IMPLEMENTASI PEMBERIAN JAMINAN FIDUSIA TERHADAP...
Transcript of IMPLEMENTASI PEMBERIAN JAMINAN FIDUSIA TERHADAP...
IMPLEMENTASI PEMBERIAN JAMINAN FIDUSIA TERHADAP
DEBITUR KREDIT MACET PADA PT BANK MANDIRI, TBK AREA
KISAMAUN TANGERANG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
WIDY MAYUNITA
NIM: 11140480000147
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
i
IMPLEMENTASI PEMBERIAN JAMINAN FIDUSIA TERHADAP
DEBITUR KREDIT MACET PADA PT BANK MANDIRI, TBK AREA
KISAMAUN TANGERANG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Widy Mayunita
NIM: 11140480000147
Pembimbing
Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, SH, MH
NIP: 19670203 201411 1 001
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi Yang Berjudul Implementasi Pemberian Jaminan Fidusia Terhadap
Debitur Kredit Macet Pada PT Bank Mandiri, Tbk Area Kisamaun
Tangerang telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 02April 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu
Hukum.
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 07 Maret 2019
Widy Mayunita
iv
ABSTRAK
Widy Mayunita 11140480000147, Implementasi Pemberian Jaminan
Fidusia Terhadap Debitur Kredit Macet Pada PT Bank Mandiri, Tbk Area
Kisamaun Tangerang konsentrasi Hukum Bisnis Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1440 H/2019 M. viii + 73 halaman + 3 halaman daftar pustaka.
Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang menggambarkan tentang
bagaimana debitur telah melakukan pinjaman kredit kepada bank mandiri akan
tetapi debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya/melunasi. Namun
dipertengahan angsuran debitur mengalami kredit macet sehingga tidak bisa
membayar hingga waktu yang ditentukan dan disebabkan karena debitur telah di
PHK, dengan alasan tersebut bank melakukan upaya penyelesaian dengan cara
restrukturisasi kredit. Bank mandiri memberikan kelonggaran waktu terhadap
debituruntuk membayar hutangnya. Meskipun status debitur kredit macet, tetapi
tetap diberikan jaminan fidusia oleh pihak kreditur/bank.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan undang-undang, dapat
disebut juga statue approach. Dengan cara yuridis normatif. Penulis menggunakan
pengumpulan data Riset Kepustakaan (Library Research) yaitu Teknik penelitian
yang didasarkan pada bidang kepustakaan, dengan memandang hukum sebagai
sebuah kaedah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan
masyarakat, yang kemudian didukung dengan data-data yang droleh.
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulanbahwa
pemberian kredit dengan jaminan fidusia kepada debitur yang bermasalah atau
kredit macet dapat diberikan dengan dilakukan prosedur khusus menggunakan
analisa dalam pemberian pinjaman kredit. Adapun permasalahan yang terjadi
dalam praktek dengan jaminan di bank mandiri sebagai berikut: pertama, telah
berpindahnya objek jaminan fidusia kepada pihak lain; kedua, penyusutan pada
objek jaminan; ketiga, sulitnya mengeksekusi objek yang menjadi jaminan
fidusia. Kreditur dan debitur memiliki hak dan kewajiban yang harus dijalankan
pada saat wanprestasi.
Kata Kunci : Pinjaman Kredit, Objek Jaminan Fidusia, Jaminan Fidusia, Kredit
Macet.
Pembimbing : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1983 sampai 2013
vi
agar bisa meraih segala cita-citanya. Semoga amal baik mereka dibalas
oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda.
Peneliti Berharap Skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
peneliti khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu,
kritik, dan saran yang membangun akan diterima dengan senang hati demi
kesempurnaan skripsi ini.
Jakarta, 07 Maret 2019
Widy Mayunita
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan masalah ............................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 6
D. Metode Penelitian ................................................................................ 7
E. Sistematika Penelitian .......................................................................... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA PERJANJIAN KEPASTIAN
HUKUM
A. Kerangka Konseptual ........................................................................... 13
B. Kerangka Teori
1. Teori kepastian hukum ................................................................... 15
2. Teori Perjanjian .............................................................................. 18
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .................................................. 20
BAB III TINJAUAN HUKUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Jaminan Fidusia
1. Pengertian Jaminan Fidusia ........................................................... 22
2. Dasar Hukum Jaminan Fidusia ...................................................... 24
B. Sejarah Fidusia
1. Zaman Romawi ............................................................................. 6
2. Di Belanda ..................................................................................... 27
viii
1. Pengaturan Di Indonesia Sebelum Diundangkannya
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 ..................................... 29
C. Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan Fidusia ............................................. 42
D. Proses Terjadinya Jaminan Fidusia .................................................... 47
E. Hapusnya Jaminan Fidusia ................................................................. 50
F. Eksekusi Jaminan Fidusia .................................................................. 51
BAB IV JAMINAN FIDUSIA DAN PERMASALAHAN PADA PT
BANK MANDIRI AREA KISAMAUN TANGERANG
A. Pelaksanaan Prosedur Pemberian Kredit Dengan Jaminan
Fidusia Pada Bank Mandiri ................................................................. 54
B. Permasalahan Dalam Pemberian Kredit Yang Menggunakan
Jaminan Fidusia di Bank Mandiri ....................................................... 58
C. Hak-hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Jaminan
Fidusia Saat Terjadi Wanprestasi ........................................................ 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 67
B. Rekomendasi ............................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 70
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang di Indonesia
menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor perbankan. Hal ini ditandai
dengan banyaknya pemberian dan pengikatan perkreditan yang dilakukan oleh
perbankan maupun lembaga pembiayaan non-Bank. Pemberian kredit selama
ini menggunakan lembaga jaminan yang diatur dalam Peraturan PerUndang-
Undangan. Pada saat ini salah satu jaminan yang sering digunakan di dalam
praktek adalah Jaminan Fidusia.
Istilah “Fidusia” berasal dari kata fiduciair atau fides, yang artinya
“kepercayaan”, yakni penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan
sebagai jaminan (agunan) bagi pelunasan piutang kreditur. Penyerahan hak ini
dimaksudkan hanya sebagai jaminan, dimana memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada penerima fidusia (kreditur) terhadap kreditur-kreditur
lainnya.1
Pengaturan mengenai jaminan fidusia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Jaminan Fidusia, pengertian Fidusia dinyatakan, bahwa:
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia, menyatakan
Pengertian Jaminan Fidusia, bahwa:
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda yang bergerak baik
yang bewujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
1Rahmadi Usman, Hukum Kebendaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 283
2
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai
agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Pada saat ini jaminan yang sering digunakan di dalam praktek adalah
Jaminan Fidusia, oleh karena Lembaga Jaminan Fidusia adalah jaminan atas
benda bergerak yang banyak diminati oleh masyarakat bisnis. Pembinaan
hukum terhadap bidang hukum jaminan adalah sebagai konsekuensi logis dan
merupakan perwujudan tanggung jawab dari pembinaan hukum mengimbangi
lajunya kegiatan-kegiatan dalam bidang perdagangan, perindustrian,
perseroan, pengangkutan, dan kegiatan-kegiatan dalam proyek pembangunan.2
Perjanjian fidusia biasa digunakan pada perusahaan atau lembaga
pembiayaaan. Pada umumnya perusahaan atau lembaga pembiayaan didalam
melaksanakan penjualan atas barang bergerak tersebut kepada konsumen
dengan menggunakan perjanjian mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi
objek benda jaminan fidusia berupa Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor
(BPKB), akan tetapi ternyata dalam prakteknya banyak dari perjanjian yang
dibuat oleh perusahaan tersebut tidak dibuat dalam Akta Notaris dan seperti
dalam tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat
sertifikat akta yang memuat irah-irah (Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa). Walaupun secara tertulis lembaga pembiayaan tersebut
dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencantumkan kata-kata dijaminkan
secara fidusia.
Salah satu ciri jaminan fidusia yang kuat itu mudah dan pasti dalam
pelaksanaan eksekusinya, jika debitur (pemberi fidusia) cedera janji.
Walaupun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam
2 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok pokok
Hukum Jaminan dan Jaminan perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 2007), h. 1
3
hukum acara perdata yang berlaku, namun dipandang perlu untuk
memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi dalam Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yaitu yang mengatur
mengenai lembaga parate eksekusi.
Selama ini sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
Jaminan Fidusia, tidak ada kejelasan mengenai bagaimana caranya
mengeksekusi obyek jaminan fidusia. Karena tidak ada ketentuan yang
mengaturnya, banyak yang menafsirkan eksekusi obyek jaminan fidusia
dengan memakai prosedur gugatan biasa (lewat pengadilan dengan prosedur
biasa) yang panjang, dan melelahkan. Walaupun sejak berlakunya Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 1985, ada prosedur yang lebih mudah lewat
eksekusi dibawah tangan. Disamping syaratnya yang berat, eksekusi obyek
jaminan fidusia dibawah tangan tersebut tentunya hanya berlaku atas fidusia
yang berhubungan dengan rumah susun saja. Oleh karena itu, dalam praktek
hukum, eksekusi fidusia dibawah tangan sangat jarang dilakukan.3
Pelaksanaan kredit dengan jaminan fidusia sangat menarik karena,
objek jaminan fidusia khususnya untuk benda bergerak, objek tersebut tidak
harus diserahkan langsung dalam wujud bendanya tetapi hanya menyerahkan
surat-surat hak kepemilikan atas benda yang dijadikan sebagai jaminan
tersebut, bendanya masih dapat digunakan oleh debitur. Misalnya, jaminan
fidusia yang objeknya berupa sepeda motor atau mobil, yang dijaminkan tidak
harus sepeda motor atau mobil tersebut yang diserahkan sebagai jaminan
kepada bank, melainkan surat-surat kepemilikannya atau BPKB (Buku
Pemilik Kendaraan Bermotor) nya saja.
Polemik yang terjadi dalam masyarakat yang membuat menarik adalah
saat pemberian hak atas kepemilikan benda yang dijadikan jaminan, dengan
3 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Himpunan Karya Tentang Hukum jaminan, … h.
229
4
hapusnya jaminan fidusia dalam hal hapusnya utang yang dijamin, tidak perlu
dilakukan pengalihan kembali (retro-overdracht) atas hak kepemilikan oleh
penerima jaminan kepada pemberi jaminan. Hal ini karena pengalihan hak
kepemilikan atas objek jaminan fidusia dilakukan oleh pemberi fidusia kepada
penerima fidusia sebagai jaminan atas kepercayaan bahwa hak kepemilikan
tersebut dengan sendirinya akan kembali bilamana utang tersebut lunas
(adanya syarat batal atau “order ontbindendevoor waarde”). Tentunya ini
sesuai dengan sifat perjanjian assesoir dari penjaminan fidusia itu sendiri.
Pengawasan yang dilakukan oleh bank yaitu preventif yaitu
pengawasan yang dilakukan sebelum terjadinya sesuatu hal yang tidak
diinginkan oleh pihak bank dan pengawasan represif yaitu pengawasan yang
dilakukan setelah terjadinya sesuatu. Dalam kenyataannya, debitur kadang
melakukan wanprestasi yang mengakibatkan kredit macet. Permasalahan
kredit macet yang menimpa dunia perbankan sebagai akibat dari adanya
wanprestasi atau keterlambatan dalam pembayaran oleh debitur ditambah
dengan banyaknya kredit yang dijamin dengan jaminan kebendaan akan tetapi
jaminan tersebut setelah dijual tidak mencukupi untuk memenuhi hutangnya.
Seperti kredit macet yang dialami pada Bank Mandiri dimana debitur yang
meminjam uang di Bank Mandiri tersebut tidak mampu mengembalikan uang
karena keadaan perekonomian yang tidak stabil sehingga terjadilah kredit
macet pada Bank Mandiri. Kita tahu bahwa bank sebelum memberikan
pinjaman kredit dengan jaminan fidusia wajib menganalisa terlebih dahulu
calon debitur yang akan memperoleh pinjaman kredit agar nantinya tidak
terjadi hambatan seperti kredit macet. Tetapi bagaimana jika debitur tersebut
telah mengalami kredit macet didalamm pembayaran kredit, langkah apa yang
harus ditempuh guna menyelesaikan kredit tersebut jika faktor dari kredit
macet tersebut merupakan musibah yang diluar dugaan debitur.
Sebagaimana uraian di atas peneliti untuk membahas bahasan tersebut
peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian pada permasalahan kali ini,
5
sekaligus sebagai pemenuhan tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana
strata satu (S1) dengan menjadikan sebuah judul skripsi dengan tema
“Implementasi Pemberian Jaminan Fidusia Terhadap Debitur Kredit
Macet Pada PT Bank Mandiri, Tbk Area Kisamaun Tangerang”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik beberapa masalah sebagai
berikut:
a. Terjadi kredit macet terhadap pemberian kredit yang diberikan kepada
debitur.
b. Terdapat kesalahan prosedur dalam menganalisis karakter calon
debitur sebelum memberikan kredit sehingga timbul kredit macet.
c. Kurangnya kesadaran kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur
selaku penerima kredit.
d. Barang jaminan yang dijadikan agunan mengalami penyusutan untuk
dijadikan pelunasan hutang.
e. Terdapat hambatan dalam pelunasan kredit dengan jaminan fidusia
terhadap debitur yang mengalami kredit macet.
2. Pembatasan Masalah
Dalam pembahasan mengenai pelanggaran kredit macet pada PT Bank
Mandiri, tentunya akan berhubungan dengan berbagai bidang, namun
dalam penelitian ini agar masalah yang akan peneliti bahas tidak meluas
sehingga mengakibatkan ketidakjelasan pembahasan masalah, maka
peneliti membatasi masalah yang akan diteliti mengenai beberapa
permasalahan, diantaranya pelanggaran debitur terhadap Bank Mandiri
dan aturan hukum di Indonesia yang masih lemah terhadap pelanggar
debitur.
6
3. Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah implementasi
pemberian jaminan fidusia terhadap debitur kredit macet pada bank
mandiri area kisamaun tangerang, namun ketika diterapkan menimbulkan
wanprestasi atau keterlambatan dalam pembayaran oleh debitur yakni
adanya perekonomian yang tidak stabil namun mengakibatkan kredit
macet pada bank mandiri area kisamaun tangerang, sehingga peneliti
membuat pertanyaan riset sebagai berikut :
a. Bagaimana pelaksanaan prosedur pemberian kredit dengan
jaminan fidusia di Bank Mandiri?
b. Apa saja yang menjadi permasalahan dalam pemberian kredit yang
menggunakan jaminan fidusia di Bank Mandiri dan bagaimana
penyelesaiannya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisa secara yuridis
normative terhadap kredit macet pada PT Bank Mandiri berdasarkan
Peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku di Indonesia. Tujuan
penelitian yang hendak dicapai adalah:
a. Untuk mengetahui pelaksanaan prosedur pemberian kredit dengan
jaminan fidusia di Bank Mandiri.
b. Untuk mengetahui yang menjadi permasalahan dalam pemberian
kredit yang menggunakan jaminan fidusia di Bank Mandiridan
bagaimana penyelesaiannya.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti diharapkan mampu
memberikan manfaat secara teoritis dan juga praktis yaitu:
7
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penulisan ini diharapkan dapat memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan khususnya bagi ilmu hukumterutama
mengenai implementasi pemberian jaminan fidusia dalam upaya
perlindungan hukum di Bank Mandiri. Selain itu dengan adanya
tulisan ini penulis berharap dapat menambah dan melengkapi
perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah dengan memberikan
kontribusi pemikiran bagi penerapan pemberian jaminan fidusia.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menjadi
kerangka acuan dan landasan bagi peneliti lanjutan, dan dapat
memberikan masukan bagi pembaca. Penulisan ini juga diharapkan
dapat bermanfaat bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat
mengetahui dan memberikan tanggapan terhadap implementasi
pemberian jaminan fidusia terhadap debitur kredit macet bagi
masyarakat.
D. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.
Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta
hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan4.
1. Pendekatan Penelitian
4 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : Universitas Indonesia
(UI-Press), 1986), cet.3, h. 43
8
Penulis dalam melakukan proses penelitian ini menggunakan
pendekatan ilmu perundang-undangan (statute approach) yaitu dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani5.
Dalam hal ini peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pembatalan
eksekusi terhadap benda objek perjanjian fidusia antara Debitur dengan
Bank Mandiri, yaitu:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal
d. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang
Lembaga Pembiayaan
e. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010
Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang
Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan.
g. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan.
2. Jenis Penelitian
5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2013),
h. 93
9
Untuk jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian normatif
yuridis. Dimana penelitian ini mengacu kepada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam mastarakat6.
Dalam hal ini yang menjadi objek normatif yuridis yaitu menelaah,
menginterpretasikan, serta menganalisis kasus yang terjadi mengenai
pemberian jaminan fidusia terhadap debitur kredit macet antara Debitur
dengan Bank Mandiri.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data skunder yang
artinya data yang sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data skunder
ini antara lain: dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian
yang berbentuk laporan, buku harian dan lain-lain7. Data skunder ini
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum
tersier:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim. Bahan hukum primer yang digunakan antara lain:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia
6 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Cet. 2, h.
105
7 Soerjono Soekanto, Pengantar Peneltian Hukum, ( Jakarta : Universitas Indonesia
(UI-Press), 1986), cet.3, h. 12
10
3) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal
4) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009
Tentang Lembaga Pembiayaan
5) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010
Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha
Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan.
7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat kaitannya
dangan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa,
memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer. Yang termasuk
dalam bahan hukum skunder yaitu semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi8. Misalnya dapat
berupa hasil karya dari kalangan hukum, seperti skripsi, tesis dan
disertasi hukum. Disamping itu juga, kamus-kamus hukum dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan9.
4. Metode Pengumpulan Data
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2013), h. 14
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, … h. 155
11
Alat-alat pengumpulan data, pada umumnya dikenal tiga jenis alat
pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan
atau observasi, dan wawancara atau interview. Berdasarkan pendekatan
yang dipergunakan untuk memperoleh data, maka alat pengumpulan data
yang dipergunakan adalah studi kepustakaan dan dokumen.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen/kepustakaan (library research) yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku
yang berkaitan dengan kredit macet, pendapat ahli , artikel, kamus, dan
juga berita yang peneliti peroleh dari internet.
5. Teknik Pengolahan Data
Analisis data kualitatif yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerjanyadata, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat di tuliskan dalam penelitian.10
6. Analisis Data
Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang tidak
membutuhkan populasi dan sampel karena jenis penelitian ini
menekankan pada aspek pemahaman suatu norma hukum yang terdapat di
dalam Peraturan PerUndang-Undangan serta norma-norma yang
berkembang di masyarakat. Penelitian kualitatif menggunakan lingkungan
yang menjadi penelitiannya sebagai sumber data. Maksudnya data dan
informasi lapangan dilakukan analisis sehingga memperoleh hasil
penelitian yang bersifat deskriptif analisis.
10
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bnadung: PT. Remaja Rosdakarya,
2008), h. 248
12
7. Teknik Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pola pikir deduktif, yaitu dengan menarik kesimpulan
khusus dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi.
8. Metode Penelitian
Acuan metode penulisan yang peneliti rujuk mengacu kepada
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017”
berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang sudah ditentukan
oleh fakultas.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman dan alur pemikiran yang logis dalam
penelitian ini, peneliti akan memberikan gambaran umum secara sistematis
tentang keseluruhan penelitian ini sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan, Bab ini dijelaskan tentang latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penelitian.
BAB II : Kajian Pustaka, Bab ini menjelaskan kerangka teori dan
konseptual, tinjauan (review) kajian terdahulu, pengertian
jaminan fidusia, perjanjian, kredit, bank.
BAB III : Tinjauan Hukum Tentang Jaminan Fidusia, Bab ini
menjelaskan secara khusus mengenai tinjauan umum mengenai
pengertian dan dasar hukum jaminan fidusia, sejarah fidusia,
13
prinsip-prinsip hukum jaminan fidusia, proses terjadinya
jaminan fidusia, hapusnya jaminan fidusia, dan eksekusi
jaminan fidusia.
BAB IV : Analisis Implikasi Pemberian Jaminan Fidusia Menurut
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Terkait Dalam Debitur
Kredit Macet Di PT Bank Mandiri, Bab ini dijelaskan
mengenai analisis impilkasi pemberian jaminan fidusia
menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia terkait dalam debitur kredit macet di bank
mandiri area kisamaun tangerang.
BAB V : Penutup, Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian di
skripsi ini yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA PERJANJIAN KEPASTIAN HUKUM
A. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Perjanjian
Sebagaimana dalam Pasal 1313 Burgelijk Wetboek atau Kitab
Hukum Perdata: “suatu perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Dengan kata lain, perjanjian merupakan peristiwa hukum dimana
seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata).
Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
a. Perbuatan
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang
Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum
atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat
hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih Untuk
adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang
saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang
cocok satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan
hukum.
c. Mengikatkan dirinya
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan
oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini
orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena
kehendaknya sendiri.
2. Perjanjian pinjam meminjam
Perjanjian pinjam meminjam diatur dalam pasal 1754 KUH
Perdata yaitu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
15
kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam
dan keadaan yang sama pula.
3. Lembaga Pembiayaan
Pengertian Lembaga Pembiayaan diatur dalam pasal 1 angka 1
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga
Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan
dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.
4. Perusahaan Pembiayaan
Pengertian perusahaan pembiayaan diatur dalam pasal 1 angka 2
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan yaitu Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang
khusus didirikan untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang,
Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit.
5. Fidusia
Pengertian Fidusia diatur dalam Pasal 1 angka 1 adalah pengalihan
hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda.
6. Jaminan Fidusia
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
Pemberi Fidusia,sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
16
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia
terhadap kreditor lainnya.
7. Pemberi Fidusia
Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik
Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
8. Penerima Fidusia
Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang
mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan
Fidusia.
9. Kreditor
Kreditor adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian
atau undang-undang.
10. Debitor
Debitor adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian
atau undang-undang.
B. Kerangka Teori
1. Teori Kepastian Hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma
adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das
sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus
dilakukan. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat
umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu
maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu
menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan
17
tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum1.
Jika dikaitkan teori kepastian hukum dalam suatu perjanjian sesuai
pasal 1313 KUH Perdata serta hak dan kewajiban pemberi dan
penerima fidusia, menekankan pada penafsiran dan sanksi yang jelas
agar suatu perjanjian/kontrak dapat memberikan kedudukan yang sama
antarsubjek hukum yang terlibat (para pihak yang melakukan
perjanjian utang piutang dengan jaminan fidusia).
Kepastian memberikan kejelasan dalam syarat-syarat sahnya
suatu perjanjian dimana ada dua akibat hukum yang terjadi apabila
syarat-syaratnya tidak terpenuhui yaitu:
a) dapat dibatalkan
apabila syarat subjektif dalam suatu perjanjian tidak terpenuhi
seperti kesepakatan dan kecakapan hukum.
b) batal demi hukum
apabila syarat objektif dalam suatu perjanjian tidak terpenuhi
seperti suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Kepastian memberikan kejelasan melakukan perbuatan
hukum saat pelaksanaan suatu perjanjian utang piutang dengan
jaminan fidusia, dalam bentuk prestasi bahkan saat perjanjian
tersebut cidera janji atau salah satu pihak ada yang dirugikan maka
sanksi dalam suatu perjanjian/kontrak tersebut harus dijalankan
sesuai kesepakatan para pihak baik kreditor maupun debitor.
a. Itikad Baik
Pengaturan itikad baik di Indonesia daitur dalam pasal 1338
Ayat (3) KUH Perdata. Pasal ini menentukan bahwa perjanjian
dilaksanakan dengan itikad baik, namun ketentuan ini sangat
1 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h.
158
18
abstrak dikarenakan tidak ada tolak ukur dan makna dari itikad
baik tersebut2.
Di Negeri Belanda, Pengaturan itikad baik dalam kontrak
terdapat dalam Pasal 1374 Ayat (3) BW (lama) Belanda yang
menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik. Menurut P.L. Wery, makna pelaksanaan dengan itikad baik
(uitvoering tegoeder trouw) dalam Pasal 1374 ayat (3) di atas
masih teap sama dengan makna bona fides dalam hukum Romawi
beberapa abad lalu. Itikad baik bermakna bahwa kedua belah pihak
harus berlaku satu dengan lainnya tanpa tipu daya, tanpa tipu
muslihat, tanpa mengganggu pihak lain, tidak hanya melihat
kepentingan diri sendiri saja, tetapi juga kepentingan pihak lainnya
juga.
Produk legislatif terbaru yang berkaitan dengan itikad baik ini
terdapat di dalam Pasal 6.248.1 BW Baru Belanda. Menurut
Hartkamp, pembentuk Undang-Undang telah membedakan itikad
baik dalam makna ketaatan akanreasonable commercial standard
of fair dealing dari itikad baik dalam makna honesty in fat. Namun
Belanda menggunakan istilah itikad baik sebagai
reasonablenessdan equity. Itikad baik dalam kontrak dibedakan
menjadi itikad baik dua, yaitu:
1) Itikad baik pra kontrak (preontractual good faith) atau disebut
juga itikad baik subjektif, yaitu pengertian itikad baik yang
terletak dalam sikap batin seseorang. Di dalam hukum benda
itikad baik ini diartikan dengan kejujuran3.
2 Ridwan Khairandy, Kebebasan Berkontrak & Pacta Sunt Servanda Versus
Itikad Baik: Sikap Yang Harus Diambil Pengadilan, (Yogyakarta: FH UII Press,
2015), h. 5
3 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1983), h. 25
19
2) itikad baik dalam pelaksanaan kontrak (good faith on contract
performane) disebut juga itikad baik objektif, bahwa suatu
perjanjian yang dibuat haruslah dilaksanakan dengan
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan yang
berarti bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan sedemikian
rupa sehingga tidak merugikan salah satu pihak.
2. Teori perjanjian
Menurut pendapat yang banyak dianut (Communis Opinion
Cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Untuk memahami
istilah mengenai perjanjian terdapat beberapa pendapat para sarjana.
Adapun pendapat para sarjana tersebuit antara lain, yaitu:
a. Subekti tidak membedakan pengertian perjanjian dengan
persetujuan sebab menurut beliau, perjanjian dan persetujuan
sama-sama mempunyai pengertian bahwa kedua belah pihak
tersebut setuju untuk melakukan sesuatu yang telah di sepakati
bersama, dengan begitu penggunaannya dapat saja secara bebas
menggunakan perjanjian, persetujuan, kesepakatan, ataupun
kontrak dalam menggambarkan hubungan hukum yang
mengikat para pihak untuk melaksanakannya, ataupun
sebaliknya penggunaan perjanjian, persetujuan ataupun
kesepakatan pada hubungan yang tidak mempunyai
konsekuensi hukum yang mengikat.4
b. Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa perikatan adalah
hubungan hukum yang terjadi antara debitur dengan kreditur,
yang terletak dalam bidang harta kekayaan dimana keseluruhan
4Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Mingguan Ekonomi
dan Bisnis KONTAN, (Jakarta, 2006), h. 50
20
aturan hukum yang mengatur hubungan hukum dalam bidang
harta kekayaan ini disebut hukum harta kekayaan.5
c. Menurut Wirjono Rodjodikoro mengartikan perjanjian, yaitu
suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua
pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji
untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu
hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan
perjanjian tersebut.6
d. Menurut M.Yahya Harahap, perjanjian maksudnya adalah
hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan anatara 2
(dua) orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan
kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.7
e. Menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orabng atau lebih.8
f. Menurut Syahmin AK, dalam bentuknya perjanjian itu berupa
suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.9
Perjanjian kerjasama untuk melakukan pekerjaan jasa-jasa
tertentu termask salah satu perjanjian bernama, hal tersebut
berdasarkan Pasal 1601-1617 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
5Abdulkadir Muhammad, Hukum Pedata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2000), h. 9
6Wirjono Rodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mazdar Madju,
2000), h. 4
7M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), h.
6
8Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1979), h. 4
9Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006), h. 140
21
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan pada penulisan skripsi ini dengan
penelitiantentang implementasi pemberian jaminan fidusia terhadap
debitur kredit macet, maka peneliti melakukan penelusuran terhadap
beberapa penelitian terlebih dahulu, diantaranya penelitian-penelitian
tersebut yakni:
1. Skripsi yang disusun oleh Ardika Karya Santuso, dari Fakultas
Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung, tahun 2016,
dengan judul “Implementasi Pemberian Kredit Dengan Jaminan
Fidusia Yang Diikat Di Bawah Tangan (Studi Pada PT. BRI
(Persero) Tbk, Unit Sukoharjo Kantor Cabang Pringsewu)”.
Penelitian ini membahas tentang BRI Unit Sukoharjo dalam
pemberian kredit umum pedesaan dengan perjanjian tambahan
berupa jaminan fidusia, sebagian besar pengikatannya hanya
dilakukan secara di bawah tangan dan tidak dilakukan di hadapan
notaris, maupun didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia. Skripsi ini
membahas tentang pemberian jaminan fidusia terhadap debitur kredit
macet pada bank mandiri area kisamaun tangerang. Perbedaan
dengan skripsi ini adalah membahas mengenai bagaimana syarat dan
prosedur, serta akibat hukum pemberian kredit dengan jaminan
fidusia yang diikat di bawah tangan pada BRI Unit Sukoharjo.
Persamaan dalam skripsi ini sama-sama membahas tentang jaminan
fidusia dan membahas pemberian kredit.
2. Buku yang ditulis oleh Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani
tahun 2000, dengan judul “Jaminan Fidusia”. Dalam Buku ini
dijelaskan tentang jaminan fidusia secara teoritis, umum dan juga
lebih komprehensif termasuk didalamnya terdapat pembahasan
mengenai jaminan fidusia. Perbedaannya penelitian skripsi ini tidak
hanya mencantumkan teori saja, tetapi menganalisis kasus yang
diteliti.
22
3. Jurnal yang disusun oleh Nur Adi Kumaladewi, tahun 2015,
dengan judul “Eksekusi Kendaraan Bermotor Sebagai Jaminan
Fidusia Yang Berada Pada Pihak Ketiga”. Jurnal ini membahas
tentang Dalam eksekusi kendaraan bermotor sebagai jaminan fidusia
yang berada pada pihak ketiga namun pada dasarnya di Undang-
Undang Jaminan Fidusia tidak membolehkan ada pihak ketiga dalam
eksekusi kendaraan bermotor nantinya akan menimbulkan resiko
baru. Perbedaannya terdapat pada objek kajian yakni pada penelitian
ini membahas tentang implementasi pemberian jaminan fidusia
terhadap debitur kredit macet pada bank mandiri. Persamaan didalam
jurnal ini sama-sama memakai jaminan fidusia dan Undang-Undang
Jaminan fidusia.
23
BAB III
TINJAUAN HUKUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Jaminan Fidusia
1. Pengertian Jaminan fidusia
Lembaga jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan yang secara
yuridis formal di akui sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Sebelum Undang-Undang ini
dibentuk, lembaga ini disebut dengan bermacam-macam nama. Zaman
Romawi menyebutnya “Fiducia cum creditore” Asser Van Oven
menyebutnya “zekerheids-eigendom” (hak milik sebagai jaminan),
Blom menyebutnya “bezitloos zekerheidsrecht” (hak jaminan tanpa
penguasaan), Kahrel memberi nama “Verruimd Pandbegrip”
(pengertian gadai yang diperluas), A. Veenhooven dalam menyebutnya
“eigendoms overdracht tot zekergeid” (penyerahan hak milik sebagai
jaminan) sebagai singkatan dapat dipergunakan istilah “fidusia” saja.1
Fidusia dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan istilah
“penyerahan hak milik secara kepercayaan”. Dalam terminologi
Belandanya sering disebut dengan istilah lengkapnya berupa Fiduciare
Eigendoms Overdracht (FEO), sedangkan dalam bahasa Inggrisnya
secara lengkap sering disebut istilah Fiduciary Transfer of Ownership.2
Pengertian fidusia berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.3Berdasarkan pasal
1Mariam Darus Badrulzaman, Bab Tentang Kredit Verband, Gadai & Fidusia,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h. 90
2Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 3
3Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Jaminan Fidusia,
Yayasan Kesejahteraan Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum, (Dep
Hukum dan HAM RI, 2002), h. 2
24
tersebut fidusia dirumuskan secara umum, yang belum dihubungkan
atau dikaitkan dengan suatu perjanjian pokok jadi belum dikaitkan
dengan hutang. Adapun unsur-unsur perumusan fidusia sebagai
berikut:4
a. Unsur secara kepercayaan dari sudut pemberi fidusia;
Unsur kepercayaan memang memegang peranan penting
dalam fidusia dalam hal ini juga tampak dari penyebutan unsur
tersebut di dalam Undang-Undang Fidusia arti kepercayaan
selama ini diberikan oleh praktek, yaitu: Debitur pemberi
jaminan percaya, benda fidusia yang diserahkan olehnya tidak
akan benar-benar dimiliki oleh kreditur penerima jaminan
tetapi hanya sebagai jaminan saja; Debitur pemberi jaminan
percaya bahwa kreditur terhadap benda jaminan hanya akan
menggunakan kewenangan yang diperolehnya sekedar untuk
melindungi kepentingan sebagai kreditur saja; Debitur pemberi
jaminan percaya bahwa hak milik atas benda jaminan akan
kembali kepada debitur pemberi jaminan kalau hutang debitur
untuk mana diberikan jaminan fidusia dilunasi.
b. Unsur kepercayaan dari sudut penerima fidusia;
c. Unsur tetap dalam penguasaan pemilik benda;
d. Kesan ke luar tetap beradanya benda jaminan di tangan
pemberi fidusia;
e. Hak mendahului (preferen);
f. Sifat accessoir.
2. Dasar Hukum Jaminan Fidusia
Pengertian jaminan fidusia itu sendiri adalah hak jaminan atas
benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan
benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani
hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
4J. Satrio, Hukum Jaminan Kebendaan Fidusia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002), h. 160-175
25
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada
dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
penerima Jaminan fidusia kreditur lainnya.5
Sebagai suatu perjanjian accessoir, perjanjian jaminan fidusia
memiliki ciri-ciri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor42
Tahun 1999 sebagai berikut:6
a. Kreditur Preference adalah memberikan kedudukan yang
mendahului kepada kreditur penerima fidusia terhadap kreditur
lainnya (pasal 27 Undang-Undang Fidusia). Penerima fidusia
memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya. Hak
yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda
yang menjadi obyek jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran
Fidusia. Hak yang didahulukan yang dimaksud adalah hak
penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atau
hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
b. Droit De Suiteadalah selalu mengikuti obyek yang dijaminkan
di tangan siapapun obyek itu berada (Pasal 20 Undang-Undang
Fidusia). Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut
berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi
obyek jaminan fidusia.
c. Memenuhi Asas Spesialitas dan Publisitas, sehingga mengikat
pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada
pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 6 dan Pasal 11
Undang-Undang Fidusia). Untuk memenuhi asas spesialitas
5Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Bandung: Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 168
6 Purwahid Petrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Refisi dengan UUHT,
Fakultas Hukum UNDIP, (Semarang, 2001), h. 36-37
26
dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Fidusia, maka akta
jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat :
1) Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia
2) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
3) Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia;
4) Nilai penjaminan dan;
5) Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
Asas Publisitas dimaksudkan dalam Undang-Undang
Fidusia untuk memberikan kepastian hukum, seperti termuat
dalam Pasal 11 Undang-Uundang Fidusia yang mewajibkan
benda yang dibebani dengan jaminan fidusia didaftarkan pada
Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia,
kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaan yang
dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah
Republik Indonesia.7
Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia
dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia, dan
pendaftarannya mencangkup benda, baik yang berada di dalam
maupun diluar wilayah Negara Republik Indonesia untuk
memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan
kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah
dibebani jaminan fidusia.
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Pasal 29 Undang-
Undang Fidusia). Eksekusi jaminan fidusia didasarkan pada
sertipikat jaminan fidusia, sertipikat jaminan fidusia ditertibkan
dan diserahkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia kepada
Penerima jaminan fidusia memuat tanggal yang sama dengan
7 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Bandung: Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 139
27
tanggal penerimaan pendaftaran jaminan fidusia, sertipikat
jaminan fidusia merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia,
memuat catatan tentang hal-hal yang dinyatakan dalam
pendaftaran jaminan fidusia.
Dalam hal debitur atau pemberi fidusia cidera janji,
pemberi fidusia wajib menyerahkan obyek jaminan fidusia
dalam rangka pelaksanaan eksekusi. Eksekusi dapat
dilaksanakan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial oleh
penerima fidusia, artinya langsung melaksanakan eksekusi,
atau melalui lembaga parate eksekusi – penjualan benda obyek
jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri melalui pelelangan
umum serta mengambil pelunasan dari hasil penjualan. Dalam
hal akan dilakukan penjualan dibawah tangan, harus dilakukan
berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia.
B. Sejarah Fidusia
1. Zaman Romawi
Masyarakat Romawi pada waktu itu menganggap bahwa gadai dari
hipotek dianggap lebih sesuai karena adanya aturan tertulis sehingga
lebih memberikan kepastian hukum. Gadai dan hipotek juga
memberikan hak-hak yang seimbang antara kreditor dan debitor.
Demikian pula hak-hak dari pihak ketiga akan lebih terjamin
kepastiannya karena ada aturannya pula. Masyarakat Romawi juga
mengenal satu pranata lain di pranata jaminan fidusia di atas, yaitu
pranata titipan yang disebut Fiducia Cum Amino contrak yang artinya
janji kepercayaan yang dibuat dengan teman. Pranata ini pada dasanya
sama dengan pranata” Trust” sebagai mana dikenal dalam sistem
hukum Common Law. Lembaga ini sering digunakan dalam hal
seorang pemilik suatu benda harus mengadakan perjalanan ke luar kota
dan sehubungan dengan itu menitipkan kepemilikan benda tersebut
28
kepada temannya dengan janji bahwa teman tersebut akan
mengembalikan kepemilikan benda tersebut jika pemiliknya sudah
kembali dari perjalanannya. Dalam Fiducia Cum Amino Contrakta ini
kewenangan diserahkan kepada pihak penerima akan tetapi
kepentingan tetap ada pihak pemberi. Perkembangan selanjutnya
adalah ketika hukum Belanda meresepti hukum Romawi dimana
hukum fidusia sudah lenyap fidusia tidak ikut resepsi. Itulah sebabnya
mengapa dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda tidak ditemukan
pengaturan tentang fidusia. Seterusnya sesuai dengan asas
konkordansi, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
yang memberlakukan Burgerlijk Wetboek juga tidak ditemukan
pengaturan tentang fidusia.8
2. Di Belanda
Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda, pranata jaminan yang
diatur adalah gadai untuk barang bergerak dan hipotek untuk barang
tidak bergerak. Pada mulanya kedua pranata jaminan dirasakan cukup
memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat ituh dalam bidang
perkreditan. Tetapi karena terjadi krisis pertanian yang melanda
negara-negara Eropa pada pertengahan abad ke-19, terjadi
penghambatan pada perusahaan-perusahaan pertanian untuk
memperoleh kredit. Pada waktu tanah sebagai jaminan kredit menjadi
agak kurang populer, dan kreditor menghendaki jaminan gadai sebagai
jaminan tambahan disamping jaminan tanah tadi. Kondisi seperti
menyultkan prusahaan-perusahaan pertanian. Dengan menyerahkan
alat-alat pertaniannya sebagai jaminan gadai dalam pemgambilan
kredit sama saja dengan bunuh diri. Apalah artinya kredit yang
diperoleh kalau alat-alat pertanian yang dibutuhkn untuk mengolah
tanah sudah berada dalam penguasaan kreditor. Terjadilah perbedaan
8https://www.bphn.go.id/data/documents/implementasi_jaminan_fidusia_dalam_pem
berian_kredit_di_indonesia..pdf
29
kepentingan antara kreditor dan debitor yang cukup menyulitkan kedua
pihak. Untuk melakukan gadai tanpa penguasaan terbentur pada
ketentuan 1152 Ayat (2) BW yang melarangnya.
Untuk mengatasi hal tersebut dicarilah terobosan-terobosan dengan
mengingat kontruksi hukum yang ada, yaitujual beli dengan hak
membeli kembali dengan sedikit penyimpangan. Bentuk ini digunakan
untuk menutupi suatu perjanjian peminjaman dengan jaminan. Pihak
menjual (penerima kredit) menjual barangnya kepada pembeli
(pemberi kredit) dengan ketentuan bahwa dalam jangka waktu tertentu
penjual akan membeli kembali barang-barang itu dan yang penting
barang-barang tersebut akan tetap berada dalam penguasaan penjual
dengan kedudukan sebagai peminjam pakai. Untuk sementara hal ini
dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi pada waktu itu.
Tetapi hal itu bukan bentuk jaminan yang sebenarnya, tentu akan
timbul keragu-raguan dalam prakteknya.9
Keadaan seperti itu berlangsung terus sampai dikeluarkannya
keputusan oleh Hoge Raad (HR) Belanda tanggal 29 Januari 1929
yang terkenal dengan nama Bierbrouwerij Arrest. Kasusnya adalah
sebagai berikut: NV Heineken Bierbrouwerij Maatschappij
meminjamkan uang sejumlah f 6000 dari P. Bos pemilik warung kopi
“Sneek”, dengan jaminan berupa hipotek keempat atas tanah dan
bangunan yang digunakan Bos sebagai tempat usahanya. Untuk lebih
menjamin pelunasan utangnya, Bos menjual inventaris warungnya
kepada Bierbrouwerij dengan hak membeli kembali dengan syarat
bahwa inventaris itu untuk sementara dikuasai oleh Bos sebagai
peminjam pakai. Pinjam pakai itu yang akan berakhir jika Bos tidak
membayar utang pada waktunya atau bilamana Bos jatuh pailit.
Ternyata Bos benar-benar jatuh pailit dan hartanya diurus oleh kurator
9https://www.bphn.go.id/data/documents/implementasi_jaminan_fidusia_dalam_pem
berian_kredit_di_indonesia..pdf
30
kepailitan Mr. AW de Haan), termasuk inventaris tadi. Bierbrouwerij
kemudian menuntut kepada kurator kepailitan untuk menyerahkan
inventaris tadi dengan sitaan revindikasi. Kurator menolak dengan
alasan bahwa perjanjian jaul beli dengan hak membeli kembali
tersebut adalah tidak sah, karena hanya berpura-pura saja. Dalam
gugatan rekonvensi kurator kepailitanmenurut pembatalan perjanjian
jual beli dengan hal membeli kembali tersebut.
3. Pengaturan Di Indonesia Sebelum Diundangkannya Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999
Pada abad ke-19, krisis yang terjadi di Eropa membawa imbas
pada Indonesia sebagai negara jajahan Belanda. Untuk mengatasi
masalah itu lahirlah peraturan tentang ikatan panen atau Oogstverband
(staatsblad 1886 Nomor 57). Peraturan ini mengatur mengenai
peminjaman hutang yang diberikan dengan jaminan atas barang-
barang bergerak, atau setidak-tidaknya kemudian menjadi barang
bergerak, sedangkan barang-barang itu tetap berada dalam kekuasaan
debitor. Seperti halnya di Belanda, keberadaan fidusia di Indonesia
diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hooggerechtsh of
(HGH) tanggal 18 Agustus 1932.
Walaupun demikian, sebenarnya konsep constitutum possessorium
ini bukan hanya monopoli hukum barat saja. Kalau kita teliti dan
cermati, dalam hukum adat di Indonesia pun mengenal konstruksi yang
demikian. Misalnya tentang gadai tanah menurut hukum adat.
Penerima gadai biasanya bukan petani penggarap, dan untuk itu ia
mengadakan perjanjian bagi hasil dengan petani penggarap (pemberi
gadai). Dengan demikian pemberi gadai tetap menguasai tanah tetapi
bukan sebagai pemilik melainkan sebagai penggarap. Setelah adanya
keputusan HGH itu, fidusia selanjutnya berkembang dengan baik di
samping gadai dan hipotik.
31
Dalam perjalanannya, fidusia telah mengalami perkembangan yang
cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan
para pihak. Pada zaman Romawi dulu, kedudukan penerima fidusia
adalah sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, akan tetapi
sekarang sudah diterima bahwa penerima fidusia hanya berkedudukan
sebagai pemegang jaminan saja.10
Tidak hanya sampai di situ, perkembangan selanjutnya juga
menyangkut kedudukan debitur, hubungannya dengan pihak ketiga dan
mengenai objek yang dapat difidusiakan. Mengenai obyek fidusia ini,
baik Hoge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung di Indonesia
secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan
atas barang-barang bergerak. Apalagi dengan berlakunya Undang-
Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang
lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria) perbedaan
antara barang bergerak dan tidak bergerak menjadi kabur karena
undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah
dan bukan tanah.
Sistem hukum adat dan sistem hukum perdata barat sangat
dominan mempengaruhi perkembangan hukum jaminan nasional,
antara lain bahwa dalam Hukum Adat membedakan benda dalam dua
golongan yaitu benda tanah dan benda bukan tanah, sedangkan hukum
Perdata Barat yaitu hukum Perdata yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (BW) membagi benda dalam benda bergerak,
benda tidak bergerak dan benda tidak berwujud, perbedaan tersebut
sangat berpengaruh pada lembaga jaminan untuk jenis-jenis benda
tersebut di atas.11
10
https://www.bphn.go.id/data/documents/implementasi_jaminan_fidusia_dalam_pe
mberian_kredit_di_indonesia..pdf 11
Retnowulan Sutantio, Lembaga Jaminan Kredit dan Pelaksanaannya secara
Paksa, makalah dalam Seminar 150 Tahun Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata,(Jakarta: BPHN, 1999), h. 2
32
Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Kusuma Atmadja12
,
bahwa dalam rangka pembentukan hukum, maka kesepakan untuk
menetapkan hukum-hukum mana yang perlu diadakan menarik untuk
dibicarakan, sebagian pakar hukum berpendapat bahwa hukum
perikatan atau kontrak sudah sangat mendesak (urgent) untuk diganti,
sebagian pakar hukum lainnya berpendapat disamping hukum
perikatan juga sudah perlu diganti perihal hukum perorangan (Van
Personem), hukum kebendaaan (Van Zaken), hukum jaminan, dilain
pihak ada yang mengangap bahwa hukum waris nasional sudah
waktunya untuk digarap.
Dalam rangka menjaga terjadinya kekosongan hukum, maka
dirumuskanlah Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945,
dengan pasal tersebut berlakulah diantaranya, hukum jaminan yang
didasarkan pada hukum barat yang di atur dalam KUH Perdata dan
hukum Jaminan yang didasarkan pada hukum adat, selain hukum
jaminan yang didasarkan pada hukum islam, akan tetapi dalam
prakteknya pemakaian hukum jaminan didominasi oleh ketentuan yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat (BW),
walaupun secara lokal di wilayah tertentu berlaku pula hukum jaminan
yang didasarkan pada Hukum Adat setempat dan Hukum Islam,
sehingga dalam perkembangan pembentukan hukum jaminan nasional
pengaruh dari sistem hukum tersebut di atas mewarnai hukum jaminan
di Indonesia.
Dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW) hukum jaminan dikenal adanya jaminan secara
umum dan secara khusus, jaminan secara umum yaitu jaminan yang
timbul dari undang-undang, sedangkan jaminan secara khusus
merupakan jaminan yang timbul dari suatu perjanjian baik berupa
12
Mochtar Kusuma Atmadja, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
makalah Lokakarya, (Jakarta: BPHN, 1999), h. 19
33
perjanjian kebendaan maupun perjanjian perorangan, perjanjian-
perjanjian jaminan khusus tersebut sifatnya accessoir terhadap
perjanjian pokoknya. Dengan adanya jaminan umum, maka hukum
jaminan telah memberikan perlindungan berupa jaminan secara umum
kepada kreditur bagi pelunasan utang debitur, akan tetapi untuk
memberikan rasa aman (kepastian), maka dalam praktek sering dibuat
perjanjian jaminan, baik berupa perjanjian jaminan kebendaan maupun
jaminan perorangan.
Dilain pihak akselerasi perkembangan ekonomi dan dimamika
global berpengaruh pula terhadap perkembangan hukum jaminan di
Indonesia, maka dalam pembentukan hukum sebagaimana
dikemukakan oleh Mochtar Kusuma Atmadja13
, perkembangannya
lebih cenderung membuat Kodifikasi Partial (sebagian), sehingga
pemikiran untuk mengadakan kodifikasi konprehensip sudah
ditinggalkan, oleh karena itu dalam pembentukan dan pengembangan
hukum jaminan arahnya mengikuti kodifikasi parsial tersebut.
Selain itu dalam hubungannya dengan hukum jaminan, maka
akan terkait dengan hukum benda tanah dan benda bukan tanah,
sebagaimana dimaklumi bahwa dalam sistem hukum adat dianut asas
pemisahan horisontal, pada asas pemisahan horisontal prinsipnya
memisahkan kepemilikan benda tanah dan benda bukan tanah yang
melekat pada tanah tersebut, sehingga pemilik tanah tidak selalu
menjadi pemilik rumah, tanaman-tanaman yang ada di atas tanah14
,
sehingga dalam hukum jamiman baik hukum jaminan kebendaan
maupun jaminan perorangan idealnya digabungkan dalam suatu
Undang-Undang, alasannya meskipun jaminan perorangan merupakan
salah satu jenis perjanjian khusus, tetapi tetap merupakan bagian
13
Mochtar Kusuma Atmadja, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
lokakarya, (Jakarta: BPHN, 1999), h. 19
14
BPHN, Naskah Akademis Peraturan perundang-undangan tentang Hukum
Benda, Hukum Jaminan dan Hukum Bertetangga, (Jakarta: BPHN, 1996), h. 70
34
hukum jaminan, oleh karenanya dalam satu Undang-Undang yang
mengatur hukum jaminan akan diatur dan ditemui ketentuan jaminan
umum dan jaminan khusus, sehingga secara teoritis dalam hukum
jaminan akan tersusun secara sistematis adanya Ketentuan Umum,
Lembaga Jaminan Kebendaaan, Lembaga Jaminan Perorangan dan
Ketentuan Hukum Acara.
Perkembangan hukum nasional, dalam hal ini kaitannya dengan
perkembangan hukum jaminan, khususnya perkembangan lembaga
jaminan di Indonesia dapat diamati dari perubahan melalui
pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan, hal ini terjadi karena
pertimbangan kebutuhan hukum, akibat dari percepatan perekonomian,
selain itu perubahan hukum diadakan karena negara-negara bekas
jajahan memiliki kesadaran tinggi untuk memperbaiki sistem
hukumnya, maka hukum jaminan dibutuhkan karena berkaitan dengan
aspek ekonomi, juga untuk kepastian hukum. Dilain pihak
perkembangan hukum jaminan, jika diamati dari sudut substansi
hukum walaupun ada kalanya menguntungkan menggunakan model-
model asing yang berupa konsepsi, proses-proses dan lembaga-
lembaga hukumnya, pada sisi lain ada juga yang menghambat karena
mungkin saja tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat
dimana hukum itu akan diberlakukan, oleh karena itu diperlukan
melakukan adopsi terhadap hukum asli dari masyarakat yang
bersangkutan, oleh karenanya sangat perlu diadakan kombinasi
konsep-konsep, prosedur dan lembaga-lembaga hukum tersebut,
sehingga hukum jaminan di Indonesia, selain dapat diterima oleh
masyarakat asli, juga dapat mengimbangi pergaulan International.
Dengan demikian secara teoritis perkembangan hukum jaminan,
khususnya lembaga jaminan di Indonesia akan mencakup antara lain;
perkembangan substansi hukumnya; perkembangan lembaga jaminan;
perkembangan obyek (benda-benda) dan subyeknya; perkembangan
35
prosedurnya yang berkaitan dengan pendaftaran, masa berlaku, hapus
dan eksekusinya serta berhubungan dengan perkembangan lembaga-
lembaga penunjang hukum jaminan di Indonesia.
Bentuk awal dari fiducia yang kita kenal sekarang ini ialah
fidusia cum creditore. Penyerahan hak milik pada fidusia cum kreditor
ini terjadi secara sempurna, sehingga penerima fidusia (kreditur)
berkedudukan sebagai pemilik yang sempurna juga. Sebagai pemilik
tentu saja ia bebas berbuat apa pun terhadap barang yang dimilikinya,
hanya saja berdasarkan fides ia berkewajiban mengembalikan hak
milik atas barang tadi kepada debitur pemberi fidusia, apabila pihak
yang belakangan ini telah melunasi utangnya kepada kreditur. Lebih
daripada itu tidak ada pembatasan-pembatasan lain dalam hubungan
fidusia cum kreditur. Hak milik di sini bersifat sempurna yang terbatas,
karena digantungkan pada syarat tertentu. Untuk pemilik fidusia, hak
miliknya digantungkan pada syarat putus (ontbindende voorwaarde).
Hak miliknya yang sempurna baru lahir jika pemberi fiduia tidak
memenuhi kewajibannya (wanprestasi) (Dr. A. Veenhoven).15
Pendapat tersebut tidak memberi kejelasan bagaimana
kedudukan pemegang fidusia selama syarat putus yang dimaksud
belum terjadi. Meskipun demikian tidak ada bedanya dengan akibat
dari jualbeli dengan hak membeli kembali, di mana kalau penjual
(debitur) tidak membeli kembali barangnya maka pembeli (kreditur)
menjadi pemilik barang yang telah dijual tadi. Lagi pula pendapat
tersebut bertentangan dengan system hukum jaminan di mana dalam
hukum jaminan tidak diperbolehkan seorang penerima jaminan
(kreditur) menjadi pemilik dari barang jaminan, bahkan setelah
debitur wanprestasi pun kreditur dilarang menjadi pemilik barang
jaminan. Setelah debitur wnprestasi, kreditur hanya berhak menjual
15
Tiong Oey Hoey, Fidusia sebagai jaminan unsur-unsur perikatan, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1984), h. 47
36
secara umum barang jaminan dan hasil penjualan itu dipergunakan
untuk melunasi hutangnya. Pasal 1155 dan 1156 KUH Perdata
mengenai pelaksanaan hak kreditur atas barang jaminan apabila
debitur lalai memenuhi kewajibannya.
Dengan demikian, telah diakui pula bahwa dianalogkan
ketentuan-ketentuan tentang gadai dapat dipergunakan bagi fidusia.
Maka kedudukan kreditur selama debitur belum lalai memenuhi
kewajibannya ialah bahwa kreditur berkedudukan sebagai penerima
jaminan, hanya saja karena dijaminkan berupa hak milik maka reditur
dapat melakukan beberapa tindakan yang dipunyai oleh pemilik,
seperti pengawasan atas barang jaminan. Hal yang demikian itu
memang diperlukan, oleh karena kreditur sebagai penerima jaminan
hak milik tidak menguasasai sendiri barang jaminan melainkan
dibiturlah yang menguasasinya. Dengan demikian, kreditur sebagai
orang yang berkepentingan atas barang jaminan akan tetapi
kewenangan atas barang jaminan itu dikuasakan kepada debitur, sudah
sepatutnya mempunyai hak melakukan pengawasan atas barang
jaminan.
Penyerahan hak milik kepada kreditur dalam fiduciaire
eigendoms overdracht bukanlah suatu penyerahan hak milik dalam arti
yang sesungguhnya seperti halnya dalam jual beli dan sebagainya,
sehingga kreditur tidak akan menjadi pemilik yang penuh (volle
eigenaar), ia hanyalah seorang bezitloos eigenaar atas barang-barang
jaminan, dan karena sesuai dengan maksud dan tujuan perjanjian
tentang jaminan itu sendiri, kewenangan kreditur hanyalah setarap
dengan kewenangan yang dimiliki oleh seorang yang berhak atas
barang-barang jaminan. Bahwa kedudukan kreditur penerima fidusia
itu adalah sebagai pemegang jaminan, sedangkan kewenangan sebagai
pemilik yang dipunyainya ialah kewenangan yang masih berhubungan
37
dengan jaminan itu sendiri, oleh karena itu, dikatakan pula
kewenangannya sebagai pemilik terbatas.
Pengawasan dari kreditur terhadap barang jaminan yang
dikuasai oleh debitur, secara teoritis hal itu sulit dilakukan apalagi
kalau debiturnya ada beberapa seperti halnya pada bank. Terhadap
fidusia barang-barang yang difidusiakan dikuasai debitur untuk
dipergunakan sendiri bukan untuk dipindahtangankan kepada pihak
lain, sehingga jumlahnya tetap dan pengawasan terhadap barang-
barang tersebut relatif lebih mudah dibandingkan pada fidusia terhadap
barang-barang perdagangan dimana jumlahnya sesalu berubah karena
pemindahtanganan. Akan tetapi, cara pengawasannya adalah sama,
yaitu bahwa jumlah barang-barang yang ada pada tiap-tiap waktu
tertentu (tiap bulan misalnya) harus lebih besar dari pada sisa kredit
yang menjadi tanggungan dibitur.
Dalam fidusia, debitur melalui penyerahan secara constitutum
possessorium tetap menguasai barang jaminan. Mengenai penguasaan
ini pun dapat kita bagi menjadi dua bagian, yang pertama kalau yang
difidusiakan adalah barang-barang inventaris maka debitur menguasai
barang jaminan atas dasar perjanjian pinjam pakaidengan kreditur,
yang kedua kalau yang difidusiakan adalah barang-barang dagangan
maka debitur menguasai barang jaminan atas dasar konsinyasi
(consignatie) atau penitipan.
Pada bentuk yang pertama (pinjam pakai) debitur tidak diberi
kekuasaan untuk mengalihkan atau menjual barang jaminan sedangkan
pada bentuk yang kedua ia diberi kekuasaan untuk itu akan tetapi hasil
penjualan sebagian atau seluruhnya (menurut yang diperjanjikan)
harus disetorkan kepada kreitur. Kedua bentuk ini logis sekali kalau
diingat bahwapada barang inventaris diperlukan debitur untuk pakai
saja sedangkan barang dagangan justru ia diperlukan untuk
38
mengalihkan (misalnya dijual) sehingga sudah seharusnya kekuasaan
untuk itu diberikan kepada debitur. Apabila terjadi penjualan atas
barang inventaris yang dijaminkan secara fidusia maka pembeli
dilindungi sesuai pasal 1977 KUH Perdata.
Konsekuensi logis dari hal tersebut ialah pihak ketiga boleh
menganggap bahwa pihak yang menguasasi barang (bergerak) sebagai
pemilik dan tidak ada kewajiban bagi pihak ketiga untuk menyelidiki
terlebih dahulu apakah benar pihak yang menguasai itu benar-benar
pemilik. Dengan demikian, jual beli yang dilakukan antara debitur
dengan pihak ketiga adalah sah. Kreditur dalam hal demikian dapat
dianggap wanprestasi dan selanjutnya ia dapat membatalkan perjanjian
pemberian kredit serta mewajibkan debitur melunasi utangnya secara
sekaligus. Jika debitur melakukan penyerahan secara constitutum
possessorium sekali lagi kepada pihak ketiga sehingga barang yang
dikuasai oleh debitur dijaminkan secara fidusia terhadap dua kreditur.
Bahwa penyerahan barang bergerak yang dilakukan oleh bukan
pemiliknya kepada seorang penerima yang beritikad baik adalah sah.
Tetapi suatu penyerahan tidak nyata (constitutum possessorium) dapat
dibenarkan jika orang yang menyerahkan barang tersebut mempunyai
kekuasaan untuk menyerahkannya atas dasar suatu hubungan hukum
dengan pihak lain.16
Kreditur dalam suatu perjanjian utang piutang
dengan jaminan fidusia dapat dikatakan tidak mungkin untuk
menyelidiki terlebih dahulu apakah debitur benar-benar pemilik
artinya orang yang dapat bertindak bebas atas barang-barang yang
dijaminkan itu, terutama karena barang-barang yang dijaminkan itu
berupa barang bergerak. Kreditrur dalam pada itu hanya dapat
meminta kepada debitur untuk berjanji bahwa ia adalah benar-benar
orang yang berhak untuk berbut bebas atas barang yang dijaminkan
itu.
16
Tiong Oey Hoey, Fidusia sebagai jaminan unsur-unsur perikatan, ... h. 56
39
Selaku peminjam pakai suatu barang debitur secara umum
berkewajiban memelihara barang jaminan artinya selaku seorang
pemilik barang memelihara barangnya sendiri. Kewajiban lain ialah
bahwa pada barang-barang inventaris ia harus menjaga agar
jumlahnya tidak berkurang, sedangkan pada barang-barang
perdagangan ia harus menjaga agar sisa barang tersebut melebihi nilai
kredit yang masih tersesi, sampai jumlah tertentu sesuai dengan apa
yang diperjanjikan.
Kadang-kadang, kreditur tentunya meminta agar barang-barang
jaminan yang dikuasai debitur itu diasuransikan, atau mungkin pula
kreditur yang mengasuransikan tetapi premi asuransi tetap dibayar oleh
debitur. Kalau dilihat kewajiban-kewajiban tersebut di atas dapatlah
kita katakana bahwa debitur berkewajiban menganggung semua biaya
pengelolaan barang jaminan, kreditur hanya “terima bersih” saja.
Kewajiban-kewajiban yang demikian itu dapat kita maklumi, karena
secara sosial ekonomis pihak debiturlah yang berkepentingan atas
barang bersebut. Kreditur hanya berkepentingan atas pembayaran
kembali apa yang telah dituangkan kepada debiturnya.
Tingginya posibilitas yang paling banyak terjadi adalah
kepailitan debitor dengan adanya kepailitan ini maka semua hutang si
debitor menjadi dapat ditagih. Adanya kepailitan debitor, mewajibkan
penyelesaikan hubungan hukum antara debitor dan kreditor, bukan
hanya segi obligatoir juga segi zakelijk. Mengenai perjanjian fidusia
tersebut bersifat obligatoir atau zakelijk membawa serta akibat hukum
dan cara penyelesaian yang berbeda, manakala terjadi kepailitan pada
debitor. Jika kita berpegang pada pendapat bahwa perjanjian fidusia
merupakan perjanjian obligatoir, maka perjanjian tersebut hanya
melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat
dipertahankan antara mereka saja, tidak berlaku atau tidak dapat
dipertahankan terhadap pihak ketiga. Maka konsekuensinya jika terjadi
40
kepailitan debitor, maka benda-benda jaminan yang berada pada
debitor, karena penyerahan secara constitutum possessorium, berada di
luar kepailitan. Kreditor mempunyai hak sepenuhnya terhadap benda
tersebut untuk pemenuhan piutangnya. Kreditor mempunyai hak
sepenuhnya terhadap benda tersebut untuk pemenuhan piutangnya.
Kreditor tidak terikat kepada ketentuan-ketentuan yang bersifat
zakelijk sebagaimana berlakupada gadai dan hipotik.17
Cara pemenuhan piutangnya dan cara penyelesaian hubungan
hukumnya dalam kepailitan tersbut tergantung pada ketentuan-
ketentuan sebagaimana telah diperjanjikan antara para pihak. Misalnya
saja sikreditor dapat menahan benda jaminan tersebut, kemudian
diperhitungkan selisih harganya benda jaminan dengan jumlah
piutangnya, atau menjual benda jaminan tersebut secara di bawah
tangan atau dimuka umum, kemudian setelah diperhitungkan dengan
piutangnya, sisanya dikembalikan pada debitor.
Namun, bagi mereka yang berpendapat bahwa perjanjian
fiducia itu melahirkan hak yang zakelijk bagi kreditor, maka hak
zakelijk tersebut dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga, dan
benda-benda jaminan yang berada pada debitor masuk dalam boedel
kepailitan. Untuk pemenuhan piutangnya kreditor dapat bertindak
terhadap benda-benda jaminan tersebut seolah-olah tidak terjadi
kepailitan.
Dia adalah “separatist” yaitu tergolong kreditor yang
mempunyai kedudukan terkuat, seperti halnya pemegang gadai dan
hipotik, yang pemenuhan piutang-piutangnya harus lebih didahulukan
dari kreditor-kreditor yang lainnya. Menurut ketentuan undangundang,
pemegang gadai dan hipotik, jika terjadi kepailitan dari debitor dapat
ditetapkan melaksanakan haknya seperti seolah-olah tidak terjadi
17
https://www.bphn.go.id/data/documents/implementasi_jaminan_fidusia_dalam_pe
mberian_kredit_di_indonesia..pdf
41
kepailitan. Kedudukan pemegang fidusia dalam kepailitan adalah sama
dengan kedudukan pemegang gadai dan hipotik, yang melaksanakan
janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri terhadap benda-benda
jaminan manakala debitor tidak memenuhi kewajibannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Kepailitan,
kreditor harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu 2
(dua) bulan, terhitung sejak mulai insolvasi. Jika ketentuan tersebut
tidak dilaksanakan oleh kreditor, maka curator kepailitan berhak
menjual benda-benda jaminan tersebut dengan memperhitungkan
piutang dari kreditor dari hasil penjualan tersebut.
Namun benda-benda jaminan tidak mencukupi untuk
pemenuhan piutang kreditor, maka dalam keadaan demikian seperti
halnya dengan pemegang gadai, ia berhak untuk bagian piutang yang
belum terpenuhi itu bertindak sebagai kreditor konkurent. Jika
perjanjian fiducia ini dianggap menimbulkan hak yang bersifat
zakelijk, maka kosekuensinya adalah hak hak atas benda jaminan itu
dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga, jadi juga terhadap curator
kepailitan. Curator kepailitan tidak dapat menarik benda-benda
tersebut (revindikatei) dari kekuasaan debitor, selama debitor tetap
emenuhi kewajibannya dengan baik, yaitu membayar hutang-
hutangnya kepada kreditor.
Debitor masih tetap dapat menguasai bendanya, memakainya,
mempertahankannya terhadap curator dan para kreditor si pailit.
Benda-benda tersebut jatuh dalam boedel kepailitan. Pada saat
terjadinya kepailitan kreditor, jika di debitor melunasi hutang-
hutangnya, maka ia akan mempeeroleh kembali bendanya yang
dipakai sebagai jaminan. Jika debitor pada saat kepailitan kreditor
tidak melunasi hutanghutangnya, maka curator kepailitan dapat
42
menjual benda-bendanya, kemudian sisanya setelah diperhitugnkan
dengan huangnya dikembalikan kepada debitor.
Pendapat lain yang beranggapan bahwa perjanjian fidusia itu
melahirkan hak-hak yang bersifat pribadi (personlijk/obligatoir) dan
merupakan perjanjian yang obligatoir, menyatakan bahwa kreditor
adalah pemilik benda-benda jaminan. Pihak ketiga tidak berurusan
dengan benda jaminan tersebut.
Perjanjian fidusia merupakan perjanjian khusus yang berbeda
dengan gadai. Ciri-ciri khusus yang ada dalam gadai tidak terdapat
dalam fidusia, oleh karena itu dalam kepailitan ketentuan-ketentuan
yang bersifat memaksa tidak dapat diterapkan. Ciri khusus dari hak
eigendom pada fidusia, yang membedakannya dengan gadai ialah cara
kreditor melaksanakan penahanan piutangnya terhadap debitor, yaitu
dapat menguasai/menahan bendanya dengan mengganti harga transaksi
tersebut. Karena perjanjian fidusia merupakan perjanjian yang
bertimbal balik terhadap perjanjian yang bertimbal balik telah ada
undang-undang kepailitan. Dalam hal ini telah ada ketentuan
penyesesaian secara cepat jika terjadi kepailitan kreditor.
C. Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan Fidusia
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Fidusia
menyatakan, bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda
bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan,
yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi
pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Sebagai suatu
43
perjanjian accessoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat-sifat
berikut:18
1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok: Jaminan Fidusia
terikat dengan perjanjian pokok, sehingga jaminan fidusia bersifat
accessoir dan mengikuti perjanjian dasar, sehingga batalnya
perjanjian dasar secara hukum akan membatalkan perjanjian
accessoir yang mengikuti perjanjian dasar tersebut.
2. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya
perjanjian pokok.
3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika
ketentuan yang diisyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau
tidak terpenuhi.
Adapun sifat mendahului (droit de preference) dalam
jaminan fidusia sama halnya seperti hak agunan kebendaan lainnya
seperti gadai yang diatur dalam Pasal 1150 KUH Perdata, hak
tanggungan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan, maka jaminan fidusia menganut prinsip
droit de preference. Sesuai ketentuan Pasal 28 Undang-Undang
Fidusia, prinsip ini berlaku sejak tanggal pendaftaran pada Kantor
Pendaftaran Fidusia. Jadi di sini berlaku adagium “first registered
first secured”.19
Droite de suite jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang
menjadi obyek jaminan dalam tangan siapapun benda tersebut
berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi
obyek jaminan fidusia.Ketentuan ini merupakan pengakuan atas
18
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Bandung: Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 123-124
19
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, … h. 124
44
prinsip droite de suite yang telah merupakan bagian peraturan
perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak
mutlak atas kebendaan (in rem).20
Fidusia sebagai jaminan diberikan dalam bentuk perjanjian
memberikan pinjaman uang, kreditur mencantumkan dalam
perjanjian itu bahwa debitur harus menyerahkan barang-barang
tertentu sebagai jaminan pelunasan hutangnya.Sehingga dalam
perjanjian fidusia kreditur memperjanjikan kuasa/kewenangan
mutlak dalam arti bisa ditarik kembali dan tidak akan berakhir atas
dasar sebab-sebab sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1813 KUH
Perdata untuk dalam hal ini debitur wanprestasi:21
1. Mengambil sendiri benda fidusia ditangan debitur/pemberi
fidusia kalau debitur/pemberi jaminan atas tuntutan dari
kreditur tidak secara sukarela menyerahkan benda fidusia
kepada kreditur;
2. Menjual benda tersebut sebagai haknya sendiri, baik secara di
bawah tangan maupun di depan umum, dengan harga dan
syarat-syarat yang dianggap baik oleh lembaga pembiayaan;
3. Dalam hal ada penjualan, menandatangani akta perjanjiannya
menerima hasil penjualan tersebut, menyerahkan benda fidusia
kepada pembeli dan memberikan tanda penerimaannya.
Sehingga perikatan yang menimbulkan perjanjian jaminan
fidusia mempunyai sifat/karekteristik sebagai berikut:22
20
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, … h. 125
21
J. Satrio, Hukum Jaminan Kebendaan Fidusia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002), h. 132
22
Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1984), h. 32-33
45
a. Hubungan perikatan berdasarkan mana kreditur berhak
unutuk menuntut penyerahan barang jaminan secara
constitutum possesorium dari debitur, yang berkewajiban
memenuhinya;
b. Isi perikatan itu adalah untuk memberi sesuatu, karena
debitur menyerahkan suatu barang secara constitutum
possesorium kepada kreditur;
c. Perikatan itu mengikuti suatu perikatan lain yang telah ada,
yaitu perikatan pinjam-meminjam antara kreditur dan
debitur. Perikatan antara pemberi dan penerima fidusia
dengan demikian merupakan perikatan yang sifatnya
accessoir, yakni merupakan perikatan yang membuntuti
perikatan lainnya sedangkan pokoknya ialah hutang
piutang;
d. Perikatan fidusia dengan demikian merupakan perikatan
dengan syarat batal, karena kalau utangnya dilunasi maka
hak jaminannya hapus;
e. Perikatan fidusia itu terjadi karena perjanjian pemberian
fidusia sebagai jaminan sehingga dapat dikatakan bahwa
sumber perikatannya adalah perjanjian, yakni perjanjian
fidusia;
f. Perjanjian itu merupakan perjanjian yang tidak dikenal oleh
KUH Perdata, oleh karena itu ia disebut juga perjanjian
tidak bernama innominat atau onbenoemde overeenkomst;
g. Perjanjian tersebut tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan
umum tentang perikatan yang terdapat dalam KUH Perdata.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tersebut benda yang menjadi obyek fidusia umumnya merupakan benda-
46
benda bergerak yang terdiri dari benda inventory, benda dagangan,
piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Namun sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, pengertian jaminan
fidusia diperluas sehingga yang menjadi obyek jaminan fidusia mencakup
benda-benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud serta benda
tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan menurut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia adalah benda yang
dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya, baik benda itu berwujud
maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak
maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan
atau hipotik.23
Apabila kita memperhatikan pengertian benda yang dapat menjadi
obyek jaminan fidusia tersebut, maka yang dimaksud dengan benda adalah
termasuk juga piutang (account receivebles). Khusus mengenai hasil dari
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, undang-undang mengaturnya
dalam Pasal 10 Undang-Undang Fidusia disebutkan, bahwa jaminan
fidusia meliputi semua hasil dari benda jaminan fidusia tersebut dan juga
klaim asuransi kecuali diperjanjikan lain.
Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia harus
disebut dengan jelas dalam akta jaminan fidusia, baik identifikasi benda
tersebut maupun penjelasan surat bukti kepemilikannya dan bagi benda
inventory yang selalu berubah-ubah dan atau tetap harus dijelaskan jenis
benda dan kualitasnya. Jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau
lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang baik yang telah ada pada
saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian.Pembebanan
23
Himpunan Peraturan PerUndang-Undangan di Bidang Jaminan Fidusia,
Yayasan Kesejahteraan Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum, (Dep
Hukum dan HAM RI, 2002), h. 3
47
jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh kemudian tidak perlu
dilakukan dengan perjanjian tersendiri.
D. Proses Terjadinya Jaminan Fidusia
Perjanjian jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 dilaksanakan melalui 2 (dua) tahap, yaitu tahap pembebanan
dan tahap pendaftaran jaminan fidusia. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang Fidusia dinyatakan:
“Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan Akta
Notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia.
Akta Notaris merupakan salah satu wujud akta otentik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Setelah tahapan pembebanan
dilaksanakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Fidusia Nomor 42
Tahun 1999 akta perjanjian jaminan fidusia tersebut diwajibkan untuk
didaftarkan berdasarkan ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang
Fidusia, yang menyatakan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan
fidusia wajib didaftarkan”.
Adapun tata cara pendaftaran jaminan fidusia yang dilakukan oleh
penerima fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia sehubungan adanya
permohonan pendaftaran jaminan fidusia oleh penerima fidusia, diatur
lebih lanjut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000
Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia:
a. Permohonan pendaftaran fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa
atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan jaminan fidusia yang
memuat;
1) Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia yang meliputi
nama, agama, tempat tinggal/tempat kedudukan, tempat dan tanggal
lahir, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan;
48
2) Tanggal dan nomor akta jaminan, nama dan tempat kedudukan
Notaris yang membuat akta jaminan fidusia;
3) Data perjanjian pokok;
4) Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
5) Nilai penjaminan dan;
6) Nilai benda yang menjdi obyek jaminan fidusia.
Pejabat Pendaftaran Jaminan Fidusia setelah menerima permohonan
tersebut memeriksa kelengkapan persyaratan permohonan.Apabila tidak
lengkap, harus langsung dikembalikan berkas permohonan tersebut.
b. Apabila sudah lengkap, Pejabat Pendaftaran Fidusia memberikan
sertipikat jaminan fidusia dan menyerahkan kepada pemohon yang
dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal pencatatan
permohonan pendaftaran jaminan fidusia.
c. Apabila terdapat kekeliruan penulisan dalam sertipikat jaminan fidusia,
dalam waktu 60 hari setelah menerima sertipikat jaminan fidusia
pemohon memberitahu kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk
ditertibkan sertipikat perbaikan. Sertipikat jaminan fidusia ini memuat
tanggal yang sama dengan tanggal sertipikat semula.
Dengan didaftarnya akta perjanjian fidusia, maka Kantor
Pendaftaran Fidusia akan mencatat akta jaminan fidusia dalam Buku
Daftar Fidusia dan kepada kreditur diberikan Sertifikat Jaminan
Fidusia. Saat pendaftaran akta pembebanan fidusia adalah melahirkan
jaminan fidusia bagi pemberi fidusia, memberikan kepastian kepada
kreditur lain mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia dan
memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditur dan untuk
49
memenuhi asas publisitas karena kantor Pendaftaran Fidusia terbuka
untuk umum.24
Jika terjadi perubahan atas data yang tercantum dalam sertipikat
Jaminan Fidusia, maka penerima fidusia wajib mengajukan
permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut ke Kantor Pendaftaran
Fidusia. Suatu yang sangat menguntungkan bagi kreditur penerima
jaminan fidusia adalah bahwa Sertipikat Jaminan Fidusia mengandung
kata-kata yang biasa disebut irah-irah, “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Fidusia.
E. Hapusnya Jaminan Fidusia
Dalam setiap perjanjian pasti ada masa berakhirnya, Pemberian
jaminan fidusia bersifat accessoir terhadap perjanjian pokok dalam hal ini
perjanjian kredit.Apabila kredit dan kewajiban yang terkait dengan
perjanjian kredit telah dilunasi maka perjanjian kredit juga hapus, dengan
hapusnya perjanjian maka jaminan fidusia hapus.Ketentuan hapusnya
jaminan fidusia berdasarkan Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang Jaminan
Fidusia, yaitu :
Jaminan fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut :
1. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia ;
2. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia atau ;
3. Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tidak
menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud Pasal 10 huruf b,
yaitu jaminan fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang
24
Purwahid Petrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Refisi dengan UUHT,
Fakultas UNDIP, (Semarang, 2001), h. 41
50
menjadi obyek jaminan fidusia diasuransikan. Apabila jaminan fidusia
hapus penerima fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran
Fidusia mengenai hapusnya jaminan fidusia, sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) Undang-Undang Fidusia dengan melampirkan pernyataan
mengenai hapusnya utang, pelepasan hak atau musnahnya benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia tersebut.
Dengan hapusnya jaminan fidusia Kantor Pendaftaran Fidusia
mencoret pencatatan jaminan fidusia dari Buku Daftar Fidusia, selanjutnya
Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang
menyatakan bukti pendaftaran yang bersangkutan tidak berlaku lagi.25
F. Eksekusi Jaminan Fidusia
Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, dengan Sertipikat
Jaminan Fidusia bagi kreditur selaku penerima fidusia akan mempermudah
dalam pelaksanaan eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia, pelaksanaan titel eksekutorial dari sertipikat Jaminan Fidusia
sebagaimana dalam Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Fidusia dapat
dilakukan dengan cara:26
1. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia;
2. Penjualan benda yang menjadi obyek fidusia atas kekuasaan penerima
fidusia sendiri melalui pelelangan umum, serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan;
3. Penjualan di bawah tangan dilakukan berdasarkan kesepakatan antara
pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Sedangkan
25
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007), h. 318
26
Purwahid Patrik dan kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT, …
h. 46
51
dalam ruang lingkup pengadilan di Indonesia eksekusi ada 2 (dua)
bentuk, yakni:27
a) Eksekusi riil adalah yang hanya mungkin terjadi berdasarkan
putusan pengadilan untuk melakukan suatu tindakan nyata atau riil
yang:
1) telahmemperoleh kekuatan hukum tetap;
2) bersifat dijalankan terlebih dahulu;
3) bebentuk provisi dan;
4) berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan.
b) Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas
bentuk akta yang gunanya untuk melakukan pembayaran sejumlah
uang yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan
putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap berupa:
1) Grose akta pengakuan utang;
2) Grose akta hipotik;
3) Grose akta credit verband.
Dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, pemberi
fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia.Apabila pemberi fidusia tidak menyerahkannya pada waktu
eksekusi dilaksankan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan
pihak yang berwenang. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan
dengan ketentuan tersebut di atas, batal demi hukum.
Dalam hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia
wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia, namun
apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur
tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.
27
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grose Akta Dalam
Pembuktian dan Eksekusi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 119-120
52
Dalam kasus yang penulis teliti debitur telah melakukan pinjaman
kredit kepada bank mandiri akan tetapi debitur tidak dapat memenuhi
kewajibannya/melunasi kewajibannya. Namun dipertengahan angsuran
debitur mengalami kredit macet sehingga tidak bisa membayar hingga
waktu yang ditentukan yang mana disebabkan karena adanya kemerosotan
ekonomi bahwa debitur telah di PHK, dengan alasan tersebut bank
melakukan upaya penyelesaian dengan cara restrukturisasi kredit.
Dalam hal ini bank mandiri memberika keringanan riwayat
kemampuan dari debitur dan kreditur tidak pernah melakukan kesalahan di
dalam bank mandiri tersebut. Maka dari itu bank mandiri memberikan
kelonggaran waktu terhadap debitur. Kreditur juga melihat itikad baik
terhadap debitur yang ingin membayar hutangnya, sehingga meskipun
statusnya debitur kredit macet. Namun debitur tetap diberikan jaminan
fidusia oleh pihak kreditur/bank.
Tidak menutup bagi seorang debitur yang mengalami kredit macet
untuk mendapatkan fasilitas kredit pada bank mandiri, karena bank
mandiri masih dapat mentoleransi nasabah yang mengalami kredit macet
jika memang terdapat objek jaminan yang dapat dijadikan sebagai jaminan
fidusia dalam pemberian krdit.
53
BAB IV
JAMINAN FIDUSIA DAN PERMASALAHAN PADA PT BANK MANDIRI
AREA KISAMAUN TANGERANG
A. Pelaksanaan Prosedur Pemberian Kredit Dengan Jaminan Fidusia
Pada Bank Mandiri
Dalam pemberian kredit yang terjadi pada bank mandiri terdapat
beberapa prosedur yang harus dipenuhi. Segala prosedur yang ada
dilakukan bertujuan agar kredit yang diberikan memiliki kepastian hukum
yang jelas. Salah satu prosedur yang harus dipenuhi ialah pengenalan
karakter calon debitur yang akan memperoleh fasilitas kredit. Pengenalan
karakter ini merupakan salah satu prinsip pada perbankan sebelum
diberikannya fasilitas-fasilitas perbankan. Prinsip pengenalan karakter ini
bertujuan untuk melihat segi kepribadian nasabah, hal ini bila dilihat dari
hasil wawancara antara Customer Service kepada nasabah yang hendak
mengajukan krdit, mengenai latar belakang, kebiasaan hidup, pola hidup
nasabah, dan lain-lain. Inti dari prinsip Character ini ialah menilai calon
nasabah apakah bisa dipercaya dalam menjalani kerjasama dengan baik.
Dengan adanya kerjasama yanag baik, maka akan meminimalisir
terjadinya kredit macet. Kredit macet biasanya terjadi karena kurangnya
keinginan yang serius dalam pelunasan kredit. Selain itu iktikad yang
kurang baik dari debitur juga menjadi penyebab kredit macet. Padahal
sesuai dengan teori kepastian hukum iktikad baik merupakan hal yang
perlu ada, baik pra kontrak maupun dalam pelaksanaan kontrak.
Pengenalan debitur yang menjadi analisa dalam kredit menjadi hal
yang penting karena jika mengabaikan aspek analisa yang baik atau
menurunkan tingkat kehati-hatiannya. Akan menimbulkan kredit macet
dikemudian hari. Faktor lain yang menjadi penyebab pada kredit macet
antara lain lemahnya administrasi, penyimpangan prosedur, kelemahan
analisa kredit.
Untuk menghindari terjadinya penyimpangan prosedur, lemahnya
administrasi dan kelemahan analisa kredit. Bank mandiri melakukan BI
54
Checking sebelum memberikan kredit guna mengenali kepribadian
nasabah. Tentang bagaimana riwayat debitur/nasabah di Bank Mandiri.
Apabila debitur memiliki riwayat yang kurang baik di Bank Mandiri.
Tentu bank sebagai kreditur enggan memberikan kredit pada debitur guna
menghindari hal-hal yang buruk terjadi seperti yang pernah terjadi. Namun
apabila riwayat debitur di Bank Mandiri tercatat sebagai nasabah yang
baik maka hal ini tentu mempermudah debitur untuk memperoleh fasilitas
kredit.
Dalam jaminan fidusia, hak kepemilikan berada di pihak keditur. Maka
dari itu jaminan berupa BPKB dan STNK harus dipastikan benar bahwa
keduanya merupakan bukti sah milik debitur. Hal ini juga bertujuan agar
BPKB yang dijaminkan bukanlah milik pihak lain. BPKB dan STNK
disesuaikan dengan KTP debitur. Pada praktiknya prosedur selanjutnya
yang diterapkan oleh Bank Mandiri yaitu pengecekan pajak kendaraan,
photo fisik kendaraan, dan penggesakan nomor rangka mesin.
Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam
pelaksanaan prosedur pemberian kredit dengan menggunakan jaminan
fidusia kepada kreditur/bank, antara lain:1
1. Pemberian pasilitas kredit yang diberikan ke calon debitur umumnya
dilakukan BI Checking untuk mengetahui karakter calon debitur yang
akan diberikan fasilitas kredit;
2. Mengecek secara data apakah kendaraan tersebut benar-benar pemilik
calon debitur, pengecekan ini bisa di lihat dari BPKB (Buku Pemilik
Kendaraan Bermotor) dan STNK yang di sesuaikan dengan KTP
debitur;
3. Pengecekan pajak kendaran masih hidup atau sudah mati karena kalau
pajak kendaraan yang akan dijaminkan mati tidak dapat dilakukan
pencairan dana dan tidak bisa dilakukan fidusia;
1Data Hasil Wawancara dengan Bapak ependi Manager Bank Mandiri, Pada
Tanggal 19 Desember 2018, Pukul 11.00 WIB.
55
4. Photo fisik kendaraan antara pejabat bank yang diberikan kewenangan
dengan calon debitur yang tampak dari depan, samping dan belakang
kendaraan tersebut;
5. Menggesek nomor mesin dan nomor rangka kendaraan;
6. Setelah pejabat bank melaksanakan verifikasi di atas, maka pihak bank
akan mengirimkan BPKB dan data debitur ke pihak notaris untuk
melakukan fidusia;
7. Hasil verifikasi dari pejabat bank dan fidusia dari notaris discan dan
dikirim ke bagian approve setelah itu dilakukan tanda tangan
perjanjian kredit sebagai akhir dari tahap pencairan.
Berdasarkan prosedur yang dilakukan oleh bank mandiri kepada
debitur yang akan mendapatkan kredit sesuai ketentuan yang ada
berdasarkan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perbankan, yang Bank wajib mempunyai keyakinan bedasarkan
analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan
nasabah/debitur yang melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan.
Analisis tersebut mencakup watak, kemampuan, modal agunan dan
prospek usaha nasabah/debitur.
Dalam pemberian kredit terdapat prinsip 5C pada perbankan, yaitu:2
a. Character
Prinsip ini dilihat dari segi kepribadian nasabah. Hal ini bisa
dilihat dari hasil wawancara antara Customer Service kepada
nasabah yang hendak mengajukan kredit, mengenai latar belakang,
kebiasaan hidup, pola hidup nasabah, dan lain-lain. Inti dari prinsip
Character ini ialah menilai calon nasabah apakah bisa dipercaya
dalam menjalani kerjasama dengan baik.
b. Capacity
2https://www.google.com/amp/s/www.cermati.com/artikel/amp/prinsip-5c-bank-
dan-cara-kredit-anda-diterima.
56
Prinsip ini adalah yang menilai nasabah dari kemampuan
nasabah dalam menjalankan keuangan yang ada pada usaha yang
dimilikinya. Apakah nasabah tersebut pernah mengalami sebuah
permasalahan keuangan sebelumnya atau tidak, dimana prinsip ini
menilai akan kemampuan membayar kredit nasabah terhadap bank.
c. Capital
Yakni terkait akan kondisi aset dan kekayaan yang dimilki,
khususnya nasabah yang mempunyai sebuah usaha. Capital
dinilai dari laporan tahunan perusahaan yang dikelola oleh
nasabah, sehingga dari penilaian tersebut, pihak bank dapat
menentukan layak atau tidaknya nasabah tersebut mendapat
pinjaman, lalu seberapa besar bantuan kredit yang akan
diberikan.
d. Collateral
Prinsip ini perlu diperhatikan bagi para nasabah ketika
mereka tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam
mengembalikan pinjaman dari pihak bank. Jika hal demikian
terjadi, maka sesuai dengan ketentuan yang ada, pihak bank
bisa saja menyita aset yang telah dijanjikan sebelumnya
sebagai sebuah jaminan.
e. Condition
Prinsip ini dipengaruhi oleh faktor di luar dari pihak bank
maupun nasabah. Kondisi perekonomian suatu daerah atau
Negara memang sangat berpengaruh kepada kedua belah pihak,
di mana usaha yang dijalankan oleh nasabah sangat tergantung
pada kondisi perekonomian baik mikro maupun makro,
sedangkan pihak bank menghadapi permasalahan yang sama.
Untuk memperlancar kerjasama dari kedua belah pihak, maka
penting adanya untuk memperlancar komunikasi antara
nasabah dengan bank.
57
Dalam suatu perjanjian telah tercapai antara pihak Bank dan kreditur,
yang mana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, syarat sah perjanjian yaitu adanya
kesepakatan, kecakapan para pihak, objek yang diperjanjikan, sebab yang
halal. Dalam perjanjian kredit ini, terdapat perjanjian tambahan yang bersifat
accesoir, dimana debitur menjaminkan kepemilikan kendaraan kepada pihak
kreditur yang ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia.
B. Permasalahan Dalam Pemberian Kredit Yang Menggunakan
Jaminan Fidusia di Bank Mandiri
Penggunaan jaminan fidusia merupakan salah satu kegiatan yang
paling sering dijadikan sebagai alternatif dibandingkan jaminan yang lain.
Disebabkan karena kemudahan prosedurnya dan juga objek jaminan yang
masih dapat dipergunakan meski kepemilikannya dijadikan jaminan.
Namun seringkali kemudahan-kemudahan yang diberikan, tidak jarang
terdapat hambatan-hambatan serta permasalahan yang timbul.
Pada dasarnya meski hak kepemilikan berada di pihak kreditur, akan
tetapi objek yang dijaminkan masih berada di pihak debitur. Meski hal ini
menguntungkan bagi debitur yang masih bisa memanfaatkan objek
tersebut, juga menimbulkan kecemasan bagi kreditur dimana debitur bisa
saja menghilangkan objek jaminan. Sehingga akan menimbulkan ketidak
pastian hukum bilaman pengalihan terjadi.
Adapun permasalahan yang terjadi dalam praktek dengan jaminan di
Bank Mandiri, antara lain:
1. Telah berpindahnya objek jaminan fidusia kepada pihak lain.
Kendaraan yang hak kepemilikannya sudah dijadikan sebagai
jaminan fidusia memang tidak bisa dipindah tangankan, digadai, ataupun
dijual ke pihak lain. Namun hal tersebut bisa saja dilakukan oleh debitur
58
yang nakal dan tentunya tindakannya ilegal serta dapat menimbulkan
permasalahan yang lebih rumit dikemudian hari.
Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia Pasal 23 menjelaskan bahwa debitur dilarang menghilangkan
objek jaminan fidusia akan tetapi hal ini sering kali terjadi dalam
prakteknya, yang mana menjadi masalah dalam pemberian kredit dengan
jaminan benda bergerak. Selain itu debitur juga dilarang menggadaikan
objek jaminan fidusia hal ini dijelaskan pada Pasal 23 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999. Apabila itu terjadi maka tindakan gadai tersebut
ilegal, pada Pasal 23 juga melarang debitur memindah tangankan objek
jaminan karena objek tersebut menjadi sepenuhnya hak kreditur.
Jika dikaitkan dengan teori kepastian hukum, maka sesuai aturan
yang berlaku debitur dilarang menghilangkan, menggadai, memindah
tangankan atau menjual kepada pihak lain akan tetapi hal tersebut masih
sering kita temukan pelanggaran. Dalam perjanjian pun debitur yang
menghilangkan, menggadai, memindah tangankan benda jaminan tersebut
maka telah melanggar perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak
di samping juga melanggar Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia.
Apabila tindakan mengalihkan kendaraan yang dijadikan objek
Jaminan Fidusia tetap terjadi, debitur harus mengganti objek Jaminan
dengan yang nilai jaminannya setara. Hal ini diatur pada Pasal 21 Ayat (3)
Undang-Undang Jaminan Fidusia.
Pasal 21 Ayat (1) dan (3) menyatakan bahwa:
(1) Pemberi fidusia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi
objek jaminan fidusia dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan
dalam usaha perdagangan.
59
(3) benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang telah dialihkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diganti oleh pemberi
fidusia dengan objek yang setara.
2. Penyusutan pada objek jaminan.
Pada jaminan fidusia objek yang dijadikan jaminan adalah benda
bergerak, maka penyusutan nilai dapat terjadi karena pada dasarnya
penyusutan benda bergerak sudah lebih dari 5 tahun dari pembelian. Jika
nilai jaminan mengalami penyusutan, meski pihak bank telah
menganalisisnya, dampak yang akan timbul ialah nilai jual objek lebih
rendah ketika di eksekusi dan tidak dapat menutupi sisa hutang debitur.
Ketika dilaksanakan eksekusi pada objek jaminan fidusia, bila nilai
jual objek rendah dan tidak menutupi hutang debitur. Maka debitur tetap
berkewajiban untuk melunasi sisa hutang yang ada. Sebaliknya bila nilai
jual objek jaminan lebih tinggi atau ada sisa dari pembayaran hutang maka
pihak bank harus mengembalikan uang hasil eksekusi tersebut ke debitur.
Penyustan nilai terjadi tidak hanya disebabkan oleh lamanya usia
objek jaminan selama berada dalam penguasaan debitur. Selain itu
kurangnya nilai jual objek juga bias terjadi karena kesalahan analisa dari
pihak bank. Pihak bank mungkin saja terjadi kesalahan kalkulasi dalam
kredit sehingga masih ada sisa hutang yang belum tertutupi.
Dalam pemberian kredit yang diberikan oleh bank /kreditur kepada
nasabah/debitur terdapat beberapa masalah yang terjadi, antara lain:3
a. Jaminan bisa dihilangkan atau dijual oleh pihak debitur ke pihak lain,
karena jaminan tesebuit adalah jaminan bergerak yang dapat
dipindahkan atau dihilangkan secara mudah;
3Data Hasil Wawancara dengan Bapak Ependi Manager Bank Mandiri, Pada
Tanggal 19 Desember 2018, Pukul 11.00 WIB.
60
b. Nilai jaminan lebih rendah dibandingkan nilai kredit yang diberikan
oleh pihak bank sehingga pada saat jaminan di jual maka pihak bank
tidak dapat menuntut sisa hutang atau sisa hutang debitur;
c. Jaminan di gadaikan secara ilegal atau secara perorangan oleh pihak
debitur;
d. Menjalin hubungan emosional kepada debitur dengan cara silaturahmi
atau melakukan hubungan baik dengan debitur, sehingga debitur
merasa dilakukan sebagai sahabat atau saudara oleh pihak;
e. Karena yang dijaminkan adalah benda bergerak maka ada nilai
penyusutan terhadap nilai jual jaminan tersebut walaupun pihak bank
sudah menganalisis nilai jual kendaraan tersebut sampai kredit selesai
dan tidak dirawatnya jaminan tersebut oleh pihak debitur;
f. Memberikan informasi kepada debitur pada saat perjanjian kredit
dilakukan, bahwa jaminan tersebut tidak bisa dipindah tangankan
selama kredit berjalan dan jaminan tersebut menjadi hak sepenuhnya
pihak bank.
Dalam hal ini, permasalahan dalam sulitnya eksekusi dalam kondisi di
atas, dapat dilakukan beberapa cara, yaitu:
a. Jika objeknya tidak didaftarkan maka eksekusi tetap tidak dapat
dijalankan karena fidusia dianggap tidak ada;
b. Jika dipindah tangaankan, maka debitur dapat mengambil objek
tersebut kembali dari pembeli karena jual beli dianggap tidak sah.
Debitur haruss mengembalikan uang pembeli dan kreditur sebagai
kreditur preference;
c. Jika objek jaminan digadaikan maka kreditur dapat mengambil
paksa objek jaminan tersebut, karena kreditur kedudukannya
sebagai kreditur preference dimana hak pembayaran kreditur
didahulukan dari kreditur yang lain. Apabila objek jaminan hilang,
maka eksekusi tidak dapat dilakukan karena jika objek jaminan
61
hilang/musnah fidusia dianggap hapus. Akan tetapi debitur wajib
mengganti objek jaminan fidusia yang setara.
Namun dalam pelaksanaannya tekadang tidaklah selalu berjalan
dengan baik. Ketika salh satu pihak gagal memenuhi kewajibannya
disitulah disebut wanprestasi. Dalam fidusia, wanprestasi dapat dilakukan
baik oleh kreditur maupun debitur. Wanprestasi oleh debitur atau penerima
fidusia seperti menghilangkan objek jaminan ataupun mengalami
tunggakan pembayaran angsuran.pemberi fidusia juga bisa saja
wanprestasi dalam hal tidak melakukan pendaftaran objek jaminan.
Menurut Sudikno Mertokusumo kepastian hukum adalah jaminan
bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat
memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dijalankan. Ketika ada
wanprestasi antara dua pihak yang mengadakan perjanjian terdapat pula
kepastian guna menjamin hak dan kewajiban yang ada untuk tetap
terpenuhi.
Wanprestasi terjadi karena kegagalan salah satu pihak memenuhi
kewajiban, tetapi bukan berarti tidak ada kewajiban baru yang harus
dijalankan. Kreditur berhak memberikan peringatan kepada debitur yang
wanprestasi peringatan tersebut pada bank mandiri selaku kreditur
dilakukan sebanyak tiga kali dalam bentuk tertulis ataupun lisan akan
tetapi peringatan tertulis lebih kuat dan memkasa dibanding tidak tertulis
atau lisan. Disamping itu debitur berkewajiban melaksanakan surat
peringatan yang ditujukan kepadanya, apabila tidak diindahkan pihak
kreditur melakukan tindakan-tindakan selanjutnya sesuai dengan yang
berlaku dalam perusahaan dan telah disepakati para pihak.
Dalam hak dan kewajiban pemberi dan penerima pada jaminan
fidusia saat terjadi wanprestasi terdapat beberapa masalah yang terjadi,
antara lain:4
4Data Hasil Wawancara dengan Bapak Ependi Manager Bank Mandiri, Pada
Tanggal 19 Desember 2018, Pukul 11.00 WIB.
62
1. Hak dan kewajiban jaminan fidusia
a. Memberikan surat peringatan 1 (satu) apabila debitur tidak
melakukan kewajibannya untuk membayar angsuran lebih dari 30
hari;
b. Memberikan surat peringatan 2 (dua) apabila debitur tidak
melakukan kewajibannya untuk membayar angsuran lebih dari 60
hari;
c. Memberikan surat peringatan 3 (tiga) apabila debitur tidak
melakukan kewajibannya untuk membayar angsuran lebih dari 90
hari;
d. Apabila debitur sudah tidak mampu melaksanakan kewajibannya
untuk membayar angsuran maka pihak debitur mempunyai hak
untuk memperkecil angsuran dengan cara restrukturisasi atau
perpanjangan jangka waktu kredit, sehingga pihak kreditur dan
debitur sama-sama di untungkan.
e. Apabila debitur sudah tidak melakukan pembayaran atau
kewajiban kepada pihak kreditur lebih dari 90 hari dan pihak
kreditur sudah melakukan penawaran restrukturisasi kepada pihak
debitur dan pihak debitur tidak mau dilakukan restrukturisasi.
Maka pihak kreditur memberikan pilihan untuk menjual jaminan
dan dilakukan pilihan, pihak debitur atau pihak kreditur yang mau
melakukan penjual.
Berdasarkan uraian diatas debitur yang mengalami kredit macet
diberikan dispensasi waktu untuk menyelesaikan kreditnya yang
bermasalah. Debitur yang kreditnya macet akan diberikan peringatan
sebanyak 3 kali, apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya
kemudian pihak kreditur akan memberikan restrukturisasi, ysng mana
restrukturisasi adalah upaya perbaikan yang dilakukan oleh bank di dakam
kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk
memenuhi kewajiban.
63
Berikut ini adalah kategori dari cara-cara melakukan restrukturisasi
kredit:5
1. Penjadwalan Kembali (Rescheduling)
Strategi atau langkah penyelamatan kredit dengan melakukan
perubahan jangka waktu pelunasan, jumlah setoran pelunasan,
dan/atau pembayaran bunga.
2. Persyaratan Kembali (Reconditioning)
Strategi atau langkah penyelamatan kredt dengan melakukan
perubahan syarat-syarat kredit atau persyaratan baru, seperti:
a. Penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu;
b. Penurunan suku bunga;
c. Pembebasan bunga dan atau sebagian pokok dan lain-lain.
3. Penataan Kembali (Recapitalizing atau Restructuring)
Merupakan tindakan Bank kepada nasabah dengan cara menambah
modal usaha nasabah dengan pertimbangan nasabah memang
membutuhkan tambahan dana untuk usaha yang dibiayai untuk
menghasilkan tingkat arus kas (cash flow) yang dinginkan di masa
depan. Biasanya usaha yang ditambah modal ini masih sangat
layak namun terhenti karena kekurangan modal usaha.
Apabila debitur tidak mau dilakukan restrukturisasi maka pihak
debitur berhak melakukan penjualan objek jaminan ataupun debitur dapat
melakukan penjualan objek jaminan teresebut. Jika debitur melakukan
penjualan transaksi maka dilakukan di bank mandiri.
Dalam kasus yang penulis teliti debitur telah melakukan pinjaman
kredit kepada bank mandiri akan tetapi debitur tidak dapat memenuhi
kewajibannya/melunasi kewajibannya. Namun dipertengahan angsuran
debitur mengalami kredit macet sehingga tidak bisa membayar hingga
waktu yang ditentukan yang mana disebabkan karena adanya kemerosotan
5https://www.google.com/amp/s/www.cermati.com/artikel/amp/prinsip-5c-bank-
dan-cara-kredit-anda-diterima.
64
ekonomi bahwa debitur telah di PHK, dengan alasan tersebut bank
melakukan upaya penyelesaian dengan cara restrukturisasi kredit.
Bank Mandiri telah melakukan penganalisaan terkait finansial
nasabah, walaupun nasabah tercatat sebagai kredit macet akan tetapi
karena alasan kredit macet itu sendiri akibat di PHK-nya nasabah. Fasilitas
kredit tetap diberikan karena agunan yang diberikan merupakan agunan
yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga pihak bank selaku kreditur
memberikan fasilitas kredit dengan jaminan fidusia.
Dalam hal ini bank mandiri memberikan keringanan dari riwayat
kemampuan dari debitur dan debitur tidak pernah melakukan kesalahan di
dalam bank mandiri tersebut. Maka dari itu bank mandiri memberikan
kelonggaran waktu terhadap debitur. Kreditur juga melihat itikad baik
terhadap debitur yang ingin membayar hutangnya, sehingga meskipun
statusnya debitur kredit macet. Maka debitur tetap diberikan jaminan
fidusia oleh pihak kreditur/bank.
Dapat dikatakan das sollen dan das sein telah tercermin dimana
bank mandiri telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan terhadap
debitur/nasabah kredit macet. Dapat disimpulkan tidak menutup
kemungkinan baagi seorang debitur kredit macet mendapatkan fasilitas
kredit pada bank mandiri masih dapat mentoleransi nasabah kredit macet
jika memang terdapat objek jaminan yang dapat dijadikan jaminan dalam
fidusia.
Jika dikaitkan dengan teori kepastian hukum yang memandang
hukum sebagai aturan yang membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan cenderung melihat hukum
sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, jaminan fidusia menekankan
pada hak dan kewajiban yang mengikat para pihak agar terjadi
keseimbangan posisi antara penerima dan pemberi fidusia. Debitur atau
selaku pemberi fidusia memenuhi kewajiban membayar hutang kepada
65
kreditur/penerima fidusia, yang mana memperoleh pembayaran
merupakan hak bagi penerima fidusia/kreditur.
Sesuai dengan teori kepastian hukum, para pihak dalam kredit
dengan jaminan fidusia dipaksa untuk patuh terhadap aturan yang telah
ada sesuai Undang-Undang dan kesepakatan yang ditandatangani para
pihak. Segala yang tertulis yang mengatur mengenai utang piutang dengan
jaminan fidusia merupakan Undang-Undang bagi para pihak. Hal ini
sesuai dengan pandangan teori kepastian hukum yang bersumber dari
aliran positivisme yang melihat hukum sebagai aturan yang normatif
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri
pembahasan dalam skripsi ini, peneliti memberikan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pemberian kredit dengan jaminan fidusia kepada debitur yang bermasalah
atau kredit macet dapat diberikan dengan melaksanakan prosedur khusus
menggunakan analisa dalam pemberian pinjaman kredit. Pihak bank
mandiri melakukan langkah-langkah penting sebelum kredit diberikan,
antara lain melakukan BI Checking untuk mengetahui karakter calon
debitur yang akan diberikan fasilitas kredit kemudian pihak bank
melakukan pengecekan secara data bahwa calon debitur merupakan
pemilik sah kendaraan yang kepemilikannya akan dijadikan jaminan lalu
bank akan mengecek pajak kendaraan, setelah dilakukan pengecekan
langkah selanjutnya ialah melakukan photo fisik kendaraan antara pejabat
bank yang berwenang dengan calon debitur, kemudian dilakukan
penggesekan nomor mesin dan nomor rangka kendaraan. Jika langkah-
langkah tersebut sudah dilakukan, maka pejabat bank akan memverifikasi
dan akan mengirimkan BPKB dan data debitur kepada pihak notaris untuk
dibuatkan akta fidusia. Tahap akhir setelah seluruhnya terpenuhi, hasil
verifikasi dari pejabat bank dan akta fidusia dari notaris akan discan lalu
dikirim ke bagian approval kemudian dilakukan penanda tanganan
perjanjian kredit sebagai akhir dari tahap pencairan.
2. Adapun permasalahan yang terjadi dalam praktek dengan jaminan di Bank
Mandiri, antara lain:
a. Telah berpindahnya objek jaminan fidusia kepada pihak lain
Kendaraan yang hak kepemilikannya sudah dijadikan sebagai jaminan
fidusia memang tidak bisa dipindah tangankan, digadai, ataupun dijual
ke pihak lain. Namun hal tersebut bisa saja dilakukan oleh debitur
yang nakal dan tentunya tindakannya ilegal serta dapat menimbulkan
67
permasalahan yang lebih rumit dikemudian hari. Maka sesuai aturan
yang berlaku debitur dilarang menghilangkan, menggadai, memindah
tangankan atau menjual kepada pihak lain akan tetapi hal tersebut
masih sering kita temukan pelanggaran. Dalam perjanjian pun debitur
yang menghilangkan, menggadai, memindah tangankan benda
jaminan tersebut maka telah melanggar perjanjian yang telah
disepakati kedua belah pihak di samping juga melanggar Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
b. Penyusutan pada objek jaminan
Pada jaminan fidusia objek yang dijadikan jaminan adalah benda
bergerak, maka penyusutan nilai dapat terjadi karena pada dasarnya
penyusutan benda bergerak sudah lebih dari 5 tahun dari pembelian.
Jika nilai jaminan mengalami penyusutan, meski pihak bank telah
menganalisisnya, dampak yang akan timbul ialah nilai jual objek
lebih rendah ketika di eksekusi dan tidak dapat menutupi sisa hutang
debitur. Penyustan nilai terjadi tidak hanya disebabkan oleh lamanya
usia objek jaminan selama berada dalam penguasaan debitur. Selain
itu kurangnya nilai jual objek juga bias terjadi karena kesalahan
analisa dari pihak bank. Pihak bank mungkin saja terjadi kesalahan
kalkulasi dalam kredit sehingga masih ada sisa hutang yang belum
tertutupi.
Namun kreditur dan debitur memiliki hak dan kewajiban yang harus
dijalankan pada saat wanprestasi. Hak yang dapat dilakukan oleh
kreditur antara lain yaitu memberikan peringatan sesuai jangka waktu
yang ditentukan. Apabila debitur sudah tidak mampu melaksanakan
kewajibannya untuk membayar angsuran maka akan dilakukan
langkah untuk memperkecil angsuran dengan cara restrukturisasi atau
perpanjangan jangka waktu kredit. Apabila pihak debitur tidak mau
dilakukan restrukturisasi maka barang jaminan dilakukan penjualan
oleh kreditur ataupun debitur sesuai kesepakatan bersama.
68
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisis dari bab-bab sebelumnya maka dapat diambil
rekomendasi sebagai berikut:
1. Aparat penegak hukum harus mengupayakan untuk melakukan revisi
terhadap aturan mengenai sanksi bagi debitur yang mengalami kredit
macet padabank mandiri yang belum memiliki sanksi yang tegas, dan
belum memberikan efek jera sehingga diperlukan aturan yang lebih tegas
dan mengikat bagi para debitur yang melanggar kewajibannya membayar
hutang/kredit macet oleh pihak kredtur
2. Aturan mengenai kewajiban kredit macet haruslah lebih diperjelas, karena
beberapa debitur masih tidak paham mengenai kredit macet yang
dimaksud apakah objek jaminannya ataukah akta perjanjian fidusianya.
Mengingat Undang-Undang Fidusia sudah terlalu lama maka peneliti
mengharapkan adanya aturan yang baru yang lebih luas dan terperinci
guna memberikan kemudahan pada hakim untuk semakin menegakkan
hukum yang berkeadilan dan sesuai dengan kehidupan masyarakat.
69
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdulkadir, Muhammad. Hukum Pedata Indonesia. (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti). 2000
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika). 2010
Arikunto, Suharsimi. Metodelogi Penelitian. (Yogyakarta: Bina Aksara).
2006
Atmadja, Mochtar Kusuma. Peranan Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, makalah Lokakarya. (Jakarta: BPHN). 1999
Badrulzaman, Mariam Darus. Bab Tentang Kredit Verband, Gadai &
Fidusia. (Bandung: Citra Aditya Bakti). 1991
Djumhana, M. Hukum Perbankan di Indonesia. (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti). 2003
Fuady, Munir. Jaminan Fidusia. (Bandung: Citra Aditya Bakti). 2000
Harahap, M. Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. (Bandung: Alumni).
1986
Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Kencana).
2008
. Penelitian Hukum. (Jakarta: Prenada Media
Group). 2013
Oey Hoey Tiong. Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan.
(Jakarta: Ghalia Indonesia). 1984
Rodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Perjanjian. (Bandung: Mazdar
Madju). 2000
Salim, HS. Perkembakangan Hukum Jaminan di Indonesia. (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada). 2005
Satrio, J. Hukum Jaminan Kebendaan Fidusia. (Bandung: Citra Aditya
Bakti). 2002
70
Setiawan, R. Pokok-pokok Hukum Perikatan. (Bandung: Binacipta). 1987
Soekanto, Soerjono. Pengantar Peneltian Hukum. ( Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press). 1986
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok
pokok Hukum Jaminan dan Jaminan perorangan. (Yogyakarta:
Liberty). 2007
Subekti, R.Hukum Perjanjian. (Jakarta: Citra Aditya Bakti).1983
Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. Cetakan Kelima. (Bandung: CV
Alfabeta). 2003
Syahmin. Hukum Kontrak Internasional. (Jakarta: Raja Grafindo Persada).
2006
Usman, Rahmadi. Hukum Kebendaan. Jakarta: Sinar Grafika. 2013
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang.Grose Akta Dalam
Pembuktian dan Eksekusi. (Jakarta: Rineka Cipta). 1993
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. (Bandung: Raja
Grafindo Persada). 2003
B. Website
https://www.google.com/amp/s/www.cermati.com/artikel/amp/prin
sip-5c-bank-dan-cara-kredit-anda-diterima.
https://www.bphn.go.id/data/documents/implementasi_jaminan_fid
usia_dalam_pemberian_kredit_di_indonesia..pdf
C. Peraturan PerUndang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal
71
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang
Lembaga Pembiayaan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang
Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka
Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan.