pengelola statuter.
g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
h. Memberikan dan/atau mencabut sebagai berikut: (1) Izin usaha, (2) Izin
orang perseorangan, (3) Efektifnya pernyataan pendaftaran, (4) Surat tanda
terdaftar, (5) Persetujuan melakukan kegiatan usaha, (6) Pengesahan, (7)
Persetujuan atau penetapan pembubaran, (8) Penetapan lain, sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan.
Tugas pengaturan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-
udang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dilaksanakan oleh dewan
Komisioner OJK, Peraturan Dewan Komisioner, dan/atau Keputusan Dewan
Komisioner. Berdasarkan UU OJK, selaku pimpinan OJK anggota Dewan
Komisioner memiliki tugas sebagai berikut:
a. Menetapkan struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi, rancang bangun
infrastruktur dan teknologi informasi, sistem sumber daya manusia, dan
standar prosedur operasional.
b. Menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK tahun 2013.
c. Mengangkat pejabat dan pegawai OJK
d. Mengangkat pejabat dan pegawai organ pendukung Dewan Komisioner.
57
e. Menetapkan hal lain yang dioerlukan dalam rangka pengalihan fungsi,
tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan
dan badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola dan asas-asas di atas,
Otoritas Jasa Keuangan harus memiliki struktur dengan prinsip “checks and
balances”. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas
antara fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan.
Fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan dilakukan
oleh Dewan Komisioner melalui pembagian tugas yang jelas demi pencapaian
tujuan Otoritas Jasa Keuangan. Tugas anggota dewan komisioner meliputi
bidang tugas terkait kode etik, pengawasan internal melalui mekanisme dewan
audit, edukasi dan perlindungan konsumen, serta fungsi, tugas, dan wewenang
pengawasan untuk sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
(Joyosumarto, 2012: 3).
C. LEMBAGA PERBANKAN
1. Pengertian Bank
Apabila dilihat dari terminologinya, kata “bank” berasal dari
bahasa Italy “banca” yang berarti “bence” yaitu suatu bangku tempat
duduk. Sebab, pada zaman pertengahan, pihak banker Italy memberikan
58
pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk di
bangku-bangku di halaman pasar (Fuady, 1999: 13).
Pengertian bank secara otentik telah dirumuskan di dalam Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok Perbankan dan
Undang-undang Perbankan yang telah diubah, yaitu Undang-undang No.
10 Tahun 1998. Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 1998 bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Dalam pembicaraan sehari-hari, bank dikenal sebagai lembaga
keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan dan
deposito. Kemudian banyak juga dikenal sebagai tempat untuk meminjam
uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya. Disamping itu,
bank juga dikenal sebagai tempat menukar uang, memindahkan uang atau
menerima segala macam bentuk pembayaran dan setoran seperti
pembayaran listrik, telepon, air, pajak, uang kuliah dan pembayaran
lainnya (Kasmir, 2009: 25).
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan secara lebih luas lagi
bahwa bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang
keuangan, artinya aktifitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang
keuangan. Sehingga berbicara mengenai bank tidak lepas dari masalah
keuangan. Aktifitas perbankan yang pertama adalah menghimpun dana
59
dari masyarakat luas yang dikenal dengan istilah di dunia perbankan
adalah funding. Pengertian menghimpun dana maksudnya adalah
mengumpulkan atau mencari dana dengan cara membeli dari masyarakat
luas.
Pembelian dana dari masyarakat ini dilakukan oleh bank dengan
cara memasang produk-produknya sebagai strategi agar masyarakat mau
menananamkan dananya dalam bentuk simpanan. Jenis simpanan yang
dapat dipilih oleh masyarakat adalah sperti giro, tabungan, sertifikat
deposito dan deposito berjangka (Kasmir, 2009: 26).
2. Asas Perbankan
Mengenai asas perbankan yang dianut di Indonesia dapat diketahui
dari ketentuan Pasal 2 Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 yang
mengemukan bahwa, Perbankan Indonesia dalam melakukan usahnya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-
hatian. Menurut penjelasan resminya yang dimaksudkan dengan
demokrasi ekonomi adalah demokrasi berdasrkan Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945 (Putri, 2008: 24).
Mengenai apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian
sebagaiman disebutkan dalam Pasal 2 Undang-undang Perbankan diatas
tidak ada penjelasan secara resmi, tetapi dapat dikemukakan bahwa bank
dan orang-orang yang terlibat didalamnya, terutama dalam membuat
kebijakan dan menjalankan kegiatan usahanya wajib menjalankan tugas
60
dan wewenangnya masing-masing secara cermat, teleti, dan professional
sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat. Selain itu, bank dalam
membuat kebijakan dan menjalankan kegiatan usahanya harus selalu
mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku secara
konsisten dengan didasari oleh itikad baik. Kepercayaan masyarakat
merupakan kata utama bagi berkembangnya atau tidaknya suatu bank,
dalam arti tanpa adanya kepercyaan dari masyarakat suatu bank tidak akan
mampu menjalankan kegiatan usahanya (Hermansyah, 2007: 19, 20).
3. Fungsi Perbankan
Fungsi perbankan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 Undang-
undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 yang merumuskan fungsi utama
perbakan Indonesia adalah sebagai penghimpun dana masyarakat. Dari
Pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi bank dalam sistem
hukum perbankan di Indonesia sebagai intermediary bagi masyarakat yang
surplus dana dan masyarakat yang kekurangan dana. Penghimpunan dana
masyarakat yang dilakukan oleh bank berdasarkan pasal tersebut
dinamakan “ simpanan”, Sedangkan penyalurannya kembali dari bank
kepada masyarakat dinamakan “kredit”. Kesimpulan ini mengandung
konsep dasar dari sistem perbankan bahwa dana dari masyarakat yang
ditempatkan pada perbankan disebut “simpanan”, tetapi dana bank yang
ditempatkan pada masyarakat disebut kredit (Widiyono, 2006: 7).
61
4. Tujuan Perbankan
Kehadiran bank sebagai suatu badan usaha tidak semata-mata
bertujuan bisnis, namum ada misi lain, yakni peningkatan kesejahteraan
masyarakat pada umumnya.
Secara lengkap mengenai hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 4
Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang merumuskan
perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi
dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak
(Sembiring, 2000: 8).
5. Jenis-jenis Bank
Dalam praktiknya perbankan di Indonesia saat ini terdapat
beberapa jenis perbankan seperti diatur dalam undang-undang perbankan.
Jika kita melihat jenis perbankan sebelum keluar Undang-undang
Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 dengan sebelumnya yaitu Undang-
undang No. 14 Tahun 1967, maka terdapat beberapa perbedaan. Namun
kegiatan utamanya atau pokok bank sebagai lembaga keuangan yang
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana tidak berbeda
dengan satu sama lainnya (Kasmir, 2004: 18).
Perbedaan jenis perbankan dapat dilihat dari segi fungsinya, serta
kepemilikannya. Dari segi fungsi dapat perbedaan yang terjadi terletak
pada luasnya kegiatan atau jumlah produk yang dapat ditawarkan serta
62
jangkauan wilayah operasinya. Sedangkan kepemilikan perusahaan dilihat
dari segi kepemilikan sahamnya.
Perberbedaan lainnya adalah dapat dilihat dari segi siapa nasabah
yang mereka layani apakah masyarakat luas atau masyarakat lokasi
tertentu. Jenis perbankan juga di bagi ke dalam bagaimana caranya
menetukan harga jual dan harga beli atau dengan kata lain cara mencari
keuntungan.
Adapun jenis perbankan jika dilihat dari berbagai segi antara lain :
a. Dilihat dari segi fungsinya
Menurut Undang-undang Pokok Perbankan Nomor 14 Tahun 1967
jenis perbankan menurut fungsinya terdiri dari : (1) Bank Umum; (2)
Bank Pembangunan; (3) Bank Tabungan; (4) Bank Pasar; (5) Bank
Desa; (6) Lumbung Desa; (7) Bank Pegawai.
Namun setelah keluar UU pokok Perbankan Nomor 7 Tahun 1992
dan ditegaskan lagi dengan dikeluarnya Undang-undang RI. Nomor 10
Tahun 1998 maka jenis perbankan berdasarkan fungsinya terdiri dari :
a) Bank umum
b) Bank Perkreditan Rakyat
Bentuk Bank pembangunan dan bank tabungan yang semula
berdiri sendiri dengan keluarnya Undang-undang di atas berubah
fungsinya menjadi bank umum. Sedangkan Bank Desa, Bank Pasar
Lambung Desa dan Bank Pegawai menjadi Bank Prekeditan Rakyat
(BPR).
63
Pengertian Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sesuai
dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 adalah sebagai berikut:
a) Bank Umum
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syari’ah
yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti
dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Begitu pula
dengan wilayah operasinya dapat dilakukan diseluruh wilayah
Indonesia, bahkan keluar negeri (cabang). Bank umum sering
disebut komersil (commercial Bank).
b) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syari’ah. Dalam kegiatannya BPR tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran. Artinya jasa-jasa perbankan yang
ditawarkan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan
kegiatan atau jasa bank umum (Kasmir, 2004: 19,20).
b. Dilihat dari segi kepemilikannya
Ditinjau dari segi kepemilikan maksudnya adalah siapa saja yang
memiliki bank tersebut. Kepemilikan ini dapat dilihat dari akte
pendirian dan penguasaan saham yang dimiliki bank yang
64
bersangkutan. Jenis Bank dilihat dari segi kepemilikannya sebagai
berikut:
1) Bank milik pemerintah
Merupakan Bank yang akte pendirian maupun modal bank ini
sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia, sehingga seluruh
keuntungan bank ini dimiliki oleh pemerintah pula. Contoh bank-
bank milik pemerintah Indonesia antara lain, Bank Negara
Indonesia 46 (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank tabungan
Negara (BTN), Bank Mandiri.
Kemudian Bank Pemerintah Daerah (BPD) terdapat di
daerah ditingkat I dan tingkat II masing-masing provinsi. Modal
BPD sepenuhnya dimilki Pemda masing-masing. Contoh :BPD
DKI Jakarta, BPD Jawa Barat, BPD Jawa Tengah, BPD DI.
Yogyakarta, BPD Jawa timur, dll. (Kasmir, 2004: 20).
2) Bank milik swasta nasional
Merupakan bank yang seluruh atau sebagian besar sahamnya
dimiliki swasta nasional. Kemudian akte pendirianyapun didirikan
oleh swasta, begitu pula dengan pembagian keuntungannya untuk
keuntungan swasta pula. Contoh Bank Bumi Putra, Bank
Danamon, Bank Muamalat.
65
3) Bank milik koperasi
Merupakan bank yang kepemilikan saham-sahamnya dimilki oleh
perusahaan yang berbadan hukum koperasi. Contoh bank jenis ini
adalah Bank Umum Koperasi Indonesia (BUKOPIN).
4) Bank milik asing
Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri,
baik swasta asing maupun pemerintah asing. Kepemilikannya pun
jelas dimiliki oleh pihak asing luar negeri. Contoh: ABN AMRO
Bank, America Express Bank, Bank of America.
5) Bank milik campuran
Kepemilikan saham bank campuran dimiliki oleh pihak asing dan
pihak swasta nasional. Kepemilikan saham secara mayoritas
dipegang oleh warga Negara Indonesia. Contoh: Bank Ficonesia,
Bank Sakura Swadarma, Mitsubisi Buana Bank.
c. Dilihat dari segi status
Dilihat dari segi kemampuannya melayani masyarakat, bank
umum dapat dibagi menjadi dua jenis. Pembagian jenis ini disebut juga
pembagian berdasarkan kedudukan atau status bank tersebut.
Kedudukan atau status ini menunjukan ukuran kemampuan bank
dalam melayani masyarakat baik dari segi produk, modal, maupun
kualitas pelayanannya. Untuk memperoleh status tertentu diperlukan
penilaian-penilaian dengan kriteria tertentu pula. Jenis Bank dilihat
dari segi status adalah sebagai berikut:
66
1) Bank devisa
Merupakan bank yang dapat melaksanakan transaksi keluar negeri
atau berhubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan,
misalnya transfer keluar negeri, inkaso keluar negeri, trevellers
chaque, pembukaan dan pembayaran letter of credit dan transaksi
lainnya. Persyaratan untuk menjadi bank devisa ini ditentukan oleh
Bank Indonesia.
2) Bank non devisa
Merupakan bank yang belum mempunyai izin untuk melaksanakan
transaksi sebagai bank devisa, sehingga tidak dapat melaksanakan
transaksi seperti halnya bank devisa. Jadi bank non devisa
merupakan kebalikan dari pada bank devisa, dimana transaksi yang
dilakukan masih dalam batas-batas Negara.
d. Dilihat dari segi cara menentukan harga
Jenis bank dapat dilihat dari segi atau caranya dalam menentukan
harga, baik harga jual maupun harga beli terbagi dalam 2 kelompok
yaitu:
1) Bank yang berdasarkan prinsip konvensional (barat)
Mayoritas bank yang berkembang di Indonesia adalah bank
berorientasi pada prinsip konvensional. Hal ini tidak terlepas dari
sejarah bangsa Indonesia dimana asal mula bank di Indonesia
dibawah colonial belanda. Dalam mencari keuntungan dan
67
menentukan harga kepada nasabahnya, bank yang berdasarkan
prensip konvensional menggunakan dua metode yaitu:
a) Menetapkan bunga sebagai harga, untuk produk simpanan
sperti giro, tabungan maupun deposito. Demikian pula harga
produk untuk untuk pinjaman (kredit) juga ditentukan
berdasarkan dengan tingkat suku bunga tertentu. Penentuan
harga ini dikenal dengan istilah Spread Based.
b) Untuk jasa-jasa bank lainnya pihak perbankan konvensional
menggunakan atau menerapkan berbagai biaya-biaya dalam
nominal atau porsentase tertentu. Sistem pengenaan biaya ini
dikenal dengan istilah Fee Basedd.
2) Bank berdasarkan prinsip islam (Syari’ah)
Bank berdasarkan prinsip syariah belum lama berkembang
di Indonesia. Namun diluar negeri terutama dinegara-negara timur
tengah sperti mesir atau pakistan bank berdasarkan prinsip syariah
sudah berkembang pesat sejak lama.
Bagi bank yang berdasarkan prinsip syari’ah dalam
penentuan haraga produknya sangat berbeda dengan bank
konvensional. Bank berdasarkan prinsip syariah adalah aturan dan
perjanjian berdasarkan hukum islam atara bank dengan pihak lain
untuk menyimpan dana atau pembiyaan usaha atau kegiatan
perbankan lainnya.
68
Dalam menentukan harga atau mencari keuntungan bagi
bank yang berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut:
a) Pembiyaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah)
b) Pembiyaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musyarokah).
c) Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(Murobahah).
d) Pembiyaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa
pilihan (Ijaroh).
e) Atau dengan adanya pilihannya pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (Ijaroh wa
Iqtina) (Kasmir, 2004: 22, 24).
6. Jenis-jenis Kantor Bank
Seperti yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa jika dilihat dari
berbagai segi bank dapat dikategorikan kedalam berbagai jenis. Demikian
pula dalam satu bank terdapat berbagai jenis tingkatan. Jenis tingkatan
yang ditujukan dari volume kegiatan, kelengkapan jasa ditawarkan,
wewenang mengambil keputusan, serta jangkauan wilayah operasinya.
Untuk menentukan tingkatan atau jenis-jenis kantor bank dapat
dilihat dari pertama luasnya kegiatan jasa-jasa bank yang ditawarkan
dalam suatu cabang bank. Luasnya kegiatan ini tergantung dari
kebijaksanaan kantor pusat bank tersebut. Disamping itu besar kecilnya
69
kegiatan cabang bank tersebut tergantung pula dari wilayah operasinya.
Begitu pula dengan wewenang mengambil keputusan suatu masalah,
seperti dalam hal batas pemberian kredit juga dimilki oleh masing-masing
jenis tingkatan. Jenis kantor Bank yang dimaksud sebagai berikut:
a. Kantor Pusat
Merupakan kantor dimana semua kegiatan perencanaan sampai kepada
pengawas terdapat dikantor ini. Setiap bank memiliki satu kantor pusat
tidak melakukan kegiatan operasional sebagai bank lainnya akan tetapi
mengendalikan jalannya kebijaksanaan kantor pusat terhadap cabang-
cabangnya saja dan tidak melayani jasa bank kepada masyarakat.
b. Kantor Cabang Penuh
Merupakan salah satu kantor cabang yang memberikan jasa bank
paling lengkap. Dengan kata lain semua kegiatan perbankan ada di
kantor cabang penuh dan biasanya kantor cabang penuh membawahi
kantor cabang pembantu.
c. Kantor Cabang Pembantu
Merupakan kantor cabang yang berada dibawah kantor cabang penuh
dan kegiatan jasa bank yang dilayani hanya sebagian dari cabang
penuh. Perubahan status dari cabang pembantu ke cabang penuh
dimungkinkan apabila memang cabang tersebut sudah memenuhi
kriteria sebagai cabang penuh dari kantor pusat.
70
d. Kantor Kas
Merupakan kantor bank yang paling kecil dimana kegiatannya hanya
meliputi teller/kasir saja. Dengan kata lain kantor kas hanya
melakukan sebagaian kecil dari kegiatan perbankan dan berada
dibawah cabang pembantu atau cabang penuh. Bahkan sekarang ini
banyak kantor kas yang dilayani dengan mobil dan disebut kas keliling
(Kasmir, 2004: 25, 26).
D. PENILAIAN KESEHATAN BANK DAN PRINSIP-PRINSIP
PERBANKAN
1. Penilaian Kesehatan Bank
Sebagaimana layaknya manusia, di mana kesehatan merupakan hal
yang sangat penting di dalam kehidupannya. Tubuh yang sehat akan
meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan lainnya. Begitu pula
dengan perbankan harus dinilai kesehatannya agar tetap prima dalam
melayani para nasabahnya.
Untuk menilai suatu kesehatan bank dapat dilihat dari berbagai
segi. Penilaian ini bertujuan untuk menentukan apakah bank tersebut
dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat dan tidak sehat
sehingga Bank Indonesia sebagai pengawas dan pembinaan dapat
memberikan arahan atau petunjuk bagaimana bank tersebut harus
dijalankan atau dihentikan kegiatan oprasionalnya.
71
Ukuran untuk melakukan penilaian kesehatan bank telah
ditentukan oleh bank Indonesia. Kepada bank-bank diharuskan membuat
laporan baik yang bersifat rutin ataupun secara berkala mengenai seluruh
aktivitasnya dalam satu periode tertentu.
Penilain kesehatan bank dilakukan setiap tahun, apakah ada
peningkatan atau penurunan. Bagi bank yang kesehatannya terus
meningkat tidak jadi masalah, karena itulah yang diharapkan dan supaya
dipertahankan terus kesehatanya. Akan tetapi, bagi bank yang terus-
menerus tidak sehat, mungkin harus mendapatkan pengarahan atau sanksi
dari Bank Indonesia sebagai pengawas dan pembinaan dari bank-bank.
Bank Indonesia dapat saja menyarankan untuk melakukan perubahan
manajemen, merger, konsolidasi, akusisi atau likuidasi keberadaannya jika
memang sudah parah kondisi bank tersebut (Kasmir, 2009: 49, 50).
Penilaian untuk menentukan kondisi suatu bank biasanya
menngunakan analisis CAMELS, yaitu sebagai berikut:
a. Aspek Permodalan
Yang dinilai adalah permodalan yang ada didasarkan kepada
kewajiban penyediaan modal minimum bank. Penilaian tersebut
didasarkan kepada CAR (Capital Adequaci Ratiao) yang telah
ditetapkan oleh BI. Perbandingan rasio tersebut adalah modal terhadap
aktiva tertimbang menurut risiko (AMTR) dan sesuai dengan
ketentuan pemerintah CAR tahun 1999 minimal 8%.
72
b. Aspek Kualitas Aset
Yaitu untuk menilai jenis-jenis asset yang dimilki oleh bank
penilaian asset harus sesuai dengan peraturan oleh Bank Indonesia
dengan membandingkan antara aktiva produktif yang diklasifikasikan
dengan aktiva produktif. Kemudian rasio penyisihan penyisihan
dihapuskan aktiva produktif terhadap aktiva produktif yang
diklasifikasikan.
c. Aspek Kualitas Manajemen (Management)
Dalam mengelola kegiatan bank sehari-hari juga diniai kualitas
manajemennya. Kualitas manajemen dapat dilihat dari kualitas
manusianya dalam bekerja. Kualitas manajemen juga dilihat dari segi
pendidikan dan pengalaman dari kariyawannya dalam menangani
berbagai kasus-kasus yang terjadi. Dalam aspek ini yang dinilai adalah
management permodalan, manajemen kualitas aktiva, manajemen
umum, manajemen rehabilitas, dan manajemen likuiditas.
d. Aspek Likuiditas
Suatu bank dapat dikatakan likuid, apabila bank yang bersangkutan
dapat membayar semua utang-utangnya terutama simpanan tabungan,
giro, deposito pada saat ditagih dan dapat pula memenuhi semua
permohonan kredit yang layak dibiyai. Secara umum rasio ini
merupakan rasio antara jumlah aktiva lancer dibagi dengan utang
lancer. Yang di analisis dalam rasio ini adalah: (1) Rasio kewajiban
bersih Call Money terhadap aktiva; (2) Rasio kredit terhadap dana
73
yang diterima oleh bank sperti KLBI, giro, tabungan, deposito, dan
lain-lain.
e. Asek Rentabilitas
Merupakan ukuran kemampuan bank dalam meningkatkan labanya
apakah, setiap periode atau mengukur tingkat efisiensi usaha dan
profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan. Bank yang
sehat adalah bank yang diukur secara rentabilitas yang meningkat.
Penilaian juga dilakukan dengan, rasio laba Total Aset (ROA), dan
perbandingan biya operasi dengan pendapatan operasi (BOPO).
Semua aspek penilaian diatas dikenal dengan penilaian analisis
CAMEL (Capital, Aset, Managemen, Earning, Liquidity). Disamping
penilaian analisis CAMEL yang juga mempengaruhi hasil penilaian
terhadap kesehatan bank adalah penilaian terhadap:
1) Ketentuan pelaksanaan pemberi kredit usaha kecil (KUK) dan
pelaksanaan kredit ekspor.
2) Pelanggaran ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK)
atau sering disebut legel lending limit.
3) Pelanggaran posisi devisa netto.
f. Aspek Sensitivitas (Sensitivity)
Aspek ini mulai dilakukan oleh Bank Indonesia sejak bulan Mei
2004. Seperti kita ketahui dalam melepaskan kreditnya, perbankan
harus memperhatikan dua unsur, yaitu tingkat perolehan laba yang
harus dicapai dan resiko yang akan dihadapi. Pertimbangan yang harus
74
diperhitungkan berkaitan erat dengan sensitivitas perbankan.
Sensitivitas terhadap risiko ini penting agar tujuan memperoleh laba
dapat tercapai dan akhirnya kesehatan bank juga terjamin. Resiko yang
dihadapi terdiri dari risiko lingkungan, risiko manajemen, risiko
penyerahan, risiko keuangan (Kasmir, 2009: 51, 53).
2. Prinsip Pengawasan Perbankan
Kegiatan Perbankan merupakan kegiatan yang berkaitan dengan
dana dari masyarakat. Dana tersebut diserahkan kepada lembaga bank,
karena masyarakat menaruh kepercayaan. Karena itulah setiap stake
holder di bidang perbankan wajib menjaga kepercayaan masyarakat.
Untuk menjaga kepercayaan masyarakat tersebut, dunia perbankan wajib
menyelenggarakan tata kelola perbankan dengan prinsip kehati-hatian,
sehingga tingkat kesehatannya terpelihara.
Pengawas perbankan pada prinsipnya terbagi dalam dua jenis,
yaitu, macro-economic supervision dan prudential supervision. Adapun
pemahaman dari kedua hal tersebut adalah:
a. Macro-economic supervision adalah pengawasan dalam rangka
mendorong bank-bank untuk ikut menunjang pertumbuhan ekonomi
dan menjaga kestabilan moneter.
b. Prudential supervision adalah pengawasan yang mendorong bank
secara individual tetap sehat serta mamapu memelihara kepentingan
masyarakat secara baik (Sitompul, 2002: 220).
75
Tujuan yang ingin dicapai oleh macro-prudential supervision adalah
mengarahkan dan mendorong bank serta sekaligus mengawasinya, agar dapat
berperan dalam berbagai program pencapaian sasaran ekonomi makro.
Sedangkan tujuan prudential supervision adalah megupayakan agar setiap
bank secara individual sehat dan aman, serta seluruh industri perbankan sehat,
sehingga kepercayaan masyarakat dapat terjaga. Lembaga bank memang perlu
dipagari dengan berbagai peraturan yang membatasi atau sekurang-kurangnya
mengingatkan mengenai perlunya penanganan resiko secara seksama, dan
bahkan jika perlu melarang bank melakukan kegiatan teretentu yang
mengandung resiko tinggi (Sitompul, 2002: 221).
76
BAB III
GAMBARAN PENGATURAN DAN PENGAWASAN
OTORITAS JASA KEUANGAN DI BANK SYARI’AH
MANDIRI CABANG SALATIGA
A. Gambaran Umum Bank Syari’ah Mandiri
1. Sejarah Berdirinya Bank Syari’ah Mandiri
Latar belakang didirikannya Bank Syari’ah Mandiri (BSM) adalah
dengan adanya krisis moneter dan ekonomi pada tahun 1997 tepatnya
bulan Juli, Krisis tersebut telah mengakibatkan perbankan di Indonesia
yang didorong oleh bank-bank konvensional mengalami kesulitan, yang
menyebabkan pemerintah Indonesia terpaksa mengambil tindakan untuk
merekonstruksi dan merekapitalisasi sebagian bank di Indonesia.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan,
telah memberi peluang yang sangat baik bagi tumbuhnya Bank Syari’ah di
Indonesia. Undang-Undang tersebut telah memungkinkan baik beroperasi
sepenuhnya secara syari’ah atau dengan membuka cabang Syari’ah.
PT. Susila Bakti yang dimiliki oleh Yayasan Kesejahteraan
Pegawai (YKP), PT. Bank Dagang Negara, dan PT. Mandiri Prestasi
berupaya keluar dari krisis 1997-1999 dengan berbagai cara, dari langkah-
langkah menuju merger sampai pada akhirnya memilih menjadi bank
Syari’ah dengan suntikan modal dari pemilik. Dengan terjadinya merger
empat bank (Bank Dagang Negara, Bank Daya, Bank Exim dan Bapindo)
77
ke dalam PT. Bank Mandiri pada tanggal 31 Juli 1999 rencana perubahan
PT Bank Susila Bakti menjadi bank Syari’ah dengan nama Bank Syari’ah
Sakinah diambil alih oleh PT. Bank Mandiri (persero).
PT. Bank Mandiri (persero) selaku pemilik baru mendukung
sepenuhnya dan melanjutkan rencana perubahan PT. Bank Susila Bakti
menjadi bank Syari’ah dengan keinginan PT. Bank Mandiri (persero)
untuk membuka bank Syari’ah, langkah awalnya adalah merubah
anggaran dasar tentang nama Bank Susilo Bakti menjadi menjadi PT.
Bank Syari’ah Sakinah berdasarkan Notaris Ny. Machrani M. S, S.H, No.
29 pada tanggal 19 Mei 1999 kemudian melalui Akta No 23 tanggal 8
September 1999 notaris, nama PT. Bank Syari’ah Sakinah diubah menjadi
PT. Bank Syari’ah Mandiri.
Pada tanggal 25 Oktober 1999 Bank Indonesia melalui surat
keputusan Gubernur Bank Indonesia No.1/24/KEP.BI/1999 telah
memberikan perubahan kegiatan usaha konvensional menjadi kegiatan
usaha berupa prinsip Syari’ah kepada PT. Bank Susila Bakti selanjutnya
dengan surat keputusan deputi Gubernur Bank Indonesia No.1/1/KEP. Dir,
pada tanggal 25 Oktober 1999 Bank Indonesia telah menyetujui Bank
Susila Bakti menjadi Bank Syari’ah Mandiri (BSM), pada tanggal 1
November 1999 merupakan hari pertama beroperasinya PT. Bank Syari’ah
Mandiri (BSM).
Kelahiran Bank Syari’ah Mandiri (BSM) merupakan buah usaha
dari para perintis Bank Syari’ah di PT. Bank Susila Bakti dan manajemen
78
PT. Bank Mandiri (persero) memandang pentingnya kehadiran Bank
Syari’ah di lingkungan PT. Mandiri (persero). Bank Syari’ah Mandiri
(BSM) hadir sebagai bank yang mengkombinasikan idealisme usaha
dengan nilai-nilai rohani yang melandasi operasinya. Adapun untuk
wilayah Salatiga yaitu Bank Syari’ah Mandiri Salatiga berada di Ruko
Diponegoro A6 A7 Jl. Diponegoro 77 Salatiga yang berdiri dan mulai
beroperasi pada tanggal 10 Januari 2011 (www.Syari’ahmandiri.co.id).
2. Profil PT. Bank Syari’ah Mandiri
Nama : PT. BANK SYARI’AH MANDIRI
Alamat kantor pusat : Wisma Mandiri I
Jl.MH. Thamrin No.5 Jakarta 10340
Alamat Cabang Salatiga : Ruko Diponegoro A6-A7
Jl.Diponegoro 77, Salatiga
Telepon kantor pusat : (62 - 21) 2300 509, 3983 9000
Faksimili : (62 - 21) 3983 2989
Homepage : www.Syari’ahmandiri.co.id
Tanggal berdiri : 25 Oktober 1999
Tanggal beroperasi : Sejak 1 November 1999
Modal dasar : Rp.2.500.000.000.000
Modal disetor : Rp.858.243.565.000
Jumlah kantor cabang : 520 Kantor layanan yang tersebar di 33 provinsi di
seluruh Indonesia.
79
Jumlah jaringan ATM : Total 47.000 meliputi: ATM Syari’ah Mandiri,
ATM Mandiri, ATM Bersama, ATM Prima dan
Malaysia.
Jumlah karyawan : 7902 orang
Pemeringkatan : AA (idn), berdasarkan Fitch Rating 2010,
Peringkat Nasional “AA” menandakan suatu
kualitas kredit yang sangat kuat dibandingkan
emiten-emiten atau surat-surat utang lainnya di
negara yang sama. Risiko kredit yang tidak dapat
dipisahkan di dalam kewajiban-kewajiban
keuangan ini hanya berbeda sedikit dari emiten-
emiten atau surat-surat utang yang mendapat
peringkat tertinggi di suatu negara. Tanda “+”
atau “-“ dapat ditambahkan pada suatu peringkat
untuk menandakan posisi relatif dalam kategori-
kategori utama pemeringkatan.
3. Visi dan Misi Bank Syari’ah Mandiri (BSM)
a. Visi: Menjadi Bank Syari’ah Terpercaya Pilihan Mitra Usaha.
b. Misi:
1) Mewujudkan pertumbuhan dan keuntungan yang
berkesinambungan.
2) Mengutamakan penghimpunan dana konsumen dan penyaluran
pembiayaan pada segmen UMKM.
3) Merekrut dan mengembangkan pegawai profesional dalam
lingkungan kerja yang sehat.
4) Mengembangkan nilai-nilai syari’ah universal.
80
5) Menyelenggarakan operasional bank sesuai standar perbankan
yang sehat.
4. Budaya Perusahaan
Setelah melalui proses yang melibatkan seluruh jajaran pegawai sejak
pertengahan 2005, lahirlah nilai-nilai perusahaan yang baru yang disepakati
bersama untuk di-shared oleh seluruh pegawai Bank Syari’ah Mandiri yang
disebut Shared Values Bank Syari’ah Mandiri. Shared Values Bank Syari’ah
Mandiri disingkat “ETHIC”.
a. Excellence:
Berupaya mencapai kesempurnaan melalui perbaikan yang terpadu dan
berkesinambungan.
b. Teamwork:
Mengembangkan lingkungan kerja yang saling bersinergi.
c. Humanity:
Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan religius
d. Integrity:
Menaati kode etik profesi dan berpikir serta berperilaku terpuji.
e. Customer Focus:
Memahami dan memenuhi kebutuhan pelanggan untuk menjadikan
Bank Syari’ah Mandiri sebagai mitra yang terpercaya dan
menguntungkan.
81
Gambar 5.1 : Struktur organisasi BSM Cab. Salatiga
Sumber: Bank Mandiri Syariah Cabang Salatiga
5. Struktur Organisasi BSM
Organisasi dalam menjalankan usahanya melakukan aktivitas-
aktivitas pokok agar tercapai tujuan yang telah ditetapkan. Bank perlu
adanya struktur organisasi yang tepat dan dapat dengan jelas membagi
wewenang dan tanggung jawab seseorang yang ada dalam organisasi
tersebut. Organisasi adalah wadah serta proses kerjasama sejumlah
manusia yang terkait dalam hubungan formal dalam rangka hirarki untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam setiap organisasi selalu
terdapat rangkaian hirarki atasan dan bawahan.
Berikut ini adalah bagan struktur organisasi BSM Salatiga masing-
masing bagian:
Kepala Cabang
Operation
Manager
Pelaksana
D & C
Pelaksana
Admin
Hary, Yasin Pelaksana Marketing
Support
Account
Officer
Pelaksana SDI
& GA
Security, Messenger,
Driver, Office Boy
Marketing
Manager
Funding
Officer
CS Representatif
Teller
DKP
PKP
Pelaksana
82
B. Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan di Bank Syari’ah
Mandiri Cabang Salatiga
Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan
upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Guna mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan harus
senantiasa memperhatikan keserasian, keselasaran, dan keseimbangan
berbagai unsur pembangunan, termasuk di bidang ekonomi dan keuangan.
Perkembangan ekonomi nasional dewasa ini menunjukkan arah yang
semakin menyatu dengan ekonomi regional dan internasional yang dapat
menunjang sekaligus dapat berdampak kurang menguntungkan. Sementara itu,
perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan
tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan berbagai
penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi termasuk sektor perbankan
sehingga diharapkan akan dapat memperbaiki dan memperkukuh
perekonomian nasional.
Untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel
serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan
dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat,
sehingga diperlukan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan
83
secara terpadu, independen dan akuntabel sesuai dengan Pasal 4 Undang-
undang OJK.
Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Kementerian Keuangan ke OJK. Sejak 31 Desember 2013 fungsi,
tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Perbankan beralih dari BI ke OJK.
Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan
maka OJK mempunyai wewenang (1) pengaturan dan pengawasan mengenai
kelembagaan bank, seperti perizinan untuk pendirian bank, kegiatan usaha
bank, (2) pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank seperti
likuiditas, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian
kredit, (3) pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank
seperti prinsip mengenal nasabah, dan anti pencucian uang, dan (4)
pemeriksaan bank.
Keberadaan lembaga baru ini yang memiliki kewenangan pengaturan
dan pengawasan di disektor perbankan belum dirasakan oleh bank, salah
satunya Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga (BSM), meski Bank Syari’ah
Mandiri Cabang Salatiga dalam segi pengaturan dan pengawasan mengikuti
84
dari kantor pusat Bank Syari’ah Mandiri yang berada di Jakarta akan tetapi
untuk mengenai hal-hal baru berkaitan pengaturan dan pengawasan setiap
kantor cabang Bank Syari’ah Mandiri di beri informasi jika ada perubahan-
perubahan berkaitan perbankan, baik dari segi peraturan maupun pengawasan
yang ada di setiap kantor cabang Bank Syari’ah Mandiri (Wawancara dengan
Operasional Manager pelaksana SDI dan GA, pada tanggal 5 Mei 2015).
Sedangkan dari segi pengaturan yang ada di Bank Syari’ah Mandiri
Cabang Salatiga salah satunya adalah Good Corporate Governance (GCG)
sesuai dengan ketentuan Bank lndonesia tentang Pelaksanaan GCG Bagi
Bank Umum Syari’ah (BUS) Nomor 11/33/PBI/2009. Sehingga Bank
Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga untuk saat ini belum ada pengaturan dan
pengawasan yang dilakukan oleh OJK baik pengawasan secara langsung
maupun tidak langsung. Selanjutnya, sesuai dengan Pedoman GCG Perbankan
Indonesia, tujuan GCG merupakan usaha mengembalikan kepercayaan
kepada dunia perbankan Indonesia melalui restrukturisasi dan rekapitalisasi
yang mempunyai dampak jangka panjang apabila disertai tiga tindakan
penting yakni :
a. Ketaatan terhadap Prinsip kehati-hatian
b. Pelaksanaan GCG.
c. Pengawasan yang efektif dari otoritas pengawasan
Oleh karena itu ketaatan akan prinsip-prinsip GCG, antara lain
transparasi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung jawaban, dan kewajaran
dalam menjalankan perbankan dan segala prosedur yang ada di dalamnya
85
haruslah dilaksanakan dengan baik agar perbankan dapat berkembang dengan
baik dan sehat.
Dalam hal pengawasan bank yang berada di Bank Syari’ah Mandiri
Cabang Salatiga berkaitan dengan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dalam
hal ini diwakilkan Kantor Wilayah OJK Regional IV Jateng yang berada di
Semarang, Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga belum ada pengawasan
terbaru artinya pengawasan yang saat ini ada di Bank Syari’ah Mandiri
Cabang Salatiga di lakukan oleh Dewan Pengawas Syari’ah dan Dewan
Komisaris yang berada di Internal Bank Syari’ah Mandiri.
Untuk pelaporan hasil pengawasan yang ada di Bank Syari’ah Mandiri
terutama Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga meliputi; a) Dewan
Pengawas Syari’ah wajib menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada
Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode semester berakhir,
b) Semester dimaksud adalah periode 6 (enam) bulanan yang berakhir pada
bulan Juni dan Desember dan laporan hasil pengawasan DPS meliputi antara
lain; a) Kertas kerja pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru
Bank, b) Kertas kerja pengawasan terhadap kegiatan Bank dilaporkan kepada
Bank Indonesia yang berada di Kantor Wilayah Semarang (Wawancara
dengan Operasional Manager pelaksana SDI dan GA, pada tanggal 5 Mei
2015).
Sementara itu, alasan OJK belum sepenuhnya mengimplementasikan
Undang-undang No. 21 Tahun 2011, dalam melaksanakan perpindahan
sebagai wewenang yang dipegang oleh Bank Indonesia dalam masa transisi ke
86
OJK, adalah OJK mengupayakan tidak terdapat perubahan signifikan sehingga
menghindari terjadinya penyesuaian yang menyulitkan kondisi perbankan
nasional. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya gangguan pada
sistem perbankan atau sistem keuangan termasuk internal pengawasan bank.
Di bidang pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan
pengawasan langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung
dilakukan baik dalam bentuk pemeriksaan secara berkala maupun sewaktu-
waktu bila diperlukan. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui
penelitian, analisis, dan evaluasi melalui pelaporan yang disampaikan oleh
bank, akan tetapi pada tahun ini OJK belum melaksanakan apa yang menjadi
pengawasan OJK dalam perbankan disebabkan masih dalam pengintegrasian
kelembagaan dari BI ke OJK.
Di bidang pengaturan OJK telah menerbitkan Peraturan OJK
Nomor:1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS) di sektor Jasa Keuangan, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
8/POJK.03/2014 Tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah. Sedangkan seluruh Peraturan Bank Indonesia (PBI),
Surat Edaran Ekstern (SE BI) dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Ekstern (SK, DIR) di bidang perbankan telah dikompilasi oleh Bank
Indonesia. Kompilasi termasuk perizinan yang dinyatakan masih berlaku di
OJK sampai dengan dilakukannya perubahan atau pencabutan oleh OJK.
Di bidang pertukaran data dan informasi, Bank Indonesia dan OJK
telah menyepakati untuk dapat saling mengakses secara penuh terhadap data
87
atau informasi dan sistem pelaporan Lembaga Jasa Keuangan. Di bidang
logistik, Bank Indonesia telah meminjampakaikan gedung dan ruangan di
Kompleks Perkantoran Bank Indonesia Jakarta untuk tempat kerja sebagian
pegawai di shared function OJK yakni di bidang audit, edukasi dan
perlindungan konsumen dan pengawasan perbankan. Selain itu, bank
Indonesia juga meminjampakaikan sebagian ruangan Kantor Perwakilan Bank
Indonesia di daerah untuk operasional kegiatan OJK. Kesemua hal tersebut
menunjukkan bahwa OJK masih belum memiliki indepedensi operasional
yang penuh (Wawancara dengan bidang Informasi dan Dokumen OJK, 12 Mei
2015).
C. Hambatan dan Upaya Otoritas Jasa Keuangan dalam Implementasi
Undang-Undang No. 21 Tahun 2011
Upaya perbaikan terhadap pola pengaturan dan pengawasan yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melaksanakan fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan secara terpadu, independen dan akuntabel maka Otoritas
Jasa Keuangan selalu melakukan koordinasi dengan lembaga terkait, seperti
Bank Indonesia, Bapepam LK, dan Kementerian Keuangan dalam rangka
transsisi ke OJK, dikarenakan lembaga ini juga masih baru secara keseluruhan
dalam melaksanakan pengaturan dan pengawasan masih belum optimal. Akan
tetapi OJK mensyaratkan penilaian obyektif atas kekurangan dan kelebihan
yang dimiliki Otoritas Pengawas Perbankan terdahulu. Pola pengawasan
88
perbankan di Indonesia pra OJK memiliki kelemahan yang kemudian
diperbaiki dalam masa pengawasan yang sama oleh Bank Indonesia
mendekati masa peralihannya ke OJK. Adapun hambatan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dalam Implementasi Undang-undang No. 21 Tahun 2011
dalam hal Pengawasan sebagai berikut:
1. Hambatan internal
a. Sumber Daya Manusia (SDM)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki kekurangan Sumber Daya
Manusia (SDM) sehingga OJK tidak dapat bekerja secara optimal
khususnya pengawasan transaksi perbankan. Otoritas Jasa Keuangan
memiliki tanggung jawab yang dipikul oleh OJK tersebut ternyata
tidak sebanding dengan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang
dimilikinya. OJK membutuhkan bangunan organisasi yang kuat,
pimpinan yang solid, dan dukungan tenaga-tenaga SDM yang
mempunyai kompetensi di bidang pengawasan.
b. Experience (Pengalaman)
Masalah tidak hanya dari segi jumlah, kemampuan Sumber Daya
Manusia menjadi tantangan tersendiri. Tuntutannya adalah
membangun sistem pengawasan yang terintegrasi menghadapi
konglomerasi sektor jasa keuangan. Sementara, selama ini pengalaman
SDM adalah melakukan pengawasan secara sektoral sesuai bidang
masing-masing.
89
c. Knowledge (Pengetahuan)
Pengetahuan yang dimaksudkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
yang dijadikan sebagai faktor penghambat dari internal ialah
kurangnya pengetahuan mengenai sektor jasa keuangan terutama
perbankan oleh pegawai Otoritas Jasa Keuangan tersebut. Kurangnya
pengetahuan tersebut dapat mengganggu dalam kinerja terutama
mewujudkan pengawasan yang terintegrasi.
d. Belum terintegrasinya sistem pengawasan sektor perbankan, Industri
Keuangan Non Bank (IKNB) dengan pengawasan yang masih
terpisah-pisah sehingga supervisi tidak terintegrasi. Walapun supervisi
dilaksanakan dengan baik di satu sisi, tetapi belum tentu dilaksanakan
dengan baik di sisi yang lain. Hal tersebut berpotensi menimbulkan
dampak yang kurang menguntungkan bagi industri keuangan secara
keseluruhan terutama apabila terjadi "trouble" di salah satu sektor
dalam industri keuangan. Sehingga dibutuhkan pengawasan yang
terintegrasi.
2. Hambatan ekternal yang dihadapi OJK ialah kompleksitanya transaksi
yang beragam, cross border, multi produk. Karena banyak kompleksitas
dalam kegiatan perbankan maka menjadi penghambat OJK sebagai
lembaga pengawas lembaga perbankan khususnya pengawasan transaksi
perbankan yang setiap harinya meningkat.
Sementara itu, upaya yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam
Implementasi Undang-undang No. 21 Tahun 2011 sebagai berikut:
90
1. Upaya mengatasi hambatan internal
a. Menambah Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Upaya
yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dalam mengatasi hambatan
SDM ialah dengan melakukan penerimaan pegawai Otoritas Jasa
Keuangan untuk menambah Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkualitas dengan menjalani berbagai seleksi. Selain itu, untuk
menambah Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, OJK juga
memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para pegawai OJK.
b. Melakukan sharing knowledge, continuous education, best practice
learning program.
Sharing Knowledge yang dilakukan OJK ialah dengan berbagi ilmu
atau mengadakan diskusi antar pegawai. Selain itu, continuous
education dengan memberikan pelatihan-pelatihan kepada para
pegawai OJK serta mempelajari secara praktek mengenai lembaga
perbankan. Hal ini terus dilakukan OJK untuk menambah pengetahuan
pegawai OJK yang dapat mendukung kinerja mereka dalam bekerja.
c. Teknik pengawasan dipertajam.
Teknik pengawasan yang di pertajam yang dilakukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan khususnya direktorat pengawasan transaksi perbankan
ialah dengan menambah jam bekerja yang lebih banyak sehingga
pengawasan terhadap transaksi perbankan semakin meningkat.
91
d. Masih melakukan proses pengintegrasian lembaga perbankan
Dalam melakukan pengawasan integrasi membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk mempersiapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
sebagai lembaga di luar pemerintah yang mempunyai tugas pengaturan
dan pengawasan di sektor keuangan sebagaimana berdasarkan pasal 6
UU OJK, Otoritas Jasa Keuangan beroperasi secara penuh pada
Tanggal 31 Desember 2013. Jika dilihat pengoperasian tersebut OJK
baru berjalan 1 tahun, Sehingga masih dalam proses pengintegrasian.
Proses pengintegrasian sektor keuangan, Menurut Deputi Informasi,
Komunikasi dan Dokumentasi Otoritas Jasa Keuangan Regional IV
Jateng dan DIY di Semarang Ibu Sulistianingsih mengatakan OJK juga
memperdalam sektor keuangan, khususnya di perbankan. Program
pada penguatan infrastruktur sistem teknologi informasi, penyediaan
regulasi yang akomodatif bagi industri sekaligus lebih melindungi
investor, peningkatan sisi penawaran dan permintaan produk, serta
efektifnya pengawasan dan penegakan hukum.
2. Upaya mengatasi hambatan eksternal yang dihadapi OJK yakni dengan
cara memahami proses transaksi perbankan, produk perbankan dan semua
kegiatan dalam perbankan (Wawancara dengan bidang Informasi dan
Dokumen OJK, 12 Mei 2015).
92
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PENGATURAN DAN PENGAWASAN
OTORITAS JASA KEUANGAN DI BANK SYARIAH
MANDIRI CABANG SALATIGA
A. Analisis Implementasi Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Terhadap
Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Perbankan di Bank Syariah
Mandiri Cabang Salatiga
Dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu
tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang
luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan
kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia maka program
pembangunan ekonomi nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan
mampu menggerakan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki
jangkauan yang luas dan menyentuh ke seluruh sektor riil dari perekonomian
masyarakat Indonesia.
Program pembangunan ekonomi nasional juga harus dilaksanakan
secara transparan dan akuntabel yang berpedoman pada prinsip demokrasi
ekonomi sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut,
program pembangunan ekonomi nasional perlu didukung oleh tata kelola
pemerintahan yang baik yang secara terus menerus melakukan reformasi
terhadap setiap komponen dalam sistem perekonomian nasional. Salah satu
komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dimaksud adalah
93
sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan
fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian
nasional.
Fungsi intermediasi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga jasa
keuangan, dalam perkembangannya telah memberikan kontribusi yang cukup
signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi
nasional. Oleh karena itu, Negara senantiasa memberikan perhatian yang
serius terhadap perkembangan kegiatan sektor jasa keuangan tersebut,
dengan mengupayakan terbentuknya kerangka peraturan dan pengawasan
sektor jasa keuangan yang terintegrasi dan komprehensif.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan
tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup
sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Mulai 31 Desember 2013, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara resmi
mengawasi kinerja seluruh bank yang ada di Indonesia, mengambil alih tugas
perbankan yang selama ini dilakukan Bank Indonesia. Hal ini sesuai amanat
Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Pasal 55, terhitung sejak 31 Desember 2013, pengaturan dan pengawasan
bank dilakukan OJK. Dengan demikian BI akan fokus pada pengendalian
inflasi dan stabilitas moneter.
94
Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) Pasal 7 menyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan maka OJK mempunyai
wewenang (1) pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank,
seperti perizinan untuk pendirian bank, kegiatan usaha bank, (2) pengaturan
dan pengawasan mengenai kesehatan bank seperti likuiditas, rasio kecukupan
modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, (3) pengaturan dan
pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank seperti prinsip mengenal
nasabah, dan anti pencucian uang, dan (4) pemeriksaan bank.
Sedangkan menurut penulis, salah satu aspek yang terpenting dalam
pelaksanaan kegiatan perbankan adalah adanya pengaturan dan pengawasan.
Dalam pengawasan dimaksudkan untuk mengusahakan pelaksanaan berjalan
sesuai dengan yang telah direncanakan yaitu berupa pengaturan berkaitan
pengawasan atau Undang-undang yang berlaku. Pengawasan juga mempuyai
posisi yang sangat vital untuk menyakinkan bahwa pelaksanaan kegiatan
organisasi tetap berada dalam jalur yang sesuai untuk mencapai visi dan misi
dalam perbankan.
Temuan penulis di lapangan sangat berbeda dengan keberadaan
lembaga baru ini (OJK) yang memiliki kewenangan pengaturan dan
pengawasan di disektor perbankan, OJK belum dirasakan oleh bank, salah
satunya Bank Syariah Mandiri Cabang Salatiga (BSM), meski Bank Syariah
Mandiri Cabang Salatiga dalam segi pengaturan dan pengawasan mengikuti
dari kantor pusat Bank Syariah Mandiri yang berada di Jakarta akan tetapi
95
untuk mengenai hal-hal baru berkaitan pengaturan dan pengawasan setiap
kantor cabang Bank Syariah Mandiri di beri informasi jika ada perubahan-
perubahan berkaitan perbankan, baik dari segi peraturan maupun pengawasan
yang ada di setiap kantor cabang bank mandiri syariah. Sedangkan segi
pengaturan yang ada di Bank Syariah Mandiri Cabang Salatiga salah satunya
adalah Good Corporate Governance (GCG) yang diterbitkan oleh Bank
lndonesia tentang Pelaksanaan GCG Bagi Bank Umum Syariah (BUS)
Nomor 11/33/PBI/2009.
Sementara itu, dalam pengawasan bank yang berada di Bank Syariah
Mandiri Cabang Salatiga berkaitan dengan keberadaan Otoritas Jasa
Keuangan Pimpinan Wilayah Regional IV yang berada di semarang, Bank
Syariah Mandiri Cabang Salatiga belum ada pengawasan terbaru artinya
pengawasan yang saat ini ada di Bank Syariah Mandiri Cabang Salatiga di
lakukan oleh Dewan Pengawas Syariah dan Dewan Komisaris yang berada di
Internal Bank Syariah Mandiri.
Untuk pelaporan hasil pengawasan yang ada di Bank Syariah Mandiri
terutama Bank Syariah Mandiri Cabang Salatiga meliputi; a) Dewan
Pengawas Syariah wajib menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada
bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode semester berakhir,
b) Semester dimaksud adalah periode 6 (enam) bulanan yang berakhir pada
bulan Juni dan Desember dan laporan hasil pengawasan DPS meliputi antara
lain; 1) Kertas kerja pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru
Bank, 2) Kertas kerja pengawasan terhadap kegiatan Bank dilaporkan kepada
96
Bank Indonesia yang berada di Kantor Wilayah Semarang. Oleh karena itu
dalam pelaksanaan Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang OJK ini dari
segi pengaturan dan pengawasan masih menggunakan peraturan Bank
Indonesia. Seharusnya OJK sebagai salah satu lembaga baru yang mengawasi
di sektor jasa keuangan bisa memberikan kebijakan disektor perbankan baik
dari segi pengaturan maupun dari segi pengawasan sehingga instrument
keuangan dalam pertumbuhan ekonomi membutuhkan adanya pengaturan dan
pengawasan dari OJK agar kegiatan perbankan berjalan efesien dan wajar
sesuai dengan amanat UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Hal ini, alasan OJK belum sepenuhnya mengimplementasikan
Undang-undang No. 21 Tahun 2011, dalam melaksanakan perpindahan
sebagai wewenang yang dipegang oleh Bank Indonesia dalam masa transisi ke
OJK, OJK mengupayakan tidak terdapat perubahan signifikan sehingga
menghindari terjadinya penyesuaian yang menyulitkan kondisi perbankan
nasional. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya gangguan pada
sistem perbankan atau sistem keuangan termasuk internal pengawasan bank.
Di bidang pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan
pengawasan langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung
dilakukan baik dalam bentuk pemeriksaan secara berkala maupun sewaktu-
waktu bila diperlukan. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui
penelitian, analisis, dan evaluasi melalui pelaporan yang disampaikan oleh
bank, akan tetapi pada tahun ini OJK belum melaksanakan apa yang menjadi
97
pengawasan OJK dalam perbankan disebabkan masih dalam pengintegrasian
kelembagaan dari BI ke OJK.
Di bidang pengaturan OJK telah menerbitkan Peraturan OJK
Nomor:1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS) di sektor Jasa Keuangan, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
8/POJK.03/2014 Tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah. Sedangkan seluruh Peraturan Bank Indonesia (PBI),
Surat Edaran Ekstern (SE BI) dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Ekstern (SK, DIR) di bidang perbankan telah dikompilasi oleh Bank
Indonesia. Kompilasi termasuk perizinan yang dinyatakan masih berlaku di
OJK sampai dengan dilakukannya perubahan atau pencabutan oleh OJK.
Di bidang pertukaran data dan informasi, Bank Indonesia dan OJK
telah menyepakati untuk dapat saling mengakses secara penuh terhadap data
atau informasi dan sistem pelaporan Lembaga Jasa Keuangan. Di bidang
logistik, Bank Indonesia telah meminjampakaikan gedung dan ruangan di
Kompleks Perkantoran Bank Indonesia Jakarta untuk tempat kerja sebagian
pegawai di shared function OJK yakni di bidang audit, edukasi dan
perlindungan konsumen dan pengawasan perbankan. Selain itu, bank
Indonesia juga meminjampakaikan sebagian ruangan Kantor Perwakilan Bank
Indonesia di daerah untuk operasional kegiatan OJK. Kesemua hal tersebut
menunjukkan bahwa OJK masih belum memiliki indepensi operasional yang
penuh.
98
B. Analisis Hambatan dan Upaya yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan
dalam Implementasi Undang-undang No. 21 Tahun 2011 terhadap
pengaturan dan pengawasan di Bank Syariah Mandiri Cabang Salatiga.
Perkembangan sektor keuangan yang terintegrasi menuntut OJK untuk
melakukan pengawasan secara terintegrasi dengan tujuan meningkatkan
efektivitas pengawasan atas lembaga jasa keuangan secara terintegrasi antar
sub sektor keuangan. Pelaksanaan pengawasan terintegrasi diharapkan dapat
menurunkan potensi risiko sistemik kelompok jasa keuangan, mengurangi
potensi moral hazard, mengoptimalkan perlindungan konsumen jasa
keuangan dan mewujudkan stabilitas sistem keuangan.
Upaya perbaikan terhadap pola pengaturan dan pengawasan yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melaksanakan fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan secara terpadu, independen dan akuntabel maka Otoritas
Jasa Keuangan selalu melakukan koordinasi dengan lembaga terkait, seperti
Bank Indonesia, Bapepam LK, dan Kementerian Keuangan dalam rangka
transsisi ke OJK, dikarenakan lembaga ini juga masih baru secara keseluruhan
dalam melaksanakan pengaturan dan pengawasan masih belum optimal.
Adapun hambatan Otoritas Jasa Keuangan dalam mengimplementasikan
Undang-undang No. 21 Tahun 2011 dalam hal Pengawasan meliputi:
Hambatan internal seperti (a) Sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di
Otoritas Jasa Keuangan belum banyak sehingga OJK tidak dapat bekerja
secara optimal khususnya pengawasan transaksi perbankan, dan tanggung
99
jawab yang dipikul oleh OJK tersebut ternyata tidak sebanding dengan
jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimilikinya. Sementara itu, OJK
membutuhkan bangunan organisasi yang kuat, pimpinan yang solid, dan
dukungan tenaga-tenaga SDM yang mempunyai kompetensi di bidang
pengawasan; (b) Experience (Pengalaman) Masalah tidak hanya dari segi
jumlah saja berkaitan SDM yang ada di OJK, kemampuan Sumber Daya
Manusia yang bekerja di OJK menjadi tantangan tersendiri. Tuntutannya
adalah membangun sistem pengawasan yang terintegrasi menghadapi
konglomerasi sektor jasa keuangan. Sementara itu, selama ini pengalaman
SDM adalah melakukan pengawasan secara sektoral sesuai bidang masing-
masing; (c) Knowledge (Pengetahuan) faktor penghambat dari internal ialah
kurangnya pengetahuan mengenai sektor jasa keuangan terutama perbankan
oleh pegawai Otoritas Jasa Keuangan tersebut. Kurangnya pengetahuan
tersebut dapat mengganggu dalam kinerja terutama mewujudkan pengawasan
yang terintegrasi; (d) Belum terintegrasinya sistem pengawasan sektor
perbankan, Industri Keuangan Non Bank (IKNB) dengan pengawasan yang
masih terpisah-pisah sehingga supervisi tidak terintegrasi. Walapun supervisi
dilaksanakan dengan baik di satu sisi, tetapi belum tentu dilaksanakan dengan
baik di sisi yang lain. Hal tersebut berpotensi menimbulkan dampak yang
kurang menguntungkan bagi industri keuangan secara keseluruhan terutama
apabila terjadi "trouble" di salah satu sektor dalam industri keuangan.
Sehingga dibutuhkan pengawasan yang terintegrasi.
100
Hambatan ekternal yang dihadapi OJK ialah kompleksitanya transaksi
yang beragam, cross border, multi produk. Karena banyak kompleksitas
dalam kegiatan perbankan maka menjadi penghambat OJK sebagai lembaga
pengawas lembaga perbankan khususnya pengawasan transaksi perbankan
yang setiap harinya meningkat.
Sedangkan upaya yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dalam
mengimplementasikan Undang-undang No. 21 Tahun 201 meliputi: Upaya
mengatasi hambatan internal (a) Menambah Sumber Daya Manusia (SDM)
yang berkualitas. Upaya yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dalam
mengatasi hambatan SDM ialah dengan melakukan penerimaan pegawai
Otoritas Jasa Keuangan untuk menambah Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkualitas dengan menjalani berbagai seleksi. Selain itu, untuk menambah
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, OJK juga memberikan
pendidikan dan pelatihan kepada para pegawai OJK; (b) Melakukan sharing
knowledge, continuous education, best practice learning program, Sharing
Knowledge yang dilakukan OJK ialah dengan berbagi ilmu atau mengadakan
diskusi antar pegawai. Selain itu, continuous education dengan memberikan
pelatihan-pelatihan kepada para pegawai OJK serta mempelajari secara
praktek mengenai lembaga perbankan; (c) Teknik pengawasan dipertajam
yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) khususnya Direktorat
pengawasan transaksi perbankan dengan menambah jam bekerja yang lebih
banyak sehingga pengawasan terhadap transaksi perbankan semakin
meningkat; (d) Masih melakukan proses pengintegrasian lembaga perbankan
101
dalam melakukan pengawasan integrasi, hal ini membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk mempersiapkan Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga di
luar pemerintah yang mempunyai tugas pengaturan dan pengawasan di sektor
keuangan sebagaimana berdasarkan pasal 6 UU OJK, Otoritas Jasa Keuangan
beroperasi secara penuh pada Tanggal 31 Desember 2013. Jika dilihat
pengoperasian tersebut OJK baru berjalan 1 tahun, Sehingga masih dalam
proses pengintegrasian.
Sementara itu, upaya mengatasi hambatan eksternal yang dihadapi
OJK yakni dengan cara memahami proses transaksi perbankan, produk
perbankan dan semua kegiatan dalam perbankan. Selain itu minimnya
pengetahuan masyarakat tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi
kendala besar, masyarakat banyak yang belum mengetahui tentang Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) juga menjadi tugas utama lembaga baru ini. Maka OJK
harus lebih efektif bersosialisasi kepada masyarakat umum.
102
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang ada di bab empat dapat disimpulkan yaitu sebagai
berikut:
1. Implementasi Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Terhadap Pengaturan
dan Pengawasan Lembaga Perbankan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang
Salatiga belum dilaksanakan sepenuhnya oleh Otoritas Jasa Keuangan. Hal
ini disebabkan karena Otoritas Jasa Keuangan sendiri masih lembaga baru
dan masih dalam proses pengentegrasian kelembagaan dari BI ke OJK.
Meskipun mulai 31 Desember 2013, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara
resmi mengawasi kinerja seluruh bank yang ada di Indonesia, mengambil
alih tugas perbankan yang selama ini dilakukan Bank Indonesia. Adapun
alasan OJK belum mengimplementasikan Undang-Undang No. 21 Tahun
2011 tentang OJK adalah salah satunya menghindari terjadinya
penyesuaian yang menyulitkan kondisi perbankan nasional. Hal ini
bertujuan untuk menghindari terjadinya gangguan pada sistem perbankan
atau sistem keuangan termasuk internal pengawasan bank. Di bidang
pengaturan dan pengawasan yang berada di Bank Indonesia berkaitan
bidang perbankan telah dikompilasi oleh Bank Indonesia. Kompilasi
termasuk perizinan yang dinyatakan masih berlaku di OJK sampai dengan
dilakukannya perubahan atau pencabutan oleh OJK.
103
2. Hambatan dan Upaya yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dalam
mengimplementasikan Undang-undang No. 21 Tahun 2011 terhadap
pengaturan dan pengawasan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga
meliputi; Hambatan internal yaitu, Sumber daya manusia, Experience
(pengalaman), Knowledge (pengetahuan), Belum terintegrasinya sistem
pengawasan sektor perbankan, Industri Keuangan Non Bank (IKNB)
dengan pengawasan yang masih terpisah-pisah sehingga supervisi tidak
terintegrasi. Sementara itu, untuk Hambatan ekternal yang dihadapi OJK
ialah kompleksitanya transaksi yang beragam, cross border, multi produk.
Sedangkan upaya dalam mengatasi hambatan internal salah satunya
menambah Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, Melakukan
sharing knowledge, continuous education, best practice learning
program. Teknik pengawasan dipertajam, Masih melakukan proses
pengintegrasian lembaga perbankan. Adapun untuk upaya mengatasi
hambatan eksternal yang dihadapi OJK yakni dengan cara memahami
proses transaksi perbankan, produk perbankan dan semua kegiatan dalam
perbankan.
B. Saran
1. Pengawasan transaksi perbankan perlu diperketat karena dengan banyak
produk yang berkembang dalam kegiatan perbankan serta akses lintas
negara. Maka dibutuhkan pengawasan yang lebih baik guna terhindar dari
kejahatan-kejahatan perbankan diantaranya pencucian uang. Selain itu,
104
pengawasan terintegrasi lebih cepat dilakukan sehingga mempermudah
dan memperlancar pengawasan perbankan khususnya dalam transaksi
dunia perbankan yang semakin modern.
2. Pemantapan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Otoritas yang membawahi
sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun serta Industri
Keuangan Non Bank (IKNB) baik dalam SDM yang berkualitas, kinerja
dan sebagainya.
3. Otoritas Jasa Keuangan sebagai Self Regulation Organization (SRO)
dapat membuat pengaturan dan pengawasan di dunia perbankan untuk
perusahaan keuangan yang sehat dan baik sehingga terciptanya
perekonomian yang kuat sehingga tidak mengulangi sejarah masa lalu
yaitu krisis moneter tahun 1997/1998.
C. Penutup
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkah
karunia dan nikmatnya kepada kita semua. Akhirnya dengan kerja yang sangat
melelahkan, susah senang, duka lara yang penulis rasakan selama
menyelesaikan skripsi ini. Harapan penulis semoga karya yang sangat
sederhana ini dan jauh dari sempurna dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi masyarakat yang sangat senang pada kajian-kajian pada
umumnya. Akhirnya masukan serta kritik yang bersifat kontruktif sangat
penulis harapkan demi perbaikan karya ini pada saat ini dan dapat berguna di
masa yang akan datang. Amiin.
105
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Ali, Zainudin. 2009. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta:Sinar Grafika.
Djumhana, Muhammad. 2000. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Djoni, Gozali dan Rachmadi, Usman. 2010. Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar
Grafika.
Fuady, Munir. 1999. Hukum Perbankan Modern (Berdasarkan Undang-undang
Tahun 1998) buku kesatu. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Gemala, Dewi. 2006. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian
Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana pernada Media Grup.
Hermansyah. 2007. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta:
Kenacana.
Moleong, lexy. 1999. Metodologi Penelitian. Bandung:PT.Remaja Rosada
Karya.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti.
Kasmir. 2004. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta:PT Raja Grafindo.
Kasmir. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Rajawali Press.
Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:Gadjah
Mada University Press.
106
Romy, Suemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurementri. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Situmorang, Victor M dan Juhir, Jusuf. 1994. Aspek Hukum Pengawasan Melekat
dalam Lingkungan Aparatur pemerintah. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penulisan Hukum. Jakarta: UI Press.
Sutedi, Andrian. 2007. Hukum Perbankan;Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuiditasi, dan Kepailitan. Jakarta:Sinar Grafika.
Suteki, Adrian. 2014. Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta:Raih Asa
Sukses.
Sulistio, Tito. 2004. Mencari Ekonomi Pro Pasar; Catatan Tentang Pasar Modal,
Privatisasi Dan Konglomerasi Lokal. Jakarta: The Investor.
Sutedi, Adrian. 2014. Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta: Raih Asa
Sukses.
Sundari, Siti. 2011. Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan,
Kementrian Hukum dan Ham Republik Indonesia.
Sembiring, Sentosa. 2000. Hukum Perbankan. Bandung:Mandar Maju.
Siamat, Dahlan. 2005. Manajemen Lembaga Keuangan (Kebijakan Moneter dan
Perbanka. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia.
Usman, Rachmadi. 2003. Aspek-aspek Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Wahab, Solichin Abdul. 2002. Analisis Kebijaksanaan. Jakarta:Sinar Grafika
Offiset.
107
Widiyono, Try. 2006. Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di
Indonesia: Simpan Pinjam, Jasa dan Kredit. Bogor: Ghalia Indonesia.
W.J.S Poerwadarminto. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Karya Ilmiah
Batunagar, Sukarela. 2006. Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan
Prakteknya di Indonesia, Hukum Perbankan dan Kesentralan Volume 4
Nomor 3, Desember 2006) Jakarta: Buletin.
Indaryanto, Wisnu. 2012. Pembentukan Dan Kewenangan Otoritas Jasa
Keuangan. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012.
Kumalasari, Ajeng. 2014. Perlindungan Hukum Data Nasabah Dalam Internet
Banking. Skripsi. Fakultas Syariah dan Hukum. Jakarta: Univ. Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
Khopiatuziadah. 2012. Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor
Perbankan: Perspektif Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012.
Putri, Harningtias. 2008. Pengaturan Dan Pengawasan Bank Di Indonesia Dalam
Kaitannya Dengan The Basel Core Principles For Effective Banking
Supervision. Skripsi. Fakultas Hukum. Sumantera Utara: Universitas
Sumatera Utara.
Safitri, Rahma. 2013. Indepedensi Otoritas Jasa Keuangan dalam Melakukan
Pengawasan Perbankan di Indonesia (Berdasarkan Berlakunya Undang-
108
undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan). Skripsi.
Fakultas Hukum. Surakarta: Univ. Sebelas Maret.
Suryo, Yuanita. 2013. Fungsi Pengaturan dan Pengawasan Perbankan di
Indonesia setelah disahkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Skripsi. Fakultas Hukum. Surakarta: Univ.
Sebelas Maret.
Sitompul, Zulkarnain. 2002. Perlindungan Dana Nasabah Bank:Suatu Gagasan
Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia. Skripsi.
Fakultas Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sundari, Siti. 2011. Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan,
Kementrian Hukum dan HAM RI.
Sinaga, Rebeka Dosma. 2013. Sistem Koordinasi antara Bank Indonesia dan
Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Bank Setelah Lahirnya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Jurnal Hukum Ekonomi. Sumantera Utara: Universitas Sumatera Utara.
Tim panitia antar Departemen Rancangan Undang-undang tentang Otoritas Jasa
Keuangan. 2010.Naskah Akademik Pembentukan OJK. Jakarta.
Tim Kerja Sama Panitia FEB-UGM dan FE-UI. Alternative Struktur OJK Yang
Optimum: Kajian Akademik.
Yumya, Afika. 2008. Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap
Kewenangan Bank Indonesia Dibidang Pengawasan Perbankan. Skripsi.
Fakultas Hukum. Depok: Universitas Indonesia.
109
Joyosumarto, Subarjo Pemenuhan Kompentensi Dewan Komisioner dan
Rekrutmen Pegawai OJK. Jakarta:Makalah dipresentasikan dalam Seminar
OJK, 13 Februari 2012.
Hikmah, Mutiara. 2007. Fungsi Bank Indonesia Sebagai Pengawas Perbankan Di
Indonesia, (Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun Ke 37, Nomor 4.
Fakultas Hukum. Jakarta: Univ. Indonesia.
Perundang-undangan Republik Indonesia
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-
Undang.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
110
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan (OJK)
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111. Sekretariat
Negara. Jakarta.
Wawancara
Sulistianingsih. 2015. Wawancara. Semarang: Bidang Informasi dan Dokumen
OJK.
Exclanta, Ruli. 2015. Wawancara. Salatiga: Manager Pelaksana SDI & GA BSM
Cabang Salatiga.
Internet
Otoritas Jasa Keuangan, Liputan Khusus Otoritas Jasa Keuangan;Selamat
Datang Wasit baru Indusri Keuangan, diunduh 15 Januari 2015, Pukul
13.16 Wib http://www.lipsus.kontan.co.id).
Vibiz News, OJK Optimis Pasar Modal Indonesia Tetap Terbaik di Asia, diunduh
15 Januari 2015 Pukul 14.05 Wib http://vibiznews.com).
www. Ojk.go.id
www.Syari’ahmandiri.co.id
111
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
Tempat/Tanggal Lahir
Alamat
Fakultas
Jurusan
No. Hp
:
:
:
:
:
:
:
MUH ASROI
Magelang, 30 Juli 1993
Dsn. Campurejo Rt. 002/Rw.02, Ds.
Kembangkuning, Kec. Windusari,
Kab. Magelang.
Syariah dan Hukum
S1 Hukum Ekonomi
085-643 906-907
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Pendidikan Dasar dan Menengah
Tahun 1998/1999 : Lulus TK Rodhotul Alfa Kembangkuning
Tahun 2004/2005 : Lulus SD N 1 Kembangkuning
Tahun 2007/2008 : Lulus SMP N 1 Windusari
Tahun 2010/2011 : Lulus SMA N 1 Bandongan
2. Pendidikan Tinggi
Tahun 2014/2015 : Lulus IAIN Salatiga
RIWAYAT PEKERJAAN
1. Tahun 2011-2012 : Asuransi Takaful bidang Marketing.
2. Tahun 2012-Sekarang : Lembaga Bantuan Hukum bidang
Penelitian.
3. Tahun 2014-Sekarang : Lembaga Bantuan Hukum Asyka Justice
dan Advokat
4. Tahun 2015-Sekarang : Lembaga Pendamping Usaha “Katalis”
bidang Direktur Penelitian dan Penerbitan
5. Tahun 2015 : Asisten Dosen Fakultas Syariah dan
Hukum IAIN Salatiga.
112
RIWAYAT ORGANISASI
1. Tahun 2002-2003 : Ketua Pramuka SDN 1 Kembangkuning
2. Tahun 2005-2006 : Ketua OSIS SMP N 1 Windusari
3. Tahun 2005-2006 : Ketua Adat Pramuka SMP N 1 Windusari
4. Tahun 2009-2010 : Ketua Umum OSIS SMA N 1 Bandongan
5. Tahun 2009-2010 : Ketua Adat Bantara SMA N 1 Bandongan
6. Tahun 2011-2012 : Ketua HMPS S1 Hukum Ekonomi Syariah
7. Tahun 2011-2012 : Ketua Divisi Oprasional Resimen Mahasiswa
Mahadipa Sat. 953 Kalimosodo IAIN Salatiga.
8. Tahun 2011-2012 : Ketua Divisi Sosial Politik Dewan Mahasiswa
(DEMA) Fakultas Syariah
9. Tahun 2012-2013 : Sekretaris Jenderal Forum Silaturrahim Studi
Ekonomi Islam (FoSSEI) Komisariat Semarang
10. Tahun 2012-2013 : Wakil Sekretaris Kelompok Studi Ekonomi Islam
(KSEI) IAIN Salatiga
11. Tahun 2013-2014 : Ketua Umum Kelompok Studi Ekonomi Islam
(KSEI) IAIN Salatiga
12. Tahun 2013-2014 : Ketua Departemen Nasional (DEPNAS) Forum
Silaturrahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI).
13. Tahun 2013-2014 : Ketua DPD Liga Mahasiswa NasDem Kota Salatiga
14. Tahun 2014-Sekarang : Ketua/Pendiri Forum Mahasiswa Hukum Islam
Fakultas Syariah IAIN Salatiga.
15. Tahun 2013- Sekarang : Ketua Bidang Hukum dan Politik Ikatan Senat
Mahasiswa Hukum Indonesia (ISMAHI).
16. Tahun 2013-Sekarang : Ketua Penelitian Persatuan Mahasiswa Hukum
Indonesia (PERMAHI).
17. Tahun 2013-Sekarang : Direktur Abdi Masyarakat Law Foundation
18. Tahun 2015-2016 : Sekretaris Karang Taruna “KARCABA” Desa
Kembangkuning, Kec. Windusari.
19. Tahun 2013-Sekarang : Anggota Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jawa
Tengah.
113
20. Tahun 2014-Sekarang : Anggota Keluarga Alumni (KA) Forum Silaturrahim
Studi Ekonomi Islam Indonesia (FoSSEI Nasional).
21. Tahun 2014-Sekarang : Ketua Badan Lingkungan Hidup Desa
Kembangkunig, Kec. Windusari.
KARYA ILMIAH
1. Judul: Dinar dan Dirham Solusi Ekonomi Indonesia. Karya Ilmiah. 2012.
Semarang: Temu Ilmiah Regional (TEMILREG) Jawa Tengah.
2. Judul: Implementasi Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2003 Tentang Pedagang
Kaki Lima (Studi Kasus Pasar tiban di Jalan Baru Kota Salatiga). Penelitian.
2013. Tidak dipublikasikan.
3. Judul: Optimalisasi Pengelolaan Zakat Dalam Pemberdayaan Kemiskinan
Dengan Adanya Undang Undang No 23 Tahun 2011 (Studi Di Lembaga Amil
Zakat Al-Ihsan Jawa Tengah Cabang Salatiga). Penelitian. 2014. Tidak
dipublikasikan.
4. Judul: Kedudukan Nadzir Terhadap Pengelolaan Tanah Wakaf Menurut
Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
(Studi Di Badan Wakaf Muhammadiyah Kabupaten Magelang). Penelitian.
2015. Tidak dipublikasikan.
5. Judul: Implementasi Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa Keuangan terhadap pengaturan dan pengawasan di lembaga perbankan
(Studi Analisis di Bank Syariah Cabang Salatiga). Skripsi. 2015. Fakultas
Syariah dan Hukum. Salatiga: IAIN Salatiga.
6. Judul: Peran Masjid dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat. Karya
Ilmiah. 2015. Tidak dipublikasikan.
Demikian, Curriculum Vitae ini dibuat dengan sebenar-benarnya.
Salatiga, Mei 2015
Pembuat CV
MUH ASROI