Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

102
IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENANGANAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DI KOTA BIMA A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Selama tiga dasawarsa, masalah anak, baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan (kekerasan) dapat dikatakan kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Sebagai pelaku kejahatan (kekerasan), melalui berbagai kegiatan ilmiah, sudah sering diusulkan agar pemerintah menyusun kebijakan yang memberikan perlindungan anak. Baru lima belas yang tahun yang lalu pemerintah menetapkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Di samping perlunya perlindungan hukum bagi anak pelaku kejahatan (kekerasan), juga perlu adanya upaya perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan (kekerasan), pada tahun 2002 pemerintah telah mengesahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan yang paling baru adalah diundangkannya UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengantikan Undang-undang nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. 1

Transcript of Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Page 1: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENANGANAN ANAK BERHADAPAN HUKUM

DI KOTA BIMA

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Selama tiga dasawarsa, masalah anak, baik sebagai pelaku

maupun korban kejahatan (kekerasan) dapat dikatakan kurang

mendapat perhatian dari pemerintah. Sebagai pelaku kejahatan

(kekerasan), melalui berbagai kegiatan ilmiah, sudah sering

diusulkan agar pemerintah menyusun kebijakan yang memberikan

perlindungan anak. Baru lima belas yang tahun yang lalu

pemerintah menetapkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak. Di samping perlunya perlindungan hukum bagi anak pelaku

kejahatan (kekerasan), juga perlu adanya upaya perlindungan

hukum bagi anak korban kejahatan (kekerasan), pada tahun 2002

pemerintah telah mengesahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dan yang paling baru adalah diundangkannya UU

No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)

mengantikan Undang-undang nomor 3 Tahun 1997 tentang

Peradilan Anak.

Salah satu hal baru yang diatur dalam Undang-undang 11

tahun 2012 adalah paradigma Restorative Justice. Restorative

Justice melalui diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara

Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan

pidana. Meskipun ketentuan tentang diversi merupakan hal yang

1

Page 2: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

baru dan baru akan diberlakukan 2 (dua) tahun lagi seiring dengan

berlakunya UU no 11 Tahun 2012 sebagaimana diatur dalam pasal

108 UU No. 11 tahun 2012, namun sebenarnya pelaksanaan

Restorative Justice sudah lama dilaksanakan dan dikembangan oleh

berbagai pihak di Indonesia salah satunya adalah di Nusa Tenggara

Barat.

Model ini dikembangkan dengan harapan proses penyelesaian

kasus yang melibatkan anak, terutama anak sebagai pelaku tindak

pidana dapat melibatkan stakeholder dalam masyarakat (tokoh

masyarakat, tokoh agama, pendidik), aparat penegak hukum dan

korban serta keluarganya sehingga dapat dikatakan model yang

dikembangkan ini adalah penyelesaian kasus di luar pengadilan

dengan mengutamakan proses restorasi atau pemulihan bagi anak

baik korban maupun pelaku.

Fokus permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini

adalah Bagaimanakah implementasi program Restorative Justice

dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum di Kota

Bima Nusa Tenggara Barat

2. Metode Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi Kota Bima Propinsi Nusa

Tenggara Barat. Studi ini bertitik tolak pada ilmu hukum dengan

fokus kajian hukum sebagai hal empirik dan terekspresi dalam

tingkah laku. Suatu analisis hubungan antara hal-hal yang

normative dengan aktivitas-aktivitas social konkrit dengan

pendekatan “kasus” (trouble case method), bercorak kualitatif

2

Page 3: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

(qualitative research). Penelitian kualitatif adalah dengan menunjuk

karakteritis dari data kualitatif yakni bersifat alamiah (sesuai

kodrat), variatif, memiliki kedalaman dan dalamnya informasi1.

Penelitian kualitatif mengunakan data berupa materi empiris

seperti kasus, pengalaman personal, wawancara, observasi,

catatan harian dan bigrafi yang semuanya menggambarkan

kejadian problematic dan bermakna dalam kehidupan. Materi

empiris penelitian ini adalah studi kasus. Menurut Yin studi kasus

merupakan : “…an empirical inquiry that investigates

accontemporary phenomenon within its real-life context, whe the

boundaries between phenomenon and contect are not clearly

evident, and in which multiple source of evidence are used..”2

Sedangkan Seltiz dkk menjelaskan bahwa yang dimaksud

studi kasus adalah : “…the intensive study of selected instance of

the phenomenon in which one is interested..”3

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan studi kasus adalah penelitian yang dilakukan

untuk melihat kejadian yang dianggap menarik dalm konteks

kehidupan nyata. Focus untuk studi ini dapat berupa individu,

situasi atau kejadian, kelompok masyarakat.

Hasil akhir dari data yang dikumpulkan di lapangan,

merupakan temuan-temuan bersifat empiris, kesimpulan-

kesimpulan, argumentasi-argumentasi yang memberikan gambaran 1 Bencha Yoddumnem-attig, et.al. (ed), Field manual on selected qualitative research

methods, Thailand Institute for population and Social Research, Mehido University, 1991, hal. 11.2 RK. Yin, “Case Study Research”. Rev. ed. New Bury Park : CA Sage 1994. Page 123 C. Seltiz, et.al, “ Research Methods in Social Relation”, New York Harper and Row

Publisher, 1977 Page 60

3

Page 4: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

secara utuh dari seluruh proses kajian yang menunjukan interelasi

antara berbagai fakta dengan konsep-konsep teoritik berkenaan

dengan obyek studi.

3. Kerangka Teori

Penelitian ini memfokuskan kepada masalah anak berhadapan

dengan hukum dan penangulangannya di masyarakat, untuk itu

segala sesuatunya dimulai dari permasalahan yang ada di

masyarakat yaitu Anak Berhadapan dengan hukum (ABH) yang

kemudian masyarakat akan menangapinya dengan usaha-usaha

rasional dan terorganisir yang sering disebut dengan kebijakan

kriminal.

Kebijakan kriminal dalam geraknya di masyarakat dapat

dilakukan dengan mengunakan sarana hukum pidana (Penal Policy)

dan kebijakan yang tidak mengunakan hukum pidana (non penal

policy). Dua kebijakan ini bersifat saling menunjang dalam rangka

penangulangan ABH di masyarakat. Kebijakan penal terwujud lewat

norma-norma hukum yang kini berlaku (Ius Constitutum) dan norma

hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum). Sedangkan kajian

terhadap berlakunya hukum pidana dalam masyarakat dilakukan

lewat pemahaman terhadap hukum pidana yang operasional

diterapkan di masyarakat (Ius Operatum). Sedangkan kebijakan

nonpenal dalam penangulangan ABH di masyarakat sangat luas

lingkupnya, namun dalam penelitian ini memfokuskan pada upaya

Restorative Justice di dalam penanganan ABH. Kajian-kajian

4

Page 5: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

nonpenal menyangkut Restorative Justice ini diperlukan sebagai

salah satu masukan dalam rangka perumusan norma-norma hukum

yang dicita-citakan. (Ius Constituendum).

Dalam kajian Kriminologis dikenal adanya 3 (tiga) model

peradilan anak, yaitu :

a. Model retributif (retributive model);b. Model pembinaan perorangan (individual treatment

model);c. Model restoratif (restorative model).4

Masing-masing model menunjukkan karakteristiknya sendiri-

sendiri. Menurut Karl O. Christiansen ada lima ciri pokok dalam

model retributif, yaitu:

a. The purpose of punishment is just retribution b. Just retribution is the ultimate aim, and not in itself a

means to any other aim, as for instance social welfare which from this point of view is without any significance whats over

c. Moral guilt is the only qualification for punishmentd. The penalty shall be proportional to teh moral guilt of the

offender e. Punishment point in the past, it is pure reproach, and it

purpose is not to improve.. Correct, educate or resocialize the offender.5

Dalam model pembinaan perorangan, persidangan anak dili-

hat sebagai satu agensi quasi kesejahteraan dengan mandat peradi-

lan yang samar-samar, pembinaan dilaksanakan pada asumsi model

medik terapeutik, tentang sebab-sebab timbulnya delinkuensi anak.

4 Opcit, hlm. 265 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2010,

hlm.811. Tujuan hukuman adalah pembalasan2. Sebagai tujuan akhirnya adalah pembalasan, dan tidak ada tujuan lainnya, seperti

untuk kesejahteraan sosial misalnya, dari sudut pandang ini tidaklah mempunyai arti 3. Adanya rasa bersalah adalah sebagai kualifikasi untuk menjatuhkan hukuman

4. Hukuman tersebut harus sebanding sebagai tanggungjawab moral bersalahnya pelaku5. Di masa lalu maksud hukuman adalah sebagai celaan, dan bertujuan bukan untuk

memperbaiki secara benar, mendidik atau sebagai resosialisasi pelaku

5

Page 6: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Atas dasar asumsi tersebut, delinkuensi anak dipandang sebagai

simptomatik dan gangguan, dan hakikat serta tingkat keseriusannya

dilihat tidak lebih sebagai persoalan yang membutuhkan pelayanan

terapeutik untuk mengoreksi gangguan-gangguan yang ada se-

belumnya.

Menurut Gordon Bazemore, model pembinaan pelaku per-

orangan di negara-negara Eropa dikenal sebagai “Model Kesejahter-

aan Anak”, berdasarkan cara pandang bahwa kejahatan atau

delinkuensi anak tidak dipertimbangkan atau dihadapkan pada

perangkat nilai, melainkan lebih diilihat sebagai tanda fungsional-

nya sosialisasi. Intervensi adalah sarana untuk mencoba meralat

perilaku penyimpangan sosial lewat pemberian sanksi terhadap

masalah personal seseorang dan kebutuhan pembinaan anak

pelaku delinkuen.6

Gordon Bazemore menyebutkan, pengaplikasian model

tersebut melahirkan sejumlah kritik yang berkenaan dengan :

a. Pemberian legitimasi baru pada pidana yang menjadi kepentingannya, kebijakan retributif memberikan sinyal pada penuntut umum dan pembuat keputusan lainnya bahwa itulah jalan terbaik dan tepat untuk memberikan reaksi pada pelaku delinkuensi anak;

b. Penempatan secara setingkat sanksi punitif dengan pemberian penderitaan bagi pelaku, legitimasi penghukuman retributif melahirkan semacam pembenaran penjatuhan pidana yang lebih berat lagi apabila ternyata tingkatan pidana yang ada tidak mencapai tujuan yang ingin dicapai.7

6 Ibid, hlm. 287 Gordon Bazemore, Three Paradigms for juvenile Justice”, dalam Restorative Justice :

International, Perspective, Burt Galaway & Joe Hudson (ed) , Amsterdam : Kluger Publications, 1997, p. 42

6

Page 7: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Selanjutnya Bazemore mengusulkan perlunya pergeseran

menuju pendekatan restoratif dalam peradilan anak. Para

profesional peradilan anak seyogyanya menyadari bahwa telah

terjadinya peningkatan dominasi paradigma retributif, semakin

melemahnya paradigma pembinaan pelaku. Pidana mungkin saja

dapat memuaskan kepentingan publik akan pengimbalan, namun

harus dipertimbangkan bahwa hal itu pun dapat bersifat “counter-

deterrent”.

Pidana dapat berakibat merosotnya pengendalian diri (self-

restraint), stigmatisasi atas diri anak pelaku delinkuen,

memperlemah ikatan konvensional dan hubungan kekeluargaan

dalam masyarakat, mencabik-cabik hubungan konvensional antar

kelompok sebaya (peer-group), serta mendorong pelaku delinkuen

hanya memikirkan diri sendiri daripada terhadap korbannya.

Sementara pembinaan pelaku disikapi sebagai program peradilan

anak yang hanya berorientasi pada pelaku, di dalamnya hanya

terkandung sedikit kesan sebagai upaya pengkomunikasian pada

pelaku bahwa perbuatannya telah melukai pihak lain, untuk itu ia

harus menyembuhkan luka itu dengan cara menerima “sanksi”

yang diperuntukkan baginya.8

Menurut Gordon Bazemore, pokok-pokok pemikiran dalam

paradigma peradilan anak Restoratif (restorative paradigm) sebagai

berikut:

(a) Tujuan Penjatuhan Sanksi :

8 Ibid

7

Page 8: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Ada asumsi bahwa dalam mencapai tujuan penjatuhan sanksi, maka korban diikutsertakan untuk berhak aktif terlibat dalam proses peradilan. Indikator pencapaian tujaun penjatuhan sanksi tercapai dengan dilihat pada apakah korban telah direstorasi, kepuasan korban, besarnya ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakataan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang terjadi. Bentuk-bentuk sanksi yaitu restitusi, mediasi pelaku, korban, pelayanan korban, resstorasi masyarakat, pelayanan langsung pada korban atau denda restoratif.Dalam penjatuhan sanksi mengikut sertakan pelaku, korban, masyarakat daan para penegak hukum secara aktif. Pelaku bekerja aktif untuk merestorasi kerugian korban, dan menghadapi korban/ wakil korban. Korban aktif dalam semua tahapan proses dan akan membantu dalam penentuan sanksi bagi si pelaku. Masyarakat terlibat sebagai mediator, membantu korban dan mendukung pemenuhan kewajiban pelaku. Penegak hukum memfaasilitasi berlangsungnya mediasi.

(b)Rehabilitasi Pelaku :Fokus utama peradilan restoratif untuk kepentingan dan membangun secara positif, maka anak dan keluarga merupakan sumber utama. Anak dianggap berkompeten dan mempunyai kemampuan positif, bersifat preventif dan proaktif. Untuk kepentingan rehabilitasi pelaku diperlukan perubahan sikap lembaga kemasyarakatan dan perilaku orang dewasa. Rehabilitasi pelaku dilakukan dengan pelaku yang bersifat learning by doing, konseling dan terapi untuk memotivasi keterlibatan aktif para pihak.

(c) Aspek Perlindungan Masyarakat :Asumsi dalam peradilan restoratif tentang tercapainya perlindunggan masyarakat dengan upaya kolaborasi sistem peradilan dan masyarakat untuk mengembangkan pencegahan. Penyekapan dibatasi hanya sebagai upaya terakhir. Masyarakat bertanggungjawab aktif mendukung terselenggaranya restorasi. Indikator tercapainya restorasi perlindungan masyarakat apabila angka residivis turun, dan pelaku berada di bawah pengawasan masyarakat, masyarakat merasa aman dan yakin atas peran sistem peradilan anak, melibatkan sekolah, keluarga dan lembaga kemasyarakatan untuk mencegah terjadinya kejahatan; ikatan sosial dan re-integrasi meningkat.9

Ciri pembeda model restoratif dengan model-model se-

belumnya terletak pada caranya memandang perilaku delinkuensi 9 Ibid

8

Page 9: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

anak. Menurut model restoratif, perilaku delinkuensi anak adalah

perilaku yang merugikan korban dan masyarakat. Tanggapan

peradilan restoratif terhadap delinkuensi terarah pada masyarakat.

Peradilan Restoratif tidak bersifat punitif, juga tidak ringan sifatnya.

Tujuan utamanya adalah perbaikan luka yang diakibatkan perbu-

atannya, dan konsiliasi serta rekonsiliasi di kalangan korban, pelaku,

dan masyarakat. Peradilan Restoratif juga berkehendak merestorasi

kesejahteraan masyarakat melalui cara-cara menghadapkan peri-

laku anak pada pertanggungjawaban atas perilakunya. Korban

diberi kesempatan untuk berperan serta dalam proses. Menurut

Braithwaite mengungkapkan cara-cara seperti itu melahirkan

perasaan malu dan pertanggungjawaban personal dan keluarga

atas perbuatan salah mereka untuk diperbaiki secara memadai.10

Menurut Frank E. Hagan, peradilan restoratif telah berkem-

bang dari sebuah konsep yang begitu sedikit diketahui menjadi isti-

lah yang digunakan secara luas tapi dengan cara yang berbeda.

Tidak ada keraguan tentang daya tariknya, meskipun menggunakan

berbagai variasi istilah yang menyebabkan kebingungan. Istilah

payung "Keadilan Restoratif" telah diterapkan untuk berinisiatif di-

identifikasi sebagai restoratif oleh beberapa orang tapi tidak bagi

orang lain. Contohnya adalah pemberitahuan hukum bagi pelanggar

seks, dampak pernyataan korban, dan korban pembunuhan mem-

punyai "hak" untuk hadir dalam eksekusi. Sebagian besar pen-

10 John Braithwite, Restorative Justice : Assessing an Immodest Theory and a Pessimistic Theory Draft to be summited to Crime and Justice : Review of Research, University of Chicago, Press, p. 5

9

Page 10: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

dukung keadilan restoratif setuju bahwa dalam proses tersebut

melibatkan lima prinsip dasar:

a. Kejahatan bukan sekedar dari pelanggaran hukum pidana dan penyimpangan terhadap kekuasaan pemerintah.

b. Kejahatan mengakibatkan gangguan dalam hubungan tiga dimensi antara korban, masyarakat, dan pelaku.

c. Karena kejahatan itu merugikan para korban dan masyarakat, tujuan utama seharusnya memperbaiki kerusakan dan menyembuhkan korban dan masyarakat.

d. Korban, masyarakat, dan pelaku semua harus berpartisi-pasi dalam menentukan respon terhadap kejahatan; pe-merintah harus menyerahkan kewenangan atas proses tersebut.

e. Disposisi kasus harus didasarkan terutama pada kebutuhan korban bukan semata-mata pada kebutuhan pelaku atau kesalahan, adanya bahaya, atau sejarahnya.11

Tujuan sebenarnya keadilan restoratif adalah untuk

mengembalikan keselarasan antara korban dan pelaku. Bagi

korban, hal ini berarti kerugian fisik dan kerugian psikhis . Bagi

pelaku, hal itu berarti mengambil tanggung jawab, menghadapi rasa

malu, dan mendapatkan kembali martabatnya. Gagasan ini telah

berkembang, dengan pesat.12 Gagasan ini telah berkembang,

dengan perkembangan konseptual besar yang baru yaitu

penggabungan peran masyarakat.

Banyak orang masih mengaitkan keadilan restoratif

terutama dengan mediasi korban-pelaku atau lebih luas lagi (tapi

keliru), dengan korban yang berorientasi pada pelayanan.

Konseptualisasi yang lebih baru pelanggaran terjadi dalam tiga

dimensi hubungan yang dapat mengubah gerakan. Ketiga pihak

11 Frank E. Hagan, Criminology Today, Amerika Latin , Wadsworth Group, Thomson Learning, 2002, hlm. 184

12 Ibid

10

Page 11: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

harus dapat berpartisipasi dalam membangun kembali hubungan

dan dalam menentukan respon terhadap kejahatan. Ciri khas adalah

langsung, tatap muka dialog di antara korban, pelaku, dan terutama

masyarakat.

Peradilan anak model restoratif juga berdasarkan pada

asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi

anak tidak efektif tanpa adanya kerjasama dan keterlibatan korban,

pelaku, dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa

keadilan paling baik terlayani apabila setiap pihak menerima

perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses

peradilan, dan memperoleh keuntungan secara memadai dari

interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.

Helen Cowie dan Dawn Jeniffer, mengidentifikasikan aspek-

aspek utama peradilan restoratif sebagai berikut ;

1) Perbaikan, bukanlah tentang memperoleh kemenangan atau menerima kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam, tetapi tentang keadilan.

2) Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku kriminal memikul tanggungjawab atas kekliruan dan memperbaikinya dengan sejumlah cara, tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan langsung, antara korban dan pelaku kriminal, yang berpotensi men-gubah cara berhubungan satu sama lain.

3) Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena tempat anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksudnya agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalitas serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain.13

Jeff Christian menjelaskan lebih sederhana tentang perbe-

daan Retributive Justice dan Restorative Justice tersebut. Pada Re-

tributive Justice pelaku melawan negara/ ratu/ pemerintah, sedan-13 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Jakarta: Gramedia, 2010, hlm.203.

11

Page 12: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

gkan Restorative Justice pelaku melawan korban, atau perlawanan

antar individu. Pada model retributif yang dipersoalkan adalah

bagaimana menghukum orang yang salah sehingga yang terjadi

adalah perang antar pengacara. Namun pada model restoratif yang

dipersoalkan adalah bagaimana menyelesaikan masalah sehingga

yang dibutuhkan adalah dialog dan kerjasama. 14 Restorative Justice

lebih pada upaya mencegah hal yang sama atas kejahatan-keja-

hatan pada masa yang akan datang.

Dalam model keadilan retributif tidak menjamin bahwa

hukuman yang diberikan akan menjamin kesalahan yang sama

tidak akan terulang. Pada model retributif stigma pelaku akan sulit

dibuang, bahkan dapat terjadi pelaku akan mendapatkan stigma/la-

bel selamanya dengan segala konsekuensinya dalam kehidupan,

sedangkan pada model restoratif masyarakat akan mudah melu-

pakannya. Model ini berupaya melakukan pemulihan hubungan an-

tara pelaku dan korban.

Menurut Muladi, dalam peradilan restoratif korban diperhi-

tungkan martabatnya. Pelaku harus bertanggungjawab dan diinte-

grasikan kembali ke dalam komunitasnya. Pelaku dan korban berke-

dudukan seimbang dan saling membutuhkan karena itu harus

dirukunkan.15 Baqir Manan berpandangan, bahwa dalam peradilan

restoratif, perkara harus diubah, bukan lagi demi kepentingan

ketertiban, melainkan demi kepentingan korban beserta pemulihan

segi materi dan psikhisnya. Intinya bagaimana menghindarkan 14 Ibid, hlm. 204.15 Muladi, Opcit, hlm. 27 – 29.

12

Page 13: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

pelaku dari pemenjaraan, tetapi tetap bertanggungjawab. Perlu diu-

payakan pemberdayaan “sanksi” terhadap anak melalui peradilan

anak yang di dalamnya terkandung keterpaduan kepentingan (yang

bersifat struktural) pengintegrasian pelaku ke dalam masyarakatnya

pada satu pihak, dan pada pihak lain, pengembangan kemampuan

dan tanggungjawab pelaku secara penuh makna pada korbannya

sekaligus masyarakatnya, seperti yang dikemukakan Wilkins, bahwa

“it’s now generally accepted that the problem of crime can not be

simplified to the problem of criminal”.16

Anak pelaku delinkuen cenderung berada dalam posisi pasif,

kecil kesempatan untuk mengambil langkah aktif atas perilaku

delinkuen yang diperbuatnya atau langkah-langkah lain yang

berorientasi pada upaya konsiliasi, rehabilitasi atau reintegrasi.

Pidana ataupun pembinaan tidak mampu mempertemukan

kepentingan pelaku, masyarakat, keluarga dan korban. Peradilan

restoratif yang dilandaskan pada asumsi bahwa reaksi atas perilaku

delinkuensi tak akan efektif tanpa kerjasama dan keterlibatan dari

korban, pelaku dan masyarakat, dapat dipertimbangkan sebagai

upaya pemberdayaan “sanksi” di atas.

Model peradilan restoratif merupakan pengembangan model

peradilan anak yang lebih manusiawi, yaitu model ini menggeser

nilai filsafati penanganan anak dari penghukuman menuju

rekonsiliasi, pembalasan terhadap pelaku menuju penyembuhan

korban, pengasingan dan kekerasan menuju keperansertaan dan

16 Wilkins, L., 1997, Punishment, Crime and Market Force, Brookfiels, VT, Dartmouth Publishing, p. 312

13

Page 14: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

kekerabatan masyarakat keseluruhan, destruktif yang negatif

menuju perbaikan, pemberian maaf yang sarat dengan limpahan

kasih. Model peradilan ini berusaha untuk memperbaiki insan

manusia anggota masyarakat dengan cara menghadapkan pelaku

delinkuen pada tanggungjawabnya terhadap korban. Korban yang

biasanya terabaikan dalam proses peradilan, diberikan kesempatan

untuk ikut berperanserta dalam proses peradilan.

Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand,

yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam Sistem peradilan

Pidana (SPP). Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak

pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya,

pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para

pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan

menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan

korban serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari

kesusahan/ persoalan berikutnya.

Selain proses peradilan, negosiasi dan mediasi adalah

bagian dari cara yang sering digunakan oleh masyarakat untuk

menyelesaikan sengketa dan permasalahan mereka dengan orang

lain. Mediasi merupakan salah satu dari bentuk ADR (Alternative

Dispute Resolution) yang sering digunakan sebagai salah satu

pilihan dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Menurut John W Head mediasi adalah ”suatu prosedure

penengah dimana seseorang bertindak sebagai kendaraan untuk

berkomunikasi antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang

14

Page 15: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin

didamaikan, tetapi tanggungjawab utama tercapainya suatu

perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.”17

Christopher W. Moore memberikan definisi tentang mediasi :

...” the intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third party party who has limited or no authoritative decision-making power but who assist the involved parties in voluntary reaching a mutually acceptable settlement of issues in dispute” 18

Definisi tersebut menegaskan hubungan antara mediasi dan

negosiasi, yaitu mediasi adalah sebuah intervensi terhadap proses

negosiasi yang dilakukan oleh pihak ke tiga. Pihak ke tiga memiliki

kewenangan terbatas (limited) atau sama sekali tidak memiliki

kewenangan untuk mengambil keputusan, yang membantu para

pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian sengketa yang

diterima oleh ke dua belah pihak.

Dalam ”International Penal reform Conference” yang

diselenggarakan di Royal Holloway College, University of London

pada tanggal 13 – 17 April 1999 dikemukakan bahwa salah satu

unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (the key

elements of a new agenda for penal reform) ialah perlunya

memperkaya sistem peradilan pidana formal dengan sistem atau

mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai

dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to anrich the

formal judicial system with informal, locally based, dispute

17 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm. 120

18 Ibid, hlm. 121

15

Page 16: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

resolution mechanism swich meet human rights standard).

Konferensi ini juga mengidentifikasikan 9 strategi pengembangan

dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, yaitu

mengembangkan/ membangun :

1. Restorative justice2. Alternative dispute resolution.3. Informal Justice4. Alternatives to Custody5. Alternative ways of dealing with Juvenile6. Dealing with Violent Crime7. Reducing the prison population8. The proper Management of prisons9. The Role of civil society in penal reform

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka sudah

selayaknya apabila penanggulangan bagi pelaku delinkuensi anak

lebih mengedepankan langkah-langkah yang bersifat non-penal.

Mengembangkan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana

diperlukan pemahaman yang luas secara komprehensif dan

terpadu. Perlunya kesamaan pemahaman tentang arti kepentingan

terbaik bagi anak, sebab pengembangan hak-hak anak dalam

proses peradilan pidana adalah suatu hasil interaksi antara berbagai

fenomena yang ada dalam masyarakat serta terkait satu dengan

lainnya, baik secara individual maupun kelompok. Wujud dari suatu

keadilan adalah adanya keseimbangan antara pelaksanaan hak dan

kewajiban. Perlu diingat ketika anak sebagai pelaku tindak pidana

melaksanakan kewajiban dan haknya, maka diperlukan bantuan dan

perlindungan agar ada keseimbangan dan perlakuan yang

manusiawi.

Menurut Tony F.Marshall :

16

Page 17: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

“Restorative justice is a problem solving approach to crime which involves the parties themselves and the community generally in an active relationship with statutory agencies, 19(yaitu bahwa peradilan restoratif adalah suatu pendekatan untuk memecahkan masalah kejahatan di antara para pihak, yaitu korban, pelaku dan masyarakat dalam suatu relasi yang aktif dengan aparat penegak hukum).

Selanjutnya dirumuskan suatu definisi tentang Restorative

Justice yang sudah bisa diterima di kalangan internasional :

Restorative Justice is a process where by parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future. 20(peradilan restoratif adalah proses dimana semua pihak yang memiliki kepentingan dan yang terlibat dalam pelanggaran tersebut datang bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama bagaimana menangani setelah pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan).

Prinsip-prinsip yang terdapat dalam peradilan restoratif yaitu

sebagai berikut :

a. Making room for the personal involvement of those mainly concerned (particularly the offender and the victim, but also their families and communities).( Membuat ruang bagi para pihak yang terlibat terutama bagi mereka yang berkaitan (yaitu pelaku dan korban, tetapi juga keluarga mereka dan masyarakat)

b. Seeing crime problems in their social context a forward looking (or preventative) problem solving orientation.( Meli-hat masalah kejahatan dalam konteks sosial mereka yang mencari untuk yang akan datang (atau preventif) dalam orientasi pemecahan masalah)

c. Flexibility of practice (creativity). Menyesuaikan dalam praktek (dapat dilakukan dengan kreativitas )21 .

Peradilan Restoratif adalah proses dimana pihak-pihak

berkepentingan, memecahkan bersama cara mencapai kesepakatan

pasca terjadi suatu tindak pidana, termasuk implikasinya di

19 Allison Morris, Gabrielle Maxwell, 2001, Restorative Justice for Juveniles, Conference Mediation and Circles, USA: Hart Publisihing, Oxford and Portland, Oregon, p.5

20 Ibid21 Ibid

17

Page 18: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

kemudian hari.22 Zimring memaparkan dua justifikasi didirikannya

pengadilan anak, yakni justifikasi intervensionis dan justifikasi

diversionaris. Justifikasi diversionaris merupakan argumen bahwa

pengadilan anak memberikan kebaikan bagi anak, karena

menimbulkan lebih sedikit kerugian dibandingkan proses pengadilan

biasa, sedangkan para pendukung justifikasi intervensionis

menekankan pada hal-hal baik yang dapat dicapai oleh program-

program yang dilaksanakan oleh para ahli kesejahteraan anak.

Berbagai definisi tentang peradilan restoratif dapat

diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sempit dan yang luas.

Definisi-definisi yang menggabungkan keduanya, dan salah satu

diantaranya dirumuskan Van Ness dari Kanada sebagai berikut:

Restorative Justice is a theory of justice that emphasizes repairing the harm caused or revealed by criminal behaviour. It is best accomplished through inclusive and cooperative process. Peradilan restoratif adalah teori keadilan yang mengutamakan pemulihan kerugian akibat perilaku jahat, dimana pemulihannya tuntas melalui proses yang inklusif dan kooperatif.”23

Selanjutnya menurut Van Ness :

“... Not every constructive and progressive alternative to traditional interventions into crime and wrongdoing can be described as restorative justice. For such an alternative to be credibly described as restorative justice, it will usually have one or more of the following ingridients , which are presented in no particular order of importance :a. There will be some relatively informal process which aims to

involve victims , offenders and others closely connected to them or the crime in discussion of matters such as what happened, what harm has resulted and what should be done to repair that harm and, perhaps, to prevent further wrong doing or conflict.

22 Wahid, Eriyantow , Keadilan Restoratif, Dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Universitas Trisakti, 2009, hlm.3

23 Ibid

18

Page 19: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

b. There will be an emphasis on empowering (in a number of senses) ordinary people whose lives are affected by a crime or other wrongful act.

c. Some effort will be made by decision-makers or those facilitating decision-making processes to promote a response which is geared less towards stigmatizing and punishing the wrongdoer and more towards ensuring that wrongdoers recognize and meet a responsibility to make amends for the harm they have caused in a manner which directly benefits those harmed, as a first step towards their reintegration in to the community of law-abiding citizens.

d. Decision-makers or those facilitating decision-making will be concerned to ensure that the decision-making process and its outcome will be guided by certain principles or values which, in contemporary society, are widely regarded as desirable in any interaction between people, such as : respect should be shown for others; violence and coercion are to be avoided if possible and minimized if not; and inclusion is to be preferred to exclusion.

e. Decision-makers or those facilitating decision-making will devote significant attention to the injury done to the victims and to the needs that result from that, and to the victims and to the needs that result from that, and to tangible ways in which those needs can be addressed.

f. There will be some amphasis on strengthening or repairing relationships between people, and using the power of healthy relationships to resolve difficult situations. 24

24 Gerry Johnstone and Daniel W.Van Ness, Hand Book of Restorative Justice, Portland, Oregon, USA, Willan Publishing, 2007, p.7

Tidak setiap konstruktif dan alternatif progresif untuk intervensi secara tradisional terhadap kejahatan dan kesalahan yang dapat digambarkan sebagai keadilan restoratif. Untuk menjadi alternatif yang akan dipercaya digambarkan sebagai keadilan restoratif, biasanya akan memiliki satu atau lebih dari unsur berikut, disajikan dalam urutan tertentu yang penting :

1. Akan ada beberapa proses yang relatif informal yang bertujuan untuk melibatkan para korban, pelaku, dan lain-lain terkait erat dengan mereka atau kejahatan dalam diskusi tentang hal-hal seperti apa yang terjadi, apa salahnya telah menghasilkan dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kerusakan itu dan, mungkin, untuk mencegah lebih melakukan salah atau konflik.2. Akan ada penekanan pada pemberdayaan (di sejumlah indra) orang-orang biasa yang hidupnya dipengaruhi oleh kejahatan atau tindakan yang salah lainnya.3. Beberapa upaya akan dilakukan oleh pengambil keputusan atau mereka memfasilitasi proses pengambilan keputusan untuk mempromosikan respon yang diarahkan kurang terhadap stigma dan menghukum pelaku kesalahan dan lebih untuk memastikan bahwa pelaku kesalahan mengenali dan memenuhi tanggung jawab untuk menebus kerugian yang mereka telah menyebabkan dengan cara yang secara langsung menguntungkan mereka dirugikan, sebagai langkah pertama menuju reintegrasi mereka ke dalam masyarakat yang taat hukum warga negara.4. Para pengambil keputusan atau mereka memfasilitasi pengambilan keputusan akan peduli untuk memastikan bahwa proses pengambilan keputusan dan hasilnya akan dipandu oleh prinsip-prinsip tertentu atau nilai-nilai yang, dalam masyarakat kontemporer, secara luas dianggap sebagai diinginkan dalam setiap interaksi antara orang-orang, seperti: rasa hormat harus ditampilkan untuk orang lain, kekerasan dan pemaksaan harus dihindari jika mungkin dan diminimalkan jika tidak, dan inklusi adalah lebih disukai untuk pengecualian.5. Para pengambil keputusan atau mereka memfasilitasi pengambilan keputusan akan mencurahkan perhatian yang signifikan terhadap cedera yang dilakukan kepada para korban dan kebutuhan yang merupakan hasil dari itu, dan kepada para korban dan kebutuhan yang merupakan hasil dari itu, dan cara-cara nyata di mana kebutuhan tersebut dapat diatasi.6. Akan ada beberapa penekanan pada penguatan atau memperbaiki hubungan antara orang-

19

Page 20: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Tujuan utama peradilan restoratif memberdayakan korban,

yaitu pelaku didorong agar memperhatikan pemulihan. Peradilan

restoratif mementingkan terpenuhinya kebutuhan material,

emosional dan sosial sang korban. Keberhasilan peradilan restoratif

bukan diukur oleh sebesar apa kerugian telah dipulihkan pelaku,

bukan diukur oleh seberat apa pidana yang dijatuhkan hakim.

Intinya sedapat mungkin pelaku dikeluarkan dari proses pidana dan

dari penjara.

Selanjutnya Kent Roach mengatakan, bahwa peradilan

restoratif bukan hanya memberikan alternatif bagi penuntutan dan

pemenjaraan melainkan juga meminta tanggungjawab pelaku,

karena itu harus dipahami beberapa perbedaan antara peradilan

restoratif dengan peradilan pidana yang konvensional.

Menurut Van Ness landasan Restorative Justice ada

beberapa karakteristik :

a. Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims,communities and the offenders themself; only secondary is it lawbreaking.

b. The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes.

c. The criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It should not be dominated by government to the exclusion of others.25

Howard Zehr mengatakan bahwa :

orang, dan menggunakan kekuatan hubungan yang sehat untuk mengatasi situasi sulit.25 IbidAdalah kontras apabila keadilan retributif dibandingkan keadilan restoratif. Keadilan

retributif, menurutnya, dimulai dengan pemahaman tertentu kejahatan: hal itu adalah pelanggaran terhadap negara, didefinisikan oleh adanya melanggar hukum dan rasa bersalah. Keadilan menentukan menyalahkan dan mengelola rasa sakit di dalam proses antara pelaku dan negara yang diarahkan oleh aturan yang sistematis.

20

Page 21: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

“contrast of retributive justice versus restorative justice. Retributive justice, he argues, begins with a particular understanding of crime: it is a violation of the state, defined by law breaking and guilt. Justice determines blame and administers pain in a contest between the offender and the state directed by systematic rules. 26

Selanjutnya dikatakan oleh Howard Zehr sebagai perintis

peradilan retoratif di Amerika Serikat memperkenalkan “lensa

restoratif”, yaitu bahwa :

“Restorative justice sees differently.. Crime is violation of people and relationships.. It creates obligations to make things right. Justice involve the victim, the offender and the community in a search for solutions which promote repair, reconciliation and reassurence”27

Paradigma peradilan restoratif telah menggeser pandangan

konvensional terhadap kejahatan, dari pelanggaran norma yang

menimbulkan kerugian, beralih ke individu yang terkena dampak

kejahatan; dari pemidanaan dan penjatuhan nestapa, beralih ke

perbaikan kerugian. Pemulihan kerugian merupakan komponen

utama paradigma peradilan restoratif. Dilihat dari aspek

penyelesaian pelbagai konflik, unsur penting definisi peradilan

restoratif adalah lebih mengutamakan rekonsiliasi dari pada

pembalasan.

Karakteristik Restorative Justice Theory menurut Van

Nes :

26 Ibid27 Ibid, p. 3Keadilan restoratif melihatnya secara berbeda. Kejahatan adalah pelanggaran yang

berhubungan dengan orang. Hal ini menciptakan kewajiban untuk membuat hal tentang kebenaran. Keadilan yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi yang mempromosikan perbaikan, rekonsiliasi dan jaminan kembali seperti semula

21

Page 22: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

a. Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themselves; only secondary is it lawbreaking.

b. The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes.

c. The Criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It should not be dominated by goverment to the exclusion or others.28

Susan Sharpe, seorang Kanada, telah mengusulkan lima

prinsip kunci yang membantu dalam proses keadilan restoratif

berdasarkan definisi Marshall. Berikut ini diambil berdasarkan cara

bekerjanya :

Pertama, keadilan restoratif mengharapkan partisipasi dan konsensus seluruh peserta, Kedua, keadilan restoratif berusaha untuk mengembalikan apa yang rusak. Ketiga, keadilan restoratif berusaha akuntabilitas penuh dan langsung, Keempat, keadilan Restorative berusaha untuk menyatukan kembali apa yang telah terlepas , Akhirnya, keadilan restoratif berusaha untuk memperkuat masyarakat dalam rangka untuk mencegah kerugian lebih lanjut.29

28 Dwidja Priyatna, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT.Refika Aditama, 2006, hlm. 15

a. Kejahatan terutama konflik antara individu yang mengakibatkan luka-luka korban, masyarakat dan pelaku sendiri, hanya sekunder adalah pelanggaran hukum itu.b. Tujuan menyeluruh dari proses peradilan pidana harus mendamaikan pihak sementara memperbaiki luka yang disebabkan oleh kejahatan.c. Proses peradilan pidana harus memfasilitasi partisipasi aktif oleh para korban, pelaku dan masyarakat mereka. Ini tidak boleh didominasi oleh pemerintah dengan atau mengesampingkan orang lain .

29 Allison Morris, Gabrille Maxwell, p. 5,6... First,restorative justice invites full participation and consensus, This means that victims and offenders are involved, but it also opens the door to others who feel that their interests have been affected (for example, neighbours who have been indirectly harmed by the crime. The invitation to participate undercourses the benefits of voluntary involvement, although, of course, offenders may paticipate in order to avoid traditional criminal processes. Second, restorative justice seeks to heal what is broken, A central question asked in any restorative process is “What does the victimneed to heal to recover, to regain a sense of safety?” Victims may need information; they may need reparation. Offenders, too, may need healing; they may need release from guilt or fear; they may need resolution of underlyine conflicts or problems that led to tthe crime; and they may need an opportunity to make things right. Third,restorative justice seeks full and direct accountabilit., Accountability does not simply mean that offenders must face the fact that they have broken the law; they must also face the people they have harmed and see how their actions have damaged others. They should expect to explain their behaviour so that the victim and community can make sense of it. They should also expect to take steps to repair that harm. Fourth,Restorative justice seeks to reunite what hasbeen devided. Crime causes divisions between people and within communities. That is one of the most profound harms that is causes. Restorative processes work toward reconciliation of the victim and offender, and reintegration of both into the community. A restorative perspective holds that the “victim” and “offender” rolesshould be temporary, not permanent. Each should be drawn toward a future in

22

Page 23: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Menurut Muladi, karakteristik Restorative Justice ciri-

cirinya adalah :

a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain.

b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan.

c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi.d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi

dan restorasi sebagai tujuan utama.e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak,

dinilai atas dasar hasil.f. Kejahatan diakui sebagai konflik.g. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial.h. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses

restoratif.i. Menggalakkan bantuan timbal balikj. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui baik dalam

permasalahan maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan si korban diakui; pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab

k. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan mana yang paling baik;

l. Tindak pidana difahami dalam konteks menyeluruh moral, sosial dan ekonomis.

m. Dosa atau hutang dan pertanggungjawaban terhadap korban diakui;

n. Reaksi dan tanggapan difokuskan pada konsekuensi yang dari perbuatan si pelaku tindak pidana;

o. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restorative.p. Ada kemungkinan (dorongan untuk bertobat dan

mengampuni) yang bersifat membantu.q. Perhatian ditujukan pertanggungjawaban terhadap akibat

perbuatan (bandingkan dengan Retributif justice, perhatian diarahkan pada debat antara kebebasan kehendak (free will) dan detirminisme sosial psikologis di dalam kausa kejahatan.30

which they are free of their past, no longer defined primarily by the harm they may have caused or suffered. Finally,restorative justice seeks to strenghten the community in order to prevent further harms.Crime causes harm, but crime may also reveal preexisting injustices. These can be as localised as a long term dispute between the “offender and the ‘vctim” that erupted into criminal behaviour. It can be as systemic as racial and economic inequities that, while not excusing the offender’s behaviour, must be addressed in order to strenghten the community and make it a just and safe place to live.

30 Muladi, Opcit, hlm. 27 – 29.

23

Page 24: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Ciri khas peradilan restoratif adalah mendudukkan korban

pada posisi sentral. Ciri khas yang lain adalah menjauhkan pelaku

dari pemenjaraan melalui diversi, akan tetapi tetap diminta

tanggungjawabnya. Penerapan peradilan restoratif akan lebih efektif

dalam sistem peradilan pidana yang mengenal banyak bentuk

diversi, dimana setiap komponennya memiliki diskresi yang luas.

Berbeda dengan penyelesaian perkara melalui proses peradilan

yang normal, diversi adalah opsi yang cocok dan proporsional dalam

penyelesaian perkara.

Diversi juga disebut sebagai proses penyelesaian perkara di

luar pengadilan (out-of-court settlement). Sehubungan dengan itu,

peradilan restoratif akan tercapai melalui diversi bila korban dengan

bebas berpartisipasi aktif dan pelaku menikmati kesempatan

meminta maaf tanpa paksaan diikuti rekonsiliasi di antara para

pihak yang berkepentingan sebagai proses penyembuhan luka dan

pemulihan ganti rugi.31

Menurut Richard J. Lundman dalam kaitannya dengan hal

tersebut memberikan pendapat, “persistent delinquent is the result

of treating first-offenders as if they were about to become

persistently delinquent. Juvenile Justice System processing therefore

does more harm than good.” Selanjutnya dikatakan oleh Lundman :

First, juvenile justice system processing provides juveniles with a delinquent self-image. Whereas prior to arrest and intake, most juvenile offenders see themselves as basically good kids who shoplift overpriced items from big stores that can easily afford the loss, or as one of many out for an innocent Friday night or group-based beer and fun, arrested juvenile sent to intake are treated as if

31 Eriyantouw Wahid, Opcit, hlm. 49

24

Page 25: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

they are delinquent. Being treated as delinquent causes some adolescent to view themselves as delinquent and invites more rather than less delinquency.Second, juvenile justice system processing stigmatizes juvenile in the eyes of significant others. School teachers, police officers, and potential employers are understandably wary of juvenile with formal records of delinquency. So too, with potential friends, lovers, spouses. Although a formal record is not outomatically or uniformly stigmatizing, delinquent labels causes at least some of the important people around a juvenile to hesitate in assisting in the transition to adulthood and prolongs involvement in delinquency. Diversion away from formal juvenile justice system processing to the most effective method of preventing and controlling delinquency.32

Ide diversi merupakan bentuk pengalihan atau alternatif

penanganan terhadap delinkuensi anak dari proses peradilan pidana

anak yang konvensional, kearah penanganan delinkuensi anak yang

lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan, dan ide diversi dilakukan

untuk menghindarkan pelaku delinkuensi anak dari dampak negatif

pelaksanaan proses peradilan pidana anak. Menurut jack E Bynum,

Diversion is an attempt to divert, or chanel out, youtfull offenders

from the juvenile justice system (diversi adalah sebuah tindakan

atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku

delinkuensi anak keluar dari sistem peradilan pidana).33

Diversi dilakukan dengan pertimbangan untuk memberikan

kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang

baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber

daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada

kasus pelaku anak yang sudah melakukan tindak pidana dan

ditangani oleh aparat penegak hukum. Serta adanya kewenangan 32 Richard J. Lundman, Prevention and Control of Juvenile Delinquency, Oxford: Oxford

University Press, 1993, pp. 89 - 9033 Jack E Bynum, William E. Thompson, Juvenile Delinquency a Sosiological Approach,

Boston: Allyn and Bacon A Peason Education Company, 2002, hlm. 430.

25

Page 26: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

bagi Pihak yang berwenang yang memiliki kekuasaan untuk

menghentikan proses yang sedang berlangsung setiap saat untuk

selanjutnya melakukan diversi. Ada tiga jenis pelaksanaan diversi

yaitu :

1. Pelaksanaan kontrol sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung-jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ke-taatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggungjawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social ser-vice orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggungjawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban, pelaku dan masyarakat. Pelaksanaan-nya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.34

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan

persuasive atau pendekatan non penal dan memberikan

kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.

Peradilan restoratif merupakan salah satu upaya diversi untuk

mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan.

Munculnya ide peradilan restoratif sebagai kritik atas penerapan

sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak

efektif menyelesaikan konflik tersebut tidak dilibatkan dalam

penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku

34 Peter C.Kratcoski, Correctional Counseling and Treatment, USA: waveland Press Inc, 2004, hlm. 160

26

Page 27: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga

dan sebagainya.

Restorative Justice adalah sebuah teori yang menekankan

pada memulihkan kerugian yang disebabkan atau ditimbulkan oleh

perbuatan pidana. Memulihkan kerugian ini akan tercapai dengan

adanya proses-proses kooperatif yang mencakup semua

stakeholder (pihak yang berkepentingan).35 Tindakan-tindakan dan

program yang merefleksikan tujuan-tujuan restoratif akan dapat

menyelesaikan kejahatan dengan cara :

a. mengidentifikasi dan mengambil langkah-langkah untuk memulihkan kerugian,

b. melibatkan semua stakeholder, danc. merubah hubungan tradisional antara masyarakat dan

pemerintah mereka dalam mengatasi kejahatan.Mekanisme hukum dan aparat penegak hukum (criminal

justice system) beserta masyarakat menjadi faktor yang mesti

mendapat perhatian yang cukup untuk memberikan perlindungan

dan jaminan terpenuhinya hak-hak dasar seorang anak yang

berhadapan dengan hukum, maka aparat penegak hukum di

Indonesia dan masyarakat perlu mengalami penyegaran pandangan

terhadap isu anak yang berhadapan dengan hukum, agar dapat

terlibat dalam upaya menekan jumlah anak dan penanganan anak

yang berhadapan dengan hukum ke dalam saluran dan langkah

yang konstruktif dengan perkembangan fisik dan psikis anak, yakni

menghindari anak berada pada mekanisme hukum formal

(mengutamakan pendekatan informal) dan mengharapkan

35 Muladi, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang :Badan penerbit Universitas Diponegoro, hlm .125

27

Page 28: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

penyelesaian yang lebih bijak melalui penerapan konsepsi diversi

dan peradilan restoratif.

John Braitwhite berpandangan, bahwa Restorative Justice

adalah proses dimana semua pihak yang terlibat pelanggaran

tertentu bersama-sama memecahkan secara kolektif bagaimana

untuk menghadapi akibat pelanggaran dan implikasinya pada

waktu yang akan datang. Lebih lanjut dikatakan oleh John

Braithwaite, bahwa Restorative Justice bertujuan memulihkan

harmoni atau keseimbangan karena hukum telah ditegakkan.36

Memulihkan harmoni/ keseimbangan secara an sich saja tidak

cukup, oleh karena itu “memulihkan keseimbangan” hanya dapat

diterima sebagai gagasan mewujudkan keadilan jika

“keseimbangan” secara moral antara pelaku dan korban yang ada

sebelumnya adalah keseimbangan yang pantas.

Sebagai konsep pemidanaan tentunya tidak hanya terbatas

pada ketentuan hukum pidana (formil dan materiil). Restorative

Justice harus juga diamati dari sisi kriminologi dan sistem

pemasyarakatan karena konsep Restorative Justice terlahir oleh

keadaan sistem pemidanaan yang sekarang berlaku, ternyata

belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (intergrated justice),

yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban dan keadilan bagi

masyarakat dalam mekanisme di luar peradilan pidana.

Model ini diharapkan dapat menyentuh 3 (tiga) aspek dalam

perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu (1) 36John Braithwaite, Restorative Justice : Assessing an Immodest Theory and a Pessimistic

Theory Draft to be summited to Crime and Justice : Review of Research, University of Chicago, Press, p. 5

28

Page 29: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

pencegahan, (2) penanganan, (3) rehabilitasi dan reintregrasi.

Namun perlu diingat bahwa tidak semua pihak dapat melakukan 3

(tiga) aspek yang ada dengan pertimbangan bahwa semakin

banyak yang terlibat dalam penanganan langsung anak delinkuen

dapat memberikan imbas dan hambatan secara teknis mengenai

Restorative Justice, sehingga dalam proses penanganan, rehabilitasi

dan re-integrasi hanya membutuhkan komponen inti dan kompenen

lain sebagai pendukung dalam tahap pencegahan.

Sebagai sebuah pemikiran maka diperlukan suatu kajian

teori untuk menjelaskan fenomena yang ada. Perlu dipahami bahwa

anak sebagai pelaku delinkuensi terdapat tiga titik yang saling

berkaitan, yaitu :

pertama: sebagai pelaku ia kerap menjadi sarana pelampiasan kemarahan masyarakat yang merasa tercoreng rasa keadilannya, kedua: hukum beserta aparat penegak hukumnya berusaha unrtuk memenuhi rasa keadilan  masyarakat dengan cara memproses kasus pidana yang dilakukan oleh seorang anak, dan ketiga: sebagai seorang anak, mekanisme hukum dan rasa keadilan masyarakat harus ditempatkan dalam kerangka mendorong secara konstruktif ke arah perkembangan fisik dan psikisnya”.37

Menurut Baqir Manan, substansi dalam Restorative Justice

berisi prinsip-prinsip, antara lain :

Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyeelsaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai “stakeholder” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solution).38

37 LSM Ketuk Nurani , browsing Internet, www.Google.Com , 2 Oktober 2007 38 Eva Achjani Zulfa, Ibid

29

Page 30: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Kondisi anak-anak delinkuen merupakan permasalahan yang

dihadapi oleh semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Perilaku

anak-anak delinkuen pada hakekatnya merupakan gejala hukum

sekaligus gejala sosial, maka langkah-langkah yang akan diambil

dalam upaya pencegahan, penanganan maupun penanggulangan

sangat memerlukan pemahaman yang komprehensif dalam

berbagai kajian bidang ilmu, baik secara yuridis maupun empiris

(kriminologis). Peradilan restoratif dengan sarana non-penal sebagai

upaya dalam penanggulangan anak-anak delinkuen perlu dikaji

lebih lanjut dalam rangka kepentingan yang terbaik bagi anak.

Sasaran akhir konsep peradilan restoratif adalah

berkurangnya jumlah tahanan dalam penjara; menghapuskan

stigma/ cap dan dapat mengembalikan pelaku kejahatan menjadi

manusia normal; pelaku kejahatan dapat menyadari kesalahannya

sehingga tidak mengulangi perbuatannya serta mengurangi beban

kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan, danlapas; menghemat

keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku

telah dimaafkan oleh korban, korban cepat mendapatkan ganti

kerugian, memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kejahatan

dan; pengintegrasian kembali pelaku kejahatan dalam masyarakat.

Pendekatan dalam peradilan restoratif merupakan suatu

paradigma yang dapat digunakan sebagai bingkai dalam strategi

penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab

ketidakpuasan bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat

ini. Peradilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang

30

Page 31: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

mersepon pengembangan sistem peradilan pidana dengan

menitikberatkan pada kebutuhan masyarakat dan korban yang

selama ini kurang dilibatkan dalam dan merasa tersisih dengan

mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada

pada saat ini. Dipihak lain keadilan restoratif juga merupakan suatu

kerangka berfikir yang baru, dapat digunakan dalam merespon

suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum. Dalam

peradilan restoratif sangat peduli terhadap pemulihan kembali

hubungan setelah terjadinya tindak pidana daripada memperparah

keretakan antara pelaku, korban dan masyarakat yang merupakan

karakter sistem peradilan pidana modern saat ini.

Peradilan restoratif merupakan reaksi yang bersifat “victim

centered”, terhadap kejahatan yang memungkinkan korban, pelaku,

keluarhga dan wakil-wakil masyarakat untuk memperhatikan

kerugian akibat terjadinya tindak pidana.39 Pusat perhatian

diarahkan kepada reparasi, restorasi atas kerusakan, kerugian yang

diderita akibat kejahatan (kenakalan) dan memprakarsai serta

memfasilitasi perdamaian. Hal ini untuk menggantikan dan

menjauhi keputusan terhadap yang menang atau kalah melalui

system adversarial (permusuhan). Peradilan restoratif berusaha

memfasilitasi dialog antara berbagai pihak yang terlibat atau

dipengaruhi akibat kejahatan, termasuk korban, pelaku, keluarga

dan masyarakat secara keseluruhan.

39 Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, Makalah disampaikan dalam Seminar IKAHI, tgl 25 April 2012).

31

Page 32: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dalam menangani

tindak kejahatan maupun delinkuensi anak hampir seluruhnya

berakhir di penjara, sedangkan penjara bukanlah solusi terbaik

dalam menyelesaikan penanganan terhadap tindak kejahatan

maupun delinkuensi anak. Khususnya tentang delinkuensi yang

menimbulkan kerusakan dan masih dapat direstorasi, sehingga

kondisi yang rusak tersebut dapat dikembalikan ke kondisi semula.

Restorasi tersebut memungkinkan adanya penghilangan stigma

terhadap pelaku. Kata restorative dapat diartikan sebagai obat yang

menyembuhkan, sedangkan restorative justice dimaknai sebagai

penyelesaian suatu tindak pidana tertentu yangg melibatkan semua

pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama mencari

pemecahan dan sekaligus mencari penyelesaian dalam menghadapi

kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana

mengatasi implikasinya dimasa datang.40

Berbagai definisi peradilan restoratif dapat diklasifikasikan

ke dalam kelompok yang sempit dan luas. Definisi yang sempit

mengutamakan makna pertemuan antarpihak berkepentingan

dalam kejahatan dan periode sesudahnya, sedangkan definisi –

definisi yang luas mengutamakan nilai-nilai peradilan restoratif.

Dilihat dari aspek penyelesaian pelbagai konflik, unsur penting

dalam definisi peradilan restoratif adalah lebih mengutamakan

rekonsiliasi dari pada pembalasan.41 Tujuan utama dalam peradilan

restoratif adalah memberdayakan korban, yaitu pelaku didorong 40 Abdillah Rifai, http://kompasiana.com/2012/04/02/penegakan-hukum-pidana-yang-

berorientasi-restorative-justice/ 41 Eriyantouw Wahid, Opcit, hlm. 3

32

Page 33: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

agar memperhatikan pemulihan. Peradilan Restoratif mementingkan

terpenuhinya kebutuhan material , emosional dan sosial sang

korban.

Keberhasilan peradilan restoratif diukur oleh sebesar apa

kerugian telah dipulihkan pelaku, bukan diukur oleh seberat apa

pidana yang dijatuhkan hakim. Intinya sedapat mungkin pelaku

dikeluarkan dari proses pidana dan dari penjara. Tapi seperti

dikatakan oleh Kent Roach, peradilan restoratif bukan hanya

memberikan alternatif bagi penuntutan dan pemenjaraan melainkan

juga meminta tanggungjawab pelaku, karena itu harus dipahami

beberapa perbedaan antara peradilan restoratif dengan peradilan

pidana yang konvensional. Tindakan kriminal dalam peradilan

restoratif ditafsirkan sebagai tindakan yang merugikan korban dan

komunitas, bukan ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap hukum

dan negara; lagi pula yang dihadapi pelaku adalah korban dan

komunitasnya, bukan pemerintah. 42

Howard Zehr sebagai perintis peradilan restoratif di Amerika

Serikat memperkenalkan “lensa restoratif”, yaitu kejahatan dilihat

sebagai pelanggaran terhadap individu dan relasi antar individu,

sedangkan keadilan dimaknai sebagai pencarian bersama atas

solusi melalui penyembuhan dan rekonsiliasi. Dengan kata lain

paradigma peradilan restoratif telah menggeser pandangan

konvensional atas kejahatan dari pelanggaran norma yang

menimbulkan kerugian, beralih ke individu yang sangat terkena

42 Ibid

33

Page 34: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

dampak kejahatan; dari pemidanaan dan penjatuhan nestapa,

beralih ke perbaikan kerugian. Elemen utama dalam paradigma

peradilan restoratif adalah pemulihan kerugian. 43

Howard Zehr selanjutnya mengingatkan bahwa peradilan

restoratif lebih tepat didefinisikan secara kontras dengan “sistem

perlawanan” (adversial system) dalam peradilan konvensional di

negara-negara Barat dimana kedua pihak (negara/ jaksa

berhadapan dengan pembela/ terdakwa) “ saling melakukan

perlawanan “ di depan “wasit”, yakni hakim yang memimpin

persidangan. Kejahatan dalam peradilan restoratif dipahami sebagai

kerugian yang ditimpakan kepada korban dan komunitasnya;

sedangkan dalam adversial dipahami sebagai pelanggaran terhadap

negara. Peradilan restoratif dijalankan secara aktif oleh

komunitasnya dimana korban dibantu berperan menjelaskan

bagaimana kerugian seharusnya diperbaiki dan pelaku didorong

bertanggungjawab, sedangkan sistem adversial diselenggarakan

dan dikendalikan oleh para profesional dimana korban umumnya

terhalang untuk menguraikan kerugiannya.44

Sarre memberikan pendapatnya sebagai berikut :

“A resstorative system of criminal justice endeavors to listen to, and appease, aggrieve parties to conflict and to restore, as far as possible, right relationship between antagonists. In restorative models crime is defined as a violation of one person by another, the focus is on problem solving, dialogue and restitution (where possible), mutuality, the repair of social injury and the possibilities of repentance and forgiveness.”45

43 Ibid44 Ibid, hlm. 545 Muladi, Ibid, 2012, hlm. 6

34

Page 35: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Beberapa sarjana percaya tujuan sebenarnya dari sistem

peradilan pidana adalah keadilan untuk mempromosikan kedamaian

dalam masyarakat, sebagai pendukung perdamaian , bukan

hukuman. Visi ini yang telah dikenal sebagai keadilan restoratif. 46Model keadilan restoratif menarik inspirasi dari agama dan ajaran

filosofis mulai dari aliran Quaker ke Zen. Para pendukung keadilan

restoratif mengatakan bahwa upaya negara untuk menghukum dan

mendorong untuk mengkontrol kejahatan. Kisah kekerasan

hukuman oleh negara, mereka menyatakan, tidak berbeda dengan

kisah kekerasan oleh individu, sedangkan para pendukung asosiasi

pengendalian kejahatan, dengan hukuman yang lebih rendah

tingkat kejahatan meningkat, pendukung keadilan restoratif

mengkritik bahwa hukuman adalah sebagai metode koreksi (seperti

penjara) tidak lebih efektif sebagai upaya yang lebih manusiawi

(Seperti percobaan dengan pembinaan), oleh karena itu daripada

memberikan hukuman coersive saling membantu adalah kunci

untuk menjadi masyarakat yang harmonis.

Tanpa kemampuan untuk memulihkan hubungan sosial yang

rusak, respon masyarakat terhadap kejahatan secara langsung

telah khusus menghukum. Pedoman dalam keadilan restoratif ada

tiga prinsip yang penting , yaitu :

a. Kelompok yang "memi-liki" konflik (termasuk kejahatan),

b. Adanya Materi dan pemulihan secara simbolis bagi korban kejahatan dan;

46 Ibid

35

Page 36: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

c. Reintegrasi sosial bagi pelaku. 47

Mempertahankan kepemilikan, atau yurisdiksi, melebihi

konflik artinya bahwa konflik antara kejahatan dan korban harus

diselesaikan dalam kelompok di mana perkara tersebut berasal,

bukan di penjara yang sangat jauh. Korban harus diberi kesempatan

untuk memberikan suaranya atau menceritakan kasusnya, dan

pelaku harus membantu memberikan kompensasi kepada korban

secara finansial atau dengan memberikan beberapa pelayanan.

Tujuannya adalah untuk memungkinkan pelaku untuk menghargai

kerusakan yang disebabkan perbuatannya, untuk menebus

kesalahan, dan untuk melakukan reintegrasi ke dalam masyarakat.

Keadilan restoratif telah berkembang dari sebuah keyakinan

bahwa sistem peradilan tradisional telah melakukan dengan hanya

sedikit melibatkan masyarakat dalam proses yang berurusan

dengan kejahatan dan melakukan kesalahan. Apa yang telah

dikembangkan adalah sistem hukuman coersive , dikelola oleh

birokrat, bahwa hal tersebut berbahaya untuk pelanggar dan

kemungkinan mengurangi kemungkinan bahwa pelanggar tersebut

nantinya akan menjadi anggota masyarakat yang produktif. Sistem

ini mengandalkan pada hukuman, stigma dan aib.48

Penyelesaian perkara pidana dalam restorative justice

(peradilan restoratif) dapat dilakukan dalam bentuk mediasi penal,

karena dampak yang ditimbulkan dalam mediasi penal sangat

47 Ibid.48 Larry J.Siegel, Criminology, USA : Wadsworth, 2011, p.217

36

Page 37: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

signifikan dalam proses penegakan hukum. Dalam proses peradilan

restoratif tidak dapat dilepaskan dari cita hukum yang didasarkan

pada landasan filsafat hukum yaitu keadilan (law is justice), dan

asas hukum dalam proses penyelesaian perkara yang berdasarkan

pada sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis.

Pola mediasi yang dilakukan dalam peradilan restoratif

adalah berdasarkan pada nilai-nilai keadilan, nilai kepastian dan

kemanfaatan, serta mempertimbangkan landasan filosofis, yuridis

dan sosiologis. Konsep dalam pendekatan dalam restorative justice

merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada

kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak

pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan

pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses

dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas

penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi

pihak korban dan pelaku.

Restorative justice memiliki makna keadilan yang

merestorasi, yaitu dalam proses peradilan pidana konvensional

dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan

restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi

pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan

hubungan ini dapat didasarkan atas kesepakatan bersama antara

korban dan pelaku.

Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang

dideritanya dan pelakupun diberi kesempatan untuk menebusnya,

37

Page 38: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun

kesepakatan-kesepakatan lainnya. Hal ini tidak ada dalam proses

peradilan pidana konvensional, karena para pihak yang berperkara

tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam

penyelesaian masalah mereka. Partisipasi aktif dari masyarakat

seakan tidak diberi ruang untuk aktif, karena semuanya akan

diselesaikan dengan putusan pidana atau punishment tanpa melihat

kepentingan para pihak.

Dalam peradilan restoratif kejahatan tidak dilihat sebagai

pelanggaran hak seseorang oleh orang lain, melainkan dianggap

pelanggaran hak seseorang oleh orang lain. Dalam hal ini restitusi

merupakan sarana perbaikan para pihak dan rekonsiliasi serta

restorasi merupakan tujuan utama. Para korban dan pelaku tindak

pidana diakui, baik dalam permasalahan maupun dalam

penyelesaian. Hak-hak dan kebutuhan si korban diakui; pelaku

tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab. Baqir Manan

mengatakan, bahwa hambatan dalam melaksanakan perdamaian

antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak

hukum yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum

akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat

melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian. Namun patut

dipertanyakan apakah masih ada tujuan pemidanaan yang belum

tercapai apabila para pihak telah berdamai satu sama lain. Tujuan

penegakan hukum bukanlah sekedar untuk menerapkan hukum,

38

Page 39: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman,

dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil.

Pada dasarnya penyelesaian perkara pidana dengan

peradilan restoratif terfokus pada upaya mentransformasikan

kesalahan yang dilakukan pelaku dengan upaya perbaikan.

Termasuk dalam upaya ini adalah perbaikan hubungan antara para

pihak yang terkait dengan perkara tersebut. Hal ini

diimplementasikan dengan adanya perbuatan yang merupakan

gambaran dari perubahan sikap para pihak dalam upaya mencapai

tujuan bersama yaitu perbaikan. Para pihak yang diistilahkan

sebagai stakeholder merupakan pihak-pihak yang berkaitan baik

langsung maupun tidak langsung dengan tindak pidana yang

terjadi. Stakeholder utama disini adalah pelaku (yang

menyebabkan terjadinya delinkuensi), korban adalah sebagai pihak

yang dirugikan dan masyarakat adalah tempat terjadinya

delinkuensi. Melalui identifikasi masalah secara bersama-sama dan

mencari akar permasalahannya, maka kebutuhan yang

dipersyaratkan sebagai upaya perbaikan serta kewajiban-kewajiban

yang timbul karenanya, upaya perbaikan timbul.49

Program peradilan restoratif adalah program yang

menggunakan konsep peradilan restoratif dan menghasilkan tujuan

dari konsep tersebut yaitu kesepakatan antara para pihak yang

terlibat. Kesepakatan disini adalah kesepakatan para pihak yang

didasarkan pada upaya pemenuhan kebutuhan korban dan

49 Eva Achjani, Indriyanto Seno Adji, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung : Lubuk Agung, hlm. 74

39

Page 40: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

masyarakat atas kerugian yang ditimbulkan akibat delinkuensi

(tindak pidana) yang terjadi. Kesepakatan disini juga dapat diartikan

sebagai suatu upaya memicu proses re-integrasi antara korban dan

pelaku, oleh karenanya kesepakatan tersebut dapat berbentuk

sejumlah program seperti reparasi (perbaikan), restitusi ataupun

community services.50

Dalam pelaksanaan program peradilan restoratif, kegiatan

yang dilakukan harus didasarkan pada sejumlah asumsi yaitu :

a. That the response to crime should repair as much a possi-ble the harm suffered by the victim;Tujuan utama dalam pendekatan keadilan restoratif adalah terbukanya akses korban untuk menjadi salah satu pihak yang menentukan penyelesaian akhir dari tindak pidana karena korban adalah pihak yang paling dirugikan dan yang paling menderita. Oleh karenanya pada tiap tahapan penyelesaian yang dilakukan harus tergambar bahwa proses yang terjadi merupakan respon positif bagi korban yang diarahkan pada adanya upaya perbaikan atau penggantian kerugian atas kerugian yang dirasakan korban

b. That offenders should be brought to understand that their behaviour is not acceptable and that it had some real consequences for the victim and community;Tujuan lain yang ditetapkan adalah kerelaan pelaku untuk bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Suatu proses penyelesaian perkara pidana diharapkan merupakan suatu program yang dalam setiap tahaapannya merupakan suatu proses yang dapat membawa pelaku dalam suasana yang dapat membangkitkan ruang kesadaran untuk pelaku mau melakukan evaluasi diri. Pelaku dapat digiring untuk untuk menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukannya adalah suatu yang tidak dapat diterima dalam masyarakat, bahwa tindakan itu merugikan korban dan pelaku sehingga konsekuensi pertanggungjawaban yang dibebankan pada pelaku dianggap sebagai suatu yang memang seharusnya diterima dan dijalani.

50 Ibid.

40

Page 41: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

c. That offenders can and should accept responsibility for their action;Berdasarkan pada asumsi bahwa program penanganan tindak pidana yang menggunakan pendekatan keadilan restoratif akan dapat membawa pelaku ke arah kesadaran atas kesalahannya. Tanpa adanya kesadaran atas kesalahan yang dibuat, dianggap sangat mustahil dapat membawa pelaku secara sukarela untuk bertanggungjawab atas tindak pidana yang telah dibuatnya.

d. That victims should have an opportunity to express their needs and to participate in determininig the best way for the offender to make reparation and Partisipasi korban bukan hanya dalam rangka menyampaikan tuntutan atas ganti kerugian, karena sesungguhnya korban juga memiliki posisi penting untuk mempengaruhi proses yang berjalan termasuk membangkitkan kesadaran pada pelaku sebagaimana dikemukakan dalam asumsi kedua. Konsep dialog yang diusung oleh pendekatan ini memberikan suatu tanda akan adanya kaitan yang saling mempengaruhi antara korban dan pelaku dalam memilih penyelesaian terbaik sebagai upaya pemulihan hubungan sosial antara keduanya.

e. That the community has a responsibility to contribute to this process.Dalam proses penanganan perkara pidana tergambar bahwa akses ke dalam penyelenggaraannya bukan hanya milik korban ataupun pelaku, akan tetapi masyarakatpun dianggap memiliki tanggung jawab baik dalam penyelenggaraan proses ini maupun dalam hal tahap pelaksanaan hasil proses, baik sebagai penyelengara, pengamat maupun fasilitator serta bagian dari korban yang juga harus mendapatkan keuntungan atas hasil proses yang berjalan.51

Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk

terselenggaranya proses tersebut yaitu identifikasi korban,

kesukarelaan korban untuk berpartisipasi, adanya pelaku yang

berkeinginan untuk bertanggungjawab atas tindak pidana yang

dilakukannya dan tidak adanya paksaan pada pelaku. Mac Kay

51 Ibid

41

Page 42: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

merumuskan beberapa prinsip yang harus ditaati dalam

penyelenggaraannya program yang meliputi prinsip yang melekat

pada para pihak yang berkepentingan, masyarakat lokal, aparat,

sistem peradilan serta lembaga yang menjalankan konsep keadilan

restoratif itu sendiri. Inti dari prinsip yang melekat pada para pihak

meliputi :

a. Voluntary participant and informed concent,b. Non discrimination, irrespective of the nature of the case;c. Accessibility to relevant helping agencies (including restora-

tive practice agencies);d. Protection of vulnerable parties in process;e. Maintaining accessbility to conventional methods of dispute/

case resolution (including court);f. Privelege should apply to information disclosed before trial

(subject to public interest qualification);g. Civil right and dignity of indivisual should be respected;h. Personal safety to be protected;

Bagi korban ada beberapa kebutuhan yang harus terpenuhi

antara lain :

a. Their need and feeling to be taken seriously;b. Their losses to be acknowledgedc. Their right to claim recompense to be vindicate

Pada dasarnya dalam konsep mediasi dan rekonsiliasi yang

merupakan salah satu bentuk lembaga musyawarah dalam hukum,

lebih umum dipakai untuk menyelesaikan suatu perkara perdata.52

Dasar pertimbangan filosofis dan moral dalam mekanisme ini adalah

untuk mengurangi dampak buruk dari stigmatisasi yang dilakukan

oleh masyarakat kepada seorang pelaku tindak pidana yang

kemudian diberi lebel narapidana. Disamping itu juga pertimbangan

pragmatis seperti penghematan anggaran negara dan mengurangi

52 Eva Achjani Zulfa, Indriyanto Seno Adji, 2011, Opcit, hlm. 86

42

Page 43: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

beban pengadilan. Namun juga lembaga ini mempertimbangkan

sifat mengikat dari putusan yang disepakati dalam mediasi yang

merupakan hasil “out of court settlement”.

Penanggulangan delinkuensi anak menggunakan

pendekatan keadilan restoratif berdasarkan pada pertimbangan

bahwa terdapat hubungan interaktif yang spesifik dan dinamis

antara para pihak yang terlibat. Dalam hal ini diupayakan agar

proses dapat berjalan secara non adversarial, terlepas dari

kepentingan pihak-pihak tertentu dan memperhatikan kebutuhan

pelaku, korban, masyarakat dan lingkungannya secara keseluruhan.

Beberapa ciri dalam proses yang menggunakan pendekatan

restoratif yaitu ;

a. Fleksibilitas respon dari lingkungan baik terhadap tindak pi-dana yang terjadi, pelaku maupun korban, bersiat individ-ual, dan harus dilihat kasus perkasus.

b. Respon yang diberikan atas perkara yang terjadi mencer-minkan perhatian yang mendalam dan persamaan per-lakuan bagi setiap orang, membangun pengertian antar sesama anggota masyarakat dan mendorong hubungan yang harmonis antar warga masyarakat untuk menghi-langkan kerusakan akibat tindak pidana.

c. Merupakan alternatif penyelesaian perkara diluar maupun dengan menggunakan sistem peradilan pidana formal yang berlaku dan mencegah stigma negatif yang timbul pada diri pelaku akibat proses tersebut. Pendekatan restoratif ini da-pat menggunakan hukum pidana sebagai upaya penyelesa-iannya baik dalam proses maupun pada jenis sanksi yang dijatuhkan;

d. Pendekatan ini juga melingkupi usaha-usaha untuk memec-ahkan masalah yang terjadi dan menyelesaikan segala kon-flik yang timbul;

e. Pendekatan restoratif ini merupakan usaha yang ditujukan untuk menghilangkan rasa bersalah pelaku dan merupakan media bagi usaha memenuhi kebutuhan korban.

f. Pendekatan ini harus disertai usaha mendorong pelaku mendapat korensi dan masukan bagi perubahan peri-

43

Page 44: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

lakunya dan mendorong pelaku bertanggungjawab melalui perbuatan-perbuatan yang berarti;

g. Fleksibilitas dan varable yang digunakan dalam pendekatan dengan menggunakan paradigma ini dapat diadopsi dari lingkungan, tradisi hukum yang hidup dalam masyarakat serta prinsip dan filosofi yang dianut dalam sistem hukum nasional.53

Dalam delinkuensi yang dilakukan anak-anak, maka

pendekatan restoratif sangat tepat sebagai media untuk

mengajarkan nilai-nilai baru bagi pelaku yang masih muda,

sehingga aturan tata tingkah laku dalam masyarakat menjadi hal

yang utama dan penting dalam masyarakat menjadi hal yang utama

dan penting dalam usaha mencegah dan merespon kejahatan serta

tingkah laku menyimpang dalam masyarakat. Model-model dalam

penerapan keadilan resoratif dapat dikualifikasikan dalam tiga

bentuk utama, yaitu sebagai berikut:

a. Victim Offender Mediation (mediasi antara pelaku dan kor-ban)

Dalam penerapan model ini dibuat suatu forum yang

mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan korban

yang dibantu oleh mediator sebagai koordinator dan

fasilitator dalam pertemuan tersebut. Bentuk ini dirancang

untuk mencari kebutuhan yang menjadi prioritas korban

khususnya kebutuhan untuk didengar keinginan-keinginan

mengenai :

1. Bentuk tanggungjawab pelaku ;2. Kebutuhan akan pengobatan atau pendampingan bagi

pelaku;3. Keinginan korban untuk didengarkan oleh pelaku ter-

hadap dampak tindak pidana bagi kedua pihak dan 53 Eva Achjani Zulfa, Indrijanto Senoadji, Opcit, hlm. 89

44

Page 45: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

berdikusi tentang penanganan , usaha perbaikan dari dampak yang diderita oleh keduanya.

Korban dalam pertemuan itu diminta menjelaskan

pengalamannya berkaitan dengan tindak pidana

(delinkuensi) yang dialaminya dan dampak yang

ditimbulkannya. Berdasarkan Resolusi PBB No. 40/ 34

tanggal 15 desember 1985, yakni tentang Declaration of

Basic Principles of Justice, for Victims of Crime and Abuse of

Power. Dalam Deklarasi tersebut yang dimaksud sebagai

korban (victims) adalah :

“Persons who individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economics loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or ommisions that are in violation of criminal laws operative within member States, including those laws proscribeng abuse of power”54

Perhatian terhadap korban sangat penting, mengingat

sampai saat ini korban hanya berkedudukan sebagai saksi

korban dan kurang mendapatkan perlakuan yang memadai

dalam sistem peradilan pidana. Perlakuan yang adil

terhadap korban sesuai dengan Konsep solidaritas dan

kesetiakawanan sosial dalam masyarakat. Sepanjang

menyangkut korban PBB menganjurkan agar paling sedikit

diperhatikan adanya 4 (empat) hal sebagai berikut :

1. Jalan masuk untuk memperoleh keadilan dan diper-lakukan secara adil (Acces to justice and fair treat-ment);

2. Pembayaran ganti rugi (restitution) oleh pelaku tindak pidana kepada korban, keluarganya atau orang lain

54 Muladi, hlm. 26

45

Page 46: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

yang kehidupannya tergantung pada korban; ganti rugi ini sebaiknya dirumuskan dalam bentuk sanksi pidana dalam perundang-undangan yang berlaku;

3. Apabila terpidana tidak mampu , negara diharapkan membayar santunan (compensation) finansial kepada korban, keluarganya atau mereka yang menjadi tang-gungan korban;

4. Bantuan meteriil, medis, psikologis dan sosial kepada korban, baik melalui negara, sukarelawan, masyarakat. 55

Selanjutnya pelaku akan menjelaskan tindak pidana

(delinkuensi) yang telah dilakukannya dan mengapa tindak

pidana (delinkuensi) tersebut dilakukannya, serta

menjelaskan segala pertanyaan korban berkaitan dengan hal

tersebut. Dalam dialog antara korban dan pelaku, mediator

memberikan berbagai masukan ubtuk tercapainya

penyelesaian terbaik yang mungkin dilakukan.Dibeberapa

negara di Eropa, mediasi yang dilakukan tidak mensyaratkan

adanya pertemuan langsung antara pelaku dengan korban.

Dimungkinkan mediator memainkan peranan yang lebih

serta bertemu secara langsung satu persatu dengan masing-

masing pihak, sehingga terjalin suatu kesepakatan atas

suatu restitusi yang akan dilakukan. Hal ini dilakukan dalam

rangka menjaga perasaan dan kenyamanan masing-masing

pihak selama proses terjadi.

b. ConferencingDalam model ini pendekatan keadilan restoratif yang

dikembangkan di New Zealand merupakan refleksi dari

proses penyelesaian perkara pidana secara tradisional

55 Ibid

46

Page 47: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

dalam suku Maori, penduduk asli bangsa New Zealand. Di

beberapa negara telah mengadopsi pendekatan restoratif

ini, antara lain Australia, Afrika Selatan, Amerika Serikat dan

beberapa negara Eropah. Dalam bentuk “Conferencing” ini,

penyelesaian bukan hanya melibatkan pelaku daan korban

langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak langsung

(secondary victim), seperti keluarga dan kawan dekat

korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. Alasan

melibatkan para pihak tersebut adalah dikarenakan:

1. Mereka mungkin terkena dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak pidana (delinkuensi) yang terjadi;

2. Mereka memiliki kepedulian yang tinggi dan kepentin-gan akan hasil dari “conferencing” ;

3. Mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengupayakan keberhasilan proses dan tujuan akhirnya.

Berdasarkan beberapa model conferencing, model

Family Group Conferences atau FGC menjadi salah satu

model yang berkembang sehubungan dengan penanganan

tindak pidana yang pelakunya adalah anak. Dalam model ini

penyelesaian akhir difokuskan pada upaya pemberian

pelajaran atau pendidikan kepada pelaku atas apa yang

dilakukannya pada korban. Dalam hal ini fasilitator

mengupayakan agar para pihak diluar korban dan pelaku

berpartisipasi aktif, tetapi tidak memainkan peranan yang

terkait dengan substansi materi yang didiskusikan antara

kedua pihak utama itu.

47

Page 48: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Beberapa model “conferencing” dilakukan secara

tertulis, fasilitator yang mengungkapkan kemudian

memimpin diskusi. Model lain dilakukan tanpa tanpa suatu

aturan dan panduan yang harus diikuti. Berbagai model

dilakukan dengan cara yang disesuaikan dengan budaya ,

norma dan keinginan para pihak, termasuk di dalamnya

melibatkan para penegak hukum yang merupakan

representasi lembaga dalam sistem peradilan pidana.

Secara bersama-sama semua pihak kemudian

mengupayakan pemikiran tentang hal yang haruss dilakukan

pelaku dalam rangka memperbaiki kerusakan atau kerugian

yang timbul dan membantu pelaku untuk mewujudkan apa

yang dikehendaki oleh pertemuan tersebut. Kesepakatan

yang dihasilkan dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis,

ditandatangi para pihak dan dikirimkan kepada instansi

penegak hukum yang ditunjuk untuk menangani hal ini.

c. CirclesDalam penerapan pendekatan keadilan restoratif

dengan model ini, maka para pihak yang terlibat meliputi

pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terlibat

termasuk di dalamnya para aparat penegak hukum. Tetapi

berbeda dengan model sebelumnya, setiap anggota

masyarakat yang merasa berkepentingan dengan perkara

tersebut dapat datang dan ikut berpartisipasi. Circles, dalam

48

Page 49: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

hal ini didefinisikan sebagai pihak-pihak yang

berkepentingan dengan tindak pidana secara keseluruhan.

Model circles diadopsi dari praktek yang dilakukan di

Kanada yaitu semua pihak yang terlibat duduk dalam

sebuah lingkaran. Biasanya pelaku mendapat kesempatan

pertama untuk berbicara tentang kejadian sebenarnya dan

mereka yang ada dalam lingkaran diberikan kesempatan

untuk berbicara. Diskusi berpindah dari satu orang kelainnya

dalam tata urutan lingkaran, dan setiap pihak mengutarakan

keinginannya. Proses ini berlanjut hingga semua orang

berkesempatan untuk mengutarakan perasaannya dan

menghasilkan suatu resolusi. Tugas mediator dan fasilitator

adalah menjaga aturan main dalam proses diskusi tersebut.

Mereka juga menerangkan hal-hal yang perlu sehingga

semua pihak mendapatkan pemahaman yang sama.

Braithwaite mengemukakan beberapa nilai yang menjadi

ciri khas. Nilai-nilai ini dibedakan oleh Braithwaite menjadi tiga

kelompok :

1. Nilai-nilai yang terkait dengan penerapan peradilan restoratif dalam praktek yang disebut sebagai fundamental procedural safeguard yang terdiri dari:

a. Non dominationDalam penyelenggaraan penyelesaian perkara pidana (maupun delinkuensi anak) dengan menggunakan peradilan restoratif diharapkan semua pihak dalam posisi yang sama dan sederajat. Keputusan diambil secara bersama-sama oleh semua pihak yang terlibat, dominasi salah satu pihak dikhawatirkan akan mempengaruhi putusan yang dihasilkan. Dominasi salah satu pihak sama sekali tidak diharapkan karena akan merusak tujuan dari keadilan restoratif.

49

Page 50: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

b. EmpowermentPemberdayaan terhadap pihak yang tidak dalam posisi yang menguntungkan menjadi suatu keharusan. Pemberdayaan bukan merupakan keberpihakan, akan tetapi upaya membangun keberanian untuk mengutarakan pemikiran, pandangan dan kehendaknya sehingga kebutuhan, pelaku, korban atau masyarakat dapat didengar dan diperhatikan dalam pengambilan keputusan.

c. Honouring legally specific upper limits on sanctionDalam pandangan Braitwaite posisi seorang pelaku tindak pidana bukanlah untuk menerima pembalasan, atau untuk dipermalukan (stigmatisasi) akan tetapi baginya dibangun rasa penyesalan, malu dan menyadari kesalahan yang dibuatnya sebagai bagian dari tujuan proses tersebut.

d. Respectful listeningTujuan restoratif membutuhkan rasa saling menghormati dan berempati antara satu pihak dengan pihak lainnya, maka yang dibutuhkan dalam pendekatan ini bukan hanya keberanian mengemukakan pendapat, perasaan atau keinginan, akan tetapi kemauan untuk mendengarkan keluhan, kemarahan dan keinginan orang lain merupakan bagian dari persyaratan yang dibutuhkan.

e. Equal concern for all stakeholdersPerlunya perhatian yang sama terhadap semua pihak yang berkepentingan dalam perkara tersebut, sehingga apabila korban hanya ditempatkan sebagai bagian dari pihak yang membantu pemulihan pelaku, maka pendekatan dalam program itu masih menggunakan paradigma rehabilitasi dan bukan restoratif. Apabila upaya perbaikan yang dilakukan atas kerusakan hanya semata-mata sebagai gantikerugian, tanpa adanya perbaikan hubunggan antara pihak-pihak tersebut (pelaku, korban, masyarakat), maka paradigma yang dipakai masih menggunakan paradigma reparasi atau restitutif, bukan restoratif.

f. Accountability, appealabilityDalam proses keadilan restoratif akuntabiliitas diartikan sebagai keleluasaan untuk memilih mekanisme penyelesaian harus merupakan pilihan dari semua pihak. Pilihan ini juga mencakup mekanisme penyelesaian

50

Page 51: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Makna akuntabilitas menurut Braithwaite bukan terkait dengan informasi berjalannya proses, akan tetapi pada kesepakatan yang dicapai dan bagaimana mengimplementasikannya. Masyarakat memiliki peran besar untuk mengontrak berjalannya kegiatan, utamanya terhadap kesepakatan diluar proses pengadilan.

g. Respect for the fundamental human rightsDalam penyelesaian suatu perkara, asas-asas yang diatur dan terkandung dalam berbagai instrument hak Asasi Manusia serta peraturan lain yang terkait hendaknya menjadi perhatian dan menjadi landasan dalam pengambilan kesepakatan secara bersama-sama.

2. Nilai yang terkait dengan kemampuan untuk melupakan keja-dian pada masa lalu;Kemauan untuk melupakan kejadian pada masa lalu bukan merupakan alasan untuk mentelantarkan atau mencegah proses penyelesaian yang sedang berlangsung. Diterimanya suatu kesepakatan mengandung arti dengan suatu tugas membawa dan menyebarkan nilai baru dan mengubah paradigma masyarakat sekitarnya terhadap tindak pidana yang terjadi.

3. Nilai yang terkandung dalam keadilan restoratif adalah mencegah ketidakadilan, maaf memaafkan, dan rasa terima kasih;Keadilan restoratif pada dasarnya merupakan suatu konsep yang berkembang, termasuk didalamnya pengembangan terhadap ide-ide potensial serta resiko-resiko negatif terhadap pelaksanaan konsep ini.56

Proses dalam Peradilan restoratif harus diaplikasikan

melalui proses nyata, maka untuk dapat menyatakan bahwa proses

tersebut merupakan proses restoratif, maka hal-hal di bawah ini

merupakan ciri dari proses yang menggunakan pendekatan

restoratif, yaitu :

a. Fleksibilitas respon dari lingkungan baik terhadap tindak pi-dana yang terjadi, pelaku maupun korban, bersifat individual dan harus dilihat kasus-perkasus. Respon yang diberikan atas perkara yang terjadi mencerminkan perhatian yang mendalam dan persamaan perlakuan bagi setiap orang ,

56 Eva Achjani, Indriyanto Seno Adji, Ibid. hlm 95

51

Page 52: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

membangun pengertian antar sesama anggota masyarakat dan mendorong hubungan yang harmonis antar warga masyarakat untuk menghilangkan kerusakan akibat tindak pidana.

b. Merupakan alternatif penyelesaiannya baik dalam proses maupun pada jenis sanksi yang dijatuhkan;

c. Pendekatan ini juga melingkupi usaha-usaha untuk memec-ahkan masalah yang terjadi dan menyelesaikan segala ben-tuk konflik yang timbul;

d. Pendekatan ini juga melingkupi usaha-usaha untuk memec-ahkan masalah yang terjadi dan menyelesaikan segala kon-flik yang timbul;

e. Pendekatan restoratif ini merupakan usaha yang ditujukan untuk menghilangkan rasa bersalah pelaku dan merupakan media bagi usaha memenuhi kebutuhan korban;

f. Pendekatan ini harus disertai usaha mendorong pelaku mendapat koreksi dan masukan bagi perubahan perilakunya dan mendorong pelaku bertanggungjawab melalui perbu-atan-perbuatan yang berarti;

g. Fleksibilitas dan variabel yang digunakan dalam pendekatan dengan menggunakan paradigma ini dapat diadopsi dari lingkungan, tradisi hukum yang hidup dalam masyarakat serta prinsip dan filosofi yang dianut dalam sistem hukum nasional.57

Bagi pelaku anak-anak/ remaja maka pendekatan

restorative justice sangat tepat sebagai media untuk mengajarkan

nilai-nilai baru bagi pelaku yang masih muda, sehingga dalam

penanggulangan delinkuensi anak dengan pendekatan restorative

justice aturan tata tingkah laku dalam masyarakat menjadi hal

yang utama dan penting dalam usaha mencegah dan merespon

kejahatan serta tingkah laku menyimpang dalam masyarakat.

Dalam perkembangan falsafah proses peradilan restoratif,

maka peradilan adat merupakan bagian yang sangat penting . Hal

ini berdasarkan pada keyakinan bahwa keadilan restoratif

bersumber dari nilai-nilai dalam masyarakat adat yang telah ada

57 Eva Achjani Zulva, Opcit, hlm. 89

52

Page 53: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

selama ini, yaitu dalam keadilan restoratif melihat suatu perkara

pidana sebagai:

“Viewed through a restorative justice lens, “crime is a violation of people and relationships. It creates obligations to make things right. Justice involves the victim, the offender, and the community in a search for solution which promote repair, reconciliation, and reassurance.”58

Menurut Howard Zehr, dalam definisi yang disampaikan

menggambarkan pandangan tentang peradilan restoratif tentang

makna tindak pidana yang pada dasarnya sama seperti pandangan

hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan

masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Namun dalam

pendekatan keadilan restoratif , korban utama atas terjadinya

suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem

peradilan pidana yang sekarang ada. Adanya kejahatan

menimbulkan suatu kewajiban untuk membenahi rusaknya

hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan

keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah

yang terjadi pada perkara pidana dimana keterlibatan korban,

pelaku dan masyarakat menjadi penting dalam usaha perbaikan,

rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan

tersebut. Pandangan ini juag didasarkan pada anggapan tentang

sumber dari nilai yang terkandung dalam peradilan restoratif yang

pada dasarnya bersumber pada nilai dalam hukum adat.

Pelanggaran terhadap hukum adat diterjemahkan sebagai

pelanggaran terhadap garis ketertiban kosmos tersebut.

58 Howard Zehr, Changing Lenses : New Focus for Crime and Justice, Scottdale, Pennsylvania, 1990, p. 181

53

Page 54: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Bagi setiap orang yang dianggap menjalani hukum adat,

garis ketertiban kosmos ini harus dijalani secara serta merta, jika

garis ini tidak dijalankan walaupun hanya oleh seorang individu

maka baik masyarakat maupun orang tersebut akan menderita

karena berada di luar garis tersebut. Perbuatan ini yang disebut

sebagai pelanggaran adat.59 Penyelesaiannya, dalam pandangan

adat tidak ada ketentuan keberlakuannya disertai dengan syarat

yang menjamin ketaatannya dengan jalan menggunakan paksaan.

Sanksi adat tidak sama pengertiannya dengan pemidanaan

sebagaimana yang dijabarkan dalam teori-teori pemidanaan klasik

karena tujuannya berbeda. Suatu penerapan sanksi adat adalah

suatu upaya untuk mengembalikan langkah yang berada di luar

garis kosmos demi tidak terganggunya ketertiban kosmos. Jadi

sanksi adat merupakan usaha mengembalikan keseimbangan yang

terganggu.60

Berkaitan dengan model peradilan pidana dalam sistem

peradilan pidana anak menurut muladi harus ada konsistensi

terhadap pandangan, sikap dan bahkan falsafah yang mendasari

sistem peradilan pidana. Ideologi yang sering disebut sebagai

“model”

Peradilan restoratif merupakan sarana dalam upaya untuk

menyelesaikan konflik secara damai yang dilakukan di luar proses

peradilan dalam suatu proses yang kooperatif dengan melibatkan

semua pihak yang berkepentingan untuk mencapai keadilan bagi 59 Widnyana, Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Bandung : Eresco, 1995,

hlm. 2760 Eva Achjani Zulfa, Indriyanto Seno Adji, Opcit, hlm.141

54

Page 55: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

semua pihak (baik bagi korban maupun pelaku) yaitu adanya

keterlibatan korban, pelaku dan masyarakat dalam usaha

perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha

perbaikan tersebut.

B. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Kota Bima

Bima atau yang disebut juga dengan Dana Mbojo telah men-

galami perjalanan panjang dan jauh mengakar ke dalam Sejarah.

Menurut Legenda sebagaimana termaktub dalam Kitab BO (Naskah

Kuno Kerajaan dan Kesultanan Bima), kedatangan salah seorang

musafir dan bangsawan Jawa bergelar Sang Bima di Pulau Satonda

merupakan cikal bakal keturunan Raja-Raja Bima dan menjadi per-

mulaan masa pembabakan Zaman pra sejarah di tanah ini. Pada

masa itu, wilayah Bima terbagi dalam kekuasaan pimpinan wilayah

yang disebut Ncuhi. Nama para Ncuhi terilhami dari nama wilayah

atau gugusan pegunungan yang dikuasainya.

Ada lima orang ncuhi yang tergabung dalam sebuah Federasi

Ncuhi yaitu, Ncuhi Dara yang menguasai wilayah Bima bagian ten-

gah atau di pusat Pemerintah. Ncuhi  Parewa menguasai wilayah

Bima bagian selatan, Ncuhi Padolo menguasai wilayah Bima bagian

Barat, Ncuhi Banggapupa menguasai wilayah Bima bagian Timur,

dan Ncuhi Dorowuni menguasai wilayah Utara. Federasi tersebut

sepakat mengangkat Sang Bima sebagai pemimpin. Secara De Jure,

55

Page 56: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Sang Bima menerima pengangkatan tersebut, tetapi secara de

Facto ia menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Ncuhi Dara

untuk memerintah atas namanya.

Pada perkembangan selanjutnya, putera Sang Bima yang

bernama Indra Zambrut dan Indra Komala datang ke tanah Bima. In-

dra Zamrutlah yang menjadi Raja Bima pertama. Sejak saat itu Bima

memasuki Zaman kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya men-

jadi sebuah kerajaan besar yang sangat berpengaruh dalam percat-

uran sejarah dan budaya Nusantara. Secara turun temurun memer-

intah sebanyak 16 orang raja hingga akhir abad 16.

Fajar islam bersinar terang di seluruh Persada Nusantara an-

tara abad 16 hingga 17 Masehi. Pengaruhnya sagat luas hingga

mencakar tanah Bima. Tanggal 5 Juli 1640 Masehi menjadi saksi dan

tonggak sejarah peralihan sistem pemerintahan dari kerajaan

kepada kesultanan. Ditandai dengan dinobatkannya Putera Mahkota

La Ka’i yang bergelar Rumata Ma Bata Wadu menjadi Sultan Per-

tama dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahir (kuburannya di

bukit Dana Taraha sekarang). Sejak saat itu Bima memasuki perad-

aban kesultanan dan memerintah pula 15 orang sultan secara turun

menurun hingga tahun 1951.

Masa kesultanan berlangsung lebih dari tiga abad lamanya.

Sebagaimana ombak dilautan, kadang pasang dan kadang pula su-

rut. Masa-masa kesultanan mengalami pasang dan surut dise-

babkan pengaruh imperialisme dan kolonialisme yang ada di Bumi

Nusantara. Pada tahun 1951 tepat setelah wafatnya sultan ke-14

56

Page 57: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

yaitu sultan Muhammad Salahudin, Bima memasuki Zaman ke-

merdekaan dan status Kesultanan Bima pun berganti dengan pem-

bentukan Daerah Swapraja dan swatantra yang selanjutnya berubah

menjadi daerah Kabupaten.

Pada tahun 2002 wajah Bima kembali di mekarkan sesuai

amanat Undang-undang Nomor 13 tahun 2002 melaui pembentukan

wilayah Kota Bima. Hingga sekarang daerah yang terhampar di

ujung timur pulau sumbawa ini terbagi dalam dua wilayah adminis-

trasi dan politik yaitu Pemerintah kota Bima dan Kabupaten Bima.

Kota Bima saat ini telah memliki 5 kecamatan dan 38 kelurahan.

Secara geografis Kota Bima terletak di bagian timur Pulau

Sumbawa pada posisi 118°41'00"-118°48'00" Bujur Timur dan

8°20'00"-8°30'00" Lintang Selatan. Tingkat curah hujan rata-rata

132,58 mm dengan hari hujan: rata-rata 10.08 hari/bulan.

Sementara matahari bersinar terik sepanjang musim dengan rata-

rata intensitas penyinaran tertinggi pada Bulan Oktober, dengan

suhu 19,5 °C sampai 30,8 °C.

Kota Bima memiliki areal tanah berupa: persawahan seluas

1.923 hektare (94,90% merupakan sawah irigasi), hutan seluas

13.154 ha, tegalan dan kebun seluas 3.632 ha, ladang dan huma

seluas 1.225 ha dan wilayah pesisir pantai sepanjang 26 km

Kota Bima berdasarkan data tahun 2000 tercatat sebesar

116.295 jiwa yang terdiri dari 57.108 jiwa (49%) penduduk laki-laki

dan 59.187 jiwa (51%) penduduk perempuan. Sebaran penduduk

57

Page 58: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

kurang merata, konsentrasi penduduk berada di pusat-pusat

kegiatan ekonomi dan pemerintahan. Penduduk terbanyak berada

di Kelurahan Paruga, yaitu berjumlah 12.275 jiwa (11%) dan paling

sedikit di Desa Kendo yang berjumlah 1.130 jiwa (1%). Selanjutnya

berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, penduduk Kota

Bima berjumlah 142.443 jiwa yang terdiri dari 69.8411 jiwa laki-laki

dan 72.602 jiwa perempuan.

Komposisi penduduk Kota Bima berdasarkan mata

pencaharian didominasi oleh petani/peternak dan

jasa/pedagang/pemerintahan yang besarnya masing-masing

45,84% dan 45,05%. Jenis pekerjaan yang digeluti penduduk Kota

Bima antara lain: petani 15.337 orang, nelayan 425 orang, peternak

13.489 orang, penggalian 435 orang, industri kecil 1.952 orang,

industri besar/sedang 76 orang, perdagangan 1.401 orang, ABRI

304 orang, guru 1.567 orang dan PNS berjumlah 2.443 orang

Mayoritas penduduk Kota Bima memeluk agama Islam yaitu

sekitar 97,38% dan selebihnya memeluk agama Kristen Protestan

0,89%, Kristen Katholik 0,62% dan Hindu/Budha sekitar 1,11%.

Sarana peribadatan di Kota Bima terdiri dari Masjid sebanyak 51

unit, Langgar/Mushola 89 unit dan Pura/Vihara 3 unit. Sedangkan

fasilitas sosial yang ada di Kota Bima meliputi Panti Sosial Jompo

dan Panti Asuhan sebanyak 6 Panti yang tersebar di 3 kecamatan.

Masyarakat Bima adalah masyarakat yang religius. Secara historis

Bima dulu merupakan salah satu pusat perkembangan Islam di

58

Page 59: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Nusantara yang di tandai oleh tegak kokohnya sebuah kesultanan,

yaitu kesultanan Bima. Islam tidak saja bersifat elitis, hanya

terdapat pada peraturan-peraturan formal-normatif serta pada

segelintir orang saja melainkan juga populis, menjadi urat nadi dan

darah daging masyarakat, artinya juga telah menjadi kultur

masyarakat Bima.

Berdasarkan potensi sumber daya yang ada, berbagai

peluang investasi cukup prospektif untuk dikembangkan di Kota

Bima, antara lain di bidang: jasa, termasuk pengangkutan,

kelistrikan dan telekomunikasi, perdagangan,

agrobisnis/agroindustri, industri air minum kemasan, industri kecil

dan kerajinan, pariwisata dan pendidikan. Peluang tersebut

didukung oleh ketersediaan sarana/prasarana yang cukup memadai

seperti transportasi dan telekomunikasi, pasar dan pertokoan,

maupun jasa perbankan. Di samping itu Pemerintah Kota Bima

memberikan berbagai insentif bagi investor yang menanamkan

modalnya berupa kemudahan perizinan dan penyediaan sarana

pendukung

2. Gambaran Anak Yang berhadapan dengan Hukum (ABH)

Masa anak-anak adalah masa dimana seseorang mengalami

periode penting hidupnya yaitu masa belajar dan bermain, pada

masa ini pula seseorang sangat peka terhadap pengaruh 59

Page 60: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

lingkungannya. Selain itu anak merupakan individu yang belum

matang baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena kondisinya

ini anak memiliki potensi terhadap segala kemungkinan positif

ketika mereka dilindungi dari resiko kekerasan, perlakuan salah dan

eksploitasi, dari resiko malnutrisi, berhenti sekolah dan lain-lain.

Namun anak juga beresiko untuk terlibat atau dilibatkan dalam

kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka

terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan.

Anak-anak yang menghadapi kelaparan dan kemiskinan,

menjadi korban kekerasan dalam keluarga, penelantaran,

eksploitasi, serta yang dihadapkan pada kekerasan, alkohol,

menjadi korban penyalahgunaan obat pada umumnya terpaksa

berhadapan dengan hukum.61 Mereka umumnya berhubungan

dengan teman-teman atau orang-orang yang memiliki tingkah laku

yang mengarah kepada kenakalan atau lebih jauh kepada kejahatan

atau tindak pidana.

Di Indonesia setiap tahunnya lebih dari 5.000 anak

dihadapkan di pengadilan. Sebagian besar pelanggaran yang

mereka lakukan adalah tergolong ringan, seperti pencurian dalam

jumlah yang kecil, namun hampir 90% anak-anak ini berakhir di

penjara atau rumah tahanan.62 Data dari Komnas Perlindungan Anak

pada tahun 2009, terdapat 5.308 anak yang berada di 16 lembaga

pemasyarakatan, dan mereka ditempatkan bersama pelaku kriminal

61 Apong Herlina, et.al. Perlindungan Terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, UNICEF, Jakarta, 2004. Hlm. 94

62 Tim ABH Propinsi Jawa Tengah-Unicef, 2007, Inisiatif RJ untuk Anak di Jawa Tengah, hlm.3

60

Page 61: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

dewasa. Kondisi sel yang sesak dan ketiadaan akses pada layanan

kesehatan, pendidikan atau aktivitas rekreasi menyebabkan anak

yang ditempatkan dalam lembaga-lembaga penahanan dan penjara

sangat rentan serta berisiko mengalami kekerasan dan perlakuan

salah oleh sesama penghuni terutama yang dewasa dan bahkan

oleh para petugas yang ada. Lingkungan seperti itu tidak layak

untuk melaksanakan rehabilitasi dan reintegrasi anak ke dalam

masyarakat, serta untuk pendidikan mereka, bahkan dapat

menyebabkan mereka menjadi beban jangka panjang bagi

masyarakat. Data pelaku anak delinkuen adalah sebagai berikut:

Tabel 1DATA PELAKU ANAK DELINKUEN/ANDIKPAS

DI DALAM LPA DAN DILUAR LPAPER JULI 2009

DALAM LPA DI LUAR LPA

TOTAL Jumlah

JENIS KELAMI

N

L P L P L P

Anak Tahana

n

490(22,5

%)

4 (0,1%)

1.628(46,9%)

50(2,3%)

2.118(97,5%)

54(2,5%)

2.172(100%)

Anak Didik

1.315(37,9%

)

165(4,7%

)

1.916(55,2%)

70(2,0%)

3.231(93,2%)

235(6,7%)

3.466(100%)

Anak Negara

44(22,9%

)

3(1,9%

)

103(68,2

5)

1(0,6%)

147(97,3%)

4(2,6%)

151(100%)

Jumlah 1.849(31,9)

3.647(62,95)

5.496(94,9%)

5.789(100%)

Sumber : Ditjen Pemasyarakatan Depkumham, 6 November 2009.

ANDIKPAS : Anak Didik PemasyarakatanLPA : Lembaga Pemasyarakatan Anak.

61

Page 62: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Kondisi kehidupan anak di dalam lembaga pemasyarakatan

dapat digambarkan sebagai tempat yang sangat tidak ideal bagi

tumbuh kembangnya seorang anak, seperti yang disampaikan

Harold Maslow tentang Hierarchy of Needs, yang menjelaskan

bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan yang terdiri dari basic

needs (physiological), safety needs, belongingness and love needs,

esteem needs, self actualization.63 Bagi anak-anak khususnya

terkait dengan kebutuhan akan rasa aman (safety needs) diperoleh

dari kehadiran orang tua atau anggota keluarganya. Penempatan

anak di Lembaga Pemasyarakatan akan memutuskan hubungan

antara anak dan orang tua serta keluarga lainnya sehingga anak

kehilangan rasa aman dan muncul kecemasan. Kebutuhan anak-

anak untuk memiliki dan dicintai oleh teman sebaya selama di

dalam Lembaga Pemasyarakatan menjadi hilang.

Selama anak menjalani pembinaan seringkali memaksa anak

menjadi bagian dari kelompok-kelompok yang dikuasai orang

dewasa di dalam lembaga. Kehidupan di dalam lembaga memaksa

anak tidak punya pilihan dengan siapa mereka akan berteman dan

bergabung dalam kelompok. Maslow menjelaskan, bahwa menjadi

bagian dari kelompok dan diterima dalam kelompok merupakan hal

yang sangat penting bagi anak, namun jika hal ini tidak dipenuhi

akan muncul perasaan ditolak oleh kelompoknya, tidak berharga

yang pada akhirnya menurunkan harga diri seseorang.64

63 Analisis Situasi, Anak yang Berhadapan dengan Hukum di Indonesia, Unicef dan Pusat kajian Kriminologi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2006 – 2007, hlm. 117

64 Ibid

62

Page 63: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Berdasarkan laporan yang masuk ke Direktorat III Tindak

Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri tercatat 967 kasus anak yang

berhadapan dengan hukum pada tahun 2011, jumlah tersebut

hanya merangkum kedudukan anak sebagai pelaku tindak pidana.

Jumlah tersebut kemungkinan besar bertambah karena baru 23 dari

31 Polda yang menyampaikan laporan. Kepala Subdit III Direktorat

Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri Kombes Pol. Napoleon

Bonaparte, menjelaskan kemungkinan angka itu bertambah karena

belum semua Polres memiliki unit pelayanan perempuan dan anak

(PPA).65

Berdasarkan data tersebut, kasus yang paling banyak

dilakukan anak adalah penganiayaan (236 kasus), selanjutnya

pencurian 166 kasus, perbuatan cabul (KUHP 128 kasus), dan

pengeroyokan 64 kasus. Jumlah pencurian menjadi bertambah

apabila digabung dengan percobaaan pencurian 5 kasus, dan

pencurian dengan kekerasan 36 kasus. Kasus pencabulan juga

bertambah apabila digabung dengan pencabulan berdasarkan

Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu 9 kasus, percobaan

pemerkosaan 5 kasus dan pemerkosaan 15 kasus. Polda Sumbar

paling banyak melaporkan kasus anak yang berhadapan dengan

hukum (161 kasus), selanjutnya Bengkulu 114 kasus, Lampung

terdapat 108 kasus, dan Jawa Tengah 104.

Dewi Nastiti selaku Kasubdit Registrasi Anak dan Klien Dewasa

Ditjen Pemasyarakatan mencatat per Januari 2012 terdapat 2.178

65 www.hukumonline.com, Selasa , 14 Februari 2012.

63

Page 64: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

tahanan anak di seluruh Indonesia. Berdasarkan data per Januari

2011 terdapat 5.451 anak yang berada di lembaga-lembaga

penahanan dan pemasyarakatan seluruh Indonesia.66 Sebanyak

1.971 diantaranya menunggu atau tengah menjalani proses

peradilan sebagai tahanan dan 3.480 telah dijatuhi pidana penjara.

Meskipun sebagian besar jenis pelanggaran hukum yang dilakukan

anak masih tergolong ringan (petty crimes), proses peradilan sejauh

ini masih melakukan penahanan dan pada akhirnya menjatuhkan

pidana penjara kepada anak.

Selama periode 2011 sampai dengan September 2013 jumlah

anak yang berhdapan dengan hokum sebagai pelaku tindak pidana

di NTB selalu meningkat baik kuantitas maupun kualitas

kejahatannya hal tersebut dapat dilihat dari grafik berikut :

Sumber : BAPAS Mataram dan BAPAS Sumbawa

Dari data tersebut nampak bahwa jumlah anak sebagai pelaku

tindak pidana di pulau Sumbawa mengalami peningkatan dari tahun 66 Pusat Kajian Perlindungan Anak, Mekanisme Pembinaan, Rehabilitasi dan Reintegrasi

Sosial bagi Anak Di Indonesia, 2011, hlm.v

64

Page 65: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

ke tahun sedangkan di pulau Lombok mengalami tren penurunan.

Dari sisi tindak pidana yang dilakukan antara lain kejahatan asusila,

perjudian, penganiayaan, pencurian, pengrusakan, perkelahian,

kepemilikan sejata tajam dan narkotika.

Khusus untuk di kota dan kabupaten Bima jumlah anak yang

melakukan tindak pidana juga mengalami peningkatan di tahun

2011 terdapat 58 orang, kemudian tahun 2012 turun menjadi 53

orang dan tahun 2013 menglami peningkatan yang cukup signifikan

dimana pada periode Januari – Oktober 2013 sudah terdapat 63

orang anak yang ditangani oleh BAPAS Sumbawa.

Tingginya angka anak pelaku kejahatan memperlihatkan

adanya indikasi peningkatan jumlah penangkapan dan penahanan

anak oleh polisi, yang pada akhirnya membawa dampak bagi

semakin besarnya anak yang masuk dalam proses peradilan pidana.

Lebih jauh lagi kondisi ini membuka peluang bagi penempatan anak

di rumah tahanan maupun di lembaga pemasyarakatan. Hal ini juga

memperlihatkan bahwa dalam penanganan anak yang berhadapan

dengan hukum aparat penegak hukum lebih memilih proses hukum

formal daripada proses hukum non-fomal serta menghindarkan anak

dari penahanan sebelum pengadilan sebagaimana tercantum dalam

Konvensi Hak Anak Pasal 37 (b), The Beijing Rules (Butir 13.1 dan 2)

dan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 66),

yang secara jelas dinyatakan bahwa penangkapan, penahanan

terhadap anak harus dilakukan sesuai hukum dan akan diterapkan

sebagai suatu upaya terakhir.

65

Page 66: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Dari data penanganan anak sebagai pelaku tindak pidana di

kota Bima berdasarkan hasil wawancara dengan Unit PPA Polres

Kota Bima diberikan sebuah gambaran bahwa dalam penanganan

anak sebagai pelaku tindak pidana sekitar 30% kasus diselesaikan

di luar pengadilan dengan melakukan proses diversi, namun jumlah

tersebut tidak tercatat secara khusus dikarenakan seringkali untuk

perkara-perkara yang ringan dan menurut penyidik hal tersebut

dimungkinkan dapat dilakukan proses Restorative Justice melalui

Diversi maka kasus tersebut tidak dimasukan dalam Laporan Polisi

sehingga kasus tersebut tidak tercatat secara khusus.

3. Mekanisme Restorative Justice dalam Penanganan ABH di

Kota Bima

Dalam tataran normatif UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (pasal 7) dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian,

polisi mempunyai kewenangan menghentikan penyidikan perkara.

Hal ini sejalan dengan Konvensi Hak Anak dan The Beijing Rules

yang memberikan peluang bagi dilakukannya Diversion (Diversi)

oleh Polisi dan Penuntut umum serta pejabat lain yang berwenang.

Diversi adalah suatu pembelokan atau penyimpangan penanganan

anak pelaku delinkuen di luar jalur yustisial konvensional.67 Diversi

dapat menghindarkan anak dari proses stigmatisasi yang lazimnya

terjadi dalam proses pemidanaan anak lewat Sistem Peradilan 67 Paulus Hadisuprapto,. Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa

Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, Hlm. 16.

66

Page 67: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Pidana, selain itu keberadaan diversi diperlukan bagi perlindungan

kepentingan terbaik bagi anak karena melalui diversi kemungkinan

penuntutan pidana gugur, rekor anak sebagai bekas terdakwapun

tak ada dan dengan sendirinya stigmatisasi atas diri anakpun tak

terjadi.68

Undang-undang no 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak yang mengantikan Undang-undang No 3 tahun 1997

tentang Pengadilan anak secara khusus mengatur tentang Diversi

bahkan dalam undang-undang ini juga mengatur sanksi pidana

kepada Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim yang tidak melakukan

upaya diversi. Meskipun undang-undang ini baru akan berlaku 2

tahun lagi namun di Nusa Tenggara Barat khususnya di pulau

Lombok ternyata diversi telah dilakukan dengan berbagai model

atau cara.

Menurut I Gusti Lanang Bratasuta Kabag Binops

Ditreskrimum Polda NTB69, selain melaksanakan proses hukum

sebagaimana diatur dalam undang-undang dalam penanganan ABH

di lingkup Polda NTB juga banyak kasus yang diselesaikan melalui

jalur non hukum (non penal settlement) dalam berbagai cara antara

lain :

a. Perkara yang dilaporkan kepada polisi yang kemudian ditangani

oleh Unit PPA namun menurut polisi perkara tersebut tergolong

ringan seperti pencurian ringan, penganiayaan ringan dan

perkelahian siswa biasanya akan dicoba untuk dimediasi 68 Ibid. hlm. 17.69 Diolah dari wawancara dengan I Gusti Lanang Bratasuta tanggal 2 Nopember 2013 di

Mapolda Nusa Tenggara Barat

67

Page 68: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

langsung oleh polisi sehingga apabila mediasi berhasil kasus

tersebut tidak diproses. Proses mediasi ini seringkali polisi juga

melibatkan stakeholder lain antara lain Lembaga Perlindungan

Anak dan Satuan Bhakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) dari

kementerian Sosial.

b. Perkara yang dilaporkan merupakan perkara adat sehingga

penyelesaiannya dikembalikan kepada masyarakat adat untuk

menyelesaikan sebagai contoh adalah perkara Merariq. Dalam

masyarakat adat Sasak di pulau Lombok salah satu cara untuk

menikah adalah dengan cara membawa lari mempelai

perempuan, dalam proses ini seringkali perempuan yang dibawa

lari masih dibawah umur. Meskipun hal ini telah memenuhi unsur

dalam Undang-undang perlindungan anak maupun KUHP namun

berdasarkan kesepakatan dalam Gawe Beleq Masyarakat Adat

Sasak perkara ini diselesaikan melalui mekanisme adat.

c. Kepolisian saat ini sedang mengembangkan program 1 (satu)

Desa/Kalurahan 1 (satu) polisi (Bhabinkamtibmas), Tujuan dari

program ini antara lain adalah masyarakat dapat menyelesaikan

sendiri berbagai persoalan Kamtibmas yang terjadi dengan

difasilitasi oleh Bhabinkamtibmas sehingga beberapa perkara

tindak pidana ringan termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh

anak-anak diselesaikan sendiri oleh masyarakat.

Kebijakan Diversi yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Nusa

Tenggara Barat ini mengunakan kewenangan diskresional

sebagaimana diatur dalam UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian.

68

Page 69: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Lebih lanjut menurut Imam Purwadi dari Divisi Hukum dan

Advokasi Lembaga Perlindungan Anak NTB (LPA NTB)70, saat ini

Polda NTB bersama Badan Pemberdayaan, Perlindungan Perempuan

dan Anak Keluarga Berencana (BP3AKB), Dinas Sosial, BAPAS,

KEMENKUMHAM, Lembaga Perlindungan Anak, Dinas Pendidikan dan

beberapa LSM yang tergabung Komite Perlindungan dan Rehabilitasi

Sosial Anak Berhadapan Dengan Hukum (KPRS ABH NTB) telah

menyusun Standar Operasional Penanganan ABH di propinsi NTB

yang salah satu yang diatur adalah pelaksanaan Diversi, dalam hal

Unit PPA menerima kasus yang melibatkan anak maka kasus

tersebut akan dilimpahkan kepada tim analisis yang dibentuk dari

anggota KPRS ABH untuk ditelah dan direkomendasikan apakah

akan didiversi atau dilanjutkan proses hukum, apabila kasus

tersebut akan di diversi maka KPRS ABH akan menunjuk jejaring

yang akan menangani kasus tersebut sedangkan apabila kasus

tersebut akan dilanjutkan proses hukum maka KPRS ABH akan

menunjuk jejaring yang akan mendampingi anak dalam proses

hukum. Mekanisme penanganan ABH dapat digambarkan sebagai

berikut :

70 Diolah dari wawancara dengan Imam Purwadi tanggal 3 Nopember 2013 di Kantor LPA NTB.

69

Page 70: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

4. Pelaksanaan Diversi

Proses pelaksanaan diversi di Kota Bima berdasarkan hasil

FGD dengan Para penyidik di Unit PPA Polres Kota Bima

dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur yaitu melalui sekolah dan

masyarakat.

Sebelum dilakukan diversi ada beberapa prasyarat yang harus

dipenuhi yaitu :

a. Pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku.

b. Persetujuan dari pihak korban untuk melaksanakan

penyelesaian di luar peradilan pidana anak yang berlaku.

c. Dukungan komunitas setempat (masyarakat/sekolah) untuk

melaksanaan penyelesaian di luar sistem peradilan pidana

anak.71

Sedangkan criteria kasus yang dapat dilakukan diversi adalah :

71 Hasil wawancara dan diskusi dengan penyidik di Unit PPA Polres Kota Bima.

70

Page 71: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

a. Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7

tahun

b. Tidak menyebabkan luka berat atau cacat seumur hidup

c. Bukan merupakan kejahatan terhadap kesusilaan yang serius

yang menyangkut kehormatan

d. Bukan merupakan tindak pidana pelanggaran lalu lintas

e. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana

Proses pelaksanaan diversi dilakukan melalui musyawarah

sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga di

dalam masyarakat dengan melibatkan keluarga pelaku dan

keluarga korban. Tujuan yang hendak dicapai dalam proses

musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan “luka”

yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.

Hasil dari musyawarah bisa berupa mufakat namun juga

dimungkinkan tidak ada kata mufakat dari kedua belah pihak.

Apabila terjadi kata mufakat dan pelaku dapat menyelesaikan

kewajiban sebagaimana yang disepakati dalam musyawarah maka

diversi dianggap berhasil namun apabila tidak dapat dicapai

mufakat maka diversi dianggap gagal dan perkara akan dilanjutkan

dalam proses hukum.

Pelaksanaan diversi melalui jalur pendidikan baik itu sekolah

maupun madrasah difasilitasi oleh Guru Bimbingan Konseling dan

wali kelas, meskipun belum sepenuhnya sekolah di Bima

mempunyai kepedulian dan pemahaman tentang pelaksanaan

diversi ini namun dibeberapa sekolah telah melaksanakan diversi

71

Page 72: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

yang memberikan hukuman terhadap siswa yang melakukan tindak

pidana tersebut dengan hukuman peringatan, mengikuti pesantren

kilat bahkan apabila sudah beberapa kali diberikan hukuman yang

sifatnya mendidik masih kembali mengulangi perbuatannya maka

terpaksa siswa bersangkutan dikeluarkan dari sekolah.

Pelaksanaan diversi melalui jalur masyarakat selama ini

menurut dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu :

a. Mediasi penal, proses ini dilakukan dengan memediasi kedua

belah pihak yaitu pelaku dengan keluarganya dan korban dengan

keluarganya tanpa melibatkan masyarakat, kemudian hasil

kesepakatan mediasi tersebut dituangkan dalam kesepakatan

damai dan kemudian apabila korban telah lapor kepada polisi

maka korban akan mencabut laporan yang sudah dilaporkan.

b. Musyawarah Masyarakat, proses ini dilakukan dengan

mengunakan pranata social yang ada di masyarakat seperti RT,

RW, Lingkungan, Desa atau Kelurahan, hal ini berbeda dengan di

Pulau Lombok yang masih terdapat pranata adat seperti Krama

atau Banjar di Kota Bima pranata adat seperti itu hamper sudah

tidak ada sehingga pranata social yang ada di masyarakat yang

dominan adalah pranata resmi pemerintah dari tingkat RT.

Dalam implementasinya terdapat berbagai persolan yang

dihadapi antara lain :

a. Persetujuan dari korban atau keluarganya, salah satu prasyarat

dari pelaksanaan diversi adalah persetujuan korban atau

keluarganya, seringkali keluarga korban sangat ngotot untuk

72

Page 73: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

melanjutkan proses hukum pelaku. Sebagai contoh kasus DM (14

tahun) pelajar salah satu SMP di kota Bima yang melakukan

pemukulan terhadap teman sekelasnya AR (14 tahun), orang tua

AR bersikukuh melanjutkan proses hukumnya meskipun antara

DM dan AR sebenarnya sudah berbaikan bahkan AR sering

mengantar DM untuk wajib lapor ke Unit PPA.

b. Seringkali persetujuan korban atau keluarganya baru terjadi

ketika polisi sudah melanjutkan kasus tersebut (telah dilakukan

SPDP) sehingga mau tidak mau meskipun korban dan pelaku

sudah berdamai proses tetap dilanjutkan.

c. Persetujuan korban/keluarganya seringkali bersifat transaksional

yang kadang memberatkan pelaku. Dalam beberapa kasus

korban/keluarganya bersedia berdamai dan memaafkan pelaku

disertai dengan permintaan ganti kerugian kepada korban

/keluarganya yang jumlahnya beberapa kali lipat dari kerugian

riil yang dialami oleh korban.

d. Pelaku mengulangi kembali perbuatan, pelaksanaan diversi

seringkali tidak membuat sadar pelaku dan malah sering

menganggap hal tersebut sebagai peluang untuk mengulangi

perbuatannya. Hal ini terjadi karena sering diversi bersifat hanya

mendamaikan keduabelah pihak belaka tanpa ada proses

pembinaan dan pemulihan bagi pelaku.

e. Diversi dianggap sebagai peluang untuk memanfaatkan anak

sebagai pelaku tindak pidana. Kasus MA (13 Tahun) seorang

anak SD yang beberapa kali tertangkap melakukan pencurian

73

Page 74: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

dari pencurian alat-alat tulis di sekolah, tanaman hias sampai

perhiasan. Karena dianggap masih kecil maka beberapa kali

ditangkap kemudian dikembalikan kepada orang tuanya tapi

ternyata mengulangi kembali perbuatannya, Setelah dilakukan

pemeriksaan MA mengaku bahwa perbuatan yang dilakukannya

adalah atas perintah dari orang tuanya. Kasus MA bukan satu-

satunya kasus eksploitasi anak untuk melakukan tindak pidana,

beberapa kasus pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan

oleh anak selalu diotaki oleh orang dewasa.

Berbagai permasalahan yang terjadi menunjukan bahwa

selain diversi diperlukan sebagai “Klep Pengaman” untuk

menghindarkan anak dari stigmatisasi dan tekanan proses peradilan

pidana, namun diversi juga dapat menjadi pengancam bagi masa

depan anak khususnya anak yang berhadapan dengan hukum

apabila tidak dibarengi dengan tindakan pembinaan dan pemulihan.

Terkait dengan pelaksanaan Restorative Justice di Kota Bima

pelaksanaannya memang lebih banyak dilakukan di tingkat

penyidikan, namun berbeda dengan di pulau Lombok pelaksanaan

diversi di Kota Bima lebih banyak dilakukan sendiri oleh penyidik

dengan melibatkan masyarakat dan Sekolah tanpa adanya pihak

lain seperti LSM, LPA atau fasilitator lainnya hal ini disebabkan tidak

adanya pihak-pihak tersebut yang aktif di Kota Bima selain itu

seringkali proses Diversi juga tidak dibarengi dengan proses

Restorasi terhadap pelaku dikarenakan di Bima juga tidak terdapat

74

Page 75: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Panti Khusus yang bias melakukan pembinaan secara khusus

terhadap anak-anak yang melakukan tindak pidana.

Ketidakberadaan sarana dan personil Rehabilitasi social ini

dikhawatirkan akan menjadi masalah dalam penerapan Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak yang akan berlaku tahun 2014 mendatang. Hal ini dikarenakan

Roh dari undang-undang tersebut adalah Restorative Justice yang

menekankan perlunya penanganan yang integral antara kebijakan

Penal dan Non Penal dalam penanganan Anak yang berhadapan

dengan hokum. Kebijakan non penal dimaksud salah satunya adalah

rehabilitasi psikis, fisik dan social bagi anak.

Apabila sebuah kasus hanya kemudian diselesaikan melalui

mediasi dan tercapai kata sepakat belum tentu hal tersebut sudah

sesuai dengan konsep restorative justice apabila kemudian tidak

dibarengi dengan tindakan-tindakan restorasi baik itu kepada

korban maupun pelaku. Tindakan-tindakan restorasi tidak akan bias

dilaksanakan melalui pendekatan penal dan dilakukan oleh aparat

penegak hokum namun pelaksanaan restorasi harus melibatkan

pihak lain dalam hal ini pemerintah atau LSM atau swasta yang

menjadi pemangku kepentingan dibidang kesehatan, pendidikan

dan social.

Pelaksanaan diversi tanpa didukung dengan tindakan restorasi

hanya akan menimbulkan keadilan-keadilan transaksional dimana

pelaku anak dibebankan sejumlah nominal tertentu agar kasusnya

tidak dilanjutkan dalam proses hokum pidana, tuntutan itu akan

75

Page 76: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

diminta oleh korban bahkan dengan kondisi pemberian kewenangan

yang cukup besar pada aparat penegak hokum untuk melakukan

diversi juga dikhawatirkan akan menjadi lading korupsi baru bagi

penegak hokum dengan melakukan “transaksi-transaksi khusus”

agar kasus tersebut di diversi, sedangkan proses untuk melakukan

restorasi yang menjadi tujuan utama dari dilakukannya diversi

malah tidak dilaksanakan.

C. SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Secara keseluruhan simpulan yang diperoleh dari penelitian

ini adalah sebagai berikut :

1. Pelaksanaan Restorative Justice melalui Diversi meskipun secara

normatif baru berlaku pada tahun 2014 sesuai dengan pasal 108

UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

namun secara faktual telah dilaksanakan di Kota Bima melalui

kewenangan diskresional kepolisian.

2. Pelaksanaan Restorative Justice melalui Diversi di Kota Bima

dilaksanakan melalui jalur pendidikan (sekolah/Madrasah) yaitu

dengan melibatkan guru Bimbingan Konseling dan melalui jalur

Masyarakat yaitu dengan melibatkan tokoh formal di masyarakat

dari tingkat RT/lingkungan sampai tingkat Desa/Kalurahan.

3. Pelaksanaan Restorative Justice melalui Diversi di kota Bima

belum sepenuhnya maksimal dikarenakan tidak didukung sarana

76

Page 77: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

prasarana dan sumber daya dibidang Non Penal seperti

keberadaan panti rehabilitasi, Shelter (rumah aman) maupun

fasilitator-fasilitator restorative justice.

4. Dalam implementasinya meskipun Diversi ditujukan untuk

melindungi anak dari stigmatisasi dan tekanan proses peradilan

namun apabila diversi dilakukan secara serampangan (tidak

hati-hati) dan tidak diikuti dengan tindakan pembinaan dan

pemulihan maka diversi malah akan menjadi pengancam bagi

masa depan anak-anak khususnya Anak yang berhadapan

dengan hukum.

2. Saran

Sebagai saran dari hasil analisis terhadap implementasi

Diversi terhadap penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum di

Kota Bima dapat disampaikan sebagai berikut :

a. Dalam rangka penanganan ABH diperlukan peran multipihak

yaitu : Keluarga, Masyarakat, Aparat Penegak Hukum, dinas atau

Instansi terkait, LSM dan Swasta.

b. Penanganan ABH seyogyanya tidak dilakukan parsial-parsial

namun harus dilakukan secara komprehensif dari preemptif,

preventif dan rehabilitatif.

c. Implementasi diversi harus dilakukan secara hati-hati dan tidak

serampangan yang harus diikuti tindakan pembinaan dan

77

Page 78: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

pemulihan dengan melibatkan para pemangku kebijakan di

bidang kesehatan, pendidikan dan sosial.

78

Page 79: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

DAFTAR PUSTAKA

Beck, Elizabeth, et.al, In the Shadow of Death Restorative Justice and

Death Row Families, Oxford University Press, New York, 2007.

Hadisuprapto, Paulus. Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak

Indonesia Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2006.

Herlina, Apong, et.al. Perlindungan Terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum, UNICEF, Jakarta, 2004.

Marshall, Tony F., Restorative Justice an Overview, The Home Office

Research Development and Statistics Directorate, London, 1999

Medan, Karolus Kopong, PERADILAN REKONSILIATIF Konstruksi

Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut Tradisi Masyarakat

Lamaholot di Flores - Nusa Tenggara Timur, Disertasi pada

Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2006.

Miers, David, An International Review of Restorative Justice Home Office

Policing and Reducing Crime Unit Research, Development and

Statistics Directorate, London, 2001

Reichel, Philip L., Comparative Criminal Justice System, Prentice Hall, New

Jersey, 2002.

79

Page 80: Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima

Soetodjo, Wagiati,Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006.

United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes, New York,

2006.

Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia, Jurnal

Hukum & Pembangunan Tahun ke-36 No 3 Juli-September 2006.

80